ASEAN - CHINA FREE TRADE AREA (AC-FTA) Oleh: John Towell Sebagian kalangan business di Indonesia menghadapi awal tahun 2010 ini dengan perasaan harap-harap cemas, berhubung mulai 1 Januari 2010 diberlakukan perdagangan bebas antara Asean dan China yang disebut AC-FTA (Asean China Free Trade Area). Sedangkan bagi sebagian besar masyarakat awam, era perdagangan bebas ini umumnya ditanggapi dengan dingin karena tidak mengerti apa dan bagaimana sebenarnya perdagangan bebas tersebut dan apa efek positif maupun negatifnya. Sebagian lagi, yang banyak dipengaruhi pandangan kalangan business, dimulainya era perdagangan bebas ini diartikan sebagai titik awal krisis ekonomi jilid II di mana pengangguran akan melonjak drastis karena perusahaan2 akan banyak yang bankrut, tidak tahan menghadapi serbuan barang2 murah dari China. Benarkah demikian? APEC. Berbicara mengenai perdagangan bebas, kita tidak bisa lepas dari APEC. APEC atau Asia Pacific Economic Cooperation, saat ini beranggotakan 21 negara di kawasan Asia Pacific, yaitu : Australia, Canada, Chile, China, Indonesia, Japan, South Korea, Malaysia, Mexico, New Zealand, Papua New Guinea, Philippines, Russia, Singapore, Thailand, Vietnam, USA. Organisasi kerja sama Perdagangan Asia Pasifik ini sebagai tindak lanjut dari era globalisasi yang dipromosikan oleh Amerika Serikat. Sebenarnya ide globalisasi ini dicetuskan oleh seorang ekonom Jerman pada awal tahun 60an, yang melihat bahwa Jerman pada beberapa dekade kedepan akan sulit bersaing dengan negara2 berkembang yang secara meyakinkan telah tumbuh menjadi negara industri yang cukup capable. Tentu saja, tujuan pembentukan APEC ini amat sangat jauh dari makna "Cooperation" yang terkandung di dalamnya, karena bukan rahasia umum lagi bahwa cooperation bagi negara-negara maju, terutama Amerika Serikat adalah "TUNDUK" pada kemauan mereka. Oleh karena itu tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa APEC, AFTA, AC-FTA, dan sejenisnya 100% produk paham Neo Liberal. Secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa tujuan dibalik pembentukan APEC yang cenderung dipaksakan oleh Amerika Serikat tersebut adalah untuk menjebak dan menjerat negara2 lain, khususnya negara2 berkembang yang kaya sumber alamnya,
agar masuk ke dalam cengkeraman negara2 maju dan sekutu-sekutunya (baca Amerika Serikat). Intinya adalah untuk mendapatkan market, sumber alam, dan wilayah untuk relokasi industri mereka yang sudah sulit bersaing dengan produk sejenis dari negara berkembang. Ini adalah bentuk lain dari penjajahan ekonomi abad XXI yang "lebih manusiawi" dibandingkan dengan penjajahan pisik abad XVII - XX. Dengan demikian tidak benar kalau ada isu yang mengatakan bahwa APEC dan jajarannya dibentuk untuk menampung mekanisme pasar, sejalan dengan hukum permintaan dan penawaran yang bekerja secara otomatis (invisble hand). Karena dalam praktek, tidak penah ada pasar bebas sempurna maupun pasar monopoli sempurna. Keseimbangan pasar (market equilibrium) yang ada di setiap negara di dunia, terbentuk dari hukum permintaan dan penawaran yang dipengaruhi politik ekonomi negara yang bersangkutan, yang di atas kertas "konon" ditujukan untuk kepentingan rakyat negara tsb. Contoh extrimnya adalah permintaan dan penawaran alat2 komunikasi mutahir seperti komputer dan handphone. Permintaan komputer di Indonesia yang cukup tinggi, karena kebijakan politik & ekonomi pemerintah Indonesia saat ini memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk menggunakan internet. Sedangkan Korea Utara yang membatasi penggunaan internet oleh rakyatnya, permintaan komputernya relatif kecil. Kalau nanti misalnya terjadi perubahan kebijakan politik & ekonomi di Indonesia atau di Korea Utara, tidak mustahil permintaan komputer di kedua negara akan berubah signifikan. Ini suatu bukti bahwa hukum pasar di suatu negara dipengaruhi oleh suatu kekuatan besar (negara), di mana kekuatan besar tsb juga dikendalikan oleh para pelaku ekonomi skala besar (konglomerasi) melalui suplly, bukan sekedar permintaan dan penawaran. Analogi dengan itu, maka hukum pasar di dunia juga dikuasai oleh suatu kekuatan besar yang lain (negara super power), di mana kekuatan besar tsb juga dikendalikan oleh para pelaku ekonomi berkekuatan besar (MNC - Multi National Corporation). Isu-isu yang menyesatkan tersebut tampaknya sengaja dilontarkan oleh negara2 maju yang ingin memaksakan terbentuknya APEC, dengan melontarkan teori ekonomi yang canggih-canggih yang tidak terjangkau oleh pemikiran orang awam. Isu APEC juga dikait-kaitkan dengan HAM, bahwa berdasarkan HAM, rakyat berhak membeli barang dengan harga murah, dan tidak perlu membayar bea masuk dan pajak import yang mahal. Isu ini juga sebenarnya tidak relevan, karena bea masuk dan pajak yang dikenakan terhadap barang-barang import, tujuannya untuk melindungi industri dalam negeri, dan uangnya menjadi sumber penerimaan negara dalam APBN yang digunakan untuk penyelenggaraan negara. Kalau sebagian uang yang diterima dari bea masuk dan pajak import tersebut
dikorupsi dan masuk kantong pribadi oknum-oknum pejabat tertentu, itu tidak menjadi alasan untuk membebaskan bea masuk dan pajak atas barang import. Tujuan mereka menebarkan isu-isu tersebut (teori ekonomi yang menyesatkan dan HAM yang tidak pada tempatnya), tidak lain agar rakyat negara2 berkembang yang (dipaksa) menjadi anggota APEC tidak protes jika negaranya bergabung dengan APEC. Meskipun demikian, secara teoritis akibat yang ditimbulkan oleh APEC / globalisasi tersebut masih menimbulkan perdebatan yang tak kunjung akhir. Pihak yang pro berdalih, bahwa barang-barang import yang masuk ke negara berkembang dari negara maju sebagian besar adalah product hi-tech yang belum mampu dibuat oleh negara berkembang. Negara yang bersangkutan justru akan diuntungkan dengan relokasi industri low-tech negara maju tersebut, dan akan membuka lowongan kerja besar-besaran dan meningkatkan export. Pihak yang kontra menyatakan bahwa meningkatnya barang-barang import dari negara maju dengan harga yang relatif murah akan mendorong konsumerisme, sehingga masyarakat digiring untuk membelanjakan uangnya untuk barang-barang secondair yang tidak penting. Relokasi industri low-tech dari negara maju, justru akan mematikan industri nasional dan lambat namun pasti perekonomian Indonesia akan dikuasai (baca dijajah) asing. Penerimaan negara yang berasal dari export-import pun akan berkurang signifikan, sehingga akan mempengaruhi APBN.
AFTA dan AC-FTA Karena APEC yang direncanakan tersebut meliputi wilayah yang sangat luas dan melibatkan beberapa wilayah regional, maka mereka membagi APEC dalam beberapa kelompok regional, dengan tujuan agar negara2 yang menjadi sasaran APEC tersebut, sistem ekonominya secara bertahap dapat menyesuaikan diri dengan sistem globalisasi dengan prinsip "borderless economic system". Kalau ekonomi regional kacau akibat penerapan borderless economic system tersebut, maka rencana besar untuk menerapkan borderless economic system untuk seluruh kawasan Asia Pacific akan sia-sia. Dalam rangka itulah, untuk kawasan Asean dibentuk AFTA, atau Asean Free Trade Area, yang beranggotakan negara2 Asean dengan jumlah populasi sekitar 513 juta jiwa. Suatu jumlah yang sangat potensial untuk menjadi sasaran market product hi-tech negara-negara maju. Product hi-tech adalah bermacam barang dan alat-alat yang operasionalnya berbasiskan microprocessor / computer, dengan ciri utama disposable (sekali pakai / ganti komponen / tidak bisa diperbaiki), seperti lap-top computer, handphone, TV plasma / LCD, camera digital, audio, video, dan
sebagainya, termasuk komponen-komponen pesawat, kapal laut, dan mobil yang computerized. Mengingat kemampuan ekonomi negara-negara anggota Asean tidak semua sama, diputuskan bersama bahwa penerapan AFTA akan dilaksanakan secara bertahap, di mana untuk negara-negara tertentu pengurangan bea masuk tidak langsung nihil, tetapi dilakukan secara bertahap. Masing-masing negara Asean juga secara terpisah membentuk kerjasama bilateral dengan negara2 lain anggota APEC, di mana secara spesifik bisa dibicarakan kesepakatan-kesepakatan khusus agar tidak memberatkan salah satu pihak. Karena dalam dekade terakhir ini China telah berkembang menjadi kekuatan ekonomi baru yang meyakinkan, secara regional, negara-negara Asean yang tergabung dalam AFTA juga merasa perlu untuk menjalin kerja sama perdagangan bebas dengan China sehingga disebut AC-FTA, Asean China Free Trade Area. Kerja sama AFTA dengan China ini sama sekali diluar dugaan negara-negara pendiri APEC, sehingga tidak ada ketentuan apapun yang membatasi kerja sama seperti itu, karena pada saat pendirian APEC, negara-negara maju tersebut sama sekali tidak pernah menyangka bahwa China dalam waktu singkat, khususnya dalam dekade terakhir abad XXI ini, secara meyakinkan telah melejit menjadi kekuatan ekonomi dunia yang tidak bisa diabaikan oleh negara2 maju, meskipun secara internal China juga masih harus banyak membenahi kondisi di dalam negarinya. Dapat diduga, kerja sama Asean - China ini akan ditanggapi secara was-was oleh negara-negara maju, karena dengan kerja sama tersebut, posisi China dalam percaturan ekonomi politik global menjadi lebih kuat. Tapi di Indonesia, terbentuknya AC-FTA tersebut justru dihadapi dengan cemas oleh para pengusaha lokal. Sejalan dengan itu, 1 Januari 2010, saat pelaksanaan free trade atau bebas bea masuk, termasuk untuk barang2 import dari China, para pengusaha tersebut demikian pesimisnya, bagaikan dihadapkan pada suatu kondisi yang akan menghancur leburkan business mereka. Suatu sikap yang over-pesimis, yang dicurigai oleh sebagian pihak sebagai trik untuk mendapatkan berbagai fasilitas kemudahan dari pemerintah, terutama bantuan keuangan dan keringanan utang. Suara mereka disuarakan oleh berbagai Asosiasi yang dari dulu sampai sekarang tidak pernah sekalipun menyuarakan optimisme dunia usaha Indonesia. Suara mereka selalu pesimis dan umumnya mengeluhkan tingginya cost of production dan cost of capital, tanpa pernah introspeksi apakah struktur modal perusahaan mereka optimal atau tidak, dan apakah management perusahaan mereka sudah baik atau belum?
Kondisi struktur modal yang sebenarnya di dalam suatu perusahaan sulit diketahui oleh pihak luar, dan perusahaan dengan mudah membantah bahwa struktur modalnya tidak optimum. Tapi fakta yang terjadi ketika krisis keuangan tahun 1998 membuktikan, bahwa struktur modal perusahaan-perusahaan di Indonesia, terutama perusahaan-perusahaan besar dengan kredit di atas Rp.50 milyar, sangat rapuh. Batasan kredit sebesar Rp.50 milyar ini adalah kredit-kredit yang dibuat sebelum tahun 1998, ketika kurs rupiah terhadap US$ masih sekitar Rp.2.000an. Klasifikasi kredit macet di BPPN berdasarkan laporan bulan Juli 2000 adalah (sumber BPPN): * > Rp. 50 milyar = 1.820 debitur; total = Rp.232.527 milyar (82,8%) * Rp. 5 - 50 milyar = 2.093 debitur; total = Rp.33.559 milyar (11,94%) * Rp. 1 - 5 milyar = 2.209 debitur ; total = Rp.5.380 milyar (1,92%) * < Rp. 1 milyar = 129.924 debitur; total = Rp.9.462 milyar (3,37%) -------------------------------------------------------------------* Jumlah = 136.043 debitur; dengan total = Rp.280.927 milyar (100%) Dari data di atas tampak bahwa 82,8% dari kredit macet tersebut adalah kredit yang diterima perusahaan-perusahaan besar. Dan bukan rahasia lagi kalau dalam krisis keuangan tahun 1998 yang lalu, hampir tidak ada satupun perusahaan besar yang kreditnya tidak bermasalah, dan tidak ditangani BPPN (baca macet). Mungkinkah perusahaan-perusahaan yang sama, dengan pemilik yang itu-itu juga, dengan management yang dijalankan oleh orang yang sama, dalam waktu 10 tahun bisa secara drastis berubah 180 derajat? Perusahaan industri seperti inilah yang diharapkan hasil productnya dapat bersaing dengan barang import dari China. Jadi bantuan apa yang bisa diberikan pemerintah, kalau pihak yang minta dibantu tersebut dari dulu sakit terus menerus dan tidak pernah mau minum obat. HARGA JUAL PRODUK CHINA AKAN TURUN 10%? Yang dikeluhkan oleh para pengusaha Indonesia intinya adalah, barang-barang buatan China yang sudah murah, dengan berlakunya AC-FTA yang membebaskan bea masuk, akan menjadi lebih murah lagi sehingga akan menghancurkan industri domestik. Seolah-olah, dengan hilangnya bea masuk +/- 10% maka harga jual produk buatan China akan langsung menjadi lebih murah lagi 10% dari harga jual yang berlaku sekarang, sehingga produk lokal yang sudah terpuruk dan tidak mampu bersaing dengan barang buatan China akan menjadi tambah terpuruk. Suatu perhitungan matematika business yang membuat orang-orang yang tidak benar-benar
menguasai permasalahan yang sebenarnya akan terkecoh dan akan langsung membenarkan argumentasi tersebut. Di negara manapun di seluruh dunia, bea masuk dihitung berdasarkan harga pokok pembeliannya, bukan dari harga jualnya. Barang-barang produk China yang dijual di Indonesia, harga pokok pembeliannya berkisar antara 25% - 50% dari harga jual, dan yang pasti tidak semua barang-barang product China yang masuk ke Indonesia dibayar bea masuknya. Kalau mau jujur, sejak pulihnya hubungan diplomatik dengan RRC, terutama sejak meredanya krisis moneter tahun 1999-2000, Indonesia sudah dibanjiri barang2 buatan China baik yang legal maupun yang ilegal. Bahkan ada yang menduga, barang-barang yang masuk secara illegal lebih banyak daripada yang masuk secara legal. Selama ini pemerintah China juga memberikan insentive export sebesar 10% dari harga jualnya, kurang lebih sama dengan SE (Sertifikat Export) di Indonesia tahun 80an. Sehingga jika product China dijual sedikit di bawah harga pokoknya, exportir di China masih mendapat untung. Dengan berlakunya AC-FTA, maka insentif export tersebut tidak berlaku lagi, dan exportir harus menjual di atas harga pokoknya kalau mau mendapat untung. Mari kita hitung, berapa besar sebenarnya pengaruh AC-FTA tersebut terhadap harga pokok dan harga jual barang-barang buatan China di pasaran Indonesia. Untuk suatu barang product China dengan harga jual Rp.100.000, dengan asumsi harga pokok pembelian 50% dari harga jualnya, berarti harga pokok barang tersebut franco Indonesia (CIF = Cost Insurance & Freight), termasuk ongkos kirimnya adalah Rp.50.000. Kalau bea masuk ke wilayah pabean Indonesia 10% dari CIF dan import yang legal hanya 50%, berarti bea masuk yang dibayar 50% X Rp.50.000 X 10% = Rp.2.500 plus uang sogok untuk import illegal misal sebesar 10% X bea masuk yang digelapkan = Rp.250. Jadi harga pokok pembelian barang tersebut menjadi Rp.50.000 + Rp.2.500 + Rp.250 = Rp.52.750 plus predikat sebagai penyelundup. Dengan berlakunya AC-FTA, exportir di China tidak lagi mendapat insentif export sebesar 10%, sehingga harus menaikkan harga jualnya sebesar 10% agar net revenue yang diterimanya tetap. Kalau ongkos kirim dari China ke Indonesia 5% dari harga CIF atau Rp.2.500, berarti harga FOB (Free On Borad) China untuk barang tersebut Rp.47.500, dan jika diterima 10% insentif export ad Rp.4.750 maka net revenue yang biasa diterima exportir di China = Rp.52.250. Dengan demikian harga pokok pembelian barang tersebut franco Indonesia (CIF), termasuk ongkos kirimnya adalah Rp.52.250 + Rp.2.500 = Rp.54.750. Dibandingkan dengan harga pokok pembelian sebelum berlakunya AC-FTA dalam perhitungan di atas sebesar Rp.52.750,
berarti AC-FTA menaikkan harga pokok pembelian sebesar Rp.2.000 / unit barang. Dengan kenaikan harga pokok pembelian tersebut, kemungkinan importir di Indonesia tidak mau rugi dan akan menaikkan harga jualnya ke para pedagang, dan selanjutnya pedagang akan menaikkan juga harga jualnya ke konsumen. Tidak logis kalau harga pembelian naik, importir dan pedagang justru menurunkan harga jualnya. Karena kenaikan harga 10% cukup besar, importir Indonesia bisa saja secara serempak menekan exportir di China, agar tidak menaikkan harga jualnya sebesar 10%. Para exportir di China tentu tahu bahwa barang-barang mereka termasuk murah dibandingkan produk negara lain, dan akan tetap bertahan dengan kenaikkan harga antara 5% - 7,5%. Kalau harga jual tidak dinaikkan, mereka tentu tidak akan menjualnya, karena keuntungan mereka akan menurun atau tidak mendapat keuntungan sama sekali. Jika harga jual naik rata-rata 6,25% maka harga pokok pembelian barang tersebut FOB China menjadi Rp.47.500 + 6,25% = Rp.50.468,75. Kalau ongkos kirim barang tersebut tetap Rp.2.500, maka harga pokok pembelian importir Indonesia franco Indonesia (CIF) menjadi Rp.52.968,75, dan tidak perlu lagi membayar bea masuk. Jadi masih lebih mahal Rp.218,75 dari harga pokok pembelian semula ad Rp.52.750 atau 0,415% dan semuanya menjadi legal. Pada harga berapa barang tersebut akan dijual, semua tergantung pada pedagang masing-masing yang berhubungan langsung dengan konsumen, dan hampir mustahil jika dijual lebih murah dari harga jual sebelumnya. Hitungan di atas bukanlah hitungan yang exact, sekedar ilustrasi untuk menggambarkan bahwa pengaruh pembebasan bea masuk sehubungan dengan AC-FTA tersebut tidak menurunkan harga pokok pembelian (CIF) barang product China. Karena hanya ilustrasi, mungkin saja hitungan tersebut di atas meleset dan tidak tepat, tetapi mustahil selisihnya akan jauh berbeda dari ilustrasi di atas. Tariff bea masuk juga tidak semuanya 10%, sebagian hanya 5% saja, dan tidak semuanya dihapus dengan berlakunya AC-FTA tersebut. Kalaupun seandainya, sekali lagi seandainya, harga pokok pembelian barang produk China tersebut menjadi lebih murah 5% dari harga pokok pembelian sebelum berlakunya AC-FTA, belum tentu harga jualnya sampai ke tangan pedagang akan lebih murah, karena importir mungkin saja dengan berbagai alasan tidak mau menurunkan harga jualnya kepada para pedagang. Dengan demikian, kekhawatiran barang product China yang sudah murah dengan berlakunya AC-FTA akan menjadi semakin murah dan mematikan
industri domestik, terlalu dibesar-besarkan. Ekonomi Biaya Tinggi. Selama ini selalu dipermasalahkan bahwa ketidak mampuan industri domestik untuk bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, karena ekonomi biaya tinggi. Misalnya uang sogok untuk pengurusan perijinan, lamanya waktu pengurusan ijin-ijin, bunga rupiah yang tinggi, biaya listrik yang tinggi, rendahnya mutu SDM, dan biaya-biaya lainnya yang serba mahal, sehingga secara keseluruhan menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Ketidak mampuan industri domestik untuk bersaing dengan produk negara lain, terutama China, kesalahannya secara tidak langsung ditimpakan kepada pemerintah dan seolah-olah pemerintah harus bertanggung jawab penuh atas semua ketidakmampuan tersebut, sedangkan industri domestik yang bersangkutan nyaris bagaikan korban yang tanpa dosa, seolah-olah management perusahaan-perusahaan tersebut sudah sempurna. Memang benar, pemerintah wajib bertanggung jawab terhadap tindakan korupsi birokrat yang menangani perijinan usaha, terhadap infra struktur yang tidak memadai, seperti jalan-jalan yang rusak di mana-mana dan sarana pelabuhan yang tidak memadai, bunga yang tinggi, serta praktek pemerasan di pelabuhan-pelabuhan laut baik yang dilakukan oknum pejabat maupun oleh jagoan-jagoan yang banyak berkeliaran di pelabuhan-pelabuhan. Saya tidak bermaksud membela pemerintah, tapi apakah kondisi public service di negara lain yang sekelas Indonesia, seperti Vietnam, Philipina, Thailand, dan Malaysia, sudah demikian sempurnanya, sehingga tidak ada lagi korupsi dan permainan-permainan kotor dalam perijinan? Apakah di pelabuhan negara-negara tersebut sudah 100% bebas pemerasan? Semua sama saja, hanya kadarnya saja yang berbeda-beda. Katakanlah uang sogok di Indonesia relatif lebih tinggi dari negara-negara lain, tapi apakah pernah diperhitungkan berapa besar selisihnya dan apakah uang sogok tersebut harus dibayarkan terus menerus sepanjang tahun sehingga significant terhadap Cost of Goods Sold? Uang sogok yang relatif besar umumnya terjadi satu kali pada awal pendirian perusahaan, yang biasanya merupakan jasa timbal balik atas ketidak lengkapan dokumen dalam suatu proses perijinan, bukan sekedar uang extra yang sia-sia. Dan jangan lupa, untuk pengurusan ijin-ijin pendirian perusahaan, banyak sekali aparat penipu yang mengaku memilki wewenang untuk mengeluarkan suatu ijin. Kalau perusahaan tertipu oleh penipu tersebut, jelas itu bukan kesalahan pemerintah. Semua itu bisa terjadi karena banyak perusahaan tidak mau pusing untuk mempelajari lebih dahulu persyaratan pendirian perusahaan, maunya serba instan. Begitu pula jika
ijin-ijin tersebut diurus oleh biro jasa, mereka juga tidak segan-segan menjual nama aparat untuk menaikkan fee. Padahal kalau diurus sendiri oleh orang yang mengerti peraturan, biayanya relatif murah. Kalau semua persyaratan lengkap, uang yang diminta oknum aparat biasanya relatif kecil. Di luar itu semua, kalau perusahaan beroperasi dengan benar tanpa melanggar aturan, tentu tidak ada alasan bagi aparat untuk memeras perusahaan-perusahaan tersebut. Terlepas dari masalah moral dan hukum, justru dalam negara yang sarat dengan korupsi seperti di Indonesia ini, banyak perusahaan yang bisa menghemat biaya cukup besar dari pemanfaatan aparat yang korup. Misalnya, limbah B3 yang dibuang sembarangan, cukup diselesaikan di bawah meja dengan aparat korup yang menanganinya, yang jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya pengolahan limbah yang wajar. Untuk mengolah limbah B3 suatu industri textile yang cukup besar, perusahaan harus mengeluarkan biaya rata-rata Rp.500 juta setiap bulannya, hanya untuk membeli bahan-bahan kimia untuk menetralisir limbah B3 sisa produksinya. Biaya tersebut di luar biaya pembangunan waste water treatment sekitar Rp.5 milyar untuk kapasitas kira-kira - lapangan sepak bola dengan kedalaman 3 meter, serta di luar biaya perawatan rutin dan pembuangan lumpur limbah setiap bulannya. Silakan ditelusuri, berapa prosen perusahaan textile yang memiliki waste water treatment yang memadai. Kemana limbah B3 mereka dibuang? Mustahil aparat tidak tahu kalau perusahaan-perusahaan textile tersebut menghasilkan limbah B3? Uang sogok setiap bulannya untuk aparat korup yang menangani limbah B3 antara Rp.1 - 5 juta, tergantung besarnya perusahaan. Bandingkan dengan perusahaan yang taat hukum atau industri textile di negara-negara lain yang pengawasan limbahnya cukup ketat, berapa besar biaya pengolahan limbah yang bisa dihemat oleh perusahaan textile tersebut. Apakah penghematan ini tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam apa yang disebut "ekonomi biaya tinggi?". Perusahaan yang menghasilkan limbah B3 bukan hanya perusahaan textile saja. Biaya listrik di Indonesia sebesar Rp.600 / kWH memang lebih mahal dari China yang hanya +/- Rp.400 / kWH. Apakah biaya listrik di Vietnam, Philipina, Thailand, dan Malaysia juga sama seperti di China hanya Rp.400 / kWH? Apakah perbedaan harga listrik 20% tersebut significant terhadap total harga pokok produksi barang yang bersangkutan? Dari pengalaman diketahui bahwa biaya listrik perusahaan industri hanya sekitar 5 - 8 % saja dari total harga pokok produksinya, karena komponen biaya yang utama adalah bahan baku. Dengan demikian
secara total, selisih biaya listrik dengan China hanya 1% - 2% saja dari harga pokok produksi barang tersebut dan tidak lebih mahal dari biaya listrik negara-negara Asean lain. Dan apakah sudah diteliti dengan cermat, bahwa tidak ada satupun komponen biaya produksi di Indonesia yang lebih murah dari China, dan Vietnam, Philipina, Thailand, serta Malaysia? Buruh dan SDM Indonesia umumnya, sering disebut-sebut sebagai berkwalitas rendah. Mungkin benar, tapi SDM level apa yang dimaksud? Sebaliknya TKI yang bekerja diluar negeri banyak yang mendapat pujian. Kalau diasumsikan ada 10 level SDM di Indonesia, dan untuk menjalankan suatu fungsi pekerjaan tertentu diperlukan SDM level 3 misalnya, apakah upah yang dibayarkan untuk SDM tersebut di Indonesia proporsional dengan level 3 yang disandangnya? Dari pengamatan diketahui, umumnya di Indonesia posisi SDM level 3 tersebut diisi oleh SDM level 2 bahkan level 1, agar upahnya lebih murah. Kalau ternyata mereka kurang mampu, siapakah yang harus disalahkan? Bunga kredit bank di Indonesia antara 12% - 14% per annum memang sangat tinggi, dibanding dengan bunga di Singapore dan negara-negara maju lainnya, dan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan negara2 sekelas Indonesia, sejalan dengan faktor inflasi di negara masing-masing. Walaupun tingkat bunga di Indonesia tinggi, tetapi inflasi di Indonesia juga tinggi, sehingga produsen dengan enteng dapat menaikkan harga jual produknya mengikuti laju inflasi. Suatu kemewahan yang sangat mahal bagi produsen sejenis di negara-negara maju. Dua tahun yang lalu saya makan 1 porsi "steam booth" di salah satu food court di Singapore seharga S$ 4.8 termasuk semangok nasi, dan bulan lalu saya makan makanan yang sama di tempat yang sama dengan harga yang sama pula. Sedangkan di Indonesia, 2 tahun yang lalu saya harus membayar 1 porsi "cap-cay goreng" seharga Rp.27.500 tidak termasuk nasi, dan minggu lalu saya membeli makanan yang sama di tempat yang sama dengan harga Rp.35.000. Kenaikan harga seperti ini bukan hanya terjadi pada bahan makanan saja, tetapi juga terjadi hampir di semua jenis barang. Apakah demikian merosotnya nilai rupiah sehingga harga-harga harus disesuaikan terus menerus? Kalau begitu, apakah artinya nilai tukar (kurs) rupiah terhadap US$ sejak jaman pemerintahan Megawati sampai sekarang yang masih relatif stabil antara Rp.9.000 - 9.500? (kecuali depresiasi sekitar 30% akibat krisis global pada tahun 2008 dan ter-apresiasi kembali awal 2009). Ditinjau dari teori Purchasing Power Parity, kenaikan harga tersebut tidak masuk akal. Di atas kertas, inflasi yang terkendali justru menguntungkan pengusaha, asal dikelola dengan baik. Misalnya, seorang pengusaha setiap bulan harus mencicil kreditnya sebesar Rp.100 juta yang equivalent dengan 1000 unit barang yang
diproduksinya dengan harga @ Rp.100.000 / unit. Kalau setelah sekian tahun harga barang tersebut naik menjadi Rp.125.000, maka cicilan kredit dia ke bank hanya equivalent dengan 800 unit barang yang sama. Begitu juga dengan bahan baku yang dibeli untuk pemakaian 3 - 4 bulan kedepan, jika harganya naik, maka pengusaha yang bersangkutan mendapat extra profit dari kenaikan harga tersebut, karena harga pokok bulan kedua, ketiga, dan keempat akan diperhitungkan menurut harga berlaku saat itu. Jadi walaupun bunga bank di Indonesia relatif tinggi, tetapi akan tercover oleh inflasi yang tinggi pula, sehingga keuntungan yang diterima menjadi lebih besar. Sebaliknya di Singapore, di mana bunga bank relatif rendah, harga-harga juga relatif tetap, sehingga keuntungan secara nominal relatif kecil. Secara keseluruhan, realisasi net profit dalam perhitungan harga konstan untuk suatu tahun tertentu (dengan mengurangi faktor inflasi) akan relatif sama. Dengan demikian, tingkat bunga yang tinggi bukanlah hambatan bagi perusahaan untuk berkembang, karena hakekatnya bunga bank adalah cerminan dari inflasi, dan keduanya saling meng-cover. Dan jangan lupa, perusahaan yang sehat hanya menggunakan kredit bank seperlunya saja untuk meningkatkan rentabilitas modal sendiri, sehingga beban bunga tersebut walaupun tinggi dalam prosentase, tetapi secara proporsional relatif rendah. STRUKTUR MODAL DAN MISS-MANAGEMENT Uraian di muka menunjukkan bahwa tidak benar ekonomi biaya tingi di Indonesia semata-mata akibat mahalnya biaya sarana dan prasaran yang tersedia, terutama korupsi yang masih terjadi di berbagai bidang walaupun sudah jauh berkurang dibanding masa lalu. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa korupsi tidak perlu diberantas, tetapi jika selalu mengkambing hitamkan korupsi untuk menutupi kelemahan yang sebenarnya, maka sulit diharapkan industri domestik Indonesia akan berkembang dan mampu bersaing dengan produk negara lain. Faktor-faktor tersebut walaupun turut memperbesar biaya, tetapi jumlahnya tidak signifikan membuat tingginya harga jual barang-barang produksi Indonesia, dibandingkan produksi negara lain yang setara. Jadi faktor apakah sebenarnya yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi industri domestik di Indonesia tersebut? Dari pengalaman saya berkecimpung langsung di industri domestik selama 30 tahun lebih, dan kajian secara akademis terhadap kondisi umum perusahaan industri di Indonesia, penyebabnya hanya ada 2, yaitu struktur modal yang tidak optimum dan miss-management yang kronis. Memang bunga dan korupsi menghambat efisiensi industri di Indonesia, tapi jumlahnya tidak significant kalau perusahaan dikelola dengan baik. Tapi sebaliknya, akibat struktur modal yang tidak optimum dan miss-management, secara significant telah mendorong tinginya harga jual
produk Indonesia. Struktur modal adalah komposisi modal atau pendanaan yang digunakan di dalam suatu perusahaan untuk menjalankan kegiatan usahanya, yang terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman. Secara keseluruhan, komposisi struktur modal di dalam suatu perusahaan sangat menentukan besar kecilnya biaya modal rata-rata tertimbang (weighted average cost of capital = WACC) yang harus ditanggung perusahaan tersebut. Kalau WACC suatu perusahaan 10% per tahun misalnya, dan keuntungan bruto rata-rata dari penjualan 20% per tahun, perusahan yang bersangkutan belum tentu untung, karena harus dilihat dahulu besar kecilnya biaya operasional perusahaan tersebut dan besarnya bunga yang harus dibayar. Besar kecilnya bunga berbanding lurus dengan besar kecilnya modal pinjaman perusahaan tersebut, dan jumlahnya apakah sesuai dengan kebutuhan yang wajar atau tidak. Struktur modal yang optimum adalah komposisi antara modal sendiri dan modal pinjaman yang paling optimum, dalam arti memberikan WACC yang paling rendah, dengan jumlah penggunaan modal atau pendanaan yang paling efektif / tidak berlebihan. Walaupun WACC nya dalam prosentase optimum, tetapi jika jumlah dana yang dipergunakan tidak optimum / terlalu besar dan melebihi kebutuhan yang wajar, berarti struktur modal perusahaan tersebut tidak optimum. Silakan bayangkan, bagaimana struktur modal dan WACC perusahaan-perusahaan yang pada saat pendiriannya sarat dengan mark-up dan seluruhnya mengandalkan modal pinjaman dalam jumlah yang jauh diatas kebutuhan yang wajar. Kelebihan dana yang diterima di atas pendanaan yang diperlukan, dengan berbagai tekhnik rekayasa akunting serta rekayasa transaksi penjualan dan pembelian, mudah saja dialihkan ke rekening pribadi pemiliknya, sedangkan bunga atas pinjaman tersebut seluruhnya dibebankan kepada perusahaan. Jelas perusahaan seperti ini, dilihat dari struktur modalnya saja akan menghadapi ekonomi biaya tinggi yang sebenarnya, yang mustahil bisa bersaing dengan produk sejenis dari negara lain. Belum lagi in-efisiensi perusahaan akibat dari miss-management yang dijalankannya. Untuk menilai apakah di dalam suatu perusahaan terjadi miss-management atau tidak, kita tidak perlu muluk-muluk mengikuti teori management yang memusingkan, cukup berdasarkan logika sederhana saja. Dari point tersebut kita bisa mengembangkan lebih lanjut dan menarik suatu kesimpulan untuk kondisi lain di dalam perusahaan. Seorang buruh pabrik yang menjalankan suatu mesin industri misalnya, adalah bagian dari organizing suatu perusahaan, dan organizing adalah
salah satu dari ke 4 unsur utama dalam management. Kalau buruh tersebut sudah berpengalaman cukup, katakanlah sudah bekerja di perusahaan tersebut sekurang-kurangnya 5 tahun, dan dianggap mampu menjalankan fungsinya sebagai operator mesin dengan baik, berapakah gaji yang diterimanya? Kalau upah yang diterima buruh tersebut masih berkisar UMK (Upah Minimum Kabupaten / Kota) yang untuk Jakarta dan Jabar sekitar Rp.1 juta / bulan, jelas perusahaan tersebut tidak menjalankan management SDM dengan baik dan tidak menghargai pegawai berdasarkan merit sistem. Kalau buruh tersebut untuk memenuhi kebutuhan fisik minimumnya saja tidak cukup, bagaimana mungkin dia dapat bekerja dengan baik (kwalitas dan kwantitas). Perusahaan-perusahaan seperti ini, umumnya akan mengangkat manager produksinya ex mandor produksi yang sudah lama kerja, rajin, dan yang terutama penurut serta gajinya murah. Kalau manager produksinya seperti ini, bisa diduga Accounting Managernya pun tidak perlu yang qualified, karena bossnya tidak memerlukan Laporan Keuangan, yang diperlukan cukup catatan-catatan sederhana saja. Bagaimana mau menganalisa perusahaan kalau data accounting perusahaannya saja tidak lengkap. Begitu juga yang disebut Financial Managernya, mustahil diisi oleh orang-orang yang qualified yang menguasai Financial Management dengan baik. Posisi ini karena dianggap rawan korupsi, umumnya dipegang oleh anak, adik, atau keponakan pemilik perusahaan sendiri yang dianggap bisa dipercaya, di mana tugas-tugas utamanya menanda tangani cek dan menerima pembayaran dari pelanggan. Padahal tugas-tugas seperti ini adalah tugas kasir, dan fungsi Manager Keuangan yang sebenarnya tidak pernah dilakukan. Di banyak perusahaan, posisi Sales Manager sering dianggap paling penting sehingga dipegang oleh pemilik perusahaan sendiri, yang tidak jarang tanpa memperhatikan kemampuannya. Sukses sebagai pedagang tidak berarti mampu menjadi Sales Manager perusahaan industri. Kalau posisi-posisi penting tersebut dipegang oleh orang-orang yang tidak qualified seperti itu, bagaimana mungkin perusahaan bisa bekerja secara efisien dan bisa bersaing dengan produk import? Itulah sebabnya banyak sekali manager kutu loncat di Indonesia, karena kemampuannya seringkali tidak dihargai secara layak. Biaya-biaya yang tidak nampak yang timbul akibat ketidak mampuan SDM inilah, bersama-sama dengan WACC yang tinggi, yang sebenarnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi tanpa disadari. Operator mesin yang pandai dan berpengalaman, karena
gajinya disamakan dengan pegawai yang baru belajar, akan bermalas-malasan sehingga hasilnya sama saja dengan pegawai baru. Padahal jika ada penghargaan atas kemampuan operator senior tersebut, tentu yang bersangkutan akan lebih produktif sehingga labor cost per unitnya relatif akan lebih murah. Kalau Departemen Produksi perusahaan tersebut dikelola oleh manager produksi yang menguasai bidangnya dengan baik, walalupun gajinya relatif mahal tetapi secara keseluruhan, cost per unitnya akan lebih efisien dibandingkan ex mandor yang tidak meguasai production management. Accounting Manager yang berpengalaman dan menguasai bidangnya, dalam menjalankan fungsi "controlingnya" akan bisa memberikan saran-saran bagi perusahaan, sehingga berbagai pemborosan yang tidak perlu dapat dicegah. Financial Manager yang qualified juga bisa mengelola uang perusahan dengan baik, sehingga perusahaan tidak perlu meminjam uang mendadak dari pihak ketiga dengan bunga yang tinggi, hanya untuk menutupi cek mundur yang sudah dibuka yang dananya tidak tersedia. Padahal uang perusahaan tersebut banyak tersebar di luar. Banyak perusahaan yang memberikan sanki keras kepada pegawainya yang tanpa sengaja telah merusak barang perusahaan. Tapi tidak pernah terdengar ada perusahaan yang memecat atau memberikan sanksi keras kepada managernya yang membiarkan persediaan barang di gudang bertambah banyak setiap bulannya. Padahal bunga yang tertanam pada barang yang bertumpuk tersebut jauh lebih besar dari Rp.1 juta. Contoh sederhana misalnya, suatu perusahaan, berdasarkan teori persediaan minimum cukup menyediakan persediaan barang rata-rata setiap harinya sebanyak 100.000 unit. Kalau harga barang tersebut @ Rp.10.000 / unit, maka nilai persediaan barang perusahaan tersebut rata-rata adalah Rp.1 milyar. Kalau karena miss-management, persediaan barang perusahaan tersebut rata-rata tersedia 150.000 unit dengan nilai Rp.1,5 milyar, maka telah terjadi kelebihan uang yang tertanam dalam persediaan barang tersebut sebesar Rp.500 juta, yang terjadi setiap hari sepanjang tahun. Artinya, perusahaan tersebut meminjam kredit dari bank hanya untuk disimpan di gudang. Kalau bunga kredit 12% pa, berarti perusahaan tersebut harus membayar bunga extra sebesar Rp.60 juta setahun, hanya karena miss-management dalam pengelolaan persediaan barang di gudang. KESIMPULAN Akhirnya diskusi kita sampai pada pertanyaan yang paling mendasar, yang dipertanyakan oleh hampir semua orang yang peduli AC-FTA. Apakah setelah
berlakunya AC-FTA, perekonomian negara-negara Asean, khususnya Indonesia, akan bermasalah besar seperti perekonomian negara-negara maju akibat serbuan barang-barang murah dari China? Industri low-tech di Amerika Serikat dan Eropa Barat nyaris tidak bisa beroperasi lagi, karena harga jualnya jauh lebih mahal dibandingkan dengan barang yang sama produk China, sehingga dari tahun ke tahun pengangguran meningkat terus. Atau minimal apakah China akan menguasai perekonomian negara-negara Asean, khususnya Indonesia, di mana perusahaan-perusahaan besar sebagian besar akan dikuasai oleh pemodal dari China? Dengan melihat situasi dan kondisi di Indonesia, di dalam negeri China sendiri, dan di kawasan Asean pada umumnya, tampaknya kekhawatiran seperti itu untuk satu-dua dekade kedepan belum mungkin terjadi. Perkembangan selanjutnya sangat tergantung pada sikap industri domestik kita, apakah mau membenahi diri atau tidak. 1. Dari uraian di muka cukup jelas, bahwa AC-FTA tidak semata-mata akan menurunkan harga jual produk China di negara-negara Asean terutama Indonesia (lihat ilustrasi pada bagian 3/6). Dengan demikian, ketakutan bahwa dengan berlakunya AC-FTA, barang-barang produk China akan menghancurkan perekonomian Indonesia adalah berlebih-lebihan dan terlalu dibesar-besarkan. Meskipun demikian, barang-barang produk China memang harus diwaspadai karena kalau produk domestik tidak mampu bersaing dengan barang-barang import dari China, industri domestic secara perlahan akan hancur. Contoh yang nyata adalah industri low-tech di Amerika Serikat dan Eropa Barat dengan labor cost yang sangat tinggi, sangat terpukul oleh serbuan barang-barang sejenis dari China dengan harga hanya seper-sekiannya, sedang kwalitasnya tidak terlalu jauh berbeda. Karena labor cost di China dan Indonesia relatif sama, selisih harga pokok produk China dengan produk Indonesia tidak setajam seperti selisih harga pokok produk sejenis di Amerika Serikat dan Eropa Barat, di mana labor cost sehari nyaris sama dengan labor cost sebulan di China atau Indonesia. Dengan demikian, masih ada kemungkinan bagi barang-barang produk Indonesia untuk bersaing dengan produk sejenis dari China. Oleh karena itu industri domestic Indonesia harus mulai bebenah diri agar efisiensinya meningkat dan harga pokoknya turun, sehingga dapat bersaing dengan produk China. 2. Pertumbuhan ekonomi China yang relatif tinggi, secara langsung telah meningkatkan taraf hidup masyarakatnya, terutama di kawasan-kawasan industri.
Peningkatan taraf hidup ini secara riel identik dengan inflasi, sehingga living cost masyarakat di kawasan industri secara bertahap akan meningkat dari tahun ke tahun, dan upah buruh minimum juga mau tidak mau harus ditingkatkan terus, sehingga dalam waktu relatif singkat mungkin akan sedikit lebih tinggi dari upah minimum di Indonesia. Pada taraf ini keunggulan komparatif hanya terletak pada efisiensi masing-masing, karena komponen upah dan bahan baku relatif sama. Katakanlah bahan baku tertentu di China harganya lebih murah 20 - 30% dari Indonesia, dengan berlakunya AC-FTA, maka pengusaha Indonesia dengan mudah mengimpornya dari China jika harga CIF nya tidak lebih mahal dari Indonesia. Kalau industri domestic Indonesia hanya bisa menyalahkan pemerintah dan mengkambing hitamkan korupsi saja, selamanya industri domestic Indonesia tidak akan berkembang, dan dalam 1 - 2 dekade niscaya akan dilindas produk China seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat. Seperti yang diuraikan di muka, yang harus dibenahi industri domestic Indonesia adalah Struktur Modal dan Management-nya, karena inilah sebenarnya penyebab ekonomi biaya tinggi. Perbaikan management perusahaan dan perbaikan struktur modal, jelas akan meningkatkan efisiensi perusahaan sehingga otomatis akan meningkatkan daya saing produk Indonesia terhadap produk import. 3. Yang harus diwaspadai dari barang-barang produk China yang sebenarnya bukanlah produk umum yang sengaja dibuat untuk pasaran Asean, tetapi barang-barang sisa export ke Amerika dan Eropa Barat. Bukan rahasia lagi kalau importir di Eropa Barat dan Amerika, seringkali menerapkan quality control yang sangat tinggi terhadap produk negara berkembang. Entah disengaja entah memang jelek, reject 30% dianggap wajar oleh importir di Amerika dan Eropa Barat. Sebaliknya, bukan rahasia pula kalau produk buatan China dengan harga pokok US$ 10 / unit di jual ke pasaran Eropa Barat dan Amerika beberapa kali lipatnya, katakanlah seharga US$ 30. Secara umum, untuk membuat 100 unit barang tersebut diperlukan total cost of good sold sebesar US$.1,000. Kalau barang tersebut di reject 30%, berarti barang yang dapat dijual ke Eropa Barat dan Amerika hanya 70 unit. Dengan asumsi 30% barang-barang yang di reject tersebut dibuang, berarti cost / unit rata-rata barang tersebut menjadi US$ 14.29, dan jika dijual US$ 30/unit, produsen di China masih mendapat keuntungan lebih dari 100% per unitnya. Dengan demikian, barang-barang reject tersebut identik dengan sampah yang boleh dibuang ke mana saja, karena secara tidak langsung sudah dibayar oleh importir di Amerika dan Eropa Barat. Kalau barang-barang reject tersebut dijual seharga US$ 5 / unit, bagi produsen di China hasil penjualan tersebut 100% merupakan extra profit. Jika pedagang di Indonesia menjualnya kembali dengan
harga US$ 8 - 10, maka produsen barang-barang sejenis di Indonesia tidak akan mampu menyainginya. Dalam perdagangan internasional, kasus seperti ini disebut "dumping", dan pemerintah Indonesia seharusnya turun tangan mencegah masuknya barang-barang dumping ke wilayah pabean Indoinesia. Ironinya, kalau barang-barang ilegal yang tidak membayar bea masuk saja bisa lolos dan tidak pernah dipermasalahkan oleh pemerintah, bagaimana mungkin barang dumping bisa dicegah? Lebih parah lagi kalau barang dumping tersebut masuk ke Indonesia secara ilegal pula. 4. Apakah dengan berlakunya AC-FTA tidak akan terjadi pergeseran dalam struktur perekonomian di Indonesia? Karena dengan berlakunya AC-FTA, berbelanja / berdagang ke luar negeri tidak ada bedanya dengan berbelanja / berdagang ke kota lain di Indonesia, jelas akan terjadi pergeseran-pergeseran keuntungan dalam perdagangan export-import. Diduga AC-FTA akan cenderung mengurangi keuntungan importir dan exportir, tapi sebaliknya memberi keuntungan tambahan kepada pengusaha menengah dan kecil. Sebelum berlakunya AC-FTA, pedagang menengah mau tidak mau harus membeli barang-barang import dari importir di Indonesia, dengan harga yang lebih tinggi dari harga beli yang wajar di China ditambah ongkos kirim. Setelah berlakunya AC-FTA, pedagang menengah dengan modal Rp.100 - 200 juta, sambil jalan-jalan dengan mudah bisa pergi sendiri ke Guang Zhou untuk berbelanja barang dagangannya dengan harga yang jauh lebih murah. Untuk menghemat, sebagian barang dibawa langsung sesuai dengan batas maksimum bagasi pesawat yang diijinkan, sisanya dikirim melalui perusahaan expedisi tanpa perlu repot lagi dengan bea masuk. Begitu juga pedagang kecil dan menengah yang menjual barang-barang khas Indonesia, sebelum berlakunya AC-FTA, karena rumitnya perijinan export, terpaksa meng-export barangnya melalui exportir dengan biaya yang relatif mahal. Setelah berlakunya AC-FTA mereka bisa langsung mengexport sendiri tanpa perlu ijin export yang berbelit-belit. Secara bergurau, orang mengatakan bahwa pedagang mangga dari Indramayu, setelah berlakunya AC-FTA bisa memikul dagangan mangganya sampai ke Beijing. 5. Dengan berlakunya mempermasalahkan
AC-FTA,
pengusaha
Indonesia
umumnya
hanya
serbuan barang-barang China ke Indonesia, dan sama sekali atau hampir tidak pernah menyinggung bahwa AC-FTA juga memberi peluang besar dalam peningkatan
penjualan barang-barang produksi Indonesia ke negara-negara Asean dan China. Padahal di atas kertas, AC-FTA memberi peluang yang sama besar bagi peningkatan export dan import dari dan ke Indonesia, yang berarti AC-FTA juga potensial meningkatkan export Indonesia ke negara-negara Asean dan China. Kalau management perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak dikelola dengan baik, jelas kesempatan ini akan terbuang percuma. Katakanlah ada sejumlah pengusaha yang bisa melihat peluang ini dan memanfaatkannya secara maksimal, tapi kalau managementnya rapuh, maka produksi dan distribusinya tidak akan stabil, sehingga export tersebut tidak akan bertahan lama. Contoh yang nyata adalah export textile Indonesia ke mancanegara akhir tahun 70an. Pada awalnya, export textile dari Indonesia ke negara-negara maju disambut dengan antusias oleh importir di sana, karena harganya secara relatif sangat murah. Namun karena buruknya management perusahaan-perusahaan textile tersebut, lama kelamaan banyak sekali order yang tidak bisa ditepati dan kwalitasnya pun banyak yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan, sehingga banyak sekali purchasing order yang dibatalkan atau ditolak oleh importir di sana. Tapi sebaliknya, industri textile yang management-nya baik, walaupun aak seret tetapi sampai sekarang masih tetap bertahan dan mampu bersaing dengan produk sejenis dari China di pasaran Eropa Barat dan Amerika. 6. Dilihat dari kondisi ekonomi politik, kondisi China saat ini sampai beberapa dekade kedepan, masih belum sekuat Amerika meskipun tidak bisa dianggap enteng oleh Amerika, sehingga untuk menghadapi Amerika dan sekutu-sekutunya dalam percaturan ekonomi politik global, China perlu dukungan dari negara-negara sekitarnya. Dukungan politik bisa diharapkan akan diperoleh China kalau kondisi ekonomi negara-negara sekitar tidak menjadi sengsara oleh serbuan barang-barang China. Oleh karena itu, tipis kemungkinannya China akan bertindak agresive setelah berlakunya AC-FTA untuk menguasai perekonomian negara-negara sekitarnya, khususnya Indonesia. Selain itu, sejarah juga membuktikan bahwa China tidak pernah menjajah negara lain, meskipun dulu secara militer mereka mampu. China juga masih memerlukan bahan-bahan dari bumi Indonesia, sehingga bagaimanapun juga harus menjaga hubungan bilateral dengan sebaik-baiknya. Kemungkinan besar China akan meningkatkan investasinya di Indonesia dan negara-negara sekitar, bekerja sama dengan investor lokal, untuk menghemat biaya distribusinya dan menjaga pertumbuhan ekonomi negara-negara tetangganya. Jika perekonomian negara-negara sekitar hancur, maka sebagian rakyatnya yang secara historis dan kultural mempunyai ikatan kuat dengan China, tanpa bisa dibendung akan imigrasi
ke daratan China untuk mencari lapangan kerja, yang otomatis akan menimbulkan problem besar bagi pemerintah China sendiri. 7. China, dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam jangka waktu yang lama, lambat laun telah menciptakan gap kemakmuran antara penduduk kota-kota besar yang identik dengan kawasan industri, dengan penduduk pedesaan yang identik dengan pertanian. Mau tidak mau, kedepan, China juga harus mengerem expansinya dan memusatkan pertumbuhan ekonomi di pedesaan yang otomatis berarti mengurangi expansi exportnya ke kawasan Asean. Diperkirakan, kebijakan ini mulai intensif dijalankan setelah fondasi China dalam perekonomian global sudah tertanam kuat, sehingga dominasinya terhadap perekonomian global tidak mudah digoyahkan oleh negara pesaing. Diperkirakan, tidak lebih dari tahun 2015, China akan memulai expansinya ke pedesaan, sehingga expansinya ke luar negeri mau tidak mau harus direm dan dipertahankan pada kondisi yang dianggap aman. Dengan melihat kondisi ini, maka sampai tahun 2015, posisi Indonesia masih relatif aman dalam persaingan dengan barang-barang China, dan selanjutnya, selama 1 - 2 dekade berikutnya, karena China lebih memusatkan pertumbuhan ekonomi pedesaannya, maka serbuan barang-barang China ke Indonesia juga tidak terlalu mengkhawatirkan. Meskipun demikian, semua tergantung pada industri domestik di Indonesia sendiri, apakah akan membenahi diri atau tidak, bukan pemerintah, karena peran pemerintah dalam hal ini terbatas pada faktor kebijakan (policy) saja. Sekian. Bandung, 27 Januari 2010 John Towell