ANALISIS DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR TELEVISI INDONESIA KE MALAYSIA, SINGAPURA DAN THAILAND
Oleh : ISTIANA MUSTIKA H14051463
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
ISTIANA MUSTIKA. Analisis Daya Saing dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand (dibimbing oleh RINA OKTAVIANI)
Indonesia adalah negara berkembang yang menganut sistem perekonomian terbuka kecil dimana di dalamnya terdapat kegiatan perdagangan internasional seperti kegiatan ekspor tetapi , Indonesia bukan sebagai pembuat harga (price maker) sehingga tidak terlepas dari interaksi internasional seperti perdagangan luar negeri. Salah satu industri manufaktur yang mempunyai peranan cukup besar terhadap ekspor non-migas adalah industri elektronika.. Televisi sudah menjadi kebutuhan melekat pada masyarakat Indonesia. Pada saat ini Indonesia masih menjadi eksportir televisi terbesar untuk wilayah ASEAN. Produksi domestik televisi di Indonesia pada periode 12 tahun (1996–2007) terakhir menunjukkan adanya peningkatan tiap tahunnya,. Akan tetapi peningkatan produksi domestik ini tidak diikuti oleh peningkatan yang tinggi dari nilai dan volume ekspornya. Beberapa variabel yang diduga mempengaruhi volume penawaran ekspor televisi ke Malaysia, Singapura, dan Thailand antara lain harga ekspor, harga domestik, produksi domestik, konsumsi domestik, nilai tukar, lag ekspor, dan dummy krisis ekonomi. Oleh sebab itu, yang akan menjadi masalah pada penelitian ini adalah bagaimana perkembangan ekspor televisi dan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi penawaran ekspor televisi Indonesia di pasar internasional serta bagaimana kondisi daya saingnya secara umum. Penelitian ini dilakukan dengan teknik estimasi menggunakan data panel (pooled data) yang merupakan kombinasi antara data time-series dab cross section. Dalam penelitian ini digunakan data time series selama periode waktu tahun 1996-2007, sedangkan komponen cross section yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga negara yang merupakan negara importir televisi terbesar dari Indonesia di kawasan ASEAN. Negara-negara tersebut yaitu Malaysia, Singapura, dan Thailand. Analisis daya saing dilakukan dengan perhitungan indeks RCA untuk melihat keunggulan komparatifnya dan model teori berlian Porter untuk melihat keunggulan komparatifnya. Data yang terkumpul kemudian diolah menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan E-views 5.1. Pengolahan data dilakukan dengan tiga metode yaitu metode pooled ols, metode fixed effect, dan metode random effect. Selanjutnya dilakukan uji kesesuaian model dan kriteria statistik untuk mengetahui metode mana yang terbaik dalam mengestimasi model. Dari hasil pengolahan data, uji kesesuain model dan kriteria statistik diketahui bahwa metode yang terbaik dalam estimasi model adalah metode fixed effect. Hasil analisis regresi data panel menunjukkan bahwa variabel harga ekspor berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap volume penawaran ekspor televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan elastisitas sebesar
0,80 persen, artinya jika terjadi kenaikan harga ekspor sebesar satu persen, maka akan meningkatkan volume ekspor sebesar 0,80 persen (cateris paribus). Variabel produksi domestik berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap volume penawaran ekspor televisi Indonesia dengan elastisitas sebesar 0,55 persen, artinya jika terjadi kenaikan kenaikan produksi domestik sebesar satu persen, maka akan meningkatkan volume ekspor sebesar 0,55 persen (cateris paribus). Variabel lag ekspor berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap volume penawaran ekspor televisi Indonesia dengan elastisitas sebesar 0,22 persen artinya jika terjadi kenaikan lag ekspor sebesar satu persen, maka akan meningkatkan volume ekspor sebesar 0,22 persen (cateris paribus). Berdasarkan hasil regresi pada panel data, diperoleh hasil koefisien variabel dummy krisis ekonomi adalah sebesar 1,31. Hasil pengujian terhadap koefisien dummy krisis ekonomi ini menunjukkan bahwa volume penawaran ekspor televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand sebelum dan sesudah terjadinya krisis ekonomi adalah berbeda secara signifikan. Variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap volume penawaran ekspor televisi Indonesia ke Malaysia, Thailand dan Singapura adalah harga domestik, konsumsi domestik, dan nilai tukar. Hasil analisis daya saing menunjukkan untu analisis keunggulan komparatif dengan nilai perhitungan indeks RCA menunjukkan bahwa komoditi televisi Indonesia cukup berdaya saing.. Namun Indonesia masih dihadapkan dengan pesaing –pesaing berat lainnya seperti China, Mexico, dan Polandia. Analisis kompetitif dengan teori Berlian Poter menunjukkan bahwa komoditi televisi Indonesia berdaya saing lemah karena terdapat berbagai kendala yaitu, kualitas sumber daya manusia yang masih lemah, kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung industri televisi di Indonesia, ketergantungan bahan baku yang sebagian besar masih diimpor serta kebijakan pemerintah yang masih belum kondusif. Pemerintah diharapkan dapat mengurangi intervensinya terhadap mekanisme perdagangan produk televisi. Salah satunya dengan mengkaji ulang mengenai PMK Nomor 620/PMK/.03/2004 tentang pemberlakuan pajak penjualan barang mewah dimana penetapan pajak penjualan untuk televisi masih sangat tinggi dan berbeda-beda untuk setiap jenis dan ukuran. Selain itu pemerintah diharapkan dapat merangsang pertumbuhan industri pendukung, melakukan kebijakan kuota impor untuk produk televisi dari China, menarik para investor untuk menanamkan modal mereka dalam industri televisi, serta meningkatkan distribusi pasar dengan memilih negara-negara tujuan ekspor televisi yang memiliki pertumbuhan impor televisi yang cukup tinggi.
ANALISIS DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR TELEVISI INDONESIA KE MALAYSIA, SINGAPURA, DAN THAILAND
Oleh : ISTIANA MUSTIKA H14051463
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi : Analisis Daya Saing dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran
Ekspor
Televisi
Indonesia
Singapura dan Thailand Nama
: Istiana Mustika
NIM
: H14051463
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Kelulusan:
ke
Malaysia,
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH LAINNYA PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Istiana Mustika H14051463
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 25 Mei 1987 di Bandung (Jawa Barat). Penulis anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Maman Permana, S.Sos dan Eulis Supatmah, S.Pd. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri Polisi V Bogor tahun 1999, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di SMU Negeri 1 Bogor. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan program belajarnya ke jenjang yang lebih tinggi. Tempat yang menjadi pilihan penulis adalah Institut Pertanian Bogor (IPB). IPB menjadi tempat bagi penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan pengembangan pola pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi yang berada di Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi seperti Forum Silaturahmi Ilmu Ekonomi (FORSIE) dan Syariah Economics Student Club (SES-C).
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ―Analisis Daya Saing dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand‖. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapakan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian, dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada : 1. Rina Oktaviani, Ph.D
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
saran, pengarahan dan bimbingan selama penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Bambang Juanda selaku dosen penguji utama atas semua saran dan kritik yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. 3. Tanti Novianti, M.Si selaku dosen penguji komisi pendidikan untuk saran dan kritik dalam teknik penulisan skripsi sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. 4. Ayahanda Maman Permana, S.Sos, dan Ibunda Eulis Supatmah, S.Pd serta kepada adik-adik penulis Fira dan Ola atas atas doa, semangat, dan kasih sayangnya yang diberikan kepada penulis. Kesabaran dan dorongan mereka sangat besar artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini. 5. Bapak
Pandi
(Badan
Pusat
Statistik),
Pak
Poerwoto
(Departemen
Perindustrian) dan Mbak Tari (Departemen Perdagangan) atas bantuan dan informasi yang diberikan. 6. Teman satu bimbingan skripsi : Dian, Vero, dan Lesty atas kerja sama, motivasi dan kebersamaanya.
7. Teman-teman IE 42 : Rina, Yuli, Max, Tanjung, Dinta, Rajiv, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan
satu persatu atas bantuan, semangat, doa, dan
kebersamaan selama ini. 8.
Aiph, Tidar, Niko, Rifky, Ayu, Devi, Tety, Dhila, Yusda, dll. Atas dukungan, bantuan, doa dan semangatnya.
9.
Mbak Rina (Statistic Centre) atas bantuan, semangat dan doa yang diberikan.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis menghaturkan maaf
yang sebesar-
besarnya apabila terdapat hal-hal yang kurang berkenan selama penulisan skripsi ini. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak yang membutuhkan
Bogor, Agustus 2009
Istiana Mustika H14051463
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI .......................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ...............................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
vi
I. PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .....................................................................................
7
1.3. Tujuan Penelitian .........................................................................................
10
1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................................
11
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................
12
2.1. Tinjauan Teori ..............................................................................................
12
2.1.1. Pengertian Industri ............................................................................
12
2.1.2. Pengertian Elektronika ......................................................................
12
2.1.2. Pengertian Televisi ............................................................................
13
2.2. Kerangka Pemikiran Teoritis .......................................................................
13
2.2.1 Teori Perdagangan Internasional........................................................
13
2.2.2 Teori Penawaran Ekspor ....................................................................
16
2.2.3 Konsep Daya Saing ............................................................................
20
2.2.4 Data Panel ..........................................................................................
24
2.3. Penelitian Terdahulu ....................................................................................
25
2.4.1 Penelitian tentang Penawaran Ekspor Komoditi Indonesia ................
26
2.4.2 Penelitian tentang Industri Elektronika ..............................................
26
2.4.3 Penelitian tentang Data Panel .............................................................
27
2.4.4 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu.............................................
28
2.4.5 Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................
29
III. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................
30
3.1. Jenis dan Sumber Data ...........................................................................
31
3.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data......... .........................................
31
3.3. Model Data Panel ...................................................................................
32
3.4. Model Penelitian......... ..........................................................................
38
3.4.1 Perumusan Model .........................................................................
39
3.4.2 Model Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ..............................
39
3.4.3 Penjelasan Penggunaan Variabel dalam Model............................
40
3.5. Uji Kesesuaian Model ............................................................................
44
3.6. Analisis Keunggulan Komparatif......... ..................................................
50
3.7. Analisis Keunggulan Kompetitif............................................................
50
IV. GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN KOMODITI TELEVISI INDONESIA .............................................................................
52
4.1. Perkembangan Industri Televisi .............................................................
50
4.2. Kinerja Supply – Demand Industri Televisi......... ..................................
58
4.2.1 Perkembangan Produksi ...............................................................
58
4.2.2 Tingkat Permintaan Domestik ......................................................
59
4.3. Kinerja Ekspor – Impor Industri Televisi Indonesia ..............................
61
4.3.1 Perkembangan Ekspor Televisi ....................................................
61
4.3.2 Perkembangan Impor Televisi .....................................................
62
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
64
5.1. Hasil Analisis Data Panel ........................................................................
64
5.2. Pengujian Asumsi Model......... ...............................................................
66
5.3. Pengujian Kritria Statistik......... ..............................................................
68
5.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand ..................................
70
5.5. Analisis Keunggulan Komparatif Komoditi Televisi Indonesia......... ....
77
5.6. Analisis Keunggulan Kompetitf Komoditi Televisi Indonesia......... ......
79
VI. PENUTUP ...................................................................................................
80
6.1. Kesimpulan ............................................................................................
87
6.2. Implikasi Kebijakan......... ......................................................................
88
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
91
LAMPIRAN ........................................................................................................
93
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Persentase Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut Lapangan Usaha, Atas Dasar Harga Berlaku Periode 1968-2005 (dalam Persen). ................
2
1.2. Peran Ekspor Elektronika Terhadap Sektor Industri di Indonesia Perumusan Masalah ...................................................................................
5
1.3. Nilai Ekspor Hasil Industri Elektronika Indonesia periode 1997-2007 (Juta US $) ...............................................................................
5
1.4. Nilai Produksi dan Ekspor Total Televisi Indonesia Periode 1996 -2007 .
8
3.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ..............................................................
30
3.2. Kerangka Identifikasi Autokorelasi ...........................................................
45
4.1. Daftar Perusahaan Produsen Televisi di Indonesia dan Jumlah Rata-rata Produksi Tiap Tahun ..................................................................
54
4.2. Perkembangan Produksi Televisi Indonesia Periode Tahun 1996-2007....
59
4.3. Tabel Perkembangan Permintaan Domestik (Konsumsi) Televisi Indonesia Periode 1996-2007 .....................................................................
60
4.4. Perkembangan Ekspor Televisi Indonesia Periode 1996-2008 ..................
62
4.5. Perkembangan Impor Televisi Indonesia Periode 1996-2008 ...................
62
5.1. Hasil estimasi Fungsi Penawaran Ekspor Menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) .........................
65
5.2. Harga Ekspor dan Harga Domestik Televisi Indonesia periode 1996-2007 .....................................................................................
73
5.3. Nilai RCA Komoditi Televisi Indonesia di Pasar Internasional ............... Tahun 2002- 2005 ......................................................................................
78
5.4. Perkembangan Konsumsi Televisi Indonesia Periode 1996-2008 .............
82
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1. Perkembangan Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia,Singapura, dan Thailand ...............................................................................................
9
2.1. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional ............................................
16
2.2. Hubungan Antara Harga dengan jumlah Penawaran Ekspor .....................
17
2.3. Sistem Teori Berlian Porter ........................................................................
24
3.1. Skema Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel .........
37
3.2. Kerangka Identifikasi Autokorelasi ...........................................................
45
4.1. Grafik Perkembangan Produksi dan Konsumsi Televisi Indonesia Periode 1996-2007 .....................................................................................
61
4.2. Grafik Perkembangan Ekspor dan Impor Televisi Indonesia Periode 1996-2007 .....................................................................................
63
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data untuk Diolah .........................................................................................
94
2. Hasil Estimasi Fungsi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan menggunakan Model Pooled Least Square ....................................................................................
95
3. Hasil Estimasi Fungsi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan menggunakan Model Pooled Least Square dengan pembobotan (Cross Section Weight) .............
96
4. Hasil Estimasi Fungsi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan menggunakan Model Pooled Least Square dengan pembobotan (Cross Section Weight) dan White Heteroskedastisitas ......................................................................
97
5. Hasil Estimasi Fungsi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan menggunakan Model Fixed Effect ...................................................................................................
98
6. Hasil Estimasi Fungsi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan menggunakan Model Fixed Effect dengan pembobotan (Cross Section Weight) ............................
99
7. Hasil Estimasi Fungsi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan menggunakan Model Fixed Effect dengan pembobotan (Cross Section Weight) dan White Heteroskedastisitas ......................................................................
100
8. Hasil Uji Chow ..............................................................................................
101
9
102
Hasil Uji Normalitas .....................................................................................
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dalam era liberalisasi perdagangan dan keterbukaan, negara-negara maju berlomba untuk memenangkan kompetisi pasar dunia, sedangkan negara-negara berkembang masih banyak menghadapi permasalahan dan cenderung mengalami penyusutan kesempatan bermain bila tidak segera melakukan langkah-langkah terobosan. Bagi negara maju dengan tingkat kemampuan spesialisasi yang mereka miliki akan mendatangkan manfaat besar dalam kemajuan industri baik dari segi teknologi maupun segi finansial, karena batasan-batasan yang ada selama ini sebagai perlindungan perdagangan antar bangsa semakin menipis, di mana pertukaran barang atau transaksi barang, jasa dan sumber daya manusia dilakukan secara jauh lebih mudah. Sistem kuota mulai tidak relevan lagi, tarif bea masuk semakin menghilang dan monopoli mulai harus ditinggalkan. Keadaan semacam ini membuat persaingan antar negara akan berkembang semakin keras. Siapa yang mampu memasok produk secara lebih luas akan semakin unggul dalam persaingan tersebut. Indonesia
sebagai
negara
berkembang
yang
menganut
sistem
perekonomian terbuka kecil yang di dalamnya terdapat kegiatan perdagangan internasional seperti kegiatan ekspor tetapi Indonesia bukan sebagai pembuat harga (price maker) sehingga tidak terlepas dari interaksi internasional seperti perdagangan luar negeri. Hal ini dapat dilihat dengan adanya barang ataupun jasa yang diekspor ataupun impor oleh Indonesia. Dengan adanya perdagangan luar
negeri, suatu negara mampu meningkatkan pendapatannya dengan adanya ekspor bahan baku mentah, barang setengah jadi maupun barang jadi. Salah satunya adalah melalui kerjasama Asean Free Trade Area (AFTA), dimana Indonesia melakukan kerjasama perdagangan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Perdagangan luar negeri yang dilakukan oleh Indonesia dapat dilihat dari ekspor yang didominasi oleh sektor non migas. Ekspor non migas Indonesia berasal dari sektor pertanian, sektor industri dan sektor pertambangan. Salah satu sektor yang penting terhadap pendapatan nasional adalah sektor industri manufaktur (pengolahan) yang sangat berperan penting, Walaupun pada awalnya sektor industri manufaktur tidak memberikan kontribusi terbesar namun dalam perkembangannya sektor ini dapat memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia. Tabel 1.1. Persentase Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut Lapangan Usaha, Atas Dasar Harga Berlaku Periode 1968-2008 (dalam %) Lapangan Usaha
Tahun
1968 1978 1988 1993 1998 2000 Pertanian 51 30,5 24,1 17,9 17,4 15,6 Pertambangan 4,2 17,6 12,1 9,6 8,3 12,1 dan penggalian Industri 8,5 10 18,5 22,3 23,9 27,8 Manufaktur Lainnya 1) 36,3 41,9 45,2 50,3 50,3 44,6 PDB 100 100 100 100 100 100
2005 13,4 10,4
2006 2007 2008 13,1 13,7 14,3 10,7 11,2 10,9
28,1
28,3
27,1
27,8
48,1 100
47,9 100
48,1 100
47,0 100
Catatan: 1) Lainnya terdiri atas sektor listrik, gas dan air minum, konstruksi, perdagangan, pengangkutan dan komunikasi, bank dan lembaga keuangan, sewa rumah, pemerintah, dan jasa-jasa
Sumber: BPS, 2009
Data dalam Tabel 1.1 menunjukkan bahwa di tahun
1968
sektor
pertanian memberi sumbangan sebesar 51 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), artinya sektor pertanian memberikan sumbangan tertinggi
dibandingkan sumbangan yang diberikan oleh sektor lain, misalnya industri manufaktur hanya menyumbang sebesar 8,5 persen
sektor
Beberapa tahun
berikutnya, fenomena yang terjadi ialah sumbangan sektor pertanian berangsurangsur mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Selama periode 1988-1993, struktur perekonomian Indonesia mengalami perubahan yang cukup drastis, di mana sumbangan sektor pertanian terhadap PDB berangsur-angsur digeser oleh sumbangan sektor industri manufaktur. Sejak tahun 1993 sumbangan sektor pertanian tidak pernah melebihi sektor industri manufaktur. Pada saat krisis ekonomi tahun 1998, sektor pertanian hanya berperan sebesar 17,4 persen terhadap PDB, sementara ekspansi pada hampir semua komoditi industri menyebabkan industri manufaktur persen terhadap PDB. Singkatnya, sektor industri
menyumbang sebesar 23,9 manufaktur muncul menjadi
penyumbang nilai tambah yang dominan dan telah tumbuh pesat melampaui laju pertumbuhan sektor pertanian. Pada tahun 2005, sektor pertanian hanya menyumbang sebesar 13,4 persen terhadap PDB, sementara sektor industri pengolahan menyumbang lebih besar yaitu sebesar 28,1 persen terhadap PDB. Sampai dengan tahun 2008 sektor industri pengolahan tetap memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan sektor lain yaitu sebesar 27,8 persen.
Hingga saat ini kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB
hampir 25 persen dari pendapatan nasional. Besarnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap pembentukan PDB memberikan arti bahwa perekonomian nasional hingga beberapa tahun terakhir didominasi oleh sektor industri manufaktur.
Salah satu industri manufaktur yang mempunyai peranan yang cukup besar dalam kontribusi terhadap ekspor non-migas adalah industri elektronika. Industri elektronika Indonesia merupakan industri yang strategis untuk dikembangkan karena memiliki potensi untuk berkembang di masa yang akan datang. Menurut Thoha (1996), ada tiga alasan yang mendasari potensi tersebut, yaitu : Pertama, merupakan sarana bagi terlaksananya pengembangan telekomunikasi dan digital. Kedua, teknologi elektronika sangat vital dan strategis bagi kelangsungan hidup bangsa di masa depan. Ketiga, menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Beberapa negara di Asia telah memfokuskan pengembangan industri elektronika yang pertumbuhannya tinggi sejak tahun 1996 termasuk Indonesia. Sebagai
salah
satu
negara
anggota
ASEAN
Indonesia
dapat
memanfaatkan pasar di kawasan ini. ASEAN yang merupakan satu kesatuan pasar, dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi yang tertinggi di dunia dan penduduk sekitar 500 juta orang diperkirakan sangat ekonomis untuk mengembangkan jenis industri dengan teknologi canggih tertentu. Jenis industri yang didorong perkembangannya, antara lain industri telekomunikasi, industri elektronika yang menunjang informasi dan elektronika, konsumen professional, termasuk semi konduktor. Industri elektronika Indonesia sebenarnya merupakan salah satu industri yang strategis untuk dikembangkan. Ini terlihat dari pertumbuhan ekspor rata-rata industri elektronika, meskipun industri elektronika bukan sebagai industri penyumbang utama dari nilai ekspor non migas., tetapi pertumbuhannya jauh melampaui semua sektor lainnya.
Tabel 1.2. Peran Ekspor Elektronika Terhadap Sektor Industri di Indonesia Uraian
2002
Ekspor Non Migas (US$ juta) Ekspor Industri (US$ juta) Ekspor Elektronika (US$ juta)
2003
2004
2005
2006
2007
47.908 50.609 56.921 68.377 79.870 90.325 47.908 40.829 48.677 55.593 65.023 76.460 5.749 6.794 7.969 8.889 7.987 6.226
Share (peranan) ekspor elektronika terhadap Ekspor non migas (%)
0,12
0,13
0,14
0,13
0,10
0,07
Share (peranan) ekspor elektronika terhadap Ekspor industri (%)
0,12
0,17
0,16
0,16
0,12
0,08
Sumber : BPS, 2009 (diolah oleh Departeman Perdagangan)
Pada Tabel 1.2 menunjukan peranan ekspor elektronika terhadap sektor non migas mempunyai bagian yang cukup besar dengan kecenderungan untuk meningkat. Selain itu peranan ekspor elektronika terhadap ekspor sektor industri juga memiliki peranan yang cukup penting, dengan kecenderungan meningkat walaupun berfluktuatif. Tabel 1.3. Nilai Ekspor Hasil Industri Elektronika Indonesia periode 1996-2007 (Juta US$) Tahun
Nilai Ekspor
Tahun
Nilai Ekspor
1996 1997 1998 1999 2000 2001
1.560,10 1.370 60 1.490,80 1.692,00 3.162,00 2.605,00
2002 2003 2004 2005 2006 2007
2.700,10 3.120,50 3.486,10 4.364,10 4.448,70 4.835,90
Sumber : BPS, 2008 (diolah oleh Departemen Perindustrian)
Pada Tabel 1.3 memperlihatkan nilai ekspor industri elektronika yang semakin meningkat, bahkan setelah periode krisis sekalipun. Pada awal terjadinya krisis nilai ekspor industri elektronika adalah sebesar US$ 1.560,6 juta. Kondisi
ini terus meningkat setiap tahunnya bahkan nilai ekspor industri elektronika pada tahun 2007 telah mencapai US$ 4.835,9 juta. Pangsa pasar terbesar dari ekspor elektronika Indonesia adalah produk elektronika rumah tangga seperti produk sound system, televisi, recorder, kipas angin, setrika, pompa air, serta radio yang pada umumnya dikonsumsi oleh sebanyak 33 juta keluarga dari masyarakat Indonesia yang berpenghasilan rendah dan sebanyak 23 juta keluarga dari masyarakat Indonesia yang berpenghasilan menengah ke atas mengkonsumsi lemari es, mesin cuci, AC, kamera digital dan komputer. Namun dari semua produk elektronika rumah tangga, yang menjadi konsumsi terbesar oleh masyarakat Indonesia adalah televisi. Karena saat ini televisi bukan lagi barang mewah. Televisi sudah menjadi kebutuhan melekat pada masyarakat Indonesia. Pasar televisi begitu menggiurkan dan industri pun membukukan keuntungan yang cukup besar. Adanya penyelenggaraan Asian Games pada tahun 1962 di Jakarta menjadi awal mula berkembangnya industri televisi di Indonesia, karena pada saat itu terjadi peningkatan permintaan terhadap televisi. Pada saat itu pemerintah menginginkan masyarakat Indonesia menyaksikan pesta olah raga kebanggaan masyarakat Asia tersebut. Kebutuhan akan televisi yang dapat menyiarkan kegiatan tersebut pada akhirnya mendorong keberadaan industri televisi di Indonesia, sedangkan produksi televisi pada saat itu hanya sebatas untuk memenuhi
kebutuhan
pelaksanaan
Asian
Games.
Namun
awal
mula
perkembangan yang maju bagi industri televisi sendiri baru dimulai pada awal tahun 1990. Para produsen televisi mulai meningkatkan produksi dan memasarkan
pesawat televisi ke pasar luar negeri. Menyusul pesatnya perkembangan teknologi pada industri televisi, mendorong pertumbuhan kapasitas produksi yang cukup tinggi. Para produsen berlomba meningkatkan kapasitasnya guna memenuhi permintaan pasar yang semakin tinggi seiring dengan kemajuan teknologi. Sebagian besar produsen ini tidak hanya memenuhi pangsa pasar dalam negeri, namun untuk memenuhi pasar internasional melalui kegiatan ekspor. Televisi merupakan salah satu komoditi industri elektronika di Indonesia yang menjadi komoditi unggulan. Indonesia sangat berperan penting bagi perkembangan industri televisi karena memiliki potensi pasar yang sangat besar, dengan 200 juta lebih penduduk. Oleh karena itu, meskipun pendapatan per kapita penduduk Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, tetapi Indonesia masih merupakan fokus nomor satu sebagai eksportir televisi di ASEAN.1
1.2. Perumusan Masalah Produksi domestik televisi di Indonesia pada periode 13 tahun terakhir ini menunjukkan adanya peningkatan tiap tahunnya, walaupun di masa krisis sempat mengalami penurunan namun setelah krisis produksi domestik televisi mulai meningkat kembali. Peningkatan produksi domestik ini tidak diikuti oleh peningkatan nilai dan volume ekspornya yang tinggi (Tabel 1.4). Akan tetapi kondisi yang terjadi adalah terjadinya fluktuasi nilai dan volume ekspor televisi dalam periode waktu yang sama. Sebagai salah satu negara pengekspor televisi
1
www.depperin.go.id, Laporan Kegiatan: Database Industri Elektronika [04 Juli 2009]
Indonesia mengalami kesulitan karena adanya negara pesaing seperti Mexico dan China yang memberikan pasokan ekspor televisi yang jauh lebih besar di pasar internasional. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan harga, sehingga diperkirakan akan menjadi penyebab terjadinya fluktuasi nilai dan volume ekspor televisi. Tabel 1.4. Nilai Produksi dan Ekspor Total Televisi Indonesia Periode 1996 2007 (ribu kg)
1996
Volume Produksi 36.635
Volume Ekspor 2.554
2002
Volume Produksi 53.040
Volume Ekspor 43.415
1997
44.093
4.425
2003
75.530
47.546
1998
37.631
4.616
2004
90.148
60.116
1999
36.902
4.544
2005
90.059
48.324
2000
57.081
39.115
2006
86.191
38.151
2001
53.057
44.715
2007
74.647
10.661
Tahun
Tahun
Sumber : BPS, 2009 (diolah)
Saat ini Indonesia adalah eksportir utama televisi untuk pasar ASEAN. Negara tujuan utama ekspor televisi Indonesia di ASEAN antara lain Malaysia, Singapura, dan Thailand. Pada Gambar 1.1 menunjukkan tujuan ekspor televisi Indonesia terbesar adalah Singapura. Volume ekspor televisi ke tiga negara tersebut mengalami fluktuasi yang cenderung menurun. Volume ekspor televisi ke negara Singapura adalah paling besar jika dibandingkan Malaysia dan Thailand. Walaupun produksi domestik televisi telah cukup memberikan kontribusinya terhadap perkembangan ekspor televisi namun belum cukup untuk mengatasi volume ekspor yang cenderung menurun tersebut. Tentunya kondisi tersebut sangat ironis seharusnya dengan jumlah produksi domestik yang besar harus bisa mendorong volume ekspor dalam jumlah yang besar pula, terutama ekspor ke
wilayah ASEAN khususnya ke Malaysia, Singapura, dan Thailand sebagai negara importir utama untuk produk televisi Indonesia. 7000
Volume Ekspor (ribu kg)
6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun
Malaysia
Singapura
Thailand
Sumber : BPS, 2008 (diolah)
Gambar 1.1. Perkembangan Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand Peningkatan dalam volume ekspor televisi Indonesia belum mampu untuk memberikan peningkatan yang besar terhadap pendapatan nasional, sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan ekspor televisi Indonesia karena melihat pentingnya manfaat yang dapat diberikan oleh produk televisi sebagai salah satu komoditi unggulan industri elektronika dalam sektor non migas, dimana peningkatan ekspornya dapat menggerakkan perekonomian Indonesia ke arah pertumbuhan yang lebih tinggi dan mendorong industrialisasi. Oleh karena itu, para eksportir perlu mengambil langkah antisipasi dengan melakukan perubahan terhadap kebijakan ekspor televisi agar volume ekspor televisi yang cenderung
menuru, terutama ekspor ke Malaysia, Singapura, dan Thailand karena Indonesia menjadi fokus nomor satu negara pengekspor televisi terbesar di wilayah ASEAN. Bedasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang dapat dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana perkembangan industri televisi Indonesia? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penawaran ekspor televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand? 3. Bagaimana kondisi daya saing ekspor televisi Indonesia secara umum?
1.3. Tujuan Penelitian Bedasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Menganalisis perkembangan industri televisi Indonesia. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand. 3. Menganalisis kondisi daya saing ekspor televisi Indonesia secara umum.
1.4. Manfaat Penelitian Penulis berharap adanya kontribusi positif dari penelitian ini dan diharapkan dapat bermanfaat yaitu : 1.
Bagi pemerintah, adanya penelitian ini dijadikan sebagai masukan sehingga diharapkan pemerintah sebagai regulator dapat menetapkan strategi kebijakan yang tepat untuk dapat meningkatkan daya saing produk televisi Indonesia di pasar internasional dan mendorong perkembangan
ekspor televisi Indonesia, khususnya ekspor ke negara Malaysia, Singapura, dan Thailand. 2.
Bagi penulis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses belajar yang memberikan
tambahan
ilmu
pengetahuan
dalam
meningkatkan
kemampuan maupun analisis penulis sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi maupun pihak lain. 3.
Bagi pihak-pihak yang berkepentingan, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi tambahan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dalam penelitian ini adalah mengenai komoditi televisi dengan Harmonized Commodity Description and Coding atau yang lebih dikenal dengan Harmonized System (HS). HS yang digunakan adalah HS sampai level 6 digit yaitu HS 852812. Perumusan model
ini dilakukan dengan
memfokuskan pada negara importir utama produk televisi Indonesia di wilayah ASEAN yaitu Malaysia, Singapura, dan Thailand. Sebagai pembanding dalam melihat keunggulan komparatif, pada penelitian ini menggunakan pembanding negara Mexico, China, Polandia, Jepang, dan Amerika Serikat. Pemilihan negara-negara tersebut karena merupakan pelaku pasar utama di dunia. Batasan periode analisis penelitian dari tahun 1996 sampai tahun 2007 karena penggunaan HS 1996 yang baru diberlakukan pada tahun 1996 dan juga karena adanya keterbatasan ketersediaan data yang ada.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Pengertian Industri Industri adalah sekumpulan perusahaan yang serupa atau sekelompok dengan produk yang berkaitan erat (Lipsey, 1995). Sedangkan menurut Dumairy (1996), industri mempunyai dua pengertian. Pertama, industri merupakan himpunan dari beberapa perusahaan sejenis. Kedua, industri dapat diartikan sebagai sebuah sektor ekonomi kegiatan produktif yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau bahan satengah jadi dengan pengolahan yang bersifat elektrikal atau bahkan manual. 2.1.2. Pengertian Elektronika Elektronika adalah ilmu yang mempelajari alat listrik arus lemah yang dioperasikan dengan cara mengontrol aliran elektron atau partikel bermuatan listrik dalam suatu alat seperti komputer, peralatan elektronik, termokopel, semikonduktor, dan lain sebagainya. Ilmu yang mempelajari alat-alat seperti ini merupakan cabang dari ilmu fisika, sementara bentuk desain dan pembuatan sirkuit elektroniknya adalah bagian dari teknik elektro, teknik komputer, dan ilmu/ teknik elektronika dan instrumentasi. Alat-alat yang menggunakan dasar kerja elektronika ini biasanya disebut sebagai peralatan elektronik (electronic devices). Contoh peralatan elektronik ini : tabung sinar katoda (cathode ray tube),televisi, perekam DVD, kamera video, kamera digital, komputer pribadi desktop, komputer, laptop, PDA (komputer saku), robot, smart card, dan lain-lain.
2.1.3. Pengertian Televisi Televisi adalah sebuah alat penangkap siaran bergambar. Kata televisi berasal dari kata tele dan vision : yang mempunyai arti masing-masing jauh (tele) dan tampak (vision). Jadi televisi berarti tampak atau dapat melihat dari jauh. Penemuan televisi disejajarkan dengan penemuan roda karena mampu mengubah peradaban dunia. Fungsi televisi adalah memberi informasi yang mendidik, menghibur, dan membujuk. Karakteristik televisi yang utama adalah audio visual yaitu dapat dilihat dan sekaligus dapat didengar. Jadi dari segi pengaruh atau efek kepada masyarakat jelas sedikit lebih kuat dibandingkan efek yang ditimbulkan oleh media massa cetak. Jadi, televisi adalah sistem komunikasi penyiaran dan penerima gambar hidup dan suara dari jauh. Istilah tersebut sudah menyangkut semua aspek program acara televisi dan pemancarannya.
2.2
Kerangka Pemikiran Teoritis
2.2.2. Teori Perdagangan Internasional Menurut Lindert dan Kindleberger (1995) perdagangan internasional dianggap sebagai suatu akibat dari adanya interaksi antara permintaan dan penawaran yang tanpak dalam bentuknya yang sudah dikenal serta merupakan suatu interaksi dari kemungkinan produksi dan preferensi konsumen. Terdapat dua hal penting untuk terjadinya perdagangan internasional yaitu spesialisasi produksi dan informasi akan kebutuhan barang yang diperdagangkan. Hal pertama adalah spesialisasi terjadi karena keadaan yang alamiah yakni tumbuhnya atau tersedianya bahan alamiah yang ketersediannya berbeda-beda di berbagai negara. Hal kedua adalah ketersedian informasi yang berkaitan erat dengan tingkat
kemajuan daya pikir manusia. Informasi diperlukan untuk mengetahui apa yang diperlukan orang lain. Terdapat dua teori perdagangan yang dikemukakan oleh dua tokoh ekonomi, yakni keunggulan absolut dan dari Adam Smith dan perdagangan bedasarkan keunggulan komparatif David Ricardo. Menurut Adam Smith perdagangan antara dua negara didasarkan pada keunggulan absolut. Jika sebuah negara lebih efisien (memiliki keunggulan absolut) terhadap negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi namun kurang efisien dibandingkan (memiliki kerugian absolut) terhadap negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masingmasing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkannya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut. Dalam kegiatan ekspor suatu komoditi, Salvatore (1997) menyatakan bahwa secara teoritis volume ekspor suatu komoditi tertentu dari suatu komoditi tertentu dari suatu negara ke negara lain merupakan selisih antara penawarn domestik dan permintaan domestik yang disebut sebagai kelebihan penawaran (excess supply). Kelebihan penawaran dari negara tersebut di lain pihak merupakan kelebihan permintaan (excess demand). Selain dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran domestik, ekspor juga dipengaruhi oleh faktor-faktor pasar dunia seperti harga komoditas itu sendiri dan komoditas subtitusinya di pasar internasional serta hal-hal yang dapat mempengaruhi harga baik langsung maupun tidak langsung.
Secara teoritis dampak-dampak yang ditimbulkan dengan adanya pemberlakuan kebijakan perdagangan dapat dilihat pada Gambar 2.1. Pada gambar tersebut misal negara 1 akan mengekspor suatu komoditi ke negara lain yaitu negara 2, apabila harga domestik di negara 1 sebelum terjadinya perdagangan lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik di negara 2 struktur harga relatif lebih rendah di negara 1 tersebut disebabkan oleh kelebihan penawaran (excess supply) yaitu produksi domestik melebihi konsumsi domestik sebesar segitiga ABE dan dalam hal ini faktor produksi di negara 1 relatif berlimpah. Dengan demikian negara 1 mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Di lain pihak, negara 2 mengalami kekurangan penawaran suatu komoditi karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik (excess demand), sebesar segitiga A’B’E’ sehingga harga menjadi lebih tinggi. Dalam kesempatan ini negara 2 berkeinginan untuk membeli komoditi negara lain yang harganya relatif lebih murah. Apabila kemudian terjadi komunikasi antara negara 1 dan 2 maka akan terjadi perdagangan antara kedua negara tersebut. Dalam hal ini negara 1 akan mengekspor komoditi X ke negara 2 dan penawaran di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih besar dari P1, sedangkan permintaan di pasar internasional sama dengan P2 maka di negara 2 terjadi kelebihan permintaan sebesar A’B’E’, sedangkan jika harga internasional sebesar P2 maka di negara 1 akan terjadi kelebihan suplai sebesar ABE.
Perpaduan antara kelebihan penawaran di negara 1 dan kelebihan permintaan di negara 2 akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional, yaitu sebesar P2 atau dengan kata lain, P2 merupakan harga relatif ekuilibrium setelah berlangsungnya kebijakan perdagangan di kedua negara dan merupakan harga yang berlaku di kedua negara (Salvatore, 1997). Sx Px
Px
Px Sx
Sx
Sx Ekspor B
P2 P1
P3 w
A
E‖
B’
P1
A’
E
A X12
Impor
Dx
Dx
O
A‖
B‖
E’
A O
Negara I
Xint Perdagangan Internasional
Dx
A O
X21 Negara II
Sumber : Salvatore, 1997
Gambar 2.1. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional 2.2.2. Teori Penawaran Ekspor Ekspor adalah berbagai barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri dan dijual ke luar negeri. Menurut Salvatore (1997), menyatakan bahwa volume ekspor suatu negara ditentukan oleh harga komoditi tersebut di pasar domestik, harga internasional dan secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar (exchange rate), mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain.
Lebih lanjut dikatakan bahwa antara harga dan jumlah komoditi yang
ditawarkan memiliki hubungan yang positif, yaitu jika harga naik maka jumlah yang akan ditawarkan meningkat pula, begitupun sebaliknya. Lebih jelasnya
hubungan antara harga dengan jumlah yang ditawarkan dapat dilihat pada gambar 2.2.
S
P
Q/t Sumber : Lipsey, 1995
Gambar 2.2. Hubungan Antara Harga dengan jumlah Penawaran Ekspor Penawaran suatu komoditas baik berupa barang maupun jasa adalah jumlah yang ditawarkan oleh produsen pada konsumen dalam suatu pasar dalam tingkat harga dan waktu tertentu. Penawaran mempengaruhi harga secara negatif jika penawaran meningkat maka harga akan cenderung turun karena jumlah komoditis yang ada lebih besar dari yang diinginkan oleh konsumen (Nicholson, 1999). Penawaran ekspor merupakan selisih antara produksi domestik dikurangi dengan konsumsi atau permintaan domestik negara yang bersangkutan ditambah dengan persedian atau stok tahun sebelumnya. Secara matematis sederhana dapat dituliskan sebagai berikut : Xt = Qt – Ct + St-1 dimana :
Xt
= Jumlah ekspor komoditi pada tahun t
Qt
= Jumlah produksi domestik pada tahun t
Ct
= Jumlah konsumsi domestik pada tahun t
St-1
= Stok tahun sebelumnya Jika jumlah persediaan tahun sebelumnya diasumsikan nol (0), karena
produksi pada tiap tahun semuanya diekspor, dan mengingat permintaan ekspor yang tinggi maka dengan demikian fungsi ekspor dapat dituliskan sebagai berikut: Xt = Qt – Ct Faktor- faktor yang memepengaruhi penawaran komoditas adalah harga komoditas tersebut, harga komoditas substitusi, harga faktor produksi, tingkat teknologi, pajak, subsidi, dan nilai tukar (Lipsey, 1995). 1. Harga Komoditas yang Bersangkutan Suatu teori dasar ekonomi menyatakan bahwa harga sejumlah komoditas mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah yang ditawarkan yaitu semakin tinggi harganya semakin besar jumlah yang ditawarkan, cateris paribus. Hal ini karena peningkatan harga komoditas menyebabkan peningkatan keuntungan yang akan memacu peningkatan produksi maupun penjualan hasil produksinya. Dengan demikian perubahan harga suatu komoditas akan menyebabkan pergerakan sepanjang kurva penawaran. 2. Harga Komoditas Substitusi Perubahan harga komoditas substitusi akan mempengaruhi jumlah penawaran pada komoditas yang bersangkutan. Peningkatan harga komoditas substitusi
akan menyebabkan berkurangnya jumlah penawaran komoditas yang bersangkutan. 3. Harga Faktor Produksi Harga suatu faktor produksi merupakan harga yang harus dikeluarka perusahaan. Dengan meningkatnya harga faktor produksi maka keuntungan yang diterima perusahaan akan berkurang. Hal ini akan berakibat perusahaan produksinya. 4. Tingkat Teknologi Teknologi berkorelasi positif dengan jumlah yang ditawarkan. Jika perusahaan menggunakan teknologi baru, fungsi produksi akan bergeser ke bawah yang berarti biaya produksi berkurang. Keuntungan yang akan diperoleh menjadi lebih besar. 5. Pajak dan Subsidi Pajak mempengaruhi penawaran secara negatif, jika pajak meningkat maka akan diikuti oleh penawaran pajak. Pajak biasanya dikeluarkan dari kebijakan ekonomi pemerintah dalam suatu negara. Subsidi berupa insentif dan bantuan pemerintah yang dikeluarkan untuk melindungi produsen atau konsumen. Kebijakan subsidi dapat mempengaruhi penawaran suatu komoditas. 6. Nilai Tukar Nilai tukar berkorelasi positif terhadap penawaran ekspor suatu komoditi. Hal ini terjadi karena pada saat nilai tukar mengalami depresiasi, secara teori harga produk dalam negeri relatif lebih murah dibandingkan dengan produk negara lain. Interpretasi lainnya adalah harga jual (ekspor) dari komoditi tersebut
akan jauh lebih mahal apabila dibandingkan dengan negara eksportir lainnya, sehingga negara-negara importir mau meningkatkan permintaanya. Semakin tinggi nilai tukar akan menyebabkan harga ekspor meningkat, karena ada dorongan dari rupiah tadi, sehingga mendorong peningkatan volume dari ekspor komoditi itu sendiri. 2.2.3 Konsep Daya Saing a. Konsep Keunggulan Komparatif Konsep keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantage) pertama kali dikemukan oleh David Ricardo pada awal abad ke 19. Konsep keunggulan komparatif Ricardo menyatakan bahwa suatu negara akan cenderung memproduksi dan mengekspor komoditi dengan biaya produksinya secara relatif lebih murah dibandingkan dengan biaya produksi negara lain dan didasarkan kepada satu produksi saja, yaitu tenaga kerja (Salvatore, 1997). Hukum keunggulan komparatif Ricardo mendasar pada sejumlah asumsi yang disederhanakan, yaitu (1) hanya terdapat dua negara dan dua komoditi (2) perdagangan bersifat bebas, (3) terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara, (4) biaya produksi konstan, (5) tidak terdapat biaya transportasi, (6) tidak ada perubahan teknologi, (7) menggunakan teori nilai tenaga kerja. Asumsi satu sampai enam dapat diterima namun asumsi ke tujuh tidak berlaku dan seharusnya tidaj digunakan untuk menjelaskan keunggulan komparatif. Pada tahun 1933 Hecksler dan Olin melakukan pengembangan terhadap Hukum Keunggulan Komparatif Ricardo. Hecksler dan Olin (H-O) menekankan perbedaan tarif faktor pemberian alam (endowment) dan harga faktor-faktor
produksi antar negara sebagai determinan perdagangan yang paling penting. Teori H-O beranggapan bahwa tiap negara akan mengekspor komoditi yang secara relatif mempunyai faktor produksi yang berlimpah dan murah, serta mengimpor komoditi yang faktor produksinya relatif langka dan mahal (Salvatore,1997). Menurut Tambunan (2001), keunggulan komparatif dapat diukur dengan menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA) dan dapat dihitung nilai dari RCA tersebut. Indonesia dan negara sedang berkembang lainnya memiliki keunggulan komparatif dalam produksi barang-barang yang faktor-faktor produksi utamanya berlimpah di dalam negeri, seperti tenaga kerja (berpendidikan rendah), tanah dan berbagai macam bahan baku. Namun, pesatnya kemajuan teknologi dan ditambah lagi dengan usaha-usaha yang dilakukan perusahaan-perusahaan selama ini untuk menghemat pemakaian tenaga kerja dan bahan baku dapat mengancam atau bahkan menghilangkan keunggulan komparatif yang dimiliki negara tersebut. Usaha-usaha penghematan tersebut dilakukan dengan cara mengubah proses produksinya, misalnya dengan menerapkan otomatisasi dan menerapkan metodemetode bioteknologi dan pemakaian material-material baru yang menghemat atau tidak sama sekali memerlukan sumber daya alam. Namun demikian, perlu diakui bahwa kemajuan teknologi tidak hanya perubahan negatif terhadap keunggulan komparatif negara berkembang. Proses teknologi juga dapat meningkatkan keunggulan komparatif dari negara berkembang yang berarti menciptakan kesempatan bagi negara-negara tersebut dengan meningkatkan ekspor mereka. Selain kemajuan teknologi dan usaha
penghematan tenaga kerja dan input alamiah lainnya, perubahan keunggulan komparatif juga bisa terjadi akibat peningkatan kualitas tenaga kerja. Peningkatan itu membuat tingkat produktivitas tenaga kerja dan efisiensi di dalam proses produksi meningkat serta kualitas produk bertambah baik. Salah satu indikator yang dapat menunjukkan perubahan keunggulan komparatif yang dimaksud di atas disebut Revealed Comparative Advantage. Indeks ini menunjukkan perbandingan antara pangsa ekspor suatu komoditas negara terhadap pangsa ekspor komoditas tersebut dari seluruh dunia. Dengan kata lain, indeks RCA menunjukkan keunggulan komparatif atau daya saing ekspor dari suatu negara dalam suatu komoditas terhadap dunia. Studi-studi empiris mengenai RCA Indonesia cukup banyak diantaranya dari Aswicahyono (1996), dimana dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Cina, Korea Selatan dan beberapa negara lainnya, indeks RCA Indonesia paling rendah. Nilai indeks RCA bervariasi antarproduk menurut intensitas faktor produksi yang digunakan. Misalnya, berdasarkan data dari UNIDO untuk periode 1965-1995 menunjukkan bahwa sejak tahun 1983 Indonesia telah memiliki keunggulan komparatif dalam ekspor produk-produk manufaktur padat sumber daya manusia. Hal itu menunjukkan bahwa daya saing produk-produk manufaktur padat tenaga kerja lebih tinggi dibanding daya saing barang-barang padat modal. Indeks RCA ekspor produk-produk tenaga kerja mencapai 1 sekitar tahun 1990, sedangkan indeks RCA barang-barang padat modal pada tahun yang sama jauh di bawah satu, demikian juga indeks RCA rata-rata untuk ekspor manufaktur.
b. Konsep Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif suatu negara tergantung pada tingkat sumberdaya relatif yang dimilikinya. Apabila pesaing bertempat di negara-negara lain maka posisi sumber daya yang satu terhadap yang lain beragam sesuai dengan kondisi pasokan sumber daya maing-masing lokasi.
Strategi Perusahaan, Struktur, dan Persaingan
Peluang
Kondisi Faktor Sumber Daya : Alam, Manusia,Teknologi , Modal, Infrastruktur
Kondisi Permintaan
Industri Terkait dan Pendukung
Pemerintah
Sumber : Porter, 1990
Gambar 2.3. Sistem Teori Berlian Porter Penelitian Porter (1990) tentang keunggulan bersaing negara-negara mencakup tersedianya peranan sumber daya dan melihat lebih jauh pada keadaan negara yang mempengaruhi daya saing perusahaan-perusahaan internasional pada industri yang berbeda. Sebagian besar sumber daya yang penting seperti keahlian tenaga kerja yang tinggi, teknologi dan sistem manajemen yang canggih melalui investasi oleh orang-orang dan perusahaan. Menurut Porter (1990) ada empat kategori yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional
yaitu faktor-faktor produksi, keadaan permintaan dan tuntutan mutu, industri terkait dan pendukung, faktor struktur, strategi serta persaingan perusahaan. Selain itu faktor eksternal yaitu sistem pemerintahan dan kesempatan kerja. Secara bersama-sama faktor-faktor ini membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan daya saing yang disebut model berlian daya saing internasional (Gambar 2.3). 2.2.4. Data Panel Data panel atau panel data adalah gabungan dari data time series (antar waktu) dan data cross section (antar individu). Untuk menggambarkan panel data secara singkat, misalkan pada data cross section, nilai dari satu variabel atau lebih dikumpulkan untuk beberapa unit sampel pada suatu waktu waktu. Dalam data panel, unit cross section yang sama di-survey dalam beberapa waktu Regresi dengan menggunakan data panel, memberikan beberapa keunggulan dibandingkan dengan pendekatan standar cross section dan time series (Syahrial, 2004). Hsiao dalam Syahrial (2004), mencatat bahwa penggunaan data panel dalam penelitian ekonomi memiliki beberapa keuntungan utama dibandingkan data jenis cross section maupun time series. Pertama, dapat memberikan peneliti jumlah pengamatan yang besar, meningkatkan degree of freedom (derajat kebebasan), data memiliki variabilitas yang besar dan mengurangi kolinieritas antara variabel penjelas, di mana dapat menghasilkan estimasi ekonometri yang efisien. Kedua, data panel dapat memberikan informasi lebih banyak yang tidak dapat diberikan hanya oleh data cross section atau time series saja. Ketiga, pdata panel dapat memberikan penyelesaian yang lebih baik dalam inferensi perubahan
dinamis dibandingkan data cross section. Di samping berbagai keunggulan dimiliki model panel data tersebut, ada beberapa permasalahan yang muncul dalam pemanfaatan data jenis panel, yaitu permasalahan autokorelasi dan heterokedastisitas. Sementara itu ada permasalahan baru yang muncul seperti korelasi silang (cross-correlation) antar unit individu pada periode yang sama. Estimasi model data panel tergantung kepada asumsi yang dibuat peneliti terhadap konstanta (intercept), koefisien kemiringan (slope coefficients) dan variabel error (error term). Model-model estimasi ini akan ditinjau pada kesempatan lain. Regresi dengan data panel adalah berbeda karena memiliki dua dimensi, yaitu dimensi time series dan dimensi cross-section. Dengan kata lain, regresi data panel merupakan regresi gabungan jangka pendek dan jangka panjang. Ada dua autokorelasi di dalam regresi data panel: autokorelasi residual time series, dan korelasi antar residual. Begitu juga dengan heteroskedastisitas: heteroskedastisitas residual cross-section, heteroskedastisitas antar residual. Analisis data panel merupakan pengembangan dari analisis regresi. Terdapat tiga metode regresi dasar yang ada, yaitu Common Pooled Least Square, Fixed Effect Regression, dan Random Effect.
2.3. Penelitian Terdahulu 2.3.1 Penelitian tentang Penawaran Ekspor Komoditi Indonesia Penelitian yang dilakukan Rosandi (2007) dalam penelitian yang berjudul ―Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Kopi di Indonesia‖
secara umum bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhi penawaran ekspor kopi di Indonesia. Penulis menggunakan tujuh
variabel independent, yaitu produksi kopi dalam negeri, konsumsi kopi domestik, harga kopi domestik, harga ekspor kopi, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, dummy krisis ekonomi dan
dummy kebijakan penghapusan kuota
ekspor. Variabel produksi kopi dalam negeri berpengaruh nyata dan positif terhadap penawaran ekspor kopi jangka panjang. Variabel konsumsi domestik dan harga kopi domestik dalam jangka panjang berpengaruh nyata dan negatif terhadap penawaran ekspor kopi Indonesia. Variabel yang pengaruhnya nyata terhadap penawaran ekspor kopi Indonesia dalam jangka panjang adalah harga ekspor kopi dan nilai tukar (exchange rate). Untuk periode jangka pendek, penawaran ekspor kopi Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh variabel produksi kopi dalam negeri dan harga kopi domestik dengan pengaruh yang bernilai positif. Variabel konsumsi kopi domestik, harga ekspor kopi dan dummy krisis ekonomi berpengaruh nyata dan positif
terhadap
penawaran
ekspor
kopi
Indonesia
sedangkan,
dummy
penghapusan kuota ekspor menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. 2.3.2. Penelitian tentang Industri Elektronika Penelitian Tobing (2008) dalam skripsinya yang berjudul ‖Analisis Daya Saing Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Elektronika di Indonesia‖. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa industri elektronika pra dan pasca modal asing cenderung memiliki struktur pasar yang bersifat oligopoli. Sedangkan bedasarkan penelitian tahun 1990-1999 mengenai analisis struktur, kinerja dan kluster induestri elektronika Indonesia mengasilkan kesimpulan yang sama.
2.3.3. Penelitian tentang Data Panel Penelitian Annisa (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ‖Analisis Daya Saing Teh Hitam Indonesia di Pasar Internasional (Pendekatan Analisis Data Panel)‖ menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan besarnya pangsa pasar teh hitam Indonesia di Pasar Internasional. Variabel yang digunakan antara lain produksi teh hitam dalam negeri, konsumsi teh hitam di dalam negeri, harga riil teh hitam Indonesia, dan nilai tukar riil. Metode analisis yang digunakan adalah teknik estimasi dengan menggunakan data panel dengan menngunakan data time series selama periode waktu tahun1993-2003 dengan komponen cross section yang digunakan adalah sembilan negara yang menjadi importir terbesar teh hitam dari Indonesia yaitu Inggris, Pakistan, Malaysia, Amerika Serikat, Jerman, Belanda, Kanada, Jepang dan Selandia Baru. Bedasarkan pemilihan hasil pengolahan data melalui estimasi model menggunakan data panel dengan metode fixed effect diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap pangsa pasar teh hitam Indonesia bedasarkan nilai probabilitas yang diperoleh adalah produksi teh hitam dan jumlah konsumsi teh hitam di dalam negeri. Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap pangsa pasar teh hitam Indonesia adalah harga riil teh hitam dan nilai tukar riil.
2.4. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Penelitian dengan judul ‖Analisis Daya Saing dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand‖ menggunakan data panel yaitu gabungan antara data cross section dan
time series dengan periode waktu dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2007. Variabel bebas yang digunakan antara lain harga ekspor, harga harga domestik, produksi domestik, konsumsi domestik, nilai tukar, lag ekspor dan dummy. Pada penelitian ini akan dibahas mengenai analisis daya saing komoditi televisi Indonesia secara agrerat, melalui analisis komparatif dan analisis kompetitif. Pada penelitian tentang penawaran ekspor sebelumnya oleh Rosandi (2007) tidak diungkapkan analisis daya saing dari komoditi tersebut dengan melihat bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitifnya dan tidak terfokus pada salah satu atau beberapa negara pengimpor dengan menggunakan dummy kebijakan kuota ekspor dan krisis ekonomi sedangkan dalam penelitian ini difokuskan pada tiga negara pengimpor terbesar dengan menggunakan dummy krisis ekonomi. Pada penelitian tentang elektronika oleh Tobing (2008) objek penelitian masih bersifat agrerat, yaitu semua komoditi dalam industri elektronika secara keseluruhan dan belum spesifikasi untuk produk tertentu, oleh karena itu pada penelitian ini akan difokuskan kepada salah satu komoditi unggulan industri elektronika yaitu televisi. Sedangkan pada penelitian mengenai regresi data panel oleh Anissa (2006) menggunakan data cross section yang jauh lebih banyak yaitu sembilan negara sedangkan pada penelitian ini menggunakan data cross section yang jauh lebih sedikit yaitu hanya tiga negara.
2.5. Kerangka Pemikiran Operasional
Ekonomi Terbuka
Perdagangan Internasional
Analisis Daya Saing
Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Negara ASEAN (AFTA)
Indonesia Berpotensi untuk Mengembangkan Ekspor Televisi
Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, Thailand
Perumusan Model dan Analisis Regresi Panel Data
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura dan Thailand
Saran dan Rekomendasi Kebijakan Keterangan : = Alur Penelitian = Ruang Lingkup Penelitian
Gambar 2.5. Alur Kerangka Pemikiran
Faktor-Faktor : Harga Domestik Harga Ekspor Konsumsi Produksi Nilai Tukar Lag Ekspor Dummy krisis ekonomi
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data deret waktu (time series) dan antar individu (cross section). Data deret waktu meliputi data tahunan selama 12 tahun yaitu dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2007. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Perindustrian (Depperin), Departemen Perdagangan (Depdag), dan Gabungan Pengusaha Elektronika (Gabel).
Selain itu pengumpulan data juga dilakukan dari studi
kepustakaan dan internet (Tabel 3.1) Tabel 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian No. 1.
Jenis Data
Sumber Data
Nilai (US$) dan volume (kg) ekspor televisi
BPS, Depperin, Depdag,
Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan
Comtrade, ITC Comtrade
Thailand 2.
Harga
ekspor
televisi
ke
Malaysia,
Depdag
Singapura, dan Malaysia (US$/kg) 3.
Harga domestik televisi (US$/kg)
Depdag
4.
Produksi domestik televisi Indonesia (Kg)
BPS, Depperin
5.
Konsumsi domestik televisi Indonesia (kg)
BPS, Depperin
6.
Harga domestik televisi (US$/kg)
7.
Nilai tukar rupiah riil terhadap dollar
Depdag Bank Indonesia
Amerika (Rp/ US$) 8.
Lag ekspor televisi Indonesia ke Malaysia,
BPS, Depperin, Depdag,
Singapura, dan Thailand (kg)
Comtrade, ITC Comtrade
Sumber : Berbagai Sumber
3.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriftif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menganalisis perkembangan industri televisi Indonesia, mengevaluasi kebijakan ekspor televisi Indonesia dan menganalisis keunggulan kompetitf melalui Porter Diamond. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis peningkatan ekspor televisi melalui penawaran ekspor televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand adalah dengan menggunakan metode data panel serta menganalisis keunggulan komparatif melalui perhitungan indeks RCA. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor televisi ke Malaysia, Singapura, dan Thailand dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Dalam penelitian ini akan diketahui apakah kedua faktor tersebut akan berpengaruh secara signifikan terhadap penawaran ekspor televisi ke Malaysia, Singapura, dan Thailand. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder yang diperoleh merupakan data kuantitatif, sehingga diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan Eviews 5.1. Sementara untuk data kualitatif yang diperoleh, diolah dan disajikan dalam bentuk narasi. Program Microsoft Excel 2007 digunakan untuk menganalisis plot data volume ekspor televisi
Indonesia. Program Eviews 5.1 digunakan untuk mengolah dengan
menggunakan model time series dan model cross section. Metode analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan data panel.
3.3. Model Data Panel Dalam sebuah penelitian terkadang ditemukan suatu persoalan mengenai ketersedian data (data availability) untuk mewakili variabel yang kita gunakan dalam penelitian. Misalnya terkadang ditemukan adanya bentuk data dalam series yang tidak dapat dilakuka berkaitan dengan persyaratan jumlah data yang terbatas. namun jika ditemukan bentuk data yang dengan jumlah unit cross section yang terbatas pula, sehingga akan sulit untuk melakukan proses pengolahan data cross section untuk mendapatkan informasi perilaku dari model yang akan diteliti. Dalam teori ekonometrika, kedua kondisi tersebut salah satunya dapat diatasi dengan menggunakan data panel (pooled data) agar dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik (efisien) dengan terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi terhadap peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom). Dalam analisa model data panel dikenal dengan tiga macam pendekatan yang terdiri dari pendekatan kuadrat terkecil (pooled least square), pendekatan efek tetap (fixed efect), dan pendekatan efek acak (random effect. ) a. Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Square) Pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel adalah dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa ditetapkan dalam data yang berbentuk pool. Misalkan terdapat persamaan berikut ini: Yit=α + xjitβj + εi
untuk i = 1, 2, ...., N dan t = 1, 2, ..., T
Dimana N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah periode waktunya. Dengan mengasumsi komponen error dalam pengolahan metode kuadrat terkecil biasa, kita dapat melakukan proses estimasi secara
terpisah untuk setiap unit cross section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan regresi cross section sebagai berikut: Yit=α + xjitβj + εit
untuk i = 1, 2, ...., N
Pada akhirnya akan berimplikasi diperolehnya persamaan sebanyak T persamaan yang sama. Begitu juga sebaliknya, kita juga akan memperoleh persamaan deret waktu (time series) sebanyak N persamaan untuk setiap T observasi. Namun, untuk mendapatkan parameter α dan β yang konstan dan efisien, akan dapat diperoleh dalam bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak NT observasi. b. Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect) Kesulitan terbesar dalam pendekatan metode kuadrat terkecil biasa tersebut adalah asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar daerah maupun antar waktu yang mungkin tidak beralasan. Generalisasi secara umum sering dilakukan dengan memasukan variabel dummy untuk mengizinkan terjadinya perbedaan nilai parameter yang berbeda-beda baik lintas unit cross section maupun antar waktu. Pendekatan dengan memasukkan variabel dummy dikenal dengan sebutan model efek tetap (fixed effect)atau Least Square Dummy Variable (LSDV) atau disebut juga Covariance Model. Pendekatan tersebut dapat ditulis dalam persamaan berikut ini: Yit = αi - xjitβj – εit - ∑ - aiDi - eit dimana : Yit
= variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i
αit
= intercept yang berubah-ubah antar cross section unit
xjitβj
= variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i
βj
= parameter untuk variabel ke j
εit
= komponen error di waktu t untuk unit cross section i Kita telah menambahkan sebanyak (N-1) variabel dummy (Di) ke dalam
model dan menghilangkan satu sisanya untuk menghindari kolinieritas sempurna antar variabel penjelas. Dengan menggunakan pendekatan ini akan terjadi degree of freedom sebesar NT – N- K. Keputusan memasukkan variabel boneka ini harus didasarkan pada pertimbangan statistik. Tidak dapat dipungkiri dengan melakukan penambahan variabel dummy ini akan sangat mengurangi banyaknya degree of freedom yang pada akhirnya akan mempengaruhi koefisien dari parameter yang diestimasi. Pertimbangan pemilihan pendekatan yang digunakan ini dapat dilakukan dengan menggunakan F statistik yang berusaha membandingkan antara nilai jumlah kuadrat terkecil dari error dari proses pendugaan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil dan efek tetap yang telah memasukkan variabel dummy . Perhitungannya adalah sebagai berikut: (RRSS - URSS)/ (N – 1) Fstatistik =
URSS/ (NT – K – K)
dimana :
RSSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Pooled OLS) URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Fixed Effect) N = Jumlah data cross section
T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas c. Pendekatan Efek Acak (Random Effect) Keputusan untuk memasukkan variabel dummy dalam model efek tetap tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan konsekuensi (trade off). Penambahan variabel dummy akan mengurangi banyaknya derajat kebebasab, yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Berkaitan dengan hal ini, dalam model data panel dikenal dengan pendekatan efek acak (random effect). Dalam model efek acak, parameter-parameter yang berbeda antar daerah maupun antar waktu dimasukkan ke dalam error karena hal ini model efek acak sering juga disebut model komponen error (error component model). Bentuk model efek acak ini dijelaskan pada persamaan berikut ini: Yit=α + xjitβj + εit εit=ui + vt + wit Dimana : ui ~N(0,δu2)
= komponen cross section error
vt ~ N(0,δu2)
= komponen time series error
wit ~ N(0,δu2) = komponen error kombinasi Kita juga mengasumsikan bahwa error secara individu juga tidak saling berkorelasi, begitu juga dengan error kombinasinya. Dengan menggunakan model efek acak ini, maka kita dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya. Seperti yang dilakukan pada model efek tetap. Hal ini
berimplikasi parameter yang merupakan hasil estimasi akan menjadi semakin efisien. Keputusan penggunaan model efek tetap ataupun efek acak ditentukan dengan menggunakan spesifikasi yang dikembangkan oleh Haussman Test. Spesifikasi ini akan memberikan penilaian dengan menggunakan nilai Chi Square Statistik sehingga keputusan pemilihan model akan dapat ditentukan secara statistik. Namun, disamping dengan menggunakan test statistika terdapat beberapa pertimbangan untuk memilih apakah akan menggunakan fixed effect atau random effect. Apabila diasumsikan bahwa εit dan variabel bebas x berkorelasi maka fixed effect lebih cocok untuk dipilih, sebaliknya apabila εit dan variabel bebas x tidak berkorelasi maka random effect yang lebih baik untuk dipilih. Beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan panduan untuk memilih antara fixed effect atau random effect adalah: 1. Bila T (banyaknya unit time series ) besar sednagkan N (jumlah unit cross section) kecil maka hasil fixed effect dan random effect tidak jauh berbeda 2. sehingga dapat dipilih pendekatan yang lebih mudah untuk dihitung yaitu fixed effect model. 3. Bila N besar dan T kecil, maka hasil estimasi kedua pendekatan akan berbada jauh. Jadi, apabila kita meyakini bahwa unit cross section yang kita pilih dalam penelitian diambil secara acak (random) maka random effect harus digunakan sebaliknya, apabila kita meyakini bahwa unit cross section yang kita pilih dalam penelitian tidak diambil secara acak (random), maka kita harus menggunakan fixed effect.
4. Apabila komponen eror individual (εit) berkorelasi dengan variabel bebas x maka parameter yang diperoleh dengan random effect akan bias sementara parameter yang diperoleh dengan fixed effect tidak bias. 5. Apabila N besar dan T kecil, dan apabila asumsi yang mendasari random effect dapat terpenuhi, maka random effect lebih efisien dibandingkan fixed effect. Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan bedasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Diagram pengujian statistik untuk memilih model yang digunakan dapat diperlihatkan pada skema pada Gambar 3.1.
Fixed Effect Hausman Test Chow Test
Random Effect LM Test Pooled Least Square
Sumber : Syahrial, 2004
Gambar 3.1. Skema Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel
a. Chow Test Chow Test adalah pengujian F statistik untuk memilih apakah model yang digunakan adalah Pooled Least Square atau Fixed Effect. Terkadang asumsi
bahwa setiap unit cross section memilik perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan saja setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut : H0 : Model pooled OLS (Restricted) H1 : Model fixed effect (Unrestricted) (RRSS - URSS)/ (N – 1) Fstatistik =
URSS/ (NT – K – K)
dimana: RSSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Pooled OLS) URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Fixed Effect) N = Jumlah data cross section T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas b. Hausman Test Hausman Test dilakukan untuk memutuskan apakah akan fixed
menggunakan
effect atau random. Hausman test dilakukan dengan hipotesa sebagai
berikut: H0: model random effect H1: model fixed effect Sebagai dasar penolakan H0
maka digunakan statistik hausman dan
membandingkannya dengan Chi square. Jika nilai χ2 –statistik hasil pengujian lebih besar dari χ2–Tabel, maka cukup bukti untuk
melakukan
penolakan
terhadap H0 sehingga pendekatan yang digunakan adalah fixed effect, begitu juga sebaliknya. c. LM Test LM Test digunakan sebagai bahan pertimbangan statistik untuk memilih model random effect atau pooled least square. LM test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0: model pooled OLS H1: model random effect Dasar penolakan terhadap H0 dengan menggunakan statistik LM yang mengikuti distribusi dari chi Square.
3.4. Model Penelitian Identifikasi pola data dengan cara pengolahan data time series penawaran ekspor televisi Indonesia dalam bentuk plot terhadap waktu. Plot fluktuasi penawaran ekspor produk televisi Indonesia diidentifikasi dengan analisis visual terhadap grafik (plot data) penawaran ekspor televisi dari periode analisis. 3.4.1
Perumusan Model Perumusan model yang digunakan dalam penelitian adalah dengan
menggunakan model regresi. Model regresi dengan persamaan tunggal baik bentuk dan model mampu menunjukan berapa persen faktor tak bebas ( dependent variable)
dapat dijelaskan oleh faktor faktor bebas (independent variable)
dengan koefisien determinasi (R2). Faktor-faktor bebas tersebut kemudian dilakukan pengujian apakah berpengaruh nyata atau tidak terhadap faktor tak bebas dengan melakukan uji-t dan perhitungannya lebih sederhana (Hamke et al,
2003). Penaksiran parameter diduga dengan metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square) atau metode kuadrat terkecil. Menurut Gujarati (1997) dengan asumsi –asumsi tertentu , metode OLS mempunyai beberapa sifat statistik yang sangat menarik yang membuatnya menjadi satu metode analisis regresi yang paling kuat dan populer. 3.4.2 Model Penawaran Ekspor Televisi Indonesia Bedasarkan kerangka teori dan tujuan studi terdahulu serta berbagai alternatif spesifikasi model yang telah dicoba, dan juga asumsi-asumsi yang diterapkan dalam membangun model, maka model ekonometrika dengan faktorfaktor yang diduga berpengaruh untuk volume penawaran ekspor dalam penelitian ini, maka bentuk fungsi liniernya adalah sebagai berikut : LNEXijt = αi + β0 LNPEXit + β1 LNPDit + β3 LNPRODit + β4 LNKONit + β5LNERit + β6 LNLEXijt + β7 D + µi dimana : VEX = Volume ekspor televisi Indonesia ke negara j tahun ke- t (kg). PEX = Harga ekspor televisi Indonesia dalam FOB ke negara i tahun ke-t (US $/ kg). PD
= Harga domestik televisi Indonesia tahun ke- t (Rp/kg).
PROD = Produksi domestik televisi Indonesia tahun ke- t (kg). KON = Konsumsi domestik televisi Indonesia tahun ke- t (kg). ER
= Nilai tukar riil negara Indonesia (Rp/ US$) tahun t.
LEX
= Lag volume ekspor televisi Indonesia ke negara j tahun ke t (kg).
D
= Dummy, krisis ekonomi, variabel dummy yang menunjukkan dua kondisi berbeda dimana D=0 (sebelum terjadinya krisis ekonomi yaitu sebelum tahun 1998) atau D=1 (setelah terjadinya krisis ekonomi yaitu setelah tahun 1998).
3.4.3. Penjelasan Penggunaan Variabel dalam Model Model
diatas
digunakan
unyuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengarahi penawaran ekspor televisi indonesia di pasar internasional. LN adalah Logaritma Natural, data pada penelitian ini ditransformasikan dengan cara dilogaritma naturalkan. Hal ini bertujuan ini agar dapat menghasilkan model terbaik.
Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam model penawaran
ekspor televisi dan alasan pemilihannya dalam model adalah sebagai berikut : 1. Volume Ekspor Televisi (VEX) Volume ekspor merupakan variabel terikat atau tidak bebas. Volume ekspor adalah jumlah televisi yang akan diekspor ke negara pengimpor dan dinyatakan dalam satuan kg. 2. Harga Domestik Televisi (PD) Harga domestik televisi merupakan variabel bebas. Data yang digunakan untuk variabel ini adalah data sekunder. Harga domestik merupakan harga yang diterima oleh masyarakat dimana harga ini menetukan tingkat daya beli masyarakat dalam negeri dan permintaan produk televisi dan dinyatakan dalam US$/kg. Variabel ini dimasukkan ke dalam model, karena diduga variabel ini memiliki pengaruh terhadap volume penawaran ekspor televisi. Harga domestik televisi yang semakin meningkat di pasar dalam negeri diduga dapat
meningkatkan ekspetasi produsen televisi dalam negeri untuk menurunkan penawaran ekspornya dan meningkatkan penawaran di dalam negeri, karena keuntungan yang akan diperoleh di dalam negeri akan jauh lebih besar. Sehingga diduga peningkatan harga domestik akan menyebabkan penurunan volume ekspor televisi Indonesia 3. Harga Ekspor Televisi (PEX) Harga ekspor televisi adalah variabel bebas. Harga Ekspor diperoleh dari hasil pembagian antara nilai ekspor televisi secara keseluruhan pada periode ke-t dengan volume ekspor televisi pada periode yang sama. Variabel ini menggambarkan harga produk televisi Indonesia yang benar-benar diterima oleh konsumen pada harga tingkat dunia dan dinyatakan dalam US$/kg. Variabel ini dimasukkan ke dalam model karena diduga variabel ini memiliki pengaruh terhadap penawaran ekspor televisi.
Harga ekspor televisi yang semakin
meningkat di pasar internasional diduga Peningkatan harga ekspor televisi diduga dapat meningkatkan ekspetasi produsen televisi dalam negeri untuk meningkatkan penawaran ekspornya, karena keuntungan yang diperoleh akan jauh lebih besar. Sehingga diduga peningkatan harga ekspornya akan meningkatkan volume penawaran ekspor televisi Indonesia. 4. Produksi Domestik Televisi (PROD) Produksi domestik televisi adalah variabel bebas. Produksi domestik televisi merupakan total produksi televisi yang dihasilkan produsen dalam pada tiap tahunnya dan dinyatakan dalam satuan kg. Variabel ini dimasukkan ke dalam model karena diduga variabel ini memiliki pengaruh terhadap penawaran ekspor
televisi.
Dengan adanya peningkatan produksi televisi dalam negeri, maka
peluang produsen untuk meningkatkan penawaran ekspornya akan jauh lebih besar. Karena selain dapat memenuhi permintaan dalam negeri, peningkatan produksi juga memberikan peluang kepada produsen untuk meningkatkan penawaran ekspornya. Sehingga diduga peningkatan produksi televisi akan meningkatkan volume penawaran ekspornya. 5. Konsumsi Domestik Televisi (DOM) Konsumsi domestik televisi adalah variabel bebas. Konsumsi domestik merupakan total konsumsi televisi yang dikonsumsi atau jumlah diminta oleh konsumen dalam negeri, pada tiap tahunnya dan dinyatakan dalam satuan kg. Variabel ini dimasukkan ke dalam model karena diduga variabel ini memiliki pengaruh terhadap penawaran ekspor televisi.
Dengan adanya peningkatan
konsumsi televisi domestik, maka akan menurunkan volume penawaran ekspornya. Hal ini dikarenakan tingginya permintaan dalam negeri yang harus terlebih dahulu dipenuhi sebelum produk televisi tersebut diekspor sehingga diduga volume penawaran ekspornya akan menurun. 6. Nilai tukar (NT) Nilai Tukar adalah variabel bebas. Nilai tukar yang digunakan adalah laju nilai tukar valuta asing yang umum digunakan dalam pembayaran transaksi internasional terhadap mata uang rupiah, yaitu nilai tukar riil antara rupiah dengan dollar Amerika Serikat (kurs tengah rupiah terhadap dollar Amerika). Variabel ini dimasukkan ke dalam model karena diduga variabel ini memiliki pengaruh terhadap penawaran ekspor televisi. Nilai tukar yang mengalami depresiasi
(melemah) diduga akan meningkatkan penawaran volume ekspor televisi karena harga produk dalam negeri relatif lebih murah dibandingkan dengan produk negara lain. Sehingga harga jual (ekspor) dari televisi akan jauh lebih murah apabila dibandingkan dengan negara eksportir lainnya, sehingga negara-negara importir mau meningkatkan permintaanya. 7. Lag Volume Ekspor Televisi (LEX) Lag volume ekspor adalah variabel bebas. Lag volume ekspor adalah nilai volume ekspor sebelumnya yang dinyatakan dalam satuan kg. Lag volume ekspor diduga akan memberikan pengaruh terhadap volume penawaran ekspor. Karena dengan adanya lag ekspor dapat dilihat pengaruh adanya ekspetasi ekspor dari negara importir pada masa yang akan datang dari informasi jumlah ekspor yang dilakukan pada waktu yang lalu. 8. Dummy (D) Dummy adalah variabel bebas. Variabel ini dimasukkan ke dalam model karena diduga memberikan pengaruh terhadap volume penawaran ekspor televisi. Dummy yang digunakan di dalam model adalah dummy krisis ekonomi. Nilai 0 untuk waktu sebelum terjadi krisis ekonomi (1996-1997) dan nilai 1 untuk waktu setelah terjadinya krisis (1998-2007). Dummy krisis ekonomi dimasukkan ke dalam model karena diduga sebelum dan setelah adanya krisis ekonomi akan terjadi perubahan yang terhadap ekspor televisi Indonesia sehingga dapat dilihat ada atau tidaknya perbedaan dari volume ekspornya.
3.5. Uji Kesesuaian Model 1. Kriteria Ekonomi Dalam kriteria ekonomi akan diuji tanda dan besaran dari tiap koefisien dugaan yang telah diperoleh. kriteria ekonomi mensyaratkan tanda dan besaran yang terdapat pada tiap koefisien dugaan sesuai dengan kriteria ekonomi. 2. Evaluasi Model a. Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu atau ruang (Gujarati, 1978). Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW) dalam Eviews. Untuk mengetahui
ada
atau
tidaknya
autokorelasi,
maka
dilakukan
dengan
membandingkan DW statistik dan DW Tabel. Uji autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai DW. Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistik dengan DW-Tabel. Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 3.2. dengan melihat letak nilai DW dan membandingkan dengan dl dan du yang diperoleh dari tabel. Korelasi akan serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi.
Tabel 3.2. Kerangka Identifikasi Autokorelasi Nilai DW
Hasil
4 - dL < DW < 4
Tolak H0 : korelsi serial negatif
4 - dL < DW < 4 – dU
Hasil tidak dapat ditentukan
2 < DW < 4 – dU
Terima H0 : tidak ada korelasi serial
dU < DW < 2
Terima H0 : tidak ada korelasi serial
dL < DW < dU
Hasil tidak dapat ditentukan
0 < DW < dL
Tolak H0 : korelsi serial positif
Sumber : Gujarati, 1997
Jika dalam model regresi ada peubah bebas yang merupakan peubah lag respons (Yt-1) maka nilai statistik uji DW sering mendekati 2 meskipun ada autokorelasi. Durbin dalam Juanda (2009) menyarankan uji alternatif yang mudah tapi valid baik untuk contoh besar maupun kecil. Statistik uji yang digunakan adalah statistik Durbin h, yang didefinisikan sebagai berikut :
dimana :
h
T
=
1 – T [Var (β2)] (Var β2) = dugaan ragam dari koefisien peubah lag respons (Yt-1) T
= jumlah pengamatan
ρ
= dugaan koefisien autokorelasi ordo kesatu
sehingga menjadi :
h
=
1-
DW
T
2
1 – T [Var (β2)]
Durbin telah menunjukkan bahwa statistik-h mendekati sebaran normal baku sehingga keputusan ada atau tidaknya autokorelasi dapat menggunakan tabel mormal baku.
b. Heteroskedastisitas Pada umumnya heteroskedastisitas diperoleh pada data cross section. Jika pada model terdapat heteroskedastisitas maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata lain jika regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka pada hasil regresi akan terjadi ‖misleading” (Gujarati, 1995). Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan ζ2 (konstan), atau semua residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode General Least Square (Cross section Weights) yaitu dengan membandingkan sum square resid pada weighted statistics dengan sum square resid unweighted statistics. c. Multikolinieritas Untuk melihat ada atau tidaknya multikoliearitas dapat dilakukan dengan cara melihat mariks korelasi. Multikolieritas dideteksi dengan melihat koefisien antar variabel bebas. Jika korelasinya kurang dari 0,8 (rule of tubs 0,8) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolinieritas. Tetapi jika nilai koefisien korelasinya lebih besar dari 0,8 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat multikolinieritas
dalam
menyebabkan adanya
model
tersebut.
Multikolinieritas
pelanggaran terhadap asumsi
OLS
yang
dapat
adalah
exact
multicolinearity (multikolinearitas sempurna). Jika dalam suatu model terdapat
multikolieritas yang sempurna maka akan diperoleh nilai R2 yang tinggi tetapi banyak variabel yang tidak signifikan. 3. Krtiteria Statistika Ada beberapa uji yang dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian model regresi yang didapat secara statistik. a. Uji – F Uji–F adalah statistik uji yang diigunakan untuk mengukur signifikan parameter secara keseluruhan untuk mengetahui faktor-faktor (Xi) secara bersamaan (simultan) terhadap (Y). Langkah pertama untuk melakukan uji-t adalah dengan menuliskan hipotesis pengujian. H0 : β t = 0
dengan t = 1,2,3,….,n
H1 : β t ≠ 0
(sekurang-kurangnya ada satu Xt yang mempengaruhi Y)
Suatu faktor X akan mempengaruhi Y secara bersama-sama dapat dilihat dari nilai Fstatistik. Jika Fstatistik lebih besar dari Ftabel, maka minimal ada satu yang X yang mempengaruhi Y. Sedangkan jika Fstatistik. lebih kecil dari Ftabel, maka dipastikan tidak ada satupun X yang mempengaruhi Y. 1. Fstatistik .> Ftabel maka H0 ditolak artinya minimal ada satu faktor X yang berpengaruh nyata terhadap Y. 2. Fstatistik < Ftabel maka H0 diterima, artinya faktor X secara bersama tidak berpengaruh nyata terhadap Y. b. Uji – t Uji–t adalah statistik uji yang diigunakan untuk mengukur signifikan parameter secara individual dan disebut juga sebagai uji signifikansi secara parsial
karena melihat signifikansi masing-masing variabel yang terdapat di dalam model. Uji-t dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor bebas (explanatory factor) terhadap penawaran ekspor televisi Indonesia. Besaran yang digunakan dalam uji ini adalah statistik t. Langkah pertama untuk melakukan uji-t adalah dengan menuliskan hipotesis pengujian. H0 : β t = 0
dengan
t = 1,2,3,….,n
H1 : β t ≠ 0 Jika statistik t yang didapat pada taraf nyata sebesar α lebih besar daripada ttabel ( tsatistik > ttabel), maka tolak H0. Kesimpulannya koefisien dugaan β ≠ 0 artinya variabel yang diuji berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Sebaliknya jika t
statistik
lebih kecil daripada t
tabel
(tstatistik < ttabel) pada taraf nyata sebesar α, maka
terima H0. Kesimpulannya koefisien dengan β = 0 artinya variabel yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Semakin kecil α berarti semakin mengurangi resiko salah. Model yang diduga akan semakin baik apabila semakin banyak variabel bebas yang signifikan atau berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya. c. Uji R2 ataupun adj-R2 Uji R2 ataupun adj-R2 digunakan untuk melihat sejauh mana variabelvariabel yang terdapat di dalam model dapat menjelaskan variasi yang terjadi pada variabel tak bebasnya. Nilai R2 ataupun adj-R2 yang besar menunjukkan bahwa model yang didapat semakin baik. Nilai R2 dapat dihitung dengan persamaan di bawah ini. Dalam praktek ekonometrika, penggunaan nilai adj-R2
lebih
disarankan daripada penggunaan R2, karena R2 cenderung untuk memberikan
gambaran yang terlalu baik terhadap hasil regresi. Hal ini terutama terjadi saat jumlah variabel bebas model cukup besar atau mendekati jumlah pengamatan (Theil dalam Gujarati,1978). d. Asumsi Kenormalan Kenormalan data diperlukan dalam analisis regresi berganda, hal ini disebabkan metode ini merupakan salah satu metode analisis parametik. Kenormalan diketahui melalui sebaran regresi yang merata disetiap nilai. Salah satu metode yang digunakan untuk menguji kenormalan data adalah Metode Jarque Berra. Dalam metode Jarque Berra, penerimaan H0 mengindikasikan bahwa data yang dianalisis tersebar normal.
3.6. Analisis Keunggulan Komparatif Indeks RCA digunakan untuk mengukur daya saing industri yang dapat diketahui secara kuantitatif dengan menggunakan indeks RCA. Indeks RCA dirumuskan sebagai berikut : [Xij - Xj] dimana :
RCA =
[Xiw – Xw]
Xij
= Nilai ekspor sektor i dari negara j
Xj
= Total ekspor dari negara j
Xiw
= Total ekspor dunia dari sektor i
Xw
= Total ekspor dunia Bila suatu negara memiliki nila RCA lebih besar dari 1 maka dapat
diketahui bahwa negara tersebut memiliki keunggulan komparatif dalam produk yang terkait dan berdaya saing kuat. Apabila nilai RCA kurang dari 1 maka dapat
diketahui adanya kerugian komparatif dalam produk terkait dan dengan kata lain menunjukkan daya saing yang lemah. Semakin tinggi nilai RCAnya maka semakin tangguh daya saingnya. 3.7. Analisis Keunggulan Kompetitif Michael Porter (1990), mengemukakan bahwa tidak ditemukan hubungan positif antara keunggulan keberlimpahan sumberdaya alam dan banyaknya tenaga kerja di suatu negara untuk dijadikan keunggulan bersaing dalam perdagangan internasional. Keunggulan kompetitif di suatu negara ditentukan oleh empat faktor yang harus dipunyai suatu negara untuk bersaing secara global. Keempat faktor tersebut adalah faktor-faktor produksi, keadaan permintaan dan tuntutan mutu, industri terkait dan pendukung, faktor struktur, strategi serta persaingan perusahaan. Selain itu ada faktor eksternal yaitu sistem pemerintahan dan kesempatan kerja. Secara bersama-sama faktor-faktor ini membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan daya saing yang disebut model berlian daya saing internasional atau The Porters Diamond. Data-data yang diperlukan untuk menganalisis dengan model Porter ini adalah data ekspor, produksi, konsumsi, perkembangan teknologi yang terkait dengan industri televisi, kebijakan pemerintah serta data laiinya yang terkait dengan perkembangan industri televisi Indonesia. Tahapan yang dilakukan adalah dengan melakukan pengkajian potensi, kendala, dan peluang produk televisi.
IV. GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN KOMODITI TELEVISI INDONESIA
4.1.
Perkembangan Industri Televisi Perkembangan industri televisi Indonesia dimulai dengan adanya
penyelenggaraan Asian Games tahun 1962 di Jakarta. Pada saat itu pemerintah menginginkan masyarakat Indonesia menyaksikan pesta olah raga kebanggaan masyarakat Asia tersebut. Kebutuhan akan televisi yang dapat menyiarkan kegiatan tersebut pada akhirnya mendorong keberadaan industri televisis di Indonesia, sedangkan produksi televisi pada saat itu hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan Asian Games (setelah Asian Games masih belum ada kebijakan lebih lanjut dari pemerintah). M Thayeb Gobel pada saat itu menyambut keinginan tersebut dengan mulai merakit televisi hitam putih pertama di Indonesia. Kendati hanya dadakan, produksi televisi tersebut telah menandai lahirnya industri elektronika di Indonesia. Pasa saat itu produksi televisi yang dilakukan masih sebatas untuk memenuhi kebutuhan Asian Games. Sesuai dengan kondisi waktu itu, perhatian pemerintah memang hanya tertuju ke sana. Setelah Asian Games belum ada kebijakan lanjutan dari pemerintah. Saat itu semua kebutuhan domestik untuk televisi harus diimpor. Pemerintah menyadari bahwa kondisi ini tidak menguntungkan. Indonesia harus mengeluarkan devisa begitu banyak untuk mengimpor televisi. Sebetulnya, kondisi ini tidak hanya berkaitan dengan komoditi televisi tetapi juga pada komoditi lain sehingga waktu itu pemerintah mengeluarkan kebijakan substitusi impor.
Melalui kebijakan ini pemerintah berusaha mendorong industri dalam negeri untuk memproduksi barang-barang kebutuhan dalam negeri, menggantikan barang-barang yang diimpor. Demikian juga dengan televisi. Mulai awal tahun 1970 industri elektronika sudah dikembangkan dengan pola substitusi impor sampai pertengahan tahun 1985 (Departemen Perindustrian). Selama masa penerapan kebijakan substitusi impor tersebut, telah mengurangi ketergantungan pemerintah Indonesia terhadap kebutuhan barang impor. Sedangkan untuk memperkuat, posisi perusahaan-perusahaan tersebut, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan impor (pada awal tahun 1970an dilakukan pelarangan impor televisi dan radio dalam keadaan CBU (Completely Built Up) dan ketentuan CKD ( Completely Knocked Down). CKD diatur dengan tarif lebih rendah dari part untuk merangsang industri perakitan. Selama masa krisis ekonomi (tahun 1998), perkembangan industri televisi mengalami pertumbuhan yang melemah. Dalam masa pemulihan setelah masa krisis, industri televisi nasional mengalami pertumbuhan cukup signifikan dan sempat menjadi salah satu produk unggulan ekspor industri elektronika nasional. Namun dalam perkembangannya, industri televisi nasional kurang didukung oleh industri komponen dalam negeri secara maksimal hingga daya saingnya cukup lemah di tingkat regional (ASEAN) maupun internasional. Mengenai indikator makro perkembangan industri televisi nasional ditandai dengan adanya perkembangan produksi, investasi, penyerapan tenaga kerja, ekspor impor dan neraca ekspor impor.
Pada awalnya produsen televisi yang menguasai industri televisi hanya produsen asal Jepang yaitu Toshiba, Sharp, Sony, Sanyo dan Hitachi. Kemudian belakangan produsen asal Korea Selatan seperti Samsung dan LG mampu menyaingi produk Jepang. Menurut Depperin (2009) di Indonesia hingga saat ini setidaknya terdapat 14 perusahaan yang menjadi produsen televisi. Sebagian besar merupakan Multinational Company yang masuk ke Indonesia. Tabel 4.1. Daftar Perusahaan Produsen Televisi di Indonesia dan Jumlah Ratarata Produksi Tiap Tahun Nama Perusahaan
Kapasitas Produksi Rata-rata/ Tahun (Unit)
1
PT. Hartono Istana Teknologi
2.000.000
2
PT. Sanyo Electronic Indonesia
1.500.000
3
PT. Toshiba Consumer Product Indonesia
1.500.000
4
PT. Samsung Electronic Indonesia
1.340.000
5
PT. LG Electronics Indonesia
1.150.000
6
PT. Asahi Electronic Indonesia
1.000.000
7
PT. Sharp Electronics Indonesia
1.000.000
8
PT. Changhong Elektrindo Utama
800.000
9
PT. Panggung Electric Corporation
360.000
10
PT. Panasonic Manufacturing Indonesia
300.000
11
PT. Kreasi Cahaya Mandiri
90.000
12
PT. Hitachi Consumer Product Indonesia
60.000
13
PT. Akira Electronic Indonesia
12.000
14
PT. Wajar Logam Jaya
10.000
No.
Sumber : Departemen Perindustrian, 2008
a. PT Sharp Electronics Indonesia (SEID) Bisnis Sharp di Indonesia diawali pada tahun 1970, ketika itu PT Yasonta memasarkan produk TV Sharp pertama kali di Indonesia yang kemudian ditunjuk Sharp Corporation di Osaka (Jepang) menjadi perwakilan dan perakit tunggal TV
Sharp hitam putih di Indonesia pada tahun 1971 yang kemudian memproduksi TV berwarna pertama pada tahun 1975. Pada tahun 2005 PT Sharp Yasonta Indonesia yang merupakan perusahaan patungan PT Yasonta dan Sharp Corporation berganti nama menjadi PT Sharp Electronics Indonesia (SEID) yang 93 persen sahamnya dikuasai Sharp Corporation dan sisanya 7 persen mitra lokal dari Indonesia. Pada tahun 2007 lalu Sharp telah mencapai produksi TV tabung ke-10 juta unit dalam kurun waktu 37 tahun dan berencana akan terus memproduksi TV tabung sampai 10 tahun mendatang. SEID masih akan mempertahankan produksi TV CRT di Indonesia karena permintaannya masih cukup kuat di Indonesia, mengingat pendapatan per kapita masyarakat Indonesia belum terlalu besar. Penjualan TV memberi kontribusi sekitar 40 persen bagi penjualan. Pada tahun 2008 SEID menargetkan penjualan sebesar Rp 3,8 triliun yang sekitar 40 persen atau Rp.1,52 triliun berasal dari penjualan TV yang mengandalkan pasar dalam negeri. Pada tahun 2008, SEID menargetkan mampu menguasai 30 persen pasar TV di Indonesia, sedangkan pada 2007 lalu sekitar 22 persen. Sampai akhir tahun 2008 ini SEID akan memproduksi 1,5 juta unit TV CRT. Kapasitas produksi TV CRT.SEID mencapai sekitar 1,7 juta unit per tahun. Sementara itu, pada tahun 2009 SEID menargetkan penguasaan pasar lebih tinggi yaitu 32 persen. Saat ini SEID memproduksi TV konvensional (CRT berlayar cembung), flat (CRT layar datar), dan slim flat (CRT layar datar yang ramping pada bagian belakang). Produksi TV konvensional sendiri masih
dipertahankan, karena pasarnya masih ada, sehingga sekitar 30 persen produksi SEID merupakan TV konvensional. b. PT. Toshiba Consumer Products Indonesia PT. Toshiba Consumer Products Indonesia (TCPI) mulai hadir di Indonesia pada 1970an dengan memproduksi peralatan elektronik meliputi televisi, home appliance, computer system and business communication, dan copier, printer, fax, scanner dan e-solution. Mulai memproduksi televisi di Indonesia sejak 1996, saat ini kapasitas produksi mencapai 1.700.000 unit per tahun. Selain di Indonesia , saat ini Toshiba memiliki basis produksi di Jepang, Amerika Serikat, Cina, Vietnam dan Inggris. Namun dibandingkan dengan beberapa negara tersebut, dari segi volume produksi televisi, pabriknya di Indonesia adalah yang terbesar. Toshiba akan merelokasi semua pabrik televisinya ke Indonesia yang diperkirakan akan selesai akhir 2008. Sampai saat ini TCPI masih mengimpor panel LCD, komponen lokal yang digunakan secara bertahap terus ditingkatkan.
TCPI setiap tahun terus
memperkuat kandungan komponen lokal, pada 2003 kandungan komponen lokal 34,5 persen, kemudian naik menjadi menjadi 40,5 persen dari total nilai bahan baku televisi di tahun 2004. Pada tahun 2004 total penjualan TCPI sekitar US$ 206 juta, diantaranya sekitar US$ 170 juta berasal dari ekspor dan US$ 37 juta dari pasar domestik. Selama ini sekitar 80 persen produksi Toshiba diekspor ke 40 negara di kawasan Asia kecuali Cina dan Korea, Oseania, Timur Tengah, Afrika, dan Rusia. Saat ini pangsa pasar Toshiba di pasar domestik sekitar 15 persen. Pada tahun 2007 Toshiba telah mencapai produksi televisi sebesar 10 juta.
Toshiba juga menjadikan Indonesia sebagai basis produksi untuk ekspor di kawasan Asia Tenggara. Toshiba merupakan produsen televisi dengan volume terbesar. Sedangkan kompetitornya seperti Sharp dan Panasonic hanya untuk mengisi pasar domestik. LG sebagian ekspor, tetapi tidak sebesar Toshiba. Untuk meningkatkan pangsa di pasar LCD, principal Toshiba dan Sharp di Jepang sepakat bekerjasama dalam bisnis semikonduktor dan LCD mereka. Kerja sama ini bersifat timbal balik dan direalisasikan pada tahun 2008 yang nantinya Toshiba akan menggunakan modul LCD milik Sharp di semua televisi produksinya berukuran 32 inci dan yang lebih besar, sementara Sharp akan memakai chip komputer Toshiba pada televisinya untuk menghasilkan performa gambar yang lebih baik. TCPI memiliki anak perusahaan bernama PT Toshiba Visual Media Network Indonesia (TVMNI) yang mulai beroperasi di tahun 2002. TVMNI dimiliki oleh Toshiba Singapore Pte Ltd dan PT Topjaya Sarana Utama. TVMNI beroperasi sebagai distributor untuk menjual produk Toshiba untuk pasar Indonesia termasuk layanan purna jual khususnya produk-produk visual Toshiba yaitu televisi Plasma dan LCD. c. PT. Samsung Electronics Indonesia PT. Samsung Electronics Indonesia memproduksi bermacam jenis televisi. Merk Samsung cukup dikenal di pasaran. Samsung memiliki kapasitas produksi televisi sebesar 1,34 juta unit per tahun. Pabriknya berlokasi di Cikarang, Jawa Barat. Sepanjang tahun 2008, berbagai variasi produk telah diluncurkan Samsung. Seperti pada plasma TV, telah diluncurkan jenis TV berteknologi plasma dengan rasio kontras warna 1.000.000 : 1. Untuk jenis LCD, Samsung juga meluncurkan
LCD dengan kecanggihan teknologi yang memiliki rasio kontras warna 70.000 : 1 berteknologi desain kristal. d. PT. LG Electronics Indonesia PT . LG Electronics Indonesia (LGEIN) sudah memproduksi televisi sejak tahun 1999 di Cibitung, Jawa Barat. Kemudian pada tahun 2005 mulai memproduksi LCD. LGEIN menjadikan Indonesia sebagai basis produksi televisi (TV) LCD untuk pasar kawasan Asia Pasifik dan Timur Tengah, di samping pasar domestik. Saat ini kapasitas produksi LCD mencapai 50.000 unit per bulan atau sekitar 600.000 unit per tahun. Sekitar 80 persen produksinya diekspor ke mancanegara, terutama Asia Pasifik, Timur Tengah dan Australia. Sampai saat ini panel LCD untuk TV LCD masih diimpor dari Korea Selatan, meskipun komponen lainnya sudah berasal dari dalam negeri. Sekitar 60 persen dari total komponen TV LCD masih diimpor. LG memiliki pusat produksi TV LCD di sejumlah negara, yaitu Meksiko, Indonesia, China, Korea Selatan, dan Brazil. 4.2. Kinerja Supply – Demand Industri Televisi Indonesia 4.2.1. Perkembangan Produksi Produksi industri televisi (Tabel 4.2) setelah krisis cukup berkembang cukup baik. Pada tahun 1999 setelah masa krisis ekonomi produksi televisi domestik mengalami peningkatan yang sangat pesat yaitu naik sebesar 509,45 persen dibanding tahun sebelumnya namun mengalami penurunan di tahun 2000 dan kembali meningkat di tahun 2001. Pada periode waktu 2 tahun setelah itu kapasitas produksi televisi kembali menurun dan meningkat sebesar 23,92 persen di tahun 2004 dengan nilai produksi mencapai 4.289 milyar rupiah. Hal iini
dikarenakan peningkatan pajak penjualan untuk produk elektronik termasuk televisi. Menyusul krisis global yang menyebabkan daya serap pasar berkurang akibat daya beli melemah, produksi televisi menurun di tahun 2007. Beberapa produsen sementara mengurangi produksinya sekitar 5 sampai 10 persen, menyusul daya serap pasar rendah akibat daya beli melemah. Selama 12 tahun terakhir produksi televisi domestik selalu mengalami fluktuasi dimana produksinya kembali mengalami peningkatan sebesar 51,62 persen di tahun 2007 dan nilai produksinya mencapai 3.442 milyar rupiah. Penurunan produksi terjadi karena harga bahan baku yang diimpor tidak stabil akibat berfluktuatifnya nilai tukar yang berpengaruh pada biaya produksi dan nilai produksinya. Tabel 4.2. Perkembangan Produksi Televisi Indonesia Periode Tahun 1996-2008 (milyar Rp.) Tahun
Nilai Produksi
Tahun
Nilai Produksi
1996 1997 1998 1999 2000 2001
776 629 3.837 3.685 4.573 3.981
2002 2003 2004 2005 2006 2007
3.461 4.289 3.667 4.423 2.270 3.442
Sumber : BPS, 2009
4.2.2. Tingkat Permintaan Domestik Permintaan televisi merupakan permintaan domestik terbesar dibanding produk elektronik lainnya. Pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa permintaan domestik untuk televisi mengalami penurunan selama krisis yaitu di tahun 19971998 dengan penurunan sebesar 64 persen dan mengalami peningkatan yang sangat tinggi setelah krisis ekonomi menjadi 3.648 milyar rupiah atau sekitar 16
kali lipat dibanding pada saat terjadinya krisis. Sampai dengan tahun 2003 permintaan domestik untuk televisi selalu mengalami peningkatan walaupun dengan tren peningkatan yang tidak terlalu besar dan kembali mengalami penurunan di tahun 2003 dan 2004 hingga nilai konsumsinya hanya mencapai 1.838 milyar rupiah Peningkatan konsumsi domestik dipengaruhi oleh penjualan TV Plasma Display Panel (PDP) dan Liquid Crystal Display (LCD) yang mengalami peningkatan dan menjadi favorit baru masyarakat Indonesia.2 Tabel 4.3. Tabel Perkembangan Permintaan Domestik (Konsumsi) Televisi Indonesia Periode 1996-2007 (milyar Rp.) Tahun
Nilai Konsumsi
Tahun
Nilai Konsumsi
1996 1997 1998 1999 2000 2001
647 229 3.648 1.589 1.604 1.709
2002 2003 2004 2005 2006 2007
3.461 4.289 3.667 4.423 2.270 3.442
Sumber : BPS, 2009
Trend perkembangan antara produksi dan permintaan domestik televisi selalu mengalami fluktuatif dalam periode 12 tahun terakhir (1996-2007). Pasca krisis baik nilai produksi maupun permintaan domestik untuk televisi mengalami peningkatan yang sangat tinggi di tahun 1999 dan kembali berfluktuatif sampai tahun 2008.
2
www.dataconsult.com , Laporan Market Intelegent Industri Televisi [23 Mei 2009]
5,000 4,500 4,000 Nilai (milyar Rp.)
3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun Produksi
Konsumsi
Sumber: Direktorat Industri Elektronika Depperin, 2009 (diolah)
Gambar 4.1. Grafik Perkembangan Produksi dan Konsumsi Televisi Indonesia Periode 1996-2007 4.3. Kinerja Ekspor – Impor Industri Televisi Indonesia 4.3.1. Perkembangan Ekspor Televisi Tabel 4.4 menunjukkan dalam periode 1996-2007, secara keseluruhan ekspor televisi Indonesia mengalami perkembangan, namun peningkatannya tidak terlalu besar dengan trend peningkatan rata-rata sebesar 63 persen. Pada tahun 1996 nilai ekspor televisi Indonesia mencapai US$ 31.115 ribu dengan volume ekspor sebesar 2.554 ribu kg dan terus mengalami peningkatan dimasa krisis (tahun 1997-1998). Ekspor televisi kembali berfluktuatif setelah krisis hingga mencapai nilai US$ 212.911 ribu dengan volume ekspor sebesar 37.877 ribu kg di tahun 2007. Tabel 4.4. Perkembangan Ekspor Televisi Indonesia Periode 1996-2007
Tahun
Nilai Ekspor (ribu US$)
1996 1997 1998 1999 2000 2001
31.115 41.108 35.154 311.363 345.486 294.477
Volume Ekspor (ribu kg) Tahun 2.554 4.425 4.616. 4.544 39.115 44.715
2002 2003 2004 2005 2006 2007
Nilai Ekspor (ribu US$)
Volume Ekspor (ribu kg)
254.154 317.413 271.631 327.661 142.563 212.911
47.546 60.116 48.324 38.151 10.661 37.877
Sumber: BPS, 2009
4.3.2. Perkembangan Impor Televisi Tabel 4.5 menunjukkan perkembangan impor televisi selama kurun waktu 1996-2007 juga mengalami fluktuasi. Pada tahun 1996 nilai impor mencapai US$ 3.631 ribu dengan volume impor sebesar 1.277 ribu kg. Pada masa krisis impor televisi mengalami penurunan yang cukup drastis yaitu hanya sebesar US$ 1.418 ribu dengan volume impor sebesar 510 ribu kg. Setelah krisis, impor televisi kembali mengalami perkembangan positif dengan trend peningkatan sebesar 82,25 persen, dan merupakan awal perkembangan produk televisi China yang masuk ke Indonesia. Di tahun 2007 nilai impor televisi mengalami penurunan sehingga nilainya hanya mencapai US$ 510 ribu. Tabel 4.5 Perkembangan Impor Televisi Indonesia Periode 1996-2007 Tahun
Nilai Impor (ribu US$)
Volume Impor (ribu kg)
Tahun
Nilai Impor (ribu US$)
Volume Impor (ribu kg)
1996 1997 1998 1999 2000 2001
4.134 1.418 10.931 61.121 56.573 50.741
1.760 510 2.831 13.985 10.694 9.271.591
2002 2003 2004 2005 2006 2007
83.489 43.092 61.177 43.454 25.883 31.158
15.329 9.024 14.465 9.043 4.315 2.247
Sumber: BPS, 2009
Gambar 4.2 menunjukkan perkembangan nilai ekspor dan impor televisi yang mengalami fluktuasi dalam periode 1996-2007. Sebelum krisis nilai ekspor maupun impor televisi tidak terlalu besar, namun pada masa krisis nilai ekspor dan impor televisi mengalami penurunan yang cukup drastis. Hal ini karena pengaruh dari naiknya nilai tukar. Di tahun 1999 kenaikan ekspor televisi jauh melampaui impornya dan di tahun 2007 penurunan ekspor televisi jauh melampaui impornya. 400,000 350,000
Nilai (US$)
300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun Ekspor
Impor
Sumber: Direktorat Industri Elektronika Depperin, 2009 (diolah)
Gambar 4.2. Grafik Perkembangan Ekspor dan Impor Televisi Indonesia Periode 1996-2007
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Analisis Data Panel Sebagai dasar pertimbangan dalam memilih model mana yang terbaik diantara pooled least square dan fixed effect, maka akan dilakukan uji Chow atau uji F dengan perhitungan sebagai berikut : Uji Chow H0 : Model Pooled OLS (Restricted) H1 : Model Fixed Effect (Unrestricted) (RRSS - URSS)/ (N – 1) Fstatistik =
URSS/ (NT – K – K)
dimana: RSSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Pooled OLS) URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Fixed Effect) N = Jumlah data cross section T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas Hasil pada penelitian dengan menghitung nilai dari Fstatistik menunjukkan bahwa : (2,72 – 1,35)/ (3 – 1) Fstatistik =
1,35/ (3*12 – 3 – 7)
Sedangkan dari F tabel diperoleh nilai F
(2,26)
= 13,01
= 3,37 sehingga dari hasil uji
Chow diperoleh hasil dimana F statistik lebih besar daripada Ftabel, hal ini berarti
sudah cukup bukti untuk menolak H0 sehingga pendekatan yang paling baik untuk digunalan dalam penelitian ini adalah pendekatan efek tetap (fixed effect). Setelah itu dilakukan pengolahan data dengan menggunakan pendekatan efek tetap tanpa memberi pembobotan dan dengan memberikan pembobotan Cross Section Weights. Hasilnya pendekatan efek tetap dengan memberikan pembobotan (Cross Section Weights) adalah hasil terbaik untuk model penawaran ekspor televisi ini dan dapat dilihat hasil estimasinya pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Hasil estimasi Fungsi Penawaran Ekspor Menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C LN_PEX? LN_PD? LN_PROD? LN_KON? LN_ER? LN_LEX? DUMMY? Fixed Effects (Cross) _MALAYSIA—C _SINGAPURA—C _THAILAND—C R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) R-squared Sum squared resid
5.09824 0.80265 -1.01361 0.55272 -0.22932 -0.07374 0.23606 1.31461
3.43409 0.37629 0.57116 0.13790 0.17979 0.16704 0.08018 0.17957
1.48460 2.13304 -1.77466 4.00816 -1.27545 -0.44147 2.94393 7.32093
-0.19140 0.37875 -0.18735 Weighted Statistics 0.97399 Mean dependent var 0.96498 S.D. dependent var 0.21742 Sum squared resid 108.15910 Durbin-Watson stat 0.00000 Unweighted Statistics 0.96999 Mean dependent var 1.41802
Durbin-Watson stat
Sumber : Lampiran 6 Keterangan : * signifikan pada taraf nyata 5 persen (0,05)
0.14970 0.04250* 0.08770 0.00050* 0.21340 0.66250 0.00670* 0.00000*
19.31101 10.50193 1.229043 1.819202
14.47994 1.482207
Setelah didapat hasil
koefisien dari setiap variabel bebasnya, maka
hasilnya dapat dimasukkan pada model awal penawaran ekspor televisi Indonesia. Pada akhirnya akan didapat model akhir dari penawaran ekspor televisi Indonesia, yaitu : LNEXijt = 5,09 + 0,80 LNPEXit – 1,01 LNPDit + 0,55 LNPRODit - 0,23 LNKONit - 0,073LNERit + 0,23 LNLEXijt + 1,31 D + µi
5.2. Pengujian Asumsi Model a. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Uji autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW).
Dalam model penawaran ekspor televisi ini ada peubah bebas yang
merupakan peubah lag respons yaitu lag ekspor (Xt-1) maka nilai statistik uji DW sering mendekati 2 meskipun ada autokorelasi. Statistik uji yang digunakan adalah statistik Durbin h, dengan rumus sebagai berikut :
h
=
11- – DW 2
T 1 – T [Var (β2)]
dimana : (Var β2) = dugaan ragam dari koefisien peubah lag respons (Yt-1) T
= jumlah pengamatan
ρ
= dugaan koefisien autokorelasi ordo kesatu
Apabila nilai Durbin h berada di antara nilai Z (negatif dan positif) pada selang kepercayaannya (taraf nyata), maka model tersebut terbebas dari masalah autokorelasi. Nilai Durbin h pada penelitian ini adalah :
h
=
36
1 - 1,819 2
= 0,070 2
1 – 36 [(0,080) )]
Hasil perhitungan menunjukkan nilai Durbin h pada model penawaran ekspor televisi adalah sebesar 0,070. Nilai ini berada diantara nilai Z (negatif dan positif) pada taraf nyata 5 persen yaitu diantara -1,96 dan 1,96 (-1,96<0,07<1,09) sehingga dapat disimpulkan bahwa pada hasil estimasi menunjukkan tidak terdapat masalah autokorelasi. Hal ini dapat terjadi karena dalam pendekatan fixed effect tidak mensyaratkan persamaan terbebas dari masalah autokorelasi, sehingga asumsi adanya autokorelasi dapat diabaikan. b. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode General Least Square (Cross section Weights) yaitu
dengan
membandingkan
sum
square
residual
pada
weighted
statistics dengan sum square residual unweighted statistics. Pada Tabel 5.1 memperlihatkan nilai
sum
square
residual
pada
weighted statistics
(1.229043) lebih kecil daripada sum square residual unweighted statistics (1.418016) sehingga hal ini mengindikasikan terjadinya heteroskedastisitas. Untuk mengatasi pelanggaran ini, dapat dilakukan dengan mengestimasi GLS (General Least Square) dengan white-heteroscedasticity sebagai pembobot sehingga masalah heteroskedastisitas dapat diatasi c. Uji Multikolinieritas Penggunaan Metode GLS juga dapat menghindari adanya masalah multikolinearitas, dilihat dari probabilitas variabel bebasnya (Tabel 5.1) sehingga persamaan dapat dinyatakan terbebas dari masalah multikolinearitas.
5.3. Pengujian Kriteria Statistik a. Uji-F Uji F dilakukan untuk melakukan uji hipotesis koefisien regresi secara keseluruhan. Bedasarkan nilai probabilitasnya (Tabel 5.1.) didapat F statistik < taraf nyata 5 persen (0,00<0,05) maka keputusannya adalah menolak H0 dimana untuk model secara keseluruhan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara bersamaan semua faktor bebas dalam model mampu menjelaskan dengan baik perubahan volume penawaran ekspor televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand.
b. Uji- t Uji–t adalah statistik uji yang diigunakan untuk mengukur signifikan parameter secara individual dan disebut juga sebagai uji signifikansi secara parsial karena melihat signifikansi masing-masing variabel yang terdapat di dalam model. nilai ttabel yaitu t(0.025,28) adalah 2,04. Dengan melihat nilai tstatistik yang sudah dimutlakkan dari masing-masing variabel, maka variabel harga ekspor, produksi domestik, lag ekspor serta dummy memiliki nilai t statistik yang lebih besar dari ttabel sehingga keempat variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap volume penawaran ekspor televisi ke Malaysia, Singapura, dan Thailand. Sedangkan variabel harga ekspor, konsumsi domestik, dan nilai tukar memiliki nilai tstatistik yang lebih kecil dari ttabel sehingga keempat variabel tersebut tidak berpengaruh secara signifikan terhadap volume penawaran ekspor televisi ke Malaysia, Singapura, dan Thailand. c. Uji Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi yang terestimasi. Nilai R-square mencerminkan seberapa besar variasi dari peubah terikat Y dapat diterangkan oleh peubah bebas X. Berdasarkan Tabel 5.1 nilai R2 atau koefisien determinasi sebesar 0.97399 yang menunjukkan bahwa sebesar 97,40 persen keragaman variabel tidak bebas pada unit cross section contoh dapat dijelaskan oleh model tersebut, sedangkan sisanya dijelaskan oleh peubah lain diluar model. Hasil tersebut diperkuat dengan probabilitas Fstatistik yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen. Pada
tingkat kepercayaan 95 persen (taraf nyata 5 persen), nilai probabilitas Fstatistik yaitu (0,000). d. Uji Normalitas Uji
normalitas
dilakukan
untuk
mengetahui apakah
error
term
mendekati distribusi normal atau tidak. Jika asumsi tidak terpenuhi maka prosedur pengujian menggunakan statistik t menjadi tidak sah. Bedasarkan nilai probabilitas Jarque Bera (Lampiran 9) sebesar 1,55 yaitu lebih besar dari taraf nyata 5 persen (0,005) maka dapat disimpulkan bahwa error term terdistribusi secara normal. Jadi asumsi kenormalan residual pada model penawaran ekspor televisi telah dipenuhi oleh model regresi linier sehingga model dapat digunakan.
5.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand Setelah dilakukan beberapa pendekatan didapat hasil estimasi terbaik yaitu pendekatan model fixed effect dengan pembobotan (cross section weights). Berikut adalah hasil penjelasan hasil analisis dari masing-masing peubah penjelas (variabel bebas) memberikan pengaruh terhadap volume penawaran ekspor televisi Indonesia dengan menggunakan model terbaik tersebut : a. Harga Ekspor Koefisien regresi pada data panel adalah sebesar 0,80. Nilai elastisitas volume ekspor televisi dari harga ekspor adalah sebesar 0,80 yang ditunjukkan oleh nilai koefisiennya. Ini artinya jika terjadi kenaikan rata-rata harga ekspor ke negara pengimpor (Malaysia, Singapura, dan Thailand) sebesar satu persen, maka akan meningkatkan volume ekspor televisi ke negara pengimpor (Malaysia,
Singapura, dan Thailand) sebesar 0,80 persen (cateris paribus). Dengan adanya peningkatan harga ekspor, maka insentif Indonesia untuk mengekspor televisi akan meningkat karena diharapkan akan mendapat keuntungan yang jauh lebih besar. Hal ini sesuai dengan teori Lipsey (1995) yang menyatakan bahwa harga sejumlah komoditas mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah yang ditawarkan yaitu semakin tinggi harganya semakin besar jumlah yang ditawarkan, cateris paribus. Variabel harga ekspor berpengaruh secara signifikan terhadap volume penawaran ekspor televisi Indonesia ke negara pengimpor (Malaysia, Singapura, dan Thailand). Harga ekspor sangat berpengaruh terhadap volume penawaran ekspor televisi Indonesia. Harga ekspor televisi memberikan pengaruh yang positif terhadap volume penawaran ekspor. Harga televisi Indonesia di pasar internasional (harga ekspor) dominan lebih tinggi jika dibandingkan harga televisi di dalam negeri. Adanya perusahaan Multinational Company (MNC) untuk industri televisi seperti PT. Sharp Electronics Indonesia dan PT. Toshiba Consumer Product Indonesia yang berasal dari Jepang atau PT. Samsung Electronics Indonesia dan PT. LG Electronics Indonesia yang berasal dari Korea turut mempengaruhi harga ekspor televisi di pasar internasional. Hal ini dikarenakan produk televisi dari masing-masing MNC tersebut sudah cukup dikenal di pasaran internasional sehingga akan meningkatkan daya saing produk televisi tersebut dan berpengaruh terhadap harga ekspornya.
b. Produksi Domestik Koefisien regresi pada data panel adalah sebesar 0,55. Nilai elastisitasnya adalah sebesar 0,55 artinya jika terjadi kenaikan produksi domestik sebesar satu persen, maka akan meningkatkan volume ekspor televisi Indonesia ke negara pengimpor (Malaysia, Singapura, dan Thailand) sebesar 0,55 persen (cateris paribus). Dengan adanya peningkatan produksi domestik untuk televisi maka akan merangsang peningkatan volume ekspor televisi Indonesia, hanya saja yang masih menjadi kendala hingga saat ini adalah bahan baku yang sebagian besar masih diimpor dan mahalnya harga bahan baku tersebut. Variabel produksi domestik berpengaruh secara signifikan terhadap volume penawaran ekspor televisi ke negara pengimpor (Malaysia, Singapura, dan Thailand). Bahan baku
televisi berupa komponen dasar sebagian besar masih
diimpor dari negara-negara yang justru tidak memproduksi (merakit) televisi untuk konsumsi (permintaan) dalam negeri mereka. Hal ini akan meningkatkan permintaan untuk televisi buatan Indonesia yang tentunya kapasitas produksi televisi Indonesia akan meningkat untuk memenuhi permintan dari negara-negara tersebut walaupun sebenarnya nilai tambah dari produk televisi Indonesia akan semakin kecil. Banyak bermunculannya multinational company sebagai produsen televisi di Indonesia juga akan berpengaruh kepada peningkatan kapasitas produksi televisi Indonesia dan meningkatkan daya saing dari perusahaan lokal dalam segi kapasitas produksi maupun kualitas produk. Salah satu contohnya adalah PT. Toshiba Consumer Product Indonesia. Selain di Indonesia , saat ini Toshiba memiliki basis produksi di Jepang, Amerika Serikat, Cina, Vietnam dan
Inggris. Namun dibandingkan dengan beberapa negara tersebut, dari segi volume produksi televisi, pabriknya di Indonesia adalah yang terbesar. c. Lag Ekspor Koefisien hasil regresi pada data panel adalah sebesar 0,23. Nilai elastisitas lag ekspor televisi dari harga ekspor adalah sebesar 0,23
yang
ditunjukkan oleh nilai koefisien regresinya. Ini artinya jika terjadi kenaikan ratarata volume ekspor tahun sebelumnya ke negara pengimpor (Malaysia, Singapura, dan Thailand) sebesar satu persen, maka akan menurunkan volume ekspor televisi ke negara pengimpor (Malaysia, Singapura, dan Thailand) sebesar 0,23 persen (cateris paribus). Dalam jangka pendek tercipta informasi yang menyatakan bahwa dari tahun ke tahun ekspor televisi cenderung mengalami peningkatan. Variabel lag ekspor berpengaruh secara signifikan terhadap volume penawaran ekspor televisi Indonesia ke negara pengimpor (Malaysia, Singapura, dan Thailand). Hal ini dapat terjadi karena dengan adanya lag ekspor para produsen dapat meramalkan seberapa besar jumlah ekspor televisi ke Malaysia, Singapura, dan Thailand untuk periode 1 waktu tertentu dengan melihat volume ekspor sebelumya. Tentunya, lag ekspor dapat menjadi ekspektasi positif bagi para produsen untuk melakukan ekspor televisi. Hal ini dapat menghindari kerugian yang akan dialami oleh para produsen jika kondisinya kurang menguntungkan untuk mereka. d. Dummy Variabel dummy dalam penelitian ini digunakan untuk menunjukkan dua kondisi yang berbeda yaitu sebelum terjadinya krisis ekonomi dan setelah
terjadinya krisis ekonomi. Berdasarkan hasil regresi pada panel data, diperoleh hasil koefisien variabel dummy krisis ekonomi adalah sebesar 1,31 sehingga ratarata perbedaan volume penawaran ekspor biji televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura dan Thailand sebelum dan sesudah terjadinya krisis ekonomi adalah sebesar 1,31 persen. Hasil pengujian terhadap koefisien dummy krisis ekonomi ini menunjukkan bahwa volume penawaran ekspor televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand sebelum dan sesudah implementasi terjadinya krisis ekonomi adalah berbeda secara signifikan. Dari hasil estimasi fungsi penawaran ekspor dengan menggunakan model efek tetap (fixed effect) dengan pembobotan (Cross Section Weights) ternyata terdapat beberapa variabel yang tidak berpengaruh terhadap volume penawaran ekspor televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand. adapun variabelvariabel tersebut antara lain : a. Harga Domestik Variabel harga domestik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap volume penawaran ekspor televisi ke negara pengimpor (Malaysia, Singapura, dan Thailand). Seharusnya harga domestik dapat berpengaruh terhadap volume penawaran ekspor, namun dalam ekspor televisi harga domestik tidak berpengaruh karena walaupun harga televisi di dalam negeri lebih mahal dibandingkan dengan harga ekspornya namun karena perbedaanya dengan harga ekspor tidak terlalu tinggi. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa perbedaan antara harga ekspor dan harga domestik tidak terlalu berbeda jauh sekalipun dalam kondisi harga domestik yang lebih tinggi daripada harga eksponya, oleh karena itu
produsen lebih cenderung untuk tetap mengekspor luar negeri. Hal ini dipengaruhi juga oleh produk televisi yang dihasilkan oleh Multinational Company yang ada di Indonesia sudah banyak diminati oleh pasar internasional sehingga produsen lebih mengharapkan keuntungan yang lebih besar melalui penjualan di pasar internasional, terutama di negara Malaysia, Singapura, dan Thailand yang menjadi pengimpor utama televisi Indonesia. Tabel 5.2 Perbandingan Harga Rata-rata Ekspor dah Harga Rata-rata Domestik Televisi Indonesia (US$/kg) Tahun
Harga Rata- rata Ekspor
Harga Rata-rata Domestik
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
7,18 7,05 8,91 7,74 7,96 7,73 6,78 5,35 5,28 5,62 8,59 8,37
7,23 7,15 7,09 7,39 7,25 7,79 7,72 7,77 6,59 6,83 7,62 6,46
Sumber : Depdag, 2008
b. Konsumsi Domestik Variabel konsumsi domestik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap volume penawaran ekspor televisi ke negara pengimpor (Malaysia, Singapura, dan Thailand). Hal ini terjadi karena kebutuhan masyarakat Indonesia untuk mengkonsumsi televisi lebih didominasi oleh produk asal China dibandingkan dengan produk televisi dalam negeri dikarenakan harga produk televisi asal China jauh lebih murah walaupun dari segi kualitas jauh di bawah produk televisi buatan Indonesia. Oleh karena itu konsumsi domestik tidak berpengaruh kepada volume
penawaran ekspor televisi Indonesia. Para produsen tidak terlalu memfokuskan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri karena sebagian besar sudah dipenuhi oleh produk televisi asal China. Para produsen lebih memilih untuk tetap mengekspor produk mereka ke luar negeri untuk memenuhi permintaan dari negara pengimpor, terutama ke Malaysia, Singapura, dan Thailand. c. Nilai Tukar Variabel nilai tukar tidak berpengaruh secara signifikan terhadap volume penawaran ekspor televisi Indonesia ke negara pengimpor (Malaysia, Singapura, dan Thailand). Hal ini terjadi
karena perubahan nilai tukar seperti adanya
depresiasi tidak mempengaruhi keinginan produsen untuk mengekspor televisi ke tiga negara tersebut, dikarenakan kebutuhan untuk memenuhi permintaan dari negara pengimpor tersebut. Perubahan nilai tukar seharusnya berpengaruh pada jumlah produksi domestik karena bahan baku untuk pembuatan televisi sebagian besar masih diimpor.
5.5. Analisis Keunggulan Komparatif Komoditi Televisi Indonesia Bedasarkan nilai RCA selama periode tahun 2002 hingga 2006 (Tabel 5.3) perkembangan daya saing televisi Indonesia menunjukkan peningkatan. Perkembangan
daya
saing
untuk
televisi
sebenarnya
baik
walaupun
peningkatannya tidak terlalu besar. Nilai RCA tertinggi terjadi pada tahun 2002 dimana nilai RCA nya mencapai 12,85. Nilai RCA terendah terjadi pada tahun 2006 yang hanya mencapai 11,80. Jika dilihat dari negara pesaing, Mexico merupakan negara yang memiliki RCA tertinggi, negara ini salah satu produsen televisi terbesar dan pesaing kuat
dalam pasar internasional karena . Perkembangan Mexico selama periode 20022006 menunjukkan kecenderungan peningkatan. Selain Mexico, China dan Polandia juga merupakan pesaing yang cukup berat karena nilai ekspor televisi mereka sangat besar dan nilai RCAnya selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh kemampuan negara-negara tersebut untuk memanfaatkan sumber daya alam yang mereka miliki menjadi komponen bahan baku terlebih dahulu dan langsung merakitnya menjadi sebuah televisi, dan tidak perlu lagi untuk mengimpor komponen bahan baku sehingga hal ini memberikan nilai tambah yang tinggi untuk produk mereka. Selain itu penguasaan teknologi dan kualitas tenaga kerja yang baik menjadi faktor pendukung. Tabel 5.3. Nilai RCA Komoditi Televisi Indonesia di Pasar Internasional Periode 2002-2005 Negara Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 Mexico 102,81 114,91 111,48 179,07 236,33 China 16,36 20,17 18,15 28,70 32,99 Polandia 67,35 62,77 46,54 74,51 109,43 Indonesia 12,85 12,65 12,45 11,85 11,8 Jepang 4,59 7,68 8,08 8,73 6,31 USA 3,31 3,53 3,56 5,07 5,97 Sumber : ITC COMTRADE, 2007 (diolah)
Di sisi lain Indonesia masih jauh lebih unggul jika dibandingkan Jepang dan Amerika Serikat, karena nilai RCA komodiri televisi Indonesia masih lebih tinggi jika dibandingkan kedua negara tersebut. Hal ini tejadi karena Jepang dan Amerika hanya fokus pada pembuatan komponen bahan baku untuk televisi saja, sementara untuk merakitnya menjadi sebuah televisi tidak terlalu diutamakan.
Melihat nilai RCA yang ada maka produk televisi Indonesia cukup berdaya saing untuk diekspor di pasar internasional. Kuatnya daya saing dan cukup tingginya pangsa pasar komoditi televisi di pasar internasional menunjukkan semakin ketatnya persaingan komoditi televisi di kancah
dunia.
Terutama
Indonesia
yang
nilai
RCAnya
menunjukkan
perkembangan yang baik. Hal seperti ini harus dapat terus ditingkatkan agar dapat memberikan dampak yang positif terhadap keunggulan komparatif Indonesia di pasar internasional.
5.6. Analisis Keunggulan Kompetitf Komoditi Televisi Indonesia 1.
Kondisi Faktor Kondisi faktor merupakan faktor endomen yang dimiliki oleh suatu negara
untuk mengembangkan industrinya. Kondisi faktor ini merupakan salah satu komponen daya saing yang sangat basis dan penting. Kondisi faktor dalam hal ini berupa sumber daya alam, tenaga kerja yang terampil, atau infrastruktur yang baik. Ketiga kondisi ini akan dijelaskan sebagai berikut : a. Sumber Daya Alam Indonesia dikenal mempunyai kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah, baik sumber daya alam yang dapat diperbaharui maupun sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Menurut Departemen Perindustrian (2007) Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah dan dapat menjadi komponen industri seperti karet, keramik, kaca dan plastik untuk bahan pembuatan produk elektronika terutama bahan baku pembuatan televisi. Akan tetapi kekayaan sumber daya alam ini tidak mampu untuk diberdayakan oleh
sumber daya manusia di Indonesia. Sumber daya alam yang masih mentah lebih banyak untuk diekspor ke luar negeri. Kemudian dari luar negeri bahan baku yang sudah diolah dan tinggal dirakit di Indonesia masih banyak yang diimpor. Padahal bahan mentah yang diekspor ke luar negeri ini bernilai tambah rendah. Hal ini pada akhirnya menyebabkan ketergantungan impor komponen untuk pembuatan televisi masih sangat tinggi hingga mencapai 80 persen, karena minimnya peningkatan nilai tambah sumber daya alam Indonesia untuk diolah menjadi komponen industri. Salah satu untuk menghilangkan ketergantungan pada luar negeri adalah dengan cara membuat sendiri komponen bahan baku yang dibutuhkan industri televisi di Indonesia. b. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia adalah faktor yang paling menentukan dalam proses pengembangan sebuah teknologi seperti teknologi industri televisi. Untuk kondisi di Indonesia sendiri sumber daya manusianya masih belum mampu untuk bersaing dengan sumber daya manusia dari luar negeri. Salah satu daya tarik sumber daya manusia di Indonesia bagi para investor adalah jumlah tenaga kerja yang berlimpah dengan tingkat upah buruh yang murah dengan pasar dalam negeri yang relatif besar. Selain itu lemahnya penguasaan teknologi oleh sumber daya manusia dalam negeri juga menjadi penghambat. Dengan adanya beberapa perguruan tinggi dalam negeri yang menyediakan program studi berbasis teknologi diharapkan dapat menghubungkan perguruan tinggi dengan pihak industri sehingga tenaga kerja yang diberikan kepada industi adalah tenaga kerja yang memiliki keahlian dan mampu bersaing dengan tenaga kerja dari luar negeri.
c. Sumber Daya Modal Sumber daya modal merupakan salah satu bagian terpenting dalam penguasaan komoditi televisi Indonesia. Secara umum, pembiayaan investasi dan modal tergantung kepada adanya kredit dan iklim usaha yang berlaku. Saat ini kondisi iklim investasi untuk industri televisi masih kurang mendukung karena investasi untuk industri televisi baru mencapai 500 juta US$. Dalam jangka panjang diharapkan pemerintah dapat menarik para investor untuk menanamkan modal mereka untuk perkembangan industri televisi. d. Kondisi Infrastruktur Kondisi infrastruktur yang baik sangat diperlukan dalam rangka peningkatan sebuah industri dalam suatu negara. Infrastruktur yang dimaksud antara lain berupa jalan, pelabuhan, telekomunikasi, juga lapangan udara. Sarana dan prasarana tersebut merupakan syarat penting dalam pengembangan komoditi televisi Indonesia. Saat ini di Indonesia kondisi infrastrukturnya cukup mendukung perkembangan industri televisi. Dimana salah satunya telah beroperasinya jalan tol Cipularang ataupun jalan tol dalam kota lainnya yang dapat mempermudah akses antara pabrik televisi tersebut dengan pasar dalam pendistribusian televisi. 2. Kondisi Permintaan Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu daya saing industri nasional, terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik merupakan sarana pembelajaran perusahaan-perusahaan untuk bersaing di pasar global.
Tabel 5.4. Perkembangan Konsumsi Televisi Indonesia Periode 1997-2008 (milyar rupiah) Tahun
Nilai Konsumsi
Tahun
Nilai Konsumsi
1996
789
2002
1.709
1997
647
2004
3.461
1998
229
2005
4.289
1999
3.648
2006
3.667
2000
1.589
2007
4.423
1.604
2008
2.270
2001 Sumber : BPS, 2009
Pada saat sekarang ini permintaan akan televisi semakin meningkat, hal ini dikarenakan televisi bukan lagi dianggap barang mewah oleh masyarakat Indonesia. Hampir setiap rumah tangga sudah mampu untuk membeli televisi. Kebutuhan untuk mendapatkan hiburan secara tidak langsung dapat didapat dari keberadaan televisi, dan ini merupakan cara mendapatkan hiburan yang murah meriah serta informasi yang dapat diperoleh dengan adanya televisi. Permintaan televisi merupakan permintaan domestik terbesar dibanding produk elektronik lainnya. Pada Tabel 5.4. permintaan domestik untuk televisi mengalami penurunan selama krisis sebesar 64 persen dan mengalami peningkatan yang sangat besar pasca krisis dengan trend peningkatan sebesar 1492,84 persen menjadi 3.648 milyar rupiah atau sekitar 16 kali lipat dibanding masa krisis. Sampai dengan tahun 2003 permintaan domestik untuk televisi selalu mengalami peningkatan walaupun dengan tren peningkatan yang tidak terlalu besar dan kembali mengalami penurunan di tahun 2003 dan 2004 hingga nilai konsumsinya hanya mencapai 1.838 milyar rupiah.
3. Industri Terkait dan Industri Pendukung Untuk mengembangkan industri perlu dibangun keterkaitan antar industri, baik industri pemasok ataupun industri terkait . Hal ini dapat meningkatkan nilai tambah dari industri tersebut. a. Industri Terkait Pada saat ini industri televisi di Indonesia umumnya masih melakukan perakitan televisi saja. Hal ini dikarenakan industri komponen bahan baku di Indonesia belum tumbuh. Bahan baku pembuatan televisi tersebut umumnya bersumber dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Korea, Taiwan, dan negara-negara Eropa. Hal ini dilakukan karena nilai ekonomis yang diperoleh lebih besar jika kita mampu mengubah pasir silica menjadi chip atau membuat gabungan thin film transistor daripada merakitnya menjadi LCD Display. Saat ini di pabrik-pabrik televisi yang sebagian besar berada di kawasan Jakarta, Bekasi, dan Tanggerang hanya sebagai pabrik perakit televisi, dan belum mampu untuk merakit bahan baku atau komponen utama dari perakitan televisi itu sendiri. Selain itu dalam dunia pertambangan , Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya dengan kandungan mineral seperti timah, tembaga, zircon, pasir kuasa dan nikel. Sumber daya tambang mineralyang terkait dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku (raw materials) utama maupun bahan baku penolong untuk komponen pembuatan televisi. Seperti potensi nikel yang terdapat di pulau Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku. Yang masih menjadi kendala utama adalah Indonesia belum mampu untuk menjadikan bahan-bahan tambang tersebut menjadi bahan
baku untuk pembuatan televisi dan masih mengandalkan bahan baku dari luar negeri. b. Industri Pendukung 1) Lembaga Penelitian dan Pengembangan Peranan lembaga penghubung dalam industri televisi tidaklah mudah karena bertumpu
pada
ilmu
pengetahuan
bidang
mikroelektronika
maupun
perangkatyang diperlukan untuk merancang komponen untuk merakit pembuatan
televisi.
Potensi
PAU
(Penelitian
Antar
Universitas)
Mikroelektronika untuk hal ini cukup besar, saat ini PAU menitikberatkan pada fungsinya untuk mendukung penelitian bidang mikroelektronika. Tentunya
bukan
tidak
mungkin
di
masa
mendatang fungsi
PAU
Mikroelektronika ITB dapat berkembang menjadi jembatan antara dunia perguruan tinggi dan dunia industri televisi di Indonesia. 2) Bandung Hi-Tech Valley (BHTV) Saat ini telah dibangun zona industri elektronika yang salah satunya menfokuskan perhatiannya pada industri televisi Indonesia, yaitu di sepanjang koridor Jakarta sampai Cikampek. Rencananya pada tahun 2010 akan dikembangkan lagi koridor Cilegon sampai Padalarang, dan Bandung yang akan menjadi pusat penelitian dan pengembangan yang dibagi dalam tiga koridor utama, yatu : Koridor Cilegon-Jakarta, Jakarta – Cikampek dan Cipularang ( Cikampek – Purwakarta – Padalarang). BHTV berfungsi sebagai dapur pengembangan riset dan penelitian. BHTV bersama PPAU (pusat Penelitian Antar Universitas) ITB juga bekerja sama dengan Telkom, INTI
(Industri Telekomunikasi), LEN (Lembaga Elektronika Nasional). Dengan adanya simbiosis mutualisme antara lembaga-lembaga tersebut diharapkan dapat memacu Indonesia mengejar ketertinggalannya dalam memproduksi televisi dibanding negara-negara ASEAN lainnya. 3. Persaingan, Struktur dan Strategi Persaingan komoditi televisi di pasar dunia cukup ketat terutama negaranegara produsen televisi pesaing Indonesia seperti Mexico, China, dan Polandia. Negara-negara tersebut selalu melakukan inovasi terutama pada penggunaan teknologi dan kualitas televisi yang dihasilkan. Selain itu persaingan ekspor televisi Indonesia di pasar internasional sedikit terancam karena bermunculnya pesaing baru, salah satunya Singapura yang sudah mulai memproduksi dan mengembangkan produk buatan mereka sendiri. Struktur pasar komoditi televisi adalah oligopoli, Pada pasar oligopoli, posisi Indonesia masih sebagai pengikut pasar. Posisi ini menyebabkan Indonesia tidak dapat mengambil keputusan yang berkaitan dengan harga maupun produk tanpa terlebih dahulu mengacu kepada pemimpin pasar atau kepada pesaingpesaing lainnya. Sebagai pengikut pasar, posisis Indonesia di pasar televisi internasional rentan terhadap penantang pasar. Oleh karena itu Indonesia harus segera melakukan langkah-langkah strategis untuk mempertahankan pangsa pasar dengan memasuki pasar-pasar baru atau bekerja sama dengan negara importir yang lebih prospektif. Percepatan pengembangan produksi dan ekspor televisi dapat dilakukan dengan menumbuhkan industri pendukung, peningkatan investasi industri televisi,
dan pengamanan pasar dalam negeri. Perusahaan sebagai produsen televisi juga memiliki andil yang cukup besar dalam penetapan strategi seperti pengembangan produk dan jenis televisi, strategi promosi yang baik, dan perbaikan sistem distribusi. Dalam hal ini melalui perusahaan multi level marketing. 4. Peran Pemerintah Pemerintah sangat berperan dalam mengembangkan suatu komoditi. Dalam pengembangan industri televisi di Indonesia, pemerintah cukup memberikan perhatian, diantaranya adanya beberapa regulasi yang dibuat dan dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka peningkatan kinerja industri. Regulasi tersebut diantaranya : penurunan pajak pertambahan nilai untuk barang mewah bedasarkan
(PPn
BM)
Peraturan
Menteri
Keuangan
(PMK)
Nomor
620/PMK.03/2004 Tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dan juga Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 tahun 1994 yang kemudian disempurnakan dengan PP No. 83 Tahun 2001 tentang pembebasan bea masuk impor, penyederhanaan ketentuan investasi serta pengembangan sumber daya manusia. Kebijakan ini akan membuka kesempatan yang lebih luas bagi perusahaan domestik maupun asing dalam pembiayaan nasional khususnya peningkatan investasi industri televisi. Penurunan PPn BM tersebut tidak berlaku untuk semua jenis produk televisi. Penurunan PPn BM ini hanya diberikan terhadap televisi sampai dengan ukuran 29 inchi (batasan sebelumnya 21 inchi). Namun untuk produk televisi di atas ukuran tersebut masih dikenakan PPn BM sampai dengan 10 persen.
Tentunya secara tidak langsung hal ini akan berakibat pada peningkatan biaya produksi dan dapat menurunkan kapasitas produk televisi yang dihasilkan sehingga berpengaruh kepada penurunan volume penawaran ekspor televisi Indonesia. 5. Kesempatan Peran kesempatan merupakan kondisi yang mampu mempengaruhi daya saing industri televisi di Indonesia di luar kendali perusahaan dan pemerintah. Unruk industri
televisi
di
Indonesia, peran kesempatan
yang kurang
menguntungkan yang dihadapi antara lain fluktuasi nilai tukar dan produk televisi produksi China yang masuk ke Indonesia. Fluktuasi nilai tukar kurang memberikan kontribusi yang positif dalam pengembangan industri ini, hal ini mengakibatkan tingginya resiko yang dihadapi oleh industri karena sekitar 80 persen bahan baku pembuatan televisi masih diimpor. Produk China dengan harga yang jauh lebih rendah juga dapat mengakibatkan penurunan daya saing produk produk televisi. Sedangkan kesempatan yang cukup menguntungkan adalah Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar, dengan 250 juta lebih penduduk. Oleh karena itu, meskipun pendapatan per kapita penduduk Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, tetapi Indonesia masih merupakan fokus nomor satu sebagai eksportir televisi di ASEAN.
VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
6.1. Kesimpulan 1. Secara umum industri televisi Indonesia mengalami perkembangan yang cukup baik, dilihat dari sisi produksi dan ekspornya terutama untuk ekspor ke negara Malaysia, Singapura, dan Thailand. Walaupun cenderung berfluktuasi namun dengan peningkatan produksinya, ekspor televisi juga dapat ditingkatkan. Peningkatan penawaran ekspor televisi merupakan salah satu faktor
yang
dapat
mempengaruhi
pertumbuhan
ekonomi.
Dengan
meningkatnya penawaran ekspor televisi maka pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dipacu dan juga dalam peningkatan kerjasama Indonesia dengan negara ASEAN melalui Asean Free Trade Area (AFTA). 2. Bedasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini , secara keseluruhan semua variabel (uji F) yaitu harga ekspor, harga domestik, produksi domestik, konsumsi domestik, nilai tukar, lag ekspor dan dummy berpengaruh nyata terhadap volume ekspor televisi Indonesia ke negara Malaysia, Singapura, dan Thailand. Namun untuk pengujian setiap variabel (uji t) terdapat 3 variabel bebas yang berpengaruh secara signifikan terhadap volume penawaran ekspor televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand yaitu harga ekspor, produksi domestik, dan lag ekspor. Sedangkan untuk variabel harga domestik, konsumsi domestik,
dan nilai tukar ttidak berpengaruh secara signifikan
terhadap volume ekspor televisi Indonesia ke negara Malaysia, Singapura, dan Thailand. Dari hasil analisis regresi data panel untuk variabel dummy
menunjukkan bahwa volume penawaran ekspor televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand sebelum dan sesudah terjadinya krisis ekonomi adalah berbeda secara signifikan. 3. Analisis
keunggulan
komparatif
dengan
perhitungan
indeks
RCA
menunjukkan bahwa komoditi televisi Indonesia cukup berdaya saing. Namun Indonesia masih dihadapkan dengan pesaing–pesaing berat lainnya seperti China, Mexico, dan Polandia. Analisis Kompetitif dengan teori Berlian Poter menunjukkan bahwa komoditi televisi Indonesia berdaya saing lemah karena terdapat berbagai kendala di dalam negeri yaitu nilai tambah produk televisi Indonesia yang masih rendah, kualitas sumber daya manusia yang masih rendah, kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung industri televisi di Indonesia, ketergantungan bahan baku yang sebagian besar masih diimpor serta kebijakan pemerintah yang masih belum kondusif seperti penurunan PPn BM dan pembebasan bea masuk impor.
6.2. Implikasi Kebijakan Bedasarkan penjelasan sebelumnya, maka ada beberapa implikasi kebijakan untuk meningkatkan penawaran ekspor televisi Indonesia agar dapat mendorong industrialisasi di Indonesia dan memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia, diantaranya adalah : 1. Pemerintah diharapkan dapat mengurangi intervensinya terhadap mekanisme perdagangan produk televisi. Salah satunya dengan mengkaji ulang mengenai PMK Nomor 620/PMK/.03/2004 tentang pemberlakuan pajak penjualan barang mewah dimana penetapan pajak penjualan untuk televisi masih sangat
tinggi dan berbeda-beda untuk setiap jenis dan ukuran. Seharusnya penurunan atau bahkan penghapusan PPN BM diberlakukan untuk semua jenis televisi, tidak terbatas jenis dan ukuran tertentu saja sehinnga volume penawaran ekspor televisi dapat ditingkatkan. 2. Pemerintah diharapkan dapat merangsang pertumbuhan industri pendukung, infrastruktur dan penunjang lainnya yang berkaitan dengan industri televisi dalam negeri seperti industri komponen bahan baku, sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor yang pada akhirnya pertumbuhan produksi televisi dalam negeri dapat ditingkatkan dan volume ekspor televisi dapat meningkat. 3. Adanya trend produk negara lain seperti produk televisi asal China yang menunjukkan pertumbuhan yang terus meningkat dan masih menjadi pemain dominan perlu diatasi. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan kebijakan kuota impor justru bukan dengan pembebasan Bea Masuk Impor seperti dalam PP Nomor. 83 tahun 2001, sehingga impor televisi China yang masuk ke Indonesia dapat dibatasi sehingga penurunan produksi dalam negeri dapat dihindari. 4. Pemerintah diharapkan dapat menarik para investor untuk menanamkan modal mereka untuk perkembangan industri televisi dan menciptakan iklim investasi yang kondusif dengan membuat kebijakan mengenai penyederhanaan ketentuan investasi untuk industri televisi di Indonesia.
5. Pemerintah dapat meningkatkan distribusi pasar dengan memilih negaranegara tujuan ekspor televisi yang memiliki pertumbuhan impor televisi yang cukup tinggi dan juga memperluas pasar tidak hanya di pasar ASEAN saja.
DAFTAR PUSTAKA
Aswicahyono, H. 1996. Makna dan Tantangan Transformasi Industri Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas. Mari Pangestu, Raymond Atje, dan Julius Mulyadi [penyunting]. CSIS , Jakarta. Anissa, K. 2006. Analisis Daya Saing The Hitam Indonesia di Pasar Internasional (Pendekatan Analisis Daya Panel) [Skripsi]. Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik. 1996-2008. Statistik Indonesia . BPS, Jakarta. _________________. 1996-2008. Statistik Industri Indonesia. BPS, Jakarta. _________________. 1996-2008. Industri Sedang dan Besar. BPS, Jakarta. Bank Indonesia. 2008. Laporan Perekonomian Indonesia 2008. Bank Indonesia. Jakarta. Departemen Perindustrian. 2007. Laporan Akhir Studi Nasional Pengembangan Industri Elektronika. Depperin, Jakarta. Departemen Perdagangan. 2008. Market Brieft Produk Televisi Di Kuwait. Depdag, Jakarta. Dumairy. 1996 . Perekonomian Indonesia. Cetakan Kelima. Erlangga, Jakarta. Fahmy, I. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia [Skripsi]. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gasperz, V. 1995. Teknik Analisis dalam Penelitian Perancangan Percobaan 2 Tarsito, Bandung. Gabel. 2008. Dampak Krisis bagi Industri dan Pasar Elektronika Indonesia. Gabungan Elektronik, Jakarta. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Sumarno Zain [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar. Sumarno Zain [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
Juanda, B. 2009. Ekonometrika : Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor. Lindert, P.H. dan C.P Kindleberger. 1995. Ekonomi Internasional. Erlangga, Jakarta. Lipsey, R. G. 1995. Pengantar Mikroekonomi Aksara, Jakarta.
Jilid Kesatu. Binarupa
Mankiw, G. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi Kelima. Imam Nurmawan [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Nicholson, W. 1999. Teori Ekonomi Mikro. Rajawali Press, Jakarta. Porter, M. E. 2005. The Competitive Advantage of Nations. Macmillan Press, Hongkong. Rakhmadi, H. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Penawaran Ekspor Pupuk Urea [Skripsi]. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rosandi, A. W. 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Kopi Indonesia [Skripsi] . Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga, Jakarta. Syahrial, S. 2004. Pelatihan Pengolahan Data Panel Laboratorium Komputasi Departemen Ilmu Ekonomi FEUI. LPEM FEUI, Depok. Tambunan, T. 2001. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang: Kasus Indonesia. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. Thoha, M. 1996. Daya Saing Industri Elektronika Indonesia. PPW-LIPI, Jakarta. Tobing, S. L. B. 2008. Analisis Struktur, Perilaku, Kinerja dan Daya Saing Industri Elektronika di Indonesia [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lampiran 1. Data untuk Diolah NEGARA TAHUN _MALAYSIA 1996 _MALAYSIA 1997 _MALAYSIA 1998 _MALAYSIA 1999 _MALAYSIA 2000 _MALAYSIA 2001 _MALAYSIA 2002 _MALAYSIA 2003 _MALAYSIA 2004 _MALAYSIA 2005 _MALAYSIA 2006 _MALAYSIA 2007 _SINGAPURA 1996 _SINGAPURA 1997 _SINGAPURA 1998 _SINGAPURA 1999 _SINGAPURA 2000 _SINGAPURA 2001 _SINGAPURA 2002 _SINGAPURA 2003 _SINGAPURA 2004 _SINGAPURA 2005 _SINGAPURA 2006 _SINGAPURA 2007 _THAILAND 1996 _THAILAND 1997 _THAILAND 1998 _THAILAND 1999 _THAILAND 2000 _THAILAND 2001 _THAILAND 2002 _THAILAND 2003 _THAILAND 2004 _THAILAND 2005 _THAILAND 2006 _THAILAND 2007
LN_VEX 12,02 12,14 14,41 14,38 14,56 14,51 14,39 14,34 14,81 14,81 14,49 14,62 13,60 13,79 14,91 14,91 15,27 15,23 15,17 15,16 15,71 15,62 15,60 15,68 13,38 13,24 14,30 14,03 14,35 14,32 14,27 14,24 15,19 14,80 14,49 14,53
LN_PEX 1,77 1,82 2,18 2,15 2,17 2,12 1,68 1,66 2,02 1,99 1,81 1,86 2,10 2,14 2,15 2,14 2,19 2,16 2,00 1,98 2,12 2,09 2,04 2,11 1,83 2,06 2,11 1,96 2,10 2,10 2,05 2,03 2,12 2,01 1,96 2,00
LN_PD 1,98 1,97 1,96 2,00 1,98 2,05 2,04 2,05 1,89 1,92 2,03 1,87 1,98 1,97 1,96 2,00 1,98 2,05 2,04 2,05 1,89 1,92 2,03 1,87 1,98 1,97 1,96 2,00 1,98 2,05 2,04 2,05 1,89 1,92 2,03 1,87
LN_PROD 17,42 17,60 17,44 17,42 17,86 17,79 17,79 18,14 18,32 18,32 18,27 18,13 17,42 17,60 17,44 17,42 17,86 17,79 17,79 18,14 18,32 18,32 18,27 18,13 17,42 17,60 17,44 17,42 17,86 17,79 17,79 18,14 18,32 18,32 18,27 18,13
Lampiran 1. Data untuk Diolah (Lanjutan) NEGARA TAHUN LN_KON _MALAYSIA 1996 16,26 _MALAYSIA 1997 16,24 _MALAYSIA 1998 16,72 _MALAYSIA 1999 17,48 _MALAYSIA 2000 17,15 _MALAYSIA 2001 17,22 _MALAYSIA 2002 17,48 _MALAYSIA 2003 17,58 _MALAYSIA 2004 17,50 _MALAYSIA 2005 17,51 _MALAYSIA 2006 17,53 _MALAYSIA 2007 17,16 _SINGAPURA 1996 16,26 _SINGAPURA 1997 16,24 _SINGAPURA 1998 16,72 _SINGAPURA 1999 17,48 _SINGAPURA 2000 17,15 _SINGAPURA 2001 17,22 _SINGAPURA 2002 17,48 _SINGAPURA 2003 17,58 _SINGAPURA 2004 17,50 _SINGAPURA 2005 17,51 _SINGAPURA 2006 17,53 _SINGAPURA 2007 17,16 _THAILAND 1996 16,26 _THAILAND 1997 16,24 _THAILAND 1998 16,72 _THAILAND 1999 17,48 _THAILAND 2000 17,15 _THAILAND 2001 17,22 _THAILAND 2002 17,48 _THAILAND 2003 17,58 _THAILAND 2004 17,50 _THAILAND 2005 17,51 _THAILAND 2006 17,53 _THAILAND 2007 17,16
LN_ER 8,42 9,05 9,16 8,88 9,17 9,17 8,91 8,83 8,89 8,87 8,70 8,70 8,42 9,05 9,16 8,88 9,17 9,17 8,91 8,83 8,89 8,87 8,70 8,70 8,42 9,05 9,16 8,88 9,17 9,17 8,91 8,83 8,89 8,87 8,70 8,70
LN_LEX 11,92 12,02 12,14 14,41 14,38 14,56 14,51 14,39 14,34 14,81 14,81 14,49 13,47 13,60 13,79 14,91 14,91 15,27 15,23 15,17 15,16 15,71 15,62 15,60 13,32 13,38 13,24 14,30 14,03 14,35 14,32 14,27 14,24 15,19 14,80 14,49
DUMMY 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Lampiran 2. Hasil Estimasi Fungsi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan menggunakan Model Pooled Least Square Dependent Variable: LN_VEX? Method: Pooled Least Squares Date: 08/28/09 Time: 05:45 Sample: 1996 2007 Included observations: 12 Cross-sections included: 3 Total pool (balanced) observations: 36 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_PEX? LN_PD? LN_PROD? LN_KON? LN_ER? LN_LEX? DUMMY?
1.588110 -0.543924 0.484675 -0.271522 0.070268 0.487009 0.892793
0.484965 1.122750 0.237681 0.304293 0.306141 0.095233 0.283658
3.274690 -0.484457 2.039184 -0.892305 0.229527 5.113857 3.147421
0.0027 0.6317 0.0506 0.3796 0.8201 0.0000 0.0038
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.890525 0.867875 0.305833 2.712478 -4.539971
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
14.47994 0.841378 0.641110 0.949016 1.656318
Lampiran 3. Hasil Estimasi Fungsi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan menggunakan Model Pooled Least Square dengan pembobotan (Cross Section Weight) Dependent Variable: LN_VEX? Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 08/28/09 Time: 05:46 Sample: 1996 2007 Included observations: 12 Cross-sections included: 3 Total pool (balanced) observations: 36 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_PEX? LN_PD? LN_PROD? LN_KON? LN_ER? LN_LEX? DUMMY?
1.697244 -0.421256 0.493348 -0.305660 0.035164 0.508031 0.913579
0.478221 1.051234 0.223891 0.283619 0.288051 0.091499 0.270115
3.549075 -0.400726 2.203523 -1.077714 0.122074 5.552309 3.382181
0.0013 0.6916 0.0357 0.2900 0.9037 0.0000 0.0021
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
0.905433 0.885867 0.300458 1.653892
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
15.06517 3.050490 2.617981
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.899408 2.784764
Mean dependent var Durbin-Watson stat
14.47994 1.663065
Lampiran 4. Hasil Estimasi Fungsi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan menggunakan Model Pooled Least Square dengan pembobotan (Cross Section Weight) dan white Heteroskedastisitas Dependent Variable: LN_VEX? Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 08/28/09 Time: 05:46 Sample: 1996 2007 Included observations: 12 Cross-sections included: 3 Total pool (balanced) observations: 36 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_PEX? LN_PD? LN_PROD? LN_KON? LN_ER? LN_LEX? DUMMY?
1.697244 -0.421256 0.493348 -0.305660 0.035164 0.508031 0.913579
0.651627 1.057243 0.185462 0.243206 0.249581 0.139258 0.369504
2.604623 -0.398448 2.660098 -1.256791 0.140890 3.648142 2.472448
0.0144 0.6932 0.0126 0.2189 0.8889 0.0010 0.0195
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
0.905433 0.885867 0.300458 1.653892
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
15.06517 3.050490 2.617981
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.899408 2.784764
Mean dependent var Durbin-Watson stat
14.47994 1.663065
Lampiran 5. Hasil Estimasi Fungsi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan menggunakan Model Fixed Effect Dependent Variable: LN_VEX? Method: Pooled Least Squares Date: 08/28/09 Time: 05:47 Sample: 1996 2007 Included observations: 12 Cross-sections included: 3 Total pool (balanced) observations: 36 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LN_PEX? LN_PD? LN_PROD? LN_KON? LN_ER? LN_LEX? DUMMY? Fixed Effects (Cross) _MALAYSIA--C _SINGAPURA--C _THAILAND--C
9.194413 0.805493 -1.286627 0.390821 -0.307801 -0.095507 0.292774 1.386649
5.012096 0.424538 0.863369 0.197360 0.280192 0.261082 0.099896 0.276720
1.834445 1.897338 -1.490241 1.980243 -1.098539 -0.365814 2.930777 5.011010
0.0781 0.0689 0.1482 0.0584 0.2820 0.7175 0.0070 0.0000
-0.167830 0.346757 -0.178927 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.945298 0.926362 0.228318 1.355362 7.948322 1.538710
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
14.47994 0.841378 0.113982 0.553848 49.92228 0.000000
Lampiran 6. Hasil Estimasi Fungsi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan menggunakan Model Fixed Effect dengan pembobotan (Cross Section Weight) Dependent Variable: LN_VEX? Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 08/28/09 Time: 05:48 Sample: 1996 2007 Included observations: 12 Cross-sections included: 3 Total pool (balanced) observations: 36 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LN_PEX? LN_PD? LN_PROD? LN_KON? LN_ER? LN_LEX? DUMMY? Fixed Effects (Cross) _MALAYSIA--C _SINGAPURA--C _THAILAND--C
5.098244 0.802645 -1.013612 0.552719 -0.229316 -0.073744 0.236056 1.314605
3.434094 0.376291 0.571158 0.137899 0.179792 0.167043 0.080184 0.179568
1.484597 2.133041 -1.774662 4.008157 -1.275450 -0.441469 2.943925 7.320930
0.1497 0.0425 0.0877 0.0005 0.2134 0.6625 0.0067 0.0000
-0.191400 0.378752 -0.187352 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.973985 0.964980 0.217419 108.1591 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
19.31101 10.50193 1.229043 1.819202
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.969985 1.418016
Mean dependent var Durbin-Watson stat
14.47994 1.482207
Lampiran 7. Hasil Estimasi Fungsi Penawaran Ekspor Televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan menggunakan Model Fixed Effect dengan pembobotan (Cross Section Weight) dan white Heteroskedastisitas Dependent Variable: LN_VEX? Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 08/28/09 Time: 05:48 Sample: 1996 2007 Included observations: 12 Cross-sections included: 3 Total pool (balanced) observations: 36 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LN_PEX? LN_PD? LN_PROD? LN_KON? LN_ER? LN_LEX? DUMMY? Fixed Effects (Cross) _MALAYSIA--C _SINGAPURA--C _THAILAND--C
5.098244 0.802645 -1.013612 0.552719 -0.229316 -0.073744 0.236056 1.314605
3.650300 0.477392 0.578164 0.156368 0.184775 0.132382 0.126124 0.142683
1.396665 1.681311 -1.753156 3.534736 -1.241051 -0.557056 1.871621 9.213449
0.1743 0.1047 0.0914 0.0016 0.2257 0.5823 0.0726 0.0000
-0.191400 0.378752 -0.187352 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.973985 0.964980 0.217419 108.1591 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
19.31101 10.50193 1.229043 1.819202
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.969985 1.418016
Mean dependent var Durbin-Watson stat
14.47994 1.482207
Lampiran 8. Hasil Uji Chow (Chow Test) Redundant Fixed Effects Tests Pool: VOLEX Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
Cross-section F
18.390113
d.f.
Prob.
(2,26)
0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: LN_VEX? Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 08/28/09 Time: 05:49 Sample: 1996 2007 Included observations: 12 Cross-sections included: 3 Total pool (balanced) observations: 36 Use pre-specified GLS weights White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LN_PEX? LN_PD? LN_PROD? LN_KON? LN_ER? LN_LEX? DUMMY?
7.418529 1.501318 -0.638355 0.385325 -0.506670 -0.164023 0.534501 1.209250
6.453484 0.616288 1.000052 0.181292 0.324279 0.170453 0.120211 0.367994
1.149539 2.436063 -0.638322 2.125443 -1.562451 -0.962277 4.446350 3.286059
0.2601 0.0215 0.5285 0.0425 0.1294 0.3441 0.0001 0.0027
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.937184 0.921480 0.325559 2.967677 -51.75947 1.515220
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
19.31101 10.50193 3.319970 3.671864 59.67813 0.000000
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.939689 2.849325
Mean dependent var Durbin-Watson stat
14.47994 1.300945
Lampiran 9. Hasil Uji Normalitas 9 Series: Standardized Residuals Sample 1996 2007 Observations 36
8 7 6
Mean 1.54e-16 Median -0.053025 Maximum 0.473186 Minimum -0.358326 Std. Dev. 0.186601 Skewness 0.506041 Kurtosis 3.095269
5 4 3 2
Jarque-Bera 1.550079 Probability 0.460686
1 0 -0.4
-0.2
-0.0
0.2
0.4
LAMPIRAN