AKU WARGA NEGARA YANG BAIK TUGAS AKHIR INI DI SUSUN UNTUK MEMENUHI SYARAT NILAI MATA KULIAH PANCASILA
NAMA
: FAUZUL ‘ADHIEMY SALAMOEN
NIM
: 11.12.5385
KELOMPOK
:G
PROGAM STUDI
: STRATA – 1
JURUSAN
: SISTEM INFORMASI
DOSEN PEMBIMBING
: M. AYUB PRAMANA,SH
STIMIK AMIKOM YOGYAKARTA
KATA PENGANTAR ASSALAMUA’LAIKUM WR.WB PUJI SYUKUR SAYA PANJATKAN KEHADIRAT ALLAH SWT YANG TELAH MELIMPAHKAN HIDAYAHNYA SEHINNGA SAYA DAPAT MENYELESAIKAN TUGAS AKHIR PANCASILA. DALAM PENYUSUNAN TUGAS AKHIR INI, SAYA MENDAPAT BERBAGAI DUKUNGAN DARI BERBAGAI PIHAK. UNTUK ITU PADA KESEMPATAN INI SAYA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH KEPADA : 1) 2) 3) 4)
BAPAK DAN IBU TERCINTA SAUDARA-SAUDARA SAYA BAPAK AYUB PRAMANA, SH TEMAN-TEMAN SAYA DI STIMIK AMIKOM YOGYAKARTA
KARENA KETERBATASAN DIRI,SAYA MENYADARI BAHWA DALAM PENYUSUNAN TUGAS AKHIR INI BANYAK TERDAPAT KEKURANGAN,DENGAN RENDAH HATI SAYA MENGHARAP KRITIK DAN SARAN SEMOGA DENGAN KARYA INI,SAYA DAPAT MEMBERIKAN DHARMA BAKTI DEMI PENGEMBANGAN ILMU
WASSALAMUALAIKUM WR.WB
YOGYAKARTA,22 OKTOBER 2011 PENYUSUN
FAUZUL ‘ADHIEMY SALAMOEN
LATAR BELAKANG MASALAH PENTINGYA SEBUAH ILMU PANCASILA UNTUK MEMAHAMI SETIAP ORANG TENTANG PENTINGYA NILAI-NILAI PANCASILA. KARENA PANCASILA MERUPAKAN PEDOMAN BAGI SELURUH WARGA INDONESIA. PANCASILA MERUPAKAN PENDIDIKAN YANG WAJIB DI IKUTI SEMUA MAHASISWA. KARENA SEKARANG PANCASILA SUDAH LUNTUR DI KALANGAN MASYARAKAT INDONESIA,
PENDIDIKAN PANCASILA 1) 2) 3) 4)
KETUHANAN YANG MAHA ESA. KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB PERSATUAN INDONESIA KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATN DAN PERWAKILAN 5) KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
RUMUSAN MASALAH A. B. C. D.
APAKAH TUHAN ITU ADA? APA ITU TERORISME? APA ITU SEPARATISME? BAGAIMANA CARA MENANGANI PEMBERANTASAN KORUPSI?
A)
Apa yang kamu tahu tentang Friedrich Wilhelm Nietzsche? Yup, doi lebih akrab dengan panggilannya “Nietzsche Sang Pembunuh Tuhan” yang memproklamirkan bahwa “Tuhan telah mati” menjelma menjadi tokoh atheis yang cukup ternama. Kamu tahu band metal di Bandung yang bernama Forgotten? Yup, band ini juga mempunyai lagu dengan judul yang sama dengan apa yang telah diproklamirkan oleh Nietzsche: “Tuhan telah mati”. Mungkin Forgotten banyak terinspirasi dari Nietzsche. Nietzsche tidaklah sendirian dalam keatheisannya, masih ada beberapa tokoh seperti Sigmun Freud, Charles Darwin, Ludwig Feuerbach, Stephen Hawkins dan lain-lain. Tokoh-tokoh ini adalah orang-orang yang tidak percaya akan eksistensi Tuhan dan mungkin bila Tuhan itu ada, Tuhan tidak lagi dibutuhkan di dunia ini dan telah menjadi sampah. Begitulah kalo kaum agnostik ngomongin soal Tuhan yang hampir-hampir mirip dengan golongan atheis. Kebanggaan atheis Bro en Sis, para atheis sering lho ngebangga-banggain teori Big Bang dalam proses penciptaan bumi dan pada proses tersebut mereka mengatakan tidak ada campur tangan Tuhan di sana. Ada juga beberapa pertanyaan klasik dari para atheis yang sering dilemparkan kepada para theis, yaitu: “Dapatkah Tuhan menciptakan batu yang sangat besar sehingga Tuhan tidak dapat mengangkatnya?” dan yang kedua “Untuk apa Tuhan menciptakan manusia?”. Bro en Sis, pertanyaan mereka tersebut merupakan pertanyaan-pertanyaan klasik yang sudah terjawab, hanya saja mereka mengembangkannya dengan beberapa sangkalan untuk memojokkan para theis. Contohnya pertanyaan pertama, kalo kita kaji lagi pertanyaan tersebut maka pertanyaan tersebut tidak bisa kita jawab dengan “Tuhan dapat menciptakan batu tersebut dan tidak dapat mengangkatnya” atau “Tuhan tidak dapat menciptakan batu tersebut”. Karena jika Tuhan dapat menciptakan batu tersebut maka mereka para atheis bertanya: “Di mana ke-Mahakuasaan Tuhan sehingga Ia tidak dapat mengangkat batu tersebut?” atau jika Tuhan tidak dapat menciptakan batu tersebut, mereka akan bertanya: “Di mana ke-Mahakuasaan Tuhan sehingga Ia tidak dapat menciptakan batu tersebut?” Contoh yang kedua, “Untuk apa Tuhan menciptakan Manusia?”. Boys and gals, masih banyak lho orang yang bingung saat ditanyakan soal ini. Sebagian kaum muslimin meyakini apa yang mereka kerjakan sebagai perintah dari Allah Swt. yang wajib dijalankan. Misalnya shalat 5 waktu, orang yang ditanyatakan tersebut langsung menjawab “Manusia diciptakan untuk menyembahNya”. Pertanyaan tersebut tidak langsung usai dengan jawaban itu, kaum atheis biasanya kembali bertanya: “Apakah Tuhan membutuhkan sesembahan dari manusia, sehingga Ia menciptakan manusia untuk menyembahNya?” Lalu bagaimana jawaban yang tepat? Ini dia: bantahan untuk para atheis Dalam teori Big Bang yang mereka katakan tidak ada campur tangan Tuhan, coba kita berpikir bersama “Adakah suatu materi yang dapat berkuasa atas dirinya sendiri?” Contoh kecilnya nih gua kasih, apakah batu dapat berkuasa atas dirinya sehingga ia bisa membentuk suatu bangunan rumah dengan sendirinya tanpa ada campur tangan manusia? Gua rasa hal ini mustahil terjadi atau apakah kita manusia dapat berkuasa sepenuhnya atas diri kita?
Coba deh Bro en is, elo inget-inget waktu elo pada kebelet pengen buang air kecil, bisa nggak elo kendaliin diri elo supaya nggak jadi buang air kecil? Gua rasa jawabannya adalah “Nggak bisa!”, yang ada elo semua nantinya bakal kena penyakit kencing batu. Hehehe… Jadi dalam ledakan Big Bang yang meluas ke seluruh penjuru mustahil terjadi bila tidak ada campur tangan Allah Ta‟ala. Hal ini bisa kita lihat dalam firman Alla Swt.: “Dia Pencipta langit dan bumi.” (QS al-An‟aam [6]: 101). Pada firman Allah tersebut telah dinyatakan bahwa Allah pencipta langit dan bumi dan permasalahan ledakan Big Bang yang meluas ke seluruh penjuru tersebut juga bisa kita lihat pada firman Allah Swt.: “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (QS dz-Dzaariyaat [51]:47) Untuk masalah Tuhan dan batu tersebut pas banget tuh sama kejadian beberapa hari yang lalu waktu gua pulang dari Bandung menuju Bogor. Di bis gua duduk berdampingan dengan seorang pemuda, yang jelas lebih tua dari gua dan gua lebih ganteng dari dia. (Narsis abis!) Untuk ngilangan kejenuhan di perjalanan, gua baca buku yang gua pinjam dari teman. Buku tersebut mengulas permasalahan agama dan filsafat. Pemuda rupanya tertarik dan nanya ke gua: “Mas, suka sama filsafat?” Gua langsung aja nyeletuk, “Gua masih suka manusia dan karena gua laki-laki gua suka manusia berjenis kelamin wanita.” Pemuda itu langsung ketawa dan lanjut bertanya “Maksud gua mas suka baca buku filsafat?”Gua langsung ngeduga kalau orang yang nanya ke gua pasti punya hobi yang sama kayak gua, yaitu filsafat. Gua langsung jawab, “Lumayan tapi nggak begitu ngerti. Hehehe…” Dia langsung nanya ke gua, “Menurut Mas, apakah Tuhan dapat menciptakan batu yang sangat besar sehingga dia tidak dapat mengangkatnya.” Dalam hati sih gua ketawa, selain pertanyaannya yang menurut gua jadul banget. Gua jadi inget tentang kisah di jerman yang pernah gua baca, yang juga mendiskusikan hal ini di dalam bus. Maka, gua nggak pengen memberi pernyataan, tapi gua langsung bilang: “Nanti masalahnya Tuhan tidak Maha Kuasa ya Mas? Kalo begitu saya mau tanya, “Kalau setelah Tuhan tidak dapat menciptakan batu tersebut atau Tuhan dapat menciptakan batu tersebut dan dia tidak dapat mengangkatnya, lalu dengan hal itu ke-Mahakuasaan Tuhan hilang.Terus, siapa yang menjadi Maha Kuasa?” Ya, seperti yang udah gua duga, orang tersebut nggak bisa jawab pertanyaan gua dan diskusi kami tentang masalah filsafat terhenti sampai di situ. Bro en Sis, kita mengenal banyak sifat-sifat Allah Swt., selain itu ada juga sifat yang “mustahil” ada pada Allah Swt., contohnya: Allah Swt. mustahil tidak kekal, Mustahil lemah, Mustahil tuli, dan lain sebagainya. Jadi yang seharusnya diketahui orang tersebut sebelum mempertanyakan hal itu adalah mengenal Allah Swt. Terus, untuk jawaban mengenai “Untuk apa Tuhan menciptakan manusia di bumi?” Jika kita membaca firman Allah Swt.: “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru
(untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.” (QS Faathir, [35]: 15-17) Dari ayat ini maka kita dapat menyimpulkan bahwa Allah Ta‟ala sama sekali tidak membutuhkan manusia. Di lain ayat: ”Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS al-Mukmin [40]: 60) Ayat ini menerangkan bahwa manusialah yang butuh Allah Swt (menyembahNya) supaya manusia tersebut selamat dari siksa neraka. ‘Logika’ menuju adanya Tuhan Bro n Sis, gua di sini mau ngajak untuk sedikit bermain logika, yaitu suatu rentetan peristiwa mundur atau bahasa kerennya tuh “regresi”. Jika kita hitung mundur dari kita, lalu ayah kita, lalu, mbah kita, terus ke babehnya mbah kita, terus lagi, terus dan terus, maka kita akan mendapatkan sepasang manusia yang kita kenal Nabi Adam dan istrinya. Setelah itu timbullah pertanyaan dari dalam tempurung kepala kita “Berasal dari mana atau siapa yang membuat atau siapa yang menciptakan mereka?” Maka akan ketemu jawaban mutlak dari pertanyaan tersebut adalah “Tuhan”. Seperti saat kita menghitung mundur dari angka “10” maka akan timbul angka “0” sebagai penghitungan akhir, dan para atheis tidak dapat bertanya “Dari mana adanya Tuhan?” karena Dia adalah awal dari segalanya, seperti angka “0” yang juga tidak dapat mereka jelaskan “dari mana adanya “0”?”, karena angka “0” adalah awal dari angka. Bro en Sis, dengan segala penjelasan gua yang sangat singkat, bahwa Tuhan itu MUTLAK ada dan Dia tidak mungkin ada dari adanya suatu dan dia tidak dapat menjadi lemah bahkan mati. Sebagai muslim, kita memang mempercayai adanya Allah, dan kita harus beriman kepadaNya. Itu sebabnya, kita harus menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala apa yang dilarangNya. Soalnya, nanti segala perbuatan kita akan kita pertanggungjawabkan di hari akhir kelak. Insya Allah jika kita telah menjalankan apa-apa yang Allah perintahkan dan menjauhi semua apa-apa yang telah Allah larang, maka kita akan selamat dari siksa neraka.Kita akan diberikan balasan yang layak, yaitu surga yang berlimpah segala nikmatNya. maka tunggu saja siksa yang akan terjadi nanti, entah itu di dunia ini atau akhirat. [putra:
[email protected]] gaulislam.com
B)Definisi terorisme Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Tindakan teror tidaklah sama dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik. Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda dengan Yakuza atau mafia Cosa Nostra yang menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya. Namun, belakangan, kaum teroris semakin membutuhkan dana besar dalam kegiatan globalnya, sehingga mereka tidak suka mengklaim tindakannya, agar dapat melakukan upaya mengumpulkan dana bagi kegiatannya [1]. Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif[2]. Tidak mudahnya merumuskan definisi Terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi[3]. Pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut [4]. Menurut Black’s Law Dictionary, Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk: a. mengintimidasi penduduk sipil. b. memengaruhi kebijakan pemerintah. c. memengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan . Muladi memberi catatan atas definisi ini, bahwa hakekat perbuatan Terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik. Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain[5]. Menurut Webster’s New World College Dictionary (1996), definisi Terorisme adalah “the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate[6].” Doktrin membedakan
Terorisme kedalam dua macam definisi, yaitu definisi tindakan teroris (terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor). Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan Terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen[7]: 1. kekerasan 2. tujuan politik 3. teror/intended audience. Definisi akademis tentang Terorisme tidak dapat diselaraskan menjadi definisi yuridis. Bahkan Amerika Serikat yang memiliki banyak act yang menyebut kata terrorism atau terrorist didalamnya, sampai saat ini pun masih belum dapat memberikan standar definisi tentang Terorisme, baik secara akademis maupun yuridis. Sejauh ini, Terorisme hanya dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam hukum internasional bila memenuhi kriteria yang disebutkan dalam 12 konvensi multilateral yang berhubungan dengan Terorisme yaitu [8]: 1. Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft (“Tokyo Convention”, 1963). 2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (“Hague Convention”, 1970). 3. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (“Montreal Convention”, 1971). 4. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protecred Persons, 1973. 5. International Convention Against the Taking og Hostages (“Hostages Convention”, 1979). 6. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (“Nuclear Materials Convention”, 1980). 7. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1988. 8. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation, 1988. 9. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf, 1988. 10. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection, 1991. 11. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997, United Nations General Assembly Resolution). 12. International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999. Definisi yang dikemukakan oleh beberapa lembaga maupun penulis, antara lain: [9] Menurut Brian Jenkins[10], Terrorism is the use or threatened use of force designed to bring about political change. Menurut Walter Laqueur[11], Terrorism consitutes the illegitimate use of force to achieve a political objective when innocent people are targeted. Menurut James M. Poland[12]. Terrorism is the premeditated, deliberate, systematic murder, mayhem and threatening of the innocent to create fear and intimidation, in order to gain a political or tactical advantage, usually to influence audience.
Menurut Vice President’s Task Force, 1986[13]. Terrorism is the unlawful use or threat of violence against persons or property to further political or social objectives. It is usually intended to intimidate or coerce a government, individuals or groups, or to modify their behavior or politics. Menurut US Central Intelligence Agency (CIA)[14]. Terorisme Internasional adalah Terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintahan asing . Menurut US Federal Bureau of Investigation (FBI) [15]. Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik . Menurut The U.S. by the Code of Federal Regulations[16], Terorisme adalah: "..the unlawful use of force and violence against persons or property to intimidate or coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social objectives." (28 C.F.R. Section 0.85) . Academic Consensus Definition (1988)[17] “Terrorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by (semi-) clandestine individual, group, or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby—in contrast to assassination—the direct targets of attacks are not the main targets. The immediate human victims of violence are generally chosen randomly (targets of opportunity) or selectively (representative or symbolic targets) from a target population, and serve as message generators. Threat—and violence—based communication processes between terrorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used to manipulate the main target (audience(s)), turning it into a target of terror, a target of demands, or a target of attention, depending on whether intimidation, coercion, or propaganda is primarily sought” (Schmid) . Tiga unsur definisi diatas, yaitu motif politik, rencana atau niat dan penggunaan kekerasan. Menurut US Departements of State and Defense[18]. Terorisme adalah kekerasan yang bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk memengaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara . Menurut States of the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) Regional Convention on Suppression of Terrorism[19]. Terorisme meliputi: 1. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Hague, 16 Desember 1970. 2. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Montreal, 23 September 1970. 3. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Tindak Pidana Terhadap Orang-Orang yang secara Internasional Dilindungi, termasuk Agen-Agen Diplomatik”, ditandatangai di New York, 14 Desember 1973. 4. Kejahatan dalam lingkup konvensi apapun dimana negara-negara anggota SAARC adalah pihak-pihak yang mengharuskan anggotanya untuk menuntut atau melakukan ekstradisi.
5. Pembunuhan, pembantaian, serangan yang mencelakakan badan, penculikan, kejahatan yang berhubungan dengan senjata api, senjata, bahan peledak dan bahanbahan lain yang jika digunakan untuk melakukan kejahatan dapat berakibat kematian atau luka yang serius atau kerusakan berat pada harta milik. Menurut The Arab Convention on the Suppression of Terrorism , senada dengan Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi atau menguasai dan merampasnya atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional. Disebut juga bahwa tindak pidana terorisme adalah tindakan kejahatan dalam rangka mencapai tujuan teroris di negara-negara yang menjalin kontak atau melawan warga negara, harta milik atau kepentingannya yang diancam hukuman dengan hukuman domestik. Tindak kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi sebagai berikut, kecuali yang belum diratifikasi oleh negara-negara yang menjalin kontak atau dimana kejahatan-kejahatan tersebut dikecualikan oleh perundangundangan mereka. Juga dianggap sebagai tindak kejahatan teroris, adalah tindakan yang melanggar antara lain ke 12 konvensi multilateral yang telah disebutkan diatas. Menurut Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of Independent States in Combating Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan illegal yang diancam dengan hukuman dibawah hukum pidana yang dilakukan dengan tujuan merusak keselamatan publik, memengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau menteror penduduk dan mengambil bentuk: 1. Kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang yang dilindungi hukum. 2. Menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda dan objek materi lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain. 3. Menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya akibat yang membahayakan bagi masyarakat. 4. Mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat dengan tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut. 5. Menyerang perwakilan negara asing atau staf anggota organisasi internasional yang dilindungi secara internasional begitu juga tempat-tempat bisnis atau kendaraan orang-orang yang dilindungi secara internasional. 6. Tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris dibawah perundang-undangan nasional atau instrumen legal yang diakui secara internasional yang bertujuan memerangi terorisme. Menurut Konvensi ini, bahwa perjuangan dengan cara apapun juga untuk melawan pendudukan dan agresi asing untuk kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri, seduai dengan asas-asas hukum internasional, tidak merupakan Tindak Pidana Terorisme . Menurut Organisation of African Unity (OAU), 1999. Tindakan teroris merupakan tindakan pelanggaran terhadap hukum pidana “negara anggota” dan bisa membahayakan
kehidupan, integritas fisik atau kebebasan atau menyebabkan luka serius atau kematian bagi seseorang, sejumlah orang atau sekelompok orang, atau menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian bagi harta, sumber alam atau lingkungan atau warisan budaya seseorang atau publik dan diperhitungkan atau dimaksudkan untuk: 1. mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menekan, atau memengaruhi pemerintah, badan, institusi, publik secara umum atau lapisan masyarakat untuk melakukan atau abstain dari melakukan sebuah tindakan atau untuk mengadopsi atau meninggalkan pendirian tertentu atau untuk bertindak menurut prinsip-prinsip tertentu, atau 2. mengganggu pelayanan publik, pemberian pelayanan esensial kepada publik atau untuk menciptakan darurat publik, atau 3. menciptakan pemberontakan umum di sebuah negara. 4. promosi, sponsor, kontribusi, perintah, bantuan, gerakan, dorongan, usaha, ancaman, konspirasi, pengorganisasian atau perekrutan seseorang dengan niat untuk melakukan tindakan yang disebutkan pada paragraph 1) sampai 3). Sebagaimana The Arab Convention on the Suppression of Terrorism 1998 dan Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International Terrorism, 1999, menurut Konvensi ini, perjuangan bersenjata melawan penduduk, agresi, kolonialisme dan hegemoni asing dengan tujuan kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip hukum internasional tidak dianggap sebagai kejahatan Terorisme . Menurut Terrorism Act 2000, UK. Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat pada harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan risiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik. 2. penggunaan atau ancaman didesain untuk memengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu publik. 3. penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan politik, agama atau ideologi. 4. penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi 1) yang melibatkan penggunaan senjata api atau bahan peledak. Menurut European Convention on the Suppression of Terrorism, 1977. 1. kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Pesawat Terbang, ditandatangani di Hague, Desember 1970. 2. kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Tindakan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil, ditandatangani di Montreal 23 September 1971. 3. kejahatan berat yang melibatkan serangan atas integritas fisik dan kehidupan atau kebebasan orang-orang yang dilindungi secara internasional, termasuk agen-agen diplomatic. 4. kejahatan yang melibatkan penculikan, penyanderaan atau penahanan berat yang tidak sah. 5. kejahatan yang melibatkan penggunaan bom, granat, roket, senjata otomatis, atau surat atau paket bom jika penggunaannya membahayakan orang lain.
6. usaha untuk melakukan kejahatan atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseornag yang melakukan atau berusaha melakukan kejahatan tersebut. 7. kejahatan serius yang melibatkan tindakan kekerasan, selain dari yang tercakup dalam artikel 1) sampai 6) jika tindakan tersebut menimbulkan bahaya kolektif bagi orang lain. 8. usaha untuk melakukan kejahatan yang tersebut sebelumnya atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseorang yang melakukan kejahatan tersebut. Menurut konvensi ini, percobaan melakukan Terorisme disamakan dengan delik selesai dan pembantuan disamakan kualifikasinya dengan si pelaku . Menurut Muhammad Mustofa[20]. Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan keputusasaan massal . Menurut Charles Kegley dan Eugene Witkoff (The Global Agendas Issues and Perspectives), mengemukakan sebanyak 109 definisi tentang terorisme, namun para ahli setuju bahwa Terorisme adalah suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan ancaman kekerasan guna menimbulkan rasa takut dan korban sebanyakbanyaknya secara tidak beraturan[21]. Menurut Conway Henderson (International Relations Cobflict and Cooperaion at the turn of 21th Century), menyatakan bahwa[22]: Terorisme adalah suatu aksi kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau jaringan, dimaksudkan untuk menciptakan suasana atau keadaan berbahaya serta penuh ketakutan dan bisa muncul tanpa motif apapun . Menurut Konvensi PBB tahun 1937[23], Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas . Menurut US Department of Defense tahun 1990, Terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengan-dung ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama atau ideologi . Menurut Hukum Amerika Serikat, rumusan terorisme dalam United States Code, Section 2656f(d): premeditated, politically motivated violence perpetuated against noncombatant targets, usually intended to influence an audience. Definisi ini memberi tekanan pada motivasi politik, namun mengenai sasaran Terorisme, hanya memperhatikan sasaran sipil . Menurut TNI - AD, berdasarkan Bujuknik tentang Anti Teror tahun 2000, terorisme adalah cara berfikir dan bertindak yang menggunakan teror sebagai tehnik untuk mencapai tujuan[24]. Menurut A.C Manullang[25]. Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis serta
kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme . Menurut The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, Pasal 14 ayat 1 sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear.” Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Kegiatan Terorisme dilakukan umumnya dengan sasaran acak, bukan langsung kepada lawan, sehingga dengan dilakukan teror tersebut, diharapkan akan didapatkan perhatian dari pihak yang dituju[26]. Menurut Laqueur (1999)[27], setelah mengkaji lebih dari seratus definisi Terorisme, menyimpulkan adanya unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi tersebut yaitu bahwa ciri utama dari Terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau ancaman kekerasan. Sementara motivasi politis dalam Terorisme sangant bervariasi, karena selain bermotif politis, Terorisme seringkali dilakukan karena adanya dorongan fanatisme agama .
C)Pada masa kejayaannya, nasionalisme tampak begitu kuat mengakar dalam berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Ini dapat dengan mudah terlihat dalam berbagai ungkapan „bangsa-ku, negeri-ku, yang ku cinta‟ atau „demi kehidupan berbangsa dan bernegara‟, sebagaimana muncul hampir dalam setiap percakapan sehari-hari hingga dialog resmi kenegaraan. Memaknai Indonesia, dalam konteks nasionalisme, merupakan sebuah kesatuan antara bangsa (nation) sekaligus negara (state) (Dhakidhae, 2001: v). Di dalamnya terdapat sebuah solidaritas negara-bangsa (nation-state) dari susunan beraneka solidaritas sukubangsa (ethnic). Sebuah misteri besar di balik bersatunya beraneka entitas kultural yang sangat heterogen dalam sebuah payung yang bernama negarabangsa Indonesia, menjadi hal yang biasa saja dalam kehidupan nasional. Slogan “bhineka tunggal ika”, tampaknya menjadi adagium pamungkas yang mampu mereduksi semua perbedaan tersebut. Namun, munculnya berbagai konflik sosial pada era 1990-an, tampaknya menjadi sebuah titik balik perjalanan nasionalisme di Indonesia. Setelah berjaya hampir setengah abad di bumi nusantara pasca kemerdekaannya, nasionalisme Indonesia seakan-akan runtuh begitu saja tanpa sisa. Rasa kebanggaan sebagai sebuah kesatuan bangsa Indonesia tampaknya menghilang, tergerus oleh gelombang semangat kesukuan dan kedaerahan yang tengah menggelora di sejumlah wilayah. Ikatan kebangsaan Indonesia menjadi tidak begitu berarti, dan tenggelam oleh sentimen etnis yang sangat kental. Munculnya berbagai konflik bernuansa suku, agama, dan ras (SARA) di Kalimantan, Maluku, dan Poso, hingga gerakan pemberontakan lokal radikal di Timor Timur, Aceh, Maluku Selatan, dan Papua tampaknya menjadi bukti nyata rasa kebangsaan yang memudar dan sekaligus sebagai ancaman terhadap eksistensi Indonesia sebagai kesatuan entitas dalam sebuah negara-bangsa. Wacana separatisme kultural yang anti-nasionalisme Indonesia menjadi fenomena sekaligus pertanyaan yang terus membayang. Mungkinkah, nasionalisme Indonesia telah berakhir? Memaknai Nasionalisme Sebelum lebih jauh mengkaji mengenai apa itu nasionalisme Indonesia dan antinasionalis, ada baiknya pembahasan ini didasarkan pada konsep-konsep besar mengenai nasionalisme. Hingga saat ini, belum ada kesepakatan umum di antara pakar ilmu sosial dan ilmu politik dalam mendefinisikan mengenai konsep nasionalisme. Hal ini senada dengan apa yang John Hall (McCrone, 1998: 3) menyatakan bahwa nasionalisme sebagai sebuah rekaman historis memiliki makna yang beraneka ragam dan tidak ada satu pun teori universal tentang nasionalisme yang mumpuni. Sementara itu, Roger Brubaker (1996: 10)
berpendapat bahwa nation (bangsa) merupakan sebuah kategori praktis, bukan sebaliknya sebagai kategori analisis. Artinya, untuk memahami nasionalisme, maka haruslah dipahami terlebih dahulu bagaimana konsep nasionalisme itu digunakan dalam tataran praktis dan hakikat nation itu sendiri. Langkah tersebut diharapkan akan mengarahkan pada pemahaman struktur, pengetahuan pemikiran dan pengalaman, hingga pengorganisasian tindakan maupun diskursus politik. Menjawab pertanyaan apa itu nation dan nasionalisme, Ernest Renan (McCrone, 1998: 5) menggambarkan bahwa nation merupakan sebuah solidaritas dengan skala besar yang terbentuk dari sebuah perasaan pengorbanan bahwa sekelompok orang telah menciptakan ikatan tersebut di masa lampau dan mempersiapkannya bagi generasi penerus mereka solidaritas tersebut untuk di masa mendatang. Dari jawaban tersebut, Renan berargumen bahwa nasionalisme merupakan perasaan kebersamaan dari setiap anggotanya. Perasaan tersebut terbentuk dan tumbuh selama pengalaman-pengalaman hidup yang mereka jalani yang kemudian memandu mereka untuk hidup bersama dalam sebuah proses pembangunan di masa depan yang lebih baik. Meski demikian, Renan tidak menjelaskan bagaimana orang-orang tersebut dapat bertemu hingga dapat berkumpul hingga hidup bersama. Pernyataan Renan, tampaknya hanya menjadi definisi ideal tentang nasionalisme di negara-negara Eropa. Karena memang definisi tersebut merupakan sintesis dari kondisi faktual yang terjadi di Eropa pada masanya. Terbentuknya negara-negara di Eropa merupakan sebuah evolusi dari komunitas dagang (gilda) yang memiliki persamaan visi demi keuntungan perdagangan yang mereka lakukan pada masa Abad Pertengahan (Kropotkin, 2006: 82). Pada awalnya, negara-negara di Eropa tidak lain hanyalah sebuah perserikatan kotakota dagang yang independen. Namun, karena munculnya kekhawatiran adanya serangan dari bangsa bar-bar, kemudian negara-kota tersebut membentuk sebuah solidaritas yang lebih besar dari sekedar perkumpulan dagang, dengan sebuah institusi baru di bidang ekonomi dan sosial. Dari ikatan tersebut berevolusi hingga muncullah konsep nation, yang kini menjadi negara-negara di Eropa. Sebagaimana pandangan Hall, bahwa nasionalisme merupakan rekaman sejarah, tentunya akan menjadi sulit jika konsepsi tentang nation dan nasionalisme yang diusung oleh Renan tersebut untuk digunakan dalam konteks dunia ketiga, tidak terkecuali Indonesia. Hal ini karena terdapat perbedaan alur historis antara kedua wilayah ini. Secara umum, perjalanan sejarah dari proses pembentukan negara-negara di dunia ketiga merupakan sebuah „unintended consequences‟ dari proses kolonialisasi yang dilakukan oleh negara-negara Eropa. Indonesia merupakan sebuah bukti konkret dari konsekuensi yang tidak pernah diharapkan
dari agenda kolonialisasi bangsa Eropa. Barangkali, Belanda, sebagai pihak kolonial utama di Indonesia, tidak pernah bermimpi akan lahirnya sebuah nation-state dari wilayah jajahannya di bumi nusantara. Memahami Indonesia Dalam konteks keIndonesiaan, kajian etnisitas seharusnya menjadi pembahasan fundamen ketika akan membahas mengenai nasionalisme Indonesia. Bagaimana tidak? Wilayah yang sekarang dikenal dengan sebutan Indonesia ini, pada mulanya merupakan sekumpulan wilayah dari kerajaan-kerajaan yang bersifat independen dan berbasis pada kekuasaan etnik dan otoritas kedaerahan. Sebut saja Kesultanan Aceh, Malaka, Riau, dan Jambi di Sumatera, Kesultanan Banten, Cirebon, Demak, dan Mataram di Jawa, Kesultanan Banjar di Kalimantan, Kerajaan Bali di Sunda Kecil, hingga Kesultanan Ternate dan Tidore di Indonesia Timur, semua itu merupakan fakta historis atas legitimasi etnis di masa lampau. Perjalanan sejarah nusantara menemukan takdirnya yang lain, kedatangan kaum kolonial Eropa, secara langsung telah melumpuhkan dominasi lokal dari seluruh kerajaan etnis yang ada di nusantara. Praktek imperialisme ini secara tidak sengaja menyatukan secara paksa wilayah-wilayah independen tersebut dalam sebuah kesatuan teritori dan administratif di bawah kekuasaan kolonialisasi Hindia Belanda. Pemaksaan inilah yang di kemudian hari menjadi sebuah kondisi yang melahirkan cikal bakal nasionalisme Indonesia. Jika Renan tidak memberikan penjelasan apa yang menyebabkan bertemunya berbagai entitas yang berbeda dalam proses pembentukan nasionalisme, maka dalam konteks Indonesia, salah satu faktor penyatu tersebut adalah Pan Nederlansia sebagai proyek kolonialisasi di bumi nusantara yang dilakukan oleh pihak kolonial Belanda pada masa itu. Hidup bersama di bawah tekanan dengan identitas kultural yang berbeda dalam waktu yang sangat lama, demikianlah pra-kondisi lahirnya nasionalisme Indonesia. Tidak dapat di pungkiri, bahwa faktor etnisitas pada perode perjuangan kemerdekaan masih menonjol. Bagaimana mungkin, sebuah organisasi perjuangan modern pertama, Budi Utomo yang merupakan simbol kebangkitan bangsa, masih menggunakan atribut ke-Jawa-annya sebagai „identitas‟ organisasi (Ricklef, 2000: 344). Fakta ini menunjukkan bahwa kesadaran etnis dan kedaerahan tidak bisa dilepaskan begitu saja dan digantikan dengan jubah kebersamaan nasional. Meskipun demikian, perasaan ketertindasan sebagai nasib bersama akibat praktek kolonialisasi setidaknya mampu menghasilkan ikatan solidaritas yang lebih kuat, dan untuk sementara waktu mampu menciptakan sebuah kesatuan komunitas kebangsaan (nation) yang berdasarkan pada bayangan perasaan anti-
kolonial. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Benedict Anderson (2001: 5) bahwa nation merupakan sebuah komunitas yang dibayangkan. Dalam kondisi ini, sebagian besar masyarakat lokal yang masih kental nuansa kesukuannya pada waktu itu memimpikan bagaimana mengusir pihak kolonial secara bersama-sama. Perasaan tersebutlah menjadi sebagai sebuah cikal-bakal kesadaran ke-Indonesia-an, sebuah nasionalisme anti-kolonial. Semangat antikolonial inilah yang menjadi motivasi sekaligus identitas perekat beraneka entitas kultural tersebut dalam memperjuangkan sebuah kemerdekaan negarabangsa Indonesia. Dalam perjalanan selanjutnya, semangat anti-kolonial inilah yang kemudian menjadi sebuah landasan nasionalisme Indonesia pada periode pertama untuk mengantisipasi munculnya kembali identitas etnis lokal. Slogan „revolusi belum selesai‟ hingga „neokolim‟ menjadi senjata yang cukup ampuh bagi penguasa republik yang baru lahir ini untuk memupus sentimen kedaerahan. Pembangunan identitas nasional terus diupayakan sebagai sebuah usaha merangkul berbagai identitas lokal yang bernuansa etnis. Meski belum sepenuhnya berhasil, negara setidaknya mampu menciptakan ikatan nation berada di atas keanekaragaman solidaritas suku-bangsa. Sementara itu, hal yang berbeda dilakukan oleh rezim selanjutnya, pada periode ini, konsep pembangunan nasionalisme lebih didefinisikan sebagai kemajuan pembangunan ekonomi dalam sebuah stabilitas politik yang tinggi. Sentralisasi pemerintahan dan pembangunan tampak begitu nyata. „Daerah‟ kehilangan kesejahteraan ekonomi dan politiknya sebagaimana yang dijanjikan oleh „Pusat‟. Sementara itu, pengawalan terhadap nasionalisme dilakukan secara represif, yang berdampak pada kebuntuan proses artikulasi ekonomi dan politik dari „Daerah‟ kepada proses pembuatan kebijakan nasional di „Pusat‟. Kehidupan bernegara menjadi sangat tiranik. Negara menghegemoni bangsa, dengan mengarahkan konsepsi nasionalisme sesuai dengan kebutuhan rezim penguasa. Dengan kondisi seperti ini, berbagai etnis masyarkat di „Daerah‟ tidak lagi merasakan manfaat sebagai bagian dari Indonesia. Perasaan tersisihkan dari kesatuan sebagai bangsa dalam nasionalisme Indonesia muncul. Walhasil, terjadi penguatan semangat kesukuan dan kedaerahan yang berdampak pada krisis identitas nasional dan krisis kepercayaan terhadap kepemimpinan nasional. Solidaritas nasional pun melemah, tergerus oleh sentimen etnisitas. Ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, menimbulkan gejolak sosial di berbagai daerah. Konflik sosial hingga upaya disintegrasi nasional merebah di sejumlah daerah. Reformasi pun tidak lagi terelakkan. Keran demokratisasi, bahkan deliberalisasi di buka. Euforia reformasi memicu perubahan sosial yang
begitu cepat. Ikatan etnisitas dan kedaerahan kembali menunjukkan identitasnya. Pemerintah pusat seakan kehilangan legitimasi di sejumlah daerah. Puncaknya adalah lepasnya Timor Timur. Belum lagi wacana pemberontakan yang digulirkan oleh Republik Maluku Selatan (RMS), Gerakan Aceh Merdeka (GAM), hingga Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali bergulir di tingkat daerah. Ketidakmampuan pemerintah pusat untuk mengelola konflik mengarah pada arogansi intelektual dalam mendefinisikan apa itu nasionalisme. Sejumlah pihak, khususnya yang memiliki kepentingan di Pusat, menafsirkan gejolak sosial yang terjadi di sejumlah daerah sebagai sebuah tindakan institusional yang menentang nasionalisme Indonesia, separatisme. Padahal dalam kenyataan yang terjadi sesungguhnya, kemunculan tindakan yang kita sebut di sini sebagai „separatisme‟ merupakan buah dari ketidakmampuan pemerintah itu sendiri dalam mengelola konflik, yang pada hakikatnya bersumber pada ketidakadilan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan sosial. Separatisme tampaknya menjadi isu di mana pelakunya harus dibasmi sedemikian rupa, tanpa memahami alasan apa di balik munculnya gerakan tersebut. Bisa jadi separatisme merupakan bentuk otokritik terhadap hegemoni negara terhadap proses nation-building yang melahirkan pembangunan yang berketidakadilan. Meski demikian, tidak dapat dinafikan juga bahwa ada beberapa kelompok yang memanfaatkan isu perbedaan etnis dan ketimpangan distribusi kesejahteraan menjadi sebuah sumber daya politik yang memang ditujukan untuk memisahkan dari kebangsaan Indonesia. Sebuah Solusi Realita bahwa bangsa ini sebagai sebuah komunitas yang majemuk merupakan sebuah „ketetapan‟ yang telah terjadi. Fakta tersebut sudah seharusnya tidak lagi dipermasalahkan sebagai penyebab utama timbulnya konflik sosial. Mengutip Malesevic (2004: 118), bahwa perbedaan atribut etnis dan fisik bukan menjadi alasan utama terjadinya konflik etnik, melainkan adanya kekuatan politis yang memobilisasi masyarakat di tingkat „akar rumput‟ untuk saling menyerang. Hal serupa yang terjadi di Indonesia, besar kemungkinan bahwa konflik sosial yang bernuansa etnis di sejumlah daerah sesungguhnya bukan karena mereka berbeda berdasarkan atribut kultur dan fisik, melainkan adanya sebuah „kondisi sosial‟ dan ditambah dengan „penetrasi politis‟ yang mempengaruhi massa di tingkat „akar rumput‟. Kondisi sosial di sini, dapat diartikan sebagai ketidakadilan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan sosial yang timpang. Salah satu faktor historis terbentuknya nasionalisme Indonesia adalah berdasarkan fungsinya, yaitu bagaimana memberikan manfaat bagi seluruh entitas kultural yang ada dalam
kepulauan nusantara. Pada periode awal, integrasi nasional ini memiliki agenda mendasar untuk dapat memberikan kebebasan politik bagi masyarakat yang pada waktu itu berada di bawah kolonialisasi Belanda. Evolusi fungsional integrasi nasional beradaptasi menjadi sebuah kebutuhan akan kesejahteraan sosial dalam masyarakat Indonesia kontemporer. Namun, dalam prakteknya, kesejahteraan sosial tersebut belum juga terealisasikan. Sebaliknya, ketimpangan sosial terjadi begitu dahsyat. Dengan kondisi seperti ini, di mana ketidakmerataan kesejahteraan dan juga munculnya sentimen etnis, merupakan sebuah medium yang subur bagi tumbuhnya wacana gerakan separatis di Indonesia. Gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari kesatuan nasional pada hakikatnya memanfaatkan kondisi tersebut. Oleh karenanya, pemberantasan gerakan separatis yang hanya mengandalkan kekerasan militer maupun diplomasi omong kosong, tampaknya tidak akan pernah membuahkan hasil. Upaya memperlemah munculnya gerakan separatis tersebut adalah dengan langkah meminimalisasikan faktor-faktor pemicu munculnya gerakan separatis tersebut, yakni distribusi dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara adil dan reorientasi pembangunan kebangsaan dan nasionalisme Indonesia. Pertama, peningkatan kesejahteraan rakyat secara adil merupakan kunci pokok dalam membungkam gerakan separatis. Dalam sejarahnya, munculnya berbagai gerakan yang dicap sebagai separatis merupakan dampak dari pembangunan yang tidak adil dengan ketimpangan kesejahteraan. Ketika hal tersebut dikaitkan dengan atribut etnis, kedaerahan, bahkan agama, hal tersebut tampaknya menjadi senjata yang ampuh bagi separatis dalam melakukan doktrinasi terhadap masyarakat umum untuk menentang negara. Namun, ketika kesejahteraan tersebut dapat terpenuhi, maka akan sulit bagi aktor-aktor gerakan separatis untuk mencari celah dalam mendapatkan legitimasi dari rakyat untuk perlawanannya melawan negara. Oleh karenanya, gerakan-gerakan perlawanan separatisme itu janganlah sekedar dilihat secara hitam-putih sebagai bentuk anti-nasionalisme. Karena, mungkin saja, gerakan tersebut merupakan pengingatan bagi pemerintah atas ketidakadilan pembangunan kesejahteraan yang dilakukan selama ini. Kedua, reorientasi pembangunan kebangsaan dan nasionalisme Indonesia merupakan hal penting dalam penjagaan keutuhan nasional sebagai upaya meredupkan isu-isu separatisme. Langkah yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan memanfaatkan institusi pendidikan sebagai pembentukan kader-kader bangsa yang militan. Negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga melalui agenda pendidikan kewarganegaraan (civic education). Pendidikan kewarganegaraan ini merupakan upaya mempersiapkan generasi masa depan untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara secara lebih baik (Azra,
2002: ix). Pendidikan kewarganegaraan ini bukan sekedar agenda doktrinatif dari negara kepada rakyat, melainkan sebuah upaya enkulturisasi nasionalisme, yang bersumber dari budaya majemuk yang dimiliki bangsa. Selain itu, pendidikan juga berperan sebagai objektifikasi nilai yang dimiliki bangsa, baik sisi positif maupun negatif, sehingga mampu membangkitkan semangat inward looking nationalism (Lubis, 2001). Rakyat menjadi sadar akan titik lemah dan kelebihan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang majemuk ini. Perbedaan kultur dari setiap etnis, ideologi, dan bahkan agama semestinya tidak ditutup-tutupi hanya sekedar untuk meghindari pergesekan, melainkan harus saling disepahami. Dari perbedaan ini, masyarakat berupaya untuk dicerdaskan dalam memahami realitas tersebut. Perbedaan itu seharusnya menjadi modal budaya yang menjadi dasar pembangunan nasionalisme Indonesia. Kesimpulan Dewasa ini banyak pihak yang mempertanyakan bagaimanakah nasionalisme Indonesia. Ini merupakan sebuah respon atas hegemoni negara, yang selama ini, menunggangi kepentingan nasionalisme menjadi kepentingan negara. Akibatnya muncul berbagai aksi dan gerakan ketidakpuasan dari masyarakat di daerah, terutama mereka yang berbeda kultur dengan pihak pemegang otoritas. Respon tersebut menjadi kronik dengan masuknya label separatisme dalam gerakan-gerakan tersebut, dan menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi pemeritan pusat. Banyak pandangan bahwa separatisme merupakan upaya murni anti nasionalisme, sehingga harus diberantas sedemikian rupa. Namun, dalam menyikapi munculnya gerakan separatis, seharusnya tidak dilihat secara hitam putih seperti itu. Bisa jadi, gerakan separatis tersebut merupakan upaya untuk menuntut kesejahteraan mereka yang terabaikan. Karenanya, dalam menghadapi separatisme, tindakan yang bijak dan arif sangat diperlukan. Langkah yang mungkin bisa ditawarkan adalah dengan distribusi dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara adil dan juga melakukan rekonstruksi terhadap pemahaman dan pembangunan nasionalisme Indonesia.
D)Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat dan kejahatan yang tertua di muka bumi yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan, merugikan rakyat dan menjadi hambatan paling utama dalam pembangunan. Korupsi merupakan bentuk dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dan menimbulkan kerugian umum, dimana ini merupakan produk dari sikap memakai uang sebagai standart kebesaran dan sebagai kekuasaan mutlak Berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa korupsi semakin meningkat bersamaan dengan kemajuan perekonomian dan teknologi suatu negara. Di Indonesia korupsi timbul dengan sumber pada saat era Orde Baru karena pada saat itu dimungkinkan oleh adanya sentralisasi kekuasaan ekonomi dan politik di tangan Pemerintah pusat yang begitu besar tanpa adanya akuntabilitas. Korupsi di Indonesia terjadi pada semua lapisan dan lembaga baik legislatif, eksekutif, yudikatif dan swasta. Bahkan pada saat ini sudah terbangun mitos dalam kehidupan masyarakat bahwa korupsi sudah menjadi kebudayaan bangssa Indonesia, sehingga sangat sulit dibasmi Pada saat ini telah banyak lembaga dan institusi yang menangani baik mencegah maupun memberantas korupsi di Indonesia seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang cukup aktif dalam pemberantasan korupsi tetapi korupsi masih tetap ada. Disamping itu perangkat lunak (software) seperti peraturan perundang-undangan baik dalam bentuk Undang-undang maupun peraturan lainnya telah diterbitkan tetapi ternyata tidak bisa mencegah korupsi, masih sering terdengar terjadinya korupsi baik ditingkat pusat maupun daerah. Bahkan kasus terbaru yang sangat mengejutkan dalam bidang perpajakan telah terjadi penyelewengan yang melibatkan berbagai oknum perpajakan dan penegak hukum. Pada saat ini berita tentang korupsi cepat sekali tersiar diseluruh lapisan masyarakat karena mass media memberitakan hal ini secara terbuka dan terang sehingga menimbulkan reaksi dari berbagai masyarakat. B. Mass media baik media cetak maupun media elektronik sangat berperan dalam menyampaikan pesan kepada khalayak yaitu masyarakat. Pesan dalam bentuk berita yang disampaikan oleh mass media paling tidak mempunyai tiga dampak dalam hal ini masyarakat yaitu: Pertama, dampak Kognitif dimana bilamana berita tersebut dapat merubah masyarakat tentang apa yang diketahui, dipahami, serta persepsi yang selama ini dimilik. Kedua, dampak efektif ini timbul bilamana berita tersebut dapat merubah masyarakat tentang apa yang dirasakan, disenangi atau dibenci. Hal ini ada hubungannya dengan emosi, sikap atau nilai. Ketiga, dampak behavioral dimana efek ini berkaitan dengan perilaku masyarakat yang nyata yang dapat diamati, yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan atau kebiasaan berprilaku. Ketiga hal tersebut merupakan bentuk perubahan dari masyarakat terhadap sesuatu pemberitaan yang disampaikan lewat mass media baik media cetak (surat kabar, majalah, dll) maupun media elektronik (radio, tv, dll) Mass media dapat membentuk citra tentang sesuatu berdasarkan informasi yang disampaikan.
Bagi mass media bekerja untuk menyampaikan informasi dan bagi masyarakat informasi tersebut dapat membentuk, mempertahankan atau merubah citra seseorang atau sesuatu. Pemberitaan seringkali dapat menimbulkan rangsangan emosional seseorang atau masyarakat. Orang menjadi simpati, benci atau menyenangi setelah membaca atau mendengar berita tentang suatu peristiwa disini dampak efektif telah terjadi. Demikian pula berita-berita yang diinformasikan oleh mass media bisa merubah perilaku dan pola-pola tindakan sebagai reaksi dari pemberitaan tersebut. Dampak pemberitaan bisa bersifat positif atau bersifat negatif, tergantung bagaimana informasi disampaikan termasuk bentuk media yang menyampaikan. Karakter Masyarakat juga berpengaruh pada penerimaan berita tersebut. C. Bentuk kelompok sosial yang tidak teratur menurut sosiologi ada dua macam yaitu kerumunan dan publik. Publik merupakan kelompok asyarakat yang tidak merupakan kesatuan. Interaksi terjadi secara tidak langsung melalui alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio, televisi, film ,desas desus dan lain-lain Kelompok masyarakat ini lebih responsif dan tingkah laku publik didasarkan pada tingkah laku individu atau perorangan. Berkaitan dengan pemberitaan tentang pemberantasan korupsi maka hal ini akan berdampak pada pemahama, sikap, dan perilaku masyarakat. Korupsi secara umum merupakan tindak kejahatan sehingga hal ini akan berpengaruh pada sikap masyarakat terhadap pemberantasan korupsi. Selama ini masyarakat sangat mendukung pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh para penegak hukum termasuk KPK karena mereka mendapat pemahaman, pengetahuan dan persepsi mereka dari pemberitaan tentang sepak terjang dan keseriusan dalam pemberantasan korupsi. Hal ini juga diiringi lagi dengan rasa kebencian terhadap para koruptor karena pemberitaan tentang pemberantasan korupsi dapat menimbulkan perasaan benci pada perilaku para koruptor. Mereka merasakan bagaimana perbuatan para koruptor tersebut sangat merugikan negara dan rakyat. Apalagi pemberitaan tersebut juga diinformasikan tentang besarnya kerugian diderita oleh negara. Terjadi demonstrasi dan aksi-aksi lain yang dilakukan oleh masyarakat merupakan manifestasi dari prilaku nasyarakat yang anti korupsi, yang mendukung pemberantasan korupsi sebagai dampak dari pemberitaan di mass media yang secara terbuka dan jelas tentang korupsi. Tetapi sebaliknya kalau ada pembeeritaan tentang lembaga penanganan korupsi maka masyarakat akan bereaksi secara negatif terhadap para penegak hukum yang berwenang terhadap hal ini. D. Dampak Pemberitaan Korupsi Pada Masyarakat Dengan demikian maka dapat disampaikan bahwa dampak pemberantasan korupsi pada masyarakat adalah sebagai berikut:
terhadap
pemberitaan
- Secara psikologis, masyarakat sangat bersimpati terhadap pemberantasan korupsi tersebut karena korupsi dianggap sebagai perbuatan yang sangat tercela dan memalukan karena merugikan orang lain dan Negara. - Secara sosiologis, masyarakat mempunyai solidaritas sosiologis yang tinggi dalam mendukung para penegak hukum untuk memberantas korupsi, sehinga mereka akan membantu justru terus
mengukuti serta mengamati kinerja para penegak hukum mengamati kinerja para penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. - Secara ekonomi, dengan pemberitaan tersebut masyarakat merasa ikut dirugikan karena apa yang telah mereka sumbangkan pada Negara di korupsi oleh orang lain (contoh: kasus pajak, Gayus Tambunan) - Secara politis, pemberitaan ini akan lebih memberikan pelajaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pemberantasan korupsi untuk lebih ditingkatkan. Dengan demikian ternyata pemberitaan terhadap pemberantasan korupsi apabila diinformasikan dan dikemas dengan baik akan berdampak positif terhadap masyarakat dalam memerangi korupsi
KESIMPULAN: PANCASILA MERUPAKA PEDOMAN BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA. SEKARANG NILAINILAI PANCASILA SUDAH LUNTUR DI KALANGAN MASYARAKAT INDONESIA. MEREKA TIDAK SADAR BETAPA PENTINGYA SEBUAH NILAI PANCASILA. OLEH SEBAB ITU SEKARANG PERGURUAN PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA MEWAJABKAN MATA KULIAH PANCASILA. SARAN: SEBAIKNYA HUKUM DI INDONESIA DI TEGAKKAN SEADIL-ADILNYA. JANGAN MEMANDANG ORANGNYA.
DAFTAR PUSTAKA:
Anderson, Benedict (2001) Imagined Communities: Komunitas Terbayangbayang (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azra, Azyumardi (2002) Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Brubaker, Roger (1996) Nationalism Reframed: Nationhood and the National Question in the New Europe. Cambridge: Cambridge University Press. Dhakidae, Daniel (2001) Kata Pengantar dalam Benedict Anderson (2001) Imagined Communities. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hobsbawm, Eric (1990) Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth, and Reality. Cambridge: Cambridge University Press. Kropotkin, Peter (2006) Gotong Royong: Kunci Kesejahteraan Sosial. Depok: Piramedia. Lubis, Mochtar (2001) Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Malesevic, Sinisa (2004) The Sociology of Ethnicity. London: Sage Publication. McCrone, David (1998) The Sociology of Nationalism. London: Routledge. Ricklef, MC (2005) Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Penerbit Serambi. Tilaar, HAR (2007) MengIndonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.