Memanfaatkan Bahan Pangan Liar untuk Atasi Kerawanan Pangan UNAIR NEWS – Pada bulan Juni tahun 2016 lalu, The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index atau GFSI). Dalam indeks tersebut diperlihatkan posisi negara-negara di dunia berdasarkan kebijakan pangan yang diterapkan di 113 negara di dunia. Indonesia menduduki peringkat ke-71, setelah menempati posisi ke-76 pada tahun 2014 dan 2015.
sebelumnya
Ada tiga aspek utama yang digunakan dalam penilaian GFSI yaitu keterjangkauan, ketersediaan, serta kualitas dan keamanan. Pada poin keterjangkauan, Indonesia mendapat naik dari 46,8 ke 50,3. Pada poin ketersediaan meningkat dari 51,2 ke 54,1. Sementara pada aspek kualitas dan keamanan naik dari 41,9 ke 42. Nilai indeks yang meningkat itu membuat kebijakan pangan Indonesia masuk dalam “biggest changes” menurut EIU. Meski berbagai kebijakan pangan telah diterapkan pemerintah, tak berarti Indonesia lepas dari prediksi rawan pangan. Tahun 2015 lalu, sebanyak 15 persen dari 398 kabupaten di Indonesia dinilai rentan akan kerawanan pangan menurut World Food Programme. Ahli gizi pangan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Dr. Ir. Annis Catur Adi, M.Si., berpendapat bahwa masalah ketahanan pangan bisa diatasi. Salah satunya, adalah dengan memanfaatkan bahan pangan berupa tanaman liar dan hewan. “Menurut FAO (Food Agricultural Organization), pangan liar merupakan sumber vitamin, mineral dan zat gizi lain yang penting, yang dapat melengkapi makanan pokok kelompok rawan gizi, seperti anak-anak dan orang tua,” tutur Annis.
Bukan tanpa alasan pernyataan Organisasi Pangan Dunia diamini oleh Annis. Sebab, bahan pangan liar bisa dengan mudah ditemukan di lingkungan sekitar. Pernyataan Annis itu didasarkan pada hasil riset yang ia lakukan bersama timnya pada tahun 2014. Annis mengambil data tersebut di wilayah Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Di Kecamatan Blega, Bangkalan, Annis setidaknya menemukan 37 jenis bahan pangan dari tanaman liar. Rinciannya adalah 16 spesies pada kelompok sayur-sayuran, 14 pada kelompok buahbuahan, dan 7 pada kelompok umbi-umbian. Pada kelompok sayur-sayuran, di antaranya ada sayuran kecipir, blunthas, daun katuk, bayam alas, bletah, blincong, dan sembukan. Pada kelompok buah-buahan, di antaranya ada rambusa, mundu, kelapa, sirsak, bengkuang, dan sanek. Sedangkan, pada kelompok umbi-umbian, di antaranya ada gadung, sobeg, talas, obih, jarud, kaburan, dan larbe. Keuntungannya,
masyarakat
tak
perlu
khawatir
dengan
ketersediaan bahan pangan dari tanaman liar ini. Memang, tak semua jenis tanaman liar selalu tersedia sepanjang tahun. Ada beberapa spesies tanaman yang selalu tumbuh sepanjang tahun, ada yang hanya tergantung musim kemarau dan hujan. Namun, masa tumbuhnya tanaman liar tersebut saling melengkapi. Sehingga, masyarakat bisa terus mencukupi kebutuhan dapurnya selama waktu. Contohnya, pada kelompok sayur-sayuran. Tanaman bayam alas, kondur, sembukan, dan rakarah, tidak tumbuh pada musim kemarau. Tetapi, ada tumbuhan kecipir, klandingan, blunthas, daun katuk, dan merongkih yang tumbuh sepanjang tahun. Berbeda lagi dengan kelompok buah-buahan. Buah kenitu, mengkudu, sirsak, bengkuang, tidak akan bisa diharapkan tumbuh pada musim hujan. Namun, masyarakat masih bisa mengkonsumsi buah srikaya, kedundung, rambusa, dan pisang pada musim hujan.
“Kami membuat kalender musiman tanaman pangan liar. Harapannya, masyarakat bisa memiliki alternatif dan memanfaatkan tanaman pangan liar sehingga tidak khawatir kehabisan karena selama ini, mereka hanya bergantung pada bahan-bahan makanan yang dijual,” tutur Annis. “Kami ingin mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa ada banyak bahan pangan yang ada di sekitar kita yang bisa dimanfaatkan tanpa harus membeli,” tutur penulis penelitian berjudul “Underutilized Food Plants in Food Insecure Area of Bangkalan District and the Potential Role of Local Religious Leader for Promoting the Consumption” itu. Potensi Bahan pangan dari tanaman liar ini memiliki kandungan gizi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Buktinya, daun, tunas, buah, umbi dari ketiga kelompok sayur-sayuran itu mengandung zat gizi atau bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Pada jenis umbi-umbian liar, masyarakat bisa memanfaatkannya sebagai makanan pelengkap pokok yang menyumbang zat-zat makro, terutama potensi sumber energi dan karbohidrat yang cukup besar setelah beras. Annis mengakui, kandungan gizi pangan liar belum banyak yang terdokumentasikan. Oleh karena itu, melalui penelitian yang ia lakukan selama dua tahun ini, ia melakukan eksplorasi informasi dengan melibatkan terkait, dan kelompok tani.
masyarakat
setempat,
dinas
Setelah dokumentasi kandungan gizi terkumpul, pihaknya memilah mana pangan liar yang ‘layak’ untuk lebih diangkat dan dikenalkan kepada masyarakat. Sebelum itu, ia juga membuat olahan-olahan dari tanaman liar sesuai selera masyarakat. Misalnya, membuat mi berbumbu dan kue kering berbahan daun kelor. Tujuannya, tak lain untuk membuat masyarakat tertarik memanfaatkan bahan pangan liar di kehidupan sehari-hari. Pada tahun 2015, Annis dan mahasiswanya melakukan survei ke
beberapa sekolah dasar untuk menguji makanan yang telah ia olah. Hasilnya, anak-anak sekolah dasar menyukai rasa dari makanan yang mereka buat seperti mi remas dan makanan ringan dari daun kelor. “Kami pilih mana yang lebih potensial dari unsur gizinya, bioaktifnya dan kemudahan pengolahan, dan mana yang berpotensi untuk dibudidayakan secara massal. Dari umbi, contohnya suweg dan kentang hitam. Dari daun-daunan ada kelor. Perbedaan umbi kentang hitam dan suweg dengan pangan berbeda antara kentang hitam dan kentang biasa, namun dari sisi bioaktif kentang hitam lebih tinggi,” imbuh Annis. Saat ini, Annis dan timnya berupaya merealisasikan impiannya untuk menjadikan bahan pangan liar sebagai bahan pangan utama, khususnya di daerah rawan pangan. Demi mematangkan tujuan tersebut, ia sedang menyiapkan bukti-bukti ilmiah untuk didiseminasikan kepada pemerintah setempat. Manfaatnya, untuk mempercepat perbaikan gizi di daerah rawan pangan, termasuk wilayah Madura. (*) Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Rio F. Rachman
Tetap Rendah Hati Meski Menuai Berbagai Prestasi UNAIR NEWS – Dr. R. Herlambang Perdana Wiratman, S.H.,M.A, merupakan salah satu dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Airlangga yang memulai karirnya sejak 2003. Sebelumnya, laki-laki berkacamata yang akrab disapa Herlambang ini pernah menjadi asisten dosen di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UNAIR pada tahun 2001 hingga 2002. Ia mengajar mata kuliah seperti Hukum Perdata, Hukum Dagang, dan Hukum Bisnis. “Sebelum saya mengajar di FH, saya sempat mengajar di FEB UNAIR pada tahun 2001 dan 2002. Waktu itu saya mengajar hukum perdata, hukum dagang, dan hukum bisnis. Namun, sepertinya saya kurang cocok,” ujar Herlambang yang pernah bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya selama sepuluh tahun. Herlambang menyelesaikan pendidikan sarjananya di FH UNAIR tahun 1998. Pada tahun 2006, Herlambang menuntaskan pendidikan magister Human Rights and Social Development di Universitas Mahidol, Thailand. Sedangkan pendidikan doktor ia tuntaskan di Universitas Leiden, Belanda pada tahun 2014. Ia bercita-cita menjadi dosen sejak ia duduk di bangku sekolah menengah atas. Sang guru dan kakek menjadi inspiratornya pada saat itu. “Dulu ada guru PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) yang sering menceritakan kisah-kisah kemanusiaan, pluralisme, toleransi, dan lainnya. Nah, itu yang menurut saya menarik dan menginspirasi, setidaknya para diri saya untuk menjadi guru atau dosen yang bahkan tidak terpikir saat itu. Kemudian dulu kakek saya juga merelakan rumahnya di Wuluhan, Jember untuk kegiatan pendidikan seperti menjahit, cara bertani yang baik dan sebagainya,” tutur Herlambang. Berbagai penelitian pernah dilakukan Herlambang. Tercatat, tidak kurang dari 74 penelitian telah dipublikasikan dalam bentuk karya ilmiah, jurnal maupun buku. Beberapa publikasi terbarunya antara lain “Mempertimbangkan Kembali Orientasi Gerakan Bantuan Hukum di Indonesia” yang diterbitkan dalam jurnal Veritas et Justitia, Vol. 2, No. 2 (2016), milik FH Universitas Parahyangan. Ada pula tulisannya berjudul “Legal Pluralism in The Context of Social Movement”, edisi terjemahan dari naskah Simarmata tahun 2013 dalam buku berjudul “Pluralisme Hukum: Sebuah
Pendekatan Interdisiplin”, tahun 2016. Di luar profesinya sebagai dosen, Herlambang aktif dalam berbagai asosiasi akademik di antaranya Southeast Asian Human Rights Studies Network (SEAHRN) sebagai anggota sekaligus pendiri. Herlambang juga menjadi ketua pada beberapa asosiasi seperti Serikat Pengajar HAM Indonesia (SEPAHAM), Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) tahun 2013-2014, dan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (HRLS) FH UNAIR. Selama karirnya, Herlambang pernah mendapat hibah penelitian dari Australian-Netherlands Research Collaboration, Belanda, pada tahun 2012. Ia juga mendapat hibah penelitian dari SHAPE Research tahun 2015-2017, dan masih banyak lagi prestasi Herlambang. Herlambang dikenal sebagai pribadi yang sederhana meski telah menorehkan berbagai prestasi. Selain itu, tidak jarang dirinya membela kaum yang tertindas meskipun ia tidak pernah memberi label aktivis untuk dirinya sendiri. Penulis: Pradita Desyanti Editor: Defrina Sukma S
Doktor Ari Prasetyo, Dosen FEB yang Gigih Promosikan Kajian Sumber Daya Insani UNAIR NEWS – Dr. Ari Prasetyo SE., MSi. adalah salah satu akademisi yang “lahir” dari Departemeni Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNAIR. Namun saat ini, alumnus SMAN 9 Surabaya ini dipercaya menjadi Wakil Dekan III Fakultas
Vokasi. Selain akrab dengan bidang ekonomi dan manajemen, lelaki yang berdomisili di kawasan Wonokromo, Surabaya, ini juga mendalami kajian Islam. Kepakarannya adalah di bidang manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) dan Kepemimpinan Islam. Secara spesifik, Ari menyebut ini sebagai ranah Sumber Daya (SD) Insani. Dijelaskan pria yang aktif di CIEBERD (Center for Islamic Economics and Business Resource Development) UNAIR tersebut, secara umum prospek ekonomi Islam cukup gemilang. Terebih, dalam perkembangannya, bidang ini melahirkan sub-sub yang sangat beragam. Contohnya, keuangan syariah, kewirausahaan, SD Insani, dan lain sebangsanya. Tiap sub tadi, membangun wawasan keilmuan yang sinergis dan saling melengkapi sebagai kesatuan cabang ilmu ekonomi yang komprehensif. Saat ditanya soal kepemimpinan Islam yang selama ini dia eksplorasi dan sampaikan pada para mahasiswa sebagai bahan perkuliahan, Ari berdalih, cakupan sektor ini amat luas. Tidak terpaku pada satu agama saja. Benar, yang dijadikan teladan utama adalah Nabi Muhammad sebagai sosok pemimpin paripurna dalam Islam. Namun, gaya kepemimpinan tokoh-tokoh lain, baik yang beragama Islam maupun non-Islam, juga dikaji dengan mendalam. Hitler, Mussolini, hingga Saddam Hussein, tak luput dari pembahasan. Semua itu kemudian dikomparasikan dengan kriteria pemimpin ideal. Model kepemimpinan Nabi Muhammad juga dijelaskannya dengan detail dan tidak satu aspek semata. Misalnya, diketahui dari sejarah, kata Ari, Nabi Muhammad adalah sosok yang demokratis sekaligus otoriter. Maksudnya, di sejumlah kondisi, bersikap demokratis, dan dalam kondisi lain, otoriter. Yang harus diperhatikan adalah bagaimana pemimpin seharusnya bersikap dalam kondisi-kondisi tertentu. “Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari sosok Nabi Muhammad,” ungkap dia.
Kepemimpinan Islam tidak hanya membahas tentang leadership di level negara. Namun juga, di ranah perusahaan, lembaga, bahkan di tingkat rumah tangga. Artinya, topik tesebut menyentuh semua elemen kehidupan sehari-hari. Selain mengajar di sejumlah subjek mata kuliah, Ari Prasetyo juga aktif berorganisasi. Dia kerap melakukan penelitian dan publikasi ilmiah. Termasuk, melaksanakan pengabdian masyarakat. Semua dilakukan demi mengimplementasikan semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sejumlah publikasi yang pernah ditulisnya antara lain, berjudul Sikap Mahasiswa Atas Penayangan Iklan Produk Melalui Internet (ECommerce)dan Pengaruhnya Terhadap Keputusan Pembelian Produk serta Pengelolaan Keuangan Negara dalam Konsep Epistimologi Islam (Islamic Finance National Seminar). Ari pun sering memberi pelatihan pada kalangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Mengingat, sektor riil tersebut memiliki peran sentral dalam pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. Penulis: Rio F. Rachman Editor: Defrina Sukma Satiti
Menggali Wacana Adat Samin
Masyarakat
UNAIR NEWS – Mengajak mahasiswa untukbelajar di lapangan memang akan memberikan nilai lebih. Selain mengetahui kondisi yang sesungguhnya, teori yang diajarkan di ruang kelas pun dapat secara langsung dipahami. Hal itulah yang dilakukan oleh Dr. Sri Wiryanti Budi Utami, M.Si. Dosen Departemen Sastra Indonesia UNAIR tersebut mengajak mahasiswanya Praktik Kuliah Lapangan (PKL) ke masyarakat adat Samin.
Bertempat di masyarakat adat Samin yang ada di Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Bojonegoro, dosen yang mengampu mata kuliah Analisis Wacana tersebut mengajak mahasiswanya untuk menggali wacana lokal yang ada di masyarakat Samin Bojonegoro pada hari Sabtu,(3/12)hingga Minggu, (4/12). “Di dusun ini, sudah banyak tamu asing yang datang ke sini, mulai Belanda, Jepang, dari Afrika juga. Makanya, kalian orang Indonesia harus menggali lebih dalam wacana Samin yang ada di sini,” terang Wiryanti saat memberikan sambutan pembukaan. “Ini kita langsung datang ke sumber sejarah yang masih hidup, jadi maksimalkan kesempatan di sini,” tegasnya. Diterima di kediaman Harjo Kardi selaku keturunan ke empat dari Samin Surosentiko (pendiri ajaran Samin), sebanyak 120 mahasiswa langsung disuguhkan film mengenai masyarakat Samin. Selain itu, Harjo Kardi yang akrab disapa mbah Harjo tersebut memberikan sedikit wawasan pembuka mengenai pola perilaku masyarakat Samin. “Ini memang sudah menjadi kewajiban saya. Sudah banyak yang datang ke mari tanya-tanya mengenai Samin. Yang perlu diketahui bahwa Samin itu bukan tradisi, bukan agama, tapi perilaku,” paparnya. “Jika nanti dalam film yang diputar masih ada yang belum dipahami silakan tanya,” imbuhnya. Tercatat
masyarakat
Samin
tersebar
di
berbagai
daerah
perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan JawaTimur, yakni meliputi wilayah Kabupaten Blora, Ngawi, Bojonegoro, bahkan hingga Kabupaten Pati. Mbah Harjo dalam paparannya menjelaskan bahwa sejatinya Samin itu merupakan pola hidup yang diterapkan leluhurnya saat penjajahan Belanda. Namun, saat Indonesia sudah merdeka, nilai-nilai yang ada masih diteruskan hingga saat ini. “Samin itu berarti sama-sama. Dulu para leluhur percaya bahwa kita sama-sama Jawa, sama-sama dijajah, ya harus sama-sama melawan dengan cara yang tidak menyakiti,” jelasnya.
Dalam pelaksanaan kuliah lapangan tersebut, mahasiswa juga ditugaskan untuk menggali beragam wacana yang ada di masyarakat Samin, mulai wacana politik, sikap berbahasa, demografi, hingga interaksi sosial. Wiryanti juga memberikan tantangan kepada mahasiswa untuk membuat kolosal tentang masyarakat Samin. “Jika ada mahasiswa sastra yang mau mengkolosalkan, akan kami dukung. Jadi biar tahufalsafah dan tuturannya untuk apa saja. Semoga kuliah lapangan ini bisa menjadi bekal dan wawasan kalian ke depan sebagai mahasiswa sastra yang belajar bahasa dan budaya,” terangnya.(*) Penulis: Nuri Hermawan Editor: Dilan Salsabila
Perlu Diwaspadai, Bakteri Baru di Air Penyebab Radang UNAIR NEWS – Berkat kegigihannya meneliti bakteri yang ada di air di Surabaya, Dr. Eduardus Bimo Aksono, Drh., M.Kes mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan papernya pada Indonesia Research and Innovation Expo (IRIEX) 2016. Paper tersebut masuk tiga besar bidang life sciences. IRIEX adalah salah satu kegiatan yang digagas Lembaga Pengembangan Produk Akademik dan Hak Kekayaan Intelektual (LPPA-HKI) dalam rangka peringatan Dies Natalis Universitas Airlangga ke-62. Ada tiga bidang penelitian yang diusung IRIEX, meliputi life sciences, social sciences, dan health sciences. Untuk bisa masuk tiga besar ini, Bimo menyisihkan setidaknya 20 paper terpilih. Bimo mempresentasikan papernya yang berjudul “Genetic Deversity dari Legionella sp Isolat Lokal Pada Sampel
Beresiko sebagai Upaya Tanggap dan Pengendalian Adanya New Emerging Disease di Surabaya”. Penyakit Legionellosis adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh bakteri Legionella pneumophilia dan spesies lainnya dari Legionella. Bakteri ini bisa menyebabkan serangkaian penyakit, mulai dari batuk ringan, demam, hingga Pneumonia. Pada mulanya, ada turis asing asal Australia yang berkunjung ke Bali. Namun setelah kepulangannya ke negara asal, ia mendadak sakit dan meninggal. Dari hasil pemeriksaan, ada indikasi bahwa yang bersangkutan terinfeksi bakteri Legionella. Dicurigai, infeksi bakteri tersebut berasal dari Bali. Bermula dari latar belakang tersebut, Bimo dan tim mulai melakukan penelitian ke beberapa lokasi, terutama daerahdaerah yang dicurigai menjadi sumber infeksi. Misalnya, pekerja yang menangani tandon air, orang-orang yang bekerja di bandara, orang-orang yang bekerja di daerah kolam renang. Mereka diambil sampel darahnya. “Namun, perkembangan selanjutnya saya lebih tertarik pada mencari sumber infeksi di air, bukan infeksi pada manusia. Karena saya sampaikan, bahwa bakteri ini paling suka di air, baik hangat maupun dingin,” ujar Bimo. “Saya mencoba mengidentifikasi sampel-sampel itu di wilayah Surabaya. Sampel yang saya gunakan adalah air tandon, air asin, air sumur, air kran, dan air kolam renang,” tambahnya. Penelitiannya itu bertujuan untuk mendapatkan sumber infeksi bakteri Legionella di air. Bimo juga memastikan jenis bakteri Legionella yang terdapat di air itu. Sebab, ada sekitar 30 jenis bakteri Legionella, salah satunya Legionella pneumophila yang merupakan jenis Legionella yang infeksius. “Legionella pneumophila tipe 1 sempat menjadi wabah di
Amerika. Saya mau mencari apakah betul Legionella pneumophila tipe 1 ada pada lingkungan di Indonesia, khususnya di Surabaya? Ternyata dari hasil penelitian saya, air di Surabaya positif ada Legionella pneumophila,” ujarnya. Dari 36 sampel yang ia teliti, ada 12 yang positif. 12 yang positif itu meliputi empat di air sumur, dan delapan di air kran. Dari yang positif ini, ternyata bukan termasuk Legionella pneumophila tipe 1 yang berbahaya, tetapi Legionella pneumophila tipe 8, 9, dan 12. “Artinya, Legionella pneumophila di Surabaya bukan tipe yang infeksius,” ujarnya. Penelitian yang Bimo lakukan berlangsung selama dua tahun, terhitung sejak Januari silam. Melalui penelitiannya ini ia berharap, bisa mengembangkan kit diagnostik untuk mendeteksi Legionella, terutama Legionella yang ada di air. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor
: Dilan Salsabila
Optimalisasi Teknologi Kedokteran Gigi, Harga Impor Rp 15 Juta, Versi UNAIR Rp 3 Juta UNAIR NEWS – Universitas Airlangga selalu melakukan optimalisasi teknologi tepat guna. Semua bidang pada tiap disiplin ilmu menggenjot program-program aplikatif. Salah satunya, yang dilakukan oleh tim yang diketuai oleh Dr. Ernie Maduratna, drg., M.Kes., Sp. Perio (K). Para akademisi lintas fakultas itu membuat formula (alat maupun obat) untuk
pencegahan dan terapi kesehatan gigi. Khususnya, terkait penyakit yang disebabkan oleh radang gusi. Produknya antara lain, sikat gigi dan obat kumur yang bisa menguatkan sel gusi. Sekaligus, membunuh bakteri dan racun penyebab radang. Selain itu, ada pula antibiotic berupa gel dan obat sebagai solusi gigi keropos. Namun, yang tak kalah mentereng, tim tersebut juga membuat ramuan herbal dan alat laser khusus untuk penyembuhan gigi keropos yang disebabkan oleh radang gusi. Perempuan yang biasa disapa Ernie itu mengungkapkan, laser yang dikreasikan oleh timnya, memiliki kualitas yang tak kalah bagus dengan versi impor. Dia siap membuktikannya. Harganya pun relatif terjangkau. “Di klinik-klinik atau rumah sakit biasanya pakai versi impor yang harganya mencapai Rp 15 juta. Punya kami, hanya di kisaran Rp 3 juta,” papar dosen yang menyelesaikan S1, S2, dan S3 di UNAIR tersebut. Sementara itu, untuk obat herbal yang digunakan, dibuat dari bahan klorofil ekstrak Moringa atau daun kelor. Secara umum, cara pengobatan yang dimaksud adalah dengan melumuri herbal tersebut ke daerah yang akan diobati. Setelah itu, laser diarahkan pada titik tersebut. Tentu saja, mekanisme ini hanya bisa dilakukan oleh dokter gigi. Untuk tiga milliliter, yang versi impor mencapai Rp 400 ribu, buatan UNAIR hanya sekitar Rp 10 ribu. (*) Penulis: Rio F. Rachman Editor : Dilan Salsabila
Prof. H.J. Glinka, Sang Filantropi Ilmu Antropologi UNAIR ASRAMA Biara Soverdi di Jl. Polisi Istimewa Kota Surabaya, suatu sore. Seorang laki-laki berkebangsaan Polandia duduk di kursi putar sambil menatap layar komputernya. Disampingnya tergeletak sebungkos rokok filter kesukaannya. Ia ambil sebatang demi sebatang, lalu dinyalakan dan dihisapnya, habis. Prof. Dr. Habil Josef Glinka, SVD sangat menikmati sekali suasana sore hari itu. Pria kelahiran Chorzow, Polandia, 7 Juni 1932 yang akrab disapa Pater Glinka itu, bersemangat sekali ketika mengisahkan pergulatannya dalam mengembangkan ilmu antropologi ragawi di Indonesia, khususnya di Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Kepada UNAIRNEWS yang menemani di sore itu, Romo Glinka agak keberatan disebut “Bapak Antropologi”, walau saat ini tokoh senior Antropolog yang ada adalah dia. ”Bukan saya. Yang tepat sahabat saya, Lie Gwan Liong. Dia yang merintis jurusan Antropologi di FISIP UNAIR. Karena Gwan Liong juga akhirnya saya sampai di sini,” katanya. Lie Gwan Liong yang dimaksudkan adalah yang kemudian lebih kita kenal dengan Adi Sukadana. Sepeninggal Prof. Dr. Teuku Jacob (UGM, yang wafat tahun 2007 dalam usia 77 tahun), kini di usia 84 tahun Prof. Glinka adalah Guru Besar Antropologi Ragawi paling senior di Indonesia. Hanya saja, Prof. Teuku Jacob sudah “melahirkan” Professor baru yaitu Prof. Etty Indriati, sedangkan Prof. Glinka dalam 27 tahun mengabdi sebagai Guru Besar Antropologi FISIP UNAIR belum menghasilkan professor, tetapi sudah melahirkan 13 orang Doktor bidang Ilmu Antropologi. ”Mudah-mudahan dalam waktu dekat, diantara 13 Doktor itu
segera ada yang menjadi Professor Antropologi di UNAIR,” ujar Prof. Glinka sangat berharap. 30 Tahun di Surabaya H.J. Glinka muda datang ke Indonesia pada 27 Agustus 1965. Ia datang karena informasi dari seorang diplomat Polandia di Jakarta bahwa ada seorang antropolog yang menikah dengan wanita Polandia saat studi di Moskow. Dialah Prof. Ave, ahli antropologi budaya. Lalu ia mereferensikan kepada Glinka untuk datang ke Universitas Indonesia menemui dr. Munandar di Bagian Anatomi. Munandar bukan ahli antropologi tetapi pernah melakukan penelitian di Kalimantan, dan ia merasa terkejut dengan kedatangan Glinka. Setelah berdialog, Munandar berkisah bahwa di Surabaya ada temannya, yaitu Lie Gwan Liong di Bagian Anatomi FK UNAIR. Gwan Liong mengundang Glinka ke Surabaya. Suatu hari di ruang Anatomi FK UNAIR tiba-tiba para staf ”kaget”: “Kok ada Londo baru” (karena sebelumnya pernah ada “Londo” yang lain yaitu Prof. Snell). Gwan Liong yang kemudian dikenal dengan nama Adi Sukadana, mengaku senang dengan kehadiran Glinka dan langsung mengajaknya makan siang di rumahnya. ”Adi merupakan keluarga Indonesia pertama yang saya datangi. Dia seorang dokter yang rajin belajar antropologi dari Prof. Snell (sebelum pulang dari Indonesia),” kenang Prof. Glinka. Kemudian Pastor lulusan Seminari Tinggi SVD di Pieniezno (Polandia) tahun 1957 ini pergi ke Flores untuk memenuhi Romo Yosef Diaz Viera yang merekrut banyak Pastor untuk ditugaskan di sana, sekaligus melanjutkan jejak pamannya untuk mengajar di Seminari Tinggi Ledalero, Flores (1966-1985). Selama di Flores, setiap tahun Glinka mengunjungi Adi Sukadana di Surabaya. Karena Glinka adalah Antropolog lulusan Universitas Mickiewicz, Poznan, Polandia, yang kebetulan disertasi doktoralnya mengenai Indonesia, maka dirayulah dia untuk bergabung dalam organisasi Anatomi Indonesia yang didalamnya
antara lain ada Adi Sukadana dan Teuku Yacob. Supaya lebih integral, lalu Adi mengajak untuk menggabungkan antara antropologi budaya yang ia kuasai dengan bioantropology yang dikuasai Glinka. Setelah cukup lama menunggu “proses”, peraih Profesor dari Uniwersytet Jagiellonski, Krakow tahun 1977 ini diajak bergabung di Bagian Anatomi UNAIR. Maka tahun 1984 Prof. Glinka datang ke UNAIR, dan ternyata SK pembentukan Departemen Antropologi UNAIR sudah turun, kemudian tahun 1985 Jurusan Antropologi FISIP UNAIR resmi dibuka. “Selanjutnya bulan Juli 1985 saya pindah ke Surabaya sampai saat ini. Jadi saya tinggal di Surabaya sudah 30 tahun lebih,” tuturnya seraya menunjukkan raut gembiranya karena 50 tahun kehadirannya di Indonesia baru saja dipestakan di Flores, walau ia tidak bisa datang kesana. Setelah menjalani peran rutin sebagai Guru Besar asing dan pengembangan ilmu antropologi di Indonesia, khususnya selama 27 tahun di UNAIR, tahun 2012 Prof. Glinka minta pensiun karena fisik yang sudah tidak kuat untuk naik-turun tangga. Kendati demikian, Prof. Glinka masih sering dimintai konsutasi, sharing keilmuan, penguji eksternal dalam ujian doktor, seminar, dsb.
Prof. H.J. Glinka bersama kader-kader dibimbingnya. (Foto: Istimewa)
Antropolog
yang
PERCAKAPAN dengan Prof. Glinka: Apa motivasi Anda sampai betah di UNAIR? Motivasi saya karena Adi yang minta, dan saya bisa membantu. Misi yang lain tidak ada. Pertimbangan utama saya adalah pengembangan antropologi. Karena itu tahun 1984 saya minta Adi menulis surat ke bos saya di Roma. Ternyata beliau menyetujui, maka Februari 1984 saya pindah ke Surabaya. Bagaimana proses awal dalam adaptasi mengajar di UNAIR? Akomodasi di UNAIR pada awalnya tidaklah enteng. Bayangkan, saya mengajar di seminari di lingkungan Katolik, siswanya laki-laki. Kemudian saya datang disini tetapi tidak tahu siapa mahasiswa yang Muslim, Kristen, Katolik, juga ada cewek dan laki-laki. Ritmenya beda dari yang di Flores. Lalu saya dengan Adi membagi kuliah. Tentu saja jatah mengajar saya banyak, sebab dosen yang lain muda-muda, belum lulus, dan kebanyakan bukan dari antropologi. Praktis kami berdua saja.
Tetapi bersyukur pelan-pelan Jurusan Antropologi berkembang. Bagaimana liku-liku dalam berjuang untuk Antropologi UNAIR? Dalam minggu-minggu awal kami mengajar 14 jam/minggu. Saya juga menulis hand out sendiri untuk mahasiswa. Onny Joeliana, Totok (Toetik Kusbardiati), Myta (Myrtati Dyah Artaria) antara lain mahasiswa angkatan pertama. Pada suatu waktu tahun 1990 ada tragedi; Adi Sukadana sakit ketika sedang di lapangan dalam penelitian di Banyuwangi. Sempat mendapat perawatan di RS tetapi dalam beberapa hari kemudian Adi meninggalkan kita untuk selamanya. Setelah itu situasi berubah total. Saya terpaksa mengambilalih semua mata kuliah yang diajarkan Adi, baik yang di FK, di FKG dan di FISIP. Jadi berat sekali. Akhirnya saya pergi ke Rektor, saat Rektor UNAIR Prof. Dr. Soedarso Djojonegoro. Kepada Rektor saya bertanya: ”Apakah Antropologi UNAIR akan mati bersama saya?” Dijawab “Oh tidak, Antro harus terus berkembang”. “Kalau begitu beri saya asisten”. Waktu itu Myta dan Onny sudah selesai skripsi. Saya maunya keduanya, tetapi dibilang jatahnya hanya satu, maka Myta yang masuk. Itu mungkin karena Jakarta melihat bahwa Antropologi masih merupakan jurusan baru. Setelah ada asisten maka beban saya sedikit lebih ringan. Siapa kira-kira kader Prof. Glinka untuk Antropologi UNAIR kedepan? Setelah 1,5 tahun kemudian, saya dapatkan Totok (Toetik Kusbardiati). Kemudian Myta sekolah ke Amerika, dan Totok bersama saya meneruskan mengajar. Setelah saya dorong terus, akhirnya Totok juga mau belajar. Ia memilih ke Hamburg, Jerman, dan lulus dengan predikat summa cumlaude. Peran Totok dalam pengembangan dan pengabdian di bidang antropologi juga bagus, terutama sepulang dari Jepang dan Kualalumpur serta membawa Sertifikat Internasional Antropologi Forensik.
Ketika di Indonesia ada musibah besar dimana-mana Totok sering diminta membantu bersama Tim DVI (Disaster Victim Investigation), karena yang ahli dibidang itu di Indonesia hanya dua; dua-duanya perempuan. Karena itu sepeninggal Prof. Teuku Yacob, maka pusat antropologi di Indonesia saya kira bukan lagi di Yogyakarta tetapi di Surabaya (UNAIR). Harapan Anda terhadap masa depan Jurusan Antropologi UNAIR? Sejak beberapa tahun lalu saya sudah bilang ke Dekan dan Rektor, yaitu peremajaan! Karena orang yang mau menggantikan saya ini perlu sepuluh tahun, perlu doktoral, spesialisasi, dsb. Itu yang saya rasa kurang. Saya berharap yang masih bertahan menekuni antropologi hendaknya tetap bertahan dan berkembang. Saya optimis Antropologi UNAIR akan segera melahirkan Professor baru, sekarang pun sudah kelihatan siapa kandidat-kandidatnya. Bagaimana rasanya bisa ikut antropologi di Indonesia?
mewarnai
pengembangan
ilmu
Makin lama makin puas, sebab melihat perkembangannya yang baik sekali, serta dikerjakan secara betul-betul. Cuma saya agak kecewa bahwa para kader antropologi kok juga disibukkan dengan hal-hal birokrasi manajemen, tentu saja waktu untuk penelitiannya menjadi tersita. Adakah kenangan secara khusus saat bersama di UNAIR? Tentu ada. Tahun 1998 saya mau diusir oleh ICMI karena dituduh mengkristenkan anak-anak Islam. Tetapi waktu mereka mendengar isu itu dan saya akan diusir, mahasiswa demonstrasi ke Rektorat membela saya. Onny dan Nanang Krisdinanto juga berjasa dengan menuliskan di Surabaya Post. Sampai pada saat hari libur, Prof. Soedarso (Rektor) datang ke saya untuk memastikan status saya tidak ada pengusiran. Anehnya, ketika berita itu tersebar, sampai-sampai UI dan beberapa universitas lain mengontak saya untuk merekrutnya. Saya tidak mau.
Dari perjuangan seperti itu, masih keberatan disebut “Bapak Antropologi” atau “Duet Bapak Antropologi”? Adi Sukadana. Bukan saya. Karena dia perintisnya. Ia juga mengumpulkan buku dan benda antropologi lain dan dijadikan museum. Tapi diantara kami berdua sudah ada persetujuan: saya di bidang bio-antropologi (antropologi ragawi) dan Adi yang prasejarah atau Antropologi Budaya. Duet? Ya kami memang berjuang bersama.
Ratusan koleksi buku-buku milik Prof. Glinka siap dihibahkan kepada perpustakaan FISIP UNAIR. (Foto: Bambang Bes) Ratusan buku Ilmu Antropologi di rumah Prof. Glinka ini, kelak akan dikemanakan? Saya sudah menulis surat wasiat, untuk buku-buku antropologi semua akan saya serahkan ke UNAIR, sedangkan yang lain terserah. Selain buku antropologi (ragawi dan budaya – letaknya disendirikan) juga ada majalah, ensiklopedi, dan buku-buku teologi. Diantara buku-buku itu ada yang usianya sudah puluhan tahun, tapi kebanyakan berbahasa Jerman, Rusia,
Inggris, dan Belanda, dan kebanyakan tentang anatomi. Karena itu ketika dulu saya membimbing kandidat Doktor, banyak mereka baca-baca disini. Konon Prof. Glinka menguasai enam bahasa (poliglot)? Apa saja itu? Bahasa yang saya mengerti ada sembilan, tetapi hanya empat yang benar-benar saya kuasai. Bahasa Jerman dan Polandia saya dapat sejak bayi, karena mama saya asli Jerman dan ayah Polandia, dan saya lahir di Polandia. Jadi itu sebagai bahasa ibu. Yang lain bahasa Indonesia, Inggris, Ibrani, Yunani, dan Perancis. Bahasa Perancis pernah sempat lupa (hilang), anehnya setelah di Perancis 2-3 hari, saya ingat dan mengerti lagi. Menguasai banyak bahasa memang membahagiakan karena memungkinkan banyak pengetahuan bisa dipelajari. Jadi di rak ini ada buku dalam sembilan bahasa. Adakah niatan untuk pulang ke Polandia?. Tidak. Di Polandia saya kenal siapa? Teman-teman sudah banyak yang mati. Sebab disana itu daerah industri pertambangan, mereka bekerja keras sehingga usia 40-50 sudah payah. Di kampung saya paling tinggal dua atau tiga teman tersisa, sedang disini banyak. Itu saya buktikan ketika pergi ke Soverdi (SWD) dan Ordo, bahwa pastor yang ada disana baru lahir setelah saya pergi ke Indonesia. Seorang teman baru saja dari Polandia dan separo dari misionaris yang ada, ia tidak kenal. Prof Glinka mencintai Kota Surabaya? Benar. Karena di kota ini saya mendapat kebanggaan. Saya sudah memproduksi 13 Doktor di UNAIR baik sebagai promotor dan copromotor. Saya sudah menulis oto-biografi berbahasa Polandia, ketika kawan-kawan saya membaca, mereka takjub dan merasa masih seperti “anak kecil”. Itu karena mereka baru mencetak 2–3 Doktor, sedang saya sudah 13.
Dari biografi itu kawan saya melihat semua peristiwa hidup saya. Kata mereka: sepertinya Tuhan menyiapkan saya untuk UNAIR. Saya tidak mau studi, disuruh studi. Lalu biara memerintahkan dan saya studi sosiologi dan antropologi. Lalu saya mengembangkannya di UNAIR bersama Adi Sukadana. Kenangan bersama Adi dan kebersamaan selama 27 tahun yang saya tanam di UNAIR sungguh sangat indah. Ini yang saya banggakan. (*) Pewawancara: BAMBANG BES
Kuliah Inspiratif, Hadirkan Dokter Inspiratif Berjiwa Kewirausahaan UNAIR NEWS – Ada banyak pilihan dalam hidup, termasuk menentukan jalan masa depan. Kenyataannya, sebagian orang beranggapan, profesi tak melulu harus linier dengan latar akademik. Ada yang memilih sukses dengan pekerjaan yang selaras dengan keilmuannya, namun tak sedikit pula yang berani menjajal peruntungan di bidang lainnya. Seperti halnya cerita pengalaman tiga orang dokter yang hadir dalam acara kuliah inspiratif Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga kali ini. Ketiga sosok sivitas kedokteran yang hadir itu adalah Wakil Dekan II FK UNAIR Prof. Dr. dr. Budi Santoso, Sp.OG, pengusaha dan dokter muda Luqman Hakim Andira, S.Ked, dan Ketua BEM FK UNAIR periode sebelumnya Miftahurahman Taufiq. Di depan puluhan mahasiswa, ketiganya berbagi pengalaman sukses tentang rangkap peran sebagai dokter sekaligus seorang wirausaha. Jauh sebelum meretas kesuksesan seperti sekarang ini, Prof.
Budi sudah merasakan banyak asam garam kehidupan. Masa kuliah bukanlah waktu bersantai baginya. Tanpa mengesampingkan kewajiban sebagai mahasiswa kedokteran kala itu, Prof. Budi ternyata juga nyambi berwirausaha. Saat itu, Prof. Budi menekuni usaha jualan pakaian. Saking niatnya, Prof. Budi berjualan pakaian dari Surabaya ke Banyuwangi. Aktivitas itu dilakoninya pada malam hari dengan mengendarai mobil angkut. Keesokan paginya, Prof. Budi kembali menyibukkan diri dengan kuliah kedokteran. Salah seorang audiens bertanya,”Apa ndak capek, Prof? Malam kulakan (jualan) kemudian harus dibawa ke luar kota, sementara paginya harus kembali kuliah.” Prof. Budi menjawab,”Kalau mau sukses, ya, harus mau capek.” Kesuksesan memang tidak bisa diperoleh dengan cara instan. Prof. Budi saat muda sudah menjajal banyak usaha. Jatuh bangun tetap ia jalani. Berkat usaha keras, kini Wadek II FK UNAIR itu telah menjadi pakar obstetri dan ginekologi sekaligus sukses dengan sejumlah bisnis rumah sakit ibu dan anak di Surabaya. Menurut Prof. Budi, dokter juga bisa mengembangkan potensi lain dalam dirinya. Jika seorang dokter menyadari jiwa kewirausahaan tertanam dalam dirinya, tak ada salahnya untuk dikembangkan. “Asahlah jiwa sosial, salah satunya dengan berwirasusaha,” pesannya. Lain Prof. Budi, lain pula dengan Lukman. Dokter muda alumni FK UNAIR tahun 2015 ini punya sebuah usaha yang terbilang unik. Namanya ‘Dokter Pentol’. Lukman menjalani usaha itu bersama beberapa teman sejawatnya. Usaha ‘Dokter Pentol’ bermula ketika Lukman masih menjalani pendidikan sebagai dokter muda. Ia terinspirasi ketika melihat teman-teman seangkatannya yang selalu disibukkan dengan aktivitas dan tugas jaga di rumah sakit dari pagi sampai malam. Melihat kondisi itu, Lukman berinisiatif membuat
kudapan berupa bakso yang dikemas secara instan untuk dijual ke teman-temannya. Tujuannya, tak lain hanya untuk membantu kawan-kawannya mendapatkan camilan yang bergizi dan mengenyangkan di selasela kesibukan. Untuk menjalankan bisnisnya, Lukman dan tim harus berbelanja daging sapi dan bahan lainnya ke pasar ketika pagi buta. Sebelum ke kampus, mereka mengolah daging itu menjadi bakso untuk kemudian dijual. Meskipun baru skala kecil, usaha mereka cukup membantu. Paling tidak, Lukman sudah mampu membaca dan memanfaatkan peluang usaha dari situasi kesehariannya. Ketua BEM FK UNAIR Rachmat Agung Widodo mengungkapkan, acara kuliah inspiratif ini menjadi salah satu agenda kegiatan baru pada kepengurusannya kali ini. Harapannya, mahasiswa bisa mendapatkan wawasan dan inspirasi dari cerita-cerita rekan sejawatnya. Melalui kuliah inspiratif, panitia akan menghadirkan sejumlah sosok yang dianggap luar biasa dari kalangan alumni FK UNAIR. (*) Penulis: Sefya Hayu I. Editor: Defrina Sukma S.
Dosen dan Staf PDD UNAIR Banyuwangi Ikut Turnamen Futsal Kapolres Cup UNAIR NEWS – Olahraga futsal saat ini sudah mendarah-daging di masyarakat. Sehingga turnamen-turnamen di berbagai tempat selalu diikuti banyak tim futsal, termasuk kompetisi-kompetisi
lokal maupun nasional. Olahraga ini identik dengan anak muda yang mayoritas pelajar dan mahasiswa. Tetapi dalam turnamen Futsal Championship Series Kapolres Cup 2016, tidak hanya tim anak muda yang ambil bagian, tetapi juga tim yang diisi oleh pemain yang sudah berumur. Diantaranya adalah Tim Dosen dan Staf Tata Usaha PDD Universitas Banyuwangi. Para dosen dan staf TU PDD UNAIR di Banyuwangi ini berpartisispasi karena ingin meramaikan turnamen. Walaupun tidak ada dosen yang mempunyai riwayat menjadi pemain futsal, namun tak menyurutkan semangat dan motivasi untuk berpartisipasi diantara 48 tim yang ikut bertanding untuk memperebutkan piala bergilir Kapolres Banyuwangi. Tim peserta ini berasal dari berbagai instansi pemerintahan, swasta, dan pelajar di Banyuwangi. “Sebagai manajer tim saya sangat senang dengan kontribusi tim futsal dosen dan karyawan PDD UNAIR di Banyuwangi ini. Skill dan kolektifitas tim futsal dosen dan karyawan ini juga tidak kalah dengan tim-tim lainnya,” ujar Drh. Ragil, manajer tim sekaligus pemain tim futsal “fenomenal” ini. “Turnamen ini juga bisa dijadikan sounding atau promosi bagi PDD UNAIR di Banyuwangi kepada seluruh masyarakat Banyuwangi,” tambah Ragil. Dijelaskan, ini merupakan event pertama yang diikuti tim futsal yang terdiri dari perwakilan dosen setiap prodi dan staf akademik ini. Sasarannya untuk menjalin hubungan baik antara UNAIR dengan SKPD dan instansi swasta di Kota “Sunrise van Java” ini, tambah Suci, seorang pengajar pada prodi budidaya perairan UNAIR Banyuwangi yang menjadi pemain “kunci” di tim ini. Selamat bertanding. (*) Penulis : A Zakky Multazam Editor : Bambang Bes
UNAIR Percepat Sertifikasi Dosen
Proses
UNAIR NEWS – Sebanyak 89 pengajar di lingkungan Universitas Airlangga mendapatkan sertifikasi dosen dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Penyerahan sertifikat dosen dihadiri oleh Wakil Rektor IV Junaidi Khotib, S.Si., M.Kes., Ph.D, Ketua Sertifikasi Dosen UNAIR Prof. Dr. Widji Soeratri, DEA., Apt, perwakilan sertifikasi dosen nasional Prof. Zainuddin, Direktur Sumber Daya Manusia UNAIR Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum, dan para dekan fakultas. Acara penyerahan sertifikat dosen dilangsungkan di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen UNAIR, pada hari Selasa (26/4). Sertifikat dosen itu masing-masing diberikan kepada 24 dosen Fakultas Kedokteran (FK), 6 dosen Fakultas Kedokteran Gigi (FKG), 8 dosen Fakultas Hukum (FH), 9 dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), 4 dosen Fakultas Farmasi (FF), 4 dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), 11 dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST), 6 dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), 3 dosen Fakultas Psikologi (FPsi), 7 dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB), 4 dosen Fakultas Keperawatan (FKP), dan 3 dosen RS UNAIR. Dalam sambutannya, Wakil Rektor IV UNAIR berharap bahwa dosen yang telah diberi sertifikat pendidik bisa menjadi suri teladan bagi mahasiswa dan masyarakat. Junaidi juga menginginkan agar para dosen senantiasa mengimplementasikan nilai-nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Senada dengan Wakil Rektor IV UNAIR, Prof. Zainuddin mengatakan bahwa para dosen adalah penggerak kampus UNAIR
dalam meraih predikat perguruan tinggi kelas dunia. “Sertifikat ini adalah wujud negara mengakui profesi Anda sebagai dosen. Dengan adanya sertifikasi ini, kami berharap profesionalisme bisa dibangun secara berkesinambungan,” tutur Prof. Zainuddin. Ia pun memberikan motivasi kepada para dosen agar meningkatkan kinerja melalui penelitian dan publikasi, serta pembentukan karakter yang jujur, inovatif, tangguh, dan kerja keras. Percepatan Berdasarkan catatan pada tahun 2015, UNAIR masih memiliki 158 dosen yang belum disertifikasi. Meski demikian, Prof. Widji mengatakan akan melakukan upaya percepatan sertifikasi bagi dosen. Menurut Prof. Widji, para dosen yang belum memenuhi syarat untuk mendapatkan sertifikat karena sedang dalam proses melanjutkan studi, dan waktu mengajar belum sampai satu tahun. “Mereka memang belum mendapatkan status jabatan fungsional atau jabatan akademik seperti asisten ahli. Kami akan mendorong mereka untuk mengurus status asisten ahli. Kami akan bantu seratus persen proses sertifikasinya,” tutur Prof. Widji. Meski demikian, menurut Prof. Zainuddin, UNAIR menjadi contoh dalam pelaksanaan proses sertifikasi dosen nasional. Menanggapi hal tersebut, Prof. Widji mengatakan bahwa panitia sertifikasi dosen UNAIR bekerja dengan prinsip zero defects. “Tugas dosen adalah membantu mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan, kami selaku tim panitia sertifikasi dosen bertugas untuk membantu dosen dalam mencapai karir tertinggi,” imbuh Guru Besar pada Fakultas Farmasi UNAIR. (*) Penulis : Defrina Sukma S Editor : Nuri Hermawan