PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan rnerupakan kebutuhan dasar rnanusia agar dapat hidup dan beraktivitas. Kondisi terpenuhinya kebutuhan ini dikenal dengan istilah ketahanan pangan. Undang-undang No. 7 Tahun 1996 rnengenai Pangan rnenjelaskan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rurnahtangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jurnlah rnaupun rnutunya, arnan, merata, dan terjangkau.
Ketahanan pangan
rnernpunyai peran strategis karena rnenjarnin hak atas pangan, menjadi basis pernbentukan sumberdaya yang berkualitas dan rnenjadi pilar ketahanan nasional (Nainggolan 2006). Tujuan pernbangunan ketahanan pangan adalah rnenjarnin ketersediaan dan konsurnsi pangan yang cukup, arnan, bermutu dan gizi seimbang, baik pada tingkat nasional, daerah hingga rumahtangga. Data rnenunjukkan bahwa ketahanan pangan nasional cukup baik. Dari sisi ketersediaan pangan tahun 2000-2005 produksi pangan nasional mengalami peningkatan. Hal ini tampak pada rneningkatnya ketersediaan energi dari 2 966 rnenjadi 3 151 kkallkaplhari (rneningkat 1.53% per tahun) dan rnenurunnya ketersediaan protein dari 76.72 rnenjadi 75.31 grlkaplhari (menurun 0.37% per tahun). Ketersediaan protein berasal dari protein nabati dan hewani. Protein nabati dari 65.14 rnenjadi 61.88 grlkaplhari (rnenurun 1.15% per tahun) dan protein hewani dari 11.58 menjadi 13.43 grlkaplhari (rneningkat 3.84% per tahun) (Nainggolan 2006). Dari sisi konsumsi selarna tahun 1999-2005 asupan energi per kapita per hari rneningkat dari 1 851 kkal menjadi 1' 997 kkal. Jurnlah tersebut sernakin rnendekati rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi ke Vlll yaitu 2 000 kkallkapitalhari. Kualitas konsurnsi ditunjukkan skor Pola Pangan Harapan (PPH) rneningkat pula dari 66.3 pada tahun 1999 menjadi 78.2 pada tahun 2005 walaupun belurn rnencapai keragaman yang diharapkan (Nainggolan 2006). Namun, perbaikan ketahanan pangan di tingkat nasional tersebut rnasih terlihat belurn rnerata. Hasil penelitian di suatu kecarnatan di kabupaten Bogor rnenunjukkan bahwa sebagian besar (82.2%) rumahtangga petani rnasih berada pada kondisi ketidaktahanan pangan (Baliwati 2001). Sasaran pembangunan ketahanan pangan rnenekankan agar rnanusia rnarnpu mengkonsumsi pangan dengan gizi seimbang sehingga tercapai status gizi yang baik. Hal ini ditunjukkan oleh salah satu rurnusan Kebijakan Urnum
Ketahanan Pangan 2006-2009 yaitu pencegahan dan penanganan kerawanan pangan dan gizi. Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialarni daerah, masyarakat atau rurnahtangga pada waktu tertentu untuk mernenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan rnasyarakat. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana alam rnaupun bencana sosial (transien) (Nainggolan 2006). Kornponen yang digunakan untuk rnenjeiaskan dirnensi kerawanan pangan rneliputi ketersediaan, kesehatan dan akses pangan dengan beberapa indikator antara lain: ratio konsurnsi dan produksi, jurnlah penduduk rniskin, akses listrik, akses air bersih, jurnlah anak kurang gizi dan perbandingan jurnlah penduduk per dokter, jurnlah anak yang tidak rnendapat irnunisasi. Kornponenkornponen tersebut saling berkaitan antara satu dengan lainnya, dengan dernikian kerawanan pangan dapat terjadi dari berbagai aspek tersebut (Dewan Ketahanan Pangan RI & Program Pangan Dunia PBB 2003). Kerawanan pangan di lndonesia juga dapat ditunjukkan oleh jurnlah penduduk rawan pangan (konsurni kurang dari 80 persen AKE yaitu 1800 kkallkapitalhari). Pada tahun 2005 sebesar 54 297 064 jiwa rnengalami rawan pangan, sementara 5 105 324 jiwa diantaranya rnerupakan penduduk rawan pangan tingkat berat atau defisit energi tingkat berat (konsumsi kurang dari 70 persen AKE yaitu 1400 kkallkapitalhari) (Atrnawikarta & Murniningtyas 2006). Prevalensi balita kurang gizi dalarn kurun waktu 1989-2000 rnenunjukkan penurunan, namun pada periode 2001-2003 persentase balita gizi kurang rneningkat dari 24.7 persen pada tahun 2000 rnenjadi 27.5 persen pada tahun 2003. Gizi buruk, busung lapar, atau hoenger oedema pada orang dewasa pernah terjadi di lndonesia pada zarnan' Jepang hingga akhir tahun 60-an. Merebaknya kernbali masalah gizi buruk balita rnenjadi ancarnan nyata terjadinya gizi buruk seluruh penduduk lndonesia di rnasa yang akan datang. Oleh karena itu,
penanganan
masalah
penanggulangan gizi
buruk
pangan dan
dan
gizi
dalarn
kelaparan sangat
pencegahan dan penting
dilakukan
(Atmawikarta & Murniningtyas 2006). Kerniskinan rnerniliki keterkaitan erat dengan ketahanan pangan. Kerniskinan dan ketahanan pangan secara bersarna-sarna rnenjadi faktor yang rnernpengaruhi status gizi kelornpok rawan (Tabor, Soekirman, & Martianto
2004). Pada tahun 2006 diperkirakan 4.46 juta rurnahtangga Indonesia sangat rniskin, 7.76 juta rniskin dan 7.02 juta rnendekati rniskin (Ahnaf 2006). Kerniskinan ini rnenyebabkan rurnahtangga tidak dapat rnernenuhi kebutuhan pangan dan gizi anggota rumahtangganya untuk turnbuh dan berkernbang rnenjadi rnanusia yang produktif. Gizi kurang dan gizi buruk yang terjadi pada balita berpotensi rnenyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki. Kerniskinan juga rnenyebabkan rnasyarakat tidak rnarnpu rnernperoleh pendidikan yang baik dan berdarnpak pada rendahnya kemarnpuan ekonorni karena tidak bisa rnernperoleh pekerjaan rnernadai. Penduduk rniskin merniliki risiko tinggi dan rentan terhadap kerawanan pangan. Suatu kenyataan yang sangat rnengkhawatirkan jika dihadapkan pada kenyataan bahwa angka kerniskinan ternyata rneningkat kernbali dalarn tahun terakhir ini. Apabila program-program pernantapan ketahanan pangan kurang rnemperhatikan
kelornpok
rniskin
rnaka
berdarnpak
pada
peningkatan
kerniskinan, kerawanan pangan dan status gizi yang rendah. Kota Bogor terbagi atas enarn kecarnatan dan rnenjadi wilayah penyangga ibukota negara. Banyak pekerja Jakarta yang berternpat tinggal di kota ini. Jurnlah penduduknya selalu meningkat dengan laju pertarnbahan penduduk 2.35 persen pertahun. Sekitar 23 persen dari 194 357 rurnahtangga rnasuk kategori rniskin (Badan Pusat Stastistik Bogor 2006). Walaupun jumlah penduduk rniskin Kota Bogor rnasih berada di bawah rata-rata Jawa Barat yang besarnya 28.29 persen (BPS 2006) tetapi rnasih di atas rata-rata yang diharapkan (kurang dari 5%) (Dewan Ketahanan Pangan RI & Program Pangan Dunia PBB). Jumlah penduduk dan kemiskinan rnernerlukan pengelolaan pangan dengan lebih baik. Pada laporan analisis kerawanan pangan Jawa Barat tahun 2005, Kota Bogor terrnasuk pada kategori tahan pangan. Pada kenyataannya, terdapat peningkatan persentase penduduk miskin yang sangat besar di Kota Bogor pada tahun 2005 sebesar 21.03 persen rnenjadi 23 persen pada tahun 2006. Disarnping itu hasil Pernantauan Status Gizi (PSG) tahun 2005 rnenunjukkan persentase balita rnenderita gizi kurang, diatas 27 persen (Dinas Agribisnis 2006). Berbagai program untuk rnernperbaiki keadaan pangan dan gizi penduduk telah dilakukan, narnun jurnlah balita yang rnengalarni gizi kurang rnasih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa program yang menangani rnasalah kerawanan pangan harus ditingkatkan sehingga perlu dilakukan klasifikasi kerawanan pangan di tingkat kecarnatan untuk rnenentukan prioritas wilayah.
Perumusan Masalah Rawan pangan atau ketidaktahanan pangan merupakan suatu kondisi tidak tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Gizi buruk pada balita merupakan masalah pangan dan gizi yang menjadi outcome situasi ketahanan pangan wilayah. Dengan kondisi Kota Bogor yang tahan pangan seharusnya masalah tersebut tidak terjadi. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan rnerupakan masalah yang kornpleks dan perlu analisis mendalam. Hingga saat ini belum ada klasifikasi r ' mengantisipasi kondisi rawan tingkat kerawanan pangan di Kota ~ o ~ ountuk pangan. Upaya Pemda untuk mengatasi masalah gizi buruk berupa PMTpernulihan, Kredit Usaha Kecil (KUK), penanggulangan kerniskinan, serta penyuluhan pangan dan gizi, perbaikan sarana dan prasarana yang dilakukan hingga saat ini belum diketahui pengaruhnya terhadap perbaikan gizi balita Kota Bogor. Disarnping itu analisis terhadap faktor-faktor ketahanan pangan secara holistik untuk rnewujudkan kerawanan pangan dengan rnenggunakan data-data yang berasal dari instansi terkait pada tahun 2004-2006 belum dilakukan, karena pada laporan Analisis Kerawanan Pangan Jawa Barat menggunakan data tahun 2003. Penelitian ini juga melakukan penelusuran kesesuaian program-program yang telah dilakukan oleh instansi terkait terhadap keadaan kerawanan pangan. Sebelum rnenentukan jenis alternatif program yang tepat, terlebih dahulu dilakukan analisis situasi pangan untuk rnewujudkan ketahanan pangan Kota Bogor secara holistik. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Menganalisis kerawanan pangan di tingkat kecamatan Kota Bogor. Tujuan Khusus
1. Menganalisis situasi kerawanan pangan di tingkat kecarnatan 2. Menganalisis kesesuaian program dengan situasi kerawanan pangan 3. Menyusun pangan
rekornendasi
penc~gahan/penanggulangan kerawanan
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan berrnanfaat untuk: 1. Sebagai
rekornendasi kepada
Pemerintah Kota
Bogor
untuk
penanganan rnasalah pangan dan gizi dalam usaha pencegahan dan penanggulangan kerawanan pangan dan gizi di rnasa rnendatang 2. Memberikan rnasukan kepada sernua pihak yang terlibat secara
langsung rnaupun tidak langsung dalarn program pangan dan gizi. Ruang Lingkup Penelitian Kornponen yang digunakan untuk menjelaskan dirnensi kerawanan pangan meliputi akses pangan dan kesehatan. Pangan yang cukup setiap saat, dan dapat diakses individu untuk rnemperolehnya (fisitdekonorni) rnerupakan kunci ketahanan pangan (Saleh 1999). ~ k s e sindividu mernpunyai arti bahwa individu tidak rnerniliki harnbatan untuk mernperoleh pangan secara fisik atau rnernpunyai kernarnpuan secara ekonomilfinansial untuk rnendapatkan atau rnernbeli pangan yang cukup untuk hidup produktif dan sehat. Akses pangan dalam konteks rurnah tangga rnenurut Sen (1981) diacu dalarn Maxwell dan Frankenberger (1992) didasarkan pada konsep entiflement atau kernarnpuan untuk rnenguasai pangan. Ketersediaan data pada kornponen ketersediaan pangan di tiap kecarnatan yaitu produksi jagung, ubi kayu dan ubi jalar tidak dapat dijadikan indikator karena Kota Bogor merupakan daerah bukan potensi produksi pangan. Sedangkan data produksi utarna non pangan di tiap kecarnatan yang dapat dikonversikan ke harga beras tidak tersedia. Akses pangan dihitung berdasarkan jumlah rurnahtangga rniskin dan persentase rurnahtangga dengan akses listrik. Kerniskinan rnenggarnbarkan daya beli rumahtangga rendah yang rnenyebabkan akses terhadap pangan rnenjadi rendah. Kernudahan rurnahtangga untuk mengakses listrik rnernberikan peluang untuk hidup dan mernpunyai penghasilan sehingga rnernpermudah menjangkau pangan. Kornponen kesehatan dan gizi dihitung indikator dari dampak langsung dan tidak langsung terhadap tingkat kerawanan pangan rurnahtangga. Darnpak langsung dihitung berdasarkan angka harapan hidup (AHH), prevalensi balita gizi kurang (BBIU) dan konsumsi pangan. Darnpak tidak langsung dihitung dari indikator rasio jurnlah penduduk per dokter, persentase rumahtangga dengan akses ke air bersih dan persentase anak yang tidak rnendapat irnunisasi.
lndikator yang digunakan dalam penelitian ini dirujuk dari Dewan Ketahanan Pangan RI dan Program Pangan Dunia PBB (2003). Prograrnlinte~ensipernerintah yaitu program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah melalui instansi terkait. Kesesuaian pelaksanaan program pemerintah daerah tersebut dibandingkan dengan indikator kerawanan pangan di masing-masing kecamatan. Berdasarkan penilaian tersebut dapat disampaikan rekornendasi yang sesuai dengan kebutuhan untuk rnengurangi tingkat kerawanan pangan di masing-masing kecamatan. Ruang lingkup penelitian analisis tingkat kerawanan pangan di tingkat kecamatan Kota Bogor dapat dilihat pada Garnbar 1.
,-----____--__-__._~ 1
,
Ketersediaan (Tingkat Kecarnatan)
--------------------.-
j :+-I I
Konsumsi Normatif
j
I ~ ' I -----___--.________ t--------.--.-------.--.--.:
I
Akses Pangan
Persen rumahtangga Miskin
* Persen rumahtangga akses Listrik
Programllntervensi Pemerintah
Rekomendasi
Prevalensi Balita Gizi Kurang Tingkat konsumsi pangan Dampak tidak langsung: Rasio Jumlah Penduduk Per Dokter Persen Akses Air Bersih Persen Anak Tidak lmunisasi
Keterangan:
I
I
I
Variabel yang diteliti
--.--.--.--.--
I Variabel yang tidak diteliti I--.-_._..-..-r
Garnbar 1 Ruang lingkup penelitian analisis tingkat kerawanan pangan di tingkat kecamatan Kota Bogor.