ANALISIS KERAWANAN PANGAN Dl TINGKAT KECAMATAN KOTA BOGOR
ERNA LUCIASARI SOFlATl
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHlR DAN SUMBER INFORMAS1 Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Analisis Kerawanan Pangan di Tingkat Kecamatan Kota Bogor adalah karya saya dengan arahan dari kornisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, Februari 2009
Erna Luciasari Sofiafi A 552050065
ABSTRACT ERNA LUClASARl SOFIATI. Analysis of Food Insecurity at Sub District Level at Bogor. Under direction of YAYUK FARIDA BALlWATl and SIT1 MADANIJAH. Bogor city is one of the hinder lands of the capital city, Jakarta, whose population is always increasing and percentage of poor people in 2006 was 23 percent. However, until now, the classification of food insecurity level in every sub district to anticipate food insecurity condition is not available yet. Food insecurity in a region is the reflection of non secured food condition shown by household's incapability to access food, both physically and economically. The components to assess food insecurity in urban area are food access and health and nutrition access. The indicators of food access are percentage of poor family and percentage of household which able to access electricity, while the indicators of health and nutrition access are Live Expectation (LE), prevalence of under five years old children suffered from malnutrition (BWIU), food consumption level, population-doctor ratio, percentage of population able to obtain clean water, and percentage of children having immunization. Moreover, the basic price of rice is also analyzed. The objectives of this research were to study insecurity at sub district level in Bogor City based on the data from related institutions and to know the program conducted by the government of Bogor City to overcome problem related to food insecurity. The method used to determine food insecurity is by calculating the value of each insecurity indicator (World Food Program 2003). Then, the value was ranked based on total value of each insecurity indicator. The data was analyzed descriptively. The result of the analysis indicates that food availability in Bogor City, especially rice, is mostly (93.61%) obtained by import, since Bogor City is not agricultural area. Food that available to consume in the form of energy is 2 766 kcallcapitalday, while in the form of protein is 80.9 gramlcapitalday. However, 68.9 percent of the household has energy consumption less than 70 percent of the energy requirement (food insecure). Based on the indicator used to determine food insecurity, there are 2 sub districts that are categorized as "mild insecure", which are Bogor Selatan and Bogor Tengah Sub Districts. The program conducted by the government of Bogor City is already appropriate, which is alleviating poverty to increase household access on food, but this still has to be conducted intensively. Keywords: food insecurity, food access, health and nutrition access
RINGKASAN ERNA LUClASARl SOFIATI. Analisis Kerawanan Pangan di Tingkat Kecarnatan Kota Bogor. Dibirnbing oleh YAYUK FARIDA BALlWATl dan SIT1 MADANIJAH. Pangan rnerupakan kebutuhan dasar rnanusia agar dapat hidup dan beraktivitas. Kondisi terpenuhinya kebutuhan ini dikenal dengan istilah ketahanan pangan. Rawan pangan atau ketidaktahanan pangan rnerupakan suatu kondisi tidak tersedianya pangan yang cukup, baik jurnlah rnaupun rnutunya, arnan, rnerata dan terjangkau. Gizi buruk pada balita rnerupakan rnasalah pangan dan gizi yang menjadi outcome situasi ketahanan pangan wilayah. Kondisi Kota Bogor yang tahan pangan seharusnya rnasalah tersebut tidak terjadi. Keadaan ini rnenunjukkan bahwa ketahanan pangan rnerupakan rnasalah yang kornpleks dan perlu analisis rnendalarn. Saat ini belurn ada klasifikasi tingkat kerawanan pangan di Kota Bogor untuk rnengantisipasi kondisi rawan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk rnenganalisis situasi kerawanan pangan di tingkat kecarnatan Kota Bogor, rnenganalisis kesesuaian intervensi dengan situasi kerawanan pangan, dan rnenyusun rekornendasi jenis intervensi pangan. Data dianalisis secara deskriptif, 'kernudian diklasifikasikan ke dalarn enarn kategori yaitu sangat rawan, rawan, agak rawan, cukup tahan, tahan dan sangat tahan. Pengkategorian tersebut berdasarkan dua indikator kerawanan pangan yaitu akses pangan dan kesehatan. lndikator yang digunakan dalarn analisis kerawanan pangan disesuaikan dengan indikator FIA (Food Insecurity Atlas) yang digunakan WFP (World Food Programme 2003) dalarn analisis kerawanan pangan nasionai. Garnbaran urnurn rnengenai ketersediaan pangan di Kota Bogor dianalisis menggunakan data konsurnsi norrnatif per kapita dibanding ketersediaan produksi setara beras yang diperoleh dari produksi beras dan jagung; akses pangan dilihat dari: 1) jurnlah rumahtangga miskin, 2) persentase rurnahtangga dengan akses listrik; kesehatan dan gizi dinilai dari 1) Angka Harapan Hidup (AHH), 2) prevalensi balita gizi kurang, 3) jurnlah penduduk per dokter sesuai dengan kepadatan penduduk, 4) persentase rurnahtangga yang akses ke air bersih 5) persentase anak yang tidak diirnunisasi dan 6) tingkat konsurnsi pangan. Dari indikator tersebut kernudian diranking sehingga didapat enarn kategori kerawanan pangan. Kornoditas yang dipakai sebagai dasar perhitungan ketersediaan adalah ketersediaan bersih beras dan jagung. Dilihat dari sisi produksi beras dan jagung ternyata kebutuhan pangan penduduk seluruh wilayah Kota Bogor tidak dapat dipenuhi oleh produksi seternpat. Keadaan ini rnenunujukkan bahwa ketersediaan pangan penduduk terutarna beras sangat tergantung pada suplai dari luar daerah. Berdasarkan persen rumahtangga rniskin, Kecarnatan Bogor Selatan, Tirnur dan Tengah terrnasuk dalarn kategori rawan pangan. ~ecarnatanBogor Barat dan Tanah Sareal terrnasuk ke dalarn kategori agak rawan, sedangkan Kecarnatan Bogor Utara termasuk kategori tahan pangan. Kecarnatan Bogor Tirnur dan Tengah terrnasuk kategori rawan pangan dari segi persentase rumahtangga dengan akses listrik. Rata-rata Urnur Harapan Hidup (AHH) tertinggi berada di Bogor Barat yaitu 72.4 tahun pada tahun 2004 sedangkan yang terendah di Bogor Selatan yaitu 68.6 tahun. Jika dibandingkan dengan rata-rata angka harapan hidup nasional (63 tahun) pada tahun yang sarna rnaka AHH di tiap kecarnatan Kota
Bogor sudah diatas angka rata-rata nasional. Menurut AHH dan persen balita gizi buruk pada tiap kecarnatan terrnasuk dalam kategori sangat tahan pangan. Menurut rasio penduduk per dokter rnasih terdapat kecamatan dalam kategori sangat rawan (Kecamatan Bogor Selatan dan Utara) dan rawan pangan (Kecamatan Tirnur dan Tengah). Berdasarkan persentase rurnahtangga yang mendapatkan air bersih Kecamatan Bogor Selatan, Tengah dan Barat terrnasuk ke dalam kategori agak rawan, sedangkan Kecarnatan Bogor Tirnur, Utara dan Tanah Sareal terrnasuk ke dalam kategori cukup tahan. Menurut persen balita tidak diirnunisasi sernua kecamatan di Kota Bogor terrnasuk dalarn kategori cukup tahan kecuali Kecarnatan Bogor Tirnur (sangat tahan). Bila dilihat dari jumlah rumahtangga rawan pangan di masing-masing kecarnatan rnaka lirna dari kecarnatan yang ada di Kota Bogor terrnasuk dalam kategori daerah rawan pangan, kecuali Tanah Sareal yang terrnasuk agak rawan pangan. Berdasarkan gabungan dari ketiga kornponen kerawanan pangan diperoleh bahwa ernpat kecarnatan dari enarn kecarnatan yang ada di Kota Bogor rnasuk dalam kategori cukup tahan yaitu kecarnatan Bogor Timur, Utara, Barat dan Tanah Sareal, sedangkan dua kecamatan yaitu Bogor Selatan dan Tengah rnasuk dalam kategori agak rawan. Program yang telah dilakukan oleh pernerintah daerah antara lain: program pengentasan kerniskinan melalui peningkatan daya beli, pendidikan dan kesehatan rumahtangga rniskin; raskin; bantuan biaya pendidikan dalarn bentuk KBBS (Kartu Bebas Biaya Sekolah); persebaran sarana kesehatan rnerata khususnya pusat kesehatan rnasyarakat (puskesrnas) yang rnelayani kesehatan dasar; Pernberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) bagi balita penderita gizi buruk dan Makanan Pendarnping AS1 (MP-ASI); intensifikasi areal tanaman (terutarna hortikultura (sayuran), buahbuahan, tanarnan obat dan tanarnan hias) yang dapat ditanam di pekarangan; penambahan jaringan listrik; dan bantuan rurnah layak huni untuk membantu rumahtangga rniskin. Rekomendasi yang dapat dilakukan adalah pengelolaan atau rnanajernen irnpor dan ekspor pangan secara berkelanjutan oleh pernerintah daerah, pernantauan jurnlah rumahtangga rniskin secara berkala, penarnbahan jaringan listrik, penarnbahan jumlah dokter rnelalui Dinas Kesehatan, peningkatan pelayanan dan cakupan air bersih bagi penduduk, penyuluhan tentang pentingnya imunisasi terutama imunisasi dasar (BCG, DPT, Polio dan carnpak).
O Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang D~Iararzgri~engutipsebagiarz ntau seluruh kaiya tzclis irzi tarzpa i?zeizcaiztzc~nknn afuu nzei7yebutkan su7izbeuilj~a.Pengutipan lzaizyu untuk lcepeiztingan pendidikarz, penelitian, perzulisait lrniya ilntiah, penytrsunarz laporun, peizulisan kritil, atnu tiiljauar7 suntu inasalah; dun peizgutipan tersebut tidak merugikaiz kepeittirzgnn yarlg %vajarIPB Dilararzg nze~lgurnunzkandun nzenzperbarzyak sebagiarz atau selul-zclz Kaiya tulis dalarn berztuk apapun tarzpa seizin IPB
ANALISIS KERAWANAN PANGAN Dl TINGKAT KECAMATAN KOTA BOGOR
ERNA LUClASARl SOFlATl
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk mernperoleh gelar Magister Profesional Pada Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan
SEKOLAHPASCASARJANA INSTITUT PERTAMIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tugas Akhir
: Analisis Kerawanan Pangan di Tingkat Kecamatan Kota
Nama
Bogor : Erna Luciasari Sofiati : A552050065
NIM
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yavuk Farida Baliwati, M.S. Ketua
Dr. Ir. ~ i ; Madaniiah. M.S. Anggota
Diketahui . , ... ,*.\_. L
Ketua Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan
Tanggal Ujian : 30 Desember 2008
3 0 MAR 2009 Tanggal Lulus .........................
PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalarn gladikarya yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2007 ini adalah ketahanan pangan, dengan judul Analisis Kerawanan Pangan di Tingkat Kecarnatan Kota Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Direktur Province Heath Project (PHP) II beserta staf yang telah memberi dana selama kuliah dan penelitian. Dr. Budi Setiawan selaku ketua program studi dan Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS dan Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku pernbirnbing, yang telah banyak memberi birnbingan dan saran serta masukan. Disarnping itu penghargaan penulis sarnpaikan kepada lr. Lucy, MM dari Dinas Agribisnis dan Dra. Susi dari BPS Kota Bogor yang telah rnembantu selama pengurnpulan data. Ungkapan terima kasih juga disarnpaikan kepada bapa dan marnah (alrn), suami, anak-anak serta keluarga atas segala bantuan, doa dan kasih sayangnya. Sernoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2009 Erna Luciasari Sofiafi
Penulis lahir di Bogor Jawa Barat pada tanggal 20 Januari 1961, sebagai anak pertarna dari lima bersaudara dengan lbu bernarna R. Saribanon Adirnihardja ( a h ) dan Ayah Endang Moeljadi Wiriadisastra (alrn). Pada tanggal 8 Juli 1984 penulis rnenikah dengan Drs. H. Almasjhuri, Apt.,MSi., dan dikaruniai tiga orang anak iaki-laki yaitu Medisa Aris Ginanjar (Anjar), Argya Syarnbarkah (Agi) dan Arifin Septiadi (Afin). Pendidikan formal dirnulai dari Sekolah Dasar lrnmanuel Ill di Medan dan lulus pada tahun 1973. Kernudian melanjutkan ke SMP lmrnanuel II dan pada tahun 1975 pindah ke SMP St. Yoris di Sernarang dan lulus tahun yang sama. Pendidikan sekolah rnenengah atas diselesaikan di SMA Kesatuan Bogor dan lulus tahun 1979. Penulis kernudian kuliah di Akaderni Gizi Jakarta dan lulus tahun 1984. Sejak Maret 1984 penulis mulai bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Departernen Kesehatan sebagai staf di bidang Biokimia, hingga saat ini rnasih di Puslitbang Gizi dan Makanan sebagai peneliti di Kelornpok Kornunikasi, lnforrnasi dan Edukasi Gizi sejak tahun 1989. Pada tahun 1994 penulis lulus dari Jurusan Gizi Masyarakat dan Surnberdaya Rurnahtangga Fakultas Pertanian lnstiiut Pertanian Bogor dengan dana yang diberikan Bank Dunia rnelalui Departernen Kesehatan. Pada tahun 2006 penulis rnendapat kesempatan untuk studi S2 sebagai rnahasiswa Tugas Belajar pada Program Studi Profesional Manajernen Ketahanan Pangan Sekolah Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor atas biaya Province Health Project (PHP) II.
DAFTAR IS1 DAFTAR TABEL ...............................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
................................. xv
PENDAHULUAN................................................................................................. I Latar Belakang .......................................................................................... 1 Perurnusan Masalah.................................................................................. 4 . . ....................................................................................... 4 Tujuan Penellt~an .. Manfaat Penel~t~an ..................................................................................... 5 Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................... 5 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 7 Definisi Kerawanan Pangan....................................................................... 7 lndikator Kerawanan Pangan................................................................... 13 METODE PENELlTlAN ...................................................................................... 25 Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 25 Jenis, Sumber dan Cara Pengumpulan Data ............................................ 25 Pengolahan dan Analisis Data................................................................. 26 Definisi Operasional ................................................................................. 31 HASlL DAN PEMBAHASAN...............................................................................33 Garnbaran Umurn Lokasi Penelitian ....................................................... 33 Letak Geografis .................................................................................. 33 Penggunaan Lahan ........................................................................ 35 36 Penduduk ........................................................................................... Angka Melek Huruf .............................................................................38 Jenis Pekerjaan ..................................................................................39 Ketersediaan Pangan .........................................................................40 Distribusi Pangan............................................................................ 45 Situasi Kerawanan Pangan .................................................................... 48 Kerawanan Pangan Berdasarkan Akses pangan ................................48 Kerawanan Pangan Berdasarkan Kesehatan dan Gizi........................51 Tingkat Kerawanan Pangan................................................................60 Program Pencegahan dan Penanganan Kerawanan Pangan yang Telah Dilaksanakan Pemerintah ......................................................... 61 Rekornendasi Pencegahan dan Penanggulangan Kerawanan Pangan ....67 SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................69 Simpulan ..................................................................................................69 Saran........................................................................................................ 69 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 70 LAMPIRAN......................................................................................................... 74
33 Konsurnsi rnenurut berat bahan pangan....................................................... 60 34 Peringkat kategori masing-masing indikator kerawanan pangan per kecamatan....................................................................................................
60
35 Jumlah puskesrnas. puskesrnas pernbantu dan puskesrnas keliling tahun 2005 ............................................................................................................. 63 36 Jumlah posyandu per kecarnatan................................................................. 63
37 ldentifikasi rnasalah dan program pemerintah daerah Kota Bogor tahun 2006 ............................................................................................................
66
DAFTAR GAMBAR Halaman
1 Ruang lingkup penelitian analisis tingkat kerawanan pangan di tingkat kecamatan Kota Bogor...................
6
2 Kerangka pikir penyebab masalah gizi (UNICEF 1990 dalam Atrnawikarta & Murniningtyas 2006 21 3 Keterkaitan antara faktor sosial ekonomi, konsumsi pangan, dan penyakit dengan status gizi pada kelompok rawan'(Tabor, Soekirman, & Martianto 2004). ............ ... ....... ......... ... .................................................... .... .....,....,...,....22
DAFTAR LAMPIRAN Halarnan
1 Nama kelurahanldesa di Kota Bogor pada tahun 2005
75
2 Peta Kota Bogor ............................................................................................. 77 3 Rekapitulasi mutasi persediaan, pemasukan dan penyaluran fisik beras di Gudang Bulog Baru Bogor sub divre Cianjur tahun 2005 ............................... 78
4 Perkembangan harga komoditas pertanian di Kota Bogor selama tahun 2004. ....... ............. ............. ................................................... ... ......,...,....,,...,..79 5 Panjang jalan rnenurut keadaan status jalan di Kota Bogor............................ 80 6 Rute dan jumlah angkutan di Kota Bogor tahun 2005 .................................... 80
7 Jumlah dan cakupan irnunisasi bayi menurut puskesmas per kecamatan di Kota Bogor tahun 2005 ................................................................................... 81 8 Jumlah rumahtangga menurut tahap kesejahteraan di Kota Bogor tahun 2005 ...............................................................................................................81
PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan rnerupakan kebutuhan dasar rnanusia agar dapat hidup dan beraktivitas. Kondisi terpenuhinya kebutuhan ini dikenal dengan istilah ketahanan pangan. Undang-undang No. 7 Tahun 1996 rnengenai Pangan rnenjelaskan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rurnahtangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jurnlah rnaupun rnutunya, arnan, merata, dan terjangkau.
Ketahanan pangan
rnernpunyai peran strategis karena rnenjarnin hak atas pangan, menjadi basis pernbentukan sumberdaya yang berkualitas dan rnenjadi pilar ketahanan nasional (Nainggolan 2006). Tujuan pernbangunan ketahanan pangan adalah rnenjarnin ketersediaan dan konsurnsi pangan yang cukup, arnan, bermutu dan gizi seimbang, baik pada tingkat nasional, daerah hingga rumahtangga. Data rnenunjukkan bahwa ketahanan pangan nasional cukup baik. Dari sisi ketersediaan pangan tahun 2000-2005 produksi pangan nasional mengalami peningkatan. Hal ini tampak pada rneningkatnya ketersediaan energi dari 2 966 rnenjadi 3 151 kkallkaplhari (rneningkat 1.53% per tahun) dan rnenurunnya ketersediaan protein dari 76.72 rnenjadi 75.31 grlkaplhari (menurun 0.37% per tahun). Ketersediaan protein berasal dari protein nabati dan hewani. Protein nabati dari 65.14 rnenjadi 61.88 grlkaplhari (rnenurun 1.15% per tahun) dan protein hewani dari 11.58 menjadi 13.43 grlkaplhari (rneningkat 3.84% per tahun) (Nainggolan 2006). Dari sisi konsumsi selarna tahun 1999-2005 asupan energi per kapita per hari rneningkat dari 1 851 kkal menjadi 1' 997 kkal. Jurnlah tersebut sernakin rnendekati rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi ke Vlll yaitu 2 000 kkallkapitalhari. Kualitas konsurnsi ditunjukkan skor Pola Pangan Harapan (PPH) rneningkat pula dari 66.3 pada tahun 1999 menjadi 78.2 pada tahun 2005 walaupun belurn rnencapai keragaman yang diharapkan (Nainggolan 2006). Namun, perbaikan ketahanan pangan di tingkat nasional tersebut rnasih terlihat belurn rnerata. Hasil penelitian di suatu kecarnatan di kabupaten Bogor rnenunjukkan bahwa sebagian besar (82.2%) rumahtangga petani rnasih berada pada kondisi ketidaktahanan pangan (Baliwati 2001). Sasaran pembangunan ketahanan pangan rnenekankan agar rnanusia rnarnpu mengkonsumsi pangan dengan gizi seimbang sehingga tercapai status gizi yang baik. Hal ini ditunjukkan oleh salah satu rurnusan Kebijakan Urnum
Ketahanan Pangan 2006-2009 yaitu pencegahan dan penanganan kerawanan pangan dan gizi. Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialarni daerah, masyarakat atau rurnahtangga pada waktu tertentu untuk mernenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan rnasyarakat. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana alam rnaupun bencana sosial (transien) (Nainggolan 2006). Kornponen yang digunakan untuk rnenjeiaskan dirnensi kerawanan pangan rneliputi ketersediaan, kesehatan dan akses pangan dengan beberapa indikator antara lain: ratio konsurnsi dan produksi, jurnlah penduduk rniskin, akses listrik, akses air bersih, jurnlah anak kurang gizi dan perbandingan jurnlah penduduk per dokter, jurnlah anak yang tidak rnendapat irnunisasi. Kornponenkornponen tersebut saling berkaitan antara satu dengan lainnya, dengan dernikian kerawanan pangan dapat terjadi dari berbagai aspek tersebut (Dewan Ketahanan Pangan RI & Program Pangan Dunia PBB 2003). Kerawanan pangan di lndonesia juga dapat ditunjukkan oleh jurnlah penduduk rawan pangan (konsurni kurang dari 80 persen AKE yaitu 1800 kkallkapitalhari). Pada tahun 2005 sebesar 54 297 064 jiwa rnengalami rawan pangan, sementara 5 105 324 jiwa diantaranya rnerupakan penduduk rawan pangan tingkat berat atau defisit energi tingkat berat (konsumsi kurang dari 70 persen AKE yaitu 1400 kkallkapitalhari) (Atrnawikarta & Murniningtyas 2006). Prevalensi balita kurang gizi dalarn kurun waktu 1989-2000 rnenunjukkan penurunan, namun pada periode 2001-2003 persentase balita gizi kurang rneningkat dari 24.7 persen pada tahun 2000 rnenjadi 27.5 persen pada tahun 2003. Gizi buruk, busung lapar, atau hoenger oedema pada orang dewasa pernah terjadi di lndonesia pada zarnan' Jepang hingga akhir tahun 60-an. Merebaknya kernbali masalah gizi buruk balita rnenjadi ancarnan nyata terjadinya gizi buruk seluruh penduduk lndonesia di rnasa yang akan datang. Oleh karena itu,
penanganan
masalah
penanggulangan gizi
buruk
pangan dan
dan
gizi
dalarn
kelaparan sangat
pencegahan dan penting
dilakukan
(Atmawikarta & Murniningtyas 2006). Kerniskinan rnerniliki keterkaitan erat dengan ketahanan pangan. Kerniskinan dan ketahanan pangan secara bersarna-sarna rnenjadi faktor yang rnernpengaruhi status gizi kelornpok rawan (Tabor, Soekirman, & Martianto
2004). Pada tahun 2006 diperkirakan 4.46 juta rurnahtangga Indonesia sangat rniskin, 7.76 juta rniskin dan 7.02 juta rnendekati rniskin (Ahnaf 2006). Kerniskinan ini rnenyebabkan rurnahtangga tidak dapat rnernenuhi kebutuhan pangan dan gizi anggota rumahtangganya untuk turnbuh dan berkernbang rnenjadi rnanusia yang produktif. Gizi kurang dan gizi buruk yang terjadi pada balita berpotensi rnenyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki. Kerniskinan juga rnenyebabkan rnasyarakat tidak rnarnpu rnernperoleh pendidikan yang baik dan berdarnpak pada rendahnya kemarnpuan ekonorni karena tidak bisa rnernperoleh pekerjaan rnernadai. Penduduk rniskin merniliki risiko tinggi dan rentan terhadap kerawanan pangan. Suatu kenyataan yang sangat rnengkhawatirkan jika dihadapkan pada kenyataan bahwa angka kerniskinan ternyata rneningkat kernbali dalarn tahun terakhir ini. Apabila program-program pernantapan ketahanan pangan kurang rnemperhatikan
kelornpok
rniskin
rnaka
berdarnpak
pada
peningkatan
kerniskinan, kerawanan pangan dan status gizi yang rendah. Kota Bogor terbagi atas enarn kecarnatan dan rnenjadi wilayah penyangga ibukota negara. Banyak pekerja Jakarta yang berternpat tinggal di kota ini. Jurnlah penduduknya selalu meningkat dengan laju pertarnbahan penduduk 2.35 persen pertahun. Sekitar 23 persen dari 194 357 rurnahtangga rnasuk kategori rniskin (Badan Pusat Stastistik Bogor 2006). Walaupun jumlah penduduk rniskin Kota Bogor rnasih berada di bawah rata-rata Jawa Barat yang besarnya 28.29 persen (BPS 2006) tetapi rnasih di atas rata-rata yang diharapkan (kurang dari 5%) (Dewan Ketahanan Pangan RI & Program Pangan Dunia PBB). Jumlah penduduk dan kemiskinan rnernerlukan pengelolaan pangan dengan lebih baik. Pada laporan analisis kerawanan pangan Jawa Barat tahun 2005, Kota Bogor terrnasuk pada kategori tahan pangan. Pada kenyataannya, terdapat peningkatan persentase penduduk miskin yang sangat besar di Kota Bogor pada tahun 2005 sebesar 21.03 persen rnenjadi 23 persen pada tahun 2006. Disarnping itu hasil Pernantauan Status Gizi (PSG) tahun 2005 rnenunjukkan persentase balita rnenderita gizi kurang, diatas 27 persen (Dinas Agribisnis 2006). Berbagai program untuk rnernperbaiki keadaan pangan dan gizi penduduk telah dilakukan, narnun jurnlah balita yang rnengalarni gizi kurang rnasih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa program yang menangani rnasalah kerawanan pangan harus ditingkatkan sehingga perlu dilakukan klasifikasi kerawanan pangan di tingkat kecarnatan untuk rnenentukan prioritas wilayah.
Perumusan Masalah Rawan pangan atau ketidaktahanan pangan merupakan suatu kondisi tidak tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Gizi buruk pada balita merupakan masalah pangan dan gizi yang menjadi outcome situasi ketahanan pangan wilayah. Dengan kondisi Kota Bogor yang tahan pangan seharusnya masalah tersebut tidak terjadi. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan rnerupakan masalah yang kornpleks dan perlu analisis mendalam. Hingga saat ini belum ada klasifikasi r ' mengantisipasi kondisi rawan tingkat kerawanan pangan di Kota ~ o ~ ountuk pangan. Upaya Pemda untuk mengatasi masalah gizi buruk berupa PMTpernulihan, Kredit Usaha Kecil (KUK), penanggulangan kerniskinan, serta penyuluhan pangan dan gizi, perbaikan sarana dan prasarana yang dilakukan hingga saat ini belum diketahui pengaruhnya terhadap perbaikan gizi balita Kota Bogor. Disarnping itu analisis terhadap faktor-faktor ketahanan pangan secara holistik untuk rnewujudkan kerawanan pangan dengan rnenggunakan data-data yang berasal dari instansi terkait pada tahun 2004-2006 belum dilakukan, karena pada laporan Analisis Kerawanan Pangan Jawa Barat menggunakan data tahun 2003. Penelitian ini juga melakukan penelusuran kesesuaian program-program yang telah dilakukan oleh instansi terkait terhadap keadaan kerawanan pangan. Sebelum rnenentukan jenis alternatif program yang tepat, terlebih dahulu dilakukan analisis situasi pangan untuk rnewujudkan ketahanan pangan Kota Bogor secara holistik. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Menganalisis kerawanan pangan di tingkat kecamatan Kota Bogor. Tujuan Khusus
1. Menganalisis situasi kerawanan pangan di tingkat kecarnatan 2. Menganalisis kesesuaian program dengan situasi kerawanan pangan 3. Menyusun pangan
rekornendasi
penc~gahan/penanggulangan kerawanan
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan berrnanfaat untuk: 1. Sebagai
rekornendasi kepada
Pemerintah Kota
Bogor
untuk
penanganan rnasalah pangan dan gizi dalam usaha pencegahan dan penanggulangan kerawanan pangan dan gizi di rnasa rnendatang 2. Memberikan rnasukan kepada sernua pihak yang terlibat secara
langsung rnaupun tidak langsung dalarn program pangan dan gizi. Ruang Lingkup Penelitian Kornponen yang digunakan untuk menjelaskan dirnensi kerawanan pangan meliputi akses pangan dan kesehatan. Pangan yang cukup setiap saat, dan dapat diakses individu untuk rnemperolehnya (fisitdekonorni) rnerupakan kunci ketahanan pangan (Saleh 1999). ~ k s e sindividu mernpunyai arti bahwa individu tidak rnerniliki harnbatan untuk mernperoleh pangan secara fisik atau rnernpunyai kernarnpuan secara ekonomilfinansial untuk rnendapatkan atau rnernbeli pangan yang cukup untuk hidup produktif dan sehat. Akses pangan dalam konteks rurnah tangga rnenurut Sen (1981) diacu dalarn Maxwell dan Frankenberger (1992) didasarkan pada konsep entiflement atau kernarnpuan untuk rnenguasai pangan. Ketersediaan data pada kornponen ketersediaan pangan di tiap kecarnatan yaitu produksi jagung, ubi kayu dan ubi jalar tidak dapat dijadikan indikator karena Kota Bogor merupakan daerah bukan potensi produksi pangan. Sedangkan data produksi utarna non pangan di tiap kecarnatan yang dapat dikonversikan ke harga beras tidak tersedia. Akses pangan dihitung berdasarkan jumlah rurnahtangga rniskin dan persentase rurnahtangga dengan akses listrik. Kerniskinan rnenggarnbarkan daya beli rumahtangga rendah yang rnenyebabkan akses terhadap pangan rnenjadi rendah. Kernudahan rurnahtangga untuk mengakses listrik rnernberikan peluang untuk hidup dan mernpunyai penghasilan sehingga rnernpermudah menjangkau pangan. Kornponen kesehatan dan gizi dihitung indikator dari dampak langsung dan tidak langsung terhadap tingkat kerawanan pangan rurnahtangga. Darnpak langsung dihitung berdasarkan angka harapan hidup (AHH), prevalensi balita gizi kurang (BBIU) dan konsumsi pangan. Darnpak tidak langsung dihitung dari indikator rasio jurnlah penduduk per dokter, persentase rumahtangga dengan akses ke air bersih dan persentase anak yang tidak rnendapat irnunisasi.
lndikator yang digunakan dalam penelitian ini dirujuk dari Dewan Ketahanan Pangan RI dan Program Pangan Dunia PBB (2003). Prograrnlinte~ensipernerintah yaitu program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah melalui instansi terkait. Kesesuaian pelaksanaan program pemerintah daerah tersebut dibandingkan dengan indikator kerawanan pangan di masing-masing kecamatan. Berdasarkan penilaian tersebut dapat disampaikan rekornendasi yang sesuai dengan kebutuhan untuk rnengurangi tingkat kerawanan pangan di masing-masing kecamatan. Ruang lingkup penelitian analisis tingkat kerawanan pangan di tingkat kecamatan Kota Bogor dapat dilihat pada Garnbar 1.
,-----____--__-__._~ 1
,
Ketersediaan (Tingkat Kecarnatan)
--------------------.-
j :+-I I
Konsumsi Normatif
j
I ~ ' I -----___--.________ t--------.--.-------.--.--.:
I
Akses Pangan
Persen rumahtangga Miskin
* Persen rumahtangga akses Listrik
Programllntervensi Pemerintah
Rekomendasi
Prevalensi Balita Gizi Kurang Tingkat konsumsi pangan Dampak tidak langsung: Rasio Jumlah Penduduk Per Dokter Persen Akses Air Bersih Persen Anak Tidak lmunisasi
Keterangan:
I
I
I
Variabel yang diteliti
--.--.--.--.--
I Variabel yang tidak diteliti I--.-_._..-..-r
Garnbar 1 Ruang lingkup penelitian analisis tingkat kerawanan pangan di tingkat kecamatan Kota Bogor.
TINJAUAN PUSTAKA Definisi Kerawanan Pangan Pada sarnbutan Widya Karya Pangan dan Gizi Vlll tahun 2004 Menteri~ Pertanian, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Perencanaan Pernbangunan NasionallKepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional rnenyampaikan bahwa ketahanan pangan dan gizi rnerupakan salah satu unsur penting dan strategis dalam rneningkatkan kualitas sumberdaya rnanusia dan menghasilkan generasi yang berkualitas. Oleh karena itu pernbangunan ketahanan pangan akan tetap menjadi komitrnen nasional (Mentan 2004 dan Suryana 2003). Maxwell dan Frankenberger (1992) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai suatu kesatuan konsep yang saling berkaitan antara akses, kecukupan, kearnanan dan ketahanan pangan. FA0 (1997) diacu dalarn Tabor, Soekirman, dan Martianto (2004) rnendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi dimana semua rurnahtangga rnempunyai akses fisik rnaupun ekonorni untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota rumahtangganya dan tidak berisiko kehilangan akses tersebut. Pengertian ketahanan pangan menurut UU No 7 Tahun 1996 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rurnahtangga yang tercermin dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalarn jumlah rnaupun mutunya; (2) arnan; (3) rnerata; dan (4) terjangkau. Pangan tersedia dengan cukup berarti bahwa seluruh pangan cukup tersedia untuk rnernenuhi kebutuhan seluruh zat gizi yang berrnanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia. Pangan yang aman berarti bahwa pangan bebas dari cernaran biologis, kirnia, dan benda lain yang dapat rnengganggu, rnerugikan, dan mernbahayakan kesehatan rnanusia, serta arnan dari kaidah agarna (halal). Pangan terpenuhi dengan rnerata berrnakna bahwa pangan harus tersedia setiap saat dan rnerata di seluruh tanah air. Pangan yang terjangkau berrnakna bahwa pangan rnudah diperoleh dengan harga yang terjangkau (BBKP 2001). Secara teoritis terdapat dua ancaman ketahanan pangan yaitu ancarnan kronis dan peralihan. Ancarnan ketahanan pangan kronis adalah keadaan kekurangan pangan yang terus menerus akibat kurangnya akses terhadap pangan baik rnelalui pasar rnaupun produksi sendiri. Hal ini rnenirnpa orangorang miskin yang berdaya beli rendah. Ancarnan ketahanan pangan peralihan adalah kekurangan pangan akibat gejolak sernentara yang rnernbuat akses
pangan terganggu seperti kenaikan harga, bencana yang sebabkan kesulitan pangan, serta penurunan produksi dan stok pangan (Khornsan 1997). Ketahanan pangan tingkat
rurnahtangga dapat
diketahui melalui
pengurnpulan data konsumsi dan ketersediaan pangan dengan cara survei pangan secara langsung dan hasilnya dibandingkan dengan angka kecukupan yang telah ditetapkan. Selain pengukuran konsurnsi dan ketersediaan pangan melalui suwei tersebut dapat pula digunakan data mengenai sosial ekonomi dan dernografi untuk rnengetahui resiko ketahanan pangan seperti pendapatan, pendidikan, struktur rurnahtangga, harga pangan, pengeluaran pangan dan sebagainya. Data tersebut dapat digunakan sebagai indikator risiko terhadap ketahanan pangan pada tingkat rurnahtangga (Sukandar et a/. 2001). Buku berjudul The Population Bomb (Ledakan Penduduk) pada tahun 1968 oleh Paul R. Ehrlich rnerarnalkan adanya bencana kernanusiaan akibat terlalu
banyaknya
penduduk
dan
ledakan
penduduk.
Karya
tersebut
menggunakan argumen yang sama seperti yang dikernukakan Thomas Malthus dalam An Essay on the Principle of Population (1798), bahwa laju pertumbuhan penduduk mengikuti perturnbuhan eksponensial dan akan melampaui suplai makanan yang akan mengakibatkan kelaparan (Wikipedia 2008). Ketersediaan yang cukup di suatu wilayah tidak dapat rnenjamin ha1 yang sarna di tingkat rurnahtangga, karena tergantung kemarnpuan rurnahtangga dalam mengakses pangan secara fisik (daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli). Dernikian halnya dengan konsurnsi pangan, walaupun kemarnpuan rurnahtangga telah rneningkat narnun kemarnpuan rata-rata konsumsi pangan per kapita masih belurn mencapai tingkat yang rnernadai untuk turnbuh, sehat dan produktif. Oleh karena itu ketahanan pangan di tingkat rurnahtangga rnasih rendah (Syafrudin 2006). Metode untuk rnengetahui kondisi ketersediaan pangan wilayah tingkat nasional maupun provinsi dan kabupatenlkota adalah Neraca Bahan Makanan (NBM) atau Food Balance Sheet (FBS). Satuan untuk rnengukur tingkat ketersediaan
pangan adalah volume
pangan
(tonltahun,
kglkapitalhari,
glkapitalhari), energi (kkal/kapitalhari) maupun zat gizi (protein: glkapitalhari; lemak: glkapitalhari; vitamin A: Sllkapitalhari; mineral seperti Fe: rnglkapitalhari) (Baliwati & Roosita 2004). Acuan secara kuantitatif ketersediaan pangan berupa Angka Kecukupan Gizi (AKG) rekornendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Vlll tahun 2004
yaitu rata-rata perkapita perhari energi sebesar 2.200 kkal dan protein 57 garn. Disamping itu, terdapat pula acuan untuk rnenilai tingkat keragarnan konsurnsi pangan (rnutu ketahanan pangan) melalui Pola Pangan Harapan (PPH) dengan skor ideal 100 (DKP 2006). PPH berpatokan pada syarat kecukupan gizi, konsurnsi aneka ragam pangan, dan kontribusi energi masing-masing bahan pangan (Khornsan 1997). Sebagai wujud dari kornitrnen pernerintah untuk rneningkatkan ketahanan pangan, telah disusun beberapa perangkat lunak dalarn rnendeteksi situasi ketahanan pangan sebagai pedornan untuk rnenentukan kebijakan. lnstrurnen untuk rnernantau situasi ketahanan pangan tersebut yang telah dilakukan diantaranya adalah Food Securify Atlas (FIA). Pendekatan ini pada prinsipnya akan rnernberikan inforrnasi kepada kita tentang situasi pangan di suatu wilayah rnelalui penjaringan data dan inforrnasi dengan rnenggunakan indikator-indikator yang telah disusun sebagai cerminan faktor-faktor yang rnenentukan tingkat kerawanan pangan. Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialarni daerah, rnasyarakat atau rurnahtangga, pada waktu tertentu untuk rnernenuhi standar kebutuhan fisiologis b a g i perturnbuhan dan kesehatan rnasyarakat. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana alarn rnaupun bencana sosial (transien). Kondisi rawan pangan dapat disebabkan karena: (a) tidak adanya akses secara ekonorni bagi individulrurnahtangga untuk rnernperoleh pangan yang cukup, (b) tidak adanya akses secara fisik bagi individulrurnahtangga untuk rnernperoleh pangan yang cukup, (c) tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan yang produktif individulrurnahtangga, (d) tidak terpenuhinya pangan secara cukup dalarn jurnlah rnutu, ragarn, kearnanan serta keterjangkauan harga (Murniningtyas & Atrnawikarta 2006). Kerawanan pangan dan kelaparan .sering terjadi pada petani skala kecil dan nelayan, dan rnasyarakat sekitar hutan yang rnenggantungkan hidup dari surnberdaya alam yang rniskin dan terdegradasi.
Walaupun dernikian.
rnasyarakat urban di perkotaan dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah sangat rentan rnenjadi rnasyarakat yang rawan pangan. Peta kerawanan pangan pada tingkat provinsi merupakan aiat bantu untuk memfasilitasi penyusunan startegi yang sesuai dalarn penanganan
rnasalah kerawanan pangan yang sedang terjadi dan mungkin berlanjut pada jangka panjang. Peta kerawanan pangan biasanya dilakukan di tingkat provinsi, ataupun kabupatenlkota. Hal ini bukan rnernotret kinerja suatu wilayah melainkan rnenyediakan inforrnasi bagi para pengarnbil kebijakan di tingkat pusat, provinsi, kabupatenlkota. Suatu wilayah atau rnasyarakat dikatakan tahan pangan bila dilihat secara keseluruhan indikator yang rnelibatkan aspek ketersediaan pangan, akses pangan dan kesehatan. Daerah dengan skor rawan pangan yang tinggi dirnasukan dalarn kategori rawan pangan sedangkan daerah dengan skor yang rendah dikategorikan daerah tahan pangan (Dewan Ketahanan Pangan 2003). Untuk menghasilkan perencanaan yang lebih baik serta rnembantu perencanaan rnitigasi bencana, persiapan serta usaha untuk rnengatasi secara lebih tepat dilakukan peta kerawanan di tingkat kecarnatan yang dilihat dari berbagai aspek antara lain ketersediaan, akses dan utilisasi pangan. Ketersediaan data di tingkat kecarnatan rnerupakan faktor pernbatas utarna dalam pernilihan indikator. Situasi rawan pangan di Indonesia juga dapat dipantaui rnelalui Sistern Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). SKPG adalah kegiatan pengarnatan terhadap situasi pangan dan gizi rnasyarakat secara teratur dan terus rnenerus yang bertujuan untuk rnenyediakan inforrnasi bagi penentuan kebijakan, perencanaan program dan penetapan tindakan dalarn penanganan rnasalah pangan dan gizi. Kerawanan pangan adalah kondisi ketidakcukupan pangan di tingkat rurnahtangga dan kurangnya akses untuk rnendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi
yang
mernadai.
Kerawanan pangan pada tingkat
rurnahtangga akan rnenyebabkan keadaan giil masyarakat yang sudah rnenurun menjadi lebih buruk (DKP 2007). Menurut Arnin, Suharno, dan Saifullah (1998), kondisi rawan pangan rnerupakan keadaan kebalikan dari kondisi ketahanan pangan. Kondisi kerawanan pangan adalah rnasalah yang multidimensional. Kerawanan pangan secara urnurn didefinisikan sebagai suatu kondisi ketidakrnarnpuan untuk rnernperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan beraktivitas dengan baik, baik secara sernentara rnaupun dalarn jangka panjang. Kondisi kerawanan pangan dapat saja sedang terjadi berpotensi untuk terjadi (Dewan Ketahanan Pangan RI & Program Pangan Dunia PBB 2003). Menurut Badan Birnas Ketahanan Pangan (2001b) kerawanan pangan adalah situasi daerah, rnasyarakat atau rurnahtangga yang tingkat ketersediaan
dan kearnanan pangannya tidak cukup untuk rnernenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi perturnbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakat. Berdasarkan acuan dari FAO, USAlD & UU no. 7 tahun 1996 tentang pangan, kondisi rawan pangan rnengandung beberapa kornponen penting yaitu: (a) Akses secara ekonorni individu atau rurnahtangga untuk rnernperoleh pangan yang cukup tidak ada; (b) Akses secara fisik bagi individu atau rurnahtangga untuk rnernperoleh pangan yang cukup tidak ada; (c) Pangan untuk hidup produktif bagi individu atau rumahtangga tidak tercukupi; (d) pangan tidak cukup terpenuhi dalarn jumlah, rnutu, ragarn, keamanan pangan dan keterjangkauan harga (Arnin ef al. 1998). Rawan pangan rnerupakan kondisi ketidakrnarnpuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan aktif. Kerawanan pangan terjadi apabila setiap individu hanya rnarnpu mernenuhi 80 persen kebutuhan pangan dan gizi hariannya. Kondisi kerawanan pangan yang lebih parah berdampak pada terjadinya kelaparan dimana individu tidak rnarnpu rnemenuhi 70 persen dari kebutuhan pangan dan gizinya berturut-turut selarna dua bulan
diikuti penurunan berat badan karena masalah daya beli dan atau ketersediaan pangan. Pada dasarnya kerawanan pangan dan kelaparan disebabkan rnasalah kekurangan pangan antara lain akibat: (1) rendahnya ketersediaan pangan; (2) gangguan distribusi karena kerusakan sarana dan prasarana serta kearnanan distribusi; (3) terjadinya bencana alam menyebabkan suatu wilayah terisolasi; (4) kegagalan produksi pangan; serta (5) gangguan kondisi sosial (Pusat Pengembangan Distribusi Pangan DKP 2005). Daerah rawan pangan dapat diartikan sebagai daerah yang ketesediaan pangannya tidak cukup untuk mernenuhi kebutuhan konsurnsi pangan penduduknya sehingga tirnbul kekurangan pangan. Masyarakat atau penduduk rawan pangan adalah penduduk yang rentan terhadap kekurangan pangan akibat perubahan musim yang tidak menguntungkan atau bencana alam seperti kekeringan panjang, banjir, gempa bumi dan sebagainya. Kelompok rnasyarakat rawan pangan tesebut banyak kaitannnya dengan faktor biologis yaitu kelornpok bayi, anak-anak, wanita harnil/rnenyusui dan kelompok lanjut usia disarnping rnereka yang tergolong penduduk rniskin (Suhardjo 1999). Kerawanan
pangan
dibagi
dalarn
tiga
tingkatan
yaitu
tingkat
nasionallregional, rurnahtangga dan individu. Di tingkat nasional kerawanan pangan rnerupakan situasi dimana pasokan pangan lebih rendah dari
perrnintaan, sehingga harganya tidak wajar (tinggi). Kenaikan harga pangan yang cukup akan mempengaruhi rawan pangan bagi kelompok rentan yaitu rnereka yang rniskin (Arnin eta/. 1998). Menurut Dewan Ketahanan Pangan RI & program Pangan Dunia PBB (2003) kerawanan pangan pada tingkat nasional dapat disebabkan oleh ketidakrnarnpuan untuk rnengirnpor pangan yang rnemadai. Menurut Amin et al. (1998) di tingkat nasional kerawanan pangan rnerupakan situasi dirnana pasokan pangan lebih rendah dari perrnintaan rnenyebabkan harganya tidak wajar (tinggi). Harga pangan yang naik dengan cepat tersebut akan mernpengaruhi kelornpok rentan yaitu rnereka yang rniskin. Kerawanan pangan di tingkat provinsi, dapat disebabkan oleh kurangnya produksi atau distribusi pangan yang rnemadai ke seluruh pelosok dengan harga yang terjangkau. Kerawanan pangan di tingkat rurnahtangga urnurnnya disebabkan oleh kurangnya kesempatan rnernperoleh nafkah yang rnencukupi serta tingginya harga pangan. Pada tingkat individu, beberapa aspek seperti ketidakwajaran, akses pelayanan umum seperti kesehatan, air dan sanitasi, pendidikan, perbedaan gender dan lainnya yang menirnbulkan kerawanan pangan. Kerentanan terhadap bencana alam dan sejenisnya, degradasi lingkungan dan lain-lain dapat rnernpengaruhi derajat ketahanan pangan pada semua tingkat (Dewan Ketahanan Pangan RI & program Pangan Dunia PBB 2003). Pusat Distribusi Pangan DKP (2005) menjelaskan bahwa darnpak dari kerawanan pangan dan kekurangan gizi dapat terjadi pada skala rnakro dan rnikro. Pada skala rnikro darnpak terjadi pada sernua kelompok umur yaitu orang tua, orang dewasa, anak-anak, bayi dan para wanita termasuk juga wanita harnil. Berbagai darnpak yang ditirnbulkan sebagai berikut : (1) rnalnutrisi pada orang tua disebabkan kekurangan rnakanan dan penurunan kesehatan, menyebabkan kesempatan bekerja dan pendapatan rnenurun dan urnur harapan hidup rendah,
(2) penurunan derajat kesehatan dan kernampuan fisik usia produktif ditunjukkan dengan kesakitan meningkat, absensi rneningkat, perturnbuhan dan daya tangkap menurun, kesegaran fisik rnenurun, prestasi oleh raga jelek, interaksi sosial kurang, krirninalitas meningkat, (3) rnalnutrisi pada wanita harnil dan rneningkatnya angka kematian ibu, perkembangan otak janin dan pertumbuhan terharnbat, berat bayi lahir rendah, (4) penurunan derajat kesehatan pada anakanak, keterbelakangan mental, penyapihan yang tidak cukup waktu sehingga
rnudah terkena infeksi serta kekurangan makanan, serta (5) penurunan berat badan bayi, meningkatnya angka kematian, terganggunya perkernbangan mental dan meningkatnya resiko terkena penyakit kronis setelah dewasa. Sedangkan darnpak yang terjadi pada skala rnakro, adalah timbulnya permasalahan pada kehidupan masyarakat, dengan ditandai sulitnya mata pencaharian, daya beli masyarakat menurun tajam yang kemudian dapat menjadi penyebab tingginya tingkat kriminalitas seperti pencurian, perampokan dan lain sebagainya. Akibat yang lebih rnernbahayakan lagi adalah, dimana setiap individu berupaya untuk rnemperoleh kebutuhan hidup tanpa mernperhatikan kepentingan orang lain, sehingga dapat menirnbulkan perpecahan di rnasyarakat (Deptan 2006). Rawan pangan kronis adalah keadaan rawan pangan yang berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu yang dapat disebabkan karena keterbatasan sumber daya alam (SDA) dan keterbatasan kernarnpuan sumber daya manusia (SDM) sehingga menyebabkan kondisi masyarakat menjadi miskin. Rawan pangan transien adalah keadaan kerawanan pangan yang disebabkan oleh kondisi yang tidak terduga antara lain berbagai musibah, bencana alam, kerusuhan, musim yang menyirnpang dan keadaan lain yang bersifat rnendadak. lndikator kerawanan pangan kronis tercak,up dalam tiga aspekldimensi rawan pangan yaitu: masalah kesehatan, masalah ketersediaan pangan, rnasalah kemiskinan. lndikator untuk kerawanan pangan transien, rnenggambarkan aspek dari pengaruh lingkungan alarn dan iklim, rneliputi indikator persentase daerah tak berhutan, persentase puso, daerah rawan longsor dan banjir, serta fluktuasilpenyimpangan curah hujan (Pusat Pengembangan Distribusi Pangan DKP 2005). lndikator Kerawanan Pangan Maxwell dan Timothy (1992) menyatakan bahwa indikator pencapaian ketahanan pangan dibedakan atas indikator proses dan indikator darnpak. lndikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator darnpak meliputi indikator langsung maupun tak langsung. lndikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklirn, akses terhadap sumberdaya alarn, praktek pengelolaan lahan, pengernbangan institusi, pasar, konflik regional dan kerusuhan sosial. lndikator akses pangan meliputi surnber pendapatan, akses terhadap kredit modal, serta strategi rumahtangga untuk memenuhi kekurangan pangan.
lndikator dampak secara langsung meliputi konsumsi, frekuensi pangan dan status gizi, sedangkan indikator dampak secara tak
langsung meliputi
penyimpanan pangan. Chung et a/. (1997) diacu dalam Setiawan (2002) merangkum beragam indikator ketahanan pangan rumahtangga sesuai dengan aspek ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan. Faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan dapat dilihat pada Gambar 2 . Ketahanan Pangan (Food Security)
t
r I
Food availability I
Resources : = Natural
* Physical = Human
1 I
I v
1 I
Food Utilization I
Production : Consumption : ----c = Food Farm = Non food = Non farm
I
Nutritional status
Gambar 2 Faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan (Chung 1997 diacu dalam Setiawan 2002). Aspek ketersediaan dan stabilitas pangan tergantung pada sumberdaya (alam, manusia, dan sosial) serta produksi pangan (on farm dan offfarm). Akses pangan rnenunjukkan jaminan bahwa setiap rumahtangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk, memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi.
Akses pangan tercermin dari kemampuan rumahtangga
meningkatkan pendapatan dan produksi pangan. Hal ini tergantung pada harga pangan maupun tingkat sumberdaya keluarga. Akses pangan tergantung pula pada pengetahuan atau dimensi sumberdaya manusia (human capital) serta sumberdaya sosial. Aspek pemanfaatan pangan mencerminkan kemampuan tubuh untuk mengolah pangan dan mengubahnya dalam bentuk energi yang dapat digunakan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari atau disimpan. Pemanfaatan pangan meliputi konsumsi pangan dan status gizi. Cara pengukuran ketahanan pangan menurut Smith, Obeid, Jensen, dan Johnson (1999) didasarkan pada tiga indikator. Ketiga indikator tersebut antara lain ketersediaan energi per kapita, kemiskinan (besarnya pendapatan), dan status gizi anak (banyaknya anak yang menderita malnutrisi). Tingkat ketersediaan energi perkapita merupakan suatu ukuran dari ketersediaan pangan nasional. Ketersediaan energi perkapita merupakan turunan dari neraca bahan
makanan (food balance sheets) dan jurnlah penduduk. Data produksi dan perdagangan pangan serta penggunaan benih, perubahan stok, tercecer, dan yang digunakan untuk makanan digunakan untuk mengetahui jumlah komoditas yang tersedia dan dikonsumsi manusia setiap tahun. Khornsan
(1997)
menjelaskan bahwa
indikator
resiko
terhadap
ketidaktahanan pangan adalah konsumsi pangan, status ekonomi, sosial, dan dernografi seperti pendapatan, pendidikan, struktur anggota keluarga, serta pengeluaran pangan. Ketahanan pangan bersifat rnultidimensi sehingga indikatornya banyak. Apabila upaya pemanfaatan sumberdaya lokal secara maksirnal ternyata tidak cukup, maka pangan harus didatangkan dari wilayah lain (impor). Sedangkan Suryana (2004) rnenyatakan bahwa indikator untuk rnenggambarkan keragaan ketahanan pangan ditingkat negara atau wilayah yakni:
(1) ketersediaan
pangan,
(2) 'kebutuhan
dan
neraca
pangan.
(3) ketergantungan pada impor. (4) stabilitas harga pangan, (5) ketersediaan dan
konsumsi per kapita, dan (6) status gizi. Sebagai wujud dari komitmen pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan, telah disusun beberapa perangkat lunak dalam mendeteksi situasi ketahanan pangan sebagai pedoman untuk menentukan kebijakan. Instrumen untuk memantau situasi ketahanan pangan tersebut yang telah dilakukan diantaranya adalah Food Security Atlas (FIA). Pendekatan ini pada prinsipnya akan memberikan informasi kepada kita tentang situasi pangan di suatu wilayah rnelalui penjaringan data dan inforrnasi dengan menggunakan indikator-indikator yang telah disusun sebagai cerminan faktor-faktor yang menentukan tingkat kerawanan pangan. lndikator kerawanan pangan yang digunakan oleh SKPG rnerupakan indikator dari aspek kesehatan, sosial ekonomi dan aspek sektor pertanian. lndikator dari aspek kesehatan adalah prevalensi Kurang Energi protein (KEP). Prevalensi KEP pada balita diukur berdasarkan berat badan menurut umur dari hasil pernantauan status gizi yang dilakukan satu tahun sekali. lndikator dari aspek sosial ekonomi adalah rurnahtangga,miskin. lndikator kepala rumahtangga miskin dihitung berdasarkan jumlah rurnahtangga miskin terhadap total rumahtangga di wilayah yang bersangkutan. lndikator dari sektor pertanian untuk daerah potensi produksi tanaman pertanian (padi) adalah persentase luas area kerusakan atau areal poso (Badan Bimas Ketahanan Pangan 2001a).
Dewan Ketahanan Pangan RI & program Pangan Dunia PBB (2003), rnenyatakan bahwa indikator kerawanan pangan terdiri dari ernpat aspek yaitu aspek ketersediaan pangan, akses pangan dan surnber nafkah, pernanfaatan atau penyerapan pangan dan kerentanan pangan. Dalam aspek pemanfaatan atau penyerapan pangan terdiri dari indikator harapan hidup anak urnur satu tahun, balita kurang gizi, persentase anak tidak diirnunisasi, persentase orang akses ke fasilitas air bersih untuk rninurn, persentase orang tinggal lebih dari 5 km dari puskesmas dan orang per dokter disesuaikan dengan kepadatan penduduk. Sekalipun suatu daerah atau masyarakat terlihat tahan pangan, dilihat dari aspek ketersediaan pangannya dan asupan pangan. Masalah kerawanan pangan bukan hanya masalah sektor pertanian yang terkait dengan ketersediaan pangan saja. Masalah ini berdasarkan lirna belas indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kerawanan pangan, yang terkait juga sektor kesehatan, pendidikan, kehutanan, dan prasarana fisik (Anonirn 2009). Secara keseluruhan kerawanan pangan rnasih tergantung pada beberapa indikator seperti akses pada prasarana kesehatan dan fasilitas dasar seperti akses terhadap air bersih, kebersihan dan lain-lain hasil dari pemanfaatan atau penyerapan pangan. Status kesehatan rnasyarakat tergantung tidak hanya pada jurnlah dan rnutu dari pangan yang dikonsurnsi, tetapi juga dari pemeliharaan kesehatan, akses terhadap air bersih dan fasilitas-fasilitas kebersihan yang dapat rnengurangi tirnbulnya penyakit dan kematian. Tingginya tingkat status gizi, rendahnya tingkat tirnbulnya penyakit dan kematian akan dapat rneningkatkan harapan hidup rnasyarakat (Dewan Ketahanan Pangan RI & program Pangan Dunia PBB 2003). Menurut Sapuan (1977) diacu dalarn Amin ef a/. (1998) tanda-tanda terjadinya rawan pangan cukup banyak rnulai dari hal-ha1 yang berkaitan dengan penyebab rawan pangan hingga akibat rawan pangan. Selain itu juga terdapat tanda-tanda rawan pangan yang erat kaitannya dengan usaha individu atau rurnahtanga untuk rnengatasi kerawanan pangan. Tanda-tanda pada kelompok pertama, berhubungan dengan gejala kekurangan produksi dan cadangan pangan suatu ternpat yaitu (1) terjadinya eksplosif atau peledakan hama dan penyakit pada tanarnan; (2) terjadi bencana alam berupa kekeringan, banjir, gempa burni, gunung rneletus dan sebagainya; (3) terjadi kegagalan tanaman
pangan rnakanan pokok; (4) terjadi penurunan persediaan bahan pangan seternpat. Tanda-tanda rawan pangan kedua yang terkait dengan akibat rawan pangan yaitu kurang gizi dan gangguan kesehatan rneliputi: bentuk tubuh individu kurus, ada penderita Kurang Kalori Protein (KKP) atau Kurang Makan (KM), terjadi peningkatan jurnlah orang sakit yang dicatat di Balai Kesehatan dan puskesrnas, peningkatan angka kematian bayi dan balita, dan peningkatan angka kelahiran dengan angka berat badan di bawah standar (Sapuan 1977 diacu dalarn Arnin etal. 1998). lndikator rawan pangan ketiga yang erat hubungannya dengan rnasalah sosial ekonorni dalam usaha individu atau rurnahtangga untuk rnengatasi masalah rawan pangan rneliputi: bahan pangan yang kurang biasa dikonsumsi seperti gadung sudah rnulai dirnakan oleh sebagian rnasyarakat, peningkatan jurnlah rnasyarakat yang rnenggadaikan aset, peningkatan penjualan ternak, peralatan produksi (bajak dan sebagainya) dan barang-barang yang tidak bergerak (bagian rurnah) dan peningkatan krirninalitas (Sapuan 1977 diacu dalarn Arnin etal. 1998). Dalarn upaya penanganan kerawanan pangan, Pernerintah Indonesia bekerjasarna dengan World Food Programme (WFP) telah menyusun peta kerawanan pangan atau Food lnsecurify Atlas (FIA) yaitu suatu alat untuk mengetahui daerah rawan pangan dengan perrnasalahan yang rnelatarbelakangi kejadian rawan pangan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan kebijakan bagi penanggulangan kerawanan pangan. Peta rawan pangan dan gizi menggarnbarkan tingkat kerawanan rnasingrnasing wilayah yang ditinjau dari tiga aspek yaitu pangan, gizi dan kerniskinan yang berguna bagi pernerintah daerah untuk rnengidentifikasidaerah yang rawan pangan, rnernpertajarn penetapan sasaran untuk tindakan intervensi dan rnernperbaiki kualitas perencanaan di bidang pangan dan gizi (Dewan Ketahanan Pangan 2007). Analisis yang dilakukan pada pernetaan FIA tidak rnengikutserlakan daerah perkotaan, tetapi hanya dilakukan pada 265 kabupaten di 30 provinsi. Kerawanan pangan di daerah perkotaan harus dianalisis secara terpisah sebab rnernpunyai karakteristik tersendiri. lndikator yang dipergunakan untuk daerah perkotaan hanya rnenggunakan indikator kesehatan dan indikator keluarga rniskin serta indikator harga pangan pokok.beras, sedangkan indikator pertanian
tidak diperhitungkan. Ketiga indikator tersebut dikornpositkan untuk rnendapatkan garnbaran daerah rawan pangan dan gizi (IPB 2008) Penyusunan peta FIA dilakukan pada daerah rawan pangan kronis dan rawan pangan transien. Rawan Pangan Kronis adalah keadaan rawan pangan berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu. Kondisi ini dapat disebabkan karena keterbatasan sumberdaya
alarn
(SDA) dan
keterbatasan
kemarnpuan
sumberdaya rnanusia (SDM) sehingga rnenyebabkan kondisi rnasyarakat rnenjadi miskin. Rawan Pangan Transien adalah keadaan kerawanan pangan yang disebabkan oleh kondisi yang tidak terduga antara lain: berbagai rnusibah, bencana alarn, kerusuhan, musirn yang rnenyirnpang dan keadaan lain yang bersifat rnendadak (Departernen Pertanian 2006). Penurunan pendapatan terkait erat dengan peningkatan kerawanan pangan dan terjadinya rnasalah gizi. Pada tingkat pendapatan perkapita yang lebih rendah, perrnintaan terhadap pangan akan tertuju pada pangan yang padat energi, terutarna padi-padian. Rurnahtangga yang tergolong rniskin tidak akan rnempunyai daya beli yang dapat digunakan untuk rnenjamin ketahanan pangan rumahtangga (Tabor, Soekirrnan, & Martianto 2004). Secara filosofis, seseorang dikatakan rniskin apabila tidak rnarnpu berdiri sederajat dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini rnenjelaskan bahwa kerniskinan rnerniliki rentang dirnensi dan kerelatifan yang lebar. Kerniskinan absolut adalah kemiskinan yang dapat rnernbuat seseorang tidak rnarnpu rnengakses segala kebutuhan pokok hidupnya terrnasuk rnakanan. Pada dasarnya orang rniskin dapat dikelornpokkan menjadi dua bagian yaitu pertarna kelornpok rniskin kronis adalah rniskin yang sakit disembuhkan dan selalu kambuh atau chronic poverty. Yang termasuk dalarn kelompok ini antara lain individulrumahtangga yang tidak mempunyai kapasitas atau kemarnpuan untuk bekerja dan rnernperoleh pendapatan seperti orang cacat, orang sakit dalarn waktu lama dan orang tua. Kelornpok lainnya yang rnasuk dalam kategori ini adalah rurnahtangga yang rnernperoleh pandapatan dari surnber daya yang marginal, rendah produktivitas serta tidak stabil produksinya karena sumberdaya yang rapuh-seperti petani lahan kering yang didorninasi oleh tanarnan palawija dan ternak, petani rawa atau pasang surut juga didorninasi oleh tanarnan pangan, nelayan kedperikanan laut yang berada di wilayah pantai. Dernikian juga para buruh di kota yang rnernperoleh pendapatan dari pekerjan tidak tetap dan tidak rnenentu seperti buruh informal dan umurnnya rnereka bertempat
tinggal di wilayah kumuh, bantaran sungailtepi re1 kereta api, berurnah karduslplastik. Kedua, kelompok rniskin transisi (transient poverty) yaitu terjadi hanya sernentara waktu atau orang miskin baru. Salah satu penyebabnya karena krisis ekonomi seperti PHK, inflasi tinggi, harga pangan rnelonjak naik. Fenornena ini urnumnya banyak dijurnpai di perkotaan. Di samping itu, kemiskinan transisi juga disebabkan oleh pengaruh rnusim misalnya kekeringan yang panjang El Nino atau banjir La Nina, sehingga produksi pertanian merosot dan gagal. Mereka yang terkena adalah penduduk yang berada di wilayah dimana yang terkena bencana alam dan konflik sosial, yang kemudian diikuti dengan pengungsian massal. Kelemahan rnasyarakat miskin ditandai oleh lernahnya nilai tukar hasil produksi,
rendahnya
produktivitas,
lernahnya
organisasi,
lernahnya
perkembangan SDM, tidak adanya akses terhadap hasil-hasil pembangunan, rendahnya teknologi, rendahnya pendapatan, adanya kesenjangan antara kaya dan rniskin, minirnnya kemampuan berpartisipasi dalam pembangunan nasional. lemahnya posisi tawar menawar dan lain-lain (Irawati 2006). Penanggulangan kemiskinan mernerlukan penanaman nilai-nilai moral yang dapat meningkatkan rasa tanggung jawab sosial. Tanggung jawab ini dipikul bersama oleh masyarakat, sehingga semua pihak wajib turut mengatasinya (Khomsan 1997). Penduduk miskin di lndonesia menurun dari 18.2 persen pada tahun 2002 menjadi 17.4 persen tahun 2003 dan 16.7 persen tahun 2004. Pengentasan kemiskinan mensyaratkan kombinasi pendkkatan antara proses pemberdayaan masyarakat dengan dukungan intervensi pemerintah. Pemberdayaan ini dilaksanakan dengan sasaran kaum miskin dengan cara meningkatkan kernampuan dan keterampilan merencanakan serta melaksanakan usaha ekonomi produktif (Nainggolan 2006). Sajogjo rnerumuskan batas kemiskinan dengan pengeluaran setara beras 320 kglkapita pertahun di pedesaan dan 480 kglkapita pertahun di perkotaan (Khomsan 2000). Sejak tahun 1993 garis kemiskinan lndonesia dihitung menggunakan pendekatan gizi. Pendekatan gizi yang digunakan berupa pendapatan untuk memenuhi kebutuhan kalori minimum setara kebutuhan orang dewasa sebesar 2 100 kkal perhari. Pengukuran garis kemiskinan di lndonesia dilakukan oleh BPS (Tabor, Soekirrnan, & Martianto 2004).
Kerniskinan merniliki keterkaitan erat dengan kerawanan pangan dan aksesibilitas pangan. Penduduk rniskin rnerniliki resiko tinggi dan rentan terhadap situasi rawan pangan. Peningkatan kerniskinan akan rneningkatkan kerawanan pangan dan status gizi yang rendah. Kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan tingkat pendapatannya. Rendahnya tingkat pendapatan mernperburuk konsumsi energi dan protein (Nainggolan 2006). Dengan kata lain, rendahnya pendapatan sebagai salah satu indikator kerniskinan rnengakibatkan ketahanan pangan yang diukur melalui skor PPH dan AKG konsurnsi rendah serta dalam jangka panjang berdampak pada status gizi yang rendah. Dalam ketahanan pangan, status gizi merupakan muara akhir subsistem dan sisternnya. Dengan kata lain status gizi rnerupakan indikator yang mencerrninkan baik buruknya ketahanan pangan. Salah satu kelornpok rnasyarakat yang sangat sensitif terhadap rnasalah ketahanan pangan adalah balita. Oleh karena itu, status gizi balita di suatu wilayah rnenunjukkan kondisi ketahanan pangan di wilayah tersebut (Nainggolan 2006). Anak balita yang kekurangan gizi dengan rnudah dapat dilihat dari berat badan yang tidak sesuai standar rnenurut urnur. Status gizi kurang dapat diperburuk oleh kesehatan lingkungan rumahtangga yang kurang rnemadai sehingga dapat rneningkatkan angka kesakitan akibat infeksi (Khornsan 1997). UNICEF (1990) diacu dalarn Atrnawikarta & Murniningtyas (2006) mengembangkan kerangka pikir rnengenai penyebab rnasalah gizi. Kerangka pikir UNICEF tersebut menjelaskan situasi pangan dan gizi di suatu wilayah. Situasi pangan dan gizi yang tidak sesuai pada masing-masing titik akan berpengaruh baik
secara
langsung
rnaupun tidak
langsung
terhadap
outcomenya. Oufcome situasi ini adalah status gizi balita. Status gizi balita rnenjadi salah satu indikator situasi pangan dan gizi.
Outcome Penyebab langsung ola asuh pemberian Penyebab tidak langsung
kesehatan lingkungan
Akar masalah Kondisi budaya, ekonomi, politik dan Gambar 3
Kerangka pikir penyebab masalah gizi (UNICEF 1990 dalam Atmawikarta & Murniningtyas 2006).
Tabor. Soekirman, dan Martianto (2004) menyebutkan bahwa terutama anak balita (termasuk bayi) disarnping ibu hamil dan menyusui termasuk kelornpok
rawan
karena
mereka
sangat
sensitif terhadap
perubahan
ketersediaan pangan dan kondisi kesehatan rurnahtangga Keterkaitan aktual antara krisis, ketahanan pangan, kemiskinan dan status gizi pada kelornpok rawan sangat kompleks. Keterkaitan hubungan tersebut baik dari keeratan maupun intensitas hubungan dapat berubah. Hal ini terjadi seiring dengan perubahan waktu atau perbedaan karakteristik wilayah dan sosial (Tabor. Soekirman, & Martianto 2004). Keterkaitan ini merupakan pengembangan dari kerangka pikir penyebab masalah gizi yang disusun oleh UNICEF. Keterkaitan antara faktor sosial ekonomi, konsurnsi pangan, dan penyakit dengan status gizi pada kelompok rawan (Tabor, Soekirman, & Martianto 2004) dapat dilihat pada Garnbar 4.
Kelornpok /
lndividu
Konsurnsi Pangan
c--=3
Penyakit infeksi
Rurnah Tangga
Masyarakat
Ketahanan
G1 Produksi &
lnflasi dan
pangan
pangan
Krisis Ekonorni. Politik, dan Sosial Garnbar 4
Keterkaitan antara faktor sosial ekonomi, konsurnsi pangan, dan penyakit dengan status gizi pada kelornpok rawan (Tabor, Soekirrnan, & Martianto 2004):
Keterkaitan antara krisis dan berbagai faktor yang rnernpengaruhi status gizi kelornpok rawan. Besar kecilnya darnpak krisis terhadap perubahan ketersediaan atau produksi pangan rurnahtangga, tingkat harga kornoditas pangan, kesernpatan kerja, tingkat upah dan pelayanan sosial akan rnenentukan berat-ringannya tingkat kemiskinan dan status ketahanan pangan di rnasyarakat. Darnpak krisis terhadap ketahanan pangan rumahtangga akan tergantung pada kernarnpuan rurnahtangga rnengakses pangan serta distribusinya dalarn rurnahtangga, tingkat perhatian yang diberikan kepada kelornpok rawan, dan ketersediaan pelayanan kesehatan. Berbagai faktor ini bersama-sarna dengan pola konsurnsi pangan akan rnenentukan status gizi kelornpok rawan (Tabor, Soekirrnan, 8 Martianto 2004). Pada hakikatnya ketahanan pangan tidak dapat dilepaskan dari pengertian ketahanan gizi karena dampak pangan yang kita konsurnsi terrnanifestasikan dalam rurnahtangga (Khornsan 1997).
bentuk status gizi
seluruh anggota
Penyebab kerniskinan dan kerawanan pangan yang terjadi di Indonesia dan negara berkernbang lainnya adalah kegagalan kebijakan pernbangunan untuk rneningkatkan aksesibilitas pada: (1) lapangan kerja produktif, (2) aset produktif, (3) sumber pernbiayaan, dan (4) isolasi geografis. Oleh karena itu, penanggulangan kerniskinan dan kerawanan pangan secara berkelanjutan adalah dengan rnenata kernbali pernanfaatan surnberdaya alarn disertai pengernbangan kelernbagaan pertanian dan lernbaga keuangan pedesaan yang rnandiri (Kasryno 2004). Saat rurnahtangga tidak rnarnpu rnernbeli kebutuhan pangan, rnaka status gizi dari kelornpok rawan pangan akan terganggu. Tingkat dirnana ketahanan pangan rurnahtangga akan terjaga atau terancarn sangat tergantung pula dengan kebijakan pernerintah rnengenai harga. (Tabor, Soekirrnan, & Martianto 2004). Pentingnya inte~ensipernerintah dalarn perbaikan pangan dan gizi terkait dengan investasi pernbangunan nasional. Hal ini disebabkan karena (1) perbaikan gizi rnerniliki economic returns yang tinggi, (2) inte~ensigizi rnarnpu rnendorong pertumbuhan ekonorni, serta (3) rnernbantu rnengurangi kerniskinan rnelalui perbaikan produktivitas kerja, pengurangan hari sakit dan biaya pengobatan. Berbagai program pernbangunan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat kabupatenlkota perlu lebih diarahkan pada dukungan fasilitasi peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, distribusi dan aksesibilitas pangan dan perbaikan konsurnsi pangan. Program ini antara lain: (1) pemanfaatan potensi dan keragarnan surnberdaya lokal secara efisien dengan rnernanfaatkan teknologi spesifik lokasi; (2) pengembangan sarana prasarana yang rnendukung produksi pangan; (3) peningkatan pelayanan penyuluhan dan pendarnpingan ketahanan pangan rnasyarakat; (4) pengembangan perdagangan pangan regional dan antar daerah; (5) pengernbangan lurnbung pangan dan cadangan pangan; (6) peningkatan kualitas konsumsi pangan rnelalui diversifikasi konsurnsi pangan; (7) revitalisasi Kewaspadaan Pangan dan Gizi sebagai sistern pemantauan dini rawan pangan; serta (8) fasilitasi terhadap perrnasalahan lain yang
terkait
dengan
penanganan
kelornpok
rawan
pangan
(Pusat
Pengernbangan Distribusi Pangan DKP 2005). Peningkatan
pendapatan
penduduk
dan
urbanisasi
rnendorong
perubahan pola konsumsi penduduk untuk lebih banyak mengkonsurnsi produk peternakan seperti daging, telur, dan susu (Kasryno 2004). Peningkatan
pendapatan lebih lanjut tidak hanya akan rneningkatkan keanekaragarnan konsurnsi pangan, tetapi juga akan berakibat pada peningkatan konsurnsi pangan yang lebih rnahal dan kaya gizi termasuk konsurnsi pangan di luar rurnah (Tabor, Soekirrnan, & Martianto 2004). Acuan secara kuantitatif konsurnsi pangan rekornendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Vlll tahun 2004 perkapita perhari energi rata-rata sebesar 2 000 kkal dan protein 52 gram. Acuan tingkat keragaman konsurnsi pangan dengan skor PPH ideal 100 (Nainggolan 2006). Konsurnsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor meliputi ekonomi, budaya, ketersediaan, pendidikan, gaya hidup, dan sebagainya. Walaupun dernikian, variabel pendapatan atau daya beli rnenjadi faktor utarna yang rnernpengaruhi konsumsi pangan penduduk. Daya beli yang
rnenurun
menyebabkan rnasyarakat rnengurangi konsurnsi pangan yang harganya rnahal dan rnensubstitusinya dengan pangan lain yang lebih rnurah (Martianto & Ariani 2004).
METODE PENELlTlAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini rnenggunakan rnenggunakan data sekunder yang berkaitan dengan rnasalah kerawanan pangan tahun 2004 atau 2005 serta intewensi yang telah dilakukan pada tahun 2006. Kegiatan penelitian dilakukan selarna satu tahun rnulai Februari 2007 hingga Mei 2008. Penelitian analisis tingkat kerawanan pangan dilakukan di Kota Bogor. Pernilihan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja) atas pertirnbangan bahwa daerah tersebut rnerupakan daerah penyangga ibukota negara dan rnerupakan perkotaan bukan daerah produksi tanarnan pangan. Jenis, Sumber dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikurnpulkan adalah data sekunder yang berhubungan dengan akses pangan rneliputi jurnlah rurnahtangga rniskin, jurnlah rurnahtangga dengan akses listrik; kesehatan dan gizi rneliputi angka harapan hidup (AHH), prevalensi balita gizi kurang (BBIU), rasio jurnlah penduduk per dokter, jurnlah rurnahtangga dengan akses ke air bersih, dan jurnlah anak yang tidak rnendapat irnunisasi, konsurnsi pangan masing-masing kecarnatan serta jurnlah penduduk dari masing-masing kecarnatan; dan program yang berkaitan dengan pangan dan gizi pada tahun 2006. Data diperoleh dengan cara penelusuran pada instansi terkait, rneliputi Dinas Agribisnis, Badan Pusat Statistik (BPS), Perusahaan Listrik Negara (PLN), Perusahaan Daerah Air Minurn (PDAM), Dinas Kesehatan, Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bogor. Data keadaan urnurn wilayah rneliputi garnbaran umurn lokasi penelitian, letak geografis, penggunaan lahan, penduduk, angka rnelek huruf, jenis pekerjaan dan ketersediaan pangan penduduk Kota Bogor. Jenis data dari kornponen akses. pangan, kesehatan dan gizi serta realisasi program terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis, surnber dan tahun data yang diperlukan Korn~onen kerawanan panganJenis data Surnber data realisasi program Jurnlah Kantor Kependudukan dan Akses Pangan rumahtangga rniskin Catatan Sipil Jurnlah PLN rumahtangga yang rnendapat sarnbungan listrik Kesehatan dan Gizi
Realisasi Program
Angka Harapan Hidup Prevalensi balita gizi kurang menurut BBlU Jumlah anak yang tidak mendapat imunisasi Jurnlah rurnahtangga yang rnendapat air bersih * Jurnlah dokter * Konsurnsi pangan penduduk di masing-masing kecarnatan Kepadatan penduduk
. .
.Program yang berkaitan dengan Pangan dan Gizi
Tahun 2005
BPS
2004
Dinas Kesehatan
2005
Dinas Kesehatan
2005
Dinas Kesehatan
2005
Dinas Kesehatan Dinas Kesehatan
2005
BPS Dinas Pendidikan, Dinas Agribisnis, Dinas Kesehatan, Dinas Tata Kota dan Pertarnanan, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, Dinas Perindagkop, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Bappeda
2006
Pengolahan dan Analisis Data Gambaran urnurn wilayah Kota Bogor dianalisis dari data ketersediaan pangan yang berasal dari data produksi beras, jagung dan ubi kayu, ubi jalar dan jagung serta jumlah penduduk. Data tersebut diperoleh dari Dinas Agribisnis tahun 2005. lndikator yang dipergunakan dalarn penilaian kerawanan pangan dari kornponen akses pangan dilihat dari: 1) jurnlah rurnahtangga miskin, 2) persentase rurnahtangga dengan akses listrik; kesehatan dan gizi dinilai dari 1) angka Harapan Hidup (AHH), 2) prevalensi balita gizi kurang, 3) jumlah
penduduk per dokter sesuai dengan kepadatan penduduk, 4) persentase rumahtangga yang akses ke air bersih 5) persentase anak yang tidak diimunisasi dan 6) tingkat konsumsi pangan. lndikator dan definisi komponen kerawanan pangan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 lndikator dan definisi komponen kerawanan pangan Kategori lndikator Definisi Akses Pangan 1. Persen rurnahtangga Rurnahtangga Pra-sejahtera dan rniskin Rurnahtangga Sejahtera 1 karena alasan ekonomi dalarn klasifikas Kesejahteraan BBKKBN
Kesehatan dan Gizi
2.
Persen RT terhubung fasilitas listrik
Persen rurnahtangga yang rnernpunyai akses terhadap fasilitas listrik
3.
Angka Harapan Hidup (AHH)
Rata-rata jumlah tahun hidup yang diharapkan akan dicapai seorang anak pada saat lahir
4.
Prevalensi balita gizi kurang (BBIU)
Persentase anak di bawah urnur 5 tahun dengan berat kurang dari tingkat sedang sarnpai tinggi (kurang dari -2 SD berdasarkan standar NCHS) per kecarnatan
5.
Rasio jurnlah penduduk per dokter terhadap kepadatanpenduduk
Total populasi dibagi total dokter di kecarnatan dibagi dengan kepadatan penduduk
6.
Populasi dengan akses ke air rninurn bersih
Pernbagian jurnlah rurnahtangga yang rnernperoleh air bersih dengan total rurnahtangga per kecarnatan
7.
Persen anak yang tidak diirnunisasi
Persen anak yang berumur 12 sarnpai 13 bulan yang tidak diirnunisasi carnpak per kecamatan
8.
Tingkat konsumsi pangan
Rata-rata konsurnsi pangan dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) -
-
-
-
-
Data konsumsi diambil dari Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) Kota Bogor. Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) adalah salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dalam rangka ketahanan pangan untuk mengetahui besaran rawan pangan, secara berkala setiap tiga tahun sekali. PKG ini menjadi sangat penting untuk dilaksanakan secara berkala, sehingga pemerintah daerah dapat melakukan kebutuhan konsumsi pangan di wilayah kerja masing-masing. PKG dilaksanakan agar ketahanan pangan tingkat rumahtangga bisa selalu diketahui. Hasil PKG dapat dianalisis sebagai masukan pemerintah daerah untuk rencana pembangunan pangan dan gizi.
Data dianalisis secara deskriptif, kemudian diklasifikasikan ke dalarn enarn kategori kerawanan pangan berdasarkan indikator yang ada. Suatu rumahtangga dikatakan tahan pangan jika Tingkat Konsurnsi Energi di atas 70 persen (TKE >70%). Jika Tingkat Konsurnsi Energi di bawah 70 persen (TKE <70%), rnaka rurnahtangga tersebut dikatakan rawan pangan (Depkes 2000). lndikator
yang
digunakan
dalam
analisis
kerawanan
rnenyesuaikan dengan indikator FIA (Food lnsecurify Aflas)
pangan
yang digunakan
WFP (World Food Programme 2003) dalam analisis kerawanan pangan nasional. Narnun telah dilakukan penyesuaian pengukuran untuk meningkatkan akurasinya yaitu indikator ketersediaan yang semula digunakan satuan berat kemudian diperbaiki dengan melihat kecukupan energi (satuan kalori). Analisis kesesuaian program pernerintah daerah Kota Bogor dengan keadaan kerawanan pangan menggunakan analisis deskriptif. Analisis ini rneliputi situasi kerawanan pangan tingkat kecarnatan, kesesuaian program dengan situasi kerawanan pangan serta untuk menyusun rekornendasi jenis program. Konsurnsi normatif per kapita diukur dengan 1) Kornoditas yang dipertimbangkan adalah padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar yang diproduksi di daerah tersebut, 2) Ketersediaan pangan dalam satuan kalori, dan 3) Kebutuhan normatif dihitung dalam satuan 270 grlkaplhari atau 1100 kkallkapitalhari. Penilaian pada masing-masing indikator kerawanan pangan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Penilaian pada masing-masing indikator kerawanan pangan lndikator 1. % jurnlah rumahtangga miskin
Uraian Pengukuran A = Jurnlah rumahtangga Pra - Sejahtera (rurnahtangga) B = Jurniah rumahtangga sejahtera I (rurnahtangga) C = Total rumahtangga di masing-masing kecamatan Rumusan indiaktor 2 adalah : X2 = (A+B)/C * 100% Penilaian 1. >30 3 Sangat Rawan 2. 25- 30 3 Rawan 3. > 2 0 - 25 3 Agak Rawan 4. > 15-20 CukupTahan 5. 10- 15 Tahan 6. < = I 0 3 Sangat Tahan
.
. .
2. % rumahtangga dengan akses listrik
. -
+ +
Pengukuran Rumahtangga yang menggunakan listrik, baik dari PLN maupun A dari cara lain seperti diesel, kincir air, dl1 Jumlah rumahtangga yang terdapat di wilayah tersebut B = Rumusan indiaktor 3 : x 3 = (PlB)'100%
+
+
Tabel 3 Penilaian pada masing-masing indikator kerawanan pangan (Lanjutan) lndikator
3. Angka Harapan Hidup (AHH)
Uraian Penilaian 1. <75 3 Sangat Rawan 2. 75-c80 3 Rawan 3. 60 - <85 -3 Agak Rawan 4. 85 - 4 0 3 CukupTahan 5. 90 - c95 -3 Tahan 6. >= 95 3 Sangat Tahan Pengukuran = Rata-rata jumlah tahun hidup yang diharapkan akan dicapai Jumlah total anak berumur 1 tahun dibagi dengan jumlah total anak hidup saat dilahirkan Penilaian
-.
--
4. % Balita Gizi kurang
5. Jumlah penduduk per dokter sesuai dengan kepadatan penduduk
6. % rumahtangga akses ke air bersih
3. 57 - <59 4. 59 - <61 5. 61 - c63 6. 5 6 3 Pengukuran Jumlah balita Jumlah balita gizi kurang Rumusan indiaktor 5 : X5 = (NB) ' 100%
-3 Agak Rawan -3 Cukup Tahan 3 Tahan -3 Sangat Tahan
Penilaian 1. > 5 0 3 Sangat Rawan 2. > 45- 50 -3 Rawan 3. > 4 0 - 45 3 Agak Rawan 4. > 3 5 - 4 0 3 CukupTahan 5. > 2 5 - 3 0 3 Tahan 6. c=25 3 Sangat Tahan Penaukuran ~ i m l a hpenduduk per dokter sesuai dengan kepadatan penduduk merupakan perhitungan dari total populasi dibagi total dokter di kecamatan menghasilkan jumlah penduduk per dokter. = Hasilnya kemudian dibagi dengan kepadatan penduduk untuk memperoleh jumlah populasi terkoreksi yang dilayani per dokter. Semakin banyak penduduk yang dilayani seorang dokter di wilayah tertentu menunjukkan semakin rendah akses penduduk terhadap pemeiiharaan kesehatan. = Rumusan indiaktor 6 : X6 = (NB)/C '100 A = Jumlah penduduk (jiwa) B = Jumlah dokter (orang) C = Kepadatan penduduk (jiwalkm2) ~
~~
Penilaian 1. > = l o o 3 Sangat Rawan 2. 8 0 - < I 0 0 3 Rawan 3. 60 - < 8 0 -3 Agak Rawan 4. 4 0 - <60 -3 CukupTahan 5. 20 - <40 3 Tahan 6. <20 -3 San at Tahan Pengukuran * Jumlah RT yang menggunakan air bersih untuk keperluan seharihari tahun 2005 (A) Jumlah RT menggunakan sumur gali, PAM, sumur Pornpa, hidrant umum, perpipaan air, mata air (B) Rumusan indiaktor 6 : X6 = (BIA) ' 100%
-
Tabel 3 Penilaian pada masing-masing indikator kerawanan pangan (Lanjutan) indikator
Uraian Penilaian
1. < = 4 0 >40-50 3. > 5 0 - 6 5 4. > 65 - 80 5. > 80 - 90 6. >=90 2.
7. % anak yang tidak diimunisasi
Pengukuran ~ersentaseanak yang berumur 12 - 13 bulan yang diimunisasi (A). Ju'mlah anak yang terdapat di wilayah tersebut (B). Rurnusan indiaktor 7 : X7 = (1-(BIA)* 100 % Peniiaian 1.
2. 3. 4. 5. 6. 8. Tingkat konsumsi pangan c70%
Sangat Rawan Rawan Aaak Rawan c i k u p Tahan 3 Tahan 3 Sangat Tahan
3 3 3 3
>20 15-<20 1 0 - < 15 5 - < 10 2.5 - <5 <2.5
3 Sangat Rawan 3 Rawan 3 Aaak Rawan 3 ~ i k u Tahan p 3 Tahan 3 Sangat Tahan
-Pengukuran ~iasifikasitingkat konsumsi pangan yang dipergunakan adalah klasifikasi menurut Departemen Kesehatan (1996) Penilaian
1. 2. 3. 4. 5. 6.
>50 40-<50 30 -<40 20- <30 10 - <20
3 Sangat Rawan 3 Rawan
+ Agak Rawan
3 Cukup Tahan 3 Tahan
3 Sangat Tahan
Hasil analisis seluruh indikator yang sangat mempengaruhi kerawanan pangan pada masing-masing kecamatan kemudian diurutkan menurut kategori dengan menggunakan metode ranking. Untuk mengetahui tingkat kerawanan dihitung berdasarkan tingkat kerawanan yang dibagi menjadi enam status tingkat kerawanan (Dewan Ketahanan Pangan RI & Program Pangan Dunia 2003) yang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Rangking tingkat kerawanan pangan Tingkat kerawanan Sangat Rawan Rawan Agak Rawan Cukup Tahan Tahan Sangat Tahan
Total Skor 8-14
35-41 42-48
Definisi Operasional 1. Tingkat kerawanan pangan adalah keadaan ketidakcukupan pangan
rurnahtangga untuk mernenuhi kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan (hidup aktif dan produktif) pada waktu tertentu yang dilihat dari akses pangan dan kesehatan dan gizi. 2. Akses pangan adalah keadaan ekonorni rurnahtangga dan sarana penunjang peningkatan ekonorni yang rnendukung kemudahan rurnahtangga untuk rnemperoleh pangan. 2a.
Persen miskin adalah persentase rurnahtangga yang rnasuk kategori Rurnahtangga
Pra-Sejahtera
dan
Rumahtangga
Sejahtera
I
dibandingkan total rumahtangga di masing-masing kecarnatan 2b.
Persen listrik adalah persentase rurnahtangga yang rnendapat sambungan listrik di kecamatan tersebut yang tecatat resmi di PLN.
3. Kesehatan dan gizi adalah salah satu aspek kerawanan pangan yang berkaitan dengan sarana dan pelayanan yang rnendukung kesehatan rumahtangga di kecamatan Kota Bogor. 3a. Angka Harapan Hidup (AHH) adalah rata-rata jurnlah tahun hidup yang diharapkan akan dicapai seorang anak pada saat lahir. 3b. Prevalensi gizi kurang adalah penjurnlahan antara prevalensi balita yang berstatus gizi kurang dan buruk di masing-masing kecarnatan yang diambil dari data hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) Balita (0-59 bulan) tahun 2006. 3c. Rasio jurnlah penduduk per dokter adalah perbandingan antara total populasi dengan total dokter di kecamatan dibagi dengan kepadatan penduduk. 3d. Persen akses air bersih adalah persentase pembagian antara jumlah rumahtangga yang rnernperoleh air bersih yang berasal dari sumur gali, PAM, sumur pornpa, hidrant urnum, perpipaan air, mata air dengan jumlah rurnahtangga di masing-masing kecamatan. 3e. Persen anak tidak irnunisasi adalah persentase anak yang berumur 12 13 bulan yang tidak mendapat irnunisasi campak. lmunisasi yang dipakai sebagai patokan adalah irnunisasi campak dengan asurnsi anak yang telah diimunisasi carnpak berarti telah rnendapat irnunisasi sebelumnya (BCG, DPT, dan Polio).
d"
3f. Tingkat konsurnsi pangan adalah perbandingan jurniah kebutuhan energi
yang dikonsurnsi dengan angka kecukupan energi (AKE) yang dianjurkan. 4. Ketersediaan (tingkat kecamatan) adalah jurnlah pangan yang harus tersedia untuk rnernenuhi kebutuhan pangan rurnahtangga di kecarnatan. 5. Konsurnsi norrnatif adalah rasio kebutuhan pangan pokok penduduk per tahun dibandingkan dengan produksi tanaman pangan setara beras per tahun di tiap kecamatan. 6. Prograrnlintervensi pernerintah adalah kegiatan yang telah dilaksanakan oleh
pernerintah Kota Bogor rnelalui instansi terkait untuk rnencegah dan menanggulangi kerawanan pangan.
7. Rekornendasi adalah saran yang diajukan sesuai dengan hasil kajian untuk rnencegah dan rnenanggulangi rnasalah yang berkaitan dengan kerawanan pangan di tiap kecarnatan.
8. lndikator adalah sesuatu yang dapat rnernberikan indikasi terjadinya kerawanan pangan di suatu wilayah.
HASlL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Bogor rnerniliki beberapa arti kata, nalnun keseluruhannya berrnakna terkait dengan pohon kawung atau pohon enau. Dalarn bahasa Sunda urnum rnenurut Coolsrna, L "Bogor" berarti "droogetaple kawoeng" (pohon enau yang telah habis disadap) atau "bladerlooze en taklooze boom" (pohon tak berdaun dan tak bercabang). Pada tahun 1745 Bogor ditetapkan sebagai Kota Buitenzorg yang berarti Kota tanpa kesibukan. Saat pernerintahan Gubernur Jenderal Baron van lmhoff tahun 1740 dibangun ternpat peristirahatan yang bernarna Buitenzorg di lokasi lstana Bogor saat ini. Pada tahun 1808 Bogor diresrnikan sebagai pusat kedudukan dan kediarnan resrni Gubernur Jenderal. Letak Karnpung Bogor awalnya di dalarn Kebun Raya Bogor (lokasi tanarnan kaktus). Berdasarkan UU Nornor 16 Tahun 1960 Kota Bogor ditetapkan menjadi kota besar dan kota praja yang terbagi dalarn 2 wilayah kecarnatan, 22 kelurahan, 5 kecarnatan, dan 1 perwakilan kecamatan. Berdasarkan PP Nomor 44 tahun 1992, rnenyebutkan bahwa perwakilan kecarnatan Tanah Sareal ditingkatkan statusnya rnenjadi kecarnatan. Pernerintahan di Kota Bogor dipirnpin oleh seorang Walikota dengan masa kepernirnpinan 5 tahun. Wilayah Kota Bogor terbagi rnenjadi 6 kecamatan, yaitu kecarnatan Tanah Sareal, Bogor Selatan, Bogor Tirnur, Bogor Utara, Bogor Tengah, dan Bogor Barat. Masing-masing kecarnatan terdiri dari kelurahanldesa, seluruhnya terrnasuk dalarn klasifikasi desa swadaya dan swakarya. Jumlah kelurahanldesa di Kota Bogor pada tahun 2005 rnencapai 68 buah (Larnpiran 1). Letak Geografis Kota Bogor rnerniliki luas 118 50 krn2, secara administratif wilayah ini terletak antara koordinat 30'30 Lintang Selatan hingga 6"51'00" Lintang Selatan dan 106"43'30° Bujur Tirnur serta 106"51'00" Bujur Tirnur, berada di tengahtengah Kabupaten Bogor dan diantara jalur PuncakICianjur serta jarak yang dekat dengan lbukota Jakarta yaitu kurang lebih 60 kilometer. Oleh karena itu Bogor rnerniliki potensi yang strategis untuk perkernbangan wilayah dan perturnbuhan kegiatan ekonorni. Peta Kota Bogor dapat dilihat pada Larnpiran 2, sedangkan batas Kota Bogor adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara
: Kecamatan Sukaraja, Bojong Gede, dan Kernang Kabupaten Bogor.
Sebelah Selatan : Kecarnatan Cijeruk dan Caringin Kabupaten Bogor. Sebelah Tirnur
: Kecarnatan Sukaraja dan Ciawi Kabupaten Bogor.
Sebelah Barat
: Kecarnatan Kernang dan Drarnaga Kabupaten Bogor.
Kemiringan sebagian besar wilayah Kota Bogor berkisar antara 0-15 persen. Perbukitan bergelornbang di Kota Bogor bervariasi dengan ketinggian 0 hingga >350 rn. Jenis tanah latosil coklat kernerahan harnpir terdapat di seluruh wilayah dengan tekstur tanah yang halus dan agak peka terhadap erosi. Secara umum wilayah Kota Bogor ditutupi batuan vulkanik dari endapan Gunung Pangrango dan Gunung Salak di bagian dalarn, sedangkan endapan permukaan tersusun tanah, pasir, dan kerikil hasil pelapukan endapan. Keadaan cuaca dan udara di Kota Bogor sangat sejuk. Hal ini disebabkan karena Kota Bogor terletak pada ketinggian rata-rata antara 190-350 rn dari perrnukaan laut, suhu rata-rata 26'C dan kelernbaban udara c 70 persen. Ratarata curah hujan di Kota Bogor rnencapai 390 rnrnlbulan dengan curah hujan tertinggi pada bulan Juni dan terendah pada bulan Nopernber. Tekanan udara rata-rata Kota Bogor 990 Nbs dengan tekanan udara tertinggi pada bulan Juni dan terendah pada bulan November. Wilayah Kota Bogor dialiri oleh 2 (dua) sungai besar yaitu Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane dengan anak sungai Cipakancilan, Cipaku. Cibalok, Cidepit dan Ciparigi. Letak permukaan air sungai tersebut jauh di perrnukaan sehingga Kota Bogor arnan dari bahaya banjir. Secara keseluruhan anak-anak sungai yang ada rnernbentuk pola aliran paralel sub paralel sehingga rnempercepat waktu rnencapai debit puncak (time to peak) pada kedua sungai besar tersebut. Pada umurnnya aliran sungai tersebut dirnanfaatkan oleh sebagian masyarakat Kota Bogor sebagai saran MCK (Mandi Cuci Kakus) dan usaha perikanan kararnba serta sumber air baku bagi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minurn). Selain beberapa aliran sungai yang rnengalir di wilayah Kota Bogor, terdapat juga beberapa rnata air yang urnurnnya dirnanfaatkan oleh rnasyarakat untuk kebutuhan air bersih sehari-hari. Kernunculan mata air tersebut umurnnya terjadi karena pernotongan bentuk lahan atau topografi, sehungga secara otornatis aliran air tanah tersebut terpotong. Kondisis tersebut dapat dilihat diantaranya di tebing jalan to1 Jagorawi, pinggiran Sungai Ciliwung di Karnpung Lebak Kantin, Babakan Sirna dan Bantar Jati dengan besaran debit bervariasi. Pernanfaatan potensi surnber air baku (raw
water) yang dikelola oleh PDAM Kota Bogor selain rnernanfaatkan Sungai Cisadane juga rnernanfaatkan mata air yang berlokasi di Kabupaten Bogor. Kapasitas air bersih PDAM 1 045.10 literldetik yang berasal dari sumber Mata air Kota Batu, Bantar Karnbing, Tangkil, Dekeng dan Cipaku. Cakupan air bersih yang berasal dari PDAM adalah 67 522 pelanggan dengan konsumsi rata-rata 23 706.416 rn31bulan. Bagi rnasyarakat yang belurn terjangkau oleh pipanisasi PDAM, pernerintah mernbangun layanan air bersih yang berasal dari rnata air di sekitar yang dapat dirnanfaatkan penduduk dengan debit mencapai 8,5 literldetik dari 7 mata air. Penggunaan Lahan Prinsip penataan ruang suatu wilayah pada dasarnya rnerupakan pengaturan terhadap pengunaan lahan yang ada di wilayah tersebut. Selain itu penggunaan lahan yang ada dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penataan guna lahan selanjutnya. Berdasarkan kondisi eksisting guna lahan di Kota Bogor tahun 1999, sebagian besar pengunaan lahan di wilayah ini adalah diperuntukkan bagi pernukiman yaitu seluas 8 296.63 Ha atau 70.01 persen dari luas keseluruhan. Penggunaan lahan untuk pertanian rnenernpati urutan kedua dengan presentase 10.87. Jurnlah terendah penggunaan lahan di Kota Bogor diperuntukkan bagi kolarn oksidasi (Instalasi Pembuangan Air Lirnbah atau IPAL) yaitu seluas 1.5 Ha. Presentase luasan penggunaan lahan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Persentase luasan penggunaan lahan Kota Bogor Jenis Penggunaan Permukiman Terminal Agrobisnis Kolam oksidasi IPAL Pertanian Kebun Campuran lndustri Perdagangan dan jasa
EksistingTahun 1999 Luas (Ha) Persentase (%) 8 296.63 70.01
Perkantoranlpemerintahan
Hutan Kota TarnanlLapangan Olahraga Kuburan Sungailsituldanau Ja!an Terminal dan Sub terminal Stasiun kereta api Jumlah Sumber: RTRW Kota Bogor 1999-2009
5.60 11 850.00
0.05 100.00
Kebun Raya Bogor selain menjadi ternpat wisata dan pendidikan juga rnerupakan hutan Kota seluas 141.5 hektar yang terletak ditengah-tengah kota mernberikan kontribusi kesejukan pada rnasyarakat Kota Bogor rnerniliki koleksi tanarnan hutan tropis paling lengkap. Selain itu kawasan yang tidak direncanakan oleh pernerintah tetapi terbentuk karena adanya arus urbanisasi adalah kawasan kurnuh, yaitu kawasan dengan perrnukaan yang tidak rnernenuhi persyaratan kesehatan, umurnnya berada pada lokasi di sepanjang bantaran sungai, tepian re1 kereta api, sekitar areal pusat perdagangan, sekitar areal transisi (pinggiran Kota), sekitar areal rawan banjir dan longsor serta areal kantong-kantong pernukirnan yang tertata terjepit (enclove) diantara rumah-rumah rnewah. Luas kawasan kurnuh di Kota Bogor pada tahun 2005 adalah 1.8 persen dari seluruh luas wilayah atau rnencapai 213.3 Ha yang tersebar di 6 kecamatan. Penduduk Jurnlah penduduk Kota Bogor Tahun 2005 rnenurut BPS (2006) adalah 855 085 jiwa yang terdiri dari 431 826 jiwa laki-laki dan 423 223 jiwa perernpuan. Sex Ratio penduduk adalah 102 yang artinya setiap 102 penduduk laki-laki
berbanding dengan 100 penduduk perernpuan. Dengan laju pertumbuhan penduduk 2.35 persen, jumlah penduduk Kota Bogor selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini ditunjukkan pula dengan pertarnbahan penduduk dari tahun 2001 sebanyak 760 329 jiwa rnenjadi 789 423 jiwa pada tahun 2002, 820 707 jiwa pada tahun 2003 dan 831 571 jiwa pada tahun 2004 rnenjadi 855 085 jiwa pada tahun 2005. Apabila dibandingkan dengan luas.wilayah Kota Bogor, maka rata-rata kepadatan penduduk tahun 2005 adalah 7 216 jiwa/krn2. Kecarnatan yang paling padat penduduknya adalah wilayah Bogor Tengah dengan kepadatan penduduk 12 691 jiwa/km2. Kepadatan penduduk berpotensi untuk mernudahkan penularan penyakit seperti pneumonia, dernarn berdarah dan TBC. Oleh karena itu program pemberantasan penyakit rnenular dikonsentrasikan di wilayah ini. Data rnobilitas penduduk tidak dapat disajikan, karena hingga saat ini data ernigrasi dan irnigrasi penduduk belurn ada. Sebaran jurnlah penduduk di Kota Bogor secara lengkap terdapat pada Tabel 6.
Tabel 6 Sebaran jurnlah dan kepadatan penduduk Kota Bogor tahun 2005 Kecamatan Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Kota Bogor Sumber: BPS 2006
Rumahtangga
Penduduk (jiwa)
Luas Wipyah (Km )
Kepadatan Penduduk
39 050 18 594 35 187 24 256 41 753 35 517 194 357
166 745 86 978 149 578 103 176 190 421 158 187 855 085
30.81 10.15 17.71 8.13 32.85 18.84 118.50
5 412 8 569 8 441 12 691 5 797 8 396 7 216
Angka ketergantungan penduduk tidak produktif (urnur 0-4 tahun dan 65 tahun lebih) terhadap penduduk produktif usia 15 sarnpai 64 tahun adalah 46.79 yang berarti setiap 100 penduduk usia produktif menanggung sekitar 47 penduduk tidak produktif. Keadaan ini rnengindikasikan kondisi yang cukup baik dengan asumsi secara rata-rata seorang yang tidak produktif ditanggung oleh dua orang penduduk yang produktif. Angka rasio ketergantungan penduduk rnuda di Bogor Tengah (33.27) paling rendah dibanding wilayah lain karena jurnlah penduduk urnur 0 sarnpai 14 tahun lebih rendah dibanding kecamatan lainnya. Jurnlah penduduk rnenurut rasio ketergantungan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Jurnlah penduduk rnenurut rasio ketergantungan Kecamatan
Rasio Ketergantungan
Bogor Selatan Bogor Tirnur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Kota Bogor Sumber: BPS Kota Bogor 2006
51.92 46.74 46.13 40.40 45.24 48.50 46.79
Rasio ketergantungan Penduduk muda 46.32 41.54 42.18 33.27 40.17 43.51 41.56
Rasio ketergantungan penduduk tua 5.59 5.20 3.95 7.13 5.07 4.98 5.23
Tabel 8 menunjukan struktur penduduk terbanyak adalah urnur 15 sarnpai 44 tahun berarti kornposisi penduduk Kota Bogor bergeser ke level yang lebih
tinggi tingkatannya yaitu mengalarni transisi urnur penduduk rnuda ke tua. Pada tahun 2004 kornposisi penduduk usia anak-anak dan remaja (usia di bawah 20 tahun) sebesar 37.93 persen bergeser rnenjadi 38 persen pada tahun 2005. Jurnlah penduduk yang berusia 0 sarnpai 4 tahun paling banyak terdapat di Bogor Barat (18 379 anak) dan paling rendah di Bogor Tengah (8 294 anak).
Tabel 8 Penduduk per kecarnatan rnenurut kelompok umur Kecamatan
0- 4 Bogor Selatan 17 041 8 379 Bogor Timur Bogor Utara 14 771 8 294 Bogor Tengah Bogor Barat 18 370 ana ah Sareal 15 894 Total 83 109 Sumber: BPS Kota Bogor 2005
Kelompok Umur
5-14 34 252 16 243 28 404 16 152 34 294 30 457 159 802
-
15 44 88 097 47 565 84 063 56 577 102 154 82 307 457 322
45 - 65 21284 11 303 17 604 15510 24 964 19216 109 881
65 + 6145 3 064 4 041 5243 6 652 5310 30 455
Angka Melek Huruf
Angka rnelek huruf (AMH) adalah indikator yang rnenggarnbarkan rnutu surnber daya rnanusia yang diukur dalam aspek pendidikan yaitu dilihat dari kemarnpuan rnernbaca dan rnenulis. Dengan kernarnpuan baca tulis rnaka inforrnasi dapat lebih rnudah diterirna penduduk. AMH Kota Bogor selalu rneningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2005 adalah 98.92 yang berarti sekitar 98 dari 100 penduduk usia 10 tahun keatas sudah dapat rnembaca dan menulis. Hal ini ditunjukkan bahwa kernarnpuan penduduk Kota Bogor dalarn ha1 rnembaca dan rnenulis sudah sangat baik dilihat angka rnelek huruf yang telah rnencapai lebih dari 98 persen di seluruh kecarnatan. Pada Tabel 9 dapat dilihat AMH di masing-masing kecarnatan. Kecarnatan Bogor Tengah rnernpunyai AMH tertinggi dibanding kecarnatan lainnya yaitu 99.48, ha1 ini ditunjang oleh banyaknya fasilitas sekolah . Tabel 9 Angka rnelek huruf per kecamatan Melek Huruf Kecamatan Bogor Selatan Bogor Tirnur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Surnber: BPS Kota Bogor 2006
2003 97.31 97.93 97.44 98.25 98.07 97.38
2004 98.11 98.74 98.25 99.07 98.89 98.19
2005 98.52 99.16 98.65 99.48 99.30 98.60
Buta Huruf 2005 1.48 0.82 1.35 0.52 0.70 1.40
Angka rnelek huruf di Kota Bogor sudah baik namun tidak diikuti dengan kualitas pendidikan melalui jalur pendidikan formal. Menurut data BPS tahun 2005, tersedia sarana pendidikan negeri rnaupun swasta sebanyak 312 sekolah
dasar, 103 sekolah menengah pertama, 48 sekolah menengah atas, 56 sekolah rnenengah atas kejuruan dan 9 perguruan tinggi. Pendidikan formal yang telah diternpuh penduduk dapat dilihat dari ijazah tertinggi yang dirniliki. Jumlah penduduk yang berumur 10 tahun ke atas sarnpai tahun 2005 rnasih banyak
yang berpendidikan SLTA ke bawah, terlihat dari persentase penduduk yang rnernpunyai ijazah SD sebanyak 31.20 persen, SLTP 19.31 persen dan SLTA 18.24 persen sedangkan yang terendah adalah penduduk yang rnemiiliki ijazah 52 yaitu hanya 0.34 persen. Hal ini disebabkan karena penduduk yang
berpendidikan di atas SLTA banyak yang tinggal di Kabupaten Bogor. Penduduk 10 tahun ke atas dan ijazah yang dirniliki dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Penduduk 10 tahun ke atas dan ijazah yang dirniliki ljazah tertinggi yang dirniliki N Tidak punya ijazah 126 965 SDIMl sederajat 242 360 SLTPIMTs sederajat kejuruan 150 084 141 746 SMUIMAISederajat SM Kejuruan 68 559 D IID II 6 064 12 886 D IIIISarjana Muda 25 772 D IVI Sarjana 2 633 S21S3 Surnber: BPS Kota Bogor 2006
Oh
16.33 32.20 19.31 18.24 8.82
0.78 1.66 3.32
0.34
Jenis Pekerjaan
Sektor tenaga kerja merupakan salah satu sektor penting pembangunan ekonomi khususnya dalarn upaya pernerintah untuk menanggulangi kerniskinan. Tenaga
kerja
merupakan modal
bagi
geraknya
roda
pernbangunan.
Perkembangan jurnlah tenaga kerja yang tidak diimbangi dengan perturnbuhan lapangan pekerjaan akan rnenyebabkan tingkat kesernpatan kerja atau penyerapan tenaga kerja cenderung rnenurun. Jurnlah pengangguran penduduk Kota Bogor yang berusia lebih dari 15 tahun mencapai 29 798 jiwa sedangkan jurnlah lowongan kerja yang terdaftar di Kota Bogor tersedia bagi 3 143 orang atau hanya 2.4 persen dari lapangan pekerjaan yang dibutuhkan. Jurnlah pencari kerja yang terdaftar 9 666 orang dengan tingkat pendidikan beragarn, jurnlah pencari kerja terbanyak (10%) berada di tingkat SLTA yaitu 3.097 orang, 8.8 persen berpendidikan sarjana dan 6.9 persen berpendidikan sekolah rnenengah kejuruan. Lowongan pekerjaan yang tersedia sudah terisi sebanyak 2 702 orang atau 28 persen dari pencari kerja yang terdaftar. Kota Bogor yang merupakan kota perdagangan, industri dan jasa ditunjukkan dengan sebagian besar rnata pencaharian penduduk pada ketiga bidang tersebut. Perdagangan merupakan bidang pekerjaan yang terbanyak dilakukan oleh penduduk Kota Bogor yaitu 75 482 jiwa (27.70%), kemudian industri 70 312 jiwa (25.80%) dan jasa 54 285 jiwa (19.90%). Bidang pekerjaan listrik, gas dan air merupakan bidang pekerjaan yang paling sedikit dilakukan
oleh penduduk yaitu hanya 0.38 persen. Bidang pekerjaan penduduk Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 11 Tabel 11 Bidang pekerjaan penduduk Kota Bogor Bidang Pekerjaan Laki-laki Perempuan 4 136 Pertanian Pertambangan 1551 55 319 lndustri Listrik, gas, air 517 21 197 Konstruksi Perdagangan 54 802 25 850 Angkutan Keuangan 11 891 Jasa 32 571 Sumber: Dinas Kesehatan (2006)
Total
Persentase
Ketersediaan Pangan Produksi. Ketersediaan pangan yang dibutuhkan penduduk Kota Bogor
sebagian besar tidak dapat dipenuhi oleh produksi sendiri, melainkan disuplai dari luar wilayah seperti Kabupaten Bogor. Walaupun Kota Bogor rnerupakan bukan daerah pertanian, rnasalah pertanian rnasih diupayakan dalarn jajaran Pemerintah Daerah Kota Bogor rnelalui Dinas Agribisnis karena rnasih ada lahan yang dapat digunakan sebagai lahan pertanian. Sektor pertanian meliputi sub sektor Tanaman Bahan Makanan (TABAMA), Peternakan dan Perikanan. Yang termasuk dalarn sub sektor TABAMA adalah tanaman bahan makanan (padi-padian, jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan), sayursayuran (bayam, buncis, cabe, kacang panjang, kangkung, ketimun, tornat, dan terung), buah-buahan (alpukat, belirnbing, duku, durian, jambu biji, jeruk, mangga, manggis, nangkalcempedak, nenas, pepaya, pisang, rambutan, salak, sawo, sirsak, sukun, petai, melinjo, dan jambu air), juga tanaman hias (anggrek, anthurium, gladiol, anyelir, pisang-pisangan, krisan, rnawar, kenanga, melati, palem dan sedap malam), Produksi tanaman bahan makanan di Kota Bogor yang berasal dari seluruh kecamatan yang ada pada tahun 2004 yaitu tanarnan padi sawah sebanyak 5 788.16 ton, jagung 1 424.28.ton, kacang tanah 59 ton, ubi kayu 5 530 ton, ubi jalar 1 219 ton, total produksi sayuran 6 332 ton dengan hasil terbanyak diperoleh dari produksi ketimun sebesar 1 700 ton dan terung sebesar
1 620 ton, total produksi buah-buahan 487.90 ton sebagian besar yang disumbang oleh produksi pepaya 80.30 ton dan rarnbutan sebesar 55.80 ton. Produksi beras berasal dari padi sawah. Selama periode tahun 2002 sampai
2005 produksi padi rnengalarni peningkatan. Pada tahun 2002 produksi padi sebesar 4 035 ton, tahun 2003 menjadi 9 953.28 ton, tahun 2004 sebesar 5 788.16 ton dan pada tahun 2005 rnenjadi 7 185.18 ton. Peningkatan produksi ternyata tidak rnarnpu rnernenuhi kebutuhan pangan yang semakin bertambah. Tanaman palawija yang dihasilkan Kota Bogor antara lain jagung dan ubi kayu, ubi jalar dan talas yang produksinya cenderung rnenurun. Pada tahun 2002 produksi palawija 7 224 ton, pada tahun 2003 kernudian naik hampir dua kali lipat rnenjadi 12 317.5 ton, tahun 2004 turun rnenjadi 9 200.88 ton kernudian turun kernbali pada tahun 2005 rnenjadi 8 250.05 ton. Selain tanaman bahan rnakanan terdapat juga produksi tanarnan hias. Tota1,produksi tanarnan hias 12 381.30 ton dengan prirnadona bunga sedap rnalarn 2 400.4 tangkai dan anggrek 2 054.4 tangkai. Peternakan yang diutarnakan adalah ternak besar (sapi potong, sapi perah dan kuda), ternak kecil (karnbing dan dornba) dan unggas (ayarn kampung, ayam ras petelur dan ayarn ras potong). Jurnlah ternak besar yang ada 1 988 ekor dengan populasi terbanyak adalah sapi perah 1 612 ekor. Sernentara kuda (64 ekor) dibudidayakan untuk alat transportasi sebagai penarik sadoldelman. Jumlah ternak kecil 18 947 ekor, yang lebih banyak dipelihara adalah domba sebanyak 12 554 ekor. Tidak ada satupun babi yang diternakan oleh penduduk Kota Bogor. Untuk unggas rnasih didominasi ayarn kampung sebesar 720 727 ekor. Pengembangan usaha perikanan konsumsi di kolarn baik deras rnaupun tenang lebih banyak diarahkan untuk penyediaan jenis ikan yang menghasilkan produk yang dapat diserap pasar lokal dan sekaligus untuk penyediaan kecukupan gizi rnasyarakat, sedangkan budidaya ikan hias diarahkan untuk rnernenuhi kebutuhan pasar lokal, regional dan ekspor dalarn rangka rneningkatkan pendapatan usaha rnasyarakat. lkan yang dihasilkan adalah ikan air tawar yang berasal dari kolarn pernbesaran air tenang, air deras, sawah dan kararnba dengan total produksi 2 718.04 ton dengan produk tertinggi dari ikan hasil kolarn air tenang 1 489.92 ton (54.8%). Potensi perikanan yang dirniliki Kota Bogor selain kolam juga terdapat beberapa situ yang berpotensi untuk dikembangkan budidaya dan konservasi yaitu Situ Gede seluas 4 Ha, Situ Leutik seluas 1 Ha dan Situ Panjang seluas 1.5 Ha yang berada di kelurahan Situ Gede Kecamatan Bogor Barat. Selain berfungsi sebagai lahan budidaya juga sebagai areal irigasi adan konservasi hutan. Selain itu terdapat situ-situ yang dikuasai
oleh pengembang perurnahan seperti Situ Curug (Bogor Barat), Situ Bogor Raya (Bogor Timur) dan Situ Anggalena (Bogor Utara). Kota Bogor rnerupakan salah satu sentra ikan hias dan telah bekerjasarna dengan pelaku usaha ikan hias daerah lain yang berdekatan. Pemasaran ikan hias telah rnenguasai beberapa negara Asia, Arnerika Serikat, Eropa dan negara lain seperti Bahrain dan Turki. Volume ekspor ikan hias pada tahun 2004 sebanyak 6 000 000 ekor yang setara dengan nilai 4 rnilyar rupiah. Berdasarkan Neraca Bahan Makanan (2005) dapat diketahui bahwa pangan yang tersedia untuk dikonsumsi, bila dikonversikan ke dalarn bentuk energi sebesar 2 766.27
kkallkapitalhari dan protein sebanyak 80.92
grlkapitalhari. Ketersediaan ini telah rnelarnpaui ketersediaan energi dan protein yang direkornendasikan dalarn Widyakarya Pangan dan Gizi Nasional yaitu energi 2 200 kkallkapitalhari dan protein 55 grlkapitalhari). Sedangkan penyediaan protein masih didorninasi oleh protein nabati sebesar 75.39 grlkapitalhari atau 93.2 persen. Ketersediaan energi dan protein tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel I 2 Ketersediaan energi dan protein tahun 2005 WKNPG 2004 Persentase (%) Uraian Ketersediaan Energi (kkallkaplhari) 2 766. 2 200 125.70 Protein (grlkaplhari) 80.92 57 141.96 6.8 Hewani 5.53 Nabati 75.39 93.2 Sumber: NBM Kota Bogor tahun 2005 (diolah)
Impor. lmpor pangan terjadi pada sernua jenis komoditi kecuali buah jarnbu batu yang mernpunyai produktifitas tinggi dan rnencukupi kebutuhan konsurnsi penduduk, pada tahun 2005 telah diekspor sebanyak 913 ton ke DKI Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Kebutuhan bahan rnakanan penduduk Kota Bogor cukup tinggi dan hanya sekitar 0.38 sampai 62.90 persen rnerupakan produksi lokal. Sebagai contoh prediksi kebutuhan pangan penduduk Kota Bogor pada tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa kebutuhan beras, urnbiurnbian, kacang tanah dan buah-buahan lebih dari 90 persen didapat dari irnpor. Beras biasanya didatangkan dari Cianjur, Sukaburni dan Karawang. Palawija yang diirnpor adalah ubi kayu, ubi jalar dan talas. Penyediaan kacang-kacangan, yang didorninasi kacang tanah dan kedelai harnpir seluruhnya impor karena produksi lokal relatif sedikit. Untuk kelornpok sayuran, keseluruhan komoditi berupa impor sedangkan produksi lokal yang tinggi hanya kangkung, terong dan daun singkong rnuda. Jenis bahan makanan kelompok daging yang diirnpor
sebagian besar berupa daging sapi dan ayam ras. Penyediaan telur seluruhnya diperoleh dari impor. Pada kelompok susu masih diimpor dari luar daerah terutama susu bubuk walaupun kebutuhan susu lebih dari separuh dipenuhi dari produksi susu segar lokal. Penyediaan untuk kelornpok pangan ikan bersumber dari suplai dari luar daerah yang didominasi ikan jenis air tawar seperti ikan mas, rnujair dan carnpuran. Tabel I 3 Prediksi kebutuhan konsumsi bahan pangan penduduk Konsumsi Kebutuhan Jenis Bahan Pernenuhan Suplai Luar daerah Pangan Masyarakat produksi lokal Makanan (Ton) (kglkaplth) (ton) (ton) Padi-padian Beras 109.71 91 822.66 6 290.05 (6.38%) 92226.35 (93.61%) hung 2.83 2 368.99 2 620.80 (13.88%) 16261.51(86.12%) Palawijalumbiurnbian 17.80 14 897.85 1 523.26 (2.48%) 59885.30 (97.52%) Ubi kayu, ubi jalar dan Talas Kacangkacangan 8.31 6 995.15 51.66 (0.38%) 13 658.53(99.62%) Kacang tanah dan kacang kedelai Sayuran 50.73 42 458.88 8 295.78 (15.38%) 45 641.95(84.62%) Buah-buahan 29.41 24 614.93 3 100.00 (6.29%) 46 158.20(93.71%) Daging sapi, domba, ayam 5.97 4 996.63 3091.98 (37.30%) 5 199.82 (6131%) Telur 5.24 3 858.56 - 3 858.56 (100.0%) Susu 1.23 1 029.45 2148.50 (62.9%) 1 859.42 (37.13%) lkan 18.75 15 692.96 2247.18 (10.6%) 18.90154 (89.37%) Surnber: Dinas Pertanian Kota Bogor 2004 Cadangan Pangan. Salah satu kebijakan dalam aspek ketersediaan
pangan pada Program Ketahanan Pangan dari Departemen Pertanian adalah menjamin produksi pangan utamanya dari produksi dalarn negeri. Produksi pangan pokok dalam ha1 ini yaitu beras di Kota Bogor tidak rnencukupi kebutuhan konsurnsi penduduk. Untuk meningkatkan kapasitas produksi tidak mungkin dilakukan karena lahan yang tidak tersedia. Kekurangan produksi beras dipenuhi impor dari daerah lain seperti Cianjur, Karawang dan Sukaburni. Cadangan pangan (peubah stok) merupakan salah satu komponen ketersediaan pangan yang penting. Dikaitkan dengan peran pernerintah daerah, pengelolaan cadangan pangan yang baik oleh pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat secara luas dapat rneminimalkan terjadinya kasus-kasus kerawanan dan kekurangan pangan di daerah. Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dapat mengernbangkan cadangan pangan tertentu yang bersifat pangan pokok sesuai dengan pola pangan pokok seternpat. Dengan demikian,
apabila terjadi kasus kekurangan pangan di suatu wilayah dapat segera ditanggulangi oleh pernerintah daerah seternpat tanpa harus rnenunggu kebijakan pernerintah pusat (Basuki 2004). Cadangan beras yang disimpan pernerintah yang ada adalah di Depot Logistik Divisi Regional (Dolog Divre) Cianjur, Bogor dan Sukaburni. Beras yang dikelola oleh instansi ini adalah penyaluran raskin (beras miskin) yang keluar masuk setiap bulan, sedangkan cadangan beras untuk menanggulangi bencana baik alarn maupun sosial tidak ada. Stok akhir tahun 2005 tersedia 3 596 901 kg untuk raskin Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Kota Depok (Herrnawan 2006). Rekapitulasi mutasi persediaan, pernasukan dan penyaluran fisik beras di Gudang Bulog Baru Bogor sub divre Cianjur tahun 2005 dapat dilihat pada Lampiran 3. Cadangan pangan paling besar ada di tingkat pedagang dibanding pernerintah maupun rumahtangga karena aktifitas ekonorni pangan di Indonesia secara prinsip dijalankan berdasarkan mekanisme pasar bebas. Data mengenai jumlah beras yang rnasuk dan keluar Kota Bogor tidak ada, sehingga tidak diketahui secara pasti berapa cadangan beras yang ada di tingkat pedagang. Walaupun demikian dari hasil pengamatan, cadangan beras di tingkat pedagang rnasih baik, terlihat dari kegiatan bongkar rnuat beras di tingkat pedagang. Konsumsi Normatif. Ketersediaan pangan yang utama merupakan
fungsi dari produksi pangan. Produksi dan impor merupakan aspek yang menunjukkan apakah wilayah tersebut dapat mernenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Komoditas yang dipakai sebagai dasar perhitungan adalah ketersediaan bersih beras dan jagung. Dilihat dari sisi produksi beras dan jagung ternyata kebutuhan pangan penduduk seluruh wilayah Kota Bogor tidak dapat dipenuhi
oleh
produksi
setempat.
Perhitungan
tanpa
memperhatikan
kemungkinan adanya bencana alarn dan bencana sosial. Ratio konsumsi normatif dan produksi setara beras per kecamatan dapat dilihat pada Tabel 14. Ratio konsurnsi padi dan jagung dibanding produksi pada hampir kecamatan rnempunyal nilai lebih dari 1.5 kecuali Bogor Barat yang berarti defisit pangan sangat tinggi, berarti ketersediaan pangan penduduk terutarna beras sangat tergantung pada suplai dari luar daerah. Hal ini sangat riskan karena rnakanan pokok penduduk produsen beras juga beras, sehingga terjadi bencana alarn dan kegagalan produksi di wilayah produsen. Ekspor dari akan dilakukan bila terdapat kelebihan pasokan setelah konsumsi domestik terpenuhi. Selain itu
posisi dan tawar menawar pengimpor pangan tergantung pada kebijakan produsen. Tabel 14 Ratio konsurnsi norrnatif dan produksi setara beras per kecamatan Jurnlah Konsumsi PSB Ratio Kecarnatan Normatif Penduduk (a) (b) (c) (d) (c:d) Bogor Selatan 168 745 16 737.02 1835.412 9 ~ o g oTimur r 86 978 8 730.41 1730.726 5 Bogor Utara 149 578 15 013.89 9304.19 1.6 Bogor Tengah 103 176 10 356.20 27.858 371.7 Bogor Barat 190 421 19 113.50 19050.56 1.O Tanah sareal 158 187 15 878.02 190.868 83 Surnber: Dinas Pertanian Kota Bogor tahun 2004 (diolah) Jika dilihat dari sisi produksi pangan rnaka Kecarnatan Bogor Tengah, sebagai pusat kota mengalami defisit paling tinggi dibanding wilayah lain tetapi cadangan pangannya paling banyak dibanding daerah lain karena wilayah ini rnempunyai dua pasar utarna yang rnenyediakan berbagai keperluan penduduk terrnasuk pangan. Distribusi Pangan
Distribusi pangan rnerupakan kegiatan ekonomi yang sangat penting karena salah satu indikator ketidakpuasan rakyat terhadap penyelenggaraan pernerintahan diantaranya dapat diukur dengan baik buruknya distribusi pangan. Sedangkan rnasalah utarna dalarn
distribusi
pangan adalah
masalah
pengangkutan dan penyimpanan dalarn upaya menyeimbangkan - berapa, kapan dan dirnana - produksi dan konsumsi. Distribusi yang efektif dan efisien rnenjamin seluruh rurnahtangga dapat rnernperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dan harga yang terjangkau. Distribusi dipengaruhi oleh kondisi sarana dan prasarana, kelembagaan, dan perundang-undangan. Kunci keberhasilan kinerja subsistern distribusi terletak pada penjagaan kearnanan sepanjang jalur distribusi, pengaturan perdagangan yang kondusif, dan penegakan hukum (DKP 2006).
Surat
Kepala
Pusat
Pengembangan Distribusi Pangan
nomor
0041PP.01011.310112005 tanggal 17 Januari 2005 kepada Kepala BadanIDinas yang
rnenangani
ketahanan
pangan
untuk
rnelakukan
pernantauan
perkembangan harga pangan pokok strategis, pasokan beras, situasi luas panen, termasuk permasalahan dan tindak lanjut daerah dalarn penyediaan, kelancaran arus distribusi dan stabilitas harga di Pengembangan Distribusi Pangan DKP 2005).
masing-masing wilayah
(Pusat
Jalan raya adalah jalan besar atau main road yang rnenghubungkan satu kawasan dengan kawasan yang lain. Biasanya jalan besar ini rnernpunyai ciri-ciri berikut: (1) digunakan untuk kendaraan berrnotor (2) digunakan untuk orang awarn (3) dibiayai oleh pernerintah (4) penggunaannya taat kepada undangundang atau peraturan pengangkutan. Jalan raya dapat rneningkatkan kegiatan ekonorni di suatu wilayah karena dapat rnernbuka hubungan dan rneningkatkan kornunikasi dengan wilayah lain. Dengan adanya jalan raya, kornoditi dapat rnengalir ke luar daerah produksi dernikian juga sebaliknya. Selain itu, jalan raya juga rnernbentuk jalur ekonorni di sepanjang wilayah yang dilaluinya (Wikipedia 2008 ). Stabilitas harga pangan merupakan petunjuk stabilitas pasokan sebagai salah satu elernen penting ketahanan pangan. Sernakin tinggi fluktuasi harga berarti sernakin tidak stabil harga kornoditas yang bersangkutan. Ketidakstabilan harga sangat dipengaruhi sifat kornoditas yang rnudah rusak dan belum terintegrasinya pengelolaan sistern produksi dengan permintaan pasar sehingga pola pasokan kurang sesuai dengan pergerakan perrnintaannya (Suryana 2004). Masalah yang sangat rnendasar dalarn ketahanan pangan ini adalah keterjangkauan pangan oleh rurnahtangga dan rnasalah kehandalan dan keberlanjutan
dari
penyediaan
pangan.
Keterjangkauan
pangan
oleh
rurnahtangga ditentukan oleh kernarnpuan dan stabilitas produksi pangan dalam negeri dan kernarnpuan pernbiayaan untuk rnnegirnport serta keadaan penyediaan pangan di pasar internasional. Karena Indonesia adalah negara besar untuk memantapkan ketahanan pangan harus rnarnpu rnernproduksi beras sekitar 95 persen kebutuhannya (Kasryno 2004).
Akses Pangan secara Fisik. Lokasi sangat rnernpengaruhi besarnya biaya transportasi dan biaya produksi. Penernpatan lokasi produksi pertanian rnaupun pabrik serta gudang-gudang penyirnpanan pada lokasi yang tepat akan dapat rnenekan biaya transportasi rnaupun biaya produksi dari produk yang dihasilkan. Besarnya biaya transportasi tidak hanya dipengaruhi oleh jauhnya jarak yang diternpuh, rnelainkan juga dipengaruhi oleh jenis barang yang diangkut, kondisi jalan yang dilalui dan juga alat angkut yang digunakan. Prasarana perhubungan seperti jalan sangat diperlukan untuk rnobilitas penduduk untuk di dalarn, ke luar dan ke dalarn Kota Bogor. Keadaan jalan yang baik akan rnernperrnudah dan rnernpercepat penduduk untuk rnendapatkan segala kebutuhan maupun keperluan. Status jalan sebagian besar rnerupakan
jalan kabupatenlkota yang telah diaspal tetapi dengan kondisi yang sedang dengan klasifikasi jalan kelas Ill C. Dari pengamatan ternyata kerusakan jalan tidak hanya dalam wilayah kecamatan tetapi juga di jalan protokol seperti Jalan Suryakencana dan Jalan Merdeka yang merupakan urat nadi perdagangan (Lampiran 5). Sarana transportasi yang paling banyak digunakan adalah angkutan perkotaan sebanyak 3 316 buah dengan jurnlah rute 22 buah (Lampiran 6). Seluruh rute menghubungkan antar kecamatan, pemukiman, pasar dan pusat kota baik perdagangan, perkantoran rnaupun pendidikan. Rute yang paling banyak adalah Sukasari-Bubulak yang dilayani angkutan perkotaan sebanyak 660 buah atau sekitar 47.9 persen.
Secara urnurn kondisi Kota Bogor yang terjepit diantara Daerah Khusus lbukota dan daerah wisata Puncak rnenunjang distribusi masuk keluar bahan pangan dari luar wilayah. Prasarana jalan, kernudahan alat transportasi dan fasilitas pasar yang ada di sekitar wilayah Kota Bogor transportasi yang ada sangat membantu jalur distribusi pangan dari daerah sentra produksi ke sentra konsumsi. Kota Bogor sendiri rnempunyai enam buah pasar besar yang dikelola langsung oleh pemerintah kota, satu buah di masing-masing kecamatan. Pasar ini telah mulai dari waktu dini hari hingga sore hari dan berlangsung setiap hari. Selain itu juga bermunculan pasar-pasar kecil dan pasar tumpah disekitar pernukirnan. Akses penduduk untuk mencapai pasar tidak sulit karena jalan yang ada rnendukung dan tersedia angkutan kota yang rnenghubungkan wilayah kecamatan dengan pasar besar. Di pemukirnan yang tertata juga banyak berjualan tukang sayur keliling ataupun warung yang menetap. Sarana penyimpanan pangan yang dikelola pemerintah belum diperlukan karena pangan disirnpan dan dikelola sendiri oleh pedagang. Pangan yang diperdagangkan baik di pasar maupun pedagang keliling cukup bervariasi rnernenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Biaya angkutan dapat ditekan yaitu dengan kernudahan transportasi sehingga biaya yang dibebankan pada harga jual pangan menjadi kompetitif. Hal ini menyebabkan pasokan dan harga pangan reiatif stabil. Perkembangan dan distribusi harga pangan di tingkat konsumen untuk beberapa macarn komoditas pangan strategis dilakukan monitoring setiap rninggu sekali yang bekerjasama dengan Kantor Pengelolaan Pasar Kota Bogor. Pada suasana normal harga jual pangan tidak berbeda antar pasar yang satu dengan lainnya.
Stabilitas Harga. Harga pangan pada hari-hari besar keagamaan akan rnengalami fluktuasi dan cenderung rnelonjak sebagai akibat dari meningkatnya perrnintaan untuk konsurnsi dan juga akibat perilaku pasar dan harapan pelaku pasar yang ingin mendapatkan harga dan pendapatan yang lebih tinggi. Lonjakan juga dapat disebabkan karena gangguan pada pasokan atau ketersediaan bahan pangan dan juga gangguan dalam distribusi (Departernen Perdagangan 2006). Pemerintah rnemantau setiap minggu fluktuasi harga pangan strategis secara periodik, yang dilaporkan oleh Dinas Perdagangan dan lndustri dan koperasi sebagai upaya pengendalian untuk menjaga agar lonjakan harga pangan tidak terlalu tinggi. Kenaikan harga terutama beras akan rnemberikan kontribusi kebutuhan energi dan protein dalam pola pangan penduduk, karena beras rnerupakan pangan pokok. Harga pangan strategis selarna tahun 2004 relatif stabil kecuali pada hari-hari besar keagamaan seperti ldul Fitri, Natal dan Tahun Baru yang mengalami kenaikan harga pada kornoditas tertentu seperti daging sapi, telur ayam, ayam dan cabai. Walaupun demikian pergeseran harga tidak melebihi batas toleransi yang diperbolehkan yaitu 15 sampai 25 persen dari harga normal. Adapun hasil monitoring harga selarna tahun 2004 rnenunjukkan bahwa harga beras IR-64 menunjukkan kenaikan yang terendah (7.7%) dari harga Rp 2 600 menjadi Rp 2 900. Khusus untuk komoditas beras, studi yang dilakukan lkhsan
(2001)
rnenyimpulkan bahwa
kenaikan harga
beras
meningkatkan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Setiap kenaikan harga beras 10 persen rnengakibatkan dua juta penduduk jatuh miskin. Sementara kornoditas yang mengalami kenaikan harga yang tertinggi adalah daging sapi sebanyak 23.3 persen dari harga Rp 30 0001kg menjadi Rp 45 0001kg. Kenaikan harga karena dipacu oleh demand yang tinggi dari penduduk dalarn rnenghadapi hari raya keagarnaan. Harga akan mengalami penurunan seiring dengan berlalunya perayaan keagaaman tersebut. Perkembangan harga komoditas pertanian di Kota Bogor selarna tahun 2004 dapat dilihat pada Lampiran 4. Situasi Kerawanan Pangan Kerawanan Pangan Berdasarkan Akses pangan Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang sering dihubungkan dengan kebutuhan,
kesulitan
dan
kekurangan di
berbagai bidang
kehidupan.
Pernahaman kemiskinan terutama adalah'gambaran kekurangan materi, yang
biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perurnahan, dan pelayanan kesehatan. Kerniskinan dalarn arti ini dipaharni sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar dan rnerupakan garnbaran tentang kurangnya penghasilan. Rurnahtangga rniskin di wilayah perKotaan rnernpunyai kesulitan untuk rnendapatkan pangan karena daya beli yang terbatas sernentara rnereka tidak rnernpuyai akses terhadap proses produksi pangan dengan terbatasnya kepernilikan lahan pertanian. Jadi rnereka sangat tergantung dukungan ketersediaan pangan di tingkat lokal rnaupun nasional. Hasil pendataan yang dilakukan Kantor Catatan Sipil dan Kependudukan Kota Bogor pada tahun 2003, 2004 dan 2005, terjadi penurunan jurnlah rurnahtangga rniskin walaupun pernah naik pada tahun 2003. Jumlah rurnahtangga rniskin Sejahtera I jauh lebih banyak dibanding dengan prasejahtera. Fluktuasi jurnlah rurnahtangga rniskin dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Jurnlah rurnahtangga rniskin di Kota Bogor Tahun
Tahap kesejateraan Pra-KS
2002 2003 2004 2005
2 314 1 446 1 952 1 446
KS I 45 120 43 455 46 933 43 455
Surnber: BPS Kota Bogor tahun 2006 Secara urnurn persentase rurnahtangga rniskin karena alasan ekonorni pada tahun 2005 sebesar 23 persen dari total rurnahtangga yang ada di wilayah Kota Bogor. Keadaan ini terrnasuk dalarn daerah dengan risiko sedang untuk terjadinya rawan pangan dan gizi, narnun rentang jurnlah rumahtangga rniskin pada tiap kecarnatan berkisar antara 13 sarnpai 29.4 persen. Besar rnasalah kemiskinan di suatu wilayah yang digunakan untuk rnelihat situasi pangan dan gizi di Indonesia yang besarnya kurang dari 20 persen maka hanya ada satu wilayah kecarnatan yang rnerniliki risiko rawan pangan dan gizi yang rendah yaitu Bogor Utara sebesar 13 persen, sedangkan Bogor Tirnur merupakan wilayah yang tinggi rnasalah kerniskinannya yaitu 29.4 persen. Persentase
rumahtangga
miskin.
Kerawanan
pangan
sangat
dipengaruhi oleh daya beli rurnahtangga. Daya beli yang rendah mernpengaruhi konsumsi energi dan protein. Persentase rurnahtangga rniskin per kecarnatan berkisar antara 13 sarnpai 29.4 persen. Bila dibandingkan dengan batas keberadaan rumahtangga rniskin di suatu wilayah yang besarnya lebih kecil dari 5 persen rnaka seluruh kecarnatan yang ada di Kota Bogor rnernpunyai rnasalah dengan kerniskinan (Tabel 16).
Tabel 16 Jurnlah rurnahtangga pra sejahtera dan sejahtera I per kecamatan Total Jumlah Kecamatan rumahtan Sejahtera Pra Sejahtera I Kategori n gga Bogor Selatan 39 050 456 9287 9 743 25.0 2 Bogor Timur 18 594 9 5457 5 466 29.4 2 Bogor Utara 35 187 164 4 400 4 564 13.0 5 Bogor Tengah Bogor Barat
24 256
7 034
7 034
29.0
2
353
8 969
9 322
22.3
3
Tanah Sareal 35 517 464 Sumber: BPS Kota Bogor tahun 2006
8 308
8 772
24.7
3
41 753
Persen rumahtangga dengan akses listrik. Daerah rawan pangan biasanya kurang fasilitas umurn seperti listrik. Listrik rnernberikan kernakrnuran bagi daerah karena rnasyarakat setempat dapat rnernanfaatkannya untuk kegiatan yang produktif. Persentase rumahtangga yang rnendapat fasilitas listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) di seluruh kecarnatan rnasih di bawah angka yang diharapkan yaitu di atas 95 persen. Bogor Utara paling sedlkit rnendapat akses listrik hanya 83.6 persen dari total rurnahtangga sedangkan di Bogor Tengah listrik dapat dinikrnati 94.8 persen. Bila dibandingkan dengan batasan yang ada rnaka Bogor Tengah dan Tirnur terrnasuk kategori dua (2) artinya terrnasuk wilayah dengan fasilitas listrik tinggi (90 sampai 95%). Tabel 17 menujukkan jurnlah rurnahtangga yang rnendapat akses listrik per kecamatan Tabel 17 Jurnlah rurnahtangga yang akses ke fasilitas listrik per kecamatan rota1 Kecamatan Listrik YO Kategori Rumahtangga Bogor Selatan 39 050 34 580 88.6 3 Bogor Timur 18 594 16 932 91.1 2 Bogor Utara 35 187 . 29403 83.6 4 Bogor Tengah 24 256 2 23 004 94.8 Bogor Barat 41 753 35 833 85.8 3 Tanah Sareal 35 517 30 728 86.5 3 Sumber: BPS Kota Bogor tahun 2006 Pada Tabel 18 dapat dilihat peringkat kecarnatan berdasarkan persentase rumahtangga rniskin dan persentase rurnahtangga yang rnendapat sambungan listrik. Bila dilihat dari angka kerniskinan rnaka Kecarnatan Bogor Utara rnerupakan wilayah yang paling sejahtera dibanding keempat kecarnatan lainnya, sedangkan bila dilihat dari infrastruktur listrik rnaka Kecamatan Bogor Tengah paling baik.
Tabel 18
Peringkat kategori masing-masing indikator akses pangan per kecamatan
Kecarnatan Miskin (%) Bogor Selatan 25.0 Bogor Tirnur 29.4 Bogor Utara 13.0 Bogor Tengah 29.0 Bogor Barat 22.3 Tanah Sareal 24.7 Surnber: BPS Kota Bogor tahun 2006
Uategori 2 2 5 2 3 2
Listrik (%) 88.6 91.1 83.6 94.8 85.8 86.5
Kategori 3 2 4 2 3 3
Kerawanan Pangan Berdasarkan Kesehatan dan Gizi Angka Harapan Hidup (AHH). Rata-rata Umur Harapan Hidup (AHH) tertinggi berada di Bogor Barat yaitu 72.40 tahun pada tahun 2004 sedangkan yang terendah di Bogor Selatan (68.62 tahun). Dibandingkan dengan rata-rata angka harapan hidup nasional yang besarnya 63 tahun pada tahun yang sama maka AHH di tiap kecarnatan di Kota Bogor sudah diatas angka rata-rata nasional (Tabel 19), Tabel 19 Angka Harapan Hidup (AHH) per kecarnatan tahun 2000 - 2004 Kecarnatan 2000 2001 Bogor Selatan 64.94 65.06 Bogor Tirnur 68.16 68.29 Bogor Utara 67.19 67.32 Bogor Tengah 65.23 65.36 Bogor Barat 68.52 68.65 Tanah Sareal 66.00 66.13 Surnber : BPS Kota Bogor tahun 2005
2002 65.1 1 68.34 67.37 65.40 68.70 66.17
2003 68.18 71.56 70.54 67.48 71.94 69.29
2004 68.62 72.02 71.00 69.93 72.40 69.74
Uategori 6 6 6 6 6 6
Prevalensi Balita Gizi Kurang. Status gizi merupakan muara akhir dari semua sistem pangan dan gizi yang mencerminkan baik buruknya program pangan dan gizi nasional. Pelaksanaan pemantauan perkembangan dan kecenderungan masalah pangan dan gizi dapat dilihat melalui analisa terhadap situasi pangan dan gizi yang terjadi pada wilayah tersebut. lnformasi yang dihasilkan dapat dijadikan dasar untuk intervensi yang akan dilakukan pada masa mendatang. Keadaan gizi dan kesehatan yang baik dirnulai sejak dalam kandungan. Keadaan gizi dan kesehatan ibu sebelum dan selama kehamilan berpengaruh terhadap kesehatan janin yang dikandung. Bayi yang dikandung oleh ibu dengan kekurangan gizi dan kesehatan yang buruk akan rnenyebabkan bayi yang dilahirkan mempunyai risiko berat badan lahir rendah (BBLR), yaitu bayi yang lahir dengan berat badan di bawah 2 500 gram. Kejadian ini banyak terjadi di negara berkembang. Dampak dari BBLR mengakibatkan, perawatan anak
rnenjadi lebih sulit, pertumbuhan anak yang kurang baik, kesehatan yang kurang, dan perkembangan yang terharnbat. Persentase BBLR di Kota Bogor sebesar 0.22 persen dari 16 935 kelahiran. Angka ini diperoleh dari seluruh puskesmas yang ada berdasarkan laporan cakupan neonatus, bayi dan BBLR. Data yang berasal dari ternpat pelayanan kesehatan lainnya tidak tercakup di dalamnya. Status gizi balita sangat dipengaruhi oleh asupan bahan pangan yang dikonsumsi, yang ditentukan oleh kernampuan penyediaan dan pengelolaan konsurnsi pada masing-masing rumahtangga. Keragaan prevalensi balita gizi kurang secara keseluruhan Kota Bogor cenderung rnengalarni penurunan, pada tahun 2003 terdapat 9.8 persen balita rnenderita gizi kurang, tahun 2004 rnenjadi 9.2 persen dan tahun 2005 rnenjadi 8.7 persen. Penurunan ini disebabkan adanya
upaya-upaya
intervensi yang
sudah
dilaksanakan.
Sedangkan
persentase balita dengan status gizi buruk tidak banyak berubah, tahun 2003 sebanyak 0.5 persen, tahun 2004 rnenjadi 0.4 dan pada tahun 2005 menjadi 0.46 persen. Balita gizi buruk rnemerlukan penanganan medis yang intensif karena balita gizi buruk seringkali disertai penyakit penyerta. Walaupun demikian persentase balita gizi buruk masih lebih rendah dari prevalensi Jawa Barat yang besarnya 2.5 persen (Profil Jawa Barat tahun 2004) dan merniliki risiko rendah rawan pangan dan gizi. Jika keragaan tersebut dilihat pada masing-masing kecamatan ternyata penurunan prevalensi balita gizi kurang tidak terjadi di semua kecarnatan. Pada periode tahun 2003-2004 ada dua kecarnatan yang mengalami peningkatan prevalensi gizi kurang yaitu Bogor Selatan dari 7.0 persen pada tahun 2003 rnenjadi 10.7 persen pada tahun 2004, dan Bogor Barat dari 8.9 persen pada tahun 2003 menjadi 12.1 persen. Hal ini disebabkan pemekaran wilayah Kota Bogor yang terjadi pada tahun 2002 (Tabel 20). Tabel 20 Prevalensi balita gizi kurang dan buruk Kurang 2003 2004 2005 Kecamatan (%) (%) Bogor Selatan 7.0 10.7 Bogor Timur 8.8 6.0 Bogor Utara 12.5 7.7 Bogor Tengah 9.8 7.8 Bogor Barat 8.9 12.1 Tanah Sareal 10.7 8.5 Kota Bogor 9.8 9.2 Surnber: Dinas Kesehatan Kota Bogor 2005
(%) 9.6 5.8 7.0 7.7 9.7 9.0 8.7
Buruk 2003 (Yo) 0.4 0.4 0.6 0.4 0.4 0.6 0.5
2004 (%) 0.5 0.5 0.3 0.7 0.6 1.2 0.4
2005
("A) 0.5 0.3 0.3 1.1 0.6 0.8 0.46
Gangguan pertumbuhan dari usia balita berlanjut pada saat rnasuk sekolah, ha1 ini dapat dilihat dari hasil pengukuran berat badan rnenurut umur terhadap anak yang baru rnasuk sekolah dasar yang dilakukan petugas kesehatan setiap tahun. Peningkatan rnurid dengan status gizi kurang terjadi pada antara tahun 2001 sarnpai ke 2002 yaitu sebesar 3.25 persen, persentase rnurid kelas I sekolah dasar yang berstatus gizi kurang tahun 2001 sebesar 5.75 persen rneningkat menjadi 8.9 persen pada tahun 2002. Antara tahun 2002 sarnpai 2003 terjadi penurunan sebesar 0.06 persen kernudian meningkat kernbali pada tahun 2004 sekitar 0.79 persen pada tahun 2005 (Tabel 21). Tabel 21 Perkembangan status gizi rnurid kelas I Gizi kurang Gizi Baik Tahun n % n %
n
2001 2002 2003 2004 2005
2 189 825 14 1815 2 235
2 185 1714 1 832 2 026 1 852
5.8 8.9 8.8 9.6 9.0
16 930 16 784 17 480 18 510 16 484 Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bogor 2005
83.4 86.9 84.1 81.7 80.1
Gizi lebih
YO 10.7 4.3 7.1 8.6 10.7
Masalah gizi yang terjadi pada rnurid sekolah dasar tidak saja keadaan gizi kurang tetapi juga rnasalah gizi lebih berarti Kota Bogor rnernpunyai rnasalah gizi ganda yang rnulai terlihat dari besaran rnurid dengan status gizi lebih yang cenderung meningkat sejak tahun 2000. Berbeda dengan persentase gizi kurang yang berfluktuasi rnaka persentase gizi lebih pada murid sekolah dasar selalu rneningkat dari tahun ke tahun (Tabel 21). Berdasarkan data tahun 2005, rnurid sekolah dasar kelas I dengan keadaan gizi kurang antara 2.37 persen sarnpai 15.95 persen tersebar di lirna kecarnatan. Persentase rnurid yang rnenderita gizi kurang paling rendah di Bogor Utara sebanyak 2.37 persen dan paling tinggi di Bogor Tengah sebanyak 15.94 persen sedangkan rnurid yang mengalami gizi lebih terbanyak di Bogor Utara yaitu 19.75 persen dan paling rendah di Tanah Sarea12.94 persen (Tabel 22). Tabel 22 Sebaran status gizi murid kelas I SD Status Gizi Kecamatan Kurang Baik n % n YO Bogor Selatan 148 3.9 3 438 91.4 Bogor Timur 172 1 839 7.3 77.9 58 Bogor Utara 2.4 1,905 77.9 Bogor Tengah 922 15.9 3 987 68.9 Bogor Barat 376 11.3 2683 80.7 6.1 Tanah sareal 176 2 632 91.O Kota Bogor 1 852 9.0 16 484 80.1 Sumber: Dinas Kesehatan 2005
Lebih n 177 350 483 876 264 85 2 235
% 4.7 14.8 19.8 15.1 7.9 2.9 10.7
Prevalensi balita yang rnenderita gizi kurang berkisar antara 6.1 sarnpai 10.3 persen, terendah di Bogor Tirnur dan tertinggi di Bogor Barat. Apabila dibandingkan dengan batas prevalensi gizi kurang yang besarnya kurang dari 15 persen rnaka seluruh kecarnatan terrnasuk kategori wilayah dengan prevalensi kurang gizi yang sangat rendah. Prevalensi balita gizi kurang per Kecarnatan dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Prevalensi balita gizi kurang per Kecarnatan Gizi Buruk (%) Kecarnatan Gizi Kurang (%) Bogor Selatan 9.6 0.5 Bogor Tirnur 5.8 0.3 Bogor Utara 7 .O 0.3 Bogor Tengah 7.7 1.1 Bogor Barat 9.7 0.6 Tanah Sareal 8.0 0.8 Surnber: Dinas Kesehatan Kota Bogor tahun 2006
Total (%)
Kategori
10.1 6.1 7.3 8.8 10.3 8.8
6 6 6 6 6 6
Rasio Jumlah Penduduk Per Dokter. Rasio jurnlah penduduk per dokter rnasih sangat tinggi. Kekurangan dokter terjadi di seluruh kecarnatan, terutarna di Bogor Barat, seorang dokter rnelayani 228 jiwa. Standar yang digunakan di Indonesia adalah seorang dokter rnelayani kurang dari 20 jiwa. Rasio jurnlah orang per dokter per kecarnatan dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Rasio jumlah orang per dokter per kecarnatan No
1 2 3 4 5 6
Kecarnatan Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah
Bogor Barat
Tanah Sareal
Jurn'ah
dokter'
14 11 12 22 16 23
Jurn'ah penduduk*'
16 6745 86 978 149 578 103 176 190 421 158 187
Kepadatan **
5 828 8 569 8 442 12 386 5 199 7 505
Rasio
Kategori
204 92 147 38 228 92
1 2 1 2 6 5
Surnber : * Dinas kesehatan Kota Bogor. 2006; " BPS Kota Bogor tahun 2006 Persen Akses Air Bersih. Air bersih rnerupakan salah satu kebutuhan rnanusia untuk rnernenuhi standar kehidupan secara sehat. Ketersediaan air yang terjangkau dan berkelanjutan rnenjadi bagian terpenting bagi setiap individu baik yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan. Ketersediaan air dapat rnenurunkan water borne disease sekaligus dapat rneningkatkan perekonornian rnasyarakat. Persediaan air bersih di Indonesia terutarna diperkotaan tergolong rendah, yang ditandai dengan pelayanan air bersih di perkotaan hanya rnarnpu rnernenuhii kurang dari 50 persen kebutuhan (Bank Dunia 2004). Dalarn Water World Forum (WWF) kedua di The Haque, Belanda tahun 2000, telah dikeluarkan kesepakatan yang dikenal dengan sebutan Millenium Development Goals (MDG) 2015 di rnana salah satu target yang disepakati
adalah mengurangi sekitar setengah jumlah penduduk yang tidak merniliki akses terhadap "safe drinking water". Di sisi lain dalarn agenda KTT Bumi tahun 2002 Johannesburg, diharapkan pernerintah dapat meningkatkan cakupan pelayanan air minum rnenjadi 80 persen di perkotaan dan 40 persen di perdesaan. Persentase penduduk akses air bersih di tiap kecarnatan sangat bervariasi. Wilayah yang sangat tinggi dalam menunjang kesehatan apabila jangkauan fasilitas air minum yang bersih dan aman lebih dari 90 persen rumahtangga. Air baersih dan aman ini dapat bersumber dari PDAM, sumur gali, sumur pantek maupun mata air. Setiap rumahtangga dapat memiliki lebih dari satu sumber air tergantung rnaksud penggunaan air tersebut apakah untuk mandi, mencuci, dan kakus (MCK) atau memasak. Tabel 25 Persentase rumahtangga yang mempunyai akses air bersih per kecamatan Kecarnatan
Rumah
tangga
Jurnlah rurnahtangga yang rnenggunakan air bersih
Bogor Selatan 39 050 20 046 Bogor Timur 18 594 12 764 Bogor Utara 35 187 25 105 Bogor Tengah 24 256 14 897 Bogor Barat 41 753 23 842 Tanah Sareal 35 517 26 505 Sumber: Profil Kesehatan Kota Bogor tahun 2005
%
Kategori
51.3 68.6 71.3 61.4 57.1 74.6
3 4 4 3 3 4
Berdasarkan Tabel 25 dapat dilihat bahwa persentase rumahtangga yang mendapatkan air bersih di Tanah Sareal paling tinggi yaitu sebesar 74.6 persen. Dari persentase tersebut dapat dikategorikan bahwa Kecarnatan Bogor Selatan, Tengah dan Barat termasuk ke dalarn kategori agak rawan, sedangkan Kecamatan Bogor Timur, Utara dan Tanah Sareal terrnasuk ke dalarn kategori cukup tahan. Persen Anak Tidak Imunisasi. lmunisasi merupakan suatu prosedur
rutin yang akan rnenjaga kesehatan anak, untuk memberi perlindungan menyeluruh terhadap penyakit-penyakit yang berbahaya yang sering terjadi pada tahun-tahun awal kehidupan seorang anak. Walaupun pengalaman sewaktu mendapatkan vaksinasi tidak menyenangkan untuk bayi anda (karena biasanya akan mendapatkan suntikan), tapi rasa sakit yang sementara akibat suntikan ini adalah untuk kesehatan anak dalarn jangka waktu panjang. Memberikan suntikan imunisasi pada bayi tepat pada waktunya adalah faktor yang sangat penting untuk kesehatan bayi. lmunisasi pada anak-anak membantu pengembangan ketahanan tubuh dalam rnengantisipasi timbulnya penyakit dan kematian.
Kernarnpuan untuk menyerap pangan juga tergantung pada sistem irnunitas pada tubuh rnanusia. Persentase anak yang tidak diimunisasi berkisar 0.5-8.5 persen. Di Bogor Timur balita yang tidak diimunisasi hanya 0.5 persen batas 2.5 persen berarti rnempunyai cakupan imunisasi paling tinggi, sedangkan yang paling rendah adalah Bogor Barat (8.5%) (Tabel 26). Tabel 26 Persentase anak tidak diimunisasi per kecamatan Kecarnatan % Anak tidak diirnunisasi Bogor Selatan 7.7 Bogor Timur 0.5 Bogor Utara 8.4 Bogor Tengah 8.5 Bogor Barat 5.0 Tanah Sareal 5.4 Surnber: Dinas Kesehatan tahun 2005 (diolah)
Kategori 4 6 4 4 4 4
Tingkat Konsurnsi Pangan. Analisis konsumsi pangan aktual penduduk
didapatkan dari hasil Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) Kota Bogor tahun 2004 yang dilakukan Departemen Kesehatan. Rumahtangga yang menjadi responden sebanyak 800 rumahtangga yang tersebar di beberapa kecarnatan. Dengan menggunakan data komposisi penduduk yang menjadi responden pada kegiatan PKG diperoleh rata-rata Angka Kecukupan Energi sebesar 2 149 kkallkapitalhari. Dari segi kuantitas rata-rata konsumsi energi aktual pada tahun 2004 baru mencapai 1 339 kkallkapitalhari dengan Tingkat Kecukupan Energi (TKE) baru rnencapai 62.3 persen, sedangkan konsumsi protein sebesar 44.2 grlkapitalhari dengan tinggkat kecukupan protein sebesar 95.7 persen. Dengan menggunakan klasifikasi tingkat konsumsi pangan Depkes (1996) maka rata-rata konsumsi energi penduduk Kota Bogor berada pada defisit tingkat berat (<70% AKG) sementara tingkat konsumsi protein rnasuk kategori normal. Dari segi kualitas indikator yang dipergunakan untuk menilai konsumsi pangan adalah skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang dipengaruhi oleh keragaman dan keseimbangan konsurnsi antar kelompok pangan. Skor PPH yang telah dicapai Kota Bogor pada tahun 2004 adalah 72.1. Kondisi tersebut masih jauh dari skor PPH ideal yaitu 100:Masih
rendahnya skor PPH tersebut
disebabkan oleh kornposisi pangan yang dikonsumsi penduduk belum berirnbang antar kelompok pangan. Kelompok bahan pangan yang belum mernenuhi skor PPH dan harus ditingkatkan konsumsinya adalah umbi-umbian, buahlbiji berminyak, gula, serta sayur dan buah (Tabel 27).
Tabel 27 Konsurnsi dan PPH penduduk Kota Bogor tahun 2004 Konsumsi Skor Kelompok Energi (kkal) Protein (gr) PPH Bahan Makanan Padi-padian 891 17.0 25. Urnbi-urnbian 12 0.2 0.5 Hewani 198 18.4 24. MinyaklLernak 102 0.0 5.0 Kacang-kacangan 69 6.5 10. BuahlBiji berminyak 11 0.1 0.4 Gula 16 0.0 0.7 SayuranlBuah 40 1.9 6.5 Jurnlah 1 339 44.2 72. % Angka Kecukupan Gizi 62.3 95.7 Surnber: PKG Kota Bogor tahun 2004
Skor maks 25.0 2.5 24.0 5.0 1.O 10.0 2.5 30.0 100
Rata-rata konsurnsi energi(TKE) penduduk per kecarnatan tidak ada yang rnencapai angka kecukupan yang dianjurkan, seluruhnya berkisar antara 1 266 sarnpai 1 964 kkal atau 58.86 sarnpai 91.33 persen. TKE yang tertinggi adalah rata-rata konsurnsi penduduk Tanah Sareal yaitu 91.33 persen dan terendah di wilayah Bogor Timur (Tabel 28), Tabel 28 Tingkat konsurnsi energi dan protein per kecarnatan Konsurnsi Kecarnatan Energi Protein kkallkaplhr "/o grlkaplhr AKG 2 000 100.00 50.0 Bogor Selatan 1 597 74.28 54.7 Bogor Tirnur 1 266 58.86 44.1 Bogor Utara 1 336 62.14 50.8 Bogor Tengah 1517 70.56 44.8 Bogor Barat 1 583 73.62 57.2 Tanah sareal 1 964 91.33 57.2 Kota Bogor 1 339 62.30 44.1 Surnber: PKG Kota Bogor tahun 2004
% 100.00 118.32 95.47 109.88 96.96 123.84 123.73 95.70
Apabila ditinjau dari tingkat kecukupan energi rurnahtangga, lebih dari separuh (68%) rnengalarni defisiensi energi tingkat berat yaitu rurnahtangga yang mernpunyai tingkat kecukupan energi di bawah 70 persen kecukupan energi, dan hanya 16.6 persen rurnahtangga yang dapat rnernenuhi kebutuhan energi anggota rurnahtangganya secara normal atau antara 80 sarnpai 119 persen. Walaupun dernikian terdapat 2.6 persen rurnahtangga dengan tingkat kecukupan energi lebih atau lebih besar atau sarna dengan 120 persen. Tingkat kecukupan protein sebagian besar penduduk Kota Bogor adalah normal, narnun defisit berat rnasih dijurnpai pada 27.1 persen responden dan berlebih sebanyak 25.5 persen (Tabel 29).
Tabel 31 Persentase rumahtangga rawan pangan per kecamatan Rawan Pangan Kecarnatan (Tingkat Konsurnsi Energi <70%) n % Bogor Selatan 67 72.0 Bogor Timur 120 91-6 Bogor Utara 117 86.0 Bogor Tengah 84 61.8 Bogor Barat 104 61.5 Tanah Sareal 59 43.7
Kategori 1 1 1 1 1 2
Mutu gizi dan keragaman pangan yang dikonsurnsi penduduk, terdapat empat kecarnatan yang memiliki skor PPH rnendekati pola pangan yang diharapkan. Tanah sareal merupakan wilayah yang rnerniliki Skor
PPH terendah
dibanding yang lainnya. Skor PPH untuk kelornpok bahan pangan padi-padian seluruh rumahtangga di setiap kecarnatan telah melewati batas ambang komposisi bahan pangan yang ideal. Konsurnsi urnbi-umbian pada wilayah Bogor Utara, Tengah, Barat dan Tanah Sareal belurn rnencapai angka yang ideal. Konsumsi pangan hewani sebagian wilayah telah rnelebihi batas angka ideal hewani, kecuali di Bogor Tengah. Konsurnsi kacang-kacangan dikonsumsi sangat jauh di atas angka ideal, sedangkan buahlbiji berminyak serta sayursayuran dan buah dikonsurnsi sangat kurang dari yang ideal (Tabel 32) Tabel 32 Skor pola pangan harapan konsurnsi per kecarnatan Kelompok Skor PPH No. Bahan Bogor Bogor Bogor Bogor Makanan Ideal Selatan Timur Utara Tengah I Padi-padian 25.0 25.67 26.23 26.46 31.82 II Umbi-umbian 2.5 2.49 2.63 2.07 1.74 Ill Hewani 24.0 27.78 33.82 37.04 22.64 IV Minyakllemak 5.0 8.31 9.86 9.98 5.90 1.0 15.24 V Kacang13.48 12.24 12.66 kacangan VI Buahlbiji 10.0 4.22 1.70 1.06 2.21 berminyak VII Gula 2.5 0.86 1:09 1.31 0.81 Vlll Sayur-sayuran 30.0 7.48 6.44 7.18 6.60 dan buah Total 100.0 92.05 95.25 97.34 84.38 Surnber: PKG Kota Bogor 2004, diolah
Bogor Barat
Tanah
29.60 1.56 26.74 6.38 19.54
Sareal 33.62 1.79 24.86 4.52 8.08
1.56
2.06
0.86 6.66
1.19 3.42
92.90
79.54
Sebagian besar konsurnsi pangan aktual masih di bawah konsurnsi harapan kecuali untuk kelornpok padi-padian. Konsurnsi kelornpok pangan umbiumbian, surnber protein hewani dan sayur-sayuran dan buah rnasih cukup jauh di bawah anjuran. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas konsurnsi pangan masyarakat diperlukan upaya upaya selain penyediaan saja, tetapi harus upaya yan dapat rnempengaruhi perbaikan mutu gizi masyarakat diantaranya rnelalui peningkatan pendapatan dan daya beli yang diiringi dengan perbaikan
pengetahuan gizi dan perubahan perilaku. Hal ini disebabkan karena pangan yang defisit urnurnnya dari kelornpok pangan surnber hewani dan buah-buahan yang
relatif
rnahal
harganya.
Melalui
peningkatan
pengetahuan gizi,
rnernungkinkan pengelolaan surnberdaya akan lebih baik, sehingga rnasyarakat dapat mernilih jenis-jenis pangan berrnutu gizi tinggi dengan harga terjangkau dan tidak tergantung pada makanan pokok tertentu saja (Tabel 33). Tabel 33 Konsurnsi rnenurut berat bahan pangan Berat (grlkapitalharo Kelornpok Bahan Bogor Bogor Bogor Bogor Pangan Idea' Selatan Timur Utara Tengah Padi-padian 275 468.8 480.9 418.1 273.2 Urnbi-umbian 100 45.1 39.5 53.7 51.8 Hewani 150 115.5 96.2 121.2 76.1 MinyaklLemak 20 15.7 14.4 16.3 10.4 35 91.9 63.4 Kacang-kacangan 63.3 62.9 Buahlbhi berminyak 10 48.1 24.42 18.0 37.8 Gula 30 7.7 7.4 9.0 6.3 Sayur dan buah 250 136.3 84.4 98.3 88.4 Surnber: PKG Kota Bogor 2004, diolah
Bogor Barat 283.7 33.8 101.5 11.7 105.7 24.7 8.6 96.1 ~
~
Tanah Sareal 372.8 75.6 100.4 10.3 72.4 28.9 12.5 74.9 ~
Tingkat Kerawanan Pangan Tabel 34 rnenunjukkan bahwa hasil analisis dari dua kornponen yang terdiri dari delapan indikator yang dipergunakan untuk kerawanan pangan yaitu persentase penduduk rniskin, persentase rurnahtangga yanga akses listrik, AHH, persentase balita yang menderita gizi kurang, rasio penduduk per dokter, persentase rurnahtangga akses air bersih, persentase balita yang tidak diirnunisasi dan tingkat konsurnsi pangan rurnahtangga rnenunjukkan bahwa ernpat kecarnatan dari enarn kecarnatan yang ada di Kota Bogor rnasuk dalarn kategori cukup tahan yaitu kecarnatan Bogor Tirnur, Utara, Barat dan Tanah Sareal, sedangkan dua kecarnatan yaitu Bogor Selatan dan Tengah rnasuk dalarn kategori agak rawan. Tabel 34 Peringkat kategori masing-masing indikator kerawanan pangan per kecarnatan Kat~nnri
Kecamatan Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat
Akses Pangan
Kesehatan dan Gizi Jmlh Gizi PddW Air lmnsi TKE Miskin Listrik AHH kurang dokter bersih 2 2 5 2 3 3
3 2 4 2 3
6 6
6 6 6
6 6 6 6 6
Tanah Sareal 3 6 6 Surnber: Dinas Kesehatan tahun 2005 (diolah)
1 2 1 2 6
3
3 3
5
4
4 4
4 6 4 4 4 4
1 1 1 1 1 2
26 29 31 26 32 33
Kategori
Agakrawan Cukup tahan Cukup tahan Agak rawan C u k u ~tahan Cukup tahan
Program Pencegahan dan Penanganan Kerawanan Pangan yang Telah Dilaksanakan Pemerintah Dalarn Rencana Strategis Kota Bogor tahun 2005-2009, prioritas pembangunan daerah dan penanganan rnendasar tidak secara khusus rnenanggulangi rnasalah yang berkaitan dengan kerawanan pangan tetapi perrnasalahan yang berkaitan dengan rnasalah perkotaan rneliputi transportasi, pedagang kaki lirna, kebersihan kota dan lingkungan hidup, dan kerniskinan (Renstra Kota Bogor 2005). Penanganan yang rnenjadi prioritas pertarna adalah rnasalah transportasi yang perlu ditangani adalah kernacetan lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya (3 506) angkutan kota dan 6 895 angkutan kota dari luar Kota Bogor dan 900 unit angkutan antar kotalprovinsi yang rnemenuhi jalan-jalan di Kota Bogor. Penyebab kernacetan pada umunya karena pelanggaran aturan lalu lintas oleh angkut dan pedagang kaki lirna (PKL) yang rnenggunakan badan jalan. Prioritas kedua adalah permasalahan PKL yang jurnlahnya rneningkat. Hasil pendataan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor pada tahun 2002 terdapat 10 350 PKL dan pada tahun 2004 sebanyak 12 000 pedagang, 82 persen pedagang ini berasal dari luar Kota Bogor. Di satu sisi PKL sebagai sektor informal diberi hak yang sarna dengan pelaku ekonorni lainnya namun di sisi lain keberadaan PKL yang tersebar di pusat kota mengganggu kegiatan lainnya dikarenakan pada urnurnnya rnenggunakan ruang publik (fasilitas urnurnlhak publik seperti trotoar dan badan jalan). Disarnping itu ketentuan yang mengatur PKL, konsistensi dan ketegasan dalarn mengatur penertiban PKL oleh petugas, belum ada kajian tentang PKL, belum ada persepsi bahwa PKL rnerupakan rnasyarakat kecil Kota Bogor, yang secara ekonomis belum ada ruang untuk pedagang kecil dan PKL belum ada keterpaduan antara pedagang besar dan pedagang kecil atau PKL. Keberadaan PKL sulit dikendalikan sesuai dengan perencanaan dan penataan kota. Pengentasan kemiskinan. Untuk rnenanggulangi kemiskinan, pemda Kota Bogor telah rnenyiapkan dana untuk program pengentasan kerniskinan rnelalui peningkatan daya beli, pendidikan dan kesehatan rurnahtangga miskin. Peningkatan daya beli dilaksanakan dalarn bentuk program Kelornpok Usaha Bersarna (KUBE), pelatihan ketrarnpilan dan pengembangan kemitraan usaha ekonorni rumahtangga rniskin. KUBE gakin adalah pinjarnan modal usaha sebesar Rp 300 000.00 per rurnahtangga rniskin tanpa agunan. Pengernbalian
pinjarnan dilakukan secara rnencicil selarna 10 bulan tanpa bunga. Pelatihan ketrampilan yang telah diberikan adalah rnontir motor dan pengembangan kemitraan
yang
diberikan
adalah
pendampingan
dalam
peningkatan
pengetahuan rnengenai pengemasan rnakanan dan rninurnan bagi pedagang. Ketiga program ini dilaksanakan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Sosial. Program Raskin. Untuk menjamin ketersediaan pangan pokok di tingkat rurnahtangga rumahtangga miskin, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (deperindagkop) rneluncurkan program Raskin (Beras untuk rurnahtangga rniskin). Beras dijual dengan harga rnurah yaitu Rp 1000.00 per kg. Program raskin rnerupakan implernentasi dari kebijakan subsidi pangan terarah (targeted food subsidy) berupa transfer pendapatan dalarn bentuk barang diharapkan dapat rnernbantu rnengurangi beban pengeluaran rurnahtangga rniskin di Indonesia. Secara vertikal program raskin akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan ketahanan pangan rurnahtangga. Secara horizontal, program raskin rnerupakan bentuk transfer energi yang rnendukung program perbaikan gizi, peningkatan kesehatan, peningkatan kualitas pendidikan, dan akhirnya akan rneningkatkan produktivitas tenaga kerja. Tujuan dari program raskin adalah untuk rnernberikan perlindungan kepada rurnahtangga rniskin rnelalui bantuan beras bersubsidi guna rnernenuhi kebutuhan gizi dan rnengurangi beban pengeluaran rurnahtangga pada jurnlah yang telah ditentukan dan tingkat harga tertentu (Ditjen Pernberdayaan Masyarakat Desa, Departernen Dalam Negeri 2004). Bantuan pendidikan. Untuk rnernbantu pendidikan anak rurnahtangga miskin yang masih duduk di sekolah dasar, pernerintah kota rnernberikan bantuan dalarn bentuk KBBS (Kartu Bebas Biaya Sekolah) yang norninalnya sebesar Rp 630 000.00 per tahun per anak. Untuk pendidikan anak yang duduk di Sekolah rnenengah pertama dan atas, pernerintah Jawa Barat rnernberikan bantuan berupa Kartu Bagus (Bantuan Gubernur untuk sekolah) yang besarnya Rp 500 000.00 per anak per tahun. Kedua bantuan ini diberikan langsung pada awal tahun rnelalui kelurahan ternpat tinggal rurnahtangga rniskin tersebut. Selain itu terdapat bantuan dari BAZ (Badan Arnil Zakat) yang juga memberikan biaya sekolah anak sekolah dari sekolah dasar hingga rnenengah atas yang diberikan langsung ke sekolah. Kesehatan. Di bidang kesehatan, persebaran sarana kesehatan merata khususnya pusat kesehatan rnasyarakat (puskesrnas) yang melayani kesehatan
dasar. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan puskesrnas rujukan rawat inap (RRI), TT puskesrnas, puskesrnas pernbantu (pustu) dan puskesrnas keliling untuk wilayah yang luas cakupan penduduknya di tiap kecarnatan. Jumlah puskesrnas yang rnelayani pasien rawat inap sebanyak 23 buah dengan kapasitas ternpat tidur 49 buah. Jurnlah puskesmas, puskesrnas pernbantu dan puskesrnas keliling tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35 Jurnlah puskesrnas, puskesrnas pernbantu dan puskesmas keliling tahun 2005 Kecamatan (1)
Puskesmas RI
TT
Puskesmas
(2) 4 2 2 5 5 5 23
(3)
Boaor Selatan 11 8 ~ o g oTimur r Bogor Utara 4 6 Bogor Tengah Boaor Barat 7 ~ a i a Sareal h 13 Bogor 2004 49 Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bogor tahun 2005
Puskesmas Pembantu
Jumlah Puskesmas Kel~ling
(4) 5 4 3 4 3 2 21
(5) 2 1
3
Sarana pelayanan kesehatan dasar yang paling dekat dengan penduduk adalah pos pelayanan terpadu (posyandu). Jumlah posyandu di Kota Bogor 828 buah yang tersebar di enarn kecarnatan atau 68 desa (kelurahan). Setiap kelurahan terdapat 12 sarnpai 16 posyandu tergantung jurnlah penduduk dan lokasi. Setiap posyandu rnelayani 806.1 sarnpai 1196.6 penduduk. Jurnlah penduduk yang dilayani dan keberadaan sarana pelayanan kesehatan ini di pemukirnan menjadikan posyandu sebagai sarana
untuk rneningkatkan
pengetahuan penduduk rnelalui berbagai penyuluhan terutarna kesehatan terrnasuk gizi dan pangan (Tabel 36). Tabel 36 Jumlah posyandu per kecamatan Kecamatan
Penduduk
Bogor Selatan 186 745 Bogor Tirnur 86 978 Bogor Utara 149 578 Bogor Tengah 103 178 Bogor Barat 190 421 Tanah sareal 158 187 Kota Bogor 855 085 Surnber : BPS tahun 2005 (diolah)
Posyandu
Jumlah Desa (Kelurahan)
153 87 125 128 196 139 828
16 6 8 11 16 11 68
Pendudukl posyandu
Posyandul kelurahan
1220.5 999.7 1196.6 806.1 971.1 1138.8
9.6 14 15.6 11.6 12.3 12.6
PMT Pemulihan. Untuk rneningkatkan kesehatan rurnahtangga miskin, Dinas Kesehatan rnernpunyai program perbaikan gizi pada semua kelornpok urnur dengan prioritas pada perbaikan gizi balita dengan Pemberian Makanan
Tarnbahan Pemulihan (PMT-P) bagi balita penderita gizi buruk dan Makanan Pendamping ASi (MP-ASI) berbasis bahan lokal yang dilaksanakan rnelalui Puskesmas
seternpat
bekerjasarna dengan
posyandu.
Untuk
anggota
rurnahtangga lain diberikan Kartu Sehat. Pengawasan terhadap masing-masing program telah dilakukan oieh masing-masing instansi terkait. Pertanian. Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan
(PROKSIMANTAP) dituangkan dalarn rnerupakan kegiatan penetapan sasaran intensifikasi
areal
tanaman
pangan,
tanaman
hortikultura,
intensifikasi
peternakan serta intentisifikasi perikanan untuk rneningkatkan produksinya dengan tujuan penurunan penduduk rawan pangan rnelalui peningkatan pendapatan petani. lntensifikasi areal tanaman diutarnakan tanaman hortikultura (sayuran), buah-buahan, tanarnan obat dan tanarnan hias yang dapat ditanarn di pekarangan.
lntensifikasi
peternakan
dilakukan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan peternak rnelalui peningkatan pendapatan dengan kualitas dan produktivitas sumberdaya rnasyarakat peternak rnelalui pembinaanlpengawasan produk yang dihasilkan dapat rnemenuhi kriteria arnan, sehat, utuh, dan haial (ASUH), thoyiban dan ikhsan. Usaha peternakan rneliputi rurninansia (rnemarnah biak), unggas (itik atau bebek dan ayam), aneka ternak (kelinci, marmut dan puyuh) dan hewan kesayangan (kucing, anjing, dan lain-lain). Pengembangan populasi sangat sulit dilakukan karena keterbatasan lahan terutarna pengembangan ternak besar (rurninansia besar) yang diupayakan rnernpertahankan populasi. Berbagai metode rurnahtangga berencana (KB) seperti implant, suntik maupun sterii untuk rumahtangga miskin diberikan tanpa dipungut biaya dan dengan kernauan dan kesadaran pasangan usia subur tersebut tanpa paksaan dari petugas kesehatan. Program yang telah sesuai dengan rnasalah yang ada adalah program peningkatan ketahanan pangan masyarakat, penambahan jaringan listrik, penerimaan tenaga dokter dan penarnbahan sarnbungan PAM sedangkan program yang
kurang sesuai adaiah
pengentasan kerniskinan melalui
pendidikan. Prornosi kesehatan yang berhubungan dengan irnunisasi telah dilakukan dalarn bentuk program perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat oleh Dinas Kesehatan, melalui berbagai media massa seperti surat kabar iokal, leaflet,
siaran radio pernerintah (RRI) maupun swasta lokal, spanduk dan poster di ternpat umum. lrnunisasi yang disebarluaskan adalah irnunisasi polio yang menjadi program nasional dan dilakukan serentak di seluruh wilayah Indonesia. Listrik. Penarnbahan jaringan listrik terus dilakukan untuk rnencapai
wilayah dirnana penduduknya rnerninta sarnbungan listrik secara berkelornpok. Selain untuk penarnbahan jaringan listrik dana yang disediakan untuk PLN juga digunakan untuk rnernelihara dan rnengawasi jaringan yang ada supaya tidak hilang atau dicuri. Rumah sehat. Bantuan rurnah layak huni dilakukan untuk mernbantu
rurnahtangga rniskin mernperbaiki rumah yang ditinggali dengan biaya yang diberikan oleh pernda secara gratis. Bantuan yang diberikan urnurnnya adalah bahan bangunan tergantung kekurangan dan kerusakan yang ada sedangkan pembangunannya diserahkan pada pemilik rumah. Program
yang
masih
dapat
dilakukan
untuk
rnendukung dan
rnengembangkan program yang telah ada antara lain pengawasan terhadap jurnlah dan kualitas penduduk, kebersihan serta modal produksi usaha kecil rurnahtangga. Pengawasan terhadap jurnlah dan kualitas penduduk dapat dilakukan melalui peningkatan prornosi rumahtangga kecil, mandiri dan berkualitas. Selain itu pengawasan terhadap pendatang yang tidak rnempunyai keahlian dan bekerja di sektor informal. Salah satu unsur yang rnernpengaruhi ketersediaan pangan adalah jurnlah penduduk. Untuk menekan jurnlah penduduk dapat digunakan cara menekan kelahiran dan jurnlah pendatang. Walaupun program KB rnasih tersedia di setiap kelurahan tetapi promosi Rumahtangga Berencana perlu digalakan kembali dengan rneningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya rurnahtangga kecil, rnandiri dan berkualitas. Pengawasan terhadap pendatang yang tidak rnempunyai keahlian dapat dicegah rnelalui pernantauan terhadap jurnlah pendatang di tiap kelurahan. ldentifikasi rnasalah dan program pemerintah daerah Kota Bogor tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 37. Bantuan keuangan dapat diberikan dalarn bentuk pengelolaan langsung dan tidak iangsung untuk rneningkatkan pendapatan penduduk rniskin. Pengeiolaan langsung adalah bentuk pengelolaan unit usaha dirnana pernda terlibat dalarn permodalan dan kepernilikan, baik secara keseluruhan atau sebagian dan dapat terlibat dalam manajernen operasinya. Narnun tetap diarahkan untuk pemberdayaan dan kepentingan rnasyarakat di sekitarnya.
Misalnya toko milik kelurahan tertentu dengan pegawai dan produk dari masyarakat sekitar di bawah pengawasan tenaga kelurahan tersebut. Tabel 37 ldentifikasi masalah dan program pemerintah daerah Kota Bogor tahun 2006 ldentifikasi Program vang Program vana Kesirnoulan . - ada rnasalah diperlukan Akses Pangan ~erniskiian PenanggulangPengentasan kerniskinan: Ada dan an kerniskinan a. Peningkatan daya beli: KUBE kurang dan pelatihan ketrarnpilan sesuai (Dinas Tenaga Kerja dalarn dansosial), PROK-SIMANTAP pernberian dan budi daya karnbing Dinas KBBS Agribisnis), Pernberdayaan usaha makanan dan rninurnan (Dinas Perdagangan dan Koperasi) b.Pendidikan: KBBS WAJARDIKDAS (Dinas Pendidikan) c. KB (BKKBN), Bantuan Rurnah Layak Huni (Dinas Tata Kota dan Pertarnanan), Raskin (Dinas Perdagangan lndustri dan Koperasi) Listrik
Penarnbahan jaringan
Penambahan dan perbaikan jaringan (PLN)
Ada dan sesuai
Rekrutrnen dokter
Penerimaan tenaga dokter (Dinas Kesehatan)
Ada dan sesuai
Air Bersih
Menarnbah jangkauan air bersih
a. Penambahan'sarnbungan air ledeng (PDAM) b. Program Lingkungan Sehat (Dinas Kesehatan)
Ada dan sesuai
lrnunisasi
Prornosi Kesehatan
Program perilaku sehat dan pemberdayaan rnasyarakat (Dinas Kesehatan)
Ada dan sesuai
Gizi kurang
Pernberian PMTpernuiihan
Kesehatan: JPKM, Penanggulangan gizi buruk (DKK)
Ada dan sesuai
Kesehatan dan Gizi Dokter
Pengelolaan tidak langsung adalah bentuk pengelolaan unit usaha dimana
pemda
penyertaan,
sebagai penyandang dana
pembinaan dan
hanya terlibat
pendampingan termasuk
dalam
modal
dalam pengarahan
produksi dan pemasaran hasil. Pengawasan dan pengendalian diutamakan terhadap penggunaan modal dan atau bantuan yang telah diberikan. Seluruh kegiatan ini bertujuan terciptanya sirkulasi ekonomi, meningkatkan produktivitas
ekonorni rnasyarakat, menigkatkan pendapatanlhasil-hasil secara ekonomi dan berkelanjutan (sustainable) berdasarkan prinsip ekonorni. Sasaran yang layak di bina adalah lingkup usaha kecil dan terbatas narnun rnampu mernobilisasi banyak tenaga kerja kaum dhuafa (rnuatan pernberdayaan), lemah dalarn akses permodalan, lemah dalarn surnberdaya manusia dan kernampuan rnanajernen, lernah dalarn pernasaran dan terbatas infrasttuktur dan fasilitas lainnya. Usaha yang diutamakan adalah yang rnerniliki kandungan nilai ekonornii tinggi, rarnah lingkungan, berdasar potensi lokal (local based resourches) dan berkelanjutan (sustainable). Usaha yang dapat dikernbangkan adalah kerajinan tangan atau souvenir dan makanan maupun rninuman tahan lama spesifik dan Kota Bogor. Rekomendasi Pencegahan dan Penanggulangan Kerawanan Pangan Berdasarkan hasil analisis terhadap tingkat kerawanan pangan di setiap kecamatan dan program yang telah dilakukan oleh pernerintah daerah rnaka dapat diberikan rekomendasi kepada Pemerintah Kota Bogor untuk penanganan rnasalah pangan dalam usaha pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi di rnasa rnendatang. Rekornendasi yang dapat dilakukan antara lain: Perlu pengelolaan atau manajemen irnpor dan ekspor pangan secara berkelanjutan oleh pernerintah daerah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) untuk mencapai kondisi tahan pangan serta rneminimalkan terjadinya kerawanan pangan. Hal tersebut dilakukan karena ketersediaan pangan di Kota Bogor sebagian besar (>go%) berasal dari irnpor. Selain itu, Disperindag juga harus rnemantau hasil produksi non pangan di masing-masing kecamatan yang kernudian dapat dikonversikan ke dalam bentuk beras. Pemerintah daerah Kota Bogor perlu rnelakukan pernantauan jurnlah rurnahtangga rniskin secara berkala untuk menghindari terjadinya rawan pangan di rnasyarakat. Pemantauan jurnlah rurnahtangga miskin tersebut dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Kota Bogor dan Dinas Kependudukan. Peningkatan jurnlah rumahtangga rniskin rnenyebabkan tingginya tingkat kerawanan pangan. Berdasarkan persen rurnahtangga rniskin kecarnatan
yang termasuk daerah rawan pangan adalah Kecarnatan Bogor Selatan, Timur dan Tengah. Penambahan jaringan listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih diperlukan terutarna di Kecarnatan Bogor Timur karena kecamatan tersebut termasuk kategori rawan pangan dari indikator persen rurnahtangga yang mernpunyai akses listrik. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan produktivitas rurnahtangga sehingga dapat rnenarnbah penghasilan. Pada tiap kecarnatan yang ada di Kota Bogor masih memerlukan penambahan jumlah dokter melalui Dinas Kesehatan. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan
penduduk
meningkatkan
derajat
kesehatan.
Penarnbahan jurnlah dokter tersebut terutarna di Kecarnatan Bogor Selatan dan Utara karena terrnasuk dalam kategori sangat rawan. Peningkatkan pelayanan dan cakupan air bersih bagi penduduk oleh Perusahaan Air Minurn Daerah (PDAM) bekerjasama dengan Dinas Kesehatan terutama di Kecarnatan Bogor Selatan, Tengah dan Barat. Hal ini dilakukan untuk rneningkatkan kesehatan masyarakat karena kecamatan tersebut termasuk dalam kategori agak rawan pangan.
*
Penyuluhan tentang pentingnya imunisasi terutarna imunisasi dasar (BCG, DPT, Polio dan campak) terutama di Kecarnatan Bogor Selatan, Utara, Tengah. Barat dan Tanah Sareal untuk meningkatkan cakupan balita yang diirnunisasi. Kegiatan tersebut dikoordinasi oleh Dinas Kesehatan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Kecarnatan di Kota Bogor yang terrnasuk memiliki ketahanan pangan
dalarn kategori agak rawan ada dua kecamatan yaitu Kecarnatan Bogor Selatan dan Tengah yang disebabkan oleh relatif banyak jurnlah keluarga rniskin, jurnlah dokter dan defisit konsurnsi energi, sedangkan yang terrnasuk dalarn kategori cukup tahan ada ernpat kecamatan, yaitu Kecarnatan Bogor Tirnur, Utara, Barat dan Tanah Sareal. 2.
Pemerintah Kota Bogor telah melaksanakan program di bidang akses pangan dan kesehatan-gizi dalarn rangka antisipasi rawan pangan.
3. Rekornendasi kepada Pernerintah Kota Bogor untuk penanganan
rnasalah pangan dalarn usaha pencegahan dan penanggulangan rnasalah pangan dan gizi di rnasa rnendatang adalah rnanajernen irnpor, jaminan akses pangan dan kesehatan-gizi agar sernua kecarnatan tergolong tahan pangan. Akses pangan rneliputi pernantauan jurnlah rurnahtangga rniskin dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bekerjasama dengan Dinas Perdagangan dan Perindustrian dan penarnbahan jaringan listrik dapat dilakukan oleh Perusahaan Listrik Negara
(PLN).
Kesehatan dan
gizi
rneliputi
pencegahan dan
pengurangan prevalensi balita yang rnenderita gizi kurang dan buruk rnelalui program Pernberian Makanan Tarnbahan (PMT) dan pernantauan perturnbuhan oleh Dinas Kesehatan, penggalakan dan peningkatan program
diversifikasi pangan
untuk
rnencegah dan
rnengurangi
rurnahtangga rawan pangan dilakukan bersama antara Dinas Agribisnis dan Kesehatan, penarnbahan jurnlah dokter di tiap kecarnatan untuk rneningkatkan pelayanan kesehatan penduduk oleh Dinas Kesehatan, penarnbahan jurnlah rurnahtangga yang dapat mengakses air bersih oleh Perusahaan Daerah Air Minurn (PDAM) dan Dinas Kesehatan serta peningkatan cakupan anak yang diimunisasi oleh Dinas Kesehatan. Saran Pernantauan terhadap parameter terjadinya kerawanan pangan dapat dilakukan dengan optimalisasi Sistern Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) rnelalui instansi yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA Ahnaf A. 2006. Situasi Kerawanan Pangan dan Gizi (Kemiskinan). Di dalam: Seminar Nasional Pangan dan Gizi; Jakarta, 23-24 November 2006. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, dan DPP Pergizi Pangan. Anonim. 2009. Kerawanan Pangan Berbasis Lintas Sektor. http:/lw2.kompas.com/kompas-cetaWO4O1IlO/ekonomi/79230.htm. [I0 Januari 20091. Arnin M, P Suharno, A Saifullah. 1998.Konsep dan kebijaksanaan penanganan masalah rawan pangan. Di dalam: FG Winarno et al., editor. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia. hlm 715-729. Atrnawikarta A, Murniningtyas E. 2006. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) tahun 2006-2010.Di dalam: Seminar Nasional Pangan dan Gizi; Jakarta, 23-24 November 2006. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, dan DPP Pergizi Pangan. Baliwati YF. 2001. Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani (Desa Sukajadi Kecamatn Ciomas Kabupaten Bogor. Desertasi Program Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor. Bogor. Baliwati YF, Roosita K. 2004.Sistem Pangan dan Gizi. Di dalam: Baliwati YF et a/., editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Depok: Penebar Swadaya. Bank Dunia. 2004.Indonesia Adverting an lnfrastructur Crisis: A Framework For Policy and Action. Jakarta: Gradasi Aksara. [BBKP] Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2001a.Pefunjuk Pelaksanaan Sistern Kewaspadaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Departemen Pertanian. [BBKP] Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2001b. Renstra Badan Bimas Ketahanan Pangan. http://iptek.apjii.or.idlartikellpanganlDEPTAN/materi pendukung/Renstra%20BBKP2001-%202004.htm[2Maret 20051. [BKP, FEMA IPB] Badan Ketahanan Pangan, Fakultas Ekologi Manusia lnstitut Pertanian Bogor. 2007. Baliwati YF. editor. Maferi Pelatihan Analisis Ketersediaan Pangan Wilayah berdasarkan Neraca Bahan Makanan (NBM) dan Pola Pangan Harapan (Jingkat Pertarna) edisi Provinsi Jawa Barat 22-24 Agustus 2007. Bogor: Kerjasama Bagian Bina Ketahanan Pangan Biro Bina Produksi Setda Provinsi Jawa Barat dengan Tim Kebijakan Pangan Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006.Kota Bogor dalam Angka 2006.Bogor: Badan Pusat Statistik Kota Bogor.
[BPS]
Badan Pusat Statistik. 2000. Neraca Bahan Makanan. Studi Keterbandingan Data Ketersediaan dan Data Konsumsi. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2000. Pedoman Pemantauan Konsumsi Gizi. Jakarta: Direktorat Jendral Kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat. [Deptan] Departemen Pertanian, 2006. Apresiasi Analisis Distribusi dan Harga Pangan. Pusat Distribusi Pangan. Badan Ketahanan Pangan. Jakarta. [Deperindag] Departemen Perdagangan. 2006. Koordinasi Pengumpulan dan Pemanfaatan Data Harga Pangan. Makalah disampaikan pada Apresiasi Analisis Distribusi Pangan di Cisarua Bogor, 14 Juni 2006. Jakarta: Direktur Bina Pasar dan Distribusi Ditjen PDN Departemen Perdagangan. [Disagri] Dinas Agribisnis. 2005. Neraca Bahan Makanan Kota Bogor Tahun 2005. Bogor: Pemerintah Kota Bogor. [Disagri] Dinas Agribisnis. 2006. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Dinas Agribisnis Tahun 2006. Bogor: Pemerintah Kota Bogor. [Distan] Dinas Pertanian Kota Bogor. 2004:Laporan Pelaksanaan kegiatan dinas Pertanian Tahun 2004. Bogor: Pemerintah Kota Bogor. [ D K q Dinas Kesehatan Kota Bogor. 2005. Profil Kesehatan Kota Bogor Tahun 2006. Bogor: Pemerintah Kota Bogor. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2007. Pedoman Operasional Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian. RI, Program Pangan Dunia PBB. 2003. Peta Kerawanan Pangan Dunia. Jakarta: WFP dan SIKAP. Hermawan A. 2006. Rekapitulasi Mutasi Persediaan, Pemasukan dan Penyaluran Phisik Beras di gudang GBB Bogor Sub Divre Cianjur. Bogor: Gudang Bulog Baru Bogor. lhromi TO. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. [IPB] Fakultas Ekologi Manusia. 2008. Materi Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Kerawanan Pangan. Edisi Kabupaten Muara Enim 23-25 Oktober 2008. lrawati A. 2006. Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Ketahanan Pangan. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Departemen kesehatan dan DPP PERGIZI Pangan. Jahari AB. 2007. Pemanfauan Pertumbuhan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.
Kasryno F. 2004. Kebijakan pernbangunan pertanian dalarn era globalisasi dan otonomi: ketahanan pangan dan penanggulangan kerniskinan. Di dalarn: AK Seta et a/., editor. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lernbaga llmu Pengetahuan Indonesia. hlrn 265-298. Khornsan A. 1997. Kerangka Pikir Ketahanan Pangan. Di dalam: Khomsan A. 2002. Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Surnberdaya Rurnahtangga institut Pertanian Bogor. Martianto D. Ariani M. 2004. Analisis perubahan konsurnsi dan pola konsurnsi pangan rnasyarakat dalarn dekade terakhir. Di dalam: AK Seta ef a/., editor. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga llrnu Pengetahuan Indonesia. hlrn 183-207. Maxwell S, Frankenberger T.R. 1996. Household Food Security. Concepts, Indicators, Measurements, Atechnical Review. Rome. International Fund for Agricultural DevelornprnenffUnited Nations Children's Fund. Nainggolan K. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan, Departernen Pertanian, Departemen Kesehatan dan DPP PERGlZl Pangan. Perum Bulog. 2004. Mekanisrne Pengelolaan Cadangan Stok Beras Pemerintah ahi in 2005. Jakarta: Bulog. (~ekanisrne~enyaluranCadangan Pangan 2005). Rachrnan, Handewi PS, Adreng P, Gatoet SH. Kebijakan Pengelolan Cadangan Pangan pada Era Otonorni Daerah dan Perum Bulog. Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 23,2 Desernber 2005:p 77. Renstra Kota Bogor. 2007. Lampiran Peraturan Daerah Kota Bogor. http://www.kotabogor.go.id. [20 Juni 20071 Riyadi H. 2003. Metode Antropometri. [Makalah yang Tidak Dipublikasikan]. Bogor: Fakultas Pertanian, lnstitut Pertanian Bogor. Saleh 1. 1999. Strategi Meningkatkan Ketahanan Pangan di Indonesia. Makalah disajikan dalarn Seminar Nasional ketahanan pangan dan Gizi VI (hlrn. 843-876). Jakarta: Lembaga llrnu Pengetahuan Indonesia. Sarnsudin. 1985. Cara penilaian keadaan pertumbuhan dan perkernbangan fisik anak. Di dalarn: Sarnsudin, Tjokronegoro A, editor. Gizi dan Tumbuh Kernbang. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Soekirrnan. 2000. llrnu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departernen Pendidikan Nasional. Suhardjo. 1999. Problernatika rawan pangan di indonesia. Majalah Pangan, edisi khusus 1998/1999, hlrn. 79-25.
, Laura JH. Brady JD, Judy AD. 1986. Pangan, Gizi, dan Perfanian. Jakarta: U1 press.
Supariasa IDN, Bakri B, Fajar 1. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Suryana A. 2003. Kapita SeleMa Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. Yogyakarta: BPFE. Suryochondro S, Soeyatni. 1991. Kisah Kehidupan Wanita untuk Memperfahankan Kelesfarian Ekonomi Rumahtangga. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Syafrudin. 2006. Strategi pengelolaan ketahanan pangan berkelanjutan di Kabupaten Halmahera Tengah [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, lnstitut Pertanian Bogor. Tabor, Soekirman, Martianto. 2004. Keterkaitan antara Krisis Ekonomi, Kerniskinan, Ketahanan Pannan dan Keadaan Gizi. Di dalam: Soekirman et a/., editor. Kefahanan pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia. hlm 41-92. [UN-WFP] United Nations World Food Programme. 2003. Peta Kerawanan Pangan Indonesia, A Food Insecurity Atlas of Indonesia. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. Wikipedia. 2008. Jalan Raya. http://ms.wikipedia.org/wiki/Jalan-raya. html. [I1 Agustus 20081. Wikipedia Bahasa Indonesia. 2008. Ensiklopedia Bebas. Penduduk. Proceedings of the United Nations Expert Meeting on World Population to 2300 http:llid.wikipedia.org/wikilPenduduk. html. [I 1 Agustus 20081.
Larnpiran 1 Nama kelurahanldesa di Kota Bogor pada tahun 2005 No. 1
Nama Kecamatan Bogor Selatan
2
Bogor Timur
3
Bogor Utara
4
Bogor Tengah
5
Bogor Barat
Nama Kelurahan 1. Mulyaharia 2. pamoya"an 3. Ranggamekar 4. Genteng 5. Kertamaya 6. Rancamaya 7. Bojongkerta 8. Harjasari 9. Muarasari 10. Pakuan 11. Cipaku 12. Lawanggintung 13. Batutulis 14. Bondongan 15. Emoana 16. ~ i k a r e t " 1. Sindangsari 2. Sindangrasa 3. Taiur 4. Katulamoa , 5. Baranangsiang 6. Sukasari 1. Bantariati 2. ~egal&ndil 3. Tanahbaru 4. Cimahpar 5. Ciluar 6. Cibuluh 7. Kedunghalang 8. Ciparigi 1. Paledang 2. Gudang 3. Babakanpasar 4. Tegallega 5. Babakan 6. Sempur 7. Pabaton 8. Cibogor 9. Panaragan 10. Kebon Kalapa 11. Ciwaringin 1. Pasirmulya 2. Pasikuda 3. Pasirjaya 4. ~unungbatu 5. Loji 6. Menteng 7. Cilendektimur 8. Cilendekbarat 9. Sindangbarang 10. Margajaya 11. Balumbang Jaya 12. Situgede 13. Bubulak
Lampiran 1 Nama kelurahanldesa di Kota Bogor pada tahun 2005 (Lanjutan)
-. . -. - . -..-. . - .-..-. .. Narna Kecarnalan -. No. .- . -. . -. . -. . -.Nama Kelurahan .-. -. . 14 Sernplak
6
Tanah Sareal
16. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Curug Kedungwaringin Kedungjaya Kebon Pedes Tanah Sareal Kedung Badak Sukaresmi Sukadamai Cibadak Kayumanis Mekawangi Kencana
Lampiran 2 Peta Kota Bogor
Larnpiran 3 Rekapitulasi rnutasi persediaan, pernasukan dan penyaluran fisik beras di Gudang Bulog Baru Bogor sub divre Cianjur tahun 2005 No. 1 2
Uraian Persediaan awal: Pemasukan: Pengadaan Move in Reg Jumiah pemasukan Stock dikuasai:
3
Penyaiuran Raskin Koia Bogor Kab. Bogor Kota Depok Jumlah Penyaluran Penedlaan akhlr:
Januari 5 668 475
Posisl dan jenis Beras FebNari Maret April Mei Juni Juli Agustus 5 193 355 3 813 010 4 675 777 4 866 034 3 991 470 3 870 944 3 189 354
-
-
614015 614 015
5 668 475
5 807 370
1667017 I667 017
499256 499 256
1497774 I497 774
998510 998 510
355600 1497765 1 853 365
6 524 697 6 342 794
5 365 290
5 489 244
4 869 454
5 042 719
2711 687 2 711 687
Jumlah September 3 596 399
Oktober 4 270 399
November 4 500 105
Desember 3 332 303
419 100 1997040 2 416 140
381 000 2496306 2 877 306
190 500 499258 689 758
95 250 1497768 1 593 018
1 444 450 15976396 17 417 846
6 012 539
7 147 705
5 189 683
4 925 321
23 086 321
(kg
5 668 475
20 760
64 660
87 760
65220
65400
85420
78 200
67 000
93 580
147 600
100 540
77 380
953 520
454 360
-
1 817 160 112540
1 463 660 297500
1 246 640 164 900
1 209 280 99 140
1 354 940 177 940
1 418 060 183840
1 198 520 180 800
1 489 680 158 880
2 316 520 183480
1 735 280 21 740
1 243 000 8 040
16 947 100 1 588 800
475120
1994360
1 EM8920
1476760
1373820
1618300
1680100
1446320
1742140
2647600
1857560
1328420
19489420
5 193 355
3 813 010
4 675 777
4 866 034
3991 470
3 870 944
3 189 354
3 596 399
4 270 399
4 500 105
3 332 303
3 596 901
3 596 901
Sumber : GBB Bogor tahun 2005 Keterangan : 1. Pernasukan :
-
Pengadaan adalah beras yang dibeli oleh Sub Divre Cianjur Cq GBB Bogor.
-
Move In Regional adalah penarnbahan persediaan yang diatur rnekanisme penarnbahannya oleh Divre Jabar atas usulan GBB Bogor ke Sub Divre Cianjur.
2. Pengeluaran raskin per bulan adalah rnerupakan alokasilpagu yang telah ditetapkan setiap bulannya dan apabila jurnlah pagu pada bulan tersebut tidak diarnbil, bias diarnbil dengan pagu bulan berikutnya dan seterusnya.
Lampiran 4 Perkembangan harga kornoditas pertanian di Kota Bogor selama tahun 2004 NO.
Jenis Komoditi
Harqa tiap Komodiiipada bulan (Rp) Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
2600 2700
2600 2700
2600 2700
2600 2700
2600 2700
2600 2700
2600 2700
2600 2700
2600 2700
2600 2700
2700 2800
2900 3000
3500 1500 800 2000 4000 10000 4500
2500 800 1500 2000 4000 10000 4500
2500 800 1500 2000 4000 10000 4500
2500 800 1500 2000 4000 10000 4500
2800 1500 1500 2000 4000 10000 4500
3000 1000 800 2000 4000 10000 4500
2500
2500
2500
- Kc. Hijau
2500 1500 1500 2000 4000 10000 4500
800 1500 2000 4000 10000 4500
800 1500 2000 4000 I0000 4500
800 1500 2000 4000 10000 4500
2500 800 1500 2000 4000 12000 5000
2700 1000 1500 2000 4000 1100 4500
3
Sayur-sayuran Cabemerahlkg
12000
14000
14000
1500
14000
1200
14000
14000
1500
1500
1500
14000
4
Daginglkg -Ayam buras
30000 13000 38000 30000
30000 12000 30000 30000
25000 13000 37000 28000
30000 13000 37000 35000
30000 13000 38000 35000
30000 13000 35000 30000
30000 12000 30000 30000
25000 13000 37000 30000
30000 13000 37000 35000
30000 13000 38000 35000
35000 15000 45000 35000
30000 14000 45000 34000
7000 900 1000 5000
6500 1000 850 5000
6500 900 900 5000
6500 850 850 5000
7500 850 850 5000
7500 900 I000 5000
6500 900 850 5000
6500 900 900 5000
6500 850 850 5000
7500 850 850 5000
8000 900 1000 5000
8000 900 900 5000
22000 11000 9000 12500 10000 9000
25000 10000 9000 13000 I1000 9500
25000 15500 8500 13000 12000 8500
22000 15000 9000 12000 9000 9000
22000 15000 9000 12500 9500 9500
23000 14000 9000 12500 10000 9000
25000 15000 9000 13000 11000 9000
25000 15500 8500 13000 12000 9500
22000 15000 9000 12000 9000 9000
22000 15000 9000 12000 9000 9000
25000 15000 10000 13000 10000 9000
24000 13000 9500 12500 9500 9000
1
Beraskg
- IR-64 - Cianjur 2
Paiawijalkg - Jagung ppl
- Ubi kayu - Ubi rambai - Talas - Kedelai -Kc. Tanah
- Ayam ras - Sapi - Kambing 5
Telurlbutir
- Ayam ras - Ayam buras - Bebek
6 7
Susu murnill lkankg
- Gurame -Mas
- Lele
- Patin - Nila - Mujair
Lampiran 5 Panjang jalan menurut keadaan status jalan di Kota Bogor Status Jalan (Km) Keadaan
Jalan Negara
Jalan Provinsi
Jenis Perrnukaan 33 810 10 120 a. Diaspal b. Kerikil c. Tanah d. BetonlCornblock e. Tidak Dirinci Jurnlah 33 810 10 120 Kondisi Jalan 11 661 a. Baik b. Sedang 14 778 10 120 c. Rusak 7 371 d. Rusak Berat Jurnlah 33 810 10 120 Kelas Jalan a. Kelas I b. Kelas I I 33 810 10 120 c. Kelas Ill d. Kelas Ill A . e. Kelas 111 B . f. Kelas 111 C g. Kelas Tdk dirinci Jurnlah 33 810 10 120 Surnber: Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bogor 2005
Jalan Kab,Kota
Jurnlah
490 112 20 125 9 070 39 072 18 286 576 665
534 042 20 125 9 070 39 072 18 286 620 595
73 514 245 347 179 327 78 477 576 665
85 175 270 245 186 698 78 477 620 595
13 028 147 675 54 144 158 121 167 800 35 894 576 665
56 958 147 675 54 144 158 124 167 800 35 894 620 595
Lampiran 6 Rute dan jurnlah angkutan di ~ o t a Bogor tahun 2005 Rute 01 01A 02 03 04 05 06 07 07A 08 09 09A 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Jurusan Cipinang Gading-Cipaku- Terminal Merdeka Baranang Siang -Ciawi Sukasari-Terminal Bubulak Baranangsiang- Bubulak Rarnayana Rancarnaya Rarnayana-Pangrango-Cirnahpar Ramayana-JI.Bangka-Ciheuleut Warung Jarnbu-H.Juanda-Merdeka Ps.Anyar-Air Mancur-Pondok Rurnput Warung Jarnbu-H.Juanda-Ramayana Warung Jarnbu-Pajajaran-Sukasari Cirernai Ujung-Pajajaran-Baranangsiang Bantar Kemang-Sukasari-Merdeka Pajajaran-Pasar Bogor Cirnanggu-Ma Salmun-Ps Anyar Bantar Kernang-JI Bangka-Rarnayana Sukasari-Cibalagung-Pasir Kuda Terminal Merdeka-Bubulak-Sbj Pasar Anyar-Salabenda Pornad-Tanah Baru-Bina Marga Rarnayana-Mulyaharja Terminal Merdeka-Curug Mekar Jurnlah Sumber: DLLAJ Kota Bogor 2006
-
Jurnlah 13 190 660 382 185 162 169 236 53 212 144 0 83 40 180 147 0 101 265 55 39 3 316
Larnpiran 7 Jurnlah dan cakupan irnunisasi bayi rnenurut puskesmas per kecarnatan di Kota Bogor tahun 2005 Irn~lnisasi .. .. -. ..- -- .
Kecarnatan Bogor Selatan Bogor Tirnur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal
Jurnlah Bayi 3 661 1754 3 212 198 3 798 3 555
BCG
DPTI
3 454 1 834 3 088 1714 3 861 3457
3 054 1 743 2 835 1 581 3 221 2 861
DPT2 2 713 1 679 2 64 1327 3 08 2707
Kota Bogor 1796 17408 15295 14146 17858 14874 14421 13597 2004 Surnber : Dinas Kesehatan Kota Bogor Kota Bogor Dalam Angka 2006
DPT3
POL1
POL 2 POL3
2 652 1808 2453 1266 3 005 2 533
2 078 1 572 2 198 877 1 785 1 599
1 901 1 429 2 231 698 1 597 1 53
1 785 1 505 1691 562 1 522 1 559
13717 10109 9386 8624 13126 15191 14039 .. . 13817 . ... . ~
~~
Larnpiran 8 Jurniah rurnahtangga rnenurut tahap kesejahteraan di Kota Bogor tahun 2005 Sejahtera Kecarnatan Prasejahtera I II Ill dan Ill+ Bogor Selatan 456 9.287 12.558 12.257 Bogor Tirnur 9 5.457 4.39 7.467 Bogor Utara 164 4.4 13.329 13.604 Bogor Tengah 7.034 8.035 6.394 Bogor Barat 353 8.969 12.922 16.292 ~ a i a Sareal h 464 8.308 10.709 11.961 Kota Boaor 1.446 43.455 61 -943 67 .. ..975 . 2004 1.952 46.933 61.743 69.782 2003 1.446 43.455 61.943 67.975 45.12 2002 2.314 58.874 63.141 49.465 2001 4.287 50.343 59.149 Surnber : Dinas Kesehatan Kota Bogor Kofa Bogor Dalam Angka 2006