AKIBAT KEMISKINAN PEKERJAAN DILUAR SETOR PERTANIAN MERUPAKAN PILIHAN UTAMA BAGI PENDUDUK PERDESAAN
Oleh : Sudaryono STIA ASMI SOLO
ABTRAKSI Kemiskinan kita jumpai sejak negeri yang kita cintai ini ditangan penjajahan, samapi dengan setelah kemerdekaan, bahkan setelah reformasi kimiskinan masih menimpa sebagian bangsa kita. Sehingga kemiskinan masih selalu merupakan pekerjaan rumah yang hasur diselesaiakan oleh pemerintah, baik kemiskinan yang menimpa sebagian penduduk perdesaan maupun perkotaan. Khususnya kemiskinan yang memimpa para penduduk pedesaan dari tahun ke tahun tidak mengalami penurunan jumlahnya yang siqnifikan. Walaupun pada masa pemerintahan Suharto, mengutamakan pembangunan dibidang pangan, melalui pembangunan di sektor pertanian dan pada repelita II negara kita merupakan negara swasembada pangan, begitu pula pada pemerintahan Susilo Bambang Hudoyono negara kita dinyatakan swasembanda pangan, namun sebagian besar penduduk perdesaan sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga nasip penduduk perdesaan sebagian besar tetap dirundung kemiskinan, khususnya petani di pulau Jawa karena hasil pertanian tidak mencukupi kebutuhan hidup, tanah pertanian yang dimilki semit, bahkan para petani hanya sebagai buruh tani. Selain itu tidak adanya kesempatan kerja di perdesaan dan pekerjaan di sektor pertanian tidak membutuhkan pekerjaan yang terus-menerus, serta makin sempitnya tanah pertanian akibat untuk pemukiman, pembangunan industri, jalan dan masuknya tehnologi baru di bidang pertanian. Dari beberapa alasan diatas, khususnya petani di perdesaan di pulau Jawa, satu-satunya jalan untuk memencukupi kebutuhan hidupannya mereka lebih mengutamakan pekerjaan diluar sektor pertanian, dibandingakan pekerjaan di sektor pertanian. 1.
Pendahuluan.
Walaupun sektor pertanian sampai saat ini masih merupakan sektor yang sangat menentukan bagi perekonomian penduduk perdesaan, dikarenakan sebagian besar penduduk Indonesia bermata pencarian dari sektor pertanian, khususnya penduduk di pulau Jawa yang permukim di daerah perdesaa.
Sesuai dengan hasil sesus penduduk tahun 1990,
menunjukkan bahwa penduduk usia anatara 15 tahun sampai dengan umur 50 tahun menunjukkan 56 % penduduk percaharian dari sektor pertanian, sedangkan sensus tahun 2000 didapatkan data 49% penduduk bermata pencaharian dari sektor prtanian, hal ini sesuai dengan nama negara kita sebagai negara agraris, tetapi sebagian besar hasil pertanian penduduk pedesaan tidak dapat memcukupi kebutuhan hidupnya atau kemiskinan yang mereka dapatkan.
14
Memang sektor petanian mempunyai fleksibilitas dan daya tampung tenaga kerja yang cukup tinggi, karena sampai saat ini tenaga kerja di sektor pertanian tidak membutuhkan persyaratan yang diperlukan untuk dapat memasuki kerja di sektor pertanian, berbeda pada sektor-sektor tenaga kerja yang lain, persyaratan merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi. Namun adanya beberaoa hal, seperti makin semptnya lahan pertanian khususnya di Pulau Jawa, kurang mencukupi hasil pertanian untuk memenuhi ketuhan hidupnya dan pekerjaan di sektor pertanian tidak membutuhkan kerja yang terus-menerus. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Penny dan Singarimbun (1976) memberikan kesimpulan bahwa : Kemiskinan didaerah perdesaan di Jawa disebabkan karena tidak adanya tanah pertanian yang cukup untuk digarap dan tidak tersedianya kesemptan kerja yang cukup bagi penduduk perdesaan ( Kustiyono Joko, 1982, p. 27 ).
2. Kemiskinan. Pada era kolonial kemiskinan dipahamkan sebagai takdir. Pada saat itu masyarakat dicekoi pandangan bahwa manusia diciptakan bertingkat-tingkat. Kemiskinan dianggap sebagai nasip yang harus ditanggung masyarakat pribumi, sedangkan kemakmuran sudah selayaknya jadi hak orang gedongan atau kaum barat. Idiologi fatatis ini sengaja diembuskan penjajah demi mempertahankan hegemoni dan memperlemah pemberontakan. Sedangkan pada masa kemerdekaan kemiskinan nyaris wacananya tak terdengar, maklum karena para pemimpin saat itu disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraih. Memasuki pemerintahan orde baru, dikatakan bahwa: kemiskinan dianggap sebagai ekpresi dari metalitas masyarakat yang memang malas. Sumber daya manusia miskin dinilai tak mampu mengelola kekayaan alam ( Hotman Siahaan, 2009, p. 18 ). Berdasarkan paham ini pemerintah lalu meluncurkan program pembangunan lima tahunan, pembangunan
15
ekonomi dibangkitkan dengan memberikan modal kepada perusahaan-perusahaan besar. Namun dalam kenyataannya modal dan aset-aset produktif tetap dikuasaan pengusaha kaya yang dekat dengan pemerintahan, sehingga harapan rakyat untuk mendapatkan tetesan ekonmi ternyata hanyalah ilusi belaka, sebagian rakyat masih hidup dalam kemiskinan. Hal ini pertentangan dengan pembangunan ekonomi kerakyatan yang telah tercantum dalam GBHN 1993, yang menyatakan bahwa : Pembangunan ekonomi Indonesia yang bertumpu pada kekuatan ekonomi rakyat, yaitu memperkuat dan memperdaya ekonomi rakyat ( Mossofa, 2009, p. 6 ) Untuk pembangunan ekonomi, pemerintah pada saat itu tidak juga membangunan disektor pangan, dengan membangun beberapa pabrik pupuk organink untuk memenuhi kebutuhan pupuk bagi para petani dan pembangunan beberapa waduk guna memenuhi kebutuhan irigasi pertanian. Dengan pembangunan lima tahunan, pelaksanaan pembangunan pada repelita I dan repelita II diutamakan oleh pemerintah pembangunan di sektor pertanian. Sehingga akhirnya pada repelita II negara kita termasuk negara swasembada pangan. Walaupun pada repelita II negara kita merupakan negara swasembada pangan, namun untuk repelita-repelita berikutnya negara mulai mengalami kekurangan bahan makanan, untuk mengatasi kekurangan bahan pangan dan melonjaknya harga besar, negara terpaksa harus mengimpor beras dari dari luar negeri. Disaat negara kita dinyatakan swasembada pangan, tetapi kenyataannya hanya sebagian kecil para
petani yang dapat menekmati
hasil
pertaniaannya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, karean tanah pertanian mereka cukup luas. Sedangkan sebagian besar para petani kurang menikmati dari hasil pertaniaannya, karena hasilnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena sempitnya tanah pertanian yang dimilikinya atau petani yang sama sekali tidak menekmati dari hasil pertanian, sebab adanya petani yang tidak memiliki tanah pertanian, sehingga mereka hanya sebagai buruh tani. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa: Satu
16
keluarga di Desa Potranayan Kecamatan Nogosari Boyolali Jawa Tengah yang memiliki tahan pertanian kurang dari 0,5 hektar berjumlah 88,6 % dan petani yang
memiliki tahah
pertanian lebih 0,5 hektar hanya 11,4 % (Sudayono,1998, p. 37 ). Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan Penny dan Singarimbun di Sriharjo dan khususnya di pulau Jawa umumnya, menyatakan bahwa satu keluarga dapat hidup tercukupi, apabila petani mengolah tanah pertanian, berupa sawah 0,7 hektar dan 0,3 hektar tanah tadah hujan (Kustiyono Joko, 1982, p. 25 ). Pada masa pemerintahan setelah reformasi, pembanguan di sektor pertanian hampir tidak ada khususnya di pulau Jawa, tetapi lahan pertanian dari tahun – ketahun semakin berkurang dengan adanya pembangunan perumahan, jalan dan perusahaan-perusahaan yang tumbuh dengan pesat dan hampir semuanya menggunakan lahan pertanian. Dengan makin berkurangnya lahan pertanian dan
jumlah penduduk yang terus meningkat, pemerintah
mengalami kesulitan untuk melaksanakan pembangunan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada kekuatan ekonomi rakyat.
Akhirnya
pemerintah
melaksanakan program
penanggulangan kemisinan, dengan program BLT dan pembagian kompor gas. Semua program tersebut tidak menyentuh pembangunan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada kekuatan ekonomi rakyat. Sehingga modal dan aset-aset produktif tetap dikuasaan pemilik modal besar, pengusaha kaya yang dekat dengan birokrat pemerintahan, walupun akhir-akhir ini perkembangan sektor perkebunan yang melibatkan pertani khususnya perkebunan kelapa sawit, namun modal dan aset-aset produktif tetap dikuasaan pemilik modal besar, pengusaha kaya yang dekat dengan birokrat, dimana sebagia besar para petani kelapa sawit hanya perupakan buruh perkebunan kelapa sawit. Dengan sempitnya tanah pertanian yang dimiki sebagian besar para petani dan akibat tidak kuatnya dan tidak berdayanya ekonomi petani, nasip para petani hidup dalam kemiskinan.
17
3. Ketenaga Kerjaan di Perdesaan. Bila mempelajari ketenaga kerjaan di negar-negara berkembang, bidang pertanian selalu sebagai suatu sektor yang pempunyai peranan yang amat penting. Demikian pula dengan Indonesia yang tergolong sebagai negara agraris dan sesuai sensus penduduk tahun 2010, didapatkan 49 % penduduk perdesaan dalam usia 15 sampai dengan 50 tahun bermata pencaharian di sektor pertanian. Hal ini disebabkan karena sektor pertanian dipandang mempunyai daya serap yang paling besar dan mempunyai flesibilitas jaya tampung yang tinggi. Namun akibat hasil pertanian dari sebagian besar para petani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, para petani tetap nengolah lahan pertaniaannya, tetapi bukan merupakan pekerjaan utamanya. Dengan alasan tersebut pekerjaan di luar sektor pertanian telah merupakan tumpuhan utama penduduk perdesaan, dikarenakan makin semtipnya luas lahan pertanian yang dimiliki setiap rumah tangga, lahan pertanian dari tahun-ketahun banyak yang di aleh fungsikan untuk pemukiman penduduk, pendirian pabrik-pabrik industri dan adanya pembangunan jalan. Selain itu akibat harga komodite pertanian yang harganya relatif murah, tidak sesuai dengan biaya yang telah dikeluarkan oleh para petani, bahkan bila hasil pertanian kurang optimal akibat kurang air, serangan hama, tidak sedikit para petani mengalami kerugian. Dengan makin sempitnya lahan pertanian dan harga komodite pertanian yang relatif murah serta adanya teknologi masuk sektor pertanian, mengakibatkan penduduk perdesaan kehilangan mata pencaharian, akhirnya sebagian besar penduduk perdesaan mengutamakan pekerjaan diluar sektor pertanian, untuk mencukupi kebutuhan didupnya. Seperti uraian sebelumnya akhir-akhir ini banyak penduduk perdesaan yang mengalihkan kegiatannya dari sektor pertanian ke luar sektor pertanian. Dimana pekerjaan di luar sektor pertanian yang mereka lakukan sangat beraneka ragam, seperti tukang kayu,
18
tukang batu, pedagang, buruh bangunan, pembat genting, buruh angkutan dan lain sebagainya. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilaksanakan dua puluh lima tahun yang lalu saja, telah menunjukan bahwa petani di desa Wijimulya Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakata, petani yang bekerja di bidang pertanian saja berjumlah 42,7 persen, diluar sektor pertanian saja 11,2 persen, sedangkan yang mempunyai pekerjaan rangkap baik berkerja sebagai petani mapun sebagai pekerja diluar sektor pertanian berjumlah 46,1 persen (Fadjri Alhar,1985, p.291). Petani yang mempunyai pekerjaan rangkap baik bekerja di sektor pertanian maupun non pertanian, umumnya baik tingkat ekonominya dibandingkan yang hanya bekerja di sektor pertanian.
4. Faktor Pendorong Bekerja di Luar Sektor Pertanian.. Banyaknya
para petani bekerja diluar sektor pertanian karena pendapatan yang
mereka peroleh dari sektor pertanian tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup atau dengan kata lain, pendapatan yang mereka peroleh dari sektor pertanian tidak dapat dijadikan tabungan atau saving untuk menunggu masim panen berikutnya, sehingga hal ini mendorong mereka untuk bekerja di luar sektor pertanian, baik sebagai pekerja sampingan maupun sebagai pekerjaan pokok. Tanah bagi penduduk perdesaan sangat penting , karena di samping digunakan untuk pertanian, juga merupakan simbol status dalam kehidupan bagi masyarakat dan merupakan ukuran kekayaan seseorang di daerah perdesaan. Walaupun kepemikikan tanah merupakan simbol status dan ukuran kekayaan seseorang di daerah pedesaan, naum dalam kenyataannya hampir tiga perempat atau 71.1 persen rumah tangga di Kecamatan Wijimulya Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas tanah kurang dari 0,25 Ha, dan rumah tangga yang memiliki tanah dengan luas antara 0,25 – 0,5 Ha jumlahanya 19,3 persen,.
19
Sedangkan rumah tangga yang memiliki tanah dengan luas lebih dari 0,5 Ha jumlahnya kecil sekali yaitu 9,6 persen. (Fadjri Alihar,1985, p.293).
Hal ini senada dengan hasil penelitian
yang telah diuraikan dimuka, yang menyatakan bahwa satu keluarga di Desa Potronayan Kecamatan Nogosari Boyolali Jawa Tengah yang memiliki tahan pertanian kurang dari 0,5 hektar berjumlah 88,6 % dan petani yang
memiliki tahah pertanian lebih 0,5 hektar hanya
11,4 % (Sudayono,1998, p. 37 ). Dari hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kemiskinan di daerah perdesaan di Jawa disebabkan karena tidak adanya tanah yang cukup untuk digarap dan tidak tersedianya kesempatan kerja yang cukup bagi penduduk perdesaan. Disamping tanah yang dimiliki sempit, keadaan tanahnya juga tidak subur, sehingga satu-satunya jalan mereka bekerja di luar sektor petanian dengan maksud untuk menambah pendapatan guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Alasan lain yang mendorong penduduk perdesaan memilih pekerjaan di luar sektor pertanian, selain alasan diatas banyak alasan yang dilontarkan oleh mereka, diataranya dengan alasan pengasilan lebih tinggi, cepat memperoleh uang yang jumlahnya lebih tinggi apabila dibandingkan bekerja di sektor pertanian. Hal ini dapat dimaklumi karena bekerja di luar siktor pertanian hasilnya lebih cepat dan resikonya kecil dibandingkan dengan bekerja di bidang pertanian. Yang harus menunggu mulai dari tanam sampai dengan panen. Sedangkan
bagi generasi muda atau anak-anak umumnya yang mempunyai
pendidikan dan ketrampilan lebih senang bekerja diluar sektor petanian, dengan bebagai alasan, diantaranya bekerja di sektor pertanian kotor, tidak segera mendapatkan uang, pendapatan kecil. Sehingga generasi muda yang mau bekerja di sektor pertanian umumnya mereka yang tidak memiliki pendidikan dan ketrampilan yang menjadi persyarat untuk bekerja di luar sektor pertanian, sehingga mereka hanya menggantungkan hidupnya atau mata pencahariannya dari bidang pertanian yang sudah ditekuninya.
20
Karena sebagian besar
generasi muda yang mempunyai pendidikan dan ketrampilan memilih pekerjaan di luar sektor pertanian, merupakan salah satu penyebab sulitnya mencari tenaga kerja untuk kegiatan pertanian. Sehingga muncul gejala pergeseran nilai pekerjaan dari bidang pertanian ke luar bidang pertanian.
5. Kesimpulan. Sebagian besar
penduduk Indonesia
bemukim di daerah perdesaan, dengan
berpenhasilan dari sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupannya, namun sejak penjajah sampai dengan kemerdekaan sektor pertanian belum memberikan
kesejahteran
bagi sebagian para petani, bahkan sebagian besar para petani hidup serba kekurangan bahkan hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan
yang disebabkan tidak cukupnya hasil pertanian untuk memenuhi
kebutuhan hidup petani dan keluarganya. Mengharuskan para petani bekerja di luar sektor pertanian, baik sebagai buruh bangunan, tukang kaju, tukang batu, pedangan dan lain sebagainya, bahkan pekerjaan di luar sektor pertanian ada yang merupakan pekerjaan pakok, walaupun masih banyak pula yang merupakan pekerjaan sampingan. Pekerjaan
di luar sektor pertanian
merupakan pilihan utama bagi penduduk
perdesaan, dengan berbagai alasan : 1.
Penghasil dari sektor pertanian relatif lecil, sehingga tidak memcukupi kebutuhan kebutuhan keluarga.
2.
Sebagian besar penduduk perdesaan memiliki tanah pertanian yang tidak luas atau sempir.
Selain itu dengan sempitnya kepemilikan tanah pertanian yang dimikiki,
pekerjaan di sektor pertanian tidak membutukan pekerjaan yang terus menerus hanya pada waktu panen dan pada waktu tanam, hal ini menyebabkan tidak tersedianya kesempatan kerja yang cukup bagi penduduk perdesaan.
21
3.
Pekerjaan di luar sektor pertanian
lebih cepat mengasilan uang, bebeda di bidang
pertanian harus menunggu dari masa tanam sampai panen yang memakan waktu yang cukup lama. 4. Bagi generasi muda pada umumnya yang memiliki pendidikan dan ketrampilan lebih senang bekerja di luar sektor pertanian dengan bebagai alasan, bekerja disektor pertanian tidak segera pendaptakan uang, pendapatannya kecil, kotor. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pekerjaan diluar sektor pertanian merupakan tumpuan harapan bagi penduduk perdesaan, hal ini disebabkan karena kesempatan kerja di bidang pertanian sangat terbatas. Di samping tanah pertanian yang dimiliki penduduk
dari tahun ke tahun semakin sempit dan kehidupan yang serba
kekurangan, sehingga sebagai jalan keluar mereka bekerja di luar sektor pertanian.
Daftar Pustaka.
Fadjri Alhar,1985, Pekerjaan di Luar Sektor Pertanian Tepat Merupakan Pilihan Bagi Penduduk Perdesaan, Bandung
22
Hotman Siahaan, 2009, Kemiskinan Ekpresi Dari Metalitas Masyarakat, edisi 23 Nopember, Kompas, Jakarta.
Kutiono Joko, 1982, Pola Penguasa Tanah, Hubungan Kerja Petani dan Distribusi Pendapatan Di Pedesaan Jawa. Majalah Ilmu-ilmu Sosoan Indonesia, Bandung
Mossofa, 2009, Pembangunan EkonomiTidak Bertumpu Pada Kekuatan Ekonomi Rakyat, Kompas, Jakarta.
Penny dan Masri Singarimbun, 1976, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa Barat, Bhratara Karya, Bandung
Sawit, M. Husen, 1980, Kesempatan Kerja dan Penghasilan Tenaga Kerja Di Perdesaan Jawa Barat, Majalah Ilmu-ilmu Sosoan Indonesia, Bandung.
Sudaryono, 1998, Pekerjaan di Luar Sektor Pertanian Merupakan Pilihan Utama Bagi Penduduk Perdesan Desa Potronayan Nogosari Boyolli, Surakarta..
23