ANALISIS PENGARUH KENAIKAN HARGA KEDELAI TERHADAP KINERJA USAHA INDUSTRI TEMPE DI DESA CITEUREUP KABUPATEN BOGOR
SKRIPSI
TITA NURSIAH H34104105
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 i
ABSTRACT Soybean demand continues to increase but does not meet sufficient domestic production resulting in higher price shock. An increase in soybean prices caused a major influence on tempeh industry in Indonesia, since soybean is the main input of tempeh,. The aims of this research were to analyze the effects of the increasing soybean price on business performance in terms of cost structure, revenue, profit, and efforts to deal with adjustments made under these conditions. This research was conducted from December 2012 to Februari 2013. This research used primary data from direct interviews with respondents and secondary data from relevant institutions and literature. The analysis tools used are quantitative and qualitative analysis. The results indicated that an increase in soybean prices affected rising of the total cost significantly because 70 percent of the cost was used for the purchase of soybeans. The condition led to decrease the amount of profit earned. Based on the comparison of the cost structure of the three production-scale showed there was a trend that an increasing of business scale will decrease the cost per kg of soybeans. It is concluded that an adjustment has to be undertaken in order to get high profit by reducing the size and increasing the price of tempeh. . Keywords: soybean, tempeh, cost, effort
RINGKASAN TITA NURSIAH, Analisis Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Kinerja Usaha Industri Tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI). Tingginya permintaan kedelai dalam negeri yang terus meningkat tidak diimbangi dengan jumlah produksi sehingga memicu kelangkaan dan kenaikan harga kedelai dipasaran. Salah satu upaya untuk menstabilkan harga kedelai, pemerintah melakukan impor. Kedelai merupakan salah satu input utama dalam pembuatan tempe, sehingga dengan adanya kenaikan harga kedelai akan berpengaruh langsung terhadap kinerja usaha pengrajin tempe. Adapun pengrajin tempe merupakan usaha dengan skala kecil bahkan mikro yang rentan terhadap kenaikan harga input. Kondisi inilah yang menyebabkan pengrajin tempe harus melakukan upaya untuk menyiasati kenaikan harga kedelai. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menganalisis pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha yang ditinjau dari penerimaan, keuntungan, dan struktur biaya produksi usaha tempe. (2) Mengidentifikasi upaya-upaya penyesuaian yang telah dilakukan oleh para pengrajin tempe dalam menyiasati kenaikan harga kedelai.. Penelitian dilakukan di Desa Citeureup Kabupaten Bogor. Adapun pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa Desa Citeureup merupakan sentra industri tempe terbesar di Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2012 sampai Maret 2013. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Pengolahan data dilakukan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan untuk menghitung besaran struktur biaya dan keuntungan yang diterima pengrajin di lokasi penelitian, sedangkan metode kualitatif deskriptif digunakan untuk menganalisis upaya yang telah dilakukan pengrajin tempe dalam menyiasati kenaikan harga kedelai. Untuk mempertajam analasis, unit usaha pembuatan tempe dilokasi penelitian dibedakan dalam tiga skala, yaitu skala I, skala II, dan skala III. Penggolongan skala ini didasarkan pada banyaknya jumlah produksi kedelai yang dilakukan setiap hari. Berdasarkan struktur biaya sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai menunjukkan bahwa dengan adanya kenaikan harga kedelai mempengaruhi kinerja usaha yang ditunjukkan dari peningkatan biaya total dan penurunan keuntungan. Komponen biaya terbesar dalam struktur biaya menunjukkan bahwa kedelai merupakan komponen biaya terbesar yang mengambil 70 persen dari biaya total produksi. Selain itu komponen biaya yang juga tinggi adalah biaya upah tenaga kerja. Berdasarkan dari perbandingan tiga skala menunjukkan bahwa pada produksi skala III mengeluarkan biaya total ratarata per kg kedelai lebih rendah dibandingkan skala I dan II. Baik sebelum kenaikan harga kedelai maupun setelah kenaikan harga kedelai. Sementara dari penerimaan dan keuntungan, dengan adanya kenaikan harga kedelai menyebabkan keuntungan yang diperoleh menjadi menurun. Hal ini dikarenakan tidak adanya pilihan lain yang dapat dilakukan oleh pengrajin kecuali menurunkan keuntungan yang diperoleh dalam menyiasati kenaikan harga kedelai. ii
Dengan demikian dapat disimpulkan adanya kenaikan harga kedelai membuat kinerja usaha pengrajin tempe menurun. Berdasarkan hasil analisis pada tiga skala produksi menunjukkan bahwa pada skala III merupakan skala paling efisien dilihat dari besaran nilai biaya rata-rata yaitu Rp 8.684 sebelum kenaikan harga kedelai dan Rp 10.222 setelah kenaikan harga kedelai untuk per 100 kg serta R/C rasio yang paling tinggi yaitu 1,20 sebelum kenaikan harga kedelai dan 1,15 setelah kenaikan harga kedelai. Upaya yang dilakukan pengrajin dalam menyiasati kenaikan harga kedelai ada empat cara yaitu : (1) mengurangi ukuran tempe dan harga tetap dilakukan oleh 80 persen responden, (2) mengurangi ukuran tempe dan menaikkan hargadilakukan oleh 10 persen responden, (3) memperbesar ukuran tempe dan menaikkan harga dilakukan 3 persen respnden, dan (4) mengurangi jumlah produksi dan mengurangi ukuran tempe. Dilakukan oleh 7 persen responden. Berdasarkan hubungan upaya dan keuntungan yang diperoleh didapatkan bahwa upaya paling efisien yang dilakukan untuk menyeimbangkan keuntungan adalah upaya ke-2. Hal ini dinilai dari peningkatan jumlah keuntungan tertinggi yang diperoleh pengrajin. Pilihan upaya yang dilakukan pengrajin sebagian besar adalah pilihan untuk menurunkan keuntungan yang diperoleh, dikarenakan hanya pilihan inilah yang dapat dilakukan. Pengrajin tempe tidak dapat melakukan pilihan lain dikarenakan adanya kekakuan dalam penggunaan input yang dilakukan sehingga tidak ada pilihan lain selain mengurangi keuntungan.
iii
ANALISIS PENGARUH KENAIKAN HARGA KEDELAI TERHADAP KINERJA USAHA INDUSTRI TEMPE DI DESA CITEUREUP KABUPATEN BOGOR
TITA NURSIAH H34104105
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
iv
Judul Proposal
: Analisis Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Kinerja Usaha Industri Tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor
Nama
: Tita Nursiah
NIM
: H34104105
Disetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Mengetahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
v
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Kinerja Usaha Industri Tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor,
Mei 2013
Tita Nursiah H34104105
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, pada tanggal 14 April 1989. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak H. Memed dan Ibu Hj. Fatimah. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) ditempuh dari tahun 1995 sampai 2001 di SDN Kenteng Kabupaten Purworejo. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan sekolah di SMP N 6 Purworejo dan lulus pada tahun 2004, setelah itu penulis diterima di SMA N 1 Purworejo dengan jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis diterima di Program Diploma III Institut Pertanian Bogor, pada Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menjalani Praktek Kerja Lapang (PKL) selama empat bulan dimulai dari tanggal 03 Agustus 2009 sampai 04 Desember 2009 di RSUD Prof.Dr.Margono Soekarjo Purwokerto. Penulis juga menjalani Praktek Usaha Jasa Boga (PUJB) di Kantin Sehati selama dua bulan dari tanggal 22 Februari 2010 sampai 24 April 2010. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan S1 di Program Alih Jenis Agribisnis, Fakultas Manajemen dan Ekonomi, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Diploma selama dua tahun kepengurusan sebagai Sekretaris Departemen Olahraga Seni dan Budaya tahun 2008, anggota Departemen Ekonomi dan Bisnis serta sebagai Direktur Utama BEM Corporation tahun 2009. Selain itu tahun 2011 sebagai Wakil Bendahara FASTER Alih Jenis Agribisnis.
vii
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Tujuan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Alih Jenis Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Adapun judul skripsi adalah ” Analisis Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Kinerja Usaha Industri Tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor”. Menganalisis pengaruh kenaikkan harga kedelai terhadap kinerja usaha yang dilihat dari struktur biaya, keuntungan, dan upaya yang telah dilakukan dalam menyiasati kenaikan harga kedelai berdasarkan pada masing-masing skala produksi yang dijalankan di Desa Citeureup dengan menggunakan analisis kuantitatif deskriptif dan kualitatif. Penulis mengharapkan skripsi ini dapat memberikan informasi dan acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan usaha pembuatan tempe. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bogor,
Mei 2013
Tita Nursiah
viii
UCAPAN TERIMA KASIH Selama menyusun skripsi ini penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara material maupun non material. Oleh karena sebagai rasa syukur kepada Alloh SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan hingga terselesaikannya skripsi ini. 2. Dr. Ir. Dwi Rachmina, MS selaku dosen evaluator proposal dan dosen penguji utama pada sidang skripsi yang telah disusun. 3. Eva Yolynda Aviny, SP, MM selaku dosen penguji komisi akademik pada sidang skripsi yang telah disusun. 4. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS selaku doses pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan. 5. Maryono, SP, M.Sc selaku dosen yang memberikan arahan serta konsultasi terhadap skripsi yang disusun. 6. Ratna Indriasti selaku pembahas dalam seminar yang telah memberi masukan terhadap penyusunan skripsi. 7. Orang tua tercinta H. Memed dan Hj. Fatimah yang telah memberikan dukungan, doa dan materi. 8. Responden yaitu pengrajin tempe di Desa Citeureup atas waktu, kesempatan, informasi, dan dukungan yang diberikan. 9. Ketua dan staf Primkopti Kabupaten Bogor atas waktu, informasi, dan dukungan yang telah diberikan. 10. Sahabat yang selalu membantu Ulfa Aprililla, Muhamad Arief, Vilia Dita, Ratna Indriasti dan seluruh teman-teman Agribisnis alih jenis angkatan 1 IPB yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih telah memberikan semangat selama penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.
Bogor,
Mei 2013
Tita Nursiah ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI……………………………………………………………....
x
DAFTAR TABEL………………………………………………………...
xii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………..
xiii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………..
xiv
I. PENDAHULUAN……………………………………………………... 1.1 Latar Belakang…………………………………………………… 1.2 Perumusan Masalah ···································································· 1.3 Tujuan Penelitian ········································································· 1.4 Manfaat Penelitian ······································································· 1.5 Ruang Lingkup ············································································
1 1 5 6 6 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ············································································ 2.1 Karakteristik Industri ··································································· 2.2 Perkembangan Industri Tempe di Indonesia ································· 2.3 Hubungan Kinerja, Skala Usaha dan Biaya Produksi ···················
8 8 10 13
III. KERANGKA PEMIKIRAN·································································· 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ······················································· 3.1.1 Hubungan Penggunaan Input dengan Biaya ···························· 3.1.2 Penerimaan dan Efisiensi Usaha ·············································· 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ·················································
17 17 17 20 21
IV. METODE PENELITIAN ········································································ 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ······················································· 4.2 Jenis dan Sumber Data································································· 4.3 Metode Pengumpulan Sampel······················································ 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ········································· 4.4.1 Analisis Struktur Biaya ·························································· 4.4.2 Analisis Upaya Penyesuaian ··················································
24 24 24 24 25 25 26
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ·································· 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian············································· 5.1.1 Lokasi Geografis Desa Citeureup ·········································· 5.1.2 Kependudukan······································································· 5.1.3 Kondisi Sosial ······································································· 5.2 Karakteristik Responden di Desa Citeureup ································· 5.2.1 Usia ······················································································· 5.2.2 Tingkat Pendidikan································································ 5.2.3 Anggota Keluarga·································································· 5.2.4 Lama Usaha··········································································· 5.2.5 Penggunaan Jumlah Kedelai ·················································· 5.3 Peralatan Produksi ······································································· 5.4 Proses Produksi ···········································································
27 27 27 28 28 30 30 31 32 33 34 35 38 x
5.5
Cara Pemasaran ···········································································
43
VI. ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TEMPE···························· 6.1 Biaya Tetap Usaha Tempe di Desa Citeureup Bogor ···················· 6.2 Biaya Variabel Usaha Tempe di Desa Citeureup ·························· 6.3 Biaya Total Usaha Tempe di Desa Citeureup ······························· 6.4 Penerimaan, Keuntungan, dan R/C Rasio Usaha Tempe···············
46 46 49 54 57
VII. ANALISIS UPAYA MENYIASATI KENAIKAN HARGA ··········· 7.1 Strategi Menghadapi Kenaikan Harga Kedelai ····························· 7.2 Perubahan Keuntungan Berdasarkan Jenis Upaya ·······················
60 60 66
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ···························································· 8.1 Kesimpulan ················································································· 8.2 Saran ···························································································
69 69 69
DAFTAR PUSTAKA······················································································
70
LAMPIRAN ·····································································································
73
xi
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Permintaan, Produksi, dan Impor Kedelai di Indonesia.......................
2
2. Harga Tertinggi Kedelai Dalam Negeri ..............................................
3
3. Harga Kedelai Dalam Negeri dan Volume Impor ...............................
4
4. Struktur Biaya Produksi Usaha Tempe. .............................................
25
5. Kependudukan Desa Citeureup Berdasarkan Umur ............................
28
6. Kependudukan Desa Citeureup Berdasarkan Mata Pencaharian..........
29
7. Kependudukan Desa Citeureup Berdasarkan Tingkat Pendidikan .......
29
8. Sebaran Responden Berdasarkan Usia ................................................. 30 9. Sebaran Responden Berdasakan Tingkat Pendidikan ..........................
31
10. Sebaran Responden Berdasakan Jumlah Anggota Keluarga ................
32
11. Sebaran Responden Berdasarkan Lama Usaha ...................................
33
12. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Kedelai Per Produksi ..........
34
13. Sebaran Responden Berdasarkan Cara Pemasaran ..............................
44
14. Harga dan Ukuran Tempe di Desa Citeureup…………………............
45
15. Biaya Tetap Berdasarkan Skala Usaha ...............................................
47
16. Biaya Variabel Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga ........................
50
17. Biaya Produksi Tempe Sebelum Kenaikan Harga...............................
55
18. Biaya Produksi Tempe Setelah Kenaikan Harga .................................
55
19. Penerimaan dan Keuntungan Berdasarkan Skala Usaha ......................
58
20. Upaya Menyiasati Kenaikan Harga ....................................................
66
xii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Kurva Biaya Rata-Rata.....................................................................
18
2. Kurva Isokuan Kedelai dan Tenaga Kerja .......................................
19
3. Diagram Alur Pemikiran Operasional...............................................
23
4. Mesin Pemecah Kedelai ..................................................................
37
5. Ragi Batangan .................................................................................
39
6. Proses Perebusan Kedelai ................................................................
40
7. Perendaman Kedelai .......................................................................
40
8. Pemecahan Kedelai dengan Mesin ..................................................
41
9. Penirisan dan Pendinginan Kedelai ..................................................
42
10. Pengemasan Tempe .........................................................................
42
11. Pengeraman Tempe .........................................................................
43
12 Grafik Hubungan Biaya dan Skala Usaha………………..................... 57 13. Grafik Pilihan Upaya .......................................................................
61
14. Grafik Hubungan Keuntungan dan Upaya yang Dilakukan ..............
67
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Kuesioner ........................................................................................
74
2. Contoh Perhitungan Biaya Penyusutan ............................................
80
xiv
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang
besar, menduduki peringkat ke empat setelah Cina, India dan Amerika Serikat dengan jumlah penduduk 237.641.326 jiwa (BPS, 2010a). Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan terhadap pangan juga meningkat. Hingga saat ini, ketahanan pangan Indonesia diakui masih sangat kurang. Hal ini dapat tercermin dari kurangnya suplai beberapa bahan pangan, sehingga mengharuskan negara melakukan impor dari negara lain. Beberapa bahan pangan tersebut adalah beras, daging, gula, dan kedelai. Bahan pangan tersebut merupakan bahan pangan pokok, Misalnya kedelai yang merupakan salah satu komoditas pangan yang memiliki peranan penting. Salah satu peranannya adalah sebagai bahan baku pembuatan tempe, tahu, kecap, tauco, dan susu. Dikarenakan peranannya yang penting ini jumlah permintaan kedelai pun tinggi yaitu mencapai 2,4 juta ton/tahun. Hingga saat ini permintaan kedelai dalam negeri belum dapat dipenuhi karena produksi rata-rata kedelai dalam negeri berkisar 600.000-850.000 ton per tahun. Untuk memenuhi permintaan kedelai tersebut diperlukan impor dengan rata-rata sebesar 1,8 juta ton/tahun1. Badan Pusat Statistik mencatat tahun 2010 lalu total impor kedelai Indonesia meningkat hingga 1,739 juta ton, berasal dari Amerika Serikat, Malaysia, Argentina, Kanada, dan Thailand. Perkembangan permintaan, produksi, dan jumlah impor kedelai dalam negeri dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, 60 % pemenuhan permintaan kedelai tersebut dilakukan pemerintah dengan mengimpor kedelai dan hanya 40 % dipenuhi dari produksi dalam negeri.
1
Gita, Wiryawan. 70 Persen Kebutuhan http://bisniskeuangan.kompas.com. (21 September 2012)
Kedelai
RI
Masih
Impor.
1
Tabel 1. Perkembangan Permintaan, Produksi, dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun 2000-2010 Tahun
Permintaan
Produksi
Impor
Tingkat
(Ton)
(Ton)
(Ton)
Ketergantungan (%)
2000
1.863.775
1.017.634
1.277.683
68,5
2001
1.881.174
826.932
1.136.419
60,4
2002
1.902.865
673.056
1.365.253
71,7
2003
1.924.804
671.600
1.192.717
61,9
2004
1.947.000
723.199
1.115.793
57,3
2005
1.969.391
802.751
1.166.640
59,2
2006
1.992.038
891.053
1.100.985
55,2
2007
2.014.947
989.069
1.119.839
54,9
2008
2.038.119
723.535
1.371.465
67,2
2009
2.061.557
974.512
1.087.045
52,7
2010
2.646.887
907.031
1.738.777
66,1
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010b (diolah)
Tabel 1 menunjukkan tingkat ketergantungan kedelai impor yang cukup tinggi, membuat harga kedelai di dalam negeri mengikuti kondisi harga kedelai impor. Hal ini sesuai dengan penelitian Handayani (2009) yang menjelaskan bahwa peningkatan harga kedelai impor akan meningkatkan harga kedelai dalam negeri. Kondisi ini sesuai dengan observasi di tingkat industri, bahwa ketentuan harga kedelai lokal berdasarkan mekanisme pasar dengan mengikuti harga kedelai impor. Tabel 2 menunjukkan harga kedelai di dalam negeri turut meningkat ketika harga kedelai impor mengalami kenaikan. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa ada kenaikan harga kedelai lebih dari 100 persen. Kenaikan ini dari tingkat harga Rp 3.200 pada tahun 2007 menjadi Rp 7.500 pada tahun 2008. Hal ini berhubungan dengan adanya kenaikam harga kedelai impor yang meningkat lebih dari 80 persen pada tahun 2008.
2
Tabel 2. Perkembangan Harga Tertinggi Kedelai Dalam Negeri Tahun 20072010
2007
Harga Tertinggi Kedelai Dalam Negeri (Rp/kg) 3.200
0
Harga Tertinggi Kedelai Dunia (US$/kg) 3.225
2008
7.500
134
5.822
81
2009
7.900
5
5.030
3
2010
8.088
2,3
5.258
4,3
Tahun
Perubahan (%)
Perubahan (%) 0
Sumber: Dinas Industri dan Perdagangan, 2010c
Ketergantungan terhadap kedelai impor semakin besar dengan adanya kecenderungan industri pengguna bahan baku kedelai seperti industri tempe yang memilih menggunakan kedelai impor. Selain harganya lebih murah dibanding kedelai lokal kualitas kedelai impor pun lebih baik. Harvita (2007) menjelaskan, pada umumnya industri tempe lebih menyukai kedelai impor karena lebih mudah diperoleh di pasaran, ukuran kedelai lebih seragam, ukuran kedelai lebih besar (panjang 71 mm; lebar 6,8 mm; tebal 6,0 mm), kedelai impor kering dengan kadar air 10-12,5 persen, dan kadar kotoran rendah (kandungan benda-benda asing 0,8-2 persen). Tabel 3 memperlihatkan perkembangan harga kedelai dan volume impor yang terjadi dari tahun 2011 hingga 2012. Dilihat pada Tabel 3, harga kedelai lokal dibandingkan dengan harga kedelai impor lebih murah. Oleh karena itu, sebagian besar pengrajin tempe menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku dalam pembuatan tempe. Hal ini dilihat dari besarnya volume impor setiap bulannya. Volume impor kedelai yang terjadi dalam setahun pada tahun 2011 hingga 2012 tidak terjadi setiap bulan dan jumlahnya pun tidak tentu. Menurut Amalia (2008), harga kedelai impor murah karena mendapatkan subsidi yang besar oleh negara pengekspornya, khususnya kedelai dari Amerika. Produksi kedelai dalam negeri tidak mampu bersaing dengan kedelai impor yang disubsidi tersebut. Upaya pemerintah dalam meningkatkan tarif impor kedelai dari lima persen menjadi sepuluh persen pada tahun 2005, ternyata belum mampu menaikkan produksi kedelai secara signifikan. Bahkan kenaikan harga kedelai pada tahun 2012 mengharuskan pemerintah menurunkan tarif impor kedelai.
3
Tabel 3. Perkembangan Harga Kedelai Dalam Negeri dan Volume Impor Tahun 2011-2012 Tahun
Bulan
2011 Juni
Kedelai Lokal (Rp/kg) 5.849,03
Kedelai Impor (Rp/kg) 5.270,9
Volume Impor (ton)* 0
Juli
6.036,34
6.209,76
132.130,7
Agustus
6.424,81
6.120,08
212.020,9
September
5.930,07
5.560,67
0
Oktober
6.480,72
5.997,69
0
November
6.624,83
5.801,63
105.398,7
Desember
6.224,83
5.801,63
283.661,3
5.939,36
5.793,1
76.253,4
Februari
6.818,88
6.368,12
114.194,5
Maret
8.896,31
8.363,92
528.487
Mei
7.173,08
6.827,73
0
Juni
6.820,27
6.416,69
0
2012 Januari
Sumber : Dinas Industri dan Perdagangan, 2012 (diolah) * Badan Pusat Statistik, 2012
Kenaikan harga kedelai ini sangat mempengaruhi kinerja industri di dalam negeri yang menggunakan bahan baku kedelai, salah satunya yaitu industri tempe. Berdasarkan data yang ada pengrajin tempe dan tahu berjumlah cukup banyak di Indonesia yaitu sekitar 32.171 ribu pengrajin dengan rata-rata berskala usaha kecil (BSN, 2011). Peningkatan harga yang tinggi inilah yang menyebabkan industri pengolahan kedelai khususnya tempe dirugikan. Dikarenakan kedelai merupakan bahan baku utama yang dominan yaitu 80 persen hingga 90 persen dari biaya produksi (Amang B; Husein S; Anas R, 1996). Oleh karena itu, ketika terjadi perubahan harga kedelai pasti akan mempengaruhi kinerja dan aktivitas produksi yang dilakukan industri tempe. Aktivitas produksi ini erat kaitannya dengan biaya bahan baku kedelai dalam struktur biaya produksi. Biaya bahan baku kedelai merupakan komponen terbesar dalam biaya total produksi, sehingga adanya kenaikan harga kedelai akan menyebabkan kenaikan biaya total yang tinggi. Adanya kenaikan biaya total ini mengharuskan pengrajin melakukan upaya yang dapat menyiasati kondisi ini. Dampak kenaikan harga kedelai
4
mempengaruhi kinerja seluruh pengrajin tempe di Indonesia, khususnya pengrajin di wilayah Bogor. Dikarenakan di wilayah ini tempe banyak diusahakan oleh pengrajin dan membentuk kluster di beberapa desa seperti, Citeureup, Bojong Sempu, Ciampea, dan Cibungbulang. Menurut KOPTI Kabupaten Bogor, kebutuhan kedelai untuk industri olahan di wilayah ini tergolong tinggi yaitu 3.336.660 kg tiap bulannya. Salah satu sentra industri tempe di Bogor yang terdapat pengrajin terbanyak adalah Desa Citeureup, di desa ini terdapat sekitar 188 unit usaha. Hal ini menunjukkan bahwa tempe banyak diusahakan meskipun harga kedelai terus meningkat. 1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas mengenai tingginya permintaan kedelai
dalam negeri yang belum terpenuhi dan adanya kenaikan harga kedelai yang terus meningkat dapat mempengaruhi kinerja produksi tempe yang ada. Berdasarkan hasil survei Departemen Perindustrian tahun 1992, bahwa volume bahan baku kedelai yang diolah per pengrajin tempe cukup rendah yaitu sekitar kurang dari 25 kg per hari (Amang B; Husein S; Anas R, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa skala usaha untuk pembuatan tempe sebagian besar berupa industri rumah tangga. Usaha skala kecil atau rumah tangga merupakan usaha yang rentan terhadap perubahan harga input. Dengan demikian, adanya kenaikan harga input membuat pengrajin tempe yang merupakan skala kecil merugi karena pengrajin tempe skala kecil masuk dalam kategori price taker tidak dapat mempengaruhi harga output yang ada di pasar ketika adanya kenaikan harga satu input. Peningkatan harga input yaitu kedelai sebagai bahan baku utama tempe tidak dapat diikuti oleh peningkatan harga jual tempe sebesar peningkatan harga kedelai yang terjadi. Hal ini karena melihat daya beli konsumen yang umumnya merupakan golongan ekonomi menengah ke bawah. Kenaikan harga kedelai dapat menurunkan jumlah keuntungan yang diperoleh pengrajin, karena kenaikan harga kedelai yang terjadi mempengaruhi struktur biaya, baik itu biaya tetap maupun biaya variabel. Adanya peningkatan harga kedelai menyebabkan peningkatan biaya produksi. Untuk menutupi peningkatan biaya
5
produksi, pengrajin tempe harus melakukan upaya alternatif agar tetap dapat berproduksi dan mendapatkan keuntungan maksimal. Berdasarkan uraian di atas, menjadi penting untuk mengkaji permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha pengrajin tempe dilihat dari struktur besaran biaya produksi dan keuntungan industri tempe di lokasi penelitian? 2. Upaya-upaya apakah yang dilakukan pengrajin tempe di lokasi penelitian dalam menyiasati kenaikan harga kedelai yang terus meningkat agar kinerja usaha dapat dilakukan dengan optimal? 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka tujuan yang ingin
dicapai oleh peneliti adalah : 1. Menganalisis pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha yang ditinjau dari struktur biaya produksi, penerimaan, keuntungan usaha tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor yang dibagi dalam tiga skala usaha. 2. Mengidentifikasikan upaya-upaya penyesuaian yang telah dilakukan oleh para pengarajin tempe untuk menyiasati kenaikan harga kedelai di Desa
Citeureup Kabupaten Bogor. 1.4
Manfaat Penelitian Selain adanya permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini juga terdapat manfaat yang diperoleh. Manfaat yang diperoleh ini tentunya dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki apa yang sedang diteliti saat ini. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, diantaranya: 1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi pihak yang berkepentingan khususnya para pengrajin tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor dalam mengambil kebijakan terkait dengan pengembangan usaha. 2. Bagi penulis sebagai sarana untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh selama kegiatan perkuliahan. 3. Pembaca sebagai wawasan ilmu pengetahuan dan bahan rujukan untuk penelitian mengenai industri tempe selanjutnya. 6
1.5
Ruang Lingkup Ruang lingkup dari penelitian ini yaitu kajian mengenai pengaruh
kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha pengrajin tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor. Penelitian ini hanya mencakup bagaimana pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha. Kinerja usaha yang dilihat yaitu dari struktur biaya, penerimaan dan keuntungan yang diperoleh pengrajin tempe. Selain itu akan menganalisis upaya apakah yang telah dilakukan pengrajin dalam mengatasi kenaikan harga kedelai.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi tinjauan mengenai kinerja industri tempe melalui karakteristik industri tempe yang sebagian besar berskala kecil, dengan modal terbatas. Perkembangan industri tempe di Indonesia cukup pesat karena industri ini menjanjikan keuntungan yang tinggi. Yempe merupakan makanan khas Indonesia yang bergizi tinggi serta harga relatif murah. Selain itu ditinjau juga peranan kedelai sebagai bahan baku pada industri tempe nasional, dan juga pola hubungan struktur biaya dengan bermacam-macam pengelompokkan skala usaha. 2.1
Karakteristik Industri Pengertian industri menurut UU No. 5 tahun 1984 adalah suatu usaha
atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Hasil dari industri tidak hanya berupa barang tetapi dalam bentuk jasa. Sentra industri merupakan suatu wilayah yang di dalamnya terjadi pengelompokan industriindustri kecil yang sejenis atau memiliki kaitan erat diantara industri kecil tersebut, dimana wilayah kerjanya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi saja tetapi ditentukan oleh wilayah industri kecil itu sendiri. Industri kecil merupakan salah satu sektor informal yang mempunya ciri-ciri sebagai berikut : 1.
Kegiatan usahanya tidak terorganisir dengan baik.
2.
Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha.
3.
Pola kegiatan usaha tidak terfokus dalam arti lokasi atau jam kerja.
4. Teknologi yang digunakan masih bersifat sederhana. 7.
Skala usaha kecil, karena modal dan perputaran usahanya juga kecil.
8. Tidak memerlukan pendidikan formal, karena hanya berdasarkan pengalaman sambil kerja. 9.
Pada umumnya bekerja sendiri atau hanya dibantu karyawan atau kerabat/ keluarga yang tidak perlu dibayar.
10. Sumber modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi.
8
11. Sebagian besar hasil produksi atau jasa mereka hanya dikenali oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah atau sebagian kecil atau golongan ekonomi menengah. Industri kecil merupakan kumpulan dari beberapa usaha kecil yang sejenis. Pengelompokkan usaha kecil ini dapat dilihat dari jumlah tenaga kerja dimana menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2010b) usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja lima hingga 19 orang, sedangkan usaha menengah dengan jumlah tenaga kerja 20 hingga 99 orang. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil didefiniskan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan usaha dengan omset / penjualan Rp 600.000.000, usaha ini bisa dalam bentuk usaha CV, PT, dan koperasi atau perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, pedagang). Usaha kecil sendiri memiliki keunggulan antara lain: 1. Memiliki kebebasan untuk bertindak artinya bila ada perubahan produk baru atau teknologi baru, usaha kecil dapat cepat menyesuaikan. 2. Fleksibel artinya perusahaan kecil dapat menyesuaikan dengan kebutuhan setempat baik bahan baku, tenaga kerja, dan pemasaran produk usaha kecil pada umumnya menggunakan sumber-sumber setempat yang bersifat lokal. 3. Tidak mudah goncang karena bahan baku sebagian besar lokal dan sumber daya lainnya bersifat lokal, maka perusahaan kecil tidak rentan terhadap fluktuasi bahan baku impor. Berdasarkan uraian pada nomor tiga, terdapat perbedaan dengan kenyataan di lapangan. Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah sebagian besar industri kecil inilah yang rentan terhadap perubahan bahan baku, sebagai contoh industri pengolahan kedelai. Pada saat terjadi perubahan harga kedelai, usaha ini rentan mengalami kerugian, karena sebagian besar bahan baku kedelai berasal dari impor. Meskipun industri kecil rentan mengalami kerugian apabila terjadi perubahan harga baik input maupun output, usaha ini tetap digemari dan diusahakan karena memiliki peluang pasar yang masih luas. Industri pengolahan kedelai terdapat di sejumlah wilayah Indonesia, namun pada umumnya industri ini terkonsentrasi di Jawa, karena selain sebagian besar
9
konsumen terbesar juga terkonsentrasi di Jawa, Jawa merupakan penghasil kedelai terbesar dibandingkan propinsi lain. Untuk lokasi industri tahu lebih banyak terkonsentrasi di daerah kota, sedangkan untuk industri tempe terpusat usahanya di pedesaan (Amang B; Husein S; Anas R, 1996). Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan penentuan jumlah responden (pengrajin tempe) yang diambil berada pada satu kawasan yang sama, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengrajin tempe membentuk kluster atau pengelompokkan industri yang sejenis dan sebagian besar usaha ini berskala kecil atau rumah tangga dengan modal yang terbatas. Penelitian ini ditunjukkan oleh (Sondang 2008 ; Amalia 2008) yang melakukan penelitian di Desa Citeureup, Patmawaty (2009) di desa Bojong Sempu, serta Kurniasari (2010) yang melakukan penelitian di Kelurahan Semanan Jakarta. Pengrajin tempe, baik yang bergabung dalam satu kawasan industri maupun yang tidak bergabung, diduga jumlahnya semakin meningkat. Peningkatan jumlah industri ini dapat memberikan dampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan adanya pemerataan kesempatan kerja, bisnis pembuatan tempe dan tahu umumnya padat karya dan merupakan industri rumah tangga dengan modal terbatas. Dinas Perindustrian dan Perdagangan memberikan definisi tentang industri kecil adalah industri dengan investasi yang kurang dari lima juta rupiah. Sumber modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau lembaga keuangan tidak resmi. Sebagian besar hasil produksi atau jasa mereka hanya dikenal oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah atau sebagian kecil golongan ekonomi menengah, serta jumlah tenaga kerjanya kurang dari 19 orang. Uraian tersebut sesuai dengan penelitian dari Sugianto (1996), Kurniasari (2010), yang menjelaskan bahwa sebagian besar industri tempe berskala kecil terlihat dari jumlah modal investasi yang kecil yaitu antara satu hingga dua juta rupiah. Fakta ini dikuatkan oleh survei yang dilakukan oleh Departemen Perdagangan , yakni modal investasi untuk per unit usaha sebesar Rp 1,55 juta dan modal kerja sebesar Rp 420 ribu. 2.2
Perkembangan Industri Tempe di Indonesia Industri tempe merupakan industri yang terkait langsung dengan
komoditi kedelai karena bahan baku utamanya berupa kedelai. Selain memiliki 10
prospek pasar yang cukup baik akibat tingginya tingkat permintaan, keberadaan industri tempe juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap diversifikasi konsumsi, dan meningkatkan daya tahan kedelai. Peranan lain yang tak kalah pentingnya adalah menciptakan nilai tambah, meningkatkan pendapatan, dan meningkatkan devisa serta menyerap tenaga kerja (Sondang 2008; Ismira 2012). Keunggulan aktivitas pengolahan kedelai menjadi produk olahan penting untuk diperhatikan terkait dengan kondisi bahan baku yang didominasi impor. Kedelai tersebut sebagian besar digunakan oleh industri pengolahan, sebanyak 50 persen dari konsumsi kedelai diolah menjadi tempe, 40 persen tahu, dan 10 persen dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lainlain). Tempe digemari oleh masyarakat karena kandungan gizinya yang tinggi serta harganya yang relatif murah. Setiadi (2012) menuturkan, Indonesia sendiri sudah dikenal menjadi produsen tempe terbesar di Asia. Selain itu Indonesia adalah negara pengonsumsi tempe terbesar di dunia, terbukti dengan jumlah konsumsi 2,4 juta ton per tahunnya. Peluang mengangkat tempe menjadi industri besar dapat dilakukan karena peluang tersebut sudah terbuka dengan disetujuinya usulan standar tempe yang diajukan Indonesia pada sidang Codex Alimentarius Commission (CAC) ke-34 di Jenewa 4-9 Juli 2011. Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg, konsumsi ini setara dengan 4,76 kg kedelai. Tahun 1979, jumlah industri tempe di dalam negeri sebesar 99 persen merupakan industri tempe skala kecil, sisanya adalah industri skala menengah dan besar (Amang B; Husein S; Anas R, 1996). Tahun 1982, industri tempe yang termasuk ke dalam skala kecil adalah sekitar 94 persen dan sisanya sebesar 6 persen merupakan industri tempe dengan skala menengah dan besar (Suharno dan Mulyana 1996). Saat ini diduga jumlah presentase industri tempe yang termasuk ke dalam skala menengah dan besar akan meningkat, mengingat cukup
banyak
penemuan
teknologi
baru
yang
dapat
meningkatkan
produktivitas pengrajin tempe. Namun peningkatan presentase industri tempe skala menengah dan besar, tidak lebih besar dari industri tempe yang termasuk ke dalam skala kecil. Dengan kata lain presentase industri skala kecil tetap lebih besar dibandingkan industri tempe menengah dan besar.
11
Tidak dipungkiri jumlah pengrajin tempe semakin meningkat jumlahnya karena selain usaha pembuatan tempe merupakan salah satu usaha yang mudah dilakukan karena tidak memerlukan keahlian khusus, modal tidak terlalu besar. Besarnya keuntungan perusahaan berbeda antara perusahaan tempe dengan skala kecil dan skala besar, selain itu lokasi juga menentukan. Pernyataan ini dikuatkan oleh penelitian Amang B; Husein S; Anas R (1996) yang melakukan penelitian di Lampung dan Jawa Barat, bahwa usaha industri tempe memberikan rasio keuntungan yang sedikit lebih tinggi dari usaha tahu. Ratarata rasio keuntungan (persen) terhadap total biaya produksi untuk industri tempe dan tahu di Lampung dan Jawa Barat masing-masing adalah 22 persen dan 24 persen. Sedangkan untuk industri tahu di dua daerah tersebut sekitar 19 persen dan 21 persen. Dengan demikian industri tempe memberikan keuntungan sekitar 3 persen lebih tinggi dibandingkan industri tahu di kedua daerah. Semakin meningkatnya jumlah pengrajin tempe maka kebutuhan kedelai di Indonesia juga meningkat, namun di sisi lain Indonesia belum dapat mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri sehingga masih tergantung pada kedelai impor. Konsekuensinya harga kedelai di pasar domestik masih dipengaruhi oleh harga di pasar international. Kenaikan harga kedelai pada tahun 2008 sebesar 80 persen di Amerika Serikat yang mewakili pasar internasional membuat harga kedelai dalam negeri meningkat sebesar 134 persen (Handayani, 2009). Kenaikan harga kedelai beberapa tahun ini sangat berpengaruh terhadap industri pembuatan tempe. Pengrajin tempe lebih memilih kedelai impor dibanding kedelai lokal. Alasan pemilihan kedelai impor karena harganya lebih murah dan kualitasnya lebih baik, seperti butiran lebih besar dan seragam, serta rendemen tempe lebih tinggi. Secara rata-rata rendemen kedelai impor adalah 2 persen lebih tinggi dari pada kedelai lokal (Amang B; Husein S; Anas R, 1996; Krisdiana 2007; Handayani 2009). Kenaikan harga kedelai akan mempengaruhi ongkos produksi tempe, rendahnya harga kedelai impor sekitar 3 hingga 4 persen dibandingkan dengan kedelai dalam negeri telah mendorong industri tempe mensubtitusikan kedelai lokal dengan kedelai impor. Banyaknya
12
industri tempe berskala kecil yang meningkat jumlahnya cenderung rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi misalnya perubahan harga input dan output, dimana perubahan yang sering terjadi adalah perubahan harga input. Perusahaan tidak dapat mempengaruhi harga input yang mereka butuhkan dan gunakan sehingga ketika terjadi kenaikan harga input yaitu kedelai perusahaan tempe harus membayar harga kedelai sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Pengaruh kenaikan harga kedelai ini merugikan pengrajin tempe dan tahu, hal ini dijelaskan oleh Apretty (2000). Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 telah menyebabkan kelompok industri terutama yang bahan bakunya didominasi impor mengalami kerugian. Bahan baku kedelai pada industri tempe yang mahal menyebabkan biaya produksi menjadi mahal dan dalam waktu yang bersamaan daya beli masyarakat menjadi menurun. Pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap usaha ini pun dikuatkan oleh penelitian Patmawaty (2009), dimana kenaikan harga kedelai menyebabkan volume produksi tahu mengalami penurunan sehingga menyebabkan total penerimaan pengrajin menurun. Selain kedelai kenaikan input lain yang dialami oleh pengrajin tempe adalah kenaikan harga ragi, pembungkus (plastik dan daun) dan juga kenaikan upah tenaga kerja. Kenaikan upah tenaga kerja menyebabkan pengurangan penggunaan tenaga kerja untuk mengurangi kenaikan biaya produksi (Apretty, 2000). Kenaikan input lain seperti kanaikan harga BBM juga turut mempengaruhi usaha ini. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Latifah (2006), dimana kenaikan harga BBM mempengaruhi kondisi usaha dan hasil produksi mengalami penurunan yang ditandai dengan menurunnya jumlah input yang dipakai.
2.3
Hubungan Kinerja, Skala Usaha dan Biaya Produksi Perkembangan industri tempe di Indonesia tidak hanya dilihat dari
bertambahnya jumlah industri secara keseluruhan, tetapi juga dari ditinjau dari kinerja dan skala produksinya. Kinerja dan skala produksi ini dapat dilihat dari jumlah penggunaan tenaga kerja, kapasitas produksi, teknologi yang digunakan, serta modal. Berdasarkan uraian tersebut dapat dinilai bahwa kinerja usaha 13
tidak dapat dipisahkan dari perusahaan. Kinerja dapat dikatakan sebagai suatu hasil yang dicapai ketika mengerjakan sesuatu atau tugas. Keberhasilan suatu usaha diukur dengan kinerja usaha, dimana kinerja usaha sendiri sangat ditentukan oleh kinerja masing-masing individu dalam perusahaan tersebut. Pengelolaan atas kinerja yang dilakukan secara strategis merupakan hal utama bagi organisasi untuk membangun dan meraih keunggulan kompetitif melalui peran sumber daya. Indikator kinerja usaha juga penting diketahui untuk mengukur hasil yang telah dicapai. Indikator kinerja usaha adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator yaitu : masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit), dampak (impact) manusia dalam menjalankan strategi organisasi. (Koriawan 2009). Kinerja usaha pada industri tempe juga dipengaruhi oleh skala produksi, yang mana skala produksi pada industri tempe dipengaruhi produktivitas pengrajin dalam menghasilkan tempe. Skala produksi untuk industri tempe dibagi menjadi tiga, meliputi skala produksi kecil, menengah, dan besar. Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan, suatu industri dapat dikelompokkan secara umum, termasuk industri dalam skala produksi kecil yaitu mempekerjakan tenaga kerja kurang dari dua puluh orang, sedangkan untuk industri skala produksi menengah dan besar apabila mempekerjakan tenaga kerja sebanyak dua puluh orang atau lebih (BPSb, 2010). Penentuan skala usaha pembuatan tempe dapat juga dilakukan berdasarkan jumlah kedelai yang digunakan. Berdasarkan kapasitas produksinya, industri tempe dikelompokkan menjadi industri sekala kecil, menengah, dan besar. Industri skala kecil mengolah kurang dari 300 kg kedelai per hari, sedangkan industri skala besar mengolah lebih dari 300 kg kedelai per hari (Latifah, 2006). Berbeda lagi dengan penuturan (Harvita, 2007) yang mengelompokkan industri tempe skala kecil dengan penggunaan jumlah kapasitas kedelai kurang dari 50 kg kedelai per hari, skala menengah mengolah kedelai 50 hingga 100 kg kedelai per hari, dan industri skala besar mengolah lebih dari 100 kg kedelai per hari. Sedangkan
14
menurut Kurniasari (2010), pengelompokkan industri skala kecil adalah industri yang penggunaan kedelai kurang dari 100 kg per produksi, skala menengah menggunaka kedelai antara 100 hingga 200 kg per produksi dan skala besar dengan penggunaan kedelai lebih dari 200 kg per produksi. Beragamnya skala usaha akan mengakibatkan struktur biaya yang digunakan pun berbeda pada masing-masing skala usaha. Adanya perbedaan skala produksi pada industri tempe diduga akan mempengaruhi struktur biaya dan keuntungan. Suharno dan Mulyana (1996), meneliti bahwa pengrajin tempe skala kecil studi kasus di Jawa Barat memiliki rasio keuntungan sebesar (21,40 persen) lebih kecil dibandingkan dengan pengrajin skala besar dengan rasio keuntungan sebesar (23,48 persen). Tingkat keuntungan yang lebih besar pada pengrajin skala besar dapat disebabkan oleh jumlah produksi yang lebih besar atau harga jual produk yang lebih mahal karena adanya perbedaan kualitas produk yang relatif lebih baik. Ditinjau dari struktur biaya yang dikeluarkan diduga terdapat perbedaan antar pengrajin tempe yang berbeda skala produksinya. Pernyataan ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Kurniasari (2010) yang menunjukkan ada kecenderungan dengan semakin besar skala produksi akan semakin menurunkan biaya produksi yang dikeluarkan. Berdasakan biaya total rata-rata per kg kedelai yang dikeluarkan pengrajin tempe, memperlihatkan kecenderungan dengan semakin meningkatnya skala produksi pengrajin, dalam hal ini penggunaan jumlah kedelai maka biaya total rata-rata per kg kedelai semakin turun. Selain itu adanya kenaikan harga kedelai membuat pengrajin tempe skala kecil dan menengah melakukan upaya dengan memperkecil ukuran tempe, sedangkan untuk skala besar cenderung mengurangi jumlah jam penggunaan tenaga kerja luar keluarga. Adanya kecenderungan biaya produksi yang semakin rendah dengan semakin besarnya produksi, dapat disebabkan karena pada produsen dengan skala besar memperoleh harga pembelian input yang lebih murah karena melakukan pembelian dalam jumlah yang besar. Berbeda dengan produsen skala kecil yang pada umumnya membeli input faktor produksi dalam jumlah kecil atau kadang secara eceran karena memang kebutuhan faktor produksi
15
untuk setiap produksi kecil. Menurut Alim (1996), perbedaan jumlah pembelian faktor produksi pada produsen yang berbeda skala akan mempengaruhi daya tahan produsen terhadap gejolak harga faktor produksi. Perbedaan ini tidak hanya berlaku pada industri tempe, melainkan pada beberapa industri lain yaitu pada usaha kambing perah dan usaha penggemukan sapi perah perah. Stani (2009), mengungkapkan bahwa kecenderungan dengan semakin meningkatnya skala usaha maka biaya per satuan ternak dan per liter susu semakin menurun. Penurunan ini disebabkan biaya tetap (perawatan kandang) pada peternak skala kecil lebih besar dibandingkan biaya tetap pada peternak skala besar. Penelitian Lisa (2010) menguatkan, bahwa berdasarkan rata-rata biaya produksi per unit menunjukkan bahwa dengan meningkatnya skala usaha maka diperoleh biaya per kg sapi potong yang semakin rendah, dikarenakan biaya yang dikeluarkan untuk bakalan, pakan dan obat, serta tenaga kerja lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa skala usaha dapat mempengaruhi struktur biaya. Dimana skala produksi yang berbeda membuat proporsi komponen biaya produksi yang berbeda juga. Berdasarkan hasil tinjauan pustaka bahwa adanya kecenderungan pada posisi skala ekonomi dengan semakin meningkatnya skala produksi dapat menurunkan biaya ratarata per produksi yang dikeluarkan. Hal ini disebabkan oleh adanya spesialisasi faktor produksi, efisiensi penggunaan input. Sedangkan pada posisi skala tidak ekonomi apabila terjadi pertambahan skala produksi menyebabkan biaya rata-rata produksi menjadi semakin tinggi. Hal ini dapat terjadi karena kegiatan produksi yang dilakukan tidak efisien, atau suatu usaha dengan cakupan yang besar sehingga birokrasi yang terjadi semakin rumit dan komplek dan sulit dalam penentuan pengambilan keputusan. Selain itu struktur biaya juga dipengaruhi oleh teknologi, baik penggunaan teknologi tinggi ataupun sederhana harus digunakan sesuai dengan kemampuan usaha tersebut berproduksi serta jumlah produksi yang ingin dicapai.
16
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran dalam penelitian ini meliputi kerangka pemikiran
teoritis dan kerangka pemikiran operasional. Kerangka pemikiran teoritis berisi teori-teori yang berkaitan dengan penelitian mengenai pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha industri tempe. Teori tersebut meliputi teori mengenai hubungan penggunaan input dengan biaya dan keuntungan. Teori ini menjelaskan bagaimana pengaruh jumlah penggunaan input terhadap biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh oleh pengrajin. 3.1.1 Hubungan Penggunaan Input dengan Biaya Kegiatan yang menghasilkan produk berupa barang atau jasa dengan menggunakan sejumlah sumber daya atau input tertentu disebut dengan produksi (Syahrudin, 1990). Kegiatan menghasilkan produk tidak pernah terlepas dari biaya yang digunakan dalam produksi. Pengertian biaya menurut Mankiw (2003) adalah segala sesuatu yang kita korbankan untuk memperoleh sesuatu yang kita inginkan. Perubahan harga input X yang diterima produsen akan mempengaruhi biaya produksi yang dikeluarkan produsen. Lipsey R ; Courant P ; Purvis D; Steiner P (1995) mendefinisikan biaya total (TC atau total cost) adalah biaya yang digunakan untuk menghasilkan tingkat output tertentu. Biaya total dibagi menjadi dua bagian yaitu biaya tetap total (TFC atau total fixed cost) dan biaya variabel total (TVC atau total variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah meskipun output berubah. Sedangkan biaya yang berkaitan langsung dengan output yang bertambah besar dengan meningkatnya produksi dan berkurang dengan menurunnya produksi disebut biaya variabel. Secara matematis biaya total (TC) dapat dirumuskan sebagai berikut (Lipsey R ; Courant P ; Purvis D; Steiner P , 1995) : TC = TFC + TVC = Px. X + TFC dimana : TC TFC
= Total Cost atau Biaya Total (Rp) = Total Fixed Cost atau Biaya Tetap Total (Rp)
17
TVC
= Total Variable Cost atau Biaya Variabel Total (Rp)
Berdasarkan persamaan tersebut, harga input variabel X (Px) akan mempengaruhi biaya total yang dikeluarkan produsen. Kenaikan harga input menyebabkan biaya variabel total meningkat. Apabila biaya variabel total meningkat maka akan menyebabkan biaya total akan meningkat juga. Hubungan antara besarnya biaya produksi dengan tingkat produksi disebut dengan fungsi biaya dapat digambarkan dalam kurva seperti pada Gambar 1.
Rp
MC ATC
AVC
AFC
0
Output Gambar 1. Kurva Biaya Rata-Rata Sumber : Lipsey R ; Courant P ; Purvis D; Steiner P (1995)
Bentuk kurva biaya di atas merupakan gambaran kurva biaya rata-rata. Biaya rata-rata ini diperoleh dari total biaya dibagi jumlah output. Saat terjadi kenaikan harga input yaitu kedelai maka biaya total meningkat karena kedelai merupakan input variabel, sehingga akan terjadi pergeseran kurva biaya total rata-rata atau ATC ke atas. Pergeseran yang terjadi ini akan mempengaruhi keuntungan yang diperoleh pengrajin karena keuntungan yang didapat akan menurun. Oleh karena itu pengrajin harus melakukan upaya untuk meningkatkan keuntungan. Suatu usaha akan memperoleh laba normal apabila harga output (P) = ATC, sedangkan untuk memperoleh laba positif P > ATC. Suatu usaha akan mengalami titik kritis yaitu perusahaan dapat menutupi semua biaya variabel tetapi tidak dapat menutupi biaya tetap pada saat P = AVC. Perusahaan akan mengalami kerugian bahkan gulung tikar pada saat P < AVC.
18
Berdasarkan uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa ada hubungan antara jumlah input dengan harga input. Hubungan antara jumlah input yang digunakan dengan harga input dapat digambarkan dengan kurva isokuan. Kurva isokuan adalah kurva yang menunjukkan kombinasi antara dua input yang dapat digunakan untuk memproduksi sejumlah output yang sama besarnya (Nicholson, 1994). Pada kasus pengrajin tempe dua kombinasi input yang digunakan tidak dapat disubstitusikan, contohnya input kedelai dengan tenaga kerja. Dimana kedua input ini tidak dapat saling menggantikan, namun kedua input ini berkomplemen atau saling melengkapi. Berikut adalah gambar kurva isokuan antara kedelai dengan tenaga kerja pada Gambar2.
Tenaga Kerja
T1
Q1
T2
Q2
Modal (Kedelai) K2
K1
Gambar 2. Kurva Isokuan Kedelai dan Tenaga Kerja Sumber : Lipsey R ; Courant P ; Purvis D; Steiner P, (1995) Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan adanya perubahan pada jumlah kedelai yang digunakan karena adanya kenaikan harga kedelai. Kedelai sebagai input pada sumbu X dan tenaga kerja pada sumbu Y untuk menghasilkan tempe pada jumlah Q unit. Semula jumlah kedelai pada K1 ketika terjadi kenaikan harga jumlah kedelai dikurangi oleh pengrajin tempe menjadi K2. Begitu juga yang terjadi dengan tenaga kerja, jumlah tenaga kerja semula di T1 berkurang menjadi T2. Hal ini dikarenakan pada fungsi produksi elastisitas subtitusi
19
bernilai 0 sehingga penggunaan proporsi input tetap (fixed proportions), sehingga penggunaan kedelai dan tenaga kerja selalu digunakan dalam proporsi yang tetap sehingga bentuk kurva isokuannya berbentuk huruf “L”. Bentuk fungsi produksi yang mempunyai proporsi tetap secara matematika dapat dituliskan : Q = min (aK, bT) a,b>0 Keterangan : K : kedelai T : tenaga kerja a : jumlah kedelai b : jumlah tenaga kerja
Tanda “min” pada rumus diatas menunjukkan bahwa Q akan diproduksi dengan nilai terkecil dari aK atau bT. Jika nilai aK
bT, maka tenaga kerja yang menjadi faktor pengikat, sehingga penambahan kedelai yang lebih banyak juga tidak akan menambah produksi. Apabila aK=bT maka kedua input harus digunakan secara bersamaan untuk menghasilkan output optimal. 3.1.2 Penerimaan dan Efisiensi Usaha Total penerimaan merupakan nilai produk total yang diterima petani atau pengusaha, dimana penerimaan diperoleh dari jumlah total produk yang dihasilkan dikalikan dengan harga jual atau harga pasar yang konstan. Secara matematis, total penerimaan atau total pendapatan (total revenue) dapat dirumuskan sebagai berikut: TR = p x y dimana : TR
= Total pendapatan/penerimaan (Rp)
p
= Harga pasar (Rp)
y
= Hasil produksi (satuan)
Total penerimaan atau total pendapatan yang dikurangi dengan biaya total yang dikeluarkan disebut sebagai pendapatan bersih atau keuntungan (profit) yang diterima petani atau pengusaha. Pendapatan bersih atau keuntungan dapat dirumuskan sebagai berikut : 20
Π = TR - TC dimana : Π
= Pendapatan bersih/keuntungan (Rp)
TR
= Total pendapatan/penerimaan (Rp)
TC
= Biaya Total (Rp) Sementara untuk melihat efisiensi usaha dapat diukur dengan
melakukan analisis R/C rasio. Semakin besar nilai R/C maka semakin efisien usaha yang dilakukan. Nilai (R/C) dalam usahatani juga digunakan untuk melihat apakah kegiatan usahatani menguntungkan atau tidak. Nilai R/C>1, menujukkan bahwa penerimaan lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan sehingga usaha menguntungkan. Nilai R/C=1, menunjukkan bahwa penerimaan sama dengan biaya yang dikeluarkan atau usaha berada pada posisi impas. Sedangkan nilai R/C<1, menunjukkan bahwa penerimaan lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan sehingga usaha yang dijalankan tidak menguntungkan. 3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Kedelai merupakan komoditas tanaman pangan terpenting ketiga setelah
padi dan jagung. Pentingnya kedelai terlihat dari permintaan kedelai yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan bahan industri olahan pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco, snack, dan sebagainya. Permintaan kedelai yang terus meningkat di dalam negeri tersebut tidak dapat dipenuhi oleh negara sehingga untuk menutupi permintaan tersebut Indonesia melakukan impor. Ketergantungan pada kedelai impor yang relatif tinggi, membuat harga kedelai di dalam negeri cenderung mengikuti harga kedelai impor. Kenaikan harga kedelai impor yang terus meningkat sangat berpengaruh pada kinerja usaha dari pengrajin tempe dalam memproduksi tempe. Hal ini dikarenakan kedelai merupakan bahan baku utama dalam produksi tempe, yaitu berkisar 80 persen hingga 90 persen dari biaya produksi, sehingga adanya kenaikan harga kedelai akan berpengaruh terhadap struktur biaya yaitu pada biaya produksi dalam pembelian input akan meningkat. Untuk melihat bagaimana struktur biaya pengrajin tempe, penulis mengelompokkan pengrajin tempe dalam tiga skala untuk perbandingan. Berdasarkan perbandingan tersebut akan terlihat perbedaan struktur biaya baik sebelum kenaikan harga kedelai dan setelah 21
adanya kenaikan harga kedelai. Dengan demikian dengan adanya kenaikan harga kedelai, maka pengeluaran biaya meningkat, dan keuntungan menurun sedangkan
pengrajin
tidak
memiliki
pilihan
untuk
menyeimbangkan
pengeluaran dengan pemasukan. Oleh karena itu pengrajin perlu melakukan upaya-upaya untuk menyiasati kondisi tersebut agar kinerja usaha menjadi optimal dan keuntungan yang diperoleh pun maksimal. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimanakan pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap kinerja usaha yang ditinjau dari menganalisis penerimaan, keuntungan, dan struktur biaya di sentra industri tempe Citeureup serta mengidentifikasi upaya apa saja yang dilakukan oleh pengrajin untuk menyiasati keadaan tersebut. Secara singkat alur pemikiran operasional dari penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
22
Penurunan produksi kedelai dalam negeri
Permintaan kedelai dalam negeri meningkat
Kelangkaan dan Kenaikan harga kedelai
Ketergantungan impor kedelai Harga kedelai impor meningkat
Kinerja Industri Tempe
Perubahan Struktur Biaya, Penerimaan, dan Keuntungan
Sebelum kenaikan harga kedelai
Upaya penyesuaian yang telah dilakukan pengrajin tempe
Setelah kenaikan harga kedelai
Upaya paling menguntungkan
Gambar 3. Diagram Alur Pemikiran Operasional Analisis Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Kinerja Usaha Indutsri Tempe Di Desa Citeureup Kabupaten Bogor.
23
IV. METODE PENELITIAN 4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di kawasan industri tempe Desa Citeureup,
Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan kawasan tersebut merupakan salah satu sentra industri tempe terbesar di Bogor. Kegiatan pengambilan data dilakukan pada bulan Desember 2012 – Februari 2013. 4.2
Jenis dan Sumber Data Data yang telah digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui survei menggunakan teknik wawancara dipandu dengan kuesioner yang telah disiapkan. Data primer pada penelitian mencakup karakteristik usaha produksi tempe seperti teknik pengolahan kedelai menjadi tempe,
jumlah produksi, biaya produksi, upaya penyesuaian dalam
menghadapi kenaikan harga kedelai, serta informasi lainnya yang berguna untuk menunjang penelitian ini. Data sekunder merupakan data pelengkap yang bersumber dari literatur-literatur yang relevan. Data sekunder diperoleh dari catatan, laporan, maupun dokumen dari pihak terkait, seperti Badan Pusat Statistik, Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor, Koperasi Produsen Tempe Tahu (KOPTI) Kabupaten Bogor. Selain itu, dilakukan penelusuran melalui internet, serta buku-buku dan penelitian sebelumnya yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini. 4.3
Metode Pengumpulan Sampel Populasi yang diambil adalah pengrajin tempe di Desa Citeureup
Kabupaten Bogor berjumlah 188 unit usaha. Pemilihan sampel berdasarkan kriteria utama yaitu lama usaha lebih dari satu tahun agar dapat melihat pengaruh kenaikan harga kedelai yang terjadi. Adapun jumlah sampel yang digunakan sebanyak 30 unit usaha. Metode pemilihan sampel yang digunakan yaitu simple random sampling dengan cara memberi nomor setiap pengrajin pada populasi kemudian dikocok hingga mendapat 30 sampel terpilih. Pada saat pengecekan terhadap sample terpilih di lapangan ternyata terdapat kendala, adanya ketidakcocokan dengan sampel tersebut, sehingga dilakukan pengocokan ulang
24
untuk mendapatkan sampel yang baru. Metode ini dipilih karena populasinya
relatif homogen sehingga memiliki peluang yang sama untuk dipilih. 4.4
Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis
kuantitatif digunakan untuk mengetahui gambaran umum usaha produksi tempe dan struktur biaya. Data tersebut ditampilkan dalam bentuk tabulasi dan grafik untuk menyederhanakan data agar mudah dibaca, sedangkan analisis kualitatif dilakukan untuk menganalisis upaya penyesuaian yang dilakukan oleh pengrajin tempe dalam mengatasi kenaikan harga kedelai. Dalam penelitian ini analisis kuantitatif dilakukan dengan bantuan alat perangkat lunak (software) Microsoft Excel 2007. 4.4.1
Analisis Struktur Biaya Analisis struktur biaya dilakukan dengan mengelompokkan biaya-biaya
yang dikeluarkan pada usaha produksi tempe. Struktur biaya tersebut terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Metode perhitungan struktur biaya usaha selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Struktur Biaya Produksi Usaha Tempe. Uraian
Sebelum kenaikan harga kedelai tahun 2012
Setelah kenaikan harga kedelai tahun 2012
Biaya tetap: - Penyusutan alat - Transportasi Jumlah biaya tetap Rata-rata Biaya Variabel: -Kedelai -Ragi -Bahan Bakar -Plastik -Daun pisang -Tenaga kerja -Listrik Jumlah biaya variabel Rata-rata
Untuk mendapatkan total biaya (TC) diperoleh dengan cara menjumlahkan total biaya tetap (TFC) dengan total biaya variabel (TVC) yang dirumuskan sebagai berikut : TC = TFC + TVC
25
Untuk menghitung total biaya rata-rata (ATC) adalah dengan menjumlahkan biaya tetap rata-rata (AFC) dengan biaya variabel rata-rata (AVC). Biaya penyusutan peralatan produksi dihitung berdasarkan metode penyusutan garis lurus atau rata-rata, yaitu nilai pembelian dikurangi taksiran nilai sisa dibagi dengan umur ekonomis, rumus yang digunakan yaitu: Penyusutan = Nilai beli (Rp) – Nilai sisa (Rp) Umur Ekonomis (tahun) Sementara untuk menghitung seberapa besar penerimaan yang diperoleh pengrajin dapat dihitung dengan perkalian jumlah produk yang dijual dikalikan dengan harga produk yang dijual. Sementara untuk menghitung keuntungan yaitu total penerimaan dikurangi dengan total biaya. Hubungan dari penerimaan dan biaya yang dikeluarkan dapat digunakan untuk melihat seberapa besar efisiensi usaha yang dijalankan. Efisiensi usaha ini dapat dilihat dari besaran nilai R/C rasio. Rumus menghitung R/C rasio yaitu : R/C Rasio : Total Penerimaan Total Biaya Keterangan : R/C rasio > 1 : Usaha layak dan menguntungkan R/C rasio = 1 : Impas R/C rato < 1 : Usaha tidak menguntungkan 4.4.2 Analisis Upaya Penyesuaian Untuk Menyiasati Kenaikan Harga Kedelai Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui upaya pengrajin dalam menyiasati kenaikan harga kedelai. Analisis yang dilakukan adalah dengan melakukan analisis deskriptif
terhadap hasil wawancara
yang dilakukan
terhadap pengrajin tempe mengenai upaya-upaya yang dilakukan
dalam
menanggapi kenaikan harga kedelai. Proses analisis data dilakukan melalui tiga tahap yaitu:1) reduksi data yaitu merangkum atau memilih hal-hal yang pokok dan penting, 2) penyajian data, yaitu menyajikan data dalam bentuk teks uraian singkat yang bersifat naratif, dan 3) penarikan kesimpulan dan verifikasi dari data untuk menjawab tujuan penelitian. 26
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gambaran umum lokasi penelitian ini terdiri dari beberapa yaitu lokasi
geografis dari letak lokasi penelitian Desa Citeureup, kependudukan, dan kondisi sosial. Letak lokasi geografis lebih membahas letak Desa Citeureup serta kondisi lokasi tersebut. Sementara untuk kependudukan dan kondisi sosial lebih membahas pada jumlah penduduk yang ada di Desa Citeureup, mata pencaharian, serta latar belakang dari pendidikan penduduk. 5.1.1
Lokasi Geografis Desa Citeureup Citeureup merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Citeureup
yang terletak di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Citeureup memiliki luas 6.719 ha, terdiri dari 14 desa, yang salah satunya adalah Desa Citeureup. Jarak desa dari Kecamatan Citeureup yaitu 0,5 km dan terletak 11 km dari Kabupaten Bogor, 150 km dari ibukota Provinsi Jawa Barat. Desa Citeureup tergolong dataran rendah dengan ketinggian 125 dpl, suhu udara ratarata 24 – 33 derajat celcius dan curah hujan rata-rata 3000 - 3500 mm per tahun. Luas Desa Citeureup adalah 311 ha dengan perbatasan wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Gunung Putri dan Desa Bantarjati
Sebelah Selatan
: Desa Karang Asem Timur dan Karang Asem Barat
Sebelah Barat
: Puspanegara dan Karang Asem Barat
Sebelah Timur
: Gunung Sari, Bantarjati dan Lulut
13 persen dari lahan Kecamatan Citeureup masih merupakan lahan pertanian, dan sisanya digunakan sebagai lahan industri dan daerah pemukiman , perkantoran serta sekolah. Citeureup dikenal sebagai daerah industri di Bogor, dikarenakan banyaknya industri yang berkembang di kecamatan tersebut. Desa Citeureup sendiri dikenal sebagai sentra industri tempe (blok tempe) dikarenakan banyaknya jumlah unit usaha ini. Jumlah unit usaha di Desa Citeureup berjumlah 188, yang mana sebagian besar merupakan penduduk pindahan dari Pekalongan Jawa Tengah.
27
5.1.2 Kependudukan Jumlah penduduk Desa Citeureup sebanyak 17.340 jiwa, terdiri atas 8.922 jiwa laki-laki dan 8.418 jiwa perempuan. Jumlah kepala keluarga di desa ini sebanyak 4.422 (KK). Jumlah penduduk yang produktif sebanyak 9.563 jiwa, dan yang tidak produktif sebanyak 3.795 jiwa. Rata-rata kepadatan penduduk sebanyak 1.467 jiwa/km, dengan rata-rata penyebaran penduduk sebanyak 365 jiwa/km. Pertumbuhan penduduk di Desa Citeureup sebesar 1,5 persen. Berikut adalah data mengenai jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Desa Citeureup dapat dilihat pada Tabel 5 : Tabel 5. Kependudukan Desa Citeureup Berdasarkan Umur Tahun 2012 Kelompok Jumlah Jiwa Umur Laki-laki Perempuan 0-4 613 589 5-9 526 499 10-14 612 577 15-19 904 854 20-24 712 646 25-29 795 590 30-34 675 567 35-39 915 853 40-44 612 514 45-49 628 479 50-54 527 477 55-59 456 395 60-64 345 330 65- ke atas 454 428 Jumlah 8.922 8.418 Sumber : Kantor Desa Citeureup
Jumlah 1.202 1.025 1.189 1.758 1.358 1.385 1.242 1.768 1.126 1.107 1.004 851 675 882 17.340
5.1.3 Kondisi Sosial Kondisi sosial kependudukan Desa Citeureup dibagi dalam beberapa kelompok mata pencaharian. Kelompok pekerjaan terdiri dari yaitu petani, pengusaha, pengrajin, buruh industri, pedagang, PNS, dan TNI POLRI. Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa mata pencaharian penduduk Citeureup paling banyak adalah pedagang, sedangkan paling sedikit adalah TNI/POLRI. Kondisi sosial kependudukan di Desa Citeureup disajikan pada tabel berikut:
28
Tabel 6. Kondisi Sosial Kependudukan Desa Citeureup Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2012 Pekerjaan
Jumlah
Petani
138
Pengusaha
285
Pengrajin
115
Buruh Industri
7
Pedagang
987
Pengemudi
236
PNS
148
TNI / POLRI
14
Pensiunan
39
Sumber : Kantor Desa Citeureup Kondisi sosial lainnya adalah, kependudukan yang dikelompokkan berdasarkan tingkat pendidikan. Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat jumlah penduduk tamatan SLTP/sederajat dengan jumlah 340 jiwa. Berikut data selengkapnya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kondisi Sosial Kependudukan Desa Citeureup Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2012. Tingkat Pendidikan Buta Huruf
Jumlah 15
Belum Sekolah
233
Tidak Tamat SD/sederajat
112
Tamat SD/sederajat
327
Tamat SLTP/sederajat
340
Tamat SLTA/sederajat
201
Lulusan Perguruan Tinggi
236
Sumber : Kantor Desa Citeureup
29
5.2
Karakteristik Responden di Desa Citeureup Responden dalam penelitian ini adalah 30 pengrajin tempe di Desa
Citeureup Kabupaten Bogor. Karakteristik pengrajin meliputi umur, tingkat pendidikan, lama usaha, skala produksi yang dilihat dari banyaknya jumlah kedelai yang digunakan per hari, jumlah anggota keluarga, dan jumlah tenaga kerja, dan cara pemasaran. Proporsi dari 30 responden terbagi menjadi 20 orang berjenis kelamin laki-laki dan 10 orang perempuan. Selain itu responden juga dikelompokkan menjadi tiga yaitu skala I sebanyak 11 responden dengan jumlah penggunaan kedelai kurang dari 100 kg, skala II 100 hingga kurang dari 200 kg, dan skala III dengan penggunaan kedelai lebih dari 200 kg. Seluruh responden yang diwawancarai berasal dari Pekalongan Jawa Tengah, dan hampir seluruh pengrajin yang ada di Citeureup berasal dari daerah tersebut. Kegiatan usaha pembuatan tempe telah berlangsung lama dan secara turun temurun. 5.2.1
Usia Berikut adalah data mengenai karakteristik responden berdasarkan Usia
Tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Sebaran Responden Berdasarkan Usia Tahun 2012 Usia (tahun)
Skala Produksi I
II
III
Total (responden)
Persentase (%)
10-20
2
1
-
3
10
21-30
1
4
-
5
16,7
31-40
6
3
3
12
40
41-50
1
7
-
8
26,7
>50
1
1
-
2
6,6
11
16
3
30
100
Jumlah
Rata-rata pengrajin tempe berusia antara 40 tahun dengan usia termuda yaitu 15 tahun. Jumlah responden terbanyak yaitu yang berusia 31 hingga 40 tahun yang berjumlah 12 orang atau 40 persen dari total responden. Sebaran
30
usia paling banyak beragam pada setiap responden, untuk skala I usia terbanyak pada rentang usia 31 hingga 40 tahun, untuk skala II usia 41 hingga 50 dan untuk skala III hanya ada satu responden yaitu pada usia 40 tahun. Secara rinci sebaran usia pada seluruh responden dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel tersebut menunjukkan bahwa besarnya skala produksi pengrajin tempe di Desa Citeureup tidak dipengaruhi oleh usia pengrajin. 5.2.2
Tingkat Pendidikan Selain dilihat dari usia karakteristik responden pengrajin tempe juga
dilihat dari tingkatan pendidikan. Tingkat pendidikan responden berdasarkan hasil wawancara menunjukkan sebagian besar merupakan lulusan Sekolah Dasar (SD), namun ada beberapa dari responden merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Berdasarkan Tabel 9 tersebut, jumlah responden secara keseluruhan dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah lulusan SD dengan jumlah 19 orang, SMP sebanyak enam orang, dan SMA sebanyak lima orang. Dari sebaran tersebut tingkatan pendidikan pada setiap skala paling banyak yaitu SD, untuk skala I berjumlah tujuh orang, skala II terdapat 11 orang dan skala III berjumlah satu orang. Secara rinci sebaran responden berdasar tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2012 Tingkat Pendidikan
Skala Produksi I
II
III
Total (responden)
Persentase (%)
SD
7
11
1
19
63,3
SMP
3
1
2
6
20
SMA
1
4
-
5
16,7
11
16
3
30
100
Jumlah
Dilihat dari latar belakang pengrajin dengan tingkat pendidikan yang sebagian besar tidak menempuh pendidikan tinggi ini memang tidak menjadi jaminan bahwa pengrajin tidak sukses, nyatanya dengan bekal pendidikan yang
31
tidak tinggi pengrajin tempe di desa ini dapat menjalankan usahanya hingga sekarang secara turun temurun dan dapat menghidupi keluarga mereka secara cukup. Berdasarkan Tabel 9 tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan dalam membuat tempe tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. 5.2.3
Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga memiliki pengaruh terhadap usaha pembuatan
tempe. Semakin banyak anggota keluarga maka biaya yang ditanggung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari semakin besar. Namun disisi lain banyak tenaga kerja dapat membantu dalam proses produksi sebagai pengganti tenaga kerja dari luar keluarga. Sebagian besar pengrajin tempe di Desa Citeureup menggunakan tenaga kerja dari dalam keluarga tetapi
pekerja tersebut
diberikan upah sesuai dengan pekerjaannya. Berikut disajikan data sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga pada Tabel 10. Tabel 10. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Tahun 2012 Jumlah Angggota
Skala Produksi I
II
Total (responden)
III
Persentase (%)
0
-
1
-
1
3
1-2
8
4
-
12
40
3-4
2
10
2
14
47
≥5
1
1
1
3
10
11
16
3
30
100
Jumlah
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat rentang jumlah anggota keluarga dari pengrajin mulai dari yang tidak memiliki tanggungan sebanyak satu orang. Sebagian besar jumlah anggota keluarga pada pengrajin tempe skala I paling banyak memiliki tanggungan keluarga sebanyak satu hingga dua orangsecara keseluruhan dari 30 responden rata-rata memiliki tanggungan paling banyak tiga hingga empat orang yaitu 47 persen, sedangkan untuk pengrajin skala II paling banyak memiliki tanggungan keluarga sebanyak tiga hingga empat
32
orang.
Dengan
demikian
semakin
banyak
anggota
keluarga
tidak
mempengaruhi skala produksi pembuatan tempe. 5.2.4
Lama Usaha Usaha dalam membuat tempe merupakan usaha yang turun temurun
dilakukan para pengrajin tempe di wilayah ini. Pekerjaan menjadi pengrajin tempe merupakan mata pencaharian utama bagi mereka. Dilihat dari lamanya usaha pembuatan tempe yang dilakukan sangat dipengaruhi oleh pengalaman pengrajin itu sendiri. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat dari 30 pengrajin sebagian besar sudah melakukan usaha antara satu hingga sepuluh tahun dengan persentase 46,7 persen. Selain itu jumlah terbanyak ada pada lama usaha 11 hingga 20 tahun sebanyak 30 persen. Sementara untuk sebaran lama pengalaman terkecil setiap skala usaha beragam, untuk skala I memiliki pengalaman usaha terkecil pada lama usaha lebih dari 20 tahun, sedangkan skala II pada lama usaha lebih dari 30 tahun. Berdasarkan uraian tersebut, maka lamanya usaha bukanlah jaminan apakah usaha berkembang baik atau tidak, karena masih ada faktor lain seperti modal yang dimiliki ataupun motivasi pengrajin dalam mengembangkan usahanya. Untuk lebih jelasnya data mengenai sebaran responden berdasarkan lama usaha dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Sebaran Responden Berdasarkan Lama Usaha Tahun 2012 Skala Produksi
Lama Usaha (tahun)
I
II
III
Total
Persentase
(responden)
(%)
0-10
5
9
-
14
46,7
11-20
4
3
2
9
30
21-30
1
2
1
4
13,3
.>30
1
2
-
3
10
11
16
3
30
100
Jumlah
33
5.2.5
Penggunaan Jumlah Kedelai Penggunaan jumlah kedelai yang digunakan setiap kali produksi
menjadi patokan untuk pengelompokkan skala usaha dalam penelitian ini. Penggunaan jumlah kedelai yang digunakan didasarkan pada modal yang dimiliki oleh pengrajin. Semakin banyak memiliki modal maka jumlah kedelai yang digunakan semakin banyak juga. Modal yang digunakan untuk mendirikan usaha diperoleh dari modal sendiri, namun ada dari beberapa pengrajin yang memperoleh modal dari orang tua mereka karena memang usaha ini dijalankan secara turun temurun. Beberapa pengrajin menyebutkan bahwa pada awal mula mereka mendirikan usaha pembuatan tempe menggunakan modal sedikit karena pada waktu mereka memulai usaha harga kedelai masih rendah tidak seperti harga kedelai sekarang, yaitu hanya berkisar Rp 500 per kg kedelai, sedangkan sekarang harga kedelai sudah meningkat menjadi Rp 7900 per kg. Selain itu penggunaan kedelai pada awal memulai usaha hanya berkisar lima hingga sepuluh kg per produksi, namun sekarang jumlah kedelai yang digunakan pengrajin sudah semakin banyak dan jumlah kedelai yang digunakan juga beragam sesuai kemampuan mereka dalam membeli kedelai. Jumlah kedelai yang digunakan untuk produksi tempe per hari dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Kedelai Per Produksi Tahun 2012 Jumlah Kedelai (kg)
Skala Produksi I
II
Total (responden)
III
Persentase (%)
<100
11
-
-
11
36,7
100-199
-
16
-
16
53,3
≥200
-
-
3
3
10
11
16
3
30
100
Jumlah
Berdasarkan Tabel 12, karakteristik responden dapat dibedakan berdasarkan jumlah kedelai yang digunakan untuk produksi tempe setiap harinya. Pada skala I jumlah kedelai paling sedikit yang digunakan adalah 25 kg, dan pada skala III paling banyak adalah 350 kg. sebaran responden dengan 34
skala I atau dengan jumlah penggunaan kedelai kurang dari 100 kg sebanyak 11 orang atau 36,7 persen, skala II yaitu penggunaan kedelai antara 100 hingga 199 kg sebanyak 16 orang atau 53,3 persen, dan skala III yaitu penggunaan kedelai lebih dari 200 kg sebanyak 3 orang atau 10 persen. Jumlah penggunaan kedelai dalam produksi juga mempengaruhi berapa banyak jumlah tenaga kerja yang digunakan. Dalam usaha produksi tempe di wilayah Citeureup ini jumlah tenaga kerja yang digunakan berjumlah tidak banyak. Hal ini dikarenakan pekerjaan ini masih dapat dikerjakan pengajin sendiri, namun ada juga beberapa pengrajin yang menggunakan bantuan tenaga kerja. Sebagian besar untuk jumlah penggunaan kedelai 50 kg dikerjakan sendiri oleh pemilik, tetapi untuk penggunaan kedelai lebih dari 50 hingga 100 kg menggunakan tenaga kerja sebanyak satu orang. Untuk penggunaan kedelai lebih dari 100 kg menggunakan tenaga kerja dua atau tiga orang. Dalam pembuatan tempe tidak perlu menggunakan banyak tenaga kerja karena dalam pembuatan tempe ini masih dapat dilakukan oleh tenaga kerja yang sedikit apabila tenaga kerja banyak maka akan tidak efisien. Selain itu juga untuk menekan biaya yang dikeluarkan pengrajin untuk memberi upah tenaga kerja dikarenakan harga kedelai yang terus meningkat. Upah tenaga kerja berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 80.000 per hari. Semakin banyak jumlah kedelai yang akan diproduksi maka upah tenaga kerja yang dikeluarkan semakin tinggi.
5.3
Peralatan Produksi Peralatan yang digunakan dalam membuat tempe merupakan peralatan
yang sederhana, namun tetap dibutuhkan pengalaman dan keterampilang yang cukup untuk dapat menghasilkan tempe yang baik. Peralatan yang digunakan oleh pengrajin baik skala I, II, dan III sama, yang membedakan adalah jumlah dari peralatan saja. Semakin besar skala usaha maka peralatan yang digunakan semakin banyak. Pada proses pembuatan tempe peralatan yang digunakan adalah drum besi untuk merebus kedelai, drum plastik digunakan untuk merendam kedelai dan mencuci, ayakan bambu untuk memisahkan kedelai dengan kulitnya setelah direbus, gayung atau ember untuk mengangkat kedelai dari drum besi ke dalam drum plastik, mesin pemecah kedelai, kere (rak yang
35
terbuat dari bambu) untuk tempat pengeraman, dan keranjang plastik yang digunakan untuk membawa tempe yang sudah jadi untuk dipasarkan. Penggunaan drum pada proses pembuatan tempe ada dua yaitu drum besi dan drum plastik. Drum besi digunakan untuk merebus kedelai, sedangkan drum plastik digunakan untuk merendam kedelai. Muatan dalam satu drum besi dapat digunakan untuk merebus 50 kg kedelai. Rata-rata untuk pengrajin pada skala I memiliki satu buah drum besi, sedangkan pada skala II dan III pengrajin memiliki drum besi tiga hingga lima buah tergatung dari jumlah kedelai yang digunakan. Sedangkan kepemilikan drum plastik untuk skala I membutuhkan dua buah yaitu untuk merendam kedelai dan untuk proses penirisan kedelai. Jumlah drum plastik yang digunakan skala II dan III lebih banyak, rata-rata pengrajin memiliki lima hingga enam drum plastik. Harga drum besi berkisar Rp 110.000 hingga Rp 150.000 sedangkan harga drum plastik berkisar Rp 70.000 hingga Rp 100.000. Peralatan lain yang digunakan adalah mesin pemecah kedelai (Gambar 5), mesin pemecah kedelai yang digunakan sudah lebih modern karena sudah menggunakan mesin yang digerakkan dengan dynamo listrik. Setiap pengrajin memiliki mesin ini satu buah dan memiliki nilai ekonomis yang panjang hingga bertahun-tahun. Mesin ini terbuat dari besi yang bisa awet dalam pemakaian jangka panjang, harga dari mesin ini sekitar Rp 2.500.000. Mesin ini sangat membantu kerja pengrajin karena dengan mesin ini pengrajin tidak kesulitan lagi dalam memecah kedelai, dan hasil pecahannya pun lebih seragam. Peralatan lain yang juga penting adalah kere atau kajang yang merupakan rak terbuat dari bambu yang digunakan untuk proses pengeraman tempe yang baru dibungkus. Kere yang dimiliki setiap pengrajin berbeda sesuai dengan banyaknya jumlah kedelai yang digunakan. Untuk pengrajin skala I membutuhkan antara 20 hingga 35 kere, sedangkan untuk skala II memiliki kere antara 40 buah hingga 70 kere, dan skala III membutuhkan 70 hingga 100 kere. Harga satuan dari kere ini adalah Rp 35.000. Kere ini dijual bebas dipasaran, umur ekonomis kere cukup panjang hingga sepuluh tahun apabila pemeliharaannya baik.
36
Peralatan kecil lain yang digunakan adalah ayakan bambu dan ember atau gayung. Ayakan bambu ini digunakan oleh pengrajin untuk menyaring atau untuk membantu mengupas kulit ari kedelai yang telah direbus. Pengrajin memiliki ayakan ini tidak banyak yaitu dua atau tiga buah dikarenakan fungsinya. Ayakan ini hampir setiap satu atau dua tahun diganti karena umurnya yang tidak lama dan fungsinya yang selalu bersentuhan dengan air sehingga menyebabkan ayakan ini cepat rusak. Kebutuhan ember dan gayung digunakan oleh pengrajin untuk mengambil kedelai dari drum rebusan atau juga digunakan untuk memindahkan kedelai dari drum satu ke drum lainnya. Ember dan gayung ini biasanya berbahan dasar plastik dengan harga untuk ember Rp 12.000 dan gayung Rp 4.000.
Gambar 4. Mesin Pemecah Kedelai Peralatan yang digunakan pada tahap pemasaran biasanya berupa keranjang plastik. Keranjang ini berukuran 80cm x 60cm yang berfungsi untuk mengangkut tempe yang sudah jadi untuk dipasarkan secara keliling atau ke pasar. Keranjang ini bisa membawa tempe dalam jumlah banyak, sehingga pengrajin membutuhkan keranjang ini tidak banyak. Harga dari keranjang ini berkisar Rp 50.000 per buahnya. Keranjang bisa digunakan dalam waktu tiga hingga empat tahun. Keranjang ini dimiliki pengrajin baik skala I, II dan III, hanya saja jumlah keranjang yang dimiliki berbeda.
37
5.4
Proses Produksi Proses produksi pembuatan tempe merupakan salah satu proses yang
dapat merubah kacang kedelai mentah menjadi tempe. Proses ini dilakukan dengan merebus kacang kedelai dan mencampurnya dengan ragi, proses pembuatan tempe ini membutuhkan waktu kurang lebih tiga hari. Namun proses pembuatan tetap dilakukan setiap hari agar dapat memasarkan tempe yang sudah jadi setiap hari. Sekilas proses pembuatan tempe ini sederhana, namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti pemilihan bahan, baik itu kedelai maupun ragi. Kualitas tempe yang baik diperoleh dengan memilih kedelai dengan mutu yang baik, pengolahan yang tepat dan penggunaan kedelai yang tidak dicampur dengan bahan lain. Jenis kedelai yang dipilih oleh pengrajin untuk membuat tempe adalah kedelai impor, dikarenakan kedelai ini yang banyak dijual dan mudah ditemui di pasar. Jenis kedelai yang dijual beragam berdasarkan grade masing-masing. Tingkatan jenis kedelai yang dijual di pasar adalah merek Tiga roda, Gunung, dan Bola. Seluruh pengrajin di Citeureup menggunakan jenis kedelai dengan merek Gunung atau Bola dikarenakan harganya yang lebih murah dibandingkan Tiga roda, selain itu juga mudah untuk mendapatkan jenis kedelai ini. Jenis ragi yang digunakan adalah ragi buatan yang dijual di pasaran dengan bentuk batangan, jenis ragi ini digunakan oleh semua pengrajin, dengan harga Rp 12.000 per kg. Jumlah pemberian ragi untuk tempe sangat dipengaruhi oleh suhu dan cuaca, apabila suhu panas maka jumlah ragi yang digunakan lebih sedikit tetapi apabila suhu atau cuaca dingin maka jumlah ragi yang digunakan lebih banyak. Hal ini dikarenakan kapang yang ada pada ragi merupakan kapang yang membutuhkan suhu panas. Bentuk ragi yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 5.
38
Gambar 5. Ragi Batangan Proses pembuatan tempe yang dilakukan oleh masing-masing pengrajin sama yaitu melalui tahap pencucian, perebusan, perendaman, pengupasan kulit ari kedelai, peragian, pembungkusan, dan pengeraman. Tempe-tempe yang sudah melalui tahap pengeraman selama dua hari akan langsung dipasarkan oleh pengrajin. Tahapan dalam proses pembuatan tempe yang pertama yaitu tahap
pencucian kedelai. Sebelum dicuci dengan air, kedelai dipisahkan
terlebih dahulu dari kotoran yang menempel pada kedelai, kotoran yang biasanya tercampur dalam kemasan kedelai adalah kerikil dan kulit luar kedelai. Setelah dipisahkan dari kotoran, kedelai mulai dibilas dengan air dan dilakukan proses perendaman. Proses perendaman kedelai ini dilakukan selama dua hingga tiga jam. Tahapan kedua setelah tahap pencucian kedelai adalah tahap perebusan kedelai. Pada proses ini kedelai direbus dengan menggunakan drum besi, proses perebusan kedelai membutuhkan waktu yang berbeda setiap pengrajin. Waktu yang digunakan untuk merebus setiap 50 kg kedelai kurang lebih dua jam, untuk 100 kg kurang lebih tiga hingga empat jam. Tujuan dari perebusan kedelai yaitu untuk melunakkan kedelai agar ragi mudah menembus ke dalam kedelai saat proses pengeraman. Bahan bakar yang digunakan oleh pengrajin untuk merebus kedelai ada dua jenis, 26 dari 30 responden memilih menggunakan kayu bakar dan empat responden memilih menggunakan gas. Alasan pemilihan penggunaan bahan bakar dengan gas menurut pengrajin dikarenakan waktu yang digunakan lebih cepat selain itu lebih mudah. Alasan dari pengrajin yang menggunakan kayu bakar adalah karena takut pada risiko terjadi ledakan jika menggunakan gas, selain itu menjadi lebih boros. Proses pada tahap perebusan dapat dilihat pada Gambar 6.
39
Gambar 6. Proses Perebusan Kedelai Tahapan ketiga yaitu proses perendaman kedelai yang telah direbus yang dapat dilihat pada Gambar 7. Sebagian besar responden melakukan proses perendaman selama satu malam atau 10 hingga 12 jam. Proses ini dilakukan agar kedelai menjadi masam dan berlendir, setelah direndam kedelai dicuci hingga bersih kemudian kedelai dimasukkan pada mesin pemecah kedelai (Gambar 8). Tujuan pemecahan kedelai adalah untuk memudahkan penetrasi enzim dan pertumbuhan miselium kapang yang digunakan. Setelah dipecah kedelai tersebut dipisahkan dari kulit arinya dengan cara dicuci dengan air hingga bersih, kemudian kedelai ditiriskan dan dibiarkan dingin. Pada tahap penirisan ini kedelai dimasukkan pada drum plastik yang telah dilubangi pada pinggir dan bawah drum untuk mengurangi kelebihan air yang dapat mendorong berkembangnya bakteri.
Gambar 7. Perendaman Kedelai
40
Gambar 8. Pemecahan Kedelai dengan Mesin Kedelai yang telah ditiriskan kemudian diberi ragi, proses ini merupakan proses yang dapat menentukan tempe berhasil atau tidak (Gambar 9). Pemberian ragi ini dilakukan dengan mencampur dan mengaduk kedelai bersama ragi hingga merata. Ragi yang dipakai untuk membuat tempe umumnya merupakan ragi campuran antara ragi tempe (LIPI) dan onggok. Pemakaian ragi sangat penting karena kekurangan ragi akan membuat tempe tidak jadi. Cuaca juga sangat berpengaruh terhadap pemakaian ragi, pada saat cuaca dingin maka ragi yang digunakan akan lebih banyak dibandingkan pada saat cuaca panas. Selain ragi adanya penggunaan bahan tambahan yaitu pewarna kuning pada tempe, penambahan bahan ini dilakukan oleh 50 persen dari 30 responden. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mencerahkan warna tempe agar tidak pucat. Tahapan selanjutnya setelah peragian adalah pengemasan, pengemasan yang dilakukan di tempat penelitian menggunakan plastik dan daun pisang. Sebelum digunakan plastik tersebut dilubangi terlebih dulu menggunakan pisau atau garpu, kemudian setelah dibungkus tempe yang belum jadi disusun di atas kere dan diperam pada rak-rak bambu yang sudah disiapkan selama dua hari.
41
Gambar 9. Penirisan dan Pendinginan Kedelai Proses setelah menjadi tempe, kemasan plastik tersebut dibuka dan diganti dengan daun, hal ini dimaksudkan agar tempe tetap terlihat segar. Tidak semua pengrajin melakukan gabungan plastik dan daun, tetapi ada juga yang kemasannya dengan plastik saja atau daun saja. Ukuran dari tempe bermacammacam sesuai dengan ukuran plastik yang digunakan dan harga jual tempe. Proses pengemasan dan pemeraman dapat dilihat pada Gambar 10 dan 11. Berdasarkan hasil wawancara kepada pengrajin tempe di tempat penelitian, kondisi harga kedelai yang meningkat terus membuat para pengrajin memilih untuk mengecilkan ukuran tempe dengan menipiskan tempe tanpa menaikkan harga, namun ada juga yang menebalkan ukuran tempe dan menaikkan harga.
Gambar 10. Pengemasan Tempe
42
Gambar 11. Pengeraman Tempe Semua proses produksi ini dilakukan di dapur bersama dengan dapur rumah tangga untuk skala I dan II dikarenakan jumlah produksi yang tidak terlalu banyak sehingga tidak membutuhkan tempat yang luas. Berbeda dengan skala III yang sudah melakukan proses produksi pembuatan tempe di dapur terpisah
dikarenakan
jumlah
produksi
yang
lebih
banyak
sehingga
membutuhkan tempat yang luas untuk proses produksi. 5.5
Cara Pemasaran Pemasaran merupakan aspek penting dalam usaha, dengan adanya
pemasaran maka produk tersebut akan menghasilkan keuntungan. Pemasaran yang dilakukan oleh pengrajin tempe di Citeureup hanya ada dua yaitu dipasarkan secara keliling menggunakan sepeda motor atau pun sepeda ke rumah-rumah warga dan membuka lapak di pasar. Pasar yang digunakan untuk tempat pemasaran beragam yaitu ke pasar Citeureup, Cibinong, Cileungsi, Cibarusah, Jonggol hingga Cibubur. Pemasaran yang dilakukan oleh pengrajin sebagian besar dengan membuka lapak di pasar dan menjajakan dagangannya secara langsung kepada konsumen. Sebagian besar konsumen yang membeli tempe kepada pengrajin ini adalah pedagang sayur keliling, pemilik rumah makan atau warteg, pedagang gorengan, dan ibu rumah tangga. Untuk lebih jelasnya sebaran responden berdasarkan cara pemasaran dapat dilihat pada Tabel 13.
43
Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Cara Pemasaran Tahun 2012 Skala Produksi Pemasaran
I
II
III
Total (responden)
Persentase (%)
Keliling
3
-
-
3
10
Pasar
8
16
3
27
90
11
16
3
30
100
Jumlah
Berdasarkan Tabel 13 sebaran responden dalam memasarkan tempe hanya ada dua cara yaitu tempe dipasarkan keliling dan membuka lapak (memiliki kios khusus) di pasar. Jumlah pengrajin yang membuka lapak di pasar lebih banyak yaitu 27 orang atau 90 persen dibandingkan pengrajin yang menjual tempenya secara keliling yang hanya tiga orang atau 10 persen. Cara pemasaran secara keliling hanya dilakukan oleh tiga pengrajin pada skala I, dan delapan orang pada skala ini melakukan dengan cara membuka lapak di pasar. Cara pemasaran dengan membuka lapak di pasar dinilai lebih menguntungkan, dikarenakan pengrajin tidak mendatangi konsumen melainkan konsumen yang mendatangi pengrajin. Konsumen yang membeli tempe di pasar merupakan konsumen yang juga akan menjual kembali tempe tersebut seperti pedagang sayuran, pemilik warung makan atau konsumen yang akan membeli tempe dalam jumlah banyak dan mencari harga yang lebih rendah. Berbeda dengan pemasaran keliling yang konsumennya sebagian besar adalah ibu rumah tangga yang membeli secara eceran. Untuk pemasaran keliling ini dilakukan dengan berjualan keliling komplek-komplek perumahan warga dengan cara membawa tempe menggunakan keranjang. Harga yang ditawarkan pengrajin kepada konsumen berbeda-beda tergantung dari jumlah pembelian. Apabila konsumen yang membeli adalah konsumen yang akan menjual kembali tempenya dan membeli dalam jumlah yang banyak maka harga yang berlaku merupakan harga grosir. Sementara untuk konsumen yang membeli tempe dalam jumlah sedikit atau satuan harga tempe yang berlaku adalah harga eceran. Harga untuk pembelian secara eceran berbeda Rp 500 dengan pembelian secara borongan atau dalam jumlah yang banyak. Rata-rata pengrajin menjual tempe dengan harga yang berbeda karena 44
setiap pengrajin memiliki ukuran tempe yang tidak sama. Semakin besar dan tebal tempe maka harganya akan semakin mahal. Dengan demikian dikarenakan harga kedelai yang terus meningkat seperti kondisi sekarang. Pengrajin harus melakukan upaya untuk menyiasati kenaikan harga bahan baku ini. Upaya yang dilakukan untuk menyiasati kenaikan bahan baku ini adalah dengan mengubah ukuran tempe dikarenakan pengrajin tidak dapat merubah harga. Harga yang ditawarkan kepada konsumen berkisar Rp 1.500 hingga Rp 10.000. Harga ini disesuaikan dengan ukuran tempe, ukuran tempe yang dijual bermacam-macam mulai dari ukuran kecil hingga besar. Berikut daftar harga rata-rata ukuran tempe di Desa Citeureup dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Harga dan Ukuran Tempe di Desa Citeurep Setelah Kenaikan Harga Kedelai Tahun 2012 Ukuran (cm)
Harga (Rp) 12 x 25
1.500
13 x 30
3.000
14 x 35
4.000
15 x 35
5.000
18 x 30
8.000
20 x 30
10.000
Ukuran-ukuran tersebut merupakan ukuran penyesuaian dari kenaikan harga kedelai, sebelum kenaikan harga kedelai ukuran tempe lebih besar dan lebih tebal dari ukuran tersebut. Harga tempe yang tertera di atas adalah harga tempe setelah kenaikan harga kedelai.
45
VI. ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TEMPE Analisis terhadap pengaruh kenaikan harga kedelai pada usaha produksi tempe di Desa Citeureup dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kenaikan harga kedelai tersebut terhadap kinerja usaha yang dilihat dari struktur biaya pada tiga skala usaha yang berbeda. Berdasarkan struktur biaya dapat dilihat informasi skala usaha yang efisien yaitu dari biaya per unit yang paling rendah. Besaran biaya yang dikeluarkan setiap skala usaha berbeda, perbedaan ini berdasarkan pada kebutuhan apa saja yang dipakai oleh pengrajin mulai dari proses persiapan, produksi, hingga pemasaran. Biayabiaya yang dikeluarkan oleh pengrajin berupa biaya pembelian kedelai, ragi, kayu bakar, plastik, daun pisang, tenaga kerja, listrik untuk menggerakkan mesin pemecah kedelai dan air, transportasi, dan sewa bangunan. Biaya produksi adalah semua pengeluaran yang dilakukan oleh pengrajin selama proses produksi berlangsung. Besarnya biaya produksi merupakan penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel. Berdasarkan dua biaya tersebut dapat dilihat jumlah alokasi biaya yang digunakan selama produksi berlangsung. Selain itu dari biaya tetap dan biaya variabel juga dapat digunakan untuk mengontrol biaya-biaya yang akan dikeluarkan. Selain biaya tetap dan biaya variabel, biaya produksi juga dibedakan menjadi biaya tunai dan non tunai (biaya diperhitungkan). Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan pengrajin tempe secara tunai dalam bentuk uang, seperti untuk pembelian kedelai, ragi, daun pisang, plastik, bahan bakar. Sedangkan biaya non tunai adalah biaya yang tidak dikeluarkan secara langsung oleh pengrajin tempe dalam berproduksi tetapi tetap diperhitungkan, biaya ini dapat berupa biaya penyusutan peralatan produksi tempe dan biaya tenaga kerja dalam keluarga. 6.1
Biaya Tetap Usaha Tempe di Desa Citeureup Bogor Biaya tetap yang dikeluarkan oleh pengrajin tempe terdiri dari biaya
penyusutan peralatan produksi, biaya transportasi dan biaya sewa bangunan. Biaya ini harus tetap dikeluarkan oleh pengrajin tempe berapa pun jumlah produksi tempe yang dihasilkan. Biaya tetap tersebut pada kenyataannya tidak semua dibayarkan secara tunai, tetapi tetap diperhitungkan. Biaya tetap yang 46
dibayarkan tidak secara tunai ini seperti biaya pada penyusutan peralatan dan biaya sewa bangunan yang diperhitungkan. Untuk biaya penyusutan peralatan produksi dilakukan dengan metode garis lurus (straight line method). Peralatan merupakan input produksi yang digunakan sebagai alat bantu usaha. Rincian penyusutan peralatan masing-masing pengrajin dapat dilihat pada Lampiran 2. Biaya transportasi termasuk pada biaya tetap dikarenakan biaya tersebut tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah produksi tempe yang dihasilkan oleh pengrajin. Dengan demikian apabila melakukan pengurangan atau penambahan jumlah produksi maka biaya transportasi ini akan tetap. Berikut data mengenai jumlah rata-rata biaya tetap yang dikeluarkan oleh pengrajin tempe di Citeureup untuk skala I, II dan III dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Komponen Biaya Tetap Rata-Rata Berdasarkan Skala Usaha Tempe di Sentra Industri Tempe Citeureup per 100 kg Tahun 2012 Uraian Biaya
Skala I n = 11 Rp
Skala II n = 16 %
Rp
Skala III n=3 %
Rp
%
Penyusutan Peralatan Transportasi
3.186
0,32
2.860
0,32
1.999
0,23
53.744
5,45
30.640
3,40
19.167
2,21
8.566
0,87
9.687
1,08
4.286
0,49
65.497
6,65
43.188
4,79
25.452
2,93
Sewa Bangunan Jumlah Rata-rata per
655
432
255
Maksimum
1131
633
324
Minimum
334
229
196
253
150
64,9
kg kedelai
Standar deviasi
Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat komponen biaya tetap yang dikeluarkan pengrajin berdasarkan skala usaha. Jumlah responden yang ada pada skala I adalah 11 responden, skala II sebanyak 16 responden, dan skala III sebanyak tiga responden. Untuk komponen biaya penyusutan peralatan
47
tertinggi dikeluarkan oleh pengrajin skala kecil atau skala I dan biaya terendah pada skala III. Hal ini dikarenakan pada skala III penggunaan peralatannya lebih efisien dibandingkan pada skala I. Biaya transportasi yang dikeluarkan oleh tiga skala usaha ini merupakan biaya yang cukup besar diantara komponen biaya lainnya yaitu 5,45 persen atau Rp 53.744 untuk skala I, Rp 30.640 atau 3,40 persen untuk skala II, dan Rp 19.167 atau 2,21 persen untuk skala III. Ini dikarenakan untuk transportasi setiap pengrajin harus menyewa angkutan mobil. Selain itu biaya angkut berbeda didasarkan pada jarak tempuh dari tempat pemasaran. Untuk wilayah Citereup, Cibinong biaya angkut yang dibebankan sebesar Rp 20.000 hingga Rp 25.000 untuk pulang pergi karena jarak tempuh yang dekat, sedangkan untuk jarak tempuh seperti Cibarusah, Jonggol, Cibubur, dan Cileungsi dikenakan Rp 50.000 hingga Rp 70.000. Biaya transportasi bagi pengrajin yang memasarkan tempe secara keliling terhitung lebih murah karena menggunakan kendaraan sepeda motor sehingga biaya yang dikeluarkan per hari Rp 10.000 untuk bensin. Komponen biaya terakhir pada biaya tetap adalah biaya sewa bangunan. Biaya sewa bangunan ini dikeluarkan oleh pengrajin skala I dan II yang menyewa rumah untuk digunakan sebagai tempat produksi tempe. Sewa bangunan dibayarkan setiap pengrajin berbeda-beda, harga sewa berkisar Rp 150.000 hingga Rp 400.000 per bulannya. Biaya sewa bangunan ini tidak semua dibayarkan secara tunai, tetapi ada biaya yang diperhitungkan. Biaya sewa bangunan terbesar dikeluarkan oleh pengrajin skala II dikarenakan pengrajin skala II inilah yang lebih mahal menyewa bangunan dibandingkan pada skala I. Apabila biaya penyusutan peralatan tetap diperhitungkan pada struktur biaya tetap pengrajin tempe, maka total biaya tetap untuk masing-masing skala adalah Rp 65.497 (6,65 persen) untuk skala I, Rp 43.188 (4,79 persen) skala II, dan Rp 25.452 (2,93 persen) untuk skala III. Untuk mengetahui skala produksi yang paling rendah dalam mengeluarkan biaya tetap yaitu dengan membagi total biaya tetap pada masing-masing pengrajin pada tiap skala dengan jumlah kedelai yang digunakan yaitu 100 kg sehingga dapat dihitung biaya tetap rata-
48
rata per kg kedelai. Berdasarkan pada Tabel 15 terlihat bahwa biaya tetap ratarata per kg kedelai yang dikeluarkan pengrajin semakin rendah apabila skala produksinya semakin besar, bukti ini diperlihatkan oleh besarnya biaya tetap rata-rata per kg kedelai pada produksi skala III yang merupakan biaya paling rendah diantara dua skala lainnya. Berdasarkan Tabel 15 terlihat adanya jumlah biaya tetap maksimum dan minimum. Jumlah ini diperoleh dari rata-rata jumlah biaya tetap yang dikeluarkan oleh pengrajin pada setiap skala. Biaya maksimum tertinggi dari tiga skala tersebut ada pada skala I, dan biaya minimum terendah ada pada skala III. Sementara standar deviasi merupakan perhitungan yang digunakan untuk melihat seberapa besar penyimpangan yang terjadi pada pengeluaran biaya tetap yang dikeluarkan oleh pengrajin pada masing-masing skala usaha.
6.2
Biaya Variabel Usaha Tempe di Desa Citeureup Biaya variabel yang dikeluarkan oleh pengrajin tempe terdiri dari biaya
variabel tunai dan non tunai. Biaya variabel tunai yaitu meliputi biaya pembelian kedelai, ragi, plastik, daun pisang, tenaga kerja, bahan bakar yang berupa kayu dan gas, biaya untuk listrik yang digunakan untuk menggerakkan mesin pemecah kedelai dan air yang menggunakan sumur bor. Sementara untuk biaya variabel non tunai adalah biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja dalam keluarga. Jumlah biaya variabel yang dikeluarkan sangat bergantung pada banyak sedikitnya kedelai yang digunakan untuk produksi. Perhitungan biaya variabel seluruhnya merupakan biaya variabel secara tunai. Untuk lebih rincinya jumlah biaya variabel yang dikeluarkan oleh pengrajin untuk produksi dapat dilihat pada Tabel 16. Berdasarkan pada Tabel 16 dapat dilihat komponen biaya variabel yang dikeluarkan oleh pengrajin baik skala I, II dan skala III pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai. Komponen biaya terbesar yang dikeluarkan adalah biaya untuk pembelian kedelai. Berdasarkan jumlah biaya terbesar tersebut dapat dijelaskan mengapa pengrajin tempe menjadi merugi apabila terjadi kenaikan harga kedelai, dikarenakan persentase biaya penggunaan kedelai di atas 60 persen apabila dipersentasikan. Harga kedelai yang berlaku pada saat
49
sebelum kenaikan harga adalah pada harga Rp 6.200 hingga Rp 6.300,00 per kg. Harga ini berlaku sesuai jumlah pembelian kedelai, semakin banyak jumlah kedelai yang dibeli maka harga akan turun. Untuk pembelian kurang dari 100 kg harga yang berlaku adalah Rp 6.300 sedangkan untuk pembelian 200 kg lebih harga berlaku adalah Rp 6.200 per kg. Tabel 16. Komponen Biaya Variabel Rata-Rata Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai Berdasarkan Skala Produksi Per 100 kg Tahun 2012 Sebelum Uraian Kedelai
Skala I (Rp)
Skala II (Rp)
Setelah Skala III (Rp)
Skala I (Rp)
Skala II (Rp)
Skala III (Rp)
630.000
628.125
620.000
790.000
780.000
766.667
Ragi
2.300
2.475
1.771
2.211
2.475
1.771
Kayu Bakar
7.222
12.750
27.143
7.222
12.750
27.143
Gas
6.597
1.406
0,0
6.597
1.406
0,0
Plastik
14.000
22.125
24.000
11.778
22.125
24.000
Daun pisang
27.083
20.625
11.190
27.083
20.625
11.190
Listrik
2.574
3.021
1.964
1.343
3.021
1.964
TKLK
36.364
42.039
89.524
36.364
42.039
89.524
TKDK
171.327
125.000
80.000
171.327
125.000
80.000
Jumlah
919.809
857.833
842.962
1.077.698
1.005.691
996.772
9.198
8.578
8.430
10.777
10.057
9.968
10.037 8.004
9.117 8.114
8.808 8.223
11.637 9.604
10.630 9.354
10.308 9.758
669
344
328
670
395
297
Rata-rata per kg Maksimum Minimum Standar deviasi
Komponen biaya terbesar kedua adalah biaya tenaga kerja dalam keluarga. Biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK), perhitungannya sama dengan upah yang diberikan kepada tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Penggunaan tenaga kerja luar keluarga digunakan sebagai tambahan apabila kekurangan tenaga kerja dalam keluarga. Semua pengrajin tempe di lokasi penelitian menggunakan tenaga kerja dalam keluarga, namun jika mereka memproduksi dalam jumlah banyak dan tenaga kerja dalam keluarga kurang maka akan mengambil tenaga kerja dari luar. Biaya TKDK tertinggi ada pada skala I yaitu sebesar Rp 171.327. Biaya ini merupakan biaya diperhitungkan
50
karena hampir semua pengrajin menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dalam memproduksi tempe. Pada skala I ada beberapa pengrajin yang tidak menggunaka tenaga kerja luar keluarga dikarenakan menurut mereka tenaga dari dalam keluarga sudah mencukupi. Skala II juga hampir sama dengan skala I, di mana jumlah tenaga kerja dalam keluarga lebih banyak dibandingan tenaga kerja luar keluarga. Sementara untuk skala III cenderung lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Berdasarkan penjelasan di atas, dengan banyaknya penggunaan tenaga kerja pada skala I belum tentu mengindikasikan bahwa penggunaan tenaga kerja dalam keluarga tidak efisien. Meskipun tingginya penggunaan tenaga kerja dalam keluarga pada skala I, pengrajin pada skala ini tetap bertahan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Hal ini karena biaya tenaga kerja dalam keluarga merupakan biaya diperhitungkan dan sebenarnya menjadi pemasukan atau pendapatan bagi pengrajin tempe atas tenaga kerja dalam keluarga yang dikeluarkannya. Sementara untuk tenaga kerja luar keluarga (TKLK) pada pengrajin skala I cenderung paling rendah dikarenakan pada skala ini pengrajin lebih banyak menggunakan tenaga kerja dalam keluarga karena produksinya yang tidak banyak dan tenaga kerja dalam keluarga sudah mencukupi. Berbeda dengan skala II dan III yang mampu membayar tenaga kerja luar keluarga dikarenakan jumlah produksi yang banyak sehingga tenaga kerja dalam keluarga tidak mencukupi. Dilihat pada Tabel 16 terlihat bahwa skala III merupakan skala yang pengeluaran biaya tenaga kerja luar keluarga yang paling tinggi dibandingkan dua skala lainnya, dikarenakan memang jumlah produksinya yang tinggi sehingga memerlukan tenaga kerja tambahan. Upah yang diberikan kepada tenaga kerja pada skala I berkisar Rp 50.000,00 hingga Rp 60.000,00 per hari dikarenakan jumlah kedelai yang digunakan kurang dari 100 kg per hari. Sedangkan pada skala II dan besar upah yang diberikan Rp 70.000 hingga Rp 80.000, yang membedakan skala II dan skala III adalah jumlah dari tenaga kerjanya. Pada skala III jumlah tenaga kerja lebih banyak dibandingkan dua skala lainnya. Jumlah tenaga kerja pada skala I paling bayak hanya satu orang dan beberapa dari pengrajin juga memilih tidak
51
menggunakan jasa tenaga kerja tetapi dikerjakan sendiri, skala II dua orang, dan skala III tiga hingga empat orang tenaga kerja. Oleh karena itu jumlah upah tenaga kerja pada skala III menjadi paling tinggi dibanding upah tenaga kerja pada skala I dan II. Terlihat pada Tabel 16, penggunaan biaya variabel yang tinggi selain tenaga kerja pada skala I adalah pengunaan pengemas yang berupa daun pisang, dikarenakan pada skala ini lebih banyak memproduksi tempe dengan kemasan daun pisang dibanding plastik, untuk ukuran tempe yang dibuat pada skala I lebih banyak memproduksi tempe berukuran kecil yaitu 12 x 25 yang biasa dijual dengan harga Rp 1.500,00 per buah. Pada skala II dan skala III jumlah biaya tinggi selain biaya kedelai dan tenaga kerja adalah penggunaan pengemas plastik, dikarenakan pada skala ini pengrajin lebih banyak memproduksi tempe yang berukuran lebih besar dan dikemas dengan plastik. Selain itu pada skala III, biaya yang tinggi juga dikeluarkan untuk biaya bahan bakar karena jumlah kedelai yang digunakan lebih banyak, sehingga membutuhkan waktu lebih lama dan penggunaan bahan bakar lebih banyak dibandingkan skala I dan II pada proses perebusan kedelai. Untuk bahan bakar yang digunakan pada pengrajin skala I dan II ada dua macam yaitu dengan menggunakan kayu bakar dan gas dengan tabung kecil berukuran tiga kg. Jumlah penggunaan gas pada skala II lebih sedikit dikarenakan sebagian besar dari pengrajin skala II lebih banyak menggunakan kayu bakar. Biaya listrik yang dikeluarkan tiga skala tersebut cenderung lebih banyak pada skala II, dikarenakan penggunaan listrik lebih banyak. Penggunaan listrik ini dibagi menjadi dua yaitu untuk menggerakkan dynamo mesin pemecah kedelai dan digunakan untuk membantu dalam mengalirkan air dari sumur bor. Pada skala I, II, maupun III tidak ada perbedaan dalam penggunaan peralatan, yang membedakan hanya jumlah peralatan yang digunakan saja. Tabel 16 juga menunjukkan bagaimana komponen biaya variabel pada kondisi setelah adanya kenaikan harga kedelai. Kenaikan harga kedelai yang terjadi adalah sebesar Rp 1.700 atau 21 persen dari harga sebelum kenikan Rp 6.200 hingga Rp 6.300 dan setelah adanya kenaikan antara Rp 7.700 hingga Rp 7.900. Kenaikan harga ini dinilai tidak setinggi pada saat kenaikan pada tahun
52
2008 yang mencapai 80 persen. Namun kenaikan ini merugikan pengrajin, dikarenakan kenaikan yang terjadi secara terus menerus dan tidak dapat diperkirakan oleh pengrajin. Kesulitan yang dialami pengrajin adalah pengrajin harus membuat strategi untuk menyiasati kenaikan tersebut sedangkan modal yang dimiliki oleh pengrajin terbatas, sehingga hal inilah yang membuat pengrajin dirugikan. Pada kondisi adanya kenaikan harga kedelai, komponen biaya yang berubah adalah hanya harga kedelai sedangkan harga dari komponen lain tetap. Namun pada skala I terjadi perubahan jumlah produksi setelah adanya kenaikan harga kedelai, dua dari sebelas responden merubah jumlah produksi yaitu dengan mengurangi jumlah produksi kedelai yang digunakan. Pengurangan jumlah kedelai yang dilakukan sebesar 10 kg hingga 25 kg. Dengan demikian ada penyesuaian pada jumlah bahan baku lain yang digunakan seperti ragi, plastik yang menjdi berkurang. Hal ini dilakukan karena pengrajin kekurangan modal untuk tetap mempertahankan jumlah produksi semula. Selain itu pengurangan jumlah produksi juga merupakan salah satu cara penyesuaian yang dilakukan untuk menyiasati kenaikan harga kedelai. Sesuai dengan teori yang ada bahwa pada saat terjadi kenaikan harga input yaitu kedelai maka jumlah permintaan kedelai akan menurun. Sementara untuk pengrajin yang tidak mengubah jumlah produksi, mereka melakukan upaya penyesuaian yang berbeda. Dengan demikian, dengan adanya kenaikan harga kedelai penyesuaian yang dilakukan adalah dengan mengurangi keuntungan. Hal ini dilakukan karena pengrajin dengan modal terbatas, namun ingin memberikan kepuasan maksimum, dan mereka tidak dapat melakukan subtitusi input, sehingga pilihan yang dilakukan adalah mengurangi keuntungan yang diperoleh. Dilihat pada Tabel 16, setelah adanya kenaikan harga kedelai jumlah biaya yang digunakan untuk pembelian kedelai pun meningkat, sehingga menyebabkan jumlah biaya total variabel pun meningkat. Berdasarkan hasil analisis pada usaha tempe di Desa Citeureup, bahwa biaya variabel rata-rata per kg kedelai akan lebih murah pada skala III, baik pada keadaan sebelum
53
kenaikan harga kedelai maupun setelah kenaikan harga kedelai. Dikarenakan pada skala ini relatif dapat menekan biaya variabel yang dikeluarkan.
6.3
Biaya Total Usaha Tempe di Desa Citeureup Biaya total adalah penjumlahan dari keseluruhan biaya yang
dikeluarkan oleh pengrajin tempe yang meliputi biaya tetap ditambah biaya variabel. Untuk melihat besaran biaya total dapat dilihat pada Tabel 17. Berdasarkan pada Tabel 17 jumlah biaya total yang dikeluarkan oleh pengrajin dari sebelum kenaikan harga kedelai memperlihatkan persentase biaya variabel yang besar yaitu lebih dari 90 persen. Persentase biaya variabel tertinggi adalah pada skala produksi besar (III) dan jumlah paling kecil adalah skala produksi kecil (I). Sebagai perbandingan pada saat kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada Tabel 18 yang menyajikan data struktur biaya usaha setelah kenaikan harga kedelai. Berdasarkan Tabel 17 dan 18 dapat dilihat perbandingan pengaruh dari kenaikan harga kedelai terhadap struktur biaya pada tiga skala usaha produksi tempe, dari kondisi sebelum kenaikan harga dan setelah kenaikan harga. Pada saat setelah kenaikan harga kedelai struktur biaya dari tiga skala meningkat terutama pada biaya variabel. Berdasarkan kedua tabel tersebut dapat dilihat perbandingan besarnya biaya total rata-rata per kg kedelai untuk masingmasing skala, dimana terlihat kecenderungan pada skala I biaya per kg kedelai lebih mahal dibandingkan pada skala II, dan skala III. Hal ini menjadi alasan bahwa untuk usaha tempe di lokasi penelitian semakin besar skala usaha maka biaya total produksi per kg kedelainya menjadi lebih murah.
54
Tabel 17. Struktur Biaya Produksi Usaha Tempe Sebelum Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Per 100 kg Tahun 2012. Uraian Biaya Variabel Biaya Tetap Jumlah biaya total Biaya per kg Maksimum Minimum Standar deviasi
Skala I Biaya % (Rp)
Skala II Biaya % (Rp)
Skala III Biaya % (Rp)
919.809
93,35
857.833
95,21
842.962
97,07
65.497
6,65
43.188
4,79
25.452
2,93
985.306
100
901.021
100 9.010 9.499 8.499 305
868.414
100 8.684 9.132 8.454 388
9.853 11.028 8.709 701
Berikut adalah struktur biaya setelah kenaikan harga kedelai pada tiga skala produksi per 100 kg kedelai, dapat dilihat pada Tabel 18. Terlihat pada Tabel 18 komponen biaya variabel dari ketiga skala meningkat. Tabel 8. Struktur Biaya Produksi Usaha Tempe Setelah Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Per 100 kg Tahun 2012. Uraian Biaya Variabel Biaya Tetap Jumlah Total Biaya
Biaya per kg Maksimum Minimum Standar deviasi
Skala Biaya
Skala %
1.077.698 94,42 65.497 5,73 1.143.195 100 11.431 12.628 10.309 702
Biaya
Skala %
1.005.691 96,20 43.188 4,10 1.048.879 100 10.488 11.012 9.582 380
Biaya 996.772 25.452 1.022.224
% 97,56 2,49 100 10.222 10.632 9.954 360
Tabel 17 dan 18 menunjukkan, responden pada skala I cenderung menunjukkan skala yang relatif lebih mahal dalam mengeluarkan biaya produksi per kg kedelai dibandingkan skala II dan III. Hal ini dikarenakan penggunaan komponen biaya masih belum efisien sehingga menyebabkan biaya menjadi mahal. Apabila dilihat pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai, ketiga skala menunjukkan hal yang sama yaitu kenaikan terhadap biaya variabel.. Dengan demikian skala produksi yang dinilai relatif paling murah dalam berproduksi adalah pada pengrajin skala III. Keadaan ini apabila
55
digambarkan dalam hubungan skala usaha dengan biaya dapat dilihat seperti pada Gambar 12.
Gambar 12. Hubungan Biaya dengan Skala Usaha Tempe Di Sentra IndustriTempe Citeureup, Kabupaten Bogor Keterangan: : Sebelum kenaikan harga kedelai : Setelah kenaikan harga kedelai Berdasarkan pada Gambar 12, dapat dilihat hubungan skala usaha dengan biaya produksi tempe di Desa Citeureup, yang menunjukkan bahwa skala efisien dicapai pada skala III, dikarenakan biaya produksi rata-rata per kg kedelai semakin rendah. Sementara pada skala I merupakan skala tidak efisien karena biaya produksi rata-rata per kg kedelai lebih mahal. Pada skala III jumlah produksi yang semakin tinggi menyebabkan pengrajin menambah kapasitas produksi. Adanya penambahan kapasitas ini menyebabkan kegiatan produksi menjadi lebih efisien karena adanya penghematan penggunaan biaya.
56
6.4
Penerimaan, Keuntungan, dan R/C Rasio Usaha Tempe di Desa Citeureup Bogor Analisis penerimaan dilakukan untuk mengetahui gambaran keragaan
usaha pembuatan tempe. Penerimaan sangat ditentukan oleh harga dan jumlah produk yang dihasilkan. Penerimaan pada usaha pembuatan tempe di tempat penelitian diperoleh dari penjualan tempe, sedangkan penerimaan selain penjualan tempe tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Jumlah tempe yang yang dihitung dalam penelitian ini adalah tempe yang dijual oleh pengrajin kepada tukang sayur, pemilik warung makan, atau pun ibu rumah tangga. Jumlah penerimaan yang diterima pengrajin akan mempengaruhi jumlah keuntungan yang diperoleh. Keuntungan menjadi salah satu cara pengukuran dari keberhasilan berjalannya suatu usaha. Suatu usaha yang dijalankan akan selalu mengharapkan keuntungan maksimal yang diperoleh. Berdasarkan hasil survei di tempat penelitian, pengrajin tempe mengaku keuntungan mereka berkurang semenjak terjadinya kenaikan harga input utama yaitu kedelai. Harga kedelai yang terus meningkat menyebabkan biaya yang dikeluarkan pengrajin semakin tinggi dan keuntungan yang diperoleh menurun. Untuk lebih jelasnya jumlah penerimaan, keuntungan, dan R/C rasio per skala usaha dapat dilihat pada Tabel 19. Berdasarkan Tabel 19, menunjukkan bahwa dengan adanya kenaikan harga kedelai akan mempengaruhi keuntungan yang diperoleh pengrajin tempe di Desa Citeureup Bogor. Tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan oleh pengrajin tempe selain mengurangi keuntungan agar usahanya tetap berjalan pada saat terjadi kenaikan harga kedelai. Hal ini dikarenakan pada usaha tempe terjadi kekakuan pada penggunaan kombinasi input. Oleh karena itu, pada saat terjadi kenaikan harga input yaitu kedelai, pengrajin tidak dapat melakukan substitusi input tersebut atau terjadi penggunaan proporsi input yang tetap. Sementara itu tidak ada pilihan yang dapat dilakukan oleh pengrajin tempe selain menyiasatinya dengan mengurangi jumlah keuntungan yang diperoleh. Upaya yang dilakukan oleh sebagian besar pengrajin tempe adalah dengan mengurangi jumlah kedelai pada setiap ukuran tempe. Hal ini dilakukan karena menurut pengrajin pilihan inilah yang relatif paling baik dilakukan, meskipun tidak semua pengrajin melakukan upaya ini. Ada juga beberapa pengrajin melakukan menaikkan harga jual atau menebalkan ukuran tempe dan menjualnya dengan harga lebih mahal. 57
Tabel 19. Penerimaan dan Keuntungan Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai Berdasarkan Skala Produksi Usaha Tempe di Citeureup Per 100 kg Tahun 2012 Skala I (Rp)
Sebelum Skala II (Rp)
Skala III (Rp)
Skala I (Rp)
Setelah Skala II (Rp)
Skala III (Rp)
Penerimaan rata-rata
1.111.301
1.034.886
1.036.905
1.225.234
1.156.495
1.178.690
Total Biaya
985.306
901.021
868.414
1.143.195
1.048.879
1.022.224
1,13
1,15
1,20
1,07
1,11
1,15
1.186.000
1.115.000
1.065/714
1.300.000
1.242.500
1202500
1.006.250
992.143
1.000.000
1.125.000
1.100.000
1148571
54.809
33.436
33596
59.958
35.323
27512
126.366
133.866
168.491
82.039
107.616
156.467
177.687
165.070
219.093
132.687
191.751
189.606
78.881
76.755
131.772
37.181
46.904
139.272
32.554
28.262
45.286
31.254
35.818
28.706
Uraian
R/C rasio Penerimaan maksimum Penerimaan minimum Standar deviasi Keuntungan rata-rata Keuntungan maksimum Kaeuntungan minimum Standar deviasi
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan pada 30 pengrajin tempe di Desa Citeureup Bogor, terjadi penurunan keuntungan pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai dari setiap skala. Tabel 19 menunjukkan penerimaan dan keuntungan dari pengrajin tempe sebelum dan setelah adanya kenaikan harga kedelai. Pada tabel tersebut menunjukkan adanya peningkatan penerimaan dikarenakan sudah adanya upaya yang dilakukan pengrajin dalam menyiasati kenaikan harga tersebut, yaitu diantaranya mengecilkan ukuran tempe, menaikkan harga, serta ada juga pengrajin yang melakukan memperbesar ukuran tempe yang diproduksi dan mengurangi jumlah produksi. Pilihan-pilihan upaya tersebutlah yang dilakukan oleh pengrajin tempe dalam menyiasati kenaikan harga kedelai agar dapat meyeimbangkan keuntungan.
58
Namun dikarenakan biaya yang dikeluarkan setiap pengrajin meningkat maka penerimaan tersebut belum dapat mencapai keuntungan yang diharapkan, sehingga apabila dicermati jumlah keuntungan yang diperoleh pengrajin menurun. Keberhasilan usaha tempe di Desa Citeureup dapat juga digambarkan oleh hasil analisis penerimaan atas biaya yang dikeluarkan (R/C Rasio) pada usaha tersebut. Analisis usaha ini menunjukkan berapa penerimaan yang akan diperoleh pengrajin tempe dari setiap biaya yang dikeluarkan untuk proses pembuatan tempe. R/C atas biaya total dapat diperoleh dari hasil perbandingan antara penerimaan dengan biaya total. Nilai R/C biaya total pada penelitian ini sebagian besar dapat dikatakan efisien dan menguntungkan untuk diusahakan karena nilai R/C rasio setiap skala usaha tempe tersebut lebih besar dari satu. Dilihat dari nilai R/C rasio setiap skala usaha, menunjukkan kecenderungan nilai R/C rasio tertinggi ada pada skala III dan terkecil ada pada skala I. Sementara penurunan jumlah keuntungan tertinggi ada pada skala I, dan penurunan keuntungan terendah ada pada skala III.
59
VII. ANALISIS UPAYA MENYIASATI KENAIKAN HARGA KEDELAI 7.1
Strategi Menghadapi Kenaikan Harga Kedelai Adanya kenaikan harga kedelai ternyata berpengaruh terhadap kinerja
usaha dari pengrajin tempe yang ada di Kabupaten Bogor khususnya di wilayah Desa Citeureup. Sesuai dengan teori bahwa seharusnya jumlah produksi tempe menurun dengan adanya kenaikan harga kedelai karena pengrajin mengurangi jumlah penggunaan kedelai, namun kenyataannya tidak demikian. Hal ini dikarenakan sebagian besar industri tempe adalah industri dengan skala kecil sehingga sulit untuk melakukan penyesuaian terhadap input yang digunakan karena adanya kekakuan penggunaan input. Oleh karena itu untuk tetap mempertahankan usaha pengrajin tempe harus melakukan upaya selain mengurangi penggunaan kedelai. Upaya yang dilakukan untuk menyiasati kenaikan harga kedelai oleh pengrajin tempe di Desa Citeureup adalah dengan melakukan upaya dengan memanipulasi ukuran. Upaya tersebut merupakan upaya “diam-diam” yang tidak terlihat oleh konsumen. Upaya-upaya tersebut dilakukan oleh pengrajin karena tidak adanya pilihan lain yang dapat dilakukan untuk menekan biaya yang dikeluarkan. Upaya memanipulasi ukuran dinilai merupakan upaya terbaik karena ukuran tidak mudah dikenali oleh konsumen. Upaya-upaya tersebut dilakukan untuk mengurangi kerugian yang terjadi karena harga bahan baku yang terus meningkat. Selain itu untuk menekan biaya produksi dan menyeimbangkan keuntungan yang diperoleh . Beberapa upaya yang dilakukan oleh pengrajin tempe di tempat penelitian adalah mengecilkan ukuran dari tempe yang mereka jual dengan mengurangi jumlah kedelai dalam setiap kemasan tanpa menaikkan harga, mengubah ukuran menjadi semakin besar serta menaikkan harga tempe, dan mengurangi jumlah produksi. Tidak ada perbedaan antara pengrajin dengan skala produksi kecil dan besar dalam upaya yang dilakukan untuk menyiasati kenaikan harga kedelai ini. Berikut adalah data sebaran pengrajin yang menjadi responden dalam penelitian ini berdasarkan upaya apa saja yang mereka lakukan dalam menyiasati kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada Gambar 13.
60
Gambar 13. Grafik Pilihan Upaya Keterangan : : Mengecilkan ukuran tempe dan harga tetap : Mengecilkan ukuran tempe dan menaikkan harga : Memperbesar ukuran tempe dan menaikkan harga tempe : Mengurangi jumlah produksi
Pilihan-pilihan upaya ini dilakukan sesuai dengan kemauan dari pengrajin. Namun hampir sebagian besar dari pengrajin tempe memanipulasi ukuran tempe, karena menurut pengrajin hanya itu yang dapat dilakukan pengrajin. Apabila harga tempe dinaikkan maka banyak dari konsumen yang tidak setuju. Manipulasi ukuran tempe yang terjadi adalah mengubah ketebalan dan lebar dari tempe sebelumnya. Berdasarkan Gambar 13 tersebut sebagian besar dari 30 responden melakukan upaya untuk mengecilkan ukuran tempe sebanyak 24 orang atau 80 persen. Pengrajin lebih memilih upaya ini dikarenakan tidak mau dikritik dan kehilangan pelanggan. Pengrajin memilih mengambil untung sedikit tetapi tempe yang diproduksi dapat terjual habis. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan salah seorang responden pada saat wawancara berikut :
61
“ Saya sih milih ngurangin ukuran tempe mbak, biasanya tempenya saya tipisin ketimbang saya harus naikin harga, soalnya pembelinya pada ga setuju kalo harga tempenya naik. Mendingan untung sedikit tapi dagangan saya laku”.( Pengrajin Tempe Citeureup) Alasan tersebutlah yang menjadi pertimbangan para pengrajin dalam menjalankan usaha, lebih baik untung sedikit tetapi usaha tetap berjalan. Oleh karena itu pada saat terjadi kenaikan harga kedelai yang terus meningkat pengrajin merugi karena harga tempe yang dijual tidak berubah, tetapi harga kedelai sebagai input utama terus meningkat. Selain itu pengrajin juga mengutarakan bahwa sebagian besar dari pengrajin dalam membeli kedelai harus membayar secara tunai. Dengan demikian pengrajin harus berbelanja kedelai setiap hari menggunakan uang hasil penjualan hari ini untuk membeli kedelai yang akan diolah menjadi tempe pada hari berikutnya. Ada beberapa pengrajin yang memiliki pandangan berbeda terhadap upaya yang dilakukan dalam menyiasati kenaikan harga kedelai di pasaran. Berdasarkan data sebaran yang ada pada Gambar 13, tiga orang responden atau 10 persen memilih mengubah ukuran tempe yaitu mengurangi isi tempe dan juga menaikkan harga. Hal ini dilakukan oleh pengrajin karena kondisi mereka yang memproduksi tempe dalam jumlah kecil sehingga mereka memilih mengecilkan ukuran tempe dan menaikkan harga, meskipun harga yang berubah tidak banyak yaitu Rp 500. Pernyataan ini diungkapkan oleh salah satu responden yang ditemui pada saat wawancara sebagai berikut :
“Biasanya saya ngurangin ukuran tempe, jadi tempenya tambah kecil atau tipis. Biasanya ya harganya naiklah sedikit paling cuma Rp 500 soalnya ga bisa naik banyak-banyak. Awalnya pada ga setuju pembeli tapi ya mereka lama-lama tau kan kemarin juga harga kedelai lagi naik.” (, Pengrajin Tempe Citeureup). Pilihan melakukan upaya dengan mengurangi ukuran tempe dan menaikkan harga jual tempe juga dilakukan beberapa pengrajin. Pilihan tersebut dilakukan karena sulitnya menjalankan usaha karena modal yang
62
terbatas. Menurut pernyataan pengrajin banyak pelanggan yang tidak setuju pada awalnya karena harga jual tempe dinaikkan, meskipun harga yang berubah tidak banyak tetapi lama-lama pelanggan dapat memaklumi hal tersebut dikarenakan memang harga kedelai sedang tidak stabil. Selain dua upaya tersebut, ada upaya lain yang dilakukan oleh pengrajin tempe yang tidak sama dengan kebanyakan upaya yang dilakukan pengrajin tempe lainnya di tempat penelitian. Upaya tersebut adalah dengan mengubah ukuran tempe menjadi semakin besar dan tebal dan juga menaikkan harga jual. Hal ini sedikit berbeda tetapi pengrajin tempe yang melakukan upaya ini memiliki pendapat sendiri terhadap upaya yang mereka lakukan. Menurut pendapat responden upaya ini dilakukan agar mengganti kerugian yang mereka keluarkan saat harga kedelai meningkat, sehingga kerugian yang mereka keluarkan dapat tertutup dengan keuntungan. Upaya ini dinilai efisien karena pelanggan tidak akan mengritik dengan harga yang berubah menjadi lebih mahal karena ukuran tempe yang mereka jual pun berubah menjadi semakin besar. Harga berubah biasanya berkisar antara Rp 1.000 hingga Rp 2.000. Pernyataan ini disampaikan oleh salah seorang responden yang ada di tempat penelitian sebagai berikut :
“Upaya yang saya lakukan beda, kalo saya memperbesar ukuran tempe yang dijual jadi tempenya lebih besar dan lebih tebal, terus masalah harga juga naik misalnya biasanya saya jual tempe yang ukuran 16 x 30 cm itu Rp 6.000, sekarang ukurannya jadi 18 x 35 cm itu harganya Rp 8.000. Pelanggan ga complain si soalnya kan tempenya berubah jadi gede”. ( Pengrajin Tempe Citeureup).
Berdasarkan pernyataan dari responden dengan melakukan upaya memperbesar ukuran tempe dan menaikkan harga ini, diduga bahwa upaya tersebut hanya dilakukan sementara. Mereka akan melakukan upaya ini hingga waktu penyesuaian terhadap konsumen saja, pada beberapa waktu selanjutnya ukuran tempe akan kembali ke ukuran semula tetapi harga yang berlaku adalah
63
harga pada saat ukuran tempe berubah. Selain itu masih ada upaya lain yang dilakukan pengrajin dalam menyiasati kenaikan harga ini. Terdapat dua responden yang beranggapan bahwa upaya tersebut tidak cukup untuk mengurangi kerugian, sehingga mereka melakukan upaya pengurangan jumlah produksi, misalnya sebelum kenaikan mereka dapat memproduksi 100 kg kemudian mengurangi jumlah produksi menjadi 75 kilogram. Upaya ini dilakukan tidak hanya mengurangi jumlah produksi kedelai tetapi juga mengurangi ukuran tempe yang mereka jual. Melakukan upaya ini menurut pengrajin mengurangi jumlah kerugian yang mereka keluarkan karena kenaikan harga kedelai. Salah satu responden menyatakan :
“Dulu sebelum kenaikan harga saya buat tempe bisa 100 kilo per hari, tapi harga naik terus akhirnya jumlah kedelai saya kurangi jadi 75 kilo per hari, soalnya saya harus nambah modal terus”. (Pengrajin di Citeureup)
Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pengrajin tempe untuk menyiasati kenaikan harga kedelai di tempat penelitian berbeda-beda sesuai dengan perhitungan pengrajin. Perbedaan upaya yang dilakukan ini sebenarnya memiliki tujuan yang sama yaitu menutup penurunan keuntungan akibat kenaikan harga bahan baku tempe yaitu kedelai yang terus meningkat. Upaya manapun yang dilakukan dinilai efisien oleh pengrajin selama pengrajin tetap mendapatkan
keuntungan
dan
keuntungan
tersebut
dapat
mencukupi
pengeluaran dalam menjalankan usaha. Sebenarnya upaya menjual tempe dengan satuan unit merupakan upaya meningkatkan keuntungan yang tanpa disadari konsumen, dikarenakan tempe tidak dijual dalam satuan kg tetapi dalam satuan unit sehingga apabila ada pengurangan ukuran tempe secara tidak langsung tidak terlihat nyata. Namun konsumen sudah membeli tempe dengan harga yang lebih mahal dibandingkan ukuran semula. Upaya ini dilakukan bukan dengan maksud membohongi konsumen tetapi upaya untuk memaksimalkan keuntungan karena tidak ada upaya lain yang dapat dilakukan pengrajin tempe selain pilihan tersebut.
64
Selain upaya pada pengurangan input, upaya yang mungkin terjadi pada suatu usaha biasanya adalah melakukan pengurangan tenaga kerja tetapi berbeda dengan usaha pembuatan tempe ini, pengrajin tidak melakukan pengurangan tenaga kerja dikarenakan tenaga kerja yang dipekerjakan juga tidak banyak. Hampir sebagian dari pengrajin hanya mempekerjakan satu atau dua orang tenaga kerja. Alasannya adalah karena kepedulian sesama pembuat tempe. Tidak sedikit juga pengrajin yang memilih mengerjakan proses produksi hingga pemasaran tempe dilakukan sendiri, dengan tujuan untuk menghemat biaya. Pada dasarnya kenaikan harga kedelai merugikan pengrajin secara langsung, dikarenakan kenaikan harga kedelai yang terjadi tidak dapat diperkirakan sehingga mereka harus mencari solusi yang tepat untuk menyiasati masalah tersebut, pernyataan tersebut disampaikan sebagai berikut :
“ya rugi kalo harga naik, naikin harganya dadakan ga bisa diprediksi sekarang naik, besok turun, kadang besoknya naik lagi ya gitu terus. Lamalama ya jadi biasa kita bisa adaptasi, tapi ya kalo naiknya jauh kita juga pusing, sekarang bisa untung 100 ribu sehari udah bagus”. ( Pengrajin di Citeureup)
Upaya yang dilakukan untuk menyiasati kenaikan harga kedelai dapat dikelompokkan berdasarkan skala usaha, sehingga dapat dilihat kecenderungan upaya manakah yang dilakukan setiap pengrajin pada skala usahanya. Berikut adalah data sebaran responden yang melakukan upaya tersebut berdasarkan skala usaha dapat dilihat pada Tabel 20. Berdasarkan Tabel 20 di atas dapat dilihat yaitu kecenderungan setiap skala melakukan upaya mengecilkan ukuran tempe dan mengusahakan harga tempe tetap. Terlihat pada skala I, II, dan III, 80 persen melakukan upaya yang sama yaitu mengecilkan ukuran tempe dan menjualnya dengan harga tetap. Hal ini menunjukkan bahwa industri tempe tidak memiliki kekuatan untuk memonopoli harga, sehingga harga tempe yang berlaku ditentukan oleh pasar.
65
Tabel 20. Upaya yang Dilakukan Untuk Menyiasati Kenaikan Harga Kedelai Berdasarkan Skala Usaha Tempe di Citeureup Tahun 2012. Upaya (1) Mengecilkan ukuran tempe dan harga tetap (2) Mengecilkan ukuran dan menaikkan harga (3) Memperbesar ukuran dan menaikkan harga (4) Mengurangi produksi dan mengecilkan ukuran tempe
Jumlah
7.2
Skala I
(%)
Skala II
(%)
Skal a III
(%)
Jumlah
(%)
9
81,8
12
75
3
100
24
80
-
-
3
18,8
-
-
3
10
-
-
1
6,2
-
-
1
3,3
2
18,2
-
-
-
-
2
6,7
100
16
100
3
100
30
100
11
Perubahan Keuntungan Berdasarkan Jenis Upaya yang Dilakukan Upaya yang dilakukan oleh pengrajin dinilai menguntungkan bagi
pengrajin. Namun manakah upaya yang paling baik dilakukan dalam menyiasati kenaikan harga kedelai tersebut masih belum dapat diketahui. Oleh karena itu, dengan membandingkan upaya yang dilakukan dengan keuntungan yang diperoleh akan terlihat manakah upaya yang dinilai relatif paling baik. Berdasarkan Gambar 14, dapat diketahui bahwa adanya kenaikan harga kedelai menyebabkan penurunan keuntungan. Perubahan keuntungan setelah kenaikan harga kedelai terlihat sangat tinggi sehingga pengrajin harus melakukan upaya. Gambar 14 menunjukkan perbandingan keuntungan pengrajin pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai, setelah kenaikan harga kedelai sebelum adanya upaya (kontrol), dan setelah kenaikan harga kedelai setelah dilakukan upaya. Keuntungan kontrol yaitu keuntungan yang diperoleh dari penerimaan sebelum kenaikan harga kedelai dengan dikurangi biaya setelah kenaikan harga kedelai. Perhitungan keuntungan ini untuk melihat berapa penurunan keuntungan yang terjadi sebelum adanya upaya yang dilakukan. Adanya upaya yang dilakukan membantu pengrajin dalam menaikkan keuntungan yang diperoleh. Berdasarkan analisis setelah adanya upaya yang telah dilakukan jumlah keuntungan pengrajin meningkat. Apabila dibandingkan pada saat keadaan keuntungan kontrol atau sebelum adanya upaya dengan keadaan setelah adanya
66
upaya dapat dilihat jumlah keuntungan pengrajin meningkat. Jumlah peningkatan keuntungan relatif paling tinggi adalah dengan melakukan upaya ke-2, sedangkan untuk upaya ke-4 terlihat relatif paling rendah. Sementara peningkatan keuntungan dengan upaya ke-3 relatif lebih tinggi dibanding upaya ke-1. Jumlah peningkatan keuntungan dengan upaya ke-1 tidak setinggi dari upaya ke-2, namun sebagian besar pengrajin melakukan upaya ini. Alasan pengrajin melakukan upaya ke-1 dikarenakan pengrajin tidak mau merugikan konsumen terlalu tinggi, meskipun keuntungan yang diperoleh pengrajin tidak tinggi.
Gambar 14. Grafik Hubungan Keuntungan dan Upaya yang Dilakukan Keterangan Upaya 1 : Mengecilkan ukuran tempe dan harga tetap Upaya 2 : Mengecilkan ukuran tempe dan menaikkan harga Upaya 3 : Memperbesar ukuran tempe dan menaikkan harga Upaya 4 : Mengurangi jumlah produksi dan mengecilkan ukuran tempe
Adanya upaya yang dilakukan sebenarnya sudah menaikkan harga tempe sebesar 10 persen dengan asumsi harga yang tidak berubah dan kuantitas yang sama. Meskipun upaya-upaya yang dilakukan adalah merubah ukuran tempe. Upaya-upaya tersebut adalah upaya meningkatkan harga tempe yang tidak terlihat jelas, dikarenakan upaya tersebut merupakan upaya diam-diam yang tanpa disadari konsumen. Meskipun demikian, keuntungan yang diperoleh
67
pengrajin tidak maksimal dikarenakan peningkatan harga kedelai lebih tinggi dibanding peningkatan harga tempe yang dilakukan pengrajin. Berdasarkan analisis di atas upaya yang dinilai menguntungkan dilakukan dalam menyiasati kenaikan harga kedelai adalah upaya ke-2 yaitu mengecilkan ukuran tempe dan menaikkan harga jual tempe. Hal ini dikarenakan jumlah peningkatan keuntungan yang dihasilkan relatif paling tinggi dibandingkan dengan upaya lainnya.
68
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di sentra industri
tempe di Desa Citeureup, Kabupaten Bogor dapat disimpulkan bahwa kedelai merupakan komponen bahan baku utama. Kedelai merupakan komponen yang menyumbang sekitar 70 persen dari biaya tunai. Hasil dari perbandingan struktur biaya tiga skala menunjukkan adanya kecenderungan pada skala III jumlah biaya rata-rata (per kg kedelai) yang dikeluarkan lebih rendah dibandingkan pada skala I dan II. Dampak dari kenaikan harga kedelai terhadap biaya hanya kepada struktur biaya yaitu pada komponen biaya variabel (kedelai). Akibat lebih lanjut dari kenaikan harga kedelai adalah penurunan keuntungan. Berdasarkan analisis keuntungan yang diperoleh, penurunan keuntungan tertinggi ada pada skala I, dan penurunan terendah pada skala III. Upaya yang dilakukan pengrajin dalam menyiasati kenaikan harga kedelai di Desa Citereup terdiri dari empat upaya. Upaya ke-1 mengecilkan ukuran tempe dan harga tetap, upaya ke-2 mengecilkan ukuran tempe dan menaikkan harga, upaya ke-3 memperbesar ukuran tempe dan menaikkan harga, dan upaya ke-4 mengurangi jumlah produksi dan mengecilkan ukuran tempe. Upaya yang paling banyak dilakukan responden adalah upaya ke-1 yaitu mengecilkan ukuran tempe dan harga tetap. Upaya ini dilakukan oleh 80 persen dari responden. Upaya yang dapat menekan kerugian akibat kenaikan harga kedelai adalah upaya ke-2 yaitu mengecilkan ukuran tempe dan menaikkan harga jual. Hal ini dikarenakan memiliki nilai peningkatan keuntungan paling tinggi dibanding upaya lainnya. 8.2
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di lapang, maka
peneliti mengajukan saran berupa alternatif yang dapat dilakukan untuk menyiasati kenaikan harga kedelai yang terjadi yaitu pemerintah sebaiknya dapat memberlakukan BULOG kembali agar stabilitas distribusi dan harga kedelai dapat dikendalikan sehingga harga tidak meningkat terus menerus.
69
DAFTAR PUSTAKA Alim MR. 1996. Keragaan industri pakan ayam ras di wilayah Bogor dan Bekasi: Suatu analisis efisiensi dan skala ekonomi [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Amalia S. 2008. Dampak kenaikan harga kedelai terhadap efisiensi teknis dan pendapatan usaha tempe dengan pendekatan stochastic frontier, studi kasus Desa Citeureup, Bogor [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Amang B, Husein S, Anas R. 1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Jakarta : IPB Press Apretty B.J. 2000. Analisis dampak kisis ekonomi pada industri tempe skala kecil (Studi Kasus : Di Desa Citeureup, Desa Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Pertanian. Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010a. Jumlah Penduduk Indonesia. http://www.bps.go.id//. [21 September 2012] [BPS]
Badan Pusat Statistik. 2010b. Produksi Kedelai Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010c. Keragaman UKM Indonesia, http://www.bps.go.id//. [21 September 2012] [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Tanaman Pangan Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Perkembangan Harga Kedelai Nasional. http://www.bps.go.id//. [21 September 2012] [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2012. Indonesia Dipercaya Membuat Tempe Standar Internasional. http://koran-jakarta.com [22 September 2012] [Disperindag] Dinas Perindustrian dan Perdagangan. 2012. Harga Kedelai. http://www.disperindag.com//. [ 21 September 2012] [Disperindag] Dinas Perindustrian dan Perdagangan. 2012. Harga Kedelai. http://www.disperindag.com//. [ 21 September 2012] Handayani D. 2008. Simulasi kebijakan daya saing kedelai lokal pada pasar domestic. Jurnal Teknologi Pertanian Volume 19 (Januari): 7-15. Http://web.ipb.ac.id/ [ 21 September 2012 ]
70
Harvita G. 2007. Identifikasi jinerja industri kecil tempe di Pulau Jawa dan Lampung [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ismira R. 2012. Analisis efisiensi produksi dan pendapatan pengrajin tahu di Desa Ciampea, Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Koriawan, N. 2009. Karakteristik dan kinerja perusahaan jasa konstruksi kualifikasi kecil di Kabupaten Jembrana. [tesis]. Denpasar: Program Magister Program Studi Teknik Sipil, Universitas Udayana Denpasar Krisdiana R. 2007. Karakteristik biji kedelai yang sesuai dengan preferensi penggunaan. Kajian pada industri tahu dan tempe di Jawa Barat Kurniasari E. 2010. Analisis dampak kenaikan harga kedelai di sentra industri tempe Kelurahan Semanan, Jakarta Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Latifah FN. 2006. Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap pendapatan usaha pengrajin tempe, kasus pada anggota koperasi primer tahu tempe (PRIMKOPTI), Kelurahan Cilendek Timur, Kotamadya Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lipsey R G, Courant P N, Purvis D D, Steiner P O. 1995. Pengantar Mikroekonomi Jilid Satu. Jaka W, Kirbrandoko, penerjemah: Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Economics 10th ed. Lisa H. 2010. Analisis struktur biaya usahapenggemukan sapi potong (fattening), studi kasus PT Zagrotech Dafa Internasional dan CV Bintang Tani, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Mankiw NG. 2003. Pengantar Ekonomi. Ed ke-2, Jilid 1. Haris Munandar, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Economics, 2nd ed. Nicholson W. 1994. Mikroekonomi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Patmawaty. 2009. Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Pendapatan Usaha Pengrajin Tahu Skala Kecil dan Rumah Tangga (skripsi). Bogor: .Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Setiadi B. Menjadikan Tempe Sebagai Pangan Dunia. www.ristek.go.id [28 September 2012] Sondang M. 2008. Analisis nilai tambah dan daya saing serta dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tempe di kabupaten bogor, studi studi kasus Desa Citeureup, Bogor [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
71
Soekartawi. 2002. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Stani D. 2009. Analisis struktur biaya usaha ternak kambing perah. Kasus: Tiga Skala Pengusahaan di Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Suharno P, Mulyana W. 1996. Industri Tahu dan Tempe. Di Dalam Amang B, Sawit MH, Rachman A, editor. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Bogor: IPB Press. Hlm 265-294 Sugianto. 1996. Industri Pengolahan Kedelai. Di Dalam Amang B, Sawit MH, Rachman A, editor. Ekonomi Kedelai Indonesia. Bogor: IPB Press. Syahrudin. 1990. Dasar-Dasar Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
72
LAMPIRAN
73
Lampiran 1. Kuesioner PANDUAN PERTANYAAN Analisis Pengaruh Kenaikam Harga Kedelai Terhadap Kinerja Usaha Industri Tempe Di Desa Citeureup Kabupaten Bogor Oleh : Tita Nursiah / H34104105 Mahasiswa Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Kode Responden Tanggal Wawancara
: :
A. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : 2. Alamat : 3. Jenis Kelamin : ( ) Laki-laki 4. Usia : 5. Pendidikan : 6. Tanggungan Keluarga :
( ) Perempuan
B. KARAKTERISTIK USAHA I. Sejarah Usaha 1. Sejak kapan menjadi pengrajin tempe? 2. Alasan menjadi produsen tempe? a. Turun temurun c. Banyak permintaan b. Modal kecil d. Proses produksi sederhana e. Lainnya 3. Belajar membuat tempe dari? a.Diklat b. Magang c.Belajar sendiri
d. Turun temurun
4. Sudah berapa lama Bapak/Ibu memproduksi tempe?
5. Bagaimana proses awal mendirikan usaha tempe?pihak mana saja yang terlibat? 6. Apa saja yang disiapkan ketika akan memulai usaha? 7. Berapa modal awal yang Bapak/Ibu keluarkan dalam memulai usaha? 8. Darimana asal modal diperoleh? a. Modal sendiri c. Pinjaman keluarga b. Pinjaman bank d. Lain-lain, sebutkan…… 9. Jika berasal dari pinjaman, berapa besar jumlah pinjaman? berapa bunganya? berapa lama waktu pelunasannya?
74
10. Bangunan yang digunakan untuk usaha, milik sendiri atau sewa? jika sewa berapa besarnya? 11. Jika bangunan pabrik merupakan milik sendiri, berapa harga pabrik tersebut pada saat Bapak/Ibu membeli? Rp............., pada tahun....... 12. Bagaimana Bapak/Ibu membeli bangunan pabrik tersebut? a. Membayar lunas b. Mencicil sebesar, Rp……../bulan, selama……(bln/thn*)
13. Pada awal usaha berapa banyak tempe yang diproduksi?pemasaran yang dilakukan kemana saja?
II. Aspek Manajerial 14. Struktur organisasi? 15. Berapa tenaga kerja yang Bapak/Ibu miliki? ........orang 16. Berapa proporsi tenaga kerja keluarga dan luar keluarga yang Bapak/Ibu miliki? ……… tenaga kerja keluarga ……….……… tenaga kerja luar keluarga 17. Pembagian tugas? 18. Bagaimana proses pengambilan keputusan?siapa yang berperan?
III. Aspek Operasional dan Finansial 19. Dalam satu kali produksi berapa banyak jumlah kedelai yang digunakan? Jenis kedelai Jumlah (kg) Persentase (%) Lokal Impor 20. Alasan memilih kedelai tersebut? Alasan Urutkan Nilai 1-6 Mutu baik (bersih, kering) Mudah diperoleh Ukuran seragam Harga stabil Lebih disukai konsumen Biji besar dan mekar 21. Darimana mendapatkan kedelai tersebut?
75
Lokasi
Jumlah (kg)
Persentase (%)
Harga setelah kenaikan
Harga sebelum kenaikan
Pasar Agen Kopti Lainnya 22. Pembelian kedelai dilakukan secara individu atau berkelompok?mengapa? 23. Sistem pembayaran? 24. Dalam seminggu berapa hari Bapak/Ibu memproduksi tempe? 25. Bagaimana proses pembuatan tempe yang dilakukan?
26. Ragi yang digunakan? a. Buatan sendiri
b. Laru LIPI
27. Sumber air utama yang digunakan? a. Air PAM
b. Sumur Alam
c. Air sungai
28. Kemasan yang digunakan?
29. Sumber energi / bahan bakar yang digunakan? a. Kayu
b. Minyak tanah
c. Solar
d. Lainnya
(sebutkan) 30. Peralatan yang dibutuhkan saat produksi tempe? Peralatan satuan unit Harga Jumlah
Umur ekonomis (tahun)
31. Berapa jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam satu kali produksi 76
No
Kegiatan
Jumlah TK
Jumlah jam/hari
Jumlah Total hari
Upah (Rp)
32. Pada saat terjadi kenaikan harga kedelai apakah mempengaruhi jumlah tenaga kerja? Jumlah tenaga kerja sebelum kenaikan harga kedelai
Jumlah tenaga kerja setelah kenaikan harga kedelai
33. Input produksi apa saja yang diperlukan untuk memproduksi tempe sebelum dan setelah kenaiakan harga kedelai? Sebelum kenaikan Setelah kenaikan Uraian satuan Jumlah Satuan jumlah Kedelai Ragi Kemasan -daun -plastik -lainnya Bahan bakar TK Air 34. Berapa harga input yang digunakan sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai? Sebelum kenaikan Setelah kenaikan Uraian Harga per Total Harga per Total satuan (Rp) satuan (Rp) Kedelai Ragi Kemasan Bahan bakar TK Air Kedelai Jumlah 35. Biaya tetap apa saja yang dikeluarkan untuk produksi tempe? 77
Uraian
satuan
biaya
total
Jumlah
36. Menurut Bapak/Ibu, apakah kenaikan harga kedelai berpengaruh terhadap jumlah produksi tahu? a. Ya b. Tidak 37. Berapa jumlah rata-rata produksi tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai? Sebelum Kenaikan Harga Kedelai Ukuran Harga Total produksi tempe Total Harga
Setelah Kenaikan Harga Kedelai Ukuran Harga Total produksi tempe Total Harga
38. Apa yang dilakukan Bapak/Ibu dalam menyiasati kenaikan harga kedelai?mengapa?
39. Apakah menurut Bapak/Ibu strategi yang Bapak/Ibu lakukan berhasil? a. Ya b. Tidak 40. Apakah para pelanggan mengeluh terhadap apa yang Bapak/Ibu lakukan dalam mengatasi kenaikan harga kedelai? a. Ya b. Tidak 41. Apakah jumlah pelanggan yang Bapak/Ibu miliki berkurang setelahh kenaikan harga kedelai? a. Ya, sebutkan....... b. Tidak
IV. ASPEK PEMASARAN 42. Promosi yang dilakukan? 43. Pemasaran yang dilakukan? 44. Cara pemasaran? a. Dipasarkan sendiri
b. Melalui perantara
78
45. Pembeli utama tempe? Pembeli Rumah tangga Pedagang keliling Katering Rumah makan Lainnya
Urutan (1-5)
46. Sistem pembayaran? a. Tunai
b. konsinyasi
47. Masalah yang dihadapi selama menjalankan usaha? Masalah Urutkan (1-7) Permodalan Harga bahan baku yang fluktuatif Bahan baku yang sulit didapat Pemasaran Sumber daya manusia Pengelolaan limbah tempe Ijin usaha
79
Lampiran 2. Contoh Perhitungan Biaya Penyusutan
2
Harga satuan (Rp) 110.000
220.000
Umur ekonomis (bln) 6
4
70.000
280.000
1
2.500.000
Ember
2
Kere Ayakan bambu Keranjang
Nilai sisa
Penyusutan (Rp)
Penyusutan per hari
0
36.667
1.222
36
0
7.778
259
2.500.000
120
0
20.833
694
15.000
30.000
12
0
2.500
83
70
30.000
2.100.000
120
0
17.500
583
3
8.000
24.000
12
0
2.000
67
4
50.000
200.000
24
0
8.333
278
No
Peralatan
Unit
1
3
Drum besi Drum plastik Mesin PK
4 5
2
6 7
Jumlah (Rp)
80