ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)
Oleh : Natalia A14304070
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN NATALIA. Analisis Internalisasi Biaya Pengolahan Limbah (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor). Dibawah bimbingan EVA ANGGRAINI. Struktur industri di Indonesia masih didominasi oleh industri kecil dan rumah tangga. Salah satu industri kecil dan rumah tangga yang mengalami peningkatan di Kabupaten Bogor adalah industri pengolahan tempe. Sentra industri tempe terbesar di Kabupaten Bogor adalah Desa Citeureup yang berjumlah 100 rumah tangga pengrajin tempe. Industri tempe menghasilkan produk utama, produk sampingan dan limbah. Limbah yang dihasilkan cukup banyak yaitu sebesar 3000-5000 liter setiap 1 ton tempe yang diproduksi. Besarnya volume limbah berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan yaitu pencemaran sungai yang terletak di Desa Citeureup. Hal ini menyebabkan air sungai/kali tidak dapat digunakan oleh masyarakat sekitar karena keruh dan bau akibat limbah tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan limbah, salah satunya dengan menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan teknik biogas. Tujuan penelitian ini adalah menghitung besarnya biaya eksternal yang harus ditanggung oleh industri tempe di Citeureup untuk melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL; menganalisis perubahan kelayakan usaha dengan adanya internalisasi biaya eksternal; mengukur tingkat kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah; dan menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Biaya pembangunan IPAL per rumah tangga pengrajin adalah Rp 27.558.333 dan biaya operasional per tahun per rumah tangga pengrajin adalah Rp 3.900.000. Setelah internalisasi biaya pengolahan limbah dengan IPAL, skenario yang paling baik untuk dijalankan adalah usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 2 dengan biaya pembangunan IPAL ditanggung oleh pemerintah karena surplus produsen tidak berkurang terlalu besar jika dibandingkan dengan usaha pembuatan tempe tanpa IPAL. Pengrajin tempe umumnya tidak bersedia melakukan pengolahan limbah. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap kesediaan pengrajin untuk mengolah limbah dengan IPAL adalah jarak ke sungai, luas tempat usaha dan jumlah tanggungan. Guna menanggulangi masalah tersebut, perlu dukungan pemerintah dalam peningkatan kualitas sungai dengan membangun IPAL teknik biogas dan mengadakan penyuluhan di Desa Citeureup. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai seberapa besar nilai kerugian yang ditimbulkan akibat limbah cair tempe dan willingness to accept masyarakat hilir sungai terhadap limbah cair tempe yang dibuang ke sungai.
ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)
Oleh : Natalia A14304070
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi Nama NRP
: Analisis Internalisasi Biaya Pengolahan Limbah (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor) : Natalia : A14304070
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Eva Anggraini, S. Pi, M. Si. NIP. 132 321 428
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan : 22 Agustus 2008
PERNYATAAN
DENGAN INI MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR
HASIL
KARYA
SAYA
SENDIRI
DAN
TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor,
Agustus 2008
Natalia A14304070
RIWAYAT HIDUP
Penulis memiliki nama lengkap Natalia Darmawan dan lahir di Bogor, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat, pada tanggal 07 Januari 1987. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara keluarga Alm. Bapak Darmawan dan Ibu Ninawati Tjandradireja. Penulis mengawali pendidikan formal di Taman Kanak-kanak Pertiwi pada tahun 1990. Penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Negeri Citeureup 2 pada tahun 1992 dan diselesaikan pada tahun 1998. Kemudian jenjang pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTP Puspanegara. Pendidikan menengah umum diselesaikan pada tahun 2004 di SMUN 3 Bogor. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa tingkat sarjana Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya melalui jalur USMI pada tahun 2004. Selama kuliah penulis pernah aktif dalam Komisi Pelayanan Khusus di UKM PMK-IPB.
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat yang diberikan kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Analisis Internalisasi Biaya Pengolahan Limbah (Studi kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)” ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Pertanian dan dapat digunakan sebagai bahan rujukan lain bagi masyarakat ilmiah yang ingin menyusun penelitian yang sejenis. Skripsi ini bertujuan menghitung biaya pengolahan limbah tempe, menganalisis kelayakan usaha dengan dan tanpa internalisasi biaya eksternal dan menganalisis persepsi dan tingkat kesediaan pengrajin dalam melakukan pengolahan
limbah
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya.
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Eva Anggraini, S.Pi, M.Si. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan dukungan dan dorongan selama penyusunan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi dengan baik mulai dari proses penyusunan sampai selesainya skripsi ini. Skripsi ini tidak akan terbentuk tanpa dukungan dan bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu proses penyusunan skripsi yaitu : 1. Kedua orangtua penulis, Alm. Bapak Darmawan dan Ibu Ninawati Tjandradireja dan adik penulis Hari Budi Darmawan atas bantuan, doa, dukungan, bimbingan dan motivasi yang selalu diberikan. 2. Ibu Eva Anggraini, S.Pi, M.Si. sebagai dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, kesabaran, pengertian dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. 3. Bapak Ir. Nindyantoro, M. SP sebagai dosen penguji utama atas saran dan kritik yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini. 4. Ibu Ir. Meti Ekayani, S. Hut, M. Sc sebagai dosen penguji wakil departemen atas saran dan kritik yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini. 5. Bapak Bimo dan Bapak Rizal dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, pihak BPS Kabupaten Bogor, pihak Kementerian Lingkungan Hidup Jakarta, serta aparat Kecamatan Citeureup dan Desa Citeureup atas informasi yang telah diberikan kepada penulis. 6. Para pengrajin tempe di Desa Citeureup yang bersedia menjadi responden dalam penelitian. 7. Sahabat-sahabat penulis antara lain Morintara, Rolas, Marlina, Merika, Yanti, Lenny, Jimmy, Farida, Ismail, Estrellita, Prawinarah dan teman-teman EPS’41
yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan, doa dan dukungan yang diberikan. 8. Teman-teman sebimbingan Emilea dan Lingga atas kerjasama, bantuan, semangat dan doa yang diberikan. Kalian harus semangat ya. 9. Teman-teman satu KKP yaitu Yunita, Siti Puspitasari, Sari Harum Melaty, Anita, Hadim dan Prianto atas suka dan duka yang diberikan kepada Penulis. 10. Staf-staf administrasi departemen yang telah membantu penulis serta semua pihak yang telah membantu penulis atas bantuan, doa dan dukungannya. Tuhan Memberkati.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang...................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................. 4 1.3. Tujuan penelitian.................................................................................. 6 1.4. Manfaat penelitian................................................................................ 7 1.5 Ruang Lingkup Penelitian.................................................................... 7
II.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik industri kecil................................................................... 8 2.2 Eksternalitas ......................................................................................... 9 2.3 Internalisasi Biaya Eksternal.............................................................. 13 2.4 Metode Penilaian Lingkungan (Measures of Value Method) ............ 15 2.5 Studi Kelayakan Usaha ...................................................................... 17 2.5.1 Indikator Kelayakan Usaha ...................................................... 17 2.5.2 Kriteria Kelayakan Usaha ........................................................ 19 2.6 Studi-studi Terdahulu......................................................................... 19 2.6.1 Studi Mengenai Limbah Cair Tempe....................................... 19 2.6.2 Studi Mengenai Pengolahan Limbah Cair ............................... 20 2.6.3 Studi Mengenai Valuasi Ekonomi ........................................... 21 2.6.4 Studi Mengenai Biaya Eksternal.............................................. 22 2.6.5 Studi Mengenai Kelayakan Usaha ........................................... 22
III.
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................. 24
IV.
METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 28 4.2 Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 28 4.3 Metode Pengambilan Data ................................................................. 29 4.4 Metode Analisis Data......................................................................... 30 4.4.1 Analisis Biaya Eksternal .......................................................... 30 4.4.2 Analisis Perubahan Kelayakan Usaha Sebelum dan Setelah Internalisasi Biaya eksternal........................................ 31 4.4.3 Model Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Pengrajin Tempe Melakukan Pengolahan Limbah. 33 4.5 Asumsi-asumsi ................................................................................... 38 4.6 Definisi Operasional........................................................................... 39
V.
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Desa Citeureup ...................................................... 40 5.1.1 Kondisi Geografis ...................................................................... 40 5.1.2 Kondisi Kependudukan ............................................................. 40 5.1.3 Mata Pencaharian ....................................................................... 42
5.2 Gambaran Umum Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup ............. 43 5.3 Pemanfaatan Sungai Di Desa Citeureup ............................................. 44 5.4 Dampak Limbah Cair Tempe Terhadap Lingkungan dan Masyarakat Desa Citeureup ................................................................................... 46 VI.
KARAKTERISTIK SOSIAL DAN EKONOMI PENGRAJIN TEMPE DESA CITEUREUP 6.1 Karakteristik Sosial Pengrajin Tempe Desa Citeureup ..................... 47 6.1.1 Tingkat Umur ........................................................................... 47 6.1.2 Pengalaman Usaha ................................................................... 49 6.1.3 Tingkat Pendidikan .................................................................. 49 6.1.4 Jumlah Tanggungan ................................................................. 50 6.2 Karakteristik Ekonomi Pengrajin Tempe Desa Citeureup ................. 51 6.2.1 Luas Tempat Usaha .................................................................. 51 6.2.2 Skala Usaha .............................................................................. 52 6.2.3 Proses Produksi ........................................................................ 53 6.2.4 Kapasitas Produksi ................................................................... 55 6.2.5 Tingkat Pendapatan .................................................................. 55 6.2.6 Tenaga Kerja ........................................................................... 56 6.2.7 Saluran Pemasaran ................................................................... 57 6.2.8 Jarak Ke Sungai ....................................................................... 58
VII. KERAGAAN EKONOMI USAHA PEMBUATAN TEMPE 7.1 Arus Penerimaan ............................................................................... 60 7.2 Arus Pengeluaran ............................................................................... 62 7.2.1 Biaya Investasi .......................................................................... 62 7.2.2 Biaya Operasional ..................................................................... 63 VIII. BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH DENGAN TEKNIK BIOGAS PER RUMAH TANGGA PENGRAJIN TEMPE 8.1 Mekanisme Sistem Pengolahan Limbah Cair dengan IPAL .............. 65 8.2 Biaya Pembangunan IPAL Per Rumah Tangga Pengrajin Tempe .... 66 VIII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PEMBUATAN TEMPE TANPA DAN DENGAN IPAL 9.1 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Pembuatan Tempe Tanpa IPAL70 9.2 Analisis Kelayakan Usaha Dengan IPAL Melalui Pembiayaan Investasi Dan Operasional Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2).... 71 9.3 Analisis Kelayakan Usaha Dengan IPAL Melalui Pembiayaan Investasi Ditanggung Oleh Pemerintah Dan Operasional Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 3) .......................................................... 73 9.4 Perbandingan Hasil Kelayakan Ketiga Skenario Dalam Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup ................................................. 75 X.
PERSEPSI DAN TINGKAT KESEDIAAN MELAKUKAN PENGOLAHAN LIMBAH 10.1 Persepsi Pengrajin Tempe Mengenai Pengolahan Limbah............... 78 10.2 Tingkat Kesediaan Pengrajin Dalam Melakukan Pengolahan
Limbah ................................................................................................ 80 10.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Melakukan Pengolahan Limbah.......................................................... 83 10.4 Kebijakan Pengelolaan Limbah Industri Tempe Desa Citeureup ...... 89 XI.
PENUTUP 11.1 Kesimpulan ......................................................................................... 92 11.2 Saran.................................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 94 LAMPIRAN........................................................................................................97
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Kombinasi antara hak kepemilikan dan akses ................................................ 9
2.
Tarif Pajak Untuk Berbagai Lapisan Penghasilan Kena Pajak ..................... 39
3.
Jumlah Penduduk Desa Citeureup Tahun 2006 ............................................ 42
4.
Jumlah Penduduk Desa Citeureup Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2006.....................................................................................................43
5.
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2006..............................44
6.
Sifat Fisika Kimia Limbah Cair Tempe Dibandingkan dengan Standar Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Industri Menurut KEP.51/MENLH/10/1995 ............................................................................ 45
7.
Umur Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 ................................... 48
8.
Pengalaman Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008.............. 49
9.
Tingkat Pendidikan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008............. 49
10. Jumlah Tanggungan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008............ 51 11. Luas Tempat Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 ............ 52 12. Skala Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 ........................ 52 13. Kapasitas Produksi Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 ............. 55 14. Tingkat Pendapatan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 ............ 56 15. Saluran Pemasaran Usaha Pembuatan Tempe Desa Citeureup..................... 58 16. Jarak Rumah Ke Sungai ................................................................................ 59 17. Penerimaan Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup ............................ 62 18. Investasi Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup................................. 63 19. Biaya Operasional Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup ................. 64
20. Rincian Biaya Pembangunan IPAL Teknik Biogas ...................................... 67 21. Biaya Pembangunan IPAL Teknik Biogas Per Rumah Tangga Pengrajin ... 68 22. Rincian Biaya Operasional IPAL Teknik Biogas ......................................... 69 23. Biaya Operasional IPAL Per Rumah Tangga Pengrajin Per Tahun ............. 70 24. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Tanpa IPAL .......... 72 25. Biaya Investasi IPAL ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)........72 26. Biaya Operasional IPAL ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)...72 27. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Dengan Biaya IPAL Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2).................................74 28. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Dengan Biaya IPAL Ditanggung Oleh Pemerintah (Skenario 3)................................76 29. Perbandingan Hasil Kelayakan Ketiga Skenario yang Dapat Dijalankan Usaha Pembuatan Tempe Desa Citeureup.....................................................77 30. Persepsi Pengrajin Tempe Mengenai Pengolahan Limbah Tahun 2008........78 31. Pengetahuan Pengrajin Tempe Mengenai Dampak Limbah Cair Tempe Tahun 2008.....................................................................................................81 32. Pengetahuan Pengrajin Tempe Mengenai Solusi Alternatif untuk Menangani Masalah Limbah Tahun 2008......................................................82 33. Alasan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tidak Bersedia Melakukan Pengolahan Limbah........................................................................................83 34. Alasan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Bersedia Melakukan Pengolahan Limbah........................................................................................84 35. Hasil Logit Kesediaan Pengrajin untuk Melakukan Pengolahan Limbah dengan IPAL ................................................................................................. 87 36. Frekuensi Observasi dan Harapan Kesediaan Pengrajin terhadap Pengolahan limbah dengan IPAL.................................................................. 88 37. Koreksi Nilai Observasi dan Harapan Kesediaan Pengrajin terhadap Pengolahan limbah dengan IPAL.................................................................. 90
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Alur Kerangka Pemikiran .............................................................................. 27 2. Skema Sistem Pengolahan Limbah Cair. ........................................................ 65 3. Tingkat Kesediaan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Terhadap Pengolahan Limbah......................................................................................... 82
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Batasan/Kriteria Usaha Kecil dan Menengah Menurut Beberapa Organisasi menurut Kementerian Lingkungan Hidup.................................98
2.
Jumlah Industri Kecil Tempe di Kabupaten Bogor per Kecamatan tahun 2008.............................................................................. 99
3.
Hasil Logit Kesediaan Pengrajin Melakukan Pengolahan Limbah....................................................................................100
4.
Kuisioner ................................................................................................... 101
5.
Peta Lokasi Penelitian ............................................................................... 106
6.
Perhitungan Penyusutan Per Tahun Dari Investasi ................................... 107
7.
Cashflow Usaha Pembuatan Tempe Di Desa Citeureup Tanpa IPAL .............................................................................. 108
8.
Cashflow Usaha Pembuatan Tempe Di Desa Citeureup Dengan IPAL Skenario 2 ......................................................... 109
9.
Cashflow Usaha Pembuatan Tempe Di Desa Citeureup Dengan IPAL Skenario 3 ......................................................... 110
10.
Alasan Pengrajin Tempe Bersedia atau Tidak Bersedia Mengolah Limbah Dengan IPAL ............................................................................................ 111
11.
Dampak Negatif Limbah Cair dan Solusi Alternatif untuk Menanggulagi Limbah .............................................................................. 112
12.
Rincian Penerimaan Harian Pengrajin Tempe di Desa Citeureup ............ 113
13.
Rincian Biaya-biaya harian pembuatan tempe.......................................... 115
14.
Biaya-Biaya Peralatan Pengrajin Tempe di Desa Citeureup..................... 117
15.
Karakteristik Pengrajin Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008 ............... 119
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar belakang Struktur industri di Indonesia masih didominasi oleh industri kecil dan
rumah tangga. Menurut BPS (2006), jumlah industri kecil dan rumah tangga mencapai sekitar 90,08 persen lebih banyak dibandingkan dengan industri sedang dan besar. Seiring dengan hal tersebut, jumlah industri kecil dan rumah tangga di Indonesia juga mengalami peningkatan yang lebih besar dibandingkan industri sedang dan besar. Hal ini dibuktikan dengan kenaikan jumlah industri kecil dan rumah tangga pada tahun 2004 sebesar 5,75 persen sedangkan jumlah industri sedang dan besar bertambah 1,78 persen. Pada tahun 2005 jumlah industri kecil dan rumah tangga naik sebesar 7,16 persen, sedangkan peningkatan industri sedang dan besar tahun 2005 hanya sebesar 0,30 persen (BPS, 2006). Industri kecil dan rumah tangga di Kabupaten Bogor juga meningkat pada tahun 2004, 2005 dan 2006 masing-masing sebesar 8,21 persen, 4,97 persen dan 4,90 persen (Diperindag Kabupaten Bogor, 2007). Faktor-faktor yang menyebabkan industri kecil dan rumah tangga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun adalah modal yang dibutuhkan untuk melakukan produksi tidak besar, tidak memerlukan teknologi yang tinggi, tingkat pendidikan pekerja umumnya rendah, menggunakan bahan baku yang tersedia dalam negeri dan tidak memerlukan biaya yang besar. Salah satu industri kecil dan rumah tangga yang mengalami peningkatan di Kabupaten Bogor adalah industri pengolahan tempe. Menurut Diperindag Kabupaten Bogor (2007), usaha pengolahan tempe di Kabupaten Bogor pada umumnya merupakan industri skala kecil karena jumlah modal (di luar tanah dan
bangunan) yang digunakan kurang dari 5 juta rupiah. Jumlah industri kecil tempe di Kabupaten Bogor cukup banyak yaitu 186 industri. Faktor yang mempengaruhinya adalah permintaan tempe yang cukup tinggi di masyarakat yaitu 1,7 persen per tahun,1 sehingga mempengaruhi pengrajin untuk menambah jumlah usaha pengolahan tempe. Faktor lain yang juga mempengaruhinya adalah : (1) Modal (investasi/kerja) di luar tanah dan bangunan tidak besar membutuhkan sekitar 2-10 juta rupiah per orang,2 (2) Tempe merupakan salah satu sumber protein yang tidak mahal dan (3) Tingkat pendidikan dan keterampilan yang dibutuhkan tidak tinggi (Disperindag Kabupaten Bogor, 2008). Salah satu sentra industri tempe terbesar di Kabupaten Bogor adalah Desa Citeureup yaitu 100 rumah tangga pengrajin tempe.3 Industri
tempe menghasilkan produk utama, produk sampingan dan
limbah. Limbah yang dihasilkan cukup banyak yaitu sebesar 3000-5000 liter setiap 1 ton tempe yang diproduksi.4 Besarnya volume limbah berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan yaitu pencemaran sungai karena letak industri tempe yang berada di pinggir sungai dan sebagian besar pengusaha tempe membuang limbah tempe langsung ke sungai. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh industri tempe berasal dari limbah cair tempe. Limbah cair tempe mengandung sejumlah besar karbohidrat, protein, lemak, garam-garam, mineral dan sisa-sisa bahan kimia yang digunakan dalam 1
PPUK Bank Indonesia. 2006. Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil. Dalam http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=50110&idrb=44301. diakses tanggal 20 Februari 2008. 2 Hasil wawancara dengan seksi Agro dan hasil hutan bidang Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan (IKAH) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor tanggal 4 Maret 2008. 3 Loc.cit. 4 Dirjen IKM. 2007. Pengelolaan Limbah Industri Pangan. Dalam http://www.depperin.go.id/asp/pelatihan_ikm/cleanerprod/cleaner-production. Diakses Tanggal 20 Februari 2008.
pengolahan dan pembersihan. Setiap kuintal kedelai akan menghasilkan limbah 1,5 - 2 m3 air limbah. Limbah cair ini mengandung padatan tersuspensi maupun terlarut, dan akan mengalami perubahan fisika, kimia, dan hayati yang akan menghasilkan zat beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya kuman penyakit. Bila dibiarkan dalam air limbah akan berubah warnanya menjadi coklat kehitaman dan berbau busuk.5 Air limbah yang dibuang ke sungai akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan di sekitar sungai. Limbah cair industri tempe yang langsung dibuang tanpa mengalami proses pengolahan limbah akan mencemari lingkungan di sekitar sungai, yang akan berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat di sekitar sungai. Agar limbah yang dibuang tidak membahayakan masyarakat, seharusnya industri melakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai. Dalam KepMen No.3 Tahun 1998 diputuskan industri harus menggunakan teknologi pengolahan limbah yang best practicable agar memenuhi standar konsentrasi dan kandungan polutan (BOD, COD, polutan logam berat dan sebagainya). Industri tempe merupakan salah satu industri yang dijadikan prioritas pengawasan sesuai KepMen No.3 Tahun 1998. Hal ini karena industri tempe merupakan salah satu industri yang produk industrinya berbasis kedelai dan belum memperhatikan standar buangan limbah sesuai dengan standar lingkungan yang diterapkan (Raka, 2001).
5
Nurhasan & Bb. Pramudyanto. 1991. Informasi Praktis Pengelolaan dan Pemanfaatan Limbah Tahu Tempe. Dalam http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/index-view.php?sub=9. Diakses tanggal 20 Februari 2008.
1.2
Perumusan masalah Proses produksi tempe menghasilkan tempe sebagai produk utama dan
ampas kedelai sebagai produk sampingan. Tempe yang dihasilkan langsung dijual ke pasar sedangkan ampas kedelai digunakan sebagai bahan baku industri makanan lain menjadi makanan ternak, tempe gembus, Nata de Soya, castangell dan makanan lain. Namun proses produksi tersebut juga menghasilkan limbah cair yang mengandung padatan tersuspensi dan terlarut. Setiap 1 ton tempe yang diproduksi menghasilkan limbah sebesar 3000-5000 liter. Limbah cair tempe memberikan dampak negatif terhadap lingkungan seperti mengakibatkan bau busuk dan bila dibuang langsung ke sungai akan menyebabkan tercemarnya sungai tersebut. Limbah cair tempe bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan Nata de Soya tapi kenyataannya di Desa Citeureup belum dilakukan oleh industri tempe. Hal ini dikarenakan biaya pengolahan limbah tempe menjadi Nata de Soya membutuhkan investasi yang cukup besar sehingga tidak mampu dilakukan sendiri oleh pengrajin tempe. Sementara permintaan terhadap limbah tempe untuk industri pembuatan Nata de Soya pun sangat rendah. Di sisi lain, lokasi industri tempe di Desa Citeureup berada di sekitar DAS Kali Bekasi dan pada umumnya mereka membuang limbah cair ke sungai. Hal ini menyebabkan kualitas lingkungan di sekitar sungai menurun dan dapat menurunkan kualitas hidup masyarakat sekitar. Selain itu dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tersebut dirasakan oleh masyarakat di hilir sungai yang menggunakan air tersebut untuk mencuci pakaian, tambak ikan dan udang, minum dan sebagainya. Masyarakat hilir sungai
dirugikan akibat limbah tersebut seperti air tidak bisa dikonsumsi, pakaian yang dicuci menjadi kotor karena air sudah bercampur minyak dan banyak tambak yang rusak. Untuk menjaga sustainability lingkungan sungai pengrajin harus melakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai. Beberapa hal yang menyebabkan pengrajin tempe tidak melakukannya adalah: (1) Pengrajin umumnya tidak memiliki dana untuk melakukan pengelolaan limbah karena modal yang dimiliki terbatas, (2) Keterbatasan pengetahuan mengenai teknologi pengolahan limbah dan standar baku buangan limbah dan (3) Mereka mempunyai anggapan bahwa limbah yang dihasilkan tidak berbahaya dan umumnya langsung dibuang ke badan air terdekat. Air sungai/kali yang telah tercemar tidak dapat digunakan oleh masyarakat sekitar karena menjadi keruh dan bau akibat limbah tersebut. Jika masyarakat tetap menggunakan air tersebut maka akan timbul penyakit seperti gatal, diare, sakit pernapasan dan penyakit lainnya.6 Sehingga pengrajin/pengusaha tempe harus melakukan pengelolaan limbah. Salah satu teknologi pengelolaan limbah cair industri tempe adalah dengan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Pembangunan IPAL memerlukan biaya-biaya seperti biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi berupa biaya pembangunan IPAL sedangkan biaya operasional terdiri dari upah tenaga kerja, biaya overhead, biaya perawatan dan biaya angkutan. Biaya pengolahan limbah dengan membangun IPAL merupakan biaya eksternal yang harus ditanggung oleh pencemar yaitu pengrajin tempe. Sehingga pengrajin tempe harus menginternalisasi biaya eksternal ke
6
Loc.cit.
dalam struktur biaya usahanya agar pengelolaan limbah dapat dilakukan. Saat ini, pengrajin tempe di Desa Citeureup belum menggunakan IPAL untuk mengolah limbah. Hal ini dikarenakan belum ada pembangunan IPAL di Desa Citeureup. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Berapa biaya eksternal yang harus ditanggung oleh industri tempe di Citeureup untuk melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL? 2. Bagaimana perubahan kelayakan usaha pengolahan tempe dengan adanya internalisasi biaya eksternal? 3. Bagaimana
tingkat kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan
pengolahan limbah dan apa faktor-faktor yang mempengaruhinya? 1.3
Tujuan penelitian Sesuai dengan permasalahan yang ingin diteliti, maka tujuan penelitian
adalah sebagai berikut: 1. Menghitung besarnya biaya eksternal yang harus ditanggung oleh industri tempe di Citeureup untuk melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL; 2. Menganalisis perubahan kelayakan usaha dengan adanya internalisasi biaya eksternal; 3. Mengukur
tingkat
kesediaan
pengrajin
tempe
untuk
melakukan
pengolahan limbah dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Masyarakat akademik, khususnya dalam mengembangkan studi kelayakan usaha dengan menginternalisasi biaya ekternalitas ke dalam struktur biaya usaha. 2. Pengrajin/pengusaha tempe agar lebih memberikan perhatian terhadap kelestarian lingkungan dan menjaganya sehingga tercipta keberlanjutan (sustainability). 3. Pemerintah Kabupaten Bogor agar lebih memperhatikan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh industri-industri di wilayahnya sehingga penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan kebijakan pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang dilakukan pada limbah industri kecil tempe dibatasi hanya
pada limbah cair, karena limbah cair memberikan dampak yang negatif terhadap lingkungan sekitar industri. Penelitian hanya difokuskan untuk mengkaji karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe, mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe, menghitung biaya pengolahan limbah yang harus ditanggung oleh pencemar, menginternalisasikan biaya eksternal ke dalam analisis usaha, mengukur tingkat kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sehingga hal teknis seperti pengelolaan fisik limbah cair tempe tidak diteliti. Penelitian ini juga tidak menganalisis manfaat pengolahan limbah cair tempe menjadi Nata de Soya.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Karakteristik industri kecil Industri kecil memiliki beberapa batasan/kriteria yang ditetapkan oleh
berbagai organisasi. Salah satunya menurut BPS, batasan skala usaha ditentukan oleh kriteria jumlah tenaga kerja yaitu : (1) Industri dan Dagang Mikro (ID Mikro) : 1-4 orang, (2) Industri dan Dagang Kecil (ID Kecil) : 5-19 orang, (3) Industri dan Dagang Menengah (ID Menengah) : 20-99 orang dan (4) Industri dan Dagang Besar (ID Besar) : 100 orang ke atas. Berdasarkan hal tersebut, maka industri yang dikatakan skala kecil apabila memiliki tenaga kerja sebanyak 5-19 orang. Selain tenaga kerja, kriteria lain industri kecil adalah modal. Berdasarkan modal Diperindag Kabupaten Bogor (2007) menggolongkan industri menjadi tiga yaitu : (1) Industri kecil dengan modal kurang dari lima juta rupiah, (2) Industri menengah (sedang) dengan modal antara lima juta rupiah sampai dengan dua ratus juta rupiah dan (3) Industri besar dengan modal lebih dari dua ratus juta rupiah. Dengan demikian dapat dinyatakan industri kecil memiliki modal yang tidak besar karena modalnya kurang dari lima juta rupiah. Menurut Undang-undang No.9 tahun 1995 tentang usaha kecil, didefinisikan sebagai berikut : industri kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah-tangga maupun suatu badan, bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial, yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak dua ratus juta rupiah, dan mempunyai nilai penjualan per tahun sebesar satu milyar rupiah atau kurang (Lampiran 1).
Dalam Kementerian Lingkungan Hidup (2004) menyatakan bahwa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 254/MPP/Kep/7/1997 tentang kriteria industri kecil di Lingkungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut : (1) Nilai investasi perusahaan seluruhnya sampai dengan dua ratus juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dan (2) pemilik Warga Negara Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan karakteristik industri kecil adalah modal yang digunakan untuk produksi tidak besar, tenaga kerja yang dibutuhkan sedikit, kegiatan yang dilakukan oleh perseorangan, rumah tangga atau badan yang bertujuan untuk memproduksi suatu barang atau jasa yang diperjualbelikan secara komersial, investasi untuk modal dan tenaga kerja kecil serta nilai penjualan satu milyar rupiah atau kurang. 2.2
Eksternalitas Menurut Fauzi (2004), eksternalitas merupakan kegiatan produksi atau
konsumsi yang mempengaruhi kegunaan pihak lain dan pembuatnya tidak memberi kompensasi. Eksternalitas disebabkan oleh barang publik yang kepemilikannya untuk masyarakat dengan akses yang terbuka sehingga menimbulkan tragedy of common. Berikut adalah kombinasi hubungan antara hak kepemilikan dan akses : Tabel 1. Kombinasi antara hak kepemilikan dan akses Terbuka Tertutup Pengelolaan lestari Komunal The Tragedy of common Pengelolaan lestari Negara The Tragedy of common Rentan terhadap pemanfaatan tidak Pemanfaatan berlebihan dapat Privat sah dihindari Sumber : Fauzi, 2004.
Berdasarkan Tabel 1, ada empat tipe kombinasi hubungan antara hak kepemilikan dan akses. Tipe pertama adalah tipe dimana hak kepemilikan berada pada komunal (negara dengan akses yang terbatas) yang dapat menimbulkan pengelolaan sumberdaya yang lestari. Tipe kedua adalah sumberdaya dimiliki oleh individu (privat) dengan akses yang terbatas, hal ini akan menyebabkan pemanfaatan berlebihan dapat dihindari. Tipe ketiga merupakan kombinasi antara hak kepemilikan komunal dan akses yang terbuka, yang menimbulkan “the tragedy of the common”. Terakhir, tipe keempat yaitu kombinasi yang sebenarnya jarang terjadi dimana sumberdaya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka. Sebaliknya, jika barang publik yang digunakan memiliki akses tertutup maka pengelolaan dapat lestari dan tidak terjadi eksternalitas. Sehingga hubungan antara eksternalitas dengan kepemilikan sangat erat kaitannya. Hufschmidt (1987) mengemukakan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh industri terhadap lingkungan disebut dengan “dampak eksternal”. Dampak eksternal timbul bila fungsi kegunaan (manfaat) atau produksi seseorang tergantung pada kegiatan orang lain. Contoh eksternalitas adalah limbah yang dibuang oleh industri makanan yang merugikan kesehatan masyarakat. Eksternalitas muncul bila dampak terhadap lingkungan yang mengakibatkan biaya dan manfaat sosial tidak dipertimbangkan oleh orang atau sekelompok orang yang mengakibatkan dampak tersebut. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kegagalan pasar
(market
failure).
Kegagalan
pasar
terjadi
karena
pasar
tidak
mengkomunikasikan keinginan secara tepat dan keputusan individual yang berdasarkan informasi harga tidak menimbulkan alokasi sumberdaya yang efisien (Fauzi, 2004). Peranan pemerintah dalam mengatasi market failure adalah dengan
melakukan command and control yaitu dengan mengadakan regulasi dan menetapkan ambang batas pencemaran limbah yang diperbolehkan. Jika pemerintah tidak dapat mengatasi market failure dengan beberapa kebijakan dan regulasi yang diterapkan maka akan terjadi kegagalan pemerintah (government failure). Kegagalan pemerintah terjadi karena pemerintah tidak dapat mengatasi market failure setelah melakukan kebijakan untuk mengatasi hal tersebut. Market failure dapat menyebabkan sistem pasar/harga menjadi tidak efisien. Menurut Pearson (2000), ada empat situasi yang dapat menyebabkan sistem harga/pasar menjadi tidak efisien yaitu barang publik, eksternalitas, sumberdaya milik bersama dengan akses terbuka dan kekuatan pasar. Barang publik, eksternalitas dan sumberdaya milik bersama dengan akses terbuka merupakan
jawaban
dari
penyebab
degradasi
lingkungan.
Eksternalitas
merupakan kegiatan yang memberikan efek terhadap kesejahteraan suatu agen ekonomi terhadap agen ekonomi lain yang tidak dapat diantisipasi. Agen ekonomi tersebut yaitu produsen, konsumen dan pemerintah. Efek dari kegiatan tersebut dapat positif (external economics) atau negatif (external diseconomics atau external cost). Sementara itu Mangkoesoebroto (1993), membagi eksternalitas atas dampaknya menjadi dua, yaitu eksternalitas negatif dan eksternalitas positif. Eksternalitas positif adalah dampak yang menguntungkan dari suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap orang lain tanpa adanya kompensasi dari pihak yang diuntungkan, sedangkan eksternalitas negatif apabila dampaknya bagi oranglain yang tidak menerima kompensasi sifatnya merugikan. Timbulnya eksternalitas dalam suatu aktivitas akan menyebabkan inefisiensi. Inefisiensi
timbul akibat tindakan seseorang yang mempengaruhi orang lain dan tidak tercermin dalam sistem harga. Adanya eksternalitas tidak akan mengganggu tercapainya efisiensi masyarakat apabila semua dampak yang merugikan maupun yang menguntungkan dimasukkan ke dalam penghitungan produsen dalam menetapkan jumlah barang yang diproduksi (Mangkoesubroto, 1993).
Telah
disebutkan diatas bahwa contoh eksternalitas negatif adalah limbah industri makanan yang dibuang ke sungai dan mempengaruhi kesehatan masyarakat. Industri tempe di Desa Citeureup merupakan salah satu industri yang membuang limbahnya langsung ke sungai sehingga dapat menyebabkan eksternalitas negatif terhadap masyarakat sekitar sungai. Limbah cair tempe adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pengolahan tempe maupun pada saat pencucian kedelai. Limbah cair akan mengakibatkan bau busuk dan bila dibuang langsung ke sungai akan menyebabkan tercemarnya sungai tersebut. Setiap kuintal kedelai akan menghasilkan limbah 1,5 - 2 m3 air limbah.7 Limbah cair tempe memiliki kadar BOD dan COD yang cukup tinggi karena berasal dari bahan organik. Menurut Linsley dan Franzini (1986), batas ambang aliran limbah industri yang biasa dipakai adalah sebesar 5000 gal/acre/hari (50 m3/hektar/hari). Pada industri tempe di Desa Citeureup rata-rata membutuhkan 109 kg kedelai/orang/hari untuk memproduksi tempe. Di Desa Citeureup terdapat 100 orang pengrajin berarti setiap harinya mereka menghasilkan 163-218 m3 air limbah. Limbah yang
7
Nurhasan & Bb. Pramudyanto. 1991. Informasi Praktis Pengelolaan dan Pemanfaatan Limbah Tahu Tempe. Dalam http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/index-view.php?sub=9. Diakses tanggal 20 Februari 2008.
dihasilkan sudah melebihi ambang batas yang ditentukan sehingga memerlukan pengolahan agar limbah yang dibuang tidak melebihi ambang batas yang ditentukan. 2.3
Internalisasi Biaya Eksternal Menurut Fauzi (2004), market failure yang disebabkan oleh adanya
eksternalitas dapat dikurangi dengan beberapa kebijakan diantaranya adalah : (1) Pengaturan property right dengan cara pemerintah memberikan hak tersebut kepada suatu pihak yang menggunakan barang publik, (2) Internalisasi biaya eksternal, (3) Distribusi Rights, (4) Aturan insentif dan kompensasi, (5) Kerjasama antara daerah, (6) Optimalisasi produksi dan konsumsi, (7) Penilaian lingkungan, (8) Penyusunan neraca sumberdaya alam serta (9) Penetapan otoritas pengelolaan sumberdaya. Kebijakan tersebut akan menghasilkan alokasi sumberdaya yang efisien sehingga eksternalitas dapat dikurangi. Menurut Hufschmidt (1987), teori eksternalitas memberikan alternatif penjelasan tentang penyebab kerusakan lingkungan. Industri umumnya tidak memperhatikan kerusakan lingkungan atau dampak dari kegiatan produksi mereka seperti limbah yang dibuang ke sungai, erosi tanah, pencemaran udara dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk menciptakan pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan, kualitas lingkungan harus dipelihara dengan baik. Untuk memelihara kualitas lingkungan yang baik maka dibutuhkan peran dari berbagai pihak salah satunya pemerintah. Peran pemerintah adalah melakukan secara aktif kebijakan pengelolaan kualitas lingkungan. Bukan hanya pemerintah yang harus melakukan pengelolaan lingkungan tetapi juga industri yang mencemari
lingkungan. Industri harus melakukan peningkatan lingkungan yang telah dicemari. Peningkatan lingkungan tersebut dapat dicapai dengan melakukan pengelolaan limbah. Salah satu kebijakan untuk pengelolaan limbah adalah dengan internalisasi biaya eksternal. Menurut Fauzi (2004), internalisasi biaya eksternal merupakan upaya untuk “menginternalkan” dampak yang ditimbulkan dengan cara menyatukan proses pengambilan keputusan dalam satu unit usaha. Dampak kerusakan eksternal haruslah di”internalisasi”kan dalam keputusan ekonomi sehingga melalui kebijakan tersebut diharapkan lingkungan dapat terjaga kelestarian dan keberlanjutannya (Hufschmidt, 1987). Untuk kasus limbah industri kecil tempe di Desa Citeureup, biaya eksternal untuk diinternalisasikan ke dalam struktur biaya usahanya adalah biaya pengolahan limbah dengan menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). IPAL merupakan alternatif pengelolaan limbah yang dapat dilakukan di Desa Citeureup. Menurut
Soemantojo
(1994)
dalam
Purnamasari
(2001),
cara-cara
pengelolaan limbah yang dapat dilakukan dewasa ini terdiri dari reduksi limbah pada sumbernya (Source Reduction), pemanfaatan limbah yang terbagi atas dua cara yaitu pengunaan kembali (Reuse) dan daur ulang (Recycle) serta pengolahan limbah. Salah satu cara pengelolaan limbah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengolahan limbah. Pengolahan limbah yang dilakukan adalah dengan menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang dapat mengurangi kadar pencemar dalam sungai melalui jalan pengolahan fisik, kimiawi hayati atau gabungan antara tiga cara tersebut.
2.4
Metode Penilaian Lingkungan (Measures of Value Method) Menurut Garrod dan Willis (1999) ada dua teknik penilaian lingkungan
yaitu penilaian lingkungan yang berdasarkan biaya dan harga pasar (Market Price and Cost Measures of Value) serta penilaian lingkungan yang tidak berdasarkan harga pasar (Non-Market Measures of Value). Salah satu tolok ukur untuk menilai manfaat dari lingkungan adalah biaya yang dikeluarkan tersebut. Beberapa metode yang sering digunakan untuk valuasi yang berdasarkan biaya dan harga pasar adalah sebagai berikut (Garrod dan Willis, 1999): 1. Pendekatan Efek dalam Produksi (Effect on Production Approach) atau Pengukuran Opportunity Cost (Opportunity Cost of Measures) Effect on Production Approach adalah pendekatan nilai manfaat dari menjaga lingkungan yang berbasiskan pembayaran kompensasi untuk pembelian barang publik. Contohnya membangun jembatan, airport, instalasi dan barang publik lainnya. Bisa juga pembayaran kompensasi untuk biaya petani yang hilang akibat produksi pertanian yang ramah lingkungan. Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa pemilik lahan atau barang publik mempunyai property rights. Ilustrasi mengenai metode ini di Indonesia adalah pemberian kompensasi kepada masyarakat sekitar daerah Pantura yang terkena dampak program perluasan lahan wilayah Pantura dengan mereklamasi pantai tempat hidup hutan mangrove yaitu banjir. 2. Human Capital Approach and Dose Response Function Human Capital Approach and Dose Response Function merupakan pendekatan yang mengukur efek perubahan dalam kandungan kimia atau
polutan dalam suatu aktivitas ekonomi dan kesejahteraan konsumen. Contohnya polusi air yang menyebabkan terganggunya kesehatan manusia. 3. Replacement Cost Replacement cost adalah penilaian barang lingkungan yang berdasarkan pada biaya yang dikeluarkan untuk memelihara lingkungan setelah terjadi kerusakan. Pendekatan ini memiliki kelebihan yaitu dapat digunakan untuk menilai manfaat kegunaan tidak langsung (indirect use benefit) pada kondisi dimana data bio-fisik sulit diperoleh. 4. Preventife Expenditure Preventife Expenditure adalah penilaian dari lingkungan yang menggunakan pengukuran biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pencegahan degradasi lingkungan. Pendekatan ini menggunakan teknik secara tidak langsung dimana teknologi pencegah degradasi lingkungan sudah tersedia. Contohnya dengan menghitung biaya pengolahan limbah dengan menggunakan teknologi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). IPAL digunakan sebagai alat teknologi pencegah kerusakan lingkungan. Menurut Garrod dan Willis (1999), metode yang lain adalah teknik penilaian lingkungan yang tidak berdasarkan harga pasar. Teknik tersebut terbagi atas tiga metode diantaranya sebagai berikut : 1. Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method) Menurut Fauzi (2004), Travel Cost Method merupakan metode tertua dibanding dengan beberapa metode valuasi lainnya. Metode ini diturunkan dari pemikiran yang dikembangkan oleh Hotelling pada tahun
1931, yang kemudian secara formal dikenalkan oleh Wood dan Trice (1958) dan Clawson dan Knetsch (1966). Metode ini merupakan metode yang paling mudah digunakan dalam penilaian lingkungan. Nilai TCM diperoleh dari penjumlahan dari biaya perjalanan mencakup opportunity cost waktu dan tiket masuk. Nilai tersebut digunakan untuk mengestimasi permintaan untuk rekreasi (Garrod dan Willis, 1999). 2. Hedonic Pricing Method Teknik ini pada prinsipnya adalah mengestimasi nilai implisit dari karakteristik atau atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji hubungan antara karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan permintaan barang dan jasa (Fauzi, 2004). Contohnya menentukan permintaan rumah yang dibangun di tepi danau. 3. Contingent Valuation Method (CVM) CVM merupakan suatu metode yang memungkinkan untuk memperkirakan
nilai
ekonomi
dari
suatu
komoditi
yang
tidak
diperdagangkan dalam pasar. CVM menggunakan pendekatan secara langsung yang pada dasarnya menanyakan pada masyarakat mengenai berapa besar nilai maksimum dari WTP untuk manfaat tambahan atau berapa besar nilai maksimum dari WTA sebagai kompensasi dari kerusakan barang lingkungan (Fauzi, 2004). Misalnya menanyakan kepada masyarakat seberapa besar kompensasi yang bersedia diterima dari kerusakan lingkungan. 2.5
Studi Kelayakan usaha
2.5.1 Indikator Kelayakan Usaha
Menurut
Gittinger
(1986),
ada
beberapa
indikator
usaha
yang
mempengaruhi kelayakan usaha. Indikator-indikator tersebut adalah : a. Manfaat sekarang neto (Net Present Value) Manfaat sekarang neto dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Manfaat sekarang neto dihitung dengan mencari selisih antara nilai sekarang dari arus manfaat dikurangi dengan nilai sekarang dari arus biaya. b. Perbandingan manfaat dan biaya (Benefit-Cost Ratio/B/C Ratio) Perbandingan manfaat dan biaya diperoleh bila nilai sekarang arus manfaat dibagi dengan nilai sekarang arus biaya. B/C ratio merupakan ukuran berdiskonto yang pertama dikenal. c. Tingkat pengembalian internal (Internal Rate of Return) IRR adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumberdaya yang digunakan karena proyek membutuhkan dana lagi untuk biaya-biaya operasional dan investasi dan proyek baru sampai pada tingkat pulang modal. Hal tersebut merupakan “tingkat pengembalian atas kapital yang belum selesai tiap periode sementara kapital tersebut masih diinvestasikan pada proyek”. d. Payback Period (PP) Payback period adalah jangka waktu/periode yang diperlukan untuk membayar kembali (mengembalikan) semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Payback period merupakan perbandingan antara biaya investasi yang diperlukan dengan benefit bersih yang dapat diperoleh pada setiap tahun.
2.5.2 Kriteria Kelayakan Usaha Usaha dikatakan layak apabila nilai manfaat sekarang neto lebih dari nol, tingkat pengembalian internal lebih dari tingkat suku bunga yang berlaku, perbandingan manfaat dan biaya lebih dari satu serta payback period lebih kecil daripada umur proyek. Jika nilai manfaat sekarang neto mempunyai nilai kurang dari nol, tingkat pengembalian internal kurang dari tingkat suku bunga yang berlaku, Payback period lebih besar daripada umur proyek, maka usaha tersebut tidak dapat menghasilkan apa-apa dan juga tidak dapat mengembalikan biayabiaya yang dikeluarkan (Gittinger, 1986). 2.6
Studi-studi Terdahulu
2.6.1 Studi Mengenai Limbah Cair Tempe Penelitian Wiryani (1991) menyatakan bahwa kandungan limbah cair tempe mempunyai kadar bahan organik yang tinggi dan tidak memenuhi syarat Baku Mutu Air Limbah. Kandungan limbah cair yang dihasilkan pada proses perendaman kedelai lebih berpotensi besar dalam mencemari lingkungan perairan daripada limbah cair yang dihasilkan pada proses perebusan kedelai. Kualitas air sumur yang digunakan dalam proses pengolahan kedelai menjadi tempe, untuk beberapa parameter kualitas air sumur yang diukur masih memenuhi persyaratan sebagai air baku untuk diolah sebagai air minum dan keperluan rumah tangga. Proses anaerobik untuk mengolah limbah cair ini, setelah dua puluh hari mampu menurunkan kadar TSS, TDS, BOD dan COD. Hasil akhir yang diperoleh masih melampaui batas persyaratan dalam Baku Mutu Air Limbah. Kelebihan penelitian ini adalah dapat mengetahui kandungan limbah cair tempe dan melakukan upaya pengolahannya dengan proses anaerobik. Tetapi
limbah yang telah diolah dengan proses anaerobik memiliki kandungan bahan organik yang masih diatas batas standar baku mutu limbah cair dan belum meneliti mengenai persoalan ekonomi dari limbah cair tersebut. 2.6.2 Studi Mengenai Pengolahan Limbah Cair Dari hasil analisis Purnamasari (2001) diketahui bahwa perubahan jumlah limbah dipengaruhi secara nyata dengan arah positif oleh produksi tekstil, penggunaan air untuk produksi dan pemakaian bahan baku polyester. Penggunaan serat kapas mempengaruhi secara negatif karena perusahaan semakin mengurangi pemakaian serat kapas, sedangkan perubahan debit limbah nyata dipengaruhi secara positif oleh pemakaian air dan serat polyester serta secara negatif oleh produksi tekstil dan pemakaian serat kapas. Pemakaian bahan kimia, baik untuk persamaan jumlah maupun debit limbah tidak berpengaruh secara nyata. Biaya pengolahan limbah terdiri dari biaya investasi dan operasional. Pendirian dan pengembangan IPAL dari tahun 1994-1998 menghabiskan dana Rp 5.302,95 juta. Nilai manfaat bersih tambahan sejak tahun pertama pendirian IPAL berturut-turut adalah Rp 2.086,53, Rp- 5.526,88, Rp- 12.946,06, Rp- 3.754,10 dan Rp 15.386,28. Nilai proporsi biaya pengolahan limbah yang ditanggung konsumen adalah 102,49 persen. Penelitian ini memiliki kelebihan yaitu menganalisis manfaat dan biaya pengolahan limbah dengan IPAL, proporsi biaya pengolahan limbah yang harus ditanggung konsumen dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan perusahaan untuk melakukan pengolahan limbah. Tetapi belum menghitung kelayakan usaha dari perusahaan setelah dilakukan pengolahan limbah.
2.6.3 Studi Mengenai Valuasi Ekonomi Hasil penelitian Santoso (2005) mengenai valuasi ekonomi ekosistem hutan mangrove di Kawasan Pondok Bali, Desa Legonwetan yaitu kondisi ekosistem hutan mangrove yang ada di Desa Legonwetan sudah tidak sesuai dengan rencana strategis Perum Perhutani. Hal ini disebabkan 30 persen dari area hutan mangrove yang dijadikan area pertambakan (64,65 Ha) sudah dipergunakan untuk tambak pola tradisional dan menebang habis kawasan hutan yang ada di tengah-tengah area tambak. Pada hutan mangrove yang ada di Desa Legonwetan, bentuk pengelolaan yang diperbolehkan oleh Perum Perhutani adalah dengan menjadikan wilayah hutan mangrove sebagai area pertambakan dengan proporsi tiap hektarnya harus memenuhi 80 persen untuk hutan dan 20 persen untuk kolam perairan. Berdasarkan hasil perhitungan nilai manfaat total dari ekosistem hutan mangrove yang ada di Desa Legonwetan, diperoleh nilai manfaat total sebesar Rp 3.700.228.818,74 per tahun atau Rp 17.088.518,76 per Ha per tahun. Nilai tersebut didominasi oleh nilai manfaat langsung sebesar Rp 2.258.268.032,74 dan nilai manfaat tidak langsung sebesar Rp 424.464.130,00. Nilai manfaat pilihan sebesar
Rp
36.789.156,00
dan
nilai
manfaat
keberadaan
sebesar
Rp
980.707.500,00. Alternatif skenario pengelolaan dan pemanfaatan yang terbaik untuk pengelolaan hutan mangrove adalah skenario pemanfaatan dengan mengembalikan luasan hutan mangrove seperti pada kondisi awal (290,01 ha). Berdasarkan perhitungan, skenario tersebut dapat menghasilkan keuntungan yang paling efisien dengan nilai rasio manfaat dan biaya sebesar 3,69. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah menggunakan valuasi
yang berdasarkan manfaat (Benefit Based Valuation). Sehingga mengukur kerusakan lingkungan dengan berdasarkan pada manfaat dari kualitas lingkungan yang baik. 2.6.4 Studi Mengenai Biaya Eksternal Nasrullah (2003) melakukan penelitian mengenai estimasi biaya eksternalitas dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tambak LorokSemarang. Semakin besar kapasitas pembangkit listrik dan semakin baru operasi pembangkit listrik maka akan semakin kecil biaya eksternalitasnya. Hasil perhitungan biaya eksternalitas studi kasus kesehatan yang diteliti menunjukkan nilainya berkisar antara 0,00425 cents$/kWh sampai 0,10481 cents$/kWh, nilai ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan studi ExternE yang menunjukkan nilai sebesar 0,124 cents$/kWh sampai 0,843 cents$/kWh. Kelebihan penelitian ini adalah menghitung dampak pencemaran udara dari PLTU. Tetapi belum menginternalisasikan biaya eksternalitas tersebut ke dalam struktur biaya PLTU. 2.6.5 Studi Mengenai Kelayakan Usaha Gumelar (2002) menganalisis kelayakan usaha proyek pengelolaan sampah kota dengan pendekatan Nir Limbah (zero waste) di Kelurahan Petamburan,
Kecamatan
Tanah
Abang,
Jakarta
Pusat.
Penelitiannya
menyimpulkan bahwa proyek pengelolaan sampah kota dengan pendekatan Nir Limbah tetap layak diusahakan pada peningkatan kapasitas produksi batako dan serpihan plastik secara optimal, pada penurunan penjualan sebesar 26,3 persen dan kenaikan biaya upah tenaga kerja sebesar 28,6 persen. Namun pada kombinasi antara penjualan sebesar 26,3 persen dan kenaikan biaya upah tenaga kerja
sebesar 28,6 persen, proyek ini sudah tidak layak untuk dilaksanakan. Penelitian ini belum memasukkan biaya eksternal ke dalam analisis kelayakan usahanya. Berdasarkan
studi
penelitian
terdahulu,
ternyata
penelitian
yang
menghitung biaya eksternal dan menginternalisasikan biaya tersebut ke dalam struktur biaya serta menganalisis perubahan kelayakan usaha industri kecil tempe masih jarang dilakukan. Sehingga Analisis Internalisasi Biaya Pengolahan Limbah (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup) sangat penting untuk dilakukan.
III. KERANGKA PEMIKIRAN Industri tempe menghasilkan tempe sebagai produk utama, ampas kedelai sebagai produk sampingan dan limbah. Tempe langsung dijual kepada konsumen dan ampas kedelai digunakan sebagai bahan baku industri makanan lain serta limbah. Limbah dapat dijadikan Nata de Soya atau langsung dibuang ke sungai. Limbah yang dihasilkan cukup banyak yaitu sebesar 3000-5000 liter setiap 1 ton tempe yang diproduksi.8 Limbah yang dihasilkan berupa limbah cair yang mengandung padatan tersuspensi dan terlarut yang tinggi kadar BOD dan CODnya. Limbah cair tempe berpotensi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan seperti mengakibatkan bau busuk dan bila dibuang langsung ke sungai akan menyebabkan tercemarnya sungai tersebut. Para pengrajin tempe umumnya membuang limbah cair langsung ke sungai karena lokasi industri tempe di Desa Citeureup berada di sekitar sungai. Hal ini menyebabkan kualitas lingkungan di sekitar sungai menurun dan dapat menurunkan kualitas hidup masyarakat sekitar sehingga menghambat aktivitas ekonomi mereka. Belum adanya kesadaran pengrajin tempe di Desa Citeureup untuk melakukan pengolahan limbah. Padahal untuk menjaga sustainability lingkungan sungai pengrajin harus melakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai. Salah satu pengolahan limbah yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pembangunan IPAL. Menurut Sugiharto (1987) IPAL juga merupakan bangunan air limbah yang dipergunakan untuk mengolah/memproses air limbah menjadi bahan-bahan yang berguna lainnya serta tidak berbahaya bagi sekelilingnya. Bangunan ini dibuat untuk melayani wilayah tertentu sesuai dengan 8
Dirjen IKM. 2007. Pengelolaan Limbah Industri Pangan. Dalam http://www.depperin.go.id/asp/pelatihan_ikm/cleanerprod/cleaner-production. Diakses Tanggal 20 Februari 2008.
kapasitas bangunan tersebut. Tujuan pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah adalah untuk mengendalikan mutu air nasional dan mutu buangan limbah dapat dicapai (Linsley dan Franzini, 1986). Tetapi pengrajin tempe di Desa Citeureup belum membangun IPAL tersebut karena beberapa faktor yaitu (1) Pengrajin umumnya tidak memiliki dana untuk melakukan pengelolaan limbah karena modal yang dimiliki terbatas, (2) Keterbatasan pengetahuan mengenai teknologi pengolahan limbah dan standar baku buangan limbah dan (3) Mereka mempunyai anggapan bahwa limbah yang dihasilkan tidak berbahaya dan umumnya langsung dibuang ke badan air terdekat. Pengrajin harus melakukan pengolahan limbah dengan membangun IPAL untuk meminimalkan dampak negatif dari limbah cair tempe. Untuk membangun IPAL diperlukan biaya-biaya seperti biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi berupa biaya peralatan sedangkan biaya operasional terdiri dari biaya bahan baku, upah tenaga kerja, listrik, biaya pemeliharaan dan penyusutan. Biaya pengolahan limbah dengan membangun IPAL merupakan biaya eksternal yang harus ditanggung oleh pencemar yaitu pengrajin tempe. Sehingga pengrajin tempe harus menginternalisasi biaya eksternal ke dalam struktur biaya usahanya agar pengelolaan limbah dapat dilakukan. Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, salah satunya adalah menghitung biaya eksternal yang harus ditanggung oleh industri tempe di Citeureup untuk melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL. Perhitungan biaya tersebut dengan menggunakan pendekatan preventive expenditure. Setelah biaya eksternal diperoleh, maka biaya tersebut diinternalisasikan ke dalam struktur biaya dan melakukan analisis finansial untuk mengetahui kelayakan usaha
tersebut. Kemudian menganalisis perubahan kelayakan akibat internalisasi biaya eksternal menggunakan analisis manfaat dan biaya (Benefit Cost Analysis). Kelayakan usaha setelah internalisasi biaya eksternal akan mempengaruhi penelitian lain yang bertujuan untuk mengukur tingkat kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL dan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Penelitian tersebut menggunakan analisis deskriptif untuk tingkat kesediaan pengrajin dan analisis regresi logit untuk faktor-faktor yang mempengaruhi pengrajin melakukan pengolahan limbah. Diduga kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, umur, pendapatan, lama usaha, luas tempat usaha, jarak ke sungai dan jumlah tanggungan, sehingga perlu dilakukan penelitian yang mengkaji karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe di Desa Citeureup dan mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe. Kajian dan identifikasi yang akan dilakukan menggunakan analisis deskriptif. Setelah diketahui kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah maka dapat dilakukan pengelolaan limbah cair industri tempe. Agar limbah cair tidak membahayakan masyarakat dan pengrajin tempe dapat melakukan pengolahan limbah.
Proses Produksi Tempe
Tempe
Limbah cair
Dijual ke konsumen
Ampas kedelai
Dibuang ke sungai
Bahan baku industri makanan lain
Pencemaran sungai
Belum adanya kesadaran menjaga lingkungan dan pembangunan IPAL Pengolahan limbah dengan IPAL
Menghitung biaya eksternal (preventive expenditure) Internalisasi Biaya Eksternal
Mengkaji karakteristik pengrajin tempe dan dampak limbah cair (analisis deskriptif)
Menganalisis kelayakan usaha sebelum ada IPAL (analisis kelayakaan finansial)
Menganalisis perubahan kelayakan setelah internalisasi biaya eksternal (analisis manfaat dan biaya)
Kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (analisis deskriptif dan regresi logit)
-------- = tidak diteliti
Rekomendasi pengelolaan limbah industri tempe di Desa Citeureup
Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran
Usaha layak/tidak
IV. METODE PENELITIAN 4.1
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup,
Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) karena Desa Citeureup merupakan salah satu sentra industri tempe di Kabupaten Bogor dan letak industri tempe yang berada di sekitar sungai. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2008. 4.2
Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer
yang dikumpulkan mencakup : (1) Karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe di Desa Citeureup yang menjadi responden, (2) Persepsi pengrajin tempe mengenai dampak akibat limbah cair industri tempe (3) Aspek-aspek finansial industri tempe dan (4) Persepsi responden tentang kesediaan melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Data tersebut diperoleh melalui kuisioner maupun wawancara langsung dengan responden. Data ini akan dimanfaatkan sebagai pendukung dari penggunaan analisis deskriptif dan analisis perubahan kelayakan akibat internalisasi biaya eksternal. Data sekunder diperoleh melalui wawancara dengan Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor dan Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup Jakarta, aparat Kecamatan dan Desa Citeureup, LSI Institut Pertanian Bogor dan literatur-literatur yang relevan. Data yang diperoleh berupa data mengenai cara dan pengelolaan limbah, jenis dan jumlah limbah yang dihasilkan, tingkat pencemaran sungai, kerusakan lingkungan di
lokasi penelitian, biaya pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL, dampak limbah cair tempe, jumlah industri tempe di Kecamatan dan Desa Citeureup, perkembangan industri di Kabupaten Bogor, statistik Indonesia tahun 2005, teori eksternalitas dan sebagainya. 4.3
Metode Pengambilan Data Metode pengambilan data dilakukan dengan mengambil secara acak 31
orang dari 100 pengrajin yang ada di Desa Citeureup sebagai responden. Jumlah responden diperoleh dari rumus Slovin (Umar, 2005) yaitu : n=
N 1 + Ne
2
dimana : n
= ukuran sampel
N
= ukuran populasi
e
= persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan. Dalam penelitian ini jumlah populasi sebesar 100 orang dan persen
kelonggaran ketidaktelitian yang dipakai adalah 15 persen dengan pertimbangan karena penelitian termasuk sosial ekonomi sehingga persen error maksimum yaitu 20 persen. Sehingga jumlah sampel adalah 31 orang dengan perhitungan sebagai berikut : n= =
100 2 1 + 100 (0 ,15 ) 30,77 ≈ 31 orang
Pengrajin yang menjadi responden adalah pengrajin yang membuang limbah cair tempe langsung ke sungai. Pengambilan responden sebagai sampel dilakukan
secara purposive sampling. Hal ini dikarenakan tidak ada sampling frame dan keterbatasan waktu. 4.4
Metode Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif
digunakan untuk mengkaji karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe di Desa Citeureup dan mengidentifikasi dampak limbah cair tempe. Analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif untuk mengkaji karakteristik sosial ekonomi pengusaha/pengrajin tempe di Desa Citeureup, mengidentifikasi dampak apa saja yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe dan mengukur tingkat kesediaan pengrajin melakukan pengolahan limbah. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis biaya, analisis kelayakan usaha, analisis manfaat dan biaya dan analisis regresi logit. Analisis tersebut dilakukan untuk menghitung biaya eksternal, menganalisis kelayakan usaha dan perubahannya setelah internalisasi biaya eksternal dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah. Pengolahan data menggunakan software Minitab 14 for Release dan Microsoft Excel 2003. 4.4.1
Analisis Biaya Eksternal Menurut Gittinger (1986), biaya adalah pengeluaran atau pengorbanan
yang dapat menimbulkan pengurangan terhadap manfaat yang kita terima. Biaya yang digunakan dalam proyek terdiri dari biaya investasi, biaya operasional dan biaya lainnya. Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan pada awal dimulainya proyek, biasanya memerlukan biaya yang besar. Biaya investasi yang digunakan dalam pembangunan IPAL adalah biaya untuk pembangunan IPAL sedangkan biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan pada setiap
proses produksi dilakukan. Biaya operasional untuk IPAL adalah upah tenaga kerja, biaya overhead, biaya perawatan dan biaya angkutan. Biaya pengolahan dengan IPAL tersebut akan dibandingkan dengan jumlah limbah yang dihasilkan oleh industri tempe. Sehingga diperoleh biaya pengolahan dengan IPAL untuk setiap industri tempe. Biaya pengolahan limbah dihitung dengan cara menjumlah semua biayabiaya pembangunan IPAL dan jumlah tersebut akan dibagi dengan jumlah industri yang menggunakan IPAL. Sehingga didapat biaya pengolahan limbah per rumah tangga pengrajin tempe. Perhitungan biaya eksternal dengan IPAL adalah sebagai berikut : B=A/C Keterangan : B : Biaya pengolahan limbah per rumah tangga pengrajin (Rp/tahun/RTP) A : Biaya keseluruhan pembangunan IPAL (Rp/tahun) C : Jumlah industri tempe yang menggunakan IPAL (RTP) 4.4.2 Analisis Perubahan Kelayakan Internalisasi Biaya Eksternal
Usaha
Sebelum
dan
Setelah
Biaya eksternal yang diperoleh dari perhitungan akan dimasukkan ke dalam struktur biaya industri tempe kemudian dilakukan analisis finansial dan perubahan kelayakan setelah internalisasi biaya eksternal. Analisis tersebut dilakukan dengan menganalisis data yang diperoleh dengan kriteria kelayakan investasi. Menurut Gittinger (1986), beberapa kriteria kelayakan investasi yang digunakan adalah sebagai berikut :
1) Nilai Sekarang Neto (Net Present Value) t =n
Bt − C t
∑ (1 + i )
t
t =1
2) Tingkat Pengembalian Internal (Internal Rate Return)
IRR = i +
NPV (i ' − i ) ' NPV − NPV
3) Rasio Manfaat dan Biaya (B/C Ratio) t =n
Bt
∑ (1 + i )
t
t =1
t =n
Ct
∑ (1 + i ) t =1
4)
t
Payback Period PP =
I Ab
Keterangan : Bt
= Manfaat yang diperoleh tiap tahun
Ct
= Biaya yang dikeluarkan tiap tahun
I
= Besarnya biaya investasi yang diperlukan
Ab
= Benefit bersih yang dapat diperoleh pada setiap tahunnya
t
= 1, 2, ……, n
n
= Jumlah tahun
i
= Tingkat bunga (diskonto) yang digunakan atau menghasilkan NPV positif
i’
= Tingkat bunga (diskonto) yang menghasilkan NPV negatif
NPV = Net Present Value Positif NPV’ = Net Present Value Negatif
Jika nilai sekarang neto bernilai lebih dari nol, tingkat pengembalian internal lebih dari tingkat suku bunga yang berlaku, rasio manfaat dan biaya lebih dari satu dan semakin pendek periode yang diperlukan maka usaha dapat dikatakan layak. Apabila nilai sekarang neto bernilai kurang dari nol, tingkat pengembalian internal kurang dari tingkat suku bunga yang berlaku, rasio manfaat dan biaya kurang dari satu dan periode yang diperlukan dalam usaha panjang maka dapat dikatakan proyek dengan internalisasi biaya eksternal tidak dapat menghasilkan apa-apa dan tidak dapat mengembalikan biaya-biaya yang dikeluarkan. 4.4.3
Model Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Pengrajin Tempe Melakukan Pengolahan Limbah
Analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan dengan IPAL dilakukan dengan mengunakan model regresi logistik atau model logit. Hal yang membedakan model regresi logit dengan regresi biasa adalah peubah terikat dalam model tersebut bersifat dikotomi (Hosmer dan Lameshow, 1989). Bentuk fungsi dari model logit adalah sebagai berikut : ⎧ p ⎫ Ln ⎨ ⎬ = α + β1 Χ1 + β 2 Χ 2 + … + β p Χ p ⎩1 − p ⎭
Model dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan dengan IPAL adalah sebagai berikut : Yi = β0 + β1TK. PENDi + β2UMURi + β3JARAKi + β4LTUi + β5LUi + β6JUML TANGi + β7PDPTNi + ei Keterangan : Yi
= Kesediaan pengrajin melakukan pengolahan limbah
Y
= 1, bersedia melakukan pengolahan limbah
Y
= 0, tidak bersedia melakukan pengolahan limbah
β0
= Intersep
β1 ,..., β 7
= Koefisien regresi
TK. PEND
= Tingkat pendidikan (1=Tamat SD/Sederajat, 2=Tamat
SLTP/Sederajat
dan
3=Tamat
SLTA/Sederajat) UMUR
= Umur (1=umur 23-29 tahun, 2=umur 30-36 tahun, 3=umur 37-43 tahun, 4=umur 44-50 tahun, 5=umur 51-57 tahun dan 6=umur 58-64 tahun)
JARAK
= Jarak ke sungai (1=0-50,00 m2, 2=50,01-100,00 m2, 3=100,01-200,00 m2, 4=200,01-300,00 m2 dan 5=300,01-500,00 m2)
LTU
= Luas tempat usaha (1=0-50,00 m2, 2=50,01100,00 m2, 3=100,01-150,00 m2 dan 4=>150,00 m2)
LU
= Pengalaman usaha (1=3-9 tahun, 2=10-16 tahun, 3=17-23 tahun, 4=24-30 tahun, 5=31-37 tahun dan 6=38-44 tahun)
JUML TANG = Jumlah tanggungan (1=0-1 orang, 2=2-3 orang, 3=4-5 orang, 4=6-7 orang, 5=8-9 orang dan 6=10-11 orang)
PDPTN
= Pendapatan usaha (1=Rp 0-Rp 150.000, 2=Rp 150.001-Rp 300.000, 3=Rp 300.001-Rp 450.000, 4=Rp 450.001-Rp 600.000, 5=Rp 600.001-Rp 750.000 dan 6=Rp 750.001-Rp 900.000
i
= Responden ke-i yang bersedia atau tidak melakukan pengolahan limbah (i= 1, 2, 3, ....,n) ei
= Error terms
β1, β2, β3, β4, β5 , β7 > 0 dan β6 < 0 Persamaan diatas disebut dengan persamaan logit/logistik. Dimana Z dikenal dengan logit yang merupakan logaritma dari rasio sebelumnya dan linier dalam variable independent dan parameter metode estimasinya adalah Maximum Likelihood Estimator (MLE) dan koefisien yang didapatkan konsisten. Pemilihan variabel berdasarkan teori-teori, penelitian terdahulu dan observasi di lapangan. Variabel tingkat pendidikan, luas tempat usaha, umur, pendapatan, pengalaman usaha, dan jarak ke sungai diduga berbanding lurus dengan tingkat kesediaan pengrajin tempe melakukan pengolahan limbah sedangkan variabel jumlah tanggungan diduga berbanding terbalik dengan tingkat kesediaan pengrajin tempe melakukan pengolahan limbah. Hubungan tersebut mengandung makna semakin tinggi tingkat pendidikan maka diduga akan semakin besar kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah. Dilihat dari luas tempat usaha terdapat hubungan positif yaitu semakin luas tempat usaha maka diduga akan semakin besar kesediaan melakukan pengolahan limbah. Variabel umur menunjukkan dugaan bahwa semakin bertambahnya umur maka tingkat kesediaan melakukan pengolahan limbah akan meningkat, sementara
hubungan dengan variabel pendapatan adalah semakin besar pendapatan maka diduga pengrajin semakin bersedia melakukan pengolahan limbah. Semakin berpengalaman dalam melakukan usaha tempe maka pengrajin semakin bersedia melakukan pengolahan limbah dan semakin jauh jarak rumah terhadap sungai akan semakin besar tingkat kesediaan pengrajin. Selain itu, semakin banyak jumlah tanggungan maka pengrajin akan semakin tidak bersedia melakukan pengolahan limbah. Pengujian Parameter Uji G
Statistik uji G adalah uji rasio kemungkinan maksimum (likelihood ratio test) yang digunakan untuk menguji peranan variabel penjelas secara serentak. Rumus umum untuk uji G (Hosmer dan Lameshow, 1989) adalah : ⎛l G = −2 ln⎜⎜ 0 ⎝ l1
⎞ ⎟⎟ ⎠
Dimana: lo
= nilai likelihood tanpa variabel penjelas
l1
= nilai likelihood model penuh Pengujian terhadap hipotesis pada uji G responden adalah sebagai berikut :
Ho = β 1 = β2 = ... = βk = 0 H1 = minimal ada satu βi tidak sama dengan nol, dimana i = 1, 2, .....5 Statistik G akan mengikuti sebaran χ2 dengan derajat bebas α. Kriteria keputusan yang diambil adalah jika G > χ2p(α), maka hipotesis nol (H0) ditolak. Uji G dapat digunakan untuk memeriksa apakah nilai yang diduga dengan peubah
di dalam model lebih baik jika dibandingkan dengan model tereduksi (Hosmer dan Lameshow, 1989). Uji Wald
Uji wald digunakan untuk menguji perbedaan pengaruh antara taraf atribut yang peubah bonekanya bernilai 1 dengan taraf lain dari atribut tersebut yang semua peubahnya bernilai 0. W =
βi SE (β i )
H0: βi = 0 H1 : βi ≠ 0 Dimana : βi
= Vektor koefisien dihubungkan dengan penduga (koefisien X)
SE (βi)
= Galat kesalahan dari βi
Odd ratio
Odd ratio merupakan kemunculan dari peubah respon (Y=1) sebesar exp (β) kali jika taraf atribut yang peubah bonekanya bernilai 1 muncul, dibandingkan dengn taraf atribut tersebut yang semua peubah bonekanya bernilai 0 muncul, dengan kata lain, odd ratio merupakan interpretasi dari sebuah peluang. Kebaikan Model
Berbeda dengan regresi linier, dalam regresi logit, tingkat kebaikan model dapat dilihat secara langsung dari Percentage Correct dalam Classification Table. Semakin persentase nilai yang muncul, semakin bagus model yang digunakan. Omnimbus Test Of Model Coefficient
Omnimbus test of model coefficient digunakan untuk melihat apakah model yang digunakan nyata atau tidak. Dalam metode pengujian ini terdapat
nilai chi-square yang merupakan rasio likelihood antara ‘model dengan variabel’ dengan ‘model tanpa variabel’. Interpretasi Koefisien
Jika koefisien bertanda (+) maka odd ratio akan lebih dari 1.
jika
variabelnya merupakan skala nominal (dummy) maka dummy = 1 memiliki kecenderungan untuk Y=1 sebesar exp (β) kali dibandingkan dengan dummy = 0. jika variabelnya bukan dummy maka semakin besar X maka exp (β) ≥ 1, sehingga semakin besar nilai X semakin besar pula kecenderungan untuk = 1. 4.5
Asumsi-asumsi
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis kelayakan finansial adalah sebagai berikut : 1. Umur proyek didasarkan pada umur proyek IPAL yaitu selama sepuluh tahun. 2. Tingkat suku bunga yang digunakan adalah 13 persen per tahun berdasarkan tingkat suku bunga kredit Bank Umum rata-rata untuk konsumsi dan investasi tahun 2008. 3. Manfaat yang diterima dalam proyek adalah manfaat yang tidak dapat dihitung. 4. Pajak dihitung berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Perhitungan mengenai pajak penghasilan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 2. Tarif Pajak Untuk Berbagai Lapisan Penghasilan Kena Pajak Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 0 s.d Rp 50.000.000,00 Rp 50.000.000,01- Rp 100.000.000,00 di atas Rp 100.000.000,00
Tarif Pajak 10% (sepuluh persen) 15% (lima belas persen) 30% (tiga puluh lima persen)
Sumber : UU RI no.17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU RI no.17 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dalam Sidauruk (2005).
4.6
1.
Definisi Operasional
Responden adalah unit industri rumah tangga yang membuang limbah cair langsung ke sungai.
2.
Limbah cair tempe adalah zat sisa (buangan) yang dihasilkan dari proses pencucian kedelai dalam produksi tempe dan tidak termasuk ampas kedelai.
3.
Harga produk adalah harga jual dari pengrajin tempe.
4.
Harga input adalah harga yang diterima oleh pengrajin untuk mendapatkan bahan baku untuk memproduksi tempe.
5.
Biaya investasi IPAL adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk membangun IPAL.
6.
Biaya operasional IPAL adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk pemeliharaan dan perawatan IPAL.
7.
Biaya eksternal adalah biaya yang untuk mengolah limbah menggunakan IPAL.
8.
Internalisasi biaya eksternal adalah biaya eksternal yang ditanggung oleh pengrajin.
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1
Gambaran Umum Desa Citeureup
5.1.1
Kondisi Geografis
Desa Citeureup terletak di wilayah Pembangunan Bogor Timur dengan luas wilayah seluas 311 Ha. Desa Citeureup berbatasan dengan Desa Gunung Putri Kecamatan Gunung Putri dan Desa Bantar Jati Kecamatan Klapanunggal di sebelah utara. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Karang Asem Timur dan Desa Tarikolot. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Karang Asem Barat dan Puspanegara sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Desa Gunung Sari dan Desa Lulut. Desa Citeureup terletak pada ketinggian 99.80-125 meter di atas permukaan laut. Curah hujan rata-rata 3.000-3.500 mm/tahun. Kelembaban dengan suhu rata-rata 24-330C. Bentuk wilayah Desa Citeureup berupa dataran rendah/berbukit/bergunung-gunung dengan kemiringan 99,80-1250. Desa Citeureup merupakan lokasi yang strategis karena jarak dari pusat pemerintahan cukup dekat. Jarak dari Kecamatan Citeureup yaitu 0,5 Kilometer. Jarak antara Desa Citeureup dengan Pemerintah Kabupaten Bogor yaitu 11 Kilometer. Jarak antara Desa Citeureup dengan Ibukota Propinsi Jawa Barat dan Ibukota Negara Republik Indonesia masing-masing yaitu 150 Kilometer dan 50 Kilometer. 5.1.2
Kependudukan
Jumlah penduduk Desa Citeureup pada tahun 2006 adalah 17.014 orang dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 4.351 orang. Penduduk Desa ini terdiri dari penduduk produktif sebesar 9.469 orang, penduduk bekerja 7.156 orang dan
pengangguran 2.339 orang. Jumlah penduduk produktif di Desa Citeureup cukup banyak karena umumnya penduduk tersebut bekerja sebagai pekerja industri. Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Citeureup Tahun 2006 Lingkungan Penduduk RW (orang)
I II III IV Jumlah
5.405 3.765 3.588 4.256 17.014
Kepala Keluarga (orang) 1.301 981 1.064 1.005 4.351
Penduduk Penduduk Pengangguran Produktif Bekerja (orang) (orang) (orang) 2.134 1.962 675 2.156 1.756 562 2.560 1.852 521 2.619 1.586 581 9.469 7.156 2.339
Sumber : Potensi Desa , 2006.
Penduduk di Desa Citeureup sebagian besar tingkat pendidikannya rendah yaitu 45,06 persen penduduk lulusan Sekolah Dasar. Hal ini disebabkan kurangnya sarana dan prasarana pendidikan di Desa Citeureup dan rendahnya pendapatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Penduduk yang lain yang lulus SLTP berjumlah 1.013 orang (23,71 persen), lulus SLTA sebanyak 918 orang (21,49 orang), dan lulus Perguruan Tinggi berjumlah 238 orang (5,57 orang). Penduduk yang tidak lulus Sekolah Dasar berjumlah 178 orang atau sebesar 4,17 persen. Tabel 4. Jumlah Penduduk Desa Citeureup Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2006 Tingkat Pendidikan
Tidak Lulus SD Lulusan SD Lulusan SLTP Lulusan SLTA Lulusan PT Total Sumber : Potensi Desa, 2006.
Penduduk (orang)
178 1.925 1.013 918 238 4.272
Persentase (persen)
4,17 45,06 23,71 21,49 5,57 100,00
5.1.3 Mata Pencaharian
Penduduk Desa Citeureup yang bekerja di bidang pertanian hanya sebesar 1,97 persen sangat kecil bila dibandingkan dengan bidang non pertanian yaitu 98,03 persen. Hal ini diakibatkan tingginya tingkat konversi lahan untuk kegiatan non pertanian, sehingga luas lahan yang digunakan untuk pertanian hanya 5 hektar sedangkan untuk non pertanian antara lain untuk pemukiman, industri rumah tangga dan kegiatan perdagangan sebesar 307,35 hektar (Potensi Desa, 2006). Penduduk yang bekerja di bidang pertanian yaitu petani hanya berjumlah 138 orang. Pada bidang non pertanian terdiri dari beberapa jenis pekerjaan yaitu pengusaha kecil, pegawai swasta, pegawai negeri sipil, pekerja di bidang jasa, pekerja kontraktor, TNI/POLRI, pedagang, pensiunan dan pengemudi. Penduduk yang bekerja di bidang non pertanian yang jumlahnya paling besar adalah pegawai swasta berjumlah 3.756 orang atau sebesar 53,68 persen, terutama bekerja sebagai buruh industri yang sebagian besar letaknya di Kota Cibinong. Selain itu, pekerja kontraktor dengan jumlah 1.227 orang (17,54 persen), pedagang berjumlah 987 orang (14,11 persen), pekerja di bidang jasa berjumlah 365 orang (5,22 persen) dan pengemudi dengan jumlah 236 orang (3,37 persen). Penduduk yang bekerja di bidang non pertanian yang lain adalah pengusaha kecil berjumlah 142 orang yang didalamnya termasuk pengrajin tempe (2,03 persen), PNS berjumlah 93 orang, pensiunan dengan jumlah 39 orang (0,56 persen) serta TNI/POLRI sebanyak 14 orang (0,20 persen). Umumnya penduduk yang bekerja di bidang non pertanian jumlahnya lebih besar daripada penduduk yang bekerja di bidang pertanian. Hal ini dikarenakan Desa Citeureup sebagian besar lahannya digunakan untuk
pemukiman, industri dan bangunan-bangunan untuk berdagang, sehingga lahan untuk pertanian sangat kecil. Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2006 Jenis Pekerjaan
Petani Pengusaha Kecil Pegawai Swasta Pegawai Negeri Sipil Pekerja Kontraktor Jasa TNI/POLRI Pedagang Pensiunan Pengemudi Total
Jumlah Penduduk (orang) 138 142 3.756 93 1.227 365 14 987 39 236 6.997
Persentase (persen)
1,97 2,03 53,68 1,33 17,54 5,22 0,20 14,11 0,56 3,37 100,00
Sumber : Potensi Desa, 2006.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penduduk di Desa Citeureup umumnya produktif karena jumlah penduduk produktif yang lebih besar daripada penduduk yang tidak produktif, tingkat pendidikannya rendah karena 45,06 persen penduduk lulusan Sekolah Dasar serta bermata pencaharian sebagai pegawai swasta sebesar 3.756 orang (53,68 persen). Hal ini dikarenakan sebagian penduduk lulusan Sekolah Dasar dan terdapat industri di daerah tersebut yang menyerap banyak tenaga kerja dari penduduk di Desa Citeureup. 5.2
Gambaran Umum Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup
Jumlah industri tempe di Desa Citeureup berjumlah 100 pengrajin tempe (Lampiran 2). Jumlah industri tempe di Desa Citeureup mengalami penurunan pada awal tahun 2008 karena banyaknya pengrajin tempe skala kecil yang gulung tikar akibat kenaikan harga kedelai padahal tahun sebelumnya jumlah pengrajin tempe cukup banyak. Ada sekitar 96 orang pengrajin yang menjadi anggota
Koperasi Produsen Tahu-Tempe Indonesia (KOPTI) Kabupaten Bogor. Peran KOPTI Kabupaten Bogor sebagai supply input dari proses produksi tempe yaitu kedelai. KOPTI Kabupaten Bogor memasok kedelai kepada pengrajin tempe yang menjadi anggotanya. Pengrajin tempe melakukan kegiatan produksi di rumah masing-masing. Letak industri tempe sangat dekat dengan sungai dan letak antara satu industri tempe dengan industri tempe lainnya berdekatan. Industri tempe mengumpul pada suatu tempat yaitu seluruhnya berada di pinggir sungai. Hal ini menyebabkan pengrajin langsung membuang limbah sisa produksi ke sungai. Pengrajin umumnya langsung memasarkan hasil produksinya ke pasar-pasar terdekat di wilayah Kabupaten Bogor sehingga tempe yang dihasilkan memenuhi permintaan tempe di daerah tersebut. Hasil produksi tempe dapat memenuhi sebagian dari total permintaan tempe. Hal ini dikarenakan jumlah industri tempe di Desa Citeureup paling banyak diantara industri tempe di Desa lain yang berada di Kabupaten Bogor. 5.3
Pemanfaatan Sungai Di Desa Citeureup
Masyarakat di sekitar sungai Desa Citeureup menggunakan air tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Umumnya masyarakat sekitar sungai menggunakan air tersebut untuk mencuci, mandi dan sebagainya. Hal ini dikarenakan lahan di sekitar sungai tersebut digunakan untuk pemukiman, tempat kost, tempat usaha seperti tempat cuci mobil atau motor sedangkan di hilir sungai DAS Kali Bekasi digunakan untuk memelihara ikan dalam tambak terapung. Tetapi saat ini sungai di Desa Citeureup dan hilirnya sudah tidak dapat digunakan lagi untuk melakukan aktivitas-aktivitas tersebut.
Limbah cair tempe yang berpotensi mencemari sungai berasal dari proses perebusan kedelai dan yang berasal dari proses perendaman kedelai. Limbah cair tempe mengandung kadar BOD dan COD yang cukup tinggi dan dapat menyebabkan tercemarnya air sungai. Sungai yang tercemar akan mengurangi kualitas
sungai
dan
menimbulkan
kerugian
kepada
masyarakat
yang
menggunakan sungai tersebut. Data sifat kimia limbah cair industri tempe tersaji dalam Tabel 6. Tabel 6. Sifat Fisika Kimia Limbah Cair Tempe Dibandingkan dengan Standar Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Industri Menurut KEP.51/MENLH/10/1995 No. Parameter
Fisika 1. Suhu 2. TDS 3. TSS Kimia 1. pH 2. Fe 3. Cu 4. Zn 5. NH3-N 6. NO3-N 7. NO2-N 8. BOD 9. COD
Satuan
Standar Baku Mutu
Limbah Cair Rebusan
Limbah Cair Rendaman
(0C) (mg/l) (mg/l)
40 4.000 400
75* 25.060* 4.012*
32 25.254* 4.551*
(mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l)
6-9 10 3 10 5 30 3 150 300
6 0,89 0,62 2,37 16,5* 12,52 ttd 1.302,03* 4.188,27*
4,16* 2,0 0,63 2,58 26,7* 14,08 ttd 31.380,87* 35.398,87*
Sumber : Wiryani, 1991.
Keterangan : * Melampaui standar baku mutu limbah cair bagi industri menurut KEP.51/MENLH/10/1995 ttd : tidak terdeteksi Berdasarkan Tabel 6, limbah cair tempe dari proses rendaman dan proses rebusan tidak memenuhi standar baku mutu limbah cair untuk industri. Hal ini akan menyebabkan tercemarnya air sungai jika limbah cair tempe langsung dibuang ke sungai tanpa mengalami proses pengolahan limbah terlebih dahulu.
Tanpa proses pengolahan limbah terlebih dahulu, kandungan limbah cair tempe dapat membahayakan masyarakat yang menggunakan air tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sungai di Desa Citeureup yang menjadi lokasi penelitian merupakan salah satu dari Daerah Aliran Sungai Kali Bekasi yang kualitasnya semakin memburuk akibat tingginya kadar BOD dan COD yang berasal dari limbah industri salah satunya industri tempe. 5.4.
Dampak Limbah Cair Tempe Terhadap Lingkungan dan Masyarakat Desa Citeureup
Limbah cair tempe dapat menyebabkan kualitas lingkungan sekitar sungai menurun karena tercemarnya air tersebut oleh kandungan bahan organik yang terdapat didalamnya. Bahan organik tersebut akan mengalami perubahan menjadi zat beracun bila dibiarkan dan digunakan oleh masyarakat. Beberapa dampak yang dirasakan oleh masyarakat sekitar sungai dan hilirnya akibat limbah industri tempe adalah badan terasa gatal-gatal ketika mandi menggunakan air tersebut, pakaian yang dicuci menjadi kotor dan berminyak, binatang air seperti ikan dan udang pun mengambang di permukaan karena mabuk, air yang digunakan mencuci sangat kotor dan berbau busuk serta air dapat menyebabkan penyakit pada tubuh manusia yang meminumnya dan menggunakannya seperti penyakit diare dan kulit seperti gatal. Di hilir sungai Desa Citeureup ada warga yang menggunakan air tersebut untuk tempat pemancingan ikan, memenuhi kebutuhan hidupnya seperti mandi, mencuci pakaian dan sebagainya. Hal ini karena sebagian besar masyarakat sekitar sungai merupakan pemukiman penduduk dan tempat kost. Jika limbah cair tempe dibiarkan tanpa diolah terlebih dahulu maka akan banyak sekali kerugian yang ditimbulkan akibat limbah cair industri yang
langsung dibuang ke sungai, sehingga diperlukan proses pengolahan air limbah sebelum dibuang ke sungai.
VI. KARAKTERISTIK SOSIAL DAN EKONOMI PENGRAJIN TEMPE DESA CITEUREUP 6.1
Karakteristik Sosial Pengrajin Tempe Desa Citeureup
Dalam penelitian ini terdapat 31 orang pengrajin tempe yang menjadi responden. Responden diambil dari total populasi yang berjumlah 100 orang. Responden diidentifikasi berdasarkan tingkat umur, pengalaman usaha, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan. 6.1.1
Tingkat Umur
Umur pengrajin tempe di Desa Citeureup berkisar antara 23 tahun sampai 60 tahun. Dilihat dari kelompok umur, jumlah responden terbesar ada pada kelompok umur 30-43 tahun yaitu 21 orang atau 67,74 persen. Kelompok umur tersebut tergolong kelompok umur produktif yang menyatakan bahwa pengrajin umumnya produktif dalam menjalankan usahanya. Usaha ini dijalankan secara turun-temurun sehingga banyak anak-anaknya yang meneruskan usaha tersebut. Hal ini terlihat jelas pada Tabel 7. Tabel 7. Umur Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 Tingkat Umur (tahun) 23-29 30-36 37-43 44-50 51-57 58-64 Total Sumber : Data primer (diolah).
Pengrajin tempe (orang)
Persentase (persen)
3 12 9 4 1 2 31
9,68 38,71 29,03 12,90 3,23 6,45 100,00
6.1.2
Pengalaman Usaha
Pengalaman usaha pengrajin tempe di Desa Citeureup yaitu minimal 3 tahun dan maksimal 40 tahun. Dilihat dari pengalaman usaha, jumlah pengrajin yang paling besar berada pada kelompok pengalaman usaha 10-23 tahun yaitu 19 orang (61,29 persen). Hal ini berkaitan dengan kelompok umur yang tergolong usia produktif sehingga pengalaman usaha yang dimiliki cukup lama. Umumnya pengrajin memiliki pengalaman usaha yang cukup lama karena keterampilan dalam membuat tempe merupakan warisan turun-temurun, sehingga menunjukkan pengrajin sangat berpengalaman dalam usaha tempe yang dijalankan. Lebih rinci terlihat pada Tabel 8. Tabel 8. Pengalaman Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 Pengalaman Usaha (tahun) 3-9 10-16 17-23 24-30 31-37 38-44 Total
Pengrajin Tempe (orang)
Persentase (persen)
7 14 5 4 0 1 31
22,58 45,16 16,13 12,90 0,00 3,23 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
6.1.3
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan pengrajin tempe di Desa Citeureup beragam dari tamatan Sekolah Dasar/Sederajat hingga tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/Sederajat. Pengrajin tempe yang tamat Sekolah Dasar berjumlah 25 orang (80,65 persen. Umumnya tingkat pendidikan pengrajin tempe adalah tamat Sekolah Dasar (SD). Hal ini dikarenakan kurangnya sarana dan prasarana pendidikan di Desa Citeureup dan tingginya biaya pendidikan, sehingga pengrajin
tempe hanya bisa mengenyam pendidikan hingga tamat SD. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan adopsi teknologi dalam pembuatan tempe oleh masyarakat pun rendah. Teknologi yang digunakan pengrajin dalam membuat tempe yaitu teknologi yang sifatnya tradisional dan tidak memerlukan tingkat pendidikan yang tinggi untuk menggunakan alat-alat untuk membuat tempe. Penggunaan alat-alat umumnya dilakukan secara manual. Tingkat pendidikan yang rendah juga menyebabkan kesadaran pengrajin untuk memelihara lingkungan sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Tingkat Pendidikan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 Tingkat Pendidikan
Pengrajin Tempe (orang)
Tamat SD/Sederajat Tamat SLTP/Sederajat Tamat SLTA/Sederajat Total
Persentase (persen)
25 4 2 31
80,65 12,90 6,45 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
6.1.4
Jumlah Tanggungan
Jumlah tanggungan merupakan jumlah anggota keluarga pengrajin tempe yang terdiri dari istri, anak, menantu dan cucu dan beberapa dari anggota keluarga tersebut dijadikan tenaga kerja dalam keluarga. Jumlah tanggungan berarti jumlah anggota keluarga yang menempati satu tempat dan satu manajemen keuangan. Pengrajin tempe memiliki jumlah tanggungan yang berkisar antara 0-11 orang. Dominan pengrajin memiliki jumlah tanggungan 0-3 orang yaitu 17 orang (54,84 persen). Jumlah tanggungan yang banyak akan meningkatkan biaya hidup sehingga dapat mempengaruhi kesediaan pengrajin dalam melakukan pengolahan limbah. Hal ini terlihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Jumlah Tanggungan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 Jumlah Tanggungan (orang) 0-1 2-3 4-5 6-7 8-9 10-11 Total
Pengrajin Tempe (orang)
Persentase (persen)
3 14 9 2 2 1 31
9,68 45,16 29,03 6,45 6,45 3,23 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
6.2
Karakteristik Ekonomi Pengrajin Tempe Desa Citeureup
Karakteristik ekonomi pengrajin tempe diidentifikasi berdasarkan luas tempat usaha, skala usaha, proses produksi, kapasitas produksi, tingkat pendapatan, jumlah tenaga kerja, saluran pemasaran dan jarak ke sungai. Berikut beberapa karakteristik ekonomi pengrajin tempe di Desa Citeureup yaitu : 6.2.1 Luas Tempat Usaha
Luas tempat usaha yang digunakan untuk melakukan produksi umumnya relatif kecil. Berdasarkan luas tempat usaha, jumlah pengrajin terbesar memiliki luas tempat usaha 0-100 m2 yaitu sebesar 23 orang (74,19 persen). Pengrajin umumnya luas tempat usahanya tidak luas karena kemampuan produksi mereka yang relatif kecil yaitu mayoritas kurang dari 100 kilogram kedelai sekali produksi sehingga tidak memerlukan tempat yang luas. Luas tempat usaha yang relatif kecil akan mempengaruhi kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah. Hal ini lebih terlihat jelas pada Tabel 11.
Tabel 11. Luas Tempat Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 Luas Tempat Usaha (m2) 0-50,00 50,01-100,00 100,01-150,00 >150,00 Total
Pengrajin tempe (orang)
Persentase (persen)
2 21 7 1 31
6,45 67,74 22,58 3,23 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
6.2.2
Skala Usaha
Skala usaha yang dilakukan oleh pengrajin tempe beragam yaitu mulai dari kurang dari 100 kilogram kedelai sampai lebih dari 300 kilogram kedelai. Jika dilihat dari skalanya, usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup tergolong skala usaha kecil karena jumlah pengrajin yang skala usahanya kurang dari 100 kilogram berjumlah 25 orang (80,65 persen). Pengrajin yang skala usahanya antara 100,01-200,00 kilogram berjumlah 3 orang (9,68 persen), pengrajin yang skala usahanya berkisar 200,01-300,00 kilogram berjumlah 2 orang (6,45 persen) dan hanya 1 orang yang skala usahanya lebih besar daripada 300 kilogram kedelai setiap kali produksi. Skala usaha tersebut menyebabkan pula kapasitas produksi yang dihasilkan rendah. Lebih rinci mengenai skala usaha pengrajin tempe dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Skala Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 Skala usaha (kg kedelai/sekali produksi) ≤ 100 100,01-200,00 200,01-300,00 >300 Total Sumber : Data primer (diolah).
Pengrajin Tempe (orang)
Persentase (persen)
25 3 2 1 31
80,65 9,68 6,45 3,23 100,00
6.2.3
Proses Produksi
Usaha pengolahan tempe di Desa Citeureup dilakukan setiap hari. Kegiatan produksi tidak pernah berhenti karena pengrajin tempe umumnya menjual tempe setiap hari. Pengrajin membuat tempe dengan menggunakan beberapa peralatan dan bahan baku seperti penggilingan, drum untuk merebus dan merendam, tungku, rak(kerai) dari bambu, saringan, pisau, tusukan, kedelai, ragi, pewarna, daun, plastik, dan serbuk kayu/kayu bakar. Dilihat dari peralatan yang digunakan teknologi pembuatan tempe masih tergolong sederhana. Kedelai yang digunakan sebagai bahan baku merupakan kedelai impor dengan kisaran harga Rp 6.850-Rp 7.500 per kilogram kedelai. Semua pengrajin tempe menggunakan kedelai impor karena harganya yang lebih murah daripada kedelai lokal dan kualitas dari kedelai impor yang dinilai lebih baik. Kedelai impor didapatkan dari KOPTI atau pedagang pengecer. Bahan baku lain yang digunakan untuk membuat tempe adalah ragi. Ratarata untuk 109 kilogram kedelai diperlukan ragi 0,52 kilogram (5,2 ons) dengan harga rata-rata per kilogram Rp 11.629. Selain itu, untuk kegiatan produksi tempe digunakan pewarna sebanyak empat bungkus dengan harga Rp 500 per bungkus. Untuk bahan bakar, pengrajin tempe ada yang menggunakan serbuk kayu sisa furniture atau kayu bakar yang berasal dari toko furniture. Rata-rata volume serbuk kayu atau kayu bakar yang digunakan untuk satu kali produksi adalah satu karung dengan harga rata-rata Rp 9.161 per karung. Pengrajin menggunakan bahan pemgemas dari daun dan plastik. Daun yang digunakan rata-rata Rp 13.855 setiap kali produksi. Plastik yang digunakan untuk 109 kilogram kedelai adalah satu kilogram dengan harga rata-rata per
kilogram Rp 20.597. Skala usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup sangat beragam dan terdiri dari pengrajin yang skala usahanya 0-50 kilogram kedelai per hari, 50-100 kilogram kedelai per hari dan diatas 100 kilogram per hari. Skala usaha yang berada pada kisaran 0-100 kilogram kedelai per hari tergolong kecil sedangkan skala usaha yang berada pada kisaran lebih dari 100 kilogram per hari tergolong usaha yang berskala besar. Proses pembuatan tempe di Desa Citeureup terdiri dari beberapa tahapan. Hal yang pertama kali dilakukan adalah proses perebusan kedelai selama kurang lebih dua jam. Perebusan ini bertujuan untuk melunakkan kedelai sehingga mempermudah proses fermentasi. Selanjutnya kedelai rebus direndam dalam air dingin kurang lebih 12 jam dimana selama perendaman telah berlangsung proses pengasaman. Keesokan harinya kedelai dicuci dan dibilas kemudian digiling agar terpisah dari kulitnya. Kemudian kedelai tersebut disaring agar benar-benar bersih dari kulitnya. Setelah bersih kedelai diberi ragi lalu dibungkus dan dibentuk kemudian diperam sampai matang. Proses pemeraman ini biasanya memerlukan waktu kurang lebih 36 jam. Tempe yang telah matang dapat dipasarkan ke konsumen. Pembuatan tempe dari awal hingga dapat dipasarkan memerlukan waktu sekitar tiga hari. Tempe dipasarkan oleh pengrajin tempe itu sendiri biasanya pengrajin berdagang di pasar, selain itu tempe juga dipasarkan oleh pedagang pengecer yang membeli tempe dari pengrajin. Ada juga pengrajin yang memasarkan tempenya kepada rumah makan (katering).
6.2.4
Kapasitas Produksi
Kapasitas produksi tempe merupakan jumlah tempe yang dihasilkan dalam setiap kali produksi. Jumlah tempe yang dihasilkan cukup beragam mulai dari 48 kilogram setiap kali produksi sampai dengan 720 kilogram tempe sekali produksi. Kapasitas produksi tergantung dari skala usaha yang dijalankan oleh pengrajin tempe. Jumlah pengrajin terbesar berada pada kapasitas produksi dibawah 200 kilogram sekali produksi yaitu 22 orang (70,97 persen). Kapasitas produksi yang cukup rendah menyebabkan tingkat pendapatan juga rendah. Sisa hasil produksi yang berupa ampas kedelai dijual oleh pengrajin untuk makanan ternak dengan harga satu karung ampas dijual Rp 5.000. Lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Kapasitas Produksi Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 Kapasitas Produksi (kg tempe/sekali produksi) ≤ 100,00 100,01-200,00 200,01-300,00 300,01-400,00 400,01-500,00 > 500,00 Total
Pengrajin Tempe (orang)
Persentase (persen)
7 15 4 2 2 1 31
22,58 48,39 12,90 6,45 6,45 3,23 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
6.2.5
Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan pengrajin tempe di Desa Citeureup sangat beragam. Hal ini disebabkan oleh perbedaan skala usahanya. Umumnya pengrajin memiliki pendapatan kurang dari Rp 150.000 sekali produksi yaitu 24 orang (77,42 persen). Sebagian besar pengrajin memiliki pendapatan yang rendah yaitu kurang dari Rp 150.000 sekali produksi, hal ini disebabkan skala usaha yang relatif kecil (kurang dari 100 kilogram kedelai) sehingga pendapatan yang diterima juga rendah.
Pengrajin yang skala usahanya relatif besar (lebih besar dari 100 kilogram kedelai) memiliki pendapatan yang cukup besar dibandingkan dengan pengrajin yang skala usahanya kecil. Lebih rinci mengenai pendapatan pengrajin tempe Desa Citeureup dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Tingkat Pendapatan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 Tingkat Pendapatan (Rp/sekali produksi) 0-150.000 150.001-300.000 300.001-450.000 450.001-600.000 600.001-750.000 750.001-900.000 Total
Tingkat Pendapatan (Rp/tahun)
0-48.900.000 48.900.001-97.800.000 97.800.001-146.700.000 146.700.001-195.600.000 195.600.001-244.500.000 244.500.001-293.400.000
Pengrajin Tempe (orang)
24 1 2 3 0 1 31
Persentase (persen)
77,42 3,23 6,45 9,68 0,00 3,23 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
6.2.6
Tenaga Kerja
Berdasarkan hal tersebut, jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk produksi tidaklah banyak hal ini dikarenakan pengrajin umumnya memiliki anggota keluarga yang dapat menjadi tenaga kerja dalam keluarga. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dilakukan untuk menekan biaya produksi. Tenaga kerja dari luar keluarga yang digunakan untuk setiap rumah tangga pengrajin adalah 1-4 orang. Rata-rata upah yang diberikan kepada tenaga kerja berkisar antara Rp 25.000 sampai Rp 50.000. Jam kerja umumnya 8 jam sehari dengan kisaran waktu yaitu 5-10 jam per hari. Sebagian besar pengrajin menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang hubungannya sangat erat dengan pengrajin yaitu istri atau anak. Umumnya
pengrajin menggunakan seorang anggota keluarganya yaitu istri. Tenaga kerja dalam keluarga umumnya tidak diberi upah. 6.2.7
Saluran Pemasaran
Ada tiga saluran pemasaran yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu : a. Pengrajin Æ Konsumen Pengrajin yang langsung menjual ke konsumen umumnya menjualnya langsung ke pasar dengan jumlah 20 orang (64,52 persen). Pengrajin bertindak langsung sebagai pedagang yang menjual tempe. Biasanya pengrajin berjualan di pasar-pasar terdekat seperti pasar Citeureup, Cileungsi, Cibinong, Jonggol dan Wanaherang. Konsumen yang dihadapi oleh penjual adalah konsumen akhir yang berasal dari rumah tangga. Pengrajin umumnya langsung menjual ke pasar terdekat dengan alasan dapat memberikan keuntungan yang lebih besar daripada menjual ke perantara. Hal ini dikarenakan jika pengrajin menjual ke perantara dengan harga yang lebih murah maka keuntungan yang diterima semakin kecil. b. Pengrajin Æ Pedagang di Pasar Æ Konsumen Saluran pemasaran yang lain adalah pengrajin menjual tempe kepada pedagang di pasar. Dari pedagang di pasar, konsumen dapat membeli tempe yang dibuat oleh pengrajin. Sehingga pengrajin tidak langsung menjual tempe kepada konsumen. Jumlah pengrajin yang menjual tempe kepada pedagang di pasar ada 6 orang (19,35 persen). c. Pengrajin Æ Rumah Makan (katering) Æ Konsumen Saluran pemasaran tempe yang terakhir yaitu tempe dijual kepada rumah makan (katering) lalu dibeli oleh konsumen setelah diberi proses pengolahan yang lain dari rumah makan seperti dicampur dengan makanan lain,
digoreng, dibakar dan sebagainya. Jumlah pengrajin yang menjual tempe kepada rumah makan berjumlah 5 orang (16,13 persen). Di samping itu, apabila ada permintaan dari rumah makan (katering) maka pengrajin akan berproduksi melebihi kapasitas biasa per hari untuk memenuhi permintaan tersebut. Hal ini dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 15. Tabel 15. Saluran Pemasaran Usaha Pembuatan Tempe Desa Citeureup Saluran Pemasaran
a. Pengrajin Æ Konsumen b. Pengrajin Æ Pedagang di Pasar Æ Konsumen c. PengrajinÆRumahMakan (katering)ÆKonsumen Total
Jumlah Persentase Pengrajin (persen) (orang) 20 64,52 6 19,35 5 16,13 31 100,00
Sumber : data primer (diolah)
Berdasarkan Tabel 16, dapat disimpulkan bahwa saluran pemasaran yang paling menguntungkan untuk pengrajin tempe adalah saluran pemasaran dari pengrajin langsung dijual kepada konsumen. Hal ini karena pengrajin tempe dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar apabila langsung menjual ke pasar daripada menjualnya kepada pedagang perantara terlebih dahulu. 6.2.8 Jarak Rumah Ke Sungai
Jarak antara rumah pengrajin ke sungai sangat beragam, mulai dari 10 m2 sampai dengan 500 m2. Dominan pengrajin memiliki rumah yang berjarak kurang dari 50,00 m2 ke sungai berjumlah 22 orang (70,97 persen). Sebagian besar pengrajin memiliki jarak yang dekat ke sungai sehingga memudahkan pengrajin untuk membuang langsung ke sungai dan menyebabkan pencemaran sungai. Jarak antara rumah ke sungai yang dekat akan mempengaruhi kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah. Lebih rinci mengenai jarak rumah pengrajin ke sungai dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Jarak Rumah ke Sungai Jarak (m2)
0-50,00 50,01-100,00 100,01-200,00 200,01-300,00 300,01-500,00 Total Sumber : Data primer (diolah).
Pengrajin Tempe (orang)
Persentase (persen)
22 2 3 2 2 31
70,97 6,45 9,68 6,45 6,45 100,00
VII. KERAGAAN EKONOMI USAHA PEMBUATAN TEMPE
Arus tunai usaha pengolahan tempe di Desa Citeureup terdiri dari arus manfaat atau arus penerimaan dan arus biaya atau arus pengeluaran. Manfaat dan biaya dalam analisis ini dibatasi pada manfaat dan biaya yang dapat diperhitungkan (tangible). Umur proyek sepuluh tahun yang didasarkan pada umur teknis IPAL yang merupakan komponen investasi yang paling utama dalam analisis ini. Sehingga arus tunai yang diperhitungkan dalam analisis ini dimulai pada tahun kenol hingga tahun kesepuluh. Pada tahun kenol merupakan tahun awal memulai investasi sehingga hanya mengeluarkan biaya investasi dan biaya operasional dimulai pada tahun pertama karena proses produksi dimulai pada tahun pertama. Angka-angka dalam arus tunai tahun pertama diasumsikan sama dengan hingga tahun kesepuluh. 7.1
Arus Penerimaan
Arus penerimaan usaha tempe di Desa Citeureup terdiri dari: (1) Nilai produksi total yang mencakup penerimaan dari produk utama (tempe) dan penerimaan dari produk sampingan (ampas kedelai) serta (2) Nilai sisa. Perhitungan nilai sisa (salvage value) pada akhir proyek dimasukkan kedalam arus penerimaan. Jumlah penerimaan dipengaruhi oleh satu faktor yaitu pendapatan kotor rata-rata. Nilai produksi total diperoleh dari pendapatan kotor dari penjualan tempe dan penjualan ampas kedelai. Nilai produksi total pada tahun pertama diasumsikan sama dengan tahun berikutnya yaitu pertambahan antara pendapatan yang diperoleh dari penjualan tempe dan penjualan ampas kedelai. Nilai produksi total tidak dihitung dari perkalian antara jumlah produk yang dihasilkan dengan
harga jualnya karena jumlah produk yang dihasilkan setiap harinya tidak menentu dan tidak dihitung oleh pengrajin. Penerimaan dari produk utama diperoleh dari pendapatan kotor dari penjualan. Harga jual rata-rata tempe bervariasi dari yang dibungkus dengan daun dan dengan plastik. Harga jual tempe untuk produk yang dibungkus dengan daun adalah Rp 1.500 per buah dan Rp 2.500 per buah untuk produk yang dibungkus dengan plastik. Dalam sebulan terdapat 27 kali produksi (30 hari). Jumlah tersebut dikalikan dengan 12 bulan kemudian hasilnya ditambah dengan jumlah produksi 5 hari yang tersisa (2 kali produksi) sehingga diperoleh dalam setahun rata-rata pengrajin tempe melakukan 326 kali produksi. Pendapatan rata-rata yang diperoleh per sekali produksi adalah Rp 1.045.161 atau sama dengan Rp 340,722,486 per tahun (99,65 persen). Sehingga diperoleh total penerimaan sebesar Rp 340,722,486 per tahun pada tahun pertama sampai dengan tahun kesembilan. Pada tahun kesepuluh penerimaan ditambah dengan nilai sisa menjadi Rp 341,919,923 per tahun. Dalam satu kali produksi rata-rata ampas kedelai yang dihasilkan sebesar 0,4 karung. Harga jual rata-rata 1 karung ampas kedelai adalah Rp 1.548. Jumlah tersebut sama dengan Rp 201.468 per tahun (0,06 persen). Nilai sisa merupakan nilai akhir dari nilai barang yang belum habis terpakai yaitu nilai drum rendam dan cuci, penggilingan dan rak (kerai) dari bambu. Jumlah seluruh nilai sisa adalah sebesar Rp 995.969 pada akhir tahun proyek yaitu pada tahun kesepuluh atau sebesar
0,29 persen. Lebih rinci
mengenai penerimaan usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup terlihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Penerimaan Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup Arus Penerimaan No. 1. Nilai Produksi : Utama 2. Sampingan 3. Nilai sisa Total Penerimaan
Jumlah (Rupiah/tahun) 340.722.486 201.468 995.969 341.919.923
Persentase (persen) 99,65 0,06 0,29 100,00
Sumber : Data Primer (diolah)
7.2
Arus Pengeluaran
Arus pengeluaran dalam analisis ini dibagi atas dua bagian yaitu biaya investasi dan biaya operasional. Keduanya merupakan perhitungan sebelum ada IPAL. Berikut disajikan rincian biaya-biaya tersebut : 7.2.1
Biaya Investasi
Biaya investasi pada tahun awal sebelum ada IPAL terdiri dari biaya-biaya yaitu lahan dan bangunan, drum rebus, drum rendam dan cuci, penggilingan, rak kerai dari bambu, dan tungku. Lahan dan bangunan merupakan komponen investasi yang paling besar dengan luas rata-rata 110 m2 dengan harga per meter kubik Rp 380.645 (93,53 persen). Selain lahan dan bangunan, yang termasuk ke dalam investasi adalah peralatan seperti drum rebus dengan harga rata-rata per satuan Rp 81.290 (0,18 persen), 3 drum rendam dan cuci dengan harga per satuan Rp 95.000 (0,64 persen) dan penggilingan seharga Rp 1.358.065 (3,03 persen). Jenis investasi yang lain adalah rak kerai dari bambu seharga Rp 1.024.119 per 53 kerai (2,28 persen) dan tungku Rp 150.000 (0,34 persen). Total biaya investasi usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup sebesar Rp 44.769.328. Rincian biaya investasi pada usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup sebelum ada IPAL terlihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Investasi Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup No.
Biaya-biaya investasi
Jumlah (Rupiah/tahun)
110 m2 Lahan (Rp 380.645/m2) 2. 1 Drum Rebus 3. 3 Drum Rendam dan cuci 4. Penggilingan 5. Rak(kerai) dari Bambu 6. Tungku Total Biaya Investasi
Umur Teknis (tahun)
Persentase (persen)
1.
41.870.950 81.290
10,0 1,0
93,53 0,18
285.000 1.358.065 1.024.119 150.000 44.769.328
3,6 2,0 6,4 2,0 15,0
0,64 3,03 2,28 0,34 100,00
Sumber : Data Primer (diolah)
7.2.2
Biaya Operasional
Biaya operasional sebelum ada IPAL terdiri dari biaya tetap dan variabel. Biaya tetap terdiri dari upah tenaga kerja, biaya transportasi, listrik dan biaya sewa sedangkan biaya variabel terdiri dari kedelai, ragi, pewarna, daun, plastik, bahan bakar dan biaya perlengkapan. Rata-rata tenaga kerja per rumah tangga pengrajin adalah dua orang dengan upah sekali produksi Rp 37.258 atau sama dengan Rp 24.292.216 per tahun. Komponen biaya tetap terbesar adalah tenaga kerja dengan persentase sebesar 8,15 persen. Biaya tetap lain adalah biaya transportasi yang jumlahnya sebesar Rp 10.000 per hari atau sama dengan Rp 3.260.000 per tahun (1,09 persen). Kedelai merupakan komponen biaya variabel yang terbesar yaitu sebesar 83,25 persen dengan kapasitas produksi 109 kilogram sekali produksi dengan harga rata-rata per kilogram Rp 6.985 maka diperoleh Rp 248.204.990 per tahun. Rata-rata volume ragi yang digunakan untuk sekali produksi adalah 0,52 kilogram (harga per kilogram Rp 11.887) atau sama dengan Rp 2.015.006 per tahun (0,68 persen).
Selain kedelai dan ragi, bahan yang digunakan untuk produksi tempe adalah pewarna dengan harga per bungkus Rp 500 dan yang digunakan sekali produksi empat bungkus. Penggunaan pewarna per tahun menjadi Rp 652.000 atau sebesar 0,22 persen. Untuk bahan pembungkus kedelai digunakan daun sebesar Rp 4.516.730 per tahun (1,52 persen) dan plastik sebesar Rp 6.714.622 per tahun (2,25 persen). Bahan bakar yang digunakan dalam usaha tersebut adalah serbuk kayu atau kayu bakar dengan pemakaian sebesar Rp 2.986.486 per tahun (1,00 persen). Biaya variabel yang lain adalah biaya listrik dengan pemakaian sebesar Rp 1.200.000 per tahun atau sebesar 0,40 persen. Biaya yang terakhir yaitu biaya perlengkapan yang terdiri dari saringan Rp 92.904 per tahun, pisau Rp 1.000 dan alat penusuk Rp 10.000. Total biaya operasional usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup adalah sebesar Rp 298.145.954 per tahun. Lebih lengkap terlihat pada Tabel 19. Tabel 19. Biaya Operasional Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup No.
Biaya-biaya Operasional
1. Biaya Tetap : Transportasi 2. Upah Tenaga Kerja 3. Listrik 4. Sewa kios 5. Biaya Variabel : Kedelai 6. Ragi 7. Daun 8. Plastik 9. Pewarna 10. Bahan Bakar 11. Saringan 12. Pisau 13. Alat Penusuk Total Biaya Operasional Sumber : Data Primer (diolah)
Jumlah (Rupiah/tahun) 3.260.000 24.292.216 1.200.000 4.200.000 248.204.990 2.015.006 4.516.730 6.714.622 652.000 2.986.486 92.904 10.000 1.000 298.145.954
Persentase (persen) 1,09 8,15 0,40 1,41 83,25 0,68 1,52 2,25 0,22 1,00 0,03 0,00 0,00 100,00
VIII. BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH DENGAN TEKNIK BIOGAS PER RUMAH TANGGA PENGRAJIN TEMPE 8.1
Mekanisme Sistem Pengolahan Limbah Cair dengan IPAL
Teknik pengolahan limbah dengan IPAL ada dua yaitu IPAL terpadu dan IPAL teknik biogas. Teknik pengolahan limbah cair yang dapat bermanfaat bagi pengrajin tempe adalah teknik biogas dengan biodigester karena (1) Biaya investasi untuk membangun IPAL biogas lebih rendah dan (2) Gas methan yang dihasilkan dari pengolahan limbah tersebut dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif yang menghasilkan gas-bio. Gas-bio tersebut dapat digunakan untuk produksi dan kebutuhan rumah tangga pengrajin tempe seperti memasak, lampu dan sebagainya.IPAL dengan teknik biogas terdiri dari bak inlet, biodigester, bak peluapan, Aerobic Baffled Reactor (ABR), Anaerobic Filter (AF), dan bak outlet. Selain itu, keuntungan menggunakan IPAL teknik biogas adalah dapat menurunkan kadar BOD dan COD hingga 90 persen (Kementerian Lingkungan Hidup, 2006).
Gas Methan
Inlet Limbah Cair Industri Tempe
DIGES TER
Anaerobic Baffled Reactor (ABR) dan Anaerobic Filter (AF)
Sumber : Fokus, 2005
Gambar 2. Skema Sistem Pengolahan Limbah Cair
Outlet
Limbah cair dimasukkan/disalurkan ke dalam bak in-let yang berfungsi untuk menampung air limbah sebelum diolah. Setelah air limbah masuk ke dalam inlet, air tersebut dialirkan ke dalam digester. Didalam digester, air limbah diolah dan menghasilkan gas methan (gas bio) yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif bagi pengrajin. Setelah diolah dengan biodigester, air limbah yang telah diolah dimasukkan ke dalam Anaerobic Baffled Reactor (ABR) dan Anaerobic Filter (AF), untuk diendapkan dan difiltrasi agar kadar BOD dan COD turun hingga 90 persen. Fungsi ABR (reaktor lumpur aktif) adalah untuk menghilangkan bahan organik dalam air limbah, sedangkan AF berfungsi untuk menyaring air limbah agar kandungan bahan pencemar berkurang. Air limbah yang sudah diolah langsung dialirkan menuju bak outlet yang berfungsi untuk menampung air limbah yang telah diolah sebelum dibuang ke sungai. Setelah ditampung dalam bak outlet, air limbah yang telah diolah dapat dibuang ke sungai. 8.2
Biaya Pengolahan Limbah Dengan IPAL Per Rumah Tangga Pengrajin Tempe
Biaya untuk membangun IPAL terdiri dari biaya pembelian dan pemasangan biodigester, biaya pembelian dan pemasangan ABR (Anaerobic Baffled Reactor) dan AF(Anaerobic Filter) dan biaya pembelian dan pemasangan pemipaan serta biaya supervisi konstruksi dan garansi 1 tahun sebanyak 15 persen dari total biaya konstruksi. Berikut rincian dari biaya pembangunan IPAL dengan teknik biogas. Umur ekonomis IPAL diasumsikan selama 10 tahun.
Tabel 20. Rincian Biaya Pembangunan IPAL Teknik Biogas No. Jenis Pekerjaan 1. Pembelian dan pemasangan biodigester 2. Pembelian dan pemasangan ABR dan AF 3 Pembelian dan pemasangan Pemipaan Jumlah Biaya Konstruksi Supervisi konstruksi dan garansi 1 tahun (15%) Total Dibulatkan
Biaya Rp 60.460.706,06 Rp 51.990251,93 Rp 31.328.958,93 Rp 143.779.917,92 Rp 21.566.987,57 Rp 165.346.904,49 Rp 165.350.000
Sumber : Bali Fokus, 2006.
Biaya pembangunan IPAL untuk kapasitas 11 m3 per hari adalah Rp 165.350.000. Kapasitas yang dapat ditampung oleh IPAL teknik biogas tersebut adalah 11 m3 per hari sedangkan rata-rata satu orang pengrajin mengeluarkan limbah sekitar 1,90 m3 per hari (Lampiran 15). Sehingga IPAL tersebut dapat digunakan oleh sekitar 6 orang pengrajin. Maka diasumsikan IPAL tersebut dapat digunakan untuk enam orang pengrajin. Sehingga biaya pembangunan untuk satu rumah tangga pengrajin adalah sebagai berikut : C= A/B C=
Rp165.350.000 6
C = Rp 27.558.333 Dari hasil tersebut, didapatkan bahwa biaya pembangunan IPAL teknik biogas adalah sebesar Rp 27.558.333 per rumah tangga pengrajin. Rincian mengenai biaya pembangunan IPAL teknik biogas per rumah tangga pengrajin dapat dilihat pada tabel 21.
Tabel 21. Biaya Pembangunan IPAL Teknik Biogas Per Rumah Tangga Pengrajin No. Pembangunan IPAL teknik biogas A Biaya pembangunan IPAL kap. 11 m3/hari B Jumlah unit industri yang memenuhi kapasitas 11 m3/hari C Biaya pembangunan IPAL per RTP
Jumlah Rp 165.350.000 6 unit Rp 27.558.333
Sumber : Fokus, 2005 (diolah).
Selain biaya pembangunan, perlu juga dilakukan perhitungan untuk perawatan dan pemeliharaan IPAL. Sehingga perlu dilakukan juga perhitungan biaya operasional per unit industri per tahun. Data mengenai biaya operasional IPAL teknik diperoleh dari penelitian Hudayanti (2007). Berikut data mengenai biaya-biaya operasional pengolahan limbah dengan IPAL teknik biogas. Tabel 22. Rincian Biaya Operasional IPAL Teknik Biogas No.
Jenis Biaya
1. Upah Tenaga Kerja IPAL Rp 750.000 per bln 2. Biaya Overhead 3. Biaya Perawatan 4. Biaya Angkutan Total Biaya Operasional
Jumlah (Rupiah/tahun) Rp 9.000.000 Rp 4.200.000 Rp 4.200.000 Rp 6.000.000 Rp 23.400.000
Sumber : Hudayanti , 2007.
Biaya operasional terdiri dari upah tenaga kerja, biaya overhead, biaya perawatan dan biaya angkutan. Upah tenaga kerja diestimasikan Rp 750.000 per bulan menjadi Rp 9.000.000 per tahun. Biaya overhead sebesar Rp 4.200.000 per tahun atau Rp 350.000 per bulan. Biaya perawatan sebesar Rp 4.200.000 per tahun atau sebesar Rp 350.000 per bulan. Biaya angkutan sebesar Rp 500.000 per bulan atau Rp 6.000.000 per tahun. Sehingga total keseluruhan biaya operasional IPAL teknik biogas adalah Rp 23.400.000 per tahun. IPAL tersebut digunakan untuk enam rumah tangga pengrajin tempe. Untuk itu diperlukan perhitungan mengenai biaya operasional IPAL per rumah
tangga pengrajin per tahun. Berikut ini perhitungan biaya operasional per rumah tangga pengrajin tempe per tahun. C=A/B C=
Rp 23.400.000 6
C= Rp 3.900.000 Sehingga diperoleh bahwa keseluruhan biaya operasional per rumah tangga pengrajin per tahun adalah sebesar Rp 3.900.000. Lebih rinci mengenai perhitungan biaya operasional IPAL per rumah tangga pengrajin per tahun pada tabel 23. Tabel 23. Biaya Operasional IPAL Per Rumah Tangga Pengrajin Per Tahun No. Jenis Biaya 1. Upah Tenaga Kerja IPAL 2. Biaya Overhead 3. Biaya Perawatan 4 Biaya Angkutan Total Biaya operasional per rumah tangga pengrajin
Jumlah (Rupiah/tahun) Rp 1.500.000 Rp 700.000 Rp 700.000 Rp 1.000.000 Rp 3.900.000
Sumber : Hudayanti, 2007 (diolah).
Biaya operasional per unit industri terdiri dari upah tenaga kerja, biaya overhead, biaya perawatan dan biaya angkutan. Upah tenaga kerja diestimasikan Rp 1.500.000 per tahun. Biaya overhead sebesar Rp 700.000 per tahun dan biaya perawatan sebesar Rp 700.000 per tahun. Biaya angkutan sebesar Rp 1.000.000 per tahun. Sehingga total keseluruhan biaya operasional IPAL teknik biogas adalah Rp 3.900.000 per tahun.
IX. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PEMBUATAN TEMPE TANPA DAN DENGAN IPAL
Analisis manfaat dan biaya untuk industri tempe dilakukan dengan menggunakan analisis kelayakan finansial selama 10 tahun sebelum dan sesudah ada IPAL. Kriteria yang digunakan dalam perhitungan meliputi Net Present Value, Internal Rate of Return, Net Benefit Cost Ratio dan Payback Period. Perhitungan diasumsikan 1 pengrajin yang memproduksi rata-rata 109 kilogram kedelai per hari. Pendapatan, harga, jumlah input, upah tenaga kerja, biaya yang digunakan dalam analisis ini merupakan nilai rata-rata dari total responden sebanyak 31 orang. Analisis kelayakan usaha ini menggunakan tiga skenario yang dapat dijalankan yaitu: (1) Tanpa IPAL, (2) Dengan IPAL melalui pembiayaan investasi dan operasional ditanggung oleh pengrajin tempe (swadaya) dan (3) Dengan IPAL melalui pembiayaan investasi ditanggung oleh pemerintah dan pembiayaan operasional oleh pengrajin tempe (swadaya). Umur proyek yang dijalankan yaitu selama 10 tahun dengan tingkat suku bunga yang digunakan adalah 13 persen. 9.1
Analisis Kelayakan Finansial Usaha Pembuatan Tempe Tanpa IPAL
Dari hasil analisis kelayakan usaha pembuatan tempe tanpa IPAL diperoleh bahwa Net Present Value sebesar Rp Rp 141.464.542 yang bernilai lebih dari nol. Artinya manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup selama 10 tahun dan tingkat suku bunga 13 persen sebesar Rp 141.464.542. IRR yang diperoleh dari hasil analisis adalah 84 persen yang berarti tingkat pengembalian internal usaha pembuatan tempe tersebut adalah sebesar 84 persen dan berada diatas tingkat suku bunga 13 persen.
Kriteria kelayakan yang lain adalah Net Benefit-Cost Ratio yang bernilai 4,57 lebih besar daripada 1 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan untuk usaha tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 4.570.000. Selain itu jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu proyek adalah satu tahun empat bulan. Berdasarkan hasil tersebut, maka usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup sebelum ada IPAL layak untuk dilaksanakan. Hasil analisis kelayakan usaha dapat dilihat pada Tabel 24. Perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 24. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Tanpa IPAL No. 1. 2. 3. 4.
Kriteria Kelayakan Net Present Value Internal Rate of Return Net Benefit-Cost Ratio Payback Period
Hasil r = 13 persen Rp 141.464.542 84% 4,57 1 tahun 4 bulan
Sumber : Data Primer (diolah)
9.2
Analisis Kelayakan Usaha Dengan IPAL Melalui Pembiayaan Investasi Dan Operasional Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)
Arus tunai usaha pembuatan tempe dengan IPAL yang ditanggung oleh pengrajin tempe sama seperti usaha pembuatan tempe sebelum ada IPAL jika dilihat dari sisi arus penerimaan. Perubahan terjadi pada biaya investasi dan biaya operasional dimana biaya pembangunan IPAL dimasukkan ke dalam biaya investasi dan biaya overhead, biaya perawatan, biaya angkutan dan upah tenaga kerja IPAL dimasukkan ke dalam struktur biaya operasional. Tabel 25. Biaya Investasi IPAL ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)
No.
Biaya investasi IPAL
1. Pembangunan IPAL Total Biaya Investasi
Jumlah (Rupiah/tahun) 27.558.333 27.558.333
Umur Teknis
10,0 10,0
Sumber : Fokus, 2005 (diolah)
Biaya pembangunan IPAL yang dimasukkan yaitu sebesar Rp 27.558.333 dengan umur teknis 10 tahun. Komponen dari arus pengeluaran yang lain adalah biaya operasional yang telah ditambah dengan biaya-biaya pemeliharaan IPAL. Biaya pemeliharaan IPAL terdiri dari upah tenaga kerja IPAL berjumlah Rp 1.500.000 (38,46 persen), biaya overhead dan biaya perawatan masing-masing Rp 700.000 (17,95 persen) serta biaya angkutan sebesar Rp 1.000.000 (25,64 persen). Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Biaya Operasional IPAL ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2) No.
Biaya-biaya Operasional
1. Upah TK IPAL 2. B. Overhead 3. B. Perawatan 4. B. Angkutan Total Biaya Operasional
Jumlah (Rupiah/tahun) 1.500.000 700.000 700.000 1.000.000 3.900.000
Persentase (Persen) 38,46 17,95 17,95 25,64 100,00
Sumber : Hudayanti, 2007 (diolah)
Dari hasil analisis diperoleh bahwa Net Present Value sebesar Rp 100.221.668 yang bernilai lebih dari nol. Artinya manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup selama 10 tahun dan tingkat suku bunga 13 persen sebesar Rp 100.221.668. IRR yang diperoleh dari hasil analisis adalah 46 persen yang berarti tingkat pengembalian internal usaha pembuatan tempe tersebut adalah sebesar 46 persen dan berada diatas tingkat suku bunga 13 persen.
Kriteria kelayakan yang lain adalah Net Benefit-Cost Ratio yang bernilai 2,57 lebih besar daripada 1 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan untuk usaha tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 2.570.000. Selain itu jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu proyek adalah dua tahun dua bulan. Berdasarkan hasil tersebut, maka usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan Biaya IPAL yang ditanggung oleh pengrajin tempe layak untuk dilaksanakan. Hasil analisis kelayakan usaha dapat dilihat pada Tabel 27. Hasil analisis kelayakan usaha dapat dilihat pada Tabel 24. Perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8. Tabel 27. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Dengan Biaya IPAL Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2) No. 1. 2. 3. 4.
Kriteria Kelayakan Net Present Value Internal Rate of Return Net Benefit-Cost Ratio Payback Period
Hasil r = 13 persen Rp 100.221.668 46% 2,57 2 tahun 2 bulan
Sumber : Data Primer (diolah)
9.3
Analisis Kelayakan Usaha Dengan IPAL Melalui Pembiayaan Investasi Ditanggung Oleh Pemerintah Dan Operasional Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 3)
Arus tunai usaha pembuatan tempe dengan biaya IPAL yang ditanggung oleh pemerintah sama dengan arus tunai usaha pembuatan tempe sebelum ada IPAL dalam hal arus penerimaan dan biaya investasi. Perbedaannya terletak pada biaya operasional karena pada biaya operasional ditambahkan biaya-biaya pemeliharaan. Hal ini disebabkan karena biaya pembangunan IPAL menjadi tanggung jawab pemerintah. Sehingga pengrajin tempe hanya mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan IPAL saja.
Biaya operasional usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan biaya IPAL ditanggung oleh pemerintah sama dengan biaya operasional usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 2. Hasil analisis kelayakan usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan skenario biaya IPAL ditanggung oleh pemerintah adalah NPV sebesar Rp 124.609.573 yang bernilai lebih dari nol. Hal tersebut berarti manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup selama 10 tahun dan tingkat suku bunga 13 persen sebesar Rp 124.609.573. IRR yang diperoleh dari hasil analisis adalah 77 persen yang berarti tingkat pengembalian internal usaha pembuatan tempe tersebut adalah sebesar 77 persen dan berada diatas tingkat suku bunga 13 persen. Kriteria kelayakan yang lain adalah Net Benefit-Cost Ratio yang bernilai 4,15 lebih besar daripada 1 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan untuk usaha tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 4.150.000. Selain itu jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu proyek adalah satu tahun enam bulan. Berdasarkan hasil tersebut, maka usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan biaya IPAL yang ditanggung oleh pemerintah layak untuk dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 28. Hasil analisis kelayakan usaha dapat dilihat pada Tabel 24. Perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 9. Tabel 28. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe dengan Biaya IPAL ditanggung Oleh Pemerintah (Skenario 3) No. 1. 2. 3. 4.
Kriteria Kelayakan Net Present Value Internal Rate of Return Net Benefit-Cost Ratio Payback Period
Sumber : Data Primer (diolah)
Hasil r = 13 persen Rp 124.609.573 77% 4,15 1 tahun 6 bulan
9.4
Perbandingan Hasil Kelayakan Usaha Ketiga Skenario
Terdapat perbedaan yang cukup jauh dari hasil kelayakan usaha tanpa IPAL dibandingkan dengan IPAL skenario 2. Dampak pembangunan IPAL yang ditanggung oleh pengrajin atau secara swadaya sangat mempengaruhi keuntungan yang diperoleh pengrajin tempe. Hal ini terlihat pada Tabel 29 bahwa Net Present Value berkurang menjadi Rp 100.221.668 dari nilai sebelumnya sebesar Rp 141.464.542. Penurunan nilai Net Present Value sebesar Rp 41.242.874 atau sebesar 29,15 persen dari total Net Present Value mengindikasikan penurunan keuntungan atau manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe yang dijalankan akibat pembangunan IPAL secara swadaya. Perubahan juga terjadi dalam kriteria kelayakan yang lain seperti Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) dan Payback Period (PP). Perbedaan IRR antara usaha pembuatan tempe tanpa IPAL dengan usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 2 adalah 38 persen yang artinya tingkat pengembalian internal usaha pembuatan tempe berkurang sebesar 38 persen. Kriteria lain yang mengalami perubahan adalah Net B/C Ratio. Net B/C Ratio berkurang sebesar 2,00 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan untuk usaha tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 2.570.000 dan usaha tersebut akan mengalami pengurangan manfaat bersih Rp 2.000.000 dari manfaat bersih yang diperoleh sebelumnya. Selain itu jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu proyek berubah menjadi dua tahun dua bulan. Walaupun hasil kelayakan usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 2 masih layak untuk diusahakan tetapi pembangunan IPAL tersebut telah mengubah tingkat keuntungan menjadi
semakin kecil dari sebelumnya. Hal ini disebabkan biaya pembangunan IPAL yang besar sehingga menyebabkan biaya investasi semakin besar. Tabel 29. Perbandingan Hasil Kelayakan Ketiga Skenario yang Dapat Dijalankan Usaha Pembuatan Tempe Desa Citeureup No.
1. 2. 3. 4.
Kriteria Kelayakan Net Present Value Internal Rate of Return Net Benefit-Cost Ratio Payback Period
Tanpa IPAL Skenario 1
Dengan IPAL Skenario 2 Skenario 3
Rp 141.464.542
Rp 100.221.668
Rp 124.609.573
84%
46%
77%
4,57 1 tahun 4 bulan
2,57 2 tahun 2 bulan
4,15 1 tahun 6 bulan
Berdasarkan Tabel 29, hasil kelayakan usaha pembuatan tempe tanpa IPAL dibandingkan dengan usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 3 tidak mengalami perubahan yang drastis. Hal ini terlihat dari perubahan NPV tanpa IPAL dan NPV dengan IPAL skenario 3 sebesar Rp 16.854.969 atau sebesar 11,92 persen. Hal ini berarti terdapat penurunan manfaat bersih yang diterima selama 10 tahun usaha pembuatan tempe sebesar Rp 16.854.969 atau sebesar 11,92 persen dari manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe tanpa IPAL. IRR usaha pembuatan tempe tanpa IPAL dan dengan IPAL skenario 3 juga mengalami penurunan yang kecil yaitu sebesar 7 persen. Hal ini artinya tingkat pengembalian internal usaha pembuatan tempe berkurang sebesar 7 persen. Selain itu, kriteria kelayakan yang lain adalah Net B/C Ratio yang mengalami penurunan sebesar 0,42 yang menyebabkan usaha tersebut akan mengalami pengurangan manfaat bersih Rp 420.000 dari manfaat bersih yang diperoleh sebelumnya dari setiap Rp 1.000.000 biaya yang dikeluarkan. Kriteria yang lain adalah jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah
dikeluarkan dalam investasi suatu proyek berubah menjadi 1 tahun 6 bulan. Penurunan tingkat keuntungan usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 3 tidak terlalu besar karena biaya pembangunan IPAL ditanggung oleh pemerintah sehingga biaya investasi usaha tersebut tidak berubah. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan IPAL skenario 3 yang paling baik untuk dijalankan karena tidak menyebabkan keuntungan pengrajin tempe turun apabila dibandingkan dengan usaha pembuatan tempe tanpa IPAL. Walaupun melakukan pengolahan limbah akan menurunkan keuntungan sebesar 11,92 persen (Skenario 3) keuntungan usaha. Tetapi secara sosial akan mengurangi dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan akibat limbah cair tempe yang langsung dibuang ke sungai. Sungai yang tercemar akan menurunkan pendapatan bagi masyarakat yang menggunakan air tersebut sebagai mata pencaharian seperti tambak dan akan menimbulkan penyakit bagi masyarakat yang menggunakan air tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup.
X. PERSEPSI DAN TINGKAT KESEDIAAN MELAKUKAN PENGOLAHAN LIMBAH 10.1
Persepsi Pengrajin Tempe Mengenai Pengolahan Limbah
Pengrajin tempe yang mengetahui mengenai pengolahan limbah berjumlah 4 orang (12,90 persen) dan pengrajin yang tidak mengetahui mengenai pengolahan limbah berjumlah 27 orang (87,10 persen). Tetapi keseluruhan pengrajin yang menjadi responden belum melakukan pengolahan limbah dikarenakan belum adanya pembangunan IPAL. Umumnya pengrajin tidak mengetahui
pengolahan
limbah
hal
ini
dikarenakan
rata-rata
tingkat
pendidikannya rendah sehingga kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan masih kurang. Sebagian pengrajin menganggap bahwa limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan tempe tidak bermasalah dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Lebih rinci mengenai persepsi pengrajin tentang pengolahan limbah pada Tabel 30. Tabel 30. Persepsi Pengrajin Tempe Mengenai Pengolahan Limbah Tahun 2008 Persepsi Pengolahan Limbah Mengetahui Tidak Mengetahui Total
Pengrajin Tempe (orang) 4 27 31
Persentase (persen)
12,90 87,10 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
Ada beberapa dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe apabila dibuang ke sungai yaitu membuat air sungai keruh dan bau, menimbulkan penyakit seperti gatal dan diare, mengganggu estetika sungai, membuat mati organisme dalam air sungai dan lainnya. Dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe didapatkan dari pengrajin tempe yang menjadi responden. Sebagian
besar pengrajin tempe mengemukakan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe yaitu membuat air sungai keruh dan bau (25 orang atau 80,65 persen). Hal ini karena limbah cair tempe bila dibiarkan akan berwarna hitam dan berbau busuk. Selain itu, pengrajin yang menganggap bahwa dampak limbah cair tempe adalah air sungai tidak dapat dikonsumsi berjumlah 6 orang (19,35 persen). Hal ini disebabkan air sungai umumnya tidak digunakan oleh pengrajin tempe untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut terlihat pada Tabel 31. Tabel 31. Pengetahuan Pengrajin Tempe Mengenai Dampak Limbah Cair Tempe Tahun 2008 Dampak Limbah Cair
Membuat air sungai keruh dan bau Air sungai tidak dapat dikonsumsi Total
Pengrajin Tempe (Orang)
25
Persentase (Persen) 80,65
6
19,35
31
100,00
Sumber : Data primer (diolah).
Jika pengrajin tempe tidak mau menggunakan IPAL untuk pengolahan limbah maka ada solusi alternatif yang diberikan oleh pengrajin tempe untuk menangani masalah limbah yaitu menggunakan teknologi pengolahan limbah yang lebih murah dan limbah cair dijual untuk industri lain yang menggunakan limbah cair tempe sebagai bahan baku. Pengrajin yang memberi solusi untuk menggunakan teknologi pengolahan limbah yang lebih murah berjumlah 2 orang (6,45 persen) dan pengrajin yang solusinya menjual limbah cair berjumlah 29 orang (93,55 persen). Umumnya pengrajin memberikan solusi untuk menangani limbah cair yaitu dengan menjualnya. Hal ini dikarenakan dengan menjualnya kepada industri lain, pengrajin akan mendapatkan penghasilan tambahan yang dapat memberikan keuntungan yang lebih besar. Tetapi pengrajin tempe di Desa
Citeureup belum mengetahui bahwa limbah cair tersebut dapat dijadikan bahan baku Nata de Soya dan mereka juga tidak mengetahui cara pembuatan Nata de Soya. Hal ini terlihat pada Tabel 32. Tabel 32. Pengetahuan Pengrajin Tempe Mengenai Solusi Alternatif untuk Menangani Masalah Limbah Tahun 2008 Solusi Alternatif untuk Limbah
Teknologi Pengolahan Limbah yang Murah Limbah Cair Dijual Total
Pengrajin Tempe (Orang) 2
29 31
Persentase (persen)
6,45 93,55 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
10.2
Tingkat Kesediaan Pengrajin Dalam Melakukan Pengolahan Limbah
Berdasarkan Gambar 3, pengrajin tempe di Desa Citeureup yang bersedia melakukan pengolahan limbah berjumlah 4 orang (13 persen) dan pengrajin yang tidak bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL berjumlah 27 orang (87 persen). Alasan pengrajin tempe tidak mau melakukan pengolahan limbah adalah pengrajin beranggapan limbah yang mereka buang ke sungai tidak bermasalah bagi masyarakat di sekitar sungai dan mereka tidak menggunakan air sungai tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengrajin tempe yang bersedia untuk melakukan pengolahan limbah beranggapan jika ada pengolahan limbah yang dapat menghasilkan buangan yang lebih baik sangat baik untuk dilakukan. Apabila ada teknologi pengolahan limbah mereka bersedia untuk menerapkan teknologi tersebut.
Bersedia 13%
Tidak Bersedia 87%
Gambar 3. Tingkat Kesediaan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Terhadap Pengolahan Limbah
Alasan pengrajin tempe tidak bersedia untuk melakukan pengolahan limbah beragam. Pengrajin tempe yang tidak bersedia dengan alasan tidak mempunyai waktu dan modal terbatas ada 10 orang (37 persen) dan karena limbah tidak bermasalah dan tidak dapat dikonsumsi ada 13 orang (48 persen). Pengrajin yang alasannya IPAL merupakan tanggung jawab pemerintah berjumlah 3 orang (11 persen) dan menambah biaya produksi hanya 1 orang ( 4 persen). Banyaknya pengrajin yang tidak bersedia dengan alasan limbah yang dihasilkan tidak bermasalah karena tingkat pendidikan yang rendah sehingga kesadaran terhadap lingkungan juga rendah. Hal lain yang menyebabkan adalah kurangnya pengetahuan mengenai standar baku mutu limbah untuk industri. Oleh karena itu, mereka menganggap limbah yang dihasilkan tidak bermasalah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 33.
Tabel 33. Alasan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tidak Bersedia Melakukan Pengolahan Limbah
Alasan Tidak punya waktu dan modal terbatas Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi IPAL merupakan tanggung jawab pemerintah Menambah biaya produksi Total
Pengrajin Tempe (Orang) 10 13 3 1 27
Persentase (Persen) 37 48 11 4 100
Sumber : Data Primer (diolah)
Selain itu, alasan pengrajin tempe yang bersedia melakukan pengolahan limbah adalah ada saluran untuk membuang limbah berjumlah 1 orang atau sebesar 25 persen. Pengrajin dengan alasan dengan adanya pengolahan limbah maka hasil buangan limbah akan lebih baik sebesar 2 orang (50 persen) dan agar limbah tidak berbau busuk berjumlah 1 orang (25 persen). Sebagian dari pengrajin yang bersedia melakukan pengolahan limbah memilih alasan hasil buangan limbah akan lebih baik. Hal ini dikarenakan mereka sudah melakukan pengolahan limbah yang sederhana yaitu pengendapan mekanis agar limbah yang dihasilkan tidak terlalu berbahaya. Selain itu, mereka mempunyai saluran pembuangan air limbah yang akan memudahkan penyaluran limbah ke alat biodigester bila ada IPAL. Jika ada teknologi pengolahan limbah yang menguntungkan seperti IPAL teknik biogas maka mereka bersedia menggunakan teknologi tersebut. Hal ini lebih jelas pada Tabel 34.
Tabel 34. Alasan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Bersedia Melakukan Pengolahan Limbah
Alasan Ada saluran untuk membuang limbah Hasil buangan limbah lebih baik Agar limbah tidak menimbulkan bau busuk Total
Pengrajin Tempe (Orang)
1 2 1 4
Persentase (Persen) 25 50 25 100
Sumber : Data Primer (diolah)
10.3
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Melakukan Pengolahan Limbah
Dari hasil penelitian didapat hanya 4 orang pengrajin tempe yang bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Setelah memperhatikan bahwa data yang didapat melalui penelitian terlihat bahwa pendapatan tidak memiliki kecenderungan terhadap pilihan responden untuk bersedia melakukan pengolahan limbah. Sehingga variabel tersebut dihilangkan dari model. Hal ini ditandai dengan nilai P-value masing-masing peubah tidak ada yang lebih kecil dari α baik pada tingkat kepercayaan 80 persen hingga 99 persen. Ketika diuji secara bersama-sama peubah tersebut tidak mempengaruhi secara nyata terhadap kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah dengan IPAL ditunjukkan dengan nilai P-value yang lebih besar dari α baik pada tingkat kepercayaan 80 persen hingga 99 persen pada goodness of fitnya. Untuk itu model tersebut tidak dapat digunakan untuk menganalisis dengan baik. Setelah variabel pendapatan dihilangkan dari model, diperoleh model baru dengan 6 variabel endogen. Variabel eksogen merupakan bentuk pilihan apakah seorang pengrajin tempe bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL
atau tidak. Hasil pengolahan data dengan menggunakan 6 variabel endogen dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35. Hasil Logit Kesediaan Pengrajin untuk Melakukan Pengolahan Limbah dengan IPAL Parameter Koefisien P Odds Ratio Keterangan -4,66266 0,190 Constant TK. PEND 1,21818 0,307 3,38 Tidak berpengaruh UMUR 0,956780 0,556 2,60 Tidak berpengaruh JARAK 1,00731 0,125 2,74 Berpengaruh nyata LTU 2,60621 0,084 13,55 Berpengaruh nyata* LU -0,79149 0,574 0,45 Tidak berpengaruh JML TANG -2,62239 0,147 0,07 Berpengaruh nyata α = 15 % Log-likelihood = -5,775 Test that all slopes are zero : G = 12,291 , DF = 6, P-value = 0,056 Goodness-of-Fit test DF P Keterangan Method Chisquare 13,6744 21 0,883 Model baik Pearson 11,5506 21 0,951 Model baik Deviance 2,8071 8 0,946 Model baik HosmerLemeshow * tingkat kepercayaan 90 persen
Variabel yang berpengaruh nyata pada hasil logit kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah dengan IPAL pada tingkat kepercayaan 85 persen adalah variabel jarak dan variabel jumlah tanggungan. Variabel jarak berpengaruh nyata terhadap kesediaan pengrajin melakukan pengolahan limbah karena nilai P kurang dari α (15 persen). Nilai koefisien bernilai positif hal ini berarti rumah responden yang jaraknya semakin jauh dari sungai akan semakin besar pilihan untuk melakukan pengolahan limbah. Hal ini karena umumnya industri yang jaraknya jauh terhadap sungai memiliki saluran-saluran pembuangan limbah sehingga akan memudahkan penyaluran limbah bila ada IPAL. Nilai odds ratio sebesar 2,74 dapat diartikan jika jarak ke sungai lebih jauh 1 m2 dari sungai maka kecenderungan kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah
akan 2,74 kali lebih besar daripada pengrajin yang jarak rumahnya ke sungai lebih dekat. Variabel jumlah tanggungan berpengaruh nyata karena P kurang dari α (15 persen) yaitu 0,147. Nilai koefisien bernilai negatif yang berarti semakin banyak jumlah tanggungan maka semakin kecil pilihan pengrajin tempe untuk bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Hal ini dikarenakan jumlah tanggungan yang semakin banyak akan menyebabkan biaya hidup semakin besar. Sehingga pengrajin tidak memiliki dana untuk melakukan pengolahan limbah. Nilai odds ratio sebesar 0,07 dapat diartikan jika jumlah tanggungan bertambah sebesar 1 orang maka kecenderungan kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah akan 0,07 kali lebih kecil daripada pengrajin yang memiliki jumlah tanggungan yang lebih sedikit. Pada tingkat kepercayaan 90 persen, variabel yang berpengaruh nyata adalah variabel luas tempat usaha karena nilai P kurang dari α (10 persen) yaitu 0,084. Nilai koefisien bernilai positif hal ini berarti semakin luas tempat usaha maka akan semakin besar pilihan pengrajin tempe untuk bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Hal ini dikarenakan luas tempat usaha yang semakin luas maka diasumsikan bahwa kapital yang dimiliki pengrajin semakin besar dan dengan demikian terdapat dana untuk dialokasikan untuk melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Nilai odds ratio sebesar 13,55 dapat diartikan jika luas tempat usaha bertambah 1 m2 maka kecenderungan kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah akan 13,55 kali lebih besar daripada pengrajin yang luas tempat usahanya kecil.
Variabel tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata karena nilai P lebih besar dari α (10 persen) yaitu 0,307. Hal ini disebabkan sebagian besar pengrajin tingkat pendidikannya rendah sehingga seberapapun tingkat pendidikannya tidak mempengaruhi kesediaan untuk melakukan pengolahan limbah. Umur tidak mempengaruhi kesediaan pengrajin dalam mengolah limbah karena nilai P lebih besar dari α (10 persen) yaitu 0,556. Hal ini disebabkan pengrajin sebagian besar termasuk golongan umur produktif sehingga masih produktif melakukan usahanya tanpa pertimbangan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Variabel lama usaha juga tidak berpengaruh nyata karena nilai P lebih besar dari α (10 persen) yaitu 0,574. Hal ini disebabkan walaupun pengrajin telah lama melakukan usaha pembuatan tempe tapi tidak mempengaruhi kesediaan untuk melakukan pengolahan limbah. Pengujian ketika semua slope model sama dengan nol menghasilkan nilai statistik G sebesar 12,291 dengan nilai P-value sama dengan 0,056. Hal ini berarti bahwa terdapat minimal satu slope model yang tidak sama dengan nol atau peubah endogennya secara serentak berpengaruh nyata terhadap Yi. Selain itu, berdasarkan uji kebaikan model melalui metode Pearson, Deviance dan Hosmer-Lemeshow diperoleh nilai P lebih besar dari α (15 persen) yang berarti model tersebut baik. Dengan demikian diperoleh model persamaan logit sebagai berikut : Υi = −466266 + 1,21818 TK. PENDi + 0,956780UMURi + 1,00731JARAKi +
2,60621LTUi -0,79149LUi – 2,62239JUML TANGi + ei Berdasarkan analisis logit dapat diketahui nilai/kondisi potensial dan aktual dari jumlah responden yang bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL ataupun yang tidak bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL.
Kondisi frekuensi potensial dan aktual dapat dilihat pada tabel dan koreksi nilai potensial dan aktual dapat dilihat pada Tabel 36. Kondisi potensial ditunjukkan dengan nilai harapan (expectation) dan kondisi aktual kesediaan pengrajin melakukan pengolahan limbah ditunjukkan dengan nilai observasi (observation). Tabel 36. Frekuensi Observasi dan Harapan Kesediaan Pengrajin terhadap Pengolahan limbah dengan IPAL
1 Value 1 0,0 Obs 0,0 Exp Value 0 3,0 Obs 3,0 Exp Total 3,0
Group 5 6
2
3
4
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,1
3,0 3,0 3,0
3,0 3,0 3,0
3,0 3,0 3,0
4,0 3,9 4,0
Total 7
8
9
10
0,0 0,1
0,0 0,2
0,0 0,3
2,0 0,9
2,0 2,4
4,0 4,0
3,0 2,9 3,0
3,0 2,8 3,0
3,0 2,7 3,0
1,0 2,1 3,0
1,0 0,6 3,0
27,0 27,0 31,0
Sumber : Data Primer (diolah)
Pada grup satu, kedua, ketiga dan keempat tidak ada perbedaan antara kondisi aktual dan kondisi potensial dari responden yang bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL ataupun yang tidak bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Pada grup kelima hingga grup kesepuluh terdapat perbedaan antara kondisi aktual dan kondisi potensial baik pada responden yang bersedia melakukan pengolahan limbah ataupun yang tidak bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Pada grup kelima terlihat dalam kondisi aktual tidak ada responden yang bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL tetapi pada kondisi potensial terlihat bahwa 0,1 dari 4 responden bersedia melakukan pengolahan limbah. Demikian halnya dengan keadaan responden yang tidak bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL, pada kondisi aktual berjumlah 4
orang tetapi pada kondisi potensial 3,9 dari 4 orang responden tidak bersedia melakukan pengolahan limbah. Selisih nilai 0,1 (0,1-0,0 = 0,1) pada grup kelima dapat dikarenakan ada 0,1 responden yang secara potensial bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Namun dana yang terbatas menyebabkan responden tersebut tidak bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Pemahaman yang sama dapat dilakukan untuk grup keenam sampai grup kesepuluh. Tetapi secara keseluruhan dapat diperoleh bahwa secara potensial jumlah responden yang bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL dan yang tidak bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL akan sama dengan jumlah aktualnya. Hal ini dapat terlihat lebih jelas pada Tabel 36. Tabel 37. Koreksi Nilai Observasi dan Harapan Kesediaan Pengrajin terhadap Pengolahan limbah dengan IPAL
Observasi
Harapan Bersedia Tidak Bersedia 4,0 0,0 0,0 27,0
Bersedia Tidak Bersedia Total 4,0 27,0 Nilai Keseluruhan Koreksi
Total
Koreksi (%)
4,0 27,0
100 100
31,0 100
Sumber : Data Primer (diolah)
Pada Tabel 37, terlihat bahwa antara nilai observasi dan nilai harapan responden tidak dapat perbedaan (bias). Sehingga nilai kebenaran observasi (nilai keseluruhan koreksi) bernilai 100 persen dan menunjukkan bahwa model yang sudah dihasilkan sudah baik.
10.4
Implikasi Kebijakan Pengelolaan Limbah Industri Tempe Desa Citeureup
Kebijakan pengelolaan limbah industri tempe Desa Citeureup adalah tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh pemerintah (Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor) untuk memelihara kualitas lingkungan sungai menjadi lebih baik. Kebijakan ini harus dilaksanakan agar nilai kerusakan ekonomi di sekitar sungai tidak menjadi lebih besar. Hasil penelitian ini bisa dijadikan pertimbangan untuk memberikan pengelolaan limbah yang sebaiknya dipilih. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa pengolahan limbah tempe yang tepat untuk digunakan adalah dengan menggunakan IPAL teknik biogas karena limbah yang dibuang akan berkurang kadar BOD dan CODnya sebesar 90 persen. Selain itu, pengrajin tempe dapat menghemat biaya untuk bahan bakar karena dengan menggunakan IPAL biogas, limbah yang dihasilkan dari pengolahan akan menghasilkan bahan bakar yang cukup untuk memenuhi kebutuhan industri maupun kebutuhan rumah tangganya. Hasil dari analisis internalisasi biaya pengolahan limbah didapat bahwa skenario yang paling baik dijalankan dalam melakukan pembangunan IPAL teknik biogas adalah skenario 3 dengan biaya pembangunan ditanggung oleh pemerintah. Hal ini tidak akan memberatkan pengrajin tempe karena tidak banyak mengurangi keuntungan usaha dan tidak lebih besar jumlahnya apabila dibandingkan dengan membayar nilai kerusakan yang ditimbulkan akibat limbah cair yang dibuang lebih banyak. Idealnya penghasil polutan yaitu pengrajin tempe harus bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan. Oleh karena itu, seharusnya skenario yang dijalankan adalah skenario 2. Tetapi hal ini akan sulit
dilakukan karena pendapatan pengrajin yang umumnya rendah yaitu dibawah Rp 150.000 setiap kali produksi. Selain itu, skenario tersebut akan menyebabkan penurunan keuntungan yang diperoleh pengrajin cukup drastis sehingga diperlukan dukungan pemerintah untuk membantu dalam hal pendanaan untuk membangun IPAL tersebut. Walaupun pemerintah akan menghadapi masalah yaitu membutuhkan dana untuk membangun IPAL yang cukup besar tetapi jumlah biaya pembangunan lebih kecil apabila dibandingkan dengan membayar kerugian yang ditimbulkan akibat pencemaran sungai/memperbaiki kualitas lingkungan sungai yang rusak. Pelaksanaan skenario 3 yaitu dengan cara pemerintah memberikan bantuan dana dalam pengadaan IPAL untuk 100 pengrajin tempe di Desa Citeureup. Biaya operasional dibiayai secara swadaya dengan cara pengrajin memperkerjakan tenaga kerja untuk melakukan perawatan dan pemeliharaan IPAL. Kebijakan lain yang bisa diterapkan adalah dengan mengadakan penyuluhan mengenai pentingnya pengolahan limbah, pemanfaatan limbah cair menjadi Nata de Soya dan pengetahuan mengenai teknik pengolahan limbah yang paling efektif. Kebijakan ini direkomendasikan melihat bahwa pengetahuan dan kesadaran pengrajin tempe mengenai pengolahan limbah sangat rendah. Selain itu, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan insentif dan disinsentif. Pemerintah juga perlu mengadakan agen-agen penyaluran limbah cair industri tempe kepada industri pembuatan Nata de Soya. Agar pengrajin memperoleh tambahan pendapatan dan pencemaran lingkungan dapat dikurangi karena limbahnya dijual untuk bahan baku industri Nata de Soya.
Jika dilihat dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah, maka variabel bebas yang berpengaruh nyata dan memiliki pengaruh positif yang paling besar (nilai koefisien paling besar) adalah variabel luas tempat usaha. Perluasan usaha dapat dilakukan dengan menambah luas tempat usaha sehingga semakin besar kecenderungan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah. Pemerintah dan swasta dapat membantu perluasan usaha dengan memberikan bantuan modal kepada pengrajin agar peningkatan kualitas lingkungan dapat dilaksanakan. Hal terpenting dari semuanya adalah perlunya kerjasama yang lebih erat antara pengrajin tempe, pemerintah, swasta dan masyarakat untuk memelihara lingkungan sekitar agar tercipta pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Pembangunan ekonomi tersebut tidak akan tercipta tanpa dukungan dari semua pihak yang berkaitan.
XI. PENUTUP 11.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1.
Biaya investasi pembangunan IPAL per rumah tangga pengrajin adalah Rp 27.558.333 dan biaya operasional IPAL per rumah tangga pengrajin per tahun adalah Rp 3.900.000.
2.
Setelah dilakukan internalisasi biaya pengolahan limbah dengan IPAL, skenario yang paling baik untuk dijalankan adalah usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 2 dengan biaya IPAL ditanggung oleh pemerintah. Hal ini karena surplus produsen tidak berkurang terlalu besar jika dilihat dari kriteria kelayakan usahanya yang tidak jauh berbeda dengan usaha pembuatan tempe tanpa IPAL. Skenario tersebut dapat dijalankan jika pemerintah membangun IPAL dengan teknik biogas di Citeureup dan pengrajin memberikan dana untuk kegiatan operasional IPAL setiap tahun.
3.
Pengrajin tempe umumnya tidak bersedia melakukan pengolahan limbah. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap kesediaan pengrajin untuk mengolah limbah dengan IPAL adalah jarak ke sungai, luas tempat usaha dan jumlah tanggungan.
11.2 Saran
Adapun saran yang dikemukakan dalam penelitian ini : 1.
Pengrajin dapat melakukan pengolahan limbah dengan IPAL biogas karena selain masih menguntungkan, pengrajin tidak perlu membayar biaya kerusakan lingkungan yang terjadi akibat limbah tersebut.
2.
Pemerintah turut serta dalam peningkatan kualitas sungai dengan membangun IPAL teknik biogas dan mengadakan penyuluhan mengenai pengolahan limbah cair.
3.
Pemerintah perlu mengeluarkan peraturan mengenai insentif dan disinsentif.
4.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai seberapa besar nilai kerugian akibat dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe bagi lingkungan dan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat statistik. 2006. Statistik Indonesia tahun 2005/2006. BPS. Jakarta. Desa Citeureup. 2006. Potensi Desa Citeureup Tahun 2006. Desa Citeureup. Bogor. Diperindag Kabupaten Bogor. 2007. Perkembangan Industri di Kabupaten Bogor tahun 2003-2006. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor. Bogor. Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fokus, Bali. 2005. Proposal Teknik Proyek Demonstrasi Pembangunan Instalasi Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu-Tempe di Gang Bakti II Karanganyar-Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta. Garrod, Guy dan Kenneth G. Willis. 1999. Economic Valuation of Environment : Methods and Case Studies. Edward Elgar. UK.
the
Gittinger, James Price. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Penerjemah Komet Mangiri dan Slamet Sutomo. UI-Press. Jakarta. Gumelar, R. 2002. Analisis Kelayakan Usaha Proyek Pengelolaan Sampah Kota dengan Pendekatan Nir Limbah (Zero Waste) di Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Skripsi. Jurusan Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian.Yogyakarta. Hosmer, David W. dan Stanley Lemeshow. 1989. Applied Logistics Regression. John Willey & Sons. New York. Hudayanti, Eka Putri. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Pengusaha Tahu dalam Pembangunan dan Operasional IPAL Biogas (Kasus Kelurahan Pasir Jaya, Kecamatan Bogor Barat). Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hufscmidt, MM et.al. 1987. Lingkungan Sistem Alami dan Pembangunan : Pedoman Penilaian Ekonomis. Alih Bahasa : Reksohadiprojo, S. Gajahmada University Press. Yogyakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Pedoman Teknis Pengelolaan Limbah Industri Kecil. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. -------------. 2006. Pedoman Pengolahan Dan Pemanfaatan Limbah Tahu Tempe. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. -------------. 2006. Batasan/Kriteria Usaha Kecil dan Menengah Menurut Beberapa Organisasi menurut Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. Linsley, R. K dan J. B. Franzini. 1986. Teknik Sumberdaya Air. Penerjemah Ir. Djoko Sasongko, M.Sc. Erlangga. Jakarta. Mangkoesubroto,Guritno. 1993. Ekonomi Publik. Fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta. Nasrullah, Mochamad. 2003. Estimasi Biaya Eksternalitas dari Pembangkit Tenaga Listrik Uap (PLTU) Studi Kasus Di Tambak Lorok-Semarang. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nazir, Mohammad. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Novianti, et al. 2000. Metode Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Jasa Lingkungan. Program Studi Ekonomi Pertanian. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pearson, Charles S. 2000. The Economics of Natural Resource Use. Harper & Row Publishers. New York. Purnamasari, Rachma Septiany. 2001. Pengaruh Penggunaan Faktor-faktor Produksi terhadap Jumlah dan Debit serta Aspek Finansial Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Raka, ID Gede et al. 2001. Paradigma Produksi Bersih: Mendamaikan Pembangunan Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan. Nuansa. Bandung. Santoso, Djoko. 2005. Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Kawasan Pondok Bali, Desa Legonwetan, Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sidauruk, Rimpun Nesrain Surya. 2005. Perbandingan Efektivitas Biaya dan Kelayakan Finansial Industri Kecil Tahu (Studi Kasus Tahu Bandung “Sulaeman” dan Tahu Sumedang “Kelana Jaya” di Kota Bogor). Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. UI-Press. Jakarta. Umar, Husein. 2005. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Wiryani, Erry. 1991. Analisis Kandungan Limbah Cair Pabrik Tempe Kedelai dan Upaya Pengolahannya dengan Proses Anaerobik. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1 Batasan/Kriteria Usaha Kecil dan Menengah Menurut Beberapa Organisasi menurut Kementerian Lingkungan Hidup Organisasi
Jenis Usaha
Keterangan Kriteria
Undang-Undang No. Usaha Kecil 9/1995 tentang Usaha Kecil
Aset < Rp. 200 Juta diluar tanah dan bangunan • Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar • Dimiliki oleh orang Indonesia • Independen, tidak terafiliasi dengan usaha menengah-besar • Boleh berbadan hukum, boleh tidak
Badan Statistik(BPS)
Pekerja < 5 orang termasuk tenaga keluarga yang tidak dibayar
Pusat Usaha Mikro
Usaha Kecil
Pekerja 5-19 orang
Usaha menengah
Pekerja 20-99 orang
Menneg Koperasi & Usaha Kecil PKM 9/1995)
(UU
No.
• •
Usaha Menengah 10/1999) Bank Indonesia
Aset < Rp. 200 Juta diluar tanah dan bangunan Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar
(Inpres Aset Rp. 200 - Rp. 10 Milyar
Usaha Mikro (SK Dir BI Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin No. 31/24/KEP/DIR tgl 5 atau mendekati miskin. Mei 1998) • Dimiliki oleh keluarga Sumberdaya lokal dan Teknologi sederhana • Lapangan usaha mudah untuk exit dan entry Usaha Kecil 9/1995)
(UU
No.
• •
Aset < Rp. 200 Juta diluar tanah dan bangunan Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar
Menengah (SK Dir BI No. Aset < Rp. 5 Milyar untuk sektor industri 30/45/Dir/UK tgl 5 Januari • Aset < Rp. 600 Juta diluar tanah 1997) dan bangunan. untuk sektor non industri manufacturing • Omzet tahunan < Rp. 3 Milyar Bank Dunia
Usaha Mikro Menengah
Kecil- Pekerja < 20 Orang • Pekerja 20-150 orang • Aset < US$. 500 Ribu diluar tanah dan bangunan
Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup, 2006.
Lampiran 2. Jumlah Industri Kecil Tempe di Kabupaten Bogor per Kecamatan tahun 2008.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kecamatan Cibungbulang Cisarua Citeureup Leuwiliang Ciampea Ciseeng Cibinong Cileungsi Parung Total
Jumlah Industri 21 6 100 16 7 8 4 16 8 186
Sumber: Diperindag Kabupaten Bogor, 2008 (hasil wawancara).
Lampiran 3 Hasil Logit Kesediaan Pengrajin Melakukan Pengolahan Limbah Binary Logistic Regression: Y versus TK. PEND, UMUR, ... Link Function: Logit Response Information Variable Y
Value 1 0 Total
Count 4 27 31
(Event)
Logistic Regression Table
Predictor Constant TK. PEND UMUR JARAK LU LTU JML TANG
Coef -4.66266 1.21818 0.956780 1.00731 -0.791494 2.60621 -2.62239
SE Coef 3.55534 1.19349 1.62573 0.656055 1.40828 1.50959 1.80827
Z -1.31 1.02 0.59 1.54 -0.56 1.73 -1.45
P 0.190 0.307 0.556 0.125 0.574 0.084 0.147
Odds Ratio 3.38 2.60 2.74 0.45 13.55 0.07
95% CI Lower Upper 0.33 0.11 0.76 0.03 0.70 0.00
35.07 63.00 9.91 7.16 261.13 2.51
Log-Likelihood = -5.775 Test that all slopes are zero: G = 12.291, DF = 6, P-Value = 0.056
Goodness-of-Fit Tests Method Pearson Deviance Hosmer-Lemeshow
Chi-Square 13.6744 11.5506 2.8071
DF 21 21 8
P 0.883 0.951 0.946
Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic)
Value 1 Obs Exp 0 Obs Exp Total
Group 5 6
1
2
3
4
0 0.0
0 0.0
0 0.0
0 0.0
0 0.1
3 3.0 3
3 3.0 3
3 3.0 3
3 3.0 3
4 3.9 4
7
8
9
10
Total
0 0.1
0 0.2
0 0.3
2 0.9
2 2.4
4
3 2.9 3
3 2.8 3
3 2.7 3
1 2.1 3
1 0.6 3
27
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Concordant Discordant Ties Total
Number 103 5 0 108
Percent 95.4 4.6 0.0 100.0
Summary Measures Somers' D Goodman-Kruskal Gamma Kendall's Tau-a
0.91 0.91 0.21
31
Lampiran 4.
KUISIONER
No. Responden : RESPONDEN :
1. Nama Responden
:
2. Alamat
:
3. Tanggal Wawancara
:
A. KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RESPONDEN 1. Jenis Kelamin
: …. (L/P)
2. Umur
: …. Tahun
3. Pendidikan formal terakhir : a. Tidak tamat SD b. SD/sederajat c. SLTP/sederajat d. SLTA/sederajat e. Perguruan Tinggi 4. Status pernikahan
: Belum/Sudah
5. Berapa jumlah tanggungan keluarga ? …. Orang 6. sudah berapa lama Bapak/ibu melakukan usaha pengolahan tempe ? …. Tahun 7. Apakah usaha ini milik Bapak/Ibu sendiri? (Ya/Tidak) 8. Berapa jumlah modal yang digunakan dalam membuat tempe ? ………………………………………………………………………………….. B. PERSEPSI RESPONDEN MENGENAI LIMBAH DAN PENGOLAHAN LIMBAH
1. Menurut Bapak/Ibu dari proses produksi tempe ini, adakah limbah yang dihasilkan? a. Ada (lanjut ke no. 2)
b. tidak (lanjut ke no. 3)
2. Limbah apa saja yang dihasilkan dari proses produksi tempe? a. Limbah padat
d. dua dari jawaban diatas benar
b. Limbah cair
e. semuanya benar
c. Limbah gas
3. Bagaimanakah dampak yang ditimbulkan dari limbah tempe ini ? a. tidak bermasalah
d. bermasalah
b. sedikit bermasalah
e. sangat bermasalah
c. cukup bermasalah 4. Mengapa Bapak/Ibu memilih jawaban tersebut? …………………………………………………………………………………. 5. Apakah Bapak/Ibu mengetahui dampak negatif dari limbah cair tempe? a. Ya
b. tidak
6. Dampak negatif apa saja yang ditimbulkan oleh limbah cair yang Bapak/Ibu ketahui? a. mengganggu kesehatan (penyakit gatal-gatal, diare dan lain-lain) b. membuat air sungai keruh dan bau c. membuat mati organisme dalam air sungai d. mengganggu estetika air sungai e. lainnya ………………………. 7. Apakah ada dampak positif dari limbah cair tempe? a. ada, sebutkan …………………
b. tidak ada
8.Bapak/Ibu membuang limbah yang dihasilkan kemana? a. ke sungai b. ke tanah c. lainnya, …………. 9. Apakah di sini sudah ada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) ? a. Belum b. Sudah, tahun ….. 10. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tentang standar baku mutu limbah? a. Mengetahui , berapa ………….. b. Tidak 11. Apakah Bapak/Ibu sudah melakukan pengolahan limbah cair tempe? a. sudah (lanjut ke no. 12)
b. belum (lanjut ke no. 13)
12. Teknologi pengolahan limbah apa yang sudah dilakukan? a. Pengendapan mekanis
d. Penggunaan kembali
b. Penggunaan IPAL
e. lainnya, ……………….
c. Daur ulang 13. Berapa jarak tempat usaha ini terhadap sungai? …. m2 14. Menurut Bapak/Ibu, seharusnya apa yang dilakukan terhadap limbah yang dihasilkan oleh industri tempe di Citeureup ini ? ……………………………………………………………………………….
C. ASPEK FINANSIAL INDUSTRI TEMPE
1. Apa saja bahan baku yang digunakan untuk memproduksi tempe beserta jumlahnya ? …………………………………………………………………………………. 2. Apa saja peralatan yang dibutuhkan dalam usaha ini dan ada berapa jumlahnya? ………………………………………………………………………………….. 3. Berapa harga bahan baku yang digunakan? ………………………………………………………………………………….. 4. Berapa harga peralatan yang dibutuhkan dalam usaha ini ? ………………………………………………………………………………….. 5. Apakah dalam usaha ini membutuhkan tenaga kerja ? (jika ya, berapakah jumlah tenaga kerja yang digunakan?) ………………………………………………………………………………….. 6. Berapa upah yang diberikan kepada tenaga kerja ? Rp …./orang/hari 7. Berapa jumlah kedelai yang digunakan untuk membuat tempe setiap hari ? ………………………………………………………………………………….. 8. Berapa harga kedelai saat ini ?Rp …../ kilogram 9. Berapa jumlah tempe yang dihasilkan setiap satu kali produksi? …………………………………………………………………………………. 10. Berapa harga tempe yang dijual? ………………………………………………………………………………….. 11. Bagaimana proses produksi tempe dan berapa lama produksi tersebut? ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………
12. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan pinjaman untuk modal usaha? a. Ya (lanjut ke no. 13)
b. tidak (lanjut ke no. 18)
13. Berapa jumlah pinjaman yang dilakukan Bapak/Ibu?Rp………………………. 14. Kepada siapa Bapak/Ibu melakukan pinjaman? ………………………………………………………………………………...... 15. Berapa tingkat bunga yang diajukan pemberi pinjaman? …..persen 16. Berapa jangka waktu peminjaman dana?............................................................. 17. Bagaimana cara pengembalian pinjaman? a. dibayar tunai setelah jangka waktu yang ditetapkan b. diangsur (berapa kali angsuran dilakukan?) 18. Berapa biaya pemeliharaan atau perawatan alat-alat? Rp……………………… 19. Kapan Bapak/Ibu membeli peralatan yang baru?................................................ 20. Berapa nilai sisa dari peralatan yang lama jika dijual?........................................ 21. Apa saja modal yang digunakan dalam usaha Bapak/Ibu? .............................................................................................................................. 22. Berapa nilai modal yang Bapak/Ibu gunakan? .............................................................................................................................. 23. Berapa jangka waktu penyusutan peralatan yang dipakai?.... tahun 24. Berapa luas usaha yang Bapak/Ibu lakukan? ………………………………………………………………………………….. 25. Berapa luas tanah dan bangunan yang digunakan dalam usaha ini? ………………………………………………………………………………….. 26. Adakah pekerjaan lain selain usaha pembuatan tempe? a. Ya , sebagai…………………………………….. (lanjut ke no.27) b. Tidak (lanjut ke no. 28) 27. Jika memiliki pekerjaan sampingan, berapakah pendapatan yang dihasilkan per bulan dari pekerjaan tersebut? Rp ………. 28. Dalam sehari, berapa jam yang diperlukan untuk kegiatan produksi? ….. jam 29. Dalam seminggu berapa hari yang digunakan untuk berproduksi? …….hari 30. Apakah permasalahan yang Bapak/Ibu temui dalam menjalankan usaha ini? ………………………………………………………………………………….
D. INFORMASI MENGENAI KESEDIAAN MELAKUKAN PENGOLAHAN LIMBAH DENGAN IPAL
Jika usaha masih layak setelah internalisasi biaya eksternal, maka akan dilakukan pembangunan IPAL. Namun biaya pembangunan sepenuhnya diserahkan dan menjadi tanggung jawab industri tempe yang menggunakannya.
1. Apakah Bapak/Ibu bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL? a. Bersedia (lanjut ke no. 2) b. Tidak (lanjut ke no. 3) 2. Mengapa Bapak/Ibu bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL? ……………………………………………………………………………….. 3. Apa alasan Bapak/Ibu tidak bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL? ……………………………………………………………………………….. 4. Menurut Bapak/Ibu apakah solusi alternatif untuk menanggulangi masalah limbah di daerah ini? ………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………
Lampiran 5. Peta Lokasi Penelitian
Lampiran 6. Perhitungan Penyusutan Per Tahun Dari Investasi
Jenis Investasi Drum Rebus Drum Rendam & Cuci Penggilingan Rak(kerai) dari Bambu Tungku IPAL Total
Nilai beli (Rupiah) 81.290
Umur Pakai (Tahun)
1,0
Penyusutan/tahun (Rupiah) 81.290
Nilai Sisa (Rupiah)
285.000 1.358.065
3,6 2,0
71.250 679.032
71.250 679.032
1.024.119 150.000 27.558.333 30.456.807
6,4 2,0 10,0 25,0
170.687 75.000 2.755.833 3.833.093
170.687 75.000 0 995.969
0
Lampiran 7. CASHFLOW USAHA PEMBUATAN TEMPE DI DESA CITEUREUP TANPA IPAL (Rp/109kg/tahun) Uraian A .
B .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1. Nilai Produksi : Utama
0
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
Sampingan
0
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
2. Pinjaman
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3. Nilai sisa
0
TOTAL INFLOW
0
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
995.969 341.919.9 23
41.870.950
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
285.000
0
0
0
285.000
0
0
0
285.000
0
0
Penggilingan
1.358.065
0
1.358.065
0
1.358.065
0
1.358.065
0
1.358.065
0
1.358.065
Rak(kerai) dari Bambu
1.024.119
0
0
0
0
0
1024119
0
0
0
0
150.000
0
150.000
0
150.000
0
150.000
0
150.000
0
150.000
44.769.424
81.290
1.589.355
81.290
1.874.355
81.290
2.613.474
81.290
1.874.355
81.290
1.589.355
Biaya Tetap : Transportasi
0
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
Listrik Upah Tenaga
0
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
INFLOW
OUTFLOW 1. B. Investasi : 110 m2 Lahan (Rp 380,645/m2) 1 Drum Rebus 3 Drum Rendam dan cuci
Tungku TOTAL B. INVESTASI 2. B. Operasional
Kerja
0
Sewa kios
0
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
Ragi
0
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
Daun
0
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
Plastik
0
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
Pewarna Bahan
0
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
0
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
Saringan
0
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
Pisau Alat
0
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
0
1.000 298.145.9 54 298.227.2 44 42.696.71 0
1.000 298.145.9 54 299.735.3 09 41.188.64 5
1.000 298.145.9 54 298.227.2 44 42.696.71 0
1.000 298.145.9 54 300.020.3 09 40.903.64 5
1.000 298.145.9 54 298.227.2 44 42.696.71 0
1.000 298.145.9 54 300.759.4 28 40.164.52 6
1.000 298.145.9 54 298.227.2 44 42.696.71 0
1.000 298.145.9 54 300.020.3 09 40.903.64 5
1.000 298.145.9 54 298.227.2 44 42.696.71 0
1.000 298.145.9 54 299.735.3 09 42.184.61 4
4.269.671 38.427.03 9 0,8849557 52
4.118.865 37.069.78 1 0,783146 68
4.269.671 38.427.03 9 0,693050 16
4.090.365 36.813.28 1 0,6133187 28
4.269.671 38.427.03 9 0,542759 94
4.016.453 36.148.07 3 0,480318 53
4.269.671 38.427.03 9 0,425060 64
4.090.365 36.813.28 1 0,376159 86
4.269.671 38.427.03 9 0,332884 83
4.218.461 37.966.15 3 0,2945883 48
34.006.22 9
29.031.07 6
26.631.86 6
22.578.27 4
20.856.65 7
17.362.58 9
16.333.82 2
13.847.67 9
12.791.77 8
11.184.38 6
Biaya Variabel : Kedelai
Bakar
0
Pelengkap:
Penusuk TOTAL B. OPERASIONAL
C D
0
TOTAL OUTFLOW Net Benefit Before Tax (A-B)
44.769.424 44.769.424
Pajak Net Benefit After Tax (CD)
0 44.769.424
Df 13%
1 141.464.54 2
NPV IRR Net B/C PV 13%
84% 4,57 44.769.424
PV Positif PV Negatif PP
204.624.35 7 44.769.424 1 tahun 4 bulan
Lampiran 8. CASHFLOW USAHA PEMBUATAN TEMPE DI DESA CITEUREUP DENGAN IPAL Skenario 1 (Rp/109kg/tahun) Uraian A .
B .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1. Nilai Produksi : utama
0
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
Sampingan
0
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
2. Pinjaman
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3. Nilai sisa
0
TOTAL INFLOW
0
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
995.969 341.919.9 23
41.870.950
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
285.000
0
0
0
285.000
0
0
0
285.000
0
0
Penggilingan
1.358.065
0
1.358.065
0
1.358.065
0
1.358.065
0
1.358.065
0
1.358.065
Rak(kerai) dari Bambu
1.024.119
0
0
0
0
0
1.024.119
0
0
0
0
150.000
0
150.000
0
150.000
0
150.000
0
150.000
0
150.000
27.558.333
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
INFLOW
OUTFLOW 1. B. Investasi Produksi: 110 m2 Lahan (Rp 380,645/m2) 1 Drum Rebus 3 Drum Rendam dan cuci
Tungku 2. Biaya Pembangunan
IPAL TOTAL B. INVESTASI
72.327.757
81.290
1.589.355
81.290
1.874.355
81.290
2.613.474
81.290
1.874.355
81.290
1.589.355
Biaya Tetap : Transportasi
0
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
Listrik Upah Tenaga
0
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
0
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
Ragi
0
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
Daun
0
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
Plastik
0
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
Pewarna Bahan
0
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
Bakar
0
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
4. B. Operasional IPAL: Upah TK IPAL
0
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
B. Overhead
0
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
B. Perawatan
0
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
B. Angkutan Perlengkapan
0
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
Saringan
0
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
Pisau
0
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
Alat Penusuk
0
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
3. B. Operasional Produksi
Kerja
0 Sewa Kios
Biaya Variabel : Kedelai
0
:
TOTAL B. OPERASIONAL
C D
TOTAL OUTFLOW Net Benefit Before Tax (A-B) Pajak Net Benefit After Tax (CD) Df 13% NPV
0 72.327.757 -72.327.757 0 -72.327.757 1
46%
Net B/C
2,57
PV 13%
-72.327.757
PV Positif
185.578.242
PP
302.045.9 54 303.635.3 09 37.288.64 5
302.045.9 54 302.127.2 44 38.796.71 0
302.045.9 54 303.920.3 09 37.003.64 5
302.045.9 54 302.127.2 44 38.796.71 0
302.045.9 54 304.659.4 28 36.264.52 6
302.045.9 54 302.127.2 44 38.796.71 0
302.045.9 54 303.920.3 09 37.003.64 5
302.045.9 54 302.127.2 44 38.796.71 0
302.045.9 54 303.635.3 09 38.284.61 4
3.879.671 34.917.03 9 0,884955 75
3.728.865 33.559.78 1 0,783146 68
3.879.671 34.917.03 9 0,693050 16
3.700.365 33.303.28 1 0,613318 73
3.879.671 34.917.03 9 0,542759 94
3.626.453 32.638.07 3 0,480318 53
3.879.671 34.917.03 9 0,4250606 44
3.700.365 33.303.28 1 0,376159 86
3.879.671 34.917.03 9 0,3328848 33
3.828.461 34.456.15 3 0,2945883 48
30.900.03 5
26.282.23 1
24.199.26 0
20.425.52 6
18.951.57 0
15.676.67 1
14.841.85 9
12.527.35 7
11.623.35 3
10.150.38 1
100.221.668
IRR
PV Negatif
302.045.9 54 302.127.2 44 38.796.71 0
-72.327.757 2 tahun 2 bulan
Lampiran 9. CASHFLOW USAHA PEMBUATAN TEMPE DI DESA CITEUREUP DENGAN IPAL Skenario 2(Rp/109kg/tahun) Uraian A .
B .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1. Nilai Produksi : utama
0
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
340.722.4 86
Sampingan
0
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
201.468
2. Pinjaman
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3. Nilai sisa
0
TOTAL INFLOW
0
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
0 340.923.9 54
995.969 341.919.9 23
41.870.950
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
81.290
285.000
0
0
0
285.000
0
0
0
285.000
0
0
Penggilingan
1.358.065
0
1.358.065
0
1.358.065
0
1.358.065
0
1.358.065
0
1.358.065
Rak(kerai) dari Bambu
1.024.119
0
0
0
0
0
1.024.119
0
0
0
0
150.000
0
150.000
0
150.000
0
150.000
0
150.000
0
150.000
44.769.424
81.290
1.589.355
81.290
1.874.355
81.290
2.613.474
81.290
1.874.355
81.290
1.589.355
Biaya Tetap : Transportasi
0
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
3.260.000
Listrik Upah Tenaga
0
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
1.200.000 24.292.21 6
INFLOW
OUTFLOW 1. B. Investasi Produksi: 110 m2 Lahan (Rp 380,645/m2) 1 Drum Rebus 3 Drum Rendam dan cuci
Tungku TOTAL B. INVESTASI 2. B. Operasional Produksi:
Kerja
0
Sewa kios
0
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
4.200.000 248.204.9 90
Ragi
0
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
2.015.006
Daun
0
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
4.516.730
Plastik
0
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
6.714.622
Pewarna Bahan
0
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
652.000
Bakar
0
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
2.986.486
3. B. Operasional IPAL: Upah TK IPAL
0
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
B. Overhead
0
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
B. Perawatan
0
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
700.000
B. Angkutan Perlengkapan
0
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
Saringan
0
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
92.904
Pisau
0
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
0
1.000 302.045.9 54 302.127.2 44 38.796.71 0
1.000 302.045.9 54 303.635.3 09 37.288.64 5
1.000 302.045.9 54 302.127.2 44 38.796.71 0
1.000 302.045.9 54 303.920.3 09 37.003.64 5
1.000 302.045.9 54 302.127.2 44 38.796.71 0
1.000 302.045.9 54 304.659.4 28 36.264.52 6
1.000 302.045.9 54 302.127.2 44 38.796.71 0
1.000 302.045.9 54 303.920.3 09 37.003.64 5
1.000 302.045.9 54 302.127.2 44 38.796.71 0
1.000 302.045.9 54 303.635.3 09 38.284.61 4
3.879.671 34.917.03 9
3.728.865 33.559.78 1
3.879.671 34.917.03 9
3.700.365 33.303.28 1
3.879.671 34.917.03 9
3.626.453 32.638.07 3
3.879.671 34.917.03 9
3.700.365 33.303.28 1
3.879.671 34.917.03 9
3.828.461 34.456.15 3
Biaya Variabel : Kedelai
0
:
Alat Penusuk TOTAL B. OPERASIONAL
C D
TOTAL OUTFLOW Net Benefit Before Tax (AB) Pajak Net Benefit After Tax (CD)
0 44.769.424 -44.769.424 0 -44.769.424
Df13 % NPV
1
77%
Net B/C
4,15
PV 13%
-44.769.424
PV Negatif
-44.769.424
PP
0,7831466 83
0,6930501 6
0,6133187 3
0,5427599 4
0,480318 53
0,425060 64
0,376159 86
0,332884 83
0,294588 35
30.900.03 5
26.282.23 1
24.199.26 0
20.425.52 6
18.951.57 0
15.676.67 1
14.841.85 9
12.527.35 7
11.623.35 3
10.150.38 1
124.609.573
IRR
PV Positif
0,8849557 5
185.578.242 1 tahun 6 bulan
Lampiran 10. Alasan Pengrajin Tempe Bersedia atau Tidak Bersedia Mengolah Limbah Dengan IPAL
Nama
Kesediaan
Alasan
Raska
Tidak
Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Kaspari
Bersedia
Ada saluran untuk pengolahan limbah
Zainal
Tidak
Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Sudarno
Bersedia
Hasil buangan limbah lebih baik
Teguh
Bersedia
Agar Limbah tidak menimbulkan bau busuk
Sutrio
Tidak
Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Tarno
Tidak
Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Kabari
Tidak
Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Achmad Sunarto
Tidak
Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Damurin
Tidak
Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Khudori
Tidak
Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Waridi
Tidak
Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Karmadi
Tidak
Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Darno
Tidak
Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Taryubi
Tidak
Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Karyono
Tidak
Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Bisri
Bersedia
Hasil buangan limbah lebih baik
Kasadi
Tidak
IPAL merupakan tanggung jawab pemerintah
Daris
Tidak
Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Marzuki
Tidak
IPAL merupakan tanggung jawab pemerintah
Abdul Rohman
Tidak
IPAL merupakan tanggung jawab pemerintah
Tarpin
Tidak
Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
H. Sunardi
Tidak
Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Kardani
Tidak
Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Tasmin
Tidak
Menambah Biaya Produksi
Ramadi
Tidak
Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Aryo
Tidak
Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Warjo
Tidak
Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Sutoro
Tidak
Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Musli
Tidak
Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Wardiono
Tidak
Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Lampiran 11. Dampak Negatif Limbah Cair dan Solusi Alternatif untuk Menanggulagi Limbah
Nama
Solusi Alternatif
Dampak negatif limbah
Raska
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Kaspari
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Zainal
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Sudarno
Pengolahan limbah yang murah
Membuat air sungai keruh dan bau
Teguh
Pengolahan limbah yang murah
Air sungai tidak dapat dikonsumsi
Sutrio
Limbah cair dijual
Air sungai tidak dapat dikonsumsi
Tarno
Limbah cair dijual
Air sungai tidak dapat dikonsumsi
Kabari
Limbah cair dijual
Air sungai tidak dapat dikonsumsi
Achmad Sunarto
Limbah cair dijual
Air sungai tidak dapat dikonsumsi
Damurin
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Khudori
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Waridi
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Karmadi
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Darno
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Taryubi
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Karyono
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Bisri
Limbah cair dijual
Air sungai tidak dapat dikonsumsi
Kasadi
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Daris
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Marzuki
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Abdul Rohman
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Tarpin
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
H. Sunardi
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Kardani
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Tasmin
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Ramadi
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Aryo
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Warjo
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Sutoro
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Musli
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Wardiono
Limbah cair dijual
Membuat air sungai keruh dan bau
Lampiran 12. Rincian Penerimaan Harian Pengrajin Tempe di Desa Citeureup Nama Responden
Kedelai (kg)
Harga (Rp/kg)
Nilai
Ampas (krg)
Harga (Rp/krg)
Nilai
Pendapatan (Rp)
Pendapatan Bersih (Rp)
Raska
100
7.000
700.000
1,00
2.500
2.500
850.000
850.000
Kaspari
100
6.900
690.000
0,00
0
0
900.000
900.000
Zainal
125
6.800
850.000
0,00
0
0
1.800.000
1.800.000
Sudarno
400
7.000
2.800.000
1,50
3.000
4.500
3.500.000
3.500.000
Teguh
100
7.000
700.000
0,38
3.000
1.140
900.000
900.000
Sutrio
100
7.000
700.000
1,00
2.500
2.500
900.000
900.000
Tarno
100
7.000
700.000
1,00
2.500
2.500
900.000
900.000
Kabari
100
7.000
700.000
1,00
2.500
2.500
900.000
900.000
Achmad Sunarto
100
6.900
690.000
1,00
5.000
5.000
850.000
850.000
Damurin
200
7.000
1.400.000
1,00
5.000
5.000
2.000.000
2.000.000
Khudori
100
6.850
685.000
1,00
5.000
5.000
900.000
900.000
Waridi
100
6.800
680.000
0,00
0
0
900.000
900.000
Karmadi
100
7.000
700.000
1,00
2.500
2.500
900.000
900.000
Darno
100
7.000
700.000
0,00
0
0
900.000
900.000
Taryubi
95
6.900
655.500
0,00
0
0
920.000
920.000
Karyono
60
6.900
414.000
0,50
5.000
2.500
500.000
500.000
Bisri
50
6.850
342.500
0,00
0
0
450.000
450.000
Kasadi
75
6.850
513.750
0,00
0
0
1.000.000
1.000.000
Daris
25
7.000
175.000
1,00
5.000
5.000
300.000
300.000
Marzuki
250
7.000
1.750.000
1,00
4.500
4.500
2.500.000
2.500.000
Abdul Rohman
30
7.000
210.000
0,00
0
0
350.000
350.000
Tarpin
70
7.000
490.000
0,00
0
0
700.000
700.000
H. Sunardi
100
7.200
720.000
0,00
0
0
850.000
850.000
Kardani
250
7.000
1.750.000
0,00
0
0
2.500.000
2.500.000
Tasmin
40
7.500
300.000
0,00
0
0
400.000
400.000
Ramadi
35
7.000
245.000
0,00
0
0
380.000
380.000
Aryo
200
7.200
1.440.000
0,00
0
0
2.000.000
2.000.000
Warjo
75
7.000
525.000
0,00
0
0
750.000
750.000
Sutoro
40
7.000
280.000
0,00
0
0
350.000
350.000
Musli
100
7.000
700.000
0,00
0
0
850.000
850.000
Wardiono
50
6.900
345.000
0,00
0
0
500.000
500.000
Rata-rata
109
6.985
761.365
0,40
1.548
619,2
1.045.161
1.045.161
Nilai Output (Kg)
Harga Tempe Daun (Rp/kg)
Harga Tempe Plastik (Rp/kg)
Saluran Pemasaran
Sewa Kios (Rp/hari)
800
1.500
2.000
1
13.333
500
1.500
2.500
1
10.000
2.000
2.000
2.500
1
10.000
500
2.000
2.000
1
13.333
2.000
2.500
2.000
1
13.333
400
2.500
2.000
1
13.333
400
2.500
2.000
1
13.333
400
2.500
2.000
1
13.333
400
2.500
2.500
1
13.333
400
1.000
4.000
1
13.333
400
2.000
4.000
1
10.000
2.000
2.000
4.000
1
10.000
720
2.500
4.500
1
13.333
200
0
3.000
1
10.000
800
2.000
3.000
2
0
200
2.000
2.500
2
0
600
1.000
3.000
3
0
360
2.500
2.500
2
0
120
1.000
2.500
3
0
1.000
1.000
2.500
2
0
800
0
2.500
2
0
1.000
1.000
2.500
1
10.000
1.000
1.000
2.500
1
10.000
8.000
1.000
2.500
1
13.333
500
0
2.500
1
10.000
600
1.000
2.500
2
0
2.800
1.000
2.500
3
0
960
1.000
2.500
3
0
800
1.000
2.500
3
0
1.400
1.000
2.500
1
10.000
800
1.000
2.500
1
10.000
1.060 1.468 Lampiran 13. Rincian Biaya-biaya harian pembuatan tempe Nama Responden
2.661
11.667
Kedelai (kg)
Harga (Rp/kg)
Nilai
Ragi (kg)
Harga (Rp/kg)
Nilai
Pewarna
Harga (Rp/bks)
Nilai
Serbuk Kayu (krg)
Raska
100
7.000
700.000
0,20
10.000
2.000
7
500
3.500
1,00
Kaspari
100
6.900
690.000
0,14
10.000
1.428
0
500
0
1,00
Zainal
125
6.800
850.000
1,00
12.000
12.000
0
500
0
1,00
Sudarno
400
7.000
2.800.000
4,00
5.000
20.000
40
500
20.000
0,75
Teguh
100
7.000
700.000
1,00
5.000
5.000
10
500
5.000
0,25
Sutrio
100
7.000
700.000
1,00
10.000
10.000
0
500
0
1,00
Tarno
100
7.000
700.000
1,00
10.000
10.000
0
500
0
1,00
Kabari
100
7.000
700.000
1,00
10.000
10.000
0
500
0
1,00
Achmad Sunarto
100
6.900
690.000
0,20
16.000
3.200
0
500
0
1,00
Damurin
200
7.000
1.400.000
0,13
10.000
1.250
0
500
0
1,00
Khudori
100
6.850
685.000
1,40
10.000
14.000
0
500
0
1,00
Waridi
100
6.800
680.000
0,20
10.000
2.000
0
500
0
1,00
Karmadi
100
7.000
700.000
0,20
10.000
2.000
0
500
0
1,00
Darno
100
7.000
700.000
0,33
8.000
2.640
0
500
0
1,00
Taryubi
95
6.900
655.500
0,50
16.000
8.000
14
500
7.000
1,00
Karyono
60
6.900
414.000
0,20
9.000
1.800
0
500
0
1,00
Bisri
50
6.850
342.500
0,02
10.000
200
4
500
2.000
1,00
Kasadi
75
6.850
513.750
0,02
10.000
200
0
500
0
2,00
Daris
25
7.000
175.000
0,20
10.000
2.000
2
500
1.000
1,00
Marzuki
250
7.000
1.750.000
0,60
14.500
8.700
17
500
8.500
1,00
Abdul Rohman
30
7.000
210.000
0,10
15.000
1.500
1
500
500
0,30
Tarpin
70
7.000
490.000
0,20
15.000
3.000
3
500
1.500
0,50
H. Sunardi
100
7.200
720.000
0,25
13.500
3.375
5
500
2.500
1,00
Kardani
250
7.000
1.750.000
0,70
15.000
10.500
12
500
6.000
2,00
Tasmin
40
7.500
300.000
0,10
15.000
1.500
1
500
500
0,30
Ramadi
35
7.000
245.000
0,10
15.000
1.500
1
500
500
0,30
Aryo
200
7.200
1.440.000
0,50
13.500
6.750
10
500
5.000
1,50
Warjo
75
7.000
525.000
0,20
15.000
3.000
3
500
1.500
0,50
Sutoro
40
7.000
280.000
0,10
15.000
1.500
2
500
1.000
0,30
Musli
100
7.000
700.000
0,30
15.000
4.500
5
500
2.500
1,00
Wardiono
50
6.900
345.000
0,15
16.000
2.400
1
500
500
0,40
Rata-rata
109
6.985
761.365
0,52
11.887
6.181
4
500
2.000
1
Harga (Rp/krg)
Nilai
Plastik (kg)
Harga (Rp/kg)
Nilai
Daun (Rp)
Tenaga Kerja
Upah/hari (Rp)
Jam Kerja
Nilai
Total Biaya
4.000
4.000
1,00
22.000
22.000
15.000
2
40.000
10,0
80.000
826.500
4.000
4.000
1,00
22.000
22.000
15.000
2
30.000
8,0
60.000
792.428
6.000
6.000
1,50
21.000
31.500
5.000
3
30.000
8,0
90.000
994.500
30.000
22.500
0,10
20.000
2.000
20.000
5
50.000
8,0
250.000
3.134.500
30.000
7.500
0,10
20.000
2.000
5.000
1
50.000
8,0
50.000
774.500
10.000
10.000
0,18
20.000
3.600
5.000
1
30.000
8,0
30.000
758.600
10.000
10.000
0,10
22.000
2.200
10.000
1
30.000
8,0
30.000
762.200
10.000
10.000
0,10
22.000
2.200
10.000
1
30.000
8,0
30.000
762.200
10.000
10.000
0,10
22.000
2.200
10.000
2
35.000
5,0
70.000
785.400
10.000
10.000
0,75
20.000
15.000
10.000
3
30.000
5,0
90.000
1.526.250
8.000
8.000
2,50
20.000
50.000
20.000
2
40.000
7,0
80.000
857.000
10.000
10.000
0,50
22.000
11.000
10.000
3
60.000
8,0
180.000
893.000
10.000
10.000
0,10
22.000
2.200
10.000
1
30.000
8,0
30.000
754.200
6.000
6.000
1,00
20.500
20.500
0
1
40.000
8,0
40.000
769.140
15.000
15.000
1,50
21.000
31.500
10.000
1
40.000
6,0
40.000
767.000
6.000
6.000
0,75
20.000
15.000
3.000
1
25.000
8,0
25.000
464.800
10.000
10.000
1,00
20.000
20.000
5.000
1
20.000
6,0
20.000
399.700
6.000
12.000
0,50
20.000
10.000
15.000
1
25.000
8,0
25.000
575.950
6.000
6.000
0,30
20.000
6.000
2.000
1
25.000
6,0
25.000
217.000
6.000
6.000
2,00
22.000
44.000
14.000
4
35.000
8,5
140.000
1.971.200
7.000
2.100
0,30
20.000
6.000
0
1
40.000
8,0
40.000
260.100
7.000
3.500
0,60
20.000
12.000
6.600
2
40.000
8,0
80.000
596.600
8.000
8.000
1,00
20.000
20.000
10.000
2
40.000
8,0
80.000
843.875
5.000
10.000
2,00
20.000
40.000
50.000
4
40.000
8,0
160.000
2.026.500
7.000
2.100
0,25
22.000
5.500
0
2
40.000
8,0
80.000
389.600
7.500
2.250
0,50
20.000
10.000
2.500
2
50.000
8,0
100.000
361.750
6.000
9.000
2,50
20.000
50.000
140.000
4
50.000
8,0
200.000
1.850.750
7.500
3.750
1,00
18.000
18.000
8.000
2
40.000
8,0
80.000
639.250
8.000
2.400
0,75
20.000
15.000
4.000
1
40.000
8,0
40.000
343.900
7.000
7.000
1,28
20.000
25.600
10.000
2
40.000
8,0
80.000
829.600
7.000
2.800
0,50
20.000
10.000
4.400
2
40.000
8,0
80.000
445.100
9.161
9.161
1
20.597
20.597
13.855
2
37.258
7,7
74.516
883.003
Umur Pakai
Gilingan
Harga (Rp)
12
1
350.000
60
1
4.000.000
12
1
500.000
4
2
2.500.000
12
2
2.500.000
12
1
500.000
12
1
500.000
12
1
500.000
36
1
500.000
60
1
1.500.000
60
1
900.000
60
1
400.000
60
1
400.000
12
2
4.500.000
6
1
1.500.000
12
1
350.000
60
1
350.000
60
1
350.000
60
1
350.000
60
1
2.000.000
60
1
4.000.000
60
1
4.000.000
60
1
1.000.000
60
1
1.500.000
60
1
350.000
60
1
350.000
60
1
300.000
60
1
1.250.000
60
1
4.000.000
60
1
500.000
60
1
400.000
43
1
1.358.065
Umur Pakai
Saringan
Harga (Rp)
Nilai
Umur Pakai (bulan)
Kerai
Harga (Rp/kerai)
Nilai
Umur Pakai
12
1
10.000
10.000
0,25
40
25.000
1.000.000
60
36
1
10.000
10.000
0,25
25
25.000
625.000
60
12
1
10.000
10.000
0,25
100
15.000
1.500.000
60
36
1
10.000
10.000
0,25
25
15.000
375.000
60
36
1
10.000
10.000
0,25
100
25.000
2.500.000
120
12
1
10.000
10.000
0,25
20
25.000
500.000
120
12
1
10.000
10.000
0,25
20
25.000
500.000
60
12
1
10.000
10.000
0,25
20
25.000
500.000
60
12
3
5.000
15.000
0,25
20
25.000
500.000
60
36
1
10.000
10.000
0,25
20
25.000
500.000
60
12
1
10.000
10.000
0,25
20
25.000
500.000
60
12
1
10.000
10.000
0,25
100
20.000
2.000.000
60
12
1
10.000
10.000
0,25
36
15.000
540.000
60
36
2
10.000
20.000
0,25
10
15.000
150.000
60
36
2
10.000
20.000
0,25
40
20.000
800.000
60
12
1
10.000
10.000
0,25
10
15.000
150.000
60
24
2
5.000
10.000
0,25
30
25.000
750.000
60
24
2
10.000
20.000
2,00
18
25.000
450.000
60
24
1
10.000
10.000
0,25
6
25.000
150.000
60
36
4
5.000
20.000
0,25
50
20.000
1.000.000
60
24
1
5.000
5.000
0,25
40
15.000
600.000
96
24
1
5.000
5.000
0,50
50
15.000
750.000
96
30
1
5.000
5.000
12,00
50
15.000
750.000
96
36
3
5.000
15.000
0,25
400
15.000
6.000.000
96
24
1
5.000
5.000
0,50
25
15.000
375.000
96
24
1
5.000
5.000
0,50
30
15.000
450.000
96
24
1
5.000
5.000
0,25
140
15.000
2.100.000
96
30
1
5.000
5.000
0,50
48
14.000
672.000
96
24
1
5.000
5.000
0,50
40
15.000
600.000
96
24
1
5.000
5.000
0,50
70
15.000
1.050.000
96
24
1
5.000
5.000
0,50
40
15.000
600.000
96
24
1
7.742
7.742
1
53
19.323
1.024.119
77
Lampiran 15. Karakteristik Pengrajin Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008 Nama Responden
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Status
Jumlah tanggungan
Lama Usaha
Luas Tempat Usaha
Harga Lahan (Rp/m2)
Raska
35
Laki-laki
SD
Nikah
2
9
100
1.000.000
Kaspari
42
Laki-laki
SD
Nikah
2
20
68
350.000
Zainal
34
Laki-laki
SD
Nikah
2
11
121
350.000
Sudarno
50
Laki-laki
SD
Nikah
8
16
350
500.000
Teguh
28
Laki-laki
SMA
Nikah
1
6
100
350.000
Sutrio
58
Laki-laki
SD
Nikah
3
26
100
350.000
Tarno
50
Laki-laki
SD
Nikah
4
30
100
350.000
Kabari
38
Laki-laki
SD
Nikah
2
10
100
350.000
Achmad Sunarto
37
Laki-laki
SLTP
Nikah
4
17
150
600.000
Damurin
52
Laki-laki
SD
Nikah
3
40
105
350.000
Khudori
37
Laki-laki
SD
Nikah
3
13
100
350.000
Waridi
32
Laki-laki
SD
Nikah
2
12
100
350.000
Karmadi
35
Laki-laki
SD
Nikah
2
11
110
350.000
Darno
40
Laki-laki
SD
Nikah
5
3
125
350.000
Taryubi
33
Laki-laki
SD
Nikah
2
14
50
350.000
Karyono
30
Laki-laki
SD
Nikah
2
19
100
350.000
Bisri
28
Perempuan
SD
Nikah
1
6
150
600.000
Kasadi
23
Laki-laki
SD
Belum
0
3
100
350.000
Daris
50
Laki-laki
SD
Nikah
11
25
96
350.000
Marzuki
60
Laki-laki
SD
Nikah
7
23
100
350.000
Abdul Rohman
38
Laki-laki
SLTP
Nikah
4
9
100
350.000
Tarpin
40
Laki-laki
SLTP
Nikah
5
10
100
350.000
H. Sunardi
47
Laki-laki
SD
Nikah
9
25
100
350.000
Kardani
42
Laki-laki
SD
Nikah
6
21
100
350.000
Tasmin
35
Laki-laki
SD
Nikah
4
10
100
350.000
Ramadi
35
Laki-laki
SD
Nikah
4
15
150
350.000
Aryo
32
Laki-laki
SLTP
Nikah
3
15
100
350.000
Warjo
35
Laki-laki
SD
Nikah
4
11
50
350.000
Sutoro
35
Laki-laki
SMK
Nikah
3
7
100
350.000
Musli
38
Laki-laki
SLTP
Nikah
4
11
100
350.000
Wardiono
34
Laki-laki
SD
Nikah
2
12
100
350.000
Rata-rata
39
Laki-laki
SD
Nikah
4
15
110
380.645
Nilai
Kap. Prod (kg)
jumlah limbah (m3)
biaya (Rp/m3)
Biaya IPAL (Rp)
100.000.000
160
1,75
15.031.818
26.305.682
23.800.000
160
1,75
15.031.818
26.305.682
42.350.000
200
2,19
15.031.818
32.919.682
175.000.000
720
7,00
15.031.818
105.222.727
35.000.000
180
1,75
15.031.818
26.305.682
35.000.000
200
1,75
15.031.818
26.305.682
35.000.000
200
1,75
15.031.818
26.305.682
35.000.000
160
1,75
15.031.818
26.305.682
90.000.000
180
1,75
15.031.818
26.305.682
36.750.000
400
3,50
15.031.818
52.611.364
35.000.000
160
1,75
15.031.818
26.305.682
35.000.000
160
1,75
15.031.818
26.305.682
38.500.000
160
1,75
15.031.818
26.305.682
43.750.000
160
1,75
15.031.818
26.305.682
17.500.000
152
1,66
15.031.818
24.952.818
35.000.000
120
1,05
15.031.818
15.783.409
90.000.000
80
0,88
15.031.818
13.228.000
35.000.000
120
1,31
15.031.818
19.691.682
33.600.000
50
0,44
15.031.818
6.614.000
35.000.000
500
4,38
15.031.818
65.839.364
35.000.000
48
0,53
15.031.818
7.966.864
35.000.000
112
1,22
15.031.818
18.338.818
35.000.000
200
1,75
15.031.818
26.305.682
35.000.000
500
4,38
15.031.818
65.839.364
35.000.000
64
0,70
15.031.818
10.522.273
52.500.000
63
0,61
15.031.818
9.169.409
35.000.000
360
3,50
15.031.818
52.611.364
17.500.000
120
1,31
15.031.818
19.691.682
35.000.000
64
0,70
15.031.818
10.522.273
35.000.000
160
1,75
15.031.818
26.305.682
35.000.000
80
0,88
15.031.818
13.228.000
41.870.950
193
1,90
15.031.818
28.604.095