ANALISIS KEBIJAKAN DEPARTEMEN PERTANIAN DALAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SAPI DI INDONESIA
SKRIPSI PIPIT AGUSTIN
PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ANALISIS KEBIJAKAN DEPARTEMEN PERTANIAN DALAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SAPI DI INDONESIA
PIPIT AGUSTIN D34103023
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
1
ANALISIS KEBIJAKAN DEPARTEMEN PERTANIAN DALAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SAPI DI INDONESIA
Oleh PIPIT AGUSTIN D34103023
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 28 Februari 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Lucia Cyrilla, ENSD., MSi. NIP. 131 760 916
Ir. Burhanuddin, MM NIP. 132 232 454
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.,Agr NIP. 131 955 531
2
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ngawi pada tanggal 2 Agustus 1985. Penulis adalah anak ke dua dari dua bersaudara dari pasangan Yanwarnuddin dan Siti Satiyah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Widodaren V pada tahun 1996, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2000 di SLTP Negeri 1 Geneng, Ngawi-Jawa Timur dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2003 di SMU Negeri 1 Pamulang, Tangerang-Banten. Tahun 2003 Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan dalam Minat Studi Agribisnis, Departemen Sosial Ekonomi dan Industri Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, Penulis pernah aktif di Lembaga Dakwah Kampus Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM) IPB sebagai staf BPPS periode 2006-2007, dan staf Departemen Keputrian periode 2004-2006. Selain itu, Penulis juga pernah menjadi pengurus Forum Studi Ilmu dan Telaah Agama Islam Fakultas Peternakan (FORSITA) sebagai staf Departemen Keputrian periode 20042005.
3
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir dalam memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sholawat serta salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman. Skripsi ini merupakan hasil studi mengenai Kebijakan Departemen Pertanian dalam Peningkatan Produksi dan Kualitas Susu Sapi di Indonesia. Skripsi ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai prioritas kebijakan yang seharusnya diimplementasikan oleh Pemerintah dan stakeholder persusuan agar dapat mensejahterakan peternak sapi perah. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak, terutama pembimbing skripsi yang telah banyak menyumbangkan ide-ide dalam penyusunan skripsi ini. Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Bogor, Februari 2008
Penulis
4
RINGKASAN Pipit Agustin. D34103023. 2008. Analisis Kebijakan Departemen Pertanian dalam Peningkatan Produksi dan Kualitas Susu Sapi di Indonesia. Skripsi. Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Lucia Cyrilla, ENSD., MSi Pembimbing Anggota : Ir. Burhanuddin, MM Komoditas peternakan berperan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pemenuhan kebutuhan pangan asal hewani. Susu sebagai salah satu komoditas peternakan turut memberikan andil dalam perbaikan gizi masyarakat, khususnya protein hewani. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk lebih meningkatkan manfaat susu adalah dengan menempatkan kebutuhan akan susu dalam perspektif yang tepat melalui formulasi kebijakan peningkatan produksi dan kualitas susu. Implementasi suatu kebijakan operasional tumbuh adaptif dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan dinamika masyarakat dan pembangunannya. Oleh sebab itu, perlu mengetahui prioritas dalam upaya pengimplementasian kebijakan tersebut sebagai rekomendasi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi potensi dan permasalahan persusuan di Indonesia dan menentukan prioritas kebijakan peningkatan produksi dan kualitas susu sapi di Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2007 di Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta; GKSI, Jakarta; Departemen Perindustrian, Jakarta; dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan informasi tentang potensi dan permasalahan persusuan nasional dan prioritas kebijakan dalam peningkatan produksi dan kualitas susu sapi di Indonesia. Metode penelitian ini adalah survei. Data diambil melalui interview kepada pakar dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, dan Departemen Perindustrian. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, dan analisis pengambilan keputusan metode AHP menurut Saaty (1986). Kondisi persusuan di Indonesia diidentifikasi berdasarkan potensi dan permasalahan. Potensi terbesar adalah tersedianya sumberdaya dan peluang pasar. Permasalahan terbesar adalah masalah budidaya. Berdasarkan potensi dan permasalahan tersebut, disusun hierarki yang terdiri atas tiga level, yaitu tujuan atau fokus utama pada level pertama, strategi pada level ke dua, dan program aksi pada level ke tiga. Hasil analisis menunjukkan bahwa prioritas kebijakan peningkatan produksi dan kualitas susu sapi di Indonesia adalah ke depan, pemerintah harus mengutamakan pembenahan pada aspek kelembagaan dan budidaya sapi perah. Kata Kunci : Kebijakan Pertanian, Kualitas Susu, Produksi Susu, Peternakan Sapi Perah
5
ABSTRACT Policy Analysis of Department of Agriculture in Product and Quality Increasing of Milk in Indonesia P. Agustin., L. Cyrilla, and Burhanuddin This research was conducted from July until August 2007. Researcher expected that this research will give informations about potency and problems of national dairy and priority of policy in product and quality increasing of milk in Indonesia. The method of this research was survey. Data was taken by interviewing the expert from Centre of Animal Husbandry Research And Development, Union of Indonesian Dairy Coperatives, Directorate General Department of Animal Husbandry, Department of Agriculture, Academician, and the Department of Industry. Data analysis which used was descriptive analysis and analysis intake of courier of method of Analytical Hierarchy Process (AHP) by Saaty ( 1986). The condition of dairy farm in Indonesia was identified by pursuant to potency and problems. Pursuant to the problems and potency, it was compiled hierarchy consisted of three levels, that was target or principal focus at the first level, strategic step at the second level, and program action at the third level. The policy priority at the strategic level successively is (1) the increasing of farmer institutional (2) domestic milk product increasing, (3), the increasing of milk quality, and (4) the increasing of competitive ability in product. Three of big priority of action program to the target or principal focus successively shall be as follows: (1) pushing existing of partner cooperation by supply chain management (2) applying of Good Farming Practices, and (3) supplying equipments. Keywords : Agricultural Policy, Milk Production, Milk Quality, Dairy Farm
6
DAFTAR ISI
RINGKASAN ..........................................................................................
Halaman i
ABSTRACT ...............................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP .................................................................................
v
KATA PENGANTAR ..............................................................................
vi
DAFTAR ISI
...........................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .....................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xi
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
Latar Belakang .............................................................................. Perumusan Masalah ....................................................................... Tujuan ........................................................................................... Kegunaan Penelitian .......................................................................
1 2 3 3
KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
6
Usaha Peternakan Sapi Perah ........................................................ Kebijakan Persusuan di Indonesia ................................................ Proses dan Kerangka dalam Analisis Kebijakan .......................... Proses Hierarki Analisis ................................................................
6 6 8 10
METODE ...................................................................................................
13
Lokasi dan Waktu............................................................................ Desain Penelitian ............................................................................ Data dan Instrumentasi ................................................................... Data ....................................................................................... Instrumentasi ......................................................................... Teknik Pengumpulan Data ............................................................ Analisis Data ................................................................................. Analisis Deskriptif ............................................................... Analisis Pengambilan Keputusan dengan AHP ..................... Membuat Struktur Hierarki .......................................... Penilaian Strategi dan Alternatif Program Aksi Pengukuran Konsistensi ............................................... Penentuan Alternatif Program Aksi ............................. Definisi Istilah ...............................................................................
13 13 13 13 14 14 14 14 14 15 16 16 17 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
18
Identifikasi Kondisi Persusuan di Indonesia .................................. Potensi ...................................................................................
18 18
7
Permasalahan ......................................................................... Perumusan Prioritas Kebijakan Peningkatan Produksi dan Kualitas Susu ......................................................................... Struktur Hierarki Kebijakan .................................................. Strategi Prioritas..................................................................... Program Aksi Prioritas........................................................... Kebijakan Prioritas.................................................................
25 24 28 30 35
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................
40
Kesimpulan ..................................................................................... Saran .....................................................................................
40 40
UCAPAN TERIMAKASIH........................................................................
41
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
42
LAMPIRAN
44
......................................................................................
20
8
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1
Skala Komparasi Saaty ...................................................................
16
2
Potensi Persusuan di Indonesia ......................................................
18
3
Populasi Ternak Sapi Perah Tahun 2006 di Indonesia ...................
19
4
Permasalahan Persusuan di Indonesia.............................................
21
5
Struktur Biaya Produksi Susu Per Liter ..........................................
23
6
Kejadian Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Indonesia Tahun 1983-1996 ............................................................................
24
7
Nilai Prioritas Elemen Strategi .......................................................
28
8
Nilai Prioritas Elemen Program Aksi pada Strategi Peningkatan Kelembagaan Peternak....................................................................
30
Nilai Prioritas Elemen Program Aksi pada Strategi Peningkatan Produksi Susu .................................................................................
32
Nilai Prioritas Elemen Program Aksi pada Strategi Peningkatan Kualitas Susu ..................................................................................
34
Nilai Prioritas Elemen Program Aksi pada Strategi Peningkatan Daya Saing Produk..........................................................................
35
9 10 11
9
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1
Kerangka Pemikiran Penelitian ......................................................
5
2
Hierarki Perumusan Alternatif Kebijakan.......................................
15
3
Hierarki Perumusan Alternatif Kebijakan Departemen Pertanian ..
26
4
Rangkuman Prioritas Kebijakan Peningkatan Produksi dan Kualitas Susu Sapi di Indonesia......................................................
39
10
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1
Nilai Prioritas Kombinasi Seluruh Responden ...............................
44
2
Nilai Akhir Gabungan Prioritas Program Aksi................................
45
3
Nilai Prioritas Strategi.....................................................................
45
4
Nilai Prioritas Program Aksi Peningkatan Kelembagaan Peternak.
46
5
Nilai Prioritas Program Aksi Peningkatan Produksi Susu .............
46
6
Nilai Prioritas Program Aksi Peningkatan Kualitas Susu ..............
47
7
Nilai Prioritas Program Aksi Peningkatan Daya Saing Produk .....
47
8
Komparasi Strategi ........................................................................
48
9
Komparasi Program Aksi Peningkatan Kelembagaan Peternak ....
48
10
Komparasi Program Aksi Peningkatan Produksi Susu ..................
49
11
Komparasi Program Aksi Peningkatan Kualitas Susu ...................
49
12
Komparasi Program Aksi Peningkatan Daya Saing Produk ..........
49
11
PENDAHULUAN Latar Belakang Perbaikan sistem pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa memicu peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan asal hewani. Komoditas yang selama ini memberikan andil dalam perbaikan gizi masyarakat, khususnya protein hewani adalah produk peternakan terutama daging, telur, dan susu. Konsumsi ternak masyarakat Indonesia beragam. Rata-rata konsumsi untuk daging, telur, dan susu tahun 1996-2005 adalah 6; 3,6; dan 5,9 Kg per kapita per tahun (Departemen Pertanian, 2006a). Susu merupakan komoditi yang penting untuk dikonsumsi masyarakat disamping daging dan telur karena susu mengandung semua komponen bahan yang perlu bagi diet manusia. Susu memiliki daya cerna yang tinggi, yaitu 98% protein susu dan 99% karbohidrat dan lemak susu dapat diserap dan digunakan oleh tubuh manusia. Dibandingkan dengan daging dan telur, kandungan protein dalam susu tidak terlalu tinggi, tetapi protein dalam susu mengandung semua asam amino esensial. Asam amino ini sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia sehingga susu digolongkan sebagai bahan pangan sumber protein yang bermutu tinggi (Rahman, et al., 1992). Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, permintaan susu di Indonesia terus meningkat dengan trend kenaikan 12,03% per tahun (Departemen Pertanian, 2006b). Kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah di Indonesia memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan agribisnis persusuan. Selain itu, persusuan dalam negeri belum mencukupi konsumsi dalam negeri. Saat ini produksi dalam negeri baru bisa memasok tidak lebih dari 30% dari permintaan nasional, sisanya 70% berasal dari impor. Kerugian yang ditimbulkan dari impor susu dan produk susu diantaranya adalah terkurasnya devisa nasional, hilangnya kesempatan terbaik (opportunity loss) karena menganggurnya atau tidak termanfaatkannya potensi sumberdaya yang ada untuk pengembangan agribisnis persusuan, serta hilangnya revenue yang seharusnya diperoleh pemerintah dari pajak apabila agribisnis persusuan dikembangkan secara baik. Berdasarkan hal tersebut, adalah ironis jika sebagian besar dari kebutuhan susu Indonesia dicukupi dari impor. Maka sudah sewajarnya bila pemerintah dan
12
stakeholder lainnya perlu berupaya keras meningkatkan pelayanan pada sektor ini. Pelayanan pada sektor ini memiliki hubungan sebab akibat dan keterkaitan yang tinggi dengan pelayanan pemerintah pada sektor-sektor publik lain, seperti sektor kesehatan. Implementasi layanan pemerintah dalam sektor ini sangat ditentukan oleh berlangsungnya dua fungsi utama, yakni fungsi kebijakan (yang lahir dari kemampuan politik) dan fungsi dana (yang lahir dari kemampuan ekonomi). Kondisi saat ini, dua fungsi tadi belum dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini telah banyak diyakini berbagai kalangan sebagai akibat penerapan sistem kapitalistik-materialistik telah menjadi salah satu faktor penting yang telah melumpuhkan berlangsungnya dua fungsi tersebut. Tak terkecuali bidang persusuan. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa permasalahan mendasar yang perlu segera mendapat perhatian seluruh stakeholder persusuan, baik pemerintah maupun setiap elemen masyarakat yang peduli adalah melakukan upaya formulasi kebijakan fungsional, khususnya untuk jangka waktu 2007-2008 sesuai dengan masa penerapan Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005-2009, dan Roadmap Revitalisasi Industri Pengolah Susu Nasional Terpadu Departemen Pertanian. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat dinyatakan bahwa kebijakan operasional (sektoral) perlu mengacu pada rumusan Program Pembangunan Pertanian Departemen Pertanian karena rumusan ini menggambarkan visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, dan program. Rumusan progran ini berfungsi sebagai dokumen perencanaan taktis strategis pemerintah yang disusun sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, formulasi kebijakan pada peningkatan produksi dan kualitas susu sapi nasional akan menempatkan kebutuhan pangan dalam perspektif yang tepat, karena memahami aspirasi kebutuhan masyarakat sekaligus melakukan perbaikan gizi dari sekedar pelayanan menjadi pemberdayaan. Dikatakan terpadu karena upaya formulasi dan implementasi kebijakan bidang persusuan saling terkait dan menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya formulasi dan implementasi Program Pembangunan Pertanian
13
Implementasi sebuah kebijakan operasional tentu saja tidak bersifat stagnan, tetapi tumbuh adaptif dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan dinamika masyarakat dan pembangunannya. Evaluasi terhadap implementasinya setiap tahun akan memberikan umpan balik bagi perbaikan dan penyempurnaan strategi. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. apa saja potensi dan permasalahan bidang persusuan di Indonesia? 2. kebijakan mana yang menjadi prioritas dalam peningkatan produksi dan kualitas susu sapi di Indonesia? Tujuan Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. mengidentifikasi potensi dan permasalahan bidang persusuan di Indonesia 2. menentukan prioritas kebijakan peningkatan produksi dan kualitas susu sapi di Indonesia. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah : 1. sebagai masukan bagi pemerintah dalam menyusun prioritas kebijakan dalam bidang persusuan dalam rangka meningkatkan produksi dan kualitas susu sapi di Indonesia. 2. sebagai informasi bagi stakeholders dalam rangka menunjang/mendukung implementasi kebijakan tersebut. 3. sebagai bahan informasi bagi yang ingin mempelajari kebijakan pemerintah di bidang persusuan, sekaligus sebagai bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
14
KERANGKA PEMIKIRAN Perumusan kebijakan peningkatan produksi dan kualitas susu di Indonesia memiliki sandaran penting, yaitu Rumusan Perencanaan Pembangunan Pertanian tahun 2005-2009. Dengan demikian, perumusan kebijakan peningkatan produksi dan kualitas susu ini dilakukan dengan berbasis dan harus sejalan dengan Rumusan Perencanaan Pembangunan Pertanian tersebut. Penelitian ini menganalisis kebijakan peningkatan produksi dan kualitas susu sapi di Indonesia dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Analisis tersebut dilakukan berdasarkan kondisi aktual persusuan yang ada dan mengingat adanya kebutuhan rumusan kebijakan bidang persusuan, khususnya dalam peningkatan produksi dan kualitas susu sapi. Tahapan
selanjutnya
adalah
mengidentifikasi harapan stakeholders kemudian menyusun struktur hirarki kebijakan fungsional dan melakukan analisis AHP. Setelah itu, dilakukanlah formulasi kebijakan fungsional yang akan dijadikan sebagai rekomendasi berdasarkan prioritas strategi dan program aksi. Adapun kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
15
Identifikasi Kondisi Persusuan saat ini
Adanya kebutuhan rumusan kebijakan persusuan nasional, khususnya peningkatan produksi dan kualitas susu
Identifikasi Harapan Stakeholders
Perumusan struktur hierarki penyusunan kebijakan fungsional
Analisis AHP
Formulasi kebijakan Fungsional
Rekomendasi Prioritas Strategi dan Program Aksi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
16
TINJAUAN PUSTAKA Usaha Peternakan Sapi perah Usaha peternakan sapi perah di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan skala usahanya, yaitu perusahaan peternakan sapi perah dan peternakan sapi perah rakyat (Sudono, 1999). Pengembangan usaha peternakan sapi perah mempunyai dampak positif terhadap pembangunan peternakan di Indonesia karena dapat : 1) menghemat devisa negara; 2) menciptakan lapangan kerja; 3) meningkatkan pendapatan peternak; dan 4) perbaikan gizi nasional. Hal ini dinyatakan pula oleh Sudono (1999) yaitu bahwa usaha peternakan sapi perah memiliki prospek yang cerah karena berbagai faktor, yaitu : 1. sapi perah merupakan ternak yang paling efisien dalam mengubah pakan menjadi protein dan kalori. 2. memberikan jaminan pendapatan. 3. penggunaan tenaga kerja yang tetap, tidak musiman sebagaimana tanaman. 4. sapi perah dapat menggunakan berbagai jenis hijauan atau sisa-sisa hasil pertanian. 5. kesuburan tanah dapat dipertahankan dengan memanfaatkan kotoran sapi perah sebagai pupuk. Usaha agribisnis susu di Indonesia dipelopori oleh usaha swasta sejak tahun 1960. Karena kesulitan modal, melaksanakan manajemen yang baik, menghadapi resiko yang tinggi dan teknologi rendah menyebabkan usaha swasta berkembang relatif lambat dibandingkan permintaan susu (Yusdja, 2005). Kebijakan Persusuan di Indonesia Sejarah kebijakan persusuan di Indonesia sudah berlangsung lama. Tahun 1800-an terjadi impor sapi perah Fries Holland dari Belanda di daerah Grati, Jawa Timur. Adanya sapi perah impor ini menyebabkan suatu usaha pengembangan sapi dengan mutu tinggi dengan menyilangkan antara sapi perah impor dengan sapi perah lokal. Pada zaman kolonial Jepang banyak perusahaan sapi perah yang ditelantarkan begitu saja oleh pemiliknya yang kemudian dikelola oleh rakyat. Sejak diberlakukannya Inpres Nomer 4 tahun 1998 tentang pencabutan seluruh peraturan yang berkaitan dengan susu dan impor susu serta berbagai
17
peraturan pelaksanaannya, pemerintah tidak mengimbangi dengan proteksi terhadap para peternak sapi perah dalam negeri. Tidak ada lagi peraturan perundangan yang menjadi landasan bagi pengembangan persusuan kecuali berbagai proyek pemerintah yang memberikan dorongan seperti halnya program perguliran sapi perah dan bantuan modal untuk peralatan koperasi. Ketidakberdayaan pemerintah sebagai regulator utama di bidang persusuan, memberikan keleluasaan kepada IPS untuk membeli susu impor. Para pelaku usaha persusuan ini sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar yang berjalan (Andiani, 2006). Kebijakan peningkatan produksi dan kualitas susu mengacu pada Program Pembangunan Pertanian Departemen Pertanian, yaitu : (i) Program Peningkatan Ketahanan Pangan; (ii) Program Pengembangan Agribisnis; dan (iii) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani (Departemen Pertanian, 2006a). Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan, termasuk produk peternakan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (PP No.68/2002). Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional, yakni dalam rangka peningkatan ketersediaan pangan sumber protein hewani asal ternak, harus diwujudkan dari waktu ke waktu. Penyediaan pangan dapat ditempuh salah satunya melalui produksi sendiri, yaitu memanfaatkan dan alokasi sumberdaya alam, manajemen dan pengembangan sumberdaya manusia, serta penguasaan teknologi yang optimal (Arifin, 2003). Pengembangan agribisnis bertujuan meningkatkan produksi dan nilai tambah secara efisien sehingga mempunyai daya saing tinggi. Meningkatnya permintaan susu, terutama dalam upaya pencapaian ketahanan pangan asal hewan merupakan potensi bagi pengembangan usaha peternakan/ agribisnis sapi perah. Pengembangan usaha peternakan sapi perah pada umumnya dibedakan menjadi dua, yaitu peternakan rakyat dan perusahaan peternakan. Menurut penelitian Suherni (2006), pengembangan usaha ternak sapi perah dipengaruhi oleh salah satunya permintaan susu di wilayah tersebut yang terus meningkat setiap tahunnya. Dengan demikian, kedua tujuan itu (Program Peningkatan Ketahanan Pangan dan Program Pengembangan Agribisnis) secara keseluruhan harus berlandaskan pada peningkatan kesejahteraan petani.
18
Bentuk
kebijakan
pemerintah
dalam
meningkatkan
kesejahteraan
petani/peternak sehingga mampu memperluas usaha dan meningkatkan produksinya antara lain pemberian subsidi pakan, obat-obatan, kredit, dan sarana prasarana. Sejak tahun 1995 pemerintah telah memberikan bantuan subsidi pakan ternak dan obatobatan. Namun, pada tahun 2000 bantuan tersebut mulai dikurangi sehingga pemberian subsidi belum optimal sampai ke tingkat peternak. Selama ini, bantuan dari pemerintah dalam pengadaan pakan, khususnya Hijauan Makanan Ternak (HMT) terbukti tidak mendorong perkembangan usaha ternak rakyat tradisional (Yusdja dan Ilham, 2006). Kuraisin (2006) menambahkan, kebijakan pemerintah berupa pengurangan subsidi pakan ternak dan obat-obatan menyebabkan peternak sapi perah tidak memperoleh insentif bagi peningkatan skala usahanya. Kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi susu menjadi 40 persen pada tahun 2010 adalah melalui peningkatan produktivitas ternak menjadi 15 liter/ekor/hari, dan peningkatan skala usaha budidaya sapi perah menjadi 7-10 ekor/ KK. Saat ini produksi susu baru mencapai 30 persen dengan produktivitas 10 liter/ekor/hari, serta skala usaha sekitar 1-3 ekor/KK (Departemen Pertanian, 2006a). Menurut Adnyana dan Kariyasa (1999), adanya program perbaikan mutu bibit ternak melalui Inseminasi Buatan (IB) selama ini diharapkan mampu meningkatkan produksi dan kualitas susu yang dihasilkan. Produksi susu sapi di Indonesia tahun 2008 diproyeksikan akan menjadi 571,99 ribu ton dengan asumsi laju pertumbuhan produksi susu sebesar 2,19 persen per tahun (Departemen Pertanian, 2006c). Proses dan Kerangka dalam Analisis Kebijakan Analisis kebijakan merupakan sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan pelbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga
dapat
dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka pemecahan masalah (Dunn, 2000). Suatu kebijakan dirumuskan untuk menyaring memilih tuntutan yang harus dipenuhi dalam waktu bersamaan, terutama disebabkan jumlah dan kualitas sumberdaya yang terbatas dibanding tuntutan atau kebutuhan itu sendiri. Sekalipun tindakan kebijakan diracang sedemikian rupa untuk mencapai tujuan-tujuannya, tidak selalu tindakan tersebut dapat mewujudkan semua kehendak kebijakan, kecuali disebabkan lemahnya daya antisipasi para pembuat kebijakan
19
maupun pendesain program dan proyek. Terganggunya implementasi yang menjadikan tidak tercapainya tujuan kebijakan dimungkinkan juga karena pengaruh berbagai kondisi lingkungan yang tidak teramalkan sebelumnya. Oleh sebab itu, agar tujuan kebijakan tercapai, perlu diketahui penyebab kegagalan tersebut. Untuk kepentingan inilah evaluasi kebijakan dilakukan dalam suatu kerangka analitis (Patria, 1999). Dunn (2000) menjelaskan bahwa analisis kebijakan tidak membatasi diri pada pembangunan dan pengujian teori-teori deskriptif umum, misalnya pada politik dan sosiologi mengenai elit-elit pengambil kebijakan, atau pada teori-teori ekonomi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pembelanjaan publik. Analisis kebijakan
tidak
hanya
menjelaskan
ketetapan-ketetapan
empiris
yang
menggabungkan dan memindahkan isi metode dari beberapa disiplin, tetapi juga menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pada tingkat politik khusus. Lebih dari itu, tujuan analisis kebijakan lebih dari sekedar menghasilkan fakta-fakta. Seorang analis juga mencari untuk menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Dengan begitu analisis kebijakan meliputi rekomendasi kebijakan. Keberhasilan dalam memecahkan masalah menghendaki ditemukannya pemecahan masalah yang benar atas masalah yang benar. Kegagalan lebih sering terjadi karena kita memecahkan masalah yang salah dari pada mendapatkan pemecahan yang salah terhadap masalah yang benar (Patria, 1999). Salah satu karakteristik penting dalam metode analisis kebijakan adalah hubungan hirarkis yang tidak mungkin menggunakan suatu metode sebelum metode yang terletak di atasnya digunakan. Pendekatan normatif dalam analisis kebijakan perlu menyertakan premis faktual maupun premis nilai. Hanya pendekatan empiris dalam analisis kebijakan, yang pada dasarnya bebas nilai. Masalah kebijakan merupakan nilai, kebutuhan, dan kesempatan yang belum terpenuhi, tetapi dapat diidentifikasi dan dicapai melalui tindakan publik. Informasi mengenai sifat masalah dan proses pemecahannya dihasilkan melalui penerapan prosedur analisis kebijakan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa analisis yang dilakukan terhadap suatu kebijakan pada hakekatnya adalah merumuskan, mengevaluasi, dan menciptakan alternatif perbaikan terhadap masalah yang timbul
20
dalam suatu kebijakan. Tidak seluruh aspek kebijakan yang harus dianalisis, namun tergantung pada permasalahan yang berhasil dirumuskan. Selanjutnya setelah masalah-masalah kebijakan dirumuskan, dilakukan langkah evaluatif untuk medapatkan informasi mengenai nilai atau harga dari kebijakan masa lalu dan di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, dapat dilakukan evaluasi dengan berbagai metode penelitian sosial yang tersedia (Patria, 1999). Model proses hierarki analisis merupakan suatu alat analisis untuk memilih suatu alternatif kebijakan yang dapat digunakan untuk menilai kesesuaian kebijakan. Peralatan utamanya adalah Anaytical Hierarchy Process (AHP). Proses Hierarki Analisis Proses Hierarki Analisis (Analytical Hierarchy Process) merupakan suatu metode atau alat yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem serta membantu melakukan prediksi dan pengambilan keputusan. Analisis ini ditujukan untuk memodelkan masalah-masalah yang tidak terstruktur dalam bidang ekonomi, sosial, sains, manajemen, dan sebagainya. Disamping itu, baik juga digunakan untuk memodelkan problem dan pendapat sehingga permasalahan yang ada telah dinyatakan secara jelas, dievaluasi, diperbincangkan, dan diprioritaskan untuk dikaji (Saaty, 1986). Mulyono (1996) menjelaskan bahwa AHP adalah suatu teori tentang pengukuran. AHP digunakan untuk menentukan skala rasio, baik dari perbandinganperbandingan pasangan yang diskret maupun kontinyu. Perbandingan-perbandingan ini dapat diambil dari ukuran aktual atau dari suatu skala dasar yang mencerminkan kekuatan perasaan dan preferensi relatif. Proses Hierarki Analisis memasukkan pertimbangan dan nilai pribadi secara logis. Proses ini bergantung pada imajinasi, pengalaman, dan pengetahuan untuk menyususn hirarki suatu masalah serta pada logika, intuisi, dan pengalaman untuk memberi pertimbangan. Setelah diterima dan diikuti, AHP menunjukkan bagaimana menghubungkan elemen-elemen dari bagian lain untuk memperoleh hasil gabungan. Mekanisme prosesnya adalah mengidentifikasi, memahami, dan menilai interaksi dari suatu sistem sabagai suatu satuan. Analisis ini dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah terukur (kuantitatif) maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat (Saaty 1986).
21
Proses Hierarki Analisis pada dasarnya didesain untuk merangkap persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai alternatif. Dengan demikian dapat dianggap sebagai multi-objective-multi-criteria (Azis, 1994). Saaty (1986) menambahkan, AHP adalah model yang luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing-masing dan
memperoleh
pemecahan
yang
diinginkan
darinya.
Proses
ini
juga
memungkinkan orang menguji kepekaan hasilnya terhadap perubahan informasi. Analisis ini dirancang untuk lebih menampung sifat alami manusia dari pada memaksa berpikir yang mungkin justru berlawanan dengan hati nurani. Metode AHP ditujukan untuk memodelkan perihal tak terstruktur, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun manajemen. Penerapan AHP sedapat mungkin menghindari adanya penyederhanaan dengan pembuatan asumsi-asumsi agar diperoleh model yang representatif. Penerapan AHP membuka kesempatan adanya perbedaan pendapat dan konflik sebagaimana yang ada dalam kenyataan sehari-hari, dalam usaha mencapai konsensus (Eryatno, 1996). Sebagaimana penelitian Oktorio (2004) tentang pemberian insentif untuk pemanfaatan limbah menunjukkan bahwa perbedaan prioritas insentif disebabkan oleh perbedaan kepentingan yang dibawa oleh masing-masing stakeholder. Tahap terpenting dalam analisis pendapat adalah penilaian dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison) terhadap elemen-elemen keputusan pada suatu tingkat hirarki keputusan. Penilaian ini dilakukan dengan menggunakan nilai skala pengukuran yang dapat membedakan setiap pendapat serta mempunyai keteraturan, sehingga memudahkan proses transformasi dalam perhitungan matematis dari bentuk pendapat (kualitatif) ke dalam bentuk nilai angka (kuantitatif). Tingkat validitas pendapat bergantung pada konsistensi dan akurasi pendapat. Revisi pendapat dapat dilakukan apabila nilai rasio konsistensi pendapat cukup tinggi. Namun demikian, penggunaan revisi pendapat ini sangat terbatas guna mencegah terjadinya penyimpangan dari jawaban yang sebenarnya. Proses Hirarki Analisis memiliki kegunaan dengan tingkat keandalan tinggi dalam bidang perencanaan,
22
penentuan prioritas, dan alokasi sumberdaya. AHP memberikan pemodelan tunggal yang sederhana, mudah dimengerti, luwes, dan dinamis (Saaty, 1986). Santi (2002) menyatakan bahwa metode AHP bagus untuk dikembangkan dalam mengambil keputusan untuk menentukan ternak unggulan di Desa Mangunkerta dan Selajambe. Demikian pula Wati (2005) dalam penelitiannya tentang posisi ternak dalam komoditas budidaya pertanian di Kabupaten Blora menyatakan bahwa dengan menggunakan AHP dapat diketahui komoditas pertanian unggulan berdasarkan kriteria peluang pasar, kondisi iklim, keuntungan usaha, dan penyerapan tenaga kerja. Selain itu, berdasarkan penelitian Muttaqien (2007) tentang strategi pemasaran Kampoeng Ternak Baznas Dompet Dhuafa Republika menyebutkan bahwa dengan metode AHP dapat diketahui prioritas tujuan strategi pemasaran perusahaan, yaitu meningkatnya penjualan.
23
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta; Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Jakarta; Departemen Perindustrian, Jakarta; dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan, Juli sampai dengan Agustus 2007. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survei pada para ahli yang mewakili stakeholder persusuan yang berada di Jakarta dan Bogor. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan responden ahli dan studi pustaka. Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat pernyataan secara sistematis dan akurat mengenai data yang diperoleh selama penelitian. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang aspirasi dan persepsi stakeholders terhadap pengembangan persusuan beserta sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Wawancara dilakukan dengan aparat pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta; Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Jakarta; Departemen Perindustrian, Jakarta; dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Ahli yang diwawancarai berjumlah empat orang, yaitu : 1.
Kepala Subdit Ternak Perah Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta
2.
Peneliti Utama Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Departemen Pertanian, Bogor
3.
Direktur Operasional/Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Jakarta
4.
Kepala Subdit Penerangan dan Informasi Departemen Perindustrian, Jakarta Data dan Instrumentasi
Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 1) Program kebijakan pemerintah dalam hal penanganan persusuan, berupa strategi dan program aksi. Selain itu, juga jangka waktu yang dicanangkan untuk melaksanakan progam; 2)
24
Time series data tahun 1996-2005 tentang populasi ternak sapi perah, produksi, dan data yang menunjang hasil penelitian Instrumentasi Instrumen sebagai alat ukur untuk memperoleh data dan informasi yang digunakan berupa kuesioner. Kuesioner ini berisi pertanyaan tertulis mengenai prioritas program yang dirasa lebih penting oleh responden dengan membandingkan tingkat kepentingan secara berpasangan antara faktor-faktor yang tersedia. Pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner ditanyakan secara langsung kepada responden melalui wawancara. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan metode sebagai berikut : 1) Interview. Metode ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang aspirasi dan persepsi stakeholders terhadap pengembangan persusuan beserta sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Interview ini dilakukan dengan aparat pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian Jakarta, Gabungan Koperasi Susu Indonesia di Jakarta, Departemen Perindustrian Jakarta, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor. 2) Studi pustaka. Metode ini dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, dan mengutip pendapat dari berbagai sumber untuk mendapat data yang mendukung data sekunder. Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis ini digunakan untuk menggambarkan kondisi umum persusuan di Indonesia, berupa potensi dan permasalahan dan faktor lain yang mendukung analisis data selanjutnya. Analisis Pengambilan Keputusan dengan AHP Dalam tahapan ini, digunakan analisis AHP (Analytical Hierarchy Process). Perhitungan ini diperoleh dan diolah dari hasil isian kuesioner stakeholder ahli.
25
Analisis data dilakukan dengan menggunakan program komputer Expert Choice 2000 for Windows. Diagram alir AHP dapat dilihat pada Gambar 2. Metode AHP dilakukan secara bertahap dan sistematis dengan mengurutkan prioritas berbagai strategi dan program aksi Departemen Pertanian dalam pengembangan persusuan di Indonesia. Adapun langkah-langkah penggunaan AHP dalam penelitian ini adalah: 1) Membuat Struktur Hierarki. Masalah yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu level 0 untuk tujuan, level 1 adalah level strategi dan level 2 adalah level program aksi alternatif. Struktur hierarki ditunjukkan pada Gambar 2. Goal/Tujuan
Strategi
Alternatif Program Aksi
Perumusan Alternatif Kebijakan Persusuan Nasional
S1
S2
S3
S4
S1a
S2a
S3a
S4a
S1b
S2b
S3b
S4b
S1n
S2n
S3n
S4n
Gambar 2. Hierarki Perumusan Alternatif Kebijakan Strategi dalam perumusan kebijakan persusuan nasional ditunjukkan dengan S1, S2, S3, dan S4. Mengacu pada Renstra Departemen Pertanian, terdapat empat strategi, yaitu : S1 = Peningkatan Produksi Susu S2 = Peningkatan Kualitas Susu S3 = Peningkatan Daya Saing Produk S4 = Peningkatan Kelembagaan Peternak
26
Alternatif pada level 2 adalah program aksi pengembangan persusuan nasional. Program aksi yang akan diprioritaskan adalah yang dapat mengakselerasi pengembangan persusuan di Indonesia. 2) Penilaian Strategi dan Alternatif Program Aksi Langkah kedua adalah penilaian strategi dan alternatif program aksi yang dinilai melalui perbandingan berpasangan berdasarkan tingkat kepentingannya yang merujuk pada skala Saaty (1993). Tabel 1. Skala Komparasi Saaty Skala 1
Keterangan Sama penting
3
Sedikit lebih penting
5
Jelas lebih penting
7
Sangat jelas lebih penting
9
Pasti/mutlak lebih penting (kepentingan yang ekstrim)
2,4,6,8
Jika ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
1/(1-9)
Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1-9
Sumber: Saaty (1986)
3) Pengukuran Konsistensi Pengukuran konsistensi dilakukan sebagai syarat apakah prioritas yang didapat dari strategi dan alternatif merupakan penilaian yang logis. Syarat vektor prioritas konsisten apabila nilai rasio inkonsistensinya kurang dari atau sama dengan satu (1). Jika nilai tersebut lebih dari satu, maka perlu dilakukan perbaikan kembali. Selanjutnya,setelah diketahui nilai konsistensinya, dihitung pendapat gabungan dari keempat responden ahli untuk strategi dan alternatif kebijakan dengan rumus : m
Gij = m
∑ aij (k ) k =1
Keterangan :
Gij = aij =
ij = k = m =
elemn matriks pendapat gabungan pada baris ke-i dan kolom ke-j elemen matriks pendapat individu pada baris ke-i dan kolom ke-j untuk matriks pendapat individu dengan rasio konsistensi (CR) yang memenuhi persyaratan ke-k 1, 2, ..., n 1, 2, ..., m jumlah matriks pendapat individu dengan CR yang memenuhi persyaratan
27
4) Penentuan Alternatif Program Aksi Penentuan alternatif program aksi merupakan tujuan akhir yang akan dicapai, yaitu rekomendasi kebijakan persusuan nasional. Data yang terkumpul kemudian diproses dengan menggunakan program komputer “Expert Choice 2000”. Hasil pengolahan program ini kemudian dianalisis dan disajikan dalam bentuk uraian dan tabel. Definisi Istilah 1. Kebijakan Pertanian adalah hal-hal yang diputuskan untuk dikerjakan dan untuk tidak dikerjakan (dibiarkan), yang tertuang dalam bentuk peraturanperaturan tertulis maupun yang tidak tertulis namun disepakati sebagai jalan mencapai tujuan bersama. 2. Susu sapi adalah cairan berwarna putih yang berasal dari ambing sapi yang terdiri dari emulsi lemak dan dispersi koloid protein yang bersama-sama membentuk larutan dengan laktose (gula susu). 3. Analytical Hierarchi Process (AHP) adalah proses analisis secara terstruktur untuk memecahkan berbagai permasalahan yang kompleks termasuk dalam memilih dan menentukan prioritas kebijakan. 4. Stakeholder persusuan adalah pihak-pihak
yang terkait dalam usaha
pengelolaan persusuan. Stakeholder ini terdiri dari Departemen Pertanian, Industri Pengolah susu (IPS), Koperasi/Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) atau kelompok peternak, akademisi, dan lembaga penelitian terkait. 5. Goal atau tujuan adalah target yang ingin dicapai dalam perumusan kebijakan alternatif. 6. Strategi adalah cara yang ditetapkan untuk mewujudkan tercapainya tujuan dalam perumusan kebijakan alternatif. 7. Program Aksi adalah kegiatan yang dibuat untuk diimplementasikan secara riil oleh pelaksana kebijakan (peternak, koperasi, IPS, dan pemerintah) sesuai dengan strategi yang ditetapkan dalam untuk mencapai tujuan.
28
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Kondisi Persusuan di Indonesia Usaha sapi perah telah berkembang sejak tahun 1960 ditandai dengan pembangunan usaha-usaha sapi perah swasta di sekitar Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Tahun 1977 Indonesia mengembangkan program agribisnis sapi perah rakyat melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri 1982, yakni Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian, dan Menteri Pertanian. SKB ini merumuskan kebijakan dan program pengembangan agribisnis sapi perah di Indonesia. Kondisi persusuan di Indonesia diidentifikasi berdasarkan potensi dan permasalahan yang dihimpun berdasarkan studi pustaka dan pendapat stakeholder ahli. Potensi Tabel 2. Potensi Persusuan di Indonesia No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12 13
Item Kondisi Konsumsi susu nasional baru mencapai 7,05 Kg/kapita/tahun Meningkatnya permintaan susu, dengan tren 12,03% per tahun terutama dalam upaya pencapaian ketahanan pangan asal hewani. IPS mulai menerapkan kebijakan reward and penalty dalam penerimaan susu segar Diberlakukannya kebijakan kenaikan harga susu sebesar 10% Permintaan susu segar oleh IPS cukup tinggi Sebagian besar peternak sapi perah yang ada di Indonesia merupakan anggota koperasi susu Produksi dalam negeri baru bisa memasok 30% kebutuhan permintaan nasional Tersedia cukup lahan di luar Pulau Jawa Bertambahnya industri peternakan dan peternakan sapi perah rakyat skala menengah Berkembangnya sentra baru persusuan di luar Pulau Jawa Kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah di Indonesia memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan agribisnis persusuan. Potensi genetik sapi perah FH cukup besar, yaitu 15-20 liter/ekor/hari Produk ternak dan hasil ternak Indonesia, termasuk susu masih murni alami dan bebas penyakit
Kategori pemasaran pemasaran pemasaran pemasaran pemasaran pemasaran pemasaran budidaya budidaya budidaya budidaya budidaya budidaya
Potensi persusuan nasional yang teridentifikasi ditunjukkan dengan 13 kondisi, yaitu 7 kondisi pemasaran (53,85%) dan 6 kondisi budidaya (46,15%). Ditinjau dari aspek budidaya, Indonesia memiliki peluang untuk mengembangkan agribisnis berbasis komoditas susu sapi perah rakyat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perkembangan, terutama dengan bertambahnya industri peternakan dan
29
peternakan sapi perah rakyat skala menengah, yang diharapkan dapat menjadi mitra kerja para peternak sapi perah dan koperasi susu. Saat ini tercatat sembilan sentra produksi ternak perah di beberapa propinsi di luar Pulau Jawa yang sudah memiliki sapi perah jenis FH walaupun dalam jumlah kecil, seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Bali. Potensi pengembangan ternak perah di luar Pulau Jawa cukup besar antara lain karena lahan di luar Pulau Jawa masih cukup luas, demikian pula potensi sumberdaya alam seperti agroklimat, pakan hijauan, serta hasil samping tanaman pangan/perkebunan dan industri masih cukup besar. Kemampuan berproduksi susu sapi perah FH Indonesia antara 10-12 liter/ekor/hari, dan melihat potensi genetik
sapi perah tersebut masih dapat
ditingkatkan kemampuannya menjadi 15-20 liter/ekor/hari melalui pemberian pakan yang memenuhi standard kualitas dan kuantitas. Menurut statistika peternakan 2006, jumlah populasi sapi perah di Indonesia tahun 2006 adalah sekitar 382,3 ribu ekor, dimana sebagian besar (97%) terdapat di Pulau Jawa (Tabel 3). Tabel 3. Populasi Ternak Sapi Perah Tahun 2006 di Indonesia No
Pulau
Jumlah (ekor)
1
Sumatera
2
Jawa
3
Bali dan Nusa Tenggara
4
Kalimantan
158
5
Sulawesi
797
6
Papua Total
8281 372941 69
68 382314
Sumber : Statistika Peternakan (2006)
Menurut Departemen Pertanian (2007) komposisi sapi perah berdasarkan beberapa hasil penelitian di Pulau Jawa menunjukkan bahwa jumlah sapi perah betina produktif adalah sekitar 64 %, sekitar 43 %nya adalah sapi betina yang sedang laktasi. Bila masa laktasi adalah 305 hari, dengan produksi 15-20 liter/ekor/hari, maka jumlah ini akan menambah produksi susu di Indonesia sebesar 1,5-2 juta liter
30
susu setiap harinya dan akan meningkatkan pendapatan peternak rata-rata sebesar 50 persen. Ditinjau dari aspek pemasaran, terdapat peningkatan permintaan susu, sebesar 12,03 % per tahun (Departemen Pertanian, 2007). Hal ini disebabkan antara lain karena adanya peningkatan konsumsi protein melalui peningkatan minum susu seiring dengan peningkatan jumlah pnduduk dan kesadaran masyarakat. Tingginya jumlah penduduk Indonesia merupakan pasar potensial produk susu. Perkiraan peningkatan konsumsi tersebut merupakan peluang yang harus dimanfaatkan dengan baik. Selain itu, harga susu internasional meningkat dengan tajam. Adanya program pemerintah untuk tambahan kualitas makanan untuk murid Sekolah Dasar juga merupakan suatu peluang yang potensial untuk memacu program pemasaran susu segar yang dihasilkan peternak sapi perah. Dalam rangka mencegah terjadinya lost generation, dapat dilakukan upaya untuk penyediaan susu murah berkualitas tinggi. Sebagian besar peternak sapi perah yang ada di Indonesia merupakan anggota koperasi susu. Koperasi tersebut merupakan lembaga yang bertindak sebagai mediator antara peternak dengan industri pengolahan susu. Koperasi susu sangat menentukan posisi tawar peternak dalam menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan, dan harga yang akan diterima peternak. Peranan koperasi sebagai mediator perlu dipertahankan. Pelayanannya perlu ditingkatkan dengan cara meningkatkan kualitas SDM koperasi serta memperkuat networking dengan industriindustri pengolahan. Permasalahan Data Tabel 4 menunjukkan permasalahan persusuan di Indonesia yang teridentifikasi ditunjukkan oleh 25 kondisi, yaitu 9 kondisi (36%) pemasaran, 12 kondisi (48%) budidaya, dan 4 kondisi (16%) penunjang. Ditinjau dari aspek pemasaran, preferensi konsumen dalam mengkonsumsi susu segar sangat rendah sehingga pemasaran susu segar yang dihasilkan peternak hanya ditujukan kepada beberapa IPS dalam struktur pasar oligopsoni. Hal ini menyebabkan posisi tawar peternak dalam penetapan harga susu menjadi sangat lemah.
31
Tabel 4. Permasalahan Persusuan di Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Item Kondisi Sebagian besar bahan baku industri susu olahan (70%) impor, sehingga bila terjadi apresiasi Rp terhadap dolar akan meningkatkan biaya produksi Banyaknya impor produk susu olahan dan diversifikasi produk susu lainnya Belum harmonisnya tarif bea masuk produk susu (5%) dengan bahan baku/ penolong seperti gula (35%), dan tin plate (15%) Panjangnya mata rantai pemesanan susu segar dari peternak sampai ke IPS Komponan susu cair segar/pasteurisasi hanya memperoleh tempat 13% di pasaran, bersaing ketat dengan susu olahan Peternak sangat tergantung pada IPS dalam pemasaran susu segarnya Harga susu segar ditentukan oleh GKSI dan IPS Pola kemitraan antara peternak dan IPS belum optimal Membanjirnya produk susu bermerk dari penghasil utama bahan baku susu seperti New Zealand dan Australia akibat pasar bebas Kurangnya pengetahuan SDM peternak untuk penerapan Good Handling Practices dan Good Farming Practices sehingga mengurangi kualitas Susu Segar Dalam Negeri, utamanya kandungan bakteri dan kadar protein dalam Total Solid Susu Produktifitas ternak sapi perah sangat rendah (8-12 liter/ekor/hari) dibandingkan luar negeri (20 liter/ekor/hari) Kepemilikan sapi perah relatif kecil 2-3 ekor per peternak dan belum merata Kualitas pakan rendah Kurangnya pembinaan dan bimbingan teknis formulasi pakan yang brkualitas Kurangnya bibit sapi perah yang berkualitas Replacement stock tidak berjalan dengan baik karena sapi betina banyak yang dipotong untuk pedaging Keterbatasan lahan untuk penyediaan pakan hijauan, khususnya di Pulau Jawa karena ketidakadaannya kepastian pemanfaatan lahan Perbaikan pakan dan IB belum pernah digarap secara optimal Lokasi peternakan jauh dari sumbr air bersih sehingga sarana air bersih kurang cukup tersedia Pola pemeliharaan belum memenuhi standard Rendahnya manajemen kesehatan kelompok sapi perah Investor tidak berminat meanamkan modal untuk mengembangkan industri persusuan di luar Pulau Jawa. Penyediaan modal dari pemerintah belum dapat dimanfaatkan oleh peternak dan koperasi masalah administrasi yang tidak mendukung Kurangnya sarana dan prasarana pendukung meliputi manajemen usaha, peralatan, laboratorium pengujian, lembaga diklat dan permodalan Standard Nasional Indonesia susu segar yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional sejak tahun 1998 belum dapat diterapkan secara wajib sehingga menimbulkan perselisihan antara IPS dan peternak dalam penetapan harga susu segar
Kategori pemasaran pemasaran pemasaran pemasaran pemasaran pemasaran pemasaran pemasaran pemasaran budidaya
budidaya budidaya budidaya budidaya budidaya budidaya budidaya budidaya budidaya budidaya budidaya penunjang penunjang penunjang penunjang
Kemitraan antara peternak dan IPS belum terjalin dengan baik karena belum berjalannya fungsi koperasi persusuan sebagai pihak yang memfasilitasi dengan IPS. Keberadaan IPS ini dapat menyebabkan terbentuknya struktur pasar oligopsoni yang tentunya menekan peternak. Selain harga susu yang sangat murah pada struktur pasar tersebut, tekanan yang diterima peternak semakin bertambah dengan adanya retribusi yang diberlakukan oleh kebanyakan Pemda di era otonomi daerah ini.
32
Selain itu, setelah ditandatanganinya Letter Of Intent antara IMF dan Pemerintah Indonesia, kebijakan proteksi penyerapan susu segar oleh IPS dan perlindungan harga dihapuskan. Dengan demikian pemasaran susu ke IPS tanpa perlindungan peraturan perundangan dan menempatkan peternak sapi perah ataupun koperasi pada posisi tawar yang lemah. Peternak menerima pembayaran susu yang tidak seimbang dengan biaya produksi. Faktor inilah yang turut menyebabkan terjadinya kondisi usaha yang tidak kondusif bagi peternak. Menurut Sekjen DPP PPSKI (2007) sebelum bulan Mei 2007, peternak hanya menerima sekitar Rp 1600,Rp 1700,- per liter dengan kualitas standard 12% Total Solid. Padahal harga susu setara satu liter susu segar di pasar mencapai angka Rp 7000,- sampai Rp 15000,-. Tiga bulan terakhir ini terdapat kenaikan harga jual susu segar. Harga susu segar dengan kualitas 12,5% TS dan TPC di bawah satu juta adalah Rp 2700,- (Jawa Timur) dan Rp 3100,- (Jawa Barat). Harga susu yang diperoleh peternak dari IPS tidak seimbang dengan biaya produksi, terutama yang berasal dari pakan konsentrat. Harga bahan baku pakan sangat tinggi sehingga koperasi terpaksa membuat pakan dengan kualitas lebih rendah untuk menyesuaikan dengan kemampuan peternak. Sepanjang dua tahun terakhir, harga pakan dari rumput-rumputan seperti rumput gajah (Pennisetum purpereum) dan kulipan mengalami kenaikan sebesar 20%, sementara harga susu segar hanya naik sebesar 5% (Pikiran Rakyat, 2007). Hal ini mengakibatkan produksi dan kualitas susu menjadi rendah. Selain itu, menyempitnya lahan hijauan makanan ternak (HMT) membuat harga pakan sapi menjadi mahal, sementara harga jual susu dari petani tetap. Akibatnya, peternak kurang termotivasi dalam upaya peningkatan kualitas dan kuantitas susu, yang selanjutnya menghambat pengembangan agribisnis persusuan nasional. Biaya pakan merupakan pengeluaran terbesar, yakni 62,5% dari total biaya produksi usaha ternak sapi perah. Biaya terbesar ke dua adalah biaya bangunan, perawatan dan pembelian alat-alat (Tabel 5). Ditinjau dari aspek budidaya, kondisi skala usaha peternakan sapi perah belum ekonomis (3-4 ekor/KK). Hal ini menjadi salah satu penyebab usaha budidaya menjadi tidak efisien sehingga pendapatan peternak relatif rendah.
Menurut
manajemen modern sapi perah, skala ekonomis bisa dicapai dengan kepemilikan 10-
33
12 ekor sapi per peternak. Rendahnya skala usaha ini bukan hanya karena peternak kekurangan modal untuk membeli ternak, tetapi juga karena ketidakmampuan peternak dalam menyediakan pakan hijauan untuk skala usaha yang lebih besar ( > 4 ekor). Selain itu, kualitas pakan rendah karena pengetahuan peternak dalam pemberian pakan serta keterbatasan lahan untuk penyediaan pakan hijauan, khususnya di Pulau Jawa. Tabel 5. Struktur Biaya Produksi Susu Per Liter Komponen Biaya Bibit Upah Pakan Perawatan Ternak Bangunan Biaya Modal Pemasaran
Persentase 3,3 7,2 62,5 1,0 20,6 3,8 1,6 100,0
Sumber : Departemen Pertanian (2007)
Menurut Departemen Pertanian (2006a) beberapa tahun terakhir ini semakin sulit mendapat bibit sapi prah unggul yang berasal dari dalam negeri. Hal ini disebabkan tidak ada fasilitasi pemerintah berupa bantuan bibit untuk peternak. Sementara sapi yang didatangkan dari luar negeri/impor harganya mahal dan kurang adaptif dengan kondisi alam di Indonesia. Peningkatan populasi dengan melakukan pembibitan menghadapi kendala biaya produksinya yang mahal, serta nilai investasinya tinggi tetapi keuntungan yang dihasilkan sangat sedikit dan keberhasilan pembibitan belum tentu terjamin. Waktu yang diperlukan untuk melakukan pembibitan satu ekor sapi sedikitnya adalah 2-3 tahun. Akibatnya, populasi ternak tidak sebanding dengan kebutuhan konsumsi. Permasalahan selanjutnya adalah rendahnya manajemen kesehatan kelompok sapi perah. Hal ini dikarenakan belum adanya program perencanaan dan perbaikan manajemen kesehatan kelompok sapi perah. Menurut Departemen Pertanian (2007) sampai saat ini masalah penmyakit pada sapi perah yang masih sering dihadapi oleh para peternak adalah mastitis dan Brucellosis. Kedua penyakit inilah yang berpengaruh pada target pencapaian produk dan kulitas susu. Mastitis mempengaruhi
34
kualitas susu yang dihasilkan, sedangkan Brucellosis mempengaruhi reproduksi sapi perah. Akhirnya peternak mengalami kerugian ekonomis karena penurunan produksi. Hasil pengamatan Departemen Pertanian (2007) menunjukkan bahwa 80% sapi laktasi di Indonesia menderita mastitis subklinis. Mastitis pada ambing merupakan masalah utama kesehatan ternak yang menyebabkan penurunan produksi sebesar 20%. Kejadian mastitis di Indonesia khususnya pada peternakan sapi perah masih cukup tinggi seperti diperlihatkan pada Tabel 6. Mastitis subklinis tidak mudah untuk diketahui karena tidak ada gejala klinis pada ambing maupun perubahan fisik pada susu sehingga aplikasi teknik diagnostik untuk peneguhan mastitis subklinis menjadi penting dalam upaya pemberantasan mastitis. Tabel 6. Kejadian Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Indonesia 1983-1996 Tahun 1983 1984 1985 1987 1989 1995 1996
Daerah/Tempat
Jumlah (%)
Pulau Jawa Jawa Barat Kabupaten Semarang, Salatiga, Boyolali DKI Jakarta Jawa Tengah Kabupaten Bogor Bogor
67 61,66 62,50 >80 80-90 87,11 88
Sumber : Departemen Pertanian 2007
Permasalahan lainnya adalah dalam hal penunjang. Penyediaan modal dari pemerintah/lembaga
keuangan
berupa
kredit
bunga
rendah
belum
dapat
dimanfaatkan oleh para peternak dan koperasi karena masalah administrasi yang tidak mendukung. Ditinjau dari segi kualitas, kualitas susu segar sangat bervariasi antar peternak, namun dalam pengangkutannya disatukan dalam kontainer yang sama sehingga susu berkualitas rendah dengan susu berkualitas tinggi bercampur. Akibat dari hal tersebut nilai jual susu secara keseluruhan menjadi rendah. Selain itu, pengolahan susu skala kecil belum berkembang dengan baik karena terbatasnya akses permodalan peternak dalam pengadaan peralatan pengolahan susu.
35
Perumusan Prioritas Kebijakan Peningkatan Produksi dan Kualitas Susu Struktur Hierarki Kebijakan Struktur hierarki kebijakan di bidang persusuan di Indonesia tahun 2007-2010 dibuat dengan menggunakan metode AHP. Melalui struktur hierarki ini kemudian disusun kuesioner yang ditanyakan kepada sejumlah responden yang telah ditentukan sebelumnya berdasarkan kriteria keahlian dan representatif stakeholders. Masalah yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu level 0 untuk tujuan, level 1 adalah level strategi dan level 2 adalah level program aksi alternatif. Struktur hierarki ini dapat dirinci sebagai berikut : 1) Fokus Utama. Fokus utama dalam struktur ini adalah Perumusan Kebijakan Departemen Pertanian dalam Peningkatan Produksi dan Kualitas Susu Sapi di Indonesia tahun 2007 berdasarkan Renstra Departemen Pertanian 2007-2010. 2) Strategi. Strategi dalam perumusan kebijakan persusuan nasional ditunjukkan dengan S1, S2, S3, dan S4. Mengacu pada Renstra Departemen Pertanian, terdapat empat strategi, yaitu : S1 = Peningkatan Produksi Susu S2 = Peningkatan Kualitas Susu S3 = Peningkatan Daya Saing Produk S4 = Peningkatan Kelembagaan Peternak 3) Program Aksi. Selanjutnya dari strategi tersebut diderivasikan ke dalam program-program aksi. Alternatif pada level 2 adalah program aksi pengembangan persusuan nasional. Program aksi yang akan diprioritaskan adalah yang dapat mengakselerasi pengembangan persusuan di Indonesia. Program aksi dijabarkan ke dalam masing-masing strategi, yaitu (1) program aksi peningkatan produksi susu, (2) program aksi peningkatan kualitas susu, (3) program aksi peningkatan daya saing produk, dan (4) program aksi peningkatan kelembagaan peternak.
36
Goal/Tujuan
Strategi
Alternatif Program Aksi
Perumusan Kebijakan Persusuan Nasional berdasarkan Renstra Departemen Pertanian 2007-2010
S1
S2
S3
S4
S1a
S2a
S3a
S4a
S1b
S2b
S3b
S4b
S1c
S2c
S4c
S1d
S2d
S4d
S1e
S4e
S1f
S4f
S1g
S4g
S1h S1i Gambar 3. Hierarki Perumusan Alternatif Kebijakan Departemen Pertanian
Program aksi untuk meningkatkan produksi meliputi : (1) peningkatan skala usaha non-ekonomis menjadi skala ekonomis 7-10 ekor sapi induk laktasi/peternak (S1a), (2) peningkatan mutu genetik ternak melalui perbaikan kinerja pelayanan inseminasi buatan/kawin suntik (penyediaan semen beku berkualitas, penyediaan sarana peralatan, pelatihan inseminator mandiri) (S1b), (3) disseminasi teknologi sapi perah terutama pemanfaatan bahan baku pakan sumber daya lokal dengan kualitas baik (S1c), (4) penerapan Good Farming Practices (GFP) terutama pada peternak
37
skala kecil (S1d), (5) Fasilitasi pabrik pakan mini di sentra-sentra produksi susu (S1e), (6) peningkatan kinerja petugas fungsional pengawas mutu pakan (S1f), (7) fasilitasi
aksesibilitas
dengan
perkebunan
atau
kehutanan
dalam
rangka
pengembangan pola integrasi ternak-tanaman (S1g), (8) peningkatan peran lembaga penelitian dalam menghasilkan teknologi produksi (S1h), dan (9) replikasi model cluster dan kemitraan antar kelompok tani-ternak, koperasi dan IPS kepada kelompok-kelompok pada sentra-sentra produksi susu di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa (S1i). Program aksi untuk meningkatkan kualitas susu meliputi : (1) penerapan teknis hygiene sanitasi pada mata rantai proses produksi susu segar hingga tingkat Tempat Penampungan Susu (TPS) (S2a), (2) penerapan sistem jaminan keamanan dan mutu pangan dalam upaya peningkatan keamanan dan mutu susu segar dalam negeri (S2b), (3) fasilitasi penyediaan sarana peralatan untuk penyediaan pakan yang baik, kandang yang memenuhi persyaratan teknis dan sanitasi lingkungan, penanganan susu segar (milk can, uji kualitas, cooling unit, dan sebagainya) (S2c), dan (4) pelatihan penerapan Good Handling Practices dan Standard Operating Procedure (SOP) pada peternak (S2d). Program aksi untuk meningkatkan daya saing produk meliputi : (1) perbaikan manajemen pasca panen dan pengolahan di pedesaan (S3a) dan (2) mendorong kelompok peternak/koperasi untuk melakukan diversifikasi usaha dan produk susu, didukung modal usaha dan pelatihan/magang (S3b). Program aksi untuk meningkatkan kelembagaan peternak meliputi : (1) fasilitasi permodalan dengan aksesibilitas kepada lembaga keuangan (S4a), (2) peningkatan pembinaan teknis, khususnya dalam penerapan higiene-sanitasi kepada peternak, sebagai upaya menjamin keamanan dan mutu susu segar baik oleh Dinas Peternakan Daerah maupun oleh Direktorat Jenderal Peternakan (S4b), (3) pelatihan milk inspector (S4c), (4) meningkatkan peranan koperasi susu untuk membangun pengolahan susu skala rumah tangga di pedesaan (S4d), (5) mendorong terwujudnya kerjasama kemitraan melalui supply chain management antarpelaku agribisnis persusuan (S4e), (6) peningkatan daya serap pasar domestik, melalui kerjasama Program Minum Susu Cair dengan Departemen Pendidikan Nasional (S4f), dan (7)
38
pengawasan keamanan dan mutu susu segar diatur melalui PP. 22/1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) (S4g). Strategi Prioritas Analisis pemilihan kebijakan Departemen Pertanian didasarkan pada hasil penetapan bobot dan prioritas untuk setiap elemen dari struktur hierarki yang telah dikonstruksi. Penetapan nilai prioritas untuk setiap elemen tersebut diperoleh dari hasil perhitungan atas pendapat yang diberikan responden yang dianggap memahami permasalahan yang akan dipecahkan. Strategi kebijakan peningkatan produksi dan kualitas susu sapi di Indonesia yang dikelompokkan dalam empat capaian besar, yaitu peningkatan produksi susu, peningkatan kualitas susu, peningkatan daya saing produk, dan peningkatan kelembagaan peternak. Nilai prioritas secara keseluruhan elemen strategi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai Prioritas Elemen Strategi Urutan
Strategi (S)
Nilai Prioritas
1
(S1)
Peningkatan kelembagaan peternak
0,379
2
(S2)
Peningkatan produksi susu
0,259
3
(S3)
Peningkatan kualitas susu
0,243
4
(S4)
Peningkatan daya saing produk
0,119
Rasio Inkonsistensi
0,00
Hasil penghitungan menunjukkan bahwa prioritas terbesar adalah pada strategi peningkatan kelembagaan peternak (0,379). Peningkatan kelembagaan ini sangat diperlukan terutama antara peternak dengan petani dan pemilik lahan setempat sehingga peternakan sapi perah memperoleh akses yang lebih besar dalam penyediaan pakan. Selama ini, biaya pakan merupakan biaya terbesar dalam usaha peternakan. Terlebih lagi, biaya ini ditangani oleh koperasi, sehingga koperasi diharapkan dapat membantu meningkatkan pendapatan peternak. Selain itu, sebagian besar peternak (90%) berhimpun dalam wadah kelembagaan koperasi. Fungsi utama koperasi ini adalah melayani anggota dan
39
mengembangkan usaha. Pelayanan lainnya yang diberikan koperasi seperti pelayanan kesehatan dan reproduksi sapi, dan pemasaran. Oleh karena itu, perlu upaya mengoptimalkan dan memaksimalkan kelembagaan koperasi. Menurut Yusdja (2006) kapasitas ini juga harus ditingkatkan kepada pemerintah setempat yang menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan, termasuk dalam pembinaan SDM pada kantor Dinas Peternakan. Hasil penelitian Yusdja (2005) menunjukkan bahwa kelembagaan koperasi selama ini berjalan tidak efisien karena manajemen yang tidak sehat, penggunaan faktor produksi tetap tidak memberikan biaya rata-rata yang lebih tinggi dari biaya minimum dengan produksi yang lebih rendah dan terdapat kecenderungan biaya ratarata itu terus meningkat dengan meningkatnya modal. Oleh sebab itu, diperlukan program untuk meningkatkan efisiensi dalam segala bentuk pelayanan kelembagaan koperasi kepada seluruh anggotanya. Prioritas kedua adalah strategi peningkatan produksi susu. Strategi ini tidak kalah penting sebab kondisi di lapangan menunjukkan bahwa saat ini Indonesia merupakan negara net-importir susu. Sebanyak 70% kebutuhan susu dalam negeri masih diimpor dari Australia dan New Zealand (Departemen Pertanian, 2006b). Padahal,
potensi
sumberdaya
alam
Indonesia
sangat
berpotensi
untuk
mengembangkan usaha persusuan. Diantaranya, potensi genetik sapi perah FH yang mampu menghasilkan 15-20 liter susu/ekor/hari. Bila dikelola dengan manajemen yang baik seperti pemberian pakan dengan kuantitas dan kualitas yang tepat, akan meningkatkan volume produksi susu sebesar 1,5-2 juta liter/hari. Peningkatan produksi tidak dapat dielakkan mengingat permintaan susu dalam negeri yang terus meningkat tiap tahun dengan tren 12,03 persen per tahun (Departemen Pertanian, 2006b). Prioritas ketiga adalah peningkatan kualitas. Hal ini perlu mengingat pasar bebas akan segera diberlakukan sehingga produk susu dalam negeri harus bersaing dengan produk susu dari luar negeri yang kualitasnya lebih baik. Selain itu, harga susu dalam negeri selalu terkait dengan kualitas dan harga susu dunia. Saat ini kualitas susu yang dihasilkan peternak masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari Total Plate Count yang terkandung dalam susu masih di atas 1 juta. Sementara itu,
40
peningkatan daya saing produk menjadi pilihan prioritas strategi terakhir. Hal ini lebih merupakan implikasi dari tercapainya strategi sebelumnya. Program Aksi Prioritas Pilihan program aksi pada strategi peningkatan kelembagaan peternak mengerucut pada program mendorong terwujudnya kerjasama kemitraan melalui supply chain management antarpelaku agribisnis persusuan sebagai prioritas pertama dengan nilai 0,300 (Tabel 8). Tabel 8. Nilai Prioritas Elemen Program Aksi pada Strategi Peningkatan Kelembagaan Peternak Urutan
Program Aksi
1
(S4e)
2
(S4a)
3
(S4d)
4
(S4b)
5
(S4g)
6 7
(S4c) (S4f)
Mendorong terwujudnya kerjasama kemitraan melalui supply chain management antarpelaku agribisnis persusuan Fasilitasi permodalan dengan aksesibilitas kepada lembaga keuangan Meningkatkan peranan koperasi susu untuk membangun pengolahan susu skala rumah tangga di pedesaan Peningkatan pembinaan teknis, khususnya dalam penerapan higiene-sanitasi kepada peternak, sebagai upaya menjamin keamanan dan mutu susu segar baik oleh Dinas Peternakan Daerah maupun oleh Direktorat Jenderal Peternakan. Pengawasan keamanan dan mutu susu segar diatur melalui PP. 22/ 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet). Pelatihan milk inspector Peningkatan daya serap pasar domestik, melalui Program Minum Susu Cair bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional.
Rasio Inkonsistensi
Nilai Priorit as
0,300 0,156 0,143 0,135
0,098 0,086 0,082 0,01
Harus diakui usaha persusuan melibatkan seluruh elemen mulai dari budidaya hingga pemasaran. Terdapat rantai hubungan mulai dari peternak yang melakukan budidaya, koperasi sebagai wadah yang memberikan pelayanan penunjang hingga pengolahan, dan IPS yang memproduksi susu untuk selanjutnya dipasarkan kepada konsumen. Selain itu, terdapat pula hubungan antara ternak dengan padang penggembalaan dan ketersediaan pakan dari perkebunan, dan sebagainya. Adanya kerjasama kemitraan antara sektor peternakan dengan pertanian, perkebunan, dan irigasi akan mendukung pengembangan usaha persusuan. Selain itu, di lapangan masih ditemui kelemahan dalam koordinasi antara GKSI sebagai produsen dengan
41
pihak-pihak yang dapat berperan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya peningkatan produksi susu segar dalam negeri antara lain: dengan Litbang, Perguruan Tinggi, Dirjen Peternakan, Dirjen P2HP, Kementerian Koperasi dan UKM, serta dengan pemerintah daerah. Prioritas kedua adalah fasilitasi permodalan dengan aksesibilitas kepada lembaga keuangan. Alasan yang menyebabkan prioritas ini penting adalah suatu kondisi semakin terbatasnya akses untuk memperoleh sumber pendanaan dengan tingkat bunga yang rendah untuk mengembangkan usaha. Peternak tidak akan mampu menggunakan dana bank dengan ketentuan yang berlaku sekarang ini. Selain terkendala faktor kolateral, peternak umumnya juga terkendala pada aspek tingginya suku bunga dan kebijakan uang ketat dari bank yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan seluruh responden relevan dengan kondisi persusuan yang dihadapi peternak sat ini. Pertama, tampak keinginan yang sangat kuat agar pemerintah meningkatkan sinergi perannya dengan seluruh stakeholder guna meningkatkan aksesibilitas melalui fasilitas dana sebagai modal usaha. Kedua, tampak pula keinginan yang sangat kuat dari responden agar pemerintah mendahulukan peningkatan anggaran dana dalam bentuk bantuan bibit sapi perah bagi peternak dan perluasan akses pelayanan teknis bagi seluruh peternak. Kedua hal ini sangat relevan karena pada saat yang sama pemerintah memang sedang menghadapi kendala keterbatasan sumber dana dan sumber daya. Hal ini hanya bisa diatasi melalui sinergi peran strategis dengan pihak-pihak yang sejalan serta disiplin penggunaan anggaran. Berdasarkan urutan prioritas program aksi tersebut dinilai bahwa keberadaan program minum susu cair dengan Departemen Pendidikan Nasional bukanlah hal yang mendesak untuk dilakukan. Departemen Pertanian diharapkan lebih mengedepankan program aksi yang berkaitan dengan pembenahan kemitraan dan akses permodalan kepada peternak. Prioritas kebijakan pertama pada strategi peningkatan produksi susu adalah penerapan Good Farming Practices (GFP), terutama pada peternak skala kecil (0,205); kedua, peningkatan mutu genetik ternak melalui perbaikan kinerja pelayanan inseminasi buatan/kawin suntik (penyediaan semen beku berkualitas, penyediaan sarana peralatan, pelatihan inseminator mandiri) (0,118); ketiga, disseminasi
42
teknologi sapi perah terutama pemanfaatan bahan baku pakan sumberdaya lokal dengan kualitas baik (0,134); keempat, peningkatan skala usaha non ekonomis menjadi skala ekonomis 7-10 ekor sapi induk laktasi/peternak (0,118); kelima, replikasi model cluster dan kemitraan antar kelompok tani-ternak, koperasi dan IPS kepada kelompok-kelompok pada sentra-sentra produksi susu di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa (0,112); keenam, peningkatan peran lembaga penelitian dalam menghasilkan teknologi produksi (0,088); ketujuh, peningkatan kinerja petugas fungsional pengawas mutu pakan (0,068); kedelapan, fasilitasi pabrik pakan mini di sentra-sentra produksi susu (0,058); dan kesembilan, fasilitasi aksesibilitas dengan perkebunan atau kehutanan dalam rangka pengembangan pola integrasi ternaktanaman (0,048). Tabel 9. Nilai Prioritas Elemen Program Aksi pada Strategi Peningkatan Produksi Susu Urutan
Program Aksi
Nilai Prioritas
1
(S1d)
Penerapan Good Farming Practices (GFP) terutama pada peternak skala kecil 2 (S1b) Peningkatan mutu genetik ternak melalui perbaikan kinerja pelayanan inseminasi buatan/ kawin suntik (penyediaan semen beku berkualitas, penyediaan sarana peralatan, pelatihan inseminator mandiri) 3 (S1c) Disseminasi teknologi sapi perah terutama pemanfaatan bahan baku pakan sumber daya lokal dengan kualitas baik 4 (S1i) Replikasi Model Cluster dan kemitraan antarkelompok taniternak, koperasi dan Industri Pengolah Susu kepada kelompok-kelompok pada sentra-sentra produksi susu di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. 5 (S1g) Fasilitasi aksesibilitas dengan perkebunan atau kehutanan dalam rangka pengembangan pola integrasi ternak-tanaman 6 (S1a) Peningkatan skala usaha non-ekonomis menjadi skala ekonomis 7-10 ekor sapi induk laktasi/peternak 7 (S1e) Fasilitasi pabrik pakan mini di sentra-sentra produksi susu 8 (S1f) Peningkatan kinerja petugas fungsional pengawas mutu pakan 9 (S1h) Peningkatan peran lembaga penelitian dalam menghasilkan teknologi produksi Rasio Inkonsistensi
0,205 0,118
0,116 0,110
0,094 0,090 0,088 0,068 0,058 0,02
Hasil yang didapatkan dari Tabel 9 menunjukkan bahwa keseluruhan program aksi merupakan hal yang perlu dilakukan dengan saling melengkapi mengingat tidak ada satu program aksi pun yang lebih dominan dibandingkan dengan program aksi yang lain. Berdasarkan hasil tersebut, prakarsa kebijakan persusuan
43
Departemen Pertanian ternyata dikehendaki lebih dulu dimulai dengan memperbaiki manajemen pengelolaan, yakni dengan menerapkan Good Farming Practices (GFP). Penerapan GFP ini meliputi tata cara beternak sapi perah mulai dari penanganan kebersihan ternak, kandang, pakan. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa seluruh responden yang merupakan representatif seluruh stakeholder bersikap rasional terhadap kondisi keterbatasan sumberdaya peternak sapi perah. Menurut Yusdja (2006), tingkat pendidikan dan pengetahuan peternak sapi perah masih rendah sehingga berakibat pada sulitnya dalam penyuluhan dalam agribisnis sapi perah. Pengetahuan peternak tentang formulasi pakan kurang karena kurangnya pembinaan dan bimbingan teknis pembuatan formulasi pakan yang berkualitas. Hal ini akan berdampak pada jumlah dan kualitas susu yang dihasilkan juga rendah. Selain itu, pola pemeliharaan sapi perah sebagian besar masih bersifat tradisional sebagai akibat rendahnya tingkat kepemilikan juga memicu rendahnya produksi susu yang dihasilkan peternak. Seluruh responden berpendapat sama bahwa peternak sapi perah perlu mendapat perhatian serius dalam hal budidaya, khususnya manajemen pengelolaan ternak. Hal ini karena mereka adalah mitra pemerintah dalam kapasitas sebagai pelaksana kebijakan persusuan di Indonesia. Prioritas kebijakan pada strategi peningkatan kualitas susu adalah pada program fasilitasi penyediaan sarana dan peralatan. Hal ini didasarkan pada kondisi di lapang yang menunjukkan lemahnya aspek sarana penunjang dari pihak pemerintah yang disalurkan melalui koperasi, berupa penyediaaan fasilitas pakan, kandang yang baik, sanitasi, dan sebagainya. Menurut Direktur Operasional GKSI Jakarta, pemberian pakan berpengaruh 62 persen terhadap susu yang dihasilkan, sementara genetik berpengaruh 38 persen. Oleh sebab itu, penyediaan fasilitas pakan yang memadai dan kontinyu dari pihak koperasi merupakan hal yang penting untuk menjamin kualitas susu yang dihasilkan. Prioritas program selanjutnya secara berurutan adalah penerapan teknis higiene sanitasi, pelatihan penerapan Good Handling Practices, dan penerapan sistem jamiman keamanan dan mutu pangan. Penerapan teknis higiene sanitasi pada proses produksi susu segar hingga hingga TPC saat ini masih > 1 juta/ml, di bawah SNI susu segar yang ditetapkan tahun 1998 yaitu maksimal 1 juta/ml. Suatu
44
kenyataan bahwa belum seluruh peternak memahami secara benar aspek kebersihan kandang, pakan, dan proses pemerahan susu. Akibat kurangnya kesadaran tentang milk hygiene ini, kandungan bakteri dalam susu sangat tinggi. TPC yang terkandung dalam susu segar masih di atas 1 juta/ml. Ini berpengaruh terhadap kualitas susu dan harga susu yang diterima. Hasil penghitungan nilai prioritas program aksi pada strategi peningkatan kualitas susu dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai Prioritas Elemen Program Aksi pada Strategi Peningkatan Kualitas Susu Urutan Program Aksi Nilai Prioritas (S2c) Fasilitasi penyediaan sarana peralatan untuk penyediaan 1 0,365
2 3 4
pakan yang baik, kandang yang memenuhi persyaratan teknis dan sanitasi lingkungan, penanganan susu segar (milk can, uji kualitas, cooling unit, dbs) (S2a) Penerapan teknis higiene sanitasi pada mata rantai proses produksi susu segar hingga tingkat Tempat Penampungan Susu (TPS) (S2d) Pelatihan penerapan Good Handling Practices dan SOP pada peternak. (S2b) Penerapan sistem jamiman keamanan dan mutu pangan dalam upaya peningkatan keamanan dan mutu susu segar dalam negeri
Rasio Inkonsistensi
0,305 0,197 0,133 0,01
Hasil Tabel 11 menunjukkan bahwa titik berat prioritas program aksi pada strategi peningkatan daya saing produk adalah perbaikan manajemen pasca panen dan pengolahan di pedesaan dengan nilai sebesar 0,830. Hal ini disebabkan oleh kondisi persusuan yang berada pada posisi pengelolaan yang belum optimal. Sementara pada sisi lain, persusuan nasional dihadapkan pada persaingan dengan susu impor yang terus mengalir, bahkan semakin meningkat jumlahnya. Dalam situasi demikian, perbaikan manajemen pasca panen menjadi penting untuk menjawab tantangan persaingan dalam rangka menaikkan posisi tawar produk susu dalam negeri. Hasil
penghitungan
juga
menunjukkan
bahwa
seluruh
responden
menghendaki agar pemerintah mengedepankan pembenahan kemampuan teknis peternak dalam penanganan pasca panen. Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk penyediaan peralatan yang dapat membantu meningkatkan efisiensi dan kualitas susu antara lain mesin pemerah susu yang portable, peralatan penanganan susu dan peralatan untuk pendinginan susu untuk mengurangi jumlah bakteri dalam susu.
45
Urutan selanjutnya adalah mendorong kelompok peternak/koperasi untuk melakukan diversifikasi usaha dan produk susu, dengan didukung modal usaha dan pelatihan/magang dengan nilai sebesar 0,170. Keberadaan program aksi ini bukanlah hal yang mendesak dilakukan. Hal ini lebih dilihat sebagai implikasi dari program aksi pertama. Selain itu, agar dapat memperluas akses kesadaran seluruh stakeholder, khususnya peternak akan pentingnya mutu produk susu dalam menciptakan kepercayaan terhadap mitra usaha untuk berinvestasi pada usaha ini. Tabel 11. Nilai Prioritas Elemen Program Aksi pada Strategi Peningkatan Daya Saing Produk Urutan Program Aksi Nilai Prioritas (S3a) Perbaikan manajemen pasca panen dan pengolahan di 1 0,830 (S3b)
2
pedesaan Mendorong kelompok peternak/koperasi untuk melakukan diversifikasi usaha dan produk susu, didukung modal usaha dan pelatihan/ magang.
Rasio Inkonsistensi
0,170
0,00
Kebijakan Prioritas Prioritas alternatif program aksi ditentukan berdasarkan hasil gabungan interaksi yang telah didasarkan pada penilaian prioritas berbagai strategi.. Nilai prioritas
ini
merupakan
program
aksi
dengan
prioritas
terbesar
untuk
diimplementasikan dalam rangka pengembangan persusuan di Indonesia. Hasil pengolahan ini merupakan hasil pengolahan pada level tiga untuk mengetahui prioritas menyeluruh masing-masing program aksi terhadap pemilihan kebijakan yang tepat sebagai fokus utama hierarki pada level 0. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai prioritas akhir terbesar adalah program mendorong terwujudnya kerjasama kemitraan melalui supply chain management antarpelaku agribisnis persusuan. Hal ini dikarenakan perbaikan usaha persusuan mencakup seluruh simpul agribisnis, yakni peternak, kelembagaan peternak koperasi (GKSI), dan pemasaran. Perbaikan di tingkat peternak adalah teknologi dan manajemen budidaya. Sementara koperasi (GKSI) adalah wadah pelayanan yang mengandalkan sosial dan keuntungan bersama. Hal yang penting bagi koperasi adalah menjadikan
46
usaha anggotanya tumbuh dan membesar. Peran koperasi dalam menghadapi pasar input bersama adalah melakukan pelayanan input seperti penyediaan hiajuan dan konsentrat secara kontinyu dalam rangka menjamin kebutuhan pakan ternak dan mengurangi biaya untuk tanaga kerja mencari pakan. Sementara itu pemerintah tidak dapat berbuat banyak secara langsung karena dibatasi oleh aturan-aturan internasional, seperti kesepakatan LOI tahun 1998. Hal yang dapat dilakukan pemerintah adalah meningkatkan pelayanan dan memproduksi kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung pengembangan usaha persusuan dalam negeri. Prioritas kedua adalah penerapan Good Farming Practices terutama pada peternak skala kecil. Hal ini dapat dilihat dari kondisi faktual peternakan sapi perah sebanyak 90 persen adalah peternakan rakyat yang dikelola secara tradisional yang dicirikan dengan skala kepemilikan antara 1-3 ekor/peternak dengan produksi susu rata-rata 5-10 liter/ekor/hari, merupakan usaha sambilan, dan umumnya bergabung dengan koperasi. Sebagian besar peternak ini pada umumnya tidak mengetahui manajemen pengelolaan ternak dengan baik. Hal ini berakibat pada kualitas dan kuantitas susu yang dihasilkan ternak. Dampak akhirnya adalah pada harga yang akan mereka terima rendah. Urutan berikutnya adalah fasilitasi penyediaan sarana peralatan untuk penyediaan pakan yang baik, kandang yang memenuhi persyaratan teknis dan sanitasi lingkungan, penanganan susu segar (milk can, uji kualitas, cooling unit dan sebagainya). Suatu kenyataan bahwa sarana penunjang tersebut adalah penting. Ketiadaan pabrik penyedia pakan akan mengakibatkan pasokan pakan berkurang sehingga mempengaruhi kuantitas dan kualitas susu yang dihasilkan. Demikian juga kandang karena susu adalah produk yang mudah rusak oleh karena itu harus terjaga dari kontaminan seperti bakteri dan kuman yang banyak terdapat di kandang, terutama dari kotoran ternak. Selain itu, penyediaan sarana penanganan susu seperti milk can, uji kualitas, dan cooling unit dan sebagainya sangat dibutuhkan. Hal ini mengingat susu mudah rusak sehingga sehingga dibutuhkan peralatan untuk membantu mengawetkan susu mulai dari pemerahan dikandang hingga pengiriman ke IPS.
47
Prioritas program aksi didominasi oleh program aksi pada aspek budidaya. Program ini memiliki posisi penting untuk diimplementasikan dalam rangka pengembangan usaha persusuan di Indonesia, terutama dalam hal perbibitan untuk meningkatkan skala usaha dan perbaikan mutu genetik sapi perah. Perbibitan merupakan prioritas yang tak kalah penting mengingat jumlah populasi sapi perah saat ini beserta produktivitasnya baru mampu memenuhi 30 persen kebutuhan susu nasional. Selama ini peningkatan populasi dengan melakukan pembibitan menghadapi kendalam biaya produksinya yang mahal, serta nilai investasinya tinggi tetapi keuntungan yang dihasilkan sangat sedikit. Bila didukung dengan pemodalan maka program peningkatan populasi akan tercapai. Skema pembibitan dapat dijelaskan dengan estimasi menurut sebagai berikut. Setiap pemerintah daerah yang wilayahnya potensial untuk pengembangan sapi perah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (hingga pemerintah pusat), itu berkenan menyisihkan 1-2 persen dari APBD (APBN) nya untuk diinvestasikan di pembibitan sapi perah. Apabila sebuah daerah mempunyai APBD Rp 8000 miliar, disisihkan 1,5 persen atau Rp 12 miliar saja untuk investasi pembibitan sapi perah, maka daerah itu akan bisa membeli sebanyak 1.000 ekor sapi induk senilai Rp 10 miliar (harga rata-rata sapi induk Rp 10 juta/ekor), dan Rp 2 juta untuk program riring. Apabila rata-rata harga pedet (anak sapi) Rp 1,5 juta maka akan dapat digunakan untuk membeli pedet sebanyak 1,333 ekor. Estimasi laju pertambahan populasi sapi perah di setiap daerah sebagai berikut: Pada tahun pertama jumlah induk 1.000 ekor, jumlah kelahiran pedet 600 ekor, jumlah pedet jantan 240 ekor, dan jumlah pedet betina 360 ekor. Pada tahun kedua, jumlah induk 1.000 ekor, jumlah pejantan 240 ekor, jumlah dara 360 ekor, kelahiran pedet 600 ekor, pedet jantan 240, dan pedet betina 360 ekor. Pada tahun ketiga, jumlah induk 1.360 ekor, pejantan 480 ekor, dara 360 ekor, kelahiran pedet 816 ekor, pedet jantan 326 ekor, dan pedet betina 490 ekor. Pada tahun keempat, jumlah induk 1.720 ekor, jumlah pejantan 806 ekor, dara 490 ekor, kelahiran pedet 1.032 ekor, pedet jantan 530 ekor, dan pedet betina 619 ekor. Pada tahun kelima, total jumlah induk sapi sudah mencapai 2.210 ekor, jumlah pejantan 1.219 ekor,
48
jumlah dara 619 ekor, jumlah kelahiran pedet 1.326 ekor, jumlah pedet jantan 530 ekor, dan jumlah pedet betina 796 ekor. Jumlah induk sapi tersebut, dapat menghasilkan produksi susu pada tahun pertama 3 juta liter, tahun kedua 3 juta liter, tahun ketiga 4.080 juta liter, tahun keempat 5.160 juta liter, dan tahun kelima 5.160 juta liter, dan tahun kelima 6.630 juta liter. Oleh karena itu, program pembibitan merupakan program penting untuk mewujudkan usaha persusuan yang lebih baik. Sementara itu, program aksi dalam aspek diversifikasi usaha dan produk menempati prioritas di bawah program budidaya. Hal ini, menurut pakar lebih merupakan implikasi dari implementasi prioritas program sebelumnya. Rangkuman hierarki prioritas program aksi dapat dilihat pada Gambar 4.
49
Level 1 TUJUAN/ GOAL
Level 2 STRATEGI
Level l 3 ALTERNATIF PROGRAM AKSI
PENENTUAN PRIORITAS KEBIJAKAN DEPARTEMEN PERTANIAN DALAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SAPI DI INDONESIA 2007-2010
Peningkatan produksi susu (S1) 0,259
Peningkatan mutu genetik ternak (S1b) 0,071
Peningkatan kualitas susu (S2) 0,243
Penerapan Good Farming Practices (GFP) (S1d) 0,078
Peningkatan daya saing produk (S3) 0,119
Penerapan teknis higiene sanitasi (S2a) 0,061
Peningkatan kelembagaan peternak (S4) 0,379
Fasilitasi penyediaan sarana peralatan (S2c) 0,073
Gambar 4. Rangkuman Prioritas Kebijakan Peningkatan Produksi dan Kualitas Susu Sapi di Indonesia
Mendorong terwujudnya kerjasama kemitraan (S4e) 0,114
50
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang ada, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Usaha persusuan memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi bidang usaha yang mampu mensejahterakan bangsa Indonesia. Potensi terbesar adalah tersedianya sumberdaya dan peluang pasar. Permasalahan terbesar adalah masalah budidaya. 2. Prioritas kebijakan peningkatan produksi dan kualitas susu sapi di Indonesia adalah bahwa ke depan, pemerintah harus mengutamakan pembenahan pada aspek kelembagaan dan budidaya sapi perah.
Saran Adapun saran yang dapat diberikan adalah: 1. GKSI perlu berperan aktif dalam meningkatkan kerjasama kemitraan peternak salah satunya dengan adanya kerjasama dengan IPS. 2. Pemerintah perlu meningkatkan perannya dalam aspek manajemen pemeliharaan, salah satunya dengan penyuluhan untuk mendampingi peternak dalam mengelola usahaternak sapi perahnya.
51
UCAPAN TERIMAKASIH Segala puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penghormatan tulus kepada kedua orang tua, Mas Rie, Mba Etty, Mba Asih, dan seluruh keluarga besar Pamulang atas segala doa, motivasi, dan kasih sayangnya. Penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih kepada Ir Anggraini Sukmawati, MSi selaku dosen pembimbing akademik atas segala arahan dan bimbingan selama ini, Ir. Lucia Cirylla, ENSD, MSi sebagai pembimbing utama, Ir. Burhanuddin, MM selaku dosen pembimbing anggota, atas segala bimbingan dan arahan selama penelitian hingga penulisan skripsi. Ucapan terimakasih Penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Rarah Ratih A. Maheswari, DEA dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, MSc., Agr selaku dosen komisi ujian lisan, yang telah memberikan masukan dan saran kepada Penulis untuk perbaikan skripsi ini. Tak lupa juga kepada Dr. Ir. Sri Mulatsih, MSc. Agr selaku panitia seminar, Ir. Hadiyanto, MS selaku panitia sidang, dan Ir. Dwi Joko Setyono, MSi selaku dosen penguji seminar atas masukan dan sarannya. Ucapan
terimakasih
juga
Penulis
sampaikan
kepada
Ir.
Karebet
Widjajakusuma beserta tim SEMInstitute atas bantuan ide dan motivasinya, teman dan sahabat tercinta Aldina, Wati, Pera, beserta Raqid’40 lainnya, Siska, Cinta, Mardiana, Renti, Nisa, Joni, Jamal, Aqso, dan kru Al Farisi, teman-teman Corel 41, Debu 42 dan saudara-saudara seperjuangan yang lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Untuk sahabat-sahabat di WA 1 dan 3 serta seluruh kru rubin mabda’i, BKIM IPB, Gema Pembebasan, dan FDKPS-nya. terimakasih atas kebersamaannya. Tak lupa kepada ‘anak kecilku’ Isni dan Mba Diah atas bantuan fasilitas selama penyelesaian skripsi ini. Teman-teman SEIP 40, khususnya Bisnis 40 atas romantikanya selama ini. Tak lupa juga Penulis ucapkan terimakasih banyak kepada civitas akademika Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, Februari 2008
Penulis
52
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O., dan K.Kariyasa. 1999. Dampak Era Globalisasi Ekonomi Terhadap Usaha Ternak Sapi Perah: Kajian, Peluang, Kendala, dan Strategi Pengembangan.PPSEP, Bogor. Andiani, I. 2006. Analisis struktur-perilaku-kinerja industri susu di Indonesia. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arifin, B. 2003. Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia: Telaah Struktur, Kasus, dan Alternatif Strategi. Erlangga, Jakarta Azis, I.J. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. editor : M. Djojodiputro. Jakarta, LPE-UI. Departemen Pertanian. 2006a. Rumusan Perencanaan Pembangunan Pertanian Tahun 2006, Jakarta. Departemen Pertanian. 2006b. Kebijakan Departemen Pertanian dalam Peningkatan Produksi dan Kualitas Susu Sapi di Indonesia, Jakarta. Departemen Pertanian. 2006c. Out Look Peternakan, Jakarta. Departemen Pertanian. 2007. Review Agribisnis Persusuan di Indonesia. Jakarta. Dunn, N.W. 2000. Public Policy Analysis : An Introduction. 2nd edition. Terjemahan. Wibawa, S. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Editor : Darwin, M. New Jersey : University of Pittsburgh. Eryatno. 1996. Sistem Ekonomi Kerakyatan : Suatu Tinjauan dari Ilmu Sistem. Majalah Perencanaan Pembangunan. Nomer 04 Maret 1996. hal 33-39. http://www.pikiranrakyat.com. 2007. Harga Rumput-Rumputan Terus Alami Lonjakan. [17 Januari 2008] Kuraisin, V. 2006. Analisis daya saing dan dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu sapi. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mulyono, S. 1996. Teori Pengambilan Keputusan. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Muttaqien, I. 2007. Strategi pemasaran Kampoeng Ternak Baznas Dompet Dhuafa Republika. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Oktorio, R. 2004. Analisis kebijakan pemberian insentif untuk pemanfaatan limbah pemanenan. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
53
Patria, A. 1999. Analisis kebijakan pengembangan pariwisata pesisir dengan pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rahman, A., S. Fardiaz, W.P. Rahayu, Suliantari, dan C.C. Nurwitri. 1992. Bahan Pengajaran Teknologi Fermentasi Susu. Depdikbud, Dirjen Dikti, PAU&G. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Saaty, TL. 1986. Decision Making for Leaders, The Analytical Hierarchy Process for Decisions in Complex World. Terjemahan. Setiono, L., dan K. Peniwati. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Santi, E.S. 2002. Analisis penentuan ternak unggulan dalam pengembangan peternakan di daerah aliran sungai Citarum (Kasus di Desa Mangunkerta dan Desa Selajambe, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Petanian Bogor, Bogor. Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah.Diktat Kuliah. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor Suherni, S. 2006. Faktor-faktor pendukung dan penghambat pengembangan usaha ternak sapi perah. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wati, A.P. 2005. Posisi ternak dalam komoditas budidaya pertanian di Kabupaten Blora, Jawa Tengah (Studi Kasus di Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora, Jawa Tengah). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yusdja, Y. 2005. Kebijakan Ekonomi Industri Agribisnis Sapi Perah di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 3 (3) 256-267. Yusdja, Y., N. Ilham. 2006. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan Rakyat. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 4 (1) 18-38.
54
55
Lampiran 1. Nilai Prioritas Kombinasi Seluruh Responden
Model Name: Penentuan Kebijakan Prioritas Deptan Treeview
Goal: Penentuan Kebijakan Prioritas Deptan S1 (L: .259) S1a (L: .090) S1b (L: .188) S1c (L: .116) S1d (L: .205) S1e (L: .088) S1f (L: .052) S1g (L: .094) S1h (L: .058) S1i (L: .110) S2 (L: .243) S2a (L: .305) S2b (L: .133) S2c (L: .365) S2d (L: .197) S3 (L: .119) S3a (L: .830) S3b (L: .170) S4 (L: .379) S4a (L: .156) S4b (L: .135) S4c (L: .086) S4d (L: .143) S4e (L: .300) S4f (L: .082) S4g (L: .098)
56
Lampiran 2. Nilai Prioritas Kombinasi Seluruh Responden
Model Name: Penentuan Kebijakan Prioritas Deptan Synthesis: Summary
Synthesis with respect to: Goal: Penentuan Kebijakan Prioritas Deptan
Overall Inconsistency = .01 .114 .078 .073 .071 .061 .059 .054 .051 .044 .042 .039 .037 .036 .036 .034 .033 .033 .031 .026 .022 .020 .007
S4e S1d S2c S1b S2a S4a S4d S4b S1c S1i S2d S4g S1g S3a S1a S1e S4c S4f S2b S1h S1f S3b
Lampiran 3. Nilai Akhir Gabungan Prioritas Program Aksi Model Name: Penentuan Kebijakan Prioritas Deptan
Priorities with respect to: Goal: Penentuan Kebijakan Priorit...
S4 S1
Combined
.379 .259 .243
S2 S3
.119 Inconsistency = 0.00 with 0 missing judgments.
57
Lampiran 4. Nilai Prioritas Program Aksi Peningkatan Kelembagaan Peternak
Model Name: Penentuan Kebijakan Prioritas Deptan
Priorities with respect to: Goal: Penentuan Kebijakan Prioritas Deptan >S4
S4e S4a S4d S4b S4g S4c S4f Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
Combined
.300 .156 .143 .135 .098 .086 .082
Lampiran 5. Nilai Prioritas Program Aksi Peningkatan Produksi Susu
Model Name: Penentuan Kebijakan Prioritas Deptan
Priorities with respect to: Goal: Penentuan Kebijakan Prioritas Deptan >S1
S1d S1b S1c S1i S1g S1a S1e S1h S1f Inconsistency = 0.02 with 0 missing judgments.
Combined
.205 .188 .116 .110 .094 .090 .088 .058 .052
58
Lampiran 6. Nilai Prioritas Program Aksi Peningkatan Kualitas Susu Model Name: Penentuan Kebijakan Prioritas Deptan
Priorities with respect to: Goal: Penentuan Kebijakan Prioritas Deptan >S2
S2c S2a S2d S2b Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
Combined
.365 .305 .197 .133
Lampiran 7. Nilai Prioritas Program Aksi Peningkatan Daya Saing Produk
Model Name: Penentuan Kebijakan Prioritas Deptan
Priorities with respect to: Goal: Penentuan Kebijakan Prioritas Deptan >S3
S3a S3b Inconsistency = 0.00 with 0 missing judgments.
Combined
.830 .170
59
Lampiran 8. Komparasi Strategi
S1
S2
S3 1.0
S1 S2 S3 S4
S4 2.23607 2.11474
1.40429 1.73205 3.0
Incon: 0.00
Lampiran 9. Komparasi Program Aksi Peningkatan Kelembagaan Peternak
S4a S4a S4b S4c S4d S4e S4f S4g
S4b
S4c 1.56508
S4d 1.73205 2.00622
S4e 1.0 1.04664 2.27951
S4f 1.84815 2.23607 4.48605 1.96799
S4g 1.60686 1.31607 1.56508 1.73205 3.70779
1.59231 1.62658 1.15829 1.0 2.81731 1.15829
Incon: 0.01
60
Lampiran 10. Komparasi Program Aksi Peningkatan Produksi Susu S1a S1a S1b S1c S1d S1e S1f S1g S1h S1i
S1b
S1c 2.1407
S1d 1.0 1.73205
S1e 2.94283 1.96799 1.96799
S1f 1.0 2.27951 1.73205 2.27951
S1g 1.31607 3.70779 3.0 3.70779 1.31607
S1h 1.0 2.27951 1.31607 1.73205 1.31607 2.05977
S1i 1.40141 3.40866 1.73205 3.0 1.5244 1.13622 1.96799
1.23593 2.27951 1.06484 1.13622 1.06484 2.27951 1.0 1.96799
Incon: 0.02
Lampiran 11. Komparasi Program Aksi Peningkatan Kualitas Susu S2a S2a S2b S2c S2d
S2b
S2c 2.71081
S2d 1.31607 1.5244 2.23607
1.18921 2.27951
Incon: 0.01
Lampiran 12. Komparasi Program Aksi Peningkatan Daya Saing Produk S3a S3a S3b
S3b 4.87973
Incon: 0.00
61