1
PEMBENTUKAN KEBIJAKAN FREE TRADE AREA JEPANG DALAM INISIASI CHINA-JAPAN-REPUBLIC OF KOREA FREE TRADE AGREEMENT (CJK FTA) PADA TAHUN 1999-2003 Ika Annisaa Farista, Asra Virgianita, S.Sos., M.A, Beginda Pakpahan, Ph.D 1. Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, 16242, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Hubungan trilateral antara China, Jepang, dan Korea Selatan memiliki karakteristik berupa hot economics, cold politics. Hubungan ekonomi yang erat ditengah tensi hubungan politik yang tinggi membuat ketiga negara ini tidak dapat duduk dalam satu forum tanpa melibatkan pihak ketiga. Tahun 2002 menjadi momen penting dalam sejarah hubungan trilateral ketika Pemerintah China mengajukan inisiasi pembentukan China-Japan-Republic of Korea Free Trade Agreement (CJK FTA). Jepang menanggapi proposal kerja sama tersebut dengan skeptis. Namun pada tahun 2003, Jepang menerima inisiasi kerja sama tersebut dan dibentuk trilateral joint study. Penelitian ini menganalisis faktor eksternal dan internal yang mendorong Jepang untuk menerima inisiasi pembentukan CJK FTA. Penelitian ini menunjukkan bahwa Jepang tidak dapat dilihat sebagai black box dalam proses pembentukan kebijakan FTA. Japan’s Free Trade Area Policy Making in Initiation of China-Japan-Republic of Korea Free Trade Agreement (CJK FTA) from 1999 to 2003 Abstract Trilateral relationship among China, Japan, and South Korea is known as hot economics, cold politics. Close economic relationship in the midst of political tensions has created a difficulty for these three countries to sit together in one forum. The year of 2002 became a historical moment in their trilateral relationship when China initiated China-Japan-Republic of Korea Free Trade Agreement (CJK FTA). Japan gave a skeptical respond towards the initiation. However, in 2003 Japan agreed to the initiation and established a trilateral joint study. The research aims to analyze the external and internal factors that pushed Japan to accept the initiation. This report demonstrates that Japan cannot be viewed as a block box in its FTA policy making. Key Words: Japan, trilateral cooperation, foreign policy, FTA Pendahuluan Pasca berakhirnya Perang Dunia II, sistem internasional dipenuhi dengan fenomena kerja sama internasional yang terus meningkat sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kembali perang dalam skala global. Negara-negara yang semula berkonflik melakukan berbagai cara untuk merekonsiliasi hubungan. Umumnya kerja sama pertama kali Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
2
dilakukan dibidang ekonomi karena ekonomi merupakan common interest semua negara. Seiring meningkatnya interdependensi ekonomi, maka kerja sama tersebut akan meluas ke bidang lain seperti keamanan, militer, dan sosial budaya. Ini dikenal dengan istilah spillover effect.1 Integrasi ekonomi antar negara umumnya menurunkan tensi politik dan konflik karena dari kerja sama ekonomi terjadi trust and confidence building. Ini adalah pola yang terlihat dalam kerja sama di Eropa yang merupakan episentrum dari dua perang dunia. Namun fenomena tersebut tidak terjadi dalam kasus tiga negara tetangga yaitu China, Jepang, dan Korea Selatan. Semenjak tahun 1990an, ketiga negara ini telah menunjukkan peningkatan hubungan perdagangan secara signifikan yang digerakkan oleh pasar. Perdagangan antara China, Jepang, dan Korea Selatan meningkat secara pesat karena didorong oleh kemajuan industri negara-negara tersebut yang menjadikan mereka sebagai new industrialized countries (NICs). Pada tahun 1990 hingga 2004, perdagangan antara China, Jepang, dan Korea Selatan meningkat dari 12,3% menjadi 24,1% dan menurun pada tahun 2011 menjadi 21,3%.2 Besarnya volume intra perdagangan antar ketiganya mendorong terbentuknya blok perdagangan yang terbentuk secara alami tanpa dorongan sebuah institusi (de facto).3 Integrasi ekonomi antara China, Jepang, dan Korea Selatan lahir dari meningkatnya perdagangan dan investasi lintas batas negara yang dimotori oleh kegiatan perusahaan multinasional dari ketiga negara tersebut. Perusahaan Jepang dan Korea Selatan yang berbasis di China merupakan motor penggerak perekonomian Jepang dan Korea Selatan.4 Blok perdagangan China, Jepang, dan Korea Selatan merupakan salah satu dari tiga blok perdagangan terbesar di dunia yang memiliki karakter yang berbeda dengan blok perdagangan Amerika Utara dan Uni Eropa. Karakter blok perdagangan tersebut adalah didorong oleh pasar (de facto) dan anggota blok perdagangan tersebut memiliki catatan sejarah konflik yang berkepanjangan. China, Jepang, dan Korea Selatan masing-masing memiliki konflik bilateral terkait perbedaan nilai dan sistem politik, konflik sejarah dan perebutan wilayah, isu nasionalisme dan antipati, perebutan status hegemon regional, reaksi
1
Ernst Haas, dikutip dalam Clive Archer, The European Union (London: Routledge, 2008), 10. Chang Jae Lee, “The Korean Perspective CJK Economic Trilateralism: The Prospects and Perils of a New FTA,” Joint US-Korea Academic Studies 24 (2013): 153. 3 Kevin G. Cai, “Is a Free Trade Zone Emerging in Northeast Asia in the Wake of the Asian Financial Crisis?,” Pacific Affairs 74, no. 1 (2001): 7. 4 TJ Pempel, “The Japanese Perspective CJK Economic Trilateralism: The Prospects and Perils of a New FTA,” Joint US-Korea Academic Studies 24 (2013): 168. 2
Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
3
atas
China’s
peaceful
rise5,
aliansi
Amerika
Serikat-Jepang-Korea
Selatan
dan
menyeimbangkan kekuatan Amerika Serikat di kawasan Asia Timur.6 Situasi tersebut menyebabkan rasa saling percaya antara ketiga negara ini sangat rendah. Fenomena yang terjadi antara China, Jepang, dan Korea Selatan ini dikenal dengan sebutan hot economics, cold politics (seirei keinetsu dalam bahasa Jepang atau zhengleng jingre dalam bahasa China).7 Isu-isu tersebut membuat China, Jepang, dan Korea Selatan tidak pernah bisa melakukan kerja sama tanpa mengikutsertakan pihak ketiga. Inisiasi kerja sama yang hanya melibatkan China, Jepang, dan Korea Selatan baru terjadi pada tahun 1999 ketiga negara ini bertemu di Manila, Filipina untuk menghadiri forum ASEAN+3. Diinisiasi oleh Perdana Menteri Keizo Obuchi, China, Jepang, dan Korea Selatan mengadakan pertemuan khusus yang membicarakan mengenai kerja sama ekonomi yang menjadi kepentingan setiap negara dan tidak menyinggung isu sensitif seperti keamanan.8 Pada trilateral summit tahun 2002 yang diadakan di Phnom Penh, Perdana Menteri China Zhu Rongji mengajukan proposal mengenai pembentukan perjanjian perdagangan bebas antara China, Jepang, dan Korea Selatan. Korea Selatan menyambut baik proposal China mengenai inisiasi pembentukan perjanjian bebas trilateral. Dilain pihak, Jepang menanggapi proposal tersebut dengan skeptis. Pemerintah Jepang meragukan inisiasi kerja sama tersebut dengan alasan meragukan kemampuan China untuk membentuk free trade area (FTA) ditengah persiapannya menjadi anggota baru World Trade Organization (WTO).9 Walaupun demikian pada tahun 2003 Jepang menandatangani Joint Declaration on the Promotion of Tripartite Cooperation among the People's Republic of China, Japan and the Republic of Korea yang ditandatangani pada ASEAN+3 Summit di Bali. Penandatanganan joint declaration tersebut menjadi komitmen ketiga negara untuk menginisiasi pembentukan China- Japan-Republic of Korea Free Trade Agreement (CJK FTA). 5
Wang Jisi dalam tulisannya Peaceful Rise: A Discourse in China mengatakan China’s peaceful rise adalah diskursus yang digunakan oleh pemerintah China untuk menggambarkan peningkatan kekuatan China bukan merupakan ancaman bagi dunia luar. Dengan demikian, diskursus China threat merupakan suatu hal yang tidak benar. Diskursus ini digunakan oleh Presiden Hu Jintao dan Perdana Menteri Wen Jiabao pada pidato resmi kenegaraan pertama kali pada akhir tahun 2003. 6 Scott Harold, “The Chinese Perspective CJK Economic Trilateralism: The Prospects and Perils of a New FTA,” Joint US-Korea Academic Studies 24 (2013): 141. 7 Kristi Govella dan Sara Newland, “Hot Economics, Cold Politics? Reexamining Economic Linkages and Political Tensions in Sino-Japanese Relations,” (tulisan dipresentasikan pada pertemuan tahunan Annual Meeting of the American Political Science Association, Washington DC, Amerika Serikat, 4 September 2010), 4, diakses pada 29 Juni 2014, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1642141. 8 Andrew Yeo, “China, Japan, South Korea Trilateral Cooperation: Implications For Northeast Asia Politics And Order,” EAI Issue Briefing, no. 07 (2012): 1-2. 9 Penghong Cai, “Chinese Perspectives on the Possibility of the China-Korea-Japan Free Trade Agreement,” The Journal of East Asian Affairs 16, no. 2 (2002): 220. Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
4
Jika dilihat pada konteks terjadinya inisiasi tersebut dapat dilihat bahwa hubungan politik dan ekonomi Jepang dengan China dan Korea Selatan memang sedang bergejolak. Dengan latar belakang hubungan politik dan ekonomi yang sedang panas, respon skeptis Jepang terhadap proposal inisiasi pembentukan CJK FTA dari China terlihat wajar. Namun Jepang pada akhirnya mengeluarkan kebijakan untuk menyetujui inisiasi tersebut sehingga dibentuk joint study CJK FTA. Dalam bidang politik politik, hubungan ketiga negara sedang panas setelah Jepang menerbitkan revisi buku sejarah yang digunakan di sistem pendidikan di Jepang pada bulan April tahun 2001.10 Buku sejarah tersebut menghilangkan catatan suram Jepang selama Perang Dunia II seperti isu comfort womens11dan okupasi Jepang terhadap Semenanjung Korea dipandang sebagai upaya pertahanan nasional.12 Penerbitan buku sejarah tersebut mendatangkan kemarahan dipihak China dan Korea Selatan yang kemudian menyerukan agar pemerintah Jepang segera merevisi buku sejarah tersebut. Hubungan politik ketiga negara semakin bertambah panas dengan kunjungan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi ke Yasukuni Shrine13 pada bulan Agustus 2001.14 Kunjungan Koizumi tersebut ditanggapi pemerintah China dengan mengeluarkan pernyataan resmi yang mengekspresikan kekecewaan pemerintah China atas kunjungan Koizumi.15 Hubungan ekonomi Jepang dan China memasuki masa yang sulit pada tahun 2000an. Pada periode tersebut, Jepang menghadapi ketakutan terhadap pesatnya pertumbuhan ekonomi China yang berpotensi melampaui ekonomi Jepang (China threat).16 Tidak hanya 10
Maaike Okano Heijmans, “Japan’s Economic Diplomacy towards China: The Lure of Business and the Burden of History,” Netherlands Institute of International Relations, no. 14 (2007): 33. 11 Comfort Womens adalah perbudakan seksual yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap perempuanperempuan di wilayah yang diduduki oleh Kekaisaran Jepang sejak tahun 1932 hingga akhir Perang Dunia II. Carmen M. Argibay, “Sexual Slavery and the Comfort Women of World War II,” Berkeley Journal of International Law 21, no. 2 (2003): 376. 12 Kathleen Woods Masalski, “Examining the Japanese History Textbook Controversies,” National Clearinghouse for United States-Japan Studies, Indiana University (2001): 2. 13 Yasukuni Shrine merupakan kuil yang didedikasikan bagi arwah atau kami laki-laki, perempuan, dan anakanak yang meninggal untuk Kekaisaran Jepang sejak restorasi Meiji tahun 1868. Diantara kami tersebut terdapat kami dari 1000 penjahat perang pada Perang Dunia II.13 Kejahatan perang tersebut antara lain pembunuhan masal, pemerkosaan, perbudakan seksual dan tenaga kerja paksa yang dilakukan di wilayah-wilayah yang dikuasai Jepang periode tersebut seperti China, Korea Selatan, dan Taiwan. Christpher Woolf, “Why is the Yasukuni Shrine So Controversial?,” 26 Desember 2013, diiakses 22 Februari 2014, http://www.pri.org/stories/2013-12-26/why-yasukuni-shrine-so-controversial. 14 William Breer and Tsuneo Watanabe, “PM Koizumi's Visit to Yasukuni Shrine: Waste of Political Capital,” Japan Watch Agustus 2001 Issue (2001): 1. 15 Ed Griffith, “The Three Phases of China’s Response to Koizumi and the Yasukuni Shrine Issue: Structuration in Sino-Japanese Relations,” European Research Center on Contemporary Taiwan Online Paper Series, no. 7 (2012): 12-13. 16 Kenichi Ohno, The Economic Development of Japan: The Path Traveled by Japan as a Developing Country (Tokyo: GRIPS Development Forum, 2006), 206. Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
5
itu, comparative advantage China berupa tenaga buruh murah dan biaya produksi murah dianggap menjadi saingan bagi industri domestik Jepang. Selain itu sepanjang tahun 2001 dan 2002, Jepang dan China juga terlibat di dalam sengketa perdagangan. Perubahan sikap Jepang untuk kemudian merespon positif inisiasi CJK FTA menjadi latar belakang penulis untuk mengangkat pertanyaan permasalahan penelitian: Mengapa Jepang menerima inisiasi China-Japan-Republic of Korea Free Trade Agreement (CJK FTA) pada tahun 2003? Adapun kerangka waktu dari penelitian ini adalah antara tahun 1999 sampai tahun 2003. Pemilihan kerangka waktu tahun 1999 dikarenakan pada tahun tersebut terjadi pertemuan historikal penting yakni pertemuan trilateral pertama antara China, Jepang, dan Korea Selatan. Pertemuan tersebut adalah cikal bakal dari inisiasi CJK FTA yang secara resmi diluncurkan pada tahun 2003 melalui penandatanganan Joint Declaration on the Promotion of Tripartite Cooperation among the People's Republic of China, Japan and the Republic of Korea. Tinjauan Teoritis 1. Free Trade Area (FTA) Free trade area merupakan salah satu bentuk dari perjanjian perdagangan yang ada. Gavin dan Lombaerda dalam tulisannya mengungkapkan perjanjian perdagangan memiliki beberapa tingkatan yang dapat dilihat dari tingkat ‘kedalaman’ integrasinya. Tingkat kedalaman ini dapat dibagi lagi ke dalam integrasi perdagangan dan integrasi moneter. Integrasi perdagangan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu free trade areas (FTAs), custom unions (CUs), dan common markets (CMs) atau single market.17 Walaupun CJK FTA masih berada pada tahap negosiasi, penelitian ini akan difokuskan kepada penerimaan Jepang terhadap inisiasi pembentukan perjanjian bebas yang dilihat dari proses pembentukan kebijakannya. FTA adalah bentuk integrasi ekonomi yang paling sederhana dimana beberapa negara menyetujui untuk meliberalisasi perdagangan dalam negerinya dan setiap negara masih dapat mempertahankan otoritas negaranya untuk melakukan beberapa kebijakan yang bersifat memproteksi perekonomian dalam negeri. FTA secara umum biasanya mencakup pengaturan mengenai pengurangan tarif dalam berbagai sektor. Setelah pengaturan pengurangan tarif, kerja sama akan semakin meluas kepada harmonisasi pengaturan finansial, jasa, dan transportasi. 17
Brigid Gavin dan Philippe De Lombaerda, “Economic Theories of Regional Integration,” dalam Global Politics of Regionalism, ed. Marry Farrel, Bjorn Hettne, dan Luk Van Langenhove (London: Pluto Press, 2005), 69. Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
6
2. Proses Pembentukan Kebijakan Luar Negeri Kebijakan luar negeri didefinisikan oleh K.J. Holsti sebagai ide atau tindakan yang dirancang oleh pembuat kebijakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan atau mempromosikan perubahan di dalam suatu kebijakan, sikap, atau tindakan yang dilakukan aktor negara dan non negara di dalam sistem ekonomi internasional atau lingkungan fisik dunia.18 Kebijakan luar negeri juga dirancang untuk mencapai kepentingan domestik seperti keamanan, otonomi, kesejahteraan ekonomi, dan status atau prestise.19 Setiap negara memiliki prioritas dan kepentingan yang berbeda di dalam merumuskan suatu kebijakan luar negeri. Penelitian ini akan menggunakan konsep mengenai proses pembentukan kebijakan luar negeri yang diambil dari tulisan Kaarbo, Lantis, dan Beasley. Kaarbo, Lantis, dan Beasley dalam tulisannya mengatakan literatur proses pembentukan kebijakan luar negeri umumnya terbagi kedalam dua kategori yakni pengaruh eksternal terhadap kebijakan luar negeri dan pengaruh internal terhadap kebijakan luar negeri.20 Sistem internasional yang menjadi lingkungan dari suatu negara akan mempengaruhi perilaku negara tersebut. Begitu juga karakter politik domestik suatu negara akan mempengaruhi bentuk kebijakan luar negeri negara tersebut. Kaarbo, Lantis, dan Beasley berpendapat faktor eksternal yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri (terlepas dari perspektif apapun yang digunakan) dipengaruhi adalah status negara tersebut di dalam sistem internasional dan hubungan transnasional atau linkage dengan aktor lain di dalam sistem internasional.21 Christopher C. Meyerson dalam tulisannya menjelaskan yang dimaksud dengan status negara tersebut di dalam sistem internasional adalah posisi suatu negara di dalam tatanan ekonomi politik internasional seperti negara hegemon atau bukan dan economic size negaranya.22 Negara dengan kekuatan ekonomi yang besar memiliki preferensi untuk membentuk rezim perdagangan liberal dan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi negara lain untuk ikut berpartisipasi di dalamnya. Penelitian ini akan melihat posisi Jepang di dalam sistem ekonomi politik internasional khususnya di kawasan Asia Timur. 18
K.J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 6th Edition (New Jersey: Prentice Hall. Inc., 1992), 82. 19 Ibid., 83-109. 20 Juliet Kaarbo, Jeffrey S. Lantis, dan Ryan K. Beasley, “The Analysis of Foreign Policy in Comparative Perspective,” dalam Foreign Policy in Comparative Perspective: Domestic and International Influences in State Behaviour, ed. Ryan K Beasley, Juliet Kaarbo, Jeffrey S. Lantis, dan Michael T. Snarr (Washington DC: Congressional Quaterly Press, 2001), 7. 21 Ibid., 13. 22 Christopher C. Meyerson, Domestic Politics and International Relations in US-Japan Trade Policymaking: The GATT Uruguay Round Agriculture Negotiations (New York: Palgrave Macmillan, 2003), 9. Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
7
Hubungan dengan aktor lain di dalam sistem internasional memiliki pengertian yang luas. Rainer Baumann dan Frank A. Stengel dalam tulisannya mengidentifikasi empat jenis aktor di dalam proses pembentukan kebijakan luar negeri yaitu aktor negara, sektor privat, aktor internasional, dan aktor transnasional.23 Baumann dan Stengel mendefinisikan aktor internasional sebagai entitas legal yang aktivitasnya melewati batas-batas administratif negara dan aktor transnasional sebagai entitas di bawah hukum privat yang aktivitasnya melewati batas-batas administratif negara. Pada praktiknya, aktor internasional dan aktor transnasional sulit untuk dibedakan secara jelas.24 Untuk itu dalam penelitian ini, aktor lain di dalam sistem internasional akan didefinisikan sebagai negara lain dan kelompok kepentingan transnasional. Dalam penelitian ini aktor negara yang diteliti adalah Amerika Serikat, China, dan Korea Selatan. Salah satu faktor eksternal yang dominan dalam proses pembentukan kebijakan di Jepang adalah tekanan dari Amerika Serikat.25 Kemampuan Amerika Serikat untuk mempengaruhi kebijakan Jepang tidak lepas dari dependensi Jepang terhadap payung keamanan Amerika Serikat. Tidak hanya itu Amerika Serikat juga merupakan tujuan ekspor penting bagi Jepang. Inilah yang menjadikan Amerika Serikat salah satu sumber gaiatsu (tekanan internasional) dalam proses pembentukan kebijakan di Jepang. Penelitian ini akan menganalisis kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia Timur. China dan Korea Selatan akan diteliti karena kedua negara tersebut merupakan mitra kerja sama Jepang dalam inisiasi pembentukan perjanjian perdagangan bebas. Penelitian ini akan menganalisis lobi pemerintah dan komunitas bisnis China dan Korea Selatan untuk membentuk CJK FTA. Kaarbo, Lantis, dan Beasley dalam tulisannya menguraikan faktor-faktor internal yang mempengaruhi proses pembentukan kebijakan luar negeri adalah aktor dan institusi domestik di dalam suatu negara yakni publik, kelompok kepentingan, organisasi pemerintahan, dan kepemimpinan.26 Faktor publik dan kepemimpinan tidak akan diteliti lebih lanjut dalam tulisan ini. Faktor publik tidak akan diteliti lebih lanjut karena berdasarkan tulisan Michael Minor topik penelitian ini tergolong ke dalam routine decisions. Routine decisions merupakan model pembentukan kebijakan luar negeri yang melibatkan situasi yang tidak kontroversional sehingga opini publik tidak berperan dalam pembentukan kebijakannya.27 Routine decisions 23
Rainer Baumann dan Frank A. Stengel, “Foreign Policy Analysis, Globalisation and Non-State Actors: StateCentric After All?,” Journal of International Relations and Development (2013):5. 24 Ibid., 6. 25 Ian Nish, “Themes in Japan’s Foreign Policy Relations,” The World Today 34, no. 5 (1978): 157. 26 Kaarbo, Lantis, dan Beasley, “The Analysis of Foreign Policy in Comparative Perspective,” 14. 27 Michael Minor, “Decision Models and Japanese Foreign Policy Decision Making,” Asian Survey 25, no. 12 (1985):1233. Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
8
pada awalnya menjadi perhatian eksekutif namun akan langsung diteruskan kepada birokrasi yang bersangkutan. Faktor internal yakni kepemimpinan tidak akan diteliti karena krakteristik kepemimpinan menjadi penting ketika pemimpin atau eksekutif memiliki peran yang signifikan dalam proses pembentukan kebijakan.28 Hal ini tidak ditemukan di Jepang. Walaupun pemerintahan Jepang dirancang agar berfungsi seperti Westminster-style system, dengan Perdana Menteri yang kuat serta kabinet pemerintahan dan pembentukan kebijakan yang bersifat top-down, hal tersebut tidak pernah terjadi.29 Bahkan pemerintahan LDP di Jepang juga memiliki badan khusus untuk membuat suatu kebijakan yang berada di luar legislatif
yaitu
Policy
Affairs
Research
Council
(PARC).30
Kimerarenai
seiji
(ketidakmampuan pemerintah Jepang untuk membuat kebijakan yang otoritatif) kini sudah menjadi salah satu frase yang digunakan untuk menjelaskan politik Jepang.31 Faktor internal yang mempengaruhi pembentukan kebijakan luar negeri Jepang dalam kasus FTA adalah kelompok kepentingan dan organisasi pemerintahan. Kelompok kepentingan mengartikulasikan posisi tertentu dari sebagian masyarakat dan melakukan tekanan dan persuasi terhadap pemerintah.32 Di Jepang, LDP yang menguasai kursi Diet memiliki konstituen yang besar dari kelompok petani. Untuk itu, beberapa anggota Diet akan menolak untuk melakukan liberalisasi sektor pertanian karena adanya ketakutan akan kehilangan kursi.33 Kelompok kepentingan ekonomi merupakan elemen penting di dalam pembuatan kebijakan karena kelompok tersebut membantu meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan ekonomi merupakan salah satu tujuan negara. Dalam kasus Jepang, kelompok kepentingan ekonomi yang paling berpengaruh adalah Nippon Keidanren.34 Keidanren mampu menekan pemerintah Jepang karena memiliki hubungan yang dekat dengan institusi pemerintahan dengan Ministry of International Trade and Industry (MITI)35, Ministry of Foreign Affairs (MOFA), dan Ministry of Finance (MOF). METI khususnya bekerja sama 28
Kaarbo, Lantis, dan Beasley, “The Analysis of Foreign Policy in Comparative Perspective,” 18. Ellis S. Krauss dan Robert J. Pekkanen, “The Rise and Fall of Japan’s Liberal Democratic Party,” The Journal of Asian Studies 69, no. 1 (2010): 8. 30 Ibid., 7. 31 Takashi Inoguchi, “Japan in 2012: Voters Swing, and Swing Away Soon,” Asian Survey 53, no.1 (2013): 187. 32 Kaarbo, Lantis, dan Beasley,, “The Analysis of Foreign Policy in Comparative Perspective,” 15. 33 Ahn Se Young, “Domestic Politics of FTA and Trade Policy Coordination in North East Asia: The Mid-level FTA,” Sogang IIAS Research Series on International Affairs 5 (2005):15. 34 Nippon Keidanren atau Keidanren merupakan organized business actors atau zaikai paling berpengaruh di Jepang. Linus Hagstrom, “Diverging Accounts of Japanese Policymaking,” Working Paper European Institute of Japanese Studies, no. 102 (2002): 9. 35 MITI pada tahun 2001 mengubah namanya menjadi Ministry of Economy, Trade, and Industry (METI). Perubahan nama tersebut tidak mengubah esensi maupun karakter birokrasinya sehingga penggunaan kedua nama tersebut dapat digunakan secara bergantian. 29
Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
9
dengan Keidanren mempromosikan perjanjian perdagangan bebas.36 Dalam pembentukan FTA, Keidanren berperan penting dalam memberi informasi mengenai kesulitan melakukan bisnis disuatu negara dari asosiasi bisnis yang menjadi anggotanya.37 Di Jepang, organisasi pemerintahan yang berperan penting dalam membentuk kebijakan luar negeri terkait FTA terpusat pada yonshô taisei (four-ministry structure) yang melibatkan METI, MOFA, MOF, dan Ministry of Agriculture, Forestry, and Fisheries (MAFF). Peran MOF di dalam inisiasi CJK FTA tidak akan diteliti secara mendalam karena MOF berperan dalam menentukan kerja sama finansial regional yang dilakukan di dalam forum seperti China-Japan-Korea Finance Ministers yang dilakukan setiap tahun sejak tahun 2000 dan Chiang Mai Initiative.38 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif khususnya case study methods. Case study methods dibagi lagi ke dalam tiga jenis yakni single case studies, paired comparison, dan multiple cases. Penelitian ini khususnya menggunakan single case studies. Dalam tulisannya Audie Klotz mengatakan single case studies berasal dari puzzle empirik atau kemunculan suatu fenomena atau peristiwa yang terjadi di luar pola yang dijelaskan di dalam suatu teori atau pengetahuan umum.39 Kasus penelitian ini merupakan sebuah kasus di
luar pola pembentukan FTA yang selama ini dilakukan Jepang. CJK FTA merupakan momen pertama kalinya Jepang membentuk sebuah perjanjian perdagangan bebas dengan negara yang memiliki economic size yang hampir sama dengan Jepang. Dengan demikian penelitian mampu menjelaskan proses pembentukan kebijakan FTA di Jepang dengan negara mitra yang mempunyai economic size yang menyerupai Jepang. John S. Odell dalam tulisannya mengatakan case study methods merupakan metode yang paling umum digunakan di dalam penelitian dengan topik ekonomi politik internasional. Odell membagi single case studies ke dalam beberapa tipe yang lebih khusus yakni descriptive case study, preliminary illustration of a theory, disciplined interpretive case study, hypothesis-generating case study, theory confirming case study, dan theory infirming case 36
Hidetaka Yoshimatsu, “Japan's Keidanren and Free Trade Agreements: Societal Interests and Trade Policy,” Asian Survey 45, no. 2 (2005): 264. 37 Ibid., 265. 38 Three-Party Committee, “The Progress Report of the Trilateral Cooperation among the People’s Republic of China, Japan and the Republic of Korea,” (2004), 7, diakses 26 Mei 2014, http://www.mofa.go.jp/region/asiapaci/asean/pmv0411/report.pdf. 39 Audie Klotz, “Case Selection,” dalam Qualitative Methods in Internastional Relations: A Pluralist Guide Research Methods, ed. Audie Klotz dan Deepa Prakash (New York: Palgrave Macmillan, 2008), 51. Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
10
study.40 Penelitian ini menggunakan descriptive case study yang berusaha untuk memberikan penjelasan atas terjadinya sebuah fenomena secara sistematis. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan yang mengidentifikasi faktor eksternal dan internal yang menjadi faktor determinan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode studi literatur terhadap data sekunder mengenai CJK FTA menurut perspektif Jepang. Dengan demikian, penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Hasil Penelitian Dengan melihat proses pembentukan kebijakan FTA, dapat ditemukan bahwa perubahan sikap Jepang merespon positif inisiasi pembentukan CJK FTA dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. 1. Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Respon Positif Jepang Terhadap Inisiasi CJK FTA 1. 1 Posisi Jepang di dalam sistem internasional Berdasarkan tulisan Kaarbo, Lantis dan Beasley, posisi suatu negara di dalam sistem internasional mempengaruhi proses pembentukan kebijakan luar negerinya. Adapun posisi internasional tersebut ditentukan oleh identifikasi negara tersebut sebagai hegemon atau bukan dan economic size negaranya. Jepang di dalam sistem internasional bukanlah negara hegemon karena selain tidak memiliki kapabilitas militer yang mumpuni, kebijakan luar negeri Jepang pasca Perang Dingin juga tidak menunjukkan adanya kesiapan dan keinginan untuk berperan aktif memainkan peran sebagai great power di dalam sistem internasional.41 Dari segi economic size, pada tahun 1999-2003 Jepang merupakan perekonomian kedua terbesar di dunia. Economic size Jepang pada periode 1999-2003 menghadapi berbagai ‘tantangan’. Adapun ‘tantangan’ tersebut berasal dari berbagai gejolak yang disebabkan oleh krisis finansial Asia tahun 1997/1998 dan masuknya China menjadi anggota WTO. Krisis finansial Asia tahun 1997/1998 melemahkan perekonomian Jepang dan membuat Jepang harus mengambil berbagai langkah untuk memperbaiki perekonomian negaranya. Salah satu langkah yang diambil oleh Jepang adalah menginisiasi kerja sama bilateral dengan Korea Selatan. Langkah serius untuk meningkatkan kerja sama dikawasan ditunjukkan pertama kali 40
John S. Odell, “Case Study Methods in International Political Economy,” dalam Cases, Numbers, Models: International Relations Research Methods, ed. Detlef F. Sprinz and Yael Wolinsky (New York: University of Michigan Press, 2002), 66-73. 41 Soeya Yoshihide, Japan as a Regional Actor (Tokyo: Japan Center for International Exchange, 2003): 47. Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
11
oleh Kazuo Ogura, duta besar Jepang untuk Korea Selatan pada September 1998. Ogura secara terbuka mengungkapkan pembentukan aliansi perdagangan yang terjadi antara Jepang dan Korea Selatan untuk melawan blok ekonomi dari Barat.42 Pada tahun 1999 dalam kunjungan resminya ke Seoul, Perdana Menteri Jepang Keizo Obuchi mengungkapkan bahwa Jepang dan Korea Selatan perlu mengambil langkah aktif membentuk perjanjian perdagangan bebas di Asia Timur Laut yang berdiri sejajar dengan Uni Eropa.43 Dalam berbagai pembicaraan pembentukan FTA bilateral dengan Korea Selatan, pemerintah Korea Selatan mengajukan proposal kepada Jepang untuk membentuk FTA bilateral yang akan mengikutsertakan China dikemudian hari. Ini merupakan cikal bakal inisiasi CJK FTA yang terjadi ditingkat pemerintahan. Masuknya China menjadi anggota WTO pada tahun 2001 juga menjadi isu penting bagi perekonomian Jepang. Masuknya China menjadi anggota WTO akan mempengaruhi perekonomian Jepang dan negara Asia Timur lainnya dalam berbagai bentuk seperti meningkatkan akses ke pasar domestik China, meningkatkan kompetisi China di pasar negara lain, meningkatkan investasi asing ke China maupun FDI dari China ke negara lain, transparansi dan prediksi mengenai kebijakan perdagangan.44 Bagi Jepang, dampak paling besar dari masuknya China menjadi anggota WTO adalah China menjadi semakin menarik bagi destinasi investasi Jepang. Masuknya China menjadi anggota WTO menunjukkan bahwa China akan semakin memperbesar akses pihak asing ke pasarnya. Ini kemudian memunculkan rivalitas antar negara-negara maju untuk mengambil kesempatan dari liberalisasi ekonomi China. CJK FTA menjadi salah satu cara Jepang untuk memastikan perusahaan-perusahaan Jepang tidak mengalami diskriminasi dari negara mitra FTA China lainnya dan membuat Jepang lebih mudah membaca arah kebijakan perdagangan China. Dari segi politik, masuknya China menjadi anggota WTO membuat Jepang lebih mudah untuk membaca kebijakan perdagangan China. Hal ini disebabkan sebagai anggota WTO, China harus mematuhi komitmen untuk meningkatkan transparansi peraturan perdagangan. Untuk itu CJK FTA menjadi instrumen bagi Jepang untuk memadukan engagement dan hedging terhadap China.45
42
Cai, “Is a Free Trade Zone Emerging in Northeast Asia in the Wake of the Asian Financial Crisis?,” 12. Ibid. 44 Elena Ianchovichina dan Terrie Walmsley, “Impact of China’s WTO Accession on East Asia,” World Bank Policy Research Working Paper 3109 (2003): 4. 45 Yoko Iwama, “Japan’s Domestic Politics and East Asian Security,” Policy Brief, no. 7 (2012): 7. 43
Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
12
1.2. Hubungan Jepang dengan aktor lain di dalam sistem internasional Hubungan Jepang dengan aktor lain di dalam sistem internasional berhubungan dengan kepentingan Amerika Serikat di Asia Timur, lobi pemerintah dan komunitas bisnis China dan Korea Selatan. Dalam kasus CJK FTA, Amerika memiliki berbagai kepentingan sehingga relatif menerima inisiasi kerja sama yang mengeksklusikan negaranya dalam integrasi di Asia Timur. Terkait kepentingan ekonomi, pembuat kebijakan di Amerika Serikat meyakini bahwa Jepang akan menjadi masalah jika perekonomiannya melemah.46 Melemahnya perekonomian Jepang tidak hanya akan mempengaruhi hubungan perdagangan dan keuangan Jepang dengan Amerika Serikat tetapi juga dapat memperlemah pertumbuhan ekonomi di Asia Timur. Pola pikir tersebut muncul sebagai pembelajaran yang diambil dari kejadian krisis finansial Asia tahun 1997/1998. Memasuki awal 2000an, Jepang memasuki dekade kedua stagnansi ekonomi. Walaupun pertumbuhan ekonomi mulai membaik pasca krisis Asia 1997/1998, perekonomian Jepang masih relatif lemah untuk menjadi lokomotif pertumbuhan baik untuk Amerika Serikat maupun di kawasan Asia Timur. Selain itu program FTA Jepang yang masih tertinggal dari China membuat Jepang sulit untuk dianggap sebagai counterweight yang kredibel untuk menghadapi China’s rise.47 Untuk itu Amerika Serikat cenderung menerima kebijakan Jepang yang berupaya untuk menstimulus pertumbuhan ekonominya pasca krisis finansial Asia. Dalam konteks yang lebih luas, ekonomi Jepang yang kuat akan menjadi counterweight terhadap pertumbuhan China. Dalam kasus CJK FTA, Amerika Serikat yang selalu menolak upaya pembentukan integrasi yang mengeksklusikan negaranya mendapatkan assurance dari pemerintah Jepang untuk tidak terlalu khawatir terhadap inisiasi pembentukan blok perdagangan di Asia. Anggota Upper House Diet dari LDP menyakinkan Amerika Serikat bahwa walaupun suara di dalam Diet masih terbagi antara mendukung dan menolak negosiasi pembentukan FTA dengan China, konsensus yang terbentuk adalah masih terlalu awal untuk maju ke tahap tersebut.48 Selain Amerika Serikat yang seolah “melanggengkan” inisiasi pembentukan CJK FTA, lobi dari pemerintah dan komunitas bisnis China dan Korea Selatan juga turut mempengaruhi sikap Jepang untuk merespon inisiasi pembentukan CJK FTA. Lobi 46
Ibid. Richard L. Armitage dan Joseph S. Nye, “The US-Japan Alliance: Getting Asia Right through 2020,” Center for Strategic and International Studies (2007):6. 48 Raymond J. Ahearn, “Japan’s Free Trade Agreement Program,” 5. 47
Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
13
pemerintah China kepada pemerintah Jepang untuk menerima inisiasi pembentukan CJK FTA hampir sulit untuk dikemukakan secara pasti mengingat banyaknya isu politik lain yang mewarnai hubungan bilateral kedua negara. Namun lobi untuk membentuk perjanjian perdagangan bebas telah terjadi dikalangan grass root sejak tahun 1980an akhir. Sejak pembentukan zona ekonomi eksklusif di Semenanjung Shangdong dan Liodong pada tahun 1987 mulai muncul berbagai proposal dan diskusi baik ditingkat pemerintah provinsi, institusi akademik, akademisi dan komunitas bisnis Jepang untuk membentuk economic circles seperti East China Sea Economic Circle, Yellow Sea Economic Circle, dan sebuah FTA di Asia Timur Laut.49 Namun pemerintah pusat China dan Jepang belum mengambil langkah aktif terhadap inisiasi tersebut. Pembicaraan mengenai CJK FTA mulai muncul ke permukaan kembali setelah krisis finansial Asia tahun 1997/1998. Konsep CJK FTA dikemukakan di depan umum oleh seorang ahli ekonomi dari China bernama Hu Angang pada tahun 2000. Pemikiran Hu Angang pertama kali dipresentasikan pada acara Leading Expert Seminar yang diadakan oleh KIEP dan disempurnakan melalui berbagai international symposium yang diadakan di Korea Selatan dan Jepang.50 Ide inisiasi CJK FTA yang berkembang dikalangan akademisi dan komunitas bisnis China menjadi lobi sekunder dimana lobi tidak bersifat government to government tetapi kalangan akademisi China menyampaikan ide CJK FTA yang dikemukakan dalam forum yang dihadiri oleh akademisi, kalangan akademisi, dan pejabat dari kementerian terkait dari Jepang dan Korea Selatan. Pembicaraan mengenai FTA trilateral antara Jepang dan Korea Selatan sudah muncul sejak diskusi pembentukan JK FTA (Japan Korea Free Trade Agreement).51 Diskusi pembentukan JK FTA pada tingkat pemerintahan terjadi pada tahun 1998 ketika Presiden Korea Selatan Kim Dae Jung dan Perdana Menteri Jepang Keizo Obuchi mengajukan proposal Action Plans for a New Korea-Japan Partnership for the 21st Century.52 Sejak saat itu dilakukan berbagai upaya untuk menuju pembentukan FTA bilateral seperti joint 49
Cai, “Chinese Perspectives on the Possibility of the China-Korea-Japan Free Trade Agreement,” 203. Hu Angang, “Proposition for Setting Up Free Trade Agreement (FTA) between China, Hong Kong, Japan and Korea,” (tulisan dipresentasikan di dalam Leading Expert Seminar yang diadakan KIEP tahun 2000 di Seoul. Korea Selatan.), 1, diakses pada 30 Juni 2014, www.khdi.or.kr/etcbiz/docu_file/20020722_5.doc. 51 John Lawrence Avila, “An East Asian FTA: A Philippine Perspective,” dalam East Asian Economic Regionalism: Feasibilities And Challenges, ed. Choong Yong Ahn, Richard E. Baldwin, dan Inkyo Cheong, (Belanda: Springer, 2005), 127. 52 Chan-Hyun Sohn, “Korea’s FTA Development: Experiences and Perspectives with Chile, Japan, and the U.S.,” (tulisan dipresentasikan pada Trade Policy Forum Bangkok, Thailand, 12-13 Juni 2001), 12, diakses pada 30 Juni 2014, www.hkcpec.org/files/r47.pdf. 50
Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
14
symposium “Toward a Japan-Korea FTA: Assessments and Prospects” pada tahun 200053, pembentukan Japan-Korea Business Forum pada tahun September 2000 dan pembentukan joint study resmi bernama Study Group of the JK FTA pada tahun 2002. Selama pertemuan tersebut gagasan pembentukan FTA trilateral dengan China kerap muncul. Selama diskusi pembentukan JK FTA, pemerintah dan komunitas bisnis Korea Selatan, Federation of Korean Industries (FKI) sudah mengajukan gagsaan agar dibentuk FTA trilateral dengan China. Hal ini dilakukan pemerintah Korea Selatan karena pemerintah Korea Selatan melihat JK FTA sebagai jalan untuk membentuk Northeast Asian FTA.54 Pemerintah Korea Selatan menilai bahwa China merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan regionalisme di Asia Timur Laut. Pemerintah Korea Selatan telah mengembangkan konsep bahwa Korea Selatan akan berperan sebagai hub antara China dan Jepang.55 Komunitas bisnis Korea Selatan juga sudah menerima konsep tersebut dengan harapan dapat memperluas akses ke pasar dan industri China. Dengan demikan dapat dilihat bahwa lobi pemerintah Korea Selatan jauh lebih dominan ketimbang lobi pemerintah China. Lobi komunitas bisnis untuk membentuk sebuah perjanjian perdagangan bebas trilateral terjadi pada pertemuan tahunan ke 15 FKI dengan Keidanren pada Oktober 1998. Pada pertemuan tersebut komunitas bisnis kedua negara menyetujui untuk membentuk “Korea-Japan-China
industrial
cooperation
committee”
untuk
mengatasi
berbagai
permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara regional.56 Pertemuan tersebut juga menghasilkan sebuah joint statement yang mengatakan bahwa komunitas bisnis Jepang dan Korea Selatan sama-sama meyakini bahwa Jepang, Korea Selatan, dan China sudah siap untuk membentuk FTA trilateral yang akan menstimulasi perdagangan dan kerja sama industri di kawasan.57 Forum lain yang aktif mendorong promosi CJK FTA adalah China-Korea Economic Symposium yang dilaksanakan tahun 2002.58 Tidak hanya mengajukan promosi CJK FTA, kelompok pebisnis juga menyuarakan mengenai promosi China-Korea FTA. Selain itu dukungan kelompok pebisnis kepada CJK FTA juga dilakukan melalui China-Japan-Korea business forum yang terbentuk pada tahun 2002. 53
Charles Harvie dan Fukunari Kimura, New East Asian Regionalism: Causes, Progress and Country Perspectives (New York: Edward Elgar Publishing, 2006 , 183. 54 Ibid. 55 Frédérique Sachwald, “FDI and the Economic Status of Korea: The Hub Strategy in Perspective,” The Korea Economic Institute (2002): 93-94. 56 Cai, “Is a Free Trade Zone Emerging in Northeast Asia in the Wake of the Asian Financial Crisis?,” 13-14. 57 Ibid., 14. 58 Inkyo Cheong, “Evaluation of Recent Progress of FTAs in East Asia: A Korean Perspective”, dalam East Asian Economic Regionalism: Feasibilities And Challenges, ed. Choong Yong Ahn, Richard E. Baldwin, dan Inkyo Cheong (Belanda: Springer, 2005), 40. Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
15
2. Faktor Internal yang Mempengaruhi Respon Positif Jepang Terhadap Inisiasi CJK FTA 2.1. Kelompok Kepentingan Domestik Sebagai organized business actors atau zaikai paling berpengaruh di Jepang dan sering disebut “the prime minister of the business world”59, Keidanren merupakan kelompok kepentingan domestik yang prominent dalam pembentukan FTA di Jepang. Usaha Keidanren untuk mendorong Jepang agar aktif dalam membentuk FTA tertuang di dalam berbagai policy recommendations. Terkait CJK FTA, Keidanren pada periode 1999-2003 tidak mengeluarkan position paper resmi yang menunjukkan posisinya secara jelas. Namun sebelumnya, Keidanren sangat mendukung ide pembentukan FTA bilateral dengan Korea Selatan. Keidanren terlibat di dalam proses pembentukan JK FTA dengan berbagai cara. Dukungan Keidanren terlihat di dalam hasil joint communiqué yang dikeluarkan oleh Japan-Korea Industrial Cooperation Study Group pada November 2001. Japan-Korea Industrial Cooperation Study Group merupakan joint study yang dibentuk oleh Keidanren dan FKI. Joint communiqué tersebut mengajukan agar JK FTA segera dibentuk. Absennya pengajuan resmi Keidanren untuk membentuk FTA bilateral dengan China ditengah hubungan ekonomi Jepang dan China yang terus meningkat adalah karena terpecahnya suara di dalam tubuh Keidanren.60 Di dalam berbagai survei yang diadakan Keidanren, kalangan bisnis Jepang sangat mendukung perjanjian perdagangan bebas dengan China. Namun terdapat kelompok yang tidak mendukung pembentukan FTA dengan China yakni industri manufaktur yang bersifat labor intensive.61 Walaupun Keidanren tidak mengeluarkan proposal kebijakan yang khusus terkait CJK FTA. Dalam proposal kebijakan yang lain, Keidanren mengungkapkan pandangannya akan pentingnya memperkuat hubungan ekonomi dengan China dan Korea Selatan seperti yang tertuang di dalam dokumen berjudul Japan-China Relations In The 21st Century: Recommendations For Building A Relationship Of Trust And Expanding Economic Exchanges Between Japan And China. Dalam dokumen ini Keidanren mengungkapkan sebagai perekonomian penting di Asia, kerja sama antara Jepang dan China akan mempromosikan stabilitas di kawasan. Dalam jangka panjang, Keidanren berharap Jepang dan China dapat menginisiasi East Asia Free Trade Area untuk memperluas kerja sama ekonomi di kawasan. 59
Sayuri Daimon, “The All-Powerful Voice of Corporate Japan”, The Japan Times, 16 Juni 2009, diakses 1 Juni 2014, http://www.japantimes.co.jp/news/2009/06/16/reference/the-all-powerful-voice-of-corporate-japan/. 60 Alisa Gaunder , The Routledge Handbook of Japanese Politics (New York: Taylor & Francis, 2011), 182. 61 Ibid. Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
16
Dukungan Keidanren terhadap East Asia Free Trade Area juga dituangkan di dalam sebuah laporan yang diterbitkan tahun 2003 berjudul Recommendations for Expanding Economic and Trade Ties with China Following Its Accession to the World Trade Organization. Dari uraian sebelumnya dapat dilihat bahwa walaupun komunitas bisnis Jepang sangat mendukung pembentukan FTA dengan China dan Korea Selatan, pada kurun waktu 19992003 Keidanren belum berinisiasi mendorong FTA trilateral.62 Keidanren lebih mendorong pembentukan FTA bilateral dengan Korea Selatan dan mengusung konsep East Asia Free Trade Area yang mengikutsertakan ASEAN dan China sebagai tujuan jangka panjang. Dengan demikian, Keidanren memposisikan China sebagai mitra FTA bersama dengan ASEAN di dalam sebuah FTA plurilateral bukan dalam FTA trilateral. Walaupun tidak mengutarakan ide mengenai pembentukan FTA bilateral dengan China, Keidanren mendukung peningkatan hubungan ekonomi dengan China untuk mempermudah aktivitas bisnis perusahaan Jepang di China. 2.2. Organisasi pemerintahan Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, organisasi pemerintahan yang berperan dalam pembentukan kebijakan terkait perdagangan dan industri regional dalam FTA Jepang adalah METI, MOFA, dan MAFF. METI merupakan organisasi pemerintahan yang yurisdiksinya membawahi perdagangan dan mikro ekonomi terutama perindustrian. Dalam kasus CJK FTA, METI memasukkan China ke dalam konsep East Asian Business Zone yang tuangkan di dalam White Paper on International Trade tahun 2003.63 East Asian Business Zone secara garis besar merupakan upaya pembentukan kawasan ekonomi eksklusif yang idenya muncul dari meningkatnya aktivitas perusahaan Jepang di Asia Timur dan Asia Tenggara. Pembentukan zona ekonomi ini bertujuan untuk mengamankan akses pasar di Asia Timur dan Asia Tenggara serta mengurangi biaya transaksi regional yang akan menguntungkan perusahaan Jepang.64 Adapun anggota East Asian Business Zone adalah negara ASEAN+3 serta Taiwan dan Hongkong. Untuk itu METI merupakan organisasi pemerintahan yang paling antusias terhadap inisiasi pembentukan CJK FTA. Organisasi pemerintah lain yang berperan dalam pembentukan kebijakan FTA adalah MOFA. MOFA adalah organisasi pemerintahan yang bertanggung jawab dalam mengurus 62
Saori N. Katada, “Politics that Constrains: The Logic of Fragmented Regionalism in East Asia,” East Asia Institute Fellow Program Working Paper Series no. 21 (2009): 21. 63 Ministry of Economy,Trade, and Industry, “White Paper on International Trade 2003,” 297, diakses 11 Juni 2014, http://www.meti.go.jp/english/report/downloadfiles/gIT0342e.pdf. 64 Ibid. Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
17
hubungan luar negeri Jepang. Meskipun aspek ekonomi dari CJK FTA menjadi isu penting bagi MOFA, namun perhatian fundamental MOFA adalah pertimbangan geopolitik yakni kompetisi dengan China.65 Terkait China, MOFA mendukung strategi untuk terus memonitor pemenuhan kewajiban China terhadap komitmennya sebagai anggota WTO dan status hubungan bilateral secara keseluruhan sebelum menentukan arah kebijakan Jepang.66 MOFA cenderung untuk mempertimbangkan isu FTA dalam sudut pandang yang lebih luas seperti mempertahankan hubungan yang stabil dengan Amerika Serikat. MOFA memiliki kekhawatiran untuk membentuk institusi kerja sama yang mengeksklusikan Amerika Serikat. MAFF adalah birokrasi yang bertanggung jawab terhadap sektor yang sensitif yakni bidang pertanian dan perikanan. MAFF memiliki tiga pilar utama dalam kebijakannya terkait bidang pertanian yakni kontrol terhadap pasar beras, subsidi anggaran, dan membatasi akses asing terhadap pasar pertanian Jepang.67 Isu utama MAFF jika Jepang memiliki FTA dengan China dan Korea Selatan adalah menurunnya performa sektor pertanian karena rendahnya daya saing. Isu ini berbeda dengan produk pertanian dari negara-negara Asia Tenggara yang ekspor utamanya merupakan buah-buah tropikal. Pada tahun 2001, pemerintah Jepang menerapkan safeguard measures terhadap beberapa produk pertanian China seperti jamur shiitake, tatami mats, dan leeks. Pengekspor utama produk tersebut adalah petani China yang teknologinya dibantu oleh perusahaan ekspor-impor Jepang dan perusahaan agrobisnis.68 Ini menunjukkan bahwa produk pertanian dari China memiliki daya saing yang tinggi di perusahaan Jepang selama kualitas produknya ditingkatkan oleh perusahaan Jepang. 69 Perbedaan posisi ketiga organisasi pemerintahan tersebut memunculkan tarik menarik kepentingan. Namun kepentingan METI untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Jepang pasca krisis menjadi kepentingan utama yang sangat mendesak bagi Jepang. Inilah yang kemudian menyebabkan secara domestik Jepang menerima inisiasi CJK FTA. Walaupun demikian, banjirnya produk pertanian dari China dan lobi kelompok pertanian kemudian menjadi penghambat dalam proses negosiasi CJK FTA. 65
Shintaro Hamanaka, “Comparing Summitry, Financial and Trade Regionalism in East Asia: From the Japanese Perspective,” dalam China, Japan and Regional Leadership in East Asia, ed. Christopher M. Dent. (Cheltenham dan Northampton: Edward Elagr, 2008),78. 66 Yoshimatsu, Hidetaka. "Japan’s Quest For Free Trade Agreements: Constraints From Bureaucratic and Interest Group Politics,” dalam Japan’s Future in East Asia and the Pacific, ed. Mari Pangestu dan Ligang Song. (Canberra: ANU E Press dan Asia Pacific Pres, 2007), 85. 67 Aurelia George Mulgan, Japan’s Interventionist State: The Role of the MAFF (New York: RoutledgeCurzon, 2005), 168. 68 Hamanaka, “Comparing Summitry, Financial and Trade Regionalism in East Asia: From the Japanese Perspective,” 79. 69 Ibid. Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
18
Pembahasan Dalam tatanan sistem internasional Jepang merupakan sebuah negara anomali. Tidak seperti negara lain yang dapat secara bebas membangun kekuatan militernya, Jepang terikat di dalam sebuah security treaty dengan Amerika Serikat. Perjanjian tersebut mengharuskan Jepang menyerahkan urusan keamanannya kepada Amerika Serikat. Karena urusan keamanan dan pertahanan Jepang telah diserahkan kepada aliansinya, Jepang mengalihkan fokusnya untuk membangun kekuatan ekonominya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada periode 1999-2003, Jepang merupakan perekonomian kedua terbesar di dunia. Pertumbuhan ekonomi Jepang ditopang oleh perdagangan internasional dan FDI. Kegiatan perekonomian tersebut dijalankan oleh business enterprise yang dinamakan zaibatsu atau keiretsu. Kelompok bisnis ini memiliki hubungan erat dengan pemerintah Jepang dan organisasi pemerintahan di Jepang. Hubungan antar ketiga aktor ini menimbulkan tarik-menarik kepentingan di dalam proses pembentukan kebijakan di Jepang. Untuk kebijakan luar negeri, tarik-menarik kepentingan tersebut semakin rumit karena adanya gaiatsu atau tekanan internasional. Tarik menarik kepentingan tersebut terlihat di dalam proses pembentukan kebijakan Jepang untuk menerima inisiasi pembentukan CJK FTA yang diajukan oleh pemerintah China pada tahun 2002. Paparan berikut menunjukkan interaksi antar kedua faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi proses pembentukan kebijakan Jepang dalam CJK FTA beserta temuan penulis mengenai interaksi kedua faktor tersebut. Faktor eksternal yang mempengaruhi Jepang untuk menerima inisiasi CJK FTA sangat dipengaruhi oleh berbagai gejolak yang mengancam economic size Jepang. Pada tahun 1999-2003, Jepang dihadapkan pada kondisi perekonomian regional yang melemah akibat krisis finansial Asia tahun 1997/1998. Kondisi tersebut mendesak Jepang untuk mengambil langkah-langkah yang dapat menyelamatkan perekonomian negaranya dan perekonomian negara-negara Asia Timur lainnya. Jepang memiliki kepentingan untuk memperbaiki perekonomian negara tetangganya karena perusahaan-perusahaan Jepang yang merupakan engine of growth perekonomian Jepang memiliki basis produksi di negara-negara Asia Timur lainnya. Pembicaraan mengenai pembentukan FTA dengan China dan Korea Selatan yang merupakan basis produksi perusahaan-perusahaan Jepang kemudian berkembang dikalangan akademisi dan kelompok bisnis di Jepang, China, dan Korea Selatan. Sebelumnya, Jepang dan Korea Selatan sejak tahun 1998 sudah menginisiasi JK FTA. Di dalam proses negosiasi, kelompok bisnis Korea Selatan yaitu FKI yang juga didukung oleh pemerintah Korea Selatan Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
19
mengajukan proposal untuk mengembangkan FTA bilateral menjadi FTA trilateral dengan mengikutsertakan China dikemudian hari. Keidanren sebagai kelompok bisnis dari Jepang tidak terlalu menanggapi proposal tersebut karena secara internal Keidanren terpecah suaranya antara yang mendukung dan menolak pembentukan FTA dengan China. Keidanren dalam berbagai policy papers resminya mengatakan dukungannya untuk membentuk East Asia FTA yang anggotanya mencakup negara-negara ASEAN+3. Walaupun Keidanren tidak menunjukkan antusiasme terhadap lobi kelompok bisnis Korea Selatan untuk membentuk FTA trilateral, Keidanren masih mengganggap hubungan ekonomi dengan China sangat penting. Ini terlihat dari berbagai policy papers Keidanren yang mengungkapkan perlunya usaha untuk meningkatkan hubungan ekonomi dengan China yang menjadi anggota baru di dalam WTO pada tahun 2001. Keidanren menilai masuknya China menjadi anggota WTO menjadi kesempatan bagi perusahaan Jepang untuk mendorong pemerintah China agar lebih transparan dan melakukan reformasi ekonomi domestik yang meningkatkan iklim bisnis di China. Organisasi pemerintahan Jepang yang bertanggung jawab dalam pembentukan FTA yakni METI, MOFA, dan MAFF menanggapi proposal tersebut dengan berbagai respon. METI adalah organisasi pemerintahan yang merespon positif inisiasi kerja sama tersebut karena sebelumnya dalam White Paper of International Trade, METI mencetuskan konsep East Asian Business Zone. East Asian Business Zone ini akan membentuk zona perdagangan eksklusif yang mengintegrasikan perekonomian di Asia Timur dan Asia Tenggara yang merupakan basis produksi dan pasar bagi perusahaan-perusahaan Jepang. MOFA merupakan organisasi pemerintahan yang menanggapi inisiasi CJK FTA dengan hati-hati karena jika terbentuk CJK FTA maka akan terbentuk blok perdagangan yang mengeksklusikan Amerika Serikat. Perhatian utama MOFA adalah pertimbangan geopolitik yakni memiliki hubungan yang stabil dengan Amerika Serikat dan terus mengawasi kompetisi dengan China. CJK FTA sendiri merupakan instrumen bagi Jepang untuk melakukan strategi engagement dan hedging. CJK FTA dapat menjadi strategi engagement karena Jepang dapat lebih mudah membaca arah kebijakan perdagangan China dan menekan China untuk tidak membentuk kebijakan yang merugikan Jepang. Adapun strategi hedging di dalam CJK FTA adalah Amerika Serikat tidak dapat menekan Jepang untuk menolak proposal tersebut karena Amerika Serikat menyadari bahwa perekonomian Jepang yang kuat penting bagi perekonomian Amerika Serikat. Tidak hanya itu, Jepang yang kuat juga berperan sebagai counterweight dari perekonomian China yang semakin tumbuh pesat. Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
20
MAFF adalah organisasi pemerintahan yang menolak inisiasi pembentukan CJK FTA. Hal tersebut disebabkan produk China memiliki keunggulan yang melebihi produk pertanian domestik Jepang. Ini kemudian berpotensi untuk merugikan kelompok pertanian di Jepang. Namun seiring berkurangnya populasi petani di Jepang, lobi pertanian semakin melemah. Inilah yang berperan membuat inisiasi kerja sama ini berhasil dilaksanakan. Walaupun inisiasi pembentukan CJK FTA berhasil dijalankan, tidak berarti lobi pertanian berhenti sampai ditahap inisiasi. Dalam tahap negosiasi, kelompok kepentingan domestik umumnya memiliki peran yang lebih signifikan. Dari paparan sebelumnya dapat dilihat tarik menarik kepentingan antara faktor eksternal dan internal akhirnya menghasilkan respon positif terhadap CJK FTA karena kepentingan Jepang untuk memperbaiki perekonomiannya pasca krisis finansial Asia tahun 1997/1998 sangat mendesak. Sebagai negara yang menggantungkan perekonomiannya pada perdagangan, upaya-upaya kerja sama yang menguntungkan perusahaan-perusahaan Jepang harus diprioritaskan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa krisis finansial Asia tahun 1997/1998 merupakan pendorong utama bagi Jepang untuk merespon inisiasi pembentukan CJK FTA. Krisis finansial tersebut mendorong Jepang untuk mengambil tindakan-tindakan yang menyelamatkan perekonomian negaranya. CJK FTA lantas kemudian menjadi salah satu langkah Jepang untuk menstimulus perekonomiannya. Pilihan mitra FTA yang jatuh ke China dan Korea Selatan tidak hanya disebabkan oleh besarnya jumlah perusahaan-perusahaan Jepang yang beroperasi di China dan Korea Selatan tetapi juga karena potensi ekonomi kedua negara yang cukup menjanjikan untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi Jepang. Apalagi dengan ditambah dengan masuknya China menjadi anggota WTO, Jepang membutuhkan instrumen yang dapat mengamankan aksesnya ke pasar China sehingga tidak kalah bersaing dari perusahaan multinasional negara lain. Agenda untuk merevitalisasi perekonomian pasca krisis finansial Asia tahun 1997/1998 kemudian menjadi pendorong kemunculan faktor lain seperti lobi pemerintah dan komunitas bisnis China dan Korea Selatan serta kepentingan Amerika Serikat di Asia Timur. Berbagai tekanan internasional tersebut kemudian memunculkan berbagai respon ditingkat domestik Jepang. Mulai dari MAFF yang menolak, Keidanren yang kurang antusias, MOFA yang memiliki banyak pertimbangan hingga METI yang paling menerima positif inisiasi kerja sama tersebut. Dari analisis sebelumnya, dapat ditemukan beberapa poin menarik mengenai penerimaan Jepang terhadap inisiasi CJK FTA. Pertama, jika mengamati CJK FTA, dari berbagai literatur akan ditemukan bahwa elemen penting dari inisiasi CJK Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
21
FTA adalah faktor China. Hal ini disebabkan karena secara politik tensi hubungan politik kedua negara sedang memanas. Gejolak hubungan politik tersebut disebabkan oleh kunjungan Perdana Menteri Koizumi ke Yasukuni Shrine, adanya konflik perdagangan, dan meningkatnya sentimen publik masing-masing negara.70 Korea Selatan sebagai calon mitra FTA juga lebih dimanfaatkan Jepang sebagai pihak ketiga yang menjembatani Jepang dan China. Temuan kedua adalah CJK FTA lebih banyak didorong oleh akademisi dan komunitas bisnis China dan Korea Selatan yang berkumpul di dalam forum transnasional. Ini merupakan pola baru dalam pembentukan FTA yang umumnya inisiasinya didorong oleh aktor pemerintah. Reaksi organisasi pemerintahan Jepang setelah lobi komunitas bisnis dan pemerintah mitra FTA menunjukkan bahwa pada tahun 1999-2003, kebijakan FTA Jepang bersifat sangat reaktif. Namun jika dilihat lebih dalam tekanan eksternal tersebut memaksa aktor di dalam kelompok domestik untuk redefine kepentingannya masing-masing. Ini lantas membentuk kebijakan luar negeri yang melayani kepentingan domestik Jepang yakni memperbaiki kondisi perekonomiannya yang melemah akibat krisis finansial. Perbaikan kondisi ekonomi ini sejalan dengan kepentingan Jepang untuk mempertahankan posisinya di dalam sistem internasional. Adanya faktor internasional dan faktor domestik yang terjadi secara simultan dalam proses pembentukan kebijakan luar negeri menunjukkan bahwa negara tidak dapat dilihat sebagai black box dalam pembentukan kebijakan luar negeri. Kesimpulan Dengan demikian dapat dilihat respon positif Jepang terhadap inisiasi CJK FTA lebih didorong oleh kepentingan untuk merivitalisasi kondisi perekonomiannya yang melemah akibat krisis finansial Asia tahun 1997/1998. Perbaikan kondisi perekonomian Jepang ini kemudian berhubungan dengan usaha Jepang untuk mempertahankan posisinya di dalam sistem internasional sebagai negara dagang dan perekonomian terbesar kedua di dunia pada periode 1999-2003. Krisis finansial Asia tahun 1997/1998 menjadi katalis terjadinya faktor internasional lainnya seperti lobi pemerintah dan komunitas bisnis China dan Korea Selatan serta kepentingan Amerika Serikat di Asia Timur. Berbagai tekanan internasional tersebut kemudian memdorong aktor domestik di Jepang untuk bereaksi. Tarik-menarik kepentingan antara Keidanren, METI, MOFA, dan MAFF kemudian menghasilkan respon positif atas inisiasi pembentukan CJK FTA. Uraian sebelumnya telah menunjukkan dengan jelas 70
James J. Przystup, “Looking Beyond Koizumi,” Comparative Connections 8, no. 2, (2006): 7. Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
22
terjadinya interaksi yang simultan antar faktor eksternal dan internal dalam proses pembentukan kebijakan luar negeri. Ini memperkuat pemikiran scholars yang menilai negara tidak dapat dilihat sebagai black box dalam proses pembentukan kebijakan luar negerinya. CJK FTA sendiri merupakan sebuah institusi yang sejak awal inisiasinya telah disadari penuh oleh Jepang, China, dan Korea Selatan akan sulit tercapai. Besarnya tensi politik antar ketiganya tidak dapat dipungkiri akan menjadi hambatan terbesar dalam pembentukan CJK FTA. Selain itu penolakan dari sektor-sektor yang sensitif terhadap liberalisasi terutama sektor pertanian akan turut mempersulit membentuk institusi yang akan mengintegrasikan blok perdagangan dengan besar pasar sebanyak 1,5 milyar jiwa dan agregat GDP US$15 triliun atau hampir 20% dari total GDP pada tahun 2012. Terbentuknya blok perdagangan yang mampu menyaingi NAFTA dan Uni Eropa ini tentu menimbulkan berbagai dampak bagi tatanan sistem ekonomi politik internasional. Salah satunya adalah menurunnya signifikansi ASEAN ditingkat regional. ASEAN yang selama ini menjadi inisiator kerja sama regional di Asia Timur akan menurun perannya karena China, Jepang, dan Korea Selatan seolah tidak membutuhkan pihak ketiga untuk menjembatani kerja sama antar ketiganya. Bagaimana CJK FTA mempengaruhi Indonesia? Pembentukan CJK FTA dapat menjadi building block dari RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership). RCEP merupakan region wide FTA yang diinisiasi oleh ASEAN. Di dalam ASEAN, Indonesia merupakan negara yang aktif mendorong RCEP dan menolak undangan untuk bergabung di dalam TPP. Jika proyeksi kebijakan luar negeri Indonesia dalam ASEAN adalah untuk memperkuat hubungan ASEAN dengan Dialogue Partners ASEAN melalui FTA maka CJK FTA menjadi building block. Namun pemikiran tersebut hanya dapat terjadi jika CJK FTA semakin feasible untuk terbentuk. Dampak CJK FTA bagi Indonesia secara ekonomi, politik, dan sosial tentu menjadi topik penelitian yang menarik untuk diteliti dikemudian hari. Daftar Referensi Angang, Hu. “Proposition for Setting Up Free Trade Agreement (FTA) between China, Hong Kong, Japan and Korea.” 1-16. Tulisan dipresentasikan di dalam Leading Expert Seminar yang diadakan KIEP tahun 2000 di Seoul, Korea Selatan. Diakses pada Juni 30, 2014. www.khdi.or.kr/etcbiz/docu_file/20020722_5.doc Archer, Clive. The European Union. London: Routledge, 2008. Argibay, Carmen M. “Sexual Slavery and the Comfort Women of World War II.” Berkeley Journal of International Law 21, no. 2 (2003): 375-389. Armitage, Richard L dan Joseph S. Nye. “The US-Japan Alliance: Getting Asia Right through 2020.” Center for Strategic and International Studies (2007): 1-28. Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
23
Avila, John Lawrence. “An East Asian FTA: A Philippine Perspective,” Dalam East Asian Economic Regionalism: Feasibilities And Challenges, 121-138. Diedit oleh Choong Yong Ahn, Richard E. Baldwin, dan Inkyo Cheong,. Belanda: Springer, 2005. Baumann, Rainer dan Frank A. Stengel. “Foreign Policy Analysis, Globalisation and NonState Actors: State-Centric After All?.” Journal of International Relations and Development (2013):1-33 Breer, William dan Tsuneo Watanabe. “PM Koizumi's Visit to Yasukuni Shrine: Waste of Political Capital.” Japan Watch Agustus 2001 Issue (2001): 1-2. Cai, Kevin G. “Is a Free Trade Zone Emerging in Northeast Asia in the Wake of the Asian Financial Crisis?.” Pacific Affairs 74, no.1 (2001): 7-24. Cai, Penghong. “Chinese Perspectives on the Possibility of the China-Korea-Japan Free Trade Agreement.” The Journal of East Asian Affairs 16, no.2 (2002): 198-224. Cheong, Inkyo. “Evaluation of Recent Progress of FTAs in East Asia: A Korean Perspective”. Dalam East Asian Economic Regionalism: Feasibilities and Challenges, 37-56. Diedit oleh Choong Yong Ahn, Richard E. Baldwin, dan Inkyo Cheong. Belanda: Springer, 2005. Daimon, Sayuri. “The All-Powerful Voice of Corporate Japan”. The Japan Times, Juni 16, 2009. Diakses, Juni 1, 2014. http://www.japantimes.co.jp/news/2009/06/16/reference/the-all-powerful-voice-ofcorporate-japan/ Gaunder, Alisa. The Routledge Handbook of Japanese Politics. New York: Taylor & Francis, 2011. Gavin, Brigid dan Lombaerda, Philippe De. “Economic Theories of Regional Integration”, 59-72. Dalam Global Politics of Regionalism. Diedit oleh Marry Farrel, Bjorn Hettne, dan Luk Van Langenhove. London: Pluto Press, 2005. Govella, Kristi dan Sara Newland, “Hot Economics, Cold Politics? Reexamining Economic Linkages and Political Tensions in Sino-Japanese Relations”, 1-39. Tulisan dipresentasikan pada pertemuan tahunan Annual Meeting of the American Political Science Association, Washington DC, Amerika Serikat, September 4, 2010. Diakses pada Juni 29, 2014. http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1642141 Griffith, Ed. “The Three Phases of China’s Response to Koizumi and the Yasukuni Shrine Issue: Structuration in Sino-Japanese Relations.” European Research Center on Contemporary Taiwan Online Paper Series, No. 7 (2012): 1-30. Hagstrom, Linus. “Diverging Accounts of Japanese Policymaking.” Working Paper European Institute of Japanese Studies, no. 102 (2002): 1-20 Hamanaka, Shintaro. “Comparing Summitry, Financial and Trade Regionalism in East Asia: From the Japanese Perspective.” 67-83. Dalam China, Japan and Regional Leadership in East Asia. Diedit oleh Christopher M. Dent. Cheltenham dan Northampton: Edward Elagr, 2008.
Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
24
Harold, Scott. “The Chinese Perspective CJK Economic Trilateralism: The Prospects and Perils of a New FTA.” Joint US-Korea Academic Studies 24 (2013): 135-148 Harvie, Charles dan Fukunari Kimura. New East Asian Regionalism: Causes, Progress and Country Perspectives. New York: Edward Elgar Publishing, 2006. Holsti, K.J. International Politics: A Framework for Analysis, 6th Edition. New Jersey: Prentice Hall. Inc., 1992. Ianchovichina, Elena dan Terrie Walmsley. “Impact of China’s WTO Accession on East Asia.” World Bank Policy Research Working Paper 3109 (2003): 1-28. Inoguchi, Takashi. “Japan in 2012: Voters Swing, and Swing Away Soon.” Asian Survey 53, no.1 (2013): 184-197. Iwama, Yoko. “Japan’s Domestic Politics and East Asian Security.” Policy Brief , no. 7 (2012): 1-4. Kaarbo, Juliet. Jeffrey S. Lantis dan Ryan K. Beasley. “The Analysis of Foreign Policy in Comparative Perspective.” Dalam Foreign Policy in Comparative Perspective: Domestic and International Influences in State Behaviour, 1-93. Diedit oleh Ryan K Beasley, Juliet Kaarbo, Jeffrey S. Lantis, dan Michael T. Snarr. Washington DC: Congressional Quaterly Press, 2001. Katada, Saori N. “Politics that Constrains: The Logic of Fragmented Regionalism in East Asia.” East Asia Institute Fellow Program Working Paper Series, no. 21 (2009): 1-37. Klotz, Audie. “Case Selection”. Dalam Qualitative Methods in Internastional Relations: A Pluralist Guide Research Methods, 43-60. Diedit oleh Audie Klotz dan Deepa Prakash. New York: Palgrave Macmillan, 2008. Krauss, Ellis S dan Robert J. Pekkanen. “The Rise and Fall of Japan’s Liberal Democratic Party.” The Journal of Asian Studies 69, no.1 (2010): 5-15. Lee, Chang Jae. “The Korean Perspective CJK Economic Trilateralism: The Prospects and Perils of a New FTA,” Joint US-Korea Academic Studies 24 (2013): 149-166. Maaike Okano Heijmans, “Japan’s Economic Diplomacy towards China: The Lure of Business and the Burden of History.” Netherlands Institute of International Relations, no. 14 (2007): 1-57. Masalski, Kathleen Woods. “Examining the Japanese History Textbook Controversies.” National Clearinghouse for United States-Japan Studies Indiana University (2001): 12. Meyerson, Christopher C. Domestic Politics and International Relations in US-Japan Trade Policymaking: The GATT Uruguay Round Agriculture Negotiations. New York: Palgrave Macmillan, 2003. Ministry of Economy, Trade, and Industry. “White Paper on International Trade 2003.” Diakses Juni 11, 2014. http://www.meti.go.jp/english/report/downloadfiles/gIT0342e.pdf
Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014
25
Minor, Michael. “Decision Models and Japanese Foreign Policy Decision Making.” Asian Survey 25, no.12 (1985): 1229-1241. Mulgan, Aurelia George. Japan’s Interventionist State: The Role of the MAFF. New York: RoutledgeCurzon, 2005. Nish, Ian. “Themes in Japan’s Foreign Policy Relations.” The World Today 34, no. 5 (1978): 157-165. Odell, John S. “Case Study Methods in International Political Economy.” Dalam Cases, Numbers, Models: International Relations Research Methods, Detlef F. Sprinz and Yael Wolinsky. New York: University of Michigan Press, 2002. Ohno, Kenichi. The Economic Development of Japan: The Path Traveled by Japan as a Developing Country. Tokyo: GRIPS Development Forum, 2006. Pempel, TJ. “The Japanese Perspective CJK Economic Trilateralism: The Prospects and Perils of a New FTA.” Joint Us-Korea Academic Studies 24 (2013): 167-181 Przystup, James J. “Looking Beyond Koizumi.” Comparative Connections 8, no. 2, (2006): 115. Sachwald, Frédérique. “FDI and the Economic Status of Korea: The Hub Strategy in Perspective.” The Korea Economic Institute (2002): 85-95. Sohn, Chan-Hyun. “Korea’s FTA Development: Experiences and Perspectives with Chile, Japan, and the U.S.” 1-27. Tulisan dipresentasikan pada Trade Policy Forum Bangkok, Thailand, Juni 12-13, 2001. Diakses pada 30 Juni, 2014. www.hkcpec.org/files/r47.pdf Three-Party Committee. “The Progress Report of the Trilateral Cooperation among the People’s Republic of China, Japan and the Republic of Korea.” 2004. Diakses Mei 26, 2014. http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/asean/pmv0411/report.pdf Woolf, Christpher. “Why is the Yasukuni Shrine So Controversial?.” Desember 26, 2013. Diakses Februari 22, 2014. http://www.pri.org/stories/2013-12-26/why-yasukunishrine-so-controversial. Yeo, Andrew, “China, Japan, South Korea Trilateral Cooperation: Implications For Northeast Asia Politics And Order.” EAI Issue Briefing, no. 07 (2012): 1-6. Yoshihide, Soeya. Japan as a Regional Actor. Tokyo: Japan Center for International Exchange, 2003. Yoshimatsu, Hidetaka. "Japan’s Quest For Free Trade Agreements: Constraints From Bureaucratic and Interest Group Politics.” 80-102. Dalam Japan’s Future in East Asia and the Pacific. Diedit oleh Mari Pangestu dan Ligang Song. Canberra: ANU E Press dan Asia Pacific Pres, 2007. Yoshimatsu, Hidetaka. “Japan's Keidanren and Free Trade Agreements: Societal Interests and Trade Policy.” Asian Survey 45, no.2 (2005): 258-278. Young, Ahn Se. “Domestic Politics of FTA and Trade Policy Coordination in North East Asia: The Mid-level FTA.” Sogang IIAS Research Series on International Affairs 5 (2005):1-24. Universitas Indonesia
Pembentukan kebijakan…, Ika Annisaa Farista, FISIP UI, 2014