DAMPAK KENAIKAN HARGA KEDELAI TERHADAP EFISIENSI TEKNIS DAN PENDAPATAN USAHA TEMPE DENGAN PENDEKATAN STOCHASTIC FRONTIER (Studi Kasus di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)
SILMY AMALIA A14104066
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
SILMY AMALIA. Dampak Kenaikan Harga Kedelai terhadap Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usaha Tempe dengan Pendekatan Stochastic Frontier (Studi Kasus di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor). Di bawah Bimbingan DWI RACHMINA. Ketahanan pangan adalah kemampuan suatu negara menyediakan pangan yang cukup, baik dari segi kuantitas maupun kualitas serta terdistribusi merata ke seluruh pelosok negeri. Indonesia dapat dikatakan belum memiliki ketahanan pangan yang cukup karena sebagian ketersediaan komoditasnya tidak diperoleh dari produksi dalam negeri melainkan diperoleh dari impor. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar tetapi ketersediaan sumber protein hewani di Indonesia masih belum mencukupi oleh karena itu diperlukan sumber protein pengganti. Kedelai merupakan sumber pengganti protein hewani karena memiliki kadar protein yang tinggi. Konsumsi kedelai semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya gizi dan bertambahnya jumlah penduduk. Konsumsi kedelai yang meningkat di dalam negeri tidak diimbangi dengan meningkatnya produksi. Pada tahun 2007 konsumsi kedelai Indonesia sebesar 2.010.000 ton sedangkan produksi kedelai nasional hanya sebanyak 608.300 ton. Untuk memenuhi kekurangan kebutuhan kedelai sekitar 70 persen tersebut, Indonesia mengimpor kedelai. Laju pertumbuhan rata-rata impor kedelai Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 1996 sampai tahun 2007 yaitu sebesar 21,4 persen per tahun. Pada beberapa bulan terakhir di tahun 2007, harga kedelai nasional meningkat signifikan mencapai lebih dari 100 persen. Hal ini disebabkan dipindahkannya sebagian penggunaan kacang-kacangan untuk pembuatan biodisel dan metanol sebagai akibat harga minyak dunia yang makin mahal. Kenaikan harga kedelai dunia naik dari US$ 300 per ton menjadi US$ 600 per ton. Di Indonesia harga kedelai meningkat dari Rp 3.450,00 per kilogram hingga Rp 8.000,00 per kilogram. Tempe merupakan salah satu bentuk olahan kedelai yang menjadi makanan khas Indonesia karena disamping kedelai mengandung protein dan gizi tinggi harganya juga terjangkau. Kenaikan harga kedelai sangat mempengaruhi kemampuan pengrajin tempe di tanah air karena bahan baku pembuatan tempe merupakan kedelai impor. Salah satu industri yang terpengaruh terhadap kenaikan harga kedelai adalah para pengrajin tempe di Desa Citeureup karena kedelai sebagai bahan baku utama mengambil porsi terbesar atas total biaya produksi. Perubahan ini akan berdampak pada perubahan penggunaan input, struktur biaya, dan semua perubahan yang terjadi pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat pendapatan yang diterima oleh pengarajin tempe tersebut. Penelitian ini bertujuan: (1) Menganalisis dampak kenaikan harga kedelai terhadap terhadap efisiensi teknis pemakaian input produksi pada industri kecil dan kerajinan rumah tangga tempe di Desa Citeureup; (2) Menganalisis dampak kenaikan harga kedelai terhadap pendapatan yang diterima pengrajin tempe di
Desa Citeureup; (3) Menganalisis langkah-langkah penyesuaian yang dapat dilakukan oleh pemilik usaha untuk meningkatkan pendapatan usaha. Pengrajin yang dijadikan sampel adalah pengrajin yang sudah berusaha tempe lebih dari satu tahun dan terdaftar sebagai anggota KOPTI Kabupaten Bogor. Jumlah responden sebanyak 30 orang. Hasil pengumpulan data ditabulasi dan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif dengan pendekatan fungsi produksi Stochastic Frontier dan pendekatan R/C rasio. Berdasarkan hasil pendugaan perhitungan fungsi produksi stochastic frontier Linier Berganda dengan metode MLE, setelah kenaikan harga kedelai diperoleh hasil bahwa produksi masih dapat ditingkatkan dengan penambahan input kedelai dan ragi karena memiliki nilai positif dan berpengaruh nyata. Sebaliknya, input produksi TKDK dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK) bernilai negatif dan berpengaruh nyata terhadap produksi sehingga penambahan input tersebut dapat menurunkan produksi. Berdasarkan hasil indeks efisiensi teknis diketahui bahwa setelah terjadi kenaikan harga kedelai, efisiensi teknis rata-rata usaha tempe di Desa Citeureup meningkat sebesar 19,4 persen. Hal ini diduga karena penggunaan input yang lebih sedikit untuk menghasilkan output dalam jumlah yang sama. Hasil pendugaan efek inefisiensi teknis menunjukkan bahwa pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai variabel yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis adalah pengalaman usaha, isteri bekerja di luar usaha dan pendapatan di luar usaha. Sedangkan pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai variabel yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis adalah usia, pendidikan, bekerja diluar usaha dan pendapatan di luar usaha. Biaya total usaha tempe mengalami peningkatan sebesar 6,38 persen. Begitu pula dengan total biaya tunai yang harus dikeluarkan oleh para pengrajin mengalami peningkatan sebesar 6,41 persen. Hal ini dikarenakan kedelai merupakan penggunaan input terbesar untuk memproduksi tempe dengan proporsi atas total biaya pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai masingmasing sebesar 83,96 persen dan 87,40 persen. Pendapatan atas biaya tunai merupakan pendapatan kotor usaha tempe yang merupakan ukuran kemampuan usaha dalam menghasilkan uang tunai. Besarnya pendapatan kotor ini mengalami penurunan sebesar 49,47 persen. Pendapatan atas biaya total merupakan pendapatan bersih usaha tempe. Besarnya pendapatan bersih mengalami penurunan sebesar 50,27 persen. Pendapatan bersih ini merupakan ukuran imbalan yang diperoleh pengrajin dari penggunaan input produksi tenaga kerja dan modal usahanya. Usaha tempe ini dapat dikatakan menguntungkan karena memiliki nilai pendapatan atas biaya produksi yang positif. Usaha tempe yang dijalankan masih memberikan keuntungan bagi pengrajin setelah kenaikan harga kedelai. Hal ini dapat dilihat dari pendapatan yang positif dan nilai R/C rasio yang lebih besar dari satu. Nilai R/C rasio atas biaya total setelah kenaikan harga kedelai sebesar 1,11. Sedangkan R/C rasio atas biaya tunai setelah kenaikan harga kedelai memiliki nilai 1,12.
DAMPAK KENAIKAN HARGA KEDELAI TERHADAP EFISIENSI TEKNIS DAN PENDAPATAN USAHA TEMPE DENGAN PENDEKATAN STOCHASTIC FRONTIER (Studi Kasus di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)
SILMY AMALIA A14104066
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi : Dampak Kenaikan Harga Kedelai terhadap Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usaha Tempe dengan Pendekatan Stochastic Frontier (Studi Kasus di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor) Nama : Silmy Amalia NRP : A14104066
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Dwi Rachmina, M.Si NIP. 131 918 503
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “DAMPAK KENAIKAN HARGA KEDELAI IMPOR TERHADAP EFISIENSI TEKNIS DAN PENDAPATAN USAHA TEMPE DENGAN PENDEKATAN STOCHASTIC FRONTIER (STUDI KASUS DI DESA CITEUREUP, KECAMATAN CITEUREUP, KABUPATEN BOGOR)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN, KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Agustus 2008
Silmy Amalia A14103066
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, puteri pasangan M. Naqib Rachman dan Netty Warni. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 April 1987. Pendidikan formal dimulai dari SD Negeri 08 Pondok Aren. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan formal di SLTP Negeri 1 Pondok Aren dan SMU Negeri 3 Tangerang. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas Pertanian, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Manajemen Agribisnis. Selama kuliah penulis aktif dalam berbagai kegiatan kampus yaitu di Rohis AGB Angkatan 41 periode 2004-2007 sebagai bendahara, BEM Fakultas Pertanian periode 2005-2006 sebagai kepala biro administrasi keuangan, terlibat dalam beberapa kegiatan kemahasiswaan sebagai bendahara, pernah mengikuti lomba Pemikiran Kritis Mahasiswa Bidang Kewirausahaan (2006-2007) sampai tingkat seleksi yang didanai oleh DIKTI dan menjuarai beberapa lomba yang diadakan oleh kegiatan kampus.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Rabb semesta pengatur jalan kehidupan manusia. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat dan karuni-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Dampak Kenaikan Harga Kedelai terhadap Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usaha Tempe dengan Pendekatan Stochastic Frontier (Studi Kasus di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)” dapat diselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kenaikan harga kedelai yang berpengaruh terhadap penggunaan input produksi dan struktur biaya usaha tempe di Desa Citeureup. Analisis yang dilakukan yaitu melalui efisiensi teknis dan pendapatan pengrajin reponden. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi civitas akademika, pengrajin tempe, dan para pemegang kebijakan sehingga dapat memberikan masukan yang bermanfaat. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan agar menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini bermanfaat dan berguna bagi penelitian berikutnya.
Bogor, Agustus 2008
Silmy Amalia
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin berterimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, masukan, dan semangat. Terimakasih penulis ucapkan kepada: 1. Ibu Ir. Dwi Rachmina, MS. Sebagai dosen pembimbing skripsi, yang telah meluangkan waktu dan membimbing penulis dari awal penulisan proposal hingga penulisan skripsi ini selesai. 2. Ibu Dr. Ir. Ratna Winandi, MS. Sebagai dosen penguji utama dalam ujian skripsi, atas masukan yang berharga dan menambah wawasan dan pengetahuan penulis. 3. Ibu Etriya, SP. MM. Sebagai dosen penguji wakil Departemen dalam ujian skripsi, atas masukannya dalam perbaikan skripsi. 4. Kedua orang tua tercinta, M. Naqib Rachman dan Netty Warni, yang telah memberikan dukungan moril dan materil, kasih sayang, kesabaran dan do’a yang tulus ikhlas sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. 5. Kakakku terbaik, Zaki Aulia Rachman dan Adeku tersayang, Jehany Fadhilah atas semangat dan dukungan tulus yang diberikan. 6. Bapak Ir. Joko Purwono. Sebagai Dosen Pembimbing Akademik, atas bimbingan selama penulis menjalani perkuliahan. 7. Seluruh Dosen dan Staf Penunjang Program Studi Manajemen Agribisnis, atas segala ilmu, pengalaman dan bantuannya. 8. Endang Maulana, SE, sekretaris KOPTI Kabupaten Bogor, atas pengarahan dan informasi mengenai industri tempe. 9. Seluruh pengrajin tempe (responden) di Desa Citeuruep, atas kebaikannya dan kerjasamanya dalam memberikan data dan informasi yang diperlukan oleh penulis. 10. Mba Yayuk sebagai pengrajin tempe, yang telah membuka pikiran untuk mengetahui produksi tempe lebih mendalam. 11. Teman dekatku, Rizka, Dinna, Lia, Mega, Utari, dan Iswanti, atas persahabatan, kebersamaan, dan dukungan yang telah diberikan selama ini.
12. Theresia, atas kerjasamanya dalam mempelajari Frontier dan Kak Maryono, atas bantuannya dalam memahami Frontier. 13. Seluruh AGB’41 tercinta, Cumi, Loci, Tifa, Iwan, Arisman, Endang, Nanien, Yoga, Nunu, dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas bantuan, kekompakan dan kebaikannya. 14. WJ’s crew, Syeni, Tri, Ulil, Ratna, Hasti, Astri, Reriel, Vivin dan lain-lain, atas keceriaan yang selalu diberikan. 15. Teman se-KKP di Linggapura, Lesta, Karin, Whenny, Alwan dan Fiat, atas suka duka bersama yang tak terlupakan. 16. Teman satu perjuangan BEM Faperta IPB Kabinet Metamorfosa, atas kerjasama dan pengalaman yang berharga. 17. Kakak kelasku, Mba Laili, Mba Era, Ka’ Yayah, dan Mba Ratu yang telah memberikan motivasi dan informasi penting mengenai perkuliahan. 18. Semua pihak yang telah membantu penulis dengan ikhlas yang tidak dapat dicantumkan satu per satu. Terima kasih banyak.
DAFTAR ISI Halaman xii xii DAFTAR ISI ....................................................................................................... xivxiv DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvixvi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii I
PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
1 1 Latar Belakang ............................................................................................ 8 8 Perumusan Masalah .................................................................................... 13 13 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 13 13 Manfaat Penelitian .................................................................................... 14 14 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5
15 15 Konsep Industri Kecil ............................................................................... 16 16 Kedelai ...................................................................................................... 17 17 Tempe ....................................................................................................... 19 19 Industri Tempe .......................................................................................... 21 21 Penelitian Terdahulu .................................................................................
III KERANGKA PEMIKIRAN 27 28 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................................... 27 28 3.1.1 Fungsi Produksi Frontier ................................................................ 30 31 3.1.2 Konsep Analisis Efisiensi Teknis ................................................... 32 34 3.1.3 Faktor-faktor Penentu Efisiensi ...................................................... 33 34 3.1.4 Analisis Biaya................................................................................. 34 35 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ............................................................. 35 38 3.3 Hipotesa ................................................................................................... IV METODE PENELITIAN 4.1 4.2 4.3 4.4
37 39 Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 37 39 Jenis dan Sumber Data.............................................................................. 37 39 Teknik Pengambilan Sampel .................................................................... 38 40 Metode Pengolahan dan Analisis Data ..................................................... 4.4.1 Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sebelum 39 41 dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai ............................................ 41 43 4.4.2 Analisis Efisiensi Teknis dan Efek Inefisiensi Teknis .................. 43 45 4.4.3 Uji Hipotesis .................................................................................. 44 45 4.4.4 Analisis Pendapatan ....................................................................... 46 47 4.4.5 Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Rasio) ................
Halaman 4.5 Definisi Operasional ................................................................................. 47 48 V GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian ........................................................ 49 51 5.2 Gambaran Umum KOPTI Kabupaten Bogor ........................................... 50 52 5.2.1 Sejarah Singkat, Visi dan Misi KOPTI Kabupaten Bogor ............. 50 52 5.2.2 Struktur Organisasi dan Keanggotaan KOPTI Kabupaten Bogor .............................................................................................. 51 53 5.2.3 Bidang Usaha KOPTI Kabupaten Bogor ....................................... 52 54 5.3 Karakteristik Pengrajin Tempe Desa Citeureup ....................................... 54 56 5.3.1 Usia Pengrajin Tempe..................................................................... 54 56 5.3.2 Lama Pendidikan Pengrajin ............................................................ 55 57 5.3.3 Pengalaman Usaha Pengrajin Tempe ............................................. 56 58 5.3.4 Pengalaman sebagai Anggota KOPTI Kabupaten Bogor ............... 56 58 5.3.5 Anggota Keluarga (Anak) Pengrajin Tempe .................................. 57 59 5.3.6 Cara Pemasaran Pengrajin Tempe .................................................. 58 60 5.4 Proses Produksi Tempe............................................................................. 59 61 5.4.1 Kebutuhan Peralatan ....................................................................... 60 62 5.4.2 Cara Pembuatan Tempe .................................................................. 61 63 VI ANALISIS EFISIENSI 6.1 Pendugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier (SF).............................. 63 65 6.2 Sebaran Efisiensi Teknis........................................................................... 73 75 6.3 Sumber-sumber Inefisiensi Teknis ........................................................... 77 78 VII ANALISIS PENDAPATAN 7.1 Analisis Biaya Produksi Usaha Tempe di Desa Citeureup ....................... 82 82 7.2 Analisis Penerimaan Usaha Tempe di Desa Citeureup ............................ 87 87 7.3 Analisis Pendapatan dan R/C Rasio Usaha Tempe di Desa Citeureup................................................................................................... 88 88 VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ............................................................................................... 91 91 8.2 Saran ......................................................................................................... 92 92 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 94 93 LAMPIRAN ........................................................................................................ 96 95
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Komposisi Kimia Biji Kedelai Kering per 100 gram .............................................. 2 2
2.
Perkembangan Produksi, Konsumsi, dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun 1996-2007 .................................................................................... 3 3
3.
Impor Kedelai Menurut Negara Asal Tahun 2005 .................................................. 4 4
4.
Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai di Indonesia Tahun 1996-2007 ................................................................................ 5 5
5.
Perkembangan Harga Tertinggi Kedelai Indonesia dan Perkembangan Rata-rata Harga Kedelai Internasional Tahun 2000-2007 ................................................................................................................ 9 9
6.
Data Kebutuhan Kedelai Per Kecamatan Di Kabupaten Bogor (2007) ......................................................................................................................... 12
7.
Kategori Mutu Kedelai .......................................................................................... 17 17
8.
Mutu Gizi Tempe Dibandingkan dengan Kedelai ................................................. 18 18
9.
Jumlah Anggota, Jumlah Tenaga Kerja dan Kebutuhan Kedelai Per KOPTI 1983 .................................................................................................... 20 20
10.
Sebaran Responden Menurut Usia di Desa Citeureup Tahun 2008 ....................................................................................................................... 55 57
11.
Sebaran Responden Menurut Lama Pendidikan di Desa Citeureup Tahun 2008 ........................................................................................... 55 57
12.
Sebaran Responden Menurut Pengalaman Usaha Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008 ........................................................................................... 56 58
13.
Sebaran Responden Menurut Pengalaman sebagai Anggota KOPTI Kabupaten Bogor di Desa Citeureup Tahun 2008 .................................... 57 59
14.
Sebaran Responden Menurut Jumlah Anggota Keluarga di Desa Citeureup Tahun 2008 ........................................................................................... 58 60
15.
Sebaran Responden Menurut Cara Pemasaran Produk Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008 .................................................................................. 59 61
16. Perbandingan Parameter Fungsi Produksi Linier Berganda Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai dengan Metode OLS dan MLE pada Usaha Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008 ................................................. 66
Nomor
Halaman
16.
Perbandingan Parameter Fungsi Produksi Linier Berganda Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai dengan Metode OLS dan MLE pada Usaha Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008 ....................................................................................................................... 64 66
17.
Perbandingan Elastisitas Fungsi Produksi Stochastic Frontier Linier Berganda Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai dengan Metode MLE di Desa Citeureup Tahun 2008 ........................................... 65 67
18.
Sebaran Efisiensi Teknis Pengrajin Responden pada Kondisi Sebelum dan Setelah kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008 ............................................................................................................ 74 76
19.
Parameter Dugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis Usaha Tempe pada Kondisi Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008 ......................... 77 78
20.
Rata-rata Perkembangan Harga Input Produksi Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008 ......................... 82 82
21.
Penggunaan Input Produksi Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008 ...................................................... 84 84
22.
Rata-rata Struktur Biaya Usaha Tempe Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008 ...................................... 86 86
23.
Rata-rata Penerimaan Pengrajin pada Kondisi Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008 ......................... 87 87
24.
Rata-rata Pendapatan dan R/C Rasio Usaha Tempe pada Kondisi Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008 ........................................................................................... 89 89
xv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Fungsi Produksi Stochastic Frontier ..................................................................... 29 30
2.
Konsep Efisiensi Teknis, Alokatif, dan Ekonomis ................................................ 32 32
3.
Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................................... 37 36
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Daftar Perusahaan Tahu / Tempe Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor (2007) ....................................................................................... 97 96
2.
Rekapitulasi Pengrajin Tempe Tahu dan Kebutuhan Kedelai KOPTI Kabupaten Bogor Tahun 2007 .................................................................. 98 97
3.
Karakteristik Pengrajin Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008 ............................ 99 98
4.
Diagram Alir Proses Pembuatan Tempe.............................................................. 101 100
5.
Model Analisis Regresi Linier Berganda Sebelum Kenaikan Harga Kedelai pada Responden di Desa Citeureup Tahun 2008 ......................... 102 101
6.
Model Analisis Regresi Linier Berganda Setelah Kenaikan Harga Kedelai pada Responden di Desa Citeureup Tahun 2008 ......................... 103 102
7.
Output Frontier Linier Berganda Sebelum Kenaikan Harga Kedelai pada Responden di Desa Citeureup Tahun 2008 ................................... 104 103
8.
Output Frontier Linier Berganda Setelah Kenaikan Harga Kedelai pada Responden di Desa Citeureup Tahun 2008 ................................... 107 106
9.
Hasil Output Produksi dan Penggunaan Input Produksi Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008 ..................................................................................................................... 110 109
10.
Rata-rata Biaya Penyusutan Peralatan Usaha Pengrajin Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008 ............................................................................ 112 111
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam program kerja Kabinet Indonesia Bersatu (tahun 2004-2009) ditetapkan bahwa isu ketahanan pangan sebagai salah satu isu kebijaksanaan operasional pembangunan pertanian. Ketahanan pangan adalah kemampuan suatu negara menyediakan pangan yang cukup, baik dari segi kuantitas maupun kualitas serta terdistribusi merata ke seluruh pelosok negeri.1 Indonesia belum memiliki ketahanan pangan yang cukup, terutama untuk komoditas yang sangat diperlukan rakyat, seperti beras, jagung, kedelai, dan gula.2 Karena itu, diperlukan lebih dari sekadar ketahanan pangan, yakni kedaulatan pangan, yang ketersediaannya diperoleh bukan dari impor, melainkan dari kemampuan produksi dalam negeri. Ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan ketahanan nasional. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar, menduduki peringkat ke empat setelah Cina, India dan Amerika Serikat dengan jumlah penduduk 218.868.791 jiwa (BPS, 2006). Pertumbuhan penduduk Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, permintaan terhadap pangan meningkat pula. Sumber pangan yang diharapkan adalah yang memiliki nilai gizi yang tinggi. Penyediaan sumber protein hewani di Indonesia masih belum mencukupi oleh karena itu diperlukan sumber protein pengganti.
1 2
Apriyantono, Anton. Dilema Persoalan Kedelai. www.setjen.deptan.go.id. 24 Januari 2008. Antara News. Presiden Akui Indonesia Belum memiliki Ketahanan Pangan. www.antara.co.id. 25 Januari 2008.
2
Kedelai memiliki potensi sebagai pengganti protein hewani karena memiliki kadar protein yang tinggi dan kaya akan asam amino. Kedelai merupakan bahan pangan sumber protein nabati yang menjadi salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung. Kedelai dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan protein dalam upaya meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Kedelai telah lama dikenal dan digunakan sebagai bahan produksi tempe, tahu, kecap, tauco, susu kedelai, pakan ternak, dan lain-lain. Komposisi kimia biji kedelai kering per 100 gram dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Biji Kedelai Kering per 100 Gram No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Komponen Kalori (kkal) Protein (gram) Lemak (gram) Karbohidrat (gram) Kalium (mg) Fospor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Air (gram)
Jumlah 331,0 34,9 18,1 34,8 227,0 585,0 8,0 110,0 1,10 7,5
Sumber : Cahyadi, 2007
Konsumsi kedelai semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebutuhan protein dan gizi. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk mempengaruhi peningkatan konsumsi kedelai masyarakat. Pada Tabel 2 terlihat bahwa laju pertumbuhan rata-rata konsumsi kedelai dari tahun 1996 sampai tahun 2007 sebesar 0,70 persen per tahun. Menurut Ditjen Tanaman Pangan, pada tahun 1998 konsumsi per kapita baru 9 kg per tahun, namun tahun 2008 meningkat menjadi 10 kg per tahun. Dengan konsumsi perkapita rata-rata 10 kg per tahun maka dengan jumlah
3
penduduk kurang lebih 220 juta jiwa, paling tidak dibutuhkan pasokan sekitar 2,1 hingga 2,2 juta ton.
Tabel 2. Perkembangan Produksi, Konsumsi, dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun 1996-2007 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Laju Pertumbuhan Rata-rata (%/tahun)
Produksi (juta ton) (%) 1,52 1,36 1,31 1,38 1,02 0,83 0,67 0,67 0,72 0,81 0,75 0,61
-10,53 -3,68 5,34 -26,09 -18,63 -19,28 0,00 7,45 12,5 -7,41 -18,67 -7,19
Konsumsi (juta ton) (%) 2,26 1,97 1,65 2,68 2,29 1,96 2,03 1,85 1,83 1,89 1,88 2,01
-12,83 -16,24 62,42 -14,55 -14,41 3,57 -8,87 -1,08 3,28 -0,53 6,91 0,70
Impor (juta ton) (%) 0,75 0,62 0,34 1,30 1,28 1,14 1,37 1,19 1,12 1,09 1,13 1,42
17,33 -45,16 282,35 -1,54 -10,94 20,18 -13,14 -5,88 -2,68 3,67 25,66 21,38
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008
Konsumsi kedelai penduduk Indonesia yang meningkat tidak diimbangi dengan meningkatnya produksi dalam negeri. Pada Tabel 2 terlihat bahwa produksi kedelai nasional mengalami penurunan dengan laju pertumbuhan ratarata sebesar 7,19 persen per tahun dari tahun 1996 sampai tahun 2007. Pada tahun 2007 produksi kedelai nasional hanya sebanyak 608.300 ton sedangkan konsumsi penduduk sekitar 2.010.000 ton. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka Indonesia mengimpor kedelai. Indonesia mengimpor kedelai sekitar 70 persen dari kebutuhan nasional. Laju pertumbuhan impor kedelai Indonesia dari tahun 1996 sampai tahun 2007 sebesar 21,38 persen per tahun (pada Tabel 2). Laju pertumbuhan ini cukup besar jika dibandingkan dengan pertumbuhan produksi kedelai nasional yang terus menurun.
4
Indonesia pernah mencapai puncak produksi kedelai yaitu mencapai 1,86 juta ton pada tahun 1992.3 Hal ini karena adanya swasembada kedelai namun karena tidak ada perhatian dari pemerintah untuk mengamankan harganya, maka produksinya terus menurun dari tahun ke tahun. Produksi kedelai nasional menurun disebabkan terlalu banyak mengimpor kedelai dan tidak banyak memproduksi sendiri. Menurut Data Departemen Pertanian, impor kedelai sebelum tahun 1990 hanya dibawah 500.000 ton dengan nilai rata-rata per tahun sebesar US$ 128 juta. Impor kedelai meningkat tajam dari tahun ke tahun pada tahun 2000 mencapai 1,3 juta ton dengan nilai US$ 300 juta. Impor kedelai dari tahun 2000–2005 rata-rata 1,1 juta ton dengan nilai US$ 358 juta atau setara Rp. 3,58 triliun (1 US$ = Rp 10.000,00).4 Impor kedelai Indonesia berasal dari negara Amerika Serikat, Argentina, Kanada, Swiss, Malaysia, Singapura dan lain-lain. Pada Tabel 3 menunjukkan persentase proporsi kedelai impor dari negara asal. Pada tabel terlihat bahwa 82,7 persen kedelai impor berasal dari Amerika Serikat.
Tabel 3. Impor Kedelai Menurut Negara Asal Tahun 2005 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Negara Asal Amerika Serikat Argentina Kanada Swiss Malaysia Singapura Lain-lain
Impor (%) 82,7 13,3 2,6 0,9 0,3 0,1 0,1
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2006
3
Ditjen Tanaman Pangan. Press Release Mentan Pada Panen kedelai. www.setjen.deptan.go.id. 5 Februari 2008. 4 Ditjen Tanaman Pangan. Press Release Mentan Pada Panen kedelai. www.setjen.deptan.go.id. 5 Februari 2008.
5
Tanaman kedelai di Indonesia masih menjadi tanaman sekunder di kalangan petani. Akibatnya, perlakuan atas kedelai belum maksimal sehingga hasil pertanian kedelai juga belum optimal.5 Petani tidak tertarik menanam kedelai karena keuntungan menanam kedelai rendah akibat kedelai impor yang harganya lebih rendah dibandingkan dengan harga kedelai dalam negeri. Selain itu, petani juga tidak memiliki jaminan harga, dan tidak ada kemudahan dalam menjual hasil panen kedelainya.
Tabel 4. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai di Indonesia Tahun 1996-2007 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Laju Pertumbuhan Rata-rata (%/tahun)
Luas Panen (ha) (%) 1.279.349 1.119.079 1.094.891 1.151.079 927.132 757.906 550.212 526.796 565.155 621.541 580.534 464.427
-12,53 -2,16 5,13 -19,46 -18,25 -27,40 -4,26 7,28 9,97 -6,60 -20,00 -8,02
Produktivitas (ku/ha) (%) 11,88 12,16 11,97 12,02 12,37 12,19 12,40 12,80 12,79 13,03 12,89 13,07
2,36 -1,51 0,42 2,91 -1,50 1,78 3,20 -0.08 1,85 -1,05 1,40 0,89
Produksi (ton) (%) 1.517.181 1.356.891 1.305.640 1.382.848 1.017.634 826.932 673.056 671.600 723.483 808.353 747.611 608.263
-10,53 -3,68 5,34 -26,09 -18,63 -19,28 0,00 7,45 12,5 -7,41 -18,67 -7,19
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2008
Produktivitas kedelai nasional tahun 2007 mencapai 13,07 kuintal per ha atau 1,3 ton per ha. Meskipun meningkat dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2006 sebesar 12,89 kuintal per ha (pada Tabel 4) tetapi masih rendah jika dibandingkan dengan potensi hasil ditingkat penelitian dan percobaan yang mencapai dua ton atau lebih. Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) mengeluarkan varietas unggulan baru sejak tahun 1987. Varietas terakhir yaitu Rajabasa yang dilepas Departemen
5
Kompas. Kebijakan Soal Kedelai Absurd, Swasta Didorong Tanpa Insentif. www.ristek.go.id. 16 Januari 2008.
6 Pertanian sekitar 2004 dapat menghasilkan 2,9 ton per hektar, dengan potensi hasil hingga 3,9 ton per hektar. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengeluarkan metode meningkatkan produksi melalui “kedelai plus”. Dari hasil uji coba diberbagai daerah, produktivitas kedelai plus rata-rata diatas dua ton per hektar.6 Senjang hasil masih tinggi antar ditingkat petani dan penelitian. Laju pertumbuhan rata-rata produktivitas kedelai meningkat sebesar 0,9 persen per tahun (Tabel 4). Laju pertumbuhan produktivitas kedelai meningkat dengan lambat karena anjuran teknologi belum diterapkan secara tepat, lemahnya permodalan petani untuk pengadaan sarana produksi dan benih kedelai unggul masih terbatas. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa luas panen kedelai nasional hampir setiap tahun mengalami penurunan walaupun terdapat beberapa tahun yang mengalami peningkatan yang tidak terlalu besar. Pada tahun 2007 luas panen kedelai hanya seluas 464.427 ha. Hal ini saat jauh berbeda jika dibandingkan dengan tahun 1996 yaitu seluas 1.279.349 ha. Laju pertumbuhan rata-rata luas panen kedelai menurun sebesar 8,02 persen per tahun. Luas panen kedelai menurun salah satunya karena banyaknya petani kedelai yang beralih menjadi menanam
jagung
dan
tanaman
pangan
lainnya
dengan
alasan
lebih
menguntungkan dan produktivitasnya lebih tinggi. Pemerintah
berencana
meningkatkan
luas
panen
kedelai
dengan
menggalakkan penanaman kedelai dalam jumlah yang lebih luas untuk memenuhi
6
Tahu Tempe, Makanan Tradisional Berbahan Baku Impor. www.technologyindonesia.com. 15 Januari 2008.
7
kebutuhan kedelai nasional. Hal yang dilakukan dengan cara menentukan daerahdaerah subtropis dengan luasan lahan dan sistem tertentu, sehingga output nasional kedelai meningkat karena setiap tahun produksi kedelai semakin berkurang yaitu 608.263 ton pada tahun 2007 yang hanya dapat memenuhi sekitar 30 persen dari kebutuhan nasional. Lahan yang dipersiapkan untuk pengembangan tanaman kedelai adalah Aceh, Jawa barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan dengan total target sebesar 1,2 juta ton pada tahun 2011.7 Kedelai di Indonesia sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk olahan seperti tempe, tahu, kecap, tauco, susu kedelai, pakan ternak, dan lain-lain. Tempe merupakan makanan khas Indonesia, karena selama ini disamping kedelai mempunyai protein dan gizi yang tinggi, harganya juga terjangkau. Industri tempe merupakan salah satu bentuk industri pengolahan pangan dengan skala kecil dan sangat sederhana namun sangat potensial untuk dikembangkan. Karena usaha ini dapat dimulai dengan modal awal yang relatif kecil, teknologi yang sederhana serta tidak membutuhkan keahlian tinggi. Selain itu industri tempe memiliki peranan yang paling dominan, yaitu sebagai alternatif lapangan pekerjaaan serta sebagai sumber kontribusi pendapatan bagi keluarga. Menurut Menteri Perdagangan, industri yang menggunakan bahan baku kedelai di Indonesia sebanyak 92.000 unit yang terdiri atas : 39 persen di antaranya berada di Jateng, Jatim (22 persen), Jabar (13 persen), Yogyakarta (8,5 persen), sisanya berada di Kalimantan, dan Sumatra. Komposisinya produsen
7
Tahu Tempe, Makanan Tradisional Berbahan Baku Impor. www.technologyindonesia.com. 15 Januari 2008.
8
tempe 56 ribu unit, tahu 28 ribu unit, kecap 1.500 unit, dan tauco 2.100 unit.8 Kebutuhan kedelai di Indonesia rata-rata pertahun mencapai 2 juta ton, terbagi untuk produksi tempe dan tahu 1,3 juta ton, kecap dan susu kedelai 0,65 juta ton, pakan ternak 1,0 juta ton, serta benih 0,05 juta ton.9 Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra industri pengrajin tempe. Salah satu wilayahnya yaitu Desa Citeureup Kecamatan Citeureup. Usaha tempe merupakan salah satu mata pencaharian penduduk asli dan penduduk yang bertransmigrasi ke wilayah tersebut. Dengan adanya peningkatan harga kedelai yang terus meningkat akhir-akhir ini mengakibatkan usaha tempe penduduk setempat menjadi berkurang karena kekurangan modal untuk meneruskan usaha tersebut.
1.2 Perumusan Masalah Harga kedelai melonjak mencapai lebih dari 100 persen pada beberapa bulan terakhir di tahun 2007. Pada awal bulan Januari 2007, harga eceran kedelai sebesar Rp 3.450,00 per kilogram. Kemudian pada awal bulan November 2007, harga kedelai mulai meningkat cukup signifikan hampir 60 persen dari awal bulan Januari yaitu sebesar Rp 5.450,00 per kilogram. Pada bulan Desember 2007 harga komoditi ini meningkat kembali sebesar Rp 6.950,00 per kilogram. Bahkan, awal Januari 2008, harga kedelai menjadi Rp 7.250,00 per kilogram hingga Rp 8.000,00 per kilogram atau sebesar Rp 780.000 per kuintal padahal sebelum mengalami kenaikan harga, hanya sebesar Rp 350.000 per kuintal.10 Laju pertumbuhan rata-rata harga tertinggi kedelai nasional mulai tahun 2000 hingga 8
Antara News. Impor Kedelai Meningkat. www.antara.co.id. 15 Januari 2008. Tahu Tempe, Makanan Tradisional Berbahan Baku Impor. www.technologyindonesia.com. 15 Januari 2008. 10 Antara News. Impor Kedelai Meningkat. www.antara.co.id. 15 Januari 2008. 9
9
tahun 2007 meningkat sebesar 12,54 persen per tahun (Tabel 5). Hal ini dikarenakan harga kedelai nasional dipengaruhi oleh harga kedelai internasional yang juga terus meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 21,12 persen per tahun. Pada tahun 2006, harga kedelai internasional sebesar 350 US$ per ton meningkat sebesar 71,43 menjadi 600 US$ per ton pada tahun 2007. Tabel 5. Perkembangan Harga Tertinggi Kedelai Indonesia dan Perkembangan Rata-rata Harga Kedelai Internasional Tahun 20002007 Tahun
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Laju Pertumbuhan Rata-rata (%/tahun)
Harga Tertinggi Kedelai Indonesia (Rp/kg) (%) 3.167 3.730 3.717 3.949 4.449 4.912 5.101 7.000
17,78 -0,35 6,24 12,66 10,41 3,85 37,22 12,54
Harga Kedelai Internasional (US$/ton) (%) 174 182 181 223 277 300 350 600
4,60 -0,55 23,20 24,22 8,30 16,67 71,43 21,12
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2006
Kenaikan harga kedelai ini disebabkan kenaikan harga sejumlah barang pangan termasuk kedelai di tingkat internasional sebagai akibat dipindahkannya sebagian penggunaan kacang-kacangan dan ketela untuk pembuatan biodisel dan metanol akibat harga minyak yang makin mahal. Kenaikan harga kedelai dunia naik dari US$ 350 per ton menjadi US$ 600 per ton.11 Padahal pada tahun 1999, harga kedelai dalam negeri hanya sebesar Rp 2.300 per kilogram, sedangkan harga kedelai impor lebih rendah yaitu dijual sebesar Rp 1.700 per kilogram.12 Kenaikan harga kedelai ini sangat signifikan mempengaruhi kemampuan pengrajin tempe di tanah air karena bahan baku pembuatan tempe merupakan 11
Tempo Interaktif. Pemerintah Turunkan Bea Masuk Kedelai. www.tempointeraktif.com. 15 Januari 2008. 12 Antara News. Produksi Kedelai 2008 Mampu Meningkat 200 Ribu Ton. www.antara.co.id. 24 Januari 2008.
10
kedelai impor. Harga kedelai impor murah karena mendapatkan subsidi yang besar oleh negara pengekspornya, khususnya kedelai dari Amerika. Kedelai produksi dalam negeri tidak mampu bersaing dengan kedelai impor yang disubsidi tersebut. Upaya Pemerintah dalam meningkatkan produksi kenaikan tarif impor kedelai dari 5 persen menjadi 10 persen pada tahun 2005, ternyata belum mampu menaikkan produksi kedelai secara signifikan. Bahkan kenaikan harga kedelai pada tahun ini mengharuskan pemerintah menurunkan tarif impor kedelai. Pada tanggal 14 Januari 2007, ribuan pedagang tempe dan tahu serta 7000 para pengrajin tempe dan tahu yang tergabung dalam Forum Komunikasi Primkopti se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi menggelar aksi demonstrasi bermaksud agar pemerintah menurunkan harga kedelai.13 Pemerintah menetapkan kebijakan kedelai, yaitu menurunkan bea masuk impor dari 10 persen menjadi 0 persen sebagai solusi jangka pendek untuk mengatasi masalah ini. Kebijakan ini ditandatangani pemerintah pada 20 januari 2008. Kebijakan selanjutnya yang diambil pemerintah untuk menghadapi kenaikan harga kedelai ini yaitu swasembada pangan dengan menggerakkan pertanian kedelai di berbagai tempat di tanah air, melakukan komunikasi dengan importir untuk ikut menyelamatkan harga kedelai agar tidak terjadi guncangan baru dalam perekonomian.14 Dalam waktu dekat pemerintah akan mengalokasikan subsidi pangan sekitar Rp 500 Miliar untuk komoditi kedelai. Subsidi tersebut ditujukan bagi kalangan pengrajin tempe dan tahu dalam bentuk kupon senilai Rp 1.000 per kilogram melalui koperasi-koperasi.15
13
Tribun Timur. Perajin Tahu Tempe Hentikan Produksi. www.tribun-timur.com. 15 Januari 2008. Haryanto. Bea Masuk Impor Kedelai 0 Persen. www.presidenri.go.id. 15 Januari 2008. 15 Hanum. Kebijakan Subsidi KedelaiTidak Tepat Sasaran. www.mediaindonesia.com. 7 Februari 2008. 14
11
Pemerintah seharusnya sudah dapat mengantisipasi melonjaknya harga kedelai sejak awal. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan perkiraan pada bulan Agustus 2007 bahwa persediaan pangan seperti kacangkacangan dan ketela untuk kebutuhan dunia akan menurun karena sebagian dipindahkan untuk pembuatan biodisel dan metanol akibat harga minyak yang makin mahal. Kurangnya perhatian pemerintah menyebabkan kondisi ini tidak dapat dicegah. Untuk mengatasi masalah ini, selain kebijakan menurunkan bea masuk impor dari 10 persen menjadi 0 persen, pemerintah juga berencana membagikan benih kedelai untuk menaikan produksi, meningkatkan distribusi pupuk dan teknologi pertanian serta penyuluhan serta menjaga stabilisasi harga. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang memproduksi kedelai dengan jumlah produksi 17.302 ton tahun 2007 (BPS, 2007).16 Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah di provinsi Jawa Barat yang memproduksi olahan kedelai. Kecamatan Citeureup merupakan salah satu wilayah sentra industri tempe dengan jumlah pengrajin sebanyak ± 100 orang (Lampiran 1). Kecamatan Citeureup membutuhkan kedelai sebesar 11.750 kilogram kedelai per hari. Kebutuhan kedelai di kecamatan Citeureup merupakan yang terbesar di Kabupaten Bogor dibandingkan dengan kecamatan lain seperti Kecamatan Cibungbulang yang menempati peringkat kedua hanya sebesar 4.985 kilogram per hari (pada Tabel 6). Menurut data yang diperoleh dari Koperasi Produsen Tempe Tahu (KOPTI) Kabupaten Bogor, di wilayah pelayanan Citeureup terdapat 93 pengrajin
16
Harvested Area, Yield Rate and Production of Soybean by Province, 2007.
www.bps.or.id.
12
tempe dan tahu yang menjadi anggota KOPTI dimana pengrajin tempe sebanyak 87 pengrajin sedangkan tahu 6 pengrajin (Lampiran 2).
Tabel 6. Data Kebutuhan Kedelai Per Kecamatan Di Kabupaten Bogor (2007) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Kecamatan Kebutuhan (kg/hari) Dramaga 710 Cibungbulang 4.985 Cisarua 685 Citeureup 11.750 Leuwiliang 1.830 Ciampea 955 Tajurhalang 4.000 Ciomas 100 Megamendung 480 Ciseeng 800 Cibinong 1.795 Cileungsi 2.760 Tamansari 160 Parung 2.950 Total 33.960 Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, 2008
Peningkatan harga kedelai impor hingga lebih dari 100 persen akan memberikan dampak yang besar terhadap industri tempe di Desa Citeureup karena kedelai sebagai bahan baku utama mengambil porsi terbesar atas total biaya produksi. Perubahan ini akan berdampak pada struktur biaya, baik itu biaya tetap maupun biaya variabelnya. Hal ini berdampak pada penggunaan input dalam industri, seperti penggunaan kedelai itu sendiri dan tenaga kerja. Semua perubahan yang terjadi pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat pendapatan yang diterima oleh pengarajin tempe tersebut. Peningkatan harga kedelai sebagai bahan baku utama tempe tidak dapat diikuti dengan meningkatkan harga jual tempe sebesar peningkatan harga kedelai tersebut karena melihat daya beli konsumen yang umumnya merupakan golongan ekonomi menengah kebawah. Sehingga untuk menutupi peningkatan biaya
13 produksi, strategi yang diambil oleh pengrajin tempe ialah dengan mengurangi ukuran tempe. Pada usaha tempe, fungsi kedelai impor belum dapat diganti dengan komoditi lain, begitu pula dengan bahan-bahan lainnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka ada beberapa hal yang dapat dibahas dalam penelitian ini berhubungan dengan dampak kenaikan harga kedelai, yaitu : 1. Bagaimana dampak kenaikan harga kedelai terhadap efisiensi teknis penggunaan input produksi pada usaha tempe di Desa Citeureup? 2. Bagaimana dampak kenaikan harga kedelai terhadap pendapatan yang diterima pengrajin tempe di Desa Citeureup?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis dampak kenaikan harga kedelai terhadap terhadap efisiensi teknis penggunaan input produksi pada usaha tempe di Desa Citeureup. 2. Menganalisis dampak kenaikan harga kedelai terhadap pendapatan yang diterima pengrajin tempe di Desa Citeureup. 3. Menganalisis langkah-langkah penyesuaian yang dapat dilakukan oleh para pengarajin tempe untuk meningkatkan pendapatan usaha.
1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini meliputi : 1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi pihak yang berkepentingan khususnya para pengrajin tempe.
14 2. Menambah wawasan dan pengetahuan yang berkaitan dengan industri tempe dan tahu dan sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang diperoleh perguruan tinggi khususnya bagi penulis. 3. Sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan industri skala kecil dan rumah tangga tempe.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini hanya mencakup kinerja usaha yang meliputi keragaan industri, pendapatan usaha dan efisiensi teknis penggunaan faktor-faktor produksi industri pengrajin tempe di Desa Citeureup Kabupaten Bogor. Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Kabupaten Bogor dalam penelitian ini hanya sebagai sumber informasi mengenai sentral pengrajin tempe yang berada di Kabupaten Bogor dan memberikan informasi mengenai hal-hal yang menyangkut perkembangan tempe. Data yang diambil untuk melihat dampak dari kenaikan harga kedelai adalah empat bulan sebelum bulan November dan empat bulan setelah bulan November.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Industri Kecil Industri pengolahan adalah suatu kegiatan pengubahan barang dasar menjadi barang jadi atau setengah jadi yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual (BPS, 2004). Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit produksi yang terletak pada tempat tertentu yang melakukan kegiatan untuk mengubah barang-barang (bahan baku) dengan mesin atau dengan bahan kimia atau dengan tangan menjadi produk baru, atau mengubah barang-barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tingi nilainya, dengan maksud untuk mendekatkan produk tersebut kepada konsumen akhir. Sedangkan kegiatan ekonomi adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan, dengan demikian industri kecil merupakan perusahaan atau unit usaha industri yang melakukan kegiatan ekonomi dalam skala kecil. Industri dapat digolongkan berdasarkan pada jumlah pekerja, jumlah investasi dan jenis komoditi yang dihasilkan. Berdasarkan jumlah pekerja, BPS mengkategorikan skala usaha sektor industri menjadi 3 kelompok, yaitu : 1. Jumlah pekerja 1-4 orang untuk industri rumah tangga dan 5-19 orang untuk industri kecil. 2. Jumlah pekerja 20-99 orang untuk industri menengah. 3. Jumlah pekerja lebih atau sama dengan 100 orang untuk industri besar. Industri kecil dan menengah terbagi 4 kelompok yaitu industri yang bergerak dalam pengolahan hasil pertanian (agroindustri), pengolahan logam, pengolahan hasil hutan, dan lain-lain (seperti jasa, perdagangan). Penelitian ini
16 termasuk dalam industri pengolahan hasil pertanian dengan bahan bakunya adalah kedelai.
2.2 Kedelai Kedelai termasuk famili leguminose (kacang-kacangan). Klasifikasi lengkapnya sebagai berikut. Nama ilmiah : Glycine max (L) Merill Species
: Max
Genus
: Glycine
Sub famili
: Papilionoideae
Famili
: Leguminose
Ordo
: Polypetales Di Indonesia penggunaan kedelai masih terbatas sebagai bahan makanan
manusia dan ternak. Makanan yang terbuat dari kedelai antara lain kedelai rebus, kedelai goreng, kecambah, tempe, soyghurt, tahu, susu kedelai, tauco, dan kecap. Untuk pembuatan produk olahan kedelai yang bermutu diperlukan beberapa bahan baku dan bahan pendukung. Dalam penggunaan bahan baku perlu diperhatikan jenis kedelai yang digunakannya. Para pengrajin tempe biasanya memakai kedelai kuning sebagai bahan baku utamanya, yaitu kedelai yang bijinya berwarna kuning, atau putih atau juga hijau yang apabila dipotong melintang memperlihatkan warna kuning pada irisan kepingnya. Bentuk biji kedelai bergantung pada kultivarnya, dapat berbentuk bulat, gepeng, dan sebagian besar bulat telur. Sedangkan besar dan bobotnya dibedakan menjadi tiga yakni : 1. Kedelai berbiji besar, apabila bobot 100 biji lebih dari 13 gram. 2. Kedelai berbiji sedang, apabila bobot setiap 100 biji antara 11-13 gram.
17 3. Kedelai bebrbiji kecil, apabila bobot 100 biji antara 7-11 gram. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 501/Kpts/TP.83081984, tingkat kategori mutu kedelai dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori. Perhatikan Tabel 7 berikut.
Tabel 7. Kategori Mutu Kedelai No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kategori (% bobot) Kadar air maks Kotoran maks Butir rusak Butir keriput Butir belah Butir warna lain
Mutu I 13 1 2 0 1 0
Mutu II 14 2 3 5 3 5
Mutu III 16 5 5 8 5 10
Sumber : Cahyadi, 2007
2.3 Tempe Tempe adalah makanan yang dihasilkan dari proses fermentasi kapang golongan Rhizopus. Pembuatan tempe membutuhkan bahan baku kedelai. Melalui proses fermentasi, komponen-komponen nutrisi yang kompleks pada kedelai dicerna oleh kapang dengan reaksi enzimatis dan dihasilkan senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Dengan adanya proses fermentasi, kedelai yang dibuat tempe rasanya menjadi lebih enak dan nutrisinya lebih mudah dicerna tubuh. Keuntungan lain dengan dibuat tempe adalah bau langunya hilang serta cita rasa dan aroma kedelai bertambah sedap. Teknologi pembuatan tempe merupakan proses sederhana, berkembang secara turun-temurun karena penyesuaian dengan sarana dan kemampuan sumberdaya yang tersedia. Tempe yang baik dan bermutu tinggi seharusnya memiliki flavour, aroma, serta tekstur yang khusus dan sangat karakteristik, harus padat dengan jahitan miselia yang rapat dan kompak, berbau seperti jamur yang
18
segar dan berasa seperti daging ayam yang kompak. Warna utama harus putih bagai kapas. Nilai gizi protein meningkat setelah proses fermentasi, karena terjadinya pembebasan asam amino hasil aktivitas enzim proteolitik dari tempe (Tabel 8).
Tabel 8. Mutu Gizi Tempe Dibandingkan dengan Kedelai Faktor Mutu Gizi Padatan terlarut Nitrogen terlarut Asam amino bebas Asam lemak bebas Nilai cerna Nilai efisien protein Skor protein
Kedelai Rebus 14,00 6,50 0,50 0,50 7,50 1,60 7,50
Tempe 34,00 39,00 7,30 21,00 83,00 2,12 78,00
Sumber : Sapuan dan Soetrisno, 1996
Selain bahan baku utama kedelai, pembuatan tempe juga memerlukan bahan pembantu. Dalam pembuatan tempe dikenal beberapa macam ragi yang digunakan dalam proses fermentasi yang menghasilkan tempe dengan kualitas tinggi. Secara tradisional pengusaha membuat ragi dengan menggunakan tempe yang sudah jadi. Tempe tersebut diiris tipis, dikeringkan, digiling menjadi bubuk halus dan hasilnya digunakan sebagai bahan inokulum proses fermentasi. Ragi lain yang sering digunakan adalah miselium kapang yang tumbuh dipermukaan tempe. Salah satu macam ragi dari Jawa Tengah disebut dengan usar, dibuat dengan membiarkan spora kapang dari udara tumbuh pada kedelai matang, yang ditaruh antara dua lapis daun waru dan daun jati atau daun pisang bekas pembukus tempe. Selanjutnya spora kapang diremas-remas lalu dicampurkan ke dalam biji kedelai yang hendak dilakukan peragian. Untuk satu kilogram kedelai diperkirakan membutuhkan dua atau tiga lembar daun yang mengandung ragi.
19 Dalam praktek terjadi kesulitan memperoleh ragi karena ragi tidak dapat disimpan lama dalam jumlah pemakaian sulit dipastikan. Karena itu banyak pengusaha tempe membeli ragi dalam bentuk tepung di pasar. Bahan-bahan lain yang digunakan untuk membuat ragi adalah beras, terigu, dan air bersih. Air bersih dipakai juga dalam proses produksi tempe untuk mencuci serta merebus biji kedelai sebelum proses fermentasi. Bahan pembungkus tempe adalah daun pisang maupun plastik yang sudah dilubangi. Tempe berpotensi digunakan melawan radikal bebas, sehingga dapat menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan lain-lain). Selain itu tempe juga mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol darah, pencegah penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain.
2.4 Industri Tempe Dilihat dari segi jumlah industri, angka-angka hasil survei BPS tahun 1979 menunjukkan bahwa jumlah perusahaan tempe dan tahu di Indonesia mencapai 5.944, dimana 5.910 atau 99 persen diantaranya adalah industri kecil dan rumah tangga (Beddu Amang dkk, 1996). Industri kecil dan kerajinan rumah tangga (IKKR) merupakan usaha yang melakukan kegiatan mengolah barang dasar menjadi barang jadi, setengah jadi menjadi barang jadi, atau dari yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual dengan jumlah pekerja kurang dari 20 orang. Peta konsentrasi dan sebaran usaha IKKR menurut wilayah diyakini dari tahun ke tahun tidak banyak berubah dari sekitar 2,6 juta usaha IKKR ternyata 69,05 persen berlokasi di Jawa dan Bali yang luas wilayahnya 7 persen dari luas
20 wilayah Indonesia (BPS, 2003). Terkonsentrasinya aktivitas kegiatan ekonomi diduga disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah kesiapan dan kelengkapan infrastruktur, SDM, SDA dan lain sebagainya. Umumnya industri tempe masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, seiring dengan konsentrasi konsumenya.. Dalam Tabel 9 menunjukkan bahwa banyaknya anggota KOPTI yang identik dengan unit pengrajin tempe dan tahu, sebagian tersebar atau 96 persen diantaranya berada di lima propinsi di Pulau Jawa, sisanya (4 persen) berada di luar Jawa. Dilihat pada jumlah tenaga kerja dan bahan baku kedelai yang dibutuhkan, konsentrasi industri tempe dan tahu juga berada di Pulau Jawa yaitu sekitar 97 persen total tenaga kerja yang digunakan dalam industri tempe dan tahu dipekerjakan di Pulau Jawa. Demikian juga 96 persen total kedelai yang dipakai untuk tahu dan tempe diserap oleh pengrajin di Pulau Jawa.
Tabel 9. Jumlah Anggota, Jumlah Tenaga Kerja dan Kebutuhan Kedelai Per KOPTI 1983 Provinsi Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Yogyakarta P. Jawa Sumatera Kalimantan Luar Jawa Indonesia
Jumlah Anggota (orang) (%) 2.623 5.700 5.769 42 2.268 16.400 96 715 30 745 17.147
Jumlah Tenaga Kerja (orang) (%) 4.256 11.055 7.293 1.392 7.022 31.018 97
4
944 51 995
100
32.013
Kebutuhan Kedelai (000ton/tahun) (%) 77,86 127,09 126,40 25,25 37,73 39,43 96
3
14,77 0,36 15,13
4
100
40,95
100
Sumber : CGPRT (1985)
Pada tahun 1983, jumlah anggota KOPTI di Pulau Jawa paling banyak terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah, menyusul Jakarta dan Yogyakarta.
21
Jumlah anggota KOPTI di Jawa Timur relatif kecil yaitu 42 anggota, karena Jawa Timur merupakan pusat produksi kedelai dan kedelai lokal yang relatif murah, sehingga tidak banyak pengrajin yang bergabung dalam KOPTI, karena masih dapat memperoleh bahan baku kedelai dengan harga yang kompetitif. Pada dasarnya ada dua jenis kedelai yang digunakan oleh industri tempe dan tahu berdasarkan asalnya yaitu kedelai impor dan kedelai dalam negeri. Di beberapa daerah, seperti Jakarta dimana harga kedelai asal impor relatif lebih murah dari pada kedelai lokal, industri tempe lebih banyak menggunakan kedelai impor utuk produksinya. Alasannya adalah kedelai asal impor kualitasnya lebih seragam, butiran-butiran lebih besar dan hasil tempe per kilo kedelai (rendemen tempe) lebih tinggi dari pada kedelai lokal. Secara rata-rata rendemen tempe kedelai impor adalah 25 persen lebih tinggi dari pada kedelai lokal (Beddu Amang dkk, 1996). Industri tempe secara potensial dapat dikembangkakn menjadi industri modern yang menghasilkan produk-produk penting yang dibutuhkan oleh industri lain seperti industri pangan dan farmasi. Perkembangan produk melalui diversifikasi produk tempe akan mengikuti evolusi perkembangan teknologi industrinya.
2.5 Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap tingkat efisiensi dan pendapatan usaha tempe sudah pernah dilakukan. Tempat penelitian di Desa Citeureup terhadap pengrajin tempe juga sudah pernah diteliti. Beberapa penelitian tersebut sebagai berikut :
22
Apretty (2000) melakukan penelitian mengenai dampak krisis ekonomi pada industri tempe skala kecil di Desa Citeureup, Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 telah menyebabkan kelompok industri terutama yang bahan bakunya didominasi impor mengalami kerugian. Bahan baku kedelai pada industri tempe yang mahal menyebabkan biaya produksi menjadi mahal dan dalam waktu yang bersamaan daya beli masyarakat menjadi menurun. Kenaikan harga bahan baku juga diikuti dengan kenaikan harga input lainnya seperti ragi dan pembungkusnya (plastik dan daun) dan juga kenaikan upah tenaga kerja. Kenaikan upah tenaga kerja menyebabkan pengurangan penggunaan tenaga kerja untuk mengurangi kenaikan biaya produksi. Penelitian ini ingin menganalisis keragaan industri tempe dan strategi industri tempe agar dapat bertahan dalam kondisi krisis tersebut. Analisis data menggunakan Metode Hayami untuk menganalisis nilai tambah pada industri tempe. Selain analisis nilai tambah, juga digunakan before and after analysis. Peningkatan nilai tambah tidak menjamin meningkatnya keuntungan bagi pengrain tempe. Tingkat keuntungan yang diperoleh industri tempe menurun dari 83,592 persen menjadi 77,788 persen atau turun sebesar 6,94 persen. Latifah (2006) melakukan penelitian mengenai dampak kenaikan harga BBM terhadap pendapatan usaha pengrajin tempe pada anggota Koperasi Primer Tahu Tempe (Primkopti) di Kelurahan Cilendek Kotamadya Bogor. Penelitian ini menganalisis tentang pendapatan usaha dan efisiensi penggunaan faktor produksi (kedelai, ragi, tenaga kerja, plastik, daun, minyak tanah, dan kayu bakar). Hasil pengujian yang dilakukan setelah kebijakan pemerintah dengan menaikan harga
23
BBM menyebabkan biaya produksi meningkat sebesar 7,1 persen. Penerimaan usaha pengrajin tempe mengalami penurunan sebesar 4,6 persen. Meskipun harga tempe sudah dinaikkan, akan tetapi besarnya kenaikan harga sebesar 10,8 persen tidak sebanding dengan besarnya penurunan jumlah produksi sebesar 12,9 persen. Kenaikan harga BBM mengakibatkan pendapatan pengrajin pada daerah penelitian menurun sebesar 37,2 persen. Alat analisis yang digunakan yaitu analisis fungsi produksi Cobb Douglas pada saat sebelum dan setelah kenaikan harga BBM, nilai P-Value sebelum kenaikan harga BBM secara statistik tidak nyata dalam memberikan pengaruh terhadap hasil output pada variabel daun, minyak tanah dan kayu. Hal ini dikarenakan daun sulit didapat dalam kualitas yang baik, minyak tanah tidak memiliki pengaruh jika jumlah kedelai tidak ditambah, dan kayu merupakan bahan bakar alternatif jika minyak tanah tidak tersedia. Sedangkan nilai P-Value setelah kenaikan harga BBM, varabel ragi, tenaga kerja, minyak tanah dan kayu secara statistik tidak nyata dalam memberikan pengaruh terhadap hasil output. Hal ini disebabkan ragi inokulum yang biasa digunakan pengrajin berpindah menjadi ragi campuran untuk memperkecil biaya dan tenaga kerja harus dikurangi karena penurunan skala usaha sehingga lebih efisien dengan mengurangi khususnya tenaga kerja luar. Brahmana (2005) melakukan penelitian mengenai analisis pendapatan dan efisiensi teknis usahatani pada lahan kering dengan pendekatan stochastic frontier di Desa Tanggeung, Jawa Barat. Penelitian ini ingin menganalisis keragaan, pendapatan dan efisiensi teknis usahatani padi lahan kering di Desa Tanggeung. Pengamatan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif dengan pendekatan R/C
24
rasio dan fungsi produksi Stochastic Frontier. Usahatani padi di Desa Tanggeung tidak layak untuk diusahakan karena nilai R/C rasio lebih kecil dari satu yaitu 0,89 yang artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan hanya menghasilkan penerimaan sebesar Rp 0,89. Walaupun demikian, petani sulit meninggalkan usahatani tersebut karena pekerjaan di luar pertanian kurang tersedia dan jika tidak mengusahakannya kembali maka mereka harus membeli padi untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Berdasarkan hasil estimasi parameter Maximum Likelihood untuk fungsi produksi Stochastic Frontier, semua variabel penduga berpengaruh nyata dan positif terhadap produksi padi di Desa Tanggeung, kecuali pestisida dan pupuk kandang. Hal ini dikarenakan gejala menguning pada daun bukan akibat sakit atau terserang hama tetapi karena kekurangan unsur hara sehingga penggunaan pestisida harus dikurangi dan meningkatkan penggunaan pupuk untuk meningkatkan hasil produksi. Pemberian pupuk kandang memberikan efek yang negatif terhadap produksi padi karena pemberian langsung tanpa mengalami proses pembusukan lebih lanjut menyebabkan mikroba yang terdapat pada kotoran hewan tersebut membahayakan tanaman. Berdasarkan hasil estimasi terhadap model fungsi produksi Stochastic Frontier, ternyata memiliki efek inefisiensi teknis. Pendidikan dan pendapatan merupakan faktor yang berpengaruh nyata dan negatif karena semakin banyak tambahan ilmu yang diperoleh petani dan semakin besar pendapatan yang diperoleh petani sebagai modal usaha maka semakin memperkecil tingkat inefisiensi teknis. Penyuluhan memiliki pengaruh yang nyata dan positif terhadap inefisiensi teknis karena kemampuan petani dalam menyerap informasi yang
25
diberikan secara berbeda. Sedangkan pengalaman, banyaknya hari kerja petani dan istri di luar usahatani tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat inefisiensi. Maryono (2008) juga melakukan penelitian mengenai analisis efisiensi teknis dan pendapatan usahatani padi program benih bersertifikat dengan menggunakan pendekatan stochastic production frontier di Desa Pasirtalaga, Kabupaten Karawang. Stochastic production frontier merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi tingkat efisiensi teknis. Penelitian ini membandingkan antara sebelum (masa tanam I) dan setelah (masa tanam II) pelaksanaan program benih padi bersertifikat. Nilai elastisitas jumlah benih pada masa tanam II bernilai negatif. Hal ini diduga terjadi akibat penggunaan benih yang melebihi batas yang diharuskan yaitu 25 kg per ha, sedangkan kondisi dilapangan, petani menggunakan benih dengan dosis 26,60 kg per ha. Variabel TSP pada masa tanam II juga mempunyai nilai elastisitas negatif dan berpengaruh nyata, hal ini kemungkinan terjadi karena residu pupuk akibat pemupukan sebelumnya. Sehingga lahan sawah tidak bisa menyerap kandungan TSP dengan baik. Untuk variabel yang lain pada masa tanam II memiliki nilai yang positif, tetapi yang mempunyai pengaruh nyata adalah urea, obat-obatan dan tenaga kerja. Hasil pendugaan efek inefisiensi teknis menunjukkan bahwa pada masa tanam II faktor-faktor yang nyata berpengaruh dalam menjelaskan inefisiensi teknis di dalam proses produksi petani responden adalah pengalaman, pendidikan dan rasio urea-TSP. Berdasarkan R/C rasio atas biaya total setelah program juga menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan sebelum program. R/C rasio atas biaya total setelah program sebesar mengalami peningkatan sebesar 16,5 persen.
26
Berdasarkan hasil analisis ini menunjukkan seakan-akan program ini memberikan manfaat bagi petani responden. Pendapatan riil atas biaya total masa tanam II juga lebih kecil dibandingan masa tanam I yaitu sebesar 9,9 persen. Kondisi ini terjadi karena kondisi perberasan nasional sedang mengalami kekurangan stok beras sehingga harga beras termasuk juga harga gabah meningkat. Perbedaaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah penelitian ini menganalisis dampak kebijakan pemerintah yaitu kenaikan harga kedelai pada usaha tempe dengan pendekatan analisis fungsi produksi stochastic frontier dengan membandingkan pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai. Pada penelitian terdahulu analisis fungsi produksi stochastic frontier umumnya digunakan untuk usahatani. Sedangkan usaha tempe umumnya diteliti dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas.
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Fungsi Produksi Frontier Tujuan dari proses produksi yaitu mentransformasikan input menjadi output secara efisien. Untuk mengukur efisiensi, ada dua konsep fungsi produksi yang perlu diperhatikan perbedaannya, yaitu fungsi produksi batas (frontier production function) dan fungsi produksi rata-rata (average production function). Fungsi produksi adalah menggambarkan hubungan antara input dan output yang menunjukkan suatu sumberdaya (input) dapat dirubah sehingga menghasilkan produk tertentu (Doll dan Orazem, 1984). Ada beberapa fungsi produksi yang sering digunakan dalam penelitian diantaranya fungsi produksi Cobb-Douglas dan fungsi produksi linier berganda. Fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum yang dapat dihasilkan dalam suatu proses produksi disebut sebagai fungsi produksi frontier. Fungsi produksi frontier merupakan fungsi produksi yang paling praktis atau menggambarkan produksi maksimum yang dapat diperoleh dari variasi kombinasi faktor produksi pada tingkat pengetahuan dan teknologi tertentu (Doll dan Orazem, 1984). Fungsi produksi frontier diturunkan dengan menghubungkan titik-titik output maksimum untuk setiap tingkat penggunaan input. Jadi fungsi tersebut mewakili kombinasi input-output secara teknis paling efisien. Model fungsi produksi stochastic frontier, secara umum adalah sebagai berikut (Aigner, et. al. (1977) dalam Coelli (1996)) : Yi = xiβ + (vi – ui)
28
Dimana : Yi xi β vi ui i
= Produksi yang dihasilkan pengrajin-i = Vektor masukan yang digunakan pengrajin-i = Vektor parameter yang akan diestimasi = Variabel acak yang berkaitan dengan faktor-faktor eksternal (iklim, hama). Sebarannya simetris dan menyebar normal (vit ~ N(o,σv2)) = Variabel acak non negatif, dan diasumsikan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis dan berkaitan dengan faktor-faktor internal. Sebaran uit bersifat setengah normal ( uit ~ | N(o,σv2 | ) = 1,2,3,…n Stochastc frontier disebut juga “composes error model “ karena error term
terdiri dari dua unsur, dimana: ei = vi -ui. Variebel ei adalah spesifik error term dari observasi ke-i. Variabel acak vi berguna untuk menghitung ukuran kesalahan dan faktor-faktor diluar kontrol petani (eksternal) seperti iklim, hama dan penyakit yang disebut sebagai gangguan statistik (statistical noise). Sedangkan variabel ui disebut one-side disturbance yang berfungsi untuk menangkap efek inefisiensi. Komponen error yang bersifat internal (dapat dikendalikan petani) dan lazimnya berkaitan dengan kapabilitas manajerial pengrajin dalam mengelola usahanya direflksikan oleh ui. Komponen ini sebarannya asimetris (one sided) yakni ui ≥ 0. Jika proses produksi berlangsung efisien (sempurna) maka keluaran yang dihasilkan berimpit dengan potensi maksimumnya berarti ui = 0. Sebaliknya jika ui > 0 berarti berada dibawah potensi maksimumnya. Distribusi menyebar setengah normal (ui ~ | N(o,σ2u | ) dan menggunakan metode pendugaan maximum Likelihood (Greene, 1982 dalam Adhiana, 2005). Struktur dasar dari model stochastic production frontier dijabarkan pada Gambar 1. Komponen dari model frontier yaitu f(x β) yang digambarkan dengan mengaplikasikan asumsi deminising return to scale. Pada gambar 1. dapat dijelaskan bahwa aktivitas produksi dari dua pengrajin diwakili oleh simbol i dan
29
j. Pengrajin i menggunakan input sebesar xi dan memperoleh output sebesar yi. Akan tetapi output batas (frontier) dari pengrajin i adalah yi*, melampaui nilai pada fungsi produksi f(x β). Hal ini terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan, dimana variabel vi bernilai positif (Coelli, Rao dan Battese 1998).
y
frontier output (yi*), exp (xiβ + vi), jika vi>0 Production Function Y = exp (xβ)
X frontier outut (yj*), exp (xjβ + vj), jika vj <0
X yj
j
yi
Output Observasi (yi)
i
xi
Output Observasi (yj)
xj
x
Y = Output X = Input
Sumber: (Coelli, Rao dan Battese 1998) Gambar 1. Fungsi Produksi Stochastic Frontier
Sementara itu, petani j menggunakan input sebesar xj dan memperoleh hasil aktual sebesar yj. Akan tetapi hasil batas (frontier) j adalah yj* yang berada dibawah bagian fungsi produksi. Kondisi ini terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan, dimana vi bernilai negatif. Output frontier i dan j tidak dapat diamati atau diukur karena random error dari keduanya tidak teramati. Kondisi ini menggambarkan bagian deterministik pada
30
stochastic frontier function berada diantara output frontier (Coelli, Rao dan Battese, 1998).
3.1.2 Konsep Analisis Efisiensi Teknis dan Inefisiensi Teknis Tujuan suatu usaha adalah untuk meningkatkan produksi dan keuntungan. Asumsi dasar dari efisiensi adalah untuk mencapai keuntungan maksimum dengan biaya minimum. Kedua tujuan tersebut merupakan faktor penentu bagi produsen dalam pengambilan keputusan untuk usahanya. Dalam pengambilan keputusan suatu usaha, seorang pengrajin yang rasional akan bersedia menggunakan input selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan input tersebut sama atau lebih besar dengan tambahan biaya yang diakibatkan oleh tambahan input tersebut. Efisiensi merupakan perbandingan output dengan input yang digunakan dalam suatu proses produksi. Coelli, Rao dan Battese (1998), menyatakan bahwa konsep efisiensi dibedakan menjadi tiga, yaitu : 1) efisiensi teknis (technical efficiency), 2) efisiensi harga (price efficiency), 3) efisiensi ekonomis (economic efficiency). Konsep efisiensi disajikan pada Gambar 2. Efisiensi teknis mengukur tingkat produksi yang dicapai pada tingkat penggunaan input tertentu. Seorang pengrajin secara teknis dikatakan lebih efisien dibandingkan pengrajin lain, apabila dengan penggunaan jenis dan jumlah input yang sama, memperoleh output secara fisik yang lebih tinggi, titik A, namun tidak melibatkan faktor harga. Efisiensi harga atau alokatif mengukur tingkat keberhasilan pengrajin dalam usahanya untuk mencapai keuntungan maksimum yang dicapai pada saat nilai produk marjinal setiap faktor produksi yang diberikan sama dengan biaya marjinalnya, titik B.
31
Efisiensi ekonomis adalah kombinasi antara efisiensi teknis dan efisiensi harga yang ditunjukkan oleh titik C. Fungsi Produksi Frontier, yi = f (xi , β) exp (vi-ui)
Y X
C
A Py Px
X
B
Fungsi Produksi Rata-rata, yi = f (xi , β)
X
A=Efisiensi secara teknis B=Efisiensi secara alokatif C=Efisiensi secara ekonomi
X Gambar 2. Konsep Efisiensi Teknis, Alokatif, dan Ekonomis
Efisiensi teknis dapat diukur dengan pendekatan dari sisi output dan sisi input. Pengukuran efisiensi teknis dari sisi output merupakan rasio dari output observasi terhadap output batas. Indek efisiensi ini digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur efisiensi teknis di dalam stochastic frontier. Pengukuran efisiensi teknis dari sisi input merupakan rasio dari input atau biaya batas (frontier) terhadap input atau biaya observasi. Bentuk umum dari ukuran efisiensi teknis yang dicapai oleh observasi ke-i pada waktu ke-t didefinisikan sebagai berikut (Coelli, Rao dan Battese, 1998) : TE i
yi exp( xi )
exp( xi ui ) exp( xi )
exp( u i )
32
Dimana TE adalah efisiensi teknis pengrajin ke-i, exp (-ui) adalah nilai harapan (mean) dari ui, jadi 0≤TEi≤1. Nilai efisiensi teknis tersebut berhubungan terbalik dengan nilai efek inefisiensi teknis dan hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah output dan input tertentu (cross section data). Pada saat produsen telah menggunakan sumber daya pada tingkat produksi yang masih mungkin ditingkatkan, berarti efisiensi teknis tidak tercapai karena adanya faktor-faktor penghambat. Terdapat banyak faktor penghambat efisiensi teknis di dalam proses produksi. Coelli, Rao dan Battese (1998), membuat model efek inefisiensi teknis diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan variabel acak yang tidak negatif. Untuk usaha ke-i pada tahun ke-t, efek iniefisiensi teknis μi diperoleh dengan pemotongan terhadap distribusi N(|μit,σ|), dengan rumus : μit = δ0 + nitδ + wit dimana zit adalah variabel penjelas, δ adalah parameter skalar, wit adalah variabel acak.
3.1.3 Faktor-faktor Penentu Efisiensi Dalam kontek ekonomi produksi, efisiensi bersumber dari efisiensi teknis, efisiensi harga (alokatif), dan efisiensi ekonomi. Namun dalam penelitian ini hanya akan menganalisis efisiensi teknis. Efisiensi teknis bersumber dari faktor internal (faktor yang dapat dikendalikan oleh pengrajin) dan eksternal (tidak dapat dikendalikan), yaitu perubahan teknologi secara netral yang tidak merubah proporsi faktor produksi dan tidak merubah daya subtitusi teknis antar input. Oleh karena faktor eksternal berada diluar kendali pengrajin maka dianggap “given” contoh: iklim, hama, harga, infrastruktur (Coelli, Rao dan Battese, 1998).
33
Faktor internal berkaitan erat dengan kapabilitas manajerial dalam suatu usaha. Termasuk dalam hal ini adalah tingkat penguasaan teknologi budidaya serta kemampuan mengolah informasi yang relevan dengan usahanya sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara tepat. Faktor-faktor seperti pengalaman, dan pendidikan merupakan indikator penting terkait dengan kemampuan manajerial petani termasuk juga dalam kemampuannya mengadopsi teknologi dan mengelola usahanya sehingga dapat meningkatkan efisiensi.
3.1.4 Analisis Biaya Biaya dapat dibagi sesuai dengan sifat-sifatnya. Sifat biaya terbagi menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Dalam hal-hal tertentu, ada biaya-biaya yang sifatnya merupakan kombinasi dari biaya tetap dan biaya variabel, yaitu biaya semi variabel. Secara sederhana biaya tetap berhubungan dengan waktu dan tidak berhubungan dengan tingkat produksi. Pembayarannya didasarkan pada periode akuntansi tertentu dan besarnya adalah sama. Sampai dengan jumlah output tertentu biaya ini secara total tidak berubah. Sedangkan biaya variabel berhubungan dengan tingkat produksi atau penjualan karena besarnya ditentukan oleh besar volume produksi atau penjualan yang dilakukan. Biaya semi variabel mempunyai ciri-ciri gabungan antara biaya tetap dan biaya variabel. Karena itu di dalam perhitungan break even point hanya kedua bentuk biaya yang pertama saja yang digunakan, yaitu biaya tetap dan biaya variabel.
34
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Kenaikan harga kedelai di pasar dunia beberapa bulan terakhir ini menjadikannya termahal sejak 34 tahun terakhir. Sementara itu, di pasar dalam negeri harga kedelai impor naik lebih dari 100 persen. Sebelum kenaikan harga kedelai hanya Rp 3.500 per kilogram kini melonjak menjadi Rp7.000–7.500 per kilogram. Harga ini masih berpotensi meningkat, menyusul kian menipisnya stok kedelai di pasar dunia. Kenaikan harga kedelai akan meningkatkan biaya produksi pada industri tempe. Hal ini karena bahan baku yang digunakan adalah kedelai impor. Berdasarkan teori ekonomi produksi, kenaikan harga kedelai yang menyebabkan peningkatan biaya produksi akan memungkinkan pengrajin mengurangi penggunaan input produksinya, yang dalam hal ini adalah kedelai yang akan diikuti pengurangan input produksi lainnya. Hal ini dikarenakan pengrajin tempe memiliki keterbatasan modal. Pengurangan penggunaan faktor produksi tersebut akan menyebabkan penurunan output yang dihasilkan, yang pada akhirnya akan menyebabkan pendapatan usaha pengrajin tempe menjadi berkurang. Kenaikan harga input produksi juga akan menyebabkan para pengrajin tempe menjadi lebih efisien dalam penggunaan input produksinya. Output produksi yang dihasilkan dalam jumlah yang sama menggunakan input produksi yang lebih sedikit dibandingkan pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai. Penggunaan input yang lebih sedikit untuk menghasilkan output yang sama berarti mengurangi biaya produksi. Dengan demikian usaha tempe yang dijalankan tidak mengalami kerugian dan pendapatan usahanya yang diterima pengrajin tempe tidak terlalu berkurang.
35
Pada dasarnya penelitian ini akan menganalisis dampak kenaikan harga kedelai terhadap kondisi usaha dan pendapatan usaha pengrajin tempe, yaitu dengan cara menghitung biaya yang harus dikeluarkan, besarnya penerimaan dan besarnya pendapatan usaha pengrajin tempe pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai dan pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai. Besarnya penerimaan pada pengrajin tempe tergantung pada besarnya jumlah produk yang dihasilkan. Pada usaha tempe besarnya jumlah produk yang dihasilkan tergantung pada jumlah kedelai yang akan digunakan. Kerangka pemikiran pada tulisan ini dapat dilihat pada Gambar 3.
3.3 Hipotesa 1. Kenaikan harga kedelai akan menyebabkan pengrajin tempe akan lebih efisien dalam penggunaan faktor produksi. 2. Kenaikan harga kedelai menyebabkan kenaikan harga input dan kenaikan biaya produksi tempe karena kedelai merupakan komponen biaya dengan pesentase atas total biaya terbesar. 3. Kenaikan harga kedelai menyebabkan jumlah produksi tempe yang dihasilkan menurun karena adanya pengurangan penggunaan input produksi. 4. Kenaikan harga kedelai akan menyebabkan pendapatan usaha pengrajin tempe menjadi berkurang.
36
Konsumsi kedelai meningkat
Luas panen dan produksi kedelai menurun
impor kedelai
Pengaruh global dan inflasi harga pangan di tingkat Internasional
Harga kedelai impor meningkat
Harga kedelai nasional meningkat
Jumlah Output
Harga Output
Harga Input
Penerimaan
Biaya Produksi
Fungsi Produksi Stochastic Frontier
Efisiensi Produksi
Jumlah Input
Sumber Inefisiensi
Peningkatan Efisiensi Produksi Usaha Tempe
Pendapatan Usaha R/C rasio
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah ini merupakan salah satu daerah sentra pengrajin tempe di Jawa Barat dan adanya kemudahan dalam memperoleh data pendukung penelitian dalam mencari responden melalui Koperasi Produsen Tempe Tahu (KOPTI) Kabupaten Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari–Juni 2008.
4.2 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer berupa profil pengusaha dan keragaan usaha tempe sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai, diperoleh melalui survei dengan menggunakan teknik wawancara dipandu dengan kuesioner. Survei yang dilakukan adalah survei mengenai kondisi usaha responden pada saat sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai. Data sekunder berupa data industri kecil dan kerajinan rumahtangga, dokumen dan laporan diperoleh dari instansi-instansi terkait, Badan Pusat Statistik, Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor, Koperasi Produsen Tempe Tahu (KOPTI) Kabupaten Bogor serta buku-buku dan literatur-literatur terkait.
4.3 Metode Penentuan Sampel Dalam penelitian ini populasi merupakan para pengrajin tempe di Desa Citeureup Kecamatan Citeureup yang terdaftar sebagai anggota KOPTI
38
Kabupaten Bogor berjumlah 75 orang. Pemilihan sampel dengan kriteria utama yaitu lama usaha lebih dari satu tahun agar dapat melihat dampak kenaikan harga kedelai yang terjadi. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 30 sampel untuk memenuhi aturan umum secara statistik yaitu jumlah sampel ≥ 30 karena sudah terdistribusi normal dan dapat digunakan untuk memprediksi populasi yang diteliti. Metode yang digunakan yaitu simple random sampling dengan cara memberi nomor setiap pengrajin pada populasi kemudian dikocok hingga mendapat 30 sampel terpilih. Metode ini dipilih karena populasinya relatif homogen sehingga memiliki peluang yang sama.
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh, diolah dan dianalisis dengan menggunakan dua cara yaitu kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif disajikan dalam bentuk deskriptif analitik untuk mendukung data kuantitatif. Sedangkan data kualitatif disajikan dalam bentuk tabulasi diolah dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel dan Minitab Release 14. Parameter fungsi produksi stochastic frontier dan model inefisiensi teknis diolah menggunakan program FRONTIER versi 4.1. Analisis yang akan dilakukan merupakan perbandingan antara kondisi sebelum kenaikan harga kedelai (selanjutnya disebut Sebelum) dan kondisi setelah kenaikan harga kedelai (selanjutnya disebut Setelah). Program FRONTIER versi 4.1 digunakan untuk mendapatkan estimasi nilai parameter maximum-likelihood untuk model fungsi produksi stochastic frontier. Program FRONTIER versi 4.1 terdiri atas tiga tahap, yaitu : 1. Mengakumulasi nilai estimasi dari β dan σs2 menggunakan OLS (Ordanary Least Square) semua nilai estimasi β kecuali β0 unbias.
39
2. Dua frase grid search dari fungsi likelihood digunakan untuk mengevaluasi nilai dari γ yang nilainya berkisar antara 0 dan 1. 3. Nilai diseleksi melalui tahap kedua digunakan sebagai nilai awal dalam prosedur iteratif untuk mengestimasi nilai akhir maximum-likelihood.
4.4.1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Analisis data menggunakan alat analisis stochastic frontier production function digunakan untuk menganalisis efisiensi teknis industri tempe dari sisi input dan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis. Dalam penelitian ini fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi stochastic frontier linier berganda. Bentuk fungsi produksi ini diambil karena lebih sederhana dan jarang menimbulkan multikolinier. Input produksi yang digunakan dalam analisis ini adalah kedelai, ragi, kemasan (daun, plastik), bahan bakar kayu, dan tenaga kerja (dalam dan luar keluarga). Dengan memasukkan sebanyak tujuh peubah bebas kedalam persamaan, maka model persamaan penduga fungsi produksi frontier Linier berganda adalah sebagai berikut: Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + vi-ui Dimana:
Y = tingkat produksi tempe per proses produksi (kg) X1 = jumlah bahan baku kedelai per proses produksi (kg) X2 = jumlah ragi per proses produksi (gram) X3 = jumlah bahan bakar kayu per proses produksi (kg) X4 = jumlah tenaga kerja dalam keluarga per proses produksi (jam) X5 = jumlah tenaga kerja dalam keluarga per proses produksi (jam) X6 = jumlah pemakaian kemasan daun per proses produksi (lempit) X7 = jumlah pemakaian kemasan plastik per proses produksi (kg) vi-ui = error term (ui = efek inefisiensi teknis dalam model)
Variabel sisa (random shock) vi merupakan variabel acak yang bebas dan secara identik terdistribusi normal (independent-identically distributed/i.i.d)
40
dengan rataan (mathematical expectation/ui) bernilai nol dan ragamnya konstan, σv2 (N(0, σv2)), serta bebas dari ui. Variabel kesalahan (residual solow) ui adalah variabel yang menggambarkan efek inefisiensi di dalam produksi, diasumsikan terdistribusi secara bebas diantara setiap observasi dan nilai vi. Variabel acak ui tidak boleh bernilai negatif dan distribusinya normal dengan nilai distribusi N(μi,σu2) (Coelli, Rao dan Battese, 1998). Elastisitas produksi adalah persentase perubahan produk yang dihasilkan karena persentase perubahan input produksi yang digunakan. Pada fungsi produksi linier berganda, nilai koefisien dari variabel tidak menunjukkan nilai elastisitas dari setiap variabel sebagaimana fungsi produksi Cobb-Douglas. Hal ini dikarenakan fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan fungsi produksi eksponensial sehingga melalui suatu pembuktian perhitungan tertentu diperoleh bahwa nilai koefisien dari setiap variabel juga menunjukkan elastisitasnya. Sedangkan perhitungan elastisitas dengan menggunakan fungsi produksi linier untuk setiap variabel ke-i adalah sebagai berikut (Doll dan Orazem, 1984) : Persentase perubahanoutput Persentase perubahaninput ke i
Ei
=
y/ y xi / xi y xi x y
Keterkaitan atau korelasi yang erat antara variabel-variabel bebas dalam model menyebabkan adanya masalah multikolinearitas. Masalah multikolinearitas dapat dilihat dari nilai VIF (Variance Inflation Factors) dimana nilai VIF akan
41
lebih dari 10 apabila terdapat masalah multikolinearitas dalam model. Perhitungan VIF dapat dirumuskan sebagai berikut : VIF =
1 1 Ri
2
dengan Ri2 adalah koefisien determinasi i pada Xi terhadap X lainnya.
4.4.2. Analisis Efisiensi dan Efek Inefisiensi Teknis Efisiensi teknis pengrajin ke-i adalah nilai harapan dari (-ui) yang dinyatakan dalam rasio berikut ini : TE i
yi exp( xi )
exp( xi ui ) exp( xi )
exp( u i )
Dimana TE adalah efisiensi teknis pengrajin ke-i, exp (-ui) adalah nilai harapan (mean) dari ui, jadi 0≤TEi≤1. Nilai efisiensi teknis tersebut berhubungan terbalik dengan nilai efek inefisiensi teknis dan hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah output dan input tertentu (cross section data). Metode inefisiensi teknis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model efek inefisiensi teknis yang dikembangkan oleh Coelli, Rao, dan Battese (1998). Variabel ui yang digunakan untuk mengukur efek inefisiensi teknis, diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan N (μi, σ2). Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis pengrajin tempe adalah usia pengrajin (n1), pengalaman usaha tempe (n2), pendidikan (n3), pekerjaan pengrajin di luar usaha (n4), pekerjaan istri di luar usaha (n5), dan pendapatan di luar usaha (n6). Dengan demikian parameter distribusi (μi) efek inefisiensi teknis dalam penelitian ini adalah :
42
μi = δ0 + n1δ1 + n2δ2 + n3δ3 + n4δ4 + n5δ5 + n6δ6 + wit Beberapa hipotesis yang dikemukakan untuk model efek inefisiensi dalam persamaan adalah : 1. Semakin tua usia pengrajin diduga akan mempertinggi tingkat inefisensi karena semakin tua pengrajin maka kemampuan manajerial dalam mengelola usahanya menurun. 2. Semakin lama pengalaman pengrajin memproduksi tempe, diduga akan memperkecil tingkat inefisiensi teknis pengrajin. Pengalaman yang diperoleh pengrajin dari usaha sebelumnya akan menjadi pelajaran untuk pengolahan berikutnya. 3. Semakin tinggi tingkat pendidikan pengrajin diduga memperkecil tingkat inefisiensi teknis pengrajin. Tingginya tingkat pendidikan mengindikasikan tingginya pengetahuan pengrajin dalam mengelola industrinya. 4. Semakin lama pengrajin bekerja di luar usaha, diduga akan memperbesar tingkat inefisiensi teknis pengrajin. Lamanya jam kerja pengrajin diluar usahaya mengakibatkan pengelolaannya tidak optimal. 5. Semakin lama istri pengrajin bekerja di luar usaha, diduga akan memperbesar tingkat inefisiensi dalam usahanya. Lamanya jam kerja istri pengrajin di luar usaha tempe mengakibatkan pengelolaannya tidak optimal. 6. Semakin besar pendapatan di luar usaha, diduga akan memperkecil tingkat inefisiensi teknis pengrajin. Besarnya pendapatan yang diperoleh di luar usaha tempe akan digunakan dalam pengelolaan usahanya sebagai tambahan modal. Pengujian efek inefisiensi dilakukan dengan metode statistik maximumlikelihood pada tingkat kepercayaan α = 0,10 (10 persen). Hasil pengujian
43
FRONTIER 4.1 akan memberikan nilai perkiraan varians dari parameter dalam bentuk parameterisasi berikut ini : σs2 = σv2 + σu2 dan γ = σu2/ σv2 Nilai parameter gamma (γ) berkisar antara nol dan satu. Untuk keputusan penerimaan hipotesa nol (diuraikan dalam bagian uji hipotesa) atau tidak ditentukan oleh nilai kritis.
4.4.3. Uji Hipotesis Pengujian hipotesis hanya dilakukan untuk hasil output efek inefisiensi teknik frontier. Untuk mengetahui apakah ada efek inefisiensi di dalam model menggunakan nilai LR test galat satu sisi. Hipotesis : H0 : γ = δ0 = δ1 = δ2 = δ3 = δ4 = …… = δ7 = 0 H1 : γ = δ0 = δ1 = δ2 = δ3 = δ4 = …… = δ7 > 0 Hipotesis nol artinya efek inefisiensi teknis tidak ada dalam model. Jika hipotesis ini diterima, maka model fungsi produksi rata-rata sudah cukup mewakili data empiris. Uji statistik yang digunakan adalah uji chi-square LR = -2 {ln[L(H0)/L(H1)]} = -2 {ln[L(H0)]-ln[L(H1)]} Dimana L (H0) dan L(H1) masing-masing adalah nilai fungsi likelihood dari hipotesis nol dan hipotesis alternatif. Kriteria uji: LR galat satu sisi > χ 2 restriksi (tabel Kodde dan Palm) maka tolak Ho LR galat satu sisi < χ 2 restriksi (tabel Kodde dan Palm) maka terima Ho
44
Tabel chi-square Kodde dan Palm adalah tabel upper and lower bound dari nilai kritis untuk uji bersama persamaan dan pertidaksamaan restriksi. Nilai γ merupakan kontribusi dari efisiensi teknis didalam efek residual total.
4.4.4. Analisis Pendapatan Analisis pendapatan digunakan untuk melihat manfaat (keuntungan) dari suatu usaha, sehingga dapat dinilai tingkat kelayakan usaha tersebut. Kriteria analisis pendapatan bertitik tolak pada prinsip bahwa efisiensi suatu usaha sangat dipengaruhi oleh nilai input yang digunakan dalam nilai output yang dihasilkan dengan proses produksi. Tujuan utama analisis pendapatan adalah untuk menggambarkan kondisi usaha tempe pada saat ini sebagai masukan bagi perencanaan atau tindakan di masa yang akan datang. Hasil analisis pendapatan dapat digunakan oleh usaha tempe atau pihak lain yang berkepentingan, untuk menilai apakah suatu kegiatan mencapai hasil yang memuaskan atau sebaliknya. Input yang mempengaruhi analisis pendapatan terdiri atas variabel penerimaan atau revenue (R) dan pengeluaran/ biaya atau cost (C) selama jangka waktu tertentu yaitu selama satu periode produksi. Penerimaan usaha tempe merupakan nilai dari keseluruhan produk yang dihasilkan dalam suatu periode produksi. Sedangkan pengeluaran usaha tempe merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan selama satu periode produksi. Pengeluaran usaha tempe dibedakan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang secara keseluruhan tidak berubah walaupun unit yang dihasilkan mengalami perubahan. Biaya tetap dapat meningkat apabila terjadi perubahan kapasitas produksi dalam
45
kisaran tertentu. Biaya variabel adalah biaya yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan kapasitas produksi. Pendapatan rumah tangga usaha tempe diperoleh dari usaha industri tempe dan non usaha industri tempe. Penerimaan usaha industri tempe merupakan hasil perkalian jumlah produksi yang dihasilkan dengan harga produk. Sedangkan penerimaan non usaha industri tempe merupakan pendapatan yang diperoleh dari luar kegiatan industri seperti membuka usaha sembako, menjual makanan dan lain-lain. Sedangkan biaya merupakan hasil perkalian antara jumlah faktor produksi dengan harga faktor produksi. Secara matematis pendapatan dapat ditulis sebagai berikut (James L. Pappas dan Mark Hirschey, 1995): π = TR – TC Dengan ketentuan, TR = Py . Y TC = TFC + TVC = TFC + ΣPxi. Xi Sehingga, π = Py . Y – (TFC + ΣPxi. Xi) Dimana : π TR TC TFC TVC Py Y Pxi Xi i
= keuntungan yang diperoleh oleh pengrajin per periode produksi = total penerimaan yang diperoleh per periode produksi = total pengeluaran yang diperoleh per periode produksi = total biaya tetap = total biaya variabel = harga jual output = jumlah output yang diproduksi = harga input ke-i = jumlah penggunaan input ke-i = 1,2,3,…,n
46
4.4.5. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Rasio) Analisis R/C rasio atau analisis imbangan penerimaan dan biaya adalah perbandingan antara jumlah penerimaan dengan pengeluaran totalnya. Hal ini menunjukan berapa besar penerimaan yang diperoleh sebagai manfaat disetiap rupiah yang dikeluarkan. Maka makin besar nilai R/C makin baik usaha tersebut. Untuk menghasilkan tingkat keberhasilan pengrajin, digunakan rumus sebagai berikut :
R / C rasio
Total Penerimaan Total Pengeluaran
Usaha dikategorikan efisien jika memiliki nilai R/C rasio>1, artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar dari pada tambahan biaya atau secara sederhana kegiatan usaha tempe tersebut menguntungkan. Sebaliknya jika nilai R/C rasio<1 berarti kegiatan usaha tempe yang dilakukan dikategorikan tidak efisien karena setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil atau kegiatan usahatani itu merugikan. Jika nilai R/C rasio = 1 berarti kegiatan usaha tempe berada pada kondisi impas dimana usaha memberikan jumlah penerimaan yang sama dengan jumlah yang dikeluarkan. Nilai revenue (penerimaan) dan cost (biaya) diperlukan agar dapat menghitung R/C rasio dan sekaligus menghitung nilai pendapatan usaha tempe. Pendapatan usaha tempe adalah terdiri dari pendapatan total dan pendapatan tunai. Pendapatan total adalah jumlah total penerimaan dikurangi dengan jumlah total biaya. Pendapatan tunai adalah jumlah total penerimaan dikurangi dengan jumlah biaya tunai.
47
4.5. Definisi Operasional 1. Pengrajin tempe adalah pemilik usaha pembuatan tempe. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengrajin tempe di Desa Citeureup Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor dengan sampel sejumlah 30 orang. 2. Proses produksi tempe adalah proses yang diperlukan untuk mengubah faktor input menjadi output berupa tempe. Satu kali proses produksi untuk membuat tempe memerlukan waktu tiga hari. 3. Produksi tempe (Y) adalah tempe yang dihasilkan dalam satu kali proses produksi. Satuan pengukuran yang digunakan adalah kilogram. 4. Kedelai (X1) adalah jumlah kedelai yang digunakan pengrajin untuk satu kali produksi, diukur dalam kilogram. Kedelai yang digunakan oleh pengrajin di Desa Citeureup seluruhnya menggunakan kedelai impor karena ukurannya lebih besar dan bentuknya seragam. 5. Ragi (X2) adalah jumlah ragi yang digunakan untuk bahan pembibitan dalam pembuatan tempe atau sebagai fermentasi tempe, diukur dalam gram. Ragi yang digunakan pengrajin yaitu ragi tempe (LIPI) tanpa campuran onggok (ampas singkong) dan ragi campuran yaitu ragi tempe (LIPI) yang dicampur onggok dengan perbandingan 1:8-1:10. 6. Bahan Bakar Kayu (X3) adalah jumlah kayu bakar yang digunakan untuk perebusan tempe untuk satu kali proses produksi, diukur dalam kilogram. Bahan bakar kayu yang digunakan pengrajin yaitu kayu batangan, kayu serutan, dan serbuk kayu. 7. Tenaga kerja dalam keluarga (X4) dan tenaga kerja luar keluarga (X5) adalah jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi tempe meliputi
48
penyotiran, pencucian, perendaman, perebusan, pengupasan, penyaringan, peragian, dan pencetakan, diukur dalam satuan jam per hari. 8. Kemasan daun (X6) dan plastik (X7) adalah jumlah daun dan plastik yang digunakan untuk membungkus kedelai selama proses fermentasi dalam satu kali produksi. Kemasan daun diukur dalam lempit sedangkan plastik diukur dalam kilogram. 9. Umur pengrajin (n1) adalah usia pengrajin saat melakukan wawancara, diukur dalam tahun. 10. Pengalaman usaha tempe (n2) adalah lamanya pengrajin dalam mengusahakan tempe, diukur dalam tahun. 11. Pendidikan (n3) adalah lamanya pendidikan formal yang pernah diperoleh, diukur dalam tahun. 12. Pekerjaan pengrajin di luar industri (n4) adalah lamanya pengrajin bekerja di luar industri, diukur dalam tahun. 13. Pekerjaan isteri/suami di luar industri (n5) adalah lamanya isteri pengrajin bekerja di luar industri, diukur dalam tahun. 14. Pendapatan di luar industri (n6) adalah pendapatan yang diterima pengrajin diluar industri dalam satu hari, diukur dalam ribu rupiah (Rp.000).
V GAMBARAN UMUM PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian Desa Citeureup terletak di Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Letak Desa sekitar 0,5 km dari pusat Kecamatan Citeurep, 11 km dari Kabupaten Bogor dan 150 km dari ibukota Provinsi Jawa Barat. Desa Citeureup tergolong dataran rendah dengan ketinggian 400 meter dpl, suhu udara sedang dan curah hujan rata-rata 110 mm per tahun. Luas Desa Citeureup adalah 311 hektar, dengan perbatasan wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Gunung Putri dan Bantarjati
Sebelah Selatan
: Karang Asem Timur dan Karang Asem Barat
Sebelah Barat
: Puspanegara dan Karang Asem Barat
Sebelah Timur
: Gunung Sari, Bantarjati dan Lulut
Penduduk Kecamatan Citeureup berjumlah 170.489 jiwa, terdiri atas 86.820 jiwa laki-laki dan 83.669 jiwa perempuan. Jumlah penduduk yang datang ke Kecamatan Citeureup selama 1 Januari – 31 Desember 2006 berjumlah 1.388 dengan rincian jenis kelamin laki-laki 670 jiwa dan perempuan 718 jiwa (BPS, 2007). Desa Citeureup tidak memiliki lahan pertanian karena lahannya kurang subur, sehingga sebagian besar penggunaan lahan digunakan untuk industri, baik industri besar, sedang, kecil dan rumah tangga. Semakin banyaknya industri yang dibangun di atas lahan pertanian berarti mengurangi kesempatan kerja di sektor pertanian dan membuka peluang kerja di industri tersebut. Hal ini terlihat dari
50
penyerapan tenaga kerja baik dari dalam maupun luar industri yang berkembang di Desa Citeureup. Sejak tahun 1970-an daerah Citeureup telah ditetapkan pemerintah sebagai salah satu pusat pembangunan industri atau zona industri di Bogor, khususnya industri besar dan menengah. Kebijakan ini terutama berkaitan dengan kebutuhan perluasan wilayah bagi proyek-proyek industri ke daerah sekitar DKI Jakarta. Dengan adanya kebijakan ini telah mendorong masyarakat dari dalam maupun dari luar desa untuk bekerja di sektor industri sebagai pegawai industri.
5.2 Gambaran Umum KOPTI Kabupaten Bogor 5.2.1 Sejarah Singkat, Visi dan Misi KOPTI Kabupaten Bogor Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (KOPTI) Kabupaten Bogor didirikan pada tanggal 2 November 1980. Semenjak satu tahun berdirinya, KOPTI telah mengalami tiga kali pergantian kepengurusan. Pada tanggal 11 November 1981, KOPTI mengadakan reorganisasi total dengan menyusun kepengurusan baru. Pada tanggal 18 Juni 1993 melalui surat Keputusan Kantor Wilayah Koperasi Jawa Barat, KOPTI Kabupaten Bogor ditetapkan sebagai badan hukum dengan nomor 7848/BH/DK-10/9. Pada tanggal 17 Juli 1997 KOPTI Kabupaten Bogor melakukan daftar ulang dengan nomor 7848/BH/PAD/KWK-10/VII/97. SIUP KOPTI Kabupaten Bogor bernomor 0330/BH/10/84 tanggal 17 November 1984. KOPTI Kabupaten Bogor beralamat di Jl. Raya Cilendek No.27 Bogor . Visi KOPTI Kabupaten Bogor adalah menjadi koperasi penghimpun pengrajin tempe dan tahu di Kabupaten Bogor yang berdedikasi dan terspesialisasi. Berdedikasi tinggi berarti KOPTI dapat dipercaya sebagai tempat peningkatan dan pemerataan kesejahteraan lahir dan batin anggotanya.
51
Terspesialisasi berarti KOPTI merupakan koperasi khusus beranggotakan pengrajin yang menggunakan bahan baku utamanya kedelai. Misi KOPTI Kabupaten Bogor adalah meningkatkan kesejahteraan anggotanya yaitu pengrajin tempe dan tahu di Kabupaten Bogor. Pernyataan misi merupakan alas an pokok berdirinya KOPTI dan membantu mengesahkan fungsi KOPTI dalam masyarakat. Sedangkan tujuan umum KOPTI adalah memajukan kesejahteraan anggotanya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat maju, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan tujuan khusus KOPTI adalah mengatasi kelemahan-kelemahan teknik produksi pengrajin tempe dan tahu yang menjadi anggotanya, posisi tawar-menawar pengrajin dalam pengadaan bahan baku serta kepastian harga dan mengatasi permodalan pengrajin.
5.2.2 Struktur Organisasi dan Keanggotaan KOPTI Kabupaten Bogor Personalia Dewan Pengurus KOPTI Kabupaten Bogor periode masa bhakti 2007-2011 berdasarkan keputusan Rapat Anggota Tahunan tanggal 27 Februari 2007 terdiri atas : Ketua
: Sukhaeri SP, SE
Sekretaris
: Endang Maulana, SE
Bendahara
: Rikamto
Dalam melaksanakan tugas sehari-hari pengurus berpedoman kepada tata kerja dan uraian tugas pengurus. Untuk membantu tugas operasional Dewan Pengurus terhadap bidang kegiatan organisasi, usaha dan keuangan ditempatkan seorang manajer dan 3 orang asisten manajer serta 29 orang karyawan termasuk Kepala Wilayah
52
Pelayanan. Sesuai dengan fungsi dan bidangnya, susunan personalia tim manajemen adalah sebagai berikut : Manajer
: Herdi Budiman, S. sos
Asisten Manajer Organisasi : Lalu Wirakarman, SH Asisten Manajer Usaha
: Dede Nurilawati
Asisten Manajer Keuangan
: Dra. Yayah Juariah
Keanggotaan KOPTI Kabupaten Bogor sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga secara normatif sama dengan keanggotaan koperasi pada umumnya yang membedakan adalah secara spesifik anggota KOPTI adalah para pengrajin pengolah bahan makanan dari kedelai. Perkembangan anggota KOPTI secara kuantitatif tidak mengalami perubahan karena sejak tahun 2000 yaitu sebanyak 966 orang karena KOPTI tidak melakukan penerimaan anggota baru dan apabila ada anggota yang meninggal dunia maka salah satu dari anggota keluarganya menggantikan, dengan demikian jumlah keanggotaan KOPTI Kabupaten Bogor per 31 Desember 2007 sesuai dengan jenis dan wilayahnya dapat dilihat pada lampiran 2.
5.2.3 Bidang Usaha KOPTI Kabupaten Bogor Kegiatan usaha yang dilakukan oleh KOPTI Kabupaten Bogor dititikberatkan untuk upaya peningkatan pelayanan usaha yang sebelumnya telah ada. Kegiatan usaha yang sampai saat ini masih dijalankan oleh KOPTI Kabupaten Bogor adalah sebagai berikut : 1. Pengadaan Kedelai Sejak kebijakan pemerintah mencabut kewenangan BULOG dalam memfasilitasi pengadaan kedelai untuk memenuhi kebutuhan KOPTI dan
53
anggotanya kepada mekanisme pasar, secara perlahan anggota mengalami kesulitan karena fluktuasi harga yang hampir setiap saat dapat berubah-ubah yang kecenderungannya terus naik, sementara para pedagang kedelai banyak bermunculan sehingga para pengrajin termasuk anggota KOPTI menjadi lahan dan rebutan para pedagang yang saling berlomba yang menyebabkan posisi KOPTI hamper ditinggalkan oleh anggotanya. Sejalan dengan waktu persaingan semakin tinggi dan tidak terkendali, pola hutang menghutang menjadi jalan pintas yang pada ujungnya posisi tawar anggota pengrajin semakin lemah. Harga yang berfluktuasi dan hutang yang semakin menumpuk menyebabkan anggota kembali terjebak oleh rentenir. Usaha yang dijalankan hanya melayani sebagian anggota yang selama tahun 2007 sebanyak 911.791 kg. Seluruh anggota KOPTI berharap agar kerjasama KOPTI dengan BULOG yang pernah terjalin selama 20 tahun dapat diwujudkan kembali 2. Usaha Simpan Pinjam (USP) Dalam perjalan selama tahun 2007 secara umum usaha simpan pinjam berjalan lancar sekalipun pelan tapi pasti baik jumlah anggota yang dilayani maupun jumlah pinjaman ada peningkatan. Sampai dengan 31 Desember 2007 anggota yang memanfaatkan USP sebanyak 291 orang dengan jumlah pinjaman Rp. 1.513.050.800,-. 3. Usaha Angkutan Usaha angkutan yang dikelola oleh KOPTI hanya mampu untuk menutupi biaya-biaya opersional perawatan kendaraan, hal ini karena KOPTI sangat membatasi jenis barang maupun tujuan barang yang diangkut. Kebijakan ini
54
didasarkan agar kendaraan yang dimiliki tetap terjaga baik karena jenis kendaraan yang cukup tua sehingga bila dipaksakan diperlukan biaya yang sangat tinggi. 4. Usaha Penunjang Dalam rangka tetap menjaga kesinambungan antara organisasi dan usaha dengan melihat situasi dan kondisi yang sudah berubah maka usaha yang kadang tidak terkait secara langsung dengan anggota tetapi mempunyai nilai ekonomis maka dijalankan juga oleh KOPTI Kabupaten Bogor seperti : a. Sewa
tempat,
yaitu
menyewakan
sarana
yang selama
ini
kurang
dimaksimalkan. Sarana yang disewakan terdiri atas gedung waserda disewakan kepada PT Indomarco Gudang. Gedung barang lantai bawah sebagian disewakan kepada PUSKUD Jawa Barat. Kios non permanen ada lima kios yang disewakan kepada rental mobil, kios makanan dan warung nasi. Satu ruang kantor lantai dua disewakan untuk bimbingan belajar Jarimatika. b. Usaha lainya, yaitu menyediakan mesin pengupas kedelai dan penyedian ragi tempe. Selama tahun 2007 KOPTI telah mengeluarkan mesin pengupas kedelai sebanyak 19 buah, dan telah menyalurkan ragi sebanyak 18.000 kg.
5.3 Karakteristik Pengrajin Tempe Desa Citeureup 5.3.1 Usia Pengrajin Tempe Usia dapat mempengaruhi tingkat kinerja seseorang. Karena itu ada yang dinamakan usia produktif yakni usia antara 20 tahun sampai 60 tahun. Rata-rata usia responden adalah 42,1 tahun, dengan umur termuda adalah 24 tahun. Sebaran usia terbanyak adalah antara usia 31-40 tahun yaitu sebesar 36,67 persen. Sedangkan sebaran paling sedikit yaitu antara usia 20-30 tahun yaitu sebesar
55
13,33 persen. Dilihat pada Tabel 8. menunjukkan bahwa usia pengrajin tempe di Desa Citeureup berada pada usia produktif.
Tabel 10. Sebaran Responden Menurut Usia di Desa Citeureup Tahun 2008 Usia (tahun) Jumlah (orang) Kontribusi (%) 20-30 4 13,33 31-40 11 36,67 41-50 9 30,00 51-60 6 20,00 Jumlah 30 100,00
5.3.2 Lama Pendidikan Pengrajin Tempe Tingkat
pendidikan
yang
dimiliki
seseorang
umumnya
dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menyerap dan memahami informasi yang disampaikan. Pada umumnya keseluruhan responden tidak memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi tetapi umumnya pengrajin dapat menerima informasi dan teknologi yang berkaitan dengan pembuatan tempe. Sebaran lama pendidikan responden terbesar didominasi antara 4-6 tahun sebanyak 63,33 persen. Sedangkan sebaran lama pendidikan terkecil yaitu antara 10-12 tahun sebanyak 3,33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pembuatan tempe tidak terlalu dipengaruhi oleh faktor lama pendidikan.
Tabel 11. Sebaran Responden Menurut Lama Pendidikan di Desa Citeureup Tahun 2008 Lama Pendidikan (tahun) Jumlah (orang) Kontribusi (%) 1-3 5 16,67 4-6 19 63,33 7-9 5 16,67 10-12 1 3,33 Jumlah 30 100,00
56
5.3.3 Pengalaman Usaha Pengrajin Tempe Keterampilan yang didapat pengrajin tempe di Desa Citeureup sebagian besar diperoleh dari bekerja atau belajar dari orang lain yaitu sebanyak 20 orang atau sebesar 66,67 persen. Sedangkan sisanya yaitu sebanyak 10 orang atau sebesar 33,33 persen diperoleh dari turun-temurun. Hal ini terjadi karena banyak pengrajin tempe di Desa Citeureup merupakan pendatang yang mengusahakan tempe dan bertempat tinggal di Desa tersebut. Sebaran pengalaman terbesar antara 11-20 tahun yakni sebesar 43,33 persen dan pengalaman terkecil pada kisaran 110 tahun atau sebesar 6,67. Pengalaman pengrajin merupakan faktor yang mempengaruhi dalam kemampuan pembuatan tempe. Namun bukan jaminan untuk menjadikan usaha pengrajin tempe tersebut berkembang atau tidak, karena masih ada faktor lain seperti keterbatasan modal yang dimiliki dan motivasi pengrajin untuk mengembangkan usahanya.
Tabel 12. Sebaran Responden Menurut Pengalaman Usaha Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008 Pengalaman Usaha (tahun) Jumlah (orang) Kontribusi (%) 1-10 2 6,67 11-20 13 43,33 21-30 9 30,00 31-40 6 20,00 Jumlah 30 100,00
5.3.4 Pengalaman sebagai Anggota KOPTI Kabupaten Bogor Pengrajin tempe yang akan menjadi anggota KOPTI harus memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota yaitu 1). Mempunyai kemampuan penuh untuk melakukan tindakan hukum (dewasa, tidak dalam perwalian, sehat jasmani dan rohani), 2). Berdomisili di Kabupaten Bogor, 3). Berprofesi sebagai pengrajin
57
tempe, 4). Melunasi simpanan pokok, 5). Menyetujui anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan keputusan rapat anggota tahunan. Alasan pengrajin tempe bergabung dalam KOPTI Kabupaten Bogor adalah untuk mempermudah memperoleh kedelai, karena harga yang diberikan lebih murah dan adanya jaminan pasokan kedelai bagi pengrajin tempe. Hal ini karena sampai dengan tahun 1998 KOPTI merupakan penyalur kedelai impor langsung dari pemerintah (BULOG). Sebaran pengalaman sebagai anggota KOPTI terbesar antara 11-15 tahun yakni sebesar 36,67 persen dan pengalaman sebagai anggota KOPTI terkecil pada kisaran 16-20 tahun atau sebesar 16,67. Pengalaman menjadi anggota akan sangat bermanfaat bagi pengrajin tempe, karena KOPTI melakukan penyuluhan mengenai cara pembuatan tempe yang sehat (higienis), lebih cepat memperoleh teknologi pembutan tempe dan adanya pengalaman dalam berorganisasi.
Tabel 13. Sebaran Responden Menurut Pengalaman sebagai Anggota KOPTI Kabupaten Bogor di Desa Citeureup Tahun 2008 Pengalaman sebagai Anggota (tahun) Jumlah (orang) Kontribusi (%) 11-15 11 36,67 16-20 5 16,67 21-25 6 20,00 26-30 8 26,67 Jumlah 30 100,00
5.3.5 Anggota Keluarga (Anak) Pengrajin Tempe Dalam menjalankan usaha tempe, jumlah anggota keluarga sangat mempengaruhi. Semakin besar jumlah anggota keluarga yang dimiliki oleh pengrajin tempe, makan semakin besar pula kebutuhan dan pengeluaran biaya hidup yang harus ditanggung oleh pengrajin, karena umumnya para pengrajin ini
58
tidak memiliki pekerjaan sampingan. Sebaran jumlah anggota keluarga (anak) pengrajin terbesar antara 2-4 orang yakni sebesar 80 persen dan jumlah anggota keluarga (anak) terkecil pada kisaran 9-12 orang atau sebesar 3,33 persen (Tabel 14). Anggota keluarga dalam usaha tempe dapat berfungsi sebagai tenaga kerja dalam keluarga.
Tabel 14. Sebaran Responden Menurut Jumlah Anggota Keluarga di Desa Citeureup Tahun 2008 Anggota Keluarga/Anak (orang) Jumlah (orang) Kontribusi (%) 2-4 24 80,00 5-8 5 16,67 9-12 1 3,33 Jumlah 30 100,00
5.3.6 Cara Pemasaran Pengrajin Tempe Pemasaran merupakan aspek yang paling penting setelah proses produksi karena melalui kegitan pemasaran ini para pengrajin bisa memperoleh penghasilan. Umumnya cara pemasaran tempe yang dilakukan pengrajin tempe di Desa Citeureup adalah dengan cara berjualan di pasar yaitu sebanyak 17 orang atau 56,67 persen. Pasar yang umumnya menjadi tempat sasaran berdagang adalah pasar Citeureup, Cilengsi, Cibinong, dan Wanaherang. Tempat berjualan dapat berupa lapak permanen maupun kaki lima, baik yang telah menjadi milik pribadi maupun yang masih mencicil pembayaran lapak. Responden yang memasarkan produknya dengan cara menjualnya secara keliling sebesar 33,33 persen atau sebanyak 17 orang. Daerah yang menjadi tempat pengrajin tempe untuk menjual produknya adalah Citeureup, Gunung Putri, Cibinong, Cilengsi, Wanaherang, dan Karang Asem sampai Nuduk.
59
Sedangkan jumlah responden yang menjual produknya di pasar dan juga berkeliling sebanyak 3 orang atau sebesar 10 persen dengan dibantu isteri.
Tabel 15. Sebaran Responden Menurut Cara Pemasaran Produk Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008 Cara Pemasaran Jumlah (orang) Kontribusi (%) Keliling 10 33,33 Pasar 17 56,67 Keliling dan pasar 3 10,00 Jumlah 30 100,00
5.4 Proses Produksi Tempe Proses pembuatan tempe memerlukan waktu tiga hari proses produksi sampai tempe dapat dipasarkan untuk dikonsumsi masyarakat. Meskipun demikian proses produksi ini dilakukan setiap hari agar dapat menghasilan setiap hari pula, sehingga tempe dapat dijual setiap hari. Tempe segar dapat disimpan selama satu sampai dua hari. Apabila menyimpan lebih dari dua hari pada suhu ruangan, tempe akan mengalami penyimpangan, baik aroma, rasa, dan penampakan yang sudah tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Penggunaan kedelai tergantung dari besarnya modal yang dimiliki oleh pengrajin. Sedangkan pemakaian input produksi lain seperti ragi, kayu bakar, tenaga kerja, palastik dan daun tergantung pada pemakaian kedelai. Semakin banyak penggunaan kedelai maka semakin banyak pula kebutuhan input produksi lainnya meskipun proporsi peningkatan pada masing-masing input produksi tidak sama. Cara pembuatan tempe pada daerah penelitian umumnya memiliki cara yang sama meliputi pencucian, perebusan, perendaman, pengupasan kulit, peragian, dan pemeraman. Pembuatan tempe dilakukan dengan menggunakan
60
peralatan yang sederhana dan tidak terlalu mahal, begitu pula dengan cara pembuatannya yang sederhana. Namun demikian diperlukan keterampilan khusus dan pengalaman untuk mendapatkan tempe dengan kualitas yang baik.
5.4.1 Kebutuhan Peralatan Proses pembuatan tempe tidak memerlukan banyak peralatan, mengingat usaha tempe dilakukan secara tradisional. Peralatan yang digunakan meliputi drum, mesin pengupas kulit kedelai, kerei atau kajang, saringan, keranjang, rak plastik, dan mesin air. Drum yang digunakan dalam proses produksi yaitu besi dan plastik. Drum besi digunakan untuk merebus kedelai sedangkan drum plastik untuk pencucian, perendaman, pengadukan kedelai dengan ragi, dan menampung air. Harga rata-rata drum besi dan drum plastik masing-masing adalah Rp 87.166,67 dan Rp 103.166,67 per unitnya. Pengrajin di daerah penelitian sudah menggunakan cara yang lebih modern dalam memisahkan biji kedelai dengan kulitnya yaitu dengan menggunakan mesin pengupas kulit kedelai dan tidak dengan cara tradisional yaitu dengan diinjak menggunakan karung. Mesin pengupas kulit kedelai pun ada yang terbuat dari kayu dan besi. Mesin yang terbuat dari kayu ada yang cara kerjanya secara manual dengan diputar menggunakan rantai dan ada juga yang menggunakan dinamo. Sedangkan mesin yang terbuat dari besi cara kerjanya menggunakan dinamo. Harga rata-rata mesin pengupas kayu rantai, mesin pengupas kayu dinamo, dan mesin pengupas besi dinamo masing-masing adalah Rp 350.000, Rp 438.888,89 dan Rp 1.708.333,33 per unitnya. Kerei atau kajang terbuat dari anyaman bambu yang digunakan sebagai tempat meletakkan kedelai yang sudah dicetak selama masa pemeraman. Harga
61
rata-rata kerei adalah Rp 18.500,00 per buahnya. Saringan digunakan untuk menyaring kulit kedelai yang terlepas dari bijinya. Harga rata-rata saringan adalah Rp 4.466,67 per buahnya. Keranjang bambu digunakan untuk mengangkut tempe bagi pengrajin yang menjual tempe secara keliling. Harga rata-rata keranjang bambu adalah Rp 142.857,14. Rak plastik digunakan untuk mengangkut tempe bagi pengrajin yang menjual di pasar. Harga rak plastik yaitu Rp 40.000,00 per buah.
5.4.2 Cara Pembuatan Tempe Hal yang pertama dilakukan pada pembuatan tempe yaitu kegiatan penyotiran kedelai dengan maksud kedelai-kedelai terbebas dari kotoran-kotoran yang melekat. Penyotiran dapat dilakukan dengan cara ditampih dengan menggunakan tampah atau dengan cara manual menggunakan tangan. Setelah kedelai disortir kemudian kedelai dicuci dan direndam dalam air dingin selama 12 jam. Perendaman dimaksudkan untuk mendapatkan kualitas tempe yang baik. Setalah kedelai direndam kemudian kedelai diangkat dan direbus hingga mendidih. Perebusan dimaksudkan untuk melunakkan biji kedelai yang keras sehingga memudahkan ragi untuk menembus kedelai pada saat pemeraman. Kegiatan perendaman dua dilakukan setelah perebusan kedelai dirasa cukup. Kedelai yang telah direbus kemudian dimasukkan dalam air dingin selama 10-12 jam sampai menghasilkan kondisi masam dan berlendir. Tujuan perendaman dua adalah untuk melunakkan dan mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk selama pemeraman. Setelah 10-12 jam kemudian air kedelai dibuang dan kedelai dicuci. Selanjutnya adalah kegiatan pengupasan kulit kedelai dari
62
bijinya dengan mesin. Kegiatan ini bertujuan untuk memudahkan penetrasi enzim dan pertumbuhan miselium kapang yang digunakan. Setelah kegiatan pengupasan kulit kedelai, kemudian kedelai dicuci untuk membuang kulit kedelai dengan cara diaduk-aduk sehingga kulit biji mengapung dan mudah diambil dengan menggunakan saringan. Kemudian biji ditiriskan dan dibiarkan dingin. Pada tahap penirisan dan pendinginan ini, kedelai dimasukkan ke dalam lowa atau drum yang telah dilubangi dengan maksud agar tidak terjadi kelebihan air yang dapat mendorong berkembangnya bakteri. Peragian memegang kunci berhasil tidaknya membuat tempe. Peragian dilakukan dengan mencampur dan mengaduk bersama kedelai hingga merata benar. Ragi yang dipakai untuk membuat tempe umumnya merupakan ragi campuran antara ragi tempe (LIPI) dan onggok. Pemakaian ragi sangat penting karena kekurangan ragi akan membuat tempe tidak jadi. Cuaca juga sangat berpengaruh terhadap pemakaian ragi. Untuk cuaca dingin membutuhkan ragi yang lebih banyak dibandingkan dengan cuaca panas. Setelah kegiatan peragian, selanjutnya adalah kegiatan pengemasan. Kemasan yang digunakan pengrajin pada daerah penelitian yaitu daun pisang dan plastik yang sudah dilubangi sebelumnya. Pengrajin umumnya menggunakan kombinasi antara plastik dan daun atau hanya menggunakan plastik saja. Kegiatan terakhir pada pembuatan tempe yaitu pemeraman yaitu meletakkan biji kedelai yang sudah dicetak dalam kemasan di atas kerei atau kajang selama 32-36 jam hingga tekstur menjadi rapat dan bagian permukaan berwarna putih bagai kapas yang disebut sebagai tempe yang siap dipasarkan dan dikonsumsi masyarakat. Skema pembuatan tempe dapat dilihat pada Lampiran 4.
VI ANALISIS EFISIENSI TEKNIS PRODUKSI
6.1 Pendugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier (SF) Model fungsi produksi yang telah dirumuskan pada metode penelitian diduga dapat menggambarkan hubungan antara produksi dan input-input produksinya. Pendugaan fungsi produksi diperoleh dari data jumlah produksi tempe, kedelai, ragi, kayu bakar, tenaga kerja dalam dan luar keluarga, kemasan daun dan plastik yang digunakan dalam satu kali proses produksi. Pendugaan parameter fungsi produksi stochastic frontier dengan metode Ordinary Least Square (OLS) memberikan gambaran kinerja rata-rata dari proses produksi pengrajin pada tingkat teknologi yang ada. Sedangkan hasil pendugaan dengan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) memberikan gambaran kinerja terbaik (best practice) dari pengrajin responden dengan menggunakan teknologi yang ada. Masalah multikolinearitas antara variabel independent dapat terlihat pada pendugaan awal menggunakan OLS. Setelah diperiksa dengan menggunakan Minitab Release 14, nilai VIF dari masing-masing variabel bebas tidak ada yang lebih dari sepuluh baik pada model regresi kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai sehingga dapat disimpulkan bahwa model di atas tidak terdapat masalah multikolinearitas (lampiran 5 dan 6). Tabel 16 memperlihatkan parameter dugaan fungsi produksi stochastic frontier dengan metode OLS dan MLE beserta nilai signifikansinya dengan menggunakan fungsi produksi Linier Berganda pada usaha pengrajin tempe di
64
Desa Citeureup. Hasil tersebut menggambarkan kinerja rata-rata dan kinerja maksimum dari kombinasi faktor produksi pada tingkat teknologi tertentu. Tabel 16. Perbandingan Parameter Fungsi Produksi Linier Berganda Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai dengan Metode OLS dan MLE pada Usaha Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008 Variabel Konstanta (β0) Kedelai (β1) Ragi (β2) Bahan Bakar Kayu (β3) TKDK (β4) TKLK (β5) Kemasan Daun (β6) Kemasan Plastik (β7) Sigma-squared Gamma F-hitung R-sq (adj) log likelihood function (H0) log likelihood function (H1) LR test of the one-sided error Keterangan:
Sebelum OLS MLE (koef) (koef) -9,401*** -7,546*** 1,227*** 1,225*** 0,011** 0,005 -0,021 0,333** 0,169 0,475*** -0,541* 0,015 -0,018 -0,529*** 7,728*** 5,313***
Setelah OLS MLE (koef) (koef) -3,668 -3,425 1,457*** 1,502*** 0,005 0,013* -0,120 -0,107 -0,557* -0,748*** -0,871* -0,148*** -0,154 -0,157 -0,889 -2,915
50,78 0,99 29,41 99,9 -88,15
43,76
-77,88
20,53
0,59 8,90 99,5 -95,09 -87,47 15,23
*** : nyata pada α 1% ** : nyata pada α 5 % * : nyata pada α 10 %
Koefisien dari variabel-variabel pada fungsi produksi linier berganda tidak menunjukkan elastisitasnya sebagaimana jika menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Karena itu diperlukan perhitungan mengenai elastisitas produksi dari setiap variabel sebagaimana telah dijelaskan pada metode penelitian. Hasil perhitungan nilai elastisitas produksi dari masing-masing variabel disajikan pada Tabel 17. Hasil pendugaan dengan menggunakan fungsi produksi linier berganda (Tabel 17) menunjukkan bahwa, fungsi produksi rata-rata yang terbentuk adalah baik (best fit) yang menggambarkan perilaku pengrajin di dalam proses produksi. Koefisien determinasi dari fungsi produksi rata-rata pada kondisi sebelum
65
kenaikan harga kedelai diperoleh nilai 99,9 persen artinya, input-input yang digunakan di dalam model tersebut dapat menjelaskan 99,9 persen variasi produksi tempe di daerah penelitian. Sedangkan koefisien determinasi pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai bernilai 99,5 persen artinya, input-input yang digunakan di dalam model tersebut dapat menjelaskan 99,5 persen variasi produksi tempe di daerah penelitian. Berdasarkan F-hitung menunjukkan bahwa kedua model baik pada kondisi sebelum maupun setelah kenaikan harga kedelai secara serentak input-input yang digunakan dalam model dapat mempengaruhi produksi tempe karena F-hitung > F-tabel (3,59) pada selang kepercayaan 99 persen.
Tabel 17. Perbandingan Elastisitas Fungsi Produksi Stochastic Frontier Linier Berganda Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai dengan Metode MLE di Desa Citeureup Tahun 2008 Variabel Kedelai (X1) Ragi (X2) Bahan Bakar Kayu (X3) TKDK (X4) TKLK (X5) Kemasan Daun (X6) Kemasan Plastik (X7) Keterangan:
Elastisitas Sebelum 0,959*** 0,020 0,050** 0,029*** 0,0005 -0,020*** 0,044***
Setelah 1,144*** 0,050* -0,015 -0,057*** -0,005*** -0,005 -0,021
*** : nyata pada α 1% ** : nyata pada α 5 % * : nyata pada α 10 %
Berdasarkan perhitungan fungsi produksi stochastic frontier linier berganda dengan metode MLE, pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai diperoleh bahwa input produksi kedelai, bahan bakar kayu, tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan kemasan plastik bernilai positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi. Sebaliknya, input produksi kemasan plastik bernilai negatif dan berpengaruh nyata terhadap produksi. Sedangkan pada kondisi setelah
66
kenaikan harga kedelai diperoleh hasil bahwa input kedelai dan ragi bernilai positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi. Sebaliknya, input produksi tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK) bernilai negatif dan berpengaruh nyata terhadap produksi. a. Kedelai (X1) Jumlah kedelai yang digunakan baik pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai memiliki nilai positif dan berpengaruh nyata pada α 1 persen terhadap produksi tempe. Nilai elastisitas sebelum kenaikan harga kedelai yaitu sebesar 0,959. Artinya, setiap penambahan penggunaan kedelai sebesar 1 persen akan diikuti peningkatan produksi tempe sebesar 0,959 persen (Ceteris Paribus). Sedangkan nilai elastisitas pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai lebih tinggi yaitu sebesar 1,144. Artinya, setiap peningkatan penggunaan kedelai sebesar 1 persen akan diikuti peningkatan produksi tempe sebesar 1,144 persen (Ceteris Paribus). Berdasarkan hasil pendugaan fungsi produksi diketahui bahwa pengrajin masih dapat meningkatkan penggunaan input kedelai untuk meningkatkan produksi tempe. Peningkatan produksi tempe dipengaruhi oleh jumlah kedelai yang digunakan. Peningkatan jumlah kedelai yang digunakan dengan diikuti peningkatan
penggunaan
input-input
produksi
yang
berpengaruh
pada
peningkatan produksi akan meningkatkan hasil produksi. Nilai elastisitas pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai lebih tinggi dibandingkan pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai. Hal ini diduga karena umumnya pengrajin mengurangi penggunaan input kedelai yang berarti juga mengurangi skala usaha
67
sehingga untuk meningkatkan output produksi pengrajin perlu meningkatkan penggunaan input kedelai. b. Ragi (X2) Nilai elastisitas untuk penggunaan ragi baik pada kondisi sebelum maupun setelah kenaikan harga kedelai bernilai positif dan pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai memiliki pengaruh nyata terhadap produksi. Nilai elastisitas ragi sebesar 0,02 dan 0,05 pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai menunjukkan elastisitas produksi batas pada variabel ragi, artinya dengan menambahkan jumlah ragi 1 persen akan menyebabkan penurunan produksi tempe sebesar 0,02 persen dan 0,05 persen pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai (Ceteris paribus). Berdasarkan hasil pendugaan fungsi produksi diketahui bahwa setelah kenaikan harga kedelai pengrajin harus meningkatkan penggunaan input ragi untuk meningkatkan produksi tempenya karena penambahan ragi dapat mempercepat produk tempe jadi. Walaupun demikian penggunaan ragi harus tepat karena jika penggunaan ragi berlebihan dapat menyebabkan tempe cepat jadi tetapi juga cepat busuk dan tempe juga menjadi terlalu basah dan rasanya agak getar sehingga tempe yang dihasilkan tidak maksimal. Sedangkan jika kekurangan ragi tempe lama jadi bahkan resiko terburuk tempe gagal. Penggunaan ragi sangat dipengaruhi cuaca, seperti pada cuaca panas ragi campuran yang digunakan hanya 25-50 gram per 50 kilogram kedelai dibandingkan pada kondisi normal. Sedangkan pada kondisi dingin, ragi yang digunakan dapat mencapai 200-250 gram per 50 kilogram kedelai.
68
Sebagian besar pengrajin di daerah penelitian menggunakan ragi campuran. Setelah terjadi kenaikan harga kedelai beberapa pengrajin yang sebelumnya menggunakan ragi tempe inokulum beralih menggunakan ragi campuran. Alasan pengrajin menggunakan ragi campuran karena dapat menghemat biaya produksi. Harga ragi tempe (LIPI) adalah Rp 6.000-Rp 7.500 per 500 gram sedangkan harga ragi campuran Rp 1.500-Rp 2.000 per 500 gram. c. Bahan Bakar Kayu (X3) Variabel bahan bakar kayu bernilai positif pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai dan berpengaruh nyata pada α 5 persen dengan nilai elastisitas sebesar 0,05. Artinya, penambahan penggunaan bahan bakar kayu sebesar 1 persen dapat meningkatkan produksi tempe sebesar 0,05 persen (Ceteris Paribus). Sedangkan setelah kenaikan harga kedelai, variabel bahan bakar kayu bernilai negatif tetapi tidak berpengaruh nyata pada produksi dengan elastisitas -0,015. Artinya penambahan penggunaan kayu 1 persen dapat mengurangi produksi sebesar 0,015 persen (Ceteris Paribus). Berdasarkan hasil pendugaan fungsi produksi diketahui bahwa setelah kenaikan harga kedelai pengrajin harus mengurangi penggunaan input bahan bakar kayu untuk meningkatkan produksi tempenya. Hal ini diduga karena penggunaan bahan bakar kayu yang melebihi batas pemakaian untuk merebus kedelai. Penggunaan bahan bakar kayu yang berlebihan dapat menghasilkan api yang terlalu besar sehingga saat proses perebusan kedelai menyebabkan kematangan sulit diperkirakan, kedelai dapat terlalu matang atau matang tidak merata karena besar api yang kurang terkendali. Hasilnya kedelai yang kematangan akan menyebabkan tempe cepat busuk sedangkan kedelai yang
69
matang tidak merata akan menyebabkan tempe tidak padat kompak tetapi antar biji terpisah sehingga output tempe yang dihasilkan tidak maksimal. Sebelum terjadi kenaikan harga kedelai, hampir semua pengrajin menggunakan kayu bakar batangan tetapi karena semakin banyak permintaan kayu bakar batangan akibat meningkatnya harga BBM maka persediaannya semakin terbatas sehingga beberapa pengrajin beralih menggunakan alternatif kayu bakar lainnya yaitu kayu serutan dan serbuk kayu yang persediaannya lebih stabil. Pengaruh tidak nyata disebabkan hanya beberapa pengrajin yang beralih dari menggunakan kayu batangan menjadi kayu serutan dan serbuk kayu. Penggunaan kayu bakar batangan menghasilkan api yang lebih stabil karena tidak cepat habis seperti kayu serutan dan serbuk kayu saat proses perebusan sehingga pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai penambahan bahan bakar kayu batangan menyebabkan peningkatan produksi. Harga kayu serutan dan serbuk kayu lebih murah per karungnya dibandingkan dengan harga kayu batangan yaitu Rp 5.000-Rp 6.000 per karung sedangkan harga kayu bakar batangan yaitu Rp 10.000-Rp 12.500 per karung. Tetapi jika dihitung harga ketiga bahan bakar kayu tersebut untuk satu kilogram kedelai maka harga yang harus dibayar hampir sama. d. Tenaga Kerja Dalam Keluarga atau TKDK (X4) Variabel TKDK pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai bernilai positif sedangkan pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai bernilai negatif dan keduanya memiliki pengaruh yang nyata pada α 1 persen terhadap peningkatan produksi. Nilai elastisitas sebelum kenaikan harga kedelai bernilai 0,029 artinya penambahan penggunaan input jam kerja TKDK sebesar 1 persen dapat
70
meningkatkan produksi sebesar 0,029 (Ceteris Paribus). Hal ini diduga karena lamanya waktu yang digunakan untuk mencuci dan merendam kedelai akan mempengaruhi hasil, dimana semakin lama waktu yang digunakan mengakibatkan proses fermentasi berlangsung dengan baik dan tempe yang dihasilkan juga lebih baik. Sedangkan nilai elastisitas setelah kenaikan harga kedelai bernilai -0,057 artinya penambahan penggunaan input jam kerja TKDK sebesar satu persen akan menurunkan produksi sebesar 0,057 (Ceteris Paribus). Hal ini diduga karena umumnya setelah kenaikan harga kedelai pengrajin mengurangi skala usahanya sehingga jam kerjanya harus dikurangi karena jika dengan penggunaan input yang sudah berkurang tetapi tetap melakukan kegiatan yang lama waktunya sama dengan sebelum mengurangi skala usaha maka akan mempengaruhi hasil produksi seperti jika kedelai dicuci terlalu lama karena mengharapkan kedelai yang sangat bersih maka tempe yang dihasilkan menjadi tidak tahan lama tetapi jika terlalu cepat juga dapat menyebabkan tempe yang dihasilkan memiliki rasa asam karena kurang bersih. e. Tenaga Kerja Luar Keluarga atau TKLK (X4) Variabel TKLK pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai bernilai positif tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap produksi tempe. Sedangkan setelah kenaikan harga kedelai bernilai negatif dan berpengaruh nyata terhadap produksi tempe pada α 1 persen. Nilai elastisitas pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai bernilai -0,005 artinya setiap penambahan input jam kerja TKLK 1 persen akan menyebabkan penurunan produksi tempe sebesar 0,005 persen (Ceteris Paribus). Hal ini berarti diperlukan pengurangan jam kerja TKLK untuk
71
meningkatkan produksi tempe karena setelah kenaikan harga kedelai umumnya pengrajin mengurangi skala usahanya sehingga waktu kegiatan produksi juga berkurang. Pengurangan skala usaha bagi hampir sebagian besar pengrajin dapat menyebabkan pengrajin tidak terlalu membutuhkan TKLK. Untuk beberapa pengrajin memberhentikan pekerjanya setelah kenaikan harga kedelai. f. Kemasan Daun (X6) Variabel kemasan daun baik pada kondisi sebelum maupun setelah kenaikan harga kedelai bernilai negatif dan berpengaruh nyata terhadap produksi tempe masing-masing pada α 1 persen pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai. Nilai elastisitas pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai masing-masing bernilai -0,02 dan -0,005. Artinya setiap penambahan penggunaan kemasan daun 1 persen akan menyebabkan penurunan produksi tempe masingmasing sebesar 0,02 dan 0,005 (Ceteris Paribus). Hasil pendugaan variabel kemasan daun menunjukkan bahwa pengrajin sebaiknya mengurangi penggunaan kemasan daun untuk meningkatkan produksi tempe. Kemasan daun dapat menurunkan produksi tempe karena jika daun tidak dibersihkan secara benar maka dapat mempengaruhi pembentukan tempe selama proses fermentasi karena kuman yang terdapat pada daun mengganggu jalannya proses fermentasi sehingga tempe berbecak hitam atau busuk. Selain itu, saat proses pembungkusan cukup memakan waktu dan dikhawatirkan pada proses tersebut kedelai terkontaminasi kuman. Pengaruh tidak nyata pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai karena kemasan daun bagi sebagian pengrajin diproduksi hanya untuk pelanggan yang memesan saja.
72
Penggunaan kemasan daun setelah kenaikan harga kedelai sebaiknya dikurangi karena pengrajin umumnya sedikit mengurangi ukuran tempenya sehingga penggunaan kemasan daun seperti sebelum kenaikan harga kedelai tidak efisien lagi. Kemasan daun memiliki sifat tidak langsung tembus cahaya sehingga tidak terlalu peka terhadap cuaca dan tempe menjadi jarang gagal. Kemasan daun memiliki perbedaan keawetan dua hari lebih lama dibandingkan dengan kemasan plastik. Beberapa orang beranggapan tempe yang menggunakan kemasan daun lebih wangi, enak, dan ramah lingkungan sehingga tempe yang dihasilkan menjadi optimal. g. Kemasan Plastik (X7) Pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai, variabel kemasan plastik bernilai positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi tempe pada α 1 persen dengan nilai elastisitas pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai sebesar 0,044. Artinya, jika pengrajin menambahkan penggunaan input kemasan plastik 1 persen menyebabkan peningkatan produksi tempe sebesar 0,044 persen (Ceteris Paribus). Sedangkan pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai bernilai negatif dan tidak berpengaruh nyata dengan nilai elastisitas -0,021. Artinya, jika pengrajin menambahkan penggunaan input kemasan plastik 1 persen menyebabkan penurunan produksi tempe sebesar 0,021 persen (Ceteris Paribus). Pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai pengrajin sebaiknya menambahkan penggunaan kemasan plastik. Hal ini diduga karena kemasan plastik lebih bersih dan higienis sehingga kemungkinan terkena kuman saat proses pengemasan dan pemeraman rendah. Selain itu, proses pengemasan dengan menggunakan kemasan plastik membutuhkan waktu yang singkat dan lebih
73
praktis. Sedangkan setelah kenaikan harga kedelai pengrajin sebaiknya mengurangi penggunaan kemasan plastik. Hal ini diduga karena kemasan plastik lebih mudah untuk ditembus oleh cahaya sehingga peka terhadap cuaca yang dapat beresiko gagal. Hal ini dapat diatasi dengan peletakan yang benar saat proses fermentasi sehingga hal ini tidak berpengaruh nyata. Pada cuaca yang cukup panas dan baik untuk proses fermentasi maka peletakan dapat diletakkan di luar ruangan tetapi tetap diletakkan dibawah atap agar cahaya tidak langsung menembus plastik. Sedangkan jika cuaca dingin sebaiknya peletakan di dalam ruangan dan diberikan cahaya seperti lampu untuk menjaga agar suhu ruangan tetap stabil agar tempe yang dihasilkan maksimal. Pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai pengrajin umumnya mengurangi ukuran tempe sehingga tempe yang dikemas menggunakan plastik dengan ukuran yang sama tidak efisien lagi, sebagai contoh pengrajin mengganti ukuran plastik 14x25 menjadi 12x25. Jika pengrajin memproduksi dalam ukuran yang sama tetapi harga lebih tinggi maka dikhawatirkan konsumen tidak mampu untuk membelinya karena daya beli yang rendah.
6.2. Sebaran Efisiensi Teknis Efisiensi teknis dianalisis menggunakan model fungsi produksi stochastic frontier. Sebaran efisiensi teknis mempunyai implikasi penting dalam penyusunan strategi dan peningkatan kemampuan manajerial pengrajin. Nilai indeks efisiensi hasil analisis dikatakan cukup efisien jika lebih besar dari >0,7. Hal ini karena perbedaan antara produktivitas aktual dengan potensi maksimum yang semestinya cukup besar, peluang memperoleh peningkatan produktivitas pada umumnya lebih
74
besar dan peningkatan yang terjadi cukup nyata sehingga dampaknya dapat dirasakan oleh pengrajin. Sebaran efisiensi teknis ditampilkan pada Tabel 18.
Tabel 18. Sebaran Efisiensi Teknis Pengrajin Responden pada Kondisi Sebelum dan Setelah kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008 Indeks Efisiensi Teknis
Jumlah (orang)
≤0,2 0,2-0,3 0,3-0,4 0,4-0,5 0,5-0,6 0,6-0,7 0,7-0,8 0,8-0,9 0,9-1,0 Total Rata-rata Minimum Maksimum
Sebelum Persentase (%) 21 70,00 1 3,33 2 6,67 1 3,33 2 6,67 0 0,00 0 0,00 0 0,00 3 10,00 30 100,00 0,199 1,25.10-9 0,998
Jumlah (orang)
Setelah Persentase (%) 4 13,33 5 16,67 7 23,33 6 20,00 6 20,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 2 6,67 30 100,00 0,393 6,94.10-7 1,000
Pada Tabel 18 terlihat bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai sebesar 0,199 dengan nilai terendah 1,25.10-9 dan nilai tertinggi 0,998. Sedangkan pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai terjadi peningkatan tingkat efisiensi teknis pengrajin responden. Hal ini ditunjukkan dengan angka rata-rata tingkat efisiensi teknis sebesar 0,393 dengan nilai terendah 6,94.10-7 dan nilai tertinggi 1. Nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis yang diperoleh setelah kenaikan harga kedelai masih sangat rendah. Berdasarkan angka-angka tersebut dapat diketahui bahwa dengan terjadinya kenaikan harga kedelai meningkatkan efisiensi teknis rata-rata sebesar 19,4 persen walaupun peningkatannya masih sangat kecil. Peningkatan efisiensi teknis
ini
diduga
terjadi
karena
umumnya
pengrajin
menjadi
lebih
memperhitungkan penggunaan input produksinya agar lebih efisien. Seperti dalam
75
menghasilkan 1 kilogram output tempe, setelah terjadi kenaikan harga kedelai pengrajin menggunakan rata-rata input lebih sedikit dibandingkan sebelum terjadi kenaikan harga kedelai. Penggunaan input yang lebih sedikit setelah kenaikan harga kedelai adalah input kedelai, ragi, bahan bakar kayu, TKLK, kemasan daun dan kemasan plastik. Sedangkan TKDK mengalami peningkatan dari 0,061 jam menjadi 0,076 jam karena pengrajin lebih mengutamakan penggunaan TKDK setelah kenaikan harga kedelai karena disamping pengurangan skala usaha juga untuk menghemat biaya tenaga kerja. Dalam menghasilkan 1 kilogram output tempe diperlukan input kedelai sebesar 0,783 kilogram pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai dan berkurang menjadi 0,762 kilogram setelah kenaikan harga kedelai. Input ragi juga mengalami pengurangan yaitu pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai sebesar 3,975 gram dan setelah kenaikan harga kedelai sebesar 3,828 gram. Penggunaan input bahan bakar kayu juga mengalami pengurangan yaitu pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai sebesar 0,146 kilogram dan setelah kenaikan harga kedelai sebesar 0,143 kilogram. Penggunaan input TKLK juga mengalami pengurangan yaitu pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai sebesar 0,0318 jam dan setelah kenaikan harga kedelai menjadi 0,0315 jam. Begitu pula dengan penggunaan input kemasan daun dan plastik mengalami pengurangan hampir mendekati nol untuk 1 kilogram output tempe sehingga tidak perlu dilakukan perubahan. Pada kemasan daun mengalami pengurangan sebesar 0,005 lempit dari 0,038 lempit menjadi 0,033 lempit dan pada penggunaan kemasan plastik berkurang sebesar 0,001 kilogram dari 0,008 kilogram menjadi 0,007 kilogram.
76
Berdasarkan nilai indeks efisiensi teknis pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai dapat dikemukakan bahwa sebesar 6,67 persen pengrajin tempe memiliki tingkat efisiensi teknis lebih dari 0,7 sedangkan sisanya sebesar 93,33 persen pengrajin tempe memiliki efisiensi yang kurang dari 0,7. Penyebab 93,33 persen pengrajin tempe belum efisiensi secara teknis dapat dihitung dengan membandingkan dua pengrajin yang telah efisiesi secara teknis dengan dua pengrajin yang belum efisiensi secara teknis. Hasil perhitungan diperoleh bahwa untuk menghasilkan 1 kilogram tempe, pengrajin yang telah efisiensi secara teknis menggunakan kedelai sebesar 0,73 kilogram, ragi sebesar 3,9 gram, bahan bakar kayu sebesar 0,15 kilogram, tenaga kerja sebesar 0,14 jam, kemasan daun sebesar 0,04 lempit dan kemasan plastik sebesar 0,01 kilogram. Berdasarkan hasil perhitungan pada pengrajin yang belum efisiensi secara teknis diperoleh bahwa untuk menghasilkan 1 kilogram tempe, input yang digunakan masing-masing kedelai 0,79 kilogram, ragi 4,8 gram, bahan bakar kayu sebesar 0,17 kilogram, tenaga kerja sebesar 0,08 jam, kemasan daun sebesar 0,02 lempit dan kemasan plastik sebesar 0,009 kilogram. Perbedaan hasil yang diperoleh merupakan hal yang menyebabkan efisiensi teknis belum tercapai sehingga pengrajin yang belum efisiensi secara teknis sebaiknya mempelajari pengrajin tempe yang telah efisiensi secara teknis untuk meningkatkan kemampuan manajerial untuk memperoleh tingkat efisiensi teknis hingga mencapai hasil maksimal seperti yang diperoleh pengrajin paling efisien secara teknis.
77
6.3. Sumber-sumber Inefisiensi Teknis Pada Tabel 16 juga dapat dilihat bahwa berdasarkan hasil pendugaan terhadap model fungsi produksi Stochastic Frontier, ternyata kedua model baik pada kondisi sebelum maupun setelah kenaikan harga kedelai memiliki efek inefisiensi teknis. Hipotesis ini dapat dilihat dari nilai LR Test of one-side error lebih besar dari chi-square distribution dengan 8 restriksi yaitu masing-masing 20,53>13,36 dan 15,23>13,36. Artinya tolak H0 pada α 10 persen, ini menunjukkan dalam model fungsi produksi sebelum dan setelah terjadi kenaikan harga kedelai terdapat efek inefesiensi. Berdasarkan hasil sebaran indeks efisiensi teknis, tingkat efisiensi teknis usaha tempe yang dijalankan pengrajin masih sangat rendah. Karena itu, pada bagian ini menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis pada usaha tempe. Hasil pendugaan efek inefisiensi diuraikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Parameter Dugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis Usaha Tempe pada Kondisi Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008 Variabel Konstanta (δ0) Usia (δ1) Pengalaman Usaha (δ2) Pendidikan (δ3) Bekerja di Luar Usaha (δ4) Istri bekerja di Luar Usaha (δ5) Pendapatan di Luar Usaha (δ6)
Sebelum Koef t-hitung
Koef
20,649 -0,344 -0,673 0,708 0,220 -0,275 0,00008
-34,910 0,517 -0,883 2,604 -2,369 0,240 0,0002
1,658* -1,058 -1,556* 0,735 0,254 -3,05*** 1,518*
Setelah t-hitung -1,318 1,419* -1,114 1,543* -1,436* 0,183 2,630***
Keterangan : *** : nyata pada α 1 % ** : nyata pada α 5 % * : nyata pada α 10 %
Hasil pendugaan efek inefisiensi teknis menunjukkan bahwa pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai variabel yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis adalah pengalaman usaha (pada α 10 persen), isteri bekerja di
78
luar usaha (pada α 1 persen) dan pendapatan di luar usaha (pada α 10 persen). Sedangkan pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai variabel yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis adalah usia (pada α 10 persen), pendidikan (pada α 10 persen), bekerja diluar usaha (pada α 10 persen) dan pendapatan di luar usaha (pada α 1 persen). a. Usia (n1) Hasil pendugaan menunjukkan bahwa inefisiensi teknis usaha tempe pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai memiliki nilai yang positif dan memiliki pengaruh nyata pada α 10 persen. Artinya adalah setiap usia pengrajin bertambah 1 persen maka inefisiensi bertambah 0,517 persen (Ceteris Paribus). Hal ini disebabkan karena pengrajin yang lebih muda memiliki kemampuan perhitungan yang lebih tajam dan terbuka terhadap perubahan yang terjadi diluar lingkungan yang mempengaruhi usaha tempenya. Sehingga pengambilan keputusannya lebih tepat untuk perkembangan usahanya. b. Pengalaman Usaha (n2) Pengalaman diukur berdasarkan berapa lama pengrajin sudah menjalankan usaha tempenya. Pengalaman pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai bernilai negatif dan pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai berpengaruh nyata pada α 10 persen terhadap inefisiensi teknis. Artinya, semakin berpengalaman pengrajin maka akan semakin mengurangi inefisiensi teknis (Ceteris Paribus). Dalam hal ini lebih lama pengrajin dalam usaha tempe, akan memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas dalam berusaha tempe sehingga setiap keputusan yang diambil merupakan pembelajaran pengrajin selama berusaha tempe.
79
c. Pendidikan (n3) Respon inefisiensi teknis terhadap pendidikan adalah positif baik pada kondisi sebelum maupun setelah kenaikan harga kedelai dan berpengaruh nyata pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai (pada α 10 persen). Artinya, pendidikan formal yang ditempuh oleh pengrajin tidak berkorelasi dengan peningkatan efisiensi teknis usaha tempe karena umumnya dalam pengambilan keputusan yang tepat untuk usaha tempe lebih membutuhkan pengalaman usaha dan informasi yang lebih mendalam mengenai usaha tempe diperoleh ketika menjalankan usaha (Ceteris Paribus). d. Bekerja di Luar Usaha (n4) Pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai lama waktu kerja pengrajin di luar usaha bernilai positif dan tidak berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis sedangkan pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai bernilai negatif dan berpengaruh nyata pada α 10 persen terhadap inefisiensi teknis. Pengaruh tidak nyata pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai disebabkan sebagian besar pengrajin responden menjadikan usaha tempe sebagai pekerjaan utama sehingga semakin lama pengrajin bekerja di luar usaha tempe maka akan meningkatkan inefisiensi usahanya. Pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai pengrajin yang bekerja diluar usaha dapat menurunkan inefisiensi karena pendapatan yang diperoleh digunakan untuk modal usaha dan tenaga kerja yang dibayar dengan baik dapat bekerja dengan baik pula walaupun dengan pengawasan yang kurang intensif. Umumnya pengrajin yang mempunyai pekerjaan diluar usaha tempe merupakan pengrajin
80
yang memiliki skala usaha cukup besar yaitu penggunaan kedelai lebih dari 100 kilogram per hari dan menggunakan tenaga kerja luar keluarga (Ceteris Paribus). e. Istri Bekerja di Luar Usaha (n5) Lama waktu istri bekerja di luar usaha bernilai negatif dan berpengaruh nyata (pada α 1 persen) pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai dan bernilai positif tetapi tidak berpengaruh nyata pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai. Variabel ini bernilai negatif dan berpengaruh nyata pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai karena pendapatan yang diperoleh digunakan untuk modal usaha tempe. Selain itu, jika skala usaha cukup besar maka hampir semua kegiatan dalam usaha tempe membutuhkan tenaga yang lebih besar seperti tenaga kerja pria. Pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai memiliki nilai positif dan tidak nyata karena hanya beberapa istri saja yang bekerja diluar usaha tempe dan sebagian istri yang bekerja di luar usaha adalah membuka warung sembako maupun nasi di tempat tinggalnya. Sehingga sebenarnya istri masih dapat bekerja di dalam usaha tempe selain dapat menghemat penggunaan biaya tenaga kerja luar keluarga juga dapat mengawasi tenaga kerja luar keluarga yang dipekerjakan (Ceteris Paribus). f. Pendapatan di Luar Usaha (n6) Hubungan pendapatan di luar usaha tempe bernilai positif dan berpengaruh nyata (pada α 10 persen) pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai dan nyata pada α 1 persen pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai. Hal ini berarti semakin besar pendapatan dari luar usaha tempe akan memperbesar
tingkat
inefisiensi teknis. Hal ini disebabkan jumlah pendapatan yang diterima tidak
81
digunakan untuk penambahan modal usaha berikutnya. Proporsi pendapatan yang diperoleh di luar usaha tempe yang digunakan untuk meningkatkan skala usaha lebih kecil dibandingkan yang digunakan untuk konsumsi dan peningkatan kesejahteraan keluarga. Arti koefisien yaitu ketika pendapatan pengrajin diluar usaha bertambah 1 persen akan meningkatkan inefisiensi teknis usaha pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai masing-masing sebesar 0,00008 dan 0,0002 persen (Ceteris Paribus).
VII ANALISIS PENDAPATAN
7.1 Analisis Biaya Produksi Usaha Tempe di Desa Citeureup Setiap kegiatan usaha tidak terlepas dari biaya. Begitu pula dalam kegiatan usaha tempe. Total biaya yang dikeluarkan pada usaha tempe terdiri atas biaya pembelian kedelai, ragi, bahan bakar kayu, kemasan, biaya penyusutan dan biaya tenaga kerja. Biaya penyusutan diperhitungkan dengan asumsi bahwa peralatan tidak memiliki nilai residu. Besarnya biaya produksi tergantung pada pemakaian input dan harga input produksi. Pada Tabel 20 menunjukkan perkembangan harga input produksi pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai. Kenaikan harga kedelai menyebabkan harga kedelai meningkat sebesar 54,95 persen yaitu Rp 4.550,00 per kilogram pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai menjadi Rp 7.050,00 per kilogram pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai.
Tabel 20. Rata-rata Perkembangan Harga Input Produksi Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008 Input Produksi Kedelai Ragi Inokulum Ragi Campuran Kayu Bakar Batangan Kayu Serutan Serbuk Kayu Tenaga Kerja Luar Keluarga Daun Plastik
Satuan kg 500 gram 500 gram kg kg kg jam lempit kg
Harga (Rp) Sebelum Setelah 4.550,00 7.050,00 6.000,00 7.500,00 1.500,00 2.000,00 454,54 568,18 454,54 545,45 857,14 857,14 7095,66 7095,66 2.500,00 3.000,00 16.000,00 22.000,00
Perubahan (%) 54,95 25,00 33,33 25,00 20,00 0,00 0,00 20,00 37,50
Untuk menghemat biaya, umumnya pengrajin menggunakan ragi campuran yaitu ragi tempe yang diproduksi oleh LIPI dicampur dengan onggok. Harga ragi campuran ini rata-rata Rp 1.500 per 500 gram pada saat sebelum
83
kenaikan harga kedelai dan Rp 2.000 per 500 gram pada saat setelah kenaikan harga kedelai. Namun ada juga pengrajin yang lebih menyukai ragi tempe (LIPI) tanpa dicampur dengan bahan lain walaupun dengan harga yang lebih mahal yaitu Rp 6.000 per 500 gram pada saat sebelum kenaikan harga kedelai dan 7.500 per 500 gram pada saat sebelum kenaikan harga kedelai. Dalam proses perebusan kedelai, pengrajin menggunakan 3 macam bahan bakar kayu yaitu kayu batangan, kayu serutan, dan serbuk kayu. Setelah terjadi kenaikan harga kedelai, beberapa pengrajin beralih menggunakan kayu serutan atau serbuk kayu yang sebelumnya menggunakan kayu batangan karena harga kayu batangan yang meningkat sebesar 25 persen akibat permintaan yang meningkat pengaruh dari harga minyak tanah yang meningkat. Walaupun harga kayu serutan meningkat 20 persen tetapi harganya lebih murah jika dibandingkan dengan kayu bakar batangan. Sedangkan harga serbuk kayu stabil karena memang pangrajin umumnya baru menemukan alternatif menggunakan serbuk kayu. Tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi tempe umumnya digunakan tenaga kerja dalam keluarga. Hanya beberapa reponden saja yang menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Beberapa responden memberhentikan pekerjanya karena skala usaha yang menurun menyebabkan pengrajin tidak terlalu memerlukan atau mengurangi tenaga kerja dari luar keluarga. Selain itu, mempekerjakan atau menambah pekerja dari luar juga dapat meningkatkan biaya produksi. Rata-rata upah tenaga kerja per per jam kerja tidak terjadi perubahan yaitu sebesar Rp 7095,66 per jam karena pengrajin belum menaikan upah tenaga kerjanya.
84
Biaya pengemasan termasuk sebagai salah satu komponen biaya produksi. Untuk kemasan pengrajin di daerah penelitian umumnya menggunakan kombinasi plastik dan daun atau hanya menggunakan plastik saja. Kenaikan harga kedelai juga diikuti dengan kenaikan harga plastik sebesar 37,5 persen dan harga daun sebesar 20 persen. Tabel 21 memperlihatkan penggunaan input produksi pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai. Penggunaan input produksi kedelai untuk satu kali proses produksi pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai adalah sebesar 132 kilogram per hari. Akibat kenaikan harga kedelai, penggunaan untuk input produksi kedelai menjadi 94,33 kilogram per hari. Kenaikan harga kedelai telah menyebabkan penggunaan input kedelai menurun sebesar 28,54 persen.
Tabel 21. Penggunaan Input Produksi Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008 Penggunaan Input Kedelai Ragi Bahan Bakar Kayu Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) Daun Plastik
Satuan kg/hari gram/hari kg/hari jam/hari jam /hari lempit/hari kg/hari
Sebelum 132,00 670,00 24,77 10,27 5,37 6,37 1,38
Setelah 94,33 474,15 17,81 9,38 3,90 4,07 0,90
Perubahan (%) -28,54 -29,23 -28,10 -8,67 -27,37 -36,11 -53,33
Penggunaan input produksi ragi menurun sebesar 29,23 persen. Pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai jumlah pemakaian ragi sebesar 670,00 gram per hari. Setelah terjadi kenaikan harga kedelai jumlah pemakaian ragi menjadi 474,15 gram per hari. Penurunan penggunaan ragi dikarenakan penurunan dalam penggunaan kedelai, karena penggunaan ragi tergantung pada
85
jumlah kedelai yang digunakan. Kenaikan harga kedelai juga menyebabkan penggunaan bahan bakar kayu menurun sebesar 28,10 persen. Penggunaan input tenaga kerja dalam keluarga mengalami penurunan sebesar 8,67 persen. Begitu pula dengan penggunaan input tenaga kerja luar keluarga menurun sebesar 27,37 persen. Penurunan ini terjadi karena kenaikan harga kedelai menyebabkan pengurangan penggunaan input kedelai yang berarti juga mengurangi skala usaha sehingga penggunaan tenaga kerja baik dalam dan luar keluarga juga berkurang. Selain itu, untuk menekan biaya beberapa pengrajin memberhentikan tenaga kerja luarnya karena dianggap kurang dibutuhkan untuk memproduksi tempe dengan jumlah kedelai yang berkurang setelah kenaikan harga kedelai. Sedangkan untuk penggunaan kemasan baik input daun maupun plastik mengalami penurunan sebesar 36,11 persen dan 53,33 persen. Biaya produksi yang dikeluarkan pada usaha tempe terdiri atas biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai terdiri atas biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel pada usaha tempe terdiri atas biaya pemebelian kedelai, ragi, bahan bakar kayu, kemasan daun dan plastik serta tenaga kerja luar keluarga. Sedangkan biaya tetap terdiri atas biaya transportasi dan listrik. Biaya yang diperhitungkan dalam usaha tempe ini yaitu biaya penyusutan. Pada Tabel 22 dapat dilihat bahwa persentase atas total biaya terbesar adalah biaya untuk pembelian input kedelai yaitu kondisi sebelum kenaikan harga kedelai sebesar 83,96 persen sedangkan setelah kenaikan harga kedelai mengalami peningkatan sebesar 87,04 persen. Persentase atas total biaya tenaga kerja luar keluarga termasuk persentase atas total biaya terbesar kedua setelah kedelai yaitu pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai bernilai 5,55 persen
86
sedangkan pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai mengalami penurunan sebesar 3,81 persen. Pengurangan ini dikarenakan adanya pengurangan penggunaan input tenaga kerja luar keluarga bagi beberapa pengrajin tempe. Biaya produksi tempe lainnya hanya memberikan kontribusi kecil atas total biaya produksi besarnya kurang dari 3,81 persen.
Tabel 22. Rata-rata Struktur Biaya Usaha Tempe Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008 Uraian
I. Biaya Tunai 1. Biaya Variabel a. Kedelai b. Ragi c. Kayu Bakar d. Daun e. Plastik f. TKLK Total Biaya Variabel 2. Biaya Tetap a. Transportasi b. Listrik Total Biaya Tetap Total Biaya Tunai II. Biaya Diperhitungkan Penyusutan Total Biaya Diperhitungkan Total Biaya Produksi
Sebelum Nilai % Atas (Rp/hari) T. Biaya
Setelah Nilai % Atas (Rp/hari) T. Biaya
Perubahan Nilai (%)
597.533,33 2.949,00 11.590,08 15.933,33 22.080,00 39.500,00 689.585,75
83,96 0,41 1,63 2,24 3,10 5,55 96,90
661.150,00 2.293,59 10.629,61 12.220,00 19.895,33 28.833,33 735.021,86
87,40 0,30 1,41 1,62 2,63 3,81 97,16
10,65 -22,22 -8,29 -23,31 -9,89 -27,00 6,59
17.116,67 2.200,00 19.316,67 708.902,41
2,41 0,31 2,71 99,61
17.116,67 2.200,00 19.316,67 754.338,53
2,26 0,21 2,55 99,63
0,00 0,00 0,00 6,41
2.775,03 2.775,03 711.677,44
0,39 0,39 100,00
2.775,03 2.775,03 757.113,56
0,37 0,37 100,00
0,00 0,00 6,38
Pada Tabel 23 juga dapat diketahui bahwa Total biaya variabel yang harus dikeluarkan mengalami peningkatan sebesar 6,59 persen yaitu Rp 689.585,75 per hari pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai dan Rp 735.021,86 per hari pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai. Peningkatan ini terjadi karena harga kedelai termasuk dalam biaya variabel. Sedangkan pada total biaya tetap tidak terjadi perubahan nilai. Biaya tetap pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai adalah sama sebesar Rp 19.316,67 per hari.
87
Dari biaya variabel dan biaya tetap dapat diketahui bahwa total biaya tunai yang harus dikeluarkan oleh para pengrajin mengalami peningkatan sebesar 6,41 persen yaitu dari kondisi sebelum kenaikan harga kedelai Rp 708.902,41 per hari menjadi Rp 754.338,53 per hari. Secara keseluruhan biaya total produksi tempe mengalami peningkatan sebesar 6,38 persen yaitu Rp 711.677,44 per hari pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai dan Rp 757.113,56 per hari pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai.
7.2 Analisis Penerimaan Usaha Tempe di Desa Citeureup Penerimaan merupakan hasil perkalian antara jumlah barang yang diproduksi (terjual) dengan tingkat harga produk tersebut yang berlaku di pasar atau hasil dari pemasaran atau penjualan hasil usaha. Kenaikan harga kedelai memberikan dampak langsung terhadap usaha pengrajin tempe. Dampak tersebut antara lain pada penggunaan faktor produksi, output produksi, biaya produksi, penerimaan dan pendapatan pengrajin.
Tabel 23. Rata-rata Penerimaan Pengrajin pada Kondisi Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008 Uraian
Sebelum
Setelah
Jumlah Output (kg/hari) Harga Output (Rp/kg) Total Penerimaan Output (Rp/hari) Ampas Kulit Kedelai (karung/hari) Harga Ampas Kulit Kedelai (Rp/hari) Total Peneriman Ampas Kulit Kedelai (Rp/hari) Total Penerimaan (Rp/hari)
168,56 5.220,00 879.900,60 0,88 5.000,00 4.402,20 884.302,80
123,87 6.780,00 839.816,00 0,63 5.000,00 3.146,02 842.962,02
Perubahan (%) -26,52 29,89 -4,56 -28,54 0,00 -28,54 -4,67
Tujuan dari suatu produksi adalah untuk menghasilkan suatu output baik berupa produk barang maupun jasa. Pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa penerimaan pengrajin diperoleh dari output tempe dan ampas kulit kedelai.
88
Kenaikan harga kedelai menyebabkan penurunan jumlah output tempe yang dihasilkan pengrajin yaitu 26,52 persen per hari yaitu dari 168,56 kilogram per hari menjadi 123,87 kilogram per hari. Peningkatan harga yang terjadi setelah kenaikan harga kedelai yaitu sebesar 29,89 persen yaitu dari Rp 5.220,00 per kilogram menjadi Rp 6.780,00 per kilogram. Ampas kulit kedelai yang dihasilkan pengrajin setelah kenaikan harga kedelai menurun sebesar 28,54 persen yaitu dari 0,88 karung per hari menjadi 0,63 karung per hari. Penurunan jumlah ampas kulit kedelai yang dihasilkan karena pengurangan penggunaan input kedelai. Ampas kulit kedelai ini dijual kepada peternak dengan harga Rp 5.000,00 per karung. Secara keseluruhan total penerimaan pengrajin tempe menurun sebesar 4,67 persen yaitu dari Rp 884.302,80 per hari menjadi Rp 842.962,02 per hari. Hal ini disebabkan karena peningkatan harga output tempe sebesar 29,89 lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan harga input kedelai sebesar 54,95 persen. Pengrajin khawatir ditinggalkan konsumennya jika harga tempe ditingkatkan sebesar kenaikan harga input.
7.3 Analisis Pendapatan dan R/C Rasio Usaha Tempe di Desa Citeureup Suatu usaha akan dikatakan menguntungkan jika selisih antara penerimaan dengan pengeluaran bernilai positif. Selisih tersebut akan dinamakan pendapatan atas biaya tunai jika penerimaan totalnya dikurangkan dengan pengeluaran tunainya. Sedangkan apabila penerimaan totalnya dikurangkan dengan biaya totalnya maka selisih tersebut akan dinamakan pendapatan atas biaya total. Perhitungan rata-rata analisis pendapatan ini disajikan pada Tabel 24.
89
Pendapatan atas biaya tunai merupakan pendapatan kotor usaha tempe. Besarnya pendapatan kotor ini mengalami penurunan sebesar 49,52 persen yaitu pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai adalah Rp 175.391,92 per hari dan Rp 88.536,82 per hari. Nilai ini merupakan ukuran kemampuan usaha dalam menghasilkan uang tunai. Usaha tempe ini dapat dikatakan menguntungkan karena memiliki nilai pendapatan atas biaya produksi yang positif.
Tabel 24. Rata-rata Pendapatan dan R/C Rasio Usaha Tempe pada Kondisi Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008 Uraian PENDAPATAN Pendapatan atas Biaya Tunai Pendapatan atas Biaya Total R/C RASIO R/C Rasio atas Biaya Tunai R/C Rasio atas Biaya Total
Sebelum Nilai (Rp/hari)
Setelah Nilai (Rp/hari)
Perubahan (%)
175.400,39 172.625,36
88.623,49 85.848,46
-49,47 -50,27
1,25 1,24
1,12 1,11
-10,42 -10,41
Pendapatan atas biaya total merupakan pendapatan bersih usaha tempe. Besarnya pendapatan bersih ini pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai adalah Rp 172.625,36 dan Rp 85.848,46 atau mengalami penurunan pendapatan sebesar 50,27 persen. Pendapatan bersih ini merupakan ukuran imbalan yang diperoleh pengrajin dari penggunaan input produksi tenaga kerja dan modal usahanya. Salah satu cara untuk mengukur efisiensi usaha tempe ini adalah menghitung rasio antara penerimaan dan biaya. Total penerimaan dibandingkan dengan biaya tunai atau R/C rasio atas biaya tunai pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai nilainya adalah 1,25 artinya, jika pengrajin tempe menambah biaya produksinya sebesar Rp 100,00 maka akan meningkatkan penerimaan sebesar Rp
90
125,00. Begitu pula dengan R/C rasio atas biaya tunai setelah kenaikan harga kedelai memiliki nilai 1,12 yang berarti jika pengrajin tempe menambah biaya produksinya sebesar Rp 100,00 maka akan meningkatkan penerimaan sebesar Rp 112,00. Dengan demikian pengrajin akan memperoleh tambahan pendapatan atas biaya tunai lebih kecil setelah terjadi kenaikan harga kedelai yaitu sebesar Rp 12,00 sedangkan pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai pengrajin menerima tambahan pendapatan sebesar Rp 25,00. Total penerimaan dibandingkan dengan biaya total dinamakan R/C rasio atas biaya total yang besarnya pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai masing-masing adalah 1,24 dan 1,11. Artinya, jika pengrajin meningkatkan biaya totalnya Rp 100,00 maka akan memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp 124,00 pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai dan Rp 111,00 setelah kenaikan harga kedelai. Dengan demikian, terjadi penurunan tambahan pendapatan total sebesar Rp 13,00. Pada kondisi sebelum terjadi kenaikan harga kedelai tambahan pendapatan total sebesar Rp 24,00. Sedangkan setelah kenaikan harga kedelai tambahan pendapatan totalnya sebesar Rp 11,00. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total memiliki nilai yang lebih besar dari satu baik pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai yang berarti usaha tempe yang dijalankan sudah dapat menutupi keseluruhan biaya yang dikeluarkan dan dapat dikatakan menguntungkan. Dengan demikian usaha tempe di Desa Citeureup masih dapat diteruskan dan ditingkatkan.
VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan 1. Kenaikan harga kedelai mempengaruhi kondisi usaha pengrajin tempe di Desa Citeureup. Hal ini dapat dilihat dari penurunan seluruh penggunaan input produksi, salah satunya yaitu input kedelai penggunaannya menurun sebesar 28,54 persen dari 132 kilogram per hari menjadi 94,33 kilogram per hari. Harga kedelai dalam penelitian ini meningkat sebesar 54,95 persen dari Rp 4.550,00 per kilogram menjadi Rp 7.050,00 per kilogram. 2. Kenaikan harga kedelai menyebabkan berkurangnya jumlah output produksi yang dihasilkan yaitu sebesar 26,52 persen dari 168,56 kilogram per hari menjadi 123,87 kilogram per hari dikarenakan adanya pengurangan penggunaan input produksi. 3. Kenaikan harga kedelai juga menyebabkan kenaikan total biaya produksi yaitu sebesar 6,4 persen karena kedelai merupakan persentase atas total biaya terbesar dalam usaha yaitu sebesar 87,40 persen. Sedangkan penerimaan total dan pendapatan total pengrajin tempe mengalami penurunan sebesar 4,67 persen dan 50,27 persen akibat kenaikan harga kedelai. Walaupun demikian, setelah kenaikan harga kedelai usaha tempe di Desa Citeureup masih menguntungkan dan dapat diteruskan karena nilai R/C rasio lebih besar dari satu yaitu sebesar 1,1 yang artinya tambahan biaya akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar. 4. Pada kondisi sebelum maupun setelah kenaikan harga kedelai, penggunaan input produksi tempe di Desa Citeureup masih belum efisien, tetapi setelah
92
kenaikan harga kedelai efisiensi teknis pengrajin tempe meningkat walaupun masih sangat kecil sebesar 19,4 persen. Hal ini dikarenakan rata-rata tingkat efisiensi teknis masih sangat rendah yaitu 39,3 persen pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai sehingga peningkatannya menjadi sulit ditambah perubahan harga yang terjadi. Penurunan pendapatan belum mampu ditutupi oleh peningkatan efisiensi teknis, walaupun telah melakukan penyesuaian harga output sebesar 29,89 persen yaitu dari Rp 5.220,00 per kilogram menjadi Rp 6.780,00 per kilogram, tetapi belum mampu meningkatkan atau mempertahankan pendapatan usaha sehingga perlu ditingkatkan lagi efisiensi teknisnya. 5. Pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai, inefisiensi teknis usaha tempe meningkat dengan bertambahnya usia pengrajin, jam kerja isteri bekerja di luar usaha dan pendapatan pengrajin di luar usaha. Sedangkan inefisiensi teknis usaha tempe menurun dengan bertambahnya pengalaman usaha yang dimiliki pengrajin dan jam kerja pengrajin di luar usaha.
8.2 Saran 1. Berdasarkan hasil penelitian setelah kenaikan harga kedelai, untuk meningkatkan output produksi pengrajin tempe sebaiknya meningkatkan kapasitas produksinya yang berarti meningkatkan penggunaan input produksi sesuai dengan kemampuan modal yang dimiliki pengrajin tempe di Desa Citeureup. 2. Pengrajin tempe yang belum efisiensi secara teknis perlu untuk mempelajari pengrajin tempe yang telah efisiensi secara teknis untuk meningkatkan
93
kemampuan manajerial untuk memperoleh tingkat efisiensi teknis hingga mencapai hasil maksimal. 3. Penelitian selanjutnya diharapkan menganalisis tingkat efisiensi alokatif dan ekonomis sehingga diperoleh analisis efisiensi yang lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Adhiana. 2005. Analisis Efisiensi Ekonomi Usahatani Lidah Buaya (Aloe vera) di Kabupaten Bogor: Pendekatan Stochastic Production frontier [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Amang, B., M.H. Sawit, dan Rachman A. 1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press. Bogor. Apretty, B.J. 2000. Analisis Dampak Krisis Ekonomi Pada Industri tempe Skala Kecil (Studi Kasus : Di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Pertanian. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2004. Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2006. Jumlah Penduduk di Indonesia. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2006. Perkembangan Produksi, Konsumsi, dan Impor Kedelai di Indonesia. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2006. Impor Kedelai Menurut Negara Asal. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2007. Jumlah Penduduk yang Datang Selama 1 januari-31 Desember 2006 Menurut jenis Kelamin Dirinci Per Kecamatan di Kabupaten Bogor. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2008. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai di Indonesia Tahun. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2008. Perkembangan Harga Tertinggi Kedelai Indonesia dan Perkembangan Rata-rata Harga Kedelai Internasional. Jakarta. Brahmana, M.C. 2005. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Teknis Usaha tani Padi Lahan Kering Dengan Pendekatan Stochastic Frontier (Di Desa Tanggeung, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat) [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Pertanian. Bogor. Cahyadi, W. 2007. Kedelai: Khasiat dan Teknologi. Bumi Aksara. Jakarta. Coelli, T., D.S.P. Rao, dan G.E. Battese 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Kluwer Academic Publisher. London. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor. 2008. Daftar Perusahaan Tahu/Tempe di Kabupaten Bogor. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor. Jawa Barat.
95
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor. 2008. Data Kebutuhan Kedelai per Kecamatan di Kabupaten Bogor. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor. Jawa Barat. Doll, J. P. dan F. Orazem. 1984. Production Economics : Theory with Aplications. Edisi kedua. Jhon Wiley and Sons. United States of America. Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia. 2008. Laporan Perkembangan KOPTI Tahun 2007. Kabupaten Bogor. Latifah, F. N. 2006. Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Pendapatan Usaha Pengrajin Tempe (Kasus Pada Anggota Koperasi Primer Tahu Tempe (Primkopti) Kelurahan Cilendek, Kotamadya Bogor) [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Pertanian. Bogor. Maryono. 2008. Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Padi Program Benih Bersertifikat: Pendekatan Stochastic Production Frontier (Studi Kasus di Desa Pasirtalaga, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang) [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Pertanian. Bogor. Pappas, J. L. dan M. Hirschey. 1995. Ekonomi Manajerial. Edisi Enam. Jilid 1. Drs. Daniel Wirajaya [penerjemah]. Binarupa Aksara. Jakarta. Suharno, P. dan W. Mulyana. 1996. Industri Tahu dan Tempe. Di dalam: Amang B et al. editor. Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press. Bogor. Soekartawi, Soeharjo A, L. D. John, dan B. J. Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. UI Press. Jakarta.
LAMPIRAN
97
Lampiran 1. Daftar Perusahaan Tahu / Tempe Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor (2007) No. 1. 2.
Nama Perusahaan Sentra Pengrajin Tempe (± 100 orang) Tahu
Alamat Kp/Ds. Citeureup Rt. 08/01
Nama Pemilik (*Ketua Kelompok) * Sutrisno Sugiri Dkk Lalan
Kp. Kamurang Rt. 02/04 Kel. Puspanegara 3. Tahu Kp. Kamurang Rt. 02/04 Dani Kel. Puspanegara 4. Tahu Kp. Kebon Kopi Rt.04/01 Muhtar Kel. Puspanegara 5. Tahu Kp. Kebon Kopi Rt.04/01 Suherman Kel. Puspanegara 6. Tahu Kp. Kebon Kopi Rt.02/09 Dadan Desa Puspasari 7. Tahu Kp/Ds. Sanja Rt. 03/05 Solihin 8. Tahu Kp/Ds. Sanja Rt. 03/05 M. Hamid 9. Tahu Kp/Ds. Citeureup Rt. 08/01 Sudarmo Jumlah Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, 2008
Kapasitas Produksi (hari) 12.500
Kebutuhan Bahan Baku (kg) 10.000
Investasi (Rp) 250.000.000
Tenaga Kerja (orang) 2
200
100
8.000.000
4
200
100
10.000.000
4
300
150
10.000.000
4
400
200
12.000.000
5
800
400
20.000.000
20
400 400 800 16.000
200 200 400 11.750
10.000.000 10.000.000 15.000.000 345.000.000
5 4 5 53
98
Lampiran 2. Rekapitulasi Pengrajin Tempe Tahu dan Kebutuhan Kedelai KOPTI Kabupaten Bogor Tahun 2007 No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Wilayah Pelayanan Cimanggis Citeureup Cibinong Sawangan I Sawangan II Parung I Parung II Depok I Depok II Semplak Kedung Halang Cimanggu I Cimanggu II Ciomas Ciawi Cisarua Caringin Pancasan Cikereteg Cijeruk Leuwiliang Ciampea Cibungbulang Jumlah
Jenis Produk Tempe Tahu 59 87 47 55 13 54 41 69 120 28 17 12 23 0 2 0 1 6 11 0 30 31 0 706
9 6 6 7 4 31 3 0 6 0 12 5 1 11 13 25 24 30 7 18 8 1 33 260
Anggota 68 93 53 62 17 85 44 69 126 28 29 17 24 11 15 25 25 36 18 18 38 32 33 966
Jumlah Kebutuhan Kedelai 257.500 261.000 206.500 161.000 44.000 257.750 149.500 217.000 343.000 74.000 84.500 58.000 66.800 29.400 46.200 63.000 59.000 114.000 70.000 64.400 96.000 88.800 78.400 2.889.750
Tenaga Kerja 281 381 219 255 72 370 178 276 510 112 127 73 97 55 73 125 124 174 79 90 159 129 165 4124
Sumber : Koperasi Produsen Tempe Tahu (KOPTI) Kabupaten Bogor, 2008
99
Lampiran 3. Karakteristik Pengrajin Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008 No.
Nama
JK
Usia (tahun)
Jumlah Tanggungan Keluarga (orang)
Alamat
Lama Pendidikan Formal (tahun)
Pengalaman Mengusahakan Tempe (tahun)
Pengalaman Sebagai Anggota KOPTI (tahun)
Asal Keterampilan
Pekerjaan Pengrajin di Luar Indstri
Pekerjaan Isteri/Suami di Luar Industri
1
Daris
L
49
11
RT.08/RW.01
6
30
15
Bekerja dari orang lain
-
2
Darji
L
42
2
RT.03/RW.01
3
31
26
Belajar dari orang lain
-
3
Damuri
L
52
3
RT.08/RW.01
6
38
26
Bekerja dari orang lain
-
4
Tarbu
L
41
3
RT.08/RW.01
5
15
23
Bekerja dari orang lain
-
Membuka warung sembako -
5
Tarjuki
L
40
2
6
20
18
Bekerja dari orang lain
-
-
6
Ciswo
L
50
5
No. 26 RT.08/RW.01 RT.08/RW.01
4
31
26
Belajar dari orang lain
-
7
H. Karnadi
L
42
4
RT.08/RW.01
6
23
23
Bekerja dari orang lain
Menjual kedelai
Membuka warung nasi Membuka warung sembako
8
L
37
4
RT.08/RW.01
12
17
11
Turun temurun
Wiraswasta
9 10
Achmad Sunarto Marjuki Turah
L L
54 39
7 3
RT.08/RW.01 RT.08/RW.01
2 6
38 8
23 11
Bekerja dari orang lain Turun temurun
11
Trisno
L
48
4
RT.08/RW.01
6
27
18
Turun temurun
12 13
Suwono H. Tafsir
L L
40 58
4 4
RT.08/RW.01 RT.08/RW.01
6 6
20 24
18 23
Bekerja dari orang lain Bekerja dari orang lain
14
Aspari
L
55
6
RT.08/RW.01
2
40
26
Belajar dari orang lain
15
Sudarno
L
41
6
RT.08/RW.01
6
28
26
Bekerja dari orang lain
16
Wahadi (dilanjutkan anak-Darwanti)
P
27
2
RT.08/RW.01
9
30
26
Turun temurun
17
Wais
L
45
3
RT.08/RW.01
6
27
11
Bekerja dari orang lain
18
Parihin
L
39
3
RT.08/RW.01
5
19
13
Turun Temurun
Pedagang ikan asin Pengrajin dan pedagang tahu -
Pedagang kulit, oncom, dan kikil -
Ibu Rumah Tangga
Ibu Rumah Tangga Pedagang ikan asin Membuka warung Menjual kuekuean Pedagang tahu Menjual ayam potong Pedagang kulit, oncom, dan kikil Ibu Rumah Tangga
100 No.
Nama
JK
Usia (tahun)
Jumlah Tanggungan Keluarga (orang)
Alamat
Lama Pendidikan Formal (tahun)
Pengalaman Mengusahakan Tempe (tahun)
Pengalaman Sebagai Anggota KOPTI (tahun)
Asal Keterampilan
Pekerjaan Pengrajin di Luar Indstri
19
Rochmat
L
42
3
RT.08/RW.01
9
15
11
Turun Temurun
20
Ramadi
L
36
2
RT.08/RW.01
3
15
11
Turun Temurun
Menyewakan mobil untuk angkut pasir dll -
21 22
Noto Cakupi
L L
28 35
2 4
RT.08/RW.01 RT.08/RW.01
9 6
8 18
11 11
Bekerja dari orang lain Bekerja dari orang lain
Wiraswasta
23
Bejo
L
60
6
RT.06/RW.01
6
20
21
Belajar dari orang lain
24
Sugiri
L
40
4
RT.08/RW.01
9
26
21
Belajar dari orang lain
toge dan kulit
25
Sutrio
L
58
3
RT.08/RW.01
2
26
26
Turun temurun
Tukang bangunan
26
L
24
3
RT.08/RW.01
9
38
26
Turun temurun
27 28
Suhali (dilanjutkan anak-Riyadi) Taryali Khudori
L L
30 37
2 3
RT.08/RW.01 RT.08/RW.01
6 6
18 18
11 18
Turun temurun Belajar dari orang lain
29
Casmin
L
40
3
RT.08/RW.01
5
18
18
30
Carubi
L
35
3
RT.08/RW.01
6
18
11
-
Pekerjaan Isteri/Suami di Luar Industri Ibu Rumah Tangga Membuka warung nasi dan sembako Membuka warung sembako Ibu Rumah Tangga -
-
Membuka warung sembako -
Belajar dari orang lain
Pembuat gilingan kedelai -
Belajar dari orang lain
-
Ibu Rumah Tangga -
101
Lampiran 4. Diagram Alir Proses Pembuatan Tempe Kedelai Pencucian dan Perendaman I (1-2 jam) Perebusan
Perendaman II (10-12 jam) Pencucian dan Penirisan
Mesin Pengupas kedelai
Pengupasan Kulit dari Biji Kedelai Pencucian dan Penyaringan Penirisan dan Pendinginan
Ragi Tempe
Peragian Pengadukan
- Plastik -Daun Pisang
Pengemasan Pemeraman (32-36 jam)
Tempe
102
Lampiran 5. Model Analisis Regresi Linier Berganda Sebelum Kenaikan Harga Kedelai pada Responden di Desa Citeureup Tahun 2008 Regression Analysis: Tempe (kg/ha versus Kedelai (kg/, Ragi (gram/h, ... The regression equation is Tempe (kg/hari) = - 9.40 + 1.23 Kedelai (kg/hari) + 0.0106 Ragi(gram/hari) - 0.021 Kayu Bakar (kg/hari) + 0.168 TKDK (jam/hari) - 0.541 TKLK (jam/hari) - 0.018 Daun (lempit/hari) + 7.73 Plastik (kg/hari) Predictor Constant Kedelai (kg/hari) Ragi (gram/hari) Kayu Bakar (kg/hari) TKDK (jam/hari) TKLK (jam/hari) Daun (lempit/hari) Plastik (kg/hari) S = 5.33539
Coef -9.401 1.22747 0.010566 -0.0207 0.1683 -0.5411 -0.0181 7.728
R-Sq = 99.9%
SE Coef 3.671 0.02859 0.005721 0.1274 0.2879 0.3637 0.2767 2.754
T -2.56 42.93 1.85 -0.16 0.58 -1.49 -0.07 2.81
P 0.018 0.000 0.078 0.872 0.565 0.151 0.948 0.010
VIF 9.9 9.1 5.5 1.7 8.3 3.3 9.9
R-Sq(adj) = 99.9%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 7 22 29
SS 586057 626 586684
Source Kedelai (kg/hari) Ragi (gram/hari) Kayu Bakar (kg/hari) TKDK (jam/hari) TKLK (jam/hari) Daun (lempit/hari) Plastik (kg/hari)
DF 1 1 1 1 1 1 1
MS 83722 28
F 2941.10
P 0.000
Seq SS 585525 239 1 25 26 18 224
Unusual Observations Obs 7 8 24
Kedelai (kg/hari) 350 150 450
Tempe (kg/hari) 450.500 180.000 600.000
Fit 442.711 194.280 597.588
SE Fit 4.541 1.773 4.965
Residual 7.789 -14.280 2.412
St Resid 2.78R -2.84R 1.23 X
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Durbin-Watson statistic = 1.95930
103
Lampiran 6. Model Analisis Regresi Linier Berganda Setelah Kenaikan Harga Kedelai pada Responden di Desa Citeureup Tahun 2008 Regression Analysis: Tempe (kg/ha versus Kedelai (kg/, Ragi (gram/h, ... The regression equation is Tempe (kg/hari) = - 3.67 + 1.46 Kedelai (kg/hari) + 0.00488 Ragi (gram/hari) - 0.120 Kayu Bakar (kg/hari) - 0.557 TKDK (jam/hari) - 0.871 TKLK (jam/hari) - 0.154 Daun (lempit/hari) - 0.89 Plastik (kg/hari) Predictor Constant Kedelai (kg/hari) Ragi (gram/hari) Kayu Bakar (kg/hari) TKDK (jam/hari) TKLK (jam/hari) Daun (lempit/hari) Plastik (kg/hari) S = 6.72436
Coef -3.668 1.45670 0.004881 -0.1201 -0.5574 -0.8706 -0.1543 -0.889
R-Sq = 99.6%
SE Coef 4.494 0.05487 0.009159 0.2024 0.3294 0.5366 0.6355 5.426
T -0.82 26.55 0.53 -0.59 -1.69 -1.62 -0.24 -0.16
P 0.423 0.000 0.599 0.559 0.105 0.119 0.810 0.871
VIF 9.9 6.8 5.8 1.9 9.5 4.8 6.5
R-Sq(adj) = 99.5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 7 22 29
SS 281816 995 282811
Source Kedelai (kg/hari) Ragi (gram/hari) Kayu Bakar (kg/hari) TKDK (jam/hari) TKLK (jam/hari) Daun (lempit/hari) Plastik (kg/hari)
DF 1 1 1 1 1 1 1
MS 40259 45
F 890.36
P 0.000
SE Fit 3.68 3.41 3.91
Residual 11.89 -15.44 -11.27
Seq SS 281568 1 30 86 128 3 1
Unusual Observations Obs 1 8 17
Kedelai (kg/hari) 70 100 200
Tempe (kg/hari) 98.80 120.00 260.20
Fit 86.91 135.44 271.47
St Resid 2.11R -2.67R -2.06R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1.92980
104
Lampiran 7. Output Fontier Linier Berganda Sebelum Kenaikan Harga Kedelai pada Responden di Desa Citeureup Tahun 2008 Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal data file = benar.dta Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function The dependent variable is logged the ols estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 -0.94007816E+01 0.36711860E+01 -0.25606933E+01 beta 1 0.12274682E+01 0.28589787E-01 0.42933802E+02 beta 2 0.10565989E-01 0.57209009E-02 0.18469099E+01 beta 3 -0.20748211E-01 0.12744433E+00 -0.16280216E+00 beta 4 0.16826889E+00 0.28789489E+00 0.58448027E+00 beta 5 -0.54112551E+00 0.36373095E+00 -0.14877082E+01 beta 6 -0.18095315E-01 0.27669098E+00 -0.65399004E-01 beta 7 0.77280915E+01 0.27537050E+01 0.28064340E+01 sigma-squared 0.28466346E+02 log likelihood function = -0.88146669E+02 the estimates after the grid search were : beta 0 -0.49205453E+01 beta 1 0.12274682E+01 beta 2 0.10565989E-01 beta 3 -0.20748211E-01 beta 4 0.16826889E+00 beta 5 -0.54112551E+00 beta 6 -0.18095315E-01 beta 7 0.77280915E+01 delta 0 0.00000000E+00 delta 1 0.00000000E+00 delta 2 0.00000000E+00 delta 3 0.00000000E+00 delta 4 0.00000000E+00 delta 5 0.00000000E+00 delta 6 0.00000000E+00 sigma-squared 0.40947837E+02 gamma 0.77000000E+00 iteration = 0 func evals = 20 llf = -0.87403064E+02 -0.49205453E+01 0.12274682E+01 0.10565989E-01-0.20748211E-01 0.16826889E+00 -0.54112551E+00-0.18095315E-01 0.77280915E+01 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.40947837E+02 0.77000000E+00 gradient step iteration = 5 func evals = 52 llf = -0.85946687E+02 -0.49283596E+01 0.12278456E+01 0.61012200E-02 0.88216008E-01 0.10718553E+00 -0.49516796E+00-0.34687907E-01 0.77326612E+01 0.15606840E-02-0.67725860E-01 -0.11387465E+00 0.47934723E-01-0.58219794E-02-0.75019502E-01 0.45194754E-04 0.40948095E+02 0.83135910E+00 iteration = 10 func evals = 73 llf = -0.82437318E+02 -0.52468886E+01 0.12227295E+01 0.33607655E-02 0.20538607E+00 0.21835521E+00 -0.36922463E+00-0.14546356E+00 0.77426213E+01 0.10457540E+00 0.48299042E-01 -0.50442279E+00 0.13317723E+01-0.37537281E+00-0.52635678E+00 0.67667099E-04 0.40985336E+02 0.91677270E+00 iteration = 15 func evals = 140 llf = -0.81764966E+02 -0.72769753E+01 0.12270294E+01 0.40467410E-02 0.21330752E+00 0.34944239E+00 -0.30147356E+00-0.23356458E+00 0.73220446E+01 0.47010233E+00 0.16789646E-01 -0.59955180E+00 0.13694929E+01-0.26384225E+00-0.52881120E+00 0.76616653E-04 0.41185086E+02 0.93686377E+00 iteration = 20 func evals = 247 llf = -0.81564918E+02 -0.82701637E+01 0.12191104E+01 0.63119244E-02 0.30627000E+00 0.31634673E+00 -0.36684740E+00-0.28335540E+00 0.72446671E+01 0.14387687E+01-0.63315178E-01 -0.43819190E+00 0.13465458E+01-0.62680903E-01-0.69019875E+00 0.86592160E-04 0.41710674E+02 0.94929941E+00 iteration = 25 func evals = 370 llf = -0.81235647E+02 -0.87478630E+01 0.12186804E+01 0.61348712E-02 0.30758235E+00 0.35167175E+00 -0.37515753E+00-0.28276943E+00 0.75335105E+01 0.11774887E+02-0.24444412E+00 -0.46452885E+00 0.87965636E+00-0.46966155E-01-0.10123224E+01 0.10104399E-03 0.46660580E+02 0.96350110E+00 iteration = 30 func evals = 466 llf = -0.78522265E+02
105
-0.73568042E+01 0.12251278E+01 0.46845259E-02 0.32886292E+00 0.46799156E+00 -0.27059616E-02-0.51135726E+00 0.53383334E+01 0.20885695E+02-0.34887449E+00 -0.65739593E+00 0.67964059E+00 0.21003146E+00-0.32565697E+00 0.80472836E-04 0.50901442E+02 0.99999999E+00 iteration = 35 func evals = 510 llf = -0.77939254E+02 -0.75228181E+01 0.12249787E+01 0.46485272E-02 0.33216580E+00 0.47492905E+00 0.15338744E-01-0.52755762E+00 0.52884462E+01 0.20694131E+02-0.34344807E+00 -0.67235950E+00 0.70264542E+00 0.21720550E+00-0.27541189E+00 0.80506934E-04 0.50803267E+02 0.99999999E+00 iteration = 38 func evals = 536 llf = -0.77881688E+02 -0.75455249E+01 0.12247271E+01 0.46633980E-02 0.33277866E+00 0.47459368E+00 0.14814777E-01-0.52893995E+00 0.53127847E+01 0.20648844E+02-0.34365007E+00 -0.67290344E+00 0.70802319E+00 0.22023036E+00-0.27490711E+00 0.80644970E-04 0.50782192E+02 0.99999999E+00 the final mle estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 -0.75455249E+01 0.57370013E+00 -0.13152385E+02 beta 1 0.12247271E+01 0.20072306E-01 0.61015766E+02 beta 2 0.46633980E-02 0.44800831E-02 0.10409177E+01 beta 3 0.33277866E+00 0.13629587E+00 0.24415902E+01 beta 4 0.47459368E+00 0.11662164E+00 0.40695165E+01 beta 5 0.14814777E-01 0.20111545E+00 0.73663048E-01 beta 6 -0.52893995E+00 0.91288188E-01 -0.57941773E+01 beta 7 0.53127847E+01 0.40745737E+00 0.13038873E+02 delta 0 0.20648844E+02 0.12450903E+02 0.16584214E+01 delta 1 -0.34365007E+00 0.32488490E+00 -0.10577595E+01 delta 2 -0.67290344E+00 0.43239844E+00 -0.15562115E+01 delta 3 0.70802319E+00 0.96266742E+00 0.73548057E+00 delta 4 0.22023036E+00 0.86663952E+00 0.25411992E+00 delta 5 -0.27490711E+00 0.90114648E-01 -0.30506374E+01 delta 6 0.80644970E-04 0.53120500E-04 0.15181515E+01 sigma-squared 0.50782192E+02 0.59984805E+01 0.84658427E+01 gamma 0.99999999E+00 0.28770414E-06 0.34757928E+07 log likelihood function = -0.77881690E+02 LR test of the one-sided error = 0.20529958E+02 with number of restrictions = 8 [note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 38 (maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = 30 number of time periods = 1 total number of observations = 30 thus there are: 0 obsns not in the panel covariance matrix : 0.32913184E+00 0.12436786E-01 -0.42625780E-02 -0.20288710E+00 0.22869457E+00 0.18656536E+00 0.15012615E+00 0.11786778E+01 -0.43516776E+01 0.75026442E-01 0.11125672E-01 -0.10966906E+00 -0.12413875E+00 -0.10323564E+01 0.33382597E-05 -0.18998760E+01 0.37327615E-06 0.12436786E-01 0.40289749E-03 -0.40875886E-04 -0.19025351E-02 0.17377038E-02 0.78419491E-03 0.40516574E-04 -0.88196282E-02 0.21069587E-02 0.13804654E-02 -0.56850975E-03 -0.61557442E-02 -0.58235738E-02 -0.48740731E-02 0.29444703E-07 0.12797129E-02 0.14106278E-08 -0.42625780E-02 -0.40875886E-04 0.20071145E-04 0.36612908E-03 -0.44289241E-03 -0.67103924E-03 -0.21527375E-03 -0.17884328E-02 -0.42451741E-02 -0.27746945E-03 0.58419283E-03 0.82016437E-03 0.74785122E-03 0.35754007E-03 0.18719610E-07 -0.19654651E-02 -0.40084604E-09 -0.20288710E+00 -0.19025351E-02 0.36612908E-03 0.18576565E-01 -0.14014636E-01 -0.23497062E-01 0.12879075E-03 0.54829527E-01 -0.54700772E-01 -0.93890216E-02 0.15446371E-01 0.15576740E-01 0.18439476E-01 -0.42277627E-01 0.36141849E-05 -0.16911749E-01 -0.24284697E-09 0.22869457E+00 0.17377038E-02 -0.44289241E-03 -0.14014636E-01 0.13600606E-01 0.24021791E-01 0.14304639E-02 -0.10084503E+00 0.35224438E+00 0.55043752E-02 -0.19609702E-01 -0.16301416E-01 -0.16632459E-01 0.66146051E-01 -0.43181287E-05 0.15282041E+00 -0.38367523E-08 0.18656536E+00 0.78419491E-03 -0.67103924E-03 -0.23497062E-01 0.24021791E-01 0.40447425E-01 0.18327304E-01 0.92020441E-01 -0.20617214E+00 0.91378863E-02 -0.16074331E-01 -0.30707400E-02 0.90328477E-03 -0.35277933E-01 -0.24861247E-05 -0.92665998E-01 0.31741560E-07 0.15012615E+00 0.40516574E-04 -0.21527375E-03 0.12879075E-03 0.14304639E-02 0.18327304E-01 0.83335332E-02 -0.11510197E+00 0.42042851E+00 -0.12905249E-02 -0.12599094E-01 -0.70602073E-02 0.82450006E-02 0.49949134E-01 -0.21935887E-05 0.19021569E+00 -0.97092406E-08 0.11786778E+01 -0.88196282E-02 -0.17884328E-02 0.54829527E-01 -0.10084503E+00
106
0.92020441E-01 -0.11510197E+00 0.16602151E+00 0.36403437E+01 0.29012290E-01 -0.23280856E+00 0.78463054E-01 0.34902535E-01 0.12283148E+01 -0.22532324E-04 0.15187294E+01 -0.28838269E-06 -0.43516776E+01 0.21069587E-02 -0.42451741E-02 -0.54700772E-01 0.35224438E+00 -0.20617214E+00 0.42042851E+00 0.36403437E+01 0.15502498E+03 -0.27104949E+01 -0.57345013E+00 -0.69012943E+01 0.49264939E+00 -0.52415116E+01 0.21976743E-03 0.73434890E+02 0.93139584E-06 0.75026442E-01 0.13804654E-02 -0.27746945E-03 -0.93890216E-02 0.55043752E-02 0.91378863E-02 -0.12905249E-02 0.29012290E-01 -0.27104949E+01 0.10555020E+00 -0.69287576E-01 -0.58153524E-02 -0.71264149E-01 0.53835855E-01 0.16008176E-05 -0.12760917E+01 -0.65729405E-09 0.11125672E-01 -0.56850975E-03 0.58419283E-03 0.15446371E-01 -0.19609702E-01 -0.16074331E-01 -0.12599094E-01 -0.23280856E+00 -0.57345013E+00 -0.69287576E-01 0.18696841E+00 0.53989770E-01 -0.14183612E-01 -0.16250581E-01 -0.70023668E-05 -0.27681314E+00 -0.50066809E-07 -0.10966906E+00 -0.61557442E-02 0.82016437E-03 0.15576740E-01 -0.16301416E-01 -0.30707400E-02 -0.70602073E-02 0.78463054E-01 -0.69012943E+01 -0.58153524E-02 0.53989770E-01 0.92672857E+00 0.22218864E+00 0.23956695E+00 -0.21141398E-04 -0.32720285E+01 0.11175671E-07 -0.12413875E+00 -0.58235738E-02 0.74785122E-03 0.18439476E-01 -0.16632459E-01 0.90328477E-03 0.82450006E-02 0.34902535E-01 0.49264939E+00 -0.71264149E-01 -0.14183612E-01 0.22218864E+00 0.75106405E+00 0.15480312E+00 -0.28474433E-04 0.22083042E+00 0.21770107E-07 -0.10323564E+01 -0.48740731E-02 0.35754007E-03 -0.42277627E-01 0.66146051E-01 -0.35277933E-01 0.49949134E-01 0.12283148E+01 -0.52415116E+01 0.53835855E-01 -0.16250581E-01 0.23956695E+00 0.15480312E+00 0.81206497E-02 0.37222564E-05 -0.23824352E+01 0.13553474E-06 0.33382597E-05 0.29444703E-07 0.18719610E-07 0.36141849E-05 -0.43181287E-05 -0.24861247E-05 -0.21935887E-05 -0.22532324E-04 0.21976743E-03 0.16008176E-05 -0.70023668E-05 -0.21141398E-04 -0.28474433E-04 0.37222564E-05 0.28217876E-08 0.10192079E-03 -0.47954253E-11 -0.18998760E+01 0.12797129E-02 -0.19654651E-02 -0.16911749E-01 0.15282041E+00 -0.92665998E-01 0.19021569E+00 0.15187294E+01 0.73434890E+02 -0.12760917E+01 -0.27681314E+00 -0.32720285E+01 0.22083042E+00 -0.23824352E+01 0.10192079E-03 0.35981768E+02 0.40498243E-06 0.37327615E-06 0.14106278E-08 -0.40084604E-09 -0.24284697E-09 -0.38367523E-08 0.31741560E-07 -0.97092406E-08 -0.28838269E-06 0.93139584E-06 -0.65729405E-09 -0.50066809E-07 0.11175671E-07 0.21770107E-07 0.13553474E-06 -0.47954253E-11 0.40498243E-06 0.82773674E-13 technical efficiency estimates : firm year eff.-est. 1 1 0.38424845E+00 2 1 0.21697910E+00 3 1 0.23917905E-01 4 1 0.14206021E-06 5 1 0.99811201E+00 6 1 0.99559335E+00 7 1 0.44144236E+00 8 1 0.12460166E-08 9 1 0.11525378E+00 10 1 0.85077269E-05 11 1 0.52981622E+00 12 1 0.30084760E-03 13 1 0.99737249E+00 14 1 0.33912850E+00 15 1 0.19213359E-06 16 1 0.11623035E-01 17 1 0.53910155E-08 18 1 0.93328652E-03 19 1 0.22018495E-01 20 1 0.57556817E+00 21 1 0.48848855E-02 22 1 0.55245290E-05 23 1 0.12243778E+00 24 1 0.10781096E-02 25 1 0.86296036E-02 26 1 0.69696824E-01 27 1 0.36176473E-04 28 1 0.47693939E-03 29 1 0.75796702E-01 30 1 0.29948922E-01 mean efficiency = 0.19884361E+00
107
Lampiran 8. Output Fontier Linier Berganda Setelah Kenaikan Harga Kedelai pada Responden di Desa Citeureup Tahun 2008 Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal data file = yuk.dta Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function The dependent variable is logged the ols estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 -0.36678975E+01 0.44936079E+01 -0.81624779E+00 beta 1 0.14567040E+01 0.54868009E-01 0.26549241E+02 beta 2 0.48807011E-02 0.91593968E-02 0.53286272E+00 beta 3 -0.12013471E+00 0.20237314E+00 -0.59362972E+00 beta 4 -0.55740717E+00 0.32937508E+00 -0.16923174E+01 beta 5 -0.87061329E+00 0.53656329E+00 -0.16225734E+01 beta 6 -0.15429047E+00 0.63546628E+00 -0.24279884E+00 beta 7 -0.88875929E+00 0.54259162E+01 -0.16379893E+00 sigma-squared 0.45217013E+02 log likelihood function = -0.95087932E+02 the estimates after the grid search were : beta 0 0.14949868E+01 beta 1 0.14567040E+01 beta 2 0.48807011E-02 beta 3 -0.12013471E+00 beta 4 -0.55740717E+00 beta 5 -0.87061329E+00 beta 6 -0.15429047E+00 beta 7 -0.88875929E+00 delta 0 0.00000000E+00 delta 1 0.00000000E+00 delta 2 0.00000000E+00 delta 3 0.00000000E+00 delta 4 0.00000000E+00 delta 5 0.00000000E+00 delta 6 0.00000000E+00 sigma-squared 0.59814517E+02 gamma 0.70000000E+00 iteration = 0 func evals = 20 llf = -0.94711377E+02 0.14949868E+01 0.14567040E+01 0.48807011E-02-0.12013471E+00-0.55740717E+00 -0.87061329E+00-0.15429047E+00-0.88875929E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.59814517E+02 0.70000000E+00 gradient step iteration = 5 func evals = 49 llf = -0.92247774E+02 0.14829558E+01 0.14668601E+01 0.57808319E-02-0.13839639E+00-0.69312978E+00 -0.87100267E+00-0.15219578E+00-0.88650883E+00-0.43999404E-03-0.37263745E-01 -0.20507528E+00 0.39877390E-01-0.52113282E-01 0.13457339E-02 0.96231794E-04 0.59814155E+02 0.76402382E+00 iteration = 10 func evals = 69 llf = -0.89100035E+02 0.12315889E+01 0.14826391E+01 0.70028925E-02-0.67285607E-01-0.74747116E+00 -0.12460760E+01-0.23618568E+00-0.69305587E+00-0.12160590E-03 0.24538115E+00 -0.98878328E+00 0.97651916E+00-0.94531609E+00 0.76935229E+00 0.12576968E-03 0.59792667E+02 0.76197496E+00 iteration = 15 func evals = 152 llf = -0.88426757E+02 0.16444967E+00 0.14900475E+01 0.62099966E-02-0.10745415E+00-0.77751872E+00 -0.13352308E+01-0.24314464E+00 0.21829267E+00-0.26919720E+00 0.22113568E+00 -0.14739458E+01 0.14085794E+01-0.11453582E+01 0.10766294E+01 0.16758838E-03 0.59517108E+02 0.78102395E+00 iteration = 20 func evals = 261 llf = -0.88315640E+02 -0.11544020E+01 0.14863832E+01 0.69694548E-02-0.89470417E-01-0.72797456E+00 -0.13690286E+01-0.28029481E+00 0.92268224E+00-0.11348210E+01 0.23548853E+00 -0.13532446E+01 0.12509543E+01-0.13636188E+01 0.78611968E+00 0.17288055E-03 0.59197627E+02 0.77464676E+00 iteration = 25 func evals = 384 llf = -0.88113368E+02 -0.32349460E+00 0.14798433E+01 0.50462496E-02-0.10634595E+00-0.75182729E+00 -0.13249678E+01-0.31988541E+00 0.28266032E+01-0.85929496E+01 0.31391322E+00 -0.11751959E+01 0.16284714E+01-0.84968523E+00 0.10594682E+01 0.13419556E-03 0.56312272E+02 0.79541497E+00 iteration = 30 func evals = 510 llf = -0.87794406E+02
108
-0.20226544E+01 0.14897554E+01 0.98282716E-02-0.10114504E+00-0.73818678E+00 -0.13948253E+01-0.26492970E+00-0.40879983E+00-0.19647408E+02 0.40219490E+00 -0.11774602E+01 0.21923245E+01-0.11609150E+01 0.85870738E+00 0.16901566E-03 0.50940062E+02 0.71252223E+00 iteration = 35 func evals = 607 llf = -0.87477547E+02 -0.33927523E+01 0.15012354E+01 0.12649939E-01-0.10902950E+00-0.74693407E+00 -0.14787693E+01-0.15576779E+00-0.28046097E+01-0.34176662E+02 0.51005700E+00 -0.88813471E+00 0.25700460E+01-0.23574697E+01 0.24269188E+00 0.22069112E-03 0.44101483E+02 0.60110609E+00 pt better than entering pt cannot be found iteration = 40 func evals = 980 llf = -0.87471109E+02 -0.34249437E+01 0.15019248E+01 0.12651374E-01-0.10744231E+00-0.74794171E+00 -0.14779914E+01-0.15690301E+00-0.29149845E+01-0.34910326E+02 0.51666910E+00 -0.88257053E+00 0.26037183E+01-0.23687127E+01 0.24049451E+00 0.22093950E-03 0.43760990E+02 0.59489549E+00 the final mle estimates are : coefficient standard-error t-ratio beta 0 -0.34249437E+01 0.33728539E+01 -0.10154439E+01 beta 1 0.15019248E+01 0.39484175E-01 0.38038652E+02 beta 2 0.12651374E-01 0.85636313E-02 0.14773375E+01 beta 3 -0.10744231E+00 0.15799770E+00 -0.68002453E+00 beta 4 -0.74794171E+00 0.22881831E+00 -0.32687145E+01 beta 5 -0.14779914E+01 0.39927200E+00 -0.37017157E+01 beta 6 -0.15690301E+00 0.49244683E+00 -0.31861919E+00 beta 7 -0.29149845E+01 0.41155744E+01 -0.70828134E+00 delta 0 -0.34910326E+02 0.26483832E+02 -0.13181750E+01 delta 1 0.51666910E+00 0.36419965E+00 0.14186425E+01 delta 2 -0.88257053E+00 0.79217544E+00 -0.11141099E+01 delta 3 0.26037183E+01 0.16875794E+01 0.15428716E+01 delta 4 -0.23687127E+01 0.16489983E+01 -0.14364555E+01 delta 5 0.24049451E+00 0.13122216E+01 0.18327279E+00 delta 6 0.22093950E-03 0.84014889E-04 0.26297661E+01 sigma-squared 0.43760990E+02 0.11966957E+02 0.36568185E+01 gamma 0.59489549E+00 0.18253860E+00 0.32590119E+01 log likelihood function = -0.87471109E+02 LR test of the one-sided error = 0.15233647E+02 with number of restrictions = 8 [note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 40 (maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = 30 number of time periods = 1 total number of observations = 30 thus there are: 0 obsns not in the panel covariance matrix : 0.11376143E+02 -0.13787205E-01 -0.10626046E-01 -0.15068755E+00 -0.38681957E+00 0.38056119E+00 0.52232623E+00 -0.98677639E-01 0.41517427E+02 -0.28854305E+00 -0.75143820E+00 -0.15957919E+01 0.15153047E+01 0.73746017E+00 -0.71947458E-04 0.18688280E+02 0.18824128E+00 -0.13787205E-01 0.15590001E-02 -0.82726132E-04 -0.42506476E-03 -0.26675878E-02 -0.58823402E-02 -0.24947070E-02 -0.41712716E-01 -0.32322352E+00 0.42841267E-02 -0.14684554E-03 0.14705885E-01 -0.38992760E-02 0.81365470E-03 0.62102005E-06 -0.14997490E+00 -0.23018004E-02 -0.10626046E-01 -0.82726132E-04 0.73335782E-04 -0.18022467E-03 0.24865080E-03 -0.11925655E-02 -0.17201175E-03 -0.14676939E-01 -0.67456886E-01 -0.16858931E-04 0.25776276E-02 0.30680436E-02 -0.56703039E-02 -0.21549166E-02 0.95561757E-07 -0.31825064E-01 -0.33217905E-03 -0.15068755E+00 -0.42506476E-03 -0.18022467E-03 0.24963274E-01 0.52333712E-02 -0.52836251E-02 -0.38718287E-01 0.90808380E-02 -0.13025603E+00 0.56789317E-02 -0.12327182E-01 0.10834265E-01 0.57607260E-01 0.23799274E-01 0.34012902E-06 -0.61508870E-01 -0.38615452E-02 -0.38681957E+00 -0.26675878E-02 0.24865080E-03 0.52333712E-02 0.52357817E-01 0.42243643E-01 -0.35192331E-01 -0.93503937E-01 0.17017525E+00 -0.12582292E-01 0.16294033E-01 0.19310377E-01 0.10461352E-02 -0.17163443E-02 -0.22239125E-05 0.59722030E-01 0.32288127E-02 0.38056119E+00 -0.58823402E-02 -0.11925655E-02 -0.52836251E-02 0.42243643E-01 0.15941813E+00 -0.21273496E-01 -0.67451123E-01 0.12754351E+01 -0.22010751E-01 -0.41089213E-01 0.19612166E-01 0.24721045E+00 0.15138197E+00 -0.10593982E-04 0.58163339E+00 0.48791688E-02 0.52232623E+00 -0.24947070E-02 -0.17201175E-03 -0.38718287E-01 -0.35192331E-01 -0.21273496E-01 0.24250388E+00 -0.24196455E+00 -0.35549552E+00 0.53128896E-02 0.44828395E-01 -0.43787624E-01 -0.24125499E+00 -0.18996135E+00 0.63373213E-05 -0.18210419E+00 -0.10511459E-02
109
-0.98677639E-01 -0.41712716E-01 -0.14676939E-01 0.90808380E-02 -0.93503937E-01 -0.67451123E-01 -0.24196455E+00 0.16937952E+02 0.54310766E+02 -0.25975037E+00 -0.79093763E+00 -0.33019589E+01 0.14059877E+01 -0.63189075E-01 -0.43112453E-04 0.26180656E+02 0.44828265E+00 0.41517427E+02 -0.32322352E+00 -0.67456886E-01 -0.13025603E+00 0.17017525E+00 0.12754351E+01 -0.35549552E+00 0.54310766E+02 0.70139338E+03 -0.56092747E+01 -0.10381019E+02 -0.30280046E+02 0.13639349E+01 0.13664979E+01 0.31940923E-04 0.31524325E+03 0.38577214E+01 -0.28854305E+00 0.42841267E-02 -0.16858931E-04 0.56789317E-02 -0.12582292E-01 -0.22010751E-01 0.53128896E-02 -0.25975037E+00 -0.56092747E+01 0.13264139E+00 -0.19107357E-02 0.29301400E-01 0.56804529E-01 -0.11593712E+00 0.90619655E-06 -0.24807822E+01 -0.26498108E-01 -0.75143820E+00 -0.14684554E-03 0.25776276E-02 -0.12327182E-01 0.16294033E-01 -0.41089213E-01 0.44828395E-01 -0.79093763E+00 -0.10381019E+02 -0.19107357E-02 0.62754193E+00 0.15651158E+00 -0.63080422E+00 -0.53395261E+00 0.13265507E-06 -0.46096319E+01 -0.57968747E-01 -0.15957919E+01 0.14705885E-01 0.30680436E-02 0.10834265E-01 0.19310377E-01 0.19612166E-01 -0.43787624E-01 -0.33019589E+01 -0.30280046E+02 0.29301400E-01 0.15651158E+00 0.28479241E+01 0.71231582E+00 0.94596536E+00 -0.31763598E-04 -0.13817968E+02 -0.18079976E+00 0.15153047E+01 -0.38992760E-02 -0.56703039E-02 0.57607260E-01 0.10461352E-02 0.24721045E+00 -0.24125499E+00 0.14059877E+01 0.13639349E+01 0.56804529E-01 -0.63080422E+00 0.71231582E+00 0.27191953E+01 0.14244114E+01 -0.10133312E-03 0.89364239E+00 0.27279670E-01 0.73746017E+00 0.81365470E-03 -0.21549166E-02 0.23799274E-01 -0.17163443E-02 0.15138197E+00 -0.18996135E+00 -0.63189075E-01 0.13664979E+01 -0.11593712E+00 -0.53395261E+00 0.94596536E+00 0.14244114E+01 0.17219254E+01 -0.46730059E-04 0.55466612E+00 -0.64734627E-02 -0.71947458E-04 0.62102005E-06 0.95561757E-07 0.34012902E-06 -0.22239125E-05 -0.10593982E-04 0.63373213E-05 -0.43112453E-04 0.31940923E-04 0.90619655E-06 0.13265507E-06 -0.31763598E-04 -0.10133312E-03 -0.46730059E-04 0.70585016E-08 -0.39016482E-05 -0.10106286E-05 0.18688280E+02 -0.14997490E+00 -0.31825064E-01 -0.61508870E-01 0.59722030E-01 0.58163339E+00 -0.18210419E+00 0.26180656E+02 0.31524325E+03 -0.24807822E+01 -0.46096319E+01 -0.13817968E+02 0.89364239E+00 0.55466612E+00 -0.39016482E-05 0.14320806E+03 0.17655273E+01 0.18824128E+00 -0.23018004E-02 -0.33217905E-03 -0.38615452E-02 0.32288127E-02 0.48791688E-02 -0.10511459E-02 0.44828265E+00 0.38577214E+01 -0.26498108E-01 -0.57968747E-01 -0.18079976E+00 0.27279670E-01 -0.64734627E-02 -0.10106286E-05 0.17655273E+01 0.33320342E-01 technical efficiency estimates : firm year eff.-est. 1 1 0.10000000E+01 2 1 0.56916383E+00 3 1 0.44840352E+00 4 1 0.24597664E+00 5 1 0.37792853E+00 6 1 0.41795809E+00 7 1 0.78899710E-01 8 1 0.69435856E-06 9 1 0.58533108E+00 10 1 0.23961913E+00 11 1 0.39198890E+00 12 1 0.33864489E+00 13 1 0.50459387E+00 14 1 0.55974394E+00 15 1 0.36249971E+00 16 1 0.25252162E+00 17 1 0.51647024E-04 18 1 0.42321807E+00 19 1 0.38007164E+00 20 1 0.28229816E+00 21 1 0.30661144E+00 22 1 0.40410141E+00 23 1 0.75783646E-01 24 1 0.20931143E+00 25 1 0.10000000E+01 26 1 0.56992665E+00 27 1 0.52733091E+00 28 1 0.39887354E+00 29 1 0.41403521E+00 30 1 0.42266524E+00 mean efficiency = 0.39291844E+00
110
Lampiran 9. Hasil Output Produksi dan Penggunaan Input Produksi Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga Kedelai di Desa Citeureup Tahun 2008
Tempe (kg/hari) No.
Kedelai (kg/hari)
Ragi (gram/hari)
Nama Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
Sebelum
1
Daris
135.5
98.8
100
70
2
Darji
120.5
95.5
90
75
3
Damuri
130.5
130
100
4
Tarbu
115.5
80.5
5
Tarjuki
65.5
6
Ciswo
130
7
H. Karnadi
450.5
8 9
Achmad Sunarto Marjuki
Bahan bakar kayu (kg/hari)
Setelah
Sebelum
550
400
22
350
180.8
20
100
550
500.4
24
100
70
250
150.5
22
61.8
50
50
350
310
11
80.1
100
60
550
425
20
340.5
350
250
775
600.7
47
180
120
150
100
680
500.5
450
350.4
350
250
1450
1050.5
10
Turah
85
71.2
70
60
200
150.7
11
Trisno
385
260
300
200
1500
1375
12
Suwono
105.2
70.5
85
60
450
13
H. Tafsir
138
140.3
100
100
14
Aspari
65
40.6
50
30
15
Sudarno
115.4
84.5
95
70
17
Wahadi (dilanjutkan anakDarwanti) Wais
18
Parihin
19
Rochmat
20
Ramadi
16
Setelah
TKDK (jam/hari)
TKLK (jam/hari)
Daun (lempit/hari)
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
13
18
17.2
0
0
8.2
16.5
18
15.2
0
0
8.8
8.6
12
15
8
5
10
12
12
8
0
11
6
10
0
14.2
18
10
0
55
4
2
14
33
7.4
11
12
25.4
20
10
8
15.4
14.2
15
14
0
0
0
29.2
42.8
2
2
24
24
18
385
18.7
11.04
8
7
8
7
0
600
525
22
8.4
12
12
6
6
350
250.5
11
6.6
6
4
0
0
575
250.5
20.9
5.88
12
12
6
0
Plastik (kg/hari) Sebelum
Setelah
7.8
1.4
1.11
6
1.35
0.38
8
2
1.35
0.75
8.7
4.8
1.25
1.26
0
2.1
4.5
0.9
0.25
0
10.1
2.4
0.5
1.28
16
12.4
10
2.9
1.75
4
0
8.3
5.5
1.75
0.65
12
13
9.5
10
3
1.77
0
1
0.6
15
3.25
2.2
0
0.85
0.6
0
0
1.35
1
0
0
0.8
0.55
0
0
1.25
0.8
0.76
100.3
88
80
70
570
380.8
17.6
17.4
15
16
0
0
7
3
0.45
445
260.2
350
200
1570
1220
70
44
4
3
20
14
10.5
8
2.95
2
95
90.9
80
75
450
350
17.6
16.5
12
21
0
0
8
6
0.4
0.6
157.5
138.5
125
110
850
450.5
27.5
24.2
12
12
8
8
12.5
6
0.65
0.88
60
35.2
50
30
370
180
11
7.6
7
5
0
0
5.5
1.2
0.2
0.24
111
Tempe (kg/hari) No.
Kedelai (kg/hari)
Ragi (gram/hari)
Nama
21
Noto
22
Cakupi
23
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
Bahan bakar kayu (kg/hari)
TKDK (jam/hari)
Sebelum
Setelah
Sebelum
TKLK (jam/hari)
Daun (lempit/hari)
Plastik (kg/hari)
Setelah
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
61.5
33.5
50
25
350
205.6
11
11
7
3
0
0
0
0
0.85
0.25
138.5
77.2
110
60
650
380
22.2
11
11
10
6
0
0
0
1.45
0.8
Bejo
95
61.2
70
50
450
300
15.4
11
14
6
0
0
0
0
0.95
0.6
24
Sugiri
600
410.5
450
300
2750
1500.5
98
66
4
2
30
24
27.5
15
5.65
2.4
25
Sutrio
62
40.1
50
30
380
150.5
11
6.6
6
4
0
0
0
0
0.9
0.4
63.8
51.8
50
35
375
250
11
7.7
6
4
0
0
0
0
0.85
0.35
159
115
130
80
680
550.5
28.6
18.6
10
10
7
0
8.5
4.2
0.85
0.94
27
Suhali (dilanjut kan anakRiyadi) Taryali
28
Khudori
156.5
135
125
100
655
650.5
27.5
22
16
12
0
0
10.8
4
0.85
0.8
29
Casmin
85
65.5
70
50
360
250
15.4
11
8
6
0
0
6.8
2
0.45
0.4
106.2 168.56
88.7 123.87
80 132
70 94.33
460 670
350.5 474.15
17.6 24.77
15 17.81
12 10.27
15 9.38
0 5.37
0 3.9
0 6.37
4.8 4.07
1.05 1.38
0.76 0.90
26
Carubi
30 Rata-rata
112
Lampiran 10. Rata-rata Biaya Penyusutan Peralatan Usaha Pengrajin Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Peralatan Mesin Pengupas Kulit Kedelai Drum Besi Drum Plastik Kerei keranjang Rak Plastik Saringan mesin Air
Harga (Rp/unit) 920.000,00 87.166,67 103.166,67 18.500,00 60.833.33 22.666,67 4.466,67 340.000,00 Rata-rata
Umur Pakai (tahun) 4,70 1,52 7,08 8,55 1,00 1,13 0,50 2,97
Nilai Penyusutan (Rp/tahun) 185.836,94 115.888,89 87.206,42 192.157,94 26.944,44 194.000,00 10.466,67 186.509,38
Nilai Penyusutan (Rp/hari) 516,21 321,91 242,24 533,77 74,85 538,89 29,07 518,08 2.775,03