ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR WOOD INDONESIA DI CINA, SINGAPURA DAN MALAYSIA DALAM SKEMA CINA-ASEAN FREE TRADE AREA
OLEH LIANA VERONIKA H 14104056
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
LIANA VERONIKA. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia dalam Skema CinaASEAN Free Trade Area (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM). Perhimpunan bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang lebih dikenal dengan sebutan ASEAN (Association of South East Asian Nations) merupakan kerjasama regional yang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok. Dari semua rencana liberalisasi perdagangan ASEAN dengan sejumlah negara, hubungan FTA dengan Cina merupakan yang paling maju. Normal Track adalah program penurunan tarif bea masuk antara ASEAN dan Cina, yang akan berlaku efektif pada tanggal 20 Juli 2005, dengan cakupan produk salah satu diantaranya adalah Wood (HS 4409). Dari semua produk kehutanan, woodworking memberikan sumbangan bagi devisa dalam jumlah yang cukup besar. Sebagai salah satu negara produsen dan eksportir wood diantara negara-negara ASEAN, Indonesia memandang kerjasama Cina-AFTA sebagai peluang yang cukup terbuka untuk dapat meningkatkan permintaan ekspor wood Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia. (2) menganalisis dampak liberalisasi perdagangan Cina-ASEAN terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia. (3) mengkaji bagaimana rekomendasi kebijakan pengembangan ekspor wood Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Departemen Kehutanan, Badan Revitalisasi Industri Kehutanan, dan Badan Pusat Statistik. Pengambilan data juga diperoleh dari penelusuran internet seperti ASEAN Secretary, Comtrade dan International Financial Statictics (IFS). Data deret waktu meliputi data kuartalan mulai dari Januari 2003 sampai dengan September 2007. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk memberikan penjelasan tentang dampak liberalisasi perdagangan CinaASEAN dan rekomendasi pengembangan ekspor wood. Sedangkan metode kuantitatif dengan persamaan regresi linier berganda digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia. Model tersebut diduga dengan menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square). Hasil pendugaan menunjukkan bahwa koefisien determinasi (R2) persamaan dalam model cukup tinggi. Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh untuk model permintaan ekspor wood Indonesia di Cina adalah sebesar 97,94 persen, pada model permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura sebesar 88,85 persen, dan pada model permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia sebesar 90,31 persen. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman peubah terikat dapat dijelaskan dengan baik oleh faktor-faktor penjelas yang dimasukkan ke
dalam model. Masalah autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinier tidak terdapat dalam model yang dianalisis. Berdasarkan uji t-statistik pada taraf nyata lima persen, diketahui bahwa faktor bebas dalam model permintaan ekspor wood Indonesia di Cina seperti harga ekspor riil, harga substitusi, dan nilai tukar riil rupiah terhadap yuan berpengaruh nyata. Pada model permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura, faktor harga substitusi, GDP riil per kapita Singapura, dan nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Singapura berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood. Sedangkan pada model permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia, faktor harga ekspor riil, GDP riil per kapita Malaysia, dan nilai tukar riil rupiah terhadap ringgit berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia. Pemberlakuan program Cina-AFTA yaitu Normal Track (I dan II) menyebabkan penurunan permintaan ekspor wood Indonesia di negara Cina dan Malaysia. Sedangkan pemberlakuan program Cina-AFTA yaitu Normal Track (I dan II) menyebabkan peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia di negara Singapura. Rekomendasi pengembangan ekspor wood Indonesia diantaranya adalah dengan mengatasi pasokan bahan baku yang tidak cukup dengan cara mengintensifkan hutan tanaman, membangun dan menggunakan sumber-sumber pasokan bahan baku alternatif, meningkatkan produktivitas hutan tanaman, serta mengembangkan kesamaan visi tentang “Green Trade”. Kedua, melakukan penyesuaian teknologi industri kehutanan yang sudah tua dengan teknologi terbaru. Ketiga, meningkatkan mutu sumber daya manusia di sektor kehutanan. Keempat, melakukan kajian terhadap prosedur birokrasi di bidang kehutanan yang selama ini dipandang rumit oleh para pelaku usaha. Kelima, membuat peraturan perundangan di bidang kehutanan yang dapat memberikan iklim yang kondusif bagi investasi. Terakhir, melakukan perbaikan infrastruktur. Adapun saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Peningkatan permintaan ekspor wood tidak terlepas dari keberhasilan produsen domestik dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas wood Indonesia. Oleh karena itu diharapkan para pengusaha wood mampu mengefisienkan usahanya baik efisien dalam biaya produksi, tenaga kerja, maupun teknologi. (2) Kebijakan untuk meningkatkan permintaan ekspor wood Indonesia di negara pengimpor adalah menjaga kontinuitas ekspor yaitu dengan meningkatkan produksi dalam negeri. (3) Pada penelitian selanjutnya dilakukan analisis daya saing wood Indonesia di pasar internasional dan analisis penawaran ekspor wood Indonesia ke masing-masing negara konsumen wood.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR WOOD INDONESIA DI CINA, SINGAPURA DAN MALAYSIA DALAM SKEMA CINA-ASEAN FREE TRADE AREA
OLEH LIANA VERONIKA H 14104056
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Liana Veronika
Nomor Registrasi Pokok : H14104056 Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia dalam Skema CinaASEAN Free Trade Area. dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 131 846 871 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2008
LIANA VERONIKA H14104056
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Liana Veronika lahir pada tanggal 7 Agustus 1985 di Jakarta. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Poitan Panjaitan dan Berliana Rosmaida Siahaan. Penulis menjalani pendidikan di bangku sekolah dasar dari tahun 1992 sampai dengan tahun 1998 di SDN 09 Pondok Kelapa Jakarta. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2001 di SLTPN 252 Pondok Kelapa Jakarta. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMUN 61 Pondok Bambu Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan yang besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan nasional. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di dalam beberapa kegiatan kampus, kepanitiaan dan organisasi seperti PMK, KOPELKHU, dan AGRIA IPB.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa melimpahkan kasih dan berkatNya pada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Adapun Judul dari Skripsi ini adalah Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia dalam Skema Cina-ASEAN Free Trade Area. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak memperoleh dukungan dari beberapa pihak. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan terma kasih kepada : 1. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. selaku dosen pembimbing skripsi yang memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Rina Oktaviani, Ph. D. selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan, kritik dan ilmu yang bermanfaat untuk penyempurnaan skripsi ini. 3. Henny Reinhardt, SP. MSc selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa untuk penyempunaan skripsi ini. 4. Kedua orangtua penulis yaitu P. Panjaitan dan Berliana R. Siahaan, Abang Nando dan Ibeth atas dukungan, doa, kasih sayang, bimbingan dan perhatian yang telah dicurahkan selama ini. 5. Sahabat-sahabat terbaik Wida, Tika, Ate, dan Rista yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi untuk melangkah dan berjuang lebih gigih. Terimakasih atas semua kebersamaan dan keceriaan yang yang tak terlupakan yang kita jalani bersama.
6. Teman-teman penulis Prima, Merlin, Rolas, Lina, Titis, Tata, Septi, Lia, Hana, Rani, Irma, Niken, Icha, Sondang, Della, Uthie, Heni, Maya, dan seluruh IE angkatan 41. Terima kasih atas semangat, dukungan dan bantuan selama proses penyusunan skripsi. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga hasil dari skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2008
LIANA VERONIKA H14104056
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xii I. PENDAHULUAN .......................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .....................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .............................................................................
5
1.3. Tujuan ..................................................................................................
9
1.4. Manfaat Penelitian ...............................................................................
9
1.5. Ruang Lingkup ..................................................................................... 10 II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 11 2.1. Cina-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) ........................................... 11 2.2. Pengertian Industri Pengolahan Kayu .................................................. 14 2.3. Pengertian Ekspor ................................................................................ 15 2.4. Harga .................................................................................................... 16 2.5. Pengertian Nilai Tukar Riil .................................................................. 16 2.6. Pengertian GDP (Gross Domestic Product) ........................................ 17 2.7. Penelitian-Penelitian Terdahulu ........................................................... 18 2.7.1. Penelitian Mengenai Kayu Olahan........................................... 18 2.7.2. Penelitian Mengenai OLS ........................................................ 20 2.8. Perbedaan Dengan Penelitian Terdahulu ............................................. 21 III. KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................ 23 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................... 23 3.1.1. Teori Perdagangan Internasional.............................................. 23 3.1.2. Teori Liberalisasi Perdagangan ................................................ 31 3.1.3. Teori Permintaan Ekspor ......................................................... 34 3.1.4. Model regresi ........................................................................... 35 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ........................................................ 36
3.3. Hipotesis ............................................................................................. 40 IV. METODE PENELITIAN............................................................................. 42 4.1. Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 42 4.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data ................................................ 42 4.3. Perumusan Model ................................................................................ 45 4.3.1. Model Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina ................ 45 4.3.2. Model Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura........ 45 4.3.3. Model Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia ......... 46 4.4. Pengujian Model dan Hipotesis ........................................................... 47 4.4.1. Goodness Of Fit (Kesesuaian Model) ..................................... 47 4.4.2. Uji Statistik .............................................................................. 48 4.4.3. Uji Normalitas .......................................................................... 51 4.4.4. Uji Autokorelasi ....................................................................... 51 4.4.5. Uji Heteroskedastisitas ............................................................. 52 4.4.6. Uji Multikolinearitas ................................................................ 53 4.5. Konsep Elastisitas ................................................................................ 54 4.6. Definisi Operasional ............................................................................ 55 V. GAMBARAN UMUM ................................................................................ 58 5.1. Industri Woodworking .......................................................................... 58 5.2. Hak Perizinan Kehutanan..................................................................... 59 5.2.1. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) ............................................... 59 5.2.2. Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).............. 61 5.3. Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan...................................... 64 5.4. Ekspor Wood Menurut Jenisnya ........................................................... 65 5.5. Permasalahan Yang Dihadapi .............................................................. 66 5.5.1. Illegal Logging ......................................................................... 66 5.5.2. Deforestrasi dan Degradasi ...................................................... 68 5.5.3. Pengadaan Bahan Baku ............................................................ 68 5.5.4. Rendahnya Teknologi dan Kualitas SDM................................ 70
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 71 6.1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Wood Menurut Negara Tujuan ....................................................................... 71 6.1.1. Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina............................ 71 6.1.2. Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura ................... 78 6.1.3. Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia .................... 85 6.2. Implikasi Kebijakan ............................................................................. 91 6.3. Dampak Liberalisasi Perdagangan Cina-ASEAN................................ 93 6.4. Rekomendasi Pengembangan Ekspor Wood Indonesia ....................... 95 VII.KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 98 7.1. Kesimpulan .......................................................................................... 98 7.2. Saran..................................................................................................... 99 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 101 LAMPIRAN ....................................................................................................... 103
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Permintaan Ekspor Wood Indonesia Tahun 2003-2007 (kg) ........................
4
2. Keadaan Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan Tahun 2005 ......................... 61 3. Pembangunan Hutan Tanaman Industri Tahun 1989/1990-2005 ................. 63 4. Tarif Bea Masuk Produk Wood Tahun 2007................................................ 66 5. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina ....................... 73 6. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura ............... 80 7. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia ................ 86
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Terjadinya Perdagangan Internasional .......................................................... 26 2. Dampak Peningkatan GDP Negara Pengimpor terhadap Keseimbangan Perdagangan Internasional ............................................................................ 27 3. Dampak-dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif .......... 28 4. Dampak Depresiasi Mata Uang Negara Eksportir pada Keseimbangan Perdagangan Internasional ............................................................................ 30 5. Efek Tarif Terhadap Produsen dan Konsumen ............................................. 33 6. Skema Kerangka Operasional ....................................................................... 39
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina................................................. 104 2. Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura ........................................ 105 3. Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia ........................................ 106 4. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina ........................ 107 5. Uji Normalitas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina ........................ 107 6. Uji Autokorelasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina ..................... 107 7. Uji Heteroskedastisitas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina........... 108 8. Uji Multikolinieritas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina............... 108 9. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura ................ 108 10. Uji Normalitas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura ............... 109 11. Uji Autokorelasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura ............ 109 12. Uji Heteroskedastisitas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura .. 109 13. Uji Multikolinieritas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura ...... 109 14. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia ................. 110 15. Uji Normalitas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia ................. 110 16. Uji Autokorelasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia .............. 110 17. Uji Heteroskedastisitas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia ... 111 18. Uji Multikolinieritas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia........ 111
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Liberalisasi perdagangan merupakan fenomena dunia yang tidak dapat dihindari oleh semua negara sebagai anggota
masyarakat
internasional.
Fenomena ini terlihat dari terbentuknya blok-blok perdagangan bebas, yang menurut Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/ WTO) pada tahun 2002 sudah hampir mencapai angka 250, antara lain, berbagai jenis kerjasama perdagangan regional seperti APEC, North America Free Trade Area (NAFTA), ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan Cina-ASEAN Free Trade Area (CAFTA). Perhimpunan bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang lebih dikenal dengan sebutan ASEAN (Association of South East Asian Nations) merupakan kerjasama regional yang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok. Pada tahun 1992, diadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-IV di Singapura di mana pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk pembentukan AFTA (ASEAN Free Trade Area). AFTA disepakati karena sebelumnya skema perdagangan preferensi antar anggota ASEAN yaitu ASEAN Prefential Trading Arrangement (PTA) dianggap kurang berhasil dalam meningkatkan volume perdagangan intra-ASEAN. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-X ASEAN menyepakati dibentuknya kerangka kerja sama Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN economic community). Untuk mempersempit kesenjangan, ASEAN telah menyepakati ASEAN Framework Agreement for the Integration of the Priority Sectors
(Perjanjian Kerangka Kerja ASEAN untuk Integrasi Sektor-sektor Prioritas) yang dijabarkan dengan ASEAN Sectoral Integration Protocol and ASEAN Protocol to Enchance Disputes Settlement Mechanism (Protokol Integrasi Sektor ASEAN dan Protokol ASEAN untuk meningkatkan Mekanisme Penyelesaian Perselisihan). Sektor-sektor prioritas yang sudah diintegrasikan itu adalah kayu, otomotif, karet, tekstil, agroindustri, elektronik, e-ASEAN, kesehatan, perikanan, produk tekstil, dan turisme. Indonesia sendiri ditunjuk menjadi koordinator untuk wood based product dan otomotif. Dari semua rencana liberalisasi perdagangan ASEAN dengan sejumlah negara, hubungan FTA dengan Cina merupakan yang paling maju. Hal itu terlihat dari keinginan pemerintah ASEAN dan Cina untuk mempercepat liberalisasi dari jadwal yang sudah disepakati. Awal kesepakatan penurunan tarif tertuang dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China yang ditandatangani pada 4 November 2002 di Phnom Penh, Kamboja. Selanjutnya, tanggal 6 Oktober 2003 di Bali disepakati protokol perubahannya untuk mempercepat terwujudnya Cina-ASEAN Free Trade Area. Sebagai bentuk keseriusan Indonesia, pemerintah mengeluarkan Ratifikasi Framework Agreement Cina-AFTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 pada 15 Juni 2004. Program penurunan dan penghapusan tarif bea masuk dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu pertama Early Harvest Program (EHP), kedua Normal Track (I dan II) dan ketiga, sensitive and highly sensitive track. Normal Track adalah program penurunan tarif bea masuk antara ASEAN dan Cina, yang akan berlaku efektif pada tanggal 20 Juli 2005, dengan cakupan
produk yang menjadi andalan ekspor Indonesia salah satu diantaranya adalah Wood (HS 4409). Industri kehutanan memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia. Nilai ekspor industri hasil hutan pada tahun 1980-an sebesar US$ 200 juta per tahun kemudian meningkat menjadi lebih dari US$ 9 milyar per tahun pada tahun 1990-an. Sampai dengan awal tahun 1990-an sektor kehutanan memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional kedua terbesar setelah migas dan tekstil (Nurrochmat dalam Herosobroto, 2007). Sektor kehutanan
telah
berhasil
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
melalui
pertambahan nilai investasi1, peningkatan kinerja ekspor, pendapatan negara melalui pajak dan non pajak, serta penciptaan peluang usaha dan penyerapan tenaga kerja2. Industri sektor kehutanan telah memberikan sumbangan devisa yang cukup signifikan pasca krisis (periode 1998-2003) dengan nilai US$ 7 milyar atau lebih dari 12,6 persen. Dari semua produk kehutanan, kayu olahan (woodworking) memberikan sumbangan bagi devisa dalam jumlah yang cukup besar. Ekspor kayu olahan (woodworking) Indonesia pada masa krisis ekonomi (1997) mencapai sebesar US$ 20 Milyar. Angka ini setara dengan 10 persen GDP (Bank Dunia, 2001). Dengan demikian ekspor komoditi dari sektor kehutanan ini
1.
2.
Hingga tahun 2004, investasi di sektor kehutanan telah mencapai nilai US $ 27,7 milyar dimana US $ 16,00 milyar diantaranya dalam bentuk industri pulp dan kertas. Rincian investasi di sektor kehutanan meliputi nilai investasi di HPH USD 3,28 milyar, USD HTI 3,00 milyar, kayu lapis USD 3,30 milyar, perekat USD 0,19 milyar, kayu gergajian dan kayu olahan USD 1,03 milyar, meubel USD 0,80 milyar, dan pertukangan USD 0,17 milyar. Penduduk yang bermata pencaharian langsung dari hutan sekitar enam juta orang. Apabila diasumsikan bahwa TK di sektor kehutanan menanggung minimal tiga orang, maka usaha di sektor kehutanan telah menjadi gantungan hidup 24 juta orang (KADIN, 2004).
memegang peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Industri woodworking mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Lima juta tenaga kerja langsung, diserap oleh industri ini (Masyarakat Perhutanan Indonesia, 2006). Salah satu produk woodworking Indonesia yang memiliki permintaan ekspor dalam jumlah cukup besar berdasarkan kodifikasi HS ke negara mitra dagang Indonesia adalah woodworking dengan kodifikasi HS 4409 (wood). Berdasarkan Tabel 1, selama periode tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 Cina merupakan pasar ekspor utama wood Indonesia di antara negara-negara mitra dagang lainnya (Comtrade, 2007). Permintaan ekspor Cina terhadap wood Indonesia pada tahun 2003-2007 rata-rata sebesar 229208186,4 kg. Kontribusi terbesarnya terjadi pada tahun 2003 sebesar 354210781 kg, sedangkan kontribusi terendahnya terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 66248539 kg. Sedangkan Singapura dan Malaysia merupakan negara pengimpor wood terbesar Indonesia di antara negara anggota ASEAN (BRIK, 2007). Kontribusi terbesarnya terjadi pada tahun 2003 sebesar 20291832 kg untuk Singapura, dan sebesar 20751300 kg pada tahun 2004 untuk negara Malaysia. Tabel 1. Permintaan Ekspor Wood Indonesia Tahun 2003-2007 (Kg) Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 Rata-Rata
Cina 354210781 330390187 269497765 125693660 66248539 229208186,4
Negara Singapura 20291832 14929628 13704169 16439375 10544514 15181903,6
Malaysia 19589427 20751300 10502314 10492881 4631072 13193398,8
Sumber : Comtrade
Sebagai salah satu negara produsen dan eksportir wood diantara negaranegara ASEAN, Indonesia memandang kerjasama Cina-AFTA sebagai peluang
yang cukup terbuka untuk dapat meningkatkan permintaan ekspor wood Indonesia. Berdasarkan uraian diatas, komoditi wood merupakan komoditi yang penting bagi Indonesia karena sumbangannya terhadap devisa negara yang cukup besar. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia dalam Skema Cina-ASEAN Free Trade Area”.
1.2. Perumusan Masalah Dengan pembentukan integrasi ekonomi ASEAN, Indonesia beserta negara-negara ASEAN lainnya akan memperoleh keuntungan pasar yang semakin luas. Namun peluang pasar tersebut dapat menjadi ancaman yang besar bagi Indonesia jika tidak dapat mengelola pasar, akses sumber bahan baku, dan para pelaku ekonomi lainnya. Dengan adanya pasar AFTA dan Cina-AFTA, Indonesia akan menghadapi kompetitor terbesar untuk sektor produk kayu. Dalam rangka memperlancar Cina-AFTA, maka disepakati program penurunan dan penghapusan tarif bea masuk yang dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama Early Harvest Program (EHP), tahap kedua Normal Track (I dan II) dan tahap terakhir, sensitive and highly sensitive track. Program penurunan bertahap dan penghapusan tarif bea masuk produk-produk yang tercakup dalam Normal Track berlaku efektif mulai tanggal 20 Juli 2005, dengan cakupan produk yang menjadi andalan ekspor Indonesia salah satu diantaranya adalah Wood (HS 4409). Program penurunan tarif bea masuk ini akan diturunkan secara bertahap
sehingga menjadi 0 persen pada tahun 2010 dengan pengecualian sejumlah pos tarif yang dapat diturunkan menjadi 0 persen pada tahun 2012. Sebelum diberlakukannya Normal Track (I dan II) kuantitas permintaan ekspor wood Indonesia di Cina lebih besar dibandingkan dengan setelah diberlakukannya Normal Track (I dan II) pada tanggal 20 Juli 2005. Kontribusi terbesarnya terjadi pada tahun 2003 sebesar 354210781 kg. Pada tahun 2004 sampai dengan 2007, permintaan ekspor wood Indonesia di Cina terus mengalami penurunan. Kontribusi terendahnya terjadi pada tahun 2007 sebesar 66248539 kg. Permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura selama periode tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 mengalami fluktuasi. Kontribusi terbesarnya terjadi pada tahun 2003 sebesar 20291832 kg, sedangkan kontribusi terendahnya terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 10544514 kg. Permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia dalam periode waktu yang sama. Setiap tahunnya terus mengalami penurunan sejak diberlakukannya Normal Track (I dan II). Kontribusi terendahnya terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 4631072 kg. Permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia dalam perkembangannya mengalami berbagai kendala. Hal tersebut diduga disebabkan oleh fluktuasi beberapa faktor seperti harga ekspor riil, harga substitusi, nilai tukar riil rupiah terhadap yuan, dollar Singapura, dan ringgit, pendapatan per kapita negara pengimpor (Cina, Singapura, dan Malaysia), dan kesepakatan Cina-AFTA. Wood merupakan kayu olahan yang bahan bakunya adalah kayu bulat. Saat ini produksi kayu bulat mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Akibatnya produksi wood mengalami penurunan dan harga ekspor
wood mengalami peningkatan karena pasokannya berkurang. Kenaikan harga barang substitusi yaitu harga ekspor wood Brazil ke Cina, Singapura, dan Malaysia akan mengakibatkan peningkatan permintaan wood Indonesia. Brazil merupakan salah satu pengekspor wood terbesar di dunia. Pada tahun 2007, Brazil mengekspor wood ke dunia sebesar 549272019 kg (Comtrade,2007). Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap yuan, dollar Singapura, dan ringgit juga memberikan pengaruh terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di negara Cina, Singapura, dan Malaysia. Nilai tukar rupiah terhadap yuan pada tahun 2004 sebesar 779,74 Rp/Yuan dengan jumlah permintaan ekspor wood sebesar 330390187 kg. Pada tahun 2005, nilai tukar rupiah terhadap yuan sebesar 772,31 Rp/Yuan dengan jumlah permintaan ekspor wood sebesar 269497765 kg. Hal tersebut menunjukkan bahwa saat nilai tukar rupiah terhadap yuan menguat (terapresiasi) maka wood domestik relatif lebih mahal terhadap wood Cina sehingga permintaan ekspor menurun. Demikian juga dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar Singapura. Pada tahun 2004, nilai tukar rupiah terhadap dollar Singapura sebesar 3841,87 Rp/$ dengan jumlah permintaan ekspor wood sebesar 14929628 kg. Pada tahun 2005, nilai tukar rupiah terhadap dollar Singapura sebesar 3778,45 Rp/$ dengan permintaan ekspor wood sebesar 13704169 kg. Pendapatan per kapita negara pengimpor memiliki hubungan positif terhadap permintaan ekspor wood Indonesia. Pada tahun 2005, GDP perkapita Singapura sebesar 43,67 milyar dollar Singapura/jiwa dengan permintaan ekspor wood di Singapura sebesar 13704169 kg. GDP perkapita Singapura pada tahun 2006 sebesar 45,05 milyar dollar Singapura/jiwa dengan permintaan ekspor wood
di Singapura sebesar 16439375 kg. Semakin besar pendapatan per kapita negara pengimpor maka akan meningkatkan permintaan dan pada akhirnya mendorong terjadinya peningkatan ekspor wood Indonesia. Demikian juga dengan GDP perkapita Malaysia. Pada tahun 2003, GDP perkapita Malaysia sebesar 14,90 milyar ringgit/jiwa dengan permintaan ekspor wood di Malaysia sebesar 19589427 kg. GDP perkapita pada Malaysia tahun 2004 sebesar 16,73 milyar ringgit/jiwa dengan permintaan ekspor wood di Malaysia sebesar 20751300 kg. Kondisi demikian membuat Indonesia akan lebih memperhatikan negara yang memiliki pendapatan per kapita yang besar untuk dijadikan negara tujuan ekspornya. Sedangkan kesepakatan Cina-AFTA akan memberikan pengaruh yang positif, yaitu peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu : 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia? 2. Bagaimana dampak liberalisasi perdagangan Cina-ASEAN terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia? 3. Bagaimana rekomendasi kebijakan pengembangan ekspor wood Indonesia?
1.3. Tujuan Berdasarkan latar belakang dan permasalahan diatas maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia. 2. Menganalisis dampak liberalisasi perdagangan Cina-ASEAN terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia. 3. Mengkaji rekomendasi kebijakan pengembangan ekspor wood Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada: 1. Penulis, penelitian ini bermanfaat untuk melatih kemampuan penulis dalam menganalisis masalah sesuai dengan pengetahuan yang diperoleh selama kuliah dan menambah pengetahuan penulis mengenai industri woodworking di Indonesia. 2. Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan informasi
bagi
pemerintah
untuk
membuat
kebijakan
yang
berhubungan dengan peningkatan industri woodworking di Indonesia. 3. Peneliti-peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan bahan pertimbangan atau perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia dalam skema Cina-ASEAN Free Trade Area. Pada penelitian ini komoditi yang digunakan adalah komoditi wood dengan Harmonized Commodity Description and Coding System atau yang lebih dikenal dengan Harmonized System (HS) adalah HS sampai pada level 4 digit yaitu HS 4409. HS 4409 merupakan kodifikasi produk kayu, dibentuk tidak terputus (diberi lidah, diberi alur, tepinya dikorok, diberi lereng, v-jointed, beaded, diberi pola bentukan, dibundarkan atau sejenis itu), sepanjang tepi, ujung atau permukaannya, diketam, diampelas atau end jointed maupun tidak. Pada penelitian ini variabel yang digunakan adalah harga ekspor rill, harga substitusi yaitu harga ekspor wood Brazil ke Cina, Singapura, dan Malaysia, nilai tukar riil rupiah terhadap yuan, dollar Singapura, dan ringgit, pendapatan per kapita negara pengimpor (Cina, Singapura, dan Malaysia), dan kesepakatan Cina-AFTA.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Cina-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) Gagasan pembentukan Cina-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) untuk pertama kalinya disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke7 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, pada November 2001. ASEAN menyetujui pembentukan CAFTA dalam waktu 10 tahun, yang dirumuskan dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China yang disahkan pada KTT ASEAN berikutnya di Phnom Penh, Kamboja, 4 November 2002. Protokol perubahannya telah ditandatangani oleh Para Menteri Ekonomi pada tanggal 6 Oktober 2003 di Bali. Kemudian sebagai bentuk keseriusan Indonesia, pemerintah mengeluarkan Ratifikasi Framework Agreement ASEAN-Cina FTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004. ASEAN dan Cina menyetujui dibentuknya CAFTA dalam dua tahapan waktu yaitu: tahun 2010 dengan negara pendiri ASEAN, yang meliputi Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Filipina, dan pada tahun 2012 dengan kelima negara anggota baru ASEAN yakni Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar. Tujuan Framework Agreement CAFTA adalah : (a) memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdagangan kedua pihak. (b) meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif.
(c) mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak. (d) memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak. Dalam rangka CAFTA, barang yang diperdagangkan antara Indonesia dan Cina diimplementasikan penurunan atau penghapusan tarifnya dengan mengikuti skema dan waktu sebagai berikut: 1. Early Harvest Program (EHP) yang mulai diberlakukan mulai 1 Januari 2004, diturunkan secara bertahap sehingga menjadi 0 persen pada tahun 2006. Adapun cakupan produk tersebut adalah Chapter 01 sampai dengan 08 (yaitu 01. Live Animals; 02. Meat and Edible Meat Offal; 03. Fish; 04. Daily Products; 05. Other Animal Products; 06. Live Trees; 07. Edible Vegetables dan 08. Edible Fruits and Nuts) dengan pengecualian Sweet Corn (HS 07 10 40000). 2. Normal Track (I dan II) yang diberlakukan pada tanggal 20 Juli 2005, diturunkan secara bertahap sehingga menjadi 0 persen pada tahun 2010 dengan pengecualian sejumlah pos tarif yang dapat diturunkan menjadi 0 persen pada tahun 2012. Adapun cakupan produk yang termasuk dalam
normal
track
diantaranya
produk
Coal
(HS
2701);
Polycarboxylic acids (HS 2917); Wood (HS 4409); dan Copper wire (HS 7408).
3. Sensitive Track (Normal Sensitive dan Highly Sensitive) memiliki tarif maksimum 20 persen pada tahun 2012 dan diturunkan secara bertahap sehingga menjadi 5 persen pada tahun 2018. Sedangkan tarif bea masuk produk highly sensitive tidak boleh melebihi 50 persen pada tahun 2015. Produk andalan Indonesia yang masuk dalam Sensitive dan Highly Sensitive antara lain Palm Oil dan turunannya (HS 1511); Karet Alam (HS 4001); dan Plywood, vennered panels (HS 4412). Early Harvest Package (EHP) telah diimplementasikan oleh Indonesia dengan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.01/2004 (EHP ASEAN-Cina, terdiri dari 527 pos tarif) dan 356/KMK.01/2004 (EHP Bilateral Indonesia-Cina, terdiri dari 46 pos tarif). Tarif bea masuk produk-produk ini akan menjadi 0 persen pada tahun 2006, baik di Indonesia maupun di Cina. Normal Track (I dan II) telah diimplementasikan dengan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.010/2005 tentang Jadwal Penurunan Tarif dalam
Kerangka
CAFTA
dan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
57/PMK.010/2005 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam Kerangka CAFTA untuk tahun 2005. Sedangkan Program Sensitive Track (Normal Sensitive dan Highly Sensitive) dirumuskan bersama-sama dengan Normal Track dan akan ditetapkan dalam satu paket sebagai implementasi dari agreement on Trade in Goods ASEAN-Cina FTA yang ditandatangani pada bulan Nopember 2004 di Vientiane, Laos.
Dengan terbentuknya Cina-ASEAN Free Trade Area, maka memberikan peluang yang besar kepada Indonesia, antara lain : 1. Terbukanya peluang masuk ke Cina dengan tingkat tarif relatif rendah dan jumlah penduduk yang besar. 2. Meningkatnya kerjasama antara pelaku bisnis di kedua negara melalui pembentukan “aliansi strategis”. 3. Meningkatnya kepastian bagi produk unggulan Indonesia dalam memanfaatkan peluang pasar Cina. 4. Terbukanya transfer teknologi antara pelaku bisnis di kedua negara. Selain memberikan peluang, Cina-ASEAN Free Trade Area juga memberikan tantangan kepada Indonesia, yaitu : 1. Indonesia harus dapat meningkatkan efisiensi sehingga produktifitas meningkat. 2. Menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga daya saing Indonesia meningkat, antara lain dilakukan melalui penghapusan ekonomi biaya tinggi, termasuk penyederhanaan perijinan. 3. Memperluas akses pasar. 4. Meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk promosi pemasaran.
2.2. Pengertian Industri Pengolahan Kayu Industri pengolahan kayu adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang setengah jadi atau barang jadi,
dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya. Termasuk ke dalam sektor ini adalah perusahaan yang melakukan kegiatan jasa industri dan perakitan (assembling) dari bagian suatu industri (Badan Pusat Statistik, 1996). Dewasa ini banyak didirikan industri pengolahan hasil hutan dengan berbagai bentuk usahanya. Selain meningkatkan nilai tambah (value added) kayu juga memberikan kesempatan berusaha bagi masyarakat, meningkatkan taraf
hidup masyarakat dan meningkatkan pendapatan daerah
setempat. Berkembangnya industri perkayuan dapat digunakan sebagai sarana untuk peningkatan penggunaan produksi dalam negeri dan pengembangan sektor lain yang berhubungan.
2.3. Pengertian Ekspor Ekspor adalah aliran perdagangan suatu komoditi dari dalam negeri ke luar negeri. Ekspor dapat diartikan, suatu total penjualan barang yang dapat dihasilkan oleh suatu negara, kemudian diperdagangkan kepada negara lain dengan tujuan mendapatkan devisa. Suatu negara dapat mengekspor barang-barang yang dihasilkan ke negara lain yang tidak dapat menghasilkan barang-barang yang dihasilkan negara pengekspor (Lipsey, 1995). Ekspor merupakan suatu kegiatan yang banyak memberikan keuntungan-keuntungan bagi para pelakunya, adapun keuntungan-keuntungan tersebut antara lain adalah : meningkatkan laba perusahaan dan devisa negara, membuka pasar baru di luar negeri, memanfaatkan kelebihan kapasitas dalam negeri, dan membiasakan diri bersaing dalam pasar international. Ekspor dapat meningkatkan dan menciptakan pembagian lapangan
kerja dan skala setiap produsen domestik agar mampu menghadapi persaingan dari yang lainnya (Salvatore, 1997).
2.4. Harga Menurut Lipsey (1995), harga dan kuantitas permintaan suatu komoditi berhubungan secara negatif. Artinya semakin tinggi harga suatu komoditi maka jumlah permintaan terhadap komoditi tersebut akan semakin berkurang, ceteris paribus. Untuk harga ekspor, Lipsey (1995) menyatakan bahwa suatu hipotesis ekonomi yang mendasar adalah bahwa untuk kebanyakan komoditi, harga yang ditawarkan berhubungan secara negatif dengan jumlah yang diminta, atau dengan kata lain semakin besar harga komoditi maka akan sedikit kuantitas komoditi tersebut yang diminta. Sebaliknya, harga berhubungan secara positif dengan penawaran. Semakin tinggi harga maka akan semakin banyak kuantitas komoditi tersebut yang ditawarkan.
2.5. Nilai Tukar Riil Nilai tukar riil adalah suatu harga relatif dari barang-barang yang diperdagangkan oleh dua negara. Terkadang nilai tukar riil biasa disebut dengan terms of trade. Nilai tukar riil diantara kedua negara dihitung dari nilai tukar nominal dan tingkat harga di kedua negara. Jika nilai tukar riil tinggi, maka harga barang-barang luar negeri relatif murah, dan barang-barang domestik relatif mahal. Jika nilai tukar riil rendah, maka sebaliknya harga barang-barang domestik relatif murah sedangkan harga barang-barang luar negeri mahal (Mankiw,2000).
Peranan yang penting dalam suatu hubungan ekonomi internasional terutama sekali berkaitan dengan pengaruhnya pada harga relatif dari barang-barang domestik dan harga barang-barang luar negeri.
2.6. GDP (Gross Domestic Product) Gross Domestic Product (GDP) merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional pada output barang dan jasa. Lipsey (1995) menyatakan bahwa GDP merupakan nilai dari total produksi barang dan jasa suatu negara yang dinyatakan sebagai produksi nasional dan nilai total produksi tersebut juga menjadi pendapatan total negara yang bersangkutan atau dengan kata lain, produk nasional sama dengan pendapatan nasional. Produk nasional atau pendapatan nasional dapat diukur dalam bentuk pendapatan nasional bruto (PNB) atau pendapatan domestik bruto (PDB). GDP sering dianggap sebagai cerminan kinerja ekonomi. GDP diartikan sebagai perekonomian total dari setiap orang di dalam perekonomian (Mankiw, 2000). GDP menunjukkan besarnya kemampuan perekonomian suatu negara, dimana semakin besar GDP yang dihasilkan suatu negara semakin besar pula kemampuan negara tersebut untuk melakukan perdagangan. Bagi negara importir, semakin besar GDP maka akan meningkatkan impor komoditi negara tersebut. Peningkatan GDP merupakan peningkatan pendapatan
masyarakatnya.
Peningkatan
pendapatan
akan
meningkatkan
permintaan terhadap suatu komoditi, pada akhirnya akan meningkatkan impor komoditi tersebut. Sehingga besarnya GDP yang dimiliki negara importir akan mempengaruhi besarnya volume perdagangan.
2.7. Penelitian-PenelitianTerdahulu 2.7.1. Penelitian Mengenai Kayu Olahan Pada tahun 2007, Herosobroto mencoba menganalisis dampak depresiasi dan volatilitas nilai tukar terhadap kinerja ekspor kayu olahan Indonesia. Data ekspor yang digunakan adalah data bulanan sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2004 yang terdiri dari nilai ekspor riil, nilai tukar riil bilateral, pendapatan nasional negara mitra dagang, dan volatilitas nilai tukar. Analisis dilakukan dengan menggunakan panel data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa volatilitas nilai tukar memberikan dampak yang berbeda untuk produk HS 4418, HS 4412, dan HS 4409. Pada produk HS 4412 dan HS 4418 depresiasi pada mulanya berdampak positif pada peningkatan nilai ekspor, namun kemudian berdampak negatif. Sebaliknya pada produk HS 4409 depresiasi tidak mendorong terjadinya peningkatan ekspor, yang terjadi justru sebaliknya depresiasi berdampak negatif terhadap ekspor. Volatilitas nilai tukar memiliki dampak tidak pasti, namun umumnya negatif meskipun nilainya relatif kecil terhadap kinerja ekspor produk HS 4409. Pendapatan nasional negara mitra dagang berdampak positif bagi peningkatan ekspor produk HS 4409 dan HS 4418, tetapi justru berkorelasi negatif pada produk HS 4412. Efek yang terjadi akibat adanya depresiasi nilai tukar pada komoditi HS 4418 dan HS 4412 adalah efek langsung, dimana depresiasi yang terjadi langsung direspon dengan efek peningkatan nilai ekspor. Volatilitas nilai tukar untuk produk HS 4412 dan HS 4418 juga memiliki efek langsung, dimana ketika volatilitas nilai tukar besar, industri kayu olahan untuk
kedua serial ini justru terpacu untuk memperoleh keuntungan dengan meningkatkan ekspor. Pradana (2006) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor plywood di Indonesia. Penelitian tersebut membahas faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor plywood di Indonesia, elastisitas jangka pendek dan jangka panjang ekspor plywood di Indonesia serta rekomendasi kebijakan dari hasil analisis ekspor plywood di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan metode Error Correction Model (ECM) dengan menggunakan data quarterly selama periode 1993 sampai dengan 2003. Data penelitian yang digunakan adalah jumlah ekspor plywood, jumlah bahan baku yaitu kayu bulat, harga relatif plywood terhadap dollar Amerika, nilai tukar riil dan dummy kebijakan
pelarangan
ekspor
serta
krisis
moneter.
Hasil
penelitiannya
menunjukkan bahwa ekspor plywood dalam jangka pendek secara nyata dipengaruhi secara positif oleh harga relatif dari plywood dan dipengaruhi secara negatif oleh jumlah bahan baku dan nilai tukar. Ekspor plywood dalam jangka panjang dipengaruhi secara positif oleh harga relatif dari plywood dan kebijakan pelarangan ekspor serta dipengaruhi secara negatif oleh jumlah bahan baku yang tersedia, nilai tukar, dan krisis moneter. Dengan diberlakukannya kembali kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat terhadap ekspor plywood, pemerintah harus bertindak lebih tegas dan mencegah terjadinya illegal logging.
2.7.2. Penelitian Mengenai OLS Novansi (2006) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor beberapa buah-buahan penting Indonesia. Penelitian tersebut membahas perkembangan ekspor beberapa buah-buahan penting Indonesia menurut negara tujuan ekspor dan pengaruh faktor-faktor (harga domestik, harga ekspor, nilai tukar rupiah, volume ekspor ke negara lain dan volume ekspor periode sebelumnya) terhadap volume ekspor beberapa buahbuahan penting Indonesia. Dalam penelitiannya tersebut Novansi menggunakan data bulanan dari Januari 2002 sampai dengan Desember 2004. Metode deskriptif untuk melihat perkembangan ekspor dan metode kuantitatif yaitu analisis regresi linier berganda untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor
beberapa
buah-buahan
penting
Indonesia.
Hasil
penelitiannya
menunjukkan bahwa perkembangan ekspor beberapa buah-buahan penting Indonesia seperti pisang, manggis, mangga, dan rambutan selama tahun 20002003 cenderung menurun. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor beberapa buah-buahan penting Indonesia menunjukkan tidak semua peubah bebas yang digunakan dalam model berpengaruh nyata terhadap volume ekspor. Ningrum (2006) melakukan penelitian tentang permintaan ekspor pulp dan kertas Indonesia. Penelitian tersebut membahas perkembangan permintaan ekspor pulp dan kertas Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor produk pulp dan kertas Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan data tahunan dari tahun
1980-2005. Model persamaan yang digunakan dalam persamaan permintaan ekspor pulp dan kertas terdiri dari variabel ekspor pulp dan kertas, harga ekspor, nilai tukar, produksi, harga ekspor tahun sebelumnya dan dummy larangan ekspor kayu bulat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perkembangan ekspor pulp dan kertas Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Akan tetapi perkembangan ekspor pulp dan kertas Indonesia lebih didominasi oleh tiga negara, yaitu Jepang, China, dan Korea Selatan. Harga ekspor pulp, nilai tukar, produksi pulp dan harga ekspor pulp tahun sebelumnya berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan ekspor pulp Indonesia. Pada permintaan kertas, variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah produksi kertas, nilai tukar, variabel harga ekspor kertas, sedangkan variabel dummy larangan ekspor kayu bulat dan variabel harga ekspor kertas pada tahun sebelumnya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan kertas.
2.8. Perbedaan Dengan Penelitian Terdahulu Penelitian
yang
memiliki
judul
“Analisis
Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhi Permintaan Ekspor Wood Indonesia Di Cina, Singapura, dan Malaysia dalam Skema Cina-ASEAN Free Trade Area” mempunyai perbedaan dibandingkan dengan penelitian lainnya. Penelitian Herosobroto (2007) memiliki tujuan menganalisis dampak depresiasi dan volatilitas nilai tukar terhadap kinerja ekspor kayu olahan Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan panel data. Pada penelitian Pradana (2006) memiliki tujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor plywood di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan
metode Error Correction Model (ECM) dengan menggunakan data quarterly selama periode 1993 sampai dengan 2003. Novansi (2006) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor beberapa buah-buahan penting Indonesia. Ningrum (2006) melakukan penelitian tentang permintaan ekspor pulp dan kertas Indonesia. Sedangkan penelitian saat ini memiliki tujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor Wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia dalam Skema Cina-ASEAN Free Trade Area. Penelitian ini dilakukan dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan data kuartalan dari Januari 2003 sampai dengan September 2007.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Perdagangan Internasional Menurut arti yang sederhana perdagangan internasional adalah suatu proses yang timbul sehubungan dengan pertukaran komoditi antar negara. Menurut Lindert dan Kindleberger (1995) perdagangan internasional dianggap sebagai suatu akibat dari adanya interaksi antara permintaan dan penawaran yang bersaing. Terdapat dua hal penting untuk terjadinya perdagangan internasional yakni spesialisasi produksi dan informasi akan kebutuhan barang yang diperdagangkan. Spesialisasi produksi terjadi karena keadaan yang alamiah, yakni tumbuh atau tersedianya bahan alamiah yang ketersediaannya berbeda-beda di berbagai tempat di dunia. Hal kedua adalah ketersediaan informasi yang berkaitan erat dengan tingkat kemajuan daya pikir manusia. Adam Smith dalam Salvatore (1997) menyatakan bahwa perdagangan antar dua negara didasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masingmasing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki kerugian absolut.
Menurut teori Heckssher-Ohlin dalam Salvatore (1997), sebuah negara akan mengekspor komoditi yang diproduksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu yang bersamaan dia akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Singkatnya, sebuah negara yang relatif kaya atau berlimpahan tenaga kerja akan mengekspor komoditi-komoditi yang relatif padat tenaga kerja dan akan mengimpor komoditikomoditi yang relatif padat modal (yang merupakan faktor produksi langka dan mahal di negara bersangkutan). Pada prinsipnya perdagangan antara dua negara timbul karena adanya perbedaan dalam permintaan dan penawaran, selain itu karena adanya keinginan untuk memperluas pemasaran komoditi ekspor untuk menambah penerimaan devisa dalam upaya penyediaan dan pembangunan negara yang bersangkutan. Secara teoritis, suatu negara (misalnya negara A) akan mengekspor suatu komoditi (misalnya wood) ke negara lain (misalnya negara B) apabila harga domestik di negara A (sebelum terjadi perdagangan internasional) relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik di negara B. Struktur harga yang relatif lebih rendah di negara A tersebut disebabkan adanya kelebihan penawaran (excess supply) yaitu produksi domestik yang melebihi konsumsi domestik. Dalam hal ini faktor produksi di negara A relatif berlimpah. Dengan demikian negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Di pihak lain, di negara B terjadi kekurangan penawaran karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik (excess demand) sehingga harga
menjadi tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli komoditi dari negara lain yang harganya relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara negara A dan negara B, maka dapat terjadi perdagangan antar kedua negara tersebut dimana negara A akan mengekspor komoditi wood ke negara B (Salvatore, 1997). Secara grafis terjadinya perdagangan antara negara A dan negara B dapat dilihat pada Gambar 1. Sebelum terjadinya perdagangan internasional, keseimbangan di negara A terjadi pada titik Ea dengan jumlah produksi sebesar Qa1 dan harga yang terjadi adalah P1. Di negara B keseimbangan terjadi pada titik Eb dengan jumlah produksi sebesar Qb1 dan harga yang terjadi adalah sebesar P3. Harga di negara A (P1) lebih rendah daripada harga di negara B (P3). Produsen di negara A akan memproduksi lebih banyak untuk harga di atas P1. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya excess supply di negara A. Sementara untuk harga di bawah P3, konsumen di negara B akan meminta lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh produsen di negara B. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya excess demand di negara B. Kemudian terjadi perdagangan antara negara A dan negara B. Penawaran ekspor pada pasar internasional digambarkan oleh kurva Sw yang merupakan excess supply dari negara A. Permintaan impor digambarkan oleh kurva Dw yang merupakan excess demand dari negara B. Keseimbangan di pasar dunia terjadi pada titik Ew yang menghasilkan harga dunia sebesar P2, dimana negara A mengekspor sebesar (Qa2Qa3) yang sama dengan jumlah yang diimpor negara B (Qb2-Qb3) jumlah ekspor
dan impor tersebut ditunjukkan oleh volume perdagangan sebesar Qw pada pasar dunia. Grafik A Pasar di Negara A untuk komoditi Wood
Grafik B Hubungan perdagangan internasional untuk komoditi Wood P
Grafik C Pasar di Negara B untuk komoditi Wood P Eb
P Ekspor
P3
SA B
A
P2=Pw
P2=Pw
P3
Sw Ew
P1
SB
P2
B
A
Dw
Impor DB
Ea
P1
DA Qa2
Qa1 Qa3
Q
Q
Qw
Qb2 Qb1 Qb3
Q
Gambar 1. Terjadinya Perdagangan Internasional Sumber : Salvatore, 1997
Keseimbangan perdagangan internasional diatas dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya GDP per kapita, tarif dan nilai tukar. Perubahan faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan pergeseran pada kurva penawaran dan kurva permintaan dengan arah yang berbeda pada setiap negara. Oleh karena itu, berikut akan dipaparkan mengenai perubahan-perubahan pada ketiga faktor tersebut di negara pengekspor maupun di negara pengimpor. GDP per kapita merupakan rataan dari pendapatan nasional yang diperoleh penduduk suatu negara. Dampak perubahan GDP per kapita negara importir terhadap keseimbangan perdagangan internasional dapat dilihat pada Gambar 2. Pada negara importir, peningkatan GDP per kapita merupakan peningkatan pendapatan
masyarakatnya.
Peningkatan
pendapatan
akan
meningkatkan
permintaan terhadap wood. Peningkatan ini menggeser kurva demand negara pengimpor menjadi DX’. Dengan kurva penawaran yang tetap keseimbangan berubah menjadi F”. Pada titik F”, jumlah excess demand bertambah dari G-H menjadi G-I. Jumlah impor meningkat sehingga kurva excess demand wood di pasar dunia juga bergeser ke kanan menjadi ED’. Excess demand wood di pasar dunia semakin besar, sehingga mendorong harga untuk naik. Keseimbangan baru terjadi pada titik E**. Harga wood di pasar dunia menjadi B**. Peningkatan harga dunia tersebut memberikan insentif bagi negara eksportir untuk meningkatkan ekspor woodnya. Ekspor meningkat dari titik B-C menjadi B’-C’. Berdasarkan uraian diatas keseimbangan yang terbentuk setelah terjadinya peningkatan GDP per kapita importir yaitu peningkatan aliran perdagangan wood di pasar dunia. Negara Pengekspor komoditi Wood
Pasar Dunia
PX
PX Ekspor B’
P1 0
SX C’
B** B*
C
B
F” ES
P2
E* ED
DX
X
F
P3
E**
A* A
SX
PX
A**
P3 P2
Negara Pengimpor komoditi Wood
ED’
G
I
H Impor
DX’ DX
X
X
Gambar 2. Dampak Peningkatan GDP Negara Pengimpor terhadap Keseimbangan Perdagangan Internasional Sumber : Salvatore, 1997
Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh pemberlakuan tarif terhadap keseimbangan parsial dapat dilihat pada Gambar 3. Dalam gambar tersebut Dx
adalah kurva permintaan dan Sx melambangkan kurva penawaran komoditi wood di negara pengimpor. Dalam kondisi perdagangan bebas, harga komoditi wood adalah Px = 1 dolar per unit. Negara pengimpor akan mengkonsumsinya sebanyak 70X (AB), 10X (AC) di antaranya merupakan produksi domestik, sedangkan 60X (CB) harus diimpor dari negara lain. Jika negara pengimpor memberlakukan tarif sebesar 100 persen terhadap komoditi wood, maka harga akan naik menjadi 2 dolar per unit. Itulah harga yang harus ditanggung oleh konsumen di negara pengimpor. Sedangkan harga bagi konsumen dunia tidak berubah. Akibatnya, penduduk di negara pengimpor akan menurunkan konsumsinya menjadi 50X (GH) dimana 20X (GJ) merupakan produksi domestik, sedangkan 30X (JH) harus diimpor dari negara lain. Dengan demikian, dampak pemberlakuan tarif terhadap Sx 4 E 3 2
G
1
A
H
J C
N
M
Sf + T T
B
Dx 0
10
20
30
40
50 60
70
Sf
X
80
Gambar 3. Dampak-dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif Sumber : Salvatore, 1997
konsumsi domestik bersifat negatif, yakni sebesar (-) 20X (BN). Sementara itu, dampak terhadap produksi meningkat bersifat positif, yakni sebesar 10X (CM). Namun secara keseluruhan, pemberlakuan tarif itu merugikan perdagangan, yakni (-) 30X (BN + CM).
Kondisi nilai tukar seperti terdepresiasinya rupiah terhadap yuan, dollar Singapura, dan ringgit juga merupakan faktor yang dapat menyebabkan pergeseran kurva permintaan. Terdepresiasinya rupiah terhadap yuan, dollar Singapura, dan ringgit membuat harga wood Indonesia relatif lebih murah sehingga mendorong terjadinya peningkatan jumlah permintaan ekspor. Mekanisme pengaruh perubahan nilai tukar terhadap permintaan ekspor dapat dilihat pada Gambar 4. Apabila di negara A terjadi depresiasi nilai tukar yang terlihat pada penurunan nilai tukar dari e1 menjadi e2. Penurunan nilai tukar yang terjadi menyebabkan terjadinya peningkatan output pada kurva IS. Peningkatan output ini terjadi karena adanya peningkatan ekspor bersih sebagaimana ditunjukkan pada gambar perpotongan keynesian. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa penurunan nilai tukar (depresiasi) menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan ekspor. Selanjutnya dapat dijelaskan pula bagaimana mekanisme peningkatan permintaan ekspor yang disebabkan penurunan nilai tukar pada gambar perdagangan internasional. Semula sebelum terjadinya penurunan nilai tukar, besarnya excess supply di negara A sebesar X1X2. Setelah terjadinya penurunan nilai tukar menyebabkan terjadinya peningkatan excess supply menjadi X3X4. Kondisi ini mengakibatkan kurva supply dunia mengalami pergeseran dengan titik awal yang sama. Pergeseran kurva supply dunia dari SW menjadi SW1 menyebabkan tingkat harga dunia yang terjadi lebih rendah dan volume perdagangan internasional meningkat dari 0Q menjadi 0Q1. Negara pengimpor merespon perubahan harga ini dengan meningkatkan jumlah impornya. Besarnya
volume ekspor negara A setelah depresiasi nilai tukar (X3X4.) sama dengan besarnya volume impor negara B (M3M4). Pengeluaran aktual
Pengeluaran
NX
E
NX
Kurs, e
Kurs, e
Y1
Y2
Y1
Y2
e1
e1
e2
e2 NX1
NX2
(Ekspor bersih)
(Output) DB
SB
SW DA
SA
SW1
Pw
DW
X 4 X1
X2 X3
Negara Pengekspor
0
Q Q1
Perdagangan Internasional
M4 M1
M2 M3
Negara Pengimpor
Gambar 4. Dampak Depresiasi Mata Uang Negara Eksportir pada Keseimbangan Perdagangan Internasional Sumber : Mankiw, 2000
Di pasar internasional besarnya ekspor suatu komoditi dalam perdagangan internasional akan sama dengan besarnya impor komoditi tersebut. Harga yang
terjadi pada pasar internasional merupakan keseimbangan antara penawaran dan permintaan dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan mempengaruhi penawaran dunia dan perubahan dalam konsumsi dunia akan mempengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi harga dunia (Salvatore, 1997). Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa ekspor suatu negara sangat ditentukan oleh harga domestik, harga internasional, serta keseimbangan penawaran dan permintaan dunia. Selain itu secara tidak langsung ditentukan pula oleh perubahan nilai tukar (exchange rate) mata uang suatu negara terhadap negara lain.
3.1.2. Teori Liberalisasi Perdagangan Liberalisasi perdagangan adalah pembebasan perdagangan dari segala hambatan, baik hambatan tarif maupun hambatan non tarif yang dilakukan sepihak dan banyak pihak (Smith, 1995). Sedangkan kebijakan liberalisasi perdagangan adalah kebijakan yang mengurangi berbagai bentuk hambatan perdagangan, bila diterapkan secara utuh maka arus komoditi perdagangan dan investasi dalam bentuk modal, barang dan jasa akan bebas masuk antar negara tanpa hambatan tarif dan non tarif (Salvatore, 1997). Realitasnya hampir semua negara
menerapkan
internasional, perdagangan
berbagai
hambatan (trade
bentuk
perdagangan
policy)
karena
hambatan tersebut
berkaitan
terhadap
lazim erat
perdagangan
disebut dengan
kebijakan kepentingan
perdagangan nasional pada masing-masing negara. Penerapan kebijakan
perdagangan selalu dikemukakan dengan alasan sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan nasional dan melindungi industri dalam negeri. Liberalisasi
perdagangan
akan
membawa
dampak
peningkatan
kesejahteraan bagi negara yang melakukannya. Keyakinan tersebut berdasarkan analisa ekonomi yang menunjukkan perdagangan bebas akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi kedua negara. Bentuk hambatan perdagangan yang paling penting dan yang paling menonjol adalah tarif (tariff). Tarif merupakan pajak yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas-batas teritorial. Tarif merupakan bentuk kebijakan perdagangan yang paling tua dan tradisional yang telah digunakan sebagai sumber penerimaan pemerintah sejak lama. Ditinjau dari aspek asal komoditi ada dua macam tarif, yakni tarif impor (import tariff), yakni pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari negara lain, dan tarif ekspor (export tariff) yang merupakan pajak untuk suatu komoditi yang diekspor. Gambar 5 menganalisa dampak yang ditimbulkan terhadap konsumen jika negara-negara di dunia tidak melakukan liberalisasi, terutama menutup akses pasar dengan pengenaan tarif impor. Jika tidak ada tarif, wood akan diimpor secara bebas pada tingkat harga dunia sebesar US$ 1000 per m3. Konsumen akan membeli wood sebesar S0 dari dalam negeri dan mengimpor sebesar M2. Pada harga tersebut surplus konsumen adalah seluruh bidang antara kurva permintaan dan garis harga US$ 1000, yaitu segitiga ACE yang merupakan suatu aproksimasi mengenai kemampuan membeli wood dari para konsumen. Pengenaan tarif sebesar US$ 100 akan meningkatkan harga wood dan mengurangi perolehan
manfaat atau surplus konsumen. Dengan harga yang baru, konsumen terpaksa menambah US$ 100 per m3 wood sehingga permintaan total akan turun dari D0 ke D1. Kerugian total yang ditanggung konsumen dengan adanya tarif adalah total bidang a+b+c+d, sehingga surplus konsumen mereka merosot dari segitiga ACE menjadi segitiga BCD. S0
C
1100 1000
0
B
D E
Sf + T a
d
c
b
T
A
e
Sf
D0 X S0
S1
M1
D1
D0
M2
Gambar 5. Efek Tarif Terhadap Konsumen dan Produsen Sumber : Lindert dan Kindlebergen, 1995 Analisis terhadap produsen dengan pasar wood yang sama, setelah adanya tarif, maka harga wood akan naik menjadi US$ 1100 per m3, maka perusahaanperusahaan dalam negeri akan meningkatkan produksinya selama masih menguntungkan. Mereka merespon dengan menaikkan jumlah produksi dari S0 ke S1. Kenaikan jumlah yang diproduksi dan peningkatan harga ternyata meningkatkan keuntungan bagi produsen, yaitu sebesar a, sehingga keuntungan total yang diterima produsen dalam negeri adalah e+a. Namun jika dibandingkan
dengan kerugian yang harus ditanggung konsumen yaitu bidang a+b+c+d, maka secara total pengenaan tarif menghasilkan kerugian. Penetapan program penurunan dan penghapusan tarif bea masuk tahap Normal Track (CAFTA) sebagai integrasi ekonomi perdagangan bebas di CinaASEAN bertujuan untuk menurunkan dan menghapus tarif bea masuk secara bertahap sehingga menjadi 0 persen pada tahun 2010 dengan pengecualian sejumlah pos tarif yang dapat diturunkan menjadi 0 persen pada tahun 2012. Hal ini berarti, penurunan tarif untuk komoditi wood akan meningkatkan jumlah permintaan ekspor wood sehingga konsumen di negara pengimpor dapat meningkatkan konsumsinya terhadap komoditi tersebut.
3.1.3. Teori Permintaan Ekspor Menurut Lipsey (1995), permintaan ekspor suatu komoditi merupakan hubungan yang menyeluruh antara kuantitas komoditi yang akan dibeli konsumen selama periode tertentu pada suatu tingkat harga. Permintaan pasar suatu komoditi merupakan penjumlahan secara horizontal dari permintaan-permintaan individu terhadap suatu komoditi. Permintaan ekspor ialah permintaan pasar internasional terhadap komoditas yang dihasilkan oleh suatu negara. Teori permintaan ekspor bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor suatu negara. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor suatu negara ialah harga domestik negara tujuan ekspor, harga impor negara tujuan ekspor, pendapatan per kapita negara tujuan ekspor dan selera masyarakat negara tujuan ekspor. Permintaan ekspor juga dipengaruhi oleh faktor-faktor luar negeri yaitu
harga di pasar internasional atau harga ekspor, nilai tukar riil, dan kebijakan menyangkut impor suatu komoditi sebagai dummy.
3.1.4. Model Regresi Analisis data yang digunakan dalam metode kuantitatif adalah model regresi berganda dengan persamaan tunggal. Analisis regresi linear berganda adalah analisis yang berkenaan dengan studi ketergantungan satu variabel (variabel dependen) yang satu atau lebih variabel lain (variabel independen) dengan maksud menaksir atau meramalkan nilai variabel dependen berdasarkan nilai yang diketahui dari variabel yang menjelaskan (variabel independen). Penaksiran parameter diduga dengan metode kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS). Metode kuadrat terkecil dikemukakan oleh Carl Friedrich Gauss, seorang ahli matematik bangsa Jerman. Dengan menggunakan OLS, dapat diperoleh intersep dan slope sehingga diperoleh garis regresi yang menunjukkan trend data secara baik. Dalam mengevaluasi apakah model yang digunakan sudah baik atau belum, terdapat beberapa kriteria yang memerlukan pengujian secara statistik. Indikator untuk melihat kebaikan model adalah R2, F-hitung dan t-hitung. Ukuran ini digunakan untuk menunjukkan signifikan atau tidaknya model yang diperoleh secara keseluruhan. Menurut Gujarati (1997) dengan asumsi-asumsi tertentu, metode OLS mempunyai beberapa sifat statistik yang sangat menarik yang membuatnya menjadi satu metode analisis regresi yang paling kuat (powerfull) dan populer.
Dalam model regresi berganda dapat terjadi keterkaitan antar variabel bebas yang disebut multikolinieritas. Multikolinieritas merupakan keadaan dimana adanya hubungan linier yang sempurna diantara variabel-variabel bebas dalam model regresi. Multikolinieritas terjadi jika dalam suatu model regresi tak satupun variabel bebas mempunyai koefisien regresi hasil dari OLS (Ordinary Least Square) yang signifikan secara statistik (bahkan beberapa diantaranya mungkin mempunyai tanda yang salah), walaupun nilai koefisien determinasi ganda R2 tinggi. Dalam analisis regresi dengan data time series dan cross-section terdapat masalah autokorelasi. Autokorelasi adalah suatu keadaan dimana kesalahan pengganggu dalam periode tertentu berkorelasi dengan kesalahan pengganggu dari periode lainnya. Dengan adanya autokorelasi, perkiraan parameter OLS masih tak bias dan konsisten, akan tetapi menjadi tidak efisien dan standard error dari perkiraan parameter regresi menjadi bias, sehingga menyebabkan pengujian hipotesis menjadi tidak tepat. Selain itu interval keyakinan juga menjadi bias, pengujian autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Breusch-Godfrey.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Negara dengan perekonomian terbuka seperti Indonesia memiliki ketergantungan dengan perekonomian luar negeri. Ketergantungan tersebut dapat direfleksikan dengan adanya perdagangan antar negara yang terdiri dari arus barang, jasa dan arus pembayaran antar negara di dunia. Dengan adanya pasar AFTA dan Cina-AFTA, Indonesia akan menghadapi persaingan tidak hanya dari
sesama anggota ASEAN. Selama periode tahun 2003-2007 permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia mengalami fluktuasi. Hal tersebut diduga disebabkan oleh fluktuasi beberapa faktor, diantaranya harga ekspor riil, harga substitusi, nilai tukar riil rupiah terhadap yuan, dollar Singapura, dan ringgit, pendapatan per kapita negara pengimpor (Cina, Singapura, dan Malaysia) dan kesepakatan Cina-AFTA. Harga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi permintaan ekspor komoditi suatu negara di pasar luar negeri, dapat berupa harga di dalam negeri (domestik) maupun harga di luar negeri (harga ekspor). Dari sisi perdagangan luar negeri bila harga ekspor komoditi di pasar internasional tinggi, maka negara akan menurunkan permintaan ekspornya. Sebaliknya, jika harga komoditi di pasar internasional tersebut rendah, maka negara akan meningkatkan permintaan ekspornya. Kenaikan harga substitusi komoditi tertentu akan menggeser kurva permintaan untuk komoditi tersebut ke arah kanan. Semakin tinggi harga substitusi komoditi tertentu maka akan semakin besar jumlah permintaan komoditi tersebut (wood). Nilai tukar mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain juga turut memberi pengaruh terhadap tinggi rendahnya harga komoditi ekspor suatu negara di pasar luar negeri. Pendapatan per kapita menjadi faktor penting yang menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu negara. Bagi negara importir, semakin besar pendapatan per kapita, juga akan meningkatkan impor komoditi negara tersebut sehingga besarnya pendapatan per kapita yang dimiliki negara importir akan mempengaruhi besarnya volume perdagangan. Sedangkan kesepakatan Cina-
AFTA diasumsikan memberikan pengaruh yang positif, yaitu peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia. Berdasarkan pengaruh faktor harga ekspor riil, harga substitusi, nilai tukar riil rupiah terhadap yuan, dollar Singapura, dan ringgit, pendapatan per kapita negara pengimpor, dan kesepakatan Cina-AFTA diatas, maka digunakan analisis regresi berganda untuk menganalisis hubungan antara permintaan ekspor wood dengan variabel-variabel tersebut. Dari variabel yang diduga mempengaruhi permintaan ekspor wood dibuatlah suatu perumusan model. Untuk mengetahui bahwa model penduga layak digunakan atau belum maka dilakukan pengujian terhadap model penduga dengan menggunakan uji F-hitung. Jika F-hitung lebih besar dari F tabel maka tolak H0, berarti secara simultan variabel-variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas pada taraf nyata α persen, dan sebaliknya. Kesesuaian suatu model dapat dihitung dari nilai koefisien determinasi (R2), yang bertujuan untuk mengetahui berapa jauh keragaan permintaan ekspor dapat dijelaskan oleh harga ekspor riil, harga substitusi, nilai tukar riil rupiah terhadap yuan, dollar Singapura, dan ringgit, pendapatan per kapita negara pengimpor (Cina, Singapura, dan Malaysia), dan kesepakatan Cina-AFTA. Sedangkan untuk menguji variabel bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas digunakan uji t-hitung, jika t-hitung lebih besar dari t tabel maka tolak H0, artinya peubah bebas dalam model berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas pada taraf nyata α persen dan sebaliknya. Selanjutnya dilakukan uji autokorelasi untuk melihat apakah ada masalah autokorelasi maka dilakukan
CAFTA (Cina-ASEAN Free Trade Area)
Permintaan Ekspor Wood Indonesia
• Nilai Tukar Rupiah • Kesepakatan Cina-AFTA
Fluktuasi Permintaan Ekspor
Kebutuhan Eksportir Untuk Mengetahui Perkembangan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Pengujian Pengaruh Faktor-Faktor Permintaan Ekspor
• Harga Ekspor riil • Harga substitusi • GDP negara pengimpor
Perumusan Model Analisis Linear Berganda
Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Permintaan Ekspor Wood Indonesia
Rekomendasi Pengembangan Ekspor Wood Indonesia
Gambar 6. Skema Kerangka Operasional
Uji Autokorelasi
dengan uji Breusch-Godfrey. Dari tahapan-tahapan analisis tersebut maka diperoleh hasil dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia. Secara skematis kerangka operasional pada penelitian ini, dapat dilihat pada gambar 6.
3.3. Hipotesis Berdasarkan studi penelitian terdahulu maka dalam penelitian ini akan diajukan beberapa hipotesis, diantaranya : 1. Harga ekspor (HEt) Harga ekspor wood berhubungan negatif terhadap permintaan ekspor wood Indonesia. Memiliki hubungan negatif artinya, apabila terjadi kenaikan harga sebesar satu satuan maka akan menyebabkan penurunan permintaan ekspor wood Indonesia. 2. Harga substitusi (HEBt) Harga substitusi berhubungan positif terhadap permintaan ekspor wood Indonesia. Memiliki hubungan positif artinya, apabila terjadi kenaikan harga sebesar satu satuan maka akan menyebabkan peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia. 3. Nilai tukar rupiah (ERt) Nilai tukar rupiah terhadap yuan, dollar Singapura, dan ringgit memiliki hubungan positif terhadap permintaan ekspor wood Indonesia. Memiliki hubungan positif artinya, jika nilai tukar riil
rupiah mengalami depresiasi maka akan menyebabkan peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia. 4. GDP negara pengimpor GDP
negara
pengimpor
memiliki
hubungan
positif
terhadap
permintaan ekspor wood Indonesia. Semakin tinggi GDP negara pengimpor maka permintaan ekspor wood Indonesia akan semakin besar. 5. Kesepakatan Cina-ASEAN Free Trade Area (Dt) Dummy kesepakatan Cina-ASEAN Free Trade Area memiliki hubungan positif terhadap permintaan ekspor wood Indonesia. Dummy digunakan untuk melihat seberapa jauh kesepakatan Cina-AFTA mengenai penurunan dan penghapusan tarif bea masuk tahap normal track berpengaruh terhadap permintaan ekspor wood Indonesia. Dummy = 0, berarti kesepakatan penurunan dan penghapusan tarif bea masuk tahap normal track belum berlaku. Dummy = 1, berarti kesepakatan penurunan dan penghapusan tarif bea masuk tahap normal track sudah berlaku.
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data deret waktu (Time Series). Data deret waktu meliputi data kuartalan mulai dari Januari 2003 sampai dengan September 2007. Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data pada berbagai instansi yang memiliki dokumen data mengenai kegiatan ekspor wood Indonesia seperti Departemen Kehutanan (Dephut), Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK), dan Badan Pusat Statistik (BPS). Pengambilan data juga diperoleh dari penelusuran internet seperti ASEAN Secretary, Comtrade dan International Financial Statictics (IFS). Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Volume dan nilai ekspor wood Indonesia 2. Harga ekspor wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia 3. Harga ekspor wood Brazil ke Cina, Singapura, dan Malaysia 4. Nilai tukar rupiah terhadap yuan, ringgit dan dollar Singapura 5. GDP per kapita negara Cina, Singapura, dan Malaysia 6. Data pendukung lainnya
4.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk memberikan penjelasan tentang dampak liberalisasi perdagangan Cina-ASEAN terhadap
permintaan ekspor wood Indonesia, rekomendasi pengembangan ekspor wood Indonesia, dan pembahasan hasil pengolahan data. Sedangkan metode kuantitatif dengan persamaan regresi linier berganda digunakan untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia. Pengolahan data dilakukan mulai dari pengelompokkan data, perhitungan penyesuaian dengan menggunakan kalkulator, dan kemudian ditabelkan sesuai keperluan. Data yang ditabelkan, disiapkan untuk input komputer sesuai dengan model yang digunakan dalam penelitian. Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Eviews 4.1 Dalam analisis data, model yang digunakan adalah regresi linier berganda dengan persamaan tunggal karena bentuk dan model mampu menunjukkan berapa persen variabel tak bebas (dependent variable) dapat dijelaskan oleh variabel bebas (independent variable) dengan nilai koefisien determinasi (R2). Kemudian variabel-variabel bebas dapat dilihat apakah berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tak bebas dengan melakukan uji-t dan penghitungannya lebih sederhana. Bentuk umum dari fungsi regresi tersebut adalah (Gujarati, 1997) : Y = ao + Σ AtXt + Et dimana : Y
= peubah tidak bebas
ao
= intercept
Xt
= peubah bebas yang menjelaskan peubah Y
At
= parameter penduga Xt
Et
= pengaruh sisa (error term)
t
= 1,2,...,n yaitu banyaknya peubah bebas dalam fungsi tersebut
Model tersebut diduga dengan Metode Kuadrat Terkecil Biasa (Ordinary Least Square / OLS) yang didasarkan pada asumsi-asumsi berikut: 1. Nilai rata-rata kesalahan pengganggu sama dengan nol, yaitu E(ei) = 0 untuk i = 1,2,3,...,n. 2. Varian (ei) = E (ej) = σ2, sama untuk kesalahan semua kesalahan pengganggu (homoskedastisitas). 3. Tidak ada autokorelasi antara kesalahan pengganggu berarti kovarian (ei,ej) = 0, i ≠ j. 4. Variabel bebas Xi, X2,....,Xk konstan dalam sampling yang terulang dan bebas terhadap kesalahan pengganggu, E (Xi,ei) = 0. 5. Tidak ada kolinearitas ganda di antara variabel bebas X. 6. ei ≈ N (0 ; σ2), artinya kesalahan pengganggu mengikuti distribusi normal dengan rata-rata nol dan varian σ2. Dengan dipenuhinya asumsi diatas, maka koefisien regresi (parameter) yang diperoleh merupakan penduga linier terbaik yang tidak bias (BLUE = Best Linier Unbiased Estimator). Pengujian dilakukan terhadap variabel-variabel independen yang diduga berpengaruh besar terhadap permintaan ekspor wood Indonesia.
4.3. Perumusan Model Berdasarkan pada kerangka pemikiran teoritis dan tujuan studi terdahulu serta berbagai alternatif spesifikasi model yang telah dicoba, maka model ekonometrika permintaan ekspor wood Indonesia adalah sebagai berikut : 4.3.1. Model Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina XCt = ao + a1 HECt + a2 HEBCt +a3 ERCt + a4 GDPCt + a5 Dt + μt..... (4.1) dimana : XCt
= volume permintaan ekspor wood Indonesia di Cina (kg)
HECt = harga ekspor riil wood Indonesia di Cina (US$/kg) HEBCt = harga ekspor riil wood Brazil ke Cina (US$/kg) ERCt = nilai tukar riil rupiah terhadap Yuan (Rp/Yuan) GDPCt = GDP riil per kapita negara Cina (Milyar Yuan/jiwa) Dt
= dummy kesepakatan Cina-AFTA Dummy = 0, berarti kesepakatan Cina-AFTA belum berlaku. Dummy =1, berarti kesepakatan Cina-AFTA sudah berlaku.
a0
= intersep
a1
= koefisien regresi (i = 1, 2, 3,...)
μt
= error
Nilai koefisien yang diharapkan adalah : a1 < 0 ; a2, a3, a4, a5> 0
4.3.2. Model Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura XSt = bo + b1 HESt + b2 HEBSt + b3 ERSt +b4 GDPSt + b5 Dt + μt............ (4.2)
dimana : XSt
= volume permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura (kg)
HESt = harga ekspor riil wood Indonesia di Singapura (US$/kg) HESBt= harga ekspor riil wood Brazil ke Singapura (US$/kg) ERSt = nilai tukar rill rupiah terhadap dollar Singapura (Rp/S $) GDPSt =GDP riil per kapita Singapura (Milyar dollar Singapura/jiwa) Dt
= dummy kesepakatan Cina-AFTA Dummy = 0, berarti kesepakatan Cina-AFTA belum berlaku. Dummy =1, berarti kesepakatan Cina-AFTA sudah berlaku.
b0
= intersep
b1
= koefisien regresi (i = 1, 2, 3,...)
μt
= error
Nilai koefisien yang diharapkan adalah : b1 < 0 ; b2, b3, b4, b5 > 0
4.3.3. Model Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia XMt = co + c1 HEMt + c2HEBMt + c3ERMt +c4 GDPMt + c5 Dt + μt..... (4.3) dimana : XMt
= volume permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia (kg)
HEMt
= harga ekspor rill wood Indonesia di Malaysia (US$/kg)
HEBMt = harga ekspor rill wood Brazil ke Malaysia (US$/kg) ERMt
= nilai tukar riil rupiah terhadap ringgit (Rp/Ringgit)
GDPMt = GDP riil per kapita negara Malaysia (Milyar Ringgit/jiwa)
Dt
= dummy kesepakatan Cina-AFTA Dummy = 0, berarti kesepakatan Cina-AFTA belum berlaku. Dummy =1, berarti kesepakatan Cina-AFTA sudah berlaku.
c0
= intersep
c1
= koefisien regresi (i = 1, 2, 3,...)
μt
= error
Nilai koefisien yang diharapkan adalah : c1 < 0 ; c2, c3, c4, c5 > 0
4.4. Pengujian Model dan Hipotesis 4.4.1. Goodness Of Fit (Kesesuaian Model) Goodness Of Fit (kesesuaian model) dihitung dengan nilai koefisien determinasi (R2). Koefisien determinasi (R2) bertujuan untuk mengukur keragaman variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. R2 menunjukkan besarnya pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut : R2 = Jumlah Kuadrat regresi = 1 - Jumlah Kuadrat Galat Jumlah Kuadrat total Jumlah Kuadrat Total Selang R2 yang digunakan adalah 0
4.4.2. Uji Statistik Untuk menguji apakah secara statistik variabel independen yang digunakan berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen, digunakan uji statistik-F dan uji statistik-t. Penggunaan uji statistik-F dilakukan untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter dan fungsi permintaan ekspor. Uji statistik-t digunakan untuk menguji koefisien regresi dari masing-masing variabel independen secara terpisah, apakah variabel ke-i berpengaruh nyata terhadap variabel dependen (Gujarati, 1997). 1). Uji F Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen. Pengujian yang dilakukan menggunakan distribusi F dengan membandingkan antara nilai kritis F dengan nilai F-hitung yang terdapat pada hasil analisis. Langkah-langkah analisis dalam pengujian hipotesis terhadap variasi nilai variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variasi nilai variabel independen adalah sebagai berikut: 1. Perumusan Hipotesis H0 = variasi perubahan nilai variabel independen tidak dapat menjelaskan variasi perubahan nilai variabel dependen. H1 = variasi perubahan nilai variabel independen dapat menjelaskan variasi perubahan nilai variabel dependen 2. Perhitungan nilai kritis F-tabel dan F-hitung
Fhitung =
SSR /( k − 1) SSE /( n − k )
dimana : SSR = Jumlah kuadrat regresi SSE = Jumlah kuadrat sisa k
= jumlah parameter
n
= jumlah pengamatan (sampel)
3. Penentuan penerimaan atau penolakan H0 F hitung < F tabel : terima H0 F hitung > F tabel : tolak H0 4. Apabila keputusan yang diperoleh adalah tolak H0 maka dapat disimpulkan bahwa variasi perubahan nilai variabel dependen dapat dijelaskan oleh variasi perubahan nilai semua variabel independen. Artinya, semua variabel independen secara bersama-sama dapat berpengaruh terhadap variabel dependen. 2). Uji t Pengujian hipotesis dari koefisien dari masing-masing peubah bebas dilakukan dengan uji t. Langkah-langkah analisis dalam pengujian hipotesis terhadap koefisien regresi adalah : 1. Perumusan hipotesis H0 : ai = 0 H1 : ai < 0 atau ai > 0 2. Penentuan nilai kritis
Nilai kritis dapat ditentukan dengan menggunakan tabel distribusi normal dengan memperhatikan tingkat signifikasi (α) dan banyaknya sampel yang digunakan. 3. Nilai t-hitung masing-masing koefisien regresi dapat diketahui dari hasil perhitungan komputer. Statistik uji yang digunakan dalam uji-t adalah :
t hitung =
bi S (bi )
dimana : bi
= koefisien parameter dugaan
S(bi) = standar deviasi parameter dugaan Kriteria uji: t hitung < t tabel : terima H0 t hitung > t tabel : tolak H0 4. Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan letak nilai t-hitung masing-masing koefisien regresi pada kurva normal yang digunakan dalam penentuan nilai kritis. Jika letak t-hitung suatu koefisien regresi berada pada daerah penerimaan H0, maka keputusannya adalah menerima H0. Artinya koefisien regresi tersebut tidak berbeda dengan nol. Dengan kata lain, variabel tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap nilai variabel dependen. Sebaliknya jika t-hitung menyatakan tolak H0 maka koefisien regresi berbeda dengan nol dan berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
4.4.3. Uji Normalitas Uji normalitas merupakan salah satu asumsi statistik dimana error term terdistribusi normal. pada software Eviews 4.1, uji normalitas dilakukan dengan deskriptif statistik test. Untuk mengetahui adanya normalitas maka digunakan uji Jarque-Bera. Apabila nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata (α), maka persamaan tersebut tidak mempunyai masalah normalitas atau error term terdistribusi normal (Winarno, 2007).
4.4.4. Uji Autokorelasi Dalam analisis regresi dengan data time series dan cross section terdapat masalah autokorelasi. Uji autokorelasi digunakan untuk mengatasi apakah error pada suatu persamaan bersifat independen atau dependen. Pengujian adanya autokorelasi dilakukan dengan uji d Durbin Watson. Rumus Durbin Watson : n
d=
∑ (e t =2
t
− et −1 ) 2
n
∑ et2
, dimana 0
t =1
Nilai hitung statistik d dibandingkan dengan nilai d tabel, yaitu dengan batas bawah (dL) dan batas atas (dU). Hasil perbandingan akan menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Jika d < dL, berarti ada autokorelasi positif 2. Jika d > 4-dL, berarti ada autokorelasi negatif
3. Jika dL < d < 4-dU, berarti tidak terjadi autokorelasi positif maupun negatif 4. Jika dL ≤ d ≤ dU atau 4-dU ≤ d ≤ 4-dL, berarti tidak dapat disimpulkan. Uji autokorelasi juga dapat dideteksi dengan menggunakan uji BreuschGodfrey Serial Correlation LM. Apabila nilai probability Obs* R-squared lebih besar dari taraf nyata berarti tidak terdapat gejala autokorelasi pada model (Winarno, 2007).
4.4.5. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas digunakan untuk menguji tingkat kehomogenan ragam galat dari suatu model regresi. Implikasi dari adanya heteroskedastisitas dalam sebuah model regresi dengan menggunakan prosedur OLS adalah bahwa penduga OLS tidak lagi efisien walaupun penduga tersebut peramalannya masih bersifat tidak bias dan konsisten. Heteroskedastisitas lebih sering muncul pada data cross section dibandingkan dengan time series. Pada cross sectional data, anggota-anggota populasi pada waktu tertentu memiliki ukuran-ukuran yang berbeda-beda, sedangkan pada time series, variabel cenderung memiliki nilai yang sama karena data yang dikumpulkan merupakan satu kesatuan selama periode tertentu. Dengan adanya masalah heteroskedastisitas, akan mengakibatkan hasil uji t dan F dapat menjadi tidak berguna, selain itu pengujian hipotesis menjadi tidak
valid. Oleh karena itu dilakukan uji heteroskedastisitas dengan White Heteroskedasticity Test. Langkah-langkah pengujian adalah sebagai berikut : Yt = β1 + β2Xt1 + β3Xt2 + e Et2 = α1 + α 2Xt1 + α3Xt2 + α4Xt12 + α5Xt12 + α6Xt1Xt2 Hipotesis : H0 : α 2 = α3 = α4 = α5 = α6 = 0 H1 : minimal salah satu α1 ≠ 0 Dengan kriteria uji sebagai berikut : Jika nilai nR2 > X2db (α), maka tolak H0 artinya bahwa persamaan tersebut mengandung masalah heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas muncul apabila kesalahan atau residual dari model yang diamati tidak memiliki varians yang konstan dari satu observasi ke observasi lainnya. Asumsi yang melandasi homoskedastisitas adalah : 1. Residual adalah homoskedastisitas dan merupakan variabel independen. 2. Spesifikasi linear atas model sudah benar.
4.4.6. Uji Multikolinieritas Kolinier ganda (Multikolinierity) merupakan hubungan linier yang sama kuat antara peubah-peubah bebas dalam persamaan regresi berganda. Ada dua alasan mengapa terjadinya multikolinieritas. Pertama, adanya kecenderungan variabel ekonomi untuk bergerak bersama-sama sepanjang waktu. Kedua, adanya penggunaan nilai beda kala (lag) pada variabel penjelas dalam model. Multikolinearitas sempurna adalah suatu pelanggaran terhadap asumsi bahwa
tidak ada hubungan sempurna antar variabel eksogen dalam sebuah persamaan regresi. Pada dasarnya semakin tinggi korelasi antara dua atau lebih variabelvariabel eksogen dalam sebuah model yang benar, semakin sulit memperkirakan akurat koefisien-koefisien pada model yang benar tersebut. Salah satu cara mengukur multikolinearitas dengan cara menghitung yang mudah adalah Variance Inflation Factor (VIF). VIF merupakan suatu cara mendeteksi multikolinearitas dengan melihat sejauh mana sebuah variabel penjelas dapat diterangkan oleh semua variabel penjelas lainnya dalam persamaan regresi. Apabila nilai VIF < 10, maka tidak ada masalah multikolinearitas.
4.5. Konsep Elastisitas Koutsoyiannis (1977) menyatakan bahwa untuk melihat derajat kepekaan variabel dependen pada suatu persamaan terhadap perubahan variabel independen dapat digunakan nilai elastisitasnya. Nilai elastisitas jangka pendek (short run) diperoleh dari perhitungan sebagai berikut :
E SR ( X i ) = β t *
Xi Yi
dimana : Esr (Yt,Xt) = elastisitas jangka pendek variabel independen Xt terhadap variabel dependen Yt
βt
= parameter dugaan variabel independen Xt
Xi
= rata-rata peubah dugaan Xt
Yi
= rata-rata peubah Yt
Kriteria uji : 1. Apabila nilai elastisitas lebih besar dari satu (E > 1) dikatakan elastis (responsif), karena perubahan satu persen variabel independen mengakibatkan perubahan variabel dependen lebih dari satu persen. 2. Apabila nilai elastisitas antara nol dan satu (0 < E < 1) dikatakan inelastis (tidak responsif), karena perubahan satu persen variabel independen akan mengakibatkan perubahan variabel dependen kurang dari satu persen. 3. Apabila nilai elastisitasnya sama dengan nol (E = 0) dikatakan inelastis sempurna, karena perubahan satu persen variabel independen tidak membawa perubahan terhadap variabel dependen. 4. Apabila nilai elastisitas tak terhingga (E = ~) dikatakan elastisitas sempurna, karena perubahan satu persen variabel independen menyebabkan perubahan yang tidak terbatas. 5. Apabila nilai elastisitas sama dengan satu (E = 1) dikatakan unitary elastis.
4.6. Definisi Operasional 1. Wood merupakan kodifikasi produk kayu, dibentuk tidak terputus (diberi lidah, diberi alur, tepinya dikorok, diberi lereng, v-jointed, beaded, diberi pola bentukan, dibundarkan atau sejenis itu), sepanjang tepi, ujung atau permukaannya, diketam, diampelas atau end jointed maupun tidak, dan memiliki kode Harmonized System 4409.
2. Volume permintaan ekspor Wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia merupakan total permintaan ekspor Wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia yang dinyatakan dalam satuan kilogram, dengan periode waktu kuartal yaitu dimulai dari Januari 2003 sampai September 2007. 3. Harga ekspor riil wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia merupakan FOB wood yang merupakan hasil bagi antara total nilai ekspor dengan volume ekspor yang dideflasikan (2000=100) dengan Indeks Harga Perdagangan Besar Indonesia dan dinyatakan dalam satuan Dollar Amerika per kilogram, dengan periode waktu kuartal yaitu dimulai dari Januari 2003 sampai September 2007. 4. Harga substitusi merupakan harga ekspor riil wood Brazil ke Cina, Singapura, dan Malaysia yang merupakan hasil bagi antara total nilai ekspor dengan volume ekspor yang dideflasikan (2000=100) dengan Indeks Harga Perdagangan Besar Brazil dan dinyatakan dalam satuan Dollar Amerika per kilogram, dengan periode waktu kuartal yaitu dimulai dari Januari 2003 sampai September 2007. 5. Nilai tukar riil Rupiah terhadap Yuan, Dollar Singapura, dan Ringgit merupakan perbandingan dari perubahan mata uang Cina, Singapura, dan Malaysia terhadap mata uang Indonesia dan telah dideflasikan (2000=100) dengan IHK Indonesia, dinyatakan dalam satuan Rupiah per Yuan, Rupiah per Dollar Singapura, dan Rupiah per Ringgit, dengan
periode waktu kuartal yaitu dimulai dari Januari 2003 sampai September 2007. 6. GDP rill per kapita negara Cina, Singapura, dan Malaysia merupakan rataan dari pendapatan nasional yang diperoleh penduduk negara pengimpor (Cina, Singapura dan Malaysia) dan telah dideflasikan (2000=100) dengan IHK Cina, Malaysia, dan Singapura, dengan periode waktu kuartal yaitu dimulai dari Januari 2003 sampai September 2007. 7. Dummy Cina-ASEAN Free Trade Area yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kondisi perdagangan wood Indonesia. Dummy CAFTA berlaku pada bulan Juli 2005. Nilai 0 untuk masa sebelum pemberlakuan Normal Track dan nilai 1 untuk masa sesudah pemberlakuan Normal Track. Periode waktu yang digunakan adalah dari Januari 2003 sampai September 2007.
V. GAMBARAN UMUM
5.1. Industri Woodworking Industri Woodworking Indonesia pada awalnya berupa industri kayu gergajian dengan dukungan bahan baku dari hutan alam, saat ini telah tumbuh menjadi industri kayu lanjutan yang sebagian diantaranya telah mengolah kayu dari hutan tanaman dan perkebunan dengan variasi produk yang cukup banyak. Seperti halnya industri kehutanan yang lain (panel kayu, pulp, dan furniture), masalah pokok yang dihadapi relatif sama yaitu bahan baku, ekonomi biaya tinggi, dan masih adanya kebijakan pemerintah yang bersifat disintensif terhadap perkembangan industri kehutanan pada umumnya. Industri woodworking Indonesia dapat dikategorisasikan dalam sub sektor primer (sawmill) dan sub sektor sekunder (joinery & carpentry, and wood packaging). Hal-hal pokok yang menjadi karakterisrik industri ini adalah : 1. Umumnya industri woodworking tidak berintegrasi dengan sumber bahan baku, khususnya ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) sehingga sebagian besar pasokan bahan baku berasal dari pembelian bebas. 2. Bahan baku dari ijin pemanfaatan kayu (IPK) dalam beberapa tahun terakhir terus menurun sehingga sebagian dari pelaku usaha mengalihkan sumber pasokan bahan bakunya ke hutan hak atau hutan rakyat dan kayu perkebunan.
3. Sebagian besar industri woodworking berskala kecil menengah sehingga membutuhkan intervensi dan fasilitasi dari pemerintah untuk pengembangannya.
5.2. Hak Perizinan Kehutanan Ada dua hak yang diberikan pemerintah kepada pengusaha industri kehutanan. Hak-hak ini akan dijelaskan pada sub-bab dibawah ini :
5.2.1. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Pengusahaan hutan adalah kegiatan pemanfaatan hutan yang didasarkan atas azas kelestarian fungsi dan azas perusahaan yang meliputi penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil dan pemasaran hasil hutan (Departemen Kehutanan, 2002). Dalam mengusahakan hutan, pemerintah menempuh kebijaksanaan dengan memberikan Hak Pengusahaan Hutan diatas suatu areal hak pengusahaan hutan berdasarkan PP No. 6 tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Hak Pengusahaan Hutan adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam kawasan hutan produksi, yang kegiatannya terdiri dari penanaman, pemeliharaan, pengamanan, dan pemanenan hasil, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan. 2. Areal kerja Hak Pengusahaan Hutan yang dimaksud adalah pada kawasan hutan produksi yang dibebani Hak Pengusahaan Hutan.
Keputusan pemberian hak pengusahaan hutan adalah ijin yang diberikan oleh Menteri untuk melaksanakan pengusahaan hutan. 3. Pengusahaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan dilaksanakan berdasarkan azas rasionalitas, optimalitas serta kelestarian hutan dan keseimbangan fungsi ekosistem dengan memperhatikan rasa keadilan dan manfaat bagi masyarakat. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHKK) dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha swasta dan BUMN/BUMD. Tujuan Pengusahaan Hutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan adalah mewujudkan keberadaan sumberdaya hutan yang berkualitas tinggi, memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan ekologi yang maksimal dan lestari serta menjamin distribusi manfaatnya secara adil dan merata khususnya terhadap masyarakat yang tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan. Berdasarkan data sampai dengan akhir bulan Desember tahun 2005, jumlah Hak Pengusahaan hutan di seluruh Indonesia sebanyak 285 perusahaan dengan total areal seluas 27,72 juta ha dengan perincian seperti pada tabel 2. Dari 285 perusahaan pemegang HPH sebagian besar diantaranya berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yaitu sebanyak 245 perusahaan (86 persen) dengan konsensi hutan seluas 25,5 juta ha (92,0 persen), sedangkan sisanya berada di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sebanyak 40 perusahaan (14,0 persen) dengan luas 2,2 juta ha (8,0 persen). Bila diamati per pulau, pemegang HPH terbanyak di kalimantan yaitu 147 perusahaan dengan konsesi hutan seluas 11,8 juta ha atau
42,7 persen dari total luas konsesi hutan, dan paling sedikit di Nusa Tenggara sejumlah 1 unit dengan luas areal 0,03 juta ha.
Tabel 2. Keadaan Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan Tahun 2005 Wilayah Sumatera
Unit
Luas (juta ha) 40
2,22
147
11,82
Sulawesi
27
1,84
Maluku
24
1,78
1
0,03
47
10,02
285
27,72
Kalimantan
Nusa Tenggara Barat Papua + Irian Jaya Barat Indonesia
Sumber : Departemen Kehutanan, 2005
5.2.2. Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) adalah hak yang diberikan oleh Menteri Kehutanan kepada Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Swasta, dan Koperasi untuk mengusahakan Hutan Tanaman Industri dalam jangka waktu tertentu (Depatemen Kehutanan, 2002). Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHKK) pada hutan tanaman adalah izin untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari penyiapan lahan, perbenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan kayu (Departemen Kehutanan, 2005). HTI diperuntukkan sebagai berikut : 1. HTI Pulp adalah hutan tanaman yang diperuntukkan terutama bagi penyediaan bahan baku industri pulp (bubur kayu).
2. HTI Kayu Pertukangan adalah hutan tanaman yang diperuntukkan terutama bagi penyediaan bahan baku industri kayu pertukangan dan atau industri lainnya. 3. HTI lainnya adalah hutan tanaman yang diperuntukkan bagi penyediaan bahan baku kayu dan atau industri lainnya (misalnya jenis kayu andalan yang spesifik disuatu tempat atau local specific species). Tujuan Pembangunan HTI adalah untuk menunjang pertumbuhan industri perkayuan dengan penyediaan bahan baku, menunjang ekspor kayu olahan disamping pemenuhan kebutuhan kayu di dalam negeri. dan juga untuk memperluas lapangan kerja. Berdasarkan tujuan penggunaan hasil, pengusahaan HTI dibagi menjadi empat kelas, yaitu : 1. Kelas perusahaan kayu pertukangan (untuk bahan baku kayu lapis, kayu gergajian, veener). 2. Kelas perusahaan kayu serat (untuk bahan baku kayu pulp, kertas, fiber board yang dapat dirubah secara kimia menjadi rayon dan seluloid). 3. Kelas perusahaan kayu energi (untuk arang, kayu bakar, gasifier). 4. Kelas perusahaan hasil hutan bukan kayu. areal dan lokasi untuk pembangunan HTI terdiri dari: 1. Kawasan hutan produksi tetap atau kawasan hutan lainnya yang dapat ditetapkan menjadi hutan produksi tetap. 2. Diprioritaskan pada lahan kosong, padang alang-alang, semak belukar dan hutan rawan atau tidak produktif.
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) masih terus dilakukan hingga saat ini. Pembangunan HTI terbesar terjadi pada tahun 1996/1997, dengan HTI-pulp sebanyak 172.320 ha, perkakas sebanyak 123.897 ha, dan jumlah tanaman sebanyak 390.542 ha. Sedangkan pembangunan HTI terkecil terjadi pada tahun 2001, dengan HTI-pulp sebanyak 56.299 ha, perkakas sebanyak 10.673 ha, HTI swakelola 500 ha, dan jumlah tanaman sebanyak 67.472 ha.
Tabel 3. Pembangunan Hutan Tanaman Industri Tahun 1989/1990-2005 No
Tahun
1 1989/1990 2 1990/1991 3 1991/1992 4 1992/1993 5 1993/1994 6 1994/1995 7 1995/1996 8 1996/1997 9 1997/1998 10 1998/1999 11 1999/2000 12 2000 13 2001 14 2002 15 2003 16 2004 17 2005 JUMLAH
HTI Pulp (Ha) 29.160 65.661 104.222 83.962 113.066 117.940 162.200 172.320 100.883 82.604 85.744 58.152 56.299 87.614 100.497 112.714 142.598 1.675.636
Perkakas 102.495 104.213 109.769 150.891 188.646 100.873 103.000 123.897 77.183 52.366 51.749 21.597 10.673 13.873 18.755 19.200 20.527 1.269.707
HPHTC (Ha) 1.121 1.456 2.577
HTI Swakelola (Ha) 2.500 2.072 1.169 2.569 500 15.900 3..983 28.693
Jumlah Tanaman (Ha) 131.655 169.874 213.991 234.853 373.607 296.786 326.448 390.542 269.109 182.578 138.662 82.317 67.472 118.508 124.691 131.914 163.125 3.416.132
Sumber :Ditjen Bina Produksi Kehutanan Keterangan : (-) : tidak ada kegiatan HTI Pulp : Diantaranya meliputi jenis kayu Pinus, Eucalyptus spp, Acacia mangium, Meranti, Sungkai, Gmelina arborea. HTI Kayu Perkakas : Diantaranya meliputi jenis kayu Jabon, Karet, Jelutung, Gmelina, Acacia mangium, Eucalyptus deglupta, Paraserianthes falcataria, Peronema canescens, Pinus, Meranti Sungkai, Ulin, Ramin HPHTC : Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Campuran.
5.3. Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan Bagi para pengusaha produk industri kehutanan yang akan mengekspor produknya ke pasar internasional, wajib menjalani proses endorsement (pengesahan).
Dasar
hukumnya
tercantum
dalam
Keputusan
Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No.32/MPP/Kep/I/2003 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, kemudian diubah hingga yang terakhir Peraturan Menteri Perdagangan No.09/M-DAG/PER/2/2007 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Sesuai dengan kewenangan yang diberikan Pemerintah, BRIK hanya memberikan endorsement kepada dua kelompok industri yaitu Panel Kayu dan Woodworking. Peraturan Menteri Perdagangan No. 09/M-DAG/PER/2/2007 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan merupakan hasil pembahasan dengan
Departemen
Kehutanan,
Departemen
Perindustrian,
Departemen
Perdagangan, Departemen Keuangan, Indonesia Sawmill and Woodworking Association (ISWA), Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) dan Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK). Tujuannya agar lebih mendorong produk industri kehutanan yang diekspor merupakan produk akhir dan bukan merupakan bahan baku bagi industri di luar negeri, menjamin terpenuhinya kebutuhan bahan baku industri kehutanan di dalam negeri, dan meningkatkan nilai tambah produk industri kehutanan yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai ekspor produk industri kehutanan. Dalam keputusan tersebut diantaranya menjelaskan bahwa ekspor industri kehutanan hanya dapat dilaksanakan oleh Perusahaan Industri Kehutanan yang telah diakui sebagai
Eksportir Terdaftar
Produk Industri Kehutanan (ETPIK) oleh Menteri
Perdagangan dalam hal ini Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Departemen Perdagangan. Untuk mendapatkan ETPIK, perusahaan harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri melalui Direktur Ekspor Produk Pertanian Dan Kehutanan atau Direktur Ekspor Produk Industri sesuai dengan lingkup tanggung jawab pembinaannya Produk kayu olahan (HS 4409) yang diatur kriteria teknisnya berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 09/M-DAG/PER/2/2007 yaitu : 1. Kayu olahan turunan dari S4S dalam bentuk E2E, E3E, dan E4E 2. Decorative profile 3. Kayu Profile untuk kusen pintu (Door Jamb) 4. Kayu Profile untuk kusen jendela (Window Jamb) 5. Kayu Profile untuk rangka pintu (Door Frame) 6. Kayu Profile untuk rangka jendela (Window Frame) 7.
Wall Panel dan Flooring
8. Decking 9. Flooring untuk Truck, Container, Ship Deck dan Wagon
5.4. Ekspor Wood Menurut Jenisnya Menurut buku tarif bea masuk Indonesia tahun 2007 yang dikeluarkan Departemen Keuangan RI, Wood dibedakan menjadi 3 jenis yaitu : HS 4409.10.00.00, HS 4409.21.00.00, dan HS 4409.29.00.00. Masing-masing jenis
tersebut dikenakan tarif bea masuk sebesar 0 persen dan Pajak Penambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen. Deskripsi yang lebih jelas disajikan pada tabel 4.
Tabel 4. Tarif Bea Masuk Produk Wood Tahun 2007 Pos/Subpos Heading/ Subheading
44.09
Uraian Barang
Bea Masuk Import Duty
Umum
Pajak Tax
CEPT
PPN VAT
PPnBM Salestax On Luxury Goods
Kayu dibentuk tidak terputus (diberi
lidah,
diberi
alur,
tepinya dikorok, diberi lereng, V-jointed, beaded, diberi pola bentukan, dibundar kan atau sejenis itu), sepanjang tepi, ujung atau permukaannya. 4409.10.00.00
• Pohon jenis konifera
0
0
10
-
• Pohon bukan jenis konifera 4409.21.00.00
• Dari bamboo
0
0
10
-
4409.29.00.00
• Lain-lain
0
0
10
-
Sumber : Departemen Keuangan, 2007 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
5.5. Permasalahan Yang Dihadapi 5.5.1. Illegal Logging Berdasarkan perhitungan yang dilansif WWF Bank Dunia, 78 persen kayu yang beredar dari hutan Indonesia berasal dari hasil praktek illegal logging. Illegal logging berdasarkan terminologi bahasa berasal dari dua suku kata, yaitu illegal yang berarti praktek tidak sah dan logging yang berarti pembalakan atau pemanenan kayu. Dari aspek simplikasi semantik illegal logging sering diartikan sebagai praktek perdagangan liar. Sedangkan dari aspek integratif, illegal logging diartikan sebagai praktek pemanenan kayu beserta proses-prosesnya secara tidak
sah atau tidak mengikuti prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan. Berdasarkan pemahaman dari definisi-definisi tersebut, dapat didefinisikan illegal logging sebagai sebuah praktek eksploitasi hasil hutan berupa kayu dari kawasan hutan negara melalui aktivitas penebangan pohon atau pemanfaatan dan peredaran kayu yang berasal dari hasil tebangan secara tidak sah. Evaluasi akhir tahun 2002 Direktorat Perlindungan Hutan tentang program pemberantasan illegal logging, total luas hutan yang dijarah mencapai 50,7 juta hektar per tahun. Setara dengan 51,2 juta kali luas lapangan sepakbola, dengan perkiraan kerugian negara Rp 30,42 trilyun per tahun. Secara makro, sedikitnya ada enam faktor penyebab yang mendorong terjadinya praktek illegal logging, yaitu (1) krisis ekonomi, (2) perubahan tatanan politik, (3) lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum (4) adanya kolusi, korupsi dan nepotisme (5) lemahnya sistem pengamanan hutan dan pengamanan hasil hutan, serta (6) harga kayu hasil tebangan liar yang lebih murah. Negara-negara utama tujuan penyelundupan kayu adalah negara yang memiliki kapasitas industri pengolahan kayu yang besar sementara sumber daya hutannya semakin menipis ataupun tidak ada sama sekali. Adapun negara yang terindikasi menampung hasil selundupan kayu tersebut adalah Malaysia, Singapura, China dan India.
5.5.2. Deforestasi dan Degradasi Indonesia merupakan negara terbesar ketiga setelah Brazil dan Zaire yang memiliki hutan tropik yang merupakan salah satu pusat mega biodiversiti di dunia. Sementara di sisi lain fakta menunjukkan kondisi sumberdaya hutan
Indonesia sangat mengkhawatirkan. Laju deforestasi dan degradasi hutan telah mencapai 2,1 juta hektar per tahun. Deforestasi berarti suatu pengurangan secara drastis daya dukung hutan lestari pada suatu wilayah. Permasalahan yang terakumulasi dari berbagai problematika yang melingkupi sektor ini adalah penebangan liar (illegal logging), kebakaran hutan (forest fire) dan perambahan hutan (encroachment) serta okupasi hutan. Namun kondisi ini juga dipicu oleh kesenjangan sosial ekonomi, kesenjangan permintaan industri untuk pasokan kayu bulat yang tinggi, rendahnya penegakan hukum, pengelolaan hutan yang birokratik dan sentralistik. Data menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2004 kawasan hutan yang terdegradasi telah mencapai luas 59,17 juta ha dengan laju kerusakan 2,84 juta/ha/tahun, sedangkan lahan kritis di luar kawasan hutan tercatat mencapai 41,47 juta hektar (Departemen Kehutanan, 2006).
5.5.3. Pengadaan Bahan baku Pengadaan bahan baku merupakan faktor penting dalam menentukan daya saing. Industri woodworking Indonesia hingga saat ini masih menggunakan sebagian bahan bakunya dari hutan alam. Pasokan kayu dari hutan alam sudah semakin menurun baik dari segi volume maupun kualitas, dan harganya menjadi sangat mahal. Sehubungan dengan hal tersebut, maka harga kayu menjadi faktor kunci dalam menentukan daya saing industri woodworking Indonesia, karena bahan baku menempati sekitar 60 persen dari biaya produksi. Ketidakpastian bahan baku semakin dipersulit dengan adanya kebijakan pemerintah yang
membatasi tingkat produksi hutan produksi. Ketentuan itu diatur dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 19/Kpts-VI/2003, tentang Penetapan Jatah Produksi Hasil Hutan Kayu secara Nasional untuk Periode Tahun 2003 yang berasal dari Pemanfaatan Hutan Alam Produksi. SK itu ditetapkan tanggal 10 Januari 2003. Departemen Kehutanan telah membatasi tingkat produksi hutan produksi menjadi 6,89 juta meter kubik pada tahun 2003, sedangkan kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu mencapai 44,8 juta meter kubik per tahun. Berdasarkan data Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) tahun 2006, dari 2000 ETPIK woodworking hanya sekitar 900 ETPIK yang aktif melakukan ekspor. Sebagian lain menutup pabriknya secara permanen maupun sementara karena semakin terbatasnya pasokan bahan baku. Artinya industri woodworking yang bertahan hingga saat ini adalah industri yang mempunyai sumber pasokan bahan baku yang tetap dan mampu mencari alternatif pasokan bahan baku (hutan, hak, HTI, perkebunan dan impor). Saat ini sekitar 40 persen dari industri woodworking telah memanfaatkan kayu hutan non alam. Hal ini diperkirakan akan terus meningkat apabila pemerintah memberi kemudahan dalam pemanfaatan dan tata usaha kayu non hutan alam, menyediakan dukungan infrastruktur dan fasilitasi, dan menyelesaikan persoalan multitafsir kebijakan di lapangan, yang pada akhirnya bermuara pada ekonomi biaya tinggi.
5.5.4. Rendahnya Teknologi dan Kualitas Sumber Daya Manusia Sebagian dari industri woodworking Indonesia khususnya industri berskala besar secara teknis telah maju dan berdaya saing dengan dukungan penggunaan
mesin-mesin modern dan perbaikan metode produksinya. Namun demikian, masih banyak industri yang perlu menyesuaikan diri, baik dalam hal peningkatan kualitas sumber daya manusia maupun terhadap perkembangan baru khususnya dalam teknologi informasi, inovasi teknologi baru dan design produk. Jumlah penduduk Indonesia yang besar dapat menjadi suatu keuntungan bagi Industri woodworking terutama dalam hal biaya tenaga kerja. Namun demikian faktor lain yaitu produktivitas tenaga kerja yang terampil sangat berperan dalam menentukan daya saing industri woodworking. Penguasaan teknologi baru seperti CAD (computer aided design), CAM (computer aided manufacturing), dan CNC (computer numerical control) telah membawa perubahan besar terhadap organisasi dan metode produksi yang diterapkan di negara maju seperti Jepang dan negara-negara Eropa. Dengan demikian produksi, otomatisasi dan modernisasi menjadi kunci keberhasilan dalam pengembangan industri woodworking di masa depan. Industri woodworking Indonesia memiliki peluang yang besar untuk tetap memiliki daya saing tinggi dan menjadi terkemuka di tingkat internasional melalui keahlian tradisional, keahlian teknologi, serta inovasi design dan kualitas produk. Kebijakan ini dapat ditingkatkan melalui konsentrasi pada keahlian, training, dan mengadopsi teknikteknik operasi yang baru.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Permintaan
Ekspor
Wood
Indonesia Menurut Negara Pengimpor Pada bagian ini akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di negara Cina, Singapura dan Malaysia.
6.1.1. Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, dilakukan dengan menggunakan model regresi linier berganda dengan persamaan tunggal dan diduga dengan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square). Berdasarkan model yang telah dirumuskan, maka pada bagian ini disajikan nilai-nilai dan hasil pendugaan model secara keseluruhan yaitu koefisien determinasi (R2), uji F, uji t statistik, dan uji multikolinier. Selanjutnya dilakukan pembahasan mengenai implikasi ekonomi dari tanda dan besaran parameter dugaan serta nilai-nilai elastisitas yang relevan untuk setiap persamaan dalam model. Dari dugaan hasil regresi model permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, diperoleh koefisien determinasi sebesar 97,94 persen. Hal ini berarti bahwa sebesar 97,94 persen keragaman permintaan ekspor wood Indonesia dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel penjelas yaitu variabel harga ekspor riil, harga substitusi, nilai tukar riil rupiah terhadap yuan, GDP rill per kapita
Cina, dan dummy kesepakatan Cina-AFTA. Sedangkan sisanya sebesar 2,06 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model. Pengujian parameter secara keseluruhan untuk faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, dimaksudkan untuk melihat pengaruh bersama-sama antara variabel bebas (variabel eksogen) dengan variabel tak bebas (endogen). Pengujian ini dapat dilakukan dengan melihat P value yaitu sebesar 0,00 yang menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas yang ada di dalam model berpengaruh nyata pada taraf 0,05 secara bersama-sama terhadap permintaan ekspor wood Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa variasi peubahpeubah eksogen dalam persamaan tersebut secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya. Pengujian
terhadap
masalah
normalitas,
dilakukan
dengan
menggunakan uji Jarque-Bera. Nilai obs*R-Squared pada Jarque-Bera adalah sebesar 0,574, lebih besar dari taraf nyata lima persen. Maka dapat dinyatakan bahwa galat model faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Cina menyebar secara normal. Selain itu berdasarkan uji autokorelasi dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM, didapatkan bahwa nilai probability obs*R-Squared adalah sebesar 0,43, lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar lima persen (α= 5 %). Oleh karena itu model persamaan yang digunakan tidak mengalami gejala autokorelasi. Hal ini berarti model tersebut telah memenuhi salah satu syarat yang terdapat dalam metode kuadrat terkecil biasa atau Ordinary Least Square (OLS), dimana tidak terdapat autokorelasi antar kesalahan pengganggu yang berarti kovarian.
Tabel. 5 Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina Variabel Konstanta Harga Ekspor (HECt) Harga Substutisi (HEBCt) GDP Per Kapita Cina (GDPCt) Nilai Tukar rupiah terhadap yuan (ERCt) Dummy Kesepakatan Cina-AFTA (Dt) R-Squared R-Squared (adj) F-statistic Durbin Watson
Koefisien 164219095,4 -1198441,4 308397,3
t-hitung 4,46 -6,55 2,24
Prob 0,001 *0,000 *0,043
19617,3
0,69
0,497
-
952,9
2,76
*0,016
0,009
-8366207,4
-1,57
0,140
-
= 97,94% = 97,15% = 123,79 = 1,712
Elastisitas -0,003 0,001
Prob (F-stat) = 0,000
Sumber : data diolah Keterangan : *Nyata pada taraf α = 0,05
Syarat lain yang harus dipenuhi dalam asumsi Ordinary Least Square (OLS) adalah syarat homoskedastisitas yang secara homogen.
mengharuskan galat menyebar
Pengujian terhadap masalah heteroskedastisitas dilakukan
dengan menggunakan uji white heteroskedasticity. Berdasarkan uji tersebut didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,14 yang lebih besar dari taraf nyata lima persen. Hal ini menunjukkan bahwa variabel setiap unsur residual adalah sama (konstan). Pada model permintaan ekspor wood Indonesia di Cina terdapat nilai yang lebih besar dari [0,8], akan tetapi uji Klein menyatakan apabila nilai koefisien
multikolinearitas
tersebut
tidak
lebih
besar
dari
R2,
maka
multikolinearitas dapat diabaikan. Berdasarkan uji t-statistik pada taraf nyata lima persen, diketahui bahwa faktor bebas dalam model permintaan ekspor wood Indonesia di Cina seperti harga ekspor riil, harga substitusi dan nilai tukar riil rupiah terhadap yuan berpengaruh nyata, sedangkan GDP riil per kapita Cina dan
dummy kesepakatan Cina-AFTA tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Cina. Berikut penjelasan hasil analisis dari masing-masing peubah penjelas dalam model permintaan ekspor wood Indonesia di Cina : 1. Harga Ekspor Riil (HECt) Hasil perhitungan P value variabel harga ekspor riil adalah 0,000 yang berarti bahwa variabel harga ekspor riil berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Cina. Hal ini menunjukkan bahwa harga ekspor riil wood merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Cina. Dari hasil regresi yang dihasilkan, koefisien dari harga ekspor riil wood Indonesia bernilai negatif yaitu sebesar -1198441,4 artinya kenaikan harga ekspor riil sebesar 1 US $ akan berdampak pada penurunan permintaan ekspor wood Indonesia sebesar 1198441,4 kg, ceteris paribus. Tanda negatif pada variabel harga ekspor riil sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal ini didasarkan pada (Lipsey, 1995) yang menyatakan bahwa harga suatu komoditi dan kuantitas yang diminta berhubungan negatif, dengan faktor lain tetap sama. Semakin rendah harga suatu komoditi maka jumlah yang akan diminta untuk komoditi tersebut akan semakin besar. Sebaliknya semakin tinggi harga, maka semakin rendah pula jumlah yang diminta. Dugaan nilai elastisitas harga ekspor riil dalam jangka pendek sebesar -0,003. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pada harga ekspor riil tidak responsif terhadap perubahan permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, artinya jika terjadi
peningkatan harga ekspor sebesar satu persen akan menurunkan permintaan ekspor wood Indonesia sebesar 0,003 persen dalam jangka pendek.
2. Harga Substitusi (HEBCt) Koefisien regresi variabel harga substitusi berupa harga ekspor wood Brazil ke Cina sebesar 308397,3. Hal ini berarti kenaikan harga substitusi sebesar 1 US $ akan berdampak pada peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia sebesar 308397,3 kg, ceteris paribus. Tanda positif pada variabel harga substitusi sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal ini didasarkan pada Lipsey (1995) yang menyatakan bahwa kenaikan harga barang substitusi komoditi tertentu akan menggeser kurva permintaan untuk komoditi tersebut ke arah kanan. Lebih banyak yang akan dibeli pada setiap tingkat harga. Dengan demikian, kenaikan harga substitusi yaitu harga ekspor wood Brazil ke Cina akan meningkatkan permintaan ekspor wood Indonesia di Cina. Hasil perhitungan P value variabel harga subsitusi bernilai 0,043 yang berarti berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Cina. Hal ini menunjukkan bahwa harga substitusi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Cina. Dugaan nilai elastisitas harga substitusi dalam jangka pendek sebesar 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pada harga substitusi tidak responsif terhadap perubahan permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, artinya jika terjadi peningkatan harga ekspor substitusi satu persen akan meningkatkan permintaan ekspor wood Indonesia sebesar 0,001 persen dalam jangka pendek.
3. GDP Riil Per kapita Cina (GDPCt) Koefisien regresi variabel GDP riil per kapita Cina sebesar 19617,3. Hal ini berarti kenaikan GDP riil per kapita Cina sebesar satu yuan maka akan mengakibatkan peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia di Cina sebesar 19617,3 kg, ceteris paribus. Tanda positif pada variabel GDP riil per kapita Cina sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal ini didasarkan pada Lipsey (1995) yang menyatakan bahwa kenaikan pendapatan akan meningkatkan permintaan dan sebaliknya kondisi demikian membuat Indonesia sebagai negara pengekspor wood, akan lebih memperhatikan negara yang memiliki pendapatan per kapita yang besar untuk dijadikan negara tujuan ekspornya. Peningkatan pendapatan per kapita di negara pengimpor, akan meningkatkan jumlah produk wood yang diperdagangkan pula, ceteris paribus. Hasil perhitungan P value variabel GDP riil per kapita Cina bernilai 0,497 yang berarti tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Cina. Hal ini disebabkan karena negara Cina merupakan salah satu negara industri maju, sehingga berapapun besarnya GDP negara Cina tidak akan mempengaruhi besarnya permintaan wood
ke Indonesia. Negara
Cina
perekonomiannya sudah maju pesat, jadi besarnya permintaan impor tidak tergantung pada besarnya GDP.
4. Nilai Tukar Riil(ERCt) Koefisien regresi variabel nilai tukar riil rupiah terhadap yuan sebesar 952,93. Hal ini berarti kenaikan nilai tukar riil rupiah terhadap yuan sebesar satu
Rp/Yuan akan mengakibatkan peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia di Cina sebesar 952,93 kg, ceteris paribus. Tanda positif pada variabel nilai tukar riil rupiah terhadap yuan sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Dimana apabila terjadi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara asing, maka barang-barang Indonesia akan relatif lebih murah sehingga daya saing produk Indonesia akan meningkat dan hal ini akan dapat meningkatkan permintaan ekspor untuk produk Indonesia. Hasil perhitungan P value variabel nilai tukar riil rupiah terhadap yuan bernilai 0,016 yang berarti berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Cina. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tukar riil rupiah terhadap yuan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia. Dugaan nilai elastisitas variabel nilai tukar riil rupiah terhadap yuan dalam jangka pendek sebesar 0,009. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan nilai tukar riil rupiah terhadap yuan sebesar satu persen maka akan meningkatkan permintaan ekspor sebesar 0,009 persen dalam jangka pendek, ceteris paribus. Nilai elastisitas tersebut kurang dari satu, yang artinya perubahan pada nilai tukar riil rupiah terhadap yuan tidak responsif terhadap perubahan permintaan ekspor wood Indonesia di Cina.
5. Dummy Kesepakatan Cina-AFTA (Dt) Koefisien regresi variabel dummy kesepakatan Cina-AFTA sebesar -8366207,4. Tanda negatif pada variabel dummy kesepakatan Cina-AFTA tidak sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal ini berarti dengan adanya
kesepakatan Cina-AFTA maka akan mengakibatkan penurunan permintaan ekspor wood Indonesia di Cina. Hal ini disebabkan karena wood Indonesia belum mampu menyaingi kualitas dan kuantitas wood dari negara pengekspor wood lainnya. Hasil perhitungan P value variabel dummy kesepakatan Cina-AFTA bernilai 0,140 yang berarti tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Cina. Hal ini disebabkan karena faktor kebijakan Cina-AFTA baru dapat terlihat pengaruhnya dalam jangka panjang. Selain itu karena kebijakan ini masih dalam proses pelaksanaan. Hal ini sesuai dengan rencana penurunan tarif yang mengikuti skema dan waktu tahap normal track (I dan II) yang mulai berlaku pada tanggal 20 juli 2005.
6.1.2. Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura Berdasarkan hasil regresi model permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura, diperoleh koefisien determinasi sebesar 88,85 persen. Hal ini berarti bahwa sebesar 88,85 persen keragaman permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel penjelas yaitu variabel harga ekspor riil, harga substitusi, nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Singapura, GDP riil per kapita Singapura, dan dummy kesepakatan Cina-AFTA. Sedangkan sisanya sebesar 11,15 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model. Pengujian parameter secara keseluruhan untuk faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura, dimaksudkan untuk melihat pengaruh bersama-sama antara variabel bebas (variabel eksogen) dengan variabel
tak bebas (endogen). Pengujian ini dapat dilakukan dengan melihat P value yaitu sebesar 0,00 yang menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas yang ada di dalam model berpengaruh nyata pada taraf 0,05 secara bersama-sama terhadap permintaan ekspor wood Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa variasi peubahpeubah eksogen dalam persamaan tersebut secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya. Pengujian
terhadap
masalah
normalitas,
dilakukan
dengan
menggunakan uji Jarque-Bera. Nilai obs*R-Squared pada Jarque-Bera adalah sebesar 0,312, lebih besar dari taraf nyata lima persen. Maka dapat dinyatakan bahwa galat model faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura menyebar secara normal. Selain itu berdasarkan uji autokorelasi dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM, didapatkan bahwa nilai probability obs*R-Squared adalah sebesar 0,14, lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar lima persen (α= 5 %). Oleh karena itu model persamaan yang digunakan tidak mengalami gejala autokorelasi. Hal ini berarti model tersebut telah memenuhi salah satu syarat yang terdapat dalam metode kuadrat terkecil biasa atau Ordinary Least Square (OLS), dimana tidak terdapat autokorelasi antar kesalahan pengganggu yang berarti kovarian. Syarat lain yang harus dipenuhi dalam asumsi Ordinary Least Square (OLS) adalah syarat homoskedastisitas yang
mengharuskan galat menyebar secara
homogen. Pengujian terhadap masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji white heteroskedasticity.
Tabel. 6 Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura Variabel Konstanta Harga Ekspor (HESt) Harga Substutisi (HEBSt) GDP Per Kapita Singapura (GDPSt) Nilai Tukar rupiah terhadap dollar Singapura (ERSt) Dummy Kesepakatan Cina-AFTA (Dt) R-Squared R-Squared (adj) F-statistic Durbin Watson
Koefisien 11144796,00 -6193,72 5611,05
t-hitung 2,95 -2,05 3,07
Prob 0,011 0,061 *0,009
-4042,18
-2,73
*0,017
-0,011
-6,36
-2,20
*0,047
-0,006
123214,60
0,58
0,572
-
= 88,85% = 84,57% = 20,737 = 1,129
Elastisitas 0,001
Prob (F-stat) = 0,000
Sumber : data diolah Keterangan : *Nyata pada taraf α = 0,05
Berdasarkan uji tersebut didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,17 yang lebih besar dari taraf nyata lima persen. Hal ini menunjukkan bahwa variabel setiap unsur residual adalah sama (konstan). Pada model permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura terdapat nilai yang lebih besar dari [0,8], akan tetapi uji Klein menyatakan apabila nilai koefisien multikolinearitas tersebut tidak lebih besar dari R2, maka multikolinearitas dapat diabaikan. Berdasarkan uji t-statistik pada taraf nyata lima persen, diketahui bahwa faktor bebas dalam model permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura seperti harga substitusi, GDP riil per kapita Singapura, dan nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Singapura berpengaruh nyata, sedangkan harga ekspor riil dan dummy kesepakatan CinaAFTA tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura. Berikut penjelasan hasil analisis dari masing-masing peubah penjelas dalam model permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura.
1. Harga Ekspor Riil (HESt) Koefisien variabel harga ekspor riil wood Indonesia bernilai negatif yaitu sebesar -6193,72 artinya kenaikan harga ekspor sebesar 1 US $ akan berdampak pada penurunan permintaan ekspor wood sebesar 6193,72 kg, ceteris paribus. Tanda negatif pada variabel harga ekspor riil sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal ini didasarkan pada (Lipsey, 1995) yang menyatakan bahwa harga suatu komoditi dan kuantitas yang diminta berhubungan negatif, dengan faktor lain tetap sama. Semakin rendah harga suatu komoditi maka jumlah yang akan diminta untuk komoditi tersebut akan semakin besar. Sebaliknya semakin tinggi harga, maka semakin rendah pula jumlah yang diminta. Hasil perhitungan P value variabel harga ekspor riil adalah 0,061 yang berarti bahwa variabel harga ekspor riil tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura.
2. Harga Substitusi (HEBSt) Koefisien regresi variabel harga substitusi berupa harga ekspor wood Brazil ke Singapura sebesar 5611,05. Hal ini berarti kenaikan harga substitusi sebesar 1 US $ akan berdampak pada peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia sebesar 5611,05 kg, ceteris paribus. Tanda positif pada variabel harga substitusi sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang menyatakan bahwa kenaikan harga barang substitusi komoditi tertentu akan menyebabkan peningkatan permintaan untuk komoditi tersebut.
Dengan demikian, kenaikan harga substitusi yaitu harga ekspor wood Brazil ke Singapura akan meningkatkan permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura. Hasil perhitungan P value variabel harga subsitusi bernilai 0,009 yang berarti berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura. Hal ini menunjukkan bahwa harga substitusi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura. Dugaan nilai elastisitas harga substitusi dalam jangka pendek sebesar 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pada harga substitusi tidak responsif terhadap perubahan permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura, artinya jika terjadi peningkatan harga substitusi sebesar satu persen maka akan meningkatkan permintaan ekspor wood Indonesia sebesar 0,001 persen dalam jangka pendek.
3. GDP Riil Per kapita Singapura (GDPSt) Hasil perhitungan P value variabel GDP riil per kapita Singapura bernilai 0,017 yang berarti berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura. Hal ini menunjukkan bahwa GDP riil per kapita Singapura merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura. Koefisien regresi variabel GDP riil per kapita Singapura sebesar -4042,18. Hal ini berarti kenaikan GDP riil per kapita Singapura sebesar satu dollar Singapura maka akan mengakibatkan penurunan permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura sebesar 4042,18 kg, ceteris paribus. Tanda negatif pada variabel GDP riil per kapita Singapura tidak sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Dimana apabila terjadi kenaikan GDP perkapita negara
pengimpor yang berarti kenaikan pendapatan, maka akan meningkatkan permintaan ekspor wood Indonesia. Dugaan nilai elastisitas variabel GDP riil per kapita Singapura dalam jangka pendek sebesar -0,011. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan GDP riil per kapita Singapura sebesar satu persen maka akan menuurunkan permintaan ekspor sebesar 0,011 persen dalam jangka pendek, ceteris paribus. Nilai elastisitas tersebut kurang dari satu, yang artinya perubahan pada GDP riil per kapita Singapura tidak responsif terhadap perubahan permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura.
4. Nilai Tukar Riil (ERSt) Hasil perhitungan P value variabel nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Singapura bernilai 0,046 yang berarti berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Singapura
merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura. Koefisien regresi variabel nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Singapura sebesar -6,36. Hal ini berarti kenaikan nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Singapura sebesar satu Rp/Dollar Singapura maka akan mengakibatkan penurunan permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura sebesar 6,36 kg, ceteris paribus. Dugaan nilai elastisitas variabel nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Singapura dalam jangka pendek sebesar -0,006. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Singapura sebesar satu persen
maka akan menurunkan permintaan ekspor sebesar 0,006 persen dalam jangka pendek, ceteris paribus. Nilai elastisitas tersebut kurang dari satu, yang artinya perubahan pada nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Singapura tidak responsif terhadap perubahan permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura.
5. Dummy Kesepakatan Cina-AFTA (Dt) Koefisien regresi variabel dummy kesepakatan Cina-AFTA sebesar 123214,6. Tanda positif pada variabel dummy kesepakatan Cina-AFTA sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal ini berarti dengan adanya kesepakatan Cina-AFTA maka akan mengakibatkan peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura. Hal ini disebabkan karena dengan adanya Normal Track (I dan II) yaitu program penurunan dan penghapusan tarif, konsumen dapat meningkatkan konsumsinya terhadap wood Indonesia Hasil perhitungan P value variabel dummy kesepakatan Cina-AFTA bernilai 0,572 yang berarti tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura. Hal ini disebabkan karena faktor kebijakan CinaAFTA baru dapat terlihat pengaruhnya dalam jangka panjang. Selain itu karena kebijakan ini masih dalam proses pelaksanaan. Hal ini sesuai dengan rencana penurunan tarif yang mengikuti skema dan waktu tahap normal track (I dan II) yang mulai berlaku pada tanggal 20 juli 2005.
6.1.3. Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia Berdasarkan hasil regresi model permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia, diperoleh koefisien determinasi sebesar 90,31 persen. Hal ini berarti bahwa sebesar 90,31 persen keragaman permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel penjelas yaitu variabel harga ekspor riil, harga substitusi, nilai tukar riil rupiah terhadap ringgit, GDP riil per kapita Malaysia, dan dummy kesepakatan Cina-AFTA. Sedangkan sisanya sebesar 9,69 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model. Pengujian parameter secara keseluruhan untuk faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia, dimaksudkan untuk melihat pengaruh bersama-sama antara variabel bebas (variabel eksogen) dengan variabel tak bebas (endogen). Pengujian ini dapat dilakukan dengan melihat P value yaitu sebesar 0,00 yang menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas yang ada di dalam model berpengaruh nyata pada taraf 0,05 secara bersama-sama terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa variasi peubah-peubah eksogen dalam persamaan tersebut secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya. Pengujian
terhadap
masalah
normalitas,
dilakukan
dengan
menggunakan uji Jarque-Bera. Nilai obs*R-Squared pada Jarque-Bera adalah sebesar 0,94, lebih besar dari taraf nyata lima persen. Maka dapat dinyatakan bahwa galat model faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia menyebar secara normal. Selain itu berdasarkan uji
autokorelasi dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM, didapatkan bahwa nilai probability obs*R-Squared adalah sebesar 0,53, lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar lima persen (α= 5 %). Oleh karena itu model persamaan yang digunakan tidak mengalami gejala autokorelasi. Hal ini berarti model tersebut telah memenuhi salah satu syarat yang terdapat dalam metode kuadrat terkecil biasa atau Ordinary Least Square (OLS), dimana tidak terdapat autokorelasi antar kesalahan pengganggu yang berarti kovarian.
Tabel. 7 Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia Variabel Konstanta Harga Ekspor (HEMt) Harga Substutisi (HEBMt) GDP Per Kapita Malaysia (GDPMt) Nilai Tukar rupiah terhadap ringgit (ERMt) Dummy Kesepakatan CinaAFTA (Dt) R-Squared R-Squared (adj) F-statistic Durbin Watson
Koefisien -14052730,00 -17730,07 8923,13
t-hitung -3,11 -2,26 0,96
Prob 0,008 *0,041 0,353
11343,79
2,51
*0,026
0,016
96,55
3,84
*0,002
0,049
-1082442,00
-1,73
0,107
-
= 90,31% = 86,59% = 24,257 = 1,369
Elastisitas -0,002 -
Prob (F-stat) = 0,000
Sumber : data diolah Keterangan : *Nyata pada taraf α = 0,05
Syarat lain yang harus dipenuhi dalam asumsi Ordinary Least Square (OLS) adalah syarat homoskedastisitas yang
mengharuskan galat menyebar
secara homogen. Pengujian terhadap masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji white heteroskedasticity. Berdasarkan uji tersebut didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,40 yang lebih besar dari taraf nyata lima persen. Hal ini menunjukkan bahwa variabel setiap unsur residual adalah sama (konstan). Pada model permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia terdapat
nilai yang lebih besar dari [0,8], akan tetapi uji Klein menyatakan apabila nilai koefisien
multikolinearitas
tersebut
tidak
lebih
besar
dari
R2,
maka
multikolinearitas dapat diabaikan. Berdasarkan uji t-statistik pada taraf nyata lima persen, diketahui bahwa faktor bebas dalam model permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia seperti harga ekspor riil, GDP riil per kapita Malaysia , dan nilai tukar riil rupiah terhadap ringgit berpengaruh nyata. Sedangkan harga substitusi dan dummy kesepakatan Cina-AFTA tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia. Berikut penjelasan hasil analisis dari masing-masing peubah penjelas dalam model permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia : 1. Harga Ekspor Riil (HEMt) Hasil perhitungan P value variabel harga ekspor riil adalah 0,041 yang berarti bahwa variabel harga ekspor riil berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa harga ekspor riil wood merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia. Dari hasil regresi yang dihasilkan, koefisien dari harga ekspor riil wood Indonesia bernilai negatif yaitu sebesar -17730,07 artinya kenaikan harga ekspor riil sebesar 1 US $ akan berdampak pada penurunan permintaan ekspor wood Indonesia sebesar 17730,07 kg, ceteris paribus. Tanda negatif pada variabel harga ekspor riil sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal ini didasarkan pada (Lipsey, 1995) yang menyatakan bahwa harga suatu komoditi dan kuantitas yang diminta berhubungan negatif, dengan faktor lain tetap sama. Semakin rendah harga suatu komoditi maka jumlah yang
akan diminta untuk komoditi tersebut akan semakin besar. Sebaliknya semakin tinggi harga, maka semakin rendah pula jumlah yang diminta. Dugaan nilai elastisitas harga ekspor riil dalam jangka pendek sebesar -0,002. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pada harga ekspor riil tidak responsif terhadap perubahan permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia, artinya jika terjadi peningkatan harga ekspor sebesar satu persen akan menurunkan permintaan ekspor wood Indonesia sebesar 0,002 persen dalam jangka pendek.
2. Harga Substitusi (HEBMt) Koefisien regresi variabel harga substitusi berupa harga ekspor wood Brazil ke Malaysia sebesar 8923,13. Hal ini berarti kenaikan harga substitusi sebesar 1 US $ akan berdampak pada peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia sebesar 8923,13 kg, ceteris paribus. Tanda positif pada variabel harga substitusi sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal ini didasarkan pada Lipsey (1995) yang menyatakan bahwa kenaikan harga barang substitusi komoditi tertentu akan menggeser kurva permintaan untuk komoditi tersebut ke arah kanan. Lebih banyak yang akan dibeli pada setiap tingkat harga. Dengan demikian, kenaikan harga substitusi yaitu harga ekspor wood Brazil ke Malaysia akan meningkatkan permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia. Hasil perhitungan P value variabel harga subsitusi bernilai 0,35 yang berarti tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia.
3. GDP Riil Per kapita Malaysia (GDPMt) Koefisien regresi variabel GDP riil per kapita Malaysia sebesar 11343,79. Hal ini berarti kenaikan GDP riil per kapita Malaysia sebesar satu ringgit maka akan mengakibatkan peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia sebesar 11343,79 kg , ceteris paribus. Tanda positif pada variabel GDP riil per kapita Malaysia sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal ini didasarkan pada Lipsey (1995) yang menyatakan bahwa kenaikan pendapatan akan meningkatkan permintaan dan sebaliknya kondisi demikian membuat Indonesia sebagai negara pengekspor wood, akan lebih memperhatikan negara yang memiliki pendapatan per kapita yang besar untuk dijadikan negara tujuan ekspornya. Peningkatan pendapatan per kapita di negara pengimpor, akan meningkatkan jumlah produk wood yang diperdagangkan pula, ceteris paribus. Hasil perhitungan P value variabel GDP riil perkapita Malaysia bernilai 0,026 yang berarti berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa GDP riil perkapita Malaysia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia. Dugaan nilai elastisitas variabel GDP riil per kapita Malaysia dalam jangka pendek sebesar 0,016. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan GDP riil per kapita Malaysia sebesar satu persen maka akan meningkatkan permintaan ekspor sebesar 0,016 persen dalam jangka pendek, ceteris paribus. Nilai elastisitas tersebut kurang dari satu, yang artinya perubahan pada GDP riil per kapita Malaysia tidak responsif terhadap perubahan permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia.
4. Nilai Tukar Riil (ERMt) Koefisien regresi variabel nilai tukar riil rupiah terhadap ringgit sebesar 96,55. Hal ini berarti kenaikan nilai tukar riil rupiah terhadap ringgit sebesar satu Rp/Ringgit akan mengakibatkan peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia sebesar 96,55 kg, ceteris paribus. Tanda positif pada variabel nilai tukar riil rupiah terhadap ringgit sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Dimana apabila terjadi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap ringgit, maka komoditi wood Indonesia relatif lebih murah sehingga daya saing produk Indonesia akan meningkat dan hal ini akan dapat meningkatkan permintaan ekspor wood Indonesia. Hasil perhitungan P value variabel nilai tukar riil rupiah terhadap ringgit bernilai 0,002 yang berarti berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tukar riil rupiah terhadap ringgit merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia. Dugaan nilai elastisitas variabel nilai tukar riil rupiah terhadap ringgit dalam jangka pendek sebesar 0,049. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan nilai tukar riil rupiah terhadap ringgit sebesar satu persen maka akan meningkatkan permintaan ekspor sebesar 0,049 persen dalam jangka pendek, ceteris paribus. Nilai elastisitas tersebut kurang dari satu, yang artinya perubahan pada nilai tukar riil rupiah terhadap ringgit tidak responsif terhadap perubahan permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia.
5. Dummy Kesepakatan Cina-AFTA (Dt) Koefisien regresi variabel dummy kesepakatan Cina-AFTA sebesar -1082442. Tanda negatif pada variabel dummy kebijakan Cina-AFTA tidak sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal ini berarti dengan adanya kesepakatan Cina-AFTA maka akan mengakibatkan penurunan permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia. Hal ini dikarenakan wood Indonesia belum mampu menyaingi kualitas dan kuantitas wood dari negara pengekspor wood lainnya. Hasil perhitungan P value variabel dummy kesepakatan Cina-AFTA bernilai 0,107 yang berarti tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia. Hal ini disebabkan karena faktor kebijakan Cina-AFTA baru dapat terlihat pengaruhnya dalam jangka panjang, sedangkan periode implementasi yang terjadi masih terbatas. Sehingga proses penyesuaian di masyarakat maupun negara belum berjalan sempurna.
6.2. Implikasi Kebijakan Permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, Singapura, dan Malaysia dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti harga ekspor riil, harga substitusi (harga ekspor wood Brazil ke Cina, Singapura, dan Malaysia), nilai tukar rupiah terhadap yuan, dollar Singapura dan ringgit, GDP perkapita negara pengimpor wood (Cina, Singapura, dan Malaysia) dan dummy kesepakatan Cina-AFTA dimana semua variabel tersebut memiliki pengaruh yang berbeda-beda. Adapun implikasi kebijakan berdasarkan hasil penelitian diuraikan pada penjelasan berikut ini.
Harga ekspor riil merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia. Semakin rendah harga suatu komoditi maka akan semakin besar permintaan terhadap komoditi tersebut. Sebaliknya semakin tinggi harga, maka semakin rendah pula permintaan terhadap komoditi tersebut. Berdasarkan hasil yang diperoleh, harga ekspor memiliki pengaruh yang negatif terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di negara Cina, Singapura dan Malaysia. Kebijakan yang sebaiknya dilakukan oleh pengusaha wood adalah mengefisienkan usahanya baik efisien dalam biaya produksi, tenaga kerja, maupun teknologi, sehingga mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain seperti Brazil. Hal ini dapat dilakukan dengan konsentrasi pada keahlian, training, dan mengadopsi teknik-teknik operasi yang baru serta penguasaan teknologi baru seperti CAD (computer aided design), CAM (computer aided manufacturing), dan CNC (computer numerical control). Nilai tukar rupiah memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Cina dan Malaysia. Hal ini berarti kenaikan nilai tukar rill rupiah akan mengakibatkan peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia. Kebijakan yang sebaiknya dilakukan adalah tetap mempertahankan nilai tukar rupiah seperti kondisi diatas, sehingga nilai tukar rupiah tetap memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap permintaan ekspor wood Indonesia Dummy kesepakatan Cina-AFTA memiliki hubungan yang positif terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura. Kesepakatan Cina-AFTA akan mendorong konsumen untuk meningkatkan permintaan ekspor wood Indonesia. Hal ini disebabkan karena dengan adanya Normal Track (I dan II) yaitu program
penurunan dan penghapusan tarif, konsumen dapat meningkatkan konsumsinya terhadap wood Indonesia. Kebijakan yang sebaiknya dilakukan adalah meningkatkan komitmen terhadap kesepakatan Cina-ASEAN Free Trade Area dengan mensukseskan program Normal Track yang berlaku pada tanggal 20 Juli 2005. Sedangkan Dummy kesepakatan Cina-AFTA memiliki hubungan yang negatif terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Cina dan Malaysia. Hal ini disebabkan peningkatan ekspor yang terjadi belum mampu menyaingi kualitas dan kuantitas dari negara pengekspor wood lainnya. Oleh karena itu kebijakan yang sebaiknya dilakukan adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas wood Indonesia agar mampu bersaing dengan negara pengekspor wood lainnya. Dummy kesepakatan Cina-AFTA memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di negara Cina, Singapura dan Malaysia. Hal ini disebabkan faktor kebijakan Cina-AFTA baru dapat terlihat pengaruhnya dalam jangka panjang, sedangkan periode implementasi yang terjadi masih terbatas. Sehingga proses penyesuaian di masyarakat maupun negara belum berjalan
sempurna.
Kebijakan
yang
sebaiknya
diambil
adalah
dengan
mengenalkan Cina-ASEAN Free Trade Area kepada industri woodworking dan masyarakat, sehingga proses penyesuaian di masyarakat maupun negara dapat berjalan sempurna.
6.3. Dampak Liberalisasi Perdagangan Cina-ASEAN Liberalisasi Cina-ASEAN dinilai sangat potensial memperbesar akses pasar untuk meningkatkan permintaan ekspor wood Indonesia. Jumlah penduduk
ASEAN dan Cina yang mencapai 1,8 milyar konsumen, yaitu sebanyak 1,29 milyar dari Cina dan 550 juta dari ASEAN ( Economic Outlook for East Asia, Institute of Developing Economies/JETRO, Japan, 2004) merupakan pangsa pasar yang sangat menjanjikan. Indonesia harus berjuang melawan persaingan dengan sesama negara ASEAN lainnya untuk merebut pasar Cina. Program penurunan dan penghapusan tarif bea masuk (Normal Track I dan II) memberikan pengaruh yang positif terhadap permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura. Dengan adanya Normal Track I dan II berarti konsumen di negara pengimpor (Singapura) akan melakukan konsumsi lebih besar terhadap suatu komoditi. Liberalisasi perdagangan akan membawa dampak peningkatan kesejahteraan bagi negara yang melakukannya. Liberalisasi perdagangan adalah pembebasan perdagangan dari segala hambatan, baik hambatan tarif maupun hambatan non tarif yang dilakukan sepihak dan banyak pihak. Pemberlakuan program Cina-ASEAN yaitu Normal Track (I dan II) menyebabkan penurunan permintaan ekspor wood Indonesia di negara Cina dan Malaysia. Hal ini disebabkan karena dengan adanya pemberlakuan kesepakatan Cina-ASEAN, maka akan menurunkan permintaan ekspor wood Indonesia ke negara tujuan ekspor tersebut, karena peningkatan ekspor yang terjadi belum mampu menyaingi kualitas dan kuantitas dari negara pengekspor wood lainnya. Indonesia harus meningkatkan daya saing guna menghadapi liberalisasi perdagangan Cina-ASEAN. Potensi bahan baku dalam negeri merupakan kekuatan industri dalam negeri. Jika ekspor bahan baku terus dilakukan, otomatis daya saing Indonesia akan menurun. Indonesia juga harus melakukan
restrukturisasi terhadap industri kehutanan dan pengawasan yang lebih intensif pada kinerja ekspor wood Indonesia sebagai langkah untuk meningkatkan daya saing, dengan demikian maka liberalisasi perdagangan Cina-ASEAN dapat membuka peluang yang besar bagi ekspor wood Indonesia, yang berarti ekspor meningkat dan selanjutnya mendorong pertumbuhan dan memperluas diversifikasi produksi di dalam negeri.
6.4. Rekomendasi Pengembangan Ekspor Wood Indonesia. Komoditi wood merupakan komoditi yang penting bagi Indonesia karena sumbangannya terhadap devisa negara yang cukup besar. Namun kinerja industri woodworking saat ini semakin merosot. Berdasarkan data Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) tahun 2006, dari 2000 ETPIK woodworking hanya sekitar 900 ETPIK yang aktif melakukan ekspor. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya, yakni kurangnya bahan baku, kemampuan teknologi yang rendah, kualitas sumber daya manusia yang rendah, birokrasi yang rumit, nilai investasi baik PMA maupun PMDN yang relatif kecil, dan infrastruktur yang tidak mendukung. Berbagai kendala tersebut menyebabkan keterpurukan pada industri woodworking, khususnya wood. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan ekspor wood. Pertama, untuk mengatasi pasokan bahan baku yang tidak cukup perlu mengintensifkan hutan tanaman, membangun dan menggunakan sumber-sumber pasokan bahan baku alternatif, meningkatkan produktivitas hutan tanaman, menegakkan peraturan yang bertujuan menciptakan perlindungan hutan
dari kerusakan secara sungguh-sungguh, serta mengembangkan kesamaan visi tentang “Green Trade” atau “Green Economic”. “Green Economic” merupakan persepsi bahwa perdagangan dan alasan ekonomi tidak seharusnya mengabaikan kelestarian lingkungan hidup. Pembangunan ekonomi juga harus dilandaskan pada prinsip kesinambungan fungsi sosial budaya dan ekologis dari hutan, sehingga tidak terjebak dalam upaya maksimisasi profit jangka pendek yang mengakibatkan eksploitasi hutan yang berlebihan. Kedua, melakukan penyesuaian teknologi industri kehutanan yang sudah tua dengan teknologi terbaru yang lebih fleksibel sehingga dapat mengolah berbagai produk untuk memenuhi permintaan konsumen dunia yang saat ini cenderung spesifik. Penyesuaian teknologi pengolahan dan mesin-mesin pengolahan kayu difokuskan pada teknologi yang mampu mengolah kayu dari jenis pohon-pohon cepat tumbuh dan berdiameter kecil, namun mampu menghasilkan produk akhir yang lebih bervariasi dan bernilai tambah tinggi. Ketiga, meningkatkan mutu sumber daya manusia di sektor kehutanan untuk dapat memenuhi permintaan pasar global, melalui pendidikan dan pelatihan yang terencana dengan baik dan berkesinambungan sehingga mampu beradaptasi terhadap perkembangan baru khususnya dalam teknologi informasi, inovasi teknologi baru dan design produk. Keempat, melakukan kajian terhadap prosedur birokrasi di bidang kehutanan yang selama ini dipandang rumit oleh para pelaku usaha di sektor industri kehutanan. Salah satunya dengan menyederhanakan dan mempersingkat birokrasi perizinan pembangunan hutan tanaman dan birokrasi dalam mengekspor kayu olahan. Kelima, membuat peraturan perundangan di
bidang kehutanan yang dapat memberikan iklim yang kondusif bagi investasi dan perkembangan industri kehutanan serta memberikan insentif (seperti keringanan pajak dan lain-lain) kepada investor yang berminat menanamkan investasinya di sektor kehutanan dan memberikan jaminan keamanan investasi. Terakhir, melakukan perbaikan infrastruktur agar dapat meningkatkan ekspor wood di masa yang akan datang.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di negara Cina, Singapura, dan Malaysia terdiri dari faktor harga ekspor riil, harga substitusi (harga ekspor wood Brazil ke Cina, Singapura, dan Malaysia), GDP riil per kapita negara pengimpor (Cina, Singapura, dan Malaysia), nilai tukar riil rupiah terhadap yuan, dollar Singapura, dan ringgit, serta dummy kesepakatan Cina-AFTA. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada model permintaan ekspor wood Indonesia di Cina, faktor harga ekspor riil, harga substitusi, dan nilai tukar riil rupiah terhadap yuan berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia. Pada model permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura, faktor harga substitusi, GDP riil per kapita Singapura, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Singapura berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia. Sedangkan pada model permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia, faktor harga ekspor riil, GDP riil per kapita Malaysia, dan nilai tukar riil rupiah terhadap ringgit berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor wood Indonesia. Pemberlakuan program Cina-AFTA yaitu Normal Track (I dan II) menyebabkan penurunan permintaan ekspor wood Indonesia di negara Cina dan Malaysia. Hal ini disebabkan karena peningkatan ekspor yang terjadi belum mampu menyaingi kualitas dan kuantitas dari negara pengekspor wood lainnya. Sedangkan pemberlakuan program Cina-AFTA yaitu Normal Track (I dan II) menyebabkan peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia di negara
Singapura. Hal ini disebabkan karena dengan adanya program penurunan dan penghapusan tarif, konsumen dapat meningkatkan konsumsinya terhadap wood Indonesia. Keikutsertaan Indonesia di dalam Cina-AFTA merupakan konsekuensi logis dari keanggotaan Indonesia di dalam ASEAN yang harus diterima meskipun kurang menguntungkan bagi perdagangan wood Indonesia di pasar internasional. Rekomendasi pengembangan ekspor wood Indonesia diantaranya adalah dengan mengatasi pasokan bahan baku yang tidak cukup dengan cara mengintensifkan hutan tanaman, membangun dan menggunakan sumber-sumber pasokan bahan baku alternatif, meningkatkan produktivitas hutan tanaman, serta mengembangkan kesamaan visi tentang “Green Trade”. Kedua, melakukan penyesuaian teknologi industri kehutanan yang sudah tua dengan teknologi terbaru. Ketiga, meningkatkan mutu sumber daya manusia di sektor kehutanan melalui pendidikan dan pelatihan. Keempat, melakukan kajian terhadap prosedur birokrasi di bidang kehutanan yang selama ini dipandang rumit oleh para pelaku usaha. Kelima, membuat peraturan perundangan di bidang kehutanan yang dapat memberikan iklim yang kondusif bagi investasi dan perkembangan industri kehutanan. Terakhir, melakukan perbaikan infrastruktur.
7.2. Saran 1. Peningkatan permintaan ekspor wood tidak terlepas dari keberhasilan produsen domestik dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas wood Indonesia. Oleh karena itu diharapkan para pengusaha wood mampu mengefisienkan usahanya baik efisien dalam biaya produksi, tenaga
kerja, maupun teknologi, sehingga mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain. 2. Kebijakan untuk meningkatkan permintaan ekspor wood Indonesia di negara pengimpor adalah menjaga kontinuitas ekspor yaitu dengan meningkatkan produksi dalam negeri dengan cara pengembangan lahan, pengelolaan hutan secara intensif, melakukan penyesuaian teknologi industri kehutanan yang sudah tua dengan teknologi yang terbaru yang lebih fleksibel, dan meningkatkan mutu SDM di sektor kehutanan untuk dapat memenuhi permintaan di pasar global. 3. Pada penelitian selanjutnya dilakukan analisis daya saing wood Indonesia di pasar internasional dan analisis penawaran ekspor wood Indonesia ke masing-masing negara konsumen wood, untuk dijadikan sebagai gambaran mengenai upaya lebih lanjut dalam meningkatkan ekspor wood Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2006. Statistical Yearbook Of Indonesia. BPS. Jakarta Badan Revitalisasi Industri Kehutanan. 2003-2007. “Ekspor”. [ BRIK Online]. www.brikonline.com. [3 Maret 2008] Comtrade. 2003-2007. “database”. www.uncomtrade.com. [5 Agustus 2008] Departemen Kehutanan. 2001-2003. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan, Jakarta. 2004. Statistik Perusahaan Pembudidaya Tanaman Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta. 2005. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan, Jakarta 2006. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan, Jakarta 2007. Eksekutif Data Strategis Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta Faad, H. dan F. D. Tuheteru. 2007. Hutan Indonesia Nasibmu Kini. Press Jogjakarta, Jogjakarta. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara, Jakarta. Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar. S. Zain [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Hadi, Hamdy. 2004. Ekonomi Internasional. Ghalia Indonesia, Jakarta Herosobroto. 2007. Analisis Dampak Depresiasi Dan Volatilitas Nilai Tukar Terhadap Kinerja Ekspor Kayu Olahan Indonesia. [Disertasi]. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Hidayati, R. et all. 2006. Pemberantasan Illegal Logging Dan Penyelundupan Kayu: Menuju Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan. Wana Aksara, Jakarta. International Monetary Fund (IMF). 2003-2007. International Financial Statistics (IFS). www.imf.org. [4 April 2008]
Lindert, P dan C. P. Kindlebergen. 1995. Ekonomi Internasional. Erlangga, Jakarta. Lipsey, et all. 1995. Pengantar Makroekonomi. A. J. Wasana, Kirbrandoko, Budijanto [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. I. Nurmawan [penerjemah] Erlangga, Jakarta. Nachrowi, N. D. dan H. Usman. 2006. Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi Dan Keuangan. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, Jakarta. Ningrum, A. W. P. 2006. Analisis Permintaan Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Novansi. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Beberapa Buah-buahan Penting Indonesia. [skripsi]. Program Sarjana Eksistensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Pradana, A. A. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Plywood di Indonesia. [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor Ramanathan, R. 1998. Introductionary Econometrics With Application. Fourth Edition. Harcourt Brace College Publisher, Orlando. United States of America. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Keempat. H. Munandar [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Sekretariat ASEAN. 2004. “Roadmap for Integration of e-ASEAN Sector”. [Sekretariat ASEAN Online]. www.aseansec.org. [10 April 2008] Sekretariat ASEAN. 2005 “Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China”. [Sekretariat ASEAN Online]. www.aseansec.org. [10 April 2008] Suarga, R. 2005. Pemberantasan Illegal Logging: Optimisme Di Tengah Praktek Premanisme Global. Wana Aksara, Jakarta. Smith dan Blakeslee. 1995. Bahasa Perdagangan. Kusneidi [penerjemah]. Institut Teknologi Bandung. Winarno, W. W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. UPP STIM YKPN, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina Tahun XCt HECt HEBCt GDPCt 2003 Q1 96021750 0,161 0,158 1,98 2003 Q2 103320898 0,162 0,163 2,26 2003 Q3 109017081 0,159 0,164 2,54 2003 Q4 112308817 0,155 0,166 3,11 2004 Q1 112829234 0,152 0,163 2,27 2004 Q2 111103839 0,147 0,156 2,64 2004 Q3 108092747 0,147 0,142 2,86 2004 Q4 104756075 0,152 0,137 3,60 2005 Q1 101628186 0,154 0,132 3,14 2005 Q2 98074565 0,157 0,134 3,45 2005 Q3 93034943 0,163 0,133 3,66 2005 Q4 85449051 0,157 0,137 4,68 2006 Q1 75262942 0,168 0,145 3,51 2006 Q2 63149098 0,173 0,150 3,86 2006 Q3 50786319 0,181 0,152 3,98 2006 Q4 39853406 0,197 0,179 3,38 2007 Q1 32421289 0,210 0,204 3,98 2007 Q2 27320672 0,218 0,207 4,44 2007 Q3 23774390 0,227 0,210 4,62
ERCt 836,20 776,51 779,64 770,14 752,32 809,06 779,69 777,86 770,80 775,14 826,80 716,51 651,68 665,03 659,72 640,67 637,94 641,26 645,37
Keterangan : XCt
= volume permintaan ekspor wood Indonesia di Cina (kg)
HECt
= harga ekspor riil wood Indonesia di Cina (US$/kg)
HEBCt
= harga ekspor riil wood Brazil ke Cina (US$/kg)
GDPCt
= GDP riil per kapita negara Cina (Milyar Yuan/jiwa)
ERCt
= nilai tukar riil rupiah terhadap Yuan (Rp/Yuan)
Dt
= dummy kesepakatan Cina-AFTA
Dt 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Lampiran 2. Data Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura Tahun XSt HESt HEBSt GDPSt ERSt 2003 Q1 3930279 0,545 0,524 9,58 3920,21 2003 Q2 4377034 0,544 0,527 9,58 3658,83 2003 Q3 4685293 0,543 0,534 9,65 3733,34 2003 Q4 4785809 0,539 0,539 9,66 3747,79 2004 Q1 4656046 0,543 0,533 9,79 3708,74 2004 Q2 4340924 0,545 0,536 10,03 3901,59 2004 Q3 3932077 0,548 0,534 10,31 3816,66 2004 Q4 3521139 0,553 0,459 10,60 3940,49 2005 Q1 3280364 0,558 0,436 10,84 3866,86 2005 Q2 3312814 0,552 0,424 10,93 3811,46 2005 Q3 3322170 0,542 0,410 10,94 3960,96 2005 Q4 3373115 0,540 0,373 10,96 3474,55 2006 Q1 3401442 0,536 0,384 11,09 3228,40 2006 Q2 3625255 0,531 0,402 11,22 3345,49 2006 Q3 3813773 0,528 0,421 11,32 3287,87 2006 Q4 3837211 0,526 0,440 11,41 3262,11 2007 Q1 3841764 0,518 0,443 11,50 3252,03 2007 Q2 3849926 0,484 0,460 11,88 3186,41 2007 Q3 3988778 0,437 0,426 12,23 3251,20
Dt 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Keterangan : XSt
= volume permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura (kg)
HESt
= harga ekspor riil wood Indonesia di Singapura (US$/kg)
HESBt
= harga ekspor riil wood Brazil ke Singapura (US$/kg)
GDPSt
=GDP riil per kapita Singapura (Milyar dollar Singapura/jiwa)
ERSt
= nilai tukar rill rupiah terhadap dollar Singapura (Rp/S $)
Dt
= dummy kesepakatan Cina-AFTA
Lampiran 3. Data Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia Tahun XMt HEMt HEBMt GDPMt ERMt 2003 Q1 2863722 0,288 0,259 3,65 1681,45 2003 Q2 3342930 0,286 0,255 3,70 1691,44 2003 Q3 3802033 0,283 0,244 3,74 1698,18 2003 Q4 4230978 0,280 0,246 3,81 1677,43 2004 Q1 4535732 0,280 0,255 3,95 1678,68 2004 Q2 4727595 0,278 0,254 4,13 1762,18 2004 Q3 4733886 0,285 0,264 4,31 1698,21 2004 Q4 4481922 0,301 0,265 4,34 1694,20 2005 Q1 4018242 0,310 0,276 4,25 1678,83 2005 Q2 3386300 0,329 0,286 4,27 1688,28 2005 Q3 2748768 0,359 0,323 4,52 1675,03 2005 Q4 2268318 0,329 0,347 4,76 1529,72 2006 Q1 2095395 0,352 0,354 4,60 1567,40 2006 Q2 2119339 0,313 0,327 4,71 1446,89 2006 Q3 2217263 0,272 0,313 4,95 1426,07 2006 Q4 2266281 0,250 0,291 4,90 1416,61 2007 Q1 2100088 0,245 0,284 4,71 1427,66 2007 Q2 1805050 0,273 0,277 4,99 1413,66 2007 Q3 1424115 0,287 0,299 5,09 1418,56 Keterangan : XMt
= volume permintaan ekspor wood Indonesia di Malaysia (kg)
HEMt
= harga ekspor rill wood Indonesia di Malaysia (US$/kg)
HEBMt = harga ekspor rill wood Brazil ke Malaysia (US$/kg) GDPMt = GDP riil per kapita negara Malaysia (Milyar Ringgit/jiwa) ERMt
= nilai tukar riil rupiah terhadap ringgit (Rp/Ringgit)
Dt
= dummy kesepakatan Cina-AFTA
Dt 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Lampiran 4. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina Dependent Variable: XCT Method: Least Squares Date: 08/11/08 Time: 14:28 Sample: 2003:1 2007:3 Included observations: 19 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
HECT HEBCT GDPCT ERCT DT C
-1198441. 308397.3 19617.31 952.9350 -8366207. 1.64E+08
183039.6 137569.6 28086.39 344.6692 5318031. 36782228
-6.547442 2.241756 0.698463 2.764782 -1.573178 4.464632
0.0000 0.0431 0.4972 0.0161 0.1397 0.0006
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.979430 0.971519 5345339. 3.71E+14 -317.6977 1.712210
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
81484490 31673359 34.07344 34.37168 123.7980 0.000000
Lampiran 5. Uji Normalitas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina 5 Series: Residuals Sample 2003:1 2007:3 Observations 19
4
3
2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
1.42E-09 -737590.3 7044057. -7543705. 4542664. -0.085893 1.828391
Jarque-Bera Probability
1.110057 0.574056
1
0 *******
-5000000
0
5000000
Lampiran 6. Uji Autokorelasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0.556741
Probability
0.655376
Obs*R-squared
Probability
0.436966
2.719248
Lampiran 7. Uji Heteroskedastisitas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
2.467842 13.52109
Probability Probability
0.097288 0.140410
Lampiran 8. Uji Multikolinieritas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Cina XCT HECT HEBCT GDPCT ERCT DT
XCT
HECT
HEBCT
GDPCT
ERCT
DT
1.000000 -0.955406 -0.705312 -0.708251 0.874150 -0.828502
-0.955406 1.000000 0.848783 0.614164 -0.787027 0.702492
-0.705312 0.848783 1.000000 0.258616 -0.581749 0.353084
-0.708251 0.614164 0.258616 1.000000 -0.676954 0.786011
0.874150 -0.787027 -0.581749 -0.676954 1.000000 -0.778011
-0.828502 0.702492 0.353084 0.786011 -0.778011 1.000000
Lampiran 9. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura Dependent Variable: XST Method: Least Squares Date: 08/11/08 Time: 14:37 Sample: 2003:1 2007:3 Included observations: 19 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
HEST HEBST GDPST ERST DT C
-6193.718 5611.054 -4042.180 -6.362791 123214.6 11144796
3014.245 1828.697 1478.609 2.893820 212608.3 3779060.
-2.054816 3.068334 -2.733773 -2.198752 0.579538 2.949093
0.0606 0.0090 0.0171 0.0466 0.5721 0.0113
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.888592 0.845743 190332.2 4.71E+11 -254.3287 1.129464
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
3888169. 484606.4 27.40302 27.70126 20.73760 0.000009
Lampiran 10. Uji Normalitas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura 8 Series: Residuals Sample 2003:1 2007:3 Observations 19
7 6 5 4 3 2 1 0 -400000
-200000
0
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-2.97E-10 45972.02 244455.0 -412377.1 161751.3 -0.829150 3.433938
Jarque-Bera Probability
2.326123 0.312528
200000
Lampiran 11. Uji Autokorelasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 1.402380
Probability
0.286748
Obs*R-squared
Probability
0.145127
3.860295
Lampiran 12. Uji Heteroskedastisitas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura White Heteroskedasticity Test: F-statistic
2.025940
Probability
0.153866
Obs*R-squared
12.72096
Probability
0.175644
Lampiran 13. Uji Multikolinieritas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Singapura XST HEST HEBST GDPST ERST DT
XST
HEST
HEBST
GDPST
ERST
DT
1.000000 -0.066902 0.829060 -0.585506 0.098174 -0.433562
-0.066902 1.000000 0.233434 -0.675786 0.660497 -0.568188
0.829060 0.233434 1.000000 -0.774450 0.499311 -0.765384
-0.585506 -0.675786 -0.774450 1.000000 -0.708336 0.814771
0.098174 0.660497 0.499311 -0.708336 1.000000 -0.798583
-0.433562 -0.568188 -0.765384 0.814771 -0.798583 1.000000
Lampiran 14. Hasil Estimasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia Dependent Variable: XMT Method: Least Squares Date: 08/11/08 Time: 14:43 Sample: 2003:1 2007:3 Included observations: 19 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
HEMT HEBMT GDPMT ERMT DT C
-17730.07 8923.128 11343.79 96.54993 -1082442. -14052730
7833.117 9265.098 4524.486 25.12075 625864.7 4512921.
-2.263476 0.963091 2.507199 3.843433 -1.729514 -3.113888
0.0414 0.3531 0.0262 0.0020 0.1074 0.0082
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.903191 0.865957 403317.2 2.11E+12 -268.5968 1.369450
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
3114103. 1101601. 28.90492 29.20317 24.25702 0.000004
Lampiran 15. Uji Normalitas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia 7 Series: Residuals Sample 2003:1 2007:3 Observations 19
6 5 4 3 2 1 0 -500000
0
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
3.45E-09 -602.7515 589044.8 -663247.8 342753.7 0.035890 2.616924
Jarque-Bera Probability
0.120254 0.941645
500000
Lampiran 16. Uji Autokorelasi Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic
0.386778
Probability
0.688125
Obs*R-squared
1.248355
Probability
0.535702
Lampiran 17. Uji Heteroskedastisitas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.980020 9.404139
Probability Probability
0.511745 0.400835
Lampiran 18. Uji Multikolinieritas Permintaan Ekspor Wood Indonesia di Malaysia XMT HEMT HEBMT GDPMT ERMT DT
XMT
HEMT
HEBMT
GDPMT
ERMT
1.000000 -0.058421 -0.680370 -0.712800 0.858873 -0.883045
-0.058421 1.000000 0.586630 0.004745 0.288708 0.096571
-0.680370 0.586630 1.000000 0.684039 -0.529646 0.797058
-0.712800 0.004745 0.684039 1.000000 -0.843555 0.867354
0.858873 0.288708 -0.529646 -0.843555 1.000000 -0.866163