ANALISIS MINGGUAN
PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI
Yusril-Hamid atau Integritas!
Vol.1 No.6 Minggu I - Mei 2007
Reshuffle: Peningkatan Kinerja dan Citra
R
ENCANA resuffle di Kabinet Indonesia Bersatu rencananya akan diumumkan presiden pada awal Mei ini. Desakan reshuffle muncul ketika elite politik dan masyarakat melihat kinerja kabinet tidak maksimal. Isu reshuffle mulai merebak ketika bencana alam dan kecelakaan transportasi datang bertubi-tubi. Penanggulangan bencana sangat lambat dan jauh dari memuaskan. Selain itu secara keseluruhan tidak ada perbaikan dalam peningkatan taraf hidup masyarakat, mandeknya sektor riil ekonomi, ditambah lagi dengan persoalan hukum yang melibatkan para menteri. Reshuffle merupakan kosakata dalam bahasa Inggris yang artinya kirakira: pembagian kembali sejumlah kerja (redistribution of jobs). Maksud kata ini adalah suatu bentuk pengorganisasian kembali kerja-kerja dari satu kelompok yang terdiri dari sejumlah orang, yang secara khusus merujuk pada suatu perubahan oleh presiden atau perdana menteri terhadap posisiposisi atau orang-orang di dalam kabinet. Jadi reshuffle bisa berarti mengubah, menambah atau mengurangi suatu posisi atau orang dalam sebuah kabinet. Sementara di Indonesia lebih dimaknai dengan arti “perombakan kabinet”. Isu ini muncul dalam kabinet SBY didasarkan pada sejumlah alasan. Pertama, adanya penilaian negatif terhadap kinerja sejumlah menteri. Kedua, adanya dugaan masalah hukum dan dugaan terkait tindak pidana korupsi yang menerpa sejumlah menteri. Ketiga, adanya pertarungan kepentingan politik elit untuk mengambil kedudukan-kedudukan menteri. Keempat, adanya sejumlah menteri yang sakit dan dinilai tidak lagi mampu menjalankan fungsinya secara optimal. Isu ini menjadi semakin kuat setelah keluar pernyataan presiden mengenai rencana reshuffle kabinet pada awal bulan Mei ini.
... bersambung ke halaman 2
tempophoto.com/Nickmatulhuda
D
ALAM wawancara esklusif dengan TVRI hari Minggu malam (29/042007), Presiden SBY berulang-kali menegaskan bahwa rasionalitas akan menjadi salah satu pertimbangan utama reshuffle kabinetnya. Sayangnya, SBY tidak menjelaskan secara lebih lanjut apa dan bagaimana batas-batas rasionalitas yang dimaksudnya. Mengapa penjelasan mengenai maksud rasionalitas ini penting? Kita tahu bahwa rasionalitas dalam pemahaman awam dimengerti secara sempit sebagai kemampuan akal dan fikiran untuk melakukan perhitungan terhadap sesuatu. Rasionalitas di sini diartikan sama dengan ratio. Di sini kita kurang memahami rasionalitas dalam konotasi yang lebih substantif, yakni sebagai akalbudi atau reason. Nah, ketika SBY mengatakan reshuffle dilakukan demi rasionalitas, maka rasionalitas yang mana yang dimaksudkan oleh SBY? Yang pertama, kedua, atau kedua-duanya. Apa bedanya? Apabila yang dimaksud rasionalitas di sini adalah perhitungan untung rugi, maka yang jadi pertimbangan di sini adalah bagaimana agar reshuffle mampu menjamin reproduksi power, atau prospek kelanggengan kekuasaan di masa depan. Sementara, apabila yang dimaksud rasionalitas adalah akal-budi, maka yang perlu dipertimbangkan di sini adalah rasionalitas dan etika publik secara umum. Di sini, reshuffle dilakukan demi terselenggaranya tujuan dari apa yang disebut John Rawls sebagai public reason. ... bersambung ke halaman 3
2
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
Dalam suatu pemerintahan, merupakan hal yang umum jika kepala pemerintahan (baik presiden atau perdana menteri) melakukan reshuffle untuk mengoptimalkan kerja kabinetnya. Namun di banyak negara reshuffle dilakukan lebih karena pengunduran diri menteri-menteri akibat adanya kelalaian atau kesalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Pengunduran diri tersebut lebih didasarkan pada alasan profesionalisme kerja atau alasan politis (misal tidak menyetujui suatu kebijakan kepala pemerintahan). Di Indonesia reshuffle model ini belum pernah terjadi. Pada masa reformasi memang pernah 14 orang menteri kabinet Soeharto mengundurkan diri, namun itu lebih dikarenakan alasan “penyelamatan diri” dalam situasi pemerintahan yang dipastikan akan jatuh dan nasib para menteri tak menentu. Di Indonesia, kedudukan menteri oleh banyak orang lebih dipahami sebagai “jatah politik” untuk mengumpulkan dana bagi kepentingan partai. Sehingga yang muncul ke permukaan adalah “jatah” kursi “departemen basah” yang akan menjadi “tambang emas”, karena dinilai sebagai aset besar untuk penggalangan dana. Jadi bukan karena berdasarkan suatu tanggungjawab kerja untuk melayani warga dan negara. Citra ini yang kental melekat pada wajah kabinet-kabinet setelah era reformasi.
Reshuffle Sebagai Hak Prerogatif Presiden Presiden merupakan representasi dari seluruh rakyat. Pemilihan presiden secara langsung memberikan afirmasi terhadap hal itu. Untuk itu presiden memiliki wewenang untuk membentuk dan menyusun kabinet berdasarkan hak prerogatif. Dalam hal peningkatan kinerja dan citra, maka presiden memiliki wewenang untuk melakukan reshuffle yang tujuannya adalah untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya terhadap warga pemilih yang direpresen-
tasikannya. Salah satu ukuran pelayanan tersebut adalah kinerja pemerintahan. Namun, di sisi lain, reshuffle keburu dipahami sebagai upaya untuk kepentingan politik semata. Pernyataan Menteri Yusril mencerminkan hal tersebut. Yusril melihat isu perombakan kabinet itu dimunculkan karena banyaknya keinginan dari partai politik, kelompok, dan perorangan untuk menduduki jabatan di kabinet. Menurut Yusril, partai-partai politik meneriakkan perombakan kabinet sambil mengajukan sejumlah nama untuk jabatan menteri yang diincarnya (Kompas 19/4/2007). Demikian juga dengan pernyataan Wakil Ketua DPD, Laode Ida, yang menyatakan bahwa untuk reshuffle mendatang, DPD mengharapkan agar kekuatan daerah juga diperhitungkan (Kompas 19/4/2007). Dua pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tujuan reshuffle merupakan akomodasi kepentingankepentingan politik, dan bukannya untuk meningkatkan kinerja dan outcome-outcome positif bagi kerja pemerintah. Dalam sistem pemerintahan presidensial, pembentukan kabinet menjadi hak prerogatif presiden, di mana perimbangan politik dalam bentuk jumlah kedudukan menteri tidak perlu dipertimbangkan (kabinet presidensial). Pertimbangan ini dapat muncul dalam pembentukan kabinet koalisi yang berbentuk parlementer (kabinet parlementer). Kedudukan presiden dalam kabinet presidensial adalah sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, berbeda dengan kabinet parlementer yang memisahkan kedua jabatan tersebut. Atas dasar itu lah maka hak prerogatif ini dapat digunakan tanpa harus mempertimbangkan political balance.
Reshuffle dan Peningkatan Citra Kabinet Citra merupakan suatu penggambaran terhadap kesan yang ingin diberikan kepada orang lain atau kha-
layak ramai. Pencitraan dibangun atas dasar upaya agar orang lain memiliki gambaran (image) terhadap yang ingin dicitrakan (imaged). Karakter apa yang ingin dicitrakan itu yang akan dibuat dan dibangun. Dalam sebuah kabinet, pencitraan yang baik akan memberikan rasa percaya dan dukungan positif dari warga yang memilih. Citra kabinet dibangun atas dasar sosok-sosok atau figur-figur yang menjaga citra positif tersebut. Oleh karena itu dalam sebuah kabinet, tidak boleh ada figur-figur yang terkait dengan masalah hukum atau tindak pidana, karena akan mengedepankan citra negatif, dan menurunkan dukungan positif dari warga. Reshuffle pada hakekatnya adalah untuk menyingkirkan elemen-elemen negatif tersebut, sehingga corak positif tetap tergambar dalam citra kabinet, selain tentu saja yang paling pokok adalah untuk melakukan peningkatan kinerja kabinet. Namun kinerja ini akan efektif hanya jika warga memberikan penilaian positif, sehingga melahirkan dukungan positif pula. Utamanya, untuk membangun citra positif, maka orang-orang “bermasalah” dalam kabinet harus “dibuang”, dan orang-orang yang “dibuang” tersebut harus sadar sepenuhnya bahwa dirinya merupakan sesuatu yang mengakibatkan kerugian (liabilities) bagi berjalannya sebuah kabinet yang bertujuan untuk kepentingan warga dan negara, bukan partai atau pribadi. Jadi citra harus bisa mendukung kinerja, jangan sampai citra menjadi penghalang bagi kinerja.
Reshuffle dan Peningkatan Kinerja Kabinet Kinerja suatu departemen dilihat dari sejauh mana menteri yang bertanggungjawab mampu untuk mencapai hasil-hasil maksimal, sebagaimana ditargetkan oleh kebinet secara keseluruhan. Departemen Perhubungan (Dephub) merupakan salah satu departemen yang dalam dua tahun terakhir ini diterpa oleh berbagai
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
3
kecelakaan dalam bidang transportasi yang menjadi wilayah tanggungjawabnya. Kapal-kapal yang tenggelam, pesawat jatuh, tabrakan kereta, dll, merupakan sejumlah fakta yang tidak dapat diabaikan. Di tengah kemerosotan kinerja ini, Hatta Rajasa sebagai Menteri Perhubungan tidak menyiratkan untuk mundur. Bagaimanapun juga ijin, pengawasan dan pemantauan ada di bawah wewenang Dephub, yang seandainya kejadian serupa terus terjadi, tanggungjawab Menhub yang harus dituntut. Penggantian di posisi ini memiliki dasar alasan yang kuat, untuk mencoba peluang peningkatan kinerja. Lihat juga Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) yang dibentuk lebih hanya untuk sekedar akomodasi kepentingan partai politik, karena fungsi kementerian ini tidak memiliki direktif sebagaimana departemen-departemen lain dalam hal program percepatan daerah tertinggal (Misal: Depdiknas, Departemen PU, Departemen Pertanian, dll)
yang memiliki wewenang direktif dan operatif untuk bisa mendorong pertumbuhan. Fungsi Kementerian PDT lebih sebagai fasilitator, ketimbang eksektor program. Model akodomasi atas dasar perimbangan politik ini nyatanya sangat tidak efisien, merugikan keuangan negara bahkan bisa membuat ketumpang-tindihan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Artinya reshuffle juga harus bisa dilakukan untuk tujuan-tujuan efisiensi dan efektivitas, dengan melakukan likuidasi terhadap kementerian atau departemen yang tidak memiliki fungsi strategis untuk pemajuan. Menarik untuk menyimak kembali pidato Bung Hatta di depan rapat BP KNIP, 16 Februari 1948, yang mengatakan: “Tujuan kami dalam pembentukan kabinet ini, ialah mengadakan suatu kerjasama untuk kepentingan negara antara menteri yang terdiri dari orang-orang ahli serta trampil daripada beberapa aliran politik yang terpenting. Berhubung sifat
kabinet ini sebagai Kabinet Presiden, maka kami mengutamakan orangnya yang akan menjabat sebagai menteri dan tidak mendasarkan angkatan kepada perimbangan partai”. Lalu bagaimana dengan rencana reshuffle kabinet SBY? Sudah seharusnya ucapan Bung Hatta wajib disimak, direnungkan dan dilaksanakan, karena kabinet dibentuk dan bekerja untuk kepentingan warga dan negara, bukan untuk akomodasi kepentingan politik atas nama perimbangan politik! Presiden SBY harus lebih mementingkan kepentingan negara dan warga di atas segala-galanya, dan bukan kepentingan politik partai, atau juga kepentingan jangka pendek sisa dua tahun kepemimpinanya. SBY harus berpikir lebih jauh lagi, yakni mempertimbangkan penilaian warga publik atas citra dan kinerja kepemimpinannya, sekiranya ia masih ingin menjadi pemimpin di negeri ini (***)
Sambungan dari halaman 1... Yusril-Hamid Atau Integritas!
dan kemaslahatan umum. Di sini pilihan-pilihan dan kategori jadi lebih jelas: Menteri-menteri yang rangkap jabatan pengusaha berpotensi selalu lebih berorientasi menjabat demi memperkaya dirinya sendiri dan melawan hukum; Menteri-menteri primordial yang menjadikan departemennya sebagai alat partai untuk menghimpun masa, bukannya mengurus rakyat banyak; Menteri-menteri yang ditunjuk secara serampangan berdasar hubungan suku/kedekatan membahayakan profesionalisme dan kinerja. Menteri dengan ciri-ciri semacam ini tidak fit dalam sudut pandang the use of public reason. Ada dua orang menteri yang dalam beberapa minggu terakhir mendapatkan sorotan cukup luas dari publik dalam kasus transfer uang Tommy Soeharto, yakni: Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaludin. Selain kasus tersebut Menteri Yusril pernah disorot dalam kasus pengadaan alat sidik jari
di lingkungan Dephukham, dan Menteri Hamid juga “bermasalah” dalam kasus korupsi di lingkungan KPU. Namun demikian, kalau SBY mau lebih jelas lagi, sebenarnya untuk kasus menteri Yusril-Hamid ia sudah bisa memutuskan dengan lebih tegas dan pasti. Dalam pertimbangan rasionalitas yang manapun keduanya jelas lebih banyak akan merugikan SBY sendiri. Sorotan publik terhadap kemungkinan keterlibatan keduanya dalam kasus “duit haram” di Dephukham membuat kedua menteri ini tidak hanya akan merugikan rasionalitas kekuasaan SBY sendiri secara khusus, tetapi juga rasionalitas publik secara umum. Di titik ini, sebanyak apapun menteri yang diganti tanpa mengganti kedua menteri ini, hanya membuat reshuffle mubazir secara politik. Publik hanya akan semakin menyangsikan dan berprasangka buruk, akibatnya bukan dukungan didapat, malah kemerosotan yang dituai.(***)
Di sini segi-segi keutamaan, nilai-nilai demokrasi dan kepantasan umum menjadi aspek yang harus dipertimbangkan dan dianggap sebagai segi substantif dari rasionalitas politik. Apa implikasi perbedaan ini dengan reshuffle? Melihat perkembangan politik saat ini, jelas bahwa publik secara umum menghendaki agar rasionalitas dalam arti etika publik harus menjadi bagian dari kekuasaan. Artinya, di sini SBY dituntut untuk mendasarkan keputusan politiknya dalam sorot dua jenis rasionalitas ini sekaligus: kuasa dan etika sekaligus. Artinya lagi, reshuffle tidak boleh hanya didasarkan pada hitung-hitungan kekuatan partai dan bagi-bagi jatah kekuasaan, reshuffle harus dilakukan justru demi rasionalitas publik, etika, kelangsungan pemerintahan yang bersih, demokrasi
4
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
Menggugat Terciptanya Pemerintahan Yang Bersih Singkirkan Yusril dan Hamid dalam Kabinet yang dimaksud dengan Penyelenggara negara, apa saja Asas umum penyelenggaraan negara, apa saja Hak dan Kewajiban penyelenggara negara, bagaimana prinsip hubungan antar penyelenggara negara, apa saja peran serta masyarakat, serta apa sanksinya jika aturan-aturan dalam undangundang tersebut dilanggar. Selain itu, diatur pula mengenai Komisi Pemeriksa yang di antaranya mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara.
Amanat Menyelenggarakan Pemerintahan Yang Bersih
P
RAKTIK-praktik pemerintahan Soeharto di masa Orde Baru yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) diyakini sebagai penyebab utama keterpurukan negeri ini. Oleh karena itulah mengapa penyelamatan dan normalisasi kehidupan bernegara melalui penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN menjadi salah satu tuntutan yang musti dijalankan oleh pemerintah era reformasi. Tuntutan tersebut telah diformalkan oleh MPR-RI melalui ketetapannya No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, sehingga ia menjadi suatu amanat yang musti dijalankan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan negara.
tempophoto.com/Nickmatulhuda
Dilihat dari substansinya, TAP MPR tersebut mengamanatkan bahwa penyelenggara negara harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab kepada 1 masyarakat, bangsa dan negara. Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka dan terper-
tempophoto.com/Wahyu Setiawan
caya, serta mampu membebaskan diri dari praktik KKN.2 Untuk menghindari praktik KKN, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya, harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.3 Pemeriksaan atas kekayaan itu dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh Kepala Negara yang keanggotaannya terdiri dari pemerintah dan masyarakat. Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undangundang tindak pidana korupsi, terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.4 Pada tahun 1999 telah dibentuk UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme sebagai aturan lanjutan dari TAP MPR tersebut di atas. Dalam UU ini diatur mengenai siapa saja
Penyelenggara Negara Yang Bersih Dalam UU tersebut, yang dimaksud dengan penyelenggara negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.5 Penyelenggara negara tersebut meliputi: (i) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; (ii) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; (iii) Menteri; (iv) Gubernur; (v) Hakim; (vi) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan (vii) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.6 Setiap Penyelenggara Negara mempunyai hak untuk: (i) menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (ii) menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan dari atasannya, ancaman hukuman, dan kritik masyarakat; (iii) menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggung jawab sesuai dengan wewenangnya;
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi dan (iv) mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.7 Sedangkan kewajibannya adalah (i) mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya; (ii) bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat; (iii) melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat; (iv) tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme; (v) melaksanakan tugas tanpa membedabedakan suku, agama, ras, dan golongan; (vi) melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok. Tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan (vii) bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta (viii) dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.8 Sementara itu, yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.9 Asas-asas penyelenggaraan negara antara lain meliputi: asas kepastian hukum; asas tertib penyelenggaraan negara; asas kepentingan umum; asas keterbukaan; asas proporsionalitas; asas profesionalitas; dan asas akuntabilitas.10
Wujudkan Pemerintahan Yang Bersih Melalui Perombakan Kabinet Dalam pengaturan mengenai penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN tersebut tampak bahwa presiden merupakan bagian dari penyelenggara negara. Termasuk di situ adalah pembantu-pembantu presiden (para menteri kabinet) merupakan
penyelenggara negara. Sebagai penyelenggara negara, presiden mesti mampu untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan yang bersih dan bebas KKN. Presiden juga harus bisa menjamin agar penyelenggaraan negara yang berada di bawah kendalinya dan diisi oleh penyelenggara yang bersih. Misalnya, dalam kaitan dengan perombakan susunan kabinet, presiden harus memastikan bahwa susunan kabinet tersebut tidak diisi oleh orang-orang yang diindikasikan tidak bersih. Setidaknya dalam susunan kabinet sekarang ini, ada dua orang menteri yang diindikasikan tidak bersih, yaitu: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin dan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra. Kedua orang ini diduga terlibat kasus korupsi dan kolusi. Hamid Awaludin, sejak sebelum ditunjuk sebagai menteri telah diindikasikan melakukan korupsi ketika masih sebagai Anggota KPU. Sementara itu, setelah menjadi menteri, ia juga terlibat dalam proses pencairan uang Tommy. Meskipun ada asas praduga tak bersalah, ia telah menyalahgunakan informasi dari pihak Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) untuk kepentingan pencairan uang Tommy, bahkan secara khusus membuka rekening bank, karena itu Menteri Hamid telah menyalahi kewajibannya untuk melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok. Dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun.11 Dalam pencarian uang Tommy, sangat kuat dugaan bahwa Hamid menerima suap untuk memperlancar proses pencairan uang tersebut. Begitu pula dengan Menteri Yusril, ia tidak mampu mempertanggungjawabkan proses tender pengadaan alat sidik jari, hal ini tentu saja bertentangan dengan asas akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara yang
5
bersih. Selain itu, Yusril juga diindikasikan terkait kasus Hotel Sultan (Hilton). Sebagai seorang menteri, ia diindikasikan melakukan perbuatan tercela, penuh pamrih untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kroni, terutama berkaitan dengan Law Firm yang Yusril dirikan. Dengan demikian, kedua orang ini tidak layak menjadi penyelenggara negara dalam suasana perwujudan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Apalagi ketika tidak pernah dilakukan upaya-upaya pengusutan terhadap kasus-kasus yang melibatkan mereka ini. Jika mereka dipilih lagi, sementara kasus-kasus yang melibatkan mereka tidak pernah diusut tuntas, maka komitmen presiden untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih patut dipertanyakan bahkan digugat. Singkirkan Yusril dan Hamid dalam Kabinet! (***) Catatan Pasal 2 Ayat (1) TAP MPR No.XI/MPR/1998 Pasal 2 Ayat (2)TAP MPR No.XI/MPR/1998 3 Pasal 3 TAP MPR No.XI/MPR/1998 4 Pasal 4 TAP MPR No.XI/MPR/1998 5 Pasal 1 Butir (1) UU No.28/1999 6 Pasal 2 UU No.28/1999 7 Pasal 4 UU No.28/1999 8 Pasal 5 UU No.28/1999 9 Pasal 1 Butir (2) UU No.28/1999 10 Pasal 3 UU No.28/1999 11 Pasal 5 UU No.28/1999 1 2
Analisis Mingguan ini diterbitkan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Dewan Redaksi: Daniel Hutagalung, Elisabet R. Kuswijayanti, Fajrimei A. Gofar, Isfahani, Rachlan Nashidik, Robby Kurniawan, Robertus Robet, Ronny Agustinus Alamat: Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 www.p2d.org E-mail:
[email protected]
6
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
“Membuang” Mereka-Mereka “Yang Bermasalah” Menyelamatkan Kepentingan Negara dan Warga
S
ELAMA lebih dari tiga tahun masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu di bawah kepemimpinan SBY, sejumlah kasus menerpa beberapa orang menteri dalam kabinet. Sekalipun sampai kini kasus-kasus tersebut masih berupa dugaan, namun faktanya demikian terang dan mencolok, sehingga muncul anggapan publik hanya karena faktor kekuasaan lah maka mereka-mereka masih sulit untuk dijangkau oleh proses hukum. Selain yang bermasalah secara hukum ada juga sejumlah menteri yang memiliki masalah kesehatan, sehingga diduga tidak memiliki kapabilitas untuk dapat bekerja secara optimal.
Diduga “Bermasalah” Sebut saja Menhukham Hamid Awaludin. Semenjak diangkat menjadi Mehukham, ia terus ditengarai menjadi bagian dari kasus korupsi di lingkungan Komisi Pemilihan Umum. Sudah 3 orang anggota KPU yang divonis bersalah, yakni: Mulyana W. Kusumah, Nazaruddin Syamsuddin dan Daan Dimara, serta sejumlah staf MENTERI YANG DIDUGA “BERMASALAH” Hamid Awaludin
Yusril Ihza Mahendra
Aburizal Bakrie
KPU. Menurut pengakuan Daan Dimara, Menteri Hamid terlibat dalam kasus tersebut. Pengakuan Daan juga diperkuat oleh keterangan sejumlah saksi dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Namun sampai kini KPK belum menindaklanjuti penyelidikan dan penyidikannya sampai sejauh itu, sekalipun menurut anggota DPR Nursyahbani Katjasungkana, SH, pengakuan Daan Damara bisa dijadikan bukti pemeriksaan yang cukup untuk memeriksa Menteri Hamid. Belum jelas soal kelanjutan korupsi di KPU, Menteri Hamid kembali terlibat kasus transfer uang Tommy Soeharto dari BNP Paribas ke rekening di BNI cabang Tebet. Dalam pelbagai pemberitaan media massa dan analisis berbagai pakar hukum, sebenarnya cukup data untuk menetapkan tindakan tersebut untuk dilanjutkan melalui proses hukum. Namun sekali lagi hal tersebut diperlakukan seperti bukan hal yang serius. Ada juga Mensekneg Yusril Ihza Mahendra yang sempat diperiksa KPK dalam kasus dugaan korupsi peng-
adaan alat sidik jari di lingkungan Dephukham, pada saat ia menjabat sebagai Menhukham. Namun kasus ini juga tidak ditindaklanjuti lewat proses hukum, dan mengendap begitu saja. Belum jelas kasus alat sidik jari, Menteri Yusril kembali disorot dalam kasus transfer uang Tommy Soeharto — yang kemudian juga melibatkan Menteri Hamid — saat Menteri Yusril menjabat Menhukham. Selain itu remisi kepada Tommy Soeharto didapat saat Departemen Hukum dan HAM dipimpin oleh Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaludin. Dan seperti diberitakan banyak media, keduanya juga terlibat pencairan dana Tommy di luar negeri. Tommy Soeharto pernah menjadi narapidana yang amat beruntung. Selain dibantu oleh Menteri Yusril dan Menteri Hamid untuk mencairkan uangnya di BNP Paribas semasa ia ditahan, ia juga mendapat pengurangan hukuman yang luar biasa besar. Demikian juga dengan Menkokesra Aburizal Bakrie dalam kasus meledaknya pipa gas Lapindo, yang mengakibatkan punahnya situs sosial
DUGAAN TERHADAP MASALAH
PENYELESAIAN KASUS
Kasus dugaan pemalsuan keterangan dan pernyataan bohong Menteri Hukum, HAM dan Perundang-undangan Hamid Awaludin dalam sidang korupsi di Komisi Pemilihan Umum (www.media-indonesia.com, 8/3/2007) Kasus korupsi pengadaan segel kertas suara KPU pada Pemilu 2004 (www.tempointeraktif.com, 13/3/2006) Kasus pengadaan surat suara pada Pemilihan Presiden putaran pertama dan kedua 2004 (www.tempointeraktif.com, 26/4/2006) Skandal pencairan dana Tommy Soeharto sebesar US$ 10 juta dari BNP Paribas cabang London (www.tempointeraktif.com /23/4/2007) Menggunakan Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya” untuk iklan layanan masyarakat Dephukham
Belum dibuka polisi, karena bukti materil belum diberikan oleh Pengadilan Tipikor (www.media-indonesia.com, 8/3/2007)
Kasus dugaan korupsi sistem identifikasi sidik jari otomatis di departemen Hukum dan HAM (Kompas 15/2/2007) Skandal pencairan dana Tommy Soeharto sebesar US$ 10 juta dari BNP Paribas cabang London. (www.tempointeraktif.com, 23/4/2007) Keterkaitan dengan PT Lapindo Brantas yang mengakibatkan kerugian masyarakat senilai 2,3 Triliun (Koran Tempo 12/4/2007)
Sebatas saksi oleh KPK (www.tempointeraktif.com, 13/3/2006) Sebatas saksi oleh KPK (www.tempointeraktif.com, 26/3/2006) Dalam proses penyelidikan KPK (http://www.media-indonesia.com, 30/4/2007) Mendapat teguran. Tindakan ini melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958. Dalam proses penyelidikan KPK (Koran Tempo, 1/2/ 2007) Dalam proses penyelidikan KPK (http://www.media-indonesia.com, 30/4/2007) Tidak ada penyelesaian hukum. Presiden menerbitkan Keppres No. 31/2007 untuk membentuk Badan Penyelamatan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan menindaklanjutinya dengan Perpres No.14/2007 yang mengatur tentang tugas dan tanggung jawab BPLS. Perpres ini juga mengatur cara pembayaran ganti rugi Lapindo kepada masyarakat dengan cara mencicil.
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi di Kecamatan Porong, tenggelam oleh lumpur yang diakibatkan meledaknya pipa tersebut. Kasus PT Lapindo Brantas merupakan kasus yang tidak bisa terlepas dai keterkaitannya dengan Menteri Aburizal. Grup Bakrie dipimpin Nirwan Bakrie, adik kandung Menteri Aburizal yang juga merupakan pemilik. PT Energi Mega Persada yang memiliki Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu anak perusahaan Grup Bakrie. Perusahaan ini memperoleh KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) dari BP Migas untuk melakukan eksplorasi gas alam di Blok Brantas seluas 3050 km2 pada tahun 2004 dengan masa kontrak s/d 2020. Banyak juga yang menilai Menteri Aburizal sebagai pribadi tidak harus bertanggungjawab atas kejadian tersebut. Namun penilaian etis me-
nempatkan Menteri Aburizal pada tanggungjawab etis terhadap hal tersebut, karena PT Lapindo merupakan anak perusahaan milik keluarga Menteri Aburizal. Terlebih pemerintah yang kemudian menanggung sebagian biaya rehabilitasi dan rekonstruksi, serta penggantian kerugian terhadap warga masyarakat yang menjadi korban. Publik akan dengan cepat mengasosiasikan tindakan pemerintah tersebut dilakukan karena Aburizal sebagai salah satu pemilik Bakrie Group adalah juga menteri dalam kabinet, sehingga dengan cepat orang akan berpikir bahwa presiden melindungi salah seorang pembantunya ini. Menon-aktifkan Menteri Aburizal merupakan cara paling etis dan terhormat, baik bagi presiden maupun bagi Menteri Aburizal, untuk mem-
7
buktikan pada publik bahwa mereka adalah orang-orang terhormat yang bertanggungjawab.
Didera Persoalan Kesehatan Selain mereka-mereka yang diduga terkait dengan masalah hukum, ada juga sejumlah menteri yang memang “bermasalah” karena alasan kesehatan. Mendagri Mohammad Ma’ruf, Menhan Juwono Sudarsono, dan sejumlah nama menteri lainnya dikabarkan mengalami gangguan kesehatan fisik. Tentu saja sangat sulit untuk menggantungkan tugas berat kepada mereka-mereka, jadi suatu keputusan rasional harus diambil Presiden SBY, yakni dengan mengganti menterimenteri yang sedang sakit. (***)
Mengganti dan Melikuidasi Yang Tidak Efektif dan Efisien
M
ENURUT Bung Hatta dalam pidatonya di depan rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) pada tanggal 16 Februari 1948, suatu kabinet dibentuk untuk melayani kepentingan negara dan warga. Karena itu kabinet harus dibentuk berdasarkan prinsip keahlian, efektifitas dan efisiensi. Saat itu Bung Hatta bahkan mengusulkan melakukan merger antar kementerian yang memiliki wilayah kerja yang sama, atau melikuidasi kementerian yang tidak efisien. Argumen Bung Hatta ini yang penting untuk disimak bagi Presiden SBY dalam rencananya untuk melakukan reshuffle. Desakan ini datang dari DPD. Wakil Ketua DPD Laode Ida menyebutkan tiga alasan mengapa pemerintah harus segera melaksanakan reshuffle kabinet, yakni, menteri-menteri yang kondisinya mendesak untuk diganti, adalah yang kesehatannya kurang baik, menteri yang bermasalah,
dan menteri yang merangkap jabatan (Koran Tempo, 19/4/2007).
Kinerja Amburadul Departemen Perhubungan Kecelakaan dalam bidang transportasi udara, laut dan darat secara bertubitubi menyebabkan sorotan negatif terhadap kinerja pemerintahan SBY. Anggota Komisi Perhubungan DPR, Abdullah Azwar Anas, mengatakan Menteri Perhubungan Hatta Rajasa harus bertanggung jawab atas kecelakaan dua rangkaian kereta api beberapa waktu lalu. Menurut Azwar Anas, hal tersebut menujukkan kinerja yang tidak memuaskan. Juga Kementerian Badan Usaha Milik Negara, yang dikatakannya juga ikut harus bertanggung jawab karena tugasnya mengelola korporasi (Koran Tempo, 22/4/2007). Di banyak negara yang sangat menjunjung tinggi tanggungjawab
atas profesionalisme kerja akan segera mengundurkan diri sekiranya itu terjadi. Namun ini tidak terjadi di Indonesia. Para menteri akan lebih menyalahkan perusahaan-perusahaan transportasi tersebut, atau kekurangan dana departemennya untuk optimalisasi kerja. Di sini letak kelucuannya. Sekiranya memang tidak memiliki dana yang cukup, toh sedari awal sang menteri bisa mengundurkan diri karena tidak mampu mengelola departemen dengan dana yang menurutnya “tidak memadai” dan mencari pengganti yang cakap dan trampil untuk mengoptimalkan dana yang terbatas tersebut. Bagaimanapun juga ini merupakan bagian dari tanggungjawab Menteri Rajasa, karena Dephub yang dipimpinnya, yang berwenang mengeluarkan regulasi, menerbitkan izin dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan semua aktivitas transportasi. Kinerja amburadul tersebut
8
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
harus dicarikan solusi. Reshuflle kali ini diharapkan dapat menjadi peluang untuk menemukan solusi tersebut, yakni dengan mengganti Menteri Hatta Rajasa dengan orang lain yang memiliki kapabilitas, kompetensi dan terutama, memiliki tanggungjawab untuk berani menerima kesalahan, seandainya memang kejadian tersebut berulang kembali.
Inefisiensi dan Inefektifitas Kementerian PDT Salah satu menteri yang juga diisukan akan diganti adalah Saifullah Yusuf, yang mengepalai Kementerian Negara Urusan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). Sesuai dengan namanya, dalam visi misinya, kementerian ini bertugas untuk menyusun strategi pembangunan daerah tertinggal, untuk menjadi acuan bagi setiap stakeholders dalam membangun daerah tertinggal. Namun kalau dilihat dari pekerjaannya, Kementerian PDT jauh dari “seksi”, kementerian ini tidak terlalu diminati oleh para elite politik. Lingkup kerja, ketersediaan dana, kewenangan yang sangat terbatas dan jauh dari panggung politik elite bisa jadi menjadi penyebabnya. Dalam melaksanakan program kerja, kementerian ini harus menembus pelosok yang tidak terakses listrik dan transportasi yang layak. Dalam UU No.32/2004 dan UU No.33/2004 di mana kewenangan dan tanggungjawab pembangunan daerah diberi kepada masingmasing Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten. Sedangkan Pemerintah Pusat memotivasi dan memfasilitasi pemerintah daerah untuk lebih aktif dalam menangani dan membangun wilayahnya. Kementerian PDT praktis tidak mempunyai kewenangan untuk terlibat langsung dalam pelaksanaan teknis pembangunan daerah tertinggal itu sendiri. Hal ini disebabkan beberapa hal: pertama, masing-masing departemen dan kementerian mempunyai program dan prioritas tersen-
diri dalam rencana kerjanya di daerah. Dalam konteks ini, departemen terkait lebih memilih untuk berhubungan langsung dengan kantor wilayah departemen yang bersangkutan. Kedua, sebagai kementerian negara, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal tidak mempunyai kantor wilayah (Kanwil) sebagai perpanjangan tangan di daerah. Ketiga, alokasi dana untuk kementerian ini sangat minim dan tidak memadai, dibandingkan luasnya wilayah dan kebutuhan kerja. Melihat kenyataan tersebut maka mudah untuk dibaca bahwa Kementerian PDT hanya dibentuk untuk mengakomodir “ideal” perimbangan politik dari kepentingan partai-partai politik. Bukan Kementerian yang dibentuk untuk memiliki wewenang-wewenang untuk melakukan eksekusi dalam membangun daerah tertinggal, melainkan kementerian yang “diada-adakan” lebih pada upaya untuk membuat lebih banyak pihak merasa happy. Jadi reshuffle juga dilakukan harus untuk mengamputasi unsurunsur inefektif dan inefisiensi. Ketidakefektifan Kementerian PDT bukan dijawab dengan melakukan penggantian menteri, melainkan dengan melikuidasi kementerian tersebut. Jadi dengan demikian negara tidak harus mengeluarkan biaya banyak untuk membiayai kantor yang memang sejak awal didesain untuk tidak dapat bekerja optimal, melainkan dengan mengoptimalkan departemen-departemen terkait, untuk lebih difokuskan memajukan daerah-daerah tertinggal.
Menteri-Menteri Lain Yang Mandul Juga Harus Diganti Banyak juga departemen-departemen yang tidak terlalu disorot kinerjanya secara intensif, yang bukan berarti kinerjanya baik. Sebut saja Departemen Perumahan Rakyat, Departemen Pertanian, Departemen Pertambangan dan Energi, Kementerian Negara BUMN, Departemen Pendidikan dan
Departemen Kesehatan yang tidak menujukkan progresivitas capaiancapaian yang berarti. Berbagai target seperti swasembada beras yang belum tercapai, mengingat kita merupakan negara agraris yang sangat besar, berbagai penyakit epidemik yang terus mewabah, keboborokan perusahaan-perusahaan milik negara, dan penyediaan rumah-rumah layak huni dan terjangkau masyarakat miskin. Juga peningkatan fasilitas pendidikan yang masih belum menujukkan tandatanda kemajuan bearti, ditambah dengan kecurangan kasus ujian nasional yang harus diantisipasi dengan cepat dan baik. Bidang ekonomi juga menujukkan gejala yang semakin menjauh dari prinsip pendirian negara ini, yakni: kesejahteraan dan keadilan sosial. Kebijakan ekonomi yang semakin berorientasi pada pasar dan pusaran neoliberalisme, lambat laun akan menanggalkan watak negara sosial yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa, yang sesungguhnya banyak bertentangan dengan visi-misi yang dikumandangkan Presiden SBY saat kampanye Pilpres tahun 2004. Reshuffle kali ini merupakan ujian paling berat Presiden SBY, karena sisa dua tahun ke depan programprogram, target-target dan capaiancapaian yang diajukan dalam Visi, Misi dan Program pada saat maju menjadi calon Presiden Republik Indonesia akan menjadi taruhannya. Reshuffle yang tidak mengindahkan prinsip kemajuan negara dan kesejahteraan warga bangsa, akan menggagalkan Visi, Misi dan Program yang sudah dicanangkan. Karena itu suatu kabinet kerja yang berisi para ahli yang profesional, yang bekerja dalam spirit “kedaruratan”, yang siap bekerja ekstra keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditargetkan. Keberhasilan-keberhasilan dalam menentukan sosok-sosok terbaik dalam reshuffle kali ini yang akan bisa menjawab pertanyaan ke depan: Apakah SBY layak dipilih kembali menjadi Presiden Republik Indonesia? (***)