AKTIVITAS SELULOLITIK DAN KARAKTERISASI AKTINOMISET ASAL TANAH GAMBUT
EKA ASTUTY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Aktivitas Selulolitik dan Karakterisasi Aktinomiset Asal Tanah Gambut adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2012
Eka Astuty NIM G351090181
ABSTRACT EKA ASTUTY. Activityof Cellulolytic and Characterization Actinomycetes from Peat Soils. Under direction of YULIN LESTARI and ANJA MERYANDINI. In the peat soil, various groups of microorganism decomposing peat are present, including actinomycetes. Eighty isolates of actinomycetes were isolated from peat soil samples. Congo red clearing zone assay was used for qualitative observation of cellulolytic activity and it was found that 20 isolates showed positive results with clear zone around the colony. Cellulase production was assayed by measuring the amount of glucose liberated in µmol mL -1 min-1 by using the dinitrosalicylic acid assay method. Among the twenty isolates, the isolates 15 and 42 were found to have relatively higher cellulase enzyme activity both qualitatively and quantitatively compared with the others. Maximum production of cellulase by isolate 15 and 42 were detected on day-30 and day-15, respectively, and showed CMCase, Avicel, and FPase activities which indicated a synergy of endoglucanase and exoglucanase in the cellulase enzyme system of the tested isolates. Furthermore, morphological characteristics of 15 and 42 isolates were compared to other reference strains, belongs to Streptomyces species. The analysis of nucleotida of 16S rRNA showed that isolate 15 were closely related to the Streptomyces diastaticus with maximum identity 98% and isolate 42 were closely related to the Streptomyces exfoliatus with maximum identity 94%. Meanwhile phylogenetic analysis showed that isolate 15 homologous to isolate 42 with a bootstrap value of 100%. This study provided important basic information on potential cellulolytic from actinomycetes group. Keywords: peat soil, actinomycetes, cellulase activity, phylogenetic analysis, Streptomyces sp.
RINGKASAN EKA ASTUTY. Aktivitas Selulolitik dan Karakterisasi Aktinomiset Asal Tanah Gambut. Dibimbing oleh YULIN LESTARI dan ANJA MERYANDINI. Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen yaitu gambut yang pembentukannya dipengaruhi curah hujan. Gambut seperti ini tergolong kurang subur karena terbentuk dari tanaman pepohonan yang kadar kayunya tinggi. Pengaruh pasang surut air sungai atau laut yang tidak mencapai lahan dapat menyebabkan gambut ini memiliki kondisi lahan miskin hara. Tanah gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang dihasilkan dari dekomposisi bahan tanaman yang tidak sempurna, sehingga kandungan bahan organik tanah gambut tinggi dan tidak mudah terdegradasi di alam. Akumulasi bahan organik sebagai hasil perombakan tidak sempurna sisa jaringan tanaman yg mati dipacu oleh faktor-faktor lingkungan antara lain suhu rendah, pH rendah, dan pasokan hara yang sedikit sehingga proses perombakan berjalan lambat dan sisa tumbuhan terus menimbun tahun demi tahun dan terjadilah deposit gambut. Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam. Secara alami selulosa terproteksi dari degradasi dengan adanya hemiselulosa dan lignin. Biodegradasi selulosa di alam dilakukan oleh mikroorganisme yang memiliki kemampuan mendegradasi selulosa melalui aktivitas enzim selulolitik yang terdiri atas tiga tipe enzim utama yaitu ekso-β-glukanase (selobiohidrolase), endo-β-glukanase dan βglukosidase yang secara sinergis bekerja dalam hidrolisis selulosa. Selulosa dari sisa tumbuhan dan organisme lain diurai oleh mikroba selulolitik menjadi senyawa sederhana berupa glukosa, CO2 dan hidrogen yang sangat berguna sebagai zat hara bagi tumbuhan dan organisme tanah lainnya. Aktinomiset merupakan kelompok mikroorganisme yang tersebar luas di lingkungan darat, air tawar dan laut. Aktinomiset memainkan peran penting dalam dekomposisi bahan organik dan dengan demikian mengisi pasokan nutrisi dalam tanah dan diantara berbagai genera aktinomiset yang telah diidentifikasi sejauh ini, Streptomyces dinilai cukup signifikan mampu mengurai bahan organik dengan memproduksi enzim hidrolitik, seperti selulase dan xilanase. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aktivitas selulolitik aktinomiset indigenous asal tanah gambut, karakterisasi morfologi dan identifikasi isolat terpilih berdasarkan 16S rRNA. Terdapat 80 koloni aktinomiset yang berhasil isolasi dari contoh tanah gambut, yang tumbuh pada media HV Agar dan dimurnikan di media YMA. Hasil seleksi berdasarkan keragaman bentuk koloni dari 80 isolat diperoleh 20 isolat murni yang yang memiliki beragam morfologi koloni, menghasilkan miselia aerial dan mampu tumbuh baik dan bersporulasi pada umur 7-14 hari. Karakteristik morfologi ini mengindikasikan isolat-isolat tersebut adalah Streptomyces sp. Berdasarkan morfologi koloni pertumbuhan isolat pada media YMA, YSA, dan OM selama 10 hari pada suhu ruang, 20 isolat yang diperoleh dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok warna miselium udara dan sporanya yaitu putih, abu-abu dan coklat dengan sebagian besar isolat termasuk kedalam kelompok warna abu-abu, kemudian kelompok warna putih dan terakhir kelompok warna coklat. Berdasarkan pengamatan mikroskopis diketahui bahwa
isolat-isolat aktinomiset yang diperoleh memiliki 3 tipe penataan rantai sporayang dimiliki genus Streptomyces yaitu rectiflexibiles(RF), retinaculiaperti(RA) dan spirales(S). Sebagian besar isolat memiliki tipe penataan rantai spora spirales, kemudian rectiflexibiles dan terakhir retinaculiaperti. Penataan rantai spora dapat digunakan untuk membedakan morfologi antar isolat. Pengujian kemampuan selulolitik 20 isolat aktinomiset dilakukan dengan menggunakan uji merah kongo sebagai langkah penapisan awal untuk identifikasi kemampuan kualitatif selulolitik isolat. Hasil uji menunjukkan bahwa setelah inkubasi selama 4 hari, 20 isolat aktinomiset menunjukkan hasil positif dengan terbentuknya zona bening yang ukurannya berkisar antara 16-25 mm sehingga diperoleh nilai indeks selulolitik yang berkisar antara 0.3-3.5. Aktivitas spesifik enzim selulase ini ditandai dengan nisbah diameter zona bening terhadap diameter koloni isolat yang ditumbuhkan pada media agar bersumber karbon CMC. Isolat 15 dan 42 merupakan dua isolat dengan nilai indeks selulolitik masing-masing 3.5 dan 2 yang lebih tinggi dibandingkan isolat-isolat uji lainnya. Pengukuran aktivitas selulase berdasarkan zona bening yang terbentuk bersifat kualitatif, lebar zona bening tidak menunjukkan jumlah aktivitas selulase, sehingga diperlukan uji aktivitas selulase secara kuantitatif. Pengukuran aktivitas enzim selulase dilakukan dengan menggunakan enzim ekstrak kasar dan glukosa sebagai standar pada konsentrasi 0.02 mg/ml 0.2 mg/ml. Aktivitas selulase isolat 15 dan 42 meningkat seiring dengan meningkatnya biomassa sel, namun masing-masing isolat menunjukkan aktivitas selulase dan kemampuan tumbuh yang berbeda. Aktivitas selulase tertinggi isolat 15 diperoleh pada hari ke-30 sebesar 0.3 nKat/ml sedangkan isolat 42 memiliki aktivitas selulase yang lebih tinggi yaitu sebesar 0.8 nKat/mL yang diperoleh pada hari ke-15. Produksi metabolit sekunder oleh Streptomyces umumnya bertepatan dengan, atau sedikit mendahului, perkembangan miselia udara di permukaan kultur padat sedangkan pada kultur cair, umumnya terbatas hingga fase stasioner. Setiap bakteri selulolitik memiliki aktivitas enzim selulase yang berbeda-beda, tergantung pada hubungan kompleks yang melibatkan berbagai faktor seperti sumber karbon, kualitas selulosa, nilai pH, suhu, ketersediaan induser, aditif medium, aerasi dan waktu pertumbuhan. Kedua isolat uji juga diketahui dapat memanfaatkan ketiga substrat uji yakni Carboxymethyl cellulose, Avicel, dan Whatmann Filter Paper No.1, yang menunjukkan bahwa kedua isolat tersebut memiliki aktivitas selulolitik melalui CMCase, Avicel, dan FPase. Hal ini menunjukkan adanya sinergi dalam sistem enzim selulase yang dihasilkan isolat uji. Dalam hal ini, disebut endo-ekso sinergi antara endoglukanase dan eksoglukanase karena selulase yang disekresikan memiliki aktivitas pada CMCase dan Avicel. Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida isolat15 dan 42 dilakukan melalui penyesuaian dengan sekuens gen 16SrRNA yang telah dilaporkan di GenBank. Database dari NCBI Blast yang tersedia di www.ncbi-nlm-nih.gov. Data tersebut digunakan untuk membandingkan homologi sekuens nukleotida 16S rRNA isolat 15 dan 42. Hasil blast sekuens gen 16S rRNA (1500 bp) dari kedua isolat aktinomiset menunjukkan bahwa isolat 15 berkerabat dengan Streptomyces diastaticus dengan nilai Max Identity 98% dan Isolat 42 berkerabat dengan Streptomyces exfoliatus dengan nilai Max Identity 94%. Isolat 42 diprediksi sebagai novel spesies karena memiliki kekerabatan dengan galur rujukan dengan
nilai Max Identity kurang dari 97%. Namun, idealnya, identifikasi taksonomi bakteri untuk validitas dan akurasi ilmiah perlu dilakukan berdasarkan polyphasic approach yaitu pendekatan dengan menggunakan kombinasi dari metode pengujian fenotip (uji biokimia, analisis asam lemak, dan analisis numerik) dan metode pengujian genotip (hibridisasi DNA, analisis kandungan G+C, dan analisis 16S rRNA). Berdasarkan hasil konstruksi filogenetik yang menggunakan metode neighbor-joining, menunjukkan isolat 15 dan 42 memiliki percabangan yang sama dengan nilai bootstrap sebesar 100%. Kedua isolat berada pada satu clade (kelompok) yang sama dan berada diluar clade Streptomyces hasil blast dan outgroup-nya. Nilai bootstrap >95% adalah signifikan secara statistik dan mengindikasikan “support” untuk membentuk sebuah clade. Nilai bootsrap menunjukkan konsistensi data dalam penentuan takson, hanya memberikan informasi tentang stabilitas topologi, dan bukan menunjukkan seberapa akurat pohon filogeni.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
AKTIVITAS SELULOLITIK DAN KARAKTERISASI AKTINOMISET ASAL TANAH GAMBUT
EKA ASTUTY
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Suryani, M.Sc.
Judul Tesis
: Aktivitas Selulolitik dan Karakterisasi Aktinomiset Asal Tanah Gambut
Nama
: Eka Astuty
NIM
: G351090181
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yulin Lestari
Prof. Dr. Anja Meryandini, M.S.
Anggota
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Mikrobiologi
Prof. Dr. Anja Meryandini, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian: 19 Oktober 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 ini
berjudul Aktivitas Selulolitik dan Karakterisasi
Aktinomiset Asal Tanah Gambut. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Yulin Lestari dan Prof. Dr. Anja Meryandini, M.S. selaku pembimbing. Penghargaan penulis sampaikan kepada staf dan laboran di laboratorium Mikrobiologi IPB dan laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis, PPSHB IPB yang telah membantu selama penelitian. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Suryani, M.Sc. sebagai penguji ujian tesis atas saran dan masukan yang diberikan.Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mikrotropisian 2009 dan Mikrotropisian 2010 yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian. Terima kasih tak terhingga juga penulis sampaikan kepada Ayahanda tercinta H.Abd.Rachman, Ibunda tercinta Hj. Nur Azijah, juga adikadikku tercinta, Muh. Azwan Rachman, Muh. Azwar Rachman, dan Muh. Aslam Rachman atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2012
Eka Astuty
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rappang pada tanggal 31 Oktober 1985 sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Abd.Rachman dan Nur Azijah. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, Fakultas MIPA UNHAS Makassar, lulus tahun 2009. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Magister pada Program Studi Mikrobiologi IPB diperoleh pada tahun 2009.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL……………………………………………………...……..
xiv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………
xv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….....
xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang……………………………………………………….....
1
Tujuan Penelitian……………………………………………………......
2
Manfaat Penelitian………………………………………………………
2
Waktu dan Tempat Penelitian………………………………………..…
3
TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut…………………………………………………………..
5
Karakter Fisik Gambut………………………………………………….
5
Karakter Kimia Gambut………………………………………………...
6
Selulosa …………………………………………………………………
6
Selulase ……………………………………………………………........
8
Akinomiset ……………………………………………………………...
8
Aktinomiset sebagai Penghasil Enzim Pendegradasi Selulosa ………..
9
16S rRNA ………………………………………………………………
10
BAHAN DAN METODE Isolasi Aktinomiset……………………………………………………..
11
Pengelompokan berdasarkan Warna Koloni (Colour Grouping)…….
11
Uji Kemampuan Selulolitik……………………………………………..
11
Pengukuran Aktivitas Selulase Aktinomiset …………………………...
11
Pengukuran Aktivitas Selulase pada Substrat Spesifik ……………….
12
Identifikasi Isolat Aktinomiset Terpilih………………………..……….. 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Aktinomiset Asal Tanah Gambut…………………………...
15
Pengelompokan berdasarkan Warna Koloni (Colour Grouping).……
15
Kemampuan Selulolitik Aktinomiset Asal Tanah Gambut ……………
17
Aktivitas Selulase……………………………………………………….
19
Pengukuran Aktivitas Selulase pada Substrat Spesifik
21
Identifikasi Isolat Aktinomiset Terpilih………………………………… 24 KESIMPULAN………………………………………………………...……..
27
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………
29
LAMPIRAN…………………………………………………………………..
35
DAFTAR TABEL
1 2
Halaman Kemampuan selulolitik isolat aktinomiset asal tanah gambut …………. 19 Hasil BlastN sekuens 16S rRNA isolat 15 dan 42 ……………………… 24
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7
Halaman Keragaman penataan rantai spora dari 20 isolat aktinomiset ………… 17 Aktivitas selulase isolat 15 dalam media cair CMC …………………… 20 Aktivitas selulase isolat 42 dalam media cair CMC …………………… 21 Aktivitas selulase isolat 15 pada substrat spesifik …………………….. 23 Aktivitas selulase isolat 42 pada substrat spesifik …………………….. 23 Profil DNA hasil amplifikasi gen penyandi 16S rRNA dengan PCR pada Isolat 15 dan 42 ……………………………………………………. 24 Pohon filogenetik dari sekuens 16S rRNA isolat 15 dan 42 ………….. 25
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3
Halaman Komposisi media ……………………………………………………….. 36 Morfologi koloni isolat-isolat aktinomiset berdasarkan perubahan warna pada media Oatmeal, YMA, dan YSA ……………………………… 38 Kemampuan selulolitik aktinomiset asal tanah gambut ………………... 43
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki areal hutan gambut seluas kurang lebih 19.7 juta hektar yang terdapat di Sumatera 8.3 juta hektar, Kalimantan 6.8 juta hektar dan Irian Jaya 4.6 juta hektar (Page et al. 1999). Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen yaitu gambut yang pembentukannya dipengaruhi curah hujan. Gambut seperti ini tergolong kurang subur karena terbentuk dari tanaman pepohonan yang kadar kayunya tinggi. Pengaruh pasang surut air sungai atau laut yang tidak mencapai lahan dapat menyebabkan gambut ini memiliki kondisi lahan miskin hara (Radjaguguk 1997). Tanah gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang dihasilkan dari dekomposisi bahan tanaman yang tidak sempurna, sehingga kandungan bahan organik tanah gambut tinggi dan tidak mudah terdegradasi di alam. Menurut Maltby (1992), akumulasi bahan organik sebagai hasil perombakan tidak sempurna sisa jaringan tanaman yg mati dipacu oleh faktor-faktor lingkungan antara lain suhu rendah, pH rendah, dan pasokan hara yang sedikit sehingga proses perombakan berjalan lambat dan sisa tumbuhan terus menimbun tahun demi tahun dan terjadilah deposit gambut. Beberapa sifat kimia tanah gambut yang berpengaruh terhadap dinamika dan penyediaan hara bagi tanaman adalah memiliki pH rendah dan kapasitas tukar kation yang tinggi serta kejenuhan basa rendah (Koesnandar et al. 2005). Pada kondisi ini ketersediaan nutrisi terutama K, Ca, dan Mg rendah karena berada dalam bentuk yang terikat sehingga sulit dimanfaatkan tanaman. Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam, secara alami terproteksi dari degradasi dengan adanya hemiselulosa dan lignin. Biodegradasi selulosa di alam dilakukan oleh mikroorganisme yang memiliki kemampuan mendegradasi selulosa melalui aktivitas enzim selulolitik yang terdiri atas tiga tipe enzim utama yaitu ekso-β-glukanase (selobiohidrolase), endo-β-glukanase dan βglukosidase yang secara sinergis bekerja dalam hidrolisis selulosa (Malherbe & Cloete 2002). Selobiohidrolase I dan II dari ekso-β-glukanase menghidrolisis selulosa yang tidak larut menjadi selodekstrin dan selobiosa yang terlarut. Endoβ-glukanase I dan II berperan dalam mengubah selodekstrin menjadi selobiosa.
Selobiosa kemudian dipecah menjadi 2 unit glukosa oleh β-glukosidase. Sistem enzim ini memiliki spesifikasi yang berbeda, namun bekerja bersama mendegradasi selulosa menjadi monomer (Lynd et al. 2002). Selulosa dari sisa tumbuhan dan organisme lain diurai oleh mikrob selulolitik menjadi senyawa sederhana berupa glukosa, CO2 dan hidrogen yang sangat berguna sebagai zat hara bagi tumbuhan dan organisme tanah lainnya (Nannipieri et al. 2003). Nurani et al. (2007) melaporkan bahwa perlakuan menggunakan limbah dari industri minyak sawit yang dijadikan lapisan atas pada tanah gambut dan diinokulasi dengan konsorsium mikrob dapat meningkatkan pH dari 3.50 menjadi 5.47, menurunkan kapasitas tukar kation hingga 73% dan meningkatkan kejenuhan basa hingga 40% serta mengoptimalkan rasio C/N. Aktinomiset merupakan kelompok mikroorganisme yang tersebar luas di lingkungan darat, air tawar dan laut. Menurut Hamedani et al. (2012) aktinomiset memainkan peran penting dalam dekomposisi bahan organik dan dengan demikian mengisi pasokan nutrisi dalam tanah. Diantara berbagai genera aktinomiset yang telah diidentifikasi sejauh ini, Streptomyces dinilai cukup signifikan mampu mengurai bahan organik dengan memproduksi enzim hidrolitik, seperti selulase dan xilanase. Isolat aktinomiset dari genus Streptomyces yang berasal dari Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi, diketahui memiliki aktivitas enzim CMC-ase sekitar 7.2-7.3 unit enzim (Kanti 2005). Potensi aktinomiset asal tanah gambut dalam mendegradasi selulosa belum banyak dikaji. Oleh karena itu, penelitian untuk menguji potensi isolat aktinomiset indigenous yang berasal dari tanah gambut, penting untuk dilakukan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aktivitas selulolitik aktinomiset indigenus asal tanah gambut, karakterisasi morfologi, dan identifikasi isolat terpilih berdasarkan 16S rRNA. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu mendapatkan isolat aktinomiset dari tanah gambut
yang
memiliki
aktivitas
selulolitik
dan
isolat
tersebut
terkarakterisasi dengan baik. Potensi selulolitik isolat terpilih dari hasil kajian ini
diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk mengetahui kemampuannya mendegradasi selulosa dari biomassa tanaman yang banyak melimpah di alam, salah satunya di lahan gambut. Kajian pemanfaatan enzim selulase dalam bidang industri misalnya industri deterjen, tekstil dan kertas juga penting dilakukan. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari 2011 sampai dengan Maret 2012. Bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis, PPSHB-LPPM, Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor dan Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong.
TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh adanya penimbunan atau akumulasi bahan organik yang berasal dari reruntuhan vegetasi dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik. Seperti gambut tropis lainnya, gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya akan kandungan lignin dan nitrogen. Karena lambatnya proses dekomposisi, di lahan gambut masih dapat dijumpai batang, cabang dan akar yang berukuran besar (Page et al. 2002). Lahan gambut dalam keadaan alami selalu tergenang air sepanjang tahun sehingga tidak memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan budidaya, kecuali terlebih dahulu diadakan reklamasi. Dengan kondisi alami yang selalu basah maka proses perombakan atau pematangan tanah gambut menjadi terhambat. Oleh karena itu diperlukan perbaikan tata air dengan tujuan memberikan suasana yang kondusif bagi proses perombakan atau pematangan tanah gambut dengan masuknya oksigen. Proses perombakan atau pematangan tanah penting untuk meningkatkan kesuburan tanah (Moorer & Shearer 1997). Karakter Fisik Gambut Kadar air tanah gambut berkisar antara 100-1.300% dari berat keringnya, artinya gambut mampu menyerap air hingga 13 kali bobotnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah. BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0.1-0.2 g cm-3 tergantung pada tingkat dekomposisinya (Mutalib et al. 1991). Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air kurang dari 100% (berdasarkan berat), tidak bisa lagi menyerap air jika dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar. Dalam keadaan kering gambut yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu atau arang terbakar. Gambut yang terbakar juga sulit dipadamkan dan
apinya bisa merambat di bawah permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali (Nugroho et al. 1997). Karakter Kimia Gambut Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3-5. Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir kuarsa di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3.25-3.75 (Salampak 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4.1-4.3 (Hartatik et al. 2004). Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri atas senyawa-senyawa humat sekitar 10-20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya. Selulosa Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tumbuhan. Kandungan selulosa pada dinding sel tumbuhan tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman (Lynd et al. 2002). Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1.4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Perez et al. 2002). Selulosa mengandung sekitar 50-90% bagian berkristal dan sisanya bagian amorf (Aziz et al. 2002). Selulosa tidak memiliki rasa, tidak berbau, hidrofilik, tidak larut dalam air, bersifat chiral dan biodegradable (dapat didegradasi). Selulosa dapat dipecah menjadi unit-unit glukosa dengan perlakuan kimia dengan asam konsentrat pada suhu tinggi. Selulosa berasal dari unit D-glukosa, yang terkondensasi melalui ikatan glikosidik- β (1 → 4). Motif ikatan ini kontras dengan ikatan glikosidik-α (1 → 4) yang terdapat pada pati, glikogen, dan karbohidrat lainnya. Selulosa merupakan polimer rantai lurus, tidak seperti pati,
tidak melingkar atau tidak terjadi percabangan. Dibandingkan dengan pati, selulosa juga jauh lebih kristal. Pati mengalami transisi dari kristal menjadi amorf jika dipanaskan melampaui 60-70°C dalam air (seperti dalam memasak), selulosa membutuhkan suhu 320°C dan tekanan 25 MPa untuk menjadi amorf dalam air (Nishiyama et al. 2002) Banyak sifat selulosa tergantung pada panjang rantai atau derajat polimerisasi, jumlah unit glukosa yang membentuk satu molekul polimer. Selulosa dari pulp kayu memiliki panjang rantai yang khas antara 300 dan 1700 unit; kapas dan serat tanaman lainnya serta selulosa bakteri memiliki panjang rantai berkisar dari 800-10.000 unit. Molekul dengan panjang rantai yang sangat kecil yang dihasilkan dari pemecahan selulosa yang dikenal sebagai selodekstrin; berbeda dengan selulosa berantai panjang, selodekstrin biasanya larut dalam air dan pelarut organik. Tanaman yang berasal dari selulosa biasanya terkontaminasi dengan hemiselulosa, lignin, pektin dan zat lainnya, sedangkan selulosa mikrob cukup murni, memiliki kadar air jauh lebih tinggi, dan terdiri dari rantai panjang (Klemm et al. 2005). Selulosa telah menarik perhatian dunia sebagai sumber daya yang dapat dikonversi menjadi produk berbasis bio dan bioenergi. Namun saat ini, sejumlah besar limbah selulosa pertanian, industri dan kota telah terakumulasi atau tidak digunakan secara efisien karena tingginya biaya proses pemanfaatannya (Kim et al. 2003). Oleh karena itu, telah menjadi lebih dari cukup menarik minat secara ekonomi untuk mengembangkan proses perlakuan efektif dan pemanfaatan limbah selulosa sebagai sumber karbon murah. Selulosa digunakan secara luas sebagai sumber makanan oleh berbagai organisme termasuk jamur dan bakteri (Davison & Blaxter 2005). Jamur dan bakteri memiliki sistem enzimatik selulase yaitu, ekso-β-1.4-glukanase (EC 3.2.1.91), endo-β-1.4-glukanase (EC3.2.1.4), dan β-1.4-glukosidase (EC 3.2.1.21). Komponen-komponen enzimatik bertindak secara berurutan dalam sistem yang sinergis untuk memfasilitasi pemecahan selulosa dan konversi biologis menjadi sumber energi, berupa glukosa (Beguin & Aubert 1994). Endo-β-1.4-glukanase secara acak menghidrolisis ikatan β -1.4 dalam molekul selulosa dan ekso-β -1.4glukanase melepas sebuah unit selobiosa dan terakhir, selobiosa tersebut diubah
menjadi glukosa oleh β-1.4-glukosidase (Bhat & Bhat 1997). Secara keseluruhan, proses enzimatik untuk menghidrolisis bahan selulosa dapat dicapai melalui reaksi kompleks yang sinergis dari berbagai komponen enzimatik dalam proporsi optimal (Tomme et al. 1995). Selulase Selulase adalah enzim kompleks yang memotong secara bertahap rantai selulosa
menjadi
glukosa.
Enzim
ini
terdiri
dari
eksoselulase
atau
eksobiohidrolase, endoselulase atau endo β-1,4-glukanase dan β-1,4-glukosidase atau selobiase. Selulase terdiri dari selobiohidrolase (CBH atau 1,4, β-D-glukan selobiohidrolase, E.C 3.2.1.91), endo-β-1,4-glukanase (EG atau endo-2,4-β-Dglukan 4 glukanohidrolase, EC 3.2.1.4) dan β-glukosidase (BG, EC 3.2.1.21). Selulase menghidrolisis selulosa dengan produk utama glukosa, selobiosa dan selooligosakarida (Anindyawati 2010). Berbagai
kelompok
mikroorganisme
dari
kapang,
bakteri
dan
aktinomisetes dapat menghasilkan selulase. Kapang dari jenis Trichoderma dan Aspergillus sangat banyak ditemui sebagai penghasil hemiselulase. Selain itu, menurut Chandel et al. (2007), beberapa kelompok mikroorganisme seperti Clostridium, Cellulomonas, Trichoderma, Penicillium, Neurospora, Fusarium, Aspergillus dan sebagainya mempunyai aktivitas selulolitik dan hemiselulolitik yang tinggi. Aktinomiset Berdasarkan klasifikasinya, Aktinomiset termasuk kelas Schizomycetes, ordo Actinomycetales yang dikelompokkan menjadi empat familia, yaitu: Mycobacteriaceae, Actinomycetaceae, Streptomyceae, dan Actinoplanaceae. Genus yang paling banyak dijumpai hampir 70% adalah Streptomyces, sedangkan genus lain Nocardia, dan Micromonospora. Genus Streptomyces memiliki kemampuan untuk mendegradasi selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang banyak terdapat pada tanaman (Holt et al. 1994; Madigan et al. 2000) Aktinomiset termasuk dalam kelompok bakteri berfilamen, gram positif dengan % GC tertinggi diantara bakteri lainnya, yaitu sebesar 63-78% (Madigan et al. 2000). Aktinomiset bereproduksi dengan spora aerial (konidia) atau melalui
fragmentasi miselia. Aktinomiset memiliki dua macam miselia, yaitu miselia aerial dan miselia substrat, kedua miselia ini mampu menghasilkan pigmen yang menyebabkan perbedaan warna pada masing-masing koloni. Aktinomiset sebagai Penghasil Enzim Pendegradasi Selulosa Lignin adalah polimer kompleks yang terdiri dari unit fenilpropan yang dihubungkan oleh berbagai ikatan karbon dan eter. Di alam, secara fisik, lignin merupakan kerak selulosa dan resisten untuk didegradasi oleh kebanyakan organisme.
Streptomyces
viridosporus
T7A
(ATCC
39115)
melakukan
depolimerisasi lignin dalam mendegradasi selulosa dan memproduksi APPL (acid-precipitable polymeric lignin) yang larut dalam air sebagai produk utama degradasi
lignin
(Ramachandra
1988).
Streptomyces
viridosporus
telah
dikonfirmasi sebagai organisme yang aktif mendegradasi lignin bersama isolat Streptomyces sp. UAH 15 (selanjutnya diklasifikasikan sebagai Streptomyces cyaneus CECT 3335), organisme ini memiliki kemampuan untuk melakukan mineralisasi dan solubilisasi fraksi lignin dari lignoselulosa. Identifikasi dari enzim
ekstraselular
yang diproduksi S.
cyaneus CECT
3335
selama
pertumbuhannya menunjukkan terdapat aktivitas ekstraselular peroksidase dan fenol oksidase, dengan aktivitas fenol oksidase yang seratus kali lebih besar dibandingkan aktivitas peroksidase. Aktivitas kedua enzim ini ditemukan memiliki korelasi dengan kecepatan mineralisasi dan solubilisasi (Berrocal et al. 1997). Kukolya et al. (2002) mendapatkan empat galur (K21, TB100T, TB108, TB110) yang secara struktur morfologi digolongkan ke dalam genus Thermobifida lignoselulolitik dari kompos “hot core”. Semua galur menunjukkan aktivitas selulase (termasuk selobiohidrolase and endoglukanase), endoxilanase, manosidase, protease, amilase dan memiliki kemampuan yang baik dalam mendegradasi lignin. Streptomyces drozdowiczii M7aT yang diisolasi dari sampel tanah Atlantica Mata Forest di Rio de Janeiro, Brazil, menunjukkan aktivitas selulolitik pada suhu 70-100oC (Semedo et al. 2004), sedangkan Streptomyces cellulolyticus LXT yang diisolasi dari sampel tanah daerah Jinan, Cina, diketahui mampu mendegradasi filter paper, α-cellulose, dan avicel (Li 1997).
16S rRNA Di antara berbagai teknik yang digunakan, RNA ribosomal paling banyak digunakan sebagai penanda molekuler. Pada prokaryot terdapat tiga jenis RNA ribosomal, yaitu 5S, 16S, dan 23S rRNA. Di antara ketiganya, 16S rRNA yang paling sering digunakan. Molekul 5S rRNA memiliki urutan basa terlalu pendek, sehingga tidak ideal dari segi analisis statistika, sementara molekul 23S rRNA memiliki struktur sekunder dan tersier yang cukup panjang sehingga menyulitkan analisis (Stackebrandt & Goebel 1995). Analisis gen penyandi 16S rRNA telah menjadi prosedur baku untuk menentukan hubungan filogenetik dan menganalisis suatu ekosistem. 16S rRNA dapat digunakan sebagai penanda molekuler karena molekul ini bersifat ubikuitus dengan fungsi yang identik pada seluruh organisme. Molekul ini juga dapat berubah sesuai jarak evolusinya, sehingga dapat digunakan sebagai kronometer evolusi yang baik. Molekul 16S rRNA memiliki beberapa daerah yang memiliki urutan basa yang relatif konservatif dan beberapa daerah urutan basanya variatif (Pangastuti 2006). Perbandingan urutan basa yang konservatif berguna untuk mengkonstruksi pohon filogenetik universal karena mengalami perubahan relatif lambat dan mencerminkan kronologi evolusi bumi. Sebaliknya, urutan basa yang bersifat variatif dapat digunakan untuk melacak keragaman dan menempatkan galur-galur dalam satu spesies. Jika urutan basa 16S rRNA menunjukkan derajat kesamaan yang rendah antara dua taksa, deskripsi suatu takson baru dapat dilakukan tanpa hibridisasi DNA-DNA (Stackebrandt & Goebel 1995). Biasanya jika derajat kesamaan urutan basa gen penyandi 16S rRNA kurang dari 97% dapat dianggap sebagai spesies baru.
BAHAN DAN METODE Isolasi Aktinomiset Isolasi aktinomiset dari contoh tanah gambut yang memiliki karakteristik pH 4.7, rasio C/N 38 dan nilai KTK 70.5 asal Tanjung Jabung Barat, Jambi, dilakukan dengan terlebih dahulu mengencerkan contoh tanah gambut hingga 10-5 dan disebar sebanyak 100 µl pada media agar-agar Humic Vitamin (HV) yang ditambahkan antibiotik asam nalidiksat sebanyak 20 µg/L media dan cyclohexamide 0.05 g/L media kemudian diinkubasi selama tiga minggu pada suhu ruang. Isolat yang diperoleh dimurnikan dan diremajakan kembali pada media Yeast Malt Agar (YMA). Pengelompokan Berdasarkan Warna Koloni (Colour Grouping) Isolat aktinomiset yang telah murni ditumbuhkan pada tiga jenis media pertumbuhan yaitu Yeast Malt Agar (YMA), Yeast Starch Agar (YSA), dan Oatmeal Agar (OM) selama ±10 hari pada suhu ruang. Selanjutnya, dilakukan pengelompokan isolat aktinomiset berdasarkan warna koloninya. Uji Kemampuan Selulolitik Isolat aktinomiset yang diperoleh diuji aktivitas selulolitiknya dengan cara menginokulasikan koloni aktinomiset pada media Carboxy Methyl Cellulose (CMC) 1% dan diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari. Setelah itu dilakukan pengamatan terhadap adanya zona bening yang terbentuk, yang mengindikasikan aktivitas enzim selulase dari isolat aktinomiset. Penambahan larutan merah kongo 1 M dan NaCl 0.1 N sebagai larutan pencuci dilakukan untuk memperjelas keberadaan zona bening tersebut. Indeks selulolitik didapatkan melalui pengukuran zona bening yang terbentuk di sekitar koloni, dengan rumus sebagai berikut : Ø zona bening – Ø koloni Indeks selulolitik = Ø koloni
Pengukuran Aktivitas Selulase Aktinomiset Dua isolat aktinomiset dengan aktivitas selulolitik tinggi berumur 10 hari yang ditumbuhkan pada media agar-agar CMC, diinokulasikan masing-masing sebanyak 2 corkborer ke dalam 10 ml media CMC 1% cair dan ditempatkan pada shaker dengan kecepatan 100 rpm dan diinkubasi selama 35 hari pada suhu ruang. Setiap 5 hari sekali dilakukan pengukuran aktivitas enzim selulase. Pengukuran aktivitas enzim selulase dilakukan berdasarkan metode Miller (1959) dengan menggunakan enzim ekstrak kasar dan glukosa sebagai standar pada konsentrasi 0.02 mg/ml - 0.2 mg/ml. Aktivitas enzim selulase diuji terhadap substrat CMC 1% dalam bufer sitrat 0.2 M. Perhitungan aktivitas enzim selulase dinyatakan dengan nkat/ml, yang diacu berdasarkan Dybkaer (2001). Satu unit aktivitas enzim selulase adalah jumlah enzim yang dibutuhkan untuk melepas 1 µmol gula pereduksi per menit. Satu unit aktivitas enzim setara dengan 16.67 nkat/ml. Aktivitas enzim selulase dinyatakan dengan rumus di bawah ini : (Xs – Xk) x 1000 x fp nkat/ml =
x 16.67 BM glukosa x t
Keterangan : Xs
: Kadar gula sampel (mg/ml)
Xk
: Kadar gula kontrol (mg/ml)
t
: Waktu inkubasi (menit)
fp
: Faktor pengenceran
Pengukuran Aktivitas Selulase pada Substrat Spesifik Aktivitas Carboxy Methyl Cellulase (CMCase), aviselase, dan Filter Paperase (Fpase) diukur dengan metode DNS (Miller 1595) dengan glukosa sebagai standar dan dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Gula pereduksi yang dihasilkan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Pengukuran aktivitas CMCase dilakukan dengan menambahkan sebanyak 1 ml filtrat ekstrak kasar enzim dengan 1 ml CMC 1% dalam bufer sitrat 0.2 M pH 4.7, diinkubasi selama 1 jam pada suhu ruang. Pengukuran aviselase dilakukan dengan menambahkan sebanyak 2 ml filtrat ekstrak kasar enzim dengan 2 ml
avisel 2% dalam buffer sitrat 0.2 M, pH 4.7, diinkubasi selama 1 jam pada suhu ruang. Reaksi dihentikan dengan penambahan 20 µl NaOH 2 M, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 1500 xg selama 15 menit (Okada 1999). Pengukuran Fpase dilakukan dengan menambahkan sebanyak 1 ml filtrat ekstrak kasar enzim dengan 0.5 g kertas saring Whatman no.1 (1 x 6 cm), diinkubasi selama 1 jam pada suhu ruang (Alam et al. 2004). Identifikasi Isolat Aktinomiset Terpilih Identifikasi isolat aktinomiset dilakukan berdasarkan analisis urutan nukleotida pada 16S rRNA. Ekstraksi DNA bakteri dilakukan dengan menggunakan GES method (Pitcher et al. 1989). Amplifikasi PCR menggunakan Takara Taq polimerase (Takara Shuzo, Kyoto, Jepang). Komponen reaksi PCR untuk 40 μl volume total terdiri atas 4 μl DNA isolat aktinomiset, 0.4 μl ex Taq, 0.8 μl primer hulu 9F(5’GAGTTTGATCCTGGCTCAG-3’) dan primer hilir 1541R(5- AAGGAGGTGATCCAACC-3’), 1.6 μl dNTP, 4 μl bufer PCR, 5 μl MgCl2 dan 23.4 μl akuabides steril dengan kondisi denaturasi DNA target pada 95 °C selama 1 menit, diikuti oleh 30 siklus yang terdiri atas denaturasi pada 95 °C selama 1 menit, annealing primer pada 50°C selama 1 menit, dan ekstensi primer pada 72°C selama 1.5 menit. Pada akhir siklus, campuran reaksi dijaga pada 72 °C selama 5 menit dan kemudian didinginkan sampai suhu 4 °C (Tamura et al. 1997). Purifikasi PCR product dilakukan dengan PEG precipitation method (Hiraishi et al. 1995) dan dilanjutkan dengan sekuensing. Hasil sekuensing dipurifikasi kembali dengan ethanol purification method. Analisis pembacaan urutan basa nitrogen menggunakan automated DNA sequencer (ABI PRISM 3130 Genetic Analyzer) (Applied Biosystems). Hasil sekuensing DNA dalam bentuk FASTA format selanjutnya di BLAST untuk mencari homologi secara on line di pusat data base DNA di NCBI (http://www.ncbi.nlm.nlh.gov/)
HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Aktinomiset Asal Tanah Gambut Terdapat 80 koloni aktinomiset yang berhasil diisolasi dari contoh tanah gambut, yang tumbuh pada media agar-agar HV dan dimurnikan di media YMA. Hasil seleksi berdasarkan keragaman bentuk koloni dari 80 isolat diperoleh 20 isolat murni yang memiliki beragam morfologi koloni, menghasilkan miselia aerial dan mampu tumbuh baik serta bersporulasi pada umur 7-14 hari. Karakteristik morfologi ini mengindikasikan isolat-isolat tersebut adalah Streptomyces sp. Zenova et al. (2008) menyatakan bahwa karakteristik tanah gambut sebagai habitat yang memiliki penampakan zona anaerob dan aerob serta mampu menahan cadangan air yang besar kemungkinan merupakan faktor yang mendukung kelompok mikrob pengurai yang bersifat aerob atau mikroaerofilik, termasuk aktinomiset dan genus Streptomyces secara alamiah dapat hidup. Jumlah dan jenis aktinomiset yang terdapat dalam tanah tertentu akan sangat dipengaruhi oleh lokasi geografis seperti letak, suhu, jenis tanah, pH tanah, kandungan bahan organik, budidaya, aerasi dan kadar air. Populasi aktinomiset relatif lebih rendah dari mikrob tanah lain tetapi didominasi Streptomyces yang toleran terhadap kondisi asam (Arifuzzaman et al. 2010). Tanah kering dengan pH basa cenderung mengandung Streptomyces yang lebih sedikit dan dan lebih banyak dari genera langka seperti Actinoplanes dan Streptosporangium (Tsujibo et al. 2003). Pengelompokan berdasarkan Warna Koloni (Colour Grouping) Berdasarkan morfologi koloni pertumbuhan isolat pada media YMA, YSA, dan OM selama 10 hari pada suhu ruang, 20 isolat yang diperoleh dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok warna miselium udara dan sporanya yaitu putih, abu-abu dan coklat. Ambarwati et al. (2011) menyatakan bahwa karakteristik Streptomycetes memiliki hifa vegetatif dan miselium udara, dimana hifa vegetatif (dengan diameter 0.5 hingga 2.0 µm) menghasilkan miselium bercabang luas yang jarang memiliki fragmen. Miselium udara pada fase dewasa membentuk tiga hingga banyak spora (lebih dari 50 spora). Beberapa spesies memiliki rantai spora pendek pada miselium substrat. Spora bersifat nonmotil.
Koloni yang muncul relatif halus, tetapi kemudian terjadi perkembangan yang menampakkan miselium udara dalam bentuk floccose, butiran bubuk, atau beludru (Korn Wendisch & Kutzner 1992). Sebagian besar isolat dalam penelitian ini termasuk ke dalam kelompok warna abu-abu, warna putih dan warna coklat (Lampiran 2). Warna-warna ini disebabkan oleh pembentukan metabolit khusus yang disebut pigmen, beberapa pigmen terdiri atas 2 sampai 3 senyawa, sementara yang lain dapat terdiri atas 7 sampai 10 atau bahkan 15 senyawa (Abdulla et al. 2008). Data yang tersedia mengenai sifat kimia dari sekitar 200 pigmen aktinomiset telah dibagi ke dalam beberapa produk yaitu senyawa asiklik, senyawa aromatik, quinon, oksigen yang mengandung senyawa heterosiklik, nitrogen yang mengandung senyawa heterosiklik, sidromisin. Setiap jenis pigmen ini dapat memberikan warna tertentu dan dapat digunakan untuk mengklasifikasi Streptomyces. Pigmen kehijauan yang dapat mengindikasikan viridomisin dihasilkan oleh Streptomyces dengan miselia udara berwarna abu-abu, merah muda, dan kuning-kehijauan. Pigmen yang terkait dengan antibiotik dari jenis rodomisin, griseorodin-rubromisin dan litmosidin diproduksi oleh Streptomyces dengan miselia udara berwarna abu-abu juga merah muda (Salvameenal et al. 2009). Warna miselium udara adalah salah satu karakter menonjol dari identifikasi isolat Streptomyces di tingkat spesies. Internasional Streptomyces Project (ISP) telah merekomendasikan warna miselium udara di media yang berbeda untuk digunakan sebagai karakter taksonomi (Oskay 2009). Karakterisasi morfologi adalah informasi dasar dalam mendeskripsikan aktinomiset yang meliputi pembentukan miselium substrat, miselium udara, dan dihasilkannya pigmen terlarut (Wink 2011). Berdasarkan pengamatan mikroskopis diketahui bahwa isolat-isolat aktinomiset yang diperoleh dari isolasi tanah gambut ini memiliki 3 tipe penataan rantai spora yang dimiliki genus Streptomyces yaitu rectiflexibiles (RF), retinaculiaperti (RA) dan spirales (S). Sebagian besar isolat dalam penelitian ini memiliki tipe penataan rantai spora spirales, kemudian rectiflexibiles dan terakhir retinaculiaperti (Gambar 1). Penataan rantai spora dapat digunakan untuk membedakan morfologi antar isolat. Beragam spesies yang termasuk genus
Streptomyces dapat memiliki penataan rantai spora rectiflexibiles (RF), retinaculiaperti (RA) dan Spirales (S) (Jeffrey 2008).
200 µm
4
5
9
1
1
1
16
25
34
37
1
1
1
1
1 1
39
8
11
12
1
1
1
1
15
32
35
42
1
1
1
1
6 1
10 00
24 1
43 1
1
Gambar 1 Keragaman penataan rantai spora dari 20 isolat aktinomiset. Spirales (isolat 1, 4, 5, 9, 16, 25, 34, 37, 39, ), Rectiflexibiles (isolat 8, 11, 12, 15, 32, 35, 42), dan Retinaculiaperti (isolat 6, 10, 24, 43). Kemampuan Selulolitik Aktinomiset Asal Tanah Gambut Pengujian kemampuan selulolitik 20 isolat aktinomiset dilakukan dengan menggunakan uji pembentukan zona bening sebagai langkah penapisan awal untuk identifikasi kemampuan kualitatif selulolitik isolat. Hasil uji menunjukkan bahwa setelah inkubasi selama 4 hari, 20 isolat aktinomiset menunjukkan hasil positif dengan terbentuknya zona bening yang ukurannya berkisar antara 16-25 mm sehingga diperoleh nilai indeks selulolitik yang berkisar antara 0.3-3.5 (Tabel 1). Indeks selulolitik adalah rasio diameter zona bening terhadap diameter
koloni. Sumber karbon tunggal pada media Carboxy Methyl Cellulose (CMC) 1% adalah selulosa, sehingga indeks selulolitik tersebut menunjukkan aktivitas selulolitik aktinomiset uji yang beragam. Aktivitas spesifik enzim selulase ini ditandai dengan nisbah diameter zona bening terhadap diameter koloni isolat yang ditumbuhkan pada media agar-agar
bersumber karbon CMC (Fikrinda et al.
2000). Hasil telaah literatur menunjukkan bahwa Streptomyces sp. galur J2 dari sampel tanah di Yordania yang diisolasi dengan medium Cellulose Agar (CA) mampu memproduksi enzim selulase setelah 4 hari inkubasi dengan memperlihatkan diameter zona bening berukuran 22 mm (Jaradat et al. 2008). Streptomyces noboritoensis TBG-V20 yang diisolasi dari tanah di daerah Tamilnadu, India, setelah ditumbuhkan pada media agar Inorganic Salt Cellulose selama 7 hari inkubasi memperlihatkan diameter zona bening berukuran 26 mm (Arunachalam et al. 2010). Waktu inkubasi yang optimal memberikan rasio yang tinggi dari diameter zona bening terhadap diameter koloni. Pada inkubasi dua hari, zona bening hanya terlihat samar-samar dan rasio maksimal diameter zona bening terhadap diameter koloni terjadi antara 4 dan 9 hari (Ibrahim & El Diwany 2007). Kemampuan membentuk zona bening pada media CMC menunjukkan adanya enzim endo-β-1.4-glukanase yang dapat memutuskan ikatan β-1.4 glikosida pada serat selulosa secara acak dan banyaknya daerah amorf pada substrat tersebut menyebabkan CMC dapat dihidrolisis dengan lebih efisien (Goto et al. 1992).
Tabel 1 Kemampuan selulolitik isolat aktinomiset asal tanah gambut Kode Isolat Diameter Zona Bening Diameter Koloni Indeks Selulolitik (mm) (mm) 6 25 9 1.6 35 16 10 0.6 5 22 10 1.2 9 20 15 0.3 43 25 19 0.3 34 25 15 0.6 24 22 8 1.75 12 16 8 1 8 20 10 1 15 27 6 3.5 32 28 7 3 1 18 15 0.2 11 17 14 0.2 37 26 10 1.6 16 12 10 0.2 42 21 7 2 39 25 10 1.5 Isolat 15 dan 42 merupakan dua isolat dengan nilai indeks selulolitik masing-masing 3.5 dan 2 yang lebih tinggi dibandingkan isolat-isolat uji lainnya (Lampiran 3). Pengukuran aktivitas selulase berdasarkan zona bening yang terbentuk bersifat kualitatif, lebar zona bening tidak menunjukkan jumlah aktivitas selulase, sehingga diperlukan uji aktivitas selulase secara kuantitatif. Aktivitas Selulase Aktivitas selulase isolat
15 dan 42 meningkat
seiring dengan
meningkatnya biomassa sel, namun masing-masing isolat menunjukkan aktivitas selulase dan kemampuan tumbuh yang berbeda. Untuk isolat 15, aktivitas selulase tertinggi diperoleh pada hari ke-30 sebesar 0.3 nKat/ml (Gambar 2), sedangkan isolat 42 memiliki aktivitas selulase yang lebih tinggi yaitu sebesar 0.8 nKat/mL yang diperoleh pada hari ke 15 (Gambar 3). Produksi metabolit sekunder oleh Streptomyces
umumnya
bertepatan
dengan,
atau
sedikit
mendahului,
perkembangan miselia udara di permukaan kultur padat sedangkan pada kultur cair, umumnya terbatas hingga fase stasioner. Metabolit sekunder dihasilkan ketika sel tidak bekerja di bawah kondisi optimum misalnya ketika sumber nutrisi
utama habis, disintesis untuk jangka waktu yang terbatas oleh sel yang tidak lagi mengalami pertumbuhan yang seimbang (Bibb 2005). Tamburini et al. (2004) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa aktivitas mendegradasi CMC berlangsung selama fase awal pertumbuhan yang cepat, namun juga meningkat setelah transisi ke fase stasioner dan aktivitasnya sebanding dengan kenaikan bahan sel. Produksi enzim hidrolitik selama metabolisme sekunder sebelumnya juga telah dilaporkan oleh Gonzalez et al. (2002) bahwa S. exfoliatus mengeluarkan lipase LipA hanya selama fase stasioner.
0.3
0.35
0.25
0.30
0.2
0.25 0.20
0.15
0.15
0.1
0.10
0.05
0.05 0.00
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Waktu inkubasi (hari)
Gambar 2 Kurva pertumbuhan dan produksi selulase isolat 15 dalam media cair CMC 1%, pH 4.7, suhu 40oC. aktivitas selulase isolat 15 bobot kering
Bobot kering (gram)
Aktivitas selulase (nKat/mL)
0.40
1
0.6 0.5
0.8 0.7
0.4
0.6 0.5
0.3
0.4 0.2
0.3 0.2
0.1
Bobot kering (gram)
Aktivitas selulase (nKat/mL)
0.9
0.1 0
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Waktu inkubasi (hari)
Gambar 3 Kurva pertumbuhan dan produksi isolat 42 dalam media cair CMC 1% pH 4.7, suhu 40oC. aktivitas selulase isolat 42 bobot kering Setiap bakteri selulolitik memiliki aktivitas enzim selulase yang berbedabeda, tergantung pada hubungan kompleks yang melibatkan berbagai faktor seperti sumber karbon, kualitas selulosa, nilai pH, suhu, ketersediaan induser, aditif medium, aerasi dan waktu pertumbuhan (Immanuel et al. 2006). Ukuran partikel
dari
selulosa
dapat
mempengaruhi
produksi
selulase
oleh
mikroorganisme, dengan pelepasan enzim berbanding terbalik dengan ukuran partikel substrat yang digunakan yaitu enzim yang dilepaskan meningkat, ketika ukuran partikel substrat menurun (Zhang et al. 2006) Pengukuran Aktivitas Selulase pada Substrat Spesifik Isolat 15 dan 42 dapat memanfaatkan ke tiga substrat uji yakni Carboxymethyl cellulose, Avicel, dan Whatmann Filter Paper No.1, yang menunjukkan bahwa kedua isolat tersebut memiliki aktivitas selulolitik melalui CMCase, Avicel, dan FPase. Hal ini menunjukkan adanya sinergi dalam sistem enzim selulase yang dihasilkan isolat uji. Dalam hal ini, disebut endo-ekso sinergi antara endoglukanase dan eksoglukanase (Mehdi et al. 2010) karena selulase yang disekresikan memiliki aktivitas pada CMCase dan Avicel. Maki et al. (2011) menyatakan bahwa untuk membandingkan efektivitas aktivitas enzim selulase yang dilepaskan, dibutuhkan teknik untuk mengukur aktivitas selulase total. FPase
adalah metode utama untuk analisis aktivitas selulase total sedangkan aktivitas endoglukanase dapat diukur dengan menggunakan derivat selulosa terlarut dengan derajat polimerisasi tinggi seperti CMCase. Avicel digunakan untuk mengukur aktivitas eksoglukanase karena memiliki selulosa dengan derajat polimerisasi rendah yang relatif tidak memiliki akses untuk diputus endoglukanase. Aktivitas CMCase, Avicel, dan FPase dari isolat 15 masing-masing sebesar 0.12, 0.15, dan 0.34 nKat/mL. Aktivitas terhadap substrat Avicel lebih besar dibandingkan aktivitas terhadap substrat CMCase (Gambar 4) sedangkan untuk isolat 42 aktivitas CMCase, Avicel, dan FPase masing-masing sebesar 0.47, 0.38, dan 0.61 nKat/mL. Berbeda dengan isolat 15, aktivitas isolat 42 terhadap substrat CMCase lebih besar dibandingkan terhadap substrat Avicel (Gambar 5). Meryandini et al. (2009) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa 4 isolat bakteri selulolitik yang digunakan memiliki aktivitas selulase yang berbeda terhadap substrat sintetik yang berbeda. Selain itu juga memiliki aktivitas enzim selulase pada substrat kertas saring, yaitu selulosa sintetik campuran antara selulosa amorphous dan kristalin. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Das et al. (2007), isolat selulolitik mesofilik Streptomyces olbolongus menunjukkan aktivitas enzim selulase yang tinggi yaitu 120.2 U/mL pada substrat CMC, 49.2 U/mL pada substrat avicel, dan 46.9 U/mL pada substrat FPase. Schlochtermeier et al. (1992) menyatakan bahwa kekhasan enzim selulolitik
seringkali
sulit
untuk
ditentukan
karena
heterogenitas
dan
ketidakmurnian dari substrat yang tersedia. Enzim yang menunjukkan aktivitas tinggi pada substrat avicel dan aktivitas kecil pada CMCase diidentifikasi sebagai eksoglukanase. Aktivitas tinggi terhadap substrat CMCase menunjukkan adanya enzim endo-β-glukanase yang dapat memutus ikatan β-1.4 glikosida pada daerah amorf selulosa (Maki et al. 2009). Enzim yang mampu menghidrolisis kristal ini menjadi penting karena kristalinitas selulosa merupakan penghambat utama dalam hidrolisis selulosa alami. Jager et al. (2010) menyatakan bahwa kristalinitas selulosa merupakan faktor utama yang menentukan penguraian selulosa secara hayati oleh enzim selulolitik sehingga mikrob yang memiliki kemampuan menghidrolisis kristal yang tinggi berpotensi menghidrolisis selulosa yang terdapat di alam.
Aktivitas (nKat/mL)
0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15
0.1 0.05 0 CMCase
Avicel
FPase
Substrat spesifik
Gambar 4 Aktivitas selulase isolat 15 pada substrat spesifik (CMCase, Avicel, dan FPase), pH 4.7, suhu 40oC.
Aktivitas (nKat/mL)
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 CMCase
Avicel
FPase
Substrat spesifik
Gambar 5 Aktivitas selulase isolat 42 pada substrat spesifik (CMCase, Avicel, dan FPase), pH 4.7, suhu 40oC.
Identifikasi Isolat Aktinomiset Terpilih Gen penyandi 16S rRNA teramplifikasi pada ke dua isolat aktinomiset terpilih dengan ukuran pita yang dihasilkan sekitar 1500 bp (Gambar 6).
10000 8000 1500 1000 700 500 300
1500 bp
Gambar 6 Profil DNA hasil amplifikasi gen penyandi 16S rRNA dengan PCR pada isolat 15 (1) dan 42 (2). Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida isolat 15 dan 42, diperoleh pasangan basa sepanjang 1504 bp, dilakukan melalui penyesuaian dengan sekuens gen 16S rRNA yang telah dilaporkan di GeneBank. Database dari NCBI Blast yang tersedia di www.ncbi-nlm-nih.gov. Data tersebut digunakan untuk membandingkan homologi sekuens nukleotida 16S rRNA isolat 15 dan 42. Tabel 2 Hasil BlastN sekuens 16S rRNA isolat 15 dan 42 Isolat
Kemiripan
15
Streptomyces diastaticus galur NRRL B-1773 Streptomyces exfoliatus galur NBRC-13475
42
Identitas Nilai No. Akses maksimum E- value 98% 0.0 NR.043486.1 94%
0.0
NR.041229.1
Hasil blast sekuens gen 16S rRNA dari kedua isolat aktinomiset menunjukkan bahwa isolat 15 berkerabat dengan Streptomyces diastaticus NRRL B-1773 dengan nilai Max Identity 98%. Streptomyces diastaticus var. 108
diketahui mampu menghasilkan dua antibiotik polyene macrolide (rimosidin dan CE-108) (Seco et al. 2005).
Isolat 42 berkerabat dengan Streptomyces exfoliatus NBRC-13475 dengan nilai Max Identity 94%. Sreenath dan Joseph (1982) dalam penelitiannya menyatakan bahwa fraksinasi dari xilan ekstraseluler dari galur Streptomyces exfoliatus MC1 mengungkapkan adanya lima jenis enzim. Salah satu endo-enzim adalah spesifik untuk xilan sementara yang lain juga bisa menghidrolisis selulosa, inulin dan pektin sedangkan ekso-enzim menunjukkan fungsi xilanolitik dan selulolitik saja. Berbeda galur, Streptomyces exfoliatus K10 juga diketahui menghidrolisis senyawa polimer seperti selulosa, kitin, xilosa, pullulan (Klingbeil et al. 1996). Isolat 42 diprediksi sebagai novel spesies karena memiliki kekerabatan dengan galur rujukan dengan nilai Max Identity kurang dari 97%. Namun, idealnya, identifikasi taksonomi bakteri untuk validitas dan akurasi ilmiah perlu dilakukan berdasarkan polyphasic
approach yaitu pendekatan dengan
menggunakan kombinasi dari metode pengujian fenotip (uji biokimia, analisis asam lemak, dan analisis numerik) dan metode pengujian genotip (hibridisasi DNA, analisis kandungan G+C, dan analisis 16S rRNA) (Janda & Abbott 2002). Pseudomonas aeruginosa strain BP C2 100
isolat isolat 4242 isolat isolat 1515
65 58
Streptomyces fradiae strain RMS4 Streptomyces diastaticus subsp. ardesiacus strain NRRL B-1773
16
Streptomyces griseoaurantiacus strain NBRC 15440
17
Streptomyces rubrogriseus strain NBRC 15455
65
Streptomyces coelicoflavus strain NBRC 15399 Streptomyces tricolor strain NBRC 15461 Streptomyces daghestanicus strain NRRL B-5418
74
Streptomyces albidoflavus strain NBRC 13010 79 10 11
Streptomyces somaliensis strain: Sl87 Streptomyces odorifer strain DSM 40347 Streptomyces koyangensis strain VK-A60
4 9
Streptomyces exfoliatus strain NBRC 13475
Gambar 7 Pohon filogenetik dari sekuens 16 rRNA isolat 15 dan 42. Hasil konstruksi filogenetik (Gambar 7) yang menggunakan metode neighbor-joining, menunjukkan isolat 15 dan 42 memiliki percabangan yang sama dengan nilai bootstrap sebesar 100. Kedua isolat berada pada satu clade (kelompok) yang sama dan berada di luar clade Streptomyces hasil blast dan outgroup-nya. Nilai bootstrap
> 95%
adalah signifikan secara statistik dan
mengindikasikan “support” untuk membentuk sebuah clade (Soltis PS & Soltis DE 2003). Nilai bootsrap menunjukkan konsistensi data dalam penentuan takson, hanya memberikan informasi tentang stabilitas topologi, dan bukan menunjukkan akurasi pohon filogeni (Holmes 2003).
SIMPULAN Uji terhadap 20 isolat aktinomiset yang diisolasi dari tanah gambut menunjukkan kemampuan selulolitik. Isolat 15 dan 42 merupakan dua isolat dengan nilai indeks selulolitik tinggi dengan nilai aktivitas selulase masingmasing sebesar 0.3 nKat/mL dan 0.8 nKat/mL. Isolat 15 dan 42 memiliki aktivitas selulolitik pada CMCase, Avicel, dan FPase. Kedua isolat memiliki aktivitas selulolitik yang lebih besar pada substrat FPase dibandingkan CMCase dan Avicel. Hasil sekuensing gen 16S rRNA menunjukkan bahwa isolat 15 homolog dengan Streptomyces diastaticus dengan nilai identitas maksimum 98% sedangkan isolat 42 homolog dengan Streptomyces exfoliatus dengan nilai identitas maksimum 94%. Analisis filogenetik menunjukkan isolat 15 dan 42 memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan nilai bootstrap sebesar 100%.
DAFTAR PUSTAKA Abdulla H, May E, Bahgat M, Dewedar A. 2008. Characterization of actinomycetes isolated from ancient stone and their potential for deterioration. Polish J Microbiol 57:213-220. Alam MZ, Manchur MA, Anwar MN. 2004. Isolation, purification, characterization of cellulolytic enzymes produced by Streptomyces omiyaensis. J Biol Sci 10:1647-1653. Ambarwati A, Sembiring L, Soegihardjo CJ. 2011. Antibiotic produced by streptomycetes associated with rhizosphere of purple nut sedge (Cyperus rotundus L.) in Surakarta, Indonesia. Afr J Biotechnol 6:52-52. Anindyawati T. 2010. Potensi selulase dalam mendegradasi lignoselulosa limbah pertanian untuk pupuk organik. Berita selulosa 45:70-77. Arifuzzaman A, Khatun MR, Rahman A. 2010. Isolation and screening of actinomycetes from Sundarbans soil for antibacterial activity. Afr J Biotechnol 9:4615-4619. Arunachalam R, Wesely EG, George J, Annadurai G. 2010. Novel approach for identification of Streptomyces noboritoensis TBG-V20 with cellulase production. Curr Res Bacteriol 3:15-26. Aziz AA, Husin M, Mokhtar A. 2002. Preparation of cellulose from oil palm empty fruit bunches via ethanol digestion: effect of acid and alkali catalysts. J Oil Palm Res 14:9-14. Berrocal M, Rodriguez J, Ball AS, Leblic P. 1997. Solubilisation and mineralisation of lignocellulose from wheat straw by Streptomyces cyaneus CECT 3335 during growth in solid-state fermentation. Appl Microbiol Biotechnol 48:379-384. Beguin P, Aubert JP .1994. The biological degradation of cellulose. FEMS Microbiol Rev 13:25-58. Bhat MK, Bhat S. 1997. Cellulose degrading enzymes and their potential industrial applications. Biotechnol Adv 15:583-620. Bibb MJ. 2005. Regulation of secondary metabolism in Streptomycetes. Curr Opin Microbiol 8:208-215. Chandel et al. 2007. Economics and Environmental impact of Bioetanol Production Technologies : An Appraisal. Biotechnol Mol Biol Rev 2:1432. Das SK, Alam MZ, Manchur MA, Anwar MN. Effect of nutrients and cellobiose octaacetate on cellulolytic enzyme productions by Streptomyces albolongus. Bangladesh J Microbiol 24:70-72. Davison A, Blaxter M. 2005. Ancient origin of glycosyl hydrolase family 9 cellulase genes. Mol Biol Evol 22:1273-1284. Dybkaer R. 2001. Unit “katal” for catalytic activity. J Pure Appl Chem 73:927931. Fikrinda, Anas I, Purwadaria T, Santosa DA. 2000. Isolasi dan seleksi bakteri penghasil selulase ekstremofil dari ekosistem air hitam. J Mikrobiol Ind 5:48-53.
Gonzalez SL, Castro C, Perez C, Rubio M, Valdez F. 2002. bldA-dependent expression of the Streptomyces exfoliatus M11 lipase gene (lipA) is mediated by the product of a contiguous gene, lipR, encoding a putative transcriptional activator. J Bacteriol 179:7816-7826. Goto M, Furukawa K, Hayashida S. 1992. An avicel-affinity site in an aviceldigesting exocellulase from a Trichoderma viride mutant. Biosci Biotech Biochem 56:1523-1528. Hartatik W, Idris K, Sabiham S, Djuniwati S, Adiningsih JS. 2004. Di dalam: Pengaruh pemberian fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap serapan P dan efisiensi pemupukan P. Prosiding Kongres Nasional VIII HITI. Universitas Andalas. Padang, 6-11 Juni 2004. hlm 19-37. Hamedani K, Soudbakhsh N, Das A, Prashanthi K, Bhattacharya S, Suryan S. 2012. Enzymatic screening, antibacterial potential and molecular characterization of Streptomycetes isolated from Wayanad District in Kerala, India. Biol Sci 2:201-210. Hiraishi A, Kamagata Y, Nakamura N. 1995. Polymerase chain reaction amplification and restriction fragment length polymorphism analysis of 16S rRNA genes from methanogens. J Ferm Bioeng 79:523-529. Holmes S. 2003. Bootstrapping phylogenetic trees: theory and methods. Stat Sci 18:241-255. Holt et al. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Ed ke-9. Baltimore: Science Publishers, Inc. Ibrahim ASS, El Diwany AI. 2007. Isolation and identification of new cellulases producing thermophilic bacteria from an egyptian hot spring and some properties of the crude enzyme. Aust J Appl Sci 1:473-478. Immanuel G, Dhanusa R, Prema P, Palavesa A. 2006. Effects of different growth parameters on endoglucanase enzyme activity by bacteria isolated from coir retting effluents of estuarine environment. Int J Environ Sci Tech 3:2534. Jager et al. 2010. Practical screening of purified cellobiohydrolases and endoglucanases with α-cellulose and specification of hydrodynamics. Biotech Biofuels 3:18 http://www.biotechnologyforbiofuels.com/content/3/ [17 Januari 2012] Jaradat Z, Dawagreh A, Ababneh Q, Saadoun I. 2008. Influence of culture conditions on cellulase production by Streptomyces sp. (Strain J2). Jordan J Biol Sci 4:141-146. Janda JM, Abbott SL. 2002. Bacterial identification for publication: when is enough enough. J Clin Microbiol 40:1887-1891. Jeffrey LSH. 2008. Isolation, characterization and identification of actinomycetes from agriculture soils at Semongok, Sarawak. Afr J Biotechnol 7:36973702. Kanti A. 2005. Actinomycetes selulolitik dari tanah hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Biodiversitas 2:85-89. Kim KC, Seung-Soo Y, Oh Young A, Seong-Jun K. 2003. Isolation and characteristics of Trichoderma harzianum FJ1 producing cellulases and xylanase. J Microbiol Biotechnol 13:1-8.
Klemm D, Heublein B, Fink HP, Bohn A. 2005. Cellulose: fascinating biopolymer and sustainable raw material. Chem Inform 44:3358-3393. Klingbeil B, Kroppenstedt RM, Jendrossek D. 1996. Taxonomic identification of Streptomyces exfoliatus K10 and characterization of its poly(3hydroxybutyrate) depolymerase gene. Res Lett 142:215-221. Koesnandar, Parmiyatni S, Nurani D, Wahyono E. 2006. Government role on research and application of technology for peatland utilization. Di dalam: Koesnandar et al., editor. National Seminar on peatlands and their problems; Pontianak, 21 Mar 2006. Pontianak: Universitas Tanjungpura. Korn-Wendisch F, Kutzner HJ. 1992. The family Streptomycetaceae. Di dalam: A. Balows HG, Truper M, Dworkin, W. Harder, Karl-Heinz Schleife, editors. The Prokaryotes. A Handbook on the Biology of Bacteria: Ecophysiology, Isolation, Identification, Applications. Second Edition. New York: Springer-Verlag. Kukolya et al. 2002. Thermobifida cellulolytica sp. nov., a novel lignocellulosedecomposing actinomycete. Int J Syst Evolution Microbiol 52:1193–1199. Li Xianzhen. 1997. Streptomyces cellulolyticus sp. nov., a new cellulolytic member of the genus Streptomyces. Int J Syst Bacteriol 47:443-445. Lynd LR, Weimer PJ, Zyl WH, Pretorius IS. 2002. Microbial cellulose utilization: fundamentals and biotechnology. Microbiol Mol Biol Rev 66:506-577. Maki ML, Leung KT, Qin W. 2009. The prospects of cellulase-producing bacteria for the bioconversion of lignocellulosic biomass. Int J Biol Sci 5:500-516. Maki ML, Broere M, Leung KT, Qin W. 2011. Characterization of some efficient cellulase producing bacteria isolated from paper mill sludges and organic fertilizers. Int J Biochem Mol Biol 2:146-154. Malherbe S, Cloete TE. 2002. Lignocellulose biodegradation: fundamentals and applications. Rev Envir Sci Biotecnol 1:105-114. Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2000. Brock Biology of Microorganisms. Ed. Ke-9. Upper Saddle River : Prentice Hall. Maltby E. 1992. Microbiological changes resulting from human impacts on peat and organic soil horizons. Di dalam: Bragg OM, Hulme PD, Ingram HAP, Robertson RA, editors. Peatland Ecosystems and Man: An Impact Assessment, Dundee: International Peat Society, Department of Biological Sciences, University of Dundee. hlm 45–58. Mehdi D, Miranda M, Leung KT, Mao C, Qin W. 2010. Cellulase activities in biomass conversion: measurement methods and comparison. Cri Rev Biotechnol :1-8. http://www.informahealthcare.com/bty [17 Januari 2012]. Meryandini et al. 2009. Isolasi bakteri selulolitik dan karakterisasi enzimnya. Makara Sains 13:33-38. Miller GL. 1959. Dinitrosalisic assay. Anal Chem 31: 426-428. Moore TA, Shearer JC. 1997. Evidence of aerobic degradation of Palangka Raya Peat and Implication for its Sustainability. Di dalam: Proceedings of the international Symposium on Biodiversity, Environmental importance and sustainability of Tropical Peat and Peatlands; Palangkaraya, 4-8 sept 1997. Palangkaraya, Central Kalimantan, Indonesia. Mutalib, A.Aa, J.S. Lim, M.H. Wong and L. Koonvai. 1991. Characterization, distribution and utilization of peat in Malaysia. Di dalam: Proceedings of
International Symposium on tropical peatland; Kuching, Malaysia, 6-10 May 1991. hlm 267-280. Nannipieri et al. 2003. Microbial diversity and soil function. Eur J Soil Sci 54:655-670. Nishiyama Y, Langan P, Chanzy H. 2002. Crystal structure and hydrogenbonding system in cellulose Iβ from synchrotron x-ray and neutron fiber diffraction. J Am Chem Soc 124:9074-82. Nurani D, Parmiyatni S, Purwanta H, Angkoso G, Koesnandar. 2007. Increase In pH of Peat Soil by Microbial Treatment. Di dalam: Carbon-ClimateHuman Interactions on Tropical Peatland: Carbon Pools, Fire, Mitigation, Restoration and Wise Use. Proceedings of the International Symposium and Workshop on Tropical Peatland; Yogyakarta, 27-29 Agu 2007. Yogyakarta: Department of Soil Science, Faculty of Agriculture, Gadjah Mada University. hlm 86-93. Nugroho KG, Gianinazzi, Widjaja A. 1997. Soil hidraulic properties of Indonesian peat. Di dalam: Rieley J.O & Page S.E, editor. Biodiversity and sustainability of tropical peat and peatland. Cardigan: Samara. hlm 147-156 Okada G. 1999. A novel concept for the enzymatic degradation mechanism of native cellulose. Di dalam : Ohmiya et al., editor. Genetics Biochemistry and Ecology of Cellulose Degradation Cel. Tokyo: Uni Publisher. hlm 7685. Oskay M. 2009. Comparison of Streptomyces diversity between agricultural and non-agricultural soils by using various culture media. Sci Res 4:997-1005. Page SE, Wust, Banks C. 1999. Past and present carbon accumulation and loss in Southeast Asian peatlands. PAGES News 18:234-237. Page SE, Rieley JO, Boehm HDV, Jaya A, Limin SH. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature 420:61-65. Pangastuti A. 2006. Definisi spesies prokaryota berdasarkan urutan basa gen penyandi 16S rRNA dan gen penyandi protein. Biodiversitas 7:292-296. Perez J, Dorado JM, Rubia T, Martinez J. 2002. Biodegradation and biological treatments of cellulose, hemicellulose and lignin: an overview. Int Microbiol 5:53-63. Pitcher DG, Saunders NA, Owen RJ. 1989. Rapid extraction of bacterial genomic DNA with guanidium thiocyanate. Lett Appl Microbiol 8:109-114. Radjagukguk B. 1997. Peat soil of Indonesia: Location, classification, and problems for sustainability. Di dalam: Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands; Palangkaraya, Central Kalimantan 4-8 Sept 1999. Cardigan: Samara Publishing Ltd. hlm 45-54. Ramachandra M, Crawford DL, Hertel G. 1988. Characterization of an extracellular lignin peroxidase of the lignocellulolytic Actinomycete Streptomyces viridosporus. Appl Environ Microbiol 54:3057-3063. Selvameenal L, Radhakrishnan M, Balagurunathan R. 2009. Antibiotic pigment from desert soil actinomycetes; biological activity, purification and chemical screening. Indian J Pharm Sci 71:499-504.
Salampak. 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut yang disawahkan dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Stackebrandt E, Goebel BM. 1995. A place for DNA-DNA reassociation and 16S rRNA sequence analysis in the present species definition in bacteriology. Int J Syst Bacteriol 44:846-849. Sagiman S. 2001. Peningkatan produksi kelelai di tanah gambut melalui inokulasi Bradyrhizobium japonicum asal tanah gambut dan pemanfaatan bahan ameliorant (lumpur dan kapur) [disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Scwarz, W.H. 2001. The cellulosome and cellulose degradating anaerobic bacteria. J Appl Microbiol Biotechnol 56:634-649. Seco EM, Cuesta T, Fotso S, Laatsch H, Malpartida F. 2005. Two polyene amides produced by genetically modified Streptomyces diastaticus var. 108. Chem Biol 12:535-543. Semedo LTAS et al. 2004. Streptomyces drozdowiczii sp. nov., a novel cellulolytic streptomycete from soil in Brazil. Int J Syst Evol Microbiol 54:1523-1528. Soltis PS, Soltis DE. 2003. Applying the bootstrap in phylogeny reconstruction. Stat Sci 18:256-267. Sreenath HK, Joseph R. 1982. Purification and properties of extracellular xylan hydrolases of Streptomyces exfoliatus. Folia Microbiol 27:107-115. Tamura T, Hayakawa M, Hatano K. 1997. A new genus of the order Actinomycetales, Spidliplanes gen. nov., with description of Spirilliplanes yamanashiensis sp. nov. Int J Syst Bacteriol 47:97-102. Tamburini E, Perito B, Mastromei G. 2004. Growth phase-dependent expression of an endoglucanase encoding gene (eglS) in Streptomyces rochei A2. Microbiol Lett 237:267-272. Tomme P, Warren RA, Gilkes NR. 1995. Cellulose hydrolysis by bacteria and fungi. Adv Microb Physiol 37:1-81. Tsujibo H, Kubota T, Yamamoto M, Miyamoto K, Inamori Y. 2003. Characteristics of chitinase genes from an alkaliphilic actinomycete, Nocardiopsis prasina OPC-131. Appl Environ Microbiol 69:894-900. Wink Joachim. 2011. How can actinomycete taxonomy and natural product research work together-The Sanofi-Aventis approach. Under The Microscope. Microbiology Australia. journals.cambridgemedia.com.au [7 Juni 2012]. Zenova GM, Gryadunova AA, Pozdnyakov AI, Zvyagintsev DG. 2008. Aerobic and microaerophilic actinomycetes of typical agropeat and peat soils. Eurasian Soil Sci 41:210-214 [terhubung berkala]. http://www.springerlink.com [20 Juni 2012]. Zhang PYH, Himmel ME, Mielenz JR. Outlook for cellulase improvement: Screening and selection strategies. Biotechnol Adv 24:452-481.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Komposisi media
1. Komposisi media Humic Vitamin (HV) Agar: Humic acid
40 mL
CaCO3
0.02 g
FeSO4.7H2O
0.01 g
KCl
1.71 g .
MgSO4 7H2O
0.05 g
Na2HPO4
0.5 g
Vitamin B
5 mL
Cyclohexamide
0.05 g
Nalidixic acid
4 mL
Agar-agar
18 g
Akuades
1L
2. Komposisi media Yeast Malt (YM) Agar: Ekstrak malt
10 g
Ekstrak khamir
4g
Glukosa
4g
Agar-agar
15 g
Akuades
1L
3. Komposisi media Yeast Starch (YS) Agar: Ekstrak khamir
4g
Starch
15 g
K2HPO4
0.5 g
MgSO4.7H2O
0.5 g
Agar
15 g
Akuades
1L
4. Komposis media Oatmeal (OM) Agar: Oatmeal
25 g
Akuades
1L
5. Komposisi media Carboxy Methyl Cellulase (CMC): Carboxy methyl cellulase 10 g
MgSO4.7H2O
0.2 g
KNO3
0.75 g
K2HPO4
0.5 g
FeSO4.7H2O
0.02 g
CaCl2
0.04 g
Ekstrak khamir
2g
Glukosa
1g
Agar-agar
18 g
Akuades
1L
Lampiran 2 Morfologi koloni isolat-isolat aktinomiset yang ditumbuhkan pada media Oatmeal, YMA, dan YSA selama 4 hari pada suhu ruang.
Kode isolat 1
4
5
6
8
9
10
11
12
Media Oatmeal
Media YMA
Media YSA
15
16
24
25
32
34
35
37
39
42
43
Lanjutan lampiran 2
Kode isolat
Karakteristik isolat Media YMA
1
4
5
6
8
9
10
11
12
15
16
24
25
32
34
35
37
Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni sedang, miselium aerial berwarna putih Pertumbuhan koloni sedang, miselium aerial berwarna putih Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna putih Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna putih Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu gelap Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna putih Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu gelap Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna putih Pertumbuhan koloni baik,
Media YSA Pertumbuhan koloni sedang, miselium aerial berwarna putih Pertumbuhan koloni sedang, miselium aerial berwarna putih Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna putih keabu-abuan Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna putih Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna coklat Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna putih Pertumbuhan koloni sedang,
Media Oatmeal Pertumbuhan koloni sedang, miselium aerial berwarna coklat gelap Pertumbuhan koloni kurang baik, miselium aerial abu-abu Pertumbuhan koloni sedang, miselium aerial berwarna putih Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna kecoklatan Pertumbuhan koloni sedang, miselium aerial berwarna putih Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna putih keabu-abuan Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwana abuabu Pertumbuhan koloni kurang baik, miselium aerial putih Pertumbuhan koloni kurang baik, miselium aerial berwarna putih Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwana abuabu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna coklat Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna coklat Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abuabu Pertumbuhan koloni kurang baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna coklat Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abuabu gelap Pertumbuhan koloni baik,
39
42
43
miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu gelap Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu gelap Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu
miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abu-abu gelap
miselium aerial berwarna coklat Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna putih Pertumbuhan koloni baik, miselium aerial berwarna abuabu Pertumbuhan koloni sedang, miselium aerial berwarna putih
Lampiran 3 Kemampuan selulolitik aktinomiset isolat 15 (A) dan 42 (B) asal tanah gambut
A
B