PEMBENTUKAN ASEAN-CINA FREE TRADE AREA (ACFTA) DAN HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA (2003-2009) Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pada Jurusan Hubungan Internasional
Oleh Ali Fikri Wibowo NIM : 106083003757
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 juli 2011
Ali Fikri Wibowo
i
LEMBAR PERSETUJUAN
PEMBENTUKAN ASEAN-CINA FREE TRADE AREA (ACFTA) DAN HUBUNGAN EKONOMI ASEANCINA (2003-2009)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hubungan Internasional
Oleh: Ali Fikri Wibowo NIM: 106083003757
Dosen Pembimbing
Dosen Penasehat Akademik
Dina Afrianty, Ph.D. NIP: 197304141999032002
Ali Munhanif, Ph.D. NIP: 196512121992031004
Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2011
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PEMBENTUKAN ASEAN–CINA FREE TRADE AREA (ACFTA) DAN HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA (2003-2009) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 5 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan Hubungan Internasional.
Jakarta, 5 Agustus 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Jurusan
Sekretaris Jurusan
Dina Afrianty, Ph.D. NIP: 197304141999032002
Agus Nilmada Azmi, M.Si. NIP: 197808042009121002
Pembimbing
Dina Afrianty, Ph.D. NIP: 197304141999032002 Penguji I
Penguji II
Friane Aurora, M.Si. 198606172011012009
Arisman, M.Si.
iii
ABSTRAK
Penelitian ini melihat hubungan ekonomi yang terjadi antara ASEAN dan Cina hingga kedua belah pihak menyepakati pembentukan ASEAN-Cina Free Trade Area. Oleh karena itu, penulis mencoba menjabarkan kepentingan ASEAN dan Cina di balik pembentukan perjanjian ini. Kepentingan tersebut dipengaruhi dinamika internal dan eksternal yang terjadi baik dalam lingkup ASEAN maupun Cina, sehingga hubungan ekonomi ini sangat mencerminkan adanya interdependensi. Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan dalam skripsi ini maka ACFTA bagi ASEAN dan Cina harus diwujudkan. Oleh karena itu, secara umum penulis melihat kerjasama ini dari perspektif neoliberal. Kemudian mencoba mengkhususkannya lagi melalui dua varian lain dalam perspektif tersebut, yaitu interdependensi yang dapat menjelaskan bahwa masing-masing pihak sangat membutuhkan perjanjian ini, dan neoliberal institusionalis yang mencoba menggambarkan peran dari sebuah rezim yang dalam hal ini adalah ACFTA. Metode Penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yang didasarkan pada pengumpulan data-data yang diperoleh dari berbagai sumber. Data-data ini kemudian penulis olah dengan bantuan kerangka pemikiran untuk mempermudah penulis dalam menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis memaparkan ataupun mendeskripsikan fakta-fakta terkait dengan pembahasan skripsi ini, lalu kemudian mencoba menganalisa fakta ataupun data tersebut pada bagian selanjutnya dalam penulisan. Penelitian ini memiliki hasil temuan bahwa melalui mekanisme free trade area, perdagangan dan investasi yang terjadi di antara pihak-pihak yang menyepakatinya menjadi meningkat. Namun, meningkatnya perdagangan dan investasi tersebut tentunya tidak sama jumlahnya dari segi nilai ekonomi. Dalam hal ini ada pihak yang lebih diuntungkan. Namun hal tersebut tidak menghalangi hubungan ekonomi yang terus berkembang di antara keduanya, karena melalui perspektif neoliberal, yang menjadi persoalan bukan dari jumlah nominal yang diperoleh, namun selama masing-masing pihak mendapatkan keuntungan, tidak hanya dengan jumlahnya maka kerjasama tersebut dapat diwujudkan. Selain itu kerjasama ini memiliki orientasi jangka panjang sehingga optimisme tersebut dapat mengalahkan hambatan yang menyertai kerjasama ini. Hal inilah yang menyebabkan ACFTA dapat terbentuk dan menjadi sangat penting bagi hubungan ekonomi ASEAN dan Cina.
iv
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala rahmat dan nikmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan Internasional. Penulis bersyukur atas segala rintangan dan kemudahan yang menyertai penulisan skripsi ini, hingga dapat diselesaikan. Hal ini tentunya terjadi bukan hanya dari usaha penulis seorang diri, melainkan juga karena karuniaNya dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, diantaranya: Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan. Terutama Mama yang telah memberikan dukungan finansial dan tekanan moral, sehingga memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Selain itu juga, terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dina Afrianty Ph.D. selaku dosen pembimbing dan Ketua Jurusan Hubungan Internasional yang sudah sangat membantu proses penulisan skripsi ini. Terima kasih karena selama ini sudah rela meluangkan waktu dan membagi ilmunya, sehingga sangat-sangat membantu penulis. Ibu telah memberikan arahan, motivasi dan benar-benar membimbing, suatu kehormatan bagi penulis bisa berada di bawah bimbingan Ibu. Terimaka kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ali Munhanif Ph.D. selaku Penasehat Akademik, Bapak Agus Nilmada Azmi M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional, serta seluruh staf Dosen pada jurusan Hubungan Internasional yang sudah mendedikasikan ilmunya selama ini kepada penulis. Terima kasih juga untuk seluruh keluarga, Uni Yeni, Uni Dila dan keponakanku satu-satunya Nazla Kamilah yang sudah memberikan keceriaan, di tengah kepenatan selama ini. Terima kasih kepada Bang Marbawi yang sudah meminjamkan beberapa bukunya
sehingga
memudahkan
penulis
dalam
menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa juga terima kasih kepada seluruh rekan-rekan seperjuangan pada jurusan Hubungan Internasional yang sudah berkontribusi, baik dalam usaha
v
eksplorasi bersama pencarian bahan-bahan skripsi, ataupun dengan sukarela meminjamkan bukunya; Christa, Acyd, Kis, Dian, Nia, Qori, Ayu. Selain itu juga teman-teman lainnya di HI 2006, sebagai rekan diskusi selama ini; Nanda, Beben, Firman, Insan, Wer, Irfan, Adnan, Bojay, Zubir, Ibnu. Terima kasih juga kepada teman-teman di UKM FORSA khususnya divisi Basket, yang sudah menumbuhkan jiwa sportifitas dan semangat pantang menyerah dalam diri penulis. Selain itu terima kasih juga kepada teman-teman di kosan Graha Cendekia yang sudah menemani penulis selama beberapa tahun dalam menempuh pendidikan di Universitas ini. Dan semua pihak yang sudah membantu penyelesaian skripsi ini, namun tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih. Akhirnya, penulis berharap agar semua kebaikan yang telah diberikan mendapatkan balasan dariNya. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang lain yang membacanya, terlepas dari banyaknya kekurangan yang termuat di dalamnya. Terima Kasih.
Ali Fikri Wibowo
vi
DAFTAR ISI
Abstrak……………………………………………………………………………iv Kata Pengantar…………………………………………………………………….v Daftar Isi………………………………………………………………………....vii Daftar Singkatan…………………………………....………………………….....ix Daftar Tabel………………………………………………………………………xi Daftar Lampiran………………………………………………………………….xii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang…………………………………….........................1 B. Pertanyaan Penelitian…………………………...............................6 C. Kerangka Pemikiran……………………………….........................6 D. Metode Penelitian………………………………….......................15 E. Sistematika Penulisan………………………….............................15
BAB II
HUBUNGAN KERJASAMA EKONOMI ASEAN A. Latar Belakang Kerjasama Ekonomi ASEAN……………............17 B. Kondisi Internal Ekonomi ASEAN B.1 Perkembangan Awal Kerjasama Ekonomi Intra ASEAN…………………………………………………...……...20 B.2 Hambatan Integrasi Ekonomi ASEAN….……………...........32 C. Perkembangan Kerjasama Ekonomi Luar Negeri ASEAN C.1 Kesepakatan-kesepakatan Ekonomi ASEAN………………..35 C.2 ASEAN+3 (Cina, Jepang, Korea Selatan)….………..............37 C.3 Hubungan Awal Kerjasama ASEAN-Cina………….............41 C.4 ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA)…………............43
BAB III
KEPENTINGAN CINA TERHADAP PEMBENTUKAN ACFTA A. Kondisi Ekonomi Politik Cina A.1 Masa Mao Zedong……………………....................................50 A.2 Masa Deng Xiaoping………………………………................55 B. Kondisi Internal Ekonomi Cina B.1 Keterbatasan Bahan Mentah dan Sumber Daya Alam di Cina................................................................................................61
vii
B.2 Perluasan Akses Pasar……………………………………….64 C. Kondisi Eksternal Terbentuknya ACFTA C.1 Perkembangan Regionalisme Pasca Perang Dingin…………67 C.2 Masuknya Cina menjadi anggota WTO…………….….........69 C.3 Membendung Pengaruh Jepang di Kawasan Asia Tenggara………………………………………….…..…..............73 BAB IV
ANALISA HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA A. Permasalahan Penerapan ACFTA………..………….................80 B. Indikator Peningkatan Hubungan Ekonomi ASEAN-Cina B.1 Aspek Perdagangan Luar Negeri…………………..............83 B.2 Aspek Investasi………………….........................................86 C. Dampak Terbentuknya ACFTA Terhadap Hubungan Ekonomi ASEAN-Cina………………..…..………....................90
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………..............................94
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………................97 LAMPIRAN
viii
DAFTAR SINGKATAN
AC
: ASEAN Community
ACFTA
: ASEAN-China Free Trade Area
AEC
: ASEAN Economic Community
AFAS
: ASEAN Framework Agreement on Services
AFTA
: ASEAN Free Trade Area
AIA
: ASEAN Investment Area
AMM
: ASEAN Ministerial Meeting
APEC
: Asia-Pasific Economic Cooperation
APSC
: ASEAN Political-Security Community
APT
: ASEAN Plus Three
ARF
: ASEAN Regional Forum
AS
: Amerika Serikat
ASA
: ASEAN Swap Arrangement
ASCC
: ASEAN Socio-Cultural Community
ASEAN
: Association of Southeast Asian Nations
BIMP-EAGA
: Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipines East ASEAN Growth Area
CEP
: Comprehensive Economic Partnership
CEPT
: Common Effective Preferential Tariff
CIA
: Central Intelligence Agency
CITIC
: China International Trust and Investment Company
CMI
: Chiang Mai Initiative
CMLV
: Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam
CNOOC
: China National Offshore Oil Corporation
EAC
: East Asian Community
EHP
: Early Harvest Program
EU
: European Union
FDI
: Foreign Direct Investment
FTA
: Free Trade Area
GATT
: General Agreement on Tariff and Trade
ix
GDP
: Gross Domestic Product
GEL
: General Exception List
GNI
: Gross National Income
HAM
: Hak Asasi Manusia
HSL
: Highly Sensitive List
IL
: Inclusion List
IMS-GT
: Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle
IMT-GT
: Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle
KTT
: Konferensi Tingkat Tinggi
LIPI
: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Mercosur
: Southern Common Market, Mercado Común del Sur
MFN
: Most Favoured Nation
MoP
: Margin of Preference
NAFTA
: North American Free Trade Area
NICs
: New Industrialized Countries
NT
: Normal Track
PBB
: Perserikatan Bangsa-Bangsa
PKC
: Partai Komunis Cina
PRC
: People’s Republic of China
PTA
: Preferential Trading Arrangements
RoO
: Rules of Origin
RRC
: Republik Rakyat Cina
RTA
: Regional Trading Agreements
SEATO
: Southeast Asia Treaty Organization
Sijori
: Singapura-Johor-Riau
SL
: Sensitive List
ST
: Sensitive Track
TAC
: Treaty of Amity and Cooperation
TEL
: Temporary Exclusion List
US
: United States
WEC
: West-East Corridor
WTO
: World Trade Organization
x
DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Perdagangan Intra dan Ekstra ASEAN: 2003-2009 .............................26 Tabel II.2 Investasi Asing Langsung Menuju ASEAN: 2003-2009…………..…30 Tabel II.3 Skema Penurunan tarif ACFTA ………………………………...……46 Tabel IV.1 ASEAN Ekspor dan Impor ke Cina: 2003-2009……………...……..84
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1:
Transkrip Wawancara
Lampiran 2:
Framework Agreement on Comprehensive Economic CoOperation Between ASEAN and the People's Republic of China
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Skripsi ini membahas tentang faktor-faktor, baik internal maupun eksternal yang membuat Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) dan Cina meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi, serta dampaknya terhadap hubungan ekonomi tersebut. Namun, pembahasan tidak akan melihat hubungan masingmasing negara anggota ASEAN dengan Cina secara terpisah, melainkan hubungan ASEAN secara keseluruhan sebagai suatu institusi formal di kawasan Asia Tenggara dengan Cina. Selain itu, penulis juga membatasi periode jangka waktu penelitian, yaitu antara tahun 2003 sampai dengan 2009. Dikarenakan pada tahun 2003 skema perjanjian kerjasama ini secara bertahap mulai diberlakukan dan pada 2009 mengingat keterbatasan data primer sehingga pembatasan jangka waktu harus dilakukan. Sejak berakhirnya Perang Dunia II timbul satu gagasan untuk mengintegrasikan perekonomian negara-negara di dunia. Salah satunya melalui kerjasama bilateral ataupun dalam ruang lingkup regional. Dengan bersatunya ekonomi negara-negara di dunia, diharapkan akan tercipta situasi saling ketergantungan (interdependensi) dan akan memperkecil resiko timbulnya perselisihan yang bisa mengakibatkan kembali timbulnya perang.
Selain itu,
setelah Perang Dunia II berakhir negara-negara di dunia ingin kembali memulihkan kondisi ekonomi dalam negerinya, dan hal itu tentunya tidak dapat
1
diwujudkan tanpa adanya bantuan ataupun kerjasama dari negara lainnya. Maka pada tahap selanjutnya timbullah bentuk-bentuk kerjasama regional di dunia ini. Salah satu bentuk kerjasama regional yang lahir setelah berakhirnya PD II adalah Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) pada 1954 yang merupakan organisasi bentukan Amerika Serikat yang lebih bertujuan untuk membendung berkembangnya komunisme di Asia Tenggara dengan mengutamakan kerjasama di bidang pertahanan (Pangestu dalam Weatherbee et al. 2005, h. 187). Pada perkembangannya, SEATO inilah yang melatarbelakangi pembentukan dari ASEAN pada 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand. Awal pembentukan ASEAN juga bertujuan untuk membendung penyebaran komunisme di Asia Tenggara yang dipelopori oleh Cina (Wibowo & Hadi eds. 2009, h. 59). Selain karena alasan politik dan pertahanan tersebut, tujuan dari pembentukan ASEAN, salah satunya seperti yang tertuang dalam Deklarasi Bangkok tahun 1967, adalah untuk meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pembangunan kebudayaan di kawasan ASEAN (ASEAN Secretariat 1967; Prabowo & Wardoyo 2004, h. 1). Meskipun sampai saat ini kemapanan dari segi ekonomi yang dicita-citakan oleh ASEAN masih belum terwujud, akibat keberagaman tingkat ekonomi dari negara-negara anggotanya. ASEAN sendiri dihadapkan atas berbagai pilihan, yaitu antara mengembangkan kerjasama dengan negara ASEAN (intra ASEAN) atau kerjasama ekonomi dengan negara di luar anggota ASEAN. Salah satu negara di luar ASEAN yang dianggap mampu untuk memacu ataupun mengembangkan potensi ekonomi dari negara-negara anggota ASEAN adalah Cina, mengingat
2
perkembangan ekonomi Cina pada dua dekade terakhir yang mengalami peningkatan cukup pesat. Secara historis, hubungan antara Cina dengan ASEAN memang sudah berlangsung sejak lama, namun secara resmi baru dimulai pertengahan tahun 1990-an (Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 167). Hubungan kerjasama Cina dengan ASEAN ditandai dengan adanya perubahan-perubahan pada tingkat global. Pasca perang dingin, Cina memutuskan untuk lebih mempererat hubungannya pada bidang ekonomi dengan ASEAN sekaligus melepaskan ketergantungan hubungannya dengan negara-negara maju seperti
Amerika
Serikat (AS). Bagi Cina, memang tidak ada pilihan lain kecuali menerima kenyataan akan adanya interdependensi dan globalisasi secara antusias dan terbuka sebagai kebutuhan dari pembangunan perekonomiannya (Inayati ed. 2006, h. 21). Cina sebenarnya sudah lama berusaha untuk meningkatkan perekonomiannya, tetapi perekonomian berdikari yang dicanangkan oleh pendiri negara ini yaitu Mao Zedong1 gagal membawa pertumbuhan bagi perekonomian Cina.
Keinginan
untuk menjadikan Cina sebagai kekuatan besar dalam sistem hubungan antar
1
Mao Zedong adalah tokoh pendiri Republik Rakyat Cina (RRC) yang juga pemimpin Partai Komunis Cina (PKC), ia memimpin Cina pada periode 1949 hingga 1976. Mao Zedong dianggap pemimpin yang revolusioner dan juga kejam karena sering sekali menyingkirkan lawa-lawan politiknya. Jasa terbesarnya adalah keberhasilannya memimpin PKC dalam perang saudara melawan Kuomintang yang beraliran nasionalis (1927-1949), serta keberhasilannya dalam memimpin perang gerilya melawan Jepang (1937-1945). Namun, kegagalan terbesarnya saat memimpin Cina adalah berupa kebijakannya yaitu “Lompatan Jauh Ke Depan” yang justru mengakibatkan kesengsaraan rakyat banyak, dan “Revolusi Kebudayaan” yang dipandang hanya memecah belah kesatuan Cina. Semasa kepemimpinannya, Cina mengalami keterpurukan di bidang ekonomi. Prinsip politik Mao Zedong yang beraliran komunis ini masih tetap digunakan di Cina hingga saat ini. Pengikut aliran Mao Zedong disebut sebagai Maois (lihat Taniputera 2009).
3
negara di dunia ini tidak hanya menjadi obsesi Mao Zedong, tetapi juga menjadi cita-cita pemimpin Cina pasca Mao Zedong yaitu Deng Xiaoping2. Menurut Inayati (ed. 2006, h. 23), Deng Xiaoping dalam usaha menjadikan Cina sebagai negara yang kuat lewat peningkatan kekuatan ekonomi mencanangkan program reformasi yang dinamakan “Empat Modernisasi” (singe xiandaehua). Gagasan program empat modernisasi ini dikemukakan oleh Deng Xiaoping dalam pidato utama di pleno ketiga sidang komite sentral kesebelas Partai Komunis Cina (PKC) pada tanggal 13 Desember 1978, empat program modernisasi tersebut meliputi bidang pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertahan keamanan. Untuk mendorong program empat modernisasi tersebut, Deng Xiaoping memprakarsai kebijakan pintu terbuka (open door policy). Pada dasarnya kebijakan pintu terbuka adalah kebijakan yang disusun untuk mempromosikan ekspansi hubungan ekonomi dengan negara lain, termasuk di dalamnya beberapa kebijakan dalam hal perdagangan luar negeri, investasi asing, serta pinjaman luar negeri. Hal inilah yang menyebabkan Cina membuka diri terhadap hubungan ekonomi dengan negara lainnya, kebijakan inilah yang terus mendasari hubungan ekonomi Cina dengan negara lainnya. Salah satu kerjasama ekonomi yang dinilai penting adalah kerjasama dengan ASEAN. Menjalin kerjasama dan hubungan ekonomi yang baik dengan
2
Deng Xiaoping dianggap sebagai pemimpin Cina pasca Mao Zedong, ia memimpin Cina pada periode 1978 hingga 1992. Pada masa revolusi kebudayaan di Cina, ia juga termasuk lawan politik yang diasingkan oleh Mao. Pada masa kepemimpinannya, Cina justru mengalami kemajuan yang pesat di bidang ekonomi, karena keterbukaannya dengan pihak asing. Kebijakan ekonomi yang diterapkan Deng sering dianggap bertentangan dengan prinsip pokok Marxisme, namun Deng tetap membangun Cina dengan “sosialisme baru”, ungkapan yang cukup terkenal dari pernyataan Deng adalah “Tidak peduli apakah kucing itu berwarna putih atau hitam, yang penting adalah kucing itu dapat menangkap tikus, maka itu adalah kucing yang terbaik”. Meskipun dalam menjalankan kebijakan ekonomi Deng dianggap cukup liberal, namun dalam sistem pemerintahan Deng tetap mempertahankan prinsip politik Cina yang sentralistik dan beraliran komunis. Deng juga dianggap sebagai tokoh pembangunan Cina. (lihat Taniputera 2009; Bakri ed. 1996).
4
ASEAN berarti menimbulkan penciptaan lingkungan regional yang damai, yang merupakan salah satu inti sari dari empat program modernisasi Cina (Inayati ed. 2006, h. 38). Meskipun Cina bukan negara utama dari penyebaran komoditi ekspor negara ASEAN, karena jumlah nilai ekspor yang dihasilkan masih kalah jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Jepang, namun peningkatan nilai tersebut secara terus-menerus bertambah dari tahun ke tahun, bahkan sebenarnya telah melampaui persentase kenaikan nilai ekspor ASEAN ke AS dan Jepang (Danyang dalam Hock, Jun & Wah eds. 2005, h. 209). Pada 4 November 2002 saat ASEAN-Cina Summit ke-6 di Kamboja, para pemimpin ASEAN dan Perdana Menteri Cina Zhu Rongji menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation. Kerangka ini merupakan landasan bagi kerjasama perdagangan dalam sebuah kawasan perdagangan bebas ASEAN-Cina yang ditargetkan bisa dicapai pada tahun 2010 untuk ASEAN-6 (Brunei, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand) dan pada tahun 2015 untuk ASEAN-CMLV (Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam)3 (Yu dalam Leong & Ku eds. 2005, h. 45). Masing-masing pihak baik ASEAN maupun Cina sebenarnya saling membutuhkan
kawasan
perdagangan
bebas
ini
untuk
meningkatkan
perekonomiannya. Bagi negara-negara ASEAN sendiri, Cina dianggap mampu menggantikan ketergantungan ASEAN terhadap Amerika Serikat dan Jepang
3
ASEAN-6 beranggotakan lima Negara pendiri ASEAN pada 8 Agustus 1967, yaitu Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Sedangkan Negara ke-enam adalah Brunei Darussalam yang menjadi anggota ASEAN pada Januari 1984. Sedangkan ASEAN-CMLV beranggotakan empat negara selanjutnya yang masuk menjadi anggota ASEAN. Secara berurutan, Vietnam pada Juli 1995, Laos dan Myanmar pada Juli 1997, serta Kamboja pada Desember 1998. Selain atas perbedaan jangka waktu menjadi anggota ASEAN, pengelompokan ini juga biasanya berdasarkan tingkat kemajuan ekonomi negara anggota ASEAN yang dibagi menjadi dua kelompok ini (lihat Dirjen Kerjasama ASEAN 2010).
5
yang perekonomiannya sering menghadapi goncangan. Dengan kedekatan ASEAN dan Cina tersebut maka akan meningkatkan stabilitas ekonomi dan keamanan regional sendiri, karena banyaknya alternatif kerjasama yang dimiliki ASEAN dan masing-masing pihak juga membutuhkan lingkungan regional yang aman untuk mengoptimalkan nilai investasi yang ada. Atas latar belakang inilah, peningkatan kerjasama di bidang ekonomi antara ASEAN dan Cina dapat disepakati, sehingga membentuk ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA), yang selanjutnya menjadi pokok pembahasan utama dalam penulisan skripsi ini.
B. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian yang akan dibahas adalah: 1. Faktor internal maupun eksternal apa saja yang membuat ASEAN dan Cina meningkatkan hubungan kerjasama di bidang ekonomi melalui ACFTA? 2. Bagaimana pembentukan ACFTA ini berimplikasi pada hubungan ekonomi ASEAN dan Cina?
C. Kerangka Pemikiran Globalisasi yang terjadi di seluruh belahan dunia telah memberikan peluang bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya, serta mampu mengubah struktur dan pembangunan sosial masyarakatnya. Menurut Jackson dan Sorensen (2005, h. 266) globalisasi berarti meluas dan meningkatnya hubungan ekonomi, sosial dan budaya yang melewati batas-batas internasional. Globalisasi yang dicirikan dengan adanya saling ketergantungan (interdependensi), menyebabkan semakin sulit bagi suatu negara
6
untuk mempertahankan kebijakannya yang independen dan otonom (Perwita & Yani 2005, h. 77). Kebijakan yang diambil oleh suatu negara baik yang bersifat domestik terlebih lagi luar negeri, harus disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang cepat terjadi pada lingkungan internasional. Oleh karena itu, globalisasi telah membuka peluang yang tidak terbatas bagi negara-negara untuk melakukan kerjasama dan integrasi ekonomi yang saling menguntungkan dalam bidang perdagangan barang, jasa, maupun investasi. Penulis akan berkonsentrasi pada aspek ekonomi dari globalisasi, karena aspek ekonomi ini berkaitan dengan saling ketergantungan (interdependensi) yang terjadi di antara negara-negara di dunia ini. Selain dari konsep interdependensi, penulisan skripsi ini juga akan dilihat dari perspektif neoliberal institusionalis, agar dapat menggambarkan peran institusi ataupun rezim (serangkaian peraturan) yang terjadi dalam pembentukan ASEANCina Free Trade Area ini. Menurut Jackson dan Sorensen (2005, h. 147) interdependensi berarti ketergantungan timbal balik antara suatu negara dengan negara lainnya. Jadi suatu negara dipengaruhi oleh apa yang terjadi di manapun, oleh tindakan rekannya di negara lain. Dengan adanya interdependensi, maka yang terjadi bukan hanya keterkaitan dari segi ekonomi, namun interdependensi antar negara dapat mengurangi konflik kekerasan antar negara. Keohane dan Nye (dalam Jackson & Sorensen 2005, h. 151) menambahkan bahwa, dalam interdependensi (complex interdependence) kekuatan militer merupakan instrumen kebijakan yang kurang bermanfaat. Oleh karena itu, sumber daya kekuatan selain dari militer semakin penting, seperti keahlian bernegosiasi. Akhirnya negara-negara menjadi lebih tertarik dengan isu kesejahteraan, ekonomi (low politics) dan kurang
7
menghiraukan dengan isu keamanan (high politics). Dalam interdependensi ini, hubungan yang terjadi menjadi lebih bersahabat dan kooperatif. Lebih jauh, Jackson dan Sorensen menyatakan (2005, h. 65) bahwa, ketika terdapat derajat interdependensi yang tinggi, negara-negara akan sering membentuk institusi-institusi internasional untuk menghadapi masalah-masalah bersama. Institusi-institusi itu dapat berupa organisasi internasional formal (Uni Eropa,WTO,ASEAN), atau dapat berupa serangkaian persetujuan (sering disebut rezim) yang menghadapi aktivitas-aktivitas atau isu-isu bersama, seperti perjanjian tentang perdagangan, komunikasi, penerbangan, atau lingkungan. Peran institusi dalam bentuk ini akan dilihat dari perspektif neoliberal institusionalis. Ada banyak varian dalam liberalisme, neoliberal institusionalis adalah salah satunya. Namun, yang membedakan neoliberal institusionalis dengan jenis liberalisme lainnya, menurut Keohane (dalam Hobson 2003, h. 95-98; lihat juga Grieco dalam Baldwin ed. 1993, h. 123) adalah tanggapannya yang menerima sejumlah asumsi dari pemikiran realis (struktural realis) mengenai anarkinya hubungan internasional. Menurut Keohane, negara secara rasional adalah egois dengan berusaha memaksimalkan keuntungan masing-masing, namun kehadiran sebuah rezim sangatlah penting dan efektif, meskipun dalam kondisi yang secara rasional memaksimalkan keuntungan masing-masing tersebut. Neoliberal institusionalis menurutnya juga bertentangan dengan pemikiran normatif dari liberal institusionalis sebelumnya. Keohane menolak pendapat dari liberalisme klasik, yang menyatakan bahwa kerjasama terjadi secara alami. Menurut Keohane, kerjasama tidak akan terjadi secara alami, kerjasama harus dirancang melalui pembentukan dari rezim internasional.
8
Menurut Keohane, sistem politik dunia tidak didominasi oleh harmoni dan kerjasama, tetapi dari perselisihan yang sering terjadi, seperti pendekatan neorealis. Secara fakta, perselisihan sangatlah penting, karena dapat menciptakan kebutuhan akan suatu rezim. Tanpa adanya konflik maka kerjasama tidak akan dibutuhkan. Negara dapat bernegosiasi atau merancang sebuah institusi, karena nilai dari keuntungan jangka panjang dari sebuah rezim. Rezim dapat mengusahakan negara untuk menyelesaikan permasalahan bersama dari situasi yang anarki. Kerjasama tidak terjadi karena alasan moral atau motivasi idealisme, tetapi karena menjanjikan kepentingan jangka panjang. Oleh karena itu, dalam perspektif neoliberal institusionalis masih terdapat optimisme dalam melakukan kerjasama, dan institusi memiliki peran dalam mewujudkan kerjasama tersebut. Jackson dan Sorensen (2005, h. 158) menambahkan bahwa institusi internasional membantu memajukan kerjasama antara negara-negara, selain itu juga membantu mengurangi ketidakpercayaan dan rasa takut di antara negara satu dengan yang lainnya yang dianggap menjadi masalah tradisional yang dikaitkan dengan anarki internasional. Steans dan Pettiford (2009, h. 132) menjelaskan bahwa negara-negara tidak mampu memenuhi berbagai kebutuhan warga negara mereka yang beranekaragam tanpa bekerja sama dengan negara-negara lain. Institusi-institusi dan rezim-rezim internasional diperlukan untuk mengatur kekuatan interdependensi yang ada. Meskipun konflik itu selalu ada, namun institusi-institusi atau rezim-rezim menyediakan acuan bagi negara-negara untuk menyelesaikan berbagai perbedaan. Menurut Steans dan Pettiford (2009, h. 135), keberhasilan neoliberal institusionalis dalam mengedepankan kerjasama tidak sepenuhnya tergantung
9
pada keberadaan suatu negara yang berhegemoni (dominan). Namun, ada kepentingan-kepentingan bersama yang bisa dicapai melalui kerjasama. Pada pandangan ini, negara-negara masih menjadi aktor dominan meskipun bukan satusatunya, tetapi aturan-aturan institusi berpengaruh penting terhadap hasil-hasil dalam berbagai permasalahan. Mingst (2003, h. 65) menambahkan, bagi neoliberal institusionalis, kerjasama muncul karena setiap aktor mempunyai interaksi terus-menerus (kontinuitas) dengan yang lainnya. Institusi menyediakan jaminan kerjasama, di mana ada harapan untuk interaksi di masa selanjutnya. Mengenai keuntungan yang akan diperoleh dengan melakukan kerjasama, Steans dan Pettiford (2009, h. 135; Keohane dalam Hobson 2003, h. 98) mengungkapkan bahwa bagi neoliberal institusionalis, umumnya negara-negara merupakan aktor yang berusaha memaksimalkan keuntungan yang absolut,4 bukan memaksimalkan keuantungan relatif. Keuntungan Absolut berarti perolehan mutlak yang didapatkan negara, tanpa membandingkan dengan seberapa besar yang didapatkan oleh negara lain. Oleh karena itu, kerjasama menjadi hal yang lebih masuk akal (rasional), dengan mempertimbangkan asumsi-asumsi keuntungan absolut. Dalam hal inilah tersimpan penjelasan tentang kemunculan dan daya tahan berbagai organisasi, institusi dan rezim internasional. Jackson dan Sorensen (2005, h. 169) menambahkan, jika negara-negara memiliki kepentingan yang sama maka mereka tidak akan mencemaskan tentang keuntungan relatif. Dalam situasi tersebut institusi dapat membantu meningkatkan kerjasama. 4
Keuntungan Absolut, berarti sepanjang kita mengerjakannya dengan baik, tidak masalah jika yang lain mengerjakan lebih baik. Contoh: perekonomian negara A tumbuh mendekati 25% dalam satu dekade, perekonomian negara B tumbuh 75%. Sedangkan Keuntungan Relatif, berarti kita akan melakukan yang terbaik, tetapi prioritas nomor satu adalah yang lain tidak boleh mendahuluinya (asumsi realis). Contoh: perekonomian negara A tumbuh 10% dalam satu dekade, perekonomian negara B tidak boleh tumbuh lebih besar daripada itu. (lihat Jackson & Sorensen 2005, h. 170).
10
Dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini, pandangan neoliberal institusionalis dapat dikaitkan dengan peran ASEAN sebagai organisasi formal di kawasan Asia Tenggara yang sedang berusaha untuk lebih memajukan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggotanya, melalui berbagai hubungan kerjasama ekonomi yang dilakukan baik intra ASEAN maupun dengan lingkungan eksternalnya. Dalam perspektif ini juga dapat dilihat peran institusi dalam menerapkan berbagai aturan ataupun program yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi negara anggotanya. Institusi dianggap mampu memberikan pedoman kerjasama bagi negara-negara yang memiliki banyak perbedaan baik dari segi ekonomi, politik dan lainnya. Selain peran ASEAN sebagai suatu institusi, melalui perspektif neoliberal institusionalis juga dapat dilihat mengenai perjanjian pembentukan ACFTA. Keberadaan rezim atau perjanjian kerjasama ini bisa dikaitkan dengan anggapan anarkinya hubungan internasional, dalam hal ini misalnya, perkembangan ekonomi Cina yang dianggap menjadi pesaing dari perekonomian ASEAN baik dalam segi perdagangan maupun investasi, selain itu makin terkelompokkelompoknya berbagai negara dalam suatu bentuk regionalisme (Uni Eropa, NAFTA, Mercosur) menjadikan hal yang lebih sulit bagi suatu negara di luar kawasan tersebut untuk melakukan kerjasama, dengan kata lain masing-masing negara berusaha memaksimalkan keuntungannya. Oleh karena itu, ASEAN dan Cina menanggapinya dengan lebih mendekatkan diri dengan membentuk ACFTA. Terlebih lagi Cina, karena dalam wilayah Asia Timur sendiri hampir tidak adanya kemungkinan bagi Cina untuk membentuk suatu institusi formal terkait persaingannya dengan Jepang.
11
Oleh karena itu, optimisme Cina dan ASEAN dalam melakukan kerjasama di bidang ekonomi tertuang dalam pembentukan ACFTA. Kedua belah pihak menganggap keberadaan perjanjian ini akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi keduanya. Meskipun dalam pembentukannya juga banyak menuai protes, terkait dengan komoditi ekspor Cina yang luar biasa melimpah, namun sesuai dengan pandangan neoliberal institusionalis tentang keuntungan absolut yang akan diperoleh, maka perjanjian ini dapat diwujudkan, dengan harapan manfaat jangka panjang dari hubungan yang akan terjadi bagi keduanya termasuk dari segi investasi. Fenomena globalisasi yang terjadi di seluruh belahan dunia tidaklah mungkin untuk dihindari, yang menjadi persoalan adalah sejauh mana negaranegara di dunia ini mampu mengambil keuntungan dari proses globalisasi ini. Salah satu bentuk nyata dari interdependensi yang juga disebabkan oleh proses globalisasi, adalah terbentuknya ACFTA. Saling ketergantungan yang terjadi di antara kedua belah pihak baik ASEAN maupun Cina menyebabkan terbentuknya perjanjian ini. Perjanjian kawasan perdagangan bebas ini tentunya dapat terwujud jika setiap negara anggotanya mau menerima semua aturan ataupun perjanjian yang telah disepakati bersama. Hubungan interdependensi yang terjadi antara ASEAN dan Cina sehingga menyebabkan terbentuknya ACFTA akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya pada skripsi ini. Kerjasama ekonomi yang terjadi dalam ACFTA haruslah dapat menguntungkan bagi semua negara yang terlibat di dalamnya. Eksploitasi dalam bentuk ekspansi ekonomi sangatlah dihindari dalam kerangka kerjasama ini. Salah satu contoh dari pencegahan tindakan eksploitasi itu adalah dengan menunda
12
pemberlakuan skema ACFTA bagi anggota ASEAN-CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos, Vietnam) hingga pada 2015 (Sungkar dalam Inayati ed. 2006, h. 42). Hal ini dimaksudkan agar ke-empat anggota baru ASEAN ini tidak menjadi sasaran empuk dalam penyebaran komoditi ekspor negara lainnya, khususnya oleh Cina. Dengan melakukan penundaan ini, maka diharapkan dapat memperpanjang waktu persiapan bagi negara-negara tersebut untuk lebih menguatkan lagi kondisi perekonomian domestiknya. Sehingga nantinya lebih mampu bersaing di dalam skema kawasan perdagangan bebas ini. Integrasi ekonomi yang terjadi di dalam skema ACFTA ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi seluruh negara anggotanya, meskipun keuntungan dari segi ekonomi yang diperoleh antara satu negara dengan negara lainnya berbeda satu sama lain. Perbedaan ini terjadi akibat dari tingkat kemampuan ataupun kesiapan yang berbeda-beda dari setiap negara yang bekerjasama dalam sistem ini. Pada dasarnya, setiap negara yang terlibat dalam perjanjian ini memiliki posisi yang setara, karena masing-masing pihak memang membutuhkan kerjasama ekonomi ini. Sehingga diharapkan tidak ada negara yang merasa dirugikan. Saat ini tidak ada satu negarapun di dunia ini yang betul-betul dapat memenuhi kebutuhannya dari hasil produksi negaranya sendiri. Langsung atau tidak langsung negara-negara tersebut membutuhkan hubungan ekonomi sehingga masing-masing negara sudah berada pada situasi yang saling ketergantungan. Untuk mewujudkan hal itu maka instrumen kerjasama ekonomi menjadi sesuatu yang harus dilakukan. Pada pelaksanaannya hubungan kerjasama ekonomi antara Cina dengan ASEAN didasari oleh situasi saling ketergantungan (interdependensi). Dalam
13
perspektif Cina pertumbuhan ekonomi yang pesat hasil dari program empat modernisasi yang sukses dan interaksi Cina dengan ekonomi global, telah membuka mata negara itu akan pentingnya interdependensi dan keterbukaan dengan pihak asing. Interdependensi Cina telah mentransformasikan peran negara itu dan sikap seluruh dunia dalam berhubungan dengan Cina ke arah yang lebih baik. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina telah membuka mata dunia, dan berpaling ke negeri itu. ASEAN sendiri juga sangat menyadari hal ini, sehingga membuat negara-negara di kawasan Asia Tenggara menyambut baik tawaran dari Cina dalam pembentukan ACFTA. Keinginan ASEAN di satu sisi dan kebijakan Cina di sisi lain yang sangat membuka diri untuk melakukan hubungan ekonomi, mengakibatkan upaya-upaya membentuk ACFTA dapat diwujudkan. Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah dan kerangka pemikiran pada bagian sebelumnya, maka penulis mencoba menggambarkan penelitian ini di dalam sebuah model, yang dapat dilihat seperti di bawah ini: ASEAN Hubungan ekonomi intra ASEAN:
Faktor internal: Hambatan ekonomi intra ASEAN
Faktor eksternal: alternatif hubungan ekonomi
ASEAN-Cina Free Trade Area
CINA Perubahan kebijakan ekonomi
Faktor internal: meningkatnya perekonomian
14
Faktor eksternal: motivasi ekonomi dan politik
D. Metode Penelitian Pembuatan skripsi ini menggunakan metode kualitatif. Meskipun di dalamnya tetap menampilkan data yang berbentuk angka, tetapi data tersebut tidak didapat melalui penghitungan secara langsung oleh penulis, oleh karena itu masih tergolong dalam penelitian kualitatif. Selain itu jenis penelitian skripsi ini bersifat deskriptif. Penulis akan memaparkan atau mendeskripsikan sejumlah fakta-fakta terkait dengan pembahasan skripsi ini. Dalam memudahkan penulisan skripsi ini, penulis memperoleh data-data primer dan sekunder, diantaranya yang berupa buku-buku, jurnal hubungan internasional, wawancara dengan salah seorang peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI , internet, dokumen resmi ASEAN Secretariat dan bahanbahan tertulis lainnya. Data yang didapat, digunakan untuk memudahkan penulis dalam memahami permasalahan mengenai peningkatan hubungan kerjasama ekonomi antara ASEAN dengan Cina.
E. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini nantinya akan di bagi dalam beberapa bab dan setiap bab mempunyai sub-bab tertentu. BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan tentang latar belakang permasalahan yang menjadi alasan pemilihan topik untuk penulisan skripsi ini. Kemudian dilanjutkan pertanyaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II HUBUNGAN KERJASAMA EKONOMI ASEAN. Bab ini membahas tentang ASEAN dan perkembangan kerjasama ekonomi yang terjadi
15
dalam intra ASEAN maupun dengan lingkungan eksternalnya. Dimulai dari PTA, AFTA, ASEAN+3,ASEAN Economics Community,
sampai pembentukan
ASEAN-Cina FTA. Bab ini juga membahas faktor yang menyebabkan terbentuknya ACFTA, yang dilihat dari perspektif ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara. BAB III KEPENTINGAN CINA TERHADAP PEMBENTUKAN ACFTA. Bab ini berisikan tentang gambaran umum kebijakan ekonomi luar negeri Cina, mulai dari era pendirinya yaitu Mao Zedong dan dilanjutkan pada era Deng Xiaoping, hingga pembentukan ASEAN-Cina FTA. Dalam bab ini juga akan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan Cina melakukan peningkatan hubungan ekonomi dengan ASEAN dan berupaya melihat kepentingankepentingan Cina dalam pembentukan kawasan perdagangan bebas tersebut. Termasuk diantaranya, kebangkitan ekonomi Cina, faktor politik domestik, ekonomi, dan sistem ekonomi internasional yang menyebabkan Cina melakukan peningkatan kerjasama dengan ASEAN. BAB IV ANALISA HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA. Bab ini menganalisa peningkatan hubungan kerjasama ASEAN-Cina dalam bidang ekonomi. Selain itu, juga akan menggambarkan tentang peluang-peluang dan hambatan yang akan dihadirkan dari terbentuknya ACFTA ini bagi kedua belah pihak yang terlibat di dalamnya. Bab ini juga memaparkan bagaimana ACFTA berimplikasi terhadap hubungan ekonomi ASEAN dan Cina. BAB V PENUTUP. Bab ini berisikan kesimpulan mengenai pembahasan yang terjadi pada bab-bab sebelumnya.
16
BAB II HUBUNGAN KERJASAMA EKONOMI ASEAN
Bab ini akan memaparkan perkembangan hubungan ekonomi yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Khususnya kerjasama yang terjadi di dalam ruang lingkup ASEAN, baik kerjasama ekonomi intra ASEAN maupun antara ASEAN dengan lingkungan eksternalnya. Kerjasama ekonomi yang dilakukan ASEAN merupakan bentuk kerjasama ekonomi yang pertama kali disepakati di kawasan Asia, hal ini menandakan keinginan ASEAN untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Mengingat begitu pentingnya posisi ASEAN, maka pada bagian ini penulis juga akan memaparkan kebutuhan ASEAN untuk meningkatkan perekonomiannya sehingga mendorong ASEAN untuk melakukan kerjasama dengan lingkungan eksternalnya. Salah satu Negara yang dianggap memiliki potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ASEAN adalah Cina.
A. Latar Belakang Kerjasama Ekonomi ASEAN Deklarasi Bangkok 8 Agustus 1967 merupakan awal bersejarah bagi pembentukan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Deklarasi tersebut mendasari terbentuknya ASEAN. Pada awal pembentukannya, ASEAN hanya memiliki lima anggota, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina (Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 2). Salah satu tujuan pembentukan ASEAN tidak dapat dilepaskan dari adanya keinginan bersama antara negaranegara yang tergabung di dalamnya untuk meningkatkan perekonomian dan
17
kesejahteraan bangsanya. Bahkan sejak pembentukannya hingga saat ini, ASEAN senantiasa mengedepankan agenda-agenda ekonomi dalam setiap interaksinya. Salah satu tujuan dari pembentukan ASEAN seperti yang tertuang dalam Deklarasi Bangkok tahun 1967 adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan di kawasan ASEAN. Tujuantujuan tersebut dapat dicapai melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsabangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 1; ASEAN Secretariat 1967). Deklarasi ini mempersatukan negara anggota ASEAN dalam usaha bersama untuk mengembangkan kerjasama ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan di kawasan Asia Tenggara. Deklarasi ini merupakan dasar yang menjadi rujukan bagi setiap aktifitas ASEAN dalam mewujudkan segala tujuannya. Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, negara-negara anggota ASEAN sebenarnya telah mengalami kemajuan ekonomi, namun krisis ekonomi yang terjadi telah mengakhiri masa perkembangan ekonomi tersebut. Krisis ekonomi yang berawal di Thailand, memberi efek domino bagi negara-negara tetangganya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Laos dan Filipina. Kejadian ini membuktikan adanya saling keterkaitan ekonomi antara negara-negara di kawasan tersebut. Menurut Sungkar (ed. 2005, h. 36), krisis ekonomi 1997 adalah krisis yang telah memukul sistem ekonomi di Asia terutama Asia Tenggara dan Korea Selatan. Krisis ini diawali dengan tingginya pinjaman jangka pendek dari Negaranegara seperti Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan terhadap Dollar AS. Hal ini
18
menyebabkan melemahnya nilai tukar mata uang (depresiasi)5 seperti; Rupiah di Indonesia atau Bath di Thailand terhadap Dollar AS, sehingga mengakibatkan hilangnya kepercayaan investor dan kreditor asing sehingga terjadi pelarian modal dalam jumlah yang sangat besar. Dengan demikian banyak negara Asia yang kekurangan aset mata uang asing (Dollar AS) dan mengalami kesulitan dalam membayar hutang yang menumpuk. Ketika jangka waktu peminjaman hutang tersebut telah jatuh tempo, perusahaan-perusahaan di negara-negara tersebut tidak mampu untuk membayar karena jumlah hutang yang meningkat, akibat naiknya nilai tukar Dollar AS. Akibatnya, perusahaan-perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan. Bankrutnya perusahaan-perusahaan tersebut juga menyebabkan pinjaman yang dikucurkan oleh perbankan menjadi macet. Belum cukup sampai disitu, permasalahan perbankan ini juga memicu dampak lainnya dari krisis ekonomi ini, seperti bergejolaknya sistem politik di beberapa Negara di kawasan Asia Tenggara, misalnya Indonesia. Menurut Purwanto (dalam Yaumidin ed. 2008, h. 82) krisis ekonomi tersebut juga menunjukkan kelemahan fundamental perekonomian kawasan ASEAN. Ini dapat dilihat dari ketergantungan negara-negara ASEAN pada modal dari luar negeri seperti yang berasal dari Amerika Serikat dan Jepang. Purwanto (dalam Yaumidin ed. 2008, h. 83) juga menambahkan bahwa sejak krisis ekonomi tersebut, anggota ASEAN berusaha keras untuk dapat segera keluar dari bayangbayang krisis dengan melakukan perbaikan-perbaikan kinerja perekonomian dan
5
Depresiasi berarti, menurunnya nilai mata uang dalam negeri terhadap valuta asing karena mekanisme pasar. Sedangkan Devaluasi adalah suatu kebijakan pemerintah untuk menurunkan nilai mata uang sendiri terhadap mata uang asing dengan cara sengaja. Tujuannya agar ekspor meningkat.
19
juga meningkatkan kerjasama intra regional bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih maju. Akan tetapi dengan adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh negara-negara ASEAN menyebabkan perlunya upaya untuk memperluas kerjasama ekonomi kawasan dengan negara lain, termasuk dengan mitra dialognya seperti dengan Cina, Jepang, India, Korea Selatan, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Selain itu, pada KTT ASEAN kedua di Kuala lumpur pada 1977 dikemukakan mengenai perlu ditingkatkannya kerjasama ekonomi dengan pihak lain baik negara, kelompok negara, dan organisasi internasional di luar ASEAN untuk menjalin hubungan yang saling bersahabat serta saling menguntungkan bagi semua pihak (ASEAN Secretariat 1977). Hal ini menunjukkan bagaimana ASEAN sangat menginginkan kerjasama dalam bidang ekonomi baik dengan lingkungan internalnya maupun dengan negara lain di luar kawasan Asia Tenggara. Pada bagian berikutnya, penulis akan memaparkan perkembangan kerjasama ekonomi Intra ASEAN.
B. Kondisi Internal Ekonomi ASEAN B.1. Perkembangan Awal Kerjasama Ekonomi Intra ASEAN Preferential Trading Arrangements (PTA) merupakan bentuk kerjasama ekonomi yang pertama kali terjalin antar negara ASEAN, selain juga merupakan yang pertama kali terjadi di kawasan Asia. PTA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977 sebagai bentuk komitmen awal negara-negara ASEAN untuk melaksanakan perdagangan bebas (Pangestu dalam Weatherbee et al. 2005, h. 188; ASEAN Secretariat 1977). Dalam skema PTA berlaku pengurangan tarif
20
bagi barang-barang yang diperdagangkan dan berasal dari negara-negara anggota ASEAN. Dalam PTA ini diterapkan preferensi tarif yang dikenal dengan istilah MoP (Margin of Preference) (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 9). Lebih jauh Prabowo dan Wardoyo menjelaskan, aturan yang termuat dalam MoP bahwa semua barang komoditi yang berasal dari ASEAN akan dikenakan tarif preferensi yang besarnya lebih rendah dari tarif Most Favoured Nation (MFN)6 dari negaranegara anggota ASEAN. Jadi pada intinya pengenaan tarif dalam sistem MoP ini harus lebih rendah dari segala bentuk pemotongan tarif yang telah berlaku di negara anggota ASEAN. MoP sendiri dihitung berdasarkan persentasi tertentu dari tingkat tarif yang berlaku di negara-negara anggota ASEAN (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 9). Selain itu dalam skema PTA juga berlaku keharusan kandungan muatan lokal (rules of origin) sebesar 50 persen. Oleh karena itu, setiap komoditi yang diperdagangkan dalam skema PTA harus memiliki kandungan yang benar-benar berasal dari negara anggota ASEAN yaitu sebesar 50 persen. Menurut Pangestu (dalam Weatherbee et al. 2005, h. 188) setiap negara dalam skema PTA ini juga mempunyai daftar pengecualian (exclusion list), yaitu daftar barang yang tidak diperdagangkan atau dikecualikan yang diajukan oleh setiap negara.
6
Most Favoured Nation (MFN), prinsip ini menyatakan bahwa setiap fasilitas atau keringanan yang diberikan oleh suatu negara terhadap impor barang dari suatu negara tertentu harus diberikan pula kepada barang yang sama yang berasal dari negara anggota GATT (General Agreement on Tariff and Trade sekarang WTO) yang lain. Dengan demikian, maka tidak ada satu negarapun yang diperlakukan lebih buruk daripada negara yang lain. Prinsip ini juga dikenal dengan istilah azas non-diskriminasi, yang berarti tidak adanya perbedaan antara negara satu dengan negara yang lain. Namun, pada perkembangannya prinsip ini mendapatkan tentangan dari negara-negara berkembang, karena dengan cara ini berarti negara industri maju akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Oleh karena itu, negara-negara berkembang menuntut diubahnya prinsip ini dengan memperhatikan perbedaan yang ada antara negara industri maju di satu sisi dan negara berkembang di sisi yang lain (lihat Isaak 1995, h. 112).
21
Pada perkembangannya implementasi dari PTA ini berjalan kurang efektif, di antaranya akibat terlalu banyak barang-barang yang dimasukkan dalam “exclusion list” atau daftar pengecualian, sehingga tidak memperoleh penurunan tarif. Selain itu, terdapat kesulitan dalam membuktikan kandungan muatan lokal barang dan kurangnya penyebaran informasi tentang PTA terhadap para pengusaha di negara-negara anggota ASEAN. Hal inilah yang menjadi penyebab tidak berjalannya program ini secara efektif. Akibat sistem PTA yang tidak begitu efektif, maka pada ASEAN Summit ke-4 di Singapura pada Januari 1992 disepakatilah pembentukan program baru, khususnya di bidang perdagangan yaitu ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (Singh 1997, h. 47). Pembentukan AFTA ini juga mencerminkan perkembangan situasi ekonomi dan politik yang terjadi bukan hanya di lingkungan ASEAN tetapi juga dinamika yang terjadi pada lingkungan internasional. Faktor eksternal itu di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 18), yaitu keprihatinan terhadap lambatnya pencapaian kesepakatan Putaran Uruguay7 tentang negosiasi perdagangan multilateral, kemajuan
yang cepat dari
pembentukan Pasar Tunggal Eropa (European Common Market), serta karena lahirnya NAFTA (North American Free Trade Area)8 (lihat juga Weatherbee et
7
Merupakan babak kedelapan dari perundingan yang berlangsung dalam kerangka kerja GATT yang dimulai pada tahun 1986 sampai 1994. Dalam perundingan ini juga disepakati perubahan dari GATT menjadi WTO. Selain itu juga disepakati pengurangan subsidi pertanian bagi negara-negara maju, investasi asing, tekstil, dan perdagangan di bidang jasa seperti bank dan asuransi. Uruguay Round dalam perundingannya juga berusaha menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan non-tarif, seperti; kuota, pajak, subsidi ekspor, pembatasan-pembatasan sukarela, serta standar dan peraturan birokratis di dalam negeri. Uruguay Round juga dianggap sebagai salah satu perundingan terbesar di bidang perdagangan sebelum adanya Doha Round yang di mulai tahun 2001 hingga saat ini (lihat Isaak 1995, h. 114).
22
al. 2005, h. 190). Dinamika ini dianggap menjadi tantangan yang serius bagi ASEAN dalam menarik investasi asing ke dalam lingkungan ASEAN. Oleh karena itu, pembentukan AFTA ini dinilai sangatlah penting untuk meningkatkan daya tarik ASEAN dalam dunia perdagangan dan investasi internasional. Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 20) menyatakan bahwa ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan Negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. Dengan adanya AFTA diharapkan perekonomian menjadi lebih efisien, bersaing, dan menarik bagi penanaman modal ke kawasan ini. Menurut Sungkar (ed. 2003, h. 1), AFTA merupakan kawasan perdagangan bebas ASEAN di mana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan nontarif9 bagi Negara-negara anggota ASEAN, melalui Common Effective Preferential Tariff Scheme (CEPT)-AFTA. CEPT adalah program tahapan penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh anggota ASEAN. Awalnya AFTA ditargetkan akan dicapai dalam waktu 15 tahun yaitu pada 2008, namun dipercepat menjadi 2003, dan dipercepat lagi menjadi 2002 bagi ASEAN-6. Sedangkan untuk Vietnam pada 2006, bagi Laos dan Myanmar 2008,
8
NAFTA (North American Free Trade Area) Organisasi perdagangan bebas Amerika Utara yang beranggotakan tiga Negara yaitu, Amerika Serikat, Kanada dan Mexico.Didirikan pada 1994 bertugas mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, termasuk hubungan niaga; komunikasi; kegiatan kebudayaan; kewarganegaraan, paspor, dan visa; kegiatan sosial; dan kegiatan kesehatan. 9
Hambatan non-tarif adalah hambatan non-moneter terhadap produk-produk ataupun jasa yang disediakan oleh pihak asing. Salah satu contohnya adalah standarisasi produk-produk yang dihasilkan oleh negara lain. Standarisasi di sini terkait dengan mutu produk, pengemasan produk, sertifikasi halal, jaminan kesehatan,dll. Hambatan non-tarif bisa saja berupa peraturan-peraturan yang memberatkan produk asing masuk ke suatu negara (lihat Pambudi & Chandra 2006, h. 54).
23
serta Kamboja pada 2010 (Wuryandari ed. 2000, h. 120; lihat juga ASEAN Secretariat). Seperti yang dikemukakan oleh Pangestu (dalam Weatherbee et al. 2005, h. 191), pengurangan tarif dalam AFTA ini hanya dapat diaplikasikan pada produk-produk yang memenuhi persyaratan kandungan muatan lokal (rules of origin) sebesar 40 persen dari negara-negara anggota. CEPT dirancang untuk mewujudkan AFTA. Sehingga, isinya merupakan aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh negara ASEAN dalam melaksanakan AFTA. Menurut Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 28), produk yang diatur dalam CEPT adalah seluruh produk manufaktur dan produk pertanian. Lebih jauh Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 29-32; ASEAN Secretariat 1999) menjelaskan bahwa klasifikasi produk dalam CEPT dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu: 1.Inclusion List (IL) Produk yang terdapat dalam IL adalah produk-produk yang harus mengalami liberalisasi dengan dikenai pengurangan tarif secepatnya secara terjadwal di bawah program CEPT, hingga harus turun maksimal 0-5 persen pada 2002 untuk ASEAN-6. Sedangkan bagi negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam) diberikan kelonggaran waktu yang berbeda untuk menerapkannya yaitu 2006 untuk Vietnam, 2008 untuk Laos dan Myanmar, serta 2010 untuk Kamboja. Kelompok barang dalam IL ini dibagi lagi menjadi dua kelompok, seperti: normal track dan fast track. 2.Temporary Exclusion List (TEL) TEL adalah daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT karena ketidaksiapannya. Namun semua
24
produk dalam TEL pada akhirnya harus ditransfer ke dalam Inclusion List paling lambat 1 Januari 2002. 3.Sensitive List (SL) Produk yang masuk dalam kategori ini terdiri dari produk-produk pertanian yang belum diproses atau produk pertanian bukan olahan (Unprocessed Agricultural Products). Produk dalam SL ini harus dimasukkan ke dalam IL dengan jangka waktu 2003 untuk ASEAN-6, Vietnam pada 2013, Laos dan Myanmar 2015, sedangkan Kamboja pada 2017. Contoh produk dalam SL adalah: beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, dan cengkeh. 4.General Exception List (GEL) GEL adalah daftar produk yang dikecualikan secara permanen dari program CEPT oleh suatu Negara karena dianggap penting dengan alasan perlindungan terhadap keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, serta barang-barang yang mengandung nilai sejarah, seni, dan arkeologis. Ketentuan yang termasuk dalam GEL ini sesuai dengan pasal 10 dari GATT, seperti senjata api, amunisi, narkotika dan sebagainya. Pada perkembangannya, AFTA berhasil meningkatkan intensitas jumlah perdagangan intra ASEAN, akibat penurunan hambatan tarif maupun non-tarif di antara anggotanya. Namun, peningkatan perdagangan tersebut masih dianggap kurang berarti atau dengan kata lain perkembangan perdagangan intra ASEAN sangatlah lambat. Volume perdagangan dalam AFTA ini masih dianggap kurang mampu menggantikan ketergantungan ASEAN terhadap negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara (lihat Tabel II.1). Dari tabel ini dapat dikatakan
25
perdagangan intra ASEAN mengalami peningkatan, namun peningkatan itu belum mampu menggeser ketergantungan ekspor ASEAN ke luar kawasan Asia Tenggara. Tabel II.1 Perdagangan Intra dan Ekstra ASEAN: 2003-2009 (dalam juta US$) Intra Extra Total
2003 206.731
2004 260.697
2005 304.893
2006 352.771
2007 401.920
2008 470.112
2009 376.207
Total 2.373.331
617.807
811.150
919.996
1.052.034
1.208.867
1.427.015
1.160.635
7.197.504
824.538
1.071.847
1.224.889
1.404.805
1.610.787
1.897.127
1.536.842
9.570.835
Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat Desember 2010
Menurut Luhulima ( et al. 2008, h. 122) rendahnya perdagangan intra ASEAN ini antara lain dikarenakan masih adanya hambatan non-tarif, perbedaan standar produk dan belum harmonisnya prosedur bea cukai. Persoalan lain yang sama pentingnya adalah kurang populernya skema CEPT-AFTA di kalangan swasta, kurang jelasnya aturan kandungan lokal dan belum kuatnya mekanisme penyelesaian masalah perdagangan. Oleh karena itu, ASEAN memperbolehkan negara anggota yang belum siap berintegrasi untuk menyusul di kemudian hari agar tidak memperlambat anggota yang lebih siap. Hal inilah yang menyebabkan penerapan program ini berjalan tidak bersamaan antara satu negara dengan negara lainnya. Selain itu Ariff (dalam Yue dan Pacini eds. 1997, h. 68) menambahkan bahwa minimnya perdagangan intra ASEAN ini mungkin disebabkan karena beberapa alasan. Pertama, negara-negara ASEAN memiliki sumber daya alam yang relatif sama sehingga tidak adanya saling melengkapi di antara anggota, namun justru terjadi persaingan. Sebagai contoh; Indonesia, Malaysia dan Thailand adalah sesama negara penghasil utama karet alam dunia, kemudian
26
Malaysia, Singapura dan Filipina sama-sama pengekspor produk-produk elektronik. Jadi perekonomian ASEAN lebih cenderung untuk berkompetisi antara satu negara dengan negara lain dalam memperebutkan pasar. Kedua, negaranegara ASEAN lebih banyak melakukan hubungan dagang dengan negara-negara di luar ASEAN daripada antar anggota ASEAN. Perdagangan negara-negara ASEAN lebih banyak dilakukan dengan negara-negara di luar kawasan, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan juga Jepang. Hal ini disebabkan karena negaranegara tersebut adalah daerah utama pemasaran komoditi ekspor dari negara ASEAN, selain juga merupakan sumber investasi bagi negara ASEAN. Kemudian, sebagai bentuk lanjutan dari integrasi ekonomi ASEAN, seiring dengan pemberlakuan AFTA maka disepakatilah gagasan yang lebih besar lagi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-8 di Phnom Penh, November 2002. Pada saat itu, menurut Elisabeth (ed. 2009, h. 1), para pemimpin ASEAN menyetujui prakarsa Perdana Menteri Singapura, Goh Chok Tong mengenai pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) sebagai bentuk lanjutan dari proses integrasi ekonomi ASEAN. Kemudian pada KTT ASEAN ke9 di Bali tahun 2003, para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk Komunitas Ekonomi ASEAN yang ditargetkan dicapai pada 2020. Pada KTT inilah dihasilkan ketetapan Bali Concord II yang menjadi cikal bakal pembentukan AEC. Lebih jauh Elisabeth (ed. 2009, h. 2) menyatakan bahwa, pembentukan AEC ini sesuai dengan tujuan pembentukan komunitas ASEAN yang ditetapkan dalam ASEAN Vision 2020 pada 1997, yaitu pembentukan tiga pilar utama ASEAN; ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN Economic Community (AEC), dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC).
27
Menurut Elisabeth (ed. 2009, h. 2), pada tahap selanjutnya dalam KTT ASEAN ke-12 di Cebu, Filipina Januari 2007, para peserta pertemuan menyepakati untuk mempercepat jadwal pembentukan Komunitas ASEAN yang semula ditetapkan pada 2020 menjadi 2015. Namun, target pembentukan ketiga pilar utama tersebut tidak bersamaan. Target pencapaian disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan politik masing-masing negara anggota ASEAN. Misalnya, Singapura dan Brunei menargetkan ASEAN Community (AC) pada 2010, sedangkan Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand pada 2015, sedangkan CMLV tetap pada 2020. Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 117) menambahkan bahwa, percepatan pembentukan AC ini terjadi dikarenakan adanya kekhawatiran ASEAN terhadap perkembangan ekonomi dunia. Dalam situasi persaingan ekonomi yang semakin tajam, ada kekhawatiran bahwa Asia Tenggara akan tertinggal jauh dari pesatnya pertumbuhan ekonomi kawasan atau negara lain seperti pertumbuhan ekonomi Cina dan India. Gagasan membentuk ASEAN Economic Community (AEC) diharapkan bisa mengalirkan semangat baru untuk berintegrasi ke dalam, dan meningkatkan daya saing kawasan agar dapat merebut investasi asing. Elisabeth (ed. 2009, h. 3) menambahkan, dalam rangka perwujutan AEC ini, pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura November 2007 disahkan langkah kerja untuk mempercepat integrasi ekonomi dan realisasi pembentukannya, yaitu dengan menjadikan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan yang memiliki pembangunan
28
ekonomi yang relatif setara (equitable), serta kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global (lihat juga ASEAN Secretariat 2008). Intinya, komunitas ekonomi ASEAN ingin membentuk suatu pasar dan basis produksi tunggal di mana di dalamnya terdapat pembebasan terhadap barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan liberalisasi modal. AEC juga dimaksudkan untuk membantu mengurangi kemiskinan dan juga mempersempit jurang ekonomi dan pembangunan bagi negara ASEAN-6 dan CMLV pada tahun 2020 mendatang (ASEAN Secretariat 2008). Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 129) walaupun tidak mudah untuk mencapai tingkat integrasi ekonomi yang lebih tinggi, sebenarnya saat ini kerjasama ekonomi ASEAN bukan pada tahap paling awal dari integrasi ekonomi. ASEAN sudah meletakkan landasan dan menjalani proses integrasi ekonomi seperti, ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), yang ditetapkan dalam ASEAN Summit ke-5 di Bangkok pada Desember 1995. Untuk memperkuat kerjasama sektor jasa antar anggota ASEAN dengan penghapusan hambatan perdagangan jasa intra-regional. Selain itu, juga disepakati pembentukan ASEAN Investment Area (AIA) pada tahun 1998 (ASEAN Secretariat). Selain kemudahan dalam perdagangan di bidang barang dan jasa, sektor investasi ini merupakan bagian penting dalam peningkatan investasi intra-ASEAN yang masih cukup rendah (lihat Tabel II.2). Penanaman modal asing (Foreign Direct Investment) bagi negara-negara ASEAN sebagian besar masih berasal dari negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara. Jadi, dalam perjalanan menuju Komunitas Ekonomi ASEAN, ASEAN dapat dikatakan telah berada di tengah jalan dan perlu menciptakan mekanisme dan
29
langkah-langkah baru untuk memperkuat implementasi kerjasama ekonomi yang sedang berlangsung. Tabel II.2 Investasi Asing Langsung (FDI) Menuju ASEAN: 2003-2009 (dalam juta US$) Intra
2003 2.702
2004 2.958
2005 4.060
2006 7.755
2007 9.682
2008 10.461
2009 4.428
Total 42.046
Extra
21.364
32.242
35.980
47.002
63.746
38.729
35.052
274.115
Total
24.066
35.200
40.040
54.757
73.428
49.190
39.480
316.161
Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat Desember 2010
Oleh karena itu, menurut Arbi (dalam Sungkar ed. 2005, h. 21) ASEAN telah mengesahkan sebelas sektor prioritas proyek percontohan percepatan integrasi pasar tunggal ASEAN yang direncanakan akan tercapai menjelang 2020. Tujuan ini akan dicapai melalui penghapusan berbagai hambatan perdagangan intra-ASEAN. Kesebelas sektor yang dipilih di antaranya: elektronika, e-ASEAN, perawatan kesehatan, produk-produk berbasis kayu, otomotif, produk-produk berbasis karet alam, tekstil dan pakaian jadi, produk-produk agro-industri, perikanan, penerbangan dan pariwisata. Sektor-sektor ini dipilih berdasarkan tingkat keunggulan kompetitif masing-masing negara dalam hal ketersediaan sumber daya alam, keterampilan pekerja, daya saing dalam hal biaya produksi dan kontribusi nilai tambah bagi perekonomian ASEAN. Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 134), dalam usaha menuju integrasi ekonomi yang lebih tinggi, selain melalui program-program yang disepakati sepuluh negara anggota, sebenarnya ada juga usaha-usaha yang dijalani sebagian negara anggota yang dikenal dengan kerjasama sub-regional. Kerjasama ini memanfaatkan kedekatan geografis dari masing-masing anggota. Sebagai
30
contoh; Segitiga pertumbuhan “Sijori” (Singapura-Johor-Riau) adalah bentuk kerjasama sub-regional yang sudah berlangsung secara resmi sejak 1992. Dengan semakin bertambahnya wilayah di Malaysia dan Indonesia yang ikut dalam kerjasama segitiga pertumbuhan tersebut, maka “sijori” diubah menjadi Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT). Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 135) lebih jauh menjelaskan bahwa, pendekatan sub-regional ini telah diikuti oleh tiga bentuk kerjasama sub-regional lainnya. Pertama, Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) pada 1993 yang meliputi wilayah utara Sumatera dan Riau di Indonesia, negara bagian Johor dan Penang di Malaysia, dan wilayah selatan Thailand. Kedua, BruneiIndonesia-Malaysia-Philipines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) pada 1994 yang meliputi Brunei, Kalimantan dan Sulawesi Utara di Indonesia, Malaysia timur dan wilayah Filipina bagian selatan. Ketiga, wilayah sepanjang West-East Corridor (WEC) di Mekong Basin, yang meliputi Vietnam, Laos, Cambodia dan timur laut Thailand yang dibentuk sejak 1996. Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa AEC lebih merupakan proses pendalaman dari integrasi ekonomi ASEAN (AFTA, AFAS, AIA), ataupun pengembangan sektor prioritas dan kerjasama sub-regional. Dalam penerapan AEC, sebenarnya ASEAN mencontoh integrasi ekonomi yang dilakukan Uni Eropa (Elisabeth ed. 2009, h. 21). Namun, perlu dilihat kembali apakah gagasan ini dapat terlaksana seperti harapan para pemimpin ASEAN, mengingat banyaknya perbedaan yang dimiliki negara-negara anggota ASEAN, baik dari segi ekonomi, politik, dan lainnya. Sebagai gambaran, Uni Eropa (EU) sampai ke tahap seperti saat ini (Economic and Political Union)
31
membutuhkan waktu 35 tahun (Perjanjian Roma 1957-Perjanjian Maastricht 1992). Integrasi ekonomi ASEAN memang berbeda dengan EU, namun dengan pencanangan ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar utama (politik dan keamanan, ekonomi, sosial dan budaya), ASEAN mencontoh model Traktat Maastricht untuk membangun masyarakat ASEAN sebagaimana hasil KTT ASEAN di Bali Pada tahun 2003 (Bali Concord II). Oleh karena itu, perlu dilihat kembali alternatif dalam meningkatkan perekonomian negara-negara ASEAN, seperti negara lain yang dianggap mampu memacu pertumbuhan integrasi ekonomi tersebut, di antaranya bekerjasama dengan Cina membentuk (ASEANChina Free Trade Area). Setelah membahas tentang kerjasama ekonomi yang terjadi dalam ruang lingkup intra ASEAN, pada bagian selanjutnya, penulis akan mencoba memaparkan hambatan yang menyertai integrasi ekonomi ASEAN.
B.2 Hambatan Integrasi Ekonomi ASEAN Proses integrasi di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara tergolong sangat lambat. Ketika terjadi regionalisasi di kawasan Eropa dan Amerika Utara, kawasan Asia Tenggara belum memiliki kesadaran untuk melakukan kerjasama atau integrasi ekonomi regional.
Regional Trading Agreements (RTA) tidak
muncul di Asia Tenggara, hingga tahun 1977 ketika ASEAN mencapai kesepakatan dalam hal Preferential Trading Arrangements (PTA) (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 2). Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2006, h. 51; Sinaga dalam Elisabeth ed. 2009, h. 118), setidaknya ada beberapa alasan yang dapat menyebabkan keterlambatan hadirnya integrasi regional di kawasan Asia Tenggara:
32
Alasan pertama, secara umum negara-negara di kawasan Asia Tenggara memiliki latar belakang budaya, sistem politik, agama, bahasa, dan tingkat perekonomian yang berbeda. Adanya perbedaan tingkat kemajuan ekonomi ini juga menyebabkan sulitnya menetapkan suatu penerapan kebijakan yang seragam antara satu negara dengan negara lainnya, sebagai contoh dalam penerapan AFTA dan ACFTA; terdapat perbedaan dalam penerapan skema ini, hal ini disebabkan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang jauh berbeda, sehingga ada negara yang dianggap telah siap menghadapi perdagangan bebas (Singapura dan Brunei) dan ada juga negara yang memerlukan waktu persiapan yang lebih panjang (Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam). Selain itu, perbedaan sistem politik dan pemerintahan juga dianggap sebagai penghalang, banyak negara yang menjalankan pemerintahan dengan demokratis dan terbuka, namun ada juga beberapa negara seperti Laos dan Vietnam yang merupakan negara dengan sistem komunis sehingga lebih tertutup terhadap perkembangan dan pengaruh asing. Selain itu, Myanmar yang pemerintahannya dikuasai oleh junta militer juga menyebabkan perkembangan demokrasi cukup terhambat sehingga berpengaruh pada perkembangan ekonomi. Alasan kedua, negara-negara ASEAN ini cenderung untuk melakukan kerjasama perdagangannya dengan negara-negara di luar kawasan Asia, yaitu dengan AS dan Eropa. Kedua kawasan tersebut berperan sebagai pasar ekspor terbesar negara-negara Asia Tenggara dan juga sebagai sumber investasi asing bagi mayoritas negara ASEAN. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Uni Eropa, di mana mayoritas perdagangan dan investasi yang terjadi di kawasan Eropa justru terjadi dengan sesama negara di dalam satu kawasan.
33
Alasan ketiga, justru adanya kesamaan komoditi ekspor ataupun kekayaan alam, sehingga dalam prosesnya antara negara-negara di Asia Tenggara justru melakukan persaingan dalam memperebutkan wilayah pemasarannya, karena tidak adanya spesialisasi dari masing-masing negara, sehingga antara satu negara dengan yang lainnya tidak dapat saling melengkapi tetapi justru bersaing. Menurut Ricardo (dalam Isaak 1995, h. 108) suatu negara akan menikmati keuntungan
jika
melakukan
spesialisasi
dalam
produk-produknya
yang
mengandung keunggulan yang paling besar (keunggulan komparatif). Ricardo menggambarkan prinsip keunggulan komparatif dengan suatu contoh, yaitu: “Misalnya ada dua orang, masing-masing dapat membuat sepatu dan topi, dan salah satu di antaranya lebih unggul dibanding dengan yang lain dalam membuat kedua produk tersebut. Namun dalam membuat topi, salah seorang di antaranya itu hanya bisa melebihi pesaingnya sebesar seperlima (20 persen), sedang dalam membuat sepatu, ia bisa melebihi setengahnya (50 persen) dari kemampuan pesaingnya. Tidakkah lebih baik bagi keduanya jika yang unggul lebih baik mengkhususkan diri membuat sepatu saja, sedang yang punya kemampuan lebih rendah membuat topi saja?”
Dengan adanya spesialisasi ini maka akan tercipta komplementaritas atau saling melengkapi. Masing-masing negara harus melakukan spesialisasi dan mengekspor apa yang dapat diproduksi dengan lebih murah, sebagai ganti dari barang dan jasa yang secara komparatif dihasilkan dengan lebih murah di negara lain (trade creation) (Isaak 1995, h. 115). Oleh karena itu, kawasan perdagangan bebas seharusnya mengurangi produksi domestik yang tidak efisien dan meningkatkan impor barang dari negara anggota yang diproduksi lebih efisien, agar lebih terciptanya rasa saling ketergantungan dari segi ekonomi. Pada bagian selanjutnya akan dipaparkan mengenai perkembangan Kerjasama Ekonomi ASEAN dengan lingkungan eksternalnya.
34
C. Perkembangan Kerjasama Ekonomi Luar Negeri ASEAN C.1. Kesepakatan-kesepakatan Ekonomi ASEAN Sejak dibentuknya ASEAN, ASEAN telah menunjukkan sikap untuk aktif dalam menjalin hubungan dengan pihak-pihak di luar ASEAN. ASEAN sendiri telah memiliki sepuluh mitra dialog penuh, yang dimulai sejak tahun 1974 dengan Australia. Kemudian diikuti oleh Selandia Baru pada 1975, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Uni Eropa pada 1977, Republik Korea pada 1991, India 1995, Cina dan Rusia di tahun 1996. Selain itu, Pakistan menjadi Mitra Dialog Sektoral ASEAN pada 1997 (Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 159). Namun sejak tahun 1999, ASEAN memberlakukan kebijakan penghentian sementara (moratorium) penambahan hubungan kemitraan baru hingga waktu yang tidak ditentukan. Hal ini bertujuan agar ASEAN dapat mengintensifkan dan mengkonsolidasikan hubungannya dengan Mitra Dialog yang sudah ada. Dalam ruang lingkup ASEAN sendiri, sejak awal pembentukannya sudah secara intensif menyepakati berbagai kesepakatan dalam bidang ekonomi. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, pembentukan PTA, AFTA, AFAS, ataupun AIA. Sampai pada tahap selanjutnya, menurut Elisabeth (ed. 2009, h. 2), pada tahun 1997, Kepala Negara ASEAN menyepakati ASEAN Vision 2020 yang bertujuan mewujudkan kawasan yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi dengan pembangunan ekonomi yang merata, ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial ekonomi (ASEAN Summit, Kuala Lumpur, Desember 1997). Kemudian pada tahun 2003, kembali pada pertemuan Kepala Negara ASEAN, disepakati tiga pilar untuk mewujudkan ASEAN Vision 2020 yaitu: 1. ASEAN Economic Community, 2. ASEAN
35
Political-Security Community, 3. ASEAN Socio-Cultural Community (ASEAN Summit, Bali Oktober 2003). Untuk mendorong perwujutan ASEAN Vision tersebut, maka pada November 2002, ASEAN mulai bekerjasama dengan negara di luar ASEAN dalam bidang ekonomi. Di antaranya, membuat Framework Agreement (ASEANCina Free Trade Area) dalam sektor barang (goods) yang kemudian disepakati pada November 2004. Pada Oktober 2003 disepakati Framework Agreement untuk membentuk (ASEAN-Japan FTA) dalam sektor barang (goods) yang kemudian disepakati 2008. Kemudian pada Desember 2005, disepakati Framework
Agreement
ASEAN-Korea
Selatan
FTA
(goods)
(ASEAN
Secretariat). Pada Januari 2007, para kepala negara sepakat untuk mempercepat pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) dari tahun 2020 menjadi 2015. Pada tahun 2007, ditandatangani ASEAN Charter, AEC Blueprint, ASEAN-Cina FTA (services), dan ASEAN-Korea FTA (services). Selanjutnya, pada 2008, AEC Blueprint mulai diimplementasikan dan ASEAN Charter mulai berlaku 15 Desember 2008 (ASEAN Secretariat 2008). Pada waktu yang sama ASEAN Japan Comprehensive Economic Partnership (CEP) mulai berlaku. Pada tahun 2009, ditandatangani ASEAN-Australia-New Zealand FTA, ASEAN-India FTA (goods) juga mulai berlaku pada tahun ini, yang Framework sebelumnya telah disepakati pada Oktober 2003, ASEAN-Korea FTA (investment), dan ASEAN-Cina FTA (investment) juga disepakati pada tahun 2009. Berbagai kesepakatan ekonomi ASEAN dengan lingkungan eksternalnya, merupakan bukti dari keseriusan ASEAN dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Pada bagian selanjutnya akan membahas kerjasama ekonomi
36
ASEAN dengan tiga negara di Asia Timur, yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian ASEAN.
C.2 ASEAN+3 (Cina, Jepang, Korea Selatan) Krisis ekonomi yang menimpa kawasan Asia pada tahun 1997 telah menunjukkan ketidakberdayaan negara-negara ASEAN untuk mengatasi krisis tersebut. Situasi ini juga memicu negara-negara ASEAN untuk berpaling kepada negara tetangga terdekatnya di kawasan Asia Timur, yaitu Jepang, Cina dan Korea Selatan. Kenyataan ini mendorong terbentuknya kerjasama di antara negaranegara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur melalui forum ASEAN+3. Efek domino dari krisis ekonomi tersebut menunjukkan suatu realitas adanya interdependensi di antara perekonomian negara-negara tersebut (Sungkar ed. 2005, h. 1). Sungkar juga menambahkan (ed. 2005, h. 25) bahwa regionalisme yang melibatkan ASEAN, Cina, Jepang serta Korea Selatan pertama kali memperoleh momentum saat berlangsungnya ASEAN Informal Summit ke-dua di Malaysia pada Desember 1997. Pada tahap ini fokusnya lebih ditekankan pada proses daripada kegiatan yang berorientasi kerja nyata. Namun, baru pada 1999 proses kerjasama ASEAN+3 ditetapkan sebagai forum resmi, yaitu ketika para pemimpin kedua kawasan mengeluarkan pernyataan bersama mengenai kerjasama Asia Timur pada ASEAN Plus Three (APT) Summit ke-tiga di Manila. Sejak saat itu KTT ASEAN Plus Three (APT) diadakan setiap tahun dan pertemuan berbagai tingkat antara ASEAN dan ketiga negara tersebut diadakan secara rutin. Secara bertahap forum ASEAN+3 memperluas cakupan kerjasamanya sehingga meliputi
37
isu-isu pertanian, keuangan, tenaga kerja, iptek, perdagangan, investasi, lingkungan, kesehatan, seni dan budaya, energi, kepariwisataan, teknologi informasi dan komunikasi, politik dan keamanan. Menurut Sungkar (ed. 2005, h. 35) saat ini ASEAN+3 telah membentuk suatu kerjasama di bidang keuangan regional yang dikenal dengan “Chiang Mai Initiative” (CMI). Kerjasama ini dibentuk pada pertemuan para Menteri Keuangan ASEAN+3 di Chiang Mai pada tahun 2000. Pelaksanaan CMI ini memuat ketentuan ASEAN Swap Arrangement (ASA) di antara negara anggota ASEAN+3, jadi memungkinkan terjadinya pertukaran dana antar sesama negara anggota. Inisiatif ini didorong oleh pengalaman pahit krisis Asia 1997 yang membuktikan bahwa salah satu penyebab utamanya adalah ketergantungan yang tinggi pada pinjaman jangka pendek dari luar wilayah Asia. Penurunan nilai mata uang lokal mengakibatkan hilangnya kepercayaan investor dan kreditor asing sehingga terjadi pelarian modal dalam jumlah besar. Dengan demikian, banyak negara di Asia yang kekurangan aset mata uang asing dan mengalami kesulitan dalam membayar hutang yang menumpuk. Oleh karena itu, dengan dibentuknya CMI ini maka diharapkan dapat meminimalisir kejadian serupa yang mungkin terjadi kembali. Sementara itu, gagasan dan prospek ke arah suatu perjanjian perdagangan Asia Timur juga tetap mengalami berbagai masalah. Salah satunya adalah hubungan persaingan antara Jepang dan Cina. Secara ekonomi, salah satu hambatan adalah ketidaksediaan Jepang untuk membuka pasar pertanian, perikanan dan kehutanannya. Jepang takut bahwa produk-produk ASEAN yang lebih murah akan menekan petani Jepang. Bagi Jepang perjanjian perdagangan
38
bebas atau pengaturan kerjasama ekonomi lainnya yang lebih erat, harus menjamin bahwa Jepang mengambil tempat paling utama di Asia Timur. ASEAN+3 dipandang sebagi mekanisme yang penting untuk melibatkan Cina sebagai anggota Asia Timur yang konstruktif dan kooperatif, baik dalam bidang ekonomi ataupun politik. Tanpa suatu rekonsiliasi antara Jepang dan Cina, suatu integrasi ekonomi regional Asia Timur akan mengalami banyak hambatan nonekonomi. Salah satu butir hasil KTT ASEAN+3 di Vientianne pada November 2004 menekankan bahwa proses kerjasama ASEAN+3 akan menjadi kendaraan utama dalam mencapai sasaran jangka panjang, yaitu terbentuknya East Asian Community (EAC) (Sungkar ed. 2005, h. 6). Seperti yang dikemukakan oleh Sungkar (2005 ed. h. 32) yaitu bahwa dari perspektif ekonomi, motivasi yang mendorong ketiga negara Asia Timur untuk menjalin kerjasama dengan ASEAN pertama, ASEAN dengan penduduk lebih dari 500 juta jiwa merupakan pasar yang sangat potensial untuk terus dikembangkan. Kedua, ASEAN merupakan sumber bahan baku dan energi bagi ketiga negara tersebut. Ketiga, ASEAN dapat dijadikan tempat tujuan investasi bagi industri dari ketiga negara karena masih memiliki keunggulan komparatif, seperti upah buruh yang relatif murah. Faktor ASEAN sangatlah penting dalam menarik ketiga negara Asia Timur (Jepang, Cina dan Korea Selatan) untuk duduk bersama dalam ASEAN+3. Negara-negara Asia Timur tersebut sedang berusaha untuk menjadi satu entitas. Namun, memang sampai saat ini hal itu masih sangat sulit diwujudkan karena masih banyak perselisihan antara ketiga negara tersebut berupa problem sejarah (historical barrier). Oleh karena itu, sampai kapanpun posisi ASEAN masih
39
sangat diperlukan dalam menjaga perdamaian, tidak saja di kawasan Asia Tenggara tetapi juga di kawasan Asia Timur. Bukan hanya ketiga negara tersebut yang membutuhkan ASEAN, tetapi ASEAN
juga
sangat
membutuhkan
negara-negara
tersebut
dalam
mengembangkan perekonomian. Dari segi perdagangan, ketiga negara Asia Timur ini merupakan lima besar mitra dagang bagi ASEAN. Pada tahun 2008 misalnya, secara berurutan yaitu Jepang sebesar (214.400 juta US$),Uni Eropa (208.291 juta US$), Cina (196.883 juta US$), Amerika Serikat (186.242 juta US$), dan Korea Selatan (78.250 juta US$) (ASEAN Statistical Book 2010). Oleh karena itu, ketiga negara ini, posisinya juga sangat penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara. Namun, dari ketiga negara ini yang secara persentase pertumbuhan perdagangannya dengan ASEAN cukup tinggi adalah Cina. Dari tahun 2003 hingga 2009 misalnya, pertumbuhan perdagangan antara ASEAN dan Cina sebesar 22,62 persen dan menjadi pertumbuhan perdagangan terbesar bagi ASEAN. Pada periode yang sama Jepang sebesar 7,40 persen dan Korea Selatan sebesar 13,64 persen (ASEAN Statistical Book 2010). Dari data ini dapat dilihat bahwa meskipun secara jumlah, Cina masih kalah dibandingkan Jepang, namun persentase pertumbuhan perdagangannya jauh lebih tinggi daripada persentase pertumbuhan perdagangan ASEAN dengan Jepang. Oleh karena itu, hubungan ekonomi antara ASEAN dan Cina akan terus berkembang dan bukan tidak mungkin akan menggantikan peran Jepang bagi ASEAN, khususnya dalam bidang ekonomi. Pada bagian selanjutnya, akan dijelaskan mengenai hubungan yang terjadi antara ASEAN dengan salah satu
40
mitra dialognya, yang juga menjadi fokus utama dalam penulisan skripsi ini, yaitu dengan Cina.
C.3 Hubungan Awal Kerjasama ASEAN-Cina Menurut Inayati (ed. 2006, h. 33), sebelum tahun 1990-an, belum ada hubungan resmi antara ASEAN sebagai suatu kelompok dengan Cina sebagai sebuah negara. Meskipun hubungan bilateral beberapa negara ASEAN secara individual dengan Cina sudah ada, contohnya Thailand. Namun pada Juli 1991, Menlu Cina saat itu, Qian Qichen menghadiri pembukaan ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-24 di Kuala Lumpur atas undangan pemerintah Malaysia. Saat itu juga Menlu Cina Qian Qichen menyampaikan keinginan Pemerintah Cina untuk bekerjasama dengan ASEAN. Hal ini disambut positif, dapat dilihat dari kunjungan Sekjen ASEAN Dato‟ Ajit Singh ke Beijing pada September 1993 dan menyepakati pembentukan dua Joint Committee yakni di bidang kerjasama ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kerjasama ekonomi dan perdagangan yang diresmikan pada Juli 1994 di Bangkok oleh Sekjen ASEAN dan Departemen Luar Negeri Cina. Pambudi dan Chandra (2006, h. 26) menambahkan bahwa membaiknya hubungan antara ASEAN dan Cina pada pertengahan 1990-an juga diikuti dengan meningkatnya status Cina, yang awalnya hanya diberikan status mitra konsultatif oleh Komite Tetap ASEAN, kini menjadi mitra dialog penuh ASEAN. Status ini ditetapkan pada saat AMM ke-29 di Jakarta pada tahun 1996, setelah sebelumnya pada tahun 1994 Cina juga telah menjadi mitra dalam ASEAN Regional Forum (ARF).
41
Menurut Hadi (dalam Wibowo & Hadi eds. 2009, h. 59), hubungan Cina dengan ASEAN menemukan momentum setelah krisis ekonomi Asia 1997. Selama krisis, Cina mendapatkan citra yang positif karena tidak melakukan penurunan nilai mata uangnya (devaluasi), yang bila dilakukan akan menjatuhkan daya saing produk dari negara-negara ASEAN. Pambudi dan Chandra (2006, h. 28) juga menambahkan, hubungan antara ASEAN dan Cina kembali diperkuat ketika para pemimpin dari kedua belah pihak bertemu dalam informal meeting ASEAN+3 yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia, 1997. Pada waktu itu, pertemuan para pemimpin ASEAN-Cina juga diadakan di samping informal meeting ASEAN+3. Dalam kesempatan itu, pemimpin Cina, Jiang Zemin membacakan suatu pernyataan tentang membangun kemitraan yang bertetangga baik dan saling percaya menghadapi abad ke-21. Setelah diadakannya pertemuan tersebut, kedua pihak sepakat untuk mengeluarkan pernyataan bersama yang menekankan adanya norma-norma dasar yang mengatur hubungan antara kedua belah pihak, sekaligus sebagai satu usaha dari Cina dan ASEAN untuk membentuk hubungan kemitraan yang berorientasi pada abad ke-21 berdasarkan cara hidup bertetangga yang baik dan saling percaya. Maka sejak saat itu, kedua pihak sepakat untuk melaksanakan Pertemuan Puncak ASEAN-Cina yang akan diadakan setiap tahunnya. Oleh karena itu, sejak reformasi Cina dijalankan, hubungan ASEAN dan Cina semakin erat pada dekade 1990-an. Menurut Soebagjo (dalam Wibowo & Hadi eds. 2009, h. 107), dalam bidang politik dan keamanan, hubungan ASEAN-Cina ditunjukkan dengan niat Cina untuk membuktikan bahwa Cina bukanlah suatu ancaman. Hal ini dibuktikan
42
melalui penandatanganan Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea pada 2002 untuk mengurangi ketegangan teritorial dan membuka jalan untuk mengadakan eksplorasi bersama terhadap penyelesaian konflik di laut Cina Selatan. Deklarasi ini kemudian disusul dengan ditandatanganinya Treaty of Amity and Cooperation (TAC) setahun kemudian pada KTT ke-7 ASEAN-Cina di Bali pada 2003, Cina sendiri merupakan mitra dialog pertama ASEAN yang menandatangani perjanjian ini. Sedangkan dalam bidang kerjasama ekonomi, ASEAN dan Cina juga mengalami peningkatan. Hal ini ditandai dengan ditandanganinya Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation pada November 2002, yang menjadi cikal bakal dibentuknya kawasan perdagangan bebas ASEAN-Cina (ACFTA) (Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 169). Cina sendiri merupakan negara pertama yang menandatangani perjanjian sejenis ini dengan ASEAN. Dengan demikian terlihat bagaimana dalam waktu singkat hubungan ASEAN dan Cina mengalami peningkatan ke arah yang lebih bersahabat. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai kerjasama yang terjadi antara ASEAN dan Cina dalam kerangka perjanjian ACFTA dengan lebih spesifik.
C.4 ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) Ide untuk membentuk ACFTA dikemukakan pertama kalinya oleh Perdana Menteri Cina Zhu Rongji dalam ASEAN+3 Summit di Singapura November 2001. Oleh karena itu, menurut Yu (dalam Leong & Ku eds. 2005, h. 44) dibentuklah kelompok ahli dari kedua belah pihak yang disebut ASEAN-Cina Expert Group, guna mempelajari kemungkinan terbentuknya ACFTA. Yu (dalam Leong & Ku
43
eds. 2005, h. 45) menambahkan, pada 2002 kelompok ahli ini mengemukakan temuannya antara lain, bahwa pembentukan ACFTA dalam jangka waktu 10 tahun akan menciptakan kawasan ekonomi dengan populasi 1,7 milyar penduduk, dengan total GDP (Gross Domestic Product) regional mencapai 2 triliyun dolar AS dan total perdagangan di antara keduanya diperkirakan 1,23 triliyun dolar AS. Maka pada ASEAN-Cina Summit ke-6 tahun 2002 di Kamboja, para pemimpin ASEAN dan Perdana Menteri Cina Zhu Rongji menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation (lihat lampiran 2). Kerangka ini merupakan landasan bagi kerjasama perdagangan dalam sebuah kawasan perdagangan bebas ASEAN-Cina yang ditargetkan bisa dicapai pada 2010 untuk ASEAN-6 (Brunei, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand) dan pada 2015 untuk ASEAN-CMLV (Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam). Sungkar (dalam Inayati ed. 2006, h. 54) menambahkan bahwa kerangka ini juga berisi kerjasama ekonomi yang mencakup lima sektor prioritas kerjasama, yaitu: pertanian, teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan sumber daya alam, investasi, serta pengembangan sub-kawasan lembah sungai Mekong. Menurut Sungkar (2005, h. 53), kerangka perjanjian ekonomi dalam ACFTA dibagi dalam tiga tahapan waktu implementasinya, yaitu (lihat juga ASEAN Secretariat 2002): 1.Early Harvest Program (EHP) Produk-produk dalam EHP antara lain: dalam Chapter 1 sampai 8 dalam kerangka ACFTA (lihat artikel 6 dalam lampiran 2), diantaranya: binatang hidup, ikan, daging, tumbuhan, sayuran, serta buah dan kacang-kacangan. Penurunan tarif dimulai 1 Januari 2004 secara bertahap dan akan menjadi 0 persen pada 1
44
Januari 2006. Dalam EHP juga diatur tentang Rules of Origin (RoO) yang mengikuti aturan dalam AFTA. RoO menyatakan bahwa produk yang mengalami penghapusan tarif haruslah memiliki setidaknya 40 persen kandungan asli negaranegara ASEAN dan Cina. Aturan mengenai pengurangan tarif dan juga penghapusannya mengikuti alur yang sama dengan CEPT yang ada di AFTA. 2.Normal Track (NT) Produk yang terdaftar dalam Normal Track adalah produk yang tidak dimasukkan dalam program EHP. Dalam tahap ini negara-negara ASEAN dan Cina menghapuskan tarif secara bertahap hingga akhir waktu yang disepakati. Cina dan ASEAN-6 pada 2005-2010, sedangkan CMLV pada 2005-2015. 3. Sensitive Track (ST) Produk-produk yang dianggap sensitif ini memerlukan waktu untuk penyesuaian diri dan dilakukan ASEAN secara bertahap sebelum benar-benar bisa dimasukkan untuk diliberalisasi. Macam-macam produk yang dimasukkan ke dalam kategori sensitive track dibagi menjadi dua, yaitu Sensitive List (SL) dan Highly Sensitive List (HSL). SL terdiri dari 304 Produk antara lain Barang Jadi Kulit: tas, dompet; Alas kaki: Sepatu sport, Casual, Kulit; Kacamata; Alat Musik; Tiup, petik, gesek; Mainan: Boneka; Alat Olah Raga; Alat Tulis; Besi dan Baja; Sparepart; Alat angkut; Glokasida dan Alkaloid Nabati; Senyawa Organik; Antibiotik; Kaca; Barang-barang Plastik. Produk-produk tersebut harus dikurangi menjadi hanya 20 persen pada tahun 2012 dan 0-5 persen pada tahun 2018. HSL terdiri dari 47 produk yang antara lain terdiri dari Produk Pertanian, seperti Beras, Gula, Jagung dan Kedelai; Produk Industri Tekstil dan produk Tekstil; Produk Otomotif;
45
Produk keramik. Pada tahun 2015 tarif dalam HSL harus sudah dikurangi sebesar 50 persen. Pada dasarnya mekanisme penurunan tarif dalam ACFTA dilakukan untuk mempermudah negara-negara yang menyepakatinya dalam mempersiapkan komoditi yang diperdagangkan, oleh karena itu hal ini dilakukan secara bertahap. Bagi negara-negara anggota WTO, sebenarnya telah mempunyai mekanisme pengurangan tarif tersendiri atau yang biasa disebut tarif MFN. Namun, setelah ACFTA disepakati
maka komoditi
yang
diperdagangkan menggunakan
mekanisme pengurangan tarif dalam ACFTA hingga tarif yang dikenakan hanya sebesar 0 persen di tahun 2010 (lihat tabel II.3). Tabel II.3 Skema Penurunan Tarif ACFTA (dalam %) Tarif rata-rata
2005
2007
2009
2010
X>20
20
12
5
0
15<X<20
15
8
5
0
10<X<15
10
8
5
0
5<X<10
5
5
0
0
X<5
5
ASEAN-6
0
0
Sumber: Pambudi & Chandra 2006, h. 56
Melalui tabel di atas dapat terlihat, misalnya pada tahun 2009, semua produk dengan tingkat awal tarif sebesar 10 hingga 20 persen harus diturunkan hingga 5 persen, sedangkan produk-produk dengan tingkat awal tarif di bawah 10 persen harus diturunkan hingga nol persen. Selanjutnya, pada 2010 semua produk yang terdaftar dalam normal track harus diperdagangkan tanpa pengenaan tarif apapun. Oleh karena itu, setelah ACFTA disepakati maka setiap negara berusaha mengkategorikan komoditinya masing-masing kedalam skema ACFTA ini. Proses pengelompokan komoditi tersebut tentunya berbeda-beda antara satu negara
46
dengan negara lainnya, tergantung tingkat kesiapan dan sensitifitas komoditi yang dimiliki. Sehingga keuntungan yang diperoleh pada akhirnya juga berbeda-beda. Menurut Yu (dalam Leong & Ku eds. 2005, h. 45) kerangka ACFTA ini juga menetapkan liberalisasi di bidang jasa dan investasi. Persetujuan di bidang Jasa, dalam ACFTA telah berlaku efektif sejak Juli 2007. Dengan adanya persetujuan ini para penyedia jasa di kedua wilayah akan mendapatkan manfaat perluasan akses pasar jasa sekaligus national treatment untuk sektor dan subsektor yang dikomitmenkan oleh masing-masing pihak di ACFTA. Sedangkan persetujuan di bidang investasi, pemerintah negara-negara anggota ASEAN dan Cina secara kolektif sepakat untuk mendorong peningkatan fasilitas, transparansi dan iklim investasi yang kompetitif dengan menciptakan kondisi investasi yang positif, disertai berbagai upaya untuk mendorong promosi arus investasi dan kerjasama di bidang investasi yang disepakati sejak 2009. Selain itu, kedua belah pihak juga secara bersama-sama akan memperbaiki aturan investasi menjadi lebih transparan dan kondusif demi peningkatan arus investasi, di samping juga memberikan perlindungan investasi. Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2006, h. 52; lihat juga lampiran 1) ada beberapa kondisi ekonomi Cina yang merupakan faktor daya tarik bagi ASEAN dalam menyambut tawaran FTA dari Cina. Pertama, ASEAN memandang Cina sebagai pasar yang berpotensi dengan luas wilayah dua kali wilayah ASEAN dan penduduk 1,3 milyar. Daya beli di Cina yang semakin meningkat dan pasarnya yang semakin terbuka sehingga membuka peluang bagi ekspor ASEAN yang selama ini tidak tertolong dengan rendahnya tingkat perdagangan intra-ASEAN. Kedua, ekonomi Cina bisa lebih komplementer
47
dengan ekonomi ASEAN dibandingkan intra ekonomi ASEAN itu sendiri. Dengan masuknya Cina dalam komunitas ekonomi global, maka ASEAN bisa ikut ambil bagian dalam rantai produksi Cina dan sebaliknya, pertumbuhan di Cina yang membutuhkan semakin banyak energi yang dalam hal ini bisa dipenuhi oleh negara-negara ASEAN, yang juga kaya akan sumber energi tersebut. Ketiga, ASEAN bisa memanfaatkan kebangkitan ekonomi Cina dimana kekuatan ekspor juga diimbangi kekuatan pasar domestiknya. Jika pada masa lalu kebangkitan ekonomi Jepang dapat membawa serta kebangkitan ekonomi ASEAN, maka sekarang hal yang sama diharapkan dari kebangkitan ekonomi Cina. Sungkar (dalam Inayati ed. 2006, h. 53) juga menambahkan, selain pertimbangan ekonomi tersebut, aspek politik juga ikut menyumbang dalam perubahan kebijakan negara-negara Asia Tenggara terhadap Cina, antara lain: pentingnya melibatkan Cina dalam mengatasi potensi konflik intra-regional, perlunya menyeimbangkan kekuatan di kawasan yang selama ini didominasi Amerika Serikat dan Jepang, dan kebutuhan akan kekuatan suara yang lebih besar dalam forum internasional di mana ASEAN dan Cina banyak mempunyai kesamaan pandangan. Alasan-alasan inilah yang menyebabkan ASEAN menyambut baik usulan Cina untuk membentuk sebuah Free Trade Area. Setelah melihat perkembangan kerjasama dalam bidang ekonomi yang terjadi baik intra ASEAN, maupun antara ASEAN dengan lingkungan eksternalnya, dapat disimpulkan bahwa saat ini faktor ekonomi merupakan bagian terpenting yang mendasari kerjasama yang dilakukan ASEAN. Persoalan politik ataupun ideologi bukan lagi menjadi penghalang dalam melakukan kerjasama. Selama dapat memicu pertumbuhan ekonomi ASEAN, maka ASEAN akan
48
menyambutnya dengan baik. Termasuk kerjasama yang terjadi antara ASEAN dan Cina dalam kerangkan ACFTA. Faktor keberadaan Cina saat ini di dalam ruang lingkup ASEAN dinilai sangatlah penting, meskipun juga banyak menimbulkan pro dan kontra. Namun para pembuat kebijakan dalam ASEAN menilai kerjasama yang dilakukan dengan Cina ini merupakan alternatif lain yang harus dilakukan ASEAN dalam menghadapi persaingan ekonomi saat ini. Pada Bab selanjutnya akan dijelaskan mengenai faktor terbentuknya ACFTA dalam perspektif Cina. Karena sangat penting melihat kerjasama ini dibentuk dari sisi pihak lain yang juga terlibat, agar mampu menggambarkan ketergantungan ekonomi yang terjadi di antara keduanya.
49
BAB III KEPENTINGAN CINA TERHADAP PEMBENTUKAN ACFTA
Bab ini akan memaparkan kondisi ekonomi politik di Cina yang mendorong Cina melakukan kerjasama ekonomi dengan ASEAN. Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, kerjasama ekonomi ASEAN-Cina terbentuk tidak hanya karena kepentingan ekonomi Cina, melainkan juga karena kondisi internasional. Dari sisi kepentingan ekonomi, Cina memerlukan bahan mentah dan sumber daya alam, selain juga sebagai upaya perluasan akses pasar dari komoditi Cina yang berlimpah, akibat dari kemajuan industrinya. Selain itu, dorongan lainnya seperti, perkembangan regionalisme paska perang dingin, dan masuknya
Cina
menjadi
anggota
WTO
mengakibatkan
terintegrasinya
perekonomian Cina dengan sistem internasional. Cina juga harus bersaing dengan Jepang dalam memperebutkan pengaruh dan kepentingan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Untuk lebih memahami kepentingan Cina terhadap pembentukan ACFTA, penulis akan mengelaborasi pertumbuhan ekonomi Cina dengan melihat perubahan ekonomi politik di Cina.
A. Kondisi Ekonomi Politik Cina A.1 Masa Mao Zedong Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai perubahan ekonomi politik di Cina, sehingga dapat memberikan gambaran akan kemajuan ekonomi yang diperoleh Cina saat ini. Pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu pesat pada dua dekade belakangan ini tidak terjadi begitu saja. Pertumbuhan ekonomi yang
50
terjadi berkaitan dengan keputusan-keputusan strategis para pemimpin Cina. Salah satunya adalah keputusan untuk mengintegrasikan perekonomian negara ini ke dalam sistem internasional, tanpa merubah sistem politik di dalam negeri. Sejak berdirinya Republik Rakyat Cina pada 1 Oktober 1949, Negara ini menganut sistem politik sosialis-komunis. Seperti negara lainnya yang menganut sistem ini, dalam pemerintahan Cina yang berideologi komunis peran pemerintah sangatlah dominan. Selain itu, di Cina hanya terdapat satu partai politik, yaitu Partai Komunis Cina (PKC). Mao Zedong sendiri merupakan tokoh pendiri dari Republik Rakyat Cina (RRC). Pada awal kepemimpinannya,
Mao Zedong
menjalin hubungan yang cukup dekat dengan Uni Soviet, karena Uni Soviet merupakan negara pertama yang mengakui berdirinya RRC dan langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintahan nasionalis sebelumnya di Cina. Berdirinya RRC tidak terlepas dari usaha Mao Zedong untuk memukul mundur Pemerintah nasionalis (Kuomintang) di bawah pimpinan Chiang Kai Shek yang sudah berkuasa empat tahun di Cina (1945-1949) dari seluruh wilayah Cina daratan. Sampai saat ini, kelompok nasionalis berada di pulau Formosa (Taiwan). Oleh karena itu, RRC menganggap dirinya sebagai penerus dari pemerintahan nasionalis sebelumnya di Cina (Taniputera 2009, h. 580). Lebih jauh Taniputera (2009, h. 581) menyampaikan bahwa tugas berat yang dijalani Mao Zedong adalah membangun kembali Cina yang hancur akibat penjajahan Jepang (1931-1945), serta perang saudara antara kelompok nasionalis dan komunis. Akibatnya, pemerintahan Mao Zedong berupaya untuk menjaga kestabilan sosial dan pembangunan ekonomi RRC. Mao Zedong berupaya
51
memberikan lebih banyak kekuasaan pada petani dan buruh, sebaliknya memangkas kekuasaan kaum pemilik modal, tuan tanah, kapitalis dan orang asing. Seperti yang diungkapkan Taniputera (2009, h. 582), restrukturisasi dalam bidang ekonomi dilakukan dengan mengendalikan peredaran uang, perbankan, serta pemberian kredit. Dalam waktu setahun sejak berdirinya RRC, inflasi berhasil dikendalikan. Demi mencapai kestabilan dalam bidang keuangan, pada Mei 1949, pemerintah mengeluarkan mata uang baru yang disebut Renminbi (Yuan) serta melarang penggunaan mata uang asing. Pemerintah lalu menguasai industri-industri kunci yang sebelumnya telah dibangun pemerintah nasionalis. Sementara itu, dalam bidang agraria sesuai dengan yang dipropagandakan kaum komunis, tanah garapan mulai dibagi-bagikan kepada rakyat. Pemerintah merampas tanah milik para tuan tanah, tetapi mengizinkan mereka untuk tetap memiliki bagiannya yang ditetapkan pemerintah. Namun, pada prakteknya sering sekali pengambilalihan tanah ini disertai dengan kekerasan yang juga menimbulkan korban jiwa. Pada Desember 1952 pembagian tanah rampasan tersebut dapat diselesaikan (revolusi agraria) dan yang paling terpengaruh oleh kebijaksanaan ini adalah para tuan tanah serta petani kaya. Agar para tuan tanah tidak timbul kembali, pemerintah kemudian menetapkan sistem kolektivisme, yakni kepemilikan tanah bersama (Taniputera 2009, h. 583). Revolusi Agraria ini sangatlah mewakili prinsip komunisme, karena mencita-citakan kehidupan sosial tanpa kelas, dan melarang adanya eksploitasi terhadap kelas tertentu dalam suatu tatanan kehidupan. Untuk membangun kembali dan memajukan bidang industri, pemerintah mencanangkan apa yang dinamakan “Rencana Lima Tahun Pertama” ( First Five-
52
Year Plan) yang berlangsung pada 1953-1957 (Wibowo dalam Bakri ed. 1996, h. 139). Hasilnya, pada periode pertama dalam program rencana pembangunan lima tahun Mao Zedong tersebut, Cina mengalami pertumbuhan ekonomi. Namun, masih dikatakan gagal membangun ekonomi Cina. Saat itu bahkan terdapat ketidakseimbangan antara pertumbuhan industri dan pertanian. Pada tahun 1958 rencana pembangunan lima tahun tahap kedua yang ditujukan melanjutkan kebijakan tahap pertama sebelumnya ternyata tidak dilaksanakan. Pada akhir tahun 1957, Mao Zedong menyimpulkan bahwa Uni Soviet tidak dapat dijadikan lagi sebagai model pembangunan Cina. Kemajuan yang dicapai dipandangnya masih terlalu lambat. Seperti yang diungkapkan Wibowo (dalam Bakri ed. 1996, h. 139) hal ini dikarenakan model pembangunan yang meniru Uni Soviet, mengutamakan pengembangan industri berat, sehingga mengorbankan pertanian yang merupakan sektor terpenting bagi Cina. Oleh karena itu, jika Mao Zedong meneruskan model pembangunan ini, ratusan juta petani akan menjadi korban. Menurut Mao Zedong Cina perlu menemukan caranya sendiri untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya, yakni dengan mengerahkan sumber daya yang sangat berlimpah di Cina. Mao Zedong akhirnya membuat kebijakan ekonomi baru yang dinamakan gerakan lompatan jauh ke depan (the great leap forward) untuk menggantikan program lima tahunnya (Johnson 1990, h. 6; Taniputera 2009, h. 584), yaitu gerakan spontan oleh seluruh masyarakat Cina untuk melaksanakan terobosan besar dengan maksimalisasi produksi di seluruh sektor ekonomi, terutama sektor pertanian dan industri.
53
Taniputera (2009, h. 585) menyatakan bahwa, kebijakan baru yang diawali pada tahun 1958 ini membuahkan berbagai hasil nyata, seperti pembangunan jembatan, jalan kereta api, bendungan, pembangkit listrik, sarana pengairan, dan lain sebagainya. Tetapi kebijakan loncatan jauh ke depan ini akhirnya menuai bencana karena banyak memiliki masalah mendasar akibat kurangnya modal untuk berinvestasi di bidang industri dan pertanian pada waktu yang sama, belum siapnya masyarakat Cina mengadakan perubahan drastis ke arah industri dan banyaknya kebijakan pendukung yang tidak terlaksana. Sebagai contoh, hasil panen gandum yang berlimpah pada tahun 1958 terpaksa dibiarkan membusuk di ladang, karena kaum pria yang seharusnya bertugas memanennya dikerahkan bekerja di pabrik. Akibatnya, 30 juta rakyat meninggal karena kelaparan antara tahun 1959-1962. Untuk mengatasi krisis ekonomi ini, Mao Zedong berusaha merevisi tujuan ekonomi dan membuat serangkaian kebijakan baru sebagai pengganti kebijakan loncatan jauh ke depan. Salah satunya adalah mencanangkan revolusi budaya (cultural revolution) pada tahun 1966 (Johnson 1990, h. 12). Menurut Taniputera (2009, h. 587) revolusi budaya ini lahir sebagai tindakan represif Mao Zedong untuk meredam pandangan yang berbeda dari lawan politiknya seperti Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping yang lebih menginginkan pembangunan di Cina dengan lebih berdasarkan Konfusianisme ataupun Kapitalisme dibandingkan faham Komunisme. Wibowo (2007, h. 19) menambahkan, selain bahasa, Mao Zedong dan pengikutnya yang kebanyakan kaum muda, ingin membatasi segala sesuatu yang berasal dari zaman dinasti-dinasti ataupun kapitalisme barat, dan menggantinya dengan satu macam kebudayaan baru, yaitu kebudayaan sosialis.
54
Menurut Johnson (1990, h. 12) pada pelaksanaannya, revolusi budaya juga tidak dapat mengeluarkan Cina dari krisis ekonomi, tetapi justru memecah belah kesatuan di Cina, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena krisis ekonomi tersebut belum dapat diatasi, maka kritikpun banyak ditujukan kepada Mao Zedong. Bahkan kritik tersebut datang dari tubuh Partai Komunis Cina (PKC) yang saat itu gencar menghendaki adanya perubahan dan pembaharuan dalam sistem ekonomi Cina. Kebijakan revolusi budaya yang dicanangkan Mao Zedong gagal untuk membangkitkan ekonomi Cina dari krisis tersebut, dan menjadi akhir dari kepemimpinannya. Sejak krisis ekonomi itu terjadi, kepemimpinannya mulai goyah dan akhirnya kepemimpinan Mao Zedong berakhir bersamaan dengan wafatnya ia pada September 1976. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai kepemimpinan di Cina pada masa Deng Xiaoping, yang menandakan perubahan besar pada sistem perekonomian di Cina.
A.2 Masa Deng Xiaoping Deng Xiaoping merupakan pemimpin Cina setelah Mao Zedong, yang membawa Cina ke arah kemajuan dalam bidang ekonomi. Cina pada masa kepemimpinan Deng Xiaoping, meskipun masih berideologi komunis dalam politik, di bidang ekonomi lebih mengedepankan prinsip liberalisme dan keterbukaan dengan pihak asing. Keterbukaan ekonomi yang dianut oleh Deng Xiaoping ini disebabkan oleh ketidak berhasilan sistem ekonomi terpusat yang dijalankan oleh pendahulunya Mao Zedong, oleh karena itu Deng Xiaoping ingin mencari alternatif lain dalam membangun ekonomi Cina. Hal ini mungkin juga disebabkan karena, Deng Xiaoping mendapatkan pendidikan formal di Perancis,
55
di mana keterbukaan ekonomi telah diterapkan di Perancis dan negara-negara Eropa Barat lainnya (Pattiradjawane dalam Bakry ed. 1996, h. 3). Selain itu, Inayati (wawancara Jakarta, 29 Maret 2011) menambahkan bahwa keterbukaan ekonomi yang dijalankan Deng Xiaoping ini juga disebabkan karena kekaguman Deng Xiaoping terhadap pertumbuhan ekonomi dan teknologi Amerika Serikat (AS), karena pada awal 1979 Deng Xiaoping melakukan kunjungan resmi ke AS dan bertemu dengan Presiden Jimmy Carter di Washington. Hal ini semakin memicu keinginan Deng Xiaoping untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Cina dengan cara yang berbeda dari pendahulunya. Tjeng (dalam Bakry ed. 1996, h. 34) menambahkan bahwa obsesi Deng Xiaoping untuk mengamankan proses modernisasi di Cina ini tercermin dalam keputusannya, untuk tidak memegang jabatan formal (Presiden, Perdana Menteri, Sekjen Partai) apapun dalam partai maupun pemerintahan. Hal ini dilakukan karena menurut Deng Xiaoping dengan tidak menduduki jabatan tertentu, maka pengaruhnya akan terus bertahan, dan jika terdapat kesalahan ataupun kegagalan maka seseorang yang ditugasinyalah yang akan diganti. Satu-satunya jabatan yang dimiliki oleh Deng Xiaoping adalah Dewan Harian Politbiro,10 yaitu anggota partai paling elite, yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang. Menurut Bakry (ed. 1996, h. 43) kedudukan informal Deng Xiaoping ini sangatlah diperlukan sebagai highest arbitrator bila sewaktu-waktu terjadi krisis sosial politik atau pertarungan di internal partai. 10
“Dewan Harian Politbiro” merupakan bagian dari “Politbiro" (Political Bureau) yang terdiri atas 15-20 orang, kebanyakan wakil dari provinsi-provinsi kunci. Dewan Harian Politbiro ini merupakan puncak dari semua puncak kekuasaan di Cina. Keputusan-keputusan penting dan vital diputuskan oleh mereka (pemilihan Presiden, ideologi, kebijakan luar negeri) bahkan tanpa perlu konsultasi dengan Politbiro, Komite Sentral (MPR di Indonesia), dan Kongres Rakyat Nasional (DPR di Indonesia). Struktur yang mengerucut ke atas inilah ciri khas sistem Partai Komunis Cina. (Wibowo & Hadi eds. 2009, h. 256; Wibowo 2007, h. 126).
56
Sejak Deng Xiaoping membacakan buah pikirannya dalam pidato utama di Pleno Ketiga Sidang Komite Sentral Kesebelas Partai Komunis Cina (PKC), 13 Desember 1978, Cina mengawali modernisasi pembangunannya. Modernisasi pembangunan tersebut meliputi bidang-bidang: pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertahanan dan keamanan. Gagasan ini juga dikenal dengan istilah “program empat modernisasi” (Inayati ed. 2006, h. 23). Inayati (ed. 2006, h. 24) juga menambahkan bahwa untuk merealisasikan gagasan tersebut, pemerintah Cina mengambil “kebijakan pintu terbuka” (open door policy), yaitu peningkatan hubungan dengan negara-negara maju dengan tujuan memperoleh modal dan teknologi, serta berupaya menciptakan lingkungan yang damai dan stabil di kawasan regionalnya. Dengan melaksanakan kebijakan tersebut, Deng Xiaoping bermaksud menjadikan Cina sebagai negara sosialis yang modern, kuat, serta sejahtera pada masa mendatang. Instrumen utama kebijakan pintu terbuka adalah perdagangan luar negeri dan investasi asing, dengan tujuan peningkatan akumulasi modal bagi pembangunan Cina. Pelaksanaan pintu terbuka telah merubah struktur dan pola hubungan ekonomi eksternal Cina menjadi lebih berorientasi ke Barat terutama kepada AS dan negara-negara di Eropa Barat. Negara-negara tersebut dijadikan sumber investasi asing langsung, penyuplai modal, teknologi dan sebagai mitra dagang utama luar negeri Cina. Kebijakan Pintu Terbuka ini pada perkembangannya bukan hanya membuka diri terhadap pengaruh asing dari segi ekonomi, namun dalam bidang politik juga mendapatkan pengaruh yang cukup besar. Budaya demokrasi seperti yang berkembang di Barat juga mulai tampak di Cina, masyarakat terutama
57
diwakili oleh kalangan mahasiswa menuntut sistem pemerintahan yang bebas, seperti: pemilihan umum yang demokratis, kemerdekaan pers, berorganisasi, serta kebebasan dalam berekspresi mengeluarkan pendapat dan kritikan terhadap pemerintah (Taniputera 2009, h. 601). Namun pada perkembangannya, Cina membatasi diri pada reformasi ekonomi dengan membuka ekonomi pasar dan investasi asing seluas-luasnya, tetapi tetap menutup reformasi di bidang politik (Inayati ed. 2006, h. 25). Bidang politik tidak mengalami perubahan, dengan PKC sebagai partai tunggal. PKC tetap memegang peran dominan dalam setiap kebijakan yang dijalankan di Cina, dengan kata lain partailah yang mengontrol negara. Protes dari rakyat Cina ini mengalami puncaknya, sehingga terjadilah peristiwa Tiananmen, yaitu pembantaian terhadap ribuan warga Cina pada tanggal 4 Juni 1989 di lapangan Tiananmen, Beijing. Bentrokan ini mengakibatkan banyaknya jatuh korban jiwa, meskipun jumlahnya bervariasi. Walikota Beijing, Chen Xitong menyatakan bahwa jumlah korban yang tewas adalah 200 orang dan selain itu 3.000 warga sipil serta 6.000 prajurit mengalami luka-luka. Sedangkan Komite Universitas Tsinghua menyatakan bahwa korban tewas sejumlah 4.000 orang, sementara 30.000 lainnya mengalami luka-luka (Taniputera 2009, h. 603). Akibat peristiwa ini Cina mengalami dampak buruk, yaitu menuai kecaman dari dalam dan luar negeri. Dunia internasional termasuk di antaranya Uni Eropa dan terlebih lagi Amerika Serikat (AS). AS mengecam pelanggaran HAM yang dilakukan Cina. Setelah peristiwa Tiananmen tersebut banyak kalangan yang menyangka bahwa berakhirlah gerakan reformasi di Cina, tetapi dugaan itu ternyata salah. Ketika melihat ada bahaya ke arah menutup diri, pada
58
tahun 1992, Deng Xiaoping melakukan gerakan terakhir tetapi sangat menetukan. Gerakan tersebut dikenal dengan nama “perjalanan ke selatan” (Wibowo 2007, h. 34). Deng Xiaoping yang sudah berumur 90 tahun pergi mengadakan perjalanan ke kota-kota di daerah selatan Cina (Shenzhen, Zhuhai). Dalam perjalanan itu Deng Xiaoping tidak henti-hentinya mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Cina harus dipercepat. Pidato ataupun ucapan Deng Xiaoping tersebut bahkan dijadikan dokumen resmi PKC dan diedarkan di kalangan pejabat-pejabat tinggi Cina (Wibowo 2007, h. 34). Wibowo juga menambahkan (2007, h. 86-87) bahwa pada masa kepemimpinan Deng Xiaoping ini mengalami banyak pertentangan dari kelompok dalam tubuh PKC yang lebih mengutamakan nilai-nilai sosialis di Cina. Oleh karena itu, diciptakanlah konsep tentang pembangunan ekonomi Cina. Pada Kongres PKC ke-13 (1987) ditetapkan ajaran baru yaitu “sosialisme pada tahap awal”. Pada tahap ini Cina akan mengerjakan industrialisasi, komersialisasi, sosialisasi dan modernisasi produksi, semua hal yang dicapai pada kondisi kapitalis. Tahap awal ini sendiri akan berlangsung kurang lebih 150 tahun.Tahap awal sosialisme ekonomi dijalankan dengan mengurangi peran negara dan memperluas mekanisme pasar. Pada kesempatan ini juga diperkenalkan dengan istilah baru yaitu “ekonomi pasar sosialis”. Dengan maksud untuk tetap menyakinkan kelompok yang anti kapitalis, bahwa Cina tetap berpegang teguh terhadap perjuangan sosialisme. Dengan diperkenalkannya istilah ini, Deng Xiaoping menginginkan untuk tetap memasukkan unsur sosialis yang tidak mungkin secara utuh dihilangkan, meskipun dalam praktiknya berdasarkan
59
kapitalis. Selain itu, gagasan ini diharapkan dapat menjaga keharmonisan hubungan dengan kelompok yang anti ekonomi pasar. Oleh karena itu, pada masa kepemimpinan Deng Xiaoping, meskipun juga mengalami hambatan, namun ia berhasil kembali membangkitkan pertumbuhan ekonomi Cina dan kembali meyakinkan bahwa Cina tetap melaksanakan kebijakan ekonomi yang terbuka, meskipun tidak disertai dengan kebebasan berpolitik. Cina tetap menganut sistem politik sentralistik dengan kendali politik dari pusat sampai daerah secara ketat, sehingga tercipta stabilitas politik yang kondusif bagi pembangunan ekonomi di Cina. Deng Xiaoping telah berhasil menancapkan pondasi yang kokoh bagi prinsip ekonomi Cina, bahkan prinsip ekonomi ini terus dilanjutkan oleh para pemimpin Cina setelahnya hingga saat ini. Setelah mengetahui perubahan yang terjadi dalam sistem ekonomi di Cina pada masa Mao Zedong hingga Deng Xiaoping, penulis tidak akan memaparkan lebih jauh mengenai kepemimpinan di Cina setelah Deng Xiaoping, hal ini dikarenakan perubahan dari segi sistem ekonomi yang terjadi di Cina tidak begitu tampak setelah masa kepemimpinan Deng Xiaoping. Cina pasca kepemimpinan Deng Xiaoping hanya menjalankan prinsip ekonomi yang sudah ditetapkan oleh Deng Xiaoping. Meskipun terdapat kebijakan-kebijakan baru setelah ini, namun kebijakan ini sifatnya hanya pengembangan dari prinsip yang sudah ada. Dengan kata lain Cina tetap membuka diri dengan pihak asing dan mengutamakan kondisi regional yang damai. Pada bagian selanjutnya akan membahas mengenai keadaan dalam negeri Cina yang menuntut untuk melakukan kerjasama dengan negaranegara di kawasan Asia Tenggara.
60
B. KONDISI INTERNAL EKONOMI CINA B.1 Keterbatasan Bahan Mentah dan Sumber Daya Alam di Cina Pertumbuhan
ekonomi
Cina
yang
pesat
secara
berkelanjutan
mengharuskan Cina memastikan bisa memperoleh cukup pasokan energi dan bahan mentah. Dalam hal ini, negara-negara ASEAN yang kaya akan sumber daya alam dipandang sebagai pemasok energi yang sangat penting (Sungkar dalam Inayati ed. 2006, h. 46). Salah satu alasan yang membuat Cina menjalin dan meningkatkan hubungan ekonomi dengan ASEAN adalah karena sebagian besar negara-negara anggota ASEAN memiliki stok bahan mentah dan sumber daya alam yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi Cina. Cina menyadari bahwa bahan-bahan mentah sangat diperlukan guna menunjang proses industrialisasinya. Menurut Wibowo dan Kusuma (dalam Wibowo & Hadi eds. 2009, h. 170), sejak tahun 1950-an hingga awal 1990-an Cina telah mengembangkan lebih dari 18 ladang minyak dan gas tepi pantai (onshore) dan tujuh ladang minyak lepas pantai (offshore), yang menghasilkan 140 juta ton per tahun. Terlebih lagi pada tahun 1985, Cina dapat mengekspor 25 persen dari produksi minyaknya dan 25 persen devisanya diperoleh dari ekspor minyak dan produk-produk minyak. Seiring dengan proses pembangunan ekonomi yang semakin cepat, kebutuhan akan minyak juga semakin meningkat. Oleh karena itu, menurut Wibowo dan Kusuma (dalam Wibowo & Hadi eds. 2009, h. 170), mulai tahun 1986 Cina menghentikan kebijakan lamanya, yaitu larangan mengimpor minyak. Pada tahun 1990 Cina mulai mengimpor minyak mentah hingga 3,5 juta barel per hari. Kebutuhan minyak terus meningkat, sementara pasokan minyak dalam negeri terus berkurang, hingga puncaknya pada tahun 1993 Cina tidak lagi
61
mengekspor minyak, tetapi justru mengimpornya. Saat ini kebutuhan minyak Cina telah mencapai angka 8,2 juta barel per hari (peringkat ke-3 dunia) dan akan terus meningkat. Pemenuhan kebutuhan tersebut 50 persen lebih berasal dari impor yaitu sebesar 4,4 juta barel per hari yang didapatkan dari berbagai negara di belahan dunia (CIA World Factbook 2011). Pada beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Indonesia, Thailand dan Vietnam terdapat bahan-bahan mentah yang sangat diperlukan bagi Cina. Beberapa jenis komoditi itu antara lain adalah minyak bumi, karet, agrikultur, dan timah. Menurut Haacke (dalam Leong & Ku eds. 2005, h. 137), dengan kebutuhan energi yang semakin meningkat, tidaklah mengherankan jika investasi besar yang dilakukan Cina selama ini dalam konteks memperluas sumber pasokan energi dari berbagai kawasan di Asia Tenggara terus dilakukan. Di antaranya adalah pembelian lahan minyak Widuri di kepulauan seribu Indonesia senilai 585 juta Dolar AS oleh China National Offshore Oil Corporation (CNOOC). Cina juga menunjuk Indonesia tanpa tender dalam kontrak selama 20 tahun untuk menyuplai gas alam ke Fujian. Lalu sesuai dengan pernyataan Sungkar (dalam Inayati ed. 2006, h. 47) bahwa bukanlah suatu kebetulan saat kunjungan Presiden Hu Jintao ke negara-negara Asia Tenggara pada April 2005, beliau mengumumkan dua kesepakatan bisnis. Pertama, kontrak senilai 950 juta dolar AS oleh Shanghai Baosteel Group Corporation dan Jinchuan Nonferrous Metal Corporation untuk merehabilitasi pabrik nikel di Filipina. Kedua, komitmen sebesar 500 juta dolar AS oleh China International Trust and Investment Company (CITIC) untuk berinvestasi di bidang perkebunan minyak sawit di Indonesia.
62
Menurut Soebagya (eds. et al. 2008, h. 81), beberapa negara di Asia Tenggara memiliki potensi yang besar dan dianggap penting bagi Cina dalam konteks keberadaan pasokan minyak bumi yang dimiliki beberapa negara tersebut, seperti; Indonesia, Brunei, Malaysia, Vietnam dan Filipina. Negara-negara tersebut tidak bisa terlepas dari diplomasi Cina, baik untuk eksplorasi minyak di negara mereka masing-masing ataupun kerjasama untuk mengadakan eksplorasi bersama. Soebagya (eds. et al. 2008, h. 83) menambahkan, salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki kerjasama yang cukup baik dengan Cina dalam bidang eksplorasi minyak bumi adalah Brunei Darussalam. Kerjasama Cina dan Brunei, terutama dalam bidang energi ini telah mengalami banyak peningkatan, perusahaan minyak bumi milik Cina (CNOOC) telah mendapat izin untuk memberikan pelayanan kepada perusahaan minyak bumi setempat di bidang eksploitasi minyak dan gas. Soebagya menambahkan, dengan kemampuan untuk memproduksi minyak sebanyak 200 ribu barel per hari, maka Brunei telah menjadi produsen minyak bumi yang sangat potensial di Asia Tenggara dan hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Cina dalam meningkatkan kerjasamanya di kawasan ini. Selain dari bahan baku energi, jaminan pasokan pangan juga sangat penting bagi kondisi dalam negeri Cina. Menurut Wibowo (2007, h. 163) masalah pangan adalah masalah abadi di Cina. Untuk dapat mencukupi diri sendiri, Cina harus menemukan cara bagaimana memberi makan kepada 20 persen (1,3 milyar jiwa) dari penduduk dunia, sementara hanya tersedia 7 persen dari bagian dunia yang dapat ditanami. Oleh karena itu, kedekatannya dengan ASEAN dianggap dapat menjadi solusi dalam memenuhi kebutuhannya ini.
63
Ketersediaan bahan mentah di negara-negara ASEAN ini menjadi orientasi kerjasama ekonomi yang senantiasa dikembangkan Cina kepada ASEAN. Artinya Cina ingin memperoleh akses yang sebesar-besarnya dan dalam jangka panjang atas komoditi-komoditi tersebut. Kegunaannya tentu untuk proses industrialisasi dan penguatan ekonomi Cina, terlebih lagi dengan jumlah penduduknya yang sangat besar memang membutuhkan keberadaan bahan-bahan mentah yang berasal dari negara-negara ASEAN tersebut. Pada bagian selanjutnya, akan dijelaskan faktor internal lainnya yang memicu Cina untuk terus mengembangkan kerjasama di bidang ekonomi dengan ASEAN.
B.2 Perluasan Akses Pasar Akibat kemajuan ekonomi yang dialami oleh Cina, tidak hanya berimplikasi terhadap meningkatnya kebutuhan negara tersebut akan sumber daya alam yang dapat dipenuhi oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Namun selain faktor sumber daya alam, ASEAN menurut pandangan Cina juga memiliki potensi lain yang menjadi daya tarik untuk melakukan kerjasama. Daya tarik itu adalah potensi untuk memasarkan barang-barang produksi manufaktur dari Cina ke wilayah Asia Tenggara. Jika faktor sumber daya alam menjadi keuntungan bagi ASEAN untuk melakukan kerjasama dengan Cina, maka perluasan akses pasar berlaku sebaliknya. Meskipun ASEAN hanya berpenduduk setengah dari penduduk Cina yang berjumlah 1,3 milyar jiwa, namun potensi 500 juta penduduk yang dimiliki ASEAN sangat menarik bagi Cina untuk membentuk kerjasama ini. Menurut Haacke (dalam Pambudi & Chandra 2006, h. 32), Cina memilih ASEAN sebagai mitra integrasi kawasan, karena selain menyediakan pasar yang
64
besar bagi ekspor Cina, kawasan Asia Tenggara juga kaya akan sumber daya alam yang diharapkan dapat memberikan kontribusi besar terhadap kebutuhan industri Cina yang kian berkembang. Pambudi dan Chandra (2006, h. 40) menambahkan bahwa potensi pasar yang besar di Asia Tenggara menjadi faktor daya tarik yang mendorong Cina untuk merapatkan hubungannya dengan negara-negara di kawasan ini. Kemajuan ekonomi yang pesat di Cina membutuhkan pasar sekaligus sumberdaya alam, dan negara-negara Asia Tenggara memiliki kemampuan untuk mendukung kebutuhan industri Cina tersebut. Menurut Wibowo (2007, h. 31) pertumbuhan GDP Cina sejak membuka diri dan mengadakan reformasi pada tahun 1978 terus mengalami peningkatan. Ada dua puncak dari pertumbuhan ekonomi tersebut, yang pertama pada tahun 1984, yaitu pada fase pertama reformasi ekonomi yang mencapai 15 persen. Tetapi kemudian terus menurun dan paling rendah adalah 4 persen, ketika Cina mengalami boikot negara-negara barat sehubungan dengan pembantaian demonstran mahasiswa di lapangan Tiananmen. Tapi pada tahun 1990 angka itu meningkat lagi, hingga mencapai puncaknya pada tahun 1992 (puncak kedua) ketika kembali mencapai angka 14 persen. Inayati (dalam Sungkar ed. 2005, h. 54) menambahkan bahwa perekonomian Cina telah tumbuh dengan cepat sejak tahun 90-an. GDP Cina tumbuh rata-rata 10,1 persen selama kurun waktu tersebut dan merupakan suatu pertumbuhan terbesar di dunia. Total perdagangan Cina terhadap ekonomi dunia juga meningkat dari 1 persen pada 1980 menjadi 1,7 persen pada tahun 1990 dan mencapai 4,1 persen di tahun 2000. Yusuf dan Nabeshima (2010, h. 16) menambahkan bahwa menurut data Bank Dunia persentase ekspor Cina ke
65
seluruh dunia juga terus meningkat hingga 6,4 persen pada 2005 dan 7,7 persen pada 2007 dari total keselurahan ekspor komoditi manufaktur yang terjadi di dunia. Hal ini mengindikasikan meningkatnya kemampuan Cina secara drastis dalam mengekspor komoditinya ke seluruh dunia. Menurut Wibowo (2007, h. 30), dilihat dari struktur ekspornya, Cina bukan lagi pengekspor produk-produk hasil pertanian seperti negara-negara berkembang pada umumnya. Pada awal tahun1980-an, ekspor barang-barang manufaktur Cina masih di bawah ekspor hasil pertanian. Tetapi memasuki tahun 1990-an, perbandingannya menjadi terbalik. Pada tahun 2000 misalnya, struktur ekspor Cina hanya 10 persen terdiri dari hasil pertanian, selebihnya adalah barang-barang manufaktur berupa ekspor barang-barang elektronik dan mesin. Oleh karena itu, dengan pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu pesat dan perkembangan ekspornya ke seluruh dunia yang juga meningkat, sehingga hal ini memberikan konsekuensi bagi Cina untuk mencari tempat dalam perluasan akses pasarnya yang didominasi oleh komoditi manufaktur. Maka ASEAN menjadi tempat yang paling tepat untuk perluasan akses pasar tersebut, selain karena akan menimbulkan komplementaritas di antara keduanya. Dalam hal ini ASEAN dapat memasarkan bahan-bahan mentahnya ke Cina, sedangkan Cina dapat memasarkan produk manufakturnya ke ASEAN. Oleh karena itu, hal ini menjadi salah satu pendorong bagi Cina untuk membentuk ACFTA dengan ASEAN. Setelah membahas tentang motivasi internal yang membuat Cina terus mendekatkan diri kepada ASEAN dalam mewujudkan ACFTA, maka pada bagian selanjutnya akan dijelaskan tentang faktor eksternal atau dinamika internasional yang membuat Cina lebih tertarik lagi kepada ASEAN dalam kerjasamanya di bidang ekonomi.
66
C. Kondisi Eksternal Terbentuknya ACFTA C.1 Perkembangan Regionalisme Pasca Perang Dingin Berakhirnya Perang Dingin pada 1991 dengan ditandai oleh bubarnya Uni Soviet,
merupakan
awal
dari
berubahnya
konstelasi
dalam
hubungan
internasional. Perubahan ini salah satunya ditandai dengan munculnya fenomena regionalisme di dunia ini. Regionalisme yang dicirikan dengan kedekatan geografis, memungkinkan sejumlah negara untuk membentuk sebuah institusi yang menaunginya agar dapat mengakomodir setiap keinginan yang beraneka ragam dari angoota-anggotanya. Hal ini pada dasarnya sangat menguntungkan bagi negara yang tergabung dalam suatu kelompok tersebut, namun bagi negara di luar kelompok tersebut justru terjadi sebaliknya. Karena terjadinya diskriminasi terhadap negara di luar anggota suatu kelompok regional, terutama dari segi ekonomi. Hal inilah yang juga dikhawatirkan oleh Cina, karena diskriminasi yang terjadi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Cina. Diskriminasi yang dimaksud adalah munculnya Free Trade Area (FTA) di suatu kawasan. Dalam konsep FTA, seperti yang diungkapkan Balassa (dalam Elisabeth ed. 2009, h.17; Leong & Ku eds. 2005, h. 21) negara anggota FTA mengurangi dan bahkan sampai menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan dalam bentuk tarif dan non-tarif di antara sesama anggota. Namun, negara anggota bebas untuk mempertahankan kebijakan proteksinya ataupun pengenaan tarif yang beragam terhadap negara luar yang bukan anggota FTA ini. Ini berarti FTA akan sangat menguntungkan bagi negara anggota, namun merugikan bagi negara di luar anggotanya, karena pengurangan tarif hanya diberikan kepada negara yang
67
tergabung dalam kelompok ini. FTA yang terbentuk misalnya wilayah Amerika Utara dengan NAFTA, Asia Tenggara dengan AFTA, Amerika Selatan dengan Mercosur ataupun bentuk regionalisme yang lebih tinggi lagi, seperti yang terjadi di kawasan Eropa.11 Perkembangan Internasional ini membuat Cina tertarik untuk lebih mendekatkan diri ke kawasan Asia Tenggara. Hal ini dikarenakan hampir tidak adanya peluang untuk membentuk suatu institusi formal di kawasan Asia Timur, terkait persaingan antara Cina dan Jepang. Selain karena kedekatan geografis, Asia Tenggara juga dipandang banyak memiliki daya tarik bagi Cina, terutama terkait dengan ketersediaan bahan baku untuk proses industrinya. Selain itu dengan semakin membaiknya hubungan diplomatik Cina dengan ASEAN, yang sudah menjadikan Cina sebagai mitra dialog penuhnya, hal ini menambah lagi kemungkinan bersatunya Cina dan ASEAN dengan membentuk sebuah FTA. Sungkar (dalam Inayati ed. 2006, h. 49) menyatakan, ASEAN dan Cina sama-sama menghadapi tekanan dari semakin luas dan dalamnya integrasi ekonomi di kawasan Eropa dan Amerika. Dari waktu ke waktu, anggota Uni Eropa semakin bertambah dan diperkirakan integrasi ekonominya akan semakin kuat. Demikian pula dengan perkembangan di benua Amerika, dengan adanya NAFTA di Amerika Utara dan Mercosur di Amerika Selatan. Bila dua kawasan ini yaitu Eropa dan Amerika berhasil memperdalam dan memperluas integrasi ekonominya, maka akan terjadi diskriminasi terhadap negara dan kawasan yang
11
Kawasan Eropa ini telah membentuk Uni Eropa yang telah sampai kepada tahap Economic and Political Union. Hal ini berarti fasilitas yang bisa dinikmati oleh anggota integrasi ekonomi ini adalah semua kemudahan yang diperoleh dalam bentuk level integrasi sebelumnya (Free Trade Area,Custom Union dan Common Market), ditambah dengan penyatuan kebijakan politik dan ekonomi, seperti penggunaan mata uang tunggal dan penyatuan proses imigrasi. Tahap ini merupakan tahap tertinggi dari integrasi ekonomi.
68
tidak termasuk di dalamnya. Selain itu, investasi asing akan mengalir ke kedua kawasan tersebut untuk mengambil keuntungan dari tarif khusus dan skala ekonomi bagi produksi dengan pasar yang besar dan terintegrasi. Gambaran ini membawa tekanan pada Cina, jika Asia Tenggara dan Asia Timur secara ekonomi terpisah, maka kedua kawasan ini akan mengalami kesulitan
menghadapi
Eropa
dan
Amerika
yang
semakin
terintegrasi
perekonomiannya. Oleh karena itu, membangun blok ekonomi regional di kawasan Asia adalah pilihan yang harus ditempuh untuk mengimbangi dua kekuatan tadi. Di satu sisi FTA memudahkan negara yang terlibat untuk meningkatkan kerjasama melalui perdagangan barang, jasa ataupun investasi, namun di sisi lain FTA justru menyulitkan negara di luar anggotanya. Oleh karena itu, pembentukan ASEAN-Cina Free Trade Area menjadi pilihan terbaik bagi Cina untuk ikut terlibat dalam fenomena regionalisme ini, agar dapat bekerjasama dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk mengimbangi kelompokkelompok regional lainnya di dunia ini. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai dorongan eksternal lainnya yang menyebabkan Cina lebih tertarik lagi kepada ASEAN dalam melakukan kerjasama di bidang ekonomi.
C.2 Masuknya Cina menjadi anggota WTO Sejak Cina menjalankan “kebijakan pintu terbuka” (open door policy) pada tahun 1978, Cina berusaha untuk mengintegrasikan perekonomiannya dengan
sistem
perekonomian
internasional
serta
berusaha
untuk
turut
berpartisipasi dalam seluruh aspek globalisasi dan kerjasama internasional dengan mengakomodasi setiap aturan yang berlaku (Inayati ed. 2006, h. 30). Menurut
69
Inayati, bergabungnya Cina dalam WTO pada tahun 2001 merupakan pertanda akan keinginannya untuk mengintegrasikan sistem perekonomian Cina dengan sistem global. Cina dinyatakan secara resmi menjadi anggota WTO pada 17 September 2001 di Geneva, Swiss (Wibowo 2007, h. 62). Wibowo (2007, h. 63) menambahkan bahwa Cina sebenarnya adalah salah satu negara pendiri dari organisasi perdagangan internasional yang sebelumnya masih bernama GATT pada 1948. Tetapi pada tahun 1950, Cina yang waktu itu diwakili oleh Republik Cina (sekarang Taiwan) memutuskan untuk keluar. Semangat untuk masuk ke dalam GATT mulai berkobar lagi pada tahun 1987, dan perundingan itu sudah berlangsung hingga mencapai tahap yang cukup matang. Pada Juni 1989, terjadi peristiwa Tiananmen yang menghentikan proses bergabungnya Cina ke WTO. Untuk kedua kalinya pada tahun 1992, Cina mengajukan permohonan kembali agar masuk menjadi anggota WTO, dan baru pada 2001 Cina secara resmi diterima ke dalam WTO (GATT menjadi WTO pada 1995). Keanggotaan Cina dalam WTO mengikat Cina untuk melakukan reformasi kelembagaan searah dengan aturan internasional dalam berbagai bidang, mulai dari akses pasar, penurunan bea masuk serta penghapusan hambatan non-tarif yang bertentangan dengan aturan main WTO. Wibowo (2007, h. 63) menambahkan bahwa keuntungan yang ingin didapat oleh Cina dengan masuk menjadi anggota WTO di antaranya yaitu sebagai sarana untuk mencapai industrialisasi yang cepat, yang ingin dicapai jelas meningkatnya pendapatan lewat ekspor yang tinggi serta modal dan investasi dari luar negeri, selain juga dengan masuknya teknologi maju. Dengan masuknya Cina
70
menjadi anggota WTO, diharapkan Cina akan mendapatkan perlakuan pengurangan tarif dalam Most Favoured Nation (MFN) yang diperlukan untuk memacu ekspor Cina. Dengan pengurangan tarif yang diterima Cina, maka komoditi ekspor dari Cina akan lebih leluasa memasuki wilayah pemasarannya dan ini akan memacu pertumbuhan ekspor Cina. Wibowo (2007, h. 64) juga menambahkan bahwa dengan mengintegrasikan dirinya ke dalam organisasi internasional seperti WTO, pemerintah Cina akan memperoleh prestise atau pengakuan internasional dan dengan demikian memperkuat legitimasinya baik di dalam negeri maupun di luar negeri, apalagi jika dilihat dalam kerangka persaingannya dengan Taiwan. Setelah bergabung dengan WTO, Cina secara aktif berpartisipasi dalam setiap negosiasi serta ikut berperan dalam pembentukan sistem perdagangan multilateral. Sebagai negara berkembang, tuntutan Cina akan mewakili tuntutan sesama negara berkembang lainnya. Sebagai negara anggota WTO, Cina akan melindungi kepentingannya sebagaimana negara-negara lainnya. Maka masuknya Cina ke dalam WTO juga dikaitkan dengan tujuan untuk mengubah rezim WTO “dari dalam” sesuai dengan kepentingannya (Wibowo 2007, h. 74). Seperti yang diungkapkan Wibowo (2007, h. 74), bahwa upaya Cina ini diperlihatkan dalam konferensi WTO pada tanggal 10 sampai 14 September 2003 di Cancun, Mexico. Pada kesempatan itu, Cina bergabung dengan negara-negara berkembang lainnya, termasuk India, Brazil, Indonesia, dan menjadi sponsor utama yang menuntut penghapusan subsidi pertanian oleh Amerika Serikat maupun Uni Eropa. Meskipun pada akhirnya tuntutan ini gagal dipenuhi, tetapi sikap Cina ini tentu saja sangat dihargai oleh negara-negara berkembang
71
(developing countries). Sebagai anggota baru, sikap Cina dianggap sangat berani. Karena sebelumnya lewat perundingan panjang dan melelahkan selama lebih dari sepuluh tahun, Cina akhirnya diterima menjadi anggota WTO, namun setelah berada di dalamnya Cina justru menjadi pihak kontra dalam setiap kebijakan yang diprakarsai negara-negara maju. Cina sendiri pada dasarnya membutuhkan WTO dalam hubungan dagang dengan AS dan Uni Eropa. Negara-negara maju sendiri terutama AS tentulah berharap bahwa Cina akan lebih condong kepada mereka daripada negara-negara sedang berkembang, tetapi di Cancun hal yang sebaliknyalah yang terjadi. Wibowo (2007, h. 75) menambahkan bahwa Cina sendiri sebenarnya belum secara penuh mengintegrasikan dirinya ke dalam peraturan yang telah disepakati dalam WTO. Dalam hal ini, AS yang paling lantang mengkritik Cina. Dalam majalah Far Eastern Economic Review Oktober 2003, di dalamnya memuat sebuah laporan yang dikeluarkan oleh US Chamber of Commerce menyebutkan bahwa Cina setelah dua tahun menjadi anggota WTO masih belum patuh terhadap aturan WTO. Ada lima hal pokok yang dicatat dalam laporan tersebut;1)Pembajakan hak kekayaan intelektual, 2)tidak adanya distribusi bebas barang-barang impor, 3)hambatan non-tarif, 4)tidak adanya transparasi dalam pembuatan peraturan, 5)tingginya syarat kapitalisasi bagi bank asing maupun perusahaan asuransi serta penyedia layanan telekomunikasi. Cina sebenarnya sadar akan kekurangannya ini, tetapi Cina tidak mau mengikuti keinginan AS atau negara manapun yang juga melanggar aturan WTO, terlebih jika melihat praktik pelanggaran WTO oleh negara-negara maju sendiri (terutama dalam bidang hambatan non-tarif dan subsidi pertanian).
72
Wibowo (2007, h. 76) menambahkan, dengan kekuatan ekonominya yang semakin besar, bukan tidak mungkin Cina akan mampu mempengaruhi pembuatan pasal-pasal dalam peraturan WTO. Karena semua keputusan dalam WTO harus diambil dengan suara bulat (konsensus), Cina dianggap satu-satunya negara berkembang yang mempunyai kekuatan berarti untuk menentang peraturan yang dianggap tidak adil yang disponsori oleh negara-negara maju (AS, Uni Eropa, Kanada, Jepang). Jika hal ini terjadi, maka negara-negara berkembang patut mendukung apa yang dilakukan oleh Cina. Oleh karena itu, hal ini juga menjadi alasan peningkatan hubungan ekonomi antara Cina dengan ASEAN yang mayoritas anggotanya termasuk dalam kategori negara berkembang, di mana Cina dianggap memiliki kepentingan yang sejalan dengan ASEAN dalam kaitannya dengan penerapan kebijakan perdagangan internasional, sehingga hal ini makin memudahkan bersatunya Cina dengan ASEAN dalam mewujudkan ACFTA. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan tentang motivasi lain dari Cina untuk mendekatkan dirinya dengan ASEAN, karena kerjasama yang dilakukan oleh Cina ini bukan hanya terkait dengan kepentingan ekonomi, tetapi juga ada motivasi politik lain di balik pendekatannya kepada ASEAN.
C.3 Membendung Pengaruh Jepang di Kawasan Asia Tenggara Adanya konflik antara negara bertetangga tidaklah selalu menjadi penghambat terjalinnya kerjasama yang erat, baik secara bilateral maupun regional. Dalam beberapa kasus, terjadinya peperangan atau konflik justru menjadi pendorong utama dibentuknya kerjasama regional, seperti dapat dilihat
73
dari lahirnya Uni Eropa. Perang Dunia II yang banyak menghilangkan nyawa dan kehancuran ekonomi negara-negara Eropa telah mendorong Jerman dan Perancis, dua negara yang tadinya bermusuhan, akhirnya dapat mempelopori kerjasama ekonomi setelah Perang Dunia II berakhir. Menurut Anwar (dalam Sungkar ed. 2005, h. 99), kerjasama ekonomi dimaksudkan untuk menciptakan saling ketergantungan yang semakin tinggi dan luas, sehingga akan sangat sulit bagi suatu negara untuk memerangi tetangganya tanpa mencederai dirinya sendiri. Hal inilah yang juga diharapkan oleh ASEAN terhadap hubungan yang terjadi antara Cina dan Jepang. Kedua Negara ini diharapkan akan mampu memacu pertumbuhan ekonomi di wilayah Asia Tenggara. Konflik di masa lalu juga tidak menghalangi hubungan yang semakin baik antara negara-negara di Asia Tenggara dengan Negara-negara lain di kawasan Asia Timur, khususnya Cina dan Jepang. Walaupun Jepang pernah menduduki Asia Tenggara selama Perang Dunia II, sikap negara-negara Asia Tenggara terhadap Jepang pada umumnya saat ini cukup positif, karena Jepang merupakan salah satu investor utama di kawasan Asia Tenggara dan telah menjadi mitra dialog penuh ASEAN. Demikian juga hubungan ASEAN dengan Cina yang terus berkembang pesat, seiring dengan perubahan orientasi politik luar negeri dan ekonomi Cina yang semakin terbuka dan bersahabat. Dari negara yang tadinya dipandang sebagai ancama utama terhadap keamanan ASEAN terkait dengan perkembangan komunisme di Asia Tenggara, Cina telah menjelma menjadi salah satu mitra yang paling bersahabat dengan ASEAN. Menurut Anwar (dalam Sungkar ed. 2005, h. 101), Jepang yang pernah menduduki Cina menjelang dan selama Perang Dunia II dengan brutal (1931-
74
1945) sangat berbeda dengan Jerman, yang mengakui kesalahannya di masa lalu secara terbuka sehingga ia dapat diterima dengan baik oleh negara-negara korban agresinya. Jepang dianggap belum sepenuhnya mau mengakui kesalahannya terhadap negara-negara yang menjadi korban kejahatan perangnya. Anwar (dalam Sungkar ed. 2005, h. 102) menambahkan, hal ini terlihat dari penulisan buku sejarah di Jepang yang cenderung membenarkan tindakan Jepang di Korea, Cina dan Asia Tenggara, serta kunjungan yang berulang kali dilakukan Perdana Menteri Jepang ke Kuil Yasukuni,12 tempat korban Perang Dunia II dimakamkan, termasuk para pemimpin militer yang telah dijatuhi hukuman sebagai penjahat perang. Menurut Anwar (dalam Sungkar ed. 2005, h. 102), negara-negara bekas jajahan Jepang di Asia Tenggara pada umumnya tidak terlalu perduli dengan masalah tersebut. Lain halnya dengan Cina, yang melihat perbuatan Jepang tersebut sebagai bukti bahwa Jepang belum berubah dan tidak peka terhadap perasaan negara-negara tetangga yang pernah menjadi korban kekejamannya. Walaupun Jepang merupakan investor utama yang turut mendorong pertumbuhan ekonomi Cina, namun Cina tetap menaruh kecurigaan terhadap Jepang. Persaingan kedua negara ini tidak hanya tercermin dari sikap Cina terhadap Jepang, tetapi juga persepsi Jepang terhadap Cina. Menurut Sukarnaprawira (2009, h. 213), persoalan yang dikhawatirkan oleh negara lain, 12
Kunjungan para pemimpin Jepang ke Kuil Yasukuni merupakan kebijakan yang sangat populer di Jepang, terutama bagi kalangan nasionalis Jepang untuk kepentingan politik domestik. Walaupun hal tersebut dapat menimbulkan ketegangan bilateral dengan negara-negara tetangganya. Karena para penjahat perang yang dimakamkan di Kuil Yasukuni tersebut tetap dianggap sebagai pahlawan bagi sebagaian besar masyarakat Jepang. Bahkan akibat dari kunjuangan para pemimpin Jepang ke kuil Yasukuni ini, pernah mengakibatkan pembekuan kontak antar pejabat tinggi Cina dengan Jepang dari 2001-2006 selama pemerintahan Junichiro Koizumi. Kunjungan Koizumi yang kontroversial secara berulang-ulang ke kuil Yasukuni serta perbedaan persepsi tentang hubungan keduanya menjadi salah satu penyebab dan ganjalan dalam hubungan Cina dan Jepang pada masa itu.
75
termasuk Jepang dan Amerika Serikat adalah meningkatnya anggaran pertahanan Cina. Walaupun menurut Cina, pembangunan dan modernisasi militer hanya digunakan untuk pertahanan diri. Selain itu, peningkatan anggaran pertahanan Cina ini masih dianggap kecil jika dibandingkan dengan luas teritorial Cina serta situasi geopolitik di sekitarnya. Konsekuensi logis dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara adalah meningkatnya juga anggaran pertahanannya. Bakry juga menambahkan (ed. 1996, h. 113), pengembangan kekuatan militer sebenarnya merupakan fenomena yang biasa dari pembangunan suatu bangsa. Tetapi, peningkatan kekuatan militer yang dilakukan oleh Cina dianggap sebagai potensi ancaman yang nyata bagi kawasan Asia Timur. Pernyataan akan potensi ancaman ini diperkuat dengan data yang ada, yaitu Cina mengalami peningkatan rata-rata anggaran militernya sebesar 12,9 persen sejak 1989 sampai 2010. Pada tahun 2010 Cina menganggarkan sekitar 77,9 milyar US$, naik 7,5 persen dari tahun sebelumnya 2009 yang hanya 70,27 milyar US$ (Global Security 2011). Bakry (ed. 1996, h. 115) menyatakan bahwa bagi Cina pengembangan kekuatan militer ini sebenarnya ditujukan untuk pertahanan wilayah saja dan hal itupun sebenarnya masih dianggap belum memadai. Karena dengan sekitar 20 ribu kilometer perbatasan darat dan 14 ribu kilometer garis pantai, Cina membutuhkan pengamanan dari kekuatan militer yang besar. Cina menganggap sebenarnya kekuatan yang ada saat ini belum sepadan untuk melindungi batas-batas kedaulatannya. Kalau peningkatan persenjataan dan anggaran militer dijadikan indikator ancaman, seharusnya ada negara lain di luar Cina yang harus lebih diwaspadai.
76
Perkembangan ekonomi Cina yang diterjemahkan dalam meningkatnya anggaran pertahanannya, sebenarnya menurut Tjeng (dalam Bakry ed. 1996, h. 119) juga bertujuan untuk mengimbangai kekuatan pasukan beladiri Jepang, sehingga Jepang tidak menjadi kekuatan yang dominan di kawasan Asia Timur. Pengalaman pahit di masa lalu sudah membulatkan tekad Cina untuk tidak menerima kepemimpinan Jepang di Asia Timur. Akan tetapi, yang dikhawatirkan oleh Cina adalah negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang dirasakan sudah mulai menggantungkan diri kepada ekonomi Jepang, yang mungkin tidak dapat menolak kepemimpinan Jepang. Oleh karena itu, Cina akan menentang Asia Tenggara dirangkul oleh Jepang, karena ini dirasakan sebagai ancaman terhadap Cina. Tjeng (dalam Bakry ed. 1996, h. 133) juga menambahkan bahwa, sebenarnya Cina sadar akan kontribusi Jepang dalam pembangunan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Inilah sebabnya mengapa Cina mendekatkan diri kepada Asia Tenggara. Cina tidak menginginkan Jepang memonopoli Asia Tenggara secara ekonomi. Dengan kata lain, tujuan Cina terhadap Asia Tenggara adalah membantu negara-negara ini mempertahankan kemerdekaan mereka terhadap dominasi Jepang. Usaha Cina untuk membendung pengaruh ekonomi Jepang di kawasan Asia Tenggara ini, tercermin dalam pembentukan ACFTA. Cina lebih agresif dalam mengajukan proposal kerjasama ini kepada ASEAN pada tahun 2002, hasilnya adalah dibentuknya ACFTA yang merupakan Free Trade Area yang pertama kali dibentuk di kawasan Asia. Atas keberhasilan Cina ini, maka Jepang juga mengajukan hal yang sama satu tahun sesudahnya, yaitu pada 2003.
77
Dari kesepakatan-kesepakatan ini sangatlah terlihat persaingan yang terjadi antara Cina dan Jepang di kawasan Asia Tenggara. Sebagai negara maju dari segi ekonomi (developed country), Jepang berambisi untuk meninngkatkan perannya di lingkungan regional dan global. Menurut Anwar (dalam Sungkar ed. 2005, h. 103), Jepang sangat menginginkan kembali menjadi negara normal yang memiliki kekuatan militer yang dapat secara terbuka dipakai untuk pertahanan dan misi keamanan luar negeri,13 serta berambisi untuk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa (PBB). Hal ini sangatlah ditentang oleh Cina, hal ini dikarenakan kekhawatiran bahwa Jepang akan kembali menjadi negara militer yang agresif dan ekspansionis. Cina tampaknya tidak menginginkan melihat Jepang muncul sebagai kekuatan ekonomi dan militer regional maupun global. Selama Jepang dapat dicitrakan sebagai negara yang belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari masa lalunya sebagai agresor, ambisi Jepang untuk menjadi kekuatan regional dan global akan mendapat tantangan. Walaupun interaksi yang terjadi antara Cina dan Jepang terjalin cukup intensif, terutama di bidang ekonomi dan perdagangan, namun sampai saat ini belum ada indikasi bahwa kedua negara tersebut akan berhasil membentuk suatu kerjasama sub-regional sendiri yang dapat meningkatkan rasa saling percaya dan meredam konflik, sebagaimana telah berhasil dilakukan ASEAN di kawasan Asia Tenggara. Mempertahankan hubungan baik antara kedua negara bukan hanya 13
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, seperti halnya Jerman yang mendapatkan sangsi ekonomi dan militer, Jepang yang juga menjadi negara agresor dalam perang Dunia II tersebut juga mendapatkan sangsi berupa tidak diperbolehkannya memiliki tentara pertahanan militer, hal ini ditujukan untuk meredam kemungkinan ambisi ekspansionis yang akan terjadi kembali (Perjanjian San Francisco). Namun dengan diberlakukannya sangsi ini, Jepang tetap mendapatkan perlindungan dan jaminan pertahanan militer dari Amerika Serikat, sehingga memang hubungan kedua negara ini sangatlah dekat baik dari segi ekonomi maupun pertahanan keamanan.
78
merupakan kepentingan Cina dan Jepang saja, tetapi juga kepentingan negara lain di kawasan ini mengingat Cina dan Jepang merupakan negara penting dan besar di kawasan Asia. Oleh karena itu, peran ASEAN bagi kestabilan hubungan antara Cina dan Jepang sangatlah dibutuhkan, mengingat kedua negara sama-sama memiliki kepentingan di kawasan ini. Setelah menjelaskan seluruh bagian dalam bab ini, maka dapat disimpulkan bahwa posisi ASEAN sangat penting dalam perkembangan perekonomian Cina. Motivasi Cina untuk membentuk FTA dengan ASEAN bersumber
pada
faktor
internal
maupun
dinamika
internasional
yang
menyertainya. Semua penyebab itu menempatkan ASEAN sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pertumbuhan ekonomi Cina, sehingga Cina terus berusaha mendekatkan diri kepada ASEAN dalam menjaga kepentingan ekonominya. Hingga pada akhirnya menyepakati pembentukan ACFTA. Pembentukan ACFTA ini juga mencerminkan interdependensi yang terjadi di antara keduanya, karena telah terbukti keduanya sangat saling membutuhkan terutama dalam meningkatkan perekonomian. Pada bab selanjutnya akan membahas dampak dari pembentukan ACFTA terhadap perekonomian kedua belah pihak.
79
BAB IV ANALISA HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA
A. Permasalahan Penerapan ACFTA Penerapan suatu kebijakan biasanya diikuti tanggapan pro dan kontra, tidak terkecuali dalam pembentukan ACFTA. Beberapa penelitian menyatakan adanya dampak positif dari terbentuknya ACFTA terhadap hubungan ekonomi kedua pihak, termasuk hasil yang diutarakan oleh ASEAN-Cina Expert Group, yang dijadikan rujukan terhadap terbentuknya ACFTA ini. Namun ada juga tanggapan yang negatif dengan mengkritisi argumen-argumen normatif dari penelitian sebelumnya. Pada bagian ini penulis akan mencoba memaparkan tanggapan-tanggapan yang berbeda dari kedua pihak tersebut. Salah satu masalah fundamental dari terbentuknya ACFTA adalah kurang terwakilinya kelompok-kelompok masyarakat, misalnya kelompok pengusaha swasta, dalam proses pembuatan kebijakan perdagangan bebas ini. Kurang transparan dan terbukanya proses pengambilan kebijakan, mengakibatkan penerapan skema ini tidak cukup dikenal bagi kalangan masyarakat ASEAN. Sehingga begitu penerapan skema ini dijalankan secara penuh pada 2010 bagi ASEAN-6, maka banyak menuai protes dari kalangan pengusaha, seperti di Indonesia dan Thailand (Pambudi & Chandra 2006, h. 44). Sebenarnya ASEAN telah membagi penerapan skema ACFTA ini dalam beberapa tahap, termasuk Early Harvest Program yang sudah berlangsung sejak Januari 2004. Namun karena sosialisasi yang kurang, maka banyak kalangan yang menduga skema ini langsung diterapkan begitu saja menjelang 2010 tanpa adanya persiapan yang
80
cukup. Oleh karena itu, menurut Sungkar (dalam Inayati 2007, h. 141) ASEAN yang selama ini hanya melibatkan aktor negara dalam penerapan berbagai programnya, harus mampu menggeser orientasinya sehingga aktor non-negara juga terlibat dalam proses pembuatan keputusan, khususnya hal-hal yang menyangkut kebijakan ekonomi. Karena akan sulit bagi ASEAN, jika pelaku ekonomi yang justru berjuang secara langsung dalam penerapan skema ini tidak mengenal program-program ekonomi ASEAN. Selain itu, masalah yang ditimbulkan dari penerapan ACFTA ini tidak hanya sekedar dari proses penerapan kebijakan yang kurang transparan, tetapi juga dampak dari segi ekonomi jangka pendek yang langsung dirasakan bagi pelaku usaha di kawasan Asia Tenggara. Sejauh ini ASEAN dan Cina lebih sering menekankan dampak jangka panjang dari penerapan ACFTA, namun perlu juga diperhitungkan dampak ekonomi jangka pendek dari penerapan skema ini. Salah satu dampak jangka pendek, menurut Wang (dalam Leong & Ku eds. 2005, h. 35) bahwa Cina menjadi pesaing bagi ASEAN dan berpotensi membuat produk-produk industri tekstil, mainan anak-anak, kendaraan bermotor, dan barang-barang elektronik di Asia Tenggara mengalami hambatan. Cina sebenarnya telah berusaha meredam tanggapan negatif ini, melalui mekanisme Early Harvest Program. Dalam skema ini berlaku penurunan tarif secara sepihak dari pemerintah Cina terhadap komoditi ekspor dari ASEAN yang termasuk ke dalam skema ini, jadi komoditi ekspor dari negara-negara ASEAN mendapatkan pengurangan tarif terlebih dahulu selama beberapa tahun (2004-2006), namun tidak berlaku sebaliknya bagi komoditi ekspor Cina yang masuk ke ASEAN (Yu
81
dalam Leong & Ku eds. 2005, h. 46; Wibowo 2007, h. 41; Pambudi & Chandra 2006, h. 43). Melalui EHP tampak keseriusan Cina untuk meredam tanggapan negatif tersebut. Namun dengan pemotongan tarif yang dilakukan Cina ini, juga dapat dikritisi akan kebaikan yang tidak wajar ini. Karena terbukti, meskipun Cina sudah cukup baik dengan melakukan pemotongan tarif, tetapi sebenarnya komoditi ekspor Cina terutama di sektor manufaktur sudah melimpah di negaranegara ASEAN, tanpa perlu mendapatkan pengurangan tarif terlebih dahulu. Sebenarnya ASEAN sendiri sudah menyadari akan konsekuensi jangka pendek ini, karena setelah Cina resmi menjadi anggota WTO pada November 2001, maka hal ini menjadi pintu masuk bagi Cina untuk membanjiri pasar dunia dengan komoditi ekspornya. Melimpahnya komoditi ekspor Cina ini bukan hanya terjadi di Asia Tenggara namun juga di seluruh dunia. Menurut data dari Bank Dunia misalnya, pada tahun 1990 nilai ekspor Cina hanya sebesar 1,6 persen dari keseluruhan ekspor dunia, namun terus meningkat hingga 3,5 persen pada 2000, 6,4 persen pada 2005 dan 7,7 persen pada 2007 (Yusuf & Nabeshima 2010, h. 16). Data ini mengindikasikan meningkatnya kemampuan Cina untuk mengekspor komoditi manufakturnya ke seluruh dunia. Oleh karena itu, penerapan ACFTA ini menuai banyak kritikan di awal penerapannya. Namun seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dalam penulisan skripsi ini, bahwa yang menyebabkan terwujudnya ACFTA bukan hanya dari segi ekonomi, tetapi juga ada motivasi politik dalam mewujudkannya. Selain itu, sesuai pandangan neoliberal tentang perdagangan bebas (keuntungan absolut), yang sudah dijelaskan pada bagian kerangka pemikiran penulisan skripsi
82
ini, maka manfaat jangka panjang dari mekanisme ini diharapkan dapat terwujud yaitu makin terciptanya interdependensi baik ekonomi maupun politik di antara keduanya. Dampak jangka pendek dari penerapan skema ini yaitu melemahnya sektor manufaktur negara-negara ASEAN seperti pada komoditi tekstil. Sebagai timbal baliknya, ASEAN dapat mengambil keuntungan melalui ekspor komoditi bahan mentah, sebagai penunjang dari kelangsungan proses industri yang terjadi di Cina. Jadi sebagai produsen bahan baku dan energi, negara ASEAN akan diuntungkan, tetapi sebagai produsen barang-barang manufaktur, Cina akan lebih diuntungkan. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai indikator atau tolak ukur dari perdagangan luar negeri yang terjadi antara ASEAN dan Cina, selain juga aspek investasi yang menjadikan ACFTA memiliki orientasi jangka panjang.
B. Indikator Peningkatan Hubungan Ekonomi ASEAN-Cina B.1 Aspek Perdagangan Luar Negeri Peningkatan hubungan ekonomi yang terjadi antara ASEAN dan Cina yang berujung pada pembentukan ACFTA, mengindikasikan meningkatnya juga perdagangan luar negeri di antara keduanya. Meningkatnya perdagangan ini juga mengindikasikan adanya situasi saling ketergantungan di antara keduanya. Kedua pihak sama-sama membutuhkan rekannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri masing-masing yang tidak dapat dipenuhi melalui produksi nasionalnya. Namun, yang menjadi persoalan adalah apakah perdagangan yang terjadi di antara keduanya bersifat saling menguntungkan atau hanya lebih menguntungkan di satu
83
pihak saja. Oleh karena itu, bagian ini akan mencoba menggambarkan peningkatan perdagangan luar negeri yang terjadi di antara keduanya. Melalui mekanisme ACFTA selain bidang investasi dan jasa, maka sektor perdagangan barang juga menjadi cakupannya. Dengan adanya pengurangan hambatan tarif dan non-tarif yang terjadi dalam ACFTA, maka peningkatan jumlah perdagangan menjadi suatu hal yang sangat logis. Peningkatan jumlah perdagangan yang terjadi antara kedua pihak dapat dilihat pada tabel IV.1. Tabel IV.1 ASEAN Ekspor dan Impor menuju Cina: 2003-2009 (juta US$) 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Total
Ekspor
29.059
41.351
52.257
65.010
77.945
87.594
81.591
434.807
Impor
30.577
47.714
61.136
74.951
93.172
109.289
96.594
513.433
Total
59.636
89.065
113.393
139.961
171.117
196.883
178.185
948.240
Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat
Dari data pada tabel di atas dapat dilihat bahwa kecenderungan total perdagangan yang terjadi di antara keduanya memang mengalami peningkatan. Jika dibandingkan dengan dua tahun sebelum pelaksanaan mekanisme ini, yaitu 2001 dan 2002 yang total perdagangan di antara keduanya hanya sebesar 31.915 dan 42.759 (jutaUS$), maka pelaksanaan ACFTA mampu memberikan kemudahan untuk meningkatkan intensitas jumlah perdagangan yang terjadi. Hal ini membuktikan bahwa mekanisme perdagangan bebas dapat meningkatkan jumlah perdagangan di antara pihak yang menyepakatinya. Melalui mekanisme ini, Cina juga telah menjadi mitra dagang terbesar ketiga bagi ASEAN di tahun 2008 setelah Jepang dan Uni Eropa. Padahal di tahun 2007 Cina masih menduduki peringkat keempat di bawah Amerika Serikat. Ratarata pertumbuhan perdagangan yang terjadi antara ASEAN dan Cina sejak 2003 hingga 2009 yaitu 22,62 persen. Atau pertumbuhan perdagang terbesar yang
84
terjadi antara ASEAN dengan negara lain. Jepang sendiri dalam periode yang sama hanya mengalami peningkatan sebesar 7,40 persen (ASEAN Statistical Book 2010). Sedangkan bagi Cina, ASEAN merupakan mitra dagang terbesar ketiga di tahun 2010 setelah Uni Eropa dan Amerika Serikat dengan peningkatan perdagangan sebesar 66,4 persen dari tahun sebelumnya (Ministry of Commerce PRC). Hal ini mengindikasikan cukup pesatnya pertumbuhan perdagangan yang terjadi di antara keduanya. Namun dengan total Ekspor ASEAN menuju Cina yang lebih sedikit dibandingkan jumlah Impornya dari Cina, hal ini menunjukkan bahwa dari segi nilai ekonomi maka ASEAN lebih dirugikan. Meskipun dari segi total perdagangan ASEAN lebih dirugikan, namun pada beberapa sektor ASEAN dapat menarik keuntungan. Sektor-sektor tersebut seperti pada hasil-hasil pertanian (agricultural).14 Pada periode 2007 ASEAN mendapatkan keuntungan 2.587 (juta US$), 4.824 (juta US$) pada 2008, dan 5.817 (juta US$) pada 2009 (ASEAN Statistical Book 2010). Bagi ASEAN, meningkatnya keuntungan dari sektor pertanian mungkin suatu hal yang wajar, mengingat bahwa jumlah penduduk Cina yang sangat besar yaitu 1,3 milyar jiwa atau seperlima dari penduduk dunia. Cina tidak mungkin dapat memenuhi sendiri kebutuhannya pada sektor ini. Di sisi lain, Cina juga mendapatkan keuntungan dari kerjasamanya dengan ASEAN. Melalui skema ini, Cina dapat leluasa memasarkan produk manufakturnya, seperti komoditi elektronik. Sebagai contoh, pada 2007 Cina mendapatkan keuntungan sebesar 5.590 (juta US$), 8.298 (juta US$) pada 2008, dan 6.794 (jutaUS$) pada 2009 melalui sektor ini (ASEAN Statistical Book 14
Padi, pisang, nanas, minyak kelapa sawit, minyak kelapa, udang, lobster, tembakau, dan karet mentah.
85
2010). Jika jumlah penduduk menjadi hambatan bagi Cina untuk memenuhi konsumsi domestiknya, maka dalam hal komoditi olahan (manufaktur) Cina mampu meraih keuntungan. Karena dengan jumlah penduduk yang begitu banyak, serta upah buruh yang jauh lebih murah dari ASEAN, Cina mampu mentransformasikannya
menjadi
sebuah
pabrik
raksasa
yang
mampu
menghasilkan komoditi berlimpah. Dari data-data ini dapat dilihat bahwa perdagangan bebas mampu meningkatkan intensitas jumlah perdagangan yang terjadi. Namun, keuntungan yang diperoleh tidak sama jumlahnya bagi pihak yang menyepakatinya, tergantung tingkat kompetitif dari sektor-sektor yang bersaing. Oleh karena itu, mekanisme dalam ACFTA memungkinkan bagi setiap negara untuk merubah jangka waktu penerapan skema ini, ataupun membatasi sektor-sektor yang dianggap sensitif (lihat lampiran 2 artikel 2). Merubah jangka waktu
penerapan,
berarti
bisa
mempercepat
ataupun
memperlambat
pelaksanaannya. Seperti yang terjadi pada Thailand, yang mempercepat pelaksanaan mekanisme ACFTA ini dengan Cina sejak tahun 2003, padahal sebenarnya melalui mekanisme EHP baru dimulai pada 2004 (Yu dalam Leong & Ku eds. 2005, h. 47). Atau ASEAN-CMLV yang justru menundanya hingga 2015 karena belum siap dalam menghadapi perdagangan bebas ini. Oleh karena itu, masing-masing negara harus mampu meningkatkan kualitasnya agar mampu bersaing dalam perdagangan bebas ini.
B.2 Aspek Investasi Investasi juga menjadi bagian dalam perjanjian ini. Melalui investasi yang masuk, maka setiap negara mampu mengatasi minimya modal untuk
86
meningkatkan perekonomiannya. Investasi ini dapat dilakukan di berbagai sektor, misalnya infrastruktur, finansial, transportasi dan lain sebagainya. Menurut Ethier (dalam Pambudi & Chandra 2006, h. 22), negara-negara dengan ekonomi yang lebih besar khususnya, biasanya ingin memperluas pasar mereka secara lebih cepat melalui pelaksanaan FTA. Sebaliknya, negara-negara dengan ekonomi yang relatif lebih rendah, lebih memilih pelaksaan FTA dengan negara lain yang lebih besar guna menarik investasi. Menurut Bank Dunia yang membagi tingkatan sebuah negara berdasarkan pendapatan perkapitanya, Cina berada pada posisi negara dengan kategori pendapatan menegah atas (upper middle income), bersama dengan Thailand dan Malaysia. Pada posisi di atasnya, yaitu pendapatan tinggi Singapura dan Brunei Darussalam (high income). Sementara Indonesia, Filipina, Laos dan Vietnam pada posisi menengah bawah (lower middle income), Kamboja dan Myanmar pada posisi pendapatan rendah (low income) (World Bank 2010).15 Melalui pembagian ini, memang tidak mencerminkan kemampuan suatu negara untuk berinvestasi maupun menyerap investasi dari negara lain, namun dengan posisi Cina yang paling tidak lebih di atas sebagian besar negara ASEAN lainnya, maka skema ACFTA diharapkan mampu menjadi daya tarik bagi investasi Cina di kawasan Asia Tenggara. Salah satu penyebab dari pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu cepat, selain karena ekspansi pasar yang luar biasa adalah kemampuan Cina untuk menyerap investasi asing. Kondisi politik domestik yang relatif stabil, ditambah 15
Data berdasarkan dari nilai semua produk barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam satu tahun, bersama dengan penghasilan bersih yang diterima dari negara lain Gross National Income (GNI) kemudian dihitung melalui World Bank Atlas Method. Pendapatan rendah $1.005 atau kurang; menegah bawah, $1.006 - $3.975; menegah atas, $3.976 - $12.275; dan pendapatan tinggi, $12.276 atau lebih. Hasil berdasarkan GNI 2010.
87
terus berkembangnya kebijakan ekonomi Cina ke arah keterbukaan, membuat banyak negara menanamkan modalnya ke negara ini. Wong (dalam Wibowo 2007, h. 32) menyatakan pada 1988 misalnya jumlah modal asing yang ditanamkan di Cina hanya 2 milyar US$. Namun, tiga belas tahun kemudian, pada 2001 angka itu telah meningkat lebih dari 45 milyar US$. Bahkan di 2002 Cina melewati Amerika Serikat sebagai negara penerima FDI terbesar di dunia dengan nilai sebesar 53 milyar US$. Dari nilai FDI tersebut kebanyakan berasal dari negara-negara Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan) yang secara keseluruhan menyumbang 60 persen dari seluruh FDI. FDI yang bersal dari ASEAN hanya 6 persen, baru sisanya dari Amerika Serikat dan Eropa Barat. Lebih jauh Pambudi dan Chandra (2006, h. 27) menyatakan bahwa pada tahun 2005 misalnya, penanaman modal asing dari negara-negara ASEAN ke Cina mencapai 38 milyar US$, namun 80 persen dari penanaman tersebut hanya didapat dari Singapura. Hal ini makin menunjukkan bahwa investasi akan mengalir dari negara yang memiliki skala ekonomi lebih besar menuju negara yang lebih kecil dari nilai ekonomi. Bagi investasi Cina menuju ASEAN sendiri, meskipun menurut Danyang (dalam Hock, Jun, & Wah eds. 2005, h. 216) lebih kecil nilainya dari investasi ASEAN menuju Cina yang didominasi Singapura. Namun, investasi Cina ini juga mengalami peningkatan, pada 2001 misalnya sebesar 1,1 milyar US$ atau sekitar 7,7 persen dari total investasi Cina. Lebih jauh Chirathivat (dalam Hock, Jun, & Wah eds. 2005, h. 235) menyatakan bahwa investasi Cina ke ASEAN sejak 1990 hingga 2001 mencapai 660 juta US$, dengan tujuan utama ke negara-negara seperti Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand dan Vietnam. Jadi meskipun nilai
88
investasi Cina lebih kecil jika dibandingkan nilai investasi ASEAN ke Cina, hal ini bukan berarti dapat merugikan salah satu pihak, seperti yang terjadi pada persoalan perdagangan. Jadi bukan berarti investasi yang mengalir ke luar kawasan dari salah satu negara dapat merugikan kawasan tersebut, karena negara yang berinvestasi maupun penerimanya sama-sama diuntungkan. Investasi dari ASEAN menuju Cina, hanya didominasi oleh Singapura sekitar 80 persen dari total keseluruhannya. Namun, FDI Cina menuju ASEAN kecenderungannya juga terus meningkat, yaitu sebesar 2,3 persen sejak 2002 hingga 2009 dengan nilai sebesar 7.807 juta US$. Atau menempati peringkat ke-5 setelah Uni eropa, Jepang, Amerika Serikat dan Korea Selatan (ASEAN Statistical Book 2010). Selain itu, kemampuan Cina untuk menarik penanaman modal asing, dianggap oleh ASEAN tidak lagi sebagai ancaman bagi pertumbuhan ekonomi ASEAN, namun justru sebagai peluang. Karena menyatunya hubungan ekonomi ASEAN dan Cina dalam ACFTA, maka ASEAN tidak hanya mengharapkan investasi yang berasal dari Cina tetapi juga dengan negara-negara lain yang memang sudah lebih dulu menanamkan modalnya di Cina. Dengan terintegrasinya ASEAN dan Cina, hal ini akan menjadi daya tarik sendiri bagi investasi asing yang mengalir ke kawasan ini. Dalam hal ini, daya tarik ASEAN sebagai suatu kawasan akan semakin meningkat karena kehadiran Cina di wilayah ini, sehingga mekanisme ini diharapkan akan terus menguntungkan bagi kedua belah pihak.
89
C. Dampak Terbentuknya ACFTA Terhadap Hubungan Ekonomi ASEANCina Pada bagian sebelumnya penulisan skripsi ini, penulis sudah menjelaskan tentang motivasi ekonomi dan politik yang dipicu oleh perkembangan internal dan ekstenal dari kedua belah pihak baik ASEAN maupun Cina dalam membentuk ACFTA. Oleh karena itu, menjadi relevan jika penulis melanjutkannya untuk mencoba menganalisa dampak ekonomi sekaligus politik dari hubungan yang terjadi diantara keduanya dalam konteks pembentukan ACFTA pada bagian ini. Kesepakatan pembentukan ACFTA didasari oleh keinginan kedua belah pihak baik ASEAN maupun Cina untuk memajukan pertumbuhan ekonominya masing-masing. Oleh karena itu, dibentuklah suatu kelompok ahli untuk mencoba memprediksi akan potensi ekonomi yang dapat terwujud dari terbentuknya kesepakatan ini yang juga sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Atas dasar rekomendasi
itu
juga,
maka
ACFTA
dapat
disepakati.
Namun
pada
perkembangannya, ACFTA tidak hanya berdampak pada perekonomian masingmasing pihak yang terlibat, tetapi lebih dari itu juga mempengaruhi kondisi regional di kawasan ini secara politik. Dengan dibentuknya kawasan perdagangan bebas, dampak dari segi ekonomi sangat dirasakan oleh kedua belah pihak. Kesepakatan ini dapat meningkatkan perdagangan ataupun investasi dari kedua belah pihak, seperti data yang ditunjukkan pada bagian sebelumnya. Meskipun secara nilai ekonomi Cina lebih diuntungkan, tetapi hal ini tidak menjadi penghalang bagi keberlangsungan hubungan ekonomi di antara keduanya. Cina lebih diuntungkan karena ekspor komoditi dari Cina telah mengalami nilai tambah (value added) dari proses
90
pengolahannya, jika dibandingkan ASEAN yang hanya mengekspor bahan-bahan mentah. Namun, sebenarnya ASEAN memiliki dampak ekonomi jangka panjang dari terbentuknya ACFTA, yang tidak dapat dihitung melalui penghitungan matematis semata. Seperti dengan pembentukan ACFTA ini maka secara tidak langsung hal ini akan kembali menaikkan daya tarik ASEAN sebagai suatu institusi formal yang menyatukan sepuluh negara-negara di Asia Tenggara. Meningkatnya daya tarik ASEAN ini dapat terlihat dari munculnya tawaran membentuk FTA lainnya dengan beberapa negara lain, seperti India, Jepang, Korea Selatan, Australia, ataupun Selandia Baru. Hal ini mengindikasikan bahwa pembentukan ACFTA, dapat memicu pembentukan FTA lainnya di kawasan ini, sehingga ASEAN kembali memiliki daya tarik dan banyak alternatif dalam mengembangkan perekonomiannya. ASEAN sendiri bukan berarti meninggalkan Jepang sebagai mitra utamanya, namun hubungan yang terjadi dengan Cina dianggap sebagai suatu alternatif. Jika pada masa sebelumnya Jepang dijadikan pendorong ataupun lokomotif dalam pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara, maka saat ini pertumbuhan ekonomi Cina diharapkan dapat menjadi lokomotif lain dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi tersebut. Selain itu, ASEAN menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu pesat bukan menjadi suatu yang jika menguntungkan negara lain, maka merugikan negara lainnya (zero sum). ASEAN menganggap dapat menjadi rantai produksi dalam perekonomian Cina. Oleh karena itu, sesuai pandangan neoliberal tentang perdagangan bebas, maka yang menjadi fokusnya bukan negara mana yang lebih diuntungkan, tetapi selama
91
FTA dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak tidak perduli dengan jumlahnya, maka ACFTA ini dapat terwujud. Jika dikiritisi, mungkin hal ini hanya justifikasi dari kapitalisme dalam melakukan eksploitasi terhadap negara lain. Namun penulis melihat ini dari perspektif yang berbeda (neoliberal), yang sangat optimis akan kerjasama sehingga ACFTA sangat relevan bagi kedua pihak untuk diwujudkan. Pertimbangan politik dari ASEAN untuk membentuk ACFTA, yaitu ASEAN menganggap bahwa interdependensi yang terjadi antara ASEAN dan Cina dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat Asia Tenggara dalam menjaga kestabilan wilayahnya. ACFTA dijadikan mekanisme perlindungan ekspansi Cina secara militer di wilayah Asia Tenggara. Karena dengan terkaitnya hubungan ekonomi antara ASEAN dan Cina, maka akan sangat merugikan bagi Cina misalnya untuk mendominasi kawasan Asia Tenggara, melalui pendekatan militer. Dengan kata lain, Cina lebih membutuhkan kawasan Asia Tenggara sebagai lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonominya. Bagi Cina sendiri, pembentukan ACFTA sangatlah menguntungkan terutama dari segi ekonomi. ASEAN menjadi kawasan yang sangat menunjang pertumbuhan ekonomi Cina. Dalam mempertahankan pertumbuhan ekonominya, Cina mengutamakan stabilitas politik, baik di dalam negeri maupun lingkungan regionalnya. Oleh karena itu, Cina juga merasa memiliki tanggung jawab dalam mewujudkan lingkungan regional yang stabil. Hal ini misalnya dibuktikan dengan lebih kondusifnya keadaan di kawasan laut Cina Selatan, sebuah wilayah yang paling berpotensi menimbulkan konflik di antara ASEAN dan Cina terkait batas
92
wilayah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kebijakan Cina yang agresif terhadap negara tetangganya, justru akan merugikan bagi Cina sendiri. Karena interdependensi atau saling keterkaitan yang begitu erat antara ASEAN dan Cina baik dalam hal ekonomi maupun politik, maka ACFTA dapat terwujud dan menimbulkan beberapa konsekuensi bagi hubungan keduanya. Oleh karena itu, maka hubungan ekonomi yang terjadi antara ASEAN dan Cina sangat berorientasi jangka panjang, sehingga kerjasama ini tidak hanya akan berdampak pada sektor ekonomi, tetapi juga kestabilan dalam bidang politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara.
93
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis melihat pembentukan ACFTA mencerminkan bahwa interdependensi yang terjadi antara ASEAN dan Cina semakin meningkat. Pembentukan ACFTA disebabkan oleh beberapa faktor internal maupun eksternal yang terjadi antara ASEAN dan Cina. Faktor internal bagi ASEAN yaitu lambatnya perkembangan kerjasama ekonomi intra ASEAN. Sehingga meskipun kerjasama intra ASEAN mengalami sedikit peningkatan, namun tidak mampu menghapuskan ketergantungan negara-negara anggota ASEAN terhadap lingkungan eksternalnya baik dari segi perdagangan luar negeri maupun investasi. Hal ini menyebabkan ASEAN harus mengembangkan kerjasama dengan lingkungan eksternal. Faktor eksternal yang melingkupi kerjasama ini adalah berkembangnya kerjasama dengan negara-negara Asia Timur (Jepang, Cina, dan Korea Selatan). Namun, Cina dalam hal ini yang lebih dahulu mengajukan pembentukan FTA dengan ASEAN. Selain itu, peningkatan pertumbuhan perdagangan yang terjadi di antara keduanya juga semakin meningkat dan melebihi persentase pertumbuhan perdagangan dengan Jepang. Cina juga dianggap sebagai alternatif dari ketergantungan ASEAN selama ini dengan Jepang. Perkembangan regionalisme paska perang dingin, sekaligus kesamaan pandangan antara ASEAN dan Cina dalam sistem perdagangan internasional yang juga menyebabkan ASEAN menyambut baik tawaran Cina dalam mewujudkan ACFTA.
94
Bagi Cina, faktor internal yang memotivasi untuk membentuk FTA dengan ASEAN, yaitu kemajuan ekonomi yang begitu pesat. Kemajuan ekonomi ini menyebabkan Cina membutuhkan bahan baku untuk proses produksinya. Selain itu juga akses pasar untuk memasarkan barang-barang produksi. ASEAN menjadi kawasan paling tepat bagi Cina untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Sementara faktor eksternal yang mendorong Cina, yaitu tidak adanya institusi formal yang mengatur kerjasama ekonomi bagi negara-negara Asia Timur, sehingga perkembangan regionalisme yang terjadi menyebabkan Cina mendekatkan diri ke kawasan Asia Tenggara agar tidak tertinggal dengan kawasan
lainnya
seperti
Eropa
dan
Amerika
dalam
mengembangkan
perekonomian. Masuknya Cina menjadi anggota WTO juga sebagai pemicu terintegrasinya Cina ke dalam sistem ekonomi internasional. Hal ini juga memberi kesan kepada negara lainnya bahwa Cina telah berubah dan mampu untuk mengikuti aturan internasional yang sudah disepakati. Cina juga mampu mempengaruhi perundingan-perundingan dalam WTO agar lebih memihak bagi negara-negara berkembang, yang juga sebagian besar berada di kawasan Asia Tenggara. Persaingan antara Cina dan Jepang juga membuat Cina untuk menandingi dominasi Jepang di kawasan ini. Cina tidak ingin ketergantungan ekonomi ASEAN dengan Jepang dapat menjadi dukungan bagi kepemimpinan Jepang di kawasan ini. Oleh karena itu, Cina berusaha mendekatkan diri dan bekerjasama dengan ASEAN dalam rangka membendung pengaruh Jepang di kawasan Asia Tenggara melalui pembentukan sebuah FTA. Dampak dibentuknya ACFTA bagi kedua pihak sangat beragam. Melalui pembentukan ACFTA memang dapat meningkatkan intensitas perdagangan dari
95
kedua belah pihak. Namun dari segi ekonomi, Cina lebih diuntungkan, karena jumlah ekspornya ke ASEAN lebih banyak dibandingkan jumlah impornya dari ASEAN. Bagi ASEAN jenis komoditi yang diuntungkan yaitu hasil pertanian dan bahan mentah lainnya seperti karet dan minyak bumi. Sedangkan bagi Cina produksi manufaktur seperti produk tekstil dan alat-alat elektronik. ASEAN mendapatkan keuntungan lain dari pembentukan ACFTA, berupa meningkatnya kembali daya tarik ASEAN bagi negara-negara lainnya, yang diindikasikan dengan banyaknya tawaran untuk membentuk FTA serupa, seperti yang terjadi dengan Cina. Bagi kondisi regional sendiri, tentunya akan semakin stabil karena masingmasing pihak sama-sama menginginkan kondisi regional yang damai guna memacu pertumbuhan ekonomi dan investasi asing. Bagi ASEAN, pertumbuhan ekonomi Cina juga tidak dianggap sebagai suatu ancaman terhadap daya tarik ASEAN. ASEAN menganggap dengan terintegrasinya perekonomian, maka daya tarik ASEAN sebagai suatu kawasan justru akan semakin meningkat. Oleh karena itu hubungan ekonomi yang terjadi antara ASEAN dan Cina ini akan terus mengalami perkembangan di masa selanjutnya, dan juga mencerminkan adanya interdependensi di antara keduanya. Peran ACFTA sebagai suatu rezim kerjasama yang mengikat ASEAN dan Cina juga mampu memberikan peningkatan bagi hubungan ekonomi yang terjadi antara ASEAN dan Cina.
96
DAFTAR PUSTAKA
ASEAN Secretariat 1967, The ASEAN Declaration Bangkok Declaration, diakses 10 Februari 2011, < http://www.aseansec.org/1212.htm>. ASEAN Secretariat 1977, Joint Communique The Second ASEAN Heads of Government
Meeting,
diakses
pada
10
Februari
2011,
. ASEAN Secretariat 1977, Agreement On ASEAN Preferential Trading Arrangements,
diakses
pada
12
Februari
2011,
. ASEAN Secretariat, ASEAN Free Trade Area (AFTA Council), diakses pada 14 Februari 2011, . ASEAN Secretariat 1999, ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA): AN UPDATE, diakses pada 14 Februari 2011, . ASEAN Secretariat 2008, ASEAN Economic Community Blueprint, diakses pada 20 Februari 2011, http://www.aseansec.org/5187-10.pdf. ASEAN Secretariat, ASEAN Investment Area (AIA) Council, diakses pada 25 Februari 2011, . ASEAN Secretariat, External Relations, diakses pada 6 Maret 2011, . ASEAN
Secretariat,
ASEAN
Charter,
diakses
pada
6
Maret
2011,
. ASEAN Secretariat, Framework Agreement on Comprehensive Economic CoOperation Between ASEAN and the People's Republic of China, diakses pada 15 Maret 2011, . ASEAN Statistical Year Book 2010, ASEAN Secretariat, Jakarta. Aslam, M 2003, „The Impact of ASEAN-China FTA on ASEAN Economies‟, The Indonesian Quarterly, vol. 31, no. 3, hh. 329-240. Bakri, US (ed.) 1996, Cina, Quo Vadis? Pasca Deng Xiaoping, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
97
Baldwin, DA (ed.) 1993, Neorealism and Neoliberalism: The Contemporary Debate, Columbia University Press, New York. Bandoro, B & Gondomono, A (eds.) 1997, ASEAN dan Tantangan Satu Asia Tenggara, CSIS, Jakarta. Brahm, LJ 2002, Abadnya Tiongkok Bangkitnya Kekuatan Ekonomi Berikutnya, trans. A Saputra, Interaksara, Batam. Brown, ME, Cote‟, OR, Jones, SML & Miller, SE (eds.) 2000, The Rise of China, The MIT Press, London. Central Intelligence Agency 2011, The World Factbook, diakses pada 8 April 2011,. Christiansen, F & Rai, SM 1996, Chinese Politics and Society:An Introduction, TJ International Ltd, London. Creswell, JW 2010, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Direktorat Jendral Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI 2010, ASEAN Selayang Pandang, edk 19, Kemlu, Jakarta. Djafar, Z 2008, Indonesia, ASEAN & Dinamika Asia Timur, PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta. Dosch, J 2007, „Managing Security in ASEAN-China Relations: Liberal Peace of Hegemonic Stability‟, ASIAN Perspective, vol. 31, no. 1, hh. 209-236. Dunne, T, Kurki, M & Smith, S (eds.) 2007, International Relations Theories, Oxford University Press, New York. Elisabeth, A (ed.) 2009, Menuju Pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN:IsuIsu Strategis, LIPI, Jakarta. Gilpin, R 1987, The Political Economy of International Relations, Princeton University Press, New Jersey. Global Security 2011, China’s Defense Budget, diakses pada 22 Mei 2011, . Goodman, DSG & Segal, G (eds.) 1997, China Rising Nationalism and Interdependence, Routledge, London.
98
Griffiths, M 2001, Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional, trans. Mahyudin & I Makmur, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hermawan, YP (ed.) 2007, Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional Aktor, Isu dan Metodologi, Graha Ilmu, Yogyakarta. Hobson, JM 2003, The State and International Relations, Cambribge University Press, New York, diakses 16 Juni 2011, . Hock, SS, Jun, S & Wah, CK (eds.) 2005, ASEAN-China Relations Realities and Prospects, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. Ikbar, Y 2006, Ekonomi Politik Internasional 1 Konsep dan Teori, PT Refika Aditama, Bandung. Inayati, RS (ed.) 2006, ASEAN-CHINA FTA: Akselerasi Menuju East Asia Community (EAC)?, LIPI Press, Jakarta. Inayati, RS (ed.) 2007, Menuju Komunitas ASEAN 2015:Dari State Oriented Ke People Oriented, LIPI, Jakarta. Isaak, RA 1995, Ekonomi Politik Internasional, trans. M Sugiono, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta. Jackson, R & Sorensen, G 2005, Pengantar Studi Hubungan Internasional, trans. D Suryadipura, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. John & Naisbitt, D 2010, China’s Megatrends, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Johnson, DG 1990, The People’s Republic of China 1978-1990, ICS Press, California. Krugman, PR & Obstfeld, M 1997, Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan, trans. FH Basri, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Lam, W 1995, China After Deng Xiaoping, John Wiley & Sons (SEA) Pte Ltd, Singapore. Leong, HK & Ku, SCY (eds.) 2005, China and Southeast Asia Global Changes and Regional Challenges, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore. Luhulima, CPF, Anwar, DF, Bhakti, IN, Sungkar, Y & Inayati, RS 2008, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015, Pustaka Pelajar dan P2P LIPI, Jakarta.
99
M Hutabarat, P 2003, Indonesia: Ditengah Dinamika Liberalisasi Perdagangan Internasional, Trade and Management Development Institute, Jakarta. Mingst, KA 2003, Essentials of International Relations, edk 2, W.W Norton &Company, Inc, New York. Ministry of Commerce People‟s Republic of China 2010, Trade with Countries and
Regions
in
Asia,
diakses
pada
6
Juni
2011,
. Nasuhi, H, Ropi, I, Fathurahman, O, Dimyati, MS, Hartati, N & Putra, SJ 2007, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), CeQDA, Jakarta. Pambudi, D & Chandra, AC 2006, Garuda Terbelit Naga, Institute for Global Justice (IGJ), Jakarta. Perwita, AAB & Yani, YM 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Prabowo, D & Wardoyo, S 1997, AFTA Suatu Pengantar, BPFE, Yogyakarta. Salvatore, D 1997, Ekonomi Internasional, trans. H Munandar, edk 5, Erlangga, Jakarta. Sam, DT 2006, China’s Development And Prospect of ASEAN-China Relations, The GIOI Publishers, Hanoi. Sen, R 2004, Free Trade Agreements in Southeast Asia, ISEAS, Singapura. Severino, RC 2007, „The ASEAN Developmental Divide and the Initiative for ASEAN Integration‟, ASEAN Economic Bulletin, vol. 24, no. 1, hh. 35-44. Shirk, SL 2008, China Fragile Superpower, Oxford University Press, New York. Singh, DA 1997, ASEAN Economic Co-operation Transition and Transformation, Institute of Southeast Asian Studies, Singapura. Soebagya, N, Gondomono, Wibowo, I & Hotradero, P (eds.) 2008, China Mencari Minyak: Diplomasi China ke Seluruh Dunia 1990-2007, CCS, Jakarta. Steans, J & Pettiford, L 2009, Hubungan Internasional Perspektif dan Tema, trans. DS Sari, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
100
Suherman, AM 2003, Organisasi Internasional & Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Ghalia Indonesia, Jakarta. Sukarnaprawira, AK 2009, China Peluang Atau Ancaman, Restu Agung, Jakarta. Sukma, R 2009, „Kebangkitan dan Peran Strategis China dalam Kerja Sama Asia Timur: Perspektif Indonesia‟, Analisis CSIS, vol. 38, no. 3, 442-450. Sungkar, Y (ed.) 2003, AFTA di Tengah-Tengah Perubahan Konfigurasi Regional Terkini, Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, Jakarta. Sungkar, Y (ed.) 2005, Strategi ASEAN Dalam Perluasan ASEAN+3, LIPI Press, Jakarta. Tan, JLH & Zhanghong, L 1994, ASEAN-China Economic Relations Industrial Restructuring in ASEAN and China, ISEAS, Singapura. Taniputera, I 2009, History of China, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta. Tarmidi, LT 2010, „Menghadapi Tantangan China dalam ACFTA‟, Analisis CSIS, vol. 39, no. 1, hh. 63-75. Wanandi, J 2005, „ASEAN and China Form Strategic Partnership‟, The Indonesian Quarterly, vol. 33, no. 4, hh. 328-331. Weatherbee, DE, Emmers, R, Pangestu, M, & Sebastian, LC 2005, International Relations in Southeast Asia The Struggle for Autonomy, Rowman and Littlefield Publishers Inc, Oxford. Wibowo, I 2007, Belajar Dari Cina Bagaimana Cina Merebut Peluang Dalam Era Globalisasi, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta. Wibowo, I & Hadi, S (eds.) 2009, Merangkul Cina, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wilkins, T 2010, „The new Pacific Century and the rise of China: an international relations perspective‟, Australian Journal of International Affairs, vol. 64, no. 4, hh. 381-405. Wong, J & Chan, S 2003, „China-ASEAN Free Trade Agreement: Shaping Future Economic Relations‟, ASIAN Survey, vol. 43, no. 3, hh. 507-526. World Bank 2010, Country and Lending Groups, diakses pada 12 Juni 2011, .
101
Wuryandari, G (ed.) 2000, Menuju ASEAN Vision 2020:Tantangan dan Inisiatif, PPW-LIPI, Jakarta. Yaumidin, UK (ed.) 2008, Hubungan Kerjasama Ekonomi Antar Negara Di Kawasan Asia Pasifik, LIPI, Jakarta. Yue, CS & Pacini M (eds.) 1997, ASEAN in the new Asia: issues & trends, ISEAS, Singapura. Yusuf, S & Nabeshima, K 2010, Changing the Industrial Geography in Asia, The World
Bank,
Washington
DC,
diakses
pada
5
Mei
2011,
. Zeng, M & Williamson, PJ 2008, Ancaman Sang Naga, trans. HH Setiajid, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
102
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Transkrip Wawancara
Nama
: Ratna Shofi Inayati, MBA
Waktu
: Selasa, 29 Maret 2011
Tempat
: Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), Gedung Widya Graha LIPI, lantai XI
Fokus Kajian
: Isu-isu Hubungan Internasional, ASEAN, Politik Luar Negeri Indonesia.
Profil Narasumber
: Ratna Shofi Inayati, MBA, adalah peneliti pada Pusat Penelitian
Politik (P2P) LIPI. Ia menyelesaikan program Master of International Management/MBA Southeastern University, Washington D.C.,USA pada tahun 1995. Selama di P2P-LIPI, telah banyak melakukan penelitian dan kajian isu-isu kontemporer politik internasional dan regional khususnya ASEAN dan negara-negara Asia Tenggara serta politik Luar Negeri Indonesia. Beberapa pengalaman di antaranya adalah menjadi Koordinator Penelitian Polugri berjudul: (1) Hubungan Indonesia- Amerika Serikat 1992-2000 (Masa Pemerintahan Presiden Clinton) (2000,Editor,PPW-LIPI) (2)Politik Luar Negeri Indonesia Pasca Soeharto: Diplomasi Pemulihan Ekonomi Nasional (2002,Editor,P2PLIPI), Koordinator Penelitian ASEAN berjudul: (1)ASEAN-China FTA:Akselerasi Menuju East Asia Community (EAC)? (2006, Editor,LIPI Press),(2)Menuju Komunitas ASEAN 2015: Dari State Oriented ke People Oriented (2007,Editor, LIPI Press) (3)Piagam ASEAN,Perkembangan Isu Demokrasi Dan HAM:Studi Kasus Indonesia, Filipina dan Thailand tahun 2010. Beberapa karya/buku yang telah dihasilkannya antara lain: Kebijakan Indonesia dalam Menghadapi Kejahatan Lintas Negara : Kasus Illegal Logging di Kalbar dan Kaltim (2004); Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Masalah TKI Ilegal di Negara-Negara ASEAN (2003); Peluang Pemanfaatan e-ASEAN: Untuk Pemulihan Ekonomi Indonesia (2003); Strategi ASEAN dalam Perluasan ASEAN+3 (2005);Isu-isu Keamanan Strategis dalam Kawasan ASEAN (2008); Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015 (2008, Editor bersama Yasmin Sungkar, Pustaka Pelajar); Menuju Pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN: Isu-isu Strategis (2009).
Pertanyaan: Kerangka perjanjian ACFTA ini pertama kali diusulkan oleh PM Cina Zhu Rongji (ASEAN+3 Summit, Singapura 2001), sebenarnya apa alasan Cina sendiri untuk
mengajukan pembentukan ACFTA tersebut? Potensi apakah yang dimiliki oleh ASEAN, sehingga Cina sangat tertarik untuk melakukan kerjasama? Jawaban: Ada beberapa faktor kenapa Cina tertarik dengan ASEAN, ada faktor ekonomi dan ada faktor politik dan keamanan. Faktor ekonomi Cina sejak tahun 1990an menjadi suatu ancaman bagi seluruh negara di dunia (Amerika, Asia Tenggara) karena begitu pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina yang menjadi kapitalis. Saya mau cerita dulu kenapa Cina menjadi ekonomi kapitalis, tetapi politiknya tetap komunis. Jadi pada waktu Deng Xiaoping berkunjung ke Amerika, tahun 1979 dia melihat ekonomi AS yang sangat baik dan patut dicontoh tetapi tetap tidak merubah sistem politik komunis di Cina. Deng menggerakkan ekonomi pasar, karena hal ini dianggap sangat penting bagi Cina, dengan membenahi berbagai persoalan akhirnya perekonomian Cina dapat berhasil. Pada 90-an perekonomian Cina dianggap sebagai suatu ancaman, akhirnya Cina berusaha merubah persepsi tersebut, karena tidak benar jika dianggap sebagai ancaman melainkan kerjasama. Akhirnya Cina masuk WTO, negara seperti Amerika dan Jepang juga merasa khawatir, karena produk Cina akan membanjiri seluruh dunia. Akhirnya Cina tidak bersikap agresif, tetapi sangat ramah dengan negara-negara lainnya. Cina juga menganggap, seperti Uni Eropa bertambah anggotanya, Amerika juga dengan NAFTA. Maka Cina merasa harus membangun suatu kerjasama di Asia Timur, oleh karena itu Cina menarik ASEAN untuk bisa bekerjasama sehingga blok wilayah Asia timur dan Asia tenggara dapat mengimbangi blok-blok yang lain. Sebenarnya kerjasama dengan ASEAN sendiri sudah lama terjadi, tetapi belum disepakati secara resmi, baru tahun 2001 terbentuk Framework Agreement ASEAN-Cina, kemudian menyepakati pada 2010 untuk ASEAN-6 dan 2015 untuk ASEAN-CMLV. Cina tertarik dengan ASEAN karena, ASEAN penduduknya separuh dari penduduk Cina yang dianggap sebagai suatu pasar yang potensial buat Cina. Disamping itu, Cina membutuhkan bahan energi dan hasil-hasil bumi, seperti batu bara dan lainnya.
Pertanyaan: Sedangkan bagi ASEAN, sebenarnya Cina memiliki jenis komoditi ekspor yang relatif sama dengan ASEAN dan kurang komplementer, tetapi mengapa ASEAN juga menyetujui pembentukan ACFTA? Apa sebenarnya daya tarik yang dimiliki Cina, sehingga ASEAN juga sangat menginginkan untuk melakukan kerjasama ini? Jawaban: Sedangkan untuk ASEAN, Cina juga dianggap tempat pemasaran yang bagus untuk produk ekspor ASEAN dengan penduduk Cina yang 1,3 milyar. Produk-produk pertanian yang di dalam ASEAN itu kurang komplementer karena masing-masing negara ASEAN kan hasilnya hampir sama, kalo ke Cina kan lebih komplementer. dapat menjadi
keuntungan buat ekspor ASEAN ke Cina. Dalam sisi politik dan keamanan, Cina dapat membantu keseimbangan di dalam wilayah Asia Timur dan Tenggara, termasuk di wilayah laut Cina selatan, karena Cina juga mau menandatangani perjanjian perdamaian. Selain itu dari politiknya, Cina memiliki pandangan yang sama dengan ASEAN (lima prinsip, seperti bhinneka tunggal ika di indonesia). Hanya untuk ASEAN bagaimana menangkap peluang dari Cina, ASEAN harus siap membenahi produksinya terutama UKM agar tidak jatuh dengan produk-produk Cina, terutama mainan, motor dan garmen atau tekstil. Seperti Indonesia misalnya, ketika awal 2010 itu ramai membicarakan ACFTA ini, karena tidak menangkap peluang itu sejak awal, padahal kesepakatan sudah diterima. Namun implementasinya tidak ditangkap dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Pemerintahnya tidak membangun suatu pondasi dari bawah terkait pengembangan UKM. Akhirnya banyak garmen yang bangkrut. Sedangkan untuk masalah pertanian beras, sayur, Indonesia untung. Nah, produk-produk Cina yang terutama membanjiri karena hambatan produknya kan nol jadi pemerintah harus lebih waspada. Termasuk infrastruktur harus dibenahi, terutama bagi Indonesia dan negaranegara ASEAN secara umum, kalau tidak produk dalam negerinya akan kalah bersaing. Banyak yang berpendapat Cina itu sebagai suatu ancaman, namun bagi saya tidak, itu sebagai peluang. Bagaimana kita menangkap peluang itu secara baik. Jadi dengan Cina itu produknya komplementer. Dibandingkan dengan intra ASEAN. Kalo lihat daftar produk intra ASEAN, memang setiap tahunnya meningkat, tetapi jika dibandingakn dengan yang ekstra sangat jauh.
Pertanyaan: Apakah keputusan Cina untuk membentuk ACFTA ini terkait dengan usaha Cina dalam membendung pengaruh Jepang dan AS di kawasan Asia Tenggara atau hanya terbatas pada ketertarikan faktor ekonomi? Dan sejauh manakah hal itu dapat diwujudkan?Apakah ada bukti dari berkurangnya pengaruh AS dan Jepang di kawasan Asia Tenggara? Jawaban: Saya rasa iya,terutama Amerika. Jadi untuk ASEAN+3 pada waktu krisis ekonomi 1997 tidak bisa bangkit, sekalipun Singapura yang ekonominya paling maju tidak akan mampu mengangkat kondisi perekonomian ASEAN dalam kondisi yang seperti itu. Akhirnya ASEAN memutuskan untuk kerjasama dengan plus3. Kebutulan yang pertama menawarkan FTA itu Cina,dan akhirnya disambut dengan ASEAN, karena ASEAN menganggap sebagai faktor pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. baru kemudian Jepang dan Korea Selatan. Cina juga yang pertama kali menandatangani TAC. Cina juga sangat cerdik dalam menangkap sebuah peluang. Jepang itu kan sedang
mengalami krisis, ekonominya menurun dan mendevaluasi yen-nya. Sedangkan Cina tidak pernah mendevaluasi mata uangnya. Cina dapat menangkap peluang, ASEAN ditarik melakukan kerjasama yang sebenarnya saling menguntungkan. Karena negaranegara ASEAN kurang siap, maka terkesan kalah bersaing dari produk-produk Cina yang membanjiri. Jadi untuk bidang ekonomi iya, tapi kalo bidang keamanan, Amerika berkurang sejak pangkalan militer di Filipina dan Thailand di tarik, nah itu berkurang, tapi dia memakai Jepang sebagai sekutunya di Asia Timur. Jadi di bidang ekonomi kita memang tergantung dengan AS, tetapi dengan adanya ACFTA maka produk-produk Cina banyak mempengaruhi. Secara umum dan nyata produk-produk Cina membanjiri. Namun kerjasama ASEAN dengan negara-negara lainnya, AS, Uni Eropa, Jepang itu tetap, hanya berkurang dan tidak akan hilang, dan ASEAN memang mempertahankan itu untuk mengimbangi Cina, ASEAN harus pintar mengimbangi semua kekuatan itu.
Pertanyaan: ASEAN sendiri sebenarnya sudah melaksanakan berbagai kerjasama intra ASEAN (PTA1977, AFTA 2002) untuk meningkatkan potensi ekonominya, sejauh ini bagaimana perkembangan kerjasama yang telah terjadi sebelumnya, seperti dalam CEPTAFTA. Apakah skema ACFTA mempengaruhi skema kerjasama di ASEAN yang sudah ada sebelumnya? Jawaban: Jadi kerjasama itu tidak terhapus, AFTA sendiri kan kerjasama intra ASEAN tetap berjalan, hanya jangan sampai AFTA tergerus dengan ACFTA, ASEAN+3 atau ASEAN dengan negara manapun. Jadi AFTA tetap harus dipertahankan dengan menuju AEC yang single market production base. Jadi ACFTA tidak akan mengubah kebijakan ASEAN sendiri. Jadi ASEAN itu perlu mengembangkan kerjasama dengan negara mitra dialog lainnya, termasuk Cina. Untuk mengimbangi kerjasama internasional lainnya. Namun kan ada berbagai tipe ya ASEAN+1 (ASEAN-Cina, ASEAN-Jepang), ASEAN+3, dan negara lainnya. Jadi mekanisme yang sudah ada sebelumnya tidak akan terhapus. Jadi agreement bilateral itu emang ada tapi tidak mempengaruhi ACFTA.
Pertanyaan: Terkait dengan target pelaksanaan ASEAN Economic Community (AEC) 2015 (Bali Concord II 2003, dipercepat pada KTT ASEAN ke-12 di Cebu,Filipina 2007), sejauh ini bagaimana perkembangan ke arah pembentukan komunitas ekonomi tersebut, apakah hal ini dapat diwujudkan ataukah terlalu cepat target yang dicanangkan tersebut? Apakah visi ASEAN tersebut hanya sebatas rencana yang besar tanpa diimbangi dengan langkah-langkah teknis yang harus dilalui?
Jawaban: ASEAN Community itu kan ada 3 pilar, Ekonomi itu yang paling siap untuk diwujudkan dibandingkan pilar-pilar lainnya karena poin-poinnya sudah jelas, jadi pada 2015 ekonomi diharapkan sudah mencapai single market production base. Hanya kelemahannya adalah masing-masing negara ASEAN, untuk Singapura, Malaysia, Brunei itu tidak masalah, Vietnam, Indonesia juga sebenarnya juga sudah maju. Nah, dari negara CMLV ini yang paling berkembang Vietnam juga ekonominya sudah membaik, Indonesia juga sebenarnya sudah baik hanya perlu pembenahan birokrasi dan lainnya. Nah CMLV ini Vietnam yang paling maju, Laos, Myanmar dan Kamboja yang kondisi dalam negerinya masih menjadi hambatan. Apalagi konflik Kamboja dan Thailand, halhal seperti ini yang akan mempengaruhi. Jadi bidang ekonomi ada kaitannya dengan politik di dalam suatu negara.
Pertanyaan: Dahulu sebenarnya pertumbuhan ekonomi Jepang dapat dijadikan pemicu bagi pertumbuhan ekonomi ASEAN, sekarang tampaknya ASEAN mengharapkan menjadi rantai dari perkembangan ekonomi Cina yang begitu pesat, sebenarnya seberapa besarkah potensi ekonomi Cina tersebut? Apakah Cina mampu menjadi lokomotif pendorong bagi tumbuhnya perkonomian ASEAN? Jawaban: Diharapkan seperti itu, tetapi dengan Jepang sendiri bukan berarti berakhir, hanya saja memang agak menurun karena kondisi dalam negerinya. Nah kerjasama dengan Cina diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Itu semua tergantung kondisi dalam negeri, jadi kalo kondisi seperti Indonesia tidak dapat menangkap peluang dari Cina itu dia tidak akan bisa mngikuti arus itu karena produk Cina yang berlimpah. Pemerintahan yang bersih dan kondusif itu kuncinya. Singapura juga berhasil karena pemerintahan yang kuat.
Pertanyaan: Dahulu ada anggapan bahwa Cina dapat menjadi ancaman ideologi, seperti perkembangan komunisme di Asia Tenggara. Apakah saat ini dengan perkembangan ekonomi Cina dan kerjasama yang terbentuk dengan ASEAN, masihkah mungkin ada anggapan yang menyatakan bahwa perkembangan ekonomi Cina bisa berimplikasi pada perkembangan pengaruh komunisme di Asia Tenggara? Jawaban: Saya rasa tidak. Jadi meskipun ekonominya kapitalis dan politiknya komunis, namun ideologinya dia tidak mempengaruhi wilayah dan negara lain, pandangan itu tidak benar.
Pertanyaan: Pemberlakuan skema ACFTA ini sebenarnya telah bertahap dilaksanakan sejak 2004 melalui skema Early Harvest Program (EHP), sejauh ini sampai pemberlakuan penuhnya di 2010, bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi ASEAN dan Cina? Apakah terbukti adanya peningkatan perdagangan antara kedua belah pihak? Selanjutnya apakah pertumbuhan ekonomi yang dialami sebagai akibat dari program ACFTA ini berjalan seimbang bagi kedua belah pihak ataukah hanya menguntungkan dari salah satu pihak saja? Jawaban: Contohnya saja mengenai investasi, yang jelas kelihatan nyata itu investasi, jadi banyak pelaku-pelaku bisnis dari Cina yang mau berinvestasi seperti pengeboran minyak, batu bara. Meskipun ASEAN juga banyak dirugikan, tetapi investasi itu yang sangat kelihatan meningkat. Pertambangan dan pertanian (beras, sayur-sayuran, dan buah) terutama dari Vietnam, Thailand yang sangat menguntungkannya. Ya memang diakui kalo Cina akan lebih untung, karena tarif pekerja di sana lebih rendah, murah, dan produksinya banyak, ASEAN tidak sampai seperti Cina. Jadi ASEAN-Cina memang ada peningkatan perdagangannya.
Pertanyaan: Implementasi ACFTA ini, tentu mendapatkan tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan, seperti yang terjadi di Indonesia. Sebenarnya bagaimana respon yang terjadi di negara anggota ASEAN lainnya? Apakah tanggapannya lebih ke arah pro atau kontra dalam pelaksanaan ACFTA ini? Jawaban: Saya rasa mereka menerima, karena dengan adanya kerjasama dengan Cina maka ekspornya akan lebih besar, contohnya Vietnam dan Thailand (beras), sektor pertanian, bahan baku minyak, batu bara karena penduduk Cina kan 1,3 milyar ya. Jadi saling menguntungkan, meskipun ada beberapa hal yang dirugikan. Jadi Amerika dan Jepang saja kewalahan menghadapinya, apalagi ASEAN. Produk-produk Cina kan sangat murah, tetapi jangan salah kualitasnya juga kurang baik. Berbeda misalnya dengan Jepang, kalo Jepang dia memproduksi suatu produk itu kualitasnya dijamin, kalo Cina tidak. Hanya kalo Amerika, itu membatasi dengan melihat kualitasnya, makannya produk Cina yg ke Jepang atau Amerika akan lebih bagus mutunya daripada yang ke ASEAN, meskipun mereknya sama, namun kualitasnya lebih bagus di sana.
Pertanyaan: Segera setelah Framework ACFTA terbentuk (2002), Jepang merespon hal ini dengan mengajukan perjanjian kerjasama yang serupa kepada ASEAN (2003). Apakah hal ini mengindikasikan persaingan yang begitu besar antara Jepang dan Cina dalam memperebutkan pengaruh di kawasan Asia Tenggara? Serta seberapa pentingkah
posisi ASEAN sebagai pemersatu bagi keduanya yang memang memiliki historical barrier? Jawaban: Begini, Jepang, Cina dan Korsel itu mereka tidak bisa duduk bersama-sama karena ada historical barrier. Tetapi Cina yang paling agresif, kemudian Jepang baru Korsel. Hal ini menguntungkan buat ASEAN sebagai mediator dari ketiganya, begitupula dengan negara-negara Eropa (Rusia) dengan Amerika, ASEAN sebagai mediator. Jadi meskipun ASEAN bekerjasama dengan negara-negara lain, ASEAN harus tetap sebagai driving force.
Pertanyaan: Setelah ACFTA terbentuk, dan mulai berlaku penuh pada 2010, apakah ada peningkatan hubungan kerjasama lagi? Jawaban: Saya rasa itu sudah agreement dan ditandatangani, dan implementasinya akan berjalan terus. Yang terakhir terbentuk, yang implemantasinya 2010 dan akan terus berjalan, jadi belum ada yang baru lagi.
Jadi kesimpulannya tadi, daya tarik ASEAN bagi Cina itu jumlah penduduk, Cina membutuhkan bahan baku. Sedangkan daya tarik Cina bagi ASEAN, itu pemasaran yang 1,3 milyar, terus mampu mengimbangi dominasi Jepang dan AS di kawasan Asia Tenggara. Jadi oleh karena itu bukan hanya ekonomi, tapi ekonomi politik dan keamanan yang saling berkaitan. Tapi kalo ekonomi kan nyata ya ada kerjasamanya, kalo keamanan itu membaiknya konflik laut cina selatan. Dampaknya sendiri berbeda-beda tergantung kesiapan masing-masing negara.
LAMPIRAN 2 Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-Operation Between ASEAN and the People's Republic of China Phnom Penh, 4 November 2002 PREAMBLE WE, the Heads of Government/State of Brunei Darussalam, the Kingdom of Cambodia, the Republic of Indonesia, the Lao People's Democratic Republic ("Lao PDR"), Malaysia, the Union of Myanmar, the Republic of the Philippines, the Republic of Singapore, the Kingdom of Thailand and the Socialist Republic of Viet Nam, Member States of the Association of South East Asian Nations (collectively, “ASEAN” or “ASEAN Member States”, or individually, “ASEAN Member State”), and the People’s Republic of China (“China”): Recalling our decision made at the ASEAN-China Summit held on 6 November 2001 in Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, regarding a Framework on Economic Co-operation and to establish an ASEAN-China Free Trade Area (“ASEAN-China FTA”) within ten years with special and differential treatment and flexibility for the newer ASEAN Member States of Cambodia, Lao PDR, Myanmar and Viet Nam (“the newer ASEAN Member States”) and with provision for an early harvest in which the list of products and services will be determined by mutual consultation; Desiring to adopt a Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation (“this Agreement”) between ASEAN and China (collectively, “the Parties”, or individually referring to an ASEAN Member State or to China as a “Party”) that is forward-looking in order to forge closer economic relations in the 21st century; Desiring to minimise barriers and deepen economic linkages between the Parties; lower costs; increase intraregional trade and investment; increase economic efficiency; create a larger market with greater opportunities and larger economies of scale for the businesses of the Parties; and enhance the attractiveness of the Parties to capital and talent; Being confident that the establishment of an ASEAN-China FTA will create a partnership between the Parties, and provide an important mechanism for strengthening co-operation and supporting economic stability in East Asia; Recognising the important role and contribution of the business sector in enhancing trade and investment between the Parties and the need to further promote and facilitate their co-operation and utilisation of greater business opportunities provided by the ASEAN-China FTA; Recognising the different stages of economic development among ASEAN Member States and the need for flexibility, in particular the need to facilitate the increasing participation of the newer ASEAN Member States in the ASEAN-China economic co-operation and the expansion of their exports, including, inter alia, through the strengthening of their domestic capacity, efficiency and competitiveness; Reaffirming the rights, obligations and undertakings of the respective parties under the World Trade Organisation (WTO), and other multilateral, regional and bilateral agreements and arrangements; Recognising the catalytic role that regional trade arrangements can contribute towards accelerating regional and global liberalisation and as building blocks in the framework of the multilateral trading system; Have agreed as follows: ARTICLE 1 Objectives a.
The objectives of this Agreement are to: strengthen and enhance economic, trade and investment co-operation between the Parties;
b.
progressively liberalise and promote trade in goods and services as well as create a transparent, liberal and facilitative investment regime;
c.
explore new areas and develop appropriate measures for closer economic co-operation between the Parties; and
d.
facilitate the more effective economic integration of the newer ASEAN Member States and bridge the development gap among the Parties.
a.
ARTICLE 2 Measures For Comprehensive Economic Co-operation The Parties agree to negotiate expeditiously in order to establish an ASEAN-China FTA within 10 years, and to strengthen and enhance economic co-operation through the following: progressive elimination of tariffs and non-tariff barriers in substantially all trade in goods;
b.
progressive liberalisation of trade in services with substantial sectoral coverage;
c.
establishment of an open and competitive investment regime that facilitates and promotes investment within the ASEAN-China FTA;
d.
provision of special and differential treatment and flexibility to the newer ASEAN Member States;
e.
provision of flexibility to the Parties in the ASEAN-China FTA negotiations to address their sensitive areas in the goods, services and investment sectors with such flexibility to be negotiated and mutually agreed based on the principle of reciprocity and mutual benefits;
f.
establishment of effective trade and investment facilitation measures, including, but not limited to, simplification of customs procedures and development of mutual recognition arrangements;
g.
expansion of economic co-operation in areas as may be mutually agreed between the Parties that will complement the deepening of trade and investment links between the Parties and formulation of action plans and programmes in order to implement the agreed sectors/areas of co-operation; and
h.
establishment of appropriate mechanisms for the purposes of effective implementation of this Agreement.
1.
PART 1 ARTICLE 3 Trade In Goods In addition to the Early Harvest Programme under Article 6 of this Agreement, and with a view to expediting the expansion of trade in goods, the Parties agree to enter into negotiations in which duties and other restrictive regulations of commerce (except, where necessary, those permitted under Article XXIV (8)(b) of the WTO General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)) shall be eliminated on substantially all trade in goods between the Parties.
2.
For the purposes of this Article, the following definitions shall apply unless the context otherwise requires:
a.
“ASEAN 6” refers to Brunei, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore and Thailand;
b.
“applied MFN tariff rates” shall include in-quota rates, and shall:
i.
in the case of ASEAN Member States (which are WTO members as of 1 July 2003) and China, refer to their respective applied rates as of 1 July 2003; and
ii.
in the case of ASEAN Member States (which are non-WTO members as of 1 July 2003), refer to the rates as applied to China as of 1 July 2003;
c.
“non-tariff measures” shall include non-tariff barriers.
3.
The tariff reduction or elimination programme of the Parties shall require tariffs on listed products to be gradually reduced and where applicable, eliminated, in accordance with this Article.
4.
The products which are subject to the tariff reduction or elimination programme under this Article shall include all products not covered by the Early Harvest Programme under Article 6 of this Agreement, and such products shall be categorised into 2 Tracks as follows:
a.
Normal Track: Products listed in the Normal Track by a Party on its own accord shall:
i.
have their respective applied MFN tariff rates gradually reduced or eliminated in accordance with specified schedules and rates (to be mutually agreed by the Parties) over a period from 1 January 2005 to 2010 for ASEAN 6 and China, and in the case of the newer ASEAN Member States, the period shall be from 1 January 2005 to 2015 with higher starting tariff rates and different staging; and
ii.
in respect of those tariffs which have been reduced but have not been eliminated under paragraph 4(a)(i) above, they shall be progressively eliminated within timeframes to be mutually agreed between the Parties.
b.
Sensitive Track: Products listed in the Sensitive Track by a Party on its own accord shall:
i.
have their respective applied MFN tariff rates reduced in accordance with the mutually agreed end rates and end dates; and
ii.
where applicable, have their respective applied MFN tariff rates progressively eliminated within timeframes to be mutually agreed between the parties
5.
The number of products listed in the Sensitive Track shall be subject to a maximum ceiling to be mutually agreed among the Parties.
6.
The commitments undertaken by the Parties under this Article and Article 6 of this Agreement shall fulfil the WTO requirements to eliminate tariffs on substantially all the trade between the Parties.
7.
The specified tariff rates to be mutually agreed between the Parties pursuant to this Article shall set out only the limits of the applicable tariff rates or range for the specified year of implementation by the Parties and shall not prevent any Party from accelerating its tariff reduction or elimination if it so wishes to.
8.
The negotiations between the Parties to establish the ASEAN-China FTA covering trade in goods shall also include, but not be limited to the following:
a.
other detailed rules governing the tariff reduction or elimination programme for the Normal Track and the Sensitive Track as well as any other related matters, including principles governing reciprocal commitments, not provided for in the preceding paragraphs of this Article;
b.
Rules of Origin;
c.
treatment of out-of-quota rates;
d.
modification of a Party’s commitments under the agreement on trade in goods based on Article XXVIII of the GATT;
e.
non-tariff measures imposed on any products covered under this Article or Article 6 of this Agreement, including, but not limited to quantitative restrictions or prohibition on the importation of any product or on the export or sale for export of any product, as well as scientifically unjustifiable sanitary and phytosanitary measures and technical barriers to trade;
f.
safeguards based on the GATT principles, including, but not limited to the following elements: transparency, coverage, objective criteria for action, including the concept of serious injury or threat thereof, and temporary nature;
g.
disciplines on subsidies and countervailing measures and anti-dumping measures based on the existing GATT disciplines; and
h.
facilitation and promotion of effective and adequate protection of trade-related aspects of intellectual property rights based on existing WTO, World Intellectual Property Organization (WIPO) and other relevant disciplines.
a.
ARTICLE 4 Trade In Services With a view to expediting the expansion of trade in services, the Parties agree to enter into negotiations to progressively liberalise trade in services with substantial sectoral coverage. Such negotiations shall be directed to: progressive elimination of substantially all discrimination between or among the Parties and/or prohibition of new or more discriminatory measures with respect to trade in services between the Parties, except for measures permitted under Article V(1)(b) of the WTO General Agreement on Trade in Services (GATS);
b.
expansion in the depth and scope of liberalisation of trade in services beyond those undertaken by ASEAN Member States and China under the GATS; and
c.
enhanced co-operation in services between the Parties in order to improve efficiency and competitiveness, as well as to diversify the supply and distribution of services of the respective service suppliers of the Parties.
a.
ARTICLE 5 Investment To promote investments and to create a liberal, facilitative, transparent and competitive investment regime, the Parties agree to: enter into negotiations in order to progressively liberalise the investment regime;
b.
strengthen co-operation in investment, facilitate investment and improve transparency of investment rules and regulations; and
c.
provide for the protection of investments.
1.
ARTICLE 6 Early Harvest With a view to accelerating the implementation of this Agreement, the Parties agree to implement an Early Harvest Programme (which is an integral part of the ASEAN-China FTA) for products covered under paragraph 3(a) below and which will commence and end in accordance with the timeframes set out in this Article.
2.
For the purposes of this Article, the following definitions shall apply unless the context otherwise requires:
a.
“ASEAN 6” refers to Brunei, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore and Thailand;
b.
“applied MFN tariff rates” shall include in-quota rates, and shall:
i.
in the case of ASEAN Member States (which are WTO members as of 1 July 2003) and China, refer to their respective applied rates as of 1 July 2003; and
ii.
in the case of ASEAN Member States (which are non-WTO members as of 1 July 2003), refer to the tariff rates as applied to China as of 1 July 2003.
i.
3.
The product coverage, tariff reduction and elimination, implementation timeframes, rules of origin, trade remedies and emergency measures applicable to the Early Harvest Programme shall be as follows:
a.
Product Coverage All products in the following chapters at the 8/9 digit level (HS Code) shall be covered by the Early Harvest Programme, unless otherwise excluded by a Party in its Exclusion List as set out in Annex 1 of this Agreement, in which case these products shall be exempted for that Party: Chapter 01 02 03
Description Live Animals Meat and Edible Meat Offal Fish
04 05 06 07 08
Dairy Produce Other Animals Products Live Trees Edible Vegetables Edible Fruits and Nuts
ii.
A Party which has placed products in the Exclusion List may, at any time, amend the Exclusion List to place one or more of these products under the Early Harvest Programme.
iii.
The specific products set out in Annex 2 of this Agreement shall be covered by the Early Harvest Programme and the tariff concessions shall apply only to the parties indicated in Annex 2. These parties must have extended the tariff concessions on these products to each other.
iv.
For those parties which are unable to complete the appropriate product lists in Annex 1 or Annex 2, the lists may still be drawn up no later than 1 March 2003 by mutual agreement. b.
Tariff Reduction and Elimination
i.
All products covered under the Early Harvest Programme shall be divided into 3 product categories for tariff reduction and elimination as defined and to be implemented in accordance with the timeframes set out in Annex 3 to this Agreement. This paragraph shall not prevent any Party from accelerating its tariff reduction or elimination if it so wishes.
ii.
All products where the applied MFN tariff rates are at 0%, shall remain at 0%.
iii.
Where the implemented tariff rates are reduced to 0%, they shall remain at 0%.
iv.
A Party shall enjoy the tariff concessions of all the other parties for a product covered under paragraph 3(a)(i) above so long as the same product of that Party remains in the Early Harvest Programme under paragraph 3(a)(i) above. c.
Interim Rules of Origin
d.
The Interim Rules of Origin applicable to the products covered under the Early Harvest Programme shall be negotiated and completed by July 2003. The Interim Rules of Origin shall be superseded and replaced by the Rules of Origin to be negotiated and implemented by the Parties under Article 3(8)(b) of this Agreement. Application of WTO provisions
4.
5.
The WTO provisions governing modification of commitments, safeguard actions, emergency measures and other trade remedies, including anti-dumping and subsidies and countervailing measures, shall, in the interim, be applicable to the products covered under the Early Harvest Programme and shall be superseded and replaced by the relevant disciplines negotiated and agreed to by the Parties under Article 3(8) of this Agreement once these disciplines are implemented. In addition to the Early Harvest Programme for trade in goods as provided for in the preceding paragraphs of this Article, the Parties will explore the feasibility of an early harvest programme for trade in services in early 2003. With a view to promoting economic co-operation between the Parties, the activities set out in Annex 4 of this Agreement shall be undertaken or implemented on an accelerated basis, as the case may be.
1.
PART 2 ARTICLE 7 Other Areas Of Economic Co-operation The Parties agree to strengthen their co-operation in 5 priority sectors as follows:
a.
agriculture;
b.
information and communications technology;
c.
human resources development;
d.
investment; and
e.
Mekong River basin development.
2.
Co-operation shall be extended to other areas, including, but not limited to, banking, finance, tourism, industrial co-operation, transport, telecommunications, intellectual property rights, small and medium enterprises (SMEs), environment, bio-technology, fishery, forestry and forestry products, mining, energy and sub-regional development.
3.
Measures to strengthen co-operation shall include, but shall not be limited to:
a.
promotion and facilitation of trade in goods and services, and investment, such as: ii.
standards and conformity assessment;
iii.
technical barriers to trade/non-tariff measures; and
iv.
customs co-operation;
b.
increasing the competitiveness of SMEs;
c.
promotion of electronic commerce;
d.
capacity building; and
e.
technology transfer. 4.
1.
The Parties agree to implement capacity building programmes and technical assistance, particularly for the newer ASEAN Member States, in order to adjust their economic structure and expand their trade and investment with China.
PART 3 ARTICLE 8 Timeframes For trade in goods, the negotiations on the agreement for tariff reduction or elimination and other matters as set out in Article 3 of this Agreement shall commence in early 2003 and be concluded by 30 June 2004 in order to establish the ASEAN-China FTA covering trade in goods by 2010 for Brunei, China, Indonesia, Malaysia, the Philippines, Singapore and Thailand, and by 2015 for the newer ASEAN Member States.
2.
The negotiations on the Rules of Origin for trade in goods under Article 3 of this Agreement shall be completed no later than December 2003.
3.
For trade in services and investments, the negotiations on the respective agreements shall commence in 2003 and be concluded as expeditiously as possible for implementation in accordance with the timeframes to be mutually agreed: (a) taking into account the sensitive sectors of the Parties; and (b) with special and differential treatment and flexibility for the newer ASEAN Member States.
4.
For other areas of economic co-operation under Part 2 of this Agreement, the Parties shall continue to build upon existing or agreed programmes set out in Article 7 of this Agreement, develop new economic cooperation programmes and conclude agreements on the various areas of economic co-operation. The Parties shall do so expeditiously for early implementation in a manner and at a pace acceptable to all the parties concerned. The agreements shall include timeframes for the implementation of the commitments therein.
ARTICLE 9 Most-Favoured Nation Treatment
China shall accord Most-Favoured Nation (MFN) Treatment consistent with WTO rules and disciplines to all the non-WTO ASEAN Member States upon the date of signature of this Agreement. ARTICLE 10 General Exceptions Subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between or among the Parties where the same conditions prevail, or a disguised restriction on trade within the ASEAN-China FTA, nothing in this Agreement shall prevent any Party from taking and adopting measures for the protection of its national security or the protection of articles of artistic, historic and archaeological value, or such other measures which it deems necessary for the protection of public morals, or for the protection of human, animal or plant life and health.
1.
2.
1.
ARTICLE 11 Dispute Settlement Mechanism The Parties shall, within 1 year after the date of entry into force of this Agreement, establish appropriate formal dispute settlement procedures and mechanism for the purposes of this Agreement. Pending the establishment of the formal dispute settlement procedures and mechanism under paragraph 1 above, any disputes concerning the interpretation, implementation or application of this Agreement shall be settled amicably by consultations and/or mediation.
ARTICLE 12 Institutional Arrangements For The Negotiations The ASEAN-China Trade Negotiation Committee (ASEAN-China TNC) that has been established shall continue to carry out the programme of negotiations set out in this Agreement.
2.
The Parties may establish other bodies as may be necessary to co-ordinate and implement any economic cooperation activities undertaken pursuant to this Agreement.
3.
The ASEAN-China TNC and any aforesaid bodies shall report regularly to the ASEAN Economic Ministers (AEM) and the Minister of the Ministry of Foreign Trade and Economic Co-operation (MOFTEC) of China, through the meetings of the ASEAN Senior Economic Officials (SEOM) and MOFTEC, on the progress and outcome of its negotiations.
4.
The ASEAN Secretariat and MOFTEC shall jointly provide the necessary secretariat support to the ASEANChina TNC whenever and wherever negotiations are held.
1.
ARTICLE 13 Miscellaneous Provisions This Agreement shall include the Annexes and the contents therein, and all future legal instruments agreed pursuant to this Agreement.
2.
Except as otherwise provided in this Agreement, this Agreement or any action taken under it shall not affect or nullify the rights and obligations of a Party under existing agreements to which it is a party.
3.
The Parties shall endeavour to refrain from increasing restrictions or limitations that would affect the application of this Agreement.
ARTICLE 14 Amendments The provisions of this Agreement may be modified through amendments mutually agreed upon in writing by the Parties. ARTICLE 15 Depositary For the ASEAN Member States, this Agreement shall be deposited with the Secretary-General of ASEAN, who shall promptly furnish a certified copy thereof, to each ASEAN Member State.
1.
ARTICLE 16 Entry Into Force This Agreement shall enter into force on 1 July 2003.
2.
The Parties undertake to complete their internal procedures for the entry into force of this Agreement prior to 1 July 2003.
3.
Where a Party is unable to complete its internal procedures for the entry into force of this Agreement by 1 July 2003, the rights and obligations of that Party under this Agreement shall commence on the date of the completion of such internal procedures.
4.
A Party shall upon the completion of its internal procedures for the entry into force of this Agreement notify all the other parties in writing. IN WITNESS WHEREOF, WE have signed this Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of China. DONE at Phnom Penh, this 4th day of November, 2002 in duplicate copies in the English Language.