Pengaruh Pemberian Infusa Daun Sukun (Artocarpus altilis) Terhadap Kadar Alkali Fosfatase Serum Tikus (Rattus norvegicus L.) Jantan Galur Sprague Dawley yang Diinduksi Karbon Tetraklorida Afifa Radhina, Setiorini, Dadang Kusmana Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Penyakit hati merupakan penyakit yang dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya radikal bebas. Radikal bebas dapat menyerang membran sel hati (hepatosit), menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid dan berujung pada kerusakan pada hepatosit. Kerusakan hati dapat dilihat dari meningkatnya kadar enzim alkali fosfatase pada serum. Pemberian infusa daun bertujuan untuk mengobati kerusakan hati, karena daun sukun memiliki kandungan flavonoid yang diduga berperan sebagai antioksidan. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk melihat potensi kuratif infusa daun sukun untuk mengobati kerusakan hati. Hewan uji yang digunakan adalah tikus jantan galur Sprague Dawley yang dibagi dalam 5 kelompok perlakuan yakni KK1, KK2, KP1, KP2, dan KP3. Tikus diinduksi dengan karbon tetraklorida (CCl4) dosis 280 mg/kg BB, kemudian diberikan infusa daun sukun untuk KP1, KP2, dan KP3 secara berturut-turut dengan dosis 2,7; 5,4; dan 10,8 g/kg BB sebanyak 4 kali dengan selang waktu 12 jam. Berdasarkan hasil penelitian, terjadi penurunan kadar ALP serum pada tikus KP1, KP2, dan KP3 secara berturut-turut sebesar 20,66%, 26,45%, dan 33,89% jika dibandingkan dengan kadar ALP serum tikus yang diinduksi CCl4 (KK2). Dosis 10,8 g/kg BB merupakan dosis yang memberikan penurunan kadar ALP yang paling mendekati kadar normal (KK1). Kata kunci: alkali fosfatase (ALP); daun sukun; flavonoid; peroksidasi lipid; radikal bebas
Effect of Breadfruit (Artocarpus altilis) Leaves Infusion Against Serum Alkaline Phosphatase Levels in Sprague Dawley Strain Male Rat (Rattus norvegicus L.) Induced by Carbon Tetrachloride Abstract Liver disease is one disease that can be caused by several things, one of which is free radicals. Free radicals can attack the cell membrane of the hepatocytes, causing lipid peroxidation and result in damage to the hepatocytes. Liver damage can be seen from the elevated alkaline phosphatase levels in serum. Administration of breadfruit leaves infusion aims to treat liver damage, as breadfruit leaf contains flavonoids which allegedly acted as an antioxidant. Research carried out is to look at the ability of breadfruit leaves infusion to treat liver damage. Tested animals were Sprague Dawley strain male rats divided into five groups namely KK1, KK2, KP1, KP2 and KP3. Rats induced by carbon tetrachloride (CCl4) dose of 280 mg/kg , then given the breadfruit leaves infusion for KP1, KP2 and KP3 respectively at a dose of 2.7; 5.4; and 10.8 g kg 4 times with an interval of 12 hours. Based on the results of the study, decreased of serum ALP levels in KP1, KP2 and KP3 rats amounted to 20.66%, 26.45%, and 33.89% when compared to CCl4 induced rats (KK2). Dose of 10.8 g/kg is the dose that gives the most reduction in ALP levels approaching normal levels (KK1). Keyword: alkaline phosphatase (ALP); breadfruit leaves; flavonoid; free radical; lipid peroxidation;
Pendahuluan
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
Penyakit hati termasuk dalam sepuluh penyakit yang menyebabkan kematian di berbagai negara (WHA 2013: 1). Kerusakan hati dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti radikal bebas (Corwin 2009: 33). Selanjutnya, molekul radikal bebas akan menarik elektron dari molekul lain dan menyebabkan molekul tersebut menjadi radikal bebas, demikian seterusnya terjadi reaksi yang berantai (Muriel 2009: 527). Reaksi berantai yang terjadi akibat radikal bebas pada membran sel hati atau hepatosit dapat menyebabkan peroksidasi lipid di membran sel, menganggu struktur membran sel dan penurunan fungsi pelindung pada membran sel. Selanjutnya akan terjadi kerusakan dan kematian sel (Repetto dkk. 2012: 4&5). Kerusakan hati dapat dilihat dari beberapa parameter kadar enzim di serum, salah satunya adalah kadar alkali fosfatase (Canadian Liver Foundation 2012: 1). Kerusakan pada hati dapat menyebabkan ALP keluar dari sel hati dan mengakibatkan peningkatan kadar enzim tersebut di dalam darah (Kaslow 2014: 1). Oleh karena itu, kadar ALP dapat dijadikan salah satu parameter kerusakan hati. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengobati penyakit yang menyerang hati, antara lain dengan mengonsumsi obat-obatan sintetik dan melakukan transplantasi hati. Namun, mengonsumsi obat tersebut juga memiliki efek samping yang berbahaya (NIH 2013: 1). Oleh karena itu banyak peneliti yang tertarik untuk menggunakan pengobatan dengan bahan alam dalam mengobati kerusakan hati (Althnaian dkk. 2013: 1). Salah satu bahan alam yang diketahui memiliki kandungan antioksidan adalah tanaman sukun (Artocarpus altilis) (Kolar dkk. 2011: 2067). Artocarpus altilis atau dikenal dengan nama lokalnya yaitu sukun merupakan tanaman yang banyak tumbuh di daerah tropis seperti Indonesia. Tanaman dari famili Moraceae ini merupakan salah satu tanaman digunakan untuk mengobati beberapa jenis penyakit manusia antara lain hipertensi, diabetes, dan penyakit hati (Orwa dkk. 2009: 4). Kemampuan tersebut diduga karena kandungan yang terdapat di tanaman tersebut. Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder yang terkandung dalam daun tanaman ini (Sikawar dkk. 2014: 093). Daun tanaman tersebut juga mengandung beberapa senyawa kimia seperti fenol, tannin, fitosterol, terpenoid, quercetin, dan artoindonesianin (Pradhan dkk. 2013: 73; Utami & Puspaningtyas 2013: 77—78). Zat-zat tersebut diduga memiliki potensi preventif dan kuratif terhadap kerusakan hati akibat radikal bebas (Alarami dkk. 2013: 39). Kemampuan daun sukun sebagai hepatoprotektif penyakit hati sudah diteliti oleh Atmaja dkk. tahun 2010 yang menyatakan bahwa pemberian infusa daun sukun secara oral dengan dosis 13,5 g/kg BB, 27 g/kg BB, dan 54 g/kg BB memiliki efek hepatoprotektif terhadap kerusakan hati tikus. Dosis yang paling efektif adalah 54 g/kg BB tikus. Namun,
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
penelitian mengenai potensi efek kuratif infusa daun sukun belum pernah dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai efek kuratif infusa daun sukun. Penelitian yang akan dilakukan bertujuan untuk mengetahui efek kuratif infusa daun sukun secara oral dengan dosis 2,7 g/kg BB tikus, 5,4 g/kg BB tikus, dan 10,8 g/kg BB tikus terhadap penurunan kadar ALP serum pada tikus jantan yang diinduksi dengan CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus. Penelitian ini diharapkan mampu membuktikan manfaat infusa daun sukun sebagai obat alternatif terhadap kerusakan hati yang tepat dan terbukti secara praklinis. Hipotesis dari penelitian ini ialah pemberian infusa daun sukun dengan dosis 2,7 g/kg BB, 5,4 g/kg BB, dan 10,8 g/kg BB tikus memiliki efek kuratif terhadap kadar ALP serum tikus jantan yang diinduksi dengan CCl4.
Tinjauan Teoritis 1.
Sukun (Artocarpus altilis) Sukun merupakan nama lokal dari Artocarpus altilis. Tanaman tersebut termasuk salah
satu anggota famili Moraceae (Gembong 2005: 33—35). Tanaman sukun berupa pohon besar dan tingginya mencapai 15—20 meter, dengan diameter batang sekitar 0,6—1,8 meter (Morton 2013: 50). Pada daun, permukaan atas halus dan mengilap sedangkan permukaan bawah bertekstur seperti beludru karena terdapat rambut berwarna kemerahan yang berukuran kecil (Ragone 1996: 13). Panjang daun sekitar 22,8—90 cm dan lebar sekitar 20—50 cm (Morton 2013: 50—51). Bentuk daun melonjong (oblongus) dengan bagian tengah daun yang melebar. Tulang daun menyirip (penninervis). Tepi daun bertoreh yang berbagi dan letak toreh sangat bergantung dengan susunan tulang daun, sehingga daun sukun memiliki tepi yang berbagi menyirip (pinnatipartitus) (Gembong 2005: 32 & 41). Kedalaman torehan pada daun sukun sekitar 2/3 hingga 4/5 dari tepi ke tulang daun (Ragone 1996: 13). 1.1
Kandungan Kimia Tanaman Sukun Secara umum, marga Artocarpus dapat menghasilkan metabolit sekunder yang kaya
akan fenilpropanoid seperti flavonoid (Sikawar dkk. 2014: 93). Tanaman sukun merupakan tanaman yang seluruh bagiannya telah diketahui kandungannya. Daun sukun mengandung beberapa kandungan kimia seperti fenol, tanin, flavonoid, steroid, fitosterol, terpenoid, saponin, asam hidrosianat, riboflavin, champorol, quercetin, dan artoindonesianin (Pradhan dkk. 2013: 73; Utami & Puspaningtyas 2013: 77—78) 1.2
Manfaat Tanaman Sukun
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
Daun tanaman sukun merupakan bagian yang paling banyak digunakan dalam bidang pengobatan. Secara tradisional, di Hindia Barat daun tersebut yang sudah menguning direbus menjadi teh dan dikonsumsi untuk menurunkan tekanan darah yang tinggi dan diduga untuk mengontrol diabetes. Di Taiwan, daun ini digunakan untuk mengobati demam dan penyakit hati (Ragone 1996: 37; Orwa dkk. 2009: 4). 2.
Hati Hati adalah organ berwarna merah kecokelatan berbentuk segitiga yang merupakan
organ internal terbesar di dalam tubuh. Organ tersebut berada di bagian bawah diafragma dan menempati sebagian besar bagian kanan atas abdomen (rongga perut) (Wijayakusuma 2008: 1). Pada manusia, organ tersebut terbagi menjadi 4 lobus yakni lobus dekstra, sinistra, kaudatus, dan kuadratus (Tortora & Derrickson 2008: 945). Hati tikus juga terbagi menjadi 4 lobus yakni lobus median, dekstra, sinistra, dan kaudatus (Fox dkk. 2002: 124). Setiap lobus terdiri dari lobulus-lobulus. Lobulus merupakan unit fungsional pada hati yang berbentuk segi enam dan terdiri dari sel hati (hepatosit) yang tersusun berderet mengelilingi vena sentralis, sinusoid (Wijayakusuma 2008: 2), kanalikulus biliaris (Sherwood 2009: 670—671). Pada bagian ujung lobulus terdapat portal triad atau segitiga kiernan. Portal triad terdiri dari arteri hepatika, vena portal, dan duktus biliaris (Talwar & Srivastava 2002: 254). Hati dilengkapi oleh empat pembuluh utama, yaitu arteri hepatika, vena portal, vena hepatika, dan duktus biliaris (saluran empedu) (Pearce 2000: 202). 2.1
Fungsi Hati Hati memiliki beberapa fungsi fisiologis yang penting bagi tubuh. Fungsi fisiologisnya
diantara lain penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan detoksifikasi obat-obatan serta memproduksi empedu untuk proses pencernaan. Dalam sistem pencernaan, organ tersebut berperan sebagai kelenjar aksesori yang menyekresikan getah empedu yang berperan dalam digesti dan absorpsi lemak (Sherwood 2009: 669). Organ tersebut memiliki kemampuan untuk beregenerasi (Fausto dkk. 2006: 46). Proses regenerasi hati dimulai 48 hingga 72 jam setelah terjadinya kerusakan hati (Kovalovich dkk. 2000: 150). 2.2
Patologi Hati Hati merupakan organ pertama yang menyaring darah dari berbagai organ seperti
lambung, usus halus, usus besar, pankreas, limpa, dan paru-paru sebelum diedarkan ke sistem sirkulasi. Darah tersebut mengandung berbagai materi xenobiotik seperti obat-obatan dan toksikan. Materi-materi tersebut akan dibersihkan dengan cara mengekskresikannya melalui
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
getah empedu, fagositosis oleh sel Kupffer, dan terakhir biotransformasi xenobiotik dalam hepatosit (Fox 2009: 631). Biotransformasi xenobiotik bertujuan untuk mengubah senyawa tersebut menjadi senyawa yang mudah larut dalam air (senyawa hidrofilik) sehingga lebih mudah dieliminasi oleh ginjal. Namun, beberapa proses biotransformasi tidak selalu menghasilkan produk yang aman dan mudah dieliminasi oleh tubuh. Biotransformasi senyawa karbon tetraklorida (CCl4) oleh sitokrom P450 menghasilkan suatu radikal bebas yang menyerang atom hidrogen pada asam lemak tak jenuh di membran fosfolipid (Klassen & Watkins 1999: 320). Hal tersebut menyebabkan peroksidasi lipid pada membran sel hati, sehingga menyebabkan kerusakan dan penyakit hati (Lu 1995: 210). 3. Alkali Fosfatase (ALP) Alkali fosfatase (ALP) merupakan enzim yang menghidrolisis fosfat ester organik yang kemudian menghasilkan fosfat inorganik. Enzim tersebut dinamakan alkali karena bekerja paling optimal pada pH yang basa (8—11) (Ginès dkk. 2010: 49). Reaksi umum yang dikatalisis sebagai berikut: R—OP + H2O à R—OH + Pi Hidrolisis fosfat organik (R—OP) oleh ALP akan menghasilkan fosfat inorganik (Pi) dan alkohol, fenol, dan lainnya (R—OH). Enzim tersebut merupakan anggota dari kelas enzim yang diketahui sebagai fosfomonoesterase, yaitu enzim yang menghidrolisis fosfat monoester. (Millán 2006b: 1). ALP dapat ditemukan diberbagai jaringan, namun paling banyak ditemukan di hati dan tulang. Alkali fosfatase hati berasal dari hepatosit dan sel epitel saluran empedu. Kadar ALP yang meningkat dalam darah dapat menunjukkan adanya gangguan fungsi hati (Kaslow 2014: 1). Oleh karena itu, peningkatan kadar enzim tersebut di darah dapat diasosiasikan dengan penyakit hati. 4
Karbon Tetraklorida (CCl4) Karbon tetraklorida merupakan senyawa kimia yang tidak berwarna dan memiliki bau
seperti eter. Zat tersebut merupakan larutan yang tidak mudah terbakar dan tidak larut dalam air. Namun, zat tersebut dapat larut dalam alkohol, eter, kloroform, benzena, dan minyak yang mudah menguap (EPA 2000: 1). Kerusakan hati akibat karbon tetraklorida (CCl4) tidak disebabkan oleh molekul itu sendiri. Enzim sitokrom P450 akan membioaktivasi CCl4 menjadi triklorometil yang reaktif
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
(CCl3ˉ). Keberadaan oksigen membuat CCl3ˉ dapat berubah dengan cepat menjadi metabolit reaktif lainnya, yaitu radikal triklorometilperoksi (CCl3O2ˉ). Radikal CCl3O2ˉ yang menyerang asam lemak tak jenuh pada membran hepatosit dan menyebabkan peroksidasi lipid yang berujung pada kerusakan dan kematian hepatosit (Luttrell dkk. 2008: 104) 5. Rattus norvegicus (tikus) Tikus atau nama latinnya Rattus norvegicus umumnya memiliki panjang tubuh sekitar 400 mm dari hidung sampai ekor dan kisaran berat antara 140 dan 500 g pada tikus dewasa (Armitage 2004: 1). Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague Dawley. Galur ini biasa digunakan dalam penelitian ekperimental karena sifatnya yang tenang dan mudah dikendalikan. Selain itu respon fisiologis tikus tersebut mirip dengan manusia, dapat beradaptasi dengan baik di berbagai macam iklim, dan daya tahan tubuhnya baik sehingga banyak digunakan sebagai tikus laboratorium (Dorland 2012: 1574).
Metode Penelitian 1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2015—Mei 2015. Pemeliharaan hewan uji
dilakukan di Rumah Hewan FMIPA-UI Depok dan analisis serum darah dilakukan di Laboratorium Klinik Bahar Jl. Dewi Sartika No. 36 Depok Lama. 2.
Bahan Bahan uji yang digunakan dalam penelitian adalah daun sukun (Artocarpus altilis)
yang sudah tua berasal dari pohon sukun di kawasan Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Depok. Hewan uji yang digunakan adalah Rattus norvegicus (tikus) putih jantan galur Sprague-Dawley sebanyak 30 ekor, berumur sekitar 2—3 bulan dengan berat badan antara 150 dan 175 g. Makanan tikus berupa pelet diperoleh dari PD. Kasman. Minuman yang diberikan adalah air matang. Bahan yang digunakan untuk menginduksi kerusakan hati tikus adalah karbon tetraklorida [Riedel-de Haën] dan minyak zaitun [Bertolli] sebagai pelarut. Sementara bahan kimia lain yang digunakan dalam penelitian adalah larutan desinfektan [Bayclin], alkohol 70%, akuades, eter, EDTA 10% per 100 ml, larutan asam pikrat 10%, dan reagen-reagen yang digunakan dalam analisis kadar ALP serum (Schumann 2009: 28—31). 3. Peralatan
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
Peralatan yang diperlukan antara lain kandang (50x30x20) cm3, tutup kandang yang terbuat dari anyaman kawat dengan jarak 0,5 cm, serbuk kayu sebagai alas kandang, marker pen [Snowman], timbangan digital [WHB Series Portable Electronic], exhaust fan [National], tube lamp (lampu TL) 20 watt [Phillips], pengatur cahaya otomatis, tempat makan plastik, dan botol minum, oven, batang pengaduk, labu takar 10 ml, 25 ml, dan 100 ml, gelas Beaker [Pyrex], penangas air [Fisher Thermix], bunsen, termometer, blender [Miyako], pipet tetes, pisau, ayakan, kain flannel, dan timbangan analitik digital [Precisa XT 220A], sonde lambung (gavage needle) dan disposable syringe 1 ml dan 3 ml [Terumo], pipet hematokrit berheparin [Marienfeld], tabung sentrifugasi, eppendorf tube 1 ml, kotak es, pipet mikro 500 µl, 50 µl, 20 µl, 10 µl [Clinipette], kuvet [Pyrex], sentrifugator [Health HC1160T Centrifuge], spektrofotometer [Zenix-188], dan timer 3.
Cara Kerja
3.1
Rancangan Penelitian Penelitian bersifat eksperimental, menggunakan rancangan acak lengkap (RAL),
penelitian dilaksanakan dengan menggunakan 30 ekor tikus yang dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan dan 6 kali pengulangan. Perlakuan yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Kelompok kontrol normal (KK1), yaitu kelompok yang diinjeksikan minyak zaitun secara intraperitoneal dan dilanjutkan dengan pemberian akuades secara oral sebanyak 4 kali dengan selang waktu selama 12 jam. b. Kelompok kontrol perlakuan (KK2), yaitu kelompok yang diinjeksikan larutan CCl4 dengan dosis 280 mg/kg BB secara intraperitoneal dan dilanjutkan dengan pemberian akuades secara oral sebanyak 4 kali dengan selang waktu selama 12 jam. c. Kelompok perlakuan 1 (KP1), yaitu kelompok yang diinjeksikan CCl4 dengan dosis 280 mg/kg BB secara intraperitoneal dan dilanjutkan dengan pemberian infusa daun sukun dosis 2,7 g/kg BB tikus secara oral sebanyak 4 kali dengan selang waktu selama 12 jam. d. Kelompok perlakuan 2 (KP2), yaitu kelompok yang diinjeksikan CCl4 dengan dosis 280 mg/kg BB secara intraperitoneal dan dilanjutkan dengan pemberian infusa daun sukun dosis 5,4 g/kg BB tikus secara oral sebanyak 4 kali dengan selang waktu selama 12 jam. e. Kelompok perlakuan 3 (KP3), yaitu kelompok yang diinjeksikan CCl4 dengan dosis 280 mg/kg BB secara intraperitoneal dan dilanjutkan dengan pemberian infusa daun sukun dosis 10,8 g/kg BB tikus secara oral sebanyak 4 kali dengan selang waktu selama 12 jam. 3.2
Pemeliharaan Hewan Uji
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
Sebanyak 30 ekor tikus putih jantan Rattus norvegicus dipelihara dalam bak kadang plastik yang diberi alas serbuk kayu. Tikus dibagi dalam 6 kandang, setiap kandang terdiri dari 5 ekor tikus yang mewakili masing-masing perlakuan, yaitu KK1, KK2, KP1, KP2, dan KP3. Tikus diaklimatisasi selama kurang lebih 14 hari dalam rumah hewan. Penimbangan dilakukan setiap hari. 3.3
Pembuatan Simplisia Daun Sukun Pembuatan simplisia daun sukun dilakukan dengan cara mengeringkan daun sukun
segar yang sudah dibersihkan dan dipisahkan dari batangnya. Daun dikeringkan dengan oven dengan suhu tidak lebih dari 50°C. Daun yang sudah kering kemudian diblender hingga menjadi serbuk dan setelah itu disaring dengan menggunakan ayakan agar menjadi serbuk yang lebih halus (Wahjoedi dkk. 1996: 52; Sa’roni dkk. 1998: 15). 3.4
Pembuatan Infusa Simplisia Daun Sukun Pembuatan infusa daun sukun dengan dosis 10,8 g/kg BB tikus (dosis III) dilakukan
dengan cara memasukkan 108 g serbuk daun sukun dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan akuades hingga mencapai volume 100 ml dan larutan dipindahkan ke gelas Beaker kemudian diletakkan pada wadah yang telah dipanaskan di penangas air pada suhu 90°C selama 15 menit. Infusa daun sukun yang terbentuk didinginkan dan disaring dengan kain flanel. Apabila volume air berkurang setelah disaring, maka ditambahkan dengan akuades hingga mencapai volume 100 ml (Depkes RI 1995: 9). Pembuatan infusa daun sukun dengan dosis 5,4 g/kg BB tikus (dosis II) dan 2,7 g/kg BB tikus (dosis I) dibuat dengan cara pengenceran dari dosis III. 3.5
Uji Flavonoid Pengujian kandungan flavonoid dari infusa daun sukun yang telah dibuat dilakukan
dengan cara memasukan infusa daun sukun sebanyak 2 ml ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 10 tetes asam klorida pekat ke tabung reaksi tersebut. Kemudian diamati warna yang terbentuk di dalam tabung reaksi tersebut (Tjandra dkk. 2013: 6). 3.6
Pembuatan Larutan CCl4 Pembuatan larutan CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus sebanyak 10 ml dilakukan adalah
dengan cara memasukkan 0,18 ml CCl4 ke dalam labu takar 10 ml. Minyak zaitun selanjutnya ditambahkan ke labu takar hingga mencapai volume 10 ml
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
3.7
Pengambilan Sampel Darah Pengambilan sampel darah 30 ekor tikus untuk mengetahui kadar ALP dilakukan
sebanyak tiga kali. Pertama, pengambilan sampel darah untuk data awal yang dilakukan sebelum pemberian perlakuan. Kedua, pengambilan sampel darah yang dilakukan 12 jam setelah penginduksian CCl4. Ketiga, pengambilan sampel darah untuk data akhir dilakukan satu jam setelah pencekokkan infusa daun sukun yang ke empat. Metode pengambilan darah adalah venipuncture pada orbital sinus (Joslin 2009: 126). Sebanyak 1 ml darah ditampung dalam eppendorf tube yang telah diberi 0,05 ml EDTA 10% untuk mencegah penggumpalan darah. Eppendorf tube selanjutnya disimpan dalam kotak es selama perjalanan menuju laboratorium. 3.8
Analisis Serum Sampel Darah Sampel darah tikus tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 10
menit. Serum yang diperoleh selanjutnya dipindahkan ke dalam eppendorf tube yang kering dan bersih. Pengukuran kadar ALP serum dilakukan dengan menggunakan metode yang direkomendasikan International Federation of Clinical Chemistry (IFCC). 3.9
Pengolahan dan Analisis Data Hasil data rerata kadar ALP dianalisis secara statistik menggunakan program
komputer Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 20.0. Data diuji normalitasnya menggunakan uji Shapiro-Wilk dan uji homogenitasnya menggunakan uji Levene (Santoso 2003: 183—189, 301). Jika hasil data kadar ALP normal dan homogen, maka data diuji dengan uji parametrik analisis variansi (ANAVA) satu arah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pemberian infusa daun sukun terhadap kadar ALP. Setelah itu, dilakukan uji perbandingan berganda (LSD) untuk mengetahui perbedaan antar kelompok perlakuan.
Hasil Penelitian 1.
Uji Kualitatif Flavonoid Infusa daun sukun positif mengandung flavonoid. Hal tersebut dikarenakan terjadi
perubahan dari warna hijau zaitun menjadi warna hartal cokelat. Perubahan warna menjadi jingga hingga kecokelatan menandakan infusa daun sukun tersebut positif mengandung flavonoid (Tjandra dkk. 2013: 6).
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
2.
Kadar Alkali Fosfatase Awal
Tabel 2. Kadar alkali fosfatase (ALP) serum tikus awal Ulangan
Kadar ALP Sebelum Perlakuan (U/l) KK1
KK2
KP1
KP2
KP3
1
130
110
110
120
100
2
140
140
130
140
110
3
130
120
140
130
150
4
130
130
130
140
140
5
120
130
130
110
120
120
150
120
140
140
128,33
130,00
126,67
130,00
126,67
SD 7,53 14,14 Keterangan: KK1 : kelompok kontrol normal KK2 : kelompok kontrol perlakuan KP1 : kelompok perlakuan 1 KP2 : kelompok perlakuan 2 KP3 : kelompok perlakuan 3 : rerata kadar alkali fosfatase ! SD : standar deviasi
10,33
12,65
19,66
Rerata Kadar Alkali Fosfatase (U/l)
6 !
132 131 130 129 128 127 126 125 124 123
a
a
a a
a
KK1
KK2
KP1
KP2
KP3
Kelompok Hewan Uji Keterangan: * : huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata Garis (bar) menunjukkan standar deviasi Gambar 2. Diagram batang rerata kadar alkali fosfatase serum tikus awal (U/l)
Uji normalitas Shapiro-Wilk (P > 0,05) dan uji homogenitas Levene (P > 0,05) menunjukkan bahwa data kadar ALP sebelum perlakuan berdistribusi normal dan bervariansi homogen. Hasil uji ANAVA satu arah (P < 0,05) menunjukkan bahwa data rerata kadar ALP antar kelompok tikus tidak berbeda nyata.
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
3.
Kadar Alkali Fosfatase Setelah Penginduksian CCl4
Tabel 3. Kadar alkali fosfatase (ALP) serum tikus setelah penginduksian CCl4 Ulangan
Kadar ALP Setelah Penginduksian CCl4 (U/l) KK1
KK2
KP1
KP2
KP3
1
120
190
160
180
180
2
140
180
190
200
200
3
130
190
210
210
230
4
140
180
210
220
210
5
130
200
180
170
190
6
120
210
190
200
220
!
130,00
191,67
190,00
196,67
205
Rerata Kadar Alkali Fosfatase (U/l)
SD 8,94 11,69 18,97 18,62 18,71 Keterangan: KK1 : kelompok kontrol normal (minyak zaitun + akuades) KK2 : kelompok kontrol perlakuan ( CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus + akuades) KP1 : kelompok perlakuan 1 ( CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus + akuades) KP2 : kelompok perlakuan 2 ( CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus + akuades) KP3 : kelompok perlakuan 3 ( CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus + akuades) ! : rerata kadar alkali fosfatase SD : standar deviasi
250
b
b
b
b
KK2
KP1
KP2
KP3
200 150
a
100 50 0 KK1
Kelompok Hewan Uji Keterangan: KK1 : kelompok kontrol normal (akuades + minyak zaitun) KK2 : kelompok kontrol perlakuan (akuades + CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus) KP1 : kelompok perlakuan 1 ( CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus + akuades) KP2 : kelompok perlakuan 2 ( CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus + akuades) KP3 : kelompok perlakuan 3 ( CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus + akuades) * : huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata Garis (bar) menunjukkan standar deviasi Gambar 3. Diagram batang rerata kadar alkali fosfatase serum tikus setelah penginduksian CCl4 (U/l)
Uji normalitas Shapiro-Wilk (P > 0,05) dan uji homogenitas Levene (P > 0,05) menunjukkan bahwa data kadar ALP setelah penginduksian CCl4 berdistribusi normal dan
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
bervariansi homogen. Hasil uji ANAVA satu arah (P < 0,05) menunjukkan bahwa data rerata kadar ALP antar kelompok tikus memiliki perbedaan yang bermakna. Hasil uji perbandingan berganda (LSD) (P < 0,05) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara KK1 dengan KK2, KP1, KP2, dan KP3. 4.
Kadar Alkali Fosfatase Setelah Pemberian Infusa Daun Sukun
Tabel 4. Kadar alkali fosfatase (ALP) serum tikus setelah pemberian infusa daun sukun Ulangan
Kadar ALP Setelah Perlakuan (U/l) KK1
KK2
KP1
KP2
KP3
1
120
200
140
140
110
2
130
180
160
150
120
3
140
210
170
150
150
4
130
190
190
160
140
5
140
210
140
140
130
6
120
220
160
150
150
!
130,00
201,67
160,00
148,33
133,33
SD 8,94 14,72 18,97 7,53 16,33 Keterangan: KK1 : kelompok kontrol normal (minyak zaitun + akuades) KK2 : kelompok kontrol perlakuan ( CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus + akuades) KP1 : kelompok perlakuan 1 ( CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus + infusa daun sukun dosis 2,7 g/kg BB tikus) KP2 : kelompok perlakuan 2 ( CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus + infusa daun sukun dosis 5,4 g/kg BB tikus) KP3 : kelompok perlakuan 3 ( CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus + infusa daun sukun dosis 10,8 g/kg BB tikus) ! : rerata kadar alkali fosfatase SD : standar deviasi
Uji normalitas Shapiro-Wilk (P > 0,05) dan uji homogenitas Levene (P > 0,05) menunjukkan bahwa data kadar ALP setelah perlakuan berdistribusi normal dan bervariasi homogen. Hasil uji ANAVA satu arah (P < 0,05) menunjukkan bahwa data rerata kadar ALP antar kelompok tikus berbeda nyata. Hasil uji perbandingan berganda (LSD) (P < 0,05) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara KK2 dengan KK1, KP1, KP2, dan KP3; tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna antara KK1 dengan KP3.
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
Rerata Kadar Alkali Fosfatase (U/l)
250
b
200 150
c a
c
a
100 50 0 KK1
KK2
KP1
KP2
KP3
Kelompok Hewan Uji Keterangan: KK1 : kelompok kontrol normal (akuades + minyak zaitun) KK2 : kelompok kontrol perlakuan (akuades + CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus) KP1 : kelompok perlakuan 1 (CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus + infusa daun sukun dosis 2,7 g/kg BB tikus KP2 : kelompok perlakuan 2 (CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus + infusa daun sukun dosis 5,4 g/kg BB tikus KP3 : kelompok perlakuan 3 (CCl4 dosis 280 mg/kg BB tikus + infusa daun sukun dosis 10,8 g/kg BB tikus * : huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata Garis (bar) menunjukkan standar deviasi Gambar 4. Diagram batang rerata kadar alkali fosfatase serum tikus setelah pemberian infusa daun sukun (U/l)
Pembahasan 1.
Uji Kualitatif Flavonoid Berdasarkan uji kualitatif flavonoid yang dilakukan pada infusa daun sukun, infusa
tersebut positif mengandung flavonoid. Flavonoid umumnya dapat larut dalam air (Fried & Sharma 1996: 39), sehingga flavonoid dapat larut dalam infusa daun sukun. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya kandungan flavonoid yang terdapat dalam infus daun sukun. 2.
Kadar Alkali Fosfatase Awal Pengukuran kadar ALP sebelum pemberian perlakuan bertujuan untuk memastikan
bahwa kadar ALP pada seluruh kelompok (KK1 hingga KP3) sama dan berada dalam kisaran normal sebelum diberikan perlakuan. Kadar ALP yang seragam dan dalam kisaran normal menunjukkan bahwa data KK1 dapat dijadikan sebagai data pembanding terhadap perubahan kadar ALP yang terjadi setelah pemberian perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kadar ALP serum tikus awal atau sebelum pemberian perlakuan pada KK1, KK2, KP1, KP2, dan KP3 berturut-turut adalah 128,33 ±
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
7,53U/l, 130 ± 14,14 U/l, 126,67 ± 10,33 U/l, 130 ± 12,65 U/l, dan 126,67 ± 19,66 U/l. Kadar ALP tersebut berada dalam kisaran normal pada tikus jantan galur Sprague Dawley, yaitu sebesar 86,3—173,7 U/l (Fox 2002: 128). Hasil uji ANAVA satu arah (P < 0,05) menunjukkan bahwa rerata kadar ALP awal tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna sehingga menunjukkan bahwa kadar ALP antar kelompok seragam. Oleh karena itu, data kadar ALP sebelum perlakuan pada KK1, KK2, KP1, KP2, dan KP3 sama dan dalam kisaran kadar ALP yang normal sehingga kadar ALP KK1dapat dijadikan sebagai pembanding. 3.
Kadar Alkali Fosfatase Setelah Penginduksian CCl4 Data kadar alkali fosfatase (ALP) setelah penginduksian CCl4 bertujuan untuk
mengetahui keberhasilan penginduksian CCl4 yang dilihat dari perubahan kadar ALP setelah penginduksian. KK2, KP1, KP2, dan KP3 merupakan kelompok yang diinjeksi larutan CCl4, sedangkan KK1 hanya diinjeksi minyak zaitun. Rerata kadar ALP serum tikus setelah penginduksian CCl4 untuk KK2, KP1, KP2, dan KP3 secara berturut-turut adalah 191,67 ± 11,69 U/l, 190 ± 18,97 U/l, 196,67 ± 18,63 U/l, dan 205 ± 18,71 U/l, sedangkan kadar ALP KK1 sebesar 130 ± 8,94 U/l. Berdasarkan uji ANAVA satu arah (P < 0,05), kadar ALP setelah penginduksian CCl4 (KK2, KP1, KP2, dan KP3) memiliki perbedaan bermakna sehingga menunjukkan adanya pengaruh pemberian CCl4 terhadap kadar ALP serum tikus yang terlihat dari perbedaan kadar ALP antara kelompok normal dengan kelompok yang diinduksi CCl4. Hasil uji LSD (P < 0,05) menunjukkan bahwa antara KK2, KP1, KP2, dan KP3 tidak memiliki perbedaan yang bermakna. Hal tersebut menunjukkan bahwa kelompok yang induksi CCl4 memiliki tingkat kerusakan yang seragam. Persentase kenaikan kadar ALP pada KK2, KP1, KP2, dan KP3 setelah diinduksi CCl4 secara berturut-turut sebesar 47,43%, 46,15%, 51,28%. dan 57,69% jika dibandingkan dengan KK1. Komponen asam lemak tak jenuh di membran sel rentan terhadap peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid dapat mengubah fungsi membran sel dan berperan dalam kerusakan membran sel. Peroksidasi lipid tersebut dapat menganggu struktur membran dengan cara memodifikasi fluiditas, permeabilitas, dan ketebalan membran (Wong-ekkabut 2007: 4225). Asam lemak tak jenuh berperan dalam fluiditas membran, apabila asam lemak tak jenuh diserang oleh radikal bebas, maka fluiditas membran akan menurun. Menurunnya fluiditas membran akan membuat ion Ca2+ masuk ke dalam sel dan meningkatnya permeabilitas membran terhadap ion Ca2+ (Ceballos-Picot 1997: 45).
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
Membran di mitokondria dan retikulum endoplasma dalam sel juga rentan terhadap peroksidasi lipid (Knockaert dkk. 2012: 409). Kerusakan pada mitokondria dan retikulum endoplasma menyebabkan meningkatnya konsentrasi Ca2+ dalam sel. Hal tersebut menyebabkan kerusakan struktur sitoskeleton dan membuat sel menjadi bengkak dan bocornya komponen yang terdapat dalam sel (Kumar dkk. 2014: 49), seperti ALP bocor dari hepatosit yang berujung pada peningkatan kadar enzim tersebut di dalam darah (Kaslow 2014: 1). 4.
Kadar Alkali Fosfatase Setelah Pemberian Infusa Daun Sukun Data kadar alkali fosfatase (ALP) setelah pemberian infusa daun sukun bertujuan
untuk mengetahui keberhasilan pemberian infusa tersebut untuk menurunkan kadar ALP pada hati yang sudah dirusak dengan CCl4. Rerata kadar ALP serum tikus setelah pemberian infusa daun sukun untuk KP1, KP2, dan KP3 secara berturut-turut adalah berturut-turut adalah 160 ± 18,97 U/l; 148,33 ± 7,53 U/l; dan 133,33 ± 16,33 U/l, sedangkan untuk kadar ALP KK1 dan KK2 (tidak diberikan infusa daun sukun) sebesar 130 ± 8,94 U/l dan 201,67 ± 14,72 U/l. Berdasarkan uji ANAVA satu arah (P < 0,05) menunjukkan bahwa data kadar ALP berbeda bermakna antar kelompok, sehingga menunjukkan adanya pengaruh pemberian infusa daun sukun terhadap kadar ALP. Hasil uji LSD (P < 0,05) menyatakan bahwa KK2 berbeda bermakna dengan KK1, KP1, KP2, dan KP3, namun KK1 dan KP3 tidak memiliki perbedaan yang bermakna. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi perubahan antara kadar ALP setelah diinduksi CCl4 (KK2) dan kadar ALP setelah diberi infusa daun sukun. Oleh karena itu, pemberian infusa daun sukun dapat menurunkan kadar ALP dan dosis 10,8 g/kg BB tikus (KP3) merupakan dosis yang dapat menurunkan kadar ALP hingga sama dengan kadar normal (KK1). Persentase penurunan kadar ALP pada KP1, KP2, dan KP3 setelah diberikan infusa daun sukun secara berturut-turut sebesar 20,66%, 26,45%, dan 33,89% jika dibandingkan dengan kadar ALP pada KK2. Penurunan kadar ALP pada KP1, KP2, dan KP3 menunjukkan bahwa infusa daun sukun memiliki kemampuan untuk mengobati kerusakan hati akibat pemajanan radikal bebas. Kemampuan tersebut diduga karena daun sukun mengandung flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan (Kolar dkk. 2011: 2071). Pemberian infusa daun sukun dilakukan sebanyak 4 kali dengan selang waktu 12 jam, total pemberian dalam kurun waktu 48 jam. Hal tersebut memungkinkan adanya flavonoid yang berperan sebagai antioksidan scavenger dan perbaikan. Mekanisme scavenger flavonoid adalah untuk mencegah stres oksidatif pada sel
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
dan melindungi sel dari kerusakan dengan cara bereaksi dengan radikal. Flavonoid dapat membuat radikal bebas inaktif dengan reaksi berikut ini: FOH + R• à FO• + RH FOH merupakan flavonoid, R• merupakan radikal bebas, FO• merupakan radikal bebas yang tidak reaktif, dan RH merupakan senyawa yang stabil (Nijveldt dkk. 2001: 419). Beberapa jenis flavonoid diketahui sebagai scavenger radikal bebas yang baik dan dapat mencegah pembentukan radikal bebas (Nijveldt dkk. 2001: 418—419). Contohnya adalah quercetin yang dapat ditemukan di berbagai tanaman seperti daun Artocarpus camansi (Ong 2008: 150). Selain berperan untuk melindungi sel dari kerusakan radikal bebas, flavonoid juga dapat berperan sebagai antioksidan perbaikan. Mekanismenya adalah dengan cara memperbaiki kerusakan dan rekonstruksi membran akibat radikal bebas, serta memulai sintesis enzim yang terlibat dalam proses perbaikan sel (Lakhanpal & Kumar 2007: 29). Beberapa jenis flavonoid juga diketahui dapat memperbaki kerusakan hati akibat radikal bebas seperti silymarin yang diketahui dapat membantu hati untuk beregenerasi sel-sel yang baru untuk memperbaiki kerusakan pada hati (McKenna dkk. 2002: 771).
Kesimpulan Pemberian infusa daun sukun dosis 2,7; 5,4; dan 10,8 g/kg BB tikus memiliki potensi kuratif dengan menurunkan kadar ALP yang meningkat akibat induksi karbon tetraklorida (CCl4). Penurunan kadar ALP pada KP1, KP2, dan KP3 secara berturut-turut sebesar 20,66%, 26,45%, dan 33,89% jika dibandingkan dengan KK2. Pemberian infusa daun sukun dosis 10,8 g/kg BB tikus (KP3) memiliki potensi kuratif terbesar karena dapat menurunkan kadar ALP paling mendekati kadar ALP kelompok kontrol normal (KK1).
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jenis flavonoid yang terkandung di dalam infusa daun sukun sehingga dapat diketahui secara pasti jenis flavonoid yang berperan sebagai antoksidan di dalam daun sukun.
Daftar Referensi
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
Alarami, A.M.J. & M.S.A. Al-Awar. 2013. Hepatoprotective and hepatocurative effects of nabk honey in penicilin-induced hepatic toxicity. Journal of Pharmaceutical and Scientific Innovation 2(5): 34—40. Althnaian, T., I. Albokhadaim, & S.M. El-Bahr. 2013. Biochemical and histopathological study in rats intoxicated with carbontetrachloride and treated with camel milk. SpringerPlus 57(2): 1—7. Armitage, D. 2004. Rattus norvegicus. 1 hlm. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/Rattus_norvegicus/. Diakses tanggal 21 November 2014, pkl 9.27. Atmaja, W., S.P. Sari, & Azizahwati. 2010. Efek hepatoprotektif infusa daun sukun (Artocarpus altilis (Park.) fsb.) terhadap kerusakan hati tikus yang diinduksi dengan karbon tetraklorida. Majalah Ilmu Kefarmasian 7(2): 27—42. Canadian Liver Foundation. 2012. Liver Disease. 1 hlm. http://www.liver.ca/liver-disease/. Diakses tanggal 07 Februari 2014, pkl 17.37. Ceballos-Picot, I. 1997. The role of oxidative stress in neuronal death. Springer Science & Business Media, New York: 203 hlm. Corwin, E.J. 2009. Buku saku patofisiologi. Ed. ke 3. Terj. dari Handbook of pathophysiology. 3rd Ed. oleh Subekti. EGC, Jakarta: xiv + 842 hlm. Depkes RI (= Departemen Kesehatan Republik Indonesia). 1995. Farmakope Indonesia. Ed. ke-4. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta: xiii + 1.290 hlm. Dorland. 2012. Dorland’s illustrated medical dictionary. 32nd Ed. Elseviers Saunders, Philadelphia: 2145 hlm. EPA (= United States Environment Protection Agency). 2000. Carbon tetrachloride. 1 hlm. http://www.epa.gov/airtoxics/hlthef/carbonte.html. Diakses tanggal 01 Maret 2014, pkl 16.14. Fausto, N., J.S. Campbell, & K.J. Riehle. 2006. Liver regeneration. Hepatology 43: 45—53. Fox, J.G., L.C. Anderson, F.M. Lower, & F.W. Quimby. 2002. Laboratory animal medicine. 2nd Ed. Academic Press, California: 900 hlm. Fox, S.I. 2009. Human physiology. 11th ed. McGraw-Hill Companies, Inc., New York: xxv + 726 hlm. Fried, B. & J. Sherma. 1996. Practical thin-layer chromatography: a multidisciplinary approach. CRC Press, Florida: 288 hlm. Gembong, T. 2005. Morfologi tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta: x + 266 hlm.
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
Ginès, P., P.S. Kamath, & V. Arroyo. 2010. Chronic liver failure: mechanisms and management. Springer Science & Business Media, New York: 608 hlm. Joslin, J.O. 2009. Blood collection techniques in exotic small mammals. Journal of Exotic Pet Medicine 18(2): 117—139. Kaslow, J.E. 2014. Alkalie phosphatase. 1 hlm. http://www.drkaslow.com/html/alkaline_phosphatase.html. Diakses 19 November 2014, pk. 11.40 WIB. Klassen, C.D. & J.B. Watkins. 1999. Cassaret & Doull’s toxicology: the basic science of poisons. McGraw-Hill Companies, Inc., New York: vii + 861 hlm. Knockaert, L., A. Berson, C. Ribault, P. Prost, A. Fautrel, J. Pajaud, S. Lepage, C. LucasClerc, B. Fromenty, & M. Robin. 2012. Carbon tetrachloride-mediated lipid peroxidation induces early mitochondrial alterations in mouse liver. Laboratory Investigation 92: 396—410. Kolar, F.R., V.S. Kamble, & G.B. Dixit. 2011. Phytochemical constituents and antioxidant potential of some underused fruits. African Journal of Pharmacy and Pharmacology 5(8): 2067—2072. Kovalovich, K., R.A. DeAngelis, W. Li, E.E. Furth, G. Ciliberto, & R. Taub. 2000. Increased toxin-induced liver injury and fibrosis in interleukin-6-deficient mice. Hepatology 31(1): 149—159. Kumar, V., A.K. Abbas, & J.C. Aster. 2014. Robbins & Cotran Pathologic Basis of Disease. 9th Ed. Elsevier Health Sciences, Philadelphia: 1472 hlm. Lakhanpal, P. & D. Kumar. 2007. Quercetin: a versatile flavonoid. International Journal of Medical Update 2(2): 22—37. Lu, F.C. 1995. Toksikologi dasar: asas, organ sasaran, dan penilaian risiko. Terj. dari Basic toxicology: fundamental, target organs, and risk assessment oleh Nugroho. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta: xv + 429 hlm. Luttrell, W.E., W.W. Jederberg, & K.R. Still. 2008. Toxicology principles for the industrial hygienist. AIHA, Virginia: 453 hlm. McKenna, D.J., K. Jones, & K. Hughes. 2002. Botanical medicines: the desk references for major herbal supplements. Routledge, London: 1138 hlm. Millán, J.L. 2006b. Mammalian alkalie phosphatase: from biology to applications in medicine and biotechnology. Wiley-VCH, Weinheim: xvi + 322 hlm. Morton, J.F. 2013. Fruits of warm climates. Echo Point Books & Media, Vermont: 550 hlm. Muriel, P. 2009. Role of free radical in liver diseases. Hepatology International 3: 526—536.
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
NIH(= National Institutes of Health). 2013. Antioxidant and health: an introduction. 1 hlm. https://nccih.nih.gov/health/antioxidants/ introduction.htm. Diakses 21 Januari 2015, pkl 09.27. Nijveldt, R.J., E. van Nood, D.E.C. van Hoorn, P.G. Boelens, K. van Norren, & P.A.M. van Leeuwen. 2001. Flavonoid: a review of probable mechanisms of action and potential applications. The American Journal of Clinical Nutrition 74: 418—425. Ong, H.C. 2008. Vegetables for Health and Healing. Utusan Publications & Distributors, Kuala Lumpur: 249 hlm. Orwa, C., A. Mutua, R. Kindt, R. Jamnadass, & S. Anthony. 2009. Artocarpus altilis. World Agroforestry 4: 1—7. Pearce, E.C. 2000. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. PT Gramedia, Jakarta: 345 hlm. Pradhan, C., M. Mohanty, & A. Rout. 2013. Phytochemical screening and comparative bioefficacy assessment of Artocarpus altilis leaf extracts for antimicrobial activity. Frontiers in Life Science 6(4): 71—76. Preedy, V.R. 2014. Cancer: oxidative stress and dietary antioxidants. Academic Press, : 308 hlm. Ragone, D. 1996. Breadfruit: Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg: promoting the conservation and use of underutilized and neglected crops. National Tropical Botanical Garden, Hawaii: 77 hlm. Repetto, M., J. Semprine, & A. Boveris. 2012. Lipid peroxidation: chemical mechanism, biological implications and analytical determination. Intech Open Access Publisher, Lancaster: 28 hlm. Sa’roni, I.A. Donatus, & Adjirni. 1998. Pengaruh infusa daun Plantago mayor L. (daun urat) pada uterus tikus yang diovarektomi. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 8(2): 15—17. Santoso, S. 2003. SPSS versi 10: mengolah data statistik secara professional. Elex Media Komputindo, Jakarta: x + 573 hlm. Schumann, G. 2009. IFCC standardization of enzyme measurement: assessment of current situation. Institute for Clinical Chemistry Medical University Hannover, Hannover: 39 hlm. Sherwood, L. 2009. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Terj. dari Human physiology: from cells to systems oleh Brahm U. Pendit. Penerbit EGC, Jakarta: xxix + 870 hlm.
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014
Sikawar, M.S., B.J. Hui, K. Subramaniam, B.D. Valeisamy, L.K. Yean, & K. Balaji. 2014. A review on Artocarpus altilis (parkinson) fosberg (breadfruit). Journal of Applied Pharmaceutical Science 4(8): 91—97. Talwar, G.P. & L.M. Srivastava. 2002. Textbook of biochemistry and human biology. 3rd Ed. PHI Learning Pvt. Ltd., New Delhi: 1328 hlm. Tjandra, O., T.R. Rusliati, & Zulhipri. 2013. Uji aktivitas antioksidan dan profil fitokimia kulit rambutan rapiah (Naphelium lappaceum). 13 hlm. http://portal.koperties3.or.id. Diakses 7 Maret 2015, pkl. 16.40. Tortora, G.J. & B.H. Derrickson. 2008. Principles of anatomy and physiology. 12th Ed. John Wiley & Sons, New Jersey: 1280 hlm. Utami, P. & D.E. Puspaningtyas. 2013. The miracle of herbs. AgroMedia, Jakarta: viii + 208 hlm. Vincolli, J.W. 1996. Risk management for hazardous chemicals. Vol 1. CRC Press, Florida: 3136 hlm. Wahjoedi, B., Y.N. Astuti, W. Winarno, Pudjiastuti, & B. Nuratmi. 1996. Penelitian toksisitas subkronik infusa daun johar (Cassia siamea Lamk.) pada tikus putih. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 24(4): 52—59. WHA (= World Hepatitis Alliance). 2013. Research revealed on world hepatitis day shows countries III-equipped to cope with silent epidemic. 1 hlm. http://www.worldhepatitisalliance.org/en/news-reader/research-revealed-on-worldhepatitis-day-shows-countries-ill-equipped-to-cope-with-silent-epidemic.html. Diakses 24 Januari 2015, pkl. 20.19. Wijayakusuma, H. 2008. Tumpas hepatitis dengan ramuan herbal. Pustaka Bunda, Jakarta: vi + 86 hlm. Wong-ekkabut, J., Z. Xu, W. Triampo, I. Tang, D.P. Tieleman, & L. Monticelli. 2007. Effect of lipid peroxidation on the properties of lipid bilayers: a molecular dynamics study. Biophysical Journal 93: 4225—4236.
Pengaruh pemberian infusa daun ..., Afifa Radhina, FMIPA UI, 2014