V. ANALISIS USAHATANI PADI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM
5.1. Pendahuluan Kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan membawa dampak yang sangat merugikan bagi petani khususnya pada usahatani berbasis padi. Hasil penelitian Boer (2008b) memperlihatkan areal pertanaman padi yang terkena kekeringan meningkat secara signifikan selama El-Nino. Areal yang terkena kekeringan dengan luasan lebih dari 2000 Ha banyak tersebar terutama di Provinsi Jawa Barat. Hadi (2000) menyebutkan bahwa kekeringan menempati urutan pertama sebagai penyebab gagal panen yang menyebabkan akumulasi defisit/hutang dalam jumlah besar sehingga kebutuhan konsumsi keluarga petani dan kebutuhan investasi selanjutnya (usahatani, dan lain-lain) terancam tidak terpenuhi secara normal. Untuk menghadapi kekeringan maupun bencana lainnya, petani pada umumnya memiliki cara tersendiri untuk bisa bertahan hidup. Berdasarkan hasil penelitian Hadi (2000) diketahui bahwa petani telah menerapkan berbagai strategi walaupun dalam kenyataannya risiko dan ketidakpastian itu tidak dapat dihilangkan sepenuhnya. Seperti strategi finansial, pemasaran, produksi, kredit informal dan membeli asuransi pertanian formal berupa polis dari lembaga asuransi untuk menutup semua atau sebagian kerugian yang diperkirakan akan terjadi. Namun di Indonesia, sistim asuransi pertanian ini belum berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan model asuransi masih bersifat konvensional sehingga sulit untuk merumuskan pembayaran premi dan masih minimnya dukungan regulasi. Salah satu model asuransi pertanian yang berpeluang untuk dikembangkan di Indonesia adalah Asuransi Indeks Iklim. Asuransi indeks iklim merupakan sistim asuransi yang memberikan pembayaran pada pemegang polis ketika terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan yang dinyatakan dengan indeks iklim tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Dalam sistem asuransi indeks iklim yang diasuransikan ialah indeks iklimnya dan bukan tanamannya. Pembayaran dilakukan berdasarkan apakah
99
indeks iklim yang ditetapkan dicapai pada periode pertumbuhan tanaman yang diasuransikan (Boer, 2010c). Di Indonesia, asuransi indeks iklim yang berbasis usahatani padi belum dikembangkan. International Finance Corporation (IFC 2009) telah melakukan studi kelayakan asuransi indeks iklim di Indonesia bagian timur tetapi masih terbatas pada usahatani jagung. Oleh karena itu penelitian dan pengkajian tentang asuransi indeks iklim untuk usahatani padi di Indonesia perlu dikembangkan mengingat padi merupakan tanaman pangan utama bagi sebagian besar rakyat Indonesia dan rawan terhadap kekeringan. Terkait dengan sistim asuransi, dalam asuransi indeks iklim diperlukan suatu indeks berdasarkan parameter iklim yang dipilih yaitu curah hujan. Untuk membangun indeks iklim diperlukan data dan informasi tentang kelayakan usahatani padi yang dinyatakan dalam nilai Revenue Cost Ratio (R/C). Hal ini penting untuk mendapatkan nilai threshold produksi padi sebagai bagian dari penentuan indeks iklim. Selain itu, dalam sistim asuransi, pembayaran premi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh peserta asuransi. Besar kecilnya premi ditentukan oleh besar kecilnya risiko usahataninya. Semakin besar risikonya, maka pembayaran premi juga semakin mahal. Data dan informasi ini diperoleh melalui survey dan wawancara tentang kesediaan membayar (Willingness to Pay) oleh petani. Penelitian ini merupakan hasil survey dan wawancara dengan petani dalam rangka memperoleh data dan informasi yang terkait dengan usahatani padi di salah satu kabupaten sentra padi di Propinsi Jawa Barat, yaitu di Kabupaten Indramayu. Selain sebagai sentra produksi padi, Kabupaten Indramayu memiliki wilayah sangat rentan terhadap anomali iklim, sehingga peluang terjadinya bencana akibat kejadian iklim ekstrim seperti kekeringan cukup besar. Kejadian kekeringan di Kabupaten Indramayu menempati urutan pertama sebagai penyebab gagal panen di Kabupaten Indramayu (Boer et al. 2010b). Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan : 1) menentukan tipe usahatani padi, 2) menghitung ambang batas (threshold) hasil padi (kg/ha) dan 3) menentukan
100
tingkat kesediaan membayar (Willingness to Pay, WTP) oleh petani untuk mendukung pengembangan asuransi indeks iklim. 5.2. Metodologi 5.2.1. Survey Lapang dan Wawancara Pengumpulan data dilakukan melalui survey, konsultasi serta diskusi dengan beberapa instansi terkait, yaitu dengan Dinas Pertanian dan Perikanan, Dinas PU Pengairan dan Dinas Ketahanan Pangan. Data usahatani padi diperoleh dari survey dan wawancara petani. Sebagai panduan dalam wawancara dengan petani dan kelompok tani, maka disusun quisoner yang memuat berbagai pertanyaan terkait dengan usahatani padi. Pada tahap pertama dilakukan survey dan wawancara terhadap 150 petani responden di tiga kecamatan, yaitu : Cikedung, Lelea dan Terisi. Survey tahun pertama dimaksudkan untuk memperoleh gambaran umum karakteristik petani dan usahatani padi secara umum. Sejumlah 150 orang petani yang diwawancara pada tahun pertama mewakili 5 tipe irigasi, yaitu : teknis, setengah teknis, swadaya, sederhana PU dan tadah hujan (Tabel 7).
Tabel 7. Daftar lokasi wawancara petani pada survey pertama No. Kecamatan
1
Lelea
2
Cikedung
3
Terisi
Desa Langgeng Sari Telaga Sari Tempel Kulon Pengauban Tunggul Payung Cikedung dan Cikedung Lor Mundak Jaya Cikedung Lor Amis Loyang Manggungan Karang Asam Jati Munggul Manggungan Jati Munggul
Tipe Irigasi Teknis Setengah Teknis Swadaya Sederhana PU Tadah Hujan Teknis Setengah Teknis Swadaya Sederhana PU Tadah Hujan Teknis Setengah Teknis Swadaya Sederhana PU Tadah Hujan
Pada survey kedua dilakukan wawancara terhadap 80 petani responden di empat kecamatan, yaitu : Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur (Gambar 43)
101
dan mencakup 22 desa (Tabel 8). Lokasi responden dipilih pada lahan yang mewakili wilayah yang endemik kekeringan yaitu di lahan irigasi ujung dan tadah hujan. Survey dan wawancara tahap kedua lebih difokuskan untuk analisis usahatani padi (R/C dan B/C) serta kesediaan membayar (Willingness to Pay). Kuisoner wawancara selengkapnya disajikan dalam lampiran 5. Tabel 8. Daftar lokasi wawancara petani pada survey kedua Nama Kecamatan 1. Cikedung
2. Kandanghaur
3. Lelea
4. Terisi
Nama Desa 1. Amis 2. Loyang 3. Jatisura 4. Mundak Jaya 1. Parean girang 2. Ilir 3. Karang Mulya 4. Karang Anyar 5. Karang Sinom 6. Wira Kanan 7. Waira Panjunan 1. Tempel Kulon 2. Cempeh 3. Pangauban 4. Lelea 5. Tunggul Payung 1. Jati Mulya 2. Plasa Kerep 3. Cikamurang 4. Manggungan 5. Kendayakan 6. Jatimunggul
Jenis Irigasi Tadah hujan Tadah hujan Tadah hujan Irigasi ujung Irigasi ujung Irigasi ujung Irigasi ujung Irigasi ujung Irigasi ujung Irigasi ujung Irigasi ujung Irigasi ujung Irigasi ujung Irigasi ujung Irigasi ujung Tadah hujan Tadah hujan Irigasi ujung Tadah hujan Irigasi ujung Irigasi ujung Tadah hujan
102
Gambar 43.
Lokasi penelitian di kecamatan Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur (Sumber peta : Dinas PU Pengairan Kabupaten Indramayu 2009)
5.2.2. Analisis Usahatani Padi Analisis usahatani padi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis Pendapatan Biaya (Revenue Cost Ratio, C/R), Analisis Keuntungan-Biaya (Benefit Cost Ratio, B/C) serta kesediaan membayar (Willingness to Pay). Analisis ekonomi usahatani padi dihitung dengan metode perbandingan pendapatan dan pengeluaran selama satu musim tanam. Nilai ini diperlukan untuk mengetahui batas (threshold) produksi padi untuk menentukan indeks iklim. Untuk mengetahui besarnya pendapatan yang diterima oleh petani maka digunakan persamaan sebagai berikut : Pd = TRi – Tci Di mana : Pd=Pendapatan petani padi, TRi=Total Revenue atau Total Penerimaan (Rp), TCi=Total Cost atau Total Biaya (Rp). Nilai total penerimaan kemudian digunakan untuk menilai kelayakan usahatani. Usahatani dianggap layak secara finansial maupun secara ekonomi jika nilai Revenue and Cost Ratio (R/C) lebih dari satu. Formulasi R/C menurut Nurmanaf et al. (2005) adalah : R/C=TR/TC Benefit Cost Ratio (B/C) dinyatakan dengan persamaan : R/C=(TR-TC)/TC
103
dimana : R/C=Revenue and cost Ratio, TR=total penerimaan usahatani padi, TC=total biaya usahatani padi. Model ini dihitung berdasarkan data survey kebutuhan dan biaya per hektar tanaman padi. Komponen yang digunakan untuk menghitung nilai ekonomi usaha tani adalah biaya input seperti jumlah dan harga benih, pupuk, pestisida, dan sebagainya. Selain itu juga komponen biaya lainnya yaitu upah untuk persemaian, gegaleng, penyiangan, penyemprotan, sewa lahan, air, PBB, swadaya, pengolahan tanah, tanam dan sebagainya. Ambang batas (threshold) produksi
diperoleh ketika petani tidak
mendapat keuntungan maupun tidak rugi dalam usahataninya. Kondisi ini dicerminkan pada saat nilai R/C=1. Threshold produksi padi ini digunakan sebagai bagian dalam penentuan indeks iklim. Selain itu, terkait dengan pengembangan asuransi indeks iklim, dalam penelitian ini dilakukan juga wawancara petani tentang kesediaan membayar (Willingness to Pay) yang besarannya dinyatakan dalam bentuk persentase maupun nominal. Quisoner wawancara untuk menggali informasi tentang kesediaan membayar ini selengkapnya disajikan dalam Lampiran 5 bagian VIII.
5.3. Hasil dan Pembahasan
5.3.1. Karakteristik Petani dan Usahatani Padi Usia, Pendidikan dan Pekerjaan Responden Untuk mengetahui karakteristik petani di lokasi penelitian, maka telah dilakukan survey pertama dan wawancara petani di Kecamatan Cikedung, Lelea dan Terisi yang mencakup 13 desa. Tipe lahan yang diusahakan petani responden mewakili 5 tipe yaitu : irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi PU, swadaya dan tadah hujan dengan jumlah responden 150 orang. Usia responden didominasi oleh usia lebih dari 30 tahun. Dari keseluruhan responden 21.3% berusia 45-49 tahun, 16.7% berusia 35-39 tahun, 16.0% berusia 40-44 tahun, 13.3% berusia 50-54 tahun, 8.7% berusia 30-34 tahun, 6.7% berusia 55-59 dan 2% berusia 25-29 tahun. Dari distribusi ini terlihat bahwa kegiatan
104
pertanian di wilayah studi sebagian besar masih dilakukan oleh petani usia produktif (15-55 tahun)(Gambar 44a). Tingkat pendidikan responden bervariasi mulai dari tidak sekolah sampai dengan Sarjana. Dari keseluruhan responden persentase yang tamat SD adalah dominan, yaitu 38.4%. Diikuti tidak tamat SD (25.2%), tamat SMP (19.9%), tamat SMU (9.3%), tidak sekolah (4%), diploma/sarjana (2.6%) dan yang pendidikan (0.7%) (Gambar 44b). Pekerjaan Utama responden didominasi sebagai petani (91.4%), meskipun ada juga yang mempunyai pekerjaan lain seperti wiraswasta (5.3%), pedagang (2%) dan aparat pemerintah (0.7%) (Gambar 44c).
Gambar 44. Persentase usia (a), pendidikan (b) dan pekerjaan utama (c) responden
Pola Tanam dan Komoditas Pola tanam yang sebagian besar dilakukan oleh petani adalah padi-padibera yaitu 83.4%. Selain itu pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-palawija (6%), padi-bera (5.3%), padi-palawija-bera (2%), padi-palawija-sayur (1.3%) dan padi-palawija-padi (0.7%) (Gambar 45). Komoditas yang ditanam selain padi
105
yang merupakan komoditas utama (90.7%) adalah padi-palawija (4%), padi kacang hijau (2.6%), padi-kacang hijau-timun (0.7%) (Gambar 46).
Gambar 45. Persentase pola tanam yang pada umumnya dilakukan petani
Gambar 46. Persentase jenis komoditas yang umumnya di tanam petani
Varietas dan Luas Lahan Varietas Ciherang merupakan varietas padi yang paling banyak ditanam petani baik pada MH (72.7%) maupun MK-1 (76%). Alasannya hasil bagus, tahan hama wereng, umur pendek, harga jual tinggi dan hemat air. Diskripsi varietas Ciherang disajikan dalam Lampiran 1. Varietas lain yang biasa ditanam pada MH adalah IR 64 (1.3%), Kebo (22.7%), Bestari, Merauke dan Inpari, masing-masing 0.7%., sedangkan pada MK-1, selain Bestari dan Inpari, petani juga menanam kacang hijau dan widas (Gambar 47). Luas lahan yang dimiliki petani cukup beragam mulai kurang dari 0.5 Ha hingga lebih dari 5 Ha. Petani memiliki lahan garapan paling banyak adalah untuk luasan lebih dari 0.5 sampai dengan 1 Ha, yaitu sebanyak 42%. Untuk luasan garapan ≤ 0,5 Ha dimiliki oleh 22% petani. Berikutnya berturut-turut adalah >1.5-
106
2 Ha (10.7%), >1-1,5 Ha (10%), >2-2,5 Ha (4%), >3-3,5 Ha (4%), >2.5-3 Ha (3.3%), >3.5-4 Ha (2.7%) dan hanya satu orang petani yang memilik lahan lebih dari 4 Ha dan 6 Ha (0.7%) (Gambar 48).
Gambar 47. Persentase pilihan varietas yang ditanam petani pada MH dan MK
Gambar 48. Persentase kepemilikan lahan
Produksi Padi Produksi padi bervariasi sesuai dengan jenis lahan petani. Untuk lahan irigasi teknis, rata-rata produksi padi yang diperoleh paling tinggi dibandingkan dengan jenis lahan lainnya, yaitu 5,909 ton/ha. Irigasi setengah teknis 4,862 ton/ha, swadaya 4,857 ton/ha, irigasi PU (SPU) 4,696 ton/ha dan tadah hujan 3,921 ton/ha. Hal ini disebabkan pada lahan irigasi teknis, pasokan air lebih tersedia dibandingkan lahan yang lain. Selain itu kondisi saluran irigasi relatif lebih baik, sehingga tidak banyak air yang terbuang. Hal ini sesuai dengan batasan tentang sawah irigasi teknis, yaitu sawah yang memperoleh pengairan dimana saluran pemberi terpisah dari saluran pembuang agar penyediaan dan pembagian
107
irigasi dapat sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah. Jaringan seperti ini biasanya terdiri dari saluran induk, sekunder dan tersier. Saluran induk, sekunder serta bangunannya dibangun, dikuasai dan dipelihara oleh Pemerintah (Ditjen Sarana dan Prasarana Pertanian, 2012). Namun dalam distribusi airnya, irigasi ini masih dibedakan lagi berdasarkan golongannya. Golongan 1 adalah wilayah yang mendapat pasokan air irigasi pertama dan berlanjut ke golongan 2, 3, 4 dan 5. Golongan 4 dan 5 ini merupakan wilayah irigasi ujung yang rawan terhadap kekeringan. Demikian juga dengan lahan sawah tadah hujan dimana sumber airnya hanya berasal dari curah hujan. Lahan ini juga cukup rawan terhadap kekeringan. Oleh karena itu pada survey kedua difokuskan pada petani di lahan irigasi ujung dan tadah hujan. Berdasarkan hasil survey dan wawancara petani, produksi maksimum yang bisa dicapai pada MH di lahan irigasi teknis adalah 7,58 ton/ha, SPU 8,5 ton/ha, swadaya dan setengah teknis 7 ton/ha dan tadah hujan bisa mencapai 6 ton/ha, sedangkan produksi minimum pada umumnya kurang dari 4 ton/ha (Gambar 49).
Gambar 49. Produksi padi pada setiap tipe lahan pada MH Hasil survey kedua di 4 kecamatan (Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur) terhadap 80 responden menghasilkan data dan informasi tentang produksi padi pada setiap musim pada tipe lahan tadah hujan dan irigasi. Fluktuasi produksi padi pada MH di lahan irigasi ujung rata-rata sekitar 6 ton/ha dan pada lahan tadah hujan sekitar 5 ton/ha. Pada MK dilahan irigasi ujung produksinya sekitar 4 ton/ha dan pada tadah hujan 3 ton/ha (Tabel 9).
108
Tabel 9. Produksi padi di 4 kecamatan pada setiap jenis lahan dan musim (Ton/Ha) Kecamatan
Cikedung Max Min Rata-rata Lelea Max Min Rata-rata Terisi Max Min Rata-rata Kandanghaur Max Min Rata-rata
MH Irigasi Ujung
Tadah Hujan
MK Irigasi Ujung
Tadah Hujan
6.429 3.800 5.078
6.500 3.500 4.683
5.000 2.667 3.745
5.000 2.000 3.342
7.714 4.000 5.769
6.300 3.600 4.733
6.900 2.857 5.011
4.480 2.000 3.436
7.143 4.200 5.864
5.714 4.000 4.903
5.500 2.857 4.468
4.200 2.500 3.550
7.500 4.375 5.685
7.000 5.000 5.686
6.000 1.857 3.743
4.714 1.071 3.229
Risiko Pendapatan Petani Risiko yang harus ditanggung petani yang mengakibatkan gagal panen pada umumnya disebabkan oleh bencana terkait iklim seperti kekeringan, banjir dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Berdasarkan hasil survey dan wawancara petani, maka bencana terkait iklim yang menjadi penyebab utama gagal panen di Kecamatan Cikedung, Lelea dan Terisi adalah kekeringan, yaitu 79.8%, sedangkan gagal panen akibat serangan OPT 15.6% dan akibat banjir sekitar 5.6 % (Gambar 50a). Menurut petani, kekeringan pada umumnya berlangsung selama 1-8 bulan. Bulan terparah dengan periode kekeringan yang sangat panjang (8 bulan) dialami oleh sekitar 1.6% petani responden. Berdasarkan hasil survey, petani mengalami kekeringan yang paling sering adalah selama 6 bulan, yaitu sekitar 32% petani. Kekeringan selama 3 dan 5 bulan juga cukup banyak dialami petani responden, yaitu masing-masing 17.2% dan 19.5% (Gambar 50b). Petani mengalami kekeringan antara 1-8 tahun sekali. Berdasarkan lamanya kejadian kekeringan ini
109
memperlihatkan bahwa lokasi penelitian ini mengalami kekeringan yang cukup intens. Apabila terjadi kekeringan, petani pada umumnya mengatasinya dengan pompanisasi, sumur bor dan penggantian tanaman atau ada sebagian yang pasrah menunggu sampai hujan turun.
Gambar 50. Persentase penyebab gagal panen (a) dan lama kekeringan (b)
Terkait dengan aspek kredit, sebagian besar petani (51%) telah memanfaatkan fasilitas kredit, sedangkan 37% tidak atau belum melakukan kredit (Gambar 51a). Sementara sumber kredit yang dominan adalah Bank (65%) yang meliputi BRI, KUR, dan Bank keliling. Selebihnya berturut-turut adalah saudara/teman/tetangga (27%), Gapoktan/kelompok tani (5%), koperasi (2%) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) (1%) (Gambar 51b). Petani meminjam uang pada umumnya setiap musim yaitu pada saat mau tanam dan dikembalikan setelah panen. Sumber kredit Bank (BRI, KUR, Keliling)
Saudara/teman/tetangga
Koperasi
Gapoktan/kelompok tani
PNPM 2% 5% 1% 27% 65%
Gambar 51. Persentase akses terhadap kredit (a) dan sumber kredit (b)
Untuk mengetahui respon dari pihak Bank terhadap model asuransi indeks iklim, maka dilakukan wawancara terhadap perwakilan dari Bank BNI cabang
110
Jatibarang, Kabupaten Indramayu. Berdasarkan wawancara diperoleh informasi bahwa rata-rata petani yang mengajukan kredit setiap tahunnya adalah sekitar 4.2% dengan rata-rata besar kredit per petani 5 juta rupiah. Laju pengembalian kredit cukup bagus yaitu 93%. Apabila petani tidak dapat mengembalikan kredit biaanya pihak bank mengadakan restrukturisasi atau penjadwalan kembali jangka waktu kredit. Sehubungan dengan model asuransi indeks iklim, pihak bank menyatakan tertarik untuk menawarkan produk ini kepada petani. Mekanisme pembayaran yang dianggap baik oleh bank adalah individu atau kelompok tergantung pada sifat kreditnya. Mengacu pada data Bank Indonesia, nilai penyaluran kredit untuk sektor pertanian dan kehutanan di Indonesia meningkat signifikan dalam tahun 20102011. Pada tahun 2009, nilai kredit untuk sektor ini mencapai Rp. 7.6 triliun. Angka tersebut melonjak menjadi Rp. 16.7 triliun tahun 2011. Namun apabila dibandingkan dengan total kredit, porsi penyaluran kredit di sektor pertanian dan kehutanan terus menurun. Tahun 2011 kredit di sektor ini hanya menyumbang 5.7% dari total kredit, atau turun dibandingkan tahun 2009 yang mencapai 23% (Koran Tempo, 3 Oktober 2012). Hal ini disebabkan tingginya risiko di sektor pertanian.
5.3.2. Kelayakan Usahatani Padi Untuk memperoleh informasi tentang usahatani padi, maka dilakukan survey kedua di Kecamatan Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur dengan jumlah responden 80 orang. Petani responden adalah petani yang melakukan usahataninya di lahan sawah irigasi ujung dan tadah hujan, karena berdasarkan hasil survey pertama, tipe lahan inilah yang rawan terhadap kekeringan. Hasil survey karakteristik petani menunjukkan bahwa petani responden sebagian besar berusia antara 30-60 tahun. Secara rinci
berdasarkan
pengelompokkan usia, maka berturut-turut adalah 41-50 tahun (34%), 51-60 tahun (30%), 31-40 tahun (24%), 61-70 tahun (10%) dan usia 20-30 tahun sebanyak 2% (Gambar 52a). Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pertanian masih didominasi oleh petani dengan usia produktif (15-55 tahun) yaitu sekitar 71.3%. Pendidikan responden didominasi oleh tamatan SD (49%), berikutnya berturut-turut adalah
111
SMP (24%), SMA (13%), tidak tamat SD (10%), tidak sekolah (3%) dan ada satu petani yang tamatan D2 (1%) (Gambar 52b).
(a)
(b)
Gambar 52. Persentase usia (a) dan pendidikan (b) responden Dari 80 responden, rata-rata kepemilikan lahannya adalah 1.8 hektar. Luasan terkecil adalah 0.1 hektar dan terbesar adalah 8.5 hektar. Berdasarkan klasifikasi luas kepemilikan lahan, maka persentase tertinggi adalah luas lahan 0.5-1 Ha (40%) (Gambar 53a). Berdasarkan persentase luas lahan lahan, maka sebagian besar responden memiliki lahan yang kurang dari 2 Ha. Berdasarkan survey dan wawancara, 61% responden atau 49 petani memiliki lahan irigasi ujung, dan 31 petani atau 39% memiliki jenis lahan tadah hujan. Rata2 kepemilikan lahan pada jenis lahan irigasi ujung adalah 1,9 Ha dengan kisaran 0.4-7 Ha. Sementara untuk lahan tadah hujan, rata-rata luas lahannya adalah 1.7 Ha, dengan kisaran 0.1-8,5 Ha (Gambar 53b).
Gambar 53. Persentase luas kepemilikan lahan (a) dan luas tiap jenis lahan (b)
112
Klasifikasi Tipe Usahatani Padi Untuk
mengetahui
karakteristik
usahatani
padi,
maka
dilakukan
pengelompokkan tipe petani berdasarkan besarnya biaya input dan produksinya. Selanjutnya masing-masing dihitung anomalinya dan diplot masing-masing untuk MH, MK serta MH dan MK (Gambar 54). Hasil analisis memperlihatkan adanya 4 tipe petani dalam usahatani padi di lokasi penelitian, yaitu : 1) petani dengan anomali biaya input dan anomali produksi positif, 2) petani dengan anomali biaya input positif dan anomali produksi negatif, 3) petani dengan anomali biaya input dan anomali produksi negatif, dan 4) petani dengan anomali biaya input negatif dan anomali produksi positif. Pada tipe 1, petani harus mengeluarkan biaya input yang cukup tinggi untuk menghasilkan produksi yang tinggi pula. Pada tipe 2, meskipun petani mengeluarkan biaya input yang cukup tinggi tetapi produksinya tidak cukup tinggi. Pada tipe 3, petani mengeluarkan biaya input yang rendah dan produksi yang dihasilkan juga rendah. Pada tipe 4, petani mengeluarkan biaya input yang rendah tapi menghasilkan produksi yang cukup tinggi. Sebagai gambaran persentase petani tipe 1 pada setiap musim adalah 24% (MH), 30% (MK) dan 23% (MH dan MK). Tipe 2, persentasenya adalah 15% (MH), 13% (MK) dan 18% (MH dan MK). Untuk tipe 3, persentasenya paling tinggi dibandingkan tipe lainnya, yaitu 35% (MH), 32% (MK) dan 36% (MH dan MK), sedangkan untuk tipe 4, persentasenya adalah 26% (MH), 25% (MK) dan 24% (MH dan MK) (Tabel 10). Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar petani di lokasi penelitian adalah tipe 3. Pada MH, petani tipe 4 cukup besar (26%). Biaya input yang rendah tetapi produksi tinggi pada tipe 4 ini sangat dibantu oleh faktor curah hujan, sedangkan pada MK, tipe 1 persentasenya cukup besar (30%). Hal ini dikarenakan untuk mengejar produksi yang tinggi sementara ketersediaan air terbatas, petani harus mengeluarkan biaya input yang cukup tinggi. Selain biaya berupa pupuk dan lain-lain, biaya untuk irigasi juga cukup besar. Proporsi rata-rata biaya, ratarata produksi dan anomalinya pada MH dan MK disajikan dalam Gambar 55 dan 56. Klasifikasi ini memberikan gambaran bahwa usahatani padi memberikan beberapa pilihan untuk mencapai produksi yang tinggi. Untuk mengetahui apakah
113
usahatani padi masih memberikan keuntungan dan layak diusahakan, maka dilakukan analisis R/C dan B/C.
Gambar 54. Klasifikasi usahatani padi pada MH, MK serta MH dan MK Tabel 10. Persentase tipe petani berdasarkan biaya input dan produksi MH
MK
MH dan MK
Tipe 1
24 %
30 %
23 %
Tipe 2
15 %
13 %
18 %
Tipe 3
35 %
32 %
36 %
Tipe 4
26 %
25 %
24 %
Gambar 55. Proporsi antara biaya input dan anomalinya (a) serta produksi dan anomalinya (b) pada MH
114
Gambar 56. Proporsi antara biaya input dan anomalinya (a) serta produksi dan anomalinya (b) pada MK Karakteristik Usaha Tani Padi Analisis usahatani padi di Kabupaten Indramayu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana nilai ekonomi yang dihasilkan petani terhadap usaha budidaya tanaman padi nya, apakah sudah memberikan keuntungan atau rugi atau hanya balik modal saja. Untuk mengetahui hal tersebut, maka digunakan analisis dengan Revenue Cost Ratio (R/C). R/C merupakan perbandingan antara biaya input dengan pendapatan yang diperoleh. Musim Hujan (MH). Pada MH, petani pada umumnya mulai tanam pada bulan Oktober hingga awal Januari. Pupuk utama yang digunakan adalah Urea dan TSP dengan dosis rata-rata 1,5 kuintal per hektar, serta Ponska 1 kuintal per hektar. Pupuk Urea, TSP dan Ponska pada umumnya diberikan dua kali selama masa tanam yaitu sekitar 15 hari setelah tanam (HST) dan 30 HST. Pada lahan irigasi ujung, rata-rata biaya input yang dikeluarkan petani adalah Rp. 9 juta per hektar lahan. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil perhitungan usahatani padi dari hasil percobaan lapang (demplot) hasil penelitian Impron et al. (2011), yaitu sebesar Rp. 9.3 juta per hektar. Pada lahan tadah hujan, biaya input sedikit lebih rendah yaitu Rp. 8.7 juta per hektar. Biaya produksi ini termasuk tinggi dibandingkan biaya rata-rata sebesar 5-6 juta rupiah/hektar/musim (Pasaribu, 2012). Besarnya biaya ini disebabkan pada lahan irigasi ada penambahan biaya irigasi sehingga menambah biaya input. Selain itu juga ada biaya sewa lahan. Pupuk dan obat-obatan yang digunakan petani juga cukup intensif dengan berbagai jenis produk, sehingga juga menambah biaya produksi. Berdasarkan data dan informasi dari Dinas Pertanian serta wawancara petani, biaya sewa lahan
115
sawah di Kabupaten Indramayu adalah senilai dengan 3.5 hingga 4 ton gabah per hektar per tahun. Apabila harga gabah di Kabupaten Indramayu sebesar Rp. 500000 per kuintal (data Bulan Januari 2012), maka biaya sewa lahannya berkisar antara Rp. 17500000 hingga Rp. 20000000 per hektar per tahun. Produksi padi pada MH di lahan irigasi ujung berkisar antara 4-7 ton/ha. Sebagai pembanding, percobaan demplot (Impron et al. 2011) diperoleh hasil sebesar 6.9 ton/ha. Harga gabah di tingkat petani berkisar antara Rp. 2800-3900/kg, dengan rata-rata Rp. 3300/kg. Untuk panen padi dari demplot (Impron et al. 2011) diperoleh harga gabah basah pada MH sekitar Rp. 3700/kg dan GKG sekitar Rp. 4000/kg. Musim Kemarau (MK). Pada MK, petani pada umumnya melakukan tanam mulai bulan Maret sampai dengan Juni. Pupuk yang digunakan pada MK sebagian besar sama dengan MH, baik dosis maupun pemberiannya. Pemakaian pestisida dan obat-obatan sangat intensif, baik pada MH maupun MK. Dari survey dan wawancara petani, diperoleh data dan informasi bahwa ada berbagai merek dagang yang digunakan petani yang sebagian besar hanya karena iklan atau ikut sesama teman yang terlebih dulu menggunakan. Petani bingung dengan begitu banyaknya produk obat-obatan pembasmi hama. Pengetahuan terhadap khasiat obat-obatan juga masih terbatas. Selama ini hanya bertanya ke toko/kios penjual obat-obatan. Harga obat-obatan tersebut juga cukup mahal. Oleh karena itu, biaya input petani menjadi besar. Biaya input pada MK di lahan irigasi sekitar Rp. 8.9 juta per hektar. Di lahan tadah hujan sekitar Rp. 7.9 juta per hektar. Pada lahan irigasi ada tambahan biaya untuk pengadaan air irigasi. Produksi padi pada MK di lahan irigasi ujung sekitar 4.3 ton per hektar dan pada lahan tadah hujan sekitar 3.4 ton per hektar. Untuk harga gabah pada MK relatif lebih tinggi dibandingkan MH, yaitu Rp. 3000-4500/kg. Sebagai perbandingan dari hasil panen demplot (Impron et al. 2011) diperoleh harga gabah basah MK sebesar Rp. 4200/kg dan GKG Rp. 4500/kg. Berdasarkan hasil penelitian Boer et al. (2011) diperoleh informasi, bahwa harga gabah dalam rentang waktu satu tahun di Kabupaten Indramayu mengalami fluktuasi yang berpola (selalu terjadi setiap tahunnya), yaitu pada saat panen raya harga gabah cenderung selalu rendah dibandingkan harga gabah pada saat musim paceklik. Musim panen raya terjadi pada retang waktu bulan Febuari s.d April, sedangkan pada musim paceklik terjadi pada
116
rentang waktu bulan September sampai dengan November. Hasil penelitian Hidayati et al. (2011) berdasarkan wawancara dengan petani menunjukkan kisaran harga gabah Rp 4700 Oktober-Nopember dan Rp 3000 pada FebruariMaret. Baik pada MH maupun MK, petani di Kabupaten Indramayu, pada umumnya masih menggunakan kearifan lokal, yaitu pranata mangsa untuk menentukan saat tanam. Berdasarkan pengetahuan tersebut (pranata mangsa), para petani terutama petani padi mengatur jadwal tanam mereka dalam jangka satu tahun. Sebagian besar petani merencanakan pola tanam satu tahun dengan pola padi-padi-palawija (tanam padi 2 kali), namun ada juga yang menanam dengan pola padi-padi-padi terutama pada tipe golongan irigasi I yang mendapatkan kepastian distribusi air (stok air selalu tersedia). Variasi komoditas tanam, sebenarnya tergantung dari keadaan kawasannya, dalam hal ini menyesuaikan tipe irigasinya. Tipe irigasi I umumnya menggunakan pola padi-padi-padi atau padipadi-palawija, tipe irigasi II dan III umumnya menggunakan pola padi-padipalawija, sedangkan tipe irigasi IV umumnya menggunakan pola padi-padipalawija atau padi-palawija-palawija. Hal ini tergantung dari ketersediaan airnya atau keadaan iklim tertentu (kemarau/ hujan panjang). Analisa Pendapatan Biaya (Revenue Cost Ratio, C/R) dan Analisa Manfaat Biaya (Benefit Cost Ratio, B/C) Dalam mengusahakan suatu komoditi, seorang petani akan dihadapkan pada dua pilihan, yaitu apakah komoditas yang akan diusahakan menguntungkan atau tidak. Dengan adanya dua pilihan tersebut, petani akan semakin selektif dalam memilih komoditas mana yang akan diusahakannya. Untung rugi komoditi yang diusahakan dipengaruhi oleh besarnya biaya yang dikeluarkan dan besarnya penerimaan yang didapatkan. Besarnya biaya produksi tersebut dipengaruhi oleh : 1) Skala usahatani, 2) efisiensi penggunaan modal, tenaga kerja, alat-alat dan sarana produksi, 3) produktifitas dan 4) cara pemasaran, harga dan sebagainya (Nurmalinda et al. 1994). Terkait dengan usahatani padi di Kabupaten Indramayu, untuk mengetahui apakah usahatani padi tersebut memberikan keuntungan dan
117
layak diusahakan atau tidak, maka diperlukan suatu indikator yaitu berupa nilai R/C dan B/C. Nilai R/C dan B/C dianalisis berdasarkan komponen biaya dan produksi serta harga. Biaya meliputi tenaga kerja, sarana dan lain-lain termasuk sewa lahan, iuran dan sebagainya. Komponen tenaga kerja menyerab biaya yang paling besar dibandingkan sarana dan komponen lainnya. Persentase masing-masing komponen pada MH adalah tenaga kerja 62.9%, sarana 27.6%, lain-lain (10.6%), sedangkan pada MK, tenaga kerja 60.8%, sarana 27.7%, lain-lain (13.5%). Hasil penelitian Ariani (2009) juga menyebutkan bahwa biaya tenaga kerja untuk usahatani padi mencapai lebih dari 60%. Dari komponen tenaga kerja ini, biaya terbesar adalah untuk panen. Hal ini dikarenakan petani masih menggunakan sistim bawon dengan perbandingan 5:1 atau 6:1. Untuk biaya sarana yang meliputi benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan, persentasenya sekitar 27 % dari total biaya keseluruhan. Sebagai pembanding, biaya usahatani padi untuk sarana produksi di Kabupaten Banten sekitar 21.2-25% (Ariani et al. 2009) dan di Kabupaten Karawang tahun 2005 sekitar 22-25% (Andriati dan Sudana 2007). Revenue Cost Ratio, R/C. Rasio biaya terhadap pendapatan (Revenue Cost Ratio, R/C) usahatani padi merupakan perbandingan antara pendapatan dengan biaya input usahatani padi. Parameter ini digunakan untuk menilai apakah usahatani padi yang dilakukan memberikan keuntungan secara ekonomi dan layak untuk diusahakan. Jika nilai R/C >1, maka usahatani padi memberikan keuntungan dan layak diusahakan. Jika R/C < 1, usahatani padi yang dilakukan belum layak dan belum menguntungkan secara ekonomi. Apabila nilai R/C=1, maka usahatani padi tersebut impas, artinya tidak untung dan tidak rugi. Nilai R/C=1 inilah yang akan digunakan untuk menentukan batas ambang (threshold) produksi padi. Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa nilai R/C petani contoh di Indramayu pada MH sebagian besar lebih dari 1. Nilai R/C berkisar dari 0.9 hingga 3.4. Artinya ada petani yang secara ekonomi rugi dalam penerimaan, meskipun secara sosial merasa untung karena masih bisa panen. Petani dengan R/C<1 ini adalah petani yang sewa lahan dan produksinya tidak terlalu tinggi. Rata-rata R/C sebesar 2.1. Nilai ini memberi gambaran bahwa untuk setiap biaya
118
yang dikeluarkan pada awal kegiatan usahatani sebesar Rp. 1000 akan memperoleh pemasukan atau penerimaan sebesar Rp. 2100 pada akhir kegiatan usahatani. Untuk MK, nilai R/C berkisar dari 0.6 hingga 3.2, dengan rata-rata 1.8. Nilai R/C pada MK relatif lebih kecil dibandingkan dengan MH. Hal ini disebabkan produksi padi pada MK lebih rendah dibandingkan pada MH. Meskipun harga gabah lebih tinggi pada MK dibandingkan MH, tetapi belum dapat meningkatkan pendapatan petani seperti pada MH. Untuk menyiasati situasi ini, pada umumnya petani mempunyai cara tersendiri untuk memperoleh keuntungan, yaitu dengan menyimpan sebagian gabah yang dihasilkan pada MH untuk dijual pada MK dimana harganya lebih tinggi. Dengan mengambil nilai gabah rata-rata sebesar Rp. 3000 (MH) dan Rp. 3400 (MK), maka secara umum analisa kelayakan usahatani padi di lokasi penelitian menghasilkan nlai R/C sebesar 1.94 pada MH dan 1.70 pada MK (Tabel 11). Sebagai perbandingan, hasil penelitian usahatani padi sawah pada MH di Kabupaten Karawang nilai R/C nya 1.54-1.70, sedangkan pada MK 1.41 hingga 1.58 (Andriati dan Sudana 2007), dan di Provinsi Banten pada MH sebesar 1.9 hingga 2.3 (Ariani et al. 2009).
Tabel 11. Analisis kelayakan usahatani padi di lokasi penelitian Uraian Total biaya Produksi (ton/ha) Nilai produksi R/C
MH 8,370,800 5.4 16,200,000 1.94
MK 8,067,282 4.0 13,719,000 1.70
Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata nilai R/C, baik pada MH dan MK pada umumnya nilainya >1, artinya secara ekonomi usahatani padinya memberikan keuntungan dan layak untuk diusahakan, meskipun ada juga petani yang belum memperoleh keuntungan dari usahataninya yang ditunjukkan oleh nilai R/C kurang dari 1. Ada pula petani yang untung di MH, tetapi kurang untung di MK. Meskipun demikian karena bertani adalah pilihan hidup (way of life) bagi petani, maka baik untung maupun rugi tetap berusahatani (Pasaribu 2012). Persamaan yang menghubungkan produksi padi dan R/C pada MH menunjukkan trend yang meningkat, demikian juga pada MK (Gambar 57). Trend
119
yang meningkat mengindikasikan bahwa usahatani yang dilakukan di lokasi penelitian akan semakin menguntungkan seiring dengan meningkatnya produksi padi. Peningkatan produksi padi pada MK lebih besar pengaruhnya dalam peningkatan R/C. Hal ini ditunjukkan oleh gradien garis trend yang lebih besar pada MK dibandingkan pada MH. Batas ambang (threshold) produksi padi diperoleh pada saat nilai R/C sama dengan 1, yaitu sebesar 4523.9 pada MH dan 2839.3 pada MK. Nilai threshold produksi ini akan digunakan dalam penentuan indeks curah hujan untuk pengembangan asuransi indeks iklim. Untuk masingmasing kecamatan nilai R/C dibedakan untuk MH dan MK (Tabel 12). Nilai threshold berbeda-beda untuk setiap wilayah dan setiap musim. Hal ini disebabkan nilai threshold ditentukan oleh nilai R/C yang diperoleh pada wilayah tersebut pada MH, MK maupun MH dan MK.
Gambar 57. Hubungan produksi padi dan R/C pada MH dan MK Tabel 12. Nilai threshold produksi padi pada MK dan MH (Kg/Ha) Kecamatan Cikedung Lelea Terisi Kandanghaur
MK 2710.8 2844.2 2906.3 3016.7
MH 4034.5 4575.2 5075.5 4782.7
Benefit Cost Ratio, B/C. Rasio keuntungan terhadap pendapatan (Benefit Cost Ratio) usahatani padi merupakan suatu parameter yang menunjukkan apakah usahatani yang dilakukan meningkatkan pendapatan petani atau tidak. Rasio
120
antara selisih pendapatan dan biaya input per pendapatan menghasilkan nilai baik positip maupun negatip. Nilai negatip bila pendapatan lebih kecil dari biaya input, sebaliknya nilai positip jika pendapatan lebih besar dari biaya input. Hasil analisis menunjukkan nilai B/C pada MH berkisar antara -0.07 hingga 2.37, dengan rata-rata 1.1. Pada MK diperoleh kisaran nilai B/C -0.41 hingga 2.15 dengan rata-rata 0.84. Secara umum nilai B/C pada MK lebih rendah dari MH. Perbedaan yang sering muncul adalah pada faktor produksi dan harga gabah. Pada MH produksi tinggi tetapi harga gabah relatif rendah, sedangkan pada MK, produksi padi rendah tetapi harga gabah cukup tinggi. Sementara luas tanam relatif sama antara MH dan MK. Selain itu, pada MK biasanya ada penambahan biaya irigasi untuk lahan yang beririgasi. Namun faktor produksi dan biaya inilah yang pada umumnya berpengaruh terhadap tinggi rendahnya pendapatan petani. Berdasarkan hubungan antara produksi dan B/C diperoleh trend yang cenderung meningkat baik pada MH maupun MK (Gambar 58). Peningkatan produksi pada MK berpengaruh lebih besar terhadap nilai B/C dibandingkan pada MH.
Gambar 58. Hubungan produksi padi dan B/C pada MH dan MK
Walaupun
secara
ekonomi
usahatani
padi
di
lokasi
penelitian
menguntungkan dan layak diusahakan, namun petani belum terbiasa mengelola keuangan dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh hasil wawancara yang
121
memperlihatkan bahwa 51% petani tidak terbiasa menyimpan uang dari hasil panennya. Sementara sekitar 31% petani sudah terbiasa menyimpan uang, dan ada yang menyimpan dalam bentuk gabah (3%) dan dalam bentuk perhiasan (1%) (Gambar 59). Menurut Simatupang dan Rusastra (2004) sebagian besar petani padi adalah keluarga miskin yang lebih mendahulukan pemenuhan kebutuhan pokok saat ini daripada masa mendatang, sehingga penggunaan modal untuk membiayai ongkos usahatani dan investasi bukan merupakan prioritas utama. Meskipun sebagian besar petani belum mampu menyisihkan hasil panennya untuk ditabung, dan petani hampir setiap musim atau tahun melakukan kredit (pinjam uang) untuk usahataninya, namun menurut petani usahatani padi ini masih tetap memberikan keuntungan dibandingkan komoditas lainnya. Selain itu, petani tidak punya pilihan lain selain mengusahakan lahannya untuk usahatani padi.
Gambar 59. Persentase kebiasaan petani menyimpan uang dalam usahataninya 5.3.3. Kesediaan Membayar (Willingnes to Pay, WTP) Kesediaan membayar merupakan hal penting dalam pengembangan asuransi indeks iklim. Hal ini terkait dengan kemampuan petani dalam pembayaran premi yang harus dilakukan dalam sistim asuransi. Terkait dengan finansial petani, untuk melakukan usahataninya, petani pada umumnya memimjam uang baik setiap musim atau setiap tahun ketika akan memulai tanam. Hasil survey dan wawancara menunjukkan bahwa sekitar 65% petani sudah terbiasa dengan fasilitas kredit, 10% tidak melakukan kredit dan hanya 2% petani yang kadang-kadang melakukan kredit (Gambar 60a). Bank merupakan tempat yang paling banyak dituju petani (40%) untuk memperoleh pinjaman
uang.
Selebihnya
petani
mendapat
pinjaman
dari
kelompok
122
tani/gapoktan/RT (12.5%), saudara (11.3%), tetangga/teman (7.5%), pegadaian (1.3%) dan anak (1.3%). Sekitar 26.5% petani tidak melakukan peminjaman (Gambar 60b). Pengembalian pinjaman biasanya dilakukan setelah panen. Mekanisme kredit ini dilakukan petani hampir setiap musim atau setiap tahun, yaitu pada saat akan memulai tanam.
Gambar 60. Persentase akses kredit petani (a) dan sumber kredit (b) dalam usahatani padi Hasil wawancara terhadap 80 responden di lokasi penelitian, diperoleh gambaran bahwa sebagian besar petani (82.5%) bersedia atau sanggup membayar premi, dengan besaran yang bervariasi. Hanya 7.5% petani yang tidak bersedia membayar, tergantung yang lain (3.75%) dan yang tidak menjawab (6.25%). Pembayaran secara musiman paling banyak disanggupi oleh petani setelah mereka memperoleh hasil panen. Ada beberapa petani juga yang sanggup dengan cara mencicil tiap bulan dengan kisaran 10000-50000/bulan. Sekitar 8.75% petani bersedia membayar premi 10% dari nilai input. Data hasil wawancara memperlihatkan
bahwa
petani
bersedia
membayar
hingga
Rp.500000,-
/Ha/Musim. Berdasarkan survey kesediaan membayar yang dilakukan di lokasi penelitian, diperoleh bahwa persentase paling besar (28.4%) petani bersedia membayar sebesar 200-300 ribu rupiah per musim. Selanjutnya 25.4% bersedia membayar 100-200 ribu rupiah per musim, 16% bersedia membayar kurang dari 100 ribu rupiah per musim, 13.4% bersedia membayar 300-400 dan 400-500 ribu rupiah per musim, dan hanya 3% yang tidak bersedia membayar premi. Berdasarkan plot frekuensi WTP, maka persentase kesediaan membayar yang paling besar adalah 200-300 ribu rupiah per musim (Gambar 61).
123
Gambar 61. Frekuensi kesediaan membayar premi oleh petani
Prospek tentang asuransi iklim ini juga dikaji dengan melakukan diskusi dan pengisian quisoner dengan para penyuluh pertanian dalam forum Workshop “Pendayagunaan Informasi Iklim Untuk Kemandirian Pangan di Kabupaten Indramayu” yang dilaksanakan di kantor Bapeda Kabupaten Indramayu pada tanggal 12 Juni 2012. Point yang ditanyakan antara lain tentang prospek asuransi iklim, kendala utama yang mungkin dihadapi, lembaga apa yang disarankan untuk mengelola asuransi (koperasi, Bank, kelompok tani, lainnya) serta berapa kira-kira kemampuan dalam membayar premi. Hasil workshop menunjukkan bahwa 68% responden menyatakan asuransi iklim memiliki prospek yang bagus, menarik dan menjajikan. Lembaga pengelola yang banyak diharapkan responden adalah Bank (52%). Kendala utama yang dikemukakan responden seandainya asuransi dilaksanakan adalah perlunya sosialisasi (32%) (Gambar 62).
124
Gambar 62. Prospek dan kendala asuransi indeks iklim di Kabupaten Indramayu
5.4. Simpulan Petani di lokasi penelitian didominasi oleh usia produktif (15-55 tahun) dalam melaksanakan usahataninya (71.3%). Pendidikan responden sebagian besar (49%) tamatan SD. Lahan yang dimiliki sebagian besar petani (40%) adalah seluas 0.5-1 Ha. Pola tanam dominan adalah padi-padi-bera. Fluktuasi produksi padi pada MH di lahan irigasi ujung rata-rata sekitar 6 ton/ha dan pada lahan tadah hujan sekitar 5 ton/ha. Pada MK dilahan irigasi ujung produksinya sekitar 4 ton/ha dan pada tadah hujan 3 ton/ha. Tipe petani yang paling banyak dijumpai adalah petani yang masih mengeluarkan biaya input rendah dan produksi juga relatif rendah (tipe 3). Pada MH di lahan irigasi ujung, rata-rata biaya input yang dikeluarkan petani adalah Rp. 9 juta/Ha (MH) dan Rp. 8.9 juta/Ha (MK). Pada lahan tadah hujan sebesar Rp. 8.7 juta/Ha (MH) dan Rp. 7.9 juta/Ha (MK). Analisis usahatani pada MH menghasilkan R/C 0.9 hingga 3.4, dengan rata-rata 2.1, sedangkan pada
125
MK 0.6 hingga 3.2 dengan rata-rata 1.8. Sementara nilai B/C pada MH berkisar antara -0.07 hingga 2.37, dengan rata-rata 1.1, dan pada MK diperoleh kisaran nilai B/C -0.41 hingga 2.15 dengan rata-rata 0.84. Artinya secara ekonomi usahatani padi di lokasi penelitian masih menguntungkan dan layak untuk diusahakan. Namun keuntungan ini belum diikuti oleh kebiasaan menabung hasil panennya. Untuk melakukan usahataninya, petani pada umumnya memimjam uang baik setiap musim atau setiap tahun ketika akan memulai tanam. Sekitar 65% petani sudah terbiasa dengan fasilitas kredit, 10% tidak melakukan kredit dan hanya 2% petani yang kadang-kadang melakukan kredit. Bank merupakan tempat yang paling banyak dituju petani (40%) untuk memperoleh pinjaman uang. Selebihnya petani mendapat pinjaman dari kelompok tani/gapoktan/RT (12.5%), saudara (11.3%), tetangga/teman (7.5%), pegadaian (1.3%) dan anak (1.3%). Sekitar 26.5% petani tidak melakukan peminjaman Pemberian wacana tentang Asuransi Indeks Iklim disambut baik oleh petani. Sebagian besar petani (82.5%) bersedia atau sanggup membayar premi, dengan besaran yang dominan 200-300 ribu rupiah per musim per hektar. Hasil workshop menunjukkan bahwa 68% responden menyatakan asuransi iklim memiliki prospek yang bagus, menarik dan menjajikan. Lembaga pengelola yang banyak diharapkan responden adalah Bank (52%). Kendala utama yang dikemukakan responden seandainya asuransi dilaksanakan adalah perlunya sosialisasi (32%).