ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR BIJI KAKAO INDONESIA DI MALAYSIA, SINGAPURA, DAN THAILAND DALAM SKEMA CEPT-AFTA
OLEH VERONIKA EKA SITANGGANG H14052985
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
VERONIKA EKA SITANGGANG. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam Skema CEPT-AFTA (dibimbing oleh RINA OKTAVIANI).
AFTA merupakan wujud kesepakatan negara-negara anggota ASEAN untuk menciptakan suatu kawasan perdagangan bebas dan meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN serta menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia yang dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008). Kemudian dipercepat pencapaiannya menjadi tahun 2002. Melalui pemberlakuan Tarif Efektif Bersama (CEPT- Common Effective Preferential Tariif) untuk AFTA, diharapkan hambatan-hambatan perdagangan diantara anggota ASEAN baik berupa hambatan tarif maupun non tarif dapat dihapuskan sehingga bisa meningkatkan perdagangan diantara negara anggota. Pemberlakuan skema CEPT mencakup produk-produk industri dan pertanian baik yang berupa bahan mentah ataupun dalam bentuk olahan. Sektor pertanian di Indonesia sampai saat ini masih memegang peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai penghasil bahan baku bagi industri juga merupakan penyerap tenaga kerja serta penghasil devisa bagi negara. Salah satu produk pertanian yang menjadi andalan ekspor Indonesia adalah biji kakao. Indonesia merupakan negara penghasil sekaligus pengekspor biji kakao terbesar nomor tiga di dunia saat ini. Sedangkan di posisi pertama dan kedua ditempati oleh Pantai Gading dan Ghana. Dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2007, Indonesia telah mengekspor biji kakao ke negara anggota ASEAN yakni Malaysia, Singapura, dan Thailand. Perkembangan permintaan ekspor di ketiga negara tersebut mengalami fluktuasi, kadang meningkat kadang juga menurun. Untuk permintaan ekspor biji kakao Indonesia di negara Malaysia cenderung meningkat dari tahun 1989 sampai tahun 2007. Namun, permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Singapura dan Thailand cenderung menurun dari tahun 1989 sampai tahun 2007. Fluktuasi permintaan ekspor biji kakao ini diduga disebabkan oleh fluktuasi beberapa faktor yang mempengaruhinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam skema CEPT-AFTA dan juga mengidentifikasi bagaimana pengaruh skema CEPT-AFTA terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia di ketiga negara tersebut. Penelitian ini akan menggunakan analisis regresi data panel dengan metode pooled OLS untuk melihat faktor-faktor yang memiliki pengaruh signifikan pada permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand serta mengetahui pengaruh skema CEPT-AFTA. Data dependen yang digunakan adalah volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia di ketiga negara tersebut. Sedangkan untuk data independen yang digunakan adalah GDP per kapita riil ketiga negara tujuan, populasi ketiga negara tujuan, harga biji kakao di pasar internasional, harga biji kakao di negara tujuan, nilai tukar riil negara tujuan, dan ekspor olahan negara tujuan. Dan untuk variabel dummy yang digunakan
adalah implementasi skema CEPT-AFTA. Data-data yang digunakan adalah dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga biji kakao di pasar internasional, harga biji kakao di negara tujuan, dan ekspor olahan negara tujuan berpengaruh signifikan terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand pada taraf lima persen. Sedangkan variabel dummy CEPT-AFTA menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah implementasi CEPT-AFTA, permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand adalah berbeda nyata. Adjusted R2 pada penelitian ini sebesar 96,45 persen yang berarti bahwa perubahan pada permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand sebesar 96,45 persen dapat dijelaskan oleh variabel independen yang digunakan dalam model. Dari hasil penelitian ini, diharapkan pemerintah dan stake holder mempertimbangkan potensi volume ekspor produk olahan kakao negara importir dalam rangka meningkatkan permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Selain itu faktor mutu dan produktivitas tanama kakao juga perlu ditingkatkan, karena harga biji kakao terkait erat dengan mutu biji kakao tersebut. Harga biji kakao di pasar internasional juga perlu diperhaikan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap perubahan volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR BIJI KAKAO INDONESIA DI MALAYSIA, SINGAPURA, DAN THAILAND DALAM SKEMA CEPT-AFTA
Oleh VERONIKA EKA SITANGGANG H14052985
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi
: Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam Skema CEPT-AFTA
Nama Mahasiswa
: Veronika Eka Sitanggang
NRP
: H14052985
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Veronika Eka Sitanggang H14052985
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Veronika Eka Budianita Sitanggang lahir di Jakarta, pada tanggal 18 April 1987. Penulis adalah anak pertama dari lima bersaudara, dari pasangan Yudiman Sitanggang dan Regina Situngkir. Jenjang pendidikan penulis dilalui dengan baik dan tepat waktu. Penulis menjalani pendidikan dasar di SD Katolik Yos Sudarso Balikpapan dan lulus pada tahun 1999, kemudian melanjutkan di SLTP Katolik Yos Sudarso Balikpapan dan lulus pada tahun 2002. Kemudian penulis menempuh pendidikan menengah atas di kota Yogyakarta tepatnya di SMU Stella Duce 2 Yogyakarta dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis meninggalkan Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor. Penulis diterima di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB pada tahun 2005 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Kemudian pada tahun 2006, penulis diterima di Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Eknomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus pada organisasi KEMAKI.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus untuk semua berkat yang telah dianugerahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam Skema CEPT-AFTA”. Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan yang disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan dan wawasan penulis. Namun, berkat ijin dari Tuhan Yesus Kristus dan bantuan serta dorongan semangat dari berbagai pihak maka penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Untuk itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada : 1. Rina Oktaviani, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang telah bersedia memberikan banyak saran dan kritik membangun selama proses penulisan skripsi ini sehingga saat ini skripsi ini telah dapat terselesaikan dengan optimal. 2. Lukytawati Anggraeni, Ph.D sebagai dosen penguji yang telah memberi banyak pengetahuan, saran, serta kritik membangun demi perbaikan skripsi ini. 3. Tanti Noviyanti, M.Si sebagai dosen penguji dari komisi pendidikan yang juga memberikan saran bagi perbaikan penulisan skripsi ini. 4. Kedua orangtua penulis, Bapak Y. Sitanggang dan Ibu Regina Situngkir dan keempat adik-adik penulis (Stephie, Theres, Lolin, dan David) yang telah memberikan kasih sayang, doa, dan semangat bagi penulis selama proses penulisan skrripsi ini. 5. Para dosen Departemen Ilmu Ekonomi yang selama 3 tahun ini membimbing penulis, sehingga penulis mendapatkan banyak ilmu dan wawasan yang berguna bagi penulisan skripsi ini dan bagi kehidupan penulis sendiri. 6. Tata usaha dan staf Departemen Ilmu Ekonomi yang telah membantu penulis dalam tahap penyelesaian skripsi ini.
7. Dian, Giga, dan Maria yang telah memberikan semangat pantang menyerah dan masukan yang berguna bagi penulis serta keceriaan selama berjuang menjadi mahasiswa Ilmu Ekonomi. 8. Bebeh, Mamieh, dan Lesty yang merupakan teman satu bimbingan skripsi penulis. Penulis mengucapkan terima kasih buat semangat pantang mundur yang telah diberikan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan tepat waktu. 9. Teman-teman di Stevia yang telah memberikan bantuan dan semangat bagi penulis sampai saat ini. 10. Mbak Rina yang telah membantu proses pengolahan data skripsi ini dan masukanmasukan yang berarti bagi penulis. 11. Teman-teman IE 42 dan semua pihak yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa IE dan dalam penyelesaian skripsi ini.
Bogor,
Agustus 2009
Veronika Eka Sitanggang H14052985
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR............................................................................
ii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
iii
I.
PENDAHULUAN........................................................................
1
1.1. Latar Belakang .......................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ...............................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................
7
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .....................................................
8
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
9
2.1. ASEAN Free Trade Area (AFTA) ........................................
9
2.2. Pengertian Komoditi ..............................................................
12
2.3. Pengertian Ekspor ..................................................................
12
2.4. GDP Per Kapita .....................................................................
13
2.5. Populasi .................................................................................
13
2.6. Harga .....................................................................................
13
2.7. Nilai Tukar Riil .....................................................................
14
2.8. Bahan Baku sebagai Input Produk Olahan ............................
15
2.9. Penelitian Terdahulu ..............................................................
16
2.9.1. Penelitian Mengenai Biji Kakao ..................................
16
2.9.2. Penelitian Mengenai Data Panel ..................................
18
2.9.3. Perbedaan Dengan Penelitian Terdahulu .....................
19
III. KERANGKA PEMIKIRAN.........................................................
21
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................
21
3.1.1. Teori Perdagangan Internasional .................................
21
3.1.2. Teori Liberalisasi Perdagangan ...................................
25
3.1.3. Teori Permintaan Ekspor .............................................
27
3.1.4. Model Regresi Panel Data ...........................................
27
II.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ..........................................
30
3.3. Hipotesis Penelitian ...............................................................
33
IV. METODE PENELITIAN .............................................................
35
4.1. Jenis dan Sumber Data ..........................................................
35
4.2. Metode Analisis .....................................................................
36
4.2.1. Perumusan Model ........................................................
36
4.2.2. Pengujian Kesesuaian Model.......................................
38
4.2.3. Pengujian Asumsi Model.............................................
39
4.3. Pengujian Hipotesis ...............................................................
41
V. GAMBARAN UMUM .................................................................
45
5.1. Gambaran Umum Kakao Indonesia ......................................
45
5.2. Perkembangan Produktivitas, Produksi, dan Luas Areal Kakao ..................................................................................... ... 46 5.3. Perkembangan Ekspor Biji Kakao .........................................
48
5.4. Perkembangan Industri Pengolahan Kakao ...........................
50
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................
52
6.1. Pengujian Kesesuaian Model.................................................
52
6.2. Pengujian Asumsi Model.......................................................
53
6.3. Pengujian Hipotesis ...............................................................
55
6.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand ....... ... 56 VII. PENUTUP ..................................................................................
67
7.1. Kesimpulan ...........................................................................
67
7.2. Implikasi Kebijakan ..............................................................
68
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
70
LAMPIRAN .........................................................................................
72
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Distribusi Sektor-Sektor Perekonomian Terhadap GDP Indonesia Tahun 2005-2008 ...........................................................................
3
2. Sumbangan Subsektor Pertanian Terhadap GDP Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004-2008 ...................................................
4
3. Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia Tahun 2005-2008 .............
4
4. Jenis dan Sumber Data ..................................................................
35
5. Perkembangan Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Kakao Indonesia tahun 2003-2008 ...........................................................
47
6. Daftar Perusahaan Eksportir Kakao Indonesia ..............................
50
7. Hasil Analisis Regresi Model Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia dengan Data Panel Menggunakan Metode Pooled OLS ...
54
8. Rata-Rata Harga Biji Kakao di Negara Importir dan Jumlah Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia Tahun 1989-2007 .........
59
9. Rata-Rata Ekspor Olahan Negara Importir dan Jumlah Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia Tahun 1989-2007 .........
60
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Indonesia Ke Malaysia, Singapura, dan Thailand ................................................................
5
2. Mekanisme Terjadinya Perdagangan Internasional .......................
24
3. Dampak Pemberlakuan Tarif .........................................................
26
4. Kerangka Pemikiran Operasional ..................................................
32
5. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Indonesia 2003-2008 ..............
49
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data Mentah Olahan Untuk Analisis Regresi Data Panel .............
71
2. Hasil Pengolahan Regresi Data Panel Metode PLS ......................
74
3. Hasil Pengolahan Regresi Data Panel Metode Fixed Effect .........
75
4. Data untuk Analisis Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand ...............................................
76
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Asosiasi negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) pada awalnya tidak memiliki sebuah konstitusi ASEAN untuk dijadikan sebagai pedoman pencapaian tujuan ASEAN. Saat itu, ASEAN hanya berdiri berdasarkan sebuah deklarasi, yakni Deklarasi Bangkok yang ditandatangani oleh lima negara pelopor, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura. Namun demikian, dalam perkembangannya dirasakan perlu untuk membuat suatu Charter yang berfungsi sebagai konstitusi ASEAN dan menegaskan legal personality dari ASEAN. Pada November 2007, ASEAN Charter pun disetujui dan ditandatangani oleh para Kepala Negara atau Pemerintah ASEAN pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-13 di Singapura. ASEAN Charter
merupakan
sebuah “Crowning Achievement” dalam memperingati 40 tahun berdirinya ASEAN yang akan memperkuat semangat kemitraan, solidaritas, dan kesatuan negara-negara anggotanya dalam mewujudkan Komunitas ASEAN. ASEAN Charter menjadi landasan konstitusional pencapaian tujuan dan pelaksanaan pinsip-prinsip yang dianut bersama untuk pencapaian pembangunan Komunitas ASEAN 2015.1 Dalam ASEAN Charter termuat tujuan dan prinsip-prinsip ASEAN yang salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan negara-negara anggota dengan peningkatan kerjasama ekonomi, politik, keamanan, dan sosial-kultural. Kehadiran ASEAN Charter ini tidak terlepas dari semangat untuk membangun kerjasama dibidang ekonomi. ASEAN Charter diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi negara-negara di 1
http://www.indonesianembassy.it Resume ASEAN Charter [29 Juni 2009]
kawasan itu menuju ASEAN Economic Community (AEC), sehingga kerjasama ekonomi bisa lebih terintegrasi dan target pelaksanaannya bisa dipenuhi pada tahun 2015. Untuk itu berbagai kerjasama dibidang ekonomi telah dilakukan dan salah satunya adalah kerjasama di sektor perdagangan yang dilakukan dengan pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA) melalui pemberlakuan Tarif Efektif Bersama (Common Effective Preferential Tariff - CEPT) antara 0-5% atas dasar produk per produk, baik produk ekspor maupun impor guna menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan di antara negara-negara ASEAN. ASEAN Free Trade Area (AFTA) dibentuk pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. AFTA merupakan wujud kesepakatan negara-negara anggota ASEAN untuk menciptakan suatu kawasan perdagangan bebas dan meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN serta menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia yang dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008). Kemudian dipercepat pencapaiannya menjadi tahun 2002. Skema Common Effective Preferential Tariff for AFTA ini berlaku bagi perdagangan komoditas pertanian diantara negara anggota. Sektor pertanian bagi Indonesia sendiri memiliki peran yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (GDP) Indonesia yang cukup besar yaitu 13,7 persen pada tahun 2008 atau merupakan urutan ketiga setelah sektor Industri Pengolahan serta Perdagangan, Hotel dan Restoran yang dapat ditunjukkan pada Tabel 1. Pada saat krisis ekonomi, sektor pertanian merupakan sektor yang cukup kuat menghadapi goncangan ekonomi dan ternyata dapat diandalkan dalam pemulihan perekonomian nasional.
Tabel 1. Distribusi Sektor-Sektor Perekonomian Terhadap GDP Indonesia Tahun 2005-2008 (%) Sektor 2005 2006 2007 2008 Pertanian
14,5
14,2
13,8
13,7
9,4
9,1
8,7
8,3
28,1
27,8
27,4
26,8
Listrik, Gas dan Air Bersih
0,7
0,7
0,7
0,7
Bangunan
5,9
6,1
6,2
6,3
16,8
16,9
17,3
17,4
Pengangkutan dan Komunikasi
6,2
6,8
7,3
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa
9,2
9,2
9,4
9,5
Jasa-Jasa
9,2
9,2
9,3
9,3
Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Sumber : Laporan Perekonomian Indonesia, Bank Indonesia 2008
Salah satu subsektor pertanian yang cukup besar potensinya adalah subsektor perkebunan. Meskipun kontribusi subsektor perkebunan terhadap pembentukan GDP belum terlalu besar yaitu 2,4 persen (data sangat sementara, BPS 2008) pada tahun 2008 atau merupakan urutan ketiga di sektor pertanian setelah subsektor tanaman bahan makanan dan subsektor perikanan yang dapat ditunjukkan oleh Tabel 2, akan tetapi subsektor ini memiliki peran sebagai penyedia bahan baku industri, penyerap tenaga kerja dan penghasil devisa bagi negara. Tabel 2. Sumbangan Subsektor Pertanian Terhadap GDP Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004-2008** (%) Subsektor 2004 2005 2006 2007* 2008** Tanaman bahan Makanan 7,95 7,4 7,2 7,5 7,86 Tanaman Perkebunan 2,4 2,3 2,1 2,3 2,4 Peternakan dan hasilnya Kehutanan Perikanan Keterangan: *data sementara **data sangat sementara
1,95 0,97 2,54
1,8 0,92 2,4
1,72 1,01 2,5
1,7 1,01 2,8
1,87 0,90 3,08
Sumber: Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik 2008 (diolah kembali)
Bagi Indonesia, komoditi perkebunan masih merupakan andalan ekapor nasional saat ini. Beberapa komoditi perkebunan yang masih menjadi andalan ekspor antara lain adalah kopi, kelapa sawit, dan biji kakao. Berdasarkan data BPS yang diolah Departemen Perdagangan, ditunjukkan bahwa dari Juni 2007 hingga Juni 2008 pertumbuhan ekspor tertinggi terjadi pada komoditi biji kakao dan kopi dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 54,99 persen dan 110,3 persen.2 Tabel 3. Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia Tahun 2005-2008 (Kg) Negara Tujuan 2005 2006 2007 2008 156.457.029 190.298.041 183.172.144 209.408.495 Malaysia (42,58) (38,77) (48,22) (55,03) 107.630.513 131.738.530 53.224.395 53.689.650 USA (29,29) (26,84) (14,01) (14,10) 30.093.945 43.976.494 43.683.484 45.157.536 Singapore (8,19) (8,96) (11,50) (11,86) 27.600.051 63.799.339 42.087.440 29.917.590 Brazil (7,51) (12,99) (11,08) (7,86) 15.830.127 18.240.928 20.746.109 15.902.495 China (4,30) (3,71) (5,46) (4,17) World 367.425.784 490.777.601 379.829.201 380.512.864 Keterangan: angka dalam kurung merupakan persentase kontribusi terhadap total ekspor biji kakao Indonesia Sumber : comtrade.un.org [29 Juni 2009]
Indonesia merupakan produsen dan eksportir biji kakao nomor tiga terbesar di dunia saat ini setelah Pantai Gading dan Ghana. Namun, ekspor biji kakao Indonesia ke dunia dari tahun 2005 sampai tahun 2008 menunjukkan fluktuasi yang cenderung menurun (Tabel 3). Negara ASEAN yang menjadi tujuan ekspor biji kakao Indonesia diantaranya adalah Malaysia, Singapura, dan Thailand. Dilihat dari perkembangan ekspor biji kakao Indonesia ke tiga negara tersebut, setelah implementasi CEPT-AFTA
2
http://www.wartaekonomi.co.id Ekspor 2009 Dorong Komoditas Perkebunan [14 Agustus 2009]
terjadi fluktuasi dengan kecenderungan meningkat untuk Malaysia. Sedangkan untuk Singapura dan Thailand terjadi kecenderungan menurun (Gambar 1).
Sumber : comtrade.un.org [29 Juni 2009]
Gambar 1. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Indonesia Ke Malaysia, Singapura, dan Thailand
1.2. Perumusan Masalah Dengan pembentukan integrasi ekonomi ASEAN, negara-negara anggota ASEAN termasuk didalamnya Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand akan memperoleh keuntungan pasar yang semakin luas. Namun peluang pasar tersebut dapat pula menjadi ancaman yang besar bagi Indonesia jika tidak dapat mengelola pasar, akses sumber bahan baku, dan para pelaku ekonomi lainnya. Dengan adanya pasar
AFTA, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand akan menghadapi kompetitorkompetitor yang besar pada sektor-sektor produk ekspor masing-masing negara tersebut. Dalam forum AFTA, skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) adalah pedoman pengurangan tarif regional dan menghapus hambatan non-tarif selama periode 15 tahun yang dimulai pada 1 Januari 1993. Produk CEPT meliputi seluruh produk industri yang termasuk didalamnya barang modal, produk olahan hasil pertanian dan produk lainnya. Sedangkan produk pertanian bukan olahan dan jasa, yang tadinya tidak termasuk dalam kesepakatan ini diatur dalam mekanisme tersendiri didalam forum ASEAN. Dengan adanya kesepakatan CEPT-AFTA ini membuat produk-produk pertanian yang termasuk produk-produk tanaman perkebunan Indonesia memiliki pangsa pasar yang semakin luas. Pada penelitian ini akan dianalisis permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2007, perkembangan volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia di ketiga negara ini mengalami fluktuasi. Fluktuasi perkembangan volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti fluktuasi nilai tukar dan fluktuasi harga komoditi biji kakao. Berdasarkan latar belakang serta uraian diatas, maka perumusan masalah yang akan dikaji pada penelitian ini adalah : 1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand?
2. Bagaimanakah implementasi skema (Common Effective Preferential Tariff for AFTA) CEPT-AFTA mempengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. 2. Mengidentifikasi pengaruh CEPT-AFTA terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat sebagai proses belajar yang dapat menambah ilmu dan pengetahuan baik bagi penulis sendiri maupun bagi kepentingan orang lain. Selain itu penelitian ini diharapkan mampu: 1. Memberikan gambaran mengenai trade flow diantara Indonesia dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand untuk komoditi biji kakao yang diperdagangkan. 2. Memberikan gambaran mengenai faktor – faktor yang dapat mendukung peningkatan permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. 3. Memberikan gambaran bagaimana CEPT-AFTA mempengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. 4. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan pada instansi yang terkait.
5. Dapat dijadikan sebagai salah satu literatur bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan permintaan ekspor komoditi Indonesia. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian tentang permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand ini hanya mencakup analisis terhadap komoditi biji kakao dengan kode HS (Harmonized System) 4-digit yaitu meliputi HS 1996 kode 1801 , HS 1992 kode 1801. Analisis permintaan ekspor komoditi tersebut hanya dilakukan pada tahun 1989 sampai dengan tahun 2007. II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ASEAN Free Trade Area (AFTA) ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah kawasan perdagangan bebas ASEAN dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN melalui skema CEPT-AFTA. Tujuan pembentukan AFTA adalah meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. AFTA diberlakukan secara penuh untuk negara ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina) sejak 1 Januari 2002 dengan fleksibilitas (terhadap produk-produk tertentu tarifnya masih diperkenankan lebih dari 0-5%). Sedangkan untuk Vietnam AFTA diberlakukan pada tahun 2006, untuk Laos serta Myanmar diberlakukan pada tahun 2008, dan bagi negara Kamboja diberlakukan pada tahun 2010.
Common Effective Preferential Tarif Scheme (CEPT) adalah program tahapan penurunan tarif bagi produk-produk yang diperdagangkan diantara negara-negara anggota ASEAN dan penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN. Ada empat klasifikasi produk yang termasuk dalam cakupan skema CEPT, yakni :3 1. Inclusion List (IL), yaitu daftar yang berisi produk-produk yang memenuhi kriteria sebagai berikut : a) Jadwal penurunan tarif b) Tidak ada pembatasan kuantitatif c) Hambatan non-tarifnya harus dihapuskan dalam waktu 5 tahun. 2. General Exception List (GEL), yaitu daftar produk yang dikecualikan dari skema CEPT oleh suatu negara karena dianggap penting untuk alasan perlindungan keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, nilai barang-barang seni, bersejarah atau arkeologis. Ketentuan mengenai General Exceptions dalam perjanjian CEPT konsisten dengan Artikel X dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Contoh produk GEL misalnya : senjata dan amunisi, narkotik. 3. Temporary Exclusions List (TEL), yaitu daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT. Produk-produk TEL barang manufaktur harus dimasukkan kedalam IL paling lambat 1 Januari 2002. Produk-produk dalam TEL tidak dapat menikmati konsensi tarif CEPT dari negara
3
http://one.indoskripsi.com Perdagangan Bebas Dalam Perspektif AFTA Serta Implementasinya [21 Juni 2009]
anggota ASEAN lainnya. Produk dalam TEL tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk-produk yang tercakup dalam ketentuan General Exceptions. 4. Sensitive List, yaitu daftar yang berisi produk-produk pertanian bukan olahan (Unprocessed Agricultural Products = UAP ). a) Produk-produk pertanian bukan olahan adalah bahan baku pertanian dan produk-produk bukan olahan yang tercakup dalam pos tarif 1-24 dari Harmonized System Code (HS), dan bahan baku pertanian yang sejenis serta produk-produk bukan olahan yang tercakup dalam pos-pos tarif HS; b) Produk-produk yang telah mengalami perubahan bentuk sedikit dibanding bentuk asalnya. Produk dalam SL harus dimasukkan kedalam CEPT dengan jangka waktu untuk masing-masing negara sebagai berikut: Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand tahun 2003; Vietnam tahun 2013; Laos dan Myanmar tahun 2015; Kamboja tahun 2017. Contoh dari produk SL adalah beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, dan cengkeh. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu produk untuk dapat menikmati konsesi CEPT yakni : a)
Produk terdapat dalam Inclusion List baik di negara tujuan maupun di negara asal dengan prinsip timbal balik (reciprocity). Artinya suatu produk dapat menikmati preferensi tarif di negara tujuan ekspor (yang tentunya di negara tujuan ekspor produk tersebut sudah ada dalam IL), maka produk yang sama juga harus sudah terdapat dalam IL dari negara asal.
b)
Memenuhi ketentuan asal barang (Rules of Origin), yaitu cumulative ASEAN Content lebih besar atau sama dengan 40%. Perhitungan ASEAN Content adalah sebagai berikut : Value of Imported Non-ASEAN Material Parts or Produce
+
Value of Undetermined Origin Materials, Parts or Produce X 100% < 60%
FOB Price
c)
Produk harus disertai Certificate of Origin Form D, yang dapat diperoleh pada Kantor Dinas atau Suku Dinas Perindustrian dan Perdagangan di seluruh Indonesia.
2.2. Pengertian Komoditi Definisi dari komoditi biji kakao yang akan dianalisis pada penelitian ini berdasarkan HS 1992 kode 1801 dan HS 1996 kode 1801 yaitu biji kakao, utuh atau pecah, mentah atau digongseng (Cocoa beans, whole or broken, row or roasted).4 2.3. Pengertian Ekspor Pengertian ekspor menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 182/MPP/Kep/4/1998 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor menyatakan bahwa ekspor adalah kegiatan yang mengeluarkan barang dan jasa dari daerah kepabeanan suatu negara. Adapun daerah kepabeanan sendiri didefinisikan sebagai wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara yang berada diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Lebih
4
http://comtrade.un.org [20 Juni 2009]
jelas lagi, Deliarnov (1995) menambahkan bahwa ekspor merupakan kelebihan produksi dalam negeri yang kemudian kelebihan produksi tersebut dipasarkan ke luar negeri.
2.4. Gross Domestic Product (GDP) Per Kapita Salah satu indikator utama yang digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan suatu negara adalah GDP per kapita. GDP per kapita adalah perbandingan antara GDP dengan jumlah populasi atau ukuran banyaknya pendapatan yang diperoleh setiap individu. Pengertian lain mengenai GDP per kapita adalah jumlah yang tersedia bagi perusahaan dan rumah tangga untuk melakukan pengeluaran. Oleh karena itu GDP per kapita dapat mengukur kemampuan suatu negara untuk melakukan pembelian barang dan jasa. Jika GDP per kapita suatu negara cukup tinggi, maka negara tersebut memiliki kemampuan tinggi untuk melakukan pembelian sehingga merupakan pasar yang potensial bagi pemasaran suatu komoditi (Mankiw, 2003). 2.5. Populasi Populasi dapat mempengaruhi ekspor melalui dua sisi yakni sisi penawaran dan permintaan. Pada sisi penawaran, pertambahan populasi dapat diartikan sebagai penambahan tenaga kerja untuk memproduksi komoditi ekspor. Sedangkan penambahan populasi pada sisi permintaan akan meningkatkan konsumsi domestik yang berarti meningkatkan jumlah permintaan domestik akan suatu komoditi (Salvatore, 1997). 2.6. Harga
Suatu hipotesis ekonomi yang mendasar adalah bahwa untuk kebanyakan komoditi, harga komoditi dengan kuantitas yang ditawarkan berhubungan secara positif dan harga komoditi dengan kuantitas yang diminta berhubungan secara negatif dengan semua faktor lainnya adalah konstan. Semakin tinggi harga suatu komoditi maka akan semakin besar jumlah komoditi yang ditawarkan dan semakin kecil jumlah yang diminta. Sebaliknya jika harga suatu komoditi semakin rendah maka jumlah yang ditawarkan akan semakin kecil dan jumlah yang diminta akan semakin besar (Lipsey, 1995). 2.7. Nilai Tukar Riil Nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Nilai tukar riil kadang-kadang disebut sebagai terms of trade. Nilai tukar riil diantara kedua negara dihitung dari nilai tukar nominal dan tingkat harga di kedua negara. Nilai tukar nominal sendiri adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Jika nilai tukar riil di negara importir tinggi, barang-barang luar negeri relatif lebih murah dan barang-barang domestik relatif lebih mahal. Maka penduduk domestik berkeinginan membeli banyak barang impor dan orang-orang asing akan membeli sedikit barang hasil produksi negara tersebut. Sebaliknya jika nilai tukar riil negara importir rendah, barang-barang luar negeri relatif lebih mahal dan barang-barang domestik relatif lebih murah. Maka penduduk domestik hanya akan membeli sedikit barang impor dan orang-orang asing akan membeli banyak hasil produksi negara tersebut (Mankiw, 2003).
2.8. Bahan Baku Sebagai Input Produk Akhir Sumber daya suatu masyarakat terdiri dari anugerah alam seperti tanah, hutan, tambang ; sumber daya manusia, baik mental maupun fisik; dan alat bantu buatan untuk memproduksi seperti peralatan, mesin, dan bangunan. Para ahli ekonomi menamakan semua sumber daya itu sebagai faktor produksi, karena sumber daya ini digunakan untuk memproduksi barang yang dibutuhkan orang. Lebih jelas lagi, Mankiw (2003) menjelaskan bahwa jumlah input atau faktor produksi merupakan penentu dari besarnya produksi barang atau jasa. Dalam suatu sistem ekonomi pasar, jutaan konsumen mengambil keputusan tentang komoditi apa yang akan dibeli dan dalam jumlah berapa, sejumlah perusahaan memproduksi komoditi-komoditi tersebut dan membeli input yang dibutuhkan untuk menghasilkannya (Lipsey, et al. 1995). Salah satu input yang digunakan adalah bahan baku. Bahan baku (misalnya biji kakao) dibutuhkan untuk dapat menghasilkan produk akhir (misalnya coklat) yang dapat memberikan nilai penjualan yang lebih tinggi bagi produsen. Sehingga semakin tinggi permintaan jutaan konsumen terhadap coklat, maka kebutuhan dan permintaan akan biji kakao sebagai bahan baku akan semakin tinggi pula. Demikian juga berdasarkan Nicholson (1991), dikatakan bahwa hubungan antara masukan dan keluaran yang diformulasikan ke dalam model fungsi produksi dimana keluaran perusahaan (coklat) merupakan fungsi dari modal (mesin), jam masuk tenaga kerja, dan bahan baku (biji kakao).
2.9. Penelitian Terdahulu 2.9.1. Penelitian Mengenai Kakao Pada tahun 2006, Yunita melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan biji kakao Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data cross section tahun 2004. Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif untuk melihat karakteristik negara-negara tujuan ekspor biji kakao Indonesia, sedangkan metode kuantitatif dengan gravity model digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan biji kakao Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor. Variabel dependen yang digunakan adalah volume ekspor biji kakao Indonesia menurut negara tujuan. Variabel independen meliputi GDP per kapita negara tujuan, populasi negara tujuan, jarak antara negara Indonesia dengan negara tujuan, harga biji kakao Indonesia di negara tujuan, nilai tukar mata uang negara tujuan terhadap dollar Amerika, dan kualitas biji kakao Indonesia. Berdasarkan hasil analisis regresi, diperoleh koefisien determinasi yang disesuaikan atau R-Sq (adj) sebesar 69,1 persen yang berarti bahwa perubahan pada variabel volume ekspor biji kakao Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel independen (GDP per kapita negara tujuan, populasi negara tujuan, jarak antara negara Indonesia dengan negara tujuan, harga biji kakao Indonesia di negara tujuan, nilai tukar mata uang negara tujuan terhadap dollar Amerika, dan kualitas biji kakao Indonesia) dalam model sebesar 69,1 persen dan sisanya sebesar 30,9 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Berdasarkan uji-t variabel yang berpengaruh nyata pada taraf lima persen terhadap volume ekspor biji kakao Indonesia adalah
populasi negara tujuan, jarak antara negara Indonesia dan negara tujuan, nilai tukar mata uang negara tujuan terhadap dollar Amerika dan kualitas biji kakao Indonesia. Manik (2006), melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor biji kakao Indonesia. Metode pengolahan data menggunakan program minitab, sedangkan analisis data dengan metode OLS yaitu menaksir parameter model regresi berganda. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga kakao domestik, harga kakao ekspor, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan lag ekspor dengan data time series. Koefisien determinasi (R2) untuk negara Singapura adalah sebesar 80,8 persen, hal ini berarti bahwa 80,8 persen perubahan volume ekspor kakao Indonesia ke Singapura dapat dijelaskan oleh variabel independen. Berdasarkan uji-t, variabel harga di Singapura dan volume ekspor tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap volume ekspor kakao Indonesia, sedangkan variabel harga domestik dan nilai tukar riil tidak berpengaruh nyata pada taraf lima persen. Koefisien determinasi (R2) untuk negara Malaysia diperoleh sebesar 84,1 persen yang berarti 84,1 persen perubahan volume ekspor kakao Indonesia ke Malaysia dapat dijelaskan oleh variabel independen. Berdasarkan uji-t, variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar dan lag ekspor berpengaruh nyata pada taraf lima persen. Koefisien determinasi (R2) untuk negara Jepang adalah sebesar 70,5 persen yang berarti 70,5 persen perubahan volume ekspor kakao Indonesia ke Jepang dapat dijelaskan oleh variabel independen. Berdasarkan uji-t, variabel harga kakao di negara Jepang berpengaruh nyata terhadap perubahan volume ekspor kakao Indonesia. Sedangkan variabel harga domestik, nilai tukar terhadap dollar AS dan lag ekspor tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor kakao Indonesia.
Komalasari (2009), menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor biji kakao Indonesia. Metode analisis yang digunakan adalah regresi berganda dengan metode estimasi OLS. Periode analisis dalam penelitian ini adalah tahun 19812006. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penawaran ekspor biji kakao Indonesia secara positif dan signifikan dipengaruhi oleh produksi dan ekspor tahun sebelumnya. Sedangkan variabel harga domestik, harga dunia, dan nilai tukar tidak mempengaruhi penawaran ekspor biji kakao secara signifikan. Dalam hal ini dibuktikan bahwa pemerintah hanya mementingkan jumlah biji kakao yang diproduksi untuk meningkatkan ekspor. 2.9.2. Penelitian Mengenai Data Panel Anissa (2006), melakukan penelitian tentang analisis daya saing teh hitam Indonesia dipasar internasional. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa besarnya pangsa pasar yang dimiliki merupakan indikator daya saing suatu komoditas. Variabel yang digunakan adalah harga riil teh hitam Indonesia, nilai tukar riil, produksi teh hitam Indonesia dan jumlah konsumsi teh hitam domestik. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik estimasi data panel. Data panel merupakan kombinasi antara data time series dan cross section. Time series yang digunakan adalah tahun 1993-2003 sedangkan cross section yang digunakan adalah sembilan negaranegara importir terbesar teh hitam dari Indonesia berturut-turut selama 15 tahun terakhir yakni Inggris, Pakistan, Malaysia, Amerika Serikat, Jerman, Belanda, Kanada, Jepang, dan Selandia Baru. Pengolahan data dilakukan dengan tiga metode yaitu metode fixed effect , pooled OLS, dan metode random effect. Selanjutnya dilakukan uji F dan uji Hausman untuk mengetahui metode mana yang terbaik dalam mengestimasi model.
Dari hasil pengolahan data dan uji kesesuaian model diketahui bahwa metode yang terbaik dalam estimasi model adalah metode fixed effect. Hadi (2009), melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan pisang dan mangga Indonesia ke negara tujuan. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendapatan per kapita riil negara tujuan, populasi, jarak antar negara, nilai tukar, harga ekspor di negara tujuan, dan ekspor ke negara tujuan satu tahun sebelumnya. Data yang digunakan merupakan data gabungan antara time series dan cross section (pooled data atau data panel). Data panel yang digunakan adalah volume ekspor pisang dan mangga dari tahun 1996 sampai dengan 2007 dengan jumlah negara tujuan ekspor masing-masing enam negara. Berdasarkan hasil perhitungan Chow Test, maka metode yang sesuai dalam gravity model aliran perdagangan pisang Indonesia ke negara tujuan adalah metode pooled OLS. Sedangkan untuk gravity model aliran perdagangan mangga Indonesia ke negara tujuan yang sesuai adalah metode fixed effect. 2.9.3. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Penelitian dengan judul “ Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam Skema CEPT-AFTA” ini menggunakan data gabungan time series dan cross section (data panel) dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2007. Variabel dependen yang digunakan adalah volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia di ketiga negara tujuan tersebut dan variabel independen yang digunakan adalah GDP per kapita riil negara importir, populasi negara importir, harga dunia komoditi biji kakao, harga biji kakao di negara tujuan, nilai tukar riil negara importir terhadap dollar AS, dan ekspor
produk akhir kakao atau olahan negara importir. Dalam penelitian ini juga digunakan variabel dummy CEPT-AFTA yang menggambarkan dua kondisi berbeda sebelum dan sesudah implementasi CEPT-AFTA.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Perdagangan Internasional Tidak ada satu negara pun didunia ini yang mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya secara sendiri tanpa bantuan negara lain. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kondisi perekonomian pada masing-masing negara, seperti sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), tingkat teknologi, faktor kelangkaan dan lain-lain. Kondisi ini menimbulkan ketergantungan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa, maka terjadi pertukaran barang dan jasa antar negara yang dikenal dengan perdagangan internasional. Perdagangan internasional adalah pertukaran atau jual beli barang dan jasa antar negara. Terjadinya perdagangan internasional disebabkan oleh adanya perbedaan SDA, perbedaan faktor produksi, perbedaan kemampuan produksi, motif keuntungan dalam perdagangan, dan persaingan pengusaha antar bangsa. Perdagangan dapat membuahkan keuntungan bagi masing-masing negara yang terlibat karena perdagangan itu akan mendorong spesialisasi produksi pada komoditi tertentu sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan produktifitas dalam menghasilkan komoditi tersebut. Selain itu perdagangan internasional juga memberikan manfaat untuk perluasan daerah pemasaran dan penambah devisa negara. Dibanyak negara, perdagangan internasional menjadi faktor utama dalam meningkatkan pendapatan nasional (GDP).
Menurut Adam Smith dalam Salvatore (1997), perdagangan diantara dua negara didasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkannya dengan komoditi yang memiliki kerugian absolut. Melalui proses ini sumberdaya dikedua negara dapat digunakan dalam cara yang paling efisien. Output kedua komoditi yang diproduksi pun akan meningkat. Peningkatan dalam output ini yang mengukur keuntungan absolut dari spesialisasi produksi yang dilakukan kedua negara yang melakukan perdagangan. Menurut teori Hecksher-Ohlin dalam Salvatore (1997), sebuah negara akan mengekspor komoditi yang diproduksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu yang bersamaan dia akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Singkatnya, sebuah negara yang relatif kaya atau berlimpah tenaga kerja akan mengekspor komoditi-komoditi yang relatif padat tenaga kerja dan akan mengimpor komoditi-komoditi yang relatif padat modal (yang merupakan faktor produksi langka dan mahal di negara bersangkutan). Pada prinsipnya perdagangan diantara dua negara timbul karena adanya perbedaan dalam permintaan dan penawaran, selain itu karena adanya keinginan untuk memperluas pemasaran komoditi ekspor untuk menambah penerimaan devisa dalam upaya pembangunan negara yang bersangkutan.
Secara teoritis, jika negara A memiliki tingkat produksi suatu komoditi (misalnya biji kakao) lebih besar dibandingkan tingkat konsumsinya maka negara A tersebut mengalami excess supply biji kakao. Kelebihan produksi ini selanjutnya mengakibatkan harga biji kakao domestik menjadi murah (sebelum terjadinya perdagangan internasional). Demikian sebaliknya bila negara B memiliki tingkat produksi biji kakao lebih rendah dibandingkan tingkat konsumsinya maka negara B tersebut mengalami excess demand dan selanjutnya harga biji kakao di negara B ini menjadi lebih mahal karena terjadi kelangkaan biji kakao di negara ini. Jika kedua negara ini melakukan perdagangan untuk komoditi biji kakao, maka kedua negara ini akan memperoleh keuntungan perdagangan yang dapat diketahui dari harga komoditi biji kakao yang akan diterima masing-masing negara. Kelebihan produksi biji kakao di negara A selanjutnya akan diekspor ke negara B. Di lain pihak jika harga yang berlaku lebih kecil daripada harga domestik negara B, maka negara B akan mengalami peningkatan permintaan sehingga tingkatnya lebih tinggi dibandingkan tingkat produksi domestiknya. Hal ini akan mendorong negara B untuk mengimpor kekurangan kebutuhannya atas komoditi biji kakao dari negara A. Secara grafis terjadinya perdagangan antara negara A dan negara B dapat dilihat pada Gambar 2. "#$"
(
"#$"
"#$"
"
"
#
'
#
"
" &"
"
"
'
! !#
!# %
%
%
Keterangan: Kurva 1 : keadaan pasar komoditi X di negara 1 Kurva 2 : hubungan perdagangan internasional dalam komoditi X Kurva 3 : keadaan pasar komoditi X di negara 2 Sumber : Salvatore, 1997
Gambar 2. Mekanisme Terjadinya Perdagangan Internasional Produsen di negara A akan memproduksi biji kakao lebih banyak untuk harga biji kakao diatas harga domestik (P1). Oleh sebab itu, akan terjadi excess supply biji kakao di negara A dan kelebihan produksi biji kakao tersebut di ekspor ke negara B yang memiliki excess demand untuk biji kakao. Negara B dengan harga biji kakao dibawah P3 akan meningkatkan konsumsinya. Dengan tingkat produksi yang lebih rendah daripada tingkat konsumsinya, maka negara B akan mengimpor biji kakao dari negara A untuk pemenuhan seluruh permintaan domestik atas biji kakao. Penawaran ekspor biji kakao di pasar internasional ditunjukkan oleh kurva Sw yang merupakan excess supply biji kakao dari negara A dan permintaan ekspor biji kakao dari negara B di pasar internasional digambarkan oleh kurva Dw. Keseimbangan di pasar internasional terjadi di titik E, dimana harga internasional yang terbentuk adalah P2. 3.1.2. Teori Liberalisasi Perdagangan Menurut Smith (1995) dalam Veronika (2008), dijelaskan bahwa liberalisasi perdagangan adalah pembebasan perdagangan dari segala hambatan tarif maupun hambatan non tarif yang dilakukan sepihak dan banyak pihak. Sedangkan menurut
Salvatore (1997) dalam Veronika (2008) menjelaskan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan
adalah
kebijakan
yang
mengurangi
berbagai
bentuk
hambatan
perdagangan, bila diterapkan secara utuh maka arus komoditi perdagangan dan investasi dalam bentuk modal, barang dan jasa akan bebas masuk antar negara tanpa hambatan tarif dan non tarif. Bentuk hambatan perdagangan yang paling penting atau menonjol secara historis adalah tarif. Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh pemberlakuan tarif ditunjukkan pada Gambar 3.
"# ,-. #
1 '
3
2 )
/0
4 !# *
+
/
%
Sumber: Salvatore, 1997
Gambar 3. Dampak Pemberlakuan Tarif Dx dan Sx melambangkan kurva permintaan serta kurva penawaran komoditi X di Negara1. Dalam kondisi perdagangan bebas, harga komoditi X adalah Px = 1 dollar per unit. Negara 1 akan mengkonsumsi sebanyak 70X (AB) dimana sebesar 10X merupakan produksi domestik, sedangkan 60X (CB) harus diimpor dari negara lain. Jika Negara 1 memberlakukan tarif sebesar 100 persen terhadap komoditi X, maka Px melonjak menjadi 2 dollar per unit. Itulah harga yang harus ditanggung oleh konsumen Negara 1, sedangkan harga bagi konsumen dunia tidak berubah. Akibatnya penduduk Negara 1 akan menurunkan konsumsinya menjadi 50X (GH) dan mengubah komposisinya menjadi 20X (GJ) merupakan produksi domestik dan 30X (JH) harus diimpor dari negara lain. Dengan demikian dampak pemberlakuan tarif terhadap konsumsi domestik bersifat negatif, yakni sebesar (-) 20X (BN). Sementara itu dampak terhadap produksi meningkat bersifat positif, yakni menaikannya sebesar 10X (CM). Namun secara keseluruhan, pemberlakuan tarif itu merugikan perdagangan, yakni (-) 30X (BN + CM), meskipun ia memberikan pemasukan kepada pemerintah Negara 1 sebanyak 30 dollar (JHMN). 3.1.3. Teori Permintaan Ekspor Permintaan pasar merupakan penjumlahan horisontal dari setiap kurva permintaan individual. Pada setiap harga, jumlah yang diminta di pasar merupakan
penggabungan dari jumlah-jumlah yang diminta setiap individu (Nicholson, 1991). Menurut Lipsey dalam Veronika (2008), permintaan ekspor suatu komoditi merupakan hubungan yang menyeluruh antara kuantitas komoditi yang akan dibeli konsumen selama periode tertentu pada suatu tingkat harga. Permintaan ekspor merupakan permintaan satu atau beberapa negara terhadap negara lainnya terhadap komoditas yang dihasilkan negara lain tersebut. Permintaan ekspor suatu komoditi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari sisi negara importir, permintaan ekspor dapat dipengaruhi oleh GDP per kapita riil negara tersebut, jumlah populasinya, selera masyarakat negara importir, harga domestik komoditi tersebut. Sedangkan faktor lainnya yang berasal dari luar adalah harga di pasar internasional, nilai tukar riil dan kebijakan perdagangan. 3.1.4. Model Regresi Panel Data Pooled data (penggabungan data time series dan cross section), micro panel data (kombinasi studi atas dasar waktu dari berbagai variabel atau kelompok subyek), event history analysis (studi perubahan suatu subyek dengan syarat waktu), atau cohort analysis (studi jalur perkembangan karir dari sekelompok manajer) merupakan istilah lain dari data panel. Berdasarkan Juanda (2007) terdapat beberapa keuntungan menggunakan data panel dalam model regresi dibandingkan dengan hanya data time series atau hanya cross section, yaitu: 1. Data panel akan memberikan informasi yang lebih lengkap, lebih beragam, kurang berkorelasi antar variabel, derajat bebas lebih besar dan lebih efisien. 2. Studi data panel lebih memuaskan untuk menentukan perubahan dinamis dibandingkan dengan studi berulang dari cross section.
3. Membantu studi untuk menganalisis perilaku yang lebih kompleks, misalnya fenomena skala ekonomi dan perubahan teknologi. 4. Dapat meminimumkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu atau perusahaan karena unit data lebih banyak. Data panel merupakan data gabungan dari data cross section dan data time series, yang masing-masing model regresinya dapat dituliskan sebagai berikut : a. Model dengan data cross section Yi =
+ Xi +
i;
i = 1,2,…, N
N : banyaknya data cross section b. Model dengan data time series Yt =
+ Xt +
t;
t = 1,2,…, T
T : banyaknya data time series
Mengingat data panel merupakan gabungan dari data cross section dan data time series maka model data panel dapat dituliskan sebagai berikut : Yit =
+ Xit +
it
; i = 1,2,…,N ; t = 1,2,…,T
Dimana : N
= banyaknya cross section
T
= banyaknya waktu
N x T = banyaknya data panel Untuk menganalisis data panel terdapat tiga teknik yang ditawarkan, yaitu (Nachrowi, 2006) : a. Ordinary Least Square
Teknik ini tidak berbeda jauh dengan membuat regresi data cross section atau time series. Akan tetapi untuk data panel, data cross section dan data time series harus digabungkan terlebih dahulu (pooled data). Akibat dari penggabungan data ini maka regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dari pada regresi hanya dengan cross section atau time series saja. Namun, dengan menggabungkan data, perbedaan baik antar individu maupun antar waktu tidak dapat terlihat karena intercept dan slope yang tidak berubah baik antar individu maupun antar waktu. b. Metode Fixed Effect Kemudian, teknik analisis data panel yang kedua adalah dengan metode fixed effect. Adanya variabel-variabel yang tidak semuanya masuk dalam persamaan model memungkinkan adanya intercept yang tidak konsisten. Atau dengan kata lain, intercept ini mungkin berubah untuk setiap individu dan waktu. Sehingga efek individual dan efek waktu dapat dilihat dengan jelas dalam model ini. c. Metode Random Effect Bila pada model fixed effect, perbedaan antar individu dan atau waktu dicerminkan lewat intercept, maka pada model random effect perbedaan tersebut diakomodasi lewat error. Teknik juga memperhitungkan bahwa error mungkin berkorelasi sepanjang time series dan cross section. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ASEAN telah membentuk kawasan perdagangan bebas AFTA untuk dapat meningkatkan perdagangan diantara negara anggota dan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi di pasar dunia. Untuk semakin mendukung implementasi AFTA,
ASEAN telah menetapkan skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT). Skema ini merupakan tahapan penurunan tarif perdagangan diantara negara anggota ASEAN. Selama periode 1989-2007 permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand mengalami fluktuasi. Hal tersebut diduga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya GDP per kapita riil negara importir (Malaysia, Singapura, dan Thailand), jumlah populasi negara importir, harga biji kakao di pasar dunia, harga biji kakao di negara tujuan, nilai tukar riil negara importir terhadap dollar Amerika Serikat, dan adanya implementasi skema CEPT-AFTA. GDP per kapita riil menunjukkan ukuran ekonomi suatu negara. Ukuran ekonomi negara importir menentukan jumlah komoditi yang dapat dijual oleh negara eksportir. Pertumbuhan populasi negara importir akan meningkatkan jumlah permintaan akan suatu komoditi yang diproduksi eksportir, sehingga jumlah komoditi yang diekspor akan semakin bertambah. Harga berbanding terbalik dengan jumlah permintaan. Jika harga suatu komoditi di pasar internasional mahal, maka jumlah permintaan dari negara pengimpor untuk komoditi tersebut akan rendah. Sebaliknya jika suatu komoditi di pasar internasional semakin murah, maka negara pengimpor akan meningkatkan permintaan ekspornya. Jika harga di pasar internasional lebih tinggi dibandingkan harga ekspor komoditi tersebut oleh suatu negara (Indonesia), maka permintaan ekspor ke negara Indonesia akan semakin meningkat. Sedangkan jika harga di pasar internasional lebih rendah dibandingkan harga ekspor komoditi dari Indonesia, maka permintaan ekspor ke Indonesia akan berkurang.
Nilai tukar riil mata uang negara importir memiliki pengaruh positif terhadap peningkatan volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia. Jika nilai tukar riil tinggi, maka harga komoditi di luar negeri lebih murah dibandingkan didalam negeri negara importir. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan permintaan ekspor biji kakao Indonesia di negara importir, karena harga biji kakao Indonesia lebih
murah
dibandingkan harga biji kakao domestik negara importir. Sebaliknya jika nilai tukar riil rendah maka jumlah permintaan ekspor biji kakao Indonesia di negara importir menurun karena harga biji kakao domestik negara importir lebih murah dibandingkan harga biji kakao Indonesia. Untuk skema CEPT-AFTA diharapkan dapat memberikan perbedaan nyata terhadap volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia dari Malaysia, Singapura, dan Thailand. Berdasarkan faktor-faktor diatas, maka akan dilakukan analisis regresi panel data untuk mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia. Kerangka pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi : a. GDP Per Kapita Riil Importir b. Populasi Importir c. Nilai Tukar Riil Importir d. Harga Dunia e. Harga Biji Kakao di Negara Tujuan f. Ekspor Olahan Importir g. CEPT-AFTA
Implementasi CEPT-AFTA (Common Effective Preferential Tariff for AFTA)
Peningkatan Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia dari Malaysia, Singapura, dan Thailand
Analisis Regresi Panel Data
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Signifikan terhadap Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia
Rekomendasi Kebijakan untuk Peningkatan Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional 3.3. Hipotesis Penelitian Hipotesis-hipotesis yang akan dikemukakan dalam penelitian ini didasarkan pada teori-teori yang ada dan penelitian-penelitian terdahulu. Hipotesis yang dapat disusun mengenai penelitian permintaan ekspor komoditi biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand adalah sebagai berikut : 1. GDP per kapita riil Malaysia, Singapura, dan Thailand diduga berhubungan positif, artinya semakin tinggi GDP per kapita riil ketiga negara importir tersebut akan menyebabkan meningkatnya volume permintaan ekspor
biji kakao
Indonesia . 2. Populasi Malaysia, Singapura, dan Thailand diduga berhubungan positif, artinya semakin besar jumlah populasi ketiga negara importir tersebut akan menyebabkan semakin besar pula volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia.
3. Harga dunia biji kakao diduga berhubungan positif, artinya jika harga dunia biji kakao meningkat maka volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia semakin meningkat. 4. Harga biji kakao di negara tujuan diduga berhubungan negatif, artinya jika harga biji kakao di negara tujuan meningkat, maka jumlah permintaan ekspor biji kakao Indonesia akan menurun. 5. Nilai tukar riil negara importir diduga berhubungan positif, artinya jika nilai tukar riil tinggi akan menyebabkan volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia meningkat. 6. Ekspor produk olahan dari biji kakao oleh negara importir diduga berhubungan positif, artinya jika ekspor produk olahan dari biji kakao negara Malaysia, Singapura, dan Thailand meningkat maka volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia meningkat. 7. Volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia sebelum dan sesudah implementasi CEPT-AFTA akan berbeda nyata.
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yaitu data gabungan time series dan cross section (pooled data). Data-data yang digunakan adalah data volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia sebagai variabel dependen. Sedangkan untuk variabel independen akan digunakan GDP per kapita riil negara importir, jumlah populasi negara importir, harga biji kakao di pasar internasional, harga biji kakao di negara tujuan, volume ekspor produk akhir olahan negara importir, dan nilai tukar riil negara importir terhadap dollar Amerika. Data-data tersebut diperoleh dari website United Nation Statistics Comtrade Database (UN COMTRADE), United Nation Database (UN DATA), Economy Watch Site, dan Indexmundi Site. Data yang digunakan adalah data tahunan dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2007. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat ditunjukkan pada Tabel 4: Tabel 4. Jenis dan Sumber Data Jenis Data
No 1.
Sumber Data
Volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand (Kg)
2.
GDP per kapita riil negara Malaysia, Singapura, Thailand (Juta US$/orang)
3.
Jumlah populasi Malaysia, Singapura, dan Thailand (Juta orang)
4.
Harga
komoditi
biji
internasional (US$/Kg)
kakao
di
pasar
comtrade.un.org
www.economywatch.com
www.indexmundi.com
www.indexmundi.com
5.
Harga biji kakao di negara Malaysia, Singapura, dan Thailand (US$/Kg)
6.
Ekspor komoditi olahan Malaysia, Singapura, dan Thailand (Kg)
7.
IHK
Amerika Serikat, Malaysia, Singapura,
dan Thailand 8.
Nilai tukar Malaysia, Singapura, dan Thailand (Domestik/US$)
comtrade.un.org
comtrade.un.org
data.un.org
data.un.org
4.2. Metode Analisis Analisis kuantitatif akan digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Metode kuantitatif yang digunakan adalah dengan metode pooled least square (pooled OLS). Software yang digunakan dalam penelitian ini adalah Microsoft Excel 2007 untuk mengolah data mentah yang diperoleh dari berbagai sumber data. Selain itu juga akan digunakan
Eviews 4.1 untuk mengestimasi signifikansi faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand 4.2.1. Perumusan Model. Estimasi yang digunakan dalam menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand adalah dengan model regresi data panel dengan metode pooled OLS. Variabel-variabel yang digunakan dalam menganalisis permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand ini adalah GDP per kapita riil negara importir, populasi negara importir, harga biji kakao di pasar internasional, harga biji kakao di negara tujuan, nilai
tukar riil negara importir, dan ekspor olahan negara importir. Dalam penelitian ini juga digunakan variabel dummy yakni implementasi skema CEPT-AFTA. Analisis yang digunakan adalah regresi data panel dengan model logaritma natural. Transformasi dalam bentuk ln dapat mengurangi masalah heteroskedastisitas, hal ini disebabkan karena transformasi yang memapatkan skala untuk pengukuran variabel, mengurangi perbedaan nilai dari sepuluh kali lipat menjadi dua kali lipat (Gujarati, 1978). Dugaan persamaan permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand dapat dirumuskan sebagai berikut : Ln Xij =
0
+
1
ln GDPj +
7DUMMY
2
ln Nj +
3
ln Pw +
4
ln Pej +
5
ln ERj +
6
ln OLHj +
+ ei
Dimana : Xij
= Volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia di negara j (Kg)
GDPj = GDP per kapita riil negara tujuan (juta US$/orang) Nj
= Jumlah populasi negara tujuan (juta orang)
Pw
= Harga biji kakao di pasar internasional (US$/kg)
Pej
= Harga biji kakao di negara tujuan (US$/kg)
ERj
= Nilai tukar riil negara tujuan (domestik/US$)
OLHj = Volume ekspor komoditi olahan dari biji kakao negara tujuan (Kg) DUMMY = dummy CEPT-AFTA, variabel dummy yang menunjukkan dua kondisi berbeda. CEPT-AFTA mulai diimplementasikan pada tahun 2002. Setelah implementasi CEPT-AFTA akan diberi nilai 1 dan sebelum implementasi CEPT-AFTA diberi nilai 0. ei
= Random error
0
= konstanta (intercept)
n
= parameter yang diduga (n= 1,2,…,6)
4.2.2. Pengujian Kesesuian Model Dalam pengolahan data panel terdapat tiga macam pendekatan yakni common effect atau pooled OLS, fixed effect, dan random effect. Oleh karena objek cross section lebih kecil dari jumlah waktu, maka persamaan dalam penelitian ini tidak menggunakan metode random effect. Untuk memilih apakah model yang tepat antara pooled OLS dan fixed effect, maka dilakukan uji Chow sebagai berikut : H0 : Model Pooled OLS (Restricted) H1 : Model Fixed Effect (Unrestricted)
Dimana: RSSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Pooled OLS) URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Fixed Effect)
N = Jumlah data cross section T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas 4.2.3. Pengujian Asumsi Model
Untuk menghasilkan model yang efisien dan konsisten, maka diperlukan pengujian terhadap pelanggaran asumsi-asumsi klasik seperti uji multikolinieritas, autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas. Bila terjadi pelanggaran terhadap asumsiasumsi diatas maka model menjadi tidak valid. a. Multikoliniearitas Multikolinieritas adalah hubungan linier yang kuat antar variabel independen dalam persamaan regresi berganda. Menurut Gujarati (1978), tanda-tanda adanya multikolinieritas adalah sebagai beikut : 1. Tanda koefisien tidak sesuai dengan yang diharapkan 2. Nilai R2 tinggi, tetapi dalam uji individu banyak yang tidak nyata atau bahkan tidak nyata semua. 3. Matrix korelasi antar variabel tinggi (rij > 0,8) 4. R2 < rij menunjukkan bahwa terjadi multikoliniearitas Dampak dari adanya multikolinieritas pada suatu persamaan adalah koefisien kuadrat terkecil tidak dapat ditentukan serta varians dan kovarians dari koefisien menjadi tidak terhingga. Hubungan multikolinieritas yang hampir sempurna juga menyebabkan persamaan yang dibentuk secara statistik mempunyai standar error yang besar dan menyebabkan interval kepercayaan menjadi lebih besar. Hal ini berakibat pada nilai estimasi koefisiennya menjadi tidak tepat. b. Autokorelasi Autokorelasi terdeteksi ketika terjadi hubungan serius antara galat estimasi satu observasi dengan galat estimasi observasi lainnya. Masalah autokorelasi umumnya
terjadi pada data time series. Dampak dari adanya autokorelasi adalah tidak efisiennya pendugaan atau peramalan meskipun estimatornya tidak bias dan masih konsisten. Dampak lainnya adalah standar error menjadi bias dan tidak konsisten sehingga uji pada hipotesis menjadi tidak valid. Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu atau ruang (Gujarati, 1978). Panduan mengenai angka DW (Durbin-Watson) untuk mendeteksi autokorelasi bisa dilihat pada Tabel DW, dengan pengambilan keputusan berikut: a. Jika nilai d lebih rendah dari dl atau lebih tinggi dari 4-dl, maka signifikan terdapat autokorelasi; b. Jika nilai d berada lebih besar dari du atau lebih kecil dari 4-du, berarti tidak terdapat autokorelasi; c. Jika nilai d berada antara du dan dl atau berada diantara 4-du dan 4-dl, maka dinyatakan sebagai daerah tidak dapat diambil kesimpulan atau ragu-ragu.
c. Heteroskedastisitas Terjadi karena ragam dari error tidak konsisten sehingga tidak memenuhi teorema Gauss – Markov, umumnya terjadi pada data cross-section. Dampak yang timbul dari permasalahan ini antara lain (Nachrowi dalam Sitorus, 2005): 1. Ragam yang tidak konstan menyebabkan nilai varians menjadi lebih besar dari taksiran.
2. Ragam yang besar menyebabkan uji hipotesis (uji F dan uji t) menjadi kurang tepat. 3. Interval kepercayaan menjadi lebih besar akibat standar error yang besar 4. Kesimpulan yang dihasilkan dari regresi yang dilakukan tidak tepat (dapat menyesatkan) Untuk menghilangkan permasalahan ini dapat dilakukan dengan cross-section weighted regression, metode yang digunakan Generalized Least Square (GLS). 4.3. Pengujian Hipotesis Model yang dianalisis merupakan pengujian terhadap hipotesis yang telah dirancang. Pengujian hipotesis secara statistik untuk melihat nyata atau tidaknya pengaruh suatu variabel terhadap variabel-variabel lainnya yang diteliti. Terdapat beberapa kriteria yang digunakan untuk menguji apakah model tersebut sudah baik atau tidak diantaranya dengan uji-t, uji-F, dan dengan melihat koefisien determinansi (adjusted R2) model tersebut.
a. Uji-t Nilai statistik-t digunakan untuk melihat apakah koefisien regresi masingmasing variabel independen secara individu memiliki pengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menguji statistik-t adalah sebagai berikut : 1. Perumusan hipotesis
H0 :
1
=0
H1 :
1
0
2. Penentuan nilai kritis. Nilai kritis diperoleh melalui tabel distribusi normal dengan memperhatikan tingkat signifikansi ( ) dan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian. 3. Nilai t-hitung masing-masing koefisien regresi dapat diperoleh melalui perhitungan komputer 4. Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan letak nilai t hitung masingmasing koefisien regresi pada kurva sebaran normal yang digunakan dalam penentuan nilai kritis. Jika letak thitung > ttabel dimana koefisien regresi berada di luar daerah peneriman H0 maka tolak H0 artinya variabel independen berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya. Sedangkan jika letak thitung < ttabel maka terima H0 artinya variabel independen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya.
b. Uji-F Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada variabel-variabel independen yang memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel dependen. Pengujian terhadap pengaruh variabel independen secara simultan terhadap variabel dependen ini dilakukan dengan melihat besarnya perubahan variabel dependen yang
dapat dijelaskan oleh semua perubahan variabel independen. Langkah-langkah untuk melakukan uji-F : 1. Perumusan hipotesis H0 =
1=
2=
…=
k=
0
H1 = minimal ada satu nilai
1 yang
tidak sama dengan nol.
2. Perhitungan nilai kritis distribusi F (F-tabel) dan F-hitung. 3. Penentuan penerimaan atau penolakan H0 4. Apabila keputusan yang diperoleh adalah Fhitung > Ftabel dimana koefisien regresi berada di luar daerah penerimaan H0 maka tolak H0 artinya setidaknya ada satu variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya. Jika Fhitung < Ftabel maka terima H0 artinya seluruh variabel independen tidak ada yang berpengaruh signifikan terhadap variabel dependenya. c. Koefisien Determinansi (adjusted R2) Koefisien determinasi adalah proporsi variasi dalam variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen dalam model. R2 memiliki range antara 0
R2
1. Jika R2 bernilai 1 maka variabel independen menjelaskan 100%
variasi dalam variebel dependen, sedangkan jika R2 bernilai 0 maka variabel independen tidak dapat menjelaskan variasi dalam variabel dependen. Koefisien determinasi dirumuskan sebagai berikut: R2 = dimana : RSS = jumlah kuadrat regresi
TSS = jumlah kuadrat total
V. GAMBARAN UMUM
5.1. Gambaran Umum Kakao Indonesia Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan yang perannya cukup penting bagi perekonomian Indonesia, khususnya sebagai penyedia lapangan pekerjaan, sumber pendapatan, dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam pengembangan wilayah dan argoindustri. Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana dengan pangsa produksi sekitar 13,2 persen dari total produksi dunia(data tahun 2007/2008). Indonesia juga merupakan eksportir kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana dengan pangsa ekspor sebesar 16,3 persen dari total ekspor dunia (data tahun 2007/2008). 5 Pasar kakao Indonesia ditujukan ke berbagai negara terutama Malaysia, Amerika Serikat, Singapura, Brazil, Balanda, Perancis, China, Canada, dan lain-lain. 6 Ditinjau dari segi produktivitas, Indonesia masih berada dibawah rata-rata produktivitas negara lain penghasil kakao. Selama ini kakao lebih banyak diekspor dalam bentuk biji kering kakao dibandingkan hasil olahannya sehingga nilai tambahnya terhadap perekonomian sedikit. Produksi biji kakao Indonesia sekitar 80 persen dihasilkan oleh perkebunan rakyat. Namun, produk biji kakao yang dihasilkan masih memiliki mutu yang rendah. Hal ini tercermin dari tingginya kandungan biji yang tidak difermentasi dan kandungan
* 6
55 6$$ 7 8 5 7 7 $ Profil Pasar Komoditi Kakao [16 Juli 2009] http://pphp.deptan.go.id Profil Pasar Komoditi Kakao [16 Juli 2009]
non kakao (kotoran). Upaya untuk mendorong petani melakukan fermentasi biji mengalami masalah yakni skala usaha yang tidak terpenuhi dan tidak ada insentif harga yang memadai. Mutu biji kakao yang rendah juga terkait dengan adanya material non kakao seperti kotoran, biji berjamur, biji hampa, dan benda-benda lainnya. Akibat masalah ini, biji kakao Indonesia di pasar internasional mendapat pemotongan harga sebesar $250 per ton (data tahun 2007).7 5.2. Perkembangan Produktivitas, Produksi, dan Luas Areal Kakao Produktivitas tanaman kakao Indonesia selama enam tahun terakhir mengalami penurunan dengan rata-rata penurunan 5,32 persen. Penurunan tersebut terutama disebabkan karena semakin banyaknya jumlah tanaman kakao yang rusak akibat tua dan semakin meluasnya serangan hama penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit vascular streak dieback (VSD). Hingga akhir tahun 2008 tanaman kakao yang rusak mencapai 450.000ha yang terdiri dari 70.000 ha tanaman kakao rusak berat, 235.000 ha tanaman kakao rusak sedang dan 145.000 ha tanaman kakao rusak ringan. 8 Selain itu diduga karena 80 persen perkebunan kakao merupakan perkebunan rakyat, produktivitas kakao juga ikut menurun yang disebabkan pengelolaan perkebunan kakao oleh rakyat yang sederhana dan kurang memanfaatkan teknologi sehingga produktivitas tanaman menjadi rendah. Produksi kakao sendiri mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Rata-rata peningkatan produksi kakao nasional dari tahun 2003 sampai tahun 2008 hanya sebesar 2,66 persen per tahun jika dibandingkan dengan perluasan areal yang memiliki
+ 8
http://pphp.deptan.go.id Profil Pasar Komoditi Kakao [16 Juli 2009] http://ditjenbun.deptan.go.id Gernas Kakao [30 Juni 2009]
peningkatan rata-rata per tahun sebesar 8,91 persen (Tabel 5) . Pada kenyataannya walaupun terjadi peningkatan yang besar pada luas areal tanam kakao, tidak menjamin bahwa produktivitas dan produksi kakao juga ikut mengalami peningkatan. Hal ini juga dapat terjadi sebagai akibat dari perluasan areal yang tidak dapat mengimbangi tanaman kakao yang tua dan tua renta, serta hama penggerek buah kakao yang sudah sejak lama mengganggu tanama kakao nasional, sehingga produksi dan produktivitas memang masih lebih kecil dibandingkan perluasan areal tanam kakao. Tabel 5. Perkembangan Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Kakao Indonesia Tahun 2003-2008* produktivitas produksi luas areal tahun ton/ha %** ton %** ha %** 2003
10,65
2004
8,98
-15,68
691.704
-1,02
1.090.960
13,14
2005
9,21
2,56
748.828
8,26
1.167.046
6,97
2006
8,49
-7,82
769.386
2,75
1.320.820
13,18
2007
8,01
-5,65
740.006
-3,82
1.379.279
4,43
2008*
8,01
0
792.761
7,13
1.473.259
6,81
Rata-rata
698.816
-5,32
964.223
2,66
8,91
Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan (diolah kembali) Ket: * data sementara ** merupakan persentase pertumbuhan tiap tahun
Produktivitas tanaman kakao juga dapat diduga disebabkan karena perkebunan kakao sebagian besar dikelola oleh rakyat yang biasanya menggunakan teknik pengelolaan sederhana dan manual, sehingga produktivitas tanaman kakao masih rendah. Selain itu masih banyaknya kebun rakyat yang menanam benih biji kakao yang tidak baik atau benih “asalan”. Pada tahun 2009 Dirjen Perkebunan melaksanakan Gerakan Peningkatan produksi dan Mutu Kakao Nasional yang merupakan upaya dari
pemerintah untuk dapat mempercepat peningkatan produktivitas tanaman dan mutu hasil tanaman kakao nasional dengan memberdayakan atau melibatkan secara optimal seluruh potensi pemangku kepentingan serta sumber daya yang ada. Cakupan kegiatan terutama meliputi peremajaan, rehabilitasi, dan intensifikasi tanaman kakao rakyat di sentra produksi kakao dengan teknologi terkini di sembilan provinsi dengan 40 kabupaten.9 5.3. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Indonesia Pemasaran kakao Indonesia telah mencapai pasar dunia dan cenderung menunjukkan peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2003, Indonesia mengekspor kakao dalam bentuk biji dengan volume sebesar 265.838 ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 410 juta. Kemudian meningkat pada tahun 2004 dengan volume ekspor sebesar 275.484 ton, namun nilai ekspor menurun menjadi sebesar US$ 370 juta. Ekspor biji kakao Indonesia kembali meningkat di tahun 2005 baik volume maupun nilai ekspornya yang berturut-turut sebesar 367.425 ton dan US$ 468 juta. Pada tahun 2006 meningkat lagi dengan volume ekspor sebesar 490.777 ton dengan nilai ekspor US$ 619 juta. Pada tahun 2007, ekspor biji kakao Indonesia mengalami penurunan volume ekspor menjadi 379.829 ton, namun dari sisi nilai ekspor justru mengalami peningkatan dengan nilai sebesar US$ 623 juta. Indonesia berhasil meningkatkan kembali ekspor biji kakao walaupun hanya sedikit volume ekspornya meningkat yakni menjadi 380.512 ton, namun nilai ekspor biji kakao meningkat secara signifikan menjadi sebesar US$ 855 juta. Perkembangan ekspor biji kakao Indonesia ditunjukkan pada Gambar 5 berikut ini. 9
http://ditjenbun.deptan.go.id Pedoman Teknis Daerah [30 Juni 2009]
9 + *
*
+ 8
Sumber : comtrade.un.org [29 Juni 2009]
Gambar 5. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Indonesia 2003-2008 Perkembangan ekspor biji kakao dari Indonesia relatif menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk dapat memperoleh pendapatan devisa dari komoditi ini. Hal yang sangat menentukan tingkat harga di pasar internasional adalah mutu biji kakao. Oleh sebab itu, yang perlu diperhatikan oleh produsen kakao terutama Indonesia adalah kualitas dari biji kakao yang diekspor. Pokok utama permasalahan dinilai rendahnya mutu kakao Indonesia di pasar internasional antara lain disebabkan oleh hama dan umur tanaman yang sudah sangat tua. Menurut Surat Menteri Pertanian Anton Apriyanto tertanggal 14 April 2005, salah satu upaya mengatasi hal itu diperlukan penelitian dalam memperoleh jenis tanaman yang rentan terhadap hama dan kutu biji kakao. Akibat dari buruknya mutu kakao Indonesia ini, ekspor kakao Indonesia selalu mengalami automatic detention oleh Amerika Serikat sejak tahun 1991. Selain itu, pembeli kakao di luar negeri selalu
memotong harga biji kakao Indonesia sebesar 200 dollar AS per ton, karena biji kakao Indonesia tidak terfermentasi.10 5.4. Perkembangan Industri Pengolahan Kakao Selama ini tingkat konsumsi produk olahan kakao di Indonesia masih rendah yakni berkisar 100gr/kapita. Kondisi industri hilir kakao juga tidak bisa dibilang sebagai kabar baik, dari 16 unit pabrik hanya 5 unit pabrik yang aktif. Padahal pabrik ini dapat membantu memudahkan perusahaan perkebunan untuk memasarkan biji kakao di dalam negeri. Berikut beberapa perusahaan eksportir kakao Indonesia yang masih aktif berproduksi sampai saat ini.11 Tabel 6. Daftar Perusahaan Eksportir Kakao Indonesia Nama Perusahaan
Kapasitas Produksi (ton)
PT. General Food Industries
70.000
PT. Kakao Mas Gemilang
6.000
PT. Cocoa Ventures Indonesia
12.000
PT. Mas Ganda
10.000
PT. Bumi Tangerang Mesindotama
25.000
Sumber : bisnis.vivanews.com [26 Agustus 2009]
Untuk mendorong meningkatnya gairah industri kakao nasional maka tingkat konsumsi domestik perlu ditingkatkan hingga 1kg/kapita. Sebagai perbandingan negera Malaysia memiliki tingkat konsumsi domestik sebesar 5kg/kapita sedangkan Swiss hampir menyentuh angka 15kg/kapita. Konsumsi domestik 1kg/kapita menjadi program
10
http://regionalinvestment.com/sipid/id/userfiles/komoditi/3/kakao_kajianpeluanginvestasi.pdf [29 Juni 2009] 11 http://www.kontan.co.id/index.php/bisnis/news/17427/Ekspor-Melorot-Produksi-Pabrik-Kakao-Mandek [4 Agustus 2009]
kerja Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo) yang ditargetkan akan tercapai dalam 5 tahun ke depan. Selama ini, nilai tambah komoditi kakao kurang dinikmati Indonesia kita lebih banyak mengekspor biji kakao (bean) sedangkan peluang industri produk olahan kurang optimal dimanfaatkan. Kapasitas industri hilir kita hanya 150 ribu ton/tahun sedangkan Malaysia yang hanya memiliki luas lahan kakao 30 ribu ha mampu menghasilkan tingkat produksi hingga 300 ribu ton. Lebih ironis lagi, Singapura yang tidak memiliki satupun batang kakao, malah mampu memproses kakao hingga 150 ribu ton/tahun. Berarti selama ini, kita tidak dapat menikmati nilai tambah dari industri hilir kakao. Alasan lainnya yang membuat pabrik pengolahan kakao nasional kurang mampu berkembang adalah kurangnya bahan baku, kurangnya infrastruktur dan tidak ada insentif. Kurangnya bahan baku merupakan suatu kenyataan yang aneh karena Indonesia merupakan negara pengekspor biji kakao urutan ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana yakni sekitar 70 persen produksi biji kakao nasional diekspor. Justru biji kakao yang diekspor Indonesia sangat membantu industri kakao Singapura dan Malaysia yang kembali mengekspor hasil olahan coklat mereka ke Indonesia dengan nilai tidak kurang dari US$ 10 juta atau sekitar 7000 ton.12
12
http://www/sinartani.com/editorial/menuju-industri-pengolahan-kakao [03 Juli 2009]
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Pengujian Kesesuaian Model Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam skema CEPT-AFTA menggunakan variabel independen GDP per kapita riil negara pengimpor, populasi negara pengimpor, harga biji kakao Indonesia di negara tujuan, harga biji kakao di pasar internasional, ekspor olahan negara pengimpor, nilai tukar riil negara pengimpor, dan variabel dummy CEPT-AFTA. Data yang digunakan merupakan data gabungan (time series dan
cross section) dengan series dari tahun 1989-2007. Pengestimasian
dilakukan dengan menggunakan analisis panel data dengan metode pooled least square dan fixed effect. Penggunaan metode random effect tidak di uji coba dalam penelitian ini karena jumlah cross section dalam penelitian ini lebih kecil dibandingkan koefisien variabel termasuk intercept. Untuk dapat mengetahui metode mana yang terbaik diantara pooled least square dan fixed effect, maka akan dilakukan uji Chow atau uji F dengan perhitungan sebagai berikut : Uji Chow H0 : Model Pooled OLS (Restricted) H1 : Model Fixed Effect (Unrestricted)
Dimana: RSSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Pooled OLS) URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Fixed Effect) N = Jumlah data cross section T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas = 1,64 Ftabel = F(2, 48) = 3,18 Dari hasil perhitungan uji Chow, diperoleh F hitung lebih kecil daripada F tabel sehingga belum cukup bukti untuk menolak H0. Hal ini berarti model pooled least square merupakan model terbaik untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam skema CEPT-AFTA. 6.2. Pengujian Asumsi Model Terdapat tiga asumsi dalam analisis regresi yang harus dipenuhi oleh suatu model yaitu heteroskedastisitas, multikolinieritas, autokorelasi. Untuk menguji ada tidaknya gejala heteroskedastisitas digunakan metode General Least Square (GLS). Model persamaan dikatakan bebas masalah heteroskedastisitas jika Sum Square Residual Weighted Statistics lebih kecil dibandingkan dengan Sum Square Residual Unweighted Statistics, seperti yang tampak pada model regresi hasil olahan data mengenai permintaan ekspor biji kakao Indonesia (Tabel 7). Dengan demikian model persamaan permintaan ekspor biji kakao ini terbebas dari masalah heteroskedastisitas.
Metode GLS juga digunakan untuk menghindari adanya masalah multikolinearitas, dilihat dari probabilitas variabel independennya persamaan dapat dinyatakan terbebas dari masalah multikolinearitas. Untuk mengidentifikasi gejala autokorelasi dalam model persamaan permintaan ekspor biji kakao Indonesia, digunakan uji statistik Durbin Watson (DW). Statistik DW pada model persamaan sebesar 1,452 dengan weighted cross section dan sebesar 1,519 pada unweighted cross section. Kedua nilai tersebut terletak diantara dU dan dl yaitu pada daerah tidak dapat diambil kesimpulan atau ragu-ragu, sehingga tidak dapat ditentukan bahwa persamaan regresi mengandung masalah autokorelasi negatif ataupun positif. Tabel 7. Hasil Analisis Regresi Model Permintaan Ekspor Biji Kakao dengan Data Panel Menggunakan Metode Pooled OLS Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C -29.08543 20.07180 -1.449069 LNGDPj -0.194569 1.019452 -0.190856 LNNj 0.607699 0.631813 0.961834 LNPEj -1.365411 0.440218 -3.101673 LNPW 3.235476 0.827463 3.910113 LNERj 1.567431 1.203229 1.302688 LNOLHj 2.636398 1.010390 2.609288 DUMMY -2.119561 0.974490 -2.175047 Weighted Statistics R-squared 0.968943 Sum squared resid Adjusted R-squared 0.964506 Prob(F-statistic) Durbin-Watson stat 1.452246 Unweighted Statistics R-squared 0.411806 Sum squared resid Durbin-Watson stat 1.519858 Keterangan : * signifikan pada taraf lima persen
Indonesia Prob. 0.1537 0.8494 0.3409 0.0032* 0.0003* 0.1988 0.0120* 0.0345* 300.1613 0.000000
401.8873
6.3. Pengujian Hipotesis a. Uji- F Uji-F
statistik
digunakan
untuk
mengetahui
apakah
variabel-variabel
independennya secara bersama-sama berpengaruh secara nyata terhadap variabel dependennya pada tingkat kepercayaan 95% atau pada taraf nyata ( ) 5%.
Nilai
probabilitas F statistik harus lebih kecil dari taraf nyatanya sehingga dapat diindikasikan bahwa setidaknya ada satu variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Berdasarkan Tabel 7, nilai probabilitas F statistik pada persamaan regresi untuk variabel dependen permintaan ekspor biji kakao Indonesia memiliki nilai 0,000 yang lebih kecil dari taraf nyatanya (5%) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada setidaknya satu variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap volume permintaan ekspor biji kakao. b. Uji-t Uji-t statistik digunakan untuk mengetahui apakah koefisien masing-masing variabel independen secara individu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependennya. Pada persamaan regresi permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand ditunjukkan bahwa variabel independen yakni harga biji kakao di pasar internasional, harga biji kakao Indonesia di negara tujuan, dan ekspor olahan negara pengimpor memiliki nilai t hitung mutlak yang lebih besar daripada t tabel. Hal ini berarti bahwa variabel independen tersebut secara individu berpengaruh signifikan terhadap permintaan biji kakao Indonesia. c. Koefisien Determinansi (R2)
Pada persamaan regresi untuk variabel perdagangan biji kakao Indonesia ke Malaysia didapatkan nilai Adjusted R-sq sebesar 96,45%. Nilai ini menunjukkan bahwa 96,45 persen perubahan variabel dependen (permintaan biji kakao Indonesia) dapat dijelaskan oleh variabel independen (GDP per kapita riil negara importir, populasi negara importir, harga biji kakao di negara tujuan, harga biji kakao di pasar internasional, nilai tukar riil negara importir, dan ekspor olahan negara importir) serta variabel dummy CEPT-AFTA dalam model persamaan tersebut. Sedangkan sisanya yaitu 3,55 persen dijelaskan oleh faktor lain diluar model. 6.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Biji Kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand Berikut akan dibahas variabel-variabel independen yang secara signifikan mempengaruhi volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. a. Harga Biji Kakao di Pasar Internasional (lnPW) Perpotongan antara kurva tawar menawar dari kedua negara akan menghasilkan suatu titik yang melambangkan harga relatif komoditi ekuilibrium yang akan menjadi dasar bagi berlangsungnya perdagangan diantara kedua negara tersebut. Jika yang berlaku adalah harga relatif yang lain maka jumlah impor yang diinginkan tidak akan sama dengan jumlah ekspor yang ditawarkan (Salvatore, 1997). Berdasarkan hasil analisis regresi data panel, diperoleh koefisien harga biji kakao di pasar internasional yang positif. Nilai koefisiennya sebesar 3,23 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga biji kakao di pasar internasional sebesar satu persen, maka volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan
Thailand akan meningkat sebesar 3,23 persen ceteris paribus. Hal ini terjadi karena jika harga yang berlaku di pasar internasional lebih tinggi dengan asumsi bahwa harga biji kakao Indonesia di negara tujuan tetap, maka permintaan terhadap biji kakao Indonesia yang lebih murah akan meningkat. Dari tahun 1991, harga biji kakao Indonesia di pasar Amerika Serikat selalu mendapat potongan otomatis sebesar US$ 250 per ton dan di pasar luar negeri lainnya harga biji kakao Indonesia juga terkena potongan sebesar 10-25 persen dari harga ratarata biji kakao dunia dan lebih rendah 40 persen dibandingkan harga biji kakao bermutu dari Ghana. Pemotongan harga biji kakao Indonesia ini terjadi karena mutu biji kakao Indonesia yang sangat rendah karena biji kakao Indonesia yang diekspor belum difermentasi dan masih terdapat banyak kandungan non kakao (kotoran) dalam setiap ton biji kakao yang diekspor. Pemotongan harga ini diperkirakan senilai US$ 50-100 juta per tahun, dan pemotongan harga ini bisa lebih besar lagi jika dunia mengalami over supply biji kakao dimana negara-negara importir akan lebih selektif dalam memilih biji kakao bermutu yang akan dibeli. b. Harga Biji Kakao di Negara Tujuan (lnPEj) Terjadinya perdagangan internasional pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan harga diantara negara yang melakukan perdagangan sebagai akibat dari perbedaan efisiensi produksi antar negara. Satu negara lebih efisien dalam memproduksi satu komoditi sedangkan negara lainnya lebih efisien dalam memproduksi komoditi lainnya. Masing-masing negara akan melakukan spesialisasi terhadap salah satu komoditi yang mengandung keunggulan komparatif dan mengekspor sebagian outputnya ke negara lain.
Berdasarkan hasil analisis regresi, diperoleh nilai koefisien untuk variabel harga biji kakao di negara tujuan yang negatif. Nilai koefisiennya sebesar -1,36 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan pada harga biji kakao di negara tujuan sebesar satu persen maka akan menurunkan volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia sebesar 1,36 persen, ceteris paribus. Variabel harga biji kakao di negara tujuan ini juga signifikan berpengaruh terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia pada taraf lima persen. Nilai koefisien yang negatif ini menunjukkan bahwa harga biji kakao di negara tujuan merupakan hambatan atau faktor yang mempengaruhi besar kecilnya permintaan biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa secara rata-rata dari tahun 19892007, negara Malaysia merupakan negara pengimpor yang mendapatkan harga biji kakao Indonesia paling murah, sehingga jumlah permintaan ekspor biji kakaonya pun secara rata-rata merupakan yang terbesar dibandingkan Singapura dan Thailand yang menerima harga biji kakao Indonesia lebih besar dari Malaysia.
Tabel 8. Rata-Rata Harga Biji Kakao di Negara Importir dan Jumlah Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia Tahun 1989-2007 Harga Biji Kakao Jumlah Permintaan Ekspor No. Negara (US$/kg) Biji Kakao (Kg) 1.
Malaysia
1,10
57.513.799
2.
Singapura
1,12
45.980.647
3.
Thailand
1,18
4.497.587
Sumber : comtrade.un.org [29 Juli 2009]
c. Ekspor Produk Akhir Kakao Negara Importir (lnOLHj) Dalam suatu sistem ekonomi pasar, jutaan konsumen mengambil keputusan tentang komoditi apa yang akan dibeli dan dalam jumlah berapa, sejumlah perusahaan memproduksi komoditi-komoditi tersebut dan membeli input yang dibutuhkan untuk menghasilkannya (Lipsey, et al. 1995). Salah satu input yang digunakan adalah bahan baku. Bahan baku (misalnya biji kakao) dibutuhkan untuk dapat menghasilkan produk akhir kakao atau olahan (misalnya coklat) yang dapat memberikan nilai penjualan yang lebih tinggi bagi produsen. Sehingga semakin tinggi permintaan jutaan konsumen terhadap coklat, maka kebutuhan dan permintaan akan biji kakao sebagai bahan baku akan semakin tinggi pula. Berdasarkan hasil analisis regresi data panel, diperoleh koefisien ekspor produk olahan negara importir yang positif. Nilai koefisien variabel ini sebesar 2,63 yang berarti jika terjadi kenaikan dalam ekspor produk olahan negara importir (dalam bentuk coklat) sebesar satu persen, maka permintaan ekspor biji kakao Indonesia di negara importir (Malaysia, Singapura, dan Jepang) akan meningkat 2,63 persen ceteris paribus. Peningkatan permintaan ekspor biji kakao ini terjadi karena ketiga negara importir tersebut bukanlah negara penghasil biji kakao terbesar di dunia, namun merupakan negara pengekspor produk akhir kakao atau olahan dari biji kakao. Karena kurangnya produksi bahan baku biji kakao di negara mereka, maka negara importir ini membutuhkan pasokan biji kakao dari Indonesia untuk tetap dapat mengekspor produk akhir kakao atau olahan dari biji kakao misalnya coklat. Tabel 9. Rata-Rata Ekspor Olahan Negara Importir dan Jumlah Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia Tahun 1989-2007
Ekspor Olahan
Jumlah Permintaan Ekspor
(Kg)
Biji Kakao (Kg)
Singapura
54.171.492
45.980.647
2.
Malaysia
13.087.142
57.513.799
3.
Thailand
1.580.892
4.497.587
No.
Negara
1.
Sumber : comtrade.un.org [29 Juli 2009]
Variabel ekspor produk akhir kakao atau olahan negara importir ini secara signifikan mempengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia, sehingga ekspor produk akhir kakao atau olahan negara importir ini merupakan pertimbangan bagi negara importir untuk menentukan besar kecilnya permintaan ekspor biji kakao dari Indonesia (Tabel 13). d. Dummy CEPT-AFTA (DUMMY) Variabel dummy yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk menunjukkan dua kondisi yang berbeda yakni kondisi sebelum diberlakukannya skema CEPT-AFTA dalam perdagangan antara anggota ASEAN yaitu sebelum tahun 2002 dan kondisi setelah diberlakukannya skema CEPT-AFTA yakni setelah tahun 2002. Berdasarkan hasil analisis regresi, diperoleh hasil koefisien variabel dummy CEPT-AFTA adalah 2,11 sehingga rata-rata perbedaan permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura dan Thailand sebelum dan sesudah implementasi skema CEPT-AFTA adalah sebesar -2,11 persen. Pengujian terhadap koefisien dummy CEPT-AFTA ini menunjukkan bahwa permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand sebelum dan sesudah implementasi CEPT-AFTA adalah berbeda nyata. Perbedaan nyata ini diperoleh dari uji t, dimana nilai t statistik yang diperoleh lebih besar dibandingkan t
tabel dengan derajat bebas 56. Selain itu , nilai probability variabel dummy ini juga lebih kecil dari taraf nyata lima persen ( = 0,05) yaitu 0,0345. Dengan demikian, implementasi skema CEPT-AFTA diantara Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand merupakan faktor penting yang menentukan besar kecilnya volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Variabel dummy CEPT-AFTA memiliki pengaruh negatif terhadap volume permintaan ekspor biji kakao di Malaysia, Singapura, dan Thailand karena disebakan oleh produksi dan produktivitas kakao Indonesia yang memang memiliki tren menurun sehingga menyebabkan tren ekspor biji kakao Indonesia juga ikut menurun walaupun telah ada penurunan tarif melalui skema CEPT-AFTA. Penurunan produksi dan produktivitas kakao nasional ini disebabkan karena 80 persen perkebunan kakao nasional dikelola oleh rakyat. Pengelolaan perkebunan kakao oleh rakyat dilakukan secara sederhana dan manual sehingga rata-rata produktivitas tiap tanaman kakao yang dikelola masih rendah. Selain itu juga perluasan areal tanam kakao yang meningkat dari tahun ke tahun belum dapat mengimbangi tanaman tua dan tua renta serta gangguan hama penggerek buah kakao yang sampai saat ini masih menjadi penyebab utama turunya produktivitas tanaman kakao nasional. Selain itu supply response dari petani kakao tidak cepat tanggap terhadap kenaikan harga biji kakao di pasar dunia yang terus berlangsung dari tahun ke tahun. Hal ini juga diduga disebabkan karena tidak adanya teknologi canggih yang digunakan petani kakao nasional dalam memproduksi biji kakao dengan cepat dan baik sehingga petani bisa memanfaatkan kenaikan harga biji kakao dunia dengan memproduksi biji kakao dalam jumlah besar dan mengekspornya ke pasar luar negeri.
Dari beberapa variabel independen yang dipilih, terdapat tiga variabel yang tidak berpengaruh signifikan terhadap volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Berikut merupakan pembahasan dari variabelvariabel yang tidak berpengaruh signifikan. a. GDP Per Kapita Riil Negara Importir (lnGDPj) Gross Domestic Product (GDP) merupakan ringkasan dari aktivitas ekonomi dalam nilai uang tunggal selama periode waktu tertentu. Terdapat dua cara untuk melihat besarnya nilai GDP yakni GDP sebagai pendapatan total dari setiap orang dalam perekonomian dan GDP sebagai pengeluaran total atas output barang dan jasa perekonomian. Dengan demikian GDP mengukur sesuatu yang sangat dipedulikan oleh banyak orang yakni pendapatan dan output barang dan jasa yang mampu mencerminkan permintaan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Dari sudut pandang inilah maka GDP dijadikan sebagai cerminan kinerja ekonomi. GDP juga merupakan ukuran ekonomi suatu negara. Ukuran ekonomi negara importir akan menentukan jumlah komoditi ekspor yang dapat dijual oleh negara pengekspor. Jika negara importir memiliki GDP yang besar, maka negara tersebut akan memiliki kemampuan yang semakin besar dalam menyerap barang-barang yang diperdagangkan di pasar internasional. Berdasarkan hasil analisis regresi data panel permintaan ekspor biji kakao Indonesia, ditunjukkan bahwa GDP per kapita riil negara importir tidak signifikan berpengaruh terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia pada taraf lima persen. Hal ini dikarenakan biji kakao bukanlah barang normal atau barang kebutuhan seharihari bagi seseorang, sehingga jika terjadi kenaikan pendapatan per individu tidak
otomatis meningkatkan permintaan biji kakao. Biji kakao diperlukan oleh industri atau perusahaan sebagai bahan baku ataupun bahan baku tambahan produk akhir atau olahan dari biji kakao. Dengan demikian GDP per kapita riil negara importir bukanlah suatu pertimbangan untuk dapat meningkatkan permintaan ekspor biji kakao Indonesia. b. Populasi Negara Importir (lnNj) Pertambahan populasi negara importir dari sisi permintaan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap permintaan produk ekspor. Pertambahan populasi ini akan menyebabkan permintaan domestik bertambah besar dan jika negara tersebut tidak mampu memenuhi seluruh permintaan domestik maka negara tersebut harus mengimpor dari negara lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi data panel permintaan ekspor biji kakao Indonesia diperoleh koefisien populasi negara importir yang tidak signifikan berpengaruh terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia pada taraf lima persen. Dari hasil regresi tersebut maka populasi bukan merupakan faktor penentu yang mempengaruhi besar kecilnya permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Namun berdasarkan Lipsey (1995) dikatakan bahwa populasi merupakan salah satu faktor yang penting dalam mempengaruhi jumlah komoditas yang dibeli. c. Nilai Tukar Riil Negara Importir (lnERj) Nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Nilai tukar riil kadang-kadang
disebut sebagai terms of trade. Jika nilai tukar riil di negara importir tinggi, barangbarang luar negeri relatif lebih murah dan barang-barang domestik relatif lebih mahal, maka penduduk domestik berkeinginan membeli banyak barang impor dan orang-orang asing akan membeli sedikit barang hasil produksi negara tersebut. Sebaliknya jika nilai tukar riil negara importir rendah, barang-barang luar negeri relatif lebih mahal dan barang-barang domestik relatif lebih murah. Maka penduduk domestik hanya akan membeli sedikit barang impor dan orang-orang asing akan membeli banyak hasil produksi negara tersebut (Mankiw, 2003). Nilai tukar riil yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai tukar negara importir terhadap dollar Amerika Serikat, karena sebagian besar negara menggunakan dan menerima dollar AS sebagai alat pembayaran pada transaksi perdagangan internasional. Hal ini terjadi karena nilai mata uang Amerika Serikat yang relatif stabil dibandingkan mata uang negara lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi panel data, variabel nilai tukar riil negara importir tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Hal ini terjadi karena sejak tahun 1999, kakao merupakan salah satu komoditi yang menjadi subyek kontrak berjangka. Kontrak Berjangka merupakan kontrak yang standar dimana jumlah, mutu, jenis, tempat, dan waktu penyerahannya telah ditetapkan terlebih dahulu. Karena bentuknya yang standar itu, maka hanya dilakukan negosiasi harga komoditi. Performance Kontrak Berjangka sesuai dengan spesifikasi yang tercantum dalam kontrak, dijamin oleh suatu lembaga khusus yaitu Lembaga Kliring Berjangka. Berdasarkan UU No.32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, perdagangan berjangka adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan jual beli komoditi dengan penyerahan kemudian berdasarkan Kontrak Berjangka dan Opsi atas Kontrak Berjangka. Oleh karena itu importir akan terlindung dari fluktuasi harga komoditi subyek kontrak berjangka sebagai akibat dari fluktuasi nilai tukar karena harga komoditi (kakao) telah disepakati bersama pada suatu tingkat tertentu dengan penerimaan komoditi di masa yang akan datang. Inilah yang diduga menyebabkan nilai tukar riil importir tidak berpengaruh signifikan terhadap volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand.
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
7.1. Kesimpulan Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand Harga biji kakao di pasar internasional, harga biji kakao di negara tujuan, volume ekspor produk olahan negara importir berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Harga biji kakao Indonesia di pasar internasional selalu lebih rendah dibandingkan harga rata-rata biji kakao dunia. Hal ini disebabkan karena rendahnya mutu biji kakao Indonesia sehingga harga biji kakao Indonesia selalu mendapat potongan otomatis dipasar Amerika Serikat sebesar US$ 250 per ton biji kakao dan sekitar 15-20 persen potongan di pasar luar negeri lainnya. Sehingga jika terjadi over supply biji kakao di dunia, maka potongan ini akan semakin besar lagi mengingat para importir akan lebih selektif dalam memilih biji kakao. 2. Pengaruh negatif dari CEPT-AFTA terhadap volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia dapat diduga karena selama tahun setelah adanya implementasi CEPTAFTA justru produksi dan produktivitas tanaman kakao Indonesia semakin menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh semakin luasnya areal baru tanam kakao di Indonesia dan semakin besarnya kontribusi perkebunan rakyat terhadap total perkebunan
kakao nasional. Perluasan areal baru tanam kakao sekalipun belum dapat mengimbangi tanaman tua dan tua renta serta tanaman rusak berat karena hama.Halhal inilah yang membuat tren produksi serta ekspor biji kakao nasional menurun, dan oleh karena itu jika diukur dari tahun implementasi CEPT-AFTA masih banyak tanaman kakao yang belum produktif dengan baik. 7.2. Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ini, maka penulis memberikan saran bagi kebijkan sebagai berikut: 1. Indonesia sebaiknya mempertimbangkan potensi ekonomi dan non-ekonomi dari negara Malaysia, Singapura, dan Thailand. Seperti ekspor produk olahan coklat negara tersebut yang memiliki pengaruh positif terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia. Hal tersebut perlu dipantau oleh pemerintah beserta stake holder dalam rangka meningkatkan permintaan ekspor biji kakao nasional di Malaysia, Singapura, dan Thailand. 2. Pemerintah dan stake holder juga perlu memberikan perhatian khusus pada peningkatan mutu serta produktivitas dari komoditi biji kakao dalam usaha menjaga agar harga biji kakao nasional tidak jatuh. Fasilitas yang bisa diberikan oleh pemerintah dan stake holder misalnya dengan pelatihan, pembinaan kelompok tani dan kemitraan, harmonisasi standar mutu, penyediaan bahan tanam unggul, kerjasama regional dan internasional, penyediaan teknologi dan sarana produksi, serta kemudahan akses sarana dan prasarana produksi.
3. Pemerintah dan stake holder juga perlu memantau harga biji kakao di pasar internasional dalam strategi peningkatan permintaan ekspor biji kakao di Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Lampiran 1. Data Mentah Olahan Untuk Analisis Regresi Data Panel Negara _MAL
_SING
Tahun 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Ln Xij
Ln GDPj 13.51 0.00 13.40 14.27 14.13 14.75 16.25 14.46 16.12 17.15 17.25 17.94 18.18 18.15 18.70 18.65 18.87 19.06 19.03 17.29 17.57 17.49 17.85 17.56 17.51 17.71 18.38 17.76
8.12 8.14 8.21 8.33 8.35 8.48 8.57 8.65 8.26 8.22 8.25 8.29 8.26 8.30 8.32 8.35 8.39 8.50 8.57 9.62 9.72 9.81 9.89 9.98 10.13 10.19 10.23 10.00
Ln Nj 2.85 2.90 2.91 2.93 2.97 3.00 3.03 3.05 3.08 3.10 3.12 3.16 3.18 3.20 3.22 3.24 3.26 3.27 3.29 1.08 1.11 1.14 1.17 1.20 1.23 1.26 1.30 1.33
Ln PW 0.22 0.23 0.18 0.09 0.11 0.33 0.36 0.38 0.48 0.52 0.13 -0.10 0.08 0.58 0.56 0.44 0.43 0.46 0.67 0.22 0.23 0.18 0.09 0.11 0.33 0.36 0.38 0.48
Ln PEj 0.03 0.00 -0.13 -0.11 -0.14 0.14 0.08 0.12 0.35 0.30 -0.14 -0.33 -0.06 0.39 0.44 0.29 0.21 0.21 0.48 -0.03 -0.10 -0.16 -0.25 -0.22 0.07 0.15 -0.50 0.26
Ln OLHj 15.01 15.34 15.42 15.56 15.84 15.87 15.51 15.69 15.64 15.33 15.60 15.86 16.19 16.39 16.76 17.14 17.14 17.53 17.48 17.32 17.36 17.42 17.59 17.61 17.56 17.56 17.68 17.54
Ln ERj 1.04 1.06 1.07 1.01 1.04 0.98 0.96 0.95 1.38 1.32 1.32 1.34 1.35 1.34 1.36 1.37 1.37 1.30 1.28 0.52 0.45 0.39 0.40 0.39 0.29 0.26 0.27 0.45
Dummy 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
72
_THAI
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
17.94 17.71 17.86 17.40 17.44 17.32 17.27 17.22 17.60 17.59 0.00 11.12 14.04 14.32 14.13 13.93 15.11 15.41 15.38 15.53 15.41 15.77 15.37 15.91 15.38 15.67 16.06 15.93 15.81
10.04 10.10 9.99 9.93 10.04 10.11 10.19 10.19 10.28 10.28 6.95 7.05 7.14 7.22 7.39 7.50 7.56 6.96 7.14 7.13 7.02 7.00 7.06 7.19 7.25 7.27 7.45 7.54 7.39
1.37 1.37 1.39 1.42 1.43 1.41 1.43 1.45 1.48 1.52 4.01 4.03 4.04 4.05 4.07 4.08 4.09 4.09 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 4.15 4.16 4.18 4.18 4.18 4.19
0.52 0.13 -0.10 0.08 0.58 0.56 0.44 0.43 0.46 0.67 0.22 0.23 0.18 0.09 0.11 0.33 0.36 0.38 0.48 0.52 0.13 -0.10 0.08 0.58 0.56 0.44 0.43 0.46 0.67
0.34 -0.08 -0.29 -0.08 0.42 0.48 0.32 0.29 0.27 0.53 0.00 0.69 -0.02 -0.01 -0.10 0.13 0.18 0.19 0.34 0.37 -0.03 -0.26 -0.11 0.45 0.50 0.30 0.36 0.10 0.26
17.56 17.84 17.97 17.88 17.87 17.96 18.06 18.12 18.27 18.34 12.55 13.02 13.00 13.33 12.94 13.61 13.96 13.32 13.62 13.03 14.30 13.35 13.91 13.88 15.19 15.58 15.17 15.06 14.69
0.47 0.49 0.55 0.63 0.58 0.59 0.55 0.60 0.54 0.54 3.41 3.40 3.38 3.37 3.38 3.33 3.31 3.30 3.88 3.57 3.61 3.77 3.80 3.78 3.71 3.69 3.72 3.58 3.54
0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1
73
Lampiran 2. Hasil Pengolahan Regresi Data Panel Metode Pooled OLS Dependent Variable: LNX? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 08/20/09 Time: 18:22 Sample: 1989 2007 Included observations: 19 Number of cross-sections used: 3 Total panel (balanced) observations: 57 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNGDP? LNN? LNPW? LNPE? LNER? LNOLH? DUMMY?
-29.08543 -0.194569 0.607699 3.235476 -1.365411 1.567431 2.636398 -2.119561
20.07180 1.019452 0.631813 0.827463 0.440218 1.203229 1.010390 0.974490
-1.449069 -0.190856 0.961834 3.910113 -3.101673 1.302688 2.609288 -2.175047
0.1537 0.8494 0.3409 0.0003 0.0032 0.1988 0.0120 0.0345
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Log likelihood Durbin-Watson stat
0.968943 0.964506 2.475023 -108.2239 1.452246
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid F-statistic Prob(F-statistic)
21.74954 13.13723 300.1613 218.3921 0.000000
0.411806 0.327778 2.863875 1.519858
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
15.87053 3.492994 401.8873
Unweighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
74
Lampiran 3. Hasil Pengolahan Regresi Data Panel Metode Fixed Effect Dependent Variable: LNX? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 08/20/09 Time: 18:25 Sample: 1989 2007 Included observations: 19 Number of cross-sections used: 3 Total panel (balanced) observations: 57 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNGDP? LNN? LNPW? LNPE? LNER? LNOLH? DUMMY? Fixed Effects _MAL--C _SING--C _THAI--C
9.080728 -10.70242 2.749987 -0.968386 13.53796 2.003112 -3.011422
7.163506 10.35636 1.372217 1.448898 8.445653 0.825407 1.426139
1.267637 -1.033416 2.004046 -0.668360 1.602950 2.426816 -2.111591
0.2112 0.3067 0.0508 0.5072 0.1156 0.0191 0.0401
-75.19128 -101.2485 -82.96874
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Log likelihood Durbin-Watson stat
0.936438 0.924267 2.444795 -112.6810 1.567881
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid F-statistic Prob(F-statistic)
19.03413 8.883828 280.9202 76.93783 0.000000
0.475294 0.374818 2.761856 1.623428
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
15.87053 3.492994 358.5088
Unweighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
75
Lampiran 4. Data untuk Analisis Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand Negara MALAYSIA
SINGAPURA
Tahun 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Xij 735062 0 660500 1568500 1369312 2552000 11399246 1898500 10064992 28053192 30907199 61820613 78217752 75935256 132268544 125384305 156457029 190298041 735062 32370844 42734476 39319408 56293820 42089512 40375836 48996620 95962496 51818708
GDPj 3366.43 3428.75 3692.29 4153.65 4239.46 4813.67 5245.08 5688.01 3865.76 3698.35 3832.57 3991.90 3849.78 4012.00 4087.62 4246.97 4417.64 4926.23 5245.11 15040.92 16622.95 18244.98 19698.97 21537.61 24985.01 26723.95 27749.95 21988.94
Nj 17.350 18.102 18.328 18.762 19.564 20.112 20.689 21.169 21.666 22.180 22.712 23.495 24.013 24.527 24.993 25.467 25.951 26.392 26.841 2.931 3.047 3.136 3.232 3.315 3.421 3.526 3.670 3.794
PW 1.73 1.65 1.51 1.36 1.32 1.62 1.63 1.60 1.74 1.76 1.17 0.90 1.06 1.71 1.64 1.41 1.37 1.36 1.63 1.73 1.65 1.51 1.36 1.32 1.62 1.63 1.60 1.74
PEj 3.81 0.00 2.84 2.65 2.36 2.89 2.47 2.34 2.79 1.69 0.91 0.72 0.84 1.18 1.17 0.95 0.79 0.70 0.86 3.58 3.13 2.74 2.29 2.17 2.67 2.64 1.26 2.54
OLHj 3307302 4571173 4996471 5697531 7599000 7769780 5424417 6518326 6179601 4552864 5963295 7741808 10748273 13098122 18968707 27719924 27726091 41122411 38950600 33116720 34740680 36606720 43571792 44469152 42312480 42427200 47611333 41646205
ERj 2.82 2.89 2.90 2.75 2.84 2.65 2.60 2.58 3.98 3.76 3.76 3.80 3.88 3.84 3.91 3.94 3.92 3.65 3.59 1.68 1.57 1.48 1.49 1.48 1.34 1.29 1.30 1.57
Dummy 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
76
THAILAND
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
61563464 49233203 56855433 35907984 37639411 33146876 31570287 30093945 43976494 32370844 0 67183 1251625 1650000 1375000 1118062 3665125 4910000 4787640 5566226 4948410 7057105 4755527 8120489 4794996 6386719 9414651 8260406 7324990
23030.68 24398.51 21797.86 20619.79 22998.60 24553.84 26626.15 26726.82 29231.16 29262.28 1043.82 1153.06 1260.86 1360.64 1441.26 1626.06 1807.81 1919.22 1052.84 1263.86 1253.44 1114.46 1093.69 1159.39 1330.28 1411.26 1431.72 1725.53 1877.03
3.922 3.951 4.018 4.131 4.171 4.115 4.167 4.266 4.401 4.589 55.290 56.410 57.030 57.620 58.440 59.100 59.460 59.900 60.450 61.170 61.780 62.400 62.936 63.461 64.006 65.082 65.110 65.280 65.740
1.76 1.17 0.90 1.06 1.71 1.64 1.41 1.37 1.36 1.63 1.73 1.65 1.51 1.36 1.32 1.62 1.63 1.60 1.74 1.76 1.17 0.90 1.06 1.71 1.64 1.41 1.37 1.36 1.63
1.76 0.96 0.75 0.82 1.22 1.21 0.97 0.86 0.75 0.90 0.00 6.90 3.17 2.93 2.44 2.86 2.73 2.52 2.75 1.80 1.02 0.77 0.80 1.26 1.24 0.96 0.92 0.63 0.69
42320856 55687127 63644566 58096206 57539037 63287668 69618746 74261050 85718390 92582416 281273 452312 442172 615535 415854 811842 1155805 608426 823981 455316 1619909 629655 1096711 1062257 3945143 5850145 3882817 3483705 2404084
1.59 1.63 1.73 1.89 1.78 1.80 1.74 1.82 1.72 1.71 30.32 30.03 29.37 29.11 29.39 28.02 27.37 27.10 48.28 35.57 37.09 43.26 44.65 44.00 40.73 40.16 41.39 36.04 34.52
0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1
77