ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KOMODITAS KAKAO INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN MALAYSIA DI PASAR SINGAPURA TAHUN 2003-2013
AFIF NAUFAL
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kakao Indonesia Dibandingkan Malaysia di Pasar Singapura Tahun 2003-2013 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2014 Afif Naufal NRP H34100005
ABSTRAK AFIF NAUFAL. Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kakao Indonesia Dibandingkan dengan Malaysia di Pasar Singapura Tahun 2003-2013 dibimbing oleh HENY K S DARYANTO. Sektor perkebunan kakao memiliki potensi untuk memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan nilai ekspor Indonesia. Sejak pelaksanaan kebijakan bea keluar biji kakao 1 April 2010 menyebabkan ekspor kakao Indonesia mengalami penurunan, sedangkan kebijakan bea keluar biji kakao untuk ekspor biji kakao pada bulan April 2010 bertujuan untuk meningkatkan industri pengolahan kakao Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis daya saing ekspor kakao Indonesia dibandingkan malaysia di Singapura sebagai salah satu negara tujuan ekspor kakao di ASEAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data time series perdagangan Indonesia, Malaysia dan dunia dengan Singapura pada periode 2003-2013. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Revealed Compare Analysis (RCA) untuk menentukan keunggulan komparatif Indonesia dan Malaysia. Metode Constant Market Share (CMS) adalah untuk menguraikan faktor-faktor penentu pertumbuhan ekspor kakao Indonesia dan Malaysia ke Singapura. Berdasarkan perbandingan nilai kakao RCA Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura selama periode 2003-2013 terlihat bahwa nilai RCA Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia dalam produk biji kakao, sedangkan nilai RCA Indonesia pada produk olahan kakao masih lebih rendah dibandingkan Malaysia. Berdasarkan hasil nilai CMS di Indonesia, rata-rata pertumbuhan ekspor kakao Indonesia ke Singapura pada periode 2003-2009 lebih dipengaruhi oleh efek efek komposisi komoditas, sedangkan periode 2010-2013 perkembangan nilai CMS Indonesia lebih dipengaruhi efek daya saing. Kata kunci: kakao, daya saing, CMS, pajak ekspor, RCA
ABSTRACT AFIF NAUFAL. Analysis of Export Competitiveness of the Indonesian Cocoa Commodity Compared to Malaysia in Singapore 2003-2013 supervised by HENY K S DARYANTO. Cocoa plantation sector has the potential to contribute greatly to the development of Indonesian exports. Since the implementation of tax policy on cocoa beans 1 April 2010 led to the Indonesia's cocoa export into a significant decline. On the other hand, tax policy for the export of cocoa beans in April 2010 to make Indonesian cocoa processing industry shows growth. The objective of this study is to analyze the Indonesia's cocoa export competitiveness than malaysia's in Singapore as one of the cocoa export destinations in ASEAN. Data used in this study is secondary data in the form of time series data trade Indonesia, Malaysia and the world with Singapore in the period 2003-2013. The method used in this study is Revealed Compare Analysis (RCA) to determine Indonesia and Malaysia cocoa competitiveness. Constant Market Share (CMS) method is for decomposing the growth determinants of Indonesia and Malaysia cocoa exports to singapore.
Based on the comparison of the value of cocoa RCA Indonesia and Malaysia in the Singapore market over the period 2003-2013 is seen that the value of RCA Indonesia is still higher compared to Malaysia for cocoa beans, while the value of Indonesia's RCA on processed cocoa products is lower than Malaysia. Based on the results of the CMS in Indonesia, the average growth of Indonesian cocoa exports to Singapore in the period 2003-2009 is more influenced by the effects of the commodity composition effect, while the growth rate in 2010-2013 CMS Indonesia is more influenced competitiveness effect. Keywords: cocoa, competitiveness, CMS, export tax, RCA
ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KOMODITAS KAKAO INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN MALAYSIA DI PASAR SINGAPURA TAHUN 2003-2013
AFIF NAUFAL
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah perdagangan internasional, dengan judul Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kakao Indonesia Dibandingkan dengan Malaysia di Pasar Singapura Tahun 20032013. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Rr Heny K S Daryanto selaku pembimbing, yang telah membimbing, memberikan semangat dan motivasi, Ungkapan terima kasih saya sampaikan kepada Mama, Siti Arisyah, dan Papa, Ujang Jarnuji, SE, atas doa, dukungan, dan kasih sayang yang tak henti-hentinya diberikan setiap saat kepada saya. Terima kasih kepada Ayumi F G, yang selalu memberikan dukungan dan motivasi, serta Inesta Fulla Naldi, Atika Azariawati Sugiono terima kasih saya ucapkan atas dukungan, motivasi, dan doa yang telah diberikan. Tidak lupa kepada teman-teman satu bimbingan saya, serta kepada seluruh teman-teman Agribisnis 47 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih telah menjadi bagian dari hidup saya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2014 Afif Naufal
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Rumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA KERANGKA PEMIKIRAN
5 10
Kerangka Pemikiran Teoritis
10
Kerangka Pemikiran Operasional
16
METODE PENELITIAN
18
Lokasi dan Waktu Penelitian
18
Jenis dan Sumber Data
18
Metode Analisis dan Pengolahan Data
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
21
Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kakao Indonesia dan Malaysia di Pasar Singapura
21
Dampak Kebijakan Bea Keluar Biji Kakao Terhadap Pertumbuhan Ekspor Kakao dan Industri Pengolahan Kakao Indonesia
44
SIMPULAN DAN SARAN
47
Simpulan
47
Saran
47
DAFTAR PUSTAKA
47
LAMPIRAN
51
RIWAYAT HIDUP
53
vi
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Produk kakao berdasarkan kode Harmonized System (HS-18) 4-dijit Hasil analisis CMS kakao Indonesia di pasar Singapura Hasil analisis CMS kakao Malaysia di pasar Singapura Luas area perkebunan dan produksi kakao di Indonesia tahun 20032013 Penggolongan ukuran biji kakao Indonesia Persyaratan umum biji kakao Indonesia Persyaratan khusus biji kakao Indonesia Standar mutu nasional Malaysia Persyaratan umum standar mutu biji kakao Malaysia Persyaratan khusus biji kakao Malaysia
5 25 26 29 40 40 41 41 42 42
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Keseimbangan dalam perdagangan internasional Model Berlian Porter Kerangka pemikiran operasional Nilai RCA dan Indeks RCA biji kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013 5 Nilai RCA dan Indeks RCA produk olahan kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013 6 Keterkaitan antar komponen Porter's Diamond System 7 Perbandingan nilai ekspor kakao umum (HS-18) dengan biji kakao (HS-1801) Indonesia
14 16 17 22 23 43 44
DAFTAR LAMPIRAN 1 Nilai RCA dan Indeks RCA biji kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013 2 Nilai RCA dan Indeks RCA produk olahan kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013 3 Hasil perhitungan CMS Indonesia 4 Hasil perhitungan CMS Malaysia
51 51 52 52
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu produk ekspor perkebunan yang memiliki peranan penting dan diandalkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia selain kelapa sawit, rempah-rempah, karet dan kopi. Kakao menyumbang devisa sebesar USD 1.053 Milyar dari ekspor biji kakao dan produk kakao olahan (Kemenperin 2014). Namun pengembangan kakao terkendala rendahnya pertumbuhan industri kakao dalam negeri dan belum optimalnya nilai tambah produk kakao di Indonesia. Sucipto (2010) menyatakan bahwa masih ditemukan bubuk kakao yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mengurangi pasar industri pengolahan kakao bermutu dalam negeri. Sebagian besar produksi kakao Indonesia digunakan untuk keperluan ekspor dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Dradjat dan Wahyudi (2013) menyatakan bahwa produk yang diekspor sebagian besar (78,5 %) berupa produk primer, yakni dalam bentuk biji kering dan sebagian kecil (21,5 %) berupa hasil olahan. Negara sasaran ekspor kakao Indonesia adalah Amerika Serikat, Malaysia, Brazil, dan Singapura. Selain mengekspor, Indonesia juga mengimpor biji kakao yang berasal dari Pantai Gading, Ghana, dan Papua Nugini. Hal ini karena biji kakao produksi Indonesia bermutu rendah. Senada dengan hal tersebut, Helble dan Okubo (2006) menyatakan bahwa keberhasilan ekspor berkelanjutan hanya dapat tercapai jika produktivitas tinggi dikombinasikan dengan mutu tinggi. The International Cocoa Organization (ICCO) pada tahun 2011 menyatakan bahwa pertumbuhan permintaan kakao dunia sekitar 4 juta ton per tahun dan dalam lima tahun terakhir permintaan tumbuh rata-rata 5% per tahun. Berdasarkan Data ICCO, Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, serta tertinggi pertama di Asia. Komoditas kakao masih sangat potensial untuk dikembangkan dimana tingkat konsumsi kakao khususnya di Indonesia masih rendah. Pada awal tahun 2014 tingkat konsumsi kakao Indonesia mencapai 0,3 kilogram per kapita, sedangkan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Singapura tingkat konsumsinya mendekati 1 kilogram per kapita (Sikumbang 2014). Permintaan kakao diprediksi masih positif seiring meningkatnya populasi, pendapatan, urbanisasi, dan permintaan dalam perdagangan komoditas kakao dunia (Panggabean dan Satyoso 2013). Meskipun demikian, seiring terintegrasinya perekonomian dunia persaingan sesama produsen kakao semakin ketat, khususnya Indonesia yang disebabkan setidaknya oleh dua faktor. Pertama, rendahnya produktivitas dan mutu tanaman kakao. Kedua, ketatnya persaingan juga terjadi akibat serangkaian kebijakan untuk menghadapi perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara yaitu ASEAN Economy Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 (MEA). Pada tahun 2015, apabila MEA tercapai maka ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil, serta arus modal yang lebih bebas diantara negara ASEAN. Terbentuknya pasar tunggal yang bebas tersebut maka terdapat peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan
2
pangsa pasarnya di kawasan ASEAN khususnya dalam perkembangan komoditas kakao. Pada perkembangan kakao di Indonesia, industri hilir kakao di Indonesia masih belum berkembang dan beroperasi secara optimal. Masalah utama terkait daya saing kakao Indonesia dalam perdagangan internasional adalah masalah produktivitas, kualitas mutu, dan industri kakao yang kurang berkembang. Pada tahun 2005 rata-rata produktivitas kakao Indonesia sebesar 900 kg/ha/tahun. Angka ini masih jauh dibawah rata-rata potensi yang diharapkan, yakni sebesar 2000 kg/ha/tahun (Asosiasi Kakao Indonesia 2005). Faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas tanaman kakao mayoritas disebabkan karena penggunaan bahan tanam yang kurang baik, teknologi budidaya yang kurang optimal, umur tanaman serta masalah serangan hama dan penyakit. Kakao dalam bentuk komoditas primer tersebut akan terkena diskon harga yang kemudian diinput sebagai kerugian (Dradjat dan Wahyudi 2013). Kerugian tersebut seharusnya dapat dikurangi apabila industri hilir Indonesia beroperasi secara optimal dan dapat meningkatkan mutu dan nilai tambah komoditas kakao Indonesia. Industri kakao dalam negeri juga kurang berkembang karena kurangnya pasokan bahan baku dalam negeri yang disebabkan besarnya ekspor kakao keluar negeri. Hal tersebut berbeda dengan Malaysia yang memiliki industri pengolahan kakao yang sudah berkembang dapat mengeskpor kakao dalam bentuk olahan kakao ke negara lain, termasuk Indonesia yang merupakan produsen biji kakao terbesar di Asia. Industri kakao Indonesia belum memiliki pengolahan kakao yang baik jika dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, sehingga kakao Indonesia lebih banyak diekspor dalam bentuk biji kakao yang memiliki nilai tambah yang relatif kecil. Nilai tambah yang lebih besar justru dimiliki oleh Malaysia dan Singapura yang memiliki industri kakao yang lebih berkembang. Malaysia dipilih sebagai negara pembanding karena Malaysia dengan Indonesia memiliki kesamaan latarbelakang agroekosistemnya sehingga karakteristik kakao Indonesia memiliki kesamaan dengan kakao Malaysia. Singapura merupakan negara tujuan ekspor utama kakao Indonesia dan Malaysia di pasar ASEAN karena Singapura tidak memiliki sumberdaya alam yang menunjang untuk memproduksi biji kakao. Tingkat permintaan impor kakao yang tinggi untuk keperluan industri maupun konsumsi dari Singapura juga menjadikannya pasar tujuan ekspor terbesar kakao di ASEAN sehingga pasar Singapura dinilai mampu mempresentasikan persaingan perdagangan ekspor kakao di ASEAN. Pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan produksi dan perdagangan produk olahan kakao untuk pengembangan dan peningkatan daya saing produk kakao. Peningkatan daya saing produk merupakan tantangan terbesar bagi komoditas kakao Indonesia, terutama untuk menghadapi perdagangan bebas khususnya antar negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Mengingat iklim persaingan yang semakin ketat menyebabkan kakao Indonesia mendapat ancaman yang serius dari negara-negara yang juga merupakan produsen kakao di Asia Tenggara seperti Malaysia. Indonesia yang selama ini merupakan negara pengekspor komoditas kakao terbesar di Asia Tenggara serta memiliki peluang yang besar untuk menguasai pasar Asia Tenggara khususnya Singapura. Besarnya potensi Indonesia tentunya menjadi tantangan terhadap ekspor komoditas kakao Indonesia ke Singapura. Mengingat pentingnya komoditas kakao dalam ekspor Indonesia sebagai penghasil devisa, maka kajian daya saing secara
3
komprehensif pada aspek produksi dan perdagangan serta mengetahui faktorfaktor penentu daya saing khususnya berkaitan dengan produktivitas dan pemenuhan akan persyaratan mutu menjadi penting. Rumusan Masalah Menurut Lutfi (2014) Indonesia berpeluang menjadi produsen kakao terbesar dunia mengingat potensi yang dimilikinya. Agribisnis kakao Indonesia sebagian besar merupakan perkebunan rakyat yang tersebar di hampir seluruh provinsi di tanah air sehingga agribisnis kakao secara langsung berkesinambungan dengan kesejahteraan masyarakat kecil di pedesaan. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, area kakao rakyat terus mengalami pertumbuhan yang nyata sehingga produksi kakao nasional juga terus meningkat seiring dengan peningkatan luas area lahan kakao (Apriyantono 2008). Pada pasar perdagangan dunia, harga biji kakao dan produk olahannya memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah di masa yang akan datang. Adanya nilai tambah yang tinggi dalam industri pengolahan kakao dipandang sangat perlu untuk mendorong perkembangan industri pengolahan di dalam negeri. Sebagai salah satu produsen kakao terbesar dunia, Indonesia memiliki pengalaman dalam dunia agribisnis kakao mulai dari aspek budidaya, pengolahan hulu dan hilir, maupun pemasarannya. Namun demikian, masih banyak aspek yang belum dapat dioptimalkan mulai dari tingkat produksi, penanganan pasca panen, maupun industri hilirnya. Menurut Apriyanto (2008), masalah utama yang perlu diatasi dalam agribisnis kakao Indonesia antara lain rendahnya produktivitas yang masih jauh di bawah potensi genetiknya, serangan hama dan penyakit utama yang merusak tanaman dan menurunkan mutu, penanganan pasca panen yang belum optimal, sistem tataniaga yang kurang mendukung, serta kemitraan dengan sektor pengolahan yang belum berjalan lancar. Diperlukan pemahaman yang komprehensif dalam mengembangkan komoditas kakao untuk memperoleh solusi terhadap permasalahan yang dihadapi agribisnis kakao Indonesia. Pangsa pasar produk kakao Indonesia, baik ekspor maupun domestik terus meningkat secara signifikan (Djalil 2008). Pemerintah telah menetapkan kakao sebagai komoditas prioritas untuk direvitalisasi. Penetapan kakao sebagai komoditas prioritas tersebut didasarkan pada pertimbangan keunggulan kompetitif dan komparatif di pasar internasional. Meskipun memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan negara-negara lainnya di ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand, kondisi kakao Indonesia belum cukup menggembirakan. Banyak kendala yang masih belum sepenuhnya bisa diatasi, baik di tingkat produksi, pasca panen, maupun indistri hilirnya. Sampai saat ini, biji kakao rakyat masih dicirikan dengan karakter cita rasa lemah, kadar kotoran tinggi, serta banyak terkontaminasi bakteri (Djalil 2008). Industri kakao nasional masih kekurangan bahan baku. Impor biji kakao untuk bahan baku industri dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan (ICCO 2013). Keadaan tersebut menunjukkan adanya kepentingan mendesak untuk melakukan perbaikan mutu biji kakao dan perbaikan industri olahannya. Ekspor kakao Indonesia juga masih lebih banyak dalam bentuk setengah jadi dan biji kakao. Berbeda dengan Singapura dan Malaysia yang mampu mengolah biji kakao
4
dalam bentuk hasil jadi dan setengah jadi, meskipun luas area tanam kakao mereka lebih kecil dari Indonesia. Singapura dan Malaysia telah memiliki pabrik pengolahan kakao yang berkualitas yang mampu menghasilkan kakao olahan dengan mutu yang baik. Selain permasalahan rendahnya produktivitas dan mutu seperti yang diuraikan di atas, industri agribisnis kakao Indonesia juga menghadapi beberapa masalah internal. Kendala internal tersebut antara lain efisiensi pemasaran yang rendah dan belum optimalnya kebijakan pemerintah terkait upaya peningkatan produktivitas dan mutu kakao nasional. Diberlakukannya kebijakan bea keluar biji kakao pada tanggal 1 April 2010 mengakibatkan menurunnya nilai ekspor kakao Indonesia. Dalam rangka mengembangkan industri pengolahan kakao nasional, kebijakan bea keluar biji kakao diharapkan mampu memberikan efek positif. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa tantangan yang dihadapi oleh kakao Indonesia dan negara ASEAN lainnya adalah daya saing produk, standar mutu, stabilitas harga, dan pangsa pasar yang lebih kompetitif dengan dimulainya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan dimulai pada tahun 2015. Perkembangan pasar akan dikuasai oleh perusahaan atau negara yang mampu menjual dengan mutu lebih baik pada kondisi constant return to scale dan increasing to scale. Pada kondisi tersebut yang dapat bertahan dalam persaingan adalah perusahaan atau negara yang mampu melakukan integrasi vertikal (Briggs et al. 2005). Hal di atas menunjukkan bahwa kakao Indonesia harus lebih memiliki daya saing tinggi agar dapat bersaing dengan kakao dari negara pesaing seperti Malaysia. Dengan demikian, rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana daya saing komoditas kakao Indonesia dibandingkan dengan Malaysia di pasar Singapura sebagai tujuan utama ekspor kakao di ASEAN. Berdasarkan pada penjelasan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana daya saing perdagangan ekspor biji kakao dan produk olahan kakao Indonesia dibandingkan dengan Malaysia di pasar Singapura? 2. Apa dampak Kebijakan pemerintah mengenai komoditas kakao terhadap pertumbuhan ekspor kakao dan industri pengolahan kakao Indonesia? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis daya saing perdagangan biji kakao dan produk olahan kakao Indonesia dibandingkan dengan Malaysia di pasar Singapura. 2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah mengenai komoditas kakao terhadap pertumbuhan ekspor kakao dan industri pengolahan kakao Indonesia. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan informasi serta bukti empiris mengenai daya saing kakao Indonesia di pasar tujuan ekspor yaitu Singapura. Manfaat penelitian ini secara lebih khusus adalah sebagai berikut: 1. Bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai daya saing kakao Indonesia
5
di salah satu pasar tujuan ekspor di ASEAN yaitu Singapura, sehingga pemerintah mendapat informasi dan bahan masukan dalam merumuskan berbagai kebijakan yang bersifat kompetitif di masa yang akan datang. 2. Bagi para pelaku pasar, hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi tambahan atas kondisi perkebunan kakao di Indonesia saat ini dan dapat mengeteahui langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing industri kakao Indonesia. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membahas mengenai daya saing komoditas kakao Indonesia di pasar Asia Tenggara khususnya Singapura. Penelitian ini menggunakan beberapa alat analisis yaitu analisis deskriptif dan metode kuantitatif. Metode desktiptif digunakan untuk menganalisis perkembangan data-data yang digunakan dalam penelitian ini. Metode kuantitatif dengan pendekatan Revealed Comparatif Advantage (RCA) dan Constant Market Share (CMS). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu selama 10 tahun (2003-2013). Data tersebut diperoleh dari Situs Resmi Perdagangan Komoditas Internasional dan The International Cocoa Organization (ICCO). Data produk kakao yang dianalisis dibagi menjadi enam jenis berdasarkan kode Harmonized System (HS-18) 4-dijit ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Produk kakao berdasarkan kode Harmonized System (HS-18) 4-dijit No Kode Harmonized System Spesifikasi 1 1801 Cocoa beans, whole or broken, raw or roasted 2 1802 Cocoa shells, husks, skins and waste 3 1803 Cocoa paste 4 1804 Cocoa butter, fat, oil 5 1805 Cocoa powder, unsweetened 6 1806 Cocoa and other foods contaning cocoa Sumber: Situs Resmi Perdagangan Komoditas Internasional (www.comtrade.un.org)
TINJAUAN PUSTAKA Daya Saing Hasil dari penelitian Kalaba (2012) dalam penelitiannya yang menggunakan pendekatan RCA untuk menganalisis daya saing kakao Indonesia periode tahun 1991-2010 menjelaskan jika ekspor kakao Indonesia lebih tinggi daripada ekspor kakao terhadap jumlah ekspor dunia, maka Indonesia memiliki keunggulan komparatif atas produksi dan ekspor kakao. Kalaba (2012) dalam penelitiannya juga mendiferensiasikan produk kakao dalam empat kategori yaitu biji kakao, pasta kakao, lemak kakao, maupun bubuk kakao. Dalam kurun waktu 1991 sampai dengan 2010 Indonesia berada dalam tahap spesialisasi ekspor untuk komoditas biji kakao dan lemak kakao sedangkan pasta kakao dan bubuk kakao
6
cenderung menjadi negara pengimpor. Hasil analisis Irnawaty (2008) dalam penelitiannya tentang daya saing Komoditas kakao Indonesia menunjukkan bahwa kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam perdagangan Internasional. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RCA yang dimiliki oleh Indonesia periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 lebih dari satu. Irnawaty (2008) dalam penelitiannya yang menggunakan Porter's Diamond Theory menjelaskan walaupun komoditas kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif, Indonesia masih berdaya saing lemah karena terdapat berbagai kendala yaitu kualitas kakao Indonesia yang masih rendah dan belum memenuhi standar internasional. Penelitian lain mengenai daya saing komoditas kakao Indonesia dilakukan oleh Ragimun (2012) yang menganalisis daya saing kakao Indonesia dengan beberapa negara dalam kurun waktu 2002 sampai dengan 2011. Negara tujuan utama ekspor kakao dari Indonesia adalah Malaysia, Singapura, Amerika, China, dan Brazil yang menguasai sebesar 93,1 % dengan nilai ekspor komoditas kakao pada tahun 2002-2011 terus mengalami peningkatan walaupun nilai impor juga terus mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil dari analisis RCA, komoditas kakao merupakan komoditas unggulan Indonesia yang mempunyai daya saing cukup bagus karena memiiki RCA lebih besar dari 1. Nilai RCA Indonesia juga lebih tinggi dari Malaysia dari tahun 2002 hingga 2011, namun pada tahun 2011 RCA Indonesia mengalami penurunan menjadi 2,75 yang hampir sama dengan RCA Malaysia yang sebesar 2,52. Penelitian dengan metode Revealed Compared Advantage yang menganalisis daya saing kakao Indonesia lainnya adalah Rahmanu (2009) yang menunjukkan bahwa kakao olahan Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1995 dengan nilai RCA di bawah satu dan memiliki keunggulan komparatif pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2006 dengan nilai RCA diatas satu. Hal ini disebabkan pada tahun 1988 sampai tahun 1995 nilai ekspor hasil olahan kakao masih relatif sedikit dan mulai meningkat pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2006 seiring dengan meningkatnya industri makanan dan minuman dunia. Hasil dari penelitian Irwanto (2012) yang menganalisis keunggulan daya saing dan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor komoditas kakao Indonesia ke kawasan Uni Eropa menunjukkan posisi daya saing komoditas kakao Indonesia di pasar Estonia, Prancis, Belanda, Polandia, dan Inggris berada pada kuadran Falling Star. Sedangkan posisi daya saing komoditas kakao Indonesia di pasar Jerman, Italia, Lithuania dan Spanyol berada pada kuadran Rising Star. Irwanto (2012) menjelaskan bahwa secara keseluruhan industri pengolahan kakao Indonesia kurang kompetitif di pasar Uni Eropa. Hadi dan Mardianto (2004) juga melakukan penelitian mengenai analisis komparasi daya saing produk ekspor pertanian antara nergara ASEAN dalam era perdagangan bebas AFTA. Analisis dan pengolahan data untuk daya saing dilakukan secara kuantitatif menggunakan metode Constant Market Share (CMS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa analisis pertumbuhan nilai ekspor produk pertanian Indonesia dan dunia ke kawasan ASEAN periode 1997-1999 dan 1999-2001 dengan menggunakan metode CMSA menunjukkan pertumbuhan ekspor Indonesia selama 1997-1999 ke kawasan ASEAN mencapai 0,313. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor dunia ke kawasan ASEAN yang justru menurun yaitu -0,177. Namun pada periode 1999-2001 kondisinya berbalik, dimana pertumbuhan ekspor
7
menurun menjadi 0,024 sedangkan untuk dunia meningkat menjadi positif yaitu 0,046. Hadi dan Mardianto (2004) juga menjelaskan bahwa dalam era liberalisasi perdagangan, daya saing benar-benar menjadi kunci bagi setiap negara dalam mengembangkan produk-produknya yang akan diekspor, termasuk produksi pertainan. Negara yang tidak dapat mengembangkan dan mempertahankan daya saing produk-produk yang dihasilkannya akan kalah bersaing dengan negaranegara yang berupaya meningkatkan daya saing produk-produknya melalui rekayasa dan inovasi teknologi secara terus-menerus yang menghasilkan keunggulan biaya dan keunggulan kualitas. Apabila dicermati lebih lanjut, dari 24 kelompok produk pertanian yang dianalisis, ternyata 10 kelompok produk bernilai negatif dan 14 kelompok produk bernilai positif pada periode 1997-1999. Beberapa kelompok produk yang bernilai positif memang merupakan produk pertanian unggulan ekspor Indonesia, seperti CPO, sayuran dan umbi-umbian, kopi, teh, dan kakao. Pada periode 1999-2001 hanya 8 kelompok yang bertanda positif, sedangkan sisanya bertanda negatif. Kelompok kakao merupakan salah satu kelompok produk yang bernilai positif dan nilainya meningkat dibanding pada periode 1997-1999. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Kalaba (2012) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi daya saing biji kakao dipengaruhi oleh harga domestik biji kakao, harga internasional biji kakao, nilai tukar Rupiah, nilai tukar Ringgit Malaysia, dan nilai tukar Dollar Singapura. Daya saing pasta kakao dipengaruhi oleh harga domestik pasta kakao dan nilai tukar mata uang New Zealand (NZD). Menurut Irnawaty (2008) dalam penelitiannya yang menggunakan analisis Porter's Diamond menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan daya saing kakao Indonesia disebabkan karena penggunaan bibit unggul yang masih rendah, kualitas SDM yang rendah, kurangnya daya dukung sarana infrastruktur dan masih kurangnya industri terkait dan industri pendukung dalam pengadaan bibit unggul guna peningkatan kualitas kakao. Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Irnawaty (2008), menurut hasil analisis Porter's Diamond yang dilakukan oleh Rahmanu (2009) menunjukkan bahwa industri pengolahan kakao nasional kurang kompetitif. Beberapa hal yang menjadi kendala perkembangan industri pengolahan kakao adalah infrastruktur yang terbatas, sulitnya akses terhadap sumber permodalan, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada komoditas primer serta kualitas biji kakao yang rendah. Sedangkan Irwanto (2012) menjelaskan dengan pendekatan Porter's Diamond menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi daya saing komoditas kakao Indonesia adalah kondisi permintaan, industri terkait dan industri pendukung, peran pemerintah, serta peran kesempatan. Keempat komponen ini memiliki keunggulan yang mampu mengangkat daya saing komoditas kakao Indonesia. Sementara itu, komoditas kakao Indonesia masih memiliki kelemahan dalam komponen kondisi faktor serta strategi perusahaan, struktur, dan persaingan. Penelitian pada dampak faktor eksternal terhadap kinerja ekspor kakao Indonesia juga dilakukan oleh Tupamahu dan Ivakdalam (2012) dengan
8
menggunakan data sekunder time series dari tahun 1990-2009 dan menggunakan metode 2 SLS (Two stage Least Square). Dari hasil studi tersebut dapat diketahui bahwa faktor eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja ekspor kakao Indonesia adalah ekspor kakao Indonesia ke Amerika Serikat, ekspor kakao Pantai Gading, ekspor kakao Ghana, dan harga dunia. Jika dikaji lebih rinci, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao Indoneisa ke Amerika Serikat adalah tambahan harga kakao dunia pada tahun ke-t, rasio nilai tukar pada 1 tahun sebelum dengan tahun ke-t, dummy automatic detention, dan dummy pajak ekspor. Sedangkan ekspor kakao Pantai Gading dipengaruhi oleh rasio kakao dunia pada 1 tahun sebelum dengan tahun ke-t dan produksi kakao Pantai Gading pada tahun sebelumnya. Lalu ekspor kakao Ghana dipengaruhi oleh produksi kakao Ghana pada tahun ke-t dan ekspor kakao pada 1 tahun sebelumnya. Sedangkan harga kakao dunia dipengaruhi oleh ekspor kakao dunia pada tahun ke-t, impor kakao dunia pada 1 tahun sebelumnya, dan harga kakao dunia pada 1 tahun sebelumnya. Berdasarkan penggunaan sumberdaya agribisnis kakao domestik, Kalaba (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa biji kakao lebih murah diproduksi di dalam negeri dibanding impor dari luar negeri. Saat ini produksi pabrik pengolahan Indonesia tidak hanya memakai kakao dalam negeri, tetapi masih memakai campuran kakao impor. Hal ini karena mutu kakao Indonesia yang masih belum sebaik mutu kakao impor. Disamping itu, produk fermentasi juga belum bermutu baik dan jumlahnya pun masih dibawah kebutuhan industri karena keterbatasan petani dalam mendapatkan input produksi berkualitas dengan harga yang terjangkau. Kalaba (2012) menjelaskan bahwa dengan adanya dukungan seperti subsidi input mampu membantu petani kakao Indonesia walaupun harga input setelah disubsidi masih cukup tinggi sehingga kebijakan pemerintah terkait subsidi masih sangat perlu ditingkatkan. Dampak Kebijakan Pemerintah Penelitian yang membahas tentang kebijakan perdagangan kakao Indonesia juga telah dilakukan oleh Lubis dan Nuryanti (2011) yang melakukan penelitian tentang dampak ACFTA dan kebijakan perdagangan kakao di pasar domestik dan China. Penelitian ini membandingkan Indonesia dengan Malaysia dalam perdagangan kakao di pasar domestik dan China. Menggunakan analisis daya saing Revealed Symentric Comparative Advantage (RSCA), Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), dan analisis regresi berganda diketahui bahwa daya saing biji kakao Indonesia di pasar China terhadap Malaysia ternyata tidak meningkat sejak pelaksanaan ACFTA. Analisis dengan menggunakan metode RSCA bertujuan untuk membuat perbandingan daya saing Indonesia dengan produk Malaysia di pasar China dan daya saing produk China dan Malaysia di pasar Indonesia. Malaysia merupakan negara eksportir pesaing Indonesia karena ekspornya meningkat pesat di China setelah ACFTA pada tahun 2005. Lubis dan Nuryanti (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa Malaysia menunjukkan konsistensi dalam mempertahankan daya saing produk kakao olahan mereka, khususnya bubuk kakao (cocoa powder) dan lemak dan pasta kakao (cocoa butter and cocoa paste). Konsentrasi Malaysia di kedua pasar produk tersebut sangat tepat karena permintaan China untuk kedua pasar produk
9
tersebut sangat tepat karena permintaan China untuk keduanya semakin besar dan justru menurun untuk biji kakao. Kemampuan Malaysia mempertahankan daya saing di pasar potensial seperti China untuk produk kakao ternyata berbanding terbalik dengan kinerja Indonesia. Indonesia mempunyai daya saing tetapi hanya untuk biji kakao dan bubuk kakao. Namun pangsa ekspor bubuk kakao Indonesia di China juga relatif masih rendah. Pada tahun 2009 Indoensia sama sekali tidak mempunyai daya saing untuk produk lemak dan pasta kakao di pasar China. Kondisi ini lebih buruk dibandingkan tahun 2005 dan 2000, dimana Indonesia masih mempunyai daya saing meskipun masih dibawah Malaysia. Indonesia dan Malaysia keduanya tidak mempunyai daya saing untuk produk olahan kakao di pasar China. Keduanya tidak mampu bersaing dengan produk yang berasal dari Italia dan Singapura. Kemampuan Malaysia sebagai pemasok kedua terbesar pasar kakao di China sebenarnya bertolak belakang dengan kemampuan negara tersebut dalam memproduksi biji kakao. Pada tahun 2009 menunjukkan bahwa Indonesia adalah produsen biji kakao terbesar kedua di dunia dengan volume produksi biji kakao nasional mencapai 800 ribu ton setelah Pantai Gading, jauh lebih besar dibandingkan Malaysia yang hanya memproduksi 18,2 ribu ton. Dari data tersebut menunjukkan Malaysia sangat tergantung pada bahan baku biji kakao dari Pantai Gading, Indonesia dan Ghana untuk menghasilkan produk setengah jadi dan produk kakao untuk konsumsi Penelitian Lubis dan Nuryanti (2011) juga menjelaskan bahwa daya saing ekspor biji kakao Indonesia tidak meraih keuntungan dalam perdagangan bebas ACFTA hanya dengan mengekspor produk primer seperti biji kakao ke China atau Malaysia. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia tidak dapat mengoptimalkan momentum ACFTA yang telah dimulai sejak 2005 untuk meningkatkan kinerja ekspor di pasar China seperti Malaysia yang mengambil keuntungan dari ACFTA dengan meningkatkan kinerja ekspor ke China, khususnya untuk komoditas kakao dibandingkan Indonesia. Oleh karena itu, sejak 1 April 2010 ekspor biji kakao telah dikenakan kebijakan bea keluar (BK) yang berlaku secara progresif berdasarkan harga internasional atau dikenal sebagai harga referensi. Apabila Indonesia hendak meningkatkan daya saing produk kakao, Indonesia memang harus membatasi ekspor biji kakao dan meningkatkan produksi produk olahan kakao seperti kakao bubuk, kakao pasta dan lemak kakao untuk diekspor dan memperoleh nilai tambah serta memperbaiki daya saing kakao di pasar China maupun Internasional. Terkait dengan kebijakan bea keluar (BK) yang berlaku pada 1 April 2010, penelitian yang dilakukan oleh Rifin dan Nauly (2013) memperoleh hasil bahwa tujuan pemerintah menerapkan pajak ekspor terhadap biji kakao sejak April 2010 adalah untuk meningkatkan industri kakao olahan dan menggeser komposisi produk ekspor kakao dari biji kakao menjadi produk olahan kakao. Disisi lain, pertumbuhan ekspor kakao Indonesia masih dibawah pertumbuhan permintaan kakao dunia yang menyebabkan daya saing Indonesia berkurang. Hal ini terbukti dengan berkurangnya nilai ekspor kakao Indonesia pada 2011 dengan nilai US$ 1 364 170 460 dibandingkan dengan tahun 2009 yang bernilai US$ 1 469 157 944, menurun sekitar 7,15%. Rifin dan Nauly (2013) dalam penelitiannya juga menggunakan metode Constant Market Share (CMS) yang membandingkan data pada tahun 2009 dan 2011. Penerapan pajak ekspor pada 2010 menunjukkan berkurangnya jumlah biji
10
kakao dan produk olahan kakao disebabkan karena efek komposisi komoditas serta efek daya saing yang bernilai negatif, dengan nilai masing-masing -0,043 dan -2,082. Penerapan pajak ekspor telah mengurangi daya saing biji kakao dan produk kakao Indonesia. Berbeda dengan negara produsen kakao terbesar dunia yaitu Pantai Gading dan Ghana yang memperoleh pertumbuhan ekspor yang positif pada periode 2009 dan 2011. Ghana yang merupakan produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading memperoleh pertumbuhan ekspor tertinggi yang secara signifikan meningkatkan daya saing produk kakaonya dan Pantai Gading yang memperoleh pertumbuhan ekspor positif juga memperoleh pasar dan komposisi produk yang positif, yang menunjukkan bahwa Pantai Gading berfokus pada produk dan pasar yang memiliki pertumbuhan positif.
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Perdagangan Internasional Perdagangan antar negara atau perdagangan internasional sudah ada sejak dahulu namun dalam jumlah dan ruang lingkup yang terbatas, dimana pemenuhan kebutuhan yang tidak dapat diproduksi dalam negeri masing-masing negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut dipenuhi dengan cara barter. Pada awalnya perdagangan internasional merupakan pertukaran atau perdagangan tenaga kerja dengan barang dan jasa lainnya, yang selanjutnya diikuti perdagangan barang dan jasa sekarang dengan kompensasi barang dan jasa dikemudian hari. Hal tersebut memungkinkan setiap negara melakukan diversivikasi atau penganekaragaman kegiatan perdagangan yang dapat meningkatkan pendapatan mereka melalui perluasan komoditas ekspor dan memperbesar penerimaan devisa. Menurut Basri (2010) Secara teoritis, perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama. Pertama, negara-negara berdagang karena pada dasarnya mereka berbeda satu sama lain. Kedua, negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale) dalam produksi. Maksudnya, jika setiap negara hanya memproduksi sejumlah barang tertentu, mereka dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan karenanya lebih efisien jika dibandingkan dengan negara tersebut memproduksi segala jenis barang. Pola-pola perdagangan internasonal yang terjadi mencerminkan perpaduan dari kedua motif ini. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya taraf kehidupan yang bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi menyebabkan peningkatan kebutuhan masyarakat. Maka perdagangan internasional menjadi suatu hal yang penting. Pada saat ini tidak ada satu negara pun yang berada dalam kondisi autarki, yaitu negara yang terisolasi, tanpa mempunyai hubungan ekonomi. Terdapat beberapa hal yang mendorong terjadinya perdagangan internasional diantaranya dikarenakan perbedaan permintaan dan penawaran antar negara juga turut menyebabkan terjadinya perdagangan internasional. Perbedaan ini terjadi karena : (a) tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan
11
komoditas yang diperdagangkan, karena faktor-faktor alam negara tersebut tidak mendukung, seperti letak geografis dan kandungan buminya dan (b) perbedaan pada kemampuan suatu negara dalam menyerap komoditas tertentu pada tingkat yang lebih efisien. Menurut pandangan merkantilisme, perdagangan dilakukan dengan mengekspor sebanyak-banyaknya dan menekan impor sesedikit mungkin adalah satu-satunya jalan untuk menjadi negara kaya. Surplus ekspor yang diterima akan dialihkan menjadi stok emas dan logam mulia. Para kaum merkantilisme beranggapan bahwa negara yang kaya adalah negara yang paling banyak memiliki cadangan emas dan logam mulia (Salvatore 1997). Berbeda dengan pandangan kaum merkantilisme, Adam Smith beranggapan bahwa perdagangan antara dua negara disebabkan karena adanya keunggulan absolut. Jika sebuah negara lebih efisien dalam memproduksi sebuah komoditas dibandingkan negara lain walaupun negara ini kurang efisien jika memproduksi barang lainnya dibandingkan dengan negara lain maka kedua negara ini akan memperoleh keuntungan dengan melakukan spesialisasi dalam memproduksi barang yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkannya dengan barang yang memiliki kerugian absolut (Salvatore 1997). Daya Saing Daya saing ekspor merupakan kemampuan suatu komoditas untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk dapat bertahan di dalam pasar tersebut, dalam artian jika suatu produk mempunyai daya saing maka produk tersebutlah yang banyak diminati konsumen (Salvatore 1997). Pembahasan daya saing tidak dapat terlepas dari dua istilah yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif tiap negara akan menentukan apa yang terjadi jika terjadi perdagangan diantara mereka. Sumber keunggulan komparatif tidak hanya berasal dari faktor alamiah tetapi dapat juga diciptakan. Sumber keunggulan komparatif suatu negara dalam memproduksi suatu produk dapat berasal dari keunggulan komparatif dari faktor pengetahuan (learning factor) disebut sebagai keunggulan dinamis dan keunggulan komparatif dalam proses produksi dengan memanfaatkan tenaga kerja dan atau modal yang disebut sebagai keunggulan statis (Salvatore 1997). Indonesia sebagai negara berkembang memiliki keunggulan statis berupa tenaga kerja sedangkan negara-negara maju sebagai penyedia teknologi memiliki keunggulan dinamis berupa teknologi. Salah satu metode untuk menganalisis keunggulan komparatif adalah Revealed Compared Advantage (RCA). Konsep RCA merupakan rasio antara pangsa pasar dari sebuah produk suatu negara dalam pasar dunia dengan pangsa pasar ekspor suatu negara terhadap total ekspor dunia. Menurut Gonarsyah (2007) para ekonom seperti Barkema, Drabenstotti dan Tweeter, serta Shaples mengartikan keunggulan kompetitif sebagai hasil kombinasi dari distorsi pasar dan keunggulan komparatif. Distorsi pasar dapat bersumber karena kebijakan pemerintah (goverment policy) maupun adanya ketidaksempurnaan pasar (market imperfectionist). Kebijakan pemerintah dapat bersifat langsung seperti tarif maupun tidak langsung seperti regulasi. Ketidaksempurnaan pasar misalnya adanya monopoli atau monopsoni domestik. Menurut Gonarsyah (2007) sejalan dengan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan, pada masa mendatang hanya komoditas yang memiliki
12
keunggulan komparatif yang dapat memiliki keunggulan kompetitif. Upaya peningkatan daya saing harus lebih bertumpu pada upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi. Pemerintah berperan sebagai fasilitator, regulator, dinamisator melalui kebijakan penelitian dan pengembangan, penyuluhan, meningkatkan akses pasar, perbaikan infrastruktur dan sarana informasi pasar. Dalam jangka panjang, upaya-upaya tersebut lebih memberikan proteksi bagi masyarakat. Sudaryanto (2005) menambahkan bahwa keunggulan komparatif tidak menjamin keunggulan kompetitif. Selain keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif ditentukan oleh kemampuan memasok produk dengan atribut sesuai dengan keinginan konsumen. Tambunan (2001) menyebutkan bahwa keunggulan kompetitif suatu komoditas adalah suatu keunggulan yang dapat dikembangkan, jadi keunggulan kompetitif ini harus diciptakan untuk dapat memilikinya. Keunggulan kompetitif merupakan hasil interaksi dari tiga tingkatan pasar yaitu pasar internasional dari produk, pasar domestik dari produk, dan pasar sarana produksi. Keunggulan kompetitif merupakan hasil resultan dari rantai agribisnis secara vertikal mulai dari perolehan sarana produksi, usahatani, pemasaran domestik, dan pemasaran internasional. Dalam rangka meningkatkan keunggulan kompetitif diperlukan koordinasi vertikal petani-agribisnis antaraagribisnis hilir. Analisis keunggulan kompetitif dapat dilakukan melalui pendekatan pangsa pasar konstan atau Constant Market Share Analiysis (CMSA). CMSA secara umum adalah prosedur akunting untuk mengetahui sumber pertumbuhan ekspor dari suatu negara. Asumsi dasar dari model pangsa pasar konstan adalah pangsa pasar suatu negara di pasar dunia tidak berubah sepanjang waktu. Asumsi dasar dari model CMSA adalah daya saing yang dimiiki suatu negara untuk ekspor suatu komditas pada tingkatan yang sama, mempunyai pasar konstan. Akibatnya setiap perbedaan antara perubahan aktual ekspor dari suatu negara dan penjumlahan pasar dari pesaing menjadi penyebab perubahan komposisi ekspor atau day saing. Nilai negatif menunjukkan bahwa negara tersebut gagal memperthankan pangsa pasarnya. Efek daya saing pada analisis CMSA ini lebih bersumber dari daya saing harga. Salah satu kelebihan model CMSA dibandingkan RCA yaitu CMSA dapat mendekomposisi perubahan ekspor menjadi beberapa komponen (Kustiari 2007). Pertumbuhan ekspor suatu negara dapat dipisahkan menjadi komposisi komoditas, distribusi pemasaran, dan efek daya saing yang menggambarkan interaksi permintaan dan penawaran. Penggunaan model CMSA mempunyai keterbatasan antara lain bahwa persamaan untuk menguraikan pertumbuhan ekspor merupakan persamaan identitas. Oleh karena itu, alasan-alasan terjadinya perubahan daya saing tidak dapat dievaluasi dengan hanya menggunakan analisis CMSA saja. Kelemahan lainnya yaitu mengabaikan perubahan daya saing pada titik waktu yang terdapat diantara dua titik waktu yang digunakan. Namun demikian analisis CMSA ini sangat berguna untuk mengkaji kecenderungan daya saing produk yang dihasilkan suatu negara. Teori Revelaed Comparative Advantage (RCA) Keunggulan komparatif merupakan sebuah konsep penting dalam teori ekonomi. Konsep ini mengasumsikan setiap negara akan mampu mengidentifikasi
13
ke arah mana investasi harus dilakukan serta ke negara mana komoditas perdagangan mereka harus diperjualbelikan dengan melihat nilai keunggulan mereka secara komparatif. Dalam teori komparatif David Ricardo, dua negara akan melakukan perdagangan apabila perdagangan tersebut menguntungkan kedua belah pihak. Keuntungan pada kedua belah pihak dapat dilihat dari daya tukar domestik negara tersebut. Apabila suatu negara dapat menghasilkan suatu komoditas dengan harga yang sama dibandingkan dengan membeli dari negara lain maka perdagangan antar dua negara tidak akan terjadi. Lain halnya jika negara tersebut dapat membeli suatu komoditas dari negara lain lebih murah daripada memproduksi sendiri komoditas tersebut. maka perdagangan antar dua negara akan terjadi. Dengan catatan, negara yang menjual komoditas mendapatkan keuntungan dari jual beli tersebut. Revealed Comparatif Advantage (RCA) atau keunggulan komparatif yang terungkap, merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif di suatu wilayah (negara, propinsi dan lain-lain) yang cukup sering digunakan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Ballasa pada tahun 1965, yang menganggap bahwa keunggulan komparatif suatu negara direfleksikan atau terungkap dalam ekspornya. Basri (2010) menyatakan bahwa Pada mulanya Balassa mengajukan postulasi tentang perdagangan internasional yang didasarkan kepada nisbah atau rasio ekspor impor. Metode inilah yang merupakan cikal bakal perumusan RCA yang kita kenal sekarang. Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk terhadap total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan dunia. Basri (2010) juga menyebutkan bahwa RCA dapat dikembangkan menjadi suatu metode pengukuran yang bersifat dinamis dengan memasukkan unsur waktu, sehingga dapat menunjukkan perkembangan pangsa relatifnya dari waktu ke waktu. Dengan membandingkan angka RCA antara dua waktu, maka akan diperoleh indeks RCA. Indeks ini menunjukkan perkembangan RCA dari waktu ke waktu. Indeks yang lebih kecil dari satu menunjukkan terjadinya penurunan RCA. Artinya, kinerja ekspor komoditas i dan negara j mengalami kemunduran relatif dibandingkan dengan kinerja ekspor rata-rata dunia. Sebaliknya, indeks yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa ekspor komoditas i dari negara j mengalami peningkatan relatif dibandingkan dengan rata-rata dunia, sehingga pangsanya di pasaran dunia meningkat. Peneletian ini mengukur daya saing komoditas kakao Indonesia di pasar Amerika Serikat, maka yang diukur adalah kinerja ekspor komodti kakao Indonesia ke Singapura terhadap total ekspor Indonesia ke Singapura yang selanjutnya dibandingkan dengan pangsa nilai ekspor komoditas kakao dunia terhadap total nilai ekspor dunia.
14
Teori Constant Market Share (CMS) Dalam perdagangan internasional ada berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekspor suatu negara. Diantara berbagai faktor tersebut faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekspor diantaranya terdapat faktor distribusi pasar, komposisi komoditas dan daya saing. Tiga faktor tersebut masing-masing dapat diukur berapa besar efek yang berpengaruh pada pertumbuhan ekspor suatu negara. Salah satu metode untuk mengukur besarnya efek dari masing-masing faktor adalah metode Constant Market Share. Pendekatan Constant Market Share (CMS) digunakan untuk mengukur dinamika tingkat daya saing suatu industri dari suatu negara. Penggunaan pendekatan ini didasarkan pada pemahaman bahwa laju pertumbuhan ekspor suatu negara bisa lebih kecil, sama, atau lebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekspor rata-rata dunia. Basri (2010) menyatakan bahwa ekspor suatu negara bisa meningkat lebih cepat (atau lebih lambat) dibandingkan dengan rata-rata ekspor dunia disebabkan oleh tiga alasan utama : 1. Efek komposis komoditas : ekspor mungkin terkonsentrasi pada komoditaskomoditas yang permintaannya relatif elastis atau inelastis terhadap pendapatan. 2. Efek distribusi pasar : ekspor mungkin terarah ke pasar-pasar yang berkembang lebih pesat (lebih lambat) dibandingkan dengan rata-rata dunia. 3. Efek daya saing : ekspor mungkin lebih dapat (kurang dapat) bersaing dengan negara-negara pengekspor lain, baik karena pertumbuhan produktivitasnya lebih tinggi (lebih rendah) atau karena undervaluation (overvaluation) mata uang domestik. Teori Harga Relatif Harga relatif terbentuk dari perpotongan kurva tawar menawar pada dua negara. Perpotongan kurva tawar-menawar itulah yang akan menghasilkan suatu titik yang melambangkan harga relatif komoditas ekuilibrium yang akan menjadi dasar bagi berlangsungnya perdagangan diantara kedua negara tersebut. Hanya pada harga ekuilibrium itu saja maka perdagangan antara negara 1 dan negara 2 benar-benar seimbang (Salvatore 1997).
Gambar 1 Keseimbangan dalam perdagangan internasional Sumber: Salvatore 1997
15
Pada Gambar 1 menjelaskan tentang terbentuknya keseimbangan harga relatif untuk sebuah komoditas misal kakao. Pada panel A menunjukkan harga keseimbangan yang terbentuk dari interaksi kurva demand (Dp) dan supply (Sp) di negara P berada pada titik P1 sedangkan untuk negara Q interaksi antara demand (Dq) dan supply (Sq) berada pada titik P3. Perbedaan harga domestik kakao antara kedua negara tersebut akan menjadi dasar untuk melaukakan perdagangan. Perdagangan antara kedua negara tersebut akan terjadi apabila harga yang akan terbentuk nantinya berada pada kisaran antara P1 dan P3 atau dalam kurva tersebut digambarkan berada pada titik P2 sehingga akan menguntungkan kedua negara tersebut. Apabila harga yang terbentuk adalah sebesar P2 maka negara P akan meningkatkan produksi kakaonya melebihi permintaan kakao pada negara P itu sendiri sehingga terjadi kelebihan penawaran.Kelebihan penawaran kakao tersebut selanjutnya akan diekspor ke negara Q. Disisi negara Q menginginkan harga untuk kakao berada dibawah P3 maka permintaan kakao di negara Q akan mengalami peningkatan melebihi penawaran yang ada pada negara Q. Hal ini akan mendorong negara Q untuk mengimpor kakao dari negara P. Teori Keunggulan Kompetitif Konsep ini dikembangkan oleh Michael E Porter dalam bukunya yang berjudul Competitif Advantage of Nations. Menurut Porter, terdapat empat atribut yang dapat membentuk lingkaran dimana perusahaan-perusahaan lokal berkompetisi sedemikian rupa sehingga mendorong terciptanya keunggulan kompetitif. Keempat atrIbut tersebut yaitu, kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan industri pendukung serta strategi perusahaan, struktur dan persaingan. Keempat atribut tersebut saling berhubungan sehingga Porter menggambarkannya dalam sebuah diamond, atau lebih dikenal dengan Porter's Diamond. Proses penentuan daya saing (secara kompetitif) nasional dalam pembangunan ekonomi di suatu negara yang digambarkan dalam Porter's Diamond adalah sebagai berikut : 1. Kondisi faktor, yaitu posisi negara dalam faktor poduksi, seperti tenaga kerja terampil atau infrastruktur, perlu untuk bersaing dalam suatu industri tertentu. Titik awal pada negara berkembang yaitu memiliki ketergantungan yang tinggi pada ketersedeiaan upah rendah dan tenaga kerja tidak terampil, kemudian kurangnya kapital, Hampir semua teknologi dipasok dan dikendalikan secara eksternal, serta belum berkembangnya infrastruktur, pasar modal, dan sistem pendidikan membuat produktivitas negra menjadi rendah. Dengan adanya persaingan faktor produksi dalam suatu industri maka negara berkembang dapat membangun ekonomi yang sukses. 2. Kondisi Permintaan, yaitu sifat dari permintaan pasar asal untuk barang dan jasa industri. Titik awal pada negara berkembang dapat terlihat dari produk yang terdiferensiasi adalah menjadi andalan ekspor utama, demand lokal yang tidak canggih (informasi terbatas, seleksi yang terbatas, fokus terhadap harga), rancangan produk dan jasa bersifat imitasi atau lisensi dari luar, rendahnya standar produk, terjadi permintaan local yang tinggi. 3. Industri terkait dan industri pendukung. Keberadaan atau ketiadaan industri pemasok dan industri terkait lainnya di negara tersebut yang secara internasional bersifat kompetitif. Titik awal pada Negara berkembang dapat
16
dilihat dari industrinya yang berorientasi pada ekspor yang terisolasi, industri pendukung langka dan tidak kompetitif, mesin- mesin canggih dan peralatan yang modern didapat dari impor. 4. Strategi Perusahaan, struktur, dan persaingan. Kondisi dalam negara yang mengatur bagaimana perusahaan diciptakan, diatur, dan dikelola, sebagaimana juga sifat dari persaingan domestik.
Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan
Kondisi Faktor
Kondisi Permintaan
Industri Terkait dan Industri pendukung
Gambar 2 Model Berlian Porter Sumber : Porter 1985
Kerangka Operasional Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting dalam perekonomian nasional, sumber pendapatan dan devisa negara. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia, namun Indonesia mengalami pertumbuhan volume ekspor kakao yang fluktuatif dan berkualitas rendah yang mempengaruhi daya saing dalam perdagangan Internasional. Salah satu negara importir utama di ASEAN adalah Singapura. Singapura merupakan negara yang memiliki pendapatan perkapita yang tinggi tetapi tidak memiliki sumberdaya alam untuk dapat menyediakan bahan baku untuk industri pengolahan kakao, sehingga Singapura menjadi salah satu pasar utama bagi Indonesia di ASEAN selain Malaysia. Persaingan dalam perdagangan kakao pada tahun 2015 akan semakin ketat, khususnya setelah kebijakan ASEAN Economy Community (AEC) diberlakukan. Negara yang dianggap menjadi pesaing utama Indonesia dalam perdagangan komoditas kakao di ASEAN adalah Malaysia. Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif yaitu Revealed Compared Analysis (RCA). RCA digunakan untuk menjelaskan keunggulan komparatif
17
komoditas kakao Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura. Nilai RCA diperoleh dari perbandingan nilai ekspor komoditas kakao Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura dengan pangsa komoditas dunia di pasar Singapura, sehingga jika nilai RCA sama dengan satu berarti keunggulan komparatif komoditas kakao di pasar Singapura sama dengan keunggulan komparatif negara produsen kakao lain (pesaing Indonesia) di pasar Singapura. Analisis RCA juga dilengkapi dengan analisis Constant Market Share Analysis (CMSA). Nilai CMSA diperoleh dari perbandingan pangsa pasar komoditas kakao Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura dengan pangsa komoditas dunia di pasar Singapura, sehingga jika nilai CMSA bernilai positif berarti negara tersebut berhasil mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar komoditas kakaonya di pasar Singapura. Nilai CMSA bernilai negatif menunjukkan negara tersebut kehilangan pangsa pasar komoditas kakaonya di pasar Singapura. Keunggulan kompetitif komoditas kakao Indonesia dianalisis dengan menggunakan Porter's Diamond Theory. Teori ini menganalisis tentang faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keunggulan kompetitif suatu negara. Dari ketiga metode analisis tersebut diperoleh posisi daya saing Indonesia dan Malaysia di Pasar Singapura dan mampu menjelaskan pengaruh kebijakan yang telah dilakukan terkait peningkatan daya saing kakao. Gambaran lengkap mengenai pemikiran operasional pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Pertumbuhan ekspor komoditas kakao Indonesia dan Malaysia ke Singapura
Analisis Daya Saing Komoditas Kakao Indonesia dan Malaysia di Pasar Singapura
Revealed Compared Advantage (RCA)
Constant Market Share Analysis (CMSA)
Porter's Diamond Theory
Posisi Daya Saing Kakao Indonesia dan Malaysia di Pasar Singapura Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional
18
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian yang dilakukan adalah Indonesia, Malaysia dan Singapura dengan menggunakan data nilai ekspor dan impor. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Indonesia dan Malaysia adalah negara eksportir utama kakao di ASEAN dan Singapura sebagai importir utama komoditas kakao di wilayah ASEAN yang berperan sebagai pasar yang dianalisis. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2014 hingga Agustus 2014. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber atau instansi terkait. Data yang digunakan adalah data sekunder deret waktu selama 10 tahun (2003-2013). Data tersebut diperoleh dari Situs Resmi Perdagangan Komoditas Internasional dan The International Cocoa Organization (ICCO). Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data ekspor komoditas kakao Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura, data impor komoditas kakao Singapura dari seluruh dunia, dan juga data total impor seluruh komoditas Singapura. Metode analisis dan Pengolahan Data Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menganalisis perkembangan datadata yang digunakan dalam penelitian ini. Metode kuantitaif dengan pendekatan Revealed Comparatif Advantage (RCA), Constant Market Share (CMS) dan Berlian Porter digunakan untuk menganalisis tingkat daya saing komoditas kakao Indonesia dibandingkan dengan Malaysia di pasar Singapura. Revealed Comparatif Advantage (RCA) Daya saing suatu negara dapat diukur dengan berbagai macam metode dan indikator. Cara yang tepat untuk memperoleh indikator guna mengetahui daya saing suatu komoditas adalah dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA). Perhitungan RCA berdasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Menggunakan metode RCA kita dapat mengukur kinerja ekspor suatu produk dari suatu negara dengan menghitung pangsa suatu produk terhadap total ekspor suatu negara dibandingkan dengan pangsa produk tersebut dalam perdagangan dunia. Posisi ekspor komoditas kakao Indonesia dalam perdagangan di Singapura dapat diketahui dengan metode RCA. Metode ini didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki suatu negara (Basri 2010). Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor komoditas kakao Indonesia ke Singapura dengan menghitung pangsa nilai ekspor kakao terhadap total ekspor ke Singapura yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai ekspor kakao dunia ke Singapura.
19
Rumusnya RCA adalah sebagai berikut :
Dimana :
Xij = Nilai ekspor komoditas kakao Indonesia Xit = Nilai total ekspor Indonesia Wj = Nilai ekspor dunia komoditas kakao ke Singapura Wt = Nilai total ekspor dunia ke Singapura Indeks RCA merupakan perbandingan antara nilai RCA sekarang dengan nilai RCA tahun lalu. Rumus indeks RCA adalah sebagai berikut :
RCAt = Nilai RCA tahun ke-(t) RCAt-1 = Nilai RCA tahun ke-(t-1) Indeks RCA berkisar antara nol sampai tak terhingga. Nilai indeks RCA suatu negara untuk suatu komoditas lebih dari satu menunjukkan bahwa daya saing komoditas dari negara tersebut mengalami peningkatan dibanding dengan tahun sebelumnya. Sebaliknya jika nilai indeks RCA menunjukkan nilai di bawah satu maka komoditas dari negara tersebut menurun daya saingnya. Constant Market Share (CMS) Daya saing suatu negara tentunya bergantung pada berbagai faktor. Namun tidak semua faktor berpengaruh pada tingkat daya saing memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk merubah tingkat daya saing tersebut. Salah satu metode yang biasa digunakan dalam mengetahui faktor apa saja yang berpengaruh terhadap daya saing, bagaimana pengaruh fator tersebut, serta seberapa besar pengaruhnya adalah menggunakan metode Constant Market Share (CMS) atau model pangsa pasar konstan. Analisis CMS pernah digunakan salah satunya oleh Ichikawa (1996) dalam mengevaluasi pertumbuhan ekspor komoditas unggulan Australia di pasar Selandia Baru periode 1990-1994 dan Renjana (2010) dalam menganalisis daya saing ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia dibandingkan dengan China di pasar Amerika Serikat tahun 2001-2008. CMS adalah metode yang digunakan untuk mendekomposisikan pertumbuhan suatu negara kedalam beberapa determinan pertumbuhan espor negara tersebut. Metode ini juga dapat untuk mendekomposisikan pertumbuhan ekspor komoditas tertentu dari suatu negara. Dalam penelitian ini metode CMS digunakan untuk mendekomposisikan pertumbuhan ekspor komoditas kakao Indonesia dan Malaysia ke Singapura. Metode ini digunakan karena terdapat kemungkinan laju pertumbuhan ekspor suatu negara pada suatu periode tidak mampu mengikuti pertumbuhan secepat pertumbuhan ekspor rata-rata dunia. Dari hasil perhitungan CMS akan didapat tiga determinan pertumbuhan ekspor. Masing-masing determinan tersebut akan menghasilkan informasi yang berbeda-beda. Determinan tersebut adalah efek distribusi pasar, efek komposisi komoditas, dan efek daya saing. Parameter efek distribusi pasar bisa bernilai positif atau negatif. Parameter akan bernilai positif jika negara pengekspor yang menjadi perhatian (misalnya
20
Indonesia) mendistribusikan pasarnya ke pusat pertumbuhan permintaan (Prajogo 2004). Misalnya apabila pasar Singapura sedang mengalami kenaikan pertumbuhan impor dan Indonesia dengan menaikkan volume ekspor kakao Indonesia ke Singapura maka parameter efek distribusi pasarnya akan bernilai positif. Apabila terjadi hal sebaliknya, pada saat pasar Singapura mengalami penurunan permintaan namun Indonesia menaikkan volume ekspornya maka parameter dari efek distribusi pasar akan bernilai negatif. Parameter efek komposisi komoditas bisa bernilai positif atau negatif. Parameter yang menunjukkan nilai positif menunjukkan bahwa negara pengekspor menjadi perhatian (misal Indonesia) mengekspor suatu komoditas ke negara yang mempunyai distribusi pasar komoditas tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kelompok komoditas tersebut. Parameter efek daya saing dapat bernilai positif maupun negatif. Parameter ini mengindikasikan kenaikan atau penurunan bersih (net gain or loss) dalam pangsa pasar ekspor Indonesia secara relatif terhadap standar setelah memperhitungkan perubahan komposisi produk dan distribusi pasar. Parameter bernilai positif menunjukkan bahwa Indonesia berhasil mempertahankan pangsa pasar dari pada pesaingnya. Parameter yang bernilai negatif menunjukkan bahwa sebagian pangsa pasar Indonesia diambil alih oleh negara pesaing. Asumsinya adalah bahwa efek daya saing yang didasarkan pada perubahan pangsa pasar ekspor negara pengekspor yang menjadi perhatian (misal Indonesia) di pasar Singapura untuk produk tertentu hanya dapat terjadi selama periode analisis sebagai respon terhadap perubahan harga relatif produk asal Indonesia. Xij2 – Xij1 = mXij1 + {(mi - m) Xij1} + {Xij2 – Xij1 – mi Xij1} (1)
(2)
(3)
Dimana :
Xij1 = ekspor komoditas i dari negara j ke Singapura tahun ke-1 Xij2 = ekspor komoditas i dari negera j ke Singapura tahun ke t m = persentase peningkatan impor umum di Singapura mi = persentase peningkatan impor komoditas di di Singapura (1) = Efek distribusi pasar; (2) = Efek komposisi komoditas; (3) = Efek daya saing
Porter's Diamond Theory Suatu negara memperoleh keunggulan daya saing jika perusahaan (yang ada di negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Porter's Diamond Theory sebagai alat analisis sekaligus kerangka dalam membangun dan memperkuat daya saing. Menurut Porter (1985), terdapat empat komponen utama dan dua komponen penunjang yang memberikan dampak atas kemampuan perusahaan-perusahaan lokal di suatu negara untuk menggunakan sumber-sumber negara itu untuk memperoleh keunggulan kompetitif. 1. Kondisi faktor, yaitu posisi negara dalam faktor poduksi, seperti tenaga kerja terampil atau infrastruktur, perlu untuk bersaing dalam suatu industri tertentu. Titik awal pada negara berkembang yaitu memiliki ketergantungan yang tinggi pada ketersediaan upah rendah dan tenaga kerja tidak terampil dan kurangnya modal. Hampir semua teknologi dipasok dan dikendalikan secara eksternal, serta belum berkembangnya infrastruktur, pasar modal, dan
21
2.
3.
4.
5.
6.
sistem pendidikan membuat produktivitas negra menjadi rendah. Dengan adanya persaingan faktor produksi dalam suatu industri maka negara berkembang dapat membangun ekonomi yang sukses. Komponen tersebut menentukan keunggulan kompetitif suatu negara. Ketersediaan faktor tersebut juga harus didukung oleh biaya dan modal serta aksesbilitas dalam memperoleh biaya dan modal, serta kondisi sarana dan prasarana yang memadai. Kondisi permintaan, yaitu sifat dari permintaan pasar asal untuk barang dan jasa industri. Titik awal pada negara berkembang dapat terlihat dari produk yang terdiferensiasi adalah menjadi andalan ekspor utama, demand lokal yang tidak canggih (informasi terbatas, seleksi yang terbatas, fokus terhadap harga), rancangan produk dan jasa bersifat imitasi atau lisensi dari luar, rendahnya standar produk, terjadi permintaan domestik yang tinggi. Industri terkait dan industri pendukung. Keberadaan atau ketiadaan industri pemasok dan industri terkait lainnya di negara tersebut yang secara internasional bersifat kompetitif. Titik awal pada Negara berkembang dapat dilihat dari industrinya yang berorientasi pada ekspor yang terisolasi, industri pendukung langka dan tidak kompetitif, mesin- mesin canggih dan peralatan yang modern didapat dari impor. Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan, yaitu perluasan persaingan domestik, adanya hambata-hambatan untuk masuk serta organisasi dan gaya manajemen perusahaan. Porter mengungkapkan bahwa perusahaan yang mengalami persainan berat di pasar-pasar domestiknya secara konstan akan meningkatkan efisiensinya yang menciptakan tingkat kompetitif yang ideal dalam perdagangan internasional. Peran pemerintah, yaitu tidak memiliki pengaruh secara langsung terhadap daya saing namun peranannya sangat menentukan pertumbuhan suatu negara. Pemerintah bertindak sebagai regulator yang mempengaruhi daya saing dengan kebijakan yang dapat memperkuat atau memperlemah faktor penentu daya saing. Peran peluang, yaitu letaknya berada di luar kendali perusahaan atau pemerintah. Peran peluang dapat mempengaruhi daya saing seperti penemuan baru dan perubahan mata uang serta peningkatan permintaan yang lebih besar dari pasokannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kakao Indonesia dan Malaysia di Pasar Singapura Analisis Keunggulan Komparatif Analisis keunggulan komparatif menggunakan nilai RCA yang membandingkan periode 2003-2009 dengan periode 2010-2013 untuk mengetahui perubahan daya saing setelah dan sebelum diberlakukannya kebijakan bea keluar biji kakao. Pada tahun 2010 dipilih sebagai tahun pemisah karena sejak tahun tersebut mulai diberlakukan kebijakan bea keluar biji kakao pada 1 April 2010. Hasil perhitungan RCA untuk Indonesia dan Malaysia dalam mengekspor produk
22
kakao (biji kakao dan olahan kakao) ke Singapura disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Berdasarkan data pada Gambar 4, pada dua periode yang diteliti, Indonesia mempunyai keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibanding Malaysia dalam mengekspor biji kakao ke Singapura. Hal tersebut diindikasikan dalam nilai RCA Indonesia yang selalu lebih besar dibandingkan Malaysia setaip tahunnya. Selanjutnya Gambar 4 juga menunjukkan bahwa keunggulan komparatif Indonesia pada komoditas biji kakao pada periode 2010-2013 mengalami penurunan dibandingkan periode 2003-2009. Pada periode 2010-2013 khususnya pada tahun 2012 dan 2013 Malaysia memiliki nilai RCA lebih dari satu. Penurunan nilai RCA Indonesia disebabkan karena perubahan komposisi produk ekspor setelah diberlakukannya kebijakan bea keluar biji kakao Indonesia. Komposisi produk ekspor Indonesia yang sebelumnya didominasi oleh biji kakao beralih menjadi produk olahan kakao. Pada periode 2010-2013 Malaysia mulai meningkatkan produksi biji kakao dan mengekspor biji kakao tersebut ke Singapura sebagai salah satu negara yang memiliki permintaan biji kakao yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan industri kakaonya. Nilai RCA Indonesia yang selalu berada diatas satu mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif diatas rata-rata dunia, namun keuntungan komparatif biji kakao Indonesia tidak didukung oleh perkembangan industri kakao Indonesia. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Indonesia
2009
2010
2011
2012
2013
Malaysia
Gambar 4 Nilai RCA dan Indeks RCA biji kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013 Salah satu kelemahan Indonesia dalam perdagangan kakao internasional adalah mutu biji kakao yang kurang baik. Keberadaan standar mutu kakao yang mendorong kepada perbaikan mutu dan diakui oleh pihak-pihak pengguna di luar maupun dalam negeri mutlak diperlukan. Rendahnya citra mutu kakao Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari penerapan standar mutu kakao yang tidak konsisten oleh petani. Pelaksanaan standar mutu secara konsisten akan mendorong perbaikan mutu dan secara bertahap akan memperbaiki citra mutu kakao Indonesia di dalam
23
perdagangan internasional. Pada periode 2003-2009 industri hilir kakao Indonesia masih belum berkembang dan beroperasi secara optimal. Hal ini karena sebagian besar kakao yang diekspor masih dalam bentuk komoditas primer (biji kakao). Kakao dalam bentuk komoditas komoditas primer tersebut akan terkena diskon harga yang kemudian diinput sebagai kerugian. Kerugian tersebut seharusnya dapat dikurangi apabila industri kakao Indonesia mampu mendukung agribisnis kakao secara optimal. Oleh karena itu, kebijakan bea keluar biji kakao bertujuan untuk mengoptimalkan industri kakao Indonesia untuk mampu meningkatkan nilai tambah kakao Indonesia. Pada periode 2010-2013, kebijakan bea keluar biji kakao terbukti mampu meningkatkan keunggulan komparatif Indonesia dalam produk olahan kakao. Hal ini diindikasikan dari nilai RCA Indonesia meningkat dari periode sebelumnya untuk produk olahan kakao. Pada periode 2003-2009 Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap produk olahan kakao karena nilai indeks RCA bernilai dibawah satu dan pada periode selanjutnya nilai indeks RCA mampu mencapai 1,28 walaupun nilai RCA produk olahan Indonesia masih berada dibawah satu. Pada periode tahun 2010-2013 Malaysia memiliki keunggulan komparatif untuk produk olahan kakao di pasar Singapura yang diindikasikan nilai RCA selalu lebih dari satu. 2,5 2 1,5 1 0,5 0 2003
2004
2005
2006
2007 Indonesia
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Malaysia
Gambar 5 Nilai RCA dan Indeks RCA produk olahan kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013 Malaysia tidak memiliki keunggulan komparatif untuk produk biji kakao pada tahun 2003-2013 karena Malaysia lebih fokus memproduksi kakao olahan dibandingkan mengekspor biji kakao. Keunggulan komparatif Malaysia pada periode 2003-2009 untuk produk olahan kakao lebih tinggi dibanding Indonesia pada periode yang sama, namun Indonesia memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dilihat dari perbandingan indeks RCA Indonesia dan Malaysia pada produk olahan kakao. Penurunan pertumbuhan keunggulan komparatif Malaysia disebabkan karena berkurangnya pangsa pasar olahan kakao Malaysia di Singapura pada
24
periode 2010-2013. Hal tersebut mengindikasikan bahwa persaingan antara Indonesia dan Malaysia semakin ketat walaupun Malaysia memiliki keunggulan komparatif produk kakao yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Hasil studi diatas didukung hasil studi lain seperti Hasibuan et al. (2012) yang menganalisis kinerja dan daya saing perdagangan biji kakao dan produk kakao olahan Indonesia di pasar internasional periode 2001-2010 menggunakan RCA. Hasilnya, Indonesia memiliki keunggulan komparatif diatas rata-rata dunia dengan nilai RCA lebih dari satu. Pada periode yang sama Malaysia terus mengalami penurunan produksi kakao dan tidak memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi biji kakao. Hasibuan et al. (2012) dengan metode RCA juga menjelaskan bahwa meskipun Malaysia tidak memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi biji kakao dibandingkan Indonesia, namun memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi dalam memproduksi kakao pasta, kakao butter, dan kakao bubuk dibandingkan Indonesia. Salah satu faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif produk kakao diantaranya adalah harga domestik biji kakao. Kenaikan harga domestik akan mendorong produsen lokal lebih meningkatkan jumlah produksinya dan memperhatikan kualitas biji kakao, sehingga biji kakao mampu bersaing di pasar internasional. Efek dari peningkatan harga domestik tersebut akan meningkatkan pendapatan yang kemudian meningkatkan keunggulan komparatif kakao Indonesia. Kenaikan harga kakao internasional juga memberikan pengaruh positif terhadap ekspor kakao. Kenaikan harga kakao internasional akan mendorong eksportir untuk mengekspor dalam jumlah yang lebih besar, sehingga nilai ekspor akan meningkat. Goldin (1990) menyebutkan keunggulan komparatif dengan menggunakan metode RCA sangat dipengaruhi oleh liberalisasi perdagangan serta dukungan pemerintah karena nilai RCA hanya didasarkan pada kinerja ekspor. Nilai RCA juga dapat bias ketika ukuran negara menjadi sangat kecil. Analisis daya saing komoditas kakao Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura selanjutnya dilengkapi dengan menggunakan model CMSA dan hasilnya disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Metode CMSA dapat mendekomposisikan sumber-sumber pertumbuhan ekspor dan menagkap dengan lebih cermat potensi daya saing suatu komoditas. Basri (2010) juga menjelaskan bahwa dengan menggunakan metode CMSA peningkatan pangsa nilai (value share) suatu negara tidak selalu berarti nilai ekspor suatu komoditas mengalami penurunan. Hasil analisis CMSA untuk komoditas kakao (HS-18) menunjukkan bahwa ekspor kakao Indonesia tidak memiliki daya saing di pasar Singapura. Hal ini terjadi karena ekspor kakao Indonesia didominasi produk biji kakao dan memiliki kualitas rendah sehingga hanya dijadikan sebagai bahan campuran di negaranegara industri kakao seperti Singapura serta memiliki harga yang lebih rendah dari negara eksportir lainnya. Senada dengan pendapat Athanasoglou et al. (2010) yang menyatakan bahwa ukuran daya saing dengan metode CMSA sangat terkait dengan faktor harga dan non. Indonesia harus meningkatkan kualitas produk melalui proses fermentasi dan penanganan pasca panen lainnya agar produk kakao Indonesia memiliki nilai tambah dan mampu bersaing dengan kakao negara lain seperti Malaysia.
25
Tabel 2 Hasil analisis CMS kakao Indonesia di pasar Singapura (US$ juta) Periode
Efek Distribusi Pasar
Efek Komposisi Komoditas
Efek Daya Saing
Pertumbuhan Ekspor Indonesia
2003-2004
17,71
-25,14
-8,48
-15,913
2004-2005
7,35
-8,02
-4,45
-5,121
2005-2006
8,24
1,64
7,16
17,048
2006-2007
6,32
14,66
-4,18
16,800
2007-2008
16,55
5,45
5,67
27,684
2008-2009
-24,73
20,28
41,87
37,427
2009-2010
37,46
9,51
-30,21
16,763
2010-2011
29,44
-17,43
-62,34
-50,332
2011-2012
4,04
-11,98
2,82
-5,119
2012-2013
-1,19
-5,19
-15,10
-21,482
Periode 2003-2009 Nilai pertumbuhan ekspor pada Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan Indonesia dan Malaysia mampu memperoleh keuntungan pada periode 2003-2009 di pasar Singapura. Hasil perhitungan CMS Indonesia selama periode 2003-2009 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor komoditas kakao Indonesia lebih dipengaruhi oleh efek distribusi pasar yang berperan meningkatkan ekspor kakao Indonesia ke Singapura. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan impor Singapura berpengaruh dominan terhadap pertumbuhan ekspor kakao Indonesia ke Singapura, sedangkan efek daya saing dan efek komposisi komoditas lebih banyak memberikan pengaruh penurunan ekspor kakao Indonesia. Pengaruh distribusi pasar Indonesia dan Malaysia selama periode 2003-2009 bernilai positif kecuali pada tahun 2008-2009. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dan Malaysia sudah mendistribusikan ekspor biji kakao dan olahan kakao ke Singapura yang memiliki pertumbuhan impor tinggi. Efek tersebut menunjukkan bahwa perkembangan ekspor kakao Indonesia ke Singapura bergantung pada pertumbuhan impor total Singapura. Ekspor kakao Indonesia dan Malaysia terarah ke pasar-pasar yang berkembang lebih pesat dibandingkan dengan rata-rata dunia seperti Singapura. Pada tahun 2008-2009 efek distribusi pasar Indonesia dan Malaysia mengalami nilai negatif karena pada tahun tersebut terjadi krisis yang dialami oleh Singapura sehingga mempengaruhi permintaan ekspor kakao dari negara lain seperti Indonesia dan Malaysia. Efek komposisi komoditas memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan ekspor kakao Indonesia dan Malaysia. Pada periode 2003-2009 Indonesia dan Malaysia tercatat hanya dua kali efek komposisi komoditas memberikan pengaruh negatif pada tahun 2003 hingga tahun 2005. Pengaruh positif dari efek komposisi komoditas ini mengindikasikan bahwa Indonesia sudah mengkonsentrasikan ekspornya pada komoditas yang mengalami peningkatan
26
permintaan di pasar Singapura, Sedangkan efek daya saing Indonesia lebih kecil dibandingkan Malaysia yang mengindikasikan bahwa Indonesia tidak mampu mempertahankan pangsa pasarnya di Singapura pada periode 2003-2009. Berdasarkan hasil kalkulasi CMS pada periode 2003-2009 pengaruh positif pertumbuhan ekspor kakao Indonesia dipengaruhi oleh efek distribusi pasar dan efek komposisi komoditas, sedangkan efek daya saing memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekspor kakao Indonesia. Hasil analisis daya saing menggunakan metode CMSA memiliki keterkaitan dengan hasil yang diperoleh dari metode RCA (Gambar 4 dan 5). Nilai efek daya saing kakao Indonesia pada periode 2009-2010 bernilai negatif yang disebabkan karena penurunan nilai RCA biji kakao tahun 2009-2010. Pada tahun yang sama, walaupun nilai RCA produk olahan kakao Indonesia mengalami peningkatan belum mampu mengimbangi penurunan nilai RCA biji kakao karena Indonesia lebih banyak mengekspor biji kakao di bandingkan dengan produk olahan kakao pada periode tersebut. Penurunan nilai RCA biji kakao ini menyebabkan nilai efek daya saing kakao Indonesia pada periode 2009-2010 mengalami penurunan sebesar 30,21%. Tabel 3 Hasil analisis CMS kakao Malaysia di pasar Singapura (US$ juta) Periode
Efek Distribusi Pasar
Efek Komposisi Komoditas
Efek Daya Saing
Pertumbuhan Ekspor Malaysia
2003-2004
7,06
-10,02
3,51
0,551
2004-2005
3,98
-4,34
6,39
6,036
2005-2006
6,14
1,22
-6,10
1,262
2006-2007
3,51
8,14
-2,78
8,875
2007-2008
9,09
2,99
-8,28
3,808
2008-2009
-10,90
8,94
9,41
7,452
2009-2010
14,12
3,58
2,82
20,542
2010-2011
13,73
-8,13
20,73
26,337
2011-2012
3,74
-11,08
58,39
51,049
2012-2013
-1,74
-7,59
20,73
11,396
Periode 2010-2013 Hasil perhitungan CMS Indonesia selama periode 2010-2013 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor komoditas kakao Indonesia lebih dipengaruhi oleh efek komposisi komoditas yang berperan negatif terhadap ekspor kakao Indonesia ke Singapura. Penurunan nilai ekspor Indonesia pada periode 2010-2013 karena efek komposisi komoditas yang bernilai negatif disebabkan karena pada 1 April 2010 Indonesia menerapkan kebijakan bea keluar biji kakao. Hal ini menyebabkan menurunnya nilai ekspor kakao Indonesia karena ekspor kakao Indonesia ke Singapura.
27
Pengaruh efek komposisi komoditas kakao Indonesia yang bernilai negatif disebabkan karena ekspor kakao Indonesia ke pasar Singapura dari tahun 20102013 masih didominasi biji kakao. Dari sisi kemampuan produk dalam merespon perubahan permintaan pasar, biji kakao Indonesia dianggap tidak responsif terhadap pasar Singapura. Kondisi tersebut tentunya merugikan Indonesia khususnya dalam persaingan komoditas kakao di ASEAN. Mutu kakao Indonesia yang rendah menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap produk kakao Indonesia, Khususnya dalam perdagangan kakao internasional. Secara umum, produk biji kakao Indonesia belum memiliki daya saing akibat rendahnya kualitas yang dimiliki serta belum mampu menyesuaikan diri dengan kondisi permintaan pasar, khususnya di pasar Singapura yang menjadi tujuan ekspor utama kakao Indonesia dan Malaysia. Sedangkan produk olahan kakao Indonesia walaupun komposisinya ekspornya tidak sebesar biji kakao, memiliki daya saing yang lebih baik. Selama periode 2010-2013 pengaruh distribusi pasar Indonesia dan Malaysia mengalami peningkatan. Hal tersebut menunjukkan perbaikan dibandingkan periode sebelumnya. Sebagai contoh, Indonesia berhasil mengimbangi pertumbuhan ekspor olahan kakao terhadap ekspor biji kakao ke pasar Singapura. Kebijakan bea keluar biji kakao ini ditujukan untuk mendorong industrialisasi kakao Indonesia untuk dapat meningkatkan daya saing ekspor produk kakao dalam arti luas. Kebijakan bea keluar biji kakao ini mampu meningkatkan keunggulan komparatif produk olahan kakao Indonesia dilihat dari peningkatan nilai indeks RCA. Potensi pengembangan industri kakao masih sangat besar jika dilihat dari berlimpahnya bahan baku yang tersedia untuk keperluan dalam negeri serta peluang untuk memperoleh nilai tambah produk kakao. Selama tahun 2010-2013 Indonesia memiliki kelemahan dalam komponen komposisi komoditas dan daya saing. Pada periode 2010-2011 nilai dari efek daya saing mengalami penurunan yang signifikan sebesar 62,34%. Penurunan ini memiliki keterkaitan dengan hasil nilai RCA biji kakao yang juga mengalami penurunan pada tahun 2010-2011. Nilai efek daya saing sangat dipengaruhi oleh total nilai ekspor kakao Indonesia yang didominasi oleh biji kakao. Peningkatan nilai RCA produk olahan kakao pada tahun yang sama tidak mampu mengimbangi penurunan nilai RCA biji kakao yang mengakibatkan daya saing mengalami penurunan di tahun 2010-2011. Pada periode 2011-2012 nilai efek daya saing mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Peningkatan ini tidak terlepas dari nilai RCA biji kakao dan produk olahan kakao yang mengalami peningkatan. Nilai efek daya saing pada periode 2012-2013 kembali mengalami penurunan yang juga disebabkan karena menurunnya nilai RCA biji kakao dan produk olahan kakao Indonesia pada periode yang sama. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang saling terkait antara hasil analisis menggunakan metode RCA dengan metode CMSA. Kondisi di atas didukung oleh hasil studi Hasibuan et al. (2012) yang menggunakan metode CMSA untuk kakao Indonesia terhadap pasar ASEAN, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan China. Kakao pasta berlemak Indonesia (HS180310) sudah memiliki daya saing di pasar China. Sedangkan untuk pasar ASEAN, Amerika Serikat dan Uni Eropa belum mampu bersaing. Hal ini terjadi karena ekspor kakao pasta berlemak Indonesia masih memiliki pangsa pasar yang
28
relatif kecil dari total ekspor produk kakao. Namun demikian, Indonesia memiliki kemampuan untuk merespon perubahan pasar permintaan di pasar ASEAN. Perdagangan biji kakao Indonesia bersifat inelastis sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan industri hilir kakao (Arsyad dan Yusuf 2007). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lubis dan Nuryati (2011) yang menyebutkan bahwa diperlukan kebijakan untuk mendorong perkembangan industri hilir kakao. Pada dasarnya, pengembangan agribisnis kakao Indonesia perlu dipertimbangkan berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut adalah aspek pasar, aspek budidaya, aspek teknologi, dan pengembangan industri. Aspek pasar diperlukan untuk melihat posisi suatu produk di pasar dalam konteks pertumbuhan, komposisi, distribusi dan persaingan. Dari aspek teknologi, salah satu tahapan dalam industri kakao yaitu teknologi conching masih belum sepenuhnya dikuasai oleh industri Indonesia. Teknologi ini bertujuan untuk mengurangi keasaman, memantapkan cita rasa, dan homogenitas produk akhir. Penurunan pertumbuhan ekspor biji kakao dan kakao olahan merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia. Apabila Indonesia mampu memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan posisi ekspor, Indonesia memiliki prospek yang cukup baik dalam melakukan ekspor ke pasar Singapura. Hal-hal yang harus diperhatikan terkait dengan pendistribusian pasar ekspor biji kakao dan kakao olahan ke pasar Singapura adalah Indonesia harus memahami bahwa negara pengekspor lain seperti Malaysia juga turut berusaha dalam meningkatkan pertumbuhan ekspornya dan Indonesia harus mampu mengoptimalkan pengaruh komposisi komoditas, misalnya dengan cara memperhatikan pertumbuhan impor kelompok komoditas kakao dan jenis kakao tertentu di pasar Singapura. Analisis Keunggulan Kompetitif Faktor Sumberdaya Faktor sumberdaya merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap industri kakao. Faktor sumberdaya tersebut diantaranya adalah sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi, sumberdaya modal dan sumberdaya infrastruktur. Keterkaitan yang tidak saling mendukung terdapat pada komponen kondisi faktor sumberdaya dengan industri terkait dan industri pendukung. Hal ini disebabkan karena kondisi sumberdaya yang seharusnya mampu mencukupi kebutuhan bahan baku untuk industri produk olahan Indonesia tidak tercapai karena rendahnya kualitas biji kakao Indonesia. Hal ini menyebabkan industri olahan kakao mengimpor biji kakao dari negara lain yang kualitas biji kakaonya lebih baik untuk bahan utama, sedangkan biji kakao Indonesia hanya dijadikan sebagai bahan tambahan. Sumberdaya infrastruktur tergolong buruk karena sarana infrastruktur seperti jembatan dan jalan tidak dibangun dengan baik, sehingga menjadi kendala bagi pada industri terkait dan industri pendukung dalam pemenuhan kebutuhan transportasi. Kondisi faktor sumberdaya dengan kondisi permintaan memiliki keterkaitan yang tidak saling mendukung. Hal ini terlihat pada tingkat produktivitas kakao Indonesia yang belum optimal serta kuaitas biji kakao yang kurang baik, sehingga permintaan terhadap biji kakao Indonesia kurang.
29
Indonesia sebagai produsen kakao terbesar di ASEAN memiliki tingkat grinding yang relatif kecil dibandingkan negara produsen kakao lain di ASEAN. Kondisi faktor sumberdaya tersebut diuraikan sebagai berikut. 1. Sumberdaya Alam Kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus untuk dapat berproduksi secara baik. Lingkungan alami kakao adalah hutan hujan tropis. Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sesuai untuk perkebunan rakyat, karena tanaman ini dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun. Hal ini menjadikan kakao sebagai sumber pendapatan harian atau mingguan bagi petani (Irnawaty 2008). Tanaman kakao berasal dari daerah hutan hujan tropis di Amerika Selatan. Di daerah asalnya, kakao merupakan tanaman yang tumbuh terlindung pohonpohon besar. Hal tersebut membuat tanaman kakao dalam proses budidayanya memerlukan naungan. Sebagai negara yang memiliki daerah tropis Indonesia merupakan daerah yang sesuai untuk tanaman kakao. Seperti halnya Indonesia, Malaysia juga memiliki tanah yang subur dan luas dengan hutan hujan tropis yang luas. Luas area perkebunan kakao di Indonesia terus mengalami peningkatan sejak tahun 2003 hingga tahun 2013. Hal ini terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 Luas area perkebunan dan produksi kakao di Indonesia tahun 2003-2013 Produktvitas No Tahun Luas area (Ha) Produksi (ribu ton) (ton/hektar) 1 2003 964.223 657,2 0,68 2 2004 1.090.960 636,8 0,58 3 2005 1.167.046 693,7 0,59 4 2006 1.320.820 702,2 0,53 5 2007 1.379.279 671,4 0,48 6 2008 1.473.259 740,7 0,50 7 2009 1.592.982 742,0 0,46 8 2010 1.650.621 772,8 0,46 9 2011 1.672.257 644,7 0,38 10 2012 1.774.463 687,2 0,38 11 2013 1.852.944 723,0 0,39 Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan 2013
Areal perkebunan kakao Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat dan selebihnya adalah perkebunan negara dan perkebunan swasta. Keberhasilan perluasan areal tersebut telah memberikan hasil nyata bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia. Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana pada tahun 2012 (ICCO 2013). Sulawesi Selatan merupakan produsen kakao terbesar di wilayah Indonesia. Kontribusi Sulawesi Selatan terhadap produksi kakao nasional mencapai 60%. Produksi kakao ini didukung dari hasil perkebunan kakao rakyat yang tersebar di hampir semua kabupaten, sedangkan areal perkebunan swasta nasional jumlahnya masih terbatas (Irnawaty 2008). Perkebunan kakao Indonesia masih berpeluang untuk ditingkatkan produktivitasnya karena
30
produktivitas rata-rata saat ini masih belum optimal dari potensi yang seharusnya. Upaya peningkatan produktivitas kakao memiliki arti yang strategis karena pasar ekspor biji kakao dan olahan kakao masih sangat terbuka khususnya di pasar Singapura sebagai negara tujuan ekspor kakao di ASEAN. Malaysia sebagai negara pesaing kakao Indonesia memiliki rencana mengembangkan area lahan kakao selama periode 10 tahun dari 2011-2020 yang akan mencapai 24.000 hetare dimana 12.000 hektar area lahan kakao yang sudah ada dan 12.000 hektar lainnya adalah area lahan yang akan dikembangkan (Lembaga Koko Malaysia 2014). Luas area perkebunan kakao Malaysia menunjukkan peningkatan daari 11.750 hektar pada tahun 2012 menjadi 13.730 hektar pada tahun 2013. Upaya perluasan lahan ini disebabkan karena harga kakao yang tinggi (RM 7.500-8.500) dan menarik minat para petani kakao di Malaysia. Mayoritas petani kakao Malaysia berasal dari kawasan pedalaman Sabah, Serawak, dan Semenanjung Malaysia. Salah satu upaya pemerintah Malaysia mengoptimalkan sumberdaya alam yang dimilikinya untuk perkebunan kakao Malaysia adalah Program Pembangunan Nurseri Anak Benih Koko (PNK). Upaya peningkatan produksi dan produktivitas kakao memiliki arti yang strategis karena pasar ekspor biji kakao dan olahan kakao masih sangat terbuka khususnya di pasar Singapura sebagai negara tujuan ekspor kakao di ASEAN. 2. Sumberdaya Manusia Sumberdaya Manusia merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam melaksanakan kegiatan usahatani, sehingga apabila terjadi kekurangan SDM atau rendahnya SDM yang terampil maka akan mempengaruhi hasil produksi. Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan dari subsektor perkebunan yang sebagian besar diusahakan oleh petani dalam bentuk perkebunan rakyat. Sebagian besar petani kakao masih kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk menerapkan cara-cara pengelolaan kebun kakao yang baik. Tingkat pendapatan petani kakao tergantung dari sistem usaha tani kakao dan sistem pengolahan agribisnis di Indonesia. Sistem usaha tani kakao yang diterapkan di daerah sentra kakao Indonesia selama ini masih memiliki banyak kelemahan. Petani kakao selama ini masih menggunakan bibit tanaman kakao yang berasal dari bibit lokal (Irwanto 2012). Penerapan good agriculture practices (GAP) di tingkat petani masih sangat rendah (Wahyudi dan Rahardjo, 2013). Keterbatasan pengetahuan dan kesadaran petani dalam menerapkan standar budidaya tanaman kakao perlu mendapat perhatian. Pemberian pelatihan dan penyuluhan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh dalam meningkatkan kemampuan SDM yang akan meningkatkan produktivitas tanaman kakao. Sejalan dengan program revitalisasi penyuluhan pertanian yang dicanangkan pemerintah membuat penyuluhan di bidang agribisnis kakao juga dilakukan. Kenaikan produksi kakao selama ini lebih dikarenakan oleh meningkatnya luas area perkebunan kakao, sedangkan produktivitas kakao Indonesia masih belum mencapai tingkat potensi yang dimilikinya karena kualitas SDM Indonesia yang belum optimal. Upaya meningkatkan kualitas SDM Indonesia telah dilakukan. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) telah melakukan berbagai pelatihan, penyuluhan dan pendampingan bersama-sama
31
institusi lain (Wahyudi dan Rahardjo 2013). Hal ini bertujuan agar SDM Indonesia mampu melakukan perbaikan teknik budidaya sehingga dapat meningkatkan produktivitas kakao. Keberlanjutan usahatani kakao juga dipengaruhi oleh pelaku utama usaha agribisnis kakao untuk mencapai skala ekonomi yang baik. Dinamika kelompok dan kemitraan harus diperhatikan agar kesenjangan komunikasi dan kepercayaan antara petani dan pedagang dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, kelompok-kelompok tani harus dibentuk, sementara yang sudah ada harus dibina dan dikuatkan agar dapat menjalin kerjasama yang saling percaya, saling membesarkan, dan saling menguntungkan. Malaysia juga memiliki lembaga yang bergerak di bidang agribisnis kakao yaitu Lembaga Koko Malaysia (LKM). LKM bertanggung jawab atas programprogram pemerintah Malaysia terkait kakao yang sedang dan akan dilaksanakan oleh LKM (Lembaga Koko Malaysia 2014). Salah satu peran LKM adalah melaksanakan Program Bagian Pemindahan dan Pengembangan Teknologi (ToTE). Bagian Pemindahan dan Pengembangan Teknologi (ToTE) memiliki peranan penting dan signifikan dalam merancang, menyelaraskan, membangun dan melaksanakan aktivitas seperti pembangunan tanaman kakao, penerapan teknologi, pengembangan, dan penelitian. Beberapa rincian program LKM ini adalah: a. Program Tanaman Baru (TB) b. Pemulihan Tanaman Petani-petani Kecil (Rolling Plan) dan dikenal sebagai Program Peningkatan Produktivitas Koko (PPP) yang dilaksakan pada tahun 2014. c. Program Pembangunan Nurseri Anak Benih Koko (PNK) Tujuannya dibentuknya PPKI dan LKM salah satunya adalah untuk meningkatkan SDM untuk dapat menghasilkan kakao yang berkualitas. Berdasarkan uraian di atas, SDM merupakan faktor yang sangat penting dalam meningkatkan daya saing suatu negara. Indonesia dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas kakaonya dengan tambahan tenaga kerja berkualitas, penyuluh dan peningkatan keterampilan dan pengetahuan petani kakao agar Indonesia dapat bersaing dengan Malaysia dan meningkatkan daya saingnya di pasar ASEAN khususnya di pasar Singapura (Wahyudi dan Rahardjo 2013). 3. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Indonesia merupakan negara pertama yang mengembangkan teknologi kultur jaringan di dunia untuk komoditas kakao. Pemanfaatan teknologi kultur jaringan dalam pembibitan kakao diperlukan guna mempercepat penyediaan bibit kakao. Perencanaan program revitalisasi perkebunan kakao telah memacu pada peningkatan kakao hingga 75 juta bibit per tahun. Jumlah tersebut terdiri dari 50 juta untuk memenuhi kebutuhan program revitalisasi 200.000 Ha dan 25 juta bibit untuk kebutuhan lain. Revitalisasi 200.000 Ha perkebunan kakao dilakukan secara bertahap hingga tahun 2010 yakni terdiri dari 54.000 Ha program peremajaan, 16.000 Ha rehabilitasi dan 110.000 Ha perluasan areal tanaman. Teknologi kultur jaringan ini tidak hanya mampu menyediakan bibit dalam jumlah besar, namun juga menghasilkan bibit berkualitas tinggi dan berukuran seragam. Masalah pengadaan bibit berkualitas tinggi dan seragam secara cepat dapat diatasi dengan teknologi kultur jaringan ini (Apriantono 2008).
32
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi juga dilakukan untuk peremajaan tanaman. Metode peremajaan tanaman kakao yang dapat diterapkan adalah rehabilitasi tanaman dan replanting. Pemilihan kedua jenis metode tersebut sangat bergantung pada kondisi kepadatan populasi tanaman dan produktivitas tanaman. Apabila kepadatan populasi masih di kisaran 50%-80% yang perlu dilakukan adalah program rehabilitasi dan pemadatan populasi. Metode replanting dilakukan apabila kepadatan populasi tanaman sudah dibawah 50% dan produktivitas tanaman kurang dari 400 kg/ha/tahun. Selain teknologi kultur jaringan, terdapat juga teknologi sambung samping. Teknologi ini awalnya dikembangkan di Malaysia. Teknologi sambung samping digunakan untuk rehabilitasi tanaman kakao dewasa karena tanaman kakao Indonesia hampir seluruhnya menggunakan bibit yang merupakan asal benih atau biji (Irnawaty 2008). Hal ini menyebabkan keseragaman tanaman kakao tidak terjamin karena tanaman kakao menyerbuk secara silang. Sambung samping dengan entres dari tanaman yang lebih unggul dan bermutu merupakan salah satu upaya dalam peningkatan mutu serta merehabilitasi tanaman kakao yang kurang produktif. Pengembangan dengan menggunakan teknologi sambung samping dapat dilakukan dengan biaya yang relatif murah dibandingkan dengan penanaman baru, karena hanya dibutuhkan entres dan pisau okulasi serta tenaga kerja yang terlatih dan berpengalaman. Tanaman kakao hasil sambung samping dapat berbuah pada umur 1 tahun dengan tingkat produksi yang sama dengan induk asal entres-nya, sedangkan tanaman kakao asal biji mulai berbuah pada umur 2 atau 3 tahun (Apriantono, 2008). Umumnya rata-rata produksi kebun kakao rakyat adalah 800 kilogram per hektar per tahun, sementara kebun kakao hasil sambung samping rata-rata produksi mencapai 2.500 kiloram per hektar per tahun (Wahyudi dan Rahardjo 2013). Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Sulawesi Barat juga telah mensosialisasikan penggunaan teknologi sambung samping pada tanaman kakao rakyat sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produksi dan mutu hasil komoditas kakao (Irnawaty 2008). Hal ni disebabkan karena tanaman kakao yang ada di Sulawesi Barat umumnya merupakan tanaman perkebunan rakyat yang ditanamn sejak tahun 1980 sehingga produktivitas kakao menjadi menurun, selain juga disebabkan karena faktor serangan hama dan penyakit. Serangan PBK juga secara langsung mempengaruhi kualitas mutu biji kakao Indonesia. Hal ini menyebabkan meningkatnya kandungan bahan non kakao (waste) dan oenurunan ukuran biji. Masalah mutu kakao Indonesia membuat menurunkan citra kakao Indonesia di negara importir kakao seperti Singapura. Industri dalam negeri juga banyak yang mengimpor biji kakao dari luar Indonesia dengan alasan mutu bijinya lebih baik meskipun harus membayar dengan harga yang lebih mahal (Wahyudi dan Rahardjo 2013). Penyebab rendahnya mutu kakao Indonesia adalah tidak diterapkannya teknologi pasca panen dengan baik dan benar yang disebabkan terbatasnya pengetahuan dan keterampilan petani dalam penanganan pasca panen kakao serta kurangnya motivasi untuk meningkatkan kualitas. Sebagian besar petani tidak mengetahui cara pemukuran, penentuan kualitas pohon yang masih produktif dan penanganan hama yang menyerang tanaman kakaonya.
33
Bimbingan, pembinaan dan sosialisasi penerapan teknologi pasca panen melalui pembinaan dan bimbingan teknis pasca panen kepada petani kakao perlu dilakukan. Biji kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peran penting dalam menghasilkan devisa negara. Perluasan perusahaan kakao yang terus dilakukan harus diikuti dengan penanganan pasca panen yang memadai. Adanya peningkatan berbagai produksi di berbagai negara menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran di pemasaran dunia. Keadaan ini menuntut produsen kakao untuk meningkatkan mutu biji kakaonya dan mulai mengalihkan perhatiannya untuk tidak hanya menjual dalam bentuk biji tetapi juga menjual dalam bentuk bahan jadi maupun setengah jadi. Peranan ilmu pengetahuan dan teknologi pengolahan perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar dari sebelumnya. Permasalahan yang dihadapi Indonesia adalah belum dikuasainya teknologi prosesing sehingga mutu produk menjadi relatif rendah dibandingkan produk pesaing seperti Malaysia yang sudah lebih dulu fokus kepada industri olahan kakao (Wahyudi dan Rahardjo 2013). Upaya untuk menerapkan teknologi di tingkat produksi tentunya akan meningkatkan kualitas kakao dan diharakan dapat bersaing dengan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia. 4. Sumberdaya Modal Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peluang yang cukup besar, namun modal yang diinvestasikan dana usaha perkebunan kakao membutuhkan modal yang besar dengan waktu pengembalian investasi yang relatif lambat. Aksesbilitas terhadap sumberdaya permodalan juga masih terbatas. Akses petani terhadap modal yang disediakan perbankan masih rendah, yang disebabkan oleh terbatasnya lembaga perbankan di pedesaan, prosedur dan persyaratan yang sulit bagi petani, alokasi kredit yang cenderung kecil serta tingginya tingkat suku bunga (Direktorat Jendral Perkebunan 2013). Departemen Pertanian telah memperjuangkan permodalan untuk petani melalui sistem perbankan syariah tanpa agunan sejak 2005, namun dalam prosesnya muncul hambatan legistlatif yaitu pemberlakuan aturan agunan yang diisyaratkan oleh Bank Indonesia (Irwanto 2012). Peraturan dengan agunan ini membuat banyak petani kakao yang ingin memulai usaha perkebunan tidak bisa menyerap sumber modal yang berasal dari perbankan. Dukungan pemerintah lainnya dalam hal permodalan yang sudah berjalan sampai saat ini adalah bantuan langsung bibit unggul untuk petani kakao untuk meningkatkan kualitas kakao Indonesia. Sedangkan Malaysia yang merupakan negara pesaing kakao Indonesia di wilayah ASEAN telah mendukung permodalan perkebunan kakao dalam negerinya dengan menyediakan dukungan keuangan seperti kredit dan bantuan logistik seperti pupuk, pestisida, dan bantuan pengendalian hama dan penyakit yang menyerang tanaman kakao (Lembaga Koko Malaysia 2008). Upaya untuk mencapai target sasaran produksi agribisnis kakao Indonesia diperkirakan memerlukan investasi sebesar Rp 16,72 triliun dan dukungan berbagai kebijakan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dari subsektor hulu hingga subsektor hilir. Dana pemerintah ini berperan dalam memberikan pelayanan yang baik dan dukungan fasilitas yang tidak bisa ditanggulangi petani seperti biaya penyuluhan dan bimbingan, pembangunan sarana dan prasarana jalan dan telekomunikasi, dukungan gerakan pengendalian hama PBK secara
34
nasional, dukungan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan industri hilir. Salah satu contoh upaya pemerintah dalam membantu sumberdaya permodalan kakao Indonesia adalah bantuan modal pinjaman biaya peremajaan hutan kakao oleh pemerintah Kabupaten Mamuju sebesar Rp 16 juta per hektar kepada petani (Thamrin 2007).. Bantuan itu diberikan kepada petani yang memiliki tanaman kakao yang usianya diatas 15 tahun sebagai upaya untuk meningkatkan produksi kakao. Dana bantuan tersebut berasal dari pinjaman Bank Rakyat Indonesia dari dana revitalisasi BRI. Bantuan diberikan dalam bentuk pinjaman 10 tahun dengan pembayaran angsuran pertama setelah 5 tahun berjalan. Lima tahun pertama bunga pinjaman disubsidi oleh pemerintah sebesar 8%, selanjutnya dibayar penuh oleh petani (Thamrin 2007). Investasi untuk komoditas kakao memiliki beberapa kendala yang mempengaruhi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kendala tersebut salah satunya adalah terdapat PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 10%, kualitas kakao yang rendah, biaya ekspor tinggi, bunga bank tinggi, lokasi industri yang terkonsentrasi dan diskriminasi tarif. Pajak Pertambahan Nilai ini membuat biji kakao Indonesia lebih banyak diekspor dibandingkan diolah di dalam negeri karena mengekspor biji kakao langsung tidak terkena PPN 10%, sedangkan di Malaysia investor dengan leluasa masuk karena kebijakan pemerintah yang menganut liberalisasi dalam pasar industri (Abdoellah 2006). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek permodalan belum mampu mendukung peningkatan daya saing kakao di pasar internasional khususnya di pasar Singapura. 5. Sumberdaya Sarana Produksi dan Infrastruktur Infrastruktur dan sarana untuk produktivitas perlu disediakan dengan mudah, murah, dan sesuai dengan kondisi wilayah yang ada (Wahyudi dan Rahardjo 2013). PPKKI serta pihak-pihak lain telah menyediakan sarana produksi yang sesuai untuk tanaman kakao seperti pupuk, pengendalian hayati, pestisida, serta peralatan produksi yang telah disesuaikan dengan kondisi setempat dan kemampuan masyarakatnya. Pada prosesnya masih terjadi masalah karena petani kakao lebih memprioritaskan kebutuhan mendesak lain sehingga daya beli terhadap sarana pendukung tersebut menjadi rendah. Oleh karena itu penyediaan sarana produksi yang sesuai dengan kemampuan petani dan sesuai dengan standar mutu kakao masih perlu dilakukan. Sebagian sentra produksi kakao Indonesia terdapat di daerah-daerah yang jaraknya cukup jauh dari kota besar. Hal ini cukup menjadi perhatian karena sarana infrastruktur seperti jalan atau jembatan yang menjadi penghubung sentra produksi kakao tidak dibangun dengan baik. Hingga saat ini jalan kebun hanya menjangkau 40% lahan kebun kakao, sehingga masih ada 60% petani kakao mengalami nilai jual rendah. Jumlah dan kualitas sarana gudang dan pelabuhan kurang memenuhi syarat untuk menjangkau sentra produksi kakao (Direktorat Jendral Perkebunan 2013). Beberapa faktor penyebab mutu kakao yang dihasilkan beragam adalah minimnya sarana pengolahan. Tahapan proses pengolahan dan spesifikasi alat dan mesin yang digunakan yang menjamin kepastian mutu harus didefinisikan secara jelas. Proses pengolahan buah kakao menentukan mutu produk akhir kakao karena dalam proses ini terjadi pembentukan cita rasa khas kakao. Oleh
35
karena itu, dapat disimpulkan bahwa perkebunan kakao di Indonesia belum sepenuhnya di dukung oleh sarana dan prasarana yang telah disediakan. Upaya yang dilakukan oleh Malaysia dalam meningkatkan sumberdaya sarana produksi dan infrastruktur adalah dengan Program Tanaman Baru (Lembaga Koko Malaysia 2014). Program ini meningkatkan luas areal perkebunan kakao di wilayah terpencil. Program ini dijalankan oleh LKM dengan bantuan yang diberikan adalah dengan cara berikut. a. Membangun dan membekalkan bibit kakao unggul melalui nursery kakao serta dibantu oleh Research, Development and Inovasion LKM, kelompok tani, dan koperasi. b. Memberi pelatihan kepada kelompok tani kakao. c. Membangun komunitas kakao melalui pembentukan dan pengembangan, kelompok tani kakao, asosiasi persatuan kakao dan koperasi kakao. d. Membangun kewirausahaan kakao di kalangan kelompok tani, asosiasi dan koperasi. e. Membangun infrastruktur. f. Membangun sarana produksi untuk meningkatkan kualitas kakao. Kondisi Permintaan Keterkaitan yang saling mendukung terjadi pada komponen kondisi permintaan dengan industri terkait dengan industri pendukung. Hal ini dikarenakan tingginya permintaan ekspor kakao oleh pasar luar negeri menyebabkan meningkatnya kebutuhan perusahaan akan bahan mentah. Peningkatan kebutuhan akan barang input yang dihasilkan oleh industri pendukung dan industri terkait akan meningkat. Tujuan utama keterkaitan antara kondisi permintaan dengan industri terkait dan industri pendukung adalah untuk meningkatkan income yang diperoleh dan ditentukan dari kondisi permintaan pasar. Kondisi permintaan dengan struktur, persaingan dan strategi memiliki keterkaitan yang tidak saling mendukung. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan biji kakao yang bermutu tinggi dan produk olahan kakao yang belum mampu dipenuhi oleh Indonesia. Kondisi permintaan kakao semakin meningkat dilihat dari konsumsi kakao dunia yang terus meningkat. Selain karena adanya pertambahan jumlah penduduk dunia, pengaruh perbaikan ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat ikut berperan dalam peningkatan konsumsi kakao dan olahannya. Meningkatnya permintaan dunia terhadap kakao merupakan motivasi untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah kakao Indonesia. Selama ini kenaikan nilai tambah ini lebih banyak dinikmati oleh negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura (Wahyudi dan Rahardjo 2013). Oleh karena itu, mutu produk kakao Indonesia harus mampu bersaing dengan memperhatikan mutu produk kakao dari kedua negara tersebut yang memang sudah dikenal lebih baik dari Indonesia. Indonesia adalah negara penghasil kakao terbesar di ASEAN namun memiliki tingkat grinding yang relatif kecil jika dibandingkan dengan Malaysia. Malaysia adalah negara yang terus meningkatkan peran industri kakao (Lembaga Koko Malaysia 2014). Kondisi tersebut tentunya menjadi hal yang harus diperhatikan oleh Indonesia apabila tidak ingin kehilangan pangsa pasarnya. Perbedaan antara Indonesia dan Malaysia terletak pada produk yang di ekspor. Indonesia mengekspor kakao sebagian besar dalam bentuk biji (HS-1801) sebesar
36
83% dari total ekspornya, sedangkan Malaysia sebagian besar dalam bentuk hasil olahan. Oleh karena itu, wajar saja apabila nilai ekspor produk kakao selama periode 2010-2013 lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Indonesia yang merupakan penghasil biji kakao terbesar di ASEAN harus memanfaatkan kondisi permintaan kakao yang sedang meningkat khususnya di pasar Singapura. Pengembangan industri kakao di Indonesia harus dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah produk kakao Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memenuhi permintaan pasar produk kakao dan menjadi peluang untuk Indonesia untuk meningkatkan daya saing produk kakao. Industri Terkait dan Industri Pendukung Salah satu faktor yang juga menentukan keunggulan kakao di pasar internasional khususnya di Singapura adalah adanya industri terkait dan industri pendukung. Industri terkait dan industri pendukung produksi kakao yaitu industri yang berada diantara pengadaan benih dan industri pengolahan. Keterkaitan yang tidak saling mendukung terjadi pada komponen industri dan industri pendukung dengan persaingan, struktur dan strategi. Hal ini terjadi karena tidak adanya kontribusi langsung dari pada industri terkait dan industri pendukung terhadap tercptanya struktur pasar atau terjadinya persaingan pasar. Peran industri pengadaan benih sampai saat ini masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya benih asalan yang dihasilkan oleh petani yang digunakan oleh petani kakao Indonesia. Hal ini disebabkan karena masih kurang terintegrasinya industri penyediaan bibit unggul kepada petani kakao. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas kakao Indonesia salah satunya adalah terdapat lembaga penelitian untuk komoditas kakao yaitu Pusat Penelitian Kakao dan Kopi yang salah satu fungsinya adalah menciptakan bibit unggul kakao. Menurut Asosiasi Industri Indonesia (2006) hingga tahun 2006 hanya ada 15 industri kakao dan hanya enam pabrik yang masih beroprasi. Berkurangnya industri pengolahan kakao Indonesia pada periode 2003-2009 diakibatkan karena adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% pada komoditas pertanian, termasuk kakao yang dibeli industri dalam negeri. Jumlah prusahaan industri kakao olahan setelah kebijakan bea keluar biji kakao pada tahun 2010 diterapkan mengalami peningkatan. Jumlah perusahaan yang beroprasi telah bertambah 8 perusahaan. Kedelapan perusahaan industri kakao adalah PT Davormas Abadi, PT Bumi Tanggerang Mesindotama, PT Kakao Mas Gemilang, PT Mas Ganda, PT General Food Industry, PT Teja Sekawan Kakao Industries, PT Inti Kakao Utama dan PT Effem Indonesia. Dengan demikian, dengan berkembangnya kembali perusahaan pengolahan kakao di dalam negeri menunjukkan bahwa penerapan kebijakan BK biji kakao berdampak positif terhadap upaya pengembangan industri hilir pengolahan kakao dalam negeri. Disisi lain, penerapan BK biji kakao juga telah mendorong sejumlah investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Struktur, Persaingan dan Strategi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 merupakan tantangan yang harus dihadapi tetapi sekaligus sebagai peluang. Kondisi ini perlu dihadapi melalui efisiensi dalam setiap subsistem agribisnis kakao. Kenyataannya selama ini menunjukkan bahwa produk perkebunan Indonesia khususnya kakao masih kalah bersaing di pasar luar negeri seperti Singapura (Wahyudi dan Rahardjo 2013).
37
Pemasaran kakao Indonesia ke Singapura menghadapi kendala rendahnya mutu akibat biji kakao yang tidak difermentasi dengan benar. Produktivitas tanaman kakao Indonesia juga masih rendah yang disebabkan kurangnya pemahaman dan tingkat keterampilan petani dalam mengolah perkebunan kakao. Hal tersebut menjelaskan bahwa adanya keterkaitan yang tidak saling mendukung terjadi pada komponen persaingan, struktur dan strategi dengan komponen sumberdaya. Sumberdaya manusia yang merupakan salah satu faktor produksi masih kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dan penerapan good agriculture practties (GAP) masih rendah, sehingga mutu kakao Indonesia rendah. Sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi juga dinilai masih kurang optimal karena penyebab rendahnya mutu kakao Indonesia adalah tidak diterapkannya teknologi pasca panen dengan baik dan benar yang terkait dengan terbatasnya pengetahuan dan keterampilan Sumberdaya manusianya. Hal ini menyebabkan komponen struktur, persaingan dan strategi tidak saling mendukung dengan komponen sumberdaya. Struktur pasar komoditas kakao di pasar internasional adalah struktur pasar oligopoli. Pada struktur pasar ini Indonesia merupakan penerima harga. Sebagai pengikut harga pasar, Indonesia menghadapi persaingan yang ketat dengan negara pesaing yang memiliki kualitas kakao yang lebih baik. Struktur industri pengolahan kakao Indonesia didominasi oleh tiga perusahaan pengolahan kakao yaitu PT General Food Industries, PT Bumi Tanggerang Mesindotama dan PT Davomas Abadi dengan masing-masing memiliki kapasitas sebesar 70.000 ton/tahun, 40.000 ton/tahun dan 30.000 ton/tahun. Dominasi ketiga perusahaan ini membuat persaingan dalam industri pengolahan kakao menjadi tidak kompetitif (Rahmanu 2009). Strategi yang perlu ditempuh pemerintah terdiri dari strategi defensif dan strategi ofensif (Irnawaty 2008). Strategi defensif diperlukan untuk melindungi pertanian dalam negeri yang masih lemah terhadap ancaman dari luar. Sedangkan strategi ofensif bertujuan untuk mendorong ekspor komoditas kakao yang memiliki kekuatan keunggulan komparatif dan peluang pasar yang besar. Struktur ekspor kakao Indonesia masih didominasi oleh produk primer yaitu biji kakao (HS-1801) sedangkan negara pesaing seperti Malaysia didominasi oleh produk olahan kakao dalam struktur ekspornya. Salah satu strategi yang akan efektif memacu produksi kakao Indonesia adalah dengan melakukan revitalisasi program penyuluhan, terutama bagi petani kakao. Hal ini disebabkan karena pada kenyataanya kualitas kakao Indonesia memiliki kualitas yang tidak lebih buruk dari kakao negara lain seperti Malaysia. Kualitas kakao Indonesia mengalami penurunan kualitas karena di subsektor pasca panen kurang diperhatikan oleh petani kakao. Kualitas kakao Indonesia dapat ditingkatkan lagi melalui prosedur penanganan pasca panen kakao yang lebih baik. Peran Peluang Kakao merupakan komoditas ekspor dengan devisa yang cukup tinggi dan Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan agribisnis kakao. Negara tujuan utama ekspor kakao Indonesia di wilayah ASEAN adalah Singapura, sehingga menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasarnya. Permintaan kakao ASEAN khususnya Singapura mengalami peningkatan menjadi peluang bagi Indonesia namun peningkatan peluang tersebut tidak disertai
38
peningkatan kualitas kakao Indonesia yang masih kalah dibandingkan kakao dari Malaysia. Selain itu, faktor peluang juga dapat dilihat dari penemuan teknologi baru yaitu teknologi kultur jaringan. Dari hasil analisis komponen Porter's Diamond dapat diketahui komponen penunjang yaitu peranan peluang memiliki keterkaitan yang saling mendukung dengan seluruh komponen utama. Peran peluang mendukung komponen sumberdaya yaitu dengan semakin tingginya permintaan kebutuhan akan biji kakao dan produk olahan kakao yang dilihat dari peningkatan tingkat konsumsi kakao, Indonesia memiliki peluang yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tersebut. Hal ini juga sinergis dengan keterkaitan peran peluang dengan industri terkait dan insutri pendukung yang saling mendukung. Terkait dengan kondisi peran peluang dengan persaingan, struktur dan strategi juga saling mendukung. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 merupakan tantangan yang harus dihadapi tetapi sekaligus sebagai peluang. Kondisi ini perlu dihadapi melalui efisiensi dalam setiap subsistem agribisnis kakao dan meningkatkan mutu kakao Indonesia. Peran Pemerintah Pemerintah sangat berperan dalam mendukung setiap komponen daya saing komoditas kakao Indonesia. Dukungan pemerintah terhadap kondisi faktor sumberdaya ditunjukkan dengan adanya bantuan pemerintah terhadap peningkatan kualitas biji kakao kepada para kelompok tani. Pemerintah juga berperan dalam pemberian pupuk bersubisi melalui industri terkait. Pada kondisi permintaan, pemerintah memberikan dukungan melalui pembinaan pada kelompok tani kakao melalui PPKKI. Pembinaan kelompok tani melalui PPKKI dapat meningkatkan pengetahuan petani akan pasar komoditas kakao sebagai usaha yang menguntungkan dan dapat meningkatkan pendapatan petani ketika petani mampu meningkatkan tingkat produktivitasnya (Wahyudi dan Rahardjo 2013). Pengembangan kakao di Indonesia sudah dilaksanakan cukup lama baik oleh perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Upaya meningkatkan produksi kakao sekaligus peningkatan pendapatan petani maupun masyarakat sudah diupayakan pemerintah dengan berbagai pola pengembangan perkebunan yang dibiayai dari APBN dan Bantuan Luar Negeri (BLN). Pola pengembangan perkebunan antara lain melalui proyek-proyek Unit Pelayanan Pengembangan (UPP), Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Perkebunan Besar (PB) dan pola swadaya (Irnawaty 2008). Pola swadaya merupakan pola pengembangan perkebunan yang lebih banyak mengandalkan inisiatif petani untuk pengembangan agribisnis kakao. Upaya pemerintah untuk mendukung perkembangan kakao Indonesia yang terkait dengan semua komponen utama adalah dengan mengeluarkan kebijakan dan program pemerintah yang telah dilakukan sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2010. Kebijakan dan program pemerintah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Kebijakan peningkatan produktivitas Kebijakan peningkatan produktivitas ini diimplementasikan melalui penggunaan bahan tanam unggul, aplikasi teknologi budidaya secara baik dan pengendalian hama PBK. Upaya pemerintah dalam meningkatkan produktivitas kakao Indonesia adalah dengan Program Gerakan Nasional pada tahun 2009 yang masih berlanjut hingga saat ini. Program ini berhasil meningkatkan
39
produktivitas biji kakao Indonesia, namun perlu waktu untuk meningkatkan industri kakao olahan Indonesia. Kebijakan peningkatan produktivitas kakao juga dilakukan oleh pemerintah Malaysia dalam program Peningkatan Produktivitas Koko (PPP). Program ini merupakan program khusus untuk petani terpilih yang berpotensi untuk menyumbang peningkatan produktivitas kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) telah menghasilkan beberapa jenis bahan tanam unggul baru dengan produktivitas yang tinggi (Wahyudi dan Rahardjo 2013). Bibit unggul ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas kakao Indonesia dan mampu dijangkau oleh petani. Bahan tanam unggul dengan kriteria tersebut dicanangkan untuk digunakan dalam program revitalisasi kakao nasional. Banyaknya tanaman yang tidak produktif karena penggunaan bahan tanam asalan, tanaman sudah tua, maupun tanaman rusak dan tidak terawat membuat produktivitas kakao Indonesia menurun. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan produktivitas kakao Indonesia salah satu program pemerintah adalah melakukan peremajaan terhadap tanaman kakao tua maupun tidak produktif dengan memakai bahan tanam unggul. 2. Kebijakan pemberdayaan petani Kebijakan permberdayaan petani diimplementasikan lewat serangkaian upaya diantaranya dengan pertumbuhan kelembagaan petani dan kelembagaan usaha khususnya di sentra-sentra produksi dan pengembangan kakao dan menumbuhkan industri penangkar benih dalam rangka penyediaan benih unggul kakao. Pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan kemampuan petani dalam rangka memanfaatkan peluang bisnis yang ada juga dilakukan oleh pemerintah. Pemberian pelatihan dan peyuluhan merupakan cara konvensional dalam meningkatkan kesadaran serta kemampuan petani dan seluruh pelaku bisnis kakai yang dihasilkan. Masih terjadinya kesenjangan pengetahuan dan keterampilan antara pelaku produksi, dalam hal ini petani dan pedagang dengan keinginan pihak industri. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) sebagai pemegang mandat penelitian dan pengembangan kakao menyediakan paket-paket pelatihan dan penyuluhan yang terkait dengan peningkatan mutu kakao. Peran PPKKI tidak hanya sebatas pelatihan dan penyuluhan. Kondisi di lapangan sering menuntut adanya pengawalan teknologi dalam bentuk pendampingan. PPKKI yang memiliki kemampuan dan keterampilan teknologi serta kapasitas sosial yang baik dibutuhkan untuk tinggal di dalam kelompok masyarakat untuk bersama-sama melakukan perbaikan mutu dan pemasaran kakao.Oleh karena itu, PPKKI sebagai lembaga yang dipercaya oleh masyarakat dan pedagang dituntut untuk menjalankan fungsi mediasi (Wahyudi dan Rahardjo 2013). PPKKI telah mencoba mengimplementasikan pendampingan teknologi dan pemasaran dalam bentuk Model Kemitraan Bermediasi (Motramed). Model Kemitraan Bermediasi ini telah diujikan pada tanaman kopi sejak tahun 2002 di Kintamani, Jember, dan Malang. Kegiatan ini memberikan hasil yang baik, yaitu meningkatnya mutu kopi. Hal ini dapat diterapkan juga dalam komoditas kakao 3. Harmonisasi Standar Mutu
40
Keberadaan standar mutu kakao yang mendorong perbaikan mutu dan diakui oleh pihak-pihak pengguna di dalam maupun luar negeri mutlak diperlukan. Kondisi yang kurang memuaskan terhadap citra mutu kakao Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari penerapan standar mutu kakao secara tidak baku dan tidak ketatnya persyaratan mutu di dalamnya. SNI 01-2323-2002 diharapkan dapat menjadi standar mutu Indonesia untuk produk kakao Indonesia diakui dan dapat diandalkan. Pelaksanaan standar mutu secara konsisten akan mendorong perbaikan mutu dan secara bertahap akan memperbaiki citra mutu kakao di dalam perdagangan internasional. Biji kakao Indonesia yang akan diekspor harus memenuhi persyaratan SNI biji kakao (SNI 01-2323-2002). Biji kakao didefinisikan sebagai biji tanaman kakao (Theobroma cacoa) yang telah difermentasikan, dibersihkan, dan dikeringkan. Biji kakao yang diekspor diklasifikasikan berdasarkan jenis tanaman, jenis mutu, dan ukuran berat biji. Berdasarkan jenis tanaman dibedakan atas dua klasifikasi, yaitu jenis mulai (fine cocoa) dan jenis lindak (bulk cocoa). Sementara berdasarkan jenis mutunya terdapat dua golongan, yaitu Mutu I dan Mutu II. Menurut ukuran bijinya yang dinyatakan dalam jumlah biji/100 gram, biji kakao dikelompokkan menjadi lima golongan seperti Tabel 5. Tabel 5 Penggolongan ukuran biji kakao Indonesia Ukuran Jumlah biji/100 gram AA Maks. 85 A Maks. 100 B Maks. 110 C Maks. 120 S > 120 Sumber: Departemen Perindustrian (2009)
Persyaratan mutu biji kakao Indonesia terbagi dalam dua kelompok syarat mutu yaitu, syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap kelompok biji kakao yang akan diekspor seperti yang tercantum dalam Tabel 6. Persyaratan khusus biji kakao merupakan persyaratan yang harus dipenuhi untuk klasifikasi jenis mutu yang tercantum dalam Tabel 7. Tabel 6 Persyaratan umum biji kakao Indonesia No Karakteristik 1 Kadar air (b/b) 2 Biji berbau asap dan atau abnormal, dan atau berbau asing 3 Serangga hidup 4 Kadar biji pecah dan atau pecahan 5 Biji dan atau pecahan kulit (b/b) dan kadar benda asing (b/b) Sumber: Departemen Perindustrian (2009)
Persyaratan Maks. 7,5% Tidak ada Tidak ada Maks. 3% Maks. 0%
41
Standar mutu untuk biji kakao dan olahan kakao dalam industri kakao Malaysia adalah standar mutu yang telah ditentukan oleh Standard and Industrial Research Institute of Malaysia (SIRIM). Standar ini di bentuk berdasarkan rekomendasi dari komite teknis pengembangan produk kakao yang terdiri dari pihak Goverment Ministries and Agencies, praktisi perdagangan, assosiasi manufaktur kakao, dan ilmuan serta para profesional di bidang agribisnis kakao (Lembaga Koko Malaysia 2014). Malaysia memiliki 11 standar mutu nasional yang sudah diimplementasikan dalam aktifitas agribisnis kakao.
No 1 2 3
Tabel 7 Persyaratan khusus biji kakao Indonesia Persyaratan (maks.) Jumlah biji/100 gram Karakteristik Kadar biji berkapang Kadar biji tidak terfermentasi (biji/biji) Kadar biji berserangga, pipih dan berkecambah
Mutu I 3% 3% 3%
Mutu II 4% 8% 6%
Sumber: Departemen Perindustrian (2009)
Tabel 8 Standar mutu nasional Malaysia Standar mutu Jumlah biji/100 gram MS 230 : 2007 - ICS: Cocoa beans - sampling method for grading 67.140.30 MS 293 : 2005 - ICS: Cocoa beans - spesification for grading 67.140.30 MS 467 : 1993 - ICS: Specification for cocoa seed for planting 67.140.30 MS 871 : 2001 - ICS: Specification for Malaysian cocoa powder 67.140.30 MS 1118 : 2008 - ICS: Specification for Malaysian cocoa butter 67.140.30 MS 1119 : 1988 - ICS: Method of analysis of Malaysian cocoa powder and 67.140.30 butter MS 1263 : 1992 - ICS: Method of sampling of Malaysian cocoa powder and 67.140.30 butter MS 1376 : 2008 - ICS: Malaysian cocoa mass - specification 67.140.30 MS 1383 : 1995 - ICS: Specification for cocoa clonal material for planting 67.140.20 MS 1715 : 2010 - ICS 67.190 Chocolate and chocolate products - specification MS 1819 : 2005 Chocolate flavoured confections - specificaton Sumber: Lembaga Koko Malaysia (2014)
Persyaratan standar mutu untuk biji kakao Malaysia diimplementasikan di seluruh wilayah Malaysia apabila biji kakao yang dihasilkan akan diekspor ke negara lain. Terdapat dua persyaratan standar mutu yang dijadikan panduan dan
42
referensi untuk industri kakao Malaysia. Persyaratan umum standar mutu biji kakao Malaysia tersebut tercantum dalam Tabel 9 dan persyaratan khusus standar biji kakao Malaysia tercantum pada Tabel 10. Tabel 9 Persyaratan umum standar mutu biji kakao Malaysia No Parameter Standar 1 Fermentasi Difermentasi secukupnya 2 Serangga hidup Tidak ada 3 Kandungan sampah < 2,0% 4 Benda asing Tidak ada 5 Kandungan kelembapan < 7,5% 6 Bau asap atau bau-bau lain Tidak ada 7 Berat 62,5 kg bersih setiap pembungkus 8 Keseragaman biji Seragam 9 Pembungkusan Baru dan bersih 10 Tanda pada pembungkus Jelas dan terang Sumber: Lembaga Koko Malaysia (2014)
Penggolongan berdasarkan mutu biji kakao Malaysia dikelompokkan menjadi empat golongan. Setiap golongan memiliki spesifikasi yang berbeda-beda tergantung ukuran dan kualitas biji kakao. Penggolongan tersebut terdiri atas SMC 1 sebagai biji kakao terbaik, SMC 2, SMC 3, dan Sub-standar seperti yang dicantumkan dalam Tabel 12.
No 1 2 3 4
Golongan SMC 1 SMC 2 SMC 3 Sub-standar
Tabel 10 Persyaratan khusus biji kakao Malaysia Jumlah biji Kadar biji Tidak Serangga (per 100g) berkapang (%) terfermentasi (%) (%) ≤ 100 ≤ 3,0 ≤ 3,0 ≤ 2,5 >100 ≤ 110 ≤ 3,0 ≤ 3,0 ≤ 2,5 >110 ≤ 120 ≤ 3,0 ≤ 3,0 ≤ 2,5 >120 > 3,0 > 3,0 >2,5
Sumber: Lembaga Koko Malaysia (2014)
4. Kebijakan pemantapan infrastruktur Kebijakan pemantapan infrastruktur diimplementasikan melalui serangkaian upaya antara lain peningkatan infrastruktur jalan dan jembatan khususnya untuk menjangkau sentra-sentra produksi kakao, peningkatan sarana gudang dan pelabuhan yang menjangkau sentra produksi kakao, peningkatan sarana listrik dan komunikasi yang dapat diakses oleh petani, dan pengembangan sentra-sentra pemasaran kakao di wilayah pengembangan kakao. 5. Kebijakan Perdagangan Kebijakan perdagangan diimplementasikan dengan pengenaan pajak dan tarif yang dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan tersebut sangat berpengaruh terhadap terjadinya perdagangan internasional kakao Indonesia. Serangkaian kebijakan tersebut antara lain diberlakukannya Undang-Undang No. 18 Tahun
43
2000 tentang PPN atas komoditas primer dan kebijakan bea keluar biji kakao pada tahun 2010.
Peran Kesempatan Potensi besar yang dimiliki Indonesia
Persaingan, Struktur dan Strategi 1. Persaingan antar perusahaan 2.Struktur pasar ekspor maupun domestik 3. Strategi
Kondisi Permintaan 1. Komposisi permintaan kakao domestik dan internasional 2. Jumlah permintaan dan tingkat konsumsi
Kondisi Faktor Sumberdaya 1. Sumberdaya Alam 2. SDM 3. IPTEK 4. MODAL 5. Infrastruktur
Industri Terkait dan Pendukung 1. Industri terkait : industri benih, pupuk, olahan,dll 2. Industri Pendukung
Peran Pemerintah 1. Bea Keluar 2. Penghapusan PPN 3. Gernas Kaka 3. Kebijakan pemerintah
Keterangan : 1. Garis Menunjukkan keterkaitan antar komponen yang tidak saling mendukung 2. Garis Menunjukkan keterkaitan antar komponen yang saling mendukung Gambar 6 Keterkaitan Antar Komponen Porter's Diamond System
Dampak Kebijakan Bea Keluar Biji Kakao Terhadap Pertumbuhan Ekspor Kakao dan Industri Pengolahan Kakao Indonesia Selama tahun 2003-2013 terdapat berbagai kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia terkait dengan komoditas kakao yang kurang mendukung upaya pengembangan industri hilir kakao dalam negeri sehingga industri hilir kakao nasional kurang berkembang. Kebijakan tersebut diantaranya adalah kebijakan pengenaan pajak produk primer dengan diberlakukannya UndangUndang No. 18 Tahun 2000 tentang PPN atas komoditas primer yang
44
mengakibatkan beralihnya biji kakao yang tadinya diolah di dalam negeri menjadi diekspor dalam bentuk biji, sehingga industri pengolahan kakao tidak memperoleh bahan baku yang cukup. Hal ini dapat dilihat dari dominasi jumlah ekspor biji kakao (HS-1801) lebih besar dibandingkan produk olahan kakao (HS-1802, HS1803, HS-1804, HS1805, dan HS-1806) dengan seluruh komoditas kakao secara umum (HS-18) pada Gambar 7. Kakao (HS-18)
Biji Kakao (HS-1801) 1644 1413 1269
1345 1191
1087 855 624
549
410
2003
668648
619
924
1053
855
623
614 385
370
2004
2005
2006
2007
1151
2008
2009
2010
2011
2012
446
2013
Gambar 7 Perbandingan nilai ekspor kakao umum (HS-18) dengan biji kakao (HS-1801) Indonesia (Juta US$) Sumber: Comtrade (diolah)
Implikasi dari kebijakan pengenaan pajak produk primer dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang PPN atas komoditas primer dimulai dari tahun 2003 hingga 2010 terjadi peningkatan jumlah ekspor kakao yang lebih didominasi ekspor kakao dalam bentuk biji (HS-1801). Kebijakan selanjutnya adalah pada 2007 pemerintah mencabut kebijakan pengenaan PPN melalui PP No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertmbahn Nilai. Namun kebijakan ini belum serta merta menghidupkan industri yang sudah terlanjur tidak beroperasi. Pemerintah melakukan upaya peningkatan produksi biji kakao melalui Program Gerakan Nasional pada tahun 2009 dan masih berlanjut sampai sekarang. Dampak Penerapan Bea Keluar Terhadap Ekspor Kakao Indonesia Indonesia tercatat sebagai negara produsen biji kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Berdasarkan data Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics (ICCO 2013) volume ekspor biji kakao Indonesia memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat. Pada tahun 2008 volume ekspor biji kakao mencapai 515 ton, naik dibandingkan volume ekspor tahun 2007 yang mencapai 503 ton. Pada tahun 2009 volume ekspor biji kakao kembali meningkat menjadi
45
535 ton dari total produksi biji kakao nasional pada tahun 2009 sebesar 577 ton. Dengan demikian, pada tahun 2009 hampir 93% biji kakao Indonesia diekspor ke mancanegara. Meskipun ekspor biji kakao terus meningkat, ekspor tersebut sebagian besar masih dalam bentuk mentah. Kurang lebih 75% dari total ekspor biji kakao Indonesia masih dalam bentuk biji kakao yang belum difermentasi. Akibatnya harga ekspor biji kakao Indonesia selalu tidak optimal karena kurangnya nilai tambah dari komoditas kakao, sementara volume ekspor produk kakao olahan masih relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan volume ekspor biji kakao. Indonesia selama ini hanya berperan sebagai penyedia bahan baku bagi industri hilir kakao di luar negeri. Industri hilir coklat justru berkembang di negara-negara yang relatif tidak memiliki sumber bahan baku biji kakao seperti Singapura. Perkembangan ekspor kakao Indonesia dalam periode 2003-2010 secara umum cenderung meningkat. Dengan diberlakukannya Bea Keluar (BK) pada 2010 ekspor kakao mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat dari grafik perbandingan ekspor kakao umum dengan biji kakao pada tahun 2010-2011. Ekspor kakao pada periode tersebut untuk tahun 2010 mencapai US$ 1 190 739 688 dan untuk tahun 2011 turun menjadi US$ 614.496.350. Berdasarkan hasil perhitungan RCA dan CMSA Indonesia tidak memiliki daya saing khususnya dalam biji kakao. Penurunan ekspor kakao Indonesia pasca diberlakukannya bea keluar tidaklah disebabkan oleh menurunnya permintaan di pasar singapura kecuali pada tahun 2008-2009. Pada tahun 2010 sejak kebijakan bea keluar diberlakukan, minat investor asing terhadap komoditas kakao meningkat dan beralih dari biji kakao menjadi produk olahan kakao. Peralihan komoditas kakao tersebut menguntungkan investor dan industri pengolahan dalam negeri karena kakao yang telah diolah akan memiliki nilai ekspor yang lebih tinggi. Hal ini menjadi strategi yang baik dalam meningkatkan daya saing kakao Indonesia. Dampak Penerapan Bea Keluar Terhadap Produk Olahan Kakao Indonesia Berdasarkan tingkat produksi kakao, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan industri hilir pengolahan kakao. Pemerintah Indonesia mulai mengembangkan industri hilir kakao yang diharapkan melalui pengembangan ini Indonesia mampu meningkatkan perolehan nilai tambah di dalam negeri yang pada gilirannya akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan devisa dari kegiatan ekspor produk olahan biji kakao, terlebih lagi pada tahun 2015 akan dimulainya era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang menuntut Indonesia harus lebih memiliki daya saing agar dapat memanfaatkan MEA secara optimal. Dalam rangka mengembangkan industri pengolahan kakao, upaya yang dilakukan pemerintah adalah melakukan kebijakan pengenaan Bea Keluar Biji Kakao pada April 2010 melalui PMK No. 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Bea Keluar Kakao. Rangkaian kebijakan tersebut diambil pemerintah dalam rangka menghidupkan kembali industri pengolahan kakao dalam negeri dan meningkatkan daya saing kakao Indonesia tidak hanya pada biji kakao namun juga produk olahan kakao. Indonesia sebagai negara penghasil biji kakao terbesar ketiga dunia, dalam industri kakao olahannya Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negaranegara di kawasan ASEAN seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Padahal
46
negara-negara ini selama ini dikenal sebagai penghasil produk akhir coklat terbesar di dunia khususnya di ASEAN. Diantara negara-negara tersebut hanya Malaysia yang masih memiliki pasokan bahan baku biji kakao dari dalam negeri walaupun volume produksinya relatif kecil dibandingkan Indonesia. Penurunan ekspor kakao Indonesia pasca diberlakukannya BK tidak disebabkan oleh menurunnya permintaan dunia, karena ekspor negara-negara utama penghasil kakao dunia seperti Pantai Gading dan Ghana masih mengalami peningkatan. Kemungkinan turunnya ekspor kakao Indonesia pasca BK akibat dari turunnya permintaan dunia sangat kecil karena pada saat yang sama ekspor kakao dunia justru mengalami kenaikan. Dengan demikian, sebagaimana telah disebutkan diatas, dari gambaran ekspor kakao Indonesia dapat disimpulkan bahwa BK cukup efektif menghambat ekspor kakao Indonesia. Sejak diberlakukannya BK untuk ekspor biji kakao pada April 2010 industri pengolahan kakao di Indonesia menunjukkan pertumbuhan. Terjadi perubahan struktur dalam produksi kakao Indonesia dimana peranan produksi kakao olahan di Indonesia naik 41% dari produksi biji secara keseluruhan. Angka ini meningkat dibandingkan sebelum tahun 2010 ketika produksi kakao Indonesia hanya mencangkup 25-26% dari total produksi biji kakao, sementara sekitar 75% biji kakao diekspor. Jumlah perusahaan industri kakao olahan Indonesia setelah BK diterapkan mengalami peningkatan. Jumlah perusahaan yang beroperasi telah bertambah 8 perusahaan. Kedelapan perusahaan industri kakao adalah PT Davormas Abadi, PT Bumi Tanggerang Mesindotama, PT Kakao Mas Gemilang, PT Mas Ganda, PT General Food Industry, PT Teja Sekawan Kakao Industries, PT Inti Kakao Utama dan PT Effem Indonesia. Dengan demikian, dengan berkembangnya kembali perusahaan pengolahan kakao di dalam negeri menunjukkan bahwa penerapan kebijakan BK biji kakao berdampak positif terhadap upaya pengembangan industri hilir pengolahan kakao dalam negeri. Disisi lain, penerapan BK biji kakao juga telah mendorong sejumlah investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Kakao merupakan salah satu komoditas strategis dan berperan penting bagi perkembangan perekonomian di Indonesia. Studi ini menganalisis daya saing menggunakan indikator keunggulan komparatif (RCA), indikator pangsa pasar (CMSA), dan indikator keunggulan kompetitif (Porter's Diamond Analysis) dengan membandingkan kondisi Indonesia periode tahun 2003-2010 dengan 20102013, yaitu setelah kebijakan Bea Keluar biji kakao dilaksanakan dan juga membandingkannya dengan perkembangan kakao di Malaysia sebagai negara pesaing Indonesia di Singapura. Sesuai tujuan penelitian, dapat disimpulkan halhal sebagai berikut: 1. Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dalam bentuk biji kakao dan tidak memiliki keunggulan komparatif dalam produk olahan kakao dibandingkan Malaysia di pasar Singapura (RCA).
47
2. Ekspor kakao Indonesia tidak memiliki daya saing di pasar Singapura di Banding Malaysia (CMSA). 3. Porter's Diamond Theory menunjukkan keterkaitan antar komponen yang saling mendukung yaitu industri terkait dan industri pendukung dengan kondisi permintaan, peran kesempatan dengan semua komponen utama, serta peran pemerintah dengan semua komponen utama. 4. Dampak kebijakan yang memberikan hasil positif terhadap daya saing kakao Indonesia adalah pencabutan PPN atas komoditas primer pada 2007, gernas kakao (peremajaan, rehabilitasi, dan intensifikasi) dan kebijakan bea keluar biji kakao. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang diajukan adalah sebagai berikut. 1. Indonesia dalam jangka panjang harus mampu meningkatkan daya saing produk olahan kakao dan mengurangi ekspor biji kakao. 2. Meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif dengan peningkatan kualitas kakao melalui penggunaan bibit unggul, peningkatan sarana produksi dan infrastruktur yang baik serta mengembangkan industri pengolahan kakao. 3. Mempertahankan kebijakan-kebijakan yang mendukung pengembangan agribisnis kakao Indonesia mulai dari produktivitas, kualitas mutu dan industri pengolahan kakao.
DAFTAR PUSTAKA Abdoellah S. 2006. Revitalisasi Perkopian Nasional Melaui Meningkatan Produktivitas dan Mutu, Diversifikasi, Serta Perluasan Pasar. Makalah Simposium Kopi 2006 Surabaya, 2-3 Agustus 2006. Arsyad M, Yusuf. 2007. The Impact of Fertilizer Subsidy and Export Tas Policies on Indonesia Cocoa Export and Production. Ryokoku Journal Of Economic Studies, Vol 47(3): 1- 27. Athanasoglou, Backinezos C, Georgiou E. 2010. Export Performance, Competitiveness and Commodity Composition [Internet]. [Diakses tanggal 2014 Agustus 8]. MPRA Paper No. 31997. Tersedia pada: http://mpra.ub.uni-muenchen.de/31997. Apriyantono A. 2008. Indonesia Negara Pertama Terapkan Teknik Somatic Embyrogenesis Kakao [Internet]. [Diakses tanggal 2014 Oktober 1]. Tersedia pada: http://apriyantono.com. Asosiasi Kakao Indonesia. 2005. Prospek Agroindustri Kakao Indonesia di Pasaran Dunia Sampai Dengan 2010. Jember (ID): Asosiasi Kakao Indonesia. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Ekspor Komoditas Kakao 20032013. Jakarta: BPS Pusat. Basri F, Munandar H. 2010. Dasar-dasar Ekonomi Internasional: Pengenalan dan Aplikasi Metode Kuantitatif. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Group.
48
Briggs, Fungesmith S, Subasinghe R, Phillips M. 2005. Introduction And Movement Of Two Penaeid Shrimp Species In Asia And Pacific. Food And Agricultural Organization (FAO), Fischeries Technical Paper No.476. Rome, FAO.78p. Departemen Perindustrian. 2009. Roadmap Pengembangan Industri Kakao. Jakarta(ID): Direktorat Jendral Industri Agro dan Kimia. Djalil S. 2008. Revitalisasi Kakao Menghadapi Persaingan Global. Jakarta (ID): Askindo. Direktorat Jendral Perkebunan. 2013. Statistik Perkebunan Indonesia 2003-2013 Kakao Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Perkebunan. Dradjat B, Wahyudi T. 2013. Perdagangan Dalam Kakao : Manajemen Agribisnis Dari Hulu Hingga Hilir. T wahyudi, Panggabean TR, Pujiyanto, editor. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Gonarsyah, I. 2007. Tentang Pendefinisian Daya Saing Komoditas Berbasis Sumberdaya Alam - Bahan Ajar Perdagangan Internasional Lanjutan Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Goldin, I. 1990. Comparative advantage: Theory and application to developing country agriculture. Working paper No. 16, OECD Development Centre. Hadi PU, Mardianto S. 2004. Analisis Komparasi Daya Saing Produk Ekspor Pertanian Antar Negara ASEAN Dalam Era Perdagangan AFTA. Jurnal Agro Ekonomi. 22(1):46-73. Hasibuan AM, Nurmalina R, Wahyudi A. 2012. Analisis Kinerja dan Daya Saing Perdagangan Biji Kakao dan Produk Kakao Olahan Indonesia di Pasar Internasional. Bulletin RISTRI. 3(1):57-70. Helble M, Okubo T. 2006. Heterogeneous Quality Firm and Trade Cost. International Food and Agribusiness Management Review. 1(2):108-116. [ICCO] International Cocoa Organization. 2011. ICCO Annual Report 2010/2011. United Kingdom [UK]: International Cocoa Organization Commonweatlh House. [ICCO] International Cocoa Organization. 2013. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistic No. 3 - Vol XXXVIII. United Kingdom [UK]: International Cocoa Organization Commonweatlh House. Ichikawa, H. 1997. Contstant Market Share Analysis and Open Regionalism. APEC Study Center: Institute of Developing Economics. Irnawaty. 2008. Daya Saing Kakao Indonesia di Pasar Internasional [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Irwanto EP. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Komoditas Kakao Indonesia ke Kawasan Uni Eropa [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kalaba Y. 2012. Analisis Daya Saing Kakao Indonesia [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kementrian Perindustrian. 2014. Industri Kakao Mampu Meningkatkan Devisa Negara [Internet]. [Diakses tanggal 2014 September 28]. Tersedia pada:http://www.kemenperin.go.id/artikel/7454/Industri-Kakao-MampuMeningkatkan-Devisa-Negara. Kustiari, R. 2007. Analisis Ekonomi Tentang Posisi dan Prospek Kopi Indonesia di Pasar Internasional [desertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
49
Labys, WC. 1973. Dynamic Commodity Models: Specification, Estimation, and Simulation. Lexington. United States (US): D.C Health and Company. Lembaga Koko Malaysia. 2014. Malaysian Cocoa Board [Internet]. [Diakses tanggal 2014 Oktober 3]. Tersedia pada: http://www.koko.gov.my/lkm/loader.cfm?page=industri/ quality.cfm. Lubis AD, Nuryanti S. 2011. Analisis Dampak ACFTA dan Kebijakan Perdagangan Kakao di Pasar Domestik dan China. Analisis Kebijakan Pertanian. 9(2):143-156. Lutfi M. 2014. Indonesia Akan Jadi Poros Industri Kakao Asia Tenggara [Internet]. [Diakses tanggal 2014 April 6]. Tersedia pada: http://www.jurnas.com/news/134941/Indonesia-akan-jadi-poros-industrikakao-asia-tenggara-2014/1/Ekonomi/Ekonomi. Panggabean TR, Satyoso HU. 2013. Perdagangan Dalam Kakao : Manajemen Agribisnis Dari Hulu Hingga Hilir. T wahyudi, Panggabean TR, Pujiyanto, editor. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Porter M. 1985. Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. New York (US): The Free Press. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. Ragimun. 2012. Analisis Daya Saing Komoditas Kakao Indonesia. Kemenkeu [Internet]. [diunduh 2014 Feb 9]. Tersedia pada: http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/ANALISIS%20DAYA%20S AING%20KAKAO%20INDONESIA.pdf Rahmanu R. 2009. Analisis Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Renjana R. 2010. Analisis Daya Saing Ekspor Tekstile Dan Produk Tekstil Indonesia Dibandingkan dengan China di Pasar Amerika Serikat Tahun 2001-2008 [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. Rifin A, Nauly D. 2013. The Effect of Export Tax on Indonesia's Cocoa Export Competitiveness. Australian Agricultural and Resource Economics Society. 57th AARES Annual Conference, Sydney, New South Wales, 5th-8th February,2013:2-9. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional Edisi 5 Jilid 1. Munandar H, penerjemah; Sumiharti Y, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Sikumbang Z, 2014 Januari 14. Konsumsi Coklat, Indonesia Kalah Dari Malaysia [Internet]. Tempo. [Diakses tanggal 2014 Oktober 1]. Tersedia pada:http://m.tempo.co/read/news/2014/01/14/092544600/KonsumsiCoklat-Indonesia-Kalah-Dari-Malaysia. Sucipto. 2010. Kebijakan dan Daya Saing Kakao [Internet]. [Diakses tanggal 2014 Agustus 8]. Tersedia pada: http://halalsehat.com/2010/06/kebijakan-dandaya-saing-kakao/. Sudaryanto T. 2005 Desember 13. Pengembangan Pertanian Industrial Dengan Pendekatan Agribisnis: Konsep dan Implementasinya. Makalah Seminar "Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan". Tambunan, TH. 2001. Industrialisasi Di Negara Sedang Berkembang : Kasus Indonesia. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia.
50
Thamrin E. 2007 April 1. Petani kakao dapat bantuan pinjaman modal [Internet]. Tempo. [Diakses tanggal 2014 Oktober 1]. Tersedia pada: http://m.tempo.co/read/news/2007/04/01/05896830/Petani-Kakao-DapatBantuan-Pinjaman-Modal. Tupamahu YM, Ivakdalam LM. 2012. Dampak Faktor Eksternal Terhadap Kinerja Ekspor Kakao Indonesia. Jurnal Agribisnis Kepulauan. 1(1): 61-74. UNComtrade. 2014. UN Comtrade Database. United Nations Statistics DivisionCommodity Trade Statistics [Internet]. [Diakses tanggal 2014 Juli 16]. Tersedia pada: http://comtrade.un.org/db/dqBasicQueryResults.aspx. Wahyudi T, Rahardjo P. Panduan Lengkap Kakao : Manajemen Agribisnis Dari Hulu Hingga Hilir (Sejarah dan Prospek). T wahyudi, Panggabean TR, Pujiyanto, editor. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
51
LAMPIRAN
Lampiran 1 Nilai RCA dan Indeks RCA biji kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013 Indonesia Malaysia Periode RCA Indeks RCA RCA Indeks RCA 2003 5.82 0.44 2004 6.14 1.05 0.32 0.74 2005 5.11 0.83 0.42 1.29 2006 6.23 1.21 0.33 0.78 2007 5.56 0.89 0.25 0.75 2008 5.94 1.06 0.00 0.01 2009 8.06 1.35 0.05 24.1 Rata-rata 6.122 1.065 0.258 4.611 2010 6.23 0.77 0.06 1.08 2011 3.32 0.53 0.25 4.01 2012 3.77 1.13 1.69 6.57 2013 3.19 0.84 2.13 1.25 Rata-rata 4.127 0.817 1.032 3.227
Lampiran 2 Nilai RCA dan Indeks RCA produk olahan kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013 Indonesia Malaysia Periode RCA Indeks RCA RCA Indeks RCA 2003 1.19 0.47 2004 0.71 0.59 0.84 1.78 2005 0.36 0.51 1.02 1.20 2006 0.26 0.73 0.96 0.94 2007 0.22 0.84 1.05 1.08 2008 0.13 0.58 1.18 1.12 2009 0.17 1.31 1.39 1.18 Rata-rata 0.434 0.76 1.000 1.216 2010 0.30 1.78 1.51 1.08 2011 0.34 1.11 1.91 1.26 2012 0.43 1.26 1.71 0.89 2013 0.41 0.94 1.61 0.94 Rata-rata 0.37 1.272 1.685 1.042
52
Lampiran 3 Hasil perhitungan CMS Indonesia Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Efek Komposisi Komoditas
Efek Distribusi Pasar
Efek Daya Saing
N/A -25.146.397 -8.022.295 1.643.939 14.661.987 5.459.633 20.288.912 9.511.081
N/A 17.719.366 7.356.193 8.242.219 6.326.904 16.552.078 -24.737.136 37.465.304
N/A -8.485.993 -4.455.662 7.162.567 -4.188.413 5.673.042 41.875.251 -30.212.707
-17.434.760 -11.984.033 -5.190.764
29.444.962 4.043.525 -1.191.026
-62.342.396 2.821.176 -15.100.295
Perhitungan CMS N/A -15.913.023 -5.121.764 17.048.726 16.800.478 27.684.753 37.427.027 16.763.678 -50.332.194 -5.119.331 -21.482.086
Sumber: The International Cocoa Organization, 2014 (www.icco.org)
Lampiran 4 Hasil perhitungan CMS Malaysia Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Efek Komposisi Komoditas
Efek Distribusi Pasar
Efek Daya Saing
N/A -10.029.979 -4.343.347 1.224.725 8.142.829 2.999.889 8.940.889 3.586.683
N/A 7.067.608 3.982.713 6.140.406 3.513.773 9.094.823 -10.900.859 14.128.380
N/A 3.513.671 6.397.294 -6.102.305 -2.781.365 -8.285.734 9.412.416 2.827.348
-8134.115 -11.085.398 -7.598.058
13.737.425 3.740.318 -1.743.382
20.733.871 58.394.955 20.738.244
Sumber: The International Cocoa Organization, 2014 (www.icco.org)
Pergitungan CMS N/A 551.300 6.036.660 1.262.827 8.875.237 3.808.978 7.452.227 20.542.411 26.337.181 51.049.875 11.396.804
53
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 31 Oktober 1992. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Ujang Jarnuji dan Siti Arisyah. Penulis memulai pendidikannya pada tahun 1996 di TK Aisiyah, kemudian melanjutkan pendidikannya pada tahun 1998 di SDN Kebon Bawang 03 Pagi. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pada jenjang pendidikan menengah pertama yaitu SMP AlAzhar Kelapa Gading. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas yaitu SMA Al-Azhar Kelapa Gading. Selama penulis duduk di bangku sekolah menengah pertama dan menengah atas, penulis aktif mengikuti perlombaan Olimpiade Sains, mulai dari tingkat kotamadya hingga tingkat provinsi. Tahun 2010 penulis lulus dari sekolah menengah atas dengan predikat lulusan terbaik angkatan 12 dan diterima di program studi Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti beberapa kepanitiaan dan kegiatan sosial kampus seperti Sahabat Cilik Agribisnis, Masa Perkenalan Departemen Agribisnis (MPD) dan Agribusiness on Vacation. Penulis juga aktif di berbagai kegiatan pecinta alam Lawalata pada tahun 2010-2011 dalam Masa Pendidikan Calon Anggota Lawalata (MPCA-Lawalata). Penulis juga aktif dalam kegiatan fotografi dan menjadi anggota komunitas Shutter IPB sebagai Kadiv Eksternal. Penulis juga mendalami bidang cinematografi dan menjadi tim dalam pembuatan film dokumenter "Cisadaneku Sayang, Cisadaneku Malang" sebagai Director of Photography, penyunting gambar, serta editor film.