Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Warjio
ISSN: 0216-9290 Pragmatisme Partai Dakwah dalam Pemilu 2009
Pragmatisme Partai Dakwah dalam Pemilu 2009 WARJIO Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155; Telepon: 061-8220760; Email:
[email protected] Diterima tanggal 18 Juni 2010/Disetujui tanggal 30 Juni 2010 Election 2009 has provided a description that pragmatism has become a hallmark of the election. One participant's election is the Partai Keadilan Sejahtera (PKS). As a party, known by the party dakwah, pragmatism shown in the Partai Keadilan Sejahtera course is very contradictory Partai Keadilan Sejahtera platform that is very concerned with matters relating to Islamic religious values. The study looks at the causes of pragmatism Partai Keadilan Sejahtera. The results showed that the main cause of the attitude of pragmatism by PKS because PKS prefer the politics of power politics than preaching. This path was chosen despite Partai Keadilan Sejahtera must accept the risk of abandoned although some of the founders, members, or constituents. This clearly shows that the Partai Keadilan Sejahtera such as no other choice than to change the political orientation. Thus the Partai Keadilan Sejahtera is more concerned with secular values than the values of Islam as his political views. Keywords: Islamic party, Party dakwah, General elections.
Pendahuluan Pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2009, sebanyak 44 partai politik ditetapkan berkompetisi dalam pemilu legislatif. Hal ini berasaskan Keputusan KPU Nomor 149/SK/ KPU/Tahun 2008, pada pekan pertama Juli 2008, di mana Ketua KPU, Abdul Hafiz Ansary, mengumumkan 34 partai politik nasional yang ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2009. Terdiri daripada 16 partai lama, peserta Pemilu 2004, yang lolos electoral threshold1, serta18 partai politik baru yang 1
Berasaskan Aturan Peralihan undang-Undang Nomor 10 tahun 2008. Partai yang lolos electoral thresold adalah Partai Golkar, PDI-Perjuangan, Partai Kebangkitan bangsa (PKB), PKS, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demorat. Partai yang tidak lolos electoral threshold tapi diuntungkan oleh Aturan Peralihan UU Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilu (9 Partai) adalah Partai Bulan
lolos verifikasi faktual. Turut melengkapi jumlah itu adalah enam partai politik lokal di daerah khususnya Nanggroe Aceh Darussalam sebagai peserta Pemilu 2009 meski belakangan, komposisi itu berubah. Menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008, yang menghapus pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu, dan putusan Mahkamah Tata Usaha Negara yang mewajibkan KPU menetapkan partai politik peserta Pemilu 2004 menjadi peserta Pemilu 2009, KPU mengeluarkan Keputusan Nomor 208/SK/KPU/Tahun 2008. Bintang (PBB), Partai Bintang Redormasi (PBR), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Pelopor, Partai Nasional Indonesia Marhainisme
98
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Warjio Isi keputusan itu adalah perubahan atas keputusan KPU Nomor 149 Tahun 2008 tentang penetapan dan penghitungan suara nomor urut partai politik peserta pemilu Tahun 2009. Pada keputusan yang baru itu, partai politik peserta Pemilu 2009 yang berasal dari Pemilu 2004 bertambah dengan kehadiran: Partai Merdeka, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Sarikat Indonesia dan Partai Buruh. Maka lengkaplah peserta Pemilu 2009 menjadi 44 partai politik. Partai-partai ini akan mengkampanyekan asas, ideologi, basis massa, dan figur kepemimpinan untuk mempertebal loyalitas para pendokongnya. Menurut banyak sarjana Indonesia seperti Bima Arya dan Eep Saifulloh Fatah Pemilu 2009 ditandai dengan menguatnya dua arus utama pada pentas politik Indonesia. Pertama, arus liberalisasi politik yang makin mengokohkan arus liberalisasi hak dan peran individu dalam menentukan proses politik. Ini dicirikan antara lain dengan sistem pemilihan Presiden langsung dan memberikan ruang yang luas kepada pemilih melalui sistem suara terbanyak dalam pemilihan anggota parlimen. Arus liberalisasi ini akan meranapkan politikus dan pemimpin tidak memiliki karakter yang kuat dan perbedaan yang tegas dalam hal gagasan dan perilaku politik. Kedua, arus desakralisasi politik, yang ditandai dengan lunturnya pemahaman publik ke atas pandangan politik dalam arti terbaik yaitu sebagai proses perebutan kuasa antara pelaku-pelaku politik untuk memenangkan jabatan politik dalam merumuskan dasar yang bermanfaat bagi rakyat. Arus kedua ini cenderung melunturkan pandangan politik yang luhur tersebut menjadi terbatas pada proses perebutan kekuasaan untuk memuaskan agenda pribadi atau kelompok yang bersifat jangka pendek.2 Perebutan kuasa dalam Pemilu 2009 begitu kentara dan banyak menggunakan uang. Para caleg dan capres, dalam kampanye harus mengeluarkan biaya. Untuk calon legislatif Bima Arya Sugiarto, “Pemilu Ketiga dan Differensiasi Tiga M”, Majalah Gatra (1 April 2009); Lihat pula Eep Sefulloh Fatah, “Postur DPR, Transasksi dan Pertukaran”, Majalah Tempo (5 April 2009). 2
99
ISSN: 0216-9290 Pragmatisme Partai Dakwah dalam Pemilu 2009 (DPR) atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam kampanye memerlukan biaya rata-rata minimal Rp.500 juta. Bahkan, beberapa caleg perlu mengeluarkan biaya hingga Rp. 2 miliar. Calon DPRD Provinsi diperkirakan mengeluarkan biaya kampanye sekitar Rp. 300 juta. Untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota, diperkirakan mengeluarkan biaya sekitar Rp 100 juta. Berkaitan dengan ini, partai politik peserta Pemilu 2009 bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat deklarasi anti korupsi partai politik. Dengan demikian Pemilu 2009 telah memberikan gambaran bahwa pragmatisme telah menjadi ciri dari peserta pemilu. Salah satu peserta Pemilu itu adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebagai partai yang dikenal dengan partai dakwah, pragmatisme yang ditunjukkan dalam PKS tentu sangat bertolak belakang platform PKS yang sangat peduli terhadap hal-hal yang berkaitan dengan nilai nilai agama Islam. Apa sebenarnya yang menjadi penyebab dari pragmatismenya PKS? Pendekatan dan Metode Studi ini dilakukan dengan pendekatan kelembagaan. Fokusnya pada lembaga partai politik yakni Partai Keadilan Sejahtera atau PKS. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan library research (studi pustaka). Analisis dilakukan dengan metode analisis deskriptif komparatif, yaitu menggambarkan dan membandingkan partai keadilan sejahtera secara ideologis dengan praktek politiknya. Pragmatisme PKS Jika merujuk pada PKS, persoalan liberalisasi politik dan desakralisasi politik juga tidak dapat dihindarkan. Dalam Pemilu 2009, PKS lebih pragmatis dan terbuka. Sikap PKS yang pragmatis dan terbuka disebabakan kerena dalam dua pemilihan umum sebelumnya, 1999 dan 2004, perlehan suara PKS stagnan dan itu harus dilakukan dengan cara memperluas ”pasarnya” jika ingin berkembang menjadi partai besar. Hal ini diakui oleh salah seorang pengurus PKS Pusat, Mahfudz Siddiq bahwa kesan ekslusif pada awalnya sebagai bahagian dari gerakan keummatan.
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Warjio Namun, ketika PKS menjadi partai politik tuntutan untuk menjadi partai terbuka tidak dapat dihindari. Jika kita merujuk pada Pemilu 2004, eforia “kemenangan” PKS di dalam Pemilu 2004 seolah memberikan keyakinan kepada PKS bahwa dengan semakin terbukanya PKS dengan cara membuka diri bagi golongan, agama apapun tanpa menguatkan kerja-kerja dakwah. Yang menarik, PKS dalam Pemilu 2009 memulai keyakinannya dengan angka delapan. Sebagaimana yang diketahui di dalam Pemilu 2009 ini PKS mendapat nomor suara delapan. Pernyataan Sekretaris Umum PKS, Anis Matta, yang menganggap angka delapan sebagai angka keberuntungan serta menggelar kegiatan seremonial partai untuk mendokong angka delapan telah melahirkan kontroversi di kalangan ahli partai. Di Semarang, PKS menggelar kegiatan seremonial partai pada tanggal 8 bulan 8 tahun 2008 dengan menghadirkan 8 Srikandi, dan melepas 8 burung merpati sebagai simbol PKS cinta damai dan memperjuangkan kesejahteraan. Di Aceh digelar “beulukat kuneng 8” yang dilancarkan pada tanggal 8, bulan 8 tahun 2008. Ini tentu sangat ironi. PKS yang dikenali sebagai partai dakwah dan berasaskan Islam justeru mengaitkan pertambahan suara dengan nomor partai. Kenyataan ini semakin memberikan penilaian bahwa PKS kurang perhatian pada persoalan yang berkaitan dengan asas syar’i Islam. Sebagaimana dinyatakan anggota parlemen PKS, Dr. Zulkiflimansyah menjelang Pemilu 2009, PKS tidak akan berkampanye dengan menggunakan isu syariat Islam. Ini agar PKS dapat menempatkan orangnya di kekuasaan. Soal syariat Islam dan sebagainya sudah tidak relevan dengan PKS. Oleh kerananya PKS siap berkoalisi dengan partai sekular seperti PDI-P. Pernyataan kader PKS, Dr. Zulkiflimansyah seperti itu jelas sangat ditentang oleh para penggiat dakwah. Aktivis dakwah yang giat ke atas perjuangan syariah, Abu Jibril, yang menanggapi pernyataan Dr. Zulkiflimansyah dengan menyatakan bahwa jika Dr. Zulkiflimansyah berkuasa, bukan tidak mungkin akan menghabiskan gerakan Islam liberal.
ISSN: 0216-9290 Pragmatisme Partai Dakwah dalam Pemilu 2009 Desakralisasi PKS sebagai partai dakwah yang dikenal kuat akan ideologi Islamnya, telah pun luntur akibat keinginan untuk mendapatkan dukungan dari partai sekular seperti PDI-P dalam usaha menempatkan kadernya menjadi presiden maupun wakil presiden. Pernyataan Dr. Zulkiflimansyah seperti itu didukung kuat oleh tokoh PKS Anis Mata. Menurut Anis Matta dalam acara Temu Muka Tim Delapan PKS dengan sejumlah tokoh bukan Muslim Makasar di Hotel Klarion, Makasar,23 Januari 2009, era politik aliran di Indonesia sudah berakhir. Suara pemilih dalam Pemilu 2009 diprediksi akan lebih terpengaruh pada kinerja kader dan kredibilitas partai, ketimbang kerena sentimen agama atau kelompok tertentu. Oleh kerana itu, PKS berhasrat merangkul semua suku maupun agama yang ada di Indonesia untuk memenuhi target 20 persen dalam Pemilu 2009. Lebih lanjut Anis Matta menjelaskan, saat ini PKS untuk membuka diri dengan menggunakan isu kemanusiaan tanpa dominasi agama dan tanpa sekatan apapun. Keinginan PKS untuk membuka diri secara luas memang telah menjadi agenda PKS dalam Pemilu 2009. Menurut Presiden PKS, Tifatul Sembiring bahwa kenyataan PKS akan menerima calon legislatif bukan dari agama Islam telah diketahui umum.3 Ini merupakan implikasi daripada Muktamar PKS di Bali, 1-3 Februari 2008. Dalam muktamar PKS di Bali tersebut antara lain rekomendasi menyebutkan peneguhan kembali semangat kebangsaan dan penegasan bahwa PKS tidak antipluralis. PKS juga akan membuka diri terhadap calon legislatif bukan Islam. Konsep PKS sebagai partai terbuka dan moderat itu juga sudah diletakkan dalam Musyawarah majelis Syura PKS 2004 dan kini dituangkan dalam platform partai. Pada 2008, Majelis Syura PKS telah menegaskan tidak adanya lagi persoalan polarisasi antara nasionalisme dan Islam serta tidak ada lagi perdebatan antara Islam dan Pancasila.
3
Wawancara dengan Tifatul Sembiring (Pengurus PKS Pusat), pada tanggal 5 Januari 2009, bertempat di Medan.
100
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Warjio Walau bagaimanapun, dalam pandangan Pimpinan PKS yang lain, Suryama, Dewan Syuro PKS menegaskan PKS tetap menjadi partai dakwah. Keinginan untuk menjadi partai terbuka, sebagai dampak dari pengaruh PKS yang semakin besar terlebih persoalan yang dihadapi PKS juga semakin besar. Ini hal biasa dan bagian dari dinamika politik. Manakala Mahfudz Siddiq, Pengurus PKS lainnya menjelaskan bahwa seharusnya PKS harus terbuka (inklusif) karena selama ini tertutup (eksklusif). Apa yang ditegaskan oleh Pengurus PKS dan keputusan dalam kegiatan internal partai di Bali, telah mendapat respon yang cukup positif dari kalangan bukan Islam. Anand Krishna, seorang Pengurus Spritual agama Hindu, telah menulis opini di surat kabar Radar (Bali), 4 Pebruari 2008 dengan tajuk, ”Selamat Ber-Munas PKS”. Anand menjelaskan bahwa, hasil musyawarah PKS di Bali akan memberikan peluang bagi bukan Muslim untuk menjadi calon legislatif dan PKS telah berjalan pada proses demokrasi yang mengedepankan pluralisme.4 Kenyataan tokoh-tokoh PKS seperti itu menguatkan dugaan semakin pragmatisnye5 PKS dalam mendapatkan dukungan darimanapun walaupun belum ada jaminan akan mendapatkan dukungan. Fajlurrahman Jurdi mencatat dorongan untuk mendapatkan target dalam Pemilu 2009 sebesar 20 persen, mengakibatkan PKS harus terbuka, dengan harapan bukan saja akan di dukung oleh pemilih yang ideologis tetapi juga pemilih yang tidak ideologis. Oleh karenanya sikap politik PKS ditentukan oleh fluktuasi politik yang berkembang. Isu Islam dalam ketatanegaraan tidak begitu penting selama ini mengancam posisi PKS dalam meraih suara dalam Pemilu 2009. Anand Krishna ”Selamat Ber-Munas PKS”, Surat Kabar Radar Bali ( 4 Februari 2008). 5 Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata hanya bergantung pada kegunaan atau manfaat ucapan, dalil dan tindakannya bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupan. Idea ini merupakan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya. Pragmatis lahir dan dirintis oleh di Amerika oleh Charles S. Pierce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan Jon Dewey (1859-1952).
ISSN: 0216-9290 Pragmatisme Partai Dakwah dalam Pemilu 2009 Menurut Direktur Reform Institute, Yudi Latif, bahwa biaya demokrasi yang tinggi dan keinginan kuat untuk menjadi partai besar telah membuat PKS menjadi lebih kompromis. Pendukung PKS yang berasal dari kelas menengah yang belum kuat baik secara ekonomi maupun ideologi membuat PKS akhirnya mengambil pilihan melakukan berbagai cara untuk bertahan. Bagi Fajlurrahman Jurdi, sikap PKS yang tidak pernah dewasa, harapannya yang terlalu tinggi serta ambisinya yang mengalahkan rasionalitasnya, membuat PKS kehilangan pijakan asasnya. PKS menjadi partai yang tidak memiliki kekuatan moral, dan menjadikan moral sebagai batu loncatan untuk meraih kekuasaan. Kecenderungan pemudaran idealisasi perjuangan PKS di tingkat elit partai, kemudian berpengaruh pada jumlah pendukung yang mengalami penysutan. Perilaku pragmatis inilah membuat PKS tidak lagi menguasai pusat-pusat pengkaderan di kampus-kampus yang selama ini menjadi basis suara PKS. Gerakan-gerakan keagamaan seperti Salafiah dan Hizbut Tahrir (HT) lebih menjadi pilihan. Kenyataan yang sama juga disampaikan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi bahwa walaupun PKS dalam Pemilu (parlemen) mendapat kenaikan kursi, tetapi kenaikan suara PKS diikuti oleh menurunnya suara PKS di kawasan-kawasan yang menjadi sumber suara PKS seperti di Jakarta, Bandung, Bekasi, dan Medan. Sumber pendukung PKS tersebar paling banyak terutama mereka yang berpendidikan tinggi dan berpenghasilan menengah ke atas. Namun demikian meskipun ada penurunan suara pada kawasan yang disebutkan, PKS mengalami kenaikan suara di kawasan Jawa Tengah, Sulawesi dan Jawa Timur.
4
101
Mengapa di kawasan perkotaan suara PKS banyak menurun manakala di daerah lain ada yang naik? Burhanuddin Muhtadi menjelaskan bahwa dalam Pemilu 2009 PKS mencitrakan diri sebagai partai terbuka yang tidak lagi dipenuhi dengan simbol-simbol Islam. Ini dapat dilihat dari kampanye PKS yang menampilkan para belia, terutama wanita dengan tidak menggunakan jilbab. Citra itu berhasil menarik pemilih baru PKS, tetapi
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Warjio pada saat yang sama terjadi resistensi dari kader-kader PKS yang ideologis. Kedua, PKS kurang konsisten mencitrakan diri sebagai partai yang bersih dan peduli. Slogan yang dijual PKS pada Pemilu 2004 ini terbukti berkesan untuk menambah perolehan suara baru. Kaum terdidik terpikat komitmen partai (PKS) melawan korupsi. Di Pemilu 2009 citra itu agak terganggu oleh kasus gratifikasi dari Bank Indonesia (BI) yang melibatkan anggota DPR dari PKS, Rama Pratama. Bagi Burhanuddin, gesekan kumpulan idealis-ideologis dan kumpulam pragmatis-realistis dalam PKS tentang gagasan partai terbuka dapat menjelaskan partai untuk tumbuh menjadi partai besar. Hal ini disebabkan gagasan partai terbuka dalam PKS membuat kumpulan idealis-ideologis menjadi terpinggirkan dari kepengurusan partai. Padahal orientasi asas PKS tidak dapat dilepaskan dari kumpulan gerakan harakah (tarbiyah) yang menjadi asas utama PKS sejak awal didirikan. Implikasi pertarungan kepentingan itu tampak jelas di dalam dalam Pemilu 2009. Perolehan Suara PKS di kawasan-kawasan bukan basis serta di pedesaan dan luar pulau Jawa justru meningkat sebagai dampak dari sikap partai yang makin terbuka. Sebaliknya perolehan suara di kawasan yang menjadi sumber suara PKS seperti di daerah-daerah besar, justru menurun sebagai respon negatif atas keterbukaan yang di dorong partai. Secara akademik pula, sebagaimana disampaikan oleh pengajar politik Professor Dr. Purwo Santoso (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), Dr. Haryadi (Universitas Brawijaya, Surabaya), Professor Dr. Subhilhar (Universitas Saumatera Utara, Medan) persoalan korupsi yang menimpa anggota PKS dan sikap pragmatisme PKS menjadikan partai dakwah ini banyak ditinggalkan oleh pendiri, anggota maupun pendukungnya. Sebagaimana yang diketahui oleh umum, salah seorang pendiri PKS, Mashadi telah keluar dari keanggotaan PKS. Ia merasa kecewa dengan PKS kerana lebih terfokus pada kekuasaan dan tidak menguatkan dakwah. Padahal ketika PKS didirikan, dakwah menjadi asas utama kerja partai. Di samping
ISSN: 0216-9290 Pragmatisme Partai Dakwah dalam Pemilu 2009 itu, PKS juga terus terfokus dengan pemerintahan dan bukan memfokuskan diri pada parlemen. Kenyataan ini mengakibatkan PKS tidak lagi mampu mengawasi dengan baik kerja-kerja pemerintahan. Pandangan yang sama juga disampaikan oleh Ustaz Ahmad, penggasas PKS kawasan Deli Serdang, Sumatera Utara. Menurutnya PKS tidak lagi mampu untuk menguatkan diri pada dakwah. PKS sudah terjebak pada pada pragmatisme kekuasaan. Sebagaimana diketahui, dalam Pemilu 2009, PKS hanya mampu meraih meraih 8,6 persen suara. Artinya, capaian 20 persen suara sebagaimana yang ditargetkan oleh Presiden PKS, Tifatul Sembiring, tidak tercapai. Ini mengakibatkan PKS harus membuat kesepakatan dengan partai-partai lain jika ingin mengajukan calon Presiden. Kenyataannya kemudian PKS (59 kursi) berkompromi dengan Partai Demokrat, yang mengajukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai calon Presiden dan Wakil Presidennya Boediono (SBY-Boediono).6 Sebagaimana diketahui, Partai Demokrat yang berhasil mendapat suara terbanyak (148 kursi) dalam Pemilu Legislatif 2009 memiliki kekuatan untuk menarik partai lain untuk membuat kesepakatan, yang kemudian di dalamnya bergabung partai-partai lain seperti PAN (42 kursi), PPP (39 kursi) dan PKB (26 kursi) dan tentu sahaja PKS. Bentuk dukungan PKS pada SBY-Boediono7 untuk menjadikan Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilu 2009, dinilai sebagai bentuk pragmatisme PKS untuk bersama-sama meraih kekuasaan sehingga mampu mengenyampingkan pemimpin ummat Islam yang 6
Bagi PKS, sebagaimana yang disebutkan oleh Presiden PKS, Tifatul Sembiring, sangat menyayangkan langkah SBY yang tidak memiliki figur calon wakil presiden yang mewakili ummat Islam. Kombinasi Islam dan nasionalis, menurut Tifatul Sembiring lebih kuat dan banyak mendapatkan dukungan daripada calon yang lain. Boediono dinilai PKS, kurang “Islamnya”. Di samping figur yang mewakil ummmat SBY juga diminta untuk mempertimbangakan calon di luar pulau Jawa. Pandangan yang sama juga disuarakan oleh Muhammadiyah. 7 Sebelum PKS menetapkan pilihannya pada pasangan SBY-Boediono, wacana untuk menyatukan bekas Presiden PKS, Hidayat Nurwahid dengan Megawati (PDIP) begitu kentara.
102
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Warjio ada untuk mengajukan calon Presiden dan Wakilnya sendiri. Sebab jika dipadukan, perolehan suara partai-partai Islam dan massa Islam, seperti PPP, PKS, PBB, PKB, PAN dapat mencecah 29,02 persen, melebihi batas minimal ketentuan Undang-Undang Pemilu yang mensyaratkan suara 20 persen. Secara tegas, pengurus Forum ummat Islam (FUI), Muhammad Al-Khaththath, menilai PKS terlalu mengedepankan pada keegoannya dan merasa besar sendiri tanpa dukungan dari ummat Islam. Dalam Pemilu Presiden 2009, muncul isu mengenai persoalan jilbab. Persoalan jilbab itu diarahkan kepada pasangan calon presiden/wakil presiden, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, di mana isteri mereka tidak menggunakan jilbab dan pasangan calon presiden/wakil presiden Jusuf Kalla (JK)-Wiranto yang istrinya menggunakan jilbab. Kerena persoalan jilbab ini, banyak ahli dan pendokong PKS terpecah menjadi dua. Pertama, mereka yang mendukung JK-Wiranto, kerana istrinya mereka menggunakan jilbab. Kedua, mereka mendukung SBY-Boediono, walaupun isteri tidak berjilbab. Seorang ahli PKS, Ahmad Dani Daruri, Presiden Direktur Centre for Banking Crisis (CBC), secara nyata menyatakan kekecewaannya kepada PKS kerana PKS mendukung SBY-Boediono8. Padahal, jauh hari sebelum8
Ada delapan alasan PKS mendukung SBYBoediono: Pertama, kesepakatan dengan SBY merupakan keputusan Majelis Syuro PKS ke XI, 2425 April 2009. Majelis Syuro sebagai lembaga tertinggi partai dalam PKS telah memberikan legitimasi kuat. Kedua, Aspirasi kader dan konsituen lebih dari 70% mendukung PKS untuk mendukung SBY. Ketiga, PKS hanya ingin bersepakat dengan partai reformis. Kader-kader menolak berpakat dengan kelompok bermental Orde Baru. Keempat, SBY pro terhadap perubahan. Sudah banyak hasil yang dicapai selama PKS berkoalisi dengan dengan SBY pada periode 2004-2009. Seperti swasembada pangan, pemberantasan korupsi, dan lainnya. Kelima, SBY akomodatif atas usulan platform PKS dalam rangka mengatasi solusi bangsa. Keenam, Pengalaman kesepakatan dalam Pilkada. PKS tidak ingin lagi sekedar hanya jadi kuda tunggangan partai lain. Di beberapa Pilkada PKS sudah berjuang habis-habisan. Namun setelah menang, PKS ditinggalkan. PKS tidak ingin di tipu lagi. Inilah
103
ISSN: 0216-9290 Pragmatisme Partai Dakwah dalam Pemilu 2009 nya, ramai dukungan dari elit dan akar rumput PKS menginginkan SBY dipasangkan dengan kader PKS, Hidayat Nur Wahid menjadi calon wakil presiden. Oleh kerana ini pula, Ahmad Dani Daruri mendukung JK. Di tingkat akar rumput, ramai pendukung PKS juga menyatakan kekecewaannya. Seorang aktivis KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Provinsi Sumatera Utara, yang selama ini mendukung PKS dan aktif dalam program-program PKS, Siti Natiha, merasa kecewa dengan PKS yang tidak mengambil pusing persoalan jilbab di dalam menentukan pilihan politiknya dalam pemilihan calon Presiden. Padahal jilbab adalah persoalan sensitif bagi kader dakwah.9 Pembangkangan10 anggota maupun pendukung PKS seperti diakui oleh pengurus PKS, salah satu bentuk” mental Orde Baru”. Ketujuh, pengalaman kesepakatan pemilihan presiden periode 2004-2009 Partai Demokrat, PKS, PBB dan PKPI sukses menghantarkan SBY menjadi presiden. Tetapi datang yang tidak berkeringat minta jatah di kementrian lalu ingin menggeser PKS dari kesepakatan. Delapan, SBY disukai dan didukung oleh rakyat. Terbukti tingginya dukungan rakyat dalam hasil survei. 9 Wawancara dengan Siti Natiha (aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) pada tanggal 18 Juli 2009, bertempat di Medan. 10 Sebenarnya dalam Pemilihan Umum 2009, pembangkangan anggota partai tidak hanya terjadi atas PKS saja. Di Partai Bulan Bintang (PBB), misalnya, Ada Ali Mochtar Ngabalin yang mendukung JK. Padahal PBB resminya mendukung SBY-Boediono. Lalu di Partai Amanat Nasional (PAN) dua tokoh elit partai Drajat Wibowo dan Alvin Lie, masuk dalam kumpulan pemenangan JK. Menyusul kemudian, ratusan kader PAN di berbagai kawasan yang menyatakan diri sebagai Garda Amanat Nasional menyatakan dukungan ke JK. Pengurus PAN kawasan Banten memberikan dukungan kepada pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden Megawati dan Prabowo (Mega Pro). Padahal secara resminya PAN memberikan dukungan pada SBY. Di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ramai kadernya telah menggagas pembentukan Forum Persatuan Pendukung (FPPP) Mega-Pro. Dalam forum ini tercatat sebanyak 16 “ahli jawatan” serta 27 pengurus wilayah telah menyatakan secara terbuka mendukung Mega-Pro. Dintara Pengurus PPP yang mendukung keberadaan F-PPP diantaranya: Ketua Pengurus Pusat PPP Rusdi Hanafi, Somali A.Malik (Timbalan Setiausaha) serta Setia Usaha Angkatan Muda Kabah, Joko Purwanto. Bentuk dukungan itu dibuktikan dengan kehadiran 1.000
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Warjio Zulkieflimansyah yang mengungkapkan hasil survei internal PKS sebagian anggota PKS akan mendukung JK kerena persoalan jilbab. Kenyataan itu membuat Pengurus Partai Demokrat meminta PKS untuk menertibkan anggotanya jika ingin terus bergabung dalam kesepakatan. Presiden PKS, Tifatul Sembiring, ketika memberikan keterangan persoalan jilbab menyatakan bahwa persoalan jilbab adalah hanya persoalan selembar kain yang tidak perlu dipolemikkan. Kenyataan Presiden PKS seperti itu, dengan tidak ambil pusing persoalan jilbab semakin menegaskan semakin pragmatisnya PKS dan haus akan kekuasaan. Padahal, persoalan jilbab menjadi bahagian penting dari perjuangan gerakan dakwah PKS. Kenyataannya di dalam kepemimpinan elit PKS sendiri ternyata persoalan dukungan ke atas SBY juga terpecah. Secara tiba-tiba tokoh PKS, Anis Matta mengancam akan meninggalkan koalisi dengan SBY karena ketika SBY menjadi Presiden, dinilai telah gagal menjalankan pemerintahan. Sering sekali PKS diabaikan dan tidak dianggap di dalam menentukan dasar dengan persoalan asas pemerintahan seperti persoalan kenaikan harga petrol mahupun persoalan mengimpor beras. Kenyataan Anis Matta seperti itu, ditanggapi oleh Presiden PKS, Tifatul Sembiring, dengan menyatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Anis Matta hanya merupakan pandangan peribadi, bukan partai. Di Medan, Jakarta, mahupun Bandung, para intelektual lainnya yang aktif dalam pendidikan, NGO (Non-Government Organization) seperti T. Kemal Pasya (Pengajar Universitas Malikussaleh, Aceh), Erni Agustini (Women Research Centre, Jakarta), Kasmayadi Kasim (Environmental Legal Aid Foundation, Jambi), Aryos Nivada (Aksara Aceh), Andriyansya (Bigs, Bandung) memahami realitas PKS dalam politik dakwahnya yang semakin pragmatis dan setuju dengan pandangan sebagaimana yang disampaikan oleh Yudi Latif, dan Burhanuddin Muhtadi.
ISSN: 0216-9290 Pragmatisme Partai Dakwah dalam Pemilu 2009
Jika dianalisis dari pandangan politik barat, sebagaimana dinyatakan oleh sarjana barat yang mengkhususkan pada partai Islam Indonesia, Kevin Evans, PKS memang harus berbuat seperti itu untuk memperluas dukungannya. Sebagaimana hal yang sama dilakukan oleh partai politik lain yang ikut dalam arus demokrasi. PKS adalah partai tengah yang tidak ke kiri (fundamental) maupun ke kanan (liberal).11 Hal itu boleh dilakukan selagi tidak bertentangan dengan Islam itu sendiri. Kenyataan Kevin Evans dalam analisisnya mengenai praktik pragmatisme PKS, mendapat legitimasi dari pengajar politik antarbangsa, Professor. Dr. Sheldon W. Simon (Arizona State University, Amerika Serikat) dengan mengatakan bahwa sebuah partai politik yang ingin mendapatkan banyak dukungan mesti membuka diri dan pragmatisme. Ini hal yang biasa terjadi dalam proses praktik politik.12 Pandangan Kevin Evans dan Sheldon seperti itu, bila dikaitkan dengan perspektif teori kelembagaan, jelas hanya akan menguatkan teori kelembagaan partai politik sebagaimana dinyatakan oleh Moses Maor, bahwa sebelum partai itu bertahan (persist) partai tersebut harus eksis (survive). Demikian juga Shaun Bowler dan Jeniffer van Heeder, yang mengutip Aldrich (1995), partai politik akan survive apabila dapat memberi manfaat kepada para kandidat partai politik tersebut maupun para pemilihnya pada pilihan umum. Selanjutnya Samuel P. Huntington yang membahas tentang kelembagaan partai politik menyatakan bahwa agar partai politik survive, partai politik itu harus memiliki kelembagaan yang kuat. Samuel P. Huntington mendefinisikan pelembagaan politik sebagai proses di mana organisasi dan prosedur memperoleh nilai baku dan stabil. Huntington mengukur tingkat pelembagaan politik ini dari tingkat adaptabilitas, kompleksitas, otonomi, dan koherensi. Menurutnya, semakin mudah organisa11
Analisis Organisasi dan Dakwah
simpatisan PPP saat deklarasi Mega-Prabowo di Bantar Gebang, 24 Mei 2009.
Wawancara dengan Kevin Evans (pengamat partai Islam) pada tanggal 27 Januari 2010, bertempat di Medan. 12 Wawancara dengan Sheldon W. Simon (Pengajar Politik Antarbangsa), pada tanggal 12 April 2010, bertempat di Medan.
104
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Warjio si menyesuaikan diri (beradaptasi) semakin tinggi pula derajat pelembagaannya. Begitu pula semakin banyak tantangan yang timbul dan semakin tua umur organisasi, semakin besar pula kemampuannya menyesuaikan diri dengan lingkungannya (beradaptasi). Walau bagaimanapun, pragmatisme PKS seperti itu, sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Umum Nahdalatul Ulama (NU), Kyai Hashim Muzadi, dapat menjelaskan PKS yang dikenali sebagai partai dakwah khususnya dihadapan pendukungnya yaitu ummat Islam.13 Apa yang dilakukan oleh PKS adalah bentuk mengedepankan kepentingan politik yang haus kekuasaan ketimbang dakwahnya. Padahal sebagaimana yang diyakini PKS dan menyatakan dirinya sebagai partai dakwah, PKS mesti komitmen terhadap kerja-kerja dakwah dengan metode yang sesuai. Menurut, pakar dakwah, Prof. Dr. Lahmuddin Lubis, M. Ed bergesernya sasaran dakwah PKS yang hanya terfokus pada kekuasaan dan tidak menguatkan dakwah mengakibatkan PKS akan kehilangan komitmennya untuk terus berjalan dalam jalan kebenaran melalui kerja-kerja dakwah. Keadaan ini akan mengakibatkan pada pragmatisme.14 Secara teoritikal, dalam kaitan ini pandangan, KH. Hasyim Muzadi, Prof. Dr. Lahmuddin Lubis, M.Ed menguatkan teori Politik Dakwah sebagaimana yang disampaikan oleh, Syaikh Mustafa Mansyur, Sayyid Quthub, Fathi Yakan maupun Hassan Al-Banna. Sebagaimana di sampaikan Syaikh Mushthafa Masyhur (2002) melalui karyanya yang bertajuk Qadhaya Asasiyyah Dalam Dakwah: Problem Mendasar Dalam Dakwah15 agar sebuah gerakan yang bergerak dalam aktivitas dakwah yang dilakukan partai politik terjamin di jalan yang benar dan menuju sasaran, ia harus menjaga dan 13
Wawancara dengan Hasim Muzadi (Ketua Umum NU) pada tanggal 10 Januari 2010, bertempat di Medan). 14 Wawancara dengan Prof. Dr. Lahmuddin Lubis, M. Ed. (Pakar Dakwah), pada tanggal 2 Februari 2010, bertempat di Medan. 15 Tajuk asli daripada karya ini adalah Qadhaya Asasiyyah’ala Thariq Ad-Da’wah. Karya ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Abu Ridho, salah seorang pengasas daripada PK (S).
105
ISSN: 0216-9290 Pragmatisme Partai Dakwah dalam Pemilu 2009 memelihara keaslian gerakan dakwahnya. Sebab sekecil-kecil penyimpangan atau berkurangnya keaslian gerakan dakwah itu pasti akan melahirkan penyimpangan yang lebih besar sejalan dengan kelanjutannya, pertumbuhan dan kekuatan yang terus semakin berkembang. Ini dapat menyebabkan aktivitas dakwah semakin jauh dari jalannya yang benar dan semakin menjauhkan tercapainya sasaran harakah (dakwah). Jika dakwah yang dibawa hanya dakwah Islam, sebagai dinyatakan para pengasasnya, berarti keaslian dan kelanjutan dapat terwujud hanya dengan Islam. Menjaga keaslian berarti berpegang teguh kepada Islam dan tidak menyalahinya dalam teori maupun praktik. Lebih lanjut Syaikh Musthafa Masyhur menjelaskan sebuah gerakan seperti partai politik yang bergerak dijalan dakwah yang lurus harus menjelaskan sifat asasi yang menjadi identitasnya. Sifat asasi yang menjadi identitasnya adalah, pertama, Manhaj dan sasarannya ialah tegaknya Daulah Islamiyah’ Alamiyah, terutama tegaknya sistem Khalifah. Kedua, pemahamannya atas Islam, yaitu pemahaman yang menyeluruh dan bersih bersumber dari Kitab dan Sunnah. Jauh dari pemilihan, kesalahan dan penyimpangan. Ketiga, cara mewujudkan sasarannya sejalan dengan cara Rasullah Saw. Keempat, internasionalisasi gerakan. Tidak boleh hanya bersifat lokal atau regional kecuali ada kaitan dengan gerakan internasional. Jika sifat-sifat asasi tersebut terwujud, maka ia akan menjadikan orang yang bergerak dan berada dalam jalur jemaah akan merasa mantap disamping itu juga akan melindungi diri dari ketertipuan dan pendangkalan dari pihak luar jamaah. Kenyataan ini telah juga dijelaskan oleh Hassan Al-Banna (2006) dalam karyanya Majmu’atur Rasail. Dalam pandangan AlBanna sebuah gerakan dakwah yang dilakukan oleh aktivis dakwah mestilah menampilkan Islam kepada umat manusia dengan penjelasan yang menyeluruh dan sempurna tanpa tambahan dan tanpa pengurangan karena inilah bagian dari kaedah teoritika (nazhari). Di samping itu, ia mesti diwujudkan, mengkondisikan untuk melaksanakannya dan membimbing mereka untuk mengamalkannya. Inilah yang disebut kaedah praktikal. Inilah
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Warjio kaedah dalam fikrah gerakan dakwah. Melalui pandangan seperti ini Hassan Al-Banna menjelaskan bahawa gerakan dakwah tidak hanya dilakukan pada landasan teoritikal tetapi juga mesti diamalkan. Sejalan dengan pemikiran di atas, Sayyid Quthub (2007) dalam Fikih Pergerakan16 nya menjelaskan bahwa gerakan dakwah yang dilakukan tanpa ada asas yang kukuh dan murni pemahaman Islam serta terkoordinasi dan tanpa melalui waktu dan pendidikan yang berkelanjutan tidak akan menemui keberhasilan. Dengan penjelasan melalui latar belakang masyarakat Madinah dan orangorang awal yang memeluk Islam, Sayyid Quthub seolah ingin menjelaskan bahwa nilai-nilai asas seperti kekukuhan, keaslian di dalam gerakan dakwah mesti terus menerus dipegang kuat. Karena inilah yang dilakukan dari orang-orang Muhajjirin yang pertama di dalam menegakkan dakwah. Dalam kerangka yang disebutkan oleh Syaikh Musthafa Mansyhur dan Sayid Quthub, Fathi Yakan (2006) dalam bukunya yang bertajuk Membentuk Fikrah dan Visi Gerakan Islam17 menjelaskan bahwa semestinya gerakan dakwah harus berlandaskan tanzim (sistematika) dan nizham kerana ini berkait erat dengan kepemimpinan (pengurusan) dan keataatan sebagaimana petunjuk Allah SWT dalam al-Qur’an (An. Nissa: 59; An-Nuur: 62; As Shaff: 4) dan Sunnah Nabi (Hr. Muslim, Hr. Bukhari). Jika ini dilakukan hal ini akan membawa perubahan. Perubahan itu tidak akan terlaksana jika hanya dengan nasihat, diskusi, seminar di pelbagai tempat. Tetapi ia harus menampilkan tokoh yang percaya penuh atas perubahan dan bersedia memikul tuntutan-tuntutannya baik secara moral maupun operasionalnya; diwujudkan dengan perubahan-perubahan; program-program;
16
Tajuk asli dari karaya Sayyid Quthub bertahun 1970 adalah Fiqhud Da’wah: Maudhuat fi Ad Da’wah wal Harakah. Di Indonesia, karya ini diterjemahkan dengan judul, Fikih Pergerakan Sayyid Quthub bertahun 2007. 17 Tajuk asli buku ini adalah Abjadiat at Tassawwwur al-Haraki lil’Amal Islami bertahun 1985. Dalam bahasa Indonesia buku ini diterjemahkan dengan tajuk, Membentuk Fikrah dan Visi Gerakan Islam.
ISSN: 0216-9290 Pragmatisme Partai Dakwah dalam Pemilu 2009 langkah-langkah baik berupa alat-alat perubahan maupun materi dan teknologinya. Bagaimanapun dalam pandangan Syaikh Musthafa Mansyhur gerakan dakwah yang dilakukan mestilah harus merujuk atau tidak boleh mengabaikan hati nurani yaitu sifatsifat mulia yang melahirkan kepercayaan orang lain ke atasnya sebagaimana dalam Al Qur’an (Yusuf: 36). Ia wajib berijtihad atas dirinya sendiri (menundukkan hawa nafsunya, senantiasa melakukan muhassabba, evaluasi dan pengawasan ke atas dirinya. Jika ia mampu menundukkan dirinya maka ia mampu melakukannya untuk orang lain (Qs. Asy.Syams: 9) Dipandang dari segi metodenya, Musthafa Muhammad Thahhan menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan tujuan dari pada gerakan dakwah Islam, gerakan-gerakan Islam mesti menggunakan metode al’aman al’amiq (keyakinan yang mendalam), dan metode attaqwin ad daqqiq (kaderisasi yang cermat) serta metode al-amal al-mutawashil (kerja yang berkelanjutan). Penutup Berdasarkan pada kajian di atas, dalam proses politik orientasi pada nilai-nilai politik sekuler di kalangan Muslim Indonesia dominan, dan cenderung semakin dominan. Namun demikian, orientasi pada nilai-nilai politik Islamis juga cukup signifikan dalam masyarakat Muslimih Indonesia. Di sini ada kegagalan bagaimana para aktivis Islamis menerjemahkan nilai-nilai tadi ke dalam bentuk gerakan dan ke dalam kekuatan elektoral, sehingga mobilisasi sumberdaya bagi anifestasi nilai-nilai Islamis tersebut tidak berkembang. Pada dasarnya bukan “nilai” itu sendiri yang penting, tapi kepemimpinan, jaringan, sumber daya manusia, dan dana yang dapat membuat nilai-nilai tersebut “bergerak” sebagai kekuatan politik. Meskipun simpatisan dan aktivis sejumlah organisasi gerakan islamis cukup banyak yang berasal dari kaum terpelajar, tamatan universitas, mereka punya kendala dana untuk membuatnya lebih besar. Sumber-sumber keuangan utama di tanah air tetap di monopoli oleh kelompok-kelompok politk sekuler.
106
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Warjio Para aktivis PKS, umumnya berasal dari lapisan menengah kebawah, dan tidak jarang mereka harus berkompromi dengan kekuatan uang “sekuler” untuk mendukung dan untuk keberlangusngan organisasi mereka, terumata ketika mereka masuk ke dalam arena politik dengan skala lebih besar di tingkat nasional. Berpijak pada Pemilihan Umum 2009, apa yang terjadi kemudian bukannya “Islamisasi” tapi sekularisasi kekuatan politik yang mereka bangun. PKS menjadi semakin sekuler. Ini merupakan sumber utama mengapa nilai-nilai Islamiah tidak mampu diterjemahkan ke dalam gerakan terorganisasi yang lebih besar pengaruhnya dalam kehidupan politik Muslim di tanah air. Ini tidak berarti bahwa orientasi pada nilai-nilai Islamis tidak penting. Justru sebaliknya, nilai-nilai itu yang memberikan identitas sebuah gerakan dan kekuatan politik hingga disebut Islamis. Daftar Pustaka
107
ISSN: 0216-9290 Pragmatisme Partai Dakwah dalam Pemilu 2009 Fatah, Eep Sefulloh. 2009. Postur DPR, Transaksi dan Pertukaran. Majalah Tempo (5 April). Sugiarto, Bima Arya. 2009. Pemilu Ketiga dan Differensiasi Tiga M. Majalah Gatra (1 April). Krishna, Anand. 2008. Selamat Ber-Munas PKS. Surat Kabar Radar Bali (4 Februari). Wawancara dengan Sheldon W. Simon (Pengajar Politik Antarbangsa), pada tanggal 12 April 2010, bertempat di Medan. Wawancara dengan Prof. Dr. Lahmuddin Lubis, M. Ed. (Pakar Dakwah), pada tanggal 2 Februari 2010, bertempat di Medan. Wawancara dengan Kevin Evans (pengamat partai Islam) pada tanggal 27 Januari 2010, bertempat di Medan. Wawancara dengan Hasim Muzadi (Ketua Umum NU) pada tanggal 10 Januari 2010, bertempat di Medan). Wawancara dengan Tifatul Sembiring (Pengurus PKS Pusat), pada tanggal 5 Januari 2009, bertempat di Medan. Wawancara dengan Siti Natiha (aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) pada tanggal 18 Juli 2009, bertempat di Medan.