Sepak Bola, Kemenangan, dan Uang Advent Tambun KEMBANG api kemenangan Real Madrid telah membubung ke angkasa untuk yang ke-32 kalinya. Layak bila Madrid menepuk dada dan bangga. Pasalnya, belum ada klub lain di Eropa yang mampu membukukan rekor fantastis itu. Selain rekor gol (121), rekor poin (100), rekor pencetak gol terbanyak (46), Real Mou juga memegang rekor dalam hal pengeluaran. Demi sukses ini, Presiden Madrid, Florentino Perez menggelontorkan dana besar buat merekrut: Cristiano Ronaldo, Ricardo Kaka, Angel Di Maria, Mesut Oezil, Xabi Alonso, Fabio Coentrao, Sami Khedira, Raul Albiol, Jose Maria Callejon dan tentu saja Jose Mourinho. Melihat mosaik el Mou Team ini, wajar bila analis menilai kemenangan La Liga tak lepas dari keunggulan dana klub. Tim dengan dana besar akan memiliki kans besar untuk menang. Realitas ini tak hanya terjadi di daratan Spanyol, sebut saja Manchester City di Inggris, atau Juventus di Italia, semua klub ini punya topangan dana besar. Duel liga sesungguhnya terjadi di balik meja direksi di mana pembelian pemain dapat menentukan panjang pendeknya nyawa sebuah kemenangan. Isu terkait penjualan dan pembelian pemain akan menjadi santapan sehari-hari pencinta bola pada hari-hari berikut ini. Rekor kemenangan selalu berjalan sejajar dengan rekor pengeluaran Dalam hal ini Barcelona memiliki visi sendiri, karena sejak Pep Guardiola, nama la Masia kian meroket sebagai sebuah solusi berbeda dalam meraih kemenangan. Pep lebih megandalkan pemain jebolan la Masia, Xavi, Iniesta, dan Messi, sekadar menyebut tiga pilar utama “El Barca” adalah jebolan la Masia. Tapi Barcelona tak dapat lagi mengagung-agungkan la Masia seperti tiga tahun lalu. Kekalahan di La Liga dan Liga Champions serta kepergian Pep akan menjadi batu ujian baru bagi la Masia atau lebih tepatnya ujian bagi konsep mengandalkan pemain akademi sendiri. Sementara konsep membeli pemain akan tetap menjadi primadona untuk meraih kemenangan. Sepak Bola Industri Sepak bola sebagai industri adalah keniscayaan. Sepak bola sebagai permainan hanyalah milik pemain dan penonton, selebihnya adalah anak kandung industri, yang butuh dana besar dengan tujuan prinsipal mengeruk laba berlipat. Kalkulasi untung rugi akan menjadi penilaian final dari sebuah kompetisi. Kemenangan identik dengan keuntungan nominal. Klub bak pabrik, pemain dan pelatih adalah pekerja setia yang diikat dengan kontrak berkala. Tak heran bila Dani Alves, pemain Barcelona, menyebut dirinya sebagai “empleado” (pekerja) yang tergantung sepenuhnya pada keputusan klub. Hal senada diungkapkan Unai Emery, pelatih Valencia yang melihat klubnya sebagai sebuah “empresa” (perusahaan).
Lantas apa produk dari pabrik ini? Satu-satunya produk yang dapat dinikmati konsumen/penonton adalah pertandingan, tak soal menarik atau tidak, kalah atau menang. Produk menarik seperti penampilan “El Barca” akan 'ditonton oleh lebih banyak orang. Sementara laga sekelas tim lokal Indonesia hanya ditonton kelompok tertentu saja. Hukum pasar kembali berlaku di sini, produk bagus diburu, produk buruk ditinggalkan. Klub besar tak hanya menunggu konsumen, tapi mereka juga melakukan program “jemput bola”. Asia adalah pasar yang dibidik klub besar Eropa. Setelah sebelumnya liga Italia dan Inggris yang merajai pasar Asia, kini giliran Spanyol yang meraup untung. Beberapa duel liga Spanyol dilakukan pada pukul 12 siang waktu Spanyol. Tujuannya tak lain untuk melihat sejauh mana daya serap pasar Asia pada jam tayang itu. Fakta ini kian menguatkan dogma dalam dunia bisnis bahwa kosumen adalah raja. Sepak bola adalah industri di mana konsumen tak perlu membeli produk yang ditawarkan. Karena di balik laga 90 menit itu ada industri besar lainnya, televisi. Menurut info baris TV One, duel Madrid dan Barcelona pada jornada ke-35 disaksikan 400 juta pemirsa secara langsung. Kata langsung terkait dengan siaran langsung televisi karena Stadion Camp Nou hanya berkapasitas 90.000 orang. Konsumen Industri sepak bola punya dua jenis konsumen, temporer dan loyal. Konsumen temporer adalah mereka yang melihat berdasarkan siapa yang main, laga Barcelona, Real Madrid, Juventus, MU akan selalu lebih menarik perhatian, bahkan dari pendukung tim lain. Sebaliknya konsumen loyal adalah mereka yang bangun kapan saja untuk melihat tim kesayangannya bermain dan tak terpengaruh jam tayang. Mereka juga akan tetap memberikan dukungan sekalipun timnya mengalami kesulitan. Konsumen model ini tak beralih ke lain tim meskipun tim kesayangannya tak pernah menang. Dalam konteks inilah banyak pengamat menilai bahwa sepak bola telah menjadi sebuah “agama”.
Hasta Luego (Perpisahan Sementara), Pep Jumat, 04 Mei 2012 23:16
SESAAT setelah Barcelona terlempar dari kancah Liga Champions akibat kalah agregat gol dari Chelsea, seorang wartawan bertanya kepada Josep “Pep” Guardiola, ”Apa yang Anda katakan kepada seorang anak kecil, pendukung Barca yang menangis pertama kali melihat tim kesayangannya kalah?” Pep Guardiola menjawab singkat, “Selamat datang ke klub.” Jawaban yang sulit dipahami seorang anak kecil. Namun, ia harus mencernanya dan bersikap seperti orang dewasa, karena dua hari kemudian Pep mengundurkan diri sebagai pelatih “El Barca”. Presiden Barcelona, Sandro Rosell, telah mencoba menghalanginya dengan menawarkan cek terbuka untuk Pep. Demikian juga dengan Lionel Messi, mencoba “merajuk” dengan mengatakan kepada publik dan Pep pribadi, bahwa ia adalah sosok terpenting dalam tim. Xavi Hernandez, Carles Puyol, Cesc Fabregas, dan pemain Barcelona lainnya secara bergantian meminta agar Pep memperpanjang kontraknya. Tapi, Pep bergeming: mundur. Alasan sesunguhnya dari pengunduran diri tersebut terlihat dalam peryataannya kepada pers. “Setelah empat tahun ini, saya merasa lelah, kosong, dan membutuhkan energi. Saya akan menjauhkan diri dari semua ini.” Pengunduran diri itu tak ada kaitannya dengan keterpurukan tiga laga krusial, dua kali melawan Chelsea dan sekali melawan Real Madrid. Kepergiaannya pun tak bertalian dengan prediksi para pengamat bahwa Pepe ingin mencari tantangan baru di klub-klub besar Eropa. Apa pun alasannya, yang pasti dunia sepak bola akan merindukan sosok revolusioner seperti Pep. Pelatih yang dapat mengubah sebuah pertandingan menjadi panggung pertunjukan. Kerinduan ini terliht dari pernyataan para sesama aktor olahraga seperti Arsene Wenger, D'Alessandro, Joaquín Caparrós, Pau Gasol, Rafa Nadal, Del Bosque, dan Stoichkov. Pesan Mendalam Pep tak sekadar memberikan pelajaran bagaimana seharusnya sebuah permainan sepak bola ditampilkan. Tapi, lebih jauh lagi, ia telah memberikan pelajaran dalam kehidupan kita. Pertama, jujur pada diri sendiri. Bagi orang yang menganggap uang adalah segalanya, keputusaan Pep ini adalah sebuah kekeliruan, karena ia mengabaikan tawaran cek terbuka dari Rosell. Bagi mereka yang melihat prestasi adalah segalanya, keputusan Pep ini bukan pada tempatnya karena “El Barca” tetap memiliki permainan yang dapat memberinya gelar. “El Barca” masih berpeluang besar untuk memenangkan la Copa del Rey alias Piala Raja. Bahkan, “El Barca” masih terbukti perkasa dengan mengalahkan Rayo Vallecano 0-7. Tetapi Pep tetap mengambil keputuasan untuk mundur setelah mendengarkan suara hatinya. Pep mengundurkan diri karena tak lagi punya gairah seperti tiga tahun lalu. Pada titik tertentu kita pun bisa mengalami kekosongan semangat dan gairah dalam hidup profesional, sosial
bahkan keluarga. Tak mudah mengakui bahwa kita sedang mengalami kekosongan semangat atau gairah, karena banyak orang yang akan menilainya sebagai sebuah keputusasaan atau impotensi menghadapi tantangan hidup. Situasi ini adalah proses alamiah bagi siapa pun yang serius dalam menjalani hidupnya. Kedua, menjauh untuk sementara. Pep memberikan contoh bagaimana cara mengatasi kekosongan gairah itu, yakni dengan mengambil jarak dari suasana selama ini untuk sementara. Pep, tentu, akan kembali lagi karena sepak bola adalah hidupnya dan ia sadar bahwa sepak bola tetap akan membutuhkannya. “Suatu saat kami akan meminta nasihatnya karena ia adalah referensi sepak bola dunia” ungkap Rosell dalam jumpa pers pengunduran diri Pep. Dengan menjauh untuk sementara, Pep akan melihat apa yang sudah ia lakukan selama ini dan memberikan catatan-catatan khusus. Ini adalah cara terbaik untuk menemukan kembali energinya. Hal yang sama juga pernah dialami Marcelo Bielsa, ketika ia memutuskan untuk meninggalkan timnas Argentina pada 2004, persis usai memenangkan medali emas Olimpiade Yunani. Marcelo akhirnya kembali bersentuhan dengan sepak bola tiga tahun kemudian bersama timnas Cile, dengan ide dan cara pandang yang lebih mendalam tentang sepak bola. Kepergian Pep memang layak ditangisi, tetapi kedatangannya kembali adalah sebuah harapan nyata. Dunia sepak bola akan menantikan pelatih yang selalu menaruh hormat kepada tim lawan sekalipun mereka mampu mengalahkannya dengan skor telak. Pep akan kembali lagi dengan semangat baru dan kembali mewarnai dunia sepak bola. Sandoval, pelatih Rayo Vallecano sangat yakin bahwa Pep pasti kembali. Ia mengatakan bahwa kepergian Pep adalah sebuah “hasta luego” perpisahan sementara karena akan bertemu lagi. Dan, untuk semua yang telah diberikan Pep, hanya satu yang bisa kita katakan, muchas gracias, terima kasih banyak.
Advent Tambun
Sepakbola dana Kekalahan 28-29 April 2012
"Kita yang merencanakan, Tuhan yang menentukan." Kebajikan lokal ini tampaknya sangat tepat disematkan dalam pertempuran menuju partai final Champion 2012. Tak seorang pun yang menduga bahwa Chelsea akan lolos ke babak final sebelum pluit panjang pertandingan di Camp Nou ditiup. Gelombang serangan sepanjang pertandingan, unggul dalam jumlah pemain dan hadiah pinalti memperkuat prediksi bahwa el Barca akan memperpanjang rekornya tampil di partai final liga Champion. Tetapi cerita akhir pertandingan berkata lain, Chelsea mematahkan semua prediksi yang telah dibuat. Chelsea lolos persis ketika Barcelona merasa sangat yakin akan memenangkan pertandingan tersebut. Ulasan kekalahan Barcelona belum berakhi. Televisi, koran dan media on line masih asik membahas kekalahan Barcelona tersebut. Publik bola kembali dikejutkan dengan verita kekalahan besar lainnya. Real Madrid akhirnya bertekuk lutut di hadapan Bayern. Cristiano Ronaldo tertunduk lesu menatap kebawah dan bertanya pada rumut yang bergoyang mengapa kejadian yang menimpa el Barca juga terjadi pada diri mereka. Keduanya diprediksikan akan tampil di el gran clasico Champion, tetapi mereka berhenti persis ketika satu kaki mereka sudah masuk di pesawat yang akan membawa mereka ke Jerman. Kolumunis Marca, Jose Vicente Hernaez mengatakan bahwa semuanya hanya kebohongan analisis belaka, tak satupun dari keduanya tampil di final. Kegembiraan Ronaldo mencetak dua gol dalam pertandingan tersebut tak berarti banyak. Rekor yang dibuat oleh Messi dan Ronaldo sepanjang musim ini tidak dapat membantu tim mereka masuk dalam the bigest match of the year. Melihat dua kejadian yang terjadi secara berturut-turut ini, tidak heran bila ada saja yang mengatakan bahwa hidup memiliki hukum keadilannya sendiri. Kepedihan yang sempat dirasakan oleh el Barca kini terobati dengan kekalahan Real Madrid dari Bayern. Sebaliknya kegembiraan el Real ketika Barca terlempar di semifinal, kini terasa hambar karena mereka juga mengalami tragadi yang sama. Marcelo Bielsa, pelatih Athletic Bilbao mengatakan bahwa inilah indahnya sepakbola, tak selamanya tim terbaik akan menang. Analisis dan prediksi di atas kertas hanya menjadi cara untuk mendekat kita pada kenyataan yang akan terjadi, tetapi tak satu orang pun dapat memastikan kenyataan tersebut. Sangat wajar bila kata-kata indah ini selalu diulang ketika kekalahan seperti el Barca dan el Real terulang, “sepakbola adalah bulat, sulit ditebak kemana arah bola akan bergulir.” Hidup pun tidak juah berbeda dengan cerita sepakbola, sulit ditebak. Kita bisa merencanakan, mengitung dan membuat prediksi dari berbagai sudut ilmu, tetapi tetap saja sering mengalami kegagalan. Siapakah diantara kita yang tidak pernah membuat rencana sedemikian matang, terukur dan teruji tetapi akhirnya menanggung rugi? Siapakah yang tidak pernah mengalami perubahaan drastis dalam hidup hanya karena kecelakaan dalam hitungan detik? Jika tendangan pinalti Messi masuk ke gawang Cech maka ceritanya akan berbeda. Jika tendangan pinalti Robben pada babak kedua di Bernabeu dapat ditepis oleh Iker Casillas,
maka percakapan kita di kedai kopi akan berbeda. Sekalipun pertandingan sepakbola hanya berlangsung dalam rata-rata 90 menit, tetapi perubahan dratis dapat terjadi dalam hitungan detik. Kenyataan-kenyataan sepakbola tersebut sama halnya dengan ketidakpastian dalam hidup kita. Bagi orang yang bersikap optimis hidup justru ini indah karena ketidakpastian tersebut dan sekaligus membuat kita menjadi orang yang semakin dewasa menghadapi setiap kenyataan yang ada. Hidup kita ibarat pertandingan sepakbola, Kekalahan dan kemenangan adalah sebuah peristiwa sehari-hari. Tidak ada orang yang selalu akan pulang ke rumah dengan senyum keberhasilan di bibirnya, dan juga tidak ada orang yang akan selalu pulang ke rumah dengan mata sayu kegagalan. Kemenangan dan kekalahan ibarat siang dan malam, datang silih berganti sepanjang masa. Tetapi yang jauh lebih menarik dari kejadian kalah atau menang adalah cara kita memandang peristiwa itu. Bahkan dalam kegagalan yang paling menyakitkan sekalipun pun selalu aka ada pelajaran yang berharga. Tidak sedikit orang yang akhirnya bersyukur atas kegagalan yang ia alami sebelumnya karena kegagalan tersebut telah mengantarnya pada keberhasilan aktual. Gabriel Garcia Marquez, peraih nobel sastra 1982 dalam bukunya ‘Vivir Para Contarla’ mengatakan "hidup sesungguhnya adalah apa yang kita ingat dan bagaimana kita menceritakannya." Kegagalan adalah sebuah cerita indah ketika kegagalan itu adalah langkah baru untuk membuat kemenangan lebih besar. Mungkin inilah salah satu alasan Mourinho ketika mengatakan kepada para pemainnya usai kekalahan di Santiago Bernabeu “pulanglah dan ciumlah istri dan anakmu, tetaplah gembira.” Kekalahan bukan akhir dari segalanya, tetapi sebaliknya awal dari perjuangan baru yang menjanjikan. Dalam sikap optimistis ini satu hal yang tentu tidak perlu dilupakan, "kita merencanakan, Tuhan yang menentukan."
“El Clasico”: Rivalitas yang Dibutuhkan 20 April 2012
TAK berlebihan bila menyebut “El Clasico” sebagai rohnya La Liga. Laga lainnya hanya sekadar bunga-bunga penghias. Duel dua rival abadi ini akan jadi barometer siapa layak membawa pulang gelar La Liga. Rivalitas ini punya aura positif bagi klub-klub Spanyol, terbukti dengan tampilnya tiga wakil mereka di Liga Europa: Valencia, Atletico Madrid, dan Athletic Bilbao.
Sebelum laga "El Clasico", Real Madrid dan Barcelona telah melakukan pemanasan dengan klub-klub lainnya. Jika bagi kedua klub, laga dengan tim lain adalah persiapan, maka bagi klub-klub lain duel melawan kedua tim itu adalah barometer bagi kekuatan sendiri. Menjuarai La Liga tanpa mengalahkan rival utama, adalah kemenangan yang cacat. Madrid wajib menang dalam laga pemungkas "El Clasico" musim ini bila ingin menepuk dada di akhir musim. Sebaliknya, Barcelona harus menang bila ingin tetap disanjung, sekalipun di akhir musim berada di urutan kedua. Harga diri, gengsi, dan sejarah klub serta kota yang diwakili menjadi bagian tak terpisahkan dalam duel ini. Madrid wajib menang. “Los Blancos” harus melupakan hitung-hitungan poin, yang masih menguntungkan “El Real” walaupun kalah dalam laga ini. Semua investasi yang ditanam Florentino Perez bermuara pada bagaimana mematahkan dominasi Barcelona. Mengalahkan Barcelona adalah jaminan meraih gelar dalam setiap kejuaraan. Piala Raja musim lalu mereka rebut usai menekuk Barcelona di partai final. Musim ini Madrid gagal menjejak final Piala Raja lantaran dijegal Barcelona. Memenangkan "El Clasico" musim ini akan membuka optimisme bahwa Barcelona bisa dikalahkan. Sebaliknya, bila “Los Blancos” kembali takluk di Camp Nou, tak mustahil trauma kekalahan akan melekat dan berujung pada kehilangan akal untuk mengalahkan Barcelona pada musim-musim berikutnya. Kekalahan ini juga akan jadi beban berat bagi pelatih yang kelak menggantikan Mourinho. Jika Mourinho saja gagal menang, apa jadinya dengan pelatih lain? "El Clasico" kali ini adalah tantangan tersendiri bagi Mourinho. Sejak tiba di Spanyol ia telah pasang target menjadi pelatih pertama yang merajai tiga liga terbesar Eropa. Target pemungkasnya adalah menang di La Liga Spanyol setelah sebelummnya merajai Inggris dan Italia. Sekalipun Mourinho menjuarai La Liga musim ini, sejarah akan tetap mencatatnya sebagai kemenangan yang pincang bila ia kalah dalam “El Clasico". Sifat perfeksionisnya akan mendorongnya untuk membuat sejarah mulus tanpa coretan kecil "El Clasico". Sebaliknya, Barca punya motivasi untuk memenangkan kembali "El Clasico". Sekalipun tak ada jaminan akan meraih La Liga bila menang, karena masih terpaut satu poin. Tapi, kemenangan itu adalah “pesan penting” bahwa Barcelona tak terkalahkan. Madrid tak akan tidur nyenyak sekalipun unggul poin pada akhir musim, karena pada musim berikutnya
Barcelona tetap jadi momok. Memenangkan "El Clasico" akan menjadikan klub Katalan ini sebagai legenda hidup. Apa pun yang terjadi usai musim ini, Barca dan Pep telah menjadi legenda. Barca akan menjadi referensi bagi semua klub besar di masa kini dan masa depan. Kehebatan sebuah tim akan selalu dibandingkan dengan masa jaya Barca-Pep. Bahkan, rekor-rekor yang kini dicatat oleh Madrid dan Mourinho, akan berada di bawah bayang-bayang kejayaan Barcelona. Terlepas siapa pun pemenang "El Clasico", mempertahankan rivalitas ini berarti melestarikan proses pembibitan pemain untuk timnas Spanyol. Laga melawan kedua tim adalah momen terbaik bagi setiap pemain untuk unjuk gigi. Pasalnya, melawan mereka selalu jadi sorotan pengamat dan pencinta sepak bola. Semakin tajam persaingan Madrid dan Barcelona, akan kian mendorong tim-tim lain untuk mengikuti jejaknya. Bagi kita, spirit "El Clasico" adalah energi untuk terus memperbaiki tim. Florentino Perez dan Sandro Rossel adalah dua tokoh yang harus mempertahankan api rivalitas itu. Kebijakan mereka adalah demi menambah semaraknya roh rivalitas tersebut. Melihat pentingnya menjaga rivalitas "El Clasico", wajar jika komunitas sepak bola kita bertanya apakah kita punya rivalitas sejenis "El Clasico"? Tentu ada. Timnas Garuda memiliki rival abadi timnas Malaysia. Laga tim Garuda kontra timnas Malaysia, terlepas dari level duel yang dihadapi, selalu terkait dengan gengsi dan sejarah kedua negara. Rivalitas ini adalah fakta, tapi tak akan berkembang kearah yang positif tanpa sentuhan visioner seorang pemimpin. Sayangnya, belakangan, rivalitas “El Clásico” yang dihadapi sepak bola Tanah Air adalah rivalitas internal yang destruktif.
Seribu Makna di Balik Diamnya Mourinho 15 April 2012
APA pun yang dibuat Jose Mourinho akan menjadi sorotan publik. Ia sendiri telah mengatakan bahwa dirinya adalah a special one, (pers Inggris mengubahnya menjadi the special one). Ketika ia muncul di depan pers, awak media akan menangkap dengan detail semua kata-kata yang ia ucapakan. Mourinho terkenal dengan gaya ceplas-ceplosnya, mengatakan apa yang ia pikirkan secara langsung dan gamblang. Tapi, belakangan, the special one tak lagi bermurah hati mengeluarkan komentar melalui jumpa pers sebelum atau sesudah pertandingan. Dalam musim ini sudah beberapa kali Mourinho menghindari pers. Dan, hasil seri di El Madrigal melawan Villarreal adalah puncak sikap dinginnya terhadap pers. Tak satu pun pemain atau pelatih yang bersedia memberikan komentar. Sikap diam itu adalah bentuk protes Mourinho terhadap keputusan wasit yang kontroversial sepanjang laga. Publik bisa memahami sikap itu sebagai bentuk protes. Sikap diam juga merupakan pesan terselubung agar petinggi Real Madrid memberikan pledoi atas kejadian di El Madrigal. Sampai saat ini kita dapat memahami mengapa ia mengambil sikap seperti itu. Tapi anehnya, Mourinho kembali bungkam usai mendulang kemenangan telak dalam momen krusial La Liga melawan Atletico Madrid. Ia memberikan tugas itu kepada Aitor Karanka, the second coach Madrid. Tak ada yang tahu alasan sesungguhnya sehingga Mourinho mendelegasikan tugas itu kepada orang lain. Apakah ini sebuah strategi, atau semata-mata perubahan dalam diri Mourinho? Pada fase awal menjadi pelatih Real Madrid, Mourinho adalah sosok yang sangat gampang mengumbar komentar di depan pers, baik tentang tim lawan maupun pemainnya sendiri. Tak heran bila suatu kali Josep Guardiola, pelatih Barcelona, dalam sebuah jumpa pers kesal dan mengatakan, “Ia memang benar-benar tuan di sini.” Bahkan, Manuel Pellegerini, eks pelatih Real Madrid sebelum Mourinho, harus memberikan pembelaan diri usai Mourinho mengatakan, "Seandainya saya, saya tak akan melatih Malaga. Saya akan pergi ke klub besar lainnya." Mourinho mengatakan kebenaran menurut versinya. Tapi, siapa pun yang mendengar komentar seperti itu, akan menilainya sebagai sikap merendahkan rekan seprofesi. Kita juga tentu masih ingat bagaimana Mourinho membuka konflik dengan UEFA ketika menyampaikan kritikan terhadap wasit yang memimpin laga semifinal Liga Champions melawan Barcelona, musim lalu. Kepada pemainnya, Mourinho juga tak segan-segan melancarkan kritikan dan memanfaatkan pers sebagai medianya. Wartawan-wartawan Spanyol masih kerap menggunakan istilah “kucing pemburu” kepada Karim Benzema. Istilah ini dilontarkan Mourinho sebagai bentuk kritik terhadap penampilan Benzema. Oleh banyak kalangan, kritik ini dianggap sebagai
cambuk yang akhirnya mengubah pemain asal Prancis ini menjadi singa yang lapar akan gol. Tapi sikap blakblakan itu telah berubah. Kita tak lagi mendengarkan penilaian ceplas-ceplos ala Mourinho. Sebaliknya, ia acap melempar pujian kepada tim lawan dan belum pernah terlihat memberikan kritikan kepada pemainnya di depan publik. Bahkan, dalam salah satu jumpa pers terakhirnya, Morinho tanpa sungkan menjagokan Barcelona sebagai juara Liga Champions. Lagi-lagi kita bertanya apakah ini hanya sebuah strategi atau perubahaan dalam diri Mouirnho? Cepat atau lambat perubahan itu akan datang, karena perubahan adalan sesuatu yang alamiah dan manusiawi. Mourinho pasti berpikir sejenak saat ia ditahan imbang Malaga pada jornada ke-28. Pellegrini memang tak menyingung pernyataan Mourinho pada musim sebelumnya. Tapi, hasil imbang itu adalah “bahasa di lapangan” untuk menjawab kepongahan lawan. Mourinho juga pasti berpikir lebih jauh ketika jarak poin dengan Barcelona kian dekat, dari 10 menjadi 4 poin. Laga di Camp Nou akan menjadi ujian terakhir bagi Mourinho untuk meneruskan tradisi kejayaannya pada tahun kedua sebagai pelatih di sebuah klub. Sampai kapankah Mourinho akan diam? Apakah ini sebuah strategi atau perubahan dalam diri Mourinho? Apa pun namanya, sikap Mourinho ini sulit ditebak. Sama sulitnya dengan menebak siapa bakal jadi juara La Liga musim ini. Yang pasti, disadari atau tidak, banyak orang pernah berperangai angkuh. Tapi, seiring berjalannya waktu, kesombongan itu akan terkikis dan cara memandang kenyataan pun akan berubah.
El Loco Bielsa 22 maret 2012 Usai mengalahkan Manchester United dalam dua pertandingan Europa League, nama Marcelo Bielsa, pelatih Athletic langsung menjadi incaran klub-klub besar. Tetapi el Loco alias si Gila menanggapi dingin rumor yang mengaitkan dirinya dengan ketertarikan klub papan atas Inggris,Chelsea. Seperti kita ketahui, sebelum melatih Athletic, Bielsa menanggani timnas Argentina (1999-2004) dan Chile (2007-2010). Sebuah pengalaman yang layak menjadi pelajaran bagai publik sepakbola. Persis dengan ide hendak belajar dari sosok el Loco, tulisan ini hendak memaparkan tiga hal menarik dari sosok yang dinilai oleh Michelle Bachelet, ex-president Chile (2006-2010) sebagai lelaki yang misterius, pintar dan tegas. Pertama, kegagalan. Pada awal karirnya, kata ini sepertinya tidak memiliki makna. Ia bahkan diaggap sebagai revolusioner baru dalam gaya bermain sepakbola. Harapan rakyat Argetnina disematkan dipundaknya ketika maju ke Piala Dunia Jepang-Korea 2002. Setidaknya ada 35.000 hincas Argentina yang turut serta menemani albiceleste. Tetapi kenyataan pahit harus hadapi, tumbang pada babak penyisihan. Kekalahan yang tidak pernah terjadi selama 30 tahun keikutsertaan albiceleste dalam Piala Dunia. Bielsa dianggap gagal. Ia mencoba mengobati kegagalan itu dengan mempersembahkan emas Olimpiade Atena 2004. Tetapi kegagalan di Piala Dunia 2002 belum sepenuhnya terhapus. Menurut video dokumenter yang dibuat oleh tv 13 Chile, Bielsa memutuskan menarik diri dari dunia sepakbola usai kemenangan tersebut. Tiga tahun lamanya, Bielsa bertapa, menjauh dari dunia yang telah mengarumkan namanya,. Banyak pihak beranggapan bahwa Bielsa telah meninggalkan sepenuhnya sepakbola dan mengaitkannya dengan kegagalan di Piala Dunia 2002. Tetapi secara mengejutkan ia kembali tampil di panggung dunia sepakbola dengan menerima tawaran timnas Chile sebagai pelatih pada tahun 2007, yang kemudian akan tampil satu grup dengan Spanyol di piala Dunia Afrika Selatan 2010. Keberhasilan Chile lolos ke Piala Dunia 2010 adalah kejutan luar biasa. Kegagalan adalah bagian dari sebuah proses menuju sukses yang lebih besar. Kedua, kecintaannya pada anak kecil. Satu hal yang tidak pernah dilakukan oleh pelatih kelas dunia adalah membawa anak kecil ke lapangan ketika ia sedang melatih. Bielsa tidak hanya melakuan ini saat ini berasma Athtlic tetapi juga ketika masih menjabat pelatih timnas Chile. Bielsa tidak menjelasakan alasan prinsipil memberikan kesempatan kepada anak-anak berada dekat dengannya. Tidak sedikit yang menduga bahwa kehadiran anak kecil tersebut adalah reminder kepada semua pencinta bola bahwa dasar utama dari sepakbola adalah permainan, bukan industria, pukan persaingan dan bukan masalah kalah-menang. Sosok yang paling memahami arti permainan adalah anak kecil. Anak kecil bermian bola karena ia menyukainya, tanpa paksaan, tanpa godaan uang atau famour, tanpa nilai-nilai nasionalisme, politik, sosial atau budaya, murni bermain. Nilai dasar ini telah jauh dari sepakbola modern saat ini. Ketika seorang bocah kecil mulai menendang bola, tidak sedikit orangtua yang langsung memimpikannya sebagai Messi atau Ronaldo masa depan. Mimpi inilah yang dimanfaatkan dengan jeli oleh pemilik klub besar dunia untuk membuka sekolah di Indonesia.
Ketiga, penampilan sederhana dengan pakaian olahraga. Dalam kesempatan penting sekalipun, Bielsa tetap menggunakan pakaian kebesarannya, pakaian olahraga. Penamilannya tidak berubah ketika bertemu dengan pejabat tinggi negara. Bielsa sama sekali tidak tergiur dengan hidup glamour pemain elite dunia. Ia bukan sosok yang mengharapkan agar disamakan dengan tokoh publik atau selebritis. Satu hal yang menarik bagi pulbik sepakbola Chile pada hari-hari pertama keberadaannya di timnas adalah penampilannya yang jauh berbeda dengan para pemain. Bila para pemain datang dengan mobil sport untuk melakukan latih, Bielsa datang dengan mobil biasa. Bahkan ia kerap mengendarai sepeda untuk berbelanja. Famour sepakbola tidak mengubahnya menjadi sosok yang berbeda. Marcelo Bielsa tidak datang untuk menjadi pemenang di daratan Eropa, tetapi ia datang dengan sebuah pesan yang jelas bahwa sepakbola memiliki nilai yang lebih dalam daripada sekedar menang dan kalah. Ia pun memilih untuk tampil bersama klub Athletic Bilbao, sebuah klub yang mengandalkan permaian akademia klub dan tidak merekrut pemain dari luar daerah Pais Vasco. Sebelum memutuskan melatih Athletic ia menolak tawaran Inter Milan. Melatih Athletic seakan-akan melatih sebuah timnas, sang pelatih tidak dapat mengandalkan uang klub untuk membeli pemain, ia hanya dapat menggunakan produk lokal. Kemenangan dengan mengandalkan pemain cantera tentu berbeda dengan kemenangan dengan membeli pemain seperti yang dilakukan klub-klub besar, seperti Barcelona, Real Madrid, MU, atau Inter. Bielsa secara tidak langsung memberikan kritikan kepada klub-klub besar. Uang tidak selamanya menjadi patokan utama bagi kemenagnan sebuah tim. Tidaklah keliru bila publik pencinta bola tanah air, membedah dan menemukan inti kekuatan yang terletak dalam perubahaan yang telah dilakukan oleh Bielsa bersama Athletic. Tidak heran bila Unay Emery, pelatih Valencia mengatakan “Jika seorang pelatih ingin bercermin, bercerminlah pada Marcelo Bielsa.”
Tiga Komitmen ala Simeone Rabu, 22 Februari 2012
DIEGO Simeone identik dengan perubahan. Dalam sembilan laga, delapan di La Liga dan satu di UEFA, ia tak terkalahkan. Atletico yang sempat frustrasi dengan kinerja Gregorio Manzano pada awal musim, kini menatap matahari Champion terbit di Vicente Calderon. Ya, Simeone mampu mengarahkan laju kapal “Rojiblanco” ke jalur kemenangan.Tentu menarik menyimak aspek-aspek positif dari “El Mister”, istilah untuk pelatih yang dipakai publik sepak bola Spanyol.Simeone diyakini berhasil menciptakan keseimbangan pada simpul-simpul penting sebuah tim. Dalam persepsi Simeone, sebuah tim besar hanya dapat dibangun dengan keseimbangan faktor fisik dan psikis pemainnya. Harus ada sinergi antara fisik dan mental seorang juara. Pola permainan ala Simeone menuntut stamina tinggi pemain. Sangat wajar bila ia menerapkan latihan fisik yang jauh lebih keras dari pendahulunya. Tapi, latihan fisik dimulai, Ia lebih dulu menegaskan bahwa hal terpenting dalam sebuah tim adalah komitemen. Bahkan, pada hari pertama menerima jabatan pelatih, ia langsung menyampaikan pesan inti kepada para pemainnya, “Yang paling penting adalah komitmen kepada klub.” Seiring berjalannya waktu, Simeone menekankan dua komitmen lainnya, komitmen pada tim dan fan klub. Tanpa trio komitmen ini, latihan fisik tak akan punya daya dorong. Komitmen adalah jiwa dari sebuah laga. Komitmen adalah alasan yang disadari dalam mengemban sebuah tanggung jawab. Menyerang dan bertahan secara kolektif. Inilah prinsip dasar yang diterapkan dalam bola basket. Simeone mengadopsi prinsip dasar ini. Bedanya, ia harus memimpin 11 pemain dalam lapangan yang jauh lebih besar. Diawali dengan pertahanan yang kuat, Simeone meletakkan fondasi untuk membangun serangan. Baginya pertahanan tak hanya dijaga oleh bek, tetapi mulai dari Diego Ribas hingga pemain depan macam Radamel Falcao. Jadi, tak heran bila melihat Falcao kerap turun ke belakang atau membantu merebut bola dari kaki lawan. Cortuis, kiper Atletico, menyimpulkan progres sistem pertahanan Atletico dengan ungkapan, “Dulu saya mendapat banyak bola lawan,sekarang tidak!” Ide permainan ala Simeone terang benderang. Ia tahu apa yang harus dilakukan pemainnya dan memberikan tuntunan bagaimana melakukannya. Dalam wawancara ekslusif dengan MARCA, Felipe Luis membenarkan hal itu, “Kini kami memiliki ide permainan yang jelas.” Simeone tak hanya mengatakan bahwa timnya harus menang, tetapi memperlihatkan cara untuk mencapainya. Simeone menyadari, setiap tim harus punya nilai lebih karena pada dasarnya hampir semua tim memiliki pemain-pemain dengan bakat yang sama. Ia lebih menekankan permainan vertikal di mana bola-bola lebih cepat sampai ke jantung pertahanan, semakin cepat sampai
ke daerah lawan semakin baik. Skema permainan dengan intensitas tinggi seperti yang diperlihatkan Simeone, otomatis membuat para pemain tampil lebih agresif. Setiap kali kehilangan bola, para penggawanya akan secepat mungkin merebutnya dari kaki lawan. Jika gagal, ada kecenderungan pemain “Los Rojiblancos” akan menjatuhkan lawan. Hujan kartu kuning adalah bukti agresivitas mereka. Sejak awal laga hingga peluit panjang, dinamika pergerakan pemain tak pernah surut. Mereka seakan-akan tampil dalam sebuah partai final. Coba simak pernyataan Falcao, “Kita tak bisa memikirkan masa depan, yang terpenting adalah sekarang!” Dalam kamus sepak bola Simeone tak ada istilah bermain cantik. Pada laga kontra Racing Santander yang berakhir 0-0 sekalipun, “Los Rojiblancos” punya lebih dari 10 peluang emas. Usai duel Simeone menegaskan, “Saya butuh kemenangan, bukan permainan cantik.” Simeone tanpa ragu menuntut lebih kepada Falcao karena ia memiliki kemampuan. Terbukti, Falcao mencetak empat dari delapan gol yang dibukukan Atletico sejak Simeone menjadi pelatih. Dan, yang layak mendapat pujian, Falcao juga turut aktif membantu barisan pertahanan. Secara keseluruhan Simeone terkesan dengan para pemain Atltico. Tanpa ragu ia berujar bahwa Atletico tak memiliki pemain buruk. Tapi, tak berarti cukup dengan hanya mengandalkan kekuatan individu pemain. ”Satu-satunya cara untuk berkembang adalah tampil lebih baik sebagai tim,” katanya. Simeone tak semata-mata menjadi pelatih yang menerapkan strategi lapangan untuk meraih kemenangan. Ia punya visi yang jelas untuk mencapai kemenangan itu. Semua yang ia terapkan dalam timnya telah ia jalani saat ikut memenangkan el doblete 1995/96. Simeone sebagai pemain dan pelatih sama saja, berkarakter dan berkomitemen tinggi terhadap tanggung jawab. Kapasitasnya dalam menjaga keseimbangan antara nilai-nilai itu telah menempanya menjadi pemimpin dalam sepak bola modern. Proses lahirnya sosok seperti Simeone dalam sepak bola modern Indonesia sudah sempat menemukan arah yang tepat, tapi perselisihan institusional kembali menepis harapan itu. Jika “Los Rojiblancos” sedang menatap matahari terbit di ufuk timur Vicente Calderon, kita sedang menatap matahari terbenam di ufuk barat SUGBK.
Advent Tambun Penulis adalah Wartawan TopSkor
Spirit of Mirandes Selasa, 07 Februari 2012
SEKIAN tahun bersentuhan dengan dunia Spanyol dan menyisir daratan tanah air Christopher Columbus ini, nama kota Miranda, lengkapnya Miranda de Ebro masih terasa asing. Sepertinya tak ada yang menarik dari kota berpenduduk tak lebih dari 40.000 orang. Miranda tenggelam dalam hiruk pikuk pesta tahunan San Fermin di kota Pamplona. Miranda tak punya museum setenar Museum Guggenheim. Miranda hanya sebuah kota kecil di jalur sungai Ebro. Tapi, dalam dua pekan terakhir, kota ini menjadi buah bibir karena klub Mirandes membawa kota ini menjadi tuan rumah semifinal Copa del Rey. Sebuah sejarah, karena Mirandes adalah klub ketiga Segunda B yang mampu tampil di Semifinal Copa del Rey. Keberhasilan klub Segunda B ini menenggelamkan pamor persaingan “El Clasico” Real Madrid-Barca. Media massa Spanyol menjuluki klub Mirandes sebagai “El Matagigante” alias “si Pembunuh Raksasa”. Julukan ini tentu merujuk fakta, karena sebelum menjejak semifinal mereka mengalahkan Espanyol, Racing Santader, dan Villarreal, tiga tim dari La Liga Primera. Sampai saat ini harapan mereka lolos ke partai final tetap terbuka karena hanya terpaut satu gol dengan Athletic Bilbao. Dan, mereka menorehkan tinta emas ini tanpa embel-embel pemain besar atau pelatih ternama. Pun tak didukung dana yang melimpah, mereka telah meraihnya dengan rendah hati dan kerja keras. Rendah Hati Carlos Pouso, pelatih Mirandes, dalam wawancara usai kemenangan atas Espanyol mengatakan, “Saya akan meminjam buku kepada Pep Guardiola tentang bagaimana cara memotivasi para pemain”. Sebuah pernyataan yang hanya bisa diucapkan oleh pribadi yang tetap ingin berkembang dan tak terbuai kemenangan fantastis. Pouso benar-benar mengamini pepatah kuno yang mengatakan bahwa lawan terberat dari seseorang adalah rasa sombong. Atau pepatah lain, awal dari sebuah kekalahan akan muncul ketika kita merasa diri sudah menang sebelum laga dimulai. Sekalipun telah mengalahkah tiga tim divisi Primera, Pouso tak pernah mengatakan secara publik bahwa mereka layak masuk jajaran La Liga BBVA. Ia hanya memimpikan lolos ke liga Segunda. Sikap rendah hati itu juga mencuat saat ia menanggapi pertanyaan soal kepemimpinan wasit usai duel pertama melawan Espanyol di Cornella de Prat. Rekaman laga memperlihatkan Mirandes seharusnya menerima minimal satu hadiah penalti. "Masalah wasit, biarlah wasit yang menyelesaikannya, saya mempunyai masalah yang harus saya selesaikan,” kata Pouso. Seandainya wasit memberikan hadiah penalti kepada Mirandes, tentu hasil pertandingan di Cornella el Prat akan berbeda. Pernyataan ini sangat kontras dengan sikap para pemain Real Madrid, Barcelona, dan Valencia yang kini berpolemik mengenai kepemimpinan wasit dalam pertandingan terakhir ketiga kesebelasan.
Secara bergantian pemain dari ketiga kesebelasan ini menyampaikan penilaian mereka terhadap wasit. Bila menguntungkan mereka tak berkomentar apa pun. Jika sebaliknya, komentar terhadap wasit sungguh tak sedap. Pouso tak memiliki waktu untuk memikirkan keputusan wasit di lapangan. Kerja Keras Mauricio Pochettino, pelatih Espayol, sangat terpukul saat timnya terlempar dari Copa oleh Mirandes. Apalagi, mengetahui bahwa pencetak salah satu gol ke gawang Espanyol adalah karyawan bank, Pablo Infante, yang harus lebih dulu masuk kantor sebelum berlatih. Pablo bukan pemain profesional seperti Fernando Llorente, tapi ia telah membukukan enam gol dalam partai la Copa tahun ini. Perolehan golnya jauh lebih banyak dari Cristiano Ronaldo maupun Lionel Messi. Don Infante memang layak dielu-elukan bak pahlawan ketika mengeliminasi Espanyol. Kemenangan hanya lahir dari mereka yang mengerti artinya kerja keras, karena dalam pertandingan olahraga tak ada yang menghadiahkan kemenangan kepada tim lain. Ini adalah salah satu jawaban mengapa kejuaraan olahraga selalu menarik. Persaingan olahraga adalah cerminan hukum alam, yang terbaik akan jadi pemenang. Manipulasi uang, kongsi, nepotisme, korupsi, dan kepura-puraan tak punya ruang dalam olahraga. Dan, tak ada yang menghadiahkan kemenangan dalam olahraga. Kemenangan harus diperjuangkan. Mencapai semifinal adalah kemenangan besar bagi Mirandes. Saya yakin bahwa jika akhirnya tersisih pun (saya harap tak terjadi agar sejarah lebih indah), mereka akan tetap menyuarakan “Mirandes de Primera” atau Mirandes Divisi Utama. Kerendahan hati dan kerja keras yang diperlihatkan pasukan Pouso tak hanya menjadi kemenangan bagi penduduk kota kecil Miranda de Ebro, tapi semua publik pencinta sepak bola. Mirandes mengingatkan kita bahwa kemenangan dapat diraih dengan kerendahan hati dan kerja keras.
Atletico, PSSI, dan Strenght 23 Januari 2012
APA kira-kira yang akan terjadi bila Sandro Rosell, presiden “El Barca” melepas Lionel Messi, Xavi Hernandez, Victor Valdes, dan Pep Guardiola? Pertanyaan ini tak perlu dijawab karena rasanya terlalu naif. Barcelona tak akan melakukannya. Bahkan, opsi itu rasanya mustahil melintas di benak mereka. Sebaliknya, Barcelona akan mengikat mereka erat-erat sehingga tetap bertahan di bawah bendera ”Los Azulgrana”. Mempertahankan pemain bintang dan pelatih yang telah memberi gelar adalah cara terbaik demi menjaga keutuhan tim. Tapi, Atletico punya pakem berbeda. Bersama Quique Sanchez Flores “Los Rojiblancos” membawa pulang dua piala, UEFA 2009-2010 dan Supercopa Eropa 2010. Dua gelar ini adalah berkah besar menyusul paceklik gelar sejak 1996. Apalagi, mereka meraihnya setelah tim ini dikawatirkan bakal terpuruk saat berada di bawah komando Abel Resino, pendahulu Quique. Tak lama setelah euforia kedua gelar itu, Diego Forlan, salah satu tokoh di balik euforia, akhirnya dilepas. Usia dan produktivitas yang mulai menurun membuat Cerezo, presiden Atletico, memilih melego Forlan di bursa trasnfer. Tak hanya Forlan yang dibiarkan pergi. David de Gea, kiper muda berbakat yang diangkat Quique Sanchez Flores, pun diserahkan kepada Alex Ferguson. Dan, tak ada yang lebih mengejutkan suporter Atletico, tatkala Kun Aguero juga berlalu dan bergabung ke Manchester City. Atletico ditinggal pilah-pilar yang menempatkan mereka di puncak persaingan Eropa. Quique Sanchez, tokoh di balik perubahaan drastis Atletico, akhirnya juga dilepas. Usai kehilangan semua pilar utama itu, Atletico dengan penuh percaya diri merekrut Gregorio Manzano di awal musim 2011/12 sebagai pelatih baru. Lalu menyusul kedatangan Radamel Falcao, pencetak gol terbanyak dalam sejarah UEFA dengan 17 gol dalam satu musim saat ia masih membela Oporto (2011). Adrian Lopez, pemain muda berbakat U-23 Spanyol juga masuk untuk mendampingi Falcao di barisan penyerang. Sebagai pengganti De Gea, Atletico meminjam Thibaut Courtois dari Chelsea. Sosok di balik sukses dua Piala UEFA itu digantikan oleh wajah-wajah baru. Kendati tampil dengan pelatih dan pemain baru, Atletico tetap pada target utama, menjadi wakil Spanyol di Liga Champions 2012/13. Sayang, harapan itu kandas. Hingga pekan ke-18, Atletico terpuruk di peringkat sepuluh klasemen. Bahkan, Manzano hanya bertahan enam bulan dan ikut terbenam. Beberapa hari usai kalah memalukan dari Albacete, tim segunda B, ia dipecat. Keterpurukan Atletico Madrid adalah pelajaran penting. Kita harus mampu melihat sisi kekuatan (strength) kita. Banyak orang gagal meraih sukses lantaran tak mengetahui dengan
tepat nilai-nilai yang menjadi kekuatannya. Tanpa memahami nilai-nilai yang menonjol dalam diri kita, tentu akan sulit memilih target sukses dalam hidup. Dalam persepakbolaan aktual Indonesia, semua tahu siapa pemain maupun pelatih yang dapat dijadikan pilar masa depan timnas. Mereka adalah strenghts. Laga SEA Games adalah bukti yang lebih dari cukup untuk melihat siapakah pilar-pilah masa depan itu. Sayangnya, beberapa dari pilar-pilar itu akhirnya tercoret dari daftar strenghts masa depan kita. Jika Atletico melego para pemainnya merujuk parameter laba rugi, di negeri kita strenghts itu terpinggirkan akibat kepicikan para pembuat keputusan persepakbolaan nasional. Sepak bola kita terpuruk bukan karena tak punya pemain atau pelatih andal, tapi lantaran badan pelindung (PSSI) yang lebih suka membuat bingung ketimbang memberikan pencerahan. Cerezo telah merekrut Simeone sebagai pelatih baru Atletico. Semoga “Los Rojiblancos” dapat bangkit seperti di era Quique. Tapi bila gagal lagi, yang disalahkan pasti pelatih atau pemain. Kesalahan tak pernah ditujukan kepada presiden klub, sekalipun ia dan jajarannyalah yang membuat setiap keputusan penting. Baik pelatih maupun pemain berada dalam radar natural law sepak bola, siapa yang gagal akan terpental. Manzano gagal membawa kemenangan bagi Atletico. Ganjarannya, ia dipecat sebelum waktunya. Menariknya, hal itu tak berlaku bagi pembuat hukum itu sendiri. Bukankah hal serupa terjadi di sepak bola kita? Jarang kita dengar seorang pejabat teras PSSI mengundurkan diri karena di masa jabatannya ia gagal mencapai target maksimal. Simeone akan berjuang agar ia terhindar dari jerat natural law sepak bola, sementara dewan direksi klub akan mempersiapkan pengganti bila hal itu terulang kembali. Wajar bila kita bertanya, siapakah petinggi PSSI yang akan mengundurkan diri bila target yang mereka emban gagal lagi?
Pep, Cinta, dan Kesunyian Rabu, 28 Desember 2011
"SAYA mencintai pekerjaan saya..." Ini adalah kata kunci yang diucapkan Pep Guardiola ketika menerima Medalla de Honor dari Parlament de Catalunya pada September lalu. Sejatinya, ia tak semata-mata mencintai, tetapi memujanya. Kata “memuja” ia sebutkan beberapa kali dalam kata sambutannya, yang sebenarnya relatif singkat, kurang dari tiga menit. Kunci keberhasilan Pep berawal dari dalam dirinya. Karena, syarat pertama dari sebuah keberhasilan, adalah keharusan mencintai apa yang kita kerjakan. Cinta mampu mengalahkan semua tantangan, sekaligus memberikan energi plus untuk melaksanakan tanggung jawab yang diemban. Cinta itu melahirkan passion atau gairah positif atau sebut saja energi lebih. Pep sendiri mengaku memiliki passion terhadap pekerjaan yang ia lakukan. Cinta itu menjadi energi yang memberikan semangat untuk melakakun hal-hal yang sulit dibayangkan. Mengurung diri 1,5-2 jam satu atau dua hari sebelum pertandingan, itulah yang dilakukan Pep Gaurdiola. Sendirian. Ia menghabiskan waktu tersebut untuk melihat dua atau 3 DVD lawan lalu membuat catatancatatan penting. Setelah sekian lama melakukan analisis, Pep mengalami momen “eureka”, saat di mana ia seakan-akan melihat bahwa mereka telah memenangkan pertandingan. Jauh sebelum laga yang sesungguhnya, Pep telah melakuan pertandingan lebih besar dalam dirinya. Menutup diri dalam ruang kecil di bawah tanah, bak seorang pertapa yang berdoa untuk menerawang apa yang mungkin terjadi, jauh sebelum peristiwanya sendiri (pertandingan) benar-benar terjadi. Visualisasi imajiner itu membantunya dalam mengantisipasi setiap kemungkinan yang akan terjadi pada laga sesungguhnya. Mungkin, pada saat-saat seperti inilah, ide brillian dalam meracik formasi pemain muncul. Dalam suasana sepi dan tenang inilah melintas ide menempatkan Alexis sebagai penyerang tengah, bukan di sayap, tatkala mengalahkan Real Madrid di duel “El Clasico”. Strategi-strategi kejutan Pep, muncul dalam keheningan ruang kerja bawah tanahnya. Baginya, waktu tenang itu sesuatu yang sangat berharga. Sementara bagi kebanyakan orang, waktu tenang dan menyendiri adalah pekerjaan yang sia-sia. Bagi mereka yang membutuhkannya, tak berkesemptan untuk melakukannya karena zaman menuntut hasil yang serbainstan. Kata sambutan Pep tersebut mengalir begitu saja, tanpa teks, dengan daya persuasif tingkat tinggi layaknya seorang motivator ulung. Pada akhir kata sambutannya, Pep mengatakan bahwa para professional, apakah itu dokter, perawat, guru sekolah, atau bahkan tukang kayu sekalipun seperti ayahnya, akan berhasil dalam melakukan tugasnya bila didasari dengan
cinta pada apa yang dikerjakan. Bersama Pep, sepak bola tidak semata-mata berhenti di titik kemenangan atau kekalahan. Sepak bola adalah ekspresi hidup, sama seperti sebuah karya seni atau karya teknik. Semua karya itu membutuhkan cinta dan proses pencarian ide kreatif yang tak pernah berhenti. Cinta akan memberikan semangat tanpa habis, sementara ide kreatif akan muncul dari “kesunyian aktif”. Selamat Natal, Pep! Quitation: “Jauh sebelum laga yang sesungguhnya, Pep telah melakuan pertandingan lebih besar dalam dirinya. Menutup diri dalam ruang kecil di bawah tanah, bak seorang pertapa yang berdoa untuk menerawang apa yang mungkin terjadi, jauh sebelum peristiwanya sendiri (pertandingan) benar-benar terjadi.”
Vicente del Bosque dan 6 nilai Sebuah Kemenangan 21 desember 2011
Pelatih timnas Spanyol memiliki nilai lebih dari hanya sekedar perjuangan meraih kemenangan. Pun ketika setiap saat ia meraih penghargaan darimana-mana, ia tetap tidak berubah. Bahkan ketika Kerajaan Spanyol memberinya kelar kebangsawanan pola hidupnya tidak berubah, hanya bertambah dari satu pertemuan ke pertemuan lain yang tidak ada kaitannnya dengan latihan bola. Vicente begitu dihargai di Spanyol bukan semata-mata karena ia telah membawa la furia roja sebagai juara dunia pertama kalinya, tetapi karena nilainilai kemanusiaan yang terpancar dari siakpnya, caranya dan pernyataannya. Pada saat penerimaan Piagam Penghargaan Pangeran Asturia untuk timnas Spanyol, ia didaulat untuk memberikan kata sambutan. Dalam acara yang berlangsung bulan oktober tahun lalu tersebut, ia menyebutkan 6 nilai yang dimiliki oleh timnya untuk meraih kemenangan di Afrika Selatan. Tanpa salah satu dari nilai tersebut, kemenangan itu akan mustahil. Secara berurutan ia menyebutkan, kerja keras, pengorbanan, talenta, disiplin, solidaritas, kerendahan hati. Jika kita lihat dengan seksama keenam nilai ini memilki tautan satu sama lain. Kerja keras selalu membutuhkan pengorbanan. Pemain profesional harus memberikan waktu ekstra untuk mempertajam penampilannya. Ia bahkan harus meninggalkan acara keluarga atau teman pada hari sabtu atau minggu untuk memperkuat timnya. Kedua nilai ini tentu tidak hanya berlaku bagi para pemain sepakbola. Dalam setiap sendi kehidupan kedua nilai ini akan berjalan seiring bila kita ingin meraih sukses dalam hidup kita. Vicente menggunakan moment sepakbola untuk berbicara pada kita semua. Nilai ke tiga dan keempat, talenta dan disiplin. Pertanyaan kerap terjadi dalam proses pembinaan kaum muda, mana yang lebih penting talenta atau disiplin. Tentu dikotomi keduanya tidak ada gunannya, karena kedua hal tersebut ibarat dua sisi mata uang. Talenta saja tidak akan pernah cukup bila pemain tidak memiliki disiplin. Pelatih timnas U-23, Rahmad Dermawan telah membuktikan ketika ia mencoret nama Irfan Bachdim dalam daftar skuad Garuda Muda SEA Games yang baru saja berlalu. Tidak heran bila bila buku-buku psikologi kaum muda selalu menekankan bahwa dalam mencapai sukses hanya dibutuhkan 1% talenta dan selebihnya adalah disiplin diri untuk mengasah talenta itu. Nilai kelima dan keenam, solidaritas dan kerendahan hati. Kedua nilai ini memiliki arti lebih mendalam ketika seorang Vicente yang mengatakannya karena sebagai pelatih ia telah meraih 7 gelar, 2 la Liga, 2 Champion, 1 Piala Super Spanyol, 1 Super Eropa, 1 Piala Interkontinental dan 1 Piala Dunia. Belum ada pelatih Spanyol bahkan pelatih dunia sekalipun yang memiliki catatan gelar yang telah diraih oleh Vicente del Bosque. Deretan gelar itu akan bertambah bila ia mampu membawa la Roja kembali memenangkan piala Eropa 2012 Ukraina Polandia. Dunia sepakbola kita membutuhkan tokoh dengan keenam nilai tersebut. Vicente sama sekali tidak menyebutkan nilai uang dan kekuasaan, dua hal yang justru membuat sepakbola kita
tercerai-berai. Ditengah arus deras sepakbola sebagai industri dan kendaraan politik kaum tertentu, Vicente malah menekankan nilai rendah hati dan solidaritas. Seandainya Vicente mengenal budaya kita mungkin ia akan berpesan pada insan sepakbola negeri ini "bersatu kita teguh-bercerai kita runtuh."
Krisis Euro dan El Clasico Kamis, 08 Desember 2011
APAKAH krisis Euro akan berdampak buruk pada pertandinganpertandingan sepak bola di Eropa? Di lapangan tidak terasa adanya krisis, yang ada hanya gol dan teriakan dari tim yang menang. Sampai saat ini pemain-pemain bola liga-liga Eropa tetap saja merumput seperti biasa. Ketajaman Cristiano Ronaldo tidak terpengaruh oleh krisis yang dialami Portugal. Demikian juga Lionel Messi, tetap saja lincah sekalipun partai PSOE kalah mutlak dalam pemilu terakhir Spanyol. Bahkan, ketika Pep Guardiola mengingatkan pentingnya pertemuan tingkat tinggi pemimpin negara-negara zona Eropa pada 9 Desember ini di Brussel, para wartawan tetap mengubernya dengan pertanyaan seputar El Clasico. La liga sepertinya tidak mengenal krisis. Sekalipun sepak bola bukan kebutuhan primer, tetapi tetap saja dapat survive di tengah jumlah pengangguran di Spanyol yang belum juga menurun. Tercatat 10 persen dari 40 juta penduduk Spanyol menganggur dan tujuh dari sepuluh orang membenarkan bahwa ada krisis ekonomi saat ini. Tetapi, sampai saat ini, belum terdengar ada pemain profesional yang mengundurkan diri dari aktivitas sepak bola karena kekurangan uang. Bahkan, ketika gaji mereka ditunda seperti dalam kasus Racing Santander, penampilan mereka tidak banyak menurun. Pun bila krisis euro tidak dapat diselesaikan, La Liga akan terus berputar. Sepak bola memang memiliki dunianya sendiri. Tak heran bila selalu saja ada pemain yang mengatakan bahwa dalam dunia sepak bola uang bukan segalanya. Ungkapan seperti itu sepertinya sebuah paradoks bila melihat harga tiket pertandingan El Clasico yang dapat mencapai 800 euro untuk tempat duduk terbaik. Sepak bola telah menjadi industri hiburan dengan cakupan yang melewati batas-batas negara. Diperkirakan 300 juta televisi akan menyala menyaksikan El Clasico di Cina. Jumlah di Indonesia tentu tidak sebanyak di Cina, tetapi dapat dipastikan lebih banyak dari jumlah televisi Spanyol yang menyaksikan El Clasico, sekitar 14 juta. Kenyataan ini membuat keyakinan bahwa La Liga tidak akan tersentuh oleh krisis. Laga El Clasico adalah produk ekspor paling bergengsi dari La Liga. Hasil pertandingan kedua tim itu selalu menduduki berita utama di semua media massa, baik cetak maupun elektronik. Terlepas dari kritikan bahwa La Liga adalah kompetisi dari dua klub, “El Barca” dan “El Real”, tetapi justru keduanya adalah magnet dari La Liga. Penonton yang tersebar di seluruh negara merupakan konsumen dalam industri olahraga. Kita adalah konsumen, La Liga adalah produsen, dan El Clasico adalah produk yang selalu kita tunggu. Secara tidak langsung penonton Asia memberikan sumbangan terhadap berlangsungnya La Liga.
Bahkan, situs web kedua klub itu dapat dibaca dalam bahasa Mandarin, mungkin sebentar lagi akan ada versi bahasa Indonesia. Dalam dunia bisnis terkenal papatah, konsumen adalah raja. Mereka bermain di hadapan 80.000 penonton yang memadati Bernabeu, tetapi dewan direksi mafhum betul, ratusan juga pasang mata lainnya di seluruh belahan dunia, turut menyaksikan dan tak berkedip pada saat yang sama. Selagi El Clasico mampu memuaskan para penonton, selama itu La Liga akan mampu meraup untung. Krisis ekonomi hanya akan menerpa La Liga bila kompetisinya gagal memberi kepuasan kepada para penonton.
U-23 dan KARAKTER BANGSA 24 November 2012 Kita semua sedih, itu sudah pasti. Kekalahan dari Malaysia lebih daripada kekalahan dari negara manapun. Jika pepohonan dapat berbicara, maka mereka pun akan mengatakan yang sama. Bila air hujan yang jatuh bisa bercerita mereka pun akan menceritakan yang sama, bahwa kekalahan dari Malaysia itu adalah pengalaman yang tak akan terlupakan. Tetapi para pemain layak melangkah meninggalkan lapangan dengan wajah terangkat dan tatapan jauh ke depan kerena sesungguhnya mereka layak menjadi juara. Pujian layak kita berikan pada Tibo dan kawan-kawan, perjuangan mereka melebi perjuangan menjadi juara. Mereka adalah contoh nyata bahwa sepakbola tidak semata-mata sebuah pertandingan untuk menentukan siapa menang dan siapa kalah. Pada moment krisis karakter di nusantara ini, mereka telah memperlihatkan kepada kita karakter yang sedang digodok oleh para akademisi. Pertama, berjuang sampai menit akhir pertandingan adalah karakter seorang pemain bola profesional. Sebelum pluit panjang berakhir tidak ada kata menyerah. Setiap tendangan selalu memberikan kemungkinan untuk mencetak gol. Inilah ciri karakter seorang kesatria modern, semua kesempatan adalah peluang. Sikap seperti ini tidak terlepas dari sikap optimis dan percaya diri. Perjuangan para pemain di lapangan tidak jauh berbeda dengan perjuangan kita dalam kehidupan sehari-hari untuk mencari sesuap nasi. Semua kesempatan adalah peluang untuk meningkatan koalitas hidup kita. Kata menyerah hanya akan terucapkan ketika semua cara dan strategi telah kita coba. Perjuangan para kesatria bola itu tentu sangat jauh berbeda dengan tawaran untuk menjadi orang terrenal dalam hitungan detik seperti iklan sebuah provider yang membuat seorang pemuda langsung terkenal karena video goyang gayungnya diupload di youtube. Sebelumnya kita sempat dibuat kaget dnegan fenomena 'Britptu Norman' yang tiba-tiba menjadi selebritis. Terkenal mendadak bukan tipe pemain U-23. Mereka telah membuktikan bahwa tidak ada keberhasilan tanpa perjuangan panjang. Setiap kemenangan yang mereka lalui adalah hasil dari tetesan kringat yang tak terkira jumlahnya, bahkan jauh sebelum merek tampil di lapangan hijau GBK keringat-keringat itu telah membahasai kostum mereka. Kedua, sepakbola adalah contoh team work terbaik dalam dunia olahraga. Cristiano Ronaldo pernah mengatakan, bahwa seorang pemain tidak pernah memenangkan satu pertandingan. Sebuah gol hanya dapat dicetak karena ada pemain lain. Itu artinya kemeangan sebuah tim tidak berawal di lapangan. Apa yang merek perlihatkan dilapangan adalah contoh keakraban yang telah mereka bangun di luar lapangan. Gol adalah sukses terakhir dari sukses-sukses kecil lainnya di luar lapangan. Saat mereka berpelukan merayakan gol, mereka mengingatkan kepada kita bahwa team work adalah cara terbaik untuk mencapai sukses. Team work adalah kata baru ditelinga kita. Nenek moyang kita lebih mengenal dan menghidupi kata gotong-royong. Mungkin karena terkesan ´tradisional´ kita lebih merasa puas dengan mengucapkan istilah asing padahal jauh sebelum istilah itu muncul nenek moyang kita telah menggunakannya. Kita memiliki kekayaan alam, kekayaan budaya dan
manusia. Jika melihat sususnan pemain yang diturunkan oleh coach RD ternyata produk dalam negeri lebih bagus dari produk import. Ketiga, menyerahkan sepenuhnya pada Yang Kuasa adalah ciri dasar masayarakat Timur. Segala sesuatu dimulai dengan doa dan diakhiri dengan rasa syukur. Melihat Kurnia Mega bersujud sesaat sebelum memulai pertandingan final atau Ferdinan Sinaga yang membuat tanda salib ketika mencetak gol mengingatkan kita bahwa negeri ini adalah negeri yang berketuhanan di mana para penduduknya melakukan ibadat secara berbeda. Sorotan kamera tv terhadap aktifitas rohani para pemian yang tak lebih dari sekian detik tersebut adalah bahasa visual yang sangat kuat dan mengingatkan kita bahwa di atas segalanya Tuhan-lah yang menentukan, kepadanya kita meminta ridho dan pertolongan. pada saat yang bersamaan kita diingkat bahwa negera kita adalah negara dengan keragamana agama tetapi dapat berjuang bersama dalam suasana gotong-royong untuk mencapai tujuan bersama. Para kstatria muda telah berjuang ibarat pasukan kuda tak kenal gentar. Kali ini mereka gagal di tengah lapangan tetapi nereka telah berhasil mengingatkan kita tentang karakter bangsa yang harus kita pertahankan. Mereka memang tidak masuk dalam tim pembuat material pendidikan karakter, tetapi mereka telah menerapkannya, tinggal bagaimana kita menarapkan dalam perjuangan harian kita sehari-hari dalam keragamaan bangsa ini. Advent Tambun
Mogok adalah Hak Pemain Jumat, 19 Agustus 2011
ANCAMAN mogok para pemain menjadi topik yang tak kalah menariknya dari pertandingan supercopa Spanyol. Dengan memiliki 22 klub, (gabungan dari klub la Primera dan Segundo B) yang masuk dalam pengawasan Undang-undang Kepailitan Spanyol, la Liga berada dalam situasi yang tidak sehat. Wajar sekali bila banyak penggiat dan pengamat sepak bola menuduh la Liga adalah cosa de dos, milik dari dua klub saja, yakni Barcelona dan Madrid. Tim-tim lainnya merupakan partai-partai tambahan saja. Tujuh dari 22 klub yang terancam dijerat Ley Concursal (Undang-undang kepailitan), merupakan tim-tim yang berada di primera seperti Racing Santander, Granada, Rayo, Zaragoza, Betis, Mallorca, dan Real Sociedad. Mereka mengajukan permohonan agar masuk dalam pengawasan hukum tersebut karena sudah tidak sanggup lagi membayar gaji para pemain. Total utang yang dimiliki klub-klub yang berada di bawah Ley Concursal mencapai 50 juta euro. Sebagian besar utang itu menyangkut gaji dari 200 pemain. Pertumbuhan utang ini meningkat tajam dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya berkisar 12 juta euro dan hanya berdampak negatif bagi 100 pemain saja. La Liga sebagai badan usaha yang menaungi semua pertandingan sepakbola profesional di Spanyol hanya menyanggupi 40 juta euro sebagai dana penjamin. Jumlah ini sama sekali jauh dari tuntutan para pemain. Apalagi, jumlah itu dialokasikan untuk empat musim ke depan. Asosiasi Pemain Sepak Bola Spanyol (AFE) mengajukan keberatan dengan jumlah tersebut. Masalahnya ternyata tidak hanya pada jumlah yang tak memadai, tetapi juga pada cara klubklub menangani masalah yang ada. Dengan mendaftarkan klub di bawah pengawasan Ley Concursal, klub-klub itu secara tak langsung ingin cuci tangan dari tanggung jawab untuk membayar utang-utang mereka kepada para pemain. Ini adalah alasan dasar mengapa para pemain memutuskan untuk melakukan mogok pada hari kamis ini, empat hari sebelum bergulir la Liga. AFE merasa memiliki dasar untuk menuntut la Liga agar dapat menyelesaikan masalah tunggakan gaji. La Liga adalah badan usaha yang paling diuntungkan dari kompetisi-kompetisi profesional di Spanyol. Pada tahun 2004, la Liga mendapat pemasukan sebesar 900 juta euro, jumlah ini meningkat terus menjadi 1.800 juta euro pada 2011. Melihat data keuntungan itu, sangat wajar bila para pemain tetap menuntut bagian yang sudah menjadi hak mereka, gaji yang selama ini ditunda. Dengan menekan LFP, maka klub-klub akan mendapat talangan dana yang jauh lebih besar lagi. AFE juga telah mendesak agar segera diadakan perubahan dalam peraturan tentang
persepakbolaan Spanyol. Mereka menuntut diberlakukan aturan baru bagi klub yang abai dengan kewajiban membayar gaji, yang sekarang berada di bawah pengawasan Ley Concursal. Aturan itu bisa dalam bentuk larangan tampil atau turun kasta. Jika peraturan ini diterapkan maka semua klub akan mencoba menyehatkan keuangan masing-masing. Pesan untuk Kita Ada dua hal dapat dijadikan pelajaran bagi persepakbolaan di Tanah Air. Yang pertama adalah, industri selalu akan mencari keuntungan sebesar-besarnya dan sangat sering terjadi para karyawannya terlupakan demi mencari keuntungan tersebut. Dalam industri sepak bola, para pemain ibarat karyawan. Aktivitas olahraga para pemain akan dikaitkan dengan besarnya pemasukan yang dapat dihasilkan. Alhasil, potensi terjadinya pemerasan terhadap “karyawan” akan dapat terjadi setiap waktu. Dibutuhkan sebuah badan yang melindungi para pemain agar tidak dipermainkan oleh pemilik klub. Badan yang paling kuat untuk memperjuangkan pemain tentu pemain itu sendiri. Luis Rubiales, ketua AFE, mengatakan bahwa kesatuan para pemain membuat pendirian mereka semakin kuat. Pada foto yang dirilis media massa saat Rubiales menetapkan keputusan melakukan mogok, di belakangnya duduk pemain seperti Iker Casillas, Carles Puyol , Xavi Alonso, Fernando Llorente, dan beberapa pemain lainnya. Di Indonesia belum pernah terdengar rencana besar-besaran untuk mogok main. Tetapi kejadian yang menimpa pemain AFE, suatu saat kelak bisa saja menimpa industri sepak bola kita. Yang kedua, adalah solidaritas para pemain. Iker Casillas atau Puyol, dua pemain yang tak akan pernah mengalami masalah keuangan, tetapi mereka tetap memberikan dukungannya kepada sesama pemain yang selama ini harus menunggu keadilan atas hak mereka. Para pemain papan atas la Liga mungkin sudah dapat menghidupi keturunan mereka selanjutnya dengan apa yang telah mereka peroleh selama ini. Tetapi, melihat sesama pemain yang tak diperlakukan dengan adil, mereka bersedia melakukan mogok tanding. Para pemain hebat ini tak hanya dihormati karena kehebatannya di lapangan, tetapi karena mereka memberikan dukungan bagi sesama pemain yang membutuhkan. Tak satu pun di antara mereka berharap bahwa mogok tersebut akan dilakukan. Tapi, mereka memilih jalan yang tak biasa itu, semata-mata agar kebiasaan buruk para klub (tidak membayar gaji pemain) tidak terulang. Pun menekan agar la Liga membuat kebijakan atau regulasi tambahan, sebagai alat pemaksa hukum, demi menghindari terulangnya hal ini di kemudian hari.
Pep dan Mou, Kerendahan Hati dan Arogansi Rabu, 29 Desember 2010
SEPANDAI-pandainya tupai melompat suatu saat akan jatuh juga. Pepatah melayu ini tampaknya cocok disematkan pada dada Jose “Mou” Mourinho. Ia akhirnya jatuh dari salah satu dahan tertinggi pertandingan La Liga. Ia persis jatuh dalam pertandingan yang paling dinantikan oleh pengila bola. Menang di Camp Nou merupakan salah satu misi besar Florentino Perez ketika membeli “The Special One” . Ia dipaksa bertekuk lutut dengan cara yang sama sekali tidak dapat diharapkan oleh Madridistas. Ia dituntut mengakui kehebatan lawan dalam pertandingan “El Clasico” tersebut. Walaupun demikian, kekalahan tersebut bukan sesuatu yang menyakitkan baginya, sebuah sikap oragansi yang tidak memahami perasaan publik Madridistas. Dalam wawancara usai pertandingan, Mou berkata, "Kekalahan ini bukan penghinaan bagi saya." Sebuah ungkapan yang tidak sepadan dengan penghinaan yang dirasakan oleh pendukung Real Madrid. Sergio Ramos dalam wawancara sehari setelah kekalahan tersebut berujar, "Sulit untuk menjaga konsentrasi ketika saya melihat papan skor dan membayangkan Madridistas tidak bisa tidur malam ini." Yang pertama sekali seharusnya ia lakukan adalah meminta maaf kepada para fan, karena kekalahan itu bukan semata-mata kekalahan Mou tetapi kekalahan para pendukung. Wajar bila salah satu komentar di RTVE, stasiun RTVI-nya Spanyol, mengatakan, seharusnya Mourinho bertanya kepada Madridistas apakah mereka terhina atau tidak atas kekalahan tersebut. Mourinho memang terkenal hebat dan mampu memanfaatkan semua yang berada di sekitarnya untuk mencapai tujuan yang ia harapkan. Ia sendiri pernah mengatakan dalam salah satu wawancara pada harian Marca, "Pelatih sekarang ini harus tahu banyak hal, tidak hanya tahu melatih saja." Prinsip inilah yang membuat Mourinho mampu menjadi juara di semua liga penting Eropa, mulai dari Portugal, Inggris, Italia dan kini mengincar liga Spanyol. Ia merasa dirinya ditakdirkan untuk menjadi penakluk sejati dalam sejarah sepak bola modern dan untuk itu ia tidak perlu belajar ke mananpun. Karena ia menganggap dirinya sudah memiliki semuanya untuk meraih apa yang ia inginkan. Ia juga tidak perlu belajar apalagi meniru dari Barca. Dalam salah satu wawancara dengan televisi Spanyol, Mou pernah berkata, “Dalam 100 tahun, Barcelona baru meraih satu kali juara Eropa, sementara saya hanya dalam tiga tahun sudah juara. Lalu apa yang perlu saya pelajari dari mereka?" Ungkapan seperti itu hanya keluar dari orang yang memiliki karakter kuat mengingat
sebelumnya Mou menjadi penerjemah Bobby Robson di Barcelona. Memang la lengua no tiene pelo, kata orang Spanyol, lidah tak bertulang, kata orang Melayu. Ketika masih bersama Barca, Mourinho sempat mengatakan di hadapan publik Barca, "Sekarang, besok, Barca akan selalu ada di hati saya." Kata-kata itu seakan menguap tak berbekas ketika ia merayakan kemenangan melawan Barca di Camp Nou dalam semifinal Liga Champion tahun lalu bersama Inter Milan. Luapan kemenangan itu malah memancing dendam tersendiri bagi publik Barca. Dendam yang akhirnya berubah menjadi motivasi besar ketika menyambut Mourinho dan Cristiano Ronaldo pada “El Clasico” beberapa waktu lalu. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Lagi-lagi pepatah Melayu ini kiranya tepat diungkapkan ketika Sergio Ramos melakukan pelanggaran yang tak terpuji kepada Puyol, kapten kesebelasan dan sekaligus sesama pemain di timnas Spanyol. Sikap Sergio ini merupakan babak lanjutan dari tindakan sang pelatih dan pemain yang melakukan autoexpulsion, sengaja melakukan tindakan tak terpuji untuk mengundang wasit mengeluarkan kartu merah. Itu terjadi saat Madrid membekuk Ajax Amsterdam di matchday kelima Liga Champions. Bukan hanya Sergio, Xabi Alonso pun tak malu melakukan permintaan “The Special One” untuk mengundang kartu kuning kedua. Iker Casillas, sang kapten yang terkenal bijak, pun tak luput dari pengaruh arogansi Mourinho ketika membisikkan pesan Mou kepada Sergio (untuk dikartu merah), ketika itu. Bahkan dalam wawancara dengan Marca dua hari sebelum “El Clasico”, Iker yang biasanya tampak rendah hati selama di Piala Dunia 2010, muncul dengan ungkapan yang seakan-akan timnya mereka adalah kekuatan yang tak akan terkalahkan musim ini. “Kami akan menang. Kami datang untuk menang," katanya. Padahal, di Piala Dunia lalu, ia selalu berkata, "Semua lawan memiliki kualitas yang sama, maka kami harus bekerja keras dan rendah hati." Pengaruh Mourinho sungguh terasa dalam tubuh tim “El Real”, tidak semata-mata dalam pola permainan tetapi juga dalam sudut pandang terhadap sesuatu. Sikap arogansi Mourinho tidak mendapat tanggapan sama sekali dari Barcelona. Mereka diam seribu bahasa dan memilih berkonsentrasi di lapangan. Hanya Johan Cruyff yang bersedia melayani hiruk pikuk celotehan dari rumah tetangga. Dalam tulisannya: "Mourinho tira: Pep no pica". Cruyff menegaskan bahwa sebuah pertandingan tidak semata-mata perihal kalah atau menang, tetapi juga harus mampu mentransfer kerja keras, kerendahan hati, sopan santun dan rasa hormat pada tim lawan. Masih pada tulisan yang sama, Cruyff mengatakan bahwa Guardiola muak dengan provokasi maupun psywar yang dibuat oleh Mourinho. Para pemain pun tak satu pun ingin terlibat polemik dengan Mourinho. Villa yang sempat digolongkan sebagai penyerang yang bermasalah di depan gawang lawan, tidak menanggapi kritikan Mourinho tersebut. Villa hanya berkata, "Ia toh tidak menyebutkan nama saya, jadi tak perlu ditanggapi." Guardiola akhirnya menjawb arogansi Mourinho dengan kerendahan hati dan kerja keras dan hasilnya sangat mencengangkan. Usai pertandingan, Guardiola menyindir pelatih baru Real Madrid itu dengan cara yang sangat halus. Guardiola mengatakan bahwa apa yang mereka peroleh saat ini adalah hasil kerja keras dari sejak 15 tahun lalu. Pendapat ini tentu kontras dengan gembar-gembor mengenai kekuatan el once de alegria ( kesebelasan yang membawa
kebahagiaan) sebutan untuk ke-11 pemain inti Mourinho yang baru melakukan kurang dari 20 pertandingan resmi. Guardiola juga tidak terlihat berlebihan ketika mampu membawa pulang lima gol, sebaliknya ia memberikan salam hormat kepada Mourinho. Guardiola sama sekali tidak memperlihatkan sikap arogan atau mencibirkan pelatih lawan. Tak tak terlihat sama sekali menyimpan dendam atas perlakukan Mou pada semifinal Liga Champion musim lalu. Para pemain Barcelona pun bersikap demikian. Puyol melarang Pique memperagakan la manita (angkat tangan dan memperlihatkan kelima jari, lima gol) karena Puyol khawatir sikap itu hanya akan membangkitkan luka lama. Secara tidak langsung Guardiola memberikan pelajaran berharga bagi Mourinho bagaimana caranya merayakan sebuah kemenangan. Tidak hanya Mourinho yang mendapat pelajaran, kita pun sebagai pencinta olahraga belajar: betapa sulitnya menjadi rendah hati, tetapi begitu nikmatnya bila hal itu dapat dilakukan.
Matador dan Pembalap 26 november 2010 Bagi pencinta balapan si roda dua, nama Jorge Lorenzo, Dani Pedrosa tentu bukan hal yagn asing lagi. Kedua nama ini akan menjadi pengganti el doctor Valentino Rossi. Kedua nama pertama tersebut berasal dari negara yang sama Spanyol. Tetapi mereka tidak berada sendiri di sirkuit balalan. Pada kelas Moto2, Toni Elias dan Julian Simon menjadi jawara utama. Melihat kelasyang lebih rendah, 125cc Marc Marquez muncul sebagai juara dunia dengan usia muda, 17 tahun. Pada kelas ini lima pembalap Spanyol lainnya turut memberikan warna kuning merah, bendara Spanyol dalam 10 pembalap tercepat dalam tahun ini. Tanap mengesampingkan Fernando Alonso, mencul sebuah pertanyaan curiositi kejayaan mereka di atas aspal hitam. Tampil dengan kecepatan di atas minimal 100km/jam membutuhkan sebuah nyali besar, pasalnya disamping sebuah tancapan gas terdapat ancaman tabrakan fatal. Begitu seoarang pembalap megnendarai sang kuda beroda bundar tersebut, ia ibarat menari dengan kematian, bailar con la muerte, menari dengan kematian, silap sedikit bukan mustahil nyawa jadi taruhannya. Mungkin lebih tepat mengatakan bahwa mereka itu run with the death. Bukankah hal ini yang dilakukan oleh pemuda-pemuda Spanyol ketika belari dengan banteng sepanjang 800 m setiap bulan Juli dalam pesta San Fermin. Toro bravo, nama yang kerap diberikan pada banteng yang dilepas tersebut merupakan banteng yang ganas dengan dua tanduk yang dapat merusak permukaan papan penghalang. Itu artinya dapat merobek daging manusia yang turut serta berlari bersamanya. Bagi yang pernah menyaksikan dan merasakan lari bersama banteng-banteng bravo itu, maka mampu merasakan apa artinya berlari bersama kematian. Setiap orang yang memilih masuk dalam jalan yang tidak memiliki jalan keluar kecuali lari ke arah depan, memilih dengan kesadaran penuh bahwa banteng dapat membunuh. Dan sebelum banteng di lepas, mikrofan yang dipasang sepanjang jalan telah mengumumkan dalam berbagai bahasa bahwa banteng tersebut dapat membunuh. Belari bersama banteng-banteng tersebut bukan berarti belari dari sang banteng. Berlari seiring dengan mereka, berlari di samping mereka. Semakin dekat dapat berlari dengan sang banteng merupakan ujian nyali tersendiri bagi mereka yang masuk dalam jalur tertutup sepanjang 800 m tersebut. Berlari dengan banteng-banteng tersebut merupakan bagian penting dari pesta San Fermin yang akan dilanjutkan dengan pertunjukan bermain-main dengan banteng kecil di dalam stadion tertutup, sekalipun kecil tetap saja dapat menanduk. Bagi mereka yang pertama kali menyaksikan pertunjukan seperti ni merupakan sebuah keanehan karena resiko maut berada di depan mata. Banteng-banteng itu adalah binatang yang tidak mengenal rasa kasihan. Ketika keberanian aneh ini ditransformasikan pada race, kita menemukan nama-mana besar seperti yang sudah disebutkan di atas. Saat berlari bersama banteng bersama ribuan orang lainnya, yang ada sesunguhnya hanya dua saja ' saya dan banteng' karena setiap orang yang berlari bersama sang banteng tentu hanya akan memikirkan keselamatan untuk dirinya sendiri. Mentalitas yang sama akan ditemui dalam diri setiap pembalap. Konsentrasi seorang pembalap akan terpusat pada dirinya dan motornya.
Hanya mereka yang berani mengatasi ketakutannya pada maut yang akan dapat keluar sebagai pemenang dalam bapalan motor. Demikian juga hanya seorang matador yang tidak takut mati berani masuk dalam arena flaza de toro, arena tempat pertarungan antara matador dan toro. Banteng yagn dapat memiliki berat 400-500 kg akan diadu dengan matador yang harus tampil elegant, di satu sisi ia harus keras tetapi dinamsi, seperti seorang penari flamenco. Persis seperti penari flamenco, karena matador tersebut harus menari bersama toro bravo. Keahlian tentu sangat dibutuhkan untuk masuk dalam arena seperti ini tetapi mengalahkan rasa takut adalah langkah awal sebelum memutuskan karir dalam dunia olahraga yang penuh resiko seperti balapan motor atau mobil.
Saya kira mentalitas masyarakat akan mempengaruhi seseorang dalam pengambilan keputusan dalam karir olahraga yang hendak digeluti. Bukan sebuah kebetulan bila melihat nama-nama besar pembalap roda dua baik di Moto GP, Moto2 dan 125cc didominasi oleh pembala-pembalap Spanyol. Selain sarana dan prasarana yang mendukung dalam terbentuknya iklim balapan motor, masyarakatnya juga sudah terbiasa menyaksikan anakanaknya berlari dengan maut atau menyaksikan matador menari dengan banteng bravo. Apalagi menjadi pembalap motor jauh lebih mudah dari pada menjadi seorang matador.
Kerendahan Hati “El Campeon” Rabu, 11 Juli 2012
KEMERIAHAN pesta telah berakhir. Tawa ria dan senyum lebar sang juara tidak lagi menjadi berita harian. Demikian juga dengan air mata si kalah telah lama kering. Pembicaraan tentang kemenangan dan kekalahan tidak lagi menjadi topik harian publik pencinta bola. Semuanya telah kembali dalam suasana normal. Tetapi tentu saja selalu ada catatan-catatan menarik yang tertinggal dari perhelatan akbar Piala Eropa 2012 Polandia-Ukraina. Apakah yang membuat timnas Spanyol begitu perkasa? Pertanyaan ini adalah refleksi bagi pencinta sepak bola dunia. Semua mencoba menganalisis apa yang menjadi resep mujarab Spanyol untuk melahirkan “generasi emas” Andres Inesta dan kawankawan. Pada tahun 2009, setahun sebelum memenangkan Piala Dunia 2010, pelatih Vicente Del Bosque sebetulnya sudah membeberkan rahasia di balik keberhasilan Spanyol. Secara berurutan, ia membeberkan; keberhasilan pemain yang merumput di liga asing; kesuksesan dalam pembinaan cantera, akademi sepak bola; infrastruktur dan fasilitas yang semakin membaik; pendidikan pelatih; kepempinan wasit yang independen serta dukungan fan sepak bola. Tapi , ada faktor lain yang menjadi kunci sukses dari la absoluta, sebutan baru la Roja, yang belum disebutkan oleh Del Bosque , yakni la humildad, kerendahan hati. Di balik semua kerja keras dan motiviasi untuk meraih yang terbaik, la Roja mengamini sesuatu yang jarang ditemui dalam dunia yang sarat dengan kompetisi dan persaingan yakni, kerendahan hati. Tidak ada yang akan menampik bahwa aktor penting dibalik keberhasilan la absoluta adalah Del Bosque, pelatih kawakan yang bertangan dingin. Ambisi besar Spanyol untuk menciptakan sejarah baru diimbanggi dengan kerendahan hati sang mister. "Vicente Del Bosque adalah kerendahan hati." Kata-kata ini diucapkan oleh Pepe Reina saat menjadi MC perayaan kemenangan Piala Eropa 2012 di la Plaza de Cibeles. Kata-kata tersebut bukan semata-mata pujian di waktu senang, tetapi berdasarkan fakta nyata. Usai kemenangan melawan Kroasia dalam babak penyisihan grup, Del Bosque mengkirik pedas para pemainnya yang tidak melakukan selebrasi lolos ke babak perempat final. "Seperti orang yang baru saja berubah dari miskin menjadi kaya, mereka tidak menghargai apa yang ada selama ini." Kritikan pedas Del Bosque tersebut ibarat peringatan dari seorang ayah pada anak-anaknya agar tetap bersikap rendah hati. Dengan segudang pengalamannya, Del Bosque sangat tahu bahwa awal dari sebuah kekalahan adalah sikap meremehkan lawan. Tidak heran bila di puncak kejayaan sekalipun Del Bosque tetap rendah hati. Setelah mengalahkan Italia dengan skor telak, 4-0, skor terbesar dalam sejarah final Piala
Eropa, Del Bosque mengawali jumpa persnya dengan pujian kepada permainan timnas Italia dan tak satu kata pun meremehkan tim yang sudah mereka tekuk tersebut. Juga tidak ada pembelaan terhadap sesumbar yang sebelumnya dikatakan oleh Bolatelli yang ingin mencetak empat gol ke gawang Casillas. "Pertandingan berakhir dngan cidera yang dialami oleh Motta. Karena cidera itu kami dapat melakukan partai final ini dengan lebih tenang, tetapi Italia adalah lawan yang berat bahkan sempat tampil lebih baik dari kami dalam 20 menit babak pertama." Hal yang sama juga dikatakan oleh Cesc Fabregas, pemain yang baru saja mengunjungi Indoensia untuk kedua kalinya. "Pertandingan tersebut sangat berat, tidak ada kaitannya dengan hasilnya," ujarnya. Sementara Iker Casillas memilih memberikan ucapan selamat kepada pemain Italia satu persatu usai partai final tersebut. Sikap yang kurang lebih sama juga terlihat dari pernyataan Inesta usai meraih tropi Piala Eropa. Dalam jumpa pers wartawan memberikan pernyataan bahwa La Roja adalah tim terbaik saat ini. "Saya tidak berada di sini untuk mengatakan sepakbola kamilah yang terbaik, setiap orang memiliki pendapat masing-masing, dan yang kami lakukan adalah tetap setia pada gaya kami," ujar Iniesta. Sikap rendah hati tersebut bukan sesuatu yang terlihat usai partai final, tetapi sesuatu yang sudah melekat dalam DNA timnas ini. Sehari setelah pertandingan melawan Portugal, Sergio Ramos sempat mengatakan dalam wawancara ekslusif dengan MARCA, "Kami bukan tim yang tidak dapat dikalahkan. Karena memang tidak ada tim yang tidak dapat dikalahkan. Jika kami kehilangan kerendahan hati bahwa kami bisa dikalahkan, maka kami akan menjadi tim yang lemah,” dia menuturkan.
Sepakola: Menari dengan Kematian Selasa, 26 Juni 2012
SETIAP kali menonton pertandingan timnas Spanyol, melalui televisi tentu saja, dengan gaya tiki-taka, menggulirkan bola dari kanan ke kiri, depan dan belakang sembari dengan sabar mencari ruang yang tepat untuk melepaskan gol yang indah, saya selalu mengingat plaza de toro, lapangan adu banteng dan manusia atau dalam bahasa Spanyolnya, la corrida de toro Sebelum melanjutkan lebih jauh, saya ingin mengatakan bahwa istilah matador, tidak kerap dipakai di Spanyol mereka lebih mengenal sebutan torero untuk merujuk pada si jagoan yang sedang berhadapan dengan banteng. Matador berasal dari kata matar, membunuh. Sementara torero datang dari kata torear, melawan banteng. La corrida de toro adalah sebuah pertunjukan pertandingan antara manusia dan seekor banteng. Tugas akhir seorang torero adalah membunuh si banteng, tetapi tugas utamanya adalah memperlihatkan sebuah pertunjukan menari bersama banteng maut. Si torero akan meliuk-liuk dengan elegan menghadapi setiap serudukan si banteng. Silap sedikit tanduk sang banteng dapat bersarang di tubuh si torero, tidak heran bila ada yang menyebutnya ibarat dance with the death, menari dengan kematian. Si banteng akan dibuat kelelahan oleh torero dan bila saat ini telah tiba, si torero akan berdiri tegak di hadapan banteng, menatap tajam dan mengarahkan sebuah pedang tipis ke arah si banteng. Adegan ini adalah adegan puncak yang akan menentukan nama besar si torero, ia harus mampu menancapkan pedang tersebut persis di celah antara bahu dan leher si banteng. Pedang sepanjang 75 sentimeter itu akan menembus jantung si toro dan dalam hitungan detik akan terkapar tak melawan lagi. Game over! Sebelum dibantai, si banteng akan dibuat marah dengan menancapkan beberapa tombak kecil di punggungnya. Semakin beringas semakin menarik. Terdengar menyeramkan, tetapi memang begitu faktanya, pertarungan berdarah ini yang akan berakhir pada sebuah kematian. Hanya ada satu pilihan yang akan terjadi pada adengan tersebut, si toro harus mati. Di luar plaza de toro, banteng besar tersebut akan langsung dikuliti dan dilego ke pasar daging. Sup buntut toro, lumayan lezat. Sekalipun jarang, ada banteng yang akhirnya tidak dibunuh dan dikembalikan ke hutan peternakan agar tetap menjadi pejantan. Banteng seperti ini adalah banteng yang sangat tangguh dan tak terkalahkan selama pertarungan tersebut. Portugal dan CR7 Kembali ke sepak bola. Ciri khas permainan Spanyol ibarat si torero, berputar-putar di depan arena lawan, membuat lawan pusing, dan ketika momen itu telah tercapai, bam... sebuah tikaman tajam menusuk ke jantung pertahanan lawan. Semua ini dilakukan dengan sabar,
para pemain Spanyol mengoper bola dari satu kaki ke kaki yang lain, dari satu sisi ke sisi yang berbeda, pola permainan yang diterapkan sepanjang pertandingan. Tentu, selalu ada bahaya yang harus diantisipasi, lengah sekejap tim lawan dapat mencuri bola dan melakukan serangan balik. Dalam empat pertandingan di Piala Eropa 2012, Spanyol selalu keluar sebagai torero si pemenang dengan menerapkan pola permainan yang sama. Spanyol selalu bermain indah, berputar-putar sembari menari dengan bola dari satu kaki ke kaki yang lainnya, menunggu pasangannya merasa kelelahan. Tetapi seperti yang saya sebutkan di atas, selalu ada banteng yang tidak dapat dibantai, karena sangat tangguh dan perkasa. Kali ini, “Banteng itu” bernama Portugal, negara tetangga yang juga mengenal la corrida de toro. Di barisan depan Portugal punya Cristiano Ronaldo dengan tanduk tajam di kaki dan kepalanya. Dalam sekejap ia dapat menusuk gawang Iker Casillas seperti yang ia lakukan pada pertandingan melawan Republik Ceko. Tiga golyang telah dibuat CR7 merupakan bukti ancaman dari setiap tendangannya. Bukan hanya itu pemain Real Madrid ini tercatat sebagai pemain terbanyak yang telah melepaskan tendangan ke gawang lawan, 30 kali dalam empat pertandingan atau rata-rata 7,5 dalam setiap lagan. Cristiano tak sendiri, ada Nani, Coentrao, dan Pepe yang akan membuat Cristiano lebih hidup dalam pergerakannya di zona pertahanan lawan. Wajar bila kita menyebut pertarungan antara Spanyol dan Portugal ibarat pertandingan si torero dan si toro. Elegansi permainan Spanyol akan dibalas oleh ketajaman serangan balik Portugal. Hanya akan ada satu pemenang dalam pertarungan ini!
“Peradaban” Baru Bernama Respect Kamis, 21 Juni 2012
PIALA Eropa 2012 telah melangkah lebih jauh dari sekadar laga olahraga. Pada setiap seremoni pembukaan pertandingan sebuah tulisan besar ditempatkan di tengah-tengah dua kesebelasan: respect. Kata dengan tujuh huruf ini adalah pesan moral yang hendak disampaikan UEFA melalui Piala Eropa 2012. Pada lengan baju pemain respect pun disematkan, dengan demikian sepanjang laga kita akan selalu diingatkan oleh kata tersebut. Tak hanya itu, banner di pinggir lapangan secara periodik menampilkan kata itu selama 90 menit. Kita tak lagi diarahkan pada pemahaman fair play karena kata ini telah dicerna dengan baik. Fair play sebagai spirit pertandingan telah sepenuhnya diterapkan oleh para pemain tingkat dunia. Pada level laga kelas dunia seperti Piala Eropa dan Piala Dunia, akan sangat jarang kita temui sebuah pertandingan yang melahirkan konflik agresif yang tak dapat diselesaikan wasit. Sepak bola sebagai pertandingan telah mencapai tahap kesempurnaan. Para pemain bertindak sepenuhnya sebagai profesional dan wasit memiliki kekuasaan absolut selama pertandingan. Kini pertandingan dengan sadar mengambil peran tambahan sebagai pembawa pesan. Selain memberikan hiburan, pesta sepak bola datang dengan sebuah misi kebudayaan global. UEFA memanfaatkan dengan jeli perhelatan akbar yang menyedot ratusan juta pencinta sepak bola di seluruh dunia untuk mengamini satu kata, respect, saling menghormati. Jika fair play adalah jiwa pertandingan maka respect adalah kata kunci hidup bersama secara damai. Respect adalah sikap aktif untuk menerima perbedaan dalam masyarakat, suku, ras, agama, orientasi seksual maupun status kewarganegaraan. Dalam bahasa Indonesia, kata ini sudah lama dibakukan dan ditulis dengan: respek. Ujung tombak pesan respek ini adalah menepis semua bentuk rasisme, mulai dari perkataan maupun ungkapan tertulis yang muncul selama perhelatan besar itu. Secara khusus UEFA menempatkan banner yang secara teratur memperlihatkan pesan “Unite against racism”. UEFA akan menjatuhkan sanksi berat dalam menerapkan nilai baru ini. Isu terkait adanya pernyataan rasisme terhadap Mario Balotelli selama laga Spanyol dan Italia langsung direspons serius UEFA. Pun dengan kerusuhan yang terjadi antara fan Rusia dan Polandia, langsung masuk dalam agenda penting UEFA. Semangat zero tolerance terhadap semua aktivitas yang bertentangan dengan spirit of respect akan segera ditindaklanjuti oleh UEFA. Untuk mendukung kampanye nilai hidup bersama ini, UEFA membahasnya sejak tahun 2003 dalam sebuah seminar yang diprakarsai UEFA dan FARE (the Football Against Racism in Europe) di FC Chelsea dan berlanjut tiga tahun kemudian di Barcelona. Keseriusan UEFA untuk memanfaatkan sepakbola sebagai “burung dara” pembawa pesan terlihat dari besarnya dana yang dikeluarkan untuk Piala Eropa 2012, 3 juta euro. Selain kampanye gerakan antiracism, UEFA juga mengajak publik untuk tetap memberi ruang sosial terhadap para
lesbian, gay, imigran, asylum, penyandang catat, dan tahanan penjara. Informasi ini dengan lengkap dipaparkan pada website resmi UEFA. Piala Eropa tak melulu menjadi referensi strategi dan taktik sepak bola, tapi juga sebagai inovator dalam meningkatkan kualitas hidup bersama. Roger Caillois dalam bukunya Man, Play and Game (terjemahan dari Les Jeux les Homes, 1958) sudah mengingatkan bahwa permainan berperan meningkatkan kualitas kehidupan sosial. Bahkan Johan Huizinga dalam bukunya Homo Ludens (1938) mengatakan bahwa permainan lahir lebih dulu daripada kebudayaan itu sendiri. Kedua pendapat ini kian menguatkan pilihan UEFA untuk memanfaatkan sepak bola demi meningkatkan kualitas hidup bersama. Pesan indah ini masih membutuhkan perjuangan panjang agar dapat diwujudkan di Tanah Air. Sekalipun kita tiap hari melihat dan membahas Piala Eropa 2012, tapi pesan nilai-nilai kehidupan yang ditawarkan UEFA masih akan sulit diterapkan dalam dunia persepakbolaan kita. Evolusi si kulit bundar di Indonesia masih berada dalam peradaban tahap pertama sepak bola, fair play. Kita harus mengakui bahwa hingga kini kita belum sanggup memberikan respek yang tepat kepada wasit sebagai pengambil keputusan absolut, syarat mutlak melewati era fair play sebelum masuk era respek. Bahkan klub-klub pun masih jauh dari respek terhadap hak profesional pemain. Wajah sepak bola kita akan terlihat lebih muram lagi bila menyebutkan aksi-aksi anarkis fan klub. Insan bola Indonesia masih harus melewati jalan panjang untuk menjadikan sepakbola sebagai a good messenger. Walau demikian, benih unggulnya telah mulai tumbuh dengan terkikisnya dualisme PSSI dan munculnya ide APPI (Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia) dalam gerakan “deritamu adalah deritaku jua”.
Vicente del Bosque bukan Raja Midas 24-25 Juli 2010 Tua tua si kelapa tua, semakin tua semakin bersantan. Tua-tua si Vicente del Bosque, biar tua dialah sang campeon. Pantuan melayu ini sudah pasti tidak akan ditemukan di Spanyol karena mereka tidak memiliki pohon kelapa. Mereka baru mengenalnya ketika Kristoper Kolombus menginjakkan kakinya di benua Amerika pada tahun 1492. Padanan yang tepat untuk pantun ini adalah ungkapan Spanyol, Que tu sabiduría sea la sabiduría de las canas, kebijakan terukur dari banyaknya uban yang telah menghiasi kepala. Ketika dunia modern mengarahkan pandanganya pada sosok yang lebih muda, fresh dan energik, Vicente Del Bosuque malah tampil dengan gaya lama, gaya yang bagi kebanyakan orang telah ketinggalan zaman. Ia telah lama tenggelam dan tersisih dari dunia yang lebih mementingkan pencitraan diri. Seandainya layak tidaknya seorang pelatih dinilai berdasarkan penampilan, maka Del Bosque akan menempati urutan terakhir dan Joachim Loew, pelatih Jerman yang modis dan elegant akan menjadi pelatih favorit juara. Tak ada yang menarik dari orang tua yang usianya hampir menjelang 60 tahun. Mungkin ini pulalah yang menjadi salah satu alasan bagi Florentino Perez, president Real Madrid (periode I 2000-2006) yang meminta agar Jorge Valdano untuk mengatakan kepada Del Bosque bahwa Real Madrid tidak membutuhkan tenaganya lagi alias dipecat. Tragisnya ia dipecat 24 jam setelah ia memenangkan la Liga, tepatnya pada tanggal 23 Juni 2003. Pemecatan itu dilakukan di salah satu lorong stadion Santiago de Barnebeu - bukan di kantor atau di ruang rapat atau pada salah satu acara resmi. Secara kebetulan ia bertemu dengan Jorge Valdano, tangan kanan Florentino Perez di lorong itu dan mengatakan, “ Kamu tidak menjadi pelatih lagi." Simple, tajam dan jelas, jauh dari kebiasaan orang Spanyol yang suka berbasa-basi dengan sopan santuan berbahasa yang menghargai orang yang lebih tua. Del Bosque, yang sebelumnya telah mencium bau bahwa ia tidak lagi diminati oleh Dewan Dereksi el Real, klub yang telah membesarkannya sejak usia 16 tahun, tidak mengucapkan satu kata protespun kepada Valdano. Ia meninggalkan 'rumah besarnya' tersebut dengan wajah tenang tapi hati yang bergejolak. Kepalanya yang sudah mulai beruban membuatnya lebih bijak ketika menghadapi salah satu tahap terberat dalam karirnya. Tamparan yang terjadi pada sore hari itu ternyata bukan akhir cerita karena esok harinya, Fernando Hierro, kapten kesebelasan el Real saat itu pun mengalami hal yang sama. "Saya dikelurkan."katanya kepada sang pelatih, salah satu orang pertama yang ia beritahu. Vicente del Bosque sudah tua, Hierro juga sudah berusia 35 tahun, dua tokoh yang tak lagi mendapat tempat dalam nuevo proyecto Florentino Perez. Sang bapak tua pun akhirnya tenggelam di telan hiruk pikuk konsep baru klub yang bertaburan dengan pemain los galacticos yang dibawa oleh Florentino, president dengan ide-ide yang mampu mengikuti tuntutan sepakbola sebagai industri. Ia mampu melihat semua peluang dan mengubahnya menjadi uang. Ia ibarat Raja Midas, raja dalam mitologi Yunani yang mampu mengubah semua benda yang ia sentuh menjadi emas. Lima tahun kemudian setelah cerita sedih di lorong stadion Barnabeu berlalu dan hanya menjadi catatan personal del Bosque, sebuah telefon berbunyi di salah satu sudut kota dari sebuah suara yang tidak terlupakan,"Apakah saya dapat menempatkanmu sebagai pelatih timnas?"pinta Fernando Hierro di ujung telefon yang telah menjabat sebagai direktur
olahraga Real Federacion Espanola de Futbol alias PSSI-nya Spanyol sejak tahun 2007. Gayung bersambut, sang bapak tua, yang sempat dibuang telah kembali ke ke arena utama sepakbola, menjadi pelatih timnas Spanyol untuk Piala Dunia Afrika Selatan. Ia tidak merasa gentar dengan sukses yang baru saja diraih oleh timnas Spanyol, juara piala Eropa 2008. Usia dan waktu ternyata tidak mengubahnya. ia tetap seperti yang dulu dengan pembawaan yang tenang, kebapakan dan selalu mengedepankan hati daripada logika saat mengambil keputusan. Kharisma sebagai pelatih yang memahami satu demi satu pemainnya tetap terlihat. Ia sanggup menerapkan prinsip dasar team work, merasakan yang sama. Kemenagnan dan kekalahan adalah milik bersama, semua pemain memliki peran yang sama besarnya, baik yang mencetak gol maupun yang hanya duduk mendukung dari bangku cadangan. Ia juga bukan tipe pelatih yang suka berbicara sesumbar ketika timnya menang, "Saya telah melakukan tugas saya sebagai mana mestinya" ungkapan yang kerap ia sampaikan usai pertandingan. Ia mencintai para pemainnya dan para pemainnya memberikan rasa hormat padanya. Seperti seorang ayah melihat anaknya kecewa, batinnya pun bergejolak saat menempatkan Fernando Torres di bangku cadangan, "Keputusan itu tidak mudah diambil. Sulit bagi saya melihatnya duduk di bangku cadangan." Ia dapat merasakan gejolak hati Fernando ketika diturunkan sebagai pemain pengganti tetapi ia harus mengambil keputusan sulit tersebut demi kepentingan tim. Seorang ayah yang bijak akan melakukan yang terbaik untuk keluarganya. Para pemain pun tahu bahwa setiap keputusan sang pelatih adalah keputusan demi kebaikan tim secara keseluruhan. Jiwa kebapakan tersebut bukan sebuah topeng untuk mencuri hati pemain, tetapi itulah sikapnya yang sesungguhnya. Hal ini juga tercermin dari nazar dalam amplop tertutup yang ditulisnya sebelum berangkat ke Afrika Selatan "JIka timanas ini menang, izinkanlah putra saya, Alvaro untuk turut serta dalam peraakan kemenangan di Madrid." Sebuah permintaan dari orang tua yang lebih mementingkan kebahagiaan putranya yang menderita down sindrome daripada harat pribadinya.
Wajahnya pun hanya dihiasi oleh senyum biasa ketika ia menyaksikan Spanyol mengangkat Copa Mundial pertama kali dalam sejarah sepakbola. Sementara jauh dari jangkauan tatapannya, diantara puluharan ribu orang, Jorge Valdano yang dulu turut 'membuangnya' bersorak gembira saat Inesta mencetak gol kemenangan historis ke gawang Belanda. Valdano sesaat lupa bahwa lima tahun lalu orang yang ia sudah anggap tua dan tak layak menjadi pelatih klub besar Spanyol ternyata merupakan the real Raja Midas, tetapi Raja Midas yang tidak menyentuh emas demi dirinya sendiri melainkan bagi banyak orang. Kini bukan hanya madridista yang melambaikan bendera kemenangan saat ia kembali dari Afrika Selatan, "Saya bangga melihat banyak warga imigrant yang melambaikan bendera Spanyol.”katanya memberi komentar usai perayaan besar kemenangan Spanyol di jalan-jalan kota Madrid. Kerendahan hati dan rasa kebapaan telah mampu mengaburkan kemewahaan dan pencitraan tokoh-tokoh modern seperti Cristiano Ronaldo, sosok yang telah dijadikan mesin emas baru Florentino Perez. Kita seakan-akan disadarkan kembali bahwa nilai-nilai yang sesunguhnya tidak terletak pada besarnya keuntungan financial yang diperoleh dari setiap kegiatan tetapi betapa besar cinta kita pada apa yang kita lakukan. Citra seseorang tidak terletak pada pencitraan dirinya tetapi dalam karya nyata hidupnya.
Pembantaian a la Furia Roja 19 Juli 2010
Menyaksikan pertandingan Spanyol melawan Jerman dan Belanda pada seminfinal dan partai final Piala Dunia Afrika 2010 ibarat menyaksikan la corrida de toro yang sedang berlangsung di kota Pamplona dengan pesta yang paling terkenal, San Fermin. Pesta ini digolongkan sebagai pesta terbesar ketiga di dunia setelah Karnaval Rio de Jeneiro dan Oktoberfest Munchen. Jerman dan Belanda ibarat banteng ganas, sementara Spanyol mengambil peran sebagai matadornya. Seorang matador yang hebat tidak terletak semata-mata bagaimana ia membunuh sang banteng, tetapi bagaimana ia menari bersama sang banteng, bailar con la muerte, menari bersama sang kematian, silap sedikit bukan tidak mungkin sang matador yang akan tersungkur di tanah. Sekalipun pertunjukkan ini kerap dikritikan oleh pencinta binatang, faktanya hampir di semua kota-kota besar, kecuali Barcelona la corrida de toro tetap menjadi tontonan yang menarik di kota-kota besar di Spanyol, Portugal, Prancis Selatan dan kota-kota di Amerika Latin. Hanya ada dua kemungkinan ketika manari bersama binatang yang dapat membunuh, anda yang dibunuh atau anda yang dibunuh. Siapapun yang memutuskan karirnya sebagai seorang matador berarti ia memiliki nyali yang besar. Banteng yang biasanya dapat mencapai berat 400kg adalah banteng ganas, yang akan menyeruduk setiap benda yang bergerak. Jika banteng tersebut lepas ke jalanan maka ia akan menyeruduk kendaraan yang lewat. Selain darahnya yang panas, banteng ini memang dilatih secara khusus setiap hari untuk berlari agar memiliki kekuatan penuh ketika masuk ke plaza de toro, stadion di mana diadakan pertarungan banteng dengan sang matador. Seekor banteng yang masuk ke plaza de toro yang nyatanya sudah ganas, akan dibuat lebih ganas lagi dengan menusuk punggungnya beberapa kali sehingga mengeluarkan darah segar. Setelah melewati pemanasan berdarah tersebut sang banteng sudah dianggap siap menjadi lawan tanding sang matador. Inilah saatnya nyali dan kehebatan seorang matador diuji. Ia tidak akan menusuk dengan seketika sang banteng, tetapi membiarkannya meliuk-liuk di sekitar tubuhnya, tepatnya menari di samping si banteng. Silap sedikit, tanduk tajam dari banteng seberat 400-500 dapat menjadi ancaman maut. Tampil elegan dengan tatapan tajam ke depan adalah bagian dari seni menari bersama sang kematian. Konsentrasi penuh, waspada tetapi tidak takut harus dimiliki seorang matador. Seorang matador harus memiliki kesabaran untuk mengakhiri sang banteng. Pada corrida de toro selalu ada aturan yang harus diikuti, bahkan aturan kapan mengarahkan pedang sepanjang lengan tangan dewasa ke tubuh si banteng. Setelah tribun puas dengan pertunjukan kemahiran sang matador, maka
pimpinan atau yang kerap disebut president pertunjukkan tersebut akan memberi aba-aba. Ini adalah moment crucial, bagi seorang matador, ia akan menatap dengan tajam, dan mengarahkan pedang ke arah sang banteng. Seorang matador hebat hanya membutuhkan satu kali tikaman untuk mengakhiri sang banteng.
Xavi, Iniesta, Xabi, memutar-mutar, menari-nari mempermainkan panser Jerman yang sebelumnya telah mengilas tampa ampun Inggris bahkan Argentina. Tak terbesit sedikit pun kekawatiran diwajah para pemain Spanyol dengan nama besar dan sukses besar Jerman pada pertandingan sebelumnya. Mungkin tepat mengulangi kata-kata Manuel Benítez, seorang matador tahun 1960'an yang tak kenal takut ""Más cornás da el hambre" - rasa lapar lebih menakutkan daripada tanduk banteng. Keinginan untuk menang lebih besar daripada rasa takut untuk kalah dari tim the great killer seperti Jerman. Demikian halnya ketika menghadapi permainan kasar total kung fu futball Belanda. Sekalipun sejak awal isyarat permainan keras telah diperlihatkan, Spanyol dengan elegant mampu mempertahankan irama tiki-taka – sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Andres Montes, komentator olahraga Spanyol, sampai akhir pertandingan. Semua orang dapat dengan mudah mengahbisi sang banteng. Tetapi cara mengakhiri pertandingan dapat menentukan kualitas sang matador tersebut.
Setelah puas dengan tarian tiki taka atau juego combinado khas la roja, la roja mengakhiri pertandingan dengan sebuah gol mematikan - memang tidak perlu banyak gol untuk mengesahkan sebuah kemenangan, cukup satu gol yang melumpuhkan. Dalam corrida de toro, ketika sang banteng sulit dilumpuhkan maka sebuah pedang dengan ujung yang melengkung sedikit akan digunakan untuk menusuk bagian tengkuk sang banteng, sebuah tusukan yang acurat akan melumpukan sang banteng dalam hitungan detik. Sundulan kepala Puyol, pemain belakang dengan usia 30 tahun akan lama dikenang dalam sejarah bola demikian juga tendangan kaki kanan Iniesta setelah menerima umpan manis dari Cecs Fabregas dalam ruang yang sempit merupakan gol-gol a la matador.