AKUNTABILITAS KINERJA Wujud Pertanggungjawaban Penyelenggara Pemerintahan kepada Masyarakat
VOLUME VI NO. 30 OKTOBER - DESEMBER 2012
Daftar isi ANALISA
WAWASAN
16 Stimulus Pengalokasian
APBN ke Daerah? 18 Food Estate di Kawasan Transmigrasi Berkurangnya areal lahan pertanian produktif, peningkatan jumlah kebutuhan pangan, pertambahan jumlah penduduk dan perubahan iklim melatar belakangi pentingnya program Food Estate (FE).
4 Dimensi Sosial-Relasional
GOOD GOVERNANCE 20
REALITA
Dalam Hubungan Industrial
Peran pemerintah yang baik dalam kerangka good governance saja tidaklah cukup. Tetap dibutuhkan transparansi keuangan dari pihak perusahaan dengan keharusan memberikan data keuangan yang sesungguhnya saat perundingan upah.
Upaya Pemerintah Daerah Integrasi Perspektif Mencapai IPK Terbaik 8 Pro-Employment dalam Kebijakan APBN Sebagai 22 Solusi Permasalahan Lahan Bentuk Akuntabilitas Publik & Usaha Ekonomi di Lokasi Transmigrasi 13 Respon Aktifitas Ekonomi INFO Transmigran Terhadap Perubahan Iklim di UPT 25 Perilaku Konsumen Aktivitas transmigran yang berbasis land base sangat tergantung dengan dinamika iklim karena umumnya merupakan lahan tadah hujan yang sangat memerlukan air dari hujan.
26 Akuntabilitas Perpustakaan 28
LENSA
diterbitkan setiap triwulan oleh Biro Perencanaan Kementerian Tenaga Kerja & Transmigrasi RI (SK Sekjen No. KEP. 71A/SJ/II/2012) ISSN: 1978-3299 Pengarah Sekretaris Jenderal Kemenakertrans RI Penanggung Jawab Kepala Biro Perencanaan Koordinator Conrad Hendrarto Pemimpin Redaksi Jadid Malawi Sekretariat Redaksi Yeti Yulas, Sabar D.A. Redaktur Tati Juliati, Widyantoro M., Mery Hartati, Diyah N., Henny Arsita Editor Helaria P. Candra, Tuty H. Kiman Pracetak Gatot M. Sutejo Pembantu Umum Budi Amran, Asmari Alamat Redaksi: Biro Perencanaan Kementerian Tenaga Kerja & Transmigrasi RI Jl. TMP Kalibata No. 17 Jakarta Selatan Tel/fax: (021) 7973060, 7973082, 7992661 E-mail:
[email protected] Redaksi menerima kiriman karya tulis Anda. Materi seputar perencanaan di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian baik di pusat maupun di daerah. Naskah yang dimuat akan diberi imbalan sepantasnya.
2
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
Pengantar Redaksi
E
disi 30 sebagai edisi penutup penerbitan Warta Perencana di Volume VI Tahun 2012, Tim Redaksi menyajikan berbagai tulisan mengenai terkait dengan Akuntabilitas. Akuntabilitas Kinerja merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban publik, dari penyelenggara pemerintahan kepada masyarakat luas. Saat ini, media yang digunakan sudah sangat terbuka, harus dapat diakses oleh seluruh pihak. Tidak ada lagi ruang publik yang tidak dapat diketahui masyarakat luas. Rubrik Wawasan, kali ini mengajak pembaca melihat Dimensi Sosial-Relasional Good Governance dalam Hubungan Industrial, dimana peran pemerintah yang baik dalam kerangka good governance saja tidaklah cukup. Tetap dibutuhkan transparansi keuangan dari pihak perusahaan dengan keharusan memberikan data keuangan yang sesungguhnya saat perundingan upah. Namun, Integrasi Perspektif Pro-Employment dalam Kebijakan APBN Sebagai Bentuk Akuntabilitas Publik, hal ini berkaitan dengan Peranan APBN Sisi Pengeluaran terhadap Pembangunan dan Perekonomian. Berkenaan dengan Respon Aktivitas Ekonomi Transmigran Terhadap Perubahan Iklim di UPT, dimana aktivitas transmigran yang berbasis land base sangat tergantung dengan dinamika iklim karena umumnya merupakan lahan tadah hujan yang sangat memerlukan air dari hujan.
Rubrik Analisa, rubrik ini menganalisa bahwa Pengalokasian APBN ke Daerah oleh K/L itu, idealnya dibarengi Stimulus. Dialokasikan sebagai dana penunjang untuk pelaksanaan tugas yang bersifat administratif dan koordinatif. Besarnya alokasi dana penunjang harus memperhatikan asas kepatutan, kewajaran, ekonomis, dan efisiensi, serta disesuaikan dengan karakteristik kegiatan masing-masing K/L. Berkurangnya areal lahan pertanian produktif, dibarengi peningkatan jumlah kebutuhan pangan, pertambahan jumlah penduduk dan perubahan iklim melatar belakangi pentingnya Program Food Estate (FE). Rubrik Realita, rubrik ini menyampaikan bahwa Upaya Pemerintah Daerah Mencapai IPK Terbaik Pelaksanaan IPK di seluruh propinsi merupakan implementasi dari Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya pasal 7 dan pasal 8. Solusi Permasalahan Lahan dan Usaha Ekonomi di Lokasi Transmigrasi, telah diupayakan oleh Pemerintah Daerah. Mengingat kasus permasalahan kekurangan lahan secara umum juga terjadi di beberapa lokasi transmigrasi di sejumlah wilayah Indonesia. Pelengkap edisi 30 adalah Rubrik Info, kali ini menginfokan tentang Perilaku Konsumen dan Akuntabilitas Perpustakaan. Semoga bermanfaat!
Editorial *) Conrad Hendrarto Akuntabilitas dalam perspektif Islam merupakan pertanggung j a w a b a n (akuntabilitas) kepada Allah, Sang Pemberi Amanah. Dalam Islam semua yang dititipkan kepada manusia merupakan amanah. Konsep amanah merupakan bagian universal yang kemudian diartikan menjadi pertanggungjawaban, sebuah konsep barat yang diturunkan dari teori Agensi. Apabila para aparatur pelaksana pembangunan mengimani dan meyakini bahwa amanah itu datangnya bukan semata-mata dari pimpinan, namun dari yang lebih tinggi dari itu semua, yaitu
Allah SWT, maka seluruh tugas dan kewenangan akan dilaksanakan dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab. Akuntabilitas Kinerja merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban publik, dari penyelenggara pemerintahan kepada masyarakat luas. Saat ini, media yang digunakan sudah sangat terbuka, harus dapat diakses oleh seluruh pihak. Tidak ada lagi ruang publik yang tidak dapat diketahui masyarakat luas. Namun demikian, bukan merupakan suatu rahasia lagi, bagaimana sulitnya menyusun suatu laporan pertanggungjawaban. Kesulitan tersebut dapat berupa tidak tersedianya data dan informasi, lemahnya SDM penyusun laporan, kurangnya kepedulian atasan dan tidak
adanya reward & punishment. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran yang tinggi dari para penyelenggara pemerintahan akan pentingnya akuntabilitas. Penyusunan laporan akuntabilitas bukan semata-mata tugas dan kewenangan petugas penyusun laporan, namun, dalam suatu sistem kerja, merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban organisasi. Perlu adanya suatu upaya sistematis yang menekankan bahwa bekerja merupakan suatu amal ibadah dalam melaksanakan amanah, yang pada akhirnya pertanggungjawaban tersebut sesungguhnya disampaikan kepada Sang Pemberi Amanah. []
Conrad Hendrarto Koordinator Penerbitan WARTA PERENCANA
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
3
WAWASAN
*) One Herwantoko
Dimensi Sosial-Relasional GOOD GOVERNANCE Dalam Hubungan Industrial Peran pemerintah yang baik dalam kerangka good governance saja tidaklah cukup. Tetap dibutuhkan transparansi keuangan dari pihak perusahaan dengan keharusan memberikan data keuangan yang sesungguhnya saat perundingan upah.
T
Upah Minimum Provinsi dan hal tersebut terjadi lagi pada tahun 2012. Di dalam salah satu paragrafnya terdapat argumentasi di mana beliau mengutarakan bahwa untuk mengatasi permasalahan ini, peran pemerintah yang baik dalam kerangka good governance saja tidaklah cukup. Tetap dibutuhkan transparansi keuangan dari pihak perusahaan dengan keharusan memberikan data keuangan yang sesungguhnya saat perundingan upah.
visijobs.com
erdapat hal yang cukup menarik dalam artikel yang berjudul “Reformasi Sistem Pengupahan” yang ditulis oleh Ketua Majelis Penasihat Organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, Rekson Silaban, jika kita menilik kembali opini Kompas setahun lalu (24/11/2011). Secara umum, artikel ini sesungguhnya menanggapi “kebiasaan” kondisi hubungan industrial yang selalu memanas menjelang penetapan
4
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
Genealogi diskursus Good Governance di Indonesia
Membaca pernyataan yang seperti itu, seakan mengingatkan kita terhadap dimensi sosial-relasional yang sesungguhnya melekat pada konsep good governance dan unsurunsur yang ada di dalamnya seperti: akuntabilitas, transparansi dan partisipasi. Akan tetapi, pemahaman akan dimensi sosial-relasional ini seringkali luput dari perhatian kita. Selama ini, lokus perhatian publik terhadap wacana good governance hanya terletak pada institusi negara/ pemerintah saja. Dan di dalam institusi pemerintah sendiri pelaksanaan good governance juga terfokus pada hal-hal yang sifatnya teknis-administratif, seperti: penerapan reformasi birokrasi, manajemen perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja, renumerasi, dan lain lain. Padahal, good governance yang dilakukan pemerintah tidak akan pernah berhasil tanpa dukungan dalam sisi relasional dengan pasar serta publik. Guna memenuhi tujuan yang seperti itulah tulisan ini hadir, yaitu untuk sedikit mengisi kekosongan pemahaman mengenai dimensi sosial-relasional yang terdapat dalam wacana good governance. Namun demikian, dalam artikel ini penulis tidak akan melacak
WAWASAN jauh asal-usul akuntabilitas sebagai salah satu unsur dalam wacana good governance hingga ke era Domesday Book saat Raja Wiliam I berkuasa di Inggris pada tahun 1085. Tulisan ini hanya akan membatasi pembahasan pada konteks Indonesia saja.
Pemahaman yang utuh mengenai dinamika diskursus dalam suatu masyarakat senantiasa harus dikaitkan dengan konteks ekonomi, politik dan budaya di dalam masyarakat tersebut. Langkah ini secara sederhana disebut genealogi. Dalam konteks wacana good governance di Indonesia, secara genealogis (asal-usul) meskipun sudah dikenal dalam periode 80-90an, namun harus diakui bahwa wacana ini baru menjadi wacana yang dominan sejak era reformasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Indonesia baru seumur jagung mengenal wacana good governance dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika ditelusuri secara lebih spesifik, maka terdapat dua dinamika besar yang berkontribusi dalam lahirnya
Dokumentasi WAPER
Menurut Michel Foucault, discourse (diskursus atau wacana) adalah sebuah blok-pemikiran yang tersusun secara sistemik di dalam masyarakat dan tercermin dalam struktur bahasa, yang berfungsi sebagai kerangka tatanan (order) bagi pembentukan, pergerakan dan referensi pola pikir dan tindakan bagi individu yang menjadi anggota di masyarakat itu. Diskursus memberikan batasan atau standar tertentu dalam pola pikir kita sebagai anggota masyarakat mengenai wajar-tidak wajar, normal-tidak normal, benarsalah, dan lain lain. Yang bertujuan bukan untuk menemukan kebenaran hakiki, namun untuk mendisiplinkan perilaku anggota masyarakat. Sumbersumber pembentuk diskursus datang dari berbagai aktor-institusional dalam masyarakat, seperti: kelembagaan ilmiah (universitas, lembaga penelitian, sekolah), budaya-agama, kelembagaan hukum, media massa, perusahaan, pasar (market), dan lain lain.
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
5
WAWASAN
beritaburuhindonesia.wordpress.com
Dari dua hal tersebut dapat dikatakan bahwa lahirnya good governance adalah hasil dari kontradikasi struktural, baik eksternalglobal maupun nasional, dengan titik episentrum kontradiksinya pada institusi Negara/Pemerintah. Kontradiksi struktural inilah yang menjadi karakter dasar dan terus membayangi wacana serta penerapan good governance di negeri ini hingga era sekarang. Letak titik episentrum yang berada pada institusi Pemerintah itu pulalah yang menjadi beban historis tersendiri bagi perjalanan penerapan good governance. Mengenai hal tersebut, dapat dengan mudah ditemui contoh kondisi di mana jika terjadi kasus apapun yang melibatkan pola relasi state-market-society dan menyentuh aspek good governance, maka fokus perhatian publik cenderung tertuju pada wacana good governance dalam institusi pemerintah semata. Tidaklah mengherankan kiranya jika kasuskasus tersebut kemudian berakhir pada kritik yang destruktif, saling menyalahkan, dan minim solusi. Dalam hal ini, mekanisme check and balances yang terjadi di antara para stakeholder lebih dimaknai secara negatif ketimbang positif-konstruktif.
Aspek Sosial-Relasional Good Governance
wacana good governance di Indonesia. Pertama, pada level global. Suka atau tidak suka, meski diakui bahwa penerapan good governance yang meliputi akuntabilitas, transparansi dan partisipasi, hadir sebagai hasil tekanan yang dilakukan oleh lembaga keuangan global dan sebagai prasyarat bantuan untuk memperbaiki krisis perekonomian pasca reformasi. Keadaan ini oleh Valerie Sperling disebut sebagai salah satu fenomena globalization of
6
VOLUME VI NO. 30
accountability yang melanda tidak hanya Indonesia, tapi juga berbagai belahan dunia pada periode 90-an. Kedua, pada level nasional. Muncul dan terimplementasikannya wacana good governance sedikit banyak juga lahir dari semacam perasaan traumatik kolektif di kalangan “arus bawah” terhadap sentralisasi dan represifitas kekuasaan rezim pada era pra-reformasi. Dalam konteks yang demikian, good governance lekat dengan istilah penerapan demokratisasi.
OKTOBER - DESEMBER 2012
Untuk mengatasi problematika struktural semacam ini, perlu digali kembali pemahaman terhadap aspek sosial-relasional yang terdapat di dalam konsep good governance. Menurut Loina Lalolo Krina, salah satu kekuatan konsep good governance yang sering dilupakan adalah diperlukannya keaktifan sektor negara, pasar dan masyarakat untuk saling berinteraksi dan bersinergi. Karena itu, good governance sebagai suatu proyek sosial komprehensif juga harus memperhatikan kondisi sektorsektor di luar negara. Meuthia Ganie Rochman pun mengatakan hal yang serupa, di
mana istilah good governance dipahami sebagai mekanisme sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor Negara dan sektor non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Pemahaman ini, mengasumsikan keterlibatan banyak aktor sehingga membantah pemahaman formal dan umum yang cenderung mereduksi pemahaman good governance menjadi sekedar bekerjanya institusi-institusi negara saja tentang pemahaman yang sifatnya teknis-administratif semata. Dalam konteks yang demikian, juga dipahami bahwa tidak ada satu tujuan pembangunan apapun yang dapat diwujudkan dengan baik jikalau hanya mengubah karakteristik dan cara kerja institusi pemerintah semata. Unsur kolektivitas itu juga harus terlembaga dengan baik di dalam tiga unsur utama good governance, yaitu: akuntabilitas, transparansi dan partisipasi. Dalam implementasinya, ketiga unsur tersebut memiliki relasi kelembagaan (institusional relation), tidak bisa dipisahkan dan saling terkait. Sebagai contoh: dalam program pemerintah yang berkaitan dengan swasta dan publik, akuntabilitas pemerintah tak akan pernah menghasilkan outcome yang tepat guna dan bermanfaat tanpa adanya transparansi sektor swasta dan partisipasi publik. Ketimpangan di salah satu sektor akan menyebabkan efek pada sektor lainnya seperti dalam contoh kasus artikel Rekson Silaban, di mana upaya pemerintah yang akuntabel saja tidak akan mencapai hasil yang efektif dan baik dalam penetapan Upah Minimum Provinsi tanpa adanya transparansi keuangan perusahaan dan partisipasi aktif dari pekerja.
Good Governance dalam Falsafah Hubungan Industrial Pancasila
Kembali kepada kasus yang diutarakan Rekson Silaban. Ketiga stakeholder dalam hubungan industrial tersebut harus saling bahu-membahu
sppt-tel.blogspot.com
WAWASAN
dalam menyelesaikan masalah upah dan permasalahan hubungan industrial lainnya, sehingga dibutuhkan mutual trust di antara mereka. Mutual trust ini adalah hal penting untuk mendasari berbagai mekanisme dialog yang ada. Harus dipahami bahwa kekurangan di satu stakeholder akan membuat efek berantai kepada kinerja stakeholder lainnya, sehingga kekurangan mesti dipandang sebagai kekurangan bersama dalam derajat tertentu. Begitu pula sebaliknya, kinerja yang baik di satu stakeholder juga mesti dipandang hasil kerja bersama dalam derajat tertentu. Pada intinya, good governance dalam hal ini juga harus ada di lingkungan internal sektor swasta dan serikat pekerja. Dalam konteks tersebut, good governance pada hubungan industrial mesti dimaknai sebagai proyek bersama, sehingga mekanisme check and balances yang ada seharusnya lebih diarahkan untuk saling bersinergi demi melahirkan solusi yang lebih konstruktif.
ke depan. Dengan demikian, dapat dipahami juga betapa strategisnya fungsi forum komunikasi LKS Tripartit dan Bipartit di dalam konteks hubungan industrial. Hal ini tentu tidak mudah, namun bukan hal yang mustahil jika ada komitmen demi perbaikan bersama. Dengan begitu, kita bisa selangkah lagi lebih dekat dengan cita-cita dan falsafah kemitraan dalam Hubungan Industrial Pancasila yaitu mitra dalam produksi, mitra dalam keuntungan dan mitra dalam tanggung jawab. Semoga! []
Tidak semua warisan sejarah perlu dilestarikan. Demikian pula halnya dengan warisan sejarah berupa kontradiksi struktural yang melekat pada penerapan good governance. Warisan sejarah ini harus bisa diputus melalui peningkatan kapasitas forum komunikasi antara state-marketsociety, guna perbaikan bersama
• Meuthia Ganie Rochman dalam artikel berjudul “Good Governance: Prinsip, Komponen dan Penerapannya”, dalam Buku HAM: Penyelenggaraan Negara yang Baik & Masyarakat Warga. (2000). Jakarta: Komnas HAM.
Referensi • Michel Foucault (1969). The Archeology of Knowledge and the Discourse on Language. New York: Harper Colophon. • Valerie Sperling. (2009). Altered States. The Globalization of Accountability. New York: Cambridge University Press. • Loina Lalolo Krina P. (2003). Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi. Jakarta: Sekretariat Good Public GovernanceBappenas.
One Herwantoko, S.Sos.
Calon Perencana Pertama - Biro Perencanaan Kemenakertrans RI
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
7
WAWASAN
*) Ervin Jongguran M.
Integrasi Perspektif Pro-Employment dalam Kebijakan APBN Sebagai Bentuk Akuntabilitas Publik Peranan APBN Sisi Pengeluaran terhadap Pembangunan dan Perekonomian Dalam perekonomian modern, campur tangan Pemerintah diperlukan untuk mengatur kegiatan-kegiatan ekonomi dalam suatu negara. Hal ini disebabkan karena sejarah membuktikan bahwa perekonomian dengan mekanisme pasar tanpa keterlibatan Pemerintah didalamnya terbukti tidak mampu menciptakan tingkat kesejahteraan yang maksimal untuk semua orang. Sistem mekanisme pasar justru menimbulkan tingkat pengangguran yang serius, distribusi pendapatan yang tidak merata, serta susunan produksi nasional
yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini juga ditegaskan oleh Sadono Sukirno (1985:35), yaitu tanpa campur tangan Pemerintah, kegiatan-kegiatan ekonomi tidak akan mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan masyarakat, seperti mencapai penggunaan tenaga penuh, keadaan perekonomian yang stabil, distribusi pendapatan yang lebih merata diantara berbagai golongan masyarakat dan diantara berbagai daerah, pertumbuhan ekonomi yang berlangsung terus menerus, dan sebagainya. Bentuk campur tangan Pemerintah dimaksud meliputi: (i) membuat peraturan-peraturan untuk
Di Indonesia, anggaran belanja negara dimaksud termuat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam perekonomian dan pembangunan nasional, pengeluaran Pemerintah melalui anggaran belanja negara yang tercatat dalam APBN ini memiliki fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi adalah untuk mengalokasikan seluruh faktor produksi secara baik dan tepat agar kebutuhan masyarakat akan public goods (keamanan, keadilan,
beritaburuhindonesia.wordpress.com
8
mempertinggi efisiensi mekanisme pasar; (ii) secara langsung menjalankan beberapa kegiatan ekonomi; dan (iii) menjalankan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal untuk menghindari akibat-akibat buruk yang mungkin ditimbulkan oleh mekanisme pasar. Kontekstual dengan judul makalah ini, maka bentuk campur tangan Pemerintah yang akan dibahas adalah penggunaan kebijakan fiskal dalam bentuk anggaran belanja negara atau pengeluaran Pemerintah. Pengertian kebijakan fiskal sendiri menurut Prof. Soediyono (1992:91) adalah kebijakan yang meliputi semua tindakan Pemerintah yang bertujuan untuk mempengaruhi jalannya perekonomian melalui anggaran belanja negara.
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
WAWASAN pendidikan, jalan, jembatan, taman, dsb) dapat terpenuhi. Jadi, dalam APBN tersebut telah ditentukan secara jelas besarnya anggaran masing-masing departemen dan lembaga, sehingga dapat diketahui sasaran dan prioritas pembangunan yang akan dilaksanakan Pemerintah dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Sementara, fungsi distribusi pada pokoknya bertujuan untuk membagi pendapatan nasional secara adil dan merata untuk membiayai seluruh pengeluaran negara di berbagai sektor pembangunan. Sedangkan fungsi stabilisasi adalah memelihara tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat harga yang relatif stabil, dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengeluaran Pemerintah melalui anggaran belanja negara yang tercatat dalam APBN ini memiliki peran yang cukup strategis, yaitu sebagai instrumen untuk meningkatkan pengaruh Pemerintah dalam jalannya perekonomian sebagai salah satu upaya untuk menghindari negara dari kelesuan ekonomi (resesi) atau keadaan-keadaan yang tidak diinginkan lainnya, seperti tingkat pengangguran yang tinggi, inflasi, defisit neraca pembayaran, dan sebagainya. Selain itu, APBN juga berperan dalam meningkatkan produksi nasional, meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan daya beli, merangsang tumbuhnya investasi, serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, pengeluaran Pemerintah melalui APBN tersebut bukanlah faktor determinan dalam perekonomian negara atau pembangunan nasional. Dalam teori ekonomi yang dikenal dan dianut secara luas, pengeluaran suatu negara, yang kemudian membentuk pendapatan nasional, terdiri dari pengeluaran konsumsi swasta/RT (private consumption expenditure), pengeluaran Pemerintah, pengeluaran untuk pembentukan modal tetap
bruto (Investasi), dan pengeluaran dari kegiatan perdagangan luar negeri (ekspor-impor). Dalam persamaan matematik, Prof. Soediyono (1992:19) menuliskannya dengan notasi: Y=C+I+G+(X-M). Jadi, perekonomian suatu negara dipengaruhi oleh empat variabel tersebut. Pengeluaran Pemerintah sendiri seharusnya memiliki porsi yang kecil dalam pembentukan pendapatan nasional atau Produk Domestik Bruto (PDB). Porsi terbesar seharusnya berasal dari pengeluaran investasi yang dilakukan swasta dan pendapatan dari net export. Peran investasi dan ekspor ini sangat vital dalam perekonomian nasional, yaitu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran yang selalu menjadi momok bagi bangsa Indonesia. Tingkat investasi yang signifikan lebih fundamental bagi perekonomian negara dibandingkan stabilitas makro, karena stabilitas makro saja tidak dapat mengurangi pengangguran. Hal ini terbukti pada Pemerintahan sebelumnya. Walaupun kontribusinya masih rendah, pada negara berkembang seperti Indonesia dimana tingkat investasi masih rendah serta tingkat pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi, peranan pengeluaran Pemerintah melalui APBN ini sangat diperlukan untuk mendorong sektor swasta dalam mempertinggi kegiatan mereka sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan dan mengurangi pengangguran.
Perspektif Pro-Employment dalam Kebijakan Anggaran Negara Walaupun peran pengeluaran Pemerintah melalui APBN dalam p er ek o n o mian n as io n al mas ih belum signifikan, tetapi anggaran belanja dalam APBN tersebut harus dialokasikan untuk program dan kegiatan yang berorientasi langsung pada kepentingan masyarakat,
terutama dalam hal pengurangan pengangguran dan pengentasan kemiskinan. Dengan kata lain, peruntukan anggaran yang bersumber dari uang rakyat (pajak) tersebut harus dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan rakyat. Kondisi pengelolaan fiskal saat ini, yang mana telah mengadopsi sistem anggaran berbasis kinerja dengan mengikuti prinsip-prinsip tranparansi, taat hukum, efisien, efektif, adil, dan akuntabel, harus diikuti dengan desain penggunaan anggaran yang terarah dan berorientasi pada pencapaian kesejahteraan masyarakat serta pengimplementasian anggaran secara konsisten. Jika semua hal ini dilakukan maka fungsi anggaran berada pada jalur yang sebenarnya. Pemerintah telah menyatakan komitmennya secara tegas dengan menempatkan penurunan tingkat pengangguran dan pengentasan kemiskinan sebagai salah satu agenda pokok pembangunan. Komitmen tersebut hanya akan terlaksana bila program-program dan kegiatankegiatan yang dirancang berorientasi pada pengurangan tingkat pengangguran dan pengentasan kemiskinan yang dibiayai secara konsisten dan berkesinambungan melalui anggaran belanja negara. Maksudnya, anggaran belanja negara yang dibuat Pemerintah harus berpihak kepada upaya mengurangi pengangguran (pro-employment) dan kepentingan masyarakat miskin (pro-poor). Anggaran yang berpihak kepada upaya mengurangi tingkat pengangguran tersebut di atas disebut Pro-employment Budget. Pro-employment Budget merupakan kebijakan anggaran yang dampaknya dapat meningkatkan kesempatan kerja dalam rangka mengurangi tingkat pengangguran. Pro-employment Budget ini disusun dan dilaksanakan secara sengaja (by design) oleh Pemerintah untuk membuat kebijakan, program, dan proyek yang berpihak kepada penciptaan kesempatan kerja
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
9
WAWASAN seluas-luasnya. Pengimplementasian kebijakan fiskal yang pro-employment dalam anggaran belanja negara merupakan hal yang sangat mendesak, karena implikasi kebijakan yang tidak pro-employment hanya akan menambah tingkat pengangguran itu sendiri, yang pada gilirannya secara simultan dapat mengakibatkan instabilitas ekonomi dan politik. Dengan pengertian tersebut di atas, berarti Pro-employment Budget pada hakekatnya bukan merupakan tujuan, melainkan merupakan alat untuk mencapai tujuan, yaitu berupa rendahnya tingkat pengangguran dan tercapainya kesejahteraan masyarakat. Disadari atau tidak, selama ini fungsi-fungsi anggaran negara kita belum sepenuhnya menyentuh subtansi untuk menciptakan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya. Bahkan hingga saat ini masih cenderung berpihak kepada kepentingan penyelenggara negara, dimana peruntukkan anggaran masih didominasi biaya operasional aparat negara. Masih relatif besar porsi belanja yang tidak berdampak langsung terhadap penciptaan kesempatan kerja (Belanja Pegawai, Pembayaran Bunga Utang, Subsidi, Bantuan Sosial, dan Belanja Lainnya), terlebih dengan adanya kebijakan remunerasi bagi PNS. Investasi yang dilakukan Pemerintahpun masih kesulitan dalam menambah penciptaan kesempatan kerja formal dalam jumlah yang signifikan. Masih kurangnya upaya pemihakan secara spesifik pada masalah pengangguran merupakan indikator belum optimalnya pelaksanaan fungsi anggaran negara, sebagaimana tujuan yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Reformasi sistem pengelolaan keuangan negara yang telah dilakukan semestinya menjadi peluang untuk mengintegrasikan perspektif proemployment dalam kebijakan anggaran negara yang tercermin dalam program, kegiatan, dan proyek yang berpihak pada penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya. Namun, inisiatif suatu kementerian/ lembaga untuk menerapkan
10
VOLUME VI NO. 30
perspektif pro-employment ini dalam anggarannya, jangan sampai menjadi tidak efektif disebabkan terjadinya kesalahan penafsiran atau interpretasi. Contohnya, program pelatihan. Banyak instansi yang melaksanakan program pelatihan bagi calon tenaga kerja sektor industri, padahal pertumbuhan sektor industri mengalami penurunan yang berimbas pada menurunnya jumlah kesempatan kerja tersebut dan jika dilihat dari jumlah penduduk yang memiliki kualifikasi untuk bekerja pada sektor ini sudah cukup jenuh, belum lagi pengangguran yang disebabkan tutupnya beberapa industri. Akibatnya, instansi tersebut hanya menambah pengangguran terdidik atau terampil yang jumlahnya semakin meningkat tiap tahun. Hal ini seperti melempar garam ke laut, artinya pengeluaran tersebut sia-sia dan tidak pro-employment. Agar memenuhi perspektif pro-employment, program pelatihan seperti itu harus diiringi program yang dapat menyerap lulusan pelatihan tersebut. Jangan hanya fokus pada persediaan dan penawaran tenaga kerja (yang jelasjelas negara kita adalah laboursurplus), tetapi harus fokus kepada sisi permintaannya. Untuk itu, alokasi setiap anggaran harus dilengkapi dengan analisa dampak (outcome) secara rinci dan terukur, sehingga dapat dinilai dan diukur seberapa besar dampak setiap alokasi anggaran program dan kegiatan dalam APBN terhadap penciptaan kesempatan kerja. Menggunakan Rencana Tenaga Kerja Nasional (RTKN) sebagai acuan dalam menyusun setiap program, kegiatan, atau proyek dapat menjadi langkah awal yang baik bagi setiap departemen/kementerian/lembaga agar tidak salah sasaran dalam menganggarkan. Dalam RTKN tersebut, selain tercantum agenda pengurangan tingkat pengangguran Indonesia, juga tercantum proyeksi tingkat pertumbuhan Penduduk Usia Kerja dan Angkatan Kerja serta jumlah Penduduk yang Bekerja per sektor lapangan usaha.
OKTOBER - DESEMBER 2012
Dengan menjadikan proyeksi kondisi ketenagakerjaan dalam RTKN tersebut sebagai pertimbangan utama dalam penyusunan anggaran, maka setiap instansi Pemerintah pada umumnya dan instansi pembina sektoral pada khususnya, dapat melakukan analisa dan pengukuran dampak anggarannya secara lebih tepat. Lebih dari itu, hal tersebut juga membuktikan komitmen yang kuat untuk mewujudkan Proemployment Budget di instansinya masing-masing. Terwujudnya kebijakan anggaran yang pro-employment mensyaratkan adanya pra-kondisi, seperti kehendak politik yang kuat, tata pemerintahan yang baik (good governance), kelembagaan yang memihak upaya penanggulangan pengangguran (pro-employment institutions), serta pertumbuhan ekonomi yang memihak penciptaan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya dengan kualitas yang memadai (pro-employment growth).
Pro-Employment Budget Analysis Sebagai Pemenuhan Terhadap Aspek Akuntabilitas Anggaran belanja negara adalah instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program Pemerintah yang dibiayai dengan uang publik (Mardiasmo, 2002:61). Oleh karena itu, penggunaan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program dan aktivitas oleh setiap kementerian/departemen/lembaga harus bisa dipertanggungjawabkan. Ini merupakan pemenuhan terhadap aspek akuntabilitas dalam pelaksanaan konsep kepemerintahan yang baik (good governance). Anggaran belanja negara yang termuat dalam APBN seharusnya merupakan artikulasi dari hasil perumusan strategi, perencanaan strategik, dan komitmen Pemerintah yang telah dibuat dalam bentuk RPJM. Untuk itu, penilaian terhadap pelaksanaan anggaran dimaksud
sangatlah penting untuk menentukan apakah dana yang digunakan untuk membiayai program, kegiatan, dan proyek suatu instansi sudah sesuai dengan RPJM dimaksud atau tidak. Selain itu, penilaian juga dilakukan untuk mengetahui apakah anggaran tersebut berorientasi kepada kinerja atau tidak, karena jika tidak demikian maka akan dapat menggagalkan rencana yg sudah disusun dalam RPJM tersebut. Dalam konsep akuntabilitas, penilaian ini dilakukan untuk melihat value for money dari program, kegiatan, dan proyek yang dilaksanakan, dalam rangka menentukan apakah keluaran atau hasil yang dicapai melalui program, kegiatan, dan proyek tersebut sepadan dengan nilai uang atau anggaran yang telah digunakan. Yang diharapkan tentu saja hasil yang dicapai melalui program, kegiatan, dan proyek tersebut (baik dalam bentuk output ataupun outcome) nilainya melebihi biaya (input) yang telah dikeluarkan melalui anggaran belanja negara tadi atau minimal nilainya sama. Demikian pula terhadap proemployment budget, harus dilakukan analisis untuk menilai value for money dari setiap anggaran yang berpihak kepada upaya penanggulangan pengangguran tersebut. Analisis dimaksud bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kesempatan kerja yang berhasil diciptakan melalui penggunaan masing-masing anggaran, sehingga dapat dinilai apakah hasil yang dicapai berupa penciptaan kesempatan kerja tersebut nilainya sepadan atau bahkan melampaui jumlah dana yang telah dikeluarkan untuk hal tersebut. Anggaran belanja yang bernuansa pro-employment di setiap instansi merupakan kondisi ideal yang diharapkan oleh RPJM. Namun, kondisi yang ada pada saat ini tampaknya masih jauh dari harapan tersebut, karena seperti telah disebutkan di atas, bahwa anggaran masih didominasi biaya operasional aparat negara dengan
citraindonesia.com
WAWASAN
porsi yang cukup besar. Sedangkan, belanja yang diindikasikan memiliki dampak langsung terhadap penciptaan kesempatan kerja (Belanja Barang dan Belanja Modal) porsinya masih relatif kecil. Pos belanja seperti Belanja Pegawai, Subsidi, Bantuan Sosial, dan Belanja Lainnya utamanya hanya untuk mempertahankan atau memperbaiki daya beli masyarakat dalam rangka meningkatkan Konsumsi Swasta/Rumah Tangga, namun sekali lagi dampaknya terhadap penciptaan kesempatan kerja tidak signifikan. Melihat kondisi APBN yang ada pada saat ini, secara obyektif dapat dikatakan bahwa masih relatif banyak instansi Pemerintah yang belum melaksanakan pro-employement budgeting. Banyak instansi yang tidak atau belum menempatkan penciptaan kesempatan kerja sebagai keluaran (output) dari anggaran belanjanya, bahkan sebagai outcome sekalipun. Pro-employment budget analysis hanya akan mencapai tujuan idealnya jika perspektif dan nuansa pro-employment tercermin dalam seluruh anggaran setiap instansi. Jika dicermati lebih jauh lagi kondisi anggaran setiap instansi pada saat ini, maka kita dapat melihat bahwa banyak dana yang tidak dikonversi menjadi kesempatan kerja. Kondisi tersebut dapat digambarkan demikian:
1. A n g g a r a n y a n g a d a t i d a k menempatkan kesempatan kerja sebagai output ataupun outcome. Output yang ada bukan merupakan kesempatan kerja, misalnya kegiatan penelitian dan survey. 2. Anggaran (DIPA) yang terkait langsung dengan penciptaan kesempatan kerja-pun masih mengandung unsur biaya yang tidak dikonversi langsung menjadi kesempatan kerja. Misalnya, komponen Gaji Upah dan Perjalanan Dinas. 3. Anggaran pada Departemen Teknis peruntukkannya lebih banyak untuk Belanja Pegawai dan kebutuhan rumah tangga kantor (pemeliharaan gedung, pembelian kendaraan dinas, peralatan kantor, dsb) 4. Kementerian/Badan/Lembaga yang tidak terkait langsung dengan penciptaan kesempatan kerja memiliki anggaran yang cukup besar. Misalnya, Institusi TNI dan Polri. Masih banyak lagi kondisi yang menggambarkan belum berpihaknya anggaran belanja negara kepada penciptaan kesempatan kerja. Kondisi ini perlu diidentifikasikan untuk melakukan pemetaan tentang anggaran mana saja yang mengindikasikan terjadinya konversi dana menjadi kesempatan kerja, sehingga tidak terjadi salah sasaran dan
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
11
WAWASAN
republika.co.id
kesempatan kerja yang diharapkan tercipta melalui kegiatan investasi yang dibiayai APBN tersebut. Sedangkan untuk program/kegiatan yang berdampak langsung terhadap penciptaan kesempatan kerja harus mampu mengidentifikasikan seakurat mungkin jumlah kesempatan kerja yang tercipta.
misjudgement dalam melakukan proemployment budget analysis. Dalam melakukan Pro-employment budget analysis, terlebih dahulu kita harus mengetahui keterkaitan suatu instansi dengan program penciptaan kesempatan kerja. Kemudian mempelajari struktur anggaran instansi tersebut untuk mengetahui berapa anggaran untuk kegiatan teknis maupun non-teknis. Setelah itu, cermati output dan outcome dari DIPA kegiatan teknis untuk menentukan program/kegiatan mana saja yang berhubungan dengan kesempatan kerja. Kemudian pelajari dan cermati DIPA tersebut untuk memilah biaya yang benar-benar dikonversi menjadi kesempatan kerja dan berapa indikasi kesempatan kerja yang dapat tercipta melalui anggaran tersebut. Lalu, nilailah apakah jumlah kesempatan kerja tersebut sepadan dengan nilai anggaran yang digunakan untuk membiayai program/kegiatan tersebut atau apakah aspek value for money telah terpenuhi. Dengan melakukan hal demikian, diharapkan tidak akan terjadi interpretasi dan salah menilai. Kondisi anggaran yang sebagian b es a r b elu m p r o - em p lo ym en t, menyebabkan sulitnya mendapatkan data output serta menyebabkan sulitnya dalam mengkuantifikasi
12
VOLUME VI NO. 30
outcome yang berbentuk kesempatan kerja. Akibatnya, penghitungan kuantitas output dalam bentuk penciptaan kesempatan kerja oleh setiap anggaran di masing-masing instansi masih sulit untuk dilakukan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kesempatan kerja harus menjadi outcome dari kebijakan meningkatkan Belanja Pegawai, Subsidi, ataupun Belanja Lainnya tersebut. Ini merupakan bentuk Akuntabilitas terhadap penggunaan anggaran belanja negara. Jadi, Pemerintah harus sudah bisa mengestimasi berapa kirakira dampak penciptaan kesempatan kerja yang ditimbulkan oleh kenaikan belanja-belanja dimaksud melalui pengukuran outcome yang berupa kesempatan kerja. Untuk program-program yang menghasilkan throughput atau intermediate output, misalnya Program Pemukiman Nelayan atau Program Pelatihan UKM, jika output-nya merupakan penciptaan kesempatan kerja baru, maka harus bisa diestimasi berapa banyak kesempatan kerja yang dapat diciptakan dengan terbentuknya pemukiman nelayan tersebut atau terlatihnya para Pengusaha UKM dalam waktu 2 (tahun) mendatang. Belanja Investasi Pemerintah juga harus mengidentifikasikan banyaknya
OKTOBER - DESEMBER 2012
Pro-employment budget analysis ini juga harus dilakukan sejak awal perencanaan dan penyusunan anggaran, yaitu dengan menggunakan semacam metoda Quick Count untuk menentukan seberapa besar kesempatan kerja yang akan/dapat dihasilkan melalui program tersebut. Hal ini kemudian menjadi salah satu bahan pertimbangan utama dalam persetujuan anggaran. Sehingga pada tahap pembahasan dapat dinilai dan dipertimbangkan apakah jumlah uang yang diusulkan layak ataukah over-estimated, dan jika dinilai tidak layak maka dapat dialihkan kepada kegiatan/program yang menjadi prioritas. Pada akhir tahun anggaran, realisasi penciptaan kesempatan kerja tersebut kemudian dievaluasi melalui perbandingan dengan hasil metoda Quick Count yang dilakukan di awal perencanaan. Dengan demikian penganggaran menjadi lebih terarah atau fokus kepada agenda pokok pemerintahan yaitu pengurangan pengangguran. [] Referensi: Suroto, 1992. “Strategi Pembangunan dan Perencanaan Kesempatan Kerja”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sadono Sukirno, 1985. “Pengantar Teori Makro Ekonomi”,LP FE-UI, Jakarta. Prof. DR. Soediyono R, MBA, 1992. “Ekonomi Makro”, Liberty, Yogyakarta. Michael P. Todaro, 1995. “Ekonomi untuk Negara Berkembang”, Bumi Aksara, Jakarta. DR. Mardiasmo, MBA, Ak., 2002. “Akuntansi Sektor Publik”, Andi, Yogyakarta.
Ervin Jongguran Marajohan, SE.,Ak. Staf Pusat Perencanaan Tenaga Kerja Setjen - Kemenakertrans RI
WAWASAN
*) Slamet Rahmat TS.
RESPON AKTIFITAS EKONOMI TRANSMIGRAN
Terhadap Perubahan Iklim di UPT Aktivitas transmigran yang berbasis land base sangat tergantung dengan dinamika iklim karena umumnya merupakan lahan tadah hujan yang sangat memerlukan air dari hujan.
I
suhu udara, dengan laju yang lebih rendah dibanding wilayah subtropis. Wilayah selatan Indonesia mengalami penurunan curah hujan, sedangkan wilayah utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Perubahan pola hujan tersebut menyebabkan
Dampak perubahan iklim seperti pergeseran musim dan perubahan pola hujan terjadi juga di permukiman
fofo-foto: Dokumentasi WAPER
ndonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah katulistiwa termasuk wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Perubahan pola curah hujan, kenaikan muka air laut, suhu udara, dan peningkatan kejadian iklim ekstrim berupa banjir dan kekeringan merupakan beberapa dampak serius perubahan iklim yang dihadapi Indonesia. Perubahan iklim akan menyebabkan seluruh wilayah Indonesia mengalami kenaikan
berubahnya awal dan panjang musim hujan. Meningkatnya hujan pada musim hujan menyebabkan tingginya frekuensi kejadian banjir, sedangkan menurunnya hujan pada musim kemarau akan meningkatkan risiko kekekeringan.
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
13
WAWASAN
Selain itu, perubahan iklim juga menyebabkan kekeringan dan banjir di lahan pertanian, kenaikan intensitas serangan hama serta gagal panen atau rendahnya produksi pertanian yang membuat harga hasil pertanian meningkat. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi dalam rangka menghadapi perubahan iklim tersebut. Di satu sisi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi belum menyusun kebijakan secara khusus terkait perubahan iklim.
Strategi Terhadap Perubahan Iklim
Pengertian perubahan iklim tidak terlepas dari istilah-istilah yang berkaitan dengan peristiwa perubahan iklim itu sendiri, seperti unsur-unsur perubahan iklim yang terdiri dari: suhu udara, kelembapan udara, pola curah hujan, iklim ekstrim (la-nina, el-nino) dan anomali iklim. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi belum menggunakan perspektif perubahan iklim dalam menangani masalah yang ada di permukiman transmigrasi maupun kebijakan-kebijakan yang ada di daerah. Perspektif perubahan iklim adalah suatu kepekaan dalam mengkaitkan suatu pemecahan masalah dan kebijakan dengan konteks yang bersifat global. Untuk itu perlu dirumuskan pengarusutamaan respon transmigran terhadap perubahan iklim dengan strategi antisipasi, adaptasi dan mitigasi.
14
VOLUME VI NO. 30
Dokumentasi WAPER
transmigrasi. Aktivitas transmigran yang berbasis land base sangat tergantung dengan dinamika iklim karena umumnya merupakan lahan tadah hujan yang sangat memerlukan air dari hujan. Adanya perubahan dimulainya musim hujan berarti berubah pula pola masa tanam transmigran. Berubahnya pola tanam akan sangat berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi transmigran, dan berpengaruh terhadap kesiapan sarana dan prasarana pertanian baik dari segi waktu maupun jenisnya.
Antisipasi
Perubahan iklim adalah membuat perhitungan-perhitungan tentang hal-hal yang belum atau akan terjadi. Berbagai upaya untuk mengantisipasi dampak penyimpangan iklim terhadap bencana banjir dan kekeringan pada sektor pertanian telah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Secara umum upaya antisipasi perubahan iklim di permukiman transmigrasi dikelompokkan menjadi antisipasi secara teknis dan antisipasi sosial-kelembagaan. Antisipasi secara teknis antara lain: (a) pemberian bantuan sarana produksi pertanian bagi transmigran, baik paket standar maupun non standar harus dengan prinsip-prinsip enam tepat; (b) jenis sarana produksi pertanian non standar, selain lima jenis yang sudah ada, ditambah alternatifnya dengan mesin pompa air dan pembuatan dam parit atau embung penampung air hujan; (c) memanfaatkan informasi dan prakiraan iklim untuk memberikan peringatan dini dan rekomendasi pada transmigran; (d) upaya-upaya khusus lain seperti gerakan percepatan tanam dan pengolahan tanah; (e) penerapan Sekolah Lapangan Iklim (SLI); (f) penerapan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL PHT); (g) penerapan Sekolah
OKTOBER - DESEMBER 2012
Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL PTT). Antisipasi sosial meliputi: (a) meningkatkan kesiapan dan peran serta transmigran dalam upaya antisipatif bencana alam banjir sehingga mereka beranggapan bahwa upaya itu adalah untuk kepentingan mereka dan dilaksanakan secara bersamasama dalam koordinasi yang baik dengan pihak lain; (b) memanfaatkan kemampuan dan peran serta kelembagaan transmigran, instansi pemerintah maupun swasta dalam pemakaian teknologi perkreditan persediaan sarana produksi, penyediaan peralatan dan mesin pompa air, serta pengolahan dan pemasaran hasil.
Adaptasi
Merupakan tindakan atau upaya penyesuaian teknologi, manajemen dan kebijakan di sektor pertanian dengan pemanasan global dan perubahan iklim. Program adaptasi lebih difokuskan pada aplikasi teknologi adaptif, terutama pada tanaman pangan, seperti penyesuaian pola tanam, penggunaan varietas unggul adaptif terhadap kekeringan, genangan/banjir, salinitas dan umur genjah, serta penganekaragaman pertanian, teknologi pengelolaan
WAWASAN
Dokumentasi WAPER
jenis tanaman yang rendah emisi dan atau kapasitas absorbsi karbon tinggi, penyiapan lahan tanpa bakar, pengembangan dan pemanfaatan biofue dan biogas, penggunaan pupuk organik, biopestisida dan pakan ternak rendah emisi GRK. Kebijakan yang akan ditempuh melalui: 1) meningkatkan pemahaman petani dan pihak terkait dalam mengantisipasi perubahan iklim; 2) meningkatkan kemampuan sektor pertanian untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, termasuk membangun sistem asuransi perubahan iklim; 3) merakit dan menerapkan teknologi tepat guna dalam memitigasi emisi GRK, dan (4) meningkatkan kinerja penelitian dan pengembangan di bidang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. []
lahan, pupuk, air, dan diversifikasi pangan. Banyak komoditi tanaman pangan yang tahan kekeringan tetapi secara keseluruhan nilai ekonomisnya memang rendah, sebaliknya banyak tanaman pangan yang kurang tahan terhadap perubahan iklim tetapi nilai ekonomisnya kurang tinggi. Oleh karena itu untuk mendapatkan nilai ekonomis yang tinggi dan mengurangi kegagalan panen dapat dilakukan tanaman diversifikasi antara tanaman ekonomis tinggi dengan ekonomis rendah misalnya tanaman jagung diversifikasi dengan tanaman ubi jalar, tanaman kedelai diversifikasi dengan tanaman talas dan banyak lagi tanaman yang dapat diversifikasi antara satu tanaman dengan tanaman lainnya. Secara kelembagaan program ini, diarahkan untuk pengembangan sistem informasi seperti sistem penyuluhan
dan kelompok kerja (pokja) variabilitas dan perubahan iklim sub sektor pertanian, serta pengembangan sistem asuransi pertanian akibat resiko iklim (crop weather insurance). Selain itu, secara padat karya, di permukiman transmigrasi dilaksanakan pembuatan dam parit atau embung penampung air.
Mitigasi
Usaha pengendalian untuk mengurangi resiko akibat perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan Gas Rumah Kaca (GRK) dari berbagai sumber, sehingga konsentrasi GRK di atmosfer masih berada dalam tingkatan yang dapat ditolerir. Program ini lebih difokuskan pada aplikasi teknologi rendah emisi, antara lain: varietas unggul dan
Referensi: - Badan Litbang Pertanian. 2011. Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Kementerian Pertanian. - ...... 2011. Pedoman Umum Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Kementerian Pertanian. - Boer, Rizaldi. 2009. Sekolah lapang Iklim Antisipasi Risiko Perubahan Iklim. Majalah Salam, edisi: 26 Januari 2009. - Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian. 2012. Pedoman Teknis Pengembangan Konservasi Air/Antisipasi Anomali Iklim. Direktorat Pengelolaan Air Irigasi. Kementerian Pertanian. - Ditjen P2MKT. 2011. Pedoman Pelaksanaan Intensifikasi Lahan di Kawasan Transmigrasi. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. - ..... 2011. Pedoman Pemberian Bantuan Sarana Produksi Pertanian Bagi Transmigran. - Hidayati, Deny dkk. 2011. Adaptasi dan Mitigasi Masyarakat Pesisir, dalam Menghadapi Perubahan Iklim dan Degradasi Sumberdaya laut. LIPI. PT. Leuser Cita Pustaka. - Irawan, Bambang. 2006. Fenomena Anomali Iklim El Nino dan La Nina: Kecenderungan Jangka Panjang dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Tanaman. Artikel pada Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 24 No. 1, Juli 2006: 28-45.
Slamet Rahmat Topo Susilo Peneliti Puslitbang-Trans Balitfo - Kemenakertrans RI
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
15
ANALISA
*) Jadid Malawi
STIMULUS PENGALOKASIAN APBN Ke Daerah?
S
Pengalokasian APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan oleh K/L pertama, Dekonsentrasi, dialokasikan untuk kegiatan bersifat non-fisik, seperti kegiatan yang berupa sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, fasilitasi, bimbingan teknis, pelatihan, penyuluhan, supervisi, penelitian dan survey, pembinaan dan pengawasan, serta pengendalian. Dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud, maka sebagian kecil Dana Dekonsentrasi dapat dialokasikan sebagai dana penunjang untuk pelaksanaan tugas administratif, pengadaan input berupa
barang habis pakai atau aset tetap. Penentuan besarnya alokasi dana penunjang sebagaimana dimaksud, harus memperhatikan asas kepatutan, kewajaran, ekonomis, dan efisiensi, serta disesuaikan dengan karakteristik kegiatan masing-masing kementerian/ lembaga (K/L); Kedua, dalam rangka Tugas Pembantuan dialokasikan untuk kegiatan bersifat fisik, seperti kegiatan yang menghasilkan keluaran yang menambah aset tetap. Kegiatan yang bersifat fisik sebagaimana dimaksud, antara lain pengadaan tanah, bangunan, peralatan dan mesin, jalan, irigasi dan jaringan, serta kegiatan yang bersifat fisik lainnya. Kegiatan yang bersifat fisik
Dokumentasi WAPER
ebagaimana diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Ta h u n 2 0 0 8 t e n t a n g Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, yang salah satu pasalnya memuat bahwa Kementerian Negara/ Lembaga (K/L) dapat melimpahkan memberikan tugas pembantuan APBN ke SKPD Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Dijabarkan lebih lanjut mengenai pelaksanaannya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan, bahwa dalam pengalokasiannya memperhatikan karakteristik kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
16
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
ANALISA
yskk.org
Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN).
lainnya sebagaimana dimaksud, antara lain pengadaan barang habis pakai, seperti obat-obatan, vaksin, pengadaan bibit dan pupuk, atau sejenisnya, termasuk barang bantuan sosial yang diserahkan kepada masyarakat, serta pemberdayaan masyarakat. Dalam rangka mendukung p e l a k s a n a a n k e g i a t a n Tu g a s Pembantuan dimaksud, sebagian kecil Dana Tugas Pembantuan dapat dialokasikan sebagai dana penunjang untuk pelaksanaan tugas administratif, pengadaan input berupa barang habis pakai atau aset tetap. Penentuan besarnya alokasi dana penunjang sebagaimana dimaksud, harus memperhatikan asas kepatutan, kewajaran, ekonomis, dan efisiensi, serta disesuaikan dengan karakteristik kegiatan masing-masing K/L.
Kondisi Unit Perencana SKPD Provinsi
Sekretariat SKPD Provinsi merupakan mitra kerja Sekretariat Jenderal K/L, keduanya mengalami kesulitan melakukan monitoring pelaksanaan pelimpahan kewenangan tersebut, mengenai program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh SKPD Kabupaten/Kota. Karena kurangnya koordinasi antara SKPD Provinsi dengan SKPD Kabupaten/ Kota. Sehingga, pelaporan data dan informasi dari SKPD Kabupaten/Kota sulit diperoleh oleh unit perencanaan di SKPD Provinsi. Hal ini berakibat
terhadap tidak lancarnya pelaporan, kurang akurasinya data dan informasi. Data dan informasi aset yang bersumber dari dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan belum dapat diinventarisasi dengan baik. Dampaknya, Setjen K/L mengalami kendala pemantauan pelaksanaan program-program K/L, sehingga melemahkan kebijakan pembangunan bidang K/L. Unit Perencana SKPD Provinsi (eselon IV) belum bisa bertindak sebagai koordinator pelaksanaan program dan kegiatan pelimpahan (dekonsentrasi dan tugas pembantuan) karena level struktralnya lebih rendah, sedangkan pelaksana program dan kegiatan pelimpahan adalah Subdin/Bidang (eselon III) sebagaimana tertuang pada PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat daerah. Selain itu disebabkan karena belum adanya alokasi APBN sebagai dana penunjang untuk pelaksanaan tugas dan fungsi unit perencana di SKPD Provinsi.
Stimulus Pengalokasian APBN
Apabila satu sisi mengalami kelambatan, maka akan berpengaruh terhadap langkah kerja selanjutnya. Pembinaan terhadap peningkatan kualitas pelaporan juga harus ditingkatkan, antara lain dengan diterapkannya Sistem Pelaporan Pelaksanaan Tugas, Sistem Akuntasi Instansi (SAI), dan pelaporan Sistem
Sekretariat Jenderal (Setjen) K/L dituntut untuk memberikan stimulus pengalokasian APBN dalam menunjang pelaksanaan tugas, seperti pengadministrasian pengelolaan keuangan yang mempunyai peranan penting dalam mendukung pelaksanaan tugas K/L. Pengalokasian APBN oleh K/L ke daerah sesuai PP Nomor 7 tahun 2008 melalui peraturan menteri, dalam bentuk dekonsentrasi maupun tugas pembantuan yang teralokasi pada program-program utama. Program utama ini merupakan tugas dan fungsi masing-masing K/L melalui unit-unit teknis eselon I. Stimulus pengalokasian ini sudah banyak dilakukan oleh beberapa K/L, dalam rangka mendukung operasional dan penguatan pelaksanaan programprogram utama. Dialokasikan melalui program pendukung yaitu program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya (DMPTL) yang melekat Sekretriat Jenderal K/L. Program DMPTL ini di SKPD Provinsi akan dilaksanakan oleh Sekretariat SKPD pada Unit Perencanaannya. Manfaatnya dapat mendorong dan mengatasi kendala koordinasi dan pelaporan pelaksanaan tugas K/L di SKPD, sehingga tugas dan fungsi Sekretariat SKPD Provinsi dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, betapa pentingnya stimulus pengalokasian APBN melalui pelimpahan dekonsentrasi dengan program DMPTL yang melekat di Setjen K/L. Semoga! [] Referensi: - PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah; - PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan; - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan.
Jadid Malawi
Perencana Madya Kemenakertrans RI
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
17
ANALISA
FOOD ESTATE
di Kawasan Transmigrasi
*) Erna Erawati Berkurangnya areal lahan pertanian produktif, peningkatan jumlah kebutuhan pangan, pertambahan jumlah penduduk dan perubahan iklim melatar belakangi pentingnya program Food Estate (FE).
U
ntuk mendukung ketahanan pangan Indonesia jangka panjang Kementerian Pertanian merencanakan program FE pada lahan-lahan yang belum tergarap untuk dijadikan lahan potensial tanaman pangan. Program FE ini diharapkan bisa menjadi salah satu opsi dalam mengatasi masalah pangan. Hasil produksi dari kawasan food estate ini diharapkan dapat meningkatkan kebutuhan pangan nasional, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia.
18
VOLUME VI NO. 30
Pendekatan Program
Konsep pengembangan program food estate ini, nantinya akan banyak membuka lahan-lahan pertanian baru yang berorientasi pada peningkatan hasil pertanian. Secara definisi food estate merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di satu kawasan lahan yang luas. Pendekatan yang digunakan dalam pengembangan program food estate
OKTOBER - DESEMBER 2012
adalah pertama, melalui pendekatan Pengembangan Wilayah; kedua, pendekatan Integrasi Sektor dan Sub Sektor; ketiga, pendekatan Lingkungan yang berkelanjutan; dan yang keempat, pendekatan Pemberdayaan Masyarakat. Dalam pengembangan food estate diperlukan keterpaduan, antara sektor dan sub sektor dalam suatu sistem agribisnis yang memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan lestari. Dikelola secara profesional dengan dukungan SDM yang berkualitas, teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan dan kelembagaan yang kokoh. Food estate diarahkan kepada sistem agribisnis yang berakar kuat
ANALISA di pedesaan berbasis pemberdayaan masyarakat adat (masyarakat setempat) yang merupakan landasan dalam pengembangan wilayah.
Berdasarkan luas wilayah, program food estate dibedakan menjadi 2 (dua) model yaitu food estate Skala Luas dan skala Medium. Food estate skala luas dengan kondisi infrastruktur yang terbatas, sehingga perlu pembangunan infrastruktur dasar yang memadai. Pembangunannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat/daerah maupun dukungan swasta, seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Sedangkan food estate medium, infrastrukturnya relatif sudah memadai seperti di Kabupaten Bulungan, Sambas, Kuburaya, Pontianak, dan Singkawang. Dalam skala luas, pengembangan food estate bekerjasama dengan investor/swasta, sedangkan dalam skala sedang BUMN mendapat mandat untuk pengembangannya. Pemerintah Kabupaten Bulungan menyambut baik program food estate tersebut, dengan menyediakan lahan seluas 50.000 ha pada kawasan yang terletak pada Delta Kayan yang dikenal dengan Kayan Delta Food Estate (KADEFE). Dinas Pertanian Kabupaten Bulungan bekerja sama dengan PT Trans Intra Asia, pada tahun 2011 telah menyusun Master Plan Food Estate di atas kawasan seluas 50.000 ha sesuai dengan SK Bupati Bulungan Nomor 490/K-VI/520/2011. Pembangunan KADEFE merupakan sinergitas antara pemerintah daerah (pemda), lintas sektor dan lintas lembaga sebagai berikut pemda Kabupaten Bulungan, pemda Provinsi Kalimantan Timur, p e m d a P r o v i n s i J a w a Ti m u r, Kementerian Nakertrans, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, PT Citra Sawit Lestari, PT Sang Hyang Seri (SHS), PT Agro Sumber Kencana (Miwon), PT Nusa Agro Mandiri
Foto-foto: Dokumentasi WAPER
Model Food Estate
(Solaria), dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Sebaran Kawasan Food Estate
Kawasan transmigrasi Tanjung Buka berada dalam deliniasi areal Delta Kayan yang merupakan bagian dari areal Kawasan Transmigrasi Mandiri Salimbatu, kawasan ini memiliki potensial areal seluas 30.000 ha, yang tersebar di 9 (sembilan) Satuan Permukiman (SP). Luas lahan yang telah dimanfaatkan transmigrasi ± 6.000 ha (kira-kira 20% dari potensi areal tersedia), dengan realisasi penempatan sampai dengan tahun 2011 sebanyak 1.165 KK, dengan sebaran sebagai berikut: di Tanjung Buka SP1 sebanyak 465 KK; di Tanjung Buka SP2 sebanyak 300 KK; di Tanjung Buka SP7 sebanyak 250 KK; Tanjung Buka SP8 sebanyak 150 KK. Penempatan tahun 2012 sebanyak 550 KK, antara lain di Tanjung Buka SP5 sebanyak 400 KK, dan di Tanjung Buka SP8 sebanyak 150 KK. Rencana Penyiapan Permukiman pada tahun 2013 sebanyak 300 KK, dan penempatan sebanyak 500 KK sebagai
luncuran penempatan tahun 2012 sebanyak 200 KK di lokasi Tanjung Buka SP5. Sedangkan di SKP Tanjung Buka masih tersedia RTSP, dengan sisa daya tampung sebanyak 1.330 KK tersebar di 5 (lima) SP yaitu di SP5 untuk 100 KK, di SP3 untuk 260 KK, di SP4 untuk 300 KK, di SP6 untuk 170 KK, dan di Sepungkur SP1 untuk 500 KK (Sumber data: Dinas Nakertans Provinsi Kalimantan Timur). Pembangunan food estate di kawasan transmigrasi ini diharapkan dapat mendayagunakan sumber daya alam, yang selaras dengan program transmigrasi. Dalam rangka meningkatkan produktifitas lahan-lahan tidur di kawasan food estate dibutuhkan tenaga kerja untuk mengolahnya, transmigrasi merupakan salah satu solusi untuk perluasan lapangan kerja. Semoga! Referensi: Bahan Seminar Food Estate di Indonesia.
Erna Erawati, S.Hut.
Perencana Muda Biro Perencanaan - Kemenakertrans RI
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
19
REALITA
*) Widyantoro Mukti R.
Upaya Pemerintah Daerah Mencapai IPK Terbaik
D
alam acara penganugerahan penerima penghargaan terbaik Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan, Menakertrans Muhaimin Iskandar menyampaikan bahwa penilaian Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK) merupakan acuan dasar untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan ketenagakerjaan di daerah. IPK dapat digunakan sebagai bahan
20
VOLUME VI NO. 30
evaluasi kebijakan dan program ketenagakerjaan daerah, serta sarana untuk memicu (trigger) agar daerah melaksanakan pembangunan ketenagakerjaan secara optimal. Pelaksanaan IPK di seluruh propinsi merupakan implementasi dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya pasal 7 dan pasal 8.
OKTOBER - DESEMBER 2012
Sembilan Indikator Utama
Dalam penilaian IPK tidak terlepas dari 9 indikator utama yang digunakan pertama, indikator Perencanaan Tenaga Kerja; kedua, penduduk dan tenaga kerja; ketiga, kesempatan kerja; keempat, pelatihan dan kompetensi kerja; kelima, produktivitas tenaga kerja; keenam, hubungan industrial; ketujuh, kondisi lingkungan kerja; k ed ela p a n , p en g u p a h a n ; s er t a
Foto-foto: Dokumentasi WAPER
REALITA
kesembilan, kesejahteraan pekerja dan jaminan sosial.
Kegunaan Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan
Penghitungan IPK digunakan, sebagai bahan evaluasi kebijakan dan program pembangunan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, sebagai bahan penyusunan rencana pembangunan ketenagakerjaan kedepan. Sedangkan hasil evaluasinya diperlukan pemerintah pusat sebagai bahan pembinaan kepada pemerintah daerah, Selain itu, dapat digunakan sebagai kajian ketenagakerjaan. Kegunaan yang lainnya, untuk mengetahui tingkat keberhasilan kebijakan dan program ketenagakerjaan pemerintah.
Pembangunan Sektor Ketenagakerjaan
Dalam pelaksanaan pembangunan ketenagakerjaan, tentunya tidak terlepas dari perencanaan tenaga kerja. Adapun pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja (PTK), baik di tingkat pusat maupun daerah (provinsi/kabupaten/kota) harus disusun dengan serius, konsisten dan tepat sasaran, dengan melibatkan seluruh instansi baik sektor maupun sub sektor. Melalui penyusunan PTK yang baik, maka diharapkan akan menghasilkan output ketersediaan tenaga kerja yang mampu melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja di daerah setempat.
Penyusunan perencanaan tenaga kerja dalam kaitannya dengan pembangunan ketenagakerjaan yang disusun oleh pemerintah daerah khususnya Dinas Tenaga Kerja Provinsi dan instansi pembina sektor terkait hendaknya selalu digunakan sebagai dasar acuan penyusunan kebijakan, strategi dan program ketenagakerjaan yang berkesinambungan, untuk mendukung Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Kompetisi Optimal
Pembangunan ketenagakerjaan di daerah harus dilaksanakan secara terintegrasi, terpadu dan menyeluruh oleh seluruh instasi sektor terkait, dengan leading sektornya Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi. Semua sektor harus bahu membahu dan bekerja keras, untuk mencapai pembangunan ketenagakerjaan yang baik, sebagai harapan masyarakat dan seluruh bangsa Indonesia saat ini. Bila seluruh provinsi di Indonesia, melaksanakan pembangunan ketenagakerjaan sesuai dengan sembilan indikator utama, penyelenggaraan penilaian IPK berlangsung melalui kompetisi yang baik, maka akan menghasilkan penilaian IPK yang optimal. Pada saat itu pula, akan nampak daerah/provinsi yang sungguh-sungguh dan secara benar telah melaksanakan pembangunan ketenagakerjaan, begitupun sebaliknya.
Pembangunan ketenagakerjaan yang dilaksanakan dengan azas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah, lebih lanjut akan tercapai tujuan pembangunan ketenagakerjaan tersebut yaitu: 1) memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; 2) mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; 3) memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan 4) meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Penerima Reward IPK Tahun 2012
Sebanyak sembilan Reward diberikan kepada Pemda yang berhasil, antara lain: IPK Terbaik Pertama dan Terbaik Indikator Utama Produktivitas Tenaga Kerja diberikan kepada Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (menerima dua reward), IPK Terbaik Kedua, dan Terbaik Indikator Utama serta Terbaik Indikator Utama Penduduk dan Tenaga Kerja diberikan kepada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (menerima tiga reward), IPK Terbaik Ketiga dan Terbaik Indikator Utama Kesempatan Kerja, serta Terbaik Indikator Utama Hubungan Industrial diberikan kepada Pemerintah Provinsi Riau (menerima tiga reward), Terbaik Indikator Utama Pelatihan dan Kompetensi Kerja diberikan kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. [] Referensi: 1. Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan Tahun 2012, Pusat Perencanaan Tenaga Kerja-Sekretariat Jenderal Kemnakertrans RI. 2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Tentang Pedoman Pengukuran Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan. 3. Literatur terkait.
Widyantoro Mukti Raharjo, S.Sos., MM. Perencana Muda Pusat PTK - Kemenakertrans RI
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
21
REALITA
SOLUSI PERMASALAHAN LAHAN & USAHA EKONOMI di Lokasi Transmigrasi
*) Yupiter Ersan
M
22
enguaknya kasus kerusakan rumah warga transmigran dan kekurangan lahan di lokasi Rambutan II dan Parit I Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan sebagaimana diberitakan harian Kompas 22/01/2012. Hal ini disebabkan karena adanya penguasaan lahan seluas 578 Ha oleh PT. Indralaya Agro Lestari (PT. IAL). Masyarakat Desa Gedung Buruk dan Desa Patra Kecamatan Muara Belida Kabupaten Muara Enim, dan perorangan warga Kota Palembang.
Pengembangan Usaha yang telah melakukan koordinasi dengan pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Selatan dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Ogan Ilir serta melakukan kunjungan ke lokasi Rambutan II dan Parit I. Dalam laporannya, dikemukakan bahwa untuk penempatan transmigran di lokasi Parit I tahun 2005 sejumlah 150 KK dan adanya permasalahan kekurangan Lahan Usaha (LU) II seluas 150 Ha.
Teridentifikasinya permasalahan ini diperoleh dari informasi Direktur
Di lokasi Rambutan II penempatan transmigran dimulai tahun 2005
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
sejumlah 200 KK, dan tahun 2009 sejumlah 100 KK, total penempatan 300 KK. Di lokasi ini juga terdapat permasalahan kekurangan LU I seluas 128 Ha, dan LU II seluas 300 Ha. Dengan demikian penjumlahan kekurangan lahan di lokasi Parit I dan Rambutan II mencapai 578 Ha.
Upaya Pemerintah Daerah
Mengingat kasus permasalahan kekurangan lahan secara umum juga terjadi di beberapa lokasi transmigrasi di sejumlah wilayah Indonesia, terkait permasalahan di lokasi Rambutan II dan Parit I Pemerintah Provinsi
REALITA Sumatera Selatan pada tanggal 20 Januari 2012 telah melakukan rapat koordinasi bersama instansi terkait untuk mengatasi permasalahan ini. Melalui surat Gubernur Sumatera Selatan kepada Bupati Ogan Ilir Nomor: 595/198/I/2012, tertanggal 24 Januari 2012, perihal Penyelesaian Permasalahan Lahan Transmigrasi di Kabupaten Ogan Ilir diperoleh beberapa alternatif penyelesaian, diantaranya pertama, kekurangan LU II di lokasi Parit I dan Rambutan II akan dipindahkan ke lokasi kawasan hutan yang dapat dikonversi (HPK), termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosial seluas ± 1.200 Ha, yang letaknya di sebelah tenggara dari lokasi PT. Indralaya Agro Lestari; kedua, terhadap permasalahan LU I TSM Parit seluas ± 10 Ha dikuasai oleh Fadil; ketiga, LU II seluas ± 12,75 Ha dikuasai oleh Kunti, Sarjono, dan Sudirman Teguh; dan keempat, LU II TSM dipinggir jalan poros seluas ± 8 Ha yang telah bersertifikat milik transmigran dikuasai oleh Zaenal Cs.
Keempat permasalahan Lahan tersebut agar segera dikembalikan kepada transmigran sesuai dengan peruntukannya. Sebagai bahan Rekomendasi Gubernur Sumatera Selatan kepada Menteri Kehutanan RI diminta agar Bupati Ogan Ilir memerintahkan Kepala Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Ogan Ilir untuk mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan. Berkenaan dengan itu, penanggulangan permasalahan kekurangan lahan mendapatkan solusi penyelesaiannya.
Permasalahan Usaha Ekonomi
Kebetulan, lokasi yang terdapat permasalahan lahan ini adalah lokasi yang tercakup dalam pengembangan KTM Rambutan-Parit. Aktivitas warga di lokasi Parit I (150 KK) terhadap lahan pekarangan (LP) yang telah dibagikan seluas 0,25 Ha/KK diusahakan tanaman padi dan kelapa sawit. Pada LU I yang dibagi 0,75 Ha/KK sudah diusahakan dengan komoditas karet dan sawit.
Transmigran tinggal menunggu pembagian LU II seluas 1,0 Ha/KK. Begitu juga pada lokasi Rambutan II (300 KK) telah menerima LP seluas 0,25 Ha/KK, LU I seluas 0,75 Ha/ KK baru dibagikan kepada 130 KK, sehingga masih kekurangan LU I terhadap 170 KK. Sementara LU II (1,0 Ha/KK) transmigran di lokasi Rambutan II ini belum menerimanya. LU I yang telah dibagikan sudah diusahakan budidaya tanaman padi, kelapa sawit, dan karet. Sedangkan untuk LP dari informasi kunjungan lapangan ternyata sebagian tergenang air, diakibatkan karena terlampau besarnya kualitas air hujan, Hal ini menyebabkan komoditi yang sudah diusahakan terancam mati dan gagal panen. Selain air hujan terkadang genangan lahan diakibatkan oleh air pasang. Mengingat perjuangan hidup harus terus berjalan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagian dari warga transmigran bekerja menjadi buruh tani kebun di luar lokasi, buruh/kuli di pasar, tukang bangunan, dan sopir di ibukota Kabupaten/Provinsi.
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
23
Foto-foto: Dokumentasi WAPER
REALITA
Lembaga Keuangan Mikro
Perjuangan hidup warga transmigran dalam usaha memang patut dibanggakan. Betapa tidak, berbekal pendidikan yang seadanya mereka mampu menyerap ilmu dari pelatihanpelatihan di bidang usaha pertanian dan kelembagaan. Salah satunya di tahun 2011 di lokasi Rambutan II telah dibentuk Gabungan Kelompok Tani yang diberi nama “Gapoktan Mulya Jaya” terdiri dari 10 kelompok tani, kelompok-kelompok tani ini cukup aktif, namun terkendala oleh kondisi alam dan lahan yang sering terkena banjir, dan keterbatasan modal. Berkenaan dengan keterbatasan modal, di tahun 2009 pada lokasi Rambutan II sudah dibentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang diberi nama “LKM Rambutan Trans Sejahtera” beranggotakan 45 orang dengan modal usaha sebesar Rp16.820.000, fasilitas simpan pinjam yang diberikan kepada anggota dengan sistem bagi hasil 2%.
24
VOLUME VI NO. 30
Namun LKM ini baru aktif pada tahun 2011, karena pada tahun 2010 di kawasan KTM Rambutan-Parit terjadi banjir besar. LKM ini belum dapat memfasilitasi dan memenuhi kebutuhan Gapoktan, karena masih terbatasnya modal yang dimiliki. Mudah-mudahan ke depannya ada yang bersedia menambahkan kucuran dana atau dimintakan kepada Kementerian Koperasi dan UKM untuk penguatan LKM ini.
Bantuan Bibit Unggul
Mengingat di lokasi Rambutan II sebagian LU I belum dibagi (170 KK), juga LU II belum dibagi semua (300 KK), bahkan pada lahan yang sudah diusahakan juga terkena banjir. Dalam jangka pendek, warga mengajukan permohonan bantuan bibit unggul untuk mengganti tanaman yang terkena banjir, utamanya menghadapi musim tanam mendatang, serta dalam jangka panjang meminta bantuan bibit sawit untuk pengembangan LU I dan
OKTOBER - DESEMBER 2012
II yang belum dibagikan. Dari hasil diskusi, antara Direktur Pengembangan Usaha Ditjen P2MKT dengan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Ogan Ilir dan Provinsi Sumatera Selatan disepakati, bahwa langkah awal akan melakukan inventarisasi warga transmigrasi yang lahan usahanya sudah diusahakan dan terkena banjir. Data tersebut akan dijadikan sebagai dasar dalam menindaklanjuti kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh, maupun sebagai bahan untuk berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian terkait penyediaan benih unggul. Ini sebuah cita-cita yang sungguh luar biasa karena tidak mengenal putus asa. Semoga berhasil! []
Ir. H. Yupiter Ersan, MM
Kepala Seksi Analisis dan Standardisasi Sarana Subdit ASSP, Dit. PSPK, Ditjen P2MKT Kemenakertrans RI
WAWASAN
INFO
*) Gatot M. Sutejo
Perilaku Konsumen
P
asti kita pernah makan di restoran fast food. Standar menu biasanya ayam goreng, nasi dan segelas soft drink. Restoran fast food biasanya juga menyediakan paket-paket menu. Jika kita tidak punya pilihan menu, biasanya kita ditawari paket tertentu, kemudian ditawarkan tambahan-tambahan menu (bahkan ditawari CD Music yang tidak kita perlukan). Seperti tersihir oleh kelihaian pelayan menawarkan menu, kita setuju dan membayar harga jauh lebih mahal untuk sesuatu yang tidak kita perlukan. *** Suatu ketika kita menerima tamu, teman yang sudah lama tidak berjumpa. Untuk menghormati teman, kita menjamu makan siang di sebuah restoran Padang. Setelah duduk, semua jenis masakan dihidangkan di atas meja makan. Di akhir jamuan makan, pelayan menghitung harga menu-menu yang kita santap. Secepat kilat harga itu ditotal... set...set... set... kita telah disodori total harga yang harus kita bayar. Demi gengsi di depan kawan, tanpa memperhatikan sudah betul atau salah total harga yang disodorkan pelayan, kita bayar harga tersebut di kasir. *** Agenda rutin setap awal bulan adalah belanja bulanan di supermarket. Dari kebutuhan dapur, kebutuhan anakanak, kebutuhan rumah tangga hingga kebutuhan paling pribadi harus dibeli. Karena tidak membuat list perencanaan belanja, di supermarket kita belanja dengan ‘kalap’. Barangbarang yang tidak begitu perlu, juga dibeli. Karena banyak barang ikut dibeli, harga yang harus dibayar di kasir pun menjadi lebih mahal dari yang diperkirakan. *** Perilaku konsumsi seperti tiga contoh diatas sering kita jumpai. Bahkan tanpa sadar, barangkali kita pun kerap berperilaku demikian. Tidak masalah bisa uang yang kita punya berlebihan. Tapi bila uang kita ‘cekak’, tentu ini menjadi problem.
Dalam dunia marketing, dikenal tiga tipe perilaku konsumen. Pertama, snob. Orang seperti ini seringkali tidak tahu sebenarnya tentang produk yang dia beli. Dia tidak tahu spek, kualitas, atau benefit (manfaat) dari barang/ jasa yang dibeli. Orang seperti ini juga suka membeli barang dengan harga mahal agar kelihatan hebat. Aspek yang didapat lebih besar emosional daripada fungsional. Bagi dia, yang penting ‘bisa’ membayar berapa pun harga produk yang dibeli. Kedua, dumb. Orang tipe ini berprinsip pokoknya beli barang yang murah. Bisa karena memang kurang mampu. Tapi juga ada yang memang pelit. Yang penting dia bisa beli produk yang fungsional (sesuai fungsi barang) dan harganya murah. Orangorang seperti ini biasa menunggu sale supaya dapat harga terbaik. Terkadang, dengan iming-iming diskon besar (padahal kualitas kurang bagus), baginya juga oke. Ketiga, smart. Orang tipe ini seimbang dalam mempertimbangkan sebuah produk. Dia bisa menghargai manfaat emosional selain yang fungsional. Orang smart punya pengetahuan yang cukup dalam membandingkan antara harga yang dibayar dan nilai (value) yang dia dapatkan dari barang/jasa yang dibeli. Bagi konsumen tipe smart, harga mahal atau murah sifatnya relatif. Harga murah percuma kalau manfaat fungsional dan emosionalnya tidak memadai. Harga murah percuma kalau maintenance produk yang bersangkutan mahal. Harga murah percuma kalau harga satuan variabel pada waktu pemakaiannya mahal. Harga murah percuma juga kalau produk gampang rusak. Maka, termasuk tipe konsumen yang manakah Anda ketika membeli produk-produk barang/jasa kebutuhan Anda? [] Gatot M. Sutejo Desainer Grafis Warta Perencana
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
25
INFO
*) Henni Arsita
Akuntabilitas Perpustakaan
A
kuntabilitas secara harfiah disebut accoutability yang diartikan sebagai tanggung jawab. Akuntabilitas dipandang penting dalam sebuah organisasi perusahaan, proses akuntabilitas sudah lama dilakukan oleh perusahaan-perusahaaan dan lembaga biokrat di pemerintahan. Tujuannya untuk memastikan apakah perusahaan atau lembaga ini sudah berhasil mencapai strategi manajemennya sebagaimana yang direncanakan. Menurut Guy Benveniste, ada tiga jenis intervensi akuntabilitas dalam sebuah organisasi atau lembaga yaitu verifikasi penggunaan sumber daya yang tersedia, pencapaian target dan penilaian output yang dihasilkan.
akuntabilitasnya baik maka pengguna (user) akan merespon positif, sehingga posisi perpustakaan sebagai penyedia jasa yang mampu dan dapat dipercaya. Sekaligus mempertahankan pelayanan yang bermutu, sehingga posisinya di mata pengguna jasa informasi baik. Sebaliknya jika pengguna jasa menilai kurang memuaskan, maka perpustakaan yang
Intervensi Akuntabilitas
Pertama, verifikasi mengenai pengunaan sumber daya organisasi yang tersedia, seperti perpustakaan memerlukan modal (anggaran). Melakukan pembuatan laporan keuangan secara rutin, di audit dengan standar akuntansi yang diakui pemerintah atau internasional yang mampu (capable). Kedua, mengacu pada target atas program implementasi dan evaluasi output tertentu yang diharapkan. Hal ini tentu berkaitan dengan strategi manajemen sebuah perpustakaan, sehingga implementasi dan kontrol terhadap pelaksanaan program setelah dilakukan evaluasi akhirnya sesuai dengan rencana dan tujuan yang diharapkan. Ketiga, mengacu pada evaluasi eksternal terhadap output sebuah produk yang dihasilkan oleh perpustakaan. Akuntansi sebuah perpustakaan pada saat ini sangat berpengaruh pada kondisi perpustakaan. Jika indikator
26
VOLUME VI NO. 30
dapat mempertanggung-jawabkan halhal yang menyangkut kompetensinya. ( A R I F I YA D I , Te g u h ; 2 0 0 8 ) . Akuntabilitas merupakan instrument untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pelayanan publik. Dalam hubungan ini diperlukan evaluasi kinerja untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil, serta cara-cara yang digunakan untuk mencapai semua itu. Pengendalian (kontrol) sebagai bagian penting dalam menajemen yang baik, saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain pengendalian tidak dapat berjalan efesien dan efektif apabila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik, demikian juga sebaliknya.
Perpustakaan Akuntabilitas
bertanggung jawab kepada publiknya segera berbenah diri melakukan evaluasi terhadap indikator-indikator akuntabilitas sebuah perpustakaan.
Konsep Akuntabilitas
Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban individu atau penguasa untuk mengelola sumber daya publik, yang bersangkutan harus
OKTOBER - DESEMBER 2012
Perpustakaan yang akuntabilitas adalah perpustakaan yang bertanggung jawab kepada publik, dan pemakai seperti karyawan dan pemerintah atau lembaga lain berkaitan dengan operasional perpustakaan. Sehingga dimasa datang perpustakaan dapat menjadi organisasi atau institusi yang mempunyai tanggungjawab sosial, kaitannya dengan akuntabilitas terhadap perpustakaan nasional dan perpustakaan daerah. Inpres RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dapat menjadi pedoman perpustakaan milik negara, yang mengacu pada “Library Accoutable”. Meskipun secara umum dunia kepustakaan belum mengenal Standar Akuntabilitas Khusus bagi pengelola perpustakaan. [] Ir. Henni Arsita
Perencana Muda Biro Perencanaan - Kemenakertrans RI
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012
27
LENSA
Dialog Penyiapan Bahan dalam rangka Penyusunan Rencana Strategik (Renstra) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI tahun 2015-2020. Sebagai pembicara bidang Ketenagakerjaan adalah Bambang Wardoyo, dan bidang Ketransmigrasian adalah Mirwanto, dengan moderator Prof.DR. Payaman Simanjuntak. Dalam penyiapan bahan Renstra ini mendapat arahan dari Direktur Ketenagakerjaan Bappenas, DR. Ir. Rahma Iriyanti. Acara ini berlangsung di Cikarang pada tanggal 18 - 19 Oktober 2012.
Rubrik LENSA berisi foto-foto aktifitas komunitas perencana. Redaksi menerima kiriman foto-foto dari seluruh komunitas perencana baik di pusat maupun di daerah untuk dimuat dalam rubrik ini.
28
VOLUME VI NO. 30
OKTOBER - DESEMBER 2012