i
ANALISIS PENDAPATAN DAN FUNGSI PRODUKSI TEMPE PADA INDUSTRI POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor)
KUSAERI AULANI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2014
Kusaeri Aulani H44080020
iv
ABSTRAK KUSAERI AULANI. Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI. Tempe merupakan makanan olahan yang terbuat dari bahan utama kedelai yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia terutama masyarakat di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Hasil uji stasistik menunjukan bahwa produksi tempe pola kemitraan dipengaruhi oleh kedelai, ragi, dan air, sedangkan produksi tempe pengusaha pola mandiri dipengaruhi oleh kedelai saja. Pendapatan pengusaha pola mandiri lebih besar daripada pendapatan pengusaha pola kemitraan karena teknik produksi yang digunakan oleh pangusaha pola mandiri menggunakan teknik yang anjurankan oleh KOPTI Kabupaten Bogor sedangkan pengusaha pola kemitraan menggunakan cara tradisional dan tidak menggunakan cara yang dianjurkan oleh KOPTI Kabupaten Bogor. Kata kunci:
Tempe, Kemitraan, KOPTI, Pendapatan, Model Cobb-Douglas
ABSTRACT KUSAERI AULANI. The Income Analysis And Production Function Of Tempe Partnership And Autonomy Pattern (Case in Cimanggu I Village, Cibungbulang District of Bogor Regency). Supervised by EKA INTAN KUMALA PUTRI. Tempe is a processed food from soybeans. It is needed by the Indonesian people, especially in the Cibungbulang District, Bogor Regency. The purpose of this study was to analyze the income from tempe industry which applying partnership and independent system in Cimanggu I Village, Cibungbulang District of Bogor Regency. The results showed that the tempe production which using partnership system was affected by soy, yeast, and water, whereas the production which using independent system was influenced by soy alone. The entrepreneurs which applying independent system gained more income than the partnerships system because they used production techniques recommended by Bogor Regency’s Indonesia Tofu and Soybean Cake Entrepreneurs Union (KOPTI). The partnership system entrepreneurs, on the contrary, was applying the traditional method rather than the recommended one by KOPTI Bogor Regency. Keywords: tempe, partnership, KOPTI, revenue , Cobb - Douglas models
v
ANALISIS PENDAPATAN DAN FUNGSI PRODUKSI TEMPE PADA INDUSTRI POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor)
KUSAERI AULANI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
vi
vii
Judul Skripsi : Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kabupaten Bogor) Nama
: Kusaeri Aulani
NIM
:
H44080020
Disetujui oleh
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S Dosen Pembimbing I
Diketahui oleh
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Tanggal
:
-
,..",==---
Judul Skripsi
Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kabupaten Bogor)
Nama
Kusaeri Aulani
NIM
H44080020
Disetujui oleh
a Intan Kumala Putri M.S
Tanggal
3 MAR 2014
viii
ix
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang memberikan kemudahan dan kelancaran kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun judul skripsi ini yaitu “Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor)”. Skripsi ini membahas analisis produksi dan pendapatan usahatani dengan membandingkan produksi dan pendapatan pangusaha tempe pola kemitraan dan pola msndiri. Skripsi ini juga menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh tergadap produksi pada usahatani tempe pola kemitraan dan pola mandiri. Bersama ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu dalam proses pembuatan skripsi ini, terutama kepada Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah mengarahkan dan memberikan banyak ilmu kepada penulis. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Bapak Adi Hadianto, SP, M.Si dan Ibu Hastuti, S.P, M.P, M.Si selaku penguji siding. Terima kasih saya ucapkan kepada Yogi Chandra yang telah banyak membantu penlulis dalam mengolah data, juga kepada keluarga tercinta Ibunda Solihat dan Ayahanda Acep Al-mutahar, Ibunda Pipih Sopiah, Ayahanda Tatan Gunawan, Ibunda Heny, Bapak Brata, serta keempat adik saya yaitu Amir, Hany, Aziz, dan Dzikry yang selalu memberikan do’a dan semangat. Terima kasih kepada teman-teman ESL 45 yang selalu membantu dan memberikan semangat, teman-teman tercinta Yogi, Ade, Sandy, Rizky, Hady, Fajar Jajuli, Inggit Rahayu, As’ad, Mahmudin, dan semia ESL 45 dan juga Afni Kusuma Wardhani yang selalu membantu dan memberikan semangat kepada penulis. Terima kasih pula kepada pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri yang ada di Desa Cimanggu I yang bersedia memberikan data kepada penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, khususnya pembuat kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan pengusaha tempe. Bogor, Maret 2014
Kusaeri Aulani
x
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Rumusan Masalah
5
Tujauan Penelitian
8
Manfaat Penelitian
8
Ruang Lingkup Penelitian
9
Batasan Penelitian
9
TINJAUAN PUSTAKA
11
Pengertian dan Ketentuan Umum Koperasi
11
Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia
12
Karakteristik Tempe
13
Jumlah Industri
14
Jumlah Industri Kecil di Indonesia
14
Jumlah dan Sebaran Industri Tempe di Kabupaten Bogor
15
Pendapatan
16
Analisis Pendapatan (Penerimaan-Biaya)
16
Pendapatan Usaha
17
Struktur Biaya
17
Tinjauan Penelitian Terdahulu
18
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikira Operasional METODE PENELITIAN
21 21 23
Lokasi dan Waktu Penelitian
23
Metode Penelitian
23
Jenis dan Sumber Data
23
Metode Pengambilan dan Jumlah Responden / Sampel
24
Metode Pengolahan dan Analisis Data
24
xi
Analisis Struktur Biaya
24
Fungsi Produksi
25
Konsep Produktivitas
26
Fungsi Cobb-Douglas
26
Pengujian Parameter
27
Uji Koefisien Determinasi
28
Uji Statistik F
28
Uji Statistik t
29
Uji Kolinearitas Ganda (Multicollinearity)
29
Uji Heteroskedastisitas
30
Analisis Pendapatan GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
30 32
Profil Desa Cimanggu I
32
HASIL DAN PEMBAHASAN
35
Identifikasi Karakteristik Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
35
Karakteristik Sosial Ekonomi Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
35
Usia
35
Tingkat Pendidikan
36
Pengalaman Usaha Tempe
37
Karakteristik Ekonomi Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
38
Karakteristik Produksi Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
40
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tempe Pola Mandiri dan Pola Kemitraan
43
Karakteristik Input Produksi
43
Kedelai
44
Ragi
45
Air
45
Tenaga Kerja (HOK)
47
xii
Hasil Uji Statistik Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
48
Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Tempe Pola Mandiri dan Pola Kemitraan
57
Output
57
Penerimaan
59
Biaya
60
Pendapatan
61
SIMPULAN DAN SARAN
64
DAFTAR PUSTAKA
66
LAMPIRAN
68
xiii
DAFTAR TABEL 1
Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai di indonesia tahun 1970-2009
2
1
Perkembangan jumlah koperasi menurut propinsi di indonesia tahun 2008-2009
4
3
Jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi tahun 1999 – 2004
14
4
Penyebaran dan jumlah anggota KOPTI di Kabupaten Bogor
15
5
Tinjauan penelitian penelitian terdahulu
19
6
Matriks metode analisis data
24
7
Sebaran jumlah penduduk desa cimanggu I berdasarkan mata pencaharian
8
Sebaran jumlah penduduk desa cimanggu I berdasarkan tingkat pendidikan
9
33
34
Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan sebaran usia
36
10 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan tingkat pendidikan
37
11 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan mandiri berdasarkan pengalaman usaha
38
12 Karakteristik Ekonomi pengusaha tempe pola kemitran dan pola mandiri
39
13 Karakteristik Produksi pengusaha tempe pola kemitran dan pola mandiri
41
14 Perbandingan penggunaan kedelai pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri
44
15 Perbandingan penggunaan ragi pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri
45
16 Perbandingan penggunaan air pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri
46
17 Perbandingan penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri
47
18 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe pola kemitraan 19 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe
49
xiv
pola mandiri
53
20 Jumlah produksi dan produktivitas tempe pola kemitraan dan pola mandiri
58
21 Penerimaan Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
59
22 Biaya Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
60
23 Perbandingan Pendapatan Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
62
DAFTAR GAMBAR 1 Alur Kerangka Pemikiran Operasional
22
2 Tahapan Proses Produksi Tempe di Desa Cimanggu I
43
2 Grafik Model Regresi Produksi Usahatani Tempe Pola Kemitraan
53
3 Grafik Model Regresi Produksi Usahatani Tempe Pola Mandiri
57
DAFTAR LAMPIRAN 1 Jumlah Produksi dan Produktivitas Tempe Pengusaha Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
69
2 Perbandingan Penggunaan Kedelai Pengusaha Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
71
3 Perbandingan Penggunaan Ragi Pengusaha Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 4 Perbandingan Penggunaan Air Pengusaha Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
72 73
5 Perbandingan Penggunaan Tenaga Kerja Pengusaha Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
74
6 Hasil Output Minitab 15 Model Fungsi Produksi Tempe Pola Kemitraan
75
7 Hasil Output Minitab 15 Model Fungsi Produksi Tempe Pola Mandiri
76
8 Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
77
1
PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Tempe merupakan makanan olahan yang terbuat dari bahan utama kedelai yang setiap harinya dibutuhkan oleh masyarakat, baik masyarakat kalangan bawah, menengah, maupun masyarakat kalangan atas, dengan demikian permintaan terhadap tempe semakin naik dalam setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya
jumlah
penduduk.
Naiknya
permintaan
terhadap
tempe
berimplikasi pada peningkatan permintaan kedelai yang merupakan bahan baku pembuatan tempe yang hingga saat ini belum mendapatkan substitusinya sebagai bahan utama dalam memproduksi tempe. Kebutuhan kedelai nasional pada tahun 2009 sebesar 1.97 juta ton sedangkan pada tahun tersebut produksi kedelai dalam negeri hanya sebesar 0.92 juta ton meskipun produksi mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 0.14 juta ton dan kekuranganya sebesar 1.05 juta ton dipenuhi dari impor. Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai nasional dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai di indonesia tahun 19702009 Produksi (tahun)
Produksi Nasional
1970 1980 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2007 2008 2009 Sumber : Direktorat Jendral Tanaman Pangan, 2009
Konsumsi Nasional Juta (ton)
0.5 0.65 1.49 1.87 1.56 1.52 1.31 1.02 0.67 0.72 0.81 0.59 0.78 0.92
0.49 0.75 1.54 2.56 2.36 2.26 1.65 2.29 2.04 1.84 1.84 2 1.95 1.97
Berdasarkan data pada Tabel 1 tersebut tingkat konsumsi kedelai nasional rata-rata 1.8 juta ton per tahun. Pertumbuhan produksi kedelai jauh lebih rendah daripada konsumsi. Implikasinya adalah tanpa terobosan yang berarti, Indonesia
2
akan mengalami defisit yang makin besar (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005). Penurunan produksi kedelai di dalam negeri mengakibatkan industri yang menggunakan bahan baku kedelai harus membeli dari luar negeri. Salah satu agroindustri yang cukup potensial adalah industri tempe. Umumnya tempe digunakan sebagai lauk-pauk dan sebagai makanan tambahan atau jajanan. Potensi tempe dalam meningkatkan kesehatan dan harganya relatif murah memberikan alternatif pilihan dalam pengadaan makanan bergizi yang dapat dijangkau oleh segala lapisan masyarakat (Sutrisno 2006). Industri tempe merupakan industri kecil yang mampu menyerap sejumlah besar tenaga kerja baik yang terkait langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan bahan yang merupakan masukan maupun produk hasil olahannya. Prospek industri tempe sangat baik dimana pertumbuhan permintaan tempe setelah tahun 1998 diperkirakan mencapai 4 persen per tahun (Solahudin, 1998). Industri tempe memiliki peran yang sangat besar didalam usaha pemerataan kesempatan kerja, kesempatan usaha dan peningkatan pendapatan. Menurut Ambarwati (1994), industri tempe pada umumnya dikelola dalam bentuk industri rumah tangga, sehingga perkembangannya selalu dihadapkan dengan permasalahan yang menyangkut bahan baku yaitu kedelai, ketersediaan dan kualitas faktor produksi, tingkat keuntungan, pemasaran serta permodalan. Pendapatan para pengrajin tempe sangat tergantung dari penjualan dan biaya yang dikeluarkan. Penjualan yang dilakukan pengrajin tempe belum mampu mendatangkan keuntungan yang optimal karena harganya yang murah, dan disisi lain biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku semakin besar dengan adanya krisis ekonomi yang sering terjadi di Indonesoa. Keberadaan ini sangat mempengaruhi efisiensi usaha pengrajin tempe, sehingga banyak pengrajin tempe yang tidak mampu berproduksi lagi (Sari, 2002). Makanan tempe semakin populer dan meluas di masyarakat, karena masyarakat semakin mengetahui bahwa tempe adalah pangan bergizi yang diproduksi secara higienis. Kesan-kesan bahwa tempe merupakan barang inferior seperti yang terjadi dimasa lalu akhir-akhir ini telah hilang. Mengingat hal tersebut perkembangan permintaan akan tempe akan semakin meningkat (Suryana, 2001).
3
Pemenuhan kebutuhan akan makanan dan gizi tidak terlepas dari peranan usaha pengolahan pangan. Usaha kecil tempe merupakan salah satu bentuk usaha yang bergerak dibidang pengolahan pangan yang ada di Indonesia. Peranan usaha kecil tempe dalam mengolah hasil pertanian dapat berupa produk jadi yang dijual langsung kepada konsumen akhir maupun produk setengah jadi. Selain itu usaha kecil tempe juga memiliki peranan yang paling dominan, yaitu sebagai alternatif lapangan pekerjaan serta sebagai sumber kontribusi pendapatan keluarga (Amalia, 2008). Sektor perindustrian merupakan sektor yang cukup diandalkan dalam perekonomian di Indonesia, karena sektor ini mampu menjadi salah satu penyumbang devisa negara yang cukup besar nilainya. Sejak tahun 1991 sektor perindustrian telah mampu melewati sektor pertanian dalam menyumbang pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia (Sarah, 2001). Tempe termasuk kedalam kategori industri pengolahan yang ada di Indonesia, dimana industri pengolahan di Indonesia mempunyai prioritas dalam hal memajukan pembangunan di Indonesia. Hal ini terlihat dari industri pengolahan berkontribusi terhadap PDB nasional sebesar 23% sepanjang 2012 dimana industri tempe mempunyai kontribusi sebesar 12% pada industri pengolahan. 1 Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dimana memiliki karakteristik laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Peningkatan jumlah penduduk ini berpengaruh pada peningkatan permintaan atau kebutuhan akan pangan, dan salah satu kebutuhan yang terus meningkat permintaannya adalah tempe. Tempe tidak lagi dipandang sebagai bahan pokok sampingan atau alternative, akan tetapi tempe masuk pula kedalam pilihan utama makanan pokok sebagian banyak masyarakat di Indonesia dari golongan bawah, menegah dan atas. Disamping itu terjadi pula peningkatan pendapatan masyarakat yang berdampak pada perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein. Laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat memberikan efek terhadap tingginya persaingan dalam hal lapangan pekerjaan. Usaha kecil seperti
1
Data Produk Domestik Bruto Indonesia, www.deptan.go.id [Diakses tanggal 6 Desember 2012]
4
tempe memiliki peranan yang penting, yaitu sebagai alternatif lapangan pekerjaan serta sebagai sumber kontribusi pendapatan keluarga. Kendala pengembangan industri kecil dapat disebabkan oleh faktor kemampuan yang bersifat alamiah (mental dan budaya kerja), tingkat pendidikan, sumberdaya manusia, terbatasnya keterampilan, keahlian, keterbatasan modal, informasi pasar, volume produksi yang terbatas, mutu yang beragam, penampilan yang sederhana, infrastruktur, peralatan yang usang, beberapa kebijakan dan tingkah laku dari pelaku bisnis yang bersangkutan (Hubies,1997). Koperasi mempunyai pernan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta penyerapan tenaga kerja. Perkembangan pelaksanaan pembinaan kelembagaan dan usaha koperasi menunjukkan hasil yang menggembirakan. Jumlah koperasi yang tumbuh di kalangan masyarakat serta jumlah anggota koperasi dan partisipasi mereka dalam koperasi semakin meningkat, hal tersebut juga diikuti dengan semakin beragamnya bidang usaha koperasi dan semakin dirasakannya manfaatnya bagi anggota (Lembaga Ketahanan Nasional, 1995). Perkembangan koperasi yang ada di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perkembangan jumlah koperasi menurut propinsi di Indonesia tahu 20082009 Tahun 2008 (unit) No.
1 2 3 4 5
Provinsi
DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
Tahun 2009 (unit)
Aktif
Tidak aktif
Jumlah
Aktif
Tidak aktif
Jumlah
4 647 14 659 12 426 1 518 14 669
2 556 6 613 5 191 677 3 987
7 017 21 272 17 617 2 195 18 656
4 790 14 771 19 850 1 806 15 674
2 536 7 893 5 227 495 3 722
7 326 22 664 25 077 2 301 19 396
Sumber : Departemen Koperasi 2010
Dalam pelaksanaanya industri pengolahan tempe di Indonesia terbagi menjadi dua pola pelaksanaan, yaitu pola industri mandiri dan pola kemitraan yang tergabung dalam KOPTI (Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia). KOPTI adalah sebuah perkumpulan koperasi yang merupakan wadah satu-satunya untuk menghimpun dan menggerakan daya kreasi dan potensi serta membina produsen pengolah bahan makanan dari kedelai yang terdiri dari pengrajin tempe,
5
tahu dan makanan sejenisnya yang berada di wilayah Jakarta Pusat yang terdiri dari 699 anggota. KOPTI hanya mempunyai susunan organisasi tingkat primer yang dikembangkan dari ide dan kebulatan tekad produsen / pengrajin tempe tahu pada tanggal 11 Maret 1979 yang juga ditetapkan sebagai hari lahir KOPTI2. Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu tempat industri tempe yang ada di Bogor, dimana para pelaku industri tempe terbagi menjadi dua, yaitu industri pola kemitraan dan pola mandiri. Perbedaan kenggotaan tersebut menimbulkan adanya perbedaan pula dalam pendapatan yang diperoleh maupun struktur biaya pada masing-masing industri pengolahan tempe tersebut, sehingga diperlukan adanya penelitian mengenai adanya perbedaan pendapatan dan struktur biaya dari dua pola industri tempe tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
Untuk mengurangi kendala yang ada di lingkungan pelaku usaha tempe maka KOPTI merupakan harapan besar masyarakat untuk dapat mengatasi kendala-kendala yang selama ini dihadapi oleh masyarakat seluruh Indonesia yang bermata pencaharian dalam usaha tempe. KOPTI tersebut keberadaanya merata di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. KOPTI ini berdiri karena adanya kesamaan cita-cita dan kepentingan produsen tahu dan tempe untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya karena selama ini para produsen tempe belumlah memperleh kesejahteraan layaknya yang diharapkan. Keberadaan KOPTI mempermudah usaha kecil tempe untuk bekerjasama dalam penyediaan faktor produksi, modal, keahlian dalam menejerial bahan baku dan sumberdaya manusia, serta teknologi pengolahan yang lebih baik sehingga usaha kecil tempe yang tergabung dalam anggota KOPTI dapat meningkatkan hasil produksi dan pendapatannya. Berdasarkan keterangan dari KOPTI, di Cibungbulang terdapat industri tempe yang tergabung dalam anggota KOPTI dan tidak tergabung dalam anggota KOPTI. Industri yang tergabung dalam anggota KOPTI mendapatkan bantuan berupa penyediaan input, modal, peralatan, sedangkan industri tempe yang tidak tergabung dalam anggota KOPTI atau pola mandiri umumnya penyediaan input, 2
http://lailyardiyani.blogspot.com/2011/11/KOPTI-primer-koperasi-produsen.html
6
modal serta peralatan yang digunakan merupakan kepemilikan pribadi. Hal ini menyebabkan tingkat penggunaan faktor produksi yang digunakan pengusaha tempe di Cibungbulang berbeda-beda dan menghasilkan produksi serta pendapatan yang berbeda pula, maka sangat perlu menganalisis karakteristik pengusaha, faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi tempe, pendapatan, dan struktur biaya dari masing-masing usaha tersebut, yaitu usaha yang termasuk dalam anggota kemitraan dan pola mandiri, sehingga diharapkan usaha tempe di lokasi tersebut dapat dikembangkan dan memberikan kesejahteraan bagi para pelaku usaha baik pola kemitraan maupun pola mandiri. Sebelum monopoli BULOG (Badan Urusan logisti) atas kedelai impor dicabut para pengrajin tempe mendapatkan kedelai dari KOPTI. Setiap anggota KOPTI berhak memperoleh jatah yang telah ditetapkan. Untuk mempermudah pengambilan jatah, setiap wilayah memiliki seorang kepala wilayah pelayanan yang akan mendistribusikan kedelai dari KOPTI. Akan tetapi setelah monopoli KOPTI dicabut, para pengrajin tempe membeli kedelai dari luar KOPTI yaitu di toko-toko Cina. Dari semua anggota KOPTI, 70% pengrajin tempe membeli kedelai dari pedagang Cina dan 30% pengrajin tempe memperoleh kedelai dari KOPTI. Pada akhir tahun 2005 KOPTI melakukan pendataan pemakaian bahan baku ke wilayah-wilayah pelayanan yang ada di Indionesia. Dari hasil pendataan diperoleh skala kebutuhan kedelai di Kabupaten Bogor antara 50-800 kg/hari dengan rata-rata pemakaian 75 kg/hari. Dalam sebulan kedelai yang dipakai untuk produksi tempe sekitar 875 ton. Sedangkan di Kotamadaya Bogor skala kebutuhan bahan baku antara 10-150 kg/hari dengan rata-rata pemakaian 75 kg/hari. Dalam sebulan kebutuhan bahan baku kedelai di Kotamadya Bogor sebesar 300 ton. Hampir sama dengan di Kabupaten Bogor sumber perolehan bahan baku kedelai berasal dari pedagang Cina, dan hanya 10% pengrajin tempe yang mengambil bahan baku kedelai dari KOPTI ( Sutrisno, 2006 ). Permasalahan yang timbul dalam pengembangan industri kecil dan rumah tangga (khususnya agroindustri) adalah pengadaan bahan baku, modal, manajemen dan pemasaran. Menurut Apretty (2000), permasalahan dalam pengadaan bahan baku disebabkan karena berbagai hal, antara lain sifat produk pertanian yang musiman, tingkat keragaman yang tinggi, jumlah produksi yang
7
melimpah pada suatu waktu, mudah rusak dan tidak tahan lama. Permasalahan lain yang sering dihadapi oleh usaha kecil dan rumah tangga adalah rendahnya kemampuan dalam mengakses kepada sumbersumber permodalan, baik yang berbentuk lembaga keuangan bank maupun bukan bank. Ketidakseimbangan akses bagi usaha kecil dan rumah tangga dalam mendapatkan sumber-sumber permodalan untuk mengembangkan usahanya menyebabkan produk usaha kecil dan rumah tangga kurang mampu bersaing di pasar. Sistem perbankan dengan persyaratanpersyaratan teknis yang diberlakukan bagi calon peminjam tidak berkesesuaian dengan kondisi sebagian besar usaha kecil dan rumah tangga yang ada saat ini. Pemasaran pada industri kecil umumnya kurang atau tidak mengetahui jenis produk yang sedang gencar di pasaran saat ini. Terkadang pengusaha tidak menghasilkan produk dengan mutu dan standar yang sesuai dengan tuntutan pasar dan selera konsumen dan juga kurang mampu untuk memproduksi dalam jumlah yang besar dalam waktu yang cepat sehingga permintaan pasar tidak dapat dipenuhi. Selain itu strategi pemasaran yang dijalankan relatif sangat sederhana serta wilayah pemasaran yang terbatas pada daerah yang dekat dengan lokasi usaha (Apretty, 2000). Masalah manajemen usaha bagi industri kecil merupakan unsur penting bagi pengembangan usaha. Menurut Sarah (2001), pengelolaan industri kecil umumnya masih bersifat tradisional dan belum berorentasi pada manajemen usaha yang profesional. Pola manajemen tradisional biasanya ditandai dengan masih sulitnya memisahkan antara aktivitas keluarga dengan aktivitas perusahaan. Selain itu manajemen usaha pada industri kecil umumnya juga belum bisa mengembangkan manajemen keuangan dan personalia dengan baik. Dari penjabaran diatas, maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor? 2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor?
8
3. Bagaimana perbandingan struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Tujuan spesifik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. 2. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. 3. Menganalisis perbandingan struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.
1.4
Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi : 1. Bagi peneliti, penelitian ini diharrapkan bermanfaat secara akademis maupun praktis, serta pemahaman yang lebih mendalam mengenai industripengolahan tempe yang ada di Indonesia. 2. Bagi akademisi, penelitian ini diharapakn menjadi salah satu sumber rujukan pustaka dalam membuat penulisan-penulisan ilmiah. 3. Pemerintah daerah Cibungbulang khususnya, dan pemerintah daerah Kab. Bogor umumnya agar dapat membuat rekomendasi mengenai pola usaha tempe yang paling efisien dan memberikan pendapatan yang optimal.
9
4. Pelaku usaha, dimana pelaku usaha tempe dapat mengetahui langkah mana yang haris diambil agar usaha yang di jalankan dapat memberikan pendapatan yang optimal dan berlanjut keberadaanya.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini memiliki batasan-batasan sebagai berikut, yaitu: 1. Wilayah penelitian adalah, Desa Cimanggu I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. 2. Objek penelitian adalah masyarakat Desa Cimanggu
I, Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor. 3. Responden penelitian adalah masyarakat Desa Cimanggu I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, yang merupakan pengusaha dalam industri tempe pada pola kemitraan Prikompti dan pola mandiri.
1. 6
Batasan Penelitian
1. Pengusaha yang menjadi sample yaitu pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor 2. Penerapan teknik budidaya petani dalam satu kelompok usahatani relatif sama. 3. Satuan input produksi yang digunakan yaitu kedelai (kg), ragi (kg), plastik (pack), tenaga kerja (HOK), dan air (liter). 4. Ukuran tenaga kerja dinyatakan dalam Hari Orang Kerja (HOK), upah harian antara laki-laki dan wanita besaranya sama. 5. Pengusaha pola kemitraan menggunakan kedelai yang disediakan di koperasi, sedangkan pengusaha pola mandiri menggunakan bahan baku kedelai yang ada di pasaran atau non koperasi 6. Harga satuan air untuk pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri yaitu menggunakan harga air PDAM Tirta Kahuripan sebesar Rp 2.200/0-10m3. 7. Analisis fungsi produksi yang digunakan yaitu analisis fungsi produksi CobbDouglas dengan faktor produksi kedelai, ragi, air, tenaga kerja. 8. Jumlah penggunaan input dan pengeluaran tunai usahatani dihitung per tahun.
10
9. Analisis pendapatan pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri (biaya, penerimaan, dan pendapatan usahatani) dihitung per tahun.
11
TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengertian dan Ketentuan Umum Koperasi
Menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian bab I tentang ketentuan umum, Pasal 1 : Ayat (1) Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi yang kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasar atas azas kekeluargaan; ayat (2) Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan koperasi; ayat (3) Koperasi Primer adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang; (5) Gerakan koperasi adalah keseluruhan organisasi dan kegiatan perkoperasian yang bersifat terpadu menuju tercapainya cita-cita bersama koperasi. Menurut International Cooperative Alliance (ICA, 1995) dalam Nasution, 2002 : Koperasi adalah perkumpulan orang-orang yang mandiri (autonomous) bersatu secara sukarela untuk memenuhi kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan aspirasi melalui badan usaha (enterpise) yang dimiliki bersama dan dikontrol secara demokratis. Menurut Hatta (1995) dalam Nasution (2002) : Koperasi yang benar-benar koperasi (the ideal type cooperative) adalah bentuk kerjasama dengan sukarela antara mereka yang sama cita-citanya untuk membela keperluan dan kepentingan bersama. Koperasi sebenarnya tidak dikemudikan oleh cita-cita keuntungan, melainkan oleh cita-cita memenuhi keperluan bersama. Fungsi dan peran koperasi menurut Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 tahun 1992 adalah : 1. Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya; 2. Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat; 3. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan berkoperasi sebagai sokoguru; 4. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
12
Prinsip koperasi menurut Undang-Undang Perkoperasian nomor 25 tahun 1992 adalah : 1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka; 2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis; 3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota; 4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; 5. Kemandirian. Selanjutnya, dalam ayat dua dikatakan bahwa dalam mengembangkan koperasi, maka koperasi melaksanakan pula prinsip koperasi sebagai berikut : 1. Pendidikan perkoperasian; 2. Kerjasama antar koperasi.
2.2
Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia
Koperasi berasal dari bahasa Latin cooperere yang dalam bahasa Inggris menjadi cooperation, berarti bekerja sama. Menurut UU No 25 Tahun 1992, koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi berdasar atas azas kekeluargaan. Koperasi berbeda dengan badan usaha lainnya, perbedaannya terletak pada tujuan koperasi yang tidak hanya mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi juga mempertinggi kesejahteraan anggotanya. Keberhasilan koperasi dilihat dari kemampuan koperasi untuk hidup terus dengan kekuatannya sendiri dan memberikan pelayanan kepada anggotanya secara kontinyu. Faktor yang paling menentukan keberhasilan koperasi adalah faktor manajemen. Hal ini sangat penting dalam pengelolaan koperasi yang dapat menentukan kemajuan usaha koperasi yang bersangkutan (Ruswan, 2013). Anggota koperasi di Indonesia memiliki bermacam-macam jenis usaha, diantaranya mempunyai usaha kecil seperti tahu dan tempe. Koperasi yang menaungi pelaku usaha kecil tahu dan tempe adalah KOPTI. KOPTI berdiri sejak Tahun 1979 di Jakarta yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan pengrajin tahu dan tempe dalam memperoleh kedelai dan menghasilkan tahu tempe yang baik.
13
KOPTI diharapkan mampu menjadi pusat pelayanan bagi anggota khususnya maupun masyarakat umum di wilayah kerja. KOPTI juga dimaksudkan untuk meningkatkan mutu tahu dan tempe yang dibuat oleh pengrajin anggota KOPTI tersebut, antara lain dibidang manajemen dan administrasi, bidang modal dalam bentuk bantuan kredit kepada pada pengusaha. Keberadaan KOPTI di Desa Cimanggu I memberikan kemudahan kepada pengusaha tempe pola kemitraan yang karena ketersediaan kedelai yang lebih pasti ketimbang ketersediaan kedelai bagi pengusaha pola mandiri yang disediakan oleh pasar.
2.3
Karakteristik Tempe
Tempe adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Rhizopus oligosporus, kegiatan fermentasi melibatkan tiga faktor pendukung yaitu, bahan baku yang diolah (kedelai), mikroorganisme (jamur tempe) dan lingkungan tumbuh. Proses pembuatan tempe yang terdiri atas perendaman, pencucian, pembilasan dan fermentasi secara akumultatif telah mampu menghancurkan zat gizi yang terdapat pada kedelai mentah. Teknologi tradisional dan relatif sederhana ini telah mampu menghancurkan zat anti gizi pada kedelai sekaligus menghasilkan zat gizi utama yang mampu memperbaiki mutu gizi kedelai (Winarno, 1993). Tempe merupakan makanan tradisional yang telah dikenal masyarakat Indonesia sejak dulu terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Produk ini berbahan baku utama kedelai dan merupakan hasil dari proses fermentasi. Terdapat tiga faktor pendukung dalam proses pembuatan tempe yaitu bahan baku yang diurai, mikroorganisme, dan keadaan lingkungan tumbuh. Bahan baku yang dimaksud yaitu keping-keping biji kedelai yang telah direbus, mikroorganisme berupa kapang tempe Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, dan yang terakhir yaitu keadaan lingkungan tumbuh seperti suhu 30° C, pH awal 6,8 serta kelembapan nisbi 70-80 % (Sarwono, 1994). Permintaan akan tempe ini dipastikan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya populasi penduduk di Indonesia, sehingga akan berpengaruh pula pada peingkatan produsen tempe yang ada di setiap daerah atau kota yang ada di
14
Indonesia guna memenuhi kebutuhan tempe yang ada di pasaran. Tingginya permintaan terhadap tempe tersebut merupakan sebuah peluang bisnis bagi para pelaku usaha tempe yang ada di Indonesia, sehingga akan memacu pada perilaku usaha yang efisien dalam produksi dan optimal dalam pendapatannya.
2.4
2.4.1
Jumlah Industri
Jumlah Industri Kecil di Indonesia Data Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada tahun 2003
memperlihatkan bahwa jumlah industri kecil di Indonesia sebanyak 42.326.519 unit yang terdiri dari 24.735.693 unit pada sektor pertanian, perikanan dan peternakan, 379.141 unit pada sektor pertambangan dan penggalian, 2.560.846 unit pada sektor industri pengolahan, 9.185 unit pada sektor listrik, gas dan air bersih, 170.359 unit pada sektor bangunan, 8.456 unit pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, 2.963.768 unit pada sektor pengangkutan dan komunikasi, 29.508 unit pada sektor keuangan, persewaan jasa perusahaan, dan 3.021.955 unit pada sektor jasajasa. Industri tempe termasuk dalam kategori industri pengolahan non migas. Data jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi tahun 1999 - 2004 Sektor
Tahun 1999
Tahun 2000
Tahun 2001
Tahun 2002
Pertanian, peternakan 23.174.579 23.516.865 24.012.534 24.619.874 dan perikanan Pertambangan, dan 132.617 150.495 199.382 285.752 Panggalian Industri, pengolahan 2.526.163 2.536.886 2.551.347 2.556.693 Listrik,gas dan air 4.492 3.868 4.372 8.099 bersih Bangunan 102.332 120.750 111.033 187.360 Perdagangan,hotel 8.688.215 8.675.045 8.477.380 8.466.650 dan restoran Pengangkutan dan 1.707.762 1.868.081 1.779.150 2.295.984 komunikasi Keuangan, perusahaan 24.143 25.034 25.667 27.392 perseroan, dan jasa 1.499.206 1.699.416 1.692.876 2.258.472 Jasa-jasa Jumlah 37.859.509 38.669.355 38..853.741 40.705.676 Sumber : Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Tahun 2004 (diolah)
Tahun 2003 24.735.693 379.141 2.560.846 9.185 170.359 8.456.064 2.963.768 29.508 3.021.955 42.326.519
15
2.4.2 Jumlah dan Sebaran Industri Tempe di Kabupaten Bogor Industri tempe umumnya merupakan sektor informal yang jumlahnya sulit diketahui secara pasti. Hanya sedikit industri tempe yang mendaftarkan usahanya ke Departemen Perindustrian. Akan tetapi kebanyakan industri tempe tercatat dalam keanggotaan KOPTI. Berdasarkan data yang diperoleh dari KOPTI Kabupaten Bogor tahun 2012 terdapat 1.373 penggrajin tempe yang tersebar di seluruh Kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor. Sedangkan di wilayah kotamadya terdapat 165 pengrajin tempe. Berbeda dengan Kabupaten Bogor, kotamadya Bogor mengalami penurunan jumlah pengrajin tempe sebesar 50%. Penurunan ini terjadi karena beberapa wilayah pelayanan yang dulu tergabung dalam KOPTI kotamadya Bogor sekarang berpindah ke KOPTI daerah masing-masing seperti Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Pengrajin tempe di Kabupaten Bogor tersebar kedalam 22 wilayah pelayanan. Setiap wilayah pelayanan dikepalai oleh seorang Kepala Wilayah Pelayanan (KWP) yang ditetapkan dari KOPTI. Wilayah pelayanan kedelai di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Penyebaran dan jumlah anggota KOPTI di Kabupaten Bogor No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Penyebaran Wilayah Ciseeng Parung Cibinong Citereup I Citereup II Bojonggede Sukaraja Ciawi Megamendung Caringin Cijeruk Tamansari Leuwiliang Ciampea Cibungbulang Jasinga Dramaga Cimanggu Cilrndek Depok I Depok II Sawangan I Sawangan II Cimanggis Jumlah Sumber : Kantor KOPTI Kabupaten Bogor 2012 ( Diolah )
Jumlah Anggota 101 106 105 115 82 49 45 23 65 50 39 62 34 20 19 37 84 68 111 77 17 64 1.373
16
2.5
2.5.1
Pendapatan
Analisis Pendapatan (Penerimaan-Biaya) Salah satu cara untuk mengukur manfaat pola kemitraan dibandingkan
dengan pola mandiri pada usaha tempe adalah dengan melihat perbedaan pendapatan yang di hasilakan dari penjualan tempe per kilo gram bahan baku kedelai. Pendapatan merupakan selisih dari nilai penerimaan terhadap nilai pengeluaran (biaya). Terdapat dua tujuan utama dari analisa pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan suatu unit usaha. Analisa pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur kegiatan usaha pada saat ini berhasil atau tidak. Penerimaan perusahaan bersumber dari pemasaran atau penjualan hasil usaha, seperti panen tanaman dan barang olahannya serta panen dari peternakan dan barang olahannya. Penerimaan bisa juga bersumber dari pembayaranpembayaran tagihan, bunga, dividen, pembayara dari pemerintah dan semua sumber lainnya yang menambah aset perusahaan. Semua hasil agribisnis yang dipakai untuk dikonsumsi keluarga pun harus dihitung dan dimasukkan sebagai penerimaan perusahaan walaupun akhirnya dipakai pemeilik perusahaan secara pribadi (Kadarsan, 1995). Hanafie (2010) menerangkan bahwa pendapatan terbagi menjadi dua yaitu pendapatan tunai dan pendapatan non tunai. Pendapatan tunai adalah pendapatan yang terhitung dari hasil perusahaan secara tunai. Contohnya adalah hasil penjualan tempe dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan untuk memproduksinya. Pendapatan non tunai adalah pendapatan yang tidak terhitung dari hasil perusahaan tidak tunai tetapi termasuk pendapatan. Contohnya adalah tempe hasil produksi yang dikonsumsi sendiri. Kadarsan (1995) menjelaskan bahwa Pendapatan adalah selisih antara penerimaan total perusahaan dengan pengeluaran. Untuk menganalisis pendapatan diperlukan dua keterangan pokok, yaitu keadaan pengeluaran dan penerimaan dalam jangka waktu tertentu.
17
2.5.2
Pendapatan Usaha Pendapatan adalah selisih antara penerimaan total perusahaan dengan
pengeluaran. Penerimaan tersebut bersumber dari hasil pemasaran atau penjualan hasil usaha, sedangkan pengeluaran merupakan total biaya yang digunakan selama proses produksi (Kadarsan, 1995). Usaha tani adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal dalam proses produksinya. Penerimaan total usahatani merupakan hasil produksi dikalikan dengan harga per satuan produksi tersebut, sedangkan pengeluaran total usahatani merupakan semua nilai yang dikeluarkan dalam melakukan proses produksi. Perbedaan antara penerimaan dan pengeluaran inilah yang disebut dengan pendapatan (Nicholson, 1995). Formulasi pendapatan usahatani yang lebih jelas, dapat dilihat sebagai berikut : π = TR – TC π = (Py · Y) – (Px · X) ...................................................................... (2.1) Keterangan: π
: Tingkat pendapatan usaha tempe (Rp)
TR
: Total penerimaan usaha tempe (Rp)
TC
: Total pengeluaran usaha tempe (Rp)
Py
: Harga output tempe (Rp)
Y
: Jumlah output tempe (ton)
Px
: Harga input tempe (Rp)
X
: Jumlah input (kg,liter, liter, HOK)
2.6
Struktur Biaya
Biaya produksi dibagi menjadi dua yaitu biaya-biaya yang berupa tunai, yaitu biaya yang digunakan untuk upah pekerja, pembelian bahan baku kedelai, ragi, gas, air, plastik, dan tenaga kerja. Selain itu ada juga biaya-biaya yang dibayarkan dalam bentuk in-natura, yaitu biaya-biaya penjualan, bagi hasil, sumbangan-sumbangan dan pajak.
18
Besar kecilnya biaya yang berupa uang tunai ini sangat mempengaruhi pengembangan usaha tempe. Terbatasnya uang tunai yang dimiliki pengusaha tempe sangat menentukan berhasil tidaknya perkembangan usaha tempe. Dalam jangka pendek, biaya produksi dikelompokkan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah semua jenis biaya yang nilainya tidak tergantung pada besar-kecilnya biaya produksi, sehingga jumlah biaya tetap adalah konstan. Contoh biaya tetap adalah lahan pabrik, drum, kompor gas, dan tempat pematangan tempe. Biaya variabel adalah semua jenis biaya yang nilainya tergantung pada besar-kecilnya biaya produksi. Contoh biaya tidak tetap adalah biaya-biaya untuk pembelian kedelai, ragi, plastik, gas, air, dan upah pekerja. Jumlah biaya variabel sama dengan jumlah faktor produksi variabel dikalikan dengan biaya faktor produksi.
2.7
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu menjadi masukan untuk kesempurnaan penelitian ini. Beberapa penelitian yang dapat dijadikan acuan pada penelitian ini antara lain penelitian Sari (2002), Latifah (2006), Purnama (2006), Lestari (2010) dan penelitian Ruswan (2012). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah dalam hal spesifikasi komoditas, sumber data, lokasi penelitian dan metode pengolahan data. Peneliti dalam penelitian ini menjelaskan karakteristik dari masing-masing pengusaha baik pola kemitraan maupun pola mandiri, menjelaskan variabel apa saja yang berpengaruh terhadap produksi tempe, dan efisiensi produksi dari kedua pola usaha tersebut. Selain itu peneliti juga membandingkan struktur biaya dan pendapatan yang diperoleh masingmasing pola pengusaha yang bisa menjadi pembeda antara kedua pola usaha tersebut, mana pola usaha yang paling baik untuk perkebangan usahanya dimasa mendatang serta mengungtungkan dari sudut pandang ekonomi. Tinjauan penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 5.
19
Tabel 5 Tinjauan penelitian penelitian terdahulu No
Nama Penulis
Judul Skripsi
HASIL
1) Pendapatan pengrajin tempe pada usaha skala besar dan kecil mempunyai nilai R/C rasio yang positif. 2) Output tempe pada skala besar lebih responsif terhadap perubahan pemakaian faktor-faktor produksi kedelai, ragi, tenaga kerja, dan plastik dibandingkan pada skala kecil. 3) Penggunaan faktor-faktor produksi pada industri tempe belum efisien karena nilai perbandingan rasio nilai produk marginal (NPM) dengan biaya korbanan marginal (BKM) tidak sama dengan satu. 1) Adanya kenaikan BBM, hasil produksi mengalami penurunan sebesar 12.9 persen 2) Penggunaan faktor-faktor dalam memproduksi tempe belum efisien baik sebelum kenaikan BBM maupun setelah kenaikan BBM kecuali bahan baku kedelai.
1.
Sari (2002)
Analisis Efisiensi dan Pendapatan Pengrajin Tempe Anggota KOPTI Kotamadya Bogor
2.
Latifah (2006)
3.
Purnama (2006)
Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Pendapatan Usaha Pengrajin Tempe di Kotamadya Bogor Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Industri Tahu
4.
Lestari (2010)
Analisis Produksi dan Pendapatan Usahatani Kangkung Anggota dan Non Anggota Kelompok Tani di Desa Bantarsari Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor
1) Model produksi yang diduga menunjukan bahwa jumlah nilai-nilai elastisitas dari parameter penjelas adalah sebesar 0.801 yang berarti produksi tahu berada pada skala kenaikan hasil yang menurun (decreasing return to scale). 2) Rasio NPM dan BKM faktor produksi kedelai dan tenaga kerja bernilai lebih dari satu yang berarti faktor-faktor produksi belum efisien dan perlu penambahan pemakaian faktor produksi untuk mencapai kondisi optimal 1) Keragaan usahatani dilihat dari luas lahan dan status kepemilikan lahan sebagian besar 0.11-0.3 ha per usahatani dan memiliki lahan dan menyewa sebesar 40 persen petani, sedangkan non anggota kelompok tani memiliki lahan sebagian besar 0.01-0.1 ha dan status kepemilikan lahannya 50 persen petani milik lahan sendiri dan 40 persen menyewa. 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kangkung untuk anggota kelompok tani adalah TKLK, luas lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kangkung non anggota kelompok tani adalah benih dan luas lahan.
20
5.
Ruswan (2012)
Analisis Pendapatan dan Produksi Usaha Kecil Tempe Anggota dan Non Anggota Primer Koperasi Produsen Tahu Dan Tempe Indonesia Tebet Barat Jakarta Selatan
3) Pendapatan usahatani bagi anggota kelompok tani sebesar Rp 698 615.42 per hektar usahatani bagi non anggota pendapatan usahatani sebesar Rp 3 870 441.41 per hektar. 1) Usaha kecil tempe anggota dan non anggota KOPTI yang memiliki pendapatan yang berbeda tergantung dari kualitas bahan baku kedelai yang digunakan yaitu kedelai tipe A dan tipe B. 2) Penggunaan faktor-faktor produksi usaha kecil tempe anggota KOPTI yang berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi tempe yaitu kedelai, dan tenaga kerja, untuk usaha kecil tempe non anggota penggunaan faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi tempe yaitu kedelai, dan ragi. 3) Penggunaan faktor-faktor produksi usaha kecil tempe anggota dan non anggota KOPTI belum efisien, ditunjukkan dengan rasio nilai NPM-BKM tidak sama dengan satu. Produksi rata-rata yang dihasilkan usaha kecil tempe anggota KOPTI pada kondisi aktual sebesar 85.00 kg per sekali produksi, apabila faktor produksi yang digunakan berada pada tingkat optimal maka akan menghasilkan produksi optimal sebesar 183.83 kg per sekali produksi.
21
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Operasional
Usaha tempe merupakan salah satu usaha yang banyak dilakukan oleh masyarakat baik skala kecil (rumah tangga) maupun skala besar industri yang fokus dalam memproduksi tempe. Salah satu upaya pemerintah untuk mengembangkan usaha tempe yang ada di Indonesia adalah dengan mengeluarkan program Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (KOPTI). Lembaga ini bertujuan membantu pengusaha tempe yang ada di seluruh Indonesia agar mampu menghasilkan produk tempe yang baik secara kualitas dan optimal secara kuantitas. Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri yang berada di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, dilihat dari sudut pandang karakteristik pengusaha, faktor yang mempengaruhi hasil produksi, serta perbandingan biaya dan pendapatan antara pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri. Baik pengusaha tempe pola kemitraan maupun pola mandiri sama-sama mengalami keterbatasan dalam memaksimumkan keuntungan sehingga perlu diketahui struktur biaya dan masing-masing kontribusi biaya tersebut. Pemahaman struktur biaya sangat penting karena berimplikasi pada pendapatan yang diterima oleh masing-masing pengusaha tempe baik pola kemitraan maupun pola mandiri. Pertama, pada struktur biaya akan dianalisis biaya tetap, biaya variabel dan unit cost masing-masing pengusaha tempe. Kedua, pada pendapatan akan dianalisis biaya tunai, biaya non-tunai dan pendapatan total. Pengukuran kelayakan usaha tempe diukur dengan cara menghitung perbandingan antara penerimaan total dengan biaya produksi total dari masing-masing pengusaha dengan menggunakan analisis R/C rasio. Selanjutnya adalah membandingakan pendapaatan yang diterima oleh pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dalam satu tahun dengan menggunakan analisis perbandingan. Adapun alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 1.
22
Kenaikan Populasi Penduduk di Indonesia
Tingginya angka konsumsi tempe di Indonesia khususnya di Kabupaten Bogor Pengusaha Tempe dan Permasalahan Keterediaan Kedelai serta Keterbatasan Pengetahuan Produksi KOPTI Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor
Anggota KOPTI (Pola Kemitraan)
Identifikasi Karakteristik Pengusaha Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Analisis Deskriptif)
Non Anggota KOPTI (Pola Mandiri)
Analisis Faktor Produksi Pertanian
Faktor-faktor Berpengaruh Terhadap Produksi Tempe
Analisis Struktur Biaya dan Pendapatan Industri Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
Perbandingan Struktur Biaya dan Pendapatan Industri Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
Pembinaan Pengusaha untuk Memperoleh Hasil Produksi Tempe yang Optimal Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional
23
METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten
Bogor
yang
dipilih
secara
sengaja
(purposive)
dengan
mempertimbangkan bahwa daerah ini terdapat sentra industri tempe yang terdapat wadah kerjasama dengan KOPTI. Pengumpulan data primer di lapangan dilaksanakan bulan November 2013.
4.2
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dimana peneliti mengambil data penelitian pada beberapa responden/sample yang mewakili populasi. Data yang dikumpulkan dan digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode observasi langsung ke lokasi penelitian dengan melakukan wawancara kepada para pengusaha tempe anggota KOPTI (Pengusaha Pola Kemitraan) dan Pengusaha non anggota KOPTI (Pengusaha Pola Mandiri). Wawancara tersebut dibantu dengan daftar-daftar pertanyaan berupa kuesioner tentang penelitian terkait.
4.3
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari dan wawancara secara langsung dengan pengusaha yang melakukan kegiatan usaha tempe dengan pola mandiri dan pola kemitraan dengan menggunakan kuesioner, serta wawancara secara mendalam (depth-interview) kepada informan, yaitu kepada pengurus KOPTI Desa Cimanggu I dan KOPTI Kabupaten Bogor. Data sekunder diperoleh dari studistudi literatur serta hasil-hasil penelitian, buku, internet, serta instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini seperti Kantor Pusat KOPTI Kabupaten Bogor, Kelurahan Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor dan instansi lainnya.
24
4.4
Metode Pengambilan dan Jumlah Responden / Sampel
Penentuan jumlah responden pada penelitian ini adalah dengan
cara
menggunakan sensus karena total jumlah pengusaha hanya 22 pengusaha. Total 22 pengusaha tempe tersebut adalah dari dua pola pengusaha tempe, yaitu dari pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri. Penggunaan metode sensus ini berlaku jika anggota populasi relatif kecil (Usman, 2009).
4.5
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data akan dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Minitab 15, dan program Microsoft Office Excel 2010. Matriks metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Matriks metode analisis data No. 1
2
3
Tujuan Penelitian Mengidentifikasi karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Menganalisis perbandingan struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.
Sumber Data Data primer melalui kuesioner dan wawancara dengan pengusaha tempe yang menjadi responden. Data primer melalui kuesioner dan wawancara dengan pengusaha tempe yang menjadi responden. Data primer melalui kuesioner dan wawancara dengan pengusaha tempe yang menjadi responden.
Metode Analisis Data Analisis Deskriptif
Analisis Struktur Biaya
Analisis Pendapatan
Sumber : Data penulis, 2012 (diolah)
4.5.1
Analisis Struktur Biaya Analisis struktur biaya dalam penelitian ini dibedakan menurut tipe
usahanya. Tipe usaha dibedakan menurut pola usaha masing-masing pengusaha, yaitu pola kemitraan dan pola mandiri yang dilihat secara keseluruhan. Biaya yang dikeluarkan dalam usaha tempe terdiri dari biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya tunai merupakan biaya yang dikeluarkan secara tunai dalam usaha tempe. Biaya tunai terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap yang
25
dikeluarkan adalah biaya tempat, serta alat-alat untuk pengolahan dan fermentasi tempe, sedangkan biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian bahan baku kedelai, ragi, gas, air, plastik, dan tenaga kerja keluarga serta tenaga kerja luar keluarga. Biaya tidak tunai merupakan biaya yang tidak dikeluarkan secara tunai, namun diperhitungkan dalam usaha tempe. Biaya tidak tunai yang diperhitungkan terdiri dari biaya-biaya penyusutan, seperti biaya penyusutan tempat, peralatan, dan tenaga kerja dalam keluarga.
4.5.2 Fungsi Produksi Menurut Kaunang (2006) Suatu kegiatan yang mengolah atau mengubah suatu bentuk barang menjadi bentuk yang lainnya, dikatakan sebagai kegiatan produksi. Barang-barang yang digunakan untuk memproduksi bentuk barang yang lain disebut sebagai input produksi, sedangkan barang-barang yang dihasilkan dari aktivitas produksi disebut sebagai output produksi (Hidayat, 2013). Fungsi produksi merupakan suatu fungsi yang menunjukkan hubungan teknis antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input) yang digunakan untuk melakukan produksi. Dikenal juga dengan istilah Factor Relationship (FR). Dalam bentuk matematika sederhana, hubungan ini dituliskan sebagai berikut: Y = f(x1, x2, x3, x4,) .......................................................................... (4.1) Keterangan: Y
: Hasil produksi tempe (kg)
x1
: Kedelai (kg)
x2
: Ragi (kg)
x3
: Air (liter)
x4
: Tenaga Kerja (HOK)
Berdasarkan persamaan tersebut, pengusaha dapat melakukan tindakan yang dapat meningkatkan produksi (Y) dengan dua cara, yaitu: 1. Menambah jumlah salah satu dari input yang digunakan. 2. Menambah jumlah beberapa input (lebih dari satu) dari input yang digunakan.
26
4.5.3
Konsep Produktivitas Pengertian produktivitas dikemukakan dengan menunjukkan rasio output
terhadap input. Input dapat mencakup biaya produksi dan peralatan. Sedangkan output bisa terdiri dari penjualan, pendapatan, market share, dan kerusakan. Produktivitas tidak sama dengan produksi, tetapi produksi merupakan komponen dari usaha produktivitas.3 Y Y* = L .................................................................. (4.2) Keterangan: Y*
: Produktivitas tempe siap jual (kg/kedelai)
Y
: Total produksi tempe (kg)
L
: Penggunaan kedelai (kg)
4.5.4
Fungsi Cobb-Douglas Manurut Soekartawi (2002) fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau
persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel (variabel bebas atau independent variable dan variabel tak bebas atau dependent variable). Secara matematik, fungsi Cobb-Douglas dapat dirumuskan sebagai berikut. Y = a X1b1X2b2X3b3X4b4eε ................................................................... (4.3) Keterangan: Y
: Produksi Tempe (kg)
a
: Intercept/konstanta
b1-b4
: Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas
X1
: Kedelai (kg)
X2
: Ragi (kg)
X3
: Air (Liter)
X4
: Tenaga Kerja (HOK)
e
: Logaritma natural, e = 2,718
ε
: Kesalahan (error) Untuk menaksir parameter-parameter pada persamaan (4.3) diatas,
persamaan tersebut harus ditransformasikan dalam bentuk double logaritme
3
http://file2shared.wordpress.com/analisis_produktivitas/ (diakses pada tanggal 1 maret 2012)
27
natural (ln) sehingga merupakan bentuk linear berganda (multiple linear) yang kemudian dianalisi dengan metode kuadrat terkecil (ordinary least square). Manurut Juanda (2009) model regresi berganda merupakan salah satu model yang terdapat dalam ilmu ekonometrika. Model ini mambahas asumsi bahwa peubah tak bebas atau (dependen) Y merupakan fungsi linear dari beberapa peubah bebas (independen) X1, X2, …, Xn, dan komponen sisaan ε (error). Model akan diuji berdasarkan hipotetsis yang diajukan. Sesudah melakukan pendugaan parameter koefisien regresi, kesesuaian model dengan kriteria statistik dapat dilakukan dengan melihat hasil uji F, uji t, dan koefisien determinan (R2). Berdasarkan persamaan (4.3) diatas, dapat diperoleh fungsi linear berganda sebagai berikut: Ln Y = Ln a + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + ε ......... (4.4) Keterangan: Y
: Produksi Tempe (kg)
a
: Intercept/konstanta
b1-b4
: Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas
X1
: Kedelai (kg)
X2
: Ragi (gram, kg)
X3
: Air (liter)
X4
: Tenaga Kerja (HOK)
ε
: Kesalahan (error) Menurut persamaan (4.4) diatas menunjukkan bahwa nilai b1, b2, b3, dan
b4 memiliki nilai tetap walaupun variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal ini dapat dimengerti karena b1, b2, b3, dan b4 pada fungsi Cobb-Douglas sekaligus menunjukkan elastisitas variabel bebas terhadap variabel tak bebasnya dalam model tersebut.
4.5.5 Pengujian Parameter Suatu model akan diuji berdasarkan hipotetsis yang diajukan. Pengujian hipotesis berdasarkan statistik bertujuan untuk melihat nyata atau tidaknya variabel-variabel bebas yang dipilih terhadap variabel tak bebas. Pengujian ini menggunakan nilai-P (P-value). Bedasarkan nilai-P, dapat diketahui berapa persen
28
variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel tak bebas. Setelah melakukan pendugaan parameter koefisien regresi, selanjutnya harus diuji terlebih dahulu asumsi-asumsi dari model regresi tersebut sebelum melakukan pengujian model secara keseluruhan (uji-F) dan pengujian mengenai masing-masing koefisien regresi (uji-t) (Sapta, 2009).
4.5.6
Uji Koefisien Determinasi Dalam hal hubungan dua atau lebih variabel, koefisien determinasi (r 2)
mengukur tingkat ketepatan/kecocokan (goodness of fit) dari regresi linear sederhana, yaitu merupakan presentase sumbangan X terhadap variasi (naikturunnya) Y. Pengertian tersebut dapat diperluas untuk regresi linear berganda. Pada regresi linera berganda, besarnya persentase sumbangan X terhadap variasi Y disebut koefisien determinasi berganda (multiple coefficient of correlation) dengan simbol R2 (Firdaus, 2004). R2 =
Jumlah Kuadrat Regresi (JKR) Jumlah Kuadrat Total (JKT)
...................................... (4.5)
Seperti halnya r2 maka R2 nilainya antara nol dan satu: 0 ≤ R2 ≤ 1.
4.5.7
Uji Statistik F Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variabel
bebas (independen) secara bersama-sama terhadap variabel tak bebasnya (dependen). Formula pengujiannya adalah sebagai berikut: H0 : β1 = β2 = β3 = …. = βk = 0 H1 : β1 = β2 = β3 = …. = βk ≠ 0 KTR Fhit = KTG ..................................................................................... (4.6) Keterangan: KTR
: Kuadrat tengah regresi
KTG : Kuadrat tengah galat
Jika F < Fhit Tabel, maka H0 diterima, artinya variabel bebas secara serentak tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya.
29
Jika F > Fhit Tabel, maka H0 ditolak, artinya variabel bebas secara serentak berpengaruh nyata terhapad variabel tidak bebasnya.
4.5.8 Uji Statistik t Tujuan dari melakukan Uji statistik t adalah untuk mengetahui seberapa besar masing-masing variable bebas (independen) mempengaruhi variable tak bebasnya (dependen). Prosedur cara pengujiannya adalah sebagai berikut: b-B Se(b)
thitung =
....................................................................... (4.7)
Nilai t-hitung yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan t Tabel. Jika t < tα/2 atau t > tα/2, tolak H0. Jika - tα/2 ≤ t ≤ tα/2, terima H0, dengan asumsi: H0 : βi = 0, artinya variabel bebas (independen) tidak berpengaruh nyata terhadap variable tak bebasnya (dependen). H1 : βi ≠ 0, artinya variabel bebas (independen) berpengaruh nyata terhadap variable tak bebasnya.
4.5.9 Uji Kolinearitas Ganda (Multicollinearity) Salah satu asumsi dari model regresi ganda adalah bahwa tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah bebas (independen) dalam model tersebut. Jika hubungan tersebut ada, maka dapat dikatakan bahwa dalam model tersebut terdapat multikolinearitas. Deteksi adanya multikolinearitas dalam sebuah model dapat dilakukan dengan membadingkan besarnya nilai koefisien determinasi (R2) dengan koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas (r2). Kolinear ganda dapat dianggap tidak masalah apabila koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas tidak melebihi nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua peubah secara simultan. Namun multikolinearitas dianggap sebagai masalah serius jika koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas melebihi atau sama dengan nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua peubah secara simultan (Juanda, 2009).
1 VIF =
1 – Rj2
............................................................................. (4.8)
30
Keterangan : VIF
: Variance Inflation Factor
Rj2
: Koefisien determinasi Masalah multicollinearity juga dapat dilihat langsung melalui output
komputer, dimana jika nilai VIF < 10 maka tidak ada masalah multicollinearity.
4.5.10 Uji Heteroskedastisitas Menurut Supranto (2004) salah satu asumsi yang penting dalam model regresi linear klasik adalah bahwa kesalahan pengganggu ε i mempunyai varian yang sama, artinya Var (εi) = E(εi2) = σ2 untuk semua i, i = 1, 2, …n. Asumsi ini disebut sebagai homoskedastisitas (homoscedastic). Menurut Firdaus (2004) model yang tidak memenuhi asumsi tersebut dapat dikatakan memiliki penyimpangan. Penyimpangan terhadap faktor pengganggu sedemikian itu disebut dengan heteroskedastisitas (heteroscedasticity), dapat dilihat statistik ujinya adalah sebagai berikut :
Fhit =
JKR1 ..................................................................................... (4.9) JKR2
Keterangan:
Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh pertama dikonotasikan (JKR1).
Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh kedua dikonotasikan (JKR2) Jika tidak ada masalah heteroskedastisitas maka nilai F-hitung akan
menuju 1. Masalah heteroskedastisitas masih dapat ditolerir jika F-hitung < F table dengan derajat bebas v1 = v2 = (n-c-2k)/2 dimana n adalah jumlah contoh, c adalah jumlah contoh pemisah, dan k adalah jumlah parameter yang diduga.
4.5.11 Analisis Pendapatan Nicholson (1995) menyatakan bahwa usaha adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal dalam proses produksinya. Penerimaan total usaha merupakan hasil produksi dikalikan dengan harga per satuan produksi tersebut. Sedangkan pengeluaran total usaha merupakan semua nilai yang dikeluarkan
31
dalam melakukan proses produksi. Perbedaan antara penerimaan dan pengeluaran inilah yang disebut dengan pendapatan. Secara matematis formulasi pendapatan usahatani dapat dilihat sebagai berikut. π = TR - TC = (Py · Y) – (Px · X) ..................................................... (4.10) Keterangan: π
: Tingkat pendapatan usaha (Rp)
TR
: Total penerimaan usaha (Rp)
TC
: Total pengeluaran usaha (Rp)
Py
: Harga persatuan produksi tempe (Rp)
Y
: Jumlah produksi tempe (kg)
Px
: Harga input (Rp)
X
: Jumlah input (kg, kg, liter, HOK) Analisis ini meliputi komponen penerimaan dan biaya yang digunakan
untuk menganalisis pendapatan yang diperoleh pengusaha tempe. Analisis pendapatan dihitung berdasarkan selisih antara penerimaan total (TR) dengan biaya total (TC). Menurut Soekartawi (1995) rumus yang digunakan untuk menganaisis pendapatan adalah sebagai berikut : total
∑
tidak tunai
+∑
tunai
tidak tunai tunai
Dimana, total
= Pendapatan total usaha tempe (Rp)
tidak tunai
= Pendapatan tidak tunai usaha tempe (Rp)
tunai
= Pendapatan tunai usaha tempe (Rp)
32
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1
Profil Desa Cimanggu I
Desa Cimanggu I adalah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Desa yang terdiri dari tiga Dusun dan sembilan Rukun Warga ini, terbagi atas empat Kampung yaitu Cimanggu, Ciaruteun, Bojong Galeuh, dan Jatake, dipimpin oleh Kepala Desa Bapak Hamdani dengan dibantu seorang Sekretaris Desa Bapak Noerhasan. Luas wilayah Desa Cimanggu I mencapai 170 Ha yang terbagi menjadi 3 wilayah Kekadusan, yaitu: Kadus I, II dan III, Adapun batas wilayah Desa Cimanggu I adalah :
Sebelah Utara
: Desa Cijujung
Sebelah Selatan
: Desa Cimanggu II
Sebelah Barat
: Desa Leuweung Kolot
Sebelah Timur
: Desa Cimanggu II
Pada umumnya wilayah Desa Cimanggu I berdasarkan ketinggian dari permukaan laut (dpl), Desa Cimanggu I berada di ketinggian antara 460 m dpl. Seperti halnya dengan daerah lain yang terdapat di Jawa Barat, wilayah Desa Cimanggu I juga beriklim tropis yang ditandai dengan dua musim, yaitu musim panas dan musim penghujan. Musim penghujan berlangsung antara bulan Oktober-Pebruari, dengan tingkat curah hujan rata-rata berkisar 1000 hingga 2000 mm/tahun dengan hari hujan sebanyak 100 – 200 hari/tahun. Sedangkan musim panas atau kemarau berlangsung antara bulan Maret-Agustus. Suhu udara di Desa Cimanggu I pada pagi hari berkisar antara 18 – 23 C, sedangkan pada siang hari suhu udara berkisar antara 27 – 35 C, dengan kelembaban udara ratarata 80%. Desa Cimanggu I dilalui 1 (Satu) buah sungai besar, yaitu Sungai Ciaruteun dengan arah aliran menuju ke utara dan bermuara di Sungai Cisadane. Pola penggunaan lahan yang terdapat di Desa Cimanggu I pada umumnya masih berupa tegalan dan persawahan yang terdapat disemua wilayah Kekadusan yang ada di Desa Cimanggu I, sedangkan untuk daerah permukiman penduduk sebagian besar berada di wilayah 3 Kekadusan yaitu di wilayah Kekadusan I, II dan III, Selain itu juga penggunaan lahan di Desa Cimanggu I, berupa lahan
33
terbagun (fasilitas pertokoan, peribadatan dan pendidikan) yang berada di sekitar Jalan Ciaruteun Gardu Seri-Jatake Desa CimangguI. Sebaran
penduduk
merupakan
salah
satu
indikator
yang dapat
menunjukkan kemajuan suatu wilayah. Desa Cimanggu I, sebaran penduduk paling besar berada di Kekadusan I (Satu) Hal ini disebabkan karena di kawasan tersebut, telah terdapat beberapa sarana dan prasana yang memadai. Jumlah penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan Profil Desa pada tahun 2011 setelah terjadinya pemekaran Desa sebesar 9.523 Jiwa (perempuan sebesar 4.720 jiwa dan laki-laki sebesar 4.803 jiwa) Dengan Jumlah KK sebesar 2.550. Kepadatan penduduk di wilayah ini adalah kepadatan kasar (brutto) yang merupakan suatu perbandingan
antara
jumlah
penduduk
dengan
luas
wilayah.
Kepadatan penduduk rata-rata di Desa Cimanggu I pada tahun 2011 sebesar 29 jiwa/km. Kegiatan penduduk di Desa Cimanggu I didominasi oleh Petani sebesar 1.474 jiwa (15%), Buruh Tani sebesar 2521 jiwa (26%) dan Petani Penggarap sebesar 639 jiwa (6%). Hal ini menggambarkan bahwa pada umumnya sektor pertanian lebih besar dapat menampung tenaga kerja dan memiliki peluang lebih besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya.Sebaran penduduk Desa CImanggu I berdasarkan matap encaharian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran jumlah penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan pencaharian No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah
Pendidikan Petani Buruh Tani PNS TNI / POLRI Karyawan Swasta Pensiunan Jasa Tukang Petani Penggarap
Jumlah (jiwa)
Presentase (%)
1474 2521 17 8 211 7 331 43 630 5242
28 48 1 6 4 0 0 1 12 100
mata
Sumber: Kelurahan Desa Cimanggu I (2011)
Berdasarkan Tabel 7 tingkat pendidikan penduduk di Desa Cimanggu I, sebagian besar merupakan lulusan SD/sederajat sebanyak 624 jiwa, lulusan
34
SLTP/sederajat sebanyak 129 jiwa, lulusan SLTA/Sederajat sebanyak 109 jiwa, lulusan D-3/S1 sebanyak 25 jiwa Jika dilihat dari tingkat pendidikan tersebut, masyarakat Desa Cimanggu I pada umumnya lebih dapat memiliki peluang untuk dapat bekerja pada sektor-sektor strategis. Namun dengan keterbatasan peluang kerja dan minimnya lapangan pekerjaan, maka sebagian penduduknya lebih dapat hanya sebagai buruh tani, petani maupun pedagang. Namun perlu di perhatikan juga, dimana angka Buta Huruf pada saat ini masih cukup besar sebanyak 564 jiwa dan tidak tamat sekolah sebesar 878 jiwa. Sebaran penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Jumlah
Sebaran jumlah penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan mata tingkat pendidikan Pendidikan Buta Huruf Tidak Tamat SD Tamat SD / Sederajat Tamat SLTP / Sederajat Tamat SLTA / Sederajat D1 D2 D3 S1 S2 Doktor
Jumlah (jiwa)
Presentase (%)
564 878 624 129 109 0 0 11 17 0 0 2332
32 18 35 7 6 0 0 1 1 0 0 100
Sumber: Kelurahan Desa Cimanggu I (2011)
Berdasarkan Tabel 8 usia produktif (usia 15 s/d 46 tahun) penduduk di Desa Cimanggu I sebanyak 6.375 jiwa (65%). Berdasarkan hal tersebut maka Desa Cimanggu I memiliki potensi yang cukup besar dalam upaya mendongkrak peningkatan ekonomi keluarga. Namun dengan keterbatasan peluang kerja, minimnya lapangan pekerjaan serta keterampilan dari masyarakat yang masih relitif rendah, maka sebagian penduduknya lebih banyak hanya sebagai buruh tani, petani maupun pedagang.
35
HASIL DAN PEMBAHSAN
6.1
Identifikasi Karakteristik Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri Identifikasi karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola
mandiri berdasarkan karakteristik sosial ekonomi, karakteristik usaha tempe, dan karakteristik pemasaran. Identifikasi ini dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perbedaan sesial ekoomi, usaha tempe, dan wilayah pemasaran yang dijadikan tempat penjualan hasil produksi tempe.
6.1.1
Karakteristik Sosial Ekonomi Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri Pengusaha responden dalam penelitian ini yaitu pengusaha tempe yang
tergabung dalam anggota kemitraan KOPTI dan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Karakteristik sosial ekonomi pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri dapat dianalisis dalam beberapa kriteria yaitu meliputi usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan pengusaha tempe, dan pengalaman usaha tempe.
6.1.1.1 Usia Aspek usia mempengaruhi responden pada kondisi fisiknya. Usia pengusaha tempe yang sudah tua akan sedikit lambat dalam bekerja karena kondisi fisik yang tidak lagi kuat akan berpengaruh terhadap kecepatan dalam memproduksi tempe, disamping itu konsentrasi dan semangat juga sudah mulai menurun, sehingga efisiensi waktu dalam bekerja menjadi turun. Sedangkan pengusaha tempe yang lebih muda memiliki tenaga yang lebih baik dibandingkan dengan pengusaha yang lebih tua, sehingga yang lebih muda dapat bekerja dengan waktu yang lebih efisien. Sebaran jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 9.
36
Tabel 9
Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan sebaran usia Pola Kemitraan
Sebaran Usia
Pola Mandiri
Jumlah
Presentase (%)
Jumlah
Presentase (%)
20-25
1
8
0
0
25-30 30-35 35-40 40-50 Jumlah
0 1 3 7 12
0 8 25 59 100
0 2 1 7 10
0 20 10 70 100
Berdasarkan Tabel 9, dapat dilihat bahwa sebaran usia pengusaha tempe pola kemitraan Desa Cimanggu I cukup bervariasi dengan selang usia antara 2050 tahun. Begitupun dengan sebaran usia pengusaha tempe pola mandiri , petani yang memiliki usia paling muda adalah berumur 20-25 tahun dan usia paling tua adalah berumur 40-50 tahun. Sebaran usia pengusaha tempe pola kemitraan Desa Cimanggu I dengan persentase terbesar berada pada range usia 40-50 tahun dengan nilai 59%, sedangkan persentase terendah berada pada range usia 20-30 tahun dengan nilai persentase 8%. Hal ini dikarenakan beberapa dari warga Desa Cimanggu I menjadikan sektor usaha tempe bukan sebagai mata pencaharian pokok di usia produktif mereka, sehingga di usia produktif mereka lebih memilih sektor usaha lain ketimbang menggeluti usaha tempe yang turun temurun. Sedangkan pengusaha tempe pola Mandiri memiliki sebaran usia pengusaha tempe tertinggi pada range usia 40-50 tahun dengan nilai persentase sebesar 70%. Sedangkan sebaran usia terendah berada pada range usia 20-30 tahun dengan nilai sebesar 0%. Hal ini dikarenakan warga Desa Cimanggu I pada usia produktif tidak memilih menjadikan usaha tempe sebagai pencaharian utama sehingga jumlah pengusaha tempe yang relatif muda jarang ada yang menekuni usaha tempe ini. Hal lain adalah ingin berusaha memperbaiki kehidupan dengan sektor usaha berbeda yang lebih baik dari usaha keluarga saat ini. 6.1.1.2 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan responden akan berpengaruh terhadap tingkat penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan dalam pengelolaan usaha tempe. Responden penelitian ini sebagian besar telah mendapatkan
37
pendidikan formal, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Akhir (SMA), hingga tingkat Perguruan Tinggi (PT). Sebaran pengusaha tempe responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri tingkat pendidikan Pola Kemitraan
Status Pendidikan
berdasarkan
Pola Mandiri
Jumlah
Presentase (%)
Jumlah
Presentase (%)
Tidak tamat SD SD
1 6
8 50
0 7
0 70
SMP SMA Jumlah
5 0 12
42 0 100
3 0 10
30 0 100
Berdasarkan data pada Tabel 10 menunjukkan sebaran tingkat pendidikan yang ditempuh oleh pengusah tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I. Persentase tertinggi sebanyak 50% dari total pengusaha tempe pola kemitraan Desa Cimanggu I merupakan pengusaha dengan tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD). Sedangkan persentase terendah sebesar 0% dari total petani responden merupakan petani dengan tingkat pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal yang hampir sama terjadi pada pengusaha tempe pola mandiri, petani dengan tingkat pendidikan terakhir SD menjadi persentase tertinggi yaitu sebesar 70%. Sedangkan persentase terendah yaitu petani dengan tingkat pendidikan terakhir SMA dan Tidak Tamat SD dengan nilai masingmasing sebesar 0%. Pola pendidikan yang dijalani oleh pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I sangat rendah, sehingga banyak dari masyarakat Desa Cimanggu I hanya menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SD. Hal ini mengakibatkan tingkat penyerapan teknologi dalam mengembangkan usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri sangat rendah. 6.1.1.3 Pengalaman Usaha Tempe Keberhasilan
suatu
usaha
tempe
responden
tidak
terlepas
dari
pengalamannya dalam mengelola usahanya. Semakin lama seorang pengusaha berwirausaha dalam bidang usaha tempe, maka semakin banyak pula pengalaman
38
usaha yang dimiliki oleh pengusaha dalam mengelola usahanya agar menjadi lebih baik. Tabel 11 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan mandiri berdasarkan pengalaman usaha Pengalaman Usaha
Pola Kemitraan
Pola Mandiri
Jumlah
Presentase (%)
Jumlah
Presentase (%)
0-5 5-10 10-15 15-20 20-25
2 0 2 0 8
17 0 17 0 66
0 1 1 1 7
0 10 10 10 70
Jumlah
12
100
10
100
Berdasarkan data pada Tabel 11 pengalaman usaha tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I beragam, dengan pengalaman paling rendah yaitu 0-5 tahun dan pengalaman paling lama yaitu 20-25 tahun. Begitupun pengalaman usaha tempe Pola Mandiri Desa Cimanggu I, pengalaman usaha tempe paling rendah yaitu 5-10 tahun dan pengalaman paling lama yaitu 20-25 tahun. Tabel
11
menunjukkan bahwa pengalaman usaha tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I sebagian besar (66%) berkisar pada 20-25 tahun, sedangkan pengusaha dengan pengalaman usaha 0-5 tahun merupakan range pengalaman usaha terendah (17%). Begitupun dengan pengusaha tempe pola mandiri, pengusaha tempe pola mandiri sebagian besar pegusahanya telah berpengalaman dalam usahatani selama 20-25 tahun, sedangkan petani dengan pengalaman 0-5 tahun menjadi range pengalaman usahatani terendah. Pengalaman usaha merupakan salah satu indikator keberhasilah suatu usaha, dimana dengan semakin lama pengalaman seorang pengusaha dalam mengelola ushanya, maka diharapkan produksi tempe akan lebih baik dan meningkat. Hal ini dikarenakan semakin lama pengalamana seorang pengusaha tempe dalam mengelola usahanya semakin banyak pula ilmu yang dimiliki yang akan berguna untuk dapat meningkatkan hasil produksi tempe dalam uahanya. 6.2
Karakteristik Ekonomi Pengusaha Pola Kemitraan dan Pola Mandiri Dalam melakukan usahanya baik pengusaha tempe pola kemitraan
maupun pengusaha pola mandiri memiliki karakteristik khas masing-masing dan memiliki cara sendiri dalam menjalankan usahanya. Mulai dari penggunaan bahan
39
baku, sumber bahan baku dan kualitas, proses produksi, wilayah pemasaran, serta sumber modal awal yang digunakan ketika memulai usahanya, adapun hasil output produksi dari kedua pola usaha ini adalah hanya menghasilkan tempe saja dan tidak menghasilkan output yang lain. Secara spesifik karakteristik umum pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Karakteristik Ekomomi pengusaha tempe pola kemitran dan pola mandiri Karakteristik Umum Input Sumber Input / kualitas
Pola Kemitraan
Pola Mandiri Kedelai Non Koperasi / Impor, pengusaha pola mandiri tidak mendapataka n jaminan dalam kemudaha memperoleh kedelai karena tidak disediakan oleh koperasi
Output Pemasaran
Kedelai Koperasi / Impor, pengusaha pola kemitraan mendapatkan jaminan kemudahan memperoleh kedelai karena disediakan oleh koperasi Menggunakan cara Tradisional yang sudah turun temurun sejak lama dan tidak mengikuti anjuran penyuluhan dari KOPTI Tempe Pasar Ciampea
Sumber Modal Awal
Modal Pribadi
Proses Produksi
Menggunakan anjuran dari KOPTI dan meninggalkan tradisi yang turun temurun sejak lama Tempe Desa-desa dalam Kecamatan Cibungbulang Modal Pribadi dan Patungan
Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 12 menunjukan bahwa input yang digunakan oleh pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri adalah sama menggunakan kedelai sebaga bahan baku utamanya. Pengusaha pola kemitaan memperoleh bahan baku tersebut dari koperasi yang ada di daerah Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang. Sedangkan pengusaha pola mandiri memperoleh bahan baku dari non koperasi / pedagang biasa yang ada di pasaran. Jenis kedelai yang digunakan oleh pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri adalah jenis kedelai impor. Keduanya sama-sama menggunakan kedelai jenis impor daripada kedelai lokal, dikarenakan kedelai impor memiliki kualitas lebih baik serta ketersediaannya yang relatif stabil dibadingkan dengan kedelai lokal. Dalam melakukan proses produksi tempenya pengusaha pola kemitraan menggunakan cara tradisional yang sejak lama telah mereka gunakan. Sedangkan pengusaha pola mandiri menggunakan cara terbaru yaitu cara-cara yang diajarkan oleh penyuluh-penyuluh KOPTI Kabupaten Bogor. Jika melihat dari status keanggotaan seharusnya pengusaha pola kemitraan menggunakan cara yang
40
dianjurkan oleh KOPTI Kabupaten Bogor, akan tetapi pengusaha pola kemitraan kurang menyakini cara-cara yang dianjurkan oleh KOPTI sehingga daripada menggunakan cara yang dianjurkan pengusaha pola kemitraan lebih memilih menggunakan cara yang biasa digunakan sejak lama. Sedangkan pengusaha pola mandiri justru menggunakan cara-cara produksi yang disosialisasikan oleh KOPTI Kabupaten Bogor. Pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dalam melakukan usaha ini hanya menghasilkan output tempe, baik pengusaha pola kemitraan maupun pola mandiri sama-sama tidak menghasilkan produk turuan lain dari kedelai, seperti tahu atau oncom. Tempe yang dihasilkan dari proses prduksi tersebut selanjutnya dipasarkan ke wilayah di dalam Kecamatan Cibungbuulang dan daerah terdekat dari Kecamatan Cibungbulang. Berdasarkan Tabel di atas menjelaskan bahwa pengusaha pola kemitraan menjual produk tempenya di Pasar Ciampe Kabupaten Bogor, sedangkan pengusaha pola mandiri menjual produknya ke wilayah desa yang ada di kawasan Kecamatan Cibungbulang. Hal ini dikarenakan antara pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri telah memiliki pelanggan tempe masing-masing di setiap tempat pemasaran. 6.3
Karakteristik Produksi Pengusaha Pola Kemitraan dan Pola Mandiri Suatu kegiatan produksi akan menghasilkan output yang optimal jika
proses produksi yang dilakukan mengguanakan langkah-langkah yang benar secara teori keilmuan. Begitu pula dengan produksi tempe di kedua pola pengusaha yang ada di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang, dalam melakukan proses produksinya kedua pelaku usaha memiliki cara yang berbeda. Perbandingan proses produksi pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang dapat dillihat pada Tabel 13.
41
Tabel 13 Karakteristik produksi pengusaha tempe pola kemitran dan pola mandiri Pengusaha Pola Kemitraan Mencuci kedelai sampai bersih menggunakan air yang bersih. 2. Merendam Kedelai yang telah dicuci bersih selama 30-40 menit. 3. Merebus kedelai yang telah direndam selama 1-1.5 jam. 4. Meniriskan lalu merendam kedelai yang telah direbus untuk menghilangkan kandungan asam yang ada pada tempe selama 12-18 jam. 5. Memasukan kedelai yang telah ditiriskan kedalam mesin pemecah kulit kedelai agar kulit ari kedelai tersebut mengelupas. 6. Melakukan pencucian kedelai yang telah mengalami pemecahan kulit ari. 7. Pencucian kedelai dilakukan sebanyak satu kali pencucian. 8. Melakukan peragian secara merata terhadap tempe yang telah dicuci bersih dan membiarkannya merata selama 1520 menit. 9. Memasukan kedelai yang telah mengalami peragian kedalam plastik pembungkus yang telah diberikan lubang angin dengan jarak yang tidak beraturan. 10. Menata kedelai yang telah dibungkus kedalam rak fermentasi. 11. Proses fermentasi selama 1 malam. 12. Tempe siap jual. 1.
Pengusaha Pola Mandiri Mencuci kedelai sampai bersih menggunakan air yang bersih. 2. Merendam Kedelai yang telah dicuci bersih selama 1 jam. 3. Merebus kedelai yang telah direndam selama 2 jam. 4. Meniriskan lalu merendam kembali kedelai yang telah direbus untuk menghilangkan kandungan asam yang ada pada tempe selama 24 jam. 5. Memasukan kedelai yang telah ditiriskan kedalam mesin pemecah kulit kedelai agar kulit ari kedelai tersebut mengelupas. 6. Melakukan pencucian kedelai yang telah mengalami pemecahan kulit ari. 7. Pencucian kedelai dilakukan sebanyak dua kali pencucian. 8. Melakukan peragian secara merata terhadap tempe yang telah dicuci bersih dan membiarkannya merata selama 10 menit. 9. Memasukan kedelai yang telah mengalami peragian kedalam plastik pembungkus yang telah diberikan lubang angin dengan jarak 2 cm per lubang. 10. Menata kedelai yang telah dibungkus kedalam rak fermentasi. 11. Proses fermentasi selama 1 malam. 12. Tempe siap jual. 1.
Berdasarkan data pada Tabel 13 menunjukan bahwa ada beberapa perbedaan pada proses produksi kedua pengusaha. Pengusaha pola kemitraan yang menggunakan cara tradisional merendam kedelai sebelum direbus selama 30-40 menit. Sedangkan pengusaha pola mandiri merendam kedelai sebelum direbus selama 1 jam mengikuti anjuran dari KOPTI Kabupaten Bogor. Pencucin kedelai dilakukan untuk membersihkan kotoran yang masih menempel pada kedelai dan juga untuk menghasilkn kedelai yang lebih remah dan mekar. Pengusaha tempe pola kemitraan melakukan perebusan kedelai selama 1-1,5 jam sedangkan pengusaha pola mandiri merebus kedelainya selama 2 jam sesuai anjuran KOPTI. Perebusan ini dilakukan untuk menghasilkan kedelai yang remah dan mengembang yang siap olah serta membuat kulit ari kedelai mudah mengelupas. Langkah selanjutnya adalah meniriskan kedelai yang telah direbus
42
lalu direndam kembali. Perendaman yang dilakukan oleh pengusaha pola kemitraan adalah selama 12-18 jam sedangkan perendaman yang dilakukan oleh pengusaha pola mandiri adalah selama 24 jam. Perendaman ini dilakukan untuk menghilangkan zat asam yang ada pada tempe hasil rebusan. Setelah kedelai selesai direndam selanjutnya kedelai tersebut dicuci kembali supaya kulit ari kedelai benar-benat lepas dari kedelai. Pengusaha kemitraan melakukan pencucian kedelai yang telah direndam selama satu kali saja, sedangkan pengusaha pola mandiri melakukan pencucian selama dua kali karena dengan mencuci dua kali akan menghasilkan pencucian yang lebih bersih, dan cara ini adalah cara yang dianjurkan oleh KOPTI Kabupaten Bogor. Setelah pencucian selanjutnya adalah melakukan peragian terhadap tempe yang akan dimasukan kedalam plastik. Pergaian ini dilakukan secara merata terhadap tempe yang telah disimpan rata di wadah peragian. Pengusaha pola kemitraan melakukan peragian selama 15-20 menit lamanya, sedangkan pengusaha pola mandiri melakukan peragian selama 10 menit. Peragian ini harus benar-benar tepat karena proses peragian ini adalah penanaman mikroba hidup yang akan tumbuh selama proses fermentasi. Setalah proses peragian selanjutnya adalah memasukan kedelai tersebut kedalam plastik sesuai dengan takaran yang disiapkan. Plastik yang digunakan untuk membungkus tempe ini adalah plastik yang sebelumnya telah diberikan lubang lubang. Tujuan dari pelubangan ini adalah untuk memberikan lubang udara yang akan membantu kesempurnaa proses fermentasi. Pelubangan terhadap plastik yang dilakukan oleh pengusaha pola kemitraan adalah dengan jarak lubang yang tidak beraturan, sedangkan pengusaha pola mandiri memberikan lubang di plastiknya dengan jarak yang rapi yaitu 2 cm tiap lubang sesuai dengan arahan dari KOPTI Kabupaten Bogor. Tempe yang dihasilkan oleh pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I telah melalui tahapan proses produksi yang dijelskan pada Gambar 2.
43
Kedelai
Pencucian Kedelai
Peredaman Kedelai
Perebusan Kedelai Penirisan Kedelai
Pemecahan Kedelai Dalam Mesin Pemecah
Pencucian Kedelai Setelah Pemecahan
Peragian Kedelai
Pembungkusan Kedelai Setelah Peragian
Fermentasi Kedelai
Tempe
Gambar 2. Tahapan Proses Produksi Tempe di Desa Cimanggu I.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tempe Pola Mandiri dan Pola Kemitraan
6.4.1
Karakteristik Input Produksi Input produksi yang akan dianalis dalam penelitian ini adalah kedelai, ragi,
gas, dan air. Input ini kemudian akan dicari tahu seberapa besar pengaruhnya
44
terhadap output tempe yang dihasilkan. Sehinga dalam penelitian ini faktor produksi yang dianalisis yaitu kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja. 6.4.1.1 Kedelai Kedelai merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam suatu usaha tempe. Hasil produksi usaha tempe akan baik jika menggunakan bahan baku kedelai yang memiliki kualitas baik disertai dengan pola dan cara produksi yang tepat. Jenis kedelai yang digunakan oleh pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri sama yaitu kedelai hasil impor. Namun berbeda sumber bahan bakunya pengusaha tempe pola kemitraan memperolehnya dari koperasi, sedangkan pengusaha tempe pola mandiri memperoleh bahan bakunya dari pedagang / pasar. Tabel 15 menunjukan penggunaan bahan baku kedelai sebagai faktor produksi usaha tempe di Desa Cimanggu I. Secara rinci, penggunaan kedelai untuk kedua pengusaha tempe dapat dilihat pada Tabel 14 dan Lampiran 2. Tabel 14 Perbandingan penggunaan kedelai pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri Kategori Pengusaha Pola Kemitraan Pola Mandiri
Rata-rata Penggunaan Kedelai (kg/hari) 71,25 72,50
Harga Ratarata (Rp/Kg)
Nilai (Rp/hari)
Nilai ( Rp/tahun)
9.291,67 9.070,00
659.333,33 656.250,00
239.338.000,00 238.218.750,00
Berdasarkan Tabel 14 penggunaan kedelai total rata-rata yang digunakan oleh pengusaha tempe pola kemitraan di Desa CImanggu I setiap harinya yaitu 71,25 kg dengan harga beli kedelai seharga Rp 9.291,67/kg. Sedangkan pengusaha tempe pola mandiri menggunakan kedelai sebanyak 72,50 kg/hari dengan harga beli kedelai seharga Rp 9.070,00/kg. Penggunaan kedelai tersebut hampir sama baik pengusaha pola kemitraan maupun pola mandiri dikarenakan kapasitas produksi dari mereka yang tidak terlalu besar setiap harinya, yaitu berkisar antara 50-100 kg/hari. Kedua pola pengusaha ini merupakan industri tempe yang skalanya masih skala industri rumahan yang mana penggunaan input bahan baku kedelai yang sedikit serta menggunakan mayoritas Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan hanya sedikit yang menggunakan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK).
45
6.4.1.2 Ragi Salah satu bahan yang biasa digunakan dalam memproduksi tempe adalah ragi. Ragi memiliki fungsi sebagai zat yang akan membantu dalam proses fermentasi tempe. Perbandingan penggunaan ragi baik pada pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 15 dan Lampiran 3. Tabel 15 Perbandingan penggunaan ragi pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri Kategori Pengusaha
Rata-rata Penggunaan Ragi (kg)
Harga Ratarata (Rp/Kg)
Nilai (Rp/hari)
Nilai ( Rp/tahun)
Pola Kemitraan Pola Mandiri
0,30 0,29
22.500,00 22.600,00
6.649,17 6.390,00
2.413.647,50 2.319.570,00
Berdasarkan Tabel 15, dapat dilihat bahwa penggunaan rata-rata ragi yang digunakan oleh pengusaha tempe pola kemitraan adalah 0,3 kg/hari dengan harga beli rata-rata ragi sebesar Rp 22.500,00/kg. Jumlah tersebut hampir sama dengan penggunaan rata-rata ragi per hari pada kelompok pengusaha tempe pola mandiri yaitu sebesar 0,29 kg/hari dengan harga beli ragi sebesar Rp 22.600,00 /kg. Penggunaan rata-rata ragi pada kelompok pengusaha tempe pola mandiri lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan rata-rata ragi pada pengusaha tempe pola kemitraan karena pengusaha pola mandiri menggunakan anjuran penggunaan ragi yang disampaikan oleh KOPTI yang mana dalam menggunakan ragi seharusnya setiap 1 kg kedelai adalah sebanyak 0,002 kg ragi. sedangkan pengusaha pola kemitraan menggunakan ragi sesuai dengan kebiasaan meraka tanpa mengikuti anjuran dari KOPTI Kabupaten Bogor. Berdasarkan data Tabel penggunaan ragi kedua pola pengusaha melebihi standar yang dianjurkan KOPTI akan tetapi pengusaha pola mandiri mengguanakan ragi yang lebih mendekati anjuran dari KOPTI atau lebih baik daripada penggunaan ragi pengusaha pola kemitraan.
6.4.1.3 Air Air yang meupakan input produksi yang digunakan oleh kedua pengusaha baik pengusaha tempe pola kemitraan maupun pola mandiri adalah air yang bersumber dari sumber mata air sumur atau sungai yang dialirkan kerumah masing-masing. Penggunaan air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) bagi
46
mereka itu sangat mahal dan akan memepengaruhi biaya yang harus dikeluarkan. Komposisi perbandingan penggunaan input air antara pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 16 dan Lampiran 4. Tabel 16 Perbandingan penggunaan air pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri Kategori Pengusaha
Rata-rata Penggunaan Air (ltr)
Harga Rata-rata (Rp/0-10.000 ltr)
Nilai (Rp/hari)
Nilai ( Rp/tahun)
Pola Kemitraan Pola Mandiri
1.027,58 1.233,10
2.200,00 2.200,00
2.200,00 2.200,00
798.600,00 798.600,00
Berdasakan Tabel 16 dapat dilihat bahwa, jumlah rata-rata penggunaan air per hari pada kelompok pengusaha tempe pola kemitraan adalah sebesar 1.027,58 liter dengan harga beli air sebesar Rp 2.200,00/hari. Sedangkan jumlah rata-rata penggunaan air pada kelompok pengusaha tempe pola mandiri adalah sebesar 1.233,10 liter/hari dengan harga beli air sebesar Rp 2.200,00/hari. Penggunaan rata-rata air oleh kedua pengusaha menunjukan adanya perbedaan dimana jumlah rata-rata air yang digunakan oleh pengusaha pola mandiri lebih banyak jika dibandingkan dengan rata-rata penggunaan air pengusaha pola kemitraan. Hal ini disebabkan pengusaha pola kemitraan hanya melakukan pencucian setelah penggilingan kedelai sebanyak satu kali saja, sedangkan pengusaha pola mandiri mencucinya sebanyak dua kali setelah penggilingan karena untuk memperoleh hasil pencucian yang lebih bersih guna menghasilkan proses fermentasi yang lebih baik, serta merupakana anjuran dari KOPTI Kabupaten Bogor. Dalam penentuan harga air ini peneliti mengacu pada harga air yang di tetapkan oleh PADM (Perusahaan Daerah Air Minum) Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor karena pada faktanya pengusaha baik pola kemitraan maupun pola mandiri tidak mengeluarkan biaya dalam penggunaan air. Sehingga dengan adanya acuan tersebut peneliti mengasumsikan bahwa para pengusaha menggunakan air dari PDAM dan mendapat harga sebagaimana yang ditetapkan oleh PDAM Tirta Kahuripan yang menetapkan harga air untuk kelas rumah tangga adalah sebesar Rp 2.200,00 / 0-10.000 liter air . Hal ini dimaksudkan agar mendpatkan nilai dari biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha dalam penggunaan air untuk proses produksi tempe.
47
6.4.1.4 Tenaga Kerja (HOK) Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang sangat berpengaruh terhadap suatu kegiatan. Tenaga kerja yang digunakan dapat berupa tenaga mekanik (mesin giling) dan tenaga kerja manusia. Tenaga kerja mekanik (mesin giling) digunakan untuk melakukan pengolahan pemecahan kedelai karena dengan menggunakan tenaga masin giling, memecah kedelai menjadi lebih cepat dan lebih efektif, sedangkan tenaga kerja manusia digunakan untuk melakukan pengolahan kedelai setelah dipecah dan direbus seperti mencuci kedelai sebelum dan sesudah merebus, meniriskan kedelai setelah dicuci, memberikan ragi, mencetak kedelai kedalam kantong plastik, menata di rak fermentasi (kre dan bambu plandangan), distribusi tempe, dan penjualan langsug kepada konsumen. Kebutuhan tenaga kerja manusia yang digunakan pengusaha tempe pola kemitran atupun pola mandiri tidak hanya menggunakan tenaga kerja luar keluarga, namun juga menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang biasanya sering terabaikan dalam perhitungan struktur biaya usaha ini. Kebutuhan tenaga kerja untuk setiap aktivitas usaha berbeda antara satu pengusaha tempe dengan pengusaha lainnya disesuaikan dengan kapasitas produksi yang dikerjakan, namun secara keseluruhan jumlah penggunaan tenaga kerja untuk pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri setiap harinya tidak hampir. Secara terperinci jumlah rata-rata tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 17 dan Lampiran 5. Tabel 17 Perbandingan penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri No 1 2
Kategori Pengusaha
Kategori HOK
Pola Kemitraan Pola Mandiri
Keluarga Non Keluarga Keluarga Non Keluarga
Rata-rata Tenaga Kerja (HOK) 2,00 1,00 2,00 1,00
Harga Rata-rata (Rp/trip) 50.000,00 50.000,00 50.000,00 50.000,00
Nilai (Rp/hari)
Nilai ( Rp/tahun)
83.333,33 29.166,67 75.000,00 30.000,00
30.250.000,00 10.587.500,00 27.225.000,00 10.890.000,00
Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa perbandingan kebutuhan ratarata tenaga kerja usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri tidak jauh berbeda dan sama-sama didominasi oleh kenaga kerja dalam keluarga. Dari Tabel diatas dapat kita lihat bahwa rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam keluarga baik pada
48
kelompok usaha pola kemitraan maupun usaha pola mandiri adalah sebanyak 2 orang, dan jumlah rata-rata tenaga kerja luar keluaga adalah 1 orang. Kebutuhan tenaga kerja dalam usaha tempe ini tidak banyak, hal ini dikarenakan skala usaha yang mereka jalankan juga tidak terlalu besar. Tenaga kerja dalam keluarga mendominasi usaha tempe ini karena dengan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga pengusaha akan menghemat biaya langsung tunai yang di keluarkan. Pengusaha pola kemitraan maupun pola mandiri dalam memberikan upah kepada tenaga kerja luar keluarga rata-rata sama besar yaitu Rp 50.000/hari. Upah ini berlaku bagi tenaga kerja wanita dan juga tenaga kerja laki-laki. Dalam menentukan nilai upah tenaga kerja biasanya pengusaha tempe baik pengusaha pola kemitraan maupun pola mandiri mengadakan kesepakatan antar pengusaha supaya besaran upah yang di berikan kepada tenaga kerja sama besar. Hal ini dilakukan agar tidak ada perselisihan antar tenaga kerja yang bekerja dalam usaha yang sama. Rata-rata upah yang harus di bayarkan oleh pengusaha tempe pola kemitraan untuk tenaga kerja dalam keluarga adalah sebesar Rp 83.333,33/hari, dan rata-rata upah yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja luar keluarga adalah sebesar Rp 29,166.67/hari. Sedangkan upah rata-rata yang harus dibayarkan oleh pengusaha pola mandiri kepada tenaga kerja dalam keluarga adalah sebesar Rp 75.000,00/hari, dan rata-rata upah yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja luar keluarga adalah sebesar Rp 30.000,00/hari.
6.4.2
Hasil Uji Statistik Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri Faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi usaha tempe pada
pengusaha pola kemitraan yaitu kedelai, ragi, air, tenaga kerja. Pendugaan fungsi produksi ini dilakukan dengan menguji faktor-faktor produksi menggunakan metode statistik dan pengujian asumsi ekonometrika dengan menggunakan perangkat lunak Minitab 15. Model fungsi produksi yang digunakan dalam menduga faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah produksi tempe adalah model fungsi Cobb-Douglas dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe kelompok pengusaha pola kemitraan dapat dilihat pada Tabel 18 dan lampiran 6.
49
Tabel 18 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe pola kemitraan Prediktor Koefisien SE Koef Konstanta 0,47 0,15 Kedelai 0,85 0,02 Ragi -0,04 0,02 Air 0,04 0,04 Tenaga Kerja (HOK) -0,02 0,03 R-sq 99,90% R-sq(ad) 99,90% Analisi Varians Sumber DF SS Regresi 4 3,14 Kesalahan Sisaan 7 0,00 Total 11 3,14 Keterangan: * Nyata pada taraf α 1% ** Nyata pada taraf α 10%
T-Hitung 3,21 51,31 -1,88 2,10 -0,06
MS 0,78 0,00
P-Value 0,02 0,00* 0,10** 0,07** 0,96
F 2861,57
VIF 4,30 5,86 6,25 1,27
P 0,00
Berdasarkan Tabel 18, model statistik untuk menduga faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi tempe pengusaha pola kemitraan dapat dikatakan layak serta memenuhi kriteria. Alasan ini dapat dilihat dari nilai R-sq(adj) pada model produksi yang dihasilkan yaitu sebesar 99,90% berarti menyatakan bahwa variabel-variabel kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja dapat menjelaskan keragaman dari produksi tempe sebesar 99,90% dan sisanya 0,10% dari keragaman model produksi tempe dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang ada di luar model. Nilai F-hitung sebesar 2861,57 dengan nilai p-value 0,000 menjelaskan bahwa secara umum variabel-variabel faktor produksi dalam model berpengaruh nyata secara bersama-sama terhadap produksi tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang. Nilai koefisien regresi dari variabel-variabel bebas dalam model fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan nilai elastisitas dari masing-masing variabel tersebut, atau bisa disebut sebagai nilai besarnya pengaruh variabel tersebut terhadap produsi tempe pola kemitraan. Jumlah total nilai elastisitas dari variabelvariabel bebas pada fungsi produksi tempe pola kemitraan diperoleh sebesar 0,83. Jumlah elastisitas produksi tersebut ini bernilai kurang dari satu, artinya menunjukkan bahwa skala usaha tempe pola kemitraan berada pada kondisi decreasing return to scale, yang berarti bahwa proporsi penambahan input
50
produksi akan menghasilkan tambahan output produksi yang proporsinya lebih kecil daripada input produksi yang ditambahkannya. Variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap produksi tempe pola kemitraa di Desa Cimanggu Iadalah sebagai berikut. a. Kedelai Kualitas tempe yang baik akan sangat tergantung pada kualitas kedelai yang digunakan dalam memproduksi tempe, sangat penting pengusaha tempe memperhatikan kualitas dari kedelai yang digunakan sebagau input produsinya. Semkain baik kualitas kedelai maka akan menghasilakan kualits tempe yang lebih baik pula. Hasil regresi menunjukkan bahwa kedelai memiliki hubungan yang positif terhadap produksi tempe pola kemitraan yang berarti bahwa semakin banyak kedelai yang digunakan maka output produksi tempe yang dihasilkan diduga akan semakin meningkat pula. Berdasarkan hasil regresi, nilai elastisitas kedelai adalah sebesar 0,85 yang berarti bahwa setiap kenaikan penggunaan kedelai sebesar 1% maka diduga akan meningkatkan produksi tempe sebesar 0,85% (ceteris paribus). Kedelai yang digunakan pengusaha tempe pola kemitraan merupakan kedelai impor dengan kualitas yang baik, sehingga dengan kualitas kedelai yang baik menghasilkan hasil produksi tempe yang baik pula. Hal ini terbukti dengan nilai p-value kedelai yang kurang dari taraf nyata hingga 15%, artinya menunjukkan bahwa penggunaan kedelai yang baik memiliki pengaruh yang nyata terhadap output produksi tempe yang dihasilkan. b. Ragi Penggunaan ragi memiliki hubungan yang negatif terhadap produksi tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa koefisien faktor produksi dari ragi adalah sebesar -0,04. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan penggunaan ragi sebesar 1% diduga akan menurunkan produksi tempe sebesar 0,04% (ceteris paribus). Penggunaan ragi dalam pegusaha pola kemitraan ini berpengaruh nyata terhadap produksi tempe pola kemitraan. Hal ini dapat dilihat dari p-value ragi sebagai variabel faktor produksi sebesar 0,10 yang lebih kecil dari taraf nyata hingga α 15%.
51
c. Air Air merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam proses produksi tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I. Penggunaan air sangat dibutuhkan dalam usaha tempe karena air digunakan dalam banyak proses dalam memproduksi tempe. Air digunaka untuk mencuci, merebus, dan mencuci kedelai yang telah direbus, dan merendam dalam penghilangan asam pada kedelai. Sehingga peran air dalam memproduksi tempe sangat dibutuhkan keberadaannya oleh pengusaha pola kemitraan. Hasil uji statistik pada model fungsi produksi tempe pengusaha pola kemitraan menunjukkan bahwa koefisien regresi air memiliki tanda yang positif sebesar 0,04 dengan p-value 0,07. Hal ini berarti setiap kenaikan penggunaan air sebesar 1% diduga akan meningkatkan produksi usaha tempe sebesar 0,04% (ceteris paribus). Penggunaan air dalam penelitian ini berpengaruh secara nyata terhadap produksi tempe. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p-value air sebagai faktor produksi sebesar 0,074, dimana nilai tersebut kurang dari taraf nyata hingga α 15%. d. Tenaga Kerja (HOK) Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai elastisitas tenaga kerja sebagai salah satu variabel faktor produksi bernilai negatif, yaitu -0,03 dengan p-value sebesar 0,956. Hal ini berarti setiap penambahan 1% penggunaan tenaga kerja diduga akan menurunkan produksi tempe sebesar 0,03% (ceteris paribus). Penggunaan tenaga kerja dalam penelitian ini berpengaruh secara tidak nyata pada taraf α 15%. Sehingga penambahan tenaga kerja pada usaha tempe pola kemitraaan akan megurangi jumlah produksi tetapi dalam jumlah yang sedikit pengurangannya yaitu sebesar 0,03%. Hal ini terjadi karena usaha tenpe pola kemitran merupakan usaha yang skalanya sangat kecil dimana dapat dikerjakan oleh satu atau dua orang tanaga kerja, sehingga jika ada penambahan tenaga kerja malah akan menimbulkan inefisien dalam produksi yang berakibat pada penuruanan output produksi.
52
Uji Kriteria Ekonometrika a.
Uji Multikolinearitas Tujuan dari adanya uji multikolinearitas terhadap suatu model regresi
berganda adalah untuk memastikan tidak adanya hubungan linear kuat yang terjadi antara variabel-variabel bebas (independen) yaitu kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja. Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat nilai dari Variance Inflation Factor (VIF) pada model hasil regresi tersebut. Suatu model dikatakan memiliki multikolinearitas jika nilai VIF dari setiap variabel bebas pada model bernilai lebih dari 10. Berdasarkan hasil uji statistik pada Tabel 19, nilai VIF dari keempat faktor yang menjadi variabel bebas pada model memiliki nilai kurang dari 10. Artinya ini menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model regresi untuk produksi usaha tempe pola kemitraan tidak memiliki hubungan linear satu sama lain antara variebel-variabel bebas. b.
Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas Uji stasistik Kolmogorov-Smirnov (KS) dalam penelitian ini digunakan
untuk menguji kenormalam (Uji normalitas) untuk model produksi tempe pola kemitraan, dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil yang diperoleh pada uji KS tersebut yaitu nilai rata-rata -1,33227E-15, nilai standar deviasi 0,01321, jumlah pengamatan 12 reponden, nilai Kolmogorov-Smirnov (KS) 0,235, dan p-value 0,066. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa nilai KS-hitung (0,235) lebih kecil daripada KS-Tabel (0,375). Hal ini menunjukkan bahwa residual responden telah mengikuti distribusi secara normal, sehingga asumsi kenormalan residual dikatakan telah terpenuhi. Tujuan dari uji heteroskedastisitas terhadap suatu model regresi berganda dilakukan untuk memastikan varian unsur gangguan (error) adalah konstan. Model regresi yang didapat diharapkan memenuhi asumsi homoskedastisitas. Pendeteksian heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode grafik, yaitu dengan melihat pola penyebaran titik-titik pada scatterplot. Model regresi dikatakan memenuhi asumsi homoskedastisitas jika sebaran titik-titik pada grafik tidak membentuk pola tertentu atau pola yang terbentuk tidak jelas, dan titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y (Hidayat, 2013). Gambar
53
2 (a) dan (b) masing-masing menunjukkan sebaran kenormalan residual dan homoskedastisitas dari model regresi berganda pengusaha pola kemitraan.
(a)
(b)
Gambar 2. Gambar grafik model regresi produksi usahatani tempe pola kemitraan (a) Grafik Uji Kenormalan (b) Grafik Homoskedastisitas Model fungsi produksi untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah produksi tempe pola mandiri hampir sama dengan model fungsi produksi tempe pola kemitraan. Faktor produksi yang menjadi variabel bebas (independen) untuk fungsi produksi tempe pola mandiri yaitu kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja. Secara rinci hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 19 dan Lampiran 7. Tabel 19 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe pola mandiri Prediktor Koefisien SE Koef Konstanta 0,67 0,24 Kedelai 0,85 0,04 Ragi 0,00 0,05 Air 0,01 0,04 Tenaga Kerja (HOK) 0,13 0,13 R-sq 99,90% R-sq(ad) 99,80% Analisi Varians Sumber DF SS Regresi 4 235,749 Kesalahan Sisaan 5 0,00265 Total 9 236,014 Keterangan: * Nyata pada taraf α 1%
T-Hitung 2,77 21,54 0,08 0,25 1,00
MS 0,58937 0,00053
P-Value 0,04 0,00* 0,94 0,81 0,36
VIF 9,03 7,23 8,12 4,45
F 1111,03
P 0,000
54
Berdasarkan data pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa model statistik regresi berganda untuk menduga faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi tempe pengusaha pola mandiri dapat dikatakan layak dan memenuhi kriteria. Karena dapat dilihat bahwa nilai R-sq(adj) dari model produksi yaitu sebesar 99,80% yang menyatakan bahwa variabel-variabel independen seperti kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja dapat menjelaskan keragaman dari produksi tempe sebesar 99,80% dan sisanya sebesar 0,20% dari keragaman model produksi tempe dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang ada di luar model. Nilai Fhitung sebesar 1111,03 dengan nilai p-value 0,000 menjelaskan bahwa secara umum variabel-variabel faktor produksi dalam model berpengaruh nyata secara bersama-sama terhadap produksi tempe pola mandiri. Berdasarkan Tabel dapat dilihat bahwa nilai koefisien regresi dari variabel-variabel bebas dalam model fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan nilai elastisitas dari masing-masing variabel tersebut, atau bisa disebut sebagai nilai besarnya pengaruh variabel tersebut terhadap produsi tempe pola mandiri. Jumlah total nilai elastisitas dari variabel-variabel bebas (independen) pada fungsi produksi tempe pola kemitraan diperoleh sebesar 0,99. Jumlah elastisitas produksi tersebut bernilai kurang dari satu yang menunjukkan bahwa skala usaha tempe pola kemitraan berada pada kondisi decreasing return to scale. Artinya bahwa proporsi penambahan input produksi akan menghasilkan tambahan output produksi yang proporsinya lebih kecil dari penambahan input produksi yang ditambahkannya. Berikut adalah Variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap produksi tempe pola mandiri. a. Kedelai Hasil regresi berganda pada Tabel diatas menunjukkan bahwa kedelai memiliki hubungan yang positif terhadap output produksi tempe pola mandiri yang berarti bahwa semakin banyak kedelai yang digunakan maka diduga output produksi tempe yang dihasilkan akan meningkat pula. Berdasarkan hasil pada Tabel diatas, nilai elastisitas kedelai sebesar 0,85 yang berarti bahwa setiap penambahan penggunaan kedelai sebesar 1% diduga akan meningkatkan produksi tempe sebesar 0,85% (ceteris paribus). Kedelai yang digunakan pengusaha tempe pola mandiri merupakan kedelai kualitas impor yang baik sama halnya dengna
55
kedelai yang digunakan pengusaha pola kemitraan, sehingga dengan kualitas kedelai yang baik menghasilkan hasil output produksi yang baik pula. Hal ini terbukti dengan nilai p-value kedelai yang kurang dari taraf nyata hingga 15% menunjukkan bahwa penggunaan kedelai yang baik dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang nyata terhadap produksi tempe. b. Ragi Berbeda dengan penggunaan ragi pada pengusaha pola kemitraan yang memiliki hubungan negatif terhadap output produksi tempe, pada pengusaha pola mandiri ragi justru memikiki hubungan positif terhadap output produksi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai koefisien dari ragi adalah sebesar 0,004. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan ragi yang digunakan sebesar 1% diduga akan meningkatkan output produksi sebesar 0,004% (ceteris paribus). Penggunaan ragi dalam penelitian ini berpengaruh tidak nyata terhadap produksi tempe pola kemitraan. Hal ini dapat dilihat dari p-value ragi sebagai variabel faktor produksi sebesar 0,94 yang lebih besar dari taraf nyata hingga α 15%. Penggunaam ragi oleh pengusaha pola mandiri berada di atas normal dari yang seharusnya digunakan, sehingga pengaruh kenaikan penggunaan ragi dirasakan tidak nyata oleh pengusaha pola mandiri. c. Air Hasil uji statistik pada model fungsi produksi tempe pengusaha pola mandiri menunjukkan bahwa koefisien regresi air memiliki tanda yang positif sebesar 0,01 dengan p-value 0,81. Hal ini berarti setiap kenaikan penggunaan air sebesar 1% diduga akan meningkatkan output produksi sebesar 0,01% (ceteris paribus). Penggunaan air dalam penelitian ini berpengaruh secara tidak nyata terhadap produksi tempe. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p-value air sebagai faktor produksi sebesar 0,81 dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata α 15%. Fungsi air pada produksi tempe dirasakan secara tidak nyata oleh pengusaha pola mandiri dalam pemenuhan kebutuhan air untuk pengelolaan usahanya. d. Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi usaha tempe dapat memberikan pengaruh yang positif jika penggunaan tenaga kerja dilakukan dengan efisien. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai elastisitas tenaga kerja
56
bernilai positif, yaitu 0,13 dengan p-value sebesar 0,36. Hal ini berarti setiap penambahan 1% penggunaan tenaga kerja diduga akan menaikan produksi tempe sebesar 0,13% (ceteris paribus). Penggunaan tenaga kerja dalam penelitian ini berpengaruh secara tidak nyata pada taraf α 15% karena nilai P-value adalah sebesar 0,36 dan lebih besar dari taraf nyata α 15%.
Uji Kriteria Ekonometrika a.
Uji Multikolinearitas Tujuan dari uji multikolinearitas terhadap suatu model regresi berganda
adalah untuk memastikan tidak adanya hubungan linear yang terjadi antara variabel-variabel bebas (independen) yaitu kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja. Cara melakukan pengujian ini dilakukan dengan melihat nilai dari Variance Inflation Factor
(VIF)
dari
model. Suatu model
dikatakan
memiliki
multikolinearitas jika nilai VIF dari setiap variabel pada model hasil tegresi bernilai lebih dari 10. Berdasarkan hasil uji statistik pada Tabel 20 diatas, nilai VIF dari keempat faktor yang menjadi variabel bebas (indpoenden) pada model memiliki nilai kurang dari 10. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel independen dalam model regresi untuk produksi tempe pola mandiri tidak memiliki hubungan linear satu sama lain sesame variabel bebasnya. b.
Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas Uji statistik Kolmogorov-Smirnov (KS) dilakukan untuk melihat
kenormalan (Uji normalitas) pada model produksi tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I, secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh pada uji Kolmogorov-Smirnov (KS) tersebut yaitu nilai rata-rata 4,440892E-17, nilai standar deviasi 0,01717, jumlah pengamatan 10 reponden, nilai KolmogorovSmirnov (KS) 0,287, dan p-value 0,029. Terlihat bahwa nilai KS-hitung (0,287) lebih kecil dari KS-Tabel (0,409). Sehingga bisa dikatakan bahwa residual telah mengikuti distribusi secara normal, sehingga asumsi kenormalan residual telah terpenuhi. Uji heteroskedastisitas terhadap suatu model regresi berganda dilakukan untuk memastikan varian unsur gangguan (eror) adalah konstan. Model regresi yang didapat diharapkan memenuhi asumsi homoskedastisitas. Pendeteksian
57
heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode grafik, yaitu dengan melihat pola penyebaran titik-titik pada scatterplot. Model regresi dikatakan memenuhi asumsi homoskedastisitas jika sebaran titik-titik pada grafik tidak membentuk pola tertentu atau pola yang terbentuk tidak jelas, dan titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y (Hidayat, 2013). Gambar 3 (a) dan (b) masing-masing menunjukkan sebaran kenormalan residual dan homoskedastisitas.
(a)
(b)
Gambar 3. Gambar grafik Model Regresi Produksi Usaha Tempe Pola Mandiri (a) Grafik Uji Kenormalan (b) Grafik Homoskedastisitas
6.5
Analisis Perbandingan Pendapatan Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
6.5.1 Output Output usaha tempe yaitu berupa tempe itu sendiri yang siap jual dan telah mengalami pengolahan dan proses fermentasi sebelumnya. Tempe merupakan satu-satunya output yang dihasilakan oleh kedua pengusaha baik pola kemitraan maupun pola mandiri. Tempe inilah yang menjadi hasil utama pengusaha dalam melakukan usahanya sekaligus menjadi sumber pendapatan bagi pengusaha tempe untuk memenuhu kebutuhan usaha dan keluarganya. Tempe yang dihasilakan tersebut dijual kepada konsumen langsung, baik konsumen di pasar maupun konsumen yang langsung di antar ke rumah masing-masing oleh penjual keliling. Tempe hasil olahan yang telah jadi atau siap jual harus segera dijual karena tempe yang di olah oleh pengusaha baik pola kemitraan maupun pola mandiri tidak
58
menggunakan bahan pengawet. Sehingga jika tempe yang sudah jadi tersebut tidak segera dipasarkan maka akan tumbuh jamur dan tempe tersebut takan laku dijual. Pengusaha tidak menggunakan pengawet kedalam olahan tempe tersebut karena pengusaha memahami hal tersebut kurang baik bagi kesehatan masyarakat dalam jangka panjang. Harga rata-rata tempe yang dihasilkan dan sudah siap jual berdasarkan informasi dari hasil penelitian kelompok pengusaha pola kemitraan adalah sebesar Rp 13.791,67/kg, sedangkan harga rata-rata tempe pada kelompok pengusaha pola mandiri tida jauh berbeda yaitu sebesar Rp 13.800/kg. Data hasil produksi dan produktivitas tempe pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 20 dan Lampiran 1. Tabel 20 Jumlah produksi dan produktivitas tempe pola kemitraan dan pola mandiri Waktu Produksi
Kategori Pengusaha
Input Total (Kg)
Output Total (kg)
Per Hari Per Bulan Per Tahun
Kemitraan
855,00 25.650,00 310.365,00
1.017,00 30.510,00 369.171,00
Waktu Produksi
Kategori Pengusaha
Input Total (Kg)
Output Total (kg)
Mandiri
725,00 21.750,00 263.175,00
868,50 26.055,00 315.265,50
Per Hari Per Bulan Per Tahun
Output Rata-rata (kg/org) 84,77 2.542,50 30.771,51 Output Rata-rata (kg/org) 86,85 2.605,50 31.526,55
Produktivitas (kg/1 Kg Kedelai) 1,19 1,19 1,19 Produktivitas (kg/1 Kg Kedelai) 1,20 1,20 1,20
Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa output produksi rata-rata tempe pola mandiri lebih besar daripada output produksi rata-rata tempe pengusaha pola kemitraan. Berdasarkan Tabel 21 diatas total rata-rata output pengusaha tempe pola kemitraan adalah sebesar 30.771,51 kg dalam satu tahun dengan produktivitas rata-rata menghasilkan 1,19 kg tempe/1 kg kedelai. Sedangkan total rata-rata output pada pengusaha tempe pola mandiri sebesar 31.526,55 kg dalam satu tahun dengan produktivitas rata-rata menghasilkan 1,20 kg tempe/1 kg kedelai. Hal ini dikarenakan teknik produksi pengusaha pola mandiri lebih baik karena menggunakan cara yang di anjurkan KOPTI daripada teknik produksi pengusaha pola kemitraan yang masih menggunakan cara tradisional. Hampir seluruh kelompok pengusaha pola mandiri yang merupakan
59
responden dalam penelitian ini adalah merupakan anggota dari kelompok pola kemitraan sebelumnya. tetapi mereka keluar dari keanggotaan dengan alasan tidak ada keuntungan yang berarti dengan adanya kerjasama dengan koperasi (KOPTI). Akan tetapi untuk pengetahuan pengolahan tempe yang baik meski saat ini mereka adalah non anggota kemitraan tetapi secara teori mereka pernah mendapat penyuluhan bagaimana memproduksi tempe yang baik. Lain hal dengan kelompok pola kemitraan yang saat ini masih menjadi anggota KOPTI malah masih menggunakan cara-cara lama yang biasa lakukan dan mengabaikan instruksi dari KOPTI ketika penyuluhan.
6.5.2 Penerimaan Penerimaan usaha tempe merupakan jumlah output dikalikan dengan harga yang berlaku terhadap output tersebut. Penerimaan ini merupakan pendapatan kotor sebelum dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan selama melakukan proses produksi. Output berupa tempe yang siap dijual dengan harga yang berlaku di pasar untuk masing-masing usaha sehingga akan diperoleh penerimaan kotor. Perbandingan penerimaan pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 21 dan Lampiran 8. Tabel 21 Penerimaan usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri Kategori Pengusaha
Penerimaan rata-rata (Rp) Hari
Bulan
Tahun
Kemitraan
1.165.750,00
34.972.500,00
423.167.250,00
Mandiri
1.210.925,00
36.327.750,00
439.565.775,00
Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa penerimaan rata-rata pengusaha pola kemitraan sebesar Rp 423.167.250,00 dalam satu tahun, sedangkan penerimaan rata-rata pengusaha pola mandir sebesat Rp 439.565.775,00 dalam satu tahun. Dimana rata-rata penerimaan pada kelompok pengusaha mandiri lebih besar daripada rata-rata penerimaan pada kelompok pengusaha pola kemitraan. Hal ini disebabkan oleh output produsi yang yang dihasilkan oleh pengusaha pola mandiri lebih banyak daripada output produksi yang dihasilkan oleh pengusaha pola kemitraan.
60
6.5.3
Biaya Biaya merupakan suatu pengeluaran yang harus dibayarkan atas segala
sesuatu yang dibutuhkan ketika melakukan suatu kegiatan, baik kegiatan ekonomi mupun kegiatan lainnya. Biaya usaha yang ada dalam usaha tempe merupakan komponen dari pemakain barang atau jasa untuk keperluan usaha tempe yang harus dikeluarkan oleh pengusaha tempe selama masa produksi dan penjualan berlangsung. Biaya usaha tempe terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Menurut Hernanto (1996), biaya tetap merupakan biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi. Kelompok biaya ini antara lain pajak tanah, pajak air, penyusutan alat dan bangunan, pemeliharaan drum, pemeliharaan rak kayu dan kre, bambu plandangan dan lain sebagainya. Biaya variabel merupakan biaya yang besar kecilnya sangat tergantung kepada biaya skala produksi. Tergolong dalam kelompok biaya ini antara lain biaya untuk kedelai, gas, ragi, plastik, air, buruh atau tenaga kerja, dan transportasi. Secara rinci biaya usaha tempe pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Biaya usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri (Rupiah/tahun) No. 1
Uraian Biaya Tunai Biaya Tetap
Sewa Bangunan Penyusutan Alat Produksi
Biaya Variabel
2.880.000,00
2.970.000,00
643.152,78
641,141.67
239.338.000,00
238.218.750,00
Ragi
2.413.647,50
2.319.570,00
Gas
8.659.818,75
9.020.550,00
Kedelai
Air
798.600,00
798.600,00
Tenaga Kerja Luar Keluarga
10.587.500,00
10.890.000,00
Plastik
11.116.875,00
13.068.000,00
Transportasi
10.496.750,00
10.890.000,00
286.934.444,03
288.816.611,67
30.250.000,00
27.225.000,00
30.250.000,00
27.225.000,00
317.184.444,03
316.041.611,67
Sub Total 2
Biaya Pengusaha Pengusaha Pola Pola Kemitraan Mandiri
Biaya Non Tunai Biaya Variabel Sub Total Total Biaya
Tenaga Kerja Dalam Keluarga
61
Tabel 22 menunjukan bahwa biaya total usaha tempe pola mandiri lebih kecil dari biaya usaha tempe pola kemitraan. Biaya total yang dikeluarkan oleh pengusaha pola mandiri sebesar Rp 316.041.611,67 dalam satu tahun. Sedangkan biaya total yang dikeluarkan oleh pengusaha pola kemitraan dalam satu tahun sebesar Rp 317.184.444,03. Biaya tersebut merupakan jumlah total rata-rata dari biaya tunai dan non tunai yang dikeluarkan dalam satu tahun. Biaya tunai yang dikeluarkan memiliki proporsi yang lebih besar dari pada biaya non tunai dalam struktur biaya usaha tempe. Hal ini dikarenakan dalam melakukan suatu aktivitas produksi usaha tempe input yang digunakan untuk proses produksi harus tercukupi kebutuhannya, baik berupa biaya tunai yang langsung dikeluarkan oleh pengusaha maupun biaya hitung yang secara nyata tidak dikeluarkan sebagai biaya namun pada kenyataannya biaya tersebut harus dikeluarkan dalam aktivitas produksi tempe, sehingga pengusaha harus memiliki modal untuk dapat memenuhi kebutuhan produksi tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh, alokasi biaya yang paling besar dikeluarkan oleh pengusaha pola kemitraan yaitu untuk keperluan bahan baku kedelai. Penggunaan kedelai untuk usaha tempe usaha pola kemitraan dalam satu tahun adalah sebesar Rp 239.338.000,00. Hal yang sama alokasi biaya terbesar yang harus dikeluarkan oleh pengusaha pola mandiri yaitu untuk biaya penyediaan bahan baku kedelai dimana biaya yang harus dikekurkan adalah sebesar Rp 238.218.750,00. Sedangkan biaya terkecil yang harus dikeluaran oleh penguasaha pola kemitraan maupun pola mandiri adalah biaya penggunaan air yaitu sebesar Rp 798.600 dalam satu tahun. Biaya yang harus dikeluarkan sama besar karena dengan asumsi menggunakan air dari PDAM tirta kahuripan Kabupaten Bogor.
6.5.4 Pendapatan Setiap pelaku usaha dalam ekonomi memiliki suatu tujuan dalam usahanya, tak lain adalah memperoleh pendapatan dari apa yang dihasilkan pada usaha tersebut. Selain itu tujuan utama dari aktivitas ekonomi adalah untuk memperoleh keuntungan yang maksimum dengan menggunakan pengeluaran biaya yang minimum. Suatu usaha dikatakan menguntungkan jika selisih antara
62
penerimaan dengan pengeluaran bersifat positif. Pendapatan usaha pada penelitian ini dianalisis berdasarkan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai pada penelitian ini diperoleh dari selisih antara total penerimaan dengan biaya tunai, sedangkan pendapatan atas biaya total diperoleh dari selisih antara total penerimaan dengan biaya total. Pendapatan atas biaya total akan lebih rendah dari pada pendapatan atas biaya tunai, karena dalam analisis pendapatan atas biaya total memperhitungkan biaya tenaga kerja dalam rumah tangga, sedangkan pada analisis pendapatan atas biaya tunai tidak memperhitungkan biaya tenaga kerja dalam keluarga tersebut. Secara rinci perbandingan pendapatan pengusaha pola kemitraan dan pola mandirii dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Perbandingan pendapatan usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri (Rp/tahun) Pendapatan No. 1 2
3 4
Uraian Penerimaan Pengusaha Tempe Biaya Usaha a. Total Biaya Tunai b. Total Biaya Non Tunai c. Total Biaya (a+b) Pendapatan Atas Biaya Tunai (1-2a) Pendapatan Atas Biaya Total (1-2c)
Pengusaha Pola Kemitraan
Pengusaha Pola Mandiri
423.167.250,00
439.565.775,00
286.934.444,03 30.250.000,00 317.184.444,03
288.816.611,67 27.225.000,00 316.041.611,67
136.232.805,97
150.749.163,33
105.982.805,97
123.524.163,33
Berdasarkan data yang diperoleh dari Tabel 23, penerimaan total pegusaha pola kemitraan yaitu sebesar Rp 423.167.250,00 per tahun sedangkan penerimaan total pengusaha pola mandiri adalah sebesar Rp 439.565.775,00 per tahun. Perbedaan penerimaan kedua usaha tersebut disebabkan perbedaan hasil produksi yang didapat oleh masing-masing usaha. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengusaha tempe pola mandiri mengikuti anjuran dari pemerintah mengenai pedoman serta tata cara dalam memproduksi tempe sehingga hasil yang diperoleh pengusaha pola mandiri lebih besar dari pada pengusaha pola kemitraan. Berdasarkan Tabel 23 pula dapat dilihat bahwa biaya total usaha tempe pola kemitraan adalah sebesar Rp 317.184.444,03 dalam satu tahun. Biaya ini memiliki proporsi yang lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan oleh
63
pengusaha pola mandiri yaitu sebesar Rp 316.041.611,67 dalam satu tahun. Biaya tersebut merupakan jumlah total dari rata-rata biaya tunai dan biaya non tunai dari pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri. Biaya tunai terdiri atas pengeluaran biaya untuk pembelian input produksi berupa kedelai, ragi, gas, air, plastik, dan tenaga kerja, dan penyusutan alat-alat pertanian. Biaya non tunai yang harus diperhitungkan dalam struktur biaya yaitu berupa pemberian upah terhadap tenaga kerja dalam keluarga. Pendapatan usaha tempe yang diperoleh pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri bernilai positif yang artinya kedua pengusaha tersebut memperoleh keuntungan atas usaha yang mereka jalankan. Pendapatan atas biaya total pengusaha pola mandiri pada penelitian ini memiliki jumlah yang lebih tinggi yaitu sebesar Rp 150.749.163,33 daripada pengusaha tempe pola kemitraan yaitu sebesar Rp 136.232.805,97 dalam satu tahun. Adanya perbedaan pendapatan atas biaya total ini dikarenakan pengusaha pola mandiri memiliki rata-rata jumlah produksi yang lebih banyak dibandingkan dengan rata-rata jumlah produksi yang dihasilkan oleh pengusaha pola kemitraan. Sedangkan untuk frekuensi produkdi baik pengusaha pola kemitraan maupun pola mandiri memiliki frekuensi produksi yang sama yaitu setiap hari melakukan produksi dalam kurun waktu satu tahun selama ketersediaan bahan baku ada. Peran penyuluhan dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil produksi tempe jika pengusaha dengan benar menerapkan tata cara memproduksi yang dianjurkan oleh penyuluh dari KOPTI. Hal itu tentu saja dapat memberikan tambahan pendapatan kepada pengusaha karena adanya kenaikan hasil output produksi. Peran penyuluhan tidak akan dirasakan jika
saja pengusaha masih
menggunakan pola tradisional seperti yang dilakukan pengusaha pola kemitraan, yaitu dapat dilihat dari rata-rata total output yang dihasilkan lebih kecil daripada yang dihasilakan oleh pengusaha pola mandiri, sekaligus perbedaan hasil output ini mempengaruhi total pendapatan dari masing-masing pola usaha, yang mana total pengusaha pola mandiri memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada total pendapatan pengusaha pola kemitraan dalam satu tahun.
64
SIMPULAN DAN SARAN 7.1
Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan terhadap penelitian yang telah dilakukan, simpulan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Karakteristik sosial pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri adalah mayoritas usia pengusaha pola kemitraan berada pada range 40-50 tahun, begitupula dengan mayoritas usia pengusaha pola mandiri yang sama berada pada range usia 40-50 tahun. Tingkat pendidikan mayoritas pada kedua pola pengusaha tersebut adalah lulusan SD dan pengalaman usaha pada kedua pola pengusaha mayoritas antara 20-25 tahun. 2. Pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri sama-sama menggunakan input kedelai sebagai bahan baku, dimana pengusaha pola kemitraan memperoleh kedelainya dari koperasi sedangkan pengusaha pola mandiri memperolehnya dari luar koperasi. Cara pengolahannya menggunakan
cara
tradisional
sedangkan
pengusaha
pola
pengusaha
kemitraan
pola
menggunakan cara yang disosialisasikan oleh KOPTI Kabupaten
mandiri Bogor.
Output dari kedua pola pengusaha ini adalah hanya tempe saja. 3. Output produksi tempe pengusaha pola kemitraan dipengaruhi oleh kedelai, ragi, dan air. Sedangkan output produksi tempe pengusaha pola mandiri dipengaruhi kedelai saja. Skala usaha tempe pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri berada pada kondisi decreasing return to scale. 4. Pendapatan total pengusaha tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I adalah sebesar Rp 105.982.805,97 per tahun, sedangkan pendapatan total pengusaha pola mandiri adalah sebesar Rp 123.524.163,33 per tahun. Selisih pendapatan total antara pengusaha tempe pola kemitraan dan pengusaha pola mandiri adalah sebesar Rp 17.541.357,36 per tahun.
65
7.2
Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan yang diperoleh, saran yang dapat disampaikan yaitu: 1. Mengoptimalkan kelembagaan organisasi KOPTI yang ada agar pengusaha tempe memperoleh kedelai dengan mudah. Peran penyuluh KOPTI harus ditingkatkan agar masyarakat mampu memperoleh ilmu pengaetahuan baru mengenai produksi tempe yang baik dan benar sehingga memperoleh hasil produksi tempe yang lebih baik secara kualitas dan kuantitas. 2. Pemerintah sebagai pemegang kendali dan stabilitas harga harus mampu mengendalikan bahan baku kedelai dan harga kedelai, karena kelangkaan kedelai seringkali mejadikan harga kedelai mahal dan menambah biaya bagi pengusaha. Hal ini sering dialami oleh pengusaha pengusaha pola kemitraan maupun pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.
66
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, S. 2008. Dampak Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usaha Tempe dengan Pendekatan Stochastic Frontier (Kasus Desa Citeureup, Bogor). Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian.Institur Pertanian Bogor. Bogor. Ambarwati, S. R. R. 1994. Beberapa Aspek Ekonomi pada Industri Tahu dan Tempe, Studi Kasus Industri Tahu dan Tempe di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Apretty, J. B. 2000. Analisis Dampak Krisis Ekonomi Pada Industri Tempe Skala Kecil (Studi Kasus : Di desa Citereup, Kecamatan Citereup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2009. Bahan Rapim Bulan Agustus. http://database.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 15 Desember 2012. Firdaus M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. PT Bumi Aksara. Jakarta. Hernanto F. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Hidayat, C.Y. 2013. Analisis Produksi dan Pendapatan Petani Padi Anggota P3A dan Non P3A di Kota Dan Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hubies, M.1997. Menuju Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi Melalui Pemberdayaan Manajemen Industri. Percetakan IPB. Bogor. Juanda B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor. Kadarsan, H. W. 1995. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Kaunang S. 2006. Analisis Land Rent Pemanfaatan Lahan Tambak Di Wilayah Pesisir Kabupaten Serang Provinsi Banten. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Nasution, Muslimin. 2002. Evaluasi Kinerja Koperasi Metode Sistem Diagnosa. Bank Bukopin dan TPP-KUKM. Nicholson W. 1995. Teori Ekonomi Mikro Prinsip Dasar dan Pengembangannya. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Sapta R. 2009. Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas Terhadap Sosial Ekonomi Pengguna Jalan Dengan Contingent Valuation Method (CVM) (Studi Kasus: Kota Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor.
67
Sarah, N. 2001. Studi Profil Industri (Studi Kasus Industri Tahu Di Jakarta Timur). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Sari, Y. P. 2002. Analisis Efisiensi dan Pendapatan Pengrajin Tempe Anggota KOPTI Kotamadya Bogor Propinsi Jawa Barat. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian : Teori dan Aplikasi. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Solahudin, S. 1998. Visi Pembangunan Pertanian. IPB Press. Bogor. Sudarman, A. 1998. Teori Ekonomi Mikro. BPFE, Yogyakarta. Supranto J. 2004. Ekonometri. Ghalia Indonesia. Jakarta. Suryana, A. 2001 Tantangan dan Kebijakan Ketahanan Pangan. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat untu Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Departemen Pertanian. Jakarta. Sutrisno, E. 2006. Studi Profil Industri Tempe Berdasarkan Tingkat Kesuksesan (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor). Skripsi. Departemen Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Usman. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi: Teori dan Aplikasi, Alfabeta, Bandung. Winarno, F. G. 1993. Pangan : Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia, Jakarta.
68
LAMPIRAN
72
No. Resp.
Output (kg)
1 63.00 2 63.50 3 30.00 4 117.00 5 28.00 6 115.00 7 116.50 8 115.00 9 115.00 10 114.00 11 88.00 12 52.00 Jumlah 1,017.00 Rata-rata 84.75 Produktivitas (kg/kg kedelai)
Kedelai (kg) 50.00 50.00 20.00 100.00 20.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 75.00 40.00 855.00 71.25
Ragi (kg) 0.15 0.20 0.10 0.35 0.20 0.50 0.45 0.40 0.50 0.35 0.25 0.13 3.58 0.30
Gas (tabung) 1.50 1.25 0.50 2.00 0.50 1.50 2.00 1.75 2.00 1.65 1.25 1.25 17.15 1.43
Air ( liter) 418.00 836.00 418.00 2,090.00 418.00 2,090.00 1,254.00 1,254.00 1,254.00 1,254.00 627.00 418.00 12,331.00 1,027.58
Tenaga Kerja (HOK) 2 3 2 3 2 2 2 2 3 2 2 2 27.00 2
69
Lampiran 1 Jumlah produksi dan produktivitas tempe pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri a. Jumlah produksi dan produktivitas tempe pengusaha pola kemitraan Plastik (pak) 2.00 3.00 2.00 5.00 2.00 4.00 6.00 6.00 6.00 6.00 4.00 3.00 49.00 4.08
Harga Output (kg) 14,000.00 13,500.00 14,000.00 14,000.00 14,000.00 13,500.00 13,500.00 13,500.00 14,000.00 14,000.00 13,500.00 14,000.00 165,500.00 13,791.67 1.19
73
Lampiran 1.
( Lanjutan )
b. Jumlah produksi dan produktivitas tempe pengusaha pola mandiri No.Resp.
Output (kg)
Kedelai (kg)
1 115.00 100.00 2 34.00 25.00 3 52.00 40.00 4 86.00 70.00 5 74.00 60.00 6 42.50 30.00 7 173.00 150.00 8 63.00 50.00 9 114.00 100.00 10 115.00 100.00 Jumlah 868.50 725.00 Rata-rata 86.85 72.50 Produktivitas (kg/kg kedelai)
Ragi (kg) 0.30 0.20 0.15 0.25 0.20 0.20 0.65 0.20 0.35 0.35 2.85 0.29
Gas (tabung)
Air (liter)
2.00 0.50 0.50 2.00 1.50 0.50 3.50 0.50 2.00 2.00 15.00 1.50
1,254.00 627.00 836.00 1,463.00 1,254.00 627.00 3,135.00 627.00 1,254.00 1,254.00 12,331.00 1,233.10
Tenaga Kerja (HOK) 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 21 2
Plastik (pak) 6.00 2.00 4.00 6.00 6.00 3.00 6.00 3.00 6.00 6.00 48.00 4.80
Harga Output (kg) 14,000.00 13,000.00 13,000.00 14,000.00 14,000.00 13,500.00 14,000.00 14,000.00 14,000.00 14,500.00 138,000.00 13,800.00 1.20
70
71
Lampiran 2
Perbandingan penggunaan kedelai pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri Penggunaan kedelai pengusaha tempe pola kemitraan No. Resp.
Jumlah (kg)
Harga (Rp/kg)
Total/hari
Total/tahun
1
50.00
9,400.00
470,000.00
170,610,000.00
2 3 4 5 6 7 8
50.00 20.00 100.00 20.00 100.00 100.00 100.00
9,300.00 9,400.00 9,500.00 9,400.00 9,000.00 9,000.00 9,000.00
465,000.00 188,000.00 950,000.00 188,000.00 900,000.00 900,000.00 900,000.00
168,795,000.00 68,244,000.00 344,850,000.00 68,244,000.00 326,700,000.00 326,700,000.00 326,700,000.00
9 10 11 12
100.00 100.00 75.00 40.00
9,400.00 9,300.00 9,400.00 9,400.00
940,000.00 930,000.00 705,000.00 376,000.00
341,220,000.00 337,590,000.00 255,915,000.00 136,488,000.00
855.00
111,500.00
7,912,000.00
2,872,056,000.00
71.25
9,291.67
659,333.33
239,338,000.00
Jumlah Rata-rata
Penggunaan kedelai pengusaha tempe pola mandiri No. Resp.
Jumlah (kg)
Harga (Rp/kg)
Total/hari
Total / tahun
1 2 3 4 5 6 7
100.00 25.00 40.00 70.00 60.00 30.00 150.00
9,000.00 9,100.00 9,100.00 9,100.00 9,100.00 9,100.00 9,000.00
900,000.00 227,500.00 364,000.00 637,000.00 546,000.00 273,000.00 1,350,000.00
326,700,000.00 82,582,500.00 132,132,000.00 231,231,000.00 198,198,000.00 99,099,000.00 490,050,000.00
8 9 10
50.00 100.00 100.00
9,100.00 9,000.00 9,100.00
455,000.00 900,000.00 910,000.00
165,165,000.00 326,700,000.00 330,330,000.00
725.00
90,700.00
6,562,500.00
2,382,187,500.00
72.50
9,070.00
656,250.00
238,218,750.00
Jumlah Rata-rata
72
Perbandingan penggunaan ragi pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri Penggunaan ragi pengusaha tempe pola kemitraan
Lampiran 3
No. Resp.
Jumlah (kg)
Harga (Rp/kg)
Total/hari
Total/tahun
1 2 3 4 5 6 7 8
0.15 0.20 0.10 0.35 0.20 0.50 0.45 0.40
23,000.00 23,000.00 23,000.00 22,000.00 23,000.00 22,000.00 22,000.00 22,000.00
3,450.00 4,600.00 2,300.00 7,700.00 4,600.00 11,000.00 9,900.00 8,800.00
1,252,350.00 1,669,800.00 834,900.00 2,795,100.00 1,669,800.00 3,993,000.00 3,593,700.00 3,194,400.00
9 10 11
0.50 0.35 0.25
22,000.00 22,000.00 23,000.00
11,000.00 7,700.00 5,750.00
3,993,000.00 2,795,100.00 2,087,250.00
12
0.13
23,000.00
2,990.00
1,085,370.00
3.58 0.30
270,000.00 22,500.00
79,790.00 6,649.17
28,963,770.00 2,413,647.50 Total / tahun
Jumlah Rata-rata
Penggunaan ragi pengusaha tempe pola mandiri No. Resp.
Jumlah (kg)
Harga (Rp/kg)
Total/hari
1 2 3 4 5 6 7
0.30 0.20 0.15 0.25 0.20 0.20 0.65
22,000.00 23,000.00 23,000.00 23,000.00 23,000.00 23,000.00 22,000.00
6,600.00 4,600.00 3,450.00 5,750.00 4,600.00 4,600.00 14,300.00
2,395,800.00 1,669,800.00 1,252,350.00 2,087,250.00 1,669,800.00 1,669,800.00 5,190,900.00
8 9 10
0.20 0.35 0.35
23,000.00 22,000.00 22,000.00
4,600.00 7,700.00 7,700.00
1,669,800.00 2,795,100.00 2,795,100.00
Jumlah
2.85
226,000.00
63,900.00
23,195,700.00
Rata-rata
0.29
22,600.00
6,390.00
2,319,570.00
73
Perbandingan penggunaan air pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri Penggunaan air pengusaha tempe pola kemitraan
Lampiran 4
No. Resp.
Air (Liter)
Harga air (m3)
Total/hari
Total/tahun
1
418.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
2 3 4 5 6 7 8
836.00 418.00 2,090.00 418.00 2,090.00 1,254.00 1,254.00
2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00
2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00
798,600.00 798,600.00 798,600.00 798,600.00 798,600.00 798,600.00 798,600.00
9 10 11 12
1,254.00 1,254.00 627.00 418.00
2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00
2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00
798,600.00 798,600.00 798,600.00 798,600.00
Jumlah
12,331.00
26,400.00
26,400.00
9,583,200.00
1,027.58
2,200.00
2,200.00
798,600.00
Rata-rata
Penggunaan air pengusaha tempe pola mandiri No. Resp.
Air (Liter)
Harga air (0-10.000 liter)
Total/hari
1 2 3 4 5 6
1,254.00 627.00 836.00 1,463.00 1,254.00 627.00
2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00
2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00
7 8 9 10
3,135.00 627.00 1,254.00 1,254.00
2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00
2,200.00 2,200.00 2,200.00 2,200.00
Jumlah
12,331.00
22,000.00
22,000.00
1,233.10
2,200.00
2,200.00
Rata-rata
Total / tahun
798,600.00 798,600.00 798,600.00 798,600.00 798,600.00 798,600.00 798,600.00 798,600.00 798,600.00 798,600.00 7,986,000.00 798,600.00
74
Lampiran 5
Perbandingan penggunaan tenaga kerja pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri Penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe pola kemitraan No. Resp.
Tenaga Kerja Keluarga
Tenaga Kerja Non Keluarga
Jumlah Kerja (hari)
HOK Keluarga
HOK Non Keluarga
HOK Total
Harga Satuan (Rp)
1 2 3 4 5 6
2 2 2 0 2 2
0 1 0 3 0 0
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2
1 3 -
2 3 2 3 2 2
50.000,00 50.000,00 50.000,00 50.000,00 50.000,00 50.000,00
7 8 9 10 11 12
2 2 1 2 1 2
0 0 2 0 1 0
1 1 1 1 1 1
2 2 1 2 1 2
2 1 -
2 2 3 2 2 2
50.000,00 50.000,00 50.000,00 50.000,00 50.000,00 50.000,00
Jumlah
20
7
12
20
7
27
600.000,00
2
1
1
2
1
2
50.000,00
Rata-rata
Penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe pola mandiri No. Resp.
Tenaga Kerja Keluarga
Tenaga Kerja Non Keluarga
Jumlah Kerja (hari)
HOK Keluarga
HOK Non Keluarga
HOK Total
Harga Satuan (Rp)
1 2 3 4
2 2 2 2
-
1 1 1 1
2 2 2 2
-
2 2 2 2
50.000,00 50.000,00 50.000,00 50.000,00
5 6 7 8 9
2 2 1 2 -
2 2
1 1 1 1 1
2 2 1 2 -
2 2
2 2 3 2 2
50.000,00 50.000,00 50.000,00 50.000,00 50.000,00
10
-
2
1
-
2
2
50.000,00
Jumlah
15
6
10
15
6
21
500.000,00
2
1
1
2
1
2
50.000,00
Rata-rata
75
Lampiran 6
Hasil output minitab 15 model fungsi produksi tempe pola kemitraan Regression Analysis: Output ( kg ) versus Kedelai (kg), Ragi (kg), Air (liter), Tenaga Kerja (HOK) The regression equation is Output ( kg ) = 0.469 + 0.855 Kedelai (kg) - 0.0412 Ragi (kg) + 0.0417 Air ( liter) - 0.0018 Tenaga Kerja (HOK) Predictor Constant Kedelai (kg) Ragi (kg) Air ( liter) Tenaga Kerja (HOK) S = 0.0165623
Coef 0.4694 0.85505 -0.04124 0.04172 -0.00177
SE Coef 0.1462 0.01666 0.02190 0.01991 0.03064
R-Sq = 99.9%
PRESS = 0.0116893
T 3.21 51.31 -1.88 2.10 -0.06
P 0.015 0.000 0.102 0.074 0.956
VIF 4.304 5.860 6.253 1.266
R-Sq(adj) = 99.9%
R-Sq(pred) = 99.63%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 4 7 11
SS 3.13981 0.00192 3.14173
Source Kedelai (kg) Ragi (kg) Air ( liter) Tenaga Kerja (HOK)
DF 1 1 1 1
MS 0.78495 0.00027
F 2861.57
P 0.000
Seq SS 3.13827 0.00014 0.00140 0.00000
Unusual Observations Obs 3 5
Kedelai (kg) 3.00 3.00
Output ( kg ) 3.40120 3.33220
Fit 3.37642 3.34783
SE Fit 0.01219 0.01472
Residual 0.02478 -0.01563
St Resid 2.21R -2.06R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 2.15416 Mean -1.33227E-15 StDev 0.01321 N 12 KS 0.235 P-Value 0.066
76
Lampiran 7 Hasil output minitab 15 model fungsi produksi tempe pola mandiri Regression Analysis: Output ( kg ) versus Kedelai (kg), Ragi (kg), Air (liter), Tenaga Kerja (HOK) The regression equation is Output (kg) = 0.665 + 0.851 Kedelai (kg) + 0.0037 Ragi (kg) + 0.0111 Air ( liter) + 0.126 Tenaga Kerja (HOK) Predictor Constant Kedelai (kg) Ragi (kg) Air ( liter) Tenaga Kerja (HOK)
SE Coef 0.2401 0.03950 0.04873 0.04357 0.1263
R-Sq = 99.9%
S = 0.0230320 PRESS = *
Coef 0.6652 0.85065 0.00374 0.01109 0.1257
T 2.77 21.54 0.08 0.25 1.00
P 0.039 0.000 0.942 0.809 0.365
VIF 9.032 7.234 8.120 4.451
R-Sq(adj) = 99.8%
R-Sq(pred) = *%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 4 5 9
Source Kedelai (kg) Ragi (kg) Air ( liter) Tenaga Kerja (HOK)
SS 2.35749 0.00265 2.36014 DF 1 1 1 1
MS 0.58937 0.00053
F 1111.03
P 0.000
Seq SS 2.35510 0.00117 0.00069 0.00053
Unusual Observations Obs 2 6 7
Kedelai (kg) 3.22 3.40 5.01
Output (kg) 3.52636 3.74950 5.15329
Fit 3.55589 3.71099 5.15329
SE Fit 0.01829 0.01403 0.02303
Residual -0.02953 0.03852 0.00000
St Resid -2.11R 2.11R * X
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large leverage. Durbin-Watson statistic = 2.07456 Mean 4.440892E-17 StDev 0.01717 N 10 KS 0.287 P-Value 0.029
77
77
Lampiran 8
Penerimaan, biaya, dan pendapatan usahatani tempe pola kemitraan dan pola mandiri
(Rupiah/tahun) No. 1
Uraian
Pengusaha Pola Mandiri
Biaya Tunai Biaya Tetap
Sewa Bangunan
2,880,000.00
2,970,000.00
643,152.78
641,141.67
239,338,000.00
238,218,750.00
Ragi
2,413,747.50
2,319,570.00
Gas
8,659,818.75
9,020,550.00
Air
798,600.00
798,600.00
Tenaga Kerja Luar Keluarga
10,587,500.00
10,890,000.00
Plastik
11,116,875.00
13,068,000.00
Transportasi
10,496,750.00
10,890,000.00
286.934.444,03
288.816.611,67
30,250,000.00
27,225,000.00
30,250,000.00
27,225,000.00
317.184.444,03
316.041.611,67
Penyusutan Alat Produksi Biaya Variabel
Kedelai
Sub Total 2
Biaya Pengusaha Pola Kemitraan
Biaya Non Tunai Biaya Variabel Sub Total Total Biaya
Tenaga Kerja Dalam Keluarga
78
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 23 Maret 1989. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Ky. Acep Almutahar dan Ibu Solihat. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 2002 di SDN Citalaga. Pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) diselesaikan di SLTP Negeri 1 Pabuaran pada tahun 2005, kemudian masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Cisaat Sukabumi pada tahun yang sama dan menyelesaikan pendidikan SMA pada tahun 2008. Penulis diterima masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 penulis masuk pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif pada beberapa organisasi kemahasiswaan seperti menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM TPB IPB) tahun 2008, staff Departemen Kewirausahaan BEM TPB IPB periode 2008 – 2009. Selama menempuh studi, penulis mendapatkan beasiswa dari PEMDA JABAR pada tahun 2008 – 2009 dan beasiswa BUMN (Badan Usaha Milik Negara) pada tahun 2012.