ANALISIS MINGGUAN
PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI
Tentara dan Demokrasi
Minggu II - Juni 2007
Vol.1 No.12
Tragedi Alas Tlogo I
NSIDEN di Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, yang terjadi pada 30 Mei 2007 lalu menewaskan empat warga dan tujuh orang lainnya luka-luka. Kasus berdarah ini dipicu sengketa tanah tanah seluas 3.676 hektar antara ribuan warga di sebelas desa di Kecamatan Lekok serta Kecamatan Nguling, Pasuruan, dengan TNI Angkatan Laut . Apa yang sebenarnya terjadi? Kekisruhan ini berawal dari sebuah lahan yang dibli TNI AL pada tahun 1961-63. Lahan ini rencananya diperuntukkan bagi pusat pendidikan dan latihan TNI AL terlengkap dan terbesar untuk marinir. Akan tetapi realisasinya itu tersendat-sendat karena masalah dana, dan akhirnya terlantar. Karena kendala tersebut, pada tahun 1974 lahan ini digunakan untuk transmigrasi lokal keluarga prajurit TNI AL. Pada saat itulah konflik pertama terjadi, karena di lahan transmigrasi tersebut warga digusur dengan disertai intimidasi (Tempo No.15/2007). Semenjak itu, konflik terus berulang. Ditambah lagi setelah pihak swasta diberi hak untuk menyewa lahan. Pada tahun 1978 lahan tersebut disewakan oleh kepada oleh TNI AL kepada PT. Asembagus. Kemudian tahun 1981 di lahan tersebut, Induk Koperasi Angkatan Laut (Inkopal) bersama PT. Rajawali Nusantara berpatungan mendirikan PT. Kebun Grati Agung. TNI AL memiliki 20 persen saham, sedangkan 80 persen lainnya dimiliki PT Rajawali Nusantara. Kontrak penyewaan lahan berlangsung sampai tahun 2018. Setelah runtuhnya Orde Baru, warga berusaha untuk merebut kembali tanah tersebut. Pada tahun 2006 warga Alas Tlogo melakukan upaya ... Bersambung ke Halaman 6
Data dan Fakta Dalam Tragedi Alas Tlogo (Diolah Dari Berbagai Sumber)
Peristiwa Locus Tempus Pelaku Senjata
Korban
: : : :
Penembakan Warga di Pasuruan Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan Rabu, 30 Mei 2007, sekitar pukul 10:00 WIB. 13 prajurit marinir TNI-AL, pasukan patroli Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Grati : Senapan Serbu SS-1 (kaliber 5,56 mm x 45) yang semula merupakan produk lokal secara lisensi dari FN FNC (Fabrique Nationale Carbine) produksi FN (Fabrique Nationale) Belgia. Versi Belgia-nya adalah Bofors AK-5. Magazen 30 butir. Daya rusaknya sangat dahsyat tapi tingkat akurasinya rendah disebabkan oleh terganggunya kenyamanan penembak oleh pelatuknya yang berat. : 4 orang meninggal (salah satunya perempuan hamil dengan usia kandungan 5 bulan) dan sejumlah korban luka berat.
Tempophoto (Fransiskus. S)
P
ADA masa pemerintahan Orde Baru, militer merupakan kelompok kunci dalam percaturan politik, sampai hubungan-hubungan sosial dan ekonomi. Fungsi militer diarahkan sebagai kekuatan yang menjaga “stabilitas” dan “persatuan”. Stabilitas dan persatuan bertautan erat dengan “pembangunan” dan “modernisasi” sebagai program pokok yang dicanangkan oleh Soeharto dengan Orde Baru-nya. Diskursus Orde Baru tentang “pembangunan” atau “modernisasi” memberi alasan bagi militer untuk menjadikan stabilitas politik sebagai syarat pembangunan. Dalam buku Harold Crouch, Army and Politics in Indonesia (1978), gagasan pembangunan ekonomi menurut militer Indonesia, dirumuskan ata dasar cara pandang bahwa pembangunan membutuhkan stabilitas dan persatuan sebagai unsur dasarnya. Stabilitas dan persatuan berarti negara membutuhkan stabilitas ekonomi dan politik. Lebih jauh, stabilitas ekonomi dan politik dapat dicapai apabila pertumbuhan ekonomi stabil dari tahun ke tahun, dan juga pada waktu yang sama tidak terjadi pergolakan politik yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. ...Bersambung ke Halaman 4
2
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.12/2007
Bisnis TNI dan Sengketa Tanah Alas Tlogo L
APORAN media massa mengenai penembakan warga sipil oleh pasukan marinir TNI AL menambah catatan kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara. Tindak kekerasan merupakan hal yang paling sering dibicarakan dalam peristiwa ini. Hal ini terlihat dari respon berbagai pihak. Selain persoalan tindak kekerasan, pelanggaran HAM dan perdebatan soal yurisdiksi peradilan, ada hal hal penting yang juga perlu diperhatikan, terutama berkaitan dengan hak kepemilikan TNI AL atas lahan sengketa dan hal-hal yang berkaitan dengan bisnis militer. Berkaitan dengan hak kepemilikan itu, beberapa pernyataan di media massa menyebutkan bahwa di tanah tersebut melekat hak milik TNI AL. Hal ini mejadi problematik karena berdasarkan peraturan perundangan, hanya warga negara Indonesia (perorangan) dan badan hukum tertentu yang dapat memiliki tanah (Pasal 21, UU No.5/1960/UUPA). Mengenai hal tersebut, Pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) No.38/ 1963 hanya menyebutkan 4 (empat) badan hukum yang dapat memiliki tanah yaitu: (a) Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut Bank Negara); (b) P e r k u m p u l a n - p e r k u m p u l a n koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan UU No.79/1958 (Lembaran Negara tahun 1958 No.139) (c) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria, setelah mendengar Menteri Agama; (d) Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.
Hak milik atas tanah bagi badan hukum harus memenuhi persyaratan berkaitan dengan peruntukan dan luas lahan. Sehingga, walaupun statusnya “hak milik” tidak diperbolehkan pemilikan dengan luas berlebihan, dan tidak dibenarkan mengubah fungsi tanah secara semena-mena. Artinya, klaim hak milik atas tanah oleh TNI AL tidak dimungkinkan. Badan hukum selain yang diatur oleh PP No.38/1963 dimungkinkan untuk menguasai tanah dengan hak guna usaha, hak pakai, hak guna bangunan, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan (Pasal 16 UUPA) dan hak pengelolaan (PMDN No.5/1974). Berdasarkan definisi berbagai hak tersebut, TNI AL hanya dimungkinkan untuk menguasai tanah atas dasar hak pakai (dan hak guna bangunan jika membangun/ menempati bagunan di atas tanah yang bukan miliknya). Hak Pakai memiliki pembatasan berkaitan dengan peruntukan/fungsi, luas dan jangka waktu. Sehingga tidak dimungkinkan untuk pengalihan fungsi secara sewenang-wenang, menguasai lebih dari hak yang sudah ditentukan dan melebihi jangka waktu yang diatur dalam pemberian hak tersebut. Sampai di sini, posisi TNI AL yang bersikeras dengan klaim kepemilikannya menjadi lemah. Apalagi jika dikaitkan dengan semangat dan prinsip-prinsip dari UUPA bahwa tanah adalah milik seluruh rakyat Indonesia, berfungsi sosial (bukan ekonomi). Selain itu, walaupun negara memiliki hak untuk menguasai tanah, namun menurut UUPA pelaksanaannya harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur (Lihat UUPA Pasal 2 Ayat 3). Sisi lain dari kasus ini adalah praktik bisnis militer. Dalam UU TNI telah diatur bahwa seluruh bisnis TNI akan diserahkan kepada negara selambat-lambatnya dalam jangka waktu 5 tahun, untuk kemudian biaya-biaya TNI sepenuhnya akan dibebankan kepada APBN. Artinya TNI mulai menghentikan upaya-upaya bisnis baru dan dalam jangka waktu 5 tahun ini secara bertahap seluruh bisnis TNI diserahkan kepada negara. Dalam kasus Pasuruan terbukti adanya praktik bisnis di atas lahan sengketa tersebut, yaitu oleh Induk Koperasi Angkatan Laut (Inkopal) dan dua perusahaan swasta: PT. Asembagus dan PT. Rajawali Nusantara. Begitu banyak pertanyaan dapat diajukan untuk menguji klaim legalitas yang diajukan oleh TNI AL. Dimulai dengan hak apa yang dimiliki oleh TNI AL untuk menguasasi lahan? Apakah hak tersebut telah dipergunakan sesuai dengan peruntukannya? Apakah hak itu bisa dialihkan kepada pihak lain (Inkopal, PT. Asembagus dan PT. Rajawali Nusantara)? Kalaupun bisa, bagaimana prosedurnya? Apakah prosedur itu dilaksanakan? Kalau TNI secara bertahap harus menghentikan bisnisnya, mengapa TNI AL menurunkan patroli marinir untuk mengamankan pekerjaan yang dilakukan perusahaan swasta di lahan sengketa? Apakah TNI AL ingin terus melakukan bisnisnya? Semua pertanyaan di atas akan bisa dijawab oleh proses peradilan yang kompeten dan fair. Kita tunggu!
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.12/2007
3
TNI dan Sejumlah Kasus Pertanahan S
IKAP tentara kembali memakan korban masyarakat sipil. Belum selesai kasus kekerasan TNI Angkatan Udara (TNI AU) dengan masyarakat Desa Sukamulya, Bogor, kebrutalan TNI kembali terjadi di ALas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur. Kali ini melibatkan TNI AL yang mengakibatkan empat orang meninggal dunia. Dua kejadian di atas terjadi akibat memperebutkan tanah, dan masing-masing pihak merasa sebagai pemilik tanah yang sah. Beberapa kasus di bawah ini hanya sebagian dari puluhan kasus yang melibatkan TNI dalam sengketa tanah di masa reformasi. Pada tahun 2000 di Malang, Jawa Timur, TNI AU berhadapan dengan masyarakat Senggreng. TNI AU melakukan latihan militer di daerah yang masih jadi sengketa. Latihan tersebut dianggap warga sebagai salah satu bentuk intimidasi, agar warga meninggalkan tanah tersebut. Menurut sejarahnya pada tahun 1940an tempat tersebut adalah hutan, yang kemudian dibuka oleh masyarakat untuk tempat tinggal dan bertani. Sedangkan TNI AU baru masuk daerah tersebut pada tahun 1968. Kasus lain misalnya pada tahun 1962, saat pembangunan kompleks Kodam IV Diponegoro, 14 keluarga diminta pindah ke lokasi yang disediakan. Dijanjikan, tanah yang ditempati seluas 8,5 hektar akan menjadi milik warga. Namun, hingga sekarang, setelah berkembang menja-
kepemilikan. Tetapi juga ditunjang dengan buruknya mentalitas aparataparat penegak hukum. Hal itu bertentangan dengan program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan melalui kebijakan reforma agraria untuk kebutuhan rakyat. Ketiga, peruntukan tanah. Dalam aturannya, jika statusnya adalah hak guna, maka tanah tersebut harus digunakan sesuai dengan apa yang tertera dalam surat tersebut. Pada kasus Alas Tlogo, TNI AL tidak menggunakan tanah tersebut sebagaimana yang telah disepakati. Dalam hal ini TNI AL malah menyewakan lahan tersebut pada pihak lain, untuk kegunaan yang lain pula. Di era reformasi ini, TNI seharusnya sudah meninggalkan Tempophoto (Robin Ong) sikap arogan seperti mengacungpaksa oleh Belanda dan Jepang kan moncong senapan kepada mauntuk kepentingan militer, sampai syarakat. Dengan melihat sejarah keterliIndonesia merdeka. Setelah merdeka, masyarakat kembali mengambil alih batan TNI dalam wilayah ekonomitanah tersebut, sementara TNI sosial-politik di masa Orde Baru, merasa merekalah yang berhak atas memang butuh waktu untuk meromtanah bekas markas tentara penjajah bak watak dan karakter TNI. Tetapi dari kasus terakhir di Alas Tlogo, tersebut. Kedua, status kepemilikan belum terlihat keseriusan TNI untuk tanah. Menurut anggota DPR Ferry menuju perubahan tersebut. Karena Mursyidan Baldan, di Indonesia tidak seharusnya senjata itu diarahhanya 30% tanah yang memiliki ser- kan pada masyarakat dalam masalah tifikat (Koran Tempo, 2/6/2007). apapun, kecuali menyangkut keDengan status kepemilikan tanah utuhan dan keberadaan bangsa yang tidak jelas, masyarakat pasti Indonesia. Dalam konteks ini, diperlukan akan selalu kalah, jika sengketa tanah tersebut dibawa ke pengadilan. perubahan mendasar di tubuh TNI Kekalahan masyarakat tidak sendiri dalam memaknai eksistensi semata disebabkan lemahnya dasar dan fungsi TNI.
di sekitar 300 keluarga, warga tidak mendapat haknya berupa sertifikat tanah. Kalau dilihat, sengketa tanah yang melibatkan TNI dan masyarakat selalu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, sejarah tanah yang diperebutkan. Dalam beberapa kasus, seperti kasus tanah di Desa Sukamulya dan Senggreng tanahtanah tersebut pada awalnya digarap masyarakat, tapi kemudian diambil
4
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.12/2007
Sambungan dari Halaman 1 Tentara dan Demokrasi
Pandangan lain seperti Jun Honna dalam artikelnya Military Ideology in Response to Democratic Pressure During the Late Suharto Era (2001), menilai bahwa kekuasaan militer Indonesia dilandaskan pada dua alasan utama: Pertama, adanya kebutuhan akan infusi besarbesaran modal asing dari Barat, menguatkan gagasan bahwa stabilitas politik yang dijalankan menjadi penting dalam menarik investasi asing. Kedua, kekuatiran secara geopolitis bahwa infiltrasi komunis pada masa Perang Dingin dapat meningkatkan subversi dalam negeri, juga menjadi alasan para pejabat militer untuk mendesak adanya peran besar angkatan bersenjata dalam mempertahankan integritas nasional. Tujuantujuan itu hanya dapat tercapai dengan pengawasan militer di seluruh tatanan kehidupan politik, sosial dan budaya bangsa. Pandangan Crouch dan Honna tersebut melihat Indonesia dalam konteks pemerintahan otoriter. Sementara kini Indonesia sedang berge-
rak menuju bentuk tatanan negarabangsa yang demokratis, di mana tujuan-tujuan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bukan diarahkan pada stabilitas ekonomi dan politik yang disandarkan pada kekuatan militer, melainkan pada kemampuan mengembangkan potensi-potensi seluruh sumber, baik alam maupun manusia. Beberapa hal mulai dibenahi untuk itu, seperti penghapusan kursi “jatah tentara” di parlemen, larangan bagi pejabat militer aktif untuk masuk dalam wilayah politik yang jelas tertuang dalam TAP MPR VII/2000, dan juga institusi militer tidak diperbolehkan untuk terlibat dalam aktivitas politik praktis. Kegiatan bisnis oleh institusi militer juga tidak boleh lagi dilakukan mulai tahun 2009 sebagaimana ditetapkan dalam UU tentang TNI No.34/2004. Persoalan yang masih tersisa adalah konsep fungsi teritorial yang masih menempatkan TNI untuk tetap masuk dalam ruang sosial-politik. Doktrin fungsi teritorial dilekatkan dengan fungsi pembinaan teritorial yang memungkinkan TNI untuk melakukan kontrol (membina)
partisipasi publik baik dalam ruang sosial, politik dan kebudayaan. Doktrin ini menujukkan bahwa TNI belum memahami fungsinya dalam negara demokratis. Dalam sistem negara demokrasi, fungsi militer semata-mata hanyalah fungsi pertahanan. Fungsi, sebut saja “pembinaan”, adalah fungsi yang harus dilakukan seluruh masyarakat sipil sebagai ujud keaktifan warga. Dalam situasi demokrasi yang “sedang menjadi” ini, berbagai kesulitan dan tantangannya harus mampu dihadapi dan dijawab oleh pemerintahan sipil, parlemen, lembaga yudikatif dan seluruh warga sipil. Kesulitan-kesulitan tersebut bukan dijawab dengan mengembalikan “imajinasi stabilitas oleh tentara”, melainkan oleh kemampuan nalar warga-publik lewat keaktifan mendorong tatanan demokrasi terbentuk. Kemampuan warga publik menjaga, mengawal dan mendorong pemerintahan sipil agar dapat menjawab tantangan-tantangan demokrasi yang harus ditumbuhkan. Mungkin harus tertatih-tatih, tapi setidaknya kasus Alas Tlogo tidak akan terulang di masa depan.
Peristiwa Alas Tlogo: Kejahatan Terhadap Kemanusiaan? A PAKAH kasus Alas Tlogo dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat? Menurut UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM, terdapat dua macam kejahatan yang digolongkan sebagai pelanggaran HAM yang berat, yaitu: kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan kejahatan genosida (genocide). Secara umum, peristiwa Alas Tlogo bukanlah sebagai bagian dari tindakan pemusnahan etnis, tetapi merupakan suatu serangan terhadap penduduk sipil. Oleh karena itu,
pada peristiwa Alas Tlogo dapat dipastikan tidak terjadi kejahatan genosida, tetapi, masih besar kemungkinannya terjadi kejahatan yang disebut sebagai crimes against humanity. Berdasarkan Pasal 9 UU No.26/2000, setidaknya terdapat empat unsur pidana yang harus dipenuhi agar Peristiwa Alas Tlogo dapat dikatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu: (i) unsur “salah satu perbuatan”; (ii) unsur “yang dilakukan sebagai bagian dari serangan”; (iii) unsur
“meluas atau sistematis yang ditujukan kepada penduduk sipil”; (iv) unsur “yang diketahuinya”. (Lihat Mahkamah Agung, Pedoman Unsurunsur Tindak Pidana Pelanggaran HAM yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, 2006 — selanjutnya analisis berikut berdasarkan pedoman ini). I. Unsur Salah Satu Perbuatan Setiap tindakan yang disebutkan dalam Pasal 9 merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak ada
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.12/2007 syarat yang mengharuskan adanya lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan, atau kombinasi dari tindak-tindak pidana. Dalam Peristiwa Alas Tlogo, telah ada korban yang mati, dan juga korban yang luka tembak, dalam hal ini kemungkinan ada dua tindak pidana, yaitu: pembunuhan (Pasal 9a) dan penganiayaan (Pasal 9h). II. Unsur yang Dilakukan Sebagai Bagian dari Serangan Maksudnya adalah tindakan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan, misalnya pembunuhan besarbesaran terhadap penduduk sipil. Serangan di sini maksudnya adalah tindakan baik sistematis atau meluas, yang dilakukan secara berganda (multiple commission of act) yang dihasilkan atau merupakan bagian kebijakan negara atau organisasi. Tindakan berganda berarti bukan merupakan tindakan yang tunggal atau terisolasi. Serangan, baik yang secara meluas ataupun sistematis, tidak harus merupakan “serangan militer”, tetapi dapat juga diartikan lebih luas, misalnya meliputi kampanye atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Serangan tersebut harus hanya melibatkan angkatan bersenjata, atau kelompok bersenjata. Persyaratan dianggap terpenuhi jika penduduk sipil adalah obyek utama serangan tersebut. Selanjutnya, berdasarkan Statuta Roma maupun UU No.26/2000, serangan tersebut tidak harus dilakukan dalam situasi konflik senjata. Pada peristiwa Alas Tlogo, penduduk sipil merupakan target utama serangan yang dilakukan angkatan bersenjata yang terkait pada operasi tertentu. Dalam hal ini operasi mengamankan sebidang tanah. Metode yang digunakan untuk menyerang penduduk sipil adalah memberondongkan senjata yang berakibat terjadi massivitas jumlah korban, dan para penyerang sama
sekali tidak dalam suasana perang. Kalaupun masyarakat melakukan perlawanan, tindakan yang menggunakan senjata api dalam membalas serangan penduduk sipil telah melanggar asas porposional. Dalam situasi tersebut, tidak ada alasan yang sangat memaksa untuk menggunakan senjata api. III. Unsur Meluas atau Sistematis yang Ditujukan Kepada Kelompok Sipil Meluas atau sistematis merupakan syarat yang fundamental untuk membedakan kejahatan ini dengan kejahatan umum lainnya yang bukan pelanggaran HAM yang berat. Kata meluas menunjuk pada jumlah korban, dan konsep ini mencakup massif, sering atau berulang-ulang, tindakannya dalam skala besar, dilaksanakan secara kolektif dan berakibat serius. Istilah sistematis mencerminkan suatu pola atau metode tertentu yang diorganisir secara menyeluruh, dan menggunakan pola yang tetap berdasarkan kebijakan yang melibatkan sumber daya publik atau privat yang substansial. Selain itu, dalam penjelasan Pasal 9 disebutkan bahwa serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi. Pada peristiwa Alas Tlogo dapat dikatakan telah terjadi jumlah korban yang massif (dalam skala besar) akibat dari serangan yang dilakukan secara kolektif. Dengan demikian, unsur meluas dapat dikatakan telah terpenuhi. Sementara itu untuk memenuhi unsur sistematis masih diperlukan penyelidikan lebih lanjut apakah perbuatan tersebut merupakan suatu kelanjutan kebijakan yang diperintahkan oleh organisasi yang membawahi para pelaku. Meskipun demikian, unsur meluas atau sistematis tidak harus dibuk-
5
tikan keduanya, kejahatan yang dilakukan dapat saja merupakan bagian dari serangan meluas saja atau sistematis saja. IV. Unsur yang Diketahuinya Rumusan “yang diketahuinya” merupakan unsur mental (mens rea) dalam kejahatan ini. Pelaku harus melakukan kejahatan tersebut dengan pengetahuan untuk melakukan serangan yang ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil. Hal ini tidak berarti bahwa dalam semua serangan harus selalu ada pengetahuan. Pengetahuan tersebut bisa pengetahuan yang aktual, dalam atau konstruktif. Secara khusus, pelaku perlu mengetahui bahwa tindakannya itu adalah tindakan yang tidak manusiawi. Dalam peristiwa Alas Tlogo sangat jelas bahwa tindakan yang dilakukan aparat militer tersebut adalah tindakan tidak manusiawi. Mereka memberondongkan senjata kepada penduduk sipil yang akibatnya perempuan hamil dan anakanak turut menjadi korban. Berdasarkan uraian di atas, secara umum pada peristiwa Alas Tlogo terdapat indikasi yang sangat kuat telah terjadi pelanggaran HAM yang berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena itu, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat-lah yang harusnya digunakan, dengan didahului penyelidikan pro-yustisia oleh Komnas HAM untuk menentukan apakah dalam peristiwa tersebut ada unsurunsur pelanggaran HAM yang berat. Jika hasil penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM yang berat, maka proses hukum untuk mengadili pelaku seharusnya melalui pengadilan HAM, bukan peradilan militer, seperti sedang dijalankan saat ini, karena pelanggaran HAM yang berat merupakan kompetensi absolut pengadilan HAM.
6
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.12/2007
Sambungan dari Halaman 1 Tragedi Alas Tlogo
hukum dengan menggugat TNI AL dan PT. Rajawali atas penguasaan tanah tersebut di Pengadilan Negeri Bangil. Pada Maret 2007 lalu, putusan pengadilan menolak gugatan warga (Tempo, No.15/2007). Upaya kompromi pun sebenarnya sudah ditempuh antara warga dengan pihak TNI AL. Ganti rugi yang ditawarkan TNI AL adalah setiap keluarga diberi imbalan tanah seluas 500 meter persegi serta uang Rp10 juta apabila bersedia dipindahkan. Tapi sebelum kesepakatan tercapai, terjadi tragedi penembakan. Tragedi ini menyulut kemarahan publik. Baik kalangan pemerintah maupun masyarakat umum, mengecam peluru TNI AL yang membunuh warganya sendiri. Beberapa lembaga membentuk tim independen untuk melakukan penyelidikan insiden berdarah tersebut. Komnas HAM menyatakan bahwa penembakan warga Alas Tlogo oleh pasukan marinir TNI AL merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Bahkan Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan, “Ini bisa masuk kategori pembunuhan berencana” (Koran Tempo, 2/6/2007). Demikian juga dengan lembaga hak asasi manusia Imparsial yang menyebutkan bahwa terdapat dua syarat yang membuat sebuah kejadian dapat dikategorikan pelanggaran hak asasi manusia. Pertama, adalah aparat negara sebagai aktor pelaku penembakan secara terencana dan sistematis. Kedua, menyangkut adanya kesengajaan, di mana 13 anggota marinir pelaku penembakan membawa senjata api laras panjang dengan peluru tajam (Koran Tempo, 5/6/2007). Sedangkan DPR yang telah melakukan pencarian fakta dan keterangan oleh Tim Investigasi
Blokade Warga Desa Alas Tlogo - Foto Antara (Musyawir)
Komisi I DPR, menengarai terjadinya pelanggaran HAM serius atas peristiwa Pasuruan. Sebagai langkah lanjut, DPR berencana memanggil Panglima TNI dan KSAL ke DPR. Satu hari setelah insiden tersebut, Polisi Militer Angkatan Laut (POMAL) Pangkalan Utama TNI AL di Surabaya telah menahan 13 anggota marinir yang diduga sebagai pelaku penembakan. 12 orang berpangkat bintara dan 1 orang berpangkat Letnan Dua. Dua hari kemudian 13 anggota marinir tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Sengketa kepemilikan lahan yang terjadi antara TNI AL dengan warga di Pasuruan sampai kini belum memiliki titik temu. TNI AL tetap bersikukuh memiliki lahan tersebut melalui transaksi pembelian tahun 1960-63. Sedangkan warga merasa memiliki lahan tersebut jauh sebelum 1960-an, karena keberadaan warga di 11 desa di Kecamatan Lekok dan Nguling sudah ada sebelum pusat latihan tempur di Grati muncul pada 1961-1963. Terlebih lagi, hampir semua warga desa mempunyai bukti kepemilikan atas tanah tersebut (Koran Tempo, 5/6/2007). Selain soal sengketa tanah tersebut, warga juga menuntut agar pusat latihan tempur marinir TNI AL dipindahkan dari kawasan Grati dan
sekitarnya. Warga menilai bahwa keberadaan markas militer tidak memberikan rasan aman bagi merekaTuntutan tersebut didukung juga oleh Bupati Pasuruan Jusbakir Aldjufri. Namun TNI AL tetap bersikukuh untuk bertahan.
Analisis Mingguan ini diterbitkan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Redaksi Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Elisabet R. Kuswijayanti Fajrimei A. Gofar Ikravany Hilman Isfahani Otto Pratama Rachland Nashidik Robby Kurniawan Robertus Robet Santi Nuri
Alamat Redaksi Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 http://www.p2d.org E-mail:
[email protected]
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.12/2007
7
Menggugat Kompetensi Peradilan Militer Dalam Kasus Alas Tlogo P
ENEMBAKAN warga sipil oleh tentara seperti yang terjadi di Desa Alas Tlogo bukanlah kasus pidana biasa. Peristiwa yang menewaskan 4 orang dan melukai sejumlah korban lainnya itu harus dilihat sebagai suatu tragedi kemanusiaan. Dengan demikian, tragedi Alas Tlogo mesti diusut secara tuntas dan harus diselesaikan melalui proses hukum yang lepas dari pengaruh manapun serta tidak memihak, sehingga mampu menghadirkan keadilan bagi publik, khususnya korban/keluarga korban. Bagaimana proses hukum yang bebas dan tidak memihak itu dapat dijalankan? Apa kendala yang mungkin dihadapi dalam proses pembuktian kasus ini? Sekian lamanya di Indonesia, setiap pelanggaran pidana oleh personel militer menjadi kompetensi peradilan militer, kecuali dalam perkara koneksitas. Baru setelah berlakunya UU No. 34/2004 kompetensi mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh personel militer dibedakan dan diberikan pada 2 kekuasaan peradilan. Pasal 65 Ayat (2), mengatur bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Namun demikian, hingga kini, pengadilan terhadap para prajurit yang melakukan pelanggaran hukum pidana umum tetap dilaksanakan di pengadilan militer. Mengapa demikian? Kewenangan peradilan umum untuk mengadili personel militer yang melakukan tindak pidana umum mendapat ganjalan terutama
dari Ketentuan Peralihan UU TNI, Pasal 74 Ayat (1) yang menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 baru bisa diimplementasikan pada saat UU tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan. Persoalannya, sampai saat ini lembaga legislatif kita belum berhasil membuat UU Peradilan Militer yang baru, padahal Pasal 75 Ayat (1) menugaskan agar segala peraturan pelaksanaan ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang TNI ini. Dengan dasar itulah, beberapa pihak berpendapat bahwa sesuai dengan Pasal 74 Ayat (2), penyelesaian kasus ini harus tetap tunduk pada UU No.31/1997 tentang Peradilan Militer, di mana tindak pidana yang dilakukan oleh personel TNI harus diadili di Peradilan Militer. Pendapat senada — terutama dari kalangan TNI — bahkan menyatakan bahwa kewenangan peradilan umum untuk mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum sebagaimana diamanatkan UU No.34/2004, baru bisa dilaksanakan apabila juga telah terdapat perubahan/penyesuaian dalam hukum pidana materiil maupun hukum acaranya. Dalam pandangan seperti itu, Pasal 65 Ayat (2) baru bisa dilaksanakan setelah ada perubahan dan penyesuaian dalam KUHAP, KUHP, dan KUHP Militer. Padahal, baik maupun KUHAP tidak memberikan limitasi mengenai subyek hukum mana saja yang dapat diatur. Artinya, KUHP dan KUHAP dapat digunakan bagi subyek hukum militer, sehingga untuk tidak perlu dilakukan perubahan terhadap
KUHP maupun KUHAP untuk dapat mengadili personel TNI di peradilan umum. Penolakan terhadap upaya hukum militer dalam penyelesaian kasus ini juga layak ditolak mengingat peradilan militer cenderung gagal memberikan rasa keadilan. Salah satu contoh paling mutakhir adalah para prajurit Kopassus (Tim Mawar) yang telah divonis bersalah dalam kasus penculikan aktivis 1997/1998 dan dipecat dari jabatan militernya, ternyata hingga kini masih menjabat. Bahkan tiga di antaranya menjadi Komandan Kodim dan seorang lainnya adalah Komandan Yonif. Selain mencederai rasa keadilan publik, fenomena ini menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang pernah dilakukan oleh seorang anggota TNI sama sekali bukan ganjalan bagi karir militernya. Patut disayangkan bahwa proses penyidikan telah dilakukan oleh Polisi Militer Angkatan Laut (POMAL). Sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, “Kita percayakan pada POMAL. Ada yang mengusulkan supaya Komnas HAM dan polisi ikut. Tetapi hukum sekarang adalah tetap hukum peradilan militer sehingga POMAL yang menangani” (Media Indonesia, 7/6/2007). Pernyataan Menhan ini sekaligus menutup ruang bagi terobosan hukum dengan menyerahkan penanganan kasus ini kepada aparat hukum sipil. Padahal dengan memberikan penanganan kasus ini untuk menjadi kompetensi dari peradilan umum akan lebih menjamin adanya persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan keadilan.
8
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.12/2007
Kasus Alas Tlogo: Batu Ujian Bagi Reformasi TNI dan Penegakan HAM
M
ESKIPUN proses penyelidikan baru saja dimulai, sudah muncul pembelaan dari Panglima TNI terhadap 13 prajurit marinir yang diduga melakukan penembakan. Ia mengatakan bahwa jatuhnya korban kemungkinan besar adalah akibat pantulan peluru yang dilepaskan prajurit demi mempertahankan diri dari warga dalam jumlah cukup besar yang melakukan penyerangan dengan senjata tajam. Lebih lanjut diungkapkannya bahwa dalam peristiwa tersebut peluru di tembakkan ke arah tanah sebagai peringatan. “Saya tidak yakin prajurit dengan sengaja menembak anakanak ataupun ibu-ibu. Dan sekali lagi, hal itu sangat tidak kita inginkan”, katanya (Antara, 30/05/07). Apa yang diungkapkan oleh Panglima TNI di atas bisa jadi akan digunakan sebagai dalih hukum dalam proses peradilan, seperti yang diungkapkan oleh Ruhut Sitompul selaku pengacara dari 13 anggota marinir bahwa, “Itu pure defense, murni bertahan, tembakan dilepas karena nyawa mereka sudah benarbenar terancam” (Batam Pos, 05/06/07). Dalam kasus ini dalih hukum semacam itu tidak cukup untuk menjadi dasar penghapusan pidana. Menurut hukum pidana, penghapusan pidana memang bisa dilakukan dengan dasar pembelaan darurat (noodweer). Pembelaan darurat ini diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang untuk mempertahankan dirinya atau orang lain; mempertahankan kehormatan atau harta benda miliknya atau orang lain; dari serangan yang melawan hak serta mengancam dengan segera pada saat itu juga. Jadi, perbuatan yang termasuk pembelaan darurat ini haruslah: ada kepentingan yang harus dibela; sangat perlu atau bisa dikatakan tidak ada jalan lagi (noodzakelijk); dan harus ada
serangan yang terjadi sekonyongkonyong (R. Soesilo: 1996). Penembakan yang dilakukan prajurit TNI terhadap rakyat sipil ini tentu saja tidak memenuhi unsurunsur pembelaan darurat. Pertama, tidak ada nyawa atau kehormatan maupun harta benda yang harus dipertahankan oleh anggota marinir dalam kasus ini. Sama sekali bukan wewenang anggota TNI untuk mempertahankan kepemilikan tanah, apalagi menjaganya dengan pasukan bersenjata. Kedua, demonstrasi, amuk massa ataupun tindak pidana yang dilakukan oleh warga sipil merupakan yurisdiksi kepolisian. Dengan demikian, pilihan yang diambil oleh pasukan patroli marinir untuk menghadapi kerumunan warga tersebut sudah merupakan kesalahan yang fatal. Apapun yang dilakukan oleh sekelompok warga dalam kasus tersebut, baik berdemonstrasi ataupun memblokir jalan, sepenuhnya merupakan wilayah tanggung jawab polisi. Namun alih-alih melaporkan aksi warga ini kepada aparat kepolisian, pasukan marinir bersenjata lengkap ini malah menghadapi warga dengan pendekatan kekerasan ala militer. Padahal sama sekali bukan wewenang TNI pula untuk menghadapi sekelompok warga yang hendak menuntut haknya. Ketiga, kerumunan dan aksi yang dilakukan oleh warga mustinya sudah bisa diantisipasi jauh sebelumnya. Tindakan yang bersifat kolektif, tidak mungkin terjadi secara mendadak. Anggota TNI sebagai komponen utama pertahanan negara, semestinya dilatih untuk berperang dan menghadapi musuh dari luar. Berbeda dengan aparat kepolisian, TNI tidak memiliki prosedur dalam menghadapi demonstrasi maupun amuk massa. Bahkan sebagai tentara profesional, TNI tidak selayaknya memiliki prosedur semacam itu. Dengan demikian maka penembakan
yang dilakukan sebagai tembakan peringatan, baik diarahkan ke tanah maupun ke udara, sama sekali tidak relevan di sini. Alas Tlogo bukanlah wilayah darurat militer dan sama sekali tidak berada dalam situasi yang mengancam kedaulatan negara. Oleh karena itu, menjadi tanda tanya besar mengapa musti ada patroli yang dilakukan oleh sebuah pasukan dengan membawa senjata lengkap berupa Senapan Serbu (SS-1)? Pertanyaan mendasar lainnya adalah, bagaimana sebuah pasukan khusus dan terlatih seperti Korps Marinir ini bisa mengancam dengan melakukan “tembakan peringatan” kepada rakyatnya sendiri, dan kemudian melakukan kesalahan sehingga tembakannya nyasar ke tubuh seorang ibu hamil yang berada di dalam rumah dan sedang menggendong anaknya? Semakin jelas bahwa dibandingkan dengan unsur pembelaan darurat, penembakan yang dilakukan ke13 prajurit marinir tersebut jauh lebih memenuhi unsur kesengajaan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Sebagai konsekuensi dari tindak pidana tersebut, mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan. Apabila TNI memang benarbenar ingin menjadi tentara profesional dengan melakukan reformasi sektor keamanan, termasuk reformasi peradilan militer, maka tidak ada pilihan lain selain menyerahkan kasus ini kepada perangkat hukum sipil. Ini sesuai dengan UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum, diadili di peradilan umum. Dengan menyerahkan penyidikan kasus ini dari Pomal ke penyidik Polri dan Komnas HAM, maka baik pemerintah maupun TNI akan menunjukkan kebulatan tekadnya terhadap dua hal: profesionalisme TNI dan penegakan hak asasi manusia.