PERBANKAN DALAM MENGATASI KRISIS EKONOMI DI INDONESIA Oleh : Yanti Sri Danarwati, SS., SE., MM. Dosen STIA ASMI SOLO
ABSTRAK Salah satu fungsi perbankan disamping intermediasi adalah menjaga stabilitas moneter. Berbicara stabilitas moneter tidak bisa dilepaskan dengan peran perbankan didalam mengatasi krisis ekonomi yang terjadi di tanah air mulai tahun 1997 dan krisis moneter internatisional yang ditandai dengan tumbangnya perbangkan tingkat dunia tahun 2008. Dalam tulisan ini penulis ingin memaparkan bagaimana perbankan mengemban misi mengatasi krisis ekonomi di Indonesia. Kata-kata kunci : perbankan, krisis ekonomi
I.
Pendahuluan Krisis yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 yang lalu telah berakibat sangat berat bagi perekonomian nasional, pengangguran yang bertambah, ataupun dampak-dampak yang lainnya. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meredam dampak negative dari krisis agar tidak merusak sendi-sendi pembangunan yang telah kita bangun selama ini sekaligus juga memperbaiki berbagai kelemahan yang ada dalam melangkah ke depan. Berbagai upaya ini perlu dipandang sebagai upaya bersama dari seluruh rakyat Indonesia, termasuk didalamnya profesi yang ada, agar upaya yang dijalankan dapat berhasil, dalam hubungan ini kita dapat sedikit berbesar hati bahwa telah mulai terdapat tanda-tanda pulihnya kembali perekonomian yang tercermin dari mulai menurunnya tekanan laju inflasi, tingkat nilai tukar rupiah yang stabil, perkembangan suku bunga yang
1
menurun yang memungkinkan dunia usaha
untuk berangsur-angsur
melanjutkan
itu
kegiatan
usahanya.
Sementara
berbagai
langkah
perekonomian sesuai dengan agenda penyehatan perekonomian yang telah ditetapkan dengan bantuan dengan berbagai lembaga internasional, terus pula secara konsisten kita jalankan. Yang terakhir adalah upaya rekapitalisasi dan restrukturisasi perbankan nasional yang merupakan salah satu tunggak yang sangat penting dalam agenda pemulihan perekonomian. Uraian saya pada kesempatan ini menyangkut perbankan dalam mengatasi krisis di Indonesia saat ini.
II. Dampak Krisis Perekonomian Terhadap Perbankan Walaupun kita belum sepenuhnya dapat keluar dari krisis, namun sudah banyak pelajaran yang dapat kita peroleh baik itu dari perihal pengalaman kita sendiri maupun pengalaman negara lain. Seperti juga yang kita saksikan terjadi di Negara-negara Asia lainnya, khususnya di Korea dan Thailand, pengalaman kita juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi relative tingga dan kebijakan makro ekonomi yang berhati-hati pada 2 (dua) decade belakangan ini ternyata tidak dapat menjamin kinerja perekonomian yang baik jika masih terdapat kelemahan-kelemahan dalam system perbankan. Dalam dua tahun yang lalu ketika krisis ekonomi terjadi, kita melihat bahwa ekonomi Indonesia telah mengalami perubahan beberapa hal :
Pertama adalah pertumbuhan perekonomian yang tinggi yang melebihi kemampuan yang ada. Hal ini dapat diindikasikan antara lain oleh adanya gejala pemanasan ekonomi yang pernah terjadi dan meningkatnya
2
exposure perusahaan-perusahaan Indonesia terhadap dana luar negeri. Sebagai akibatnya, ketika nilai tukar rupiah terus melorot tajam, terjadi kepanikan dikalangan pengusaha yang memiliki hutang luar negeri yang berupaya melunasi hutangnya dengan membeli dolar yang berakibat semakin terpuruknya nilai rupiah.
Menurunnya kepercayaan dari para pemodal asing maupun pemodal dalam negeri yang kemudian beramai-ramai memindahkan dananya keluar negeri. Hal ini mengakibatkan pasokan devisa menjadi manipis sementara eksportir enggan menjual dolar hasil ekspornya dan bank-bank asing juga enggan bertransaksi dengan bank domestic.
Lemahnya struktur ketahanan perekonomian yang ditandai dengan besarnya ketergantungan barang kebutuhan pokok terhadap impor dan lemahnya system perbankan.
Kelemahan fundamental mikroekonomi juga muncul sebagai dampak dari lemahnya pengelolaan dunia usaha (poor corporate governance). Belum kuatnya kesadaran akan pentingnya transparansi dan keterbukaan dalam berusaha mengakibatkan kegiatan usaha swasta cenderung kurang efisien dan kurang memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang sehat. Selanjutnya, secara individual sumber pembiayaan bank dalam valuta
asing ternyata memiliki eksposur yang besar dan hal ini rentan terhadap resiko nilai tukar rupiah yang secara signifikan telah menyebabkan perbankan nasional mengalami kesulitan likuiditas. Berbagai hal di atas telah semakin
3
memperburuk kondisi perbankan yang selama ini telah memiliki beberapa kelemahan yakni :
Pertama, adanya jaminan terselubung (implicit guarantee) dari bank sentral atas kelangsungan hidup suatu bank untuk mencegah kegagalan sistemik dalam industry perbankan telah menimbulkan moral hazard dikalangan pengelola dan pemilik bank.
Kedua, system pengawasan oleh bank sentral kurang efektif karena belum sepenuhnya dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya kegiatan operasional perbankan. Hal ini telah mendorong perbankan untuk mengambil utang yang berkelebihan dan memberikan kredit ke sektorsektor yang berisiko tinggi.
Ketiga, besarnya pemberian kredit dan jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada individu/kelompok usahan yang terkait dengan bank (connected lending) telah mendorong tingginya risiko kemacetan kredit yang dihadapi bank.
Keempat, relative lemahnya
kemampuan manajerial bank telah
mengakibatkan penurunan kualitas asset produktif dan peningkatan risiko yang dihadapi bank.
Kelima, kurang transparannya informasi mengenai kondisi perbankan selain telah mengakibatkan kesulitan dalam melakukan analisis secara akurat tentang kondisi keuangan suatu bank juga telah melemahkan upaya untuk melakukan kontrol sosial dan menciptakan disiplin pasar (market discipline).
4
III. Pemulihan Perekonomian melalui Pemberdayaan Perbankan Dengan melihat pentingnya perbakan dalam perekonomian maka upaya memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan khususnya perbankan menjadi sangat penting. Sektor perbankan memiliki peranan yang penting dalam proses recovery perekonomian secara keseluruhan. Dengan kerangka yang demikian, sangatlah sulit dibayangkan format pemulihan perekonomian nasional lewat program stabilisasi ekonomi makro apabila sektor perbankan tetap berada dalam kesulitan yang parah. Untuk mengatasi dampak krisis, apa yang dapat dilakukan segera adalah melakukan retrukturisasi perbankan. Rangkaian kebijakan tersebut diharapkan dapat kembali membangun kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap system keuangan dan perekonomian kita, mengupayakan agar perbankan kita menjadi lebih solvable sehingga dapat kembali berfungsi sebagai lembaga perantara yang mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sekaligus meningkatkan efektifitas pelaksanaan kebijakan moneter. Dengan luasnya cakupan sasaran yang akan dicapai tersebut, strategi umum yang banyak diterapkan di Asia, khususnya program-program ekonomi, bertumpu pada 4 (empat) bidang kebijakan : 1.
Di bidang moneter, ditempuh kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal yang berlebihan yang akan memiliki implikasi sangat luas, tidak hanya terhadap tingkat inflasi tetapi juga terhadap kondisi keuangan bank-bank.
5
2.
Di bidang fiskal, ditempuh kebijakan fiskal yang lebih terfokus kepada upaya realokasi pengeluaran kegiatan-kegiatan yang tidak produktif kepada kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi ‘social cost’ yang ditimbulkan akibat krisis ekonomi yang terjadi.
3.
Di bidang pengelolaan (governance), ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki kemampuan pengelolaan baik di sektor publik atau swasta. Termasuk didalamnya upaya untuk menguragi intervensi pemerintah, monopoli dan kegiatan-kegiatan yang kurang produktif lainnya.
4.
Di bidang perbankan, ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki kelemahan-kelemahan system perbankan berupa retrukturisasi perbankan yang bertujuan untuk mencapai 2 hal yaitu mengatasi dampak krisis, dan menghindari terjadinya krisis di masa yang akan datang. Program pemulihan perekonomian yang kita lakukan pada dasarnya
juga bertumpu pada hal yang sama. Namun demikian upaya penyehatan dan pemberdaysan sektor perbankan telah menyita perhatian yang jauh lebih besar khususnya dalam dua tahun terakhir ini, tidak hanya dari segi waktu dan tenaga yang dicurahkan tetapi juga dari segi biaya yang dikeluarkan. Hal ini karena krisis yang dialami oleh sektor perbankan bagitu mendalam, tidak hanya terjadi tingkat individual bank tetapi telah merupakan krisis system perbankan secara umum. Krisis ini dalam perkembangannya seperti yang kita saksikan bersama telah memperburuk kinerja perekonomian. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa diperlakukan strategi restrukturisasi yang komprehensif yang tidak hanya menekan pada
6
upaya
penyehatan aspek
keuangan perbankan
semata,
tetapi
juga
memperhatikan konsistensinya dengan program pemulihan ekonomi makro. Melalui
pendekatan
yang
komprehensif,
telah
dibuktikan
bahwa
restrukturisasi perbankan telah memberikan dampak positif bagi upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penurunan laju inflasi. Hal ini dapat terjadi karena pemulihan fungsi intermediasi perbankan secara efektif meningkatkan kembali mobilisasi dana, merealokasi sumber keuangan secara lebih efisien dan mendorong penurunan tingkat bunga. Dengan kondisi makroekonomi yang semakin terkendali tersebut, kepercayaan masyarakat dan investor secara bengangsur-angsur diharapkan dapat pulih sehingga pada akhirnya memacu pertumbuhan ekonomi kita.
IV. Pemberdayaan Perbankan : Kebijakan Resrtrukturisasi Perbankan Upaya pemberdayaan perbankan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa aspek : Pertama, rekapitalisasi bank-bank. Mengingat kondisi permodalan bank-bank sudah demikian parah sebagai akibat dari krisis ekonomi, sebagaimana telah diuraikan dimuka, langkah strategis pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki permodalan tersebut. Kebijakan rekapitalisasi ini disusun dalam suatu paket, yang terdiri dari : a) Rekapitalisasi bagi bank-bank yang viable untuk dapat menjadi sehat dan mencapai rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio – CAR) minimum sebesar 8% pada tahun 2001. Bank-bank ini dinyatakan lulus
7
dari tiga buah test yang sangat ketat meliputi kondisi keuangan, integritas pemilik dan manajemen, serta rencana kerja untuk tiga tahun; b) Pembersihan bank-bank dari pemilik dan pengurus yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pemilik dan pengurus yang baik (tidak fit and proper); c) Penutupan bagi bank-bank yang diperkirakan tidak akan mampu bertahan; d) Penyelesaian aset-aset bank-bank yang ditutup; e) Penyelesaian bagi kredit macet perbankan, dengan mengalihkan ke Aset Management Unit dan menghapusbukukan dari bank-bank yang direkapitalisasi. Kedua adalah restrukturisasi kredit. Aspek ini sangat menentukan keberhasilan program rekapitalisasi perbankan dan program penyehatan ekonomi secara keseluruhan. Kegiatan ini didasarkan pada ketentuan restrukturisasi kredit bulan November 1998 dan berlaku bagi bank-bank yang ikut dalam program rekapitalisasi, baik bank-bank pemerintah, BPD dan bank-bank swasta nasional. Restrukturisasi kredit, yang pada hakikatnya merupakan bagian utama dari restrukturisasi dunia usaha ini, diharapkan dapat memperbaiki pembukuan bank, dan sekaligus menggairahkan para debitnya untuk kembali berproduksi, yang berarti menggerakkan sektor riil. Ketiga
ada
perkembangan
infrastruktur
perbankan,
untuk
meningkatkan daya tahan bank-bank dalam menghadapi berbagai gejolak. Salah satu sarana yang sedang disiapkan adalah pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan, yang akan menggantikan program penjaminan
8
pemerintah yang ada waktu ini berlaku dan akan berakir pada bulan Januari 2000. Sarana lain adalah perkembangan bank syari’ah, yang pada dirinya dapat diharapkan mempunyai daya tahan yang lebih baik menghadapi masamasa krisis, dan secara system dapat memperkuat system perbankan secara keseluruhan. Khusus mengenai bank syari’ah perlu dikemukakan bahwa pengalaman selama krisis ekonomi ini memberikan suatu pelajaran bagi kita bahwa prinsip risk sharing (berbagai resiko) atau profit and loss sharing (bagi hasil), sebagaimana yang terdapat pada system bank berdasarkan prinsip syari’ah, merupakan suatu prinsip yang dapat berperan meningkatkan ketahanan satuan-satuan ekonomi. Dalam hal ini prinsip bagi hasil atau berbagi resiko antara pemilik dana dan pengguna dana sudah diperjanjikan secara jelas dari awal, sehingga jika terjadi kesulitan usaha karena krisis ekonomi, misalnya, maka resiko kesulitan usaha tersebut otomatis ditanggung bersama oleh pemilik dana dan pengguna dana. Dengan demikian kesulitan ekonomi akan relative lebih ringan terasa oleh perorangan dan badan usaha secara individual, dan dengan demikian kebangkitan kembali ekonomi dapat bertangsung lebih cepat. Keempat yang tidak kalah pentingnya adalah menyempurnakan pelaksanaan fungsi pengawasan bank. Hal pertama yang dilaksanakan adalah mengubah cara kerja pengawasan bank yang selama ini bertindak sebagai “regulatory autority” dengan menggunakan teori Y, yang menjadi “supervisory autority” dengan menggunakan teori X. Dengan perubahan cara kerja tersebut, maka “law enforcement” akan diutamakan, dan pemeriksaan
9
bank yang selama ini dilakukan 2 tahun sekali, akan menjadi lebih sering dilaksanakan dengan melihat pada resiko yang dihadapi oleh setiap bank. Keempat proyek dalam rangka restrukturisasi perbankan tersebut berjalan simultan, dan harus sudah selesai sekitar tahun 2001. Dengan demikian kelemahan system, perbankan yang selama ini menjadi sumber dari beratnya kerusakan ekonomi akibat krisis akan berangsur-angsur hilang diharapkan kita akan memiliki system perbankan yang mempunyai ketahanan yang tinggi. Secara teknis, restrukturisasi sistemik seperti yang kita lakukan pada system perbankan kita saat ini tidak hanya menyangkut upaya mempercepat penyelesaian masalah-masalah keuangan yang dihadapi oleh masing-masing bank (financial restructuring), tetapi juga perbaikan aspek operasional yang memungkinkan bank-bank dapat beroperasi dengan lebih fokus, efisien, dan lebih pruden, secara upaya meningkatkan kinerja system perbankan secara keseluruhan (systemic restructuring), yakni terakit dengan konfigurasi, struktur kelembagaan, exit dan entry, daya kompetisi dan pengawasan yang di lakukan oleh bank Indonesia. Usaha penyehatan aspek operasional bank dimulai dengan mewajibkan bank-bank menyusun rencana kerja dengan target yang realistis, rencana pemenuhan ketentuan kehati-hatian, rencana peningkatan efisiensi, penggunaan teknologi dan perbaikan kualitas manajemen resiko yang dilakukan oleh bank. Dengan penyehatan aspek keuangan dan operasional bank ini akan menempatkan masing-masing
10
individual bank pada kondisi yang lebih baik dan sekaligus dapat memberikan jaminan stabilitas perbankan di masa depan. Pada tingkat individual bank, fokus dari kegiatan penyehatan aspek keuangan (financial restructuring) secara umum terletak pada upaya untuk memperbaiki solfabilitas bank. Disini aset dilakukan penyehatan kualitas aset melalui restrukturisasi pinjaman (debit restructuring) dan penyerahan ‘bud assets’ kepada Aset Manajemen Unit (AMU) dan disisi liability, dilakukan program rekapitalisasi atau upaya memperkuat permodalan bank. Dengan perpaduan dua program dimaksud diharapkan bank-bank akan lebih solvable dan memenuhi ketentuan permodalan yang telah ditetapkan. Selanjutnya bank-bank tersebut memiliki keleluasan untuk tumbuh dan berkembang. Sementara itu, untuk mendorong provitabilitas bank, kegiatan penyehatan akan memberikan perhatian besar terhadap usaha meningkatkan efisiensi, selain upaya-upaya lain untuk menurunkan biaya perolehan dana (cost of fund). Dalam melaksanakan kapitalisasi perbankan dibutuhkan biaya dalam jumlah besar. Dana tersebut dapat datang dari sektor swasta dan dari pemerintah. Penambahan modal dari sektor swasta dapat datang dari pemodal domestik maupun pemodal asing. Yang paling baik adalah dari pemodal domestik karena pemilikan bank-bank oleh pihak domestik akan lebih memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Namun demikian, akibat krisis ekonomi, hal yang ideal ini sulit dicapai karena sektor swasta nasional sedang mengalami kesulitan likuiditas. Untuk ini peranan investor asing menjadi
11
penting. Dengan masuknya investor asing dalam perbankan nasional, maka kepercayaan luar negri terhadap perekonomian Indonesia akan meningkat. Untuk menjaga sustainabillty kebijakan restrukturisasi perbankan, baik melalui disisi aktiva maupun pasiva, perlu disertai dengan restrukturisasi sisi operasional perbankan dan perbaikan ekonomi makro secara umum, termasuk sektor riil. Untuk itu diperlukan beberapa syarat yang perlu menjadi pemikiran, yaitu : 1) Kondisi ekonomi makro yang stabil. Kondisi ekonomi yang stabil merupakan persyaratan yang penting bagi terwujudnya kegiatan usaha bank yang sustainable. Dengan laju inflasi yang rendah, disertai oleh nilai tukar yang stabil, suku bunga dapat diharapkan untuk terus turun ketingkat “normal”, sehingga bank-bank tidak lagi harus menanggung beban negative spread dan bahkan dapat memupuk keuntungan untuk memperkuat permodalannya. Kestabilan nilai tukar dan kestabilan tingkat harga juga pada dirinya memberikan kestabilan dan kepastian bagi usaha bank-bank. 2) Dukungan dari program restrukturisasi dunia usaha penyehatan usaha bank perlu didampingi oleh penyehatan sektor riil karena keduanya terdapat keterkaitan yang sangat erat. Dalam hubungan ini langkahlangkah yang dilakukan melalui program INDRA, Prakarsa Jakarta, maupun program Restrukturisasi bank-bank dengan prakarsa bank Indonesia diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi dunia
12
usaha, sehingga dunia usaha dapat mulai berkiprah kembali bersama-sama dunia perbankan. 3) Pembaharuan system hukum dan perundang-undangan serta system akuntansi. Perbaikan dari segi hukum dan akutansi diharapkan menciptakan transparansi dan kepastian usaha bank dengan tetap memperlakukan asas kehati-hatian. 4) Penciptaan pasar yang efisien (market and intitusional deepening). Penciptaan pasar yang efisien sehingga memungkinkan terciptanya fungsi intermediasi yang optimum dan efektifitas kebijakan moneter. Hal ini dilakukan antara lain melalui penciptaan system insentif yang cocok yaitu berdasarkan mekanisme pasar. 5) Tenaga-tenaga yang tertatih yang mempunyai dedikasi dan integritas tinggi untuk mengelola perbankan. Sehubungan dengan itu programprogram pelatihan dan pembinaan, serta program pengawasan bank yang efektif dan terus-menerus untuk menjamin kualitas dan sumber daya manusia yang ada di perbankan merupakan hal-hal yang mutlak harus dilakukan.
V. Penutup Program restrukturisasi perbankan menjadi pilihan kebijakan yang mutlak harus ditempuh oleh pemenintah dalam kerangka program stabilisasi dan pemulihan ekonomi serta untuk tetap mempertahankan system perbankan. Hal ini penting bukan hanya karena fungsi perbankan sebagai
13
media intermediasi atau penyalur dana dari pemilik dana kepada pemakai dana untuk membiayai kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif dalam rangka membangkitkan perekonomian nasional, melaikan juga karena dua fungsi lainya dari perbankan yang sangat fital artinya bagi kehidupan modern, yaitu : (I) fungsinya sebagai bagian yang pokok dari system pembayaran, dan (II) fungsinya sebagai alat transmisi kebijakan mometer. Karenanya strategi retrukturisasi perbankan haruslah bersifat konprehensif yang mencakup seluruh upaya penyehatan individual bank serta system perbankan, serta lingkungan ekternal yang mendukung keseluruahan operasionalnya. Tujuan dari program restrukturisasi perbankan yaitu mempertahankan kelangsungan hidup dari bank yang solvable dan prifitabel sangatlah terkait dengan kondisi makro ekonomi yang stabil serta langkah-langkat penyehatan dan pemberdayaan sektor riil. Pengalaman beberapa negara menunjukan bahwa keberhasilan program restrukturisasi perbankan sangat bergantung pada : (i) keterkaitan yang jelas dengan restrukturiisasi sektor riil; (ii) lingkungan makroekonomi yang stabil; (iii) political will yang kuat dari pemerintah; (iv) berfungsinya secara efektif restructuring agency; (v) transparansi dalam standar akuntansi; (vi) kerangka hukum yang mendorong financial discipline; (vii) adanya incentive yang mendorong pertumbuhan dan kompetisi sektor riil; serta professionalitas banker dan pengawasan dan penegakan ketentuan yang efektif. Sebagai catatan penutup, telah banyak dan begitu komprehensif upaya yang dilakukan untuk membawa ekonomi yang terpuruk ini kearah kebangkitan (recovery), baik upaya di bidang moneter,
14
fiskal, industri yang antara lain berupa penghapusan monopoli dsb., bidang hukum dan perundang-undangan, dan lain-lain. Alhamdulillah upaya-upaya tersebut sudah menunjukan hasil-hasil yang cukup menjanjikan, dengan laju inflasi yang rendah, nilai tukar yang stabil, dan suku bunga yang semakin turun. Dunia usaha pun sudah menampakkan tanda-tanda keaktifan kembali. Namun kita belum boleh berpangku tangan dan harus tetap bekerja keras sehingga ekonomi ini betul-betul keluar dari jurang yang begitu dalam.
DAFTAR PUSTAKA Andrew Sheng : Bank Restrukturing Lessons from the 1980’s, hal 46-48 The Asian Crisis : Causes and Cures, Finance and Development, Volume 35, No.2, June 1998 Sabirin, Syahril, Indonesia’s Financial Reforms: Challenges in the 1990s Markets”, Journal of Asian Economics, 2(2), Fall 1991. McKinnon, Ronald I., Money and Capital in Economic Development, Washington DC : The Brookings Instutions, 1973 Shaw, Edward S., Financial Deeping in Economic Development, New York : Oxford University Press, 1973. Boediono, Kembali Mekanisme Transmisi moneter di Indonesia”, Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai tukar Fleksibel. Buletin Ekonomi Moneter Bank Indonesia, Volume 1, Nomor 1, Juli 1998. Hartadi A. Sarwono dan Perry Warjiyo, Pemikiran untuk Penerapannya di lndonesia”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Volume 1, Nomor 1, Juli 1998. DPP-URES, Bank Indonesia pada tahun 1996. Gerard Caprio, Jr. Banking on Crisis: Expensive lessons from Recent Financial Crises, The World Bank Reserch Group, Washington DC : June 1998.
15