Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan pertolongan-Nya sehingga Publikasi ”Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014”
ini dapat
terselesaikan. Publikasi ini tersaji atas kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Bandung dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung. Data
yang
perkembangan
memuat
informasi
masyarakat khususnya
yang
mengenai
kondisi
berkaitan
dengan
pembangunan manusia sangat berguna sebagai bahan analisis dan evaluasi
program
pembangunan
serta
sebagai
bahan
perencanaan
pembangunan. Publikasi Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 ini sesuai dengan maknanya merupakan data dasar yang memuat gambaran secara makro hasil pembangunan yang telah dicapai Pemerintah Kota Bandung dalam upaya meningkatkan pemberdayaan manusia di Kota Bandung. Publikasi ini diharapkan akan sangat berguna sebagai kerangka konsep pembangunan yang menjadi dasar kebijakan pembangunan manusia. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penyusunan publikasi ini kami ucapkan terima kasih. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi banyak pihak. Bandung, Oktober 2014 Kepala Badan Pusat Statistik Kota Bandung Ir. Hj. Sri Daty NIP. 19591107 198503 2 002 Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
i
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
i ii iv vi
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan 1.3 Ruang Lingkup dan Sumber Data
1 1 3 3
BAB II. METODOLOGI
5 5 7 8 13 14 15 16
2.1 Pengertian Indikator 2.2 Indikator Pembangunan Manusia 2.3 Metode Penghitungan IPM 2.4 Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM 2.5 Status Pembangunan Manusia 2.6 Ukuran Perkembangan IPM 2.7 Beberapa Definisi Operasional Indikator Terpilih BAB III. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KOTA BANDUNG TAHUN 2014 3.1 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Di Kota Bandung 3.2 Perkembangan Komponen IPM di Kota Bandung 3.2.1 Angka Harapan Hidup (AHH) 3.2.2 Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (MYS) 3.2.3 Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity/PPP)
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
19 19 22 23 24 27
ii
BAB IV. DIMENSI UMUR PANJANG DAN SEHAT 4.1 Kondisi Input 4.1.1 Fasilitas Tempat Buang Air Besar (BAB) 4.1.2 Sumber Air Minum yang Digunakan 4.1.3 Ketersediaan Sarana Kesehatan 4.1.4 Tenaga Kesehatan 4.1.5 Penolong Kelahiran 4.2 Kondisi Proses 4.2.1 Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan 4.2.2 Lamanya Pemberian ASI
29 29 29 30 33 33 34 36 36 39
BAB V. DIMENSI PENGETAHUAN 5.1 Kondisi Input 5.1.1 Pendidikan Kepala Rumah Tangga 5.2 Kondisi Proses 5.2.1 Angka Partsisipasi Sekolah (APS) 5.2.2 Angka Partisipasi Murni (APM)
41 41 41 43 43 44
BAB VI. DIMENSI STANDAR HIDUP LAYAK 6.1 Kemiskinan 6.2 PDRB Per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi 6.2.1 PDRB Per Kapita 6.2.2 Pertumbuhan Ekonomi
47 47 50 50 52
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
iii
Tabel 2.1
Daftar Komoditi Terpilih untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP)
21
Tabel 2.2
Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM
25
Tabel 4.1
Persentase Rumah Tangga Menurut Penggunaan Fasilitas Tempat Buang Air Besar di Kota Bandung, Tahun 2013-2014*
29
Tabel 4.2
Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum di Kota Bandung, Tahun 2014*
31
Tabel 4.3
Persentase Rumah Tangga Yang Menggunakan Sumber Air Minum dan Jarak ke Tempat Penampungan Kotoran/Tinja di Kota Bandung, Tahun 2014*
32
Tabel 4.4
Jumlah Sarana Kesehatan di Kota Bandung, Tahun 2013
33
Tabel 4.5
Jumlah Tenaga Kesehatan di Kota Bandung, Tahun 2013
34
Tabel 4.6
Persentase Penduduk yang Mengalami Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Kelamin di Kota Bandung, Tahun 2013-2014*
36
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
iv
Tabel 4.7
Persentase Penduduk yang Berobat Jalan Menurut Tempat Berobat, Tahun 2013-2014*
37
Tabel 4.8
Persentase Balita Menurut Jenis Kelamin dan Lamanya Pemberian ASI di Kota Bandung, Tahun 2013-2014*
40
Tabel 5.1
Persentase Ijazah yang Dimiliki Kepala Rumah Tangga di Kota bandung, Tahun 2014*
42
Tabel 5.2
Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kota Bandung, Tahun 2014*
43
Tabel 5.3
Angka Partisipasi Murni (APM) Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di Kota Bandung, Tahun 2014*
46
Tabel 6.1
PDRB Per Kapita Kota Bandung Tahun 2010-2013**
51
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
v
Gambar 2.1
Komponen Indeks Pembangunan Manusia
9
Gambar 3.1
Perkembangan IPM dan Komponennya di Kota Bandung, Tahun 2012-2014*
20
Gambar 3.2
Reduksi Shortfall Kota Bandung Periode 20112014*
21
Gambar 3.3
Perkembangan Angka Harapan Hidup Bandung, Tahun 2011-2014* (dalam tahun)
Kota
23
Gambar 3.4
Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah di Kota Bandung, Tahun 2011-2014* (dalam tahun)
25
Gambar 3.5
Perkembangan Angka Melek Huruf Kota Bandung, Tahun 2011-2014* (dalam %)
26
Gambar 3.6
Perkembangan Paritas Daya Beli Kota Bandung, Tahun 2011-2014* (dalam ribu rupiah)
28
Gambar 4.1
Persentase Penolong Kelahiran (Terakhir) Balita di Kota Bandung, Tahun 2014*
35
Gambar 6.1
Persentase Penduduk Miskin di Kota bandung, Tahun 2010-2013
49
Gambar 6.2
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandung, Tahun 2010-2013**
53
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
vi
1.1
Latar Belakang Pembangunan nasional adalah usaha untuk meningkatkan kualitas
manusia seutuhnya, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Pembangunan nasional merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai sebuah proses perubahan dan transformasi menuju kondisi yang lebih baik khususnya pada aspek kualitas sumber daya manusia. Setiap pembangunan yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Seiring dengan semangat otonomi daerah dalam perencanaan pembangunan dewasa ini, pembangunan manusia menjadi fokus utama atau titik sentral dari setiap tahapan dan proses pembangunan. Manusia tidak lagi hanya sebagai objek pembangunan, melainkan juga sebagai subjek dari pembangunan itu sendiri. Seluruh upaya pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia berdasarkan pada ukuran
kualitas
kehidupan
dan
lingkungan,
yang
pada
akhirnya
mewujudkan manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber daya (pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat) dan meningkatkan pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat Data Basis Pembangunan Manusia Kota BandungTahun 2014
1
dan kegiatan ekonomi). Pembangunan manusia melihat secara bersamaan semua isu dalam masyarakat; pertumbuhan ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, kebebasan politik ataupun nilai-nilai kultural dari sudut pandang manusia. Pembangunan manusia juga mencakup isu penting lainnya, yaitu gender. Dengan demikian, pembangunan manusia tidak hanya memperhatikan
sektor
sosial,
tetapi
merupakan
pendekatan
yang
komprehensif dari semua sektor. Menurut UNDP (1995), paradigma pembangunan manusia terdiri dari 4 (empat) komponen utama, yaitu : (1) Produktivitas, masyarakat harus dapat meningkatkan produktivitas secara penuh berupah.
dalam
mereka
dan
berpartisipasi
proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu
bagian dari jenis pembangunan manusia, (2) Ekuitas, masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi di dalam pembangunan dan memperoleh manfaat dari kesempatan-kesempatan ini, (3) Kesinambungan, akses
untuk
memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang
tapi
permodalan
juga
generasi
yang
akan
hanya
Segala
bentuk
fisik, manusia, lingkungan hidup, harus dilengkapi, (4)
Pemberdayaan, pembangunan harus dilakukan bukan
datang.
d i l a k u k a n untuk
oleh
masyarakat.
masyarakat Masyarakat
dan harus
berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka. Alat ukur yang lazim digunakan dalam memantau tingkat pembangunan manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Indeks ini dibentuk dari empat indikator, yaitu angka Data Basis Pembangunan Manusia Kota BandungTahun 2014
2
harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli. Indonesia beserta provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia sejak tahun 1998 menggunakan indeks ini untuk memantau kemajuan dari pembangunan manusia di wilayah masing-masing. Tantangan mendasar untuk perbaikan indeks ini terletak pada kemampuan memperbaiki mutu pembangunan di sektor-sektor penopang IPM dan sektor-sektor yang berkaitan dengan itu. Atas dasar tersebut maka kegiatan penyusunan Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 menjadi penting guna mendukung dan sekaligus memberikan arah bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Kota Bandung dan kecamatan-kecamatan di bawahnya. 1.2
Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penyusunan Data Basis Pembangunan Manusia
di Kota Bandung Tahun 2014 ini adalah sebagai berikut : a. Untuk melihat perkembangan pembangunan manusia di Kota Bandung tahun 2014. b. Memberikan gambaran yang lebih sederhana dan lengkap dalam melihat dampak pembangunan yang dilaksanakan dan implikasinya terhadap peningkatan kualitas penduduk. c. Memberikan rekomendasi implementasi program dalam rangka meningkatkan komponen Indeks Pembangunan Manusia Kota Bandung. 1.3
Ruang Lingkup dan Sumber Data Perencanaan bagi program-program pelaksanaan pembangunan
memerlukan informasi yang dapat menyajikan gambaran sebenarnya di Data Basis Pembangunan Manusia Kota BandungTahun 2014
3
lapangan (represent reality). Semua informasi yang ada tersebut berguna sebagai penunjang bagi analisis, monitoring dan evaluasi suatu kebijakan. Oleh karena itu, kecermatan dan konsistensi data sangat diperlukan untuk mencegah kekeliruan kesimpulan yang dapat terjadi di kemudian hari secara dini. Ruang lingkup penyusunan Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 ini adalah mencakup seluruh wilayah administratif Kota Bandung. Sedangkan rentang isu yang dibahas mencakup aspek kependudukan, sosial budaya, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan perumahan. Sumber data yang digunakan dalam penyusunan Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 ini sebagian besar berasal dari hasil Survei Data Basis Pembangunan Manusia Tahun 2014 dan data-data lain yang berkaitan.
Data Basis Pembangunan Manusia Kota BandungTahun 2014
4
Program pembangunan yang sedang maupun telah dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Salah satu alat pengukur taraf kesejahteraan masyarakat dapat dipantau melalui
indikator sosial serta indikator ekonomi. Dengan
menggabungkan indikator-indikator tersebut, maka terbentuklah suatu indeks komposit yang menggambarkan berbagai aspek pembangunan manusia. Indeks Pembangunan Manusia
dapat menunjukkan tingkat
pembangunan manusia melalui pengukuran keadaan penduduk menurut usia hidup, pengetahuan, dan hidup layak. IPM merupakan salah satu indikator penting yang dapat digunakan dalam perencanaan kebijakan dan evaluasi pembangunan. 2.1
Pengertian Indikator Indikator adalah petunjuk yang memberikan indikasi tentang sesuatu
keadaan dan merupakan refleksi dari keadaan tersebut. Dengan kata lain, indikator merupakan variabel penolong dalam mengukur perubahan. Variabel-variabel ini terutama digunakan apabila perubahan yang akan dinilai tidak dapat diukur secara langsung. Indikator yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: 1.
sahih (valid), indikator harus dapat mengukur sesuatu yang sebenarnya akan diukur oleh indikator tersebut;
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
5
2.
objektif, untuk hal yang sama, indikator harus memberikan hasil yang sama pula, walaupun dipakai oleh orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda;
3.
sensitif, perubahan yang kecil mampu dideteksi oleh indikator;
4.
spesifik, indikator hanya mengukur perubahan situasi yang dimaksud. Namun demikian perlu disadari bahwa tidak ada ukuran baku yang benar-benar dapat mengukur tingkat kesejahteraan seseorang atau masyarakat. Indikator bisa bersifat tunggal (indikator tunggal) maupun bersifat
jamak (indikator komposit). Indikator tunggal hanya berisi satu indikator saja, salah satu contoh dari pada indikator tunggal adalah Angka Kematian Bayi (AKB). Angka Kematian Bayi adalah banyaknya kematian bayi yang berumur kurang dari 1 (satu) tahun per seribu kelahiran hidup. Indikator jamak (komposit) adalah gabungan dari beberapa indikator, seperti Indeks Mutu Hidup (IMH) yang merupakan gabungan dari 3 indikator yaitu angka melek huruf (IMH), angka kematian bayi (AKB) dan angka harapan hidup dari anak usia 1 tahun (e1). Menurut jenisnya, indikator dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: 1. Indikator Input, yang berkaitan dengan penunjang pelaksanaan program dan turut menentukan keberhasilan program, seperti: rasio murid-guru, rasio murid-kelas, rasio dokter, rasio puskesmas. 2. Indikator Proses, yang menggambarkan bagaimana proses pembangunan berjalan, seperti: Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), rata-rata jumlah jam kerja, rata-rata jumlah kunjungan ke puskesmas, persentase anak balita yang ditolong dukun.
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
6
3. Indikator Output/Outcome, yang menggambarkan bagaimana hasil (output) dari suatu program kegiatan telah berjalan, seperti: persentase penduduk dengan pendidikan SMTA ke atas, AKB, angka harapan hidup, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), dan lain-lain. 2.2
Indikator Pembangunan Manusia Upaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi seberapa besar
kemajuan pembangunan yang telah dicapai suatu wilayah serta sebagai bahan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan oleh pemerintah tentunya diperlukan data yang up to date dan akurat. Apakah pembangunan di bidang kesehatan telah secara nyata meningkatkan derajat kesehatan masyarakat? Apakah pembangunan di bidang pendidikan telah mampu meningkatkan tingkat partisipasi sekolah dan tingkat pendidikan masyarakat? Apakah program Paket Kejar telah mampu meningkatkan kemampuan baca tulis penduduk secara umum? Dalam konteks tersebut di atas diperlukan pula ukuran-ukuran yang tepat untuk digunakan sebagai indikator. Untuk itu diperlukan berbagai ukuran-ukuran yang biasa digunakan sebagai indikator pembangunan. Berbagai program seperti pengadaan pangan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan dan peningkatan kegiatan olah raga dilaksanakan dalam upaya peningkatan taraf kualitas fisik penduduk. Namun demikian seperti dikatakan Azwini, Karomo dan Prijono (1988:469), tolok ukur yang dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan (pembangunan) dalam beberapa hal agak sulit ditentukan. Alat ukur yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup selama ini sebenarnya hanya mencakup kualitas fisik, tidak termasuk kualitas non fisik. Kesulitan muncul terutama karena untuk menilai keberhasilan pembangunan non-fisik indikatornya relatif lebih abstrak dan bersifat komposit. Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
7
Indikator Indeks Pembangunan merupakan salah satu indikator untuk mengukur taraf kualitas fisik dan non fisik penduduk. Kualitas fisik tercermin dari angka harapan hidup; sedangkan kualitas non fisik (intelektualitas) melalui rata-rata lamanya penduduk bersekolah dan angka melek huruf. Indeks Pembangunan Manusia juga mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat yang tercermin dari nilai Purchasing Power Parity Index (PPP). 2.3
Metode Penghitungan IPM IPM
adalah
suatu
indikator
pembangunan
manusia
yang
diperkenalkan UNDP pada tahun 1990. IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut berkaitan dengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan hidup layak (decent living). Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas; dan hidup layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang didasarkan pada Purchasing Power Parity (paritas daya beli dalam rupiah). Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup atau e0 yang dihitung menggunakan metode tidak langsung (metode Brass, varian Trussel) berdasarkan variabel rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak yang masih hidup. Komponen pengetahuan diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Indikator angka melek huruf diperoleh dari variabel kemampuan membaca dan menulis, sedangkan indikator rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
8
secara simultan, yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Gambar 2.1 Komponen Indeks Pembangunan Manusia
Kesehatan
Angka Harapan Hidup
Pendidikan
Angka Melek Huruf
Indeks Melek Huruf
Indeks Peluang Hidup
Rata-rata Lama Sekolah
Pendapatan
Konsumsi Riil Perkapita
Indeks Ratarata Lama Sekolah
Indeks Pengetahuan
Indeks Standar Hidup Layak
Indeks Pembangunan Manusia
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
9
Komponen standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. Sebagai catatan, UNDP menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) sebagai ukuran komponen tersebut karena tidak tersedia indikator lain yang lebih baik untuk keperluan perbandingan antar negara. Penghitungan indikator konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dilakukan melalui tahapan pekerjaan sebagai berikut:
Menghitung pengeluaran konsumsi per kapita dari Susenas Modul (=A).
Mendeflasikan nilai A dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) Ibukota Provinsi yang sesuai (=B).
Menghitung daya beli per unit (=Purchasing Power Parity (PPP)/unit).
Metode
penghitungan
sama
seperti
metode
yang
digunakan
International Comparison Project (ICP) dalam menstandarkan nilai PDB suatu negara.
Data dasar yang digunakan adalah data harga dan kuantum dari suatu paket komoditi yang terdiri dari nilai 27 komoditi yang diperoleh dari Susenas Modul (Tabel 2.1).
Membagi nilai B dengan PPP/unit (=C).
Menyesuaikan nilai C dengan formula Atkinson sebagai upaya untuk memperkirakan nilai marginal utility dari C.
Penghitungan PPP/unit dilakukan dengan rumus :
dimana,
PPP/Unit = ∑
∑
(, )
( ( , ). ( , ))
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
10
( , ):
pengeluaran konsumsi untuk komoditi j di kabupaten ke-i ( , ) : harga komoditi j di DKI Jakarta (Jakarta Selatan) ( , ) : jumlah komoditi j (unit) yang dikonsumsi di kabupaten ke-i
Tabel 2.1 Daftar Komoditi Terpilih Untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Komoditi
Unit
Sumbangan thd Total Konsumsi (%)*
(1)
(2)
(3)
Kg Kg Kg Kg Ons Kg Kg Butir 397 gram Kg Kg Kg Kg Kg Kg Butir Ons Ons Ons Ons 80 gram 10 batang Kwh M3 Liter Liter Unit
7,25 0,10 0,22 0,50 0,32 0,78 0,65 1,48 0,48 0,30 0,32 0,22 0,79 0,39 0,18 0,56 1,61 0,60 0,15 0,13 0,79 2,86 2,06 0,46 1,02 1,74 11,56 37.52
Beras lokal Tepung terigu Ketela pohon Ikan tongkol/tuna/cakalang Ikan teri Daging sapi Daging ayam kampung Telur ayam Susu kental manis Bayam Kacang panjang Kacang tanah Tempe Jeruk Pepaya Kelapa Gula pasir Kopi bubuk Garam Merica/lada Mie instant Rokok kretek filter Listrik Air minum Bensin Minyak tanah Sewa rumah Total *) Berdasarkan data Susenas 1996 Sumber: Badan Pusat Statistik
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
11
Unit kuantitas rumah dihitung berdasarkan indeks kualitas rumah yang dibentuk dari tujuh komponen kualitas tempat tinggal. Ketujuh komponen kualitas yang digunakan dalam penghitungan indeks kualitas rumah diberi skor sebagai berikut :
Lantai: keramik, marmer, atau granit = 1,lainnya=0
Luas lantai per kapita : > 10 m2 = 1, lainnya = 0
Dinding : tembok = 1, lainnya = 0
Atap : kayu/sirap, beton = 1, lainnya = 0
Fasilitas penerangan : listrik = 1, lainnya = 0
Fasilitas air minum : leding = 1, lainnya = 0
Jamban : milik sendiri = 1, lainnya = 0
Skor awal untuk setiap rumah = 1 Indeks kualitas rumah merupakan penjumlahan dari skor yang
dimiliki oleh suatu rumah tinggal dan bernilai antara 1 sampai dengan 8. Kuantitas dari rumah yang dikonsumsi oleh suatu rumah tangga adalah Indeks Kualitas Rumah dibagi 8. Sebagai contoh, jika suatu rumah tangga menempati suatu rumah tinggal yang mempunyai Indeks Kualitas Rumah = 6, maka kuantitas rumah yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut adalah 6/8 atau 0,75 unit. Rumus Atkinson (dikutip dari Arizal Ahnaf dkk, 1998;129) yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : C (i)* = C(i) = Z + 2(C(i) – Z)
jika C(i) < Z jika Z < C(i)< 2Z
(1/2)
= Z + 2(Z) (1/2)+ 3(C(i) – 2Z)
(1/3)
jika 2Z < C(i)< 3Z
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
12
= Z + 2(Z) (1/2)+ 3(Z) (1/3)+4(C(i) – 3Z)
(1/4)
jika 3Z < C(i)< 4Z
di mana,
2.4
C(i) =
Konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/unit (hasil tahapan 5)
Z =
Threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan yang dalam laporan ini nilai Z ditetapkan secara arbiter sebesar Rp 547.500,per kapita setahun, atau Rp 1.500,- per kapita per hari.
Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM Rumus penghitungan IPM dikutip dari Arizal Ahnaf dkk (1998;129)
yaitu sebagai berikut :
IPM = Dimana, X(1) : X(2) : X(3) :
) (
(
) (
)
Indeks harapan hidup Indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata-rata lama sekolah) Indeks standar hidup layak
Masing-masing
indeks
komponen
IPM
tersebut
merupakan
perbandingan antara selisih nilai suatu indikator dan nilai minimumnya dengan selisih nilai maksimum dan nilai minimum indikator yang bersangkutan. Rumusnya dapat disajikan sebagai berikut :
Indeks Xi Dimana,
=
()
()
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
()
() 13
X(i) X(i)maks
: Indikator ke-i (i = 1,2,3) : Nilai maksimum X(i)
X(i)min
: Nilai minimum X(i)
Nilai maksimum dan minimum indikator X(i) disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM Indikator Komponen IPM (=X(I))
Nilai Maksimum
Nilai Minimum
Catatan
(1)
(2)
(3)
(4)
Angka Harapan Hidup
85
25
Sesuai standar global (UNDP)
Angka Melek Huruf
100
0
Sesuai standar global (UNDP)
Rata-rata Lama Sekolah
15
0
Sesuai standar global (UNDP)
Konsumsi per kapita yang disesuaikan 2005
732.720
a)
300.000
b)
UNDP menggunakan PDB per kapita riil yang disesuaikan
Catatan: a) Proyeksi pengeluaran riil/unit/tahun untuk provinsi yang memiliki angka tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkinson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per tahun selama kurun 1996-2018. b) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk propinsi yang memiliki angka terendah tahun 1996 di Papua.
2.5
Status Pembangunan Manusia Meningkatnya pembangunan manusia dapat dilihat berdasarkan
besaran IPM. Tingkatan status pembangunan manusia suatu wilayah oleh Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
14
UNDP dibagi ke dalam tiga golongan yaitu rendah (kurang dari 50), sedang atau menengah (antara 50-80), dan tinggi (80 ke atas). Sedangkan untuk keperluan perbandingan antar kabupaten/kota, tingkatan status menengah dipecah lagi menjadi dua, yaitu menengah bawah dan menengah atas. Dengan demikian kriteria tingkatan status pembangunan manusia sebagai berikut :
2.6
Nilai IPM
Status Pembangunan Manusia
< 50
Rendah
50 IPM < 60
Menengah Bawah
60 IPM < 80
Menengah Atas
Tinggi
Ukuran Perkembangan IPM Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun
waktu digunakan reduksi shortfall per tahun (annual reduction in shortfall). Ukuran ini secara sederhana menunjukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal (IPM = 100). Nilai reduksi shortfall yang lebih besar menandakan peningkatan IPM yang lebih cepat. Prosedur penghitungan reduksi shortfall IPM (=r) (dikutip dari Arizal Ahnaf dkk, 1998;141) dapat dirumuskan sebagai berikut:
R= dimana:
(
(
)
)
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
(
(
)
)
/
15
R ( (
2.7
(
= reduksi shortfall per tahun ) = IPM tahun awal ) = IPM tahun terakhir; dan ) = IPM acuan atau ideal yang dalam hal ini sama dengan 100
Beberapa Definisi Operasional Indikator Terpilih
Untuk bisa melihat dengan jelas dan terarah beragam permasalahan pembangunan manusia selama ini dan bagaimana mengimplementasikan program-program pembangunan secara baik dan terukur diperlukan ukuran atau indikator yang handal. Beberapa indikator yang sering digunakan diantaranya adalah : Rasio Jenis Kelamin
Perbandingan antara penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan, dikalikan 100.
Rata-rata Lama Sekolah
Lama sekolah (tahun) penduduk usia 15 tahun ke atas.
Angka Melek Huruf
Proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis (baik huruf latin maupun huruf lainnya)
Angka Partisipasi Murni SD
Proporsi penduduk usia 7-12 yang sedang bersekolah di SD
Angka Partisipasi Murni SMP
Proporsi penduduk usia 13-15 tahun yang sedang bersekolah di SMP
Angka Partisipasi Murni SMA
Proporsi penduduk usia 16-18 tahun yang sedang bersekolah di SMA
Angka Harapan Hidup waktu lahir
Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
tahun
16
penduduk Angka Kematian Bayi
Besarnya kemungkinan bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun, dinyatakan dengan per seribu kelahiran hidup.
Persentase rumah berlantai tanah
Proporsi rumah tangga yang tinggal dalam rumah dengan lantai tanah
Persentase rumah tangga beratap layak
Proporsi rumah tangga yang menempati rumah dengan atap layak (atap selain dari dedaunan ).
Persentase rumah tangga berpenerangan Listrik
Proporsi rumah tangga yang menggunakan sumber penerangan listrik
Persentase rumah tangga bersumber air minum leding
Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum leding
Persentase rumah tangga bersumber air minum bersih
Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum pompa / sumur / mata air yang jaraknya lebih besar dari 10 meter dengan tempat penampungan limbah / kotoran terdekat
Persentase rumah tangga berjamban dengan tangki septik
Proporsi rumah tangga yang mempunyai jamban dengan tangki septik
Pengeluaran
Pengeluaran per kapita untuk makanan dan bukan makanan. Makanan mencakup seluruh jenis makanan termasuk makanan jadi, minuman, tembakau, dan sirih. Bukan makanan mencakup perumahan, sandang,
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
17
biaya kesehatan, sebagainya.
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
pendidikan
dan
18
3.1
Perkembangan Bandung
Indeks
Pembangunan
Manusia
di
Kota
Pembangunan manusia adalah proses agar mampu memiliki lebih banyak pilihan dalam hal pendapatan, kesehatan, pendidikan, lingkungan fisik dan sebagainya. Namun perlu disadari bahwa investasi pembangunan dalam rangka pembangunan manusia hasilnya tidak berdampak langsung secara
instan
karena
investasi
pembangunan
manusia
merupakan
pembangunan jangka panjang. Konsep Indeks Pembangunan Manusia adalah mengukur pencapaian pembangunan keseluruhan suatu negara. Dengan demikian IPM mengukur pencapaian kemajuan pembangunan sosial maupun ekonomi. IPM dapat digunakan untuk mengklasfikasikan apakah suatu wilayah dikategorikan maju, berkembang, atau terbelakang, dan digunakan untuk mengukur pengaruh dari kebijakan pembangunan terhadap kualitas hidup Terciptanya IPM yang tinggi hendaknya menjadi pemacu peran serta yang nyata dari segenap komponen masyarakat Kota Bandung, dan tidak bisa ditawar lagi harus adanya optimalisasi dan sinergitas pola dan sasaran pembangunan manusia yang melibatkan semua pihak. Pencapaian IPM di Kota Bandung dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Peningkatan IPM setiap tahunnya merupakan dampak
dari
meningkatnya
komponen-komponen
penyusun
IPM.
Peningkatan tersebut tidak dapat dilepaskan dari hasil kerja keras para unsur pemerintah, swasta, akademisi serta masyarakat. Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
19
Pada tahun 2012, capaian IPM Kota Bandung berada pada posisi 79,32 dan secara perlahan naik mencapai 79,47 atau naik sekitar 0,15 poin pada tahun 2013. Kemudian pada tahun 2014 IPM Kota Bandung kembali mengalami peningkatan sebesar 0,19 poin dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu menjadi 79,66. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di lampiran 4. Dengan angka IPM yang dicapai sebesar 79,66, status pembangunan manusia Kota Bandung masih termasuk dalam klasifikasi menengah ke atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan yang telah dilaksanakan berhasil meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik diukur dari indikator kesejahteraan rakyat, yang meliputi indikator kesehatan, indikator pendidikan serta daya beli masyarakat yang meningkat. Secara
visual
trend
perkembangan
IPM
serta
komponen-
komponennya dapat dilihat pada gambar 3.1. Gambar 3.1 Perkembangan IPM dan Komponennya di Kota Bandung, Tahun 2012-2014* 95
90,25
90,44
90,53
81,35
81,38
81,40
90 85 80 75 70
79,32
79,47
79,66
Indeks Kesehatan Indeks Pendidikan Indeks Daya Beli
66,35
66,59
67,05
IPM
65 60 2012
2013
2014*
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
20
Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu digunakan reduksi shortfall per tahun (annual reduction in shortfall). Ukuran ini secara sederhana menunjukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal (IPM=100). Dengan demikian keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan pembangunan manusia pada suatu kurun waktu tidak sekedar dilihat dari posisi nilai IPM-nya, tetapi lebih tepat dilihat dari reduksi shortfall pada kurun waktu tersebut. Kecepatan perkembangan IPM sangat tergantung dari tinggi rendahnya angka IPM yang dicapai. Jadi, sebenarnya yang membuat tingginya capaian shortfall terletak pada selisih antara IPM tahun sebelumnya dan IPM yang dicapai saat ini. Gambar 3.2 Reduksi Shortfall Kota Bandung Periode 2011-2014* 1 0,95 0,9 0,85 0,8 0,75 0,7 0,65 0,6 0,55 0,5
0,96
0,92
0,73
2011-2012
2012-2013
2013-2014*
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
Dari gambar 3.2 terlihat bahwa selama kurun waktu tahun 20112014 nilai Reduksi shortfall Kota Bandung mengalami fluktuasi. Pada Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
21
periode tahun 2011-2012, reduksi shortfall Kota Bandung sebesar 0,96, kemudian turun menjadi 0,73 pada periode 2012-2013. Pada periode tahun 2013-2014 nilai reduksi shortfall kembali naik menjadi 0,92. Nilai 0,92 pada tahun 2013-2014 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu satu tahun tersebut, pergerakan Kota Bandung dalam mengurangi jarak dari IPM yang dicapai dengan nilai idealnya (IPM=100), yaitu sebesar 0,92 per tahun. Selama periode tersebut IPM semakin mendekati dari nilai idealnya yang berarti kualitas hidup penduduk pada periode tersebut membaik. Semakin besar persentase reduksi shortfall, semakin cepat ketertinggalan yang diposisikan dengan daerah lainnya dapat dikejar dan selanjutnya semakin cepat pula nilai IPM mendekati nilai yang ideal. Besar kecilnya kecepatan perkembangan
IPM
tersebut
sangat
tergantung
dari
komitmen
penyelenggara pemerintah daerah dalam meningkatkan kapasitas dasar penduduk yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup. 3.2
Perkembangan Komponen IPM di Kota Bandung Indeks
Pembangunan
Manusia (IPM)
terdiri
dari
tiga
komponen penting yaitu komponen kesehatan, pendidikan dan daya beli masyarakat. Untuk komponen pendidikan diperoleh dari rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf. Ketiga komponen ini bersinergi dalam IPM sehingga bisa diketahui apakah suatu daerah itu termasuk daerah maju, berkembang atau terbelakang. Pada tahun 2014, ketiga komponen penyusun IPM di Kota Bandung mengalami peningkatan. Berikut akan dijabarkan dari masing-masing komponen tersebut.
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
22
3.2.1 Angka Harapan Hidup (AHH) Aspek kesehatan merupakan unsur penting yang berkaitan dengan kapabilitas penduduk. Derajat kesehatan pada dasarnya dapat dilihat dari seberapa lama harapan hidup yang mampu dicapai. Semakin lama harapan hidup yang mampu dicapai merefleksikan semakin tinggi derajat kesehatannya. Angka harapan hidup menunjukkan kualitas kesehatan masyarakat yaitu mencerminkan “lamanya hidup” sekaligus “hidup sehat” suatu masyarakat. Trend perkembangan angka harapan hidup di Kota Bandung selama kurun waktu tahun 2011 hingga 2014 dapat dilihat pada gambar 3.3 berikut. Gambar 3.3 Perkembangan Angka Harapan Hidup Kota Bandung, Tahun 2011-2014* (dalam tahun) 73,85
73,84
73,84
73,83
73,83 73,82
73,81
73,81 73,8
73,79
73,79 73,78 73,77 73,76 2011
2012
2013
2014*
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
Pada gambar 3.3 terlihat bahwa pencapaian angka harapan hidup di Kota Bandung selama kurun waktu 2011-2014 menunjukkan trend naik. Angka Harapan Hidup di Kota Bandung selalu meningkat, meskipun Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
23
peningkatannya tidak terlalu signifikan. Pada tahun 2014, Angka Harapan Hidup penduduk Kota Bandung adalah sebesar 73,84 tahun atau naik sebesar 0,01 poin dibandingkan tahun 2013. Angka Harapan Hidup sebesar 73,84 menunjukkan bahwa pada tahun 2014, rata-rata penduduk Kota Bandung dapat bertahan hidup yaitu sampai usia 73-74 tahun. Peningkatan angka harapan hidup tersebut bisa menjadi suatu indikasi bahwa ada peningkatan akses masyarakat Kota Bandung terhadap sarana dan fasilitas kesehatan. Ini bisa dikatakan bahwa Kota Bandung telah
berhasil
dalam
meningkatkan kuantitas maupun kualitas dari
sarana, fasilitas maupun tenaga kesehatan
sehingga segala akses
kesehatan bisa sampai ke pelosok-pelosok. Di samping itu, upaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan melalui penyuluhan- penyuluhan
cukup
berhasil
sehingga
bisa
mengubah
sedikit demi sedikit pola pikir masyarakat yang mengesampingkan tentang kesehatan. 3.2.2 Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (MYS) Komponen pendidikan pada tahun 2014 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2013. Indeks pendidikan meningkat sebesar 0,09 poin dari tahun 2013 ke 2014. Indeks pendidikan ini terdiri dari dua komponen penyusun, yaitu indeks melek huruf dan indeks rata-rata lama sekolah. Kedua indeks ini dihitung secara bersama-sama dengan pembobotan, dimana angka melek huruf diberi bobot dua pertiga, sedangkan rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga. Gambar 3.4 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2011-2014 Rata-rata Lama Sekolah di Kota Bandung tidak banyak mengalami peningkatan atau mengalami kenaikan relatif lambat. Pada tahun 2011 RataData Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
24
rata Lama Sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Kota Bandung adalah sebesar 10,70 tahun, kemudian meningkat sedikit demi sedikit menjadi sebesar 10,85 tahun pada 2014. Gambar 3.4 Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah di Kota Bandung, Tahun 2011-2014* (dalam tahun)
10,90 10,80
10,81 10,70
10,85
10,74
10,70 10,60 2011
2012
2013
2014*
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
Rata-rata Lama Sekolah sebesar 10,85 tahun menunjukkan bahwa secara rata-rata penduduk Kota Bandung yang berusia 15 tahun ke atas sudah mengenyam pendidikan sampai Sekolah Menengah Umum meskipun belum sampai tamat. Jika dikaitkan dengan target minimal yang diusulkan UNDP, yaitu rata-rata lama sekolah 15 tahun, maka rata-rata pendidikan penduduk Kota Bandung masih relatif kurang. Komitmen dan kesadaran semua pihak akan pentingnya tetap bersekolah perlu terus ditingkatkan agar tercipta Sumber Daya Manusia yang semakin berkualitas. Indikator lainnya untuk melihat tingkat pendidikan adalah angka melek huruf (AMH). AMH diberi bobot lebih tinggi dari MYS karena ukuran yang sangat mendasar dari tingkat pendidikan adalah kemampuan Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
25
baca tulis penduduk dewasa. Gambar 3.5 menunjukkan perkembangan kemampuan baca tulis penduduk Kota Bandung yang berusia 15 tahun ke atas. Gambar 3.5 Perkembangan Angka Melek Huruf Kota Bandung, Tahun 2011-2014* (dalam %)
99,65 99,60
99,55
99,58
99,62
99,63
99,55 99,50 2011
2012
2013
2014*
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
Gambar 3.5 memperlihatkan bahwa perkembangan AMH penduduk usia 15 tahun ke atas di Kota Bandung relatif lambat. Hal tersebut terjadi karena AMH di Kota Bandung memang sudah cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah lain, dimana selama periode 2011-2014 AMH Kota Bandung sudah berada di atas 99 persen. Namun meskipun begitu, AMH harus tetap diperhatikan karena target yang harus dicapai adalah AMH = 100 persen. Pada tahun 2014, AMH di Kota Bandung hanya mengalami sedikit peningkatan dibanding tahun sebelumnya, yaitu hanya meningkat sebesar 0,01 poin, yaitu menjadi 99,63 persen. AMH sebesar 99,63 persen Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
26
mempunyai arti bahwa ada sekitar 99,63 persen penduduk Kota Bandung yang berumur 15 tahun ke atas dapat membaca dan menulis huruf latin dan lainnya, sedangkan sisanya sebesar 0,37 persen penduduk Kota Bandung masih buta huruf. Masih adanya penduduk yang buta huruf di Kota Bandung salah satunya diperkirakan akibat adanya penduduk lanjut usia yang masih belum bisa membaca dan menulis namun tidak dapat diperbaiki karena faktor usia. 3.2.3 Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity/PPP) Komponen penyusun IPM lainnya yang tidak kalah penting yaitu paritas daya beli yang juga mengalami peningkatan pada tahun 2014.Indeks paritas daya beli ini menunjukkan kemampuan
masyarakat
untuk
mengakses perekonomian. Pada tahun 2014 indeks paritas daya beli di Kota Bandung sebesar 67,05, meningkat sebesar 0,46 poin dibandingkan tahun 2013 yang hanya sebesar 66,59. Daya
beli
merupakan
kemampuan
masyarakat
dalam
membelanjakan uangnya untuk barang dan jasa. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh harga-harga riil antar wilayah, karena nilai tukar yang digunakan dapat menurunkan atau menaikkan nilai daya beli. Paritas daya beli merupakan ukuran ekonomi yang telah distandarkan dengan tujuan agar dapat membandingkan kualitas serta kemampuan daya beli antar daerah bahkan antar negara. Trend perkembangan paritas daya beli di Kota Bandung untuk kurun waktu 2011-2014 dapat dilihat pada gambar 3.6. Dari
gambar 3.6 terlihat bahwa selama tahun 2011-2014
kemampuan daya beli masyarakat Kota Bandung terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 PPP Kota Bandung sebesar 645,15 ribu rupiah dan terus meningkat menjadi 650,15 ribu rupiah pada tahun 2014. Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
27
Gambar 3.6 Perkembangan Paritas Daya Beli Kota Bandung, Tahun 2011-2014* (dalam ribu rupiah) 651 650 649 648 647 650,15
646 645 644 643
647,1
648,13
645,15
642 2011
2012
2013
2014*
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
Kota Bandung yang dilihat dari sisi geografis termasuk daerah yang dekat dengan ibukota negara, sudah tentu sektor perekonomian menjadi hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan dalam rencana pembangunan daerah. Dengan jumlah penduduk yang besar, perlu dipikirkan pula bagaimana dan upaya apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, terutama di daerah yang masih minim sarana dan prasarananya serta tingkat ekonomi masyarakatnya yang masih cukup rendah. Oleh karena itu, diperlukan sinergitas dari semua pihak terkait untuk mengatasi permasalahan ini dan menjadi pekerjaan rumah bagi penentu kebijakan, karena daya beli masyarakat bisa menunjukkan sampai seberapa besar tingkat kesejahteraan masyarakat itu sendiri yang nantinya akan berpengaruh pada naik turunnya Indeks Pembangunan Manusia.
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
28
4.1
Kondisi Input
4.1.1 Fasilitas Tempat Buang Air Besar (BAB) Tingkat kesehatan rumah dan lingkungan tempat tinggal dapat tercermin dari fasilitas tempat buang air besar yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Idealnya fasilitas BAB dimiliki oleh masing-masing rumah tangga. Dengan menggunakan fasilitas BAB milik sendiri maka kemungkinan penularan penyakit akan berkurang. Risiko seseorang yang menggunakan jamban bersama dalam kehidupan sehari-harinya untuk tertular suatu penyakit tertentu yang bisa ditularkan melalui feses, jauh lebih besar daripada seseorang yang menggunakan jamban sendiri. Tabel 4.1 Persentase Rumah Tangga Menurut Penggunaan Fasilitas Tempat Buang Air Besar di Kota Bandung, Tahun 2013 – 2014* Tahun
Penggunaan Fasilitas Tempat Buang Air Besar Sendiri
Bersama
Umum
Tidak Ada
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
2013
73,11
23,61
3,07
0,22
2014*
73,96
23,74
2,30
-
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
Pada tahun 2014, rumah tangga di Kota Bandung sudah tidak ada lagi yang tidak memiliki fasilitas BAB. Seluruh rumah tangga sudah Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
29
memiliki fasilitas BAB meskipun masih terdapat sebanyak 26,04 persen rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB secara bersama maupun umum. Jika dibandingkan dengan tahun 2013, rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri di Kota Bandung pada tahun 2014 telah mengalami peningkatan yaitu menjadi sebesar 73,96 persen (naik sebesar 0,85 persen). 4.1.2 Sumber Air Minum yang Digunakan Salah satu perilaku hidup sehat yang memiliki andil dalam penentuan derajat kesehatan atau status kesehatan seseorang adalah bagaimana penggunaan air bersih untuk keperluan hidup sehari-harinya. Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan. Air bersih merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Ketersediaan dalam jumlah yang cukup terutama untuk minum dan memasak merupakan tujuan dari program penyediaan air bersih. Jenis
sumber
air
minum
merupakan
salah
satu
indikator
kesejahteraan penduduk, baik dilihat dari segi kesehatan maupun ekonomi. Kebersihan air minum merupakan salah satu kebutuhan utama yang harus dipenuhi secara layak. Apabila air minum yang digunakan tidak bersih tentunya akan mempengaruhi kondisi kesehatan manusia itu sendiri. Dalam konteks ini, kriteria sumber air minum bersih adalah air kemasan bermerk, air isi ulang, leding, serta sumur bor/pompa, sumur terlindung, mata air terlindung dengan jarak ke tempat penampungan kotoran/tinja terdekat ≥ 10m2. Pada tahun 2014 rumah tangga yang mengkonsumsi air minum bersih di Kota Bandung mencapai 99,67 persen, mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sekitar 99,3 persen. Lebih dari Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
30
dua pertiga dari keseluruhan rumah tangga yang ada di Kota Bandung (79,73 persen) sudah menggunakan air kemasan dan air leding untuk keperluan minumnya. Kemudian rumah tangga yang mengkonsumsi air minum bersih dari pompa dan sumur/mata air terlindung pada tahun 2014 ada sebanyak 19,94 persen. Tabel 4.2 Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum di Kota Bandung, Tahun 2014* Sumber Air Minum
(4)
Sumur Tak Terlindung (5)
Mata Air Terlindung (6)
Air Sungai dan Lainnya (7)
4,32
-
1,05
0,33
Air Kemasan
Leding
Pompa
Sumur Terlindung
(1)
(2)
(3)
65,75
13,98
14,57
Jumlah (8) 100,00
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
Mengingat masih terdapat 19,94 persen rumah tangga di Kota Bandung yang mengakses fasilitas air minum bersih selain air leding/air kemasan, peranan sumber air minum bersih lainnya (pompa, sumur terlindung
dan
mata
air
terlindung)
cukup
vital
dan
harus
dijaga/dihindari dari pencemaran lingkungan agar kebutuhan air minum bersih sehari-hari bagi sebagian warga Kota Bandung dapat terpenuhi. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa sumber air minum bersih dan dinyatakan sehat (bebas dari pencemaran lingkungan) adalah jika sumber air minum yang digunakan berasal dari sumur bor/pompa, sumur terlindung atau mata air terlindung dengan jarak dari dalam tanah ke tempat penampungan kotoran/tinja terdekat harus lebih dari 10 meter. Jika jarak sumber air minum dari dalam tanah ke tempat penampungan kotoran/tinja terdekat kurang dari atau sama dengan 10 meter, maka akan Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
31
mempengaruhi tingkat higienitas air minum tersebut karena dimungkinkan terjadi kontaminasi dengan bakteri-bakteri sumber penyakit. Pada tahun 2014, persentase rumah tangga di Kota Bandung yang menggunakan sumber air minum bersih (berasal dari pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung) yang berjarak ke tempat penampungan kotoran/tinja lebih dari 10 meter terdapat sebanyak 39,83 persen. Namun persentase rumah tangga yang tidak mengetahui secara pasti berapa jarak sumber air minum bersih ke tempat penampungan kotoran/tinja dan persentase rumah tangga yang masih menggunakan sumber air minum bersih dengan jarak ke tempat penampungan kotoran/tinja kurang dari 10 meter juga masih cukup tinggi yaitu sebesar 37,71 persen dan 22,46 persen. Tabel 4.3 Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Sumber Air Minum dan Jarak ke Tempat Penampungan Kotoran/Tinja di Kota Bandung, Tahun 2014* Jarak Sumber Air Minum ke Tempat Penampungan Tinja
Jumlah
≤ 10 m
> 10 m
Tidak Tahu
(1)
(2)
(3)
(4)
22,46
39,83
37,71
100,00
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
Masih tingginya persentase rumah tangga yang jarak sumber air minum ke tempat penampungan tinjanya 10 meter atau kurang, salah satunya disebabkan karena pada masa sekarang ini jarak antar rumah penduduk terlalu berdekatan seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk.
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
32
4.1.3 Ketersediaan Sarana Kesehatan Salah satu peran pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat adalah dengan meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan. Dengan tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang cukup memadai akan sangat mendukung pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan harus dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Penggunaan layanan kesehatan yang rendah akan mengakibatkan terhambatnya pembangunan kesehatan ke arah yang lebih baik.
Rumah Sakit (1) 16
Tabel 4.4 Jumlah Sarana Kesehatan di Kota Bandung Tahun 2013 Sarana Kesehatan Rumah Rumah Puskesmas Sakit PolikliPuskesPraktik Sakit Keliling Khusus nik mas Dokter Bersalin Roda 4 Lainnya (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1
9
207
73
25
7.392
Praktik Bidan (8) 1.583
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bandung, 2014
Pada tabel 4.4 diketahui bahwa ketersediaan sarana kesehatan di Kota Bandung cukup memadai dengan 16 rumah sakit negeri maupun swasta, 73 puskesmas ditambah 25 puskesmas keliling roda 4. Disamping kedua fasilitas kesehatan tersebut, di Kota Bandung terdapat juga fasilitas kesehatan lainnya yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta seperti p o l i k l i n i k , praktik dokter, praktik bidan, dan lainnya. 4.1.4 Tenaga Kesehatan Pada tahun 2013, di Kota Bandung terdapat 9.283 tenaga kesehatan yang tersebar di 30 kecamatan yang terdiri dari dokter, bidan, dan tenaga Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
33
kesehatan lainnya (tenaga farmasi, ahli gizi dan tenaga keteknisan medis lainnya) yang memberikan pelayanan kepada sekitar 2,48 juta penduduk. Secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.5 bahwa di Kota Bandung terdapat sekitar 2.345 orang dokter (dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi), 960 orang bidan, dan 5.978 orang tenaga medis yang lain. Jika dihitung rasio tenaga dokter terhadap 10.000 penduduk maka diperoleh angka 9,44, yang berarti bahwa untuk setiap 10.000 penduduk di Kota Bandung maka terdapat sekitar 9-10 orang dokter. Jumlah tersebut masih belum mencukupi untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kearah yang lebih baik lagi maka ke depannya upaya yang
harus dilakukan adalah peningkatan
tenaga kesehatan baik dari sisi jumlah maupun penyebarannya. Tabel 4.5 Jumlah Tenaga Kesehatan di Kota Bandung Tahun 2013 Tenaga Kesehatan Dokter Spesialis
Dokter Umum
Dokter Gigi
Bidan
Tenaga Kesehatan Lain
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1.424
656
265
960
5.978
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bandung, 2014
4.1.5 Penolong Kelahiran Angka kematian bayi baru lahir terutama disebabkan oleh infeksi dan berat bayi lahir rendah. Kondisi tersebut berkaitan erat dengan pertolongan persalinan yang aman, dan perawatan bayi baru lahir. Pada tahun 2014, masih terdapat 7,56 persen balita yang lahir hanya mendapatkan pertolongan persalinan dari tenaga non medis seperti dukun. Masih adanya balita yang dibantu oleh dukun dalam proses kelahirannya Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
34
dimungkinkan karena masih adanya masyarakat yang percaya pada dukun daripada tenaga kesehatan. Faktor lainnya mengapa masyarakat lebih memilih dukun dibanding tenaga kesehatan adalah biaya, karena jika dibandingkan dengan tenaga kesehatan biaya untuk membayar dukun jauh lebih murah. Gambar 4.1 Persentase Penolong Kelahiran (Terakhir) Balita di Kota Bandung Tahun 2014*
70,00 60,00 50,00
65,35
40,00 30,00 20,00
26,54
10,00
0,55
0,00 Dokter
Bidan
Tenaga Medis
7,56 Dukun
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
Pengetahuan yang minim tentang cara persalinan dan perawatan pasca persalinan yang sehat dan aman, misalnya mengenai perawatan tali pusar, perlakuan saat membersihkan bayi yang baru lahir, serta sangat minimnya alat-alat bantu penolong persalinan merupakan beberapa faktor penyebab kematian bayi. Selain itu minimnya biaya yang dimiliki memaksa masyarakat yang tidak mampu untuk bergantung kepada penolong kelahiran non medis. Situasi tersebut tidak saja membawa kerawanan terhadap bayi yang baru dilahirkan, tetapi juga keselamatan ibu yang melahirkan.
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
35
4.2
Kondisi Proses
4.2.1 Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan Kepedulian masyarakat terhadap kesehatan dan hidup sehat merupakan gambaran dari pola pikir masyarakat tentang arti pentingnya kesehatan. Salah satu indikator untuk mengukur kepedulian masyarakat tersebut adalah akses masyarakat ke tempat pelayanan kesehatan. Semakin tingginya
frekuensi
masyarakat
melakukan
konsultasi
atau
pengobatan/perawatan ke fasilitas kesehatan, maka semakin tinggi pula kepedulian atau kesadaran masyarakat terhadap masalah kesehatan. Namun di satu sisi semakin tinggi angka kunjungan ke fasilitas kesehatan tersebut berarti semakin tinggi juga tingkat keluhan masyarakat daerah tersebut. Tabel 4.6 Persentase Penduduk yang Mengalami Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Kelamin di Kota Bandung Tahun 2013-2014* Jenis Kelamin
2013
2014*
Ada Keluhan
Tidak Ada
Ada Keluhan
Tidak Ada
Laki-laki
26,70
73,30
50,23
49,77
Perempuan
27,07
72,93
47,42
52,58
Total
26,88
73,12
48,83
51,17
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
Tabel 4.6 memperlihatkan bahwa selama tahun 2013-2014 persentase penduduk Kota Bandung yang mengaku pernah mengalami keluhan kesehatan masih cukup tinggi dan menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2013 penduduk yang mengalami keluhan kesehatan sekitar 26,88 persen dan pada tahun 2014 menjadi sekitar 48,83 persen.
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
36
Jika dirinci menurut jenis kelamin akan terlihat bahwa pada tahun 2013 penduduk perempuan cenderung lebih memiliki keluhan kesehatan dibandingkan laki-laki tetapi pada tahun 2014 justru penduduk laki-laki yang lebih memiliki keluhan kesehatan. Pola pikir masyarakat yang tidak memprioritaskan kesehatan dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan diduga sebagai penyebab cukup tingginya penduduk Kota Bandung yang mengalami keluhan kesehatan tersebut. Tabel 4.7 Persentase Penduduk yang Berobat Jalan Menurut Tempat Berobat Tahun 2013 – 2014* Fasilitas Kesehatan
2013
2014*
(1)
(2)
(3)
Rumah Sakit
17,42
18,20
Praktik Dokter/Poliklinik
53,10
50,51
Puskesmas
31,62
35,58
Petugas Kesehatan
2,37
1,89
Tradisional
3,44
3,91
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
Penduduk di Kota Bandung yang memiliki keluhan kesehatan melakukan usaha pengobatan baik dengan cara mengobati sendiri maupun dengan berobat jalan ke fasilitas kesehatan tertentu. Untuk penduduk yang berobat jalan, selama tahun 2013-2014 fasilitas kesehatan yang paling banyak dikunjungi adalah praktik dokter/poliklinik meskipun pada tahun 2014 persentasenya menurun dibandingkan tahun 2013.
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
37
Seiring
dengan
menurunnya
pemanfaatan
fasilitas
praktik
dokter/poliklinik, maka pemanfaatan fasilitas rumah sakit dan puskesmas pada tahun 2014 mengalami peningkatan. Untuk pemanfaatan rumah sakit, dari 17,42 persen pada tahun 2013 naik menjadi sebesar 18,20 persen pada tahun 2014. Kemudian untuk pemanfaatan puskesmas dari 31,62 persen pada tahun 2013 naik menjadi 35,58 persen pada tahun 2014. Meningkatnya pemanfaatan puskesmas dalam pengobatan di masyarakat menunjukkan bahwa puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di daerah telah lebih dipercaya oleh masyarakat. Disamping itu, dari tahun ke tahun puskesmas terus melakukan perbaikan baik fasilitas maupun pelayanan sehingga masyarakat dapat dengan mudah menjangkau dan memanfaatkan sebagai pusat kesehatan di masyarakat. Jika dibandingkan dengan pemanfaatan puskesmas dan praktik dokter/poliklinik, persentase pemanfaatan rumah sakit adalah yang paling rendah. Rendahnya jumlah kunjungan masyarakat ke rumah sakit bisa disebabkan beberapa hal, diantaranya mungkin dikarenakan pelayanan khususnya dari tenaga medis yang ada kurang memuaskan. S e l a i n i t u b isa juga karena peralatan medis yang tersedia kurang lengkap, ataupun ruang
perawatan
yang
kurang
nyaman, serta
t idak
menutup
kemungkinan biaya perawatan yang cukup mahal tidak sebanding dengan pelayanan yang diberikan. Ini semua perlu menjadi perhatian dari rumah sakit itu sendiri maupun dari pemerintah. Pihak rumah sakit diharapkan memperbaiki
manajemennya
sehingga
bisa meningkatkan pelayanan
yang diberikan pada masyarakat, sedangkan untuk pemerintah bisa turut serta membantu rumah sakit dalam hal sarana prasarana dan tenaga kesehatan yang ada sehingga pelayanan yang diberikan bisa optimal. Selain itu, perlu adanya pendekatan ke masyarakat bahwa berobat ke rumah sakit bisa menggunakan jamkesmas/askeskin/BPJS bagi masyarakat Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
38
kurang mampu.
Untuk
mewujudkan
kesadaran
masyarakat
dalam
memanfaatkan rumah sakit sebagai salah satu unit pelayanan kesehatan, diperlukan kerjasama dari semua pihak. 4.2.2 Lamanya Pemberian ASI Masalah pemberian ASI dapat dikatakan merupakan hal yang strategis dan mendasar dalam rangka pembangunan sumber daya manusia. Pemenuhan gizi balita sedini mungkin dan selama masa pertumbuhan dapat dijelaskan dengan pengalaman ibu dalam menyusui bayinya. Air Susu Ibu (ASI) mengandung semua bahan yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan bayi. Bahkan bahan tersebut bernilai gizi tinggi dan serasi untuk kebutuhan bayi seperti laktosa serta bermacam bahan lemak dan protein. Didalamnya terdapat pula bermacam bahan lain yang sangat dibutuhkan. Selain itu ASI mengandung zat penolak/pencegah penyakit serta dapat memberikan kedekatan batin antara ibu dengan anak. Kesadaran ibu untuk memberikan gizi baik pada anaknya (balita) secara kuantitatif dapat ditunjukkan oleh angka persentase tertinggi dalam masa pemberian ASI sampai bayi berusia 24 bulan. Lamanya balita disusui secara tidak langsung berpengaruh pada faktor kesehatan. Tabel 4.6 menunjukkan persentase balita menurut jenis kelamin dan lamanya pemberian ASI. Dari tabel 4.8 diketahui bahwa pada tahun 2014 jumlah balita baik laki-laki maupun perempuan yang diberi ASI kurang dari 1 tahun persentasenya berkurang dibandingkan tahun 2013, yaitu dari 25,95 persen menjadi 23,79 persen atau turun sebesar 2,16 persen. Adanya penurunan persentase balita yang diberi ASI kurang dari 1 tahun tentu saja diikuti dengan peningkatan persentase balita yang diberi ASI lebih dari 1 tahun, dimana pada tahun 2013 sebesar 74,07 persen menjadi 76,21 persen pada Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
39
tahun 2014. Hal tersebut menunjukkan bahwa orang tua mulai memahami peran ASI untuk ketahanan balitanya. Tabel 4.8 Persentase Balita Menurut Jenis Kelamin dan Lamanya Pemberian ASI di Kota Bandung Tahun 2013-2014* Lamanya Pemberian ASI
Tahun
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki + Perempuan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
2013
9,06
9,35
18,42
2014*
7,73
12,20
9,86
≤ 5 Bulan 6-11 Bulan 12-17 Bulan 18-23 Bulan 24 Bulan ke atas
2013
4,91
2,62
7,53
2014*
12,30
15,71
13,93
2013
11,71
10,85
22,56
2014*
23,99
20,18
22,17
2013
10,58
11,22
21,80
2014*
16,21
20,81
18,40
2013
16,24
13,47
29,71
2014*
39,77
31,10
35,64
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
Kondisi di atas menunjukan semakin berkembangnya kesadaran para orang tua terutama ibu untuk memberikan asupan gizi terbaik bagi si kecil. Dengan kata lain semakin panjang usia pemberian ASI terutama ASI ekslusif 6 bulan pertama akan menjamin tercapainya pertumbuhan otak secara optimal, sehingga diharapkan pengembangan potensi anak dapat berjalan baik dan semakin optimal pula. Namun demikian pemberian ASI kadang terpaksa tidak dilakukan dengan optimal. Hal ini terjadi karena meninggalnya ibu pasca persalinan, ASI yang tidak keluar ataupun jika keluar tapi tidak memenuhi kebutuhan bayi dan anak, atau karena alasan pekerjaan dan penampilan.
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
40
BAB V DIMENSI PENGETAHUAN 5.1
Kondisi Input
5.1.1 Pendidikan Kepala Rumah Tangga Ada idiom yang menyatakan bahwa kemiskinan dapat diberantas dengan pendidikan, yang menyiratkan makna bahwa pendidikan merupakan salah satu solusi untuk menghindarkan diri dari kemiskinan. Semakin tinggi seseorang
mencapai
pendidikannya
maka
semakin
terbuka
pula
kesempatan dia untuk terhindar dari kemiskinan, karena pendidikan merupakan salah satu bekal untuk dapat bersaing dalam era globalisasi sekarang ini. Kecenderungan semakin membaiknya kualitas penduduk selain terlihat dari meningkatnya angka melek huruf juga terlihat dari semakin tingginya rata-rata tingkat pendidikan yang ditamatkan. Kepala rumah tangga (KRT) sebagai penganggung jawab utama dalam rumah tangga memiliki peranan sangat besar dalam pendidikan anggota rumah tangga. Cara pandang KRT dalam menilai arti penting pendidikan akan berpengaruh terhadap keputusan untuk menyekolahkan anaknya atau tidak. Hal ini tidak terlepas pula dari latar belakang pendidikan KRT yang berpengaruh terhadap wawasan dan pola pikir dalam menentukan setiap keputusan yang diambil, dalam hal ini khususnya untuk pendidikan. Semakin tinggi pendidikan KRT diasumsikan bahwa pola pikirnya luas dan memiliki visi jauh ke depan. Selain itu diharapkan bisa mendorong keberlangsungan pendidikan bagi anakanaknya. Pada tahun 2014, lebih dari separuh kepala rumah tangga di Kota Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
41
Bandung telah mencapai jenjang pendidikan SLTA Sederajat ke Atas yaitu sekitar 54,29 persen. Kemudian untuk kepala rumah tangga yang mencapai jenjang SLTP Sederajat ada sekitar 17,30 persen. Sisanya sekitar 28,41 persen kepala rumah tangga hanya mencapai jenjang pendidikan SD Sederajat ke bawah. Salah satu hal yang diperkirakan menyebabkan masih banyaknya kepala rumah tangga yang memiliki ijazah SD Sederajat ke bawah adalah karena mahalnya biaya pendidikan dan ketidakmerataan kesempatan pendidikan. Masalah mahalnya pendidikan menjadikan kesempatan memperoleh pendidikan untuk sebagian besar penduduk hanya terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Kemudian untuk masyarakat menengah ke bawah dengan situasi keuangan yang sulit pada umumnya hanya akan menyekolahkan anaknya sampai tingkat SD Sederajat, karena setelah itu mereka dipaksa untuk bekerja untuk membantu perekonomian keluarga untuk kelangsungan hidup sehari-hari. Tabel 5.1 Persentase Ijazah yang Dimiliki Kepala Rumah Tangga di Kota Bandung Tahun 2014* Ijasah Yang Dimiliki Kepala Rumah Tangga Tidak Punya SD Sederajat SLTP Sederajat Ijasah
SLTA Sederajat Ke Atas
Total
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
6,14
22,27
17,30
54,29
100,00
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
42
5.2
Kondisi Proses
5.2.1
Angka Partisipasi Sekolah (APS) Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan proporsi dari semua
anak
yang masih sekolah pada satu kelompok umur tertentu terhadap
penduduk dengan kelompok umur yang sesuai. Angka ini berguna untuk mengetahui tingkat partisipasi pendidikan menurut kelompok umur tertentu. Partisipasi
sekolah
pada
semua
kelompok
umur
sekolah
menggambarkan aktivitas pendidikan. Adanya pembangunan sarana dan prasarana pendidikan yang menjangkau sampai ke pelosok daerah serta adanya program wajib belajar telah mendorong peningkatan partisipasi sekolah penduduk. Upaya untuk memperluas jangkauan pelayanan pendidikan bertujuan meningkatkan pemerataan fasilitas pendidikan, sehingga akan semakin banyak penduduk yang dapat bersekolah. Sehingga angka partisipasi sekolah dapat dijadikan sebagai indikator yang menunjukkan keadaan proses pendidikan atau bagaimana program pendidikan yang diimplementasikan terjadi dimasyarakat. Tabel 5.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kota Bandung Tahun 2014* Umur
Angka Partisipasi Sekolah
(1)
Perempuan (2)
Laki-laki (3)
Total (4)
7 - 12
96,91
97,56
97,27
13 - 15
97,29
95,07
96,32
16 - 18
76,01
67,80
71,28
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014 Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
43
Dari tabel 5.2 diketahui bahwa semakin tinggi kelompok umur sekolah, maka APS nya justru semakin rendah. Untuk kelompok umur 7-12 tahun, APS nya sebesar 97,27 persen dan turun menjadi 96,32 persen pada kelompok umur 13-15 tahun. Kemudian untuk kelompok umur 16-18 tahun, APS nya paling sedikit yaitu hanya sekitar 71,28 persen. APS sebesar 71,28 persen pada kelompok umur 16-18 tahun berarti bahwa dari total anak berumur 16-18 tahun di Kota Bandung, hanya sekitar 71,28 persen yang masih bersekolah dan sekitar 28,72 persen yang sudah tidak bersekolah lagi (putus sekolah). Hal tersebut harus dievaluasi kenapa semakin tinggi kelompok umur maka APS semakin kecil padahal program BOS sudah digulirkan dan jika dikaitkan dengan target minimal yang diusulkan UNDP, yaitu rata-rata lama sekolah 15 tahun, maka seluruh anak umur 7-18 tahun seharusnya masih tetap bersekolah dan tidak ada yang putus sekolah. 5.2.2 Angka Partisipasi Murni (APM) Angka Partisipasi Murni (APM) didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah siswa kelompok usia sekolah pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Indikator APM ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan yang sesuai. Semakin tinggi APM berarti s e m a k i n banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah pada tingkat pendidikan tertentu. Nilai ideal APM adalah sebesar 100 persen. Sebagaimana halnya angka partisipasi kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) juga dikelompokkan kedalam 4 tingkatan yaitu Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
44
APM SD/Sederajat, APM SMP/Sederajat, APM SMA/Sederajat dan APM Perguruan Tinggi. APM SD/Sederajat merupakan perbandingan antara jumlah siswa SD berumur 7-12 tahun dengan jumlah total penduduk umur 7-12 tahun. APM SMP/Sederajat merupakan perbandingan antara jumlah siswa SMP berumur 13-15 tahun dengan jumlah total penduduk umur 1315 tahun. APM SMA/Sederajat merupakan perbandingan antara jumlah siswa SMA berumur 16-18 tahun dengan jumlah total penduduk umur 1618 tahun. APM Perguruan Tinggi merupakan perbandingan antara jumlah mahasiswa berumur 19-22 tahun dengan jumlah total penduduk umur 19-22 tahun. Indikator APM merupakan indikator yang lebih baik dibanding dengan indikator APK, sebab APM membandingkan dua karakteristik yang sesuai, sedangkan APK membandingkan dua karakteristik yang tidak sesuai. APK dapat mencapai lebih dari 100 persen, sedangkan APM semestinya maksimal 100 persen. Dari tabel 5.3 dapat terlihat bahwa ternyata APM di Kota Bandung pada tahun 2014 belum ada yang mencapai angka 100 persen untuk semua jenjang pendidikan. Kemudian juga terlihat bahwa APM juga menunjukkan nilai cenderung kecil untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pada tahun 2014, APM untuk jenjang pendidikan SD baru mencapai 87,17 persen, untuk jenjang SMP baru mencapai 73,84 persen, untuk jenjang SMA baru mencapai 55,49 persen sedangkan untuk jenjang Perguruan Tinggi baru mencapai 30,56 persen. Bila dibandingkan menurut jenis kelamin, ternyata APM siswa perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan APM laki-laki di semua jenjang pendidikan.
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
45
Tabel 5.3 Angka Partisipasi Murni (APM) Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di Kota Bandung Tahun 2014* Indikator
Laki-laki
Perempuan
Total
(1)
(2)
(3)
(4)
85,24
89,53
87,17
68,36
78,14
73,84
52,24
59,91
55,49
28,46
32,37
30,56
APM SD/Sederajat APM SMP/Sederajat APM SMA/Sederajat APM Perguruan Tinggi
* Angka Sementara Sumber : Bappeda dan BPS Kota Bandung, Survei Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
APM SD sebesar 87,17 persen mengandung makna bahwa pada tahun 2014 sebanyak 87,17 persen anak di Kota Bandung yang berumur 7-12 tahun telah memperoleh pendidikan di SD dan sisanya sebanyak 12,83 persen anak yang berumur 7-12 tahun belum memperoleh pendidikan SD. APM tersebut mengindikasikan tingkat pemerataan, dalam arti belum semua anak kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tertentu memperoleh pendidikan yang sesuai dengan umurnya.
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
46
6.1
Kemiskinan Kemiskinan merupakan hal yang kompleks baik dari penyebab
hingga akibat yang ditimbulkan. Kemiskinan bisa ditimbulkan oleh berbagai sebab dan implikasi yang ditimbulkan juga beragam. Kurangnya pendapatan, kurangnya akses informasi dan komunikasi, serta minimnya infrastruktur suatu daerah bisa menyebabkan kemiskinan. Kemudian, tingginya angka kriminalitas, angka gizi buruk, putus sekolah dan lain-lain merupakan akibat dari kemiskinan. Untuk itulah kemiskinan seperti tidak pernah ada habisnya untuk diperbincangkan dan didiskusikan. Berbagai konsep dan definisi serta pemecahannya sudah pernah digelontorkan oleh para ahli dan pimpinan negeri ini, tetapi seperti kata pepatah, terentaskan satu muncul berbagai masalah kemiskinan lainnya. Masalah kemiskinan muncul karena ada sekelompok anggota masyarakat yang secara
struktural
tidak
mempunyai
peluang
dan
kemampuan yang memadai untuk mencapai tingkat kehidupan yang layak lainnya
sehingga
pada
akhirnya
mereka
harus mengakui kelompok
dalam persaingan mencari nafkah dan pemilikan asset
produktif. Ketidakmampuan
ini
lebih
didasarkan
oleh kemampuan
individu masyarakat itu sendiri, diantaranya adalah rendahnya tingkat pendidikan sehingga kurang bisa bersaing dalam pasar kerja dan sektor pekerjaan yang dimasuki oleh individu tersebut juga kurang bisa memberikan hasil yang dapat meningkatkan kesejahteraan rumahtangga, seperti bekerja di sektor informal atau bekerja disektor pertanian. Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
47
Pengukuran kemiskinan selama ini didasarkan oleh besarnya pendapatan dan kebutuhan
minimum. Kebutuhan minimum adalah
kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh seseorang untuk bisa bertahan hidup. Apabila seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum dengan
pendapatan
dikategorikan
yang
miskin.
diperolehnya
Bank Dunia
maka
mengukur
penduduk
tersebut
kemiskinan
dengan
membandingkan tingkat pendapatan orang atau rumah tangga dengan tingkat
pendapatan
yang
diperlukan
untuk
memenuhi
kebutuhan
minimum. Dari sini kemiskinan bisa dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah apabila tingkat pendapatan lebih rendah daripada garis kemiskinan absolut yang ditetapkan, atau dengan kata lain pendapatan yang diterima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang dicerminkan oleh garis kemiskinan absolut. Sedangkan kemiskinan relatif adalah keadaan perbandingan antara kelompok pendapatan dalam masyarakat, yakni antara kelompok yang mungkin tidak miskin karena mempunyai tingkat
pendapatan yang
lebih tinggi dari garis kemiskinan, dan kelompok masyarakat yang relatif lebih kaya. Dengan kata lain, walaupun tingkat pendapatan sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum tetapi masih
jauh
dibandingkan dengan pendapatan masyarakat sekitarnya maka orang tersebut atau rumah tangga tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Tentang garis kemiskinan, banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para pakar, seperti Sayogyo, BPS, Abuzar Asra, dll, namun dalam tulisan ini garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan yang berasal dari BPS yaitu kebutuhan minimum untuk hidup diukur dengan pengeluaran untuk makanan setara dengan 2.100 kalori per kapita per Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
48
hari ditambah pengeluaran untuk kebutuhan non makanan seperti perumahan, barang dan jasa dan lain-lain. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam upaya pengentasan kemiskinan seperti program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang diluncurkan
melalui Instruksi
Presiden No. 5 tahun 1993 dengan memberikan dana bergulir kepada desa-desa tertinggal sebesar Rp 20 juta per desa, lalu Program Pengembangan Kecamatan yang merupakan program lanjutan dari IDT,
Bantuan Langsung
Tunai
(BLT)
yang
diberikan
sebagai
kompensasi kenaikan harga BBM, Raskin, Jamkesmas/Jamkesda, dan lain-lain. Semua program tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan taraf hidup dari penduduk miskin atau dengan kata lain mempercepat penanggulangan kemiskinan (penurunan angka kemiskinan). Gambar 6.1 Persentase Penduduk Miskin di Kota Bandung Tahun 2010 – 2013
4,95
4,78
4,78
4,55
2010
2011
2012
2013
Sumber : BPS Kota Bandung, Tahun 2014 * : Angka Sementara ** : Angka Sangat Sementara
BPS mencatat persentase penduduk miskin di Kota Bandung sejak tahun 2010 sampai tahun 2012 mengalami penurunan dari sekitar 4,95 persen menjadi 4,55 persen pada tahun 2012. Namun pada tahun 2013 Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
49
jumlah penduduk miskin di Kota Bandung mengalami peningkatan kembali,
yaitu
menjadi
4,78
persen.
Jika
dibandingkan
dengan
kabupaten/kota lain yang ada di Jawa Barat, persentase penduduk miskin di Kota Bandung termasuk yang terendah setelah Kota Depok. 6.2
PDRB Per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto atau yang lebih dikenal dengan
PDRB merupakan salah satu indikator makro yang biasa digunakan untuk mengukur sejauh mana keberhasilan kinerja perekonomian suatu
wilayah.
NilaiPDRB mampu menggambarkan pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu tertentu, serta menggambarkan struktur ekonomi serta dapat pula menggambarkan
analisis
terhadap
kinerja
sektor
perekonomian.
Pemahaman yang mencukupi tentang PDRB akan sejalan dengan misi pembangunan ekonomi secara umum, dimana adanya keselarasan di antara pertumbuhan ekonomidengan pendapatan perkapita akan
mampu
mendongkrak daya beli sehingga kebutuhan masyarakat akan semakin banyak yang bisa terpenuhi. 6.2.1 PDRB Per Kapita Secara umum salah satu indikator yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara makro adalah pendapatan per kapita. Kendati masih terdapat banyak kelemahan pada indikator ini, namun sampai saat ini masih banyak digunakan sebagai indikator makro untuk menentukan maju mundurnya pembangunan di suatu kawasan. Selama ini untuk mendapatkan indikator pendapatan per kapita digunakan PDRB per kapita sebagai pendekatannya. Digunakannya PDRB per kapita sebagai pendekatan dalam Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
50
penggambaran pendapatan per kapita adalah karena untuk mendapatkan variabel data pendapatan seperti faktor produksi dan transfer masuk
dan
diperoleh
keluar mengalami kesulitan. Angka dengan
PDRB
per
yang kapita
cara membagi PDRB dengan jumlah penduduk
pertengahan tahun. Tabel 6.1 PDRB Per Kapita Kota Bandung Tahun 2010-2013** PDRB Per PDRB Per Kapita Atas Kapita Atas Tahun Dasar Harga Dasar Harga Konstan Tahun Berlaku (Rp) 2000 (Rp) (1) (2) (3) 2010
34.240.720
13.235.475
2011
39.219.772
14.136.757
2012*
45.135.932
15.255.635
2013**
52.962.981
16.632.078
Sumber : BPS Kota Bandung, Tahun 2014 * : Angka Sementara ** : Angka Sangat Sementara
Tabel 6.1 memperlihatkan bahwa PDRB per kapita Kota Bandung terus mengalami peningkatan yang cukup tinggi selama periode 2010-2013. Peningkatan PDRB per kapita Kota Bandung lebih disebabkan oleh kenaikan harga dan volume produksi komoditi-komoditi dari sektor perdagangan, hotel dan restoran yang menjadi andalan Kota Bandung. Tahun 2010, PDRB per kapita atas dasar harga berlaku masyarakat di Kota Bandung mencapai 34,24 juta rupiah dan terus mengalami kenaikan hingga mencapai 52,96 juta rupiah pada tahun 2013. Peningkatan PDRB per kapita tersebut secara riil tidak serta merta menggambarkan kenaikan daya beli masyarakat Kota Bandung secara umum, karena PDRB per kapita yang Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
51
dihitung berdasarkan PDRB atas dasar harga berlaku masih mengandung faktor inflasi yang sangat berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Perkembangan daya beli masyarakat secara riil menggunakan PDRB per kapita didapatkan dari penghitungan PDRB atas dasar harga konstan. Pada tabel 6.1 memperlihatkan adanya kenaikan daya beli riil masyarakat selama empat periode terakhir. Nilai PDRB per kapita yang dihitung dari PDRB atas dasar harga konstan naik dari tahun 2010 sebesar 13,24 juta rupiah menjadi 15,26 juta rupiah di tahun 2012. Kemudian pada tahun 2013, nilainya kembali mengalami kenaikan menjadi 16,63 juta rupiah. Artinya di tahun 2013 terjadi pertumbuhan daya beli masyarakat secara riil sebesar 8,98 persen. 6.2.2 Pertumbuhan Ekonomi Gambaran perkembangan kinerja ekonomi di suatu wilayah mampu dijelaskan melalui indikator makro yang dikenal dengan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE). Umumnya, pertumbuhan ekonomi dapat diukur melalui pendekatan pendapatan regional. Pendapatan regional atas dasar harga konstan seperti halnya PDRB atas dasar harga konstan 2000 memberikan gambaran besaran kenaikan kuantitas barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh lapangan usaha setelah dihilangkannya faktor harga. LPE sering digunakan sebagai salah satu alat dalam menyusun strategi kebijakan bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan perkembangan produksi dari barang dan jasa pada periode tertentu dibandingkan periode sebelumnya. Angka ini memiliki makna untuk menjelaskan apakah ada peningkatan atau penurunan dari kinerja pembangunan ekonomi suatu daerah tiap tahunnya. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bandung secara makro pada Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
52
beberapa tahun terakhir (2010-2013) cenderung mengalami fluktuasi, meskipun secara rata-rata laju pertumbuhan ekonomi pertahunnya telah mencapai 8,76 persen. Berdasarkan tahun dasar 2000, selama tiga tahun berturut-turut yaitu tahun 2010-2012, laju pertumbuhan ekonomi Kota Bandung terus mengalami peningkatan. Namun pada tahun 2013, laju pertumbuhan ekonomi Kota Bandung mengalami sedikit penurunan yaitu dari 8,98 persen pada tahun 2012 menjadi 8,87 persen pada tahun 2013 yang berarti bahwa pada tahun 2012 justru mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan tahun 2013. Gambar 6.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandung, Tahun 2010-2013** 9,1 9 8,9 8,8 8,7 8,6 8,5 8,4 8,3 8,2 8,1
8,98 8,87 8,73
8,45
2010
2011
2012*
2013**
Sumber : BPS Kota Bandung, Tahun 2014 * : Angka Sementara ** : Angka Sangat Sementara
Data Basis Pembangunan Manusia Kota Bandung Tahun 2014
53
LAMPIRAN
Lampiran 1. Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kota Bandung, Tahun 2014* No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kecamatan
Bandung Kulon Babakan Ciparay Bojong Loa Kaler Bojong Loa Kidul Astana Anyar Regol Lengkong Bandung Kidul Buah Batu Rancasari Gede Bage Cibiru Panyileukan Ujung Berung Cinambo Arcamanik Antapani Mandalajati Kiara Condong Batununggal Sumur Bandung Andir Cicendo Bandung Wetan Cibeunying Kidul Cibeunying Kaler Coblong Sukajadi Sukasari Cidadap Kota Bandung * Angka Sementara
Luas Wilayah (Km2)
Jumlah Penduduk
Penduduk/ Km2
6,46 7,45 3,03 6,26 2,89 4,30 5,90 6,06 7,93 7,33 9,58 6,32 5,10 6,40 3,68 5,87 3,79 6,67 6,12 5,03 3,40 3,71 6,86 3,39 5,25 4,50 7,35 4,30 6,27 6,11 167,31
143.369 148.086 121.215 86.193 69.384 82.014 71.665 59.353 95.865 78.060 37.812 73.215 40.914 78.067 25.612 70.272 75.088 64.286 133.084 121.946 37.133 98.368 100.584 31.462 108.629 71.463 132.534 109.286 82.596 59.275 2.506.830
22.193 19.877 40.005 13.769 24.008 19.073 12.147 9.794 12.089 10.649 3.947 11.585 8.022 12.198 6.960 11.971 19.812 9.638 21.746 24.244 10.921 26.514 14.662 9.281 20.691 15.881 18.032 25.415 13.173 9.701 14.983
Lampiran 2. Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kota Bandung, Tahun 2013 No
Kecamatan
Luas Wilayah (Km2)
Jumlah Penduduk
Penduduk/ Km2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Bandung Kulon Babakan Ciparay Bojong Loa Kaler Bojong Loa Kidul Astana Anyar Regol Lengkong Bandung Kidul Buah Batu Rancasari Gede Bage Cibiru
6,46 7,45 3,03 6,26 2,89 4,30 5,90 6,06 7,93 7,33 9,58 6,32 5,10
142.411 147.096 120.405 85.668 68.830 81.467 71.187 58.957 95.108 76.895 37.082 72.016 40.248
22.045 19.744 39.738 13.685 23.817 18.946 12.066 9.729 11.993 10.490 3.871 11.395 7.892
6,40 3,68 5,87 3,79 6,67 6,12 5,03 3,40 3,71 6,86 3,39 5,25 4,50 7,35 4,30 6,27 6,11 167,31
76.902 25.231 69.313 74.461 63.578 131.972 120.927 36.579 97.553 99.752 31.124 107.806 70.924 131.530 108.375 81.908 58.672 2.483.977
12.016 6.856 11.808 19.647 9.532 21.564 24.041 10.759 26.295 14.541 9.181 20.534 15.761 17.895 25.203 13.063 9.603 14.847
Panyileukan Ujung Berung Cinambo Arcamanik Antapani Mandalajati Kiara Condong Batununggal Sumur Bandung Andir Cicendo Bandung Wetan Cibeunying Kidul Cibeunying Kaler Coblong Sukajadi Sukasari Cidadap Kota Bandung
Lampiran 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Bandung, Tahun 2014* No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kecamatan
Laki-laki
Perempuan
Total
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Bandung Kulon
72.348
50,46
71.021
49,54
143.369
100,00
Babakan Ciparay
76.128
51,41
71.958
48,59
148.086
100,00
Bojong Loa Kaler
62.379
51,46
58.836
48,54
121.215
100,00
Bojong Loa Kidul
44.590
51,73
41.603
48,27
86.193
100,00
Astana Anyar
34.855
50,23
34.529
49,77
69.384
100,00
Regol
41.074
50,08
40.940
49,92
82.014
100,00
Lengkong
35.582
49,65
36.083
50,35
71.665
100,00
Bandung Kidul
29.789
50,19
29.564
49,81
59.353
100,00
Buah Batu
48.217
50,30
47.648
49,70
95.865
100,00
Rancasari
39.191
50,21
38.869
49,79
78.060
100,00
Gede Bage
18.898
49,98
18.914
50,02
37.812
100,00
Cibiru
37.328
50,98
35.887
49,02
73.215
100,00
Panyileukan
20.692
50,57
20.222
49,43
40.914
100,00
Ujung Berung
39.682
50,83
38.385
49,17
78.067
100,00
Cinambo
13.121
51,23
12.491
48,77
25.612
100,00
Arcamanik
35.685
50,78
34.587
49,22
70.272
100,00
Antapani
37.765
50,29
37.323
49,71
75.088
100,00
Mandalajati
32.718
50,89
31.568
49,11
64.286
100,00
Kiara Condong
66.944
50,30
66.140
49,70
133.084
100,00
Batununggal
62.286
51,08
59.660
48,92
121.946
100,00
Sumur Bandung
18.736
50,46
18.397
49,54
37.133
100,00
Andir
50.043
50,87
48.325
49,13
98.368
100,00
Cicendo
50.682
50,39
49.902
49,61
100.584
100,00
Bandung Wetan
15.591
49,56
15.871
50,44
31.462
100,00
Cibeunying Kidul
55.074
50,70
53.555
49,30
108.629
100,00
Cibeunying Kaler
36.663
51,30
34.800
48,70
71.463
100,00
Coblong
69.644
52,55
62.890
47,45
132.534
100,00
Sukajadi
54.909
50,24
54.377
49,76
109.286
100,00
Sukasari
41.292
49,99
41.304
50,01
82.596
100,00
Cidadap
30.256
51,04
29.019
48,96
59.275
100,00
1.272.162
50,75
1.234.668
49,25
2.506.830
100,00
Kota Bandung * Angka Sementara
Lampiran 4. IPM Kota Bandung dan Komponennya, Tahun 2012-2014*
Komponen
2012
2013
2014*
73,81
73,83
73,84
Indeks Kesehatan
81,35
81,38
81,40
Angka Melek Huruf (Persen)
99,58
99,62
99,63
Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)
10,74
10,81
10,85
Indeks Pendidikan
90,25
90,44
90,53
Pengeluaran Per Kapita (Ribu Rupiah)
647,10
648,13
650,15
Indeks Daya Beli
66,35
66,59
67,05
79,32
79,47
79,66
Angka Harapan Hidup (Tahun)
IPM * Angka Sementara
Lampiran 5. PDRB Kota Bandung, Tahun 2010-2013** (Juta Rupiah) PDRB Tahun
Atas Dasar Harga Berlaku
Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000
(1)
(2)
(3)
2010
82.002.176
31.697.282
2011
95.612.863
34.463.631
2012*
111.121.551
37.558.320
2013**
130.209.649
40.890.013
* Angka Sementara **Angka Sangat Sementara
Lampiran 6. Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bandung, Tahun 2010-2013** (Persen) Laju Pertumbuhan PDRB Tahun
Atas Dasar Harga Berlaku
Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000
(1)
(2)
(3)
2010
16,68
8,45
2011
16,60
8,73
2012*
16,22
8,98
2013**
17,18
8,87
* Angka Sementara **Angka Sangat Sementara
Lampiran 7. Distribusi Persentase PDRB Kota Bandung Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 2010-2013** (Persen) Lapangan Usaha
2010
2011
2012*
2013**
(1)
(3)
(4)
(5)
(5)
0,20
0,20
0,21
0,20
0
0
0
0
Industri Pengolahan
24,38
23,51
22,55
21,56
Listrik, Gas, dan Air Bersih
2,31
2,30
2,35
2,45
Bangunan/Konstruksi
4,67
4,63
4,86
4,69
Perdagangan, Hotel dan Restoran
40,61
41,25
41,67
42,40
Pengangkutan dan Komunikasi
11,97
12,38
12,47
13,31
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
6,23
6,37
6,64
6,57
Jasa-jasa
9,64
9,35
9,25
8,82
100,00
100,00
100,00
100,00
Pertanian Pertambangan dan Penggalian
PDRB
Lampiran 8. Distribusi Persentase PDRB Kota Bandung Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2010-2013** (Persen) Lapangan Usaha
2010
2011
2012*
2013**
(1)
(3)
(4)
(5)
(5)
0,20
0,19
0,19
0,18
0
0
0
0
Industri Pengolahan
25,45
24,27
22,98
22,17
Listrik, Gas, dan Air Bersih
2,40
2,45
2,49
2,49
Bangunan/Konstruksi
5,02
5,17
5,38
5,37
Perdagangan, Hotel dan Restoran
39,82
40,74
41,71
42,62
Pengangkutan dan Komunikasi
11,05
11,27
11,47
11,62
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
5,27
5,26
5,29
5,34
Jasa-jasa
10,78
10,64
10,48
10,21
100,00
100,00
100,00
100,00
Pertanian Pertambangan dan Penggalian
PDRB