Analisis Kebijakan Kementerian Luar Negeri dalam Pengembangan Karir dan Kehidupan Pribadi Diplomat Wanita di Indonesia Kevin Kama Putra, Lina Miftahul Jannah Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia
E-mail :
[email protected] /
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan menggambarkan kebijakan Kementerian Luar Negeri dalam pengembangan karir dan kehidupan pribadi diplomat wanita di Indonesia. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara mendalam dan studi literatur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut menyebabkan terbentuknya kebebasan bagi diplomat wanita untuk berkarir atau menjadi pendamping suaminya dalam perwakilan. Pilihan tersebut menyebabkan terjadinya penghambatan karir diplomat wanita ketika memilih menjadi pendamping suaminya dalam perwakilan, sedangkan pada sisi lain ketika memilih sebagai perwakilan, hal ini dapat berpotensi menyebabkan konflik pekerjaan-keluarga Kata kunci: Kebijakan, Kementerian Luar Negeri Indonesia, konflik pekerjaan-keluarga, diplomat wanita Indonesia.
Analisis Kebijakan Kementerian Luar Negeri dalam Pengembangan Karir dan Kehidupan Pribadi Diplomat Wanita di Indonesia Abstract This research aims to describe the Ministry of foreign affairs’s policy in development of career and personal life of female diplomat in Indonesia. This is a qualitative research approach. Data collection techniques used are interviews and literature studies. The result of this research indicate that Ministry of Foreign Affair’s policy causes a freedom for female diplomat to choose her career or be a housewife in the representative. Its causes the hampered of female diplomat’s career when she choose to be a housewife in the representative. In the other option, it could be the potential that causes work-family conflict
Key words : Policy, Indonesia’s Ministry of Foreign Affair, work-family conflict, Indonesian Female Diplomat
Pendahuluan A.
Latar Belakang Masalah Peranan wanita dalam berkerja sudah tidak hanya berorientasi pada kepentingan
pribadi maupun keluarga saja namun peran wanita saat ini sudah mencakup kepentingan masyarakat umum, sehingga para wanita dalam dunia kerja juga dapat turut serta mengambil peran dalam memajukan bangsa dan negara. Keterlibatan peran wanita dalam pembangunan
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
juga mendapat banyak dukungan-dukungan karena melihat wanita perlu mendapat kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuannya, sehingga pandangan dan budaya yang menganggap wanita harus berada di rumah untuk mengurus rumah tangga dapat dihilangkan. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Suryohadiprojo (1987 : 237), ”Kemampuan wanita memang makin kelihatan dalam berbagai macam pekerjaan dan profesi. Hampir tidak ada lagi pekerjaan yang tak dapat dikerjakan oleh wanita seperti dikerjakan oleh pria.” Kesetaraan antara kemampuan perempuan dan laki-laki lambat laun semakin terlihat dalam dunia kerja. Komptensi yang dimiliki oleh wanita dapat menjadi potensi sumber daya yang dapat dimanfaatkan pemerintah tidak hanya dalam mengembangkan suatu pemerintahan dan meningkatkan kemampuan negara untuk berkembang namun juga dapat mengatasi isuisu yang sedang dihadapi oleh negara berkembang seperti kemiskinan. Peran wanita dalam melaksanakan pembangunan nasional juga disorot oleh Pemerintah Indonesia yang membentuk strategi pembangunan dengan memberdayakan wanita dalam pembangunan tersebut. Salah satu contoh wanita karir yang memiliki orientasi kerja yang luas dan ikut serta dalam pembangunan negara yaitu profesi diplomat. Berprofesi sebagai diplomat merupakan profesi yang menuntut kesediaan individu untuk ditugaskan di luar negeri karena diplomat merupakan perawakilan dari Indonesia untuk melaksanakan kegiatan diplomasi disuatu negara. Profesi sebagai diplomat merupakan suatu profesi yang dulunya dianggap sebagai profesi yang identik dengan laki-laki dan bukan menjadi profesi yang umumnya diminati oleh perempuan khususnya perempuan–perempuan di Indonesia, terlihat dari penerimaan pada tahun 2005 yang 50% di dalamnya adalah diplomat perempuan, selain itu terlihat bahwa perempuan-perempuan sudah mulai banyak yang memiliki motivasi dan minat untuk ikut serta berpartisipasi dan berkontribusi dalam dunia diplomasi di Indonesia. Selanjutnya apabila dilihat dari sisi kompetensi dan kapabilitas, wanita juga tidak kalah dalam kapabilitas maupun kompetensi yang dimiliki oleh pria, bahkan dalam melaksanakan diplomasi tersebut, terdapat isu-isu yang membutuhkan peran diplomat perempuan diantaranya, misalnya seperti isu ketenagakerjaan Prestasi-prestasi diplomat wanita tersebut tidak hanya terbatas pada kegiatan pendidikan internal semata namun juga didukung dengan banyaknya diplomat wanita yang sudah memiliki karir yang baik di Kementerian Luar Negeri. Pada level pimpinan eselon I misalnya ada Linggawati Hakim yang mengomandoi Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, selain itu juga terdapat Wiwiek Setyawati Firman sebagai Staf ahli
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
bidang politik. Pada level pimpinan eselon II terdapat lebih dari 15 orang perempuan yang menjabat dan membidani berbagai unit di Kementerian Luar Negeri seperti satunya yaitu Kepala Biro Kepegawaian, Rosmalawati (Badarsyah dalam Surya, 2014:9). Selanjutnya, berdasarkan pada data sebelumnya terkait dengan jumlah diplomat wanita juga sudah menunjukkan peningkatan pada tahun 2003 sejumlah 256 menjadi 652 pada tahun 2014 (Biro Kepegawaian, Departemen Luar Negeri, 2014). Selain itu komposisi gender pada hasil rekrutmen angkatan 36 dan 37 menunjukkan perempuan mulai mendominasi, yang dimana kedua angkatan tersebut memiliki perbandingan yang sama yaitu 32 perempuan berbanding 27 laki-laki (Badarsyah dalam Surya, 2014:8). Berdasarkan prestasi-prestasi yang telah disebutkan dan juga jumlah diplomat wanita yang terus menunjukkan peningkatan maka kedepannya diplomat wanita akan memegang peranan yang penting di dalam dunia diplomasi dan juga sebagai pemberi pelayanan bagi masyarakat Indonesia di luar negeri maupun di dalam negeri. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Priyanti Gagarin sebagai Duta Besar Venezuela yakni “Perempuan akan memainkan peranan yang lebih signifikan dalam dunia diplomasi Indonesia di masa depan.” (Badarsyah dalam Surya, 2014:8). Keberadaan diplomat wanita dalam Kementerian Luar Negeri yang juga disertai dengan motivasi, kapabilitas serta prestasi menunjukkan bahwa peranan diplomat wanita dalam dunia diplomasi akan semakin meningkat dan memegang peranan yang penting, namun pada umumnya seorang wanita juga memiliki peran lainnya di dalam keluarga. Peran ganda dari seorang wanita yaitu tanggung jawab di dalam rumah sebagai ibu juga di luar rumah sebagai wanita karier. Suwondo (1981 : 266) mengemukakan bahwa peran wanita secara sederhana terbagi atas 2 hal yaitu a. Sebagai warga negara dalam hubungannya dengan hak-hak dalam bidang sipil dan politik, termasuk perlakuan terhadap wanita dalam partisipasi tenaga kerja; yang dapat disebut fungsi ekstern b. Sebagai ibu dalam keluarga dan istri dalam hubungan rumah tangga; yang dapat disebut fungsi intern Menjalankan peran sebagai diplomat dan berkarir sebagai diplomat, seorang wanita tidak saja hanya perlu memperhatikan karir dan pekerjaannya namun juga harus memperhatikan perannya sebagai ibu rumah tangga. Adanya motivasi dan juga keinginan seorang diplomat wanita dalam berpartisipasi di dunia diplomasi tidaklah cukup untuk dijadikan dasar dan alasan seorang diplomat wanita harus mempertahankan dan menjalankan perannya sebagai diplomat, hal tersebut dikarenakan adanya pertimbangan-pertimbangan seperti keluarga yang juga menjadi hal penting dalam kehidupannya. Keluarga bukanlah
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
hanya sebuah pertimbangan semata maupun sebagai kewajiban bagi seorang diplomat wanita, namun keluarga juga dapat menjadi salah satu bentuk pendorong utama maupun motivasi seorang diplomat wanita dalam berkarir. Kemlu sebagai instansi yang bertanggung jawab atas diplomat-diplomat tersebut juga memiliki peran dalam membuat kebijakan yang dapat membantu serta meringankan peranperan seorang diplomat wanita dalam bekerja maupun di dalam mengatur rumah tangganya. Salah satu bentuk perwujudan Kemlu dalam mengembangkan karir dan memanfaatkan peran diplomat wanita di dalam dunia diplomasi serta sebagai salah satu bentuk penyetaraan gender di Kemlu maka dibentuk kebijakan yang mengijinkan diplomat wanita yang sudah menikah dengan diplomat pria untuk dapat menjalankan posting dan tidak hanya sebagai pendamping diplomat pria saja. Kebijakan tersebut, sebagaimana yang diatur di dalam Surat Keputusan Menteri Luar Negeri tentang Penempatan Suami Isteri yang Mempunya status PDLN No 08A-KP-VI-2004-01 memberikan kebebasan bagi diplomat khususnya bagi pasangan diplomat untuk menjalankan perwakilan masing-masing atau salah satu dari pasangan tersebut harus menjadi pendamping pasangannya dalam perwakilan dan mengambil cuti di luar tanggungan negara. B. Permasalahan Kebijakan yang dilaksanakan oleh Kemlu tersebut telah berjalan selama hampir dari 10 tahun memiliki intervensi di dalam pengembangan karir seorang diplomat wanita maupun intervensi di dalam kehidupan pribadi diplomat wanita tersebut. Dengan membebaskan diplomat wanita untuk memilih untuk menjadi perwakilan atau hanya sebagai pendamping bagi suaminya dalam perwakilan membawa pengaruh yang positif dan negatif dari setiap pilihan-pilihan yang ditentukan. Pengaruh tersebut dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung dalam karir maupun kehidupan keluarga seorang diplomat. Intervensi kebijakan tersebut terhadap pengembangan karir seorang diplomat terlihat dari beberapa contoh yang ditemukan peneliti, misalnya seperti diplomat wanita yang sudah menjadi diplomat selama 23 tahun dan 22 tahun dan belum pernah menjadi perwakilan sama sekali, hal ini tidak hanya menunjukkan bahwa beliau akhirnya tidak memiliki kinerja dan kontribusi langsung dalam dunia diplomasi akan tetapi karir diplomat tersebut akan terhambat pula. Pada sisi lain intervensi kebijakan terhadap kehidupan pribadi seorang diplomat wanita juga terlihat ketika seorang diplomat wanita tersebut akhirnya memutuskan untuk menjadi perwakilan tanpa suaminya sehingga pasangan diplomat tersebut akan dibatasi dengan jarak yang jauh. Hal tersebut tidak hanya menyebabkan terjadinya kesulitan bagi
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
keluarga diplomat tersebut dalam membagi kepungurusan anak namun juga dapat menjadi potensi yang menyebabkan terjadinya work-family conflict. Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut, perumusan masalah yang diangkat peneliti pada penelitian ini adalah bagaimana kebijakan Kementerian Luar Negeri dalam pengembangan karir dan kehidupan pribadi seorang diplomat wanita di Indonesia? C. Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat adanya intervensi dari kebijakan Kementerian Luar Negeri dalam Pengembangan karir dan Kehidupan Pribadi Diplomat Wanita di Indonesia maka penelitian ini bertujuan untuk Menganalisis kebijakan Kementerian Luar Negeri dalam pengembangan karir dan kehidupan pribadi diplomat wanita di Indonesia Tinjauan Teoritis A. Konsep Kebijakan Pada umumnya kebijakan berasal dari bahasa Yunani “Politea” yang kemudian diartikan sebagai negara. Kata “Politea” tersebut kemudian diterjemahkan dalam bahasa inggirs menjadi “poliie”, yang dapat diartikan sebagai sesuatu yang berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan (Samoedra et al, 2000 : 10). Istilah kebijakan tersebut digunakan dalam kaitannya dengan tindakan atau kegiatan pemerintah, serta perilaku negara pada umumnya. Kebijakan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan sehingga kajian ekbijakan pada hakikatnya merupakan kajian dari perundang-perundangan (Mustopadidjaja, 1992:30). Selanjutnya Eulau dan Prewitt di dalam Jones (1991: 47-48) menjelaskan bahw kebijakan adalah keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan (repretitiveness) tingkah laku dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Melalui definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan reaksi atau sikap pemerintah terhadap suatu permasalahan tertentu, kemudian kebijakan tersebut dibuat oleh administrator publik sehingga segala yang dikerjakan maupun yang tidak dikerjakan oleh para administrator publik merupakan kebijakan, dan kebijakan tersebut dibuat untuk mengatur memecahkan dan mengatasi suatu permasalahan. Djajasumarga (1992) selanjutnya menjelaskan kebijakan menjadi 2 jenis yaitu kebijakan sektoral dan kebijakan parsial. Kebijakan tersebut dibagi menjadi 2 bagian untuk mempermudah untuk menetapkan tindakan-tindakan operasional serta perlikau yang dituntut untuk mencapai maksud-maksud kebijakan. Kebijakan parsial misalnya dicontohkan sebagai kebijakan pertahanan keamanan
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
bangsa sedangkan kebijakan sektoralnya yaitu pertahanan sipil. Kedua jenis kebijakan tersebut memiliki sifat yang saling melengkapi sebagai satu eksatuan dalam rangka mencapai tujuan kebijakan atau kebijakan nasional. B. Kebijakan Publik Lasswell dan Kaplan dalam Abidin menjelaskan bahwa kebijakan publik merupakan sarana untuk mencapai tujuan atau sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik (2001: 8-9). Menurut Jones dalam Winamo (2007: 16) istilah kebijakan (policy term) digunakan dalam praktik sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda, sedangkan Chandler dan Plano dalam Tangkilisan (2003:2) mendifinisikan kebijakan publik sebagai pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau masalah pemerintah. Anderson di dalam Tangkilisan (2003: 2) mengatakan kebijakan publik adalah sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah : 1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai `tindakantindakan yang berorientasi pada tujuan 2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah 3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah jadi bukan merupakan suatu hal yang masih dimaksudkan untuk dilakukan 4. Kebijakan publik yang diambil dapat bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu 5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Kebijakan publik yang memiliki definisi yang luas dan juga cakupan yang luas dikelompokkan menjadi tiga oleh Nugroho (2012),yakni : 1.
Kebijakan publik yang bersifat marko atau umum atau mendasar
2.
Kebijakan publik yang bersifat messo atau menangah, atau penjelas, pelaksanaan, seperti : Peraturan Menteri, Surat Edara Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan Walikota. Kebijakannya dapat pula berbentuk surat keputusan bersama atau SKB antar menteri, gubernur, dan bupati atau walikota
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
3.
Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat di bawah menteri, gubernur, bupati, dan walikota
C. Konsep Peran Peran pada dasarnya didefinisikan sebagai seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran tersebut dipengaruhi oleh keadaan sosial dari dalam maupun dari luar (Kozier, 1995 : 21). Robbins menjelaskan konsep peran sebagai serangkaian pola perilaku yang memiliki kaitan erat dengan seseorang yang menempati sebuah posisi tertentu dalam sebuah unit sosial (Robbins, 2007: 362). Selanjutnya Robbins juga menjelaskan lebih lanjut konsep peran tersebut ke dalam berbagai konsep yang antara lain yaitu : 1. Identitas peran Identitas peran merupakan sikap-sikap dan perilaku tertentu yang konsisten dengan sebuah peran. Setiap individu memiliki kemampuan yang cepat untuk berganti peran ketika inidividu dihadapkan pada situasi dan tuntutan yang secara jelas membutuhkan perubahan. 2. Persepsi peran Persepsi peran merupakan suatu pandangan terhadap situasi tertentu dan bagaimana seseorang harus bertindak di dalam situasi tertentu. Bertindak berdasarkan pada sebuah interpretasi yang diyakini oleh individu dalam berperilaku. Persepsi tersebut dipengaruhi oleh hal–hal disekitar seperti film, buku, teman dan sebagainya. 3. Ekspektasi peran Ekspektasi peran merupakan suatu keyakinan orang lain terhadap bagaimana seseorang harus bertindak dalam situasi tertentu. 4. Konflik peran Konflik peran merupakan situasi dimana individu dihadapkan dengan ekspektasi peran yang berlainan sehingga menyebabkan terjadinya konflik. Konflik tersebut terjadi ketika individu menemkan bahwa untuk memenuhi syarat satu peran dapat membuatnya lebih sulit untuk memenuhi peran lain. D. Konflik Peran Ganda
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
Kahn et al. dalam Greenhaus & Beutell (1985: 77) mendefinisikan konflik peran ganda sebagai ketidakcocokan antara harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran, dimana dalam kondisi yang cukup ekstrim, kehadiran dua atau lebih harapan peran dan tekanan akan sangat bertolak belakang sehingga peran yang lain tidak dapat dijalankan. Selanjutnya Thomas dan Ganster (1995: 6-15) mendefinisikan konflik peran ganda sebagai suatu bentuk khusus dari konflik antarperan yang terjadi karena tuntutan dari pekerjaan bertentangan atau tidak sesuai dengan tuntutan dari keluarga. Menurut Friedman & Greenhaus dalam Schabracq, Winnubst, & Cooper (2003:264) selanjutnya mendefinisikan konflik peran ganda sebagai suatu tekanan yang dirasakan karena adanya peran pekerjaan dan peran pada rumah tangga yang tidak kompatibel atau tidak seimbang, sehingga akan sulit untuk menjalankan kedua peran tersebut (Schabracq, Winnubst, & Cooper, 2003:264). Konflik peran ganda Bi-directional memiliki 2 aspek yang saling terkait yaitu (Greenhaus & Beutell, 1985: 77-81) : a. Work-Family Conflict : konflik yang terjadi dikarenakan adanya tanggung jawab terhadap pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab terhadap keluarga. Konflik Pekerjaan-Keluarga (Work Family Conflict) biasanya terjadi pada saat seseorang berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan namun usaha seseorang tersebut dipengaruhi karena adanya tuntutan peran dalam keluarga atau pada keadaan sebaliknya, yaitu dimana pemenuhan tuntutan peran dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam memenuhi tuntutan dan tekanan yang berasal dari pekerjaannya. b. Family-work conflict yaitu konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaan. Definisi keluarga disini yaitu dapat dilihat sebagai keluarga inti yang merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan perikahan dan terdiri dari orang tua dan anak yang masih menjadi tanggungan dan tinggal di dalam suatu rumah (Subhan, 2004: 1). Multidimensi dari konflik peran ganda muncul dari setiap arah dimana keduanya, baik itu work-family conflict maupun family-work conflict masing-masing memiliki 3 dimensi (Greenhaus & Beutell, 1985: 77-81), yaitu : a. Time-based conflict, terjadi ketika waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas pada suatu peran tidak dapat dicurahkan juga untuk melakukan aktivitas pada peran yang lain, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang yang mengalami konflik peran
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
ganda pada tahap ini tidak dapat melaksanakan kedua perannya sekaligus. Indikator dalam mengidentifikasi Time-base conflict adalah kurangnya atau tidak adanya waktu untuk menjalankan salah satu peran dikarenakan peran lainnya. (Carlson, Kacmar & Williams, 2000: 3) b. Strain-based conflict, terjadi ketika ketegangan yang timbul dari suatu peran mengganggu seseorang dalam memenuhi perannya yang lain. Hal ini juga diungkapkan oleh Schabracq, Winnubst, & Cooper (2003: 284) bahwa strain-based conflict merujuk pada ketegangan seperti tension, kecemasan, kelelahan, depresi, mudah marah dan sebagainya. Hal tersebut timbul dari partisipasi individu dalam satu peran menyebabkan individu sulit memenuhi tuntutan dari perannya yang lain. Misalnya saat seseorang kelelahan karena bekerja sehingga membuatnya tidak dapat menjalankan perannya pada keluarga. Indikator dalam mengidentifikasi Strain-based conflict adalah adanya ketidaksesuaian yang menyebabkan ketegangan dalam menjalankan salah satu peran yang diakibatkan dengan dijalankannya peran yang lain (Greenhaus & Beutell, 1985: 80-81) c. Behavior-based conflict, terjadi ketika adanya harapan akan perilaku yang berbeda dalam menjalankan peran satu dengan peran yang lainnya. Misalnya seorang manajer yang diharapkan menjadi seseorang yang memiliki percaya diri, agresif, dan obyektivitas. Di lain pihak, keluarga mengharapkan seseorang yang hangat, emosional,
dan
sabar
dalam
berinteraksi
di
keluarga.
Indikator
dalam
mengidentifikasi Behavior-based conflict yaitu adanya ketidaksesuaian pengharapan atas perilaku yang dilakukan pada sebuah peran dengan pengharapan yang ada pada peran lainnya (Greenhaus & Beutell, 1985: 81-82) Metode Penelitian Penelitian ini merupakan peneitian kualitatif. Penelitian ini berupaya mencari pemahaman atau pemaknaan secara mendalam mengenai gejala sosial dengan melihat faktafakta alamiah yang terjadi di lapangan yang kemudian diambil sebagai suatu pemahaman baru dari fakta-fakta tersbut, yakni dengan menganalisis kebijakan Kementerian Luar Negeri dalam pengembangan karir dan kehidupan pribadi diplomat wanita di Indonesia. Jenis penelitian dapat dibagi berdasarkan tujuan, manfaat, dimensi waktu, dan berdasarkan teknik pengumpulan data. Berdasarkan keempat klasifikasi tersebut, jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian yang berjudul “Analisis Kebijakan Kementerian
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
Luar Negeri dalam Pengembangan Karir dan Kehidupan Pribadi Diplomat Wanita di Indonesia.” Ini sebagai berikut: a) Berdasarkan tujuan adalah penelitian deskriptif b) Berdasarkan manfaat adalah penelitian murni c) Berdasarkan dimensi waktu adalah cross sectional d) Berdasrakan teknik pengumpulan data adalah teknik pengumpulan data kualititaif dengan wawancara mendalam yang pemilihan informannya dilakukan dengan prosedur purposif. Tabel Informan Pihak
Nama
Kepala Biro Kepegawaian Kemlu Staff Disiplin Pegawai Kemlu Kasubag AKLN Diplomat Wanita yang Sudah Menikah
Diplomat Wanita yang Belum Menikah Diplomat Wanita yang mengundurkan diri Akademisi
Rosmalawati Chalid Dhania Kiki a. Poppy b. Marsianda c. Makhya Sumina d. Sendy Siregar e. Leni Kurniati f. Tita Yowana Alwis g. Dahlia Kusuma Dewi a. Diah Retno Bayu Murti b. Nurfika Wijayanti a. Anonymus Bob Waworuntu
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif dituangkan dalam 6 laangkah yaitu mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis, langkah ini melibatkan transkripsi wawancara, mengetik data lapangan, atau memilah-milah dan menyusun data tersebut data tersebut ke dalam jenis-jenis yang berbeda tergantung pada sumber informasi. Langkah kedua yaitu membaca seluruh data. Pada langkah kedua penliti menuliskan catatancatatan khusus atau gagasan-gagasan umum tentang data yang diperoleh.. Langkah ketiga peneliti menganalisis lebih detail dengan melakukan coding data. Langkah keempat yaitu peneliti menerapkan proses coding untuk mendeskripsikan setting, orang-orang, kategorikategori, dan tema-tema yang akan dianalisis. Langkah kelima, hasil deskripsi akan disajikan kembali dalam narasi atau laporan kualitatif dan kemudian dilanjutkan pada langkah terakhir yaitu menginterpretasikan atau memaknai data. Dalam hal ini, peneliti menegaskan apakah hasil penelitian membenarkan atau justru menyangkal informasi sebelumnya. Ada pula keterbatasan pada penelitian ini yaitu :
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
a. Penelitian ini merupakan penelitian yang tergolong sensitif sehingga seringkali peneliti menemukan informan yang tidak bersedia untuk diwawancara karena terkait dengan masalah yang sangat pribadi. b. Peneliti tidak dapat mewawancarai Kepala Sub Bagian Disiplin PNS karena sedang ditugaskan ke luar negeri namun sebagai gantinya, peneliti mewawancarai staff disiplin PNS c. Beberapa Wawancara yang dilakukan tidak dapat dilakukan secara bertatap muka sehingga peneliti menggunakan email dalam penelitian ini dan jawaban yang diberikan oleh informan tidak diberikan secara spontan, hal ini dikarenakan beberapa informan yang terkait sedang tugas dinas di luar negeri. d. Peneliti tidak dapat mewawancarai diplomat wanita yang sudah menikah dan telah mengundurkan diri karena terbatasnya informasi atas informan tersebut dan ketidaksediaan informan terkait untuk diwawancarai. Hasil Penelitian dan Pembahasan Analisis yang dilakukan berdasarkan data hasil wawancara mendalam dan studi dokumen. Beberapa hal yang akan dianalisis antara lain mengenai analisis kebiijakan Kementerian Luar Negeri dalam Pengembangan karir dan Kebijakan Kementerian Luar Negeri dalam Kehidupan Pribadi Diplomat Wanita. A. Kebijakan Kementerian Luar Negeri dalam Pengembangan Karir Diplomat Wanita Bekerja di Kemlu memiliki kebijakan untuk memperbolehkan adanya pernikahan antara sesama diplomat dan keduanya masih dapat terus bekerja di Kementerian Luar Negeri. Hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan diplomat tersebut diatur didalam Surat Keputusan Menteri Luar Negeri tentang Penempatan Suami Isteri yang Mempunya status PDLN No 08A-KP-VI-2004-01 dan Peraturan Menteri Luar Negeri 04 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Diplomat dan Angka Kreditnya pada Bagian ke 20 Pasangan Diplomat Suami Isteri. Dalam Permenlu tersebut disebutkan pada pasal 132 ayat (1) bahwa “Pasangan diplomat suami isteri masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam penugasan dan pengembangan karir diplomatiknya”. Melalui pernyataan yang disebutkan dalam Permenlu 04 tahun 2009 tersebut dapat disimpulkan bahwa diplomat wanita dan diplomat pria sama-sama memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan penugasan atau menjadi perwakilan untuk meningkatkan karir diplomatnya. Selain itu pada Permenlu yang sama juga disebutkan pada ayat empat (4) bahwa “Masing-masing Pasangan Diplomat Suami
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
Isteri berhak memilih untuk melakukan tugasnya sebagai diplomatik atau mengikuti pasangannya”, melalui pernyataan tersebut dapat terlihat bahwa diplomat wanita maupun diplomat laki-laki yang berpasangan, bebas menentukan akan menjadi perwakilan sendiri atau menjadi pendamping pasangannya. Melihat kedua ayat tersebut dalam Permenlu 04 Tahun 2009 terlihat bahwa Kementerian Luar Negeri memiliki kebijakan yang membebaskan pasangan diplomat untuk memilih menjadi perwakilan sendiri atau menjadi pendamping pasangannya dalam perwakilan. Kebijakan-kebijakan yang telah dibentuk tersebut menunjukkan adanya kontroversi antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya, disatu sisi kebijakan menyatakan bahwa pasangan diplomat suami maupun isteri memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam mengembangkan karir dan dalam penugasan sedangkan di sisi lainnya Kemlu juga memberikan kebebasan untuk diplomat tersebut memilih antara karir dengan menjadi perwakilan masing-masing atau keluarga dengan adanya kebijakan family union. Dalam beberapa kasus yang ditemukan peneliti dalam mewawancarai beberapa pasangan diplomat, pasangan diplomat yang akhirnya harus mengalah dan berangkat ke perwakilan hanya sebagai seorang pendamping tersebut adalah wanita, dengan kata lain diplomat wanita tersebut harus mengajukan cuti di luar tanggungan negara dan hanya menjadi pendamping suaminya saat menjadi perwakilan. Hal ini masih menjadi bayang-bayang dari budaya Kementerian Luar Negeri yang dulunya tidak mengijinkan wanita dari pasangan diplomat untuk melakukan posting secara terpisah dari pasangannya. Selain budaya Kemlu yang dulunya tidak menginjinkan wanita untuk melakukan posting terpisah dengan suaminya, adapula budaya masyarakat Indonesia yang memandang bahwa suami sebagai kepala keluarga sehingga menciptakan pemikiran – pemikiran tidak hanya bagi diplomat laki-laki untuk merujuk pasangannya berperan sebagai ibu rumah tangga dan ikut bersamanya dalam penugasan namun juga bagi diplomat wanita khususnya bagi diplomat wanita yang masih tergolong memiliki pemikiran yang tidak terbuka sehingga akhirnya berpasrah pada keadaan yang menyebabkan karir nya sebagai diplomat pun tidak berjalan dengan seharusnya.Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti dengan mewawancarai diplomat wanita, masih terdapat beberapa diplomat yang mengalami hal tersebut. Diantaranya terdapat diplomat wanita belum pernah melakukan posting atau penugasan sekalipun dan hanya mendampingi suaminya dalam penugasan tersebut. Hal tersebut dikarenakan adanya hal-hal yang perlu diperhitungkan dalam membuat keputusan tersebut yaitu seperti memperhitungkan anak-anak yang masih kecil karena membutuhkan pembinaan dari kedua orangtuanya
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
Melalui hal-hal yang telah diuraikan di atas terkait dengan kebijakan Kemlu yang membuka pilihan bagi seorang diplomat wanita untuk memilih antara karir dan keluarganya, terlihat bahwa adanya kebebasan seseorang untuk memilih pilihan tersebut menyebabkan seorang diplomat wanita khususnya bagi wanita yang memiliki orientasi keluarga yang lebih besar dibandingkan pekerjaan dan juga diplomat wanita yang masih berpikiran konservatif, juga adanya budaya konservatif akan pekerja wanita menyebabkan akhirnya seorang wanita memilih untuk hanya menjadi pendamping bagi suaminya dan karirnya sebagai diplomat pun akan terhambat. Notoatdmojo (1992: 18) mengatakan bahwa kinerja seseorang baik dalam sektor publik maupun privat pada dasarnya berkaitan dengan perilaku dan kesuksesan seseorang atau kelompok dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, sedangkan bila melihat pada kasus kebijakan yang membebaskan diplomat wanita untuk memilih menjadi perwakilan sendiri atau sebagai pendamping membuka kemungkinan bagi seorang diplomat wanita untuk tidak memiliki kinerja, meskipun pada kenyataannya diplomat wanita tersebut juga menyandang status sebagai diplomat namun selama masa periode perwakilan tersebut hanya dihabiskan tanpa berkinerja karena mengambil cuti di luar tanggungan negara selama beberapa periode. dapatdisimpulkan bahwa sumber daya manusia yang ada pada Kemlu belum mencerminkan nilai efisiensi di dalamnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Bayangkara (2008) bahwa efisiensi adalah bertindak dengan mengoptimalkan penggunaan sumber daya sehingga dapat meminimalisasi pemborosan. Berdasarkan hal diatas, sumber daya manusia atau diplomat wanita yang ada di Kementerian Luar Negeri menjadi tidak optimal dimanfaatkan dan kebijakan yang dibentuk tersebut tidak mencapai sasaran yang diinginkan apabila di dalam prosesnya, diplomat wanita dapat memilih untuk tidak berkinerja dan berkontribusi dalam dunia diplomasi dikarenakan mengambil cuti di luar tanggungan negara. B. Kebijakan Kementerian Luar Negeri dalam Kehidupan Pribadi Diplomat Wanita Di sisi lain kebijakan yang sudah dijelaskan sebelumnya tidak hanya memberikan dampak bagi perkembangan karir dari seorang diplomat namun juga dapat berpengaruh bagi kehidupan pribadi seorang diplomat wanita yaitu keluarga. Dalam kebijakan yang sudah diuraikan sebelumnya dikatakan dapat menghambat karir seorang diplomat wanita apabila individu tersebut memilih menjadi pendamping suaminya dalam perwakilan, akan tetapi di sisi lain ketika diplomat wanita tersebut memilih untuk menjadi perwakilan sendiri atau dengan kata lain menjadi perwakilan berbeda dengan suaminya maka kebijakan-kebijakan tersebut juga dapat menjadi potensi terjadinya konflik maupun kesulitan seorang diplomat
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
wanita tersebut di dalam menyeimbang perannya sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai diplomat atau disebut sebagai work-family conclift sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Terbentuknya kebijakan yang memperbolehkan diplomat wanita yang sudah berkeluarga untuk melakukan posting sendiri dan tidak hanya menjadi pendamping bagi suaminya dalam perwakilan merupakan bentuk salah satu kebijakan penyetaraan gender yang dilakukan Kemlu untuk memberdayakan sumber daya manusia yang dimilikinya secara menyeluruh yaitu diplomat wanita serta menjunjung tinggi kesetaraan gender yang dimilikinya, selain itu Kemlu juga sudah membentuk kebijakan family union yang di dalamnya memberi kebijkan bagi pihak pasangan diplomat untuk ditempatkan pada penempatan yang berdekatan, sehingga diplomat wanita tersebut dapat fokus bekerja dan tetap berlokasi dekat dengan keluarganya. Kebijakan tersebut telah disusun dengan baik oleh Kementerian Luar Negeri untuk mempertahankan dan mendukung diplomat wanita untuk dapat menjadi perwakilan, namun tidak terlepas bahwa penempatan pasangan diplomat tersebut juga tidak menyelesaikan permasalahan work-family conflict seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, selain itu apabila dilihat dari prioritas kebijakan yang telah ditentukan tersebut, Kemlu lebih memprioritaskan melakukan penempatan yang masih memiliki jarak antara diplomat wanita dengan pasangannya sehingga dengan adanya jarak tersebut dapat menjadi potensi yang menyulitkan diplomat wanita tersebut untuk mengurus keluarganya sambil bekerja diperwakilan. Kebijakan yang memisahkan antara pasangan diplomat tersebut dengan yang jarak yang jauh berpotensi untuk mempengaruhi kehidupan pribadi seorang diplomat wanita khususnya dalam hal mengatur keluarga karena tidak adanya bantuan yang dapat diberikan dari pihak suami dan dalam hal ini dapat dikatakan bahwa diplomat wanita yang memilih untuk menjadi perwakilan tidak bersama suaminya akan menjadi ”single parent” selama masa periode posting tersebut berlangsung. Keadaan tersebut mampu menjadi potensi yang menyulitkan bagi seorang diplomat wanita untuk membagi waktunya dalam bekerja maupun dalam mengurus rumah tangganya. seorang diplomat wanita seringkali melewati kegiatankegiatan yang seharusnya dihadiri. Kegiatan yang dimana sosok seorang diplomat yang juga berperan sebagai seorang ibu dibutuhkan untuk menghadiri kegiatan seperti parents teacher meeting tersebut. Sosok seorang ibu juga akan semakin dibutuhkan ketika keluarga seorang diplomat wanita misalnya mengalami hal-hal atau keadaan yang darurat seperti anak sakit.
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
Secara waktu, diplomat wanita sulit untuk menyempatkan waktunya untuk mengurus urusan rumah tangga, terlebih lagi ketika mereka melakukan penempatan yang berbeda dengan suaminya sehingga tidak ada peran suami untuk membantunya membereskan pekerjaan rumah tangga. Hal lainnya yang juga berhubungan dengan waktu yaitu jam kerja, sehubungan dengan adanya reformasi birokrasi sehingga menyebabkan adanya perubahanperubahan yang terjadi terkait dengan jam kerja yang dimana jam kerja di Kemlu sudah berubah menjadi jam 08.00 sampai dengan pukul 16.30 atau sampai dengan pukul 17.00 pada hari jumat jam kerja di Kementerian Luar Negeri seringkali tidak sesuai dengan semestinya, di sisi lain menyebutkan bahwa jam kerja di Kementerian Luar Negeri telah mengalami perubahan setelah adanya reformasi birokrasi. Perbedaan kedua persepsi tersebut disebabkan karena adanya perbedaan pekerjaan dan perbedaan bidang yang mereka kerjakan. Hal yang serupa tidak hanya terjadi di Kemlu, akan tetapi juga terjadi di perwakilan. Pada dasarnya jam kerja yang sudah diatur yaitu jam 10 sampai dengan jam 17 namun terkait dengan ke 5 fungsi yang dijalankan oleh seorang diplomat mengharuskan diplomat tersebut untuk selalu siap 24 jam setiap harinya. pekerjaan atau job desk seorang diplomat wanita tidak memiliki kepastian karena isu atau fenomena sosial yang terjadi pada suatu negara tidak menentu, selain itu ketika ada tamu yang harus didampingi maka seorang diplomat akhirnya tidak dapat memiliki jam kerja yang fleksibel dan harus bersiap pada setiap waktunya. Jam kerja seorang diplomat pada umumnya saat menjadi perwakilan tidak menentu, karena terkait dengan salah satu fungsi diplomat yaitu sebagai protecting atau sebagai perwakilan yang melindungi dan melayani masyarakat Indonesia yang ada pada negara terakreditasi. Seorang diplomat harus selalu siap dan siaga dalam menanggapi setiap kejadian-kejadian maupun keadaan yang ada terkait dengan warga negaranya maupun dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya sebagai diplomat, sehingga hal ini menuntut kesediaan bagi seorang diplomat untuk selalu tanggap dalam menanggapi permasalahan-permasalahan tersebut. Tidak berjalannya kebijakan reformasi birokrasi pada jam kerja tersebut tidak hanya terjadi di Kemlu namun juga terjadi pada saat perwakilan, hal ini juga dapat menjadi salah satu potensi yang membuat seorang diplomat wanita sulit untuk membagi waktunya bersama keluarga maupun waktunya sebagai pekerja atau disebut dengan time-based conflict pada dimensi work-family conflict. Kondisi suatu negara atau lingkungan di mana penempatan seorang diplomat wanita juga berpotensi memberikan pengaruh-pengaruh yang membuat seorang diplomat wanita kesulitan untuk mengurus rumah tangga dan pekerjaannya karena adanya kebijakan suatu tempat perwakilan memiliki perbedaan. Salah satu contohnya yaitu pada penempatanpenempatan yang memiliki transportasi yang baik akan membantu seorang diplomat wanita
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
yang sedang posting tanpa membawa suaminya lebih mudah untuk melakukan mobilitas dalam bekerja dan juga mengurus rumah tangga seperti mengantar anak ke sekolah. Hal lainnya yang mempengaruhi yaitu ketika seorang diplomat wanita ditempatkan pada negara yang tidak diperbolehkan membawa pembantu rumah tangga. Pembantu rumah tangga dapat menjadi salah satu faktor yang sangat membantu seorang diplomat wanita dalam mengurus rumah tangga seorang diplomat wanita terutama ketika seorang diplomat tersebut memiliki pekerjaan dan jam kerja yang sangat tidak fleksibel sehingga seorang diplomat wanita yang menjadi perwakilan sendiri seringkali membutuhkan pembantu rumah tangga sebagai orang yang akan membantunya. Akan tetapi, beberapa tempat-tempat posting atau tempat perwakilan seorang diplomat, dilarang untuk membawa pembantu rumah tangga. Larangan dalam membawa pembantu rumah tangga pada beberapa perwakilan yang ada tersebut dikarenakan kondisi dari negara terakreditasi, misalnya di negara Guinea tidak boleh membawa pembantu rumah tangga karena adanya isu HAM yang beredar. Selain kebijakan-kebijakan yang sifatnya tertulis seperti peraturan maupun surat keputusan, juga terdapat kebijakan yang sifatnya lisan seperti kebijakan kepala perwakilan terhadap bawahannya yang diberikan tidak secara tertulis dan sifatnya subjektif. Hal ini juga menjadi salah satu faktor yang menentukan seorang diplomat wanita dalam mengatur waktu bersama keluarga dan waktu bekerja, serta dapat menjadi faktor yang berpotensi menjadi pendukung atau menghambat terjadinya work-family conflict. pada saat seorang diplomat bertugas dan kemudian ditempatkan pada situasi darurat dimana ia harus mengurus keperluan keluarganya, kebijakan dan dukungan dari atasan akan menjadi sebuah keuntungan atau bahkan dapat menjadi hal yang mempersulit keadaan. Kepala perwakilan tidak hanya dapat memberikan kebijakan secara lisan kepada diplomat wanita yang berkaitan dengan perannya sebagai rumah tangga namun kebijakan tersebut juga dapat berkaitan dengan mutasi unit pekerjaan. Mutasi merupakan istilah yang tidak asing dalam kehidupan diplomat khususnya mutasi dari dalam dan keluar negeri karena mutasi tersebut tidak hanya berjalan sekali dalam karir seorang diplomat, hal ini sesuai dengan dengan Peraturan Menteri Luar Negeri 04 Tahun 2009 tentang Pejabat Dinas Luar Negeri Diplomatik dan Konsuler Pada Pasal 65 ayat 1 dan 2. proses mutasit tersebut tidak hanya sekali selama berkarir sebagai diplomat, proses ini akan kembali dilakukan setelah diplomat tersebut sudah kembali dari perwakilan minimal 3 tahun dan akan terus menjalankan proses tersebut sampai dengan akhir karirnya sebagai diplomat. Kebijakan Mutasi seorang diplomat dari dalam ke luar pada umumnya merupakan saat-saat yang ditunggu-tunggu oleh para diplomat karena saat seorang diplomat yang akhirnya di usulkan
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
oleh atasannya untuk mutasi keluar akan mendapatkan penghasilan yang lebih dibandingkan dengan saat mereka bekerja di dalam negeri. Penghasilan tersebut diatur di dalam Peraturan Menteri Luar Negeri 04 tahun 2009 tentang Pejabat Dinas Luar Negeri Diplomatik dan Konsuler pada Bagian ketigabelas tentang Hak-Hak Administratif dan Keuangan Pejabat Diplomatik di Perwakilan. proses mutasi sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa mutasi tersebut tidak hanya berlangsung ke dalam dan ke luar negeri, mutasi tersebut memiliki cakupan yang lebih luas karena sebenarnya mutasi tersebut juga dapat ditemukan ketika seorang diplomat sedang menjadi perwakilan. Proses mutasi yang dimaksudkan terjadi juga dalam kegiatankegiatan / tugas-tugas yang dikerjakan oleh diplomat saat menjadi perwakilan. Pada dasarnya tugas sebagai diplomat tersebut terbagi menjadi 5 cakupan, yaitu konsuler dan protokol, ekonomi, politik, sosial dan juga budaya, sesuai dengan Peraturan Menteri Pembedayaan Aparatur Negara tentang Jabatan Fungsional Diplomat dan Angka kreditnya pada Bab I Pasal I ayat 8. Proses mutasi tiap unit ini berbeda dengan mutasi dari dalam dan ke luar negeri karena proses mutasi ini merupakan proses yang ditentukan atas kebijakan kepala perwakilan saat bertugas di luar dan kebijakan Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat pada saat di dalam negeri. Perpindahan dan penempatan seorang diplomat kepada bidang-bidang yang bukan didasari latar belakang individu tersebut di perwakilan, menyebabkan diplomat tersebut harus beradaptasi dalam menanggapi bidang yang diberikannya, sehingga diperlukan penyesuaian-penyesuaian lebih lanjut, tidak hanya pada lingkungan kerja namun juga pada substansi atau pekerjaan yang dilaksanakannya pada saat bertugas di perwakilan. Ketidakjelasan perpindahan dan penempatan tersebut selain membuat individu dari diplomat tersebut harus melalkukan penyesuaian-penyesuaian, ketidakjelasan cakup pekerjaan tersebut juga membuat terbentuknya konflik di dalam seorang diplomat dalam bekerja. Intervensi lainnya dalam kebijakan Kemlu yang berpotensi memicu terjadinya kesulitan bagi diplomat wanita untuk mengurus keluarganya dan mampu mempengaruhi kehidupan pribadi diplomat wanita tersebut yaitu keberadaan suami serta mampu menyebabkan pasangan dari diplomat wanita tersebut harus melepaskan karirnya sebagai pekerja. suami merupakan hal yang sangat penting di dalam hidup seorang diplomat wanita karena selain sebagai pendamping hidup, mereka juga dapat menjadi sosok yang dapat menggantikan dan meringankan peran seorang diplomat wanita di dalam berumahtangga. Hal tersebut menjadi hal yang berat bagi diplomat wanita karena harus terpisah dengan pasangan dengan jarak yang jauh dan dalam situasi tersebut hanya dapat bertemu dengan pasangannya
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
beberapa kali selama perwakilan. Hal ini juga memberi pengaruh bagi anak-anak dari pasangan tersebut karena anak-anak tersebut juga ikut menanggung untuk tidak tinggal bersama dengan kedua orang tuanya selama beberapa periode. Simpulan Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Luar Negeri pada dasarnya dibentuk untuk menyetarakan gender di Kemlu sehingga diplomat wanita yang sudah menikah dengan diplomat pria juga dapat menjadi perwakilan dan tidak hanya sebagai pendamping, akan tetapi kebijakan tersebut tidak secara tegas membuat diplomat wanita bekerja dan menjadi perwakilan namun kebijakan tersebut membuka kebebasan seorang diplomat wanita untuk memilih menjadi perwakilan sendiri atau hanya mendampingi pasangannya dalam perwakilan atau dengan kata lain memilih berkarir sebagai diplomat atau hanya berperan sebagai ibu rumah tangga. Kebijakan tersebut akhirnya mengintervensi perkembangan karir maupun kehidupan pribadi diplomat wanita sesuai dengan pilihan yang ditentukan oleh setiap individu yang ada. Intervensi kebijakan tersebut dalam perkembangan karir diplomat wanita menyebabkan beberapa diplomat yang ada di Kemlu tidak menjalankan perannya sebagai diplomat dan tidak berpartisipasi dalam dunia diplomasi akibat mengambil cuti di luar tanggungan negara selama periode perwakilan, sedangkan intervensi kebijakan tersebut terhadap kehidupan pribadi atau kehidupan keluarga seorang diplomat wanita berpotensi menciptakan terjadinya work-family conflict, khusunya pada diplomat wanita yang memutuskan untuk berkarir dan menjadi perwakilan tanpa suaminya. Hal tersebut dikarenakan adanya prioritas dari kementerian luar negeri dalam penempatan pasangan diplomat yang memprioritaskan penempatan pasangan diplomat pada perwakilan yang berbeda. Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kementerian Luar Negeri, peneliti memberikan beberapa rekomendasi yang terbagi secara individu maupun secara organisasi. Rekomendasi tersebut antara lain : 1. Memberikan ketegasan dalam membuat kebijakan sehingga seharusnya kebijakan tersebut yang menjadi sarana untuk mengatur diplomat dan bukan memberi kebebasan; 2. Mewajibkan diplomat wanita yang sudah berkeluarga untuk tetap menjadi perwakilan dan tetap berkinerja serta berkontribusi dalam dunia diplomasi, karena ketika Kemlu dalam hal ini tidak menegaskan salah satu pilihan maka akan sangat sulit bagi Kemlu untuk memanfaatkan sumber daya manusia yang dimilikinya semaksimal mungkin;
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
3. Menetapkan prioritas penempatan diplomat wanita pada satu perwakilan atau satu negara sebagai prioritas utama sehingga ketika pasangan diplomat yang memutuskan untuk menjadi perwakilan masing-masing tidak dibatasi antara jarak yang jauh 4. Melibatkan pihak wanita di dalam membuat kebijakan atau di dalam memperbaharui kebijakan-kebijakan pasangan suami isteri yang berstatus diplomat. 5. Membuat fasilitas-fasilitas seperti daycare dan ruang menyusui secepatnya, baik di Kemlu maupun di perwakilan. Fasilitas tersebut akan sangat membantu bagi diplomat wanita untuk dapat mengurus kedua perannya. REFERENSI Buku Abidin, Zaid Zainal. (2002). Kebijakan Publik :Edisi Revisi. Jakarta : Yayasan Pancur Siwah Jones, Charles O. (1991). Pengantar Kebijakan Publik. Penerjemah Ricky Istamto. Jakarta, Rajawali Kozier Barbara. (2004) Fundamental of Nursing : Concepts, Process and Practice. 7th Edition. New Jersey. Mustopadidjaja, AR. (1992). Studi Kebijaksanaan Pengembangan dan Penerapan dalam Rangka Administrasi dan Manajemen Pembangunan. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Nugroho, Riant. (2012). Public Policy :Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan 4rd Ed. PT. Elex Media Komputindo Robbins, Stephen P., (2008). Perilaku Organisasi Edisi 12, Jakarta : Salemba Empat Samoedra, W., Asitadani, Dani., & Purwanto, Erwan A., (2000). Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Gajah Mada University Press Schabracq, Marc J, Winnubst, Jacques A.M & Looper, Cary L. 2003. The Handbook of Work and Health Psychology. England : John Wiley & Sons Ltd Surya, M. Aji. (2014). Quality Assurance Magazine : Zona Bebas Korupsi. Jakarta : Inspektorat Jenderal Kementerian Luar Negeri Suryohadiprojo, Sayidiman. 1987. Menghadapi Tantangan Masa Depan. Jakarta : PT Gramedia Suwondo, Nani. 1981. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta : Ghalia Indonesia Tangkilisan, Hesel Nogi.S. (2005). Manajemen Publik. Jakarta : Grasindo
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014
Winamo, Budi. (2002). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Presindo Jurnal Carlson, D. S., Kacmar, K. M. & Williams, L. J. (2000). Construction and Initial Validation of a Multidimensional Measure of Work-Family Conflict. Journal of Vocational Behavior, 3. Duxbury, L. E., & Higgins, C. A. (1991). Gender Difference in Work-Family Conflict. Journal of Applied Psychology, Vol. 76, No.1, pg.60-74 Ghayyur, Muhammad & Jamal, Waseef. (2012). Work-Family Conflict : A Case of Employees Turnover Intention. International Journal of Social Science and Humanity Vol 2, No 3. Greenhaus, J.H., & Beutell, N.J. (1985). Source of Conflict Between Work and Family Roles. The Academy of Management Vol. 10 No.1, 78-86 Suchet, Melanie, & Barling, Dr. Julian. (1986). Employed mothers : Interrole Conflict, Spouse Support and Marital Functioning. Journal of Organizational Behavior Vol 7, 167- 178 Thomas, L. T., & Ganster, D. C. (1995). Impact of Family-Supportive Variables on WorkFamily Conflict and Strain : a Control Perspective. Journal of Applied Psychology. Vol. 80, No.1, pg 6-15. Triaryati, N. (2003). Pengaruh Adaptasi Kebijakan Mengenai Work Family Issue Terhadap Absen dan Turnover. Manajemen & Kewirausahaan Vol.5 No.1, 85-95
Analisis kebijakan..., Kevin Kama, FISIP UI, 2014