ANALISIS MINGGUAN
PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI Vol.1 No.14
Mengapa Kita Demikian Sakit!
Minggu IV - Juni 2007
Atomisasi Masyarakat A
HLI politik Michael Edwards mengatakan bahwa atomisasi masyarakat adalah suatu keadaan di mana warga menjadi terus terfragmentasi dan makin kehilangan keinganan untuk menegosiasikan kepentingankepentingan bersama mereka. Atomisasi selalu ditandai dengan erosi terhadap rasionalitas, meningkatnya polarisasi dan intoleransi yang juga terus digerakan dan dimainkan oleh politisi dan media. Politik berubah menjadi zero-sum game di mana kemenangan menjadi satu-satunya tujuan. Ahli politik seperti Theda Skocpol mengatakan bahwa atomisasi masyarakat telah menghancurkan jembatan yang menghubungkan berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat yang mestinya bisa memperjuangkan program yang menjadi sandaran dan kebutuhan masyarakat banyak. Sementara itu, mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dalam sebuah kesempatan menempatkan atomisasi masyarakat sebagai gejala dari “social exclusion” atau peminggiran secara sosial terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung. Dalam konsepsi yang lebih klasik, atomisasi masyarakat dapat didekati dengan konsep keterasingan atau alienasi. Dengan ini yang dimaksud adalah bahwa dasar-dasar pendirian subyektifitas manusia telah hilang sedemikian rupa karena termakan oleh produksi komoditi. Pada kelas-kelas yang lebih miskin, alienasi dialami sebagai eksploitasi. Sementara pada kelas pemilik modal dan penguasa, alienasi dialami dalam bentuk kesenangan dan kenikmatan. Masyarakat kita kini mengalami atomisasi, sehingga peminggiran secara sosial berakibat ke tindakan bunuh diri, amuk massa, main hakim sendiri, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan tindakan lainnya
Kerusuhan 14 Mei 1998 - Tempophoto (Bodi Chandra)
Tempophoto (Gunawan Wicaksono)
M
ENGAPA kita begitu gampang marah? Orang dibakar di jalanjalan. Suami membunuh istri, istri bunuh diri bersama anak-anak, anak-anak membunuh anak-anak yang lain. Mengapa kita begitu gampang stress dan tertekan? Narkoba merajalela dan kekerasan bisa begitu dahsyat mengubah karakter orang. Suami, pacar, istri yang semula baik-baik, bisa begitu cepat dan gampang berubah menjadi pembunuh sadis. Atau anak-anak muda dengan gampang menjadi massa beringas yang mengherankan orang-orang. Apa yang sedang terjadi di masyarakat kita? Di satu sisi kita melihat upaya mensalehkan masyarakat secara luar biasa dengan berbagai cara, tapi pada arah yang lain, kekerasan, jarum suntik, narkoba, bunuh diri makin meningkat dan gampang ditemukan. Depresi landa 94% penduduk Indonesia (Kompas, 21/6/2007). Laporan ini disampaikan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kepada Presiden beberapa waktu lalu. IDI secara jelas menyebutkan bahwa akibat depresi ini adalah ketidakpatuhan, pasrah, dan tidak berpengharapan atas hidup yang dijalani. Sayangnya riset IDI ini tidak menyebutkan mengapa depresi bisa muncul demikian massif? ...Bersambung ke Halaman 3
2
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.14/2007
Rumah: Biduk yang Makin Retak
B
ELAKANGAN ini kita dikejutkan oleh serentetan kasus penganiayaan suami terhadap istri; mulai dari penyiksaaan sampai penyiraman air keras dan pembakaran. Yang terakhir adalah beberapa kasus pembunuhan istri oleh suami. Kasus-kasus tersebut hanya sebagian saja dari kekerasan dalam rumah tangga (KRDT) yang terkuak belakangan ini. Angka kekerasan dalam rumah tangga meningkat hampir empat kali lipat dalam kurun waktu 2004-2006. Menurut Laporan Tahunan Komnas Perempuan, dari 4310 kasus pada 2002, akhir 2006 tercatat 16.709 kasus kekerasan. Jumlah tersebut diperoleh dari LSM, Media Massa, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama berdasarkan pengaduan dan laporan korban atau orang terdekat korban kekerasan. Bentuk tindak kekerasan tidak hanya fisik, tapi juga ekonomi dan psikis. Kekerasan fisik pada tahun 2006 sebesar 12%, ujudnya bisa dilihat dalam bentuk yang paling sederhana seperti memar atau luka, sampai patah tulang dan kematian korban. Kekerasan yang paling banyak jumlahnya adalah kekerasan dalam bentuk ekonomi, sekitar 20%. Ini bisa berupa ancaman untuk tidak memberi nafkah, ancaman untuk mengirim istri menjadi TKI. Kekerasan psikis tidak kelihatan secara kasat mata. Data yang terkumpul mencapai 1798 kasus atau 12%. Bentuk kekerasan seperti ini menimbulkan ketakutan, ketidakberdayaan dan rasa terhina, akhirnya korban secara psikikologis menjadi sakit secara mental dan yang paling ekstrim adalah bunuh diri. Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya melibatkan pasangan suami-istri, tapi juga mengambil sasaran anak dan pembantu rumah tangga. Konflik suami dan istri bisa berimbas sampai ke anak dan pembantu
rumah tangga. Walaupun angkanya tergolong kecil, yakni 3,6%, anak bisa jadi korban langsung dan tidak langsung sebuah konflik orangtua. Bentuk kekerasan langsung pada anak, ketika orang tua melakukan kekerasan secara fisik dan psikis, sedangkan korban kekerasan tidak langsung dapat berupa perceraian orang tua atau hilangnya rasa aman di rumah. Dari Laporan Komnas Perempuan, pelaku dan korban kekerasan dalam rumah tangga bisa berasal dari berbagai lapisan masyarakat, suku bangsa dan latar belakang pendidikan. Di lihat dari sisi pendidikan, baik korban maupun pelaku kekerasan dalam rumah tangga, tersebar dalam semua jenjang dan tingkat pendidikan, mulai dari sekolah dasar sampai lulusan perguruan tinggi. Pelaku dan korban juga tidak mengenal usia. Dari 32 propinsi yang didata, hampir di semua daerah terdapat pelaku dan korban yang berusia 13-18 tahun. Tidak semua kasus terjadi pada keluarga yang bermasalah dengan ekonomi. Dari sisi pekerjaan atau sumber penghasilan, pelaku kekerasan berasal dari berbagai latar belakang profesi dan jabatan. Jadi tidak ada faktor tunggal yang dominan sebagai penyebab kekerasan dalam rumah tangga. Laporan itu merupakan gambaran nyata tindakan kekerasan yang makin meluas. Tidak ada batas pendidikan, status sosial-ekonomi, usia dan faktor kesukuan. Ada apa dengan keluarga-keluarga kita? Bukankah sinetron agama, acara-acara rohani berbagai agama penuh mewarnai tontonan di ruangruang utama keluarga? Bukankah juga setiap hari opera sabun, lawak, musik, tak kurang-kurangnya menyelusup di tiap rumah? Mengapa keluarga-keluarga kita demikian tertekan? Dari hamparan data di atas, kekerasan memang bersifat lintas
kelas. Namun, jelas bahwa yang menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Jadi meskipun lintas kelas tapi tetap memperlihatkan dominasi jender! Perempuan selalu menjadi sasaran dan obyek pelampiasan berbagai ketegangan sosial/ekonomi/politik yang dibawa laki-laki ke rumah. Contoh paling ekstrim misalnya dalam kejadian di mana si istri dibunuh karena menolak berhubungan intim. Atau istri yang disiram air keras karena suaminya cemburu. Suami menganggap tubuh/wajah/ hidup istri adalah miliknya bukan milik si istri. Dengan itu ia merasa berhak memperlakukan tubuh itu sebagai obyek hasrat dan obyek kekerasan sekaligus. Kekerasan dalam bentuk seperti di atas, memperlihatkan lemahnya perlindungan dan jaminan hukum terhadap perempuan. Ini yang membuat perempuan dengan gampang jatuh menjadi korban di rumahrumah mereka sendiri. Belajar dari kasus ini, jelas bahwa hukum harus bertindak secara tegas untuk memberikan pelajaran agar kejadian serupa tidak terulang. Masyarakat juga bisa belajar untuk memandang perempuan/istri/anak sebagai subyek yang dilindungi hukum sehingga tidak dapat diperlakukan secara sewenangwenang. Untuk kasus yang lain, di mana kekerasan terhadap perempuan lebih karena efek ketegangan sosial/ekonomi suami yang terbawa ke dalam rumah tangga, maka upaya penanganan harus dilakukan secara lebih baik. Selain perlindungan hukum, pemerintah juga perlu membangun dan menyediakan sarana-sarana konseling umum dan menganjurkan orang untuk mulai berani berhubungan dengan badan-badan konseling. Ini penting untuk mencegah agar orang tidak mengambil tindakan-tindakan nekad
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.14/2007 Sambungan dari Halaman 1... Mengapa Masyarakat Kita Demikian Sakit!
Kalau gejala gangguan jiwa dialami satu dua orang, kita barangkali masih boleh menyebutnya gejala penyimpangan mental individual, tapi kalau gejala gangguan kejiwaan ini diidap hampir seluruh populasi, maka ini sudah menjadi gejala sosiologis dan politik. Artinya, sebab-sebabnya juga mesti dicari pada hubunganhubungan sosial politik yang lebih luas di dalam masyarakat kita. Banyak orang sudah tahu bahwa narkoba menghancurkan kehidupan, tapi toh pengetahuan itu tidak mencegah orang menggunakannya. Buat sebagian, yang terjadi malah: justru karena narkoba menghancurkan hidup saya, maka saya pakai narkoba. Logika yang sama juga terjadi dalam sejumlah kasus bunuh diri: justru karena bunuh diri akan mengakhiri hidup saya, maka saya bunuh diri. Banyak orang kehilangan kepercayaan kepada kehidupan secara umum. Kehidupan, keluarga sudah tidak dianggap lagi sebagai sandaran bagi penyelesaian masalah. Dalam tahap yang lebih besar, negara dan masyarakat sudah tidak dianggap lagi bisa membantu menyelesaikan masalah. Aku hidup dalam dan dengan diriku semata-mata! Pada gejala suami-suami yang dengan gampang membunuh istri, sebab yang sama juga ditemukan. Di hadapan dunia, masyarakat, pekerjaan, aku sudah sama sekali tidak berdaya! Simak saja latar belakang seluruh pelaku kekerasan rumah tangga belakangan ini: suami yang kalah dalam karir, pengangguran dan bangkrut. Laki-laki yang kalah di hadapan tekanan relasi sosial, ekonomi dan politik di dunia di luar sana. Kekuasaan yang tersisa padanya hanya tinggal kekuasaan atas tubuh istrinya. Maka tubuh ini yang kemudian dia lampiaskan sebagai jalan pelampiasaan kekalahannya. Di sini fakta yang sama juga ditemukan: yakni bahwa pada mereka hanya tinggal “aku” dan
diriku yang tidak berarti! Dalam ketidak berartianku, semua menjadi musuh dan bebanku. Logika ini yang pada akhirnya menghantarkan orang kepada persimpangan antara dua fatalisme: menghilangkan dengan membunuh yang menjadi bebanku atau mengakhiri hidupku sendiri! Fatalisme, kebuntuan — atau dalam istilah IDI hilangnya harapan — adalah lambang dari merosotnya apa yang disebut Slavoj Zizek sebagai the Big Other (struktur/negara dan masyarakat). Ini berlangsung karena kita hidup di dalam era kapitalis maju di mana segala urusan mesti diselesaikan dalam hukum komoditi yang paling subtil di segala bidang. Pendidikan, kesehatan, pekerjaan, bahkan seksualitas dan kegembiraan: semua terstruktur di bawah hukum-hukum anonim komoditi. Berhadapan dengan struktur semacam ini, setiap individu rupanya harus menghadapinya secara sendirisendiri. Tidak ada negara, karena negara masih terus sibuk mengatasi kemerosotan eksistensinya sendiri setelah dirontokkan reformasi selama hampir satu dasawarsa. Atau terlalu banyak digerogoti dari dalam dirinya. Juga tidak ada saluran kebudayaan yang bisa dijadikan sandaran, karena kebudayaan juga sudah lama dimakan oleh komodofikasi, birokratisasi dan formalisasi agama. Dulu kekosongan ini masih bisa dihadapi oleh individu-individu secara bersama-sama melalui asosiasiasosiasi informal seperti keluarga dan kekerabatan. Namun, entah bagaimana serangan dan keterpecahan sosial ini sudah sedemikian dalam, sehingga terhadap keluarga pun orang sudah semakin kehilangan kepercayaan. Akibatnya orang hidup semata-mata bagi dan untuk dirinya sendiri, tanpa ikatan, tanpa jaminan sosial, kultural dan sokongan dari lingkungan. Kita hidup dalam era tanpa solidaritas; terpecah seperti atom-atom yang terasing satu sama lain. Dalam kondisi semacam ini, satu-satunya yang mencoba masuk
3
untuk mencoba menjadi jalan keluar dan mengajukan tawaran adalah politik suku, agama dan kedaerahan (etnisitas). Tawaran-tawaran ini terbukti tidak memberikan penyelesaian. Realitas empirik memperlihatkan bahwa sementara radikalisme suku, agama dan kedaerahan meningkat, keterasingan dan atomisasi tidak makin berkurang. Walaupun tidak bisa dipungkliri bahwa kaum fatalis memang selalu bisa menjadi energi yang dahsyat untuk politik protofasistik di manapun. Lantas bagaimana persoalan ini mesti dihadapi? Ada dua kemungkinan; yang pertama tentu saja dengan melihat ke dalam potensi-potensi masyarakat sendiri. Mendorong warga untuk membentuk persekutuanpersekutuan mandiri yang bisa membangun solidaritas dan kebersamaan. Tapi kemungkinan ini bukan tanpa resiko; semenjak rasisme dan intrusi politik identitas demikian kencang menancap di dalam masyarakat, maka sulit untuk mengharapkan bisa terbangun solidaritas yang memadai di dalam tubuh masyarakat sendiri untuk mengatasi masalah ini. Kemungkinan kedua adalah dengan mendorong dan menyehatkan kembali fungsi serta kapasitas sosial negara. Kita mesti mendorong negara untuk lebih aktif menghadirkan dirinya dalam berbagai rupa program sosial ke masyarakat. Menghidupkan kembali berbagai bentuk aktivitas kebudayaan, mendorong warga untuk terlibat dalam berbagai aktivitas aestetis. Pada tingkat yang lain perlu dihidupkan “struktur pengantara” yang menjembatani kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan negara dalam rupa berbagai asosiasi swadaya. Pada tingkat yang lebih praktis, harus ada langkah untuk menghapus tabu berobat mengatasi persoalan kejiwaan. Pemerintah mesti menghidupkan dan membiasakan program dan pelayanan kesehatan mental, dalam rupa pelayanan konseling di puskemas-puskesmas dan posyanduposyandu
4
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.14/2007
Amuk Massa dan Depresi Sosial Absennya Fungsi Negara Sosial dan Merebaknya Berbagai Kerusuhan Massa
D
I tahun-tahun akhir kekuasaan Soeharto, sejumlah kerusuhan dan amuk massa terjadi di beberapa kota di Indonesia. Beberapa di antaranya terjadi di Purwakarta (1995), Pekalongan (1995), Jakarta (27 Juli 1996), Situbondo (1996), Tasikmalaya (1996), Sanggau Ledo (1997), Tanah Abang Jakarta (1997), Rengasdengklok (1997), Banjarmasin (1997) dan puncaknya Perisitiwa 13-15 Mei 1998 di Jakarta, Bandung, Solo, Medan dan Palembang. Isu pokok dalam kerusuhan-kerusuhan itu adalah agama dan rasialisme anti-Cina. Di era reformasi justru berbagai kerusuhan dan amuk massa terjadi hampir di setiap ibu kota kabupaten. Isu-isunya pun lebih beragam, seperti ketidakpuasan terhadap pejabat publik, kepolisian, konflik internal partai politik, pertikaian antar kampung, pertikaian antar etnis (Kalimantan) juga isu agama seperti di Maluku dan Poso. Pertanyaannya adalah: mengapa massa mudah mengamuk, merusak bahkan membunuh? Pelakunya pun beragam, tidak pandang latar belakang sosial dan ekonomi. Apakah dengan maraknya berbagai kasus tersebut bisa disimpulkan amuk massa merupakan ciri khas atau watak masyarakat Indonesia?
Tindakan Amuk di Nusantara
Amok atau Amuck dalam bahasa Inggris, maupun Amouco dalam bahasa Portugis diambil dari kata “Amuk” yang merupakan kosa kata dalam bahasa Melayu. Istilah ini diambil dari berbagai studi, catatan perjalanan, atau misi keagamaan orang-orang Eropa di kepulauan Nusantara, seperti The Suma Oriental (Ditulis awal abad ke-16) karya Tome Pires, The History of Sumatra (1783) karya William Marsden, Voyages to the
East Indies karya John Splinter Stavorinus (1798), The History of Java (1817) karya Thomas Stamford Raffles, History of the Indian Archipelago (1820) karya John Crawfurd, The Malay Archipelago (1869) karya Alfred Russel Wallace dan studi kontemporer The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali (1995) karya Geoffrey Robinson. Secara umum studi-studi dan catatan-catatan itu menunjukkan bahwa kekerasan jenis amuk merupakan tindakan khas di beberapa wilayah Nusantara, jauh sebelum kolonialisme Portugis maupun Belanda. Bentuknya seperti duel atau perkelahian (baik di kalangan masyarakat bawah maupun kalangan ningrat). Duel merupakan kebiasaan menantang orang lain untuk berkelahi sampai mati, jika keduanya tidak mencapai suatu kesepakatan terhadap suatu hal atau soal. Atau juga bentuk-bentuk kekejaman yang dilakukan para penguasa pribumi. Tome Pires menggambarkan kebiasaan di Jawa mengenai laki-laki berusia duabelas tahun ke atas yang umum membawa keris di pinggangnya (sampai hari inipun di beberapa daerah adalah biasa dan wajar laki-laki membawa senjata tajam sehari-hari). Stavorinus mendeskripsikan kekejaman dan kebrutalan para penguasa pribumi dalam menjatuhkan hukuman kepada para penjahat (misalnya hukum tombak di Sulawesi atau diberikan kepada binatang liar, seperti harimau yang lapar). Stavorinus hanya sampai pada pendeskripsian bahwa kekejaman merupakan bagian dari ritus di beberapa masyarakat di Nusantara. John Crawfurd menilai penduduk Nusantara memiliki jiwa pendendam, dan ditambah dengan keti-
dakadilan dan pemerintahan yang buruk memicu terjadinya amuk. Menurut Crawfurd, “Amuck means generally an act of desperation, in which the individual or individuals devote their lives, with few or no chances of success, for the gratification of their revenge”. Demikian juga dengan karya Alfred Wallace yang mendeskripsikan kebiasaan berperang antar suku Dayak di Kalimantan. Karya Geoffrey Robinson — berdasarkan catatan-catatan misionaris Inggris di Bali pada abad 17 — mendeskripsikan orang Bali “kejam, suka perang, dan mudah marah serta menjadi amok”, dengan tindakan intrik politik dalam keluarga bangsawan, perang berkelanjutan antar kerajaan, perbudakan dan praktikpraktik sosial barbar seperti pembakaran janda yang merupakan norma dalam masyarakat Bali. Dalam buku Freek Colombijn dan Thomas Lindblad (Ed) Roots of Violence in Indonesia (2002), yang dimaksud dengan Amok atau Amuck adalah: “frenzied and indiscriminate homicidal attack of an individual on a group of people, with suicidal intent; the attack was a response to a grave insult, and the death of the amok runner restored his dignity” (hal.10). Jadi amuk lebih dimaknai sebagai suatu bentuk tindakan mematikan (membunuh) yang dilakukan di luar kontrol, dan tanpa pandang bulu, dari seorang individu terhadap sekelompok orang, sebagai respon terhadap suatu yang menyinggung, dan kematian si pelaku amuk dianggap sebagai sesuatu yang mengembalikan harga dirinya. Kalau dilihat secara umum, studi-studi klasik dan kontemporer tersebut melihat bahwa kekerasan merupakan sesuatu yang inheren dalam masyarakat Indonesia, yang
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.14/2007
semakin dibentuk oleh penindasan pemerintah (baik pemerintah kolonial maupun para penguasa pribumi), dan ketidakadilan sosial-ekonomi. Faktor “kebrutalan” para penguasa kolonial maupun pribumi semakin membentuk karakter tindakan amuk di banyak daerah di Nusantara. Jadi sejarah perkembangan masyarakat Indonesia telah membentuk tindakan kekerasan terkondisi di dalam struktur pikiran setiap orang Indonesia. Pola ini kembali diulang di masa Orde Baru, lewat kekerasan polisi dan militer, bentuk penghukuman sadis (seperti penembakan misterius atau Petrus, dan pembantaian tahun 1965), arogansi penguasa dan pejabat pemerintah pusat dan daerah baik militer maupun sipil, dan dikerangkakan oleh kesenjangan sosial dan ekonomi, serta kebuntuan apresiasi politik. Maka, setelah faktor penekan itu runtuh (rejim Orde Baru), maka meledaklah dendam sosial individuindividu dalam bentuk kerusuhan massa. Amuk Massa di Era Reformasi: Depresi Sosial?
Jika bentuknya diperluas menjadi amuk massa, bukan aksi individu, pretensi para pelaku dalam melakukan pengrusakan maupun pembunuhan, dilakukan tanpa rasa bersalah. Dianggap suatu yang “biasa”, sehingga umumnya tidak muncul penyesalan setelah tindakan dilakukan. Dalam beberapa media massa maupun televisi, orang dekat dari pelaku amuk umumnya menggambarkan pelaku sebagai orang yang sopan, ramah, santun dan banyak yang taat beribadah. Orang-orang dekat ini biasa mengaku terkejut bahwa pelaku bisa melakukan tindakan yang menyebabkan kematian satu atau lebih orang lainnya. Baik itu yang dilakukan secara individual, maupun dalam suatu amuk massa. Dalam tindakan amuk massa, individu telah kehilangan identitas individualnya, dan lebur dalam iden-
titas massa atau kerumunan orang. Seakan-akan tindakan yang dilakukan atas nama atau identitas orang banyak menjadi sah, dan bisa dianggap sebagai sesuatu yang heroik. Identitas si individu menjadi lebur dalam identitas massa, yang membuat si individu kehilangan identitas dirinya sebagai orang yang santun, ramah dan sopan, menjadi bagian massa yang marah, beringas dan destruktif. Dalam identitas massa tersebut, maka sosok manusia yang menjadi sasaran amuk bukan lagi dilihat sebagai manusia, tetapi sebagai “yang lain” yang bukan “seperti dirinya” dan “bukan kita”, sehingga cukup pantas dan layak untuk dimusnahkan, tanpa harus merasa bersalah. Sejarah masyarakat Indonesia yang lekat dengan kekerasan, menjadi referensi individu yang sudah lebur dalam identitas massa. Ketimpangan sosial dan ekonomi, keruwetan politik, ketidakpercayaan pada sistem, institusi dan aparat hukum, dan ingatan terhadap penindasan negara, menumbuhkan depresi sosial yang meledak menjadi kemarahan. Ini jelas bisa dilihat dalam berbagai amuk massa di era reformasi yang terjadi dalam jumlah yang sangat besar. Diawali peristiwa 13-15 Mei 1998, aksi main hakim sendiri terhadap pelaku copet (dipukuli atau dibakar ramai-ramai sampai mati), pertikaian antar kampung, antar pemeluk agama, antar pendukung kepala daerah/tokoh politik (misalnya massa yang marah dan membakar kantor bupati,), antar anggota partai politik, antar etnis, sejumlah siswa yang merusak sekolah karena tidak lulus ujian, sejumlah perkelahian atau aksi kerusuhan oleh suporter sepakbola dan lainnya. Semua dikanalisasi pada saat identitas individu lebur dalam identitas massa atau kerumunan orang banyak. Tindakan tak terkontrol dan tidak pandang bulu meletup saat bersama kerumunan massa. Hanya butuh satu tindakan pemantik, seketika kerumunan massa menjadi
5
beringas. Reformasi hari ini masih mengemban beban berat yang diwariskan Orde Baru, yakni depresi sosial akibat berbagai tekanan, yang memudahkan individu menjadi lebur dalam tindak amuk massa. Peran Negara Sosial Sebagai Salah Satu Obat Depresi Sosial
Tekanan ekonomi-sosial-politik bisa menjadi faktor munculnya depresi sosial, yang didukung pula absennya fungsi negara sosial, untuk menyediakan ruang bagi penyelesaian depresi sosial. Bisa juga dilihat karena tidak adanya penyaluran untuk menyelesaikan problem individu maupun sosial dari suatu situasi krisis. Selama ini kita hidup dalam situasi krisis, baik krisis sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Saluran moralitas agama sampai hari ini tidak sanggup memberikan jalan keluar dari krisis. Saluran keadilan sosial-ekonomi dan politik yang beradab belum bisa disediakan. Saluran kebudayaan semakin mengarah pada konsumerisme, yang justru menyalakan bara api krisis. Dalam hal ini maka fungsi negara sosial menjadi penting untuk hadir, dan menyediakan saluran-saluran untuk keluar dari krisis-krisis itu, bukan hanya bagi komunitas, juga bagi setiap individu, untuk mampu keluar dari depresi sosial. Negara diperlukan untuk dapat mendorong komunitas-komunitas dan asosiasi-asosiasi masyarakat berperan dalam menumbuhkan solidaritas sosial. Komunitas dan asosiasi bisa menjadi ruang kolektif untuk membicarakan, mendiskusikan dan menyelesaikan problem sosial di tingkat lokal, agar bisa menjadi benteng untuk bertahan dalam menghadapi krisis, dan tidak tersalurkan menjadi kemarahan sosial. Dalam kondisi ideal seperti ini, kita bisa berharap depresi sosial bisa ditekan seminimal mungkin, dan yang masih tersisa punya tempat untuk keluar dari krisis itu, tanpa menjadi tindakan amuk massa
6
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.14/2007
Menemukan Kebersamaan Pentingnya Peran Kelompok-kelompok Intermediasi “Wo aber Gefahr ist, Wächst das Rettende auch” (Ketika terdapat bahaya, yang menyelamatkan bertambah pula) Hölderlin - Penyair Jerman
L
APORAN Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang depresi yang dialami 94% penduduk Indonesia menggenapi sejumlah peristiwa negatif lainnya, baik yang dianggap bersifat personal (KDRT, bunuh diri) maupun kolektif (amuk massa, kekerasan yang mengatasnamakan agama dan rasial). Peristiwa-peristiwa negatif itu mengusik dan mengancam fondasi kemanusiaan yang tengah kita bangun dari reruntuhan bangunan kekerasan masa silam. Ancaman itu memang bisa membawa kita pada sikap pesimis dan apatis terhadap persoalanpersoalan sosial yang berada di sekitar kita. Bagaimana tidak, peristiwa-peristiwa itu hadir atau dihadirkan tanpa jeda ke dalam kenyamanan kemah nurani kita. Tetapi sesungguhnya, ancaman itu bisa mendorong kita untuk memasuki kedalaman relung memori kolektif yang telah dibenamkan begitu lama oleh kekuasaan otoritarian Orde Baru. Kedalaman memori itu adalah kebersamaan. Kebersamaan yang telah dikumpulkan oleh para pendiri bangsa ini dari serpihan penderitaan rakyat. Berangkat dari dua konsekuensi diatas, tulisan ini akan memaparkan konteks sosial yang yang tengah kita geluti dan kemungkinan solusi bersama yang bisa dilakukan ke depan.
Hidup yang Penuh Resiko
Menurut Anthony Giddens (Jalan Ketiga, 1999, yang ditegaskan kembali dalam Runaway World, 2001), kehidupan manusia saat ini ditandai oleh apa yang disebutnya sebagai “manufactured risk” atau resiko yang muncul sebagai dampak perkembangan pengetahuan manusia tentang dunia. Dengan menggunakan metafora juggernaut (truk raksasa), kita semua seakan berada dalam juggernaut yang meluncur bebas tanpa bisa kita kendalikan. Yang penting dari gagasan Giddens adalah upayanya untuk memperlihatkan bahwa berbagai masalah yang melanda manusia — baik individual maupun kolektif — sesungguhnya tidak terlepas dari relasi manusia dengan dunianya. Untuk memahami maksud Giddens, kita bisa lihat contoh yang diambil oleh Giddens tentang fenomena keretakan keluarga (tradisional) di Eropa. Menurut Giddens, keretakan keluarga itu tidak terlepas dari munculnya kecenderungan seperti peningkatan persamaan jenis kelamin, meluasnya keterlibatan perempuan dalam angkatan kerja, perubahan dalam perilaku dan harapan seksual, dan perubahan antara rumah dan pekerjaan. Berkaitan dengan contoh Giddens di atas, kita bisa lihat contoh yang pernah terjadi di Indonesia beberapa waktu yang lalu, pada diri seorang ibu yang membunuh anakanaknya dan kemudian membunuh dirinya sendiri. Tragedi itu tidak bisa kita pisahkan dari ketakutan sang ibu terhadap nasib anakanaknya di tengah beban hidup yang tak tertanggungkan.
Tragedi sang ibu di atas sesungguhnya adalah tragedi kita semua. Tragedi itu mewakili kecemasaan jutaan ibu di negeri ini akan nasib anak-anaknya dalam sistem ekonomi kita yang belum pulih. Jalan Kebersamaan
Giddens tidak mau terjebak dalam jalan buntu akibat ancaman yang mengurung kemanusiaan kita. Dengan mengambil makna kata resiko yang berasal dari bahasa Portugal yang berarti “berani”, Giddens menawarkan cara pandang baru tentang makna resiko, yaitu kesempatan dan inovasi yang bisa kita ambil dari semua peristiwa negatif itu. Senada dengan Giddens, Habermas mengajukan konsep krisis sebagai awal sikap kritis manusia untuk memulai perubahan yang lebih baik (bukankah kita berhasil menjatuhkan Orde Baru karena krisis yang kita alami bersama?). Dengan adanya resiko, kita akan mengulang pengalaman pendahulu kita yang berani mengambil kesempatan dan inovatif secara bersama-sama untuk menyatakan kemerdekaannya. Pertanyaannya, bagaimana cara kita bersamabersama menghadapi resiko? Siapa yang terlibat dalam keberanian itu? Komunitas
Seringkali beban begitu berat dipikul secara individual, tragisnya beban itu tidak bisa dia bagikan bersama orang lain, sebagaimana kisah sang ibu di atas. Tercerabutnya individu dari komunitasnya dan komunitas kehilangan mekanisme untuk membantu anggota-anggotanya adalah penyebab terjadinya atomisasi masyarakat
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.14/2007
dan pudarnya solidaritas sosial. Dengan demikian, revitalisasi komunitas menjadi hal yang mendesak, sebagaimana Hannah Arendt mengatakan “kekuasaan terjadi di antara manusia-manusia, jika mereka bertindak bersama…” (Lihat F. Budi Hardiman, 2005). Bangkitnya kesadaran komunitas bisa kita simak pengalaman gerakan kelompok kecil di Amerika yang diperlihatkan oleh riset yang dilakukan oleh Robert Wuthnow. Kelompok-kelompok kecil ini bertemu secara regular membicarakan persoalan mereka bersama (Giddens, 1999). Dalam konteks Indonesia, memudarnya kekuasaan negara memungkinkan tumbuhnya komunitas-komunitas, baik yang berbasis pada kesamaan wilayah maupun kepentingan. Seperti tumbuhnya keberanian komunitas petani dalam krisis tanah di Alas Tlogo, Pasuruan. Juga bisa kita lihat bagaimana komunitas korban politik Orde Baru membangun mekanisme bersama untuk saling menguatkan ditengah trauma yang membekas dari masa silam (Lihat Budiawan, 2004). Di arah yang lain, kebangkitan komunitas menunjukkan wajah yang kelam seperti menguatnya komunitas primordial berbasis agama dan etnik, sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Ignas Kleden (2004) tentang ancaman terhadap ruang publik oleh kekerasan komunal. Kebangkitan peran komunitas dan upaya menghindari pemisahan komunitas atas dasar perbedaan agama dan etnik merupakan prasyarat penting untuk membantu setiap individu mengenali resiko yang dihadapinya dan sekaligus bersama-sama mencari jalan keluar. Peran Kelompok-kelompok Intermediasi
Hannah Arendt menawarkan gagasan tentang organisasi-diri dari warganegara, seperti LSM, pers, lemba-
7
Sumber foto: www.warsi.or.id
ga keagamaan, serikat buruh, koperasi, dll, yang memediasi komunikasi publik antara rakyat dengan penguasa. Fungsi dari lembaga-lembaga intermediasi itu adalah melindungi individu dari paksaan kelompok, menangkis intervensi negara terhadap rakyatnya, sekaligus membentengi sistem politik dari anarki (Lihat Hardiman, 2005), menjadi refleksi yang penting dalam konteks relasi negara-rakyat di Indonesia. Di era Orde Baru, negara tampil begitu dominan dan sebaliknya rakyat begitu lemah. Pada momen ini lembaga intermediasi mampu tampil sebagai pelindung dan penginisiasi kebangkitan kekuatan rakyat. Sebaliknya dalam era transisi, negara seakan-akan absen dalam urusan publik, menyisakan rakyat yang berjuang sendirian menghadapi problem-problem sosial yang baru seperti ancaman neo-liberal di bidang ekonomi, kerusuhan horisontal yang mengatasnamakan agama, etnik, dan depresi sosial. Dalam kondisi seperti itu, peran lembaga intermediasi menjadi pen-
ting untuk membantu masyarakat mencari solusi yang tepat untuk mengatasi resiko. Tumbuhnya kelompok-kelompok relawan seperti Komunitas Sanggar Akar yang setia membantu anak-anak jalanan, Yayasan Pulih yang mendampingi korban-korban kekerasan di berbagai tempat di tanah air, dan masih banyak contoh lainnya, menjadi bukti bahwa masih banyak orang baik di luar sana sebagaimana optimisme yang dipancarkan dalam penggalan puisi Hölderlin di atas. Pelbagai masalah sosial yang mewujud dalam penderitaan kolektif dan individual adalah resiko yang kita hadapi saat ini. Resiko itu menuntut kita untuk berani mengambil kesempatan dan menemukan solusi yang inovatif. Hal itu hanya bisa terjadi ketika kita membuka diri terhadap penderitaan orang lain, dan ketika kebersamaan menjadi tumpuan penyelamatan kemanusiaan
8
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.14/2007
Aksi Main Hakim Sendiri Absennya Negara dalam Menegakkan Aturan dan Keteraturan
P
ADA masa menjelang dan setelah jatuhnya rejim Suharto, muncul satu fenomena. Ketika seorang pelaku kejahatan tertangkap basah oleh massa, akan diperlakukan secara brutal dan sadis. Dipukuli beramai-ramai sampai mati, bahkan ada satu “trend” baru, yakni membakar hidup-hidup copet/maling yang tertangkap. Di kereta api jurusan Jakarta-Bogor, copet yang tertangkap selain digebuki sampai sekarat, juga dilempar ke luar saat kereta masih berjalan. Fenomena ini memunculkan sebuah pertanyaan, mengapa pada masa itu main hakim sendiri yang brutal bentuk tindakannya marak terjadi? Penelitian-penelitian yang dilakukan menunjukkan adanya tingkat kepercayaan yang begitu rendah terhadap institusi penegak hukum. Menurut hasil studi Mujahid A. Latief (MAPPI, 2005), masyarakat menaruh kecurigaan yang sangat besar terhadap kemungkinan adanya rekayasa hukum yang dilakukan oleh penegak hukum. Masyarakat menilai bahwa penegak hukum dalam menjalankan tugasnya telah melakukan tindakan yang justru bertentangan dengan hukum dan etika sebagai penegak hukum). Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan The Asia Foundation & AV Nielsen (2001), sistem hukum dinilai tidak melindungi (49%); tidak ada persamaan di muka hukum (38%); dan hukum dinilai masih tetap korup (57%) . Hasil penelitian di atas setidaknya memberikan gambaran tentang pandangan masyarakat bahwa hukum tidak bekerja dengan baik. Menurut Lawrance Friedmann, apakah hukum bekerja dengan baik atau tidak, dapat dilihat dari bangunan hukumnya. Bangunan hukum tersebut terdiri atas tiga bagian, yaitu: instrumen hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
Dilihat dari instrumen hukumnya, meskipun sebagian besar merupakan warisan kolonial Belanda, sudah banyak peraturan perundangundangan telah dibentuk untuk memberantas kejahatan, dari yang biasa hingga yang paling berat sekalipun. Tetapi, aturan tersebut tidak sepenuhnya bekerja ketika struktur hukumnya lemah. Hampir setiap tahapan penyelesaian hukum belum bisa membebaskan diri dari praktik suap. Perilaku aparat penegak hukum — dari polisi, jaksa, panitera hingga hakim — yang korup telah mengakibatkan pengadilan menjadi bobrok. Di era reformasi telah ada upaya membenahi pengadilan yang bobrok dengan membentuk state auxiliary bodies, antara lain: Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, serta Komisi Yudisial. Tetapi, pembentukan komisi-komisi tersebut masih belum mampu menciptakan proses pengadilan yang bersih. Sementara itu, masyarakat semakin tidak percaya dengan institusi-institusi hukum, yang pada akhirnya, apresiasi terhadap hukum semakin buruk. Hukum tetap tidak dipercaya dan kehilangan kewibawannya. Ini artinya, budaya Terdapat lingkaran setan yang mengakibatkan hukum tidak bekerja dengan baik. Masyarakat lebih memilih menerapkan cara peradilannya sendiri ketimbang diserahkan kepada negara — yang diujudkan dengan main hakim sendiri. Represi Orde Baru meninggalkan jejak dalam ujud depresi sosial, membawa masyarakat ke arah atomisasi. Di titik ini, hukum dan peraturan tidak mampu memberikan jalan keluar. Individu memilih penyelesaian dengan cara sendiri, baik dengan meleburkan diri dengan kemarahan massa atau tindakan individual, seperti membunuh, atau bentuk kekerasan
brutal dan sadis lainnya. Hal tersebut tidak terlepas pula karena hilangnya daya paksa oleh negara — sebagai pemegang otoritas — agar hukum ditaati. Pada masa Soeharto, hukum lebih dipatuhi ketika penguasa hadir dalam bentuk ancaman dengan senjata. Sementara itu, dalam era reformasi ini, negara absen dalam menciptakan situasi ketaatan terhadap hukum. Oleh karena itu, selain pembenahan upaya-upaya agar hukum kembali bekerja, diperlukan kehadiran negara untuk menegakkan law and order. Tentu saja bukan dengan ancaman senjata atau bentukbentuk kekerasan lainnya, tetapi kehadiran negara dalam kerangka demokrasi
Analisis Mingguan ini diterbitkan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Redaksi Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Elisabet R. Kuswijayanti Fajrimei A. Gofar Hendrik Bolitobi Ikravany Hilman Isfahani Otto Pratama Rachlan Nashidik Robby Kurniawan Robertus Robet Santi Nuri
Alamat Redaksi Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 http://www.p2d.org E-mail:
[email protected]