ISSN 1829 - 8001
® LIPI |
Jurnal Penelitian n _ ■i i— m © 1n u i
—.
i
i i
i
«
i
i—
/~
~
7
f PARTAI POLITIK DALAM TIMBANGAN (MEINUU PEMILU 2014) T
V ol.lO , N o . l , J u n i 2 0 1 3
_J11;f ; ;
• • • •
Konsolidasi Parpol Menjelang Pemilu Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi Konflik Internal Partai Politik: Studi Kasus Partai Kebangkitan Bangsa Politik Uang dan Dinamika Elektroral di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi Antara “Party-ID” dan Patron-Klien Elektabilitas dan Mitos Pemilih Rasional: Debat Hasil-Hasil Riset Opini Menjelang Pemilu 2014 Menakar Kekuatan Media Sosial Menjelang Pemilu 2014
RESUME PENELITIAN Evaluasi Format Pemilukada Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Efektif di Tingkat Kabupaten/Kota Relasi Kekuasaan Gubernur dengan Bupati/Walikota: Studi Kasus Bali, Kalimantan Barat dan Jawa Tengah Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Demokrasi dan HAM di ASEAN: Studi Kasus Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam Demokrasi dan Fundamentalisme Protestan di Amerika Serikat dan Yahudi di Israel
REVIEW BUKU Dari Otoritarianisme ke Demokrasi Bagaimana Mendorong Negara Menuju Kestabilan dan Keterbukaan? J u rn a l P e n e litia n P o litik
V o l. 10
N o. 1
H lm . 1-171
J a k a rta , Juni 2013
ISSN 1 8 2 9 -8 0 0 1
Jurnal Penelitian
Vol. 10, No. 1, Juni 2013
DAFTAR ISI Catatan Redaksi Artikel
iii
• Konsolidasi Parpol Menjelang Pemilu Firman Noor • Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi Moch. Nurhasim • Konflik Internal Partai Politik: Studi Kasus Partai Kebangkitan Bangsa Kamarudin • Politik Uang dan Dinamika Elektoral di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi antara “Party-Id” dan Patron-Klien Burhanuddin Muhtadi • Elektabilitas dan Mitos Pemilih Rasional: Debat Hasil-Hasil Riset Opini Menjelang Pemilu 2014 Wawan Sobari • Menakar Kekuatan Media Sosial Menjelang Pemilu 2014 Athiqah Nur Alami
1-16 17-28
29-40
41-58
59-84 85-100
Resume Penelitian • Evaluasi Format Pemilukada Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Efektif di Tingkat Kabupaten/Kota Sri Nuryanti • Relasi Kekuasaan Gubernur dengan Bupati/Wali kota: Studi Kasus Bali, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah Mardyanto Wahyu Tryatmoko • Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Demokrasi dan HAM di ASEAN: Studi Kasus Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam Lidya Christin Sinaga • Demokrasi dan Fundamentalisme Protestan di Amerika Serikat dan Yahudi di Israel Indriana Kartini
101-112
113-126
127-142
143-154
Review Buku • Dari Otoritarianisme ke Demokrasi: Bagaimana Mendorong Negara Menuju Kestabilan dan Keterbukaan? Mohamad Rosyidin Tentang Penulis Indeks Pedoman Penulisan
155-160 161-162 163-166 167-171
CATATAN REDAKSI
Indonesia segera menyongsong penyelenggaraan pemilu keempat pasca lengsernya Soeharto. Komisi Pemilihan Umum (KPU) meloloskan 12 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal di Aceh sebagai peserta pemilu. Tercatat ada 6.608 orang caleg akan memperebutkan 560 kursi DPR RI dan puluhan ribu orang caleg lainnya akan memperebutkan sekitar 19.000 kursi DPRD kabupaten/kota dan DPRD provinsi se-Indonesia.
bahwa partai-partai politik akan melakukan konsolidasi dalam waktu satu tahun tersisa menjelang Pemilu 2014. Menurutnya, ada empat faktor yang perlu mendapat perhatian oleh setiap partai politik agar konsolidasi itu berhasil. Ke empat faktor tersebut merepresentasikan empat dimensi konsolidasi, yaitu internal-vertikal, internal-horizontal, eksternal-vertikal, dan ekstemal-horizontal.
Penyelenggaraan pemilu kali ini mempunyai nilai strategis untuk mengukur sejauh mana proses konsolidasi demokrasi telah terbangun. Sebagai catatan, tiga pemilu sebelumnya ber langsung relatif lancar dan damai, dengan jumlah dan besaran kasus kekerasan terkait pemilu yang terbatas. Pemilu-pemilu tersebut juga relatif berhasil menghasilkan lembaga perwakilan rakyat yang legitimate, paling tidak dilihat dari tidak adanya gugatan atas keabsahannya. Namun, terlepas dari itu, selama belasan tahun era reformasi keluhan mengenai kualitas wakil rakyat semakin mengemuka. Sebagian dari kasus pelanggaran pidana korupsi yang ditangani aparat penegak hukum melibatkan anggota dewan yang dipilih secara demokratis tersebut.
Sementara itu, Moch. Nurhasim dalam artikelnya, “Kegagalan M odernisasi Partai Politik di Era Reformasi”, mengungkapkan catatan perkembangan partai politik di Era Reformasi. Menurutnya, partai-partai tersebut tidak memiliki basis kelas (class-basedparties) dan tumbuh lebih sebagai catch allparty. Ia juga memberikan catatan bahwa partai juga dibayangbayangi oleh personalisasi yang menyebabkan kelembagaan partai tidak berfungsi. Di banyak partai, institusionalisasi menuju partai modem tidak dapat dilakukan.
Pembicaraan mengenai kesuksesan pemilu, baik dari aspek prosedur penyelenggaraannya maupun dari keluaran dan dampaknya terhadap pemerintahan demokratis tidak dapat dilepaskan dari peran partai politik. Sebagai institusi yang memiliki keabsahan untuk menjadi peserta pemilu dan mengajukan calon anggota legislatif, partai politik tentu saja sangat menentukan kuali tas anggota dewan yang terpilih, dan akhirnya kualitas lembaga perwakilan itu sendiri. Untuk itu, Jurnal Penelitian Politik kali ini mengangkat perkembangan partai politik dan beberapa isu yang terkait dengannya. Ada beberapa artikel yang kami sajikan di bawah tema “Partai Politik dalam Timbangan (Menuju Pemilu 2014)”. Artikel pertama adalah artikel “Konsolidasi Parpol Menjelang Pemilu” yang ditulis oleh Fir man Noor. Dalam tulisannya, ia menjelaskan
Secara lebih khusus, artikel Kamarudin, “Konflik Internal Partai Politik: Studi Kasus Partai Kebangkitan Bangsa”, menyoroti persoal an internal berupa konflik di salah satu partai politik di era reformasi, yaitu PKB. Partai ini merupakan salah satu partai yang paling sering dilanda konflik internal. Kamarudin menunjuk kan faktor-faktor yang memicu konflik internal di PKB, peran kiai khos dalam konflik tersebut dan penyelesaian konflik yang ditempuh. Ia melihat bahwa konflik tersebut dipicu oleh masalah yang bersifat pragmatis, yakni terkait dengan perebutan posisi dalam partai. Selain itu, terjadi pergeseran nilai dalam hubungan kiai-santri dalam tradisi pesantren yang menganut pola hubungan patron-klien ketika kalangan nahdliyin berkiprah di wilayah politik. A rtikel berikutnya ju g a m enganalisis problemtika partai politik selama era reformasi, dengan fokus pada persoalan rendahnya party-ID dan dampaknya terhadap praktik politik uang dalam pemilu kita. Burhanuddin Muhtadi dalam
Catatan Redaksi I iii
artikelnya, “Politik Uang dan Dinamika Elektoral di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi an tara ‘Party-ID' dan Patron-Klien”, menjelaskan bahwa rendahnya party-ID juga berkontribusi bagi semakin maraknya politik uang di tingkat massa. Semakin rendah party-ID seseorang se makin besar kemungkinan dia menerima praktik politik uang. Ironisnya, party-ID di Indonesia menunjukkan tren yang terus menurun, terutama disumbang oleh buruknya kinerja partai di mata pemilih. Jika partai politik tak berbenah maka pemilih makin menjauhi partai dan biaya politik makin mahal karena pemilih cenderung memakai pendekatan transaksional dengan partai. Dua artikel berikutnya menyoroti per soalan riset opini publik dan peran media sosial menjelang Pemilu 2014. Wawan Sobari menulis artikel “Elektabilitas dan Mitos Pemilih Rasional: Debat Hasil-Hasil Riset Opini Menjelang Pemilu 2014”. Menurut Wawan, hasil berbagai survei menyisakan pertanyaan serius terkait besarnya disparitas nilai-nilai elektabilitas, mengingat jajak pendapat dilakukan dalam waktu yang relatif bersamaan. Ia menelaah secara kritis logika fundamental riset-riset jajak pendapat melalui klarifikasi metodologi, profil lembaga, data swing voters, politik konsultansi, dan ra sionalitas pemilih. Hasilnya, tidak ada perbedaan metodologi yang mendasar yang menghasilkan perbedaan nilai-nilai elektabilitas partai dan angka swing voters yang dipublikasikanpollsters. Ia berpendapat bahwa jajak pendapat partisan sebagai inti disparitas nilai-nilai elektabilitas partai. Terakhir, ia juga mengkritisi penggunaan secara dominan pendekatan sains (episteme dan techne) dalam pelaksanaan jajak pendapat telah mengabaikan konteks, nilai, realitas praksis pemilih, dan isu kontestasi di antara lembagalembaga riset opini. Sementara itu, Athiqah Nur Alami menulis artikel “M enakar K ekuatan M edia Sosial Menjelang Pemilu 2014”. Athiqah menyajikan analisis mengenai kekuatan media sosial dalam mendorong partisipasi politik masyarakat, yang cenderung semakin menurun pada Pemilu 2014. Menurutnya, media sosial dapat menjadi salah satu alat, sarana, dan wadah bagi bentuk baru partisipasi politik masyarakat sebagai bagian dari aktivitas politik. Media sosial memungkinkan
institusi politik, misalnya parpol dan pemilih untuk saling berinteraksi secara langsung dan dialogis. Selain beberapa artikel tersebut, pada nomor ini kami juga menghadirkan empat ringkasan hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI. Artikel pertama ditulis oleh Sri Nuryanti dengan judul “Evaluasi Format Pemilukada Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Efektif di Tingkat Kabupaten/Kota”. Nuryanti menegaskan bahw a pem ilukada langsung m em punyai bobot demokrasi yang lebih baik dibandingkan pemilihan oleh DPRD sehingga pemilukada langsung di tingkat kabupaten/kota perlu tetap dipertahankan. Namun, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan, yaitu adanya keperluan untuk mempertimbangkan keberagaman dina mika lokal, kebutuhan untuk melihat beberapa perbaikan dalam hal pengelolaan kepemiluan, penyelenggara pemilu, dan penerapan keputusan pengadilan. Artikel kedua, “Relasi Kekuasaan Gubernur dengan Bupati/Wali kota: Studi Kasus Bali, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah”, ditulis oleh Mardyanto Wahyu Tryatmoko. Mardyanto mengungkapkan realitas bahwa meskipun guber nur memiliki dua peran strategis, baik sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah pusat mau pun sebagai perwujudan dari kepentingan lokal, posisi ini tampak ambigu ketika kabupaten/kota juga memiliki kekuatan politik untuk mengatur daerahnya secara otonom. Artikel berikutnya adalah artikel “Pelaksa naan Prinsip-Prinsip Demokrasi dan HAM di ASEAN: Studi Kasus Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam”. Dalam artikel ini, Lidya Christin Sinaga menjelaskan bagaimana prinsip-prinisp demokrasi, tata kelola pemerintahan, penegakan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia di kawasan ASEAN tidaklah mudah untuk dilaksanakan, khususnya di Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam, terkait dengan sistem politik mereka yang cenderung masih otoriter. Artikel keempat adalah “Demokrasi dan Fun damentalisme Protestan di Amerika Serikat dan Yahudi di Israel”, yang ditulis oleh Indriana Kartini. Artikel ini menjelaskan bagaimana fundamentalisme agama Kristen Protestan di
iv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013
AS dan Yahudi di Israel muncul di negara yang menganut sistem demokrasi liberal. Pada bagian terakhir, kami menyajikan satu review buku yang ditulis oleh Mohamad Rosyidin. Dalam tulisannya, “Dari Otoritarianis me ke Demokrasi: Bagaimana M endorong Negara Menuju Kestabilan dan Keterbukaan?”, Rosyidin membahas tentang teori ‘Kurva J’ dari Ian Bremmer. Teori ini menawarkan penjelasan tentang dinamika politik suatu negara serta me nyediakan rekomendasi kebijakan kepada negara besar untuk mendorong demokratisasi di negara otoriter. Strategi mendorong perubahan politik menuju demokrasi adalah dengan memperkuat pelembagaan politik. Pelembagaan politik sangat penting agar terhindar dari jebakan ketidaksta bilan selama menempuh proses demokratisasi. Teori ‘Kurva J’ menyarankan supaya Amerika lebih mengedepankan cara-cara pelembagaan politik daripada intervensi militer dalam men gakhiri otoritarianisme.
Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Prof. Dr. Syamsuddin Haris, Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti, Prof. Riza Sihbudi, dan Nico Harjanto, Ph.D., mitra bestari Jurnal Penelitian Politik, yang telah membaca dan memberikan komentar serta masukan terhadap semua artikel yang masuk untuk penerbitan kali ini. Redaksi berharap hadirnya Jurnal Penelitian Politik nomor ini dapat memberikan manfaat, baik bagi perkembangan kajian politik maupun demokrasi di Indonesia, khususnya yang terkait dengan perkembangan partai politik. Akhir kata, kami ucapkan selamat membaca.
Redaksi
Catatan Redaksi | v
Jurnal Penelitian
Vol. 10, No. 1, Juni 2013
DDC: 324.9598 Firman Noor KONSOLIDASI PARPOL MENJELANG PEMILU Jurnal Penelitian Politik Vol. 10, No. 1, Juni 2013, Hlm. 1-16 Pada tahun 2013, partai-partai politik di Indo nesia akan memfokuskan diri pada persoalan konso lidasi, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Untuk keperluan ini partai akan melakukan beberapa langkah penting untuk memperkuat soliditas internal dan meluaskan jaringan partai guna meraih dukungan dari masyarakat dan pelbagai institusi yang relevan. Tulisan ini akan mengetengahkan empat faktor yang patut mendapat perhatian oleh setiap partai politik manakala upaya konsolidasi itu diharapkan akan berhasil. Kata kunci: konsolidasi, partai politik, pemilu, pe lembagaan, faksionalisasi, kohesivitas
memiliki basis kelas (class-basedparties). Partai yang tumbuh lebih mirip sebagai catch all party. Partai politik juga dibayang-bayangi oleh personalisasi yang dapat berasal dari orang yang berpengaruh atau orang kuat. Pengaruh personalisasi yang kuat menyebabkan masuknya unsur-unsur tradisional dalam struktur partai yang menyebabkan kelembagaan partai tidak berfungsi bahkan hampir tidak memiliki institusi kelembagaan. Walaupun pengaruh tradisional tersebut dijadikan sebagai strategi dalam mendulang suara, dalam kenyataannya justru lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Kata kunci: partai tradisional, partai modem, perso nalisasi, faksionalisasi
DDC: 324.2598 Kamarudin KONFLIK INTERNAL PARTAI POLITIK: STUDI KASUS PARTAI KEBANGKITAN BANGSA Jurnal Penelitian Politik
DDC: 324.2598 Moch. Nurhasim KEGAGALAN MODERNISASI PARTAI POLITIK DI ERA REFORMASI Jurnal Penelitian Politik Vol. 10, No. 1, Juni 2013, Hlm. 17-28 Pertumbuhan partai-partai politik di era refor masi cenderung mengarah pada partai yang tidak
Vol. 10, No. 1, Juni 2013, Hlm. 29^40 Kajian ini menunjukkan, pertama, konflik in ternal yang melanda PKB dipicu oleh masalah yang bersifat pragmatis, yakni terkait dengan perebutan posisi dalam partai. Faktor pemicu yang bersifat pragmatis itu tidak hanya berlaku ketika kalangan nahdliyin bergabung dengan komponen bangsa yang lain, seperti ditunjukkan oleh studi DeliarNoer (kasus NU keluar dari Masyumi) dan Bahtiar Effendy (kasus NU keluar dari PPP), namun studi ini menunjukkan bahwa faktor pragmatis itu juga berlaku saat konflik di antara sesama fungsionaris partai yang dilahirkan oleh kalangan nahdliyin terjadi. Studi Kang Young
Abstrak I vii
Soon yang menyimpulkan bahwa konflik merupakan “salah satu tradisi NU’’pada akhirnya perlu ditambah dengan penjelasan bahwa “konflik yang dipicu oleh masalah pragmatisme kekuasaan merupakan salah satu tradisi NU”. Memang pernah ada konflik ka rena faktor ideologi, namun pragmatisme kekuasaan seringkah menjadi m otif di balik perseteruan NU dengan pihak lain ataupun dengan sesama kalangan nahdliyin seperti terlihat pada kasus konflik internal PKB. Kedua, terjadi pergeseran nilai dalam hubungan kiai-santri dalam tradisi pesantren yang menganut pola hubungan patron-klien ketika kalangan nahdliyin berkiprah di wilayah politik. Kasus konflik internal PKB ini menunjukkan bahwa sikap saling percaya yang menjadi unsur pembentuk budaya pesantren bisa berubah karena masalah pragmatisme kekuasaan.
Tren party-ID di Indonesia terus menurun dan penurunan ini disumbang oleh buruknya kinerja par tai di mata pemilih. Iklim ketidakpercayaan publik terhadap partai terus meningkat seiring dengan ter bukanya kasus-kasus korupsi yang melibatkan elite partai. Jika partai politik tak berbenah maka pemilih makin menjauhi partai dan biaya politik makin mahal karena pemilih cenderung memakai pendekatan tran saksional dengan partai. Jadi, fenomena politik uang yang semakin merajalela di tingkat massa dipicu oleh kegagalan partai politik itu sendiri dalam meningkat kan kinerjanya di mata pemilih.
Kata kunci: konflik internal, kubu, PKB
DDC: 320.014 Wawan Sobari
DDC: 324.2598 Burhanuddin Muhtadi POLITIK UANG DAN DINAMIKA ELEKTORAL DI INDONESIA: SEBUAH KAJIAN AWAL INTERAKSI ANTARA ‘'PARTY-ID” DAN PATRON-KLIEN Jurnal Penelitian Politik Vol. 10, No. 1, Juni 2013, Hlm. 41-58 Seiring dengan penyebaran rezim demokrasi di negara-negara berkembang, politik uang ternyata menjadi elemen kunci mobilisasi elektoral di banyak demokrasi gelombang ketiga. Benarkah patron-klien menjadi satu-satunya faktor determinan maraknya politik uang? Literatur kesaijanaan mengenai klientelisme dapat dibagi menjadi tiga aliran: Pertama, aliran determinis yang paralel dengan teori moder nisasi. Kubu kedua adalah argumen kebudayaan. Tradisi ketiga adalah pendekatan institusionalis yang menekankan desain institusi politik ikut menyumbang maraknya praktik patron-klien. Banyak ahli yang terlalu banyak memberikan perhatian relasi antara politik uang dan patron-klien, tetapi sedikit sekali yang mengkaji dari sudut pandang identitas kepartaian (party-ID). Tulisan ini menyata kan bahwa rendahnya party-ID juga berkontribusi bagi semakin maraknya politik uang di tingkat massa. Semakin rendah party-ID seseorang semakin besar kemungkinan dia menerima praktik politik uang. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat party-ID pemilih maka semakin kecil sikap penerimaannya terhadap praktik politik uang.
Kata kunci; jual beli suara, politik uang, identifikasi partai, klientelisme, dinamika elektoral, Indonesia
ELEKTABILITAS DAN MITOS PEMILIH RASIONAL: DEBAT HASIL-HASIL RISET OPINI MENJELANG PEMILU 2014 Jurnal Penelitian Politik Vol. 10, No. 1, Juni 2013, Hlm. 59-84 Menjelang Pemilu 2014, lembaga-lembaga riset opini (pollsters) di Indonesia antusias mempublikasikan hasil-hasil jajak pendapat (poli) mereka. Para pollsters mempresentasikan tren nilai elektabilitas yang serupa untuk tiga partai besar. Mayoritas lem baga riset opini mengunggulkan Partai Golkar sebagai parpol yang memiliki kesempatan untuk unggul da lam pemilu mendatang. Meski demikian, hasil-hasil jajak pendapat menyisakan pertanyaan serius terkait besarnya disparitas nilai-nilai elektabilitas, padahal jajak pendapat dilakukan dalam waktu yang relatif bersamaan. Makalah ini menelaah secara kritis lo gika fundamental riset-riset jajak pendapat melalui klarifikasi metodologi, profil lembaga, data swing voters, politik konsultansi, dan rasionalitas pemilih. Hasil-hasil pokok terhadap kajian ini di antaranya, pertama, telaah atas metodologi yang digunakan dan profil lembaga riset opini tidak cukup kuat membe rikan jawaban yang meyakinkan terhadap perbedaan nilai-nilai elektabilitas parpol yang dipublikasikan pollsters. Berikutnya, kajian terhadap angka swing voters menyisakan pertanyaan karena disparitas angka swing voters yang besar tidak menjawab fakta-fakta utama penyelenggaraan jajak pendapat yang dilaku kan hampir bersamaan. Kemudian, pendekatan kritis dalam melihat praktik jajak pendapat memberikan arahan untuk sampai pada argumen tentang jajak
viii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013
pendapat partisan sebagai inti disparitas nilai-nilai elektabilitas parpol. Selain itu, kategorisasi kubukubu (camps) di antara lembaga-lembaga riset opini berguna dalam menjelaskan perbedaan kepentingan di balik perbedaan hasil-hasil jajak pendapat. Analisis rasionalitas pemilih yang terlalu sederhana juga telah menghasilkan pemahaman yang kurang tepat terhadap karakter unik pemilih Indonesia. Terakhir, peng gunaan secara dominan pendekatan sains (episteme dan techne) dalam pelaksanaan jajak pendapat telah mengabaikan konteks, nilai, realitas praksis pemilih, dan isu kontestasi di antara lembaga-lembaga riset opini. Kata kunci: jajak pendapat, elektabilitas, perilaku memilih, rasionalitas, Pemilu 2014
DDC: 320.014 Athiqah Nur Alami MENAKAR KEKUATAN MEDIA SOSIAL MENJELANG PEMILU 2014
Jurnal Penelitian Politik Vol. 10, No. 1, Juni 2013, Hlm. 85-100 Globalisasi, yang salah satunya ditandai dengan kemajuan informasi dan teknologi, menuntut parpol dan politisi untuk mendayagunakan kekuatan media sosial dalam aktivitas politiknya. Hal ini penting dalam upaya melakukan komunikasi politik dengan masyarakat. Media sosial memungkinkan' institusi politik, misalnya parpol, dan pemilih untuk saling berinteraksi secara langsung. Sementara itu, media sosial merupakan sarana bagi masyarakat umum untuk berkomunikasi secara interaktif dan dialogis dengan para pembuat kebijakan atau parpol dan menyampaikan aspirasinya. Dalam konteks inilah, media sosial dapat menjadi salah satu alat, sarana, dan wadah bagi bentuk baru partisipasi politik ma syarakat sebagai bagian dari aktivitas politik. Untuk itu, tulisan ini berupaya mengukur kekuatan media sosial dalam mendorong partisipasi politik masyarakat Indonesia pada Pemilu 2014 seiring dengan adanya kecenderungan semakin menurunnya tingkat parti sipasi pemilih dalam sejumlah pemilihan umum di daerah dan nasional. Kata kunci: media sosial, pemilu 2014, partisipasi politik
DDC: 352.14 Sri Nuryanti EVALUASI FORMAT PEMILUKADA MENUJU TATA KELOLA PEMERIN TAHAN YANG BAIK DAN EFEKTIF DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA Jurnal Penelitian Politik Vol. 10, No. 1, Juni 2013, Hlm. 101-112 Pemilukada langsung di tingkat kabupaten/kota tetap dipertahankan keberlangsungannya dengan beberapa catatan: adanya keperluan untuk mem pertimbangkan keberagaman dinamika lokal, kebu tuhan untuk melihat beberapa perbaikan dalam hal pengelolaan kepemiluan, penyelenggara pemilu, dan penerapan keputusan pengadilan. Meskipun belum ditemui adanya hubungan langsung antara pemilukada langsung dengan kualitas kepemimpinan pemimpin daerah terpilih, pemilukada langsung diasumsikan memberikan bobot yang lebih baik atas pelaksanaan demokrasi. Kata kunci: format Pemilukada, pemerintahan efek tif, kabupaten/kota
DDC: 352.14 Mardyanto Wahyu Tryatmoko RELASI KEKUASAAN GUBERNUR DENGAN BUPATI/WALI KOTA: STUDI KASUS BALI, KALIMANTAN BARAT, DAN JAWA TENGAH Jurnal Penelitian Politik Vol. 10, No. 1, Juni 2013, Hlm. 113-126 Dinamika sistem desentralisasi dan otonomi daerah yang mengikuti demokratisasi di Indonesia berkontribusi pada perubahan peran gubernur seba gai suatu lembaga yang memainkan peran penting di dalam hubungan pusat-daerah. Meskipun gubernur memiliki dua peran strategis, baik sebagai kepan jangan tangan dari pemerintah pusat maupun sebagai perwujudan dari kepentingan lokal, posisi ini tampak ambigu ketika kabupaten/kota juga memiliki kekuatan politik untuk mengatur daerahnya secara otonom. Persoalannya, pemberian otonomi dan kekuasaan yang luas disamping penyelenggaraan pilkada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota berkon
Abstrak | ix
tribusi pada perseteruan antar-gubemur-bupati/wali kota yang tidak ada hentinya. Kata kunci: desentralisasi, otonomi daerah, gubernur, bupati, wali kota, konflik, peran ganda
DDC: 341.48 Lidya Christin Sinaga PELAKSANAAN PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI DAN HAM DI ASEAN: STUDI KASUS KAMBOJA, LAOS, MYANMAR, DAN VIETNAM Jurnal Penelitian Politik Vol. 10, No. 1, Juni 2013, Hlm. 127-142 ASEAN telah berkomitmen untuk memperkuat demokrasi, memajukan tata kelola pemerintahan dan penegakan hukum serta mempromosikan dan melin dungi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, sebagaimana termaktub dalam Piagam ASEAN. Namun, praktik-praktik pelaksanaan demokrasi, tata kelola pemerintahan, penegakan hukum, dan perlin dungan hak asasi manusia di kawasan ASEAN tidak lah mudah untuk dilaksanakan, khususnya di Kam boja, Laos, Myanmar, dan Vietnam, terkait dengan sistem politik mereka yang cenderung masih otoriter.
Dalam kondisi semacam inilah muncul gerakan fundamentalisme agama, antara lain fundamentalisme Kristen Protestan di Amerika Serikat dan Yahudi di Is rael. Fundamentalisme Kristen Protestan menganggap Injil bersifat absolut. Kelompok ini menolak gerakan modernisme yang menafsirkan kitab suci secara bebas dan elastis yang disesuaikan dengan kemajuan sains dan teknologi. Begitu juga dengan fundamentalisme Yahudi, yang dalam perkembangannya gerakan ini menggunakan cara-cara kekerasan untuk mengusir bangsa Palestina dari tanah airnya. Kelompok inilah yang sampai di era politik Israel kontemporer me miliki visi fundamentalis ekstrem sehingga acapkali disebut kaum ultra-ortodoks. Studi ini menganalisis fundamentalisme agama Kristen Protestan di AS dan Yahudi di Israel dan bagaimana kemunculan mereka di kedua negara tersebut yang menganut sistem de mokrasi liberal. Kata kunci: demokrasi, fundamentalisme, Protestan, Yahudi, Amerika Serikat, Israel
DDC: 321.5 Mohamad Rosyidin DARI OTORITARIANISME KE DEMOKRASI: BAGAIMANA MENDORONG NEGARA MENUJU KESTABILAN DAN KETERBUKAAN?
Kata kunci: ASEAN, demokrasi, hak asasi manusia
Jurnal Penelitian Politik Vol. 10, No. 1, Juni 2013, Hm. 155-160 DDC: 320.962 Indriana Kartini DEMOKRASI DAN FUNDAMENTALISME PROTESTAN DI AMERIKA SERIKAT DAN YAHUDI DI ISRAEL Jurnal Penelitian Politik Vol. 10, No. 1, Juni 2013, Hlm. 143-154 Globalisasi demokrasi menimbulkan persoalan baru dengan menguatnya identitas lokal di ranah publik. Di tengah kondisi tersebut, masyarakat cen derung untuk mengelompokkan diri dalam identitasidentitas asal, baik agama, suku, maupun wilayah. Fundamentalisme agama, baik dalam Islam, Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha, menjadi salah satu va rian dalam pencarian identitas tersebut. Pemikiran fundamentalisme menawarkan sebuah sistem yang menjanjikan bagi mereka yang mencari alternatif di tengah kegagalan tatanan sosial yang ada.
Demokratisasi menjadi fenomena penting dalam politik dunia sejak berakhirnya Perang Dingin. Penda pat yang berkembang mengatakan bahwa demokrati sasi tidak hanya menjamin hak-hak sipil, tetapi juga menunjang keamanan dan perdamaian internasional. Masalahnya, banyak negara di dunia yang masih mengadopsi sistem otoritarianisme yang tidak men jamin hak-hak sipil meskipun politik di negara-negara tersebut relatif tidak ada gejolak. Walaupun demikian, sistem politik yang ideal adalah sistem politik yang stabil sekaligus terbuka. Artikel ini menyoroti teori ‘Kurva J ’ yang menawarkan penjelasan tentang dina mika politik suatu negara dan menyediakan rekomen dasi kebijakan kepada negara besar untuk mendorong demokratisasi di negara otoriter. Strategi mendorong perubahan politik menuju demokrasi adalah dengan memperkuat pelembagaan politik. Pelembagaan politik sangat penting agar terhindar dari jebakan ke tidakstabilan selama menempuh proses demokratisasi. Artikel ini berpendapat bahwa teori ‘Kurva J’ sangat mendukung agenda politik luar negeri Amerika. Teori ‘Kurva J ’ menyarankan supaya Amerika lebih menge-
x I Jurnal Penelitian Politik I Volume 10 No. 1 Juni 2013
depankan cara-cara pelembagaan politik ketimbang intervensi militer dalam mengakhiri otoritarianisme. Keterlibatan Amerika dalam proses demokratisasi di Indonesia mencerminkan penerapan teori ‘Kurva J’. Kata kunci; teori ‘Kurva J’, otoritarianisme, demo kratisasi, pelembagaan politik
Abstrak I xi
Jurnal Penelitian
Vol. 10, No. 1, Juni 2013
DDC: 324.9598 Firman Noor
PARTY CONSOL1DATIONA YEAR BEFORE ELECTION Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10, No. 1, June 2013, Page 1-16 In 2013, Indonesia political parties will focus their activities to the development o f consolidation, comprise o f internal and external consolidation. In this regard, the parties will put into practice many pertinent sources to enhance internal solidity and expand networking as well as political supports from the people and other institutions. The parties should pay attention to at least four factors that wouldpotentially determine consolidation process. Keywords: political party, consolidation, general election, institutionalization, factionalization, cohesiveness
DDC: 324.2598 Moch. Nurhasim
THE FAIL URE OF POLITICAL PARTIES MODERNIZATIONIN THE RE F ORM ERA Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10, No. 1, June 2013, Page 17-28 The development o f political parties in the reform era tends to confirm the growth o f catch all parties rather class-based parties. The presence o f
strong man or charismatic leader that overtakes party’s constitution and sometimes terimates legalformal process also becomes an iconic phenomenon in this era. In this regard, such a phenomenon over time has obscured institutionalization process and makes the development o f institutions left behind. Some “traditional ways ”which overshadow democratic and rationalprocess stillplay important roles in creating party structures or committees. Even though the present o f charismatic leaders to some extent provide some advantages, in particular to attract traditional voters, in the long run it creates more damages fo r parties' existence. Keywords: traditional party, modern party, personalization, factionalization
DDC: 324.2598 Kamarudin
INTRA-PARTY CONFLICT: A CASE STUDYOF NATIONAL AWAKENING PARTY Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10, No. 1, June 2013, Page 29-40 This studty offers significant findings that are, first, the internal conflict in PKB is more triggered by pragmatic issues that are related to power distributions in structuralpositions. This pragmatic issue not only always occurs when the party worked together with other groups as indicated by Deliar Noer (the withdrawal ofNUfrom Masyumi) andBahtiar Ejfendy (the withdrawal o f NU form PPP), but also happened when it form ed its own party (PKB). The study
Abstract | xiii
o f Kang Young Soon which concludes that conflict is “one o f NU traditions”finally should be given a further explanation that ‘‘the conflict that is triggered by pragmatic interes t toward the power is one ofN U tradition. ” It is true that an ideological factor also contributes to the conflict but again the pragmatism in achieving the power still dominate the movie o f friction between NU and other groups or even within N U ’s elites as indicated in almost internal conflict o f PKB. Second, the involvement o f kiai in political arena causes the changing pattern and values o f relation (kiai-santri patron). The case o f the internal conflict among PKB ’s elites shows that the mutual trust as a symbol o f pesantren tradition which has been establishedfor long may change merely caused by the pragmatic power. This change can be observed from the stance and position o f the kiai khos who form Forum Langitan that initially supportedAbdurrahman Wahid but drastically against him. Keywords: internal conflict, faction, PKB
DDC: 324.2598 Burhanuddin Muhtadi
MONEY POLITICS AND ELECTORAL DYNAMICS IN INDONESIA: A PRELIMINARY STUDY OF THE INTERACTIONBETWEEN “PARTYID ” AND PATRON-CLIENT Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10, No. 1, June 2013, Page 41-58 Along with the rise o f democratic regimes in the third world, vote buying —the exchange o f material benefits fo r votes— has become a key component o f electoral mobilization in many young democracies. Is that true that the patronage and clientelism are the only determinantfactorfor explaining the widespread o f vote buying activities in the less developed countries? Scholarly literature on clientelism can be divided into three categories. The first is a determinist view o f clientelism that is congruent with modernization theory ’s argument. The second camp is the essentialist argument. Clientelism is viewedas aproduct ofsocial and cultural proclivity. The third academic tradition on clientelism is the institutionalist camp. This intellectual strand emphasizes political and institutional designs implicating to the widespread o f clientelism such as competitive elections and multiparty system, electoral rules, and decentralization. Students o f political science gave added weight to theprevalence o f vote buying in relation to cliente
lism and patronage, but little attention has been given to the relationship o f vote buying and party identification. Referring to empirical data gathered from Indonesian case, this article shows that the decreasing trend o f party identiflcation among Indonesian voters has significantly contributed fo r the widespread o f vote buying activities. Thepublic ’s tolerance towards such election-related bribery can be reduced by the increase o f party identiflcation. Voters who identify themselves with any political parties tend to reject vote buying practices. In contrast, those who are not affiliated with any political parties are more likely to accept vote buying. The general decline in party identiflcation in Indonesia is largely caused by political parties ’poor performance. Parties are in crisis because theyfa il to perform thefunctions considered essential to political parties in a democratic polity. Surveys consistently reveal that comparedto other democratic institutions, trust in political parties is the lowest. I f this trend continues to rise, voters tend to be less attached to their political party and political cost will be much more expensive because they will utilize transactional relationship with political parties. It is clear that votebuying has and continues to be pervasive in Indonesia today due to the big failure o f political parties to increase their credibility among voters. Keywords: Vote buying, money politics, party identification, clientelism, electoral dynamics, Indonesia.
DDC: 320.014 Wawan Sobari
ELECTABILITYAND THE MYTH OF THE RATIONAL VOTERS: DEBATING POLLS FOR THE 2014 ELECTION Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10, No. 1, June 2013, Page 59-84 Approaching the 2014 Election, Indonesian pollsters have been keen to release their polis presenting similar trends in party electability among the three big parties. The majority ofpollsters favour the prospects o f the Golkar Party fo r domination in the future election although large disparity concerning party electability exists across pollsters, and this has sparkedserious questions. The paper critically assesses some o f the underlying logic o f polis by comparing them according to the poli methodology, pollsters’ profile, facts o f swing voters, the politics o f Consulting, and voters ’ rationality. Central to the assessment is the argument that, firstly, similarity in deploying poli methodology as well as investigation o f pollsters ’
xiv I Jumal Penelitian Politik I Volume 10 No. 1 Juni 2013
profiles which are not adequate to provide convincing answers on discrepancies o f parties ’electability. Next, scrutiny o f swing voters also creates questions as large disparities in their numbers which do not refiect the Central facts o f nearly simultaneous polis. Critical observation leads to the argument that partisan polis constitute the root o f disparity. Divisions between pollster camps are useful to explain different interests beyond polis discrepancy. As well, the paper argues that oversimplified analysis o f voters ’rationality have yielded misapprehensions concerning the unique characteristics o f Indonesian voters. Ultimately, the dominant deployment ofscientific approach (episteme and techne) in undertakingpolis has overlooked contexts, values, and prcais o f voters as well as the issue o f power among pollsters. Keywords: poli, electability, voting behaviour, rationality, the 2014 election
DDC: 320.014 Athiqah Nur Alami
DDC: 352.14 Sri Nuryanti
EVALUATION OF THE LOCAL ELECTION FORMAT, TOWARDS GOOD AND EFFECTIVE GO VERNANCE A T REGENCY/CITY LEVEL Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10, No. 1, June 2013, Page 101-112 Direct local elections at the level o f regency/ city level are kept to be implemented with some notes: the need to consider the diverse o f local dynamics, the need to see some improvements o f the electoral management, the electoral management body and implementation ofjudicial court decision. Even though, yet not found direct linkage between the direct local elections and the leadership quality o f chosen local leader, direct local elections is assumed to give better weight to democracy.
MEASURING THE POWER OFSOCIAL MEDIA AHEAD OF THE 2014 ELECTION
Keywords: local electionformat, effective governance, regency/city
Jurnal Penelitian Politik
DDC: 352.14 Mardyanto Wahyu Tryatmoko
Vol. 10, No. 1, June 2013, Page 85-100 Globalization, marked by the advancement o f information and technology, demands politicdlparties andpoliticians to harness the power o f Social Media in political activities. This is important fo r political communication with the public. Social media allows political institutions, such as political parties, and voters to interact directly. Meanwhile, Social media is a meansfo r the public to interactively communicate and dialogue with policy makers or political parties and express their aspirations. In this context, social media can be one o f the tools, infrastructure and platform fo r new forms o f political participation as part o f the public political activity. To that end, this paper seeks to measure the power o f social media in encouraging political participation oflndonesians in the 2014 national elections along with the trend o f the decline in voter turnout in a number o f regional and national elections. Keywords: social media, 2014 election, political participation
POWER RELATION BETWEEN GOVERNOR AND REGENT/MAYOR: THE CASE OF BALI, WEST KALIMANTAN, AND CENTRAL JAVA Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10, No. 1, June 2013, Page 113-126 The dynamic o f decentralization and regional autonomy System following democratization in Indo nesia contributes to changes o f governor’s role as an institution thatplays a significant role in national and local government relations. Al though the governor has a dual role as both a representative o f the Central government as well as representatives o f the people in its region, this position seems ambiguous while districts/cities have power also to manage their own region autonomously. Granting broad autonomy and authority as well as the direct election o f regional heads at the same time at the provincial and district/ city contributed to the ambiguity o f the dual role o f the governor.
Abstract | xv
Keywords: decentralization, autonomy, governor, regent, mayor, conflict, dual role
DDC: 341.48 Lidya Christin Sinaga
IMPLEMENTATION OF DEMOCRA C Y AND HUMAN RIGHTS PRINCIPLES IN ASEAN: CASE STUDY IN CAMBODIA, LAOS, MYANMAR, AND VIET NAM
Science and technology. Meanwhile, in the process, the movement o f Jewish fundamentalism use violent ways to expel the Palestinian people from their homeland. This group has extremist fundamentalism Vision and called ultra-orthodox. This study analyzes religious fundamentalism o f Protestant in America and Jewish in Israel; and how both fundamentalism appear in both countries that uphold liberal democracy. Keywords: democracy, fundamentalism, Protestant, Jews, United State o f America, Israel
DDC: 321.5 Mohamad Rosyidin
Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10, No. 1, June 2013, Page 127-142 ASEAN has committed to strengthening democracy, promoting good governance and the rule o f law, promoting and protecting human rights as well as fundamentalfreedoms, as enshrined in the ASEAN Charter. Nevertheless, the implementation o f demo cratic practices, good governance, rule o f law, and protection o f human rights in the ASEAN region is not easy to be implemented, especially in Cambodia, Laos, Myanmar, and Vietnam, relatedto their political system that tends to be authoritarian. Keywords: ASEAN, democracy, human rights
DDC: 320.962 Indriana Kartini
DEMOCRACY AND FUNDAMENTALISM OF PROTESTANT IN AMERICA AND JEWISH IN ISRAEL Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10, No. 1, June 2013, Page 143-154 The impact ofglobalization o f democracy creates new problem by strengthening local identity in public sphere. In this condition, people tend to build community based on its roots, such as religions, tribes, andregions. Religious fundamentalism in Islam, Christian, Jewish, Hindu, and Buddha, have become one ofvariant in the search o f identity. Fundamentalist thoughtgives a promising systemfo r those who search an alternative in the midst o f social structure ’s failure. Moreover, in thisparticular condition, religious fundamentalism appears in Protestant in America and Jewish in Israel. Protestant fundamentalism believes that Bible is an absolute truth. This group refuses modemism that interpret biblefreely andadjustable with
FROM A UTHORITARIANISM TO DEMOCRACY: HOW TO ENDORSE STATE INTO STABILITY AND OPENNES? Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10, No. 1, June 2013, Page 155-160 Democratization has become salientphenomena in worldpolitics since post-Cold War. It has been arguedthat democratization not only ensure civil rights but also bolster internationalpeace andsecurity. The problem is many countries remain adopt authoritarianism which violate civil rights even i f there is no politi cal disruption. Nevertheless, the ideal political system is both stable and open system. This article highlights the ‘J curve ’theory that offers explanation on political dynamic as well as provides policy recommendation fo r great powers to encourage democratization in authoritarian countries. The strategy to encourage political change towards democracy is strengthening political institutionalization. Political institutionali zation matters in order to avoid instability trap as democratizationproceeds. This article argues that the J curve ’theory is very supportive to USforeign policy agenda. The theory suggests that US need to stress on political institutionalization rather than military intervention to endauthoritarianism. US engagement in the process ofdemocratization in Indonesia reflects the application o f the ‘J curve ’theory. Keywords: the ‘J curve ’ theory, authoritarianism, democratization, political institutionalization
xvi I Jurnal Penelitian Politik I Volume 10 No. 1 Juni 2013
KONSOLIDASI PARPOL MENJELANG PEMILU PARTY CONSOLIDATION A YEAR BEFORE ELECTION Firman Noor Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 10 Januari 2013; direvisi: 23 Maret 2013; disetujui: 15 Juni 2013 Abstract In 2013, Indonesia political parties will focus their activities to the development o f consolidation, comprise o f internal and external consolidation. In this regard, the parties will put into practice many pertinent sources to enhance internal solidity and expand networkings aswell as political supports from the people and other institutions. The parties should pay attention to at least four factor s that would potentially determine consolidation process. Keywords: political party, consolidation, general election, institutionalization, factionalization, cohesiveness Abstrak Pada tahun 2013, partai-partai politik di Indonesia akan memfokuskan diri pada persoalan konsolidasi, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Untuk keperluan ini partai akan melakukan beberapa langkah penting untuk memperkuat soliditas internal dan meluaskan jaringan partai guna meraih dukungan dari masyarakat dan pelbagai institusi yang relevan. Tulisan ini akan mengetengahkan empat faktor yang patut mendapat perhatian oleh setiap partai politik manakala upaya konsolidasi itu diharapkan akan berhasil. Kata Kunci: konsolidasi, partai politik, pemilu, pelembagaan, faksionalisasi, kohesivitas
Pendahuluan Dalam kehidupan partai politik, konsolidasi merupakan salah satu agenda terpenting. Meski konsolidasi merupakan sebuah kegiatan rutin, bagi sebagian partai hal ini telah dan tengah dilakukan jauh sebelum pemilu. Namun, kon solidasi akan menemukan momentum puncaknya menjelang pemilu. Dalam sebuah tulisannya, Eep Saefulloh Fatah mengisyaratkan bahwa dua tahun terakhir menjelang berakhirnya sebuah pemerintahan, kehidupan politik kental diwarnai oleh upaya konsolidasi yang terkait dengan upaya pemenangan pemilu.1 Dengan mengasosiasikan situasi politik dengan simbol bertuah tokoh cerita legenda Wiro Sableng 2-1-2, Eep menjelaskan bahwa dua tahun pertama adalah masa konsoli1 Eep S. Fatah, “"Kohabitasi” Yudhoyono-Kalla”, http://eepsfatah. blogspot. com/2007/10/kohabitasi-yudhoyono-kalla. htm[
dasi dalam pemerintahan, satu tahun berikutnya adalah masa kerja atau “melayani rakyat”, dan dua tahun berikutnya adalah masa konsolidasi menjelang pemilihan berikutnya. Sejalan dengan pandangan Eep tersebut, Denny J. A. mengatakan bahwa satu tahun menjelang pemilu kehidupan politik akan banyak diwarnai dua manuver politik utama, yakni konsolidasi dan berbagai upaya untuk memperlemah lawan politik.2*Denny menyiratkan arti penting konsolidasi bagi setiap institusi dan aktor politik dalam menghadapi persaingan kekuasaan menjelang berakhirnya sebuah periode pemerintahan. Berangkat dari realitas dan siklus kehidupan politik di atas, dapat dipahami bahwa pada sisa satu tahun menjelang pemilu konsolidasi 2 Denny J.A., Partai Politik pun Berguguran, (Yogyakarta: LKIS, 2006), hlm. v.
Konsolidasi Parpol Menjelang Pemilu | Firman Noor | 1
menjadi sebuah tuntutan yang tidak terelakkan. Hal ini tidak saja karena adanya momentum pemilu itu sendiri, namun juga karena kebutuhan pembenahan internal partai mengingat tahuntahun sebelumnya parpol lebih disibukkan oleh berbagai aktivitas politik lainnya. Sehubungan dengan itu, tulisan ini memfokuskan kajiannya pada persoalan konsolidasi sebagai sebuah agenda politik penting terutama di masa setahun sebelum pemilu. Pembahasan mengenai konsolidasi partai politik, setidaknya hingga saat ini, relatif belum banyak diulas secara mendalam. Beberapa studi penting dalam ilmu politik kebanyakan mengaitkan partai politik dengan konsolidasi demokrasi secara umum.3 Di sini konsolidasi partai dikaitkan dengan eksistensi dan masa depan demokrasi, di mana keberadaan partai yang terkonsolidasi diyakini akan membawa dampak yang positif bagi konsolidasi demokrasi. Selain itu, ada pula yang mengkaji dalam kaitannya dengan keberadaan sistem kepartaian.4 Sebagian lainnya ada yang melihat konsolidasi partai dalam kaitannya dengan masalah penguatan peran partai politik.5 Berbeda dengan berbagai kajian tersebut, pembahasan mengenai konsolidasi parpol dalam tulisan ini akan difokuskan pada soal kecende rungan arah konsolidasi, dengan sedikit perbandi ngan dengan konsolidasi di masa sebelumnya. Tulisan ini secara umum akan memberikan semacam perspektif mengenai perilaku partai politik yang terkait dengan konsolidasi setahun menjelang Pemilu 2014.
akan menghadapi pemilu atau tidak. Aktivitas semacam ini merupakan bagian dari kegiatan partai yang dalam bahasa Levitski sebagai sebuah “rutinisasi”.6 Sebagai sebuah kegiatan rutin, konsolidasi dilakukan sebagai upaya untuk memelihara (to maintairi), menguatkan (to strengthen), dan mengarahkan (to direct) bagian-bagian (subsistem) yang ada di dalam partai politik (sistem), dalam upaya meraih tujuan bersama. Sebagai konsekuensi dari pengertian ini, konsolidasi dapat dimaknai sebagai upaya mengatur sebuah organisasi guna memperkokoh kondisi partai. Hal ini sejalan dengan pandangan Mose Maor yang melihat partai politik sebagai sebuah sistem yang memiliki tujuan-tujuan internal, termasuk di antaranya menjaga keutuhan partai dan memperkuat dukungan.7 Pengertian di atas, yang mengindikasikan adanya subsistem dalam tubuh partai, menun jukkan hakikat partai politik sebagai sebuah sistem atau organisasi.8*Dalam batasan ini, partai tidak saja dipandang sebagai institusi ideologis (ideological tools) ataupun lembaga pemburu kekuasaan (power-seeking machinery), melainkan pula (dan terutama) sebagai organisasi yang terdiri atas beberapa subbagian yang me merlukan pengaturan yang bersifat kontinu agar dapat mempertahankan eksistensi, soliditas, dan menjalankan aktivitasnya. Sehubungan dengan interaksi antara sebuah sistem dan sistem lain yang melingkupinya, dimensi konsolidasi pada akhirnya tidak saja terkait dengan soal-soal yang bersifat internal namun juga pada akhirnya
Kerangka Pemikiran
6Steven Levitsky, “Institutionalization and Peronism: The Case, The Concept and Case for Unpacking the Concept”, Party Politics, Vol. 4, No. 1, hlm. 80-81.
Tulisan ini memahami konsolidasi sebagai bagian dari aktivitas politik yang harus dijalankan oleh partai, terlepas apakah partai tersebut
7Moshe Maor, Political Parties and Party Sistems, Comparative Approaches and The British Experience, (London: Routledge, 1997), hlm.10-14.
3 Lihat misalnya Leonardo Morlino, “Political Parties and Democratic Consolidation in Southern Europe”, dalam Richard Gunther, P. Nikiforos Diamandouros dan Hans Jurgen Puhle (Eds.), The Politics o f Democratic Consolidation: Southern Europe in Comparative Perspective, (Baltimore MD: Johns Hopkins University Press, 1995), hlm. 315-388. 4Scott Mainwaring dan Timothy R. Scully, Building Democratic Institutions: Party Sistems in Latin America, (Stanford: Stanford University Press, 1995). 5Valina Singka, “Konsolidasi Partai Menjelang 2009: Betulkah untuk Kepentingan Rakyat?”, Figur, Edisi XXIIl/2008, hlm. 44-45.
8 Kajian partai politik sebagai sebuah organisasi pertama kali dikaji secara serius oleh Ostogrsoki di awal abad ke-20 yang kemudian dilanjutkan oleh banyak kajian yang memfokuskan pembahasan parpol dalam konteks organisasi dan bukan semata sebagai kekuatan ideologis, seperti Giovani Sartori, Maurice Duverger hingga Angleo Panebianco. Lihat Moisei Ostrogorski, Democracy and the Organization o f Political Parties, (Lon don: MacMillan, 1902); Maurice Duverger, Political Parties: Their Organization andActivity in the Modern State, (London: Methuen, 1964); Giovani Sartori, Parties and Party Sistems, A Frameworkfor Analysis, Volume 1, (Cambridge: Cambridge University Press, 1976); Angelo Panebianco, Political Parties: Organization and Power, (Cambridge: Cambridge University Press, 1988).
2 I Jurnal Penelitian Politik I Volume 10 No. 1 Juni 2013 I 1-16
menyentuh institusi ataupun komunitas di luar partai. Dalam kaitannya dengan hal itu, konsolidasi dipengaruhi setidaknya oleh empat faktor pen ting, yakni (1) aturan main mengenai pemilu, (2) pemahaman akan karakteristik masyarakat, (3) situasi pelembagaan partai, dan (4) usia partai. Aturan M ain M engenai Pem ilu. Dalam kon
teks aturan main, format konsolidasi akan banyak ditentukan oleh aturan main yang ada. Dalam sudut pandang pendekatan neo-institutionalization, yang meyakini sistem atau institusi sebagai independent variable yang menentukan perilaku politik,9 konsolidasi partai merupakan respons terhadap aturan main, di mana strategi parpol akan cenderung merupakan pengembangan atas respons tersebut. Kesalahan antisipasi terhadap aturan main dapat menyebabkan konsolidasi yang dilakukan tidak akan kompatibel dengan upaya parpol mempertahankan eksistensi dan memenangi pemilu. Tetap dipertahankannya sistem proporsional terbuka, berdasarkan UU No. 8 Tahun 2012 yang menggantikan UU No. 10 Tahun 2008, menyebabkan proses konsolidasi tidak dapat mengabaikan peran aktor pada level akar rumput untuk lebih berperan. Hal ini karena aturan main itu menyebabkan tingkat ketergan tungan caleg terhadap elite partai dalam proses menjadi anggota legislatif menjadi kecil. Pemahaman akan Karakteristik Masyarakat.
Pemahaman mengenai hal ini merupakan hasil analisis atas situasi yang berkembang di tengah masyarakat, sebagai target dari semua kegiatan politik yang tengah dan akan dilakukan menjelang pemilu di tahun berikutnya. Dalam hal ini partai harus mampu menangkap dan mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan kekinian yang muncul untuk kemudian mengintegrasikannya ke dalam konsolidasi partai. Dengan demikian, kon solidasi akan terkait dengan upaya memberikan instruksi yang tepat kepada setiap kader untuk membangun pendekatan dan mengembangkan jaringan di masyarakat dan pemangku kepen tingan. Kesalahan pemahaman dan antisipasi akan menyebabkan konsolidasi yang mungkin 9Mengenai pendekatan pelembagaan lihat James G. March dan Johan P. Olsen, “Elaborating the New Institutionalism", dalam R.A.W. Rhodes, Sarah A. Binder, dan Bert A. Rockman (Eds.), The Oxford Handbook o f Political Institutions, (Oxford: Oxford University Press, 2006).
akan berhasil dalam konteks penguatan internal, namun mengalami kegagalan dalam mencapai target-target politik penting lainnya. Di satu dae rah yang karakteristik masyarakatnya cenderung pragmatis, misalnya, jelas akan sulit diyakinkan dengan pendekatan-pendekatan yang bersifat normatif, filosofis atau ideologis. Pemaksaan untuk mengedepankan pendekatan filosofis yang berbeda dengan karakteristik masyarakat pragmatis tentu akan berpotensi mengalami kegagalan. Situasi Pelembagaan Partai. Terkait dengan
hal ini, dalam konteks konsolidasi partai, situasi pelembagaan setidaknya dapat dilihat dari eksistensi dua kondisi utama,10 yakni (1) konsistensi dalam menjalankan seluruh aturan main dan (2) komitmen untuk menegakkan dan menjalankan shared values yang menjadi pengi kat dan penentu gerak kader dalam menjalankan fungsinya. Partai yang terlembaga (institutionalize d p a r ty ), dengan demikian, adalah partai yang konsisten menjalankan aturan main dan memiliki komitmen yang kuat dalam menegak kan nilai-nilai yang diyakininya. Bagi partai yang terlembaga, konsolidasi merupakan sebuah rutinisasi. Konsolidasi yang berlangsung sesuai aturan diliputi oleh nuansa mempertahankan eksistensi partai. Sifat konsolidasi akan menjadi semacam pemantapan atas yang telah diputuskan. Sebaliknya, bagi partai yang tidak terlembaga, konsolidasi justru berpotensi menjadi pemicu kekacauan internal. Konsolidasi akan banyak ditentukan oleh keputusan bersifat personal (like a n d dislike ) dan bukan institusional, yang dapat memicu kekecewaan dan perlawanan, termasuk keengganan kader untuk menjalankan kebijakan partai. Nuansa konsolidasi akan menjadi praktik dagang sapi (horse trading ) sebagai dampak dari tidak berjalannya disiplin hierarki kader dan hilangnya komitmen terhadap sh a red values. Dalam situasi ini, konsolidasi akan cenderung menghasilkan strategi pemenangan yang salah sasaran dan mencairkan soliditas partai.
10 Disarikan dari Duverger, op.cit.; Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Society, (New Haven: Yale Uni versity Press, 1968); Panebianco, op.cit.-, Maor, op.cit.-, Vicky Randall and Lars Svassand, ‘'Party Instutitionalization in New Democracies”, Party Politics, Vol. 8, January 2002); Levitsky, op.cit., hlm. 77-92.
Konsolidasi Parpol Menjelang Pemilu | Firman Noor | 3
/ Karakteristik Masyarakat
V.
/
Situasi Pelembagaan
;
G am bar 1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konsolidasi
Usia Partai. Eksistensi partai akan turut menentukan wajah konsolidasi partai. Sebagian pengamat partai meyakini bahwa karakter dan perilaku partai tidak dapat dilepaskan dari usia partai itu sendiri.11 Bagi partai baru, konsolidasi akan lebih dipengaruhi nuansa memperkenalkan ja ti diri partai dan posisi partai di antara partai-partai lain. Semangat konsolidasi diliputi nuansa menjadikan partai mereka sebagai sebuah alternatif yang menjanjikan. Bagi partai-partai lama, selain makin berupaya mengembangkan basis dukungan, konsolidasi juga akan terfokus pada pemeliharaan dan penguatan basis yang sudah ada. Hal ini terkait dengan kondisi politik kontemporer di mana pragmatisme politik yang semakin kuat, tingkat apatisme yang tinggi, dan kehadiran partai-partai kompetitor yang menye babkan orientasi politik masyarakat dapat dengan cepat berubah. Situasi ini dapat berakibat fatal bagi partai yang tidak memiliki perhatian cukup terhadap basis awal dukungannya. Oleh karena itu, partai akan mengonsolidasikan apa yang telah mereka miliki dan bahkan akan cenderung kem bali ke konstituen awal. Pembahasan konsolidasi di bawah ini secara umum akan terkait dengan faktor-faktor yang memengaruhinya.1 11 Mengenai peran usia dalam eksistensi parpol lihat Yves Meny danAndrewKnapp, Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 87-89.
Domain-Domain Konsolidasi Partai politik pada satu tahun menjelang pemilu cenderung makin menampakkan keberadaannya dibandingkan dengan biasanya. Kehadiran partai politik terkait dengan berbagai upaya konsolidasi, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Dalam kedua aras itu, setiap bentuk konsolidasi akan memiliki dua dimensi, yakni vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal terutama terkait dengan struktur partai yang mencakup kepengurusan pusat hingga level terbawah dan kedudukan partai di hadapan institusi atau jaringan tertentu yang berada dalam naungan partai (onderbouw). Adapun dim ensi horizontal terkait dengan keberadaan elite partai di level pusat—di mana pola hubungan di antara mereka bersifat sejajar dan saling menopang untuk membentuk gugus oligarki internal— dan dalam soal hubungan dengan partai lainnya. Percampuran antara aras dan dimensi itu menciptakan empat domain dalam konsolidasi, yakni (1) intemal-vertikal, (2) intemal-horizontal, (3) ekstemal-vertikal, dan (4) ekstemal-horizontal. Semua aktivitas dalam domain-domain tersebut pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari eksistensi keempat faktor determinan di atas.
4 I Jurnal Penelitian Politik I Volume 10 No. 1 Juni 2013 I 1-16
1. K onsolidasi Internal-Vertikal
Secara internal, konsolidasi tahun 2013 ditujukan sebagai upaya pem antapan kepengurusan secara vertikal. Kepengurusan pusat partai akan memastikan dua hal, yakni soliditas struktur dan penyatuan persepsi dalam memahami arah dan agenda partai hingga ke pelosok daerah. Elite partai, baik di pusat maupun di daerah, akan berupaya saling menopang upaya konsolidasi ini. Dalam konteks struktural, segala potensi dan bentuk faksionalisasi yang melibatkan kepengurusan, baik di level pusat maupun daerah, sedapat mungkin dapat diselesaikan. Begitu pula dengan kemungkinan-kemungkinan yang berpotensi mempertajam persaingan tidak sehat akan diupayakan diredam. Di samping itu, organ-organ partai yang merupakan onderbouw juga akan kembali diperhatikan dengan lebih saksama. Keberadaan mereka diharapkan dapat menjadi penopang yang dapat mengisi peranperan khusus di tengah masyarakat. Untuk itu semua, komunikasi politik, baik berupa perintah, himbauan maupun peringatan, akan semakin intens dilakukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Sebagian partai yang relatif telah me langsungkan aktivitas ini secara berkala, sis tematik dan konstitusional di seluruh tingkatan kepengurusan akan melalui masa ini dengan mudah. Dengan kata lain, bagi sebuah partai yang terlembaga, rutinitas konsolidasi ini akan cenderung berjalan sebagaimana biasa dalam sebuah rantai komando sesuai dengan prosedur dan garis kebijakan partai. Namun, bagi sebagian partai lainnya, terutama yang jauh dari situasi terlembaga, tidak jarang masa konsolidasi menjelang pelaksanaan pemilu justru menjadi sumber atau awal bagi kekisruhan internal. Hal ini terutama dilandasi oleh adanya persaingan internal yang bersumber pada vested interest. Konsolidasi justru kerap terjebak menjadi ajang saling menyingkirkan atas nama pendisiplinan partai terhadap mereka yang berseberangan atau yang sulit diatur. Di sisi lain, kebijakan pendisiplinan itu kadang memicu kekecewaan karena dilakukan tidak berlandaskan prosedur yang berlaku dan sarat dengan ke pentingan pribadi atau kelompok/faksi. Potensi kisruh akan semakin besar bagi partai yang
masih memiliki kecenderungan faksionalisasi yang tidak terselesaikan. Adanya faksionalisasi ini menyebabkan konsolidasi mengarah pada penguatan masing-masing faksi, ketimbang mumi penguatan bagi keseluruhan elemen partai. Pada tahun 2008, sekitar setahun menjelang Pemilu 2009, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, justru mengalami pengkristalan fak sionalisasi yang membawa perpecahan internal yang ketiga.12Konsolidasi mengalami kekaburan makna, di mana upaya normatif menghimpun dan menjaga kekuatan partai berubah menjadi upaya menghimpun kekuatan dari masing-masing kelompok yang saling bertikai. Pemecatan Muhaimin yang tidak prosedural merupakan salah satu akar utama dari perpecahan itu. Ujung itu semua adalah munculnya kepengurusan kembar, yakni PKB-Parung dan PKB-Ancol.13 Pelajaran berharga dari kasus yang menimpa PKB adalah pengaruh hilangnya pelembagaan partai terhadap kegagalan sebuah konsolidasi. Terkait dengan persoalan konsolidasi agenda politik, pengurus partai pada tahun 2013 ber upaya memastikan bahwa setiap jajaran pengurus dapat menyamakan persepsi mengenai berbagai agenda penting, terutama yang terkait dengan pemenangan pemilu. Penyamaan persepsi ini kerap membutuhkan instrumen ideologis sebagai landasannya. Hal ini terutama mengingat posisi ideologi yang tidak saja menjadi alat pemer satu, namun pula sebagai landasan pembuatan kebijakan.14 Konsolidasi ideologis dipandang penting terutam a karena juga menjadi “pengingat” kader akan jati diri atau identitas partai. Dengan demikian, konsolidasi agenda politik sesungguh nya tidak dapat dilepaskan dengan konsolidasi 12 Sebelumnya, PKB telah mengalami perpecahan dua kali, yakni di tahun 2001 yang berujung pada hadirnya kepengurusan kembar PKB-Matori/Batu Tulis dan PKB-Alwi/Kuningan; dan pada tahun 2005 yang menghasilkan dua kepengurusan yang saling bertikai PKB-Gus Dur-Muhaimin/Semarang dan PKBAlwi-Syaifullah Yusuf/Surabaya. 13 Lihat Kamarudin, Konflik Internal PKB, (Depok: Akses Publishing, 2008). 14Andrea Volkens dan Hans-Dieter Klingemann, “Parties, Ideologies and Issues; Stability and Change in Fifteen European Party Systems 1945-1998,” dalam Kurt Richard Luther dan Ferdinand Muller-Rommel (Eds.), Political Parties in the New Europe, Political and Analytical Challenges, (Oxford: Oxford University Press, 2002), hlm. 144.
Konsolidasi Parpol Menjelang Pemilu | Firman Noor | 5
ideologis. Meskipun demikian, meski telah diakui sebagai hal yang penting, konsolidasi ideologis hingga kini tetap menjadi pekerjaan rumah bagi hampir selumh partai di Indonesia. Kenyataannya tidak jarang persoalan ini demikian terbeng kalainya sehingga kader-kader partai pun kerap tidak memahami secara benar jati diri partainya.15 Bagi partai-partai yang secara konsisten melakukan pemantapan dan diseminasi ideologi, konsolidasi ideologi dan agenda pemenangan cenderung akan dapat dilalui dengan baik. Bahkan, manakala sebuah ideology adjustm ent (penyesuaian ideologis) dibutuhkan, partai yang terlembaga akan dapat melakukannya. Hal ini sejalan dengan pandangan Huntington yang menilai bahwa partai yang terlembaga mampu bersikap adaptif sesuai dengan perkembangan yang ada termasuk melakukan penafsiran ulang atas ideologi yang dimilikinya.1617 Sementara itu, bagi partai yang tidak melem bagakan ideologinya dengan baik, pemantapan agenda politik kerap mengabaikan unsur-unsur ideologisnya. Akibatnya, pragmatisme akan menjadi penjuru, yang menyebabkan upaya untuk mencapai tujuan dari agenda poitik yang telah ditetapkan kerap menjadi amat fleksibel dan berpotensi untuk dimanipulasi, sejauh hal itu dipandang memberi keuntungan. Kemudian berlakulah adagium menghalalkan segala cara (the ends ju s tify the m eans ), yang justru makin membuat citra suram dunia politik.11 Sebaliknya, bagi partai-partai baru, peman tapan dan sosialisasi ideologi menjadi agenda penting yang harus dijalani seiring dengan proses konsolidasi itu sendiri. Mengingat tidak mudahnya melakukan penjabaran dan sosialisasi ideologis sebagaimana yang terjadi di banyak partai terdahulu, partai-partai baru harus menja dikan momentum konsolidasi 2013 sebagai pintu masuk bagi pemantapan ideologi partai. Dengan 15 Lihat salah satu butir temuan itu dalam Penelitian yang di lakukan Pusat Kajian Politik FISIP UI, dalam laporan penelitian Syahrul Hidayat (Ed.), Kerangka Penguatan Partai Politik di Indonesia, (Depok: Pusat Kajian Politik, Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2008). 16 Huntington, “Political Development and Political Decay”, World Politics, Vol. 17, No. 3, April 1965, hlm. 394-399. 17 Lihat beberapa faktor yang menyumbang bagi suramnya makna dan kehidupan politik dalam Colin Hay, Why We Hate Politics?, (Cambridge: Politiy Press, 2007).
demikian, konsolidasi akan menjadi momentum untuk melakukan pemantapan ideologi partai kepada seluruh kader.18 Selain dua agenda pemantapan di atas, persoalan pencalonan anggota legislatif juga menjadi sebuah agenda penting dalam kon solidasi internal. Hal ini terutama terkait dengan pemantapan dan sosialisasi mengenai kriteria atau syarat caleg. Sejauh ini, pengalaman di banyak partai besar yang lolos parliam entary threshold (PT) pada Pemilu 2009 menunjukkan bahwa penyusunan syarat caleg secara normatif itu telah dilakukan dengan cukup baik walaupun kerap muncul pelbagai pelanggaran dalam pelaksanaannya. Tingkat pelanggaran itu kerap terkait dengan level pelembagaan partai politik, yaitu pada partai yang masih menomorduakan aturan main, pembahasan caleg akan bersifat subjektif dan personal.19 Sehubungan dengan itu, fungsi rekrutmen politik akan menemui momentumnya pada masa konsolidasi. Masa ini merupakan ujian bagi pelaksanaan kaderisasi politik yang akan menunjukkan seberapa besar keseriusan sebuah partai dalam melakukan kaderisasi. Bagi partai yang terlembaga, hasil kaderisasi jelas akan menentukan komposisi Daftar Calon Tetap (DCT), kecuali mereka yang dapat diangkat berdasarkan skema p ro fessio n a l a p pointee.20 Untuk partai yang terlembaga, proses rekrutmen ini akan lebih mudah dan minim manipulasi, mengingat seleksi kader telah berlangsung cukup lama dan sistematis. Sementara itu, partai yang tidak terlembaga akan berpotensi mengalami situasi yang berseberangan. Kasus nama caleg ganda dalam DCT yang cukup marak yang 18 Secara umum, corak berpolitik dan karakter sebuah partai, yang akan mewarnai perilakunya dalam konstelasi politik na sional, sebenarnya sudah dapat dilihat dari proses pemantapan ideologis ini. Momentum awal perkembangan dan pembentukan partai menjadi amat penting dalam menentukan perkembangan karakter partai dan bagaimana partai itu terlembaga. “Kon solidasi Partai Politik, Atas Nama Rakyat?”, Figur, Edisi XXIII/2008, hlm. 49-67. mLihat Syamsuddin Haris, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, (Jakarta: Gramedia, 2005). 20 Bagi kebanyakan partai penetapan DCT sebisa mungkin mengombinasikan kemampuan individual, track record dan kepopuleran atau selling point dari para kandidat. Dalam situasi ini professional appointee akan menjadi cukup populer bagi partai-partai sebagai salah satu jalan keluar instan bagi terpilihnya kandidat yang diharapkan.
6 | Jumal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 1-16
terutama dimiliki PKB, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Bulan Bintang (PBB),21 misalnya, merupakan hasil dari belum terlembaganya kaderisasi dan rekrutmen dalam partai ini. Pada tahun 2013, terkait dengan digunakan nya sistem proporsional terbuka yang menye babkan pertarungan dalam pemilu lebih bersifat individual,22 konsolidasi akan diwarnai oleh dorongan bagi caleg untuk lebih mempersiapkan diri secara lebih maksimal tanpa mengharapkan banyak bantuan dari partai. Situasi konsolidasi, tidak banyak berbeda dengan menjelang Pemilu 2009, akan menjadi lebih “terdesentralisasi”, di mana partai tidak dapat mengabaikan figur-figur akar rumput yang akan berperan langsung dalam pemilu. Konsolidasi, oleh karenanya, tak pelak akan menjadi momentum penempatan kaderkader pada sebuah daerah pemilihan (Dapil) dengan mempertimbangkan kinerja dan tingkat popularitas mereka. Lebih dari itu, konsolidasi akan pula menjadi momentum untuk mencari dan menetapkan figur capres. Dalam hal ini, konsolidasi akan terkait dengan upaya menyerap aspirasi tentang figur yang akan dicalonkan, sekaligus mendapatkan legitimasi dari seluruh kader. Tentu saja partaipartai akan menempuh beragam cara dalam proses ini,23 namun yang pasti, segenap kader pada akhirnya akan dituntut komitmennya agar menjalankan instruksi partai dengan sebaikbaiknya. 2. K onsolidasi Internal-H orizontal
Konsolidasi horizontal dalam aspek internal akan terkait kuat dengan upaya mengokohkan inner 21Dani Prabowo, “ 14 Nama Bakal Caleg Ganda Versi Formappi”, http://nasional.kompas.com/read/2013/05/07/08504i81/14. Nama.Bakal. Caleg. Ganda. Versi.Formappi. 22Firman Noor, “Mencermati Kampanye Pileg 2009: Gradasi Peran Partai dan Gejala Pragmatisme”, Jumal Penelitian Politik, Vol. 6, No. 1,2009. 23Bagi sebagian partai, proses penetapan ini akan bersifat top down di mana elite pusat, ditambah dengan beberapa elite dae rah, berperan secara oligarkis menentukan siapa kandidat yang akan ditunjuk oleh partai. Sebagian partai akan memberikan peluang lebih bebas bagi para kader untuk turut menentukan melalui mekanisme semacam convention. Sebagian lagi akan menerapkan pola campuran di antara keduanya, dengan melakukan pemilihan untuk menentukan beberapa kandidat untuk kemudian sebuah tim kecil akan menentukan satu di antara beberapa kandidat itu yang akan dicalonkan oleh partai.
circle partai, di mana Dewan Pengurus Pusat (DPP), atau institusi yang dinisbatkan sebagai DPP, m enjadi episentrum nya. Konsolidasi dilakukan agar para elite partai dapat semakin padu dalam melakukan aktivitasnya dalam sebuah garis komando di bawah arahan dan pengawasan pimpinan tertinggi partai. Dengan demikian, arti penting konsolidasi horizontal di tahun 2013 adalah memastikan terjadinya upaya menekan serendah mungkin potensi faksionalisasi di level elite. Jika hal itu dibiarkan akan berpotensi menciptakan fragmen tasi internal yang tidak saja mengacaukan proses pemenangan pemilu, namun juga eksistensi partai itu sendiri. Kegagalan dalam proses konsolidasi di tahun-tahun akhir menjelang pemilu telah terjadi di beberapa waktu yang lalu. Situasi ini berdampak pada munculnya kepengurusan tandingan atau kembar, seperti munculnya Partai Bintang Reformasi (PBR), sempalan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menjelang Pemilu 2004 dan munculnya dua kepengurusan PKB yang keduanya merasa sah setahun sebelum Pemilu 2009. Situasi ini ditengarai berdampak pada kehilangan suara yang cukup signifikan bagi PPP dan PKB.24 Sehubungan dengan konsolidasi 2013, be berapa partai telah sejak dini mulai memapankan kedudukan ketua umum partai dan membentengi kepengurusan yang telah didaulat dari berbagai serangan internal, baik melalui pendekatan per sonal maupun prosedural. Bagi sebagian partai, konsolidasi horizontal ini telah berlangsung tidak lama setelah pemilihan ketua yang baru. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Musyawarah N asional sejatinya menjadi sekadar ajang “peresmian formal” kepengurusan pusat dan elite partai. Penguasaan kendali partai oleh ke lompok atau figur tertentu tidak berarti figur dan kelompok tersebut sebelumnya dapat menerabas aturan main atau institusi musyawarah nasional dengan seenaknya. Untuk itu, pada tahun 2013 konsolidasi horizontal bukan merupakan sesuatu yang luar biasa. Sementara itu, bagi sebagian partai lain, konsolidasi 2013 akan menjadi bagian dari 24Meski hal itu bukanlah satu-satunya penyebab PPP mengalami penurunan suara dari 11.329.905 (1999) menjadi 9.248.764 (2004). Perolehan suara PKB turun dari 11.989.564 (2004) menjadi 5.146.122 (2009).
Konsolidasi Parpol Menjelang Pemilu | Firman Noor | 7
upaya pemantapan kohesivitas elite yang tidak mudah. Hal ini terutama terkait dengan adanya faksionalisasi elite yang menyebabkan upaya tersebut kerap memerlukan waktu. Sebagian partai dapat meredam penguatan faksionalisasi dengan relatif cepat. Namun, sebagian lainnya membutuhkan waktu yang lebih lama. Bahkan berdasarkan pengalaman tahun 2008, bisa jadi faksionalisasi elite tidak kunjung usai hingga menjelang berlangsungnya pemilu. Partai Golongan Karya (Golkar), misalnya, sejak tahun 2012 telah berupaya memantapkan kekompakan elite dan memastikan kesetiaan seluruh Dewan Pengurus Daerah (DPD), sebagai salah satu elemen kunci dalam pembuatan kebijakan internal, kepada Ketua Umum Aburizal Bakrie. Meski masih menyisakan “pekerjaan rumah” di level DPD, namun secara bertahap elite partai ini dapat memastikan kesatuan partai. Hal ini ditopang dengan cukup solidnya elite partai mendukung pencalonan Aburizal. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa suarasuara kritis untuk meminta partai mengevaluasi pencalonan itu tidak sepenuhnya lenyap, secara umum setidaknya hingga tulisan ini dibuat upaya evaluasi pencalonan Aburizal tidak terjadi. Adapun bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dibanding m asa-m asa sebelumnya, akan mengalami sedikit pelong garan kohesivitas internal, di mana ada dua faksi atau kelompok yang berkompromi untuk menentukan masa depan partai.25Namun, secara umum, partai ini tidak dapat dikatakan ringkih. Tahun 2013 akan menjadi tahun pemantapan soliditas partai yang berpotensi untuk berhasil, dengan Ketua Umum Megawati Soekarno Putri tetap menjadi elemen terpenting di dalamnya. Kondisi ketergantungan pada sosok Mega ini memperlihatkan bahwa “pelembagaan figur”,26 ketim bang “pelem bagaan prosedur” , yang bertumpu pada tokoh tetap memainkan peran penting pada partai besar ini. Situasi yang hampir sama terjadi pada partai-partai lain, seperti Partai 25Secara umum masing-masing kelompok masih menghormati Megawati sebagai pemimpin partai yang utama, namun dalam persoalan strategi dan kebijakan kerap kelompok yang berada dalam supervisi Taufik Kiemas, memiliki pilihan-pilihan yang berbeda dan cenderung moderat ketimbang kelompok yang lain. 26Mengenai bentuk-bentuk pelembagaan partai lihat Levitsky, op.cit., hlm. 77-92.
Amanat Nasional (PAN), PPP, PKB, Gerindra, dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Secara umum, partai-partai tersebut akan mengalami penguatan elite yang cukup terkendali. Di PPP, beberapa tokoh yang dianggap berpotensi memunculkan faksionalisasi internal, termasuk misalnya Muchdi P.R., telah diposisikan sedemikian rupa sehingga tidak dapat mengem bangkan diri dan kelompoknya. Sementara itu, di PAN, potensi faksionalisasi dapat dicegah sejak dini melalui pengintegrasian dua kubu yang berseberangan, yaitu Hatta Rajasa dan Dradjad Wibowo ke dalam sebuah kepengurusan yang disupervisi oleh orang kuat, yakni Amien Rais. Peran sebagai orang kuat dalam PAN ditunjukkan Amien saat mampu meredam potensi konflik pada saat Kongres Nasional PAN 2010 di Batam, dengan meminta pendukung Dradjad agar ikhlas menerima kepemimpinan Hatta Rajasa di partai yang didirikannya itu. Permintaan Amien itu dituruti dengan tanpa kecuali oleh pendukung Dradjad sehingga konflik berlarut-larut dapat segera diredam. Sebaliknya, Gerindra dan Hanura cukup mampu menjaga soliditas juga melalui eksistensi figur-figur partai, seperti Prabowo Subianto dan Wiranto.27Khusus untuk PKB, ajang konsolidasi 2013 akan menjadi ajang “penguatan rekonsi liasi” bagi para mantan pengurus dan tokoh-tokoh yang sempat menyempal termasuk, misalnya, Muamir Syam (PKB-Parung) dan K.H. Ma’ruf Amien (Partai Kebangkitan Nasional Ulama/ PKNU), ke dalam pangkuan kubu Muhaimin Iskandar. Sementara itu, Partai Demokrat secara umum memiliki soliditas yang relatif cair dibanding partai besar lain. Faksionalisasi tetap sulit untuk benar-benar dihilangkan hingga kini.28 Dalam perkembangannya, terlihat bahwa partai ini telah melakukan sebuah konsolidasi yang cukup “menyakitkan” terutama bagi faksi Anas Urbaningrum yang terlucuti peran legal-formalnya sebagai ketua umum partai pasca penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Komisi Pembe rantasan Korupsi (KPK) pada Maret 2013. Hal a7Meski ada sedikit riak di Gerindra yang melibatkan Fadli Zon dan Pius Lustrilanang, potensi konflik relatif telah dilokalisasi dalam konteks pilihan kebijakan semata. 28 Firman Noor, “Manuver Miskin Plasil.” Seputar Indonesia, 18 Februari 2013.
8 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 1-16
tersebut kemudian mendorong terjadinya Musya warah Luar Biasa (MLB) yang menciptakan sebuah perubahan struktur kepengurusan yang cukup berubah drastis. Demi menjaga soliditas, konsolidasi dan terutama pengisian Daftar Calon Sementara (DCS), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberikan peran yang cukup besar sebagai ketua umum dan beberapa jabatan lainnya. Peran simbolis ini diharapkan oleh SBY dan partainya dapat memantapkan proses konsolidasi yang diyakini akan berjalan lambat dan bahkan tercerai berai jika diserahkan bukan kepada SBY. Situasi ini menunjukkan bahwa sosok SBY sebagai ketua Dewan Pembina Partai Demokrat tetap menjadi elemen terpenting dalam konsolidasi. Meski tidak akan lagi masuk dalam bursa capres, namun keberadaannya tetap akan dihormati oleh seluruh eksponen partai. Dalam berbagai situasi di atas dapat dikatakan bahwa kepengurusan partai-partai di tahun konsolidasi 2013 akan makin menjelma menjadi all president ’s men, tentu dengan gradasi komitmen yang beragam. Untuk partai-partai baru, setidaknya hingga sejauh ini, belum terlihat adanya gejolak hori zontal yang membahayakan keutuhan internal. Hal ini mungkin terjadi karena kalangan elite biasanya adalah mereka yang sejak awal telah berperan dalam proses pendirian. Semangat untuk mendahulukan kepentingan partai relatif kuat di antara elite walaupun tidak bisa dijamin akan berlangsung terus secara konsisten pascapemilu. Dalam atmosfer yang demikian, soliditas cenderung akan terasa. Sehubungan dengan agenda besar pemilihan presiden, tahun 2013 adalah masa untuk makin memastikan kekompakan internal partai dalam menyukseskan seorang kandidat presiden. Sejauh ini, partai-partai yang telah merasa di atas angin dalam bursa pencalonan presiden tidak menunjukkan gejala perlawanan internal berarti dalam soal pencalonan itu. Pilihan-pilihan mengenai kandidat memang cukup merisaukan, namun secara umum elite partai akan berupaya untuk menahan diri. Gerindra dan PDIP memiliki tingkat kohesivitas yang cukup baik. Berbagai hasil polling terbaru cukup membesarkan hati elite dan seluruh pengurus partai tersebut. Di sisi lain, Golkar juga memiliki kohesivitas yang
dapat diandalkan, walau mungkin tidak sesolid Gerindra dan PDIP. Sementara bagi sebagian partai menengah, seperti PAN dan Hanura, tetap merasa yakin akan kebijakan internalnya mencalonkan ketua umum partai sebagai kandidat presiden, meski tingkat kepopuleran kandidat tersebut rendah. PAN dengan cukup lancar menetapkan Ketua Umum DPP Hatta Rajasa sebagai kandidat presiden. Wiranto pun menikmati situasi yang sama di Hanura. Dalam hal ini, baik PAN atau Hanura nampak tidak mengalami sebuah goncangan internal yang signifikan. Situasi demikian menun jukkan bahwa konsolidasi 2013 akan menjadi ajang pemantapan atas agenda politik yang telah ditetapkan pada waktu-waktu sebelumnya.
3. Konsolidasi Eksternal-Vertikal Menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, partai akan mulai secara intens mendekati kelompokkelompok masyarakat potensial, baik secara langsung maupun melalui pemangku kepentingan (,stakeholders) atau agensi. Adanya konsolidasi diharapkan dapat menyerap berbagai kalangan di luar partai, terutama masyarakat umum sehingga muncul kesepahaman dan dukungan kepada partai dengan segenap agenda politiknya. Tidak itu saja, konsolidasi ini diharapkan akan menguatkan citra positif partai di mata masyarakat. Dalam jangka panjang, konsolidasi eksternal ini diharapkan dapat pula menunjang tertanamnya eksistensi partai di benak masyarakat, yang disebut oleh Randall dan Svasand sebagai “reifikasi”.29 Untuk kepentingan itu, partai akan melaku kan beragam aktivitas yang sedapat mungkin menarik perhatian khalayak. Kerja-kerja yang m enyentuh w ilayah-w ilayah “non-politik” akan semakin banyak dilakukan. Cakupannya dapat demikian luas, sejalan dengan kebutuhankebutuhan dasar masyarakat, mulai dari sembako, kesehatan, pendidikan hingga mudik lebaran.30 “Politik Sinterklas”, meminjam istilah Thomas Sowell,31 di mana partai akan terlihat menjadi 29Reifikasi menurut mereka adalah “to the extent to which the p a rty ’s existence is established in the public imagination”. Randall dan Svassand, op.cit., hlm. 11. 3° j)pp p^N, misalnya, melalui prakarsa Ketua Umum Hatta Rajasa telah menyelenggarakan program mudik bareng pada saat lebaran tahun 2012. 31 Thomas Showell, “Santa Claus Politics,” http://www.real-
Konsolidasi Parpol Menjelang Pemilu | Firman Noor | 9
institusi pemberi yang royal akan mewarnai konsolidasi eksternal ini. Partai-partai besar dan menengah, terutama yang memiliki dukungan finansial kuat, telah melakukan hal ini dengan cukup sistematis dan akan mencapai puncaknya menjelang hari H pemilu. Beberapa partai baru yang didukung oleh kekuatan finansial yang memadai, termasuk Partai Nasional Demokrat (Nasdem), misalnya, bahkan telah memulai tidak lama setelah kehadirannya melalui programprogram politik konkret bagi masyarakat, mulai dalam konteks dunia pendidikan, dunia usaha, dan pertanian. Bagi para pengkritik, manuver politik Sinterklas ini hanya akan menyuburkan semangat pragmatisme dalam berpolitik di tengah masyarakat. Meskipun demikian, belajar dari gejala kekinian, pragmatisme di tengah masyarakat dalam berpolitik cenderung meningkat. Setelah pada masa sebelumnya, terutama di masa awal reformasi, perilaku pemilih banyak ditentukan oleh kharisma seorang figur politik, saat ini ma syarakat cenderung mengabaikan hal itu. Sebagai konsekuensinya, program politik dan pendekatan kepada masyarakat melalui transaksi yang bersifat material cenderung lebih mengemuka. Secara umum, masyarakat menjadi semakin kalkulatif dan kritis, di mana mereka melihat proses politik sebagai sesuatu yang seharusnya dapat memberikan keuntungan langsung. Sebagai respons akan situasi ini, sebagian partai bisa jadi akan terus mengedepankan model “politik Sinterklas” . Sem entara yang lainnya akan berupaya mengkombinasikan antara pendekatan ideologis dan pragmatis. Terlepas dari berbagai pola yang mungkin dikembangkan itu, masyarakat pada umumnya tidak akan mudah lagi didekati dengan caracara yang sekadar bersifat primordial yang mengabaikan kalkulasi pragmatis. Kemiskinan sebagai musuh dem okrasi rasional sedikit banyak akan ambil peranan dalam proses ini. Pemanfaatan sesaat kondisi kemiskinan rakyat untuk mencari popularitas oleh para politisi dan partai-partai akan semakin marak. Atas dasar berbagai kemungkinan tersebut, konsolidasi ke tengah masyarakat tahun 2013 akan diramaikan oleh pertarungan antara pendekatan yang clearpolitics.com/articles/2008/01/santa_claus_politics.html.
mengedepankan idealisme versus pendekatan yang berlandaskan pragmatisme. Konsolidasi eksternal, secara substansial, juga menjadi ajang uji coba dan evaluasi atas kerja-kerja kader partai di level masyarakat. Dengan kata lain, konsolidasi di tahun 2013 akan menjadi barometer bagi seberapa keras upaya partai untuk mendekati dan membina hubungan dengan masyarakat di waktu-waktu sebelumnya. Bagi sebagian partai yang telah melakukannya secara cukup sistematis dan terarah akan mene mui konsolidasi eksternal semacam ini sebagai sebuah kegiatan rutin semata. Secara umum, konsolidasi di tahun 2013, oleh karenanya, terkait dengan upaya memelihara basis dukungan yang telah terbina dan makin membiasakan para kader berhubungan dengan masyarakat sekitarnya. Meskipun pada hari H pemilihan, dapat saja basis binaan tersebut direbut oleh kekuatan partai lain, terutama karena praktik politik uang— seperti praktik “serangan fajar”, yakni pemberian sejumlah uang atau sembako pada pagi hari menjelang pencoblosan—hal ini tidak serta merta menyu rutkan komitmen beberapa partai untuk tetap melakukan konsolidasi eksternal ini. Kehilangan daerah binaan sejak dini, bagi mereka, hanya akan makin menyulitkan perolehan suara pada saat hari pemilihan. Sementara itu, bagi sebagian partai lain, seperti PKS, misalnya, upaya pem binaan masyarakat semacam ini telah menjadi “kebutuhan ideologis” yang tidak dapat ditawar dan harus terus dilakukan.32* Adapun bagi partai yang belum sistematis dan rutin dalam membina hubungan baik dengan masyarakat akan mendapati proses konsolidasi ini penuh dengan tantangan. Hal utama yang akan dihadapi adalah kesulitan untuk memasuki suatu wilayah untuk melakukan pendekatan karena adanya penolakan dari masyarakat sendiri atau tokoh-tokoh masyarakat yang ada di sana. Hadirnya partai-partai kompetitor yang telah membangun pendekatan dan hubungan yang baik dengan masyarakat tertentu juga menjadi kendala lain. Tidak jarang suatu daerah diidentikkan de 32 Lihat dalam Hurriyah, Sistem Kaderisasi Partai Keadilan Sejahtera (1998-2003), Skripsi, tidak diterbitkan, (Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2004). Syamsul Balda, Abu Ridho, dan Untung Wahono, Politik Da 'wah Partai Keadilan, (Jakarta: DPP Keadilan, 2000).
10 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 1-16
ngan partai tertentu (politicalpouch). Bercermin pada Pemilu 2009, situasi ini pada akhirnya memicu beberapa partai untuk mengedepankan “pendekatan pragmatis” untuk dapat melakukan penetrasi politik ke wilayah itu.33 Di sinilah pertarungan politik antarpartai yang melibatkan berbagai dimensi, termasuk dimensi materiil memasuki fase yang lebih intens lagi. Terlepas dari itu, kecenderungan yang semakin terlihat di waktu-waktu berikutnya adalah elite partai saat ini tidak sungkan lagi untuk terjun langsung ke tengah masyarakat guna menunjukkan perhatiannya sebagai anggota partai. Tak jarang mereka berjibaku hingga ke pelosok desa atau perkampungan kumuh. Manuver politik itu sama sekali bukan hal yang baru, namun menunjukkan adanya perubahan paradigma kepartaian yang makin inklusif, di mana elitisme semakin tidak populer. Selain itu, sikap demikian sebenarnya juga terkait dengan kebutuhan konkret pemenangan pemilu, terutama terkait dengan sistem pro porsional terbuka, yang menuntut caleg untuk dikenal oleh para pemilih. Hal ini ditambah lagi dengan kecenderungan masyarakat yang semakin kalkulatif dan sulit diduga. Untuk itu, memang dibutuhkan pendekatan yang semakin kreatif dan personal agar upaya menjadi pemenang di hati rakyat dapat terwujud. Di sisi lain, tantangan untuk melakukan pendekatan kreatif ke masyarakat akan semakin berlipat pada tahun 2013. Hal ini terutama terkait dengan apatisme masyarakat yang dipre diksi akan semakin tinggi. Masyarakat seolah semakin kehilangan motivasi untuk tetap ber partisipasi dalam pemilu. Kecenderungan makin membesarnya golput dari waktu ke waktu—6,3% (Pemilu 1999), 16% (Pemilu 2004), dan 29,1% (Pemilu 2009)34—dapat menjadi catatan akan kemungkinan melemahnya partisipasi pemilih pada Pemilu 2014. Meningkatnya angka golput sekitar lima kali lipat dalam sepuluh tahun 33Firman Noor, op.cit., hlm. 43-44. 34 “Golput Cenderung Meningkat”, Republika, 23 Februari 2012. Data lain menyebutkan bahwa angka golput beranjak dari 10,4% (1999), 23,34% (2004), dan 29,01% (2009), lihat dalam Sri Yanuarti, “Golput dan Pemilu di Indonesia”, Jurnal Penelitian Politik, Vol. 6, N o.l, 2009, hlm. 24-25. Apapun perbedaan data tersebut dapat disimpulkan bahwa hanya dalam sekitar satu dekade reformasi, jumlah golput telah berada pada kisaran hampir 30%.
terakhir jelas merupakan tantangan tersendiri, dan akan menjadi salah satu agenda penting dalam konsolidasi eksternal yang harus dijawab oleh partai-partai. Lebih dari itu, berbagai situasi di atas mengindikasikan bahwa untuk dapat sukses dalam Pemilu 2014, pilihan untuk meningkatkan intensitas hubungan dengan masyarakat tidak dapat diabaikan lagi. Untuk itu, strategi direct selling atau blusukan yang mengedepankan pendekatan personal tampak akan menjadi strategi yang akan diutamakan oleh kebanyakan partai pada konsolidasi di tahun 2013. Secara umum dapat dikatakan bahwa konsolidasi ekster nal pada akhirnya akan menempatkan masyarakat sebagai subjek dalam kehidupan politik. 4. K onsolidasi E ksternal-H orizontal
Konsolidasi secara langsung dengan masyarakat bukanlah satu-satunya opsi. Sebagian partai di tahun 2013 akan makin memfokuskan lagi kegiatan yang juga melibatkan institusi-institusi kemasyarakatan, terutama yang dipandang memi liki pengaruh bagi kehidupan masyarakat banyak, seperti pesantren, gereja, ormas keagamaan, dan kelompok-kelompok adat. Terkait dengan hal itu, partai akan membuka diri dan melakukan pendekatan pada tokoh-tokoh adat, agama, dan suku beserta institusi yang dipimpinnya. Pilihan ini diambil dengan sebuah keyakinan akan masih kentalnya nuansa patemalistik di tengah masyarakat dan masih relatif kuatnya penghormatan rakyat kebanyakan kepada tokoh dan institusi yang mengusung simbol-simbol primordial tertentu.35 Bagi sementara kalangan persoalan ini mungkin telah dianggap tidak lagi penting. Mereka beranggapan bahwa soal ini tidak lagi berpengaruh banyak, terutama jika dikaitkan dengan masyarakat perkotaan atau semi-urban. Meskipun demikian, bagi keba nyakan partai, eksistensi institusi berpengaruh, yang mewakili simbol-simbol primordial tetap tidak akan diremehkan. Di berbagai wilayah, bah kan di Jakarta36*yang konon merupakan “wilayah 35 Mengenai persoalan hubungan patron-client lihat James Scott, “Patron Client Politics and Political Change in Southeast A s i a American Political Science Review, 66, 1, 1972, hlm. 91-113. 36Pada Pilkada 2012, terutama pada putaran kedua yang meng hadapkan pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli
Konsolidasi Parpol Menjelang Pemilu | Firman Noor | 11
rasional” sekalipun, simbol-simbol primordial tetap tidak dapat diabaikan. Di berbagai wilayah lain di tanah air, soal ini kerap memainkan peran yang cukup besar bahkan menentukan. Di berbagai wilayah di pedalaman, peran kepala adat di daerah Papua, misalnya, masih demikian menentukan. Demikian pula dengan peran kiai pesantren atau ulama kharismatis di daerah-daerah santri tertentu di kantong-kantong muslim jelas tidak dapat diabaikan begitu saja. Untuk itulah partai akan tetap merasa lebih percaya diri jika tidak dipandang ancaman bagi kelompok prim ordial tertentu, apalagi jika mereka mendapatkan dukungan. Kenyataannya bahkan partai dan tokoh nasionalis-sekuler seka lipun kerap mendekati institusi dan tokoh-tokoh agama menjelang hari H pemilihan. Baik partai lama m aupun partai baru berkepentingan untuk mendekati komunitas dan tokoh untuk setidaknya mendapatkan restu, apalagi dukungan, akan aktivitas mereka. Bagi partai baru, persoalan ini penting terutama sebagai upaya untuk mengenalkan eksistensi dan agenda politik sekaligus sebagai media untuk mengembangkan jaringan dan dukungan publik kepada mereka. K epentingan m elakukan k o n so lid asi semacam ini akan lebih besar lagi bagi partai yang diidentikkan dengan ormas atau komunitas primordial tertentu, seperti PKB dengan Nahdatul Ulama (NU ). PKB sedapat mungkin akan menjel makan diri sebagai perwakilan sah bagi aspirasi politik NU dan pengikutnya. Situasi yang sama akan coba dikembangkan di dalam PAN dengan Muhammadiyah meski dengan tingkat komitmen yang jauh lebih terbatas. Untuk PKB, tahun 2013 akan menjadi era pemantapan konsolidasi antara partai dengan Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), se bagai ormas yang turut membidani kelahirannya. Nilai strategis konsolidasi dengan NU bagi PKB adalah untuk mengokohkan kembali dukungan warga NU,37 yang selama beberapa tahun telah demikian cair, akibat pertikaian internal di dalam dan Joko Widodo-Basuki Purnama (Ahok), salah satu fenomena yang muncul ke permukaan adalah maraknya isu SARA. 37 Mengenai posisi NU dalam PKJ3 lihat misalnya Effendy Choirie, PKB Politik Jalan Tengah NU: Eksperimentasi Pemikiran Islam Inklusif dan Gerakan Kebangsaan Pasca Kembali ke Khitah 1926, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002).
tubuh PKB dan konflik terselubung antara tokoh partai dengan pengurus teras PBNU. Namun, bagi kalangan kritis pendekatan ini sebenarnya tidak dapat diharapkan terlalu banyak mengingat karakter masyarakat santri yang semakin inde penden dalam menentukan pilihan politiknya.38 Terbukti misalnya dengan kekalahan PKB di beberapa basis santri di Jawa Timur pada Pemilu 2009 lalu. Partai-partai juga akan berupaya untuk merekrut kalangan yang berada dalam jalur LSM. Tidak jarang partai akan berupaya mendekati aktivis LSM untuk menjadi kader atau sekadar caleg. Tren semacam ini sudah mulai berlangsung tidak lama setelah reformasi bergulir dan men capai puncaknya di tahun 2004 ketika banyak aktivis LSM yang berbondong-bondong masuk ke dalam partai, sebut saja misalnya Budiman Sujatmiko (PDIP), Dita Indah Sari (PBR), Pius Lustrilanang (Gerindra).39 Pada tahun 2013, upaya m elakukan pendekatan dengan kalangan LSM tidak akan surut. Bagi partai, konsolidasi dengan kalangan LSM akan berpotensi mengisi kekosongan atas SDM yang dapat memahami persoalanpersoalan konkret tertentu. Keberadaan mereka akan setidaknya membantu partai untuk lebih memahami persoalan-persoalan tertentu yang digeluti oleh para aktivis itu, apakah itu dalam hal perburuhan, HAM, lingkungan hidup, atau perempuan dan membuat bargaining politics dalam proses pem buatan kebijakan. Selain itu, keberadaan aktivis LSM juga membantu meningkatkan pencitraan partai karena memiliki figur-figur yang dikenal berkomitmen terhadap kepentingan rakyat. Dan konsolidasi dengan kalangan aktivis LSM ini pada akhirnya juga diharapkan dapat membantu partai memperluas basis dukungan, melalui kelompok-kelompok binaan atau dampingan LSM.40 Selain dengan kalangan civil society, kon solidasi horizontal pada masa setahun menjelang 38 Lihat kegagalan praktik politik patron-client ini misalnya dalam H. FuadAnwar, Melawan Gus Dur, (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004). 39 Mengenai kajian mengenai partai dan aktivis LSM lihat Wawan Ichwanuddin (Ed.), Transformasi Politik Aktivis CSO: Refleksi Pengalaman Caleg Aktivis dalam Pemilu 2009, (Ja karta: Pusat Penelitian Politik LIPI dan Yayasan TIFA, 2010), 40Ibid, hlm. 249-250.
12 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 1-16
Tabel 1. Agenda-Agenda Besar Konsolidasi Dom ain
Vertikal
Horizontal
Internal
Pem antapan kepengurusan partai hingga level terendah Sosialisasi agenda politik
Pem antapan soliditas elite partai pada level DPP Pem antapan agenda politik m enyam but pem ilu
Eksternal
Pem bangunan, pem eliharan dan pem antapan d u kungan m asyarakat
Penjajagan koalisi dengan partai-partai lain dan kalangan institusi-institusi non politik
Pemilu 2014 juga menjadi ajang penjajagan, dan bagi sebagian mungkin sudah dalam level pematangan, untuk membuka hubungan lebih intens lagi dengan partai-partai lain. Partai-partai akan menatap situasi politik dengan lebih realistis lagi, di mana strategi koalisi akan dipandang sebagai hal yang tak terhindarkan. Pengalaman pemilu demokratis pada tahun 195541 dan tiga pemilu terakhir di Era Reformasi mengindikasikan tidak adanya pemenang mutlak yang dapat membangun sebuah pemerintahan sendirian. Untuk itu, membangun hubungan baik dengan partai lain jelas merupakan keharusan. Apalagi ide pemilu secara serempak untuk tahun 2014 masih berpeluang diterapkan. Jika hal itu menjadi kenyataan, jelas tidak ada pilihan lain bagi partai-partai politik untuk mengokohkan hubungan baik dan bahkan melakukan political deals dengan partai lain jauh sebelum pemilu. Konsolidasi dalam hal ini akan ditujukan sebagai upaya terciptanya blok politik atas dasar kepercayaan dan kepentingan yang sama, yang pada gilirannya dapat digunakan sebagai media untuk membangun koalisi pemerintahan ataupun di dalam legislatif. Atas dasar itulah, konsolidasi partai terkait erat dengan upaya membangun komunikasi lebih intens lagi dengan partai-partai lain. Untuk itu, partai akan membentuk tim atau kelompok yang akan disebar khusus untuk membangun komunikasi dengan partai lain, seperti yang dilakukan, misalnya, oleh PD kepada partai-partai Islam, ataupun PKS kepada partaipartai yang berpotensi mencalonkan kandidat presiden pada masa-masa sebelumnya. Dalam membangun hubungan dengan partai lain, persoalan ideologis nampak tidak akan terlalu membatasi partai-partai untuk membentuk koalisi. Pola-pola hubungan “pragmatis-fung41 Mengenai Pemilu 1955 lihat Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, (Jakarta: Kelompok Penerbit Gramedia, 1999).
sional” sepanjang pelaksanaan pilkada menjadi referensi akan hilangnya sekat ideologis, yang bukan tidak mungkin terjadi lagi pada saat pemilu. Munculnya sikap pragmatis akan mem buat partai semakin terlihat menuju ke tengah.42 Atas dasar itulah, pola koalisi yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, dengan munculnya kombinasi nasionalis sekular-nasionalis Islam, akan kembali hadir. Partai-partai baru pun tidak akan terlepas dari pusaran kepentingan membentuk koalisi ini. Meskipun demikian, sebagian partai baru akan berupaya memfokuskan diri pada konsoli dasi internal, melebihi upaya untuk bergabung dengan partai lain. Partai-partai baru juga masih dilingkupi oleh nuansa atau fase ideologis, sebagaimana yang dikatakan oleh Panebianco,43 di mana fokus utama mereka adalah justru ingin menonjolkan identitas yang khas atau “perbedaan” berdasarkan keyakinan dan pilihan politik yang dibangun. Bukan tidak mungkin partai-partai ini baru akan menetapkan posisi koalisi setelah pemilu berlangsung.
Sekilas Konsolidasi 2013 dalam Perbandingan Dibandingkan dengan masa sebelum diterapkan nya sistem pemilu proporsional terbuka, di mana aktivitas kader lebih banyak ditentukan oleh instruksi partai, proses konsolidasi saat ini menjadi lebih kompleks. Partai tidak bisa lagi menjadi motor dan penentu atas sebagian besar pergerakan politik yang memengaruhi pula pola hubungan antara partai dan masyarakat. Proporsional terbuka memungkinkan caleg untuk lebih bebas bermanuver dan menciptakan 42 Mengenai alasan kecenderungan partai untuk makin ke tengah dalam spektrum ideologi kiri-kanan lihat Alan Ware, Political Parties and Party Sistems, (Oxford: Oxford University Press, 1999), hlm. 18-21. 43 Panebianco, op.cit., hlm, 18-20.
Konsolidasi Parpol Menjelang Pemilu | Firman Noor | 13
kreativitasnya sendiri, sesuai dengan kondisi khas yang dihadapinya. Untuk itu, di satu sisi konsoli dasi akan semakin diarahkan pada pembentukan strategi yang lebih personal dan pada akhirnya lebih menjual individu ketimbang institusi. Di sisi lain, demi soliditas dan koherensi internal partai harus pula mampu mengoordinasikan kader dan calegnya untuk tetap sejalan dengan kepentingan dan paradigma partai. Dengan demikian, tidak mengherankan jika salah satu poin utama konsolidasi tahun 2013 adalah penyatuan pemahaman antara agenda dan strategi politik partai dan kader-kadernya. Selain hakikat konsolidasi, tingkat kema tangan partai pada tahun 2013, pada umumnya, juga cenderung makin membaik seiring dengan perjalanan waktu. Situasi ini menyebabkan kon solidasi cenderung akan berjalan sebagai sebuah rutinitas yang lebih stabil berdasarkan pengalam an empiris dirinya ataupun pelajaran dari partai lain. Dalam situasi seperti ini pula ketegangan yang mengarah pada gonjang-ganjing internal pada umumnya akan mengalami penurunan. Hal ini cukup ditunjang dengan sistem pemilu yang digunakan. Di masa-masa sebelumnya, sistem pemilu tertutup kerap menimbulkan ketidakpuas an akibat praktik oligarki dalam menentukan nomor urut caleg. Dengan digunakannya sistem proporsional terbuka, potensi konflik internal dapat lebih dihindari karena posisi nomor urut, yang menjadi sumber ketidakpuasan, tidak lagi menentukan. Meskipun demikian, potensi konflik tetap ada terutama terkait dengan ketidakpuasan atas keputusan partai yang berupaya mendisiplinkan kader-kadernya menjelang dan pada saat kon solidasi itu. Kerap hal ini dipicu oleh resistensi akibat keputusan yang dinilai sepihak dan tidak adil. Bagi partai-partai yang tidak terlembaga, di mana keputusan yang diambil cenderung bersifat subjektif dan mengabaikan prosedur, potensi konflik akan lebih besar. Di sisi lain, ketidak puasan juga berpotensi muncul mengingat sistem proporsional terbuka ini memberikan peluang bagi siapa saja untuk mewakili partai, termasuk mereka yang belum mengikuti kaderisasi partai. Sejauh dianggap mumpuni dan populer oleh partai, seorang debutan dapat berkiprah sama besarnya dengan mereka yang telah lama menjadi
kader. Situasi ini tentu saja berpotensi memicu kekecewaan bagi kader yang telah lama berke cimpung dalam partai dan mengikuti pengaderan mulai dari level terbawah. Konsolidasi pada tahun 2013 akan lebih diw arnai oleh pengedepanan strategi dan pendekatan yang juga pragmatis dengan orientasi programatik, ketimbang tawaran-tawaran abstrak yang ideologis. Pragmatisme masyarakat yang semakin meninggi akan memicu perlunya strategi baru yang membedakan situasi internal konsolidasi di masa awal reformasi dengan saat ini. Dalam konteks hubungan parpol dan masyarakat ini, pada setahun menjelang pemilu “politisasi” masyarakat yang dikemas dalam ber bagai wajah kegiatan sosial, keagamaan ataupun ekonomi akan menjadi hal yang wajar ditemui dan makin terasakan di tengah masyarakat. Kerja-kerja sosial dan advokasi akan semakin gencar dilakukan. Kemudian, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, konsolidasi eksternal dalam setahun menjelang pemilu akan banyak dilakukan tidak saja pada kantong-kantong konstituen atau komunitas yang diasosiasikan kepada sebuah partai, namun pula kepada wilayah-wilayah di luar domain pendukung tradisionalnya. Dalam nuansa ini, akan muncul sebuah eskalasi perebutan pengaruh di sebuah wilayah (dapil) dengan partai-partai peserta yang lebih beragam, baik jumlah maupun karakter dasar ideologinya. Becermin pada Pemilu 2009, wilayahwilayah yang dipandang “asing” oleh sebuah partai tidak lagi dipandang tabu yang harus terus dijauhi, namun justru dipandang sebagai tantang an menjanjikan.44 Kekecewaan masyarakat atas kinerja partai sebelumnya, yang dianggap tidak menjalankan amanah atau janji yang diberikan, kerap menjadi pintu masuk untuk merebut konstituen di daerah tersebut, dengan berbagai tawaran program dan ideologi yang lain. Strategi ini banyak berhasil dan menimbulkan guncangan bagi partai yang m enganggap basis massa tradisional mereka akan tidak mudah ditaklukkan oleh partai lain. Sementara itu, pada konteks hubungan antarelite partai, dalam nuansa konsolidasi 44 Wawancara dengan Saleh M ukadar, Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya, 29 Maret 2009.
14 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 1-16
yang semakin kental, pola hubungan eksternal antarelite partai pun akan cenderung bersifat kooperatif. Terkecuali bagi partai-partai yang memang memiliki hubungan historis yang dipenuhi persaingan yang menimbulkan “luka politik” yang tidak mudah untuk disembuhkan. Dalam konteks hubungan antarpartai, sekat-sekat ideologis, sebagaimana yang pernah dikaji oleh Mashad,45 akan cenderung tereduksi dan digantikan oleh kepentingan untuk memperoleh kedudukan yang baik dalam konstelasi politik nasional. Meski secara umum memunculkan opti misme, peluang untuk terjadinya kemunduran kualitas berpolitik tetaplah terbuka. Salah satu persoalan mendasar dari situasi ini adalah pelembagaan partai yang belum tertata rapi. Kaderisasi yang terbengkalai kerap menjadi sumber bagi ketidakmampuan partai dalam mencetak kader yang disiplin dan mampu menjunjung tinggi etika politik dengan baik. Hal ini kerap ditopang dengan cara kepemimpinan yang tidak mengedepankan merit system dan minimnya idealisme partai yang disebabkan oleh ketiadaan komitmen terhadap uniting values atau ideologi yang dianut. Dalam situasi itu, besar kemungkinan konsolidasi pada akhirnya hanya menjadi sebuah aktivitas yang rutin (Business as mual) tanpa makna.
Penutup Pembahasan di atas menunjukkan bahwa kon solidasi merupakan sebuah aktivitas rutin partai yang kompleks. Satu tahun terakhir menjelang pelaksanaan pemilu adalah masa ketika komplek sitas itu mendekati titik puncaknya. Pada masa ini setiap partai yang berhak untuk ikut dalam pemilu (eligible) berupaya menyusun kekuatan secara maksimal melalui konsolidasi. Partai-partai yang gagal dalam melalui fase ini dengan baik akan cenderung mengalami sebuah kesulitan besar. Pengalaman PKB di tahun 2008 memperlihatkan situasi ini. Sebagai partai yang konsisten berada dalam jajaran empat besar dalam jumlah suara pada tahun 1999 dan 2004, 45 D huroruddin M ashad, “ Pem ilu Presiden: R untuhnya Sekat Ideologi Islam-Sekuler?,” dalam Quo Vadis Politik Indonesia?Year Book 2004, (Jakarta: LIPI, 2004).
PKB terlempar pada posisi ketujuh pada Pemilu 2009, dengan perolehan suara merosot hingga hanya setengah dari perolehan Pemilu 2004. Namun, persoalan pemenangan pemilu sejatinya hanyalah satu dari arti penting konsolidasi. Ke berlangsungan eksistensi dan masa depan partai itu sendiri sesungguhnya turut pula ditentukan oleh keberhasilan konsolidasi ini. Lebih dari itu semua, konsolidasi meru pakan sebuah momentum untuk memulai dan melanjutkan pekerjaan yang semakin mengarah pada tradisi berpolitik yang sehat, terutama dalam soal menyusun agenda politik dan upaya mendekatkan diri pada konstituen secara lebih sistematis dan sebagai upaya mensolidkan inter nal partai. Kajian di atas mengisyaratkan bahwa konsolidasi yang baik tidak saja terkait dengan kemampuan mengisi seluruh domain konsolidasi dengan tepat, namun tidak terlepas pula dari kemampuan partai untuk melembagakan dirinya secara sungguh-sungguh, membaca aturan main berikut konsekuensinya dengan tepat dan mampu dengan cerdas memahami perkembangan situasi di masyarakat.
Daftar Pustaka Buku Anwar, H. Fuad. 2004. Melawan Gus Dur. Yogya karta: Pustaka Tokoh Bangsa. Balda, Syamsul et al., 2000. Politik Da 'wah Partai Keadilan. Jakarta: DPP Keadilan. Choirie, A. Effendy. 2002. PKB Politik Jalan Tengah NU: Eksperimentasi Pemikiran Islam Inklusif dan Gerakan Kebangsaan Pasca Kembali ke Khitah 1926. Jakarta: Pustaka Ciganjur. Duverger, Maurice. 1964. Political Parties: Their Organization andActivity in the Modern State. London: Methuen. Haris, Syamsuddin. 2005. Pemilu Langsung di Te ngah Oligarki Partai. Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004. Jakarta: Gramedia. Hay, Colin. 2007. Why WeHatePolitics?. Cambridge: Polity Press. Hidayat, Syahrul (Ed.). 2008. Kerangka Penguatan Partai Politik di Indonesia. Depok: Pusat Ka jian Politik, FISIP UI.
Konsolidasi Parpol Menjelang Pemilu | Firman Noor | 15
Hurriyah. 2004. Sistem Kaderisasi Partai Keadilan Sejahtera (1998-2003). Skripsi. Depok: De partemen Ilmu Politik FISIP UI. Ichwanuddin, Wawan (Ed.). 2010. Transformasi Poli tik Aktivis CSO. Refleksi Pengalaman Caleg Ak tivis dalam Pemilu 2009. Jakarta: Pusat Pene litian Politik LIPI dan Yayasan TIFA. Kamarudin. 2008. Konflik Internal PKB. Depok: Ak ses Publishing. Mainwaring, Scott danTimothy R. Scully. 1995. Building Democratic Institutions: Party Sistems in Latin America. Stanford: Stanford University Press. Maor, Moshe. 1997. Political Parties, and Party Sys tems, Comparative Approaches and the British Experience. London: Routledge. March, James G. dan Johan P. Olsen. 2006. “Elaborating the “New Institutionalism”, dalam R.A. W. Rhodes et al. (Eds.). 2003. The OxfordHandbook o f Political Institutions. Oxford: Oxford University Press. Mashad, Dhuroruddin. 2004. “Pemilu Presiden: Run tuhnya Sekat Ideologi Islam-Sekuler?”, dalam Quo Vadis Politik Indonesia?: Year Book 2004. Jakarta: LIPI. Meny, Yves dan Andrew Knapp. 1998. Govern ment and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany. Oxford: Oxford Uni versity Press. Ostrogorski, Moisei. 1902. Democracy and the Or ganization o f Political Parties. London: MacMillan. Panebianco, Angelo. 1988. Political Parties: Orga nization and Power. Cambridge: Cambridge University Press. Volkens, Andrea dan Hans-Dieter Klingemann. 2002. “Parties, Ideologies and Issues; Stability and Change in Fifteen European Party Systems 1945-1998”, dalam Luther, Kurt Richard dan Ferdinand Muller-Rommel (Eds.). 2002. Poli tical Parties in the New Europe, Political and Analytical Challenges. Oxford: Oxford Uni versity Press.
Jurnal Huntington, Samuel P. 1965. “Political Development and Political Decay”. World Politics, Vol. 17, No. 3, April: 386-430. Levitsky, Steven. 1998. “Institutionalization and Peronism. The Case, The Concept and Case for Unpacking the Concept”. Party Politics, Vol. 4(1): 77-92. Noor, Firman. 2009. “Mencermati Kampanye Pileg 2009: Gradasi Peran Partai dan Gejala Prag matisme”. Jurnal Penelitian Politik, Vol. 6(1). Randall, Vicky dan Lars Svassand. 2002. “Party Institutionalization in New Democracies”. Par ty Politics, Vol. 8, January/1/2002. Sartori, Giovani. 1976. Parties and Party Systems, A Frameworkfor Analysis, Volume 1. Cambridge: Cambridge University Press. Scott, James. 1972. “Patron Client Politics and Politi cal Change in Southeast Asia”. American Politi cal Science Review, 66 (1); 91-113. Singka, Valina. 2008. “Konsolidasi Partai Menjelang 2009: Betulkah untuk Kepentingan Rakyat”. Figur, Edisi XXIII: 44-45. Yanuarti, Sri. 2009. “Golput dan Pemilu di Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik, Vol. 6 (1): 24-25.
Surat Kabar dan Website Noor, Firman. 2013. “Manuver Miskin Hasil”. Sepu tar Indonesia, 18 Februari. Prabowo, Dani. 2013. “ 14 Nama Bakal Caleg Ganda Versi Formappi” fonline] dalam http.V/nasional.kompas.com/read/2013/05/07/08504381/14. Nama. B akal. Caleg. Ganda. Versi.Formappi. Sowell, Thomas. 2008. “Santa Claus Politics” [on line]. dalam http://www.realclearpolitics.com/ articles/2008/01/santa_clausjpolitics. html.
Ware, Alan. 1999. Political Parties and Party Systems. Oxford: Oxford University Press.
16 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 1-16
KEGAGALAN MODERNISASI PARTAI POLITIK DI ERA REFORMASI THE FAILURE OF POLITICAL PARTIES MODERNIZATION IN THE RE F ORM ERA Moch. Nurhasim Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 12 Februari 2013; direvisi: 15 April 2013; disetujui: 12 Juni 2013 Abstract The development of political parties in the reform era tends to confirm the growth of catch all parties rather class-based parties. The presence of strong man or charismatic leader that overtakes party’s constitution and sometimes terimates legal-formal process also becomes an iconic phenomenon in this era. In this regard, such a phenomenon over time has obscured institutionalization process and makes the development of institutions left behind. Some “traditional ways” which overshadow democratic and rational process still play important roles in creating party structures or committees. Even though the present of charismatic leaders to some extent provide some advantages, in particular to attract traditional voters, in the long run it creates more damages for parties’ existence. Keywords: traditional party, modern party, personalization, factionalization Abstrak Pertumbuhan partai-partai politik di era reformasi cenderung mengarah pada partai yang tidak memiliki basis kelas (class-based parties). Partai yang tumbuh lebih mirip sebagai catch all party. Partai politik juga dibayangbayangi oleh personalisasi yang dapat berasal dari orang yang berpengaruh atau orang kuat. Pengarah personalisasi yang kuat menyebabkan masuknya unsur-unsur tradisional dalam struktur partai yang menyebabkan kelembagaan partai tidak berfungsi bahkan hampir tidak memiliki institusi kelembagaan. Walaupun pengarah tradisional tersebut dijadikan sebagai strategi dalam mendulang suara, dalam kenyataannya justru lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Kata Kunci: partai tradisional, partai modem, personalisasi, faksionalisasi
Pendahuluan Partai politik adalah instrumen demokrasi yang mendasar. Melalui partai-partai politik itulah sejumlah posisi jabatan di pemerintahan dan parlemen akan diisi. Sebagai sumber produksi dan reproduksi kekuasaan menjadikan partai politik diminati oleh banyak kalangan, khususnya bagi mereka yang ingin berkuasa. Dalam sejarah demokrasi di Indonesia, pertumbuhan partai-partai politik tidak dapat dicegah, apalagi jika aturan formal memboleh
kannya. Dari segi pendirian partai politik dapat dibedakan menjadi dua tipe, yakni pertama, partai politik yang muncul secara alamiah; dan kedua adalah partai politik yang kelahiran nya dipaksakan oleh negara. Tipe pertama terjadi minimal pada awal kemerdekaan setelah pemerintah melalui Maklumat 10 November 1945 yang ditandatangani oleh Mohammad Hatta membuka kebebasan berserikat. Kondisi itu hampir mirip dengan era reformasi, setelah kebebasan berserikat dibuka, partai-partai politik tumbuh dan berkembang. Tipe kedua terjadi di
Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi | Moch. Nurhasim | 17
era Orde Baru, di mana Orde Baru yang ditopang oleh militer melakukan pemaksaaan peleburan (fusi) partai politik warisan Orde Lama. Pendirian Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pertama kali ikut pada Pemilu 1977 adalah hasil pemaksaan oleh negara.1
melatarbelakangi lahirnya partai-partai politik di era reformasi. K edua, pengaruh faktor per sonal terhadap pendirian partai politik. Ketiga, personalisasi terhadap modernitas partai politik.
Proses itu dilakukan untuk mengakhiri politik aliran warisan Orde Lama. Sayangnya, proses yang dilakukan secara paksa itu ternyata tidak memudarkan politik aliran itu. Fusi dan kanalisasi politik melalui dua partai besar, PDI dan PPP, hanya secara semua mengelompokkan partai ke dalam wadah yang rapuh.
Politik aliran seperti pernah disinggung oleh C lifford G eertz dalam hasil penelitiannya di M ojokuto, Jawa Timur, tahun 1950-an memperlihatkan pemilahan sosial yang bersifat cummulative atau Consolidated karena prosesnya telah berlangsung lama. Dari dikotomi santri versus abangan—walaupun telah banyak kritik dilontarkan, kategorisasi itu masih dianggap relevan dalam m enjelaskan politik aliran di Indonesia. Afan Gaffar menyebut bahwa orang-orang abangan memiliki orientasi politik dan ekonomi yang berbeda dengan orangorang santri. Orang-orang abangan cenderung memilih untuk berpihak pada partai politik yang tradisional, sekular, dan nasionalistik. Sementara itu, orang-orang santri cenderung memilih untuk berpihak pada partai-partai Islam.5Frasa tersebut memang dapat disebut simplistik, namun hal itu merupakan gambaran umum walaupun tidak ajeg karena dalam sejarah politik di Indonesia, Islam sebagai kekuatan mayoritas tidak pernah mendukung sepenuhnya terhadap partai-partai yang berbasis agama. Sejarah pemilu-pemilu di Indonesia mengilustrasikan bahwa partai-partai yang didasari oleh agama tidak pernah menjadi pemenang pemilu.
Politik aliran ini pada hakikatnya adalah metafora dari kenyataan kehidupan sosial-politik di Indonesia, di mana partai-partai yang tumbuh pada awal kemerdekaan melakukan mobilisasi dengan membentuk sejumlah auziliary organizations dalam rangka pemilihan umumi 955.* 2Meta fora itu digambarkan oleh Afan Gaffar sebagai “Partai politik merupakan sebuah sungai besar, di mana air mengalir dari sejumlah anak sungai, baik yang besar maupun kecil. Dalam kehidupan kepartaian, aliran merupakan perwujudan dari pembentukan dukungan melalui mobilisasi massa.”3 Basis pembentukan organisasi sosial dan politik di awal kemerdekaan adalah orientasi dan perilaku keagamaan.4 Perkembangan selanjutnya, setelah Orde Baru “runtuh” pada 1998—dengan mundurnya Soeharto, gejala pertumbuhan organisasi sosial dan politik era reformasi mirip dengan yang terjadi pada awal kemerdekaan. Orientasi dan perilaku keagamaan sebagai basis politik bahkan makin menguat dan membesar. Fenomena pengu langan dan penguatan kembali partai politik atas dasar aliran seperti itu perlu penjelasan secara akademik, minimal, mengapa hal itu terjadi? Lebih jauh, apa implikasinya bagi partai politik di era transisi? Atas dasar dua hal itu, tulisan ini akan memfokuskan pembahasannya pada tiga hal, yaitu p e r ta m a , faktor-faktor yang ' Tim Peneliti PPW-LIPI, Tentara Mendamba Mitra, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 141-142. 2Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 125. 1Ibid. 4Ibid.
Faktor Pembelahan Masyarakat dalam Pendirian Parpol
Dalam konteks pertumbuhan partai politik mungkin yang disebut Afan Gaffar ada benarnya, bahwa suasana itu merefleksikan orientasi elit politik. Refleksi dari elit politik dalam pertum buhan partai politik di era reformasi disebut oleh World E ncyclopedia o f P olitical System s a n d Parties mirip dengan gejala tumbuhnya partai
era 1950-an.6Pada era itu kehidupan partai-partai politik ditandai oleh pertumbuhan partai politik yang sangat besar, di mana ideologinya mewakili keberagamaan yang ada di masyarakat. Gejala seperti yang pernah diungkap oleh Feith dan 5Ibid., hlm. 126. 6Neil Schlager and Jayne Weisblatt (Eds.), World Encyclopedia o f Political Systems and Parties, fourth edition, (New York: Facts on File, Inc., 2006), hlm. 611.
18 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 17-28
Castle yang kemudian dielaborasi oleh Daniel Dhakidae menggambarkan bahwa pertumbuhan partai-partai politik di era reformasi masih mewakili fragmentasi dan polarisasi berdasarkan jalur kelas aliran.7 Walaupun dalam catatan Dhakidae, relatif ada modifikasi dari ideologi lama yang digambarkan oleh Feith dan Castle bukan lagi atas dasar Islam, nasionalisme radikal, komunisme, sosialisme demokrat, dan tradisio nalisme Jawa. Dhakidae membaginya menjadi dua sumbu, yaitu sumbu vertikal dan sumbu horizontal. Sumbu vertikal memisahkan dua kutub partai yang berdasarkan agama dan partai yang berdasarkan kebangsaan. Sumbu horizontal memisahkan dua kutub lainnya berdasarkan kelas, yaitu developmentalisme dan sosialisme radikal.8 Gejala tumbuh kembangnya partai politik yang terjadi di Indonesia, baik pada era 1950-an maupun era reformasi tersebut mirip dengan hasil studi S.M. Lipset dan Rokkan (social cleavage approaches to party systems), khususnya di wilayah Eropa Barat, bahwa sistem kepartaian pada era 1960-an di wilayah itu adalah sebuah refleksi atas pembelahan struktur masyarakat.9 Teori pembelahan sosial dari Lipset me nyebut bahwa dalam sistem kepartaian, pemilih mengidentifikasi kepentingan mereka atas dasar posisi sosiologi masyarakat atas dasar kelas, agama, etnik, kebangsaan, dan kota/desa. Pembentukan partai politik juga didasari pre ferensi mereka atas posisi sosial tersebut (kelas, agama, etnik atau kebangsaan dan sektor kota/ pedesaan).101 Alasan-alasan kepentingan dan posisi sosial inilah yang mendorong munculnya partai politik yang cenderung mewakili basis sosial-politiknya. Pengaruh pem belahan struktur m asyarakat terhadap kepartaian itu di antaranya disebabkan oleh berlakunya prinsip cermin, bahwa kekuatan7Mengenai hal ini dapat dilihat pada Lili Romli, “Peta Kekuatan Politik Setelah Reformasi dan Kecenderungan Koalisi Parpol,” Jurnal Demokrasi dan HAM., 2000, hlm. 124-125. 8Ibid. 9 Peter Mair, Party System Change, Aprroaches and Interpretations, (New York: Oxford University Press, 2002), hlm. 3. 10 Scott Mainwaring and Mariano Torcal, “Party System In stitutionalization and Party System Theory After the Third Wave of Democratization”, Working Paper #319-April 2005, Kellogg Institute (The Helen Kellogg Institute for International Studies), hlm. 12.
kekuatan yang ada di masyarakat secara terbalik diwakili pula pada organisasi kepartaian yang didirikan. Artinya, partai politik yang didirikan adalah proses penyerapan pembelahan yang terjadi pada masyarakat, baik karena atas dasar agama, etnik, kebangsaan, maupun kota/desa. Dalam praktik politik di Indonesia, khususnya sejak era pendirian partai awal kemerdekaan dan reformasi, umumnya partai-partai politik lebih mewakili agama, kelas, dan kebangsaan. Sementara itu, dimensi kota/pedesaan jarang menjadi alasan yang mendorong pendirian sebuah partai politik. Kecuali pada satu kasus menjelang Pemilu 2009, fenomena desa sebagai alasan dalam mendirikan partai dapat diwakili oleh berdirinya Partai Parade Nusantara. Sayang, Parade Nusantara tidak lolos sebagai partai politik pada saat mendaftarkan diri di Kemenkum HAM karena dianggap tidak memenuhi syarat. Faktor yang memengaruhi pendirian partaipartai politik sebenarnya berbeda-beda. Di era penjajahan, pendirian organisasi dan kepartaian di antaranya dimaksudkan sebagai alat perjuang an politik melawan penjajah. Sementara itu, di masa awal kemerdekaan, khususnya setelah maklumat 7 November 1945 berdirilah banyak partai politik, seperti Masyumi, NU, PKI, dan PNI. Selain didorong oleh faktor kepentingan aliran, juga disebabkan oleh adanya peluang diperbolehkannya pendirian partai politik. Adanya peluang itulah yang mendorong tumbuhnya partai-partai politik baru di era refor masi. Di era ini, pertumbuhan partai-partai politik ibarat jamur di musim hujan. Menyongsong Pemilu 1999 pemilu pertama era reformasi, 141 partai tercatat sebagai organisasi yang memiliki badan hukum partai politik dan tercatat di Departemen Kehakiman dan HAM. Dari 141 partai politik tersebut, orientasi dan politik keagamaan yang menjadi basis pendirian partai sangat beragam. Ada yang didirikan atas dasar gender, seperti Partai Perhimpunan Indonesia; ada yang merupakan sempalan dari Golkar, seperti Partai MKGR; ada partai yang dibentuk atas identitas seperti Partai Tionghoa Indonesia (PARTI).'1Ada partai yang didirikan atas dasar orientasi politik masa lalu, seperti Partai Bulan Bintang (PBB) dengan mengusung 11Afan Gaffar, op. cit., hlm. 316.
Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi | Moch. Nurhasim | 19
Tabel 1. Perbandingan Peserta Pemilu 1999, 2004, dan 2009 Pem ilu 1999 44 Partai Peserta Pem ilu
Pem ilu 2004 24 Partai Peserta Pem ilu
Pem ilu 2009 38 Partai Peserta Pem ilu
Partai
Partai Lama
Partai Baru Berdiri
Partai Lam a
Partai Baru Berdiri
PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, Partai Keadilan, PKP, PNU, PDKB, PBI, PDI, PP, PDR, PSII, PNI Front M arhaenis, PNI M assa M arhaen, IPKI, PKU, M asyum i, dan PKD, Partai Keadilan, PNU, PBI, PDI, M asyum i, PNI Supeni, Krisna, Partai KAM I, PKD, PAY, Partai M KGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, M urba, SPSI, PUM I, PSP, dan PARI.
PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, PNI M arhaenism e, PBB, PIB, PNBK, Partai Pelopor
Partai Dem okrat, PKS, PKPI, PPNUI, PDS, PBSD, Partai M erdeka, PBR, PSI, PKPB, PBK, Partai Pariot Pan casila, PPD,
PKPB, PKPI, PD, Golkar, PDI-P, PKS, PAN, PIB, PPP, PKB, PNI M arhaenis me, PKP, PPDI, PDK, Partai Pelopor, PDS, PBB, PBR, P P, Partai M erdeka, PSi, Partai Buruh
Gerindra, Hanura, PPRN, Barnas, RepublikaN , PKDI, PKNU, PPNU, PIS, PMB Partai Kedaulatan
kembali idiom-idiom Partai Masyumi yang telah lama “mati”. Di kalangan umat Islam misalnya, Deliar Noer (alm.) menghendaki didirikannya sebuah partai Islam sebagai penampung aspirasi umat. Didukung oleh beberapa aktivis Islam, mereka akhirnya mendirikan Partai Umat Islam (PUI).12 Kalangan Islam tradisionalis, yakni Nahdlatul Ulama (NU) akhirnya memelopori berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB dapat disebut lahir dari rahim tokoh-tokoh NU, khususnya Abdurrahman Wahid. Demikian pula dengan lahirnya partai-partai agama lainnya, seperti Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Keadilan (PK)—Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Bintang Reformasi (PBR). Setelah dilakukan verifikasi partai politik yang memiliki badan hukum tersebut, 48 partai dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu. Hasil Pemilu 1999 mencatat bahwa dari 48 partai peserta pemilu, hanya 21 partai yang mampu mendudukkan calonnya sebagai anggota DPR, yakni PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, Partai Keadilan, PKP, PNU, PDKB, PBI, PDI, PP, PDR, PSII, PNI Front Marhaenis, PNI Massa Marhaen, 12 Ibid.
IPKI, PKU, Masyumi, dan PKD.13 Sisanya, 27 partai politik tidak memperoleh dukungan suara yang signifikan, dan gagal mendulang kursi DPR.14Rata-rata perolehan suara mereka sangat kecil, bahkan dari 27 partai yang tidak mendapat kursi jumlah suaranya hanya 706.447 atau 0,67% dari suara yang sah. Dalam perkembangan selanjutnya, partai-partai tersebut tetap tercatat sebagai partai politik, tetapi sebenarnya hanya tinggal papan nama.
Perkembangan Partai Tradisional Pasca-Pemilu 1999 Pendirian partai-partai politik di era awal reformasi, khususnya menjelang Pemilu 1999 yang dicirikan oleh kuatnya faktor pembelahan masyarakat dan kepentingan politik serta politik aliran, hampir “tidak” mencolok menjelang Pemilu 2004 dan 2009. Memang masih ada beberapa partai baru yang tumbuh atas dasar 13Komisi Pemilihan Umum, www.kpu.go.id. 14Data KPU menyebut bahwa di antara partai yang tidak mem peroleh kursi adalah Partai Keadilan, PNU. PBI, PDI, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, P KM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI, PSP, dan PARI. Sumber Komisi Pemilihan Umum, www.kpu.go.id.
20 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 17-28
orientasi dan kepentingan keagamaan atau kepentingan kelompok, tetapi ada faktor lain yang menyebabkan munculnya partai baru, yakni perpecahan pada tubuh partai politik dan ambisi beberapa tokoh di luar partai untuk mendirikan partai politik. Sebagian besar partai-partai baru yang lahir setelah Pemilu 1999, 2004, dan 2009 disebabkan oleh faktor-faktor tersebut. Tabel 1 menggambarkan eksistensi partai tertentu pada setiap Pemilu. Data tersebut juga menggambarkan hilang dan tumbuhnya partai politik khususnya setelah Pemilu 1999 dan menjelang Pemilu 2004 dan 2009. Hasil Pemilu 1999 merupakan titik awal bagi sejumlah partai politik menjadi partai yang memiliki dukungan atau memiliki eksistensi. Dari 21 parpol yang memperoleh kursi DPR dan sejumlah kursi DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, terseleksi menjadi 13 parpol peserta Pemilu 2004. Tiga belas partai itu adalah Partai Golkar, PDI-P, PKB, PPP, PD, PKS, PAN, PBB, PBR, PDS, PKPB, PKPI, PPDK, PNBK, PNI Marhaen, Partai Pepolor, dan Partai Penegak Demokrasi Indonesia. Dari 13 parpol, hanya beberapa partai yang eksistensinya teruji, yakni pertama, partai lama seperti Golkar, PDI-P, PPP, PKB, dan PAN. Pemilu 2004 mengantarkan dua partai baru yang memiliki dukungan yang relatif besar, tergolong sebagai partai menengah, padahal kedua partai ini adalah partai baru, yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera walaupun PKS tidak bisa disebut sebagai “partai baru” karena PKS adalah metamorfosis dari Partai Keadilan. Sementara itu, dari hasil Pemilu 2009, 38 partai politik lolos sebagai peserta pemilu, di antaranya adalah 22 partai yang dapat dibilang lama dan 16 partai baru serta 6 partai lokal yang khusus berkompetisi di Aceh. Seperti pada kasus Pemilu 2004, pada Pemilu 2009 partai yang sudah eksis memperoleh dukungan pada Pemilu 2004 kembali menjadi partai yang berhasil lolos Parlementary Threshold (PT) 2,5%. Sembilan partai yang lolos tersebut dapat dibagi menjadi partai lama seperti PD, Golkar, PDI-P, PKS, PAN, PPP, dan PKB. Dua partai baru yang mengikuti fenomena partai baru sebelumnya pada Pemilu 2004 adalah Gerindra dan Hanura. Sisanya, 29 partai politik tidak lolos PT karena suara mereka sangat kecil.
Dari fenomena pasang surut partai politik sejak Pemilu 1999,2004, dan 2009, terdapat pola bahwa partai-partai politik baru yang merupakan pecahan ideologi nasionalis dan pembangunan relatif memperoleh dukungan ketimbang partaipartai baru yang mengusung ideologi agama, seperti Islam dan Kristen. Sebagai contoh, lahirnya PD pada Pemilu 2004 merupakan partai yang lahir dari sebagian orang yang men dukung ideologi nasionalis dan sebagian yang mendukung ideologi religius (keagamaan). Sementara itu, pada Pemilu 2009, dua partai yang merupakan pecahan partai Golkar, yakni Gerindra dan Hanura memperoleh dukungan dari masyarakat walaupun tidak sespektakuler kem unculan Partai Demokrat. Sebaliknya, partai-partai yang mengusung ideologi agama atau identitas keagamaan seperti PKNU, PMB, PBB, dan PBR, justru tidak mampu menggeser dukungan partai-partai yang bersandar pada du kungan pemilih tradisional dari umat Islam. Pertumbuhan partai politik baru di Indonesia dapat dikatakan akibat konflik internal partai yang memicu terjadinya faksionalisasi dari dalam. P artai-partai baru yang lahir pada Pemilu 2004, 2009, dan 2014 adalah akibat dari faksionalisasi tersebut. Perpecahan dan konflik adalah sumber awalnya. Beberapa kasus menunjukkan kecenderungan itu, seperti keluarnya sebagian kader Partai Golkar pada Pemilu 2009 yang kemudian mendirikan Partai Gerindra dan Hanura, dan menjelang Pemilu 2014 mendirikan Partai NasDem. Demikian pula pada kasus PDI-P yang juga pernah mengalami perpecahan, termasuk lahirnya Partai Demokrasi Indonesia oleh Soerjadi dan beberapa partai yang mengusung ideologi Marhaenisme. PKB, PPP, dan PAN juga mengalami masalah yang sama. Sebagian kader PAN terlibat dalam pendirian Par tai Matahari Bangsa (PMB) yang akhirnya mati suri. Munculnya PKNU yang berbasis di Jawa Timur adalah pembelahan lain dari kasus konflik PKB yang berlarut-larut, termasuk lahirnya partai yang diusung oleh Yenny Wahid, putri Abdurrahman Wahid (alm.). Partai Demokrat juga tak luput dari perpecahan itu seperti lahirnya partai yang didirikan oleh Syn NS, yakni Partai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak lolos verifikasi pemilu. Demikian pula partai
Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi | Moch. Nurhasim | 21
yang didirikan oleh salah seorang pendiri Partai Demokrat yang juga mendirikan partai politik dan akhirnya kembali lagi ke PD. Perbedaan dan konflik internal mendorong kader-kader partai keluar dan mendirikan partai baru. Perkembangan ini menunjukkan bahwa partai yang terpecah-pecah disebabkan oleh me nonjolnya tipe catch all party. Partai tergantung pada figur seseorang sehingga perkembangan organisasi partai disibukkan oleh perseteruan figur-figur yang memiliki pengaruh. Konflik internal partai di antaranya dipenga ruhi oleh faktor pengaruh kuatnya seorang tokoh yang menjadi penggerak utamanya. Personalisasi partai politik ini mengubah cara pengelolaan partai ke arah tradisional. Dominasi figur ketua umum partai politik amat menentukan bentuk dan pengisian gerbong kepengurusannya. Beberapa kasus menunjukkan gejala itu, seperti pada saat Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Golkar, nyaris orang-orang dekatnya menduduki posisi strategis di partai politik. Faksionalisasi internal partai terbuka secara luas hampir pada sebagian besar partai politik. Terhadap kasus Golkar, David Reeve melihat bahwa konflik yang melanda tubuh Golkar di masa lalu adalah konflik yang terjadi antarpendiri parpol. Di era reformasi, faksionalisasi dan konflik menyebabkan beberapa pengurusnya mengundurkan diri dan keluar dari partai, suatu perkembangan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Sejak era reformasi, pada saat Akbar Tanjung menjadi ketua Golkar, benih-benih perpecahan sudah ada dengan munculnya faksi Iramasuka Marwah Daud Ibrahim yang dibantu oleh kelompok Habibie. Faksionalisasi dan pengaruh tokoh seperti itu juga terjadi pada partai politik lainnya. Pada saat Anas Urbaningrum memenangkan perebutan posisi Ketua Umum Partai Demokrat. Gerbong Anas masuk ke sebagian struktur pengurus DPP Partai Demokrat. Ada istilah orang-orang Anas, orang-orang Marzuki, dan orang-orang Andi. Pada kasus yang sama juga menimpa PDI-P setelah Kongres PDI di Bali yang kembali mengusung Megawati Soekarno Puteri sebagai Ketua Umum. Beberapa orang yang dekat dengan Taufik Kiemas juga tersingkir. Ketika Golkar dipimpim oleh Abu Rizal Bakrie, gerbong lama
gerbong Jusuf Kalla dan para pendukung Surya Paloh tersingkir, tidak menjadi bagian dari kepe ngurusan. Salah satu contoh kader Partai Golkar yang keluar adalah Ferry Mursidan Baldan, yang mengikuti jejak Surya Paloh, ikut mendirikan Partai Nasional Demokrat (NasDem). Sementara itu, pada kasus Partai Demokrat, setelah Anas mengundurkan diri, label orang-orang Anas pun mulai tersingkir, sebagian tetap di dalam dengan mencari patron baru dan sebagian keluar masuk ke Flanura dan NasDem. Perkembangan partai politik seperti itu menurut Sartori bukanlah sebuah kecelakaan. Sartori pernah mengasumsikan bahwa perso nalisasi partai politik bukan terjadi karena ke celakaan, tetapi karena keterbatasan kemampuan partai politik dalam menentukan pilihan dan perubahan terhadap lembaganya.15Selain karena belum melembaganya organisasi partai politik, partai tergantung pada figur seseorang. Personalisasi partai tersebut sekurangkurangnya dicirikan oleh beberapa karakter. Pertam a, kesulitan dalam melakukan suk sesi atau pergantian kepemimpinan. Pergantian kepemimpinan cenderung dilakukan secara impersonal. Dalam beberapa kasus, partai politik bahkan kesulitan mencari sosok pemimpin partai dan calon presiden. Kedua, pergantian kepe mimpinan di tubuh partai politik menciptakan lahirnya faksi-faksi politik. Faksi politik ini akhirnya mendorong sebagian kadernya keluar dari partai dan mendirikan partai baru. Ketiga, kuatnya pengaruh budaya dan perilaku masyara kat yang terbelah di antaranya dicirikan oleh kuatnya referensi politik atas dasar etnik, agama, kelas, dan kota/desa. Sebagai sebuah organisasi, partai politik tidak berada dalam ruang yang kosong. Masyarakat dan civil society, termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan, menjadi salah satu sumber kader dan kepemimpinan partai. Oleh karena itu, faktor-faktor budaya patrimonial, patron-klien, dan patriaki yang ma sih lekat pada sebagian masyarakat Indonesia menjadi pengaruh tersendiri bagi menguatnya partai sebagai organisasi yang makin tertutup dan makin menguatnya oligarki partai. Keempat, masuknya keluarga atau kekerabatan ke dalam
15Peter Mair, op. cit.. hlm.9.
22 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 17-28
struktur partai politik dan menguasai politik di tingkat nasional dan lokal. Pertumbuhan partai-partai politik Indonesia di atas cukup menarik. Tilly dalam mengkaji pertumbuhan partai-partai politik di Amerika Latin yang oleh Scott M ainwaring disebut sebagai huge coparison— sebuah perbandingan sistem kepartaian pada negara demokrasi dan sem i-dem okrasi pada negara-negara yang belum berkembang dengan negara-negara yang demokrasinya sudah maju, menilai bahwa eksis atau tidaknya partai politik dipengaruhi oleh tiga indikator utama. Ketiga indikator itu adalah tingkat institusionalisasi (institusionalization), volatilitas pemilihan (electoral volatility), dan pilihan ideologi (ideological voting). Studi ini menyebut bahwa sistem kepartaian di negara-negara yang belum berkembang menunjukkan polarisasi pelembagaan yang disebut tidak stabil, tidak memiliki akar rumput yang kuat, dan legitimasi yang disesuaikan oleh aktor-aktor politik partai.16Pada konteks pilihan ideologi (ideological voting), berbagai literatur perilaku memilih menggambarkan bahwa kom petisi antarpartai lebih didominasi oleh dua asumsi, yakni berbasis program (programmatic) atau ideologi/keyakinan pemilih (ideological voters). Pada negara-negara yang belum maju demokrasinya, umumnya faktor personalisasi begitu besar dan menonjol. Perilaku pemilih lebih didasari pada pengaruh personal atau figur dalam menentukan pilihan-pilihannya.17Sementara itu, partai yang mengarah modem, pengaruh figur seseorang makin mengecil dan institusi partai (kelembagaan dan pelembagaan partai) menjadi lebih kuat. Apa yang disebut oleh Tilly di atas dapat menjelaskan fenomena tidak didukungnya sejumlah partai yang muncul pada setiap pemilu di Indonesia dan menjelaskan pula eksistensi partai-partai yang tetap eksis dari pemilu ke pemilu. Dari ketiga indikator yang digunakan, diperlihatkan bahwa dimensi tradisionalisme kelembagaan partai makin kelihatan. Indika tornya jelas, pertama, tidak ada pola yang stabil hasil pemilu dari waktu ke waktu atau volatilitas pemilihannya rendah. Selain itu, akar rumput 16 Scott Mainwaring, op. cit., hlm. 4-14. xlIbid„ hlm. 18-19.
partai juga “tidak jelas”, dalam arti basis poli tiknya tidak kuat. Dari segi internal ada dorongan dari beberapa kadernya yang mempertanyakan legitimasi kepengurusan partai dan kepemimpin an partai. Lembaganya juga dipenuhi dengan sumber daya yang terbatas dan kuatnya pengaruh pemimpin partai secara personal.1819Pada sisi yang lain, prinsip hukum besi yang pernah dibahas oleh Robert Michels, justru makin menguat. Ciri dari menguatnya hukum besi itu adalah “Organisasilah yang melahirkan dominasi si terpilih atas pemilihnya, antara si mandataris dan si pemberi mandat serta antara si penerima kekuasaan dan sang pemberi. Siapa saja yang berbicara tentang organisasi maka sebenarnya ia berbicara tentang oligarki".19Dalam konteks teoretik lainnya, partai mengalami kegagalan dalam membangun sistem internal partai yang lebih demokratis dan modern. Partai justru terjebak pada pengaruh oligarki yang makin menguat dari waktu ke waktu. Pengaruh kekuatan tradisional pada partai politik di era reformasi dapat dilihat dari be berapa kasus yang menonjol. Dalam praktiknya, pengaruh tradisionalisme partai ini tecermin dari adanya politik kekeluargaan pada partai politik, baik di tingkat nasional maupun lokal. Studi yang dilakukan oleh Dirk Tomsa tentang Golkar pasca-Soeharto menggambarkan satu kecenderungan bahwa beberapa contoh men cirikan aparatus partai Golkar yang didominasi oleh praktik tradisional patron-klien. Keberadaan mereka terdapat pada struktur formal partai yang dipengaruhi oleh struktur sosial atas dasar tradisi onalisme sebuah hubungan hierarki pada suatu struktur sosial yang memengaruhi struktur partai. Kecenderungan ini oleh Tomsa didasari oleh kasus kuatnya keluarga Yasin Linpo di Sulawesi Selatan yang menguasai struktur partai Golkar di sana.20 Tomsa menyebut adanya pertarungan tiga kubu kekuatan keluarga di Sulawesi Selatan antara keluarga Yasin Limpo, Halid, Baramuli, dan keluarga Kalla.
w Ibid. 19 Robert Michels, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi, (Jakarta: Penerbit Rajawali, 1984), hlm. xxvii 20Dirk Tomsa, Party Politics and Democratization in Indonesia, Golkar in the post-Suharta era, (New York: Routledge, 2008), hlm. 40-42.
Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi | Moch. Nurhasim | 23
"... Traditionallypowerfitlfcimilies like the Yasin Limpo fam ily, the H alidfamily, the Baramuli fa m ily or the Kalla fa m ily have m fluenced local politics and business fo r decades. At the time o f writing Syahrul Yasin Limpo had ju s t been elected as governor o f South Sulawesi, his brother was the bupati o f Gowa district and members o f the fa m ily occupied various positions in local parUaments and the national legislature in Jakarta. According to local journalists, the prestige o f the Yasin Limpos is based prim arily on 'a lot o f money, a lot o f follow ers and a lot o f loyal preman (thugs). A nd naturally, all fa m ily members are Golkar cadres. In fact, som e observers have gone so fa r as to assert that at least in Gowa district ‘the Golkar pa rty and the Limpo fa m ily have virtually become o n e ”
Kekuatan keluarga tradisional seperti keluarga Yasin Limpo, keluarga Halid, keluarga Baramuli atau keluarga Kalla dalam politik lokal dan bisnis selama beberapa dekade. Pada saat penulisan, Syahnil Yasin Limpo baru saja terpilih sebagai Gubernur Sulawesi Selatan, saudaranya adalah bupati dari Kabupaten Gowa dan anggota keluarga yang lainnya duduk se bagai anggota DPRD dan DPR di tingkat nasional. Pamor Yasin Limpo didasarkan karena banyak uang, banyak pengikut dan punya pendukung preman yang setia. Semua anggota keluarga adalah kader Golkar. Bahkan beberapa pengamat mengatakan, di Kabu paten Gowa, Partai Golkar dan keluarga Limpo telah menjadi satu bagian yang utuh].21
Risiko lahirnya patron-klien dalam struktur partai politik semacam itu juga terjadi pada Gol kar di Provinsi Banten. Kuatnya pengaruh dinasti politik Ratu Atut pada Golkar adalah sebuah gambaran lain masuknya pola patron-klien dalam struktur politik Golkar. Luasnya dinasti politik Ratu Atut di Provinsi Banten digambarkan dari bukan saja kekuasaan di tubuh partai Golkar, tetapi juga penguasaan pada jabatan bupati/wakil bupati di sejumlah kabupaten. Sebuah gejala pe nguasaan patron-klien yang masuk dalam proses pemilihan di era demokrasi. Gejala yang hampir mirip sebenarnya juga teijadi pada struktur partai di tingkat pusat, dengan pergantian ketua partai mendorong terjadinya perubahan gerbong dan penyingkiran orang-orang tertentu. Keluarga dalan struktur politik juga melanda partai-partai lain, seperti PDI-P yang dikuasai oleh trah Soekarno di bawah kekuasaan Mega wati Soekarno Puteri. Keluarga mereka seperti Taufik Kiemas (alm.). Puan Maharani, Guruh Soekarno, Guntur Soekarno, dan M. Prananda Prabowo memiliki pengaruh kuat pada struktur
kepengurusan PDI-P. Gejala serupa juga terjadi di Partai Demokrat, di mana unsur keluarga juga memiliki pengaruh pada struktur partai, mulai dari Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Umum, Edi Baskoro (Ibas) sebagai Sekjen, adik ipar Ketua Umum, dan beberapa keponakannya juga dicalonkan serta sebelumnya saudara ipar SBY juga telah menjabat sebagai Ketua Umum PD. Bagaimana dengan partai lainnya, gambaran yang hampir mirip juga terjadi seperti pada Partai Gerindra, ketua umumnya adalah Prabowo Subianto, sedangkan adiknya, Hasim Djojohadikusomo, menempati posisi penasihat sekaligus penyandang dana partai. Data yang dikeluarkan oleh Harian Kompas juga menyebut hal yang serupa, bahwa dari 37 kepala daerah terpilih memiliki hubungan ke kerabatan dengan pejabat negara lainnya. Mereka tersebar di Provinsi Lampung, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatra Utara, Jambi, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Maluku. Sementara itu, beberapa kerabat yang meneruskan jabatan yang sama ter jadi di Indramayu, Anna Sophanah meneruskan jabatan dari suaminya, Irianto M.S. Syaifuddin. Demikian pula dengan Bupati Kendal Widya Kandi Susanti, Bupati Bantul Sri Suryawidati, Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, dan Bupati Kediri Haryanti Sutrisno, yang melan jutkan posisi suami masing-masing. Adapun Mohammad Makmun Ibnu Fuad menggantikan ayahnya, Fuad Amin, sebagai Bupati Bangkalan. Pola lainnya adalah maju dalam pilkada dengan posisi berbeda sehingga dinasti politik bisa terbangun lebih besar. Contohnya, Gubernur Lampung Sjachroedin Z.R, anaknya, Rycko Menoza, menjadi Bupati Lampung Selatan. Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang dan anaknya, Ivan S.J. Sarundajang, Wakil Bupati Minahasa. Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo dan adiknya, Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa. Contoh lebih luas adalah dinasti politik Gubernur Banten Ratu A tut Chosiyah. Keluarganya menjabat Wakil Bupati Pandeglang, Wali kota Tangerang Selatan, Wakil Bupati Serang, dan Wali kota Serang. Data tersebut belum mema sukkan kekerabatan yang duduk di lembaga
21Ibid., hlm. 42.
24 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 17-28
Tabel 2. Karakteristik Ideal Partai yang Terlembaga dan Tidak Terlembaga Sistem yan g Terlem baga (W ell Institutionalized System )
Indikator
Sistem yang Tak Terlem baga (W eakly Institutionalized (Fiuid) System )
Pola stabilitas kom petisi internal partai (Stability in pa tterns o fin te rpa rty com petition)
Stabilitas tinggi: Partai besar eksis selam a puluhan tahun. Volatilitas pem ilu rendah. H ig hly stable: M a jo r pa rties rem ain on the scen e fo rd eca d es; ele cto ra l vo latility is low.
A gak stabil: beberapa partai m engalam i penurunan yang tajam , sedangkan yang lainnya m enikm ati peningkatan yang tibatiba pada pem ilu. Q uite volatile: Som e pa rties su ffe r precipitous declines, w hile other pa rties enjoy sudden electoral upsurges.
Akar partai pada m asyarakat (Party roots in society)
Partai berakar kuat dalam m asyarakat. Sebagian besar warga m em ilih partai yang sam a dari w aktu ke w aktu dan karena pilihan partai. O rganisasi kepentingan terasosiasi dengan partai. Parties are stro n g ly rooted in society. M ost citizens vote f o r the sa m e pa rty ove r tim e and vote because o f party. O rganized interests tend to be associated with a party.
A kar partai lem ah dalam m asyarakat. Hanya sebagian w arga m em ilih partai yang sam a. Sebaliknya, warga m em ilih sesuai dengan calon atau jika m ereka m em ilih ka rena label partai, m ereka beralih ke partai preferensi. Parties are w eakly rooted in society. O nly a m in ority o f citizens vote f o r the sa m e party. Instead, citizens vote according to candidates or, ifth e y vote because o ft h e party label, they sw itch pa rty preferences.
Legitim asi partai pada pem ilu (The legitim acy o f pa rties andelections)
Legitim asi partai dan pem ilu tak tergoyahkan. Partai dipan d an g sebagai institusi dem okrasi yang diinginkan dan diperlukan. Parties a n d ele ctio ns en joy unassailable leg i tim acy. Parties are seen as a ne ce ssary and de sirable dem ocratic institution.
Beberapa individu dan kelom pok m em pertanyakan legitim asi partai dan pem ilu. Sebagian kecil w arga percaya bahwa partai tid a k diinginkan. M any individu als a n d groups question the legitim acy o f p a rties an d elections. A significan t m in ority o f citizens believe that parties are neither necessary n o r desirable.
Organisasi partai (Party organization)
Partai m em iliki m ateri dan su m b er daya m anusia ya n g signifikan. Seorang pem im pin kendati penting, tid a k m em bayangi partai. Parties ha ve sign ifica nt m ateria l a n d hum an resources. P arty processes are w ell institutio nalized. Individual leaders, w hile im portant, do not overshad ow the party.
Partai m em iliki su m b er yang terbatas. Par tai m elakukan kreasi dan tergantung pada seo rang pem im pin. Proses intrapartai tidak dilem bagakan. Parties have fe w resources. Parties are the creation of, a n d rem ain a t the disposal of, individu al politica l leaders. Intraparty pro cesses are n o t w ell institutionalized.
Sumber: Scott Mainwaring, “Rethinking Party Systems Theory In The Third Wave o f Democratization: The Importance of Party System Institutionalization”, Working Paper #260 - October 1998, Kellogg Institue: 7.
legislatif.22 Sementara itu, menurut data dari Kementerian Dalam Negeri disebutkan kurang lebih 57 kepala/wakil kepala daerah memiliki hubungan keluarga.
Mendorong ke Arah Partai Modern Berbagai kasus pengaruh kekuatan tradisional pada partai di atas di antaranya disebabkan oleh strategi m endulang dukungan suara pada pemilu. Penggunaan instrum en orang kuat lokal dan kelompok-kelompok yang memiliki jaringan kekeluargaan yang luas dalam kompe 22 Laksono Hari Wiwoho”Politik Dinasti, Cacat Demokrasi”, Kompas, 19 Oktober 2013.
tisi perebutan kekuasaan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi. Inilah situasi yang pernah dikhawatirkan oleh Lipset dan Rokkan saat melakukan studi perkembangan partai politik di Eropa Barat. Menguatnya pengaruh kekuatan tradisional dari beberapa studi yang dilakukan oleh para ahli seperti oleh Tomsa di antaranya mengakibatkan de-institusionalisasi partai politik. Artinya, kelembagaan partai politik “tergerus” dan hampir mengarah pada situasi tidak berfungsinya institusi partai. Partai politik menjadi tergantung pada figur dan politik kekeluargaan, baik sebagai basis sumber kepemimpinan maupun sumber pendanaan. Hampir sulit ditemukan tipe pendanaan partai
Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi | Moch. Nurhasim | 25
Tabel 3. Contoh Volatilitas Hasil Pemilu 2004-2009 Partai Dem okrat
Pem ilu 1999
Pem ilu 2004
Pe m
N aik/Turun ilU
1 9 9 9 -2 0 0 4
2004—2009
Hasil V olatilitas Pem ilihan
-
7,45
20,85
-
+13,4
22,4
21,58
14,45
0,82
-7,13
3,9
33,74
18,53
14,03
-15,21
-4,5
9,8
PKS
1,36
7,34
7,88
5,98
-0,54
3,26
PAN
7,12
6,44
6,01
0,68
-0,43
0,55
PPP
10,71
8,15
5,32
2,56
-2,83
2,6
PKB
12,61
10,57
4,94
-2,04
-5.25
3,6
-
-
4,46
-
+4,77
-
=
-
3,77
-
+3,77
-
Golkar PDIP
Gerindra Hanura
6,7
Keterangan: Hasil volatilitas pemilihan merupakan hasil penjumlahan volatilitas 1999-2004 dan 2004-2009 ke mudian dibagi 2.
yang bersumber dari donasi, baik yang berasal dari anggota maupun sumber aktivitas lain. Pada derajat tertentu, kuatnya pengaruh kekeraban politik melahirkan fenomena ketaatan pada figur, loyalitas tidak dibangun pada ideologi, program dan institusi partai politik. Dampak dari semua itu melahirkan satu fenomena penting di era reformasi bahwa partai-partai politik yang berdiri hampir memiliki kecenderungan umum, partai tidak memiliki basis kelas (class-based parties) yang jelas. Padahal basis ini menjadi ukuran seberapa kuat partai politik memiliki akar riil pada masyarakat. Dari kasus pertumbuhan dan perkembangan partai politik di Indonesia di atas, bagaimana mendorong partai agar mulai menata diri untuk menjadi partai yang modem, dan tidak teijerumus pada tipe partai tradisional. Salah satu ukuran yang dapat digunakan modern atau tidaknya partai politik dapat dilihat dari empat (4) kategori yang telah disusun oleh Scott Mainwaring dalam membahas karakteristik ideal— partai yang terlembaga dan tidak terlembaga. Dari Tabel 2, kita dapat melihat empat hal mendasar secara umum, bahwa partai-partai politik yang tumbuh di era transisi, misalnya dari pola stabilitas kompetisi internal partai, cenderung mengalami volatilitas pemilihan (celectoral volatility). Przeworksi dan Pedersen mengartikan volatilitas pemilihan adalah agregat pergantian dari satu partai ke partai lain dari suatu pemilihan ke pemilihan berikutnya. Hal ini dihitung dengan menambahkan pembahan
persentase yang bertambah atau berkurang dari setiap pemilu, kemudian dibagi menjadi dua.23 Artinya, ada partai-partai politik yang mengalami penumnan hasil pemilihan yang tajam, bahkan beberapa partai menikmati peningkatan yang tiba-tiba pada suatu pemilu. Kastis volatilitas pemilihan ini dapat kita lihat di awal-awal Orde Baru, sejak Pemilu 1999-2009. Partai Golkar mengalami volatilitas pemilihan pada Pemilu 1999, dari 74,51% (1997) menjadi 22,44%. PDI-P termasuk yang me ngalami peningkatan tiba-tiba, dari 3,06% (1997) menjadi 33,74% (1999). Sementara itu, pada pemilu 2004, kecendemngan terjadi penumnan pada beberapa partai yang sejak 1999 menjadi peserta pemilu, yakni Golkar 21,58 (2004) atau -0,86%, PDI-P termasuk yang paling tajam, turun (-15,21% ) karena pada Pemilu 2004 hanya memperoleh 18,53%. PKB turun (-2,04%), PPP (-2,56%), dan PAN (-0,68%). Partai yang mengalami peningkatan suara adalah PKS dari 1,36% (Pemilu 1999) menjadi 7,34% pada Pemilu 2004 (+5,98%). Partai bam yang langsung melejit adalah Partai Demokrat (7,45%). Sementara itu, pada Pemilu 2009, volatilitas pemilihan justru terjadi cukup tajam. Dari Tabel 3 tersebut, jika melihat volatilitas hasil Pemilu 2004-2009, tampak terlihat bahwa kecenderungan angka volatilitas yang tinggi 53 Scott Mainwaring, “Rethinking Party Systems Theory In The Third Wave o f Democratization: The Importance of Party System Institutionalization”, Working Paper #260 - October 1998, Kellogg Institue, hlm. 9.
26 | Jumal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 17-28
terjadi pada dua partai, yakni PDI-P dan PD. Dari segi agregat, PDI-P lebih tinggi diban dingkan dengan partai-partai lainnya. Artinya, kedua partai ini memiliki volatilitas yang tinggi dibandingkan dengan Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB. Untuk Gerindra dan Hanura belum dapat dihitung karena baru ikut pada satu pemilu. PAN memiliki tingkat volatilitas yang rendah, yang menggambarkan bahwa penurunan dan penaikan suara mereka tidak terjadi lonjakan yang besar. Dalam konteks itu, partai yang pemah berkuasa, yakni PDI-P dan PD, memiliki volatilitas pemilihan yang cukup besar. Volatilitas pemilihan tersebut dapat dipe ngaruhi oleh adanya kecenderungan beralihnya pemilih ke partai lain. Perpecahan pada tubuh partai, konflik, atau ketidakstabilan partai menyebabkan hal itu terjadi. Salah satu partai yang menderita cukup tajam adalah Partai Golkar yang kehilangan 7,13% suara. Penurunan yang hampir sama tajamnya pemah terjadi pada PDI-P pada Pemilu 2004, di mana PDI-P kehilangan hampir separuh suaranya. Dalam situasi seperti itu, seperti disebut oleh Scott Mainwaring, ada kecenderungan akar partai yang lemah atau tidak stabil pada negara-negara yang pertumbuhan partainya belum modem. Kompetisi yang ketat antarpartai pada satu sisi dan di sisi lain, munculnya pertanyaan beberapa individu dan kelompok terhadap legitimasi partai politik menyebabkan timbulnya ketidakyakinan pemilih untuk tetap menentukan pilihan yang sama. Padahal sebuah partai politik disebut terinstitusionalisasi apabila kecenderung annya sebagai partai besar terus eksis dari waktu ke waktu. Artinya, perolehan suara pada pemilu relatif sama dengan pemilu sebelumnya dan tidak mengalami penumnan atau kenaikan yang tajam. Dalam konteks itu, pengaruh seorang pemimpin, atau figur jelas menjadi salah satu bagian yang penting dari beberapa kecenderungan yang telah disebut di atas. Melejitnya perolehan PD pada Pemilu 2009 di antaranya dipengaruhi oleh faktor elektabilitas SBY yang tinggi, dibanding dengan calon presiden lainnya seperti Mega dan Jusuf Kalla. Dari indikator terlembaga atau tidaknya sebuah partai politik, empat indikator yang telah dikemukan pada tabel di atas, yakni pola
stabilitas kompetisi internal, akar partai pada m asyarakat, legitimasi partai pada pemilu, dan organisasi partai, akan sangat menentukan apakah sebuah partai politik disebut modem atau masih tradisional. Dari kasus di Indonesia, khususnya perkem bangan pendirian partai politik dan volatilitas pe milihan sebagaimana disebutkan di atas—tanpa mengikutkan hasil Pemilu 2014 dan berbagai persoalan yang menghingapi partai politik, tam pak jelas bahwa kecenderungan terlembaganya partai politik (dari hasil pemilu 1999,2004, dan 2009) hanya terjadi pada beberapa partai, yakni PKS, PPP, PKB, Golkar, dan PAN. Dari data hasil Pemilu 1999, 2004, dan 2009, yakni PDI-P dan PD justru menggambarkan dua partai yang paling memiliki problem institusionalisasi.
Penutup Sebagai sebuah institusi penyangga demokrasi yang strategis, perkembangan kelembagaan partai politik di Indonesia seperti digambarkan di atas, tentu saja memprihatinkan. Selain karena sebagian besar terkoyak oleh kasus-kasus korupsi dan perilaku kader-kadernya di parlemen, baik di pusat maupun di daerah, partai politik justru sering dianggap sebagai instrumen demokrasi yang paling bermasalah. Kecenderungan tersebut perlu dibenahi agar partai tidak terjebak pada situasi de-institusionalisasi, yang justru akan berdampak buruk bagi perkembangan demokrasi dan keyakinan para pemilih terhadap partai dan demokrasi. Di antara strategi yang dapat dilakukan adalah membenahi organisasi kepartaian. Strategi pembenahan yang dapat dilakukan di antaranya adalah membenahi rekrutmen internal partai agar partai politik memiliki sumber kader yang berkualitas. Selain itu, partai politik, suka atau tidak suka, harus memiliki sumber materi yang jelas dan halal. Betapapun ada seorang pemimpin, kehadirannya bukan “mengosongkan” gerbong institusional partai, tetapi proses pengisian jabatan-jabatan strategis lebih didasarkan pada kemampuan kader. Artinya, proses kaderisasi harus berkembang sehingga kelembagaan dan struktur partai tidak dikooptasi oleh kepentingan individual atau pemimpinnya, apalagi dimasuki oleh kepentingan politik kekerabatan.
Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi | Moch. Nurhasim | 27
Selain menata organisasi, partai politik juga perlu menata akarnya pada masyarakat. Hal ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan terhadap partai politik. Di antara persoalan yang berat adalah kuatnya praktik transaksi politik sebagai dampak hubungan partai dengan konstituen beberapa dekade terakhir. Dalam praktik ini, partai politik perlu mengubah dirinya sebagai organisasi partai yang memiliki fungsi. Selain itu, partai perlu menata ideologinya dan program-programnya agar dapat memutus mata rantai transaksi politik yang pada derajat tertentu justru menggerus ideologi dan basis partai politik. Dalam menjalankan fungsi dan kelembagaannya, partai tidak mendasarkan pada faktor personal, tetapi lebih mengedepankan faktor agenda atau program-program partai politik. Pembenahan cara pengaderan dan kualitas sumber daya partai politik menjadi salah satu keniscayaan sebab partai politik adalah instrumen yang menjadi sumber calon-calon pemimpin politik yang akan mengisi jabatan pemerintahan, legislatif, dan kepemimpinan daerah.
Daftar Pustaka
Michels, Robert. 1984. Partai Politik: Kecenderung an Oligarkis dalam Birokrasi. Jakarta: Raja wali. Schlager, Neil dan Jayne Weisblatt (Eds.). 2006. World Encyclopedia o f Political Systems and Parties, fourth edition. New York: Facts on File, Inc. Tim Peneliti PPW-LIPI. 1999. Tentara Mendamba Mitra. Bandung: Mizan. Tomsa, Dirk. 2008. Party Politics and Democratiza tion in Indonesia, Golkar in the post-Suharta Era. New York: Routledge. Jurnal Romli, Lili. 2000. “Peta Kekuatan Politik Setelah Re formasi dan Kecenderungan Koalisi Parpol”, Jurnal Demokrasi dan HAM: 124-125. Laporan dan M akalah Mainwaring, Scott dan Mariano Torcal. 2005. “Party System Institutionalization and Party System Theory After the Third Wave of Democratiza tion”. Working Paper, 319-April 2005, Kel logg Institute. Mainwaring, Scott. 1998. “Rethinking Party Systems Theory In The Third Wave of Democratization: The Importance of Party System Institutio nalization”. Working Paper #260 - October 1998, Kellogg Institue.
Buku Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mair, Peter. 2002. Party System Change, Aprroaches and lnterpretations. New York: Oxford Uni versity Press.
Surat K abar dan W ebsite Wiwoho, Laksono Hari. 2013. “Politik Dinasti, Cacat Demokrasi”. Kompas, 19 Oktober. Komisi Pemilihan Umum, dalam www.kpu.go.id
28 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 17-28
KONFLIK INTERNAL PARTAI POLITIK: STUDI KASUS PARTAI KEBANGKITAN BANGSA INTRA-PARTY CONFLICT: A CASE STUDY OF NATIONAL AWAKENING PARTY Kamarudin Ketua Program Pascasarjana Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP-UI) Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat E-mail:
[email protected] Diterima: 23 Februari2013; direvisi: 25 April 2013; disetujui: 5 Juni 2013 Abstract This study offers significantfindings that are, first, the internal conflict that occurred within PKB is more triggered by pragmatic issues that are related to power distributions in structural positions. This pragmatic issue not only always occurs when the party worked together with other groups as indicated by DeliarNoer (the withdrawal o f NU from Masyumi) and BahtiarEffendy (the withdrawal o f NU form PPP), but also happened when it formed its own party (PKB). The study ofKang Young Soon which concludes that conflict is “one ofN U tradition ”finally should be given a further explanation that “the conflict that is triggered by pragmatic interest toward the power is one o f NU traditions It is true that an ideologicalfactor also contributes to the conflict but again the pragmatism in achieving the power still dominate the movie offriction between N U and other groups or even within NU ’s elites as indicated in almost internal conflict o f PKB. Second, the involvement ofkiai in political arena causes the changing pattern and values o f relation (kiai-santri patron). The case o f the internal conflict among PKB ’s elites shows that the mutual trust as a symbol o f pesantren tradition which has been established fo r long may change merely caused by the pragmatic power. This change can be observedfrom the stance and position o f the kiai khos who form Forum Langitan that initially supported Abdurrahman Wahid but drastically against him. Keywords: internal conflict, faction, PKB Abstrak Kajian ini menunjukkan, pertama, konflik internal yang melanda PKB dipicu oleh masalah yang bersifat pragmatis terkait dengan perebutan posisi dalam partai. Faktor pemicu yang bersifat pragmatis itu tidak hanya berlaku ketika kalangan nahdliyin bergabung dengan komponen bangsa yang lain, seperti ditunjukkan oleh studi Deliar Noer (kasus NU keluar dari Masyumi) dan Bahtiar Effendy (kasus NU keluar dari PPP), namun studi ini menunjukkan bahwa faktor pragmatis itu juga berlaku saat konflik di antara sesama fungsionaris partai yang di lahirkan oleh kalangan nahdliyin terjadi. Studi Kang Young Soon yang menyimpulkan bahwa konflik merupakan “salah satu tradisi NU” pada akhirnya perlu ditambah dengan penjelasan bahwa “konflik yang dipicu oleh masalah pragmatisme kekuasaan merupakan salah satu tradisi NU.” Memang pemah ada konflik karena faktor ideologi, namun pragmatisme kekuasaan seringkah menjadi motif di balik perseteruan NU dengan pihak lain ataupun dengan sesama kalangan nahdliyin seperti terlihat pada kasus konflik internal PKB. Kedua, terjadi pergeseran nilai dalam hubungan kiai-santri dalam tradisi pesantren yang menganut pola hubungan patron-klien ketika kalangan nahdliyin berkiprah di wilayah politik. Kasus konflik internal PKB ini menunjukkan bahwa sikap saling percaya yang menjadi unsur pembentuk budaya pesantren bisa berubah karena masalah pragmatisme kekuasaan. Kata Kunci: konflik internal, kubu, PKB
Konflik Internal Partai Politik: Studi Kasus Partai Kebangkitan Bangsa | Kamarudin | 29
Pendahuluan Salah satu dampak dari kejatuhan rezim otori tarianisme Soeharto adalah publik memperoleh ruang bebas dalam mengekspresikan aspirasi dan kepentingan politik. Bentuk konkret dari ekspresi kebebasan itu adalah lahirnya partaipartai politik baru serta muncul kembali sejumlah partai-partai politik lama. Ibaratnya, setelah sekitar empat dekade terkubur, sukma Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta No. X tanggal 3 November 1945' tentang pendirian partai-partai politik kembali muncul ke permukaan.12 Hingga batas akhir pendaftaran keikutsertaan pemilu pertama pasca-Orde Baru terdapat 148 partai politik yang terdaftar di Departemen Kehakiman. Dari jumlah itu, berdasarkan hasil verifikasi Tim 11,3 hanya 48 partai politik yang berhak mengikuti Pemilu 1999. Kehadiran partai-partai politik itu memang diperkenankan di dalam sistem demokrasi yang menghormati pluralisme. Namun, pada sisi lain justru memperlihatkan wajah fragmentasi, baik di kalangan nasionalis sekuler maupun pada kekuatan politik Islam. Fragmentasi pada kekuatan politik nasionalis sekuler, misalnya, terlihat pada hadirnya PDI Perjuangan, PDI, PNI Massa Marhaen, dan partai-partai lainnya. Di ka langan Islam, terlihat dari lahirnya begitu banyak partai politik Islam. Dari 148 partai politik, 42 di antaranya dikategorikan sebagai partai politik Islam dan setelah melalui proses verifikasi hanya
20 partai politik Islam yang lolos seleksi untuk mengikuti Pemilu 1999.4 Di kalangan Islam, konflik internal itu tidak hanya dilihat dari kategori partai berhaluan modernis dan tradisionalis, namun juga bisa ditengok dari sisi internal kategori tersebut. Di kalangan tradisionalis yang direpresentasikan oleh Nahdlatul Ulama (NU), fragmentasi terlihat dengan ditandai lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Solidaritas Uni Indonesia (Partai SUNI), Partai Nahdhatul Ummah (PNU), dan Partai Kebangkitan Ummat (PKU). Kalangan modernis yang dalam Pemilu 1955 berada di bawah bendera Partai Masyumi juga mengalami hal yang sama, dengan lahirnya Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Masyumi Baru (PMB), dan Partai Politik Islam Indonesia Masyumi (PPIIM). Belum lagi kehadiran sejumlah partai yang juga memiliki karakter mirip Masyumi, seperti Partai Keadilan (PK, yang kemudian berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera) dan Partai Amanat Nasional (PAN).
1Soal partai politik pada masa itu lihat antara lain George McTuman Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1980).
Dengan fragmentasi semacam ini, kekuatan politik Islam mengalami kesulitan melakukan konsolidasi sehingga berujung pada kekalahan. Pada Pemilu 1999, jumlah seluruh suara yang diperoleh partai-partai politik Islam secara akumulatif adalah 39.758.725 atau 37,56% dari total suara sah (105.846.000). Dibandingkan dengan partai-partai lain, baik dari kalangan nasionalisme sekuler, Katolik, Kristen, maupun yang lainnya, perolehan suara partai politik Islam jelas terlihat timpang, yaitu 39.758.725 berban ding 66.087.275. Itu artinya 62,44% pemilih di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini tidak memberikan suaranya kepada partai Islam.
: lndonesianis Dr. Lance Castles menyebut fenomena pendirian partai-partai politik pasca lengsernya Soeharto dengan sebutan “The Age o f Parties". Hairus SalimH.S. etal., Tujuh Mesin Pen dulang Suara, (Yogyakarta: LKiS dan CH-PPS Gamiran, 1999).
Pasca-Pemilu 1999 masyarakat menyaksi kan satu demi satu partai politik Islam mengalami konflik internal. Partai-partai yang dimaksud
3 Tim 11 adalah nama populer dari Panitia Persiapan Pem bentukan Komisi Pemilihan Umum (P3KPU) yang dibentuk berdasarkan SK Mendagri sebagai Ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU) Nomor 06 Tahun 1999 tertanggal 3 Februari 1999. Komposisi keanggotaan Tim 11 adalah Nurcholish Madjid sebagai ketua, Adi Andojo Sutjipto sebagai wakil ketua, dan beranggotakan Adnan Buyung Nasution, Miriam Budiardjo, Afan Gaffar, Kastorius Sinaga, Andi Mallarangeng, Mulyana W. Kusumah, Eep Saefulloh Fatah, dan Rama Pratama. Tugas utama tim ini adalah menyeleksi partai politik yang berhak untuk mengikuti pemilu pada 7 Juni 1999. Tanggal 4 Maret 1999, Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid selaku Ketua LPU menerima hasil kerja Tim 11 dan mengesahkan empat lusin partai politik tersebut melalui SK No. 31 Tahun 1999.
4 Ada lima kriteria yang dapat diajukan untuk mengategorikan sebuah partai sebagai partai Islam, yaitu nama, asas, tanda gambar, tujuan/program, dan konstituen. Lantas mengacu lima kriteria tersebut maka definisi yang bisa diajukan untuk partai Islam adalah “partai yang memakai label Islam (nama, asas, dan tanda gambar); atau partai yang tidak memakai label Islam, tetapi hakikat perjuangannya adalah terutama untuk kepentingan umat Islam tanpa harus mengabaikan kepentingan umat agama lainnya; atau partai yang tidak memakai label Islam dan tujuan/programnya untuk kepentingan semua warganegara RI, tetapi konstituen utamanya berasal dari umat Islam”. Arskal Salim, Partai Islam dan Relasi Agama-Negara, (Jakarta: Pusat Penelitian IAIN Jakarta, 1999), hlm. 8-11.
30 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 29—40
adalah PPP, PKB, PAN, dan PBB. Gradasi konflik internal itu terentang dari yang paling ringan, yakni sejumlah fungsionarisnya keluar dari kepengurusan partai hingga yang terparah adalah munculnya kepengurusan tandingan atau pengurus partai yang membentuk partai politik baru. PAN adalah partai yang mengalami konflik dengan kadar ringan di mana sejumlah fungsio naris partai, yang dimotori Faisal Basri dan Bara Hasibuan, memilih keluar dari kepengurusan partai. Sebaliknya, kadar terberat dengan mun culnya kepengurusan tandingan ataupun partai politik baru dialami PKB, PPP, dan PBB. Konflik internal PKB melahirkan kepengurusan tanding an antara PKB Batutulis yang dipimpin Matori Abdul Djalil dan PKB Kuningan yang dipimpin Alwi Shihab. Dalam perkembangan selanjutnya, PKB Matori Abdul Djalil mendirikan partai baru bernama Partai Kebangkitan Demokrasi (PEKADE). PPP yang merupakan empat fusi partai politik Islam di tahun 1973 itu pecah dengan lahirnya PPP Reformasi yang kemudian berganti nama menjadi Partai Bintang Reformasi yang dimotori K.H. Zainuddin M.Z. Sementara itu, dari konflik internal PBB melahirkan partai politik baru, yakni Partai Islam Indonesia (PII) yang dipelopori Hartono Marjono dan Abdul Qadir Jaelani yang memimpin Partai Al-Islam Indonesia (PAS) Indonesia. Seperti konflik internal partai lainnya yang bermuara pada persoalan kepemimpinan, PKB juga demikian. PKB adalah “sayap” politik dari NU yang memiliki sejarah panjang dan bahkan pernah menjadi partai politik. Sekalipun NU memiliki kontribusi signifikan dalam perjalanan politik Indonesia, namun selama lebih dari tiga dasawarsa kekuasaan Orde Baru potensi politik warga NU dieliminasi. Sejalan dengan semangat reformasi, warga NU berusaha membangun kembali potensi politiknya sebagai bagian dari kesinambungan tradisi memberikan sumbangan bagi pembangunan politik bangsa Indonesia.5 5 Pendirian PKB serta tiga partai lainnya di lingkungan NU, tentunya mengundang pertanyaan publik terutama dikaitkan dengan masalah Khittah 1926 yang mengamanatkan NU untuk hanya berkiprah di wilayah sosial keagamaan, dengan memosisikan NU sebagai organisasi kemasyarakatan semata. Mengenai masalah ini, Sholahuddin Wahid berkomentar sebagai berikut, “Kalau NU kembali menjadi partai politik maka warga NU di ketiga orsospol itu akan mengabungkan diri ke dalam
Pengurus Besar NU (PBNU) pada tang gal 3 Juni 1998 membentuk Tim Lima yang ditugaskan untuk memenuhi aspirasi warga NU. Tim ini dipimpin oleh K.H. M a’ruf Amin (Rais Syuriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggotanya adalah K.H. M. Dawan Anwar, K.H. Said Aqil Siradj, H.M. Rozy Munir, dan Ahmad Bahdja. Akhirnya, disepakati pendirian partai politik baru dengan nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Secara historis pula, partai ini mempunyai hubungan kultural dan hubungan aspiratif dengan segenap warga Nahdliyin ,6Bah kan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendukung sepenuhnya kelahiran partai ini, dan bukan itu saja, PKB direkomendasikan secara resmi oleh PBNU.7Puncaknya adalah deklarasi partai yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 23 Juli 1998, dengan asas partai adalah Pancasila dan prinsip ahlusunnahwaljama ’ah. Dalam perhelatan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1999, dengan dimotori Poros Tengah, sebuah koalisi partai politik yang berbasiskan Islam, Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI. Namun, dalam perjalanan pemerintahannya Gus Dur banyak menuai kecaman, bahkan ia dianggap terlibat dalam sejumlah persoalan yang menyita perhatian publik. Persoalan tersebut adalah tuduhan terha dap Gus Dur yang dinilai “bermain mata” dengan tersangka Tommy Soeharto dalam perkara hukum yang memunculkan istilah Borobudur gate. Yang menghebohkan adalah pengakuan seorang perempuan bernama Aryanti yang mengaku telah berbuat tidak pantas dengan Gus Dur. Perkara ini juga melambungkan istilah Aryanti gate di jagad politik nasional. Terakhir, adalah dugaan bahwa Gus Dur menerima dana Bulog yang memaksa kalangan DPR membentuk Pansus partai Nahdlatul Ulama itu. Ternyata keinginan itu tidak men jadi kenyataan karena PBNU dan banyak PWNU serta PCNU berpendapat sebaiknya NU tetap menjadi ormas saja, dengan alasan bahwa hal itu bertentangan dengan Khittah 1926. Akan tetapi, ada juga pihak yang beranggapan bahwa khittah itu adalah sesuatu yang tidak bersifat sakral dan bisa ditafsirkan secara kontekstual sesuai ruang dan waktu serta situasi tertentu.” Lihat Sholahuddin Wahid, “Di Balik Berdirinya Partai-Partai di Kalangan NU”, dalam Republika, 3 Oktober 1998. 6 Julia I. Suryakusuma, Almanak Parpol Indonesia, (Jakarta: Yayasan API, 1999), hlm. 280. 7 Lihat Abdrurrahman Wahid, “PKB didirikan oleh PBNU”, dalam Munib Huda Muhammad (Ed.), Pro Kontra Partai Kebangkitan Bangsa, (Jakarta: Penerbit Fatma Press, 1998).
Konflik Internal Partai Politik: Studi Kasus Partai Kebangkitan Bangsa | Kamarudin | 31
Bulog gate serta masalah bantuan dari Sultan Brunei Darussalam yang juga memicu lahirnya Pansus Brunei gate. Proses politik inilah yang di kemudian hari memaksa Gus Dur untuk turun tahta setelah melalui proses konstitusional dari Memorandum Pertama, Memorandum Kedua, hingga MPR memutuskan menggelar Sidang Istimewa yang berujung pada penggulingan pemerintahan Gus Dur. Sidang Istimewa MPR itu tidak hanya berhasil menurunkan Gus Dur, tetapi menjadi pintu masuk bagi perpecahan dalam tubuh PKB. Dalam versi kelompok Gus Dur yang memecat Matori Abdul Djalil dari posisi ketua umum, dua kesalahan berat Matori adalah, pertama, melang gar keputusan DPP PKB tentang pembekuan fraksi dalam rangka mendukung bertahannya Gus Dur selaku presiden. Kedua, Matori membentuk DPP PKB tandingan. Dalam versi kubu Matori, pemecatan diri Matori sewenang-wenang karena tidak melalui muktamar. Karena silang pendapat inilah yang membuat kedua kubu ini (Gus Dur dan Matori) sulit dipertemukan, dan bahkan harus memasuki proses hukum. Konflik internal di tubuh PKB bisa dibagi dalam tiga periode waktu. Pertama, kurun waktu antara 2001-2002, seperti disinggung di atas. Kedua, kurun waktu antara 2004-2007 dengan pihak yang terlibat adalah Ketua Dewan Syuro Abdurrahman W ahid-Ketua Dewan Tanfidz Muhaimin Iskandar (hasil Muktamar II PKB) dan Alwi Shihab-Saifullah Yusuf yang membuat m uktam ar tandingan di Surabaya. Ketiga, kurun waktu antara 2008-2011, yang melahirkan Muktamar Luar Biasa (MLB) kubu Abdurrahman Wahid (MLB Parang) dengan MLB Ancol kubu Muhaimin Iskandar. Tulisan ini akan menyoroti faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam tubuh PKB periode kedua dan bagaimana usaha elite PKB untuk menyelesaikannya. Konflik internal yang menimpa PKB dalam periode kedua ini lebih berat dibandingkan ketika PKB didera perseteruan antara kubu Abdurrahman Wahid dan kubu Matori Abdul Djalil pada tahun 2001-2002. Berat bobot konflik tahap kedua ini dapat dilihat dari,pertama, keterlibatan kiai khos8 8 Istilah kiai khos berarti kiai khusus (utama) yang juga bisa ditulis dengan kiai khas (menggunakan huruf “a”), namun yang
yang tergabung dalam Forum Langitan yang mendukung Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf. Dukungan para kiai yang sangat berpengaruh di kalangan nahdliyin ini ditunjukkan dengan peno lakan mereka terhadap keputusan penonaktifan keduanya, menolak penyelenggaraan muktamar kedua PKB di Semarang berikut segala hasilnya, dan mendukung pelaksanaan muktamar di Surabaya, termasuk hasil-hasilnya. Abdurrahman Wahid juga berada dalam posisi konflik dengan kubu Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf karena ia menilai hasil Muktamar II PKB di Semarang sudah sah, legitimate, dan konstitusional. Kedua, konflik tahap kedua ini m eli batkan Jawa Timur dan Jawa Tengah, basis suara utama PKB yang menyumbang sekitar 80% dari total suara nasional yang diperoleh PKB pada Pemilu 1999 dan 2004. Di kedua provinsi inilah pesantren-pesantren besar dan berpengaruh yang dikelola para kiai khos itu berada, seperti Pesantren Langitan dan Pesantren Lirboyo. Ketiga, konflik PKB tahap kedua ini melahirkan partai politik bara yang bernama Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Struktur dan komposisi pengurus PKNU ini mirip dengan hasil muktamar PKB kubu Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf di Surabaya. PKNU dideklarasikan sebagai partainya para kiai dalam arti merekalah yang menentukan perjalanan PKNU. Kelahiran PKNU ini berbeda dengan partai politik bentukan Matori Abdul Djalil, yakni PEKADE yang cepat menghilang lantaran ketiadaan dukungan dari para kiai khos. Keempat, walaupun tidak terkait langsung dengan konflik internal PKB, sikap NU dalam menghadapi masalah ini menunjukkan PKB kini tidak bisa lagi mengklaim sebagai satu-satunya partai politik yang menampung dan memper juangkan kepentingan kalangan nahdliyin. Sikap NU ini sesuai dengan hasil Muktamar NU ke-27 pada tahun 1984 di Situbondo yang menyatakan NU kembali ke Khittah 1926 dan sering dipergunakan adalah khos (dengan menggunakan huruf “o”). Kiai khos adalah sebutan bagi kiai di kalangan NU yang memiliki syarat tertentu. Syarat tersebut adalah mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran moral yang dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi. Lihat D.H.B. Wicaksono, “K.H. Abdullah Faqih: Sosok Kiai Waskita yang Disegani Gus Dur”, www.hidayatullah.com, diakses pada tanggal 9 Mei 2005.
32 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 29^10
kemudian dipertegas lagi dalam Muktamar ke-31 tahun 2004 di Boyolali, Jawa Tengah di mana secara resmi NU mengambil sikap dan jarak yang sama dengan partai-partai politik yang ada. Artinya, PKB kini bukan lagi sebuah partai politik satu-satunya tempat aspirasi kalangan nahdliyin diperjuangkan. Dalam kasus konflik internal PKB, NU mengambil sikap netral dan juga berada dalam posisi tidak terlibat. Berbeda dengan konflik tahap pertama, NU cenderung mendukung sikap Abdurrahman Wahid.
Anatomi Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa Konflik tahap kedua ini dipicu oleh penonaktifan Alwi Shihab-Saifullah Yusuf dari jabatan ketua umum dan sekretaris jenderal Dewan Tanfidz DPP PKB periode 2002-2005. Alwi Shihab diberhen tikan karena dinilai melanggar keputusan partai yang menjadi alasan kuat secara organisatoris. Alasan yang kuat secara organisatoris itu adalah perangkapan jabatan di mana dia menerima tawaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk duduk dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Sebelum Syaifullah Yusuf dinonaktifkan dari PKB dengan alasan formal yang mirip dengan Alwi Shihab itu, dia direposisi dari jabatannya selaku sekretaris jenderal Dewan Tanfidz DPP PKB. Ada beberapa kasus sebelum reposisi itu diputuskan yang membuatnya berkonflik dengan Abdurrahman Wahid. Kasus tersebut antara lain hasrat Syaifullah Yusuf untuk maju sebagai ketua umum PKB pada saat Muktamar Luar Biasa PKB di Yogyakarta. Saat itu Abdurrahman Wahid menyatakan ketidaksetujuannya karena dia baru saja keluar dari PDI Perjuangan sehingga tidak tepat untuk menduduki jabatan sekretaris jenderal, apalagi ketua umum DPP PKB. Syaiful lah Yusuf menolak ishlah dalam kerangka hasil keputusan Muktamar Luar Biasa PKB di Yogyakarta sehubungan dengan konflik dengan Matori Abdul Djalil. Syaifullah Yusuf menolak rencana pendirian Partai Kebangkitan Nasional (PKN) yang merupakan amanat Muktamar Luar Biasa PKB di Yogyakarta jika PKB Kuningan tidak bisa ikut pemilu karena kalah di pengadilan melawan Matori Abdul Djalil (PKB Batutulis). Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I PKB yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 28-29
Mei 2003 memutuskanAbdurrahman Wahid sebagai satu-satunya calon presiden dari PKB. Namun, Syaifullah Yusuf justru mendukung calon lain, satu di antaranya adalah Ketua Umum PBNU K.H. Hasyim Muzadi. Sekalipun Tim Tiga9yang bertugas membuat klarifikasi atas diri Syaifullah Yusuf menyimpul kan kesalahannya ringan dan bukan kesalahan fatal yang merusak organisasi, namun Abdurrah man Wahid yang memimpin rapat Dewan Syuro tanggal 21 September 2004 tetap meminta untuk diambil keputusan. Hasil pengambilan keputusan dengan menggunakan mekanisme voting adalah dari 16 anggota Dewan Syuro 9 orang setuju Syaifullah Yusuf digeser, sedangkan 7 lainnya memilih peringatan keras. Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf menolak keputusan itu dengan alasan tidak sesuai dengan AD/ART dan per aturan partai, yang intinya mereka dipilih melalui forum muktamar dan seharusnya menyampaikan pertanggungjawaban dan diberhentikan di forum muktamar pula. Keputusan menonaktifkan Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf itu dapat dikatakan sebagai penyebab langsung dari kemunculan konflik internal PKB karena dua hal berikut. Pertama, dalam perselisihan mereka dengan kubu Abdur rahm an W ahid-M uhaim in Iskandar, tema penonaktifan itu yang dijadikan isu utama perlawanan mereka. Baik ketika melibatkan para kiai khos maupun saat masuk ke dalam lembaga pengadilan, masalah penonaktifan itu yang selalu dijadikan isu utama. Kedua, sikap para kiai khos seperti ditunjukkan melalui hasil rapat dari pelbagai pertemuan mereka yang selalu menempatkan masalah penonaktifan sebagai pangkal persoalan dari konflik internal PKB. Saat yang bersamaan para kiai itu juga menjadikan pengembalian posisi Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf ke posisi semula, yakni ketua umum dan sekretaris jenderal Dewan Tanfidz DPP PKB, sebagai syarat ishlah atau penyelesaian masalah. Dari paparan di atas maka jelas telah terjadi konflik dalam bentuk perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antarkelompok yang setiap kelompok mempunyai, dalam istilah 9Tim Tiga itu terdiri atas K.H. Nur Iskandar Al-Barsany, Mahfud M.D., dan Moh. A.S. Hikam.
Konflik Internal Partai Politik: Studi Kasus Partai Kebangkitan Bangsa | Kamarudin | 33
Ramlan Surbakti, “kepentingan yang berbedabeda”101atau menurut Austin Ranney, “mencoba meraih tujuan yang berbeda dan memuaskan kepentingan yang berlawanan.”11 Kelompok dalam konteks konflik internal PKB tahap kedua ini adalah kubu Abdurrahman Wahid-Muhaimin Iskandar yang berseteru dengan kubu Alwi Shihab- Syaifullah Yusuf yang didukung oleh kiai khos. Sebaliknya, kepentingan yang berbeda adalah mengenai keabsahan penonaktifan Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf, lalu tentang keabsahan pelaksanaan Muktamar II PKB di Semarang. Kajian ini memperkuat pendapat DeliarNoer dan Bahtiar Effendy bahwa konflik yang melanda NU saat berkiprah di lapangan politik, baik dalam hubungannya dengan pihak luar maupun konflik yang terjadi di antara sesama fungsionaris, lebih disebabkan oleh faktor pragmatis yang terkait dengan perebutan posisi atau kursi kekuasaan. K etika m asih bernaung di PPP— yang di dalamnya terdapat unsur NU— terjadi konflik internal berkepanjangan di antara unsur-unsur partai, khususnya antara NU dan Parmusi. Pokokpokok pertikaian itu, menurut analisis Bachtiar Effendy,12 mulai dari isu-isu yang berkaitan dengan komposisi kepemimpinan partai hingga proses pencalonan wakil-wakil partai di par lemen. Sebelumnya, ketika NU di tahun 1952 keluar dari Masyumi lantaran, menurut analisis Deliar Noer,13 faktor kursi menteri agama yang tidak diberikan ke tangan NU. Analisis di atas juga diperkuat oleh kesim pulan Kang Young Soon, yang menurutnya,14 10Lihat Ramlan Surbakti, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Surabaya: Airlangga University Press, 1984). Dalam dinamika kehidupan sosial dan politik tidak terhindarkan bahwa manusia pasti menghadapi konflik serta keija sama. Menurut Duverger, politik mempunyai dua aspek penting, yakni antagonis dan integrasi. Lihat Maurice Duverger, Sosiologi Politik, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), hlm. xxi dan 171. 11Austin Ranney mendefinisikan konflik sebagai “suatu ben tuk pertarungan antaranggota masing-masing yang mencoba meraih tujuan yang berbeda dan memuaskan kepentingan yang berlawanan.” Lihat Austin Ranney, Goveming: An Introduction to Political Science, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1990), hlm. 27. 12 Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998). 13 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Grafiti, 1987), hlm. 80-82. 14Kang Young Soon, “Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan
dengan m enggunakan pandangan M aurice Duverger, konflik internal NU bersumber pada tipe konflik pertama yang berkaitan dengan kepentingan politik, baik dalam NU maupun tingkat nasional, dan tipe konflik kedua yang berkaitan dengan perbedaan pandangan dalam penafsiran. Tipe konflik yang pertama berkenaan dengan masalah praktis yang tidak berhubungan dengan persoalan ideologi. Perbedaan pendapat yang lahir dari kepentingan politik seseorang atau sekelompok orang yang bertikai dapat dimasuk kan dalam kategori ini. Adapun tipe konflik kedua menyangkut perbedaan pandangan mengenai suatu masalah yang berhubungan dengan ke pentingan partai, atau kepentingan organisasi, atau masyarakat yang dianggap diwakili partai. Perbedaan sikap dan pandangan yang berkaitan dengan kebijakan partai atau organisasi tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan kepentingan umum agaknya dapat dikelompok kan dalam kategori ini. Dukungan kiai khos kepada Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf ditunjukkan dengan penolakan para kiai terhadap kebijakan penonaktifan keduanya karena dinilai melanggar AD/ART dan peraturan partai serta mendesak untuk mengembalikan posisi mereka sebagai syarat penyelesaian konflik internal PKB. Mereka mempersilakan keduanya untuk melakukan per lawanan dalam bentuk gugatan ke pengadilan. Mereka juga menolak pelaksanaan Muktamar II PKB di Semarang berikut seluruh produk dari muktamar tersebut dan memerintahkan Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf untuk melaksanakan “muktamar yang benar”. Puncak perlawanan kiai khos adalah ketika mereka memutuskan mendirikan partai politik baru bernama Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dalam pertemuan pada tanggal 21 November 2006 di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dalam konteks ini sikap para kiai itu dipandang sebagai refleksi atas keinginan untuk iqamatulhaqwal ‘adi (menegakkan kebenaran dan keadilan). Hal lain adalah mereka memaknai penonaktifan Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf itu sebagai puncak dari sikap pembangkangan kepada para kiai yang mendirikan PKB. Sikap Nahdlatul Ulama, 1984-1999”, Disertasi, tidak diterbitkan, (Depok: Bidang Studi Ilmu Politik Program Pascasarjana FISIP UI, 2002).
34 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 29-40
kontroversial Abdurrahman Wahid, sebagaimana tercantum dalam buku 9 Alasan M engapa Kiai-kiai Tidak (lagi) Bersama Gus Dur, juga memberikan kontribusi bagi lahirnya sikap untuk tidak lagi mendukung PKB di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid itu. Melihat posisi dan sikap yang diambil oleh kiai khos itu maka dapatlah dikatakan bahwa keberpihakan mereka kepada Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf membuat konflik internal PKB ini semakin berat. Adalah bobot dari posisi kiai khos dalam lanskap kultural NU itulah yang membuat konflik ini lebih berat dan juga berbeda jika dibandingkan konflik tahap pertama, yakni antara Abdurrahman Wahid dan Matori Abdul Djalil. Dalam konflik pertama tersebut, praktis Matori Abdul Djalil tidak memiliki sandaran kultural yang membuatnya tidak memiliki le gitimasi kuat dalam melawan Abdurrahman Wahid. Bahkan Abdurrahman Wahid sendiri malah didukung oleh kiai khos yang tergabung dalam Forum Langitan itu. Dalam kasus konflik internal PKB, baik yang pertama maupun kedua, posisi para kiai kharismatik selalu ada di baris depan sebuah konflik dan sekaligus berposisi sebagai patron. Pergeseran dukungan kiai khos dari semula mendukung Abdurrahman Wahid dalam konflik internal tahap pertama menjadi berlawanan dalam konflik tahap kedua, menunjukkan walaupun memiliki pola hubungan patron-klien namun relasi ini bisa berubah karena hal-hal yang bersifat pragm atis. James Scott m enyebut bahwa faktor penting dalam patron-klien adalah hubungan kekuasaan.15 Bentuk konkret dari perubahan relasi ini adalah adanya perpecahan kelompok karena adanya patron kecil atau klien yang merasa layak menjadi patron atau elite. Dalam dunia politik, menurut Maswadi Rauf, perubahan komposisi itu bisa berupa perubahan aliansi politik dalam bentuk perpecahan antara pemimpin partai dan elite partai. Kasus penonaktifan Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf ini merupakan puncak kekece waan kiai khos atas kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Kasus ini juga memperkuat pandangan 15 James S. Scott sebagaimana dikutip Maswadi Rauf dalam Konsensus dan Konflik: Sebuah Penjajagan Teoritis, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, 2000), hlm. 92.
Mahrus Irsyam bahwa para kiai dan struktur bu daya pesantren yang melingkupinya mempunyai masalah ketika berhadapan dengan dunia politik. Pola hubungan syuriyah (ulama) dan tanfidziyah (pelaksana) dalam tubuh NU yang diangkat dari pola hubungan antara kiai dan santri yang tumbuh sebagai tradisi pesantren; justru setelah terlibat dengan masalah-masalah politik seperti tersebut di atas maka syuriyah dan tanfidzyah pun samasama memainkan peran sebagai politisi. Artinya, batas yang tegas dalam tradisi pesantren, yang membedakan dan sekaligus mengatur hubungan antara kiai dan santri di dunia pesantren menjadi kabur (atau malah hilang sama sekali) ketika dipergunakan di dalam tubuh NU untuk mengatur hubungan antara ulama dan politisi.16* Dalam kasus konflik internal PKB tahap kedua ini sikap Abdurrahman Wahid adalah men dukung Muhaimin Iskandar. Hal itu terlihat pada saat reposisi Saifullah Yusuf yang diputuskan dalam rapat yang dipimpinnya, yang kemudian menunjuk Muhaimin Iskandar sebagai pengganti Saifullah Yusuf. Muhaimin Iskandar yang men jabat sebagai wakil ketua DPR ini juga direstui oleh Abdurrahman Wahid untuk maju dalam pemilihan ketua umum Dewan Tanfidz DPP PKB dalam Muktamar II PKB di Semarang. Restu dari Abdurrahman Wahid ini diperlukan karena berdasarkan ketentuan persyaratan calon ketua umum adalah calon memang dipersyaratkan tidak bermasalah dengan Dewan Syuro yang dalam hal ini adalah Abdurrahman Wahid. Muhaimin Iskandar akhirnya terpilih sebagai ketua umum Dewan Tanfidz DPP PKB, selain Abdurrahman Wahid yang juga terpilih sebagai ketua umum Dewan Syuro DPP PKB Periode 2005-2010. Kubu Abdurrahman Wahid menilai pelaksanaan dan seluruh hasil Muktamar II PKB di Semarang telah sah, legitimate, dan konstitusional. Sebuah penilaian yang ditentang oleh kubu Alwi ShihabSaifullah Yusuf yang didukung oleh kiai khos yang tergabung dalam Forum Langitan. Penonaktifan itu juga menunjukkan kuatnya faktor Abdurrahman Wahid dalam tubuh PKB karena ditopang oleh setidaknya dua hal. Per tama, legitimasi kultural yang dia peroleh dari komunitas nahdliyin sebagai akibat dari garis 16Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik: Upaya Mengatasi Kritis, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), hlm. 8.
Konflik Internal Partai Politik: Studi Kasus Partai Kebangkitan Bangsa | Kamarudin | 35
keturunan yang bermuara kepada pendiri NU. Dalam konteks budaya patemalistik yang kuat di kalangan nahdliyin, dengan garis keluarga yang dimiliki Abdurrahman Wahid ini praktis menempatkannya dalam posisi strategis. Kedua, legitimasi struktural yang ditunjukkan dengan posisi Abdurrahman Wahid selaku ketua Dewan Syuro DPP PKB. Lembaga ini sangat menentukan di mana setiap keputusan strategis partai harus dikonsultasikan dengan Dewan Syuro. Kedua kondisi itu mempercepat Abdurrah man Wahid untuk masuk ke dalam apa yang disebut oleh Robert Michels sebagai “hukum besi oligarki” yang menggambarkan suatu ironi dari demokrasi, yakni bahwa organisasi demokratis semodern apa pun tidak dapat sepenuhnya menolak kecenderungan yang sesungguhnya merupakan bentuk lain dari sikap yang tidak demokratis. Ciri terpenting dari kecenderungan oligarkis yang melanda partai politik adalah diperlihatkannya sikap antikritikpara pemimpin nya.17 Kiprah kontroversial Abdurrahman Wahid yang menuai konflik dengan pelbagai pihak selama ini memunculkan dugaan tentang sifatsifat pribadi dan karakteristik kejiwaan dalam dirinya sebagai penyebab kemunculan konflik. Maurice Duverger, misalnya, menunjuk sifatsifat pribadi dan karakteristik kejiwaan yang dimiliki individu sebagai penyebab konflik. Teori Duverger tentang penyebab konflik menunjukkan bahwa konflik kelompok dapat pula ditimbulkan oleh bakat-bakat individual selain tentu saja merupakan penyebab terjadinya konflik pribadi. Tidaklah mengherankan apabila individu yang mempunyai kecenderungan berkompetisi atau selalu tidak puas terhadap pekeijaan orang lain selalu terlibat konflik dengan orang lain di mana pun ia berada. Masalah akan terjadi apabila bakat-bakat individual seperti itu menimbulkan konflik kelom pok sehingga m enim bulkan dampak yang jauh lebih besar dibandingkan konflik pribadi. Lebih berbahaya lagi jika kondisi tersebut terdapat pada pemimpin sebuah partai politik, yang akan selalu menyeret kelompoknya ke dalam konflik dengan kelompok-kelompok 17 Lebih jauh lihat Robert Michels, Partai Politik: Kecende rungan Oligarkhis dalam Birokrasi, (Jakarta: Rajawali Press, 1984).
lain.18 Kasus konflik internal PKB tahap kedua ini, sekali lagi, menunjukkan dugaan tentang sifat-sifat pribadi dan karakteristik kejiwaan dalam diri Abdurrahman Wahid sebagai penye bab kemunculan konflik. Konflik internal PKB itu juga menunjuk kan Abdurrahman Wahid mengalami “proses dekarismatisasi” yang ditandai dengan kiai khos yang menjadi salah satu rujukan utama warga NU dalam berpolitik memosisikan Abdurrahman Wahid sebagai lawan politik mereka. Padahal pada konflik internal PKB yang pertama, Abdur rahman Wahid memperoleh dukungan riil dari kiai khos. Sebelumnya dukungan yang sama untuk perebutan kursi presiden juga ia peroleh pada saat pelaksanaan Sidang Umum MPR tahun 1999 dan juga ketika MPR menjatuhkannya dalam Sidang Istimewa tahun 2001. Dalam Muktamar NU ke-31 di Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah tanggal 28 November-2 Desember 2004, Abdurrahman Wahid juga dikalahkan oleh K.H. Hasyim Muzadi secara mutlak. Beberapa kasus di atas memperkuat studi Mohammad Ihyak yang dengan menggunakan perspektif sosiologi memberikan gambaran proses terjadinya dekarismatisasi Abdurrahman Wahid. Dia membaginya ke dalam lima fase. Pertama, terhitung sejak berubahnya strategi perjuangan dan pengabdian Abdurrahm an Wahid dari yang bersifat kultural ke politik praktis. Kedua, internalisasi nilai-nilai politik menjadi tujuan kekuasaan. Ketiga, mengerasnya respons dan kritik masyarakat terhadap pemerin tahan pimpinan Abdurrahman Wahid. Keempat, mengkristalnya perlawanan berbagai komponen masyarakat terhadap kekuasaan Abdurrahman Wahid. Kelima, langgengnya Abdurrahman Wahid di dunia politik praktis.19 Dari konflik internal PKB, tahap kedua ini melahirkan PKNU yang disokong oleh para kiai khos yang tergabung dalam Forum Langitan, pindahnya Syaifullah Yusuf ke PPP, kubu Alwi Shihab yang sedang menanti hasil peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) se 18Maurice Duverger, sebagaimana dikutip Maswadi Rauf, op. cit., hlm. 174. 19 Mohammad Ihyak, "Dekarismatisasi Gus Dur: Studi ten tang Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid dalam Politik Praktis”, (Tesis pada Program Pascasarjana Sosiologi FISIP UI, 2004).
36 | Jumal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 29^40
bagai upaya hukum paling akhir, dan keberadaan PKB pim pinan A bdurrahm an W ahid dan Muhaimin Iskandar itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa pembentukan PKNU dan pindahnya Syaifullah Yusuf ke PPP adalah klimaks konflik internal PKB setelah melalui proses panjang yang melelahkan.
Upaya Penyelesaian Konflik Ada tiga upaya penyelesaian konflik yang dilaku kan, yaitu secara organisasi, hukum, dan politik, namun pada akhirnya semuanya gagal untuk mempertahankan keutuhan PKB. Penyelesaian secara formal organisasi, yakni dengan meng gunakan instrumen yang diatur dalam ketentuan internal partai seperti AD/ART dan peraturan partai. Dalam AD/ART PKB tidak ada pasal yang mengatur secara spesifik mengenai penyelesaian konflik internal. Hal itu tampak dari saling klaim sebagai pihak yang benar dari para pihak yang berkonflik dengan menggunakan landasan AD/ ART dan peraturan partai. Hasilnya, seluruh aturan main tersebut tidak mampu menyelesaikan sengketa. Akhirnya cara terakhir dalam bingkai organisasi yang diharapkan untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan penyelenggaraan muktamar. Persoalannya adalah terjadi polemik di antara dua kubu yang saling bertikai terkait dengan keabsahan dari pelaksanaan muktamar itu sendiri. Masalah lainnya adalah soal keabsahan forum yang memutuskan penonaktifan Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf dari posisi ketua umum dan sekretaris jenderal DPP PKB periode 2002-2005. Forum muktamar di Semarang yang diharap kan mampu menjadi ajang rekonsiliasi sekaligus mengakhiri konflik para pihak yang bertikai malah semakin memperberat bobot konflik itu sendiri. Setelah upaya organisasi dengan meng gelar muktamar dilaksanakan dan tidak mampu membuahkan hasil, para pihak yang bertikai melanjutkan perseteruan mereka ke lembaga pengadilan. Penyelesaian secara yuridis, yakni dengan menyerahkan pada lembaga pengadilan ini diambil lantaran mekanisme internal organi sasi tidak mampu menyelesaikan konflik internal PKB. Alih-alih berakhir praktis pasca-Muktamar Semarang, konflik internal PKB justru semakin berat. Tidak hanya isu pencopotan terhadap
Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf yang terus dipersoalkan, tetapi juga menyeret Abdurrahman Wahid dan kiai khos yang tergabung dalam Forum Langitan ke dalam pusaran konflik yang nyaris tiada henti. Upaya lain dalam menyelesaikan konflik internal PKB adalah dengan menggunakan jalur politik. Kedua belah pihak mengambil langkahlangkah di luar instrumen organisasi dan di luar jalur hukum untuk mengukuhkan eksistensi masing-masing. Dalam konteks penyelesaian konflik internal PKB secara politik ini ada dua langkah yang ditempuh, yaitu kedua belah pihak berusaha untuk mendapatkan legitimasi dari pemerintah. Setelah upaya organisasi dan hukum gagal, salah satu kubu keluar dari PKB dan membentuk partai politik baru. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa kega galan seluruh upaya penyelesaian konflik di atas disebabkan oleh empat faktor berikut. Pertama, AD/ART PKB yang memberi kewenangan terlampau besar kepada Dewan Syuro yang dipimpin Abdurrahman Wahid. Kewenangan Dewan Syuro yang terlampau besar itu terlihat dalam ketentuan Anggaran Dasar (AD) PKB hasil Muktamar Luar Biasa Yogyakarta pada Bab IX Susunan Pengurus Partai Pasal 16 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Dewan Syuro adalah Pimpinan Tertinggi Partai yang menjadi rujukan utama kebijakan-kebijakan umum Partai.” Ke wenangan yang besar ini membuat Dewan Syuro dapat mengambil beberapa kebijakan strategis. Kedua, sejak awal kemunculan konflik tiaptiap pihak sudah bersikukuh dengan sikapnya dan sangat yakin bahwa kubunya-lah yang benar. Kubu Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf bertolak dari pandangan bahwa penonaktifan itu tidak sah lantaran mereka dipilih lewat forum muktamar. Karena dipilih dalam forum muktamar maka mereka berpandangan bahwa harus ada pertanggungjawaban dalam forum muktamar dan pemberhentian juga harus dilakukan melalui forum muktamar. Sebaliknya, kubu Abdur rahman Wahid dan Muhaimin Iskandar juga menggunakan argumentasi formal prosedural untuk membenarkan langkah mereka termasuk dalam menyelenggarakan Muktamar II PKB di Semarang.
Konflik Internal Partai Politik: Studi Kasus Partai Kebangkitan Bangsa | Kamarudin | 37
Ketiga, jalur hukum sebagai cara untuk mendapatkan kepastian perihal siapakah yang benar dalam kasus konflik internal PKB ini justru menghasilkan keputusan yang tidak jelas. Kepu tusan Mahkmah Agung Nomor 1896 K/P.dt./2005 tertanggal 15 November 2005 atas Perkara Kasasi Perdata antara Alwi Abdurrachman Shihab (Alwi Shihab) melawan K.H. Abdurrahman Wahid dkk., yang mestinya menjadi lembaga pemberi kepas tian hukum terakhir malah dinilai mengambang dan juga memunculkan klaim saling menang di antara kedua kubu yang berseteru. Keputusan MA itu membuat posisi pemerintah menjadi sulit dan pada akhirnya tidak mampu mengambil sikap yang tegas pula. Ketidaktegasan tersebut terlihat dengan diterimanya kepengurusan DPP PKB hasil Muktamar Semarang (kubu Abdurrahman Wahid dan Muhaimin Iskandar) dan Muktamar Surabaya (kubu Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf). Keempat, memang ada upaya penyelesaian konflik internal PKB di luar jalur organisasi, hukum, dan politik, seperti seruan ishlah atau perdamaian dari pelbagai pihak. Penyelesaian cara NU, yakni dengan usaha mempertemukan patron dari masing-masing kubu, yakni K.H. Abdullah Faqih dan Abdurrahman Wahid juga sempat diupayakan. Namun, tiga kali upaya pertemuan tersebut dilakukan dan gagal. Bagi kubu Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf, cara kultural itu tidak akan menyelesaikan persoalan karena kasus konflik ini berada di wilayah politik yang penyelesaiannya harus tunduk kepada hukum yang berlaku. Perdamaian yang dilakukan atas fasilitas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga pemah diupayakan, namun juga berujung pada kegagalan. Kiai khos yang tergabung dalam Forum Langitan memang pemah menawarkan ishlah dengan syarat kubu Muhaimin Iskandar mengakui apa yang m ereka klaim sebagai kekalahan hukum menyusul putusan MA dan tunduk pada kemauan pihak Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf. Sebuah syarat yang tentu tidak bakal disetujui oleh Muhaimin Iskandar dan juga Abdurrahman Wahid yang belakangan mengampanyekan forum kiai kampung sebagai tandingan terhadap kiai khos.
Penutup Dalam kasus konflik internal PKB ini konsensus itu tidak terbentuk, yakni kedua belah pihak tidak berhasil mencapai titik temu. Implikasi teoretis dari kajian konflik internal PKB tahap kedua ini adalah pertama, konflik internal yang melanda PKB dipicu oleh masalah yang bersifat pragmatis, yakni terkait dengan posisi atau jabatan di dalam partai. Faktor pemicu yang bersifat pragmatis itu tidak hanya berlaku ketika kalangan nahdliyin bergabung dengan komponen bangsa yang lain nya, seperti ditunjukkan oleh studi Deliar Noer (kasus NU keluar dari Masyumi)20 dan Bahtiar Effendy (kasus NU keluar dari PPP)21, namun studi ini menunjukkan bahwa faktor pragmatis itu juga berlaku saat konflik terjadi di antara sesama fungsionaris partai. Studi Kang Young Soon yang menyimpulkan bahwa konflik merupakan salah satu tradisi NU nampaknya perlu ditambah de ngan penjelasan konflik yang dipicu oleh masalah pragmatisme kekuasaan, yang merupakan salah satu tradisi NU. K edua, terjadi pergeseran nilai dalam hubungan kiai-santri dalam tradisi pesantren yang menganut pola hubungan patron-klien ketika kalangan nahdliyin berkiprah di wilayah politik. Kasus konflik internal PKB ini menunjuk kan bahwa sikap saling percaya yang menjadi unsur pembentuk budaya pesantren bisa dengan cepat berubah lantaran masalah pragmatisme kekuasaan. Perubahan itu terlihat dengan posisi dan sikap yang diambil kiai khos yang tergabung dalam Forum Langitan yang semula menjadi pendukung Abdurrahman Wahid kini berbalik menjadi saling berhadapan. Alwi Shihab yang dulu didukung Abdurrahm an Wahid untuk menjadi ketua umum Dewan Tanfidz DPP PKB pada muktamar luar biasa PKB di Yogyakarta juga kini berbalik menjadi saling berhadapan. Ketiga, Abdurrahman Wahid bukan lagi satu-satunya determinant factor di tubuh PKB, atau setidaknya kini dia mengalami proses dekarismatisasi. Bahwa benar konflik ini tercipta lantaran posisi kultural dan struktural Abdur rahman Wahid yang kuat, namun kasus konflik internal PKB ini juga menunjukkan aktor penting di tubuh PKB kini sudah menyebar, yakni selain 20Lebih lanjut lihat Deliar Noer, op cit. 21 Lebih lanjut lihat Bahtiar Effendy, op cit.
38 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 j 29—40
Abdurrahman Wahid sendiri juga ada kiai khos yang tergabung dalam Forum Langitan dengan tokoh utamanya K.H. Abdullah Faqih. Ketidakmampuan elite PKB dalam menyele saikan konflik internal tidak hanya pada periode 2004-2007 itu, namun juga hingga menjelang pelaksanaan Pemilu 2014. PKB tetap terbelah menjadi dua kubu, yakni antara kubu Muhaimin Iskandar dan kubu Yeni Wahid dengan partainya, Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB), gagal menjadi peserta Pemilu 2014.
Daftar Pustaka Buku Julial. Suryakusuma. \999. Almanak Parpol Indone sia. Jakarta: Yayasan API. Duverger, Maurice. 1985. Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali Press. Effendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transfor masi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Penerbit Paramadina. Ihyak, Mohammad. 2004. “Dekarismatisasi Gus Dur: Studi tentang K epem im pinan K.H. Abdurrahman Wahid dalam Politik Praktis”. Tesis Magister. Depok: Program Pascasarjana Sosiologi FISIP UI. Irsyam, Mahrus. 1984. Ulama dan Partai Politik: Upaya Mengatasi Kritis. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan. Kahin, George McTuman. 1980. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
Michels, Robert. 1984. Partai Politik: Kecenderung an Oligarkhis dalam Birokrasi. Jakarta: Raja wali Press. Muhammad, Munib Huda (Ed.). 1998. Pro Kontra Partai Kebangkitan Bangsa. Jakarta: Penerbit Fatma Press. Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: Grafiti. Ranney, Austin. 1990. Governing: An Introduction to Political Science. New Jersey: PrenticeHall, Inc. Rauf, Maswadi. 2000. Konsensus dan Konflik: Se buah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pen didikan Nasional. Salim H.S., Hairus e t al. 1999. Tujuh Mesin Pendu lang Suara. Yogyakarta: LKiS dan CH-PPS Gamiran. Salim, Arskal. 1999. Partai Islam dan Relasi AgamaNegara. Jakarta: Pusat Penelitian IAIN Jakarta. Soon, Kang Young. 2002. “Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama, 1984-1999”. Disertasi. Depok: Bidang Studi Ilmu Politik Program Pascasaijana FISIP UI. Surbakti, Ramlan, 1984. Dasar-dasar Ilmu Politik. Surabaya: Airlangga University Press. Surat K abar dan W ebsite Wahid, Sholahuddin. 1998. “Di Balik Berdirinya Partai-Partai di Kalangan NU”, Republika, 3 Oktober. Wicaksono, DHB. 2005 “KH Abdullah Faqih: Sosok Kiai Waskita yang Disegani Gus Dur”, [online\ dalam www.hidayatullah.com [diakses 9 Mei 2005].
Konflik Internal Partai Politik: Studi Kasus Partai Kebangkitan Bangsa | Kamarudin | 39
POLITIK UANG DAN DINAMIKA ELEKTORAL DI INDONESIA: SEBUAH KAJIAN AWAL INTERAKSI ANTARA “ PARTY-ID ” DAN PATRON-KLIEN M ONEY POLITICS AND ELECTORAL DYNAMICS IN INDONESIA: A PRELIMINARYSTUDY OF THE INTERACTION BETWEEN “PARTY-ID” AND PATRON-CLIENT Burhanuddin Muhtadi Dosen Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah dan Pascasarjana Universitas Paramadina, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 7 Februari 2013; direvisi: 12 Maret 2013; disetujui: 16 Juni 2013 Abstract Along with the rise o f democratic regimes in the third world, vote buying—the exchange o f material benefits fo r votes—has become a key component o f electoral mobilization in many young democracies. Is that true that the patronage and clientelism are the only determinant factor fo r explaining the widespread o f vote buying activities in the less developed countries? Scholarly literature on clientelism can be divided into three categories. Thefirst is a determinist view o f clientelism that is congruent with modernization theory ’s argument. The second camp is the essentialist argument. Clientelism is viewed as a product o f social and cultural proclivity. The third academic tradition on clientelism is the institutionalist camp. This intellectual strand emphasizes political and institutional designs implicating to the widespread o f clientelism such as competitive elections and multiparty system, electoral rules, and decentralization. Students ofpolitical science gave added weight to the prevalence o f vote buying in relation to clientelism and patronage, but little attention has been giveh to the relationship o f vote buying and party identiflcation. Referring to empirical data gathered from Indonesian case, this article shows that the decreasing trend o f party identiflcation among Indonesian voters has signiftcantly contributed fo r the widespread o f vote buying activities. The public s tolerance towards such election-related bribery can be reduced by the increase o f party identiflcation. Voters who identify themselves with any political parties tend to reject vote buying practices. In contrast, those who are not afflliated with any political parties are more likely to accept vote buying. The general decline in party identiflcation in Indonesia is largely caused by politicalparties ’poorperformance. Parties are in crisis because they fa il to perform the functions considered essential to political parties in a demo cratic polity. Surveys consistently reveal that compared to other democratic institutions, trust in political parties is the lowest. Ifthis trend continues to rise, voters tend to be less attached to their political party and political cost will be much more expensive because they will utilize transactional relationship with political parties. It is clear that vote-buying has and continues to be pervasive in Indonesia today d u e to th e b ig fa ilu r e o f political p a rtie s to increase their credibility among voters. Keywords: vote buying, money politics, party identiflcation, clientelism, electoral dynamics, Indonesia
Abstrak
Seiring dengan penyebaran rezim demokrasi di negara-negara berkembang, politik uang ternyata menjadi elemen kunci mobilisasi elektoral di banyak demokrasi gelombang ketiga. Benarkah patron-klien menjadi satusatunya faktor determinan maraknya politik uang? Literatur kesarjanaan mengenai klientelisme dapat dibagi menjadi tiga aliran: Pertama, aliran determinis yang paralel dengan teori modernisasi. Kubu kedua adalah argumen kebu
Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 41
dayaan. Tradisi ketiga adalah pendekatan institusionalis yang menekankan desain institusi politik ikut menyumbang maraknya praktik patron-klien. Banyak ahli yang terlalu banyak memberikan perhatian relasi antara politik uang dan patron-klien, tetapi sedikit sekali yang mengkaji dari sudut pandang identitas kepartaian (party-ID). Tulisan ini menyatakan bahwa rendahnya party-ID juga berkontribusi bagi semakin maraknya politik uang di tingkat massa. Semakin rendah party-ID seseorang semakin besar kemungkinan dia menerima praktik politik uang. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat party-ID pemilih maka semakin kecil sikap penerimaannya terhadap praktik politik uang. Tren party-ID di Indonesia terus menurun dan penurunan ini disumbang oleh buruknya kinerja partai di mata pemilih. Iklim ketidakpercayaan publik terhadap partai terus meningkat seiring dengan terbukanya kasus-kasus korupsi yang melibatkan elite partai. Jika partai politik tak berbenah maka pemilih makin menjauhi partai dan biaya politik makin mahal karena pemilih cenderung memakai pendekatan transaksional dengan partai. Jadi, fenomena politik uang yang semakin merajalela di tingkat massa dipicu oleh kegagalan partai politik itu sendiri dalam me ningkatkan kinerjanya di mata pemilih. Kata kunci: jual beli suara, politik uang, identifikasi partai, klientelisme, dinamika elektoral, Indonesia
Pendahuluan Seiring dengan penyebaran rezim demokrasi di negara-negara berkembang, money politics atau politik uang ternyata menjadi elemen kunci mobilisasi elektoral di banyak demokrasi gelombang ketiga. Studi Andrews dan Inman tentang perilaku pemilih di tujuh negara Afrika yang paling demokratis menurut Freedom House, misalnya, menemukan fakta adanya jual beli suara.1Dengan menggunakan data survei Afrobarometer Tahap 3 tahun 2005, mereka menemukan Ghana adalah negara paling rentan mengalami praktik politik uang atau jual beli suara dengan kisaran 42% warganya yang mengaku ditawari uang atau hadiah sewaktu pemilu.2 Demikian juga temuan survei Latin Ameri can Public Opinion Project (LAPOP) dalam Americas Barometer tahun 2010 yang menemu kan variasi menarik perilaku pemilih di Amerika Latin dan wilayah Karibia.3Di antara 22 negara yang disurvei, Republik Dominika menempati peringkat pertama negara paling rentan yang mengidap praktik jual beli suara dengan 22% responden mengaku ditawari uang atau barang 1 Josephine T. Andrews dan Kris Inman, “Explaining Vote Choice in Africa’s Emerging Democracies”, makalah dipre sentasikan dalam Midwest Political Science Association, 2009, hlm. 3. 2 Setelah Ghana adalah Mali dengan 41% responden yang didekati agar menerima uang sewaktu pemilu, lalu Namibia (40%), Afrika Selatan (38%), Benin (34%), dan Senegal (34%). Pada titik ekstrem yang lain, Botswana adalah negara Afrika yang paling sedikit terimbas masalah jual beli suara dengan hanya (13%) saja warganya yang mengaku ditawari uang sewaktu pemilu. 3 Brian M. Faughnan dan Elizabeth J. Zechmeister, “Vote Buying in the Americas”, Americas Barometer Insights, 2011, hlm. 1.
sewaktu pemilu. Lalu disusul Argentina 18% dan Panama 17,8%.4 Demikian pula para politisi di negara-negara Asia yang sering menargetkan warga miskin sebagai sasaran politik uang. Di Filipina, misal nya, diperkirakan tiga juta warganya ditawari uang atau barang dalam pemilu barartgay (tingkat komunitas) pada tahun 2002.5Di Thailand, 30% responden yang berasal dari kepala keluarga mengaku ditawari politisi atau tim suksesnya uang atau hadiah. Di kota terbesar ketiga di Taiwan, Taichung, 27% responden mengaku menerima uang pada waktu kampanye Pemilu 1999.6 Meskipun wacana politik uang sudah lama menarik perhatian para sarjana, data empirik tentang topik ini masih terbatas baik secara kuantitas maupun kualitas. Variasi temuan juga berkaitan dengan pendekatan metodologi, sekup analisis, dan tujuan studi. Misalnya dalam studi kuantitatif mengenai politik uang, temuan survei harus dibaca secara hati-hati karena ada bias social desirability yang mungkin terjadi saat pe ngumpulan data. Tak heran kadang survei massa hanya menemukan persentase kecil mereka yang mengaku menerima uang sewaktu pemilihan.7 4 Proyek besar ini melibatkan 37.642 responden yang terpilih secara random untuk merepresentasikan seluruh populasi pe milih di 22 negara Amerika Latin. 5 “Social Weather Stations: National Survey”, Quezon City, Philippines, 2002. 6 Kuen-Shan Cheng et al., “Analysis o f the Causes o f Vote Buying, and the Study o f How to Prevent It”, seperti dikutip Frederic Charles Schaffer, “Vote Buying in East Asia”, dalam Global CorruptionRep 2004, Transparency International. 7Contoh terbaik mengenai ini adalah survei Transparency In ternational tahun 2005 yang menemukan hanya 7% responden,
42 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 41-58
Sebaliknya, para ahli yang menggunakan studi kualitatif dengan teknik etnografi justru pada umumnya menyimpulkan praktik politik uang atau jual beli suara telah menggurita di banyak negara berkembang.8 Meskipun demikian, survei mutakhir yang menggunakan pertanyaan yang standar untuk mengukur praktik politik uang atau jual beli suara berhasil memotret hingga angka puluhan persen seperti di banyak negara Afrika, Amerika Latin, dan Asia Tenggara. Pertanyaannya, mengapa negara berkembang rentan praktik jual beli suara? Benarkah patron-klien menjadi satu-satunya faktor determinan? Bagaimana kita menjelaskan kaitan patron-klien dan politik elektoral?
State o f the Field: Patronase dan Klientelisme Banyak ahli ilmu politik yang percaya bahwa patron-klien adalah penyebab merebaknya prak tik moneypolitics di negara-negara berkembang. Literatur kesarjanaan dalam studi klientelisme dapat dibagi menjadi tiga aliran. Pertama, aliran determinis yang paralel dengan teori modernisasi. Menurut kubu ini, klientelisme digambarkan sebagai w arisan zam an pram odern dalam relasi sosial-politik.9Patron-klien dinilai sebagai bagian intrinsik Dunia Ketiga yang relatif masih miskin dengan tingkat buta huruf yang tinggi. Mereka “tidak modern” menurut M artin S. Lipset.10*Padahal, demokrasi hanya mungkin bisa diterapkan dalam masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan yang memadai. Fokus kubu intelektual ini adalah konsep tualisasi dan studi kasus. Asumsi teoretik yang dibangun adalah patron-klien dapat diatasi jika negara itu sudah modem, baik ekonomi maupun di Brazil yang menerima uang atau hadiah waktu pemilu 2001. Padahal banyak studi kualitatif yang mengklaim bahwa jual beli suara adalah elemen kunci politik kontemporer di Brazil. Lebih jauh baca Frances Hagopian, Traditional Politics and Regime Change in Brazil, (New York: Cambrige University Press, 1996). 8Misalnya baca, Javier Auyero, “The Logic o f Clientelism in Argentina: An Ethnographic Account,” Latin American Studies Association, Vol. 35, No. 3, 2000, hlm. 55-81. 9 Misalnya baca Emest Gellner & J. Waterbury, Patrons and Clients in Mediterranian Societies, (London: Duckworth, 1977). 10 Lebih jauh baca Martin Seymour Lipset, ”Some Social Requisites of Democracy: Economic Development and Politi cal Legitimacy," American Political Science Review, (53 (1), 1959), hlm. 69-105.
politik.11 Tak heran jika praktik jual beli suara menjadi endemik karena jaringan patron-klien berjasa menyuburkan dan memelihara politik uang demi keberlangsungan status quo mereka. Meski terlihat masuk akal, kubu modernisasi ini gagal menjelaskan mengapa masih ada jaringan klientelistik di negara yang relatif sudah makmur dengan tingkat pendidikan yang memadai, seperti Jepang, Belgia, Austria, Korea Selatan, Italia, dan Prancis.12 Berdasarkan studi-studi ini, patron-klien tak hanya ditemukan di negara berkembang, tetapi juga di negara-negara yang sudah maju. Menurut Lande: What have been calledpatron-client relationships and horizontally dyadic alliances have been observed in a wide variety o f national and institutional settings where they have taken many different forms. They have been fo u n d in early chiefdoms, in ancient city-states and empires, infeudal systems, in Western and Third World democracies, in military dictatorships, and in modern socialist States. They have been observed in operation at various levels o f societies: among the poorest o f the poor, among the rural and urban middle classes, and at the very center o f the struggle fo r pow er between members ofruling elites.13
Sistem patron-klien barangkali akan lebih mudah ditemukan dan kuat resonansinya di negara berkembang, namun seperti dikatakan Lande di atas, patron-klien ada di semua lapisan masyarakat, modem atau tidak modem, demokra tis atau otoriter, dan sebagainya. Klientelisme sukses bertahan sejak masa kuno hingga modem melalui kode-kode informal, nilai-nilai, dan norma yang secara sosial terus dijaga. 11Allen fficken, “Clientelism”, Annual Review Political Science, 2001, www.annualreviews.org. 12 E. Scheiner, “Clientelism in Japan: The Importance and Limits o f Institutional Explanations”, dalam Herbert Kitschelt dan Steven Wilkinson (Eds.), Patrons, Clients, and Policies: Patterns o f Democratic Accountability and Political Competition, (Cambridge, UK: Cambridge Univ. Press, 2007), hlm. 276-297; Herbert Kitschelt, “The Demise o f Clientelism in Affluent Capitalist Democracies”, dalam Herbert Kitschelt & Steven Wilkinson (Eds.), ibid., hlm. 298-321; Joongi Kim, “Clientelism and Corruption in South Korea”, dalam Stephen Kotkin dan Andras Sajo (Eds.), Political Corruption in Transition: A Skeptic ’s Handbook, (Budapest and New York: Central European University Press, 2002), hlm. 167-185; Carolyn Warner, “Mass Parties and Clientelism in France and Italy”, dalam Simona Piattoni, Clientelism. Interests and Democratic Representation, (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), hlm. 122-151. 13C.H. Lande, “Political Clientelism in Political Studies: Retrospect and Prospect”, International Political Science Review, 4, 4, 1993, hlm.440.
Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 43
Kubu kedua adalah argumen kebudayaan. Patron-klien dinilai sebagai produk sosial-budaya di mana kelompok yang mempunyai keistime waan tertentu {patrons) memberikan uang atau keuntungan sebagai imbalan atas loyalitas pengikutnya (clients).14 Omobowale menulis: Clientelism (patronage) is definitely not a novel social phenom enon. Though it is a non-m aterial aspect o f culture, its ontological reality is accepted, not ju s t because it is said to exist, but because o f the potency o f its inherent exchange relationship, which brings patrons a n d clients together fo r the interchange o f valued resources beyond the direct control o f each actor (i.e. patron and client) within the social structurefr
Berdasarkan pendapat Omobowale di atas, klientelisme dianggap bukan sekadar hubungan sosial, tetapi juga sebuah “political subcultures". Menurut Jaensch, “ When the attitudes o f a particular part ofa population vary considerably in either intensity or content, thatpart can be said to have its own distinctivepolitical subculture. ”16 Studi Zappala yang menggunakan perspektif Jaensch tentang political subculture menggam barkan j ejaring klientelisme di kalangan pemilih imigran Australia dari negara-negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris. Meski mereka sudah berimigrasi ke Australia sangat lama dan hidup dalam suasana demokrasi dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang sangat memadai, perilaku dan budaya politik mereka masih sangat kental nuansa patron-kliennya.17 Akan tetapi, kubu budaya ini potensial jatuh dalam jebakan esensialisme, sebuah tendensi keyakinan bahwa budaya klientelisme itu bersifat unik, tetap, dan tak berubah. Aliran intelektual ini cenderung mengabaikan perkembangan sosial, budaya, dan politik. Studi Papakostas menun jukkan bahwa patron-klien juga dipengaruhi variabel historis yang bersifat temporal seperti 14 L. Taylor, “Clientship and Citizenship in Latin America”, Bulletin o f Latin American Research, Vol. 23, No. 2, 2004, hlm. 213-227. 15Ayokunle Olumuyiwa Omobowale, “Clientelism and Social Structure: AnAnalysis of Patronage inYoruba Social Thought”, Afrika Spectrum, Vol. 43, No. 2,2008, Hamburg: GIGA Institute of African Affairs, hlm. 203. 16D. Jaensch, The Politics o f Australia, (Melboume: Macmillan, 1992), hlm. 22-23. 17Gianni Zappala, “Clientelism, Political Culture and Ethnic Politics in Australia”, Australian Journal o f Political Science, Vol. 33, No. 3, 2010, hlm. 381-397.
kasus Swedia yang mampu mengeliminasi ‘budaya’ patron-klien dalam kontestasi politik dan birokrasi mereka.18Pengalaman Inggris pada tahun 1700-1860 saat reformasi negara melawan patronase dan korupsi juga menjadi contoh klasik bahwa klientelisme bisa dihilangkan, atau setidaknya direduksi. Jika kita percaya bahwa patron-klien membawa implikasi negatif bagi maraknya korupsi, inefisiensi birokrasi dan money politics maka pendekatan budaya sama sekali tidak membantu. Politik uang dan korupsi mustahil dihilangkan karena dianggap bagian integral dari budaya kita sendiri. Tradisi ketiga dalam studi klientelisme adalah pendekatan institusionalis yang menekankan desain institusi politik berjasa menyebarkan praktik patron-klien, misalnya pemilu yang kompetitif dan sistem multipartai ditengarai menjadi penyebab maraknya patronase politik19 dalam sistem pemilu,20desentralisasi,21dan proses pengambilan keputusan, baik di legislatif maupun eksekutif.22 Bagi kubu ini, patron-klien makin menarik bagi politisi di negara yang integrasi sistem politiknya masih buruk, pembelahan etnik yang kuat, dan performa ekonomi yang lemah. Pertanyaan retorik yang muncul, antara lain jika calon presiden, anggota DPR, gubernur atau bu pati dan wali kota dapat membeli suara pemilih, apakah mereka masih mempunyai insentif untuk mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat ketika berada di singgasana kekuasaan? Robert Putnam, melalui studinya tahun 1993, meneliti secara sistematik wilayah di Italia dengan menempatkan kinerja institusi sebagai variabel dependen dan tingkat kewargaan 18Apostolis Papakostas, “Why There is No Clientelism in Scandinavia? A Comparison of the Swedish and Greek Sequences o f Development”, dalam Simona Piattoni (Ed.), Clientelism. Interests and Democratic Representation, (Cambridge: Cam bridge University Press, 2001), hlm. 31-53. 19Philip Keefer, “Democratization and Clientelism: Why are Young Democracies Badly Govemed?”, dalam World Bank Policy Research Paper 3594 (May 2005), hlm. 24-25. Baca Wolfgang Muno, “Conseptualizing and Measuring Clien telism”, dalam Workshop Neopatrimonialism in Various World Regions, (Hamburg: GIGA German Institute of Global and Area Studies, 2010). 20E. Scheiner, loc.cit.. 21Maria Pilar Garcia-Guadilla and Carlos Perez, “Democracy, Decentralization, and Clientelism: New Relationships and Old Practices”, Latin American Perspectives, Vol. 29, No. 5 ,2002, hlm. 90-109. 22Philip Keefer, loc.cit.
44 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 41-58
Ccivilness ) sebagai variabel independen. Putnam kemudian membagi Italia menjadi dua kategori: pertama, clientelistpolities yang diartikan sebagai kepentingan partikularistik sebagian warga yang didahulukan dengan mengorbankan kepentingan kolektif. Italia bagian selatan menjadi eksemplar dari clien telist p o litie s. Kedua, civic p o lities dengan menunjuk Italia bagian utara yang lebih beradab, makmur, dan berpendidikan tinggi. Kinerja institusi sosial politik di Italia utara jauh lebih baik ketimbang saudaranya yang di selatan.23 Meskipun demikian, argumen institusionalis ini rentan terjatuh pada “situasi telur atau ayam”, atau dilema kausalitas di antara patron-klien dan institusi politik yang menjadi penyebab bagi yang lain. Brinkerhoff dan Goldsmith, misalnya, menunjuk patron-klien sebagai sistem informal yang merusak institusi demokrasi, menyuburkan praktik politik uang dan korupsi, menambah inefisiensi birokrasi dan pelayanan publik.24 Padahal, seperti dikatakan O ’Donnell, sistem politik informal harus dipahami karena fokus eksklusif hanya pada sistem atau aturan formal akan mengabaikan perhatian kita kepada informal p o litics yang justru lebih berpengaruh dalam menentukan institusi politik.25 Mengabaikan inform al p o litics seperti patrimonialisme dan patron-klien akan membuat kita kehilangan “rules o f the gam e ” yang seringkah bersifat tak tertulis, tapi berurat akar sejak lama.26 Kelem ahan pendekatan institusionalis yang lain adalah terlalu kritis dan kurang simpatik terhadap patron-klien. Di banyak negara berkembang, politisi bukan berarti tak mampu menawarkan kebijakan programatik, atau mereka dianggap tak paham bagaimana representasi politik demokrasi mampu dioperasionalkan, akan 23Robert D. Putnam, Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy, (Princeton: Princeton University Press, 1993), hlm. 121-162. 24Derick Brinkerhoff dan Arthur Goldsmith, Clientelism, Patrimonialism and Democratic Governance: An OverView and Frameworkfor Assessment andProgramming, (USA1D Office for Democracy and Governance, 2002), http://pdf.usaid.gov/ pdf_docsZPnacr426.pdf. 25 Guillermo O’Donnel, “Another Institutionalization: Latin America and Elsewhere”, Kellog Institute Working Paper, 222, March, 1996 26 Gretchen Helmke dan Steven Levitsky, “Informal Institu tions and Comparative Politics: A Research Agenda”, Kellog InstituteWorking Paper, 307, September, 2003.
tetapi, realitas pemilih dengan tingkat pendidikan dan pendapatan ke bawah cenderung lebih peduli terhadap keuntungan sesaat ketimbang tawaran programatik. Patron-klien, kata Fukuyama, ber beda dengan korupsi.27Ada hubungan resiprokal antara politisi dan pemilih yang disebut sebagai bentuk “akuntabilitas” yang lain di mana politisi harus memberikan sesuatu kepada pemilihnya.
State o f the Field : Politik Uang dan Party-ID Banyak ahli yang terlalu banyak memberikan perhatian relasi antara politik uang dan patronklien, tetapi sedikit sekali yang mengkaji dari sudut pandang identitas kepartaian [party-ID). Di antara yang memberi atensi sedikit pada soal ini adalah Brusco, Nazareno, dan Stokes. Fokus studi mereka sebenarnya tentang efektivitas politik uang di Argentina dalam memobilisasi dukungan dari kalangan kelas menengah ke bawah. Melalui efek generasi, mereka menemukan, “Pendukung Peronis dari kaum papa yang baru memilih pada dekade 1990-an cenderung kurang loyal dan bergantung pada tawaran material. Sebaliknya, kaum Peronis sangat loyal dan tetap memilih partai karena identifikasi mereka yang lebih dalam terhadap tradisi dan ideologi partai.”28 Dalam studi tentang jual beli suara dan resiprokalitas di Paraguay, Finan, dan Schechter juga menyebut sekilas korelasi politik uang de ngan party-ID . Mereka menemukan kedua partai utama di Paraguay (Colorado dan Liberals) ikut terlibat m oneypolitics. Kedua partai menargetkan pendukung mereka sendiri dengan kisaran 31% pemilih yang dekat dengan Colorado dan 23% yang dekat dengan Liberals mengaku diberi uang atau hadiah. Sebaliknya, hanya 13% pemilih yang tidak memiliki kedekatan dengan Colorado atau Liberals yang ditawari hal serupa.29 Pada titik ini literatur dalam studi m oney politics terbagi menjadi dua. Stokes berpendapat 27Francis Fukuyama, “The Two Europes”, 2012, http://blogs. the-american-interest. com/fukuyama/2012/05/08/the-twoeuropes/. 28 Valeria Brusco, et al., “Vote Buying in Argentina”, Latin American Research Review, Vol. 39, No. 2, 2004, hlm. 75. 2,Frederico Finan dan Laura Schehter, “Vote Buying and Reciprocity”, NBER Working Papers 17411, (National Bureau of Economic Research, Inc., 2011), hlm. 7.
Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 45
bahwa partai hanya menargetkan politik uang pada kalangan sw ing voters atau pendukung la wan yang lemah “iman” pilihannya.3031Sementara itu, Nichter berpendapat sebaliknya; partai justru menyasar basis pemilih mereka sendiri untuk meningkatkan partisipasi dalam memilih. Dia menyebutnya sebagai turnout buying.11 Asumsi dasar yang dipakai Stokes adalah pemilih loyal itu basis tradisional. Kalaupun tidak mendapat alokasi dan distribusi material, mereka akan tetap memberikan dukungan kepada partainya apa pun yang terjadi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah adakah hubungan antara jual beli suara dengan p a rty -ID ? Dapatkah p a rty -ID yang menjadi konsep kunci dalam perilaku pemilih sejak 1950-an digunakan untuk mereduksi toleransi pemilih terhadap praktik politik uang? Memang belakangan literatur kesarjanaan mengenai jual beli suara dan determinannya cenderung meningkat, khususnya tentang aspek sosialekonomi dan karakteristik demografi pemilih yang disasar serta kiatnya dengan patron-klien. Namun, sepengetahuan penulis tidak ada kajian yang secara spesifik membahas interaksi antara politik uang dan party-ID . Agar dapat menguji secara lebih empiris relasi jual beli suara dengan party-ID di satu sisi, dan patron-klien di sisi yang lain, konsep-konsep itu harus mampu dioperasionalkan. Konteks spesifik tentang bagaimana praktik jual beli suara dilakukan dan bagaimana p a rty-ID dan patron-klien memengaruhi politik elektoral perlu juga dielaborasi.
Politik Uang dan Patron-Klien dalam Politik Elektoral Indonesia Sebagai negara demokrasi yang masih muda, Indonesia masih rentan politik uang. Secara prosedural, Indonesia telah merintis konsolidasi demokrasi secara baik seiring dengan pelaksa naan tiga pemilu legislatif secara berturut-turut pascareformasi, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dan ratusan pemilukada 30Susan Stokes, “Perverse Accountability: A Formal Modelof Machine Politics with Evidence from Argentina", American Political Science Review, Vol. 99, August 2005, hlm. 315-325. 31 Simeon Nichter, “Vote Buying or Turnout Buying? Machine Politics and the Secret Ballot”, American Political Science Review, Vol. 102, No. 1, February 2008, hlm. 19-31.
di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Namun, secara faktual, perkembangan demokrasi di Indonesia telah dihambat dengan maraknya bentuk-bentuk m oney politics, tak terkecuali di tingkat akar rumput dalam bentuk jual beli suara. Banyak politisi atau calon kepala daerah yang menjadikan kaum papa sebagai target operasi jual beli suara ( vote buying) dengan menawarkan uang atau bentuk-bentuk hadiah yang lain sebagai alat tukar dalam pemilihan. Sudah menjadi rahasia umum, banyak politisi yang melakukan kampanye pemilu yang bersifat mobilisasi pemilih melalui pendekatan transak sional. Faktor-faktor sosial-ekonomi seperti tingkat pendidikan dan pendapatan memengaruhi maraknya praktik jual beli suara. Selain itu, studistudi terkait dengan jual beli suara juga sangat berkaitan dengan sikap toleran warga terhadap praktik semacam itu dan jejaring patron-klien yang menjadi penghubung antara elit dan massa di bawah. Dalam literatur tentang perilaku pemilih di Indonesia, sudah cukup banyak studi yang ditulis dari perspektif model sosiologis, model psikologis, dan ra tio n a l c h o ic e (ekonomipolitik). Namun, studi yang memberi perhatian pada pengaruh m oney politics dalam pemilihan belum banyak diteliti secara akademis. Wacana m o n e y p o litic s lebih banyak terkait dengan mobilisasi finansial di tingkat elit. Kalaupun ada tulisan terkait dengan praktik politik uang di tingkat massa biasanya hanya berdasarkan data-data jurnalistik. Tentu sangat di sayangkan j ika para ahli mengabaikan munculnya praktik jual beli suara dalam bentuk pemberian uang tunai, hadiah, sembako dan lain-lain yang biasanya diberikan pada waktu musim pemilu. Masalah jual beli suara makin sulit diatasi karena mekanisme penegakan hukum yang tidak di lakukan secara semestinya.32*Misalnya, tuduhan adanya jual beli suara hanya diberikan waktu selama tiga hari untuk membuktikannya. Tentu waktu sependek ini menyulitkan bagi pembuktian praktik m oney politics di tingkat bawah.
32 Perludem Research Team, Reorganizing Pemilukada Arrangement, (Jakarta: Perludem, Indonesia-Australia Partnership and the International Foundation for Electoral Systems (IFES), March2011).
46 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 41-58
Tidak seperti di negara tetangga, studi politik uang di Indonesia tidak menarik perhatian banyak akademisi.33 Kebanyakan diskusi mengenai topik ini di Indonesia hanya menjadi konsumsi di media. Riset International Foundation for Electoral Systems (IFES) tentang M oney Politics: Regulation o f P o litica l F inance in Indonesia
hanya sedikit contoh pendekatan akademik mengkaji politik uang dan dampak elektoralnya.34 Namun, studi IFES ini sudah out o f date karena dirilis pada 1999. Riset tersebut juga hanya memfokuskan pada regulasi keuangan partai. Istilah m oney p o litics sendiri kurang jelas. Dalam banyak kesempatan, istilah ini dipakai sebagai kontainer besar yang merangkum seluruh praktik dan perilaku mulai dari korupsi politik ke patron-klien hingga jual beli suara dan kriminal. Ada semacam konsensus di antara sarjana yang mengkaji politik Indonesia bahwa money politics adalah korupsi yang terkait dengan proses elek toral. Karena itu, politik uang beroperasi pada dua ranah. Pertam a, di tingkat elite seperti calon presiden, DPR, DPRD, gubernur, bupati atau wali kota yang maju dalam proses pemilihan. Setiap calon harus merogoh kantongnya lebih dalam baik untuk sewa “perahu” partai, kampanye, konsultan hingga beperkara ke M ahkamah Konstitusi. K edua, politik uang di tingkat massa dalam bentuk jual beli suara ke pemilih. Studi kesarjanaan mengenai m oney politics berbeda antara satu setting tertentu dan yang lain. Choi, misalnya, menggambarkan m oney politics dalam beberapa kasus pemilukada,35 sedangkan Hadiz menggunakan istilah ini dalam fra m in g 33 Ironisnya, studi tentang politik uang lebih maju di negara tetangga seperti Thailand atau Filipina, Misalnya, William A Callahan, “The Discourse of Vote Buying and Political Reform in Thailand”, Pacific Ajfairs, Vol. 78. No. 1, Spring 2005, hlm. 95-113; Benedict J. Kerkvliet, “Understanding Politics in a Nueva Ecija Rural Community”, dalam Kerkvliet and Mojares (Eds.), From Marcos to Aquino: LocalPerspectives on Political Transition in the Philippines, (Honolulu: University of Hawaii Press, 2002). 34 International Foundation for Electoral Systems (IFES), “Money Politics: Regulation of Political Finance in Indonesia”, 1999, http://www.ifes.org/Content/Publications/Reports/1999/ Money-Politics-Regulation-of-Political-Finance-in-Indonesia-1999.aspx, 35Nankyung Choi, “Local Elections and Party Politics in PostReformasi Indonesia: A View from Yogyakarta”, Contemporary Southeast Asia, Vol. 26, No. 2,2004, hlm. 280-301; Nankyung Choi, “Local Elections and Democracy in Indonesia: The Riau Archipelago”, Journal o f Contemporary Asia, Vol. 37, No. 3, 2007, hlm. 326-345.
umum mengenai kekuatan predatoris.36Ahli yang lain secara sekilas mengaitkan m oney politics dalam konteks politik elektoral, baik di tingkat nasional maupun lokal. Untuk memahami konstelasi politik uang sebagaim ana kita lihat hari ini, kita perlu mengeksplorasi literatur, baik yang memakai pendekatan historis, sosiologis maupun politik mengenai patron-klien dan patrimonialisme. Dua hal ini menjadi persemaian yang subur bagi politik uang. Indonesianis terkemuka Benedict Anderson pertama kali menggunakan istilah patrimonialisme untuk menunjuk pada konsep kekuasaan tradisional Jawa yang terkait dengan struktur dan perilaku politik negara patrimonialis.37 Meskipun demikian, patron-klien dan patrimonialisme adalah konsep yang berbeda, tetapi memiliki makna yang dekat dan berkaitan. Menumt Mackie, patron-klien adalah istilah yang langsung menunjuk pada hubungan mutualistik antara patron yang berkecukupan dan klien yang membutuhkan, sedangkan patrimonialisme jauh lebih abstrak dan merujuk pada sistem sosial politik yang luas.38 B anyak ahli ten tan g Indonesia yang menekankan politik patronase sebagai gambaran kunci sistem politik sejak Sukarno, Suharto hingga era reformasi. Feith, misalnya, meng gambarkan pentingnya basis sosial yang me mengaruhi hasil Pemilu 1955 pada era Sukarno. Meski basis sosial ini dominan tetap saja diikuti dengan sumber daya politik yang penting, yakni uang.39Persis sama dengan politik uang melalui broker yang terjadi di Thailand, Feith menemu kan bahwa uang digunakan oleh beberapa partai seperti PNI dengan menyediakan fasilitas umum, 36Vedi R. Hadiz, "Reorganizing Political Power in Indonesia: A Reconsideration o f So-called ‘Democratic Transitions’”, dalam M. Erb, P. Sulistiyanto dan C. Faucher (Eds.), Regionalism in post-Suharto Indonesia, (London: Routledge-Curzon, 2005), hlm. 44-50. 37 Benedict Anderson, “The Idea of Power in Javanese Cul ture”, dalam Claire Holt, et al., (Eds.), Culture and Politics in Indonesia, (Ithaca: Comell University Press, 1972), hlm. 36. 38Jamie Mackie, “Patrimonialism: The New Order and Beyond”, dalam Edward Aspinall dan Greg Fealy (Eds.), Suharto 's New Order and Its Legacy: Essays in Honour o f Harold Crouch, (Canberra: ANU E-Press, 2010), http://epress.anu.edu.au/wpcontent/uploads/2010/ll/whole.pdf. hlm. 83 39 Daniel Bumke, “Challenging Democratization: Money Politics and Local Democracy in Indonesia”, (tt.). Makalah ini diperoleh dari kawan, tanpa ada keterangan sumber.
Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 47
makanan, dan hiburan.40 Pada saat tertentu, uang juga digunakan untuk membayar beberapa tokoh masyarakat tertentu untuk mendapatkan dukungan elektoral. Sementara itu, artikel Harold Crouch yang berjudul “Patrimonialism and Military Rule in Indonesia” membantu kita memahami sistem politik pada masa Orde Baru.41 Dia secara meyakinkan menjelaskan patronase politik dan berbagai macam bentuknya pada masa itu. Meski studi Crouch ini bersifat kualitatif, dia berhasil menjelaskan secara memuaskan pada tingkat makro tentang salah satu yang menjadi teka-teki paling sulit di kalangan ilmuwan politik selama ini.42 Namun sayangnya, jatuhnya Suharto pada 1998 bukan berarti praktik patrimonialisme dan patronase politik ikut menyingkir. Sistem politik inform al yang berdam pak n eg atif tersebut tetap bertahan, bahkan mengalami sofistifikasi. Ada semacam fenomena yang terjadi pada masa pasca-Suharto di mana politisi secara ekstensif mendayagunakan aspek-aspek patrimonialistik dan klientelistik politik uang untuk mengamankan dukungan elektoral di tingkat daerah maupun nasional. Bukti adanya ini biasanya berkaitan dengan jejaring yang sudah ada yang kemudian dipakai oleh politisi untuk mengeruk sumber daya negara demi kepentingan politik dan ekonomi.43 Sementara itu, sebagian besar studi ten tang politik uang di Indonesia menggunakan pendekatan kualitatif. Meskipun pendekatan ini berjasa besar meningkatkan pemahaman kita tentang konteks spesifik di Indonesia, studi ini kurang mampu mengukur sejauh mana politik uang terjadi. Intinya, karya ilmiah tentang politik uang, patron-klien dan politik elektoral belum mencapai kesimpulan yang solid. 40 Herbert Feith, The Indonesian Elections o f 1955, Ithaca: Modern Indonesia Project, (Southeast Asia Program, Dept. of Far Eastem Studies, Comell University, 1957), hlm. 21. 41 Harold Crouch, “Patrimonialism and Military Rule in In donesia”, World Politics, Vol. 31, No. 4, 1979, hlm. 571-587. 42Jamie Mackie, “Patrimonialism: The New Order and Beyond,” dalam Edward Aspinall dan Greg Fealy (Eds.), Suharto ’s New Order and Its Legacy: Essays in Honour o f Harold Crouch, (Canberra: ANU E-Press, 2010), http://epress.anu.edu.au/wpcontent/uploads/2010/ll/whole.pdf 43Lebih jauh baca Edward Aspinall & Gerry van Klinken, The State andIllegality in Indonesia, (Leiden: KITLV Press, 2011).
Party-ID dan Dinamika Elektoral di Indonesia Secara normatif, jaringan representasi formal, term asuk pertanggungjaw aban dan sikap responsif antara pemilih dan elite politik bisa dijalankan melalui politisi atau kandidat pejabat publik melalui tarikan programatik dan capaian kebijakan.44 Politisi yang membangun tautan programatik berarti telah berkontribusi bagi perkembangan demokrasi representatif. Namun, secara faktual, seringkah politisi tergoda untuk mengabaikan tautan ideal dan programatik ini. Mereka sengaja memanfaatkan jaringan informal antara elite dan massa via kharisma personal seorang tokoh politik dan mempertukarkan in sentif material dengan loyalitas dukungan akar rumput (klientelisme).45 Dalam studi-studi yang telah dilakukan berkaitan dengan jual beli suara, banyak ahli yang selalu mengaitkannya dengan patron-klien. Money politics dan patron-klien merupakan kombinasi yang memungkinkan praktik jual beli suara terjadi di tingkat massa. Penulis men coba mengaitkan jual beli suara dengan identitas kepartaian (party-ID), namun dalam perspektif yang positif karena ia bisa mengurangi potensi jual beli suara di tingkat pemilih. Identifikasi diri dengan partai (party-ID) adalah perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya. Party-ID ini merupakan komponen psikologis yang akan memberikan sumbangan bagi stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian yang bisa m em perkuat demokrasi itu sendiri. Selama ini literatur dalam studi perilaku pemilih hanya melihat party ID dalam kaitannya dengan stabilitas dan instabilitas dukungan elek toral.46Semakin besar pemilih yang merasa dekat dengan partai maka kontinuitas dan stabilitas elektoral partai akan semakin terjaga. Sebaliknya, semakin sedikit pemilih yang mengidentikkan diri dengan partai politik maka semakin dinamis dan tidak stabil dukungan elektoral. Maddox ^Herbert Kitschelt, “Linkages between Citizens and Politicians in Democratic Polities”, Comparative Political Studies, Vol. 33, 2000, hlm. 845. 45Ibid. 46 Lebih jauh baca, Angus Campbell, Philip E. Converse, Warren Miller & Dinald Stokes, The American Voter, (New York: John Wiley & Sons, 1960).
48 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. I Juni 2013 | 41-58
Sumber: Lembaga Survei Indonesia
Grafik 1. Data Longitudinal Party-ID di Indonesia
dan Nimmo, misalnya, menyatakan bahwa rendahnya party-ID punya kontribusi terhadap tidak konsistennya pilihan politik individu pada pemilu.47 Selain itu, jika pemilih yang memiliki party ID semakin sedikit maka gejala deparpolisasi atau party dealignment akan semakin tinggi. Deparpolisasi adalah gejala psikologis yang membuat publik kehilangan kepercayaan terha dap partai. Dalam leksikon ilmu politik, gejala ini bisa dilihat dari dua dimensi yang meng hubungkan pemilih dengan partai: identifikasi diri dengan partai (dimensi afeksi) dan evaluasi massa pemilih atas fungsi intermediasi partai (dimensi rasional).48 Hal inilah yang terjadi pada konteks Indonesia. Politik elektoral kita sangat tidak stabil. Salah satu penjelasannya adalah minimnya pemilih yang memiliki party-ID. Bahkan data longitudinal Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan kecenderungan party-ID kita semakin menurun. Survei terakhir LSI pada Maret 2013, pemilih Indonesia yang memiliki party ID cuma 14,3%, sama dengan rata-rata temuan survei pada dua tahun terakhir (Grafik 1). 47W.S. Maddox & D. Nimmo, “In Search o f the Ticket-Splitter”, Social Science Quarterly, Vol. 62, 1981, hlm. 401-408. 48 Roberto Biorcio & Renato Mannheimer, “Relationship between Citizens and Political Parties”, dalam Hans-Dieter Klingemann dan Dieter Fuchs (Eds.), Beliefs in Government, Volume One: Citizens and the State, (Oxford. Oxford University Press, 1995), hlm. 206-226.
Itupun pemilih yang memiliki party-ID terbagi ke banyak partai. Artinya, deparpolisasi memiliki dasar empiris kuat. Deparpolisasi juga diukur melalui sejauh mana partai dirasakan berfungsi menghubungkan kepentingan massa pemilih dan keputusankeputusan publik yang dibuat DPR atau peme rintah. Hasil survei terbaru LSI menemukan sebagian besar pemilih merasa fungsi rasional atau intermediasi partai masih lemah. Data tren LSI juga menemukan dibandingkan institusi demokrasi yang lain, kepercayaan publik ter hadap partai paling lemah. Banyak faktor yang bisa diatribusikan sebagai penyebab maraknya deparpolisasi, yaitu kesadaran politik pemilih yang meningkat, sinisme negatif media massa, kalangan akademisi, dan civil society terhadap partai politik, disilusi publik terhadap politik dan partai, dan kinerja pemerintah yang buruk. Setidaknya ada empat dampak buruk akibat deparpolisasi yang salah satu faktor utamanya disebabkan menurunnya kedekatan psikologis pemilih terhadap partai {party ID). Pertama, tren penurunan partisipasi elektoral dalam tiga pemilu legislatif yang terakhir. Pada Pemilu 1999, pemilih yang menggunakan haknya sebesar 93,3%, lalu turun menjadi 84,9% pada 2004, dan terakhir tinggal 70,9% saja yang masih menggunakan haknya dalam pemilu legislatif pada 2009. Pemilih yang tidak memiliki party-ID
Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 49
Grafik 2. Tren Partisipasi dalam Pemilu
PDIP
Golkar
PKB
PPP
PAN
■ 1999
PKS
PD
Gerindra Hanura Lain-lain
12009
Grafik 3. Perubahan Perolehan Suara Partai pada Pemilu 1999 dan 2009
cenderung tidak menggunakan haknya karena merasa apatis dan teralienasi. Kedua, volatilitas dukungan elektoral kerap terjadi (Grafik 3 tentang Perubahan Perolehan Suara Partai pada Pemilu 1999 dan 2009). Seperti kita alami pada pemilu pasca-Soeharto, tiga pem ilu m enghasilkan pem enang yang berbeda-beda, mulai dari PDI Perjuangan pada 1999, Golkar pada 2004, dan Demokrat pada 2009. Pemilu juga menghasilkan perubahan dramatis yang ditandai naik-turunnya dukungan pemilih terhadap partai layaknya roller coaster. Ketiga, deparpolisasi akibat dari minimnya pemilih yang memiliki party-ID juga mendorong maraknya split-ticket voting, yakni dukungan konstituen yang tidak linear antara instruksi elit partai agar mendukung calon pejabat eksekutif yang dinominasikan partai dan afiliasi partai
pemilih. Dalam pemilu presiden atau kepala daerah, banyak konstituen partai yang memilih calon yang tidak didukung partainya sendiri. Keempat, sebagai konsekuensi lanjut dari ini, kecenderungan elektoral akan bergerak ke arah candidate-centeredpolitics atau politik yang bertumpu pada figur atau kandidat. Biaya politik menjadi lebih mahal untuk keperluan strategi pemasaran politik yang berdasarkan pemolesan citra, kampanye media, dan bergantung pada konsultan politik yang memerankan diri se bagai task-force elektoral yang bekerja secara profesional. Partisipasi dalam kampanye yang diorganisasikan oleh partai atau jaringan partai menurun drastis. K eem pat dam pak buruk deparpolisasi akibat dari rendahnya party-ID tersebut sudah kasat mata terjadi dalam perjalanan reformasi
50 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 41-58
pasca-Orde Baru. Politik yang bertumpu pada calon (candidate-centeredpolitics) menjadikan partai tak lebih dari sarana nir-ideologis untuk meraih kekuasaan. Politisi menjadikan partai sebagai tunggangan kepentingan sesaat. Jika tak lagi mampu menopang hasrat kuasa sang politisi maka fenomena kutu loncat politik menjadi pilihan. Tak terkecuali dalam rezim pilkada, muncul pula figur-figur dari luar partai yang terlihat lebih populer dan elektabilitasnya tinggi. Ini memaksa partai untuk mengakomodasi figur tersebut dan mengabaikan kader partainya yang kurang populer. Partai-partai di Indonesia bersikap prag matis, tetapi sekaligus realistis. Jika kadernya sendiri kurang memiliki peluang untuk unggul dalam pemilukada, mereka sangat terbuka kepada calon dari luar partai untuk diusung. Jika calon yang memiliki elektabilitas kuat tersebut bukan kader partai manapun maka biasanya mereka ditawari masuk ke partai yang menjanjikan untuk mengusungnya dalam pemilukada. Di samping itu, ada dampak buruk depar polisasi dan rendahnya party-ID yang belum pemah disebut kalangan sarjana, namun secara realitas sui-generis telah terjadi secara masif di Indonesia. Menurut penulis, rendahnya party-ID juga berkontribusi bagi semakin maraknya money politics atau jual beli suara di tingkat massa. Dengan kata lain, praktik jual beli suara punya korelasi yang sangat kuat, baik dengan rendahnya kedekatan pemilih terhadap partai maupun buruknya evaluasi pemilih terhadap kinerja partai. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat party-ID pemilih maka semakin kecil sikap penerimaannya terhadap praktik politik uang.
Party-ID sebagai Antidot Politik Uang Penulis ingin mengelaborasi lebih jauh kegunaan party-ID dalam m ereduksi sikap perm isif terhadap money politics. Dalam arti kata, politisi tak bisa lagi menyalahkan pragmatisme pemilih yang membuat biaya politik semakin mahal. Politik transaksional antara politisi dan pemilih tak bisa dilepaskan dari kegagalan partai dalam meningkatkan diferensiasi dan positioning ide ologis partai di mata pemilih. Akibatnya, pemilih tak suka mengidentifikasikan diri dengan partai.
Dasar empiris penulis adalah survei nasional yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada 21-27 Maret 2013. Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Sampel: Jumlah sampel basis 1.200, dengan oversample di Provinsi Jawa Barat dan Banten masing-masing 400. Diperkirakan margin o f error sebesar ±2,9% pada tingkat kepercayaan 95%. Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Satu pewawan cara bertugas untuk satu desa/kelurahan yang hanya terdiri atas 10 responden. Quality control terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 20% dari total sampel oleh su pervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check). Dalam quality control tidak ditemukan kesalahan berarti. Secara gambaran umum, melalui pengukuran yang sama, tingkat party-ID pemilih di Indonesia selevel dengan beberapa negara Amerika Latin yang juga mengalami persoalan yang sama terkait dengan toleransi warga terhadap politik uang. Menariknya, negara-negara demokrasi yang sudah stabil dan terkonsolidasi seperti Amerika Serikat, dan Australia, tingkat party-ID di atas 50%, tapi tidak ditemukan praktik jual beli suara di tingkat massa (Lihat Tabel 1). Secara sekilas terlihat ada hubungan antara negara-negara yang tingkat party-ID-nya tinggi dan minimnya, untuk tidak menyebut absennya, praktik politik uang. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Maret 2013 tersebut menemukan temuan menarik. Secara nasional pemilih yang merasa dekat dengan partai sekitar 14,3%. Setelah di-breakdown sesuai dengan kecukupan sampel, tingkat party-ID Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sedikit di bawah rata-rata nasional (kisaran 10%—13%). Semen tara itu, Bali yang datanya diambil dari survei pilkada pada rentang waktu yang kurang lebih sama dengan waktu pengumpulan data survei nasional menemukan tingkat party-ID yang overrepresentative, di atas rata-rata nasional. Jika dilihat dari sikap responden terhadap pemberian uang atau hadiah agar dipilih dalam pemilu apakah dianggap wajar atau tidak wajar, proporsi
Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 51
kepercayaan terhadap partai lemah. Akibatnya, relasi antara partai dan pemilih bersifat jangka pendek dan materialistik. Kalaupun pemilih merasa dekat dengan partai lebih karena faktor pemimpin atau tokoh kharismatik partai.
pemilih Bali yang menganggap politik uang tidak bisa diterima jauh lebih besar ketimbang pemilih dari provinsi lain (Lihat Tabel 2). Demikian pula, jika ditanyakan pertanyaan ada pihak yang menawari uang atau hadiah, langkah apa yang akan dipilih responden. Dibandingkan pemilih yang tinggal di provinsi lain, pemilih Bali paling banyak menolak tawaran uang dan tetap memilih partai sesuai pilihan semula (lihat Tabel 3). Secara logis, memang bisa diterima jika pemilih yang memiliki ke dekatan dengan partai maka cenderung menolak tawaran material dari tim sukses atau dari partai lain. Pemilih yang dekat dengan partai akan berpartisipasi dalam politik secara bergairah. Politik transaksional dimungkinkan karena pemilih merasa tidak dekat dengan partai. Tingkat
Intinya, dalam survei nasional Maret 2013 ini, kami membagi pertanyaan tentang politik uang dalam dua bentuk. Pertama, sikap dan kecenderungan perilaku terhadap vote buying (toleran/menerima atau tidak toleran/menolak), yakni “sikap” (V_139) dan “kecenderungan perilaku” (V_143). Kedua, pengalaman vote buying: pengalaman langsung vote buying (pemah ditawari uang/barang atau tidak pemah) yang terdiri dari dua item, yakni “Ditawari uang/ barang dalam pileg” (V_144A) dan “Ditawari uang/barang dalam pilpres” (V_144B). Kemu-
Tabel 1. Tingkat Party-ID berdasarkan Negara* Belarus 2001
7,90
Republik Czechnya 1996
44,43
Thailand 2001
13,88
Inggris 1997
45,56
Slovenia 1996
19,01
Sw edia 1998
46,24
Chile 1999
19,78
Rusia 2000
46,62
Korea 2000
23,18
Portugal 2002
46,74
Peru 2001
26,39
Israel 1999
47,88
Belanda 1998
27,75
D enm ark 1998
48,68
Lithuania 1997
30,62
Polandia 1997
48,78
Taiw an 1996
32,33
Kanada 1997
49,81
Jerm an 1998
33,88
M eksiko 2000
50,40
Hungaria 1998
34,89
N orw egia 1997
52,31
Brasil 2002
35,20
Selandia Baru 1996
54,98
Sw iss 1996
35,60
A m erika Serikat 1996
56,71
Je p an g 1999
37,53
Ukraina 1998
59,23
Spanyol 2000
41,39
A ustralia 1996
80,76
Rum ania 1996
44,43
Rata-rata
40,06
' David Samuels, “Sources of Mass Partisanship in Brazil,” Latin American Politics and Societies, Vol. 48, No. 2, Summer 2006.
T a b e l 2.
Politik Uang Bisa Diterima atau Tidak (%) W ilayah
Base
Bisa diterim a se b a gai hal yan g w ajar
T id a k bisa diterim a 78
Sum atra
21,4
22
Jabar
18,2
42
58
Jateng
13,7
54
46
Jatim
15,8
36
64
Banten
4,5
45
55
Bali*
1,6
18
82
24,7
27
73
Lainnya
Sumber: Lembaga Survei Indonesia, M aret 2013
52 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 41-58
dian berikutnya adalah pengalaman mengetahui adanya vote buying di lingkungan sekitar (tahu/ melihat banyak orang menerima uang/hadiah, tahu/melihat ada orang menerima uang/hadiah, tetapi tak banyak atau tidak pemah melihat). Ada tiga item yang dipakai, yakni tahu/melihatnya dalam pilpres (V_145), tahu/melihatnya dalam pileg (V_147), dan tahu/m elihatnya dalam pilkada (V_149). Hasil analisis bivariat yang kami lakukan menunjukkan bahwa sikap dan perilaku vote buying berkorelasi positif signifikan. Semakin bersikap toleran terhadap pemberian politik uang maka semakin cenderung menerima bila ditawari (Lihat tabel 4). Sementara itu, dari Analisis Bivariate (Spearman Correlation) antarvariabel vote buying menunjukkan bahwa sikap (V 1 3 9 ) dan kecenderungan perilaku vote buying (V_143) berhubungan positif signifikan dengan pengalam an langsung ditawari uang/barang (V 1 4 4 A , V_144B) serta pengetahuan adanya vote buying di lingkungan sekitar (V 1 4 5 , V_147, V_149) (Lihat Tabel 5). Sebenarnya sangat masuk akal apabila dikatakan ada hubungan sebab akibat antara sikap toleran terhadap money politics dan penga laman atau menjadi saksi terjadinya praktik jual beli suara ini. Pengalaman ditawari uang atau hadiah dalam pemilu maupun menjadi saksi atas terjadinya praktik money politics berpengaruh membentuk sikap yang toleran terhadap vote buying; atau membentuk perilaku “akan menerima” bila diberi. Dengan kata lain, semakin sering seseorang ditawari uang/barang
atau menyaksikan adanya praktik politik uang maka semakin toleran seseorang dengan money politics. Semakin banyak mengalami praktik money politics atau menyaksikan peristiwa tersebut maka membuat praktik money politics menjadi hal yang lumrah. Adapun melalui analisis regresi logistik terhadap pengaruh party-ID, klientalisme, keang gotaan dalam organisasi, dan socio-economic structure (khususnya pendapatan), terhadap perilaku vote buying menunjukkan bahwa faktor party-ID dan SES (pendapatan)-lah yang berpe ngaruh langsung dan signifikan. Sebaliknya, faktor keanggotaan dalam organisasi dan faktor klientalisme tidak punya efek langsung terhadap perilaku money politics (Lihat Tabel 6). Ini bukti bahwa party-ID memberikan sumbangan besar bukan hanya dalam menjaga stabilitas pilihan, tetapi juga mampu menjadi antidot praktik money politics. Pemilih cenderung menerima dan toleran terhadap praktik politik uang karena mereka tidak memiliki kedekatan secara psikologis dengan partai politik. Sedikitnya pemilih yang memiliki party-ID, terbukti meningkatkan toleransi terha dap money politics. Pemilih kemudian melakukan relasi transaksional dengan partai politik. Ibarat “penipu kecil” yang tak ingin memberi suara secara gratis kepada “penipu besar”, pemilih melihat money politics dan pendekatan kampanye yang bersifat partikularistik sebagai kompensasi kepada partai politik. Oleh karena itu, untuk mengurangi praktik politik uang di tingkat massa, partai politik harus meningkatkan party-ID sekaligus kinerjanya di
Tabel 3. Langkah Jika Ditawari Uang (%)
W ilayah
_ Base
Sumatra Jabar Jatene Jatim Banten Bali* Lainnya
21,4 18,2 13,7 15,8 4,5 1.6 24.7
Hanya M enolak M enolak m enerim a uangnya uangnya uang dari dan m em ilih dan m em ilih satu partai partai sesuai partai yg tidak dan m em beri m enaw ar kan kan suara ke pilihan uang pada partai sem ula tsb 60 7 7 34 8 8 40 3 15 48 3 6 11 36 10 5 70 2 56 5 9
M enerim a M enerim a seM enerim a sem ua uang m ua uangnya sem ua nya dan m e dan m em uangnya m ilih partai beri kan suara dan m em ilih yg m em beri hanya kepada partai seseuai uang paling salah satu pilihan sendiri besar 7 7 9 7 14 4 9
16 23 24 25 22 10 13
2 9 4 7 3 2 5
Lain nya
Tidak tahu/ jaw ab
0 6 2 2 3 2 1
1 4 2 2 1 3 1
Sumber: Lembaga Survei Indonesia, M aret 2013
Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 53
Tabel 4. Analisis Bivariate (Spearman Correlation): Sikap vs Perilaku Vote Buying
Correlations Spearman's rho
VB_139
VB_143
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient
VB 143 .588** .000 1254
VB 139 1.000
Sig. (2-tailed) N
1319 .588** .000 1254
1.000 1254
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Ket. kode variabel: V B 1 3 9 : 1 = toleran, 0 = tidak toleran V B 1 4 3 : 1 = menerima, 0 = menolak
Tabel 5. Analisis Bivariate (Spearman Correlation) antar-Variabel Vote Buying C orrelations Spearman's rho
VB_139
VB_143
V EM 44A
VB_144B
VB_145
VB_147
VB_149
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
V B 139 1.000 1319 .588** .000 1254 .104** .000 1280 .089** .002 1274 .092** .001 1318 .088** .001 1318 .144** .000 1319
V B 144A V B 144B V B 143 .104** .089** .588** .000 .000 .002 1274 1254 1280 .097** .093** 1.000 .001 .001 1254 1218 1210 .591 ** .097** 1.000 ' .000 .001 1280 1270 1218 .591 ** 1.000 .093** .000 .001 1274 1210 1270 .408** .110** .412** .000 .000 .000 1279 1273 1253 .089** .523** .297** .002 .000 .000 1273 1253 1279 .244** .139** .392** .000 .000 .000 1274 1254 1280
V B 145 .092** .001 1318 .110** .000 1253 .412** .000 1279 .408** .000 1273 1.000 1318 .675** .000 1317 .573** .000 1318
V B 147 .088** .001 1318 .089** .002 1253 .523** .000 1279 .297** .000 1273 .675** .000 1317 1.000 1318 .704** .000 1318
V B 149 .144** .000 1319 .139** .000 1254 .392** .000 1280 .244** .000 1274 .573** .000 1318 .704** .000 1318 1.000 1319
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
mata pemilih. Untuk meningkatkan party-ID, diperlukan penyederhanaan sistem kepartaian kita. Party-ID lebih mudah dijelaskan dalam sistem kepartaian yang lebih sederhana, sedang kan Indonesia menganut sistem multipartai ekstrem. Dalam sistem multipartai ekstrem yang dipengaruhi pendekatan kompetisi elektoral, partai-partai cenderung mengarah ke catch-all party, bergerak ke arah tengah seperti dalam kurva norm al, sem bari m enjauhi pem ilih ekstrem yang berjumlah sedikit.49 Akibatnya, partai cenderung mengaburkan jenis kelamin ideologi mereka. Pemilih bergerak ke tengah 49 Lebih jauh baca Anthony Downs, An Economic Theory o f Democracy, (New York: Harper & Row, 1957).
karena dalam sistem multipartai yang terlalu ekstrem, positioning dan diferensiasi ideologis tidak terlihat sempurna. Dampak negatif yang lain adalah partai cenderung mengandalkan mobilisasi finansial, baik melalui iklan, atribut kampanye maupun jual beli suara di tingkat massa.
Penutup Jika praktik money politics ini tak segera diatasi maka akan memunculkan masalah pelik akun tabilitas dan representasi demokrasi. Politik uang di Indonesia jelas merusak akuntabilitas proses pengambilan dan representasi kebijakan, baik di
54 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 41-58
Tabel 6. Analisis Regresi Logistik Variables in the Equation
SJep 1
partylD
B -.364
S.E. .182
Wald 3.996
klientalisme
-.046
.086
organisasi pendapatan
-.054 -.072 .333
Constant
df
Exp(B) .695 .955
1
Sig. .046
1
.590
.047
.291 1.300
1
.254
.948
.018 .157
16.872 4.475
1 1
.000 .034
.930 1.395
a. Variable(s) entered on step 1: partylD, klientalisme, organisasi, pendapatan.
legislatif maupun eksekutif. Kajian awal studi ini menunjukkan bahwa maraknya politik uang di tingkat massa ternyata disumbang oleh minimnya kedekatan pemilih terhadap partai (party-ID ). Tren party-ID di Indonesia terus menurun dan penurunan ini disumbang oleh buruknya kinerja partai di mata pemilih. Iklim ketidakpercayaan publik terhadap partai terus meningkat seiring dengan terbukanya kasus-kasus korupsi yang melibatkan elite partai. Jika partai politik tidak berbenah maka pemilih makin menjauhi partai dan biaya politik makin mahal karena pemilih cenderung memakai pendekatan transaksional dengan partai. Jadi makin maraknya politik uang di tingkat massa dipicu oleh kegagalan partai politik itu sendiri dalam meningkatkan kinerjanya di mata pemilih.
Daftar Pustaka Buku Aspinall, Edward dan Gerry van Klinken. 2011. The State and Illegality in Indonesia. Leiden: KITLV Press. Biorcio, Roberto & Renato Mannheimer. 1995. “Rela tionship between Citizens and Political Parties”, dalam Hans-Dieter Klingemann dan Dieter Fuchs (Eds.). Beliefs in Government, Volume One: Citizens and the State, Oxford. Oxford University Press. Campbell, Angus et al., 1960. The American Voter. New York: John Wiley & Sons. Downs, Anthony. 1957. An Economic Theory o f De mocracy. New York: Harper & Row. Gellner, Emest dan J. Waterbury. 1977. Patrons and Clients in Mediterranian Societies. London: Duckworth.
Hadiz, Vedi R. 2005. “Reorganizing Political Power in Indonesia: A Reconsideration of So-called ‘Democratic Transitions’”, dalam M. Erb, P. Sulistiyanto dan C. Faucher (Eds.). 2005. Regionalism in post-Suharto Indonesia. London: Routledge-Curzon. Hagopian, Frances. 1996. Traditional Politics and Regime Change in Brazil. New York: Cambrige University Press. Jaensch, Dean. 1992. The Politics o f Australia. Melboume: Macmillan. Kerkvliet, Benedict J. 2002. “Understanding Politics in a Nueva Ecija Rural Community”, dalam Kerkvliet dan Mojares (Eds.). 2002. From Marcos to Aquino: Local Perspectives on Political Transition in the Philippines. Honolulu: Uni versity of Hawaii Press. Kim, Joongi. 2002. “Clientelism and Corruption in South Korea”, dalam Kotkin, Stephen dan Andras Sajo (Eds.). 2002. Political Corruption in Transition: A Skeptic’s Handbook. Budapest and New York: Central European University Press. Kitschelt, Herbert. 2007. “The Demise of Clientelism in Affluent Capitalist Democracies”, dalam Kitschelt, Herbert dan Steven Wilkinson (Eds.). 2007. Patrons, Clients, andPolicies: Patterns o f Democratic Accountability and Political Competition. Cambridge, UK: Cambridge Uni versity Press. Mackie, Jamie. 2010. “Patrimonialism: The New Or der and Beyond”, dalam Aspinall, Edward dan Greg Fealy (Eds). 2010. Suharto’s New Order and Its Legacy : Essays in Honour o f Harold Crouch. [e-book]. Canberra: ANU E-Press. Dalam http://epress.anu.edu. au/wp-content/ uploads/2010/11/whole.pdf Papakostas, Apostolis. 2001. “Why There is No Clientelism in Scandinavia? A Comparison of the Swedish and Greek Sequences of Devel opment”, Piattoni, Simona (Ed.). 2001. Clien telism, Interests and Democratic Representation. Cambridge: Cambridge University Press.
Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 55
Putnam, Robert D. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton: Princeton University Press. Scheiner, E. 2007. “Clientelism in Japan: The Importance and Limits of Institutional Explanations”, dalam Kitschelt, Herbert dan Steven Wilkinson (Eds.). 2007. Patrons, Clients, and Policies: Patterns o f Democratic Accountability and Political Competition. Cambridge, UK: Cambridge University Press. Warner, Carolyn. 2001. “Mass Parties and Clientelism in France and Italy”, dalam Piattoni, Simona. 2001. Clientelism. Interests and Democratic Representation. Cambridge: Cambridge Uni versity Press.
Jurnal Auyero, Javier. 2000. “The Logic of Clientelism in Argentina: An Ethnographic Account”, Latin American Studies Association. 35 (3): 55-81. Faughnan, Brian M. dan Elizabeth J. Zechmeister. 2011. “Vote Buying in the Americas”, Ameri cas Barometer Insights.
Lipset, M artin Seymour. 1959. “Some Social Requisites of Democracy: Economic Develop ment and Political Legitimacy”, American Po litical Science Review. 53 (1): 69-105. Maddox, W.S. & D. Nimmo. 1981. “In Search of the Ticket-Splitter”, Social Science Quarterly, 62: 401—408. Nichter, Simeon. 2008. “Vote Buying or Turnout Buy ing? Machine Politics and the Secret Ballot”, American Political Science Review, February, 102(1): 19-31. Omobowale, Ayokunle Olumuyiwa. 2008. “Clien telism and Social Structure: An Analysis of Patronage in Yoruba Social Thought”, Afrika Spectrum, 43 (2): 203. Perludem Research Team. 2011. Reorganizing Pemilu kada Arrangement. Jakarta: Perludem, Indonesia-Australia Partnership and the International Foundation for Electoral Systems (IFES). Samuels, David. 2006. “Sources of Mass Partisanship in Brazil”, Latin American Politics and Societies, Summer, 48 (2).
Brusco, Valeria, Marcelo Nazareno & Susan Stokes. 2004. “Vote Buying in Argentina”, Latin Ameri can Research Review, 39 (2): 75
Stokes, Susan. 2005. “Perverse Accountability: A For mal Model o f Machine Politics with Evidence from Argentina”, American Political Science Review, August, 99: 315-325.
Callahan, William A. 2005. “The Discourse of Vote Buying and Political Reform in Thailand”, Pa cific AfJairs, Spring, 78 (1): 95-113
Taylor, Lucy. 2004. “Clientship and Citizenship in Latin America”, Bulletin o f Latin American Research, 23 (2): 213-227.
Choi, Nankyung. 2004. “Local Elections and Party Politics in Post-Reformasi Indonesia: A View from Yogyakarta”, Contemporary Southeast Asia, 26 (2); 280-301.
Zappala, Gianni. 2010. “Clientelism, Political Culture and Ethnic Politics in Australia”, Australian Journal o f Political Science, 33 (3): 381-397 .
Choi, Nankyung. 2007. “Local Elections and Democ racy in Indonesia: The Riau Archipelago”, Jour nal o f Contemporary Asia, 37 (3): 326-425.
Laporan dan Makalah
Crouch, Harold. 1979. “Patrimonialism and Mili tary Rule in Indonesia”, World Politics, 31 (4): 571-587. Garcia-Guadilla, Maria Pilar dan Carlos Perez. 2002. “Democracy, Decentralization, and Clientelism: New Relationships and Old Practices”, Latin American Perspectives, 29 (5): 90-109. Helmke, Gretchen and Steven Levitsky. 2003. “In formal Institutions and Comparative Politics: A Research Agenda”, Kellog InstituteWorking Paper, No. 307, September. Kitschelt, Herbert. 2000. “Linkages between Citizens and Politicians in Democratic Polities”, Com parative Political Studies, 33: 845 Lande, C.H. 1993. “Political Clientelism in Political Studies: Retrospect and Prospect”, Interna tional Political Science Review, 4 (4): 440.
Andrews, Josephine T. dan Kris Inman. 2009. “Explaining Vote Choice in Africa’s Emerging De mocracies”, dalam seminar Midwest Political Science Association. Brinkerhoff, Derick dan Arthur Goldsmith. 2002. Clientelism, Patrimonialism and Democratic Governance: An OverView and Framework fo r Assessment and Programming. [e-hook\. USAID Office for Democracy and Gover nance.dalam http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/ Pnacr426.pdf. Bumke, Daniel. “Challenging Democratization: Money Politics and Local Democracy in Indo nesia”, makalah tanpa ada keterangan sumber. Feith, Herbert. 1957. The Indonesian Elections o f 1955, Ithaca: Modern Indonesia Project. South east Asia Program, Dept. of Far Eastem Studies, Comell University.
56 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 41-58
Finan, Frederico & Laura Schehter. 2011. “Vote Buy ing and Reciprocity”, NBER Working Papers, No. 17411. National Bureau of Economic Re search, Inc.
O ’Donnel, Guillermo. 1996. “Another Institutio nalization: Latin America and Elsewhere”, Kel log Institute Working Paper, No. 222, March. Schaffer, Frederic Charles. “Vote Buying in East Asia”, Global CorruptionRep 2004. Transpar ency International.
International Foundation for Electoral Systems (IFES). 1999. “Money Politics: Regulation of Political Finance in Indonesia” [online]. Dalam http://www.ifes.org/Content/Publications/Reports/1999/Money-Politics-Regulation-of-Political-Finance-in-Indonesia-1999.aspx
“Social Weather Stations: National Survey”, Quezon City, Philippines, 2002.
Keefer, Philip. 2005. “Democratization and Clien telism: Why are Young Democracies Badly Govemed?”, World Bank Policy Research Pa per, No. 3594, May.
Fukuyama, Francis. 2012. “The Two Europes” [on line]. Dalam http://blogs.the-american-interest. com/fukuyama/2012/05/08/the-two-europes/
Muno, Wolfgang. 2010. “Conseptualizing and Measuring Clientelism”, paper Workshop Neopatrimonialism in Various World Regions. Ham burg: GIGA German Institute of Global and Area Studies.
Surat Kabar dan Website
Hicken, Allen. 2001. “Clientelism”, Annual Review Political Science, [online]. Dalam www.annualreviews.org.
Politik Uang dan Dinamika Elektoral... | Burhanuddin Muhtadi | 57
ELEKTABILITAS DAN MITOS PEMILIH RASIONAL: DEBAT HASIL-HASIL RISET OPINI MENJELANG PEMILU 20141 ELECTABILITY AND THE M YTH OF THE RATIONAL VOTERS: DEBATING POLLS FOR THE 2014 ELECTION Wawan Sobari Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya Jin. Veteran Malang, Jawa Timur, Indonesia E-maih
[email protected] Diterima: 25 Februari 2013; direvisi: 28 Maret 2013; disetujui: 4 Juni 2014 Abstract Approaching the 2014 Election, Indonesian pollsters have been keen to release their polis presenting similar trends in party electability among the three big parties. The majority o f pollsters favour the prospects o f the Gol kar Party fo r domination in the future election although large disparity concerning party electability exists across pollsters, and this has sparked serious questions. The paper critically assesses some o f the underlying logic o f polis by comparing them according to the poli methodology, pollsters ’profile, facts o f swing voters, the politics o f Consulting, and voters ’rationality. Central to the assessment is the argument that.firstly, similarity in deployingpoli methodology as well as investigation o f pollsters ’profiles which are not adequate to provide convincing answers on discrepancies ofparties’electability. Next, scrutiny o f swing voters also creates questions as large disparities in their numbers which do not reflect the Central facts o f nearly simultaneous polis. Critical observation leads to the argument that partisan polis constitute the root o f disparity. Divisions between pollster camps are useful to explain different interes ts beyondpolis discrepancy. As well, the paper argues that oversimplified analysis of voters ’ rationality have yielded misapprehensions concerning the unique characteristics o f Indonesian voters. Ultimately, the dominant deployment o f scientific approach (episteme and techne) in undertakingpolis has overlooked contexts, values, andpraxis o f voters as well as the issue o f power among pollsters. Keywords: poli, electability, voting behaviour, rationality, the 2014 election
Abstrak Menjelang Pemilu 2014, lembaga-lembaga riset opini (pollsters) di Indonesia antusias mempublikasikan hasilhasil jajak pendapat {poli) mereka. Para pollsters mempresentasikan tren nilai elektabilitas yang serupa untuk tiga partai besar. Mayoritas lembaga riset opini mengunggulkan Partai Golkar sebagai parpol yang memiliki kesempatan untuk unggul dalam pemilu mendatang. Meski demikian, hasil-hasil jajak pendapat menyisakan pertanyaan serius terkait besarnya disparitas nilai-nilai elektabilitas, padahal jajak pendapat dilakukan dalam waktu yang relatif bersamaan. Makalah ini menelaah secara kritis logika fundamental riset-riset jajak pendapat melalui klarifikasi metodologi, profil lembaga, data swing voters, politik konsultansi, dan rasionalitas pemilih. Hasil-hasil pokok terhadap kajian ini di antaranya, pertama, telaah atas metodologi yang digunakan dan profil lembaga riset opini tidak cukup kuat memberikan jawaban yang meyakinkan terhadap perbedaan nilai-nilai elektabilitas parpol yang dipublikasikan pollsters. Berikutnya, kajian terhadap angka swing voters menyisakan pertanyaan karena disparitas1 1Data-data hasil jajak pendapat atau survei opini yang digunakan dalam tulisan ini didasarkan pada publikasi yang dimuat oleh mediamedia online berbahasa Indonesia. Sebagian kecil data lainnya diunduh dari laman resmi lembaga-lembaga riset opini yang mempu blikasikan datanya. Penulis kesulitan mengakses data-data hasil riset opini yang langsung berasal dari laman resmi lembaga-lembaga riset opini tersebut karena hingga awal Bulan April 2013 hanya Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang mempublikasikan hasil jajak pendapat di laman resminya. Tulisan ini lebih tepat dikatakan sebagai proxy jawaban terhadap perbedaan elektabilitas partaipartai politik menjelang Pemilu 2014 berdasarkan hasil-hasil riset opini para pollsters.
Elektabilitas dan Mitos Pemilih ... | Wawan Sobari | 59
angka swing voters yang besar tidak menjawab fakta-fakta utama penyelenggaraan jajak pendapat yang dilakukan hampir bersamaan. Kemudian, pendekatan kritis dalam melihat praktik jajak pendapat memberikan arahan untuk sampai pada argumen tentang jajak pendapat partisan sebagai inti disparitas nilai-nilai elektabilitas parpol. Selain itu, kategorisasi kubu-kubu (camps) di antara lembaga-lembaga riset opini berguna dalam menjelaskan perbedaan kepentingan di balik perbedaan hasil-hasil jajak pendapat. Analisis rasionalitas pemilih yang terlalu sederhana juga telah menghasilkan pemahaman yang kurang tepat terhadap karakter unik pemilih Indonesia. Terakhir, penggunaan secara dominan pendekatan sains (episteme dan techne) dalam pelaksanaan jajak pendapat telah mengabaikan konteks, nilai, realitas praksis pemilih, dan isu kontestasi di antara lembaga-lembaga riset opini.
Kata kunci: jajak pendapat, elektabilitas, perilaku memilih, rasionalitas, Pemilu 2014
“JSI: Golkar Berpotensi Menangkan Pemilu 2 0 1 4 ” (www.antaranews.com, 12/08/2012) "Meski Baru, Partai NasDem Sudah Terkenal" ( www.nasional.inilah.com, 12/08/2012) "Survei: Perolehan Suara Demokrat Merosot Tajam di 2014 ” (www.kompas.com, 14/10/2012) "Golkar Teratas, Demokrat dan P K S Terjun Bebas ” (www.saifulmujani.com, 03/02/2013) "PAN: Parpol Populer Bisa Tidak Dipilih ” (www.kompas.com, 15/10/2012) ' PPP: Salah Besar, Survei untuk Prediksi H asil Pemilu 2 0 1 4 ” (www.kompas.com, 14/10/2012) “Sutan: Jangan Mati Gara-gara S u rvei” (news.detik.com, 24/03/2013) "PDI-P: Kami Populer Karena K onsisten” (www.kompas.com,16/10/2012) "Ical: Golkar Urutan Pertama di Semua Survei" (www.kompas.com, 14/10/2012)
Pendahuluan Judul sejumlah media online dan laman lembaga riset opini di atas menggambarkan ekspresi dan perdebatan antara lembaga penyelenggara riset opini dan partai politik (parpol).2 Partai yang merasa diunggulkan bereaksi positif dengan m em berikan pernyataan yang m endukung rilis hasil survei. Sebaliknya, parpol yang tidak diunggulkan menyangkal hasil survei itu dengan berbagai alasan. Survei-survei opini mulai menjamur dan banyak diberitakan seluruh media terutama pasca-Pemilu 1999. Arus keterbukaan dan kebebasan sebagai wujud reformasi telah membuka banyak kesempatan lahir dan tum buhnya banyak lembaga riset opini. Mereka bisa melakukan rilis hasil survei tanpa kekhawatiran adanya sensor atau larangan dari pemerintah. Menjelang Pemilu 2004 dan 2009, eksistensi sejumlah lembaga riset opini semakin meningkat. Beberapa lembaga yang sudah mapan dan berpengalaman saling bergantian mengeluarkan hasil-hasil riset opini terkait prediksi hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden.3 Apalagi setelah
beberapa individu dari mereka mendirikan lembaga riset opini baru dan hadirnya para “pemain” baru dalam arena riset opini menambah besarnya pengaruh mereka dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari arena politik nasional.4* Setelah pemilihan kepala daerah secara langsung mulai dilaksanakan tahun 2005, wilayah operasi lembaga riset opini merambah arena politik lokal. Selain lembaga riset opini yang berbasis di Jakarta, di sejumlah kota besar lembaga riset opini bermunculan ikut meramaikan bursa politik lokal. Tidak pelak, lembaga-lembaga penyeleng gara riset opini menjadi bagian dari perhelatan demokrasi di negeri ini. Meskipun demikian, eksistensi lembaga riset opini tidak luput dari beberapa peristiwa menarik saat hasil survei tidak sesuai dengan fakta hasil pemilu. Dua contoh kasus menarik yang diliput banyak media massa, yaitu perbedaan prediksi hasil survei dan hasil akhir pemilihan kepala daerah (pilkada) yang terjadi dalam Pilkada DKI 2012 dan Pilkada Jawa Barat 2013. Di Jakarta, Pasangan Jokowi-Ahok secara tidak terduga memenangkan pilkada dalam dua putaran
2Jajak pendapat atau riset opini yang dimaksud dalam tulisan ini, yaitu jajak pendapat politik yang berupaya memotret perilaku politik warga menjelang pemilu dan sikap warga terhadap kebijakan pemerintah.
tersebut merupakan hasil singkatan versi penulis sendiri untuk memudahkan penulisan, bukan merupakan akronim resmi dari kedua lembaga tersebut.
3Terutama Lembaga Survei Indonesia (LSI Lembaga) dan Ling karan Survei Indonesia (LSI Lingkaran). LSI Lembaga adalah singkatan dari Lembaga Survei Indonesia dan LSI Lingkaran adalah singkatan dari Lingkaran Survei Indonesia. Akronim
4 Saat ini terdapat dua asosiasi lembaga riset opini di Indonesia, yaitu AROPI (Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia) pimpinan Denny J.A. dan Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) pimpinan Andrinof Chaniago.
60 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 59-84
dan menggugurkan hasil-hasil survei yang mengunggulkan pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi. Sementara itu, dalam kasus Pilkada Jawa Barat 2013, pasangan Aher-Deddy yang kurang diunggulkan oleh hasil-hasil riset opini justru menang dan mengalahkan pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana yang difavoritkan banyak lembaga riset opini. Kasus salah prediksi terjadi juga di Amerika Serikat meskipun negara ini sangat dikenal me miliki tradisi riset opini yang sangat kuat. Salah satu peristiwa bersejarah dalam kancah riset opini Amerika terjadi saat pemilihan Presiden Amerika tahun 1948. Pemilu saat itu menghadapkan sang petahana (incumbent) Harry S. Truman yang dicalonkan Partai Demokrat dan penantangnya Thomas E. Dewey yang dicalonkan Partai Republik. Truman diprediksi oleh banyak kalangan, termasuk lembaga riset opini, akan kalah oleh Dewey. Bahkan the Chicago Daily Tribune’s menulis headline “Dewey Defeats Truman” pada pagi hari menjelang pemilihan Presiden Amerika tahun 1948.5 Namun, secara menge jutkan hasil survei opini itu gagal membuktikan prediksinya. Truman menang telak dengan merebut 303 dari 531 electoral votes. Meskipun demikian, kemenangan Truman saat itu cukup tipis bila mengacu pada perolehan suara yang mencapai 49,6% berbanding perolehan Dewey sebesar 45,1%.6
Tiga parpol besar (PDI-P, Golkar, dan Partai Demokrat) memiliki tren yang relatif sama dalam hal peringkat elektabilitas. Namun, tidak demikian dengan angka elektabilitas masingmasing parpol yang cukup berbeda. Sebaliknya, peringkat elektabilitas parpol-parpol lainnya mengalami fluktuasi, walaupun perolehan angka elektabilitasnya relatif tidak jauh berbeda antar lembaga riset opini. Tabel 1 menunjukkan perbandingan hasil survei yang dilakukan sepanjang tahun 2012.7 Salah satu dasar yang bisa dijadikan patokan untuk menganalisis perbedaan hasil survei itu bisa dilihat dari tren urutan elektabilitas masingmasing partai. Dengan memfokuskan pada tiga partai besar, PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Demokrat, terlihat tren kenaikan yang hampir sama dari seluruh hasil survei. Golkar cenderung selalu meraih nilai elektabilitas tertinggi, disusul oleh PDI-P dan Partai Demokrat. Hanya survei LSI Lembaga dan Charta Politika yang menun jukkan elektabilitas Partai Demokrat pada posisi kedua dalam surveinya. M enariknya, meski hasil survei opini menunjukkan tren posisi elektabilitas yang ham pir sama, namun tidak demikian dengan angka perolehan elektabilitasnya. Berdasarkan batasan waktu pelaksanaan survei, hasilnya menunjukkan nilai elektabilitas yang berbeda.8 Survei opini Charta Politika dan Jaringan Survei Indonesia
Kembali ke kasus Indonesia, perhelatan politik berikutnya yang mulai menyedot per hatian lembaga-lembaga riset opini dan publik adalah Pemilu 2014. Sejak dua tahun menjelang Pemilu 2014 digelar, setidaknya sembilan lembaga riset opini sudah merilis hasil survei atau jajak pendapat. Sejak awal tahun 2012, media massa m em publikasikan hasil-hasil riset mereka. Menariknya, setiap lembaga riset opini menampilkan hasil (angka elektabilitas) yang berbeda, walaupun mereka menyeleng garakan survei dalam rentang waktu yang relatif berdekatan.
7 Keterbatasan penulis dalam mengakses data-data hasil riset opini yang langsung berasal dari lembaga-lembaga riset opini menyebabkan kesulitan untuk mengonfirmasi nilai total persen tase elektabilitas parpol. Menurut hasil penjumlahan yang dilakukan penulis dengan data yang berasal dari media online, hanya hasil survei SMRC 2 yang menunjukkan akumulasi 100%, termasuk prediksi nilai swing voters. Sementara itu, nilainilai elektabilitas yang dirilis lembaga-lembaga riset opini lain nya mencapai kurang dari atau bahkan melebihi angka 100%. Khusus nilai total elektabilitas hasil survei LSI Lembaga yang melebihi 100% kemungkinan karena fleksibilitas penggunaan konsep swing voters yang digunakan untuk mengidentifikasi jawaban responden. Karena keterbatasan ini maka analisis yang disajikan penulis lebih difokuskan pada perbedaan-perbedaan nilai elektabilitas Partai Golkar, PDI-P, dan Partai Demokrat yang mayoritas menempati posisi tiga besar dari seluruh hasilhasil riset opini tersebut.
5 Penjelasan lebih lengkap bisa ditemukan dalam Jennifer Rosenberg, http://historyl900s.about.eom/cs/trumanharry/a/ deweytruman.htm. diakses pada tanggal 2 April 2013.
8Berdasarkankan data yang dimiliki penulis, jarak perbedaan waktu pelaksanaan survei antarlembaga riset opini antara kurang dari satu bulan hingga empat bulan. Namun, jarak waktu antara pelaksanaan survei dan rilis hasil survei dari semua lembaga relatif sama, yaitu dalam rentang waktu dua minggu. Kecuali survei SMRC 2 yang dirilis lebih lama dari pelaksanaan surveinya, yaitu lebih dari dua bulan sejak pelaksanaan survei.
6 Selain Truman dan Dewey, dalam Pemilu kala itu Strom Thurmond menjadi calon ketiga dengan perolehan suara 2,4%.
Elektabilitas dan Mitos Pemilih ... | Wawan Sobari | 61
Tabel 1. Perbandingan Hasil Riset Opini Elektabilitas Partai Politik Februari-Desember 2012 (%) Lem baga Riset Opini No.
Parpol
Belum tahu W aktu Survei
LSI Lem b aga'
____________ 51 1 -1 2 Feb 2012
Charta Po litika”
_________ 34^4 8 -2 2 Jul 2012
JSI*"
26,7
SM R C 1” “
LSI Lingkaran......
_________ 23
___________ TK
1 7 -2 1 Jul
5 -1 6 Sep
2012
2012
1 - 8 O kt 2012
SM R C 2
21,4 6 -2 0 Des
2012
Keterangan: TK= tanpa keterangan ' Ira Guslina, “LSI: Pemilu Sekarang, Suara Demokrat Anjlok”, http://www.tempo.co/read/news/2012/02/19/078384978/LSI-PemiluSekarang-Suara-Demokrat-Anjlok diakses pada 30 Maret 2013 ” Eko Huda dan Nila Chrisna Yulika, “Survei Charta Politika: Golput Masih Nomor Satu”, http://us.politik.news.viva.co.id/news/ read/34 7596-survei-charta-politika—golput-masih-nomor-satu diakses pada 30 Maret 2013 '"R uslan Burhani, “JSI: Golkar Berpeluang Menangkan Pemilu 2014”, http://www.antaranews.com/berita/327161/jsi-golkar-berpotensimenangkan-pemilu-2014 diakses pada 30 Maret 2013 " ” Icha Rastika, “Survei: Perolehan Suara Demokrat Merosot Tajam di 2014”, http://nasional.kompas.com/read/2012/10/14/'17435834/ Survei.Perolehan.Suara.Demokrat.Merosot.Tajam.di.2014?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign= diakses pada 30 Maret 2013 Lingkaran Survei Indonesia, “Makin Suramnya Partai dan Capres Islam di Pemilu 2014”, http://lsi.co.id/lsi/2012/10/14/makinsuramnya-partai-capres-islam-di-pemilu-2014/ diakses pada 30 Maret 2013 ....... Saiful Mujani, “Gokar teratas, Demokrat dan PKS Terjun Bebas”, http://www.saifulmujani.com/blog/2013/02/04/golkar-teratasdemokrat-dan-pks-terjun-bebas diakses pada 30 Maret 2013
(JSI) yang dilakukan hampir bersamaan pada bulan Juli 2012 hasilnya menunjukkan selisih antara 0,6 hingga 2,7% antara PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Demokrat. Dua bulan kemu dian (September), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menemukan kecenderungan penurunan untuk tiga parpol besar tersebut. Bila dibandingkan dengan hasil survei JSI dua bulan sebelumnya (Juli), nilai elektabilitas Partai Demokrat mengalami penurunan paling tajam hingga 5,1%, kemudian disusul nilai elektabilitas PDI-P dan Partai Golkar yang masing-masing turun sebesar 4,5% dan 3,4%. Sebulan kemudian (Oktober), LSI Ling karan menyelenggarakan survei yang sama. Menariknya, nilai elektabilitas ketiga parpol besar itu mengalami lonjakan cukup tinggi bila dibandingkan dengan hasil survei SMRC pada bulan September 2012. PDI-P mengalami ke
naikan tertinggi sebesar 8,2%, kemudian diikuti nilai elektabilitas Partai Golkar yang naik sebesar 7% dan Partai Demokrat yang naik 6%. Pada akhir tahun 2012, SMRC kembali melaksanakan survei yang sama. PDI-P dan Partai Golkar me ngalami kenaikan nilai elektabilitas cukup tinggi masing-masing sebesar 9,2% dan 7,3%. Partai Demokrat mengalami kenaikan nilai elektabilitas hanya sebesar 0,3%. Namun, bila hasil survei SMRC (Desember) dibandingkan dengan hasil survei LSI Lingkaran yang dilakukan dua bulan sebelumnya (Oktober), di antara tiga parpol besar itu hanya nilai elektabilitas Partai Demokrat yang mengalami penurunan hingga 5,7%, sedangkan nilai elektabilitas PDI-P dan Partai Golkar meningkat. Atas dasar tren tersebut bisa diketahui pula perbedaan nilai elektabilitas dengan melihat per bedaan rentang waktu survei. Nilai elektabilitas
62 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 59-84
Tabel 2. Perbandingan Hasil Riset Opini Elektabilitas Partai Politik Januari-Maret 2013 (%) No.
Parpol P. Nasdem
Lem baga Riset O pini LSJ*
Publica RC*'
LSN*
4,5
2,5
5,3
2.
PKB
1,8
0,4
4,1
3.
PKS
16
1,7
4^6
5.
P. G olkar
18,5
4,2
19,2
6.
P. G erindra
10,3
PAN
2,5
1,6
4,1
PPP
2,4
3,4
10.
P. Hanura
5,8
0,6 0,6
11. 12.
PBB
0,4
PKPI
0,2
4. 11,9
7.
Belum tahu 9 -1 5 Waktu Survei Keterangan: TK = tanpa keterangan
TK Feb 2013
6,2
59,7
TK
1 8 -2 1 Feb 2013
26 F e b -1 5 M ar 2013
*Liputan 6, “Survei LSJ: Demokrat dan PKS Melorot Jelang Pemilu 2014”, http://news.liputan6.com/read/515992/survei-lsjdemokrat-dan-pks-melorot-jelang-pemilu-2014 diakses pada 30 Maret 2013 **JPNN, “Mayoritas Kelas Menengah Belum Punya Pilihan”, http://www.jpnn.com/read/2013/03/21/163655/Mayoritas-KelasMenengah-Belum-Punya-Parpol-Pilihan diakses pada 30 Maret 2013. Responden survei Publica Research and Consulting secara khusus ditujukan pada kelas menengah. Lembaga riset opini ini tidak menjelaskan kriteria kelas menengah yang dimaksud dalam rilis hasil risetnya. Berdasarkan penelusuran penulis terhadap media-media online {jpnn.com, solopos.com, suaramerdeka. com, vivanews. co. id, dan kompas, com) yang mempublikasikan hasil riset opini tersebut hanya menyebut bahwa respondennya bertempat tinggal di perkotaan (kelas menengah urban). Jumlah sampel sebanyak 1.300 orang dari 33 ibu kota provinsi di Indonesia. Responden dipilih berdasarkan buku telepon yang diterbitkan oleh PT Telkom dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara telepon. Pemilihan nomor telepon rumah tangga ditentukan secara acak sistematik dan penentuan responden dilakukan secara acak mumi. Margin o f error ditetapkan sebesar 2,8% pada tingkat kepercayaan 95%. Uraian metodologi jajak pendapat Publica Research and Consulting ini bisa dilihat dalam A rif Bambani Amri dan Syahrul Ansyari, “Survei Publica: Kelas Menengah Tak Percaya Partai”, http://us.politik.news.viva.co.id/news/read/398909-surveipublica-kelas-menengah-tak-percaya-partai diakses pada 30 Maret 2013. ’**Salmah Muslimah, “LSN Sebut PD Anjlok di 2014, Sutan: Jangan Mati Gara-gara Survei”, http://news.detik.eom/read/2013/0 3/24/163525/2202219/10/lsn-sebut-pd-anjlok-di-pemilu-2014-sutan-jangan-mati-gara-gara-survei diakses pada 30 Maret 2013
Partai Demokrat menurut hasil survei LSI Lem baga sebesar 13,7% pada bulan Februari 2012. Delapan bulan kemudian, temuan hasil survei LSI Lingkaran menunjukkan nilai elektabilitas yang meningkat hingga mencapai 14%. Padahal dalam rentang waktu tersebut, media memberikan porsi ekspos yang besar terhadap skandal korupsi yang dilakukan para petinggi Partai Demokrat.9* 9Kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rentang waktu itu melibatkan para petinggi Partai De mokrat, yaitu tindak pidana korupsi Pembangunan Wisma Atlet, tindak pidana korupsi pembangunan Sport Center Hambalang, dan tindak pidana korupsi pengadaan peralatan laboratorium di beberapa perguruan tinggi negeri. Beberapa Politisi Partai Demokrat yang terbukti dan disangka terlibat, yaitu Nazaruddin (Bendahara Umum), Angelina Sondakh (Wakil Sekretaris Umum), Andi Alfian Mallarangeng (Mantan Menpora), dan Anas Urbaningrum (Ketua Umum). Dalam presentasi bertajuk hasil survei “Kinerja Pemerintah dan Dukungan pada Partai: Tren Anomali Politik 2012-2013”, SMRC menyebutkan salah satu kesimpulannya bahwa “M eskipun belum tentu bersalah secara pidana, hukum politik (opini publik) pada Dem okrat
Contoh perbedaan mencolok lainnya di ketahui dari perbandingan hasil survei LSI Lembaga dan SMRC atas elektabilitas Partai Golkar. Pada bulan Februari 2012, LSI Lembaga menyebutkan elektabilitas Partai Golkar sebesar 15,5%. Tujuh bulan kemudian (September) nilai elektabilitas tersebut menurun 1,5% hingga menjadi 14%. Berbeda dengan LSI dan SMRC, hasil survei Charta Politika dan JSI menunjukkan peningkatan elektabilitas Partai Golkar. Menarik pula mencermati nilai elektabilitas Partai Golkar berdasarkan hasil survei LSI Lingkaran dan SMRC yang menunjukkan perdan kader-kadernya telah dijatuhkan sehingga partai ini m engalam i penu ru n an kepercayaan dan dukungan dari pemilih secara drastis”. Presentasi itu didasarkan pada hasil survei nasional SMRC yang dilakukan 6 hingga 20 Desem ber 2012. Dengan kata lain, menurut SMRC penumnan nilai elektabilitas Partai Demokrat disebabkan oleh kasus korupsi yang dilakukan para petinggi Partainya.
Elektabilitas dan Mitos Pemilih ... | Wawan Sobari | 63
bedaan mencolok. Survei yang dilakukan dalam perbedaan rentang waktu kurang dari dua bulan menunjukkan selisih nilai elektabilitas yang cukup besar. Menurut hasil survei LSI Lingkaran, elektabilitas Partai Golkar mencapai 21%. SMRC menyampaikan bahwa nilai elektabilitas Partai Golkar mencapai 14%.10 Hasil survei elektabilitas parpol yang dilakukan dalam rentang waktu Januari hingga M aret 2013 pun m enunjukkan perbedaan, walau relatif lebih kecil. Menurut hasil survei nasional Lembaga Survei Jakarta (LSJ) pada Februari 2013, nilai elektabilitas PDI-P mencapai 16,5%. Kurang dari satu bulan kemudian, LSN melakukan survei yang sama dan menemukan nilai elektabilitas PDI-P yang lebih besar hingga mencapai 20,5%. Begitupun nilai elektabilitas Partai Golkar yang meningkat 0,7%. Menariknya, hasil survei LSN menunjukkan penurunan nilai elektabilitas Partai Demokrat sebesar 2,6% bila dibandingkan dengan temuan survei LSJ yang dilakukan kurang dari satu bulan sebelumnya. Selain itu, berdasarkan hasil survei Lembaga Survei nasional (LSN), PDI-P merupakan parpol yang memiliki nilai elektabilitas tertinggi diban ding Partai Golkar dan Partai Demokrat. Temuan survei LSN itu berbeda dengan tren temuan lembaga-lembara riset opini lainnya sebagaimana dicantumkan dalam Tabel 1 yang menunjukkan nilai elektabilitas Partai Golkar selalu berada pada posisi tertinggi dibanding nilai elektabilitas PDI-P dan Partai Demokrat. Mencermati perbandingan hasil-hasil survei elektabilitas parpol yang dilakukan pada tahun 2012 dan tahun 2013 terdapat satu kecende rungan menarik. Selisih angka elektabilitas tiga partai besar tersebut mengalami penurunan. Dengan kata lain, semakin mendekati Pemilu maka perbedaan selisih elektabilitas masingmasing parpol mengalami penurunan. Hal itu bisa diduga karena sosialisasi pemilu terus mengalami perbaikan dan parpol-parpol lain di luar tiga parpol besar telah mulai melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Namun, asumsi itu tidak tepat bila melihat secara komprehensif hasil-hasil survei tersebut, terutama melihat perbandingan seberapa besar responden yang menjawab “belum 10 Hasil riset opini kedua lembaga tersebut dirilis dalam waktu yang sama pada 14 Oktober 2012.
menetapkan pilihan” (swing voter) saat survei dilakukan. Untuk mencari jawaban mengenai per bedaan nilai elektabilitas partai politik seperti dirilis sembilan lembaga riset opini tersebut tidak sederhana karena pengaruh waktu pelaksanaan survei yang semakin mendekati penyeleng garaan Pemilu 2014. Untuk mendeteksi penyebab perbedaan tersebut, beberapa pertanyaan mesti diajukan terlebih dahulu. Pertanyaan utamanya, mengapa survei yang diadakan dalam waktu hampir bersamaan menghasilkan perbedaan nilai elektabilitas yang cukup tinggi? Pertanyaan lebih spesifik, apakah terdapat perbedaan metodologi survei yang diterapkan lembaga-lembaga riset opini itu? Bagaimana keterkaitan perbedaan hasil survei dengan profil lembaga-lembaga riset opini? Apakah perbedaan itu disebabkan oleh potensi swing voters? Apakah ada kemungkinan politik riset opini di balik rilis hasil-hasil survei itu? Bagaimana penjelasan yang didasarkan pada asumsi rasionalitas pemilih?
Penggunaan Metodologi Riset Opini Untuk menjawab perbedaan hasil-hasil survei mengenai nilai elektabilitas parpol menjelang Pemilu 2014 yang dipublikasikan beberapa lem baga riset opini maka upaya pertam a dilakukan dengan melakukan klarifikasi terhadap penggunaan metodologi riset. Asumsinya, per bedaan metodologi yang digunakan akan sangat memungkinkan munculnya perbedaan hasil riset. Untuk itu, penulis melakukan perbandingan metodologi riset opini yang diaplikasikan tujuh lembaga riset opini." Tabel 3 merangkum hasil perbandingan tersebut. Tidak ada perbedaan mendasar terhadap metodologi riset yang digunakan oleh lembagalembaga riset opini tersebut. Seluruhnya bersan dar pada perspektif positivisme. Mereka mempre diksikan elektabilitas partai politik berdasarkan pemahaman preferensi pemilih menggunakan pendekatan sains (ilmu pengetahuan alam).112 11 Penulis tidak memasukkan lembaga riset Publika Research and Consulting karena tidak tersedia cukup data dari laman resmi lembaga tersebut. 12Kamus Bahasa Indonesia menerjemahkan kata sains sebagai ilmu pengetahuan pada umumnya; ilmu pengetahuan alam. Lihat D. Sugono dkk., Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2009), hlm. 1.341.
64 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 59-84
Tabel 3. Perbandingan Metodologi Riset Opini antar-Lembaga Riset* Lem baga Riset Opini LSI Lem baga
M etodologi Survei Teknik Sam pling
Tingkat Kepercayaan
M argin of Error
2 Sam pel
Populasi
95%
±2,2%
2.050
33 provinsi, 17 tahun/ m enikah
W aw ancara tatap muka
Sistem pengacakan bertingkat
95%
±2,9%
1.200
33 provinsi, 17 tahun/ m enikah
W aw ancara tatap m uka, FGD, in-depth interview
Ram bang berjenjang dan proporsional
95%
±2,8%
1.230
33 provinsi, 17 tahun/ m enikah
W aw ancara tatap m uka, in-depth interview,a n a lisis m edia
Sistem pengacakan bertingkat
95%
±3%
1.220
33 provinsi, 17 tahun/ m enikah
W aw ancara tatap muka
Sistem pengacakan bertingkat
95%
±2,9%
1.200
33 provinsi, 17 tahun/ m enikah
W aw ancara tatap muka
Tidak disebut kan
95%
±2,8%
1.225
33 provinsi, 17 tahun atau m enikah
95%
±2,19%
2.000
33 provinsi, 17 tahun/ m enikah
Sistem pengacakan bertingkat
LSI Lingkaran
LSN
SM R C
JSI
LSJ
Charta Politika Sistem pengacakan bertingkat
Teknik Pengum pulan Data
w aw ancara kuisioner
W aw ancara tatap muka
*Seluruh data tentang metodologi merujuk pada rilis media yang disampaikan pada saat lembaga riset opini melakukan ekspos temuan riset. Penulis mengutipnya dari pemberitaan media online yang mempublikasikan hasil riset-riset tersebut. Hanya LSI Lembaga dan SMRC yang membuka akses secara terbuka terhadap presentasi lengkap dari rilis hasil survei yang telah dilakukan, termasuk penjelasan metodologinya.
Perilaku memilih yang merupakan fenomena politik (sosial) berusaha didekati dengan pendekatan sains. Tidak adanya perbedaan mendasar dalam penggunaan metodologi riset yang dimaksud terkait dengan asumsi-asumsi filosofis yang digunakan lembaga riset opini dalam risetnya. Pertama terkait penggunaan logika deduktif dalam menjelaskan perilaku pemilih. Penetapan teori-teori yang digunakan sebagai pisau analisis telah ditetapkan sejak awal, kemudian digunakan untuk mengonfirmasi temuan atau perilaku pemilih. Misalnya, SMRC merujuk karya Anthony Downs (1957) dan model eko nomi politik perilaku pemilih sebelum melakukan survei untuk mengetahui korelasi antara kinerja pemerintah dan dukungan pada partai. Kedua tentang bagaimana pandangan peneliti terhadap realitas perilaku politik pemilih {the nature o f reality). Penggunaan cara-cara berpikir linear dalam m enjelaskan faktor-faktor penjelas yang ditentukan sebelumnya digunakan untuk
melakukan generalisasi tentang hal-hal yang mendorong pilihan pemilih. Penggunaan uji ko relasi antarvariabel (pengubah dan yang diubah) merupakan bentuk determinasi metodologi riset sains. Meskipun dalam praktiknya fakta sosial dan politik di luar diri pemilih sebenarnya lebih kompleks dan tidak seluruhnya tepat dijelaskan dengan cara berpikir linier. Ketiga penggunaan teknik dan prosedur analisis (kuantitatif) yang membutuhkan keah lian tertentu untuk mengaplikasikannya tidak memberi ruang bagi keterlibatan responden dalam melakukan analisis data. Asumsi bahwa peneliti sebagai profesional yang paling berhak dan mampu melakukan analisis data hasil riset merupakan bagian dari filosofi riset-riset sains. Meskipun terdapat sedikit perbedaan dalam metodologi seperti penggunaan teknik pe ngumpulan data yang lazim digunakan dalam pendekatan kualitatif. Contoh, LSI Lingkaran dan LSN menggunakan teknik tambahan berupa diskusi kelompok terfokus (FGD), wawancara
Elektabilitas dan Mitos Pemilih ... I Wawan Sobari I 65
mendalam, dan analisis media. Tujuannya lebih sebagai instrumen untuk membantu analisis.13 Penggunaan teknik-teknik kualitatif tersebut tetap tidak mengubah asumsi dasar bahwa peneliti sudah menetapkan desain kerangka berpikir sejak awal berdasarkan teori tertentu untuk menggeneralisasi temuan.14 P enjelasan lebih lan ju t, penggunaan ukuran-ukuran sampel, tingkat kepercayaan, simpangan kesalahan (margin o f error), dan pengujian-pengujian inferensial keterhubungan antarvariabel riset menunjukkan prinsip-prinsip positivisme. Informasi opini yang berasal dari persepsi responden yang dipilih secara random diolah secara logis dan matematis untuk me menuhi standar metodologis sebagai pengetahuan yang teruji. Intinya, cara-cara yang digunakan serupa dengan perlakuan terhadap objek riset ilmu alam (natural science). Demikian pula, terkait ukuran sampel, simpangan kesalahan, dan tingkat kepercayaan dalam melakukan survei seluruhnya meng gunakan asumsi yang sama. Perbedaan jumlah sampel merupakan konsekuensi asumsi semakin rendahnya simpangan kesalahan atau ekspresi jumlah kesalahan sampel acak (random sampling error) dalam survei. Namun faktanya, semakin rendah simpangan baku tidak menjamin semakin rendahnya perbedaan nilai-nilai elektabilitas tiga parpol besar. Kembali ke Tabel 1, survei opini nasional Charta Politika (Juli 2012) yang mene tapkan simpangan kesalahan sebesar ±2,19% dan jumlah responden 2.000 orang menunjukkan 13 Lihat rilis LSI Lingkaran berjudul “Makin Suramnya Partai & Capres Islam di Pemilu 2014”, http://lsi.co.id/lsi/2012/I0/14/ makin-suramnya-partai-capres-islam-di-pemilu-2014/ diakses pada tanggal 30 Maret 2013. Penulis menyadari keterbatasan analisis perbandingan metodologi yang digunakan lembagalembaga riset opini. Penyebabnya, publikasi media terhadap hasil survei mereka tidak menyebutkan secara detail peng gunaan metodologinya, termasuk penggunaan teknik-teknik pengumpulan data seperti FGD dan wawancara mendalam. Hanya LSI Lingkaran yang menjelaskan sedikit mengenai tujuan penggunaan FGD dan wawancara mendalam: “Untuk mendalami substansi dan analisis, LSI juga melakukan Focus Group Disscusion (FGD) dan in-depth interview”. 14 Tiga poin yang penulis uraikan dalam menilai metodologi tersebut diadopsi dari John W. Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 2009), hlm. 16-19. dan R. Chambers, Whose Reality Counts? Putting the First Last, (London: Intermediate Technology Publications, 1997), hlm. 31-32.
perbandingan yang menarik dengan hasil survei LSI Lingkaran yang menetapkan simpangan kesalahan ±2,9% dan jumlah sampel 1.200 orang yang dilakukan kurang dari tiga bulan kemudian (Oktober 2012). Di tengah tren penurunan nilai elektabilitas Partai Demokrat menurut hasil-hasil survei lembaga riset opini lain dalam Tabel 1, LSI Lingkaran justru menyebutkan nilai elektabilitas Partai Demokrat sebesar 14% yang lebih besar dari temuan nilai elektabilitas sebesar 12,5% dari Charta Politika yang dilaksanakan kurang dari tiga bulan sebelumnya. M enarik pula melihat perbandingan hasil survei Charta Poli tika dan JSI yang dilakukan hampir bersamaan pada bulan Juli 2012. JSI yang menetapkan simpangan kesalahan dan jumlah sampel lebih kecil (±2,9%/l .200 orang) dari Charta Politika, menyebutkan nilai elektabilitas PDI-P lebih besar sebanyak 2,7% daripada temuan Charta Politika (13,5% berbanding 10,8%). M engenai kem ungkinan non-sampling error, yang disebabkan oleh kesalahan manusia, baik disengaja maupun tidak disengaja, cukup sulit untuk mengetahui atau melakukan proxy jawabannya. Penulis menyadari kelemahan tersebut karena tidak melakukan konfirmasi langsung kepada para penyelenggara riset-riset opini tersebut. Pentingnya ketepatan penarikan sampel dalam survei ditekankan oleh salah satu pegiat riset opini yang cukup dikenal, Burhanuddin Muhtadi. Peneliti Senior LSI Lembaga itu pemah menulis di Harian Jurnal Nasional edisi 1 Juli 2009 mengenai kesahihan hasil survei. Menurut Burhanuddin, kemungkinan sampling yang bermasalah bisa menyebabkan rendahnya akurasi dan presisi hasil survei, terutama menyangkut nilai keberpeluangan setiap individu yang ditetapkan untuk terpilih dalam penetapan dan penarikan sampel.15*Kembali ke Tabel 3, kesamaan teknik sampling antara JSI, Charta Politika, dan LSI Lingkaran ternyata tidak menunjukkan logika kesesuaian nilai-nilai elektabilitas parpol sebagaimana disampaikan sebelumnya. Sekali lagi, konfirmasi langsung terhadap penyelenggara survei memang mesti dilakukan untuk memperdalam kemungkinan non-sampling error. 15 Burhanuddin Muhtadi, “Survei Dapatkah Dipercaya?”, http:// www. Isi. or. id/liputan/3 79/Survei-dapatkah-dipercaya, diakses pada 30 Maret 2013.
66 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 59-84
Di luar pertimbangan non-sampling error, penulis tetap memandang tidak ada perbedaan mendasar dalam penggunaan metodologi riset yang dilakukan lembaga-lembaga riset opini tersebut. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perbedaan hasil survei elektabilitas parpol menjelang Pemilu 2014 bukan disebabkan oleh perbedaan metodologi riset. Keseragaman metodologi yang digunakan dalam survei oleh lembaga-lembaga riset opini justru memunculkan pertanyaan mengapa terdapat perbedaan hasilhasil survei yang dilakukan lembaga-lembaga itu, padahal seluruh lembaga riset opini menjalankan metodologi yang seragam?
Profil Lembaga Penyelenggara Riset Opini Upaya mencari jawaban berikutnya melalui pendalaman profil lembaga-lembaga riset opini. Untuk itu, penulis melakukan penelusuran secara online terhadap laman-laman resmi lembaga riset opini tersebut. Penulis berhasil mengum pulkan data dari tujuh laman resmi yang bisa diakses secara bebas. Tidak semua lembaga riset opini menyediakan data dan mempublikasikan profilnya dengan lengkap, terutama terkait bentuk lembaga. Hanya LSI Lembaga yang cukup lengkap menyajikan profil institusi di laman resminya. Untuk jajaran pengurus yang mengelola organisasi, hanya Charta Politika yang tidak mencantumkan dalam laman resminya. Merujuk pada tahun berdirinya, lembagalembaga riset opini tersebut relatif masih baru.16 Hanya LSI Lembaga yang berusia menjelang sepuluh tahun yang berdiri secara resmi sejak 17 September 2003. Berdasarkan identitas yang dicantumkan dalam laman resminya, para pollsters mengklaim sebagai lembaga yang independen dan profesional dalam riset opini dan konsultansi politik. Hanya LSI Lembaga yang berani menyebutkan sebagai lembaga yang berorientasi bukan pada pencarian profit atau akumulasi modal dalam menjalankan aktivitas riset opininya, sedangkan yang lain tidak secara tegas menyebutkannya. 16 Lembaga sejenis yang telah lama berdiri dan melaksanakan riset opini, yaitu LP3ES Jakarta. Hanya saja, penulis tidak memasukkan dalam makalah ini karena LP3ES tidak mem publikasikan hasil-hasil riset opini terkait Pemilu 2014 selama 2012 hingga Maret 2013.
JSI secara jelas menyebutkan identitasnya sebagai PT (perseroan terbatas) Jaringan Suara Indonesia yang menunjukkan identitas badan usaha. Sementara itu, yang lain menyebutkan identitas bentuk lembaganya sebagai badan hukum yayasan. Dalam hukum positif Indonesia, yayasan dikenal sebagai lembaga yang bermotif sosial, keagamaaan, atau kemanusiaan, bukan untuk mencari keuntungan dan memupuk modal. Berdasarkan jasa pelayanan yang diberikan lembaga, seluruhnya menyediakan jasa riset opini, khususnya yang terkait dengan kontestasi pemilu nasional dan pemilu lokal (pilkada). Tiga dari tujuh lembaga (LSI Lingkaran, SMRC, dan JSI) secara eksplisit menyebutkan jasa konsultansi pemenangan pemilu. Hanya Charta Politika yang secara eksplisit menyebut lem baganya sebagai pusat data politik. Selain riset opini terkait kontestasi politik, LSI Lembaga dan LSJ melayani pula riset-riset komersial untuk perusahaan-perusahaan.17 Namun, menurut Muhammad Qodari, salah seorang pegiat riset opini dan konsultan politik, organisasi-organisasi konsultan politik di Indonesia merupakan genera lis. Artinya, mereka melakukan semua pekeijaan, termasuk menjalankan seluruh pekerjaan yang terkait dengan kampanye kandidat yang meng gunakan jasanya.18 Melihat data pengurus inti dari lembagalembaga riset opini tersebut, mayoritas berlatar belakang akademisi, peneliti, dan konsultan politik. M isalnya, pengurus LSI Lembaga Kuskrido Ambardi berlatar belakang akademisi dari Universitas Gadjah Mada, Hendro Prasetyo dan Burhanuddin Muhtadi berlatar belakang akademisi dari UIN Syarif Hidayatullah, Direktur Eksekutif LSI Lingkaran Denny J.A. merupakan ahli politik (political expert), mantan pegiat Charta Politika Bima Arya Sugiarto sebelum nya merupakan akademisi sebelum menjadi 17 Menurut Muhammad Qodari, LSI Lingkaran merupakan lembaga riset opini pertama di Indonesia yang memosisikan dirinya sebagai konsultan politik. Lihat M. Qodari, “The Professionalization o f Politics: The Growing Role of Polling Organization and Political Consultants”, dalam E. Aspinall dan M. Mietzner (Eds.), Problems o f Democratization in Indonesia: Elections, Institutions and Society, (Singapore: I SEAS Publishing, 2010), hlm. 131. '*Ibid hlm. 137. Dalam pandangan penulis, lembaga konsultan politik memiliki keterkaitan erat atau bahkan menjadi satu dengan lembaga riset opini karena konsultasi politik biasanya diawali dengan kegiatan riset opini.
Elektabilitas dan Mitos Pemilih ... | Wawan Sobari | 67
Tabel 4. Profil Singkat Lembaga-Lembaga Riset Opini Berskala Nasional Lem baga Riset Opini
Profil Tahun berdiri
Identitas
_ PengUrUS
Bentuk Lem baga
Pelayanan
LSI Lem baga
17 Septem ber 2003
LSI bersifat independen, nonpartisan, nirlaba, tidak berafiliasi pada partai politik m aupun tokoh atau kelom pok.
Direktur Eksekutif: Kuskrido A m bardi Direktur Riset: Hendro Prasetyo Direktur Kom unikasi Publik: Burhanuddin M uhtadi
Badan hukum yayasan
LSI m enyediakan jasa riset bagi berbagai kalangan yang berke pentingan dengan opini publik. LSI m elakukan 2 jenis survei: 1) Survei publik 2) Survei kom ersial O m nibus: m enitipkan pertanya an dalam kuesioner survei.
LSI Lingkaran
2005
Pem buat opini publik, peneliti, kolum nis, ahli survei.
Denny J.A , Ph.D.
Tid ak disebut kan dengan jelas, m em i liki 5 anak perusahaan.
Survei/riset, konsultan bagi kepala daerah, partai, pem im pin lem baga pem erintahan dan BUM N , calon pejabat publik yang bertarung dalam pem ilu, dan kelom pok bisnis.
LSN
17 Juli 2006
Lem baga riset opini inde penden dan profesional
Direktur Eksekutif: U m a rS . Bakry M an ajer SDM : A.A. Djarkasih M an ajer Riset: Denny Ram dhany
Badan hukum yayasan
Survei, terutam a survei-survei elektoral (tidak disebutkan dengan je las dalam laman resm i LSN).
SM RC
Tid ak dise butkan
Konsultan politik
Saiful M ujani (Founder) Grace Natalie (CEO)
Tid ak disebut- Jasa konsultan politik yang kan dengan terintegrasi (jasa penelitian, jelas survei daerah pem ilihan, survei tracking, studi kualitatif, FGD, pendam pingan politik, quick count pem ilu.
JSI
8 A gustus 2008
Lem baga kon sultan politik
W iddi A sw indi, Nukie Perseroan Basuki, Eka Kusm ayadi, terbatas Fajar S. Tam in, dan Popon Lingga Geni
Survei opini publik Survei kebijakan publik. Q uick C ount Pendam pingan pem enangan (konsultan)
LSJ
22 Juni 2009
Lem baga riset independen, baik yang tid a k berafiliasi dengan partai m aupun orga nisasi politik
Direktur: Rendy Kurnia M an ajer O perasional: Igor Dirgantara M an ajer SDM : Dedy Setiadi M an ajer Statistik: Sakti H erm ansyah
Badan hukum yayasan
Survei opini publik (survei pilkada dan survei nasional tentang partai politik dan calon presiden. Survei kebijakan publik (pem da dan kem enterian negara) Survei corporate
Charta Politika
M aret 2008
Pusat data dan penelitian politik
Tid ak disebutkan dengan je las
Tid ak disebutkan dengan jelas
Produk riset dan analisis Charta Politika Indonesia
Sumber: http://lembagasurveijakarta.com/; http://www.jsi-riset.com/; http://www.sai/ulmujani.com/; htlp://www.Isi.or.id/program/; http://lsn07.com/; http://chartapolitika.com/; http://lsinetwork.co.id/. Seluruh data diakses pada 2 April 2013.
68 I Jurnal Penelitian Politik I Volume 10 No. 1 Juni 2013 I 59-84
fungsionaris Partai Amanat Nasional (PAN).19 Sementara itu, para pegiat JSI mengklaim sebagai sekumpulan profesional konsultan politik.20 Direktur Eksekutif LSN Umar S. Bakry pun mengklaim sebagai periset.21 Begitupun LSJ didirikan oleh beberapa akademisi di Jakarta.22 Tidak terdeteksi secara terbuka bahwa individuindividu tersebut berafiliasi atau berpatron dengan partai politik. M uhamm ad Q odari m engelom pokkan tiga kategori latar belakang konsultan politik di Indonesia, yaitu p o litic a l experts (ahli politik), academics (akademisi), dan advertising and public relations professionals (praktisi iklan dan hubungan masyarakat). Kategori ini dimaksudkan untuk membandingkan dengan kepengurusan lembaga-lembaga riset opini di Amerika yang memiliki latar belakang sebagai bagian dari partai politik. Menurut Qodari, lembaga konsultan politik (bukan hanya lembaga riset opini) mayoritas dipegang oleh orang-orang yang independen dan tidak berafiliasi pada partai politik.23Catatan kritis penulis, meski mengklaim sebagai lembaga yang independen dan tidak berafiliasi pada kekuatan politik tertentu, tidak menutup kemungkinan dilakukannya praktik maladjustment terhadap hasil-hasil survei untuk kepentingan klien. Dengan kata lain, meskipun lembaga penyelenggara riset opini dan konsultan politik mengklaim dirinya sebagai nonpartisan, namun cukup sulit memberikan jaminan bahwa hasil-hasil riset opininya tidak bersifat partisan (maladjustment). Apabila ditelusuri antar-individu pengurus lembaga-lembaga riset opini ternyata memiliki keterkaitan hubungan kerja sama sebelumnya. Individu-individu pengurus tersebut sebelumnya memiliki hubungan dengan LSI Lembaga dan LSI Lingkaran, baik sebagai peneliti, kolega, maupun ahli yang berkecimpung di dua lembaga 19 Mengenai klaim latar belakang pengurus LSI Lembaga diberitakan berbagai media massa. Mengenai klaim latar belakang Denny J.A. dan Bima Arya Sugiarto. Lihat Qodari, loc.cit., hlm. 137. 20 http://www.jsi-riset.com/index.php ?option=com_content&v iew=article&id=91<emid=119 diakses pada 2 April 2013. 21LSN, http://lsn0 7. com/index.php ?option ~com_content& view =article&id=9<emid~5 diakses pada 2 April 2013. 22 Lihat http://lembagasurveijakarta.com/sample-page/6iakses pada 2 April 2013. 23Muhammad Qodari, loc.cit., hlm. 137.
itu. Mohammad Qodari, sebagai pegiat riset opini dan konsultan politik, menyebutkan bahwa dirinya pemah bergabung dengan LSI Lembaga dan LSI Lingkaran. Demikian pula Denny J.A., Direktur Eksekutif LSI Lingkaran, dulunya merupakan bagian dari LSI Lembaga sebelum mendirikan LSI Lingkaran.24 Sementara itu, Umar S. Bakri Direktur Eksekutif LSN pemah menjadi peneliti di Pusat Studi Demokrasi (PSD) bentukan Denny J.A.25 Widdi Aswindi Direktur Eksekutif JSI pemah menjadi Direktur Riset LSI Lingkaran.26JSI pun secara terbuka menyebutkan bahwa para pegiat riset opini di lembaga itu dulunya pemah memiliki pengalaman panjang dalam riset dan konsultasi politik di institusiinstitusi sejenis lainnya.27 Analisis yang tidak mudah dilakukan terkait dengan analisis lembaga dan individu itu terkait afiliasi dan klien yang pernah dilayaninya. Publikasi di laman resmi lembaga lebih banyak m enam pilkan data-data norm atif. Adapun klien, baik institusi maupun individu yang memanfaatkan jasa lembaga-lembaga tersebut tidak dipublikasikan secara terbuka.28Karenanya, mengaitkan perbedaan hasil survei elektabilitas parpol dan profil lembaga (normatif) sulit dilaku kan. Data-data normatif yang dipublikasikan oleh lembaga-lembaga riset opini tidak cukup untuk menjawab perbedaan profil itu. Alasannya karena 2iIbid. hlm. 131. 25 Lihat LSN, http://lsn07.com/index.php?option=com_conte nt&view=article&id=9&Itemid=5 diakses pada 2 April 2013. 26 Lihat http://www.rmol.co/read/2011/ll/05/44652/TigaTahun-Beli-Kantor-Rp-6,5-Miliar-di-Kalibata- diakses pada 2 April 2013. 27Lihat http://www.jsi-riset.com/index.php?option=com_conten tS view=article& id=9J &Item id= 119 diakses pada 2 April 2013. 28 Berdasarkan pengalaman penulis saat mengumpulkan data hasil-hasil survei pilkada untuk kepentingan studi penulis (disertasi) bahwa lembaga riset opini memiliki salah satu kode etik untuk tidak membuka akses secara terbuka hasil-hasil riset nya tanpa persetujuan dari klien pemberi pekerjaan sekaligus penyandang dana riset. Penulis pemah melakukan komunikasi melalui surat elektronik (e-mail) dengan salah satu direktur di lembaga riset opini terkenal berbasis di Jakarta untuk memohon akses mengenai data hasil survei pilkada. Lembaga riset opini tersebut menjelaskan tentang kode etik penggunan hasil survei. Hasil komunikasi ini yang menjadi dasar pengalaman penulis terkait kode etik tersebut. Selain itu. Direktur Eksekutif LSN Umar S. Bakri pemah menyatakan hal serupa dan menyebut kode etik tersebut sebagai prinsip anonimitas. Pernyataan Umar S. Bakri bisa diakses secara online dalam Praga Utama, “LSN: Survei Politik Pasti Dibiayai”, http://www.tempo.co/ read/news/2013/05/06/078478128/p-LSN-Survei-Politik-PastiDibiayai diakses pada 28 Juni 2013.
Elektabilitas dan Mitos Pemilih ... | Wawan Sobari | 69
data profil lembaga justru menunjukkan karakter institusi yang hanya berbeda dalam bentuk lembaga, yaitu lembaga berorientasi mencari profit dan nonprofit. Apalagi semua lembaga mengklaim identitas dirinya bersifat independen dan nonpartisan sebagaimana dirangkum dalam Tabel 4. Satu faktor penjelas lain bisa dikaitkan dengan rilis hasil survei elektabilitas yang dilaku kan pada 2012 sebagaimana dipaparkan dalam Tabel 1. Rilis hasil survei dalam rentang mulai Agustus hingga Oktober 2012 menunjukkan tren peringkat elektabilitas yang sama. LSI Lingkaran, SMRC, JSI, dan Charta Politika menempatkan Partai G olkar sebagai parpol dengan nilai elektabilitas tertinggi, kemudian disusul PDI-P dan Partai Demokrat. Angka rilis nilai elektabilitas tertinggi diraih Partai Golkar berdasarkan hasil riset LSI Lingkaran pada Oktober 2012 sebesar 21%. Nilai elektabilitas terendah untuk Partai Golkar disampaikan dalam rilis SMRC pada hari yang sama dengan LSI Lingkaran merilis hasil surveinya sebesar 14%. Bila melihat nilai elektabilitas PDI-P dan Partai Demokrat, LSI Lingkaran mempublikasikan nilai yang lebih tinggi dibanding SMRC, JSI, dan Charta Politika. Artinya, ada perbedaan nilai elektabilitas atas rilis hasil-hasil survei tersebut dan prediksi elektabilitas parpol menurut LSI Lingkaran lebih besar daripada tiga lembaga riset opini lainnya. Hal ini terutama tampak dari besarnya nilai elektabilitas Partai Demokrat yang mencapai 14% mendekati akhir tahun 2012, sebagaimana hasil survei LSI Lingkaran. Padahal hasil survei lainnya justru menyebut nilai elektabilitas Partai Demokrat terus menurun hingga di bawah 10%. Meskipun demikian, hasil perbandingan nilai elektabilitas tersebut tidak cukup untuk menjelaskan logika keterkaitannya dengan profil lembaga dan kepentingan (politik) terhadap publikasi hasil riset opini. Dengan kata lain, analisis profil lembaga tidak memadai untuk menjelaskan perbedaan nilai-nilai elektabilitas tiga parpol besar menjelang Pemilu 2014.
Penjelasan Data Swing Voters Upaya menjawab perbedaan nilai-nilai elektabiWtas parpol berdasarkan hasil survei oleh
lembaga-lembaga riset opini yang ketiga bisa dilakukan melalui besarnya swing voters yang berhasil diidentifikasi dalam hasil-hasil riset tersebut. SMRC merilis hasil survei khusus tentang fakta dan data swing voters pemilih parpol menjelang Pemilu 2014. Dalam presentasi yang dirilis secara resmi pada 14 Oktober 2012, SMRC mendefinisikan swing voter sebagai “Perilaku pemilih yang berubah atau berpindah pilihan partai atau calon dari satu pemilu ke pemilu berikutnya”.29 SMRC menggunakan empat indikator untuk melokalisasi fakta swing voters di Indonesia, yaitu (1) perubahan perolehan suara dari pemilu ke pemilu; (2) tidak bisa memilih secara spontan terhadap partai; (3) tren dinamis pilihan pada partai dengan simulasi daftar partai; (4) tren pilihan partai sekarang pada pemilih partai dalam Pemilu 2009.30 Menurut riset SMRC, potensi swing voters dalam Pemilu Indonesia sangat besar. Berdasar kan indikator yang digunakannya angka swing voters bisa diketahui dari perubahan perolehan suara parpol dalam tiga kali pemilu di Era Reformasi. Pemilu 1999 hingga Pemilu 2009 selalu menghasilkan tiga parpol pengumpul suara terbanyak yang saling bergantian. Indikasi lainnya ditunjukkan oleh semakin terfragmentasinya konstelasi politik antarparpol. Parpol yang memenuhi ambang batas parlemen menjadi semakin banyak.3132 Dalam istilah hasil survei yang dirilis lembaga-lembaga riset opini di Indonesia, makna swing voters menjadi lebih luas, bukan lagi sekadar perubahan pilihan partai atau kandidat. Hasil riset opini biasanya menyebut sebagai pemilih yang belum menentukan pilihannya atau belum tahu akan memilih partai tertentu dalam pemilu (the undecided)?1 Seluruh lembaga riset opini menggunakan istilah “belum tahu atau 29Presentasi SMRC, 2012, slide no. 2. 30Ibid., slide no.3. 31 Indonesia 2014, “Swing Voter Akibatkan Suara Partai N aik atau Turun Tajam,” http://www.indonesia-2014.com/ read/2012/11/19/swing-voter-akibatkan-suara-partai-naikatau-turun-tajam diakses pada 30 Maret 2013. 32Lihat rilis hasil survei Charta Politika pada 30 Agustus 2012. Sumber: http://politik.pelitaonline.eom/news/2012/08/30/hasilsurvei-hadapi-Pemilu-2014-pemilih-makin-stagnan diakses pada 30 Maret 2013.
70 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 59-84
Tabel 5. S w in g
Voters
dalam Hasil Riset Opini Elektabilitas Partai Politik 2012-2013* Le m b aga R ise t O p in i
S w in g V oters
Belum Tahu/ M enentukan (%)
W aktu Su rve i
LSI Lem baga
C h arta Politika
JSI
SM RC 1
LSI Lin gka ran
SM R C 2
LSJ
P u b lika RC
LSN
51
3 4,4
26,7
23
TK
21,4
TK
59,7
TK
1 -1 2 Februari 2012
8 -2 2 Juli 2012
1 7 -2 1 Ju li 2012
5 -1 6 S e p te m b e r 2012
1 - 8 O kto b er
6 -2 0 D e se m b e r
9 -1 5 Februari
2012
2013
1 8 -2 1 Februari 2013
2012
26 Feb ru a ri-1 5 M aret 2013
Keterangan: TK= tanpa keterangan ’ Sumber data sama dengan sumber data nilai-nilai elektabilitas parpol pada Tabel 1 dan Tabel 2.
belum menentukan” dalam publikasi hasil-hasil survei mereka. Meskipun fenomena swing voters meru pakan fakta yang wajar di sebuah negara dengan pemilu yang telah dilakukan secara reguler, namun tetap saja penting bila dikaitkan dengan nilai elektabilitas parpol yang berbeda menjelang Pemilu 2014 yang dirilis lembaga-lembaga riset opini. Apakah perbedaan nilai elektabilitas parpol sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1 disebabkan oleh perbedaan angka swing voters yang diketahui dari setiap hasil survei? Bila merujuk pada Tabel 5 yang memperli hatkan nilai-nilai swing voters yang disebutkan dalam rilis lembara-lembaga riset opini, seperti nya tidak memadai untuk menjawab pertanyaan tersebut. Perbedaan nilai swing voters berdasar kan rilis hasil survei SMRC 1, JSI, dan Charta Politika terpaut antara 3,7 hingga 11,4%. Se mentara itu, Tabel 1 dan Tabel 2 memperlihatkan selisih angka swing voters ketiga survei tersebut tidak relevan untuk menjelaskan perbedaan nilai elektabilitas antartiga parpol besar dengan nilai elektabilitas tertinggi. Kecilnya nilai elektabilitas Partai Golkar, PDI-P, dan Partai Demokrat dalam survei yang dirilis oleh SMRC pada Oktober 2012 dibanding survei serupa yang dilakukan JSI disebabkan oleh besarnya nilai swing voters yang mencapai angka 50%. Begitu pula dengan nilai swing voters yang lebih kecil ditemukan Charta Politika dibanding SMRC berbanding lurus dengan angka elekta bilitas yang lebih besar dari tiga partai tersebut. Kemudian, membandingkan dua hasil survei SMRC yang dirilis dalam rentang waktu empat
bulan yang berbeda, hasilnya masih menunjuk kan konsistensi. Kenaikan nilai elektabilitas yang cukup besar dari Partai Golkar dan PDI-P diikuti dengan penurunan angka swing voters. Selain itu, kenaikan elektabilitas tersebut diikuti dengan peningkatan angka elektabilitas parpol lain, yaitu PKB, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PPP, dan Partai Hanura. Meskipun demikian, masih ada pula satu perbedaan yang membutuhkan jawaban bila m em bandingkan hasil survei SMRC yang dirilis pada Oktober 2012 dengan hasil survei LSI lembaga yang dirilis delapan bulan sebelumnya. LSI Lembaga menemukan angka swing voters yang lebih besar, yaitu 51%. Angka itu jauh lebih besar dari temuan SMRC dengan rentang waktu survei yang terpaut cukup jauh. Selain itu, nilai elektabilitas Partai Golkar, PDI-P, dan Partai Demokrat berdasarkan temuan LSI Lembaga pun lebih besar dari temuan SMRC. Selisih akumulasi angka elektabilitas tiga parpol tersebut lebih besar 11,8% untuk temuan LSI Lembaga daripada SMRC. Namun, setelah m em bandingkan nilai total dari perolehan nilai elektabilitas dan swing voters antara hasil survei LSI Lembaga dan SMRC perbedaan itu dinilai wajar. Total nilai elektabilitas yang dirilis LSI Lembaga, termasuk angka swing voters, mencapai 117,2% dan SMRC sebesar 99,5%. Oleh karena itu, selisih 17,7% nilai itulah yang menjawab perbedaan akumulasi nilai-nilai elektabilitas dan angka swing voters hasil survei dua lembaga itu. Perbedaan definisi atau kriteria swing voters oleh LSI lembaga dan SMRC memungkinkan perbedaan angka terse-
Elektabilitas dan Mitos Pemilih ... I Wawan Sobari I 71
Keterangan: ST = semi terbuka atau simulasi dengan daftar nama dan gambar partai; Spontan = pilihan spontan. ’ SMRC, op. cit., slide no. 28 dan 35. Spontan artinya pilihan spontan. ST singkatan dari semi terbuka atau wawancara dilakukan dengan simulasi dengan daftar nama dan gambar partai.
Grafik 1. Jawaban “Belum Tahu” Terhadap Pilihan Parpol Berdasarkan Hasil Survei SMRC
but, termasuk penjelasan mengenai total nilai elektabilitas yang dirilis LSI Lembaga (termasuk angka swing voters), yang melebihi nilai 100%. Terdapat kemungkinan penghitungan ganda karena perbedaan definisi dan kriteria swing voters.32 Dengan demikian, penjelasan perbedaan nilai elektabilitas dikaitkan dengan perbedaan angka swing voters yang kurang relevan karena faktanya angka swing voters terus menurun saat semakin mendekati penyelenggaraan Pemilu. Simulasi yang dilakukan SMRC dengan meng gunakan pertanyaan semi terbuka mengenai parpol yang akan dipilih, menunjukkan angka3 33 Terkait perbedaan angka swing voters yang dirilis tujuh lem baga riset opini, penulis menduga pula disebabkan kelemahan penggunaan konsep swing voters sehingga berdampak pada perbedaan angka tersebut. Satu hasil studi swing voters yang cu kup penting dan komprehensif ditunjukkan William G. Mayer. Mayer (2007) menggunakan pertanyaan-pertanyaan “feeling thermometer” yang dikembangkan the American National Elec tion Studies (NES) guna memilah swing voters dan non-swing voters. Dengan metode itu, Mayer bisa memperluas cakupan definisi swing voters dan tentunya mampu mendeteksi lebih baik siapa yang terkategori swing voters. Dari hasil studinya, Mayer menawarkan tiga definisi alternatif swing voters, yaitu sebagai political independent (tidak memiliki afiliasi parpol), party switcher (pemilih yang berganti partai dari satu pemilu ke pemilu lainnya), the undecided (tidak tahu akan memilih siapa atau partai apa dalam pemilu). William G. Mayer, “The Swing Voter in American Presidential Election”, American Politics Research, Vol. 35, No. 3, Mei 2007, hlm. 362-365.
swing voters yang stabil antara 22 hingga 23% (Grafik 1), Sementara itu, melihat tren angka swing voters sebelum Pemilu 2009 sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 6 cukup konsisten. Menurut hasil survei LSI Lembaga, angka swing voters terus mengalami penurunan semakin mendekati pemilu. Bahkan satu bulan menjelang Pemilu 2009, angka swing voters tinggal 9%. Tidak dem ikian dengan hasil survei Indo Barometer yang menemukan angka swing voters yang fluktuatif. Hingga Juni 2008, angka swing voters mencapai 29,4%. Meskipun begitu, angka tersebut sebenarnya tidak terpaut jauh dengan temuan LSI lembaga yang memperkirakan angka swing voters sebesar 25% pada September 2008. Selain faktor jarak waktu menuju penyeleng garaan pemilu, besarnya angka swing voters dalam pemilu, khususnya pemilu legislatif, di Indonesia bisa pula disebabkan oleh faktor-faktor lainnya. Hasil studi politik aliran dan keterikatan pemilih terhadap parpol yang dilakukan Andreas Ufen (2008) hingga Pemilu 2014 memberikan sejum lah jaw aban. M eskipun tidak secara spesifik menjelaskan tentang fakta swing voters, menurut Ufen, analisis politik aliran masih relevan diterapkan dalam studi kepartaian dan pemilih di Indonesia, ia menyebutnya sebagai
72 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 59-84
Tabel 6. S w in g
Voters
dalam Hasil Riset Opini Menjelang Pemilu 2009 LSI Lem baga
W aktu Survei
Indo Barom eter Belum tahu/belum m enentukan (%)
W aktu Survei
Belum tah u /b elum m enentukan (%)
8 -1 8 Februari 2009
9
1 0 -2 2 D esem ber 2008
20
26 O kto b e r-5 N ovem ber 2008
25
5 -1 6 Juni 2008
8 -2 0 Septem ber 2008
25
Desem ber 2007
17,7
25 Se p te m b e r-2 O ktober 2007
29
Mei 2007
26,5
29,4
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_legislatif_Indonesia_2009 diakses 6 A pril 2013
modified aliran approach. Yang menarik dan relevan dari temuan Ufen adalah penjelasan mengenai fakta dealignment atau keterputusan afiliasi antara partai politik dan pendukungnya.34 Gejala dealignment diindikasikan oleh tujuh hal yang berhasil diobservasi oleh Ufen:35 This dealignment is interalia indicated by seven features:first, the rise ofpresidential or presidentialized parties with w eakened political machines, the simulation ofpopulis m and the surging impact ofm ass m edia and m odern campaign techniques; second, the authoritarianism andpersonalism within parties with pow erful 'adviser' and executives that punish unruly members, m arginalize internal opposition and increase factionalization; third, the dominance o f ‘money politics ’ with bought candidacies, MPs acting as broker fo r private companies, businessmen taking over p a rty chairmanships, a n d billionaire financiers determining policies behind the scenes; fourth, p o o r political platform s centered on very general ideologies; fifth, decreasing party, loyalties with only ‘em otional’ linkages between voters and parties; sixth, the cartel-like cooperation o f parties as indicated by rainbow coalitions, an unorganized opposition, the musyawarah dan mufakat mechanism and the collusion in tolerating corruption; andfinally, the form ation o f new, pow erful local elites, stim ulated by decentralization and invigorated by the pilkada.
Selain ketujuh fakta itu, Ufen m elihat dampak perubahan sosial sebagai penyebab termodifikasinya politik aliran dan munculnya dealignment, yaitu perubahan pola hubungan antara kelas kapital dan kelas politik, perubahan pola pendidikan, dan semakin pentingnya peran 34 Dalam istilah bahasa Inggris kata alignment diartikan se bagai kesepakatan antara sekelompok pejabat negara, partai politik, atau warga yang bekerja sama karena adanya kesamaan kepentingan dan tujuan. Lebih singkatnya alignment berarti keterikatan atau ikatan. 35A. Ufen, “From Aliran to Dealignment: Political Parties in post-Suharto Indonesia”, South East Asia Research, Vol. 16, No. 1,2008, hlm. 34.
media massa.36 Ketiga faktor tersebut diyakini ikut mendorong semakin rendahnya keterikatan warga dengan partai politik. Logikanya, semakin kuat gejala dealignment akan mendorong sema kin besarnya angka swing voters. Karena itu, hasil studi Ufen cukup bisa menjelaskan fakta dan data swing voters yang cukup besar ditemukan dalam setiap hasil survei oleh lembaga-lembaga riset opini. Apalagi, kalau merujuk pada hasil-hasil riset tersebut angka swing voters selalu di atas 20%. B erdasarkan penjelasan perbandingan hasil-hasil survei menjelang Pemilu 2014 dan studi tentang dealignment antara parpol dan pemilih, perbedaan angka swing voters dari hasil survei lembaga-lembaga riset opini dinilai tidak cukup kuat menjelaskan perbedaan nilai-nilai elektabilitas parpol yang dirilis lembaga-lembaga riset opini tersebut. Karena perbedaan angka elektabilitas antarparpol semestinya diikuti per bedaan angka swing voters yang sebanding. Hanya saja, penulis masih mempunyai perta nyaan terkait hasil-hasil riset opini itu. Sebegitu dinamiskah pemilih di Indonesia? Karena survei yang diadakan dalam waktu hampir bersamaan menghasilkan disparitas swing voters yang besar.
Jajak Pendapat dan Politik Konsultansi Di negara-negara yang dem okratis, peran riset opini atau jajak pendapat tidak bisa dikesampingkan. Jajak pendapat bisa membantu terwujudnya akuntabilitas pemerintahan terpilih. Menurut Jacobs and Shapiro, jajak pendapat bisa mengidentifikasi masalah yang dianggap penting oleh publik atau pemilih untuk diselesaikan oleh kandidat dan kebijakan-kebijakan yang 36Ibid., hlm. 35-36.
Elektabilitas dan Mitos Pemilih ... | Wawan Sobari | 73
diinginkan oleh pemilih yang mesti didukung oleh para kandidat. Selain itu, riset opini bisa mendorong ketanggapan demokratik {democratic responsiveness) yang membantu para petahana (incumbents) untuk mengantisipasi harapan para pemilih dalam pemilu.37 Selain itu, posisi riset opini dalam demokrasi sangat penting karena riset opini disejajarkan sebagai salah satu representasi pendapat publik, selain pemilu. Di negara yang demokratis, opini publik yang diperoleh melalui riset opini yang berkualitas merupakan bentuk ekspresi publik terhadap pemerintahan dan situasi yang tengah berjalan. Karenanya, setiap sistem politik memperhitungkan opini publik. Opini publik bisa dikatakan pula sebagai bentuk legitimasi pemimpin atau pemerintahan.38 Dalam konteks yang lebih umum, Lipari mengategorikan tiga mazhab tentang hubungan jajak pendapat dan opini publik. Pertama, mazhab populis yang berpandangan bahwa apabila jajak pendapat dilakukan dengan benar akan mampu mengekspresikan keinginan warga dan mem fasilitasi pembuatan kebijakan yang demokratis. Kedua, mazhab kritis yang berpendapat bahwa jajak pendapat tidak bisa mengukur opini publik. Alasannya, baik jajak pendapat maupun publik dimanipulasi oleh upaya-upaya para elite untuk mengejar dan mendomestikasi (memperlunak) kekuatan transformatif aksi kolektif warga.39 Ketiga, perspektif konstruksionis yang me mandang riset opini publik sebagai mekanisme demokrasi yang terkelola (manageddemocracy). Pandangan konstruksionis menganggap opini publik sebagai epiphenomenal atau hasil proses interaksi yang bersifat sosial dan komunikatif. Penganut pandangan ini memusatkan kajiannya pada bahasa dan proses-proses simbolik sebagai unit analisis dan mengajukan pertanyaan-per tanyaan tentang konstruksi sosial atas realitas.40 Dari tiga pendekatan ini bisa ditarik gam baran bahw a posisi jajak pendapat dalam 37Lawrence R. Jacob dan Robert Y. Shapiro, “Polling Politics, Media, and Election Campaigns”, Public Opinion Quarterly, Vol. 5, Special Issue 2005, hlm. 635. 38Williams dan Edi, dalam Carrol J. Glynn (Eds), Public Opin ion, (Colorado: Westview Press, 1999), hlm. 213. 39 L. Lipari, “Polling as Ritual”, Journal o f Communication, Winter, 1999, hlm. 84-85. 40Ibid, hlm. 86
menilai sekaligus membentuk opini publik tidak selamanya dilakukan dalam situasi yang hampa atau tanpa kepentingan. Bahwa jajak pendapat dan opini publik bisa membantu tumbuhnya de mokrasi memang tampak hasilnya. Terutama saat jajak pendapat berhasil merangkum opini warga terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah dan penyelenggara negara lainnya. Jajak pendapat merupakan mekanisme efektif mengontrol dan mengukur akuntabilitas pemerintahan terhadap warganya. Namun, jajak pendapat memung kinkan menjadi satu instrumen bagi penguasa atau pihak-pihak yang berkompetisi dalam arena kontestasi politik. Hasil jajak pendapat yang didorong seolah merepresentasikan opini publik, bisa menjadi alat propaganda pemerintah atau kampanye politik. Dalam perjalanannya, ternyata jajak pendapat mengalami pasang surut, terutama sorotan publik dan media massa terhadap perbedaan hasil-hasil jajak pendapat politik. Moore membuat salah satu subjudul dalam bukunya “Pollsters underAttaele” (Lem baga-Lem baga Jajak Pendapat dalam Serangan). Mantan editor pelaksana dan editor senior The Gallup Organization itu menceritakan serangan media dan banyak kalangan di Amerika terhadap perbedaan hasil survei Gallup dan Pew Research terkait Pemilu Presiden Amerika tahun 2004. Saat itu Gallup memperkirakan keung gulan President incumbent George W. Bush dari Calon Partai Demokrat Senator John Kerry.41 Sebaliknya, Pew Research memasang judul utama hasil jajak pendapatnya “Kerry Support Rebounds; RaceAgain Even ” (Dukungan Kerry Melambung; Pertarungan Kembali Sama Kuat).42 Dalam ekspresi yang berbeda, Jacobs dan Shapiro menyebut istilah “under fire”. Menurut keduanya, selain berkontribusi terhadap pemilu dan demokrasi, jajak pendapat dipersalahkan karena para pejabat terpilih menggunakannya secara berlebihan. Pejabat yang semestinya me ngandalkan pertimbangan independen terhadap kebijakan yang dibuat dan dijalankannya malah 41 Saat itu Gallup memperkirakan keunggulan Bush sebesar 3 poin persentase di atas Kerry sebelum Konvensi Partai Re publik, dan Bush diperkirakan unggul hingga 7 poin setelah konvensi. Sepuluh hari kemudian Gallup merilis keunggulan tambahan Bush sebesar 6 poin dari Kerry hingga unggul 55% banding 42%. 42 D.W. Moore, The Opinion Makers: An Insider Exposes the Truth Behind the Polis, (Boston: Beacon Press, 2008), hlm. 101.
74 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 59-84
lebih memilih preferensi publik yang diperki rakan lewat jajak pendapat.43Persoalannya adalah seberapa independen jajak pendapat tersebut berhasil memotret pendapat publik? Apakah mewakili kepentingan seluruh warga atau hanya suara sekelompok kecil orang tertentu? Jacob dan Shapiro menuding kesalahan metode telah membuka pintu masuk subjektivitas dan bias partisan, yang memungkinkan lembagalembaga riset opini “menggoreng” datanya untuk keuntungan kandidat-kandidat yang dipreferensikannya.44 Moore memberikan penjelasan kegagalan “permainan” kepentingan kebanyakan lembaga-lembaga jajak pendapat di Amerika saat akan menyerang Irak. Lembaga-lembaga riset opini saat itu mengklaim mengukur preferensi publik atas kebijakan itu, justru menghasilkan pembacaan yang menyimpang dan salah terhadap opini publik Amerika dan malah merusak proses demokrasi. Secara lebih gamblang lagi, bias hasil-hasil jajak pendapat dikatakan Moore sebagai berikut, “It ’s crucial to recognize that the role polis play in serving the media ’s power bias is to provide closure to a cycle that legitimizes the policies o f those in power”.45 Fakta yang disajikan Moore dan artikulasi Jacob dan Shapiro memperkuat pendekatan kritis dalam mengkaji data hasil-hasil riset opini. Se bagaimana disampaikan Lipari, pendekatan kritis meminjam pertanyaan-pertanyaan berbasis sosial dan politik yang memusatkan pada analisis sosial dan makro, termasuk pertanyaan-pertanyaan terkait kekuasaan dan dominasi. Terutama terkait bagaimana para elit menggunakan riset-riset opini untuk mengelola dan mengontrol pendapat publik.46Dengan kata lain, fakta-fakta hasil riset opini tidaklah selalu merupakan fakta yang netral atau tanpa kepentingan. Melainkan merupakan hasil permufakatan, baik dari para penyelenggara maupun penyandang dana dan pemanfaat hasil jajak pendapat. Beberapa hasil kajian yang diartikulasi oleh Lipari yang melihat jajak pendapat dalam perspektif kritis, di antaranya Ginsberg yang menemukan bahwa meskipun tidak menjamin 43Jacob dan Shapiro, loc. cit. 44Ib id , hlm. 636. 45Moore, op. cit., hlm. 102-103. 46Lipari, op. cit., hlm. 85.
keberhasilannya, jajak pendapat telah menye diakan pemerintah satu kesempatan yang lebih baik untuk mengantisipasi, meregulasi, dan me manipulasi sikap-sikap publik yang dikehendaki. Kemudian Herbst menemukan bahwa daya tarik demokratis yang melekat pada kegiatan-kegiatan jajak pendapat karena memperlakukan seluruh pendapat secara sama dan mengubah fenomena yang sukar dipahami menjadi kelihatan nyata. Selain itu, Christian yang menyatakan bahwa jajak pendapat media dan pendapat publik kon temporer berfungsi seperti propaganda sosiologis tersembunyi yang merusak proses-proses rasional berbasis diskursus.47 Berdasarkan fakta hasil-hasil studi dan pendekatan itulah maka penulis memutuskan untuk mereferensi hasil studi Mietzner yang mengkaji jajak pendapat politik pasca-eraotoritarianisme di Indonesia. Meski kajiannya memfokuskan pada peran jajak pendapat politik dalam mendorong konsolidasi demokrasi di Indonesia, namun temuan Mietzner bisa memberi alternatif jawaban atas persoalan disparitas nilai elektabilitas parpol berdasarkan hasil jajak pendapat lembaga-lembaga riset opini menjelang Pemilu 2014. Eksistensi lembaga-lembaga riset opini telah mengubah, baik wajah demokrasi nasional maupun lokal di Indonesia. Pasar demokrasi dan riset opini berhasil mengubah popularitas sebagai orientasi baru partai politik dan politisi dalam pencalonan daripada kapabilitas kandidat, khususnya dalam pem ilihan kepala daerah (pilkada). Ukuran-ukuran popularitas48 individu telah mengubah loyalitas dan posisi kader parpol dalam percaturan demokrasi elektoral di daerah. Selain itu, popularitas telah menegasi upayaupaya parpol untuk berkiprah dalam mewarnai dinamika politik lokal.49 47Ibid, hlm. 85-86. 48Lembaga riset opini biasanya membagi tiga ukuran populari tas individu maupun parpol secara operasional menjadi tingkat kesukaan (likeability), keterkenalan/tahu (recognition), dan keterpilihan (electability). Qodari menyebutnya sebagai dua atribut potensi kemenangan kandidat berupa recognition dan likeability yang akan membentuk electability. Lihat Qodari, op. cit., hlm. 133. 49M. Mietzner, “Political Opinion Polling in Post-Authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?” Bijdragen totde Taal-, Land- en Volkenkunde,Vol. 165, No. 1, 2009, hlm. 111-112.
Elektabilitas dan Mitos Pemilih ... | Wawan Sobari | 75
Dalam struktur lembaga-lembaga riset opini di Indonesia, gejala yang nampak adalah m unculnya rivalitas antarlem baga karena perbedaan kepentingan politik dan ekonomi dalam penyelenggaraan riset opini. Mietzner memetakan dua kubu institusi yang cenderung bertolak belakang dalam pendekatan kepentingan penyelenggaraan jajak pendapat, yaitu “kubu akademisi” dan “kubu komersil”. Kubu pertama memegang prinsip bahwa jajak pendapat se mestinya berusaha memenuhi kebutuhan publik atas informasi dan transparansi politik. Kubu ini dikenal sebagai kelompok nonkonsultan. Jajak pendapat hanya ditujukan untuk mengukur kekuatan dan kelemahan kandidat yang akan maju dalam kontestasi politik. Mereka tidak terlibat dalam jasa konsultansi pemenangan kandidat.50 Kubu kedua melakukan praktik riset opini dan konsultansi, termasuk mengorganisasi kam panye dan pemenangan kandidat, partai politik, dan pencitraan calon serta desain iklan dan slogan kampanye.51 Majalah Tempo edisi 30 Juli 2012 memunculkan istilah “supermarket pemilihan umum” untuk lembaga seperti ini. Paket pe menangan secara lengkap ditangani satu lembaga yang memiliki divisi-divisi khusus mulai dari riset opini hingga pencitraan dan iklan.52 50Ibid., hlm. 117. 51 Ibid., hlm. 117-119. Mietzner menjelaskan awal mula munculnya kubu akademisi dan kubu komersil karena adanya perbedaan paradigmatik mengenai peran pollsters, khususnya antara dua tokoh besar pegiat jajak pendapat, Saiful Mujani dan Denny J.A., ketika keduanya masih berada dalam satu wadah LSI Lembaga. Mujani berpandangan bahwa misi LSI Lembaga ditujukan untuk mengetahui harapan-harapan masyarakat agar elite bisa meresponsnya secara efektif. Denny berpandangan bahwa selain menyampaikan hasil riset opini kepada elite dan rakyat, LSI Lembaga bisa pula melakukan kerja sama dengan kandidat potensial dan kuat dan memberikan fungsi konsultansi. Perbedaan pandangan tersebut kemudian diikuti kegiatankegiatan Denny yang memberikan praktik konsultansi dalam kampanye pencalonan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pemilu Presiden tahun 2004. Langkah-langkah Denny tersebut mengganggu hubungannya dengan Mujani dan kawan-kawan sepaham dan JICA selaku penyandang dana LSI Lembaga waktu itu. Perbedaan pandangan itulah yang disinyalir menjadi salah satu penyebab perpecahan Mujani dan Denny, hingga pada Mei 2005 Denny meninggalkan LSI Lembaga kemudian mendirikan LSI Lingkaran. Penuturan Mietzner dalam karyanya didasarkan pada hasil wawancara dengan Saiful Mujani dan mengutip pemberitaan Majalah Tempo edisi. 39/XXXVI/19-25 November 2007 dan Harian Kompas Edisi 29 Juni 2004. 52Dalam laporan berjudul “Legitnya Bisnis Konsultan Pilkada” Majalah Tempo Edisi 30 Juli 2012 menyebut Lingkaran Survei
Apabila mengacu pada profil norm atif masing-masing lembaga riset opini sebagaimana terangkum dalam Tabel 5 maka kategori kubu akademisi dan komersil bisa digunakan. Yang ter masuk kubu akademisi, yaitu LSI Lembaga, LSN, Charta Politika, dan LSJ. Lembaga-lembaga ini secara normatif menyatakan sebagai institusi yang hanya menjalankan riset tanpa melakukan konsultansi politik untuk pemenangan kandidat. Sementara itu, lembaga yang terkategori kubu komersil, yakni LSI Lingkaran,53SMRC, dan JSI. Mereka secara tegas menyebutkan pelayanan jasa praktik konsultansi politik.54 Catatan penting yang bisa ditarik dari dua kategori lembaga riset opini di Indonesia, yakni terkait perubahan orientasi demokrasi. Risetriset opini telah mendorong orientasi praktis kandidat dan partai politik dalam mempraktikkan demokrasi. Demokrasi rasional atau demokrasi yang efisien menjadi resultan dari keterlibatan lembaga-lembaga riset opini dalam membentuk demokrasi nasional dan lokal seperti pasar poli tik. Biaya untuk maju dalam arena, baik pemilu maupun pilkada dikeluarkan untuk membiayai lembaga riset opini dalam memberikan pela yanan paket pemenangan pemilu dengan tujuan memperoleh jabatan publik. M ietzner m engingatkan dengan tegas tentang risiko rivalitas antara dua kubu lembaga riset opini. Kekhawatiran munculnya survei opini yang manipulatif, komersial, dan berpotensi partisan tidak terelakkan. Konsekuensinya, reliabilitas data jajak pendapat bisa dipertanyakan.55 M eskipun begitu, kategorisasi kubu-kubu lembaga riset opini menurut Mietzner tampaknya mulai kehilangan relevansinya. M engingat terjadinya dinamika orientasi para pegiat riset opini. Saiful Mujani yang dalam tulisan Mietzner menolak LSI Lembaga terlibat dalam praktik konsultansi politik,56 kemudian mendirikan Indonesia pimpinan Denny J.A. sebagai pencetus ide “Super market Pemilihan Umum”. ^ Ibid., Majalah Tempo Edisi 30 Juli 2012. 54 Penulis menyadari kelemahan kategorisasi tersebut dan memungkinkan terjadi kekeliruan karena tidak mendalami ge nealogi setiap lembaga survei. Setidaknya penulis menetapkan hasil kategori-kategori itu berdasarkan fakta yang disajikan dalam profil masing-masing lembaga riset opini. Penulis juga menyampaikan catatan kritis mengenai kategorisasi ini. 55Mietzner, op. cit., hlm. 123. 56Ibid., hlm. 118-120.
76 I Jurnal Penelitian Politik I Volume 10 No. 1 Juni 2013 I 59-84
SMRC yang secara jelas menyebutkan pelayanan jasa konsultansi politik. Sebagaimana disebutkan dalam laman resminya, “SMRC menawarkan jasa konsultan politik yang terintegrasi. Berbasis data yang akurat, setiap strategi dirumuskan secara khusus untuk pemenangan Anda”.57 Catatan lainnya terkait pendanaan riset opini. Beberapa riset opini yang dipublikasikan biasanya didanai oleh lembaga riset opini itu sendiri. Dananya bersumber dari subsidi silang keuntungan yang disisihkan dari pelayanan jasa konsultansi politik yang disisih. LSI Lingkaran menyebutnya sebagai tanggung jawab sosial perusahaan, sedangkan riset-riset untuk kepen tingan pemenangan biasanya didanai kandidat dan dengan berpegang pada prinsip anonimitas penyandang dana sehingga hasil surveinya tidak dipublikasikan.58 Oleh karena itu, penggunaan pendekatan kritis dalam mengkaji hasil-hasil riset opini tetap penting. Karena berdasarkan pendekatan kritis dan temuan studi tentang kategorisasi lembaga riset opini memberikan arah jawaban atas perbedaan nilai-nilai elektabilitas partai politik yang dirilis lembaga-lembaga tersebut. Perbedaan kepentingan memungkinkan dispari tas angka-angka elektabilitas partai politik yang cukup besar meskipun penyelenggaraan survei dilakukan dalam waktu yang relatif bersamaan. Analisis “bias kepentingan” (survei partisan) terhadap hasil riset opini memungkinkan untuk digunakan dalam membaca perbedaan nilai-nilai elektabilitas hasil survei tersebut. Sementara itu, penggunaan kategorisasi kubu-kubu (camps) lembaga riset opini pun tetap dibutuhkan untuk pemetaan awal.
Mitos Pemilih Rasional59 57 Saiful Mujani, http://www.saifulmujani.com/ diakses pada 2 April 2013. 58 Berdasarkan pernyataan Peneliti LSI, Toto Izzul Fattah. Sumber: Berita Satu, “LSI Bantah Survei Calon DKI 1 Pesanan Foke”, http://www.beritasatu. com/megapolitan/41325-lsi-bantah-survei-calon-dki-l-pesanan-foke.html. Diakses pada 2 April 2013. Lihat j uga Buku Digital Denny J. A., “King Maker Politik Indonesia". Sumber: http://lsi.co.id/buku/mens_obs_new.pdf diakses pada 28 Juni 2013. 59 Penulis meminjam istilah subjudul ini dari buku The Myth o f the Rational Voter karya Bryan Caplan (2007). Meskipun demikian, pengertian subjudul tersebut tidak seluruhnya sama dengan makna yang dimaksud Caplan.
Untuk menjawab pertanyaan kritis atas perbedaan nilai-nilai elektabilitas parpol yang dirilis lembaga-lembaga riset opini menjelang Pemilu 2014, penulis melakukan langkah berikutnya berupa verifikasi pendekatan aplikasi metodologi riset yang digunakan. Pertama, penulis melaku kan verifikasi terhadap asumsi-asumsi yang di gunakan lembaga riset opini dalam menganalisis dan m enjelaskan kecenderungan perilaku pemilih. Kedua, penulis berupaya membedah asum si-asum si m etodologis yang dipakai lembaga-lembaga riset opini. Untuk mengetahui interpretasi lembaga riset opini terhadap hasil survei yang menjelaskan perilaku calon pemilih dalam Pemilu 2014, penulis merujuk pada penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh lembaga riset opini dalam rilis hasil risetnya. Tabel 8 memaparkan beberapa fakta tersebut. Terlepas dari penggunaan judul-judul publikasi hasil survei yang dilakukan lembagalembaga riset opini, beberapa temuan cukup mampu menjelaskan asumsi-asumsi mereka dalam menjelaskan kecenderungan perilaku pe milih.60 Pertama, responden atau calon pemilih dipersepsikan sebagai individu yang memiliki kapasitas independen menentukan pilihannya secara decisive (menentukan). Responden diang gap sebagai individu yang membuat keputusan tanpa pengaruh faktor-faktor struktural di luar dirinya. Padahal, fakta-fakta sosial, ekonomi, dan geografis dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam memiliki andil dalam mendorong pilihan politik warga.61* K edua, responden atau calon pem ilih ditam pilkan sebagai sosok yang konsisten mengikuti dan mampu mengevaluasi setiap peris tiwa dan isu politik yang menimpa partai politik, terutama parpol penyokong utama pemerintahan. “ Makalah ini tidak melakukan analisis politik media terhadap penulisan judul-judul yang digunakan untuk merepresentasikan isi materi publikasi. Setiap jurnalis dan editor yang membuat dan menentukan judul laporan tidak akan terlepas dari peran kebijakan redaksi dan politik media yang memengaruhinya. Karena itu, penulis tidak menganalisis judulnya, tetapi isi publikasinya. 61 Lihat hasil studi Ananta, Arifin, dan Suryadinata (2004) bahwa agama tidak berperan menentukan pilihan warga. Fak tor yang memiliki andil justru loyalitas etnis (meski lemah), pendidikan dan status migrasi. A. Ananta et al., Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical Perspective, (Singapore: ISEAS Publishing, 2004), hlm. 154.
Elektabilitas dan Mitos Pemilih ... I Wawan Sobari I 77
Logika kausalitas digunakan untuk menginterpre tasikan penurunan atau peningkatan elektabilitas parpol tertentu dianggap sebagai bentuk sentimen negatif atau positif calon pemilih. Padahal, hasil-hasil survei tersebut masih dibayangi secara kuat oleh besarnya angka responden yang belum tahu atau belum menentukan pilihan (the undecided). Oleh karena itu, ketika lembaga riset opini memberikan pendapatnya bahwa parpol tertentu lebih unggul dari parpol lainnya seolah menegaskan data the undecided,62 Sebaliknya, penulis berasumsi bahwa sangat mungkin para responden sebenarnya tidak mengetahui dan mengikuti perkembangan peristiwa politik, baik secara sengaja maupun tanpa intensi sehingga belum tahu atau belum menentukan pilihannya. Calon pemilih yang diasumsikan serius melakukan evaluasi dan memutuskan untuk mengalihkan dukungan dari satu parpol ke parpol lainnya merupakan manifestasi peng gunaan logika kausalitas lainnya. Penyelenggara riset menganalisis dan menginterpretasikan data seolah urusan politik begitu serius menjadi perhatian publik secara umum.63 Pada akhirnya, hasil evaluasi yang tidak memuaskan membuat pemilih secara rasional mempertimbangkan untuk mengalihkan pilihannya dalam pemilu mendatang. Selain itu, responden diperlakukan sebagai entitas yang terpengaruh oleh upaya-upaya parpol mengubah citra dan berupaya meraup dukungan. Pembentukan ormas-ormas sayap partai politik, seperti pendirian Baitul Muslimin Indonesia oleh PDI-P, dianggap merupakan langkah yang efektif menarik pemilih massa Islam. Asumsi-asumsi itu bertolak belakang dengan semakin menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik dan lembaga legislatif. Pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan para legislator dan politisi par pol lainnya diangap mengingkari kepercayaan publik. Partisipasi politik warga dalam memilih anggota DPR ternyata tidak sebanding dengan harapan pemberantasan korupsi. Survei LSI pada Desember 2011 menempatkan partai politik “ Lihat Tabel 8 contoh analisis LSI Lingkaran poin kedua dan poin-poin analisis LSJ. 63 Istilah publik perlu ditekankan mengingat pemilihan res ponden secara acak dalam riset opini memungkinkan semua warga negara yang memenuhi kriteria untuk disurvei memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih secara acak.
sebagai lembaga paling tidak bersih dari praktik korupsi dan diikuti DPR yang sangat berkaitan erat dengan partai politik. Sejatinya, warga atau calon pemilih itu me miliki banyak keterbatasan. Sejak tahun 1950-an Downs sudah menyebut salah satu keterbatasan itu sebagai lack o f complete Information atau imperfect knowledge. Warga sebenarnya berpikir pragmatis dalam menentukan pilihan politiknya atau rational ignorance.64 Untuk mendapat in formasi yang lengkap sebagai dasar pengambilan keputusan dalam memilih atau tidak memilih parpol tertentu dibutuhkan nilai usaha yang lebih besar daripada manfaat yang didapat atas dampak pilihannya. Karena itu, warga akan memilih tanpa pertimbangan yang matang atau bahkan menjadi apatis sama sekali. Memang ada sebagian warga yang memilih partai tertentu karena kebijakannya paling menguntungkan mereka, namun ada pula warga yang mengalami situasi ketidakpastian dalam memilih. Sementara itu, pihak yang berkepentingan, baik parpol maupun pemerintah, hanya menyampaikan informasi dan fakta yang bias dan cenderung menguntungkan diri dan kelompoknya. Karenanya, dalam memilih, banyak warga yang bertindak secara rasional atau mengandalkan efisiensi atas irasionalitas pilihannya karena usaha yang dikeluarkan dalam memilih lebih kecil dari manfaat yang didapatnya dengan memilih. Atau secara sederhana mereka memilih dengan asal saja atau tanpa alasan yang kuat (ignore).65 Karena itu, rational ignorance muncul tatkala calon pemilih lelah untuk mencari informasi agar bisa menentukan pilihan dengan tepat.66* Sebagai reaksi terhadap konsep rational ignorance yang diteorikan oleh Downs, Caplan memunculkan konsep rational irrationality. Tetap dengan bertumpu pada dua variabel utama 64 Downs mengingatkan bahwa yang dia maksud dengan kata rasional bukan lawan kata dari irasional. Pengertian rasional dipadankan dengan kata efisien untuk menekankan fakta bahwa warga yang rasional akan selalu bertindak atas dasar pertim bangan bahwa apa yang mereka dapat harus lebih sedikit dari apa yang mereka keluarkan. 65 A. Downs, “An Economic Theory o f Political Action in a Democracy”, Journal o f Political Economy, Vol. 65, No. 2, 1957, hlm. 139-140. 66B. Caplan, The Myth o f the Rational Voter: Why Democra cies Choose Bad Policies, (New Jersey: Princeton University Press, 2007), hlm. 123.
78 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 59-84
dalam model pilihan ekonomi, yaitu preferensi dan harga. Preferensi dan harga saling meleng kapi dalam membentuk kurva permintaan. Pada akhirnya konsumen memilih pada titik yang paling efisien dalam kurva permintaan tersebut. Namun, tidak bisa dilupakan bahwa adalah satu faktor lain dalam menentukan pilihan konsumen yang memiliki preferensi atas keyakinan (beliefs) yang diyakininya. Keyakinan yang tampak seperti nyata (false beliefs) bisa lebih mahal atau sama sekali gratis. Keyakinan atas apa yang tampak oleh konsumen membuatnya mengambil keputusan yang irasional secara material, namun rasional karena keyakinannya untuk tetap me milih apa yang diinginkannya. Perilaku memilih dengan konsep rational irrationality mewakili warga yang secara aktif menghindari kebenaran (pertimbangan efisiensi).67 Karena itu, cukup sulit memprediksi kon sistensi perilaku memilih dan tidak mudah pula memprediksi dengan tepat alasan-alasan warga dalam memilih. Agak naif bila analisis hasil-hasil riset opini semata mempertimbangkan fakta-fakta agregat yang nampak secara numerikal, padahal banyak fakta yang tidak nampak justru lebih berperan menentukan pilihan warga. Penulis berasumsi bahwa konsepsi rasionalitas yang memungkinkan digunakan untuk memahami data-data hasil survei tersebut dalam pengertian rasionalitas praktis (practical rationality). Para calon pemilih memberikan jawaban spontan atau refleks tanpa mempertimbangkan dengan matang atas pilihannya. Dengan demikian, perbedaan nilai-nilai elektabilitas antarparpol memungkinkan terjadi karena pertimbangan menentukan pilihan yang praktis. Berikutnya terkait penggunaan asumsiasumsi metodologis yang digunakan lembagalembaga riset opini yang seluruhnya bersandar pada pendekatan positivisme dalam memahami fenomena perilaku memilih. Lembaga-lembaga riset opini menerapkan metodologi penelitian sosial dengan pendekatan sains yang cukup ketat. Aturan-aturan atau hukum-hukum baku sains ilmiah memandu peneliti dalam pemilihan sampel, menguji keterhubungan antarvariabel, dan analisis temuan. Karena itu, perilaku politik warga disimplifikasi dengan angka-angka pre67Ibid., hlm. 122-123.
ferensi terhadap parpol dan variabel pendukung lainnya yang akan menunjang penjelasan perilaku memilih mereka. Pendekatan metodologis seperti itu ten tunya berkonsekuensi pada hasil riset tentang preferensi politik atau rasionalitas politik warga. Sayangnya, penjelasan rasionalitas yang berhasil digali oleh metodologi dengan pendekatan sains terlalu menekankan aspek rasionalitas instrumental. Padahal, menurut Lane dan Sears dalam kajian opini publik sekalipun, pada derajat tertentu inkonsistensi pendapat dan nilai-nilai individu itu ditoleransi dalam kategori rasionalitas. Indikator manusia rasional menurut mereka, yaitu “he knows when to balance one value or personal interest o ff against another and maximizes consistency o f his actions with the whole panoply o f his values, beliefs, and interests”,68 Untuk itu, penggunaan metodologi sains yang cenderung bebas nilai, objektif, dan independen dari konteks di mana manusia tinggal dan berinteraksi sebenarnya memiliki kelemahan dalam menginterpretasikan perilaku politik secara utuh. Kritik yang dilontarkan Bent Flyvbjerg sa ngat relevan menjawab perdebatan metodologis dalam mengukur rasionalitas manusia, khususnya dalam perilaku politiknya. Ia merujuk pada tiga kebajikan intelektual {intellectual virtues) yang disampaikan Aristoteles, yaitu episteme (sains), techne (keahlian/seni), dan phronesis (etika). Untuk memahami rasionalitas manusia maka tidak cukup dengan hanya mengandal kan pendekatan sains dan keahlian. Namun, semestinya memasukkan pula unsur etika, yaitu dengan mempertimbangkan nilai {value) yang merujuk pada realitas praktis, pragmatis (tidak terikat aturan dan teori), variabel, dan tergantung pada konteks (context-dependent), berorientasi aksi, dan berbasis rasionalitas berorientasi nilai {value-rationality).69 Indonesia yang kaya akan keragam an tentunya sangat tepat m em pertim bangkan phronesis dalam pendekatan studi-studi perilaku memilih. Faktor yang mendorong atau mem68Robert E. Lane dan David O. Sears, Public Opinion, (New Jersey: Prentice-Hall, 1964), hlm. 74. 69 B. Flyvbjerg, Making Social Science Matter: Why social inquiryfails and how it can succeed again, (Cambridge: Cam bridge University Press, 2001), hlm. 57.
Elektabilitas dan Mitos Pemilih ... | Wawan Sobari | 79
Tabel 8. Analisis Hasil-Hasil Riset Opini Lem baga Riset O pini
W aktu Rilis dan Sum ber
Ju d u l Berita
Kutipan A n alisis
LSI: Pem ilu Sekarang, Suara D em okrat A njlok
Ini sebagai akibat sentim en negatif m ayoritas m asyarakat terhadap keadaan politik nasional. "Ada indikasi sebagian besar partai m engalami kem andekan dukungan pem ilih, dan sebagian m engalam i penurunan," ujar peneliti LSI, Burhanudin M uhtadi, m em aparkan hasil survei "Perubahan Politik 2014 Tren Sentim en Pem ilih" di kantor LSI, Jakarta, A had, 19 Februari 2012.
19/02/2012 w w w .tem po.co Diakses 30 M aret 2013
Survei: Partai Islam Jeblok, D em okrat Ron tok 2014 Apa yang M enyebabkan Perolehan Partai Islam Turun. Korupsi Hantam PD
LSI m encatat bahw a ada em pat faktor yan g m em icu suram nya parpol Islam dan capres yang d iu su n g pada Pem ilu 2014. Faktor pertam a adalah m akin kentalnya fen om ena "Islam Yes partai Islam No".... Faktor kedua adalah pendan aan. Survei m enu njukkan 85,2% publik m enilai parpol Islam kurang m odal d iban dingkan partai nasionalis sehingga partai nasionalis lebih siap m end anai aktivitas dan im age bu ilding partai... Faktor ketiga adalah m unculnya tindakan anarki yang m engatasna m akan Islam . Tindakan kelom pok tertentu itu diprediksi m em uncul kan "kecem asan kolektif" m asyarakat. Selain itu, m asyarakat juga cem as akan pem b erlakuan syariat Islam jika partai Islam berkuasa. "Sekitar 4 6,1% publik percaya m erosotnya partai Islam disebabkan oleh a narkism e yan g m engatasnam akan Islam di In d o n e s ia ," kata A djie. Faktor terakhir adalah sem akin diakom odasinya kepentingan um at M uslim oleh parpol nasionalis, terlep as dari m otif bersifat substantif ataupun sim bolik. PDI-P, m isalnya, m em bentuk Baitul M uslim in. D e m okrat punya M ajelis D zikir SBY. A lat itu signifikan m enarik sim pati um at Islam . Survei m enu njukkan 57,8% publik percaya bahw a partai nasionalis m engakom odasi kepentingan m asyarakat M uslim .
14/10/2012 http://us.fokus. new s.viva.co.id/ Diakses 30 M aret 2013
LSN
Survei LSN: PDI-P Terpo puler, Pem ilih GerindraTerloyal
"Popularitas parpol lam a m asih saling bersaing untuk p op uler di m ata m asyarakat. Nam un partai baru, seperti N asdem pelan-pelan popularitasnya terus naik," kata D irektur Eksekutif LSN U m ar S. Bakry ketika m eluncurkan hasil survei di Jakarta, Senin. "Dari hasil analisis cro ss-tabulation yang dilakukan LSN, konstituen Partai D em okrat dan sejum lah partai Islam cen d e ru n g m elakukan m igrasi ke partai-partai ya n g dinilai publik sebagai partai bersih dan berideologi nasionalis," kata Umar.
15/10/212 www. kom pas, com Diakses 30 M aret 2013
SM RC
Survei: Perolehan Suara Demokrat Merosot Tajam di 2014
G race Natalie selaku pem apar hasil survei m engatakan, sekitar 20% dari pem ilih D em okrat pada Pem ilu 2009 belum m em utuskan m em i lih partai apa. Kem udian sisanya m em ilih partai lain. Paling banyak, m ereka tertarik beralih ke Partai Golkar. Dijelaskannya, peta kekuatan partai pada 2014 tentunya m asih bisa beru bah. A p alagi, ju m la h pem ilih m engam bang atau sw in g voter berdasarkan hasil survei ini m asih cukup besar, yakni 50%.
14/10/2012 http ://nasiona l. ko m p as.com / Diakses 30 M aret 2013
JSI
JSI: G olkar berpotensi m e nangkan Pem ilu 2014
"Dari survei yang kam i lakukan terh ad ap 1.200 respond en di seluruh Indonesia pada 1 7 -2 1 Juli lalu m enem patkan Partai G olkar di posisi te ra ta s," kata D irektur Ekseku tif JSI, W iddi A sw indi ketika m em apar kan hasil surveinya di Jakarta, M inggu. M enu rut dia, tingkat p op ularitas Partai Golkar, yakni sebanyak 97,6% dan berada di posisi teratas, sedangkan di posisi berikutnya adalah PDI Perjuangan sebanyak 95,2% , Partai D em okrat 94,6% , Partai A m a nat N asional (PAN) seb e sar 90,5% , Partai Persatuan Pem bangunan (PPP) seb e sar 88,4% , Partai G erindra seb e sar 88,3% .
12/08/2012 http://w w w . antara n e w s.co m / Diakses 30 M aret 2013
LSI Lingkaran
80 | Jurnal Penelitian Politik I Volume 10 No. 1 Juni 2013 I 59-84
LSJ
Survei LSJ: Dem okrat dan PKS M elorot Je lan g Pem ilu 2014
"Kisruh dalam tubuh Dem okrat pasca pengam bilan kendali Ketua M ajelis Tin ggi oleh SBY dari A n as U rbaningrum diapresiasi negatif oleh p u b lik ," kata peneliti sen ior LSJ Rendy Kurnia di Jakarta, Selasa (19/2/2013). Setali 3 uang dengan Dem okrat, PKS juga m engalam i m asa ya n g sulit dengan turunnya elektabilitas je la n g Pem ilu 2014. "Ini terjadi setelah terbongkarnya kasus im por d aging sapi yang m elibatkan m antan Presiden PKS Lutfi Hasan ls h a a q ," im buh peneliti LSJ lainnya, Igor Dirgantara.
19/02/2013 h ttp ://n ew s. Iiputan6.com / Diakses 30 M aret 2013
Charta Politika
Hasil Survei, Hadapi Pem ilu 2014 Pem ilih M akin Stagnan
Dia m em aparkan keem pat faktor stagnasi pem ilih tersebut adalah pertam a, tid a k terjadinya perubahan kekuatan di papan atas, seperti tiga partai p em enang Pem ilu 2009 m asih m en d om in asi, yakni Golkar, Dem okrat, dan PDI Perjuangan. Faktor kedua, m enu rut Toto, sapaan akrabnya, tid a k m unculnya captive m arket dan jaringan baru pem ilih. "Sam pai sekarang G olkar m asih kuat di jaringan petani dan nelayan, sedangkan PDI Perjuangan di jaringan b u ru h ," jelasnya. Ketiga, lanjutnya, rendahnya kedekatan secara psikologi antara partai (party ID) pem ilih. "Rendahnya p a rty ID m enjadi salah satu pengaruh stagnasi pem ilih karena hanya 14% responden ya n g m engaku dekat dengan partai p o litik ," paparnya. Faktor yang keem pat, Toto m engungkapkan, stagnasi pem ilih itu bisa dilihat dari ju m lah respond en yang belum m enentukan pilihan (u n decid ed voters). "U ndecided voters, m asih m enjadi 'p e m en a n g' karena34,4% respond en m asih belum m enentukan pilihan m enjelang P e m ilu ," tandasnya.
30/08/2012 http://politik.pelitaonline.com / Diakses 30 M aret 2013
*Penulis menyadari kelemahan terhadap kutipan-kutipan yang diambil dari media online, yaitu kemungkinan tidak utuhnya para jurnalis mengutip pernyataan-pernyataan analisis perilaku memilih yang disampaikan para penyelenggara riset opini saat rilis media. Penulis semestinya merujuk pada dokumen rilis. Hanya saja, penelusuran secara online tidak berhasil mendapat dokumen lengkap laporan hasil-hasil riset opini yang memuat analisis atas temuan-temuan riset. Penulis berusaha mengurangi ketidakakuratan para jurnalis dalam menuliskan laporan rilis tersebut dengan cara mencantumkan dan menganalisis berdasarkan kutipan langsung dalam Tabel 8. Penjelasan ini sejalan dengan penjelasan penulis dalam catatan kaki no. 1
bentuk rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya akan relatif berbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Meskipun bukan berarti tidak ada faktor-faktor yang relatif sama antarwilayah. Kembali pada perbedaan nilai elektabilitas yang dirilis lembaga-lembaga riset opini, perbedaan itu dimungkinkan karena tidak diakomodasinya aspek-aspek selain yang dianjurkan oleh para digma sains dan mengandalkan teknik tertentu yang tidak sensitif pada konteks. Sangat penting untuk dipertimbangkan satu aspek lain untuk melengkapi etika dalam studi-, studi ilmu politik, khususnya dalam riset opini, yaitu dengan memasukkan unsur kekuasaan. Dari enam preposisi tentang kekuasaan yang dirangkum Flyvbjerg dari Foucault, Nietzsche, Weber, dan Dahi, satu yang relatif penting dipertimbangkan dalam analisis perbedaan nilai-nilai elektabilitas parpol, yaitu keterkaitan antara “pengetahuan dan kekuasaan, kebenaran dan kekuasaan serta rasionalitas dan kekuasaan.
Kekuasaan memproduksi pengetahuan dan pengetahuan memproduksi kekuasaan”.70 Dengan kata lain, perbedaan nilai-nilai elektabilitas parpol berdasarkan hasil survei lembaga-lembaga riset opini yang saat ini mulai marak penting sekali dinilai dan dilihat dari hubungan antara produksi pengetahuan dan kontestasi kekuasaan. Hasil-hasil riset opini yang berbeda bukanlah fakta yang tanpa tendensi, me lainkan bagian dari upaya-upaya yang mengarah pada tujuan-tujuan kekuasaan. Minimal untuk membangun opini yang menguntungkan satu pihak yang berkompetisi dan meruntuhkan opini kepada pihak yang lainnya. Hanya saja, penulis m engakui bahwa makalah ini tidak mampu menjelaskan secara konkret penggunaan kekuasaan dalam praktik dan publikasi hasil-hasil riset opini menjelang Pem ilu 2014. Hal ini m em butuhkan studi 10Ibid., hlm. 132.
Elektabilitas dan Mitos Pemilih ... | Wawan Sobari | 81
lapangan (fieldwork) yang intensif dan langsung berhubungan dengan lembaga-lembaga riset opini dan bila memungkinkan dengan penyan dang dana atau pihak-pihak yang secara langsung berkepentingan dengan hasil-hasil riset opini.
Penutup Banyak dan intensifnya rilis hasil-hasil riset opini menjelang Pemilu 2014 menarik perhatian media massa untuk mempublikasikannya. Bagi pihakpihak yang membaca hasil-hasil riset itu secara sekilas, tentunya tidak akan menimbulkan rasa ingin tahu. Audiens cukup mengetahui parpol mana yang diprediksi unggul, meningkat nilai elektabilitasnya, dan bahkan yang diperkirakan akan turun daya tariknya di mata publik. Namun, rasa keingintahuan akan muncul dengan kuat apabila membandingkan nilai-nilai elektabilitas partai politik yang dirilis lembaga-lembaga riset opini. Terdapat disparitas nilai elektabilitas yang cukup besar walaupun waktu pelaksanaan jajak pendapat relatif tidak terlalu jauh perbedaannya. U paya pertam a untuk m enjaw ab p er tanyaan itu dilakukan melalui penelusuran metodologi yang digunakan oleh lembagalembaga survei. Hasilnya, metodologi yang digunakan berpendekatan seragam , yaitu m engandalkan p ersp ek tif positivism e dan bersandar pada asum si-asum si baku mulai penetapan sampel hingga analisis. Kesamaan ini justru menyisakan pertanyaan, kenapa persamaan metodologi menghasilkan nilai-nilai elektabilitas yang berbeda? Kemudian, upaya kedua yang dilakukan dengan melihat profil dari lembaga-lembaga riset opini yang merilis hasilnya kepada publik. Sayangnya, fakta-fakta normatif profil lembagalembaga riset opini yang bisa diakses secara terbuka tidak cukup untuk menjawab perbedaan itu. Profil lembaga hanya menunjukkan karakter normatif institusi yang berbeda dalam bentuk lembaga, yaitu lem baga yang berorientasi mencari profit dan nonprofit. Karenanya, analisis profil lembaga tidak cukup kuat untuk memba ngun argumen perbedaan nilai-nilai elektabilitas parpol menjelang Pemilu 2014 yang dirilis setiap lembaga riset opini. U saha berik u tn y a, m encoba m encari penjelasan dari angka-angka swing voters yang
muncul dalam setiap kali hasil survei. Konsistensi antara perbandingan nilai elektabilitas dan angka swing voters memberikan sedikit jawaban. Kecilnya nilai elektabilitas tiga parpol besar (Partai Golkar, PDI-P, dan Partai Demokrat) disebabkan oleh besarnya angka swing voters. Begitu pula dengan nilai swing voters yang lebih kecil berbanding lurus dengan angka elektabilitas yang lebih besar dari tiga partai tersebut. Hasil studi Ufen memberikan tambahan tentang fakta peningkatan swing voters sebagai bagian dari munculnya gejala keterputusan hubungan antara parpol dan pemilih (dealignment).71 Hanya saja, jawaban itu masih memunculkan pertanyaan terkait fakta begitu dinamisnya pemilih di Indo nesia. Mengapa riset opini yang digelar hampir bersamaan menghasilkan disparitas swing voters yang besar pula? Harapan untuk menemukan jawaban atas keingintahuan akibat perbedaan nilai-nilai elek tabilitas parpol hasil rilis lembaga-lembaga riset opini menjelang Pemilu 2014 mengarah pada titik terang. Adopsi pendekatan kritis dalam mengkaji hasil-hasil riset opini cukup membantu untuk menjawab pertanyaan itu. Ditambah dengan membaca pengalaman lembaga-lembaga riset opini di Amerika Serikat yang ternyata lebih dulu mempertontonkan perbedaan hasil-hasil riset opini. Kategorisasi “kubu akademisi” dan “kubu komersil” di antara lembaga-lembaga riset opini yang ditawarkan Mietzner cukup membantu menjelaskan perbedaan nilai-nilai elektabilitas parpol.72 Intinya, setiap lembaga riset opini memiliki perbedaan kepentingan yang memungkinkan untuk menghasilkan disparitas angka-angka elektabilitas partai politik yang cukup besar meski penyelenggaraan survei dilakukan dalam waktu yang relatif bersamaan. Dengan kata lain, praktik-praktik survei partisan memungkinkan munculnya perbedaan nilai-nilai elektabilitas hasil survei tersebut. Upaya terakhir melalui penelusuran atas analisis hasil survei dan penggunaan pendekatan metodologis dalam penyelenggaraan riset opini memperkuat jawaban. Asumsi lembaga-lembaga riset opini yang menganggap pemilih bersikap rasional dan m engerti persoalan-persoalan 71A. Ufen, op. cit., hlm. 35-36. 72M. Mietzner, op. cit., hlm. 117.
82 I Jurnal Penelitian Politik I Volume 10 No. 1 Juni 2013 159-84
politik terbaru terlalu menyimplikasikan realitas pemilih di Indonesia karena rasionalitas yang dipraktikkan sebenarnya bersifat praktis atau jawaban yang disampaikan dalam setiap kali survei bersifat spontan tanpa pertimbangan matang. Oleh karena itu, perbedaan nilai-nilai elektabilitas antarparpol bisa terjadi karena per timbangan memberikan jawaban yang bersifat praktis. Secara metodologis, pendekatan saintifik dalam pelaksanaan riset opini yang mengadopsi hukum-hukum riset sains telah memarginalkan pertim bangan etika. Pengabaian terhadap konteks, nilai, dan realitas praksis di masyarakat dan pertimbangan keterkaitan antara produksi pengetahuan dan kekuasaan dalam penyeleng garaan riset-riset opini menambah kejelasan atas perbedaan nilai-nilai elektabilitas parpol menjelang Pemilu 2014.
Flyvbjerg, B. 2001. Making Social Science Matter: Why Social Inquiry Fails and How It Can Succeed Again. Cambridge: Cambridge Univer sity Press. Glynn, Carrol J. (Eds.). 1999. Public Opinion. Colo rado: Westview Press. Lane, Robert E. dan David O. Sears. 1964. Public Opinion. New Jersey: Prentice-Hall. Moore, David W. 2008. The Opinion Makers: An Insider Exposes the Truth Behind the Polis. Bos ton: Beacon Press. Qodari, M. 2010. “The Professionalization of Politics: The Growing Role of Polling Organization and Political Consultants”, dalam Aspinall, E. dan M. Mietzner (Eds.). Problems o f Democratiza tion in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing.
Jurnal Downs, A. 1957. “An Economic Theory of Political Action in a Democracy”, Journal o f Political Economy, 65 (2): 135-150.
Daftar Pustaka Buku Ananta, Aris et al., 2004. Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical Perspective. Singapore: ISEAS Publishing. Aspinall, E. dan M. Mietzner. 2010. Problems o f De mocratization in Indonesia: Elections, Insti tutions and Society. Singapore: ISEAS Pub lishing. Caplan, Bryan.2007. The Myth o f the Rational Voter: Why Democracies Choose Bad Policies. New Jersey: Princeton University Press. Chambers, R. 1997. Whose Reality Counts? Putting the First Last. London: Intermediate Techno logy Publications. Creswell, John W. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Thousand Oaks, California: Sage Publications.
Jacobs, Lawrence R. dan Robert Y. Shapiro. 2005. “Polling Politics, Media, and Election Campaigns”, Public Opinion Quarterly, 5 (Special Issue): 635-641. Lipari, L. 1999. “Polling as Ritual”, Journal o f Communication, Winter: 83-102. Mayer, William G. 2007. “The Swing Voter in Ameri can Presidential Elections”, American Political Research, 35(3): 358-388. Mietzner, M. 2009. “Political Opinion Polling in PostAuthoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 165(1): 95-126. Ufen, A. 2008. “From Aliran to Dealignment: Politi cal Parties in post-Suharto Indonesia”, South East Asia Research, 16(1): 5—41.
Elektabilitas dan Mitos Pemilih ... I Wawan Sobari I 83
MENAKAR KEKUATAN MEDIA SOSIAL MENJELANG PEMILU 2014 MEASURING THE POWER OF SOCIAL MEDIA AHEAD OF THE 2014 ELECTION Athiqah Nur Alami Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 17 Januari 2013; direvisi: 14 Maret 2013; disetujui: 10 Juni 2013 Abstract Globalization, marked by the advancement o f information and technology, demands political parties andpoliticians to harness the power o f Social Media in political activities. This is importantfo r political communication with the public. Social media allows political institutions, such as political parties, and voters to interact directly. Meanwhile, Social media is a means fo r the public to interactively communicate and dialogue with policy makers or political parties and express their aspirations. In this context, social media can be one o f the tools, infrastructure and platform fo r new forms ofpolitical participation as part o f the public political activity. To that end, this paper seeks to measure the power o f social media in encouraging political participation o f Indonesians in the 2014 na tional elections along with the trend o f the decline in voter turnout in a number o f regional and national elections. Keywords: social media, 2014 election, political participation A bstrak Globalisasi, yang salah satunya ditandai dengan kemajuan informasi dan teknologi, menuntut parpol dan politisi untuk mendayagunakan kekuatan media sosial dalam aktivitas politiknya. Hal ini penting dalam upaya melakukan komunikasi politik dengan masyarakat. Media sosial memungkinkan institusi politik, misalnya parpol, dan pemilih untuk saling berinteraksi secara langsung. Sementara itu, media sosial merupakan sarana bagi ma syarakat umum untuk berkomunikasi secara interaktif dan dialogis dengan para pembuat kebijakan atau parpol dan menyampaikan aspirasinya. Dalam konteks inilah, media sosial dapat menjadi salah satu alat, sarana, dan wadah bagi bentuk baru partisipasi politik masyarakat sebagai bagian dari aktivitas politik. Untuk itu, tulisan ini berupaya mengukur kekuatan media sosial dalam mendorong partisipasi politik masyarakat Indonesia pada Pemilu 2014 seiring dengan adanya kecenderungan semakin menurunnya tingkat partisipasi pemilih dalam sejumlah pemilihan umum di daerah dan nasional. K ata kunci: media sosial, pemilu 2014, partisipasi politik
•
"Even i f people are listening to yo u r message online,
how d o y o u actually m otivatepeople to participate in the “real w orld"?, how can yo u translate clicking a “Like ” or “Share " button online into actually going out a n d voting or engaging in politics offline?.. (Europe D inner Debate, January 2013)1
1Pertanyaan tersebut ditujukan kepada salah seorang tim kampanye media sosial dari Obama, Adam Conner pada saat Friends o f Europe Dinner Debate, 22 Januari 2013, dalam Debating Europe, http://www.debatingeurope. eu/2013/01/22/how-is-social-media-changing-politics/, diakses pada 14 Juni 2013.
Menakar Kekuatan Media Sosial... | Athiqah Nur Alami | 85
Pendahuluan Pertumbuhan media sosial (social media) telah menjadi salah satu tren penting dalam perkem bangan internet. Pemanfaatannya, baik berupa microblogging, situs jejaring sosial maupun weblog, semakin meningkat dan merambah ke dunia politik. Pada satu sisi, partai politik (parpol) dan kandidat presiden atau anggota dewan semakin berpotensi memperoleh keuntungan dari penggunaan media sosial untuk meningkatkan interaksi, baik dengan konstituen maupun masyarakat umum. Sementara di sisi lain, media sosial merupakan sarana bagi masyarakat umum untuk berkomunikasi secara interaktif dan dialo gis dengan para pembuat kebijakan atau parpol dan menyampaikan aspirasinya. Dalam konteks inilah media sosial dapat menjadi salah satu alat, sarana, dan wadah bagi bentuk baru partisipasi politik masyarakat sebagai bagian dari aktivitas politik. Namun, seperti dinyatakan dalam kutipan di atas, sejauh mana kemampuan media sosial untuk memengaruhi aktivitas politik yang nyata masih menjadi pertanyaan besar. Saat ini partisipasi politik tidak lagi hanya dimaknai dalam bentuk yang konvensional seperti pemberian suara (voting) dan keanggotaan dalam suatu partai politik, tapi juga nonkonvensional, salah satunya melalui media sosial. Partisipasi politik melalui media sosial diyakini dapat menciptakan dan mendekatkan hubungan emosional antara masyarakat umum, khususnya, pemilih dan parpol atau kandidat pemimpin sehingga mampu menumbuhkan rasa keperca yaan antarkedua belah pihak. Jika hal tersebut terjadi maka masyarakat tidak akan segan untuk berpartisipasi tidak hanya dalam bentuk memberi opini/kritikan, tetapi juga menjatuhkan pilihan politiknya dengan memberikan suara ketika pemilihan umum (pemilu). Untuk itu, kehadiran media sosial akan berkorelasi positif terhadap peningkatan partisipasi politik masyarakat, baik dalam bentuk konvensional m aupun nonkonvensional. Pengalaman di sejumlah negara menunjuk kan adanya indikasi akan kontribusi media sosial dalam aktivitas politik, termasuk partisipasi politik masyarakat. Sebagai negara dengan peng guna internet terbanyak di dunia, Amerika Serikat misalnya berhasil memetik keuntungan
dari hadirnya media sosial. Terpilihnya Barrack Obama sebagai Presiden AS pada Pemilu 2008 merupakan salah satu momentum penting kemun culan jejaring sosial sebagai alat untuk mengor ganisasi dan memobilisasi suatu gerakan, baik oleh parpol maupun kelompok masyarakat yang mendukungnya.2 Obama, selain menggunakan website-nya sendiri, yaitu my.barrackobama. com, juga memanfaatkan lima belas situs media sosial lainnya untuk melancarkan kampanyenya sehingga berefek pada peningkatan partisipasi politik masyarakatnya.3 Sementara dalam konteks Indonesia, secara umum tingkat partisipasi politik masyarakat dalam sejumlah Pilkada dan beberapa kali Pemilu Nasional masih rendah dan cenderung semakin menurun. Padahal Indonesia merupakan negara dengan penggunaan media sosial, khususnya Facebook, terbesar keempat di dunia setelah AS, Brazil, dan India.4*Meskipun harus diakui banyak faktor yang m em engaruhi tingkat partisipasi politik masyarakat, baik yang bersifat teknis maupun nonteknis. Namun, maraknya intensitas penggunaan media sosial nampaknya belum mampu menciptakan hubungan emosional dan menumbuhkan rasa percaya antara parpol dan pemilih. Oleh karena itu, adanya korelasi antara kehadiran media sosial dan peningkatan partisipasi politik masyarakat masih memerlukan pembuktian. Tulisan ini berupaya untuk menakar kekuat an media sosial dalam mendorong partisipasi politik masyarakat terutama pada ajang perhe latan nasional mendatang, yaitu Pemilu 2014. Sejumlah pertanyaan yang akan coba dijawab, antara lain bagaimana perkembangan media sosial di ranah politik Indonesia?; bagaimana pemanfaatan media sosial dalam kehidupan politik di Indonesia selama ini, baik oleh parpol maupun politisi?; apakah parpol akan dapat memanfaatkan media sosial untuk mendorong 2 Lihat, C. Shirky, “The Political Power o f Social Media", Foreign Affairs, Vol. 90, No. 1,2011, hlm. 28-41. 3Robin Effing dan Theo Huibers, “Social Media and Political Particiption: Are Facebook, Twitter and YouTube Democratizing Our Political Systems?”, dalam E. Tambaouris, A. Macin tosh, dan H. de Bruijn (Eds.), Electronic Participation, Third IFIP WG 8.5 International Conference Proceedings, Delfl, The Netherlands, 29 Agustus-1 September 2011, hlm. 26. 4 Lihat, SocialBakers, http://www.socialbakers.com/facebookstatistics/, diakses pada tanggal 30 Juli 2013.
86 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 85-100
partisipasi politik masyarakat yang cenderung semakin menurun?; dan bagaimana peluang dan tantangan media sosial dalam mendorong partisipasi politik masyarakat?
Media Sosial dalam Perpolitikan Indonesia Media sosial saat ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan, baik di level global maupun di Indonesia. Media sosial merupakan suatu fenomena sosial yang multikompleks tentang bagaimana relasi sosial dikonstruksi dan bagaimana komunikasi dan informasi diproduksi, dimediasi, dan diterima. Seperti tecermin dalam definisi media sosial di sejumlah literatur ilmiah yang dikemukakan oleh Kaplan dan Haenlein, yaitu ' 'A group o f Intemet-based applications that build on the ideological and technological foundations o f Web 2.0, and that allow the creation a n d exchange o f User-Generated Content. "s Sementara itu, situs jejar ing sosial sebagai bagian dari media sosial dalam komunikasi politik, menurut B oyd dan Ellison didefi nisikan sebagai “...w eb-based Services that allow individuals to (1) construct a public or semi-public profile within a bounded system, (2) articulate a list o f other users with whom they share a connection, and (3) view and traverse their list o f connections and those made by others within the system. ”6
Berdasarkan definisi di atas, media sosial telah berhasil mewujudkan ide “global village”, yang pertama kali dicetuskan oleh seorang pakar komunikasi, Marshall McLuhan, pada tahun 1960-an.7 Hal ini juga membuktikan klaim sebuah fla t worid dari Thomas L. Friedman yang menyatakan bahwa komputer pribadi dan kecepatan kabel optik dalam mentransfer informasi telah menandai revolusi modem dan hampir menghilangkan limitasi dalam ruang dan waktu.8 5A.M. Kaplan dan M. Haenlein, “Users of the World, Unite! The Challenges and Opportunities of Social Media”, Business Horizons, Vol. 53, 2010, hlm. 61. 6Boyd, D.M. & Ellison, N.B, “Social Network Sites: Definition, History, and Scholarship”, Journal o f Computer-Mediated Communication, Vol. 13, N o.l, 2007, hlm. 211, http://jcmc. indiana. edu/voll3/issuelfboyd.ellison.html, diakses pada tang gal 18 Juni 2013. 1 Marshall McLuhan, “The Guttenberg Galaxy: The Making ofTypographic Man”, (Canada: University o f Toronto Press. 1962). “Thomas L. Friedman, “The World is Flat 3.0: A B rief History o f the Twenty-First Century”, (London: Picador. 2007).
Secara umum, media sosial menjelm a setidaknya dalam tiga bentuk, yaitu microblogging seperti Twitter; situs jejaring sosial, salah satunya Facebook; dan Weblogs, yakni Wordpress dan Blogspot. Ketiga bentuk media sosial tersebut paling populer penggunaannya di banyak negara, termasuk Indonesia. Bentuk lainnya, yaitu Youtube, Linkedln, dan Google+. Berdasarkan data tahun 2012, pengguna aktif Facebook seluruh dunia telah mencapai 845 juta orang, di mana sekitar 161 juta pengguna aktif berada di AS.9 Sementara data lain menunjukkan akun Facebook yang aktif melebihi 1 miliar pada 2012, sedangkan pengguna Twitter mencapai 200 juta hingga Februari 2013.101Bahkan data terakhir dari Socialbakers.com, sampai dengan 25 Juli 2013, pengguna Facebook seluruh dunia telah mencapai 1,15 miliar.11 Sementara itu, berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 63 juta orang atau sekitar 24,23% dari jumlah penduduk Indonesia. Pada tahun 2013 diperkirakan naik menjadi 82 juta orang.12 Selain itu, menurut MarkPlus Insight, sampai dengan akhir tahun 2012 jumlah peng guna internet di Indonesia mencapai 61,08 juta orang. Angka tersebut naik sekitar 10% dari tahun 2011. Data terbaru dari Socialbakers.com juga menunjukkan bahwa sampai dengan April 2013 pengguna Facebook di Indonesia telah mencapai 61 juta orang lebih dan pengguna Twitter sebesar 30 juta orang.13*Dengan angka tersebut, Indonesia berada dalam urutan keempat dengan jumlah 9Rita Safranek, “The Emerging Role o f Social Media in Political and Regime Change”, Proquest Discovery Guides, Maret 2012, http://www.esa. com/discoveryguides/discoveryguides-main. php, diakses pada tanggal 12 Juni 2013. 10Andrea Ceron dan Alessandra Caterina Cremonesi, “Politicians Go Social: Estimating Intra-Party Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis o f Social Media”, makalah disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10-11 Mei 2013, h 3. 11Lihat, SocialBakers, http://www.socialbakers.com/blog/1862key-stats-from-facebook-q2-call-now-at-l-15-billion-users, diakses pada tanggal 30 Juli 2013. 12Berita8, “Media Sosial bisa Perkuat Fungsi Partai Politik”, 18 April 2013, http://www.berita8.com/berita/2013/04/Media Sosial-bisa-perkuat-fungsi-partai-politik, diakses pada tanggal 18 Juni 2013. 13Lihat SocialBekers, http://www.socialbakers.com/all-socialmedia-stats/facebook/country/indonesia/?_fid=nu0l, diakses pada tanggal 30 Juli 2013.
Menakar Kekuatan Media Sosial... | Athiqah Nur Alami | 87
pengguna media sosial terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat, Brazil, dan India. Data-data di atas menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian besar pengguna media sosial adalah kalangan kelas menengah, kaum muda, khususnya yang melek teknologi, dan tinggal di perkotaan terutama di Pulau Jawa.14 Selama ini media sosial digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk menunjukkan identitas dan jati diri mereka, walaupun tidak sedikit yang merupakan akun palsu. Melalui Facebook, misalnya, mereka dapat mengekspresikan perasaan atau pemikiran dan memberikan komentar terhadap opini orang lain dan saling berserikat serta berdiskusi dalam akun Facebook Group tentang topik yang menjadi minat bersama. Selain itu, sebagai media sosial berbasis text hanya dengan 140 karakter memung kinkan Twitter untuk digunakan sebagai sarana penyampaian aspirasi atau opini yang singkat dan jelas. Namun, karena keterbatasan jumlah karakter tersebut, seringkah terjadi misinterpretasi terhadap kicauan seseorang. Sebenarnya keterbatasan tersebut dapat diatasi melalui media sosial yang berbentuk Weblogs, seperti Wordpress dan Blogspot. Melalui keduanya, pemilik akun dapat lebih bebas dan panjang lebar dalam menyuarakan aspirasi dan opini mereka terhadap suatu peristiwa yang menjadi minatnya. Ketiga bentuk media sosial tersebut juga tidak jarang digunakan untuk aktivitas bisnis, melalui jual beli online dan penggalangan dukungan. Salah satu contoh fenomenal penggunaan Facebook untuk menggalang dukungan dan gerakan sosial terlihat dalam kasus Prita Mulyasari pada tahun 2009 yang mengemukakan komplainnya terhadap pelayanan di sebuah rumah sakit. Perkembangan terkini di banyak negara menunjukkan bahwa penggunaan media sosial telah merambah ke ranah politik. Sejumlah studi tentang penggunaan media sosial untuk aktivitas politik di berbagai negara juga telah banyak dirilis yang menunjukkan kian signifikannya peran media sosial dalam perpolitikan nasional.15 14Acehterkini, “Media Sosial sudah Mempengaruhi Politik”, 8 Juni 2013, dalam http://acehterkini.com/media-sosial-sudahmempengaruhi-politik/, diakses pada tanggal 18 Juni 2013. 15Lihat, Jamie Bartlett et al., Virtually Members: the Facebook and Twitter Followers ofU K Political Parties, CASM Briefing
Penggunaan media sosial telah menjadi bentuk keterlibatan masyarakat Amerika Serikat dalam aktivitas politik. Berdasarkan survei yang dilakukan Pew Research Center ’s Internet and American Life Project pada tahun 2012 terhadap 2.253 remaja AS, terlihat bahwa 60% anak muda AS adalah pengguna situs jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter. Sebanyak 38% dari seluruh remaja pengguna jejaring sosial di AS menggunakan media sosial memberikan “like” dan mempromosikan informasi terkait dengan politik dan isu-isu sosial. Selain itu, sebanyak 35% dari pengguna media sosial menggunakan berbagai bentuk di atas untuk mendorong masyarakat untuk memberikan suaranya. Lalu sebesar 20% dari pengguna media sosial meng gunakan elemen tersebut untuk mendukung pejabat politik yang telah terpilih dan mendorong kandidat untuk terpilih. Survei tersebut juga didasarkan pada afiliasi politik dan komposisi ideologis para responden, baik dari Partai Demokrat yang berideologi liberal, Partai Republik yang konservatif maupun kelompok independen. Berdasarkan survei itu pula, yang menarik adalah ternyata media sosial lebih banyak digunakan oleh responden yang berafiliasi dengan Partai Demokrat daripada Partai Republik.16Pengalaman di Amerika Seri kat tersebut menunjukkan bahwa penggunaan media sosial, khususnya situs jejaring sosial, telah mampu mendorong tingkat elektabilitas Presiden Obama pada Pemilu 2008. Dalam kasus tersebut media sosial tidak hanya efektif dalam kampanye politik, tapi juga mendulang dana dari masyarakat yang simpati terhadap Obama dan Partai Demokrat. Selama kurang lebih 21 bulan kampanye, Obama berhasil mengumpulkan dana online sebesar setengah miliar dolar AS.17* Selain itu, kam panye Segolene Royal ketika Pemilu Perancis tahun 2007 menunjukkan Paper, (London: Demos April 2013); C.G. Reddick dan S.K. Aikins (Eds.), Web 2.0 Technologies and Democratic Gover nance, Public Administration and Information Technology 1, Springer Science, (New York: Business Media, 2012). 16Pew Research Center’s Internet & American Life Project, 19 Oktober 2012, “Social Media and Political Engagement”, dalam http://pewinternet.org/Reports/2012/Political-Engagement. aspx, diakses pada tanggal 12 Juni 2013. 17Washington Post, “Obama Raised Half a Billion Online”, 20 November 2008, http://voices.washingtonpost.com/44/2008/ll/ obama-raised-half-a-billion-on.html, diakses pada tanggal 14 Juni 2013.
88 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 85-100
Tabel 1. Data Aktivitas Parpol Peserta Pemilu 2014 dalam Media Sosial Parpol N asional Peserta Pem ilu 2014
W ebsite resm i partai
Partai Nasdem PKB
Tw itter
Facebook
Jum lah "T w e e ts"
Ju m lah ''F o llo w e rs"
Ju m lah “Lik e "
Jum lah "T a lk in g ab o u t"
Ada
2.148
14.746
11.057
85
Ada
1840
2574
-
-
PKS
Ada
12.176
52.076
21.449
2.039 2.265
PDI-P
Ada
-
-
35.298
Partai G olkar
-
10.936
10.553
13.879
75
G erindra
Ada
18.513
24.991
1.339.002
87.673
Dem okrat
Ada
2.137
8.815
3.528
47
PAN
Ada
4.012
2.808
3.793
212
PPP
Ada
-
-
-
-
Hanura
Ada
0
462
134.093
6.184
PBB
Ada
129
343
914
28
PKPI
-
-
-
-
-
Sumber : Data diolah oleh Penulis dari akun Facebook dan Twitter dari yang ditelusuri dari website resmi partai dan dihim pun sampai dengan 21 Juni 2013 pukul 10.00 WIB
peran penting media sosial. Berkat kampanye online-nya, jum lah keanggotaan partainya meningkat dari 120.000 menjadi 200.000 orang anggota, di mana 90% adalah masyarakat yang sebelumnya bukanlah anggota parpol. Namun, media sosial memainkan peran berbeda antara di Tunisia dan Mesir dengan di Libya dan Ya man. Di kedua negara terakhir, tidak ada tradisi aktivitas online yang kuat dibandingkan negara Arab lainnya. Di Libya, akses internet terbilang sulit karena kurangnya infrastruktur internet dan rezim Khadafi membatasi penggunaan media sosial. Sementara itu, pemerintah Yaman memiliki kontrol yang kuat, selain tingginya angka kemiskinan yang membatasi penggunaan internet.18 Dalam konteks Indonesia, media sosial dengan berbagai bentuknya telah digunakan oleh sebagian besar parpol peserta Pemilu 2014. Seperti terlihat pada Tabel 1 yang mengambarkan data keterlibatan parpol di media sosial. Secara umum, sebagian besar parpol peserta Pemilu 2014 telah memiliki website resmi dan akun di sejumlah media sosial seperti Facebook dan Twitter. Pada awalnya beberapa parpol maupun para caleg memang sudah memiliki akun Face book dan Twitter pribadi, namun baru sebatas difungsikan untuk pertemanan dan mengikuti perkembangan informasi. 18Rita Safranek, op.cit., hlm. 7.
Berdasarkan data tersebut, jumlah followers terbanyak adalah Twitter milik PKS, yang terdiri atas individu maupun organisasi kemasyarakatan. Sementara itu, “kicauan” paling sering disampai kan oleh Partai Gerindra, berupa kalimat-kalimat penyemangat, ucapan selamat, informasi kegiatan partai dan masukan/opini dari para followers. Partai Gerindra juga menempati posisi sebagai pengumpul “Like” terbanyak di akun Facebook sehingga juga menjadi partai yang paling sering dibicarakan di Facebook. Selain itu, masih ada tiga partai yang belum memiliki akun Twitter resmi, yaitu PDI-P, PPP, dan PKPI. Indikasi keseriusan partai dalam meng gunakan media sosial juga terlihat dari telah dibentuknya tim media oleh setiap partai. Partai Gerindra, misalnya, telah mempersiapkan tim media online yang terdiri atas 13 orang untuk mengelola website, Facebook, dan Twitter. Ang gota tim secara bergantian memperbaharui status, membalas komentar di Facebook, membalas mention para followers dan menjawab perta nyaan.19Partai Hanura juga telah mempersiapkan tim pusat Teknologi Informasi (IT) sebagai bagian dari divisi pencitraan Badan Pemenangan Pemilu Partai. Tim ini bertugas untuk memantau dan mengatur isu terkait kepentingan yang 19Antaranews, “Melirik Media Sosial untuk Menjaring Su ara M assa”, 22 April 2013, http://www.antarasultra.com/ print/267098/melirik-media-sosial-untuk-menjaring-suaramassa, diakses pada tanggal 18 Juni 2013.
Menakar Kekuatan Media Sosial... | Athiqah Nur Alami | 89
menyangkut nama baik partai.20Akbar Tanjung, fungsionaris Partai Golkar, juga menyatakan kes iapan Golkar untuk membentuk tim media sosial hingga ke tingkat daerah.21 Keseriusan PDI-P menggarap komunikasi politik lewat media sosial juga diindikasikan dengan dimasukkannya isu media sosial ke dalam agenda Rakernas PDI-P tahun 2012.22 Berdasarkan data-data di atas terlihat bahwa media sosial telah digunakan oleh parpol untuk pembentukan identitas atau profiling. Website partai umumnya berisi visi/misi partai, profil pengurus, informasi kegiatan partai, dan sikap/ opini partai atau pengurus partai tentang suatu isu. Sementara bagi masyarakat, media sosial digunakan untuk mengenal dan mencari atau memperoleh informasi tentang suatu parpol atau kandidat. Seperti terlihat dalam hasil survei yang dirilis oleh Bulaksumur Empat Research and Consulting (BERC) yang menguak fakta bahwa hampir sebagian besar responden (89,2%) mengenal partai politik melalui jejaring sosial, sedangkan sisanya menjawab tidak mengenal (5,1%) dan tidak tahu (4,9%). Survei tersebut menggunakan metode berupa wawancara telepon kepada 410 responden mahasiswa di empat kota besar, Yogyakarta, Jakarta, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Selatan, pada 5-10 Maret 2013.23 Hal di atas menandakan bahwa tingkat pengenalan terhadap suatu partai politik akan memengaruhi preferensi pilihan dan tingkat elektabilitas partai tersebut di mata masyarakat Media sosial juga, baik langsung maupun tidak langsung, telah digunakan untuk sarana kampanye. Hal ini terlihat dari pengalaman di sejum lah Pilkada yang m enunjukkan kian pentingnya penetrasi melalui media sosial oleh 20Ibid. 21Tempo.co, “Golkar Siapkan Tim Sosial Media”, 18 November 2012, http://www.tempo.co/read/news/2012/ll/l8/078442503, diakses pada tanggal 30 Juli 2013. 22 W aspada O nline, “ R ak ern as PD IP B ahas T w itter dan Facebook”, 13 O ktober 2012, http.V/www.waspad a .c o . id /in d e x .p h p ? o p t io n = c o m _ c o n te n t& v ie w = a rticle& id= 263804:ra kern a s-p d ip -b a h a s-tw itter-d a n facebook&catid= 17:politik&Itemid=30, diakses pada tanggal 30 Juli 2013. 23 Beritanda, “BERC Rilis Survei Partai Politik dari Jejaring Sosial”, 27 April 2013, http://www.beritanda.com /opini/ opini/siaran-pers/13122-berc-rilis-survey-partai-politik-darijejaring-sosial-.html, diakses pada tanggal 18 Juni 2013.
parpol maupun tim sukses dalam mengampa nyekan calon kepala daerah yang diusungnya. Alhasil tingkat popularitas para calon kepala daerah semakin meroket, khususnya di kalangan kaum muda yang melek teknologi dan peng guna media sosial. Dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, misalnya, kemenangan pasangan Jokowi-Ahok tidak terlepas dari gencarnya kampanye tim sukses dan partai pengusungnya melalui berbagai bentuk media sosial sehingga berhasil memperoleh simpati dan meraup suara dari kalangan muda.24 Kampanye politik saat ini tidak selalu dalam bentuk mengumpulkan massa, tapi juga dalam bentuk pencitraan melalui media sosial. Bahkan saat ini proses pemilihan umum mulai dari kampanye hingga penghitungan hasil pemilu dapat dipantau dan disebarkan melalui media sosial. Salah satu sarana untuk itu, yaitu Politicawave, yang memantau secara sistematis percakapan yang terjadi di media sosial sehingga dapat melakukan prediksi potensi kemenangan seorang kandidat melalui kegiatan dan populari tasnya di media sosial.25 Selain itu, media sosial digunakan untuk menjaring dan membentuk opini masyarakat sehingga dapat memengaruhi kebijakan dan keputusan parpol. Sejumlah akademisi berargu men bahwa analisis media sosial memengaruhi posisi kebijakan dari para aktor politik.26 Media sosial diyakini sebagai alat untuk membentuk opini publik. Oleh karena itu, saat ini banyak parpol yang mulai melirik media sosial sebagai alat komunikasi politik kepada konstituen dan calon pemilihnya. Seperti penuturan dari 24Salah satunya adalah Jasmev (http://jasmev. comf) yang meru pakan singkatan dari “Jokowi-Ahok Social Media Volunteers”, yaitu para relawan yang mendukung kampanye Jokowi-Ahok di media sosial. 25 Dalam beberapa pengalaman Pilkada di Jakarta, Jabar, dan Sumut, Politicawe.com dianggap sukses memprediksi pemenang pilkada. Kategori penilaian menggunakan share o f Citizen, share o f awareness, candidat electability, media trend, dan trend o f awareness. Politicawave melakukan pengumpulan data secara “real time” dari berbagai media sosial di Indonesia, seperti Facebook, Twitter, blog di Detik, Kompas, Kaskus, dan situs blog lainnya lalu merangkumnya ke dalam grafik-grafik visual yang mudah dipahami. 26 Lihat Andrea Ceron dan Alessandra Caterina Cremonesi, “Politicians Go Social: Estimating Intra-Party Heterogeneity (and its Effects) Through the Analysis o f Social Media”, makalah dipresentasikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10-11 Mei 2013, hlm. 4.
90 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 85-100
Ketua Umum Partai Gerindra, Suhardi, yang menyatakan bahwa pencalonan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diperoleh berdasarkan m asukan dari para pengguna Facebook.27 Sejumlah politisi juga menyatakan bahwa akun Twitter dijadikan sebagai sarana untuk menjaga interaksi dengan masyarakat di tengah kegiatan kedewanan karena kesempatan untuk turun ke masyarakat terkadang dianggap minim.28 Dari berbagai bentuk di atas maka secara tidak langsung media sosial telah berkontribusi dalam menyediakan ruang bagi partisipasi politik masyarakat.
or the actions they take.”30 Dengan kata lain, partisipasi politik bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan kebijakan. Dalam upaya tersebut, bentuk partisipasi politik beragam, baik konvensional maupun nonkonvensional. Riley misalnya, memaknai partisipasi politik secara konvensional sebagai political engagement, yaitu “a set o f rights and duties that involve formally organized civic and political activities (e.g., voting or jo ining a political party).3' Diemer juga memaknai partisipasi politik sebagai “an engagement with traditional mechanisms in the....political system, such as voting in elections and joining political organizations,”32
Media Sosial dan Partisipasi Politik
Berbagai definisi di atas menunjukkan bahwa partisipasi politik dapat dimaknai secara sempit (konvensional) dan secara luas (nonkon vensional). Pemberian suara {voting) memang merupakan bentuk partisipasi politik yang paling fundamental dan bersifat langsung di sebuah negara demokratis, tapi itu bukan satu-satunya cara untuk memengaruhi kebijakan pemerintah. Kecenderungan di sejumlah negara menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam konteks tersebut justru cenderung turun. Mereka beralih ke bentuk partisipasi politik lainnya yang nonkonvensional, seperti berdem onstrasi, menandatangani petisi, dan melakukan boikot. Dalam konteks inilah, media sosial dapat menjadi salah satu bentuk baru atau alternatif dari kegiatan partisipasi politik masyarakat di era globalisasi. Kemajuan dalam teknologi komunikasi ini juga dapat berpengaruh pada perilaku politik masyarakat. Seperti dinyatakan oleh Tolbert dan McNeal bahwa perubahan dalam teknologi komunikasi berperan penting dalam memengaruhi perilaku pem ilih.33*Untuk itu,
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa penggu naan media sosial sudah begitu masif dan meluas di ranah perpolitikan Indonesia. Perkembangan informasi dan teknologi seperti internet memiliki peran penting bagi proses transformasi cara berpolitik melalui cara baru dalam melakukan komunikasi politik oleh politisi dan partisipasi politik masyarakat. Sebelum membahas hal di atas, bagian ini akan secara umum melakukan kajian teroretis terhadap konsep partisipasi politik guna mengingatkan kembali hakikat partisipasi politik. Secara umum, partisipasi politik masyarakat merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan berdemokrasi. Meluasnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan kebijakan merupakan prasyarat bagi pemerintahan yang demokratis.29Meskipun tidak ada definisi partisi pasi politik yang diterima secara universal, secara umum partisipasi politik menurut Verba dan Nie adalah “those activities by private citizens that are more or less directly aimed at influencing the selection o f governmental personnel and/
27Antaranews, “Gerindra: Media Sosial Pengaruhi Kebijakan Partai”, 18 April 2013. http://www.antarasumsel.com/berita/273698/gerindra-media-sosial-pengaruhi-kebijakan-partai, diakses pada tanggal 18 Juni 2013. 28Koran Sindo, “Media Sosial, Jurus Murah Kontestan Politik”, 3 Juni 2013, http://www.koran-sindo.com/node/318769, diakses pada tanggal 18 Juni 2013. 29Lihat R.A. Dahi, Polyarchy: Participation and Opposition, (New Haven: Yale University Press, 1971); R.A. Dahi, On Democracy, (New Haven: Yale University Press, 1998); C. Pateman, Participation and Democratic Theory, (Cambridge: Cambridge University Press, 1970).
30 S. Verba dan N.H. Nie, Participation in America: Political Democracy and Social Equality, (New York: Harper & Row, 1972), hlm. 2. 31 Lihat C.E. Riley, C. Grifin & Y. Morey, “The Case of ‘Everyday Politics’: Evaluating Neo-Tribal Theory As A Way to Understand Altemative Form of Political Participation, Using Electronic Dance Music Culture As An Example”, Sociology, Vol. 44, No. 2, 2010, hlm. 345-363. 32Lihat Diemer, M.A, “Fostering Marginalized Youths’ Political Participation: Longitudinal Roles o f Parental Political Socialization and Youth Sociopolitical Development”, American Journal o f Community Psychology, 2012. 33 C.J. Tolbert dan R.S. McNeal, “Unraveling the Effects of the Internet on Political Participation”, Political Research Quarterly, Vol. 56, No. 2, 2003, hlm. 175 dalam Kevin Lynch dan John Hogan, “How Irish Political Parties are using Social
Menakar Kekuatan Media Sosial... | Athiqah Nur Alami | 91
menurut Zhang dan Seltzer, internet merupakan alat yang ampuh untuk mendorong partisipasi politik.34Meningkatnya penggunaan media sosial sebagai bentuk partisipasi politik yang modem ini menunjukkan bahwa masyarakat merasa aktivitas tersebut lebih mudah dan lebih efektif dalam memengaruhi kebijakan pemerintah daripada sekadar memberikan suara ketika pemilihan umum. Meskipun penggunaan media sosial dapat dianggap sebagai bentuk lain dari partisipasi politik, jenis media ini tidak dapat begitu saja m enggantikan bentuk paling fundam ental dari partisipasi politik. Partisipasi masyarakat untuk datang ke tempat pemungutan suara guna menunaikan haknya ketika pemilihan umum tetap perlu dan penting. Untuk itu, hal yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana agar tingginya penggunaan media sosial di kalangan masyarakat berdampak pada peningkatan angka partisipasi pemilih untuk memberikan suaranya. Seperti dinyatakan oleh Christakis dan Fowler bahwa saling terkoneksi dalam jejaring sosial dapat memengaruhi kampanye partai politik, voting dan dukungan sponsor dalam politik.35 Pengalaman Pemilu AS tahun 2008 dapat menjadi salah satu contoh adanya hubungan kausalitas tersebut. Gencarnya kampanye Obama melalui berbagai media sosial ternyata berbuah manis akan peningkatan partisipasi politik warga AS. Berdasarkan data, dari 230.782.870 orang warga AS yang berhak untuk memilih sekitar 57,4% (132.646.504 orang) berpartisipasi dalam memberikan suaranya. Meskipun masih ter golong rendah, persentase tersebut menunjukkan kecenderungan peningkatan dibandingkan dalam beberapa Pemilu sebelumnya di mana warga Networking Sites to Reach Generation Z: An Insight into a New Online Social NetWork in a Small Democracy”, Irish Commu nications Review, Vol. 12. 2013, hlm. 83. 34 W. Zhang dan T. Seltzer, “Another Piece o f the Puzzle: Advancing Social Capital Theory by Examining the Effect o f Political Party Relationship Quality on Political and Civic Par ticipation”, International Journal ofStrategic Communications, Vol. 4, No. 3, hlm. 164, dalam Kevin Lynch dan John Hogan, “How Irish Political Parties are using Social Networking Sites to Reach Generation Z: An Insight into a New Online Social NetWork in a Small Democracy”, Irish Communications Review, Vol. 12. 2013, hlm. 84. 35 Lihat N.A. Christakis dan J.H. Fowler, “Connected: The Surprising Power o f Our Social Networks and How They Shape OurLives”, (Portsmouth: Little, Brown and Company, 2009).
AS yang memberikan suaranya hanya 51,30% (tahun 2000) dan 55,27% (tahun 2004).36 Hal tersebut menunjukkan bahwa tingginya peng gunaan media sosial sebagai upaya kampanye politik berkorelasi positif terhadap peningkatan partisipasi politik masyarakat AS. Namun, jika hipotesis adanya hubungan kausalitas antara penggunaan media sosial dan partisipasi politik masyarakat tersebut diuji dalam konteks perpolitikan Indonesia maka yang terlihat justru sebaliknya. Tingkat partisipasi politik masyarakat dalam sejumlah Pemilu nasional dan Pilkada cenderung menurun, walau persentasenya masih lebih tinggi daripada AS. Pengalaman dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta tahun 2012, misalnya, menunjukkan bahwa dominasi penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye pasangan Jokowi-Ahok ternyata belum mampu mendongkrak tingkat partisipasi politik masyarakat dalam memberikan suaranya. Berdasarkan data LSI, jumlah warga DKI Jakarta yang memberikan suaranya hanya sebesar 64,66%. Jumlah ini mengalami sedikit penurunan dari Pilkada tahun 2007 sebesar 65%.37 Situasi serupa juga terlihat dalam Pilkada terakhir di beberapa daerah lain, seperti Depok yang hanya diikuti 58,01% pemilih, Banten 60,83%, dan Bekasi 53,76%.38* Semakin menurunnya tingkat partisipasi politik masyarakat khususnya dalam memberikan suara ketika pemilihan umum juga terlihat dalam Pemilu Nasional di era reformasi. Lembaga Survei Indonesia mencatat bahwa tingkat parti sipasi pemilih pada Pemilu tahun 1999 mencapai 93,3%. Kondisi ini dapat dimaklumi mengingat pada masa tersebut merupakan pemilu pertama di era reformasi, di mana euforia berdemokrasi masyarakat Indonesia masih tinggi. Namun, terjadi penurunan tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2004 dan 2009 yang masing-masing hanya mencapai 84,9% dan 70,99%. Jika penu 36The American Presidency Project. “Voters Turnout in Presidential Elections: 1828-2008”, http://www.presidency.ucsb.edu/ data/turnout.php, diakses pada tanggal 19 Juni 2013. 37 Antaranews, “Partisipasi Warga pada Pilkada DKI Tak Meningkat”, 11 Juli 2012, http://www.antaranews.com/berita/321039/partisipasi-warga-pada-pilkada-dki-tak-meningkat, diakses pada tanggal 19 Juni 2013. 38Bambang Setiawan, “Menyoal Partisipasi Politik dalam Pilka da”, 6 Agustus 2007, http://kompas.com/kompas-cetak/0708/06/ Politikhukum/3 739066. htm, diakses pada tanggal 19 Juni 2013.
92 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 85-100
runan tersebut bersifat linier maka diperkirakan tingkat partisipasi pemilih pada 2014 akan sema kin turun menjadi 50% dan ancaman maraknya golput akan terjadi. Padahal KPU menargetkan partisipasi pemilih masyarakat pada Pemilu 2014 menjadi 75%. Data lain menunjukkan bahwa rata-rata partisipasi masyarakat dalam 240 Pilkada selama tahun 2005-2006 cukup tinggi, yaitu sebesar 73,6%, yang m engindikasikan antusiasm e masyarakat dalam berpartisipasi. Namun, jika dilihat dari setiap penyelenggaraan Pilkada di tiap daerah angkanya kecil. Pilkada di level kabupaten memiliki tingkat partisipasi paling tinggi, yaitu 75,6% dibandingkan di perkotaan dan provinsi.39 Jika partisipasi politik masyarakat, baik di level daerah maupun nasional tergolong rendah maka kualitas berdemokrasi kita akan dipertanyakan. Selain itu, rendahnya partisipasi politik menunjukkan bahwa parpol sebagai komponen utama demokrasi tidak mampu melaksanakan fungsinya. Masyarakat tidak mau berpartisipasi karena mereka sudah tidak lagi percaya pada parpol. Kondisi ini memang mencerminkan realitas sosial yang terjadi saat ini di mana tingkat kepercayaan masyarakat semakin rendah akibat banyaknya kader parpol atau politisi senayan yang terjerat kasus hukum dan korupsi. Meskipun begitu, perlu diakui bahwa banyak faktor yang memengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Menurut mantan Ketua KPU, Hafidz Anshory, paling tidak terdapat 9 (sembilan) faktor yang memengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, yaitu penyelenggara pemilu (KPU), peserta pemilu, kandidat dalam pemilu, perilaku dan sikap tim sukses, sikap dan budaya politik, daya dorong atau motivasi masyarakat, waktu penyelenggaraan pemungutan suara, metode, dan sosialisasi.40 Sebagai respons atas hal tersebut, parpol semestinya mulai berbenah diri untuk memper baiki komunikasi politiknya dengan konstituen dan masyarakat umum. Dalam upaya ini, media 19Ibid. 40 Media Center KPU, “9 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu”, 23 Agustus 2011, http:// mediacenter.kpu.go.id/berita/1202-9-faktor-yang-mempengaruhi-tingkat-partisipasi-masyarakat-dalam-pemilu.html, diakses pada tanggal 18 Juni 2013.
sosial memiliki peluang sebagai bentuk baru ko munikasi politik oleh parpol sehingga berpotensi menumbuhkan kepercayaan publik kepada parpol dan meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Dalam konteks ini, media sosial cukup memiliki kekuatan sekaligus tantangan dalam memenga ruhi proses politik, khususnya menjelang Pemilu 2014.
Peluang dan Tantangan Media Sosial dalam Pemilu 2014 Tahun 2013-2014 sering disebut sebagai “tahun politik”.41 Hal ini ditandai selain oleh maraknya berbagai Pilkada di sejumlah daerah, periode ta hun tersebut juga merupakan masa “pemanasan” bagi para parpol dan caleg untuk memperoleh dukungan pada saat Pemilu 2014. Bahkan, periode tersebut sering disebut sebagai masa pencitraan bagi parpol peserta pemilu. Namun, hal yang terpenting dan mendasar adalah pada tahun tersebut kesadaran berpolitik masyarakat perlu makin ditum buhkan. Parpol peserta pemilu semestinya menargetkan pada upaya bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dan bagaimana parpol dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada pemilu sehingga masyarakat mau memberikan suaranya. Hal ini penting mengingat ternyata, menurut LSI, hanya sekitar 30% pemilih yang menyatakan dekat dengan parpol.42 Sementara sisanya menyatakan tidak dekat dengan parpol sehingga dapat disebut sebagai massa mengambang. Persentase tersebut menandakan lemahnya hubungan emosional antara parpol dan pemilih sehingga sebagian besar pemilih merupakan pemilih mengambang yang belum menjatuhkan pilihannya kepada salah satu parpol. Untuk merespons hal di atas, penggunaan media sosial diyakini merupakan jawaban seiring makin populernya media sosial di kalangan ma syarakat luas. Namun, ibarat pisau bermata dua, media sosial juga memiliki berbagai tantangan 41 Kompas.com, “Presiden SBY: 2013-2014 Tahun Politik, Utamakan Tugas Negara”, 28 Januari 2013, http-.//nasional, kompas, com/read/2013/01/28/10385410/Pres iden. SBY. 20132014. Tahun.Politik. Utamakan. Tugas.Negara, diakses pada tanggal 30 Juli 2013. 42Kompas.com, “70% Pemilih Indonesia Tak Loyal”, 12 Juni 2011, http://nasional.kompas.com/read/2011/06/12/15172118/70. Persen.Pemilih.lndonesia.Tak.Loyal, diakses pada tanggal 30 Juli 2013.
Menakar Kekuatan Media Sosial... | Athiqah Nur Alami | 93
yang perlu diwaspadai dan menjadi perhatian sehingga justru tidak menjadi kontraproduktif terhadap proses pemilu itu sendiri. Untuk itu, kita perlu melihat peluang dan tantangan peng gunaan media sosial sebagai upaya menakar sejauh mana kekuatan media sosial dalam memengaruhi proses Pemilu 2014, khususnya terkait dengan peningkatan partisipasi politik masyarakat, baik yang bersifat konvensional maupun nonkonvensional. Jumlah masyarakat yang berhak untuk memberikan suaranya akan terus bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia. Komposisi terbesar dari pemilih tersebut adalah kaum muda yang merupakan kelas menengah, melek teknologi, dan tinggal di perkotaan. Menurut data KPU, jumlah pemilih pada Pemilu 2004 adalah 147 juta orang, di mana sekitar 27 jutanya adalah pemilih pemula. Sedangkan pada Pemilu 2009, jumlah pemilih pemula meningkat menjadi 36 juta orang dari total 171 juta pemilih.43Pada tahun 2014 diperki rakan jumlah pemilih muda mencapai 40.749.503 orang.44 Sementara itu, pengguna internet dan media sosial terbesar juga kaum muda dengan usia 15-41 tahun. Dalam konteks inilah, kampanye politik dengan menggunakan media sosial berpeluang untuk meraup suara dari para pemilih muda dan pemilih pemula. Seperti dinyatakan oleh Baumgartner dan Morris bahwa, “the internet has been promoted as a channel through which the young may become politically mobilised.”45 Di banyak negara demokrasi, bagaimana mendorong partisipasi politik kaum muda merupakan isu penting. Jika mereka sebagai “first-time voters” tidak dilibatkan dalam proses politik maka mereka dikhawatirkan tidak akan memberikan suarnya.46 Hal penting lainnya adalah sebagian besar mereka termasuk pemilih mengambang 43 Metrotvnews, “Krusialnya Peran Media Sosial untuk Par pol”, 29 Mei 2013, http://www.metrotvnews.com/metronews/ read/2013/05/29/'1/157690/Krusialnya-Peran-Media-Sosialuntuk-Parpol, diakses pada tanggal 18 Juni 2013. u Ibid. 45J.C. Baumgartner dan J.S. Morris, "Social Networking Web Sites and Political Engagement o f Young Adults”, Social Sci ence Computer Review, Vol. 28, No. 1, 2010, hlm. 25. 46Lihat R. Huggins, “The Transformation of the Political Audience”, dalam B. Axford dan R. Huggins (Eds.), New Media and Politics, (London: Sage, 2001).
(swing voters). Mereka biasanya belum menen tukan pilihan politiknya sampai dengan hari pencoblosan. Meskipun pengguna media sosial cenderung individu, dukungan komunitas media sosial juga perlu bagi parpol agar bisa dikenal ma syarakat. Kondisi inilah yang dapat dimanfaatkan oleh parpol untuk melakukan kampanye politik melalui berbagai diskusi informal di media sosial, khususnya dengan kaum muda. Selain kaum muda, pengguna media sosial umumnya tinggal di daerah perkotaan. Untuk itu, kampanye politik melalui media sosial mungkin kurang e fe k tif untuk m enjangkau daerah pedesaan dan daerah yang terisolasi. Kehadiran media sosial nampaknya belum dapat sepenuhnya menggantikan media kampanye konvensional untuk menumbuhkan rasa suka dan menarik hati para pemilih. Sarana kampanye berupa poster dan baliho nampaknya akan tetap menjamur di daerah-daerah yang memiliki keterbatasan akses dan jaringan komunikasi. Namun, memang perlu disadari bahwa parpol tidak dapat sepenuhnya mengandalkan media sosial untuk kampanye politik, meskipun berbiaya murah dan efisien, terlebih bagi partai baru yang belum dikenal masyarakat. Seorang Caleg, misalnya, tetap harus turun ke lapangan untuk mensosialisasikan programnya. Kampanye tatap muka secara langsung, dialog, dan diskusi masih tetap efektif dalam m em bangun keterikatan em osional dan menanamkan kepercayaan di hati pemilih sehingga para pemilih mau datang ke tempat pemungutan suara untuk memberikan suaranya. Kondisi ini tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh media sosial. Sifat media sosial yang egaliter, responsif, interaktif, berpeluang mampu m endobrak sekat-sekat yang sebelumnya terbangun antara pemerintah atau parpol dan masyarakat umum, termasuk kaum muda. Kekuatan media sosial dalam memengaruhi m asyarakat utamanya didasarkan pada aspek sosial yang melekat padanya, yaitu aspek interaksi dan partisipasi. Karakter media sosial yang interaktif ini kemu dian yang menjadikannya tidak diatur dalam regulasi penyelenggaraan Pemilu. KPU tidak melarang kampanye parpol melalui media sosial karena bersifat interaksi sosial dan sulit untuk dikontrol. Larangan kampanye, baik di media
94 I Jurnal Penelitian Politik I Volume 10 No. 1 Juni 2013 I 85-100
cetak maupun elektronik tercantum dalam Pasal 82 dan 83 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif. Objek hukum yang tercakup dalam peraturan larangan berkam panye di media massa adalah mereka yang disebut sebagai peserta pemilu. Cakupan peserta pemilu adalah parpol dan Caleg DPR, DPRD serta D PD .47* Selain pihak-pihak di atas, tidak terkena aturan untuk larangan berkampanye di media massa. Sementara itu, media sosial tidaklah termasuk dalam kategori di atas. Namun yang menjadi tantangan adalah aktivitas interaktif dalam media sosial biasanya hanya dapat diikuti oleh kalangan terbatas se hingga publik tidak selalu tahu apa yang sedang diperbincangkan. Kondisi ini menyebabkan diskusi yang terjadi di media sosial kurang memiliki efek menekan bagi pemilik akun se hingga tidak ada jaminan bahwa segala masukan akan ditindaklanjuti segera. Dalam hal ini, efek publisitas tidak sepenuhnya terjadi pada media sosial. Aspek media sosial yang interaktif juga menuntut parpol atau caleg pengguna media sosial untuk selalu memberikan respons terhadap pertanyaan atau komentar yang dilayangkan masyarakat melalui media sosial. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka menandakan media sosial tidak efektif Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi parpol karena mereka harus terbuka dengan berbagai saran dan gagasan yang disampaikan oleh follower-nya serta mengalokasi waktu dan tenaga (pikiran) untuk menjawabnya. Isi kicauan di Twitter, misalnya, juga harus dipikirkan dengan baik agar tidak teijadi misinterpretasi dan kontroversial di kalangan masyarakat. Untuk itu, media sosial dapat berfungsi untuk menciptakan citra positif parpol atau politisi tertentu dan juga sebaliknya, seperti memberikan klarifikasi terha dap suatu isu yang menimpa partai ataupun sikap partai terhadap isu yang sedang berkembang. Penggunaan m edia sosial ju g a berp e luang sebagai pemasaran politik bagi parpol sehingga diharapkan dapat m eningkatkan partisipasi pemilih. Melalui media sosial, parpol dapat menginformasikan kegiatan-kegiatan 47 Sindonews, “KPU tidak larang parpol kampanye di media sosial”, 30 Januari 2013, http://nasional.sindonews.com / read/2013/01/30/'12/712390/kpu-tidak-larang-parpol-kampanye-di-media-sosial, diakses pada tanggal 18 Juni 2013.
partai dan opini atau sikap parpol terhadap suatu isu. Namun, karena akun resmi dari suatu partai biasanya hanya diakses oleh mereka yang merupakan kader atau simpatisan partai tersebut, pemasaran akan aktivitas partai menjadi terbatas. Untuk memperluasnya, mungkin pemberitaan tentang aktivitas suatu partai lebih efektif jika disebarkan melalui akun pribadi yang biasanya cenderung plural pembacanya dan lebih dinamis. Oleh karena itu, sebelum proses pemasaran ini dilakukan, parpol perlu memiliki aktivitas dan prestasi yang dapat dibanggakan. Hal ini penting karena media sosial perlu konten untuk didiskusikan. Dalam konteks ini, kerja nyata parpol di masyarakat tetap penting. Agar aktivitas pemasaran ini berjalan sukses diperlukan proses dan waktu yang tidak sebentar. Media sosial akan efektif apabila dilakukan dalam jangka waktu yang panjang. Masyarakat memerlukan waktu untuk mengenal akun parpol tersebut dan memerlukan waktu pula untuk membangun rasa percaya. Hal ini akan semakin menguntungkan bagi kandidat petahana (incumbent) dan mereka sudah memiliki berbagai prestasi sehingga tingkat keterpilihannya kembali akan tinggi. Selain itu, meskipun jumlah “followers” di Twitter dan “like” di Facebook tinggi, hal ini bukanlah indikator utama dari tingkat popularitas. Oleh karena itu, parpol yang baru aktif di media sosial menjelang pemilu tidak akan memperoleh keuntungan dari media sosial. Jenis media ini mestinya ramai tidak hanya menjelang Pemilu karena jika hal itu terjadi maka masyarakat dapat menilai partai mana yang hanya “hidup” pada saat Pemilu. Selain itu, media sosial menyediakan pelu ang bagi partai-partai yang tidak mendapatkan tempat atau tidak berafiliasi dengan media massa mainstream untuk melakukan kampanye politik. Sejumlah partai memang mengandalkan media massa untuk berkampanye dan memperkenalkan kandidat yang diusungnya. Saat ini paling tidak terdapat tiga grup media penyiaran yang dimiliki tokoh politik, yaitu Bakrie & Brothers dan Visi Media Asia milik Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar, yang membawahi ANTV, TVOne, Chanel [V], VivaNews.com, dan Bomeo News; grup Media Nusantara Citra (MNC) milik Hary Tanoesoedibjo, petinggi Partai Hanura, yang
Menakar Kekuatan Media Sosial... | Athiqah Nur Alami | 95
memiliki RCTI, Global TV, MNC TV, Top TV, Okevision, Indovision, Sky vision, Sindonews. com, Okezone.com; dan Media Group milik Surya Paloh yang saat ini merupakan Ketua Umum Partai Nasdem. Dalam konteks inilah, media sosial dapat menjadi bentuk perlawanan bagi hegemoni pemberitaan di berbagai media besar tersebut yang mungkin tidak berimbang. Seperti terlihat di Amerika Serikat, hasil studi menunjukkan bahwa media sosial, khu susnya Twitter, ternyata banyak digunakan oleh partai minoritas yang tidak memiliki tempat di sejumlah media massa utama.48 Studi lain juga menunjukkan partai minoritas yang disebut sebagai “third party”, yaitu Lihertarian Party, Green Party, Constitution Party, dan Justice Party sering menggunakanTwitter dalam melan carkan aksi kampanyenya.49 Selama ini sejumlah media besar AS “dikuasai” oleh dua parpol utama, yaitu CNN, misalnya, memiliki afiliasi dengan Partai Demokrat dan Fox News dengan Partai Republik.50 Namun, tantangan terhadap penggunaan media sosial akan muncul karena ketiadaan aturan yang berlaku dalam kampanye di media massa sehingga berpotensi maraknya kampanye hitam (black campaign) antarparpol atau kandidat. Hal ini karena tidak ada proses fil ter terhadap berbagai informasi yang disebarkan melalui media sosial. Untuk itu, masyarakat harus kritis dan jeli dalam menyikapi segala informasi. Penggunaan kampanye hitam dapat dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu di level daerah maupun nasional. Namun Kementerian Komunikasi dan Informasi RI telah mengeluarkan UU No. 11 Tahun 2009 yang mengatur penggunaan sarana telekomunikasi, termasuk media sosial untuk tujuan kampanye dan pemilu. Oleh karena itu, kampanye hitam lewat media sosial bukan cara bijak untuk meraup suara karena tidak
48 Lihat D.S. Lassen dan A.R. Brown, “Twitter: The Electoral Connections?”, Soc Sci Comp Rev, Vol. 29, No. 4, 2011, hlm. 419-436, dalam Stefan Stieglitz dan Linh Dang-Xuan, “Social Media and Political Communication: a Social Media Analytics Framework”, Soc Netw Anal Min Springer-Verlag, 13 Juli 2012. 4gChristian Christensen, “Wave-Riding and Hashtag-Jumping: Twitter, Minority ‘Third Parties; and the 2012 US Elections”, Information, Communication & Society, Vol. 16, No. 5, 2013, hlm. 646-666. 30Lihat Markus Prior, “Media and Political Polarization”, Annual Review o f Political Science, Vol. 16,2013, hlm. 101-127.
mencerminkan kedewasaan bangsa Indonesia dalam berpolitik. Kehadiran media sosial sebenarnya berpelu ang dalam melahirkan harapan akan model baru partisipasi politik masyarakat di era demokrati sasi. Fenomena ini seringkah disebut dengan digital democracy, e-government atau internet politics ,51 dan e-activism.52 Situasi ini sebenarnya diharapkan dapat mengikis segala keraguan dan sikap apatisme masyarakat terhadap par pol. M asyarakat dapat berpartisipasi secara tidak langsung dalam memengaruhi kebijakan pemerintah sehingga mereka tidak merasa bahwa pemerintahan adalah domain elite tertentu. Selain itu, bagi parpol media sosial harus digunakan untuk mendukung tugas dan fungsi partai, di antaranya m em berikan pendidikan politik bagi masyarakat. Namun, persoalannya adalah kebanyakan dari mereka memanfaatkan media sosial untuk keuntungan mereka sendiri. Mereka hanya mengikuti arus atau euphoria dari media sosial, tapi tidak memiliki strategi bagaimana memanfaatkannya secara optimal. Bahkan tidak sedikit parpol yang merendahkan penggunaan media sosial karena mereka tidak mengerti bagaimana mengoptimalkan media sosial dalam mendukung aktivitas politik.
Penutup Globalisasi, yang salah satunya ditandai dengan kemajuan informasi dan teknologi, menuntut par pol dan politisi untuk mendayagunakan kekuatan media sosial dalam aktivitas politiknya. Hal ini penting dalam upaya melakukan komunikasi politik dengan masyarakat. Selama beberapa tahun terakhir media sosial telah menjadi saluran komunikasi politik yang penting. Media sosial memungkinkan institusi politik, misalnya parpol, dan pemilih untuk saling berinteraksi secara langsung. Media sosial juga telah menjadikan komunikasi politik lebih egaliter dan demokratis. Dalam situasi ini, aktivitas politik akan lebih transparan dan masyarakatpun dapat lebih terlibat dalam proses pembuatan kebijakan. Namun, 51Lihat, Manuel Castells, The Internet Calaxy, (Oxford: Oxford University Press, 2001); Jan van Dijk, The NetWork Society, (London: Sage Publication Ltd., 2006). i2 Lihat Oscar Garcia Luengo, “E-Activism: New Media and Political Participation in Europe”, CONFines 2/4 , AgustusDesember 2006.
96 | Jumal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 85-100
hingga saat ini potensi media sosial di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal oleh para politisi. Salah satu alasannya adalah kurangnya pengetahuan para politisi terhadap topik terkini dan diskursus di berbagai saluran media sosial. Padahal saat ini penting bagi institusi politik seperti parpol dan instansi pemerintah untuk mulai menggunakan media sosial dalam rangka meningkatkan pelayanan dan komunikasi mereka dengan masyarakat umum dan para pemilihnya. Masyarakat merasa perlu untuk terus memper baharui informasi atau diskusi terkait dengan reputasi politisi tertentu atau topik tertentu yang sedang menjadi bahan pembicaraan. Sementara bagi parpol, media sosial mes tinya dapat menjadi sarana untuk menjalankan fungsinya, yaitu sosialisasi kebijakan dan menyerap aspirasi. Media sosial juga meru pakan alat untuk memelihara konstituennya dan menjaga hubungan dengan konstituen. Dengan menjalankan berbagai fungsi tersebut maka diharapkan penggunaan media sosial dapat berkorelasi terhadap peningkatan partisipasi pemilih pada Pemilu 2014. Meski dalam konteks Indonesia, banyak faktor lain yang memengaruhi tingkat partisipasi politik masyarakat, media so sial sebagai bentuk kemajuan dalam komunikasi politik dan kuantitas penggunaannya yang tinggi di Indonesia diharapkan dapat menjadi salah satu variabel yang berkontribusi dalam mendongkrak partisipasi pemilih di Indonesia pada Pemilu 2014 mendatang.
Daftar Pustaka Buku Christakis, N.A. dan J.H. Fowler. 2009. “Connected: The Surprising Power o f Our Social Networks and How They Shape Our Lives”. Portsmouth: Little, Brown and Company. Castells, Manuel. 2001. The Internet Galaxy. Oxford: Oxford University Press. Dijk, Jan van. 2006. The Network Society. London: Sage Publication Ltd. Dahi, R.A. 1971. Polyarchy: Participation and Op position. New Haven: Yale University Press. ------------ . 1998. On Democracy. New Haven: Yale University Press.
Friedman, Thomas L. 2007. “ The World is Flat 3.0: A Brief History o f the Twenty-First Century”. London: Picador. Huggins, R. 2001. “The Transformation of the Politi cal Audience”, dalam B. Axford dan R. Huggins (Eds.). New Media and Politics. London: Sage. McLuhan, Marshall. 1962. “The Guttenberg Galaxy: The Making o f Typographic Man”. Canada: University of Toronto Press. Pateman, C. 1970. Participation and Democratic The ory. Cambridge: Cambridge University Press. Reddick, C.G. dan S.K. Aikins (Eds.). 2012. Web 2.0 Technologies and Democratic Governance. Public Administration and Information Tech nology 1. Springer Science. New York: Busi ness Media. Verba, S. dan N.H. Nie. 1972. Participation in Amer ica: Political Democracy and Social Equality. New York: Harper & Row.
Jurnal Boyd, D.M. dan Ellison, N.B. 2007. “Social Network Sites: Definition, History, and Scholarship”, Journal o f Computer-Mediated Communica tion, 13 (1): 211 . Baumgartner, J.C. dan J.S Morris. 2010. “Social Net working Web Sites and Political Engagement o f Young Adults”, Social Science Computer Review, 28 (1); 25. Christensen, Christian. 2013. “Wave-Riding and Hashtag-Jumping: Twitter, Minority ‘Third Par ties; and the 2012 US Elections”, Information, Communication & Society, 16 (5): 646-666 Diemer, M. A. 2012. “Fostering MarginalizedYouths’ Political Participation: Longitudinal Roles of Parental Political Socialization and Youth Sociopolitical Development”, American Journal o f Community Psychology. Kaplan A.M, dan M. Haenlein. 2010. “Users of the World, Unite! The Challenges and Opportunities o f Social Media”, Business Horizons, 53: 61. Luengo, Oscar Garcia. 2006. “E-Activism: New Me dia and Political Participation in Europe”, CONFines 2/4. Agustus-Desember 2006. Lassen, D.S. dan A.R. Brown. 2011. “Twitter: The Electoral Connections?”, Soc Sci Comp Rev, Vol. 29, No. 4, dalam Stefan Stieglitz dan Linh Dang-Xuan. 2012. “Social Media and Politi cal Communication: a Social Media Analytics Framework”. Soc Netw Anal Min Springer- Verlag, 13 Juli 2012.
Menakar Kekuatan Media Sosial... | Athiqah Nur Alami | 97
Prior, Markus. 2013. “Media and Political Polarization”, Annual Review o f Political Science, 16: 101-127. Riley, C.E., C. Grifin & Y. Morey. 2010. “The Case of ‘Everyday Politics’: Evaluating Neo-Tribal Theory As A Way to Understand Altemative Form of Political Participation, Using Elec tronic Dance Music Culture As An Example”, Sociology, 44 (2): 345-363. Shirky, C. 2011. “The Political Power o f Social Me dia", Foreign Affairs, 90 (1): 28—41. Tolbert C.J. dan R.S. McNeal. 2003. “Unraveling the Effects of the Internet on Political Partici pation”, Political Research Quarterly, 56 (2): 175, dalam Kevin Lynch dan John Hogan. 2013. “How Irish Political Parties are using Social Networking Sites to Reach Generation Z: An Insight into a New Online Social Network in a Small Democracy”. Irish Communications Review, 12. Zhang, W. dan T. Seltzer. 2013. “Another Piece of the Puzzle: Advancing Social Capital Theory by Examining the Effect of Political Party Re lationship Quality on Political and Civic Par ticipation”, International Journal o f Strategic Communications, 4 (3): 164, dalam Kevin Lynch dan John Hogan. 2013. “How Irish Po litical Parties are using Social Networking Sites to Reach Generation Z: An Insight into a New Online Social Network in a Small Democracy”. Irish Communications Review, 12.
Laporan dan Makalah Bartlett, Jamie Sid Bemett etah, 2013. Firtually Mem bers: the Facebook and Twitter Followers o f UK Political Parties. CASM Briefing Paper. London: Demos. Ceron, Andrea dan Alessandra Caterina Cremonesi. 2013. “Politicians Go Social: Estimating IntraParty Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media”. Paper disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Me dia and Political Participation, Florence, 10-11 Mei 2013. Effing, Robin Jos van Hillegersberg dan Theo Huibers,“Social Media and Political Particiption: Are Facebook, Twitter and YouTube Democratizing Our Political Systems?”, dalam E. Tambaouris, A. Macintosh, & H. de Bruijn (Eds.), Electronic Participation, Third IFIP WG 8.5 International Conference Proceedings, Delft, The Netherlands, 29 Agustus-1 September 2011.
Surat Kabar dan Website Antaranews. 2013. “Gerindra: Media Sosial Penga ruhi Kebijakan Partai” [online]. dalam http:// www. antarasumsel. com/berita/2 73698/gerin dra—media-sosial-pengaruhi-kebijakan-partai [diakses 18 Juni 2013]. Antaranews. 2013. “Melirik Media Sosial untuk Men jaring Suara Massa” [online]. dalam http:// www. antarasultra. com/print/267098/melirikmedia-sosial-untuk-menjaring-suara-massa [diakses 18 Juni 2013]. Acehterkini. 2013. “Media Sosial sudah Mempenga ruhi Politik” [online]. dalam http://acehterkini. com/media-sosial-sudah-mempengaruhi-politikl [diakses 18 Juni 2013]. Antaranews. 2012. “Partisipasi Warga pada Pilkada DKI Tak Meningkat” [online]. dalam http:// www.antaranews.com/berita/321039/partisipasi-warga-pada-pilkada-dki-tak-meningkat [diakses 19 Juni 2013]. Berita8. 2013. “Media Sosial bisa Perkuat Fung si Partai Politik” [online]. dalam http://www. berita8.com/berita/2013/04/Media Sosial-bisa-perkuat-fungsi-partai-politik [diakses 18 Juni 2013]. Beritanda. 2013. “BERC Rilis Survey Partai Politik dari Jejaring Sosial” [online]. dalam http://www. beritanda. com/opini/opini/siaran-pers/l 3122berc-rilis-survey-partai-politik-dari-jejaringsosial-.html [diakses 18 Juni 2013]. Friends o f Europe D inner Debate. 2013. [on line]. dalam http://w w w .debatingeurope. eu/2013/01/22/how-is-social-media-changingpolitics/ [diakses 14 Juni 2013]. http://www.socialbakers.com/facebook-statisticsl [diakses 30 Juli 2013]. http://www.socialbakers.com/blog/1862-key-statsfrom-facebook-q2-call-now-at-1-15-billionusers [diakses 30 Juli 2013]. http://www.socialbakers.com/all-social-media-stats/ facebook/country/indonesia/?_fid=nu0l [diak ses 30 Juli 2013. Koran Sindo. 2013. “Media Sosial, Jurus Murah Kon testan Politik”, [online]. dalam http://www.koran-sindo.com/node/318769 [diakses 18 Juni 2013]. K om pas.com , “Presiden SBY: 2013-2014 Ta hun Politik, Utamakan Tugas Negara” [on line]. dalam http://nasional.kom pas.com / r e a d /2 0 1 3 /0 1 /2 8 /1 0 3 8 5 4 1 0 /P re sid e n . SBY.2013-2014. Tahun.Politik. Utamakan. Tu gas.Negara [diakses 30 Juli 2013].
98 I Jurnal Penelitian Politik I Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 85-100
Kompas.com. 2011. “70 Persen Pemilih Indonesia Tak Loyal”, [online]. dalam http://nasional, kompas, com/read/2011/06/12/15172118/70. Persen.Pemilih.Indonesia. Tak.Loyal [diakses 30 Juli 2013]. M etrotvnew s. 2013. “ K rusialnya Peran M e dia Sosial untuk Parpol”, [online]. dalam http://w w w .m etrotvnew s.com /m etronew s/ read/2013/05/29/1/15 7690/Krusialnya-Peran-Media-Sosial-untuk-Parpol [diakses 18 Juni 2013]. Media Center KPU. 2011. “9 Faktor yang Mempen garuhi Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu” [online]. Dalam http://mediacenter. kpu.go.id/berita/1202-9-faktor-yang-mempengaruhi-tingkat-partisipasi-masyarakat-dalampemilu.html [diakses 18 Juni 2013]. Pew Research Center’s Internet & American Life Project. 2012. “Social Media and Political Engagement” [online]. Dalam http.V/pewinternet.org/Reports/2012/Political-Engagement. aspx [diakses 12 Juni 2013]. Safranek, Rita. 2012. “The Emerging Role of So cial Media in Political and Regime Change”, Proquest Discovery Guides, [online]. dalam http://www.esa. com/discovery guides/discoveryguides-main.php [diakses 12 Juni 2013].
Setiawan, Bambang. 2007. “Menyoal Partisipasi Politik dalam Pilkada” [online]. dalam, http:// kompas. com/kompas-cetak/0708/06/Politikhukum/3739066.htm [diakses 19 Juni 2013]. S indonew s. 2013. “ KPU T idak L arang P ar pol Kampanye di Media Sosial” [online]. dalam h ttp ://n a s io n a l.s in d o n e w s .c o m / read/2013/01/30/12/712390/kpu-tidak-larangparpol-kampanye-di-media-sosial [diakses 18 Juni 2013]. Tempo.co. 2012. “Golkar Siapkan Tim Sosial Me dia” [online]. dalam http://www.tempo.co/ read/news/2012/11/18/078442503 [diakses 30 Juli 2013]. The American Presidency Project. 2013. “Voters Tumout in Presidential Elections: 1828-2008” [on line]. dalam http://www.presidency.ucsb.edu/ data/turnout.php [diakses 19 Juni 2013]. Washington Post. 2008. “Obama Raised Half a Billion Online” [online]. dalam http://voices.washingtonpost.com/44/2008/ll/obama-raised-half-abillion-on.html [diakses 14 Juni 2013]. W aspada O nline. 2012. “R akernas PDIP B a has T w itte r dan F a c e b o o k ” [online]. dalam http://w w w . w aspada. co.id/index. php?option=com_content& view=article&id =263804:rakernas-pdip-bahas-twitter-danfacebook&catid=l 7:politik<emid=30 [diak ses 30 Juli 2013].
Menakar Kekuatan Media Sosial
Athiqah Nur Alami | 99
EVALUASI FORMAT PEMILUKADA MENUJU TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN EFEKTIF DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA* EVALUATION OF THE LOCAL ELECTION FORMAT, TOWARDS GOOD AND EFFECTIVE GOVERNANCE AT REGENCY/CITY LEVEL Sri Nuryanti Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 5 Februari 2013; direvisi: 20 April 2013; disetujui: 17 Juni 2013 Abstract Direct local elections at the level o f regency/city level are kept to be implemented with some notes: the need to consider the diverse o f local dynamics, the need to see some improvements o f the electoral management, the electoral management body and implementation ofjudicial court decision. Eventhough, yet notfonnd direct linkage between the direct local elections and the leadership quality o f chosen local leader, direct local elections is assumed to give better weight to democracy. Keywords: local election format, effective governance, regency/city Abstrak Pemilukada langsung di tingkat Kabupaten/Kota tetap dipertahankan keberlangsungannya dengan beberapa catatan: adanya keperluan untuk mempertimbangkan keberagaman dinamika lokal, kebutuhan untuk melihat beberapa perbaikan dalam hal pengelolaan kepemiluan, penyelenggara pemilu, dan penerapan keputusan pengadilan. Meski pun belum ditemui adanya hubungan langsung antara pemilukada langsung dan kualitas kepemimpinan pemimpin daerah terpilih, pemilukada langsung diasumsikan memberikan bobot yang lebih baik atas pelaksanaan demokrasi. Kata kunci: format Pemilukada, pemerintahan efektif, kabupaten/kota
Pendahuluan Mulai bulan Juni 2005, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik gubemur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, maupun wali kota/wakil wali kota, dipilih secara langsung oleh rakyat. Dipilihnya sistem pemilukada langsung men datangkan optimisme dan pesimisme tersendiri. Pemilukada langsung dinilai sebagai perwujudan pengembalian hak-hak politik kepada masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang
utuh dalam rangka rekrutmen pemimpin daerah sehingga pola ini di satu sisi dianggap memacu kehidupan demokrasi di tingkat lokal. Di sisi lain, penyelenggaraan pemilukada langsung di beberapa daerah yang tidak berjalan lancar diwarnai permasalahan hukum ataupun yang me nyisakan konflik, dilihat sebagai faktor pemicu untuk memikirkan ulang apakah pemilukada langsung masih layak dipertahankan atau tidak; pembenahan-pembenahan seperti apakah yang
’ Tim peneliti terdiri atas Dr. Muridan S. Widjojo (Koordinator), Prof. Dr. Tri Ratnawati, Prof. Dr. Indria Samego, Afadlal, M.A., Sri Nuryanti, S.IP., M.A., Dini Suryani, S.IP., Pandu Y. Adaba, S.IP.
Evaluasi Format Pemilukada ... | Sri Nuryanti | 101
diperlukan agar penyelenggaraan pemilukada langsung memenuhi harapan ideal. Keputusan negara untuk mengadopsi sistem pemilukada langsung bukanlah datang dengan tiba-tiba. Semangat untuk mengembalikan ke daulatan rakyat pascatumbangnya kepemimpinan Soeharto, keinginan memperbaiki kehidupan demokrasi pasca-Orde Baru. Pemicunya adalah kekecewaan publik akibat maraknya politik “da gang sapi” dalam pemilihan kepala daerah secara perwakilan melalui DPRD masa pemerintahan B.J. Habibie (dengan UU No. 22 Tahuni999 tentang Pemerintahan Daerah) serta suksesnya pem ilihan presiden/w akil presiden secara langsung yang pertama di Indonesia pada tahun 2004, merupakan beberapa faktor penting me ngapa pemilukada langsung kemudian dijadikan pilihan, sekaligus solusi mengembalikan hak-hak politik masyarakat Indonesia pasca-transisi pemerintah otoriter dan ditaktor. Kalangan pemikir pro pemilukada secara langsung, seperti Priyambudi dan Mariberth Erb menilai betapa pentingnya pemilukada secara langsung di Indonesia, baik bagi si individu pemilih maupun bagi para kandidat. Menurut kedua pemikir tersebut, pemilukada langsung juga mencerminkan kesetaraan hak-hak dan ke wajiban semua individu terhadap negara sebagai ciri-ciri penting negara-negara demokrasi. “Although elections were a regular p a rt o f the political landscape o f Indonesia over the perio d o f the N ew Order, the phenom enon o f the direct vote fo r individual leaders, a t either national level or local level, is very new. The emphasis on the individual is not only at the level o f voter, but also the level o fcandidates. This emphasizing o f the individual in modern democracies is supposed topoint to the equality o f all individuals, in terms o f their rights and duties to the greater polity. The vote is supposed to be a Symbol p a r excellence o f this equality’’.'
Selanjutnya, diperkuat argumentasi dari Harold Crouch, seorang Indonesianist dari Australia, juga mengapresiasi pelaksanaan pemilukada langsung di negara kita karena me munculkan alternatif pemimpin-pemimpin baru.
1 Priyambudi Sulistiyanto dan Maribeth Erb, "Indonesia and the Quest for “Democracy”, dalam Priyambudi Sulistiyanto dan Maribeth Erb (Eds.), DeepeningDemocracy in Indonesia? Direct Elections fo r Local Leaders {Pilkada), (Singapore: ISEAS, 2009), hlm. 10.
“Nevertheless, the outlook in Indonesia was by no means entirely bleak. The very fa c t o f open competition between parties, especially after the introduction o f direct elections, allow ed the emergence o f new types o f local leader whose success depended, to some extent at least, on meeting public expectations
Tidak hanya sebatas itu saja pemikiran pen tingnya pemilukada langsung dikatakan kedua pemikir di atas. Menurut Hasmin Tamsah,123*salah satu tujuan terpenting dalam pilkada langsung adalah memilih pemimpin yang berkualitas yang sesungguhnya dapat diukur oleh berbagai instru men, seperti tingkat pendidikan dan kompetensi. Namun, sebagai pejabat politik, kepala daerah terpilih haruslah orang yang dapat diterima secara umum di mana mereka akan memimpin sehingga dukungan yang luas dianggap perlu. Tidak hanya dukungan masyarakat, tetapi dukungan semua pihak termasuk elite politik yang ada di tingkat nasional dan pem erintah pusat. Pemimpin yang berkualitas adalah dambaan semua pihak, tidak terkecuali masyarakat umum yang sangat rindu dengan pem im pin yang berkualitas, yang diharapkan dapat mengangkat harkat dan martabat mereka. Perbedaan dialektika berpikir tentang pemilukada langsung tentunya menuai penolakan atas usulan pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD. Dasar pemikiran dikatakan Eko Prasojo dan tim, pemilukada lewat DPRD akan lebih mampu menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas karena dipilih oleh para politisi/ anggota DPRD yang berpengalaman. Prasojo dkk. menulis: “Dipilihnya KDH (Kepala Daerah) oleh DPRD mem iliki keuntungan dan kelebihan relatif menu rut beberapa kriteria. Pemilihan KDH dapat dilihat berdasarkan kriteria: 1) kualitas KDH terpilih; 2) akuntabilitas publik dan responsiveness; 3) efisiensi pem ilihan; 4) jam in an transparansi dan fairness. D ipilihnya oleh DPRD, KDH yang terpilih, rela tif lebih berkualitas karena dikenal oleh elite-elite politik yang berkecimpung di dalam pemerintahan daerah dan jam inan telah mengenal daerahnya de ngan baik, lebih teruji. Namun, akuntabilitas publik dan responsiveness-nya relatif kurang karena dipilih 2Harold Crouch, Political Reform in Indonesia After Soeharto, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies/ ISEAS, 2010), hlm. 117. 3 Hasmin Tamsah, “Menakar Manfaat Pemilihan Langsung”, http://makassar.tribunnews.com/2013/04/ll/menakar-manfaatpemilihan-langsung, 11 April 2013, diakses pada tanggal 28 November 2013.
102 | Jumal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 101-112
oleh lembaga elite lokal (DPRD). Dari sisi efisiensi sampai terpilihnya seorang KDH, proses seperti ini cenderung tinggi walaupun fairness dan transparan sinya bisa jadi kurang”.4
Pendapat Prasojo tentang pentingnya pemilukada oleh DPRD tampaknya perlu dikritisi mengingat proses-proses terpilihnya seseorang menjadi anggota DPRD juga belum tentu fa ir (jujur) dan adil. Apalagi, proses-proses rekrut men di parpol juga sering bermasalah (kurang demokratis) akibat oligarki partai. Meskipun demikian, harus diakui bahwa pemilukada lang sung di tingkat kabupaten/kota sejak tahun 2005 hingga sekarang (2013) masih mengalami kendala dan kelemahan, termasuk cukup banyak diwarnai konflik, relatif mahal biayanya akibat maraknya politik uang untuk “sewa perahu” parpol dan untuk memengaruhi/membeli suara pemilih (vote buying) serta melahirkan sejumlah bupati/wali kota yang korup. Mengingat bupati/wali kota lebih langsung berhubungan dengan rakyat (dibandingkan gubernur) dan memberikan pengalaman dan pendidikan politik kepada rakyat sampai ke pedesaan (“kedaulatan rakyat”) maka studi ini memfokuskan diri untuk bagaimana memper baiki proses-proses pemilukada bupati/wali kota secara langsung sehingga pemilihan-pemilihan yang akan datang dapat berlangsung lebih jujur, menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas dan pemerintahan lokal yang baik dan efektif, ketimbang untuk mengembalikan pem ilihan bupati/w ali kota kepada DPRD (“kedaulatan elite”). Studi ini bertujuan mengevaluasi praktik pemilu bupati/wali kota di sejumlah daerah di Indonesia serta mengajukan usulan/rekomendasi bagi perbaikan ke depan melalui pendekatan kelembagaan.
Kerangka Pemikiran Pemilukada langsung dapat dilihat dari sisi pengaturan perundangan pemilukada (Local Electoral Laws), penyelenggara (Electoral Management Body), penyelenggaraan (Electoral 4 Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksura, dan Teguh Kumiawan, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural, (Depok: FISIP UI, 2006), hlm. 39.
Management/ElectoralEngineering), dan penye lesaian sengketa pemilukada (Electoral Dispute Resolution). Terkait dengan permasalahan di atas, mengutip pendapat Robert Dahi, Samuel Huntington dan Bingham Powel (1978), para meter untuk mengamati demokrasi adalah: 1. menggunakan mekanisme pemilihan umum yang teratur; 2. memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan; 3. mekanisme rekrutmen dilakukan secara terbuka; dan 4. akuntabilitas publik. Lebih lanjut, Robert A. Dahi5memunculkan kriteria proses demokrasi yang baik, yaitu adanya kesetaraan memilih (voting equality), adanya partisipasi aktif (active participation), adanya pemahaman yang baik mengenai proses dan mekanisme demokrasi (enlightened understanding), adanya pengawasan (control o f the agenda), dan kemandirian (inclusion o f themselves).6 Dahi juga mengemukakan adanya prasyarat agar dem okrasi dapat berjalan baik, yaitu adanya lembaga bagi wakil rakyat yang terpilih (institution o f elected offtcials), adanya pemilu yang bebas dan tidak direkayasa (free and fair election), adanya inclusive suffrage, adanya hak untuk menjalankan kekuasaan (right to run fo r office), adanya kebebasan menyatakan pendapat {freedom o f expression), adanya informasi yang cukup (alternative information), dan adanya dukungan ekonomi (associational economy).7 Alasan-alasan itulah yang memperkuat argumentasi mengenai diperlukannya suatu mekanisme dan institusi yang menjamin terse lenggaranya semua prinsip itu dalam rangka terselenggaranya hak-hak politik rakyat tanpa terkecuali. Instrumen pemilukada langsung men jadi syarat utama membangun demokrasi dari pemikiran Robert Dahi, Samuel Huntington, dan Bingham Powel. Instrumen pemilukada langsung hadir karena mustahilnya kehidupan bernegara diselenggarakan secara sentralistik 5 Robert Alan Dahi, Democracy and Its Critics, (Yale: Yale University Press, 1989), hlm. 144 6Lihat penuturan Dahi yang dikutip oleh G. Bingham Powell, dalam Robert E. Goodin, Charles Boix, dan Susan Stokes (Eds.), The Oxford Handbook o f Comparative Politics, (Oxford: Oxford University Press, 2007), hlm. 656. 7Robert E. Goodin, ibid.
Evaluasi Format Pemilukada ... | Sri Nuryanti | 103
belaka. Yang harus diperhatikan bahwa, baik dalam praktik maupun wacana akademik, instru men ini memiliki serangkaian nilai yang ingin diraih. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan bernegara yang beradab, selanjutnya desentralisasi sendiri menjadi sepadan dengan nilai-nilai tersebut.8 Nilai-nilai yang dimaksud, antara lain nation-building, dem okratisasi, local-autonomy, efisiensi, dan pembangunan sosial-ekonomi.9 Berbicara dari turunan nilai demokrasi adalah menjamin partisipasi aktif masyarakat dalam menentukan arah pilihan politiknya. Salah satunya melalui mekanisme parpol-parpol di In donesia, walaupun faktanya partai politik belum sungguh-sungguh menerapkan prinsip-prinsip good party governance, pembuatan keputusan internal parpol secara demokratis belum dilaku kan, kaderisasi yang kurang berkualitas, belum menentunya sumber-sumber pendanaan parpol, dan lemahnya akuntabilitas. Jika ditarik analisis teoretiknya ke konsti tusi Indonesia maka dapat diketahui bahwa dari ketentuan Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, pengertian “demokratis” dalam konstitusi tidak secara otomatis dapat diganti dengan “pemilihan langsung” karena tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa pemilihan tak langsung melalui parlemen lokal (DPRD) adalah pemilihan yang tidak demokratis. Sebaliknya juga demikian, tidak ada jaminan bahwa pe milihan kepala daerah secara langsung otomatis demokratis. Penerjemahan pemilihan secara demokratis menjadi pemilihan langsung oleh rakyat dilakukan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 56 menyatakan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adiF. Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 juga tidak menyinggung mengenai pemili han wakil kepala daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 59 Ayat (1) menyatakan 8Bhenjamin Hoessein, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, Suatu Kajian Desentral isasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu dan Administrasi, (Jakarta: Disertasi Pascasarjana UI, 1993).
“Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik; meskipun demikian dalam pelaksanaannya ju g a m enim bulkan masalah”. Mirisnya lagi, demokrasi dalam pemilihan kepala daerah langsung banyak menuai kasus, di mana banyak kader yang diusung partai politik dalam pemilukada langsung sebagai kader parpol “kutu loncat” dan “kader karbitan” menunjukkan adanya masalah loyalitas, integritas, dan komit men mereka, di samping karena parpol itu sendiri yang memang bermasalah di dalam dirinya. Perlu diingat pendapat Vedi R. Hadiz, bahwa parpolparpol Indonesia saat ini cenderung diisi oleh mantan-mantan aparatur pemerintah, pensiunan militer, pengusaha (termasuk pengusaha “hi tam”), dan operator-operator politik pendukung Orde Baru. Parpol dan DPRD telah menjadi ajang berkontestasi dengan kepentingan-kepentingan tertentu dari masing-masing kelompok elite tersebut dengan agenda mereka sendiri-sendiri. Hadiz menulis: “Today, most m ajor Indonesian political parties w oidd include a range ofform er apparatchik, military men, entrepreneurs and assortedpolitical operators a n d enforcers o f Soeharto ’s N ew Order - at both national a n d local levels (Robison a n d Hadiz, 2004). While p olitical parties a n d parliam ents have now become real vehicles o f political contestation, a key issue is the kind o f interests that are embedded within them, and, therefore, the kind o f roles they actually play. ... Indonesian political parties do no tfit with the “ideal ty p e ” associated—rightly or wrongly— with the experiences o f Western liberal dem ocracies... ". 10
Selanjutnya, pada tahun 2010, Edward Aspinall melihat pemilukada langsung sebagai model baru kerja sama antar-etnis di Indonesia dan ini dilihatnya sebagai sebuah kemajuan dalam demokrasi di Indonesia. Aspinall menulis: F or more than a decade, Indonesia has had a reputation fo r being afflicted by serious ethnic and other fo rm s o f communal conflict....But now, more than tw elve y e a rs a fter dem ocratization began, there is remarkably little organized ethnic conflict in Indonesia, a n d ethnicity rests only lightly on national politics. N ot only has the incidence o f communal vio10 Vedy R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2011), hlm. 28.
9Ibid.
104 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 101-112
lence declinedsharply, but new modes o f inter-ethnic coalition building and cooperation have emerged. 11
pemilukada mengundang partisipasi publik lewat kontes politik secara terbuka dan masif.
Dari p ersp ek tif A spinall, pem ilukada langsung adalah instrumen demokratik untuk menjinakkan rivalitas etnis dan agama.112Dengan memperhatikan banyaknya aspek positif dari pem ilukada langsung tersebut maka tidak diragukan bahwa sistem ini perlu dilanjutkan dengan penyempurnaan-penyempurnaan ter tentu. Akan tetapi, Papua dengan warga aslinya yang masih menghargai kepala-kepala suku dan memiliki mekanisme tersendiri dalam pemilihan pemimpin-pemimpin mereka, sebaiknya tidak diseragamkan dengan daerah-daerah lain di Indo nesia (kecuali bila warga Papua di kabupaten/kota tertentu di Provinsi Papua, misalnya, menghen daki pemilukada langsung). Bila dipaksakan oleh Pusat, konflik dan kekerasan akibat pemilukada langsung kemungkinan akan terjadi kembali di daerah-daerah tertentu di Provinsi Papua yang ber-otonomi khusus ini.
Kedua, pemilukada dapat menggugurkan subjektivitas dan monopoli anggota DPRD. Mereka tidak mungkin lagi mampu mereduksi demokrasi dengan mengklaim dirinya sebagai wakil rakyat dalam memilih kepala daerah karena suara mereka sama dengan suara rakyat yang diwakilinya.
Jangan sampai pemilukada langsung didang kalkan maknanya menjadi “demokrasi yang cacat” (flawed democracy) akibat banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi atau akibat ditekankannya pendekatan prosedur, tetapi mengabaikan substansi demokrasi itu sendiri yang menjunjung tinggi fa ir play dan penegakan hukum yang berkeadilan.13 Beranjak dari pemikiran di atas, ada be berapa kelebihan dan kekurangan pemilukada langsung. Kelebihan dari pemilukada adalah sebagai berikut: Pertama, sesuai dengan konstitusi kita yang menyatakan bahwa “kedaulatan ada di tangan rakyat”.14 Dengan menggunakan prinsip One Person One Vote One Value (OPOVOV),
11 Edward Aspinall, “The Taming of Ethnic Conflict in Indo nesia " http://www.eastasiaforum.org/2010/08/05/the-tamingof-ethnic-conflict diakses pada tanggal 28 November 2013. 12 Tri Ratnawati, “Disintegration from W ithin?”, makalah dipresentasikan dalam JSPS Asian Core-Program Seminar: Local Politics and Social Cleavages in Transforming Asia, Co-organized by JSPS, CSEAS dan CAPAS. Kyoto University, Desember 2010, hlm. 26. 13 Adam Schmidt, “Indonesia’s 2009 Elections: Performance Challenges and Negative Precedents”, dalam Edward Aspinall dan Marcus Mietzner (Eds.), Problems o f Democratization in Indonesia. (Singapore: ISEAS, 2010), hlm. 110-120.
Ketiga, lewat pemilukada, rakyat akan secara langsung pula memperoleh pendidikan politik. Kampanye, baik secara terbuka maupun tertutup, dari para kandidat akan dapat dijadikan bahan pertimbangan pemilih dalam menyerahkan suaranya. Secara implisit pula, di sana mulai ditanamkan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi dari pem im pin terhadap yang dipimpinnya. Keempat, pemilukada memberi kemungkin an pada lahirnya pemimpin daerah dari berbagai lapisan dan golongan dalam masyarakat. Sesuai dengan prinsip demokrasi yang menghargai kemajemukan dan kesetaraan, siapa pun dapat mencalonkan diri untuk ikut serta dalam pemilu kada. Terutama setelah jalur perseorangan dibuka lewat UU No. 12/2008 yang merupakan hasil amandemen UU No. 32/2004 tentang Pemerin tahan Daerah. Adapun kelemahan pemilukada adalah sebagai berikut. Pertama karena diselenggarakan di seluruh daerah, biayanya pun tidak sedikit. Bila di masa lalu, pemilihan kepala daerah hanya dilakukan di dalam gedung dewan dan ditentukan hanya oleh para anggota DPRD, sekarang, pemilukada diselenggarakan di seluruh wilayah yang ber sangkutan. Di samping biaya secara finansial, biaya politik pun tidak murah. Kedua karena prinsip keterbukaan, kemaje mukan, dan kesetaraan, pemilukada telah mela hirkan pasar politik secara bebas pula. Pemilihan terhadap calon kepala daerah tidak mungkin lagi dilakukan secara hati-hati dan tertutup. Siapa saja berhak ikut dalam kontes tersebut. Akibatnya, berbagai strategi pemenangan terbuka dilakukan. Substansi demokrasi kalah penting ketimbang selebrasi dari para kandidat. Ketiga, pemilukada sekarang baru dapat m enyentuh aspek dem okrasi p ro sed u ral
14Republik Indonesia, Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945.
Evaluasi Format Pemilukada ... | Sri Nuryanti | 105
ketimbang substansial. Memang telah terpilih para pemimpin daerah secara demokratis, namun belum ada jaminan atas kemampuannya dalam mengatasi masalah yang dihadapi daerahnya. Janji-janji kampanye tetap tinggal janji, dan rakyat pemilih belum merasakan banyak manfaat dari kepemimpinan hasil pemilukada seperti ini. Keempat, pemilukada telah melahirkan kom pleksitas tersendiri dalam penyeleng garaan pemerintahan. Bila di masa lalu karena DPRD-lah yang memilih kepala daerah, bentuk pertanggungan jawab kepala daerah dapat secara konkret ditujukan kepada wakil rakyat tersebut. Sekarang karena dipilih langsung oleh rakyat, kepala daerah dapat bersembunyi di balik suara rakyat. Kelima, amat jarang terjadi bahwa sebuah pemilukada diikuti oleh pasangan calon yang berasal dari satu partai politik. Karena frag mentasi kekuasaan di lembaga legislatif daerah, dan persyaratan minimal 15% dukungan partai untuk satu pasangan, dapat dipastikan bahwa persyaratan ini bukan perkara yang mudah. Oleh sebab itu, perlu kiranya sebuah evaluasi menyeluruh terkait pemilukada yang dilihat dari sisi pengaturan perundangan pemilukada {Local Electoral Law s), penyelenggara {Electoral Management Body), penyelenggaraan {Elec toral Management/Electoral Engineering), dan penyelesaian sengketa pemilukada {Electoral Dispute Resolution). Dalam hal ini, analisis akan didasarkan pada hasil penelitian yang berlokasi di Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Pekanbaru, Kabupaten Kota Waringin Barat, Kota Solo, Ka bupaten Landak, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Flores Timur, Kota Jayapura, dan Kabupaten Mesuji.
Hasil Kajian 1 1. Dinamika Lokal Dinamika lokal di masing-masing daerah tentu berbeda, namun begitu dalam konteks politiknya ada daerah-daerah yang memang diketahui menyimpan potensi konflik cukup besar, seperti daerah Landak, Mesuji, Tapanuli Tengah, dan K otaw aringin Barat. Di daerah-daerah itu terpendam potensi konflik agraria yang bisa
meledak kapan saja. Terkait dengan itu, proses pemilukada bisa saja menjadi trigger konflik yang potensinya telah lama terpendam. Meskipun begitu, potensi konflik yang besar tidak selalu berujung pada kerusuhan. Di Kabupaten Landak, selain tersimpan potensi konflik agraria (Dayak vs Pendatang dan masyarakat vs Perusahaan) juga tersimpan potensi konflik adat (Penduduk Asli Dayak vs Pendatang Melayu), tapi secara umum pelaksanaan pemilukada di Kabupaten Landak berjalan dengan aman dan damai.
2. Dari Segi Aturan {Electoral Laws) Apabila dilihat dari sisi pengaturannya, selama ini yang sering muncul dan menjadi permasalah an di daerah yang sedang menyelenggarakan pemilukada dapat dibagi menjadi hal-hal pokok, yaitu a. Syarat Pencalonan 1. Dukungan partai ganda atau partai men calonkan lebih dari satu pasangan calon. Yang diakui sah adalah pencalonan partai yang surat pencalonannya ditandatangani oleh ketua dan sekretaris partai politik pada tingkatannya. Namun, dengan ada nya UU No. 2/2011 tentang Partai Politik maka rekomendasi partai pimpinan partai politik dipertimbangkan sepanjang dalam AD/ART partai politik menyebutkan me ngenai kewenangan ini. Hal ini terkait de ngan Pasal 59 khususnya Ayat (5) UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerin tahan Daerah, yaitu adanya kepengurusan ganda partai politik pengusung bakal pa sangan calon kepala daerah dan wakil ke pala daerah, PLT (pelaksana tugas)!care taker, atau penanda tangan pencalonan oleh salah satu pimpinan (ketua saja atau sekretaris saja). Hal ini tidak diantisipasi oleh UU No. 12/2008 Pasal 59 sehingga di beberapa daerah muncul gugat menggugat kaitannya dengan keabsahan kepengurus an partai politik ini. Misalnya pada kasus Mesuji, dukungan pencalonan oleh pe ngurus yang berhak, tetapi pencalonan ini tidak disetujui oleh pengurus di atasnya. 2. Soal boleh tidaknya seseorang yang se dang berperkara mencalonkan diri atau di calonkan. Batasannya adalah soal perkara
106 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 j 101-112
hukum dengan ancaman hukuman lima tahun. Apabila ada calon yang mempunyai perkara hukum, tetapi ancaman hukuman nya kurang dari lima tahun maka yang bersangkutan tetap diperbolehkan menjadi calon (jo Pasal 58 huruf f dan huruf g). 3. Bagi pasangan calon yang berasal dari perseorangan, biasanya pada jum lah dukungan dan verifikasi jum lah du kungan. b. Syarat Calon 1. Pada surat keterangan dari pengadilan, kadang menyebutkan bahwa pasangan calon tertentu sedang berperkara, tetapi karena belum inkrach keputusannya se hingga KPU tetap menerima pendaftaran bakal pasangan calon yang bersangkutan (jo Pasal 58 huruf f dan huruf g). 2. Pasal 115 Ayat (6) UU No. 12/2008 yang berkaitan dengan implikasi pembuatan surat keterangan yang tidak benar, kadang muncul juga sebagai bahan gugatan, se perti kasus Kota Pekanbaru. c. Dukungan Anggaran 1. Pasal dukungan pendanaan penyeleng garaan pemilu kepala daerah yang wajib dianggarkan dalam APBD. 2. Pasal tentang anggaran penyelenggaraan pemilukada yang telah ditetapkan dalam Perda tentang APBD wajib dicairkan sesuai dengan tahapan penyelenggaraan pemilu.
3. Penyelenggara (Electoral Management Body) Aspek penyelenggara merupakan salah satu aspek penting dalam pelaksanaan pemilukada. Negara dalam hal ini perlu membentuk suatu lembaga tersendiri yang bertugas menyelengga rakan pemilu termasuk di dalamnya pemilukada, sebagaimana yang dikemukakan dalam model teori Electoral Management Body (EMB). Di dalam model teori ini terdapat tiga hal yang harus diperhatikan. Yang p ertam a adalah peluang bagi negara untuk mengatur bagaimana prosedural demokrasi dijalankan. Kedua, terkait dengan kemandirian (independensi) negara untuk mewujudkan demokrasi. Ketiga, mengembang kan suatu bentuk lembaga penyelenggara yang
menjadi satu dengan pemerintah. Lembaga yang menjadi satu dengan pemerintah ini argumennya adalah negara yang mempunyai kewenangan untuk mengatur sehingga lembaga penyelenggara adalah bagian dari lembaga pemerintah itu. Di Indonesia, model yang dikembangkan ini adalah lembaga independen yang harus mendapatkan dukungan dari pemerintah, khususnya anggaran, SDM, dan Daftar Potensial Penduduk untuk Pemilih Pemilu (DP4). Faktanya, khususnya di sembilan wilayah penelitian m enunjukkan bahw a EMB ada yang belum bisa mencapai independensi yang diharapkan. Hal ini terjadi di sebagian besar pemilukada di wilayah penelitian. Beberapa komisioner KPU di daerah wilayah penelitian bahkan diberhentikan secara tidak hormat (dipecat), misalnya empat komisioner KPU Tapanuli Tengah, Ketua KPU Pekanbaru, tiga komisioner KPU Kotawaringin Barat, empat komisioner KPU Flores Timur, dan lima orang komisioner KPU Jayapura. Semuanya dipecat dengan alasan melanggar kode etik karena dinilai berpihak pada salah satu pasangan calon, baik yang petahana maupun yang bukan. Sementara itu, Ketua KPU Mesuji digantikan karena kurang koordinasi dengan komisioner lainnya. Konflik internal yang terjadi dalam tubuh KPU sedikit banyak pasti memengaruhi kinerja KPU. Selain konflik internal, buruknya relasi dengan birokrasi juga berpengaruh terhadap kerja KPU, terutama yang berkaitan dengan anggaran pemilukada. Hal ini dialami oleh KPU Solo dan KPU Minahasa Selatan. Keduanya sempat mengalami kesulitan dalam menyelenggarakan pemilukada karena ti dak dilibatkan dalam penganggaran pemilukada. Terkait dengan independensi, menurut Leo Agustino, ketidaknetralan KPU di daerah dalam penyelenggaraan pemilukada disebabkan oleh faktor jangkauan wilayah pemilukada yang hanya se-provinsi atau kabupaten dan kota. Tingkat ke netralan penyelenggara akan sangat dipengaruhi oleh faktor kedekatan dan kekerabatan antara penyelenggara pemilukada dengan pasangan calon. Di samping itu, kekuasaan penyeleng gara yang begitu kuat dan sangat dominan tanpa bisa dikoreksi oleh instansi manapun ataupun
Evaluasi Format Pemilukada ... | Sri Nuryanti | 107
pengadilan juga menjadi penyebab ketidaknetralan ini.15
4. Penyelenggaraan Dalam kaitannya dengan aspek penyelenggaraan, kami menganalisis dari tahapan penyelenggaraan pemilukada itu sendiri dan hal-hal lain yang sangat erat dengan penyelenggaraan pemilukada, yaitu sebagai berikut. a. Keterlibatan Birokrasi Pada daerah-daerah yang terdapat calon in cumbent, keterlibatan birokrasi dalam proses politik pemilukada tidak dapat disangkal lagi, hanya saja intensitasnya yang berbeda-beda. Tidak semua incumbent dapat memenangkan pemilukada hanya dengan mengandalkan jejaring birokrasinya. Dalam kondisi lain, birokrasi juga mungkin bermain apabila ada calon-calon yang berasal dari PNS/mantan PNS yang pemah duduk sebagai pimpinan suatu instansi pemerintah daerah (misalnya Kepala Dinas). Pengalaman Pem ilukada K abupaten M inahasa Selatan memperlihatkan bahwa tidak adanya incumbent yang maju dalam pem ilukada memberikan kesempatan kepada calon yang berasal dari mantan kepala dinas untuk bisa memenangkan pemilihan. Contoh yang berbeda terjadi di Ka bupaten Tapanuli Tengah yang memperlihatkan bahwa incumbent harus mengakui keunggulan calon yang justm secara de facto tidak tinggal di wilayah itu (meskipun statusnya tetap putra daerah kelahiran Tapanuli Tengah). b. Daftar Pemilih Tetap Sebagai tahapan paling pertama dalam pemi lukada, permasalahan DPT terjadi hampir di semua wilayah yang diteliti. Rata-rata adalah akibat ketidaksinkronan data antar-instansi pemerintah yang dijadikan acuan. Di sisi lain, minimnya kemampuan/kemauan akses informasi warga/pemilih terhadap hal-hal yang menyangkut pemilukada menjadikan DPT berpotensi untuk dimainkan demi kepentingan tertentu. Pada be berapa kasus, ketika Daftar Potensial Penduduk untuk Pemilih Pemilu (DP4) diumumkan tidak ada klarifikasi/protes dari masyarakat/calon pemilih. Namun, ketika hasil pemilukada telah 15 Leo Agustino, Pemilukada dan Dinamika Politik Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 123.
mendapatkan pemenang, barulah muncul gugatan terkait DPT. K ekisruhan DPT ju g a bisa berpotensi menimbulkan kecurangan. Isu yang muncul di Kabupaten Landak misalnya, calon terpilih di tuduh memobilisasi pemilih dari luar Kabupaten Landak untuk mendongkrak suara. Meskipun tidak dapat dibuktikan di pengadilan, isu sempat membuat masyarakat di ibu kota Kabupaten Landak (Ngabang) resah. Pembuktian atas mo bilisasi menjadi hal yang sulit jika dikaitkan dengan topografi wilayah Kabupaten Landak yang merupakan hutan, medan berbukit, dan sungai-sungai. Di sisi lain, penentuan DPT juga rawan digunakan untuk mematikan basis massa potensial dari lawan politik. Hal itu berpotensi besar terjadi apabila terdapat incumbent dalam Pemilukada. Contoh untuk hal ini juga bisa kita lihat di Kabupaten Landak. KPU Kabupaten Landak digugat oleh kandidat yang kalah dengan klaim tidak memberikan hak suara kepada beberapa masyarakat Kecamatan Menyuke yang berpotensi memilih pasangan penggugat. c. Pencalonan Tahap pencalonan seringkah menjadi pemicu sengketa dalam pemilukada. Biasanya disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu kepengurusan ganda partai politik, pergantian kepengurusan partai politik, dan konflik internal di partai politik. Kasus di Minahasa Selatan terjadi akibat pergantian kepengurusan partai politik (Partai Demokrat) di tingkat DPP (pusat) sehingga terjadi pembatalan dukungan oleh pengurus DPP Partai Demokrat yang baru sehingga incumbent gagal mencalonkan diri. Di Tapanuli Tengah, perpecahan kepe ngurusan Pimpinan Kolektif Nasional (PKN)/ kepengurusan tingkat pusat Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) menyebabkan terjadinya kepengurusan ganda Pimpinan Kolektif Kabu paten (PKK) PDP. Akibatnya, dalam Pemilukada terjadi dukungan ganda PDP terhadap dua calon yang berbeda. Hal itu juga terjadi di pemilukada Mesuji, di mana pencalonan dari DPC PDI-P Mesuji tidak mendapat restu dari DPP PDI-P. Selain masalah yang ada di dalam partai politik, verifikasi persyaratan administratif seringkah menjadi tahapan pemilukada yang rawan terjadi
108 | Jumal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 101-112
sengketa. Hal ini seperti yang terjadi di Flores Timur. Persyaratan administratif ini berpotensi dimanfaatkan untuk saling jegal antarkandidat sebelum resmi ditetapkan menjadi calon oleh KPU kabupaten/kota masing-masing. d. Kampanye Pada masa kampanye rawan terjadi pelanggaran berupa politik uang, intimidasi, dan black campaign. Sulitnya menghilangkan politik uang salah satunya adalah karena hampir semua kandidat merasa tidak percaya diri jika tidak melakukan politik uang akibat calon kompetitornya juga melakukannya. Di sisi lain, masyarakat mengang gap bahwa peristiwa pemilukada merupakan kesempatan mereka untuk meminta uang kepada calon-calon pemimpin mereka karena selama lima tahun sesudah terpilih mereka akan melu pakan konstituennya. Parahnya, dugaan politik uang yang seringkah diajukan sebagai gugatan ke MK banyak yang kandas karena tidak kuatnya bukti. Banyak yang menolak untuk dijadikan saksi karena selain masyarakat banyak yang menganggap bahwa politik uang adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, mereka juga takut dengan ancaman pihak pemenang. Intimidasi berpotensi terjadi manakala ada perbedaan yang mencolok dalam hal potensi kemenangan ataupun penguasaan sumber daya. Pihak yang merasa dominan merasa leluasa mengintimidasi lawan ataupun pemilih, dan seringkah tidak ada tin dakan tegas dari penyelenggara (KPU/Panwas). Black campaign juga sering terjadi meskipun intensitasnya berbeda di masing-masing daerah. e. Pemberian Suara Pemberian suara dalam bilik suara seolah menjadi sesuatu yang bebas dan rahasia, namun bukan be rarti tanpa potensi penyelewengan. Kecurangan bisa saja terjadi di tahapan ini, seperti yang terjadi di Minahasa Selatan. Modusnya adalah meng gunakan kamera ponsel untuk memotret calon yang telah dipilih, kemudian ditukarkan dengan sejumlah uang kepada tim sukses calon tersebut. Modus seperti itu merupakan pengembangan politik uang yang sebelumnya lebih spekulatif menjadi lebih terjamin. Artinya, modus seperti itu benar-benar merupakan jual-beli suara, bukan
sekadar pemberian uang dibalas dengan janji memilih yang belum tentu ditepati. Untuk wilayah dengan topografi medan berat seperti Landak, pemberian suara juga rawan dimanipulasi. Karena baik pengawasan maupun sosialisasi terkendala kondisi lapangan yang berat. Meskipun tidak ada bukti di lembaga peradilan, Raja Landak (Gusti Suryansah) pemah mengungkapkan kekhawatirannya atas manipu lasi pemberian suara di pelosok-pelosok Landak yang sulit dijangkau. f. Logistik KPU Kota Surakarta dalam pemilukada Surakar ta, misalnya, tidak dilibatkan dalam penyusunan anggaran Pemilukada. Sementara di Minahasa Selatan, pembiayaan pemilukada putaran kedua sempat terkendala masalah terlalu lamanya dana dicairkan karena menunggu persetujuan pe rubahan APBD. Akhirnya, untuk membiayai pemilukada putaran kedua, KPU Kabupaten Minahasa Selatan meminjam dana dari beberapa SKPD untuk kemudian dikembalikan ketika dana sudah cair. Pelaksanaan pemilukada jelas bukan mempakan sesuatu yang murah. Kemampuan tiap-tiap daerah dalam membiayainya berbedabeda. Dalam penyusunannya, harus sudah dianggarkan sampai pada skenario terjadi dua putaran. Dalam beberapa kasus khusus, misalnya ter jadi pemungutan suara ulang, tentu berpengaruh pada anggaran yang telah disiapkan sebelumnya. Seperti pada kasus yang terjadi di Kota Pekan baru, terjadi pemungutan suara ulang setelah dilakukan pemungutan suara putaran pertama. Untuk melakukan pemungutan suara ulang, ternyata tidak disiapkan anggaran karena yang disiapkan hanya anggaran sampai pemilukada putaran kedua. Anggaran pemilukada putaran kedua tidak dapat langsung digunakan untuk membiayai pemungutan suara ulang karena harus disesuaikan dulu peruntukannya dengan cara mengadakan negosiasi ulang antara KPU setem pat dengan Pemda. Untuk kasus-kasus khusus semacam ini tentunya perlu dicari antisipasinya. g. Penetapan dan Pelantikan Calon Terpilih Di Mesuji, calon terpilih tersangkut kasus pidana sebelum dilantik sehingga proses pelantikannya harus dilakukan di dalam penjara. Sementara itu,
Evaluasi Format Pemilukada ... | Sri Nuryanti | 109
di Kotawaringin Barat setelah keluar putusan MK yang membatalkan kemenangan Sugianto-Eko Sumamo, potensi kerusuhan terus membayangi. Pelantikan pasangan pemenang di Jakarta digu gat. Penggugat menang di PTUN. Mendagri dan pasangan tergugat (Sugianto-Eko) melakukan banding ke MA. Pada proses tersebut, terjadi pembakaran rumah dinas Bupati Kotawaringin Barat. Peristiwa-peristiwa itu menjadi contoh bahwa proses penetapan calon terpilih dan pelantikan pun menyimpan potensi terjadinya sengketa. Potensi itu adalah penetapan calon terpilih dan administrasi terkait hal itu (reka pitulasi perhitungan KPU, hasil pleno DPRD, sampai SK Penetapan sebagai Kepala Daerah oleh M endagri) yang bisa digugat ke MK. Pada proses gugatan inilah bisa muncul konflik meskipun eskalasinya bisa berbeda-beda di tiap daerah. Di Kabupaten Landak muncul gugatan ke MK, namun hampir tidak menimbulkan gejolak yang berarti. Kasus yang berbeda di Kabupaten Kotawaringin Barat, muncul gugatan ke MK yang dibarengi dengan kerusuhan massa dan pembakaran Rumah Dinas Bupati. h. Penyelesaian Sengketa/Electoral Dispute Resolution (EDR) Setelah pemungutan suara pada pemilukada selesai, biasanya masih menyisakan masalah sengketa pemilukada yang diajukan ke ranah hukum. Dalam suatu negara yang demokratis, negara menyediakan perangkat yang memung kinkan otoritasnya sebagai penentu akhir dari sebuah sengketa. Di Indonesia, ada intitusi Mahkamah Konstitusi yang dibentuk sebagai pemutus akhir sengketa kepemiluan termasuk di dalamnya sengketa pemilukada. N am un, di Indonesia m asih ada ju g a lem baga peradilan lain, yaitu M ahkam ah Agung beserta perangkat pengadilan di bawah otoritasnya yang mempunyai kewenangan untuk menampung dan memutus sengketa, termasuk di dalamnya sengketa unsur-unsur yang terlibat dalam pemilu. Sengketa itu sendiri menjadi kabur dipahami karena sangat tergantung pada sudut pandang orang per orang. Ada sengketa yang jelas-jelas berhubungan dengan pemilu, di mana seharusnya dibawa penyelesaiannya ke Mahkamah Konstitusi, ternyata dibawa ke
ranah hukum perdata/pidana. Kekaburan otoritas hukum ini yang kemudian menyumbangkan masalah pada dinamika pemilukada. Penegakan hukum menjadi masalah yang kemudian muncul dalam mengupayakan kehidupan yang lebih demokratis. Di Indonesia, sengketa pemilu bukanlah hal yang asing. Bahkan menurut Mahfud M.D., dari 440 pemilukada di Indonesia terdapat 392 yang berperkara ke MK.16 Dari sembilan w ilayah penelitian, hanya satu yang tidak membawa perkaranya ke MK, yaitu wilayah pemilukada Solo 2010 yang memenangkan Jokowi. Sementara itu, tujuh wilayah lain nya semua berperkara ke MK, baik itu yang menyangkut soal pencalonan. Satu wilayah lain, yaitu pemilukada di Mesuji, juga berperkara meski hanya ke PTUN. Perkara yang muncul seputar pencalonan, maupun dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan (mayoritas mengenai penggunaan politik uang) yang biasanya juga berkaitan dengan sengketa hasil. Gugatan terjadi di Tapanuli Tengah pada tahun 2011 adalah gugatan yang dimohonkan oleh calon yang dicoret dari pencalonan dan per mohonan tersebut dikabulkan oleh MK sehingga muncul putusan sela. Hal ini terkait dengan ketidakberesan KPU kabupaten dalam melak sanakan verifikasi calon sehingga kemudian muncul dugaan bahwa KPU Tapanuli Tengah tidak independen. Muncul juga gugatan atas hasil pemilukada Tapanuli Tengah yang diajukan oleh kubu petahana (yang direpresentasikan oleh istri bupati petahana) kepada calon yang menang dengan tuduhan politik uang. Namun, gugatan itu ditolak sepenuhnya karena tidak terdapat cukup bukti yang kuat. Gugatan yang terkait dengan penggunaan politik uang dalam upaya perolehan suara ini tidak hanya terjadi di Tapanuli Tengah, tetapi juga di dua wilayah penelitian lainnya, yaitu Kabupaten Landak dan Minahasa Selatan di pemilukada yang berlangsung di tahun 2010.
16Dari 392 perkara tersebut hanya 45 perkara yang dikabulkan atau hanya sekitar 11,48% saja. Dari 45 perkara itu, hanya 4 yang putusannya mendiskualifikasi pasangan calon kepala daerah, atau hanya 8,8% dari total perkara yang dikabulkan. Lihat Mahfud M.D., “Evaluasi Pemilukada dalam Perspektif Demokrasi dan Hukum”, makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Evaluasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Jakarta, 2012, hlm. 34.
110 j Jumal Penelitian Politik | Volume lONo. 1 Juni 2013 ] 101-112
Di kedua wilayah ini gugatan juga ditolak oleh MK seluruhnya. Namun, berbeda dengan yang terjadi di pemilukada Kotawaringin Barat pada tahun 2010. Gugatan atas hasil dikabulkan oleh MK seluruhnya karena pasangan yang dinyatakan menang telah melakukan kecurangan yang masif, terstruktur, dan sistemik sehingga kemenangan nya dibatalkan. Yang kemudian menjadi bupati adalah calon yang mengajukan gugatan (di Ko tawaringin Barat hanya ada calon bupati/wakil bupati). Selain pembatalan, di beberapa wilayah sengketa pemilukada bahkan oleh MK diputus kan untuk pemilukada ulang, seperti yang terjadi di Pekanbaru pada tahun 2011 dan Jayapura di tahun 2010 yang diulang pada tahun 2011. Selain ke MK, beberapa sengketa pemi lukada juga dibawa ke PTUN, yang biasanya gugatan ditujukan kepada KPU sebagaimana yang terjadi di Flores Timur pada pemilukada tahun 2010. PTUN membatalkan hasil KPU Flores Timur dan memenangkan penggugat. Flal yang sama terjadi di Mesuji di mana KPU kabu paten itu digugat oleh seorang calon. Sekali lagi, independensi KPU menjadi masalah krusial yang sering berujung pada sengketa hasil pemilukada. Hal positif yang dapat dilihat dari mekanisme penyelesaian sengketa pemilukada yang terjadi adalah telah munculnya kesadaran di banyak wilayah untuk menyelesaikan sengketa pemilu kada melalui jalur hukum, baik melalui PTUN, PT TUN hingga ke MK. Penyelesaian melalui jalur hukum ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap berkurangnya konflik yang melibatkan masyarakat. Penyelesaian sengketa pemilukada melalui jalur hukum menjadi peluang besar untuk mengembalikan demokrasi pada fungsi asalnya, yaitu memilih pemimpin tanpa melalui tindak ke kerasan. Meskipun begitu, evaluasi dan perbaikan pelaksanaan terus-menerus harus dilakukan mengingat di beberapa tempat, seperti Kabupaten Kotawaringin Barat dan Mesuji, sempat terjadi kerusuhan yang cukup besar di masyarakat akibat pemilukada.
Tata Kelola Pemerintahan yang Efektif dan Efisien? Dari penelitian lapangan di berbagai daerah, ada beberapa yang menyisakan proses yang
melelahkan seperti di Flores Timur, Kotawaringin Barat, dan Mesuji, tetapi ada juga yang berjalan dengan sangat baik. Tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien di beberapa daerah yang diteliti memang sudah tercipta, seperti di kota Surakarta. Ada juga elite politik lokal yang turut berpolem ik dengan penyelenggaraan pemilukada, seperti di kota Pekanbaru. Ada juga yang telah menunjukkan IPM yang lumayan baik dibandingkan dengan daerah lain di suatu provinsi, misalnya di Kotawaringin Barat. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan adanya tata kelola pemerintahan yang baik, meskipun dalam proses pemilukadanya menyisakan cerita yang dinamis. Dari penelitian ini, memang belum dapat dim unculkan hubungan yang tegas antara pemilukada dengan tata kelola pemerintahan yang baik karena setiap pemimpin daerah yang terpilih mempunyai kualitas kepemimpinan yang beragam. Di M esuji, di mana proses penyelenggaraan pemilukadanya sukses, tetapi wakil bupati terpilihnya kemudian bermasalahan secara hukum, pemerintahan yang baru dengan segala cara berusaha menegakkan fungsi tata kelola kepemerintahannya. Meskipun kemudian terjadi pembakaran kantor Bupati sebagai akibat dari dipenjarakannya wakil bupati, bupati Kepala Daerah terpilih berkantor/memindahkan kantor ke rumah pribadinya agar tata kelola pemerin tahan tetap berjalan.
Penutup Setelah menganalisis temuan lapangan di atas maka dapat dikatakan bahwa: 1) Pemilukada masih layak dilanjutkan dengan berbagai catatan, baik menyangkut pe ngaturannya, penyelenggaranya, penyeleng garaannya, maupun penyelesaian sengketa pemilunya. Reorientasi pemilukada diperlu kan dan diharapkan memberikan bobot yang lebih substansial terkait pelaksanaan kekua saan rakyat, pembentukan kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan yang baik. 2) Pemilukada perlu pembenahan sistem dan tata cara penyelenggaraannya dengan cara mengidentifikasi hal-hal yang potensial me munculkan kerawanan, potensial memuncul kan celah untuk disiasati, ataupun potensial
Evaluasi Format Pemilukada ... | Sri Nuryanti | 111
memunculkan kebuntuan karena pengaturan yang ambigu. Seperti misalnya soal keseta raan persaingan antara pasangan calon yang seharusnya dijamin oleh undang-undang, tetapi tetapi pada akhirnya undang-undang membolehkan calon incumbent, yang sangat berpotensi untuk membuat persaingan tidak setara, tidak perlu mundur. Sementara itu, syarat bagi pasangan calon yang berasal dari PNS, TNI, POLRI harus mengundurkan diri. Terkait dengan kejelasan jalur penyelesai an sengketa, perlu ada kejelasan tata cara mengadopsi putusan pengadilan. Apabila sengketa pemilu adalah kewenangan Mah kamah Konstitusi, perlu petunjuk mengenai tata cara memberlakukan keputusan penga dilan, baik yang berupa putusan PTUN, PT TUN, PN, PT, maupun Kasasi MA. 3) Pemilukada tidak serta merta menjamin munculnya kepemimpinan dan tatakelola pemerintahan yang baik. Dengan demikian, diperlukan suatu formula yang bukan seka dar pemenuhan aspek prosedural, tetapi suatu mekanisme terukur yang membuat kepala daerah betul-betul dapat memper tanggungjawabkan kinerja kepemimpinan daerahnya kepada rakyat yang memilihnya. 4) Pemilukada sangat sarat dengan konteks lokal. Dinamika lokal masing-masing dae rah perlu diperhatikan untuk mengantisi pasi potensi kerawanan dan memperbesar potensi kesuksesan dalam penyelenggaraan pemilukada. 5) Perbaikan atas format pemilukada akan berangsur-angsur dirumuskan setelah di lakukan penelitian lanjutan tentang praktik pemilukada di tingkat provinsi. Namun, hal-hal temuan dalam penelitian praktik pemilukada kabupaten/kota ini menjadi hal yang perlu dibaca kecenderungannya.
Daftar Pustaka Buku
Hadiz, Vedy R. 2011. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia. Singapore: ISEAS. Prasojo, Eko et al., 2006. Desentralisasi dan Peme rintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lo kal dan Efisiensi Struktural. Depok: FISIP UI. Powell, G. Bingham dalam Goodin, Robert E. et al., (Eds.). 2007. The Oxford Handbook o f Compar ative Politics. Oxford: Oxford University Press. Schmidt, Adam. 2010. “Indonesia’s 2009 Elections: Performance Challenges and Negative Precedents”, dalam Edward Aspinall dan Marcus Mietzner (Eds.). 2010. Problems o f Democra tization in Indonesia. Singapore: ISEAS. Sulistiyanto, Priyambudi dan Maribeth Erb. 2009. “Indonesia and the Quest for ‘Democracy’”, dalam Priyambudi Sulistiyanto dan Maribeth Erb (Eds.). 2009. Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections fo r Local Leaders {Pilkada). Singapore: ISEAS, 2009.
Laporan dan Makalah Hoessein, Bhenjamin. 1993. “Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu dan Adminis trasi”. Jakarta: Disertasi Pascasarjana UI. M.D., Mahfud. 2012. “Evaluasi Pemilukada dalam Perspektif Demokrasi dan Hukum”. Makalah dalam Prosiding Seminar Nasional Evaluasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Jakarta. Ratnawati, Tri. 2010. “Disintegration from Within?”, dalam monograf JSPS Asian Core-Program Seminar: Local Politics and Social Cleavages in Transforming Asia, Co-organized by JSPS, CSEAS dan CAPAS. Kyoto University, De sember 2010.
Surat Kabar dan Website Aspinall, Edward. “The Taming of Ethnic Conflict in Indonesia”, [online]. dalam http://www.eastasiaforum.org/2010/08/05/the-taming-of-ethnicconflict [diakses 28 November 2013]. Tamsah, Hasmin. 2013. “Menakar Manfaat Pemilihan Langsung”, [online]. dalam http://makassar.tribunnews.com/2013/04/11/menakar-manfaatpemilihan-langsung,\ \ April 2013 [diakses 28 November 2013].
Agustino, Leo. 2009. Pemilukada dan Dinamika Poli tik Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Crouch, Harold. 2010. Political Reform in Indonesia After Soeharto. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies/ ISEAS. Dahi, Robert Alan. 1989. Democracy and Its Critics. Yale: Yale University Press.
112 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 101-112
RELASI KEKUASAAN GUBERNUR DENGAN BUPATI/WALI KOTA: STUDI KASUS BALI, KALIMANTAN BARAT, DAN JAWA TENGAH POWER RELATION BETWEEN GOVERNOR AND REGENT/MAYOR: THE CASE OFBALI, WEST KALIMANTAN, AND CENTRAL JAVA Mardyanto Wahyu Tryatmoko Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 23 Januari 2013; direvisi: 20 Maret 2013; disetujui: 3 Juni 2013 Abstract The dynamic o f decentralization and regional autonomy system following democratization in Indonesia contributes to changes o f governor ’s role as an institution that plays a Central role in center-regional power relation. Although the governor has a dual role as both a representative o f the Central government as well as representatives o f the people in its region, this position seems ambiguous while districts/cities have power also to manage their own region autonomously. Granting broad autonomy and authority as well as the direct election o f regional heads at the same time at the provincial and district/city contributed to the ambiguity o f the dual role o f the governor. Keywords: decentralization, autonomy, governor, regent, mayor, conflict, dual role Abstrak Dinamika sistem desentralisasi dan otonomi daerah yang mengikuti demokratisasi di Indonesia berkontribusi pada pembahan peran gubernur sebagai suatu lembaga yang memainkan peran penting di dalam hubungan pusatdaerah. Meskipun gubernur memiliki dua peran strategis, baik sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah pusat maupun sebagai perwujudan dari kepentingan lokal, posisi ini tampak ambigu ketika kabupaten/kota juga memi liki kekuatan politik untuk mengatur daerahnya secara otonom. Persoalannya, pemberian otonomi dan kekuasaan yang luas disamping penyelenggaraan pilkada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota berkontribusi pada perseteman antar-gubemur-bupati/wali kota yang tidak ada hentinya. Kata kunci: desentralisasi, otonomi daerah, gubernur, bupati, wali kota, konflik, peran ganda.
Pendahuluan Selama satu dekade terakhir, kekuasaan gubernur dalam menjalankan kewenangannya sebagai kepanjangan tangan pem erintah pusat dan pemangku kebijakan daerah seringkah tidak menemukan harmoni ketika bersinggungan dengan operasionalisasi kekuasaan bupati/ wali kota. Konflik antara gubernur dan bupati/ wali kota sering terjadi dalam pelbagai bentuk, baik berwujud persaingan politik yang tidak fa ir maupun benturan dalam pelaksanaan ke
wenangan desentralisasi dan otonomi daerah. Konflik kekuasaan antara gubernur dan bupati/ wali kota ini kemudian menyiratkan beberapa pertanyaan publik: apa yang salah dengan desain desentralisasi dan otonomi daerah terutama terkait hubungan antartingkat pemerintahan? Apakah regulasi yang ada tidak cukup jelas men dukung terselenggaranya hubungan kekuasaan antartingkat pemerintahan yang harmonis? Atau, apakah agenda demokratisasi turut memengaruhi harmonisasi hubungan kekuasaan administrasi gubernur dan bupati/wali kota?
Relasi Kekuasaan Gubernur ... | Mardyanto Wahyu Tryatmoko | 113
Meskipun gubernur memiliki peran ganda sebagai wakil pemerintah pusat dan masyarakat di daerah, posisi ini tampak ambigu ketika bu pati/wali kota juga diberi kekuasaan yang relatif otonom untuk mengatur wilayahnya. Terlebih lagi, klausul mengenai “hierarki” antartingkat pemerintahan tidak lagi ditemui, baik di dalam UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004. Kedua UU tersebut juga tidak mengatur dengan jelas fungsi dekonsentrasi dan tugas pemban tuan dalam hubungan provinsi-kabupaten/kota. Pemberian otonomi kewenangan yang luas dan sekaligus pemilihan langsung kepala daerah di saat yang sama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota menyebabkan persoalan yang rumit dan akut dalam hubungan kekuasaan antara gubernur dan bupati/wali kota. Beban urusan yang lebih besar yang ditang gung oleh provinsi menyebabkan provinsi merasa harus memiliki otoritas yang lebih besar dibandingkan dengan kabupaten/kota. Otoritas tersebut termasuk mengoordinasi, membina, dan mengawasi pemerintahan kabupaten/kota di dalam lingkup administrasinya. Dengan posisi demikian, banyak gubernur yang merasa bahwa kabupaten/kota masih merupakan subordinat provinsi sehingga provinsi perlu mengontrol bahkan menentukan arah penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota. Sebaliknya, banyak bupati dan wali kota yang merasa bahwa kabupaten/kota merupakan daerah otonom sehingga tidak memerlukan lagi peran gubernur.1Terlebih lagi dalam praktiknya, program-program dekonsentrasi seperti tidak berjalan efektif karena bupati/wali kota dapat berhubungan langsung dengan lembaga-lembaga pusat (nasional) tanpa harus melalui provinsi. Sampai sekarang anggapan-anggapan semacam itu masih mengemuka sehingga menimbulkan konflik kewenangan antara gubernur dengan bupati/wali kota. 1Persoalan ini dapat dilihat dari contoh kasus di Jawa Timur, di mana Bupati Pamekasan Kholilurrahman memecat begitu saja Sekda Kabupaten Pamekasan A. Djamil Karim tanpa mengu sulkannya terlebih dahulu kepada Gubernur Jawa Timur. Lihat, Antara, “Gubernur Diminta Selesaikan Konflik di Pamekasan”, 16 November 2009, dalam http://www.antarajatim.com/lihat/ cetak/21474, diunduh pada 14 Januari 2010. Otoritas gubernur seperti diabaikan begitu saja oleh bupati di dalam kasus ini. Padahal, Pasal 122 Ayat 3 UU No. 32/2004 menyebutkan bahwa sekda kabupaten/kota diangkat dan diberhentikan oleh gubernur atas usul bupati/wali kota.
Menanggapi persoalan hubungan kekuasaan antara gubernur dan bupati/wali kota, pemerintah nasional mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 (PPNo. 19/2010) tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Peraturan ini kemudian diperbarui dengan PP No. 23/2011. Regulasi semacam ini bermaksud membenahi sistem administrasi pemerintahan termasuk m engatur kem bali hubungan antartingkat pem erintahan. Setelah selama satu dekade pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah era reformasi, pemerintah baru menegaskan kedudukan gubernur di dalam PP ini. Apa yang diharapkan dari PP No. 19/2010 atau PP No. 23/2011 ternyata tidak beijalan efektif di banyak daerah karena tidak disertai dengan perubahan pengaturan mengenai rekrutmen kepala daerah. Regulasi ini bermaksud membenahi sistem administrasi pemerintahan termasuk m engatur kem bali hubungan antartingkat pemerintahan, tetapi tidak menyentuh persoalan politik. Implikasinya, penataan administrasi hubungan pemerintahan tidak akan berhasil efektif selama faktor-faktor politik masih terus mengintervensi. Tulisan ini merupakan refleksi dari hasil penelitian relasi kekuasaan gubernur dengan bupati/wali kota yang mengambil studi kasus di Jawa Tengah, Bali, dan Kalimantan Barat.2 Penelitian kualitatif-deskriptif yang dilakukan tahun 2012 ini berpijak pada empat pertanyaan besar. Pertama, bagaimana pola relasi kekuasaan gubernur (representasi pusat dan daerah) dengan bupati/wali kota? Kedua, faktor apa saja yang memengaruhi konflik/keija sama antara gubernur dengan bupati/wali kota? Ketiga, bagaimana implikasi konflik/kerja sama antara gubernur dengan bupati/wali kota terhadap pelaksanaan otonomi daerah? Keempat, bagaimana alternatif pemecahan masalah konflik antara gubernur dan bupati/wali kota? Secara substantif, studi mengenai relasi k ek u asaan gub ern u r dengan bup ati/w ali kota ini menggunakan pendekatan institusi 2 Penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti otonomi daerah P2P-LIPI yang beranggotakan Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Heru Cahyono, Afadlal, dan Tri Ratnawati.
114 I Jurnal Penelitian Politik I Volume 10 No. 1 Juni 2013 I 113-126
{institutionalism). Gubernur dan bupati/wali kota dalam studi ini menunjuk pada lembaga dan bukan individu yang tidak terkait dengan kewenangan pemerintahan. Secara umum, institutionalism merupakan pendekatan yang melihat bagaimana institusi-institusi bertindak dan bagaimana dinamika hubungan antarorganisasi atau institusi yang sedang atau akan dibangun.3Meskipun studi ini terlihat fokus pada otoritas gubernur, sangat sederhana jika studi ini menggunakan pendekatan aktor atau elite. Otoritas politik gubernur bukan hanya semata-mata dilihat dari kepentingan politik individu, tetapi diasosiasikan dengan negara, yang terdiri atas tindakan-tindakan otoritatif institusi-institusi pemerintah. Titik penting yang menjadi penekanan studi ini adalah lebih pada aspek politik dibanding aspek administrasi. Aspek politik yang dimaksud adalah hubungan kekuasaan antarinstitusi, di mana kekuasaan gubernur menjadi titik perhatian. Meskipun demikian, aspek manajerial administrasi tetap disinggung meskipun dalam porsi untuk menjelaskan dinamika persoalan kekuasaan tersebut.
Perspektif Teoretik Hubungan Kekuasaan Pemerintahan Pemerintahan yang terdesentralisasi sebenarnya merupakan organisasi yang semi dependen. A rtinya, organisasi pem erintahan tersebut memiliki kebebasan (terbatas) bertindak tanpa mengacu pada persetujuan pusat, tetapi status nya tidak dapat dibandingkan dengan negara berdaulat.4 Persoalannya tidak sederhana ketika unit-unit pemerintahan yang terdesentralisasi harus dibatasi kewenangan dan diatur hubungan kelembagaannya satu dengan yang lain. Setiap negara pasti mengalami ketegangan bahkan konflik antarunit atau tingkat pemerintahan sebagai akibat dari penataan kelembagaan yang tidak tepat.
RAWRhodes, “The Institutional Approach,” dalam David Marsh dan Gerry Stoker, Theory and Methods in Political Science, (London: MacMillan Press, 1995). 4 Philip Mawhood, “Decentralization: the Concept and the Practice,” dalam Philip Mawhood Ed.), Local Government in the Third World: The Experience o f Tropical Africa, (Chicester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore: John Wiley & Sons, 1983).
Konsep hubungan antartingkat pemerintahan berbeda di setiap negara. Jenis dan besaran ke wenangan yang dimiliki oleh setiap tingkatan pem erintahan serta m ekanism e hubungan kelembagaan antartingkat pemerintahan tidak hanya didasarkan pada bentuk pemerintahan federal atau kesatuan. Derajat otonomi, baik untuk tingkat State (negara bagian) maupun provinsi dan pemerintahan lokal dapat diten tukan berdasarkan kesepakatan negara yang bersangkutan. Di negara seperti Amerika dan Kanada yang menganut sistem federal, negara bagian ditem patkan sebagai daerah otonom yang memiliki otoritas dominan untuk mengatur pemerintah lokal (municipal, county, city, dan sebagainya). Pemerintahan lokal merupakan kepanjangan dari pemerintah negara bagian sehingga model ini disebut oleh Shah sebagai dual federalism. Pemerintahan-pemerintahan lokal hanya melaksanakan kekuasaan yang secara eksplisit diserahkan oleh negara bagian.5*Dengan kata lain, negara bagian memiliki kewenangan untuk menentukan jumlah dan jenis otoritas yang dijalankan oleh pemerintahan di bawahnya. Karena perlakuan setiap negara bagian terhadap pemerintahan lokal mereka berbeda, otoritas yang dimiliki oleh setiap pemerintahan lokal sangat variatif. Model hubungan antara negara bagian dan pemerintah lokal di Brazil tidak sama dengan model yang dianut oleh Kanada dan Amerika. Di Brazil, hubungan antartingkat pemerintahan (terutama negara bagian dengan pemerintah lokal) merupakan mitra yang sejajar sehingga disebut cooperative federalism . Model ini berbeda dengan di Swiss di mana pemerintahan lokal merupakan sumber utama kedaulatan dan memiliki signifikansi konstitusi yang lebih besar dibanding pemerintah federal. Menurut Shah, derajat pengawasan yang bervariasi terhadap penyediaan pelayanan publik di tingkat lokal di negara-negara federal tergantung pada status
5 Ketentuan ini muncul sejak John F. Dillon, seorang hakim di Iowa, menetapkan ketentuan pada tahun 1868 yang kemudian dikenal sebagai “Dillon’s rule.” Lihat dalam Ann O ’M. Bowman dan Richard C. Keamey, State and Local Government: The Essentials, Second Edition, (Boston, New York: Houghton Mifflin Company, 2003), hlm. 230.
Relasi Kekuasaan Gubernur ... | Mardyanto Wahyu Tryatmoko | 115
legal dan konstitusional pemerintahan lokal ditempatkan.6 Di A m erika, m eskipun devolusi ju g a berlaku dalam hubungan negara bagian dengan pemerintah lokal, konflik di antara mereka juga kadang kala muncul karena persoalan anggaran. Ini terjadi karena pemerintahan lokal sangat tergantung pada negara bagian dalam hal keuang an. Meskipun demikian, kepatuhan wali kota (pemerintahan lokal) terhadap gubernur (State) relatif terjaga karena selain otoritas negara lebih didominasi negara bagian, eksistensi pemerintah lokal sebagai subordinat masih sangat tergan tung pada negara bagian, termasuk dalam hal keuangan. Konflik juga terjadi antara gubernur dengan pemerintah federal. Persoalannya juga sama, yaitu beban kegiatan yang dilimpahkan ke negara bagian terkadang tidak disertai dengan pendanaan. Model hubungan antartingkat pemerintahan di negara-negara kesatuan (unitary) tampak jelas terlihat dalam pem bagian kew enangan di setiap tingkat pemerintahan, disertai dengan pengawasan yang berjenjang. Pada umumnya, pemerintahan subnasional bertindak atas nama pemerintah pusat. Kewenangan provinsi tidak lebih banyak/strategis dari kewenangan nasional ataupun pemerintahan lokal (kabupaten/kota), sebagaimana terlihat dalam posisi negara bagian di negara federal pada umumnya. Paling tidak ada tiga ciri hubungan antartingkat pemerintahan di negara-negara kesatuan. Pertama, pengembangan kebijakan dan standar pelayanan ditentukan oleh pemerintah di tingkat nasional. Kedua, pengawasan implementasi dilakukan oleh negara bagian atau tingkat provinsi. Ketiga, pelayanan publik langsung diberikan oleh pemerintah lokal.7 Jika pem erintah provinsi difungsikan sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah nasional, paling tidak terdapat tiga hal pokok yang menjadi tujuannya. Pertama adalah kontrol politik. Kedua adalah regulasi ekonomi. Ketiga berkaitan dengan perhatian pada detail adminis trasi pelayanan publik. 6Anwar Shah dan Sana Shah, “The New Vision o f Local Govemance and the Evolving Roles of Local Govemments”, dalam Anwar Shah (Ed.), Local Governance in Developing Countries, (Washington: The World Bank, 2006). 7Anwar Shah, Ibid.
Persoalannya, otonomi politik (misalnya dalam pemilihan politisi lokal) yang diberikan pada provinsi dan kabupaten/kota seringkah dicampuradukkan dengan persoalan adminis trasi. Proses-proses administrasi tidak memakai proses-proses birokratik rasional, tetapi sering diintervensi oleh kepentingan politik gubernur yang lebih banyak bersifat subjektif. Sebagai dampaknya, desentralisasi administratif (bi rokratik) yang di dalamnya termuat pembinaan, pengawasan, dan koordinasi berjenjang menjadi tidak berjalan karena prosedur politik (atas nama demokrasi) yang tidak sesuai telah merusak tatanan itu.8 B erbicara soal peran ganda gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan entitas di daerah tidak terlepas dari pengaturan fungsi dekonsentrasi dan desentralisasi. Kedua konsep ini hampir tidak dapat dibedakan hingga banyak sekali variasi definisi. Cheema dan Rondinelli, misalnya, menjelaskan bahwa dekonsentrasi merupakan bagian dari sistem desentralisasi.9 Menurut Mawhood, secara konseptual desen tralisasi dan dekonsentrasi merupakan sistem yang jelas perbedaannya.10*Tabel 1 memberikan perbedaan konsep antara dekonsentrasi dan desentralisasi. Jika dicermati lebih mendalam, perbedaan antara desentralisasi dan dekonsentrasi terletak pada penekanan politik dan administrasi. Persoal an politik menyangkut sumber, penggunaan dan akuntabilitas kekuasaan, sedangkan persoalan administrasi lebih kepada mekanisme distribusi atau pembagian kewenangan (urusan). Politik 8 Persoalan ini tampak mengonfirmasi thesis Etzioni-Halevy yaitu demokrasi sebagai suatu dilema bagi birokrasi. Eva Etzioni-Halevy, Bureaucracy and Democracy: A Political Dilemma, (London, Boston, Melboume and Henley: Routledge & Kegan Paul, 1983). 9 Menurut beberapa penulis di dalam buku yang diedit oleh Cheema dan Rondinelli, terdapat empat bentuk desentralisasi, yaitu dekonsentrasi, delegasi kepada agen-agen semi otonom dan parastatal, devolusi kepada pemerintahan lokal, dan transfer fungsi-fungsi dari lembaga-lembaga publik kepada non-pemerintah. G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (Eds.), Decentralization and Development: Policy Implemen tation in Developing Countries, (Beverly Hills, London, New Delhi: Sage Publications, 1983). 10 Philip Mawhood, “Decentralization: the Concept and the Practice,” dalam Philip Mawhood (Ed.), Local Government in The Third World: The Experience ofTropical Africa, (Chicester, New York, Brisbane, Toronto, and Singapore: John Wiley & Sons, 1983).
116 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 113-126
Tabel 1. Perbedaan Konsep Dekonsentrasi dan Desentralisasi Kaitan Definisi
D ekonsentrasi
D esentralisasi
Prinsip pengorganisasian
Bureaucratic decentralization
Dem ocratic decentralization
A dm inistrative decentralized
Political decentralized
Stuktur di m ana prinsip m endom inasi
Praktik
Field adm inistration
Local governm ent
Regional adm inistration
Local self-governm ent
Prefectoral adm inistration
M unicipal adm inistration
Delegation of pow ers
Devolution of pow ers
Sumber: Philip Mawhood, Local Government in the Third World, 1983
di dalam desentralisasi bermakna pembagian sebagian kekuasaan pemerintahan oleh kelom pok-kelompok yang berkuasa di tingkat pusat kepada kelompok-kelompok lain di tingkat lokal. Setiap kelompok memiliki otoritas yang relatif otonom, tidak terikat dengan kepentingan pusat. Di tingkat lokal, kekuasaan (politik) digunakan oleh penguasa perwakilan (birokrat dan politisi) untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan publik. Akuntabilitas penggunaan kekuasaan di tingkat lokal tentu saja ditujukan lebih kepada kepentingan-kepentingan lokal daripada kepentingan-kepentingan di tingkat pusat. Meskipun desentralisasi sangat populer dipakai oleh negara maju maupun berkembang untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas peme rintahan, dan demokratisasi, di beberapa kasus desentralisasi hanya dipakai sebagai aksesoris. Di banyak kasus, desentralisasi tidak diadopsi untuk merespons tekanan dari bawah, tetapi hanya sebagai saluran ide/kepentingan pemerintah nasional. Dalam konteks ini, desentralisasi hanya dipakai oleh para politisi untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan." Politik di dalam dekonsentrasi dimaknai dalam konteks pembagian kekuasaan di antara sesama kelompok-kelompok yang berkuasa di area yang berbeda. Struktur politik pada dasarnya mewakili kepentingan-kepentingan penguasa pusat dan tergantung pada dukungan mereka. Pengguna kekuasaan yang m elaksanakan pembuatan kebijakan-kebijakan formal adalah perangkat pemerintahan yang ditunjuk secara terpusat. Di d a la m p r a k tik n y a , k e k a c a u a n pem erintahan dapat terjadi dari persoalan 11 Kathleen O ’Neill, Decentralizing The State: Elections, Par ties, and Local Power in the Andes, (New York: Cambridge University Press, 2005).
kekaburan pemakaian sistem dekonsentrasi dan desentralisasi. Menurut Mawhood, power sharing di dalam pemerintahan sangat kompleks dan terdiri atas lembaga dan struktur yang tidak sederhana. Kompleksitas ini terkadang m engaburkan, baik praktik desentralisasi m aupun dekonsentrasi. Terkadang praktik sistem dekonsentrasi dirancang dan diberi label desentralisasi. Demikian juga, struktur desentralisasi seringkah dikikis secara perlahan dengan menerapkan lebih banyak kontrol selain membatasi penggunaan sumber daya lokal. Kekaburan atau kebingungan penggunaan sistem dekonsentrasi dan desentralisasi ini merupakan persoalan klasik di banyak negara. Terlepas dari kekaburan penggunaan sistem dekonsentrasi dan desentralisasi, Fumihiko Saito m engingatkan bahwa bentuk-bentuk desentralisasi yang bervariasi dapat dilihat sebagai m ekanism e untuk m enyesuaikan hubungan-hubungan antarpemerintahan yang ada. Fokus perhatiannya adalah melakukan redefinisi peran dan pertanggungjawaban setiap tingkat pem erintahan terkait hubungannya dengan tingkat pemerintahan lainnya. Ada dua hal pokok dalam melihat persoalan desentralisasi dari hubungan antarpemerintahan. Pertama adalah bagaimana membagi habis fungsi-fungsi yang diperlukan antara pemerintah pusat dan lokal: fungsi-fungsi apa yang seharusnya dibebankan pada tingkatan struktur adm inistrasi yang mana. Kedua adalah persoalan koordinasi untuk mengharmonisasi pelaksanaan fungsi-fungsi yang terbagi di setiap tingkat pemerintahan.12 P erd eb atan m engenai d ek o n sen trasi dan desentralisasi menjadi tidak begitu penting 12 Fumihiko Saito, “Decentralization and Local Governance: Introduction and OverView,” dalam Fumihiko Saito (Ed.), Foundations fo r Local Governance: D ecentralization in Comparative Perspective, (Heidelberg: Physica-Verlag, 2008).
Relasi Kekuasaan Gubernur ... | Mardyanto Wahyu Tryatmoko | 117
ketika setiap tingkat pem erintahan diberi kebebasan otonomi, tetapi sekaligus mendapat kewajiban untuk mempertahankan kesatuan bangsa. Tantangan bagi suatu unit pemerintahan dalam melakukan peran/fungsi ganda ini tidak lagi terletak pada struktur pemerintahan yang hierarki, di mana tingkat pemerintahan yang lebih tinggi dapat melakukan perintah dan kontrol. Saat ini struktur pemerintahan di daerah lebih banyak berbentuk horizontal karena sama-sama memiliki otonomi, dengan pendekatan konsultasi untuk mencapai koordinasi.
Kompleksitas Relasi Kekuasaan Gubernur-Bupati/Wali kota Penelitian mengenai relasi kekuasaan gubernur dengan bupati/wali kota yang mengambil studi kasus di Bali, Jawa Tengah, dan Kalimantan Barat menemukan beberapa pola atau bentuk hubungan konfliktual dan kerja sama. Mengingat hanya tiga daerah yang dijadikan kasus, temuan-temuan ini tentu masih sangat terbatas untuk meng gambarkan pola relasi antara gubernur dengan bupati/wali kota secara nasional. Meskipun tidak dapat digeneralisasi, setidaknya temuan-temuan ini mewakili persoalan yang pasti juga terjadi di daerah tertentu.
Pola Relasi Kekuasaan GubernurBupati/Wali kota Dari hasil penelitian, setidaknya terdapat empat pola hubungan konfliktual antara gubernur de ngan kabupaten/kota. Pola hubungan konfliktual pertama adalah “pembangkangan” bupati/wali kota terhadap instruksi gubernur. Gubernur merasa tidak mendapatkan “penghormatan” dari bupati/wali kota. Dalam konteks pemerintahan, provinsi kesulitan melakukan koordinasi, pembi naan, dan pengawasan terhadap kabupaten/kota. Upaya koordinasi dalam kegiatan rapat, misal nya, yang diadakan gubernur tidak mendapatkan respons yang baik dari para bupati/wali kota. Pola hubungan konfliktual yang kedua adalah benturan kewenangan antara gubernur dan bupati/wali kota ketika menjalankan suatu kebijakan. Konflik kebijakan (kewenangan peme rintahan) ini terjadi ketika ada persinggungan wilayah kerja provinsi dan kabupaten/kota dalam melaksanakan suatu kebijakan tertentu. Sebagai
contoh kasus Saripetodjo, di mana pemerintah Provinsi Jawa Tengah berhak atas pengelolaan bekas pabrik es Saripetodjo sebagai aset provinsi, tetapi karena berada di wilayah Surakarta, pengelolaan tersebut harus menyesuaikan de ngan Perda tentang Penataan dan Pembinaan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modem Kota Solo. Konflik muncul ketika provinsi akan mengubah Saripetodjo menjadi mall, sementara hal itu melanggar Perda Kota Solo yang tidak meng izinkan pendirian mall di daerah tersebut. Dalam kasus ini, pemerintah provinsi merasa memiliki otoritas untuk mengelola dan menentukan masa depan Saripetodjo karena memang mempakan kewenangannya. Sementara itu, pemerintah Kota Surakarta perlu mengatur tata mang dan melindungi perekonomian warganya. Pola hubungan konfliktual ketiga adalah hubungan yang tidak harmonis antara gubernur dan bupati/wali kota lantaran dampak dari persaingan politik yang tidak fair. Persaingan p olitik yang dim aksud seringkali muncul dari proses-proses pemilihan gubernur secara langsung dan dalam proses-proses pemekaran daerah otonom. Persaingan politik antarkepala daerah dalam pilkada sebenarnya wajar, namun dampaknya seringkali mengganggu jalannya pemerintahan. Gubernur petahana yang mampu mempertahankan kembali posisinya di periode kedua terkadang m elakukan diskrim inasi terhadap kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati/wali kota saingannya di dalam pemilihan langsung gubernur. Atau sebaliknya, bupati/ wali kota yang gagal bersaing dalam pemilihan gubernur kemudian menj aga j arak termasuk tidak bersedia “patuh” terhadap gubernur terpilih. Per saingan ini juga muncul sejak pencalonan kepala daerah ketika ada dua calon yang tadinya berasal dari satu partai dan kemudian salah satunya harus berpindah partai karena tidak dicalonkan oleh partainya semula. Bentuk hubungan konfliktual yang keempat adalah hubungan yang tidak harmonis antara gubernur dan bupati/wali kota lantaran persoalan personal (perseteruan pribadi). Konflik yang sifatnya personal ini kemudian memengaruhi hubungan kekuasaan antarkepala daerah. Contoh dari persoalan ini adalah kasus yang terjadi di Jawa Tengah. Perseteruan antara Gubernur
118 1Jumal Penelitian Politik I Volume 10 No. 1 Juni 2013 I 113-126
Jawa Tengah Bibit Waluyo dan Wali kota Semarang Sukawi Sutarip bermula dari kritikan Bibit terhadap lambatnya perkembangan Kota Semarang. Kritik ini tidak mengenakkan bagi Sukawi. Sukawi kemudian mengganti Sekda Kota Semarang Soemarmo secara mendadak tanpa persetujuan gubernur (Bibit). Tindakan Sukawi ini dinilai tidak memenuhi prosedur. Hubungan tidak harmonis antara gubernur dan bupati yang diduga sebagai imbas dari perse teruan pribadi juga terjadi di Kalimantan Barat. Rencana RTRW Kabupaten Sintang yang belum ada kejelasan rekomendasi dari gubernur diduga disebabkan oleh hubungan antara Bupati Sintang dan Gubernur Kalbar yang kurang harmonis. Padahal Kementerian Pekerjaan Umum Direk torat Jenderal Penataan Ruang sudah dua kali menyurati Gubernur Kalbar agar memberikan rekomendasi RTRW Pemkab Sintang. Pola hubungan konfliktual yang demikian menunjuk kan minimnya sifat kenegarawanan kepala daerah yang tidak memikirkan kemaslahatan masyarakat luas, tetapi lebih didorong oleh ego pribadi. Di samping menemukan bentuk-bentuk konflik antara gubernur dan bupati/wali kota, penelitian ini juga menemukan beberapa bentuk kerja sama antarkeduanya. Meskipun lebih ba nyak mengulas mengenai konflik, hasil penelitian ini perlu menunjukkan pola-pola kerja sama yang dapat dikembangkan lebih lanjut di daerah lainnya. Penelitian ini menemukan setidaknya tiga bentuk kerja sama yang tampak menonjol di daerah penelitian. Bentuk kerja sama yang pertama adalah hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota untuk sama-sama melindungi kawasan strategis. Meskipun dalam kadar minimal, kerja sama ini dapat ditemukan, misalnya dalam kasus Kalimantan Barat. Dalam hal ini, Gubernur Kalimantan Barat dan Bupati Sintang bekerja sama menjaga hutan lindung. Kerja sama antara provinsi dan kabupaten/ kota yang kedua adalah dalam rangka pemerataan distribusi pendapatan daerah seperti yang terjadi di Bali. Dalam hal ini, gubernur atau pemerintah provinsi diberi kepercayaan oleh kabupaten/kota se-Bali untuk mendistribusikan anggaran seba gian hasil PHR Kabupaten Badung ke kabupatenkabupaten lain untuk pemerataan pendapatan
Bali. Kerja sama ini sudah berlangsung sejak lama. Ada bentuk kerja sama lain antara peme rintah provinsi dengan kabupaten/kota di Bali, namun masih dalam tahap rencana dan tidak terlaksana dengan baik. Bentuk ketiga adalah kerja sama yang dilakukan antara gubernur dan bupati/wali kota untuk menyelesaikan kasus tertentu di luar kewenangan pemerintahan. Misalnya saja kasus yang ditemukan di Surakarta. Gubernur Jawa Tengah dan Wali kota Surakarta bekerja sama untuk menyelesaikan persoalan kepemimpinan Keraton Solo.
Faktor-Faktor Determinan Beberapa pola relasi kekuasaan antara gubernur dan bupati/wali kota sebagaimana telah dite mukan dalam penelitian ini tentu saja memiliki sejumlah persoalan yang melatarbelakanginya. Jika dirunut, ada banyak faktor yang meme ngaruhi, baik hubungan konfliktual maupun kerja sama antara gubernur dan bupati/wali kota. Hubungan yang bersifat konfliktual dapat dirunut akar persoalannya dari hulu hingga hilir. Persoalan hulu yang menyebabkan muncul nya konflik antara gubernur dan bupati/wali kota adalah kegalauan pemerintah dalam menentukan format desentralisasi dan otonomi daerah untuk Indonesia. Bangunan desentralisasi dan otonomi daerah pasca-Orde Baru tampak mengandung pola federal daripada mumi model kesatuan. Hal yang paling terlihat adalah tidak adanya hierarki pemerintahan daerah, sedangkan tidak ada supervisi langsung pemerintah pusat terhadap kabupaten/kota.13*Euforia otonomi seluas-luasnya bagi daerah terutam a kabupaten/kota telah menyebabkan keterputusan hubungan pemerin tahan dalam desentralisasi. Dalam praktiknya, hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota tidak hierarkis, tetapi dipaksa untuk harmonis dalam bentuk kerja sama. Dengan demikian, formatnya cenderung menunjukkan pelaksanaan cooperative federalism . Satu hal lagi yang menunjukkan penyimpangan sistem kesatuan adalah adanya pengaturan tugas pembantuan 13 Pengalaman Jepang sebagai negara kesatuan menunjukkan adanya pengawasan langsung pemerintah pusat terhadap prefektur dan municipalities meskipun kedua tingkatan pemerintahan daerah itu tidak bersifat hierarki.
Relasi Kekuasaan Gubernur ... | Mardyanto Wahyu Tryatmoko | 119
yang tidak saja dari pemerintah pusat ke provinsi, kabupaten/kota, dan desa, tetapi juga dari provinsi (daerah otonom) ke kabupaten/kota (daerah otonom). Kebingungan pemerintah dalam menentukan atau bahkan mengompromikan antara format de sentralisasi dalam konteks sistem negara kesatuan dan federal memunculkan model yang syarat dengan hubungan konfliktual. Integratedperfectoral system yang timpang yang hanya ditempel kan di provinsi, tetapi tidak di kabupaten/kota. Pemilahan “kekuasaan” antarlevel pemerintahan daerah yang kurang jelas menyebabkan rentang kendali pemerintahan tidak berjalan efektif. Kabupaten/kota tidak merasa menjadi bagian atau bawahan provinsi. Hal penting yang terlihat dengan jelas sebagai penyebab kekisruhan hubungan pemerin tahan antara provinsi dan kabupaten/kota adalah praktik penyelenggaraan desentralisasi yang lebih didorong secara politik daripada memperha tikan keselarasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Lembaga-lembaga di daerah cen derung menangkap esensi desentralisasi sebagai otonomi politik (devolusi) semata sehingga setiap level pemerintahan merasa bebas menolak intervensi dari pemerintah level lainnya. Terlebih lagi, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dilakukan secara langsung dan terbuka. Padahal di dalam konteks negara kesatuan, desentralisasi (dekonsentrasi dan tugas pembantuan) dalam koridor administrasi perlu ditekankan untuk memastikan ikatan antarlapis pemerintahan yang kuat. Peraturan perundang-undangan yang tidak cukup jelas mengatur distribusi kewenangan antarlevel pemerintahan juga turut menyulut perseteruan gubernur dengan bupati/wali kota. UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP No. 38 Tahun 2007 yang mengatur pembagian kewenangan pemerintahan tidak cukup memadai mendukung pengaturan misalnya tentang penataan ruang dan wilayah. Urusan wajib dan pilihan yang bersing gungan dengan RTRW14tidak dapat dipilah atau 14 Urusan wajib, misalnya perumahan, penataan ruang, perenca naan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanah an, penanaman modal, pertanian, dan ketahanan pangan. Urusan pilihan, misalnya kehutanan, energi dan sumber daya mineral, kelautan dan perikanan, perdagangan, dan perindustrian.
didistribusikan dengan baik antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sehingga konflik antara dua level pemerintahan itu sangat mudah terjadi. Ketentuan yang ada masih membutuhkan perincian pembagian kewenangan antarlapis pem erintahan, terutam a antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Demikian juga dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang lebih rinci mengatur pembagian kewenangan antara peme rintah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota ternyata tidak dapat mengakomodasi persoalan dalam implementasinya. Dalam persoalan ini, apakah perlu merinci kembali kewenangan (unbundling thefunctions) atau cukup membuka klausul mengenai diskresi yang memerlukan kon sensus dari setiap level pemerintahan. Di dalam UU tersebut tidak dicantumkan rambu-rambu mengenai diskresi yang mungkin dilakukan oleh pemerintah daerah terkait penataan ruang. Peraturan yang ada juga tidak mengatur keten tuan pembahasan bersama antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota atas suatu isu penting. Dengan demikian, persoalan pengaturan kawasan strategis provinsi dan bhisama kesucian pura,15 misalnya dalam kasus Perda RTRW Bali tidak dapat terselesaikan dengan baik dan justru mengambang. Terlepas dari persoalan kurangnya ke tersediaan peraturan perundang-undangan yang mengatur otoritas dan hubungan antarlapis pemerintahan, pemerintah juga terlihat lemah dalam penegakan peraturan. Beberapa peraturan yang telah diundangkan dalam kadar tertentu untuk mengatur hubungan antarlevel pemerin tahan tidak ditegakkan dengan baik. Misalnya saja Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 yang telah direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelak sanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi ternyata tidak dapat digu nakan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik antara gubernur dan bupati/wali kota. Sanksi administratif, sebagaimana disebutkan dalam PP tersebut, untuk para bupati/wali kota yang tidak patuh terhadap gubernur tidak pemah diimple 15 Bhisama kesucian pura merupakan kebijakan yang dikelu arkan PHDI Bali untuk mengatur jarak bangunan umum dan pemukiman dengan pura.
120 | Jumal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 113-126
mentasikan. Hal ini disebabkan dua hal. Pertama, peraturan perundangan yang lebih tinggi tidak mendukung PP tersebut. UU No. 32/2004 tidak menyebutkan susunan hierarki antara provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, bentuk sanksi yang disebutkan dalam PP itu sendiri tidak feasible,16 Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung di tingkat provinsi dan kabupaten/kota secara sekaligus menyebabkan sikap inde pendensi setiap kepala daerah semakin besar. Dengan demikian, resistensi kepala daerah atau pemerintahan daerah untuk saling melakukan kerja sama juga semakin besar. Persoalan nya lebih dari itu, bahwa sistem multipartai menambah kerumitan pola hubungan antarlapis pemerintahan ketika yang memegang jabatan kepala daerah berbeda-beda partai. Kerumitan ini semakin menyulitkan penyatuan pandangan kepala daerah karena latar-belakang partai yang bervariasi. Namun, temuan menunjukkan bahwa kesamaan partai politik pendukung tidak menja min adanya dorongan kerja sama yang sinergis antara gubernur dan bupati/wali kota. Demikian pula perbedaan latar belakang kedudukan kepala daerah di dalam partai antara yang duduk di dalam kader atau nonkader relatif kecil meme ngaruhi kesamaan pandangan terhadap suatu isu kebijakan publik. Meskipun ada harapan, ternyata partai politik belum dapat diandalkan berperan dalam harmonisasi hubungan gubernur dengan bupati/wali kota. Ini terjadi karena tidak ada ikatan “ideologi” kepala daerah terhadap partai. Absennya keterlibatan konstruktif partai politik terutama dalam isu-isu yang menyangkut hubungan antartingkat pem erintahan turut berkontribusi dan melanggengkan konflik antara gubernur dan bupati/wali kota. Dalam kasus di Bali, meskipun mayoritas kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota) berasal dari 16 Sanksi terberat bagi kabupaten/kota yang tidak mengindah kan instruksi gubernur sebagaimana dalam Pasal 7a Ayat (4) adalah gubernur mengusulkan kepada kementerian/lembaga terkait untuk tidak mengalokasikan dana tugas pembantuan kepada kabupaten/kota yang bermasalah pada tahun anggaran berikutnya. Ketentuan ini tidak membuat bupati/wali kota khawatir, terlebih takut karena kebutuhan tugas pembantuan bukan dari mereka tetapi dari kementerian/lembaga yang ter kait. Kementerian/lembaga terkait yang dimaksud dalam PP tersebut sangat tidak jelas merujuk pada program/kegiatan apa. Terlebih lagi, kementerian/lembaga “terkait" belum tentu menyetujui rekomendasi gubernur untuk tidak mengalokasikan dana tugas pembantuan.
satu partai yang sama, partai tidak menentukan sikap tegas atau mengarahkan anggotanya untuk memecahkan persoalan RTRW. Pernah suatu waktu DPD PDI-P Bali meminta seluruh kader dan anggotanya untuk mematuhi Perda RTRW Provinsi Bali, tetapi perintah itu tidak diindahkan dan konflik antara gubernur dan bupati meskipun sesama partai, terus saja terjadi. Dalam situasi di mana masih terdapat persoalan distribusi kewenangan antara gubernur (provinsi) dan bupati/wali kota (kabupaten/kota), sangat diperlukan komunikasi politik yang lancar untuk memecahkan kebuntuan. Keahlian komu nikasi terutama harus dimiliki oleh gubernur untuk dapat merangkul para bupati/wali kota agar kuat bekerja sama. Konflik antara gubernur dan bupati/wali kota seringkali terjadi lantaran komunikasi politik yang tidak baik antarlevel pemerintahan. Kasus Jawa Tengah menunjukkan bahwa Gubernur Bibit Waluyo yang memiliki latar belakang militer tidak mampu merangkul dengan baik para bupati/wali kota di wilayahnya. Bibit dipandang kurang supel dan kurang mampu mengomunikasikan pemerintahan dengan baik, bahkan tidak sedikit ucapannya yang dapat memicu ketegangan hubungannya dengan para bupati/wali kota. Hubungan otonomi yang “setara” antara gubernur dan bupati/wali kota ditambah kompe tisi politik yang terbuka di antara mereka sangat rentan menimbulkan konflik personal yang akan berdampak pada pelaksanaan pemerintahan selanjutnya. Rivalitas politik antara Bibit dan Sukawi dalam pemilihan langsung Gubernur Jawa Tengah, misalnya, berakhir dengan dendam personal. Dendam ini kemudian dibawa ke ranah pemerintahan sehingga muncul distorsi penye lenggaraan pemerintahan terutama yang berkait an dengan hubungan kerja antara pemerintah provinsi dan kota. Contoh lain dari persoalan ini ditemukan juga di Kalimantan Barat. Pasalnya, Gubernur Kalbar Cornelis tidak mendukung pembentukan Provinsi Kapuas Raya lantaran ingin menghadang Bupati Sintang Crosby yang merupakan koordinator pembentukan Provinsi Kapuas Raya yang ingin maju dalam Pilgub Kalbar 2012. Sebelum Pilgub berlangsung, Cornelis sangat mengkhawatirkan kekuatan Crosby yang dapat menggeser kursinya. Setelah
Relasi Kekuasaan Gubernur ... | Mardyanto Wahyu Tryatmoko [ 121
berhasil mempertahankan kursi gubernurnya, Cornelis kemudian mengganti secara sepihak koordinator pembentukan Provinsi Kapuas Raya tanpa sepengetahuan Crosby. Konflik antara gubernur dan bupati/wali kota seharusnya dapat dicegah atau setidaknya dikurangi jika ada lembaga lintas sektoral dan lintas wilayah yang dapat memecahkan persoalan terutam a yang berkaitan dengan distribusi kewenangan. Dewan Pertimbangan Otonomi D aerah yang pernah dibentuk pem erintah sebenarnya dapat difungsikan untuk menye lesaikan persoalan umum lintas pemerintahan daerah. Sayangnya, lembaga ini tidak berfungsi dengan baik. Hingga saat ini tidak ada lembaga di tingkat nasional yang diberi mandat sebagai focal point untuk secara efektif menyelesaikan persoalan-persoalan dalam pem buatan dan implementasi kebijakan lintas sektoral dan lintas wilayah. Sebagai contoh, lembaga khusus yang berfungsi menyelesaikan persoalan lintas sektoral untuk persoalan tata ruang adalah Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). Lembaga ini tidak berperan efektif dalam penye lesaian sengketa tata ruang di daerah terutama antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.17 Lembaga ini secara umum seharusnya berfungsi untuk mengatur dan memperbaiki ketimpangan kapasitas lembaga, problem pelayanan, dan ketidaksinkronan pengaturan operasionalisasi pelayanan dengan tujuan nasional.
Implikasi Problem Hubungan Kekuasaan Gubernur-Bupati/Wali Kota Berbagai bentuk konflik telah diuraikan sebe lumnya. Demikian juga dengan faktor-faktor yang menjadi penyebab serta yang memperkeruh persoalan hubungan kekuasaan antara gubernur dan bupati/wali kota. Hubungan konfliktual tersebut tentu saja memiliki implikasi yang sa ngat berarti bagi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Dari persoalan kegamangan desain de sentralisasi dan otonomi daerah sendiri akan berdam pak pada kebingungan menetapkan 17 Berdasarkan Kepres Nomor 4 Tahun 2009, salah satu tugas BKPRN adalah menangani dan menyelesaikan masalah yang muncul dalam penataan ruang, baik di tingkat nasional maupun daerah, dan memberikan pengarahan serta saran pemecahannya.
ketentuan struktur otoritas dan pembagian kewenangan antarlapis pemerintahan. Implikasi lebih lanjut dari ketidakjelasan aturan legal mengenai pembagian kewenangan antarpe m erintahan akan m enyebabkan kerancuan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Provinsi atau kabupaten akan kebingungan ketika merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik sebagaimana mengikuti ketentuan yang tidak terarah. Provinsi dan kabupaten/kota lebihlebih akan kebingungan jika akan merumuskan atau melaksanakan kewenangan, tetapi tidak disebutkan di dalam peraturan. Kondisi demikian menciptakan keraguan di antara mereka, apakah yang mereka laksanakan merupakan urusan umum (general competence) atau urusan sisa (ultravires construction), apakah melakukan urusan wajib (obligatory function) atau urusan pilihan (discretionary function)? Persoalan ini masih menggejala di Indonesia. Hampir semua urusan pemerintahan daerah cenderung melibatkan kerja simultan antartingkat pemerintahan (concurrent) sehingga tarik-menarik urusan antarlapis pemerintahan sangat besar. Sejumlah implikasi serius dari bentukbentuk konflik antara gubernur dan bupati/wali kota dapat dirasakan, baik dari sisi provinsi maupun kabupaten/kota. Dari sisi provinsi, “per lawanan” atau “pembangkangan” kabupaten/kota terhadap provinsi m enyebabkan program provinsi terutama yang terikat dalam kerangka dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak berjalan dengan baik. Pada akhirnya, tugas utama provinsi tidak berbeda seperti yang dilakukan oleh kabupaten/kota, yaitu melakukan program dalam kerangka otonomi daerah atau tidak dalam kerangka desentralisasi (dekonsentrasi dan tugas pembantuan) yang membutuhkan keterkaitan dengan lapis pem erintahan lainnya. Dalam kerangka otonom i daerah pun sebenarnya gubernur kesulitan m engim plem entasikan kewenangannya karena pada dasarnya ia tidak memiliki wilayah yang jelas sebagaimana yang dimiliki oleh kabupaten/kota. Im plikasi n eg atif ju g a dirasakan oleh kabupaten/kota. Jika bupati tidak menghargai gubernur, pembangunan kabupaten dapat terkena imbas negatifnya. Bagaimanapun juga provinsi masih memiliki tanggung jawab sektor tertentu
122 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 113-126
meski berada di wilayah kabupaten tertentu. Sebagai contoh, Bupati Sintang gagal melakukan program di perbatasan dan jalan-jalan (terutama jalan provinsi) di Kabupaten Sintang rata-rata buruk lantaran tidak didukung atau diperhatikan oleh Gubernur Kalbar. Implikasi yang lebih luas dari hubungan konfliktual antara gubernur dan bupati/wali kota adalah pembangunan daerah (masyarakat) akan tersendat karena fokus perhatian terletak pada konflik itu sendiri dan kepentingan sempit di baliknya. Masyarakat tidak akan optimal mendapatkan pelayanan dari pemerintah daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak hanya akan tersendat, tetapi juga menciptakan ketimpangan antardaerah, terutama jika ada perlakuan diskriminasi yang dilakukan gubernur terhadap kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati/wali kota “musuh” politiknya.
Penutup Dari persoalan yang telah diuraikan sebelumnya, pemerintah harus segera menentukan desain dan merevisi format hubungan antarlevel pemerintah an dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Pengalaman penggunaan format cooperative federalism , secara tidak sengaja, sebagaimana praktik penyelengaraan pemerintahan dewasa ini ternyata tidak cocok bagi Indonesia. Alih-alih mendorong kerja sama antarlevel pemerintahan, konflik pemerintahan antara gubernur dan bupati/wali kota seringkali mencuat lantaran format yang demikian. Dalam rangka menyelesaikan persoalan itu, evaluasi format/desain desentralisasi dan otonomi daerah untuk memperbaiki hubungan antarlevel peme rintah setidaknya diarahkan pada dua pilihan format. Pilihan pertama adalah menggunakan modifikasi model dualfederalism. Pilihan kedua adalah menerapkan dengan konsisten model hubungan antartingkat pemerintahan negaranegara kesatuan (unitary). Jika model modifikasi dual federalism yang dipilih, provinsi ditempatkan sebagai daerah otonom yang memiliki otoritas dominan untuk mengatur pemerintah kabupaten/kota hingga desa. Dalam hal ini, pem erintahan kabupaten/kota hingga desa dapat tidak berstatus otonom melainkan merupakan kepanjangan
dari pemerintah provinsi. Kalaupun memiliki otonomi, kadarnya relatif kecil. Pemerintahan kabupaten/kota hingga desa hanya melaksanakan kekuasaan yang secara eksplisit diserahkan oleh provinsi. Dengan kata lain, provinsi memiliki otoritas untuk menentukan jumlah dan jenis otoritas yang dijalankan oleh pemerintahan di bawahnya. Karena perlakuan setiap provinsi terhadap pemerintahan lokal berbeda, otoritas yang dimiliki oleh setiap pemerintahan lokal sangat bervariasi. Apabila pemerintah memutuskan untuk konsisten m enggunakan model hubungan bertingkat sebagaimana ciri negara kesatuan, setidaknya pembagian kewenangan di setiap level pemerintahan harus terumuskan dengan jelas di sertai dengan pengawasan yang beijenjang. Pada umumnya, pemerintahan provinsi bertindak atas nama pemerintah pusat. Kewenangan provinsi tidak lebih strategis dari kewenangan nasional dan tidak lebih operasional dari pemerintahan kabupaten/kota. Setidaknya ada tiga hal yang harus dipenuhi sebagai prasyarat pelaksanaan model unitary mumi. Pertama, pengembangan kebijakan dan standar pelayanan ditentukan oleh pemerintah di level nasional. Kedua, pengawasan implementasi pemerintahan lokal dilakukan oleh intermediary institution atau tingkat provinsi. Ketiga, pelayanan publik langsung diberikan oleh pemerintah daerah di bawah provinsi. Tujuan memosisikan provinsi sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah nasional adalah sebagai kontrol politik, kendali regulasi ekonomi, dan ketertiban pada detail administrasi pelayanan publik. Pilihan atas format modifikasi dualfederal ism atau unitary murni tentu saja memiliki implikasi pengaturan mekanisme adm inis trasi (birokrasi) dan politik yang berbeda. Variasi pengaturan mekanisme administrasi dan politik dapat berupa banyak hal. Jika format modifikasi dual federalism yang diambil, tentu saja titik berat otonomi daerah berada di level provinsi. Provinsi memiliki otoritas menentukan besaran kewenangan yang dapat dijalankan oleh kabupaten/kota hingga desa. Program kebijakan dan anggaran dalam kadar tertentu berasal dari provinsi sehingga mengikat kabupaten/kota untuk “mematuhi” kebijakan provinsi. Kadar otonomi
Relasi Kekuasaan Gubernur ... | Mardyanto Wahyu Tryatmoko ] 123
atau diskresi yang dimiliki kabupaten/kota harus lebih kecil dibandingkan yang dimiliki provinsi. Dengan demikian, mekanisme pemilihan bupati/ wali kota, baik langsung maupun tidak langsung dalam format ini tidak memengaruhi “kepatuhan” bupati/wali kota terhadap gubernur. Variasi pengaturan mekanisme adminis trasi dan politik untuk pilihan format unitary dapat lebih beragam dibanding format dual federalism. Otonomi dapat diberikan di tingkat provinsi atau kabupaten, dan dapat keduanya sekaligus. Otonomi yang diberikan di dua level (provinsi dan kabupaten/kota) sekaligus dapat mengarahkan pada kewenangan yang tumpangtindih atau tarik-ulur atas kewenangan yang terlihat concurrent. Oleh karena itu, pembagian kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota harus terinci jelas. Hal terpenting dari model ini adalah arahan dan pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah tidak boleh terputus. Jika titik berat diletakkan di tingkat kabupaten/kota, gubernur memiliki kewenang an hanya sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Otoritas gubernur dalam hal ini hanya melaksanakan koordinasi program pusat, pengawasan, dan pembinaan administrasi pemerintahan. Provinsi memiliki tugas utama untuk memastikan kebijakan yang diambil di tingkat kabupaten/kota tidak menyimpang dari pengembangan kebijakan dan standar pelayanan yang telah ditentukan oleh pemerintah di level nasional. Dengan demikian, otonomi yang dimili ki kabupaten/kota selalu dalam “pemantauan” provinsi. Dalam konteks ini, bupati/wali kota dapat dipilih langsung. Sementara itu, sangat aneh jika gubernur dipilih dari pemilihan umum langsung. Konsekuensinya, SKPD otonom di tingkat provinsi tidak diperlukan. Dalam format unitary, titik berat otonomi dapat juga diletakkan di tingkat provinsi. Otonomi yang dimiliki provinsi masih dalam bentuk kebijakan dan bukan pada operasionalisasi teknis. Otonomi provinsi hanya dalam kerangka kewenangan umum {general competence) dan sisa {ultravires constructiori). Dekonsentrasi hanya dapat diberikan oleh pemerintah pusat ke provinsi. Tugas pembantuan hanya dapat diberi kan oleh pemerintah pusat ke daerah otonom dan bukan daerah otonom yang lebih tinggi ke daerah
otonom yang lebih rendah. Pemilihan kepala daerah secara langsung dapat diberlakukan, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam format ini, pemilihan bupati/wali kota yang dilakukan secara langsung sangat tidak efisien. Hal ini mengingat kabupaten/kota hanya melaksanakan kebijakan sebagaimana telah diwajibkan oleh pemerintah pusat dan yang diperbantukan atau didelegasikan oleh provinsi. Otonomi yang dimiliki kabupaten/kota sebenarnya hanya merupakan diskresi untuk memudahkan operasionalisasi pelayanan dasar. Beberapa pilihan format desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya merupakan agenda reformulasi sistem jangka panjang. Relasi kekuasaan yang tidak harmonis antara gubernur dan bupati/wali kota dapat diselesaikan dengan beberapa agenda jangka menengah dan pendek. Agenda perbaikan dalam jangka waktu menengah yang semestinya dilakukan pemerintah adalah perbaikan peraturan perundangan dan penegakannya secara tegas. Sebagaimana telah disinggung dalam bab-bab sebelumnya, peraturan yang sementara ada tidak memberikan penguatan posisi gubernur sebagai intermediary institution dalam sistem unitary. Beberapa peraturan pemerintah yang telah beru paya memperkuat posisi gubernur tampak hanya sebagai pemanis instrumen kelembagaan karena peraturan-peraturan ini tidak dapat dieksekusi. Sebut saja PP Nomor 23 Tahun 2011 yang telah memuat aturan sanksi, tetapi tetap tidak efektif membuat para bupati/wali kota “patuh” pada gubernur. Beberapa hal perbaikan yang penting untuk dimuat dalam substansi peraturan dalam rangka memperkuat posisi gubernur sebagai intermedi ary institution dalam konteks unitary antara lain adalah ketentuan pengaturan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, pengaturan monitoring dan evaluasi Perda kabupaten/kota, dan mekanisme pemberian reward and punishment kepada kabupaten/kota. Dalam rangka mem perkuat posisi provinsi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan dari pemerintah pusat seharusnya bertingkat. Urusan yang didekonsentrasikan atau ditugasbantukan oleh pemerintah pusat harus melewati provinsi sebelum sampai ke kabupaten/kota dan desa. Intervensi langsung
124 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 113-126
pemerintah pusat ke kabupaten/kota dan desa seharusnya hanya dilakukan ketika dalam kondisi yang benar-benar darurat, misalnya menyangkut wabah penyakit dan konflik. Kewenangan m onitoring dan evaluasi Perda kabupaten/kota juga seharusnya menjadi domain provinsi. Pengawasan terhadap perda kabupaten/kota seharusnya dilaksanakan secara preventif dan represif sekaligus oleh provinsi. Dengan demikian, provinsi memiliki kekuasaan m em batalkan perda-perda kabupaten/kota yang bermasalah. Dalam hal ini pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan uji mate rial peraturan jika ada komplain ketidakpuasan kabupaten/kota atas keputusan provinsi. Dalam kadar minimal, jika pengaturan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dilakukan secara bertingkat serta kew enangan pem batalan perda kabupaten/kota oleh provinsi berjalan dengan baik, mekanisme pemberian reward and punishment oleh provinsi kepada kabupaten/kota dapat dilembagakan. Penilaian kinerja kabupaten/kota seharusnya cukup dilakukan oleh provinsi. Bagi kabupaten/kota yang berkinerja buruk, provinsi dapat menunda atau mengurangi anggaran dekonsentrasi, tugas pembantuan, atau subsidi lainnya. Sebaliknya, bagi kabupaten/kota yang berprestasi, provinsi dapat memberikan apresiasi berupa penambahan program atau subsidi anggaran tertentu. Agenda jangka pendek yang seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan kebuntuan persoalan hubungan kekuasaan gubernur dengan bupati/wali kota adalah mengefektifkan lembaga-lembaga penyelesai konflik antarlevel pemerintahan. Beberapa lembaga lintas sektoral dan wilayah sebenarnya telah terbentuk untuk mengantisipasi konflik antarlevel pemerintahan namun belum efektif. Sebut saja lembaga, seperti DPOD dan BKPRN. Pemerintah harus segera mengoptimalkan lembaga-lembaga seperti ini, tidak hanya menyelesaikan tetapi juga mencegah konflik. Jika kelem bagaan di tingkat nasional belum memadai untuk memberikan jaminan ketertiban pengaturan kewenangan di tingkat lokal, institusi lokal sebenarnya dapat melakukan by pass kewenangan itu dengan membuat kon sensus antarinstitusi di tingkat lokal, termasuk
antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Proses deliberasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus terbuka agar kelompokkelompok nonpemerintah dapat terlibat ak tif dalam menentukan kebijakan yang tidak berorientasi pada kepentingan sempit.
Daftar Pustaka Buku Bowman, Ann O'M. dan Richard C. Keamey. 2003.
State and Local Government: The Essentials, Second Edition. Boston, New York: Houghton Mifflin Company. Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli (Eds.). 1983. Decentralization and Development: Pol
icy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills, London, New Delhi: Sage Pub lications. Etzioni-Halevy, Eva. 1983. Bureaucracy and De mocracy: A Political Dilemma. London, Bos ton, Melboume and Henley: Routledge & Kegan Paul. Mawhood, Philip. 1983. “Decentralization: the Con cept and the Practice,” dalam Philip Mawhood (Ed.), Local Government in the Third World: The Experience o f Tropical Africa. Chicester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore: John Wiley & Sons. O’Neill, Kathleen. 2005. Decentralizing The State:
Elections, Parties, and Local Power in theAndes. New York: Cambridge University Press. Rhodes, R. A. W. 1995. “The Institutional Approach”, dalam David Marsh dan Gerry Stoker. Theo ry and Methods in Political Science. London: MacMillan Press. Saito, Fumihiko. 2008. “Decentralization and Lo cal Governance: Introduction and OverView”, dalam Fumihiko Saito (Ed.), Foundations for
Local Governance: Decentralization in Com parative Perspective. Heidelberg: PhysicaVerlag. Shah, Anwar dan Sana Shah. 2006. “The New Vision of Local Governance and the Evolving Roles of Local Govemments,” dalam Anwar Shah (Ed.).
Local Governance in Developing Countries. Washington: The World Bank. Surat K abar dan W ebsite Antara. 2009. “Gubernur Diminta Selesaikan Konflik di Pamekasan,” [online] dalam http://www.antarajatim.com/lihat/cetak/21474, [diakses 14 Januari 2010].
Relasi Kekuasaan Gubernur ... | Mardyanto Wahyu Tryatmoko | 125
PELAKSANAAN PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI DAN HAM DI ASEAN: STUDI KASUS KAMBOJA, LAOS, MYANMAR, DAN VIETNAM* IMPLEMENTATION OF DEMOCRACY AND HUMAN RIGHTS PRINCIPLESIN ASEAN: CASE STUDY IN CAMBODIA, LAOS, MYANMAR, AND VIETNAM Lidya Christin Sinaga Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 7 Februari 2013; direvisi: 14 Maret 2013; disetujui: 20 Juni 2013 Abstract
ASEAN has committed to strengthening democracy, promoting good governance and the rule oflaw, promoting andprotecting human rights as well as fundamentalfreedoms, as enshrined in the ASEAN Charter. Nevertheless, the implementation of democratic practices, good governance, rule o f law, and protection o f human rights in the ASEAN region is not easy to be implemented, especially in Cambodia, Laos, Myanmar, and Vietnam, related to their political system that tends to be authoritarian. Keywords : ASEAN, democracy, human rights
Abstrak ASEAN telah berkomitmen untuk memperkuat demokrasi, memajukan tata kelola pemerintahan, dan penegakan hukum serta mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, sebagaimana termaktub dalam Piagam ASEAN. Namun, praktik-praktik pelaksanaan demokrasi, tata kelola pemerintahan, penegakan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia di kawasan ASEAN tidaklah mudah untuk dilaksanakan, khususnya di Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam, terkait dengan sistem politik mereka yang cenderung masih otoriter. Kata kunci: ASEAN, demokrasi, hak asasi manusia
Pendahuluan Penandatanganan Piagam ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) XIII ASEAN di Singapura tanggal 20 November 2007 merupakan suatu lompatan besar yang baru bagi ASEAN. Dengan ditandatanganinya piagam tersebut, asosiasi regional ini memasuki babak baru se bagai organisasi yang memiliki landasan hukum
yang lebih mengikat. Lepas dari kelemahan dan kelebihannya, piagam tersebut disepakati menjadi landasan hukum dan diharapkan dapat menguatkan posisi ASEAN, tidak hanya untuk kepentingan internal ASEAN, tetapi juga di dunia internasional. ASEAN telah berkomitmen untuk mem perkuat demokrasi, memajukan tata kelola peme
*Penelitian dengan judul tersebut dilakukan oleh tim penelitian yang beranggotakan Lidya Christin Sinaga (Koordinator), Adriana Elisabeth, Khanisa, Riefqi Muna, Tri Nuke Pudjiastuti, Ratna Shofi Inayati, C.P.F Luhulima.
Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Demokrasi... | Lidya Christin Sinaga | 127
rintahan dan penegakan hukum, mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia (HAM) serta kebebasan fundamental, sebagaimana termaktub dalam Piagam ASEAN. Namun, praktik-praktik pelaksanaan demokrasi, tata kelola pemerintahan, penegakan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) di kawasan ASEAN tidaklah mudah untuk diimplementasikan. Penelitian ini merupakan salah satu rang kaian dari penelitian selama empat tahun yang telah dimulai sejak tahun 2010 dengan fokus pada pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM di ASEAN. Sejak tahun 2010, tim peneliti membagi kesepuluh negara ASEAN ke dalam tiga kelompok besar dengan menganalisis sistem politik, kelembagaan HAM, dan isu-isu HAM yang terjadi di masing-masing negara. Kelompok negara pertama adalah Indonesia, Filipina, dan Thailand; kedua, Singapura, M alaysia, dan Brunei Darussalam; dan ketiga, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam (KLMV). Merujuk pada Deklarasi Warsawa 2000 ( World Forum on Democracy) yang menjadi acuan dalam penelitian ini, hasil penelitian pada tahun 2010 menunjukkan bahwa pelak sanaan prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia, Filipina, dan Thailand cenderung menurun atau secara umum terjadi defisit demokrasi. Padahal, Indonesia, Filipina, dan Thailand merupakan negara-negara di ASEAN yang paling maju dalam kehidupan demokrasinya, bahkan mereka juga dianggap tidak akan mengalami kesulitan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Piagam ASEAN. Dalam banyak hal, ketiga negara itu telah melangkah lebih jauh, tetapi mereka masih menghadapi masalah tata kelola pemerintahan yang buruk (bad governance) terkait dengan lem ahnya penegakan hukum dan m asalah pelanggaran HAM yang serius. Ketiga negara ini masih menghadapi maraknya kasus-kasus kekerasan politik, baik yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemilu, ketegangan/konflik dalam pengelolaan lahan dan sumber daya alam, masalah kemiskinan, maupun pengang guran. Benang merah dari tantangan praktik demokrasi dan HAM di ketiga negara ASEAN ini adalah belum mampunya negara mengatasi
atau memutus siklus kekerasan politik di negara masing-masing. Penelitian tahun 2011 difokuskan pada pelaksanaan demokrasi dan HAM di Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura. Secara umum, ketiga negara menjalankan prinsipprinsip demokrasi, terutama dalam memenuhi kesejahteraan ekonomi masyarakat. Kondisi ekonomi yang positif di ketiga negara terbukti dengan angka penduduk miskin dan pengang guran yang lebih rendah dibandingkan Indonesia atau Filipina. Capaian lain dalam aspek ekonomi adalah adanya jaminan kebebasan berusaha secara sosial-ekonomi berdasarkan regulasi/ peraturan perdagangan dan investasi yang lebih transparan serta didukung oleh penegakan hukum secara tegas. Namun, ketiga negara itu tidak memberikan kebebasan politik kepada masyara kat, seperti kebebasan beragama, kebebasan dari penyiksaan, kebebasan berbicara, dan masih adanya diskriminasi. Dengan kata lain, praktik demokrasi di Brunei, Malaysia, dan Singapura tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dalam Deklarasi Warsawa karena otoritas pemerintah dibangun bukan atas kehendak rakyat, melainkan karena kekuasaan pemerintah yang cenderung ab solut. Ketiga negara sama-sama mengutamakan pemajuan hak-hak sosial-ekonomi dibandingkan hak sosial-politiknya atau “economy first, dem ocracy la ter”. Pertum buhan ekonomi ketiganya tidak serta merta membawa kepada keterbukaan, kebebasan, dan dilaksanakannya demokrasi. Realitas di ketiga negara ASEAN ini menunjukkan kelemahan teori modernisasi yang berasumsi bahwa pertumbuhan ekonomi akan menghantarkan kepada demokrasi karena hal ini tidak terbukti di Malaysia, Singapura, dan apalagi di Brunei Darussalam yang menerapkan sistem kerajaan. Kasus Kam boja, M yanmar, Laos, dan Vietnam yang menjadi fokus penelitian pada tahun 2012 menjadi menarik untuk dibahas karena di antara negara-negara ASEAN, keempat negara tersebut memiliki kesamaan dalam sistem pemerintahan yang cenderung masih otoriter. KLMV merupakan kelompok negara anggota ASEAN yang baru bergabung setelah tahun 1990-an. Sebut saja Kamboja baru bergabung di ASEAN pada tanggal 30 April 1999, Laos pada
128 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 127-142
tanggal 23 Juli 1997, Myanmar pada tanggal 23 Juli 1997, dan Vietnam pada tanggal 28 Juli 1995. Secara ekonomi, keempat negara tersebut masih tergolong negara dengan tingkat ekonomi yang kurang maju dengan Gross Domestic Product (GDP) per kapita yang masih rendah dan angka garis kemiskinan nasional yang masih tinggi. Keempat negara tersebut secara umum juga mempunyai permasalahan terkait pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi dan pelanggaran HAM pada levelnya masing-masing. Baik Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam hingga saat ini masih mempraktikkan sistem pemerintahan yang otoriter, walaupun dengan tingkat yang berbeda-beda. Laos dan Vietnam masih di dominasi oleh kekuasaan partai tunggal, yaitu Partai Komunis. Kamboja di bawah Hun Sen juga menunjukkan praktik dominasi kekuasaan eksekutif. Ia menguasai seluruh sistem seraya tetap mempertahankan institusi demokratik. Myanmar telah menunjukkan perubahan dengan memasuki masa pasca-otoriter. Dengan kondisi politik domestik yang demikian, pada saat yang sama keempat negara ini telah menandatangani dan meratifikasi Pia gam ASEAN pada tahun 2008. Bagaimana keempat negara ini menyesuaikan diri dengan mandat Piagam ASEAN dan Deklarasi Warsawa untuk memperkuat demokrasi, memajukan tata kelola pemerintahan, dan penegakan hukum serta mempromosikan dan melindungi HAM serta kebebasan fundamental, menjadi pokok pembahasan utama dalam penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis sejauh mana ASEAN berfungsi dan berperan dalam memenga ruhi pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM di keempat negara melalui lembaga HAM yang dibentuknya serta bagaimana non-state actors dari keempat negara ini berperan dan berfungsi dalam memengaruhi dan mendesak pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM di masing-masing negara.
Demokrasi dan HAM di ASEAN Demokrasi dan HAM bukanlah hal yang baru bagi negara-negara ASEAN. Secara regional, penghormatan terhadap HAM dan kebebasan sebagaimana dituliskan dalam Deklarasi Wina telah menjadi kesepakatan pada ASEAN Ministe-
rial Meeting (AMM) ke-21 di Singapura bulan Juli 1993.1 Selain itu, dengan memperhatikan hak-hak seperti tertuang dalam hak International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICECOSOC) dan International Covenant on Civil and P olitical Rights (ICCIPOR), negara-negara ASEAN menekankan perlunya keseimbangan antara hak-hak politik individu dan hak-hak lain dari sisi ekonomi dan sosial yang terus diperjuangkan. Sejak itu dapat dirasakan hampir di setiap pertemuan, ASEAN cenderung mempertimbang kan persoalan HAM. Hal ini dapat dilihat pada deklarasi-deklarasi ASEAN yang selalu memuat pentingnya menjunjung tinggi HAM, seperti pada ASEAN Vision 2020 (1997), The Hanoi Plan o f Action 1999-2004 (1998), The Declaration o f ASEANConcordII(Bali Concordll) (2003), dan The Vientiane Action Programme (2004-2010). Intinya adalah bagaim ana m engupayakan kesejahteraan dan menjunjung tinggi HAM serta informasi yang terkait dengan pelaksanaan HAM di negara masing-masing, khususnya bagi kaum minoritas serta perlindungan terhadap wanita dan anak-anak. Namun, semua upaya deklarasi, program, dan action plan belum dapat dilaksanakan.12* Prinsip-prinsip demokrasi di negara-negara Asia Tenggara dipandang secara beragam dan tidak dapat dilepaskan dari perkem bangan pembangunan ekonomi dan politik di negara masing-masing. Ada tiga negara yang dianggap sudah atau “mencapai” demokrasi, yaitu Indone sia, Thailand, dan Filipina. Lalu ada tiga negara lagi yang lebih menekankan pada pembangunan ekonomi (economy first), yaitu Brunei Darus salam, Malaysia, dan Singapura. Ketiga negara ini cenderung ragu-ragu untuk mengembangkan demokrasi politik karena khawatir jika hal itu 1Hal itu tidak lepas dari adanya perubahan peta politik inter nasional yang ditandai dengan berakhirnya Perang Dingin dan adanya Konferensi Dunia tentang HAM di Wina, Austria pada bulan Juni 1993, yang dihadiri oleh perwakilan 171 negara di dunia. Konferensi tersebut mendeklarasikan Deklarasi Wina dan Action Program untuk perlindungan atas segala bentuk HAM. Kedua peristiwa di atas telah mengantar ASEAN mulai memikirkan tentang HAM. 2 Tri Nuke Pudjiastuti, “Implementasi Prinsip-Prinsip De mokrasi dan HAM di ASEAN: Tinjauan Umum”, dalam Lidya Christin Sinaga (Ed.), Pelaksanaan Demokrasi dan HAM di ASEAN: Studi Kasus di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam, (LIPI Press: Jakarta, 2012), hlm. 2-3.
Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Demokrasi... | Lidya Christin Sinaga | 129
ditekankan maka ekonomi akan dinomorduakan dan tingkat hidup yang sudah mereka nikmati saat ini menjadi hilang. Empat negara terakhir, yaitu Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam, menjadi pertanyaan menarik ketika menempatkannya dalam kategori demokrasi mengingat sistem politik yang dianut keempatnya cenderung masih otoriter. Meskipun pada dasarnya, baik Kamboja, Laos, Myanmar, maupun Vietnam telah meratifikasi Piagam ASEAN dengan komit men memajukan demokrasi, HAM, tata kelola pemerintahan yang baik, dan penegakan hukum. Di samping itu, Piagam ASEAN sendiri pada dasarnya tidak memuat karakteristik demokrasi dan HAM yang ingin dicapai. Demokrasi adalah sebuah sistem yang tidak berdimensi tunggal, namun mencakup berbagai aspek yang saling melengkapi dari prinsip-prinsip dan operasionalisasinya. Penghormatan atas HAM tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan demokrasi. Keduanya bukan saja komplemen, tetapi juga menjadi satu kesatuan (convergence). Demokrasi di sini tidaklah semata-mata masalah institusi politik, seperti pemilihan umum, partai, ataupun parlemen, tetapi suatu prinsip dasar atau disebut dengan istilah regulative ideal? Demokrasi dimaknai sebagai pandangan hidup bagaimana suatu masyarakat diatur dan ditata. Oleh karena itu, secara konseptual, demokrasi tidak hanya terkait dengan bentuk-bentuk institusi, aturan, dan proses ketentuan politik, seperti adanya partisipasi dari masyarakat dalam memilih pemimpin dan struktur pemerintahan, tetapi juga soal organisasi budaya, sosial, dan ekonomi yang ikut memengaruhi dan menentu kan kualitas hidup masyarakat banyak. Dalam demokrasi terkandung prinsip HAM dan penegakan hukum sebagai bagian yang tidak terpisahkan, dan bukan hanya dalam pengertian demokrasi prosedural. Sementara itu, hak atas perlindungan manusia {human security) pada dasarnya m erupakan hal yang vital dalam dem okrasi terk ait dengan HAM. N am un, tanpa adanya legitimasi dan cara yang efektif dalam peaceful settlement o f civil disputes dan 3 David Beetham, “Democracy and Human Rights: Contrast and Convergence”, makalah dipresentasikan dalam Seminar on Interdependency between Democracy and Human Rights, yang diselenggarakan oleh The High Commissioner for Human Rights di Jenewa, 25-26 November 2002.
enforcement o f criminal justice dengan hukum yang berlaku, hal itu menjadi seperti tidak adanya social cohesion yang dapat menata ma syarakat secara berkelanjutan. Untuk itu, HAM, kebebasan, dan tanggung jawab pada dasarnya merupakan prinsip dasar dalam demokrasi dan diformulasikan secara legal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, untuk mempertegas makna demokrasi dan HAM, kajian ini menggunakan Deklarasi Warsawa 2000 yang mencakup nilainilai serta aspek-aspek demokrasi dan pelak sanaannya, term asuk diterapkannya HAM serta aturan dan penegakan hukum (rule oflaw) sebagai parameter untuk melihat bagaimana perkembangan demokrasi dan HAM di ASEAN. Deklarasi Warsawa sendiri ditandatangani oleh tiga menteri luar negeri atau pejabat dari tiga negara ASEAN, yaitu Indonesia, Filipina, dan Thailand dalam Ministerial Conference Toward a Community o f Democracies di Warsawa, Polandia, 27 Juni 2000. Deklarasi Warsawa memberikan kerangka yang komprehensif untuk tidak terjerat pada pengertian dan klaim bahwa dengan melakukan demokrasi prosedural, suatu negara dianggap atau diklaim oleh penguasa telah berdemokrasi. Dengan demikian, kajian ini mencoba meletakkan demokrasi ke dalam kerangka pemahaman yang komprehensif.4 Deklarasi Warsawa menegaskan prinsipprinsip demokrasi yang mencakup 19 aspek:5 1) Kehendak rakyat harus menj adi dasar kekua saan pemerintah, melalui pelaksanaan tugas yang tepat dan warga negara sipil memilih wakil-wakil mereka secara teratur melalui pemilu yang bebas dan adil dengan hak pilih yang universal dan sama, terbuka un tuk semua pihak, dilakukan secara rahasia, dipantau oleh otoritas pemilu yang indepen den, dan bebas dari penipuan dan intimidasi. 2) Hak setiap orang untuk mendapatkan akses yang sama ke layanan publik dan untuk mengambil bagian dalam urusan publik 4 Riefqi Muna dalam Lidya Christin Sinaga (Ed.), Pelaksa naan Demokrasi dan H AM di ASEAN: Studi Kasus di Brunei Darussalam, Malaysia, dan Brunei Darussalam, (P2P LIPI: Jakarta, 2011). 5Teks tersebut di bawah diterjemahkan secara bebas dari Toward a Community o f Democracies. Ministerial Conference. Final Warsaw Declaration. Warsaw, Poland, 2 7 Juni 2000.
130 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 127-142
secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
tidak bersalah sampai terbukti bersalah di pengadilan hukum.
3) Hak setiap orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal nasional atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
12) Bahwa hak-hak tersebut, yang penting untuk partisipasi penuh dan efektif dalam suatu ma syarakat demokratis, harus ditegakkan oleh peradilan yang kompeten, independen dan tidak memihak, dan terbuka untuk umum, didirikan dan dilindungi oleh hukum.
4) Hak setiap orang atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk bertukar dan menerima ide dan informasi melalui media apapun tanpa batas. 5) Hak setiap orang atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama. 6) Hak setiap orang untuk mendapatkan akses yang sama atas pendidikan. 7) Hak pers untuk mengumpulkan, melaporkan, dan menyebarluaskan informasi, berita, dan opini, tunduk hanya pada pembatasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis dan ditentukan oleh hukum dan praktikpraktik internasional yang berkembang di bidang ini. 8) Hak setiap orang untuk m enghorm ati kehidupan pribadi keluarga, rumah, dan cara-cara berkomunikasi, termasuk komu nikasi elektronik, bebas dari campur tangan sewenang-wenang atau melanggar hukum. 9) Hak setiap orang atas kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat, termasuk untuk membentuk atau bergabung dengan partai politik mereka sendiri, kelompok-kelompok sipil, serikat buruh atau organisasi lainnya dengan jaminan hukum yang diperlukan untuk memungkinkan mereka beroperasi secara bebas atas dasar perlakuan yang sama di hadapan hukum. 10) Hak kelompok minoritas atau kelompok yang kurang beruntung untuk perlindungan hukum yang sama dan kebebasan untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menganut dan menjalankan agama mereka sendiri, dan menggunakan bahasa mereka sendiri. 11) Hak setiap orang untuk bebas dari penang kapan sewenang-wenang atau penahanan; untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman lainnya, dan untuk menerima proses hukum, termasuk untuk dianggap
13) Bahwa pemimpin terpilih menjunjung tinggi hukum dan fungsi secara ketat sesuai dengan konstitusi negara yang bersangkutan dan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. 14) Hak orang-orang yang terpilih untuk mem bentuk pemerintahan, memangku jabatan, dan memenuhi masa jabatan sebagaimana ditetapkan secara hukum. 15) Kewajiban pemerintah yang dipilih untuk menahan diri dari tindakan ekstra-konstitusional, untuk memungkinkan penyeleng garaan pemilihan umum secara berkala dan menghormati hasilnya, dan melepaskan kekuasaan tersebut ketika mandat berakhir secara hukum. 16) Bahwa institusi pemerintah harus transparan, partisipatif, dan sepenuhnya bertanggung jawab kepada warga negara dan mengambil langkah-langkah untuk memerangi korupsi karena korupsi merusak demokrasi. 17) Bahwa legislatif akan terpilih secara transpa ran dan bertanggung jawab kepada rakyat. 18) Bahwa kontrol sipil demokratis atas militer harus dibentuk dan dilestarikan. 19) Bahwa semua hak asasi manusia, baik sipil, budaya, ekonomi, politik, maupun sosial, akan dipromosikan dan dilindungi se bagaimana diatur dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia serta instrumen hak asasi manusia lainnya yang relevan. Pada tahun 2012 ini kita melihat bahwa sistem sosial-politik keempat negara memang tidak menganut demokrasi, namun yang menjadi penekanan adalah bagaimana prinsip-prinsip demokrasi itu diinterpretasikan oleh keempat negara ini. Hal ini tentu tidak lepas dari dinamika politik negara masing-masing. Terkait dengan implementasi prinsip-prinsip demokrasi dan HAM di ASEAN, meskipun Piagam ASEAN mencakup promoting andprotecting human rights, kegiatan yang diajukan
Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Demokrasi... | Lidya Christin Sinaga | 131
dalam cetak birunya hanya sebatas promoting, belum ada mekanisme yang jelas mengenai cara-cara melindungi HAM secara regional. Oleh karena itu, pada KTT XV ASEAN di Thailand tahun 2009, ASEAN membentuk the ASEAN Intergovernm ental Commission on Human Rights!A lO A R ).6 Pembentukan Badan HAM ASEAN ini sesuai dengan artikel 14 Piagam ASEAN: “In conformity with the purposes and principles o f the ASEAN Charter relating to the promoting and protection o f human rights and fundamental freedoms, ASEAN shall establish an ASEAN human rights body”.
Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam, dalam banyak kasus berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, Filipina, dan Thailand. Perbedaan itu antara lain pada persoalan kebebasan berpendapat yang masih banyak dibatasi di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Demikian pula menjadi sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam yang menjadi fokus penelitian tahun 2012. Isu suku minoritas mengemuka di keempat negara ini dan mobilitasnya menjadi perhatian internasional.
Meskipun demikian, persoalan demokrasi dan HAM masih merupakan ganjalan di ber bagai negara Asia Tenggara. Demokrasi belum dipahami sebagai suatu kekuatan untuk pengem bangan kesetaraan, keadilan, kebebasan sipil, dan hak asasi manusia. Prinsip-prinsip demokrasi di negara-negara Asia Tenggara yang dipandang secara beragam ini tidak dapat dilepaskan dari perkem bangan pembangunan ekonomi dan politik di masing-masing negara serta nilai-nilai yang berkembang di negara tersebut. Pelanggaran HAM banyak sekali terjadi di hampir semua negara ASEAN. Meskipun tingkat dan jenis pelanggarannya berbeda-beda, hal itu menunjuk kan bahwa HAM belumlah dilihat sebagai nilai yang universal. Di dalam Piagam ASEAN, HAM ditempatkan sebagai masalah khusus pada Pasal 1 dan 2, di bawah kedaulatan dan prinsip nonintervensi. Padahal, HAM merupakan prinsip dasar ASEAN dan sudah seharusnya merupakan bagian integral dari semua kegiatan ASEAN.
Demokrasi dan HAM di Empat Negara
Benih demokrasi Kamboja sebenarnya telah ada sebelum Kamboja memperoleh kemerdekaan penuh dari Prancis tahun 1953. Norodom Sihanouk yang dipilih oleh pemerintah kolonial Prancis menjadi Raja pada tahun 1941 telah mempunyai hasrat akan demokrasi. Partai politik mulai terbentuk pada 1946, diikuti pemilihan umum pertama Majelis Nasional pada bulan Desember 1947 yang diikuti tiga partai, yaitu Democrat Party, Democratic Progressive Party, dan Liberal Party. Konstitusi 1947 mengakui institusi p olitik seperti M ajelis N asional, Pengadilan, dan Pemerintah Kerajaan. Konsti tusi 1947 yang merupakan konstitusi pertama Kamboja ini juga mencakup prinsip-prinsip liberal terkait hak-hak politik dan kebebasan fundamental serta perlindungan terhadap hak milik pribadi di bidang ekonomi dan sosial.7
Persoalan demokrasi dan HAM di ASEAN dewasa ini sangat kompleks dan luas cakupannya. Namun dari beragam persoalan yang terjadi, dapat ditarik benang merah menjadi beberapa isu utama yang terkait pada kebebasan berekspresi, suku-suku minoritas dan diskriminasi atas etnis dan agama, labelling separatisme, kemiskinan, dan korupsi/kekerasan struktural. Isu satu ke isu lainnya mempunyai level persoalan yang berbeda-beda. Demikian pula, dari satu isu yang terjadi di satu negara dengan negara lain nya mempunyai intensitas yang berbeda pula. Prinsip-prinsip demokrasi yang berkembang di
Namun dalam perkembangannya, Sihanouk justru terperangkap dalam jerat otoritarianisme dan berlanjut pada rezim -rezim pem erin tahan setelahnya, yaitu Jenderal Lon Nol (1970-1975), Pol Pot (1975-1979), dan Heng Samrin (1979-1989). Perjanjian Damai Paris, 23 Oktober 1991, menjadi tonggak berakhirnya perang saudara yang telah berlangsung selama 13 tahun di Kamboja, sekaligus menjadi awal transformasi Kamboja menjadi sebuah negara demokrasi. Diawali dengan pemerintahan se mentara PBB (United Nations Transitional Authority in Cambodia/UNTAC), Kamboja
6 “Cha-am Hua Hin Declaration on the Intergovernmental Commission on Human Rights”, Hasil I5'h ASEAN Summit di Cha-am Hua Hin-Thailand, 23 Oktober 2009.
7 Sorpong Peou, Intervention and Change in Cambodia Towards Democracy, (ISEAS: Singapore, 2000), hlm. 40-42.
1. Kamboja
132 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 127-142
kemudian melakukan pemilihan umum yang per tama pada bulan Mei 1993 dan diikuti 20 partai politik. Pemilu ini menghasilkan kemenangan tipis bagi FUNCINPEC pimpinan Norodom Sihanouk. Namun, Cambodian People's Party (CPP) di bawah Hun Sen mempermasalahkan hasil pemilu ini dan mengancam akan membagi negara menjadi dua jika mereka tidak diberikan kekuasaan. Pada tanggal 21 September 1993, konstitusi baru diresmikan yang menjadikan Kamboja sebagai m onarki konstitusional, “Cambodia is a Kingdom with a King who shall rule according to the Constitution and to the principles o f liberal democracy and pluralism” (Pasal 1), dengan Sihanouk sebagai Raja, Ranaridh menjadi Perdana Menteri I, dan Hun Sen sebagai Perdana Menteri II. Dalam perkembangannya, transformasi menuju demokrasi sebagaimana yang diharapkan dalam konstitusi 1993 tidak serta merta membawa Kamboja menjadi sebuah negara demokrasi. Kamboja justru terperangkap dalam suasana politik domestik yang didominasi Hun Sen dan partainya, CPP, salah satu hal yang akhirnya menyebabkan tertundanya keanggotaan Kamboja di ASEAN pada paruh tahun 1990-an. Meskipun Konstitusi 1993 telah menetapkan bahwa Kam boja adalah negara monarki konstitusional yang demokratis, dalam praktiknya Kamboja masih menggunakan pendekatan otoritarianisme di bawah kepemimpinan Hun Sen yang dikenal dengan Strongman o f Cambodia. Dominasi Hun Sen terus berlanjut hingga saat ini yang bukan hanya menyebabkan distorsi dalam pelaksanaan demokrasi, melainkan juga pada penegakan HAM di Kamboja. Di satu sisi, Konstitusi 1993 pada dasarnya telah m em berikan wadah yang je las bagi tumbuhnya institusi-institusi demokratis di Kam boja, namun tidak dalam aspek kepemimpinan. Kamboja memiliki Majelis Nasional, Senat, Pemerintah Kerajaan, dan Pengadilan. Konstitusi mengamanatkan pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebagai se buah monarki konstitusional, yaitu Raja sebagai kepala negara dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan, konstitusi Kamboja sangat menekankan pada peran Raja dan membuat se olah monarki adalah sebuah institusi yang sangat
kuat.8Sementara itu, aturan terkait posisi perdana menteri tidak terlihat secara jelas, bahkan masa jabatan perdana menteri tidak disebutkan dalam konstitusi. Hal ini tentu menjadi salah satu alasan mengapa Hun Sen bisa bertahan sejak tahun 1985, ketika ia terpilih menjadi perdana menteri termuda dalam usia 33 tahun, kecuali dalam periode singkat 1993-1997 (ketika ia menjadi perdana menteri kedua mendampingi Ranariddh). Setelah tahun 1997, Hun Sen kembali ke tampuk kekuasaan sebagai perdana menteri hingga kini. Di sisi lain, Konstitusi 1993 juga memberi kan wadah yang jelas bagi hak dan kewajiban warga negaranya, namun sayangnya, hal ini hanya berlaku bagi bangsa Khmer. Konstitusi menggunakan Khmer Citizens dalam setiap pasal mengenai hak dan kewajiban warga negaranya. Pasal 32, misalnya, menyatakan “Every Khmer Citizen shall have the right to life, personalfreedom, and security”. Hal ini tentu mengarah pada diskriminasi, pasalnya, masih ada ras lain selain Khmer di Kamboja. Konstitusi Kamboja masih secara eksplisit menyangkal hak-hak 10% dari populasi yang bukan kelompok etnis mayoritas Khmer. Sebagaimana diketahui, kelompok etnis di Kamboja terdiri atas orang Khmer (90%), Viet nam (5%), Cina (1%), lainnya (4%).9 Persoalan HAM yang dihadapi Kamboja saat ini sebenarnya bersumber dari dua kondisi utama ini. Pertama, dominasi Hun Sen dan partai serta upayanya untuk melanggengkan kekuasaan menyebabkan kekerasan politik tidak terhindarkan, termasuk terhadap kebebasan pers, oposisi, dan kelompok masyarakat sipil. Kedua, interpretasi HAM yang diskriminatif dalam Konstitusi 1993 menyebab kan masalah HAM terutama terkait kepemilikan lahan dan kewarganegaraan. Pejuang HAM lokal menjadi target dari badan penegakan hukum terkait pengusiran paksa dan perselisihan lahan, baik di kota maupun di desa. Sekurangnya 15 aktivis ditahan selama tahun 2006.10 8 Sorpong Peou, “Cambodia”, dalam Rodolfo C. Severino, Southeast Asia in a New Era Ten Countries, One Region is ASEAN (ISEAS: Singapore, 2010), hlm. 58. ’ Sovarma Sek, “Violence, Exploitation, and Migration Affecting Women and Children in Cambodia: A Base-line Study” maka lah dipresentasikan dalam Regional Conference on Violence, Exploitalion, and Migration Affecting Women and Children in ASEAN The Launching o f Human Rights Resource Centre Baseline Study, The Crowne Plaza Hotel, Jakarta, 30 Mei 2012. 10Amnesty International, Amnesty International Report 2007
Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Demokrasi... | Lidya Christin Sinaga | 133
Kamboja seharusnya bisa lebih optimal dengan demokrasi karena pada dasarnya ia sudah memiliki institusi demokrasi berdasarkan Trias Politica dan elemen-elemen demokrasi lainnya, seperti pemilu dan partai politik. Namun, political figure Hun Sen masih sangat kuat di Kamboja. Hal ini ditambah dengan kemampuan Hun Sen memanfaatkan institusi demokrasi untuk melanggengkan kekuasaannya sehingga dari segi institusi, sulit untuk menyerang Hun Sen. Amandemen konstitusi yang dilakukan tahun 2006, misalnya, menetapkan bahwa sebuah partai politik yang mendapatkan lebih dari 50% suara dalam sebuah pemilihan diperbolehkan untuk membentuk pemerintahan, menggantikan peraturan sebelumnya yang mensyaratkan dua per tiga suara. Hal ini tak lain adalah upaya melanggengkan kekuasaan Hun Sen di Kamboja, terutama bila melihat hasil pemilihan di tingkat komune pada tahun 2012 ini yang kembali dimenangkan oleh CPP. Apalagi bila mengingat ucapan Hun Sen di tahun 2009 yang menyatakan “7/7 am still alive, I will continue to stand as candidate until I am 90”.11 Bagaimanapun juga, Hun Sen dan CPP masih menjadi faktor penentu masa depan demokrasi dan penegakan HAM di Kamboja, dan sudah tentu masa depan demokrasi dan HAM di ASEAN secara keseluruhan. Dibandingkan ketiga negara KLMV lainnya, Kamboja merupakan negara yang paling terakhir bergabung ke ASEAN. Meskipun pada dasarnya, sejarah Kamboja bersama ASEAN telah ada jauh sebelum Kamboja bergabung ke ASEAN, terutama selama invasi Vietnam ke Kamboja pada akhir tahun 1970-an. Sejumlah upaya dilakukan ASEAN untuk menekan Vietnam, termasuk upaya-upaya dialog yang akhirnya berujung pada penandatanganan Perjanjian Damai Paris 1991. Sejarah panjang K am boja bersam a ASEAN, terutama selama invasi Vietnam sudah seharusnya menjadi dasar penting bagi Kamboja untuk mengembangkan hubungannya dengan kawasan ini dan cita-cita bersama ASEAN untuk perwujudan demokrasi dan HAM. Kamboja dalam bentuk yang sekarang adalah berkat ASEAN, khususnya Indonesia, lewat serangkaian upaya perundingan dan tekanan yang dilakukan
terhadap Vietnam. Jika Vietnam tidak berhasil diusir keluar dari Kamboja oleh ASEAN, hampir dapat dipastikan Kamboja tidak akan mencapai bentuknya seperti sekarang. 2. Laos Dinamika politik dan ekonomi yang terjadi di Laos secara umum menunjukkan bahwa negeri landlocked ini semakin terintegrasi ke dalam lingkungan regional dan internasional. Kecenderungan itu merupakan konsekuensi dari perluasan keanggotaan ASEAN dan program pem bangunan di K aw asan M ekong Raya (Greater Mekong Subregion/GMS). Dinamika proyek GMS serta konektivitas ASEAN turut membantu terbukanya Laos dari daratan yang tertutup (landlocked) menjadi daratan yang terhubungkan (land-linked)'2 dengan wilayah sekitarnya dan dunia internasional. Selain itu, dinamika proyek wilayah Mekong yang mem bantu pembangunan sektor-sektor strategis telah turut memberikan fondasi bagi pengembangan infrastruktur dan ekonomi Laos untuk lebih berperan secara ekonomi di subkawasannya.*123 Laos, yang nama resminya adalah Lao P eople D em ocratic R epublic (Lao-PD R ) merupakan salah satu rezim komunis yang tersisa di bawah sistem satu partai di bawah The Lao People’s Revolutionary Party (LPRP). LPRP dengan ideologi politik Leninis merupakan partai yang tertutup dan memiliki otoritas tunggal atas pemerintah dan masyarakat Laos. LPRP sampai saat ini dipercaya masih memiliki kontrol kekua saan yang kokoh. Walaupun faksi-faksi diakui keberadaannya, yaitu antara kelompok reformis dan konservatif, namun Partai Revolusioner tetap bersatu melawan segala bentuk perubahan yang fundamental ataupun upaya untuk demokratisasi. Indeks Demokrasi 2011 dari Economist Intelligence Unit menempatkan Laos pada peringkat 156 dari 167 negara.14*Hal ini berarti bahwa Laos berstatus sama dengan negara-negara yang dianggap sebagai rezim “otoriter”. LPRP 12Geoffrey C. Gunn, “Laos in 2007: Regional Integration and International Fallout”, Asian Survey, Vol. 48, 2008, hlm. 63.
(UK: Peter Benenson House, 2007), hlm. 77.
13 Asian Development Bank, Greater Mekong Subregion: Twenty Years ofPartnership, (Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank, 2012), hlm. 6.
11Southeast Asia 2009-2010, (ISEAS: Singapore, 2009), hlm. 23.
'4E1UDemocracy Index 2012: Democracy Under-Stress, (Lon don, Economist Intelligence Unit, 2012), hlm. 15.
134 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 127-142
adalah satu-satunya partai politik sah di negara ini. Kekuasaan politik berada pada 11 anggota politbiro partai dan 55 anggota komite pusat. Pemilihan anggota parlemen diadakan setiap lima tahun, tetapi hanya para kandidat yang sudah terlebih dahulu disetujui oleh Lao Front fo r National Reconstruction (sebuah organisasi massa pro-LPRP) yang memenuhi syarat untuk dipilih. Amandemen konstitusi yang disahkan pada tahun 2003 memberikan parlemen hak untuk memberhentikan perdana menteri dan ang gota pemerintah. Meskipun demikian, legislatif tetap tunduk kepada partai yang berkuasa.15 Sistem politik yang tetap mempertahankan otoriterisme partai tunggal seperti Laos ini me nyebabkan tidak adanya mang gerak yang leluasa bagi semua warga negara dalam mengemukakan ekspresi publik tanpa khawatir berhadapan dengan penguasa sebagai representasi negara otoriter. Akibatnya, persoalan HAM masih menjadi persoalan yang terus terjadi. Isu me ngenai HAM yang mengemuka terutama terkait dengan kebebasan politik serta konsekuensi yang ditimbulkan atas upaya pembangunan ekonomi yang menyebabkan tergusurnya masyarakat oleh kepentingan modal. Selain itu, juga terdapat masalah manajemen etnis di Laos, termasuk di dalamnya persoalan etnik Hmong yang belum terselesaikan hingga saat ini. Berita mengenai pemecatan terhadap anggota partai komunis yang kritis ataupun laporan tentang hilangnya aktivis HAM seperti yang terjadi di penghujung tahun 2012 menunjukkan bahwa praktik-praktik politik antidemokrasi dan pelanggaran terhadap HAM terus terjadi di Laos. Tidak ada organisasi hak asasi manusia nonpemerintah (LSM) di Laos.16 Persoalan HAM yang senantiasa muncul selain berkaitan dengan konsekuensi perilaku politik otoriter, juga persoalan pengungsi Hmong. Laos merupakan negara multietnik dengan etnis Lao sebagai yang terbesar (60%). Etnik Lao atau Lao Loum atau suku dataran rendah merupakan suku dengan budaya dan peran politik yang dominan di antara etnis utama lain. Atribusi kelompok etnis di Laos juga dikaitkan dengan tempat tinggal mereka, yaitu Lao Loum 15Laos: Country Outlook dalam E1U ViewsWire, 1 Maret 2012. 16Thomas Lum, “Laos: Background and U.S. Relations”, CSR Reportfor Congress, 1 Januari 2008, hlm. 7.
(Orang Dataran Rendah), Lao Theung (Orang Dataran Menengah), dan Lao Soung (Orang Dataran Tinggi). Komposisi etnis Laos adalah Lao 55%, Khmu 11%, Hmong 8%, Vietnam 2%, lainnya (over 100 minor ethnic groups) 26%. Berdasarkan sensus yang dilakukan pada tahun 1995, pemerintah Laos mengakui adanya 149 kelompok etnis di dalam 47 etnis utama17 yang berbicara dalam 82 bahasa komunikasi yang berbeda. Dalam konteks Laos, penggunaan istilah etnik minoritas digunakan untuk menunjuk kepada etnis non-Lao, sedangkan istilah secara resmi indigenous peoples tidak digunakan di Lao-PDR, meskipun istilah tersebut digunakan oleh masyarakat internasional, baik kalangan Non-Govemmental Organization (NGO) maupun pihak donor.18 Suku Hmong mem iliki sejarah politik tersendiri di Laos berkaitan dengan perang Indocina. Mereka dijadikan sebagai kelompok perlawanan terhadap komunisme dan dipersen jatai oleh Amerika Serikat (AS) sebagai mitra strategis bagi AS saat perang Vietnam. Menyusul jatuhnya Laos ke kekuasaan komunis, kira-kira sepertiga dari penduduk minoritas Hmong yang pada tahun 1974 diperkirakan berjumlah 350.000 orang mengungsi ke Thailand dan 130.000 orang berimigrasi ke AS. Persoalan Hmong merupakan salah satu isu HAM yang mengemuka. Peme rintah Laos sampai saat ini tidak mengizinkan suku Hmong untuk membentuk perkumpulan independen atas kegiatan politik, keagamaan, dan perburuhan serta secara tegas membatasi kebebasan berpendapat sebagai warga kelas dua. Masuknya Laos sebagai negara anggota ASEAN bersamaan dengan Vietnam, Kamboja, dan Myanmar telah memberikan makna politik tersendiri bagi Negeri Seribu Gajah (Lan-Xang) tersebut. Apalagi, kesempatan Laos sebagai Chairmanship ASEAN pada tahun 2010 mem berikan catatan sejarah tersendiri bagi kiprah Laos di ASEAN. Namun, keikutsertaan Laos di 17“Lao People’s Democratic Republic: Northern Region Sustainable Livelihoods Development Project”, ADB Indigeneous Peoples Development Plann 'mg Document, Asian Development Bank, Agustus 2006. 18Mengenai etnis dan bahasa Laos dapat dilihat pada “Ethnologue: Languages of Laos ", dalam http://www.ethnologue.com/ show_country.asp?name=LA, diakses pada tanggal 2 Januari 2012. Juga “Lao People’s Democratic Republic: Northern Region Sustainable Livelihoods Development Project”, op.cit.
Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Demokrasi... | Lidya Christin Sinaga | 135
ASEAN sejak tahun 1997 ternyata tidak cukup berpengaruh terhadap keterbukaan politik dalam negerinya. Sementara itu, jika melihat upaya membangun komunitas politik dan keamanan ASEAN (APSC) yang juga menyatakan perlunya penegakan hukum, demokrasi, dan HAM maka sebenarnya perkembangan keterbukaan politik domestik Laos akan menentukan tingkat ke suksesan ASEAN. Oleh karena itu, Laos tetap mempertegas prinsip non-interference sebagai payung untuk melanjutkan sistem politiknya. Dengan dinamika politik dan HAM se perti itu, secara substansial hal ini merupakan tantangan bagi upaya pembentukan komunitas ASEAN. Dalam konteks komunitas politik dan keamanan ASEAN, persoalan demokrasi, HAM, penegakan hukum serta upaya membangun tatanan sosial yang rule-based sebenarnya telah secara jelas digariskan di dalam cetak biru ma syarakat ASEAN 2015. Namun, berlangsungnya prinsip non-interference telah menjadi peng hambat bagi implementasi nilai-nilai universal tersebut ke dalam anggota ASEAN, tak terkecuali Laos. ASEAN yang tidak memiliki mekanisme untuk menerapkan kesepakatan-kesepakatan secara tegas, yaitu karena pelaksanaan atas kesepakatan-kesepakatan ASEAN itu bersifat “sukarela” (voluntary) maka bisa disimpulkan bahwa prospek perkembangan demokrasi dan HAM yang universal menjadi “jauh panggang dari api.”
3. Myanmar
penting bagi negara-negara Asia, khususnya Cina, India, Thailand, Bangladesh, dan Laos. Myanmar sebenarnya merupakan negara yang paling kaya di Asia Tenggara dengan sumber daya alamnya, tetapi sekarang ini menjadi salah satu yang termiskin. Dinamika politik, ekonomi, dan sosial, ter masuk penegakan HAM tidak banyak mengalami perubahan di bawah junta militer Myanmar. Hal itu sebenarnya tidak lepas dari sejarah politik ke amanannya sejak masa prakolonial dan kolonial yang memiliki kaitan erat dengan pembangunan identitas Myanmar. Meskipun peninggalan masa prakolonial tidak banyak memiliki jejak seperti pascaperang Anglo-Burma, masa prakolonial Myanmar yang diperintah oleh tiga dinasti (Dinasti Pagan/Bagan, Dinasti Taunggo, dan Di nasti Konbaung) telah berhasil mempersatukan Myanmar dan mewariskan agama Budha yang kemudian menjadi agama negara sampai saat ini. Young Men ’s Buddhist Association (YMBA) yang menjadi salah satu perintis pergerakan nasional pada tahun 1906, memanfaatkan kebi jakan pemerintah kolonial untuk tidak melarang perkumpulan keagamaan. Kehadiran mereka mendorong terbentuknya Peoples (Socialist) Party pada tahun 1939 yang dipimpin Aung San dan Than Tun dengan tujuan melindungi nilainilai Budhisme, memperjuangkan pendidikan bagi penduduk asli, menyelamatkan reputasi militer Myanmar, dan pembagian hasil pereko nomian yang adil.
Myanmar, yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Burma, merupakan negara dengan total penduduk sekitar 45 juta jiwa dan terdiri atas 135 kelompok etnis yang resmi diakui. Sejak zaman kolonial Inggris, negara Myanmar didesain dengan pengaturan tujuh wilayah (yiri) yang mayoritas dihuni etnis Bamar dan tujuh negara bagian (pyine), yang namanya didasarkan pada kelompok etnis mayoritas yang tinggal di wilayah itu.19Posisi geopolitik Myanmar sangat
Setelah Tatmandaw mengambil alih peme rintahan melalui kudeta di bawah kepemimpinan Jendral Ne Win dan mendirikan Revolutionary Council, sosialisme dikukuhkan sebagai ideologi negara melalui konstitusi tahun 1974. Burma Socialist Programme Party (BSPP) dibentuk sebagai partai tunggal dan Burmese Way To Socialism (BWS) diikrarkan sebagai haluannya. Konstitusi tahun 1974 juga mengubah sistem legislatif dan yudikatif dengan menjadikan ang gota dewan peradilan sebagai anggota legislatif yang berbentuk unikameral.
19 Sebelum Oktober 2010, istilah Region disebut “divisi” (yiri). Adapun 7 region, yaitu Ayeyarwady, Bago, Magway, Mandalay, Sagaing, Tanintharyi, Yangon dan 7 negara bagian, yaitu Chin, Kayin (Karen), Kayah (Karenni), Mon, Rakhine (Arakan), dan Shan. Pembagian tersebut termuat dalam Republik o f the Union of Myanmar, Pasal 49 “Chapter 11. State Structure”, Constitutional o f the Republic o f the Union ofMyanmar, 2008.
S ikap re p re s if D ew an R ev o lu sio n er {Revolutionary Council) terlihat antara lain dari nasionalisasi kegiatan ekonomi, pelarangan oposisi politik, pemantauan langsung badan pendidikan dan kultural serta penutupan diri
136 | Jurnal Penelitian Politik I Volume 10 No. 1 Juni 2013 I 127-142
terhadap pengaruh asing. Selain itu, pada tahun 1974 dibentuk People ’s Assembly (Pyithu Hluttaw) yang menyatukan badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjadi sebuah badan tunggal yang dikuasai B SPP. Pergolakan pada tanggal 8 Agustus 1988, yang dikenal sebagai The 8888 Uprising atau Four-Eights Democracy Movement merupakan sebuah pergerakan mahasiswa yang kemudian diredam pemerintah melalui aksi m iliter yang m engakibatkan jatuhnya sejumlah korban. Tragedi ini menandai jatuhnya pemerintahan sosialis di Myanmar dan digantikan oleh kekuasaan junta militer di bawah koordinasi The State Law Order andReconciliation Council (SLORC), yang pada tahun 1997 berganti nama menjadi State Peace and Development Council (SPDC). Saw Maung menjanjikan awal baru bagi Myanmar yang demokratis di bawah peme rintahan sipil. Perubahan nama Burma menjadi Myanmar serta ibu kota Rangoon menjadi Yangoon dimaksudkan untuk menghapus senti men etnisitas karena nama “Burma” berasal dari nama etnis mayoritas, yaitu Bamar. Rencana untuk pemilu 1990 pun mulai disusun demi memenuhi syarat untuk mengembalikan stabilitas politik. Namun, kemenangan National League fo r Democracy (NLD), partai yang diwakili Suu Kyi, tidak diakui oleh Junta yang kemudian membatalkan hasil pemilu dan mengenakan tahanan rumah bagi Suu Kyi. Masa setelah pemilu 1990 memunculkan Junta Militer dan NLD sebagai dua kubu yang penting dalam perpolitikan Myanmar. Adapun partai-partai lainnya yang kebanyakan berlatar belakang etnis tidak memiliki suara yang ter lalu besar. Tidak berimbangnya posisi itu lebih disebabkan oleh adanya perseteruan kedua belah pihak dan represi dari Junta sendiri. Sebenarnya, upaya menengahi hal ini telah dilakukan, tetapi selalu gagal. Alasan yang melatarbelakanginya adalah pertama, Ne Win masih mengendalikan Junta dari belakang layar; kedua, kekalahan partai yang didukung militer, National Unity Party, dalam pemilu tahun 1990 meninggalkan ketidaksukaan Junta pada NLD; ketiga, dalam pemerintahan Myanmar, kelompok militer yang menentang reformasi lebih kuat dibandingkan dengan yang proreformasi; keempat, oposisi
yang terlalu keras dalam melakukan aksi protes. Meskipun terdapat dukungan dari luar negeri bagi perjuangan NLD untuk demokratisasi Myanmar, pada kenyataannya dukungan itu tidak banyak berpengaruh karena Junta mengisolasi isu-isu yang dianggap berbahaya pada kekuasaan Junta di dalam negeri dengan cukup ketat. Bahkan pada saat tokoh utama NLD, Aung San Suu Kyi, ber hasil mendapatkan penghargaan Nobel, Junta pun masih bergeming. Mereka tidak membebaskan Suu Kyi dari tahanan rumah. Perubahan nama Junta dari SLORC ke State o f Peace and Development Council (SPDC) pada tahun 1997 juga tidak membawa banyak perubahan pada sikap Junta yang keras dan represif. Adapun Road Map o f Democracy yang diumumkan tahun 2003 juga belum menunjukkan adanya tanda-tanda perubahan yang berarti. Demikian pula, konstitusi tahun 2008 sama sekali tidak menyiratkan makna demokrasi, tetapi lebih pada keutamaan SDPC dan Junta. Otoriterisme didukung dengan struktur anggaran negara, yaitu 30% anggaran negara diperuntukkan bagi angkatan bersenjata, sedangkan hanya 3% dan 8% ditujukan bagi kesehatan dan pendidikan. Dalam upaya memaknai prinsip-prinsip demokrasi sebagai unsur utama stabilitas, pelang garan HAM tetap terjadi. Kedudukan militer sangat kuat. Meskipun pembubaran junta pada tahun 2011 telah terjadi, politik pemerintahan domestik Myanmar semenjak tahun 1960-an tidak pemah jauh dari tangan militer. Sementara itu, beberapa pihak lain yang menjadi aktor utama dalam peta perpolitikan Myanmar adalah NLD, kelompok etnis, masyarakat sipil, dan kelompok Budhis. Penangkapan, pembungkaman, dan larangan berkumpul serta berserikat masih diberlakukan untuk melindungi kekuasaan pihak Junta. K ekerasan politik terhadap penduduk non-etnis Bamar menjadi gejala keseharian. Kekerasan semakin terlihat pada bulan Maret 1998 ketika milisi pro-Junta, Democratic Karen Buddhist Army (DKBA), mencoba membakar kamp pengungsi Karen National Union (KNU) di Huay Kaloke (Thailand). Hal itu mengakibatkan ribuan orang lari dan menyelamatkan diri ke dalam hutan. Satu bulan kemudian, Amnesty International membuat laporan yang menyatakan
Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Demokrasi... | Lidya Christin Sinaga | 137
bahwa telah terjadi kemerosotan penegakan HAM di Myanmar, khususnya yang dilakukan oleh kaum milisi pendukung Junta di seluruh wilayah negara bagian Shan yang mengakibatkan Internally Displaced Persons/\D?s di negara bagian itu sebanyak 300 ribu orang, sedangkan yang menjadi pengungsi ke Thailand mencapai 80 ribu orang. Diangkatnya Thein Sein menjadi Presiden Myanmar menggantikan Than Shwe m eru pakan hasil dari kemenangan partainya Union Solidarity and Development Party (USDP). Meskipun mampu membawa kharisma berbeda dari pendahulunya, tetapi kedekatan partai USDP dengan Junta membuat banyak pihak melihat kemenangan partai itu sangat mencurigakan. Partai ini juga mendapatkan dukungan penuh dari Junta, bahkan dianggap sebagai partai perwakilan Junta. Persoalan etnis yang telah hadir sejak zaman kolonial dengan kebijakan yang mengotakkotakkan posisi dan peran etnis dalam bernegara berlanjut hingga hari ini. Kecemburuan etnis Bamar atas etnis-etnis non-Bamar, yang lebih dipercaya menjadi bagian dari angkatan ber senjata pada masa kolonial, terus berlangsung. Mereka umumnya adalah orang-orang India dan kelompok minoritas yang memiliki kemampuan bertempur, seperti Karen, Chin, dan Kachin. Sebaliknya, di pusat pemerintahan, suku Bamar mendapat kekuasaan lebih banyak dan berujung pada membesarnya jarak antara minoritas dan mayoritas hingga hari ini. Meskipun adanya peran aktif Jenderal Aung San melalui AFPFL untuk memediasi dalam Konferensi Panglong tahun 1947, ternyata sulit menyatukan kedua belah pihak itu. Apalagi, ketika Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar memberikan batasan siapa yang dimaksud dengan warga negara. Persoalan kewarganegaraan di Myanmar merupakan suatu “paranoia nasionalis” suku m ayoritas sehingga kaum etnis m inoritas seringkali tidak diakui keberadaan di wilayahnya sendiri. Di negara bagian Arakan, misalnya, Rohingnya telah mengalami diskriminasi, mereka dianggap tidak memiliki kewarganegaraan. Hal itu diperkuat dengan adanya Union Citizenship Act tahun 1948 yang diperkuat pada tahun 1982. Burma Citizenship Law telah menghapus
kew arganegaraan mereka. Kelompok etnis Rohingnya yang sudah turun temurun tinggal di negara bagian Rakhine, tetap tidak bisa masuk, baik ke dalam kategori fu ll Citizen, associate Citizen, maupun naturalized Citizen. Hilangnya kewarganegaraan juga dapat diartikan hilangnya segala hak hidup karena m ereka menjadi teraniaya dan diusir dari daerah manapun yang terjangkau oleh para penguasa di Myanmar. Dalam kerangka ASEAN, Myanmar meru pakan tantangan tersendiri sejak negara itu bergabung pada bulan Juli 1997. Dengan budaya politik dalam negeri yang berbeda-beda, banyak kalangan internasional yakin bahwa hal itu akan menjadi persoalan baru bagi ASEAN. Reaksi keras yang datang dari PBB, Uni Eropa, dan Amerika Serikat ditanggapi ASEAN bahwa isu demokratisasi di Myanmar lebih baik didekati secara informal bukan secara formal ASEAN yang melibatkan pihak luar. Myanmar terus didesak oleh ASEAN melalui dialog dengan menerapkan pendekatan constructive engage ment. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah un tuk mempromosikan perdagangan dan hubungan ekonomi dengan Myanmar sehingga saluran diplomatik dapat terus dipakai untuk mendesak negara itu menghormati HAM dan kebebasan dasar. KTT XX ASEAN telah mendesak Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk mencabut sanksi atas Myanmar. Jepang merupakan satu-satunya negara maju yang mempertahankan hubungan dekatnya dengan Rangoon. Jepang menunjuk kan bahwa mempertahankan sikap kritis serta berupaya membawa perbaikan atas HAM dan demokratisasi di Myanmar dapat dilakukan melalui diplomasi dan pemberian bantuan. Terlepas dari pro dan kontra atas apa yang terjadi, Myanmar berhasil menjadi anggota ASEAN dan sampai kini menjadi negara yang memberikan tantangan bagi ASEAN, khususnya dalam penegakan demokrasi dan HAM. ASEAN sendiri menjadi pihak yang cukup dominan dalam menekan Myanmar dalam hal penegakan demokrasi dan HAM. Isu ini pula yang diman faatkan ASEAN untuk membuat Myanmar bersedia melunakkan diri dengan membereskan masalah dalam negaranya demi menjadi ketua ASEAN di tahun 2014.
138 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 127-142
4. Vietnam
Vietnam saat ini berbentuk Republik Sosialis yang diperintah oleh sistem satu partai di bawah kendali Partai Komunis dan dijalankan oleh 13 anggota politbiro dan sebuah komite sentral yang dipilih lima tahun sekali. Secara internasional, Vietnam telah mengalami beberapa keberhasilan pasca-Perang Dingin. Pada tahun 1989, dunia in ternasional menyambut gembira ketika Vietnam menarik pasukannya dari Kamboja. Partai Komunis Vietnam pada tahun 1986 menerapkan reformasi pasar bebas yang disebut dengan Doi Moi yang berarti renovasi. Penerapan ekonomi ini dilaksanakan dengan memberikan ruang kepada swasta untuk memiliki pertanian dan perusahaan serta deregulasi dan investasi asing untuk bisa meningkatkan perekonomian negara. Meskipun pemerintah memberikan ruang kepada pihak swasta, tekanan Partai Komunis tetap kuat dan mengontrol pihak swasta. Vietnam mengadopsi konstitusi baru pada tahun 1992 yang memungkinkan penegakan hukum dan penghormatan HAM, tapi ternyata pemerintah terus menggunakan konstitusi secara selektif dan bertujuan membatasi hak-hak indi vidual dengan alasan untuk keamanan nasional. Hanya organisasi politik yang bekerja sama atau didukung oleh Partai Komunis diperbolehkan ikut dalam pemilihan umum. Pada pemilu 1997, Barisan Tanah Air Vietnam ( Vietnamese Fatherland Front), sebuah organisasi untuk Dang Cong San Vietnam (DCSV: Partai Komunis Vietnam) adalah satu-satunya partai yang boleh ikut pemilu. Kelompok elite mendominasi dalam pem buatan kebijakan dengan menggunakan sistem politik partai Komunis. Pembuatan kebijakan di Vietnam kem udian terbukti didasarkan atas konflik antarfaksi, namun ada konsensus serta hubungan patron-client. Karakteristik ini membuat kebijakan-kebijakan yang dihasilkan tidak efektif guna mendukung program kebijakan reformasi ekonomi. Kebijakan reformasi ekonomi Vietnam tidak diikuti dengan kebijakan perlindungan HAM. Terdapat pembatasan dalam HAM, yaitu ada keyakinan yang kuat bahwa sistem ekonomi ha rus didahulukan daripada politik. Oleh karena itu, para pemimpin Vietnam tidak terlalu tertarik pada
hak-hak politik dan kebebasan individu yang didukung oleh negara Barat. Demokrasi bagi mereka adalah ala Barat yang dikendalikan oleh kapitalis untuk menguasai kepentingan ekonomi mereka. Dalam meningkatkan kontrol terhadap masyarakat, partai memutuskan untuk memulai serangkaian hukum anti-hak asasi manusia. Salah satunya adalah Directive 135 yang dikeluarkan oleh Dewan Menteri pada akhir tahun 1989 dan diumumkan oleh Majelis Nasional pada bulan April 1990 sebagai kebijakan resmi partai, yang membentuk polisi paramiliter dan serangkaian kampanye ditujukan terhadap kejahatan, korupsi, dan oposisi. Konstitusi 1992 lebih tegas menekankan kekuasaan aparatur negara dan juga hak serta kewajiban warga negara. Hal ini berkaitan dengan pembaharuan kebijakan ekonomi Doi Moi. Dalam konstitusi terdapat pasal yang me nerangkan tentang penjaminan hak dan kewajiban warga negara, khususnya kebebasan berekspresi dan beragama. Namun dalam praktiknya, sangat bertolak belakang karena penangkapan gencar di lakukan oleh pemerintah terhadap pemuka agama dan juga para intelektual serta aktivis. Rakyat Vietnam tidak dapat menyaksikan program acara televisi luar negeri dan juga membaca surat kabar serta majalah yang mengandung pesan demokrasi dan pemikiran kaum barat.20 Vietnam tidak memiliki undang-undang yang menjelaskan tentang tata cara penegakan HAM di Vietnam. Vietnam mempunyai undangundang yang disebut Vietnamese Penal Code yang berisi tentang ketentuan terhadap tindakan yang mengancam “keamanan nasional”. Undangundang ini yang digunakan oleh pemerintah untuk menangkap para aktivis HAM. Beberapa dari tahanan politik dikenakan tuduhan “me ngancam keamanan nasional” dalam pengadilan. Melalui undang-undang tersebut, pemerintah Vietnam melegitimasi tindakan penangkapan dan juga penahanan terhadap para aktivis yang ingin secara nyata melaksanakan kebebasan berbicara yang tercantum dalam Konstitusi 1992. Pemerintah Vietnam melakukan segala bentuk pengawasan dalam segala aspek kehidupan ma syarakat, termasuk pengawasan terhadap media 20“Vietnam Accused o f Curtailing Press Freedom", dalam http:// www.jva.org, diakses pada tanggal 3 Februari 2012.
Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Demokrasi... | Lidya Christin Sinaga | 139
cetak dan elektronik demi menjaga “keamanan nasional” Vietnam. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sangat membatasi hak asasi warga negaranya.21 Kebebasan dalam m enjalankan ibadah keagamaan juga belum dapat dirasakan di Vietnam. Selain penangkapan para pemuka agama yang dianggap mengancam pemerintahan Vietnam, ibadah keagamaan dilakukan di bawah pengawasan yang ketat oleh pemerintah. Masalah kaum Montagnards, kaum minoritas yang ada di Vietnam, merupakan salah satu yang menjadi perhatian dunia. Pada bulan Februari 2001, mereka melakukan demonstrasi damai di Gia Lai, Daklak, Lam Dong, provinsi Central Highlands. Dalam aksi tersebut, mereka meminta hak tanah dan juga kebebasan dalam menjalankan ibadah keagamaan mereka yang sebagian besar menganut Kristen Protestan.22 Vietnam secara resmi menjadi anggota ASEAN tahun 1995. Salah satu hal yang mendo rong Vietnam untuk bergabung dengan ASEAN adalah hubungan ASEAN dengan negara-negara non-ASEAN. Vietnam telah mengamati sejak tahun 1977 bahwa ASEAN mampu menjalin hubungan yang baik dengan negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Cina, Jepang, Rusia, dan India. Sebelumnya, pem erintah Vietnam tertutup dan membuka dirinya terbatas pada Laos, Kamboja, dan Cina, yang sampai sekarang masih terjalin dengan baik. Hal ini membuktikan bahwa keanggotaan ASEAN sama sekali tidak membatasi Vietnam dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain. Pada awalnya, banyak yang meragukan Vietnam untuk masuk ke dalam ASEAN karena saat itu Vietnam sedang mengalami keterpurukan cukup parah akibat perang Vietnam yang berkepanjangan. Vietnam juga masih dipandang sebagai negara berkembang yang rentan dan memiliki ideologi sosial-komunis yang saat itu dipandang buruk oleh dunia. Dengan sistem politik Vietnam yang berbentuk sosialis, demokrasi dan HAM masih jauh dari kenyataan di negara ini. Hal ini merupakan tantangan bagi ASEAN dalam mengimplemen 21Ibid. 22 “Vietnamese Dissident Predict Democracy”, dalam http:// www.Jva.org, diunduh pada 3 Februari 2012.
tasi Piagam ASEAN. Meskipun Vietnam telah meratifikasi piagam tersebut, kebijakan Vietnam nampaknya mendua karena kebijakan eko nomi menganut sistem pasar, sedangkan sistem pemerintah yang sosialis komunis masih sangat kuat dalam mengendalikan masyarakat. Dalam pembangunan ekonomi dan politik, Vietnam menganut sistem yang dijalankan oleh peme rintahan Cina, yaitu kapitalisme dan liberalisasi ekonomi, namun tetap mempertahankan Partai Komunis sebagai penguasa negara.
Penutup Negara-negara KLMV membutuhkan waktu lebih panjang untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM sesuai Piagam ASEAN karena demokrasi di KLMV masih dipengaruhi oleh sistem politik yang bersifat otoriter. Tabel di bawah ini menyarikan bagaimana pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM di Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam. Selain itu, prinsip non-interference yang dianut ASEAN selama ini bertolak belakang dengan perwujudan demokrasi dan pengakuan HAM yang dicanangkan dalam Piagam ASEAN. Kualifikasi with due regard to the rights and responsibilities o f the Member States o f ASEAN (Ayat 7) dengan tegas menekankan bahwa pengembangan pada tingkat ASEAN dilakukan dengan memperhatikan hak dan kewajiban negara anggota masing-masing. M eskipun kepentingan nasional merupakan prioritas utama di dalam hubungan regional dan internasional, setiap negara KLMV harus tetap pada komit men bersama untuk memajukan demokrasi dan melindungi HAM secara signifikan di tingkat nasional. Perubahan politik di suatu negara tergantung pada dua hal, yaitu (1) tekanan regional dan internasional; dan (2) kemauan politik (political will) dan political commitment pemerintahan nasional. Indikator penting dalam pilar politik dan keamanan yang harus diupayakan pelak sanaannya oleh keempat negara KLMV adalah sebagai berikut: pertama, penghentian kekerasan di berbagai tingkatan menjadi syarat mutlak menuju ASEAN yang lebih demokratis dan menghormati HAM. Berbagai bentuk kekerasan politik, baik yang berkaitan dengan konflik
140 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 127-142
Tabel 1. Perbandingan Demokrasi dan HAM di Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam Kriteria
Kam boja
Laos
M yanm ar
V ietnam
D em okrasi Pemilu
Ada
Ada
Ada
Ada
Sistem Kepartaian
M ultipartai
Partai Tunggal
M ultipartai
Partai Tunggal
Lem baga HAM Nasional
Tid ak ada
Tid ak ada
Tid ak ada
Tid ak ada
NGOs
Ada
Tid ak ada
Ada
Ada
Perm asalahan
Pem ilikan lahan, kebebasan berbi cara, berkum pul, dan berekspresi serta akses ter hadap m edia
Etnis m inoritas, persoalan pe ngungsi Hm ong, kebebasan berbicara dan berserikat
Kekerasan politik, status kew arganegaraan, konflik etnis, IDPs dan pengungsi, bisnis dan pelanggaraan pen ggu naan tenaga kerja
Kebebasan bera gam a, kebebasan berekspresi dan berbicara, m inoritas M ontagnards
HAM
vertikal maupun konflik komunal, harus dapat dialihkan menjadi potensi dan faktor pendorong proses pembangunan politik dan ekonomi di kawasan. Proses transformasi konflik merupakan elemen penting untuk dapat menjalankan prinsip dem okrasi dan HAM secara proporsional, terutama di negara-negara KLMV. Kedua, penyelesaian damai dan rekonsi liasi. Berkaitan dengan transformasi konflik sebagaimana poin di atas maka proses politik di negara-negara KLMV harus mengarah pada penciptaan kehidupan yang bermartabat, baik dalam rangka kebebasan politik maupun kesejahteraan ekonomi secara merata. Ketiga, jaminan kebebasan politik secara bertahap. Pemerintah nasional wajib menciptakan ruang politik yang demokratis dengan menjamin terpenuhinya kebebasan politik dengan terlebih dulu menghapuskan praktik-praktik kekerasan, termasuk dalam kekerasan struktural, yakni korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tahapan dalam proses ini sangat rasional mengingat kekerasan politik di negara-negara KLMV berkorelasi dengan kekerasan secara kultur, terutama dengan feodalisme dalam sistem monarki. Keempat, peningkatan kesejahteraan eko nomi rakyat. Pemerintah nasional harus menja min terpenuhinya kebutuhan hidup minimum, khususnya pendidikan dan kesehatan bagi setiap
warga negaranya, misalnya dengan cara mem perbaiki fasilitas pelayanan publik berlandaskan perubahan kebijakan yang prorakyat, terutama rakyat miskin (pro poor). Kelima, penegakan hukum secara tegas dan adil. Pemberdayaan hukum secara adil berkaitan dengan prinsip good governance yang membutuhkan kepemimpinan tegas (bukan violent), diikuti dengan mekanisme evaluasi dan monitoring atas pelaksanaan kebijakan dan program pembangunan serta sistem reward and punishment sesuai dengan merit system. Meskipun pelaksanaan demokrasi dan HAM di KLMV cenderung lebih sulit dibandingkan di negara-negara ASEAN yang lain, KLMV tetap harus berupaya secara optimal untuk melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan di dalam Piagam ASEAN. Keberhasilan dalam melaksanakan kesepakatan Piagam ASEAN akan menjadi indikator penting untuk menguji dan membuktikan kemampuan ASEAN, baik dalam memenuhi komitmen politik secara regional, maupun dalam mendukung konsep demokrasi yang berlaku universal. Dengan demikian, Piagam ASEAN sebagai bentuk legalpersonality belum cukup untuk membuktikan eksistensi ASEAN tanpa kemampuan untuk menjalankan prinsip demokrasi, HAM, penegakan hukum, good governance, dan kebebasan fundamental.
Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Demokrasi... | Lidya Christin Sinaga | 141
Daftar Pustaka
Laporan dan Makalah
Buku
Beetham, David, 2002. “Democracy and Human Rights: Contrast and Convergence”, dalam
Amnesty International. 2007. Amnesty International Report 2007. UK: Peter Benenson House. Asian Development Bank. 2012. Greater Mekong Subregion: Twenty Years of Partnership. Mandaluyong City, Philippines: Asian Develop ment Bank. Asian Development Bank. 2006. “Lao People’s Dem ocratic Republic: Northern Region Sustainable Livelihoods Development Project”. ADB
Indigeneous Peoples Development Planning Document. EIU Democracy Index 2012: Democracy UnderStress. 2012. London: Economist Intelligence Unit. Peou, Sorpong, 2000. Intervention and Change in Cambodia Towards Democracy. ISEAS: Singapore. Severino, Rodolfo C. 2010. Southeast Asia in a New Era Ten Countries, One Region is ASEAN. IS EAS: Singapore. Sinaga, Lidya Christin (Ed.). 2011. Pelaksanaan De
mokrasi dan HAM di ASEAN: Studi Kasus di Malaysia dan Brunei Darussalam. P2P LIPI: Jakarta.
Southeast Asia 2009-2010.2009. ISEAS: Singapore.
Jurnal Gunn, Geoffrey C. 2008. “Laos in 2007: Regional Integration and International Fallout”, Asian Survey, 48: 63 Lum, Thomas. 2008. “Laos: Background and U.S. Relations”, CSR Report for Congress, Januari: 7.
Seminar on Interdependency between Democ racy and Human Rights, 25-26 November. Jenewa: The High Commissioner for Human Rights. “Cha-am Hua Hin Declaration on the Intergovemmental Commission on Human Rights”, Hasil 15,h ASEAN Summit di Cha-am Hua Hin-Thailand, 23 Oktober 2009.
Constitutional o f the Republic of the Union of Myan mar, 2008. Laos: Country Outlook dalam EIU ViewsWire. 1 Ma ret 2012. Sek, Sovanna, 2012. “Violence, Exploitation, and Migration Affecting Women and Children in Cambodia: A Base-line Study”, dalam Region
al Conference on Violence, Exploitation, and Migration Affecting Women and Children in ASEAN The Launching o f Human Rights Resource Centre Baseline Study, 30 Mei. Jakarta: The Crowne Plaza. Toward a Community of Democracies. Ministerial Conference. Final Warsaw Declaration. War saw, Poland, 27 Juni 2000.
Surat Kabar dan Website SIL International Publications, 2012. “Ethnologue: Languages of Laos ” [online]. dalam
http://www.ethnologue.com/show_country. asp?name=LA [diakses 2 Januari 2012]. “Vietnam Accused of Curtailing Press Freedom”, [online]. dalam http://www.fva.org [diakses 3 Februari 2012]. “Vietnamese Dissident Predict Democracy” [online] dalam http://www.fva.org [diakses 3 Febru ari 2012].
142 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 127-142
DEMOKRASI DAN FUNDAMENTALISME PROTESTAN DI AMERIKA SERIKAT DAN YAHUDI DI ISRAEL DEMOCRACY AND FUNDAMENTALISM OF PROTESTANT IN AMERICA AND JEWISH IN ISRAEL Indriana Kartini Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal GatotSubroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 2 Februari 2013; direvisi: 10 Maret 2013; disetujui: 22 Juni 2013 Abstract
The impact o f globalization of democracy creates new problem by strengthening local identity in public sphere. In this condition, people tend to build community based on its roots, such as religions, tribes, and regions. Religiousfundamentalism in Islam, Christian, Jewish, Hindu, and Buddha, have become one ofvariant in the search of identity. Fundamentalist thought gives a promising system for those who search an alternative in the midst of social structure ’s failure. Moreover, in this particular condition, religiousfundamentalism appears in Protestant in America and Jewish in Israel. Protestant fundamentalism believes that Bible is an absolute truth. This group refuses modernism that interpret biblefreely and adjustable with Science and technology. For Jewishfundamentalism, in their development, used violent means to drive away Palestiniansfrom their land. This group has extremistfundamentalism Vision and called ultra-orthodox. This study’analyzes religiousfundamentalism o f Protestant in America and Jewish in Israel; and how both fundamentalism appear in both countries that uphold liberal democracy. Keywords: democracy, fundamentalism, Protestant, Jews, United State o f America, Israel Abstrak Globalisasi demokrasi menimbulkan persoalan baru dengan menguatnya identitas lokal di ranah publik. Di tengah kondisi tersebut, masyarakat cenderung untuk mengelompokkan diri dalam identitas-identitas asal, baik agama, suku, maupun wilayah.Fundamentalisme agama, baik dalam Islam, Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha, menjadi salah satu varian dalam pencarian identitas tersebut.Pemikiran fundamentalisme menawarkan sebuah sistem yang menjanjikan bagi mereka yang mencari alternatif di tengah kegagalan tatanan sosial yang ada. Dalam kondisi semacam inilah muncul gerakan fundamentalisme agama, antara lain fundamentalisme Kristen Protestan di Amerika Serikat dan Yahudi di Israel. Fundamentalisme Kristen Protestan menganggap Injil bersifat absolut. Kelompok ini menolak gerakan modernisme yang menafsirkan kitab suci secara bebas dan elastis yang disesuaikan dengan kemajuan sains dan teknologi. Begitu juga dengan fundamentalisme Yahudi, yang dalam per kembangannya gerakan ini menggunakan cara-cara kekerasan untuk mengusir bangsa Palestina dari tanah airnya. Kelompok inilah yang sampai di era politik Israel kontemporer memiliki visi fundamentalis ekstrem sehingga acapkali disebut kaum ultra-ortodoks. Studi ini menganalisis fundamentalisme agama Kristen Protestan di AS dan Yahudi di Israel dan bagaimana kemunculan mereka di kedua negara tersebut yang menganut sistem demokrasi liberal. Kata kunci: demokrasi, fundamentalisme, Protestan, Yahudi, Amerika Serikat, Israel
Demokrasi dan Fundamentalisme Protestan ... | Indriana Kartini | 143
Pendahuluan
Demokrasi dan Fundamentalisme
Demokrasi sebagai sistem politik di dunia saat ini telah diterima oleh banyak negara. Namun, globalisasi demokrasi tersebut menimbulkan persoalan baru dengan menguatnya identitas lokal di ranah publik. Identitas lokal tersebut se makin memuncak dengan kegagalan kapitalisme dalam menangani masalah sosial, ekonomi, dan politik. Di tengah kondisi tersebut, masyarakat cenderung untuk mengelompokkan diri dalam identitas-identitas asal, baik agama, suku, maupun wilayah. Fundamentalisme agama, baik dalam Islam, K risten, Yahudi, Hindu dan Budha, menjadi salah satu varian dalam pencarian identitas tersebut. Pemikiran funda mentalisme menawarkan sebuah sistem yang menjanjikan bagi mereka yang mencari alternatif di tengah kegagalan tatanan sosial yang ada. Di sisi lain, arus globalisasi dan industrialisasi yang sedemikian kuat telah menyebabkan lahirnya perilaku masyarakat yang menyimpang dari norma-norma agama. Merebaknya sekularisasi di berbagai negara yang cenderung mengubah tatanan hidup masyarakat yang sebelumnya telah terikat dengan nilai-nilai religius menyebabkan kekhawatiran akan hilangnya tatanan masyarakat religius itu sendiri. Dalam kondisi semacam ini, muncullah ide-ide untuk mengembalikan peran agama yang terpinggirkan.
Demokrasi sebagai salah satu rasionalitas politik dalam sistem politik dunia modem saat ini tengah mengalami krisis. Hal ini terkait dengan realitas kekecewaan masyarakat terhadap paham-paham pemikiran Barat yang berkembang, seperti libe ralisme, kapitalisme, sosialisme dan komunisme. Runtuhnya komunisme serta kegagalan kapital isme dalam menyelesaikan problematika sosial, budaya, ekonomi, dan politik memungkinkan munculnya alternatif paham pemikiran yang berbeda dari demokrasi Barat. Dalam tradisi demokrasi, terdapat aspek partisipasi di mana setiap nilai ataupun paham pemikiran berhak berkompetisi. Oleh karena itu, di tengah tren demokrasi memungkinkan pula berkembangnya nilai-nilai maupun paham pemikiran alternatif, termasuk fundamentalisme.
Fundamentalisme merupakan fakta global yang muncul pada setiap kepercayaan sebagai respons terhadap dampak negatif modernisme. Gerakan fundamentalisme tidak muncul begitu saja, gerakan ini lahir ketika cara-cara moderat tidak bisa lagi dijadikan solusi dalam menangani permasalahan global sehingga harus diselesaikan dengan cara yang lebih ekstrem. Dalam kondisi semacam inilah muncul gerakan fundamental isme agama, antara lain fundamentalisme Kristen Protestan di Amerika Serikat dan Yahudi di Israel. Fundamentalisme Kristen Protestan menganggap Injil bersifat absolut. Kelompok ini menolak gerakan modernisme yang menafsirkan kitab suci secara bebas dan elastis yang disesuaikan dengan kemajuan sains dan teknologi. Begitu juga dengan fundamentalisme Yahudi, di mana dalam perkembangannya gerakan ini meng gunakan cara-cara kekerasan untuk mengusir bangsa Palestina dari tanah airnya.
Fundamentalisme pada dasarnya adalah • sebuah paham “kembali ke akar” yang cenderung kaku. Dengan kata lain, hanya pendapat yang stick-to-regulation yang akan diterima dan dia malkan. Meskipun demikian, istilah ini kemudian mulai mengalami pergeseran makna. Karena sifatnya yang cenderung kaku dan menolak perubahan, para penganut paham ini cenderung mempertahankan status quo atas keyakinan mereka; no other way round. Akibatnya, pihak atau lembaga yang menerapkan sistem ini jadi lebih kaku dan cenderung intoleran. Apa yang terjadi ketika fundamentalisme diterapkan dengan spirit keagamaan? Muncullah kesan umat yang kurang toleran. Umat yang keras dan merasa dirinya sebagai yang paling benar. Hingga titik tertentu, fundamentalisme beragama ini cenderung menolak inovasi dan kemajuan yang diraih di era modem. Umat ini begitu kaku. Mereka bisa menolak konsensus sains dan menyatakan sebaliknya, hanya demi membela keyakinan mereka. Sementara itu, di titik ekstrem, kekakuan umat ini bisa jadi sangat memprihatinkan. Para fundamentalis-agama pada umumnya hanya patuh pada peraturan agama mereka. Di samping itu, sebisa mungkin mereka juga me nyamakan kehidupan mereka dengan umat pada saat agama mereka diturunkan. Pada beberapa kasus, mereka bahkan cenderung menolak ino vasi. Pada titik ekstrem, keyakinan mereka bisa
144 | Jumal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 143-154
menjadi landasan untuk berbuat kekerasan dan anarki untuk menghadapi “zaman sekarang yang edan”. Dengan segala acuan ke masa lalu itu, bagaimana mungkin mereka dianggap sebagai akibat dari modernisme? Memang tidak semua fundamentalisme agama memiliki karakteristik seperti itu sebab dalam konteks Islam memang rujukan kaum fundamentalis sesuai dengan ajaran bakunya adalah Al-Qur’an, Al-hadits, dan ijtihad. Pada titik ijtihad inilah pada akhirnya terkait erat dengan interpretasi baru dan atau inovasi terhadap teks atas konteks. Fundamentalisme pada dasarnya adalah sebentuk reaksi, yaitu counter-culture atas keburukan dunia yang kita alami sekarang. Ketika modernisme dianggap gagal menjadikan dunia yang lebih baik, suara-suara ini bertahan dari masa lalu. Mereka mengangankan tegaknya “sistem kami” yang pasti bisa membawa dunia ke arah yang baik. Beberapa dampak negatif modernisme, termasuk misalnya menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Karena modernisme (di mata mereka) hanya mengaki batkan penderitaan maka semakin membuat kalangan ini memiliki alasan untuk mengambil “jalan keras”. Fundamentalisme, pada akhirnya, menjadi sebuah reaksi. Reaksi atas kegagalan kita di zaman ini, dan juga reaksi atas kekecewaan yang mereka alami sendiri. Mereka telah ber transformasi dari way oflife yang kuno menjadi reaksi yang persisten di zaman modem ini. Martin Riesebrodt mengidentifikasi tiga tipologi fundamentalisme, yaitu tradisionalisme radikal, kultural, dan mobilisasi masyarakat awam. Disebut tradisionalisme radikal karena fundamentalisme lahir dari ketegangan antara tradisi dan modernitas. Berbagai pembahan aki bat industrialisasi dan sekularisasi tetap memaksa komunitas tradisionalis untuk mempertahankan tradisi dan menentang pembahan. Sementara itu, karakteristik yang paling menonjol dari tipologi tersebut adalah kemampuan komunitas fun damentalis dalam memobilisasi massa, bukan saja dari segi jumlah, tetapi juga militansinya.1 Senada dengan pemikir lainnya, George M. Marsden menggambarkan tiga karakteristik dasar dari gerakan fundamentalisme; pertama, 1Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: Erlangga, 2003).
gerakan yang menentang paham atau pemikiran modem; kedua, memandang budaya sekuler dari sisi negatif; dan ketiga, tidak kompromistis dan jika perlu bersikap radikal dalam menegakkan keyakinan yang fundamental.2 Ketiga karakter istik tersebut lahir akibat keyakinan yang paling mendasar tentang kebenaran kitab suci dalam pengertian literalnya. Berdasarkan definisi-definisi serta karak teristik-karakteristik fundamentalisme yang dise butkan di atas maka definisi yang dapat dijadikan landasan teori dalam kajian ini adalah bahwa fundamentalisme merupakan sebuah gerakan politik keagamaan yang memiliki beberapa prinsip dasar. Pertama, oposisionalisme dengan pemahaman bahwa setiap pemikiran dan ams pembahan yang mengancam kemapanan agama harus dilawan terutama paham sekularisme. Kedua, bersikap eksklusif dengan menentang pluralisme sosial serta menolak perkembangan historis dan sosiologis umat manusia. Terakhir, kelompok fundamentalis cenderung literalis dan kerap merujuk pada bahasa nasionalisme serta bangsa fundamentalisme yang dilandasi oleh mang teritorial dan sosial yang diwarisi dari kejayaan masa religius pramodem.3 Dalam konteks nasionalisme, kelompok fundamentalis ingin memasukkan nilai-nilai agama dalam negara. Hal ini jelas mempakan persoalan yang rumit karena negara dengan sistem pemerintahan apapun, baik parlementer maupun presidensial, tetap akan memperta hankan prinsip nation State di mana kontrak sosial antara segenap masyarakat hams dibangun berdasarkan kepentingan bersama sebagai suatu bangsa. Keadaan seperti ini akhirnya memicu ketegangan antara komunitas fundamentalis dan pemerintah. Ketika komunitas fundamentalis hendak menerapkan doktrin keagamaan secara formal dalam negara, pada saat itu eksistensi demokrasi berpotensi untuk sedikit demi sedikit “tergores”. Sebaliknya, demokrasi liberal yang telah menjadi sistem politik di suatu negara menjadi ancaman bagi eksistensi gerakan fun damentalisme agama. Dalam kondisi demikian, 2George M. Marsden, Fundamentalism and American Culture, (New York:Oxford University Press, 2006). 3Lihat, Martin E. Marty dan R. Scott Appleby (Eds.), Fundamentalisms and the State: Remarking Polities, Economic and Militance, (Chicago: the University o f Chicago Press, 1993).
Demokrasi dan Fundamentalisme Protestan ... I Indriana Kartini I 145
gerakan fundamentalisme begitu giat dalam memperjuangkan cita-citanya dalam iklim demokrasi yang sekuler. Hal tersebut terlihat dari keinginan komunitas fundamentalis untuk mengamankan kepentingan mereka dengan berusaha kembali kepada identitas ajaran agama, etika, dan ideologi yang mereka anggap mumi.
Demokrasi dan Fundamentalisme Protestan di Amerika Serikat Sebelum membahas fundamentalisme Protestan di AS, terlebih dahulu dibahas m engenai kelompok-kelompok dalam Gereja Protestan. Terdapat tiga kelompok utama Protestan di AS, yakni gereja Protestan Evangelis, gereja Protestan aras utama, dan gereja Protestan kulit hitam. Gereja Protestan dikelompokkan ke dalam tradisi religius berdasarkan denominasi khusus. Misalnya seluruh anggota The Southern Baptist Convention diklasifikasikan sebagai anggota gereja Protestan Evangelis; mereka yang menjadi anggota The American Baptist Churches di AS diklasifikasikan sebagai anggota gereja Protestan aras utama; dan mereka yang menjadi anggota The National Baptist Churches diklasifikasikan sebagai anggota gereja Protestan kulit hitam. Tabel di bawah ini mengestimasi ukuran denominasi (golongan agama) terbesar penganut Protestan dan mengidentifikasi tradisi Protestan berdasarkan klasifikasi masing-masing. Dalam hal ini, banyak keluarga denominasional meliputi denominasi yang diasosiasikan dengan tradisi Protestan, misalnya gereja Baptis ditemukan dalam tiga tradisi Protestan; Pantekosta dite mukan dalam tradisi Evangelis ataupun tradisi Protestan kulit hitam; dan Lutheran ditemukan dalam tradisi Evangelis ataupun tradisi arus utama. Dari Tabel 1 terlihat bahwa pengikut gereja Evangelis (fundamentalis) berjumlah 0,3% dari total populasi AS dan 0,5% dari penganut Protestan. Mengingat tulisan ini difokuskan pada kelompok fundamentalis Protestan di AS maka selanjutnya dibahas khusus mengenai gereja Evangelis Protestan yang dimasukkan dalam klasifikasi kelompok fundamentalis. Untuk menentukan awal kemunculan gerakan/aliran Injili ini tidaklah mudah. Meskipun demikian, untuk memahami aliran ini, kita harus
memulainya dengan melihat pada “fundamental isme” karena aliran ini (Injili) secara langsung melanjutkan dan mengembangkan semangat dan paham fundamentalisme. Fundamentalisme itu sendiri merupakan gerakan yang muncul di Amerika Serikat pada awal abad ke-20 dan bersifat antar-denominasi. Fundamentalisme ini dicirikan oleh pembelaan dan kesetiaan yang teguh dan militan atas seperangkat dasar-dasar iman (fundamental o f faith) berdasarkan lima hal berikut: (1) pengilhaman dan kemutlakan Alkitab; (2) keilahian Kristus dan kelahirannya dari anak dara; (3) kematian Kristus sebagai ganti dan penebus manusia; (4) kebangkitan-Nya secara jasmani; (5) kedatangan-Nya kedua kali. Di samping itu, gerakan ini ditandai pula oleh “mentalitas separatis”, yakni membenarkan pe misahan secara religius dari siapa saja yang tidak menyatakan bersedia menerima dasar-dasar iman di atas. Namun, perlu dicatat bahwa meski aliran Injili adalah kelanjutan dari fundamentalisme, ha rus ditegaskan bahwa keduanya tidak persis sama. Aliran Injili, seperti dikonotasikan oleh namanya, merupakan gerakan yang lebih menganut sikap konstruktif ketimbang defensif-separatis, seperti tersirat pada istilah fundamentalis. Oleh karena itu, gerakan/aliran Injili ini pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-20, di Amerika Serikat. Tokoh yang menjadi organisator gerakan/aliran Injili ini ialah Harold Ockenga. Dalam rangka menanggalkan kecenderungan separatis pada fundamentalisme, ia menegaskan bahwa tugas kaum Injili haruslah “menginfiltrasi” (gereja dan masyarakat) ketimbang memisahkan diri (dari padanya).4 Apabila ditelusuri, Evangelicalism muncul sebagai hasil dari Great Awakening kedua setelah perang sipil berakhir (1865). Pada saat itu, muncul dorongan kuat untuk melakukan misi dan transformasi masyarakat Amerika menjadi sebuah negara Kristen yang didasarkan pada keyakinan Evangelis. Evangelicalism itu sendiri menyatu dengan politik internal dan sentimen anti-kulit hitam, dan bahkan berkontribusi pada basis religius dari gerakan rasis militan, 4 Daniel Sopanema, “Ensiklopedi Mini Aliran-aliran Ge reja (Protestan)”, http://www.inkribs.org/index.php/karanganpopular/45-diakonia/l 34-ensiklopedi-mini-aliran-alirangereia-protestan?format=pdf 11 Agustus 2009, diakses pada tanggal 20 Juli 2012.
146 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 143-154
seperti Ku Klux Klan.5Pada 1920, The Northern Baptist Convention melembagakan konferensi "fundamentalis” sebagai perlawanan terhadap liberalisme. Sebagai negara demokrasi yang memegang teguh prinsip demokrasi liberal, AS dihadapkan pada dilema berupa konflik kultural yang tidak hanya melibatkan kelompok keagamaan, tetapi juga dengan kalangan liberal. Konflik pemikiran yang terjadi di AS tersebut merupakan representasi dari proses demokrasi yang telah memberikan ruang bagi berkembangnya berbagai macam afiliasi keagamaan dan politik di AS. Fenomena politik agama yang banyak menyita perhatian publik di AS pada awal abad ke-20 adalah kebangkitan gerakan fundamentalisme Protestan sebagai respons dari liberalism e keagamaan dan sekularisasi yang semakin marak di tengah rakyat AS. Selama beberapa dekade, kelompok fun dam entalism e berupaya untuk m enyusun sebuah strategi baru dalam gerakan. Berdirinya organisasi-organisasi sayap kanan keagamaan, seperti Moral Majority, Christian Voice, dan Christian Coalition pada akhir tahun 1970-an menandakan bahwa kelompok ini tengah bangkit dengan strategi baru dalam gerakan, dari yang sebelumnya hanya sebatas gerakan keagamaan dan moral menjadi gerakan yang memberikan peluang untuk berperan dalam kancah politik AS. Setelah sekian lama kehilangan pengaruh, akhirnya pada awal tahun 1980 gerakan fun damentalisme dapat bangkit kembali dalam berbagai segi kehidupan rakyat AS. Dalam hal ini, Paul Weyrich seorang fundamentalis Evangelis mengatakan: We are talking about C hristianizing America. We are talking about simply spreading the gospel in a political context. This was the birth o f Republican political theology that is now so much a p a rt o f our political landscape.6
Sementara itu, Karen Armstrong dalam bukunya The Battle o f God menyatakan bahwa salah satu faktor yang memperkuat kebangkitan 5 George M. Marsden, Understanding Fundamentalism and Evangelicalism, (Grand Rapids: Eerdmans, 1991), hlm. 200. 6 Hrafnkell Haraldsson, "The Rise o f American Fundamen talism 1998-2001”, http://www.politicususa.com/the-riseof-american-fundamentalism-1998-2001.html, diakses pada tanggal 2 Juli 2012.
fundamentalisme selama tahun 1960-1970 adalah kemajuan di wilayah selatan akibat dari urbanisasi dan industrialisasi yang berkembang7 dan semakin kuatnya ekspansi negara. PascaPerang Dunia Kedua, mayoritas rakyat AS se makin tidak percaya dengan sistem pemerintahan yang sentralistis dan sekuler. Pengadilan tinggi melarang peribadatan di sekolah-sekolah negeri yang mengakibatkan kem arahan kelompok fundamentalis di AS. Sampai pada tahun 1970, banyak rakyat AS yang memasukkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah Kristen dengan maksud agar dapat diajarkannya nilai-nilai Kris ten sesuai dengan Al-Kitab.8 Lembaga-lembaga fundamentalis pun meningkat secara signifikan seiring dengan banyaknya orang AS yang menjadi fundamentalis. Pada akhir tahun 1970, gerakan fundamentalisme Protestan AS semakin mendapat kepercayaan hampir mayoritas warga AS. Karenanya pada masa tersebut, gerakan fundamentalisme mulai membuat strategi baru dengan berkecimpung dalam kancah politik dan ekonomi untuk melawan kalangan liberal yang sejak tahun 1960-an mulai kehilangan keper cayaannya.9 Awal tahun 1970-an, kelompok funda mentalis mulai mengusung gerakan-gerakan politik dan jaringan bisnis komersial. Seorang fundamentalis bernama Paul Weyrich mendirikan Heritage Fondation pada tahun 1973 sebagai wadah bagi gerakan sayap kanan untuk melawan pemikiran liberal. Weyrich juga mendirikan The American Legislatif Exchange Council (ALEC) untuk mengoordinasi para aktivis keagamaan di beberapa negara bagian. Tokoh fundamentalis lainnya yang muncul pada masa ini adalah R.J. Rushdoony yang mendirikan Institutes of Biblical Law yang dilatarbelakangi oleh pemikiran “Rekonstruksionisme Kristen”. Gerakan ini lebih radikal dari gerakan-gerakan sebelumnya yang bertujuan mengganti konstitusi AS versi Alkitab dengan Perjanjian Lama. Lebih daripada itu, gerakan ini menuntut diberlakukannya hukuman ■'Wilayah Selatan merupakan basis fundamentalisme Protestan yang sangat maju dibandingkan Utara. Pasca-Perang Dunia Kedua banyak umat Protestan di Utara yang pindah ke Selatan dan berbaur dengan kelompok fundamentalis di Southern Baptis Convension (Lihat Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, (Jakarta: Serambi, 2001). 8Lihat, Karen Armstrong, op. cit. 9Ibid.
Demokrasi dan Fundamentalisme Protestan ... | Indriana Kartini | 147
mati bagi pelaku aborsi dan homoseksual di AS. Pada saat Ronald Reagan menjabat sebagai Gubernur California (1967-1975), gerakan ini mendapat dukungan yang signifikan.101 Pada pemilu presiden tahun 1976, pemilih dari kalangan fundamentalis banyak yang mendu kung Jimmy Carter sebagai presiden. Kampanye Carter yang sarat akan isu-isu keagamaan, seperti “Born A gain” mendapat dukungan mayoritas kelompok fundamentalis saat itu.11 Kendati demikian, politik demokrat liberal Carter terbukti tidak disenangi oleh kalangan funda mentalis Protestan AS yang bereaksi mendalam terhadap liberalisme sejak masa sebelumnya yang mengakibatkan menurunnya dukungan kelompok fundamentalis terhadap Carter.12Sebagai respons dari semakin tidak menentunya situasi sosialpolitik pada era pemerintahan Carter dan untuk menggalang pemilih Kristen, pada tahun 1978 beberapa tokoh fundamentalis, seperti Robert Grant, Gary Jarmin dan Colonel Donor yang merupakan pendukung Reagan mendirikan Christian Voice dan mendapat dukungan mayo ritas kelompok fundamentalis.13 Berdirinya Christian Voice mendorong mun culnya gerakan sayap kanan keagamaan lainnya. Pada tahun 1979 seorang fundamentalis Jerry Falwell mendirikan The Moral Majority. Gerakan ini mengklaim telah berhasil memobilisasi sekitar dua juta pemilih yang terdaftar sebagai Republikan untuk m endukung pencalonan Ronald Reagan sebagai presiden. Reagan adalah seorang anti-komunis dan sangat memperhatikan masalah keluarga dan isu-isu keagamaan yang didukung oleh kelompok fundamentalis. Dalam kampanyenya, Reagan kerap mendengungkan anti-evolusi yang mendapat dukungan dari para tokoh fundamentalis Evangelis terkemuka. Keberhasilan Reagan dalam Pilpres AS 1980 tidak terlepas dari dukungan gerakan funda 10Hrafnkell Haraldsson, “American Fundamentalism in the 70’s: The Rise of The Moral Majority’-, http://www.politicususa.com/ american-fundamentalism-in-the-70s-the-rise-of-the-moralmajority.html, diakses pada tanggal 2 Juli 2012. 11George M. Marsden, Agama dan Budaya Amerika, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001). 12Menurunnya pengaruh Partai Republik di kalangan sekte Arus Utama pada masa Jimmy Carter dikarenakan kebijakan peme rintahan Carter yang cenderung mendukung kalangan liberal. 13 Glenn H. Utter dan John Woodrow Storey, The Religious Right: A Reference Handbook, (ABC-CLIO, 2001), hlm.169.
mentalis lainnya, seperti American Coalition for Traditional Value dan The Concemed Women for America. Di samping itu, kepopuleran Jerry Falwell sebagai seorang tokoh fundamentalis tulen ikut mendongkrak suara Ronald Reagan. Gereja Thomas Road Baptis yang dipimpinnya memiliki sekitar 18.000 anggota dan 60 pastor pembantu. Total pemasukan gereja tersebut mencapai 60 juta dolar. Kebaktian yang kerap dipimpinnya disiarkan di 392 saluran televisi dan 600 pemancar radio. Falwell pun banyak mendirikan yayasan amal, seperti pusat pemulih an pecandu alkohol, panti asuhan, dan lembaga adopsi anak sebagai alternatif aborsi.14 Pada tahun 1981, James Dobson seorang penyiar radio yang memiliki perhatian pada masalah keluarga mendirikan The Family Research Council (FRC) sebagai organisasi lobi politik kelompok funda mentalis. Memang, sejak kemenangan Reagan, pengaruh kalangan fundamentalis di Gedung Putih semakin kuat, khususnya menyangkut kebijakan politik pemerintah, seperti pelarangan aborsi, pembatasan hubungan seksual, dukungan terhadap aktivitas keagamaan di ranah publik serta penetapan pengajaran kreasionisme di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sebagai alternatif teori evolusi.15 Tidak hanya sampai di situ, para tokoh fundamentalis sayap kanan, se perti Jerry Falwell serta “Tiga Serangkai”, Robert Grant, Gary Jarmin, dan Colonel Donor, menjadi aktor di balik setiap kebijakan politik luar negeri Reagan, termasuk perang Israel atas Palestina dan serangkaian perang di Amerika Tengah dan Afrika yang menyebabkan terbunuhnya puluhan ribu orang. Pada tahun 1987, kepopuleran tokoh funda mentalis Falwell mulai menurun dibandingkan Part Robertson yang mampu menggerakkan ham pir 10% pem ilih dari Partai Republik. Falwell pun menutup karimya pada tahun 1987 yang diikuti dengan bubarnya Moral Majority tahun 1989. Kendati telah menutup karirnya akibat masalah yang menimpa Moral Majority, Falwell tetap mengklaim kemenangan melalui pernyataannya, “Our goal has been achieved.... The religious right is solidly in place and... 14Karen Armstrong, op. cit. 15 Hrafnkell Haraldsson, “American Fundamentalism-The Reagan Decade”, http://www.politicususa.com/american-fundamentalism-in-the-70s-the-rise-of-the-moral-majority.html.
148 | Jumal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 143-154
religious conservatives in America are now in fo r the duration. ”'6
Pada Pemilu 1992, gerakan fundamentalis mendapat “ujian” setelah kandidat dari partai Republik, George H.W. Bush kalah suara dari mantan Gubernur Arkansas Bill Clinton. Keka lahan Bush tidak terlepas dari pandangan Bush yang mulai mendukung praktik aborsi sehingga sebagian suara kaum fundamentalis beralih ke Clinton, seorang yang sebenarnya lebih liberal ketimbang Bush.20Kendati demikian, kelompok fundamentalis tetap menguasai partai Republik dan semakin populer. Hal tersebut dapat dilihat dari dominasi Partai Republik di legislatif, dengan 45 anggota baru di DPR dan sembilan di Senat berasal dari Christian Coalition. Bahkan, sampai tahun 1996 sekitar dua per tiga dari Protestan Evangelis memberikan suaranya untuk Partai Republik.21
Pasca-bubamya Moral Majority, kekuatan gerakan fundamentalis pun beralih ke jaringan Christian Coalition yang didirikan Pat Robertson. Organisasi yang didirikannya bertujuan untuk menggalang koalisi dengan sesama kelompok fundamentalis Evangelis dan sekte-sekte Protes tan yang ada, seperti Kharismatik, Pantekosta, dan Mormon serta membangun koalisi dengan kalangan Katolik dan Yahudi konservatif.17 M elalui koalisi dengan kelom pok lainnya, Robertson berharap Christian Coalition dapat memperkuat pamornya di Partai Republik. Keberadaan gerakan ini pun mendapat dukungan luas dari para pengikutnya. Sekitar 35% Protestan Evangelis mengklaim sebagai republikan. Na mun, banyaknya jumlah pendukung tidak diikuti keberhasilan Robertson yang kalah dari George H.W. Bush dalam Pemilu 1988.18 Meskipun kalah, Robertson telah meninggalkan pengaruh yang besar terhadap perkembangan gerakan fundamentalisme Protestan selanjutnya. Hal ini tidak terlepas dari lima visi didirikannya Chris tian Coalition. Pertama, memberikan pengaruh yang kuat, baik di eksekutif maupun legislatif. Kedua, mendorong kalangan fundamentalis Evangelis untuk berperan aktif dalam politik AS. Ketiga, menerapkan doktrin Kristen dalam setiap kebijakan politik AS. Keempat, membentuk opini publik melalui berbagai media. Kelima, melakukan perlawanan terhadap kebijakan bertentangan dengan ajaran dan kepentingan K risten.19 Pada awal tahun 1992, Christian Coalition berhasil menguasai Partai Republik dan memengaruhi kebijakan politik Washington. Pat Robertson sebagai tokoh fundamentalis semakin yakin bahwa masa depan politik AS akan dikuasai fundamentalis Kristen.
Menjelang Pilpres 2000, harian terkemuka di AS, The Washington Post menyatakan bahwa suara Christian Coalition yang merupakan per wakilan dari gerakan fundamentalisme akan menurun untuk Partai Republik akibat skandal pajak dan menurunnya pendapatan pendukung gerakan itu.22Namun, pada Pemilu 2000 reputasi kelompok fundamentalisme di Partai Republik justru terus meningkat. Berkat dukungan sekitar 15 juta Protestan Evangelis (sekitar 68% suara), George H.W. Bush berhasil menjadi presiden m engalahkan pesaingnya John Kerry dari Partai Demokrat. Beberapa saat setelah diangkat sebagai presiden, tepatnya pada tanggal 29 Januari 2001, Bush yang didukung kelompok fundamentalis Evangelis mendirikan Office of Faith Based and Community Initiatives (OFBCI) sebagai organisasi untuk menampung aspirasi kelompok keagamaan.23 Sepanjang dua periode kepemimpinan Bush (2001-2009) terutama pasca-Tragedi WTC 2001, gagasan war on terror dan American theocracy kerap didengungkan
16 Patrick Allitt, Religion in America Since 1945: A History, (New York: Columbia University Press, 2003), hlm. 198.
20John C. Green, “The Christian Right and the 1994 Elections: A View from the States,” PS: Political Science and Politics, Vol. 28, No. 1, Maret 1995.
17Robert D. Woodberry dan Christian S. Smith, Fundamental ism et al: Conservative Protestan in America, (University of North Carolina Published, 1998), hlm. 46. 18 Hrafnkell Haraldsson, “The Rise of American Fundamen talism 1998-2001”, http://www.politicususa.com/the-riseof-american-fundamentalism-1998-2001.html, diakses pada tanggal 2 Juli 2012. 19The Christian Right and Its Impact on The American Politics, Malik As-Su’ud University.
21 Hrafnkell Haraldsson, “The Rise of American Fundamen talism 1998-2001”, http://www.politicususa.com/the-riseof-american-fundamentalism-1998-2001.html, diakses pada tanggal 2 Juli 2012. 22 The Washington Post, 11 Juni 1999. 23Hrafnkell Haraldsson, The Rise of American Fundamentalism 1998-2001, http.V/www.politicususa.com/the-rise-of-americanfundamentalism-1998-2001.html, diakses pada tanggal 2 Juli
2012.
Demokrasi dan Fundamentalisme Protestan ... I Indriana Kartini [ 149
kelompok fundamentalis melalui OFBCI. Hal itu menunjukkan bahwa pengaruh kelompok fundamentalis pada masa pemerintahan Bush sangat kuat.
Demokrasi dan Fundamentalisme Yahudi di Israel Fundamentalisme tidak terkait dengan satu agama, tetapi ada pada semua agama, bahkan juga ada pada ideologi non-agama. Kaum fun damentalis ingin mendominasi kehidupan publik untuk mengatur kehidupan privat. Akan tetapi, apa yang disebut sebagai gerakan fundamental isme adalah suatu realitas yang sungguh-sungguh dinamis. Idealisasi dari kaum fundamentalis ternyata tidak terbukti dalam realitas kehidupan politik. Ketika para fundamentalis terjun ke dunia politik, mereka tak bisa menghindarkan diri dari kompromi sebagaimana yang lazim terjadi di dunia politik. Fundamentalisme adalah ide yang terus bergerak dan berubah serta tidak diam membatu. Kaum fundamentalis Ortodoks Yahudi, misalnya, juga mengalami keterbelahan. Se bagian mendukung langkah kaum Zionis yang menggelorakan semangat negara Israel, meski mereka berbeda dalam visi pembangunan selan jutnya karena yang satu menginginkan negara sekuler, sedangkan yang lain ingin negara agama. Kelompok inilah yang sampai di era politik Israel kontemporer memiliki visi fundamentalis ekstrem sehingga acapkali disebut kaum ultraortodoks. Sebagian kaum Yahudi ortodoks lain berbeda sikap secara diametral dengan kaum Zionis, baik dari segi awal pembentukan negara Israel sendiri maupun dalam visi pembangunan ketika Israel telah berhasil dibentuk. Realitas perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan interpretasi atas Judaisme (Talmodiac Judaism) yang memang lebih mendasarkan logika mereka pada Talmud. Kelompok yang selalu merujukkan logika pada Talmud ini sejak 70M dikenal dengan Yahudi Rabbani (Rabbanic Judaism). Namun, sejak abad ke-19 Yahudi Talmudi lebih populer disebut Yahudi Ortodoks (Orthodox Judaism) atau mereka lebih senang disebut “Yahudi yang meyakini Taurat” ( True Torah Judaism).
Namun, kaum Yahudi yang biasa dilabeli sebagai kaum fundamentalis, baik di era lama maupun di era kini, bukanlah sebagai entitas tunggal, melainkan terpecah dalam dua kelompok besar. Pertama, Neturei Karta (bahasa Aram yang secara harfiah berarti penjaga kota) adalah organisasi tertua yang menentang gerakan dan ideologi Zionisme. Dimulai pada abad ke-18, dengan pelopornya adalah kelompok Yahudi Ortodoks yang dipimpin oleh Rabbi Yisroelben Eliezer. Neturei Karta kerap menyebut diri mereka sebagai “Perserikatan Yahudi Penentang Zionis”, dibentuk secara resmi pada 1935 sebagai reaksi atas munculnya Zionisme dan rencana pembentukan negara Israel. Penentangan itu dilatarbelakangi keyakinan bahwa pembentukan negara Israel hanya diperbolehkan pada saat ke datangan sang juru selamat (Messiah atau Imam Mahdi). Pada awalnya, anggota organisasi ini terkonsentrasi di Yerusalem. Kemudian, mereka menyebar sampai London, New York, berbagai kota di Amerika Utara dan juga di Lithuania. Mereka menilai kaum Zionis yang dianggap sekuler dan telah mengotori Tembok Ratapan. Se jumlah pemimpin organisasi ini punya kedekatan hubungan dengan Iran. Mereka menganggap Iran sebagai sahabat karena melihat pemerintahannya bersikap cukup adil terhadap warga minoritas Yahudi yang hidup di sana. Kedua, Yahudi Ortodoks. Yahudi Ortodoks adalah cabang Yudaisme yang mengikuti perintah agama mereka dari Taurat Musa dengan sangat ketat sehingga tidak jarang secara literal dan tidak menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Di Israel, di awal tahun 2000-an terdapat kurang lebih 800.000 orang Yahudi Ortodoks. Meski terdapat perbedaan di antara mereka, secara umum terdapat beberapa kesamaan logika yang dibangun dari kaum Yahudi fundamentalis ini, antara lain (1) mereka yakin bahwa Taurat bersumber dari Tuhan sehingga bersifat statis dan abadi untuk segala ruang dan waktu. Jika konsep Taurat bertentangan dengan situasi dan kondisi masyarakat maka yang harus diubah adalah situasi dan kondisi, bukan Tauratnya; (2) dalam ibadah ritual laki-laki dan perempuan tidak boleh bercampur, dan perempuan dilarang menziarahi Tembok Ratapan; dan (3) Yahudi adalah bangsa terpilih. Mereka juga meyakini
150 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 143-154
adanya “tanah yang dijanjikan” di Palestina, dan “kedatangan” seorang nabi Yahudi yang akan membangun kerajaan Yahudi.24
demokratis, berwatak Barat, dan liberal.” Dengan kata lain, meskipun Israel adalah negara Yahudi, ia juga sekaligus merupakan negara sekuler.
Di kalangan ortodoks ini ada yang bahkan bersikap sangat ekstrem sehingga disebut ultra-ortodoks. Perilaku yang diperlihatkan kelompok Yahudi ultra-Ortodoks ini sebetulnya menunjukkan bahwa gejala fundamentalisme bukanlah khas pada agama tertentu, tetapi ada pada agama-agama besar dunia. Kelompok Yahudi ultra-Ortodoks biasa disebut sebagai Haredim.
Namun, watak sekuler inilah yang sejak lama diprotes oleh kelompok Yahudi Ortodoks atau ultra-Ortodoks. Mereka ingin menjadikan Israel sepenuhnya sebagai negara agama dan diatur menurut hukum agama Yahudi yang sangat ketat (hukum Taurat). Mereka menolak negara sekuler Israel karena negeri semacam ini, dalam pandangan mereka, diatur oleh “chukos ha goyim”, yakni hukum Gentile, yakni bangsabangsa non-Yahudi.25
Kaum Haredim ini kontra terhadap dunia sekuler, seraya menegakkan dengan ketat tradisi Yahudi yang bersumber dari hukum Talmud. Mereka biasa disebut sebagai kelompok kontraakulturasi. Ciri-ciri mereka sangat jelas, yaitu menolak dunia sekuler dan mengembangkan corak kehidupan yang lebih suci (pristin) berdasarkan tradisi Yahudi yang ditafsirkan secara ketat. Kelompok Haredim ini tumbuh dari dua kelompok Yahudi ortodoks yang sudah muncul sebelumnya, yakni kelompok Hasidim (cenderung spiritualistik, mirip-mirip dengan kalangan tradisionalis Nahdhatul Ulama) dan Misnagdim (yang cenderung tekstualis-keras, mi rip dengan kelompok Wahabi dalam Islam). Dua kelompok ini mengembangkan pola pendidikan tradisional yang dengan keras memegang tradisi melalui “madrasah” Yahudi yang dikenal dengan yeshiva. Metode pendidikan yang dikenal di sana adalah tachlis, yaitu murid hanya diajarkan ilmu-ilmu tradisional mengenai hukum Talmud. Mereka dilarang untuk mempelajari ilmu-ilmu lain, terutama yang datang dari dunia sekuler. Negara Israel memang negara Yahudi, dan diperuntukkan untuk bangsa Yahudi. Mungkin inilah negara satu-satunya di m uka bumi yang mempunyai watak etnik dan keagamaan yang begitu kental. Tak ada negeri manapun di dunia ini yang berdiri dengan niat khusus untuk menampung etnik atau bangsa tertentu. Memang, sebagaimana dinyatakan oleh PM Israel Benyamin Netanyahu, menanggapi kasus Naama Margolese, bahwa Israel tetaplah “negara 24 Lihat Nasrul Azwar, "Fundamentalisme dalam Konflik Agama”, http://id.shvoong.com/ social-sciences/1693216fundamentalisme-agama-dalam-konflik-israel/, diakses pada tanggal 8 Juli 2012.
Tentu saja, kalangan sekuler atau moderat di Israel menolak visi negara agama seperti yang dikehendaki oleh kaum ultra-Ortodoks itu. Meskipun, di bawah kepemimpinan Partai Likud dan PM Benyamin Netanyahu (ketika naskah ini ditulis), pengaruh kaum Yahudi ultra-Ortodoks pelan-pelan memang menguat, melampaui jumlah numerik mereka yang sebetulnya sangat kecil. Menurut estimasi Heilman dan Friedman, jumlah kaum Yahudi ultra-Ortodoks hanyalah 30% dari total pengikut Yahudi Ortodoks. Sementara jumlah kelompok yang terakhir ini hanyalah 15% dari total orang Yahudi di seluruh dunia (sekitar 13,5 juta). Di Israel, ancaman kelompok Yahudi ultraOrtodoks ini menjadi momok yang menakutkan. PM Yitzhak Rabbin membayar mahal harga perdamaian dengan nyawanya pada November 1995. Netanyahu (1996-1999) dan Ehud Barak (1999-2001) harus kehilangan jabatannya sebagai perdana menteri karena berani menan datangani kesepakatan Wye River I pada Oktober 1998, Wye River II pada September 1999, dan KTT Camp David II pada Juli 2000.26 Bahkan, tidak sedikit yang meramalkan bahwa kedatangan Netanyahu pada KTT Aqaba di tahun 2011 lalu dianggap upaya “menggali lubang kuburannya sendiri”. Lebih tragis lagi, terhadap sesama warga Israel yang beragam a Yahudi, tetapi tidak memiliki darah Yahudi, sentimen ras tetap diber25 Baca artikel Samuel C. Heilman dan Menachem Friedman, dalam buku yang disunting Martin E. Marty dan Scott R. Appleby, Fundamentalism Observed, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1991). 26Musthafa Abdul Rahman, Dilema Negara Israel, (Jakarta: Kompas, 2002).
Demokrasi dan Fundamentalisme Protestan ... | Indriana Kartini | 151
lakukan. Di Israel, terdapat kelompok masyarakat Yahudi kulit hitam keturunan Afrika, terutama Ethiopia. Kaum Yahudi ultra-Ortodoks melabeli mereka dengan sebutan kaum Falasas sebagai pertanda mereka bukan diakui sebagai bagian integral dari bangsa Yahudi. Bahkan, beberapa kali terjadi sumbangan darah—untuk tujuan kemanusiaan—dari kaum Falasas ini diam-diam dibuang kembali karena alasan tidak ingin terjadi pencemaran “keyahudian” mereka. Hal ini tentu menimbulkan ketersinggungan dan kemarahan luar biasa dari kaum Yahudi migran dari Ethiopia ini. Kalau kita mencoba mengidentifikasi kelom pok-kelompok garis keras tadi, keberadaannya tidak lepas dari upaya pemaksaan pemahaman agama mereka terhadap realitas sosial dan politik. Mereka menggunakan simbol-simbol agama sebagai “stempel legalisasi” atas aksiaksi radikal, seperti ungkapan “berperang demi Tuhan” dan “merebut tanah yang dijanjikan”. Yang lebih parah lagi, mereka akan terus menolak setiap upaya perdamaian dengan melanggar perintah Tuhan. Konflik Israel-Palestina yang tidak berkesudahan kian menyulut berkobarnya kebangkitan fundamentalisme agama, termasuk khususnya dalam agama Yahudi.
Penutup Fenomena fundamentalisme agama tidak hanya muncul pada satu agama saja, tetapi pada setiap agama yang menjadikan doktrin keagamaan se bagai sesuatu yang sangat fundamental, temasuk dalam Protestan. Fundamentalisme Protestan di AS merupakan gerakan politik keagamaan yang muncul sebagai reaksi atas semakin memudarnya iman di kalangan umat Kristen akibat sekularisasi yang semakin marak di tengah rakyat AS. Di samping itu, demokrasi sebagai sistem politik yang dianut di AS selama berabad-abad telah memberikan ruang bagi berkembangnya gerakan fundamentalisme Protestan. Munculnya gerakan fundamentalisme agama dalam suatu agama ditandai dengan terbaginya agam a dalam berbagai macam aliran-aliran yang membedakan satu dengan yang lainnya. Contoh konkretnya adalah perpecahan dalam tubuh Kristen Protestan ke dalam berbagai macam sekte.
Sementara itu, pengalaman fundamentalisme dalam agama Yahudi tentu tak asing bagi mereka yang akrab dengan gejala fundamentalisme dalam Islam. Ada banyak kemiripan di sana, apalagi jika dipertimbangkan bahwa, baik Islam maupun Yahudi mempunyai kemiripan dalam satu hal, yaitu keduanya sangat menekankan dimensi hukum yang bersifat formal dalam agama. Dalam Islam ini berkembang menjadi tradisi fikih; dalam Yahudi berkembang dalam tradisi Talmudik. Di Israel, apa yang disebut sebagai kehidup an demokratis tidak akan lepas dari pengaruh agama Yahudi. Kaum Zionis sekuler yang mendirikan Israel menggunakan simbol agama Yahudi untuk kepentingan politiknya sehingga pengaruh Yahudi tidak lepas dari kehidupan poli tik Israel. Terlebih lagi, ketika kaum agamawan Yahudi, apalagi yang fundamentalis ikut masuk dalam dunia politik maka semakin sulit untuk membedakan bahwa Israel sebagai negara demokrasi atau sebagai negara agama Yahudi.
Daftar Pustaka Buku Armstrong, Karen. 2001. Berperang Demi Tuhan. Ja karta: Serambi. Allitt, Patrick. 2003. Religion in America Since 1945: A History. New York: Columbia University Press. Marty, Martin E. & R. Scott Appleby (Eds.). 1993.
Fundamentalisms and the State: Remarking Polities, Economic andMilitance. Chicago: the University of Chicago Press. Marsden, George M. 2006. Fundamentalism and American Culture. New York: Oxford Univer sity Press. --------------- . 2001 . Agama dan Budaya Amerika. Ja karta: Pustaka Sinar Harapan. --------------- . 1991. Understanding Fundamentalism and Evangelicalism. GrandRapids: Eerdmans. Rahman, Musthafa Abdul. 2002. Dilema Negara Is rael. Jakarta: Kompas. Utter, Glenn H. & John Woodrow Storey. 2001. The Religious Right: A Reference Handbook. ABCCLIO.
152 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 143-154
Woodberry, Robert D. & Christian S. Smith. 1998.
Fundamentalism et al: Conservative Protes tan in America. University of North Carolina Published.
Haraldsson, Hrafnkell. 2012. “The Rise of American Fundamentalism 1998-2001”, [online]. Dalam
http://www.politicususa.com/the-rise-of-american-fundamentalism-1998-2001.html [diakses 2 Juli 2012].
Jurnal Green, John C. 1995. “The Christian Right and the 1994 Elections: A View fforn the States”, PS: Political Science and Politics, 28 (1).
--------------- . 2012.“American Fundamentalism in the 70’s: The Rise ofThe Moral Majority”, [online]. Dalam http://www.politicususa.com/american-
fundamentalism-in-the-70s-the-rise-of-themoral-majority.html [diakses 2 Juli 2012]. --------------- . 2012. "American Fundamentalism: The Reagan Decade”, [online]. Dalam http://www.
Surat Kabar dan Website "Classification of Protestant Denominations”, Pew Forum on Religion and Public Life, [online]. Dalam http://religions.pew/orum.org/pdf/re-
politicususa.com/american-fundamentalismin-the- 70s-the-rise-of-the-moral-majority. html
port2religious-landscape-study-appendix3.pdf
Sopanema, Daniel. 1999. “Ensiklopedi Mini Aliranaliran Gereja (Protestan)”, [online]. Dalam
[diakses 12 Agustus 2012]. Azwar, Nasrul. 2007. "Fundamentalisme dalam Kon flik Agama”, [online]. Dalam http://id.shvoong.
com/ social-sciences/1693216-fundamentalisme-agama-dalam-konflik-israel/ [diakses 8
[diakses 2 Juli 2012].
http://www.inkribs. org/index.php/karanganpopular/45-diakonia/134-ensiklopedi-mini-aliran-aliran-gereja-protestan?format=pdf[diak ses 20 Juli 2012].
Juli 2012].
Demokrasi dan Fundamentalisme Protestan ... I Indriana Kartini I 153
DARI OTORITARIANISME KE DEMOKRASI: BAGAIMANA MENDORONG NEGARA MENUJU KESTABILAN DAN KETERBUKAAN? FROM AUTHORITARIANISM TO DEMOCRACY: H O W TO ENDORSE STATE INTO STABILITYAND OPENNES? Mohamad Rosyidin Mahasiswa Pascasarjana (S2) Ilmu Hubungan Internasional Fisipol Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 26 Januari 2013; direvisi: 15 April 2013; disetujui: 12 Juni 2013 Judul buku
: The J Curve: Strategi Memahami Mengapa Bangsa-bangsa Berjaya dan Jatuh
Pengarang
: Ian Bremmer
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan
: I (2013)
Tebal
: 409 + xii halaman Abstract
Democratization has become salient phenomena in world politics since post-Cold War. It has been argued that democratization not only ensure civil rights but also bolster international peace and security. The problem is many countries remain adopt authoritarianism which violate civil rights even if there is no political disruption. Nevertheless, the ideal political system is both stable and open system. This article highlights the ‘J curve’theory that offers explanation on political dynamic as well as provides policy recommendationfor great powers to encou rage democratization in authoritarian countries. The strategy to encourage political change towards democracy is strengthening political institutionalization. Political institutionalization matters in order to avoid instability trap as democratization proceeds. This article argues that the ‘J curve ’theory is very supportive to USforeign policy agenda. The theory suggests that US need to stress on political institutionalization rather than military intervention to end authoritarianism. US engagement in the process of democratization in Indonesia reflects the application of the ‘J curve’theory. Keywords: the 'J curve’theory, authoritarianism, democratization, political institutionalization Abstrak Demokratisasi menjadi fenomena penting dalam politik dunia sejak berakhirnya Perang Dingin. Pendapat yang berkembang mengatakan bahwa demokratisasi tidak hanya menjamin hak-hak sipil, tetapi juga menunjang keamanan dan perdamaian internasional. Masalahnya, banyak negara di dunia yang masih mengadopsi sistem otoritarianisme yang tidak menjamin hak-hak sipil meskipun politik di negara-negara tersebut relatif tidak ada gejolak. Walaupun demikian, sistem politik yang ideal adalah sistem politik yang stabil sekaligus terbuka. Artikel ini meyoroti teori ‘Kurva J ’ yang menawarkan penjelasan tentang dinamika politik suatu negara dan menyediakan rekomendasi kebijakan kepada negara besar untuk mendorong demokratisasi di negara otoriter. Strategi mendorong perubahan politik menuju demokrasi adalah dengan memperkuat pelembagaan politik. Pelembagaan politik sangat penting agar terhindar dari jebakan ketidakstabilan selama menempuh proses demokratisasi. Artikel ini berpendapat bahwa teori ‘Kurva J’ sangat mendukung agenda politik luar negeri Amerika. Teori ‘Kurva J’ menyarankan supaya
Dari Otoritarianisme ke Demokrasi... | Mohamad Rosyidin | 155
Amerika lebih mengedepankan cara-cara pelembagaan politik ketimbang intervensi militer dalam mengakhiri otori tarianisme. Keterlibatan Amerika dalam proses demokratisasi di Indonesia mencerminkan penerapan teori ‘Kurva J’. Kata kunci; teori ‘Kurva J’, otoritarianisme, demokratisasi, pelembagaan politik
Pendahuluan Fenomena Arab Spring di permulaan tahun 2011 lalu membuktikan kebenaran tesis Francis Fuku yama bahwa demokrasi adalah ideologi universal umat manusia yang bersifat final. Kita telah menyaksikan negara-negara sedang berderap menuju demokrasi. Meskipun perjalanan menuju demokrasi tidak mudah, banyak negara percaya bahwa demokrasi akan menjamin keterpenuhan hak-hak sipil warga negara sekaligus memberi jalan kepada kemakmuran. Alur berpikir itulah yang mendasari penu lisan buku ini. Dengan bangunan argumen yang cerdas dan masuk akal, Ian Bremmer menge mukakan teori tentang jalur yang dilalui suatu negara untuk mengakhiri otoritarianisme. Teori ‘Kurva J’ menyediakan kerangka analisis yang memadai untuk memahami bagaimana negaranegara runtuh atau bertahan dalam proses menuju pemerintahan terbuka. Disebut ‘Kurva J' karena teori itu digambarkan dalam bentuk grafik dengan sumbu vertikal yang mengukur kestabilan dan sumbu horizontal yang mengukur keterbukaan politik dan ekonomi terhadap dunia luar (hlm. 5). Jika kita ingin mengukur tingkat kestabilan dan keterbukaan suatu negara maka akan terbentuk sebuah titik. Titik-titik data ini ketika dirangkai menjadi satu akan membentuk sebuah kurva yang mirip huruf J. Semakin ke kiri negara yang kita ukur menempati kurva tersebut maka semakin tertutup negara itu, dan sebaliknya. Semakin tinggi letak suatu negara yang kita ukur dalam kurva tersebut maka semakin stabil negara itu, dan sebaliknya. Dengan pola seperti itu, teori ‘Kurva J’ juga memberikan rekomendasi kebi jakan kepada negara-negara maju mengenai cara paling efektif untuk membantu negara-negara otoriter keluar dari belenggu kedikatatoran. Dalam sistem pemerintahan negara-negara di dunia, ada dua jenis karakter sebuah rezim, yaitu negara yang stabil karena tertutup dan negara yang stabil karena terbuka. Idealnya, negara yang stabil karena terbuka lebih baik dibandingkan negara yang stabil karena tertutup.
Oleh sebab itu, pertanyaan besar yang perlu dicari jawabannya adalah bagaimana cara mengubah negara yang stabil karena tertutup menjadi negara yang stabil karena terbuka. Untuk menjawab pertanyaan ini, Bremmer terinspirasi dari teori ekonomi. Teori ‘Kurva J’ sebenarnya diadaptasi dari teori perdagangan internasional, khususnya kurva J yang mengukur hubungan antara defisit perdagangan suatu negara dan nilai tukar mata uangnya (hlm. 5). Secara garis besar, buku ini menyoroti dua faktor penentu kualitas sebuah pemerintahan, yakni keterbukaan dan kestabilan. Keterbukaan mengukur sejauh mana sebuah negara selaras dengan arus-arus globalisasi yang saling-silang (hlm. 6) serta seberapa jauh negara tersebut men jamin kebebasan warga negaranya dalam bereks presi dan memperoleh informasi. Sementara itu, kestabilan merujuk pada kemampuan negara bertahan dari guncangan dan kemampuannya un tuk tidak membuat guncangan-guncangan (hlm. 7). Dari kategorisasi itu, Bremmer memberikan contoh negara-negara, seperti Korea Utara, Kuba, dan Irak sebagai negara yang berada pada sisi paling kiri dari Kurva J, yakni negara stabil tetapi tertutup. Sebaliknya, negara-negara yang dikategorikan sebagai negara ‘agak terbuka’, tetapi berpotensi menjadi tidak stabil adalah Iran, Arab Saudi, dan Rusia. Afrika Selatan dan Yugoslavia adalah contoh negara yang berada di paling bawah dari Kurva J. Negara-negara yang berada di sisi paling kanan Kurva J atau masuk dalam kategori negara stabil dan terbuka, contohnya adalah Turki, Israel, dan India. Untuk Cina, Bremmer menempatkannya di sisi kiri Kurva J dengan alasan Cina masih relatif tertutup sekalipun ekonominya terbuka, namun stabil. Buku ini berangkat dari tesis bahwa sebuah negara yang stabil karena ketertutupannya harus melalui sebuah babak ketidakstabilan yang berbahaya atau kritis sewaktu negara itu membuka diri terhadap dunia luar (hlm. 6). Jadi, proses menuju kestabilan dan keterbukaan mem butuhkan ‘pengorbanan’ berupa ketidakstabilan.
156 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 155-160
Fase krisis ini perlahan-lahan akan dilalui seiring dengan proses penguatan kelembagaan domestik negara bersangkutan hingga benar-benar menca pai tahapan yang matang. Teori ‘Kurva J’ mengimplikasikan bahwa jauh lebih cepat dan mudah menutup sebuah negara daripada m em bukanya (hlm . 18). U ntuk m engubah rezim m enjadi otoriter, hanya diperlukan kekuasaan tak terbatas yang mengendalikan seluruh sendi kehidupan ma syarakat. Lebih efisien memulihkan ketertiban dengan mengumumkan undang-undang darurat perang daripada undang-undang kebebasan pers. Sementara itu, untuk menuju sisi kanan Kurva J, proses yang dilalui cukup panjang dan melelah kan. Proses inilah yang biasanya dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang. Mengubah sistem dari kediktatoran militer ke parlementer adalah perkara mudah. Akan tetapi, mengisinya dengan tokoh-tokoh yang berdedikasi dan berintegritas tidak semudah membalik telapak tangan. Korea Selatan dan Indonesia menjadi contoh betapa demokratisasi adalah sebuah proses yang menguras biaya, tenaga, dan pikiran.
Strategi ‘Kuda Troya’ Mendambakan kestabilan tidak mensyaratkan demokrasi. Dalam sistem otoriter yang tertutup sekalipun, kestabilan tetap ada bahkan mungkin dengan derajat yang lebih stabil dibandingkan sistem demokratis. Kendali terpusat berfungsi seperti peredam kejut yang menyerap goncangan secara efektif dan efisien. Sebaliknya, dalam sistem demokratis belum tentu terdapat kestabi lan karena begitu kran kebebasan dibuka berbagai gejolak muncul secara tiba-tiba. Hanya saja, kestabilan pada rezim otoriter sangat tergantung pada pribadi seorang pemimpin. Selama sang pemimpin masih hidup, kestabilan bisa diper tahankan. Akan tetapi, jika suksesi politik tidak mampu mempertahankan ‘kultus individu’, bisa dipastikan rezim tersebut akan jatuh pada lereng paling bawah dari Kurva J. Dengan kata lain, akan mengalami fase ketidakstabilan yang parah. Jika memang kestabilan tidak dipengaruhi oleh sistem politik, mengapa sistem otoritari anisme tidak didukung? Dengan kata lain, jika negara otoriter saja bisa stabil dan negara yang sedang menuju demokrasi justru tidak stabil,
mengapa tidak memilih sistem otoriter saja untuk menjamin kestabilan? Ini adalah pertanyaan cerdas dan menarik. Bremmer mengajukan alasan bahwa kediktatoran mustahil bisa bertahan lama (hlm. 28). Otoritarianisme bertentangan dengan hasrat alami manusia untuk bebas. Masyarakat yang hidup di bawah bayang-bayang represi pemerintah ibarat bom waktu yang suatu saat akan meledak. Begitu momentum itu tiba, hasrat terpendam tadi meledak tanpa kendali. Jika itu terjadi, negara bekas kediktatoran itu akan jatuh di kurva paling bawah dan menjadi lahan subur bagi munculnya sumber-sumber ancaman, seperti terorisme dan senjata pemusnah massal. Dalam fase transisi menuju demokrasi, negara menjadi lebih agresif dan tak jarang memicu perang dengan negara lain.1 Berbeda dengan kestabilan yang terdapat, baik pada rezim otoriter maupun demokratis, keterbukaan hanya m ungkin dijam in oleh pemerintahan demokratis. Sistem demokrasi menjamin kebebasan berekspresi warganya dan mengakses informasi dari mana saja. Memang, keterbukaan tidak bisa menjamin kestabilan. Akan tetapi, kestabilan yang didukung dengan keterbukaan lebih baik dan tahan lama karena dua alasan. Pertama, negara yang stabil dan terbuka akan terhindar dari guncangan yang bisa menyeretnya ke titik terendah dari Kurva J. Kedua, negara yang stabil dan terbuka relatif lebih ramah dalam hal kebijakan luar negerinya sehingga akan berkontribusi terhadap perdamaian internasional. Hal ini jelas berbeda dengan negara otoriter-tertutup yang cenderung bersikap agresif untuk menarik perhatian dunia internasional. Sebagai buku yang dimaksudkan untuk para pembuat kebijakan luar negeri Amerika, Bremmer mengajukan rekomendasi tentang kebi jakan apa yang harus dilakukan negaranya untuk mendorong negara otoriter menuju demokrasi. Alih-alih menganjurkan intervensi militer yang hanya akan memicu permusuhan, ia mengan jurkan agar negara-negara maju menciptakan kondisi-kondisi yang paling disukai rezim ter tutup agar dengan aman melewati babak kurang stabil pada Kurva J di samping meminimalkan risiko sewaktu transisi menuju modernisasi 1 Edward Mansfield dan Jack Snyder, “Democratization and The Danger o f War,” International Security, Vol. 20, No. 1, Summer, 1995, hlm. 5.
Dari Otoritarianisme ke Demokrasi... | Mohamad Rosyidin | 157
mereka dimulai (hlm. 30). Bagi negara seperti Amerika, karakter rezim di suatu negara sangat penting bagi kepentingan nasional Amerika. Semakin demokratis suatu negara, semakin tidak mengancam keamanan nasional Amerika.2 Oleh karena itu, sangat penting bagi Amerika melakukan upaya demokratisasi di negara otoriter dengan membangun penguatan kelembagaan yang demokratis.3 Ini adalah metode ‘Kuda Troya’ klasik dengan mendukung pembangunan di dalam negara itu sendiri sebelum mereka memulai transisi. Negara-negara maju berarti harus melakukan upaya-upaya persuasif dengan sedikit terselubung, yaitu melakukan pemba ngunan lembaga-lembaga politik, ekonomi, dan budaya. Penguatan lembaga-lembaga ini penting sebab, sebagaimana dicontohkan Brem mer dalam kasus Afrika Selatan era Apartheid, lembaga-lembaga ini akan diperlukan ketika negara bersangkutan mau tidak mau merosot ke situasi tidak stabil (hlm. 322). Metode ‘Kuda Troya’ merupakan social engeenering guna m em berikan modal kepada negara-negara tertutup agar mampu menyelesaikan masalahnya sendiri ketika perubahan berlangsung. Argumentasi Bremmer dalam buku ini sebenarnya hanya melengkapi tentang strategi bagaimana mengakhiri rezim otoriter. Titik berangkat Bremmer sejalan dengan pendapat para sarjana Barat tentang bahaya ‘illiberal democracy’ yang mengancam kebebasan sipil dan penegakan hukum.4 Strategi capacity building yang dianjurkan Bremmer mengimplikasikan bahwa Amerika hendaknya mempertimbangkan konteks domestik negara yang ingin ‘didemokratiskan ’. Amerika harus menj alin kemitraan dengan elite-elite lokal dalam proses pembuatan keputusan daripada memaksakan penerapan model demokrasi Barat secara mentah-mentah. Menganggap negara lain seperti anak kecil yang harus mengikuti kehendak Barat tidak saja me
2Sean M. Lynn-Jones, “Why the United States Should Spread Democracy”, Discussion Paper 98-07, Center for Science and International AfFairs, Harvard University, Maretl998. 3Francis Fukuyama, America at the Crossroads: Democracy, Power, and The Neoconservative Legacy (New Haven: Yale University Press, 2006), hlm. 114. “Fareed Zakaria, “The Rise o f Illiberal Democracy,” Foreign Affairs, Vol. 76, No. 6, November-Desember 1997, hlm. 22—43.
micu penolakan, tetapi juga agenda demokratisasi gagal terwujud.5
Relevansinya bagi Indonesia Pembahasan contoh kasus penerapan teori ‘Kurva J’ dalam buku ini hanya terbatas pada sejumlah negara saja. Lantas, jika mengacu pada kurva tersebut di manakah posisi Indonesia? Ditinjau dari aspek kestabilannya, Indonesia boleh dikatakan masih kurang stabil karena gejolak politik, ekonomi, dan sosial masih sangat sering terjadi. Bahkan kecenderungan pemerintahan masa reformasi adalah melakukan kebijakan yang tidak populis terhadap kebijakan domestik, seperti menaikkan harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, privatisasi pendidikan, maupun kebijakan luar negeri seperti melepas TimorTimur, membuka hubungan dagang dengan Israel, mendukung sanksi terhadap Iran, lamban dalam membela TKI yang terancam hukuman mati, tidak tegas kepada negara tetangga yang melanggar kedaulatan, memberikan grasi kepada narapidana narkoba, dan lain sebagainya, di mana kesemuanya itu menimbulkan gejolak yang mengancam legitimasi pemerintah. Ditinjau dari aspek keterbukaannya, Indonesia dapat dikate gorikan sebagai negara terbuka karena akses informasi dan kebebasan berekspresi dijamin terutama pascareformasi. Jadi, posisi Indonesia dalam Kurva J berada di kanan bawah. Hal ini sangat masuk akal sebab Indonesia masih dalam perjalanan menuju negara terbuka dan stabil di posisi kanan atas Kurva J. Aspek lain yang menarik adalah keterkaitan antara kebijakan perubahan rezim Amerika dan perubahan politik negara-negara berkembang. Anjuran Bremmer mengenai pentingnya strategi ‘Kuda Troya’ sebelum memulai babak perubah an di negara tertutup mengingatkan kita pada tragedi 1965 di mana banyak pakar menyinyalir keterlibatan Amerika yang sangat kuat. Analisis Peter Dale Scott dan John Roosa menyimpulkan bahwa Amerika berperan secara tidak langsung terhadap aksi kudeta gagal yang berujung pada penghancuran PKI. Hal itu diperkuat dengan pengakuan mantan duta besar Amerika untuk In'Gideon Rose, “Democracy Promotion and American Foreign Policy: A Review Essay", International Security, Vol. 25, No. 3, Winter2001, hlm. 199.
158 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 155-160
donesia, Marshal Green yang mengatakan bahwa, “Kami tidak menciptakan gelombang itu, kami hanya menungganginya.”6 Meskipun Amerika menyangkal keterlibatannya secara langsung dalam tragedi itu, setidaknya Amerika berperan dalam mempersiapkannya, semisal menggagas civic mission bagi Angkatan Darat Indonesia serta mendirikan Seskoad yang menurut catatan John Roosa dirancang mencetak para ‘penguasa masa depan’.7 Strategi ‘Kuda Troya’Amerika di Indonesia sebelum peristiwa 1965 menunjukkan bahwa perubahan rezim harus dilakukan bukan dengan intervensi militer secara langsung dan kasar seperti di Vietnam, melainkan membangun lembaga yang akan menjadi pilar penyangga ketika perubahan terjadi. Keterlibatan Amerika dalam proses perubah an rezim di Indonesia juga terjadi pada momen reformasi 1998. Banyak kalangan percaya bahwa tergusurnya Soeharto dari kursi kekuasaan tak terlepas dari faktor politik luar negeri Amerika.8 Bahkan, jauh sebelum reform asi bergulir, Amerika sudah mempersiapkan Tiang lahat’ bagi rezim otoriter Soeharto yang dulu pemah didukungnya. Kemunculan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada paruh pertama dekade 1990-an merupakan ‘sumbu politik’yang memicu ledakan protes masyarakat sipil terhadap pemerintah. Munculnya LSM-LSM dan perannya dalam memperkuat kedudukan masyarakat sipil vis a vis pemerintah berutang pada dukungan LSM-LSM internasional yang disokong Barat.9 Artinya, dukungan Amerika kepada lembagalembaga itu, baik secara m aterial maupun nonmaterial merupakan strategi ‘Kuda Troya’ yang memainkan peran cukup krusial dalam membawa perubahan politik di Indonesia. Tentu saja, faktor eksternal itu bukan satu-satunya pe nyebab demokratisasi, namun faktor penunjang keterbukaan politik di Indonesia. 6Tim Weiner, Legacy ofAshes: The History ofThe C l A, (New York: Doubleday, 2007), hlm. 262. 7John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 Septem ber dan Kudeta Suharto, (Jakarta: Hasta Mitra, 2008), hlm. 263. 'Kishore Mahbubani, Beyond The Age oflnnocence: Rebuilding Trust between America and The World (New York: Public Affairs, 2005), hlm. 44. 9 Dewi Fortuna Anwar, “The Fail o f Suharto: Understanding The Politics of The Global”, dalam Dewi Fortuna Anwar, Indonesia at Large: Collected Writings on ASEAN, Foreign Policy, Security and Democratization, (Jakarta: The Habibie Center, 2005), hlm. 325.
Terlepas dari bias kepentingan Amerika yang sangat eksplisit, buku ini harus diakui me ngandung pelajaran penting bagi bangsa-bangsa yang sedang atau akan menuju demokratisasi. Teori ‘Kurva J’ memberikan papan petunjuk bagi pemerintah mengenai rute yang ditempuh agar sampai pada titik paling kanan kurva sekaligus memberikan papan peringatan di mana dan kapan sebuah negara dapat terperosok ke titik paling bawah kurva. Dalam memberikan saran supaya demokratisasi tidak jatuh ke kerawanan, argumen Bremmer tampak sejalan dengan Jack Snyder tentang pentingnya modal politik, ekonomi, dan sosial sebagai prakondisi demokratisasi. Ada tiga syarat pokok berhasilnya demokratisasi, yaitu kaya dan modem, golongan elite mudah menye suaikan diri, dan lembaga-lembaga berhaluan liberal yang cukup kokoh dan beragam.10Afrika Selatan yang berhasil menghindar dari jebakan ketidakstabilan pasca-perubahan merupakan contoh kasus dari argumen ini. Salah satu kelebihan lain buku ini adalah Bremmer secara berim bang m enganjurkan tindakan-tindakan apa yang harus diambil negara-negara maju untuk mendorong de mokratisasi sekaligus mengkritik kebijakan luar negeri yang menekankan pada cara-cara militer. Misalnya dalam kasus invasi ke Irak tahun 2003, ia membuktikan teorinya bahwa demokratisasi yang dipaksakan justru akan menenggelamkan negara bersangkutan ke dalam situasi ketidak stabilan yang tidak berkesudahan. Pelajaran dari Kurva J adalah bahwa sebuah proses penciptaan kesempatan-kesempatan bagi warga Irak untuk mendapatkan keuntungan dari akses sumber daya dari dunia luar akan menyebabkan rezim Saddam tidak stabil sehingga hal itu akan sedikit lebih baik bagi rakyat Irak ataupun Amerika (hlm. 104). Meskipun demikian, harus dikatakan bahwa buku ini tak luput dari kekeliruan yang cukup fatal. Sebagai contoh adalah proyeksi Bremmer mengenai masa depan politik Suriah. Bremmer mengatakan bahwa sebagai negara yang cukup stabil, Suriah merupakan salah satu negara yang memang rentan terhadap tantangan-tantangan jangka panjang akibat lembaga politiknya yang 10Jack Snyder, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah: Demokratisasi dan Konflik Nasionalis, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), hlm. 366.
Dari Otoritarianisme ke Demokrasi... | Mohamad Rosyidin | 159
belum matang, tetapi tidak akan mengalami kekacauan nyata tahun ini atau tahun depan (hlm. 15). Prediksi Bremmer meleset karena ternyata Suriah terkena imbas Arab Spring yang memicu perang saudara tak berkesudahan hingga saat ini. Kekurangan lain adalah argumen bahwa perjalanan suatu negara menuju kanan kurva adalah suatu proses yang alami (hlm. 25). Teori ini tidak berlaku untuk Indonesia pada masa Orde Baru karena masyarakat lebih mendambakan kestabilan daripada keterbukaan. Pada masa Orde Baru, rakyat jelata tidak terlalu menghi raukan kebijakan represif pemerintah selama kebutuhan ekonomi mereka terpenuhi. Bagi negara yang jumlah kelas menengahnya relatif kecil, kebebasan sipil tampaknya tidak lebih ber harga ketimbang tercukupinya kebutuhan dasar mereka. Bahkan di negara-negara yang relatif makmur sekalipun, misalnya Cina dan Arab Saudi, meningkatnya standar hidup masyarakat tidak secara otomatis memicu tuntutan terhadap kebebasan sipil. Satu lagi, argumen Bremmer tampak tidak sejalan dengan fakta bahwa di Arab Saudi, Amerika tidak peduli dengan masa depan rezim di negara otoriter tersebut kecuali kepentingan geopolitik dan geostrategis. Akhirnya, tesis buku ini sangat konsisten dengan tesis teori perdamaian demokratis yang berasumsi bahwa semakin demokratis sebuah negara semakin tidak agresif negara tersebut. Alhasil, demokrasi bisa berkontribusi terhadap perdamaian dunia. Corak pemikiran liberal begitu kuat sehingga agenda besar negara-negara maju adalah menggiring negara-negara tertutup menuju keterbukaan. Hanya pemerintahan yang stabil tetapi memberikan kebebasan kepada warga negaranya yang bisa diandalkan untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan mak mur.
Daftar Pustaka Buku Anwar, Dewi Fortuna. 2005. “The Fail of Suharto: Understanding The Politics of The Global”, dalam Dewi Fortuna Anwar, Indonesia at
Large: Collected Writings on ASEAN, Foreign Policy, Security andDemocratisation. Jakarta: The Habibie Center. Fukuyama, Francis. 2006. America at the Crossroads:
Democracy, Power, and The Neoconservative Legacy. New Haven: Yale University Press. Mahbubani, Kishore. 2005. Beyond TheAge oflnnocence: Rebuilding Trust between America and The World. New York: Public Affairs. Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Ge rakan 30 September dan Kudeta Suharto. Ja karta: Hasta Mitra. Snyder, Jack. 2003. Dari Pemungutan Suara ke Per
tumpahan Darah: Demokratisasi dan Kon flik Nasionalis. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Weiner, Tim. 2007. Legacy ofAshes: The History of The ClA. New York: Doubleday.
Jurnal Lynn-Jones, Sean M. 1998. “Why the United States Should Spread Democracy”, Discussion Paper 98-07. Center for Science and International Af fairs, Harvard University, March. Mansfield, Edward & Jack Snyder. 1995. “Democra tization and The Danger of War”, International Security, Summer, 20, (1): 5 Rose, Gideon. 2001. “Democracy Promotion and American Foreign Policy: A Review Essay”, International Security, Winter, 25 (3); 199. Zakaria, Fareed. 1997. “The Rise of Illiberal Demo cracy”. Foreign Affairs, November-December, 76 (6): 22-43.
160 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 155-160
TENTANG PENULIS
Athiqah Nur Alami Penulis adalah peneliti pada Bidang Perkem bangan Politik Internasional, Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI. Dia menamatkan pendidikan SI dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan S2 dari Graduate Studies of International Affairs, A ustralian N ational University, Canberra, Australia. Fokus kajian penelitiannya adalah Politik Luar Negeri Indonesia, Hubungan Indonesia-Australia, Gender dalam Hubungan Internasional dan Isu-Isu Kontemporer dalam Hubungan Internasional. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail:
[email protected].
dan Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI, untuk Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Sistem Politik Indonesia, Pemikiran Politik Barat, Pemikiran Politik Islam, Metodologi Ilmu Politik dan Kekuatan-Kekuatan Politik di Indonesia. Menyelesaikan studi pada Departe men Ilmu Politik FISIP UI pada tahun 2000. Memperoleh Gelar Master of Art dari Faculty of Asian Studies Australian National University (ANU). Melanjutkan Studi S-3 di School of Social Sciences and Humanities, University of Exeter, Inggris. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail:
[email protected].
Burhanuddin Muhtadi
Indriana Kartini
Penulis lahir di Rembang, 15 Desember 1977. Dia adalah dosen di Prodi Ilmu Politik, FISIP UIN Syarif H idayatullah dan Pascasarjana Universitas Paramadina, Jakarta. Dia mengajar mata kuliah “Partai Politik” dan “Pemilu dan Perilaku Politik”. Selain sebagai akademisi, dia juga dikenal sebagai peneliti sekaligus Direktur Komunikasi Publik Lembaga Survei Indonesia (LSI). Dia juga Direktur Eksekutif Indikator Opini Publik Indonesia. Tahun 2008, ia meraih gelar M.A. dari Faculty o f Asian Studies, Australian National University (ANU) dengan spesialisasi politik di Indonesia. Dia sekarang menjadi Ph.D. candidate di Department of Political and Social Change, Australian National University. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail:
[email protected]
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI sejak 2003 hingga saat ini. Menyelesaikan pendidikan SI di Jurusan Hubungan Interna sional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran pada tahun 2002. Penulis melanjutkan studi S2 di University of Melboume, Australia, dan memperoleh gelar Master of International Politics pada tahun 2008. Penulis juga aktif dalam Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES). Penulis dapat dihubungi melalui e-mail:
[email protected].
Firman Noor Penulis adalah peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Fokus kajian peneliti yang diminati nya adalah partai politik, pemilu, ketewakilan politik, dan pemikiran politik. Selain aktif dalam kegiatan penelitian, dia menyempatkan diri untuk mengajar pada Departemen Ilmu Politik
Kamarudin Penulis adalah dosen dan Ketua Program Pascasaijana Departemen Ilmu Politik FISIP UI. Menyelesaikan studi S3 pada Program Pascasar jana Ilmu Politik FISIP UI. Buku yang sudah ditulisnya adalah Partai Politik Islam di Pentas Reformasi: Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu 2004 (Jakarta: Visi Publishing, 2003), Ada Apa dengan Partai Keadilan Sejahtera: Catatan dari Warga UI (Depok: Pustaka Nauka, 2004), dan Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa (Depok, AKSES Publishing, 2008). Penulis dapat dihubungi melalui e-mail:
[email protected].
Tentang Penulis | 161
Lidya Christin Sinaga Penulis lahir di Banjarmasin, 21 Desember 1983. Menamatkan pendidikan SI dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2005. Sejak tahun 2006 hingga saat ini menjadi salah satu peneliti bidang perkembangan politik internasional Pusat Penelitian Politik LIPI, dengan minat kajian pada ASEAN dan Kebencanaan. Alamat e-mail: lidya.
[email protected].
Mardyanto Wahyu Tryatmoko Penulis adalah peneliti pada Bidang Perkembang an Politik Lokal, Pusat Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ia mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2001. Setelah bergabung dengan LIPI pada tahun 2002, Mardyanto aktif melakukan penelitian di bidang konflik dan otonomi daerah. Pada tahun 2009, ia menamatkan program master dari Magister Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang dan Economic, Planning, and Public Policy Program (EPP), National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo, Jepang. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: mardyanto@ gmail.com. Moch. Nurhasim Peneliti Pusat Penelitian Politik-LIPI. Dia menye lesaikan studi SI jurusan Politik di Universitas Airlangga dan S2 bidang Politik di Universitas Indonesia dengan tesis masalah perdamaian di Aceh. Penelitian yang pemah ditekuni ada kaitannya dengan konflik di berbagai daerah, masalah pedesaan, pemilihan umum, dan masalah kemiliteran. Selain itu, dia juga aktif sebagai Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Jakarta. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail:
[email protected]
Mohamad Rosyidin Penulis lahir di Ponorogo, 3 Juli 1985. Me nam atkan pendidikan SI Ilm u Hubungan Internasional Universitas Jember (2008) dan S2 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (2013). Minat penelitian yang ia tekuni adalah teori dan metodologi Hubungan Internasional, studi keamanan internasional, analisis politik luar negeri, politik luar negeri Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail:
[email protected] Sri Nuryanti Penulis adalah peneliti pada Puslit Politik LIPI, mantan Anggota KPU RI tahun 2007-2012 yang menekuni studi demokrasi, pemilu, partai politik dan isu minoritas. Selain kegiatan penelitian di bidang-bidang tersebut di atas, Sri Nuryanti yang menamatkan S2 dari Australian National Univer sity ini juga aktif dalam forum-forum nasional maupun internasional, seperti mengikuti forum Global Electoral Organization (GEO) conference, Asia Pacific Sociological Association (APSA), Salzburg Global Seminar, Asia Pacific Peace Research Association (APPRA), juga pernah menerima Australian Development Scholarship (ADS), Asian Public Intellectual Fellowship (API), dan Japan Society for Promotion of Sci ences (JSPS). Penulis dapat dihubungi melalui e-mail:
[email protected] atau yanti8270@ gmail.com.
Wawan Sobari Penulis adalah dosen pada Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya. Saat ini tengah menempuh studi doktoral pada Depart ment o f Politics and Public Policy, Flinders University o f South Australia. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: wawansobari@gmail. com.
162 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013
INDEKS
Indeks Kata Kunci Amerika Serikat, i, iv, x, 52, 61, 83, 86, 88, 96, 137, 140, 142, 145, 146, 148, 163 ASEAN, iv, x, xvi, 129,130,131,132,133,134, 135, 136, 138, 140, 141, 142, 143, 144, 161,162, 163, 164, 174 bupati, x, 24,45,47,103,111,115,116,117,120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 163 demokrasi, i, iv, v, x, 8, 18, 19, 21, 25, 28, 31, 69, 77,103,109, 110, 112, 129, 131, 132, 134,136,141,143,144,145,146,148,152 demokratisasi, v, ix, x, xi, 96,104,115,119,136, 139, 140, 157, 158, 159, 160, 161, 163
jajak pendapat, iv, viii, ix, 59, 60, 61, 63, 74, 75, 76, 77, 82, 163 jual beli suara, viii, 42, 43, 46, 47, 48, 49, 51, 52, 53, 55, 163 kabupaten, i, iv, ix, 21, 24, 101, 106, 108, 109, 110, 111, 116, 121, 122, 125 kepala daerah, 24,25,46,51,60,68,76,90,102, 104, 105, 106, 107, 110, 112, 116, 120, 121, 122, 123, 126, 163 klientelisme, viii, 41, 42,43, 44, 48, 163 kohesivitas, vii, 1, 8, 9, 163
dinamika elektoral, i, iv, 48
konflik, i, iii, vii, viii, x, 5, 8, 12, 14, 21, 22, 27, 29, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 105, 106, 110,111,116,117,118,120,121,122,123,124, 125,127,128,130,141,143,149,153,154,155, 161, 162, 164, 165
elektabilitas, i, iv, viii, 59, 62, 63, 71
konflik internal, i, iii, 5, 16, 33, 173
faksionalisasi, vii, 1, 5, 7, 8, 17, 21, 22, 163
konsolidasi, i, iii, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 13, 14, 16
desentralisasi, ix, x, 44, 104,115, 116, 118,119, 120, 121, 122, 124, 125, 126, 163
format pemilukada, i, iv, ix, 101 fundamentalisme, i, iv, x, 145, 146, 147, 148, 152,153,154, 155 gubernur, i, iv, ix, 24, 25, 91, 92, 101, 115, 116, 117,120,121,123,124,125,128,150,151 HAM identifikasi partai, viii, 42, 163 Indonesia, i, iii, iv, v, vii, viii, ix, xi, xiii, xiv, xv, xvi, 1, 6, 7, 8, 11, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34, 39, 41, 42, 46, 47, 48, 49, 51, 52, 53, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 67, 68, 69, 70, 71, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 96, 97, 99, 101, 102, 103, 104, 105, 107, 110, 112, 113, 115, 121, 124, 125, 129, 130, 131, 132, 134, 136, 145, 157, 158,159,160,161,162,163,164,173,174 Israel, i, iv,v,x, xvi, 52,145,146,150,152,153, 154, 155, 158, 160, 163, 165
kota, iii, iv, ix, 19, 22, 42, 46, 60, 90, 101, 103, 105, 108, 109, 111, 112, 115, 116, 118, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 136.152.163 kubu, viii, 36, 38, 41,44, 76 media sosial, i, iv, 85, 87, 88, 89, 90, 91, 93, 94, 98, 99 otoritarianisme, i, v, 159 otonomi daerah, ix, x, 115, 116, 121, 124, 125, 126,164, 165 partai modem, iii, vii, 17, 164 partai politik, i, iii, 1, 6, 16, 23, 28, 30, 35, 36, 39, 62, 63,71,87, 90, 98, 106, 173 partai tradisional, vii, 17, 26, 164 partisipasi politik, iv, ix, 85, 86, 87, 91, 92, 93, 94, 96, 97, 164 pelembagaan, v, vii, x, xi, 1, 3, 5, 6, 8, 15, 23, 157.158.164
Indeks j 163
pemerintahan efektif, ix, 101, 164 pemilu, iii, iv, vii, viii, ix, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 20,21, 22, 23, 25, 26,27, 30, 33, 42, 44, 46, 48, 49, 50, 51, 53,56, 59, 60, 61, 62, 64, 67, 68, 70, 71, 72,73, 74, 75, 77, 78, 80, 81, 82, 85, 86, 88,89, 90, 92, 93, 94, 95, 96, 97,99, 103, 107, 108, 110,112, 130,132, 135, 136, 139, 141,150,151, 162, 163 Pemilu 2014, i, iii, iv, viii, ix, 2, 9, 11, 13, 21, 27, 39, 59, 60,61, 62, 63, 64, 66, 67, 70, 71, 74, 76, 78,80, 81, 82, 83, 85, 86, 89, 93, 94, 97, 164 peran ganda, x, 115, 116, 118, 164 perilaku memilih ix, 23, 60, 79, 81, 82, 164 personalisasi iii, vii, 17, 18, 22, 23, 164 PKB iii, vii, viii, xiii, xiv, 5, 7, 8, 12, 15, 16, 20, 21, 26, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37,38, 39, 62, 63,71,89, 164, 165 politik uang iii, iv, viii, 10, 41, 42, 43, 45, 46, 47, 48, 51, 52, 53, 54, 55, 103, 109, 110, 111, 164 Protestan i, iv, x, 142, 145, 146, 148, 149, 150, 151, 154, 155, 164 rasionalitas iv, viii, ix, 59, 60, 64, 79, 81, 82, 83, 146, 164 teori kurva J v, x, xi, 157, 158, 160, 161 wali kota i, iv, ix, 25, 101, 115, 120, 121, 124 Yahudi i, iv, v, x, 145, 146, 151, 152, 153, 154, 164
democracy xv, xvi, 74, 96, 101, 105, 129, 130, 135,145,157, 160, 164 democratisation 162 dual role xv, xvi, 115, 164 effective governance xv, 101, 164 electability xiv, xv, 59, 76, 90, 164 electoral dynamics xiv, 41, 164 faction xiv, 29, 164 factionalization xiii, 1, 17, 73, 164 fundamentalism xvi, 145, 149, 150, 151, 152, 155,164 general election xiii, 1, 164 governor xv, xvi, 24, 115, 164 human rights xvi, 129, 133, 134, 164 Indonesia i, iii, iv, v, vii, viii, ix, xi, xiii, xiv, xv, xvi, 1, 6, 7, 8, 11, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34, 39, 41, 42, 46, 47, 48, 49, 51, 52, 53, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 67, 68, 69, 70, 71, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 96, 97, 99, 101, 102, 103, 104, 105, 107, 110, 112, 113, 115, 121, 124, 125, 129, 130, 131, 132, 134, 136, 145, 157, 158,159,160,161,162,163,164,173,174 institutionalization xiii, xvi, 1,3, 17, 157, 165 internal conflict xiii, xiv, 29, 165 Israel i, iv, v, x, xvi, 52, 145,146, 150,152,153, 154, 155, 158, 160, 163, 165 Jews xvi, 145, 165
Keywords Index
local election xv, 101, 165
2014 election xv, 59, 85, 164
mayor xv, 115
ASEAN iv,x, xvi, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 138, 140, 141, 142, 143, 144, 161,162, 163, 164, 174
modern party xiii, 17, 165 money politics xiv, 41,42,43, 44,46, 47, 51, 53, 54, 55, 73, 165
authoritarianism xvi, 73, 157, 164
party identiflcation xiv, 41, 165
autonomy xv, xvi, 104, 115, 164
personalization xiii, 17, 165
city
PKB iii, vii, viii, xiii, xiv, 5, 7, 8, 12, 15, 16, 20, 21, 26, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37,38, 39, 62, 63,71,89, 164, 165
42, 57, 101, 136, 144
clientelism xiv, 41, 164 cohesiveness xiii, 1, 164 conflict xiii, xiv, xvi, 29,105,113,115,164,165 consolidation xiii, 1, 164 decentralization xiv, xv, xvi, 41, 73, 115, 118
political institutionalization xvi, 157, 165 political participation 87, 91, 92, 96, 98 political party xiii, xiv, 1,41,91, 165 poli viii, xiv, xv, 59, 165
164 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013
Protestant xvi, 145, 155, 165
‘J c u rv e ’theory x \ i, 157, 165
rationality xv, 59, 79, 82, 165
traditional party xiii, 17, 165
regency xv, 101, 165
United State o f America xvi, 145
regentxv i, 115, 165
vote buying xiv, 41, 46, 53, 54, 103
social media xv, 85, 86, 87, 165
voting behaviour xv, 59
Indeks I 165
PEDOMAN PENULISAN
1) Tulisan yang dimuat harus merupakan kajian ilmiah atas isu dan peristiwa yang berkaitan dengan politik dalam negeri dan internasional, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. 2) Tulisan merupakan karya sendiri, bukan saduran atau terjemahan dan belum pemah dipublikasikan dalam bentuk dan bahasa apa pun. 3) Tulisan mengandung data atau pemikiran yang baru dan orisinal. 4) Tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi penulis yang bersangkutan. 5) Panjang naskah untuk artikel, 20-25 halamanA4, spasi 1,5; bookreview, 10-15 halamanA4, spasi 1,5. 6) Sistematika artikel hasil pemikiran/telaahan adalah judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata kunci (4—5 kata kunci); pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa subjudul); penutup; daftar pustaka.
JUDUL Penulis Nama Instansi Alamat lengkap instansi penulis Email penulis Riwayat naskah Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4-5 words/phrase
Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata) Kata Kunci: 4-5 kata/ ffasa Pendahuluan Pembahasan Penutup Daftar Pustaka 7) Sistematika artikel review buku (book review) adalah judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; judul buku; pengarang; penerbit; cetakan; tebal; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indo nesia); kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa subjudul); penutup; daftar pustaka.
Pedoman Penulisan I 167
JUDUL Penulis Nama Instansi Alamat lengkap instansi penulis Email penulis Riwayat naskah Judul buku Pengarang Penerbit Tebal Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4-5 words/phrase
Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata) Kata Kunci: 4-5 kata/ frasa Pendahuluan Pembahasan Penutup Daftar Pustaka 8) Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) di dalam naskah harus diberi nomor urut. a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel, sedangkan judul gam bar diletakkan di bawah gambar. b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar. c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis paling bawah tabel, sedangkan untuk garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan. Contoh penyajian Tabel: Tabel 1. Agenda-agenda Besar Konsolidasi Dom ain
Vertikal
Horizontal
Internal
Pem antapan kepengurusan partai hingga level terendah Sosialisasi agenda politik
Pem antapan soliditas elite partai pada level DPP Pem antapan agenda politik m enyam but pem ilu
Pem bangunan, p em eliharaan dan pem antapan dukungan m asyarakat
Penjajagan koalisi dengan partai-partai lain dan kalangan institusi-institusi n on politik
Eksternal
168 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013
Contoh penyajian Gambar/Grafik:
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Grafik 2. Tren Partisipasi dalam Pemilu
9.
Perujukan sumber acuan menggunakan footnotes, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Format rujukan dari buku: nama penulis, judul buku (italik), kurung buka, kota pener bitan, titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, nomor halaman, titik. Contoh: Denny J.A., Partai Politik Pun Berguguran, (Yogyakarta: LKIS, 2006), hlm. v.
b. Format rujukan dari buku (bunga rampai): nama penulis artikel, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik”, dalam, nama editor buku, judul buku (italik), kurung buka, kota pener bitan, titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, hlm., nomor halaman, titik. Contoh: Leonardo Morlino, “Political Parties and Democratic Consolidation in Southern Europe”, dalam Richard Gunther, P. Nikiforos Diamandouros dan Hans Jurgen Puhle (eds.), The Politics o f Demo cratic Consolidation: Southern Europe in Comparative Perspective, (Baltimore MD: Johns Hopkins University Press, 1995), hlm. 315-388.
c. Format rujukan dari jurnal: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” sumber artikel (italik), nomor atau edisi, tahun, hlm., nomor halaman, titik. Contoh: Lili Romli, “Peta Kekuatan Politik Setelah Reformasi dan Kecenderungan Koalisi Parpol”, Jurnal Demokrasi dan HAM, 2000, hlm. 124—125.
d. Format rujukan dari makalah seminar/konferensi: nama penulis, “judul makalah ditulis tegak dalam dua tanda petik”, makalah, nama/tema seminar, tempat pelaksanaan seminar, wak tu, hlm., nomor halaman, titik. Contoh: Andrea Ceron dan Alessandra Caterina Cremonesi, “Politicians Go Social: Estimating Intra-Party Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis o f Social Media", makalah disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10-11 Mei 2013, hlm. 3.
Pedoman Penulisan I 169
e. Format rujukan dari media online: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik”, nama situs, tanggal akses situs. Contoh: Berita8, “Media Sosial bisa Perkuat Fungsi Partai Politik”, 18 April 2013, http://www.berita8.com/ berita/2013/04/MediaSosial-bisa-perkuat-fungsi-partai-politik, diakses pada tanggal 18 Juni 2013. f. Format rujukan dari media massa: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik”, sumber media (italik), tanggal terbit, nomor halaman, titik. Contoh: Degung Santikarma, “Monumen, Dokumen dan Kekerasan Massal”, Kompas, 1 Agustus 2003, hlm. 12.
10. Penulisan sumber Daftar Pustaka dibedakan menjadi: buku; jurnal; laporan dan makalah; surat kabar dan website. Daftar Pustaka dituliskan dengan urutan abjad nama belakang (family name). Format penulisan sebagai berikut: a. Format rujukan dari buku Buku dengan satu pengarang: nama penulis; tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Caplan, Bryan. 2007. The Myth o f the Rational Voter: Why Democracies Choose Bad Policies. New Jersey: Princeton University Press. Buku dengan dua pengarang: nama penulis (dua orang); tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Aspinall, E. dan M. Mietzner. 2010. Problems o f Democratisation in Indonesia: Elections, Insti tutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing. Buku dengan lebih dari dua pengarang: nama penulis (et al.); tahun terbit; judul buku; tempat ter bit; nama penerbit. Contoh: Ananta, Aris et al. 2004. Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical Perspective. Singapore: ISEAS Publishing. Artikel/tulisan dalam buku: nama penulis; tahun terbit; judul tulisan; dalam nama editor; judul buku; tahun terbit; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh: Qodari, M. 2010. “The Professionalisation of Politics: The Growing Role of Polling Organisation and Political Consultants”, dalam Aspinall, E. dan M. Mietzner (eds.). Problems o f Democratisa tion in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing.
b. Format rujukan dari jurnal: nama penulis; tahun; judul artikel; nama jurnal; volume jurnal; nomor jurnal; nomor halaman. Contoh: Ufen, A. 2008. “From Aliran to Dealignment: Political Parties in post-Suharto Indonesia”. South East Asia Research, 16 (1): 5-41. c. Format rujukan dari laporan dan makalah Laporan penelitian: nama penulis; tahun terbit; judul laporan; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh: Mainwaring, Scott, 1998. “Rethinking Party Systems Theory in The Third Wave of Democratiza tion: The Importance of Party System Institutionalization”. Working Paper #260 - October 1998, Kellogg Institute.
170 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013
Makalah seminar: nama penulis; tahun terbit; judul makalah; nama kegiatan seminar; waktu pelak sanaan kegiatan seminar; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh: Ceron, Andrea danAlessandraCaterina Cremonesi. 2013. “Politicians Go Social: Estimating IntraParty Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media”. Paper disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10-11 Mei 2013.
d. Format rujukan dari surat kabar dan website Artikel media massa: nama penulis; tahun terbit; judul artikel; nama media massa; tanggal terbit; nomor halaman. Contoh: Wahid, Sholahuddin. 1998. “Di Balik Berdirinya Partai-Partai di Kalangan NU”, Republika, 3 Oktober. Artikel online: nama penulis/institusi; tahun terbit; judul artikel, alamat websites; waktu unduh. Contoh: Aspinall, Edward, “The Taming of Ethnic Conflict in Indonesia”, dalam http://www.eastasiaforum. org/2010/08/05/the-taming-of-ethnic-conflict, diunduh pada 28 November 2013. 11. Pengiriman Artikel: Naskah dikirim dalam bentukprintout sebanyak 2 eksemplar beserta softcopy ke alamat redaksi atau dapat dikirimkan melalui e-mail redaksi (
[email protected]). » Redaksi memberikan honorarium untuk setiap artikel yang dimuat. » Artikel yang diterima setelah deadline akan dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi berikutnya. 12. Alamat Jurnal Penelitian Politik: P2P-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai XI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta 12710 Telp. (021) 525 1542, ext. 757, 763 ; Faks. (021) 520 7118 13. Langganan Harga pengganti ongkos cetak Rp50.000,- per eksemplar sudah termasuk ongkos kirim biasa. Untuk berlangganan dan surat-menyurat langsung hubungi bagian sirkulasi Redaksi Jumal Penelitian Politik.
Pedoman Penulisan | 171
Informasi Hasil Penelitian Terpilih
E d ito r: Im ir it in ii K a r t in i
DEMOKRASI DAN fundamentalisme agama H in d u di I n d ia . B u d h a di S ri L a n g k a d an Is l a m di T u rki
KOIIFUK Dflfl RESOLUSI KOflfilK
sMis m E d it o r , l le r m a w a n S u in t u o
LIPI P ress