ANALISIS MINGGUAN
PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI
Pernyataan Tidak Etis Wapres Jusuf Kalla
Vol.1 No.2 Minggu I - April 2007
Korupsi Merajalela! Tapi (Tetap) Bisa Diberantas
B
ERITA mengenai dugaan korupsi mendominasi media cetak dan surat kabar minggu-minggu ini (lihat tabel di bawah). Apa artinya? Ini bisa dilihat dengan dua cara pandang. Pertama, ada upaya untuk membawa kasuskasus korupsi kepada proses hukum dan tidak mengendap dan hilang begitu saja. Kedua, menunjukkan suatu bentuk penyakit kejahatan epidemik karena begitu banyaknya kasus-kasus yang terjadi. Bisa dikatakan korupsi merajalela! ... bersambung ke halaman 2
Pemberitaan Kasus Dugaan Korupsi di Sejumlah Media Massa KASUS
PELAKU YANG DIDUGA
JUMLAH UANG
Dugaan Korupsi Transfer Uang Tommy Soeharto dari BNP Paribas
Yusril Ihza Mahendra (Mantan Menkeh HAM), Hamid Awaluddin (Menkumdang HAM)
Rp90 Miliar
Dugaan Korupsi Aliran Dana Ilegal Dalam Pengadaan Komoditas di Bulog tahun 2001-2003
Widjanarko Puspoyo (Mantan Kepala Bulog)
US$1.505.566
Dugaan Korpusi Pembangunan Lahan Kelapa Sawit Satu Juta Hektar di Kalimantan Timur
Suwarna Abdul Fatah
Rp346 Miliar, yang diputuskan pengadilan hanya korupsi senilai Rp5 Miliar
Dugaan Korupsi Dalam Pembelian 2 Mesin Turbin untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTU) Borang
Eddie Widiono (Dirut PLN)
Rp120 Miliar
Dugaan Korupsi Pembelian Helikopter Mi-2
Salah satu yang disebutkan: PT Cerianaga Pertiwi
Diperkirakan US$11,6 Juta (Sekitar Rp100 Miliar)
Dugaan Korupsi Dalam Proyek Pembangunan Bandar Udara di Loa Kulu, Kutai Kartanegara
Rp15 Miliar Syaukani Hasan Rais (Bupati Kutai Kartanegara)
Dugaan Korupsi Dana APBD Kabupaten Kutai Kartanegara dan Sejumlah Kasus Lainnya
Diperkirakan Rp15 Miliar
Dugaan Korupsi (Dalam Bentuk Gratifikasi) Permintaan Uang THR Anggota Komisi III DPR tahun 2002 Kepada Departemen Kelautan dan Perikanan
Departemen Kelautan dan Perikanan dan 56 Anggota Komisi III DPR.
Rp164 Juta
Dugaan Korupsi Dalam Penjualan Very Large Crude Carrier (VLCC) Milik PT Pertamina
Laksamana Sukardi (Mantan Meneg BUMN)
Belum ada nilai kerugian negara yang pasti, diperkirakan sebesar Rp180-504 Miliar
H
ARI-HARI belakangan ini, publik disajikan dua skandal besar, yaitu: Pertama, transfer uang Tommy Soeharto dari BNP Paribas London ke rekening pemerintah atas nama Depkum HAM; dan kedua, penyitaan 12 helikopter milik PT Air Transport Services (yang dimiliki Achmad Kalla adik kandung Wapres Jusuf Kalla) oleh Kantor Bea dan Cukai Bandar Udara Soekarno-Hatta karena belum melunasi customs bond (jaminan kepabeanan) sebesar Rp9 miliar. Menyikapi dua kasus tersebut, Wapres Jusuf Kalla menunjukkan sikap yang tidak etis sebagai seorang pejabat publik. Dalam kasus transfer uang Tommy Soeharto, Wapres Jusuf Kalla menyatakan dukungannya atas tindakan Menkum HAM Hamid Awaluddin mencairkan dana tersebut, dengan argumen bahwa, “Orang korupsi itu tidak pernah membawa masuk uang ke dalam negeri. Orang korupsi itu dari sini (uangnya) dibawa ke luar” (Koran Tempo, 24 Maret 2007). Argumen seorang dengan jabatan Wakil Presiden yang dengan simplifikasi sekenanya, memberikan penilaian terhadap suatu dugaan tindak pidana. Wapres Jusuf Kalla harus jelas bahwa kejanggalan proses transfer tersebut harus mendapatkan proses hukum, baru bisa dinyatakan terlibat atau tidaknya dalam suatu tindak pidana. Penilaian tidak boleh da... bersambung ke halaman 5
Sumber: Diolah Dari Berbagai Pemberitaan Media Massa Pada Minggu Ketiga Maret 2007
2
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
Pemberitaan Kasus-kasus Dugaan Korupsi yang Pelakunya Divonis Bebas KASUS
JUMLAH UANG
PELAKU
TUNTUTAN
HAKIM
Dugaan Korupsi Pengucuran Kredit Bank Mandiri Kepada PT Cipta Graha Nusantara (CGN)
US$18,5 Juta (Sekitar Rp166,5 Milyar)
ECW Neloe (Direktur Mandiri), M. Sholeh Tasripan (Direktur Bank Mandiri), dan I Wayan Pugeg (Direktur Bank Mandiri)
20 Tahun Penjara
Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang Diketuai Hakim Gatot Suharnoto (Vonis 20 Februari 2006)
US$18,5 Juta (Sekitar Rp166,5 Milyar)
Edyson (Direktur Utama PT CGN), Saiful Anwar (Komisaris Utama CGN), dan Diman Ponijan (Direktur Keuangan CGN)
17 Tahun Penjara
Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang Diketuai Hakim Sri Mulyani (Vonis 23 Februari 2006)
Rp10 Milyar
Omay K. Wiraatmadja (Mantan Direktur Utama PT Pupuk Kaltim)
4 Tahun Penjara, Uang Pengganti Rp3,6 Milyar
Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang Diketuai Hakim Sri Mulyani (Vonis 23 Februari 2007)
Dugaan Korupsi di PT Pupuk Kaltim
Sumber: Diolah Dari Berbagai Pemberitaan Media Massa Pada Minggu Ketiga Maret 2007
Namun dalam menyikapi dua pandangan tersebut, ada satu kesimpulan yang bisa diambil, yakni: korupsi bisa diberantas! Seperangkat aturan hukum yang sudah dibuat bisa menjerat para pelaku korupsi, hanya
perlu pengawasan terhadap para aparat hukum (hakim, jaksa dan polisi) agar tidak melakukan penyalahgunaan wewenang dan kekuasannya untuk memberikan kebebasan pada pelaku yang memiliki bukti-bukti kuat
melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu juga dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan “angin segar” bagi upaya pemberantasan penyakit epidemik korupsi.
Penanganan Korupsi: Gitu Aja Koq Repot!
A
KIBAT reformasi, korupsi telah dijadikan musuh bersama dalam penyelenggaraan bernegara. Hukum pidana telah ditempatkan sebagai senjata utama, baik itu hukum pidana materiil maupun hukum pidana formiil untuk menjerat koruptor. Hukum pidana materiil adalah aturan-aturan yang memuat perbuatan apa saja yang dilarang beserta ancaman-ancaman pidananya, sebagaimana dimuat dalam UU No.31/1999 jo UU No.20/ 2001 tentang Korupsi. Sementara hukum pidana formiil adalah aturanaturan yang memuat bagaimana proses-proses hukum dilakukan jika terjadi perbuatan yang dilarang tersebut. Aturan mengenai hukum formiil ini termuat dalam KUHAP — sebagai lex generalis, UU No.31/1999 jo UU No.20/2001, dan UU No.30/2002 tentang KPK. Pada dasarnya, penyelesaian kasus korupsi tidak jauh berbeda dengan penyelesaian kasus pidana pada umumnya, yaitu melalui tahapan-tahapan penyelidikan, penyidikan, pe-
nuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan — sebagaimana diatur dalam KUHAP. Hal yang membedakannya terletak pada institusi yang menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh kejaksaan. Bahkan dalam keadaan tertentu, tahapan-tahapan tersebut dapat dilakukan atau diambilalih oleh KPK (lihat bagan). Sejak berlakunya UU No.30/2002, KPK melakukan fungsi koordinasi dan supervisi dengan instansi-instansi yang menangani kasus korupsi (Pasal 6). Pada prinsipnya, tugas-tugas utama institusi-institusi pemberantasan korupsi tersebut adalah bagaimana membuktikan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi. Jadi, sebenarnya kunci utama penyelesaian kasus korupsi terletak pada alat buktinya. Dengan tugas itu, institusiinstitusi tersebut diberi kewenangankewenangan khusus agar bukti yang dicari dapat diperoleh. Di antaranya mengakses rekening bank, penyitaan tanpa izin pengadilan, maupun me-
minta keterangan mengenai harta benda tersangka beserta keluarganya, bahkan melakukan penyadapan. Berdasarkan aturan yang ada, sebenarnya institusi-institusi tersebut telah memiliki kewenangan yang cukup. Tetapi pemberantasan korupsi mendapat hambatan ketika rumusan korupsi diinterpretasikan secara keliru. Rumusan korupsi masih dianggap delik materiil sehingga unsur akibat —kerugian keuangan negara— harus dibuktikan. Padahal sesungguhnya korupsi telah dijadikan delik formiil, yang artinya, kerugian negara tidak perlu dibuktikan. Tetapi kenyataannya, terdapat sesat pikir yang begitu jauh dalam memaknai pasal tersebut, unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dianggap sebagai unsur yang harus dibuktikan. Malah ia dijadikan sebagai penghambat penanganan korupsi. Namun demikian, lebih jauh lagi, korupsi bukanlah hanya berupa “merugikan keuangan negara”, tetapi perbuatan-perbuatan lainnya seperti
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
3
Bagan 1 Penyelesaian Kasus Korupsi
suap, menyalahkan kewenangan, menggunakan sarana yang dimilikinya, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Dalam UU No.31/1999 jo UU No.20/ 2001 telah disebutkan sekitar 30 macam perbuatan yang dinamakan korupsi. Dengan demikian, sebenarnya gampang saja menjerat orang yang terlibat kasus pencairan uang Tommy Soeharto. Dalam pencarian dana itu, telah ada perbuatan melawan hukum dengan memanfaatkan wewenang yang dimiliki, di antaranya menggunakan informasi Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) secara tidak sah, menggunakan sarana negara untuk membuka rekening, dan sangat kuat indikasi adanya suap dalam kasus
“Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik” — Pasal 44 Ayat (2) UU No.30/2002
tersebut agar penyelenggara negara melakukan perbuatan tertentu yang menguntungkan orang lain. Berkaitan dengan kesulitan memperoleh alat bukti, sebenarnya hukum tentang korupsi telah memperluas apa yang dimaksud alat bukti pada umumnya. Alat bukti tidak saja sebatas yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP, tetapi termasuk juga: (1) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan (2) Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
4
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
Bagan 2 Kewenangan dalam Penyelesaian Kasus Korupsi
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna (Lihat: Pasal 26A UU No.20/2001). Begitu pula dalam Pasal 44 Ayat (2) UU No.30/2002 menyebutkan bahwa, “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik”. Dengan demikian, tidak ada kesulitan yang cukup berarti dalam penanganan kasus korupsi. Apalagi institusi yang menjalankannya diberi kewenangan yang cukup luas. Dengan peraturan dan perangkat-perangkat yang ada, sebenarnya apa itu korupsi telah mudah untuk diketahui. Dengan demikian, dalam kasus misalnya pencarian uang Tommy Soeharto, atau kasus helikopter untuk penanggulangan bencana, untuk menentukan siapa-siapa yang bermain kotor dengan gampang bisa ditebak. “Gitu aja koq repot!”
Analisis Mingguan ini diterbitkan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Redaksi: Abdul Qodir Agil, Daniel Hutagalung, Elisabet R. Kuswijayanti, Fajrimei A. Gofar, Isfahani, Rachland Nashidik, Robby Kurniawan, Robertus Robet Alamat: Jl. Sawo No.11, Menteng, Jakarta Pusat 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 www.p2d.org E-mail:
[email protected]
5
Sambungan dari halaman 1... Pernyataan Tidak Etis Wapres Kalla
tang dari pejabat eksekutif, yang tidak memiliki wewenang memberikan penilaian hukum. Keberatan terhadap pernyataan Wapres Jusuf Kalla datang dari berbagai pihak, seperti misalnya Koordinator ICW Teten Masduki (Kompas, 26 Maret 2007). Ada pertanyaan yang muncul: Mengapa Wapres Jusuf Kalla begitu antusias melakukan intervensi terhadap dua kasus tersebut? Dalam kasus pengadaan 12 helikopter oleh PT Air Transport Services (ATS) milik Achmad Kalla —adik kandung Wapres Jusuf Kalla yang disewa Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana untuk pemadaman kebakaran hutan—Wapres Jusuf Kalla menyatakan bahwa hal tersebut tidak perlu dipersoalkan, dengan argumen, “Kalau ada yang mempersoalkan, itu (artinya) tidak mengerti soal harga diri bangsa dan mempertaruhkan keselamatan masyarakat” (Koran Tempo, 28 Maret 2007). Wapres Jusuf Kalla menambahkan bahwa pengadaan helikopter itu, untuk menjaga harga diri bangsa, dan supaya Indonesia tak selalu meminjam peralatan ke luar negeri setiap bencana terjadi. Bayangkan! Harga diri bangsa nilainya setara dengan biaya customs bond (jaminan kepabeanan) yang belum dibayarkan! Penanggulangan bencana itu kewajiban pemerintah, sementara PT ATS adalah perusahaan swasta yang melakukan pengadaan helikopter untuk disewa pemerintah. Perusahaan swasta wajib untuk membayar kewajiban-kewajibannya dalam hal pengadaan barang (terlebih barang impor). Jadi, jika terjadi kesalahan prosedur atau penyalahgunaan administrasi terhadap pengadaan 12 helikopter tersebut, maka bisa diabaikan saja, dan tidak perlu dipersoalkan? Apakah itu suatu bentuk tindakan kepemimpinan yang dilandasi oleh etika, dan penghormatan terhadap penegakan hukum? Politik dan etika harus berjalan bersamaan. Wilayah pejabat publik
adalah wilayah politik, bukan wilayah privat (mis. keluarga dan sanak saudara), karena itu tindakan etis dan mematuhi tata-aturan normatif harus menjadi dasar dari keseluruhan tindakan dan otoritas yang dipinjamkan rakyat kepada mereka, sebelum rakyat memintanya kembali. Filsuf Yunani klasik Aristoteles, menyebutkan bahwa kebajikan moral dibentuk oleh kebiasaan, etos dan etik. Jadi di sini, kebajikan moral sebagai salah satu yang dituntut dari seorang pejabat publik, hanya bisa dibentuk oleh sesuatu yang bersifat etis. Tindakan-tindakan tidak etis artinya menunjukkan suatu ketiadan kebajikan moral. Tanpa tindakan-tindakan etis, sulit mengharapkan sesuatu yang baik dihasilkan dari seorang pejabat publik. Apa yang dilakukan oleh Wapres Jusuf Kalla tentunya tidak boleh diikuti oleh pejabat-pejabat publik lainnya, selain karena mereka memegang sumpah jabatan, juga karena tindakan etis merupakan salah satu dasar pokok. Dan itu merupakan suatu tindakan yang sama sekali tidak patut dicontoh. Dalam urusan pengadaan 12 helikopter ini memang betul ada aspek “harga diri bangsa”, tetapi bukan sebagaimana yang dibayangkan oleh Wapres Jusuf Kalla, tetapi lebih sebagai makin rusaknya harga diri bangsa, akibat pejabat yang makin sulit mengendalikan diri.
6
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
Identitas Primordial Tidak Boleh Mengalahkan Kepentingan (Re)Publik!
S
ATU lagi produk kebijakan publik yang mengedepankan unsur-unsur identitas privat (dalam hal ini agama) di dalamnya memancing kontroversi. Setelah kontroversi berbagai produk kebijakan publik berupa peraturan daerah yang banyak didasarkan pada nilai-nilai dan semangat Islam, kini muncul Rencana Peraturan Daerah (Raperda) yang isinya didasarkan pada nilai-nilai dan semangat Kristen. Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Kota Injil tersebut sedang digodok di Kabupaten Manokwari, Irian Jaya Barat (Irjabar). Dalam menyikapi hal tersebut, Sekjen PPP Irgan Chairul Mahfiz meminta Menteri Dalam Negeri segera turun tangan dan memanggil Bupati dan Ketua DPRD Manokwari, Irjabar (Republika, 26 Maret 2007). Pertanyaan yang harus dijawab adalah, kenapa hal-hal seperti ini terus-menerus muncul? Dalam pembukaan UUD 1945, sudah dinyatakan bahwa pendirian dan keberlangsungan Republik Indonesia didasarkan pada Pancasila, di mana nilai-nilai religiusitas, demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, kesatuan, pluralitas, dan keadilan sosial merupakan tiang panyanggah yang menjadi pondasi Pancasila sebagai sebuah keutamaan (virtue). Karena itu UUD 1945 sebagai Konstitusi, dengan dasar keutamaan Pancasila, membuat jarak setiap individu dengan Konstitusi adalah bersifat sama, tidak ada satu melampaui yang lain. Karena itu, maka setiap peraturan yang dibuat, yang lebih rendah dari konstitusi (UU, PP, Keppres, Perda, dll) harus tunduk pada pokok dasar Konstitusi, yakni kesamaan jarak antar individu ke titik Konstitusi. Apa artinya? Artinya, Konstitusi
menempatkan kepentingan semua individu (dalam arti publik) di atas kepentingan satu atau sekelompok individu. Nilai-nilai dan normativitas yang dibentuk oleh Konstitusi adalah nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat publik, karena itu nilai-nilai yang bersifat privat tidak boleh dibawa untuk menjadi ukuran bagi
Identitas agama adalah privat, karena itu bersifat seragam, sementara dalam publik banyak terdapat identitas-identitas agama, lalu dalam menjaga kepentingan publik maka keragaman identitas privat ini tidak boleh ditundukkan di bawah satu identitas privat saja, karena akan meniadakan yang lain.
seluruh publik. Dalam hal ini agama dan kayakinan adalah nilai yang bersifat privat (demikian juga mis: kesukuan, kekerabatan, dan etnisitas) nilai utamanya adalah hubungan antara individu dan penciptanya. Dalam publik terdapat banyak keyakinan dan agama yang berbeda-beda, yang satu belum tentu diterima oleh
yang lain. Artinya publik harus mengayomi yang privat karena keragamannya, bukan yang privat (seragam) mengayomi yang publik (beragam). Identitas agama adalah privat, karena itu bersifat seragam, sementara dalam publik banyak terdapat identitasidentitas agama, lalu dalam menjaga kepentingan publik maka keragaman identitas privat ini tidak boleh ditundukkan di bawah satu identitas privat saja, karena akan meniadakan yang lain. Kepentingan publik dijaga dengan identitas yang bersifat publik (kebangsaan, demokrasi, keadilan, kemanusiaan) karena berkesesuaian dengan semua yang bersifat privat. Kepentingan publik ini diikat oleh Konstitusi, yang membangun jarak yang sama dari setiap individu maupun identitas privat, kepada Konstitusi. Namun persoalannya, adalah, peluang-peluang untuk yang privat terhadap yang publik selalu dibuka lebar, bukannya ditutup atau tidak diperbolehkan. Sekalipun itu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan aturan-aturan Konstitusi, dan bertentangan dengan asas lex superiori derogat lex inferiori, atau aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh mengalahkan aturan hukum yang lebih tinggi. Dalam hal ini maka Pancasila dan Konstitusi sebagai aturan normatif tertinggi, yang mengatasi aturan normatif lainnya. Seharusnya aturan-aturan kebijakan publik yang bertentangan dengan dasar hukum publik tertinggi yakni Pancasila dan UUD 1945 dicabut dan diganti dengan aturan hukum yang berkesesuaian dan Pancasila dan UUD 1945, karena sampai hari ini Republik Indonesia masih menempatkannya sebagai dasar aturan hukum tertinggi.
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
7
Menyikapi Formalisasi Agama dalam Kebijakan Publik
Menuju Keberagamaan dalam Keberagaman
P
ERAIHAN suara signifikan partai-partai berbasiskan agama (Islam) dalam pemilu telah mengubah konfigurasi politik nasional dan mempengaruhi arah kebijakan. Tidak lama setelah menduduki kursi legislatif, kader-kader partai agama, terutama di daerah-daerah, mengupayakan formalisasi syariah (aturan agama) ke dalam peraturan perundangan. Perdaperda syariah yang telah diberlakukan di pelbagai daerah sangat diskriminatif dan melanggar prinsip kebebasan beragama dan mengorbankan pemeluk agama dan penganut kepercayaan lainnya. Aspirasi fundamentalis semacam ini ini tentu saja menggelisahkan setiap warga negara yang menghendaki ketentraman hidup bersama dalam Republik. Belum selesai kontroversi perda syariah, muncul aspirasi fundamentalistik sejenis dari DPRD dan Pemerintah Kabupaten Manokwari, Provinsi Irian Jaya Barat. Para pemimpin lokal di wilayah Indonesia timur itu telah menggodok dan tengah memfinalisasi rancangan peraturan daerah (raperda) pembinaan mental dan spiritual berbasis Injil. Raperda tersebut berisikan aturan-aturan yang mengekang kebebasan beragama dan sangat diskriminatif. Pasal-pasal dalam raperda itu antara lain berisi pelarangan memakai busana muslimah (jilbab) di tempat umum dan perijinan ketat untuk tempat ibadah dan bahkan pelarangan membangun masjid. Kemunculan Raperda Manokwari dan perda-perda syariah dilandasi oleh absurditas yang sama yang melihat perlunya penegasan primordialisme berdasar agama yang dianut mayoritas penduduk lewat aturan hukum. Padahal, yang semestinya perlu diatur adalah jaminan perlindungan hukum bagi kelompok agama dan keperca-
yaan minoritas. Jadi, Perda Syariah dan Raperda Injil jelas merupakan wujud artikulasi politik fundamentalis berdasarkan semangat primordial. Lalu, bagaimanakah argumentasi hukum yang dapat digunakan oleh warga negara yang baik untuk menghadang wujud fundamentalisme ber-
landaskan primordialisme agama tersebut? Setiap juris pasti paham mengenai doktrin hukum Hans Kelsen, atau yang lebih dikenal dengan teori jenjang hukum (stufentheorie). Doktrin itu menjelaskan bahwa normanorma hukum tersusun berjenjangjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 1 (12) Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Pasal 2 Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara.
(1)
(1)
(1)
(2)
Pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Pasal 6 Materi Muatan Peraturan Perandang-undangan mengandung asas: a. Pengayoman; b. Kemanusian; c. Kebangsaan; d. Kekeluargaan; e. Kenusantaraan; f. Bhinneka tunggal ika; g. Keadilan; h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau. j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Pasal 7 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf (e) meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Pasal 12 Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
8
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Demikian seterusnya berlanjut sampai pada suatu norma yang paling tinggi dalam hirarki tata norma dan merupakan gantungan bagi norma-norma hukum lain di bawahnya (Maria Farida Indrati Soeprapto: 2006). Berdasarkan pemahaman tersebut, Pancasila dan UUD 1945 merupakan norma hukum dasar (Grundnorm) dan aturan hukum dasar (Staatsgrundgesetz) yang
kedudukannya di puncak tata hukum Indonesia. Dengan demikian, pelbagai peraturan perundang-undangan di jenjang hukum yang lebih bawah harus berkesesuaian dengan Pancasila dan UUD 1945. Prinsip-prinsip dalam pembukaan UUD 1945 kemudian juga diatur dalam UU No. 10/2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 6 Undang-undang tersebut memuat asas-asas yang harus dikandung suatu materi muatan peraturan perundang-undangan, yaitu:
pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Dengan demikian, berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan UU No.10/2004, maka Perda-perda bernuansa Syariah mesti dicabut dan proses penggodokan Raperda Manokwari harus dihentikan!
Menjawab Problem Fundamentalisme, Memaknai Kembali Sekularisme
M
ESKI Reformasi telah berhasil melumpuhkan kekuatan rezim otoriter yang dipupuk dengan ancaman dan kekerasan, tabu sekularisme masih mengendap di bawah sadar budaya politik Indonesia. Saluran politik yang telah dibebaskan dari sumbatnya dan ajakan luas untuk berpartisipasi aktif ternyata belum benar-benar mampu menghadirkan rasionalitas dan humanitas dalam perpolitikan di Indonesia. Jumlah suara signifikan yang diperoleh Parpol-parpol berbasiskan agama (Islam) bahkan diperoleh melalui penebaran sentimen sektarian lewat kampanye Pemilu. Hal tersebut memang efektif, namun dalam kenyataannya problem kenegaraan dan kebangsaan kita sebegitu pelik dan luas sehingga solusi nya tak selalu bisa kita temukan dalam dogma-dogma agama. Penyelesaian masalah kemiskinan, kelaparan, pendidikan, pengangguran, kerusakan lingkungan, dan sejumlah besar masalah kontemporer lainnya niscaya tak dapat kita temukan dalam manual dari abad lampau. Permasalahan baru justru akan timbul disebabkan oleh politisasi agama. Di Indonesia, suatu ideal semacam sekularisme menjadi suatu signifier yang telah diberi pemaknaan me-
nyeleweng dengan cara-cara represif sehingga membuat orang takut bersentuhan dan bahkan lebih jauh lagi, merasa ngeri bergumul dengan ide itu. Sekularisme dimaknai sebagai ajaran anti agama dan kaum sekuler digambarkan sebagai kaum dekaden yang mempromosikan kehidupan bebas tanpa tanggung jawab. Sekian lama, sekularisme adalah salah satu tabu diantara sekian banyak lain nya yang tak mendapat tempat dalam ruang diskursif. Pentabuan semacam itu adalah suatu bentuk manipulasi ideologi yang telah digunakan oleh rezim otoriter Orde Baru untuk membelenggu rasionalitas politik di Indonesia. Padahal, dalam pandangan sekularistik, kondisi kebebasan beragama dianggap perlu untuk diwujudkan. Oleh karenanya, negara harus mampu mengambil jarak dan tidak ikut campur tangan dalam urusan-urusan mengenai agama. Dalam negara sekular, sudah semestinya jika tidak ada pengistimewaan terhadap agama dan pemeluk agama tertentu, baik mayoritas maupun minoritas, karena negara harus mengambil posisi netral dan tidak boleh memihak. Netralitas negara juga berlaku dan termasuk dalam hal pengakuan dan jaminan kebebasan bagi non penganut agama. Selain itu,
yang termasuk prinsip pokok sekularisme adalah penegasan mengenai wilayah politik yang tertutup bagi segala bentuk kontestasi dan pertarungan kepentingan atas dasar agama. Dengan demikian, agama ditempatkan dalam ruang privat dan ruang publik hanya terbuka bagi upaya pencapaian kekuasaan lewat argumentasi logis dan rasional. Gejala irasionalitas politik Indonesia terlihat jelas dalam fenomena kemunculan Perda-perda syariah dan Raperda Manokwari. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan pada saatnya nanti sangat mungkin dapat membahayakan keutuhan Republik. Sistem demokrasi yang kita pilih dan menjadi pengharapan kita untuk terwujudnya suatu tata sosial politik yang lebih baik, nyatanya lemah ketika harus menghadapi serangan fundamentalisme. Prosedur demokratis bahkan telah dibajak. Oleh karena itu, jawaban terhadap persoalan-persoalan kebangsaan dan kenegaraan tidak bisa hanya mengandalkan demokrasi prosedural semata. Sektarianisme, fundamentalisme dan semangat primordialisme harus dihadapkan dengan substansi demokrasi, yaitu rasionalitas dan humanitas (baca: sekularisme).