ANALISIS MINGGUAN
PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI Vol.1 No.20
Minggu I - Agustus 2007
Ketentuan CSR dalam RUU Perseroan Terbatas
CSR dan Irrelevansinya di Indonesia Four hundred years earlier, social responsibility shifted from the church to the state, as government replaced religious institutions as society's predominant force. At the dawning of the twenty-first century, business appears the next likely candidate to carry this mantle. (Joel Makower, Business for Social Responsibility, 1994)
D
ALAM demokrasi, tanggung jawab sosial merupakan kewajiban negara. Adanya tanggung jawab sosial dari pihak lain, dalam hal ini korporasi, tidak mengurangi tanggung jawab sosial negara. Dengan demikian, Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai upaya pengalihan tanggung jawab sosial dari negara ke korporasi harus dicegah. Dari pihak korporasi, CSR selalu dianggap bersifat karitatif dan juga suka rela (voluntary). Hal tersebut patut dimaklumi mengingat secara historis, keterlibatan korporasi dalam urusan sosial merupakan permintaan dari negara ketika terjadi krisis ekonomi pasca Perang Dunia II. Inilah yang kemudian memicu perdebatan dalam kelahiran UU Perseroan Terbatas baru-baru ini, yang menempatkan CSR sebagai kewajiban. Menurut Joel Makower (1994), CSR merupakan upaya untuk meminimalisir intervensi negara, sesuai dengan agenda pasar global, dengan menyeimbangkan kepentingan bisnis dan kepentingan masyarakat. Di satu sisi, ada kesadaran dari para kapitalis bahwa semua perusahaan pasti memproduksi dampak sosial dan mengakibatkan gangguan lingkungan hidup. Di sisi lain, negara merasa perlu untuk meminta bantuan kepada korporasi dalam pemulihan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang dipicu oleh terjadinya krisis ekonomi pasca Perang Dunia II. Dari pihak masyarakat sipil, tuntutan terhadap tanggung jawab sosial korporasi menguat berkenaan dengan kebutuhan akan tata ekonomi dunia baru (New International Economic Order) untuk mengatur perkembangan perusahaan trans-nasional (1960-1976), serta aksi-aksi anti globalisasi dan skandal-skandal yang terjadi di korporasi-korporasi besar internasional (Enron dan World Com, misalnya) menjelang abad 21 (James K. Rowe, 2005). Beberapa perusahaan di Indonesia, khususnya yang sudah menjadi perusahaan trans-nasional, sudah memiliki kesadaran untuk mengalokasikan sebagian pengeluarannya bagi komunitas/lingkungan sekitarnya sejak tahun 1990-an. Program ini biasa disebut sebagai community development, yang mencakup sektor pendidikan, sosial, lingkungan, kesehatan dan ekonomi. Seperti halnya CSR, program-program ini bersifat karitatif dan filantropis, serta murni merupakan insiatif dari perusahaan. Medco Group misalnya, melalui Yayasan Pendidikan Medco (YPM), ... bersambung ke halaman 2
Sumber: www.anritsu.co.jp
R
UU Perseroan Terbatas rampung dibahas di DPR dan tinggal menunggu pemberitaannya dalam Lembaran Negara, agar bisa berlaku mengikat sebagai hukum positif. Di antara hal-hal yang diatur di dalamnya, pasal-pasal terkait Corporate Social Responsibility (CSR) ramai diperdebatkan. Para pengusaha sejak awal menolak bentuk regulasi yang mereka anggap terlalu membebani, apalagi aturan itu juga memuat sanksi. Namun, para legislator tetap bersikukuh dengan keputusannya, meski pada akhirnya, mereka melakukan perubahan mendasar terhadap pasal-pasal mengenai CSR itu. Sekilas CSR Pada tahun 1929, Dekan Harvard Business School, Wallace B. Donham, memberikan komentarnya tentang tanggung jawab perusahaan : “Business started long centuries before the dawn of history, but business as we now know it is new - new in its broadening scope, new in its social significance. Business has not learned how to handle these changes, nor does it recognise the magnitude ... bersambung ke halaman 5
2
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.20/2007
Sambungan dari halaman 1 CSR dan Irrelevansinya...
menyatakan telah membangun dan memperbaiki sarana pendidikan di berbagai tempat di Tanah Air serta memberikan bea siswa bagi siswa sekolah dasar dan menengah. Medco mengaku menjadi penyandang dana utama serangkaian kegiatan di Sekolah Darurat Kartini yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak jalanan ibukota Jakarta Selain itu, yayasan tersebut juga sedang mendirikan Sekolah “Avicenna” di Tanjung Barat, Jakarta Selatan dan Al-Azhar Pamulang di kawasan Tangerang. PT Telkom melalui Telkom Community Development Center (Telkom CDC) yang berdiri secara resmi sejak 2001, mengelola program PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan). Untuk Program Kemitraan, sejak 2001-2006 mereka mengaku telah mengelola sebanyak 30.908 mitra binaan serta menyalurkan pinjaman lunak senilai Rp 356,54 milyar. Sedangkan untuk Program Bina Lingkungan, sejak 2003-2006, Telkom telah menyalurkan bantuan (hibah) senilai Rp 51,56 milyar dalam kegiatan Bina Lingkungan. Termasuk di dalam kegiatan Bina Lingkungan ini adalah bantuan pendidikan dan pelatihan, berupa pemberian beasiswa, pembangunan laboratorium, pengadaan peralatan sekolah (komputer, buku, dll), pelatihan dan atau pemagangan bagi anak putus sekolah, pelatihan dan pemberdayaan guru, dan Internet Goes to School (IG2S). Di samping itu, ada beberapa aktivitas yang biasa dilakukan oleh perusahaan yang kemudian dimasukkan sebagai bagian dari program community development ataupun CSR mereka, yaitu bantuan kepada korban bencana alam. Ketika terjadi Tsunami di Aceh dan Nias serta gempa bumi di Yogyakarta, hampir semua perusahaan berbondong-bondong mengumpulkan dan mem-
berikan bantuan, yang kemudian dimasukkan dalam aktivitas CSR mereka. Dilihat dari praktek CSR serta kondisi obyektif masyarakat Indonesia, problematika CSR di Indonesia tidak cukup dilihat dari perdebatan pro-kontra CSR seperti yang dikemukakan oleh Milton Friedman (1970) maupun Anita Roddick (2004). Tingginya angka kemiskinan dan buta huruf, minimnya akses terhadap kesehatan, rendahnya kualitas pendidikan, bencana alam, sistem transportasi yang buruk, dan lain-lain masih merupakan permasalahan yang belum diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia.
“s a m p a i s a a t i n i negara masih gagal mamenuhi tanggung jawab sosialnya, maka upaya negara untuk mewajibkan CSR menjadi sebuah persoalan.” Keberadaan UU Perseroan Terbatas yang mewajibkan perusahaan untuk menjalankan “tanggung jawab sosial dan lingkungan”, malah melahirkan perdebatan baru yang juga kontraproduktif. Di satu pihak, negara hendak membebankan sebagian kewajibannya ke perusahaan. Di pihak lain, perusahaan menolak tanggung jawab sosial itu sebagai kewajiban. Sementara CSR seolah-olah ditempatkan sebagai satu entitas baru yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan problem sosial di Indonesia. Persoalan menjadi semakin runyam ketika ada perusahaan yang dalam program CSR-nya melibatkan pemerintah sebagai “agen” CSR. PT Kaltim Prima Coal (KPC) misalnya, menyerahkan USD 1,5 juta per
tahun (dari total alokasi untuk CSR sebesar USD 5 juta/tahun) kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk pelaksanaan CSR dengan alasan agar “lebih tepat sasaran” (Kompas, 4/8/2007). Bentuk CSR seperti ini tidak hanya memindahkan tanggung jawab sosial ke korporasi, tapi juga menempatkan negara sebagai operator dari korporasi. Pelibatan pihak negara (dalam hal ini pemerintah daerah) dalam pelaksanaan CSR, merupakan satu inkonsistensi yang jelas-jelas menampakkan watak kolusif dalam hubungan korporasi dengan negara di Indonesia. Sifat karitatif CSR (atau community development) serta pretensinya untuk meminimalisir peran negara dalam relasi mereka dengan lingkungan/komunitas di mana perusahaan tersebut bekerja, cukup terlihat dalam praktek CSR di Indonesia. Dan sebagai sebuah aktivitas filantropis, program CSR yang dilakukan oleh perusahaan memang layak untuk diapresiasi. Namun demikian, kegagalan negara dalam memenuhi tanggung jawab sosialnya tidak serta merta menjustifikasi negara untuk membagi beban tanggung jawab tersebut dan menempatkannnya sebagai sebuah kewajiban bagi korporasi. Karena sampai saat ini negara masih gagal memenuhi tanggung jawab sosialnya, maka upaya negara untuk mewajibkan CSR menjadi sebuah persoalan. Tanggung jawab sosial negara dapat diamsalkan sebagai makanan pokok, di mana CSR merupakan vitamin tambahan. Kebutuhan utama masyarakat Indonesia saat ini adalah makanan pokok, yang harus dipenuhi oleh negara dan tidak boleh dialihkan tanggung jawabnya ke pihak lain. Kebutuhan makanan pokok inilah yang harus dipenuhi oleh negara terlebih dahulu. Sedangkan kebutuhan vitamin, apabila dibebankan kewajiban pemenuhannya kepada korporasi, ya alhamdulillah… (Don)
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.20/2007
3
Konstitusi Memang Mengamanatkan Tanggung Jawab Sosial bagi BUMN “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan….” (Alinea ke-4 Pembukaan UUD 45)
K
UTIPAN Pembukaan UUD 1945 di atas penting untuk mengingatkan dan menegaskan kembali bahwa memajukan kesejahteraan umum adalah amanat konstitusional yang harus dilaksanakan. Lebih jauh lagi, Pasal 33 UUD 1945 memberikan mandat bagi negara untuk berperan aktif karena dua hal: 1. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 2. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara memiliki hak untuk menguasai dalam rangka “sebesarbesar kemakmuran rakyat” atau “memajukan kesejahteraan umum”. Jika salah satu indikator kemakmuran dan kesejahteraan adalah tersedianya barang dan jasa yang memadai bagi seluruh rakyat Indonesia, maka negara harus berperan aktif dalam mengupayakan terpenuhinya indikator tersebut. Ketersediaan barang dan jasa tidak sekedar “ada”, akan tetapi dapat dimanfaatkan oleh rakyat dengan berbagai cara termasuk membeli. Dengan demikian banyak hal yang dapat dilakukan oleh negara, seperti menerapkan harga dasar, subsidi, menyediakan pendidikan, kesehatan dan perumahan murah, dan membuat unit-unit usaha yang memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh rakyat.
Berdasarkan mandat UUD 45 inilah didirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berperan sebagai pelaku ekonomi, bersama dengan koperasi dan swasta. Selain sebagai pelaku ekonomi, BUMN merupakan instrumen penting bagi pelaksanaan tanggung jawab ekonomi dan sosial Negara. Melalui BUMN, negara menyediakan barang dan jasa sekaligus memastikan barang-barang kebutuhan tersebut dapat terdistribusi dengan baik. Dengan kata lain, prinsip penyediaan dan distribusi demi kesejahteraan umum adalah yang utama daripada mengejar keuntungan (profit) semata. Inilah yang membedakan BUMN dengan perusahaan swasta. BUMN dan Corporate Social Responsibilities (CSR) Undang-undang No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, menyatakan bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN (Pasal 18, ayat 1). Peraturan ini diperkuat oleh Kepmen BUMN No. 236/2003 yang mewajibkan setiap BUMN menyisihkan dana sebesar 1-3 persen dari laba perusahaan bagi pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Melalui program kemitraan BUMN membantu UKM dan koperasi lewat pinjaman modal usaha dan hibah. Sedangkan Program Bina Lingkungan adalah program pem-
berdayaan kondisi sosial masyarakat di wilayah usaha BUMN, meliputi korban bencana alam, pendidikan dan atau pelatihan, peningkatan kesehatan, pengembangan prasarana dan sarana umum, dan sarana ibadah. Sampai saat ini dana untuk program PKBL mencapai Rp 5,7 trilyun. PT Telkom misalnya pada tahun 2007 ini menyalurkan dana kemitraan sebanyak Rp 190 miliar. Program PKBL ini dimaksudkan sebagai perwujudan tanggung jawab
Analisis Mingguan Diterbitkan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Redaksi Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Elisabet R. Kuswijayanti Fajrimei A. Gofar Ikravany Hilman Hendrik Bolitobi Isfahani Ivan Otto Pratama Rachlan Nashidik Robby Kurniawan Robertus Robet Santi Nuri Alamat Redaksi Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 Email:
[email protected] Website: http://www.p2d.org
4
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.20/2007
perusahaan/corporate social responsibility (CSR). Hal ini diungkapkan oleh Staf Ahli Menneg BUMN Bidang Kemitraan Usaha Kecil, Parikesit Suprapto (Jurnal Nasional, 11/4/2007). Pertanyaannya sekarang adalah hal apa yang mengharuskan BUMN melaksanakan CSR? Apakah PKBL telah mengikuti prinsip-prinsip CSR? Menurut Jeremy Moon, CSR adalah kontribusi voluntaristik dari perusahaan kepada masyarakat dan pemerintah berupa dana, barang dan jasa (James K. Rowe, 2005). Kontribusi ini diberikan untuk mengatasi negative externalities yang dialami oleh masyarakat akibat aktivitas perusahaan, seperti kerusakan hutan, penurunan kualitas lingkungan hidup akibat limbah industri (polusi udara, pencemaran air, dan lain-lain) kesenjangan ekonomi dan sosial, serta masalah-masalah lainnya. Dengan kata lain, karena adanya pengorbanan masyarakat akibat aktvitas perusahaan (negative externalities), sudah selayaknya perusahaan menyisihkan sebagian keuntungannya bagi kesejahteraan masyarakat di sekitar perusahaan dan kelestarian lingkungan. Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN, memperlihatkan adanya upaya untuk melakukan derma (charity) dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukan hanya meningkatkan kapasitas ekonomi akan tetapi juga turut meningkatkan kehidupan sosial lewat bantuan pendidikan, kesehatan, perbaikan lingkungan, sarana dan prasarana sosial lainnya. Tidak tanggung-tanggung, program ini tercantum dalam UU dan dipertegas oleh Kepmen BUMN. Jumlah dana yang disisihkan cukup besar dan melalui persetujuan RUPS untuk kemudian diaudit di akhir tahun anggaran. Walaupun masih terlihat aspek birokratis karena adanya “instruksi atasan” lewat peraturan perundangan, bukan voluntary sebagaimana konsep CSR, namun terlihat cukup kuat adanya gagasan dan semangat untuk meme-
nuhi “tanggung jawab sosial perusahaan”. Kemakmuran Rakyat vs Profit Jika pembentukan BUMN merupakan amanat konstitusi untuk menciptakan “kesejahteraan umum” dan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, tanggung jawab sosial seharusnya inheren dalam kerja BUMN. Menguatnya gagasan dan pelaksanaan CSR malah mengesankan terpisahnya tanggung jawab sosial dari kerja BUMN sehingga harus dibuat satu program khusus. Apakah memang telah terjadi pemisahan tersebut?
“kewajiban dan tanggung jawab sosial negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum tetap yang u t a m a” Secara formal, tujuan-tujuan pencapaian kesejahteraan umum tidak pernah dihilangkan, bahkan selalu ditempatkan sebagai prinsip yang utama. Namun masalah BUMN di masa lalu, seperti korupsi, inefisiensi, terlalu birokratis, membebani anggaran negara, dan ditambah dengan tekanan arus liberalisasi ekonomi telah memengaruhi perubahan karakter BUMN. Gejala yang paling mutakhir adalah privatisasi/swastanisasi sebagai upaya menambah efisiensi dan efektivitas kerja BUMN. Soal utama dalam proses ini adalah seberapa jauh proses perbaikan BUMN ini menghasilkan profit/keuntungan. Seperti yang diungkapkan mantan Menteri BUMN Sugiharto, tentang adanya BUMN yang profit oriented dan social oriented yang dapat dibedakan dari bentuk perusahaan. BUMN yang bersifat social oriented berbentuk Perum, sedangkan 126 BUMN yang berben-
tuk Persero harus profit oriented (Jawa Pos, 30/6/2005). Beberapa usaha pengadaan barang dan jasa yang menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk di dalam BUMN yang harus berorientasi pada keuntungan. Contohnya, listrik (PLN), bahan bakar (Pertamina), pendidikan (Balai Pustaka), telekomunikasi (Telkom), kesehatan (Biofarma, Kimia Farma), transportasi (KAI, PELNI) dan lain-lain. Bisa kita bayangkan, di tengah kemiskinan dan biaya pendidikan yang tinggi, PT Balai Pustaka tidak dapat menyediakan buku murah (bahkan gratis) kepada anak-anak Indonesia karena jelas tidak menguntungkan. Demikian pula ketika masalah kesehatan begitu pelik, mana yang harus dipilih oleh PT Biofarma dan PT Kimia Farma, mengobati masyarakat atau keuntungan. Rangkaian pertanyaan terakhir dari tulisan ini adalah, etiskah jika negara berhubungan dengan rakyatnya dalam logika untung-rugi? Bagaimana jika usaha-usaha demi hajat hidup orang banyak, demi memajukan kesejahteraan umum tidak mendatangkan keuntungan? Penutup Dalam aktivitas usaha BUMN, tidak bisa dihindari adanya buangan (disposal) atau negative externalities seperti kerusakan atau penurunan kualitas lingkungan. Untuk itu perlu disisihkan sebagian dari dana hasil kerja BUMN untuk mengatasi persoalan ini. Namun dalam hal memenuhi amanat konstitusi mengenai tanggung jawab negara untuk memajukan kesejahteraan umum, kita harus berani untuk mengembalikan tanggung jawab sosial sebagai sendi utama BUMN, bukan keuntungan. Memperbaiki kinerja BUMN harus dilakukan. Namun kewajiban dan tanggung jawab sosial negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum tetap yang utama, dengan atau tanpa keuntungan. (Ikr)
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.20/2007
5
Sambungan dari halaman 1 Ketentuan CSR...
of its responsibilities for the future of civilisation.” Sejak dasawarsa kedua abad ke20 itu, diskusi mengenai tanggung jawab perusahaan bergulir dan menandai awal perkembangan gerakan modern pengusung CSR. Diskursus paling mutakhir ?bersamaan dengan kemunculan perusahaanperusahaan besar multinasional? menyumbangkan gagasan mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan. Konsep dan gerakan CSR bisa dilihat sebagai suatu posisi yang bertentangan dengan pandangan konservatif yang memandang tujuan utama perusahaan semata-mata meraup keuntungan dan memaksimalkan laba. Oleh karena itu, konsep CSR ini banyak mendapat perlawanan dari kaum liberal garis keras seperti Milton Friedman yang menganggap bahwa segala upaya perusahaan yang tidak segaris dengan tujuan utama perusahaan untuk mendatangkan keuntungan bagi shareholders-nya harus ditolak. Namun demikian, penolakan terhadap CSR lemah ketika harus berhadapan dengan fakta yang nyata dan jelas mengenai praktek perusahaan yang menimbulkan permasalahan sosial dan lingkungan. Dari sini, gagasan agar perusahaan mengemban tanggung jawab bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan serta perbaikan kondisi lingkungan semakin menguat. Dengan demikian berkembang dan menguatnya konsep CSR tidak terelakkan. Permasalahan Seputar CSR Konsep dasar CSR bisa dimaknai sebagai tanggung jawab yang diemban perusahaan bagi masyarakat dan lingkungan yang merupakan basis operasi-nya. CSR adalah upaya
Sumber: www.energyinst.org.uk
perusahaan dalam memahami kebutuhan para stakeholders dan kondisi lingkungan, dan untuk kemudian mengintegrasikan pemahaman itu dalam strategi dan keputusan perusahaan. Namun demikian, perkembangan konsep dan gerakan CSR melahirkan pemahaman yang berbeda-beda. Ada dua macam perbedaan yang paling utama, yaitu: Pertama, mengenai lingkup tanggung jawab perusahaan dan kedua, mengenai karakteristik CSR (voluntary atau mandatory). Perdebatan seputar lingkup tanggung jawab perusahaan ini setidaknya memunculkan pertanyaan mendasar: Perusahaan yang bergerak di sektor mana yang harus melaksanakan kewajiban itu? Sampai sejauh mana perusahaan harus melaksanakan kewajiban itu dan untuk pihak-pihak mana saja? Perbedaan pemahaman mengenai CSR ini kemudian memengaruhi praktek CSR di pelbagai negara. Lalu bagaimana konsep CSR dalam RUU Perseroan terbatas yang akan segera diterapkan di Indonesia?
CSR di Indonesia Konstitusi Indonesia mengatur mengenai bentuk-bentuk perlindungan negara pada masyarakat. Dalam Pasal 34 UUD 1945 diatur jaminan pemenuhan kebutuhan masyarakat sekaligus pembebanan pelaksanaan tanggung jawab itu pada negara. Artinya, negara memainkan peranan utama dalam memajukan dan memastikan pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Melalui CSR, negara mengundang pihak lain (perusahaan) dalam melaksanakan tanggung jawab menangani masalah sosial dan lingkungan. Dengan melihat Pasal 74 RUU Perseroan Terbatas, negara tidak sekedar mengundang peran perusahaan yang sifatnya voluntaristik. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan itu diatur sebagai suatu kewajiban (mandatory). Aturan itu pun disertai dengan sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan kewajibannya. Ketentuan mengenai pewajiban CSR dan sanksinya, sejauh ini selalu dianggap sebagai suatu ganjalan oleh
6
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.20/2007
pihak pengusaha. Argumen mereka terutama didasarkan pada pemahaman mengenai karakteristik asal CSR yang disebut voluntaristik. Oleh karena itu segala bentuk pewajiban, apalagi yang diatur melalui ketentuan hukum, mereka anggap menghilangkan karakteristik asli CSR dan mereka tolak. Namun demikian, pemahaman mengenai ciri voluntaristik yang digunakan sebagai argumen penolakan pihak pengusaha tidak cukup kuat. Konsep CSR masih bermacammacam dan berbeda satu sama lain. Artinya, konsep CSR masih dalam proses perkembangan dan belum ada satu konsep umum yang diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini, ciri voluntaristik yang dianggap sebagai karakter CSR harus dilihat sebagai suatu model atau sebuah cara pandang dalam melihat CSR. Pihak perusahaan semestinya tidak memak-
salah satu program CSR BI. Sumber: www.bi.go.id
sakan suatu konsep yang harus diterima oleh semuanya. Kalangan di luar perusahaan selama ini juga berupaya menemukan definisi terbaik dari konsep CSR, terutama untuk memastikan agar pihak perusahaan bersungguh-sungguh menjalankan kewajiban sosial-
nya. Di sini, ide memasukkan CSR dalam aturan hukum muncul dengan tujuannya agar terdapat jaminan bahwa perusahaan benar-benar menerapkannya. Apabila dalam aturan hukum itu terdapat sanksi, maka itu untuk semakin memastikan bahwa perusahaan tidak akan mengabaikan aturan yang telah dibuat. Lebih dari sekedar mempermasalahkan karakteristik voluntary atau mandatory-nya, permasalahan CSR ini justru perlu disorot dari segi pemenuhan tanggung jawab sosial dan lingkungan oleh negara. Di sini perlu dipastikan bahwa pengaturan dan pewajiban CSR tidak akan dimanfaatkan oleh negara sebagai peluang untuk mengabaikan tanggung jawabnya. Dalam hal ini, maka kita perlu mengawal proses pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) yang akan menjadi peraturan pelaksananya (Qdr)
Lipstik Itu Bernama CSR W
ALAUPUN istilah Corporate Social Responsibility (CSR) baru muncul tahun 1980-an, namun apa yang ditulis Howard Bowen tahun 1953 sering kali dinyatakan sebagai konsep awal CSR. Bowen mengatakan CSR mengacu pada kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, keputusan dan pelbagai tindakantindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat (Howard Bowen, 1953). Konsep ini muncul bersamaan dengan satu masa di mana negara kehilangan kemampuan memenuhi kesejahteraan rakyatnya akibat perang dunia II. Dengan kata lain negara berupaya untuk melimpahkan kewajibannya pada pihak swasta. Namun demikian konsep CSR ini tidak diterima begitu saja. Milton Friedman mengatakan bahwa
perusahaan seharusnya tidak memiliki tanggung jawab sosial. Perusahaan cukup bertanggung jawab pada pemilik modal atau pemegang saham dan mentaati hukum (Friedman, 1970). Sementara para pendukung CSR berpendapat bahwa tanggung jawab perusahaan atau pelaku bisnis tidak hanya soal mencari keuntungan bagi pemilik modal dan menaati hukum, tapi juga harus bertanggung jawab terhadap dampak dari praktek mencari keuntungan tersebut (McWilliams dan Siegel, 2001). Konsep CSR inilah yang seharusnya dipahami terlebih dahulu oleh pelaku bisnis, sebelum berdebat soal mekanisme dan prosedur legal formal perundang-undangan. Kalau dilacak kembali ke belakang, berkembangnya bisnis atau suatu perusahaan tidak lepas dari akses dan
fasilitas yang diberikan oleh negara dalam berbagai bentuk, seperti penghapusan pajak, proteksi, keringanan suku bunga, kebijakan upah murah serta infrastruktur lainnya. Sebagai balas budi atas “fasilitas” yang diberikan negara, pengusaha atau pelaku bisnis bisa dibebani pajak. Peran pelaku bisnis atau ekonomi sebagai salah satu aktor penyumbang kemajuan dan perkembangan peradaban memang tidak dipungkiri. Demikan pula halnya dalam koteks ketimpangan pendapatan dan pemiskinan. Jika fasilitas yang diberikan oleh negara bisa dibayar dengan pajak, bagaimana dengan masyarakat? Kalau mengacu pada Bowen, perbuatan pelaku bisnis juga melanggar nilai-nilai yang terdapat pada masyarakat. Penggusuran, upah murah, polusi, limbah, banjir dan tanah long-
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.20/2007
sor adalah bentuk konkrit pahitnya akibat dari proses produksi yang harus ditelan oleh masyarakat. Dalam konteks inilah CSR hendaknya dimaknai. Garriga dan Mele (2004) memetakan teori-teori dan konsep-konsep mengenai CSR. Dalam kesimpulannya, Garriga dan Mele (2004) menjelaskan bahwa CSR mempunyai fokus pada empat aspek utama, yakni: Pertama, mencapai tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan. Kedua, menggunakan kekuatan bisnis secara bertanggung jawab. Ketiga, mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan sosial. Keempat, berkontribusi ke dalam masyarakat dengan melakukan halhal yang beretika. Dengan demikian, menurut Garriga dan Mele, teoriteori CSR secara praktis dapat digolongkan ke dalam empat kelompok teori yang berdimensi profit, politis, sosial, dan nilai-nilai etis. Di sisi lain CSR juga dikenal dalam konteks Triple Bottom Line, yang menekankan bahwa keberhasilan perusahaan ditentukan oleh tiga “P”, yakni Profit, People dan Planet. Setelah konsep CSR diterima,
dalam prosesnya CSR juga memunculkan berbagai macam penafsiran. Pada awal perkembangannya CSR identik dengan Corporate Giving yang motivasi utamanya bantuan amal. Craig Semit (1994) merintis pendekatan baru CSR yang dia sebut The Corporate Philanthropy. Ada pula yang kemudian memaknai CSR sebagai Corporate Community Relations serta Corporate Community Development. CSR juga diartikan sebagai tanggung jawab perusahaan yang lebih luas dari sekadar mencari untung dan taat hukum. Tanggung jawab perusahaan itu mencakup isuisu seperti lingkungan kerja, hubungan dengan masyarakat sekitar, dan perlindungan terhadap lingkungan atau stakeholder (Whitehouse 2003; van Marrewiik 2003; Zadek, 2004). Dan sampai hari ini pun pemahaman dan kesepakatan mengenai konsep dan definisi CSR tidak tunggal. Hamann dan Acutt, (2003) mengkritisi keberadaan CSR sebagai salah satu bentuk kepedulian perusahaan dan pelaku bisnis. Menurut mereka, ada dua hal yang membuat
7
pelaku bisnis mau menerima konsep CSR. Pertama, akomodasi, yaitu kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik, superfisial, dan parsial. CSR dilakukan untuk memberi citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap kepentingan sosial. Kedua, legitimasi, yaitu motivasi yang bertujuan untuk memengaruhi wacana. Motivasi ini berdasar pada argumentasi bahwa wacana CSR mampu memenuhi fungsi utama yang memberikan keabsahan pada sistem kapitalis, khususnya kiprah para korporasi raksasa. Bagaimanapun juga, keberadaan CSR tidak akan bisa menggantikan peran dan fungsi pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat. Pengusaha dan pelaku bisnis sudah barang tentu lebih memihak pada kepentingan usaha atau perusahaannya daripada membela hak masyarakat. Di samping itu, praktik implementasi CSR lebih bersifat karitatif dan temporer. Dengan demikian bisa dipastikan bahwa program CSR pasti akan lebih mengacu pada kepentingan perusahaan dari pada kebutuhan masyarakat (Ivn)
Antara Pasal 74 UU PT dan CSR B
AGAIMANA perilaku kita dalam memanfaatkan sumber daya alam (SDA)? Dalam ilmu ekonomi lingkungan, dikenal dua mazhab (Diesendorf dan Hamilton, 1997). Pertama, adalah ekonomi liberal yang berbasis pada antroposentrisme di mana manusia dianggap sebagai penguasa dan pemilik planet bumi. Dan oleh karenanya setiap pilihan ekonomi yang dilakukan haruslah mengedepankan kepentingan manusia. Dalam kerangka pikir ini, perilaku manusia cenderung eksploitatif hingga kadang merusak. Status
manusia di sini adalah sebagai produsen dan konsumen. Keputusan untuk memanfaatkan (alokasi) SDA tergantung pada pasar (decisions are best made in markets). Kedua, ekonomi ekologi yang berbasis pada ekosentrisme di mana elemen ekosistem seperti manusia, hewan dan tumbuhan memiliki kedudukan/hak yang sederajat dalam memperjuangkan ataupun mendapatkan kepentingannya. Perilaku manusia di sini lebih ramah terhadap lingkungan (respect and obligation of stewardship). Manusia menempatkan
dirinya sebagai warga (citizen) dari ekosistem yang berstatus sama dengan elemen lainnya dalam kegiatan konsumsi dan produksi. Para penganut ekonomi ekologi mempercayakan pada kelembagaan politik (negara), bukan pada masyarakat dan pasar, dalam membuat keputusan pemanfaatan SDA. Beberapa tahun terakhir, mazhab ekonomi ekologi nampak lebih mendominasi. Perkembangan ini dimulai semenjak terbitnya novel fiksi ilmiah karya ahli biologi Rachel Carlson berjudul Silent Spring pada
8
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.20/2007
tahun 1962 di Amerika. Novel yang bertutur tentang bahaya limbah industri ini telah memicu gerakan cinta lingkungan (green movement) di berbagai belahan dunia. Gerakan ini mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak ramah lingkungan, mempromosikan aksi green consumerism, dan mendesak para pengusaha untuk bertanggung jawab terhadap dampak limbah yang dihasilkannya. Menguatnya ide corporate social responsibility (CSR) merupakan bagian dari fenomena tersebut. Para pengusaha kemudian didorong untuk menyadari bahwa mereka adalah mata rantai komunitas lokal tempat mereka berada. Sebagai warga masyarakat, para pengusaha memiliki tanggung jawab sosial (yang bersifat sukarela) untuk mengambil peranan menjaga keharmonisan ekosisem. Maka dari itu CSR disebut juga sebagai corporate philantropy, suatu bentuk ketulusan dari para pelaku bisnis untuk turut berperan dalam masyarakat. Dengan merasa menjadi bagian dari masyarakat, maka ada rasa tanggung jawab untuk meminimalkan dampak dari aktivitas perusahaan serta membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bagaimana jika suatu kewajiban yang memang sudah seharusnya dilakukan itu diatur dalam perundangan? Ya, tentunya boleh-boleh saja. Toh, hal tersebut dilakukan untuk kebaikan bersama. Dan itu bisa juga diartikan sebagai pengakuan negara atas pentingnya keberadaan dan pelaksanaan CSR. Begitulah kira-kira yang mendasari Pasal 74 UU Perseroan Terbatas (UU PT) yang menempatkan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai kewajiban bagi perusahaan. Pertanyaannya, apakah benar kewajiban itu adalah kewajiban untuk melaksanakan CSR sebagaimana konsep CSR yang dikenal secara luas? Pertama, jika diterjemahkan
secara harafiah, CSR adalah tanggung jawab sosial perusahaan. Namun dalam Pasal 74 istilah yang digunakan adalah “tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Padahal seharusnya tanpa menyebutkan kata “lingkungan” pun definisi CSR sudah mencukupi. Seperti sudah disinggung di atas, CSR adalah kewajiban bagi perusahaan agar selalu mempertimbangkan kepentingan pelanggan, karyawan, pemilik perusahaan, masyarakat, dan ekologi dalam setiap langkah operasi perusahaan. Pemisahan “tanggung jawab sosial” dan “tanggung jawab lingkungan” seolah mengesankan tidak adanya keterkaitan antara masalah sosial (masyarakat) dan permasalahan lingkungan. Padahal dalam CSR sudah tercakup tiga elemen penting, yaitu people, planet, profit (manusia, planet, keuntungan). Dan CSR di sini bertujuan untuk mencapai harmonisasi antara ketiganya. Kedua, masih terkait dengan tiga elemen tersebut, paradigma CSR adalah pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yaitu tercapainya harmonisasi tiga pilar utama pembangunan: sosial, ekologi, dan ekonomi. Sementara UU PT menyebutkan bahwa kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dilakukan untuk “pembangunan ekonomi yang berkelanjutan”. Dengan demikian, terjadi reduksi terhadap paradigma CSR mengenai pembangunan berkelanjutan ini. Ketiga, adanya ketentuan yang menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan ini hanya diperuntukkan bagi perusahaan yang memanfaatkan sumber daya alam jelas memperlihatkan bahwa yang dimaksud bukanlah CSR. Definisi CSR sebagaimana yang tercantum dalam draf ISO 26000 adalah tanggung jawab sebuah organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masya-
rakat dan lingkungan, melalui perilaku transparan dan etis, konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; memperhatikan harapan dari para pemangku kepentingan; sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma perilaku internasional; dan terintegrasi di seluruh organisasi. Istilah “organisasi” yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah organisasi perusahaan tanpa melihat jenis usahanya. Pada intinya ISO 26000 menyatakan bahwa antara perusahaan dan masyarakat terdapat saling keterkaitan yang tinggi. Terdapat dua bentuk keterkaitan yaitu: pertama, inside-out lingkages, bahwa perusahaan memiliki dampak terhadap masyarakat melalui operasi bisnisnya secara normal. Dalam hal ini perusahaan perlu memperhatikan dampak dari semua aktivitas produksinya, aktivitas pengembangan sumber daya manusia, pemasaran, penjualan, logistik, dan aktivitas lainnya. Kedua, outside-in linkages, di mana kondisi sosial eksternal juga memengaruhi perusahaan, menjadi lebih baik atau lebih buruk. Ini meliputi kuantitas dan kualitas input bisnis yang tersedia, sumber daya manusia, infrastruktur transportasi, peraturan dan insentif yang mengatur kompetisi, kebijakan yang melindungi hak kekayaan intelektual, besaran dan kompleksitas permintaan daerah setempat; serta ketersediaan industri pendukung di daerah setempat. Dari ketiga alasan tersebut, nampak bahwa pasal 74 UU PT yang disebut-sebut sebagai pasal mengenai CSR, justru telah mereduksi konsep CSR itu sendiri. Jika demikian apakah para pembuat keputusan itu benar-benar tidak mengetahui ataupun memahami konsep CSR, ataukah ada alasan lain di balik ketok palu UU PT tanggal 20 Juli lalu? Kita patut bertanyatanya (Tta)