ANALISIS USAHATANI PADI KONVENSIONAL DAN PADI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) ORGANIK (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah)
SKRIPSI
SITI FATIMAH VIETA PRASETYA NINGTYAS H34096104
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN EKSEKUTIF
SITI FATIMAH VIETA PRASETYA NINGTYAS. Analisis Usahatani Padi Konvensional dan Padi System Of Rice Intensification (SRI) Organik (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan YUSALINA). Secara luas Indonesia dikenal dengan sebutan negara agraris. Sewajarnya pertanian di negara Indonesia lebih baik dibandingkan negara lain, karena pertanian memiliki peran yang penting sebagai penyedia lapangan pekerjaan, perolehan devisa, penyedia bahan pangan, serta pembentukan PDB. Akan tetapi pada kenyataannya pertanian lebih banyak dikorbankan untuk dapat menunjang pembangunan industri, sehingga kesejahteraan petani terabaikan karena adanya kebijakan pemerintah tersebut. Kesejahteraan petani semakin menurun pasca diterapkannya sistem pertanian dengan pola High Eksternal Input Agriculture (HEIA). Hal ini ditandai dengan input yang digunakan semakin tinggi, sehingga biaya produksi yang dikeluarkan semakin besar. Penggunaan input kimia pada pola HEIA mengakibatkan kerusakan pada tanah dan menjadikan produktivitas semakin menurun, sehingga keuntungan yang diterima semakin rendah. Munculnya isu-isu tersebut membuat beralihnya petani dan konsumen terhadap produk organik. Produk organik memiliki keunggulan dari segi rasa dan kandungan gizi yang lebih baik. Akan tetapi, hasil produksi pertanian organik pada penerapan awal penanaman lebih sedikit. Hal ini disebabkan karena sistem pertanian organik yang diterapkan pada umunya menggunakan metode pertanian konvensional. Namun kemudian muncul metode bertani dengan System of Rice Intensification (SRI). SRI merupakan suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, dan air. Penerapan metode SRI organik telah dilakukan oleh banyak petani di Indonesia khususnya Pulau Jawa yang memiliki peranan cukup penting dalam perberasan nasional. Desa Ringgit sebagai salah satu desa yang berada di Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah telah menerapkan pertanian organik sejak tahun 1997. Kemudian pada tahun 2003 mulai menerapkan pertanian metode SRI organik. Namun demikian belum adanya kajian mengenai keragaan usahatani padi SRI organik di Desa Ringgit dan apakah terdapat perbedaan produktivitas, pendapatan, serta efisiensi apabila dibandingkan dengan pertanian konvensional. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keragaan usahatani padi SRI organik di Desa Ringgit dan menganalisis apakah terdapat perbedaan pendapatan, produktivitas, dan efisiensi yang signifikan antara pertanian padi konvensional dengan metode SRI organik. Terdapat dua metode analisis yang digunakan yaitu analisis kualitatif dan analisis kunatitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis keragaan usahatani, sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menguji ada atau tidaknya perbedaan produktivitas, pendapatan, dan efisiensi yang didapatkan melalui analisis usahatani. Pengambilan sampel dilakukan melalui dua cara, yaitu
metode sensus dan metode simple random sampling. Metode sensus digunakan untuk pengambilan sampel petani SRI organik dengan jumlah 31 orang. Metode simple random sampling digunakan untuk pengambilan sampel petani konvensional yaitu sebanyak 30 orang dari jumlah keselurahan sebanyak 74 orang. Dengan demikian jumlah responden sebanyak 60 orang. Keragaan usahatani padi SRI organik di Desa Ringgit sudah cukup sesuai dengan panduan penerapan metode SRI organik pada umumnya. Terdapat perbedaan perlakuan antara pertanian konvensional dengan pertanian SRI organik, diantaranya yaitu pertanian konvensional menganggap tanah sebagai mesin sedangkan SRI organik sebagai aset, serangga dianggap sebagai musuh oleh pertanian kovensional dan dianggap sebagai teman oleh pertanian SRI organik, pertanian konvensional menggunakan pupuk dan obat-obatan kimia sedangkan pertanian SRI organik menggunakan pupuk alami seperti kompos dan mol, pertanian SRI organik lebih menyarankan untuk membuat benih sendiri, serta bentuk penjualan hasil panen berupa gabah untuk pertanian konvensional dan beras untuk pertanian SRI organik. Untuk analisis usahatani produktivitas dari pertanian SRI organik sebesar 4,8 ton per hektar, lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian konvensional sebesar 4,5 ton per hektar, sehingga berdampak pada penerimaan yang semakin besar. Karena bentuk output yang diperbandingkan adalah beras, sehingga beras organik memiliki nilai jual lebih tingggi pula, maka pendapatan yang diterima oleh petani SRI organik lebih tinggi sebesar Rp 10.559.276 dan petani konvensional sebesar Rp 3.341.159. Dengan demikian, dilihat dari tingkat efisiensi nilai efisiensi atas biaya total pertanian SRI organik lebih besar yaitu 2,55 dan pertanian konvensional sebesar 1,65.
ANALISIS USAHATANI PADI KONVENSIONAL DAN PADI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) ORGANIK (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah)
SITI FATIMAH VIETA PRASETYA NINGTYAS H34096104
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul
: Analisis Usahatani Padi Konvensional dan Padi System Of Rice Intensification (SRI) Organik (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah)
Nama
: Siti Fatimah Vieta Prasetya Ningtyas
NIM
: H34096104
Disetujui, Pembimbing
Dra. Yusalina, MSi NIP. 19650115 199003 2 001
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Usahatani Padi Konvensional dan Padi System of Rice Intensification (SRI) Organik (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2011
Siti Fatimah Vieta Prsetya Ningtyas H34096104
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 06 Mei 1989 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dan merupakan puteri dari pasangan Bapak Fatkhurachman dan Ibu Sumini Astuti. Penulis mulai memasuki Sekolah Lanjutan Tingkat Atas pada tahun 2003 di SMAT Krida Nusantara Bandung, dan lulus pada tahun 2006. Setelah lulus kemudian pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa pada program keahlian Manajemen Agribisnis melalui jalur USMI. Setelah lulus dari program Diploma III Manajemen Agribisnis (2009) penulis langsung melanjutkan kuliah Strata-1 di Program Ekstensi Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor hingga saat ini.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb, segala puji dan syukur selalu tercurahkan kepada Sang khalik pencipta alam beserta isinya, Allah SWT atas kebesaran dan limpahan rahmat serta hidayah-Nya, shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Syukur alhamdulillah penulis ucapkan atas terselesaikannya penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Usahatani Padi Konvensional dan Padi System of Rice Intensification (SRI) Organik (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah). Tulisan ini merupakan bagian dari proses belajar penulis dalam memahami potensi dan permasalahan yang dihadapi dalam dunia agribisnis, khususnya dalam agribisnis tanaman pangan. Upaya memberikan yang terbaik telah dilakukan secara optimal dalam penyusunan skripsi ini, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Bogor, Desember 2011
Siti Fatimah Vieta Prasetya Ningtyas H34096104
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur Alhamdulillah akhirnya penulisan penelitian ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada : 1. Dra. Yusalina, MSi. selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi, yang telah banyak membantu, mengarahkan, memberi ilmunya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 2. Prof. Dr. Ir Rita Nurmalina S. MSc. selaku dosen evaluator yang telah banyak memberikan saran, kritik dan dukungan. 3. Dr. Ir. Anna Fariyanti M.Si selaku dosen penguji atas arahan dan bimbingannya. 4. Siti Jahroh, P.hD selaku dosen komdik atas masukan yang telah diberikan. 5. Mama dan bapak yang selalu mengirimkan doanya kepada penulis, penulis selalu bersyukur karena terlahir sebagai putri mereka dan selalu berusaha membahagiakan dan memenuhi harapan mereka. 6. Pak Lurah Ringgit dan segenap keluarga besar yang telah banyak membantu, memberikan fasilitas serta memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian. 7. Pak Slamet selaku ketua kelompok Pemuda Tani Lestari (PTL) yang telah banyak memberikan informasi, pelajaran, dan pengalaman. 8. Pak Subirman, Pak Wuryanto, serta seluruh petani responden yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi. 9. Hendro sumardjo atas dukungan, pengertian, dan kesabarannya. 10. Kakak (Ratih) dan adik-adik (Rahmat dan Hafidz) atas dukungan dan doa yang telah diberikan. 11. Mas Wawan dan Mas Yoga yang telah membantu selama penulis berada di tempat penelitian. Bogor, Desember 2011
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ........................................................................................................ i DAFTAR TABEL ..............................................................................................iii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 6 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 7 1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 9 2.1. Gambaran Umum Pertanian Organik di Indonesia ........................ 9 2.2. Dampak Penerapan Metode Organik ........................................... 11 2.3. Gambaran Umum Pertanian Padi SRI di Indonesia ..................... 12 2.4. Dampak Penerapan Metode SRI .................................................. 15 2.5. Perbedaan dan Persamaan dengan Penelitian Terdahulu ............. 17 BAB III KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................... 18 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ....................................................... 18 3.1.1. Definisi Usahatani.............................................................. 18 3.1.2. Definisi Usahatani Berkelanjutan ...................................... 19 3.1.3. Unsur – Unsur Pokok Usaha Tani ..................................... 20 3.1.4. Ukuran Pendapatan dan Keuntungan Usahatani ................ 22 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................ 23 BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................... 26 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 26 4.2. Jenis dan Sumber Data ................................................................. 26 4.3. Metode Pengambilan Sampel ...................................................... 26 4.4. Metode Analisis Data dan Pengujian Hipotesis ........................... 27 4.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani .......................................... 27 4.4.2. Analisis Rasio (R/C Rasio) ................................................ 28 4.4.3. Uji untuk Membedakan Tingkat Pendapatan, Produktivitas, dan Efisiensi ................................................ 30 4.5. Definisi Operasional .................................................................... 31 BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN .................................. 33 5.1. Karakteristik Desa ........................................................................ 33 5.1.1. Kondisi Geografis .............................................................. 33 5.1.2. Kondisi Demografi dan Keadaan Sosial Ekonomi ............ 33 5.2. Gambaran Umum Usahatani Padi di Desa Ringgit...................... 37 5.3. Karakteristik Petani Responden ................................................... 37 5.3.1. Umur Petani ....................................................................... 37 i
5.3.2. Tingkat Pendidikan ............................................................ 38 5.3.3. Status Kepemilikan Lahan ................................................. 39 5.3.4. Luas Lahan Garapan ......................................................... 40 5.3.5. Pengalaman Berusahatani Padi .......................................... 41 BAB VI KERAGAAN USAHATANI PADI ORGANIK DESA RINGGIT ... 43 6.1. Penggunaan Input ...................................................................... 43 6.1.1. Lahan ............................................................................... 43 6.1.2. Bibit ................................................................................. 43 6.1.3. Pupuk ............................................................................... 44 6.1.4. Pestisida ........................................................................... 45 6.1.5. Tenaga Kerja ................................................................... 46 6.1.6. Peralatan Pertanian .......................................................... 47 6.2. Teknik Budidaya........................................................................ 47 6.2.1. Pengolahan Tanah ........................................................... 47 6.2.2. Persiapan Benih ............................................................... 48 6.2.3. Penanaman ....................................................................... 49 6.2.4. Pemupukan Setelah Tanam ............................................. 50 6.2.5. Pengelolaan Air dan Penyiangan ..................................... 52 6.2.6. Panen dan Pasca Panen .................................................... 53 BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI ................................ 54 7.1. Produktivitas Usahatani ............................................................. 54 7.2. Penerimaan dan Pendapatan Usahatani ..................................... 56 7.3. Efisiensi Usahatani .................................................................... 60 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 62 7.1. Kesimpulan ................................................................................ 62 7.2. Saran .......................................................................................... 62 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 64 LAMPIRAN ...................................................................................................... 67
ii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2007-2010 ..................................................................................1
2.
Rumah Tangga Penduduk Indonesia Menurut Mata Pencaharian Tahun 2008 .......................................................................2
3.
Luas Panen, Produktivitas, Produksi Padi Menurut Wilayah di Indonesia Tahun 2007-2009 ..............................................................6
4.
Perhitungan Usahatani.........................................................................29
5.
Jumlah Penduduk Menurut Umur di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2009..................34
6.
Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2009 .....................................................................................................34
7.
Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2009 .....................................................................................................35
8.
Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Golongan Umur di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011.....................................38
9.
Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011.....................................39
10. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Status Kepemilikan Lahan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011..................40 11. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Status Kepemilikan Lahan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011..................41 12. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Pengalaman Berusahatani Padi di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011..................42
iii
13. Penggunaan Input Pupuk Rata-Rata per Iring pada Pertanian Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit Musim Tanam II Tahun 2011 ..........................................................................45 14. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam dan Luar Keluarga Metode Konvensional dan SRI organik di Desa Ringgit Pada MT II ..............47 15. Distribusi Rata-Rata Produktivitas dengan Metode Konvensional dan Metode SRI Organik dalam Luasan 1 ha ..............54 Rata-Rata Penerimaan dengan Metode 16. Distribusi Konvensional dan Metode SRI Organik 1 ha......................................56 17. Distribusi Rata-Rata Pendapatan dengan Metode Konvensional (ha) ...............................................................................58 18. Distribusi Rata-Rata Pendapatan dengan Metode SRI Organik (ha) ........................................................................................59 19. Distribusi Rata-Rata Efisiensi Usahatani Atas Biaya Total dengan Metode Konvensional dan Metode SRI Organik....................60
iv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Kurva Produksi ....................................................................................21
2.
Kurva Biaya Total ...............................................................................22
3.
Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Usahatani Padi Konvensional dan Padi System of Rice Intensification (SRI) Organik (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah)..................................................24
4.
Jenis-Jenis Mol yang Digunakan Petani Padi SRI Organik di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011 ..........................................................................................40
v
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Penggunaan Input Fisik pada Pertanian SRI Organik .........................68
2.
Penggunaan Input Fisik pada Pertanian Konvensional .......................70
3.
Perhitungan Laba Rugi Pertanian SRI Organik ..................................72
4.
Perhitungan Laba Rugi Pertanian Konvensional ................................73
5.
Kegiatan Budidaya ..............................................................................74
6.
Perbandingan Pendapatan Metode Konvensional dan SRI Organik ................................................................................................75
7.
Perbandingan Penerimaan Metode Konvensional dan SRI Organik ................................................................................................76
8.
Perbandingan Produksi Metode Konvensional dan SRI Organik ................................................................................................77
9.
Perbandingan Biaya Total Metode Konvensional dan SRI Organik ................................................................................................78
vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Secara luas Indonesia dikenal dengan sebutan negara agraris. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), negara agraris adalah negara dengan sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Tabel 1 menjelaskan bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi rata-rata sebesar 41,6 persen sebagai penyedia lapangan pekerjaan. Selain sebagai penyedia lapangan kerja, pertanian juga memiliki peran dalam perolehan devisa, penyedia bahan pangan, pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto), serta perwujudan pemerataan hasil pembangunan (Saragih, 2000). Tabel 1. Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2007-2010 Lapangan Pekerjaan Utama
No. 1
Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bangunan Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah, dan Jasa Perusahaan Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan Total
2 3 4 5 6
7
8
9
2007
2008
2009
42.608.760
42.689.635
43.029.493
42.825.807
1.020.807
1.062.309
1.139.495
1.188.634
12.094.067 247.059 4.397 132
12.440.141 207.909 4.733.679
12.615.440 209.441 4.610.695
13.052.521 208.494 4.844.689
19.425.270
20.684.041
21.836.768
22.212.885
5.575.499
6.013.947
5.947.673
5.817.680
1.252.195
1.440.042
1.484.598
1.639.748
10.962.352
12.778.154
13.611.841
15.615.114
97.583.141
102.049.857
104.485.444
Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), 2011(diolah)
1
2010
107.405.572 1
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=2 (13 Juni 2011)
Pentingnya peran sektor pertanian tersebut tidak diikuti dengan tingginya tingkat kesejahteraan para pelaku pertanian. Pada umumnya, penduduk miskin berada di pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani ( Tabel 2.). Keadaan tersebut menjadi sangat ironi karena Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris, namun para pelaku penting dalam penopang pembangunan ekonomi tidak mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Saragih (2000) menjelaskan bahwa pertanian lebih banyak dikorbankan untuk dapat menunjang pembangunan industri, yaitu dengan dijaganya harga produk pertanian (terutama pangan) agar tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Dengan demikian, sektor industri dapat memberi upah yang murah kepada tenaga kerjanya, yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing produknya. Tabel 2. Rumah Tangga Penduduk Indonesia Menurut Mata Pencaharian Tahun 2008 Karakteristik Rumah Tidak Pertanian Tangga Bekerja (%) (%) Rumah Tangga Miskin : 1. perkotaan 14,71 30,02 2. pedesaan 8,67 68,99 3. perkotaan+pedesaan 10,62 58,35 Rumah Tangga Tidak Miskin : 1. perkotaan 15,38 9,39 2. pedesaan 7,91 55,2 3. perkotaan+pedesaan 11,10 35,06 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2008 (diolah)2
Industri (%)
Lainnya (%)
10,55 5,09 6,86
44,72 17,26 26,16
12,19 5,97 8,70
63,07 30,92 45,05
Kesejahteraan petani semakin menurun pasca diterapkannya sistem pertanian dengan pola HEIA (High External Input Agriculture). Suwantoro (2008) menyebutkan bahwa revolusi hijau dengan asumsi yang mendasarkan pada pertumbuhan produksi ternyata salah. Pertumbuhan produksi yang berhasil dicapai tidak mampu mengangkat kesejahteraan petani. Revolusi hijau membuat petani menjadi tergantung pada perusahaan-perusahaan besar untuk menjalankan usaha pertanian mereka. Wijaya (2002) menyebutkan beberapa ciri dari pola penerapan HEIA yaitu (1) penggunaan bahan kimiawi dan pengendalian hama dan penyakit seperti 2
http://www.hharryazharazis.com/detail/366/.cnet (13 Juni 2011)
3
pupuk, pestisida, dan zat pengatur tumbuh; (2) terjadinya perbaikan mutu faktor produksi seperti penggunan benih dari varietas unggul; (3) terjadinya mekanisasi pertanian seperti penggunaan mesin-mesin pertanian; dan (4) adanya perbaikan sarana dan prasarana pertanian seperti sistem pengairan dan alat-alat pertanian. Berdasarkan penerapan pola HEIA tersebut, selain memarjinalkan petani, berdampak pula pada kerusakan lingkungan (Suwantoro, 2008). Tanah persawahan lambat laun menjadi semakin keras. Penggunaan pupuk kimia yang meningkat dari waktu ke waktu menyebabkan serangan hama menjadi semakin eksplosif dan menuntut penggunaan pestisida yang semakin meningkat pula. Pestisida tidak hanya mematikan hama tanaman tetapi juga memusnahkan banyak kehidupan yang lain. Menyadari dampak negatif pada tanah dari pertanian yang boros energi tersebut, maka berkembanglah konsep pertanian organik. Organik identik dengan sesuatu yang berhubungan dengan alami tanpa bahan kimia buatan atau sintetis. Bahan organik sebenarnya mengandung unsur atau senyawa kimia yang membangunnya, namun unsur atau senyawa kimia tersebut dapat diurai dengan baik oleh alam. Istilah “organik” berdasarkan SNI adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah diproduksi sesuai dengan standar produksi organik dan disertifikasi oleh otoritas atau lembaga sertifikasi resmi. Metode pertanian organik mulai digunakan dalam budidaya tanaman padi. Syam (2008) menjelaskan bahwa padi organik sebagaimana digunakan pada kebanyakan tanaman sawah memiliki arti: (1) Tidak ada pestisida dan pupuk dari bahan kimia sintetis atau buatan yang telah digunakan; (2) Kesuburan tanah dipelihara melalui proses “alami” seperti penanaman tumbuhan penutup dan/atau penggunaan pupuk kandang yang dikompos dan limbah tumbuhan; (3) Tanaman dirotasikan di sawah untuk menghindari penanaman tanaman yang sama dari tahun ke tahun di sawah yang sama; dan (4) Pergantian bentuk-bentuk bukankimia dari pengendalian hama digunakan untuk mengendalikan serangga, penyakit dan gulma, misalnya serangga yang bermanfaat untuk memangsa hama, jerami setengah busuk untuk menekan gulma, dan lain-lain. Atmojo (2003) menjelaskan bahwa kandungan bahan organik yang cukup di dalam tanah dapat memperbaiki kondisi tanah. Struktur tanah menjadi lebih
4
kompak dengan adanya penambahan bahan-bahan organik dan lebih tahan menyimpan air dibanding dengan tanah yang tidak dipupuk bahan organik. Harga jual dari produk-produk organik juga lebih mahal. Hal tersebut dikarenakan produk organik memiliki cita rasa dan kandungan gizi yang lebih baik. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang menjadi kelemahan sistem pertanian organik, salah satunya yaitu hasil pertanian organik lebih sedikit jika dibandingkan dengan pertanian non organik yang menggunakan bahan kimia terutama pada awal penerapan pertanian organik. Lebih lanjut juga dijelaskan oleh Mapsary (2010) hasil percobaan yang dilakukan oleh PPL Kecamatan Kalibagor menunjukkan padi organik bisa berproduksi 4,9 kg/ ubin (7,84 ton/ha), sedangkan padi kimia menunjukkan 5 kg/ ubin (8 ton/ ha). Hal ini disebabkan karena sistem pertanian organik yang diterapkan pada umumnya menggunakan metode pertanian konvensional. Dengan demikian, perlu adanya metode lain guna menyelesaikan permasalahan rendahnya produksi padi organik di awal penanaman. Saat ini muncul metode bertani padi dengan System of Rice Intensification (SRI). SRI merupakan suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, dan air. Metode SRI pertama kali ditemukan secara tidak sengaja di Madagaskar antara tahun 1983-84 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metode ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive. Sedangkan, dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification atau SRI. SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director of Cornell International Institute for Food, Agriculture, and Development (CIIFAD)). Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan presentasi SRI di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar (Wakid, 2010). Secara umum, dalam konsep SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, tidak diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Uphoff dan Fernandes (2003) menjelaskan SRI bukanlah suatu teknologi atau varietas, namun lebih dianggap sebagai suatu
5
sistem. SRI didasari pemahaman bahwa padi mempunyai potensi untuk menghasilkan lebih banyak batang dan biji daripada yang diamati sekarang. SRI juga didasari pengetahuan bahwa potensi tersebut dapat diwujudkan dengan pemindahan awal dan menciptakan kondisi untuk pertumbuhan terbaik (jarak jauh, kelembaban, tanah yang aktif dan sehat dari segi biologis, serta keadaan tanah aerobik selama masa pertumbuhan). Metode SRI memang sangat menganjurkan penggunaan pupuk organik sebagai langkah jangka panjang untuk memperbaiki struktur dan kesuburan tanah serta hasil yang lebih baik (terutama segi kualitas beras yang dihasilkan). Akan tetapi, metode SRI tidak harus menggunakan pupuk organik untuk dapat menghasilkan produksi yang maksimal3. Madagaskar merupakan lokasi percobaan pertama penanaman padi SRI. Diujicoba pada tanah tidak subur dengan produksi normal dua ton per hektar, petani padi SRI memperoleh hasil panen lebih dari delapan ton per hektar. Beberapa petani juga ada yang mencapai 10-15 ton/hektar. Berdasarkan penelitian Richardson (2010) petani di Jawa Timur memanen tujuh ton padi per hektar pada awal penerapan metode SRI. Dengan demikian, metode SRI dapat menjadi salah satu alternatif penyelesaian antara para praktisi yang berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan para penganut kelestarian lingkungan hidup. Kegiatan partisipatif dalam menerapkan metode SRI juga telah dilakukan oleh petani di banyak propinsi di Indonesia.
Lebih lanjut, Anugrah (2008)
menyatakan bahwa penerapan SRI di Indonesia terus berkembang dan dipraktekkan para petani di beberapa Kabupaten di Pulau Jawa, Sumatera, Bali, NTB, Kalimantan, Sulawesi, serta dibeberapa lokasi lainnya di tanah air. Apabila produksi padi dilihat menurut wilayah di Indonesia, maka Pulau jawa merupakan Pulau dengan tingkat produksi beras tertinggi. Dapat dilihat pada Tabel 3. pada setiap tahunnya produksi beras di Jawa lebih tinggi dari pulau lainnya, meskipun peningkatan produksi tersebut karena adanya penambahan luas panen. Karena Pulau Jawa memiliki peranan yang cukup penting dalam perberasan nasional, maka metode pertanian padi SRI ini sangat cocok untuk dikembangkan. 3
Ulliych M. 2010. Padi SRI Tidak Identik Dengan Padi Organik. http://sukatanibanguntani.blogspot.com/2010/03/padi-sri-tidak-identik-dengan-padi.html[16 April 2011]
6
Tabel 3. Luas Panen, Produktivitas, Produksi Padi Menurut Wilayah di Indonesia Tahun 2007-2009 2007 Propinsi
(a)
Jawa Sumatera Bali & Nusa Tenggara Sulawesi Maluku & Papua Luar Jawa Indonesia
5,6 3,1
(b)
2008 (c)
(a)
318,10 382,39
30,5 12,8
5,7 3,1
0,5
134,21
2,9
1,2
267,32
0,6
140,02
1,3 12,1
130,26 1.372,30
(b)
2009 (c)
(a)
(b)
(c)
328,16 387,74
32,3 13,6
6,1 3,3
336,73 395,73
34,9 14,7
0,7
137,79
3,2
0,7
139,72
3,4
5,5
1,4
236,21
6,6
1,4
285,96
6,8
0,2
0,7
143,91
0,3
0,1
148,70
0,3
4,3 1,3 57,2 12,3
132,38 1.366,19
4,4 60,32
1,3 12,9
135,97 1.442,81
4,4 64,4
Ket : (a) :Luas Panen (juta ha); (b) :Produktivitas (Ku/ha); (c) :Produksi (juta ton). Sumber, BPS 2009 (diolah)4 Jawa Tengah sebagai salah satu propinsi di Pulau Jawa memiliki kontribusi yang sangat besar dalam penyediaan beras di Jawa. Berdasarkan data BPS dari tahun 2007-2009 Jawa Tengah berturut-turut memproduksi beras sebesar 8.616.855 ton, 9.136.405 ton, dan 9.600.415 ton. Desa Ringgit merupakan salah satu desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang telah menerapkan pertanian padi organik sejak tahun 1997, dan menjadi desa yang pertama kali menerapkan metode SRI organik sejak tahun 2003 di Kabupaten Purworejo. 1.2. Perumusan Masalah Ringgit merupakan salah satu desa dari 57 desa lumbung padi di Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sebagai desa penghasil beras, maka tanaman padi menjadi komoditas utama dalam kegiatan budidaya. Pada tahun 1997 beberapa petani Desa Ringgit sudah mulai menerapkan pertanian organik dengan metode konvensional. Akan tetapi, hasil panen yang diperoleh sebesar 4,3 ton per hektar lebih rendah dibandingkan dengan pertanian konvensional dengan jumlah 4,5 ton per hektar. Oleh sebab itu, hanya sedikit petani yang tetap mempertahankan penanaman padi dengan input organik 4
http://www.deptan.go.id/ditjentan/detailinformasi.php?id=24 (03 April 2011)
7
tersebut. Hingga saat ini terdapat dua metode yang diterapkan oleh petani Desa Ringgit dalam menanam padi yaitu metode konvensional dan SRI. Metode SRI mulai dikenal oleh petani Desa Ringgit pada tahun 2003 melalui Pembelajaran Ekologi Tanah (PET) yang diadakan oleh seorang biarawati yang berasal dari Magelang. Pembelajaran Ekologi Tanah adalah metodologi pembelajaran untuk melihat kaitan unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain yang membentuk kehidupan di dalam tanah. Berkat adanya pembelajaran tersebut mulai banyak petani yang bersedia menerapkan metode SRI dengan input organik atau biasa disebut dengan SRI organik. Walaupun tidak sedikit pula petani yang masih skeptis akan adanya metode tersebut. Hal ini disebakan karena banyak perlakuan yang berbeda pada teknis budidaya SRI dengan budaya bertanam padi yang selama ini telah dilakukan petani. Sebagian kelompok tani yang telah menerapkan metode SRI mampu menghasilkan padi dengan warna lebih cerah, kuning, dan lebih berat daripada padi umumnya. Menurut petani pembudidaya padi metode SRI daerah setempat, apabila diratarata hasil panen padi mencapai 9 ton per hektar. Dengan demikian, berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut, terdapat beberapa kondisi yang menjadi pertanyaan. Bagaimanakah keragaan usahatani padi SRI organik yang berada di Desa Ringgit, serta adakah perbedaan pendapatan, produktivitas, dan efisiensi yang signifikan antara pertanian dengan metode SRI organik dan konvensional. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1.
Menganalisis keragaan usahatani padi SRI organik di Desa Ringgit.
2.
Menganalisis pendapatan, produktivitas, dan efisiensi antara pertanian padi konvensional dengan metode SRI organik.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi petani setempat untuk menjadi bahan pertimbangan dalam memilih metode bertanam padi yang akan diterapkan, sehingga petani dapat lebih menerapkan keahlian dan
8
pengalamannya dengan baik. Serta penulisan ini diharapkan dapat menjadi sarana belajar dan berbagi ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Pertanian Organik di Indonesia Pada tiga dekade terakhir ini, peningkatan kepedulian konsumen terhadap lingkungan semakin meningkat dan isu pemasaran hijau mulai bergeser dari sekedar nilai tambah menjadi hal yang utama. Meskipun jumlah pembeli produk organik semakin meningkat, namun banyak diantara mereka yang tidak mengerti secara jelas apa pengertian sebenarnya dari istilah organik tersebut. Pada umumnya konsumen cenderung berpikir bahwa produk organik adalah produk yang bagus tidak hanya dari segi kandungan nutrisi namun juga penampilan produknya. Pada pengertian sebenarnya organik tidak hanya tertuju pada produk atau kandungan bahan-bahan di dalamnya, tetapi pada keseluruhan sistem produksi budidaya. Oleh sebab itu,
pada tahun 2000 United States Department of
Agriculture (USDA) menegaskan bahwa pengertian organik sebagai suatu sistem manajemen produksi lingkungan yang mampu meningkatkan keanekaragaman hayati, siklus biologi, dan kegiatan biologi dengan menggunakan input minimal. Untung (1997) menyatakan bahwa pertanian organik merupakan sistem pertanian yang bertujuan untuk tetap menjaga keselarasan (harmoni) dengan sistem alami, dengan memanfaatkan dan mengembangkan semaksimal mungkin proses-proses alami dalam pengelolaan usahatani. Prayogo dkk (1999) juga memberikan definisi bahwa pertanian organik adalah suatu sistem pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia buatan; mewujudkan sikap dan perilaku hidup yang menghargai alam; dan berkeyakinan bahwa kehidupan adalah anugerah Tuhan yang harus dilestarikan. Pada tahun 1984 pertanian organik mulai muncul di Indonesia. Hingga saat ini pertanian organik semakin berkembang di berbagai pelosok wilayah di Indonesia. Adiyoga (2002) menjelaskan bahwa status pertanian organik di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup baik, walaupun kontribusinya terhadap produksi total relatif masih kecil (diperkirakan masih < 1%). Semakin
banyaknya lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang pertanian organik merupakan suatu indikator dan refleksi meningkatnya tingkat kesadaran akan pentingnya konsumsi sayuran sehat/bersih. Prospek pengembangan pertanian organik juga cenderung menjanjikan, sebagaimana diindikasikan oleh masih banyaknya permintaan yang belum dapat dipenuhi karena adanya keterbatasan pasok. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suwantoro (2008) seringkali terdapat berbagai perbedaan praktek pertanian organik di beberapa wilayah dalam proses budidaya. Berbagai perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh (1) belum diterapkannya standarisasi yang ada sehingga masingmasing kelompok atau pelaku pertanian organik dapat menerapkan standard sendiri; (2) Orientasi pasar, dengan standar yang sudah ditetapkan oleh kelompok dan apabila bisa menyakinkan pasar bahwa produknya berkualitas dan layak dihargai lebih maka untuk selanjutnya cukuplah memakai standar tersebut; dan (3) para petani kita, dengan adanya revolusi hijau terbiasa melihat tanaman selalu dalam kondisi hijau. Untuk melakukan pertanian organik sebagaimana mestinya seringkali belum mempunyai ketetapan 100 persen sehingga dalam prakteknya masih menggunakan pupuk kimia sebagai pupuk dasar dan sudah sebisa mungkin meninggalkan penggunaan pestisida kimia. Berdasarkan
perbedaan
asumsi
tersebut
Suwantoro
(2008)
juga
menjelaskan sistem pertanian organik juga terbagi menjadi tiga yaitu (1) sistem pertanian organik – proses budidaya yang dilakukan tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia serta mengembangkan jenis benih lokal. Adanya konversi selama 3 – 4 musim tanam dengam melihat riwayat penggunaan pupuk dan pestisida kimi sintetis pada lahan tersebut; (2) sistem pertanian semi organik – dalam proses budidaya masih mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jumlah terbatas untuk pupuk dasar maupun pupuk lanjutan dan sebagian yang lain masih mentoleransi penggunaan pestisida kimia dalam keadaan khusus; (3) sistem pertanian konvensional - Sistem pertanian ini masih mengandalkan pupuk dan pestisida kimia sintetis. Pemupukan yang dilakukan belum berimbang kebanyakan masih menggunakan pupuk putih (urea). Hasil produksi dijual ke pasar umum.
11
2.2. Dampak Penerapan Metode Organik Pada beberapa tahun terakhir pertanian organik menjadi pusat perhatian karena sistem ini mampu menawarkan beberapa alternatif pemecahan masalah yang menimpa sektor pertanian. Pertanian organik dapat memberi perlindungan terhadap lingkungan dan konservasi sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, memperbaiki kualitas hasil pertanian, menjaga pasokan produk pertanian sehingga harganya relatif stabil, serta memiliki orientasi dari memenuhi kebutuhan hidup ke arah permintaan pasar. Naibaho mengungkapkan bahwa penggunaan pupuk organik yang tepat mampu menghasilkan 6,16 ton per hektar5. Dikatakan juga bahwa tercapainya produksi padi tersebut karena adanya perbaikan struktur dan tekstur tanah diakibatkan adanya pemakaian pupuk organik pada lahan sawah yang dibudidayakan setelah dilakukan masa bera selama kurang lebih 2-3 tahun tergantung pada kandungan anorganik di dalamnya. Berdasarkan tanah tersebut, maka kesuburan tanah semakin meningkat sehingga dapat meningkatkan kemampuan tanah untuk menyerap unsur hara yang ada dalam tanah. Lebih lanjut dijelaskan pula beberapa dampak yang diberikan dari hasil pertanian organik oleh Gunarno6, Karnowo (2003), serta Wijaya (2002) yaitu : (1) Biaya tunai yang dikeluarkan lebih kecil; (2) Aktivitas mikroorganisme antagonis yang bisa membantu meningkatkan kesuburan tanah meningkat; (3) harga jual produk organik lebih tinggi; (4) Meningkatkan cita rasa hasil pertanian; (5) Kandungan nutrisi lebih tinggi; dan (6) Meningkatkan waktu penyimpanan. Gunarno (2010), Karnowo (2003), serta Wijaya (2002) juga menjelaskan beberapa kelemahan dari pertanian organik yaitu : (1) Banyak petani di Indonesia beranggapan bahwa pupuk organik tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman dan memiliki respon yang lebih lamban; (2) Pengendalian hama secara biologis masih dipandang mahal dan kurang efektif bagi petani umumnya; (3)
5
Naibaho Yuni. 2011. Pupuk Organik Tingkatkan Produksi Padi Kabubaten Batubara.http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/01/26/16746/pupuk_organik_tingkatk an_produksi_padi_kabubaten_batubara/ ( 26 April 2011) 6 Gunarno. 2010. Kelebihan dan Kekurangan Pertanian Organik. http://gunarno.student.umm.ac.id/2010/02/02/kelebihan-dan-kekurangan-pertanian-oranganik/ ( 09 Mei 2011).
12
Wilayah pertanian organik yang tidak terisolasi dengan pertanian konvensional, membuat pertanian organik lebih rawan terhadap hama; (4) Hasil produksi pada musim tanam awal sedikit dan akan meningkat sesuai dengan kondisi tanah yang semakin membaik; dan (5) Para petani enggan menggunakan pupuk organik secara keseluruhan karena pupuk kompos menyebabkan banyak tumbuh gulma. 2.3. Gambaran Umum Pertanian Padi SRI di Indonesia SRI merupakan akronim dari System of Rice Intensification. SRI merupakan salah satu pendekatan dalam praktek budidaya padi yang menekankan pada manajemen pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan7. SRI mengembangkan praktek pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan dengan teknik budidaya cara tradisional (Berkelaar, 2001). SRI dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Henri de Lauline, seorang pastor Jesuit yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. WASSAN (2006) menjelaskan bahwa dalam metode SRI terdapat beberapa komponen penting yang membangunnya yaitu : 1. Jarak tanam yang lebar – dengan jarak antar tanaman yang lebar masingmasing tanaman mendapatkan lebih banyak ruang, udara, dan cahaya sehingga akar padi akan tumbuh lebih sehat dan dapat menyerap nutrisi lebih banyak sehingga menghasilkan jumlah anakan dan malai dengan lebih banyak bulir dan padat berisi. 2. Penggunaan sedikit benih – dengan jarak tanam yang lebar maka kebutuhan benih padi menjadi lebih sedikit. Sehingga juga dapat mengurangi biaya pembelian bibit. 3. Penanaman bibit muda – penanaman pada saat bibit muda dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama pertumbuhan vegetatif, sehingga batang yang muncul lebih banyak jumlahnya dalam satu rumpun maupun bulir padi yang dihasilkan 7
Mediana Susti. 2010. Dampak Penerapan Metode SRI (System of Intensification).JurnalUripSusanto.http://uripsantoso.wordpress.com/2010/10/06/dampakpenerapan-metode-sri-system-of-rice-intensification/(16 April 2011).
Rice
13
oleh malai. Disamping itu juga agar mendapatkan jumlah anakan dan pertumbuhan akar maksimum. 4. Penggunaan sedikit air – apabila air menggenangi lahan penanaman padi maka akar tanaman akan mati karena kekurangan udara. Akar tanaman padi yang mati berwarna coklat. Tanaman padi dapat tumbuh tanpa air yang menggenang sebab padi bukan merupakan tanaman air melainkan tanaman yang membutuhkan banyak air. Oleh sebab itu, kondisi tidak tergenangi hanya dipertahankan selama pertumbuhan vegetatif. Selanjutnya setelah pembuangan sawah digenangi air 1-3cm. Dengan cara seperti ini akan tercipta kondisi perakaran yang teroksidasi dan tumbuh sehat. 5. Pengembalian gulma ke dalam tanah – hal tersebut dilakukan agar dapat meningkatkan aerasi tanah dan gulma dapat menjadi pupuk organik bagi tanaman padi. Dengan demikian, akar dan tanaman tumbuh sehat serta lahan menjadi lebih subur. 6. Penggunaan bahan organik – bahan organik merupakan asupan utama bagi tanah. Penggunaan bahan organik dapat mendatangkan berbagai jenis mikroorganisme yang dapat memperbaiki struktur tanah, sehingga padi dapat tumbuh baik. Uji coba SRI pertama kali di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha (uphoff, 2002; Sato, 2007). Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode penanaman padi lain. Namun demikian, hasil penelitian IRRI (International Rice Research Institute) di Cina dan Filipina tidak menemukan tambahan hasil yang nyata dari penerapan SRI. Dari perbedaan hasil tersebut, para ahli padi menyimpulkan bahwa kemungkinan telah terjadi kesalahan pengukuran dan observasi dalam pelaksanaan kajian SRI di Madagaskar. Dalam beberapa forum diskusi, pengembangan SRI masih menimbulkan debat dan polemik teknis yang kadangkala bersifat kontroversi. Dalam kaitan ini, IRRI sebagai Lembaga Penelitian Padi Nasional yang lebih berkompeten dalam inovasi teknologi padi tidak begitu antusias dalam mengembangkan SRI, bahkan
14
IRRI bersama-sama dengan lembaga penelitian nasional di berbagai negara, termasuk di Indonesia mengembangkan model dan pendekatan Integrated Crop Management (ICM) atau Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Perbedaan dalam perhitungan hasil produksi, menjadi polemik yang paling utama disamping aspek teknis usahatani padi yang diterapkan pada SRI tersebut. Namun demikian, diakui atau tidak kegiatan partisipatif yang telah dilakukan oleh para petani dalam menerapkan metode SRI di beberapa daerah terus berkembang. Terdapat banyak istilah berbeda pula yang digunakan dalam pelaksanaan pertanian padi metode SRI ini, seperti istilah yang digunakan oleh masyarakat Sumatera Barat khususnya di daerah Sawahlunto yaitu “Metoda Padi Tanam Sabatang”. Sedangkan di Klaten Jawa Tengah SRI diperkenalkan dengan cara “bertanam maju” atau tanam padi tidak mundur yang diperkenalkan oleh Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP). Di kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan metode ini dikenal dengan istilah “padi SRI organik”. Penelitian yang telah dilakukan oleh Rakhmi (2008) menjelaskan bahwa pelaksanaan metode SRI yang dilakukan oleh kelompok tani Binuang Saiyo telah sukses melakukan usahatani padi sawah dengan sistem SRI. Sebuah penelitian lain mengenai penerapan metode SRI yang dilakukan oleh Richardson (2010) di Jawa Timur menyatakan bahwa metode SRI yang diterapkan mampu menghasilkan panen rata-rata sebesar 7 – 8 ton/ha. Sedangkan biasanya jumlah hasil panen hanya mencapai 3 ton/ha. Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Richardson dan Rakhmi, penelitian Putra (2009) pada kelompok tani Lolongkaran budidaya padi yang diterapkan tidak sepenuhnya sesuai dengan prosedur pelaksanaan metode SRI, namun petani tersebut menyesuaikan dengan kemampuan petani itu sendiri seperti dalam kegiatan penyemaian, penanaman, dan pengaturan jarak tanam. Hal tersebut disebabkan karena petani Lolongkaran belum terbiasa dengan metode SRI tersebut. Ketidakberhasilan penerapan metode SRI pada beberapa petani disebutkan oleh Berkelaar (2010) salah satunya karena praktek penerapan SRI tampak “melawan arus”. SRI menentang asumsi dan praktek yang selama ratusan bahkan ribuan tahun telah dilakukan. Beberapa contoh lain diantaranya yaitu (1)
15
Kebanyakan petani padi menanam bibit yang telah matang (umur 20-30 hari), dalam bentuk rumpun, secara serentak, dengan penggenangan air di sawah seoptimal mungkin di sepanjang musim. (2) SRI "harus" menggunakan pupuk organik dimana sampai saat ini petani belum siap memproduksi pupuk organik sendiri dan pupuk organik masih "mahal" untuk dibeli. (3) Penanaman 1 (satu) bibit per lubang tanam dengan bibit yang masih muda masih merupakan praktek yang sulit dilaksanakan petani karena harus dilaksanakan secara cepat. (4) Sistem pemberian air yang terputus (intermittent) di lahan beririgasi merupakan hal yang masih sulit dilaksanakan dimana pergiliran pengairan pada petak-petak tersier atau sekunder dilaksanakan berdasarkan waktu hari (10 harian, dua mingguan atau pada musim kemarau di daerah kering dilaksanakan sebulan sekali). (5) Proses pengeringan lahan di lahan beririgasi yang relatif datar masih sulit dilaksanakan. 2.4. Dampak Penerapan Metode SRI Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Mediana (2010) dampak penerapan metode SRI dapat terlihat dari tiga hal yaitu (a) dampak terhadap produktivitas – peningkatan produksi atau produktivitas pada umumnya terjadi karena jumlah anakan padi lebih banyak. Dengan anakan yang cukup banyak, menyebabkan anakan produktif yang terbentuk juga cukup tinggi sehingga sangat memungkinkan hasil gabah lebih tinggi; (b) dampak terhadap penggunaan saprodi - secara umum penerapan pola SRI lebih ditekankan pada pola penghematan dalam penggunaan air. Dengan kebutuhan pengairan yang macak-macak maka kebutuhan jumlah air per hektar mengalami penurunan sangat drastis; dan (c) dampak terhadap pendapatan petani - dampak yang dirasakan dari penerapan metode SRI adalah tingginya produksi padi yang dihasilkan jika dibandingkan dengan cara konvensional8. Semakin tinggi produksi maka nilai jual padi juga semakin besar. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh petani juga menjadi lebih besar.
8
Mediana Susti. 2010. Dampak Penerapan Metode SRI (System of Rice Intensification).JurnalUripSusanto.http://uripsantoso.wordpress.com/10/10/16/dampak-penerapanmetode-sri-system-of-rice-intensification/ (16 April 2011).
16
Lebih lanjut dikatakan oleh Kunia bahwa paling tidak terdapat empat alasan utama perlu dikembangkannya SRI9. Pertama, metode SRI terbukti mampu menghasilkan produktivitas padi yang tinggi di atas rata-rata nasional. Kedua, SRI juga dapat menghemat penggunaan air sampai 40 persen. Penggunaan bibit juga dapat dihemat sampai 80 persen, sehingga dapat mengurangi biaya usahatani. Ketiga, SRI mampu memulihkan kesuburan lahan dan mampu memelihara keberlanjutan produktivitas lahan. Keempat, metode SRI dikenal ramah lingkungan karena : a) memitigasi terjadinya polusi asap akibat berkurangnya pembakaran jerami sehingga mampu menekan emisi gas CO2; b) memitigasi emisi gas metan yang dihasilkan oleh proses reduksi (anaerob) akibat penggenangan sawah; c) mitigasi emisi CO2 dan metan (CH4) akan menekan produksi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat memicu pemanasan global; d) daur ulang limbah (sampah) menjadi prinsip SRI, sehingga penumpukan sampah dapat dihindari; e) aplikasi bahan kimia (agrochemical) sangat dibatasi, kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan akibat kontaminasi dengan bahan dan residu kimia dapat dicegah; dan f) produk beras SRI dapat digolongkan sehat, karena tidak diproduksi dengan pupuk kimia dan pestisida sintetis. Penerapan metode SRI yang telah dilakukan oleh sebagian petani di Indonesia selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif. Seperti penjelasan yang diberikan oleh Andrina bahwa kurang tersedianya pupuk kandang merupakan kendala bagi pengembangan SRI, karena petani tidak mampu memproduksi kompos untuk keseluruhan lahannya. Oleh sebab itu, dilihat dari aspek ekonomi usahatani dengan metode SRI, apabila penggunaan tenaga kerja keluarga diperhitungkan, maka terjadi peningkatan total biaya tunai10. Total biaya ini akan lebih banyak lagi apabila harga kompos diperhitungkan. Lebih tingginya total biaya tunai dari usahatani dengan metode SRI secara langsung akan mengurangi tingkat keuntungan dibanding usahatani dengan teknologi intensif yang telah ada. 9
Kunia Kabelan. 2009. SRI : Teknologi Budidaya http://belan.blogdetik.com/2009/06/26/httpnewspaperpikiranrakyatcomprprintphpmibberitadetailid83032/ (16 April 2011)
Padi
Serba
Hemat.
10
Andrina. 2009. Sudah Siapkah SRI Diterapkan di Indonesia. http://rinaedogawa.blogspot.com/2009/01/sudah-siapkah-system-of-rice.html (16 April 2011)
17
Secara finansial, usahatani padi dengan metode SRI memang lebih efisien daripada usahatani dengan metode intensif konvensional. Namun secara ekonomi, efisiensi produksi usahatani padi dengan metode SRI lebih rendah dibanding metode intensif konvensional. Seperti juga halnya dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Rachmiyanti (2009) bahwa ternyata pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI lebih rendah dari pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total padi konvensional. Berdasarkan R/C ratio yang diperoleh menjelaskan petani padi konvensional memiliki angka lebih besar dari petani padi organik metode SRI. 2.5. Perbedaan dan Persamaan dengan Penelitian Terdahulu Penelitian ini memiliki kesamaan dalam unsur alat analisis yang digunakan, dimana penelitian ini menggunakan alat analisis usahatani dan uji signifikasi dengan menggunakan uji t. Dengan demikian, penelitian terdahulu digunakan sebagai referensi mengenai alat analisis yang akan digunakan pada saat penelitian dilakukan. Hal yang menjadi pembeda antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu lokasi penelitian yang dilaksanakan di Desa Ringgit, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Perbedaan dari penelitian ini terletak pula pada komponen variabel yang diujibedakan yaitu adanya tambahan uji beda antara produktivitas dan efisiensi.
18
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Usahatani Menurut Adiwilaga (1982), ilmu usahatani adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan orang melakukan pertanian dan permasalahan yang ditinjau secara khusus dari kedudukan pengusahanya sendiri atau ilmu usahatani yaitu menyelidiki cara-cara seorang petani sebagai pengusaha dalam menyusun, mengatur dan menjalankan perusahaan itu. Menurut Mosher (1968) usahatani adalah suatu tempat atau sebagian dari permukaan bumi dimana pertanian diselenggarakan seorang petani tertentu, apakah ia seorang pemilik, penyakap atau manajer yang digaji dari sumbersumber alam yang terdapat pada tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian seperti tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang dilakukan atas tanah itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah itu dan sebagainya. Menurut Kadarsan (1993) dalam Kamaluddin, usahatani adalah suatu tempat dimana seseorang atau sekumpulan orang berusaha mengelola unsur-unsur produksi seperti alam, tenaga kerja, modal dan ketrampilan dengan tujuan berproduksi untuk menghasilkan sesuatu di lapangan pertanian11. Menurut Soekartawi (1995) bahwa ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ilmu usahatani adalah ilmu terapan yang membahas atau mempelajari bagaimana menggunakan sumberdaya secara efisien dan efektif pada suatu usaha pertanian agar diperoleh hasil maksimal. Sumberdaya itu adalah lahan, tenaga kerja, modal dan manajemen.
11
Kamaluddin. 2010. Analisis Usaha http://kamaluddin86.blogspot.com/2010/05/analisis-usaha-tani.html ( 22 Mei 2011).
Tani.
3.1.2. Definisi Usahatani Berkelanjutan Technical Advisory Committee of the CGIAR (Concultative Group on International Agricultural Research) pada tahun 1988 menjelaskan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam. FAO (Food and Agriculture Organization) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai suatu praktek pertanian yang melibatkan pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia bersamaan dengan upaya mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan mengkonservasi sumberdaya alam. Sedangkan Gips (1986) dalam Wijaya (2002) mendefinisikan secara lebih luas dan menilai pertanian bisa dikatakan pertanian berkelanjutan jika mencakup hal-hal berikut : 1. Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah dapat ditingkatkan. 2. Berlanjut secara ekologis, yang berarti bahwa petani bisa cukup menghasilkan output untuk pemenuhan kebutuhan dan/atau pendapatan sendiri,
serta
mendapatkan
penghasilan
yang
mencukupi
untuk
mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. 3. Adil, yang berarti bahwa sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. 4. Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan, dan manusia) dihargai. 5. Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan penduduk, kebijakan, dan permintaan pasar.
20
Adapun komponen pertanian berkelanjutan secara ekologi, antara lain : a. Mempertahankan sumberdaya terpenting dalam pertanian yaitu tanah dan air; b. Melindungi proses ekologi dan mempertahankan keseimbangan ekologi; c. Konservasi terhadap biodiversity. Dengan menggunakan metode yang berkelanjutan untuk tanaman pangan, para petani dan pekebun dapat menanam lebih banyak di lahan yang sempit, dengan sedikit atau tanpa pupuk dan pestisida kimia. Ini akan menghasilkan pangan yang lebih banyak dan lebih baik untuk dimakan dan dijual, biaya memproduksi bahan makanan lebih kecil, dan mengurangi pencemaran udara, air, tanah, dan tubuh. Usahatani yang berkelanjutan dapat meningkatkan kesehatan masyarakat karena: mengurangi ancaman kekeringan melalui konservasi air. mengurangi ketergantungan pada bahan kimia, menghemat uang, dan membangun kepercayaan pada kemampuan untuk mandiri. Usahatani tanpa bahan kimia mencegah terjadinya gangguan kesehatan akibat bahan kimia pada petani, pekerja di lahan pertanian, dan semua orang yang mengkonsumsi makanan yang diproduksi atau meminum air dari sumber air setempat. menurunkan jumlah pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkan pangan bila metode yang berkelanjutan ini digunakan. Misalnya dengan membuat pupuk hijau. 3.1.3. Unsur – Unsur Pokok Usaha Tani Menurut Tjakrawiralaksana (1983) dalam usahatani atau bercocok tanam terdapat : 1. Lahan dalam luasan dan bentuk tertentu. Unsur pokok lahan dalam usahatani mempunyai fungsi sebagai tempat atau wadah penyelenggaraan sarana usaha bercocok tanam. Lahan merupakan faktor produksi yang relatif langka dibanding dengan faktor produksi lainnya dan distribusi penguasaannya di masyarakat pun tidak merata. Adapun lahan itu sendiri memiliki beberapa sifat, antara lain: luas relatif tetap atau dianggap tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan, dan dapat dipindahtangankan. Berdasarkan hal tersebut maka lahan kemudian dianggap sebagai salah satu faktor produksi
21
usahatani meskipun di bagian lain dapat juga berfungsi sebagai faktor atau unsur pokok dari modal usahatani. 2. Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan faktor produksi kedua selain lahan, modal, dan manajemen. Terdapat tiga jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani yaitu manusia, ternak, dan mekanik. Tenaga kerja manusia dapat diperoleh dari dalam keluarga itu sendiri atau dari luar keluarga. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Tenaga kerja ternak digunakan untuk pengolahan tanah dan untuk pengangkutan. Sedangkan tenaga kerja mekanik bersifat substitusi pengganti ternak dan atau manusia. Jika kekurangan tenaga kerja, petani dapat memperkerjakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan memberi balas jasa berupa upah. 3. Modal Menurut Hernanto (1991), modal adalah barang atau uang yang bersamasama dengan faktor produksi lain yang digunakan untuk menghasilkan barangbarang baru, yaitu produk pertanian. Diantara empat faktor produksi yang terdapat dalam usahatani, modal merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap kegiatan usahatani, terutama modal operasional. Hal ini karena modal operasional terkait langsung dengan aktivitas yang terjadi dalam kegiatan usahatani. Adapun yang dimaksud dengan modal operasional adalah modal dalam bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain seperti sarana produksi dan tenaga kerja, bahkan untuk membiayai pengelolaan (manajemen). 4. Pengelolaan (manajemen). Pengelolaan atau manajemen usahatani adalah kemampuan petani menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya sebaik mungkin serta mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan itu adalah produktivitas dari setiap faktor maupun produktivitas dari usahanya.
22
3.1.4. Konsep Produksi dan Biaya Salvatore (2001), Samuelson dan Nordhaus (1992) serta Schileer (1989) menjelaskan bahwa fungsi produksi menyatakan hubungan antara jumlah output maksimum yang bisa diproduksi dan input yang diperlukan guna menghasilkan out put tersebut, dengan tingkat pengetahuan teknik tertentu. Fungsi produksi menggambarkan apa yang layak secara teknis (technically feasible) bila perusahaan berusaha secara efisien. Asumsi dasar untuk menjelaskan fungsi produksi ini adalah berlakunya “The Law of Diminishing Return” yang menyatakan bahwa apabila suatu input ditambahkan dan input-input lain tetap, maka tambahan output dari setiap tambahan satu input yang ditambahkan mula-mula menaik, tapi pada suatu tingkat tertentu akan menurun jika input tersebut terus ditambahkan (Gambar 1).
Gambar 1. Kurva Produksi Sumber : Iswardono SP,1990
Kurva biaya adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara jumlah ongkos produksi dengan tingkat output yang dihasilkan. Biaya produksi adalah semua pengeluaran yang dilakukan oleh petani untuk memperoleh faktor-faktor produksi guna memproduksi output. Macam-macam biaya yang dimaksud yaitu sebagai berikut :
23
1. Total Fixed Cost (Biaya Tetap Total) adalah jumlah biaya yang tetap yang tidak dipengaruhi oleh tingkat produksi. Contoh : penyusutan, sewa lahan, dan sebagainya. 2. Total Variable Cost (Biaya Variabel Total) adalah jumlah biaya-biaya yang dibayarkan yang besarnya berubah menurut tingkat yang dihasilkan. Contoh : biaya bahan mentah, tenaga kerja, dan sebagainya. 3. Total Cost (Biaya Total) adalah penjumlahan antara biaya total tetap dengan biaya total variabel.
Gambar 2. Kurva Biaya Total Sumber : Iswardono SP,1990
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Pertanian di Indonesia saat ini sudah mulai berkembang mengikuti isu-isu lingkungan yang ada. Organik merupakan salah satu metode yang mulai digunakan dalam menyikapi isu tersebut. Akan tetapi, produksi dari pertanian organik yang sedang dilakukan saat ini tidak mampu mencukupi seluruh kebutuhan pangan masyarakat di negara berkembang ini. Kemudian muncul metode menanam padi SRI yang dikatakan memiliki produktivitas lebih tinggi
24
dibandingkan dengan bertanam padi dengan metode konvensional. Desa Ringgit merupakan salah satu desa di kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang telah menerapkan pertanian organik sejak tahun 1997. Pada tahun 2003 di desa ini diperkenalkan metode bertanam padi dengan metode SRI. Hingga saat ini terdapat petani yang membudidayakan padi konvensional dan SRI organik. Adapun kerangka pemikiran operasional penelitiannya, yaitu dengan cara membandingkan keragaan usahatani antara metode konvensional dan SRI organik yang akan dijelaskan secara deskriptif. Perbandingan keragaan usahatani akan dilihat dari input yang digunakan serta cara budidaya yang dilakukan. Selain keragaan usahatani, terdapat tiga variabel yang akan dibandingkan antara metode konvensional dan SRI organik yaitu produktivitas, pendapatan, serta efisiensi. Ketiga variabel tersebut didapatkan dari perhitungan usahatani yang dilakukan pada 60 responden, kemudian data yang diperoleh dari hasil perhitungan usahatani akan digunakan dalam perhitungan uji beda t. Untuk lebih jelasnya mengenai gambaran dari penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.
25
Kesejahteraan petani padi umumnya rendah Isu lingkungan (global warming) Pertanian organik dengan metode konvensional menghasilkan produksi yang rendah khususnya pada awal penanaman
Desa Ringgit menjadi desa Analisis
pertama yang menerapkan
Keragaan
usahatani
metode SRI organik di
usahatani
kabupaten Purworejo Perbandingan
Analisis
pendapatan,
deskriptif
produktivitas, dan efisiensi
Uji beda T
Masukan bagi petani daerah setempat
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Usahatani Padi Konvensional dan Padi System of Rice Intensification (SRI) Organik (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah)
26
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data telah dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2011 di Desa Ringgit Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah dengan data yang digunakan yaitu pada musim tanam II. Pemilihan lokasi dan pemilihan waktu penelitian dilakukan dengan cara sengaja (purposive), dengan pertimbangan karena daerah ini merupakan daerah yang pertama kali menerapkan metode SRI organik di Kabupaten Purworejo. Untuk pemilihan waktu, bulan JuliAgustus yaitu karena pada bulan tersebut petani sudah memanen hasil padinya. Hal tersebut menjadi pertimbangan karena kajian yang diteliti adalah usahatani, bukan proses budidayanya. Walaupun dalam penulisan dijelaskan beberapa hal berkaitan dengan pembudidayaan padi. 4.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden yang dipandu dengan kuisioner. Wawancara dilakukan dengan petani, penyuluh pertanian dari kantor Dinas Pertanian Kabupaten Purworejo, dan tokoh masyarakat. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran karya-karya ilmiah dan data-data yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemerintah yang memberikan informasi dan data yang relevan dengan topik yang dikaji. 4.3. Metode Pengambilan Sampel Populasi adalah keseluruhan orang, kejadian, atau hal minat yang ingin peneliti investigasi (Sekaran, 2006). Menurut Cooper (2009) populasi adalah total kumpulan elemen atau unsur yang kita harapkan membuat kesimpulan. Populasi dalam penelitian ini adalah petani padi konvensional dan SRI organik di Desa Ringgit tahun 2011 pada musim panen kedua. Jumlah populasi petani padi konvensional di Desa Ringgit yaitu sebanyak 74 orang, serta populasi petani padi SRI organik Desa Ringgit tahun 2011 yaitu sebanyak 31 orang.
Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah anggota yang dipilih dari populasi (Sekaran, 2006). Penelitian ini mengambil sampel dengan jumlah sebanyak 60 orang petani. Masing-masing petani baik konvensional dan SRI organik sebanyak 30 orang. Akan tetapi, terdapat 13 orang petani yang menerapkan kedua metode tersebut. Hal ini disebabkan karena sebagian besar petani di Desa Ringgit tidak hanya mengerjakan lahannya sendiri, namun ada pula petani yang mengerjakan lahan orang lain (penggarap). Jumlah sampel tersebut telah memenuhi aturan umum secara statistik yaitu ≥ 30 orang karena sudah terdistribusi normal dan dapat digunakan untuk memprediksi populasi yang diteliti. Teknik pengambilan sampel untuk responden organik menggunakan metode sensus, karena jumlah petani yang telah menerapkan SRI organik selama tiga tahun lebih di Desa Ringgit ada 31 orang. Untuk responden konvensional teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu dengan metode simple random sampling. 4.4. Metode Analisis Data dan Pengujian Hipotesis Data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder diolah dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan komputer (software Microsoft Excel dan SPSS), sedangkan untuk data kualitatif, diolah secara deskriptif. Data kuantitatif yang dianalisis yaitu sistem usahatani padi dan uji beda produktivitas, pendapatan, serta efisiensi antara padi organik dan konvensional. Analisis data kualitatif digunakan untuk menjelaskan hasil analisis dan keragaan usahatani. 4.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani Usahatani adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal sebagai korbanannya. Penerimaan total adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu. Pengeluaran total usahatani adalah semua nilai input yang dikeluarkan dalam proses produksi. Menurut Soekartawi (1995), pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan semua biaya yang dikeluarkan. Pendapatan usahatani padi organik maupun SRI diperoleh dari perhitungan sebagai berikut :
28
TL = Y.Py - Σ X i . Pi Keterangan : TL Y Py Xi Pi
= Pendapatan usahatani padi = Produksi GKP (kw)/beras (kg) = Harga GKP (Gabah Kering Panen) (Rp/kw)/harga beras organik (Rp/kg) = Penggunaan input ke-i = Harga input ke-i per unit Pengeluaran total usahatani terdiri dari biaya tunai dan biaya tidak tunai.
Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan petani secara tunai. Sedangkan biaya tidak tunai adalah biaya yang dibebankan untuk penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan, serta biaya bibit. Biaya penyusutan alat-alat pertanian diperhitungkan dengan membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya umur ekonomis. Metode yang digunakan ini adalah metode garis lurus. Metode ini digunakan karena jumlah penyusutan alat tiap tahunnya dianggap sama dan diasumsikan tidak laku bila dijual. Rumus yang digunakan yaitu (Ibrahim, 2003): Biaya Penyusutan =
NbxNs n
dengan: Nb = Nilai pembelian (Rp) Ns = Tafsiran nilai sisa (Rp) n = Jangka usia ekonomis (Tahun) 4.4.2. Analisis Rasio (R/C Rasio) Analisis R/C rasio merupakan salah satu cara untuk mengetahui perbandingan antara penerimaan dan biaya yang dikeluarkan. Selain itu R/C rasio ini juga dilakukan untuk mengetahui efisiensi usahatani, yang dapat diketahui dari perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya pada masing-masing usahatani. Analisis ini dibedakan menjadi tiga, yaitu R/C rasio terhadap biaya tunai, R/C rasio terhadap biaya diperhitungkan, dan R/C rasio terhadap biaya total dengan perhitungan sebagai berikut (Soekartawi, 1995). : R/C rasio atas biaya total
=
Total Penerimaan (Rp) Biaya Total (Rp)
29
Sementara itu, dalam mengukur tingkat efisiensi usahatani maka terdapat kriteria penilaian dari hasil perhitungan R/C rasio tersebut, yaitu :
Apabila nilai R/C > 1, maka usahatani tersebut dikatakan menguntungkan karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan lebih besar dari satu rupiah.
Apabila nilai R/C = 1, maka usahatani tersebut dikatakan impas karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar satu rupiah pula.
Apabila nilai R/C < 1, maka usahatani tersebut dikatakan tidak menguntungkan karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan lebih kecil dari satu rupiah. R/C rasio menunjukkan besarnya penerimaan untuk setiap rupiah biaya
yang dikeluarkan dalam usahatani padi. Semakin tinggi nilai R/C, semakin menguntungkan dan efisien usahatani tersebut. Untuk menentukan nilai revenue (penerimaan) dan cost (biaya) yang diperlukan agar dapat menghitung nilai R/C rasio dan sekaligus menghitung nilai pendapatan usahataninya, maka dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 4. Perhitungan Usahatani A. P. Tunai B. P. Yang diperhitungkan C. Total penerimaan D. Biaya Tunai
Harga x Hasil panen yang dijual (Kg) Harga x Hasil panen yang dikonsumsi (Kg) A+B Pupuk Benih Pestisida Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) Sewa lahan E. Biaya diperhitungkan Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) Penyusutan alat Benih Mol F. Total Biaya D+E G. Pend. Atas biaya tunai B–A H. Pend. Atas biaya total C–F I. Pend. Bersih A–D Keterangan: P = Penerimaan, Pend = Pendapatan Sumber: Hernanto, 1991
30
4.4.3. Uji untuk Membedakan Tingkat Pendapatan, Produktivitas, dan Efisiensi Salah satu penggunaan statistik adalah untuk menguji hipotesis tentang perbedaan tingkat pendapatan, produktivitas, dan efisiensi yang diperoleh petani karena adanya dua metode yang dilakukan. Adapun alasan mengapa perlu dilakukan uji beda ini adalah karena walaupun secara nominal pendapatan petani tersebut tidak sama, namun secara statistik belum tentu berbeda karena bisa saja perbedaan yang terjadi disebabkan oleh faktor kebetulan (Nazir, 1988). Oleh karena itu, perbedaan tersebut perlu diuji terlebih dahulu dengan menggunakan uji perbedaan dua mean. Adapun alat analisis yang digunakan untuk menguji perbedaan dua mean tersebut adalah uji t tidak berpasangan. Uji t tidak berpasangan digunakan untuk menentukan apakah dua sampel yang tidak berhubungan memiliki nilai rata-rata yang berbeda (Ghozali, 2006). Untuk kasus ini, sampel yang digunakan yaitu petani yang menerapkan metode konvensional dan petani yang menerapkan metode SRI organik. Uji beda t-test dilakukan dengan cara membandingkan perbedaan antara dua nilai rata-rata dengan standar eror dari perbedaan rata-rata dua sampel atau secara rumus dapat ditulis sebagai berikut (Ghozali, 2006): t
xi xii Std .Errori ,ii
Keterangan: = rata-rata sampel pertama = rata-rata sampel kedua = standar eror perbedaan rata-rata kedua sampel Standar error perbedaan dalam nilai rata-rata terdistribusi secara normal. Dengan demikian tujuan uji beda t-test adalah membandingkan rata-rata dua grup yang tidak berhubungan satu dengan yang lain. Bentuk hipotesis yang dirumuskan pada penelitian ini salah satunya untuk mengetahui perbedaan tingkat pendapatan adalah sebagai berikut: H0 : tidak terdapat perbedaan tingkat pendapatan yang signifikan antara metode konvensional dan metode SRI organik H1 : terdapat perbedaan tingkat pendapatan yang signifikan antara metode konvensional dan metode SRI organik
31
Variabel dependen
: produktivitas
Variabel independen : metode yang digunakan (konvensional dan SRI organik) Level signifikan ( ) yang digunakan untuk menolak atau menerima hipotesis pada penelitian ini sama dengan 5 persen (0,05). Hipotesis akan ditolak jika t
hitung
>t
tabel.
Untuk membaca tabel angka t-test pada hasil output spss yang
digunakan, terdapat dua tahapan analisis yang harus dilakukan. Pertama, asumsi variance populasi kedua sampel tersebut harus diuji apakah sama (equal variances assumed) atau berbeda (equal variances not assumed) dengan melihat nilai levene’s test. Kedua, menentukan apakah terdapat perbedaan nilai rata-rata secara signifikan dengan melihat nilai t-test. Untuk mengetahui apakah varians populasi sama atau berbeda, berikut hipotesis yang digunakan : Ho : varians populasi tingkat pendapatan antara responden konvensional dan SRI organik adalah sama. H1 : varians populasi tingkat pendapatan antara responden konvensional dan SRI organik adalah berbeda. Pengambilan keputusan : Jika probabilitas > 0,05, maka terima Ho , dengan kesimpulan varians sama dan menggunakan equal variances assumed. Jika probabilitas < 0,05, maka tolak Ho dan terima H1, dengan kesimpulan varians berbeda dan menggunakan equal variances not assumed. 4.5. Definisi Operasional Untuk menghindari ketidaksamaan pandangan dalam pengertian, maka terdapat beberapa hal yang perlu diberi batasan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian. Batasan-batasan tersebut meliputi : 1.
Petani padi SRI organik (petani organik) adalah petani yang melaksanakan budidaya padi dengan metode SRI dan tidak menggunakan masukan kimia dalam usahataninya, satuannya orang.
2.
Petani
padi
konvensional
(petani
anorganik)
adalah
petani
yang
melaksanakan budidaya dengan metode konvensional dan menggunakan masukan kimia dalam usahataninya, satuannya orang. 3.
Luasan lahan yang digunakan dalam perhitungan usahatani penelitian ini yaitu satu iring atau setara dengan 2000 m2. 32
4.
Tenaga kerja adalah tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi. tenaga kerja ini dibedakan menjadi dua, yaitu tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Seluruh tenaga kerja disetarakan dengan ukuran Hari Orang kerja (HOK).
5.
Jumlah produksi adalah jumlah panen padi yang dihasilkan dari luas lahan, satuannya kilogram.
6.
Produktivitas adalah hasil bagi antara jumlah panen atau produksi dengan luas lahan, satuannya kilogram per iring.
7.
Biaya tunai adalah besarnya nilai uang tunai yang dikeluarkan petani untuk membeli input-input yang dibutuhkan dalam budidaya padi.
8.
Biaya yang diperhitungkan adalah pengeluaran untuk input milik sendir atau input yang digunakan tanpa harus membeli, satuannya rupiah.
9.
Biaya total merupakan penjumlahan antara biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan, satuannya rupiah.
10. Harga jual beras organik adalah harga jual output dalam bentuk beras organik yang telah ditentukan dan disetujui oleh kedua pihak yaitu kelompok tani Pemuda Tani Lestari dan pembeli, dalam satuan rupiah per kilogram. 11. Penerimaan (nilai produksi) usahatani merupakan nilai yang diperoleh dari hasil kali antara jumlah produksi beras (petani SRI organik) atau gabah kering panen (petani konvensional) dengan harga jualnya, satuannya rupiah. Hasil produksi baik berupa gabah maupun beras didalamnya sudah termasuk penyusutan dan upah panen. Penyusutan volume gabah dari gabah basah ke gabah kering yaitu 15 persen. Penyusutan volume gabah kering ke beras yaitu 45 persen.
33
BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1. Karakteristik Desa 5.1.1. Kondisi Geografis Secara administratif Desa Ringgit terletak di Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Letak Desa Ringgit berada pada 4km dari ibu kota kecamatan, dan 20 km dari ibu kota kabupaten dengan batas wilayah desa sebagai berikut : Sebelah barat
: Desa Kaliwungu Lor
Sebelah utara
: Desa Susukan
Sebelah timur
: Tunjungan
Sebelah selatan
: Kelurahan Lereng
Luas wilayah Desa Ringgit ±103 ha yang terdiri atas sawah, pemukiman dan pekarangan, bangunan umum, dan lain-lain. Secara topografi daerah ini termasuk daerah yang landai, tidak berbukit dengan ketinggian 133 m di atas permukaan laut. Curah hujan rata-rata di daerah ini 2066 mm per tahun dengan suhu udara rata-rata berkisar antara 220-340C. Jenis tanah di daerah ini adalah Regosol dengan pH 5,0-5,4 sehingga tanah cenderung asam. 5.1.2. Kondisi Demografi dan Keadaan Sosial Ekonomi Jumlah penduduk di Desa Ringgit hingga akhir tahun 2009 berjumlah 4.668 jiwa yang terdiri dari 1440 Kepala Keluarga (KK) dan terbagi dalam satu Rukun Warga (RW) dan empat Rukun Tetangga (RT). Jumlah penduduk berjenis kelamin pria sebanyak 367 jiwa dan wanita sebanyak 335 jiwa. Kelompok umur yang terbanyak adalah usia 26-50 tahun. Untuk lebih jelasnya, jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Umur di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2009 Umur (Tahun) 0-5 6-15 16-25 26-50 >50 Jumlah
Jenis Kelamin Pria (jiwa) Wanita (jiwa) 115 105 374 341 520 475 1.079 985 352 322 2.440 2.228
Jumlah 220 715 995 2.064 674 4.668
Persentase (%) 4,71 15,32 21,31 44,21 14,44 100,00
Sumber : Monografi Desa Ringgit, 2009 Tingkat pendidikan masyarakat sudah cukup baik, dimana persentase lulusan SLTA dan sederajat sudah cukup besar yaitu 32,61 persen, disusul kemudian dengan lulusan SLTP sebesar 27,17 persen dan Sekolah Dasar sebesar 17,40 persen. Perincian mengenai tingkat pendidikan masyarakat Desa Ringgit dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2009 No. 1 2 3 4 5 6 7
Pendidikan Belum sekolah TK Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat Tamat Diploma Tamat Sarjana Jumlah
Jumlah (Jiwa) 30 34 64 100 120 10 10 368
Persentase (%) 8,15 9,24 17,40 27,17 32,61 2,72 2,72 100,00
Sumber : Monografi Desa Ringgit, 2009 Ditinjau dari segi mata pencaharian, sebagian besar masyarakat Desa Ringgit bekerja di sektor pertanian. Dalam usahataninya ada yang menggarap lahan sawah baik milik sendiri maupun milik orang lain (buruh tani). Selain itu, ada petani penggarap, yaitu petani yang menggarap sawah dengan cara menyewa lahan dan hasil panen diterima secara utuh oleh petani, dan petani penyakap, yaitu petani yang menggarap sawah namun tidak dengan menyewa lahan melainkan dengan pembagian hasil panen (sistem bagi hasil 50:50) serta biaya yang
35
dikeluarkan dari proses penanaman hingga panen berasal dari petani penggarap. Rincian mengenai jenis mata pencaharian penduduk Desa Ringgit pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2009 No. 1 2 3 4 5 6 7
Mata Pencaharian Pegawai Negeri Pegawai Swasta Wiraswasta Tani Pertukangan Buruh Tani Pensiunan Total
Jumlah 20 7 22 105 7 80 6 247
Persentase (%) 8,09 2,83 8,91 42,51 2,83 32,39 2,43 100,00
Sumber : Monografi Desa Ringgit, 2009 5.2. Gambaran Umum Usahatani Padi di Desa Ringgit Penerapan sistem pertanian padi SRI organik di Desa Ringgit diawali dengan penanaman padi secara organik yang telah dilakukan sejak tahun 1997. Penerapan padi secara organik ini didasari oleh kesadaran petani setempat akan buruknya dampak yang diberikan dari penggunaan bahan-bahan kimia terhadap tanah. Pada tahun 2003 pertanian SRI organik mulai diperkenalkan oleh Suster Alfonsa Triatmi PMY yang berasal dari kongregasi Suster Puteri Maria dan Yosef Magelang, Wonosobo. Perkenalan metode SRI pada saat itu dengan diikutsertakannya beberapa petani Purworejo ke Indramayu, Jawa Barat untuk mengikuti Pembelajaran Ekologi Tanah (PET) dan Praktek SRI Organik selama lima hari. Metode PET dan praktek SRI Organik ini kemudian dikembangkan untuk memperbaiki metode pembelajaran pertanian organik yang sudah dijalankan sejak tahun 1997. Tanggal 12 - 16 Oktober 2003 kelompok Tani Lestari desa Ringgit mengadakan PET dengan mengundang narasumber Pak Alik Sutaryat dari Ciamis, Jawa Barat. Pembelajaran ini juga menjadi awal terbentuknya pemahaman baru tentang pertanian organik dan bergabungnya petani organik di Purworejo dengan jaringan yang lebih luas untuk mengembangkan PET dan SRI Organik. Pemahaman praktek PET dan SRI Organik beberapa petani terus terasah melalui kegiatan-kegiatan jaringan yang diikuti. Hingga saat ini para petani telah melaksanakan pembelajaran sebanyak 19 kali, baik secara mandiri maupun 36
dengan dukungan pihak-pihak yang peduli termasuk pemerintah. Jaringan petani pelaku SRI Organik Kabupaten Purworejo memiliki setidaknya 10 orang petani yang memiliki kemampuan untuk mendampingi pembelajaran ekologi tanah dan praktek SRI Organik, sedangkan jaringan petani pelaku SRI Organik menjangkau tujuh kecamatan dari 16 kecamatan di Kabupaten Purworejo. Jumlah petani yang aktif dalam praktek SRI Organik dan masih terus terhubung dalam komunikasi jaringan ada 85 orang petani. Tahun 2010 negara Jepang melalui pemerintah Kabupaten Purworejo memberikan bantuan kepada seluruh kelompok tani yang menjalankan program SRI. Terdapat tujuh desa yang diberikan bantuan, salah satunya yaitu Desa Ringgit yang ditujukan untuk dua kelompok tani, kelompok Tani Lestari dan Margodadi. Bantuan pemerintah tersebut berjumlah Rp 309 juta untuk setiap kelompok tani dan diwajibkan mengembangkan padi SRI pada lahan seluas 20 Ha. Bantuan tersebut dialokasikan untuk pembangunan rumah kompos, pembelian 30 ekor sapi, kendaraan roda tiga (Viar), alat pembuat pupuk organik (APPO), serta sekolah lapang. Musim tanam padi yang ada di desa tersebut ada dua, yaitu musim kemarau (gadu) dan musim hujan (rendeng). Musim kemarau disebut juga dengan Musim Tanam I (MT I), sedangkan musim hujan disebut juga dengan Musim Tanam II (MT II). MT I dilakukan pada bulan November hingga Februari dan MT II dilakukan pada bulan April hingga Juli. Pada peralihan musim tanam antara MT II dan MT I, petani banyak yang menanami ladangnya dengan tanaman palawija. Tanaman palawija yang biasa ditanam adalah cabai, tomat, kacang panjang, jagung, serta kacang tanah. Hal ini dilakukan agar lahan sawahnya tidak ditumbuhi banyak rumput yang nantinya menjadikan lahan susah diolah, serta dapat menjadi penghasilan tambahan bagi petani. Akan tetapi, sebagian besar petani padi SRI organik tidak melakukan hal tersebut. Sebab, penanaman tanaman palawija biasanya menggunakan pupuk kimia. Dengan demikian, lahan yang telah ditanami organik harus mengalami proses konversi lagi selama kurang lebih 1-2 tahun tergantung dengan kondisi lahan yang ada. Pada MT I dan MT II hampir seluruh petani padi konvensional maupun SRI organik mengalami perbedaan hasil produksi. Hasil produksi MT I dilihat
37
dari kuantitasnya lebih banyak dibandingkan dengan hasil panen MT II. Akan tetapi, apabila dilihat dari kualitasnya MT II memiliki kualitas yang lebih baik dari kualitas gabah pada MT I. Hal ini disebabkan karena pada saat musim penghujan kebutuhan tanaman akan air sangat tercukupi, namun dengan kadar air sangat tinggi menyebabkan kualitas gabah cenderung tidak bagus. Adapun pada musim kemarau kebutuhan tanaman akan air kurang tercukupi, sehingga kadar air yang terkandung dalam gabah sedikit. Selain itu pula pada proses penjemuran gabah pada musim penghujan membuat kualitas gabah menjadi tidak baik, karena gabah yang tidak terjemur dengan baik dapat mengakibatkan beras patah dan cepat membusuk. Varietas padi yang umumnya ditanam yaitu IR 64, Ciherang, Sintanur, Jasmin, serta Janur. Varietas Janur merupakan varietas padi yang dihasilkan oleh salah satu petani setempat dengan mengawinkan benih antara varietas Jasmin dan Sintanur. Varietas Janur ini banyak digunakan oleh petani SRI organik, karena varietas ini sangat cocok diaplikasikan pada sistem tanam SRI organik. 5.3. Karakteristik Petani Responden Karakteristik petani responden akan diuraikan berdasarkan umur petani, tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan, luas lahan garapan serta pengalaman berusahatani padi baik konvensional maupun SRI organik. 5.3.1. Umur Petani Berdasarkan hasil wawancara terhadap petani responden, diperoleh data yang menunjukkan bahwa sebaran umur petani secara keseluruhan dimulai dari umur 24-66 tahun. Untuk petani konvensional sebaran umur yaitu antara 25-66 tahun, sedangkan untuk petani SRI organik sebaran umur berada antara 24-55 tahun. Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa jumlah petani terbanyak baik dari petani konvensional dan SRI organik terletak pada sebaran umur antara 38-44 tahun dengan jumlah petani sebanyak 19 jiwa dan persentase sebesar 63,33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani Desa Ringgit berada pada usia produktif. Pada responden petani SRI organik terdapat jumlah petani terbanyak kedua pada sebaran usia 52-58 tahun sebanyak delapan jiwa dengan persentase
38
26,67. Hal ini membuktikan bahwa penerapan metode SRI organik di Desa Ringgit bukan semata-mata karena adanya kelangkaan pupuk atau naiknya harga pupuk, melainkan kesadaran seorang petani terhadap lingkungannya yang sudah mulai rusak. Tabel 8. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Golongan Umur di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011 Golongan Umur (Tahun) 24 – 30 31 – 37 38 – 44 45 – 51 52 – 58 59 – 66 Jumlah
Jumlah (Jiwa) Petani Petani Konvensional Organik 5 5 9 4 5 2 30
2 4 10 6 8 0 30
Persentase (%) Petani Petani Konvensional Organik 16.67 6,67 16,67 13,33 30,00 33,33 13,33 20,00 16,67 26,67 6,67 0,00 100,00 100,00
5.3.2. Tingkat Pendidikan Ditinjau dari sisi tingkat pendidikan yang pernah diikuti, maka petani responden dapat digolongkan atas beberapa kategori. Berdasarkan tingkat pendidikan yang diperoleh, sebagian besar responden telah mengenyam pendidikan hingga tingkat SMU dan sederajat yaitu sebanyak 22 orang, dengan persentase sebesar 46,808 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani responden sudah cukup tinggi. Bahkan ada pula petani responden yang telah menempuh pendidikan hingga sarjana, yaitu sebanyak lima orang atau sebesar 10,638 persen dari total responden secara keseluruhan. Secara terperinci penggolongan responden berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Tabel 9.
39
Tabel 9. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tingkat Pendidikan
Jumlah (Orang) Petani Petani SRI Konvensional Organik
Tidak Sekolah SD SLTP SMU /sederajat Diploma Sarjana Total
3 3 5 15 1 3 30
1 4 7 12 2 4 30
Persentase (%) Petani Petani Konvensional SRI Organik 10,00 3,33 10,00 13,33 16,67 23,33 50,00 40,00 3,33 6,67 10,00 13,33 100,00 100,00
Untuk pendidikan non formal, mayoritas petani pernah mengikuti pelatihan atau penyuluhan seperti Pelatihan PET, Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT), dan lain sebagainya. Pelatihan yang dilakukan untuk tanaman padi khususnya seperti masuknya pembelajaran metode SRI yang dimulai dengan PET diikuti oleh sebagian besar petani di Desa Ringgit. Akan tetapi, keikutsertaan dalam menanam padi dengan metode SRI organik ini hanya dilakukan oleh beberapa petani, dan sebagian besar petani yang menerapkan metode SRI organik tersebut tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Seperti dapat dilihat pada Tabel 5, jumlah petani dengan tingkat pendidikan SMU atau sederajat pada responden SRI organik lebih rendah yaitu berjumlah 12 orang, sedangkan responden konvensional berjumlah 15 orang. 5.3.3. Status Kepemilikan Lahan Status kepemilikan lahan yang berada di Desa Ringgit terbagi menjadi empat jenis, yaitu
lahan milik sendiri, lahan sewa, lahan sakap, serta lahan
bengkok. Lahan sewa merupakan lahan yang disewa oleh petani selama beberapa musim tanam dengan sewa lahan per tahun sebesar Rp 1.700.000. Lahan sakap merupakan lahan milik orang lain yang digarap oleh petani dengan sistem bagi hasil namun biaya operasional ditanggung oleh petani, dan pemilik hanya menanggung biaya tetap seperti pajak. Sedangkan lahan bengkok merupakan lahan yang diberikan oleh desa kepada perangkat desa selama menjabat sebagai perangkat desa. Untuk lahan sewa dan bengkok diasumsikan menjadi lahan sewa,
40
karena lahan bengkok pada dasarnya merupakan penerimaan seorang perangkat desa dalam bentuk sawah. Status kepemilikan lahan untuk responden petani SRI organik sebagian besar adalah lahan milik sendiri, dan sebagian lain merupakan lahan sakap. Hal ini disebabkan karena luas lahan yang dimiliki oleh petani pada umumnya kecil, dengan luas minimum kurang lebih 2000 m2. Dengan demikian, sebagian besar petani umumnya lebih memilih untuk menerapkan metode SRI organik pada lahannya sendiri. Adapun alasan lain penerapan metode SRI organik pada lahan sakap karena adanya permintaan dari pemilik, dan pemilik pun akan mencari petani yang akan bersungguh-sungguh mengelola lahannya dengan baik menggunakan
metode
SRI
organik
tersebut.
Untuk
responden
petani
konvensional, status kepemilikan lahannya bermacam-macam seperti yang ada pada Tabel 10. Tabel 10. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Status Kepemilikan Lahan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011 No . 1. 2. 3.
Status Kepemilikan Lahan
Jumlah (Orang) Petani Petani SRI Konvensional Organik
Milik Sendiri Sakap Sewa Total
21 8 1 30
23 7 0 30
Persentase (%) Petani Petani Konvensional SRI Organik 70,00 76,67 26,67 23,33 3,33 0,00 100,00 100,00
5.3.4. Luas Lahan Garapan Apabila dilihat dari luas lahan yang digarapnya, ternyata luas lahan petani cukup beragam, yaitu dari petani yang hanya memiliki lahan garapan seluas 769 m2 sampai dengan petani yang memiliki luas lahan garapan lebih dari satu hektar. Pada Tabel 11. diketahui bahwa luas lahan garapan petani konvensional terbanyak berada pada kisaran 0,34-0,99 ha dengan jumlah petani sebanyak 17 orang, sedangkan luas lahan garapan kurang dari 0,34 ha menjadi luas lahan terbanyak yang digarap petani SRI organik dengan jumlah 19 orang. Luas lahan yang digarap lebih dari satu hektar sebagian besar dimiliki oleh para petinggi di perangkat desa seperti Lurah, Sekretaris Desa, atau perangkat desa lainnya.
41
Tabel 11. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Status Kepemilikan Lahan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011 No. 1. 2. 3.
Luas Lahan Garapan (ha) < 0,34 0,34-0,99 >1 Total
Jumlah (Orang) Petani Petani SRI Konvensional Organik 9 19 17 8 4 3 30 30
Persentase (%) Petani Petani SRI Konvensional Organik 30,00 63,33 56,67 26,67 13,33 10,00 100,00 100,00
Berdasarkan Tabel 11 dapat terlihat pula petani konvensional memiliki lahan garapan yang lebih luas dibandingkan dengan petani SRI organik. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa lahan pertanian organik di Desa Ringgit memiliki luasan yang kecil, meskipun dengan jumlah petani yang relatif besar. Hal ini menjadi suatu alasan mengapa banyak produk organik yang dipertanyakan keorganikannya karena seharusnya lahan organik berupa hamparan. 5.3.5. Pengalaman Berusahatani Padi Lama pengalaman berusahatani padi masyarakat Desa Ringgit dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12, sebanyak 11 orang dan 10 orang dari golongan petani metode konvensional dan SRI organik telah bertani padi selama kurang dari 10 tahun. Pengalaman bertani kurang dari 10 tahun tahun termasuk pengalaman yang belum terlalu lama. Hal ini disebabkan karena sebagian besar petani merupakan penduduk yang telah pulang kembali ke desa dari perantauan di kota besar. Apabila dilihat dari rentang usia petani pada Tabel 8, usia terbanyak berada pada rentang 38-44 tahun. Hal ini menegaskan bahwa pada usia kurang dari 38 tahun petani lebih memilih untuk mencari pekerjaan di kota besar dan pertanian menjadi harapan terakhir bagi petani sebagai mata pencaharian.
42
Tabel 12. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Pengalaman Berusahatani Padi di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011 Pengalaman Usahatani (Tahun)
No. 1. 2. 3. 4.
< 10 11-20 21-30 31-40 Total
Jumlah (Orang) Petani Petani SRI Konvensional Organik 11 8 7 4 30
10 7 8 5 30
Persentase (%) Petani Petani Konvensional SRI Organik 43,33 33,33 26,67 23,33 16,67 26,67 13,33 16,67 100,00 100,00
Rentang lama pengalaman berusahatani padi petani konvensional terbanyak kedua yaitu pada rentang 11-20 tahun, sedangkan pada petani SRI organik berada pada rentang 21-30 tahun. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa petani dengan pengalaman berusahatani padi lebih lama, petani lebih mampu mempertimbangkan adanya metode atau inovasi baru untuk diaplikasikan pada lahannya. Hal tersebut sejalan dengan kutipan yang diberikan oleh seorang praktisi organik bahwa “semakin lama petani mengenal lahannya, maka akan semkin bijaksana petani tersebut dalam mengelola lahannya”12. Pengalaman berusahatani padi SRI organik seluruhnya berada pada rentang waktu kurang dari 10 tahun. Hal ini disebabkan karena metode SRI organik diperkenalkan pada tahun 2003 dan dilaksanakan secara bertahap pada tahun 2006. Selama tahun 2003 hingga 2006 penerapan yang dilakukan masih dalam tahap pengenalan dan pembelajaran, sehingga banyak petani yang belum berani mengaplikasikan pada lahannya sendiri.
12
Alik Sutaryat dalam diskusi perkumpulan petani organik di Ciamis, Jawa Barat.
43
BAB VI ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI
Keragaan usahatani pada penelitian ini dijelaskan secara deskriptif. Penjelasan keragaan usahatani meliputi penggunaan input dan cara budidaya padi dengan metode SRI organik yang dibandingkan dengan pertanian konvensional. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan dalam memahami perbedaan dari kedua metode tersebut. 6.1. Penggunaan Input 6.1.1. Lahan Lahan yang digunakan dalam budidaya padi SRI organik memiliki luas kurang lebih 2000 m2 atau penduduk sekitar sering mengistilahkannya dengan satu iring. Satu iring setara dengan 130 ubin, dengan luas per ubinnya 12 cm x 14 cm. Harga sewa yang ditetapkan per iringnya yaitu Rp 1.700.000 pertahun dan dibayarkan pada musim tanam pertama. Untuk pajak lahan sawah dibedakan atas letak sawah tersebut. Apabila letak sawah berada dekat dengan jalan utama atau saluran irigasi, maka pajak lahan sawah semakin besar dan sebaliknya bila lahan sawah berada jauh dari jalan utama atau saluran irigasi maka pembayaran pajak akan semakin kecil. Pembayaran pajak dilakukan pada akhir tahun saat musim tanam pertama. 6.1.2. Bibit Bibit yang digunakan oleh petani SRI organik Desa Ringgit merupakan bibit yang dibuat sendiri baik oleh anggota maupun ketua kelompok tani, yang nantinya ketua kelompok tani akan membagikan bibit tersebut kepada petani anggota lain yang tidak mampu membuat bibitnya sendiri. Varietas bibit yang ditanam yaitu Sintanur, Pandan Wangi, atau Janur. Varietas Janur merupakan persilangan antara Sintanur dan Jasmin yang disilangkan oleh ketua kelompok Pemuda Tani Lestari (PTL). Varietas Janur digunakan oleh sebagian besar petani SRI organik, karena varietas ini sangat cocok diaplikasikan pada metode SRI. Jumlah bibit yang digunakan dalam metode SRI organik untuk luasan lahan satu
iring yaitu 1-2 kg. Penggunaan jumlah bibit sebenarnya hanya 7-8 ons, kelebihan bibit digunakan untuk penyulaman tanaman. Untuk pertanian konvensional, varietas bibit yang digunakan yaitu IR 64, Janur, Ciherang, Pandan Wangi, dan Sintanur. Kebutuhan bibit pada pertanian konvensional per iringnya yaitu 5-7 kg. Perbedaan jumlah penggunaan bibit dikarenakan oleh jarak tanam dan jumlah bibit per lubang tanam dalam kegiatan penanaman yang dijelaskan di sub bab budidaya. Penggunaan bibit pada pertanian konvensional berasal dari produsen bibit dengan harga beli Rp 8000-Rp 9000 per kilogram. Bibit yang dijual berada pada kemasan lima kiloan dengan harga Rp 40.000-Rp 45.000 berdasarkan varietas bibit. 6.1.3. Pupuk Penggunaan pupuk pada pertanian SRI organik yaitu dengan pupuk kandang yang dibuat oleh petani kelompok PTL. Pupuk kandang yang dibuat berasal dari kotoran sapi. Ada pula petani yang menggunakan kotoran hewan lain seperti ayam, kambing, serta burung sebagai pupuk kandangnya. Untuk pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi memiliki nilai jual seharga Rp 6.000 per kg, Rp 8.889 per kg untuk kotoran ayam, dan untuk kotoran kambing Rp 10.000 per kg. Pupuk kandang diberikan setelah lahan dibajak pertama kali (di luku). Ciri kompos yang siap untuk digunakan adalah berwarna kehitaman dan remah seperti tanah. Banyaknya kompos yang dibutuhkan tanaman tergantung kesuburan tanah, kondisi agroklimat, dan jenis tanaman. Pupuk yang digunakan untuk pertanian konvensional merupakan pupuk kimia berupa urea, ponskha, SP 36, dan Za. Pengaplikasian pupuk dengan cara mencampur beberapa jenis pupuk yang digunakan kemudian di sebar pada saat tanaman sudah mencapai usia 10-15 hari setelah tanaman di watun. Hal tersebut dilakukan agar pupuk yang disebar di sekitar tanaman mampu diserap dengan sempurna. Meskipun pada kenyataannya pupuk yang disebar akan menguap, mengalir bersama aliran air, dan mengendap yang pada akhirnya akan membuat tanah menjadi keras dan sulit diolah karena tekstur pupuk kimia rapat dan tidak bercelah. Adapun jumlah penggunaan pupuk yang diaplikasikan dapat dilihat pada Tabel 13.
45
Tabel 43. Penggunaan Input Pupuk Rata-Rata 1 Ha Pada Pertanian Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit Musim Tanam II Tahun 2011 No. 1.
2.
Jenis pupuk
Harga Satuan (Rp/kg)
Urea Ponskha SP 36 Za Kotoran Ayam Kotoran Sapi Kotoran Kambing
1.600 2.300 2.200 1.200 120 177,78 200
Penggunaan Pupuk (kg) Petani Petani SRI Konvensional Organik 214,83 156,50 109,17 40,83 3.662,5 5.593,05 2.733,33
6.1.4. Pestisida Dalam melakukan pengendalian hama dan penyakit pada usahatani organik tidak boleh menggunakan pestisida. Hal ini dikarenakan dapat berpengaruh terhadap kualitas beras organik yang dihasilkan. Oleh karena itu, untuk pengendalian hama dan penyakitnya dilakukan dengan beberapa macam cara misalnya penyemprotan mol, penambahan pupuk kandang, mengurangi atau menambah volume air genangan, serta menghadirkan musuh alami. Mol merupakan salah satu bentuk pestisida nabati yang terbuat dari beberapa jenis tanaman dengan kegunaannya masing-masing. Rata-rata takaran perbandingan antara mol dan air yaitu 1 : 2, dengan jumlah mol sebanyak lima liter dan air sepuluh liter. Hal ini disebabkan karena mol berupa cairan yang tidak begitu pekat. Berbeda
dengan
SRI
organik,
petani
konvensional
melakukan
pengendalian hama dan penyakitnya menggunakan pestisida. Pestisida yang digunakan oleh petani konvensional memiliki beragam merek dagang seperti Spontan, Fastac, dan Score. Petani biasanya melakukan penyemprotan pestisida bila terdapat serangan hama atau penyakit pada tanaman, namun pada beberapa petani tetap melakukan penyemprotan meskipun tidak terdapat serangan hama sebagai tindakan pencegahan. Takaran penggunaan pestisida umumnya 20 – 30 ml dalam satu tangki sprayer volume 14 L. Penggunaan takaran pestisida yang sedikit disebabkan oleh bentuk pestisida yang berupa cairan pekat.
46
6.1.5. Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki pengaruh besar terhadap biaya usahatani. Oleh karena itu, dalam penggunaannya petani harus memperhitungkannya. Tenaga kerja yang digunakan petani berasal dari tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). TKDK dan TKLK memiliki porsi yang sama dalam jumlah jam kerja per harinya yaitu delapan jam. Pemberian upah bagi TKLK terbagi menjadi dua, yaitu borongan dan perorangan. Pemberian upah secara borongan biasanya dilakukan pada saat kegiatan membajak sawah, penanaman, serta pemanenan. Untuk tenaga kerja perorangan, perhitungan pemberian upah diberikan per dua jam kerja (1 HKW/HKP = 2 jam kerja) sebanyak Rp 7.000 untuk wanita dan Rp 8.000 untuk pria. Dengan demikian, dalam satu hari terdapat delapan jam kerja (1 HOK = 8 jam kerja) dengan upah sebesar Rp 28.000 untuk wanita dan Rp 32.000 untuk pria. Penggunaan tenaga kerja pada metode konvensional dan SRI organik tidak terlalu berbeda kuantitasnya. Hanya saja dari segi kualitas bekerja, tenaga kerja SRI organik lebih baik. Hal tersebut dapat dilihat dari segi upah yang diberikan dan perbedaan metode yang dilakukan. Misalnya pada kegiatan pembajakan dan penanaman. Kegiatan membajak pada lahan konvensional cukup berat karena lahan keras dan sulit untuk diolah, sehingga membutuhkan tenaga yang cukup besar. Pada lahan SRI organik, karena selama budidaya menggunakan pupuk kandang maka saat dibajak lahan tidak terlalu keras dan mudah untuk diolah. Oleh sebab itu, dengan penetapan upah borongan pada kegiatan membajak Rp 100.000 per iring, pembajak sawah SRI organik lebih untung karena dengan lahan yang mudah diolah dapat menghemat waktu dan tenaga, sehingga pembajak sawah dapat membajak sawah petani lainnya. Untuk penggunaan TKDK dan TKLK dalam metode konvensional dan SRI organik dapat dilihat pada Tabel 14.
47
Tabel 14. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam dan Luar Keluarga Metode Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit pada MT II No. 1.
2.
Jenis Tenaga Kerja Dalam Keluarga : Pria Wanita Luar Keluarga : Pria Wanita Total
Penggunaan Tenaga Kerja Petani Konvensional Petani SRI Organik 12,84 HKP 7,5 HKW
24,73 HKP 13,57 HKW
36,86 HKP 40,33 HKW 457,25 HOK
35,66 HKP 31,78 HKW 420,29 HOK
Berdasarkan Tabel 14. dapat diketahui bahwa rata-rata penggunaan TKDK lebih banyak pada petani SRI organik, sedangkan rata-rata penggunaan TKLK lebih banyak digunakan pada pertanian konvensional. Hal tersebut dapat disebabkan karena pertanian SRI organik pada dasarnya membutuhkan banyak tenaga kerja untuk kegiatan pemupukan dan penyiangan. Kegiatan pemupukan membutuhkan banyak tenaga kerja atau waktu karena pupuk kandang yang dibutuhkan cukup banyak, serta pengangkutan pupuk dari tempat pupuk dibuat dan dibawa ke lahan cukup jauh. Dengan demikian, petani lebih memilih menggunakan tenaga kerja keluarga untuk membantu kegiatan pemupukan. 6.1.6. Peralatan Pertanian Alat pertanian yang digunakan dalam membudidayakan tanaman padi baik secara konvensional maupun SRI organik sebagian besar sama, yaitu cangkul, traktor, arit, sprayer, gathak atau penggaris untuk menggaris lahan saat kegiatan penanaman pada metode SRI organik, tambang, serta karung untuk menempatkan gabah yang sudah dirontokkan. Metode perhitungan penyusutan alat pertanian menggunakan metode garis lurus. Nilai penyusutan dihitung dalam komponen biaya diperhitungkan. 6.2. Teknik Budidaya 6.2.1. Pengolahan Tanah Persiapan lahan untuk bertani dimulai dengan mengolah lahan sebelum tanam menggunakan traktor. Traktor yang digunakan umumnya merupakan traktor milik kelompok, meskipun sebenarnya setiap petani memiliki traktor
48
masing-masing. Hal ini dikarenakan penggunaan traktor sudah termasuk tenaga kerja khusus untuk membajak sawah SRI organik. Biaya yang dikenakan untuk membajak sawah hingga selesai yaitu Rp 100.000 per iring (2000 m2). Pembajakan dengan traktor untuk sepetak lahan seluas 2000 m2 dapat diselesaikan setengah hari (2HKP = 4 jam kerja). Pembajakan lahan dilakukan dalam dua langkah, yaitu di luku kemudian di garu. Perbedaan antara ngeluku dan ngegaru yaitu terletak pada model alat yang digunakan pada traktor yang dipasang di bagian depan. Pada saat ngeluku, pupuk organik disebar sebanyak kurang lebih 30-40 karung dengan berat per karungnya 50 kg. Setelah sawah selesai dibajak, tanah diratakan dan di bagian pinggir dan tengah tiap petakan sawah dibuat parit untuk memudahkan pengaturan air serta mencegah tanaman terserang hama keong. Untuk pertanian konvensional, kegiatan membajak sawah dilakukan dengan cara yang sama. Perbedaannya adalah pertanian konvensional memberikan pupuk pada saat tanaman sudah ditanam. Berdasarkan hal ini dapat dilihat bahwa perilaku usahatani pada umumnya lebih tertuju pada cara memupuk tanaman, bukan cara memupuk tanah agar tanah menjadi subur, sehingga dapat menyediakan sekaligus memberikan banyak nutrisi pada tanaman. 6.2.2. Persiapan Benih Benih yang dibutuhkan untuk persemaian adalah 1-2 kg per iring. Sebenarnya pada saat proses penanaman benih yang dibutuhkan hanya 7-8 ons. Akan tetapi, kelebihan benih yang ada digunakan untuk kegiatan penyulaman tanaman yang mati karena tertiup angin, terinjak, atau dimakan oleh keong. Hal ini dikarenakan benih yang dipindah dari lahan persemaian ke lahan sawah masih sangat muda (7-14 hari) dan belum kokoh, sehingga sangat rentan terhadap kondisi lingkungan. Penggunaan bibit muda dalam metode SRI membantu tanaman dalam mempermudah menyerap makanan, sehingga mampu menghasilkan banyak anakan. Pada metode konvensional, bibit relatif tua saat ditanam, yakni sekitar 2530 hari. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa bibit tua akan menghasilkan tanaman yang tahan terhadap hama dan mudah dalam pencabutan bibit. Kenyataannya, penggunaan bibit berumur tua berakibat pada produksi jumlah
49
anakan padi yang tidak maksimal. Selain itu, umumnya pertumbuhan tanaman mengalami keterlambatan. Karena pada saat pemindahan tanaman, terjadi kondisi stagnasi dan adaptasi sehingga daya jelajah akar dalam mencari makanan terbatas. Dalam menyeleksi benih yang akan disemai, petani SRI organik menggunakan metode larutan garam. Benih yang mengapung adalah benih yang kurang baik kualitasnya, sedangkan benih yang tenggelam adalah benih yang baik. Benih-benih yang baik kemudian diambil dan dicuci untuk menghilangkan larutan garam yang menempel pada benih. Setelah benih berkualitas baik telah dicuci, benih harus diperam dulu selama satu hari satu malam. Ini dilakukan agar benih tumbuh seragam. Setelah diperam, akan terlihat adanya bintik pada lembaga atau embrio benih (tetapi belum tumbuh akar) yang merupakan tanda benih yang baik dan siap disemai. Tempat untuk menyemai benih ada yang dilakukan di sawah persemaian atau di besek. 6.2.3. Penanaman Bibit siap dipindahkan ke lahan setelah mencapai umur 10 - 14 hari setelah semai. Bibit yang akan di tanam dalam keadaan utuh (akar tidak putus) dan rentang waktu antara pencabutan dan penanaman tidak terlalu lama (maksimal 30 menit) agar bibit tidak stres. Kondisi air pada saat tanam adalah “macak-macak” yaitu kondisi tanah yang basah tetapi bukan tergenang. Bibit yang ditanam setiap lubangnya berisi satu benih dan ditanam dangkal, yaitu pada kedalaman 2-3 cm dengan bentuk perakaran horizontal (seperti huruf L). Jarak tanam yang digunakan bervariasi, yaitu 25x25 cm dan 30x30 cm. Pembuatan jarak tanam menggunakan penggaris yang dibuat oleh petani (Gambar 2.). Perlakuan terhadap benih yang ingin ditanam pada pertanian konvensional yaitu (a) daun di potong karena benih yang digunakan sudah tua, (b) batang diikat untuk memudahkan pembagian saat tanam, (c) benih dilempar, (d) benih ditanam banyak, (e) benih ditanam dalam dan akhirnya di petakan sawah direndam. Penanaman dengan metode konvensional menggunakan gathak. Gathak merupakan alat tanam terbuat dari kayu dengan sepanjang kayu tersebut diberi lengkungan kecil. Jarak antar lengkungan disesuaikan dengan jarak tanam yang biasa digunakan untuk menanam padi konvensional yaitu 15 cm x 15 cm dan 20 cm x 20 cm. Pada Lampiran 1. terdapat gambar kegiatan menanam padi dengan
50
metode konvensional. Dari gambar tersebut dapat terlihat di pinggiran sawah terdapat tambang yang digunakan untuk memastikan bahwa jarak penanaman tetap rapih, sebab panjang gathak hanya setengah dari panjang sawah pada umumnya. Penanaman jarak tanam yang lebar yaitu 25 cm x 25 cm sampai 30 cm x 30 cm dalam prinsip SRI mendorong pertumbuhan akar secara optimal serta memaksimalkan sinar matahari yang cukup secara optimal. Namun kebiasaan yang dilakukan oleh petani konvensional dalam menanam padi biasanya menggunakan jarak tanam yang rapat, yaitu 20 cm x 20 cm atau bahkan 15 cm x 15 cm. Kebiasaan ini didasarkan oleh bermacam-macam alasan diantaranya adalah kepemilikan lahan yang sempit. Penggunaan
jarak
tanam
yang
sempit,
petani
berpikiran
akan
menghasilkan padi lebih banyak karena jumlah tanamannya lebih banyak. Namun di dalam prakteknya, harapan yang dijadikan alasan oleh petani tersebut seringkali berbeda, karena jarak tanam yang rapat menyebabkan tanaman lembab dan gelap sehingga akan disenangi hama seperti wereng dan tikus. Di samping itu, tanaman yang lembab sangat berpotensi terhadap berkembangnya jamur. Penanaman dengan bibit yang banyak dalam satu lubang pula akan mengakibatkan tanaman tidak bisa berkembang dengan baik. Hal ini dikarenakan terjadi persaingan dalam memperebutkan makanan dan kekurangan sinar yang diperlukan bagi tanaman. 6.2.4. Pemupukan Setelah Tanam Terdapat perlakuan yang berbeda dalam kegiatan pemupukan setelah tanam pada kedua metode ini. Untuk metode SRI organik, pupuk yang digunakan setelah benih ditanam yaitu dengan menggunakan Mikroorganisme Lokal (MOL). Mol digunakan sebagai katalisator dalam pembuatan pupuk organik cair. Mol berfungsi dalam membantu pertumbuhan tanaman dan kesehatan ekosistem, serta dapat melarutkan unsur hara makro dan mikro tanah. Pada metode SRI, petani diharuskan untuk membuat mol sendiri. Hal ini dilakukan agar petani dapat lebih mandiri dan mampu memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan sekitar. Untuk petani SRI di Desa Ringgit, tidak semua petani mampu membuat mol, tapi mol dibuat oleh kepala kelompok tani yang nantinya dibagi-bagikan kepada seluruh anggota kelompok.
51
Gambar 4. Jenis-Jenis Mol yang Digunakan Petani Padi SRI Organik di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011 Sumber : Pak Wuryanto (anggota kelompok Pemuda Tani Lestari) Pengaplikasian mol dalam SRI organik dibagi menjadi empat jenis yaitu mol tunas (Giberelin), mol batang (Sitokinin), mol daun (Auxin), mol Inhibitor, serta mol untuk pengisian bulir. Masing-masing mol diberikan setiap 10 hari sekali secara berurutan dimulai pada 10 Hari Setelah Tanam (HST). Mol tunas, mol batang, dan mol daun berfungsi dalam mempercepat proses pertumbuhan dan menghasilkan anakan lebih banyak. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat ketiga mol tersebut yaitu jenis tanaman yang cepat tumbuh seperti bambu muda (rebung), bonggol pisang, buah mojo, dan lain-lain. Mol inhibitor berfungsi untuk menghentikan pembuatan anakan agar nutrisi dapat terserap dengan baik oleh malai yang sedang berbuah. Mol inhibitor sering pula disebut dengan mol buah karena bahan pembuatnya berasal dari buah-buahan yang mengandung rasa manis. Mol yang terakhir digunakan untuk membantu bulir padi lebih berisi. Untuk metode konvensional, pemupukan dilakukan setelah tanam, yang dilanjutkan dengan penyemprotan pestisida dan insektisida guna mempermudah petani dalam merawat tanaman padinya. Petani konvensional menganggap bahwa seluruh serangga atau mahkluk hidup yang hidup bersamaan dengan tanaman padi adalah hama dan musuh tanaman yang harus dibasmi. Pada kenyatannya, tidak semua serangga tersebut merusak tanaman. Sebab, ada serangga yang menjadi musuh alami serangga yang sebenarnya menjadi perusak tanaman padi. Ilmu inilah yang tidak didapat dari petani konvensional, karena penyuluh pertanian hanya mengajarkan bagaimana cara menggunakan pestisida sesuai dengan dosis yang dianjurkan.
52
Penggunaan bahan-bahan kimia sintetis yang digunakan dalam budidaya tanaman padi seperti pupuk kimia, pestisida, dan insektisida, selain dapat merusak lingkungan karena merubah susunan ekosistem, pula membuat petani menjadi ketergantungan. Sebagian besar petani tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat meracik pupuk kimia buatannya sendiri, sehingga petani hanya dapat menerima dan menunggu pupuk yang telah dihasilkan oleh industri-industri pupuk sintetis. 6.2.5. Pengelolaan Air dan Penyiangan Proses pengelolaan air dan penyiangan dalam metode SRI Desa Ringgit dilakukan sebagai berikut : 1. Ketika padi mencapai umur 1 – 8 hari sesudah tanam (HST), keadaan air di lahan adalah “macak-macak”. 2. Sesudah padi mencapai umur 9 – 10 HST air kembali digenangkan dengan ketinggian 2 – 3 cm selama satu malam. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penyiangan tahap pertama. 3. Setelah selesai disiangi, sawah kembali dikeringkan sampai padi mencapai umur 18 HST. 4. Pada umur 19 – 20 HST sawah kembali digenangi untuk memudahkan penyiangan tahap kedua. 5. Setelah padi berbunga, sawah diairi kembali setinggi 1 – 2 cm dan kondisi ini dipertahankan sampai padi “masak susu” (± 15 – 20 hari sebelum panen). Kemudian sawah kembali dikeringkan sampai saat panen tiba. Kegiatan penyiangan (watun) dilakukan sebanyak 2 – 4 kali setiap 10 hari sekali sebelum disemprot dengan mol. Hal ini ditujukan agar tanaman dapat menyerap dengan sempurna nutrisi yang diberikan melalui mol tersebut. Penyiangan dilakukan dengan alat buatan sendiri yang disebut gosrok. Gosrok merupakan alat yang terbuat dari bambu dengan bentuk seperti sikat pada ujungnya, namun sikat tersebut diganti dengan paku agar rumput dapat tercabut. Selain dengan menggunakan gosrok, seringkali petani juga menyiangi dengan cara manual yaitu dengan tangan, apabila rumput tidak tumbuh terlalu banyak dan tinggi. Pada pertanian konvensional penyiangan hanya dilakukan sebanyak 1 – 2 kali. Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Meskipun pada
53
kenyataannya, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyiangi lahan konvensional sangat banyak. Dalam satu iring luasan lahan membutuhkan 12 – 24 orang dalam satu hari kerja. 6.2.6. Panen dan Pasca Panen Umur panen dipengaruhi oleh varietas yang ditanam, umumnya berkisar antara 100-120 hari sejak masa tanam. Kegiatan panen yang dilakukan untuk metode SRI organik biasanya dengan dipekerjakannya tenaga kerja luar keluarga (TKLK) yang terbentuk dalam suatu tim dengan jumlah 10 orang atau lebih. Sistem pengupahannya disebut dengan sistem bawon, yaitu memberikan upah dalam bentuk gabah dengan proporsi yang biasanya digunakan yaitu 1 : 8. Jadi apabila hasil panen mencapai 10 kuintal per iringnya, maka 8,75 kuintal menjadi bagian pemilik hasil panen sedangkan sisanya yaitu 1,25 kuintal menjadi upah bagi tenaga kerja yang memanen. Untuk pertanian dengan cara konvensional, cara panen terbagi menjadi dua yaitu dengan sistem bawon dan tebasan. Tebasan atau tebas di sawah merupakan salah satu cara panen yang beresiko. Sebab kegiatan tawar menawar harga dilakukan sebelum padi mulai siap panen. Dengan demikian petani hanya mampu mengira-ngira jumlah hasil panen yang akan dihasilkan apabila dikonversi ke nilai uang yang akan diterima dengan sistem tebasan. Kebaikan sistem tebasan ini yaitu apabila terjadi kegagalan panen atau harga gabah turun, maka penebas menanggung risiko atas kegagalan tersebut. Akan tetapi, bila saat panen terjadi lonjakan harga maka petani tidak dapat menikmatinya karena tanaman di sawahnya sudah tidak menjadi miliknya. Hasil panen tanaman padi yaitu berupa gabah dan jerami. Gabah yang sudah dikeringkan dan digiling menyisakan kulit gabah dan dedak. Kulit gabah yang dibakar dapat digunakan sebagai pupuk yang disebut dengan merang, sedangkan dedak dapat digunakan sebagai pakan ternak seperti ayam, bebek, sapi, dan lain-lain. Untuk jerami dalam metode SRI harus dikembalikan kembali ke lahan yang dijadikan sebagai kompos. Sebab, dalam satu kilogram jerami terdapat unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman seperti Nitrogen (N), Phosfor (P), Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), serta Silikat (Si) yang berfungsi sebagai imun bagi tanaman padi.
54
BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI 7.1. Produktivitas Usahatani Produktivitas merupakan salah satu cara untuk mengetahui efisiensi dari penggunaan sumberdaya yang ada (lahan) untuk menghasilkan keluaran yang optimal. Maka semakin besar nilai produktivitas yang dicapai, maka usahatani tersebut semakin efisien. Nilai produktivitas yang tinggi akan berdampak pula pada tingginya daya saing produk. Untuk mengetahui nilai produktivitas pada kasus ini, maka dibutuhkan jumlah produksi per satuan luas lahan (kg/ha). Pada penelitian ini produktivitas padi dibandingkan antara metode konvensional dan metode SRI organik. Pada metode konvensional terdapat jenis pemanenan dengan cara tebasan. Hasil panen dengan cara tebasan diasumsikan sama dengan pemanenan biasa, yang disesuaikan dengan varietas padi yang digunakan. Tabel 15. Distribusi Rata-Rata Produktivitas dengan Metode Konvensional dan Metode SRI Organik dalam Luasan 1 ha Metode
Mean
Konvensional
4.550 kg
SRI Organik
4.790 kg
Selisih Mean -95,433
p. Value 0,106
N 30
Tabel 15 memperlihatkan bahwa rata-rata produktivitas padi metode konvensional adalah 4.550 kg per hektar, sedangkan metode SRI organik adalah 4.790 kg per hektar. Diketahui bahwa nilai perbedaan rata-rata antara metode konvensional dan SRI organik adalah -95,433 kg/iring. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,106 (> 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara hasil produktivitas metode konvensional dan SRI organik. Perbedaan yang tidak terlalu besar ini dapat disebabkan karena di Desa Ringgit pada dasarnya hanya melakukan dua kali penanaman, yaitu MT I yang dilakukan pada bulan November hingga Februari dan MT II yang dilakukan pada bulan April hingga Juli. Akan tetapi, beberapa petani konvensional ada yang
melakukan penanaman hingga tiga kali yang dilakukan pada bulan Agustus hingga November. Hal ini menyebabkan siklus hidup serangga tidak terputus dan mengakibatkan populasi serangga bertambah. Dengan demikian, pada saat penanaman musim tanam ke-2 terjadi pelonjakan jumlah serangga yang menyerang tanaman padi. Selain itu pula, petani SRI organik pada saat itu tidak melakukan pengamatan secara maksimal, dikarenakan oleh banyaknya kegiatan yang harus dilakukan berkaitan dengan pemrosesan hasil panen dan pemasaran hasil produksi. Berdasarkan hasil uji tersebut juga dapat diketahui bahwa untuk luasan lahan yang sama, tanaman padi metode SRI organik mampu memproduksi gabah lebih banyak dibandingkan dengan gabah metode konvensional. Hal ini bisa didasari karena responden petani organik yang ditentukan merupakan responden yang sudah cukup lama (≥ 3 tahun) menerapkan metode SRI organik. Alasan dipilihnya responden dengan penerapan metode sudah ≥ 3 tahun yaitu, karena untuk mengkonversi lahan dibutuhkan waktu kurang lebih 2-3 tahun tergantung pada kondisi lahan yang ada. Konversi lahan dilakukan untuk mengembalikan unsur-unsur hara yang hilang akibat penggunaan bahan-bahan kimia. Meskipun sebenarnya di awal penerapan metode SRI organik, hasil produksi mampu melebihi produksi pada umunya. Hanya saja penerapan metode SRI harus benarbenar dilaksanakan dengan baik. Hasil akhir perolehan jumlah gabah untuk setiap daerah berbeda sesuai dengan kondisi lahan dan lingkungan yang ada. Berdasarkan penelitian yang telah ada menunjukkan bahwa produksi rata-rata metode SRI organik mampu mencapai 6-7 ton per hektar. Dengan demikian, produksi padi di Desa Ringgit pada musim tanam kedua ini masih lebih rendah dari jumlah minimal produksi yang seharusnya. Beberapa permasalahan seperti jumlah serangga perusak tanaman lebih banyak dari musuh alami, kurangnya pengawasan dan pemeliharaan yang dilakukan oleh para petani karena curah hujan yang tinggi, serta tingkat kesuburan tanah yang berbeda menjadi pertimbangan atas perbedaan tingkat produktivitas yang terjadi.
56
7.2. Penerimaan dan Pendapatan Usahatani Untuk penerimaan dan pendapatan usahatani diasumsikan bahwa seluruh petani baik konvensional maupun organik memiliki lahan sendiri. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam membandingkan dengan menggunakan uji t. Penerimaan dan pendapatan masing-masing petani dapat dilihat pada Lampiran 2. Berikut hasil perhitungan dengan uji t dan analisis usahatani untuk mengetahui jumlah penerimaan antara metode konvensional dan SRI organik. Tabel 16. Distribusi Rata-Rata Penerimaan dengan Metode Konvensional dan Metode SRI Organik 1 Ha Metode
Volume (kg)
Harga (Rp/kg)
Nilai (Rp)
p. Value
Konvensional
2.189
5.000
10.928.664
SRI Organik
2.306
8.000
18.453.495
Tabel
16
memperlihatkan
bahwa
rata-rata
penerimaan
0,023
metode
konvensional adalah Rp 10.928.644, sedangkan metode SRI organik adalah Rp 18.453.495.
Diketahui
bahwa
nilai
perbedaan
rata-rata
antara
metode
konvensional dan SRI organik adalah Rp 466.109,700. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,023 (< 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara penerimaan petani menggunakan metode konvensional dan SRI organik. Output akhir produk yang dijual pada kenyataannya berbeda, yaitu petani konvensional menjual produk akhirnya berupa gabah, sedangkan petani SRI organik berupa beras. Dengan demikian, perlu adanya penyetaraan hasil produk akhir yang dijual yaitu beras. Pemilihan produk beras yang dijadikan perbandingan kedua metode tersebut didasarkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya bias dalam perhitungan. Sebab, petani SRI organik Desa Ringgit tidak pernah menjual hasil produksinya berupa gabah. Dengan demikian, tidak ada harga jual gabah untuk padi organik. Untuk pertanian konvensional, petani lebih sering menjual hasil panennya berupa gabah kering panen (GKP) kepada tengkulak dengan kisaran harga antara Rp 330.000 – Rp 465.000 per kwintal gabah kering sesuai dengan harga yang berlaku saat itu. Selain itu pula sebagian petani juga ada yang menjual hasil
57
panennya dengan cara tebasan (ditebas di sawah) dengan harga yang telah disepakati bersama. Kisaran harga tebasan yaitu Rp 2.500.000 – Rp 3.750.000 per iring (2000 m2) berdasarkan pada varietas padi yang ditanam, kondisi lahan banyak gulma atau tidak terawat akan menyebabkan harga yang diberikan rendah. Petani organik menjual hasil panennya berupa beras yang dikumpulkan di kelompok, walaupun yang diberikan kepada kelompok juga berupa GKP yang nantinya diproses lebih lanjut oleh kelompok dari mulai penggilingan hingga pengemasan. Harga jual beras organik yang di tawarkan yaitu Rp 9.100 per kg, namun harga yang diterima oleh petani dari kelompok yaitu Rp 8.000 per kg. Selisih harga Rp 1.100 merupakan biaya yang dikeluarkan kelompok untuk biaya penggilingan, biaya pensortiran beras, biaya kemasan, serta kas yang digunakan untuk pemasukan kelompok. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerimaan petani SRI organik lebih tinggi dari petani konvensional yang disebabkan oleh tingginya harga jual beras organik yaitu Rp 8.000,- dan jumlah beras yang dihasilkan metode SRI organik lebih banyak dibandingkan dengan metode konvensional. Pada perhitungan pendapatan usahatani, antara petani pemilik dan petani penggarap terdapat perbedaan sebesar 50 persen. Persentase tersebut didasarkan atas kesepakatan bersama antara pemilik lahan dengan penggarap lahannya. Oleh karena jumlah responden sebagai petani penggarap tidak banyak, maka dalam perhitungan uji beda t diasumsikan bahwa seluruh petani responden merupakan petani pemilik. Hal lain yang menjadi alasan untuk tidak dibedakannya antara petani penggarap dan petani pemilik yaitu, biaya pajak dan biaya sewa dikeluarkan pada MT I, sedangkan penelitian dilakukan pada MT II. Dengan demikian, kedua biaya tersebut termasuk ke dalam biaya diperhitungkan.
58
Tabel 17. Distribusi Rata-Rata Pendapatan dengan Metode Konvensional (ha)
A. Penerimaan B. Biaya Tunai : 1. Pajak 2. Bensin 3. Pupuk Kimia 4. Benih 5. Pestisida 6. Tenaga Kerja Luar Keluarga 7. Panen C. Biaya diperhitungkan : 1. Pajak 2. Sewa Lahan 3. Penyusutan 4. Benih 5. Tenaga Kerja Dalam Keluarga D. Total Biaya
Metode Konvensional Harga Volume Nilai (Rp) (Rp/vol) 2.189 kg 5.000 10.928.664
3L 521,33 kg 14,18 kg 679,33 L 385,22 HOK 2.972 kg
14,18 kg 72,03 HOK
E. Pendapatan
5.000 1.799 7.759 799,95 7.663,45 320
7.945 7.864,49
4.583 15.000 937.872 100.467 749.023 2.892.014 951.343 74.350 212.500 1.123.415 32.867 564.895 7.587.505 3.341.159
Tabel 17 menunjukkan bahwa pendapatan petani konvensional sebesar Rp 3.341.159, dengan penerimaan sebesar Rp 10.928.664. Bentuk ouput produk yang digunakan dalam perhitungan ini yaitu beras. Hal tersebut dilakukan untuk menyetarakan perbandingan yang dilakukan. Volume beras yang dihitung telah dikurangi dengan biaya panen, penyusutan yang terjadi pada saat proses penjemuran gabah yaitu sebesar 15 persen, serta nilai rendemen sebesar 35 persen karena adanya proses penggilingan gabah menjadi beras. Pada biaya yang dikeluarkan, biaya tunai memiliki nilai lebih besar yaitu sebesar Rp 5.650.302, sedangkan untuk biaya diperhitungkan sebesar Rp 2.008.027. Besarnya jumlah biaya tunai yang dikeluarkan dikarenakan adanya penggunaan tenaga kerja luar keluarga yang digunakan untuk kegiatan budidaya seperti menanam dan matun. Kegiatan menanam padi di Desa Ringgit dilakukan oleh wanita dengan sistem borongan. Sistem borongan yang diterapkan yaitu pembayaran dilakukan setara dengan upah 12-24 hari kerja wanita (HKW), walaupun jumlah tenaga kerja dapat berjumlah < 12 orang setiap iringnya. Dengan demikian, jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menanam padi dengan lahan seluas satu hektar yaitu 62,82 HKW.
59
Matun merupakan kegiatan pemeliharaan yang dilakukan pada proses budidaya seperti membersihkan gulma atau menyiangi, membersihkan pematang, dan melakukan penyulaman. Kegiatan matun pada pertanian konvensional hanya dilakukan 2-3 kali, bahkan terdapat beberapa petani yang tidak melakukan kegiatan matun tersebut. Matun dalam pertanian konvensional dapat dilakukan dalam tiga cara yaitu menggunakan alat yang disebut dengan gosrok, menggunakan tangan dengan mencabut gulma, dan dengan menggunakan pestisida atau obat penghilang gulma. Matun dengan menggunakan gosrok biasa dilakukan oleh tenaga kerja pria, karena alat tersebut cukup berat digunakan oleh wanita. Jumlah penggunaan tenaga kerja pria yang digunakan untuk lahan seluas satu hektar yaitu 53,50 HKP dan tenaga kerja wanita yaitu 49,67 HKW. Untuk perincian lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. Tabel 18. Distribusi Rata-Rata Pendapatan dengan Metode SRI Organik (ha)
A. Penerimaan B. Biaya Tunai : 1. Pajak 2. Bensin 3. Pupuk Kandang 4. Benih 5. Tenaga Kerja Luar Keluarga 6. Panen C. Biaya diperhitungkan : 1. Pajak 2. Sewa Lahan 3. Penyusutan 4. Benih 5. Pupuk Kandang 6. MOL 7. Tenaga Kerja Dalam Keluarga D. Total Biaya E. Pendapatan
Metode SRI Organik Harga Volume Nilai (Rp) (Rp/vol) 2.306kg 8.000 18.453.494
0,33 L 4.543,05 kg 1,04 kg 679,33 L 289,29 HOK 3.075,41 kg
5,11 kg 7.466 kg 88,33L 131HOK
5.000 199 7.933,33 799,95 7.663,45 320
7.669 166 2.280 7.735,63
5.833 1.667 872.413 8.226,67 749.023 2.892.014 984.130 40.343 212.500 1.040.733 39.787 1.091.087 201.400 1.040.582 7.894.219 10.559.276
Pendapatan petani SRI organik pada lahan seluas satu hektar sebesar Rp 10.559.276 dengan penerimaan sebesar Rp 18.453.494. Perbedaan pendapatan antara petani konvensional dan petani SRI organik yaitu sebesar Rp 7.218.117.
60
Perbedaan jumlah pendapatan tersebut dikarenakan harga jual beras organik lebih tinggi Rp 3.000 dibandingkan dengan harga beras konvensional sebesar Rp 5.000 per kilogram. Pada Tabel 18 dapat diketahui pula bahwa pengeluaran dari biaya tunai lebih tinggi dibandingkan biaya diperhitungkan, dengan total biaya tunai sebesar Rp 4.227.288 serta biaya diperhitungkan sebesar Rp 3.666.431. Penyumbang besar pada komponen biaya tunai yaitu tenaga kerja luar keluarga yang berada pada kegiatan tanam dan matun. Matun pada pertanian SRI organik dilakukan 3-4 kali. Walaupun pada setiap pelaksanaannya rata-rata hanya membutuhkan 23,88 HOK, lebih sedikit dari pertanian konvensional dengan 26,88 HOK, pertanian SRI organik membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk kegiatan penyiangan. Untuk perincian lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 1. 7.3. Efisiensi Usahatani Efisiensi usahatani menunjukkan apakah usahatani tersebut layak untuk dijalankan. Pengertian layak dalam konteks ini yaitu apabila penerimaan yang diperoleh memiliki nilai lebih besar dari pengeluaran atau biaya-biaya yang dikeluarkan selama menjalankan usahatani baik dengan metode konvensional maupun SRI organik. Efisiensi yang dihitung dalam penelitian ini yaitu efisiensi atas biaya total. Tabel 19. Distribusi Rata-Rata Efisiensi Usahatani Atas Biaya Total dengan Metode Konvensional dan Metode SRI Organik
A. Produktivitas B. Penerimaan
Metode Konvensional 4.550 kilogram Rp 10.928.664
Metode SRI Organik 4.790 kiligram Rp 18.453.495
p. value 0,106 0,023
C. Biaya Tunai
Rp 4.940.603
Rp 13.084961
D. Biaya diperhitungkan
Rp 1.928.892
Rp
E. Total Biaya
Rp 6.869.495
Rp 16.751.392
F. Pendapatan G. Efisiensi Usahatani Atas Biaya Total
Rp 4.059.169
Rp 1.702.103
0,823
1,65
2,55
0,019
3.666.431
Tabel 19 memperlihatkan bahwa rata-rata efisiensi usahatani metode konvensional adalah 1,65, sedangkan metode SRI organik adalah 2,55. Diketahui
61
bahwa nilai perbedaan rata-rata antara metode konvensional dan SRI organik adalah 0,268200. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,019 ( < 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara efisiensi usahatani padi atas biaya total yang dikeluarkan oleh petani yang menggunakan metode konvensional dan SRI organik. Efisiensi usahatani atas biaya total mengandung arti bahwa setiap satu rupiah total biaya yang dikeluarkan mampu menghasilkan satu rupiah penerimaan yang diterima petani. Dengan demikian, semakin besar nilai efisiensi maka semakin bagus suatu usaha untuk dijalankan, sehingga berdasarkan hasil uji dan perhitungan yang telah ada menunjukkan bahwa pertanian SRI organik lebih efisien dibandingkan dengan pertanian konvensional berdasarkan efisiensi atas biaya total. Nilai tingkat efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian konvensional menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Rachmiyanti pada tahun 2009 di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa efisiensi atas biaya total dan biaya tunai memiliki nilai lebih besar untuk pertanian konvensional yaitu sebesar 2,46 dan 2,16, sedangkan untuk pertanian SRI organik memiliki nilai sebesar 1,98 dan 1,54. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menyatakan bahwa rendahnya tingkat efisiensi pada pertanian SRI organik disebabkan oleh biaya tenaga kerja luar keluarga dan pengadaan pupuk yang tinggi. Perbedaan hasil penelitian yang terjadi dilihat dari produktivitas dan efisiensi antara penelitian Rachmiyanti dan penelitian ini dapat didasarkan pada beberapa faktor, seperti letak geografis daerah, periode waktu tanam yang digunakan untuk dijadikan sumber data, keragaan usahatani yang dimiliki oleh desa tersebut, serta bentuk output yang dijadikan perhitungan perbandingan. Pada penelitian ini, output yang diperbandingkan sudah berbentuk beras, sedangkan penelitian yang telah dilakukan oleh Rachmiyanti masih berupa gabah kering panen (GKP), sehingga nilai jual lebih rendah dan mempengaruhi penerimaan dan pendapatan yang diterima.
62
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan Keragaan usahatani dimana terdapat beberapa perbedaan perlakuan yang terlihat antara metode konvensional dan metode SRI organik. Perbedaan tersebut yaitu tanah pertanian konvensional menganggap tanah sebagai mesin sedangkan SRI organik sebagai aset, serangga dianggap sebagai musuh oleh pertanian kovensional dan dianggap sebagai teman oleh pertanian SRI organik, pertanian konvensional menggunakan pupuk dan obat-obatan kimia sedangkan pertanian SRI organik menggunakan pupuk alami seperti kompos dan mol, pertanian SRI organik lebih menyarankan untuk membuat benih sendiri, penggunaan jarak tanam yang sempit pada metode konvensional, pemupukan dilakukan setelah tanam, penyiangan hanya dilakukan 1-2 kali, serta bentuk penjualan hasil panen berupa gabah untuk pertanian konvensional dan beras untuk pertanian SRI organik. Untuk analisis usahatani produktivitas dari pertanian SRI organik sebesar 4,8 ton per hektar, lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian konvensional sebesar 4,5 ton per hektar, sehingga berdampak pada penerimaan yang semakin besar. Karena bentuk output yang diperbandingkan adalah beras, sehingga beras organik memiliki nilai jual lebih tingggi pula, maka pendapatan yang diterima oleh petani SRI organik lebih tinggi sebesar Rp 10.559.276 dan petani konvensional sebesar Rp 3.341.159. Dengan demikian, dilihat dari tingkat efisiensi nilai efisiensi atas biaya total pertanian SRI organik lebih besar yaitu 2,55 dan pertanian konvensional sebesar 1,65. 8.2. Saran Penerapan metode SRI organik sudah cukup baik dilakukan oleh petani di Desa Ringgit. Perhitungan hasil yang positif terhadap keuntungan yang diterima baik dari segi ekonomi maupun non ekonomi dapat dijadikan dasar untuk menerapkan metode ini bagi petani yang belum menjalankan pertanian organik. Bagi pemerintah diharapkan dapat berpartisipasi dalam menggunggulkan produk 63
pertanian khususnya beras sebagai produk pangan utama dengan memberi dukungan dan respon positif terhadap setiap penemuan atau terobosan baru dalam bidang pertanian, pada kasus ini metode SRI organik. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan mampu menganalisis faktor-faktor penyebab adanya perbedaan hasil antara MT II dan MT I dan solusi yang dapat dilakukan oleh petani dalam mengurangi atau menghilangkan dampak yang terjadi.
64
DAFTAR PUSTAKA
Adiyoga W. 2002. Karakteristik Usahatani Sayuran Organik di Jawa Barat : Status dan Prospek. Buletin Ristek Balitbangda Jawa Barat. Vol.1, No.1. Anugerah IS, Sumedi, Wardana IP. 2008. Gagasan dan Implementasi System of Rice Intensification (SRI) dalam Kegiatan Budidaya Padi Ekologis (BPE). Analisis Kebijakan Pertanian. Vol.6, No.1, Hlm. 75 – 99. Atmojo SW. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Di dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret; Surakarta 4 Januari 2003. Cooper, Donald R and Schindler, Pamela S. 2009. Business Research Methods Tenth edition. McGraw-Hill International Edition. DARDEN BUSINESS PUBLISHING. 2002.The Organic Food Industry : A Global Perspective. UVA-ENT-0015. Ghozali I. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Cetakan IV Penerbit UNDIP Hernanto F. 1991. Ilmu Usahatani. Swadaya. Jakarta. Iswardono SP. 1990. Ekonomika Mikro. AMP YKPN. Yogyakarta. Karnowo A. 2003. Analisis Persepsi Konsumen dan Dorongan Pembelian Produk Ramah Lingkungan. Tesis. Program Studi Ilmu Manajemen. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Depok. Ma’rifah D. 2004. Pengaruh Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pekerja Sosial Pada Unit Pelaksanaan Teknis Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Airlangga. Surabaya. Matoa. 2001. Buku Saku Berkebun di Pekarangan. Mosher, A. T, 1968. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Yasaguna. Jakarta. Notohadiprawiro T. 2006. Reformasi Pertanian dan Penjabarannya dalam Kurikulum Fakultas Pertanian. Repro : Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada. Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Prayogo J, Suyono T, Berney M. 1999. Apa itu pertanian Organik?. Pusat Pengembangan Penataran Guru Pertanian (VEDCA) Cianjur. Indah Offset Malang. Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. No. ISBN 9789792238419. Gramedia Pustaka Utama.
Putra NN. 2009. Analisa Perbandingan Usahatani Padi Sawah Metode System of Rice Intensification (SRI) Secara Mandiri dan Non SRI (Biasa) Pada
Lahan yang Sama di Kelompok Tani Lolongkaran Kelurahan Sungai Sapih Kecamatan Kuranji-Padang. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas. Padang. Rachmiyanti I. 2009. Analisis Perbandingan Usahatani Padi Oganik Metode System of Rice Intensification (SRI) dengan Padi Konvensional. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rakhmi F. 2008. Analisis Usahatani Padi Sawah SRI (System of Rice Intensification) Pada Kelompok Secara Swadaya ( Studi Kasus : Pada Kelompok Tani Binuang Saiyo di Kelurahan Binuang Kampung Dalam Kecamatan Pauh Kota Padang). Fakultas Pertanian. Universitas Andalas. Padang. Richardson MN. 2010. Salah Satu Penyelidikan Mengenai Keadaan System Rice Intensification (SRI) di Jawa Timur. Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Muhammadiyah. Malang. Saragih B.2000. agribisnis Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Dalam Era Millenium Baru. Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakatan & Lingkungan. Vol 2, No.1, Hlm : 1-9. Sekaran U. 2006. Research Methods for Business : “Metodologi Penelitian untuk Bisnis. Edisi 4. Jakarta : Salemba Empat. Shah M, Dan S, Maurice. 1999. Food in The 21st Century from Science to Sustainable Agriculture. CGIAR. Washington DC. Soekartawi, Dillon JL, Soeharjo A, Hardaker B. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta : UI Press. Suwantoro AA, 2008, Analisis Pengembangan Pertanian Organik di Kabupaten Malang. Tesis. Program Magister Ilmu Lingkungan. Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Swastika DKS., Wargiono J., Soejitno, Hasanuddin A. 2007. Analisis Kebijakan Peningkatan Produksi Padi Melalui Efisiensi Pemanfaatan Lahan Sawah Di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 5. No.1. Hlm:36-52. Syam M. 2008. Informasi Ringkas Teknologi Padi. Tjakrawiralaksana A. 1983. Usahatani. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Untung K. 1997. Pertanian Organik Sebagai Alternatif Teknologi dalam Pembangunan Pertanian. Diskusi Panel Tentang Pertanian Organik. DPD HKTI Jawa Barat, Lembang 1996. Uphoff N dan Fernandes E. 2003. Sistem Intensifikasi Padi Tersebar Pesat. Salam. No.3 WASSAN. 2006. SRI Method of Paddy Cultivation. 66
Wijaya A. 2002. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Padi Input Rendah di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
67
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kegiatan Budidaya
Kegiatan Membajak Sawah (ngeluku) di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
Kegiatan Penanaman Benih dan Menggaris Metode SRI di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
69
Kegiatan Penanaman Padi Metode Konvensional di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
Kegiatan Penyiangan yang Dilakukan Oleh Petani Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
70
Lampiran 2. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Pendapatan Metode Konvensional dan SRI Organik Group Statistics
pendapatan
VAR00011
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
non organik
30
1.03E6
866372.162
158177.192
organik
30
9.84E5
711602.023
129920.160
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
pendapatan
Equal variances assumed Equal variances not assumed
t-test for Equality of Means
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
F
Sig.
t
df
Sig. (2tailed)
.503
.481
.224
58
.823
45939.867
204693.117 -363797.924 455677.658
.224
55.890
.823
45939.867
204693.117 -364127.508 456007.241
Lower
Upper
71
Lampiran 3. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Penerimaan Metode Konvensional dan SRI Organik
Group Statistics
penerimaan
VAR00011
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
non organik
30
3.16E6
701424.035
128061.922
Organik
30
3.63E6
838046.704
153005.695
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
penerimaan
Equal variances assumed Equal variances not assumed
t-test for Equality of Means
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
F
Sig.
t
df
Sig. (2tailed)
.998
.322
-2.336
58
.023
-466109.700 199525.934 -865504.252 -66715.148
-2.336
56.255
.023
-466109.700 199525.934 -865768.146 -66451.254
Lower
Upper
72
Lampiran 4. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Produksi Metode Konvensional dan SRI Organik
Group Statistics
produksi
VAR00011
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
non organik
30
860.90
231.601
42.284
organik
30
956.33
218.087
39.817
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
produksi
Equal variances assumed Equal variances not assumed
t-test for Equality of Means
F
Sig.
t
df
Sig. (2tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
.045
.832
-1.643
58
.106
-95.433
-1.643
57.792
.106
-95.433
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
58.081
-211.694
20.828
58.081
-211.703
20.837
73
Lampiran 5. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Biaya Total Metode Konvensional dan SRI Organik
Group Statistics
total
VAR00011
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
non organik
30
1.63910
.548528
.100147
organik
30
1.37090
.265903
.048547
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
total
Equal variances assumed Equal variances not assumed
t-test for Equality of Means
F
Sig.
t
df
Sig. (2tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
15.77 4
.000
2.410
58
.019
.268200
2.410
41.916
.020
.268200
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
.111294
.045422
.49097 8
.111294
.043587
.49281 3
74
Lampiran 6. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Biaya Diperhitungkan Metode Konvensional dan SRI Organik
Group Statistics
dphtgk
VAR00011
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
non organik
30
4.02257
1.964335
.358637
organik
30
2.42950
.770767
.140722
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
dphtgk
Equal variances assumed Equal variances not assumed
t-test for Equality of Means
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
F
Sig.
t
df
Sig. (2tailed)
19.000
.000
4.135
58
.000
1.593067
.385257
.821891 2.364243
4.135
37.723
.000
1.593067
.385257
.812966 2.373167
Lower
Upper
75
Lampiran 7. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Biaya Tunai Metode Konvensional dan SRI Organik
Group Statistics
tunai
VAR00011
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
non organik
30
3.21773
1.355322
.247447
organik
30
3.70277
1.369692
.250070
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
tunai
Equal variances assumed Equal variances not assumed
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference
F
Sig.
t
df
Sig. (2tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
Lower
Upper
.011
.918
-1.379
58
.173
-.485033
.351803
-1.189243
.219176
-1.379
57.994
.173
-.485033
.351803
-1.189245
.219178
76