ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA BUDIDAYA ANGGREK DI TAMAN ANGGREK RAGUNAN
SKRIPSI
DINI DAMAYANTI H34070037
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN DINI DAMAYANTI. Analisis Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek di Taman Anggrek Ragunan). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan RACHMAT PAMBUDY) Anggrek merupakan tanaman hias yang memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Selain Indonesia memiliki jenis anggrek yang sangat beragam, iklimnyapun cocok untuk melakukan budidaya anggrek. Di DKI Jakarta, anggrek merupakan salah satu tanaman yang menjadi prioritas untuk dikembangkan karena dapat diusahakan pada luas lahan yang terbatas dengan hasil yang optimal. Taman Anggrek Ragunan (TAR) merupakan salah satu pusat promosi dan pemasaran anggrek pot di DKI Jakarta. Untuk menjaga kontinuitas produksi anggrek, petani di TAR memiliki kebun penunjang. Luas kebun yang diusahakan sangat bervariasi dan menjadi indikasi bahwa usaha budidaya anggrek dilakukan pada skala berbeda-beda. Efisiensi skala produksi sangat penting bagi petani anggrek agar penggunaan sumberdaya yang dimiliki dapat diatur sefisien mungkin sehingga memperoleh keuntungan yang maksimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan usaha anggek secara umum di TAR, menganalisis struktur biaya produksi usaha anggrek pada tiap skala usaha, menganalisis skala usaha anggrek yang paling efisien dan menentukan jumlah produksi anggrek pada masing-masing usaha pada saat break even point. Teknik penentuan sampel menggunakan teknik stratified random sampling dengan mengelompokan petani kedalam tiga skala usaha berdasarkan luas lahan. Kemudian dipilih satu usaha anggrek secara acak untuk mewakili setiap kelompok sehingga jumlah sampel yang diteliti sebanyak tiga petani. Konsep dan alat analisis yang digunakan adalah analisis terhadap struktur biaya usaha budidaya anggrek berdasarkan skala usaha yang dipisahkan berdasarkan jenis anggrek. Untuk melihat efisiensi struktur biaya dapat dilihat dari biaya total per pot. Selain itu dilakukan pula analisis efisiensi pendapatan R/C ratio dan perhitungan titk impas (break even point). Berdasarkan hasil penelitian, keragaan usaha anggrek di TAR dapat dikelompokan menjadi empat segmen yaitu usaha pembibitan, budidaya dari seedling, budidaya dari remaja dan pemasaran. Jenis anggrek yang dibudidayakan sangat bervariasi yaitu Dendrobium, Phalaenopsis, Vanda, Cattleya dan Oncidium. Nunky Orchis (usaha I) dan Syams Orchid (usaha III) melakukan budidaya semua jenis anggrek dalam satu tempat yang sama sedangkan I-yon Orchid (usaha II) melakukan sistem pemeliharaan anggrek yang terpisah antara anggrek Phalaenopsis dengan anggrek yang lainnya. Jika dilihat dari total pot anggrek secara keseluruhan maka semakin meningkatnya skala usaha (luas lahan), jumlah tanaman anggrek yang diproduksi semakin banyak. Analisis biaya yang dikeluarkan terdiri dari biaya tetap dan variabel. Biaya tetap yang dikeluarkan terdiri dari biaya sewa lahan, pajak lahan, listrik, telepon dan tenaga kerja. Biaya variabel yang dikeluarkan terdiri dari biaya bibit seedling, pupuk, obat-obatan, media tanam dan pot. Biaya tetap per pot yang dikeluarkan untuk setiap jenis anggrek menunjukkan kecenderungan bahwa semakin
meningkatnya skala usaha maka biaya tetap per pot semakin menurun sedangkan biaya variabel per pot yang dikeluarkan untuk setiap jenis anggrek sangat bervariasi tergantung dari biaya bibit yang diperoleh usaha. Berdasarkan analisis struktur biaya, maka dapat ditentukan biaya produksi per pot untuk setiap jenis anggrek di masing-masing skala. Biaya produksi anggrek Dendrobium usaha I sebesar Rp 10.466/pot, usaha II sebesar Rp 9.440/pot dan usaha III sebesar Rp 7.128/pot. Terlihat adanya kecenderungan dengan meningkatnya skala usaha maka biaya per pot semakin menurun. Biaya produksi anggrek Phalaenopsis usaha I sebesar Rp 13.716/pot, usaha II sebesar Rp 10.891/pot dan usaha III sebesar Rp 24.458/pot. Biaya produksi anggrek Phalaenopsis yang efisien terdapat pada usaha II. Biaya produksi anggrek Vanda usaha I sebesar Rp 27.074/pot, usaha II sebesar Rp 32.355/pot dan usaha III sebesar Rp 29.255/pot. Biaya produksi anggrek Catleya usaha I sebesar Rp 22.074/pot, usaha II sebesar Rp 27.355/pot dan usaha III sebesar Rp 29.255/pot. Biaya produksi anggrek Vanda dan Cattleya yang efisien terjadi pada usaha I. Perbedaan biaya produksi yang dihasilkan masing-masing usaha pada setiap jenis anggrek disebabkan perbedaan biaya perolehan bibit yang besar. Semakin kecil biaya bibit yang dikeluarkan usaha maka biaya produksi per pot akan semakin efisien karena lebih dari 50 persen dari total biaya per pot berasal dari biaya bibit. Berdasarkan analisis pendapatan atas biaya total dan biaya tunai pada tahun 2010 bahwa usaha I dan usaha III memperoleh pendapatan yang negatif sedangkan usaha II memperoleh pendapatan yang positif. Hal ini berarti usaha I dan III pada tahun 2010 mengalami kerugian sedangkan usaha II memperoleh keuntungan. Berdasarkan analisis efisiensi pedapatan yang dilihat dari R/C ratio untuk usaha I dan III memiliki R/C ratio < 1 sedangkan untuk usaha II R/C ratio > 1. Hal ini disebabkan untuk usaha I dan III mengalami penurunan penjualan pada tahun 2010. Berdasarkan nilai R/C ratio yang diperoleh usaha anggrek yang efisien berada pada usaha II. Berdasarkan analisis BEP yang dihasilkan, nilai BEP usaha I untuk anggrek Dendrobium, Phalaenopsis, Vanda dan Catleya yaitu 3.421 pot, 1.197 pot, 1.142 pot dan 1.073 pot. Jumlah penjualan pot usaha I untuk anggrek Cattleya telah melebihi dari nilai BEP tetapi usaha tersebut masih menderita kerugian. Nilai BEP usaha II untuk anggrek Dendrobium, Phalaenopsis, Vanda dan Catleya yaitu 3.499 pot, 5.345 pot, 1.761 pot dan 1.099 pot. Jumlah penjualan pot usaha II selama tahun 2010 untuk anggrek Dendrobium dan Phalaenopsis telah melebihi dari nilai BEP dan keuntungannya mampu menutupi biaya produksi anggrek lainnya. Nilai BEP usaha III untuk anggrek Dendrobium, Phalaenopsis, Vanda dan Catleya yaitu 17.492 pot, 21.531 pot, 11.545 pot dan 10.249 pot. Jumlah penjualan pot usaha III untuk ke empat jenis anggrek masih kurang dari nilai BEP sehingga usaha menderita kerugian. Berdasarkan analisis titik impas, dapat disimpulkan bahwa semakin besar skala usaha, maka target penjualan semakin besar karena nilai BEP yang dihasilkan semakin besar agar petani bisa menutupi biaya totalnya sehingga terhindar dari kerugian.
ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA BUDIDAYA ANGGREK DI TAMAN ANGGREK RAGUNAN
DINI DAMAYANTI H34070037
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Analisis Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek di Taman Anggrek Ragunan
Nama
: Dini Damayanti
NIM
: H34070037
Disetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS NIP. 19591223 198903 1 002
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tangal Lulus :
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek di Taman Anggrek Ragunan” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2011
Dini Damayanti H34070037
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Desember 1989. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Yahya E dan Ibu Saidah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Petukangan Utara 07 pagi pada tahun 2001 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SMP Negeri 110 PetukanganSe latan. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMA Negeri 47 Jakarta diselesaikan pada tahun 2007. Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan, penulis terlibat dalam organisasi intra kampus dan beberapa kepanitian. Penulis pernah menjadi pengurus Shariah Economics Student Club (SES-C) divisi Usaha Mandiri tahun 2008-2010 dan Eco-agrifarma divisi Marketing tahun 2007-2009.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek di Taman Anggrek Ragunan”. Penelitian ini bertujuan menganalisis struktur biaya produksi usaha anggrek pada tiap skala usaha di Taman Anggrek Ragunan, menentukan skala usaha anggrek yang paling efisien dan menentukan jumlah produksi anggrek pada masing-masing skala usaha pada saat kondisi break even point. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak dalam rangka pengembangan agribisnis anggrek di Indonesia khususnya di Taman Anggrek Ragunan. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi bahan masukan maupun referensi bagi penelitian selanjutnya.
Bogor, September 2011 Dini Damayanti
UCAPAN TERIMAKASIH Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga memberikan kekuatan, kemudahan serta kesehatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS. selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
2. Ir. Wahyu Budi Priatna. MS dan Suprehatin, SP, MAgribuss atas kritik dan saran serta kesediaannya menjadi dosen penguji pada ujian sidang Penulis.
3. Dr. Ir. Nunung Kusnadi MS atas bimbingan, arahan dan kesediaan waktu yang telah diberikan kepada penulis.
4. Seluruh dosen pengajar dan staf Departemen Agribisnis yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama kegiatan perkuliahan.
5. Kedua orang tua tercinta, Bapak, Ibu, kedua adikku (Melinda dan Ichsan) dan Fahmi Baihaqi yang selalu memberikan doa, kasih sayang, semangat, dukungan baik moral maupun materi, serta menjadi motivasi penulis untuk meyelesaikan skripsi ini.
6. Anggriani Putri S yang telah menjadi pembahas pada seminar penulis dan memberikan masukan-masukan terhadap penyelesaian skripsi.
7. Pengelola Taman anggrek Ragunan, terutama Bapak Usman, Bapak Rosyid dan Ibu Lami yang bersedia memberikan bantuan dan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
8. Ibu Nurul, Ibu Sri, Bapak Wiyono dan seluruh petani anggrek di Taman Anggrek Ragunan yang telah bersedia memberikan informasi kepada penulis.
9. Cher, Eka, Tari, Irwan, Defri dan sahabat AGB44 atas semangat dan sharing selama penelitian hingga penulisan skripsi, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas bantuannya. Bogor, September 2011 Dini Damayanti
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..............................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................
xii
I
PENDAHULUAN ..................................................................... 1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ............................................................. 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................. 1.4. Ruang Lingkup..................................................................... 1.5. Kegunaan Penelitian . ..........................................................
1 1 6 8 8 8
II
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 2.1. Agribisnis Anggrek .............................................................. 2.2. Struktur Biaya ...................................................................... 2.3. Skala Usaha ..........................................................................
9 9 11 14
III
KERANGKA PEMIKIRAN..................................................... 3.1. Kerangka Teoritis................................................................. 3.1.1. Teori Produksi ........................................................... 3.1.2. Struktur Biaya ........................................................... 3.1.3. Skala Usaha ............................................................... 3.1.4. Analisis Pendapatan .................................................. 3.1.5. Analisis Titik Impas (Break Even Point) .................. 3.1.6. Analisis Efisiensi ...................................................... 3.2. Kerangka Operasional ..........................................................
16 16 16 17 19 21 22 23 25
IV METODE PENELITIAN ......................................................... 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................... 4.2. Jenis, Sumber dan Pengumpulan Data ................................. 4.3. Metode Penentuan Responden ............................................. 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................ 4.4.1. Analisis Struktur Biaya .............................................. 4.4.2. Analisis Pendapatan Usahatani .................................. 4.4.3. Analisis Titik Impas ................................................... 4.5. Definisi Operasional ............................................................
26 26 26 26 28 28 29 31 31
VI
32 32 32 32 33 33 34 36 36 39
GAMBARAN UMUM TAMAN ANGGREK RAGUNAN.... 5.1.Taman Anggrek Ragunan ..................................................... 5.1.1. Sejarah Taman Anggrek Ragunan ............................. 5.1.2. Letak Geografis .......................................................... 5.1.3. Fungsi Taman Anggrek Ragunan .............................. 5.1.4. Struktur Organisasi .................................................... 5.1.5. Pengunjung Taman Anggrek Ragunan ...................... 5.1.6. Kelembagaan LKMA Primatara ................................ 5.2. Keragaan Usaha Anggrek di Taman Anggrek Ragunan ...... 5.3. Usaha Budidaya Anggrek Skala I (Nunky Orchid) .............
5.3.1. Sejarah Singkat Usaha ............................................... 5.3.2. Lokasi dan Layout Perusahaan .................................. 5.3.3. Struktur Organisasi .................................................... 5.3.4. Penyedia Sarana Produksi .......................................... 5.3.5. Teknik Budidaya dan Pemeliharaan Anggrek ........... 5.3.6. Kegiatan Pemasaran ................................................... 5.4. Usaha Budidaya Anggrek Skala II (Iyon Orchid)................ 5.4.1. Sejarah Singkat Usaha ............................................... 5.4.2. Lokasi dan Layout Perusahaan .................................. 5.4.3. Struktur Organisasi .................................................... 5.4.4. Penyedia Sarana Produksi .......................................... 5.4.5. Teknik Budidaya dan Pemeliharaan Anggrek ........... 5.4.6. Kegiatan Pemasaran ................................................... 5.5. Usaha Budidaya Anggrek Skala III (Syams Orchid) ........... 5.5.1. Sejarah Singkat Usaha ............................................... 5.5.2. Lokasi dan Layout Perusahaan .................................. 5.5.3. Struktur Organisasi .................................................... 5.5.4. Penyedia Sarana Produksi .......................................... 5.5.5. Teknik Budidaya dan Pemeliharaan Anggrek ........... 5.5.6. Kegiatan Pemasaran ...................................................
39 40 41 41 42 43 44 44 45 46 46 47 48 48 48 49 50 50 51 52
VI ANALISIS SRUKTUR BIAYA USAHA BUDIDAYA ANGGREK ................................................................................... 6.1. Analisis Struktur Usaha Budidaya Anggrek ........................ 6.1.1 Struktur Usaha Budidaya Anggrek Dendrobium. ....... 6.1.2 Struktur Usaha Budidaya Anggrek Phalaenopsis ....... 6.1.3 Struktur Usaha Budidaya Anggrek Vanda. ................. 6.1.4 Struktur Usaha Budidaya Anggrek Cattleya. .............. 6.2. Analisis Pendapatan ............................................................. 6.3. Analisis Break Even Point (BEP) ........................................
53 53 54 60 65 70 72 76
VII KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 7.1.Kesimpulan .......................................................................... 7.2.Saran ....................................................................................
79 79 80
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
81
LAMPIRAN........................................................................................
83
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Kontribusi Kelompok Komoditas pada PDB Holtikultura Tahun 2005-2009 ......................................................................
1
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor Anggrek Indonesia Tahun 2006–2010 ......................................
3
Data Produksi Tanaman Hias di Indonesia Tahun 2005-2009 (ton) ...........................................................................................
4
4.
Stratifikasi Petani Anggrek di Taman Anggrek Ragunan 2011
27
5.
Struktur Biaya Usaha Anggrek pada Skala Usaha Berbeda .....
29
6.
Komponen Biaya Tetap Usaha Budidaya Anggrek Dendrobium dari Seedling hingga Berbunga di Tiga Skala Usaha (8 bulan) ..............................................................
55
Komponen Biaya Variabel Usaha Budidaya Anggrek Dendrobium dari Seedling hingga Berbunga di Tiga Skala Usaha (8 bulan) ...............................................................
57
Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek Dendrobium di Tiga Skala Usaha ..................................................................
59
Komponen Biaya Tetap Usaha Budidaya Anggrek Phalaenopsis dari Seedling hingga Berbunga di Tiga Skala Usaha (12 bulan) .............................................................
61
Komponen Biaya Variabel Usaha Budidaya Anggrek Phalaenopsis dari Seedling hingga Berbunga di Tiga Skala Usaha (12 bulan) .............................................................
62
Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek Dendrobium di Tiga Skala Usaha ..................................................................
64
Komponen Biaya Tetap Usaha Budidaya Anggrek Vanda dari Seedling hingga Berbunga di Tiga Skala Usaha (18 bulan) .............................................................
66
Komponen Biaya Variabel Usaha Budidaya Anggrek Vanda dari Seedling hingga Berbunga di Tiga Skala Usaha (18 bulan) .............................................................
68
Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek Vanda di Tiga Skala Usaha ..................................................................
69
Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek Cattleya di Tiga Skala Usaha ..................................................................
70
Rata-Rata Penjualan Anggrek per Bulan di Tiga Skala Usaha Tahun 2010 ...............................................................................
73
2. 3.
7.
8. 9.
10.
11. 12.
13.
14. 15. 16.
17. 18.
Analisis Pendapatan Budidaya Anggrek di Tiga Skala Usaha Tahun 2010 ...............................................................................
76
Nilai Titik Impas (BEP) di Tiga Skala Usaha...........................
78
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Sistem Agribisnis Anggrek di DKI Jakarta...............................
9
2.
Fungsi Produksi .......................................................................
17
3.
Kurva Amplop Skala Usaha......................................................
19
4.
Kurva Skala Usaha dengan Biaya Konstan...............................
20
5.
Kerangka Pemikiran Operasional .............................................
25
6.
Struktur Organisasi Taman Anggrek Ragunan .........................
35
7.
Bentuk Kurva Struktur Biaya Anggrek Dendrobium di Tiga Skala Usaha ..................................................................
60
Bentuk Kurva Struktur Biaya Anggrek Phalaenopsis di Tiga Skala Usaha ..................................................................
65
Bentuk Kurva Struktur Biaya Anggrek Vanda di Tiga Skala Usaha ..................................................................
70
Bentuk Kurva Struktur Biaya Anggrek Cattleya di Tiga Skala Usaha ..................................................................
71
8. 9. 10.
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1.
Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Anggrek, 2009 ...........................................................................
81
Daftar Petani Anggrek di Taman Anggrek Ragunan Tahun 2011 ...........................................................................................
82
3.
Tabel Angka Acak ....................................................................
83
4.
Komponen Penyusutan Usaha Nunky Orchid ..........................
84
5.
Komponen Penyusutan Usaha I-yon Orchid di Serpong ..........
84
6.
Komponen Penyusutan Usaha I-yon Orchid di Sawangan .......
85
7.
Komponen Penyusutan Usaha Syams Orchid ..........................
85
2.
Halaman
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang memiliki perkembangan cukup pesat yang memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari peningkatan kontribusi kelompok komoditas terhadap PDB hortikultura dari tahun ke tahun (Tabel 1). Tabel 1. Kontribusi Kelompok Komoditas pada PDB Hortikultura Tahun 20052009 No
Kelompok Komoditas
Nilai PDB (Milyar Rp.)
2005 2006 2007 Buah31.694 35.448 42.362 buahan 2 Sayuran 22.630 24.694 25.587 3 Biofarmaka 2.806 3.762 4.105 4 Tanaman 4.662 4.734 4.741 Hias Total 61.792 68.639 76.795 Hortikultura 1
2008 47.060
2009 48.437
Persentase Pertumbuhan Pertahun (%) 2006 2007 2008 2009 11.84 19.50 11.09 2.93
28.205 3.853 5.085
30.506 3.897 5.494
9.12 34.07 1.54
3.62 9.12 0.15
10.23 -6.14 7.26
8.16 1.14 8.04
84.203
88.334
11.08
11.88
9.65
4.91
Sumber : Dirjen Hortikultura (2010)
Berdasarkan Tabel 1, komoditas hortikutura dibagi menjadi empat bagian yaitu buah-buahan, sayuran, biofarmaka dan tanaman hias. Kontribusi komoditas hortikultura terhadap nilai PDB mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kontribusi terbesar terhadap nilai PDB hortikultura berasal dari buah-buahan yaitu sebesar Rp 48.437 miliyar pada tahun 2009 sedangkan kontribusi yang terkecil berasal dari biofarmaka yaitu sebesar Rp 3.897 miliyar pada tahun 2009. Tanaman hias berada diurutan ke tiga dalam kontribusinya terhadap PDB yaitu sebesar Rp 5.494 miliyar. Namun, tanaman hias mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada tahun 2009 yaitu sebesar 8,04 persen. Tanaman hias memiliki prospek yang masih cukup cerah untuk dikembangkan baik di pasar domestik maupun pasar mancanegara. Jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar dan pendapatan yang cenderung meningkat setiap tahunnya merupakan pasar yang besar bagi perkembangan tanaman hias. Selain itu, dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan kesegaran dan
keindahan maka permintaan terhadap tanaman hias akan semakin meningkat. (Saragih, 2010). Salah satu tanaman hias yang diminati oleh masyrakat adalah anggrek. Anggrek merupakan tanaman hias yang sangat populer karena memiliki jenis yang beragam. Indonesia memiliki kurang lebih 5.000 spesies anggrek dari 20.000 sampai 30.000 spesies yang berasal dari 700-an genera yang tersebar di seluruh dunia. Selain itu, Indonesia juga memiliki iklim yang cocok untuk budidaya anggrek 1 . Hal tersebut merupakan potensi dalam mengembangkan agribisnis anggrek. Anggrek merupakan tanaman yang memiliki segmen pasar tertentu. Anggrek biasanya dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti upacara keagamaan, hiasan dan dekorasi ruangan, ucapan selamat serta ungkapan dukacita sehingga konsumen anggrek merupakan para penggemar dan pencinta anggrek, pedagang keliling tanaman anggrek, pedagang tanaman anggrek pada kios di tempat-tempat tertentu dalam kota, perhotelan, perkantoran, gedung-gedung pertemuan, pengusaha pertamanan, toko bunga, florist, pesta-pesta dan perkawinan. Jenis-jenis anggrek yang banyak diminta pasar adalah Vanda Douglas, Dendrobium dan Golden Shower. Untuk memenuhi permintaan konsumen anggrek dalam negeri, selain dipenuhi oleh produksi dalam negeri juga dari impor untuk jenis-jenis tertentu, seperti Phalaenopsis dan Dendrobium. 2 Nilai ekspor anggrek secara keseluruhan selama lima tahun dari tahun 2006-2010 mengalami pasang surut yaitu pada tahun 2006 sebesar $ 1.232.199 turun menjadi $ 1.166.671 tahun 2007 dan turun kembali sebesar $ 740.751 tahun 2008. Pada tahun 2009 ekspor anggrek mengalami peningkatan sebesar $ 1.040.544. Namun, tahun 2010 mengalami penurunan hingga sebesar $ 899.397. Begitu pula dengan nilai total impor anggrek yang juga mengalami fluktuasi yaitu pada tahun 2006 nilai impor anggrek sebesar $ 548.601 turun menjadi $ 480.204 tahun 2007 dan tahun 2008 impor anggrek mengalami penurunan yaitu sebesar $ 78.265. Pada tahun 2009 impor anggrek mengalami peningkatan yaitu sebesar $ 1
Ir. Agus Wediyanto M.Sc. 2010. Akan dibawa Kemana Anggrek Indonesia? http://pai.or.id/artikel/3-opini/2-akan-dibawa-kemana-anggrek-indonesia.html [13 Januari 2011] 2 Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Jakarta. 2005. Road Map Pasca Panen dan Pemasaran Anggrek.
2
434.071 dan tahun 2010 nilai impor anggrek turun hingga hanya mencapai $ 40.154 (Tabel 2) Tabel 2. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor Anggrek Indonesia, Tahun 2006–2010. Tahun
Ekspor Impor Volume (kg) Nilai (US$) Volume (kg) Nilai (US$) 2006 362.705 1.232.199 309.047 548.601 2007 202.804 1.166.671 72.689 480.204 2008 164.104 740.751 34.651 78.265 2009 121.664 1.040.544. 64.343 434.071 2010 55.842 899.397 26.801 40.154 Sumber: Dirjen Hortikultura (2011)
Penurunan nilai ekspor dan impor tanaman anggrek Indonesia tahun 2007 disebabkan karena pengaruh trend tanaman hias di dalam negeri, dimana tanaman Anthurium sedang booming dan dijual dengan harga yang tinggi sehingga banyak petani anggrek yang beralih membudidayakan Athurium karena tertarik dengan keuntungan yang diperoleh. Hal tersebut juga yang menyebabkan produksi anggrek di Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2007 yaitu sebesar 9.484.393 ton. Namun, penurunan produksi tersebut hanya berlangsung sesaat karena usaha anggrek memiliki daya tarik sendiri yaitu harga jual yang stabil dan memiliki segmen pasar tertentu sehingga tahun 2008 produksi anggrek Indonesia meningkat kembali sebesar 15.430.040 ton dan tahun 2009 mencapai 16.205.949 ton (Tabel 3) 3 DKI Jakarta merupakan salah satu sentra produksi dan pemasaran anggrek di Indonesia. Anggrek merupakan salah satu komoditas unggulan yang menjadi prioritas untuk dikembangkan di DKI Jakarta karena pengusahaan anggrek memiliki nilai lebih bila dibandingkan dengan usaha pertanian pada umumnya. Anggrek dapat diusahakan pada luas lahan yang terbatas dengan hasil yang optimal (Hartono, 2003). Menurut BPS tahun 2009, provinsi DKI Jakarta mendapat peringkat kelima dalam produksi anggrek dengan luas panen sebesar 131.235 m2 menghasilkan anggrek sebanyak 1.2558.047 tangkai. Produksi anggrek tertinggi berada diwilayah Jawa Barat yaitu sebanyak 5.582.076 tangkai, 3
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Anggrek Tahun 2009. http://www.bps.go.id [ 6 Februari 2011]
3
kemudian Kalimantan Barat sebanyak 2.005.276 tangkai, selanjutnya Jawa Timur sebanyak 2.180.521 tangkai dan Banten sebanyak 1.453.304 tangkai. Secara jelas Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Anggrek Sentra Produksi di Indonesia Tahun 2009 dapat dilihat pada yang terdapat pada Lampiran 1. Tabel 3. Data Produksi Tanaman Hias di Indonesia, Tahun 2005-2009 (ton) Komoditas
Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
Anggrek
7,902,403
10,703,444
9,484,393
15,430,040
16,205,949
Kuping gajah
2,615,999
2,017,535
2,198,990
2,764,552
3,833,100
Gladiol
14,512,619
11,195,483
11,271,385
8,524,252
9,775,500
Pisangpisangan
1,131,568
1,390,117
1,427,048
5,187,631
4,124,174
Krisan
47,465,794
63,716,256
66,979,260
99,158,942 107,847,072
Mawar
60,719,517
40,394,027
59,492,699
39,131,603
60,191,362
Sedap malam
32,611,284
30,373,697
21,687,493
25,180,043
51,047,807
Melati
22,552,537
24,795,995
15,775,751
20,357,698
28,307,326
Palem
751,505
986,340
1,171,768
1,094,096
1,260,408
1,313,621 2,216,123
905,039 1,782,046
2,041,962 1,901,509
1,845,490 2,995,153
2,262,505 5,320,824
Dracaena Anyelir Sumber: BPS 2010
Usaha anggrek yang berkembang di DKI Jakarta sangat bervariasi. Meskipun sebagian besar konsumen menikmati anggrek pada saat berbunga, namun usaha anggrek yang berkembang tidak hanya memproduksi anggrek berbunga. Hal tersebut karena istilah panen dalam tanaman anggrek berbeda dengan istilah panen pada tanaman hortikultura lainnya. Jika tanaman holtikultura seperti sayuran dipanen ketika berbuah dan hanya satu kali musim panen, maka untuk tanaman anggrek setiap tahapan budidaya anggrek dapat dipanen atau dijual sesuai dengan kebutuhan konsumen. Sehingga usaha anggrek yang berkembang adalah usaha pembibitan anggrek, usaha budidaya anggrek dan usaha pemasaran anggrek. Usaha tersebut saling melengkapi satu dengan yang lainnya dan setiap usaha tersebut merupakan input bagi usaha yang lainnya. Terdapat pula usaha anggrek yang melakukan integrasi didalam pengelolaannya yaitu mulai dari pembibitan, budidaya dan pemasaran.
4
Industri anggrek yang dikembangkan di DKI Jakarta adalah anggrek bunga potong dan tanaman pot berbunga. Pemerintah Daerah DKI Jakarta berperan aktif dalam membantu pengembangan agribisnis anggrek di DKI Jakarta dengan menyediakan tempat yang dijadikan sebagai pusat produksi dan pemasaran yaitu pusat pemibitan anggrek di Lebak Bulus Jakarta Selatan, pusat promosi dan pemasaran anggrek potong di Rawa Belong dan pusat produksi dan pemasaran anggrek pot di Taman Mini Indonesia Permai dan Taman Anggrek Ragunan. Adanya peluang bisnis anggrek dari meningkatnya produksi anggrek, harga jual anggrek yang cenderung stabil serta perhatian Pemerintah Daerah DKI Jakarta dalam pengembangan bisnis anggrek menyebabkan banyak orang yang tertarik untuk membudidayakan anggrek. Di masyarakat, usaha anggrek dilakukan dalam skala yang berbeda-beda. Namun, belum ada batasan yang baku mengenai kriteria besar-kecilnya suatu usaha. Kriteria yang paling sering digunakan dalam penelitian untuk menentukan besar kecilnya skala adalah luas lahan dan jumlah tenaga kerja. Soekartawi (2002) membahas mengenai kriteria atau ciri-ciri skala usahatani. Usahatani skala usaha yang besar umumnya bermodal besar, berteknologi tinggi, manajemennya modern, lebih bersifat komersial dan sebaliknya usahatani skala kecil umumnya bermodal pas-pasan, teknologinya tradisional, lebih bersifat usahatani sederhana dan sifat usahanya subsisten serta bersifat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri dalam kehidupan seharihari. Departemen Pertanian dalam arah dan pengembangan terhadap komoditas anggrek, mengklasifikasikan industri anggrek di Indonesia dalam berbagai skala usaha yaitu (1) UKM anggrek potong dengan skala usaha 1.000 - 2.500 m2 dan diperkirakan dapat menghasilkan 10.000 - 25.000 tangkai bunga; (2) usaha anggrek potong skala besar, dengan skala usaha 3.000 m2 hingga lebih dari 1 ha, yang dapat menghasilkan bunga antara 30.000 sampai 100.000 tangkai; (3) usaha tanaman pot berbunga kecil menengah, dengan skala usaha 1.000 - 25.000 m2. Efisiensi skala produksi sangat penting bagi petani anggrek agar penggunaan sumberdaya yang dimiliki dapat diatur sefisien mungkin sehingga memperoleh keuntungan yang maksimal (Murbyanto, 1989). Perbedaan skala
5
usaha tersebut akan menyebabkan perbedaan dalam pengalokasian jumlah penggunaan inputnya. Semakin besar suatu skala usaha maka semakin besar pula jumlah penggunaan inputnya, tersebut mengakibatkan biaya total yang dikeluarkan semakin besar. Untuk mengukur tingkat efisiensi biaya dapat dilihat berdasarkan struktur biaya dari masing-masing skala usaha. Oleh karena itu, analisis struktur biaya anggrek sangat penting dilakukan. Alasannya karena setiap petani anggrek dapat menguasai pengaturan biaya produksi dalam usahataninya tetapi petani tersebut tidak mampu mengatur harga komoditi anggrek yang dijualnya atau memberikan nilai kepada komoditi anggrek (Sukartawi, 1986). 1.2. Perumusan Masalah Taman Anggrek Ragunan (TAR) merupakan salah satu pusat promosi dan pemasaran tanaman anggrek pot yang ada di wilayah DKI Jakarta. Pusat promosi ini menempati lahan seluas lima hektar milik Pemda DKI Jakarta yang secara tidak langsung fasilitas dan pengelolaan Taman Agggrek Ragunan ini berada dibawah Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta. Jumlah kavling yang terdapat di TAR sebanyak 46 kavling dengan luasan 1000 m2 / kavling yang terdiri dari 32 petani. Namun, pada tahun 2007 petani anggrek di TAR mulai mengalami pergeseran. Tanaman Athurium yang sedang trend membuat petani anggrek di TAR turut memanfaatkan kondisi untuk meraih keuntungan dengan beralih memproduksi tanaman hias tersebut. Biaya produksi dan perawatan anggrek yang relatif lebih besar terutama untuk pupuk dibandingkan tanaman Anthurium serta penjualan anggrek yang menurun merupakan alasan petani untuk memproduksi tanaman hias selain anggrek. Saat ini, sekitar 60 persen dari kawasan TAR didominasi tanaman hias. Namun, masih terdapat enam belas kavling yang tetap mempertahankan mengusahakan anggrek. Jenis usaha yang dilakukan oleh kavling tersebut sangat beragam mulai dari usaha pembibitan, usaha budidaya dan usaha pemasaran anggrek. Sebagian besar petani di TAR melakukan usaha budidaya dan pemasaran anggrek. Untuk menjaga kontinuitas produksinya, petani di TAR memiliki kebun penunjang. Kebun tersebut rata-rata berada di sekitar wilayah sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok dan Tanggerang. Luas kebun yang diusahakan dan jumlah 6
tenaga kerja sangat bervariasi. Secara jelas daftar kavling-kavling yang masih tetap mengusahakan anggrek, jenis usaha yang dilakukan, luas lahan dan jumlah tenaga kerja dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan luas lahan dan jumlah tenaga kerja yang digunakan petani dalam melakukan usaha anggrek. Lahan dan tenaga kerja merupakan salah satu faktor-faktor produksi dalam usahatani. Faktor tersebut dapat menjadi indikasi bahwa usaha budidaya anggrek dilakukan dengan skala yang berbeda-beda. Beragamnya faktor-faktor produksi yang digunakan dalam suatu usahatani membuat petani harus mengalokasikan faktor-faktor produksinya tersebut secara efisien. Penggunaan faktor produksi yang efisien sangat berpengaruh terhadap struktur biaya produksi. Beragamnya skala usaha akan mengakibatkan struktur biaya yang berbeda-beda pada masing-masing skala usaha. Secara teoritis, dengan meningkatnya skala usaha akan mengakibatkan struktur biaya yang semakin rendah. Maka dari itu dalam menentukan skala usaha harus mempertimbangkan struktur biaya yang akan terjadi apabila suatu skala usaha dilakukan. Oleh karena itu dalam merencanakan dan mengembangkan usaha anggrek, perlu diketahui informasi mengenai skala usaha efisien yang sebaiknya dipilih oleh petani. Struktur biaya memegang peranan penting dalam kegiatan produksi suatu komoditi yang bersifat komersial. Penentuan jumlah produksi anggrek yang hendak diproduksi dan dijual dipengaruhi oleh besarnya biaya produksi. Informasi
mengenai
jumlah
produksi
anggrek
minimal
yang
harus
diproduksi/dijual penting untuk dipelajari. Hal itu dapat diketahui dengan melakukan analisis titik impas (break even point). Dari uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1) Bagaimana keragaan usaha anggrek secara umum di lokasi penelitian? 2) Bagaimana struktur biaya produksi usaha anggrek pada tiap skala usaha? 3) Manakah skala usaha anggrek yang paling efisien? 4) Berapa besarnya jumlah produksi anggrek pada masing-masing skala usaha pada saat kondisi break even point?
7
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah : 1) Mengetahui keragaan usaha anggek secara umum di lokasi penelitian. 2) Menganalisis struktur biaya produksi usaha anggrek pada tiap skala usaha. 3) Menganalisis skala usaha anggrek yang paling efisien. 4) Menentukan jumlah produksi anggrek pada masing-masing skala usaha pada saat kondisi break even point. 1.4. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini dibatasi untuk mengetahui skala usaha yang paling efisien berdasarkan struktur biaya di wilayah Taman Anggrek Ragunan. Struktur biaya usaha anggrek dibatasi pada usaha budidaya tanaman anggrek pot plant yang diusahakan dari seedling hingga berbunga. 1.5. Kegunaan Penelitian a. Bagi Perusahaan Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan pertimbangan bagi pengusaha anggrek dalam melakukan perencanaan dan pengembangan bisnis anggrek. b. Bagi Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan perkembangan anggrek khususnya di Taman Anggrek Ragunan. c. Bagi Penulis Penelitian ini diharapkan agar berguna sebagai wadah untuk melatih kemampuan analisis serta pengaplikasian konsep-konsep ilmu yang diperoleh selama kuliah. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi mengenai skala usaha kepada peneliti lain, sebagai referensi dan studi perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agribisnis Anggrek Agribisnis merupakan sebuah paradigma baru dalam memandang pertanian. Agribisnis dipandang sebagai suatu sistem yang saling terintegrasi dari setiap subsistemnya yaitu subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem hilir, subsistem pemasaran dan jasa penunjang. Hartono (2003) telah melakukan penelitian mengenai Karakteristik Agribisnis Anggrek serta Peranan Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta. Dalam penelitiannya menyebutkan bahwa agribisnis anggrek diwilayah DKI Jakarta dibagi menjadi ke dalam empat subsistem yaitu subsistem penyediaan bibit, subsistem tanaman pot, subsistem bunga potong dan subsistem jasa pemasaran. Berikut ini adalah gambar sistem agribisnis anggrek di wilayah DKI Jakarta. Subsistem hulu (penyediaan bibit dan sarana produksi) Importir seedling, Petani pembibitan, Toko penyedia input dan sarana prosuksi
Subsistem Usahatani Petani budidaya anggrek tanaman pot dan bunga potong, Petani di TAR dan TAIP
Subsistem hilir (jasa pemasaran) Pedagang keliling, pedagang di kios, pengusaha pertamanan, toko bunga(florist), usaha rangkaian bunga, usaha jasa pesta dan perkawinan.
Subsistem Jasa penunjang Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Laboratorium Pemda DKI Jakarta, Kelompok tani, LKMA, UPT Pusat Promosi dan Pemasaran Hasil Pertanian dan Hasil Hutan
Gambar 1. Sistem Agribisnis Anggrek di DKI Jakarta Pengembangan agribisnis anggrek diwilayah DKI Jakarta sebaiknya lebih diprioritaskan pada subsistem penyediaan bibit, tanaman pot dan jasa perdagangan. Selain itu, diperlukan sentra-sentra pemasaran baik berupa pasar bunga ataupun pelelangan bunga. Peranan pemerintah DKI Jakarta telah cukup baik dalam mengembangkan agribisnis anggrek. Beberapa sentra-sentra pengembangan anggrek telah didirikan oleh pemerintah DKI Jakarta seperti pusat 9
pembibitan anggrek di Lebak Bulus Jakarta Selatan, pusat promosi dan pemasaran anggrek potong di Rawa Belong dan pusat produksi dan pemasaran anggrek pot di Taman Mini Indonesia Permai dan Taman Anggrek Ragunan. Namun, keberadaannya belum mampu dioptimalkan sehingga manfaatnya kurang dirasakan oleh masyarakat agribisnis anggrek (Hartono, 2003). Anggrek merupakan tanaman yang dikonsumsi keindahan bunganya. Kesegaran bunga ketika sampai ke konsumen merupakan hal yang sangat penting. Nurmalinda (1997) melakukan penelitian mengenai tataniaga dan penanganan pascapanen bunga anggrek Dendrobium potong di Jabotabek. Dalam pemasaran bunga anggrek Dendrobium potong di Jabotabek terdapat empat macam saluran pemasaran yaitu (a) petani–pedagang pengumpul-pedagang bunga-konsumen; (b) petani-pedagang bunga-konsumen; (c) petani eksportir dan (d) petani-konsumen. Saluran (b) dalam pemasaran anggrek Dendrobium lebih efisien dibandingkan dengan saluran lainnya. Kegiatan pascapanen anggrek yang dipasarkan di lokal Jabotabek
sampai
saat
ini
masih
dilakukan
secara
sederhana.
Untuk
memperpanjang waktu kesegaran bunga umumnya hanya dilakukan perendaman dengan air biasa. Untuk ekspor sudah dilakukan sortasi dan klasifikasi (S, M, dan L), pangkal batang dibalut dengan kapas basah yang diberi larutan chrisal dan dibungkus plastik serta dikemas dengan menggunakan kotak karton berukuran 70 cm x 30 cm x 20 cm. Penelitian tentang usahatani anggrek telah dilakukan oleh Rosmiati (2006) yang berjudul “Analisis Usahatani Anggrek Phaleonopsis paada Rumah Bunga Rizal (RBR) di Bandung, Jawa Barat”. Pada penelitian tersebut, analisis usahatani anggrek dibedakan menurut tahapan perkembangannya yaitu tahap compot, seedling dan remaja. Tahap compot berarti setiap satu pot yang berukuran 12 cm terdapat 30 anakan anggrek yang berukuran seragam. Lama waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan compot sekitar empat bulan. Biaya tetap sebesar Rp 160.838 dan biaya variabel sebesar Rp 18.359.520 sedangkan biaya penyusutan peralatan termasuk kedalam biaya yang diperhitungkan yaitu sebesar Rp 5.863.511. Hasil R/C atas biaya total sebesar 1,13 dan BEP sebesar 415. Pada tahap seedling jumlah pot dan luas lahan yang dibutuhkan lebih besar dibanding compot karena setiap satu pot ditanam delapan anakan sedangkan
10
waktu tumbuhnya sama yaitu empat bulan. Biaya tetap yang dikeluarkan terdiri dari biaya pajak PBB dan listrik yaitu sebesar Rp 181.267. Biaya variabel terdiri dari biaya bibit, pupuk daun Vitabloom, pupuk multitonik, penggunaan media tanam moss obat-obatan dan tenaga kerja yaitu sebesar Rp 45.360.000 sedangkan biaya penyusutan peralatan termasuk kedalam biaya yang diperhitungkan yaitu sebesar Rp 5.863.511. Hasil R/C atas biaya total sebesar 1,82 dan BEP sebesar 2.272. Pembesaran anggrek setelah tahap seedling adalah tahap remaja. Lama pertubuhannya sekitar lima bulan setelah tahap seedling dengan menggunakan pot yang berukuran 10 cm. Biaya tetap sebesar Rp 277.632 dan biaya variabel sebesar Rp 87.736.000 sedangkan biaya penyusutan peralatan termasuk kedalam biaya yang diperhitungkan yaitu sebesar Rp 7.329.389. Hasil R/C atas biaya total sebesar 1,82 dan BEP sebesar 1.221. Tahap dewasa merupakan tahap akhir dari pembesaran anggrek. Lama pertubuhannya sekitar lima bulan. Resiko kegagalan pada tahap ini relatif kecil karena tumbuhan telah kuat dan mampu beradaptasi dengan lingkungan tumbuh. Biaya tetap sebesar Rp 277.632 dan biaya variabel sebesar Rp 171.316.530 sedangkan biaya penyusutan peralatan termasuk ke dalam biaya yang diperhitungkan yaitu sebesar Rp 7.329.389. Hasil R/C atas biaya total sebesar 1,64 dan BEP sebesar 723. 2.2. Struktur Biaya Penelitian tentang struktur biaya telah banyak dilakukan terhadap komoditas pertanian dalam arti luas. Pada bidang perikanan, Sari (2007) melakukan penelitian tentang “Pengaruh Struktur Biaya terhadap Kegiatan Penangkapaan Ikan dengan Cantrang di PPI Blanakan, Kabupatan Subang, Jawa Barat”. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa struktur biaya penangkapan cantrang terdiri atas biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel. Biaya investasi yang dikeluarkan sebesar Rp 188.000.000 – Rp 275.100.000. Biaya terbesar yang dikeluarkan adalah biaya variabel yaitu sebesar Rp 458.397.000 – Rp 796.500.000 sedangkan biaya terkecil adalah biaya tetap yaitu sebesar Rp 43.066.000 – Rp 61.072.000 per tahun.
11
Penerimaan yang diperoleh berkisar antara Rp 605.340.000 – Rp 967.200.000 dengan keuntungan yang diperoleh antara Rp 86.287.500 – Rp 130.126.500. Berdasarkan analisis perhitungan persamaan regresi hubungan solar dengan jumlah trip cantrang adalah Y = 2499 – 0,16X + ε dengan nilai korelasi sebesar 0,916 yang artinya hubungan antara harga solar
dengan jumlah trip
cantrang sangat erat dan berdasarkan uji t struktur biaya dapat mempengaruhi kegiatan penangkapan ikan dengan cantrang. Pada bidang kehutanan, Asikin (2005) telah melakukan penelitian mengenai struktur biaya pengusahaan nilam (Pogostemon sp.) di Kabupaten Sukabumi dan Bogor. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa struktur biaya pengusahaan nilam baik ditingkat petani, petani penyuling maupun industri minyak nilam terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Petani modal sendiri mengeluarkan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan petani bagi hasil karena terdapat perlakuan tambahan sehingga terdapat biaya pengeringan dan pemasaran. Namun, perlakuan tersebut mengakibatkan keuntungan yang diperoleh petani modal sendiri jauh lebih besar dibanding petani bagi hasil. Pada petani penyuling analisis struktur biaya dibedakan berdasarkan skala usaha, petani penyuling berskala besar mengeluarkan biaya produksi yang lebih besar. Namun jika dilihat dari keuntungan yang diperoleh, semakin besar skala usaha penyulingan nilam menunjukkan usaha tersebut semakin efisien karena seluruh kapasitas produksi dapat dimanfaatkan dengan baik. Pada awal pendirian dan pengoperasian usaha petani penyuling membutuhkan biaya yang sangat besar untuk membeli mesin dan pabrik sebagai biaya investasi. Petani penyuling skala kecil dalam pengoperasian usaha kurang efisien karena masih terdapat idol capacity atau kapasitas produksi yang belum termanfaatkan oleh petani penyuling usaha kecil. Pada bidang peternakan, Bantani (2004) melakukan penelitian mengenai “Analisis Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Tradisional di Kelurahan Kebon Pedes, Bogor, Jawa Barat”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode sensus dengan 37 responden yang terbagi kedalam dua kelompok yaitu pemotong I sebanyak 21 reponden dan Peotong II sebanyak 16 responden. Kriteria pembagian kelompok tersebut
12
berdasarkan perolehan pasokan ayam hidup. Analisis yang digunakan adalah analisis struktur biaya, pendapatan dan analisis efisiensi menggunakan R/C rasio dan analisis titik impas serta dilakukan pula analisis regresi sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar usaha pemotongan ayam pada pemotong I dan pemotong II maka persentase biaya varibel semakin meningkat sedangkan persentase biaya tetapnya semakin menurun. Total biaya yang dikeluarkan oleh pemotong I mencapai Rp 179.870.790.97 per hari dengan biaya per kg sebesar Rp 6.624,52 sedangkan total biaya pada pemotong II sebesar Rp 27.540.860,25 per hari dengan biaya per kg sebesar Rp 7.343,19. Nilai R/C usaha pemotong I dan pemotong II secarra regresi memiliki nilai kecenderungan positif yang berarti peningkatan jumlah ayam yang dipotong mengakibatkan nilai R/C semakin besar. Analisis titik impas pada skala usaha pemotong I dan pemotong II berdasarkan analisis regresi sederhana menunjukan kecenderungan yang semakin menurun, artinya semakin besar jumlah ayam yang dipotong maka persentase nilai titik impas semakin kecil. Pada bidang pertanian, Rahmayanti (2008) melakukan penelitian tentang “Analisis Struktur Biaya dan Optimalisasi Pola Tanam Sayuran Organik
di
Permata Hati Organic Farm Cisarua, Bogor”. Perusahaan Permata Hati memproduksi sebanyak 34 komoditi yang ditanam di dalam bedengan dengan luas 10 m2 dengan pola tanam monokultur dan tumpangsari. Struktur biaya dalam memproduksi sayuran organik bervariasi, namun variasi tersebut hanya terdapat pada biaya variabel yaitu komponen benih. Hal tersebut disebabkan harga jual dan jumlah benih yang dibutuhkan setiap bedengnya berbeda-beda sedangkan biaya tetap yang dibebankan untuk semua komoditi adalah sama. Berdasarkan uraian di atas terdapat perbedaan struktur biaya dari komoditi perikanan, kehutanan, peternakan dan pertanian. Untuk komoditas pertanian dan kehutanan, struktur biaya lebih besar terdapat pada biaya investasi sedangkan struktur biaya pada komoditi perikanan terutama perikanan tangkap dan peternakan dipemotangan ayam, struktur biaya terbesar pada biaya variabel terutama untuk bahan bakar (solar) pada perikanan tangkap dan biaya pembelian ayam hidup pada usaha pemotongan ayam. Tanaman hias merupakan salah satu komoditas pertanian dibidang tanaman hortikultura. Oleh sebab itu, penelitian ini
13
menduga bahwa struktur biaya tanaman hias yang terbesar berada pada biaya investasi. 2.3. Skala Usaha Skala usaha sangat erat kaitannya dengan efisiensi suatu usaha. Efisiensi suatu usaha terdiri dari efisiensi ekonomis, tenis dan alokatif. Semakin efisien suatu usaha dapat ketahui berdasarkan biaya minimum atau pendapatan maksimum. Menurut Mubyarto (1989), semakin besar skala usaha belum tentu menunjukan usaha tersebut efisien. Hal tersebut sangat tergantung dari jenis tanaman/komoditas yang diusahakan dan hasil panen yang diperoleh. Beberapa penelitian mengenai hubungan skala usaha dengan efisiensi telah banyak dilakukan. Sobari (1993) melakukan penelitian mengenai “Skala Usaha dan Efisiensi Ekonomi Relatif Usahatani Rumput Laut”. Petani rumput laut dikelompokan menjadi tiga skala usaha berdasarkan luas usahatani. Luas rata-rata usahatani rumput laut skala kecil adalah 127,71 m2, skala usaha sedang 378,80 m2 dan skala besar 818,75 m2. Berdasarkan hasil penelitian, produksi rumput laut yang dihasilkan oleh petani skala kecil lebih rendah bila dibandingkan dengan skala usaha besar akan tetapi, produktivitas rata-rata yang dihasilkan petani kecil lebih besar bila dibandingkan petani skala besar. Hal tersebut terjadi karena adanya kecenderungan pada skala besar kurang efisien dalam penggunaan input benih dibandingkan skala usaha kecil, tetapi untuk penggunaan input tidak tetap lainnya semakin besar skala usaha maka semakin efisien. Usahatani rumput laut berada pada kondisi skala usaha naik (increasing returns to scale) yang berarti keuntungan yang diperoleh petani masih dapat ditingkatkan dengan meningkatkan skala usahanya dan faktor input tetap yang berpengaruh nyata adalah lahan dan modal. Terdapat perbedaan efisiensi ekonomi antara petani skala kecil dengan petani skala sedang; petani skala sedang dengan petani skala besar sedangkan petani skala kecil dan petani skala besar terdapat kesamaan efisiensi ekonomi. Efisiensi ekonomi terbaik dicapai oleh petani skala usaha sedang. Penelitian dengan topik yang sama dilakukan juga oleh Rindayati (1995) terhadap usaha peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Malang. Penelitian tersebut dilakukan di dua koperasi yang berbeda yaitu koperasi SAE wilayah 14
Pujon sebagai koperasi besar dan Koperasi Unit Desa (KUD) Sumber Makmur Ngantang sebagai koperasi kecil. Dari masing-masing koperasi tersebut diambil sebanyak 30 responden dengan menggunakan metode stratified random sampling. Kriteria dalaam penentuan strata adalah jumlah kepemilikan sapi laktasi yaitu untuk skala kecil jumlah kepemilikan sapi betina produktif kurang dari lima ekor dan skala besar kepemilikan sapi betina produktif lebih dari lima ekor. Berdasarkan hasil penelitian usaha sapi perah ditempat penelitian belum memberikan tingkat keuntungan yang maksimum karena penggunaan input tidak tetap belum dialokasikan secara optimal. Input tidak tetap yang berpengaruh terhadap keuntungan adalah harga konsentrat, hijauan dan tenaga kerja, sedangkan input tetap yang berpengaruh adalah jumlah kepemilikan sapi laktasi, nilai investasi dan tingkat pendidikan peternak. Usaha peternakan sapi perah tersebut berada pada rata-rata kepemilikan 4,58 ekor yang berada pada kondisi skala usaha konstan (constan return to scale). Berdasarkan analisis kesamaan efisiensi relatif di daerah Pujon dan Ngantang menunjukan bahwa tingkat penggunaan input pada usaha sapi perah skala kecil memperoleh keuntungan yang relatif sama dengan skala besar. Efisiensi suatu usaha sangat tergantung dari penggunaan input yang optimal dan memilih skala usaha yang optimal. Semakin besar suatu skala usaha maka semakin besar pula jumlah penggunaan inputnya, tersebut mengakibatkan biaya total yang dikeluarkan semakin besar. Namun, suatu usaha dikatakan lebih efisien dibading usaha lainnya yang sejenis apabila perubahan skala usaha yang semakin besar mengakibatkan biaya total rata-rata yang dihasilkan semakin menurun.
Pengusahaan
usahatani
yang
terdapat
di
masyarakat
dapat
dikelompokkan kedalam tiga kondisi skala usaha yaitu ekonomi skala usaha meningkat (increasing returns to scale), ekonomi skala usaha konstan (constan returns to scale), ekonomi skala usaha menurun (decreasing returns to scale). Usaha anggrek merupakan usahatani yang diduga berada pada salah satu kondisi skala usaha tersebut.
15
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Produksi Definisi usahatani menurut Bachtiar Rifai dalam Soeharjo dan Patong (1973) adalah setiap organisasi dari alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi itu sendiri dapat diusahakan secara perorangan ataupun berkelompok. Berdasarkan definisi tersebut terdapat empat unsur pokok yang menjadi faktor-faktor produksi dalam usahatani, yaitu : tanah, tenaga kerja, modal dan pengelolaan (management) (Hernanto, 1989). Menurut Murbyanto (1989) dalam setiap faktor-faktor produksi (input) dapat menunjukan hubungan dengan hasil produksi (output). Hubungan tersebut dapat dinyatakan dalam suatu bentuk fungsi produksi. Menurut Hernanto (1989) fungsi produksi adalah menunjukkan berapa output yang dapat diperoleh dengan menggunakan sejumlah variabel input yang berbeda. Secara matematis fungsi produksi ditulis sebagai berikut : Y = f (x1, x2,………….xn) Dimana Y = adalah hasil produksi fisik x1………….xn = faktor-faktor produksi Untuk dapat menggambarkan fungsi produksi secara jelas dan menganalisa peranan masing-masing faktor produksi maka salah satu faktor produksi dianggap variabel sedangkan faktor-faktor produksi yang lainnya dianggap konstan (Murbyanto, 1989). Gambar 2 merupakan kurva mengenai fungsi produksi dengan faktor produksi tanah. Berdasarkan gambar tersebut, bentuk grafik dari fungsi produksi merupakan kurva melengkung dari kiri bawah ke kanan atas setelah sampai pada titik tertentu kemudian berubah arah sampai pada titik maksimum dan kemudian berbalik turun kembali. Hubungan fungsional tersebut berlaku untuk semua faktor produksi selain pengelolaan (management).
16
y Hasil Produksi
0
x Faktor produksi
Gambar 2 . Fungsi Produksi Sumber : Murbyanto(1989)
3.1.2. Struktur Biaya Menurut Nicholson (1990) membedakan konsep biaya menjadi tiga bagian yaitu biaya kesempatan, biaya akuntansi dan biaya “ekonomi”. Biaya ekonomi dari suatu input merupakan nilai pembayaran yang diperlukan untuk mempertahankan input tersebut dalam penggunaannya saat ini atau pembayaran yang diterima input tersebut dalam penggunaan aternatif yang terbaik. Menurut Sugiarto et al (2005), secara ekonomi biaya produksi merupakan biaya yang dikeluarkan dalam perolehan input. Biaya input tercermin dari balas jasa dari input tersebut terhadap pemakaian terbaiknya yang tercermin dari biaya korbanan (opportunity cost). Sukirno (2003), biaya produksi merupakan semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan membeli bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksi oleh perusahaan tersebut. Adanya faktor-faktor produksi yang digunakan membuat analisis terhadap biaya produksi dapat dibedakan berdasarkan waktu yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek terdapat faktor produksi yang bersifat tetap sehingga menimbulkan biaya tetap Biaya tetap merupakan biaya produksi yang besarnya tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya produksi yang dihasilkan. Biaya tetap terdiri dari gaji tenaga kerja, sewa lahan, listrik, telepon dan penyusutan
17
peralatan Selain itu, biaya variabel merupakan biaya produksi yang besarnya dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah produksi. Sedangkan dalam jangka panjang, faktor produksi dapat mengalami perubahan sehingga seluruh biaya produksi dalam jangka panjang bersifat variabel. Konsep biaya jangka panjang diperlukan oleh pengusaha untuk menentukan kapasitas produksi dengan meminimumkan biaya produksi agar memperoleh keuntungan yang maksimal. Dalam membuat keputusan jangka panjang pengusaha harus mengetahui biaya produsi minimum pada berbagai tingkat produksi. Konsep tersebut dapat digunakan oleh pengusaha dalam menentukan skala usaha yang paling efisien. Biaya minimum perusahaan dalam jangka panjang dapat diketahui dari kurva biaya total rata-rata jangka panjang. Kurva yang menunjukan titik-titik biaya total rata-rata minimum pada berbagai tingkat produksi disebut kurva amplop (envelope curve). Kurva ini merupakan kurva rata-rata jangka panjang yang melingkupi semua kemungkinan kurva biaya rata-rata jangka pendek. Suratiyah (2009) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya dan pendapatan sangatlah kompleks. Namun demikian, faktor tersebut dibagi kedalam dua golongan sebagai berikut. 1) Faktor internal dan ekstenal Faktor-faktor internal dan eksternal akan bersama-sama mempengaruhi biaya dan pendapatan usahatani. Faktor internal
yang mempengaruhi
adalah umur petani, pendidikan, pengetahuan, pengalaman, ketrampilan, jumlah tenaga kerja kerja, luas lahan dan modal. Faktor ekternal yang mempengaruhi adalah input (ketersediaan dan harga) dan output (permintaan dan harga). 2) Faktor manajemen Kemampuan petani dalam merespon perubahan-perubahan dari faktorfaktor eksternal sangat penting. Dengan faktor internal manajemen maka petani harus dapat mengantisipasi faktor eksternal yang selalu berubahubah tersebut.
18
3.1.2. Skala Usaha Analisis biaya jangka panjang sangat penting untuk mengetahui apakah suatu perusahaan beroperasi pada skala usaha yang ekonomis (economies of scale) atau tidak ekonomis (diseconomis of scale). Suatu perusahaan dikatakan mencapai skala ekonomis apabila penambahan produksi menyebabkan biaya produksi ratarata menjadi lebih rendah. Sedangkan perusahaan mencapai skala tidak ekonomis apabila pertambahan produksi menyebabkan biaya produksi rata-rata menjadi semakin tinggi. Perubahaan dalam skala usaha dapat menunjukan hubungan antara perubahan ukuran (size) usaha dengan biaya produksi rata-rata. Gambar 3 menjelaskan hubungan antara skala usaha dengan struktur biaya. Biaya‐biaya Biaya‐biaya
SMC 1
SMC 3 SATC 1
MC
SATC 3
SMC 2 LAC
SATC 2
Output/period O
Q1
Q2
Q3
Keterangan: Q = jumlah keluaran (output) SMC = biaya marjinal janga pendek (short marginal cost) SATC = total biaya variabel jangka pendek (short average total cost) MC = biaya marjinal jangka panjang (marginal cost) LAC = total biaya jangka panjang (long-run average total cost)
Gambar 3. Kurva Amplop Skala Usaha Sumber : Nicholson (1990)
Pada Gambar 3 menunjukan kurva biaya rata-rata jangka panjang berbentuk huruf U yang ditentukan oleh return to scale yaitu perubahan output yang disebabkan oleh perubahan pemakaian seluruh input dalam porposi yang sama. Kurva LAC terbagi menjadi kedalam tiga bagian yaitu bagian menurun,
19
titik minimum dan kemudian meningkat. Bagian pertama yaitu biaya rata-rata jangka panjang yang menurun tedapat pada rentang output mulai dari titik O sampai Q1 artinya perluasan skala usaha akan selalu disertai dengan penurunan biaya rata-rata perunit. Daerah ini disebut sebagai skala usaha ekonomis (economies of scale). Bagian kedua yaitu di titik terendah (minimum) dari kurva LAC yang berada di titik Q2 dan merupakan titik perpotongan antara kurva MC dengan LAC. Pada titik ini merupakan skala usaha paling efisien karena memiliki struktur biaya terendah sehingga merupakan pilihan pengusaha dalam jangka panjang. Bagian terakhir yaitu biaya rata-rata jangka panjang yang berada diatas biaya minimum yang cenderung meningkat yang terdapat pada titik Q3 artinya perluasan skala usaha akan selalu disertai dengan kenaikan biaya rata-rata perunit. Daerah ini disebut sebagai skala usaha tidak ekonomis (diseconomies of scale). Bentuk kurva amplop skala usaha tidak hanya berbentuk U, terdapat bentuk lain dari kurva skala usaha. Jika titik minimum AC adalah sama, maka LAC akan berbentuk mendaatar (horizontal) seperti yang terlihat pada Gambar 4. Biaya‐biaya Biaya‐biaya SMC 1 SATC 1
SMC 2 SATC 2
SMC 3 SATC 3
LATC
Output/period O
Q3
Q2
Q3
Gambar 4. Kurva Skala Usaha dengan Biaya Konstan Sumber : Nicholson (1990)
Pada gambar tersebut menunjukan bahwa kurva biaya rata-rata jangka panjang bernilai konstan yang artinya perluasan usaha tidak berpengaruh terhadap biaya produksi rata-rata jangka panjang. Menurut Sukirno (2003), terdapat empat faktor yang mempengaruhi skala ekonomi yaitu 1) Spesialisasi faktor-faktor produksi, 2) Pengurangan harga bahan 20
mentah dan kebutuhan produksi lain, 3) Memungkinkan diproduksi produk sampingan dan 4) Mendorong perkembangan usaha lain. 3.1.3. Analisis Pendapatan Analisis
pendapatan
dilakukan
dengan
dua
tujuan
utama
yaitu
menggambarkan keadaan yang sekarang dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari suatu perencanaan atau tindakan. Analisa pendapatan dapat membantu pengusaha dalam mengukur apakah kegiatan yang dilakukan saat ini berhasil atau tidak (Soeharjo dan Patong, 1973). Pendapatan merupakan selisih dari total penerimaan usahatani dengan total pengeluaran usahatani. Penerimaan usahatani merupakan hasil kali jumlah produksi total dan harga jual satuan. Sedangkan pengeluaran atau biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani yaiu berupa nilai penggunaan sarana produksi, upah dan lain-lain yang dikeluarkan selama proses produksi. Total biaya atau pengeluaran tersebut dapat dihitung dengan menjumlahkan biaya tetap dan biaya variabel (Soekartawi 2002). Pengukuran pendapatan selain dengan nilai mutlak dapat dilakukan dengan mengukur efisiennya. Salah satu cara mengukur efisiensi usahatani adalah dengan membandingkan penerimaan untuk setiap biaya yang dikeluarkan atau Revenue and Cost Ratio (R/C rasio). Analisis R/C ratio ini digunakan untuk melihat keuntungan relatif suatu cabang usaha dengan cabang usaha lainnya berdasarkan keuntungan finansial. Dalam analisis R/C rasio dapat diketahui seberapa jauh nilai rupiah yang dipakai dalam kegiatan usaha dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya dan nilai R/C rasio ini tidak memiliki satuan (Soeharjo dan Patong, 1973). Analisis R/C rasio dilakukan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan yang mungkin dihasilkan dari setiap rupiah yang dikeluarkan. Nilai R/C rasio dapat digunakan sebagai tolak ukur efisiensi dari suatu aktifitas kegiatan usaha sebagai berikut : 1. R/C rasio > 1, menunjukan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan dalam suatu usaha akan menghasilkan penerimaan yang lebih besar dari satu. Dengan kata lain usaha tersebut lebih efisien.
21
2. R/C rasio < 1, menunjukan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan dalam suatu usaha akan menghasilkan penerimaan yang lebih kecil dari satu. Dengan kata lain usaha tersebut tidak efisien. 3. R/C rasio = 1, menunjukan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan dalam suatu usaha akan menghasilkan penerimaan sama dengan satu. Dengan kata lain penerimaan yang diperoleh sama dengan biaya yang dikeluarkan. 3.1.4. Analisis Titik Impas (Break Even Point) Pada jangka pendek, hubungan struktur biaya dengan skala usaha dapat dianalisis mengunakan analisis titik impas (Break Even Point). Skala usaha yang berbeda akan menyebabkan titik BEP yang berbeda, karena struktur biaya yang dihasilkan juga berbeda-beda. Menurut Nurmalina et al (2009), titik impas (BEP) adalah titik pulang pokok dimana total revenue (TR) = total cost (TC), pada kondisi tersebut perusahaan tidak mengalami untung atau rugi. Jika kondisi suatu perusahaan berada di bawah break even point, maka perusahaan tersebut masih mengalami kerugian tetapi perusahaan tersebut masih mampu menutupi biaya operasional perusahaan. Tujuan menganalisis BEP adalah : 1. Untuk mengetahui berapa jumlah minimal yang harus diproduksi agar bisnis tidak rugi 2. Berapa harga terendah yang harus ditetapkan agar bisnis tidak rugi Untuk menentukan titik impas dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut: BEP (unit)
=
Total Biaya Tetap Harga jual per unit – Biaya variabel per unit
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis BEP adalah sebagai berikut: 1. Biaya-biaya dapat diidentifikasikan sebagai biaya tetap dan biaya variabel. 2. Biaya tetap tidak mengalami perubahan meskipun volume produksi berubah atau kegiatan berubah. Hubungan antara biaya tetap dan biaya variabel tidak bervariasi. 22
3. Biaya variabel per unit tetap sama. Biaya variabel akan berubah secara proporsional dalam jumlah keseluruhan, tapi biaya per unitnya akan tetap sama. 4. Harga jual per unit tetap sama, berapa pun jumlah unit produk yang terjual. 5. Perusahaan hanya menjual atau memproduksi satu jenis produk. Jika menjual lebih dari satu jenis produk, harus dianggap sebagai satu jenis produk dengan kombinasi yang selalu tetap atau dengan kata lain bauran pemasarannya konstan. 6. Pada saat mengestimasi besarnya BEP, barang yang diproduksi dianggap terjual semua dalam periode yang bersangkutan. Jadi, tidak ada sisa produk atau persediaan akhir. 3.1.5. Analisis Efisiensi Efisiensi merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam suatu usaha. Menurut Murbyanto (1989), efisiensi dalam produksi yaitu banyaknya hasil produksi fisik yang dapat diperoleh dari satu kesatuan faktor produksi (input). Dengan kata lain efisiensi produksi merupakan perbandingan output dan input, yaitu berkaitan dengan tercapainya output maksimum dengan sejumlah input tertentu atau tercapainya output tertentu dengan input yang minimum. Pencapaian efisiensi dapat diukur dengan kriteria biaya yang minimum (cost minimization) dan kriteria penerimaan maksimum (output maksimization). Suatu usahatani dikatakan memperoleh keuntungan yang tinggi apabila petani tersebut mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien. Efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya dengan sebaik mungkin dan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input) (Soekartawi, 2002). Dengan keterbatasan modal yang dimiliki oleh petani, tujuan keuntungan maksimum dalam usahatani agar efisien dapat didekati dengan menekan biaya produksi sekecil-kecilnya. Efisiensi suatu usaha sangat tergantung dari penggunaan input yang optimal dan memilih skala usaha yang optimal. Semakin besar suatu skala usaha maka semakin besar pula jumlah penggunaan inputnya, tersebut mengakibatkan 23
biaya total yang dikeluarkan semakin besar. Untuk mengukur tingkat efisiensi biaya dapat dilihat berdasarkan struktur biaya dari masing-masing skala usaha. Dengan menghitung sruktur biaya dari setiap skala, maka kita dapat membandingkan nilai efisiensi dari masing-masing skala. Tingkat efisiensi biaya diperlihatkan oleh indikator semakin rendahnya biaya per unit. 3.3. Kerangka Pemikiran Operasional Usaha anggrek yang terdapat di Taman Anggrek Ragunan memiliki tingkat skala usaha yang berbeda-beda. Keragaman skala usaha tersebut akan menunjukan nilai efisiensi yang berbeda pula. Perbedaan tingkat skala mengakibatkan jumlah penggunaan input produksi yang berbeda sehingga struktur biaya yang dihasilkan juga berbeda. Untuk mengukur skala usaha yang paling efisien dapat diketahui dengan semakin rendahnya biaya total rata-rata atau biaya per-unitnya Analisis struktur biaya dilakukan dengan membandingkan tiga skala usaha anggrek yang berbeda. Dalam penelitian seluruh responden distratifikasi ke dalam tiga kelompok skala usaha yaitu skala usaha I (skala kecil), skala usaha II (skala menengah) dan skala usaha III (skala besar). Pengelompokan tersebut ditentukan berdasarkan luas lahan usaha budidaya anggrek. Selain menganalisis struktur biaya, dialakukan pula analisis efisiensi usahatani R/C rasio dan analisis titik impas pada masing-masing skala usaha. Dengan metode R/C rasio dapat diketahui tingkat kelayakan dari suatu usahatani sedangkan dengan metode titik impas dapat diketahui pada tingkat produksi berapa kondisi usaha anggrek berada dititik impas (keuntungan nol), sehingga dapat diketahui tingkat produksi anggrek yang optimal untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Secara singkat alur pemikiran operasional dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.
24
Potensi bisnis anggrek
Perbedaan skala usaha anggrek di TAR
Kriteria pengelompokan berdasarkan luas lahan
Skala Usaha I (lahan kecil)
Skala Usaha II (lahan menengah)
• • •
Skala Usaha III (lahan besar)
Analisis struktur biaya Analisis R/C rasio Analisis titik impas
Dibandingkan mana yang lebih efisien
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional
25
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini terletak di Taman Anggrek Ragunan, Jakarta Selatan. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa DKI Jakarta merupakan sentra produksi anggrek di Indonesia dan TAR merupakan sentra produksi dan pemasaran anggrek di DKI Jakarta. Kegiatan pengumpulan data untuk keperluan penelitian dilakukan bulan April-Mei 2011. Waktu tersebut digunakan untuk memperoleh data dari para pengusaha anggrek sebagai responden dan semua pihak terkait. 4.2. Jenis, Sumber dan Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari metode pengumpulan data dengan responden pengusaha anggrek dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data primer pada penelitian mencakup keragaan usaha anggrek seperti teknis budidaya, jumlah produksi, penerimaan serta informasi lainnya yang berguna untuk menunjang penelitian. Data sekunder merupakan data pelengkap dari data primer yang bersumber dari literatur-literatur yang relevan. Data sekunder diperoleh dari catatan dan dokumentasi pihak atau instansi terkait, seperti Departemen Pertanian, Badan Pusat Stastistik, Dinas Pertanian Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, dilakukan juga penelusuran melalui internet, buku-buku yang relevan menujang teori serta penelitian-penelitian terdahulu sebagai bahan rujukan yang berhubungan dengan skala usaha. Data sekunder mencakup data kontribusi holtikurtura terhadap PDB, data produksi tanaman hias, data ekspor dan impor anggrek, data produksi dan luas lahan anggrek per provinsi. 4.3. Metode Penentuan Responden Penentuan responden dalam peneltian ini menggunakan teknik stratified random sampling yaitu dengan mengklasifikasikan pengusaha anggrek yang berada di TAR ke dalam kelompok-kelompok yang mempunyai susunan bertingkat. Setiap tingkatan memiliki karakteristik yang berbeda berdasarkan
26
kriteria skala usaha yang ditetapkan. Populasi dari penelitian ini adalah semua pengusaha anggrek yang berada di TAR. Jumlah petani yang masih melakukan usaha anggrek sebanyak 16 responden. Pengusaha anggrek tersebut akan diidentifikasikan lagi ke dalam tiga kelompok tingkatan usaha yaitu: 1) Pengusaha anggrek dengan skala kecil, 2) Pengusaha anggrek dengan skala besar, 3) Pengusaha anggrek dengan skala besar. Pengelompokan skala usaha tersebut didasarkan pada luas lahan usaha budidaya. Menurut Hernanto (1989), penggolongan usaha berdasarkan luas lahan dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu: (1) golongan petani luas atau besar dengan luas lahan > 2 ha, (2) golongan petani sedang atau menengah dengan luas lahan 0,5 ha – 2 ha, (3) golongan petani sempit atau kecil dengan luas lahan < 0,5 ha dan (4) golongan petani penggarap adalah petani yang tidak memiliki lahan atau buruh tani. Data mengenai petani anggrek berdasarkan stratifikasi luas lahan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Stratifikasi Petani Anggrek di Taman Anggrek Ragunan 2011 Skala Usaha Kecil
Luas Lahan
Jumlah Petani
< 0,5 ha
11
Menengah Besar
0,5 ha – 2 ha > 2 ha
4 1
Kavling 6, 7, 8, 11, 12, 17, 28, 30, 35, 39 dan 42 1, 43, 10, 27 dan 37 2 dan 4
Pertimbangan menggunakan stratified random sampling adalah 1) telah tersedianya kerangka sampling yaitu daftar nama pengusaha anggrek di lokasi penelitian. Daftar nama tersebut diperoleh dari ketua koperasi di TAR, 2) populasi tidak tersebar secara geografis, 3) populasi dikelompokan berdasarkan skala usahanya yaitu besar, menengah dan kecil. Setelah populasi selesai distratifikasi, dari ketiga skala tersebut dipilih sebanyak satu sampel dari masing-masing skala yang dilakukan secara random (acak) sehingga total sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak tiga perusahaan. Pemilihan satu sampel dari masingmasing skala usaha diharapkan sampel tersebut dapat mewakili keadaan usaha lainnya dalam satu skala usaha yang sama. Dari tabel bilangan acak tersebut, diperoleh sebanyak sepuluh sampel yaitu kavling 42, 21, 33, 3, 35, 15, 1, 26, 5, 9, 6, 13 dan 4. Kemudian dipilih satu sampel yang mewakili di setiap kelompok 27
yaitu kavling 42 mewakili skala usaha kecil, kavling 1 mewakili skala usaha menengah dan kavling 4 mewakili skala usaha besar. 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif yang dilakukan meliputi analisis terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan, penerimaan yang diperoleh, pendapatan usaha tani dengan menggunakan rasio penerimaan atas biaya (R/C rasio) dan perhitungan titik impas (break even point) dengan menggunakan program aplikasi komputer seperti Microsoft Exel sedangkan, metode kualitatif digunakan untuk melihat keragaan usaha petani anggrek serta menjelaskan hasil perhitungan yang akan diuraikan secara deskriptif. 4.4.1. Analisis Struktur Biaya Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variabel cost). Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang jumlahnya relatif tetap dan akan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Jadi besarnya biaya tetap tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang dihasilkan. Biaya variabel adalah biaya yang besarkecilnya dipengaruhi oleh produksi yang dihasilkan (Soekartawi, 1995). Biaya penyusutan peralatan pertanian dihitung berdasarkan metode penyusutan garis lurus atau rata-rata, yaitu nilai pembelian dikurangi dengan nilai tafsiran nilai sisa dibagi dengan umur ekonamis. Nilai akhir dianggap nol jika barang tersebut tidak laku lagi dijual. Rumus yang digunakan adalah Penyusutan = Nb – Ns N Keterangan : Nb
= Nilai pembelian barang (Rp)
Ns
= Tafsiran nilai sisa (Rp)
N
= Umur ekonomis barang (tahun) Metode perhitungan stuktur biaya usahatani anggrek pada skala usaha
berbeda dapat dilihat pada Tabel 5. Secara matematis, perhitungan total biaya
28
(total cost) merupakan penjumlahan dari biaya tetap (TFC) dan biaya variabel (TVC) yang dapat dirumuskan sebagai berikut: TC = TFC + TVC Tabel 5. Struktur Biaya Usaha Anggrek pada Skala Usaha Berbeda Uraian
Skala Kecil
Skala Menengah
Skala Besar
R1
R1
R1
Biaya tetap: - Listrik - Penyusutan peralatan - Sewa lahan - Pajak - Tenaga kerja - Dll Total biaya tetap Biaya variabel - Benih - Pupuk - Obat-obatan - Dll Total biaya variabel Total biaya
Sedangkan, untuk menghitung total biaya rata-rata (average total cost) adalah penjumlahan biaya tetap rata-rata (AFC) dengan biaya variabel rata-rata (AVC). Rumus yang digunakan yaitu : AC = AFC + AVC. Penentuan skala usaha yang paling efisien dapat diketahui dengan melihat total biaya rata-rata produksi paling rendah. 4.4.2. Analisis Pendapatan Usahatani Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran total (Soekartawi et al 1986). Pendapatan menjadi ukuran yang diperoleh dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal baik milik sendiri maupun pinjaman. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Produksi yang dimaksud pada penelitian ini adalah empat jenis anggrek yang dihasilkan dilokasi penelitian yaitu anggrek Dendrobium, Phalaenopsis, Vanda dan Cattleya. Sedangkan harga jual pada penelitian ini adalah besarnya nilai penjualan rata-rata dari setiap jenis anggrek. 29
Harga jual rata-rata anggrek dibedakan berdasarkan jenisnya. Pernyataan ini dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut: TR
= ∑
Yaitu : TR = Total penerimaan Yi
= Jumlah anggrek setiap jenis yang terjual dalam 1 tahun
PYi = Harga jual rata-rata anggek setiap jenis n
= Jenis anggrek yang diproduksi
Pengeluaran merupakan biaya total yang dikeluarkan selama proses melakukan usahatani anggrek baik biaya variabel seperti bibit, pupuk, obatobatan, media tanam dan pot maupun biaya tetap seperti listrik, penyusutan peralatan, sewa lahan dan pajak lahan. Pada analisis pendapatan ini dilakukan melalui dua cara yaitu pendapatan atas biaya total dan pendapatan atas biaya tunai. Analisis pendapatan atas biaya total usaha anggrek dapat dianalisis dengan rumus : Pd total = TR total – TC total Dimana : Pd total = Pendapatan total TR total = Penerimaan usahatani anggrek secara tunai dan diperhitungkan TC total = Total biaya baik biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Sedangkan pendapatan atas biaya tunai usaha anggrek tidak memasukan biaya yang diperhitungkan yang dapat dianalisis dengan rumus: Pd tunai = TR tunai – TC tunai Dimana : Pd tunai = Pendapatan tunai TR tunai = Penerimaan usahatani anggrek secara tunai TC tunai = Total biaya tunai Selain itu dilakukan pula analisis rasio penerimaan dan biaya. Rasio penerimaan dan biaya merupakan perbandingan antara penerimaan yang diterima dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam satu proses produksi. Tujuan menganalisis nilai R/C rasio untuk melihat efisiensi suatu usaha. Usaha dikatakan efisien apabila memiliki nilai R/C rasio > 1. Semakin besar nilai R/C rasio maka
30
usaha tersebut semakin efisien. Rumus yang digunakan dalam perhitungan R/C rasio adalah sebagai berikut: R/C rasio atas biaya total = TR / TC 4.4.3. Analisis Titik Impas Analisis titik impas dilakukan untuk mengetahui berapa jumlah minimum anggrek yang harus terjual agar hasil penjualan sama dengan jumlah biaya sehingga pada kondisi tesebut perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau kerugian. Dalam perhitungan titik impas (BEP) biaya harus dipisahkan secara jelas dan benar antara biaya tetap dan biaya variabel, sehingga apabila ada komponen biaya yang semi variabel harus dipisahkan terlebih dahulu. Pendekatan untuk perhitungan titik impas dalam penelitian ini adalah BEP dalam jumlah unit produksi yang dapat dilakukan dengan menggunaakan rumus dibawah ini : BEP (unit)
=
Total Biaya Tetap Harga jual per unit – Biaya variabel per unit
4.5. Definisi Operasional 1. Sampel penelitian adalah petani anggrek yang melakukan usaha budidaya anggrek dari seedling hingga berbunga dan melakukan pemasaran di Taman Anggrek Ragunan. 2. Produksi merupakan hasil yang diperoleh dari kegiatan usahatani anggrek. 3. Harga jual adalah besarnya nilai penjualan rata-rata dari setiap jenis anggrek. Harga jual rata-rata anggrek dibedakan berdasarkan jenisnya. 4. Penerimaan adalah nilai yang diperoleh dari perkalian total antara hasil produksi dan harga jual dari setiap jenis anggrek yang dibudidayakan petani. Penerimaan total merupakan hasil penjumlahan dari penerimaan setiap jenis anggrek. 5. Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh petani selama proses melakukan usahataninya. 6. Pendapatan bersih merupakan selisih atara total penerimaan dengan total biaya
31
V. GAMBARAN UMUM TAMAN ANGGREK RAGUNAN 5.1. Taman Anggrek Ragunan 5.1.1. Sejarah Taman Anggrek Ragunan TAR berdiri pada tahun 1973 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur No. 3 tahun 1973, yang berisi tentang pemberian izin kepada koperasi anggrek Jakarta untuk mengelola TAR. TAR menempati lahan milik Pemda DKI Jakarta yang bertujuan sebagai wadah bagi para petani untuk melakukan kegiatan usaha agribisnis anggrek. Pada awalnya pengelolaan TAR dilakukan oleh Subdinas Pemasaran Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor : 223/-1.853.2 tanggal 20 Juli 1993, dan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1435 tanggal 10 Oktober 1994. Saat ini, pengelolaan TAR berada di bawah UPT Promosi dan Pemasaran Hasil Pertanian dan Hasil Hutan Provinsi DKI Jakarta di Rawa Belong. Dalam rencana induk pola pengembangan pariwisata DKI Jakarta, TAR diarahkan pengembangannya menjadi suatu kawasan agrowisata. Rencana pengembangan sarana dan prasarana TAR dilaksanakan mulai tahun 2010, sesuai dengan hasil redesain tahun 2007 berupa bangunan kantor promosi, laboratorium kutur jaringan, mushola, fasilitas bangunan tiap kavling, fasilitas sarana pengairan, papan promosi dan ruangan aula (UPT Promosi dan Pemasaran Hasil Pertanian dan Hasil Hutan Provinsi DKI Jakarta, 2009). 5.1.2. Letak Geografis Lokasi TAR terletak di Jalan Harsono RM, Kelurahan Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TAR menempati lahan seluas lima hektar milik pemeritah daerah DKI Jakarta. Sebelah selatan TAR berbatasan dengan Kebun Binatang Ragunan dan sebelah timur berbatasan dengan Gelanggang Olahraga Ragunan. TAR berada pada ketinggian 15-40 meter diatas permukaan laut dengan kelembaban udara berkisar antara 70-80% dan curah hujan rata-rata 2.000-2.500 mm/tahun. Kondisi agroiklimat tersebut sangat cocok untuk pengembangan anggrek.
32
5.1.3. Fungsi Taman Anggrek Ragunan TAR memiliki tiga fungsi utama, yaitu : a. Sebagai tempat wisata TAR merupakan salah satu bagian dari kawasan Ragunan yang berperan dalam melestarikan flora Indonesia khususnya jenis Anggrek. b. Sebagai tempat berlangsungnya agribisnis anggrek baik dalam bentuk tanaman maupun bunga potong. Tujuan didirikannya TAR adalah sebagai wadah atau tempat bagi para petani untuk melakukan usaha agribisnis anggrek. Dengan adanya wadah bagi para petani diharapkan TAR dapat menjadi sentra agribisnis anggrek dan dapat meningkatkan kesejaahteraan para petaninya. c. Sebagai sarana untuk mempelajari seluk beluk pemeliharaan anggrek. TAR juga berfungsi sebagai sarana untuk mempelajari seluk-beluk anggrek. Banyak mahasiswa yang menjadikan TAR sebagai tempat untuk melakukan Praktek Kerja Lapang ataupun penelitian. 5.1.4. Struktur Organisasi TAR memiliki struktur organisasi yang terdiri dari beberapa unsur yang bertugas dalam mengatur dan mengelola segala aktifitasnya. Dalam struktur organisasinya secara tidak langsung Taman Anggrek Ragunan berada di bawah naungan Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. Struktur organisasi TAR terdiri dari : a. Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, bertugas menetapkan kebijakan yang akan diambil dan memberikan pengarahan dengan aktifitas di TAR. b. Kepala UPT Promosi dan Pemasaran Hasil Pertanian dan Hasil Hutan Provinsi DKI Jakarta di Rawa Belong, bertugas merencanakan dan menetapkan kegiatan yang akan dilakukan di TAR. c. Seksi Sarana dan Prasarana Usaha, bertugas sebagai pelaksana objek pengembangan wisata agro salah satunya TAR, menyediakan dan melakukan pengelolaan sarana dan prasarana usaha agribisnis.
33
d. Kepala Pengelola TAR, bertugas mengoordinasikan dan mengawasi jalanya kegiatan yang ada di TAR, serta memberikan pembinaan kepada pengelola kavling. Kepala Pengelola juga bertugas memberikan laporan rutin mengenai aktifitas yang dijalankan di TAR kepada UPT Rawa Belong. e. Bidang Umum dan Keuangan, bagian umum bertugas mendata jumlah pengunjung, menghitung volume penjualan anggrek, dan menangani urusan administrasi. Sedangkan bagian keuangan bertugas mengawasi keluar masuk uang dan membuat laporan keuangan yang nantinya akan dilaporkan kepada Kepala Penglola TAR. f. Pengelola Kavling, merupakan petani anggrek yang sewa kavling di TAR. Pengelola kavling bertugas mengelola kavlingnya masing-masing dan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan manajemen TAR. Saat ini terdapat 32 petani yang bergabung di TAR. Struktur organisasi TAR dapat dilihat pada Gambar 6. 5.1.5. Pengunjung Tanaman Anggrek Ragunan Para pengunjung di TAR dikelompokan menjadi lima bagian berdasarkan maksud dan tujuannya, yaitu: 1. Pedagang Pedagang merupakan pengunjung yang datang dengan tujuan bisnis. Pada umumnya kelompok ini membeli tanaman anggrek di TAR dalam jumlah yang besar dan kemudian menjualnya kembali kepada konsumen akhir. 2. Hobbies adalah pengunjung yang merupakan pecinta dan penggemar anggrek. Kelompok ini biasanya sengaja datang untuk mencari dan mengoleksi setiap jenis anggrek baik spesies baru maupun hasil silangan. Kecintaannya terhadap anggrek menyebabkan kalangan hobbies ini lebih mementingkan kualitas dibandingkan harga. 3. Wisatawan merupakan pengunjung yang datang ke TAR untuk tujuan berwisata. Wisatawan yang datang ke TAR terdiri dari wisatawan lokal maupun mancanegara. Mereka biasanya ingin mengetahui seluk beluk mengenai anggrek dan beragam jenis anggrek. Mereka melihat-lihat anggrek untuk sekedar ingin menikmati keindahan bunga anggrek, bahkan 34
tidak jarang wisatawan hanya berfoto di kavling yang banyak bunga anggrek. 4. Peneliti, mahasiswa dan siswa merupakan pengunjung yang yang datang ke TAR untuk tujuan pendidikan seperti studi banding, PKL (Praktek Kerja Lapang) dan penelitian untuk tugas akhir. 5. Asosiasi/instansi, pada umumnya asosiasi yang datang ke TAR berasal dari Pemda dari berbagai provinsi yang bertujuan untuk melakukan studi banding.
Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta
Kepala UPT Promosi dan Pemasaran Hasil Pertanian dan Hasil Hutan Provinsi DKI Jakarta Subbagian Tata Usaha
Kelompok Jabatan Fungsional
Seksi Sarana dan Prasarana Usaha
Balai Benih Induk
Kepala Pengelola TAR
Seksi Pelayanan Usaha
Taman Pariwisata DKI Pusat Promosi Ikan Hias Sumenep
Bidang Umum & Keuangan
Pengelola Kavling/ Pengusaha Anggrek Ket -----: tidak secara langsung menangani kegiatan di TAR
Gambar 6. Struktur Organisasi Taman Anggrek Ragunan Sumber : TAR 2010
35
5.1.6. Kelembagaan LKMA Primatara LKMA Primatara merupakan lembaga keuangan mikro agribisnis yang dibentuk oleh para pelaku agribisnis yang tergabung dalam kelompok tani tanaman hias anggrek di TAR. LKMA Primatara didirikan pada bulan November 2007 oleh sebagian anggota dari kelompok tani Anggrek Bulan dan Dendrobium dengan anggota sebanyak 28 orang. Modal awal LKMA berasal dari saham para anggota sebanyak Rp 60 juta. Layanan yang diberikan LKMA Primatara dalam rangka menunjang kegiatan agribisnis anggotanya, seperti simpanan modal dan berbagai bentuk pembiayaan usaha dan jasa lainnya. Prinsip kerja dari LKMA ini bersifat terbuka, mandiri dan tidak partisan serta berorientasi pada pengembangan masyarakat untuk mendukung bisnis ekonomi produktif anggota dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Dengan adanya layanan dari LKMA Primatara dapat membantu dalam perolehan sumber modal bagi petani anggrek di Taman Anggrek Ragunan. 5.2.
Keragaan Usaha Anggrek di Taman Anggrek Ragunan Taman Anggrek Ragunan terdiri dari 43 kavling dengan jumlah petani
sebanyak 32 orang. Sesuai dengan nama Taman Anggrek Ragunan, komoditas utama yang diperdagangkan secara umum adalah tanaman anggrek. Namun, trend berbagai jenis tanaman hias yang sempat booming pada tahun 2007 seperti Anthurium membuat beberapa petani beralih memproduksi tanaman tersebut karena keuntungan yang dihasilkan sangat tinggi. Budidaya yang relatif mudah, biaya perawatan murah, permintaan pasar yang tinggi dan harga yang tinggi merupakan penyebab beralihnya petani anggrek untuk memproduksi tanaman hias seperti Anthurium. Saat ini, kondisi yang terjadi adalah sekitar 60 persen dari luas lahan digunakan untuk mengembangkan tanaman hias lainya seperti Aglonema, Euphorbia, Adenium, Anthorium, Bromelia dan tanaman hias lainnya. Hanya sebanyak enam belas kavling yang masih melakukan budidaya anggrek. Berdasarkan hasil pengamatan, jenis usaha yang dilakukan petani anggrek dapat dikelompokan menjadi empat segmen. Pengelompokan tersebut berdasarkan tahapan pembesaran anggrek. Setiap petani memiliki kebebasan untuk tahapan usaha dalam pembesaran anggrek sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang 36
dimiliki petani. Berikut ini merupakan segmentasi usaha anggrek berdasarkan tahapan budidayanya, yaitu: a. Pembibitan berupa botolan Usaha pembibitan anggrek dilakukan secara vegetatif dengan metode kultur jaringan yaitu metode perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian kecil dari jaringan tumbuhan tersebut di dalam kondisi yang ideal. Pembibitan dengan kultur jaringan biasanya digunakan untuk tujuan bisnis. Namun, resiko usaha yang dimulai dari pembibitan botolan sangat besar karena bibit anggek dari botolan masih rentan dan daya adaptasinya kurang baik terhadap lingkungan. Selain itu, usaha pembibitan membutuhkan tempat dan keahlian khusus mengenai teknik kultur jaringan. Pembuatan laboratorium membutuhkan biaya yang besar sehingga jarang petani yang melakukan budidaya dari pembibitan botolan. b. Budidaya seedling hingga berbunga Usaha pada tahapan ini banyak dilakukan oleh petani anggrek. Petani melakukan budidaya dari bibit seedling yang berumur lima bulan. Pada segmentasi usaha ini membutuhkan waktu yang lebih cepat dibanding usaha yang dimulai dari bibit botolan. Resiko kematian budidaya dari bibit seedling lebih kecil bila dibandingkan budidaya dari bibit botolan karena daya adaptasi tanaman sudah cukup baik. Biaya yang dibutuhkan untuk memperoleh bibit seedling lebih rendah dibanding tanaman remaja sehingga keuntungan yang diperoleh lebih besar. c. Budidaya remaja hingga berbunga Usaha pada tahapan ini melakukan budidaya anggrek dari tanaman anggrek remaja yang berusia kira-kira delapan bulan. Pada segmentasi usaha ini membutuhkan waktu sekitar 3-4 bulan hingga menghasilkan tanaman anggrek berbunga. Modal untuk membeli anggrek remaja lebih murah jika dibandingkan dengan membeli anggrek yang sudah berbunga. Hanya membutuhnkan 3-4 bulan sehingga keuntungan yang diperoleh lebih besar dan resiko kematiannya sangat kecil karena pada tahap remaja kemampuan adaptasi tanaman anggrek dengan lingkungannya sudah baik.
37
d. Pemasaran anggrek Usaha pemasaran anggrek merupakan usaha memasarkan anggrek berbunga ke konsumen. Pada usaha pemasaran anggrek biasanya melakukan kerjasama dengan petani budidaya anggrek. Pada usaha ini petani membeli anggrek yang sudah berbunga dari petani. Kemudian mendisplay anggrek tersebut di kavling dan melakukan perawatan anggrek hingga anggrek terjual. Pada usaha ini lebih cepat perputaran modal dan resikonya lebih kecil. Jenis anggrek yang terdapat di Taman Anggrek Ragunan sangat bervariasi antara lain jenis Dendrobium, Vanda, Oncidium, Catleya dan Phaleopsis. Jenis anggrek Dendrobium merupakan jenis anggrek yang paling banyak dibudidayakan oleh petani anggrek di Ragunan dengan alasan tanaman anggrek jenis ini sangat cocok dengan iklim di Jakarta. Selain itu, sebagian besar preferensi konsumen Jakarta lebih menyukai anggrek Dendrobium. Berikut ini karakteristik dari masing masing tanaman anggrek. a. Dendrobium Dendrobium berasal dari kata dendro yang berarti pohon dan bios yang berarti hidup. Anggrek ini merupakan jenis yang paling populer baik dikalangan hobbies maupun usaha pembesaran anggrek karena pasa pasar anggrek ini mencapai 50 persen dari total pasar anggrek (Setiawan, 2005). Keunggulan dari anggrek Dendrobium adalah memiliki aneka macam bentuk, ukuran dan warna sehingga terdapat banyak pilihan bagi konsumen. Selain itu, daya tahan anggrek Dendrobium yang telah mekar dapat betahan lebih dari 30 hari. Jumlah kuntum bunga pada setiap tangkai lebih banyak yaitu 15-20 kuntum pertangkai. Perawatan anggreknya juga relative lebih mudah dan sangat cocok dengan lingkungan di DKI Jakarta. Harga anggrek Dendrobium lebih murah dibandingan dengan jenis anggek lainnya. b. Phalaenopsis Phalaenopsis berasal dari bahasa Yunani, phalaina artinya kupu-kupu dan opsis artinya menyerupai. Phalaenopsis di Indonesia dikenal dengan nama anggrek bulan. Warna anggrek dan motif phalaenopsis beraneka macam
38
seperti warna dasar putih, ungu, kuning dengan warna lidah bunga yang berbeda. Selain itu, memiliki motif titik-tititk, blok dan sembur (splash). Tanaman ini dapat tumbuh optimal pada dataran tinggi dengan ketinggian 900m dpl. Bunga yang tela mekasr dapat bertahan cukup lama yaitu lebih dari 3 bulan. Saat ini anggrek bulan mengalami peningkatan permintaan pasar. Banyak florist yang mempergunakan bunganya sebagai rangkaian bunga sehingga pangsa pasar jenis anggrek ini kurang lebih sekitar 20 persen dari total pasar anggrek (Setiawan, 2005). c. Vanda Persyaratan tumbuh anggrek Vanda hampir sama dengan anggrek Dendrobium. Maka banyak petani yang melakukan budidaya anggrek Vanda secara besamaan dengan anggrek Dendrobium. Penggemar anggrek Vanda ini cukup banyak karena bunganya sangat indah dengan bentuknya yang bulat dan kombinasi warna yang sangat serasi. Namun ketersediaan anggrek Vanda masih sangat terbatas sehingga harganyapun cukup mahal. Daya tahan bunga yang mekar cukup baik yaitu lebih dari 14 hari setelah dipotong. Oleh karena itu, kadang-kadang anggrek Vanda ini juga digunakan florist untuk rangkaian bunga. d. Cattleya Anggrek Cattleya dapat tumbuh dengan baik pada lokasi yang sama seperti Dendrobium dan Vanda. Tanaman ini biasanya ditempatkan dengan cara digantung karena anggrek Cattleya menyukai kondisi kering. Bunga anggrek Cattleya cukup besar dengan diameter 10-16 cm. Warna bungapun bermacam-macam antara lain putih, pink, merah, kuning dan hijau. Salah satu cirri khas anggrek Cattleya adalah memiliki lidah bunga yang besar dengan warna yang bermacam-macam dan ada yang berbeda dengan warna mahkotanya. Bunga anggrek Cattleya dapat bertahan sekitar 2-3 minggu. 5.2.1. Usaha Budidaya Anggrek Skala Kecil (Nunky Orcid) 5.2.1.1. Sejarah Singkat Usaha Pertani responden untuk skala I dalam penelitian ini adalah usaha budidaya anggrek yang dimiliki oleh Ibu Nurul Rusniawati dengan nama usaha 39
Nunky Orcid. Nunky Orcid merupakan salah satu perusahaan budidaya anggrek di Taman Anggrek Ragunan yang menempati kavling 42. Pada awalnya usaha ini berasal dari sebuah hobi dari salah satu anggota keluarga yaitu Bapak Soekarno yang merupakan ayah dari ibu Nurul. Kemudian pada tahun 2003, tanaman anggrek tersebut kemudian dibudidayakan secara komersil karena permintaan anggrek pada saat itu tinggi dan harga anggrek relatif stabil. Diawal pendiriaanya, usaha Nunky Orcid dikelola oleh suami Ibu Nurul. Ibu Nurul berkerja sebagai pegawai swasta dan hanya membantu dibagian administrasi sedangkan Bapak Soekarno dibagian produksi. Setelah sepeninggalan suami, Ibu Nurul berhenti bekerja dan melanjutkan usaha yang sudah dibangun oleh suaminya tanpa berbekal pengetahuan dan pengalaman dibidang bisnis. Pada tahun 2003 bisnis anggrek terus mengalami peningkatan pendapatan tertinggi diperoleh pada tahun 2005 dengan pendapataan mencapai Rp 20.000.000/bulan. Semenjak tahun 2007 bisnis anggrek mulai mengalami penurunan permintaan penurunan tersebut mengakibatkan pendapatan yang semakin berkurang rata-rata pendapatan Rp 5.000.000/bulan. Menurut ibu Nurul, pendapatan tersebut belum mencukupi biaya operasional yang dikeluarkan oleh perusahaan sehingga pada bulan November 2010. Nunky Orcid mulai merambah ke bisnis jasa penyewaan tanaman (rental). Dari bisnis rental tersebut diperoleh pemasukan sebesar Rp 5.000.000/bulan. 5.2.1.2. Lokasi dan Layout Perusahaan Usaha yang dilakukan Nunky Orcid merupakan usaha pembesaran anggrek dari seedling hingga tanaman berbunga. Lahan yang digunakan untuk tempat produksi terdapat di dua wilayah yang berbeda yaitu lahan pertama terletak di TAR kavling 42 dengan luas lahan 800 m2 dan di Kampung Jagung Graha Regency Ciledug dengan luas 300 m2. Kedua lahan tersebut merupakan lahan yang disewa dengan biaya Rp 385.000,00/bulan dan Rp 150.000,00/bulan. Selain sebagai tempat produksi, lahan di TAR juga dijadikan tempat pemasaran. Kavling yang ditempati Nunky Orcid terdiri dari bangunan rumah tinggal dan rak-rak pemeliharaan yang dinaungi oleh paranet atau dikenal dengan bangunan serre. Bangunan rumah digunakan oleh Ibu Nurul sebagai kantor dalam
40
mengerjakan administrasi usaha. Tata letak dikebun di Ciledug lebih sederhana dibandingkan di TAR. 5.2.1.3. Struktur Organisasi Nunky Orcid mempunyai struktur organisasi yang sederhana. Struktur organisasi Nunky Orcid terdiri atas 2 bagian yaitu bagian administrasi dan pemasaran serta bagian produksi. Bagian administrasi dan pemasaran dikelola oleh Ibu Nurul sedangkan dibagian produksi dikelola oleh Bapak Soekarno dengan dua orang karyawan yaitu satu orang berada di TAR dan satu orang berada di kebun di Ciledug. Tenaga kerja yang berada di TAR melakukan pekerjaan dari melayani konsumen hingga melakukan perawatan anggrek sedangkan tenaga kerja di Ciledug melakukan pekerjaan budidaya anggrek dan memindahkan tanaman anggrek yang siap jual ke TAR. Jumlah hari bagi pekerja di Nunky Orcid adalah enam hari selama seminggu dengan hari libur setiap hari Minggu. Jumlah jam kerja sebanyak 9 jam mulai pukul 08.00 sampai pukul 17.00 dengan gaji Rp 1.200.000/bulan. Selain gaji, ibu Nurul juga memberikan upah berupa paket sembako setiap bulannya yang setara dengan Rp 300.000. Kurangnya ketersediaan tenaga kerja yang ahli merupakan masalah bagi Nunky Orcid. Sebagian besar tenaga kerja memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan kurang memahami mengenai budidaya anggrek. Kurangnya pengetahuan mengenai budidaya anggrek menyebabkan anggrek yang tumbuh menjadi kurang maksimal sehingga harga jual anggrek menjadi menurun. Menurunnya harga jual anggrek menyebabkan penerimaan juga menurun. Sehingga dibutuhkan pelatihan dan pemahaman terlebih dahulu untuk tenaga kerja. Pelatihan tersebut membutuhkan suatu korbanan baik berupa materi maupun waktu. Korbanan tersebut mengakibatnya munculnya biaya tambahan. 5.2.1.4. Penyediaan Sarana Produksi Nunky Orcid menggunakan input yang terdiri dari media tanam arang dan kaliandra, pot tanah ukuran 15 dan 18, bibit anggrek seedling, pupuk dan pestisida. Media tanam kaliandra digunakan pada saat budidaya anggrek dari seedling hingga remaja karena kaliandara memiliki unsur hara B1 yang tinggi yang digunakan oleh tanaman anggrek untuk pertumbuhan. Sedangkan untuk 41
media tanam arang digunakan ketika anggrek sudah remaja hingga berbunga. Nunky Orchid membeli media tanam di LKMA Primatara yang terdapat di TAR. Selain lokasinya dekat dengan tempat usaha, LKMA tersebut juga memberikan kemudahan dalam pembayaran yaitu dapat diangsur (kredit). Bibit anggrek merupakan bibit yang diimpor dari Thailand yang diperoleh dari importir yang terdapat di daerah Cibubur. Bibit anggrek impor dipilih karena bibit tersebut menghasilkan bunga yang paling banyak disukai oleh konsumen karena warna dan variasi bentuknya lebih menarik dan beragam. Setiap bulan importir bibit tersebut selalu menampilkan produk baru. 5.2.1.5.Teknik Budidaya dan Pemeliharaan Anggrek Jenis tanaman anggrek yang dibudidayakan Nunky Orcid sangat beragam yaitu Dendrobium, Phalaenopsis, Vanda, Catleya dan Oncidium. Total tanaman anggrek Nunky Orchid berjumlah 20.000 pot. Namun sebagian besar tanaman yang diproduksi adalah Dendrobium yaitu sebesar 70 persen dari jumlah tanaman. anggrek Phalaenopsis sebesar 20 persen atau sebanyak 4000 pot dan anggrek Catleya dan Vanda masing-masing sebesar 10 persen atau sebanyak 1000 pot. Budidaya anggrek dilakukan mulai dari tanaman seedling hingga berbunga. Seedling adalah bibit anggrek berusia enam bulan setelah dipisahkan dari kompot. Pemilihan budidaya dari bibit seedling karena resiko kematian yang kecil dan waktu budidayanya relatif lebih singkat dibanding dengan bibit dari botolan. Lamanya umur budidaya setiap jenis tanaman anggrek berbeda-beda, untuk jenis anggrek Dendrobium rata-rata berbunga pada umur 8 bulan, anggrek Phalaenopsis rata-rata berbunga umur 1 tahun, anggrek Vanda dan anggrek Catleya rata-rata berbunga umur 1 tahun 6 bulan. Kegiatan pemeliharaan anggrek yang secara rutin dilakukan yaitu penyiraman, pemupukan, pemberian pestisida, fungisida dan insektisida. Pemberian obat untuk nematoda dan insektisida dilakukan apabila terjadi serangan. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi hari atau sore hari. Namun, penyiraman tidak dilakukan ketika hari hujan. Pemberian pupuk dilakukan seminggu sekali. Pemberian pupuk daun diaplikasikan ketika tanaman seedling hingga remaja. Hal tersebut dikarenakan saat fase seedling pupuk yang diberikan harus mengandung lebih banyak nitrogen dibandingkan unsur yang lainnya. Unsur 42
Nitrogen diperlukan untuk mendorong pertumbuhan tanaman dan mempercepat pembentukan sel-sel baru (Darmono, 2007). Pada saat remaja hingga berbunga diberikan pupuk yang memiliki kandungan phospat lebih banyak untuk merangsang pembungaan. Pupuk tersebut diaplikasikan dengan cara disemprotkan terutama di permukaan bawah daun karena banyak terdapat stomata. Stomata tersebut akan membuka pada pagi dan sore hari (Setiawan, 2005). Pemupukan biasanya dilakukan pada pagi hari. Namun, pemupukan yang dilakukan pada sore hari sebelum pukul 16.00 lebih efektif dibandingkan dengan pemupukan pada pagi hari karena kesempatan tanaman untuk menyerap pupuk lebih lama yaitu dari sore hingga keesokan harinya. Selain itu, kelembapan yang tinggi pada malam hari membuat pupuk tetap dalam keadaan cair sehingga kesempatan tanaman untuk menyerap pupuk lebih lama (Setiawan, 2005). Semenjak akhir tahun 2010, Nunky Orcid menggunakan pupuk organik yang dibuat sendiri. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi biaya produksi tanaman anggrek. Pemberian fungisida dan insektisida dilakukan setiap dua minggu sekali. Pemberian fungisida dilakukan pada minggu ke 1 dan ke 3 sedangkan pemberian insektisida dilakukan pada minggu ke 2 dan ke 4. Ketika musim penghujan pemberian fungisida dan insektisida lebih diintensifkan karena media tanaman anggrek sering kali ditumbuhi jamur dan hama. Hama yang sering menyerang tanaman anggrek adalah hama keong dan kumbang gajah. Kumbang gajah merupakan hama yang memakan epidermis tanaman. Biasa kumbang ini sering bersembunyi diantara helaian daun muda. Bila serangannya sampai pada titik tumbuh (meristem) dapat terjadi kematian pucuk sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhenti (Darmono, 2007). Bibit seedling hingga tanaman anggrek remaja dibudidayakan di dalam pot yang berukuran 15. Setelah tanaman anggrek berusia empat bulan, tanaman anggrek dipindahkan ke pot ukuran 18 hingga tanaman anggrek berbunga. Hal tersebut bertujuan agar anggrek dapat tumbuh secara optimum. Tanaman pot yang dipindahkan ke dalam pot 18 memiliki pertumbuhan yang lebih baik karena akar tamanan mendapatkan makanan dan ruang gerak yang cukup besar bila
43
dibandingkan di dalam pot 15 (Setiawan, 2005). Pada saat tanaman telah berbunga, tanaman anggrek dibawa ke TAR untuk dipasarkan. 5.2.1.6. Kegiatan Pemasaran Kegiatan pemasaran Nunky Orcid dilakukan di TAR. Tanaman anggrek yang sudah berbunga didisplay di rak-rak yang terpisah dengan rak pemeliharaan. Penataan tersebut dilakukan agar memberikan kesan menarik bagi konsumen yang datang dan memudahkan konsumen untuk memilih tanaman yang akan dibeli. Konsumen Nunky Orcid sebagian besar merupakan pedagang eceran disekitar wilayah Jakarta, Tanggerang, Depok bahkan sampai ke Medan (luar kota). Konsumen tersebut merupakan pelanggan tetap dari Nunky Orcid. Selain pedagang eceran, konsumen Nunky Orcid adalah hobbies yang membeli langsung ke TAR. Harga jual masing-masing tanaman anggrek berbeda setiap jenisnya. Selain itu, Nunky Orcid juga melakukan perbedaan harga penjualan untuk pedagang dan hobbies. Perbedaan tersebut dilakukan karena pedagang melakukan pembelian dalam jumlah yang banyak. Rata-rata penjualan anggrek Nunky Orchid setiap bulan sebanyak 200 pot untuk anggrek Dendrobiun, 20 pot untuk anggrek Phalaepnosis,10 pot untuk anggrek Vanda dan 100 pot untuk anggrek Catleya. Kegiatan pemasaran tanaman anggrek tidak memiliki saluran pemasaran yang panjang karena tanaman anggrek yang dibutuhkan oleh konsumen harus dalam keadaan segar dan kondisi bunga yang baik. Saluran pemasaran yang terdapat pada Nunky Orchid terdiri dari 2 saluran yaitu langsung ke konsumen akhir atau jika ada perantara biasanya hanya melibatkan satu perantara saja. 5.2.2. Usaha Budidaya Anggrek Skala Menengah (Iyan Orcid) 5.2.2.1. Sejarah Singkat Usaha Petani responden untuk skala II dalam penelitian ini adalah usaha budidaya anggrek yang dimiliki oleh Bapak Wiyono dengan nama usaha I-yon Orchid. Iyan Orchid merupakan salah satu perusahaan budidaya anggrek di TAR yang menempati kavling 1 dan 43. Usaha ini bermula dari hobbi salah satu anggota keluarga. Pada tahun 2001, Bapak Wiyono mulai melakukan budidaya anggrek secara komersil. Tempat awal budidaya anggrek dilakukan di TAR 44
dengan luas 1.000 m2. Permintaan anggrek yang semakin meningkat membuat Iyon Orcid membeli lahan untuk budidaya dalam rangka memenuhi permintaan tersebut. Saat ini lahan yang digunakan untuk budidaya anggrek seluas 8.000 m2. 5.2.2.2. Lokasi dan Layout Perusahaan Usaha yang dilakukan I-yon Orchid merupakan usaha pembesaran anggrek dari seedling hingga tanaman berbunga khususnya jenis Phalaenopsis dan Dendrobium. Budidaya tanaman anggrek tersebut dilakukan di lahan yang terpisah. Budidaya anggrek jenis Dendrobium dilakukan di daerah Depok dengan luas lahan 3000 m2 sedangkan budidaya anggrek Phalaenopsis dilakukan di dua dataran yang berbeda yaitu di dataran rendah yang terletak di Serpong dan daerah dataran tinggi yang terletak di Cipanas. Luas lahan di Serpong sebesar 5000 m2. Lahan di Serpong dan Depok merupakan milik Bapak Wiyono sedangkan lahan yang di Cipanas seluas 3000 m2 merupakan lahan sewa dengan sistem bagi hasil dengan pemilik lahan sebesar Rp 500/pot. Setiap lahan kebun dibangun rumah jaga yang diperuntukan karyawan kebun I-yan Orcid. Bentuk bangunan untuk tempat pemeliharaan anggrek Dendrobium dengan anggrek Phalaeopsis berbeda. Anggrek Dendrobium dibudidayakan dengan atap yang terbuat dari paranet sedangkan anggrek Phalaeopsis dengan bangunan yang atapnya terbuat dari plastic UV (green house). Pemilihan lokasi yang dilakukan Iyon Orcid cukup tepat karena setiap jenis anggrek memiliki syarat hidup tertentu untuk kelangsungan hidupnya. Tanaman anggrek Dendrobium dapat tumbuh optimal pada dataran rendah yang pada umumnya bersuhu tinggi, suhu malam sekitar 21-270 C dan suhu siang sekitar 27-35 C sedangkan tanaman anggrek Phalaenopsis sangat cocok dibudidayakan pada dataran yang berhawa dingin dengan suhu malam antara 10-16 C dan suhu siang antara 16-21. I-yon Orcid melakukan pembudidayaan anggrek Phalaenopsis di dataran rendah pada fase seedling hingga remaja. Hal tersebut dilakukan untuk melakukan stressing terhadap tanaman. Tujuannya adalah agar mempercepat proses pembungaan pada tanaman ketika dipindahkan ke dataran tinggi.
45
5.2.2.3. Struktur Organisasi I-yon Orchid mempunyai struktur organisasi yang sangat sederhana, yaitu pemilik merangkap sebagai pimpinan usaha. Struktur organisasi I-yon Orcid terdiri atas dua bagian yaitu bagian pemasaran dan bagian produksi. Bagian produksi anggrek terdiri dari delapan orang karyawan dan satu orang di bagian pemasaran. Bagian produksi terdiri dari dua karyawan dibudidaya anggrek Dendrobium dan empat orang karyawan dibudidaya anggrek Phalaenopsis. Tugas bagian produksi yaitu pemindahan bibit seedling, penyiraman, pemupukan, pemberantasan hama penyakit yang dilakukan di kebun. Tugas karyawan pemasaran adalah melayani konsumen, mengatur display anggrek, merawat tanaman anggrek selama penjualan dan mencatat transaksi yang masuk. Jumlah hari bagi pekerja I-yon Orchid adalah stiap hari. Jumlah jam kerja sebanyak 9 jam mulai pukul 08.00 sampai pukul 17.00 dengan gaji rata-rata Rp 1.000.000/bulan, yang diseduaikan dengan lamanya bekerja. Pembagian hari libur dilakukan secara rotasi sesuai dengan kesepakan karyawan tersebut. Selain gaji, Bapak Wiyono juga memberikan uang makan berupa paket beras sebanyak tiga karung beras untuk seluruh karyawannya setiap bulan. 5.2.2.4. Penyediaan Sarana Produksi Input yang digunakan I-yon Orchid tidak berbeda jauh dengan yang digunakan Nunki Orchid. Input-input tersebut terdiri dari media tanam arang, kaliandra dan moss, pot tanah ukuran 18, 20 dan 22, bibit anggrek seedling, pupuk, pestisida dan insektisida. Media tanam arang dan kaliandra digunakan untuk tanaman anggrek Dendrobium, Vanda dan Cattleya sedangkan anggrek Palaepnosis mengunakan media tanam moss. Moss berasal dari akar paku-pakuan atau kadaka. Keunggulan dari moss adalah daya mengikat dan menyimpan air yang baik, aerasi dan drainase udara yang baik, tidak cepat lapuk dan mengandung unsure hara yang diperlukan tanaman. Pot tanah yang digunakan Iyan Orchid lebih besar bila dibandingkan Nunky Orchid. Hal ini dikarenakan semakin besar pot tanaman yang digunakan akan semakin baik untuk pertumbuhan karena akar tamanan mendapatkan makanan dan ruang gerak yang cukup besar. Bibit, pupuk, insektisida dan pestisida diperoleh dari importir.
46
5.2.2.5. Teknik Budidaya dan Pemeliharaan Anggrek I-yon Orchid melakukan budidaya dilokasi yang berbeda antara anggrek Dendrobium, Phalaepnosis, Vanda dan Catleya. Anggrek Dendrobium, Catleya dan Vanda dibudidayakan di dataran rendah dengan mengunakan bangunan dari paranet sedangkan anggrek Phalaepnosis fase peremajaan dilakukan di dataran rendah dan fase pembungaan dilakukan di dataran tinggi. Sebagian besar produksi anggrek di I-yon Orchid adalah anggrek Phalaepnosis yaitu sebanyak 72.000 pot, anggrek Dendrobium sebanyak 20.000 pot, Cattleya dan Vanda hanya sebesar 150 pot. Budidaya anggrek dilakukan mulai dari tanaman seedling hingga berbunga. Seedling adalah bibit anggrek berusia enam bulan setelah dipisahkan dari kompot. Pemilihan budidaya dari bibit seedling karena resiko kematian yang kecil dan waktu budidayanya relatif lebih singkat dibanding dengan bibit dari botolan. Kegiatan pemeliharaan anggrek yang secara rutin dilakukan yaitu penyiraman, pemupukan, pemberian pestisida, fungisida dan insektisida. Pemberian obat untuk nematoda dilakukan apabila terjadi serangan. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi hari atau sore hari. Namun, penyiraman tidak dilakukan ketika hari hujan. Jenis pupuk yang digunakan I-yon Orcid sama dengan Nunky Orchid yaitu ketika tanaman pada fase remaja diberikan pupuk daun dan pada fase berbunga siberikan pupuk berbunga. Pemberian pupuk dilakukan seminggu dua kali. Cara pemberian pupuk dilakukan melalui akar bersamaan dengan penyiraman. Pemberian pupuk lewat media tanam atau permukaan media tanam yang akan diserap oleh tanaman anggrek hanya pupuk yang larut dalam air sang yang langsung kontak dengan ujung akar sedangkan sisanya akan tetap berada didalam pot. Hal ini yang menyebabkan penggunaan pupuk pada tanaman anggrek Dendrobium, Vanda dan Catleya kurang efisien. Pemberian fungisida dan insektisida dilakukan setiap sepuluh hari sekali. Pemberian fungisida dan insektisida dilakukan pada minggu yang sama dengan hari yang berbeda. Ketika musim penghujan pemberian fungisida dan insektisida lebih diintensifkan karena media tanaman anggrek sering kali ditumbuhi jamur dan hama. Hama yang sering menyerang tanaman anggrek adalah hama keong dan kumbang gajah.
47
Bibit seedling hingga tanaman anggrek remaja dibudidayakan di dalam pot yang berukuran 18. Setelah tanaman anggrek berusia empat bulan, tanaman anggrek dipindahkan ke pot ukuran 20 hingga tanaman anggrek berbunga. Hal tersebut bertujuan agar anggrek dapat tumbuh secara optimum. Tanaman pot yang dipindahkan ke dalam pot 20 memiliki pertumbuhan yang lebih baik karena akar tamanan mendapatkan makanan dan ruang gerak yang cukup besar bila dibandingkan di dalam pot 18 (Setiawan, 2005). Pada saat tanaman telah berbunga, tanaman anggrek dibawa ke TAR untuk dipasarkan. 5.2.2.6. Kegiatan Pemasaran Kegiatan pemasaran Iyan Orchid dilakukan di TAR. Tanaman anggrek yang sudah berbunga didisplay di rak-rak yang terpisah berdasarkan jenis anggrek. Penataan tersebut dilakukan agar memberikan kesan menarik bagi konsumen yang datang dan memudahkan konsumen untuk memilih tanaman yang akan dibeli. Konsumen Iyon Orcid sebagian besar merupakan para pedagang pengumpul yang melakukan pembelian dalam jumlah yang besar. Penjualan ke pedagang pengumpul disekitar Jakarta sebanyak 50 persen dari total penjualan dan di luar Jakarta seperti Bali, Medan dan Bangka sebanyak 50 persen dari total penjualan. Kegiatan pemasaran tanaman anggrek tidak memiliki saluran pemasaran yang panjang karena tanaman anggrek yang dibutuhkan oleh konsumen harus dalam keadaan segar dan kondisi bunga yang baik. Harga jual tanaman anggrek bervariasi setiap jenisnya yaitu berkisar antara Rp 17.500 – Rp 25.000 untuk anggrek Dendrobium, Rp 35.000 – Rp 50.000 untuk anggrek Phalaenopsis, Rp 75.000 – Rp 150.000 untuk anggrek Vanda dan Rp 100.000 – Rp 150.000 untuk anggrek Cattleya. Perbedaan harga kersebut tergantung dari jeni varietas, besar kecilnya pohon, jumlah kuntum bunga per tangkai dan spesies (langka). 5.3.1. Usaha Budidaya Anggrek Skala Besar (Syams Orcid) 5.3.3.1. Sejarah Perusahaan Syams Orcid merupakan usaha budidaya anggrek yang terletak di kavling 2 dan 4 di TAR. Pemilik dari Syams Orcid adalah bapak Samsul Bahri. Bapak Samsul Bahri merupakan seorang Direktur di PT. Mutiara. Budidaya anggrek 48
merupakan usaha sampingan yang berawal dari sebuah hobi. Pada awal berdirinya tahun 1985, usaha Syams Orcid bertempat di daerah Senayan tepatnya di samping Hotel Mulia dengan luas 300 m2. Tempat tersebut cukup strategis karena terletak di pinggir jalan raya yang berdekatan dengan perkatoran dan pusat olahraga yaitu Senayan. Pada tahun 1989 terjadi pengalihan penggunaan lahan. Lahan yang ditempati di Senayan akan dialihkan menjadi perkantoran/bangunan. Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta menyediakan kompensasi lahan yang dapat dijadikan tempat usaha anggrek yaitu di daerah Ragunan dengan luas lahan 1000 m2 per kavling. Pasar anggrek mengalami peningkatan yang cukup pesat. Permintaan anggrek yang tinggi membuat Syams Orcid membeli lahan yang dijadikan sebagai kebun untuk membudidayakan anggrek untuk memenuhi permintaan tersebut. Saat ini luas lahan yang dimiliki Syams Orcid seluas 2,7 ha yang terdiri dari 2 ha di Sawangan, 5000 m2 di Ciapus, dan 2000 m2 di TAR. Pak Samsul menyerahkan semua urusan usaha anggrek kepada Ibu Sri karena Pak Samsul jarang terlibat langsung dalam usaha anggrek. Beliau menganggap usaha ini sebagai usaha sampingan yang dapat menyalurkan hobinya terhadap tanaman anggrek. Selain itu, dengan usaha anggrek dapat membantu menciptakan lapangan pekerjaan bagi 12 orang karyawan. 5.3.3.2. Lokasi dan Layout Perusahaan Lahan yang digunakan untuk tempat produksi terdapat di tiga wilayah yang berbeda yaitu lahan pertama terletak di TAR kavling 2 dan 4 dengan luas lahan 2000 m2, Sawangan seluas 20.000 m2 dan Ciapus seluas 5000 m2. Selain sebagai tempat produksi, lahan di TAR juga dijadikan tempat pemasaran. Kavling yang ditempati Syams Orchid terdiri dari bangunan rumah tinggal, laboratorium pembibitan kultur jaringan, rak-rak pemeliharaan yang dinaungi oleh paranet atau dikenal dengan bangunan serre dan kios kecil tempat melakukan transaksi penjualan. Bangunan rumah digunakan oleh Ibu Sri sebagai kantor dalam mengerjakan administrasi usaha dan tempat tinggal. Setiap lahan kebun dibangun rumah jaga yang diperuntukan karyawan kebun Syams Orchid.
49
5.3.3.3. Struktur Organisasi Syams Orcid mempunyai struktur organisasi yang sederhana. Struktur organisasi perusahaan terdiri atas beberapa bagian yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Struktur organisasi Syams Orcid terdiri atas 3 bagian yaitu bagian pemasaran, administrasi, produksi dan supir. Jumlah tenaga kerja dibagian pemasaran berjumlah tiga orang. Tugas dari karyawan pemasaran yaitu melakukan promosi melalui majalah trubus, koperasi dan media lain, melayani konsumen dalam melakukan transaksi pembelian. Biasanya konsumen yang ingin membeli anggrek telah melakukan pemesanan terlebih dahulu melalui telepon tetapi ada beberapa konsumen yang langsung datang ke TAR. Tenaga kerja bagian produksi berjumlah tujuh orang. Tugas dari bagian produksi adalah menanam bibit dari botol sampai seedling, penyiraman, pemupukan dan pemberian pestisida. Tenaga kerja sebagai supir bejumlah dua orang dengan tugas mengantarkan hasil produksi dari kebun di Ciapus dan Sawangan untuk dipasarkan di TAR dan mengantarkan pesanan anggrek ke konsumen. Jumlah hari bagi pekerja di Syams Orcid adalah enam hari selama seminggu dengan hari libur setiap hari Minggu. Jumlah jam kerja sebanyak 6 jam mulai pukul 07.00 sampai pukul 15.30 dengan waktu istirahat dari pukul 11.30 sampai pukul 13.00. Gaji yang dibayarkan Syams Orchid kepada karyawannya sangat bervariasi tergantung dari masa kerja karyawan yaitu berkisar antara Rp 750.000/ bualn - Rp 1.500.000/bulan. 5.3.3.4. Penyediaan Sarana Produksi Syams Orchid menggunakan input yang terdiri dari media tanam arang, kaliandra, pakis dan moss, pot tanah ukuran 15 dan 18, bibit anggrek seedling, pupuk dan pestisida. Media tanam campuran antara kaliandra dan pakis digunakan pada saat budidaya anggrek dari seedling hingga remaja karena kaliandara memiliki unsur hara B1 yang tinggi yang digunakan oleh tanaman anggrek untuk pertumbuhan sedangkan untuk media tanam arang digunakan ketika anggrek sudah remaja hingga berbunga. Media moss digunakan untuk tanaman aggrek Phalaenopsis. Syams Orchid membeli media tanam didaerah Bogor dan Tanggerang karena lokasi tersebut dekat dengan kebun budidaya. Bibit anggrek 50
Dendrobium yang digunakan Syams Orchid merupakan hasil perbanyakan dengan menggunakan metode kultur jaringan sehingga bibit yang dihasilkan dalam jumlah yang banyak dengan harga yang lebih murah. Bibit anggrek yang lainnya dilakukan perbanyakan dengan cara stek. Pupuk yang digunakan terdiri dari pupuk daun dan pupuk berbunga yang diperoleh dari agen distributor di Bogor karena harga relatif lebih murah dan dekat dengan kebun. 5.3.3.5. Teknik Budidaya dan Pemeliharaan Anggrek Jenis tanaman anggrek yang dibudidayakan Syams Orcid sangat beragam yaitu Dendrobium, Phalaenopsis, Vanda, Catleya dan Oncidium. Namun sebagian besar tanaman yang diproduksi adalah Dendrobium yaitu sebesar 70 persen dari jumlah tanaman. Budidaya anggrek Syams Orchid dimulai dari pembibitan hingga berbunga tetapi pada penelitian ini hanya dibatasi dari bibit seedling hingga berbunga. Budidaya dari pembibitan membutuhkan tempat dan keahlian yang khusus serta modal yang besar. Resiko tingkat kematian dari bibit hingga berbunga cukup besar dengan waktu budidaya yang lebih lama dibanding budidaya dari bibit. Namun, biaya untuk memperoleh bibit menjadi lebih murah dan dapat diroduksi dalam jumlah yang banyak. Kegiatan pemeliharaan anggrek yang secara rutin dilakukan yaitu penyiraman, pemupukan, pemberian pestisida, fungisida dan insektisida. Pemberian obat Siputox dan Metamindhapos dilakukan apabila terjadi serangan. Siputox merupakan obat untuk hama keong sedangkan Metamindhapos merupakan obat untuk hama kutu gajah. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi hari atau sore hari. Namun, penyiraman tidak dilakukan ketika hari hujan. Pemberian
pupuk
dilakukan
seminggu
sekali.
Pemberian
pupuk
daun
diaplikasikan ketika tanaman seedling hingga remaja. Syams Orchid melakukan pemupukan pada pagi hari. Pemberian fungisida dan insektisida dilakukan setiap dua minggu sekali. Pemberian fungisida dilakukan pada minggu ke 1 dan ke 3 sedangkan pemberian insektisida dilakukan pada minggu ke 2 dan ke 4. Ketika musim penghujan pemberian fungisida dan insektisida lebih diintensifkan karena media tanaman anggrek sering kali ditumbuhi jamur dan hama. Hama yang sering menyerang tanaman anggrek adalah hama keong dan kumbang gajah. 51
Bibit seedling hingga tanaman anggrek remaja dibudidayakan di dalam pot yang berukuran 15. Setelah tanaman anggrek berusia empat bulan, tanaman anggrek dipindahkan ke pot ukuran 18 hingga tanaman anggrek berbunga. Hal tersebut bertujuan agar anggrek dapat tumbuh secara optimum. Tanaman pot yang dipindahkan ke dalam pot 18 memiliki pertumbuhan yang lebih baik karena akar tamanan mendapatkan makanan dan ruang gerak yang cukup besar bila dibandingkan di dalam pot 15 (Setiawan, 2005). Pada saat tanaman telah berbunga, tanaman anggrek dibawa ke TAR untuk dipasarkan. 5.3.3.6. Kegiatan Pemasaran Kegiatan pemasaran Syams Orcid dilakukan di TAR. Tanaman anggrek yang sudah berbunga didisplay di rak-rak yang terpisah dengan rak pemeliharaan. Penataan tersebut dilakukan agar memberikan kesan menarik bagi konsumen yang datang dan memudahkan konsumen untuk memilih tanaman yang akan dibeli. Konsumen Syams Orcid sebagian besar merupakan para hobbies yang membeli langsung ke TAR yaitu sekitar 70 persen penjualan. Selain hobbies, konsumen Syams Orchid lainnya adalah pedagang eceran disekitar TAR yaitu sebanyak lima persen dari penjualan dan pedagang eceran di luar Jakarta yaitu Sumatera, Kalimantan dan Makasar sebanyak 25 persen dari penjualan. Banyaknya konsumen hobbies karena lokasi kavling Syams Orchid yang strategis yaitu berada di depan pintu masuk I TAR sehingga konsumen yang berkunjung ke TAR pasti melewati kavling Syams Orchid. Kegiatan pemasaran tanaman anggrek tidak memiliki saluran pemasaran yang panjang karena tanaman anggrek yang dibutuhkan oleh konsumen harus dalam keadaan segar dan kondisi bunga yang baik. Harga jual tanaman anggrek bervariasi setiap jenisnya yaitu berkisar antara Rp 17.500 – Rp 25.000 untuk anggrek Dendrobium, Rp 40.000 – Rp 60.000 untuk anggrek Phalaenopsis, Rp 50.000 – Rp 100.000 untuk anggrek Vanda dan Rp 35.000 – Rp 125.000 untuk anggrek Cattleya. Perbedaan harga kersebut tergantung dari jenis varietas, besar kecilnya pohon, jumlah kuntum bunga per tangkai dan spesies (langka).
52
VI. ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA BUDIDAYA ANGGREK Analisis terhadap usaha budidaya anggrek di TAR, dilakukan untuk mengetahui skala usaha yang efisien berdasarkan struktur biaya pada ketiga skala usaha yang berbeda. Berdasarkan struktur biaya, informasi skala usaha yang paling efisien dapat dilihat dari biaya per unit yang paling rendah. Sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya, skala usaha yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan luas lahan usaha budidaya anggrek. Berdasarkan analisis struktur biaya pada usaha budidaya anggrek tersebut, dapat diketahui struktur dan besaran biaya produksi, serta nilai titik impas. Nilai besaran biaya dan nilai titik impas dapat menjadi acuan mengenai tingkat skala usaha budidaya anggrek yang paling efisien berdasarkan tingkat biaya dan harga yang berlaku.
6.1. Analisis Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek Biaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keuntungan dari suatu usaha. Analisis struktur biaya dalam penelitian ini berdasarkan perilaku biaya yakni biaya tetap dan variabel. Komponen-komponen biaya tersebut selanjutnya diuraikan secara terpisah. Struktur biaya usaha budidaya anggrek dilihat menurut biaya yang dikeluarkan per pot tanaman anggrek berbunga. Perhitungan biaya dalam penelitian ini adalah biaya produksi rata-rata per unit dari setiap jenis anggrek dalam satu periode produksi mulai dari seedling hingga berbunga. Periode produksi untuk anggrek Dendrobium selama 8 bulan, anggrek Phalaenopsis selama 12 bulan sedangkan anggrek Vanda dan Cattleya selama 18 bulan. Usaha I memiliki luas lahan sebesar 1.200 m2 dengan total tanaman sebanyak 20.000 tanaman yang terdiri dari 70 persen anggrek Dendrobium atau sekitar
14.000 tanaman, 20 persen anggrek Phalaenopsis atau sekitar 4.000
tanaman, 10 persen anggrek Vanda dan Cattleya yaitu sekitar 1000 tanaman. Usaha II melakukan budidaya yang terpisah antara anggrek Dendrobium dan Phalaenopsis. Lahan seluas 3.000 m2 dibudidayakan tanaman anggrek Dendrobium sebanyak 20.000 tanaman sedangkan tanaman anggrek Phalaenopsis sebanayak 72.000 tanaman dibudidayakan di lahan seluas 5.000 m2. Untuk
53
tanaman anggrek Vanda dan Cattleya dibudidayakan dilahan yang sama dengan anggrek Dendrobium dengan masing-masing berjumlah 150 tanaman. Usaha III memiliki luas lahan sebesar 2,7 ha dengan total tanaman yang terdiri dari 189.000 tanaman anggrek Dendrobium, 40.500 anggrek Phalaenopsis, 5.400 anggrek Vanda dan 13.500 anggrek Cattleya. 6.1.1. Struktur Biaya Anggrek Dendrobium Perhitungan mengenai biaya tetap dan biaya variabel tetap perlu diketahui karena dapat memberikan gambaran terhadap alokasi biaya dan dapat membantu kontrol biaya yang akan dikeluarkan. Apabila diketahui terjadi pemborosan pada penggunaan salah satu atau beberapa komponen biaya variabel, maka perlu dilakukan pengurangan penggunaan komponen tersebut atau bahkan komponen tersebut tidak dipergunakan lagi. Begitu juga halnya pada biaya tetap, apabila komponen tersebut bisa dihilangkan atau dikurangi. Biaya tetap yang dikeluarkan terdiri dari biaya sewa lahan, pajak lahan, listrik, telepon dan tenaga kerja. Jumlah biaya tetap yang dikeluarkan tidak tergantung pada besar kecilnya volume produksi pot yang dihasilkan. Berapapun jumlah pot tanaman yang dihasilkan, petani harus tetap membayar biaya tersebut. Namun, tidak semua biaya tetap dibayarkan secara tunai, tetapi diperhitungkan seperti perhitungan biaya penyusutan dan lahan. Perhitungan penyusutan dilakukan dengan metode garis lurus (straight line method). Komponen penyusutan terdiri dari bangunan serre, rumah jaga, rak pemeliharaan, mesin air dan bak penampungan serta peralatan-peralatan sebagai alat bantu usaha. Komponen dan biaya penyusutan dapat dilihat pada Lampiran 4 sedangkan hasil perhitungan biaya tetap usaha budidaya anggrek di tiga skala pengusahaan tertera pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, komponen biaya tetap pada masing-masing skala usaha berbeda-beda. Pada usaha I, lahan yang digunakan sebagai tempat budidaya tanaman anggrek merupakan lahan sewa, sedangkan pada usaha II dan III status lahan merupakan lahan milik sendiri sehingga yang termasuk biaya tetap adalah pajak lahan dan nilai lahan yang diperhitungkan. Nilai lahan tersebut diperhitungkan dari opportunity cost yang diperoleh jika lahan tersebut disewakan. Opportunity cost dari lahan pada skala II adalah Rp 3.000.000/tahun 54
setiap 1000 m2, sehingga selama jangka waktu delapan bulan untuk luasan 3000 m2 adalah sebesar Rp 7.200.000. Sedangkan lahan pada usaha III jika disewakan sebesar Rp 2.880.000/tahun setiap 1000 m2 sehingga untuk luasan 2,5 hektar adalah Rp 48 juta. Perbedaan nilai opportunity cost dari lahan tersebut disebabkan kerena perbedaan letak lokasi lahan yang sangat dipengaruhi oleh harga lahan yang berlaku didaerah sekitar lokasi kebun budidaya anggrek. Tabel 6. Komponen Biaya Tetap Usaha Budidaya Anggrek Dendrobium dari Seedling hingga Berbunga di Tiga Skala Usaha (8 bulan) Uraian
Sewa lahan di TAR Sewa lahan kebun Pajak lahan Listrik
Usaha I (lahan kecil)
Usaha II (lahan menengah)
Usaha III (lahan besar)
Rp(000)/ 8 bulan
Rp(000)/ 8 bulan
Rp(000)/ 8 bulan
Biaya Tenaga kerja Penyusutan Lahan (diperhitungkan) Total Biaya Tetap
%
Rp/ pot
%
Rp/ pot
%
3.080
154
1.81
-
-
-
6.160
24
0.40
1.200
60
0.70
-
-
-
-
-
-
-
-
-
200
10
0.11
1.367
6
0.09
118
1.27
7.600
30
0.50
2.000
8
0.13
1.600
Telepon
Rp/ pot
80
0.94
2.400
1.600
80
0.94
1.600
79
0.84
24.000
1.200
14.09
16.000
788
8.44
108.000
430
7.08
7.793
390
4.58
12.749
628
6.72
68.875
274
4.51
7.200
355
3.80
48.000
191
3.15
40.149
1.978
21.17
242.002
963
15.86
39.273
1.964
23.06
Komponen biaya tetap tertinggi pada masing-masing usaha terdapat pada komponen biaya tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang digunakan pada usaha I sebanyak dua orang dengan gaji yang diberikan sebesar Rp 1.500.000 per bulan. Usaha II menggunakan tenaga kerja sebanyak dua orang dengan gaji per orang sebesar Rp 1.200.000 sedangkan usaha III tenaga kerja yang digunakan lebih banyak yaitu 12 orang dengan gaji Rp 1.200.000 per bulan. Total biaya tenaga kerja dalam delapan bulan yaitu sebesar Rp 24.000.000 untuk usaha I, Rp 16.000.000 untuk usaha II dan Rp 108.000.000 untuk usaha III. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa biaya tenaga kerja yang dikeluarkan sangat bervariasi sesuai dengan jumlah tenaga kerja dan gaji yang diberikan masing-masing usaha. Semakin besar luas lahan maka tenaga kerja yang digunakan semakin banyak. Besarnya biaya tenaga kerja untuk usaha I disebabkan karena lahan budidaya 55
terfragmantasi dalam luasan yang kecil sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan lebih banyak dan tidak efisien. Biaya tenaga kerja perpot dari hasil perhitungan menunjukan semakin besar luas lahan biaya kerja per pot kecenderungan semakin menurun yaitu usaha I Rp 1.200 per pot, usaha II Rp 788 per pot dan usaha III Rp 430 per pot. Hal ini memperlihatkan bahwa biaya tenaga kerja yang efisien terdapat pada usaha III. Dilihat dari persentase biaya tenaga kerja terhadap biaya total menunjukan kecendrungan dengan meningkatnya luas lahan maka proporsi persentase biaya tenaga kerja semakin menurun. Persentase biaya tenaga kerja untuk usaha I dalah 14,09 persen, usaha II adalah 8,44 persen dan usaha III adalah 7,08 persen. Biaya penyusutan yang diperhitungkan pertahun dimasing-masing usaha adalah Rp 7.793.333 untuk usaha I, Rp 12.748.889 untuk usaha II dan Rp 68.875.556 untuk usaha III. Dari data tersebut mempetlihatkan bahwa biaya penyusutan terendah berada pada usaha I. Hal tersebut disebabkan luas lahan budidaya anggrek Dendrobium pada usaha I lebih kecil sehingga jumlah komponen penyusutan yang digunakan lebih sedikit. Biaya per pot untuk penyusutan dimasing-masing skala yaitu Rp 390 per pot untuk usaha I, Rp 628 per pot untuk skala II dan Rp 274 per pot untuk skala III. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa biaya penyusutan per pot tertinggi berada pada usaha II. Hal ini dikarenakan jumlah pot Dendrobium yang dibudidayakan pada usaha II belum optimal sehingga beban biaya penyusutan per pot menjadi lebih besar. Berdasarkan persentase biaya penyusutan terhadap biaya total untuk masing-masing usaha sebesar 4,58 persen untuk usaha I, 6,72 persen untuk usaha II dan 4,51 persen untuk usaha III. Untuk mengetahui efisiensi dari biaya tetap dapat dilihat dari total biaya tetap per pot yang dikeluarkan. Berdasarkan sifat biaya yang tetap dibayarkan setiap bulannya maka semakin meningkatnya luas lahan maka biaya tetap per pot semakin menurun. Namun, usaha II mengeluarkan total biaya tetap per pot sedikit lebih tinggi dibandingkan usaha I karena jumlah pot yang diproduksi pada lahan budidaya belum optimal. Hal tersebut dapat diindikasikan dari masih banyaknya rak-rak pemeliharan yang kosong. Selain itu, pada skala usaha II melakukan budidaya anggrek yang terpisah antara anggrek Dendrobium dengan Phalaenopsis
56
sehingga biaya tetap per pot yang dihasilkan lebih mahal yaitu sebesar Rp 1.978 per pot. Biaya tetap yang paling efisien untuk budidaya anggrek Dendrobium terdapat pada usaha III karena menghasilkan nilai total biaya tetap perpot yang terkecil yaitu Rp 963/pot. Biaya variabel yang dikeluarkan terdiri dari biaya bibit seedling, pupuk, obat-obatan, media tanam, pot. Jumlah biaya varibel yang dikeluarkan sangat tergantung besar kecilnya jumlah pot tanaman anggrek yang diproduksi. Komponen biaya varibel pada masing-masing skala tidak jauh berbeda.Yang membedakan hanyalah kuantitasnya. Semakin banyak jumkah pot yang diproduksi maka persentsase biaya variabel terhadap biaya total semakin meningkat. Komponen biaya variabel dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Komponen Biaya Variabel Usaha Budidaya Anggrek Dendrobium dari Seedling hingga Berbunga di Tiga Usaha (8 bulan) Uraian
Usaha II (lahan menengah)
Usaha I (lahan kecil) Rp(000)/ 8 bulan
Rp/ pot
%
Rp/ pot
%
Rp/ pot
%
91.000
6.500
53.43
110.000
5.500
58.00
803.250
4.250
52.63
Pupuk daun (gafiota)
2.400
120
1.41
7.680
378
4.05
12.960
52
0.85
Pupuk bunga
2.400
120
1.41
8.960
441
4.72
-
-
-
Fungisida
1.600
80
0.94
600
30
0.32
7.776
31
0.51
Pestisida (Suprasit)
1.400
70
0.82
-
-
-
-
-
Insektisida
1.920
96
1.13
-
-
-
3.143
13
0.21
-
-
-
525
26
0.28
36.000
14
0.24
6.000
300
3.52
3.000
148
1.58
6.000
24
0.39
-
-
-
-
-
-
8.000
32
0.52
240
12
0.14
480
24
0.25
3.456
14
0.23
-
-
-
-
-
9.072
36
0.59
Pot 15
10.000
500
5.87
6.090
3.21
175.770
700
11.52
Pot 18
14.000
700
8.22
-
-
251.100
1.000
16.45
Pot 20
-
-
-
12.180
600
6.43
-
-
-
72
4
0.04
-
-
-
-
-
-
131.032
8.502
76.94
149.515
7.447
78.82
1.284.127
6.166
84.14
Bibit seedling
Kaliandra Arang Pakis Nematoda Metamindapos
Perekat Total
Rp(000)/ 8 bulan
Usaha III (lahan besar)
300 -
Rp(000)/ 8 bulan
-
Berdasarkan Tabel 7 persentase komponen biaya variabel tertinggi pada usaha I, II dan III terdapat pada bibit seedling yaitu sebesar 53,43 persen, 58,00 persen dan 52,63 persen. Besarnya persentase biaya bibit terhadap biaya total 57
tersebut berarti bibit harga bibit merupakan komponen yang sangat penting. Semakin murah dalam mempeoleh bibit seedling anggrek Dendrobium berarti biaya per pot yang dikeluarkan akan semakin minimum. Bibit seedling anggrek Dendrobium berasal dari Thailand dan Vietnam. Petani usaha I membeli bibit tersebut dari importir yang berlokasi di Cibubur dengan harga Rp 6.500 per pot sedangkan usaha II membeli bibit dari Bandung dengan harga lebih murah yaitu sebesar Rp 5.500 per pot. Usaha III sudah mampu untuk memproduksi bibit dengan kultur jaringan sehingga biaya untuk memperoleh bibit menjadi lebih murah yaitu sebesar Rp 4.250 per pot. Namun, usaha I dan II lebih memilih untuk membeli dari seedling dikarenakan tidak memiliki biaya dan keahlian untuk melakukan kultur jaringan. Selain itu, budidaya dari pembibitan memiliki resiko kegagalan yang lebih besar dan waktu pembudidayaan lebih lama. Hal tersebut menyebabkan perputaran uang untuk kelangsungan bisnis menjadi lebih lama. Jenis pupuk yang digunakan untuk tanaman anggrek dibedakan berdasarkan fase budidayanya. Pada fase remaja pupuk yang digunakan adalah pupuk daun dan pada fase berbunga pupuk yang digunakan adalah pupuk bunga. Usaha I dan III melakukan pemupukan sebanyak seminggu sekali, sedangkan usaha II melakukan pemupukan seminggu dua kali sehingga persentase biaya variabel pupuk untuk usaha II lebih besar dibanding yang lainnya yaitu sebesar 8,77 persen sedangkan usaha I sebesar 2,82 persen dan usaha III sebesar 0,85 persen. Berdasarkan perhitungan tersebut menunjukan bahwa penggunaan pupuk yang efisien terdapat pada usaha III. Jenis pot yang digunakan pada usaha I, II dan III adalah pot tanah. Pot tanah digunakan pada umumnya dinding pot memiliki lubang-lubang kecil berdiameter sekitar dua cm yang berfungsi untuk memeperlancar sirkulasi udara serta mempermudah aerasi dan drainase. Bahan pot tanah terbuat dari liat yang bersifat mudah menyerap air sehingga kelebihan air siraman dapat terserap dan anggrek relatif terhindar dari penyakit busuk akar. Ukuran pot yang digunakan sangat bervariasi tergantung dari bersar kecilnya tanaman anggrek. Usaha I dan III menggunakan pot ukuran 15 fase seedling. Kemudian ketika tanaman anggrek remaja dipindahkan ke pot ukuran 18. Usaha II mengunakan pot ukuran 18 pada fase seedling dan pot ukuran 20 ketika fase tanaman remaja. Ukuran pot sangat
58
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman karena semakin besar pot maka akar tanaman akan mendapatkan makanan dan ruang gerak yang cukup besar. Biaya pot yang dikeluarkan masing-masing usaha adalah Rp 1.200 per pot untuk usaha I, Rp 900 per pot untuk usaha II dan Rp 1.700 per pot untuk usaha III. Biaya terendah terdapat pada skala II karena harga pembelian pot yang lebih murah. Hal tersebut disebabkan tempat pembelian input produksi setiap usaha berbeda. Untuk mengetahui efisiensi dari biaya variabel dapat dilihat dari total biaya variabel per pot yang dikeluarkan. Berdasarkan sifat biaya yang variabel yang berubah mengikuti jumlah produksi yang dihasilkan, maka semakin meningkatnya luas lahan maka biaya variabel yang dihasilkan semakin besar. Namun, semakin meningkatnya luas lahan biaya variabel per pot yang dihasilkan semakin menurun. Hal tersebut disebabkan karena terdapat penggunaan biaya variabel yang bersifat tetap potnya yaitu biaya bibit sehingga semakin kecil biaya bibit yang dikeluarkan maka semakin biaya variabel per pot akan semakin kecil. Biaya produksi usaha budidaya anggrek merupakan penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel. Besarnya biaya produksi selama delapan bulan untuk anggrek Dendrobium pada usaha I sebesar Rp 170.305.000, usaha II sebesar Rp 189.664.000 dan usaha II sebesar Rp 1.526.129.000 (Tabel 8). Berdasarkan biaya produksi tersebut, maka dapat ditentukan biaya produksi per pot masingmasing usaha. Usaha I sebesar Rp 10.466 per pot, usaha II sebesar Rp 9.440 per pot dan usaha III sebesar Rp 7.128 per pot. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa struktur biaya usaha anggrek Dendrobium yang efisien terdapat pada skala usaha III karena menghasilkan biaya per pot yang paling kecil. Hal tersebut dikarenakan jumlah pot untuk produksi anggrek Dendrobium pada luas lahan usaha III sudah optimal dan biaya perolehan bibit lebih murah. Tabel 8. Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek Dendrobium di Tiga Skala Usaha Uraian
Usaha I (lahan kecil) Rp (000)/ 8 bulan
Biaya tetap Biaya variabel Total Biaya
Rp/ pot
%
Usaha II (lahan menengah)
Usaha III (lahan besar)
Rp (000)/ 8 bulan
Rp (000)/ 8 bulan
Rp/ pot
%
Rp/ pot
%
39.273
1.964
23.06
40.149
1.978
21.17
242.002
963
15.86
131.032
8.502
76.94
149.245
7.462
78,83
1.284.127
6.165
84.14
170.305
10.466
100
189.664
9.440
100
1.526.129
7.128
100
59
Berdasarkan uraian tersebut menunjukan dengan meningkatnya skala usaha (luas lahan) yang diimbangi dengan pengunaan lahan yang optimal maka biaya per pot yang dikeluarkan semakin menurun. Jika mengacu pada kurva amplop skala usaha (kurva LAC) maka bentuk kurva yang semakin menurun. Artinya semakin besar skala usaha tanaman anggrek Dendrobium maka semakin efisien.Bentuk kurva amplop skala usaha kasus di tempat penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.
Biaya/pot
12000 10000
10466
8000
8502
9440 7462
7128 6165
6000
biaya tetap
4000 2000
biaya produksi
1964
biaya variabel
1978
963
0 Usaha I
Usaha II
Usaha III
Luas lahan
Gambar 7. Bentuk Kurva Struktur Biaya Anggrek Dendrobium di Tiga Skala Usaha Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa biaya tetap per pot yang dihasilkan untuk usaha I dan usaha II hampir sama sedangkan usaha III menghasilkan biaya per pot yang lebih rendah. Ketidakefisienan yang terjadi dalam penggunaan input tetap pada usaha I dan II terdapat di komponen input tenaga kerja. Fragmentasi lahan dalam luasan yang kecil menyebabkan kebutuhan tenaga kerja menjadi lebih banyak. Biaya variabel per pot yang dihasilkan menunjukan kecenderungan yang menurun seiring dengan meningkatnya skala usaha. Ketidakefisienan yang terjadi dalam penggunaan input variabel terdapat pada usaha I. Hal ini disebabkan karena biaya yang dikeluarkan dalam memperoleh bibit lebih besar dibanding usaha lainnya. 6.1.2. Struktur biaya budidaya anggrek Phalaenopsis Komponen biaya tetap untuk anggrek Phaleopsis sama dengan biaya tetap anggrek Dendrobium. Hal yang membedakan hanya waktu budidaya anggrek Phaleopsis lebih lama yaitu 12 bulan. Tabel 9 berikut ini merupakan komponen biaya tetap budidaya anggrek Phalaenopsis. 60
Tabel 9. Komponen Biaya Tetap Usaha Budidaya Anggrek Phalaenopsis dari Seedling hingga Berbunga di Tiga Skala Usaha (12 bulan) Uraian
Usaha I (lahan kecil) Rp(000)/ 12 bulan
Rp/ pot
Usaha II menengah) Rp(000)/ Rp/ 12 bulan pot
%
(lahan
Usaha III (lahan besar)
%
Rp(000)/ 12 bulan
Rp/ pot
%
Sewa lahan di TAR
4.620
231
3.34
-
-
-
9.240
37
0.54
Sewa lahan kebun
1.800
90
1.30
-
-
-
-.
-
-
Pajak lahan
-
-
-
1.000
14
0.13
2.050
8
0.12
Listrik
2.400
120
1.74
6.000
83
0.76
11.400
45
0.67
Telepon
2.400
120
1.74
2.400
33
0.30
3.000
12
0.18
36.000
1.800
26.05
72.000
1.000
9.11
162.000
645
9.54
11.690
585
8.46
32.583
453
4.12
103.313
411
6.08
Lahan (diperhitungkan)
-
-
-
20.000
278
2.53
72.000
299
4.42
Total biaya tetap
58.910
2.946
42.62
133.983
1.861
16.95
366.003
1457
21.56
Biaya Tenaga kerja Penyusutan
Komponen biaya tetap terdiri dari sewa lahan, pajak lahan, listrik, telepon, tenaga kerja, penyusutan dan lahan yang diperhitungkan. Berdasarkan Tabel 9, komponen biaya tenaga kerja merupakan komponen biaya tertinggi yang dikeluarkan dari total biaya tetap. Biaya tenaga kerja yang dikeluarkan masingmasing skala dalam satu tahun yaitu sebesar Rp 36.000.000 untuk usaha I, Rp 72.000.000 untuk usaha II dan Rp 162.000.000 untuk usaha III. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa semakin meningkatnya luas lahan maka biaya tenaga kerja yang dikeluarkan semakin besar karena dengan semakin meningkatnya luas lahan maka jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan semakin banyak. Namun, biaya tenaga kerja per pot menunjukan hasil yang sebaliknya. Semakin besar luas lahan maka biaya tenaga per pot yang dikeluarkan semakin menurun. Biaya tenaga kerja per pot dari hasil perhitungan yaitu usaha I Rp 1.800/pot, usaha II Rp 1.000/pot dan usaha III Rp 645/pot. Hal ini memperlihatkan bahwa biaya tenaga kerja yang efisien terdapat pada usaha III. Dilihat dari persentase biaya tenaga kerja terhadap biaya total menunjukan kecendrungan dengan meningkatnya skala usaha maka proporsi persentase biaya tenaga kerja semakin menurun. Persentase biaya tenaga kerja untuk usaha I adalah 26,05 persen, usaha II adalah 9,11 persen dan usaha III adalah 9,54 persen.
61
Biaya penyusutan yang diperhitungkan pertahun dimasing-masing usaha adalah Rp 11.690.000 untuk usaha I, Rp 32.833.000 untuk usaha II dan Rp 103.313.000 untuk usaha III. Dari data tersebut memperlihatkan bahwa biaya penyusutan terendah berada pada usaha I. Hal tersebut disebabkan luas lahan budidaya anggrek Phalaenopsis pada usaha I lebih kecil sehingga jumlah komponen penyusutan yang digunakan lebih sedikit. Bangunan serre usaha II berbentuk seperti rumah kaca (green house) dengan atap menggunakan mengunakan plastik UV sedangkan bangunan serre untuk usaha I dan III terbuat dengan atap dari paranet. Biaya per pot untuk penyusutan dimasing-masing usaha yaitu Rp 585/pot untuk usaha I, Rp 453/pot untuk usaha II dan Rp 411/pot untuk usaha III. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa biaya penyusutan per pot tertinggi berada usaha I. Biaya penyusutan per pot menunjukan kecendrungan dengan meningkatnya skala usaha maka biaya penyusutan semakin menurun. Berdasarkan persentase biaya penyusutan terhadap biaya total untuk masing-masing skala sebesar 8,46 persen untuk usaha I, 5,48 persen untuk usaha II dan 6.08 persen untuk usaha III. Komponen biaya tetap tertinggi untuk masing-masing usaha adalah sama yaitu biaya tenaga kerja, biaya penyusutan dan lahan. Total komponen biaya tetap masing-masing usaha adalah Rp 58.910.000 untuk usaha I, Rp 117.983.000 untuk usaha II dan Rp 366.003.000 untuk usaha III. Data tersebut menunjukan semakin besar luas lahan maka semakin besar biaya tetap yang dikeluarkan sedangkan untuk biaya tetap per pot memiliki kecenderungan semakin meningkatnya luas lahan maka biaya per potnya semakin menurun. Hal ini dapat dilihat dari data biaya tetap per pot masing-masing usaha yaitu Rp 2.946 untuk usaha I, Rp 1.861 untuk usaha II dan Rp 1.457 untuk usaha III. Biaya tetap yang paling efisien yaitu usaha III. Komponen biaya variabel anggrek Phalaenopsis yang dikeluarkan terdiri dari bibit seedling anggrek Phalaenopsis, pupuk, obat-obatan, media tanam dan pot. Biaya variabel sangat tergantung dari besar kecilnya volume produksi. Komponen biaya variabel dapat dilihat pada Tabel 10.
62
Tabel 10. Komponen Biaya Variabel Usaha Budidaya Anggrek Phalaenopsis dari Seedling hingga Berbunga di Tiga Skala Usaha (12 bulan) Uraian
Usaha I (lahan kecil) Rp(000)/ 12 bulan
Bibit seedling
34.000
Rp/ pot
Usaha II menengah) Rp(000)/ Rp/ 12 bulan pot
%
8.500
24.60
540.000
7.500
(lahan
Usaha III (lahan besar)
%
Rp(000)/ 12 bulan
Rp/ pot
%
68.30
850.500
21.000
50.09
Pupuk daun
3.600
180
2.60
9.216
128
1.17
19.440
77
1.14
Pupuk bunga
3.600
180
2.60
9.216
128
1.17
-
-
-
Fungisida
2.400
120
1.74
5.400
75
0.68
11.664
48
0.69
Pestisida
2.100
105
1.52
-
-
-
-
-
-
Insektisida
2.880
144
2.08
6.750
94
0.85
4.714
19
0.28
Moss
-
-
-
63.000
875
7.97
3.000
12
0.18
Kaliandra
-
-
-
-
-
-
3.600
14
0.21
arang
6.000
300
4.34
-
-
-
6.000
24
0.35
Pakis
-
-
-
-
-
-
8.000
32
0.47
720
36
0.52
8.640
120
1.09
5.184
21
0.31
-
-
-
-
-
-
13.608
54
0.80
Pot 15
10.000
500
7.24
-
-
-
175.770
700
10.35
Pot 18
14.000
700
10.13
-
-
-
251.100
1.000
14.79
Nematoda Metaminda pos
Pot Plastik Perekat Total
-
-
14.400
200
1.82
-
-
-
108
5
0.001
-
-
-
-
-
-
-
79.300
10.765
57.38
656.622
9.120
83.05
1.352.580
23.001
79.66
Biaya bibit seedling untuk usaha I sebesar Rp 34.000.000, usaha II sebesar Rp 540.000.000, usaha III sebesar Rp 850.500.000. Tingginya biaya bibit pada usaha III disebabkan karena harga pembelian bibit lebih mahal padahal secara jumlah, bibit yang dipakai pada usaha III lebih sedikit dibanding usaha II. Hal ini disebabkan karena usaha III lebih memprioritaskan usaha anggrek Dendrobium, sehingga jumlah tanaman anggrek Phalaenopsis lebih sedikit. Berikut ini adalah harga pembelian bibit seedling setiap usaha yaitu Rp 8.500 untuk usaha I, Rp 7.500 untuk usaha II dan Rp 21.000 untuk usaha III. Presentase biaya bibit terhadap biaya total menujukan kecenderungan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah tanaman yaitu 24,60 persen untuk usaha I, 68,30 persen untuk usaha II, 50,09 persen untuk usaha III. Media tanam yang digunakan pada masing-masing skala usaha berbeda yaitu usaha I menggunakan media arang, usaha II menggunakan media moss, 63
usaha III menggunakan media campuran dari moss, kaliandra, arang dan pakis. Perbedaan media tanam tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman anggrek. Moss merupakan media yang paling cocok untuk pertumbuhan tanaman anggrek Phalaenopsis. Penggunaan 100 persen media moss pada usaha II menyebabkan tanaman anggrek tumbuh optimum dengan jumlah kuntum pada bunga rata-rata sebanyak tujuh bunga per tangkai sedangkan tanaman anggrek pada usaha I dan III jumlah kuntum bunga maksimal lima buah per tangkai. Banyaknya jumlah kuntum bunga pada anggrek Phalaenopsis berpengaruh terhadap preferensi pembelian konsumen. Biasanya konsumen lebih banyak memilih tanaman anggrek yang memiliki jumlah kuntum yang banyak. Biaya media tanam tertinggi terletak pada usaha II yaitu sebesar Rp 63 juta atau 7,97 persen dari biaya total. Biaya media tanam usaha I sebesar 6.000.000 atau 4,34 persen dari biaya total. Besarnya biaya produksi selama 12 bulan untuk tanaman anggrek phalaenopsis pada usaha I adalah sebesar Rp 138.210.000, usaha II sebesar Rp 594.605.333 dan usaha II sebesar Rp 1.697.983.533 (Tabel 11). Berdasarkan biaya produksi, maka dapat ditentukan biaya produksi per pot masing-masing usaha.Usaha I sebesar Rp 13.716 per pot, usaha II sebesar Rp 10.981 per pot dan usaha III sebesar Rp 24.457 per pot. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa struktur biaya produksi tertinggi berada pada usahaI II. Tingginya biaya produksi dikarenakan biaya variabel yang tinggi yang disebabkan dari tingginya biaya perolehan bibit. Hal tersebut mengindikasikan usaha III belum efisien sehingga menghasilkan struktur biaya yang besar. Struktur biaya usaha anggrek Phalaenopsis yang efisien terdapat pada usaha II. Tabel 11. Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek Phalaenopsis di Tiga Skala Usaha Uraian
Biaya tetap Biaya variabel Total Biaya
Usaha I (lahan kecil)
Usaha II (lahan menengah)
Usaha III (lahan besar)
Rp/ pot 1.861
Rp/ pot 1.457
%
16.95
Rp(000)/ 12 bulan 366.003
Rp(000)/ 12 bulan 58.910
Rp/ pot 2.946
% 42.62
Rp(000)/ 12 bulan 133.983
%
79.300
10.770
57.38
656.622
9.120
83.05
1.331.980
23.001
78.44
138.210
13.716
100
790.605
10.981
100
1.697.983
24.458
100
21.56
64
Berdasarkan uraian tersebut menunjukan biaya produksi yang efisien berada pada usaha II. Jika mengacu pada kurva amplop skala usaha (kurva LAC) maka bentuk kurva yang semakin menurun dari usaha I hingga usaha II kemudian meningkat di usaha III. Berdasarkan Gambar 8, terlihat bahwa biaya tetap per pot yang dihasilkan memiliki kecenderungan dengan semakin meningkatnya skala usaha
maka
biaya
tetap
per
pot
yang
dhasilkan
semakin
menurun.
Ketidakefisienan yang terjadi dalam penggunaan input tetap pada usaha I terdapat dikomponen input tenaga kerja. Biaya variabel per pot yang dihasilkan menunjukan kecenderungan yang menurun dari usaha I hingga usaha II kemudian dari usaha II meningkat hingga usaha III. Ketidakefisienan yang terjadi dalam penggunaan input variabel terdapat pada skala III. Hal ini disebabkan karena biaya yang dikeluarkan dalam memperoleh bibit lebih besar dibanding usaha lainnya.
30000
Biaya/pot
25000
24455 23001
20000 15000 10000 5000 0
biaya produksi 13716 10770 2948 Usaha I
biaya tetap
10981 9120 1861 Usaha II
biaya variabel 1457 Usaha III
Luas lahan
Gambar 8. Bentuk Kurva Struktur Biaya Anggrek Phalaenopsisdi Tiga Skala Usaha 6.1.2. Struktur biaya budidaya anggrek Vanda Komponen biaya tetap untuk anggrek Vanda dan Catleya sama dengan biaya tetap anggrek Dendrobium karena ketiga skala usaha melakukan budidaya anggrek Vanda dan Catleya pada lahan yang sama dengan budiadaya anggrek dendrobium. Hal yang membedakan hanya waktu budidaya anggrek Vanda dan Catleya lebih lama yaitu 18 bulan. Tabel 12 berikut ini merupakan komponen biaya tetap budidaya anggrek Vanda.
65
Tabel 12. Komponen Biaya Tetap Usaha Budidaya Anggrek Vanda dari Seedling hingga Berbunga di Tiga Skala Usaha (18 bulan) Uraian
Usaha I (lahan kecil) Rp(000)/ 18 bulan
Rp/ pot
Usaha II menengah) Rp(000)/ Rp/ 18 bulan pot
%
(lahan
Usaha III (lahan besar)
%
Rp(000)/ 18 bulan
Rp/ pot
%
Sewa lahan di TAR
6.930
347
4.29
-
-
-
11.550
46
0.96
Sewa lahan kebun
2.700
135
1.67
-
-
-
-
-
-
Pajak lahan
-
-
-
450
22
0.29
3.075
12
0.26
Listrik
3.600
180
2.23
5.400
266
3.53
17.100
68
1.42
Telepon
3.600
180
2.23
3.600
177
2.35
4.500
18
0.37
Biaya Tenaga kerja
54.000
2.700
33.44
36.000
1.773
23.52
243.000
968
20.19
Penyusutan
17.535
877
10.86
28.685
1.413
18.74
154.970
617
12.88
‐
‐
-
13.500
665
8.82
108.000
430
8.97
88.365
4.419
54.72
87.635
4.317
57.26
542.195
2.159
45.05
Lahan (diperhitungkan) Total biaya tetap
Komponen biaya tetap tertinggi pada masing-masing usaha terdapat pada komponen biaya tenaga kerja. Total biaya tenaga kerja dalam 18 bulan yaitu sebesar Rp 54.000.000 untuk usaha I, Rp 36.000.000 untuk usaha II dan Rp 243.000.000 untuk usaha III. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa biaya tenaga kerja yang dikeluarkan sangat bervariasi sesuai dengan jumlah tenaga kerja dan gaji yang diberikan masing-masing usaha. Pengeluaran biaya tenaga kerja pada usaha II lebih kecil dibandingkan skala lainnya karena biaya yang dikeluarkan per orang relatif lebih kecil dengan jumlah tenaga kerja lebih sedikit. Biaya tenaga kerja per pot yaitu usaha I Rp 2.700 per pot, usaha II Rp 1.773 per pot dan usaha III Rp 986 per pot. Hal ini memperlihatkan bahwa biaya tenaga kerja yang efisien terdapat pada usaha III. Dilihat dari persentase biaya tenaga
kerja
terhadap
biaya
total
menunjukan
kecendrungan
dengan
meningkatnya luas lahan maka proporsi persentase biaya tenaga kerja semakin menurun. Persentase biaya tenaga kerja untuk usaha I adalah 33,44 persen, usaha II adalah 23,52 persen dan usaha III adalah 20,19 persen. Semakin lama budidaya anggrek yang dilakukan maka presentase biaya tenaga kerja terhadap biaya total yang dihasilkan semakin besar.
66
Biaya penyusutan yang diperhitungkan selama 18 bulan dimasing-masing usaha adalah Rp 17.535.000 untuk usaha I, Rp 28.625.000 untuk usaha II dan Rp 154.970.000 untuk usaha III. Dari data tersebut memperlihatkan bahwa biaya penyusutan terendah berada pada usaha I. Hal tersebut disebabkan luas lahan budidaya anggrek vanda pada usaha I lebih kecil sehingga jumlah komponen penyusutan yang digunakan lebih sedikit. Biaya per pot untuk penyusutan di masing-masing usaha yaitu usaha I Rp 877 per pot, usaha II Rp 1.413 per pot dan usaha III Rp 968 per pot. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa biaya penyusutan per pot tertinggi berada pada usaha II. Hal tersebut dikarenakan jumlah pot yang dibudayakan pada luas lahan usaha II belum optimal sehingga masih terdapat idol capacity dari lahan. Berdasarkan persentase biaya penyusutan terhadap biaya total yaitu untuk usaha I sebesar 10,18 persen, usaha II sebesar 18,78 persen dan usaha III sebesar 12,88 persen. Untuk mengetahui efisiensi dari biaya tetap dapat dilihat dari total biaya tetap per pot yang dikeluarkan. Berdasarkan sifat biaya yang tetap dibayarkan setiap bulannya maka semakin meningkatnya luas lahan yang diiringi dengan meningkatnya jumlah pot maka biaya tetap per pot semakin menurun. Biaya perpot yang dikeluarkan masing-masing usaha usaha adalah Rp 4.416 untuk usaha I, Rp 4.317 untuk usaha II dan Rp 2.159 untuk usaha III. Biaya tetap yang paling efisien berada pada usaha III. Biaya variabel yang dikeluarkan terdiri dari biaya bibit seedling, pupuk, obat-obatan, media tanam, pot. Komponen biaya variabel pada masing-masing skala tidak jauh berbeda. Yang membedakan hanyalah kuantitasnya. Semakin banyak jumkah pot yang diproduksi maka persentsase biaya variabel terhadap biaya total semakin meningkat. Komponen biaya variabel dapat dilihat Tabel 13. Berdasarkan Tabel 13, besarnya persentase biaya variabel tertinggi pada masingmasing usaha berbeda-beda. Biaya variabel tertinggi usaha I dan usaha III terdapat pada biaya pot yaitu sebesar 14,86 persen dari biaya total dan 35,46 persen dari biaya total sedangkan pada usaha II terdapat pada biaya pupuk yaitu sebesar 24,46 persen. Tingginya biaya pupuk per pot pada usaha II disebabkan usaha II melakukan pemupukan seminggu dua kali sehingga persentase biaya variabel
67
pupuk untuk usaha II lebih besar dibanding yang lainnya yaitu sebesar Rp 1.844 per pot sedangkan usaha I sebesar Rp 540 per pot dan usaha III sebesar Rp 116 per pot. Berdasarkan perhitungan tersebut menunjukan bahwa penggunaan pupuk yang efisien terdapat pada skala usaha III. Tabel 13. Komponen Biaya Variabel Usaha Budidaya Anggrek Vanda dari Seedling hingga Berbunga di Tiga Skala Usaha (18 bulan) Uraian
Usaha I (lahan kecil) Rp(000)/ 18 bulan
Usaha II (lahan menengah)
Usaha III (lahan besar)
Rp(000)/ 18 bulan
Rp(000/ 18 bulan
Rp/ pot
Rp/ pot
%
20.000
20.000
12.39
3.750
25.000
2.45
135.000
25.000
11.22
Pupuk daun (gafiota)
5.400
270
3.34
17.280
851
11.29
29.160
116
2.42
Pupuk bunga
5.400
270
3.34
20.160
993
13.17
-
-
-
Fungisida
3.600
180
2.23
1.350
67
0.88
17.496
70
1.45
Pestisida (Suprasit)
3.150
158
1.95
-
-
-
-
-
-
Insektisida
4.320
216
2.68
-
-
-
7.071
28
0.59
-
-
-
525
26
0.34
3.600
14
0.30
6.000
300
3.72
3.000
148
1.96
6.000
24
0.50
-
-
-
-
-
-
8.000
32
0.66
1.080
54
0.67
1.080
53
0.71
7.776
31
0.65
-
-
-
-
-
0.00
20.412
81
1.70
Pot 15
10.000
500
6.19
6.090
300
3.98
175.770
700
14.60
Pot 18
14.000
700
8.67
-
-
-
251.100
1.000
20.86
Pot 20
-
-
-
12.180
600
7.96
-
-
-
162
8
0.10
-
-
-
-
-
-
73.112
22.656
45.28
65.415
28.038
42.74
661.385
27.096
54.95
Bibit seedling
Kaliandra Arang Pakis Nematoda Metaminda pos
Perekat Total
Rp/ pot
%
%
Tingginya biaya variabel pot pada usaha I dan usaha III disebabkan biaya pot yang dikeluarkan usaha tersebut lebih besar yaitu Rp 1.200/pot untuk usaha I, Rp 900/pot untuk usaha II dan Rp 1.700/pot untuk usaha III. Biaya pot terendah terdapat pada usaha II karena nilai pembelian pot yang lebih murah. Hal tersebut disebabkan tempat pembelian input produksi setiap usaha berbeda. Besarnya biaya produksi selama 18 bulan untuk tanaman anggrek Vanda pada usaha I adalah sebesar Rp 161.477.000, usaha II sebesar Rp 1.513.050.000 dan usaha III sebesar Rp 1.203.580.000, seperti terlihat pada Tabel 14. 68
Berdasarkan biaya produksi tersebut, maka dapat ditentukan biaya produksi per pot masing-masing usaha. Usaha I sebesar Rp 27.074 per pot, usaha II sebesar Rp 32.355 per pot dan usaha III sebesar Rp 29.255 per pot. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa struktur biaya produksi tertinggi berada pada skala II. Tingginya biaya produksi dikarenakan luas lahan pada skala usaha II lebih luas bila dibandingkan skala usaha I tetapi jumlah pot anggrek vandayang diproduksi pada usaha I lebih banyak bila dibandingkan usaha II. Hal tersebut mengindikasikan penggunaan lahan pada usaha II belum efisien sehingga menghasilkan struktur biaya yang besar. Struktur biaya usaha anggrek Vanda yang efisien terdapat pada skala usaha I karena menghasilkan biaya per pot yang paling kecil. Tabel 14. Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek Vanda di Tiga Skala Usaha Uraian
Biaya tetap Biaya variabel Total Biaya
Usaha I (lahan kecil)
Usaha II (lahan menengah)
Usaha III (lahan besar)
Rp/ pot 4.317
%
Rp/ pot 2.159
%
60.95
Rp (000)/ 18 bulan 542.195
Rp (000)/ 18 bulan 88.365
Rp/ pot 4.418
% 54.72
Rp (000)/ 18 bulan 87.635
73.112
22.656
45.28
65.145
28.038
39.05
661.385
27.096
54.95
161.477
27.074
100
1.513.050
32.355
100
1.203.580
29.255
100
45.05
Berdasarkan uraian tersebut menunjukan dengan meningkatnya skala usaha (luas lahan) akan mengakibatkan biaya per pot yang dikeluarkan semakin meningkat. Jika mengacu pada kurva amplop skala usaha (kurva LAC) maka bentuk kurva yang semakin meningkat. Artinya semakin kecil skala usaha tanaman anggrek vanda maka semakin efisien. Bentuk kurva amplop skala usaha kasus di tempat penelitian dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9, terlihat bahwa biaya tetap per pot yang dihasilkan untuk usaha I dan II hampir sama sedangkan usaha III menghasilkan biaya per pot yang lebih rendah. Ketidakefisienan yang terjadi dalam penggunaan input tetap pada skala I dan II terdapat di komponen input tenaga kerja. Fragmentasi lahan dalam luasan yang kecil menyebabkan kebutuhan tenaga kerja menjadi lebih banyak. Biaya variabel per pot yang dihasilkan menunjukan kecenderungan yang meningkat seiring dengan meningkatnya skala usaha. Ketidakefisienan yang
69
terjadi dalam penggunaan input variabel terdapat pada usaha II. Hal ini disebabkan karena jumlah pot yang dibudidayakan lebih sedikit.
35000
Biaya/pot
30000
27074 22656
25000 20000
32355 28038
29255 27096 biaya produksi
15000
biaya tetap
10000
biaya variabel
5000
4418
4317
2159
0 Usaha I
Usaha II
Usaha III
Luas lahan
Gambar 9. Bentuk Kurva Struktur Biaya Anggrek Vanda di Tiga Skala Usaha
6.1.2. Struktur biaya budidaya anggrek Cattleya Biaya tetap yang dikeluarkan untuk budidaya anggrek Cattleya sama dengan anggrek Vanda baik dalam jumlah maupun kuantiasnya karena waktu budidaya anggrek Vanda dan Cattleya relatif sama. Terdapat sedikit perbedaan pada biaya variabel yaitu pada biaya pembeliaan bibit. Pembelian bibit Catleya yang digunakan lebih murah bila dibandingkan dengan bibit Vanda sehingga biaya produksi per pot anggrek Cattleya lebih murah. Tabel 15 berikut ini merupakan struktur biaya usaha anggrek Cattleya di tiga skala usaha. Tabel 15. Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek Cattleya di Tiga Skala Usaha Uraian
Biaya tetap Biaya variabel Total Biaya
Usaha I (lahan kecil)
Usaha II (lahan menengah)
Usaha III (lahan besar)
Rp/ pot 4.317
61.27
Rp(000)/ 18 bulan 542.195
Rp/ pot 2.159
Rp(000)/ 18 bulan 88.365
Rp/ pot 4.418
% 56.47
Rp(000)/ 18 bulan 87.635
%
%
68.112
17.656
43.53
64.665
23.038
42.46
863.885
27.096
61.44
156.477
22.074
100
152.300
27.355
100
1.406.080
29.255
100
38.56
Berdasarkan biaya produksi tersebut, maka dapat ditentukan biaya produksi per pot masing-masing usaha. Usaha I sebesar Rp 22.074 per pot, usaha II sebesar Rp 27.355 per pot dan usaha III sebesar Rp 29.255 per pot. Berdasarkan 70
data tersebut diketahui bahwa struktur biaya produksi tertinggi berada pada skala III. Tingginya biaya produksi biaya perolehan bibit yang lebih tinggi dibandingkan skala usaha lainnya sehingga menghasilkan struktur biaya yang besar dan terjadi ketidakefisienan biaya bibit. Struktur biaya usaha anggrek Cattleya yang efisien terdapat pada usaha I karena menghasilkan biaya per pot yang paling kecil. Berdasarkan uraian tersebut menunjukan dengan meningkatnya skala usaha (luas lahan) akan mengakibatkan biaya per pot yang dikeluarkan semakin meningkat. Jika mengacu pada kurva amplop skala usaha (kurva LAC) maka bentuk kurva yang semakin meningkat. Artinya semakin besar skala usaha tanaman anggrek Catlleya maka semakin tidak tefisien. Bentuk kurva amplop
Biaya/pot
skala usaha kasus di tempat penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.
35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
27074 22656
32355 28038
29255 27096 biaya produksi biaya tetap
4418 Usaha I
4317 Usaha II
biaya variabel 2159 Usaha III
Luas lahan
Gambar 10. Bentuk Kurva Struktur Biaya Anggrek Cattleya di Tiga Skala Usaha Berdasarkan Gambar 10, terlihat bahwa biaya tetap per pot yang dihasilkan untuk usaha I dan II hampir sama sedangkan usaha III menghasilkan biaya per pot yang lebih rendah. Ketidakefisienan yang terjadi dalam penggunaan input tetap pada usaha I dan II terdapat dikomponen input tenaga kerja. Fragmentasi lahan dalam luasan yang kecil menyebabkan kebutuhan tenaga kerja menjadi lebih banyak. Biaya variabel per pot yang dihasilkan menunjukan kecenderungan yang meningkat seiring dengan meningkatnya skala usaha. Ketidakefisienan yang terjadi dalam penggunaan input variabel terdapat pada usaha III. Hal ini disebabkan karena biaya yang dikeluarkan dalam memperoleh bibit lebih besar dibanding skala lainnya. 71
Dari keempat jenis anggrek menunjukan bahwa struktur biaya per pot untuk tanaman anggrek Dendrobium lebih rendah dibandingkan anggrek yang lainnya baik di usaha I, II maupun III. Hal ini berarti jika perusahaan ingin mengembangkan usaha anggrek dengan meningkatkan produksi sejumlah pot tertentu maka biaya untuk memproduksi anggrek Dendrobium yang lebih murah atau jika perusahaan memiliki modal tertentu dalam mengembangkan usahanya maka akan memeperoleh jumlah pot anggrek Dendrobium yang diproduksi lebih banyak dibanding memproduksi anggrek yang lainnya. Selain itu, perbedaan struktur biaya yang dihasilkan masing-masing usaha pada setiap jenis anggrek disebabkan perbedaan biaya perolehan bibit yang besar. Jika diasumsikan biaya perolehan bibit yang dihasilkan adalah sama disetiap perusahaan maka akan menghasilkan struktur biaya yang kostan atau tidak berbeda jauh. Artinya peningkatan skala usaha (luas lahan) tidak berpengaruh terhadap struktur biaya produksi per pot yang dihasilkan. Hal ini disebabkan dalam usaha budidaya anggrek banyak terdapat biaya-biaya yang bersifat tetap untuk setiap potnya seperti biaya bibit dan biaya pot. Walaupun biaya bibit dan biaya pot berubah seiring berubahnya jumlah produksi namun perubahan tersebut sebanding dengan biaya per unitnya sehingga biaya per pot menjadi konstan. 6.2. Analisis Pendapatan Analisis pendapatan dilakukan untuk mengetahui apakah kegiatan yang dilakukan saat ini berhasil atau tidak. Analisis pendapatan pada penelitiaan ini terdiri dari pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai mengukur pendapatan petani tanpa memasukan biaya yang diperhitungkan sebagai komponen biaya. Pendapatan merupakan selisih dari total penerimaan usahatani dengan total pengeluaran usahatani. Komponen penerimaan dibedakan atas penerimaan tunai dan penerimaan non tunai. Penerimaan tunai sangat ditentukan dari banyaknya jumlah pot anggrek berbunga yang terjual dan harga jual anggrek, sedangkan penerimaan selain dari usaha anggrek berbunga tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Jumlah pot anggrek yang dihitung dalam penelitian ini adalah pot anggrek yang sudah berbunga yang dijual oleh petani ke pedagang atau yang dijual langsung ke konsumen. Harga yang digunakan pada penerimaan tunai berdasarkan harga jual 72
rata-rata dari setiap jenis anggrek. Harga jual rata-rata dari masing-masing skala usaha berbeda-beda tergantung dari bentuk, warna dan ukuran anggrek. Jumlah anggrek yang terjual pada suatu usaha sangat dipengaruhi oleh beragamnya pilihan anggrek, ketersediaan anggrek yang berbunga, bentuk dan jenis anggrek. Untuk lebih jelas mengenai jumlah anggrek yang terjual dan harga rata-rata anggrek dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Rata-Rata Penjualan Anggrek per Bulan di Tiga Skala Usaha Tahun 2010 Jenis anggrek
Usaha I (lahan kecil)
Usaha II (lahan menengah) Jumlah Harga (pot) (Rp) 1.500 20.000
Usaha III (lahan besar) Jumlah Harga (pot) (Rp) 300 20.000
Dendrobium
Jumlah (pot) 200
Harga (Rp) 20.000
Phalaenopsis
20
60.000
4.000
35.000
50
40.000
Vanda
10
100.000
10
75.000
100
75.000
Catleya
100
85.000
10
100.000
100
80.000
Berdasarkan data tersebut volume penjualan anggrek Dendrobium dan Phalaenopsis yang tertinggi berada pada usaha II. Hal tersebut disebabkan lokasi kavling di TAR usaha II lebih strategis yaitu di depan kedua pintu masuk TAR. Selain itu, kavling di TAR hanya dijadikan tempat pemasaran dan penjualan anggrek. Tanaman anggrek yang didisplay hanya tanaman anggrek yang sudah berbunga saja sehingga konsumen lebih tertarik untuk melihat tanaman anggrek yang berbunga. Kondisi tersebut berbeda dengan kavling usaha I dan II. Selain digunakan sebagai tempat pemasaran, sebagian besar kavling usaha I dan II di TAR juga digunakan sebagai tempat budidaya anggrek sehingga konsumen melihat banyak tanaman anggrek yang belum berbunga dan sedikit sekali tanaman anggrek yang berbunga. Ketersediaan dan keberagaman jenis anggrek yang berbunga akan mempengaruhi preferensi konsumen untuk membeli anggrek. Jumlah pot berbunga yang dijual selama satu tahun yang dikalikan ratarata harga jual merupakan komponen penerimaan tunai sedangkan penerimaan non tunai ditentukan dari jumlah pot anggrek yang tidak terjual dengan memperhitungkan tingkat kematiaan dari budidaya anggrek. Tingkat kematian pada masing-masing usaha berbeda-beda yaitu 50 persen untuk usaha I, 15 persen 73
untuk usaha II dan 20 untuk usaha III. Hal tersebut disebabkan hama penyakit dan faktor cuaca. Harga yang digunakan pada penerimaan non tunai merupakan harga pembelian bibit seedling di masing-masing skala usaha karena pot anggrek yang tidak terjual tersebut akan menjadi input pada produksi berikutnya. Komponen biaya dibedakan menjadi biaya tunai dan non tunai. Komponen yang termasuk biaya tunai adalah biaya tetap seperti biaya sewa lahan, pajak lahan, listrik, telepon, tenaga kerja dan biaya variabel seperti biaya bibit seedling, pupuk, obat-obatan, media tanam dan pot, sedangkan biaya non tunai adalah biaya penyusutan dan sewa lahan yang diperhitungkan. Semua biaya tersebut dihitung dalam jangka waktu satu tahun. Pendapatan tunai atas biaya tunai yang diperoleh usaha I dan usaha III bernilai negatif sebesar Rp 56.028.000/tahun dan Rp 2.555.020.196/tahun sedangkan usaha II memperoleh nilai yang positif yaitu sebesar Rp 1.096.823.000/tahun. Pendapatan total atas biaya total memiliki hasil yang lebih tinggi, tetapi untuk usaha I dan III pendapatan yang diperoleh masih bernilai negatif yaitu sebesar Rp 11.318.000 dan Rp 1.107.333.529 sedangkan untuk usaha II pendapatan yang diperoleh bernilai positif yaitu sebesarRp 1.212.861.333. Pendapatan yang bernilai negatif menunjukan bahwa perusahaan tersebut mengalami kerugian pada tahun 2010 sedangkan hasil yang positif menunjukan hal yang sebaliknya. Untuk mengetahui efisiensi dari pendapatan suatu usahatani dapat dilihat dari perbandingan R/C ratio. Analisis R/C ratio penerimaan tunai atas biaya tunai dilakukan untuk mengetahui efisiensi usaha berdasarkan uang tunai yang diperoleh dan dikeluarkan. Berdasarkan hasil analisis R/C ratio penerimaan tunai terhadap biaya tunai di masing-masing usaha diperoleh sebesar 0,77 untuk usaha I, 2,14 untuk usaha II dan 0,09 untuk usaha III. Nilai tersebut berarti setiap tambahan Rp 100 biaya yang dikeluarkan untuk usaha I memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp 77, usaha II memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp 214 dan usaha III memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp 9. Berdasarkan uraian diatas kondisi usaha I dan III berada pada keadaan perusahaan yang akan menutup usahanya karena penjualan tunai yang diperoleh lebih kecil dari biaya variabel tunai yang dikeluarkan. Walaupun usaha anggrek
74
tersebut memproduksi tetapi tidak mampu menutupi biaya tetap yang dikeluarkan.Tetapi hal ini tidaklah berarti usaha anggrek usaha I dan III harus membubarkan usahanya karena dalam analisis ini tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya karena tidak memperhitungkan penerimaan dari anggrek yang tidak terjual. Kondisi usaha II berada pada keadaan memperoleh laba karena penerimaan tunai yang diperoleh lebih besar dari biaya tunai yang dikeluarkan. Analisis R/C ratio penerimaan total atas biaya total dilakukan untuk mengetahui efisiensi usaha secara keseluruhan dengan mempertimbangkan komponen penerimaan dan biaya non tunai. Berdasarkan hasil analisis R/C ratio penerimaan total terhadap biaya total di masing-masing skala diperoleh sebesar 0,96 untuk usaha I, 1,86 untuk usaha II dan 0,63 untuk usaha III. Nilai tersebut berarti setiap tambahan Rp 100 biaya yang dikeluarkan untuk skala I memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp 96, usaha II memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp 186 dan usaha III memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp 63. Berdasarkan uraian diatas kondisi usaha I berada pada keadaan perusahaan yang mengalami kerugian tetapi masih dapat beroperasi karena peneriamaan total yang diperoleh lebih besar dari biaya variabel yang dikeluarkan tetapi masih lebih kecil dari biaya total sehingga usaha skala I masih dapat menutupi sebagian biaya tetapnya. Untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan, usaha I melakukan usaha rental tanaman hias. Kondisi usaha II berada pada keadaan memperoleh laba karena penerimaan tunai yang diperoleh lebih besar dari biaya tunai yang dikeluarkan. Kondisi usaha III berada pada keadaan perusahaan yang akan menutup usahanya karena penjualan total yang diperoleh lebih kecil dari biaya variabel tunai yang dikeluarkan. Walaupun usaha anggrek tersebut memproduksi tetapi tidak mampu menutupi biaya tetap yang dikeluarkan. Tetapi hal ini tidaklah berarti usaha anggrek usaha III harus membubarkan usahanya karena dengan keahlian memproduksi bibit melalui kultur jaringan, penerimaan tambahan dapat diperoleh dari penjualan bibit anggrek baik berupa botolan, seedling ataupun anggrek remaja tergantung dari permintaan konsumen. Selain itu, usaha III juga melakukan usaha rental tanaman hias untuk perkantoran. Untuk lebih jelas mengenai analisis pendapatan budidaya anggrek di tiga skala usaha dapat dilihat pada Tabel 17.
75
Tabel 17. Analisis Pendapatan Budidaya Anggrek di Tiga Skala Usaha 2010 Uraian Penerimaan Penerimaan tunai Penerimaan non tunai Total Penerimaan Pengeluaran Pengeluaran (tunai) Biaya tetap Biaya Variabel Bibit anggrek dendrobium Bibit anggrek bulan Bibit anggrek catleya Bibit anggrek vanda Bagi hasil pemeliharaan Total pengeluaran Tunai Pengeluaran (non tunai) Penyusutan Lahan Total biaya tidak tunai Total Biaya Pendapatan tunai atas biaya tunai Pendapatan total atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
Usaha I (lahan kecil)
Usaha II (lahan menengah)
Usaha III (lahan besar)
192.600.000 56.400.000 249.000.000
2.061.000.000 196.745.000 2.257.745.000
261.000.000 1.623.000.000 1.884.000.000
47.220.000 45.408.000 91.000.000
142.000.000 142.927.000 110.000.000
187.689.996 502.080.200 803.250.000
30.000.000 15.000.000 20.000.000
540.000.000 3.000.000 2.250.000 24.000.000 964.177.000
850.500.000 135.000.000 337.500.000 2.816.020.196
260.318.000 (56.028.000)
51.706.667 29.000.000 80.706.667 1.044.883.667 1.096.823.000
103.313.333 72.000.000 175.313.333 2.991.333.529 (2.555.020.196)
(11.318.000)
1.212.861.333
(1.107.333.529)
0.77 0.96
2.14 1.86
0.09 0.63
248.628.000 11.690.000
6.3. Analisis Break Even Point (BEP) Break even point atau titik impas merupakan suatu kondisi dimana jumlah penerimaan yang diperoleh sama dengan biaya yang dikeluarkan (laba sama dengan nol). Analisis titik impas merupakan salah satu cara bagi perusahaan untuk mengetahui berapa volume produksi atau penjualan minimum agar usaha tidak memperoleh keuntungan atau mengalami kerugian. Hasil utama ke tiga usaha ini adalah tanaman anggrek berbunga maka penerimaan lainnya tidak diperhitungkan.
76
Titik impas usaha budidaya anggrek perlu diketahui agar petani tersebut dapat mengetahui kondisi usahanya.Perhitungan titik impas berdasarkan jumlah produksi tanaman anggrek berbunga yang dinyatakan dalam satuan pot. Penggolongan biaya tetap dalam perhitungan titik impas adalah biaya sewa lahan, pajak lahan, listrik, telepon, tenaga kerja dan memasukan biaya yang diperhitungkan seperti penyusustan dan lahan. Biaya variabel yang digunakan dalam perhitungan terdiri dari biaya bibit seedling anggrek, pupuk, obat-obatan, media tanam dan pot. Perhitungan titik impas diperoleh dari hasil perhitungan anra biaya tetap dibagi dengan hasil pengurangan antara harga jual dengan biaya variabel rata-rata. Nilai BEP untuk anggrek Dedrobium, Phalaenopsis, Vanda dan Cattleya pada usaha I yaitu sebanyak 3.421 pot, 1.197 pot, 1.142 pot dan 1.073 pot. Jumlah penjualan pot selama tahun 2010 untuk anggrek Cattleya telah melebihi dari nilai BEP tetapi pada penjualan pot anggrek Dendrobium, Phalaenopsis dan Vanda masih kurang dari nilai BEP. Keuntungan dari anggrek Catleya tersebut belum mampu menutupi pengeluaran untuk anggrek yang lainnya sehingga usaha I masih menderita kerugian. Hal tersebut dikarenakan selama tahun 2010 usaha I mengalami penurunan penjualan yang disebabkan penurunan permintaan anggrek dari konsumen. Untuk mengurangi kerugian usaha I harus meningkatkan penjualan pada anggrek Dendrobium, Phalaenopsis dan Vanda. Pengaturan volume produksi perlu dilakukan supaya kontinuitas tanaman anggrek yang berbunga tetap ada setiap bulannya. Nilai BEP untuk anggrek Dedrobium, Phalaenopsis, Vanda dan Cattleya pada usaha II yaitu sebanyak 3.499 pot, 5.345 pot, 1.761 pot dan 1.099 pot. Jumlah penjualan pot usaha II selama tahun 2010 untuk anggrek Dendrobium dan Phalaenopsis telah melebihi dari nilai BEP tetapi pada anggrek Vanda dan Cattleya volume produksi anggrek tersebut masih jauh dibawah dari nilai BEP. Namun besarnya keuntungan yang diperoleh pada usaha II dari penjualan anggrek Dendrobium dan Phalaenopsis mampu menutupi biaya yang dikeluarkan untuk anggrek Vanda dan Cattleya. Nilai BEP untuk anggrek Dedrobium, Phalaenopsis, Vanda dan Cattleya pada usaha II yaitu sebanyak 17. 492 pot, 21.531 pot, 11.545 pot dan 10.249 pot.
77
Jumlah penjualan pot usaha III selama tahun 2010 untuk ke empat jenis anggrek masih kurang dari nilai BEP sehingga penerimaan yang dihasilkan tidak mampu menutupi biaya yang dikeluarkan. Untuk mengurangi kerugian sebaiknya usaha III melakukan peningkatan penjualan selain dari anggrek berbunga misalnya penjualan bibit botolan, seedling atau remaja. Pengaturan waktu budidaya anggrek juga harus dilakukan sehingga kotinuitas tanaman anggrek yang berbunga setiap bulannya dapat tersedia. Berdasarkan analisis titik impas, dapat disimpulkan bahwa semakin besar skala usaha, maka target penjualan harus semakin besar karena nilai BEP yang dihasilkan semakin besar agar petani bisa menutupi biaya totalnya sehingga terhindar dari kerugian. Hasil perhitungan titik impas dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Nilai Titik Impas (BEP) di Tiga Skala Usaha Usaha I (lahan kecil) Biaya tetap Harga jual per unit Biaya variabel per unit BEP Penjualan aktual selama 1 tahun Usaha II (lahan menengah) Biaya tetap Harga jual per unit Biaya variabel per unit BEP Penjualan aktual selama 1 tahun Usaha III (lahan besar) Biaya tetap Harga jual per unit Biaya variabel per unit BEP Penjualan aktual selama 1 tahun
Dendrobium
Phalaenopsis
Vanda
Catleya
39.273.000 20.000 8.520 3.421 2.400
58.910.000 60.000 10.770 1.197 600
88.365.000 100.000 22.656 1.142 120
88.365.000 100.000 17.656 1.073 1.200
40.149.000 20.000 8.525 3.499 6.000
133.983.000 35.000 9.931 5.345 48.000
87.635.000 75.000 25.234 1.761 120
87.635.000 100.000 20.240 1.099 120
242.002.223 20.000 6.165 17.492 3.600
366.003.333 40.000 23.001 21.531 600
542.195.000 75.000 28.038 11.545 1.200
542.195.000 80.000 27.096 10.249 1.200
78
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Kesimpulan dari analisis struktur biaya usaha budidaya anggrek di TAR adalah sebagai berikut : a. Nunky Orchis (usaha I) dan Syams Orchid (usaha III) melakukan budidaya semua jenis anggrek dalam satu tempat yang sama sedangkan I-yon Orchid (usaha II) melakukan sistem pemeliharaan anggrek yang terpisah antara anggrek Phalaenopsis dengan anggrek yang lainnya. Jika dilihat dari total pot anggrek secara keseluruhan maka semakin meningkatnya skala usaha (luas lahan), jumlah tanaman anggrek yang diproduksi semakin banyak. b. Berdasarkan struktur biaya anggrek Dendrobium dengan meningkatnya skala usaha maka akan menghasilkan biaya produksi per pot yang lebih efisien. Struktur biaya yang efisien pada tanaman anggrek Phalaenopsis terdapat pada usaha II. Struktur biaya yang efisien pada anggrek Vanda dan Cattleya terjadi pada usaha I. c. Perbedaan struktur biaya yang dihasilkan masing-masing usaha pada setiap jenis anggrek disebabkan perbedaan biaya perolehan bibit yang besar. Semakin kecil biaya bibit yang dikeluarkan usaha maka biaya produksi per potnya akan semakin efisien karena lebih dari 50 persen dari total biaya per pot berasal dari biaya bibit. Berdasarkan analisis pendapatan, usaha yang paling efisien terjadi pada usaha II karena analisis pendapatan R/C ratio atas biaya tunai maupun biaya total yang diperoleh lebih dari 1 yaitu sebesar 2,14 dan 1,89. d. Jumlah pot minimal yang harus dijual setiap usaha agar tidak mengalami kerugian yaitu nilai BEP usaha I untuk anggrek Dendrobium, Phalaenopsis, Vanda dan Catleya yaitu 3.421 pot, 1.197 pot, 1.142 pot dan 1.073 pot, nilai BEP usaha II untuk anggrek Dendrobium , Phalaenopsis, Vanda dan Catleya yaitu 3.499 pot, 5.345 pot, 1.761 pot dan 1.099 pot, nilai BEP usaha III untuk anggrek Dendrobium, Phalaenopsis, Vanda dan Catleya yaitu 17.492 pot, 21531 pot, 11.545 pot dan 10.249 pot. Semakin
79
besar skala usaha, maka target penjualan semakin besar karena nilai BEP yang dihasilkan semakin besar agar petani bisa menutupi biaya totalnya sehingga terhindar dari kerugian. 7.2. Saran Dari kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini maka disarankan: a. Untuk menekan biaya produksi, sebaiknya usaha harus meminimalisir biaya memperoleh bibit. Bibit dapat diperoleh melalui perbanyakan secara vegetatif dengan perbanyakan melalui tunas ataupun metode kultur jaringan. Bagi petani yang memiliki kemampuan modal dan keterampilan sebaiknya melakukan perbanyakan melalui kultur jaringan karena dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yang besar sedangkan bagi petani yang memiliki keterbatasan dalam modal dan keterampilan maka perbanyakan dapat dilakukan melalui tunas dengan melukai bagian batang tanaman. Semakin murah pembelian bibit maka biaya produksi per pot setiap jenis anggrek akan semakin rendah. Selain itu, biaya per pot dapat ditekan dengan mengoptimalkan jumlah produksi pot pada lahan budidaya. b. Untuk meningkatkan keuntungan pada usaha I dan III yaitu dengan meningkatkan jumlah penjualan anggrek dan melakukan manajemen produksi yang baik sehingga ketersediaan anggrek yang berbunga dapat memenuhi permintaan anggrek dari konsumen. Selain itu, skala usaha I dapat membuka usaha seperti penyewaan atau rental tanaman hias, dekorasi taman dsb untuk menambah pemasukan diluar dari usaha anggrek sedangkan usaha III dapat menambah pemasukan dengan menjual bibit anggrek botolan, seedling maupun anggrek remaja. c. Penelitian ini menggunakan metode kasus sehingga kesimpulan yang dihasilkan tidak bersifat umum. Maka perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode survai dengan cakupan yang lebih luas.
80
DAFTAR PUSTAKA Asikin YZ. 2005. Struktur Biaya Pengusahaan Nilam (Pogostemon sp.) (Studi Kasus di Kabupaten Sukabumi dan Bogor, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bantani AT. 2004. Analisis Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Tradisional di Kelurahan Kebon Pedes Bogor Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Darmono DW. 2007. Bertanam Anggrek. Penebar Swadaya. Jakarta Dewintha S. 2009. Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah (Kasus: Tiga Skala Pengusahaan di Kabupaten Bogor) [Skripsi]. Bogor: Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. [Dirjenhort] Direktorat Jendral Hortikultura. 2006. Produk Domestik Bruto Hortikultura Tahun 2005. Jakarta: Departemen Pertanian --------. 2007. Produk Domestik Bruto Hortikultura Tahun 2006. Jakarta: Departemen Pertanian --------. 2008. Produk Domestik Bruto Hortikultura Tahun 2007. Jakarta: Departemen Pertanian --------. 2009. Produk Domestik Bruto Hortikultura Tahun 2008. Jakarta: Departemen Pertanian --------. 2010. Produk Domestik Bruto Hortikultura Tahun 2009. Jakarta: Departemen Pertanian --------. 2011. Data Ekspor Impor Anggrek 2006-2010. Jakarta: Departemen Pertanian Hartono DRB. 2003. Karekteristik Agribisnis Anggrek serta Peranan Dinas Pertanian dan Kehutanan di Provinsi DKI Jakarta [Tesis]. Jakarta : Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Hernanto F. 1989. Ilmu Usahatani. PT Penebar Swadaya. Jakarta. Iswanto H. 2002. Petunjuk Perawatan Anggrek. AgroMedia Pustaka. Jakarta Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Bogor 81
Nicholson W. 1991. Teori Mikroekonomi. Binarupa Aksara. Jakarta Nurmalina R, Sarianti T, Karyadi A. 2009. Studi Kelayakan Bisnis. Departemen Agribisnis. Bogor Nurmalinda, Murtiningsih dan A Santika. 1997. Tata Niaga dan Penanganan Pasca Panen Bunga Anggrek Dendrobium di Jabodetabek. Jurnal Holtikultura (1): 604-613 [P3HPHH] Pusat Promosi dan Pemasaran Hasil Pertanian dan Hasil Hutan. 2009. Profil Pusat Promosi dan Pemasaran Bunga dan Tanaman Hias. Jakarta: Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta Rachmina D, Burhanuddin.2008. Panduan Penulisan Proposal dan Skripsi. Departemen Agribisnis. Bogor Rindayati W. 1995. Skala Usaha dan Efisiensi Ekonomi Relatif Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Malang [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rosmianti. 2006. Analisis usahatani anggrek Phaleonopsis pada Rumah Bunga Rizal (RBR) di Bandung Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen IlmuIlmu Sosial Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Saragih B. 2010. Suara Agribisnis Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih. Penerbit PT Permata Wacana Lestari. Jakarta Sari Intan P. 2010. Pengaruh Struktur Biaya terhadap Kegiatan Penangkapan Ikan dengan Cantrang di PPI Blanakan Kabupatan Subang Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Ilmu Peternakan, Fakultas Perikanan , Institut Pertanian Bogor Setiawan H. 2002. Usaha Pembesaran Anggrek. Penebar Swadaya. Jakarta Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Penerbit UI-Press. Jakarta. Soekartawi, Soeharjo A, Dillon JL, Mardaker JB. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Perkembangan Petani Kecil. Penerbit UI-Press. Jakarta. Soeharjo A, Patong D. 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Bogor Sugiarto, Tedy H, Brastoro, Sudjana R, Said K. 2005. Ekonomi Mikro Sebuah Kajian Komprehensif. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sukirno S. 2003. Pengantar Teori Mikroekonomi. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta Suratiyah K. 2009. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.
82
Lampiran 1. Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Anggrek Tahun 2009
Provinsi Nangroe Aceh Darusalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Luas Panen (M2) 433 25,732 6,060 25,633 3,283 5,083 1,046 21,135 5,544 1,367 131,235 291,111 196,883 4,457 260,263 75,450 130,279 4,920 25,019 1,914 613 552 26,774 43,138 3,249 4,649 956 763 3,465 7,193 1,308,199
Produksi (Tangkai) 1,789 342,217 179,296 45,363 47,639 26,317 36,586 206,954 32,492 6,313 1,258,047 5,582,076 985,222 89,781 2,180,521 1,453,304 574,426 8,277 130,124 2,005,276 18,339 11,027 506,415 362,906 20,655 30,699 11,673 2,155 20,673 29,387 16,205,949
Produktivitas (Tangkai/M2) 4.13 7.77 20.41 1.5 12.72 3.71 23.87 5.33 5.02 4.2 9.58 17.33 4.35 4.45 6.74 17.47 3.41 1.53 4.5 24.33 4.14 11.15 11.69 7.48 1.71 5.01 4.74 2.57 5.52 3.51 12.39
Sumber : BPS 2010
83
Lampiran 2. Daftar Petani Anggrek di Taman Anggrek Ragunan Tahun 2011 No
No Pemilik Kavling Kavling
Jenis Usaha Anggrek
Luas Lahan (m2)
1.
1, 43
Wiyono
Budidaya anggrek dari 8.000 seddling
5
2.
2. 4
Syam’s Orchid
Pembibitan dan 27.000 budidaya anggrek
12
3.
6
Santi Orchid
Budidaya remaja
7
4.
7
Al Mira
Budidaya anggrek
3.000
6
5.
8
Tumin Teguh
Budidaya anggrek
1.000
2
6.
10
Antika Orchid
Pemasaran anggrek
5.000
14
7.
11
Sherry Orchid
Budidaya remaja
anggrek 1.000
1
8.
12
M Yamin
Budidaya remaja
anggrek 1.000
1
9.
17
Sujati sarwono
Pembibitan dan botolan
anggrek 1.000
3
10.
27, 29
Phylli Orchid
Budidaya anggrek dari 7.000 remaja
17
11.
28
Rafida Hanum
Budidaya anggrek
1.000
1
12.
30
Amalina Orchid
Budidaya anggrek dari 3.500 seedling
3
13.
35
Gading Orchid
Budidaya anggrek
5
14.
37
Manda Flora
Budidaya anggrek dari 15.000 seedling
10
15.
39
Rama Orchid
Budidaya anggrek dari 1.800 seedling
2
16.
42
Nunky Orchid
Budidaya anggrek dari 1.300 seedling
2
anggrek 4.000
1.800
Jumlah Tenaga Kerja (orang)
84
Lampiran 3. Tabel Angka Acak 0,790523 0,461203 0,929332 0,832498 0,884107 0,549682 0,983692 0,112711 0,276364 0,261405 0,307339 0,265552 0,010174 0,018218 0,797841 0,450861 0,874435 0,009515 0,922671 0,604816 0,694267 0,417204 0,138825 0,382411 0,776262 0,260165 0,69408 0,955141 0,827013 0,415722
0,184657 0,19564 0,81874 0,750176 0,225622 0,465786 0,8355 0,286436 0,385781 0,093116 0,886994 0,318311 0,794015 0,699837 0,29199 0,709567 0,72751 0,956576 0,340296 0,852668 0,337748 0,26597 0,454417 0,502134 0,366902 0,388085 0,738276 0,869086 0,937038 0,105431
0,109709 0,503698 0,03199 0,623021 0,525654 0,375776 0,392566 0,035842 0,01067 0,956134 0,230953 0,661975 0,13661 0,420823 0,204669 0,850472 0,803535 0,896342 0,945739 0,821721 0,976463 0,850346 0,248414 0,264738 0,023827 0,800508 0,798439 0,045006 0,915102 0,509923
0,307374 0,883106 0,18321 0,750541 0,874892 0,896312 0,508482 0,057479 0,13927 0,151635 0,634563 0,698705 0,584311 0,097907 0,825259 0,10069 0,309098 0,218693 0,243101 0,052207 0,281712 0,3858 0,273544 0,351952 0,702134 0,622979 0,461836 0,986522 0,500923 0,54344
0,61309 0,641817 0,748572 0,350884 0,656718 0,336139 0,343629 0,98786 0,354351 0,560379 0,007435 0,608152 0,27431 0,886313 0,893678 0,601921 0,934276 0,358442 0,22195 0,942439 0,51059 0,579151 0,199644 0,751336 0,513182 0,979629 0,769138 0,045113 0,746531 0,044877
0,459777 0,921713 0,160182 0,11246 0,170292 0,434003 0,973035 0,376075 0,669681 0,922124 0,364312 0,894718 0,610255 0,297251 0,199082 0,362033 0,151994 0,205422 0,623506 0,995407 0,023839 0,533527 0,431394 0,069816 0,622889 0,619649 0,253847 0,831073 0,425577 0,097627
0,579366 0,532939 0,864736 0,164064 0,44296 0,220716 0,050094 0,789974 0,360499 0,546309 0,544263 0,528281 0,425816 0,186467 0,021916 0,775412 0,833 0,537954 0,553824 0,908221 0,767798 0,219728 0,99587 0,595956 0,46193 0,068691 0,715359 0,990182 0,737477 0,898417
0,970778 0,791042 0,240575 0,179165 0,042502 0,456979 0,102615 0,605092 0,910161 0,694963 0,597428 0,898711 0,933118 0,468237 0,618228 0,398207 0,247001 0,62722 0,168026 0,066339 0,699009 0,042392 0,235765 0,503553 0,819048 0,242305 0,322887 0,400996 0,983153 0,261635
0,805932 0,906324 0,201879 0,843469 0,961859 0,739296 0,101196 0,97352 0,745198 0,748757 0,230566 0,579715 0,852447 0,407261 0,810843 0,521633 0,006331 0,162342 0,188538 0,692894 0,335595 0,507498 0,317926 0,836272 0,447479 0,733497 0,336573 0,726633 0,767367 0,033846
0,982908 0,121115 0,506295 0,683769 0,136033 0,365928 0,868096 0,036825 0,284776 0,568531 0,03645 0,223681 0,95686 0,118042 0,733112 0,485903 0,210699 0,356266 0,114005 0,201612 0,573841 0,481796 0,825154 0,045476 0,09853 0,857549 0,097393 0,522372 0,36004 0,222673
85
Lampiran 4. Komponen Penyusutan Usaha Nunky Orchid Biaya investasi
15
Biaya satuan (Rp) 500.000
Rumah jaga
2
50.000.000
100.000.000
20
5.000.000
416.667
Mesin air
2
1.500.000
3.000.000
5
600.000
50.000
Bak penampungan air Gunting
2
500.000
1.000.000
5
200.000
16.667
2
50.000
100.000
2
50.000
4.167
20
1.000.000
20.000.000
15
1.333.333
111.111
80
10.000
800.000
3
266.667
22.222
Spraiyer
1
800.000
800.000
5
160.000
13.333
Sarung tangan
4
20.000
80.000
1
80.000
6.667
Sepatu bot
2
200.000
400.000
2
200.000
16.667
22
1.500.000
33.000.000
10
3.300.000
275.000
11.690.000
974.167
Paranet
Besi penyangga Selang air
Rak pemeliharaan Total
Jumlah (unit)
Biaya total (Rp)
Penyusutan (tahun)
Penyusutan (bulan)
7.500.000
Umur ekonomis (tahun) 15
500.000
41.667
166.680.000
Lampiran 5. Komponen Penyusutan Usaha Iyon Orchid di Serpong Biaya investasi
Jumlah (unit)
Biaya satuan (Rp)
Biaya total (Rp)
Green house
8
100.000.000
800.000.000
Umur ekonomis (tahun) 20
20.000.000
1.666.667
Rumah jaga
1
20.000.000
20.000.000
20
500.000
41.667
Mesin air
1
2.000.000
2.000.000
5
400.000
33.333
Bak penampungan air Gunting
1
1.200.000
1.200.000
5
240.000
20.000
2
50.000
100.000
2
50.000
4.167
Penyusutan (tahun)
Penyusutan (bulan)
Kawat penyangga Selang air
16
600.000
9.600.000
10
960.000
80.000
100
10.000
1.000.000
3
333.333
27.778
Sepatu bot
1
200.000
200.000
2
100.000
8.333
Rak pemeliharaan Total
8
50.000.000
400.000.000
20
10.000.000
833.333
32.583.333
2.715.278
1.234.100.000
86
Lampiran 6. Komponen Penyusutan Usaha Iyon Orchid di Sawangan Biaya investasi
45
Biaya satuan (Rp) 500.000
Rumah jaga
1
50.000.000
50.000.000
20
2.500.000
208.333
Mesin air
1
1.500.000
1.500.000
5
300.000
25.000
Bak penampungan air Gunting
1
500.000
500.000
5
100.000
8.333
2
50.000
100.000
2
50.000
4.167
Besi penyangga
60
1.000.000
60.000.000
15
4.000.000
333.333
100
10.000
1.000.000
3
333.333
27.778
Spraiyer
1
800.000
800.000
5
160.000
13.333
Sarung tangan
4
20.000
80.000
1
80.000
6.667
Sepatu bot
2
200.000
400.000
2
200.000
16.667
66
1.500.000
99.000.000
10
9.900.000
825.000
19.123.333
1.593.611
Paranet
Selang air
Rak pemeliharaan Total
Jumlah (unit)
Biaya total (Rp)
Penyusutan (tahun)
Penyusutan (bulan)
22.500.000
Umur ekonomis (tahun) 15
1.500.000
125.000
235.880.000
Lampiran 7. Komponen Penyusutan Usaha Syams Orchid Biaya investasi
Jumlah (unit)
Biaya satuan (Rp)
Paranet 300 m2
90
1.090.000
98.100.000
Umur ekonomis (tahun) 10
Rumah jaga
3
50.000.000
150.000.000
20
7.500.000
625.000
Mesin air
6
2.500.000
15.000.000
5
3.000.000
250.000
Bak penampungan Gunting
3
500.000
1,500.000
5
300.000
25.000
10
150.000
1,500.000
2
750.000
62.500
Besi penyangga
200
1.000.000
200.000.000
10
20.000.000
1.666.667
Selang air
500
8.000
4.000.000
3
1.333.333
111.111
Spraiyer
4
800.000
3.200.000
5
640.000
53.333
Masker
12
20.000
240.000
1
240.000
20.000
Sarung tangan
12
20.000
240.000
1
240.000
20.000
1
200.000
200.000
2
100.000
8.333
594
1.000.000
594.000.000
10
59.400.000
4.950.000
103.313.333
8.609.444
Sepatu bot Rak pemeliharaan Total
Biaya total (Rp)
1.067.980.000
Penyusutan (tahun) 9.810.000
Penyusutan (bulan) 817.500
87