MAKALAH SEMINAR HASIL PENELITIAN T.A. 2007
ANALISIS KELAYAKAN DAN PERSPEKTIF PENGEMBANGAN ASURANSI PERTANIAN PADA USAHATANI PADI DAN SAPI POTONG
Oleh : A. Rozany Nurmanaf Sumaryanto Sri Wahyuni Ening Ariningsih Yana Supriyatna
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2007
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Seiring dengan terjadinya perubahan iklim diperkirakan risiko dan ketidakpastian dalam usahatani meningkat (Adams et al 1998; McCarl Adams and Hurd 2001; IPCC 2001; Stern 2006). Di Indonesia indikasi ke arah itu sudah tampak sejak dasawarsa terakhir. Insiden banjir dan kekeringan yang melanda kawasan pertanian semakin sering terjadi dan cakupan wilayah yang terkena cenderung semakin luas (Badan Litbang Pertanian 1996; Sumaryanto dan Friatno 1999). Kondisi seperti itu dalam horizon waktu yang panjang dan skala yang lebih luas berimplikasi serius terhadap keberlanjutan pertumbuhan produksi pertanian dan kesejahteraan petani. Jadi pemerintah harus mengembangkan suatu upaya yang sistematis dan melembaga untuk memberikan proteksi kepada petani terhadap kerugian yang diakibatkan oleh risiko usahatani. Asuransi pertanian merupakan salah satu alternatif pendekatan yang layak dipertimbangkan. Asuransi pertanian merupakan sistem proteksi yang efektif terutama di negara-negara maju. Di sejumlah negara di Asia perkembangan asuransi pertanian sangat bervariasi dari yang kurang berkembang (misalnya di Thailand) perkembangan lambat (India Bangladesh Filipina) dan relatif berkembang (Taiwan) (Asian Productivity Organization 1999). Pembentukan model atau asuransi pertanian yang dapat dioperasionalkan (workable) dapat dilakukan jika dan hanya jika tiga himpunan informasi dasar berikut ini tersedia. Pertama ketersediaan informasi yang merupakan determinan dari struktur dasar (basic structure) dari kelembagaan asuransi pertanian. Kedua tersedianya himpunan informasi tentang unsur-unsur kunci (key elements) yang merupakan determinan kelayakan teknis dan finansial (ekonomi) suatu sistem asuransi pertanian. Ketiga tersedianya himpunan informasi tentang prasyarat utama yang merupakan sistem penunjang utama (essential requirements) sistem asuransi pertanian. Himpunan ketiga informasi strategis tersebut hanya dapat diperoleh dari penelitian ataupun kajian yang secara fokus memang ditujukan untuk mengetahui kelayakan dan perspektif pengembangan asuransi pertanian. Pengembangan asuransi pertanian melibatkan banyak sekali faktor-faktor sosial ekonomi yang konstelasi hubungannya sangat kompleks. Dimensinya tidak hanya mencakup aspek teknis dan ekonomi tetapi juga sosial budaya. Sebagian dari faktorfaktor tersebut (terutama yang berada dalam dimensi sosial budaya) hanya dapat diidentifikasi dan dipahami perilakunya dari suatu kaji tindak atau dari uji prototype model asuransi melalui proyek rintisan (pilot project). Oleh karena itu betapapun sejumlah penelitian telah dilakukan namun pembentukan asuransi pertanian lazimnya dilakukan setelah tahap proyek rintisan dilakukan. Tanpa melalui dua tahap kegiatan itu sangat sulit untuk memperoleh model asuransi pertanian yang sesuai. Faktanya pengembangan asuransi pertanian yang dilakukan di negara-negara lain selalu didahului dengan dua kegiatan penting tersebut. Asuransi pertanian tidak dapat diterapkan untuk semua komoditas dan atau seluruh risiko usahatani. Oleh karena itu sebagian besar negara yang telah mengembangkan asuransi pertanian memprioritaskannya pada usaha pertanian strategis yang umumnya adalah usahatani tanaman bahan pangan pokok. Fenomena lain yang menonjol adalah bahwa sebagian besar industri asuransi pertanian untuk komoditas pertanian strategis tersebut memperoleh dukungan subsidi yang cukup besar dari pemerintah. 1
Di Indonesia asuransi pertanian untuk usaha pertanian rakyat belum terbentuk. Meskipun sejak tahun 1982 – 1998 telah tiga kali (1982 1984 dan 1985) dibentuk Kelompok Kerja (POKJA) Persiapan Pengembangan Asuransi Panen tetapi tidak berlanjut. Tahun 1999 upaya untuk mengembangkan asuransi pertanian dicanangkan kembali. Berbagai pembahasan telah pula dilakukan namun belum siap untuk diimplementasikan. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis kelayakan pengembangan asuransi pertanian di Indonesia dan mengidentifikasi faktor-faktor yang harus dipertimbangkan untuk membangun kelembagaan asuransi pertanian khususnya untuk usahatani padi dan sapi potong.
1.2. Perumusan Masalah Di masa yang akan datang risiko dan ketidakpastian yang dihadapi oleh petani dalam usahatani akan semakin meningkat. Hal ini terkait dengan: (1) kecenderungan meningkatnya insiden kekeringan banjir tanah longsor dan kemungkinan eksplosi serangan hama/penyakit (2) fluktuasi harga input dan output usahatani dan (3) konsolidasi pengelolaan usahatani yang tak kunjung terwujud. Dengan kondisi seperti itu strategi portofolio pendapatan dan aset yang dilakukan secara individual yang pada dasarnya merupakan salah satu bentuk self insurance semakin tidak memadai. Strategi produksi strategi pemasaran strategi finansial maupun pemanfaatan kredit informal memang telah dilakukan oleh sebagian petani; tetapi masih sulit untuk mengatasi dampak negatif yang terkait dengan risiko dan ketidakpastian yang dihadapi petani dalam usahataninya. Untuk itu perlu ditempuh strategi lainnya yang sifatnya lebih sistemik dan sistematis misalnya melalui sistem asuransi pertanian. Asuransi pertanian tidak dapat mencakup keseluruhan risiko usahatani (Harsh et al 1981). Ini terkait dengan kesulitan dalam pengamanan data aktuaria ataupun potensi kebangkrutan lembaga asuransi akibat nilai pertanggungan yang sangat tinggi (misalnya akibat kegagalan panen di suatu kawasan yang luas yang secara potensial memang sangat rawan terhadap bencana alam yang sifatnya katastropik). Dalam tataran praktis pengembangan asuransi pertanian di Indonesia perlu memperhatikan faktor-faktor berikut: 1. Sebagian besar pelaku usahatani (petani) adalah manajer yang dalam pengambilan keputusan usahataninya tidak hanya mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi tetapi juga aspek sosial budaya. 2. Sebagian besar petani di Indonesia adalah petani kecil sifatnya sebagai part-time farmer dan secara empiris belum pernah mengenal sistem asuransi pertanian. 3. Konfigurasi spatial usaha pertanian terpencar-pencar sebaran temporal sistem produksi bervariasi dan skala usahanya pada umumnya kecil. Ini berimplikasi pada biaya administrasi yang dihadapi dalam usaha asuransi. 1.3. Tujuan Penelitian Sasaran penelitian adalah menghasilkan sejumlah informasi yang berguna untuk merancang prototype model asuransi pertanian komoditas utama dan rekomendasi kebijakan yang dibutuhkan untuk pengembangan asuransi pertanian di Indonesia. Penelitian ini pada dasarnya terdiri dari 3 kegiatan yaitu: (1) pengkajian tentang struktur dasar (basic structure) asuransi pertanian yang layak untuk kondisi di Indonesia (2) identifikasi unsur-unsur kunci (key elements) analisis kelayakan finansial sejumlah unsur kunci tersebut dan sistem pendukung esensial bagi pengembangan asuransi pertanian 2
komoditas padi dan sapi potong di Indonesia dan (3) analisis dukungan kebijakan antisipatif pengembangan asuransi pertanian di Indonesia. Untuk mencapai sasaran tersebut maka tujuan penelitian ini adalah: 1.
Menganalisis tingkat kelayakan unsur-unsur pokok yang merupakan landasan dari struktur dasar asuransi pertanian komoditas padi dan sapi potong
2.
Menganalisis tingkat kelayakan finansial beberapa unsur kunci bagi pembentukan suprastruktur skim asuransi pertanian yang diperkirakan sesuai untuk komoditas padi dan sapi potong
3.
Menganalisis tingkat ketersediaan prasyarat esensial lain yang lazim dibutuhkan sebagai sistem pendukung operasionalisasi asuransi pertanian komoditas padi dan sapi potong
4.
Melakukan analisis kebijakan yang berkenaan dengan pengembangan asuransi pertanian terutama yang terkait dengan koordinasi konsolidasi dan advokasi tentang urgensi asuransi ruang lingkup dan pendampingan/bantuan teknis kepada lembaga penyelenggara asuransi pertanian.
II. METODE PENELITIAN 2.1. Kerangka Pemikiran Sampai saat ini asuransi pertanian formal untuk usaha pertanian rakyat belum dikembangkan di Indonesia. Oleh karena itu kerangka pemikiran untuk penelitian ini dimulai dari pemahaman teori tentang prinsip-prinsip umum sistem asuransi pertanian dengan mempertimbangkan: (1) pelajaran yang dipetik dari pengembangan asuransi pertanian di negara berkembang dan (2) kondisi empiris sistem usahatani di Indonesia. Dalam menghadapi risiko strategi yang diterapkan antara petani yang satu dengan petani lainnya tidak selalu sama. Secara garis besar petani menerapkan satu atau kombinasi dari beberapa strategi berikut: 1.
Strategi produksi. Ini mencakup diversifikasi usahatani atau memilih sistem usahatani yang sekuen kegiatan pembiayaan dan pengelolaan produksinya fleksibel (Lee et al 1980; Sakurai 1997). Di Indonesia strategi yang diterapkan oleh sebagian besar petani adalah diversifikasi usahatani (lihat misalnya pada Hadi et al. 2000; Susilowati et al. 2002; Sumaryanto 2006; ataupun Saliem dan Supriyati 2006).
2.
Strategi pemasaran. Tercakup dalam strategi ini misalnya: (a) menjual hasil panen secara berangsur artinya tidak sekaligus (b) memanfaatkan sistem kontrak untuk penjualan produk yang akan dihasilkan (forward contracting) ataupun (c) melakukan perjanjian tingkat harga antara petani dengan pembeli tertentu untuk hasil panen yang akan datang (hedging on the future market). Menurut Hadi et al (2000) yang paling banyak dilakukan oleh petani di Indonesia adalah dengan cara menjual hasil panen secara berangsur.
3.
Strategi finansial. Tercakup dalam strategi ini adalah: (a) melakukan pencadangan dana yang cukup (b) melakukan investasi pada kegiatan berdaya hasil tinggi ataupun (c) membuat proyeksi arus tunai berdasarkan estimasi biaya produksi harga jual produk dan produksi yang realistis. Di Indonesia strategi ini mungkin diterapkan oleh sebagian petani yang termasuk kategori mampu; itupun untuk beberapa petani yang menerapkan strategi (c) tidak dituangkan dalam bentuk formal (tertulis). 3
4.
Pemanfaatan kredit informal (Harsh et al. 1981; Sakurai 1997). Contoh dari penerapan strategi ini adalah petani meminjam uang atau barang kebutuhan pokok dari pihak lain (pedagang pemilik modal perorangan). Di Indonesia strategi ini cukup banyak diterapkan oleh petani terutama petani kecil yang pendapatannya rumah tangganya rendah.
5.
Menjadi peserta asuransi pertanian formal untuk menutup sebagian atau semua kerugian yang diperkirakan akan terjadi. Strategi ini banyak ditempuh oleh petani di negara maju ataupun sebagian petani di negara-negara berkembang. Di Indonesia asuransi pertanian formal belum dikembangkan.
Pengembangan asuransi pertanian harus mempertimbangkan dengan cermat tiga aspek penting yang akan mempengaruhi kinerja sistem asuransi tersebut. Ketiga aspek itu adalah: (1) tujuan utama dan prinsip-prinsip utama pengembangan lembaga asuransi pertanian (2) perilaku petani dalam menghadapi risiko dan (3) prasyarat yang harus dipenuhi untuk bekerjanya suatu sistem asuransi pertanian. Pada hakekatnya tujuan utama asuransi pertanian adalah untuk memberikan proteksi kepada petani terhadap kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh risiko usahataninya. Terdapat beberapa tafsiran tentang risiko tetapi dalam konteks usahatani pengertian praktis dari terminologi itu dapat mengacu pada pendapat Lee et al (1980) yang menyatakan bahwa suatu kejadian disebut mempunyai risiko apabila hasil aktual usahatani lebih rendah daripada hasil yang diharapkan petani sebagai pengelola usahatani tersebut. Pengembangan asuransi pertanian perlu memperhitungkan bahwa secara teoritis sebagian besar petani cenderung bersikap menghindari risiko (risk-averse behavior). Manifestasinya adalah bahwa untuk tingkat pendapatan tertentu petani cenderung memilih untuk mengambil keputusan yang risikonya lebih rendah. Atau menghadapi tingkat risiko tertentu maka cenderung mengharapkan tingkat pendapatan yang lebih tinggi (Barry et al 1983). Beberapa penelitian empiris yang dilakukan Brenan (1982) Antle (1987) Bosch and Eidman (1987) ataupun Finkelstain and Chalfat (1991) memperkuat teori tersebut. Selain itu mengingat ragam komoditasnya sangat bervariasi konfigurasi hamparan pada umumnya tidak terkonsolidasi pola temporal siklus produksinya beragam dan cakupan risikonya juga bervariasi; maka sistem asuransi pertanian formal tidak mungkin diterapkan untuk seluruh komoditas dan semua jenis risiko. Suatu sistem asuransi pertanian formal dapat dikembangkan jika kondisi derajat pertama dan derajat kedua berikut dipenuhi. Kondisi derajat pertama adalah terpenuhinya persyaratan pokok yang dibutuhkan dalam disain model umum skim asuransi pertanian. Sejauhmana hal ini dapat dipenuhi dapat dikaji melalui beberapa kegiatan penelitian ataupun kajian empiris. Menurut Mishra (1999) ada tiga aspek yang tercakup dalam persyaratan pokok ini: (1) empat unsur utama untuk meletakkan landasan dari struktur dasar suatu skim asuransi (2) sembilan unsur kunci yang membentuk suprastruktur skim tersebut dan (3) empat prasyarat esensial sebagai unsur pendukung operasionalisasi skim tersebut. Kondisi derajat kedua adalah adanya kompatibilitas model tersebut dengan kondisi sosial budaya masyarakat terutama dalam proses inovasi dan adaptasi kelembagaan. Ini dapat dikaji melalui suatu uji sejumlah alternatif model (skim) dan berbagai upaya penyempurnaan yang harus dilakukan yang umumnya dapat diperoleh dari suatu kaji tindak (action research) yang terkait dengan proyek rintisan (pilot project). Dalam tulisannya yang berjudul "Planning for The Development and Operation of Agricultural Insurance Schemes" Mishra (1999) membahas tentang kerangka kerja konseptual suatu asuransi pertanian. Dengan sejumlah modifikasi yang disesuaikan 4
dengan kondisi empiris sistem pertanian di Indonesia kerangka pemikiran yang dikembangkan dalam penelitian ini sebagian besar mengacu pada penulis tersebut. Asuransi pertanian adalah suatu institusi ekonomi untuk pengelolaan risiko yang dihadapi petani. Tujuannya adalah sebagai berikut: 1. 2. 3.
Untuk menstabilkan pendapatan petani melalui pengurangan tingkat kerugian yang dialami petani karena kehilangan hasil; Untuk merangsang petani mengadopsi teknologi usahatani yang dapat meningkatkan produksi dan efisiensi penggunaan sumberdaya; Untuk mengurangi risiko yang dihadapi lembaga prekreditan pertanian dan memperbaiki akses petani terhadap lembaga perkreditan.
Secara teoritis asuransi berlandaskan pada hukum bilangan besar (the law of large numbers). Jadi merupakan suatu mekanisme penggabungan risiko (pooling of risk) dari sejumlah besar individu. Juga memungkinkan pembagian risiko (spreading risk) antar ruang dan waktu. Meskipun demikian tingkat kelayakan suatu risiko dapat diasuransikan (insurability of risk) tergantung pada tiga faktor berikut (Mishra 1999): 1. 2. 3.
Probabilitas suatu kejadian yang dapat digunakan untuk klaim tanggungan harus dapat dikuantifikasikan. Kejadian-kejadian tersebut haruslah secara substansial tidak berkaitan. Kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh kejadian-kejadian tersebut harus layak untuk ditengarai dan dievaluasi.
Disain skim asuransi pertanian sangat membutuhkan pemahaman yang komprehensif tentang situasi pertanian faktor-faktor sosial ekonomi dan infrastruktur administrasi. Sudah barang tentu aspek-aspek tersebut antar satu negara dengan negara yang lain berbeda bahkan antar wilayah yang satu dengan wilayah lainpun bervariasi. Dalam konteks ini terdapat tiga aspek yang harus dipahami dengan baik yaitu: 1. Unsur-unsur pokok landasan dasar struktur dasar asuransi pertanian. Ini mencakup empat unsur berikut: (1) derajat kelengkapan (degree of comprehensiveness: perils to be covered) (2) sektor: publik ataukah privat (3) pendekatan: individu ataukah area dan (4) partisipasi: sukarela (voluntary) ataukah wajib (compulsary) 2. Unsur-unsur kunci yang membentuk suprastruktur skim asuransi pertanian. Dikatakan sebagai unsur kunci karena menentukan efektivitas viabilitas operasional dan keberlanjutan suatu sistem asuransi pertanian. Terdapat 9 unsur kunci yang tercakup dalam himpunan unsur-unsur kunci ini yaitu: (1) Petani sasaran menurut kategorinya menurut: (a) skala pengusahaan (b) partisipasinya dalam lembaga perkreditan (c) status garapan dan sebagainya; (2) Cakupan komoditas usahatani: semua ataukah komoditas tertentu; (3) Cakupan asuransi nilai jaminan dan penentuan kerugian; (4) Nilai premi dan prosedur pengumpulannya; (5) Mekanisme penyesuaian kerugian; (6) Struktur organisasi; (7) Skim pendanaan; (8) Susunan penjaminan ulang; dan (9) Komunikasi dengan petani 3. Prasyarat esensial lainnya. Prasyarat ini dipandang sangat penting terutama dari sudut pandang pelaksanaan. Ini mencakup empat hal berikut: (1) (2) (3) (4)
Ketersediaan data-base yang memadai; Ketersediaan personal yang terlatih; Pemantauan (monitoring) dan evaluasi; dan Arus informasi teknologi dan berbagai gagasan untuk penyempurnaan. 5
Pengkajian yang ditujukan untuk memperoleh pemahaman tentang tiga aspek itu tidak dapat ditempuh secara parsial. Alasannya kaitan fungsional antar aspek-aspek tersebut sangat kuat. Sebagai contoh tingkat premi dan prosedur pengumpulan (salah satu elemen kunci dari 9 elemen tersebut di atas) dipengaruhi oleh : (1) partisipasi petani (sukarela ataukah wajib dan pendekatannya individu atukah areal – keduanya faktor penting yang merupakan landasan struktur dasar skim asuransi) dan (2) ketersediaan personal yang terlatih dan ketersediaan data (keduanya adalah prasyarat pendukung esensial operasionalisasi skim). Dalam penelitian ini asuransi pertanian diarahkan pada usahatani komoditas pertanian strategis yaitu padi dan sapi potong. Acuan yang digunakan untuk menentukan komoditas adalah: (1) peran strategis komoditas dalam konteks pertanian di Indonesia (2) luas areal dan partisipasi pengusahaan dan (3) pertimbangan lain yang terkait dengan agenda kebijakan dan program pembangunan dari Departemen Pertanian. 2.2. Data dan Lokasi Penelitian Data yang dibutuhkan mencakup data sekunder maupun data primer. Data sekunder diperoleh dari: (1) instansi/lembaga terkait baik di lingkup Departemen Pertanian maupun dari kementerian/departemen lain (2) lembaga-lembaga keuangan yang selama ini bergerak di bidang asuransi baik lembaga pemerintah maupun swasta (3) lembaga-lembaga lain yang relevan. Data primer digali dari Petani Responden Kelompok Tani Responden Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) dan sejumlah informan kunci (key informan) di lokasi penelitian sesuai dengan kebutuhan. Penarikan contoh untuk petani ataupun kelompok petani responden dilakukan secara purposive sesuai dengan cakupan data yang dibutuhkan. Mengingat bahwa hasil kajian tentang tiga macam himpunan informasi strategis yaitu: (1) aspek-aspek pokok yang menjadi landasan struktur dasar skim asuransi pertanian (2) unsur-unsur kunci yang membentuk suprastruktur skim asuransi pertanian dan (3) prasyarat esensial pendukung operasionalisasi skim asuransi pertanian sangat ditentukan oleh kelengkapan pemahaman permasalahan empiris maka kelengkapan cakupan data dalam dimensi kualitatif lebih diutamakan daripada aspek kuantitatif. Penelitian dilakukan di dua propinsi yaitu Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Pemilihan kedua lokasi tersebut didasarkan atas: (1) tingkat perkembangan teknologi kelembagaan dan rata-rata skala usahatani (2) kondisi infrastruktur dan (3) pertimbangan konfigurasi geografis wilayah. Tidak semua lokasi kantong produksi komoditas padi dan sapi potong dikaji tetapi disesuaikan dengan kondisi masing-masing lokasi penelitian tersebut. 2.3. Pendekatan yang Diterapkan Dalam Analisis Kelayakan unsur-unsur pokok (tujuan pertama) dianalisis secara deskriptif berdasarkan data primer. Kelayakan finansial (tujuan kedua) hanya ditujukan untuk asuransi pertanian untuk usahatani padi karena berdasarkan kondisi empiris yang tergali pada survey tahap pertama dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur pokok landasan fundmental struktur dasar asuransi pertanian pada usaha ternak sapi potong sulit dipenuhi. Kelayakan pengembangan asuransi pertanian ditentukan oleh resultante kelayakan dari dimensi teknis ekonomi dan sosial/kelembagaan. Ketiga aspek tersebut saling terkait. Sebagai ilustrasi kelayakan ekonomi (dalam konteks ini difokuskan pada kelayakan finansial) sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor teknis. Dalam hal-hal tertentu 6
kelayakan teknis juga dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi. Demikianpun dengan kelayakan dalam dimensi sosial/kelembagaan karena proses inovasi dan adaptasi kelembagaan juga tak lepas dari faktor-faktor teknis dan ekonomi; dan sebaliknya kelayakan dalam dimensi teknis maupun ekonomi juga dipengaruhi oleh aspek-aspek sosial dan budaya. Kesemuanya itu berimplikasi bahwa analisis kelayakan menurut dimensi teknis ekonomi dan sosial akan lebih mudah dilakukan secara terintegrasi. Metoda deskriptif juga dilakukan pada analisis tingkat ketersediaan prasyarat esensial yang dibutuhkan sebagai pendukung operasionalisasi asuransi (tujuan ketiga). Sintesis dari hasil analisis yang ditujukan untuk menjawab tujuan pertama – ketiga merupakan masukan utama untuk menjawab tujuan keempat. Analisis kelembagaan dari kasus-kasus yang ditemui di masing-masing lokasi penelitian juga sangat penting karena lesson learn dari kasus-kasus tersebut sangat berguna untuk memperoleh pemahaman empiris secara komprehensif. Kesemuanya itu perlu diorganisasikan secara seksama sehingga analisis antisipatif kebijakan dalam pengembangan asuransi pertanian di Indonesia dapat dirumuskan dengan tepat.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Analisis Kelayakan Pengembangan Asuransi Pertanian 3.1.1. Kelayakan Unsur-Unsur Pokok Landasan Struktur Asuransi Pertanian Asuransi Pertanian Untuk Usahatani Padi 1. Risiko Usahatani yang Layak Diasuransikan Jenis risiko yang layak dicakup dalam asuransi pertanian untuk usahatani padi mencakup risiko akibat kekeringan banjir dan serangan hama penyakit. Hama/penyakit yang sering dijumpai adalah tikus penggerek batang wereng coklat blas dan tungro (Ditlintan 2007). Risiko tersebut terjadi dengan frekuensi luasan dan intensitas yang berbeda-beda antarlokasi dan antar waktu dan dapat mengakibatkan kegagalan panen (puso). Secara rata-rata selama periode 1997-2005 total areal tanaman padi yang mengalami bencana kekeringan banjir dan serangan hama penyakit berturut-turut sebesar 2 34 1 77 dan 2 35 persen dari total areal tanam sementara yang mengalami puso berturut-turut sebesar 0 37; 0 45 dan 0 07 persen dari total areal tanam. Persepsi di kalangan aparat penyuluhan pertanian menunjukkan bahwa risiko akibat kekeringan menempati peringkat teratas. Di lokasi penelitian di Jawa Timur proporsi responden yang mempunyai persepsi seperti itu mencapai 47 % sedangkan di Sulawesi Selatan 31 %. Pada urutan berikutnya adalah risiko yang terkait dengan serangan hama/penyakit banjir fluktuasi harga gabah dan mutu penerapan teknologi yang rendah sebagai akibat terbatasnya modal usahatani. Risiko yang terkait dengan fluktuasi harga baik harga keluaran maupun masukan sulit diasuransikan karena sebagian besar sistem transaksi dilakukan tanpa pencatatan dan cenderung sporadis. Hal ini mengakibatkan teknik verifikasi kerugian menjadi rumit dan rawan penyelewengan. Ini berbeda dengan risiko akibat banjir kekeringan ataupun serangan hama/penyakit yang secara teknis prosedur verifikasinya lebih sederhana. Persoalan yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya perbedaan yang menyolok antara persepsi kalangan aparat penyuluh pertanian dan komunitas petani. Sebagian besar aparat penyuluh pertanian (Jatim: 76 67% Sulsel: 89 66%) berpendapat 7
bahwa asuransi pertanian untuk usahatani padi perlu dikembangkan. Di sisi lain sebagian besar petani responden berpendapat sebaliknya. Pada umumnya petani menyatakan bahwa premi yang harus dibayar mungkin memberatkan sementara itu mereka meragukan manfaat proteksi yang diperoleh. 2. Sektor Publik ataukah Privat Mayoritas responden baik aparat Dinas Pertanian PPL (Jatim: 84 00% Sulsel: 95 83%) maupun kelompok petani menyebutkan bahwa bentuk lembaga yang sesuai atau lebih sesuai untuk mengelola asuransi pertanian adalah pemerintah (BUMN) (sektor publik). Alasannya yang mereka kemukakan adalah bahwa pemerintah lebih bisa dipercaya/bertanggung jawab dan lebih menjamin pembayaran ganti rugi sehingga petani akan merasa lebih aman. Mengingat mayoritas petani padi merupakan petani berlahan sempit dengan pemilikan rata-rata kurang dari 0 5 ha dengan penghasilan yang sangat rendah maka jika akan mengembangkan skim asuransi pertanian peranan sektor publik (pemerintah) sangatlah penting. Dalam hal ini peranan pemerintah dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk yaitu: (a) pemerintah menanggung biaya administrasi secara penuh atau sebagian; (b) pemerintah juga menanggung sebagian ganti rugi atau membayar sebagian premi untuk memastikan bahwa petani mampu membeli asuransi; (c) pemerintah pada umumnya menanggung kerugian hingga tingkat tertentu melalui ketetapan dari dana modal penjaminan kembali (reinsurance) atau melalui cadangan anggaran umum. 3. Pendekatan Individu ataukah Area (Hamparan) Mayoritas responden PPL di kedua lokasi (Jatim: 63 33% Sulsel: 82 14%) berpendapat bahwa pendekatan yang sesuai untuk melaksanakan kegiatan dalam pemantauan pendataan dan pembinaan adalah kelompok. Mayoritas alasan yang dikemukakan adalah dengan pendekatan kelompok maka pendataan pembinaan koordinasi komunikasi dan pemantauan akan lebih mudah dan efisien. Pendapat ini didasari oleh fakta bahwa petani-petani yang menjadi target asuransi berjumlah banyak dengan luasan pemilikan lahan rata-rata kecil. Sementara responden yang menyatakan bahwa pendekatan yang sesuai adalah pendekatan individu beralasan bahwa asuransi merupakan tanggungjawab individu sehingga risiko ditanggung sendiri selain juga lebih memberikan keleluasan kepada petani. Alasan tersebut juga mendasari pendapat semua kelompok tani yang diwawancarai yang menghendaki agar asuransi usahatani dilakukan secara individu namun pertanggungjawabannya dikoordinasikan melalui kelompok tani. Terkait basis dalam kegiatan pemantauan pendataan dan pembinaan asuransi usahatani padi responden di kedua lokasi cenderung untuk memilih hamparan (area) sebagai basis (Jatim: 60 00% Sulsel 51 72%). Responden yang memilih hamparan sebagai basis umumnya beralasan bahwa dalam satu hamparan kondisi dan permasalahan hampir sama sehingga penyuluhan teknisnya lebih mudah sehingga memudahkan dalam pemantauan pelaksanaan usahatani disamping lebih memudahkan untuk mendeteksi kejadian risiko pada hamparan tersebut. Di sisi lain pendekatan domisili petani sebagai basis pemantauan menurut mayoritas responden selain memudahkan hubungan dan komunikasi juga akan memudahkan pelaksanaan pemantauan pendataan dan pembinaan petani peserta asuransi karena dengan basis domisili petani yang saling berdekatan maka akan mudah untuk menghubungi dan menemui petani di waktu luang mereka. Selain itu karena besar kemungkinan lahan petani tidak hanya berlokasi di satu tempat melainkan di beberapa tempat yang terpencar maka akan lebih mudah jika pendekatan yang digunakan pendekatan domisili. 8
Dikaitkan dengan pendekatan kelompok akan sangat operasional seandainya basis pembentukan kelompok tani adalah kombinasi antara domisili dan hamparan sehingga pendekatan penilaian ganti rugi dapat menggunakan pendekatan hamparan (areal) dan sifat pertanggungjawabannya dilakukan melalui pendekatan kelompok walaupun pelaksanaannya secara individu. Kondisi tersebut akan diperoleh hanya jika jumlah anggota kelompok tani terbatas pada beberapa anggota saja misalnya sekitar sepuluh anggota yang mempunyai lahan sawah dalam hamparan yang sama namun juga memiliki tempat domisili yang berdekatan. Dengan demikian disamping diperoleh kelompok tani yang relatif solid karena jumlah anggota yang relatif sedikit dalam pengelolaan asuransi akan diperoleh semua keuntungan pendekatan domisili dan hamparan karena keuntungan pendekatan yang satu akan menutupi kerugian pendekatan lainnya. 4. Partisipasi: Sukarela ataukah Wajib Baik aparat Dinas Pertanian Tanaman Pangan mayoritas PPL (90 00% di Jawa Timur dan 72 41% di Sulawesi Selatan) maupun kelompok tani sepakat bahwa sifat partisipasi yang sesuai untuk asuransi pertanian adalah sukarela. Hal ini didasari oleh karena petani/kelompok tani belum pernah mengenal asuransi pertanian. Di samping itu mayoritas petani padi tersebut merupakan petani berlahan sempit (berskala kecil) dengan pendapatan rendah sehingga keharusan membayar premi dapat menjadi beban bagi mereka. Akan tetapi konfigurasi spasial usaha pertanian yang terpencar-pencar variasi temporal sistem produksi yang cukup besar dan skala usaha petani-petani padi di Indonesia yang pada umumnya kecil berimplikasi pada tingginya biaya administrasi untuk asuransi pertanian. Dalam hal ini pendekatan partisipasi yang bersifat wajib akan mengurangi biaya administrasi asuransi disamping mengurangi problem seleksi yang merugikan (adverse selection). Berdasarkan fakta-fakta tersebut apabila akan dikembangkan suatu asuransi pertanian khususnya untuk usahatani padi maka proses sosialisasi sangatlah penting sehingga tingkat partisipasi yang sebenarnya berbasis sukarela pada akhirnya mendekati atau berimpit dengan jika bersifat wajib. Asuransi Pertanian Untuk Usahaternak Sapi Potong 1. Cakupan Risiko Hasil wawancara dengan aparat Dinas Peternakan di tingkat pusat propinsi hingga tingkat kabupaten menunjukkan bahwa usahaternak sapi potong dinilai mempunyai tingkat risiko/ketidakpastian yang rendah. Menurut aparat Ditjen Peternakan rendahnya tingkat risiko pada usahaternak sapi potong disebabkan karena tingkat kematian yang rendah. Rendahnya tingkat kematian sapi potong disebabkan tingginya tingkat keberhasilan penanggulangan penyakit yang yang dilakukan peternak. Di Propinsi Jawa Timur faktor risiko utama yang dialami peternak dalam lima tahun terakhir adalah ketidakpastian harga yang disebabkan oleh: (a) mekanisme pasar dalam menentukan tingkat harga sapi yang tidak berdasarkan berat hidup akan tetapi menggunakan model ”taksiran” berdasarkan tampilan eksterior sehingga untuk seekor sapi bisa terjadi keragaman harga; (b) pengaruh sindikasi blantik yang sangat kuat dalam menentukan tingkat harga; dan (c) persaingan dengan impor daging atau sapi sehingga harga jual sapi/daging sapi di bawah harga yang pantas secara ekonomi. Sementara di Propinsi Sulawesi Selatan faktor risiko utama yang dialami peternak sapi potong adalah masalah penyakit. Keadaan tersebut terjadi sepanjang tahun dan terus terulang selama 5 tahun terakhir. Kerugian yang ditimbulkan mulai dari pengurangan produktivitas sampai kekurangan minat untuk berternak. 9
Menurut persepsi mayoritas PPL faktor risiko utama dalam usahaternak sapi potong adalah harga (42%) kedua pencurian (23%) dan ketiga penyakit (13%). Walaupun demikian terdapat perbedaan persepsi tentang faktor risiko utama pada usahaternak sapi potong antara PPL di Propinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Faktor risiko harga di Propinsi Jawa Timur dikuatkan oleh petugas PPL yang berpendapat bahwa ranking faktor risiko usahaternak sapi potong yang pertama (75%) adalah harga ternak kedua kelancaran pemasaran ketiga ketersediaan pakan dan keempat hubungan dengan pedagang sedangkan PPL di Propinsi Sulawesi Selatan melaporkan bahwa pencurian merupakan risiko utama (47%) penyakit ranking kedua (27%) kemudian pemasaran (13%) dan pakan (7%). Sangat rendahnya risiko yang dihadapi usahaternak sapi potong menyebabkan hampir semua unsur yang diwawancarai mulai dari Ditjen Peternakan Dinas Peternakan tingkat propinsi dan kabupaten PPL hingga peternak berpendapat bahwa asuransi usahaternak sapi potong tidak diperlukan bahkan aparat Ditjen Peternakan memprediksi peternak rakyat tidak akan mengasuransikan ternaknya. Ditekankan bahwa sampai saat ini perusahaan sapi potong pun tidak mengasuransikan ternaknya yang diasuransikan hanya aset bangunan dan peralatan usaha. Terdapat kekhawatiran timbulnya moral hazard dari peternak apabila model asuransi pertanian untuk sapi potong diterapkan. Walaupun tidak secara signifikan diperlukan adanya asuransi namun menurut persepsi PPL di Propinsi Sulawesi Selatan asuransi kesehatan ternak hendaknya dipertimbangkan sebagai bahan pemikiran ke depan. Pemikiran tersebut didasari tingginya kasus penyakit pada ternak sapi potong di wilayah binaannya. 2. Sektor Publik ataukah Privat Jika diasumsikan bahwa asuransi usahaternak sapi potong harus dikembangkan maka bentuk yang diperkirakan layak adalah BUMN ataupun kerjasama BUMN dan swasta. Lebih dari separuh responden (52 %) berpendapat seperti itu. 3. Pendekatan Individu ataukah Areal/Kelompok Secara teoritis pendekatan yang lebih sesuai adalah kelompok. Kelompok peternak yang umumnya dibentuk berdasarkan wilayah domisili merupakan wadah yang efisien untuk diseminasi dan dapat menekan biaya administrasi. Sebagian bear penyuluh pertanian (Jatim: 77 %; Sulsel: Sulsel:62%) juga mengusulkan agar pendekatan yang digunakan dalam implementasi asuransi adalah melalui kelompok. 4. Partisipasi: Sukarela ataukah Wajib Sesuai dengan kondisi usahaternak sapi potong rakyat maka di areal tertentu dianggap diperlukan pendekatan top – down atau wajib sementara di areal lain secara sukarela. Menurut persepsi responden di Jawa Timur mulai dari tingkat propinsi sampai peternak partisipasi sukarela lebih relevan karena individu bersangkutan akan secara langsung mempertanggungjawabkan keikutsertaannya. Sementara di Propinsi Sulawesi Selatan yang menghadapi permasalahan penyakit dan pencurian yang dalam mengatasi permasalahan memerlukan kebersamaan peternak mayoritas PPL (53%) berpendapat bahwa partisipasi dalam asuransi hendaknya merupakan kewajiban. Secara keseluruhan mayoritas PPL (56%) menyatakan agar peternak tidak diwajibkan mengikuti asuransi.
10
3.1.2. Tingkat Kelayakan Finansial dan Unsur-Unsur Kunci Pembentukan Struktur Skim Asuransi Pertanian Untuk Usahatani Padi 3.1.2.1. Kelayakan Finansial Betapapun persyaratan yang diperlukan untuk landasan dasar struktur asuransi pertanian sebagaimana telah di atas dipenuhi akan tetapi sangatlah riskan melakukan pengembangan asuransi pertanian tanpa didahului dengan pilot project. Oleh karena itu analisis kelayakan finansial ini ditujukan untuk pembentukan skim asuransi pertanian dalam rangka pilot project bukan untuk pengembangan. Mengingat adanya perbedaan dalam produktivitas usahatani konfigurasi hamparan (berimplikasi pada biaya usahatani maupun biaya operasional asuransi); meskipun skimnya sama namun dalam analisis disajikan dua kasus: (a) Jawa Timur dan (b) Sulawesi Selatan. Analisis didasarkan atas sejumlah asumsi yangberikut: (1). Unsur-Unsur Pokok Landasan Struktur Asuransi Pertanian dipenuhi (2). Hanya diperuntukkan usahatani padi. (3). Luas areal usahatani padi yang dilayani adalah 10 000 hektar per tahun. (4). Pertumbuhan produktivitas usahatani padi mengikuti model paduan antara "negative exponential growth model" dan "possible trend" yang didasarkan atas hasil penelitian dan pengembangan di bidang teknologi. Dengan menggunakan data sekunder pada kurun waktu 1980 – 2005 hasil estimasi pertumbuhan produktivitas adalah seperti tertera pada Tabel 1 (Lampiran). (5). Perkembangan harga gabah mengikuti "trend" data sekunder. Di Jawa Timur adalah rata-rata 12.37 %/tahun di Sulawesi Selatan adalah 12.11 %/tahun. (6). Investasi dilakukan secara bertahap selama tiga tahun mencakup investasi gedung peralatan sumberdaya manusia. Total Nilai investasi tahun I II dan III dan biaya operasional tertera pada Tabel 2 dan Tabel 3 (Lampiran). (7). Pengumpulan premi dan juga pembayaran tanggungan mulai berjalan sejak tahun ke III dan usia proyek terhitung sejak tahun tersebut adalah 25 tahun. (8). Dalam simulasi, asumsi untuk skenario dasar adalah: (8.1)
Asuransi diperuntukkan atas gagal panen (puso) akibat bencana kekeringan banjir dan serangan organisme pengganggu tanaman.
(8.2)
Premi yang ditanggung petani adalah 2 % dari total nilai penerimaan usahatani padi.
(8.4)
Nilai tanggungan yang diterima petani adalah sebesar rata-rata total biaya usahatani yang dikeluarkan oleh petani dalam usahatani padi di wilayah layanan dan proporsional dengan luas garapan.
(8.5)
Per tahun rata-rata risiko adalah: (a) Jawa Timur: 5.07 % (b) Sulawesi Selatan: 4.53 %.
(8.6)
Subsidi dari pemerintah adalah 50 % biaya investasi dan nilai tanggungan yang harus dibayarkan kepada petani.
(8.7)
Faktor diskonto (discount factor) adalah 12 % per tahun.
(8.8)
Biaya operasional dipengaruhi oleh inflasi.
11
Dengan asumsi seperti tersebut di atas diperoleh beberapa temuan penting yang sangat berguna untuk merancang skim asuransi pertanian usahatani padi adalah sebagai berikut: Ø Usaha asuransi pertanian untuk usahatani padi layak secara finansial jika disubsidi. Dengan premi 2 %, nilai tanggungan sebesar rata-rata total biaya usahatani dan tingkat risiko usahatani seperti tersebut pada (8.5), usaha asuransi layak jika 35 - 40 % dari total biaya investasi dan pertanggungan disubsidi pemerintah. Jika pemerintah 40 % biaya investasi dan pertanggungan disubsidi maka NPV dan IRR usaha asuransi tersebut adalah (Tabel 4): o
Jawa Timur
: NPV = 2.910 milyar rupiah, IRR = 14.98 %
o
Sulawesi Selatan : NPV = 3.911 milyar rupiah, IRR = 16.00 %
Jika subsidi diturunkan menjadi 35 % maka tidak layak untuk di Jawa Timur, tetapi masih layak untuk kasus Sulawesi Selatan (NPV = 1.025 milyar rupiah, sedangkan IRR = 13.10 %). Ø Jika subsidi dari pemerintah ditetapkan 25 % dari total nilai investasi dan pertanggungan, maka nilai pertanggungan yang layak adalah sekitar 80 % dari total biaya usahatani. Sebagaimana tertera pada Tabel 5, jika nilai pertanggungan 80 % dari biaya usahatani maka: o
Jawa Timur
: NPV = 2.378 milyar rupiah, IRR = 14.30 %.
o
Sulawesi Selatan : NPV = 3.339 milyar rupiah, IRR = 15.21 %.
Jika pertanggungan 85 % maka di Jawa Timur tidak layak sedangkan di Sulawesi Selatan masih layak (NPV = 1.317 milyar rupiah, IRR = 13.33 %). Ø Sudah barang tentu kebutuhan terhadap subsidi dapat ditekan jika risiko usahatani semakin rendah (persoalannya, jika tingkat risiko semakin rendah maka tingkat partisipasi petani untuk ikut asuransi juga turun). Jika diasumsikan perubahan tingkat risiko tidak mempengaruhi partisipasi petani, hasil simulasi (premi = 2 % dari penerimaan usahatani, pertanggungan = 100 % biaya usahatani) menunjukkan bahwa maksimum risiko dimana usaha asuransi masih layak adalah (Tabel 6): o
Jawa Timur
: Sekitar 6.5 %
o
Sulawesi Selatan : Sekitar 6 %.
Ø Dari analisis kelayakan finansial dapat disimpulkan bahwa tanpa subsidi tampaknya sulit mengembangkan asuransi pertanian untuk usahatani padi. Upaya untuk menekan subsidi dapat ditempuh melalui pengurangan risiko usahatani dan atau menurunkan nilai pertanggungan. Dalam konteks ini, yang lebih strategis adalah menurunkan risiko. Terkait dengan itu, agar motivasi petani untuk ikut asuransi tidak menurun maka pembinaan di lapangan merupakan faktor kunci. Untuk itu, pelibatan PPL sangat diperlukan. Ø Oleh karena membutuhkan subsidi, tampaknya badan usaha yang lebih sesuai adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 3.1.2.2. Kelayakan Unsur-unsur Kunci 3.1.2.2.1. Petani sasaran Petani sasaran tidak perlu dikategorikan menurut skala pengusahaan, partisipasinya dalam lembaga perkreditan, maupun status garapan. Pemilahan berdasarkan kategori skala pengusahaan justru akan memperkecil esensi dari 12
pendekatan berbasis kelompok hamparan. Pemilahan berdasarkan partisipasinya dalam lembaga perkreditan justru akan memperkecil partisipasi petani dalam asuransi karena secara empiris proporsi petani yang menjadi nasabah lembaga perkreditan formal sangat kecil. Pemilahan berdasarkan status garapan menghadapi kendala volatilitas transaksi garapan, meskipun dalam pembayaran nilai pertanggungan implikasi dari status garapan memang harus diperhitungkan (secara operasional harus dirumuskan lebih lanjut). 3.1.2.2.2. Cakupan komoditas Asuransi pertanian sebaiknya ditujukan untuk satu jenis komoditas, yang dalam konteks ini adalah usahatani padi. Dasar pertimbangannya adalah bahwa dalam hal-hal tertentu variasi komoditas ataupun pola tanam berimplikasi pada besaran biaya usahatani, risiko, dan ketidak pastian. 3.1.2.2.3. Cakupan asuransi nilai jaminan dan penentuan kerugian Hasil analisis kelayakan finansial seperti dibahas di atas didasarkan atas asumsiasumsi yang tujuannya untuk memperoleh temuan yang sifatnya strategis. Aspek-aspek yang lebih bersifat taktis – operasional dapat diketahui melalui hasil kajian empiris dari kaji tindak. Termasuk dalam konteks tersebut adalah tentang cakupan asuransi nilai jaminan dan penentuan kerugian. 3.1.2.2.4. Nilai premi dan prosedur pengumpulan Dalam asuransi, perhitungan tentang nilai premi mengacu pada nilai pertanggungan, aktuaria (risiko, probabilitas), tatacara pembayaran premi maupun pertanggungan, biaya administrasi, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini acuan yang dijadikan basis nilai premi adalah total penerimaan usahatani dan nilai pertanggungan. Penyederhanaan ini antara lain juga didasari atas hasil studi pustaka dan hasil diskusi mendalam dengan aparat terkait di lapangan. Sudah barang tentu operasionalisasinya masih memerlukan penyempurnaan ataupun modifikasi lebih lanjut. Prosedur pengumpulan yang layak adalah melalui kelompok dan disupervisi dengan ketat oleh lembaga asuransi. Ini merupakan konsekuensi logis dari pendekatan kelompok dan implikasi dari upaya efisiensi biaya administrasi. 3.1.2.2.5. Mekanisme penyesuaian kerugian. Mekanisme penyesuaian kerugian berkaitan langsung dengan persoalan empiris dari operasionalisasi skim asuransi. Oleh karena itu penelitian ini belum dapat dianalisis dengan baik melalui penelitian ini. 3.1.2.2.6. Struktur Organisasi, Skim Pendanaan, dan Susunan Penjaminan Ulang Sebagaimana dibahas di atas, bentuk badan usaha yang diperkirakan sesuai adalah BUMN. Dalam hal ini oleh karena konfigurasi spatial maupun aspek-aspek yang terkait dengan pola pembinaan petani dalam usahatani melibatkan berbagai instansi pemerintah yang strukturnya telah "establish" maka koordinasi dengan lembaga-lembaga tersebut sangat diperlukan. Meskipun demikian bentuk final struktur organisasi harus diupayakan seramping mungkin agar efisien dan efektif. Bentuk kajian paling sesuai adalah melalui kaji tindak atau proyek rintisan. Hal serupa juga berlaku untuk sistem pendanaan dan susunan penjaminan ulang karena sarat dengan aspek-aspek teknis yang sangat sulit dapat dikaji selain melalui suatu pilot project. 13
3.1.2.2.7. Komunikasi dengan petani Konfigurasi spatial dan struktur usaha pertanian komoditas padi di Indonesia berimplikasi bahwa sistem komunikasi yang efisien (dan diharapkan juga efektif) dapat dibangun berbasis kelompok. Secara teoritis pendekatan individu memang paling efektif untuk menegakkan aturan tentang hak dan kewajiban, tetapi mungkin tidak efisien dari sudut pandang biaya. Sebaliknya, pendekatan kelompok juga mengandung kerawanan terutama jika aspek-aspek pokok organisasi (batas yurisdiksi, aturan repersentasi, dan aspek kepemilikan) kelompok tani tidak kokoh sehingga hak dan kewajiban individu dalam asuransi tidak dapat ditransformasikan secara efektif dalam kelembagaan yang berlaku dalam kelompok yang bersangkutan. Implikasinya, pemberdayaan kelompok merupakan syarat mutlak. Asuransi pertanian memerlukan sistem administrasi yang canggih. Oleh karena itu petani peserta harus memiliki "farm record keeping (FRK)". Dalam konteks ini jika kelompok tani berhasil dikembangkan sebagai wadah yang benar-benar representatif maka kendala yang dihadapi dalam pembuatan FRK individual petani dapat dimodifikasi menjadi FRK tingkat kelompok tani. 3.1.3. Perspektif Pengembangan Asuransi Pertanian di Indonesia Jenis risiko usaha pertanian yang sering terjadi di Indonesia adalah kekeringan banjir dan serangan hama penyakit yang cenderung bersifat bencana. Risiko tersebut terjadi dengan frekuensi dan intensitas yang berbeda-beda menurut waktu dan tempat. Hadi et al. (2000) menghitung bahwa selama periode 1989-1998 total areal tanaman padi yang mengalami puso akibat bencana kekeringan banjir dan serangan hama penyakit berturut-turut seluas 0 50; 0 21 dan 0 06 persen dari total area tanam. Departemen Pertanian pernah membangun sistem asuransi pertanian formal. Upaya itu didahului dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Persiapan Pengembangan Asuransi Panen dengan SK Menteri Pertanian pada tahun 1982. Tugas Pokja tersebut adalah: (i) mempelajari kemungkinan penerapan sistem asuransi usahatani (crop insurance) (ii) mejajagi mengusahakan dan memanfaatkan dari negara lain (iii) menyiapkan rancangan bentuk sistem asuransi usahatani khususnya usahatani padi (iv) melakukan uji coba sistem asuransi usahatani dan (v) memberikan rekomendasi dan mengajukan rencana pembangunan sistem asuransi kepada pemerintah. Sayangnya Pokja yang dibentuk tersebut tidak berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya. Oleh karena itu tahun tahun 1984 dibentuk kembali Pokja yang baru dengan tugas-tugas yang sama seperti Pokja sebelumnya dan Pokja inipun tidak berhasil. Tahun 1985 kembali dilakukan hal yang sama dan sekali lagi Pokja ini juga mengalami nasib serupa. Pada tahun 1999 dibentuk Tim Pengembangan Asuransi Pertanian dengan Surat Penunjukkan Menteri Pertanian. Tim ini mengemban tugas yang sama seperti PokjaPokja yang dibentuk sebelumnya dengan mengikutsertakan anggota yang baru yaitu Badan Litbang Pertanian yang dalam Pokja-Pokja sebelumnya tidak diikutsertakan. Dari Tim ini dapat dihasilkan proposal sistem paket asuransi yang menggabungkan asuransi panen dengan asuransi jiwa. Konon paket program asuransi tersebut sudah mulai dioperasikan pada tahun 2000 dalam bentuk proyek rintisan (pilot project) walaupun tidak diketahui hasil-hasil yang diperoleh. Pada tahun 1971 pemerintah melalui Departemen Keuangan telah membentuk suatu lembaga yaitu Askrindo. Institusi baru ini merupakan bagian dari upaya menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah (UKM). Pada awalnya untuk melaksanakan upaya tersebut Askrindo menjalankan usaha asuransi kredit bank dan 14
dalam perkembangan selanjutnya upaya tersebut dilengkapi dengan usaha-usaha lainnya khususnya di bidang penjaminan. Jenis jasa tersebut tidak hanya memperbesar akses pengusaha terhadap sumber perkreditan tapi juga untuk mendukung arus perdagangan. Seluruh usaha tersebut pada dasarnya memiliki manfaat memperbesar akses sektor riil terhadap sektor finansial. Oleh karena itulah Askrindo menyatakan diri sebagai “A Bridge to Your Financial Trust”. Dengan melaksanakan usaha-usaha tersebut sampai dengan 2004 Askrindo telah membantu lebih dari 6 juta UKM dalam memperkuat struktur usahanya terutama yang bersifat finansial (Master 2004). Bahkan tahun 2007 ini diberitakan bahwa Askrindo siap memberi jaminan kredit terhadap 566 ribu UKM (Widiyanti 2007). Akan tetapi upaya-upaya Askrindo ini belum menyentuh dan belum dirasakan oeh sektor pertanian. Program asuransi yang dirancang lebih bersifat top down yang tidak didasarkan pada hasil penelitian ilmiah dan komprehensif di lapangan. Sementara Lee et al. (1980) berpendapat bahwa keikutsertaan petani terhadap asuransi formal hendaknya dilandasi oleh prinsip rational for buying insurance dan penyediaan asuransi oleh perusahaan asuransi dilandasi oleh kelayakan ekonomi (insurable risk). Dengan perkataan lain sistem asuransi yang dibangun benar-benar sesuai dengan kebutuhan petani setempat (local specific) secara ekonomi fisibel bersifat mendidik petani dan mencegah terjadinya moral hazard pihak-pihak terkait. Penetapan tujuan asuransi hendaknya jelas. Pada awal operasionalisasinya Barus (2000) berpendapat bahwa akan lebih tepat jika digunakan pendekatan essential coverage (seperti di Mexico yang khusus melindungi kehilangan hasil panen) bukan pendekatan all risks (seperti di Chili Sri Lanka dan Jepang). Sementara penetapan persentase resiko maksimum harus mempertimbangkan dalam batas yang mampu ditanggung perusahaan asuransi dan penetapan resiko yang ditanggung perusahaan reasuransi (Soewito 2000). Informasi tentang prakondisi yang diperlukan sangat penting dalam membangun sebuah sistem asuransi pertanian yang rasional. Bagi petani sebagai pihak tertanggung tidak dirasakan terlalu mahal dan fisibel secara ekonomi bagi lembaga penyedia asuransi. Menurut Syachroerodly (2000) sekurang-kurangnya ada 5 prakondisi yang diperlukan. Pertama petani yang menjadi peserta asuransi harus dalam jumlah besar (diwajibkan). Kedua petani peserta harus setuju melaksanakan teknologi yang dianjurkan (oleh Departemen Pertanian) yang dikontrol tenaga ahli. Ketiga adanya jasa bank penyalur kredit yang sekaligus bertindak sebagai agen penjualan polis asuransi. Keempat adanya dukungan secara total Departemen Pertanian khususnya pelaksanaan inspeksi resiko dan penilaian kerugian. Kelima pengaturan asuransi tanaman (padi) hendaknya secara terpusat karena ciri dan sifat yang spesifik. Dari 5 prokondisi yang disarankan diatas Hadi et al. (2000) menambahkan beberapa hal lain yaitu diperlukan adanya tenaga ahli yang berpengalaman khusus mengenai asuransi pertanian dari pihak lembaga asuransi seperti tenaga underwriter tim inspeksi resiko tim agronomi dan tim penilai kerugian. Selain itu juga diperlukan ketersediaan database yang objektif dan memadai bagi lembaga penyedia asuransi; tersedianya sumberdaya keuangan yang memadai; perlu adanya persamaan persepsi pada tingkat pengambil keputusan tentang pentingnya asuransi pertanian; pemagaman tentang ruang lingkup asuransi pertanian. Disamping itu hal yang dianggap esensial yaitu perlu lebih dahulu dilakukan proyek rintisan (pilot project) sebelum dilaksanakan secara massal agar dapat dirumuskan model asuransi pertanian yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Dari dasar pertimbangan taktis, kendala yang dihadapi dalam pengembangan asuransi pertanian untuk usahatani padi di Indonsia mungkin akan lebih mudah diatasi jika situasi dan kondisi di lapangan menyerupai keadaan tahun 1980 – 1984 yang lalu. Secara empiris pada saat itu eksistensi kelompok tani jauh lebih solid daripada periode 15
berikutnya. Perhatian pemerintah di bidang pertanian (terutama tanaman pangan) juga sangat besar. Infrastruktur pendukung pembangunan pertanian berada dalam kondisi prima (terutama eksistensi lembaga penyuluhan maupun kinerja PPL berikut fasilitas dan insentif dalam pelaksanaan tugasnya). 3.2. Prakondisi Pengembangan Sistem Asuransi Pertanian 1. Ketersediaan Database Yang Memadai Prakondisi yang dibutuhkan dalam pengembangan sistem asuransi pertanian (crop insurance) pada usaha komoditas padi dan sapi potong sangat membutuhkan pemahaman yang komprehensif terutama dari sudut pelaksanaannya. Terkait dengan hal tersebut jenis-jenis risiko mana yang paling utama merupakan faktor kunci dalam menentukan rancang-bangun produk asuransi pertanian. Pada komoditas padi bencana alam kekeringan banjir tanah longsor serangan hama dan penyakit atau risiko kenaikan harga-harga komoditas baik input maupun output bahkan risiko moral (moral risk) merupakan faktor-faktor yang menyebabkan usaha budidaya tanaman padi menderita risiko kerugian atau gagal panen. Namun bagi komoditas ternak (sapi potong) serangan penyakit dan kecelakaan yang dapat menyebabkan ternak sakit cacat atau mati pencurian yang menyebabkan peternak kehilangan ternaknya dan ketidaksuburan induk untuk menghasilkan anak. Database yang harus tersedia meliputi komponen-komponen yang menjadi dasar asuransi pertanian dan aspek khusus yang diasuransikan seperti produktivitas produksi luas areal panen populasi ternak kejadian bencana banjir kekeringan serangan hama dan penyakit kematian ternak pertambahan berat ternak harga-harga komoditas dan frekuensi kejadian yang menyebabkan risiko kegagalan panen penurunan produktivitas atau penurunan pendapatan petani dan persentasenya serta data dan informasi terkait risiko usahatani lainnya serta tanggapan atas pilihan terhadap kemungkinan jenis atau model asuransi yang dapat dilakukan. Sementara itu terkait dengan penentuan jenisjenis risiko utama maka diperlukan database tentang berbagai jenis risiko atau kegagalan yang potensial terjadi pada aktivitas usaha komoditas padi dan sapi potong baik secara endogen (faktor dari dalam aktivitas) maupun secara eksogen (dari luar aktivitas). Penelaahan asuransi pertanian biasanya memusatkan kepada cara penanggulangan risiko terhadap produksi dan panen pertanian (yield risk). Hingga saat ini data statistik tentang kerugian yang terjadi di sektor pertanian yang disebabkan oleh risiko-risiko tersebut diatas masih kurang tersedia. Hal ini merupakan kelemahan dunia perasuransian di kita. Diharapkan pada masa mendatang diperlukan ketersediaan data statistik asuransi yang tertata rapi sehingga penentuan risiko suatu jenis pertanggungan dengan mudah dapat dilakukan. Melihat bentuk-bentuk kegagalan tersebut di atas dapat dilakukan suatu perkiraan atau identifikasi risiko. Adapun cakupan indikator yang umumnya digunakan dalam mengidentifikasi/memperkirakan risiko dalam produksi komoditas pertanian (padi dan sapi potong) adalah sebagai berikut: (a) frekuensi terjadinya suatu risiko kerugian; (b) jumlah dan jenis komponen produksi yang peka terhadap suatu risiko; (c) besar skala dan intensitas risiko; (d) Lamanya suatu risiko terjadi dan kerusakan yang ditimbulkannya; (e) kumulatif risiko dan kerusakan; (f) reversibilitas risiko dan kerugian yang ditimbulkannya. Sehubungan dengan hal tersebut penerapan asuransi di beberapa negara berkembang kesulitan utama dalam penentuan nilai pertanggungan dan jumlah premi adalah juga karena kurangnya data dan informasi yang menghubungkan kejadian berisiko dengan kerugian aktual di lapangan secara series multi lokasi dan berkelanjutan. 16
2. Ketersediaan Personal Yang Terlatih Pengembangan kemampuan sumberdaya manusia sangat diperlukan yakni gabungan antara pengetahuan dibidang usahatani (padi dan sapi potong) dan bidang asuransi yang bagi lembaga asuransi dapat menimbulkan ”adverse selection of risk” yang timbul karena kesalahan pemilihan nasabah. Selain itu yang perlu dipertimbangkan pula adalah pengetahuan dan kesadaran masyarakat khususnya petani akan pentingnya asuransi pertanian masih rendah sehingga memungkinkan terjadinya: (1) Moral hazard yang menyebabkan peluang terjadinya kerugian yang disengaja cukup besar dan (2) Sebagian petani masih enggan untuk mengasuransikan tanaman atau ternaknya terutama para petani kecil. Untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan asuransi pertanian perlu didukung oleh tenaga pelaksana yang berkompeten di bidang tersebut seperti para PPL yang Tupoksinya (tugas pokok dan fungsi) melakukan pembinaan terhadap petani/kelompok tani dan mempunyai wilayah kerja di tiap-tiap desa. Oleh karena itu PPL dapat dilibatkan ke dalam tim pelaksana tersebut dan pembentukan tersebut disesuaikan kebutuhan dan perekrutan tenaga tersebut perlu ditetapkan pula kriteria-kriteria tertentu. Saat ini relatif belum banyak perusahaan asuransi kerugian di Indonesia yang mampu meng-underwrite kerugian-kerugian yang terjadi di sektor pertanian. Prinsip underwriting dalam kegiatan perasuransian memiliki arti yang amat penting dalam pertimbangan sebelum melakukan perjanjian amat wajar bila penanggung (pihak perusahaan) mutlak harus mengetahui terlebih dahulu seluk beluk apa yang akan dijadikan obyek asuransinya serta terhadap peristiwa-peristiwa apa yang akan diberikan suatu jaminan. Dalam hal ini peran personal yang terlatih suatu keharusan karena hal tersebut bagi penanggung merupakan landasan untuk melaksanakan usahanya berdasar suatu kebijaksaan underwriting yang sehat dengan memperhatikan segala faktor teknis maupun non teknis untuk tercapainya sasaran yang telah ditetapkan serta terjaminnya kepentingan pihak tertanggung (petani/peternak). 3. Pemantauan (Monitoring)dan Evaluasi Dalam praktek penerapannya mekanisme asuransi dapat dilaksanakan dengan baik jika diperhatikan unsur-unsur sebagai berikut: a. Predictability of losses (perkiraan kerugian) b. Absence of catastrophic losses (tidak adanya kerugian yang sangat besar) c. Moral hazard (kecenderungan untuk menimbulkan kerugian dengan sengaja) Yang dimaksud dengan predictability of losses adalah dimungkinkannya memperkirakan frekuensi dan besar kerugian yang akan terjadi di masa yang akan datang didasarkan atas pemantauan dan evaluasi terhadap kerugian pada masa yang lalu. Kemampuan untuk membuat predictability of lossess yang lebih tinggi pada umumnya akan meningkatkan kemampuan penetapan tingkat biaya asuransi (premi) yang lebih tepat. Keadaan demikianlah yang selalu dicari dan didambakan oleh perusahaan asuransi (penanggung) Yang dimaksudkan dengan catastrophic losses adalah kerugian yang jumlahnya sangat besar yang disebabkan oleh satu sumber penyebab kerugian (gempa bumi serangan hama tanaman banjir kekeringan dan sebagainya). Kerugian yang sangat besar ini merupakan hal yang sangat memberatkan bagi penanggung dan merupakan hal yang diluar perkiraan kemungkinan terjadinya kerugian dalam proses penetapan premi. Terkait dengan ini maka sangatlah diperlukan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap sumber penyebab kerugian di masa yang lalu. Yang dimaksud dengan moral hazard adalah kecenderungan timbulnya perilaku seseorang baik disengaja ataupun tidak sehingga dapat meningkatkan kemungkinan 17
timbulnya kerugian. Kurang tekunnya dalam berusahatani ataupun adanya kesengajaan dalam kegiatan pra-panen dan pasca-panen dengan tujuan untuk mendapatkan claim asuransi adalah beberapa contoh dari moral hazard tersebut. Namun dalam praktek pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam suatu claim asuransi biasanya tidak mudah. Namun demikian demi untuk menunjang keberhasilan kegiatan usahatani dan agribisnis mekanisme asuransi dalam hal monitoring dan evaluasi perlu diterapkan baik dalam tahap pasca-panen maupun dan khususnya dalam tahap pra-panen. Aspek predictability dan catastrophic losses harus diatasi dengan menggunakan cara sindikasi atau pooling dari semua penanggung dengan dibantu oleh Pemerintah. Pihak perbankan juga perlu dilibatkan tidak saja dalam pengadaan dana yang diperlukan tetapi juga sekaligus melibatkan secara aktif untuk menurunkan risiko. Yang dimaksud dengan risiko disini adalah risiko kegagalan panen risiko kegagalan pemasaran dan risiko kegagalan menajemen. Bank ditiap daerah seyogyanya sudah melakukan pre-feasibility study tentang kegiatan usahatani dan agribisnis yang cocok di daerah tersebut baik dilihat dari segi macam kegiatan maupun dari segi permintaan atas hasil kegiatan tersebut. Bank juga akan mencantumkan persyaratan yang harus dipenuhi termasuk personalia dan macam manajemen yang diperlukan dan dimana perlu bank harus siap menyediakan tenaga ahli dan manajemen yang diperlukan tadi. Untuk petani atau siapa saja yang ingin memulai atau memperluas usaha seakan-akan sudah mendapat bimbingan dari bank tersebut. Hal-hal yang demikian tentu saja akan meningkatkan kepercayaan pihak asuransi untuk bersedia menyediakan program asuransinya. Sebaliknya pihak bank juga akan merasa lebih aman dengan adanya jaminan yang diberikan oleh pihak asuransi. Itulah sebabnya kegiatan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kerugian harus merupakan usaha saling mengisi dari pihak perasuransian maupun dari pihak perbankan. Suatu kajian atau penelitian khusus mengenai penghitungan nilai jaminan dan ganti kerugian merupakan unsur kunci dalam asuransi standar dan hal ini perlu dievaluasi secara periodik. Perhitungan akan berbeda antara semua jenis risiko (all risks) untuk risiko tertentu saja (named perils) atau beberapa jenis resiko (multi perils). Nilai jaminan dan ganti kerugian akan sangat menentukan nilai premium yang perlu dibayar peserta asuransi kepada lembaga asuransi. 4. Arus Informasi Teknologi dan Berbagai Gagasan untuk Penyempurnaan Sebagian petani masih tertinggal dalam penerapan pengetahuan dan teknologi serta sistem manajemen. Dilain pihak masih berpengaruhnya faktor-faktor alam tersebut menyebabkan relatif tingginya peluang (probability) terjadinya kegagalan produksi. Di samping itu fluktuasi harga yang tinggi sebagai akibat dari terjadinya fluktuasi produksi karena musim pada dasarnya merupakan akibat dari sifat komoditas pertanian yang kurang menguntungkan. Sifat komoditas pertanian yang tidak menguntungkan tersebut antara lain karena relatif panjangnya gestation period sifat perishable bulky dan seasonal serta penyebarannya secara spatial. Namun demikian risiko kegagalan produksi dan risiko kegagalan pemasaran hasil pertanian bukanlah merupakan hal yang tidak dapat dirubah (given) yang harus diterima begitu saja. Petani sebenarnya sejak dahulu telah berusaha untuk mengatasi risiko-risiko yang dihadapinya dalam berbagai cara yang tergantung pada keadaan-keadaan tertentu. Dengan asumsi petani mempunyai rasionalitas yang terbatas (bounded rationality) dimana pada umumnya petani tidak mendapat akses kepada informasi dan apabila informasi tersedia juga tidak berkemampuan untuk dapat mengolah informasi tersebut maka dari sekian banyak alternatif yang tersedia untuk mengatasi risiko-risiko tersebut petani tidak mampu memilih alternatif yang terbaik. Meskipun demikian sesuai dengan kendala-kendala yang dihadapinya petani masih memperhitungkan manfaat dan biaya 18
(benefit/cost) yang berkaitan dengan tindakan mengatasi setiap risiko yang dihadapinya. Atau dengan keamanan dari risiko tertentu (tolerable risk) yang masih dapat diterima oleh petani maka petani akan mengambil alternatif cara penanggulangan risiko yang paling murah (cost effective); yang dapat dibandingkan dengan semacam tingkat ’perlindungan’ minimum diperlukan oleh petani agar dapat menutupi tingkat kerugian tertentu yang mungkin terjadi dibanding atas sekian banyak bentuk-bentuk kemungkinan terjadinya bencana kegagalan yang terjadi. Ada berbagai tahapan yang perlu dilalui dalam rangka pengembangan asuransi pertanian. Dalam setiap tahapan akan sangat erat berhubungan dengan berbagai pihak terkait atau stakeholders seperti pemerintah pusat dan daerah organisasi petani atau pengusaha pertanian perusahaan asuransi lembaga keuangan baik perbankan maupun non bank lembaga pemasaran dan lain-lain. Dalam berbagai kasus dari pengalaman berbagai negara yang mengembangkan asuransi pertanian terdapat isu-isu penting dan tahap-tahap pengembangan asuransi antara lain : (1)
Membangun sebuah tim multidisiplin yang solid dalam rangka pengembangan asuransi pertanian (2) Melakukan pengumpulan data dan informasi termasuk di dalamnya peraturanperaturan yang dapat digunakan untuk pelaksanaan program asuransi oleh lembaga asuransi pemerintah atau swasta (3) Keputusan mengenai jenis tanaman dan atau ternak yang tercakup dalam program asuransi (insured commodities) (4) Melakukan analisis permintaan asuransi (demand assessment) (5) Mengidentifikasi sasaran atau peserta asuransi (insured parties) (6) Penentuan risiko yang diasuransikan (key peril of insurance) (7) Analisis pilihan asuransi model adminitrasi prosedur penilaian kerugian dan penentuan associated cost (8) Rating atau pengukuran besaran premium murni biaya administratif dan penyesuaian overhead yang dibebankan secara keseluruhan besarnya premi yang harus dibayar (9) Melakukan test program di lapangan atau pilot project (10) Mengevaluasi hasil pilot project dan membuat modifikasi penyesuaian-penyesuaian dan perbaikan (11) Implementasi program secara lebih luas atau mencari program alternatif yang lebih tepat 3.3. Kebijakan Pendukung Pengembangan Sistem Asuransi Pertanian Dalam upaya pengembangan asuransi khususnya sistem asuransi pertanian diperlukan campur tangan pemerinah berupa kebijakan. Berbagai bentuk kebijakan perlu dibangun dalam rangka mendukung pengembangan sistem asuransi pertanian. Kebijakan yang diyakini akan sangat bermanfaat untuk pengembangan sistem ini yaitu diperlukannya suatu proyek rintisan (pilot project) yang merupakan “tempat belajar” bagi pembuat kebijakan. Dari proyek ini diharapkan akan diperoleh pengalaman dan pengetahun serta informasi berguna tentang seluk beluk sistem asuransi pertanian. Dengan demikian segala kebijakan yang diaplikasikan didasarkan pada situasi dan keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Sehingga tujuan dan langkah-langkah yang diambil akan tepat sesuai seperti kebutuhan dan diharapkan akan berdampak efektif dan berhasil dengan baik. Hal lain yang juga penting diperlukannya penetapan prioritas wilayah yang akan dikembangkan mengingat sangat beragamnya antara wilayah satu dengan lainnya. Pertimbangan prioritas tersebut didasarkan tidak hanya pada aspek teknis budidaya 19
pertanian itu sendiri tapi juga aspek-aspek lainnya seperti sosial ekonomi bahkan aspek budaya masyarakatpun termasuk bahan pertimbangan. Salah satu hal yang penting dan diperlukan yaitu dibutuhkannya pemetaan potensi risiko yang terjadi. Aspek ini merupakan suatu dasar pertimbangan dalam menetapkan prioritas terutama bagi pihakpihak penyedia asuransi mengingat faktor risiko baik jenis maupun intensitasnya sangat menentukan layak-tidaknya sebuah asuransi pertanian direalisasikan. Disamping itu inisiasi pengembangan kelembagaan agar diprioritaskan terutama bagi wilayah-wilayah yang dinilai mendesak dibangunnya sistem asuransi pertanian. Kelembagaan kelompok merupakan komponen penting dalam sistem asuransi pertanian. Peranan kelembagaan ini sangat menentukan tingkat keberhasilan sistem asuransi pertanian. Dalam menyandang tugas-tugasnya kelembagaan kelompok harus berfungsi baik kuat dan efisien. Dengan demikian penguatan kelembagaan kelompok mutlak diperlukan dalam menunujang operasionaisasi kegiatan asuransi pertanian. Kebijakan pendukung yang diterapkan hendaknya dilaksanakan secara konsisten dan tegas sehingga berbagai pihak yang terkait baik dari petani sebagai peserta asuransi maupun para penyedia asuransi dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam berpartisips. Terkait dengan hal ini promosi kepada pihak swasta merupakan upaya yang positif dalam pengembangan sistem asuransi pertanian.
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa berdasarkan kajian atas struktur dasar asuransi pertanian maka yang layak ditindak lanjuti adalah untuk usahatani padi. Risiko usahatani yang layak diasuransikan adalah kegagalan panen akibat kekeringan, kebanjiran dan serangan organisme pengganggu tanaman. Pendekatan yang layak adalah area (hamparan) dan jika keikut sertaan didasarkan atas sukarela namun harus ada upaya yang memungkinkan tingkat partisipasinya mendekati tingkat partisipasi wajib. Usaha asuransi pertanian untuk usahatani padi hanya layak secara finansial jika ada subsidi dari pemerintah. Terkait dengan itu badan usaha yang mungkin lebih sesuai adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Terdapat beberapa skim subsidi yang layak dipilih dengan acuan utama besaran nilai pertanggungan yang akan dibayarkan kepada petani dan tingkat risiko usahatani. Mengingat asuransi pertanian melibatkan banyak sekali faktor-faktor teknis, faktor-faktor manajerial, dan faktor-faktor sosial kelembagaan maka tidak dianjurkan mengembangkan asuransi pertanian tanpa didahului dengan suatu proyek rintisan. Asuransi pertanian untuk usahatani padi dapat dikembangkan jika dan hanya jika pemerintah meletakkannya sebagai bagian integral dari pembangunan pertanian, khususnya usahatani padi. Mengingat bahwa era perubahan iklim telah terjadi sehingga di masa mendatang risiko dan ketidak pastian usahatani padi cenderung meningkat maka "political will" dan konsistensi kebijakan pemerintah di bidang pengembangan asuransi pertanian sangat diperlukan.
20
DAFTAR PUSTAKA Adams R. M. B. Hurd S. Lenhart and N. Leary. (1998). "The Effects of Global Warming on Agriculture: An Interpretative Review". Journal of Climate Research 11 19-30. Antle J.M. 1987. Econometric Estimation of Producer's Risk Attitudes. American Journal of Agricultural Economics 69(3): 509 - 522. Barry P.J. J.A. Hopkins and C.B. Baker. 1983. Financial Management in Agriculture. The Interstate Printers & Publishers Inc. Danville Illinois. Barus
T.N. 2000. Kesiapan Industri/Perusahaan Asuransi Dalam Mendukung Pembangunan Pertanian dengan Meletakkan Landasan Design “Crop Insurance” yang Konseptual Berdasarkan Pengalaman Menangani Asuransi Growing Trees/Timber. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sehari: Perspektif Usaha Asuransi Pertanian di Indonesia. Jakarta 20 Juli 2000.
Bosch D.J. and V.R. Eidman. 1987. Valuing Information When Risk Preferences are Nonneutral: An Application to Irrigation Scheduling. American Journal of Agricultural Economics 6(3): 658 - 667. Brennan J.P. 1982. The Representation of Risk in Econometric Models of Supply: Some Observation. Australian Journal of Agricultural Economics 26(2): 151 - 156. Djaelani F. 2000. Kebijakan Perasuransian Dalam Mendukung Pembangunan Pertanian. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sehari: Perspektif Usaha Asuransi Pertanian di Indonesia. Jakarta 20 Juli 2000. Finkelstein I. and J.A. Calfant. 1991. Marketed Surplus Under Risk: Do Peasants Agree With Sandmo?. American Journal of Agricultural Economics 73(3): 557 - 567. Hadi P.U. C. Saleh A. S. Bagyo R. Hendayana Y. Marisa dan I. Sadikin. 2000. Studi Kebutuhan Asuransi Pertanian Pada Pertanian Rakyat. Laporan Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. Harsh S.B. L.J. Connor and G.D. Schwab. 1981. Managing the Farm Business. Michigan State University Press Michigan.
IPCC 2001: Climate Change 2001: Impacts Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [McCarthy James J. Canziani Osvaldo F. Leary Neil A. Dokken David J. and White Kasey S. (eds.)]. Cambridge University Press Cambridge United Kingdom and New York NY USA 1032pp. Lee W.F. M.D. Boehlje A.G. Nelson and W.G. Murray. 1980. Agricultural Finance. Seventh Edition The Iowa State University Press Ames.
McCarl Adams and Hurd (2001). Global Climate Change and Its Impact on Agriculture. http://agecon2.tamu.edu/people/faculty/mccarl-bruce/papers/879.pdf. Mishra
P.K. 1999. Planning for the Development and Operation of Agricultural Insurance Schemes. In: APO. Development and Operation of Agricultural Insurances in Asia. Asian Productivity Organization Tokyo.
Sakurai T. 1997. Crop Production under Risk and Estimation of Demand for Formal Drought Insurance in the Sahel. Part of PhD Dissertation of Essays on Uncertainty and Sustainability in the Semi-Arid Tropics Michigan State University. 21
Saliem H.P. and Supriyati. 2006. Diversifikasi Usahatani dan Tingkat Pendapatan Petani di Lahan Sawah. Makalah disampaikan dalam "AGRIDIV In-Country Seminar: Poverty Alleviation through Development of Secondary Crops" Bogor 23 March 2006. Soewito M. 2000. Kesiapan dan Prasyarat Lembaga Asuransi Dalam Mendukung Asuransi Pertanian di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sehari: Perspektif Usaha Asuransi Pertanian di Indonesia. Jakarta 20 Juli 2000.
Stern
N. S. Peters V.Bakhshi A.Bowen C.Cameron S.Catovsky D.Crane S.Cruickshank S.Dietz N.Edmonson S.-L.Garbett L.Hamid G.Hoffman D.Ingram B.Jones N.Patmore H.Radcliffe R.Sathiyarajah M.Stock C.Taylor T.Vernon H.Wanjie and D.Zenghelis (2006) Stern Review: The Economics of Climate Change HM Treasury London.
Sumaryanto. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Menerapkan Pola Tanam Diversifikasi: Kasus di Wilayah Pesawahan Irigasi Teknis DAS Brantas. Makalah disampaikan dalam "AGRIDIV In-Country Seminar: Poverty Alleviation through Development of Secondary Crops" Bogor 23 March 2006. Susilowati S.H. Supadi dan C. Saleh. 2002. Diversifikasi Sumber Pendapatan Rumah Tangga di Pedesaan Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi 20(1): 85 - 109. Syachroerodly H.D. 2000. Sumber dan Alternatif Pembiayaan Asuransi Pertanian serta Kesiapan Perusahaan Dalam Mendukung Pembangunan Pertanian. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sehari: Perspektif Usaha Asuransi Pertanian di Indonesia. Jakarta 20 Juli 2000.
22
Tabel 1. Proyeks produktivitas usahatani padi di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan (Ton/Ha). Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Jawa Timur 5.23 5.38 5.53 5.68 5.83 5.98 6.13 6.28 6.43 6.58 6.73 6.87 7.02 7.16 7.30 7.44 7.58 7.72 7.86 7.99 8.12 8.26 8.38 8.51 8.64 8.76
Sulawesi Selatan 4.34 4.47 4.59 4.72 4.85 4.97 5.10 5.22 5.34 5.47 5.59 5.71 5.83 5.95 6.07 6.19 6.30 6.42 6.53 6.64 6.75 6.86 6.97 7.07 7.18 7.28
Tabel 2. Arus penerimaan dan pengeluaran usaha asuransi pertanian untuk usahatani padi di Jawa Timur Nominal, dalam juta rupiah Penerimaan (inflow) Tahun 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Premi
Subsidi
Total
2 715.3 3 134.8 3 616.4 4 168.7 4 801.9 5 527.4 6 358.0 7 308.4 8 395.5 9 638.1 11 057.9 12 679.1 14 529.5 16 640.6 19 047.9 21 791.9 24 918.1 28 478.5 32 531.7 37 144.0 42 390.6 48 356.7 55 138.3 62 844.4
1 300.5 371.0 1 678.2 1 729.1 1 994.7 2 299.3 2 648.6 3 048.7 3 506.8 4 031.1 4 630.7 5 316.1 6 099.1 6 993.4 8 014.0 9 178.4 10 506.2 12 019.7 13 744.0 15 707.8 17 943.4 20 487.4 23 381.3 26 671.9 30 412.4 34 662.8
1 300.5 371.0 4 393.5 4 863.9 5 611.1 6 468.1 7 450.5 8 576.1 9 864.8 11 339.5 13 026.2 14 954.2 17 157.0 19 672.4 22 543.5 25 819.0 29 554.1 33 811.5 38 662.1 44 186.3 50 475.0 57 631.4 65 771.9 75 028.6 85 550.7 97 507.2
Investasi 2 601.0 742.0 361.0 -
Total pengeluaran (outflow) Pembayaran Biaya tanggungan operasional 1 141.9 1 011.8 2 995.3 1 102.4 3 458.2 1 201.5 3 989.4 1 794.4 4 598.7 1 428.0 5 297.2 1 557.3 6 097.4 1 698.7 7 013.7 2 507.1 8 062.2 2 022.4 9 261.4 2 207.5 10 632.1 2 410.0 12 198.3 3 310.8 13 986.7 2 874.5 16 028.0 3 140.5 18 356.8 3 431.8 21 012.4 4 026.2 24 039.3 4 101.0 27 488.0 4 484.7 31 415.6 4 905.4 35 886.8 5 482.2 40 974.8 5 873.4 46 762.5 6 429.2 53 343.8 7 039.3 60 824.9 7 709.3 69 325.7 8 445.1
23
Total 3 742.9 1 753.8 4 458.8 4 659.6 5 783.7 6 026.7 6 854.5 7 796.1 9 520.7 10 084.6 11 468.8 13 042.2 15 509.1 16 861.3 19 168.5 21 788.6 25 038.7 28 140.3 31 972.7 36 321.0 41 369.0 46 848.1 53 191.7 60 383.1 68 534.1 77 770.8
Penerimaan bersih -2 442.4 -1 382.8 -65.3 204.3 -172.6 441.4 596.1 780.0 344.0 1 254.9 1 557.4 1 912.1 1 647.9 2 811.2 3 375.1 4 030.4 4 515.5 5 671.2 6 689.5 7 865.3 9 106.1 10 783.2 12 580.2 14 645.4 17 016.6 19 736.4
Tabel 3. Arus penerimaan dan pengeluaran usaha asuransi pertanian untuk usahatani padi di Sulawesi Selatan Penerimaan (inflow) Tahun 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Premi
Subsidi
2 245.8 2 586.9 2 977.5 3 424.5 3 935.8 4 520.1 5 187.6 5 949.6 6 819.1 7 810.7 8 941.0 10 228.7 11 695.0 13 364.0 15 262.8 17 422.0 19 876.3 22 664.9 25 832.2 29 428.0 33 508.8 38 138.4 43 388.7 49 340.9
1 432.0 371.0 1 249.1 1 230.9 1 416.8 1 629.5 1 872.8 2 150.8 2 468.5 2 831.1 3 244.8 3 716.7 4 254.5 4 867.2 5 565.0 6 359.1 7 262.6 8 290.1 9 457.9 10 784.9 12 292.0 14 003.0 15 944.8 18 147.8 20 646.1 23 478.4
Total 1 432.0 371.0 3 494.9 3 817.8 4 394.3 5 054.0 5 808.5 6 670.9 7 656.0 8 780.7 10 063.9 11 527.4 13 195.5 15 095.9 17 260.0 19 723.2 22 525.4 25 712.0 29 334.2 33 449.8 38 124.1 43 431.0 49 453.7 56 286.2 64 034.9 72 819.4
Investasi 2 864.0 742.0 361.0 -
Nominal, dalam juta rupiah Total pengeluaran (outflow) Penerimaan Pembayaran Biaya Total bersih Tanggungan operasional outflow 1 113.8 3 977.8 -2 545.8 957.5 1 699.5 -1 328.5 2 137.2 1 044.7 3 543.0 -48.1 2 461.9 1 144.3 3 606.2 211.6 2 833.6 1 773.0 4 606.6 -212.3 3 259.0 1 368.4 4 627.5 426.6 3 745.6 1 492.9 5 238.5 570.0 4 301.7 1 629.2 5 930.8 740.1 4 936.9 2 432.0 7 368.9 287.1 5 662.1 1 941.3 7 603.4 1 177.2 6 489.6 2 119.9 8 609.5 1 454.4 7 433.3 2 315.4 9 748.8 1 778.6 8 509.0 3 208.7 11 717.6 1 477.9 9 734.5 2 764.2 12 498.7 2 597.2 11 130.0 3 021.3 14 151.3 3 108.7 12 718.3 3 303.1 16 021.4 3 701.7 14 525.3 3 887.3 18 412.6 4 112.8 16 580.1 3 950.9 20 531.1 5 181.0 18 915.9 4 322.6 23 238.5 6 095.8 21 569.8 4 730.4 26 300.2 7 149.7 24 584.0 5 293.2 29 877.1 8 247.0 28 006.0 5 669.2 33 675.2 9 755.7 31 889.7 6 208.7 38 098.4 11 355.3 36 295.6 6 801.2 43 096.8 13 189.5 41 292.2 7 452.1 48 744.3 15 290.6 46 956.8 8 167.3 55 124.1 17 695.2
Tabel 4. Hasil simulasi pengaruh besaran subsidi terhadap kelayakan usaha asuransi pertanian untuk usahatani padi Skenario
Subsidi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Jawa Timur NPV (Rp. Milyar) IRR (%) -21.475 -17.411 -13.347 -9.283 -5.218 5.10 -1.154 10.70 2.910 14.98 6.975 18.72 11.039 22.26 15.103 25.75 19.167 29.31 23.232 33.05 27.296 37.03 31.360 41.34 35.424 46.06 39.489 51.29 43.553 57.13 47.617 63.72 51.681 71.22
24
R/C 0.785 0.826 0.867 0.907 0.948 0.988 1.029 1.070 1.110 1.151 1.192 1.232 1.273 1.313 1.354 1.395 1.435 1.476 1.516
Sulawesi Selatan NPV (Rp. Milyar) IRR (%) -13.407 -10.521 -7.634 -4.748 5.89 -1.861 9.85 1.025 13.10 3.911 16.00 6.798 18.73 9.684 21.40 12.570 24.08 15.457 26.85 18.343 29.75 21.230 32.85 24.116 36.21 27.002 39.92 29.889 44.06 32.775 48.75 35.661 54.12 38.548 60.38
R/C 0.823 0.861 0.899 0.937 0.975 1.014 1.052 1.090 1.128 1.166 1.204 1.242 1.280 1.318 1.356 1.394 1.432 1.470 1.508
Tabel 5. Hasil simulasi pengaruh prosentase biaya usahatani yang ditanggung terhadap kelayakan usaha asuransi pertanian untuk usahatani padi dengan subsidi dari pemerintah sebesar 25 %.
Skenario 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
% Biaya usahatani yang ditanggung 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Jawa Timur NPV (Rp. Milyar) 43.188 40.273 37.358 34.443 31.528 28.613 25.698 22.783 19.868 16.953 14.038 11.123 8.208 5.293 2.378 -0.537 -3.452 -6.367 -9.283
IRR (%) 40.06 38.49 36.91 35.30 33.67 32.01 30.32 28.60 26.83 25.01 23.13 21.15 19.05 16.79 14.30 11.44 7.95 3.18
Sulawesi Selatan R/C 2.434 2.185 1.986 1.825 1.691 1.578 1.481 1.397 1.325 1.260 1.204 1.153 1.107 1.066 1.028 0.994 0.963 0.934 0.907
NPV (Rp. Milyar) 31.644 29.622 27.600 25.578 23.557 21.535 19.513 17.491 15.470 13.448 11.426 9.404 7.383 5.361 3.339 1.317 -0.704 -2.726 -4.748
IRR (%) 33.96 32.81 31.64 30.46 29.26 28.04 26.80 25.53 24.22 22.88 21.49 20.05 18.53 16.93 15.21 13.33 11.24 8.83 5.89
R/C 2.159 1.987 1.844 1.723 1.618 1.528 1.449 1.379 1.317 1.261 1.211 1.165 1.124 1.086 1.051 1.019 0.990 0.963 0.937
Tabel 6. Hasil simulasi pengaruh tingkat risiko usahatani terhadap kelayakan usaha asuransi pertanian untuk usahatani padi. Skenario 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Risiko (%) 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0 8.5 9.0 9.5 10.0
Jawa Timur NPV (Rp. Milyar) IRR (%) 42.240 43.75 38.407 41.29 34.574 38.81 30.741 36.28 26.907 33.71 23.074 31.08 19.241 28.39 15.408 25.60 11.575 22.68 7.742 19.56 3.909 16.11 0.076 12.09 -3.757 6.88 -7.590 -11.423 -15.256 -19.089 -22.922 -26.755
25
R/C 2.121 1.847 1.652 1.507 1.394 1.304 1.230 1.169 1.117 1.073 1.034 1.001 0.971 0.945 0.921 0.900 0.881 0.864 0.848
Sulawesi Selatan NPV (Rp. Milyar) IRR (%) 30.690 36.75% 27.715 34.73% 24.739 32.67% 21.764 30.58% 18.789 28.43% 15.813 26.23% 12.838 23.94% 9.863 21.55% 6.887 19.00% 3.912 16.23% 0.937 13.10% -2.039 9.34% -5.014 4.30% -7.989 -10.965 -13.940 -16.915 -19.891 -22.866
R/C 1.907 1.697 1.541 1.421 1.326 1.249 1.185 1.131 1.085 1.045 1.010 0.979 0.952 0.928 0.906 0.887 0.869 0.853 0.838