ANALISIS MINGGUAN
PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI
Vol.1 No.3 Minggu II - April 2007
HAM dan Pemberantasan Terorisme
Gelombang Terorisme dan Rangka Bangun Demokrasi
B
ELAKANGAN ini ancaman peledakan bom dialami dua buah kampus. Pertama di Universitas Indonesia (UI), kedua, di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Dalam kasus pertama, pihak kampus UI menerima telepon gelap yang menyatakan bahwa ada bom yang siap diledakkan di dalam kampus UI. Setelah itu ancaman bom terjadi terhadap UKSW, berdasarkan keterangan tersangka tindak pidana terorisme yang baru ditangkap dan bukti-bukti yang ditemukan polisi dalam sebuah penggerebakan rumah yang diduga merupakan tempat kegiatan terorisme di Muntilan. Di sisi yang lain, Mabes Polri menemukan kemungkinan baru mengenai terjadinya perubahan struktur dalam organisasi Jama'ah Islamiyah (JI). Informasi yang didapatkan Mabes Polri ini berdasarkan keterangan tersangka pelaku tindak pidana terorisme beberapa waktu lalu. Struktur tersebut menjadi lebih sederhana, namun memiliki sayap militer yang dipimpin Abu Dujana, dengan tugas dan fungsi mengumpulkan senjata, amunisi dan bahan peledak. Mengenai konstruksi gagasannya, terorisme secara dominan dan resmi didefinisikan dalam kerangka yang one direction dalam pengertian bahwa pelaku yang ditunjuk bersifat tunggal, yakni semata-mata non-state actors sehingga dengan demikian tindakan terorisme dalam pengertian ini senantia... bersambung ke halaman 2
Definisi Umum Mengenai Terorisme Secara Normatif DEFINISI TERORISME
RUJUKAN
"Segala jenis tindak kiminal dilakukan untuk melawan sebuah negara yang dimaksudkan untuk menciptakan sebuah keadaan teror dalam mental orang atau pun kelompok tertentu atau pun publik secara umum"
League of Nations Convention (1937)
"Tindakan-tidakan yang ditujukan pada penghancuran hak-hak asasi manusia, kebebasan dasar dan demokrasi, mengancam integritas teritorial dan keamanan suatu negara, mendestabilisasikan legitimasi pemerintahan konstitusional, perusakan terhadap pluralisme sosial masyarakat dan mempengaruhi kondisi pembangunan ekonomi dan sosial suatu negara"
United Nations General Assembly (Resolusi No.50/186, 22 Desember 1995).
"Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda oang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau faslitas internasional dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat tahun) dan paling lama 20 (duapuluh) tahun.
Pasal 6 Perppu No.1 Tahun 2002 (Kemudian ditetapkan menjadi UU No.15/2003)
S
EJAK gedung WTC di Amerika Serikat dihantam pesawat oleh kelompok garis keras, dunia menyatakan perang terhadap aksi terorisme. termasuk pula Indonesia, telah menyatakan perang terhadap terorisme ketika dibentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perang terhadap terorisme ini tampak semakin serius ketika POLRI membentuk detasemen khusus (Densus) 88 Anti Teror pada tanggal 26 Agustus 2004. Densus ini mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat, baik itu dari pelatihan anggota pasukannya — yang dilatih CIA, FBI, dan US Secret Service — hingga pendanaannya melalui bagian Diplomacy Security Service Department Amerika Serikat. Keseriusan penanganan terorisme tersebut tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa teror yang terjadi sejak reformasi. Bom meledak tanpa terduga di beberapa wilayah, korbannya juga tak terduga sehingga setiap orang kapan saja dan di mana saja, dapat menjadi korban aksi kekerasan tersebut. Dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, aksi terorisme yang terjadi selama ini telah mengakibatkan terampas dan terancam-nya hak hidup (Pasal 9 UU No.39/1999 tentang HAM), hak atas keutuhan jasmani (Pasal 21 UU No.39/ 1999 tentang HAM), hak bebas dari rasa takut (Pasal 30 UU No.39/1999 tentang ... bersambung ke halaman 6
2
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
sa dilihat dalam kegiatan yang menurut istilah Johan Galtung sebagai terrorism from below. Definsi di atas jelas terlihat bahwa dalam pemahaman yang dominan dan resmi, terorisme dilihat sematamata sebagai tindakan yang pada tahap akhir ditujukan untuk menghancurkan negara, artinya ia disamakan dengan sejenis politik subversi. Dengan kata lain pendefinisian ini lebih ditujukan untuk melindungi kepentingan dan kekuasaan resmi negara. Aksi terorisme yang banyak terjadi di Indonesia terbukti merupakan suatu aktivitas yang bersifat jaringan internasional. Setidaknya sejumlah pelaku, seperti Dr. Ashari dan Noordin M. Top, merupakan warganegara Malaysia. Juga sejumlah pusat pelatihan militer di beberapa negara (Afghanistan, Libya, Filipina, Pakistan, dll) yang menjadi tempat latihan sejumlah pelaku aksi terorisme di Indonesia yang saat ini ditahan. Sejumlah tempat di Indonesia juga diduga kuat sebagai pusat pelatihan dan perekrutan “pasukan” yang melakukan sejumlah aksi teror peledakan bom. Aksi terorisme di tingkat internasional, dan juga di Indonesia, menjadi suatu tantangan yang harus dijawab oleh tata-kerja demokrasi yang sedang dibangun. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia menjawab dengan preemptive action, atau suatu tindakan pencegahan aktif sebelum sesuatu terjadi. Dampaknya adalah perang di Afghanistan dan Irak, yang menelan ratusan ribu korban jiwa. Tindakan ini kemudian melahirkan apa yang kemudian disebutkan Johan Galtung sebagai stateterrorism. Bentuk tindakan preemptive memang memiliki potensi besar untuk melahirkan sejumlah pelanggaran kemanusiaan. Akurasi laporan (baik intelijen maupun umum) menjadi taruhan pokok dalam melakukan tindakan preemptive. Tindakan preemptive dalam tingkat internasional harus berurusan dengan kedaulatan suatu negara-bangsa, sebagaimana tindakan preemptive dalam tingkat
Pelaku terorisme secara dominan dan resmi didefinisikan semata-mata sebagai non-state actors sehingga tindakan terorisme dalam pengertian ini senantiasa dilihat dalam kegiatan yang menurut istilah Johan Galtung sebagai terrorism from below. nasional harus berurusan dengan kedaulatan setiap individu warganegara. Kemampuan untuk mengatasi benturan-benturan inilah yang harus mampu dilakukan oleh aparat-aparat hukum di tingkat nasional.
Terorisme di Indonesia Menurut laporan International Crisis Group (ICG),1 sampai tahun 2003 anggota jaringan JI Asia Tenggara sudah ditangkap sebanyak 210 orang —hampir 90 di Indonesia, 90 di Malaysia dan 30 di Singapura—namun jaringan tersebut masih tetap berbahaya dan terus mengkonsolidasikan diri mereka. Dalam laporan ICG 24 Januari 2007,2 disebutkan bahwa dae-
rah Tanah Runtuh, dekat kota Poso, merupakan salah satu wilayah tempat perekrutan dan pelatihan aktivis JI, yang kemudian berujung pada penyerbuan Polri dengan berdasarkan laporan bahwa tempat tersebut diduga kuat merupakan salah satu pusat aktivitas terorisme. Laporan terakhir tersebut merupakan konfirmasi terhadap laporan yang dibuat empat tahun sebelumnya, mengenai bahaya ancaman JI yang akan terus berkembang dan melakukan konsolidasi. Terorisme di Indonesia memang menjadi persoalan serius dalam tujuh tahun belakangan ini. Telepon gelap yang mengklaim adanya bom di suatu tempat tertentu akan menyebabkan kegemparan dan ketakutan. Sepuluh tahun yang lalu ancaman semacam itu tentu akan ditanggapi sambil lalu, namun sekarang dengan memori yang tertanam oleh ratusan berita pengeboman, maka berita seperti itu tidak dapat lagi dijadikan isu lelucon, melainkan sesuatu yang harus diangap serius. Ketakutan yang dibangun telah menjadi bentuk teror sendiri, sebagai dampak yang memang menjadi salah satu tujuan aksi terorisme, yakni menyisakan rasa takut. Bagaimanapun juga bentuk aktivitas semacam ini harus ditanggapi pemerintah dengan sangat serius, namun dengan tidak mengabaikan prinsip-prinsip hak dan demokrasi. Memang benturan dilema terpampang di sini, antara tetap menjaga kebebasan sipil, sekaligus aktif menghadapi ancaman terorisme. Aksi terorisme memang suatu yang harus dicegah, bukan ditunggu sampai terjadi baru kemudian direspon. Yang terpenting adalah menyiapkan seperangkat aturan dan aparat yang memiliki kemampuan untuk bisa keluar dari dilema antara aktif mencegah terorisme dan menghormati kebebasan sipil dan hak-hak asasi manusia. 1. International Crisis Group, Jemaah Islamiyah in South East Asia: Damaged But Still Dangerous. ICG Asia Report No.63, 26 August 2003. 2. International Crisis Group, Jihadism in Indonesia: Poso On the Edge. ICG Asia Report No.127, 24 January 2007.
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
3
Jemaah Islamiyah Membaca Ulang Motif dan Modus Terorisme di Indonesia
P
EMBURUAN anggota kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) langsung dilakukan secara intensif di Semarang, Jepara, Yogyakarta, dan Surakarta, segera setelah polisi berhasil mengorek informasi dari pelaku-pelaku yang ditangkap karena keterlibatan mereka dalam pelbagai aksi terorisme di Poso. Dari pemburuan di pelbagai target lokasi itu, polisi kemudian menangkap sejumlah pelaku aksi terorisme. Mujadid, pelaku Bom Tentena, ditangkap di Temanggung. Sarwo Edi Nugroho dan Agus Suryanto disergap ketika sedang menjemput pasokan senjata dari Sutarjo, Amir, dan Sikas di Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta. Dalam penyergapan, Agus Suryanto tewas ditembak polisi yang mencegahnya melarikan diri. Sarwo Edi Nugroho yang telah dilumpuhkan dan tiga orang target operasi lainnya, berhasil ditangkap. Di Surabaya, polisi juga menangkap Kholis dan Doni. Selain mencokok pelaku-pelaku tindak terorisme tersebut, polisi juga menemukan dan menyita sejumlah senjata dan bahan peledak. Dari rumah Sikas di Sukoharjo, polisi mengamankan 2.009 butir peluru, 20 kilogram TNT, 625 kilogram potasium klorat, 200 detonator aktif, satu senjata laras panjang rakitan, satu revolver rakitan, sebuah senjata api AR organik, dan 16 buah bom lontar (Tempo, 1 April 2007). Dari rumah Kholis dan Doni di Surabaya, polisi mendapati sejumlah besar bahan peledak yang berdasarkan keterangan polisi dapat dipakai untuk membuat bom berkekuatan dua kali lipat bom Bali, dan bahkan ada yang telah siap diledakkan (Tempo, 15 April 2007). Philip C. Wilcox. Jr., mantan diplomat dan koordinator lembaga kontra-terorisme di Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa upaya penanganan terorisme adalah pekerjaan yang sulit karena terdapat banyak
hambatan serius. Karakteristik jaringan sel-sel di dalam kelompok teroris yang longgar dan berbasis ad hoc, menambah beban kesulitan aparat intelijen dalam mengidentifikasi, memantau, apalagi untuk melakukan penetrasi ke dalam kelompok-kelompok teroris (Striking Terror: America’s New War, 2002). Merujuk pendapat tersebut, keberhasilan Kepolisian Republik Indonesia melacak jaringan kelompok terorisme dan menangkapi sejumlah anggota JI di pelbagai kota di pulau Jawa belakangan ini, sudah semestinya diapresiasi sebagai suatu prestasi luar biasa. Kita patut memberi salut atas kinerja baik kepolisian dalam menangani permasalahan yang tergolong sulit, yaitu menghadang terorisme.
Mencari Motif Daniel Pipes, kolumnis New York Post, melontarkan pertanyaan mendasar dalam judul artikelnya “What Do Islamist Terrorists Want?” Jawaban terhadap pertanyaan itu, menurutnya, bisa kita lihat dalam tuntutantuntutan yang diajukan oleh kelompok-kelompok teroris. Pembajakan tiga pesawat di Swiss pada September 1970 yang dilakukan oleh Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP), misalnya, memiliki motif yang sekaligus menjadi tuntutan mereka: pembebasan para anggota kelompok teroris itu dari penjara-penjara di Inggris, Swiss, dan Jerman Barat. Namun demikian, gambaran di atas adalah model terorisme satu generasi lampau. Belakangan, kita tidak lagi dapat secara mudah membaca motif pelbagai aksi terorisme yang terjadi di segala penjuru dunia. Serangan mendadak diarahkan pada pelbagai target, pesawat dibajak dan ditabrakkan ke gedung bertingkat, hotel dan tempat hiburan luluh lantak akibat ledakan bom, sejumlah besar ma-
nusia menjadi korban. Aksi-aksi terorisme tersebut, yang terjadi dewasa ini, rupanya tidak selalu diikuti oleh sejumlah tuntutan konkret yang pemenuhannya dibebankan pada individu, kelompok, atau negara tertentu. Analis masalah terorisme kerap mengaitkan motif pelaku teror dengan ideologi jihad anti-Amerika (antiBarat). Akan tetapi, rujukan semacam itu terbukti tidak selalu valid, apalagi jika ideologi anti-Amerika dipaksakan sebagai satu-satunya motif pelaku aksiaksi teror, khususnya yang terjadi di Indonesia. Kenyataannya, motif itu juga sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan di internal organisasi. Penebalan perbedaan ideologis di antara tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok teroris bisa menimbulkan friksi yang berujung pada perbedaan pemahaman mengenai orientasi, strategi, dan taktik. Friksi yang di kalangan mereka, sebenarnya bukan fenomena baru. Sejarah pembentukan JI juga dilatari krisis internal organisasi Negara Islam Indonesia (NII). Faksi pimpinan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir kemudian memutuskan untuk keluar dari NII dan membentuk organisasi baru yakni JI. Keberadaan organisasi ini kemudian dikaitkan dengan Al-Qaida, Usama bin Ladin, dan Taliban. Resolusi PBB No.1267 juga mencantumkan JI dan nama-nama pengurusnya, sebagai organisasi dan individu-individu yang patut dicurigai sebagai teroris. Keterlibatan JI dalam pelbagai tindak terorisme di Indonesia dikuatkan oleh kesaksian anggotaanggota kelompok itu yang ditangkap sebagai para pelaku teror. Perkembangan paling akhir mengenai organisasi JI terungkap setelah pemburuan terorisme belakangan ini. Selain perubahan struktur organisasi, ada fakta mengenai selisih ideologis di antara anggota-anggota kelompok ini. Dalam satu wawancara setelah
4
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
penangkapan, Edi Nugroho mengungkap perbedaan pemahamannya dengan Noor Din M. Top mengenai tafsir jihad. Noor Din M. Top mengartikan jihad sebagai usaha memerangi Amerika beserta kepentingan, aset, warga dan sekutu-sekutunya di mana pun berada. Sedangkan menurut Sarwo Edi, “Pemahaman saya soal jihad berbeda dengan beliau” (Tempo, 15 April 2007). Perbedaan pemahaman ideologis semacam ini tentu saja bukan suatu hal yang lumrah terjadi dalam tipikal organisasi terorisme bawah tanah yang sangat ketat norma. Perubahan taktik dan ideologi perjuangan JI sebenarnya dapat dirunut dari sejak keputusan melibatkan diri dalam konflik di Maluku dan Poso. Di dua daerah konflik itu, JI berhimpun dengan kelompok-kelompok mujahidin lainnya dalam satu kelompok yang lebih dikenal sebagai Laskar Mujahidin. Selain kelompok mereka itu, terdapat juga satu kelompok Laskar Jihad yang dipimpin oleh Jafar Umar Thalib. Sejak di Maluku dan Poso, sebagian anggota JI lebih fokus pada konflik di daerah dan mengesampingkan serangan ke target-target Amerika/Barat. Pimpinan-pimpinan tertinggi JI dan organisasi-organisasi mujahidin lainnya yakin bahwa sebagian dari Maluku dan Poso, namun khususnya Poso, memiliki potensi untuk dijadikan qoidah aminah, yaitu sebuah daerah terlindung dimana penduduknya dapat hidup berdasarkan prinsip Islam dan menerapkan Syariat Islam. Dalam pandangan mereka, basis semacam itu kemudian dapat dijadikan benteng untuk sebuah negara Islam. Karena itu, maka Maluku dan Poso terus menjadi fokus bagi upaya dakwah dan perekrutan anggota baru (International Crisis Group, Asia Report No.103, 13 Oktober 2005). Pelibatan JI dalam konflik-konflik lokal di Maluku dan Poso telah memunculkan inspirasi bagi kelompok itu untuk mengubah motif mereka yang lebih didasarkan pada ideologi antiAmerika, kembali menjadi motif untuk melanjutkan perjuangan mewujudkan
Negara Islam (Daulah Islamiyah) di Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, selain menjalankan organisasi bawah tanah, JI rupanya merasa perlu untuk memakai saluran organisasi resmi. Hal ini menjelaskan aktifitas Abu Bakar Ba'asyir sebagai pimpinan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Patut juga disimak Pendapat Agus Maftuh Abegebriel yang menyatakan, “Tidak begitu salah jika disimpulkan bahwa JI dan MM adalah Muhtalifah al-Asma' wa al-Lughat Muttahidah alAsykal wa al-Aghrad” yang maksudnya “berbeda dalam nama dan bahasa, tetapi sama dalam bentuk dan tujuan” (Lihat Negara Tuhan: The Thematic Encyclopaedia, 2004).
gambaran mengenai perubahan modus dalam aksi terorisme di Indonesia. Target aksi terorisme menjadi personal, yaitu individu-individu yang dianggap menghalangi pencapaian tujuan mereka. Di dalam dokumen milik teroris tercatat dua nama dua tokoh di Jawa Tengah yang dijadikan target pembunuhan para tersangka teroris, yaitu Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) M. Ismail dan mantan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Prof. Dr. John A Titaley. Kemungkinan kedua nama itu menjadi target karena kelompok teroris hendak melakukan pembalasan pada M. Ismail memberikan tuntutan berat atas persidangan pelaku Bom Bali II di Semarang, dan pada John Titaley karena aktivitasnya dalam advokasi internasional kasus kerusuhan agama di Ambon.
Ujian Demokrasi
Modus Baru Sejumlah buku notes yang salah satunya berisi gambar peta ditemukan polisi saat penggeledahan rumah kontrakan yang didiami Sarwo Edi alias Suparjo. Peta tersebut menggambarkan beberapa lokasi di kawasan Jakarta, Semarang, dan Surabaya (Kompas, 25 Maret 2007). “Saya diperintah untuk melakukan survei dan sudah dilaksanakan. Tapi (peledakan) itu gagal karena keburu seperti ini (ditangkap)”, kata Sarwo Edi dalam rekaman video (Suara Merdeka, 4 April 2007). Pernyataan Sarwo Edi selanjutnya dan dari bukti-bukti berupa coretan denah lokasi target serangan, mengungkap rencana aksi kekerasan yang akan dijalankan kelompok teroris ini pada target-target baru, yaitu aparat penegak hukum (jaksa dan hakim) serta lingkungan kampus. Informasi dan bukti-bukti yang didapatkan belakangan, memberikan
Betapapun melegakan, kisah sukses pemburuan dan penangkapan pelakupelaku aksi terorisme sekaligus memaksa kita semua untuk menerima fakta pahit mengenai keberadaan dan aktivitas kelompok terorisme, yang senantiasa merisaukan dan mengancam kedamaian. Meskipun kita puas dan bangga dengan kinerja aparat kepolisian, namun demikian, tetap saja sulit membayangkan kehidupan yang benar-benar bebas dari ancaman terorisme. Kita marah! Namun demikian, kita telah bersepakat dan berpendirian untuk menegakkan demokrasi. Di masa teror ini, demokrasi kita sedang diuji. Untuk memastikan agar demokrasi tidak jatuh ke dalam krisis, kita perlu menegakkan prinsip-prinsip mendasar demokrasi; perlindungan hak asasi manusia dan rule of law. Oleh karena itu, perlindungan dan pemenuhan hakhak asasi manusia tidak boleh dikesampingkan demi alasan apapun, termasuk dalam rangka pemberantasan terorisme. Teroris harus diadili dan dipidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku karena terorisme adalah kejahatan yang serius, dan teroris adalah pelaku kejahatan berat.
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
5
Terorisme dan Ketidakadilan
D
ALAM pandangan Johan Galtung, ada makna atau akar kekerasan dalam setiap tindakan terorisme dan kaitannya dengan kekuasaan. Yakni bahwa dalam banyak kasus bagi sejumlah kelompok, terorisme sebagai jalan kekerasan merupakan satu-satunya bahasa yang bisa diartikulasikan untuk mengekspresikan situasi-situasi ketidakadilan yang dialami. Di sini alasan-alasan yang melatarbelakangi terorisme — meski tidak dapat diampuni dan dijadikan dasar legitimasi — namun harus dipahami secara lebih mendalam dan memadai. Lainnya, yakni Michael Tilger berpendapat bahwa terorisme memiliki dua bentuk dasar yakni: pertama adalah state-sponsored terrorism (kegiatan terorisme yang didukung oleh negara), yang misalnya bisa dilihat pada kelompok paramiliter di Kolombia dan berbagai negara di Amerika Latin yang disponsori negara untuk membunuh golongan kiri, serta aktivis serikat buruh. Yang kedua adalah insurgence-group terrorism (terorisme oleh kelompok pemberontak) yang biasanya dimulai sebagai reaksi terhadap —dan dipicu oleh—sebabsebab ketidakadilan sosial dan politik dalam masyarakat.1 Selain pandangan Johan Galtung dan Michael Tilger, dalam konteks Indonesia kita juga dapat melihat bahwa misalnya pengerasan watak ideologis dalam kelompok-kelompok “garis keras” yang menggunakan jalan kekerasan dalam politik, juga harus dilihat sebagai akibat dan reaksi atas pengalaman represi dalam politik keamanan dan intelijen masa Orde Baru. Sehingga kemunculan mereka di saat-saat belakangan ini harus pula dilihat sebagai semacam “balasan” dan kelanjutan atas politik subversi
Orde Baru tersebut,2 yang karena penanganannya belum optimal menjadi semakin luas dan berdiri pada sejumlah alasan-alasan baru dan jaringan kerja yang lebih luas.
Tindakan teror yang dilakukan negara terkait dengan tindakan teror lainnya: dalam banyak hal terorisme muncul sebagai jalan balasan terhadap state terrorism itu sendiri.
Di titik ini pada akhirnya kita melihat bahwa berbeda dengan pandangan dominan dan resmi, secara mendasar pada praktiknya pandangan ini melihat ada keterkaitan yang menghubungkan antara satu tindakan teror yang dilakukan oleh negara dengan tindakan teror yang lainnya: yakni bahwa dalam banyak hal terorisme muncul sebagai jalan balasan terhadap state terrorism itu sendiri. Di titik ini keduanya dihubungkan oleh sejumlah entitas yang sama yakni bahwa: “Terrorism (carried out be men and women without uniform) and state terrorism (carried out by men and women in uniform, a difference of little importance to the victims) have the following characteristic in common: they use violence for political ends; they harm people not directly involved in struggle; they are designed to spread panic/terror to bring about capitulation; they have an element of surprise in the choice of
1. Michael Tilger, “Terrorism and Human Rights” dalam Monthly Review, November 2001, Vol. 53. No.6. 2. International Crisis Group, Al-Qaeda in Southeast Asia: The Case of the “Ngruki Network” in Indonesia. ICG Report, 8 August 2002. 3. Johan Galtung, To End Terrorism, End State Terrorism (6 September 2002) diambil dari situs: http://www. transcend.org.
who, where and when; they make perpetrators unavailable for retaliation or incapacitation.”3 Dalam hal ini penting juga untuk memahami terorisme dalam kerangka “proses daur ulang kekerasan”. Apa yang dilakukan oleh non-state actors (aktor non-negara) terkadang dan dalam banyak kasus bisa dipahami sebagai semacam “direct violence” (aksi kekerasan secara langsung) yang digunakan sebagai jalan untuk menghadapi “structural violence” (ketidakadilan, hubungan yang timpang dan penghisapan ekonomi, serta dominasi kebudayaan). Di titik inilah terdapat landasan ideologis bahwa banyak tindakan teror justru mendapatkan dukungan dan para pelaku, serta pemimpinnya dipuja dan dikagumi oleh banyak pengikut. Perjalanan praktik kekerasan dalam sejarah panjang umat manusia memperlihatkan bahwa sejumlah gerakan teror yang from below (dari bawah) banyak dimulai dan diinspirasikan oleh kegagalan gerakangerakan sosial yang mencoba merobohkan segala bentuk kekerasan struktural. Inilah titik krusial untuk memahami keberadaan tindakan kejahatan tersebut.
Analisis Mingguan ini diterbitkan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Redaksi: Abdul Qodir Agil, Daniel Hutagalung, Elisabet R. Kuswijayanti, Fajrimei A. Gofar, Isfahani, Rachlan Nashidik, Robby Kurniawan, Robertus Robet, Ronny Agustinus Alamat: Jl. Sawo No.11, Menteng, Jakarta Pusat 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 www.p2d.org E-mail:
[email protected]
6
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
Sambungan dari halaman 1... HAM dan Pemberantasan Terorisme
HAM),dan telah hilangnya hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda (Pasal 29 No.39/1999 tentang HAM). Akibat terorisme tidak saja terjadi ancaman bagi hak sipil dan politik, tetapi juga hak ekonomi, sosial dan budaya. Misalnya, orang bisa kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan untuk menikmati hidup yang damai bersama keluarga, kehilangan tempat tinggal, penurunan standar kehidupan yang layak, bahkan terjadi pengungsian. Oleh karena itu, negara/pemerintah —sebagai duty holder terhadap hak asasi manusia—mesti dapat menjamin agar hak-hak tersebut terlindungi. Di sinilah salah satu alasan pembenar bagi pemberantasan aksi terorisme di Indonesia. Sebaliknya, jika negara gagal atau tidak mampu menangani ancaman terhadap hak-hak tersebut, negara dapat dikatakan sebagai pelanggar hak asasi manusia. Dengan demikian, menjadi pembenar pula aksi-aksi yang dilakukan aparat negara dalam pemberantasan terorisme. Misalnya, penangkapan, penggerebekan, penyitaan, pengumuman daftar pencarian orang (DPO) di media massa. Memang dalam aksi tersebut terkadang terjadi “kanibalisme hak asasi manusia”, misalnya perampasan kebebasan yang dimiliki tersangka, terjadi gangguan hak-hak privatnya, bahkan hak hidupnya bisa terampas seperti yang terjadi di Poso baru-baru ini, ketika tersangka melakukan perlawanan dengan senjata. Kanibalisme hak asasi manusia masih dapat dibenarkan jika tujuannya adalah untuk melindungi hak asasi manusia yang lainnya, sepanjang aksi aparat negara tersebut sesuai dengan prosedur standar yang berlaku. Namun, penanganan terorisme tidak dapat “memangsa” hak-hak fundamental —yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (nonderogable)—yang dimiliki tersangka
atau keluarganya, di antaranya: hak hidup, keutuhan jasmani, dan hak untuk tidak disiksa. Keluarga tersangka jangan sampai menjadi “korban antara” (proxy violence) dalam penanganan terorisme. Penangkapan atau penahanan terhadap istri atau keluarga tersangka tidaklah dibenarkan, apalagi mereka mengalami penyiksaan untuk memperoleh informasi darinya. Begitu pula jika terjadi salah tangkap. Tersangka juga tidak dibenarkan mengalami penangkapan yang sewenang-wenang, penyiksaan, menerima hukuman di luar proses hukum yang sah, maupun menerima hukuman yang tidak manusiawi—meskipun perbuatan mereka sangat tidak manusiawi. Perlindungan hak asasi dalam pemberantasan terorisme tidak saja
pada sebelum atau sesaat setelah terjadinya terorisme tersebut. Tetapi, berkaitan juga perlindungan hak asasi manusia pasca terjadinya aksi terorisme, terutama bagaimana negara/ pemerintah merestorasi hak-hak yang terlanggar tersebut, baik itu Hak Sipol maupun Hak Ekosob. Misalnya, bagaimana negara memulihkan rasa aman yang hilang, bagaimana negara memperlakukan para korban, baik itu memberikan kompensasi maupun rehabilitasi dalam bentuk lainnya. Di sini pulalah letak ujian negara dalam melindungi hak asasi manusia. Jangan sampai penanganan terorisme dilakukan hanya sekadar “proyek mercusuar” agar mendapat pujian dari negara lain, jangan sampai pula penanganan terorisme dijadikan proyek untuk semata mendapatkan dana.
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
7
Masalah Hukum Anti-Terorisme
A
KSI-AKSI terorisme yang terjadi di Indonesia telah menimbulkan akibat yang luar biasa bagi perkembangan sosial, politik, dan ekonomi bangsa, sehingga ia perlu diberantas. Pemberantasan terorisme ini diwujudkan melalui pembentukan Perppu No.1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pada tahun 2003, Perppu ini telah disetujui parlemen untuk ditingkatkan menjadi undang-undang melalui pengesahan UU No.15/2003. Meskipun berubah menjadi undang-undang, secara substansi Perppu tersebut tidak mengalami perubahan. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa Perppu No.1/2002 itulah yang menjadi landasan bagi pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia. Dilihat dari substansinya, sebenarnya Perppu tersebut masih dilingkupi beberapa permasalahan, baik itu dari segi legal-formal maupun dari perspektif hak asasi manusia. Dari segi legal-formal, Perppu ini mempunyai permasalahan berkaitan dengan perumusan delik tindak pidana terorisme itu sendiri. Dalam Perppu terdapat dua jenis delik, yaitu delik materiil (Pasal 6) maupun delik formiil (Pasal 7). Dilihat dari rumusannya, Perppu tidak menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan “suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas”, dan apa yang dimaksud dengan “obyek-obyek vital yang strategis”. Ketidakjelasan tersebut mengakibatkan apakah unsur delik sudah terpenuhi sangat tergantung pada interpretasi subyektif aparat penegaknya. Oleh karenanya rumusan tersebut menjadi sangat rentan terhadap penyalahgunaan demi melindungi kepentingan-kepentingan privat tertentu. Terutama berkaitan dengan unsur “obyek-obyek vital yang strategis”. Sementara itu delik formiilnya telah dirumuskan dengan mencantumkan unsur “bermaksud”. Unsur tersebut pada dasarnya tidak memerlukan
bukti material, tetapi sangat tergantung pula terjemahan aparat penegaknya. Pada gilirannya unsur tersebut dapat saja digunakan aparat untuk menangkap, menyadap, atau menahan, mengawasi bahkan menuduh seseorang sebagai teroris meskipun seseorang tersebut tidak melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Dengan demikian, rumusan tersebut telah memberikan kekuasaan kepada aparat penegak hukum untuk menerjemahkannya berdasarkan keyakinan semata meskipun menggunakan bukti-bukti yang sangat terbatas dan minim. Dilihat dari rumusannya, tindak pidana terorisme ini sangat longgar sehingga menjadi rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan-kesalah-
an dalam penerapannya. Berikutnya dapat menimbulkan ancaman bagi hak asasi manusia. Tindakan-tindakan yang berlebihan dapat juga mengakibatkan aparat penegaknya malah menciptakan teror dalam masyarakat ketika memberantas terorisme. Apalagi ketika tindakan hukum yang dilakukan terhadap seseorang — misalnya: penangkapan, penahanan, dsb — dapat dilakukan hanya berdasarkan laporan intelijen yang dianggap sebagai bukti permulaan yang cukup (Lihat: Pasal 26 Ayat (1) Perppu). Di sisi lain, yang dimaksud dengan “laporan intelijen” kerap diartikan secara sumir dan multi-interpretatif. Tindak pidana terorisme semakin luas pengertiannya ketika dalam
Beberapa Pasal dalam Perppu No.1/2002 Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 7 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup. Pasal 8 Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang: a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru; d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya
8
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
Perppu dirumuskan pula tindak pidana kealpaan terorisme. Pertanyaan penting yang patut diajukan adalah, apakah ada aksi terorisme yang tidak disengaja? Perumusan delik kealpaan ini telah mengakibatkan setiap tindak pidana biasa yang berdampak luas telah dijadikan sebagai bagian dari tindak pidana terorisme. Rumusan Pasal 8 Perppu dapat saja menjerat pilot pesawat Garuda yang gagal mendarat di Yogyakarta baru-baru ini sebagai bagian dari tindakan terorisme. Dilihat dari perspektif hak asasi manusia, Perppu ini tampak melegalkan terhadap pelanggaran pada sejumlah hak asasi manusia. Bahkan, termasuk hak-hak asasi manusia nonderogable. Misalnya hak atas hidup dan hak atas penyiksaan. Hal ini dapat dilihat pada rumusan Pasal 28 tentang penangkapan, dan pasal-pasal yang menerapkan hukuman mati. Selain itu, Perppu ini tampak murni ditujukan untuk melegalkan aksi-aksi dalam penanganan tindak pidana terorisme. Dalam Perppu tersebut tidak memuat sama sekali hakhak yang dimiliki tersangka atau terdakwa, apalagi hak-hak yang berkaitan dengan saksi maupun pihak-pihak yang menjadi korban aksi terorisme, misalnya pemulihan-pemulihan maupun kompensasi lainnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum pemberantasan tindak pidana terorisme Indonesia sangat jauh dari prinsip-prinsip hak asasi manusia. Yang terpenting adalah bagaimana keterbatasan aturan hukum ini dalam penggunaannya — terutama saat-saat ini — dapat dioptimalkan tanpa harus menciderai hak-hak dasar wargenegara, yang dijamin, dijaga dan dilindungi oleh konstitusi kita. Artinya aparat-aparat hukum dan intelijen di Indonesia harus memiliki kemampuan yang sangat baik, agar aturan hukum anti-terorisme ini mengena pada sasaran yang tepat.
e.
f. g. h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p. q. r.
(1) (2)
(3) (4)
tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru; dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara; karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak; dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan; dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan; dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan; melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang; dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut; dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan; dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan; melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n; memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan; di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan; di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan. Pasal 26 Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.
Pasal 28 Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.