MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL KERAWANAN PANGAN
SABARELLA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul : “MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL KERAWANAN PANGAN” adalah karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya
Bogor,
Nopember 2005
Sabarella NIM G151024084
ABSTRAK SABARELLA. Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan TJUK EKO HARI BASUKI. Penelitian ini membahas penerapan model persamaan struktural untuk mengkaji keterkaitan antar indikator kerawanan pangan nasional, Jawa dan Luar Jawa. Data yang digunakan dalam penelitian mengacu pada indikator- indikator yang telah dipilih dalam pembuatan peta kerawanan pangan yang terdiri dari 3 dimensi/faktor kerawanan pangan, yaitu dimensi ketersediaan pangan (SEDIA), akses terhadap pangan dan pendapatan (AKSES) serta pemanfaatan dan penyerapan pangan (SERAP). Model yang dibangun menghubungkan tiga faktor laten SEDIA-AKSESSERAP sebagai pendekatan bagi keterkaitan antar indikator tersebut dengan menggunakan analisis LISREL (Linear Structure Relationship). Model pesamaan struktural kerawanan pangan nasional dan Jawa yang dihasilkan mengungkapkan bahwa ketersedian pangan berpengaruh positif dan nyata terhadap akses, dan akses berpengaruh positif terhadap penyerapan, namun pengaruh langsung dari ketersediaan terhadap penyerapan pangan negatif dan tidak nyata yang berarti ketersediaan pangan tidak diikuti oleh penyerapan yang baik, hal ini masih menunjukkan terjadinya rawan pangan. Sementara untuk model di Luar Jawa ketersediaan berpengaruh positif namun tidak nyata terhadap akses pangan dan pendapatan, yang berarti kabupaten di Luar Jawa pada umumnya belum mampu menopang kebutuhan pangan untuk wilayahnya, meskipun akses berpengaruh positif dan nyata terhadap penyerapan. Ketersediaan pangan yang cukup merupakan suatu persyaratan yang perlu untuk jaminan pangan, tetapi tidak cukup untuk menggaransi jaminan pangan di tingkat rumah tangga dan individu, karena masih sangat tergantung pada faktor akses dan penyerapan pangan, seperti yang terjadi di kabupaten Bondowoso, Probolinggo, Jember, OKI, Musi Banyu Asin, Tulang Bawang, Donggala , Sambas dan Landak. Hubungan antara skor SEDIA terhadap katagori kerawanan pangan oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) menunjukkan tidak berpengaruh dalam pengkatagorian tersebut untuk ketiga model nasional, Jawa dan Luar Jawa. Sementara hubungan skor AKSES dan SERAP terhadap katagori untuk model nasional dan kabupaten di Jawa dan di Luar Jawa menujukkan semakin mudah dalam mengakses dan menyerap pangan maka katagori rawan pangannya makin rendah atau semakin tahan pangan, kecuali untuk model di Luar Jawa pada skor AKSES tidak berpengaruh. Hasil pendugaaan koefisien jalur pada model pengukuran memperlihatkan 12 indikator memberikan pengaruh nyata terhadap fakton laten yang dijelaskannya. Sementara dari 12 indikator tersebut yang memenuhi validitas dan kehandalan dalam mengukur faktor laten antara lain indikator produksi beras untuk model nasional dan Jawa, % penduduk miskin, % rumah tangga tanpa listrik, % desa tanpa akses jalan, pengeluaran riil perkapita, % rumah tangga tanpa air bersih untuk model nasional dan Luar Jawa, produksi ubi kayu, % kepala rumah tangga tidak tamat SD, dan semua indikator untuk faktor laten SERAP pada model di Jawa. Hal ini sejalan dengan 10 indikator akhir dalam pembuatan peta kerawanan pangan tahun 2005.
MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL KERAWANAN PANGAN
SABARELLA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Statistika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Tesis Nama NIM
: Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan : Sabarella : G151024084
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. Ketua
Dr. Ir. Tjuk Eko Haribasuki, M.St. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Statistika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Budi Susetyo, M.S.
Prof.Dr.Ir.Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian : 27 Oktober 2005
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dibahas dalam penelitian ini adalah model persamaan struktural, diterapkan untuk memodelkan keterkaitan antar indikator kerawanan pangan nasional, Jawa dan Luar Jawa. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. dan Dr. Ir. Tjuk Eko Haribasuki, M.St. selaku ketua komisi pembimbing dan anggota yang telah banyak memberikan perhatian, saran dan bimbingan. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Ir. Iwan F Malonda, M.Com. dari Badan
Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian yang telah
memberikan informasi dan masukan yang sangat berharga dalam penulisan karya ilmiah ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak di Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian, yang telah membantu baik materi maupun moril selama studi penulis di Bogor.
Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada anak-anak tercinta, orang tua dan seluruh keluarga, atas segala doa dan dukungannya. Akhirnya ucapan terima kasih disampaikan kepada teman-teman, mas Heri dan semua pihak yang telah membantu demi kelancaran penyelesaian studi penulis. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Nopember 2005
Sabarella
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 8 Mei 1967 sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara dari ayah H. Sulaeman (Alm) dan Ibu H. Futichah. Tahun 1990 penulis lulus dari Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto.
Pada tahun 2002,
penulis diterima di Program Studi Statistika pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai fungsional Statistisi di Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian sejak tahun 1992 sampai dengan sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.............................................................................................. viii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... x PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 3 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 4 Konsep Ketahanan Pangan ........................................................................ 4 Eksplorasi Data ....................................................................................... 10 Pemodelan Persamaan Struktural ............................................................. 12 Validitas dan Kehandalan Indikator ........................................................ 18 METODE PENELITIAN .................................................................................. 20 Sumber Data ............................................................................................ 20 Metode Analisis ....................................................................................... 20 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 25 Gambaran Umum Data Indikator Kerawanan Pangan ........................... 25 Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan ................................... 29 Hubungan Skor SEDIA, AKSES dan SERAP Terhadap Katagori Kerawanan Pangan yang diidentifikasi Oleh Dewan Ketahan Pangan (DKP) ....................................................................................................... 35 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 41 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 43 LAMPIRAN ....................................................................................................... 44
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Klasifikasi kelompok indeks serta gradasi warna dalam peta kerawanan pangan...........................................................................................................10
2.
Faktor laten dan peubah manifes/indikator model persamaan struktural kerawanan pangan .......................................................................................21
3.
Nilai GFI dan AGFI beberapa model persamaan struktural kerawanan pangan...........................................................................................................29
4.
Hubungan faktor laten dengan indikator pada model 1 dengan 16 indikator........................................................................................................30
5.
Kelayakan model kerawanan pangan nasional, Jawa dan Luar Jawa......... 31
6.
Penilaian validitas indikator pengukur faktor laten pada model 1............... 34
7.
Perbandingan koefisien kehandalan konstruk untuk model 1 dan model 2 ...................................................................................................................... 35
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Kerangka model persamaan struktural kerawanan pangan...........................2
2.
Diagram kotak garis (Box-plot) ...................................................................11
3.
Ilustrasi model LISREL (Linear Structural Relationship)............................15
4.
Model persamaan struktural kerawanan pangan ......................................... 23
5.
Diagram alur penentuan model persamaan struktural kerawanan pangan ...24
6.
Rata-rata produksi dan produksi/kapita beras, jagung, ubi kayu dan ub i jalar kabupaten di Jawa dan Luar Jawa ................................................................26
7.
Perbandingan beberapa indikator kerawanan pangan Jawa dan Luar Jawa ...................................................................................................................... 26
8.
Diagram kotak garis produksi beras .............................................................27
9.
Diagram kotak garis persentase penduduk miskin ...................................... 28
10.
Diagram kotak garis % kepala rumah tangga bekerja < 15 jam/minggu .... 28
11.
Model persamaan struktural kerawanan pangan nasional ........................... 31
12.
Model persamaan struktural kerawanan pangan kabupaten di Jawa........... 32
13.
Model persamaan struktural kerawanan pangan kabupaten di Luar Jawa....33
14.
Plot antara skor (a) SEDIA vs Katagori (b) AKSES vs Katagori (c) SERAP vs Katagori untuk model nasional................................................................ 36
15.
Plot antara skor (a) SEDIA vs Katagori (b) AKSES vs Katagori (c) SERAP vs Katagori Kabupaten di Jawa .................................................................. 38
16.
Plot antara skor (a) SEDIA vs Katagori (b) AKSES vs Katagori (c) SERAP vs Katagori Kabupaten di Luar Jawa.......................................................... 39
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Perubahan pada indikator kerawanan pangan kronis ................................. 44
2.
Korelasi indikator kerawanan pangan ........................................................ 45
3.
Analisis deskriptif indikator kerawanan pangan Jawa dan luar Jawa....... 46
4.
Diagran kotak garis indikator kerawanan pangan Jawa dan luar Jawa..... 47
5.
Model persamaan struktural kerawanan pangan dengan modifikasi indikator produksi perkapita untuk faktor laten SEDIA............................................ 48
6.
Model persamaan struktural kerawanan pangan dengan modifikasi % kepala tangga tidak tamat SD untuk faktor laten AKSES dan SERAP................. 49
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang pangan, ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Dewan Ketahanan Pangan 2002). Kondisi sebaliknya disebut kerawanan pangan (Ketidaktahanan pangan), adalah suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan beraktifitas dengan baik, baik secara sementara maupun jangka panjang. Makna makro ketahanan pangan terkait dengan penyediaan pangan di seluruh wilayah setiap saat, sedangkan makna mikro terkait dengan kemampuan rumah tangga dan individu dalam mengakses pangan dan gizi sesuai kebutuhan dan pilihannya untuk tumbuh, hidup sehat dan produktif. Pada tataran mikro, permasalahan pemantapan ketahanan pangan terkait dengan masih tingginya proporsi masyarakat yang mengalami kerawanan pangan mendadak karena sesuatu musibah, maupun
kerawanan kronis karena kemiskinan.
Kerawanan
pangan ini langsung berakibat pada rendahnya status gizi dan dalam keadaan yang lebih parah dapat menurunkan kualitas fisik dan intelegensia kelompok masyarakat yang bersangkutan. Dewan Ketahanan Pangan (DKP), R.I. bekerja sama dengan Program Pangan Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (The United Nations World Food Program) tahun 2004 telah melakukan analisis data sekunder untuk parameterparameter kerawanan pangan, melalui pembuatan peta kerawanan pangan di Indonesia, yang dapat dijadikan sebagai informasi awal bagi para pengambil kebijakan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten untuk menyusun perencanaan yang lebih baik dan tepat sasaran, efektif dan efesien dalam mengatasi permasalahan kerawanan pangan.
Pada
pembuatan peta kerawanan pangan
tersebut telah dipilih indikator-indikator yang dapat menjelaskan 3 dimensi kerawanan pangan, yaitu dimensi ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan
pendapatan serta pema nfaatan dan penyerapan pangan. Namun demikian kajian baru dilakukan pada pembuatan peta belum dilakukan analisis lebih lanjut terhadap konsep kerawanan pangan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan pemodelan tentang kerawanan pangan untuk melihat keterkaitan antar indikator kerawanan pangan yang telah disusun, karena dengan pemodelan, validitas dan kehandalan indikator dapat diukur. Pengukuran terhadap objek yang diteliti seringkali tidak dapat dilakukan secara langsung, tetapi melalui peubah penjelas yang merupakan refleksi atau manifest dari suatu konsep, seperti konsep ”ketersediaan pangan ”, ” akses pangan dan pendapatan, ”pemanfaatan dan penyerapan pangan ” merupakan faktor yang tidak dapat diamati atau ber sifat laten (unobservable variable), oleh karena itu diperlukan suatu teknik statistik yang dapat menganalisis hubungan antara peubah laten dengan peubahpeubah manifest-nya, dimana peubah manifest tersebut diasumsikan sebagai pengukur (indikator) dari peubah laten yang dijelaskannya. Teknik analisis yang dimaksud melalui pemodelan persamaan struktural (Structural Equation Model, SEM) (Bollen 1989).
Model hipotetik yang menghubungkan tiga dimensi
kerawanan pangan yaitu ketersediaan-akses-penyerapan. Adapun model hipotetik yang dibangun adalah seperti terlihat dalam Gambar 1 berikut ini:
Akses terhadap pangan dan pendapatan Ketersediaan pangan Penyerapan/ pemanfaatan pangan
Gambar 1 Kerangka model persamaan struktural kerawanan pangan
Kerangka pemikiran model di atas menyatakan bahwa ketersediaan pangan di suatu wilayah akan mempengaruhi akses terhadap pangan dan pendapatan, yang selanjutnya akses pangan dan pendapatan akan berpengaruh terhadap
penyerapan/pemanfaatan pangan yang ada.
Penyerapan/pemanfaatan
juga dipengaruhi secara langsung oleh ketersediaan pangan.
pangan
Model tersebut
diasumsikan dapat mencerminkan terjadinya ketahanan pangan dan apabila terjadi sebaliknya disebut dengan kerawanan pangan. Tentu saja masih banyak model lain yang dapat diajukan, sehingga dalam hal ini kajian masih sangat terbuka hanya saja pada penelitian ini dibatasi pada model hub ungan seperti tersebut di atas. Sementara itu melihat setiap wilayah di Indonesia memiliki karakteristik yang unik sehingga memunculkan banyak keragaman, oleh karena itu untuk mengelompokkan keragaman tersebut, maka dalam pemodelan yang dibangun dibedakan dalam 3 kelompok analisis yaitu Nasional, Jawa dan Luar Jawa yang masing- masing hanya meliputi wilayah kabupaten (tidak termasuk kota) karena keterbatasan data yang tersedia.
Tujuan 1.
Menyusun model persamaan struktural kerawanan pangan berdasarkan indikator yang telah ditetapkan
2.
Mengkaji keterkaitan antar indikator kerawanan pangan nasional, Jawa dan Luar Jawa
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Departemen Pertanian khususnya dalam melakukan evaluasi terhadap konsep kerawanan pangan yang telah disusun, antara lain : 1.
Menghasilkan model yang menerangkan keterkaitan antar indikator kerawanan pangan nasional, Jawa dan Luar Jawa.
2.
Menghasilkan gugus indikator yang dapat digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi kerawanan pangan nasional, Jawa dan Luar Jawa
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan diwujudkan oleh hasil kerja sistem ekonomi pangan yang terdiri atas subsistem penyediaan, distribusi dan konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan. Cakupan pembangunan subsistem tersebut antara lain: 1.
Pembangunan subsistem penyediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam negeri, cadangan, maupun impor.
2.
Pembangunan subsistem distribusi mencakup pengaturan untuk menjamin aksesibilitas penduduk secara fisik dan ekonomis terhadap pangan antar wilayah, antar waktu serta stabilitas harga pangan strategis.
3.
Pembangunan subsistem konsumsi mencakup pengelolaan pangan di tingkat daerah maupun rumah tangga, untuk menjamin setiap individu memperoleh pangan dalam jumlah, mutu gizi, keamanan, dan keragaman sesuai dengan kebutuhan dan pilihannya. Kondisi sebaliknya dari ketahanan pangan adalah kerawanan pangan,
Kerawanan pangan dapat bersifat kronis atau sementara.
Kerawanan pangan
kronis dapat disebabkan oleh satu atau beberapa faktor seperti ketidakmampuan untuk mengakses pangan yang cukup seperti dari produksi swasembada, pembelian di pasar, pinjaman atau bantuan. Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mengasimilasikan pangan ke dalam tubuh, cara makan yang tidak benar, infrastruktur kesehatan dan sanitasi yang tidak memadai, dan lain- lain. Kerawanan pangan sementara merupakan dampak dari menurunnya ketersediaan pangan secara mendadak dan sementara yang umumnya disebabkan oleh bencana alam. Kerawanan
pangan
pada
tingkat
nasional
dapat
disebabkan
oleh
ketidakmampuan untuk menghasilkan pangan padi-padian secara cukup atau akibat ketidakmampuan untuk mengimpor panga n yang memadai. Pada tingkat propinsi, kerawanan pangan dapat disebabkan oleh oleh kurangnya produksi atau distribusi pangan yang memadai ke seluruh pelosok dengan harga yang
terjangkau. Kerawanan pangan di tingkat rumah tangga umumnya disebabkan oleh kurangnya kesempatan memperoleh nafkah yang mencukupi serta tingginya harga pangan.
Sementara itu di tingkat individu beberapa aspek seperti
ketidakwajaran akses pelayanan umum seperti kesehatan, air dan sanitasi, pendidikan dan lainnya menimbulkan kerawanan pangan. Kerawanan pangan individu bisa terjadi sejak janin yang mengalami kurang gizi, ini dapat diindikasikan oleh bayi yang lahir dengan berat badan kurang, anak anak dan orang dewasa yang mengalami kurang gizi. Jadi kerawanan pangan merupakan manifestasi dari ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pendapatan, pemanfaatan/penyerapan pangan, dimana inetraksi ketiga dimensi tersebut apakah suatu wilayah atau individu mengalami kerawanan pangan. Dewan ketahanan pangan bekerja sama dengan Program Pangan Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (The United Nations Word Food Programme) telah melakukan analisa data sekunder untuk indikator- indikator kerawanan pangan yang sudah dipilih melalui pembuatan peta kerawanan pangan untuk menunjukkan titik-titik kerawanan pangan di Indonesia dan dengan demikian situasi kerawanan pangan di suatu wilayah dapat secara konstan dapat dipantau dan dapat diperbaharui secara teratur. Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2004 telah melakukan penentuan indikator-indikator kerawanan pangan suatu wilayah, yang semula 14 indikator pada peta komposit kerawaan pangan, selanjutnya berubah menjadi 10 indikator (Lampiran 1). Kesepuluh indikator kerawanan pangan kronis tersebut tercakup dalam 3 dimensi kerawanan pangan antara lain : 1.
Ketersediaan Pangan
(1) Perbandingan konsumsi normatif serealia terhadap ketersediaan lokal serealia Ketersediaan pangan adalah suatu fungsi dari produksi pangan dan perdagangan pangan, dimana ketersediaan pangan yang utama merupakan fungsi dari produksi pangan.
Produksi serealia menjadi perhatian utama
dalam memahami tingkat keswasembadaan pangan di suatu propinsi dan kabupaten. Porsi utama dari kebutuhan kalori harian berasal dari tanaman biji-bijian dan makanan berpati yang merupakan kelompok serealia. Serealia utama yang dimaksud antara lain
padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar.
Ketersedian pangan dihitung dari produksi serealia yaitu merupakan jumlah
dari produksi beras, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Produksi beras merupakan konversi sebesar
63.2 % dari produksi padi, sedangkan produksi jagung
bersih adalah 60 % dari produksi jagung mengingat sebanyak 40 persen jagung digunakan untuk pakan ternak. Data menunjukkan bahwa Indonesia telah berswasembada dalam produksi serealia dan bila dipandang dari ketersediaan serealia, Indonesia tergolong tahan pangan. Dalam penyusunan peta kerawanan pangan ketersediaan yang dimaksud adalah ketersediaan pangan serealia gr per kapita per hari,
selanjutnya dihitung indeks
ketersediaan pangan yang dihitung dengan cara sebagai berikut : F = Produksi serealia (beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar) tpop x 365 IAV = C norm F Keterangan : F = ketersediaan pangan serealia gram per kapita per hari tpop = Jumlah penduduk IAV = Indeks ketersediaan pangan C norm = Konsumsi normatif (300 gr serealia per kapita per hari) Konsumsi normatif menunjukkan jumlah pangan biji-bijian yang harus dikonsumsi oleh seseorang per hari untuk memperoleh kilo kalori energi dari sereal.
Pola konsumsi di Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata seseorang
memperoleh 50 % keperluan energi hariannya dari sereal (harus mengkonsumi kurang lebih 300 gr sereal per hari. Standar kebutuhan kalori per hari per kapita adalah 2,100 Kkal (DKP dan Program Pangan Dunia PBB , 2004). Nilai IAV > 1, maka daerah tersebut defisit pangan serealia, atau kebutuhan konsumsi normatif tidak bisa dipenuhi dari produksi daerah tersebut. Dan bila nilai IAV < 1, maka daerah tersebut surplus pangan serealia.
2. Akses terhadap pangan dan penghidupan Akses pangan tergantung pada daya beli rumah tangga yang merupakan fungsi dari akses terhadap sumber nafkah. Ini berarti akses pangan terjamin seiring terjaminnya pendapatan dalam jangka panjang. dalam dimensi ini antara lain :
Indikator yang termasuk
(2) Persentase penduduk miskin Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, menunjukkan ketidak mampuan untuk mendapatkan kecukupan pangan, karena rendahnya daya beli atau ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dll. Semakin besar jumlah orang miskin, semakin rendah daya akses terhadap pangan dan semakin tinggi derajat kerawanan pangan di wilayah tersebut. (3) Persentase penduduk tanpa akses terhadap listrik Tersedianya fasilitas listrik akan membuka peluang yang lebih besar untuk akses pekerjaaan, sebagai indikasi kesejahteraan suatu wilayah atau rumah tangga. (4) Persentase desa tanpa akses jalan yang memadai Akses jalan yang lebih baik akan mendukung perbaikan kondisi ekonomi di suatu daerah, melalui peningkatan akses infrastruktur dasar seperti sekolah, rumah sakit, pasar dan lain- lain yang sangat penting untuk memperbaiki standar kehidupan.
Daerah yang dihubungkan dengan baik oleh jalan
menerima bantuan infrastruktur lain yang dapat memperkuat mata pencaharian masyarakat. 3. Kesehatan dan Gizi Susunan bahan pangan yang seimbang, pengetahuan tentang gizi dan praktek makan yang baik sangat penting. Penyerapan bahan pangan juga tergantung pada keadaan kesehatan individu, pasokan air yang aman, sanitasi lingkungan dan higiene.
Hasil dari penyerapan bahan pangan yang tepat adalah
kehidupan individu yang panjang dan produktif di dalam masyarakat. Indikator-indikator yang dapat menerangkan pemanfaatan atau penyerapan pangan antara lain: (5) Persentase rumah tangga berjarak > 5 km dari puskesmas Manfaat kesehatan sangat penting untuk menurunkan angka kesakitan penduduk, yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam menyerap makanan.
Akses yang dekat dengan fasilitas kesehatan
merupakan indikator bagaimana rumah tangga mendapatkan pelayanan kesehatan.
(6) Persentase rumah tangga tanpa akses air bersih Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap air bersih, merupakan persentase rumah tangga yang tidak menggunakan air PAM, air pompa atau air sumur yang letaknya lebih dari 10 meter dari septiktank. Air yang tidak bersih meningkatkan angka kesakitan dan menurunkan penyerapan makanan. (7) umur harapan hidup (tahun) Umur harapan hidup waktu lahir,
adalah lama hidup (tahun) yang
diharapkan dari bayi yang baru lahir di suatu daerah atau populasi tertentu. (8) Persentase berat badan balita di bawah standar Persentase balita kurang gizi, merupakan persentase balita yang tergolong dalam golongan status gizi rendah dan menengah. (9) Angka kematian bayi (per 1000 kelahiran hidup) Angka kematian bayi, adalah jumlah kematian bayi (kematian pada tahun pertama kehidupan) terhadap jumlah bayi yang lahir per 1000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Kematian bayi dapat disebabkab oleh pola asuh anak yang tidak layak, malnutrisi, tidak memadainya fasilitas kesehatan. (10) Persentase perempuan buta huruf. Persentase perempuan buta huruf, pengetahuan perempuan dalam hal ini ibu- ibu dalam menyediakan makanan dan pola asuh yang baik juga dapat mempengaruhi tingkat kesehatan anak-anak dan keluarganya. Pada wilayah yang persentase perempuan buta huruf
tinggi, ditemukan insiden yang
tinggi pula untuk kasus anak kurang gizi. Sementara bila dilihat dari Lampiran 1, untuk dimensi kedua yaitu akses terhadap pangan dan pendapatan pada tahun 2004 terdapat beberapa indikator selain yang telah tersebut di atas antara lain : (a) Persentase kepala rumah tangga yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu Tidak memiliki pekerjaan yang memadai merupakan cerminan tekanan ekonomi, jika tidak ada sumber pendapatan yang memadai maka ketahanan pangan di rumah tangga tersebut akan beresiko. Cerminan kondisi ekstrim dari tekanan ekonomi.
(b) Persentase kepala rumah tangga yang tidak tamat pendidikan dasar, ketidak mampuan menyelesaikan pendidikan dasar dapat dikatakan sebagai akibat dari kemiskinan. Isu kemiskinan dan ketidakmampuan unt uk memenuhi biaya pendidikan merupakan alasan utama seseorang tidak menyelesaikan pendidikan,
selain
jauhnya
jarak
sekolah
ke
perumahan,
yang
menggambarkan fasilitas infrastruktur yang tidak memadai. Sebagai tambahan indikator dimensi pendapatan dalam penelitian ini adalah: (c) PDRB per kapita atas harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. (d) Pengeluaran riil per kapita menunjukkan standar hidup (paritas daya beli dalam rupiah). Dalam pembuatan peta kerawanan pangan oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP), selanjutnya kesepuluh indikator kerawanan pangan tersebut dikonversi ke dalam indeks, dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut : Indeksχ ij =
χ ij − χ i min χ i max − χ i min
Keterangan : ?ij = nilai ke-j dari indikator ke- i ?imin = nilai minimum dari indikator ke-i ?imax = nilai maksimum dari indikator ke- i Indeks komposit dihitung dari nilai rata-rata (terboboti) indeks semua indikator kerawanan pangan, dimana indeks masing- masing indikator kerawanan pangan dikalikan dengan bobot yang diperoleh dari Principal Component Analysis (PCA) dengan persamaan sebagai berikut : FSI = 1/10 x (0.955 ketersediaan + 0.858 jalan + 0.635 Penduduk miskin + 0.653 listrik + 0.862 perempuan buta huruf + 0.977 angka harapan hidup + 0.792 status gizi balita + 0.979 angka kematian bayi + 0.840 air bersih + 0.657 puskesmas) Untuk indikator angka harapan hidup, agar pengertiannya searah indikator
lainnya
dengan
maka diinverskan terlebih dahulu sebelum diindeks.
Selanjutnya disusun peringkatnya berdasarkan nilai indeks komposit tersebut, peringkat yang lebih tinggi menunjukkan tingkat kerawanan pangan yang lebih
tinggi. Klasifikasi kelompok indeks komposit serta gradasi warna dalam pembuatan peta kerawanan pangan, adalah sebagai berikut :
Tabel 1 Klasifikasi kelompok indeks serta gradasi warna dalam peta kerawanan pangan No. Kelompok Katagori Prioritas Gradasi warna Hasil Indeks pada peta identifikasi 1 0.00 - < 0.16 Sangat tahan 6 Hijau tua 65 pangan (STP) kabupaten 2. 0.16 - < 0.32 Tahan pangan 5 Hijau 50 (TP) kabupaten 3. 0.32 - < 0.48 Cukup tahan 4 Hijau muda 50 pangan (CTP) kabupaten 4. 0.48 - < 0.64 Cukup rawan 3 Merah muda 40 pangan (CRP) kabupaten 5. 0.64 - < 0.80 Rawan pangan 2 Merah 30 (RP) kabupaten 6. = 0.80 Sangat rawan 1 Merah tua 30 pangan (SRP) kabupaten
Eksplorasi Data Analisa data yang bersifat eksploratif diawali dengan upaya penelusuran dan pengungkapan struktur dan pola yang dimilki oleh data tanpa mengaitkan secara kaku pada asumsi-asumsi tertentu (Aunuddin 1989). Penelusuran pola data bertujuan untuk memeriksa bentuk atau pola sebaran data yaitu apakah cenderung mengumpul di satu nilai tertentu atau pada beberapa nilai, atau apakah ada beberapa nilai yang nampak agak jauh atau memencil dari kumpulannya. Tujuan eksplorasi data semacam ini tidak hanya untuk memberi keyakinan bahwa data tersebut dapat diwakili oleh suatu model, akan tetapi yang lebih penting adalah dalam mengungkapkan adanya penyimpangan dari suatu model tertentu. Variasi atau keberagaman nilai-nilai pengamatan dapat dilihat dari pola sebaran datanya, pola ini sangat berguna pula dalam penentuan karakteristik data tersebut.
Pemeriksaan bentuk sebaran diantaranya dapat dilakukan dengan
membuat histogram, diagram dahan daun (steam and leaf plot) dan diagram kotak garis (box plot). Box plot merupakan salah satu dari hasil penyarian data berupa
ringkasan 5-angka yang disajikan dalam bentuk grafik. Adapun ilustrasi diagram kotak garis dapat dilihat pada Gambar 2. berikut ini :
k
Q1
Me
Q3
b
Gambar 2 Diagram kotak–garis (Boxplot) Terlihat dari Gambar 2, kumpulan data (yang sudah diurutkan) disekat-sekat oleh lima nilai, yaitu nilai terkecil (k), kuartil pertama (Q 1 ), Median (Me), kuartil ketiga (Q 3 ) dan nilai terbesar (b). Pola yang diharapkan adalah yang simetrik, patokan kesimetrikan data kita pilih karena pemeriksaan kesimetrikan lebih sederhana
dibandingkan
dengan
pemeriksaan
kenormalan
data
yang
membutuhkan pengertian hitung peluang. Selain eksplorasi data melalui bentuk grafik, dalam setiap analisis data, korelasi sering digunakan. Korelasi merupakan ukuran statistik untuk mengetahui sejauh mana keeratan dua variabel. Besarnya keeratan tersebut dinyatakan dalam suatu koefisien. Dalam analisis korelasi tidak mengenal variabel bebas maupun tidak bebas, hubungan korelasi tersebut umumnya bersifat simetris (Bachrudin A & Tobing 2003).
Salah satu ukuran korelasi yang tertua yaitu korelasi Pearson,
dirumuskan : r xy =
[n Σ x
n Σ xy − (Σ x 2
−
)(Σ y )
(Σ x )2 ][n Σ y
2
− (Σ y
)
2
]
=
S S
xy
xx
S
..................(1) yy
Untuk menguji, apakah ada hubungan korelasi antara dua variabel x dan y digunakan statistik t-student :
t =
r xy
n − 2 1 − r
....................................................................................(2)
2 xy
Statistik tersebut mengikuti distribusi t-student dengan derajat bebas n-2. Dalam analisis peubah ganda, matriks korelasi sering digunakan sebagai matriks dalam tahap awal analisis suatu model sebagai pengganti matrik ragam
peragam (? ), hal ini dilakukan karena perbedaaan satuan pengukuran pada data yang akan dianalisis, yang umumnya berimplikasi pada perbedaan keragaman peubah.
Penggunaan matriks korelasi bisa dipandang sebagai penggunaaan
matriks ragam peragam dengan terlebih dahulu membakukan setiap peubah xi menjadi xi* melalui transformasi pembakuan:
x i* =
xi − µ ...........................................................................................(3) σ
dimana µ dan s adalah rataan dan simpangan baku dari xi
Pemodelan Persamaan Struktural Pemodelan persamaan struktural (Structural equation modeling, SEM) adalah salah satu kajian statistika yang dapat digunakan untuk menganalisis peubah indikator, peubah laten dan kekeliruan pengukuruannya. Dengan SEM kita dapat menganalisis bagaimana hubungan antara peubah indikator dengan peubah latennya dikenal sebagai persamaan pengukuran (measurement equation), hubungan antara peubah laten yabg dikenal dengan persamaan struktural (Structural
equation)
yang
secara
bersama-sama
melibatkan
kesalahan
pengukuran. Selain itu, SEM dapat menganalisis hubungan dua arah yang sering terjadi dalam ilmu sosial. Dalam SEM dikenal juga dengan peubah laten eksogen (independent latent variable) dan peubah laten endogen (dependent latent variable) (Bachrudin A & Tobing 2003). Bollen (1989) mengidentifikasi 3 komponen yang dapat disajikan dalam pemodelan persamaan struktural secara umum yaitu analisis jalur (path analysis), penelusuran konsep dari peubah laten dan model pengukuran, serta prosedur pendugaan secara umum.
Dalam mengembangkan analisis jalur, penggunaan
diagram jalur akan sangat membantu dalam penelusuran hubungan langsung dan tak langsung antar peubah-peubah laten eksogen dengan peubah laten endogen, hubungan antara peubah laten dengan peubah-peubah manifesnya, serta mengaitkan hubungan antara peuabh-peubah dengan parameter-parameter modelnya.
1. Analisis LISREL Analisis yang sering digunakan dalam pemodelan persamaan struk tural adalah analisis LISREL (Linear Structural Relationship) atau analisis hubungan struktural linier.
Dalam Bollen (1989) disebutkan bahwa analisis LISREL
dikembangkan oleh Joreskog dan Wiley (1973), serta Keesing (1972). Model LISREL terdiri dari dua model persamaan (Joreskog & Sorbom 1996), yaitu model struktural dan model pengukuran.
Model struktural
menggambarkan
hubungaan antar peubah laten. Peubah laten adalah peubah yang tidak dapat diukur secara langsung dan informasinya diperoleh dari indikator- indikator penyusunnya. Model struktural pada model LISREL adalah :
? = B? + ? ? + ?............................................................................................(4) dimana : ? = vektor (mx1) peubah laten endogen B = matriks(mxm) koefisien jalur antar peubah endogen ? = matriks(mxn) koefisien jalur antara peubah laten endogen dengan peubah laten eksogen ? = vektor (nx1) peubah laten eksogen (bebas) ? = vektor (mx1) sisaan model struktural Peubah-peubah laten ? dan ? tidak dapat diukur secara langsung, namun diukur melalui peubah indikator dengan model pengukuran pada model LISREL adalah : y= ?
y
? + e ..............................................................................................(5)
x= ?
x
? + d........ ......................................................................................(6)
dimana : y = vektor (px1) peubah manifes dari peubah laten endogen ? y =matriks(pxm ) koefisien jalur antara peubah laten endogen dengan peubah manifesnya e = vektor(px1) sisaan model pengukuran antara peubah laten endogen dengan peubah manifesnya x = vektor(qx1) peubah manifes dari peubah laten eksogen ? x =matriks(qxn) koefisien jalur antara peubah laten eksogen dengan peubah manifesnya
d = vektor(qx1) sisaan model pengukuran antara peubah laten eksogen dengan peubah manifesnya. Dengan asumsi : ? tidak berkorelasi dengan ?
e tidak berkorelasi dengan ?
d tidak berkorelasi dengan ?
?, e, d tidak saling berkorelasi
matriks ragam peragam dalam pemodelan persamaan struktural adalah : Cov (?) = ?
nxn
Cov (e) = Te(pxp)
Cov (?) = ?
mxm
Cov (d)= T d (q x q)
Matriks ragam peragam ? dari indikator- indikator x dan y dapat ditulis sebagai :
∑
=
∑ ∑
yy xy
∑ ∑
yx xx
Λ y Α (ΓΦ Γ′ + ψ )Α′Λt y + Θ ε = Λ x ΦΓ ′Α′ Λ ′y
Λ y ΑΓΦ Λ ′ ..........................(7) Λ x ΦΛ ′y + Θ δ
dimana A = (I – B )-1 Berdasarkan persamaan di atas menunjukkan bahwa setiap unsur matriks ragam peragam adalah fungsi dari satu atau lebih parameter model (?) yaitu ? y, ? x, B, ?, ? , ? , T e dan T d . Gambar 3 berikut ini mengilustrasikan sebuah model LISREL yang terdiri dari satu peubah eksogenous (?1 ) dan dua peubah endogenous (? 1 dan ? 2 )
Y1
ε1
?11 (y)
Y2
?21 (y)
η1 d1
?31 (y)
X1 ?11
d2
(x)
ε3
?11 ?1
X2
?21 (x)
ξ1
ß 21
?31 (x) d3
Y3
ε2
?21
? 21
Y4
?2
X3
?41 (y)
η2
?51 ?62 (y)
(y)
Y5
Y6
ε4
ε5
ε6
Gambar 3. Ilustrasi Model LISREL (Linear Structural Relationship)
Hubungan struktural diantara peubah laten diuraikan dalam persamaan sebagai berikut : ? = B? + ? ? +?. ? 1 = ?11 ?1 + ?.1 ? 2 = ß21 ? 1 + ?21 ? 1+ ?.2 Persamaan di atas bila ditulis dalam persamaan matriks sebagai berikut : n1 γ 11 0 n = γ ξ 1 + β 2 21 21
0 η 1 ζ 1 + ....................................................(8) 0 η 2 ζ 2
Sedangkan model persamaan pengukuran di uraikan dalam persamaan matriks berikut ini: x1 x 2 x 3
dan
x λ 11 = λ x 21 λ x 31
δ 1 ξ 1 + δ 2 δ 3
......................................................................(9)
y1 y 2 y3 = y 4 y 5 y 6
λ 11y y λ 21 λ y 31 0 0 0
0 0 0 λ λ λ
y 42 y 52 y 62
η η
1 2
ε ε ε + ε ε ε
1 2 3 4 5 6
............................................(10)
2. Evaluasi kelayakan Model Untuk dapat memilih model yang lebih baik, diperlukan suatu ukuran yang dapat membedakan layak tidaknya suatu model dibandingkan model lainnya. Ukuran-ukuran tersebut antara lain ?2 , GFI, AGFI dan RMR (Joreskog & Sorbom 1996). a. Statistik Khi-Kuadrat (?2 ), digunakan untuk menguji hipotesis. Ho : ? = ? (?) (model layak) lawan H1 : ? ? ? (?) (model tidak layak) Dimana ? adalah matriks ragam peragam populasi dan ? (?) adalah matriks ragam peragam yang dihasilkan vektor parameter yang mendefinisikan model hipotetik. Untuk menguji hipotesis di atas, matriks ragam peragam contoh S digunakan sebagai dugaan bagi ?, dan
^
Σ
digunakan sebagai dugaan ? (?). Dalam model ^
persamaan struktural diharapkan menerima Ho atau S = Σ (Sharma 1996). Dalam Bachrudin A dan Tobing (2003), Statistik untuk menguji hipotesis tersebut adalah ?2 = (n-1) x F (?), dimana n = ukuran contoh dan F (?) = fungsi pengepasan minimum untuk ? = ? (sesuai metode estimasi). dengan derajat bebas df = ½ (p + q) (p + q + 1) – t dimana p, q = banyaknya peubah yang diamati dan t = banyaknya parameter Pada taraf nyata 5 %, model dikatakan signifikan apabila ?2 hit = ?2tabel value
0.05
atau P
= 0.05. karena kisaran nilai p antara 0 sampai 1 maka model akan semakin
baik apabila nilai p mendekati 1. Joreskog dan Sorbon (1996) menyatakan bahwa statistik ?2 sensitif terhadap ukuran contoh dan penyimpangan terhadap kenormalan dari peubah-peubah pengamatannya.
b. Goodness of Fit Index (GFI) dan AGFI (Adjusted GFI) GFI mempresentasikan persen keragaman S yang dapat diterangkan oleh model (? ). Interpretasi nilai GFI dengan demikian analog dengan R2 pada model regresi, nilai GFI adalah :
GFI = 1 −
2 ∧ −1 tr Σ .S − I
∧ 2 tr Σ −1 .S
..........................................................................(12)
Kelayakan sebuah model adalah nilai GFI hendaknya lebih besar dari 0.90 (Sharma 1996). Sedangkan AGFI memperbaiki GFI melalui derajat bebas relatif model terhadap jumlah kuadrat. AGFI diperoleh dari rumus berikut : p ( p + 1) AGFI = 1 − [1 − GFI 2 df
] ..............................................................(13)
dimana p adalah banyaknya indikator, dan df adalah derajat bebas. AGFI analog dengan Adjusted R2 pada model regresi. Disarankan banyak peneliti untuk menerima sebuah model adalah nilai AGFI = 0.80 (Sharma 1996). Bollen (1989) mengungkapkan beberapa hasil simulasi oleh peneliti lain bahwa nilai harapan GFI dan AGFI cenderung meningkat seiring dengan peningkatan ukuran contoh.
Nilai harapan GFI dan AGFI akan menurun
dengan semakin sedikitnya indikator setiap faktor laten, khususnya pada data yang berukuran kecil. c. RMR (Root Mean square Residual) RMR merupakan ukuran rata-rata selisih antara matriks ragam peragam contoh ^
(S) dengan matriks ragam peragam dugaan ( Σ ) yang dikaitkan dengan banyaknya peubah indikator.
RMR =
2 p +q i ∧ 2 Σ Σ S − σ ij i =1 j =1 ij ( p + q )( p + q + 1 )
1/2
……………...........……….(15)
dimana : p adalah banyaknya indikator bagi peubah laten endogenous q adalah banyaknya indikator bagi peubah laten eksogenous sij adalah unsur matriks S s ij adalah unsur matriks
^
Σ
RMR digunakan untuk membandingkan dua model dari data yang sama. Model yang mempunyai RMR yang lebih kecil dikatakan model yang lebih baik (Joreskog & Sorbom 1996).
Sementara itu Raykov & Marcoulides (2000)
menyebutkan nilai RMR kurang dari atau sama dengan 0.05 dikatakan model diterima.
Validitas dan Kehandalan Indikator
Indikator sebagai suatu alat ukur harus mampu mengukur dengan tepat apa yang sebenarnya ingin diukur. Validitas dan kehandalan suatu indikator dengan demikian menjadi syarat yang harus dipenuhi.
Validitas mengacu kepada
kemampuan suatu indikator dalam mengukur apa yang sebenarnya ingin diukur, sedangkan kehandalan terkait dengan tingkat kekonsistenan indikator tersebut sehingga membuat kita percaya terhadap apa yang ditunjukkan olehnya. Sartono B (2001) memberikan ilustrasi menarik tentang validitas dan kehandalan ini pada pengukuran panjang jalan. Jengkal tangan merupakan pengukuran yang valid, karena jengkal tangan memang bisa digunakan untuk itu, namun alat ini tidak handal karena tidak konsisten dari waktu ke waktu. Validit as indikator- indikator dalam mengukur peubah laten tertentu dinilai dengan cara menguji apakah semua koefisien jalur/loading-nya nyata yaitu memiliki nilai-t lebih besar dari 1.96 (H0 : ?ij = 0 versus H1 : ?ij ? 0 pada taraf nyata 0.05).
Sedangkan untuk me ngukur kehandalan indikator
komunalitas atau kehandalan individu.
digunakan
Indikator- indikator yang secara bersama-
sama mengukur suatu faktor laten tertentu dapat diukur kehandalannya dengan kehandalan konstruk. Werts, Linn, dan Joreskog (1974) dalam Sharma (1996) merekomendasikan untuk mengukur kehandalan bagi indikator- indikator dari suatu faktor sebagai berikut :
(
2
R ij =
∑
k i
∑
λ ij
2
k i
λ ij )
+
2
∑
...........................................................(16) k i
V (δ i )
dimana: k adalah banyaknya indikator yang mengukur faktor laten ke-j ? ij adalah koefisien jalur dari indikator ke- i yang mengukur faktor ke-j V (di) adalah ragam galat pengukuran dari indikator ke –i Semakin besar nilai ini, menunjukkan bahwa indikator- indikator penyusun bagi suatu faktor merupakan indikator-indikator yang handal dalam mengukur faktor tersebut. Nilai kehandalan konstruk yang disarankan Sharma (1996) adalah minimal 0.5.
METODE PENELITIAN Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dengan mengacu pada indikator-indikator yang digunakan dalam pembuatan peta kerawanan pangan Indonesia yang disusun oleh Dewan Ketahanan Pangan R.I. dan Program Pangan Dunia
(WFP), PBB (Dewan Ketahanan Pangan 2004).
Indikator-indikator dalam peta kerawanan pangan tersebut tercakup dalam 3 aspek/dimensi kerawanan pangan kronis yaitu ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pendapatan (tambahan indikator PDRB per kapita dan pendapatan riil per kapita ) dan dimensi penyerapan pangan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tahun 2003 dengan jumlah kabupaten (tidak termasuk kota) yang dianalisis sebanyak 265 kabupaten (82 Kabupaten di Jawa dan 183 kabupaten di Luar Jawa). Data bersumber dari Badan Ketahanan Pangan-Departemen Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS) sebagian
hasil Susenas tahun 2003,
Propinsi Dalam Angka 2004, PDRB
Kabupaten di Indonesia tahun 2003. Secara rinci dimensi/faktor laten dan manifes/indikator model persamaan struktural kerawanan pangan yang dibangun dapat dilihat dalam Tabel 1.
Metode Analisis Pengolahan data dengan menggunakan program Minitab versi 13.20 dan LISREL versi 8.30 . Secara garis besar, tahapan analisis data pada penelitian ini adalah : 1.
Eksplorasi data : tahap eksplorasi ini meliputi (1) pemilihan indikator, dimana indikator yang merupakan fungsi dari indikator lain disisihkan dalam penyusunan model karena satu indikator dapat mewakili indikator yang lain. Hal ini ditemukan pada indikator ”angka harapan hidup” yang memiliki korelasi negatif cukup besar yaitu -0,92 dengan ”angka kematian bayi waktu lahir”, maka digunakan salah satu indikator dari keduanya yaitu indikator umur harapan hidup waktu lahir. Hal ini mengingat perhitungan
umur harapan hidup menggunakan data populasi penduduk dan angka kematian. (2) pemeriksaan data dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai data yang digunakan dalam model secara umum dengan menggunakan analisis deskriptif dari indikator yang digunakan dan diagram kotak garis untuk melihat kesimetrikan data atau kenormalan, serta mendeteksi adanya pencilan dengan Minitab versi 13.20 Tabel 2 Faktor laten dan peubah manifes/indikator model persamaan struktural kerawanan pangan No. Faktor Laten Indikator/Peubah Manifes 1. Ketersedian Pangan (SEDIA) 1. Produksi beras dan produksi beras/kapita 2. Produksi jagung dan produksi jagung/kapita 3. Produksi ubikayu dan produksi ubikayu/kapita 4. Produksi ubi jalar dan produksi ubijalar/kapita 2. Akses terhadap Pangan dan 5. % penduduk miskin Pendapatan (AKSES) 6. % kepala rumah tangga yang bekerja < 15 jam per minggu 7. % kepala rumah tangga yang tidak tamat SD 8. % rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas listrik 9. % desa yang tidak memiliki akses jalan 10. PDRB per kapita atas dasar harga berlaku 11.Pengeluaran riil perkapita 3.
Pemanfaatan /penyerapan pangan (SERAP)
12. Umur harapan hidup waktu lahir (Tahun) 13. % rumah tangga tanpa akses ke air bersih 14. % rumah tangga yang tinggal > 5 km dari fasilitas kesehatan 15. % Balita kurang gizi 16. % perempuan buta huruf 17. Angka kematian bayi waktu lahir
2.
Penyusunan model persamaan struktural meliputi (1) Perumusan spesifikasi model Lisrel berdasarkan kosep teori yang ada. Adapun model persamaan struktural kerawanan pangan yang disusun seperti terlihat dalam Gambar 4 di bawah ini. (2) Entry data dengan menggunakan PRELIS Data 2.30 dalam LISREL 8.30 (3) Membuat diagram jalur seperti hasil spesifikasi model (4) Menduga koefisien jalur pada model struktural dan model pengukuran dengan proses iterasi melalui program LISREL 8.30 (5) Pemilihan model
terbaik artinya model tersebut cukup baik dalam mengepas data yang ada melalui : a.
Sebanyak 16 indikator diikutkan dalam model, selajutnya dievaluasi kelayakan model dengan melihat GFI dan AGFI (GFI menunjukkan persen keragaman S yang dapat diterangkan oleh model dan AGFI memperbaiki GFI melalui derajat bebas relatif model terhadap jumlah kuadrat).
Menurut Sharma (1996) model layak apabila nilai GFI
mendekati 0.90 dan AGFI lebih besar 0.80. b.
Apabila dihasilkan model dengan nilai GFI dan AGFI yang masih jauh dari nilai yang disarankan tersebut maka dilakukan modifikasi model untuk meningkatkan kinerja model dengan menghilangkan jalur bagi koefisien jalur yang tidak nyata berdasarkan nilai uji-t pada taraf nyata 5% (nilai t < 1,96).
Selanjutnya indikator yang tidak nyata tersebut
tidak digunakan lagi dalam proses pemodelan berikutnya. c.
Proses pemodelan selajutnya kembali ke tahap (2), (3), (4) dan (5) sampai dihasilkan model yang cukup layak dengan melihat nilai ?2 = ?2
tabel
hit
atau Pvalue = 0.05, GFI= 0.90, AGFI= 0.80 dan RMR = 0.05.
Model yang mempunyai RMR yang lebih kecil dikatakan model yang lebih baik (Joreskog & Sorbom 1996). d.
Model yang mendekati syarat ideal kelayakan model tersebut yang selajutnya dipilih sebagai model persamaan struktural kerawanan pangan dalam penelitian ini.
Proses seperti ini dilakukan untuk
pemodelan kerawanan pangan baik secara nasional, Jawa dan Luar Jawa. e.
Model yang telah terpilih selanjutnya dilakukan analisis untuk menilai validitas dan kehandalan dari indikator- indikator yang menyusunnya, serta
dianalisis lebih lanjut hubungan dengan hasil identifikasi
kerawanan pangan oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP).
Miskin e7 e5 e6
< 15 jam ?5
<SD
e8
?6 ?7
e9
Tlistrk
?8
Beras e1
ß1
Akses terhdp pangan dan pendapatan
?9 ?10
?1 e2
Jagung
Ubkayu
?3
Ketersedia an Pangan
ß2
PDRB
e11
Pnluara n
e12
Hrphdp
?12
?4 e4
e10
?11
?2 e3
Tdjln
tairbrsh
e13
e14
?13 Ubijalar
ß3
Penyerapan/ Pemanfaatan Pangan
?14 ?15
Faskes
e15 e16
?16 e17 ?17
Bthrf
Kmtbay i
Gambar 4 Model persamaan struktural kerawanan pangan
Secara rinci diagram alur penentuan model persamaan struktural kerawanan pangan dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini :
(1)
Mulai
(2)
Spesifikasi model berdasarkan konsep Kerawanan Pangan
(3)
Entry dan Eksplorasi Data dengan Program PRELIS dan Minitab 13.2
(4)
Penyusunan Diagram Jalur dan Model Kerawanan Pangan
(5)
(8)
Analisis Model dengan Program LISREL 8.3
Modifikasi Model (6)
Evaluasi Kelayakan Model
tidak Apakah Model Layak ? ya (7) Pilih Model terbaik (secara Emperis)
Selesai
Gambar 5 Diagram alur penentuan model persamaan struktural kerawanan pangan
HASIL DAN PEMBAHASAN Model persamaan struktural kerawanan pangan dalam penelitian ini selain analisis model nasional juga dilakukan pemodelan kerawanan pangan Jawa dan Luar Jawa.
Hal ini mengingat
Jawa dan Luar Jawa bila dilihat kondisi
kependudukan dan ketersediaan sumber daya alam yang unik. Menurut Badan Pusat Statistik, angka estimasi penduduk kondisi bulan Juni 2003 menunjukkan bahwa 59.22 persen penduduk Indonesia tinggal di Jawa atau 127.433 juta orang dari 215.276 juta orang penduduk Indonesia dengan kepadatan penduduk per km2 di Jawa sebesar 997 orang, sedangkan di Luar Jawa kepadatan penduduk sebesar 84 orang per km2 . Selain itu Pulau Jawa juga merupakan penghasil padi terbesar yakni tahun 2003 sekitar 54 persen produksi padi berasal dari Pulau Jawa atau sebesar 28.167 juta ton. Sementara Luar Jawa sebagian besar wilayahnya berupa hutan sekitar 97 persen dari total luas hutan di Indonesia berada di Luar Jawa (BPS 2004).
Gambaran Umum Data Indikator Kerawanan Pangan Korelasi antara indikator digunakan dalam penyusunan
dan perbandingan deskriptif indikator yang model kerawanan pangan dapat dilihat pada
Lampiran 2 dan 3. Dari Lampiran 2 terlihat di antara indikator yang digunakan dalam penyusunan model kerawanan pangan terdapat korelasi negatif yang cukup besar antara indikator harapan hidup dengan kematian bayi sebesar -0,92, hal ini berarti semakin besar harapan hidup waktu lahir maka semakin kecil tingkat kematian bayi, sehingga dalam analisis selanjutnya hanya digunakan salah satu indikator yaitu harapan hidup, hal ini mengingat dalam perhitungan umur harapan hidup waktu lahir digunakan angka kematian bayi dan jumlah penduduk. Sementara indikator jumlah penduduk miskin berkorelasi nyata dengan semua indikator kerawanan pangan lainnya secara positif kecuali untuk indikator produksi beras, PDRB per kapita, Pengeluaran riil per kapita dan harapan hidup berkorelasi negatif. Matriks korelasi ini digunakan dalam analisis lebih lanjut sebagai pengganti matrik ragam peragam (? ) dalam analisis peubah ganda, hal ini
dilakukan karena perbedaaan satuan pengukuran pada data yang dianalisis, yang umumnya berimplikasi pada perbedaan keragaman peubah. Analisis deskriptif indikator kerawanan pangan secara rinci disajikan pada Lampiran 3, terlihat indikator penyusun faktor ketersediaan pangan adalah produksi per kabupaten dalam ton dan produksi per kapita dalam kg beras, jagung, ubi kayu dan ubi jalar secara umum menunjukkan pola yang hampir sama yaitu rata-rata kabupaten di Jawa lebih tinggi dibandingkan di Luar Jawa, kecuali ketersediaan per kapita beras dan ubi jalar kabupaten di Luar Jawa lebih tinggi dibandingkan kabupaten di Jawa seperti yang terlihat pada Gambar 6. 250.000
250,00
200.000
200,00 150,00
150.000 Ton
Kg/kapita
100,00
100.000
50,00
50.000
0,00
Beras/kapita
Beras
Jagung
Ubi kayu
Ubi jalar
Jagung/kapita
Ubi kayu/kapita
Ubi jalar/kapita
Indikator
Indikator Rata-Rata Jawa
Rata-Rata Jawa
Rata-Rata Luar Jawa
Rata-Rata Luar Jawa
Gambar 6 Rata-rata produksi dan produksi/kapita beras, jagung, ubi kayu dan ubi jalar kabupaten di Jawa dan Luar Jawa Sementara bila dilihat pada Gambar 7, menunjukkan persentase indikator lainnya di Jawa menunjukkan lebih rendah dibandingkan di Luar Jawa kecuali persentase penduduk bekerja kurang dari 15 jam per minggu dan persentase perempuan buta huruf lebih tinggi kabupaten di Jawa masing- masing sebesar 6.49 persen dan 20.45 persen. Hal ini mengindikasikan pada umumnya akses terhadap sarana prasarana lebih mudah kabupaten di Jawa dibandingkan kabupaten di Luar Jawa. 60,00 50,00 40,00 Persen 30,00
20,00 10,00 0,00 %miskin
<15jam
<SD
Tdlistrk
Tdjalan
Airbrsh
Faskes
Wntbthrf
Indikator Rata-Rata Jawa
Rata-Rata Luar Jawa
Gambar 7 Perbandingan beberapa indikator kerawanan pangan Jawa dan Luar Jawa
Uji kenormalan Anderson-Darling, pada nilai alpha 0.05, P-value uji kenormalan pada Lampiran 3 menunjukkan pada beberapa indikator kerawanan pangan memiliki P-value lebih kecil dari 0.05 yang artinya menolak Ho atau menyatakan bahwa sebaran data indikator tersebut tidak noemal, kecuali untuk indikator % penduduk miskin, % kepala rumah tangga bekerja < 15 jam/minggu, % rumah tangga tanpa air bersih, % rumah tangga tinggal > 5 km dari fasilitas kesehatan , % perempuan buta huruf dan umur harapan hidup untuk data kabupaten di Jawa, sedangkan untuk kabupaten di Luar Jawa pada indikator % kepala rumah tangga tidak tamat SD dan % balita kurang gizi. Sejalan dengan hal tersebut diagram kotak garis pada beberapa indikator kerawanan pangan dihasilkan gambaran berikut ini : 1.
Produksi Beras Produksi beras di Jawa lebih tinggi dibandingkan di Luar Jawa, hal ini terlihat
pada Gambar 8 di bawah ini. Diagram kotak garis produksi beras di Jawa dan Luar Jawa menjulur ke atas, yang berarti tidak menyebar normal (P-value=0.000). Kemenjuluran tersebut dipengaruhi adanya beberapa kabupaten yang produksinya cukup jauh dari rata-rata seperti kabupaten Karawang di Jawa, kabupaten Deli Serdang, Simalungun, Bone, Wajo, Muba, OKI, Lampung Tengah di Luar Jawa. Produksi beras sekitar 100.000 ton merupakan kuartil ke-3 bagi wilayah Luar Jawa dan merupakan kuartil pertama bagi wilayah Jawa, mengindikasikan sekitar 75 persen kabupaten di Luar Jawa produksi beras kurang dari 100.000 ton, sebaliknya 75 persen kabupaten di Jawa produksi beras lebih dari 100.000 ton.
Gambar 8 Diagram kotak-garis produksi beras
2.
Persentase penduduk miskin
50
%
40 30 20 10 0 L Jawa
Jawa
Gambar 9 Diagram kotak garis persentase penduduk miskin
Terlihat pada Gambar 9 diatas bahwa sebaran persentase penduduk miskin di Luar Jawa menjulur ke atas, sementara di Jawa cenderung simetrik sesuai dengan nilai P-value uji kenormalan Anderson-Darling sebesar 0.308 (Lampiran 3).
3.
Persentase kepala rumah tangga bekerja < 15 jam per minggu
Gambar 10 Diagram kotak garis kepala rumah tangga bekerja < 15 jam/ minggu
Sebaran persen kepala rumah tangga bekerja kurang dari 15 jam per minggu di Jawa lebih simetrik (p-value=0.157) dibandingkan di Luar Jawa dengan adanya pencilan antara lain di kabupaten Tanah Toraja, Paniai, Enrekang, Sinjai dan Gowa meskipun rata-rata persentase rumah tangga bekerja kurang dari 15 jam lebih tinggi di Jawa. Sementara diagram kotak garis untuk indikator lainnya dapat dilihat pada Lampiran 4, yang menunjukkan umumnya di Luar Jawa sarana infra struktur lebih rendah dibandingkan di Jawa, seperti % desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat, % rumah tangga tanpa akses air bersih, % rumah tangga tinggal > 5
km dari fasilitas kesehatan, % rumah tangga tanpa akses listrik. Selanjutnya sekitar 50 persen kabupaten di Luar Jawa me miliki balita kurang gizi lebih besar dari 28 persen, sedangkan 75 persen kabupaten di Jawa memiliki balita kurang gizi dibawah 28 persen.
Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan
Hasil analisis model LISREL dari indikator- indikator penyusun faktor laten dalam model persamaan struktural kerawanan pangan
pada tahap pertama
pemodelan diikutsertakan sebanyak 16 indikator dengan model 1 untuk faktor laten SEDIA dengan indikator produksi, sedangkan model 2 indikator produksi per kapita.
Hasil evaluasi kelayakan model dengan 16 indikator
belum
memenuhi kelayakan model baik untuk model nasional, Jawa dan Luar Jawa artinya model tersebut ditolak karena tidak ada dukungan data. Hal ini dapat dilihat dari nilai GFI dan AGFI masing- masing model disajikan pada Tabel 3. Nilai GFI menunjukkan persen keragaman S yang dapat diterangkan oleh model tersebut, dan AGFI memperbaiki GFI melalui derajat bebas relatif model terhadap jumlah kuadrat. Tabel 3 Nilai GFI dan AGFI beberapa model persamaan struktural kerawanan pangan Jumlah Uraian Nasional Jawa Luar Jawa Indikator n = 265 n=82 n=183 1 2 1 2 1 2 16 indikator GFI 0.78 0.77 0.63 0.64 0.80 0.78 AGFI 0.70 0.69 0.51 0.52 0.73 0.70 13 indikator GFI 0.84 0.84 0.71 0.69 0.87 0.83 AGFI 0.76 0.77 0.58 0.54 0.82 0.75 12 indikator GFI 0.87 0.85 0.72 0.72 0.81 0.77 AGFI 0.80 0.77 0.58 0.57 0.74 0.64 Terlihat pada Tabel 3, model dengan 16 indikator menunjukkan nilai GFI dan AGFI yang masih dibawah yang disarankan dalam Sharma (1996) yaitu masing- masing sebesar 0.90 dan 0.80, dimana model 1 memiliki nilai GFI dan AGFI yang cenderung lebih besar dibandingkan model 2, serta dengan beberapa model yang telah dicoba sehingga model 1 dipilih sebagai model dalam penelitian ini.
Untuk meningkatkan kinerja model dilakukan dengan cara menghilangkan
koefisien jalur yang tidak nyata pada taraf alp ha 5 persen seperti disajikan pada Tabel 4 untuk model 1 ( faktor laten SEDIA adalah data produksi). Dari Tabel 4 menunjukkan indikator produksi ubi jalar bukan merupakan pengukur faktor laten SEDIA yang baik pada ketiga model tersebut, selain itu % kepala rumah tangga bekerja kurang dari 15 jam untuk faktor laten AKSES dan % perempuan buta huruf untuk faktor laten SERAP pada model nasional dan luar Jawa, PDRB per kapita untuk faktor laten AKSES pada model nasional dan Jawa, serta % rumah tangga tanpa air bersih untuk faktor laten SERAP di Jawa.
Tabel 4 Hubungan faktor laten dengan indikator pada model dengan 16 indikator Faktor Laten SEDIA
AKSES
SERAP
Indikator Beras Jagung Ubi kayu Ubi jalar %miskin %tdkSD %<15jam %tdlistrik %tdjalan PDRB Pnluaran Hrphidup %tdairbrsh %>5kmfaskes %
Nasional Koefisien Nilai-t 0.79 0.39 0.21 -0.11 -0.51 -0.35 -0.08 -0.92 -0.65 0.05 0.67 0.40 -0.53 -0.55 -0.41 -0.03
8.47** 5.37** 2.86** -1.50 -7.18** -5.08** -1.25 -10.48** -8.63** 0.76 8.81** 3.79** -4.70** -4.20** -3.85** -0.41
Jawa Koefisien 0.17 -0.17 -0.92 -0.05 -0.35 -0.62 -0.39 -0.74 -0.51 0.22 0.42 0.27 -0.07 -0.37 -0.14 -0.24
Luar Jawa Koefisien Nilai-t 0.39 0.84 0.53 -.003 -0.70 -0.35 -0.16 -0.84 -0.58 0.22 0.58 0.31 -0.42 -0.34 -0.24 -0.08
4.59** 6.38** 5.60** -0.37 -9.65** -4.13** -1.89 -12.46** -7.45** 2.74** 7.45** 4.29** -5.12** -4.32** -2.82** -0.98
Keterangan :** sangat nyata pada taraf alpha 0.01 ( t = 2.576) * sangat nyata pada taraf alpha 0.05
Pada model dengan 12 indikator untuk model nasional dan Jawa, serta 13 indikator untuk Luar Jawa dapat meningkatkan nilai GFI dan AGFI masingmasing sebesar 0.87 dan 0.80 untuk model nasional, yang berarti persen keragaman sebesar 87 persen diterangkan oleh model kerawanan pangan nasional. Perbandingan Ukuran kelayakan model disajikan pada Tabel 5 . Meskipun dilihat dari X2 -nya maka hipotesis nol ditolak, berarti model hipotesis belum cukup baik dalam mengepas data, dimana X2 sensitif terhadap ukuran contoh sehingga untuk menilai kelayakan model ini perlu diperhatikan ukuran-ukuran kesesuain yang lain seperti nilai GFI, AGFI dan RMR. Terlihat pada Tabel 5, model 1 cenderung lebih mendekati syarat ideal kelayakan model dibandingkan model 2.
Tabel 5 Kelayakan model kerawanan pangan nasional, Jawa dan Luar Jawa Kesesuaian Model
Nasional 1 51 231.83 0.12 0.87 0.80 0.084
Df X2 RMSEA GFI AGFI RMR
Jawa
2 51 280.20 0.13 0.85 0.77 0.085
1 51 186.04 0.18 0.72 0.58 0.13
Luar Jawa 2 51 188.10 0.18 0.72 0.57 0.13
1 62 170.09 0.098 0.87 0.82 0.09
2 62 243.47 0.13 0.83 0.75 0.093
Model kabupaten di Jawa menunjukkan nilai GFI dan AGFI yang lebih rendah dibandingkan pada model nasional dan Luar Jawa masing- masing sebesar 0.72 dan 0.58 pada model 1 untuk kabupaten di Jawa. Menurut Bollen (1989) beberapa hasil simulasi oleh peneliti, nilai harapan GFI dan AGFI cenderung meningkat seiring peningkatan ukuran contoh, mengingat jumlah kabupaten di Jawa hanya 82 kabupaten (kurang dari 100). Sedangkan RMR dari ketiga model tersebut memiliki RMR paling kecil dari sekian model yang telah dicoba sehingga model ini yang paling mendekati kriteria ideal. Model persamaan struktural kerawanan pangan dengan model 1 disajikan pada Gambar 11 s/d Gambar 13, sementara model persamaan struktural kerawanan pangan lainnya yang telah dicoba dalam penelitian ini disajikan pada Lampiran 5 dan 6. Model tersebut sebagai gabungan dari dua bagian, yaitu (1) model struktural yang menjelaskan hubungan antara faktor laten dan (2) model pengukuran yang menghubungkan faktor laten dengan indikator- indikatornya. -0.51
miskin
0.74
<SD
0.89
-0.34 0.63
AKSES
-0.91
tlistrk
0.16
tdkjln
0.58
-0.65 0.67
0.61 Beras
0.32 Pnluaran
0.83 1.00 0.39 Jagung
SEDIA
0.55
0.95
0.85 0.21
-0.22
hrphdp
0.84
Airbrsh
0.71
0.40 Ubikayu
0.96
0.31
SERAP
-0.54 -0.56 -0.41
Chi-Square=367.95, df=101, P-value=0.00000, RMSEA=0.121
Gambar 11 Model persamaan struktural kerawanan pangan nasional
Faskes
0.68
0.83
Gambar 11 dan 12 menunjukkan pengaruh langsung dari SEDIA ke AKSES, AKSES ke SERAP terbukti positif dan nyata masing- masing sebesar 0.61 dan 0.95 untuk model nasional, 0.62 dan 1.24 untuk model Jawa. Berarti ketersediaan pangan berdampak positif terhadap akses pangan dan pendapatan, selanjutnya akses berpengaruh positif terhadap penyerapan dan pemanfaatan pangan. miskin
0.80
<15jam
0.88
-0.38 -0.41
<SD
0.41
tlistrk
0.75
tdkjln
0.87
-0.75 1.02
AKSES
-0.48 -0.37 0.53
0.62 Beras
1.10 1.00 0.06
Pnluaran
0.73
SEDIA 1.24
2.81 Ubikayu
1.37 -1.04
hrphdp
0.63
0.61 0.56
SERAP
Faskes
0.66
0.75
-0.53 -0.50 -0.54 Wntbthrf
0.67
Gambar 12 Model persamaan struktural kerawanan pangan kabupaten di Jawa
Pengaruh langsung SEDIA ke SERAP pada model nasional adalah negatif dan tidak nyata sebesar 0.22 yang berarti ketersediaan pangan tidak diikuti oleh penyerapan yang baik, sehingga masih dapat terjadi rawan pangan. Temuan ini menegaskan perlunya peninjauan kembali terhadap arah kebijakan ketahanan pangan di Indonesia dari sisi pemanfaatan dan penyerapan pangan yang tersedia. Demikian pula model kabupaten di Jawa pengaruh SEDIA terhadap SERAP adalah negatif dan nyata sebesar 1.04 yang berarti ketersediaan pangan di Jawa belum diikuti oleh penyerapan yang baik seperti yang terjadi di Kabupaten Bondowoso, Jember dan Probolinggo. Ketersediaan pangan yang cukup merupakan suatu persyaratan yang perlu untuk jaminan pangan, tetapi tidak cukup untuk menggaransi jaminan pangan di tingkat rumah tangga dan individu karena masih tergantung pada faktor akses dan penyerapan pangan.
-0.69
miskin
0.52
PDRB
0.95
0.21 1.00
AKSES
0.02 Beras
-0.31 -0.85 -0.58
<SD
0.90
tlistrk
0.27
tdkjln
0.66
0.59
0.87 0.37
Jagung
1.00 0.89 0.20 0.50
Ubikayu
SEDIA
0.75
Pnluaran
0.65
0.34 hrphdp
0.88
Airbrsh
0.71
Faskes
0.79
0.93
0.34
0.75 0.32
SERAP
-0.53 -0.45 -0.27
Gambar 13 Model persamaan struktural kerawanan pangan kabupaten di Luar Jawa Model kabupaten di Luar Jawa pada Gambar 13 menunjukkan ketersediaan berpengaruh positif namun tidak nya ta terhadap akses pangan dan pendapatan sebesar 0.02, berarti pada umumnya kabupaten di Luar Jawa belum mampu menopang kebutuhan pangan untuk wilayahnya karena kendala dari akses terhadap pangan dan pendapatan, meskipun akses berpengaruh positif dan nyata terhadap penyerapan.
Hal ini sejalan dengan analisis deskriptif yang
menunjukkan sarana prasarana yang kurang di Luar Jawa. Pengaruh yang tidak nyata tersebut berarti tidak terdapat bukti yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa di Luar Jawa ketahanan pangan terjamin. Koefisien jalur dan uji beda nyata dalam model pengukuran kerawanan pangan disajikan pada Tabel 6. Hasil pendugaan koefisien jalur pada model pengukuran pada Tabel 6 menunjukkan setiap indikator memberikan pengaruh yang sangat nyata pada taraf alpha 1 persen terhadap peubah laten yang dijelaskannya (nilai t lebih besar 2.576) hal ini menunjukkan indikator tersebut valid dalam mengukur faktor laten, serta tanda semua indikator sesuai dengan yang diharapkan dalam model. Dari Gambar 11 terlihat koefisien jalur % penduduk miskin sebesar -0.51 pada faktor laten AKSES, hal ini menunjukkan bahwa % penduduk miskin yang rendah akan mempermudah akses terhadap pangan dan pendapatan, yang selanjutnya akan mempengaruhi kemudahan dalam penyerapan pangan (SERAP) yang ditentukan diantaranya oleh semakin tingginya umur harapan hidup waktu lahir (0.40), rendahnya % balita kurang gizi (-0.41), % rumah tangga tidak dapat mengakses air bersih (-0.54) dan % rumah tangga yang tiggal > 5 km dari puskesmas (-0.56).
Kehandalan indikator dalam mengukur faktor laten, dilihat dari koefisien jalur lebih dari 0.5 terdapat pada indikator pengeluaran riil per kapita untuk faktor laten AKSES pada ketiga model, produksi beras untuk faktor laten SEDIA pada model nasional dan Jawa, dan produksi jagung dan ubi kayu untuk Luar Jawa. Tabel 6 Penilaian validitas indikator pengukur faktor laten pada model 1 Faktor Laten
Indikator
Nasional
Jawa
Luar Jawa
Koefisien Nilai-t Koefisien Nilai-t Koefisien Nilai-t Beras 0.83 8.25** 1.00 25 25.12** 0.37 4.11** Jagung 0.39 5.31** --- -6.61** 0.89 Ubi kayu 0.21 2.87** 2.81 4 .53** 0.50 5.07** AKSES %miskin -0.51 -7.41** -0.38 -10.58** -0.69 -9.68** %tdkSD -0.34 -5.01** -0.75 -2.22* -0.31 -3.93** %<15jam -0.41 -2.31* %tdlistrik -0.91 -1.33** -0.48 -1.80 -0.85 -12.66** %tdjalan -0.65 -9.08** -0.37 -1.65 -0.58 -7.90** PDRB 0.21 2.66** Pnluaran 0.67 9.28** 0.53 2.22* 0.59 7.97** SERAP Hrphidup 0.40 4.03** 0.61 11.50** 0.34 2.66** %tdairbrsh -0.54 -4.55** -0.53 -3.03** %>5kmfaskes -0.56 -4.60** -0.53 -4.33** -0.45 -2.96** %
Selanjutnya % penduduk miskin, % rumah tangga tanpa listrik, % desa tanpa akses jalan, pengeluaran riil per kapita untuk faktor laten AKSES pada model nasional dan Luar Jawa, % rumah tangga tanpa air bersih dan % rumah tangga > 15 km dari fasilitas kesehatan untuk faktor laten SERAP pada model nasional, semua indikator faktor laten SERAP model di Jawa.
Hal ini
menunjukkan indikator tersebut handal dalam mengukur faktor laten atau merupakan indikator yang penting dalam mengukur faktor laten tersebut, hal ini sejalan dengan kesepeluh indikator akhir yang telah digunakan dalam pembuatan peta kerawanan pangan. Indikator pengeluaran riil per kapita terbukti merupakan indikator yang selalu dominan dalam menerangkan faktor AKSES pada ketiga model nasional, Jawa dan Luar Jawa. Temuan ini dapat memberikan masukan kepada DKP untuk menambahkan indikator pengeluaran riil per kapita dalam pembuatan peta kerawanan pangan di daerah disamping indikator yang telah ada. Perbandingan koefisien kehandalan konstruk untuk model kerawanan pangan model 1 dan model 2 disajikan pada Tabel 7
Tabel 7 Perbandingan koefisien kehandalan konstruk untuk model 1 dan model 2 Faktor Laten SEDIA AKSES SERAP
Nasional 1 0.49 0.51 0.29
Jika dilihat Tabel 7,
2 0.02 0.55 0.17
Jawa 1 0.85 0.44 0.25
Luar Jawa 2 0.94 0.48 0.25
1 0.63 0.40 0.20
2 0.01 0.49 0.16
menunjukkan bahwa indikator-indikator penyusun
faktor laten SEDIA pada model 1 cukup handal dalam mengukur faktor laten SEDIA dibandingkan dengan model 2 karena memiliki kehandalan konstruk sekitar 0.5, kecuali untuk model di Jawa. Sedangkan faktor laten AKSES hanya pada model nasional yang memiliki kehandalan konstruk sebesar 0.51, sebaliknya indikator- indikator penyusun faktor laten SERAP tidak handal dalam mengukur faktor laten SERAP. Nilai kehandalan konstruk yang disarankan Sharma (1996) adalah minimal 0.5. Hubungan Skor SEDIA, AKSES dan SERAP Hasil Pemodelan Terhadap Katagori Kerawanan Pangan yang Diidentifikasi Oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) Setiap kabupaten dapat diketahui skor SEDIA, AKSES dan SERAP berdasarkan persamaan struktural yang dihasilkan dalam penelitian ini melalui nilai koefisien masing- masing indikator penyusun faktor laten yang dihasilkan dari pemodelan ini. Sementara itu dari peta kerawanan pangan yang dihasilkan oleh Dewan Ketahanan Pangan (2005) telah mengidentifikasi 265 kabupaten dikatagorikan 100 kabupaten dalam katagori rawan pangan, yang digolongkan kedalam 3 katagori yaitu 30 kabupaten dikatagorikan sangat rawan pangan (SRP), 30 kabupaten dikatagorikan rawan pangan (RP) dan 40 kabupaten dikatagorikan cukup rawan pangan (CRP). Sementara itu 165 kabupaten lainnya diidentifikasi sebagai kabupaten yang tahan pangan, yaitu 50 kabupaten dikatagorikan cukup tahan pangan (CTP), 50 kabupaten Tahan pangan (TP) dan 65 kabupaten sangat tahan pangan (STP). Tetapi perlu dijelaskan, bahwa kabupaten yang berada dalam kelompok rawan pangan tidak berarti bahwa semua penduduknya berada dalam kondisi rawan pangan, demikian pula halnya untuk kabupaten dengan katagori tahan pangan. Peta kerawanan pangan hanya menggambarkan kecenderungan
prevalensi kerawanan pangan secara relatif, daerah-daerah yang berwarna merah cenderung memiliki tingkat kerawanan pangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang berwarna hijau. Dari 265 kabupaten yang telah diidentifikasi tersebut selanjutnya bila dihubungkan dengan skor SEDIA, AKSES dan SERAP dari hasil model persamaan struktural nasional dihasilkan Gambar 14 berikut ini :
(a)
(b)
(c) Keterangan : SRP=sangat rawan pangan, RP=rawan pangan, CRP=cukup rawan pangan, CTP=cukup tahan pangan, TP = tahan pangan dan STP = sangat tahan pangan
Gambar 14 Plot antara skor (a) SEDIA vs Katagori (b) AKSES vs katagori (c) SERAP vs katagori untuk model nasional Beberapa hal menarik dari dari Gambar 14 di atas antara lain (1) Hubungan skor SEDIA terhadap katagori menunjukkan pola cenderung homogen antar keenam katagori baik kerawanan pangan maupun ketahanan pangan yang berarti ketersediaan pangan secara nasional tidak begitu berpengaruh terhadap tingkat kerawanan pangan, hal ini sejalan dengan analisis DKP bahwa sebagian besar wilayah Indonesia adalah swasembada dalam produksi pangan serealia (2) Sementara hubunga n skor AKSES dan SERAP terhadap katagori yang telah
diidentifikasi oleh DKP menunjukkan pola yang sama, yaitu semakin mudah dalam mengakses dan menyerap pangan maka katagori rawan pangannya makin rendah atau semakin tahan pangan.
Hal ini sejalan dengan model yang telah
dihasilkan pada Gambar 11 yang menunjukkan bahwa dari sisi ketersediaan tidak bermasalah, namun yang cukup berpengaruh terhadap rawan atau tahan pangan adalah faktor AKSES dan SERAP. (3) Sebaran pada skor AKSES dan SERAP terhadap keenam katagori menunjukkan pola yang simetrik, sementara pada skor SEDIA terlihat sebaran yang menjulur ke atas, hal ini dikarenakan adanya beberapa kabupaten di Jawa dan Luar Jawa merupakan sentra produksi serealia. Terdapat kabupaten yang memiliki skor SEDIA yang cukup jauh dari rata-rata dalam katagorinya, antara lain terjadi pada katagori sangat rawan pangan adalah kabupaten Bondowoso (JATIM), Sambas dan Landak (KALBAR).
Katagori
cukup rawan pangan adalah kabupaten Probolinggo dan Jember (JATIM), OKI (SUMSEL), Donggala (SULTENG) dan rawan pangan adalah kabupaten Muba (SUMSEL) dan Tulang Bawang (LAMPUNG). Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun kabupaten tersebut dari sisi ketersediaan memiliki skor SEDIA yang cukup tinggi namun tingkat kerawanan pangannya sangat ditentukan oleh skor AKSES dan SERAP, Hal ini sejalan dengan model yang dihasilkan pada Gambar 11 sampai dengan Gambar 13. Selanjutnya Hubungan skor SEDIA, AKSES dan SERAP terhadap keenam katagori kerawanan pangan-ketahanan pangan untuk kabupaten di Jawa disajikan pada Gambar 15. Jika dilihat Dari Gambar 15 menujukkan pola yang sama dengan pola pada model nasional di atas antara lain : (1) Hubungan skor SEDIA terhadap katagori menunjukkan pola cenderung homogen antar keenam katagori baik kerawanan pangan maupun ketahanan pangan yang berarti ketersediaan pangan kabupaten di Jawa umumnya tidak begitu berpengaruh terhadap tingkat kerawanan pangan, hal ini mengingat kabupaten di Jawa pada umunya mampu menyediakan pangan untuk daerahnya. (2) Sementara hubungan skor AKSES dan SERAP terhadap keenam katagori yang telah diidentifikasi oleh DKP menunjukkan pola yang sama, yaitu semakin mudah dalam mengakses dan menyerap pangan maka katagori rawan pangannya makin rendah atau semakin tahan pangan. Hal ini sejalan dengan model yang telah dihasilkan pada Gambar
12, yang menunjukkan bahwa dari sisi ketersediaan tidak bermasalah, namun yang cukup berpengaruh terhadap rawan atau tahan pangan adalah faktor AKSES dan SERAP.
(a)
(b)
(c) Keterangan : SRP=sangat rawan pangan, RP =rawan pangan, CRP=cukup rawan pangan, CTP=cukup tahan pangan, TP = tahan pangan dan STP = sangat tahan pangan
Gambar 15 Plot antara skor (a) SEDIA vs Katagori (c) SERAP vs katagori kabupaten di Jawa
(b) AKSES vs katagori
(3) Sebaran pada skor AKSES dan SERAP menunjukkan pola yang simetrik, kecuali pada katagori sangat rawan pangan dan cukup rawan pangan untuk skor AKSES terlihat menjulur, sementara pada skor SEDIA terlihat sebaran yang cukup bervariasi bentuknya untuk masing- masing katagori. Sementara hubungan antara skor SEDIA, AKSES dan SERAP terhadap katagori kerawanan pangan hasil identifikasi Dewan Ketahanan Pangan untuk kabupaten di Luar Jawa disajikan pada Gambar 16 berikut ini :
(a)
(b)
(c) Keterangan : SRP=sangat rawan pangan, RP =rawan pangan, CRP=cukup rawan pangan, CTP=cukup tahan pangan, TP = tahan pangan dan STP = sangat tahan pangan
Gambar 16 Plot antara skor (a) SEDIA vs Katagori (b) AKSES vs katagori (c) SERAP vs katagori kabupaten di Luar Jawa Jika
dilihat pada Gambar 16 menunjukkan untuk kabupaten di Luar Jawa
memiliki pola yang berlainan dengan kedua model di atas, antara lain (1) Hubungan skor SEDIA dan AKSES terhadap katagori menunjukkan pola cenderung homogen antar keenam katagori baik kerawanan pangan maupun ketahananan pangan yang berarti ketersediaan pangan dan akses pada kabupaten di Luar Jawa umumnya tidak begitu berpengaruh terhadap tingkat kerawanan pangan, hal ini sejalan dengan model yang dihasilkan pada Gambar 13 yang menggambarkan tidak nyata pengaruh dari ketersediaan ke akses, mengingat kabupaten di Luar Jawa pada umunya memiliki keterbatasan yang sama antar kabupaten berkaitan dengan ketersediaan dan akses (2) Sementara hubungan skor SERAP terhadap keenam katagori yang telah diidentifikasi oleh DKP menunjukkan pola yang sama, yaitu semakin mudah dalam menyerap pangan maka katagori rawan pangannya makin rendah atau semakin tahan pangan.
(3) Sebaran pada skor SERAP menunjukkan pola yang simetrik, kecuali pada katagori rawan pangan dan sagat tahan pangan terlihat menjulur, sementara pada skor SEDIA dan AKSES terlihat sebaran yang cukup bervariasi bentuknya untuk masing- masing katagori.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Dari evaluasi kelayakan model persamaan struktural kerawanan pangan, dihasilkan model dengan proporsi keragaman yang dapat diterangkan oleh model persamaan struktural sebesar 87 persen untuk model nasional dan kabupaten di Luar Jawa, sedangkan model di Jawa hanya sebesar 72 persen. Sementara indikator- indikator penyusun faktor laten SEDIA dan AKSES cukup handal, sedangkan indikator penyusun faktor laten SERAP tidak handal, oleh karena itu perlu dievaluasi lebih lanjut kemungkinan mencari indikator lain yang dapat mengukur faktor laten SERAP lebih tepat.
2.
Model persamaan struktural kerawanan pangan nasional dan Jawa mengungkapkan
ketersediaan pangan berpengaruh positif dan nyata
terhadap akses, dan akses berpengaruh positif terhadap penyerapan, namun pengaruh langsung dari ketersediaan terhadap penyerapan pangan negatif dan tidak nyata yang berarti ketersediaan pangan tidak diikuti oleh penyerapan yang baik, hal ini masih menunjukkan terjadinya rawan pangan. Sementara model di Luar Jawa ketersediaan berpengaruh positif namun tidak nyata terhadap akses pangan dan pendapatan, yang berarti kabupaten di Luar Jawa pada umumnya belum mampu menopang kebutuhan pangan untuk wilayahnya.
Ketersediaan pangan yang cukup merupakan suatu
persyaratan yang perlu untuk jaminan pangan, tetapi tidak cukup untuk menggaransi jaminan pangan di tingkat rumah tangga dan individu, karena masih sangat tergantung pada faktor akses dan penyerapan pangan, seperti yang terjadi pada kabupaten Bondowoso, Probolinggo, Jember, OKI, Musi Banyu Asin, Tulang Bawang, Donggala , Sambas dan Landak 3.
Hubungan antara skor SEDIA terhadap katagori kerawanan-ketahanan pangan oleh DKP menunjukkan kecenderungan pola yang homogen atau tidak berpengaruh dalam pengkatagorian tersebut untuk ketiga model nasional, Jawa dan Luar Jawa.
Sementara hubungan skor AKSES dan
SERAP terhadap katagori untuk model nasional dan kabupaten di Jawa dan di Luar Jawa menujukkan semakin mudah dalam mengakses dan menyerap
pangan maka katagori rawan pangannya makin rendah atau semakin tahan pangan, kecuali untuk model di Luar Jawa pada skor AKSES tidak berpengaruh. 4.
Indikator yang memenuhi validitas dan kehandalan dalam mengukur faktor laten antara lain indikator produksi beras untuk faktor laten SEDIA pada model nasional dan Jawa, % penduduk miskin, % rumah tangga tanpa listrik, % desa tanpa akses jalan, pengeluaran riil perkapita untuk faktor laten AKSES, % rumah tangga tanpa air bersih untuk faktor laten SERAP pada model nasional dan Luar Jawa, produksi ubi kayu untuk faktor laten SEDIA, % kepala rumah tangga tidak tamat SD untuk faktor laten AKSES, dan semua indikator untuk faktor laten SERAP pada model di Jawa. Disamping itu indikator pengeluaran riil per kapita terbukti cukup valid dan handal dalam mengukur faktor AKSES sehingga dapat ditambahkan dalam penyusunan peta kerawanan pangan.
Indikator- indikator inilah sangat
dominan dalam menerangkan faktor laten tersebut sehingga dapat digunakan untuk mengukur kerawanan pangan pada masing- masing wilayah. Hal ini sejalan dengan 10 indikator akhir yang digunakan dalam pembuatan peta kerawanan pangan Indonesia yang telah dipublikasi tahun 2005.
Saran
1
Model yang dihasilkan masih merupakan model yang sederhana dan hasil evaluasi model belum memuaskan secara keseluruhan, oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut untuk menghasilkan model yang lebih baik melalui beberapa modifikasi model serta perbandingan metode pendugaan yang digunakan dalam analisis.
2
Perlu adanya tambahan indikator pengeluaran riil per kapita dalam penyusunan peta kerawanan pangan karena terbukti valid dan handal dalam mengukur faktor laten AKSES, disamping indikator lainnya yang telah ada perlu diupayakan pengumpulan datanya secara lengkap sehingga dapat menggambarkan konsep kerawanan pangan.
DAFTAR PUSTAKA Aunuddin. 1989. Analisis Data. Pusat Antar Universitas Hayat. IPB, Bogor. Bachrudin A dan Tobing. 2003. Analisis Data Untuk Penelitia n Survei Dengan Menggunakan LISREL 8.30. Jurusan Statistika, FMIPA, UNPAD Bandung. BPS. 2004. PDRB Kabupaten Tahun 2003. BPS, Jakarta. BPS. 2003. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003; Buku 2: Kabupaten. BPS, Jakarta. Bollen KA. 1989. Structural Equation With Laten Variables. John Wiley & Sons, New York Dewan Ketahanan Pangan RI dan Program Pangan Dunia PBB. 2004. Kerawanan Pangan Indonesia. Departemen Pertanian, Jakarta.
Peta
Dewan Ketahanan Pangan. 2003. Neraca Bahan Makanan Indonesia 2001 – 2002. Jakarta Dewan Ketahanan Pangan. 2002. Pangan Nasional. Jakarta.
Kebijakan Umum Pemantapan Ketahanan
Hair JR et. al. 1995. Multivariate Data Analysis With Readings. Fourth Edition. New Jersey. Joreskog KG and D Sorbom. 1996. LISREL 8 : User’s Reference Guide. Scientific Software International, Inc, Chicago. Purnomo A. 2002. Model Persamaan Struktural Pembangunan Berkelanjutan Daerah. Tesis. Program Pascasarjana, IPB, Bogor. Raykov T and Marcoulides GA. 2000. A First Course in Structural Equation Modeling. Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Mahwah, New Jersey. Sharma S. 1996. Applied Mulrivariate Techniques. Jonn Wiley & Sons, New York. Sartono B. 2001. Bab Penentuan Peubah. http://www.geocities.com/bagusco4/ mybook.html [9 Mei 2005]. Werts CE, RL Linn, and KG Joreskog. 1974. Intraclass Reliability Estimates: Testing Structural Assumptionsm. Educational and Psychological Measurement, 34, 25 – 33.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Perubahan pada indikator kerawanan pangan kronis
No. 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Tahun 2004 Ketersediaan pangan Perbandingan konsumsi normative sereal terhadap ketersediaan lokal sereal Akses terhadap pangan dan pendapatan % penduduk miskin % penduduk tanpa akses terhadap listrik Panjang jalan per km per segi % Kepala keluarga yang bekerja < 15 jam/minggu % Kepala keluarga miskin yang tidak tamat sekolah dasar Pemanfaatan/penyerapan pangan % rumah tangga berjarak > 5 km dari puskesmas % populasi penduduk terhadap dokter yang disesuaiakn dengan kepadatan penduduk % anak yang tidak diimunisasi % rumah tangga tanpa akses ke air bersih umur harapan hidup % berat badan balita di bawah standard Angka kematian bayi (per 1000 kelahiran hidup) % perempuan buta huruf
No. 1
2 3 4
5 6 7 8 9 10
Tahun 2005 (Indikator Akhir) Ketersediaan pangan Perbandingan konsumsi normative sereal terhadap ketersediaan lokal sereal Akses terhadap pangan dan penghidupan % penduduk miskin % penduduk tanpa akses terhadap listrik % Desa tanpa akses jalan yang memadai
Kesehatan dan Gizi % rumah tangga berjarak > 5 km dari puskesmas % rumah tangga tanpa akses ke air bersih umur harapan hidup % berat badan balita di bawah standard Angka kematian bayi (per 1000 kelahiran hidup) % perempuan buta huruf
Sumber : Manual Pelengkap Food Insecurity Atlas, DKP. 2005.
Lampiran 2 Korelasi indikator kerawanan pangan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Indikator Beras Jagung Ubikayu Ubijalar Miskin kr15jam <SD Tlisrtk Tdkjaln PDRB Pnluaran Hrphdp Airbrsh Faskes
1 1 0,313** 0,197** -0,007 -0,204** -0,019 -0,083 0,321** -0,324** -0,065 0,051 -0,075 -0,131* -0,221** -0,153* 0,065 0,059
2
3
4
1 0,397** -0,005 0,111 0,123* 0,045 -0.228* -0,235** -0,163** -0,033 -0,001 -0,297** -0,107 -0,017 -0,01 -0,292**
1 0,002 0,026 -0,005 0,009 -0,011 -0,132* -0,103 0,012 0,045 -0,133* -0,023 -0,072 -0,053 0,095
1 0,185** 0,003 0,265** 0,209** 0,356** -0,044 -0,352** -0,055 0,061 0,027 -0,066 0,05 0,328**
Keterangan : ** Signifikan pada taraf nyata 1 % * Signifikan pada taraf nyata 5 %
5
6
7
8
1 0,209** 1 0,121* 0,229** 0,445** 0,048 0,402** 0,02 -0,151* -0,167** -0,374** 0,097 -0,227** -0,054 0,150* -0,138* 0,234** 0,071 0,268** 0,1 0,214** 0,042 0,284** 0,330**
1 0,321** 0,295** -0,045 0,04 -0,372** 0,167** 0,098 0,231** 0,376** 0,538**
1 0,597** -0,061 -0,109 -0,250** 0,399** 0,404** 0,289** 0,249** 0,009
9
10
1 0,072 1 -0,019 0,029 -0,07 0,001 0,428** 0,069 0,247** 0,003 0,118 -0,064 0,053 -0,049 0,088-0,174**
11
12
1 -0,019 1 -0,036 -0,213** -0,043 -0,208** 0,049 -0,241** 0,02 -0,919** -0,119 -0,054
13
14
15
16
1 0,310** 1 0,141* 0,219** 1 0,228** 0,219** 0,228** 1 -0,099 -0,091 0,065 0,089
Lampiran 3 Analisis deskriptif indikator kerawanan pangan Kabupaten di Jawa dan Luar Jawa Indikator
Rata-Rata Standar Deviasi Jawa Luar Jawa Jawa Luar Jawa Beras (Ton) 213.916 77.630 118.696 80.426 Jagung (Ton) 48.758 13.316 54.207 29.837 Ubi kayu (Ton) 145.364 46.804 284.097 185.513 Ubi jalar (Ton) 8.567 7.557 13.609 32.916 Beras/kapita (kg) 185,83 192,00 87,52 169,30 Jagung/kapita (kg) 48,99 32,30 52,86 64,88 Ubi kayu/kapita (kg) 123,30 88,10 189,70 224,40 Ubi jalar/kapita (kg) 6,89 28,50 9,29 120,44 %miskin 20,890 21,910 6,470 10,410 <15jam 6,490 6,310 2,710 3,750 <SD 51,170 53,710 8,820 10,230 Tdlistrk 4,099 34,080 5,070 21,200 Tdjalan 1,770 14,190 2,650 17,580 PDRB 4.427 8.123 3.310 12.250 Pnluaran 594.310 578.390 9.379 16.387 Airbrsh 42,810 52,990 11,820 15,220 Faskes 24,580 35,060 10,230 15,160
0.05 terima Ho ( data menyebar normal)
P-Value *) Jawa Luar Jawa 0,001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0.308* 0,000 0.157* 0,000 0.065* 0.357* 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0.162* 0,019 0.477* 0,004 0.061* 0,008 0.144* 0,000 0.073* 0,012
Lampiran 4 Diagram kotak garis indikator kerawanan pangan
(a)
(b)
(c)
Gambar (a) % desa tanpa akses jalan (b) %rumah tangga tanpa air bersih (c)% rumah tangga tinggal > 15 km dari fasilitas kesehatan
(d)
(e)
(f)
Gambar (d) % rumah tangga tanpa akses listrik (e) % kepala rumah tangga tidak tamat SD (f) pengeluaran riil per kapita
(g) Gambar (g) umur harapan hidup
(h) (h) % balita kurang gizi
(i) (i) % perempuan buta huruf
Lampiran 5 Model persamaan Struktural kerawanan pangan dengan modifikasi indikator produksi per kapita untuk faktor laten SEDIA 1. Model persamaan struktural kerawanan pangan nasional miskin
0.68
tdkSD
0.85
tlistrk
0.25
-0.57 -0.39 Beras
0.93
-0.86
AKSES
-0.33 1.15
0.27
-0.69
tdkjln
Ubikayu
0.52
0.62
SEDIA
1.00 -0.10
Pnluaran
0.61
0.99 -0.41 1.64 2.16 hrphdp
Ubijalar
0.84
0.84 0.39
Airbrsh
0.72
Faskes
0.73
krgizi
0.79
-0.52
SERAP
1.82
-0.52 -0.46
Chi-Square=280.20, df=51, P-value=0.00000, RMSEA=0.130
GFI = 0.85
AGFI= 0.77
RMR= 0.085
2. Model persamaan structural kerawana n pangan kabupaten di Jawa
-0.50
miskin
0.75
kr15jam
0.84
tdkSD
0.38
-0.39 -0.78
tlistrk
0.74
tdkjln
0.88
-0.50 Jagung
AKSES
1.57
1.35
-0.34 0.47
6.01
4.90
Pnluaran
SEDIA
-0.02
0.78
-1.31 1.00
Beras
0.55 hrphdp
0.70
Faskes
0.72
krgizi
0.79
Wntbthrf
0.59
0.54
1.05
-0.53
SERAP
-0.58
-0.46 -0.64
Chi-Square=280.20, df=51, P-value=0.00000, RMSEA=0.130
GFI= 0.72
AGFI= 0.57
RMR=0.13
3. Model persamaan struktural kerawanan pangan kabupaten di Luar Jawa miskin
0.52
PDRB
0.96
tdkSD
0.88
tlistrk
0.27
-0.69 Beras
0.91
0.19 -0.35
AKSES
-1.03
0.31
-0.85
1.42 1.00
-0.62
SEDIA
-0.15 Ubikayu
0.51
0.98
tdkjln
0.62
Pnluaran
0.74
-0.36 0.24 Ubijalar
0.87
0.73
0.92
SERAP
Chi-Square=243.47, df=62, P-value=0.00000, RMSEA=0.127
GFI = 0.83
A GFI = 0.75
RMR= 0.093
hrphdp
0.85
0.38 -0.47 -0.37
Airbrsh
0.78
-0.35
Faskes
0.86
krgizi
0.88
Lampiran 6 Model persamaan struktural kerawanan pangan dengan Modifikasi indikator persentase kepala rumah tangga tidak tamat SD untuk faktor laten AKSES dan SERAP 1. Model persamaan struktural kerawanan pangan nasional miskin
0.74
<SD
0.80
tlistrk
0.16
-0.51 -0.09 Beras
0.32 -0.91
AKSES
0.62
-0.65
0.58
0.67
0.82 Jagung
tdkjln
0.62
0.85
Pnluaran
-0.51
0.55
0.39
SEDIA
1.00
1.00 0.21 -0.30 Ubikayu
hrphdp
0.81
Airbrsh
0.73
0.44
0.96
-0.52
SERAP
0.28
-0.52 Faskes
0.73
0.82
-0.42
Chi-Square=226.94, df=50, P-value=0.00000, RMSEA=0.116
GFI = 0.87
AGFI=0.80
RMR= 0.083
2. Model persamaan struktural kerawanan pangan kabupaten di Jawa miskin
0.76
<15jam
0.87
-0.47 -0.34
AKSES
1.06
-2.42
<SD
-0.78
-0.60 Beras
3.92
-0.56
0.19
tlistrk
0.61
tdkjln
0.67
0.60 -4.46
SEDIA
-0.13
1.08
-2.71 Pnluaran
0.61
hrphdp
0.57
Faskes
0.70
-0.29 0.02 Ubikayu
1.01
SERAP
0.22
0.56 -0.45 -0.44 -0.47
Wntbthrf
0.71
0.67
Chi-Square=193.94, df=50, P-value=0.00000, RMSEA=0.189
GFI = 0.70
AGFI = 0.53
RMR=0.14
3. Model persamaan struktural kerawanan pangan kabupaten di Luar Jawa miskin
0.52
PDRB
0.95
<SD
0.90
-0.69 0.21 -0.31
AKSES
1.00
-0.85
tlistrk
0.27
tdkjln
0.66
Pnluaran
0.65
-0.58 Beras
0.59
0.87 0.02 0.37
0.00 1.00
0.75
SEDIA
0.89 Jagung
0.20 0.50
0.34 hrphdp
0.88
Airbrsh
0.71
Faskes
0.79
0.34 Ubikayu
0.75
0.32
SERAP
-0.53 -0.45 -0.27
Chi-Square=170.09, df=61, P-value=0.00000, RMSEA=0.099
GFI = 0.87
AGFI = 0.81
RMR =0.090
0.93