BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TAHU TEMPE
14.1. Pendahuluan Proses pembuatan tahu dan tempe yang ada di kota Tegal masih sangat sederhana atau tradisional dan banyak memakai tenaga manusia. Bahan baku utama yang digunakan dalam industri ini adalah kedelai (Glycine spp). Air bersih banyak digunakan sebagai bahan pencuci dan untuk merebus kedelai, oleh karena itu air limbah yang dihasilkan juga cukup besar. Besarnya beban pencemaran yang dapat ditimbulkan akan menyebabkan gangguan yang cukup serius terutama di wilayah perairan di sekitar lokasi industri tahu dan tempe tersebut. Pada umumnya industri kecil tahu tempe belum mempunyai pengolahan air limbah, yang ada saat ini pada umumnya hanya berupa bak penampung (Lagoon) dengan sistem anaerob. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan cara kombinasi proses biologis anaerob-aerobik. Dengan kombinasi proses tersebut diharapkan konsentrasi COD air olahan dapat turun mencapai 30-60 ppm, sehingga aman dibuang ke lingkungan . 14.2. Pembuatan Tahu Dan Tempe Untuk membuat rancangan pengolahan air limbah tahu dan tempe, perlu dilakukan terlebih dahulu pengenalan proses pembuatan tahu dan tempenya. Dengan mengenal proses pembuatan tahu dan tempe, jumlah limbah dapat diketahui dengan baik, demikian pula dengan tingkat pencemaranya, waktu pembuangannya, dan yang juga perlu diketahui adalah prilaku budaya masyarakat dan kondisi sosial ekonominya.
299
Proses pembuatan tahu pada prinsipnya adalah dengan cara mengekstraksi protein, kemudian mengumpulkannya, sehingga terbentuk padatan protein. Cara penggumpalan susu kedelai yang umum dilakukan adalah dengan penambahan bahan penggumpal berupa asam, sehingga keasaman susu kedelai mencapai titik isoelektriknya yaitu sekitar 4 sampai 5. Bahan penggumpal yang biasa digunakan adalah asam cuka (CH3COOH), batu tahu (CaSO4nH2O) dan larutan bibit tahu. Tahapan proses pembuatan tahu secara umum adalah sebagai berikut : 1. Kedelai yang telah dipilih dibersihkan dan disortasi. 2. Perendaman 4-10 jam agar kedelai mengembang dan cukup lunak untuk digiling. 3. Pencucian dengan air bersih. 4. Penggilingan kedelai menjadi bubur dengan ditambahkan air dengan jumlah yang sebanding dengan jumlah kedelai untuk memperlancar penggilingan . 5. Pemasakan bubur kedelai dan dididihkan selama 5 menit. Selama pemasakan dijaga agar tidak berbuih, dengan cara menambahkan air dan diaduk. 6. Penyaringan bubur kedelai dengan kain penyaring. Ampas diperas dan dibilas dengan air hangat. Jumlah ampas basah 70% - 90% dari bobot kering kedelai. 7. Setelah itu dilakukan penggumpalan dengan menggunakan o air asam pada suhu 50 C, kemudian didiamkan sampai terbentuk gumpalan besar. Air di atas endapan dibuang dan sebagian dipakai untuk proses penggumpalan kembali. 8. Pengepresan dan pencetakan yang dilapisi dengan kain penyaring sampai padat. Setelah air tinggal sedikit, cetakan dibuka dan diangin-anginkan. Tempe merupakan hasil fermentasi kedelai, adapun proses pembuatan tempe adalah sebagai berikut : 1. Kedelai dimasak, selanjutnya direndam 1 malam hingga lunak dan terasa berlendir, kemudian dicuci hingga bersih. 2. Kedelai dipecah, hingga terbelah dua dan kulit terpisah. Kulit kedelai dipisahkan dengan merendam pecahan kedelai dalam air, sehingga kulit kedelai mengambang dan dapat dipisahkan.
300
3. Kedelai kupas dicuci kembali hingga bersih, kemudian dilakukan peragian dengan cara mencampurkan ragi yang telah dilarutkan, kemudian didiamkan selama kurang lebih 10 menit. 4. Ditiriskan hingga hampir kering, kemudian dibungkus. Setelah fermentasi 2 hari diperoleh tempe. Pada Gambar 14.1 dan Gambar 14.2 terlihat bahwa pada setiap tahap proses pembuatan tahu dan tempe membutuhkan air. Oleh karena itu air merupakan limbah yang dominan dalam proses pembuatan tahu dan tempe disamping ampasnya. Namun demikian masih ada sebagian kecil dari limbah cair dapat dimanfaatkan kembali. Sedangkan ampas tahu atau kulit kedelai dapat dimanfaatkan kembali untuk makanan olahan yang lebih rendah kadar gizinya atau dijual untuk makanan ternak. Limbah dari tahu lebih pekat pencemarannya dibanding limbah tempe, karena ada proses penggilingan kedelai menjadi bubur, asam, dan bau, oleh karena itu perlu dibuat pengolahan agar tidak mencemari lingkungan. 14.3. Karakteristik Limbah Industri Tahu Dan Tempe Bahan-bahan organik yang terkandung di dalam buangan industri tahu pada umumnya sangat tinggi. Senyawa-senyawa organik di dalam air buangan tersebut dapat berupa protein, karbohidrat, lemak dan minyak dengan komposisi 40 - 60% protein, 25 - 50% karbohidrat, dan 10% lemak. Gas-gas yang biasa ditemukan dalam limbah adalah gas nitrogen (N2), oksigen (O2), hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3), karbondioksida (CO2) dan metana (CH4). Gas-gas tersebut berasal dari dekomposisi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air buangan. Akibat pencemaran bahan organik dari limbah industri tahu tempe adalah : 1. Turunnya kualitas air perairan akibat meningkatnya kandungan bahan organik. 2. Biaya untuk proses pengolahan air minum meningkat dan timbulnya senyawa klororganik yang bersifat karsinogenik akibat proses klorinasi yang berlebihan 3. Gangguan kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan air yang kotor dan sanitasi lingkungan yang tidak baik.
301
Air
Kotoran
Pencucian Kedelai Air Matang dan Bersih
Perendaman Air Dingin (12-24 Jam) air hangat 55C (1-2 Jam)
Penggilingan Air Hangat (9:1)
Pemasakan 0
100 C (7-14 Menit)
Ampas Tahu
Penyaringan
Air Tahu
Penggumpalan
Pencetakan danPengerasan Pemotongan Tahu Perendaman Air Hangat 80
0
C
Tahu Gambar 14.1. Bagan Proses Pembuatan Tahu
302
Air Tahu
K e d e la i D ic u c i d a n d ib e rs ih k a n
A ir C u c ia n
D ire b u s s e la m a 3 0 m e n it D ire n d a m s a tu m a la m pada suhu kam ar D itiris k a n
A ir R e n d a m a n
P e m b u a n g a n K u lit A ri
K u lit K e d e la i
K o tile d o n d id ih k a n s e la m a 3 0 -9 0 m e n it D itiris k a n d a n d id in g in k a n pada suhu kam ar
A ir P a n a s
D iin o k u la s i d e n g a n ra g i te m p e
P engem asan D iin k u b a s i (s u h u k a m a r) s e la m a 3 8 - 4 8 ja m
T e m p e s ia p d ip a s a r k a n Gambar 14.2. Bagan Proses Pembuatan Tempe
303
14.4. Pengolahan Air Limbah Industri Tahu Tempe 14.4.1. Pengolahan Dengan Sistem Kombinasi Anaerob-Aerob Banyak teknologi untuk mengolah limbah organik, antara lain sistem aerobik, misalnya : lumpur aktif, Trikcling Filter, Rotating Biological Contactor (RBC), Fluidized Bed, dan sistem anaerobik dengan bermacam-macam variasinya. Setiap sistem mempunyai keunggulan dan kelemahan, Salah satu cara untuk mengatasi masalah air limbah industri tahu-tempe adalah dengan kombinasi proses pengolahan biologis anaerobik dan aerobik.
Gambar 14.3. Proses Pengolahan Limbah Sistem Kombinasi Anaerobik-Aerobik Dengan Biofilter 14.4.2. Pengolahan Dengan Sistem Anaerobik Penguraian anaerobik terdiri dari serangkaian proses mikrobiologi yang merubah bahan organik menjadi metana. Keunggulan proses anaerobik dibandingkan proses aerobik adalah sebagai berikut : 1. Proses tersebut tidak membutuhkan oksigen. 2. Menghasilkan lebih sedikit lumpur (3-20 kali lebih sedikit dari proses aerobik), 3. Menghasilkan gas metana (sekitar 90% energi dengan 3 nilai kalori 9.000 kkal/m ) 304
4. Cocok untuk limbah industri dengan konsentrasi pencemar organik yang tinggi. 5. Memungkinkan diterapkan pada proses penguraian limbah dalam jumlah besar. 6. Dapat membiodegradasi senyawa xenobiotik (hidrokarbon berklor alifatik, trikloroetilena, triklorometana) dan senyawa alami sulit terurai . Penguraian anaerobik dipengaruhi oleh Suhu, waktu tinggal (rentention time), pH, komposisi kimia air limbah, kompetisi antara metanogen dan bakteri pengurai sulfat (sulfate reducing bacteria), dan keberadaan bahan beracun (toxicants). 14.4.3. Pengolahan Dengan Sistem Aerobik Pengolahan limbah dengan sistem aerobik yang banyak dipakai antara lain, sistem lumpur aktif (activated sludge) dan modifikasinya, sistem piring biologi berputar atau rotating biological contactor (RBC), dan parit oksidasi (oxidation ditch). Air limbah yang telah disaring
Bak Aerasi
Sirkulasi Lumpur
Efluen
Penjernih Akhir
Kelebihan Lumpur
A. Sistem Aerasi Lanjutan
Air limbah yang telah disaring Penjernih Akhir
Pembatas Aliran
Sirkulasi Lumpur
Efluen
Kelebihan Lumpur
B. Parit Oksidasi
Gambar 14.4. Modifikasi Proses Lumpur Aktif. (A). Sistem Aerasi Lanjutan. (B). Parit Oksidasi 305
Sistem mengandalkan mikroorganisme yang dilekatkan pada bahan pendukung. Dalam RBC bahan pendukungnya berupa piringan tipis bundar (disk) yang dipasang rapat seri maupun paralel dan terbuat dari bahan-bahan yang memungkinkan mikroorganisme tumbuh melekat padanya. Bahan ini biasanya terbuat dari material ringan, seperti PVC atau polystyrena, sehingga konsumsi energi penggerak menjadi hemat. Mikroorganisme mendapatkan pasokan oksigen dari udara, yaitu pada saat setengah bagian piringan berkontak dengan udara dan saat yang sama setengah bagian piringan lainnya berkontak dengan air limbah yang diolah, sehingga mikroorganisme secara periodik berkontak dengan udara. Selokan oksidasi terdiri dari saluran aerasi yang berbentuk oval yang dilengkapi dengan satu atau lebih rotor rotasi untuk aerasi limbah. Saluran ini menerima limbah yang telah disaring dan mempunyai waktu tinggal hidraulik (hidraulic retention time) mendekati 24 jam.
Gambar 14.5. Sistem Pengolahan Limbah Organik dengan RBC
306
14.5. Peranan Biofilter Dalam Pengolahan Limbah 14.5.1. Reaktor Biofilm Dan Jenis-Jenisnya Pada awal abad 19 telah dikembangkan reaktor biologi berputar (Rotating Biologi Contactor=RBC) yang berisi piring tipis sebagian terendam air dan sebagian tidak (Gambar 14.6 C). Pengolahan limbah terbaru adalah reaktor terfluidisasi, aliran berjalan dari bawah ke atas dengan media yang dapat terfluidisasi (Gambar 14.6 D). Dalam praktek komersial, reaktor RBC lebih banyak dipakai karena lebih praktis & mudah pemeliharaannya, walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. 14.5.2. Metode Aerasi Biofilter Di dalam proses biofilter aerobik, sistem pemberian udara dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Gambar 14.6.A. Reaktor Biofilm Sistem Filtrasi
Gambar 14.6.B. Reaktor Biofilm Sistem Filter Tetes 307
Gambar 14.6.C. Reaktor Biofilm Sistem Piringan Biologi Putar
Gambar 14.6.D. Reaktor Biofilm Sistem Filter Terfluidisasi 14.5.3. Kriteria Pemilihan Media Biofilter Dalam memilih media biofilter ada beberapa kriteria,antara lain : 1. Prinsip-prinsip yang mengatur adesi bakteri pada permukaan media dan pembentukan biofilm. 2. Parameter yang mengendalikan pengolahan limbah, dan 3. Sifat-sifat yang harus dipenuhi oleh paket media biofilter dalam reaktor biologi pada lingkungan spesifik dan sesuai dengan teknik aplikasinya.
308
14.5.4. Jenis-Jenis Media Beberapa bentuk media telah dikembangkan untuk mengatasi kekurangan media batuan pecah dengan 2 3 meningkatkan permukaan spesifik yang tinggi (m /m media) yang berhubungan dengan tingginya persentase ruangan kosong. Dua jenis media plastik yang umum, yaitu paking dengan lembar vertikal dan random atau acak. Paking dengan lembar vertikal terbuat dari PVC, dibuat dalam modul, biasanya lebar 61 cm dan tinggi 61 cm, panjang 2 3 122 cm. Permukaan spesifik berkisar 90 – 140 m /m media tergantung fabrikasinya dan ruang kosong berkisar 95%. Bobot modul plastik ringan sehingga dapat ditumpuk sampai 6 meter. 3 Kemampuan pengolahan biofilter ± 800 – 2400 g/m media/hari 2 3 dengan luas permukaan spesifik ± 60 – 300 m /m media per hari. 2
3
Luas permukaan spesifik batu pecah ± 100 – 200 m /m 2 3 media. Modul biofilter sarang tawon ± 150 – 240 m /m media, 2 3 biofilter jenis jaring (kain) 50 m /m media, dan Rotating Biological 2 3 Contactor (RBC) ± 80 – 150 m /m media. Modul biofilter sarang tawon mempunyai luas permukaan spesifik yang paling tinggi. 14.5.5. Cara Kerja Biofilter Cara pengolahan air limbah dengan proses biofilm atau biofilter dilakukan dengan cara mengalirkan air limbah ke dalam reaktor biologis yang di dalamnya diisi dengan media penyangga untuk pengembangbiakan mikroorganisme dengan atau tanpa aerasi. Posisi media biofilter terendam di bawah permukaan air. Pengolahan air limbah secara biologis dapat dibagi menjadi tiga yakni proses biologis dengan biakan tersuspensi (suspended culture), biakan melekat (attached culture) dan sistem lagun. Proses biologis dengan biakan tersuspensi adalah sistem pengolahan dengan menggunakan aktivitas mikroorganisme untuk menguraikan senyawa pencemar yang ada dalam air dan mikro-organime dibiakkan secara tersuspensi di dalam reaktor.
309
Gambar 14.7. Mekanisme Proses Metabolisme Di Dalam Sistem Biofilm
Gambar 14.8. Mekanisme Penghilangan Ammonia Di Dalam Proses Biofilter 310
14.5.6. Keunggulan Biofiler Proses biofilter mempunyai beberapa keunggulan antara lain: 1. Pengoperasiannya mudah 2. Lumpur yang dihasilkan sedikit 3. Dapat digunakan untuk pengolahan air limbah dengan konsentrasi rendah maupun konsentrasi tinggi. 4. Pengaruh penurunan suhu terhadap efisiensi pengolahan kecil. 14.6. Sistem Kombinasi Anaerobik & Aerobik 14.6.1. Proses Pengolahan Kombinasi Salah satu cara untuk mengatasi masalah limbah industri tahu dan tempe adalah dengan proses kombinasi pengolahan biologis anaerobik dan aerobik. Secara umum proses pengolahannya dibagi menjadi dua tahap yakni pertama proses penguraian anaerobik dan yang ke dua proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter anaerobik-aerobik. 14.6.2. Penguraian Anaerobik Limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan tahu dan tempe dikumpulkan melalui saluran limbah, kemudian dialirkan ke bak kontrol untuk memisahkan buangan padat. Selanjutnya limbah dialirkan ke bak pengurai anaerobik jika nilai pH terlalu rendah dinaikkan dengan menambah larutan kapur. Di dalam bak pengurai anaerobik tersebut pencemar organik yang ada di dalam limbah akan diuraikan oleh mikroorganisme secara anaerobik, menghasilkan gas hidrogen sulfida yang bau dan metana yang dapat digunakan sebagai bahan bakar. Pada proses tahap pertama efisiensi penurunan nilai COD dalam limbah dapat mencapai 80 – 90%. Air olahan tahap awal ini selanjutnya diolah dengan proses pengolahan lanjut dengan sistem kombinasi anaerobik–aerobik dengan menggunakan biofilter.
311
14.6.3. Proses Pengolahan Lanjut Proses pengolahan lanjut ini dilakukan dengan menggunakan biofilter struktur sarang tawon atau sering juga disebut dengan sistem biofilter anaerobik -aerobik. Pengolahan limbah dengan proses biofilter anaerobik –aerobik terdiri dari beberapa bagian yakni bak pengendap awal, biofilter anaerobik, biofilter aerobik, bak pengendap akhir, dan jika perlu dilengkapi dengan bak klorinasi. Limbah yang berasal dari proses penguraian anaerobik (pengolahan tahap perama) dialirkan ke bak pengendap awal, untuk mengendapkan partikel lumpur, pasir dan kotoran lainnya. Selain sebagai bak pengendapan, juga berfungsi sebagai bak pengontrol aliran, serta bak pengurai senyawa organik yang berbentuk padatan, pengurai lumpur dan penampung lumpur. Air limpasan dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke bak anaerobik dengan arah aliran dari atas ke bawah (down flow) dan dari bawah ke atas (up flow). Di dalam bak anaerobik tersebut diisi dengan media dari bahan plastik atau kerikil dan batu pecah. Jumlah bak anaerobik ini bisa dibuat lebih dari satu sesuai dengan kualitas dan jumlah air baku yang akan diolah. Penguraian zat-zat organik yang ada dalam limbah dilakukan oleh bakteri anaerobik atau fakultatif aerobik Setelah beberapa hari operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film mikro-organisme. Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap. Air limpasan dari bak anaerobik dialirkan ke bak aerobik. Di dalam bak aerobik ini dapat diisi dengan media dari bahan kerikil atau plastik (polietilena) atau batu apung atau bahan serat sesuai dengan kebutuhan atau dana yang tersedia, sambil diaerasi atau dihembus dengan udara, sehingga mikro organisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan demikian limbah akan kontak dengan mikroorgainisme yang tersuspensi dalam air maupun yang menempel pada permukaan media.
312
Proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter anaerobikaerobik ini mempunyai beberapa keuntungan yakni : 1. Adanya air buangan yang melalui media biofilter mengakibatkan timbulnya lapisan lendir atau biological film. Limbah yang masih mengandung zat organik yang belum teruraikan pada bak pengendap bila melalui lapisan lendir ini akan mengalami proses penguraian secara biologis. Efisiensi biofilter tergantung dari luas kontak antara air limbah dengan mikro-organisme yang menempel pada permukaan media biofilter. 2. Makin luas bidang kontaknya, maka efisiensi penurunan zat organiknya (BOD5) makin besar. Selain menghilangkan atau mengurangi nilai BOD5 dan COD, cara ini dapat juga mengurangi konsentrasi padatan tersuspensi, deterjen (MBAS), ammonium dan fosfor. 3. Biofilter juga berfungsi sebagai media penyaring limbah yang melalui media ini. Sebagai akibatnya, limbah yang mengandung muatan padatan tersuspensi dan bakteri E. coli setelah melalui filter ini akan berkurang konsentrasinya. 4. Dengan kombinasi proses anaerobik dan aerobik, efisiensi penghilangan senyawa fosfor menjadi lebih besar bila dibandingankan dengan proses anaerobik atau proses aerobik saja. Fenomena proses penghilangan fosfor oleh mikroorganisme pada proses pengolahan anaerobik-aerobik dapat diterangkan seperti pada Gambar 14.9.
313
Gambar 14.9. Proses Mikrobiologi Anaerobik Dan Aerobik, Kaitannya Dengan Penguraian Bahan Organik Dan Fosfor
314
14.7. Disain IPAL Sederhana Sistem Kombinasi Biofilter 3 Anaerobik- Aerobik Kapasitas 3 – 5 M /Hari 14.7.1. Standard Disain Kolam Stabilisasi. Kolam stabilisasi berfungsi sebagai tempat penampungan sementara limbah dengan waktu tinggal 4 jam, Dengan demikian air yang akan masuk ke dalam reaktor berikutnya bisa kontinu, sesuai dengan kapasitas pompanya. Pada kolam ini secara teknis tidak diharapkan terjadi proses penguraian limbah, tetapi terjadi penurunan BOD sekitar 5% akibat pengendapan dan penguraian singkat. Saluran air yang akan masuk ke kolam stabilisasi dilengkapi dengan bak kontrol dan saringan kasar, untuk menghindari masuknya sampah atau bahan-bahan yang mengganggu proses. Pada bagian awal dilengkapi dengan pemisah minyak atau lemak. Kontruksi dasar kolam agak miring untuk pembuangan lumpur. Pompa Air Baku. Pompa air baku dipakai pompa celup atau submersible dengan kapasitas yang sesuai. Pengoperasian pompa ini dikontrol dengan memakai tinggi muka air yang ada pada kolam stabilisasi. Sebaiknya pompa air baku dipakai dua buah, Kolam Anaerobik. Kolam anaerobik berfungsi sebagai tempat terjadinya penguraian limbah secara anaerobik. Ruangan ini idealnya merupakan ruangan yang tertutup rapat, agar proses berjalan sempurnya dan gas hasil penguraian dapat dimanfaatkan. Waktu tinggal dalam reaktor ini 8–14 jam. Pada proses pengolahan ini ditargetkan 70 – 80% limbah dapat terurai. Kolam anaerobik secara umum terbagi dua, ruangan pertama merupakan ruang kosong tempat masuknya air dari kolam stabilisasi, sedangkan ruang kedua merupakan ruang media yang berisi biofilter struktur sarang tawon yang berfungsi sebagai media lekat bakteri. Bagian dasar kolam ini juga dibuat miring agar memudahkan dalam membersihkan endapan.
315
Kolam Aerobik Kolam aerobik berfungsi mengolah limbah secara aerobik dengan bantuan blower untuk menambah jumlah oksigen dalam air. kolam aerobik juga terbagi dua ruangan, ruangan pertama merupakan ruangan aerasi dengan dilengkapi blower dengan kapasitas yang sesuai. Ruangan kedua merupakan ruangan media biofilter tempat melekatnya bakteri aerobik. Waktu tinggal yang dibutuhkan berkisar 4–6 jam. Efisiensi yang ditargetkan pada kolam ini berkisar 15 – 20%. Tujuan utamanya menghilangkan sisa hasil penguraian dari kolam anaerobik yang tidak diinginkan, seperti naiknya kadar fosfat, sulfida dan amoniak. Media Biofilter Populasi bakteri yang melekat menentukan efisiensi proses yang akan terjadi, sehingga luas permukaan media biofilter menjadi salah satu kriteria dalam pemilihan biofilter. Untuk limbah organik tahu dan tempe, luas permukaan media biofilter yang 2 dipakai berkisar 200 – 225 m untuk setiap meter kubik media biofilter. Sedangkan kemampuan beban BOD5 yang dapat diolah 3 berkisar 2,5 – 3 kg BOD5/m media/hari. Kebutuhan Oksigen dan Penentuan Kapasitas Blower Oksigen untuk proses pengolahan limbah diambil dari udara. Untuk penguraian limbah organik dibutuhkan 0,12 kg O2/hari, 3 sehingga dengan kapasitas pengolahan limbah sebesar 5 m /hari 3 dibutuhkan 0,43 m oksigen/hari. Pompa Sirkulasi Pompa sirkulasi dipergunakan untuk menjaga agar sistem tetap berjalan walaupun pasokan air limbahnya terhenti disamping itu sirkulasi air ini juga membantu menghadapi “shock load” atau masuknya beban limbah yang terlalu tinggi secara tiba-tiba. Untuk reaktor anaerobik kapasitas pompa sirkulasi 10 – 15 % dari kapasitas pompa air baku, sedangkan untuk reaktor aerobik pompa sirkulasi dapat mencapai 25% dari pompa air bakunya.
316
14.7.2. Perencanaan Volume Air Baku Penentuan jumlah limbah dapat dilakukan pendekatan dari jumlah pemakaian air bersih yang dipakai untuk mencuci, membilas dan merebus kedelai atau dengan cara mengukur langsung atau survai kebutuhan air dalam proses pembuatan tahu dan tempe. Jumlah air limbah ini menentukan kapasitas ukuran rancang bangunnya dan menentukan luas lahan yang dibutuhkan. Kualitas Air Baku Kualitas air yang akan diolah menentukan tingkat teknologi yang akan dipakai. Sebaiknya limbah yang akan diolah dianalisis terlebih dahulu di laboratorium. Parameter yang diukur sesuai dengan persyaratan yang berlaku di masing-masing daerah. Untuk industri tahu dan tempe, karena sebagian besar komposisinya merupakan limbah organik, maka parameter yang perlu diukur minimal : warna, bau, padatan tersuspensi, padatan terlarut, pH, BOD5, dan COD. Bahan Unit pengolah limbah dapat terbuat dari kontruksi batu bata atau fibreglass yang dicetak sesuai dengan kebutuhan. Dalam penentuan pemilihan bahan yang diperhatikan adalah kondisi tanah, lokasi yang akan dipasang pengolah limbah. Untuk tempat yang air tanahnya sangat dangkal (0,5 – 1 meter) seperti di tepi pantai, sangat sulit membuat galian karena air tanahnya akan keluar terus. Untuk itu alternatif dapat dipakai unit pengolah cetakan yang terbuat dari fibre atau semen. Waktu Pengerjaan Waktu yang dibutuhkan untuk membuat unit sederhana 3 skala kecil (3 - 5 m /hari) berkisar 3 – 4 minggu, tergantung kondisi lokasi, sedangkan untuk skala yang lebih besar, misalnya 3 20 – 30 m /hari membutuhkan waktu sekitar 1 – 2 bulan, sedangkan besar dengan konstruksi yang agak rumit membutuhkan waktu sekitar 3 – 4 bulan.
317
Biaya Investasi Pembuatan unit Iinstalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) membutuhkan biaya investasi awal dan biaya investasi ini sering menjadi keluhan bagi para investor. Pemakaian bahan yang banyak dijumpai dilokasi dapat menghemat biaya. Sebagai 3 perbandingan untuk IPAL kapasitas 4–5 m /hari membutuhkan biaya berkisar Rp. 15–20 juta jika menggunakan bata, bila memakai fibreglass membutuhkan biaya berkisar Rp. 20–30 juta, namun pemasangan lebih mudah dan cepat. Biaya Operasi Pengoperasian IPAL membutuhkan biaya untuk : tenaga operator, listrik, pemeliharaan dan perawatan. Biaya opersional 3 sistem kombinasi anaerobik-aerobik dengan kapasitas 5 m /hari berkisar 447 rupiah tiap meter kubik limbah atau dalam sebulan sekitar Rp. 69.440,3
Tabel 14.1. Perhitungan Biaya Operasional Kapasitas 5 m /hari
318
IPAL dengan kapasitas yang lebih besar biaya pengolahan limbah tiap meter kubiknya lebih murah dibandingkan IPAL kecil. Pada reaktor dengan Tenaga operator khusus pada skala ini belum diperlukan. Biaya listrik dan bahan kimia tidak terlalu besar. Biaya yang agak tinggi adalah biaya kebersihan, karena tidak memakai operator. (Tabel 14.1.). 3
Pada kapasitas 50 m /hari baiaya limbah sekitar Rp. 244,/m limbah. Biaya sebesar ini dapat dipungut dari para pembuat tahu dan tempe dengan menghitung jumlah limbahnya atau dengan menghitung pemakaian bahan baku kedelainya. 3
Gambar Teknis
Gambar 14.10. Contoh IPAL Skala Individu Yang Terbuat Dari Fibreglass
319
320 3
Gambar 14.11. Disain IPAL Kapasitas 5 M /Hari Dari Bahan Fibreglass
DAFTAR PUSTAKA 1. Abel. P.D. 1989. Water Pollution Biology, Ellis Horwood Limited, Chichester, West Sussex, England. 2. Allison, D.G., 1998, Exopolysaccharide (EPS) Production in Bacterial Biofilm, Biofilm Journal, Volume 3, Paper 2. 3. Amanullah, M; Farooq, S; Viswanathan,S., 1999, Modelling and simulation of a biofilter, Industrial and Engineering Chemical Research, 38(7): 2765-2774. 4. APHA (American Public Healt Association) 1985. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. Washington, D.C.1462 p. 5. Araujo. J.C., Campos, J.R., dan Vazoller, R.F., 1998, Methanogenic Biofilm : Strukcture and Microbial Population Activity in an Anaerobic Fluidized Bed Reactor Treating Synthetic Wastewater, Biofilm Journal, Volume 3, Paper 3. 6. Arvin. E. dan Harremoes. P. 1990. Concepts And Models For Biofilm Reactor Performance. pp 177-192 dalam Technical Advances in Biofilm Reaktors. Water Science and Technology. Bernard. J. (editor). Vol. 22. Number 1 / 2 1990. Printed In Great Britain. 7. Arvin. E. dan Harremoes. P., 1990, Concepts and Models for Biofilm Reactor Performance, Water Science and Technology, Volume 22 Number 1-2, hal. 171 – 192. 8. Barnes, D., dan P.A. Fitzgerald. 1987. Anaerobic wastewater treatment processes, pp. 57 - 113, dalam : Environmental Biotechnology, C.F. Forster dan D.A.J. Wase, Eds. Ellis Horwood, Chichester, U.K. 9. Brault, J.L. 1991. Water Treatment Handbook. 6 th edition. Volume I. Degremont. Lavoiser Publishing. Paris. 10. Brault, J.L. 1991. Water Treatment Handbook. 6 th edition. Volume II. Degremont. Lavoiser Publishing. Paris. 11. Chiou, R.J., Ouyang, C.F., Lin, K.H., dan Chuang, S.H., 2001, The Characteristics of phosphorus removal in an anaerobic/aerobic sequential batch biofilter reaktor, Journal Water Science Technology, Vol. 44 No. 1. P. 57 – 65. 12. Chiou, R.J., Ouyang, C.F., dan Lin, K.H., 2001, The effects of the flow pattern on organic oxidation and nitrification in aerated submerged biofilters, Journal enviromental technology, Vol 22. No. 6. P 705 – 717.
321