ANALISIS MINGGUAN
PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI Vol.1 No.19
Minggu V - Juli 2007
Saatnya Memulai Perubahan: Refleksi atas Piala Asia 2007
Kemuliaan Sepak Bola H
sepak bola dengan nasionalitas telah mendapatkan banyak perhatian akademisi di Barat. Sejumlah riset sudah dilakukan, mulai dari sejarah sepak bola, formasi nasional dan birokratisasinya. Ada pula riset yang secara khusus menekankan peranan sepak bola dalam mempromosikan dan menantang ekspresi orang banyak terhadap identitas nasional. Pemahaman mengenai hubungan sepak bola dan identitas nasional suatu bangsa juga terbentuk secara historis. Penelitian Russel mengenai sepak bola Inggris mencatat bahwa setidaknya hingga tahun 1930-an sepak bola tidak dianggap memiliki kaitan dengan ekspresi identitas nasional. Ini terjadi karena tidak adanya keteraturan permainan dan ketidakmampuan sepak bola pada masa itu dalam “menangkap” konsepkonsep ke-Inggrisan. Baru pada masa 1970-an dan 1980-an dengan munculnya gejala “hooliganism”, pertautan sepak bola dan nasionalisme membangkitkan perhatian orang. Dari sini sepak bola makin menarik perhatian dunia politik; khususnya dalam hal pengaruh kepada identitas nasional, serta penyalahgunaan yang dilakukan oleh kelompok nasionalis ekstrim (Jakie Abell dkk, 2006). Seperti halnya di negara lain, sepak bola di Indonesia selalu lebih rumit dari sekedar sepak bola. Semua orang, baik secara diam-diam maupun terbuka, menyadari secara penuh bahwa di dalam sepak bola terhimpun harapan banyak orang. Sepak bola bukan sekedar olah raga sebelas orang, ia adalah olah raga massa. Dengan kata lain, sepak bola adalah olah raga yang berhasil mentransformasikan dirinya menjadi sebuah “seni drama partisipatoris”, di mana antara pemain/artis dan penonton terbangun persatuan hingga penonton dan pemain menjadi dua pihak yang sama pentingnya di stadion-stadion. Tepat sekali apabila penguasa Liga Inggris dua dasawarsa terakhir Manchester United, menjuluki stadion mereka dengan istilah “Theatre of Dream”. Karena stadion memang bukan lagi sekedar lapangan rumput yang dingin, melainkan telah menjadi teater yang merenda perjalanan mimpi kebersamaan jutaan orang. Ini yang menyebabkan banyak pihak seperti birokrat, pejabat militer, politisi dan pemodal tertarik untuk menguasai sepak bola. Ada mimpi yang ingin mereka kuasai, atau setidaknya ada mimpi orang banyak yang bisa ditumpangi. Entah karena sekedar untuk cuci diri, mencari popularitas (apalagi menjelang kampanye), atau hanya untuk memperoleh pekerjaan (lihat saja ada pengurus PSSI yang berpuluh tahun itu-itu saja orangnya). Adanya mimpi kolektif yang demikian dahsyat di dalam sepak bola masih bisa kita rasakan dari Kejuaraan Sepak Bola Piala Asia beberapa waktu yang lalu. Lepas dari soal kalah menang dan tetek bengek teknis sepak bola yang sebenarnya juga menarik untuk dibahas, terdapat satu UBUNGAN
... bersambung ke halaman 2
Sumber: www.pssi-football.com
P
RESTASI tim nasional (Timnas) kita di Piala Asia 2007 lalu, cukup menggembirakan di tengah carut-marutnya kompetisi dan isu suap yang menerpa dua petinggi PSSI. Kalau kita mau jujur, prestasi Timnas lebih karena faktor dukungan penonton dan semangat tak kenal lelah dari para pemain untuk merebut bola jengkal demi jengkal, ketimbang keberhasilan kompetisi dan keberhasilan program PSSI. Masih membekas dalam ingatan kita tentang kepengecutan Timnas ketika bermain “sepak bola gajah” melawan Thailand beberapa tahun yang lalu. Demi menghindari pertemuan dengan Vietnam dan agar bisa berhadapan dengan Singapura yang lebih lemah, Mursyid Effendi melakukan gol bunuh diri. Pada titik ini hancurlah nasionalisme sebagai satu-satunya kebanggaan yang tersisa di tengah keringnya prestasi, kompetisi yang buruk, pembinaan usia muda yang tidak jalan, dan janji-janji muluk lewat pengiriman tim muda kita ke luar negeri. Di Piala Asia kemarin, nasionalisme sudah kita temukan kembali lewat perjuangan tak kenal gentar dari pemain kita menghadapi lawan bertaraf internasional seperti sejumlah pemain Korea. ... bersambung ke halaman 4
2
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.19/2007
Sambungan dari halaman 1 Kemuliaan Sepak Bola...
fenomena yang patut untuk kita simak dengan serius. Fenomena itu adalah munculnya semangat tentang “Identitas Nasional”. Sepanjang kompetisi, perhatian orang banyak tersedot ke dalam Peristiwa. Dan Peristiwa itu sendiri menjadi semacam “momen kebenaran” yang diharapkan meng-afirmasi sesuatu, yakni bahwa “Kita, Indonesia ada”. Penonton, baik yang menyaksikan secara langsung maupun melalui televisi, merupakan “yang banyak” yang melebur ke dalam sebelas pemain. Peleburan itu sendiri dibalut oleh perasaan yang misterius tentang “kekitaan”, yang hanya dapat dilihat dari kibaran bendera, himne-himne, teriakan dan keletihan akibat perjalanan panjang dari Jawa menuju Senayan. Dari sini, kemudian terjadi proses pembalikan. Setelah yang banyak terlebur ke dalam yang sebelas, gantian setelah itu, yang sebelas terangkat menjadi yang banyak. Pada titik ini rakyat banyak, pemain dan identitas nasional menyatu dalam satu bayangan tentang bangsa. Akhirnya, bayangan ini yang kemudian menjaga dan menghimpun orang banyak itu untuk terus masuk dalam momen. Nasionalisme di dalam sepak bola adalah nasionalisme yang paling generik karena ia muncul dari bawah dan dari harapan banyak orang. Harapan di dalam nasionalisme sepak bola juga bersifat otentik karena ia tidak dipatri di atas klaimklaim “kampungan” yang biasa didengungkan birokrat dan militer Orde Baru yang rasis, palsu dan hipokrit, melainkan di atas klaim prestasi. Di dalam sepak bola ada kemuliaan yang demikian romantik, yang menarik secara bersama-sama baik orang baik-baik maupun para bajingan dan koruptor. Dengan karakter semacam itu, maka sepak bola selain dahsyat juga sekaligus rentan terhadap berbagai
Dukungan pelajar dan mahasiswa Solo kepada Timnas. Sumber: Antara - Andika Betha
percobaan kooptasi dan manipulasi. Lihat saja kesebelasan AC Milan yang dikuasai konglomerat dan penguasa semi fasis Berlusconi. Meski kompetisi sepak bola Italia nyaris bangkrut secara moral akibat suap oleh kesebelasan semacam Juventus dan AC Milan, tapi toh Berlusconi tetap berkukuh dengan AC Milan. Ada identitas yang sudah terbentuk. Di sini yang berperan bukan lagi sekedar uang, tetapi kekuasaan dan popularitas yang ditumpangi. Lihat juga PSSI, ketuanya mendekam di penjara karena perkara korupsi, tapi tetap terus bertahan sebagai ketua. Lihat juga pernyataan mantan PM Inggris Tony Blair menjelang Piala Dunia lalu yang menyatakan, “Tidak ada yang lebih penting saat ini selain kaki David Beckham”. Di daerah-daerah, para pejabat sipil dan militer berlomba-lomba ikut campur dalam urusan sepak bola. Gejala ini memiliki dua sisi: buruk dan baik. Buruk, karena dengan itu sepak bola terus dikooptasi di bawah politik birokrasi dan keamanan negara. Baik, karena pada saat yang sama sepak bola berkemungkinan mentransformasi konflik kedaerahan yang di Indonesia muncul secara kuat belakangan ini. Akan menjadi sangat baik, apabila di masa depan orang-orang di daerah lebih mengidentifikasi diri mereka
sebagai anggota sebuah klub ketimbang sebagai anggota suku-agama A, B atau C. Konflik antara pendukung sepak bola — meski bisa meresahkan — tetap lebih lunak dan gampang diatasi ketimbang konflik suku dan agama. Namun demikian, sekali lagi, lepas dari berbagai upaya pemaknan di atasnya, perlu ditegaskan sekali lagi bahwa di dalam sepak bola ada semacam keagungan dan kemuliaan tersendiri. Keagungan dan kemuliaan itu terpatri oleh karena harapan dari jutaan orang yang mencintai permainan ini. Oleh karenanya, sepak bola harus diperlakukan sebagai common good. Ia harus diperlakukan sebagai bagian dari harta kekayaan publik. Dengan demikian, ia harus dilindungi dari kooptasi, dijauhkan dari tangan-tangan kotor yang hanya ingin memanipulasi dan memanfaatkannya sekedar demi popularitas, uang, jabatan dan pekerjaan. Sebagaimana kesehatan, makanan, perumahan, maka hak dan harapan orang banyak kepada sepak bola juga harus dilindungi. Di sini pemerintah wajib untuk terus menjaga dan meningktakan kualitas sepak bola nasional, membersihkannya dari citra buruk dengan mengusir koruptor, tukang suap dan mafia dari dunia sepak bola kita (Rbt)
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.19/2007
3
PSSI dan Kegagalan Piala Asia 2007 T
semua penggemar fanatik sepak bola Indonesia menginginkan kemenangan dalam Piala Asia 2007 lalu. Nyatanya, ada juga yang menginginkan Indonesia kalah. Mengapa? Segelintir orang itu bukannya tidak suka sepak bola, justru sebaliknya mereka sangat suka dan cinta pada sepak bola. Karena cinta pada sepak bola, khususnya sepak bola Indonesia, mereka berharap Indonesia kalah. Menurut mereka, kalau Indonesia menang dan lolos ke babak berikutnya, maka itu akan menjadi pembenaran atas program dan kinerja Pengurus PSSI selama ini. Untuk persiapan Piala Asia ini, negara-negara seperti Korea, Jepang, Arab Saudi mempersiapkan kesebelasannya selama dua tahun. Itupun ditunjang dengan kompetisi dalam negeri yang profesional. Sementara Indonesia hanya melakukan persiapan selama 3-4 bulan. Oleh karenanya apakah layak jika kita berharap lebih? Selama kurun waktu 16 tahun terakhir ini tidak ada satupun prestasi PSSI yang dapat dibanggakan. Kompetisi antar klub dalam negeri yang menjadi tulang punggung dan tolak ukur dari kemajuan sepak bola secara nasional, semakin turun mutunya. Berbagai macam skandal seperti suap, kerusuhan suporter dan pemukulan wasit hampir tiap tahun terjadi. Belum lagi masalah dalam tubuh kesebelasankesebelasan yang bertarung dalam Liga Indonesia yang selalu sama dari tahun ke tahun dan tidak pernah terselesaikan, mulai dari infrastruktur klub dan pendanaan. Pembinaan PSSI pun nampaknya tetap bergeming dengan pola dan cara yang sama dari tahun ke tahun. Sepak bola tidak bisa lagi dikelola secara tradisional. Proses perubahan sistem ekonomi dan poliAK
Sumber: Tempophoto - Hermansyah
tik secara global juga berimbas pada organisasi sepak bola. Dengan demikian organisasi sepak bola seperti PSSI tidak lagi mempunyai otoritas tunggal atas sebuah kesebelasan. Organisasi sepak bola mau tidak mau harus melibatkan pihak lain di luar kepengurusan, seperti sponsor, suporter dan media massa. Di negara maju, manajemen sepak bola bahkan melibatkan pasar modal. Perputaran uang, pemain dan guliran kompetisi yang profesional menjadi magnet tersendiri sebagai penarik investor. Belakangan ini klub-klub yang bermain di Liga Mandiri, masih saja bersikeras mempertahankan sumber pendanaan klub, yaitu APBD, dengan mengacu pada UU No.3/2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Bahkan mereka mengancam akan mundur dari kompetisi jika APBD dilarang sebagai sumber dana. Ketergantungan semacam ini tidak akan menjadikan sebuah klub menjadi maju dan mandiri. Namun malah membuat pengurus klub menjadi manja dan malas, karena apapun hasil dan capaian klubnya, dana selalu tersedia. Klub tidak perlu bersusah payah menjaring penonton, karena penjulan tiket tidak signifikan
menambah kas. Sementara itu, masyarakat enggan mengeluarkan uang untuk sebuah pertandingan yang tidak bermutu. Padahal klub Inggris seperti Liverpool misalnya, memperoleh pendapatan paling besar lewat penjualan tiket. Saat ini, dari 36 klub sepak bola, hanya 4 saja yang didanai oleh pihak swasta yaitu PS Semen Padang, PS Pupuk Kaltim, PS Sriwijaya dan PS Semen Gresik. Meski begitu, investasi dalam klub sepak bola masih juga dianggap merugi. Oleh karenanya pendanaan itu dianggap sebagai sekadar sumbangan. Menurut Handojo dari PT Djarum dan Henny Susanto dari PT HM Sampoerna, sponsor enggan membiayai sepak bola di Indonesia karena jadwal pertandingan yang berubah-ubah, mutu pertandingan yang dipertanyakan
Analisis Mingguan Diterbitkan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Redaksi Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Elisabet R. Kuswijayanti Fajrimei A. Gofar Ikravany Hilman Hendrik Bolitobi Isfahani Ivan Otto Pratama Rachlan Nashidik Robby Kurniawan Robertus Robet Santi Nuri Alamat Redaksi Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 Email:
[email protected] Website: http://www.p2d.org
4
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.19/2007
dan anarkisme penonton (Kompas, 7/5/2007). Ditilik dari potensi pasarnya, olah raga sepak bola sebenarnya bisa menjadi bisnis yang menggiurkan. Paling tidak, olah raga ini telah mempunyai pendukung fanatik yang tersebar pada masing-masing kesebelasan. Sayangnya, bisnis ini belum tergarap dengan baik. Seharusnya PSSI mampu mengelola persepakbolaan Indonesia secara baik. PSSI masih merasa dirinya sebagai penguasa tunggal sepak bola Indonesia. Perilaku dan mentalitas pengurus PSSI juga turut memperburuk kualitas sepak bola Indonesia. Kompetisi sepak bola nasional rusak akibat praktek suap, pengaturan skor dan sikap tidak sportif klub dan penegakan hukum yang diskriminatif. PSSI juga gagal dalam membangun kemandirian sepak bola. Tentang profesionalisme di PSSI, Sekretaris Jenderal Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) Peter Velappan pernah mengingatkan agar sebaiknya PSSI dikelola dengan baik. Dengan pengelolaan
Sambungan dari halaman 1 Saatnya Memulai Perubahan...
Kita boleh berbangga dengan penemuan itu, dan harusnya menjadi awal yang baik dalam memajukan persepak bolaan nasional. Sebagaimana upaya PSSI di masa lalu untuk menunjukkan eksistensinya di hadapan Netherlandsch Indische Voetball Unie (Organisasi Sepak bola Belanda di Hindia Belanda) lewat prestasi sejumlah bond sepak bola PSSI dengan mengalahkan bond-bond NIVU (Srie Agustina Palupi, 2000). Usaha memajukan sepak bola nasional tentunya dimulai dari perubahan dalam tubuh PSSI itu sendiri. Mengapa harus PSSI? Jawaban atas pertanyaan itu terletak pada pelajaran apa yang bisa dipetik dari peng-
Sumber: Antara - Prasetyo Utomo
seperti ini, sepak bola Indonesia akan semakin sulit berkembang. Kegagalan dalam Piala Asia 2007, harusnya jadi pertimbangan PSSI mengevaluasi kembali kinerjanya. Dalam proses itu PSSI sudah saatnya melibatkan pihak-pihak yang
terlibat dalam sepak bola seperti, penonton, sponsor, media massa dan pemerintah untuk bersama-sama membenahi sepak bola Indonesia. Karena bagaimanapun juga, sepak bola Indonesia tidak hanya milik PSSI (Ivn)
alaman historis PSSI pada masa silam dan kemudian membandingkannya dengan pengalaman sejumlah organisasi sepak bola nasional dari negara lain. Ada tiga hal penting yang bisa menjadi refleksi terhadap PSSI, yaitu kompetisi, pembinaan usia muda, penegakan aturan hukum dan disiplin. Di masa awal berdirinya, PSSI berupaya menjaga semangat bondbond sepak bola dengan mengadakan kompetisi yang rutin, walaupun di tengah ancaman perang dan rivalitas dengan organisasi sepak bola kolonial. Saat ini, PSSI tidak dapat memberi jaminan terhadap jalannya kompetisi dari tahun ke tahun. Kita terus menyaksikan PSSI bereksperimen mulai dari perubahan format wilayah, meniadakan degradasi, sampai dengan keinginan menyusutkan jumlah
peserta menjadi 18 tim di tahun 2008. Kalau kita mau belajar dari Jepang, sebelum dasawarsa 1980-an, kita tidak mengenal para pemain Jepang, tetapi saat ini kita mengenal siapa itu Nakata, Sunshuke Nakamura, Shinji Ono, K.H.Seol, dll. Kemunculan para pesepak bola Jepang yang mendunia ini tak lepas dari buah kompetisi yang mulai dijalankan secara terorganisir sejak 1980-an. Soal yang kedua adalah pembinaan sepak bola usia muda. Di masa lalu, pembinaan usia muda dilakukan di dalam kompetisi, sedangkan di PSSI sejak 1980-an sampai saat ini, ingin memperoleh hasil yang instant dengan mengirim tim-tim muda untuk belajar ke luar negeri. PSSI Garuda (belajar di Brasil), Primavera dan Bareti (di Italia) dan terakhir PSSI U-23 di Belanda,
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.19/2007
5
Skuadsenior PSSI. Sumber: www.pssi-football.com
adalah produk instant yang diharapkan akan menciptakan pesepak bola muda Indonesia. Biaya besar yang dikeluarkan nampaknya tidak sepadan dengan prestasi yang didapatkan. Memang muncul sejumlah nama seperti Kurniawan dan Bambang Pamungkas misalnya, tetapi kebanyakan para pemain yang baru pulang dari belajar di luar negeri itu kemudian masuk dalam kompetisi yang tidak jelas. Akibatnya, bakatbakat muda tersebut menjadi sia-sia, kita hampir tidak pernah mendengar lagi nama-nama seperti Yeyen Tumena, Ilham Romadhona, dll. Demikian juga halnya dengan upaya memaksakan para pemain muda yang telah belajar di luar negeri ke dalam salah satu klub divisi dua. Ini menyebabkan mereka mengalami kesenjangan antara pengetahuan praktek dan teori sepak bola yang diperoleh di luar negeri dengan rendahnya kualitas kompetisi di divisi bawah. Maka, menjadi jelas bahwa pembinaan para pemain muda harus berbasis pada ajang kompetisi yang baik. Kesempatan ini perlu agar para pemain muda secara bertahap bisa menunjukkan bakat tekniknya dan
pengetahuan sepak bola. Yang ketiga, menyangkut ketidakkonsistenan PSSI dalam menegakkan aturan hukum. Kita pernah mendengar keluhan mantan Ketua Komisi Disiplin (Komdis) PSSI, Togar M. Nero tentang dibatalkannya atau adanya pengurangan hukuman
Ada tiga hal penting yang bisa menjadi refleksi terhadap PSSI, yaitu kompetisi, pembinaan usia muda, penegakan aturan hukum dan disiplin.
yang dilakukan oleh Komisi Banding atas keputusan yang telah ditetapkan Komdis. Belum lagi kasus terakhir soal isu suap yang menimpa anggota Komisi Eksekutif Kaharudin Syah dan Togar M. Nero. Tidak menjadi
jelas batas antara penegakan hukum dan hubungan personal ketika menyaksikan Togar M. Nero berpelukan dengan Wakil Ketua Tim Pencari Fakta PSSI atas kasus suap tersebut, Muhammad Zein usai menyaksikan kemenangan Timnas atas Bahrain (Kompas, 11/7/2007). Kita tidak bisa bersikap tegas seperti Vietnam misalnya. Organisasi sepak bola Vietnam pada beberapa waktu yang lalu, telah menghukum sejumlah pemain nasionalnya karena terlibat perjudian. Vietnam berani mengambil resiko kehilangan sejumlah pemain pilar, tetapi ternyata prestasi di Piala Asia kemarin cukup membanggakan. Ketidakberanian dan ketidakkonsistenan PSSI tidak lepas dari lemahnya faktor kepemimpinan duet Nurdin Halid-Nugraha Besoes. Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI punya masalah sebagai mantan narapidana kasus korupsi. Memang dia punya pengalaman yang panjang dalam dunia sepak bola, baik di tingkat lokal maupun nasional. Tetapi kasus korupsinya sangat mengganggu perjalanan sepak bola nasional yang sedang berupaya bangkit dari puing-
6
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.19/2007
puing kehancuran. Ketidakberaniannya mengambil sikap membuat dia menolak permintaan banyak pihak untuk menonaktifkan Togar M. Nero demi independensi penyelidikan. Nugraha Besoes adalah orang yang menduduki jabatan Sekjen PSSI sejak 1983 di era kepemimpinan Kardono. Nyaris tanpa jeda (hanya diselingi oleh Soeparjo Pontjowinoto (1991-1995) dan Tri Goestoro (19992003)), Nugraha dianggap oleh banyak Ketua Umum layak untuk menduduki jabatan Sekjen. Sangatlah mengherankan seorang pejabat yang begitu lama berkecimpung dalam organisasi sepak bola nasional tidak banyak belajar dari kesalahan dan kelemahan masa lalunya. Nugraha banyak sekali terlibat dalam keputusan perubahan kompetisi, ini menunjukkan bahwa dia tidak punya pengetahuan yang visioner tentang bagaimana sebuah kompetisi sepak bola nasional harusnya dijalankan. Kelemahan duet pimpinan PSSI itu telah mendorong sejumlah pihak untuk membicarakan ide tentang restrukturisasi PSSI terutama kepemimpinannya, tetapi lagi-lagi dengan memanfaatkan pengalamannya, Nugraha berhasil meredam dan meniadakan rencana Munaslub yang digagas sejumlah Pengda PSSI. Berangkat dari refleksi atas ketiga poin di atas, sudah menjadi suatu keharusan untuk memulai perubahan dalam tubuh PSSI. Bukan lagi masanya, kita tidak punya kepastian tentang roda kompetisi, menghamburhamburkan uang untuk mengirim sebuah tim muda belajar di luar negeri sedangkan kompetisi di dalam negeri sendiri berantakan dan memaafkan oknum-oknum yang telah bersalah hanya karena kedekatan personal. Inilah saatnya kita membicarakan kebutuhan akan adanya kepengurusan baru PSSI yang lebih tanggap dengan perubahan, yang punya pengetahuan yang visioner tentang bagaimana memajukkan persepakbolaan nasional (Hen)
Sepakbola dan Politik P
Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Millenium Development Goals (MDGs), secara eksplisit meletakan olah raga sepak bola sebagai instrumen penting yang dapat mendukung keberhasilan program pengentasan kemiskinan. Negara diminta oleh PBB untuk mengarusutamakan olah raga dalam agenda kebijakan negara. Pengarusutamaan olah raga ini bisa sangat serasi dengan kewajiban negara terutama dalam perspektif hak asasi manusia; pemenuhan, promosi dan perlindungan dan juga pemberantasan korupsi. Ada dua model besar dalam hubungan negara dan olah raga khususnya sepak bola. Pertama, model yang masuk dalam tradisi negara libero-kapitalis, yang percaya pada peran negara yang minimal. Urusan olah raga bukan bagian dari politik kenegaraan. Tapi pada prakteknya, negara juga tergoda untuk ikut ambil peran dalam cabang olah raga yang populer ini. Intervensi negara biasanya terbatas pada isu soal utilisasi fasilitas umum dan ketertiban. Jadi negara mengambil peran sebagai sang regulator penyelenggara kegiatan olah raga. Negara tidak turut campur dalam urusan internal pengorganisasian olah raga tersebut. Peran pembinaan adalah sepenuhnya kebijakan internal dari organisasi olah raga yang bersangkutan. Peran regulator adalah ketika negara memberikan rangsangan untuk pihak swasta dalam penyelenggaraan kegiatan olah raga. Contoh yang paling khas adalah penyelenggaraan kegiatan Olimpiade 1992 dan juga Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Ketika itu negara memberikan peran sebesar-besarnya kepada sponsor swasta. Negara hanya berperan dalam menjamin keamanan dan ketertiban dalam perERSERIKATAN
helatan akbar tersebut. Para pejabat publik yang hadir adalah sebagai penonton adalah bagian dari acara seremonial dan petugas keamanan. Kedua, model etatis. Model ini mengandaikan peran penting negara dalam membina, mengolah dan mengatur olah raga. Olah raga merupakan bagian dari politik di mana kepentingan politik negara dapat langsung dimanifestasikan. Jadi olah raga dimasukkan sebagai bagian penting dari instrumen politik rejim. Model ini biasanya diadopsi penuh oleh rejim-rejim totaliter dan fasistis. Peran sentral negara di sini adalah sebagai fasilitator, regulator dan operator dari segenap kegiatan olah raga, terutama cabang olah raga yang populer di masyarakat. Dalam model etatis, kegiatan penyelenggaraan suatu peristiwa olah raga dikaitkan langsung dengan agenda politik yang sedang dijalankan rejim. Contoh klasik adalah penyelenggaraan Piala Dunia 1934, dimana Benito Musolini yang ketika itu berkuasa di Italia berusaha keras memaksa penyelenggaraan perhelatan sepakbola akbar ini diselenggarakan di negerinya. Saat itu kesebelasan nasional Italia dipaksa bermain dengan taruhan “menang atau mati “. Keadaan serupa terjadi di Argentina pada tahun 1978 di mana rejim junta militer pimpinan Jendral Jorge Videla menggelar acara Final Piala Dunia. Acara perhelatan ini memang bagian yang telah direncanakan oleh rejim untuk mengalihkan perhatian publik domestik dan internasonal mengenai kondisi buruknya keadaan darurat perang, yang sering disebut sebagai “perang kotor” . Sepak bola telah bermetamorfosis menjadi proyek historis rejim. Satu contoh proyek historis yang digarap dengan seksama adalah
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.19/2007
7
Piala Dunia 1978 di Argentina. Sumber: http://soccer.sportsnet.tsn.ca
menjadikan tim nasional sepakbola Argentina sebagai juara dunia. Ketika itu Argentina memang belum pernah meraih gelar juara dunia sepak bola. Bandingkan dengan kedua negara tetangganya seperti Uruguay dan Brasil. Petinggi rejim yakin betul jika proyek ini berhasil maka publik segera akan melupakan semua kekejaman dan ketidakbecusan mereka. Ini sebabnya juga rejim Videla menghalalkan semua cara; mulai dari penggelaran sampai pemenangan Final Piala Dunia 1978. Kedua rejim tersebut percaya dengan proyek historisnya ini sehingga nekat menggelembungkan hutang luar negeri Argentina demi penyelenggaraan acara akbar. Hutang luar negeri ini dipakai untuk membangun infrastruktur penunjang fasilitas olah raga khususnya pembangunan stadion baru karena stadion yang ada telah beralih fungsi sebagai kamp tahanan operasi militer yang digelar di seantero Argentina. Klub sepak bola yang bernaung di bawah stadion itu juga dibubarkan atau bermetamorfosis menjadi kaki tangan rejim. Ada pula stadion baru dibangun yang letaknya tidak jauh dari stadion lama yang telah jadi kamp konsentrasi. Pembangunan stadion baru tersebut barangkali bisa dimaknai sebagai simbol orde yang
baru (rejim militer), sekaligus membuktikan bahwa sepak bola berhasil membius bukan saja warga Argentina tapi penonton bola seantero dunia. Pola Indonesia Apabila kita mengacu pada dua model tadi - khususnya untuk olah raga sepak bola - agak sulit untuk memasukkan Indonesia secara utuh dalam salah satu model. Dari sekian banyak kemungkinan, kelihatannya faktor ketidakkonsistenan dari sebuah kebijakan (policy) lah yang menentukan model hubungan negara dan olah raga di Indonesia. Secara garis besar ada empat fase sejak Indonesia merdeka sangat memengaruhi pekembangan olah raga. Pertama, periode setelah kemerdekaan sampai akhir 1950-an. Kedua, periode 1960-an sampai awal tahun1970-an. Ketiga, fase dari tahun 1970-an sampai 1998. Dan keempat, 1998 sampai sekarang. Pada periode 1950-an ketika masa demokrasi parlementer, tradisi hubungan yang dianut adalah seperti model libero-kapitalisme. Unsur politik dan ideologi yang meramaikan arena politik ketika itu tidak ada pengaruhnya sama sekali pada perkembangan klub sepak bola. Subsidi negara terhadap cabang olah
raga juga masih belum ada atau dibicarakan secara serius. Semua adalah hasil swadaya warga negara yang memiliki antusiasme terhadap olah raga bola tersebut. Memang, apa yang dinamakan Perserikatan Sepak bola — sebagaimana namanya — adalah kumpulan dari berbagai macam klub sepak bola. Klub sepak bola adalah unit dari sekumpulan para pengemar olah raga bola yang menggabungkan diri. Warga negara dari beragam macam latar belakang biasanya ikut mengambil bagian dalam salah satu klub sepak bola yang ada tempat tinggalnya. Sebagai contoh mungkin Perserikatan Sepak Bola Jakarta (Persija) yang menjalankan fungsinya sebagai wadah dari klub-klub kecil. Tim Nasional ketika itu adalah hasil dari proses seleksi, rekrutmen dan konsolidasi dari beragam pemain yang berasal dari klub-klub dan serikat sepak bola seantero negeri. Prestasi historis yang terjadi pada periode ini dan masih selalu dijadikan acuan dan dikenang adalah prestasi yang diukir pada tahun 1956. Ketika itu Tim Nasional Indonesia berhasil mencetak skor 1-1 dengan Uni Sovyet dalam pertandingan final sepak bola Olimpiade Melbourne. Peran minimalis negara ini
8
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.19/2007
berubah pada awal 1960-an ketika Soekarno melirik potensi olah raga yang bisa dijadikan instrumen politik luar negerinya. Soekarno yang sedang getol berkampanye soal kolonialisme memakai olah raga sebagai alat kampanye. Selama periode ini intervensi negara dalam bidang olah raga dimulai dengan investasi besarbesaran fasilitas olah raga, seperti pembangunan ISTORA Senayan untuk acara Asian Games 1962 dan perhelatan Games of the New Emerging Forces (GANEFO) 19631966. Bentuk intervensi negara dalam pemberian subsidi untuk urusan pemuda dan olah raga ketika itu baru pada tahap dibicarakan, karena kondisi keuangan negara yang memburuk. Periode Soeharto sebenarnya melanjutkan yang sudah dirintis pada periode Soekarno. Pada periode ini bentuk intervensinya menjadi lebih dari sekedar pemberian subsidi tetapi masuk ke dalam internal organisasi kepengurusan olah raga. Organisasi kepengurusan olah raga khususnya sepak bola diperlakukan sebagai organisasi massa, seperti organisasi onderbouw GOLKAR. Pengurus persepakbolaan nasional diduduki oleh kalangan elit (militer) yang sebenarnya tidak terlalu tahu atau peduli mengenai olah raga atau sepak bola. Akibatnya, pada periode ini klub kecil sepak bola mulai berguguran atau mati dengan bermacam sebab; mulai dari ketiadaan lapangan, hilangnya animo untuk menjadi anggota, sampai tidak adanya kompetisi yang jelas. Bersamaan dengan oil boom pada tahun 1970-an, pada masa ini sepak bola memperoleh subsidi besar. Periode oil boom ini berakhir ditahun 1980-an saat negara mulai mengundang swasta untuk masuk ke dunia olah raga untuk menutupi kekurangan subsidi dari negara. Tetapi karena urusan kepengurusan masih dikuasai oleh kelompok yang tidak profesional, maka masuknya pihak swasta tidak memberikan
Seragam Baru Timnas Indonesia. Sumber: Antara - Andika Wahyu
peningkatan apapun baik dari segi manajemen maupun kualitas. Mejelang akhir periode Soeharto akhirnya kompetisi liga nasional sempat berjalan dengan masuknya pihak swasta (perusahaan rokok) dan subsidi negara lewat pemerintah daerah. Walhasil, prestasi tertinggi Indonesia hanya bisa menjadi jagoan di Asia Tenggara, dan sudah tidak diperhitungkan lagi pada level Asia apalagi dunia. Reformasi Dalam periode reformasi, perubahan orientasi politik di akhir tahun 1998 boleh dikatakan tidak memberikan perubahan yang signifikan pada kepengurusan organisasi sepakbola. Kepengurusan masih tetap sama, walaupun pemimpinnya berganti. Modus bekerjanya sama, tidak ada perubahan. Yang berbeda dengan periode sebelumnya pengaruh negara sempat melemah setelah diterpa oleh krisis moneter. Subsidi yang diberikan oleh negara jelas berkurang drastis, dan yang dijadi-
kan andalan adalah keberadaan pihak sponsor. Pada tingkat nasional memang ada metamorfosis untuk masuk dalam model libero-kapitalistis. Pihak kepengurusan sepak bola nasional akhirnya bergerak seperti pengelola sebuah klub bola yang sedang kesulitan uang. Kebijakan yang mereka keluarkan adalah melakukan komodifikasi persepakbolaan. Pada tingkatan lokal terjadi model etatisme bersamaan dengan masuknya otonomisasi daerah. Otonomisasi daerah menjadi penyelamat bagi perserikatan sepak bola daerah. Banyak daerah memberikan subsidi besar-besaran bagi klub sepak bola daerah. Ada beberapa daerah yang pemberian subsidi untuk klub sepak bola ini lebih besar dari alokasi anggaran daerah untuk kesehatan dan pendidikan. Ironis sekali karena secara sosiologis sudah terjadi pergeseran kelompok masyarakat yang bermain bola; dari masyarakat kelas bawah ke kelas menengah yang lebih punya duit (Otp)