ADVERSE SELECTION DAN MORAL HAZARD PADA SKIM KREDIT LEMBAGA KEUANGAN MIKRO AGRIBISNIS (LKM-A) PUAP DI KOTA PADANG
CINDY PALOMA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Adverse Selection dan Moral Hazard pada Skim Kredit Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) PUAP di Kota Padang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Cindy Paloma NRP H353110061
RINGKASAN CINDY PALOMA. Adverse Selection dan Moral Hazard pada Skim Kredit Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) PUAP di Kota Padang. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan ANNA FARIYANTI. Program PUAP merupakan program yang ditujukan untuk pembentukan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A). Di Kota Padang, LKM-A PUAP telah berjalan dari tahun 2009. Namun, pembentukan LKM-A yang dilakukan oleh Gapoktan pada awalnya lebih ditujukan untuk mendapatkan akses dana PUAP, akibatnya menimbulkan masalah dalam penyaluran dan pengembalian dana kredit PUAP. Hal ini dapat dilihat dari nilai Non Performing Loan (NPL) LKM-A di Kota Padang sampai dengan Februari 2013 mencapai 48.21 persen. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis peluang untuk mengakses kredit ke perbankan dengan skema kredit kelompok pada LKM-A PUAP, (2) menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya adverse selection pada pembentukan LKM-A PUAP dan (3) menganalisis faktorfaktor yang dapat menyebabkan terjadinya moral hazard pada skema kredit di LKM-A PUAP di Kota Padang. Penelitian ini dilakukan di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, karena Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi penerima dana PUAP yang secara inisiatif sendiri mendirikan LKM-A untuk pengelolaan dana PUAP di tahun pertama PUAP digulirkan. Data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer seperti kuesioner dan wawancara kepada pengurus, anggota LKM-A dan Penyuluh Mitra Tani. Sampel penelitian sebanyak 18 LKM-A yang tersebar di 9 kecamatan di Kota Padang, dengan tahun penerima PUAP dari tahun 2009-2012. Metode yang digunakan metode statistik model logit. Hasil analisis logit menunjukkan bahwa faktor yang meningkatkan peluang akses kredit LKM-A ke perbankan yaitu mempunyai sumber pembiayaan selain dana LKM-A PUAP dan kunjugan dari petugas kredit. Hasil analisis logit untuk adverse selection di LKM-A PUAP yang diproxi melalui risiko dalam kelompok dipengaruhi oleh faktor umur, jumlah anggota kelompok, sama daerah lahir, mengenal anggota kelompok, mengetahui penjualan anggota, melakukan seleksi anggota, pekerjaan utama sesuai dengan Rancangan Usaha Bersama (RUB) dan melibatkan Penyuluh Mitra Tani (PMT) dapat mengurangi terjadinya adverse selection. Sedangkan jarak rata-rata antar kelompok dan LKM-A dibentuk saat PUAP akan digulirkan meningkatkan peluang terjadinya adverse selection di LKM-A PUAP. Hasil analisis logit peluang terjadinya kegagalan pembayaran yang mengindikasikan terjadinya moral hazard, dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jumlah anggota keluarga dan sama daerah lahir yang dapat mengurangi terjadinya kegagalan pembayaran, namun besar kredit, jenis kelamin dan jarak rata-rata antar anggota kelompok dapat meningkatkan peluang terjadinya kegagalan pembayaran. LKM-A yang berpeluang mendapatkan akses kredit dari perbankan adalah LKM-A yang memiliki nilai NPL rendah dan tidak mengalami masalah moral hazard. LKM-A yang mengalami masalah adverse selection teridentifikasi mengalami moral hazard. Kata kunci: adverse selection, moral hazard, akses krredit, LKM-A PUAP
SUMMARY CINDY PALOMA. Adverse selection and Moral Hazard in Credit Schemes of Agribusinees Microfinance Institution (MFI-A) PUAP in Padang City. Supervised by NUNUNG NURYARTONO and ANNA FARIYANTI. PUAP is a program aimed to establish Microfinance Institution (MFI-A), in the city of Padang, MFI-A PUAP has been established since 2009. However, its establishment was initially intended to gain access to PUAP funds, consequently causing problems in the disbursement and refund credit PUAP in each MFI-A. It can be seen from the value of Non-Performing Loan (NPL) MFI-A in the city of Padang, for example, in February 2013 reached 48.21 percent. Under these conditions, the purpose of this study was (1) to analyze the probability accessing credit with a credit scheme in the MFI group-A PUAP, (2) to analyze the factors that lead to adverse selection in the establishment of MFI-A PUAP and (3 ) to analyze the factors that can lead to moral hazard in the credit scheme of MFI-a PUAP in Padang. The research was conducted in Padang city, West Sumatra Province. West Sumatra is one of recipient provinces of PUAP that has initiative found MFI-A for the management of funds in the first year PUAP runed. The data used in this thesis are secondary data and primary data such as questionnaires and interviews to administrators and members of MFI-A Extension as well as Mitra Tani. We collected 18 samples of MFI-A spreaded over 9 districts in the city of Padang from 2009-2012. Statistical methods of logit model was used to analyze the data.. The Logit analysis showed that factors determined the probability to increase credit access to the banks is the financial resources in addition to MFI-A PUAP funds and the visiting of loan officers. Logit analysis results for adverse selection in MFI-A PUAP proxied through risk in the group influenced by age, the number of members of the group, region of birth, get to know other members of the group, knowing selling group members, member selection, the main job accordance with the draft Joint Effort (RUB) and involvement in Extension Mitra Tani (PMT) can reduce the occurrence of adverse selection. While the average distance between members and MFI-A was create when PUAP establish increases the chances of adverse selection in MFI-A PUAP. Logit analysis for the failure of payment indicating the occurrence of moral hazard is influenced by factors age, family size and region of birth credit reducing the occurrence of default, besides that credit size, the sex and the average distance between members can improve chances in the failure of payment. The LKM-A getting credit access in the bank is that the one who have low NPL grade and do not have moral hazard problem as well as LKM-A that have adverse selection in moral hazard. Keywords: adverse selection, moral hazard, credit acces, MFI-A, PUAP
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ADVERSE SELECTION DAN MORAL HAZARD PADA SKIM KREDIT LEMBAGA KEUANGAN MIKRO AGRIBISNIS (LKM-A) PUAP DI KOTA PADANG
CINDY PALOMA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir M Parulian Hutagaol, MS
Judui Tesis : Adverse Selection dan Moral Hazard pada Skim Kredit Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) PUAP di Kota Padang ).;ama : Cindy Paloma . "fM : H353110061
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
--
Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Anggota
Diketahui oleh
Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
Dr IT Sri Hartoyo, MS
Tanggal Ujian: 16 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
0 9 0CT 2013
Judul Tesis : Adverse Selection dan Moral Hazard pada Skim Kredit Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) PUAP di Kota Padang Nama : Cindy Paloma NIM : H353110061 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi Ketua
Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Anggota
Diketahui oleh
Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 16 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini adalah asimetrik informasi, dengan judul Adverse Selection dan Moral Hazard pada Skim Kredit Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) PUAP di Kota Padang. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Nunung Nuryartono, MSi dan Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MSi selaku pembimbing atas dukungan, arahan, dan waktu yang telah diberikan selama penulisan tesis ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir M. Parulian Hutagaol, MS selaku penguji luar komisi pada ujian tesis dan Bapak Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku ketua program studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Selain itu penulis juga mengucapkan terimakasih kepada DIKTI yang telah membiayai studi penulis melalui program beasiswa unggulan. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Ayahanda Syaiful, Ibunda Yusmiati dan adik tercinta Kevin Pramana, serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Selanjutnya kepada Vandra Kurniawan SP atas motivasi, doa, kasih sayang dan kesabarannya dalam membantu penulis selama pendidikan, kepada Kak Helen, Kak Fany, Ipit, Arini, Riri, Kak Sri, Fony, Kak Hakim, Pak Wawan, Wahyu dan Pak busaid selaku teman-teman EPN angkatan 2011 atas doa dan dukungannya selama masa pendidikan, dan kepada Staf EPN serta teman-teman EPN S2 dan S3 angkatan 2010, 2011 dan 2012 juga kepada anak-anak kosan Fauziah yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis selama pendidikan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi yang pembaca umumnya dan penulis sendiri khususnya.
Bogor, September 2013 Cindy Paloma
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 4 8 8 9
2 TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Bentuk Bantuan Modal pada Sektor Pertanian Kelembagaan dan Peran Kelembagaan Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan di Indonesia Lembaga Keuangan Mikro yang menerapkan Pinjaman secara Berkelompok (Group Lending) dan Sistem Tanggung Renteng Penumbuhan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LM-A) Penelitian Terdahulu Kerangka Teoritis Teori Informasi Asimetrik Teori Group Lending Model Logit Kerangka Berpikir Penelitian Hipotesis
9 9 12 13 15
3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengambilan Sampel Analisis Data Analisis Peluang Akses Kredit ke Perbankan secara Group Lending Analisis Adverse Selection pada Skim Kredit LKM-A PUAP Analisis Faktor Moral Hazard pada LKM-A PUAP Definisi Operasional
35 35 35 35 37 37 38 39 41
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan Geografis Keadaan Pertanian Deskripsi Gapoktan Contoh
43 43 44 44
16 18 21 25 25 28 29 32 33
5 ANALISIS SOSIAL EKONOMI RESPONDEN Karakteristik Demografi Responden Penerima Program PUAP Karakteristik Variabel-variabel
49 49 52
6 ANALISIS FAKTOR PELUANG AKSES KREDIT LKM-A PUAP KE PERBANKAN Pengujian Model Peluang Akses Kredit ke LKM-A Interpretasi Nilai Odds Ratio pada Variabel Peluang Akses Kredit
73 73 74
7 ANALISIS FAKTOR ADVERSE SELECTION PADA LKM-A PUAP Pengujian Model Peluang Adverse Selection di LKM-A PUAP Interpretasi Nilai Odds Ratio pada Variabel Peluang Adverse Selection
77 77 78
8 ANALISIS FAKTOR GAGAL BAYAR DI LKM-A PUAP Pengujian Model Gagal Bayar di LKM-A PUAP Interpretasi Nilai Odds Ratio pada Variabel Gagal Bayar
83 83 84
9 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
87 87 87
DAFTAR PUSTAKA
89
LAMPIRAN
91
RIWAYAT HIDUP
112
DAFTAR TABEL 1 Data Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008-2011 2 Populasi dan Sampel Penelitian 3 Variabel yang menunjukkan Akses Peluang Akses Kredit LKM-A PUAP 4 Variabel yang menunjukkan terjadinya Adverse Selection Melalui Pendekatan Risiko Anggota Kelompok 5 Variabel yang menunjukkan Analisis Kegagalan Pembayaran 6 Demografi 9 Kecamatan Sampel Penelitian 7 Sebaran Gapoktan Sampel menurut Kecamatan 8 Data Profil LKM-A Sampel 9 Hubungan antara Jarak LKM-A dengan Nilai Asset, Mempunyai Tabungan di Bank dan Petugas Kredit Mengunjungi LKM-A 10 Hubungan antara Variabel Mempunyai Tabungan dengan Pendapatan dan Jenis Pekerjaan 11 Hubungan antara Daerah Lahir dengan Kenal Anggota Lain, Tahu Aktivitas Ekonomi Dan Tahu Penjualan Anggota. 12 Hubungan antara Seleksi Anggota dengan Lama Waktu Seleksi, Pekerjaan Utama Sesuai Dengan Rub, Melibatkan Penyuluh Mitra Tani 13 Hubungan antara Variabel Gagal Bayar dengan Jenis Kelamin, Usia, Pekerjaan dan adverse selection. 14 Hubungan antara Besar Kredit dengan Umur, Jenis Kelamin, Lama Tergabung, Gagal Bayar, Jarak, Dummy Kenal Anggota. 15 Prediksi Model Akses Kredit 16 Hasil Estimasi Koefisien Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses Kredit LKM-A PUAP ke Perbankan 17 Prediksi Model Adverse Selection 18 Hasil Estimasi Koefisien Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adverse Selection (keheterogenan) pada LKM-A PUAP 19 Tabel Prediksi Model Gagal Bayar 20 Hasil Estimasi Koefisien Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kegagalan Pembayaran pada LKM-A PUAP
2 36 37 39 40 44 45 45 67 68 69 70 71 72 74 75 78 79 84 84
DAFTAR GAMBAR 1 Persentase jumlah penduduk usia 15 Tahun ke atas menurut Lapangan Pekerjaan di Sumatera Barat tahun 2011 2 Jumlah LKM-A PUAP menurut Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat tahun 2008 3 Skema Pembiayaan dengan Model Joint Liabilities 4 Kerangka Konseptual Akses Kredit, Adverse Selection dan Moral Hazard pada Skim Kredit LKM-A PUAP di Kota Padang
3 4 29 34
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Jenis Kelamin Responden Usia Responden Tingkat Pendidikan Responden Jumlah Tanggungan Keluarga Responden Pekerjaan Utama Responden Jarak LKM-A PUAP dari Kantor Cabang Bank Terdekat Nilai Asset LKM-A Dummy Punya Tabungan di Bank Dummy Sumber Pembiayaan Lain Dummy Pengajuan Kredit Sebelum LKM-A terbentuk Dummy Petugas Kredit Mengunjungi LKM-A Dummy LKM-A Berbadan Hukum Dummy LKM-A Punya Mitra Pendapatan Jarak Rata-rata Antar Anggota Kelompok Dummy Daerah Lahir Dummy Kenal Anggota Lain Dummy Tahu Aktivitas Ekonomi Dummy Tahu Penjualan Anggota Dummy Kunjungan Anggota Dummy Gagal Bayar Tahun Berdiri LKM-A LKM-A dibentuk Pada Saat Puap akan digulirkan Dummy Seleksi Anggota Dummy Pekerjaan Utama Sesuai RUB Dummy Melibatkan Penyuluh Mitra Tani Dummy Lama Seleksi Anggota Besar Kredit yang dipinjam Dummy Penyalahgunaan Kredit Dummy Lama Tergabung Dalam Kelompok Dummy Siap Menekan Anggota Dummy Sulit Menerapkan Sangsi
49 50 50 51 52 52 53 53 55 55 55 55 56 56 57 57 58 58 59 59 60 61 62 62 62 63 63 64 64 65 65 66
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kredit Bank Umum kepada Pihak Ketiga Bukan Bank Berdasarkan Lapangan Usaha (Miliar Rp) 2 Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2007-2010 3 Kuota Lokasi Penerima PUAP Menurut Propinsi tahun 2008 4 Sebaran Lokasi Penerima Dana BLM-PUAP Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 5 Perkembangan Jumlah Gapoktan dan Dana PUAP di Kota Padang (sampai dengan Februari 2013) 6 Perkembangan Dana LKM-A PUAP di Kota Padang (sampai dengan Februari 2013) 7 Nilai Non Performing Loan (NPL) LKM-A di Kota Padang (sampai
91 93 93 94 95 98
8 9 10 11
dengan Februari 2013) Kerangka Perkembangan Teori Informasi Asimetrik Hasil Pengolahan Model Peluang Akses Kredit LKM-A PUAP ke Perbankan dengan Metode Logit dengan menggunakan Program SAS 9.1 Hasil Pengolahan Model Adverse Selection pada LKM-A PUAP dengan Metode Logit dengan Menggunakan Program SAS 9.1 Hasil Pengolahan Model Kegagalan Pembayaran pada LKM-A PUAP dengan Metode Logit dengan Menggunakan Program SAS 9.1
101 104 105 107 109
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pasar kredit merupakan pasar yang memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan pasar lainnya, dimana proses transaksi tidak terjadi sekali waktu tetapi berjangka waktu. Ketidakseimbangan informasi (asymmetric information) terjadi pada transaksi antara lembaga keuangan (bank) dan masyarakat sebagai peminjam. Informasi asimetrik ini menyebabkan apa yang disebut sebagai adverse selection dan moral hazard yang dapat mengakibatkan distorsi dan kebangkrutan pasar kredit (Bachtiar, 2012). Terjadinya informasi asimetrik ini, khususnya antara calon peminjam (lender) yang tidak mengetahui informasi calon nasabahnya (borrower) tentang kemampuan dan kejujuran calon nasabah tersebut untuk mengembalikan uang yang dipinjamnya. Sebaliknya calon nasabah sangat mengetahui kemampuan dirinya dan kejujuran dirinya sendiri. Keadaan informasi asimetrik tersebut menurut Anwar (1996) memberi dua dampak yaitu (1) risiko salah pilih nasabah (adverse selection of risk) dan (2) kemungkinan terjadinya kerusakan moral (moral hazard) (Ahlam, 2005). Kredit yang disalurkan untuk sektor pertanian, masih tergolong kecil. Setidaknya pada tahun 2012 hanya sekitar 7% dari total kredit yang diberikan oleh perbankan (Lampiran 1). Perbankan menilai, pembiayaan ke sektor pertanian tergolong berisiko tinggi karena banyaknya faktor penyebab, diantaranya perubahan cuaca ekstrim, kegagalan panen, bencana alam, infrastruktur yang buruk, kelangkaan input, dan teknologi pertanian yang terbatas yang dimiliki kalangan petani. Kemampuan petani dalam mengakses sumber-sumber permodalan sangat terbatas karena lembaga keuangan perbankan dan non perbankan menerapkan prinsip 5-C (Character, Collateral, Capacity, Capital dan Condition) dalam menilai usaha pertanian yang tidak semua persyaratan yang diminta dapat dipenuhi oleh petani. Secara umum, usaha di sektor pertanian masih dianggap berisiko tinggi, sedangkan skim kredit masih terbatas untuk usaha produksi, belum menyentuh kegiatan pra dan pasca produksi dan sampai saat ini belum berkembangnya lembaga penjamin serta belum adanya lembaga keuangan khusus yang menangani sektor pertanian. Jika ditelusuri lebih jauh, permasalahan yang dihadapi dalam permodalan pertanian berkaitan langsung dengan kelembagaan selama ini yaitu lemahnya organisasi tani, sistem dan prosedur penyaluran kredit yang rumit, birokratis dan kurang memperhatikan kondisi lingkungan sosial budaya perdesaan, sehingga sulit menyentuh kepentingan petani yang sebenarnya (Syahyuti, 2007). Menurut Bachtiar (2012), masyarakat miskin umumnya dipandang oleh bank komersial sebagai peminjam berisiko tinggi (high-risk borrowers) karena sulitnya menilai ketaatan membayar kredit. Bank juga menganggap mereka tidak memiliki agunan untuk menjamin kredit dari risiko yang mungkin timbul. Bank memandang masyarakat miskin sebagai uneconomic and small loan size clients, pihak yang tidak menarik dan tidak menguntungkan untuk didanai.. Hal tersebut semakin menjauhkan keterjangkauan masyarakat miskin terhadap pelayanan
2
lembaga keuangan. Oleh karena itu, pemerintah perlu merancang skema khusus yang melayani kelompok masyarakat miskin. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi permodalan adalah dengan program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Program PUAP merupakan program nasional dalam rangka pengentasan kemiskinan pada sektor pertanian yang telah dilaksanakan oleh Kementrian Pertanian Republik Indonesia sejak tahun 2008. Program ini berupa pemberian dana bantuan penguatan modal kepada petani Gapoktan, dimana petani dapat mengakses permodalan secara berkelompok tanpa memberikan agunan. Gapoktan PUAP merupakan suatu lembaga petani di pedesaan yang diharapkan dapat berkembang sebagai lembaga pembiayaan agribisnis di pedesaan. Lembaga pembiayaan berperan sebagai pelancar bagi keberhasilan dalam program pembangunan sektor pertanian. Peranan kredit bukan saja sebagai pelancar pembangunan, tetapi dapat juga menjadi unsur pemacu adopsi teknologi yang diharapkan mampu meningkatkan produksi, nilai tambah dan pendapatan masyarakat (Syukur et al, 1993 dalam Burhansyah, 2010). Program PUAP ini, merupakan salah satu program untuk pengentasan kemiskinan dan mengurangi penggangguran. Indonesia pada tahun 2010 memiliki jumlah penduduk 237,641 juta jiwa, dimana jumlah penduduk miskin sampai dengan Maret 2010 sebanyak 31.02 juta atau 13.33 %, turun sebesar 1.51 juta dari 32.53 juta pada tahun 2009 atau setara 14.15 %. Sekitar 63.4% dari jumlah tersebut berada di pedesaan dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian dan 80% berada pada skala usaha mikro yang memiliki luas lahan lebih kecil dari 0.3 hektar. (Kementrian Pertanian, 2011). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2012) Provinsi Sumatera Barat mengalami peningkatan penduduk dari tahun 2006-2010 (Lampiran 2). Tercatat pada tahun 2010 jumlah penduduk Sumatera Barat mencapai 4,846,909 jiwa. Tabel 1. Data Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 2011 Jmlah Penduduk Miskin (jiwa) Tahun
Perkotaan
Perdesaan
Perkotaan + perdesaan
Persentase Penduduk Miskin Perkotaan
2008 127,3 349,9 477,2 2009 115,78 313,48 429,25 2010 106,181 323,843 430,024 2011 140,491 301,594 442,085 Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Barat, 2012
8.30 7.50 6.84 7.42
Perdesaan
11.91 10.60 10.88 10.07
Perkotaan + Perdesaan
10.67 9.54 9.50 9.04
Pada Tabel 1 diatas, diketahui jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2011 adalah 442,085 jiwa atau setara 9.5 persen. Jumlah penduduk miskin didaerah pedesaan menurun sebanyak 24.664 jiwa sebaliknya jumlah penduduk miskin perkotaan naik sebanyak 12,685 jiwa. Tetapi dari segi jumlah, penduduk miskin di daerah perdesaan masih lebih banyak dibandingkan dengan daerah perkotaan. Gambar 1, menunjukkan bahwa masyarakat di Sumatera Barat sebanyak 39 persen bekerja di sektor pertanian, sedangkan untuk sektor lainnya yang
3
terbanyak adalah sektor perdagangan sebesar 21 persen, jasa 12 persen, industri 8 persen, dan sektor lainnya 17 persen. Kemiskinan merupakan masalah pokok nasional yang penanggulanggannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu pembangunan ekonomi nasional berbasis pertanian dan perdesaan secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada pengurangan penduduk miskin (Departemen Pertanian, 2008).
Sumber: BPS Sumbar, 2012 (data diolah) Gambar 1 Persentase Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun ke atas menurut Lapangan Pekerjaan di Sumatera Barat Tahun 2011
Progam PUAP yang telah dicanangkan oleh pemerintah, di tujukan untuk pembentukan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A). LKM-A merupakan lembaga intermediasi keuangan bagi para anggota kelompok tani dan warga yang terpilih dari lingkungan ikatan pemersatunya (tingkat desa) yang bersepakat untuk bekerjasama saling menolong dengan menabung secara teratur dan terus-menerus, sehingga terbentuk modal bersama yang terus berkembang, guna dipinjamkan kepada para anggota untuk tujuan produktif dan kesejahteraan dengan tingkat bagi hasil/jasa tabungan maupun pembiayaan yang layak dan bersaing (Burhansyah, 2010). Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro sebagai modal pembangunan pertanian di Indonesia sangat penting. Berangkat dari sejarah tentang keberadaan lembaga keuangan mikro di pedesaan. Masyarakat Indonesia sejak lama mengembangkan keuangan mikro, seperti arisan, lumbung pitih nagari, lumbung desa, jumpitan, dan lain-lain. Di beberapa Gapoktan pengelolaan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dilakukan melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dibentuk khusus untuk mengelola dana tersebut (seperti di Sumatera Barat dan Jawa Tengah). Sedangkan sebagian besar lainnya, pengelolaan dana cukup (hanya) dikelola oleh Bendahara Gapoktan (melalui kegiatan seksi usaha simpan pinjam). Keberadaan LKM sangat bergantung pada peran dinas teknis (pemerintah daerah) tim Pembina dan Penyelia Mitra Tani (PMT) untuk mengarahkan, melatih dan pembinaan kearah terbentuknya LKM. Model LKM/UKM berkembang lebih baik seperti LKM-A Penampung Prima, di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, terutama dalam menjaring dana diluar BLM PUAP, termasuk memberikan produk jasa perbankan lainnya dengan sistim bunga yang lebih kompetitif. (Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2009).
4
Berdasarkan pembentukan LKM-A yang dibentuk dari gabungan kelompok tani (gapoktan) yang mempunyai satu tujuan yang sama diharapkan dapat mengurangi risiko dalam pembiayaan pertanian. Dimana, keadaan pasar modal keuangan di pedesaan kemungkinan besar akan mengalami ketidaksempurnaan (imperfect financial capital market) jika mengakses pendanaan dari lembaga formal seperti Bank. Imperfeksi dalam pasar financial tersebut khususnya yang menyangkut imperfeksi informasi, terutama dalam pasar finansial terjadinya informasi asimetrik (asymmetric information). Mencermati pembentukan LKM-A yang merupakan Gapoktan penerima PUAP, maka penyeleksian anggota dari awal sudah dilakukan oleh anggotanya sendiri, dalam hal ini kelompok tani. Selain itu Gapoktan yang sudah terbentuk berdasarkan peraturan Departemen Pertanian dalam petunjuk teknis verifikasi dokumen administrasi dan dana penyaluran PUAP tahun 2012, harus menyusun Rencana Usaha Bersama (RUB) yang tujuannya untuk menyatukan visi Gapoktan kedepan dalam memanfaatkan dan mengelola dana PUAP ini. Sehingga, dengan melihat skema pembentukan Gapoktan yang berdasarkan sistem kepercayaan antar anggotanya dan mempunyai tujuan yang sama, maka risiko adverse selection, moral hazard dan kegagalan pembayaran dapat dihindari. Berdasarkan pemaparan diatas, maka penelitian tentang adverse selection dan moral hazard pada skim kredit LKMA PUAP di Kota Padang menjadi penting untuk dilakukan. Perumusan Masalah Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi dari 33 provinsi yang melaksanakan PUAP. Gapoktan yang menerima PUAP pada Tahun Anggaran 2008 dimana merupakan awal program PUAP adalah sebanyak 208 Gapoktan (Lampiran 3). Dari 19 Kabupaten dan Kota yang ada di provinsi, 12 diantaranya merupakan daerah-daerah yang masuk ke dalam rencana sebaran daerah penerima dana program BLM-PUAP tahun anggaran 2008 (Lampiran 4), namun dari 208 kuota Gapoktan yang telah direncanakan untuk tahun 2008 tersebut, hanya 204 Gapoktan/LKM-A yang menerima dana tersebut, sedangkan sisanya terkendala, terutama masalah administrasi dan diutamakannya daerah terpencil dan desa miskin untuk mendapatkan dana PUAP ini.
Sumber: Sekretariat PUAP Sumatera Barat dalam Wadi, 2010
Gambar 2 Jumlah LKM-A menurut Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat tahun 2008
5
Permasalahan yang dihadapi oleh petani kecil yang mempunyai lahan tidak lebih dari 0.3 Ha adalah sulitnya mengakses pendaan dari perbankan yang terkendala dalam hal agunan. Maka dengan adanya program PUAP yang dibuat oleh pemerintah, diharapkan menjadi suatu solusi dalam pembiayaan usahataninya. PUAP merupakan pendaanaan yang diberikan kepada petani kecil yang terkendala masalah permodalan. Dana PUAP pada prinsipnya hanya sebagai stimulus dalam menggerakkan usahatani petani yang kemudian dikelola melalui LKM. Tetapi di Sumatera Barat untuk mengelola PUAP dengan baik, pemerintah daerah mempunyai kebijakan untuk membentuk LKM-A terlebih dahulu. Sejak dimulainya program PUAP pada tahun 2008, pendirian LKM-A merupakan gagasan yang dibuat oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Barat, yang mana telah menjadi salah satu penyangga kuat permodalan petani di nagari-nagari di Sumatera Barat. Melalui dana PUAP yaitu Rp. 100.000.000,00 per Gapoktannya, telah menjadi dana awal terbentuknya LKMA yang dibentuk oleh Gapoktan di setiap nagari/kelurahan pelaksana PUAP. Pembentukan LKM-A ini dilakukan pemerintah Sumatera Barat guna mengatasi masalah utama petani dalam menjalankan sistem usaha yaitu: (a) sulitnya masyarakat mengakses permodalan, (b) lemahnya modal masyarakat terutama masyarakat kategori miskin/ petani kecil. Pengalaman juga menunjukkan bahwa dana bantuan selama ini sulit digulirkan dan bahkan cenderung tidak produktif, karena tidak adanya lembaga yang mengelola keuangannya. Akibatnya sasaran dana bantuan untuk pemberdayaan ekonomi, “ekonomi nagari” sulit berkembang dan bahkan tidak tercapai. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, menjadikan dana PUAP sebagai penguatan modal atau dana awal untuk pertumbuhan LKMA, pada semua gapoktan PUAP. Pada tahun 2008 tumbuh 204 LKMA, tahun 2009 bertambah 328 LKMA, dan pada tahun 2010 lokasi PUAP terealisasi pada 203 Gapoktan. LKM-A diharapkan sebagai lembaga pengelola dana PUAP agar menjadi produktif dan efektif untuk kepentingan usaha masyarakat tani di Nagari. Tujuan kegitan ini adalah (a) melakukan supervisi perkembangan pelaksanaan program PUAP di Sumatera Barat, (b) melakukan pendampingan teknologi mendukung pengembangan agribisnis sesuai potensi nagari penerima dana PUAP di Sumatera Barat. Hasil PUAP di Sumatera Barat selama 3 tahun 2008-2010 telah menumbuhkan 735 Gapoktan dan 532 Gapoktan telah membentuk LKM-A. Sebagian gapoktan 2008 dan 2009 sudah menumbuhkan unit usaha otonom (UUO) selain LKM-A diantaranya, usaha pemasaran, usaha saprodi, UPJA dan usaha pembenihan. LKM-A 2008 dan 2009 sudah berjalan baik dan nilai aset umumnya sudah berjalan lebih dari Rp. 100,000,000,-. Dari evaluasi yang dilakukan oleh Dinas Pertanian Sumatera Barat sampai tahun 2010 disamping terbentuknya Gapoktan dan LKMA, jumlah kelompok tani yang terlibat mencapai 3,808 buah poktan dengan jumlah petani sebanyak 45,192 orang. Sedangkan dari sisi penyaluran dana, yang awalnya Rp. 53.3 Milyar, yang tersalur ke Rekening Gapoktan Rp. 22.4 Milyar sudah tersalur ketangan petani dalam berbagai bentuk usaha agribisnis. Di Kota Padang perkembangan PUAP sampai dengan bulan Februari 2013 telah menumbuhkan 48 LKM-A, 211 Kelompok tani dan 6,616 petani. Jumlah dana awal yang disalurkan masing-masing Rp. 100,000,000,- dan sampai dengan Februari 2012 aset keseluruhan LKM-A di Kota Padang telah mencapai Rp. 4,026 Milyar (Lampiran 5).
6
Dalam penyelenggaraan program PUAP, Departemen Pertanian telah mengalokasikan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dari APBN sebagai dana stimulus untuk Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Dana tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan produktif budidaya (On Farm) seperti tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perkebunan, serta kegiatan non budidaya (Off farm) yang terkait dengan komoditas pertanian yaitu industri rumah tangga pertanian, pemasaran hasil pertanian (bakulan, dll) dan usaha lain berbasis pertanian. Gabungan kelompok tani (Gapoktan) merupakan sasaran kelembagaaan petani PUAP sebagai penyalur modal usaha agribisnis bagi petani. Dari sisi jenis usaha yang dilaksanakan petani, usaha yang paling besar yang digerakkan oleh program PUAP di Sumatera Barat adalah usaha sektor pertanian tanaman pangan sebesar 39 persen, usaha peternakan 17 persen, usaha hortikultura 14 persen, usaha pemasaran hasil pertanian 11 persen, usaha perkebunan 9 persen, usaha industri olahan rumah tangga 8 persen dan usaha lainnya sebesar 2 persen. Untuk di Kota Padang sendiri, dana PUAP sampai dengan tahun 2012, dialokasikan untuk usaha sektor tanaman pangan sebesar 31 persen, 13 persen, 6 persen perkebunan, 6 persen hortikultura, 19 persen peternakan dan 31 persen off farm (Lampiran 6). Jumlah anggota dan POKTAN juga sudah mulai berkembang sebagai dampak dari program PUAP tersebut. Sebagian kecil LKM-A menghadapi kendala, dimana terjadi tunggakan dan mengganggu perguliran dana, karena mengganggap dana PUAP merupakan dana hibah yang tidak perlu dikembalikan. Manajemen pengendalian tunggakan ini solusinya perlu dirumuskan, sebagai pedoman bagi LKM-A dalam mengelola permodalan kedepan. Sejumlah Gapoktan yaitu 38 unit sudah berbadan hukum (KSP) dan yang menyiapkan akte notaris, sebagai tanda kemajuan LKM-A menuju LKM-A yang professional dan dipercaya masyarakat. Beberapa persoalan utama yang dihadapi oleh LKM-A di perdesaan yang memperoleh program PUAP adalah: (1) Penguasaan sumberdaya lahan pertanian yang kecil dan makin mengecil karena masalah fragmentasi lahan, (2) kurangnya penguasaan teknologi baik pembibitan, budidaya, serta pasca panen dan pengolahan hasil, (3) Kurangnya pengembangan produk (produk development) dan promosi produk (promotion product), (4) Kemampuan SDM baik ketua, pengurus dan anggota yang kurang, terutama dalam kandungan kewirausahawan dan meggalang jaringan dengan kelembagaan ekonomi modern, (5) kurangnya efektivitas koordinasi dalam kelembagaan LKM-A baik secara horizontal maupun vertical, (6) Lemahnya konsolidasi kelembagaan LKM-A baik dari aspek kepengurusan/manajemen, permodalah dan partisipasi anggotanya. Skema kredit yang dilakukan oleh LKM-A adalah sistem kredit kelompok (group lending). Mekanisme kredit kelompok dapat mengurangi kegagalan pembayaran dan pengembalian, karena masing-masing anggota saling bertanggung jawab dan memiliki kewajiban untuk bisa saling membantu sesama anggota. Menurut Anderson dan Nina (2000) dalam Anggreini (2011) yang membandingkan antara kinerja antara bank yang memberikan pinjaman secara group lending programs (Bancosol) terhadap individual lending (dalam hal ini bank konvensional), dimana group lending programs dapat memperbaiki kesejahteraan terhadap kaum miskin Bolivia yang tidak mampu untuk menawarkan collateral secara fisik untuk pinjaman bank.
7
Pembentukan LKM-A yang tepat seharusnya mengikuti prosedur yang telah dirumuskan oleh pemerintah, dimana terdapat RUB yang menjadi landasan dalam pembentukan gapoktan yang nantinya tumbuh menjadi LKM-A. Namun, pada kenyataannya di lapangan, awal pembentukan LKM-A yang dilakukan oleh gapoktan lebih ditujukan untuk mendapatkan akses terhadap program bantuan dana PUAP, sehingga sistem pemilihan anggotanya pun hanya tergantung kepada keputusan gapoktan tersebut. Hal ini, diduga akan menimbulkan permasalahan dalam penyaluan dan pengembalian kredit jika terjadi kesalahan (adverse selection) dalam pemilihan Ketua, Sekretaris, Bendahara dan anggota (PSEKP, 2009). Skema kredit yang dilakukan oleh masing-masing LKM-A menggunakan skema kredit kelompok, dimana hanya petani yang telah bergabung dengan kelompok tani yang bisa menggunakan dana PUAP. Mekanisme kredit kelompok (group lending) dapat mengurangi gagal bayar dalam pengembalian, karena masing-masing anggota saling bertanggung jawab dan memiliki kewajiban untuk bisa saling membantu sesama anggota. Dalam kenyataannya, sistem kredit kelompok ini belum berfungsi secara maksimal karena ada indikasi terjadinya moral hazard. Hal ini dapat terjadi pada penyaluran dana, dimana peluang terjadinya moral hazard pada tingkat pemangku jabatan di LKM-A maupun moral hazard yang terjadi saat pengembalian kredit, anggota yang memiliki kemampuan untuk membayar pengembalian kredit namun tidak ingin membayar. Kinerja penggunaan dana PUAP dan perkembangan Gapoktan beragam tergantung dari kondisi awal pembentukan Gapoktan. Kinerja Gapoktan yang baik dan maju umumnya adalah Gapoktan yang berasal dari kelompok tani bekas binaan program sebelumnya seperti Primatani, P4K, Pidra, Desa Mandiri Pangan, kelompok tani BLM lainnya. Pada Gapoktan ini kelembagaan Gapoktan telah mantap, program kerja telah terbangun dan penyuluh Pembina telah dipersiapkan dengan baik sehingga pelaksanaan pengembangan agribisnis dapat dilaksanakan dengan baik. Sedangkan pada Gapoktan bentukan baru penggunaan dana PUAP terkesan hanya bagi-bagi bantuan saja, yang disebabkan rendahnya kualitas SDM pengurus Gapoktan (PSEKP, 2009). Kenyataannya kredit di LKM-A di kota Padang banyak yang mengalami gagal bayar dengan rata-rata nilai NPL sebesar 48.21 persen (Lampiran 7), hal ini salah satunya disebabkan karena persepsi petani yang menganggap dana PUAP adalah dana hibah yang tidak perlu untuk dikembalikan yang dalam hal ini merupakan suatu bentuk moral hazard. Alasan lain adalah karena pendapatan petani yang tidak selalu perbulan, karena bergantung pada musim panen, sehingga pembayaran pun kadang bergantung pada musim panen. Jika, sudah terjadi kegagalan pembayaran maka sudah seharusnya LKM-A yang professional memberikan sanksi yang tegas pada anggotanya. Menurut laporan PSEKP, 2009, dinyatakan bahwa gapoktan yang telah menetapkan sanksi sebanyak 68.18 persen sedangkan yang belum sebanyak 31.82 persen. Adapun sanksi yang ditetapkan juga berbeda-beda, Gapoktan yang menetapkan sanksi dalam bentuk uang sebesar 31.82 persen, dalam bentuk barang maupun sanksi sosial masing-masing 9.09 persen sementara yang lainnya dalam bentuk tanggung renteng , kesepakatan dan bahkan ada gapoktan yang memberikan perpanjangan jangka waktu pengembalian yaitu di Desa, Kajangkoso Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Sementara untuk pemberian penghargaan 9.09 persen yang menerapkan yaitu
8
dalam bentuk uang (Desa Salayo Tanang Bukit Sileh, Kabupaten Solok, Provinsis Sumatera Barat) dan penghargaan sosial (Desa Jeruk Agung, Kabupaten Magelang, Provinsi Sumatera Jawa Tengah). Dari semua kelemahan pengelolaan kredit di LKMA, terdapat hal yang sangat potensial untuk mendukung pengembangan pendanaan untuk petani kecil untuk dapat mengakses pendaan dari perbankan. Sistem group lending merupakan langkah yang sangat tepat untuk menjamin keberlangsungan pembayaran kredit. Karena terdapat pengawasan yang dilakukan antar angota LKM-A, selain itu faktanya Bank Nagari yang merupakan bank daerah terbesar di Sumatera Barat, telah menggandeng beberapa LKM-A yang berprestasi dalam pengelolaan PUAP untuk menyalurkan kredit program mereka, diantaranya Kredit Usaha Rakyat (KUR). Salah satunya adalah LKM-A Pagaruyung Indah, Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, yang merupakan Gapoktan terbaik terbaik pertama di Kabupaten Tanah Datar dan juara III ditingkat Sumatera Barat digandeng oleh Bank Nagari Cabang Nagari Batusangkar untuk menyalurkan KUR. Kerjasama ini hanya didasari oleh prinsip kepercayaan dan kejujuran. Sehingga terbuka kesempatan yang besar untuk LKM-A mendapatkan akses pendanaan untuk kredit yang lebih besar secara berkelompok dimasa depan. Berdasarkan pemaparan diatas, maka hal yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peluang mekanisme kredit kelompok (group lending) pada LKM-A PUAP dapat mengakses pendanaan dari perbankan? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya risiko pada proses seleksi anggota LKM-A PUAP yang mengindikasikan terjadinya adverse selection? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya kegagalan pembayaran pada skim kredit LKM-A PUAP yang mengindikasikan terjadi moral hazard? Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis peluang untuk mengakses kredit ke perbankan dengan skema kredit kelompok (joint liabilities) pada LKM-A PUAP 2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya adverse selection pada pembentukan LKM-A PUAP. 3. Menganalisis faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya moral hazard pada skema kredit di LKM-A PUAP. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagaimana jalannya LKM-A PUAP di Kota Padang dari sisi penyeleksian maupun pengembalian kredit dan bagaimana peluang akses kredit LKM-A ke perbankan secara berkelompok. Sehingga dengan melihat kondisi tersebut pemerintah daerah khususnya Dinas Pertanian dan Sekretariat PUAP Kota Padang, dapat merancang
9
dan menjalankan program untuk pengembangan LKM-A kedepan, agar meminimumkan angka tunggakan atau NPL serta LKM-A mampu mengakses dana secara mandiri ke lembaga perbankan. Manfaat lain bagi pengurus LKM-A supaya lebih teliti dalam melakukan proses seleksi anggota yang akan meminjam dana PUAP serta tegas dan tanggap dalam mengurangi nilai NPL. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan pada LKM-A yang mengelola pendanaan PUAP di Kota Padang. Penelitian ini lebih memfokuskan pada sistem kredit , yaitu mulai dari pembentukan LKM-A, pengelolaan dana PUAP baik dalam penyaluran maupun pengembalian dana program PUAP, dimana didalamnya akan dilihat peluang terjadinya adverse selection dan moral hazard karena masalah informasi asimetrik.
2 TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Bentuk Bantuan Modal pada Sektor Pertanian Bentuk program bantuan penguatan modal yang diperuntukkan bagi petani pertama kali diperkenalkan pada Tahun 1964 dengan nama Bimbingan Masal (BIMAS). Tujuan dicanangkannya program tersebut adalah untuk meningkatkan produksi, meningkatkan penggunaan teknologi baru dalam usahatani dan peningkatan produksi pangan secara nasional. Dalam perjalanannya, program BIMAS dan kelembagaan kredit petani mengalami banyak perubahan dan modifikasi yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebijakan (Hasan,1979 dalam Lubis 2005). Pada Tahun 1985 kredit BIMAS dihentikan dan diganti dengan Kredit Usaha Tani (KUT) sebagai penyempurnaan dari sistem kredit massal BIMAS, dimana pola penyaluran yang digunakan pada saat itu adalah melalui KUD. Sejalan dengan perkembangannya ternyata pola yang demikian banyak menemui kesulitan, utamanya dalam penyaluran kredit. Hal tersebut lebih disebabkan karena tingkat tunggakan pada musim tanam sebelumnya sangat tinggi. Namun dalam kenyataannya banyak kelompok tani yang berada dalam wilayah KUD yang tidak menerima dana KUT, padahal mereka yang berada di wilayah KUD tersebut justru memiliki kemampuan yang baik dalam pengembalian kredit. Dalam rangka mengatasi hal tersebut tahun 1995 pemerintah mencanangkan skim kredit KUT pola khusus. Pada pola ini kelompok tani langsung menerima dana dari bank pelaksana. Berbeda dari pola sebelumnya (pola umum) dimana kelompok tani menerima kredit dari KUD. Sepanjang perkembangannya timbul masalah lain dalam penyaluran KUT yaitu terjadi tunggakan yang besar di sebagian daerah yang menerima dana program tersebut. Beberapa penyebab besarnya tunggakan tersebut antara lain karena rendahnya harga gabah yang diterima petani, faktor bencana alam, dan penyimpangan yang terjadi dalam proses penyaluran serta pemanfaatan dana
10
tersebut. Salah satu contohnya adalah sebagian petani mengalihkan dana KUT dari yang tadinya untuk keperluan usahatani kemudian dialihkan penggunaannya untuk keperluan konsumsi rumah tangga. Selanjutnya perkembangan bentuk program bantuan penguatan modal dari pemerintah lainnya adalah Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Program KKP diperkenalkan oleh pemerintah pada Bulan Oktober 2000 sebagai pengganti KUT. Program KKP merupakan bentuk fasilitasi modal untuk usahatani tanaman pangan (padi dan palawija), tebu, peternakan, perikanan dan pengadaan pangan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dan pendapatan petani. Skim program ini pengaturannya melalui bank pelaksana yang disalurkan melalui koperasi dan atau kelompok tani. Selanjutnya oleh kedua lembaga dana tersebut disalurkan kepada anggotanya. Pengajuan untuk memperoleh dana tersebut dilakukan melalui RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok). Adanya program ini, pemerintah sebenarnya telah memberikan subsidi pada beberapa hal antara lain subsidi terhadap tingkat suku bunga, subsidi terhadap risiko kegagalan kredit serta subsidi kepada biaya administrasi dalam penyaluran, pelayanan dan penarikan kredit (Nasution, 2005 dalam Prihartono, 2009). Tahun 2002 pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mengeluarkan kebijakan baru dalam upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam berusaha. Kebijakan tersebut dituangkan dalam bentuk program fasilitasi Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Program BLM ini diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat yang mencakup bantuan modal untuk pengembangan kegiatan sosial ekonomi produktif, bantuan sarana dan prasarana dasar yang mendukung kegiatan sosial ekonomi, bantuan pengembangan sumberdaya manusia untuk mendukung penguatan kegiatan sosial ekonomi, bantuan penguatan kelembagaan untuk mendukung pengembangan proses hasil-hasil kegiatan sosial ekonomi secara berkelanjutan melalui penguatan kelompok masyarakat dan unit pengelola keuangan, dan bantuan pengembangan sistem pelaporan untuk mendukung pelestarian hasil-hasil kegiatan sosial ekonomi produktif (Sumodiningrat, 1990 dalam Kasmadi, 2005). Seiring dengan perkembangan dan perubahan kepemimpinan di pemerintahan, maka kebijakan penguatan modal di bidang pertanian pun ikut berubah dan dimodifikasi lagi agar lebih baik. Pada tahun 2008 pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mencanangkan program baru yang diberi nama Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). PUAP merupakan bagian dari pelaksanaan program PNPM-Mandiri melalui bantuan modal usaha dalam menumbuhkembangkan usaha agribisnis sesuai dengan potensi pertanian desa sasaran. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri adalah program pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesempatan kerja. Koordinasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan merupakan merupakan penting yang harus dilakukan dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pemerintah mengkonsolidasikan program-program penanggulangan kemiskinan menjadi 3 kelompok program penanggulangan kemiskinan. Masing-masing ketiga kelompok tersebut secara berurutan berupaya mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin, selanjutnya berupaya meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin dan kemudian
11
meningkatkan tabungan dan menjamin keberlanjutan berusaha pelaku usaha mikro dan kecil. Ketiga kelompok tersebut adalah: (1) kelompok program berbasis bantuan dan perlindungan sosial, (2) kelompok program berbasis pemberdayaan masyarakat, (3) kelompok program berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil. Berdasarkan laporan TNP2K (2013) hasil yang telah diperoleh pada tahun 2011 dari Klaster I yang ditujukan untuk mengurangi beban pemenuhan kebutuhan dasar dan untuk mengurangi beban pemenuhan kebutuhan dasar dan untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota rumah tangga miskin melalui peningkatan akses pada pelayanan dasar adalah: (1) realisasi penyaluran subsidi Raskin sebesar 2.9 ton bagi 17.5 juta rumah tangga sasaran penerima raskin, dan adanya penyaluran raskin ke-13 mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin akibat kenaikan harga-harga pangan, termasuk beras, (2) pemberian beasiswa yang direncanakan untuk 4.7 juta siswa. Sementara itu, pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PHK) pada tahun 2011 telah dilaksanakan bagi 722,000 rumah tangga miskin (RTSM) di 88 Kabupaten/Kota pada 20 Provinsi dengan kualitas yang semakin meningkat dimana telah terjalin koordinasi antara beberapa program berbasis keluarga atau rumah tangga, seperti Jamkesmas dan beasiswa miskin. Pelaksanan PHK juga telah memberikan dampak terhadap peningkatan siswa yang terdaftar pada satuan pendidikan setingkat SMP sebesar 3.1 % dan juga peningkatan kesehatan RTSM. Sejalan dengan pelaksanaan Klaster I, hasil yang dicapai dalam pelaksanaan program Klaster II untuk tujuan Pemberdayaan Masyarakat diantaranya adalah sebagai berikut. Pada tahun 2011 pelayanan PNPM Mandiri Inti sudah dilaksanakan di 6,328 Kecamatan di seluruh Indonesia, dan akan terus dilanjutkan sehingga pada tahun 2012 PNPM Inti akan mencakup di 6,623 Kecamatan, dengan penempatan 30,000 fasilitator sebagai pendamping masyarakat dan didukung dengan penyaluran bantuan langsung masyarakat sebesar Rp. 10.31 triliun yang berasal dari APBN dan APBD. Pelaksanaan PNPM Mandiri, juga didukung oleh pelaksanaan PNPM pendukung diantaranya: (1) PNPM Generasi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas generasi penerus, (2) PNPM Kelautan dan Perikanan (PNPM-KP) yang ditujukan untuk memberikan fasilitas bantuan sosial dan akses usaha modal, (3) PNPM Agribisnis, yaitu Program Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP), serta (4) PNPM Pariwisata yang baru masuk dalam PNPMPenguatan dengan tujuan mengembangkan kapasitas masyarakat dan memperluas kesempatan berusaha dalam kegiatan kepariwisataan. Pelaksanaan PNPM telah meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pendapatan rumah tangga hingga 19 persen dan konsumsi rumah tangga hingg 5 persen dibandingkan dengan daerah yang tidak mendapat PNPM. Selain itu, akses terhadap kesehatan juga lebih besar 5 persen dan peningkatan kesempatan kerja yang lebih besar 1.25 persen di lokasi PNPM dibandingkan lokasi non PNPM. Hasil yang dicapai dalam pelaksanaan Klaster III adalah terlaksananya penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk UMKM dan koperasi. Sejak tahun 2007 sampai dengan akhir tahun 2011 kredit yang tersalurkan hampir Rp. 34.42 triliun, dan mencakup sekitar 3.81 juta nasabah dengan tingkat NPL mencapai 2.52 persen. Sebagian besar KUR diserap oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel (63.7 persen) dan pertanian (17.1 persen). Penyaluran KUR sebagian besar berada di wilayah Jawa dengan volume KUR sebesar 50,2 persen dan proporsi
12
debitur mencapai 61.0 persen. Pada periode tahun 2011, dana KUR yang disalurkan mencapai Rp. 17.23 triliun dengan jumlah nasabah lebih dari 1.4 juta nasabah. Pelaksanaan KUR telah memberikan dampak terhadap rata-rata asset usaha sebesar Rp. 51 juta, asset rumah tangga sebesar Rp. 12.66 juta dan pengeluaran rumah tangga sebesar Rp. 279,000 per bulan. Selain itu, KUR juga telah mengatasi penggangguran terselubung bagi debitur dan keluarganya, serta meningkatkan intensitas utilisasi tenaga kerja dan kontribusi pada perekonomian nasional. Kelembagaan dan Peran Kelembagaan Menurut Mubyarto (1989), yang dimaksud lembaga adalah organisasi atau kaedah-kaedah baik formal maupun informal yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu baik dalam kegiatan-kegiatan rutin seharihari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Nasution (2002 dalam Prihartono, 2009), kelembagaan mempunyai pengertian sebagai wadah dan sebagai norma. Lembaga atau institusi adalah seperangkat aturan, prosedur, norma perilaku individual dan sangat penting artinya bagi pengembangan pertanian. Pada dasarnya kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu: kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi personal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki (Hayami dan Kikuchi, 1987). Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-hak serta tanggung jawabnya.. Terkait dengan komunitas perdesaan, maka terdapat beberapa unit-unit sosial (kelompok, kelembagaan dan organisasi) yang merupakan aset untuk dapat dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Pengembangan kelembagaan di tingkat lokal dapat dilakukan dengan sistem jejaring kerjasama yang setara dan saling menguntungkan. Menurut Sumarti, dkk (2008) dalam Prihartono, (2009), kelembagaan di perdesaan dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu : pertama, lembaga formal seperti pemerintah desa, BPD, KUD, dan lain-lain. Kedua, kelembagaan tradisional atau lokal. Kelembagaan ini merupakan kelembagaan yang tumbuh dari dalam komunitas itu sendiri yang sering memberikan “asuransi terselubung” bagi kelangsungan hidup komunitas tersebut. Kelembagaan tersebut biasanya berwujud nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan cara-cara hidup yang telah lama hidup dalam komunitas seperti kebiasaan tolong-menolong, gotong-royong, simpan pinjam, arisan, lumbung paceklik dan lain sebagainya. Keberadaan lembaga di perdesaan memiliki fungsi yang mampu memberikan “energi sosial” yang merupakan kekuatan internal masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka lembaga di perdesaan yang saat ini memiliki kesamaan dengan karakteristik tersebut dapat dikatakan sebagai lembaga gabungan kelompok tani (Gapoktan). Peran kelembagaan sangat penting dalam mengatur sumberdaya dan distribusi manfaat, untuk itu unsur kelembagaan perlu diperhatikan dalam upaya peningkatan potensi desa guna menunjang pembangunan desa. Dengan adanya kelembagaan petani dan ekonomi desa sangat terbantu dalam hal mengatur silang
13
hubungan antar pemilik input dalam menghasilkan output ekonomi desa dan dalam mengatur distribusi dari output tersebut (Prihartono, 2009). Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia Menurut definisi yang dipakai dalam Microcredit summit (1997) dalam Wijono (2005), kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil kepada warga miskin untuk membiayai kegiatan produktif yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya. Bank Indonesia (BI) mendefinisikan kredit mikro sebagai kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak Rp. 100 juta per tahun. Sementara oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) kredit mikro didefinisikan sebagai pelayanan kredit dibawah Rp 50 juta. Terdapat masih banyak lagi definisi kredit mikro atau keuangan mikro tergantung dari sudut pembicaraan. Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro ini umumnya disebut dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Asian Development Bank (ADB) mendefinisikan LKM sebagai lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loan), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money transfer yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil. Dengan demikian LKM memiliki fungsi sebagai lembaga yang memberikan berbagai jasa keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta usaha mikro. Menurut Direktorat Pembiayaan, Deptan (2004) LKM dikembangkan berdasarkan semangat untuk membantu dan memfasilitasi masyarakat miskin, baik untuk kegiatan konsumtif maupun produktif keluarga miskin tersebut. Berdasarkan fungsinya, maka jasa keuangan mikro yang dilaksanakan oleh LKM memiliki ragam yang luas yaitu dalam bentuk kredit maupun pembiayaan lainnya. Menurut Krishnamurti (2005) dalam Ashari (2006), walaupun terdapat banyak definisi keuangan mikro, namun secara umum terdapat tiga elemen penting dari berbagai definisi tersebut. Pertama, menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman masyarakat tradisional Indonesia seperti lumbung desa, lumbung pitih nagari dan sebagainya menyediakan pelayanan keuangan yang beragam seperti tabungan, pinjaman, pembayaran, deposito maupun asuransi. Kedua, melayani rakyat miskin. Keuangan mikro hidup dan berkembang pada awalnya memang untuk melayani rakyat yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada sehingga memiliki karakteristik konstituen yang khas. Ketiga, menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel. Hal ini merupakan konsekuensi dari kelompok masyarakat yang dilayani, sehingga prosedur dan mekanisme yang dikembangkan untuk keuangan mikro akan selalu kontekstual dan fleksibel. Berdasarkan bentuknya, secara umum LKM dibagi menjadi tiga (Wijono, 2005) yaitu: (1) lembaga formal seperti bank desa dan koperasi, (2) lembaga semi formal misalnya organisasi non pemerintah, dan (3) sumber-sumber informal, misalnya pelepas uang. Sementara Usman et al. (2004) membagi LKM di Indonesia menjadi 4 golongan besar, yaitu (1) LKM formal, baik bank maupun non bank; (2) LKM non formal, baik berbadan hukum ataupun tidak; (3) LKM
14
yang dibentuk melalui program pemerintah; dan (4) LKM informal seperti rentenir ataupun arisan. Adapun BI hanya membagi LKM menjadi 2 kategori saja yaitu LKM yang berwujud bank dan nonbank. Perbedaan kategori ini dapat terjadi karena adanya perbedaan kriteria yang dipakai, baik menyangkut aspek legalitas maupun prosedur dalam operasionalisasi masing-masing LKM. Lembaga keuangan memiliki fungsi intermediasi dalam aktivitas suatu perekonomian. Jika fungsi ini berjalan dengan baik, maka aktivitas tersebut akan menghasilkan nilai tambah. Aktifitas ekonomi disini tidak membedakan antara usaha yang dilaksanakan tersebut besar atau kecil, karena yang membedakan hanya besarnya nilai tambah berdasarkan skala usaha. Berarti, usaha kecilpun jika memanfaatkan lembaga keuangan juga akan memberikan kenaikan nilai tambah, sehingga upaya meningkatkan pendapatan masyarakat salah satunya dapat dilakukan dengan cara yang produktif dengan memanfaatkan jasa intermediasi lembaga keuangan, termasuk usaha produktif yang dilakukan oleh masyarakat miskin. Pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program baik yang bersifat langsung maupun tak langsung. Usaha ini dapat berupa transfer payment dari pemerintah, misalnya program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana, maupun usaha yang bersifat produktif misalnya melalui pinjaman dalam bentuk micro credit. Secara spesifik dalam konteks pembangunan ekonomi pedesaan yang masih didominasi oleh sektor pertanian, potensi yang dapat diperankan LKM dalam memacu pertumbuhan ekonomi sangat besar. Setidaknya ada lima alasan yang mendukung argumen tersebut, (1) LKM umumnya berada atau minimal dekat dengan kawasan pedesaan sehingga dapat dengan mudah diakses oleh petani/pelaku ekonomi di desa, (2) Petani/masyarakat desa lebih menyukai proses yang singkat dan tanpa banyak prosedur, (3) Karakteristik usaha tani umumnya membutuhkan plafon kredit yang tidak terlalu besar sehingga sesuai dengan kemampuan finansial LKM, (4) dekatnya lokasi LKM dan petani memungkinkan pengelola LKM memahami betul karakteristik usaha tani sehingga dapat mengucurkan kredit secara tepat waktu dan jumlah, dan, (5) adanya keterkaitan socio-cultural serta hubungan yang bersifat personal-emosional diharapkan dapat mengurangi sifat moral hazard dalam pengembalian kredit. (Bank Indonesia, 2011). Dalam era reformasi yang telah dimulai tahun 2001 telah terjadi perubahan kebijakan ekonomi dari konglomerasi menjadi ekonomi yang bercirikan pada kerakyatan. Salah satu perwujudannya adalah dengan keberpihakan kepada pengusaha kecil dalam skala lebih besar. Hal tersebut terdapat dalam TAP MPR No XVI tahun 1998 yang menetapkan bahwa pengusaha ekonomi lemah harus dibantu dan diberikan prioritas dalam pengembangan usahanya, selain tiu perbankan dan lembaga keuangan wajib memberikan peluang sebesar-besarnya bagi usaha kecil dan menengah (Ahlam, 2005). Selama ini keenganan dari pihak perbankan (bank komersial) dalam menyalurkan kreditnya kepada usaha kecil karena adanya tanggapan bahwa kelompok atau individu yang mempunyai prediat sebagai masyarakat miskin sangatlah tidak bankable di mata perbankan. Pihak perbankan kebanyakan akan merasa sia-sia dalam memberi palayanan kepada mereka. Hal itu dikarenakan pihak perbankan memandang pelayanan terhadap masyarakat miskin akan
15
mendatangkan biaya transaksi yang tinggi dan penuh risiko. Tingginya biaya transaksi disebabkan skala kredit yang mereka butuhkan terlalu kecil untuk bank komersial, kemudian tidak mampu memeberikan agunan, ditambah lagi dengan pendapatan yang menjadi jaminan pengembalian juga rendah, dan kenyataaan bahwa jarak lembaga keuangan dengan mereka sedemikian jauh. Pihak perbankan cenderung untuk melayani golongan ekonomi atas, karena dipandang lebih propestik, lebih dekat dan lebih mudah (Sumodiningrat, 2003 dalam Ahlam, 2005). Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia telah ada dan tumbuh sejak 100 tahun yang lalu dan saat ini menjadi yang terbesar di dunia dari jenis dan jumlahnya (prosiding lokakrya LKM di Indonesia). LKM di Indonesia sangat bervariasi dilihat dari sisi bentuk kelembagaan, tujuan pendirian, budaya masyarakat, kebijakan pemerintah dan sasaran lainnya. Secara umum LKM di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat formal dan yang bersifat informal. LKM yang bersifat formal terdiri dari bank dan non-bank. LKM formal yang tergolong bank adalah Bank Kredit Desa (BKD), Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BRI Unit. LKM formal yang tergolong bukan bank adalah Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP), Koperasi (Koperasi Simpan Pinjam/Kosipa dan Koperasi Unit Desa/KUD). Selanjutnya LKM yang bersifat informal terdiri dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (KSM), Baitul Maal Wal Tamwil (BMT) serta berbagai bentuk kelompok arisan dalam masyarakat. Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan di Indonesia Modal finansial merupakan aspek dan masalah yang sangat penting dalam produksi pertanian. Sebgaian besar petani dengan usaha kecil, umumnya terkendala oleh ketersediaan modal untuk usaha. Dengan keterbatasan aksesnya terhadap perbankan, menyebabkan modal usaha menjadi masalah besar dalam keberlanjutan dan keberhasilan usahanya. Untuk itu, program PUAP mencoba mengatasi masalah dana dengan cara menyalurkan dana kepada petani melalui kelompok tani/gapoktan. Dana PUAP pada prinsipnya hanya sebgai stimulus dalam menggerakkan usahatani petani yang kemudian dikelola melalui LKM. Untuk menutupi kekurangan modal, petani umumnya mengajukan pinjaman ke lembaga pembiayaan di sekitar tempat tinggal mereka, baik formal maupun informal. Kredit formal dapat berupa kredit program dan kredit non program (kredit komersial). Menurut Hermanto dalam Ashari (2009), secara garis besar sumber dana yang tersedia bagi masyarakat perdesaan dapat dikelompokkan menjadi: (1) sumberdana yang berasal dari masyarakat, (2) kredit dari lembaga non-formal, (3) kredit program pemerintah, (4) kredit dari bank swasta dan koperasi. Dari keempat sumber tersebut, umumnya petani memperoleh tambahan modal untuk meningkatkan produktivitas usahataninya dengan menerapkan teknologi yang ada. Hasil kajian Nurmanaf et al (2006) dalam (PSEKP, 2009) menunjukkan bahwa bagi petani ternyata tidak mudah untuk mengakses modal dari lembaga pembiayaan di sekitar tempat tinggal mereka, akibat prosedur dan persyaratan yang ketat (di lembaga formal) maupun tingkat suku bunga yang sangat tinggi (dilembaga non formal). Dari segi ketersediaan dana, secara teoritis sebenarnya lembaga perbankan formal memiliki potensi besar untuk pembiayaan usaha
16
pertanian. Namun demikian, perbankan yang punya legalitas dalam menghimpun dana masyarakat dalam jumlah sangat besar, ternyata belum maksimal dalam mendanai sektor pertanian. Untuk mendukung ketersediaan modal petani, pemerintah sejak awal masa orde baru telah meluncurkan kebijakan kredit program yang diawali dengan kredit Bimas. Dari waktu ke waktu model program kredit pertanian ini telah mengalami berbagai perubahan, baik yang terkait dengan prosedur penyaluran, besaran dan bentuk kredit, bunga kredit maupun tenggang waktu pengembalian. Pemerintah juga memberikan bantuan modal dalam bentuk bentuk BLM atau dana bergulir, maupun subsidi bunga. Walaupun regim pemerintah telah silih berganti, kebijakan tersebut terus dipertahankan dengan argumentasi bahwa modal merupakan faktor crucial dalam berusaha. Di lain pihak fasilitasi kredit (terutama dengan bunga rendah) oleh pihak swasta maupun LSM dipandang masih sangat minim. Sementara itu, kebutuhan modal usaha pertanian makin lama juga meningkat sejalan dengan makin mahalnya harga sarana produksi. Sesuai dengan tahapan yang dirancang dengan program PUAP yaitu pada tahun pertama dana BLM PUAP dipergunakan untuk membiayai kegiatan usaha ekonomi produktif, pada tahun kedua diharapkan dari dana tersebut dapat terbentuk usaha simpan pinjam dan pada tahun ketiga diharapkan sudah dapat dibentuk Lembaga Keuanganan Mikro Agribisnis (LKM-A). Tetapi kenyataannya yang terjadi di lapangan masing-masing pelaku menginterpretasikan tahapan yang berbeda-beda, ada beberapa daerah yang telah mensyaratkan terbentuknya LKMA terlebih dahulu, sebagai contoh di Provinsi Sumatera Barat. Adapula yang telah membentuk LKM tetapi SDM pengelola kelembagaannya tersebut belum siap contoh kasus di Boyolali, Provinsi Jawa Tengah (PSEKP, 2009) Departemen Pertanian pada tahun 2008 telah menyalurkan Bantuan Langsung Masyarakat Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (BLM PUAP) kepada 10.542 Gapoktan/desa yang tersebar di 386 kabupaten yang meliputi 33 provinsi. Penyaluran dana BLM PUAP 2008 sudah dilaksanakan, mencapai sekitar 96 persen dari target APBN dan APBNP 2008. Pada masing-masing desa penerima BLM PUAP 2008 sudah menerima dana Rp. 100 juta per desa atau per Gapoktan. Pola dasar PUAP dirancang untuk meningkatkan keberhasilan penyaluran dana BLM PUAP kepada Gapoktan dalam mengembangkan usaha produktif petani skala kecil, buruh tani dan rumah tangga tani miskin. Komponen utama dari pola dasar pengembangan PUAP adalah (1) keberadaan GAPOKTAN, (2) keberadaan penyuluh pendamping dan penyelia mitra tani, (3) pelatihan bagi petani, pengurus Gapoktan, dll, (4) penyaluran BLM kepada petani (pemilik atau penggarap), buruh tani dan rumah tangga tani. Lembaga Keuangan Mikro yang Menerapkan Pinjaman Secara Berkelompok (Group Lending) dan Sistem Tanggung Renteng Grameen Bank, yang didirikan di Bangladesh, merupakan pelopor dalam pinjaman secara berkelompok (group based lending). Sistemnya, peminjam secara sukarela membentuk kelompok dengan anggotanya sebanyak 5 orang, selanjutnya mengikuti pelatihan tentang bagaimana kerja kredit program dan memulai untuk menabung sebelum mereka mengajukan pinjaman. Antara 6 sampai 8 kelompok
17
secara bersama-sama membentuk pusat desa. kelompok pusat desa ini selanjutnya membentuk kantor cabang regional. Berdasarkan model Grameen Bank, kelompok peminjam yang baru, melakukan pertemuan dan menabung minimal untuk 4 minggu kedepan sebelum kredit dibagikan. Setiap kelompok menunjuk satu ketuanya, dan setiap anggota memutuskan waktu pergiliran dalam mengakses kredit, 2 dari anggota kelompok mendapatkan kredit terlebih dahulu. Jika mereka membayar tepat waktu, maka dua orang berikutnya dalam kelompok tersebut akan mendapatkan pinjaman, yang pada akhirnya anggota ke lima dari kelompok ini yang biasanya diketahui sebagai ketua kelompok, akhirnya mendapatkan pinjaman. Semua anggota kelompok bertanggung jawab untuk melakukan evaluasi, pengawasan dan pelaksanaan pembayaran pinjaman. Grameen Bank tidak perlu meminta jaminan atau agunan dari nasabahnya. Jika beberapa anggota kelompok mengalami kegagalan pembayaran, maka 4 anggota lainnya harus menutupi pembayaran kredit tersebut. Jika mereka tidak melakukan hal tersebut maka tidak ada satupun dari anggota kelompok mendapatkan kredit sampai non performing loan –nya kembali dibayar. Jumlah kredit yang diberikan pada awalnya dalam jumlah yang kecil, biasanya kurang dari $100, yang dibayarkan pada pertemuan setiap minggu, dan harus sudah lunas dalam 1 tahun. Bank mengikuti tahapan dari kredit program dan memungkinkan anggota kelompok secara bertahap memperoleh kredit dengan jumlah yang lebih besar secara bertahap, selama mereka memiliki sejarah pembayaran yang lancar. Sebagian besar nasabahnya terdiri atas kaum wanita, dan kredit umumnya dimanfaatkan untuk usaha manufaktur, jasa-jasa dan pedagang eceran. Di kawasan Amerika Latin, juga terdapat lembaga keuangan yang menerapkan mekanisme group lending. Pelopornya dalam model pinjaman ini adalah Banco Solidario (Bancosol) di kota Bolivia. Sama seperti Grameen Bank, yang meminjamkan kredit kepada kelompok, namun yang membedakan adalah mekanisme pemberian kredit di Bancosol lansung kepada semua anggota kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 4 sampai 10 anggota, yang dipilih oleh satu sama lain. Mereka saling menjamin pinjaman satu sama lain, berdasarkan kontrak tanggung renteng (joint liability). Agar kredit yang diperoleh lancar untuk kelompok mereka, setiap anggota memantau aktivitas ekonomi dan meningkatkan pembayaran jika perlu. Kebijakan dari bank ini adalah tidak membutuhkan agunan untuk mendapatkan kredit, tetapi memulai dengan jumlah pinjaman yang kecil dan frekuensi pembayaran. Waktu pembayaran bisa disesuaikan tergantung keputusan si peminjamnya, baik pembayaran mingguan, sekali dua minggu dan bulanan. Lama pembayaran juga bisa disesuaikan: mulai dari waktu 1 bulanan sampai 1 tahun. Peningkatan jumlah pinjaman dan lama angsuran untuk setiap nasabah mencerminkan bahwa mereka mampu untuk mendapatkan pinjaman dalam jumlah yang lebih besar (skim tahapan kredit). Kedepan akses untuk kredit yang lebih besar didasarkan pada pembayaran tepat waktu dan lunasnya pembayaran atas kredit yang dalam jumlah kecil tersebut. Kredit dari Bancosol umumnya ditujukan untuk mendukung modal usaha skala kecil, dimana didalamnya termasuk usaha eceran, jasa-jasa, dan usaha kewirausahaan skala kecil. Bank Desa, model microfinance yang berasal dari America Latin pada tahun 1980 an dan tidak kurang dari satu tahun telah di adopsi oleh Negara-negara
18
di Asia dan Afrika. Berdasarkan namanya dapat diindikasi bahwa berdasarkan desa dan kelompok mengelola kredit, mendirikan asosiasi untuk menabung untuk mendapatkan akses pelayanan keuangan di area perdesaan. Hampir di setiap waktu, LSM-LSM pendonor yang aktif untuk mendirikan lembaga keuangan di perdesaan menjalin kerjasama/kemitraan dengan kelompok-kelompok lokal. Bank Desa merupakan lembaga keuangan yang mendapat bantuan dana dari lembaga kredit seperti Foundation for International Community Assistance (FINCA). Seiring waktu, tabungan anggota, modal dan akumulasi dari suku bunga diperkirakan akan meningkat sehingga pendanaan dari luar tidak lagi diperlukan. Normalnya, Bank Desa terdiri atas anggota yang berkisar antara 30 sampai 50 orang dan setiap anggota memilih komite pengurus untuk menjalankan Bank. Anggota Bank secara individu bernegosiasi dengan pengurus bank dalam hal jumlah pinjaman awal mereka. Jumlah pinjaman awal paling banyak sebesar $ 50 dan dapat meningkat secara berkala, berdasarkan kinerja yang ditunjukkannya dalam pembayaran. Periode kredit biasanya paling lama antara 16 sampai 36 minggu, dimana pembayaran angsurannya dilakukan setiap minggu, sekali dua minggu, atau sekali sebulan. Pembayaran dilakukan pada saat pertemuan rutin, dimana semua anggota menjadi saksi pada saat pembayaran. Pengurus Bank Desa memberlakukan pembayaran dengan menghubungkan akses peminjam pada kredit berikutnya dari kinerja pembayaran mereka. Biasanya, Bank Desa tidak meminta agunan, bagaimanapun, semua anggota bersama-sama bertanggung jawab untuk pembayaran. Dalam rangka mengurangi kemungkinan terjadinya kegagalan pembayaran, pengurus melakukan seleksi menyeluruh untuk mendapatkan peminjam yang potensial. Mereka mungkin menggunakan informasi sosial di desa untuk mendapatkan infomarsi yang diperlukan. Mereka menggunakan informasi lokal dan ikatan social, tidak hanya untuk seleksi tetapi untuk mengawasi dan menegakkan pembayaran. Hal ini akan menumbuhkan persepsi diantara anggota bahwa mereka memiliki peran dalam lembaga, yang mana berkontribusi dalam kelompok pengawas, pelaksanaan dan kinerja pengembalian yang baik (Mehrteab, 2004). Definisi tanggung renteng menurut Puskowanjati 2009 adalah tanggung renteng diantara anggota dalam satu kelompok atas segala kewajiban terhadap koperasi dengan keterbukaan dan saling mempercayai. Sedangkan menurut Alam (2007) tanggung renteng adalah sebuah sistem yang membagi tanggung jawab secara merata, menerapkan konsep kolektifitas mulai dari merancang program hingga mengatasi masalah yang dihadapi. Rasmiati (Ahlam, 2007) mendefinisikannya sebagai suatu sistem yang memuat tanggung jawab bersama diantara anggota dalam satu kelompok dengan kewajiban anggota pada kelompoknya atas dasar keterbukaan dan saling mempercayai. Penumbuhan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) Program PUAP ini tidak berhenti pada terbentuknya kelompok tani yang kemudian digabungkan menjadi gapoktan. Harapan pemerintah dengan adanya bantuan yang diberikan pada lembaga terkecil ini dapat menjadi lembaga yang lebih besar lagi dan tentunya berbadan hokum seperti LKM, koperasi bahkan perusahaan sekalipun. Hal ini didasari dari visi pemberian dana Rp. 100.000.000,00 menjadi Rp. 1 Milyar.
19
Bagi gapoktan yang dimunculkan dari embrio, mekanisme pengelolaan dana ini masih dalam bentuk simpan pinjam, hal ini wajar karena belum terbiasa dengan aturan lembaga keuangan dan waktu menyatukan visi dan misi diantara kelompok tani tersebut juga belum lama. Lain halnya dengan kelompok tani atau gapoktan yang pernah ada atau memang sudah ada, seperti mantan dari peserta program Pidra, Prima Tani, P4K, PMI, BMT, dan lain-lain. Sinergi antar anggota sudah ada dan untuk meningkatkannya tentu bukanlah hal yang sulit. (PSEKP, 2009). Menurut Departemen Pertanian (2005) dalam Wadi (2010) Lembaga Keuangan Mikro Agibisnis (LKM-A) adalah lembaga keuangan mikro yang didirikan dan dimiliki oleh petani/ masyarakat tani di pedesaan guna memecahkan masalah/kendala akses terhadap pelayanan keuangan. LKM-A akan melaksanakan fungsi pelayanan dan simpanan di lingkungan petani dan pelaku usaha agribisnis. Karakteristik LKM-A dalam memberikan pelayanan keuangan yaitu: 1. Tidak menggunakan pola keuangan perbankan konvensional 2. Mempersyaratkan adanya penjaminan non anggunan 3. Menerapkan proses administrasi yang sederhana dan bertanggung jawab Agar LKM-A dapat berkembang, tumbuh menjadi kuat dan lestari dalam memberikan pelayanan keuangan kepada para anggota, maka lembaga keuangan ini perlu memegang teguh dan melaksanakan prinsip-prinsip yang telah teruji sebagai berikut: 1. Modal LKM-A haruslah bersumber dari anggotanya sendiri (swadaya), yang dihimpun dari simpanan pokok dan simpanan wajib (dapat ditambahkan dengan Simpanan Pokok Khusus atau “modal penyertaan” sebagai penguat modal, dengan perlakuan seperti investasi anggota pada lembaga keuangan). Selain itu LKM-A dapat membuka berbagai jenis tabungan (simpanan sukarela). 2. Agar anggota LKM-A mempunyai rasa memiliki yang tinggi, anggota harus dimotivasi oleh pengurus Gapoktan dan pengelola LKM-A untuk mempunyai simpanan pokok khusus (penyertaan modal) di LKM-A. Simpanan pokok khusus ini sama halnya dengan penanaman saham pada lembaga keuangan formal seperti bank. 3. Keanggotaan bersifat terbuka dan sukarela. Tidak ada paksaan untuk menjadi anggota, dapat menerima warga masyarakat di lingkungannya secara selektif untuk menjadi anggota tanpa membedakan suku, jenis kelamin, agama dan kedudukan sosialnya. 4. Layanan kredit/pinjaman/pembiayaan hanya diberikan kepada anggota LKM-A saja, tidak boleh kepada bukan anggota. 5. Mengembangkan pelayanan yang bermutu dan profesional, berorientasi pada fungsi bisnis dan sosial. 6. Dapat menghargai jasa, kemampuan dan produktifitas orang secara layak dan rasional. 7. Saling percaya. Setiap anggota harus mengembangkan sikap untuk dapat dipercaya, menepati janji dan dapat mempercayai orang lain. 8. Kepemimpinan demokratis, ditandai oleh: (i) setiap anggota mempunyai kedudukan yang sama, satu orang anggota satu suara, (ii) anggota berhak mengajukan usul yang harus diperhatikan oleh pengurus, (iii) pengurus dan pengawas dipilih dari dan oleh anggota di dalam rapat anggota
20
pendiri, (iv) manajemen diselenggarakan terbuka. Setiap anggota berhak mengetahui dan memperoleh informasi keuangan secara berkala. 9. Berusaha untuk mencapai skala ekonomi atau volume usaha yang layak yang menjamin perolehan pendapatan, untuk membiayai pelayanan profesional kepada para anggota, pertumbuhan dan kelestarian. 10. Mengalokasikan sumberdana yang diperoleh dari pendapatan untuk kegiatan pendidikan secara terus menerus bagi kemajuan anggota dan keluarganya. 11. Membangun jaringan kerjasama antar LKM-A dan lembaga lain yang lebih luas atas dasar saling menghargai dan saling mengembangkan. 12. Pembiayaan yang diberikan kepada anggota harus diikuti dengan pembinaan dan pendampingan yang berkelanjutan. 13. Jaminan barang boleh diterapkan, namun pertimbangan yang terbaik tetap atas watak/karakter peminjam sendiri dan kelayakan usahanya. Pengembangan LKM-A merupakan tugas dan tanggung jawab masyarakat setempat melalui Dewan Pengurus dengan mengarahkan, memotivasi, memantau, mengawasi, dan membina pengelola manajemen LKM-A setempat, dibantu dan dikoordinasikan oleh Lembaga Pengembangan Keuangan Mikro (LPKM), seperti PINBUK (BPTP Sumatera Barat, 2009 dalam Wadi, 2010). Konsep pengembangan LKM-A diintroduksikan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) pada saat terjadi keterbatasan anggaran pemerintah pada tahun 2004/2005 (defisit). Di pihak lain, Direktorat Pembiayaan, Deptan pada tahun 2001 memformulasikan kebijakan untuk mengoptimalkan sumber dana yang berasal dari luar Deptan seperti lembaga perbankan dan non perbankan, pendanaan dari donor, dan juga pembiayaan yang dikelola oleh masyarakat. Pembentukan LKM-A ini merupakan langkah berikutnya dari program BLM/BPLM, dimana setelah kelompok tani yang mendapat dana BLM telah mampu memupuk modal, diharapkan dapat membentuk LKM. Selain dari penerima BLM, juga dilakukan dengan mengoptimalkan yang telah ada dengan penekanan agar memperluas cakupan pelayanan kepada petani/kegiatan agribisnis. Program yang dilakukan pemerintah pada dasarnya adalah peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan penyuntikan modal kerja LKM-A (Ashari, 2009). Menurut Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (2009), model LKM-A yang sudah otonom seperti LKM-A Panampuang Prima di Kabupaten Agam tampaknya dapat dijadikan model bagi Gapoktan-gapoktan lain yang belum membentuk LKM-A. Penguatan modal oleh pengurus LKM-A Panampuang Prima selain dari simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela juga dilakukan melalui penjualan saham ke anggota dan masyarakat umum. Dana yang dimiliki saat ini telah mencapai Rp. 243,845,000,-. Dana tersebut terdiri dari: (a) simpanan pokok khusus Rp. 72,390,000,- (b) simpanan pokok Rp. 6,275,000,- (c) simpanan wajib Rp. 10,210,000,- (d) simpanan sukarela Rp. 20,985,940,00,- (e) modal penyertaan (i) PUAP Rp. 100,000,000,- (ii) Side Capital Rp. 20,000,000,(f) Simantap (simpanan masyarakat tani) Rp. 7,860,969,-. Lain halnya dengan Gapoktan Wahana Tani nagari Matur Hilir Kecamatan Matur Kabupaten Agam, walaupun otonom tetapi pengelolaannya digabung dengan BMT dan mendapat modal penyertaan dari Pemda sebesar Rp. 300,000,000,- sehingga aset LKM-A saat ini mencapai Rp. 571,542,265,- dana
21
PUAP 2008 sudah direvolving dan nilainya menjadi 113 juta rupiah. Untuk pemupukan modal LKM-A diadakan bermacam-macam simpanan yaitu, simpanan pokok khusus, simpanan Tamara, simpanan Saras, simpanan Tadika, simpanan wajib pembiayaan. Penelitian Terdahulu Akses Petani kepada Lembaga Pembiayaan Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Supriatna (2003), tentang aksesibilitas petani kecil pada sumber kredit pertanian di tingkat desa: studi kasus petani padi di Nusa Tenggara Barat, menyatakan bahwa petani kecil dan petani tanpa tanah (penyakap) umumnya mengakses kelembagaan informal. Skema kelembagaan informal menawarkan pinjaman pada tingkat bunga tinggi, tetapi sangat sesuai untuk petani kecil, seperti tanpa jaminan, prosedur sederhana dan cepat realisasi. Sebaliknya petani kecil tidak dapat mengakses kelembagaan formal yang telah menyediakan pinjaman pada tingkat suku bunga rendah, karena: (a) mereka tidak memiliki suatu jaminan yang diperlukan oleh skema, terutama sertifikat tanah, (b) pembayaran kembali kredit setiap bulan tidak dengan prosedur kredit yang berbelit-belit. Skim kredit yang diharapkan oleh petani adalah kredit dengna jaminan barang-barang bergerak (bukan sertifikat tanah), tingkat suku bunga 18-24 persen per tahun, kredit dalam bentuk tunai dan kredit jangka pendek. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Supriatna (2009), yaitu Pola Pelayanan Pembiayaan Sistem Kredit Mikro Usaha Tani di Tingkat Pedesaan. Dimana, setiap lembaga pembiayaan memiliki pola pelayanan yang khas, seperti sasaran nasabah, tipe kredit, serta cara pengajuan, penyaluran, dan pengembalian kredit. Setiap pola pelayanan tersebut memiliki komponen yang sesuai atau tidak sesuai dengan karakteristik petani. Petani umumnya tidak dapat mengakses lembaga pembiayaan komersial yang menyediakan bunga rendah, seperti BRI Unit Desa, Bank Perkreditan Rakyat, dan koperasi karena tidak memiliki agunan sertifikat tanah, pengembalian kredit bulanan sehingga tidak sesuai dengan pola penerimaan usaha tani yang bersifat musiman, dan prosedur pengajuan kredit yang rumit. Petani juga sulit mengakses Koperasi Unit Desa karena kinerjanya lemah, putaran uang lambat, dan modal sulit berkembang. Petani sulit mengakses kredit program karena kemampuan keuangan pemerintah yang terbatas. Karena berbagai hambatan tersebut, sebagian besar petani memilih lembaga pembiayaan informal meskipun dengan tingkat bunga yang tinggi. Pola pelayanan kredit yang ideal untuk petani yaitu menghindari penetapan agunan sertifikat tanah, memberikan kredit berbentuk uang tunai, menyediakan kredit jangka pendek dengan pengembalian musiman, jumlah plafon kredit mencukupi untuk membeli benih, pupuk dan obat-obatan, serta pengajuan/penyaluran kredit melalui kelompok tani. Di sisi lain, petani perlu memahami prinsip penggunaan kredit yang benar, berusaha membangun modal sendiri, dan menciptakan diversifikasi usaha yang memberikan penerimaan secara harian, mingguan atau musiman.
22
Informasi Asimetrik, Adverse Selection, dan Moral Hazard Penelitan Taswan, 2011 tentang Konsekuensi Informasi Asimetris dalam Perkreditan dan Penanganannya pada Lembaga Perbankan yang bertujuan untuk menjelaskan informasi asimetris dalam perkreditan, konsukuensinya dan cara penanggulangannya agar pengelolaan risiko kredit dapat dilakukan dengan lebih baik. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keagenan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa informasi asimetris sangat potensial terjadi pada bisnis di perkreditan. Debitur adalah agen dari kreditur. Sebagai agen perlu menjalankan amanah pihak principal (kreditur) berdasarkan kontrak kredit yang disepakati antara kreditur dengan debitur. Namun bila kreditur menghadapi informasi asimetris yang tinggi, maka tidak bisa mendesain kontrak kredit secara fair. Debitur bisa melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya sendiri atas beban kreditur. Debitur bisa melakukan moral hazard terhadap kreditur atau lembaga penjamin kredit. Debitur melakukan bisnis yang beresiko tinggi namun kreditur tidak mendapatkan informasi bisnis debitur secara utuh, sehingga kreditur menghadapi risiko yang tinggi jika terlanjur menerima debitur seperti ini. Konsekuensinya konflik keagenan antara kreditur dengan debitur bisa terjadi, harga kredit menjadi mahal, risiko kredit menjadi tinggi. Tingkat suku bunga menjadi alasan kreditur untuk menghadapi risiko kredit sebagai cerminan dari harga, akibatnya kreditur yang baik dan kreditur yang buruk sama-sama memperoleh tingkat suku bunga kredit yang tinggi walalupun bisnis proyek yang dilakukan memiliki tingkat risiko yang berbeda. Debitur yang baik akhirnya menarik diri dari perbankan dan lebih memilih sumber pendanaan dari lembaga internal, sehingga bank kehilangan debitur yang baik dan mempertahankan debitur yang buruk, hal ini mengindikasikan terjadinya adverse selection. Konsekuensi-konsekuensi tersebut perlu dikelola misalnya melalui sistem monitoring yang efektif, loan covenance, pengetatan regulasi BMPK, Credit Rationing, penjaminan dan asuransi kredit serta restrukturisasi kredit. Penelitian McCakie, 1999 tentang Asymmetric Information, Adverse Selection and Moral Hazard in the Banking Industry, yang bertujuan untuk mengulas tentang informasi asimetris dan akibatnya, yaitu adverse selection dan moral hazard dalam industri perbankan serta kaitannya sebagai sumber masalah yang menyebabkan krisis Asia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti perbedaan tingkat suku bunga, lembaga penjamin, pengawasan dan pelaksanaan kredit yang tidak sempurna merupakan faktor kunci yang menyebabkan terjadinya informasi informasi, adverse selection dan moral hazard. Disamping itu kompetisi dan ketidakpastian dalam bisnis perbankan saat ini menuntut bank untuk berani mengambil risiko usahanya. Penelitian Anggraeni, 2011 tentang Analisis Faktor Penyebab Moral Hazard pada Program PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan) Wilayah Utara di Kabupaten Cianjur yang bertujuan untuk mengetahui mekanisme kredit kelompok masing-masing Gapoktan, menunjukkan bahwa mekanisme kredit kelompok yang dilakukan masing-masing Gapoktan di Kabupaten Cianjur sangat bervariasi, dari 9 Gapoktan yang menjadi lokasi penelitian hanya satu yang menggunakan sistem kredit kelompok dengan tanggung renteng yaitu Gapoktan Desa Cipendawa Kecamatan Pacet. Penelitian ini menggunakan analisis probit untuk menentukan moral hazard yang di-proxi-
23
kan dengan gagal bayar, menghasilkan analisis bahwa pekerjaan utama sebagai petani dapat meningkatkan peluang terjadinya moral hazard. Adanya tanggung jawab dari ketua kelompok untuk anggota dapat menggurangi peluang terjadinya moral hazard, adanya saling mengunjungi antar anggota dapat mengurangi peluang terjadinya moral hazard, dan kesamaan atau homogen usaha yang dimiliki dapat mengurangi terjadinya moral hazard. Simtowe dan Zeller (2006) tentang faktor-faktor yang menentukan moral hazard pada group lending programs di Malawi, walaupun group lending dengan joint liability telah dilakukan selama empat decade, ketidakinginan untuk membayar cicilan kredit tetap saja menjadi alasan utama terjadinya kegagalan pembayaran. Hasil dari penelitian ini menunujukkan bahwa yang menjadi faktor terjadinya moral hazard adalah peer selection, peer monitoring, peer pressure, dan dynamic incentives. Pada screening khususnya dalam peer selection signifikan dan berpengaruh negatif terhadap indikasi terjadinya moral hazard. Peer monitoring pada anggota sudah bergabung dengan perusahaan signifikan dan berpengaruh negatif, faktor anggota kelompok yang tidak megetahui susunan kelompok signifikan dan berpengaruh signifikan dan bersifat positif tentang indikasi moral hazard. Pada social ties jumlah desa asal anggota berpengaruh signifikan dan bersifat positif terhadap inidikasi moral hazard. Pada peer-presure, adanya desakan sebelum jatuh tempo berpengaruh signifikan dan bersifat negatif terhadap inidikasi moral hazard. Moral Hazard dalam penyaluran dana pihak ketiga perbankan telah menjadi perhatian banyak peneliti. Ding Lu, et al, (2001) dalam penelitiannya yang berjudul The Link Between Behavior and Non Performing Loan in China, melihat hubungan antara kebijakan kredit bank dalam menyalurkan dana memiliki hubungan yang erat dengan besaran Non Performing Loan. Pemberian kredit yang lebih tinggi kepada perusahaan daerah dan juga kebijakan bank untuk memberikan tambahan kredit untuk perusahaan-perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan berkontribusi besar pada non performing loan dan membuka kesempatan terjadinya moral hazard pada pihak debitor. Covitz, et al, (2004) dalam penelitiannya yang berjudul Monitoring, Moral Hazard, and Market Power: A Model of Bank Lending, melihat hubungan antara kekuatan pasar, suku bunga pinjaman dan sekaligus risiko bank yang tidak memberikan sistem pencegahan yang efektif bagi masalah moral hazard dalam hubungan bank dengan peminjam dan bank dengan jaminan pemerintah. Hasil ini mengindikasikan adanya hubungan ketergantungan berdasarkan intuisi dari parameter masalah moral hazard yang saling tumpang tindih. Dalam suatu kondisi pasar cenderung mengalami masalah moral hazard yang tinggi dengan nasabah dibandingkan sikap moral hazard bank tersebut kepada jaminan pemerintah. Hal ini dikarenakan bank yang memiliki kekuatan pasar mengenakan tingkat bunga yang rendah dibandingkan dengan bank-bank pesaing lainnya. Dalam penelitian ini juga ditemukan tingkat kompetisi diantara bank akan mengakibatkan kondisi makroekonomi yang lebih fluktuatif karena membiarkan dengan mudah terjadinya moral hazard di sisi nasabah. Nasution dan Wiliasih (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Profit Sharing dan Moral Hazard dalam penyaluran dana pihak ketiga bank umum syariah di Indonesia. Berdasarkan Error Correction Model, untuk kasus Bank Syariah Mandiri (BSM) tidak ditemukan adanya indikasi moral hazard. Hal ini
24
dikarenakan pembiayaan BSM lebih difokuskan pada pembiayaan murabahah sehingga lebih berhati-hati dalam melakukan maintenance dalam pembiayaan ini. Sementara untuk BMI rasio alokasi pembiayaan murabahah terhadap pembiayaan profit loss sharing (mudharabah dan musyarakah) mengakibatkan terjadinya peningkatan kredit macet. Hal ini memberikan indikasi moral hazard di BMI, yaitu ketidak hati-hatian dari pihak BMI sehingga menyebabkan terjadinya moral hazard dari sisi debitor. Komposisi yang seimbang antara pembiayaan murabahah dan mudharabah, diduga membuat BMI lebih memberikan pengawasan ekstra ketat untuk debitor pembiayaan musyarakah dan mudharabah, namun kurang waspada terhadap pembiayaan murabahah. Joint Liabilities Penelitian Maurya, 2011 tentang Theory of Joint Liabilities, Adverse Selection, Assertive Matching And Self Financing, Keuangan mikro dianggap sebagai solusi untuk pengentasan kemiskinan dan secara menyeluruh dirasakan bahwa keuangan mikro dapat menghapus masalah kemiskinan. Pada dasarnya keuangan mikro bekerja pada model tanggung renteng. Teori tradisional kredit menyatakan bahwa pasar kredit pedesaan tidak kompetitif dan memperoleh informasi tentang jenis peminjam yang berisiko dan yang tidak aman tanpa biaya. Ketidaksempurnaan pasar ini menyebabkan suku bunga tinggi dan mendorong keluar peminjam aman dari pasar kredit. Dalam literatur ekonomi masalah ini dianggap sebagai masalah adverse selection. Model tanggung renteng mencoba untuk memecahkan masalah adverse selection melalui pinjaman kelompok. Makalah ini membahas gagasan model kewajiban bersama dan mencoba untuk memecahkan masalah adverse selection melalui pencocokan asortatif positif. Makalah ini menyimpulkan bahwa dalam pencocokan asortatif positif, hasil dari peminjam akan lebih daripada hasil dari pencocokan asortatif negatif. Makalah ini, juga mencoba untuk menunjukkan bahwa pembiayaan sendiri dapat menurunkan tingkat bunga dan ukuran penalti dan meningkatkan hasil yang diharapkan peminjam. Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis dan PUAP Penelitian Wadi, 2010 tentang Analisis Fungsi LKM-A Suri Indah Gapoktan Sinamar dalam mengelola program BLM- PUAP Nagari Sungai Rimbang Kecamatan Suliki Kabupaten Lima Puluh Kota, yang bertujuan untuk menganalisa kinerja LKM-A Suri Indah dalam mengelola dana program BLMPUAP, menunjukkan bahwa pengelolaan dana program BLM-PUAP di LKM-A Suri Indah Gapoktan Sinamar telah merujuk kepada aturan-aturan yang ditetapkan Kementerian Pertanian, dan juga menerapkan kebijakan-kebijakan lokal yaitu: a) pembentukan Badan Penyelamat Keuangan (BPK); dan b) adanya Studi Kelayakan Usaha oleh pengurus Gapoktan. Perbedaan antara rencana dan realisasi sebagai akibat dari keterlambatan pencairan dana ke rekening Gapoktan, pertimbangan terhadap usaha anggota, dan pertimbangan terhadap watak/karakter calon peminjam. Pelaksanaan FGD merumuskan 5 poin penting dalam pengelolaan bantuan modal, yaitu: 1) mudah diterima oleh masyarakat (acceptable); 2) dipertanggungjawabkan (accountable); 3) berorientasi ekonomis
25
(profitable); 4) dapat dilestarikan (sustainable); dan 5) mudah digulirkan dalam masyarakat (replicable) dengan perhatian utama pada poin accountable. Kinerja LKM-A Suri Indah dalam mengelola dana program BLM-PUAP berprediket “cukup sehat” yang berarti LKM-A Suri Indah sudah cukup baik dalam pengelolaan dana bantuan modal, dengan kelemahan terdapat pada aspek likuiditas, kemandirian dan pertumbuhan, dan aspek jatidiri LKM-A. Kerangka Teoritis Teori Informasi Asimetrik Teori informasi asimetrik berasal dari ilmu yang kita ketahui sebagai “informasi ekonomi”. Teori informasi asimetris terjadi dalam setiap proses transaksi seperti di pasar tenaga kerja, keuangan dan asuransi. Pasar-pasar ini tidak seperti pasar dimana pembeli dan penjual bertemu dan memutuskan harga pada saat itu. Sebaliknya di pasar kredit, ada periode waktu pada saat pengambilan dan pembayaran pinjamannya. Menurut Stiglitz (1989) kontrak keuangan mencakup unsur-unsur yang menyebabkan masalah mendasar adverse selection dan moral hazard. Sedangkan menurut Simtowe et.al (2006), informasi yang tidak sempurna setidaknya menyebabkan empat masalah dalam pasar kredit, yaitu adverse selection, moral hazard, kurangnya asuransi, dan kurangnya penegakan hukum. Ide tentang informasi asimetris ini muncul pertama kali pada tahun 1960, ketika para ahli ekonomi menyatakan bahwa karena biaya informasi dan pelaksanaan yang tinggi, beberapa pasar tidak dapat bertahan dan pasar lainnya tidak mampu untuk berkompetisi. Salah satu ahli yang terkemuka pada bidang ini, yang fokus pada adverse selection adalah Arkelof (1970). Tulisannya tentang lemon teori dan ketidakpastian kualitas, ia berpendapat bahwa pada beberapa pasar tertentu sulit dalam melakukan bisnis dengan baik penyebabnya karena adanya masalah adverse selection. Masalah adverse selection pada pasar kredit terjadi ketika adanya keterbatasan informasi, dimana peminjam yang akan mengusulkan kredit memiliki informasi pribadi tentang perilakunya sendiri sebelum hubungan kredit dimulai. Sementara itu, lembaga keuangan yang akan memberi pinjaman tidak mempunyai informasi yang sempurna tentang karakteristik si peminjam, walaupun telah menggunakan syarat-syarat yang baik untuk menggali informasi tentang karakteristik si peminjamnya, tetapi tetap saja hal tersebut tidak cukup kuat untuk mendapatkan informasi yang utuh untuk setiap peminjam dan mengukur risiko dari proyek yang mereka usulkan. Mehrteab (2005) menjelaskan bahwa masalah adverse selection terjadi ketika peminjam memiliki informasi pribadi tentang individu sebalum masuk dalam kelompok, sedangkan pemberi pinjaman dapat mengetahui karakteristik peminjam. Namun, masih tidak memiliki informasi yang lengkap tentang peminjam yang berisiko. Mehrteab mengansumsikan bahwa peminjam dan pemberi pinjaman memiliki risiko yang netral. Di dalam suatu kelompok terdapat karakteristik peminjam yang aman maupun yang berisiko. Kelompok peminjam lebih mengetahui informasi, jika dibandingkan dengan pemberi pinjaman. Masalah ini merupakan masalah yang timbul akibar dari metode penyeleksian
26
yang kurang maksimal, sehingga hasil dari penyeleksian tersebut mendapat peminjam yang tidak diinginkan (mengalami adverse selection). Adverse selection terjadi ketika pemberi pinjaman tidak mengetahui sifat khusus dari peminjam. Akibatnya pemberi pinjaman tidak mendapatkan kembali uang tersebut. Masalah lainnya yang ditimbulkan oleh insformasi asimetris adalah moral hazard. Arrow (1963) seorang ahli yang berkontribusi pada teori moral hazard, dimana fokus teorinya pada pengaruh kontrak antara kelompok yang relatif mempunyai informasi lebih. Hal ini merupakan bentuk hubungan antara agentprincipal, analisisnya pada satu kelompok, ada yang diasumsikan sebagai principal, dan kelompok lainnya didalam kontrak diasumsikan sebagai agent. Pada kondisi ini, principal tidak dapat untuk melihat perilaku agent (baik aksi maupun keputusannya). Penggunaan istilah moral hazard karena perilaku yang dilakukan oleh pihak agent hanyalah berdasarkan kepentingannya sendiri dan tidak mengutamakan kepentingan pihak principal. Oleh karena itu, pihak principal ingin menyusun kontrak yang akan mendorong pihak agent untuk melakukan tindakan yang tidak bertentangan dengan kepentingannya. Perkembangan teori tentang dampak informasi asimetris dapat dilihat pada Lampiran 8. Simtowe dan Zeller (2006) menjelaskan bahwa masalah moral hazard timbul ketika individu terlibat dalam pembagian risiko sehingga keputusan yang diambil oleh individu secara pribadi mempengaruhi distribusi probabilitas hasil. Moral hazard terjadi pada periode peminjaman yang terjadi pada pinjaman kelompok di tahap kedua yaitu ex-ante moral hazard dan tahap keempat yaitu expost moral hazard. Mehrteab (2005) menjelaskan bahwa moral hazard merupakan masalah yang disebabkan oleh informasi asimetrik, hal ini terjadi pada pasar kredit saat menaikkan suku bunga. Asumsi yang dilakukan adalah bank harus berinvestasi dalam salah satu dari dua proyek (aman atau berisiko), proyek yang berisiko, memiliki tingkat pengembalian yang lebih rendah namun hasilnya akan tinggi jika berhasil. Sedangkan proyek yang aman, memiliki kemungkinan keberhasilan yang lebih tinggi tetapi tingkat pengembaliannya rendah. Bank tidak mengetahui proyek yang berisiko, pada tingkat suku bunga yang lebih rendah akan lebih bermanfaat bagi peminjam untuk berinvestasi dalam proyek yang lebih aman yang membawa hasil positif. Semakin tinggi tingkat suku bunga, maka akan semakin tinggi pengembalian yang diharapkan yang mendorong bank untuk memilih proyek tersebut. Moral hazard yang terjadi dalam pinjaman kelompok dapat diminimalisasi dengan adanya peer monitoring, peer pressure, social ties dan peer selection. Hal ini didukung dalam model Stiglitz dan Weiss (1981) dalam Besley (1994) yaitu masalah moral hazard terjadi ketika pemberi pinjaman tidak dapat membedakan peminjam yang berisiko. Peer moniroting atau pengawasan merupakan aspek yang paling penting dalam tanggung renteng. Hal ini untuk menilai sejauh mana anggota kelompok menggunakan pinjamannya dan menginformasikan laporan kegiatan usahanya sehingga dapat mengurangi penyalahgunaan pinjaman dan moral hazard. Selain itu dengan adanya peer monitoring tiap anggota kelompok dapat mengetahui keadaan kondisi usaha tiap anggota kelompok. Stiglitz (1990) menyatakan bahwa sebagian besar kesuksesan kinerja keuangan dalam Grameen Bank di Bangladesh dan pinjaman kelompok yang serupa dikarenakan peer monitoring.
27
Peer pressure merupakan tekanan yang diberikan oleh pemimpin atau pengurus kelompok kepada anggota kelompok sebelum jatuh tempo pembayaran sehingga anggota kelompok bisa mengingat kembali kewajibannya yang harus diselesaikannya dan tekanan kelompok ini dapat mengurangi moral hazard. Semakin tinggi tingkat peer pressure dalam suatu kelompok maka akan semakin kecil kemungkinan untuk gagal dalam melakukan pembayran pinjaman tersebut seperti yang terjadi di Malawi (Simtowe dan Zeller, 2006). Social ties atau ikatan social merupakan hubungan antar anggota saling mengenal satu sama lain atau kedekatan hubungan antar anggota baik dari sisi kerabat, keluarga, jarak rumah dan sebagainya. Olomola (2000) dalam Simtowe dan Zeller (2006) berpendapat bahwa homogenitas sosial, penegakan aturan, dan keyakinan dapat memperkuat antar anggota sehingga dapat meningkatkan modal sosial. Olomola mengamati bahwa kemampuan untuk menegakkan aturan-aturan (kontrol sosial) dalam kelompok dimana anggota sosial homogeny yang lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan heterogenitas keanggotaan. Proposisi ini, mengarah ke asumsi bahwa kelompk yang homogeny dari segi kekayaan, status sosial dan kekerabatan harus memiliki tingkat kegagalan relatif lebih rendah dari pada kelompok heterogen. Floro dan Yotopolous (1991) dalam Mehreab (2005) menunjukkan bagaimana keberhasilan pinjaman kelompok dapat dikaitkan dengan kemampuan untuk memanfaatkan hubungan sosial antara peminjam untuk meningkatkan pembayaran pinjaman. Hal ini didasarkan pada asumsi semakin dekat anggota satu sama lain maka akan mengurangi gagal bayar. Peer selection atau penyeleksian anggota sangat membantu dalam tanggung renteng, sehingga kelompok tersebut harus berhati-hati dalam memilih anggota yang ingin masuk ke dalam kelompok tersebut dengan adanya penyeleksian seperti melihat sifat dari calon anggota tersebut dan sejarah usahanya. Berbagai usaha pasar keuangan untuk mencoba mengatasi masalah informasi asimetris cenderung berbeda-beda. Menurut Floro dan Yotopoulos, (1991) dalam Mehrteab (2005) lembaga keuangan formal cenderung untuk menangani masalah pemilihan dan insentif dengan memberlakukan persyaratan agunan atau pembatasan ketat, atau dengan meminta peminjam untuk memberikan bukti yang terdokumentasi dengan baik, yang menunjukkan keinginan mereka dan kemampuan untuk membayar. Lembaga keuangan formal biasanya memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan dan lembaga yang aktif di sektor usaha formal yang memiliki agunan, sejarah kredit dan menggunakan sistem akuntansi. Bagaimanapun, kredit dari lembaga keuangan formal sangat diperlukan oleh sebagian besar daerah perdesaan dan masyarakat miskin untuk pembangunan perdesaan. Tetapi, faktanya masyarakat miskin pedesaan tidak bisa memberikan jaminan, tidak memiliki sejarah kredit, dan administrasi yang kurang sehingga tidak dapat mengakases pasar kredit formal (Mehrteab, 2004). Melihat kondisi ini, akses terhadap kredit dari MFI (Micro Finance Institution) menggunakan mekanisme yang memungkinkan perjanjian kredit tanpa menggunakan metode tradisional yang digunakan oleh lembaga keuangan mikro. Mekanisme yang digunakan seperti jaringan sosial, ikatan sosial dan sanksi sosial oleh LKM dalam mengurangi masalah seleksi, insentif dalam transaksi kredit, yang mungkin tidak efektif digunakan di lembaga-lembaga keuangan formal.
28
Teori Group Lending Kredit berbasis kelompok atau dikenal dengan group lending diberikan kepada individu-individu yang tergabung dalam sebuah kelompok sehingga dapat memiliki akses terhadap layanan keuangan dalam sebuah program. Biasanya program yang dilakukan ditujukan untuk masyarakat miskin yang tidak memiliki agunan untuk mendapatkan kredit. Menurut Mehrteab (2004), kredit berbasis kelompok ini dibuat untuk individu tetapi semua anggota kelompok bertanggungjawab untuk pembayaran utang (prinsip tanggung renteng), diberlakukan jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun), pembayaran dilakukan mingguan atau bulanan. Hal ini dilakukan dalam pertemuan kelompok atau langsung ke lembaga keuangan mikro. Saat ini, banyak program di seluruh dunia menggunakan pinjaman berbasis kelompok untuk melanjutkan pinjaman kepada orang miskin. Ukuran keberhasilan program pinjaman kelompok dapat dilihat dari tingkat pengembalian. Diantara program yang berhasil adalah program yang dilaksanakan oleh Grameen bank (Bangladesh) dan Bancosol (Banco Solidario) Bolivia, yang menunjukkan tingkat pengembalian yang tinggi dan dapat menjangkau jutaan masyarakat miskin. Adapun beberapa contoh lain yaitu: a) Bank Desa, model Keuangan Mikro dari Amerika Latin pada tahun 1980, b) koperasi kredit atau credit unions dimana kredit koperasi sebagai lembaga keuangan berasal dari Jerman di abad kesembilan belas. Ada beberapa kontribusi positif yang didapat jika menggunakan sistem group lending yaitu: 1) mengurangi masalah adverse selection, bahwa ketika dalam pembentukan anggota kelompok ada beberapa yang harus diperhatikan yaitu mengenai kelayakan kredit dengan bantuan jaringan sosial, sehingga mencegah kredit yang tidak bertanggungjawab serta yang berisiko. 2) mengurangi masalah moral hazard, dimana setelah anggota telah menerima pinjaman maka masing-masing anggota harus saling memantau satu sama lain untuk memastikan bahwa anggota menggunakan dana kredit untuk proyek yang aman, sehingga akan menjamin pembayaran kredit. 3) tekanan antar anggota kelompok, yang dihasilkan mekanisme kelompok sehingga masing-masing anggota dapat mengurangi moral hazard dan melakukan pembayaran tepat waktu. Anggota diwajibkan untuk saling memantau untuk menjamin akses kredit di masa yang akan datang jika ada anggota yang tidak bersedia membayar maka anggota lain dapat menggunakan tekanan sesama anggota dan sanksi sosial (Mehrteab, 2005). Menurut Nuryartono (2011), group lending tidak dapat dihindarkan dari permasalahan asymetric information yang dapat menyebabkan adanya moral hazard dan adverse selection. Untuk mengatasi masalah tersebut dapat digunakan skema pembiayaan tanggung jawab terbatas (joint liabilities) yang ditunjukkan oleh Gambar 3. Skema pada gambar 3 menjelaskan hubungan antara permasalahan yang timbul pada setiap kredit yang disalurkan dengan solusi teoritis yang diajukan dalam periode waktu tertentu. Pada tanggung jawab bersama, tahap pertama adalah tahapan yang dilalui sebelum pengadaan kontrak. Tahapan tersebut menyakup seleksi anggota. Masalah yang timbul pada tahapan ini adalah adverse selection. Masalah tersebut dapat diatasi dengan mengadakan seleksi secara ketat terhadap pemilihan anggota dalam kelompok. Tahap kedua yaitu pada periode
29
investasi, para peminjam dihadapkan pada masalah ex-ante moral hazard. Hal ini terjadi ketika peminjam memutuskan untuk berinvestasi dalam proyek yang berisiko atau menyalahgunakan dana. Sehingga yang harus dilakukan menurut solusi teoritis yaitu dengan pengawasan yang dilakukan antara anggota dan petugas dari lembaga keuangan mikro.
Sumber Simtowe et.al (2006) dalam Nuryartono (2011) Gambar 3 Skema Pembiayaan dengan Model Joint Liabilities
Tahap ketiga mengenai hasil investasi dari dana yang telah diberikan, investasi ini mungkin gagal karena beberapa alasan atau diakibatkan oleh hal-hal yang diluar kendali peminjam. Masalah yang dihadapi pada tahap ini adalah tanggungjawab terbatas. Berdasarkan kewajiban dan tanggung jawab pinjaman bersama maka setiap anggota yang tidak mengalami kesulitan dapat membantu membayar anggota lain yang mengalami kegagalan bayar (intra-group asuransi). Masalah terakhir adalah berkaitan dengan ex-post moral hazard. Hal ini terjadi ketika usaha telah dilakukan dan keuntungan hasil investasi telah terwujud, bila peminjam menemukan jalan untuk menyimpangkan dana yang seharusnya untuk pembayaran pinjaman tetapi ditujukan untuk tujuan lain. Dalam kewajiban pinjaman bersama, untuk menerapkan tekanan sesama dan sanksi sosial dapat memecahkan masalah ex-post moral hazard. Model Logit Pada analisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya adverse selection, moral hazard dan peluang akses ke perbankan, akan dikaji faktor-faktor yang bersifat kualitatif. Sehingga diperlukan pendekatan untuk mengestimasi model regresi dengan variabel dependen yang bersifat kualitatif. Tujuan dari model regresi dengan respon kualitatif pada variabel dependen adalah untuk menentukan probabilitas individu dengan pendapat yang dimiliki dalam keputusan yang bersifat kualitatif. Beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengestiasi model variabel yang bersifat dikotomis adalah: (1) Model Probabilitas Linier (Linier Probability Model), (2) Model Logit (Logit Model), (3) Model Probit (Probit Model), dan (4) Model Tobit (Tobit Model).
30
Sebuah model fungsi distribusi kumulatif (Cumulative Distribution Function) lebih cocok untuk menjelaskan perilaku variabel dependen yang merupakan sebuah respon kualitatif yang bersifat dikotomi daripada model probalbilitas linier (LPM). Model logit yang berasal dari nama jenis distribusi probabilitas logistik yang menjelaskan respon kualitatif variabel dependen. Dalam situasi variabel dependennya bersifat kualitatif maka urutan angka dependen variabel dapat dinyatakan sebagai frekuensi relatif. Sampel dihitung dari satu atau dua kemungkinan pilihan misalnya keputusan untuk melunasi pembayaran kredit atau belum melunasi pembayaran kredit sebagai frekuensi relatif yang dihasilkan sebagai proporsi dari sampel yang memutuskan untuk mengambil kredit sebagai respon individual dimana ditujukan sebagai suatu indikasi moral hazard. Diasumsikan ada n ulangan sampel dan tiap sampel frekuensi relatifnya positif dan kurang dari satu, misal Pi adalah frekuensi relatif untuk ke i sampel, maka. 0
1−
=
+
(2.6)
Untuk estimasi β dan nilai dugaan X, dugaan P menjadi : P (1 + e ) ,dimana: Z = α + β X dengan peluang selalu 0 < p < 1
Menurut Pindyck dan Rubenfield (1981), penggunaan model logit didasarkan pada fungsi kumulatif logistik. =
( )=
( +
)=
1 1+
=
1+
1
(
)
keterangan : Pi = Peluang seorang individu akan memilih suatu pilihan tertentu Xi = Peubah penjelas yang sudah diketahui nilainya e = Bilangan natural = 2.718
(2.7)
31
α β
= Intersep = Nilai parameter yang diduga
Untuk menduga persamaan tersebut diatas, maka kedua sisi persamaan dikalikan dengan (1+e-Zi), sehingga diperoleh : 1 (1 + ) = (1 + ) (2.8) 1+ (1 +
= =
Karena
1
)
=1
(2.9)
−1
(2.10)
1−
= 1
, maka,
=
(2.11)
, dengan mengalikan bilangan
natural pada kedua sisi persamaan akan diperoleh : log
= log
log
=
= log 1−
1−
1− =
(2.12)
… … … … … … … … … … … … … … … … … … . . (2.13) +
(2.14)
Pi merupakan peluang akses kredit, adverse selection dan pengembalian kredit oleh anggota PUAP. Apabila persamaan diduga langsung akan muncul beberapa kesulitan. Bila Pi sama dengan nol atau 1, maka nilai (Pi/1-Pi) akan sama dengan nol atau tak terdefinisikan, yang selanjutnya nilai logaritmanya tidak terdefinisikan. Oleh karena itu pendugaan dengan OLS kurang tepat (Pindick dan Rubenfeld, 1981). Dalam penelitian nilai Pi tidak diketahui, yang berarti nilai Zi juga tidak diketahui, maka nilai Zi diduga dengan Yi, yang menyatakan peubah boneka atau bersifat kualitatif yang mencerminkan pilihan di antara dua alternatif pilihan, dimana: Yi = 1, berarti bisa akses/adverse selection/peminjam yang mengalami gagal bayar Yi = 0, berarti peminjam tidak bisa akses/tidak adverse selection/tidak gagal bayar Bentuk fungsi model logit dapat dijelaskan secara lebih ringkas sebagai berikut : Ln (P/1-P) = α + βX + μ ..........................................................(2.15) P adalah nilai peluang dari variabel tak bebas yang nilainya bersifat binner yaitu 0 dan 1. Nilai P didapat dari :
32
P = Prob (Y = 1) = 1/1 + e-(α+β+μ) .........................................(2.16) Nilai harapan (Y/X) dinyatakan dalam peluang didapat dari : E (Y/X) = h (X) = e g(x)/1 + e g (x)..................................................(2.17) Ukuran yang sering digunakan untuk melihat hubungan antara peubah bebas dan peubah tidak bebas dalam model logistik adalah nilai odds ratio. Nilai odds ratio menunjukkan perbandingan peluang Y = 1 dan Y = 0. Nilai ini didapat dari perhitungan eksponensial dari koefisien estimasi (β) atau exp (β). Odds ratio = [P (xi) / 1 - P (xi)] atau exp (β) ..................................(2.18) Untuk melihat kesesuaian model regresi logistik maka digunakan uji rasio likelihood. Nilai ini didapat dengan cara membandingkan nilai G hitung dengan nilai Chi-square. G hitung = 2 {nilai log likelihood–[n1 Ln (n1)+no Ln (no)– n Ln (n)]}…....(2.19) keterangan : G = Nilai rasio likelihood logaritma tanpa variabel tak bebas n1 = Jumlah sampel yang termasuk dalam kategori P (Y = 1) n0 = Jumlah sampel yang termasuk dalam kategori P (Y = 0) n = Jumlah total sampel. Kerangka Berpikir Penelitian Tujuan progam PUAP dibentuk oleh pemerintah adalah untuk mengurangi kemiskinan dan mengurangi jumlah penggangguran. Dimana jumlah penduduk miskin umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Dana program PUAP berasal dari dana APBN, program ini telah digulirkan semenjak tahun 2008, di 33 Provinsi di Indonesia. Program dana hibah dari pemerintah ini mempunyai jangka waktu, artinya terdapat batasan untuk melaksanakan program PUAP ini, sehingga petani tidak dapat terus bergantung pada dana PUAP, karena dana PUAP hanya bertujuan sebagai stimulus agar petani mampu membangun suatu lembaga keuangan. Untuk itu pemerintah merancang untuk didirikannya Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) demi keberlanjutan pembiayaan untuk petani. Di Sumatera Barat sendiri, gubernur telah memberikan perintah untuk mendirikan LKM-A terlebih dahulu demi kelancaran pengelolaan dan PUAP yang akan diterima. LKM-A telah tumbuh di hampir seluruh kabupaten dan kota di Sumatera Barat, termasuk di Kota Padang yang dimulai pada tahun 2009. Setiap kecamatan di Kota Padang akan dipilih sebagai populasinya, dan disetiap kecamatan masingmasing akan dimabil unit sampelnya. LKM-A yang dipilih adalah LKM-A yang menerapkan sistem kredit berkelompok, dimana sesuai dengan tujuan dari bab pendahuluan, akan dilihat apakah terjadi adverse selection dan moral hazard. Dimana tujuan yang akan dibuat dibedakan untuk pengurus dan anggotanya. Model Logit digunakan untuk mengestimasi dampak dari variabel bebas terhadap peluang akses pembiayaan
33
LKM-A ke perbankan, menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan adverse selection dan menganalisis faktor-faktor dalam mengurangi timbulnya masalah, terjadinya salah pilih anggota, dan kegagalan pembayaran. Untuk tujuan kedua, menganalisis terjadinya adverse selection, ketiga variabel independent terbagi atas: (1) Tingkat level risiko, (2) Kecocokan tingkat risiko dengan anggota lainnya dan (3) Variabel lainnya. Untuk tujuan ketiga, menganalisis kegagalan pembayaran yang mengindikasikan terjadinya moral hazard, ketiga varibel independent terbagi atas beberapa kelompok diantaranya: (1) peer monitoring (pengawasan), (2) social ties (ikatan social) dan (3) peer pressure (tekanan). Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, dapat ditarik hipotesis penelitian untuk selanjutnya akan diuji kebenarannya. Adapun hipotesis tersebut adalah: 1. Variabel anggota kelompok mempunyai tabungan di Bank, memiliki sumber pembiayaan lain selain LKM-A, pernah mengajukan kredit, petugas kredit pernah mengunjungi kelompok untuk menawarkan kredit, LKM-A berbadan hukum dan LKM-A mempunyai mitra berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang akses ke perbankan. Sedangkan variabel jarak LKM-A dan asset signikan namun bisa berpengaruh positif atau negatif terhadap peluang akses kredit ke LKM-A. 2. Variabel tingkat risiko yang terdiri dari pendapatan dan umur signikan dan berpengaruh positif atau negatif terhadap timbulnya masalah adverse selection (risiko). Variabel kecocokan tingkat risiko yaitu jarak rata-rata antar anggota, anggota merupakan bagian dari kelompok lain signifikan dan mengalami gagal bayar berpengaruh positif terhadap terjadinya adverse selection, sedangkan variabel-variabel seperti daerah lahir, kenal dengan anggota sebelum kelompok terbentuk, mengetahui penjualan anggota lain, mengunjungi anggota lain dan mempunyai sumber pembiayaan selain LKM-A signifikan dan berpengaruh negatif terhadap terjadinya adverse selection. Variabel yang termasuk dalam kelompok variabel lainnya yaitu tahun berdiri LKM-A, LKM-A dibentuk saat PUAP digulirkan signifikan dan berpengaruh positif terhadap terjadinya adverse selection sedangkan variabel-variabel seleksi anggota, pekerjaan utama sesuai dengan RUB, seleksi melibatkan PMT, dan lama waktu selesksi signifikan dan berpengaruh negatif terhadap terjadinya adverse selection. 3. Variabel karakteristik personal seperti umur, jumlah anggota keluarga, besar kredit, jenis kelamin signifikan dan bisa berpengaruh positif atau negatif terhadap terjadinya kegagalan pembayaran. Variabel peer monitoring yaitu jarak rata-rata antar anggota dan salah guna kredit signifikan dan berpengaruh positif terhadap terjadinya kegagalan pembayaran, sedangkan variabel-variabel mengetahui aktivitas ekonomi, dan saling mengunjungi signifikan dan berpengaruh negatif terhadap terjadinya kegagalan pembayaran. Variabel social ties yaitu sama daerah lahir, kenal dengan anggota dan lama tergabung dalam kelompok signifikan dan berpengaruh negatif terhadap terjadinya kegagalan pembayaran. Variabel peer pressure yaitu sulit menerapkan sangsi signifikan dan berpengaruh positif terhadap terjadinya kegagalan
34
pembayaran, sedangkan variabel siap menekan anggota signifikan dan berpengaruh negatif terhadap timbulnya kegagalan pembayaran. Kerangka Pemikiran Mengurangi Kemiskinan dan Pengganguran
PUAP
Sumber Dana dari APBN
Kecamatan Kelurahan Gapoktan Pengurus dan anggota Gapoktan yang menjadi anggota LKM-A
Sistem Kredit Kelompok (Group Lending)
Pengurus Peluang Group Lending mengakses kredit dari perbankan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jarak LKM-A Asset Tabungan Pengajuan kredit Kunjungan petugas Badan hukum Mitra
Gambar 4
Pengurus dan anggota Adverse Selection
1. Tingkat risiko 2. Kecocokan tingkat risiko 3. Variabel lainnya
Anggota Gagal Bayar 1. Karakterrisik personal 2. Peer monitoring 3. Social ties 4. Peer pressure
= fokus penelitian Kerangka Konseptual peluang Akses Kredit, Adverse Selection dan Moral Hazard pada Skim Kredit LKM-A PUAP di Kota Padang
35
3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Padang, provinsi Sumatera Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, dengan alasan Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi penerima bantuan PUAP yang secara inisiatif sendiri mendirikan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) untuk mengelola dana PUAP, dimana gagasan ini dibuat oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Barat. Kota Padang dipilih secara purposive, karena kota Padang merupakan prototype pelaksanaan PUAP di Sumatera Barat dan memiliki akses ke lembaga perbankan karena jarak yang dekat.Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2013. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan informan kunci dari pengurus LKM-A PUAP, dan anggota LKM-A PUAP. Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Data sekunder diperoleh dari dokumentasi LKM-A PUAP dan instansi yang terkait, seperti Dinas Pertanian, Sekretariat PUAP, Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, dan BPS. Metode Pengambilan Sampel Jumlah LKM-A di Kota Padang sampai dengan Februari 2013 berjumlah 48 LKM-A, namun hanya 35 LKM-A yang telah menerima dana PUAP. Maka populasi dalam penelitian ini adalah seluruh LKM-A pengelola dana bergulir PUAP di Kota Padang yang menerima bantuan dana PUAP tahun 2009 sampai dengan 2012 dengan jumlah populasi sebanyak 35 LKM-A yang tersebar di 9 kecamatan. Pengambilan sampel menggunakan teknik cluster sampling. Pada penelitian ini klaster yang dimaksud adalah tingkat kecamatan. Pada masingmasing kecamatan diambil sampel secara purposive dengan melihat nilai Non Perfoming Loan dari LKM-A tersebut. Pada masing-masing LKM-A diambil sampel pengurus sebanyak 3 orang dan anggota kelompok sebanyak 3 orang. Untuk menjawab tujuan 1 sampel yang digunakan adalah pengurus LKMA, untuk tujuan 2 sampel yang digunakan adalah pengurus LKM-A dan 3 anggota kelompok tani di masing-masing Gapoktan pada LKM-A sampel. Sedangkan, untuk tujuan ketiga sampel yang digunakan adalah 3 anggota kelompok tani yang tergabung dalam LKM-A tersebut. Jumlah populasi LKM-A sebanyak 35 LKM-A dan sampel pada penelitian ini adalah 50% dari jumlah populasi, yaitu sebanyak 18 LKM-A, secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.
36
Tabel 2. Populasi dan Sampel Penelitian NO
KECAMATAN
1
Koto Tangah
2
3
4
5
6
7
Lubuk Kilangan
Pauh
Kuranji
Nanggalo
Lubuk Begalung
Bungus Teluk Kabung
GAPOKTAN
TAHUN
KELURAHAN
NPL (%)
SAMPEL
Agrofloris
2009
Lubuk Minturun
Jaya Bersama
2009
Batipuah Panjang
Ceno Pulai
2009
Koto Pulai
Fajar Mahkota
2009
Koto Panjang Ikua Koto
61.61
Mutiara Sejati
2011
Air Pacah
39.22
Karya Bersama
2010
Sungai Bangek
82.19
Batu Gadang Bersama
2009
Batu Gadang
Indarung Sepakat
2010
Indarung
Jaya Saiyo
2011
Bandar Buat
Harapan Bersama
2009
Limau Manis
62.70
Cupak Sepakat
2009
Cupak Tangah
100.00
Kapalo Koto Bersama
2009
Kapalo Koto
Minang Sakato
2009
Lambuang Bukik
Pisang Sakato
2009
Pisang
84.16
Bukit Rindang Lestari
2010
69.64
Binuang Abadi
2011
Ambacang Sakato
2009
Limau Manih Selatan Binuang Kampung Dalam Pasar Ambacang
Sarik Sati
2009
Gunuang Sariek
Harapan Bundo
2009
Lubuk Lintah
29.08
Sejahtera
2009
Kalumbuak
21.60
Sungai Sapieh Jaya
2009
Sungai Sapeh
Anduring
2011
Anduring
Makmur
2011
Korong Gadang
36.07
Harapan Jaya
2009
Gurun Lawas
65.69
Harapan Jaya
Sepakat
2009
Kurao Pagang
18.80
Sepakat
Sarumpun Boneh
2009
Surao Gadang
54.62
Gunung Kacik Jaya
2010
Kampung Olo
Tigo Sarumpun
2009
Pengambiran Ampalu
Tunas Muda
2010
Kampong Jua
30.91
Pampangan Saiyo
2011
Pampangan
13.79
Sejahtera
2010
Bungus Timur
32.08
Aia Tajun
2011
Teluk Kabung Utara
1.37
Maju jaya
2012
Teluk Kabung Tengah
1.09
Maju jaya
Jaruai
2012
Bungus Barat
0.00
Jaruai
8
Padang Timur
Pakim Sakato
2010
9
Padang Utara
Aneka Usaha
2010
Kubu Dalam Parak Karakah Alai Parak Kopi
79.75
Agrofloris
40.19
Jaya Bersama
100.00
15.84
Ceno Pulai Fajar Mahkota
Batu Gadang Bersama
100.00 1,74
40.68 100.00
Jaya Saiyo
Kapalo Koto Bersama Minang Sakato
24.62 92.78
Ambacang Sakato
0.00
100.00 0.00
Anduring
91.65 100.00
Tigo Sarumpun
Sejahtera
81.42
Pakim Sakato
8.52
Aneka Usaha
37
Analisis Data Analisis peluang akses kredit ke perbankan secara group lending Untuk menjawab tujuan 1, sampel yang ditanya adalah pengurus LKM-A, Variabel-variabel yang digunakan untuk menduga peluang akses ke perbankan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Variabel yang menunjukkan akses peluang akses kredit LKM-A PUAP Variabel-variabel α Pi = Peluang akses ke perbankan SISI PEMINJAM (LKM-A) X1 = Jarak LKM-A PUAP dari Kantor Cabang Bank terdekat (meter) X2 = Jumlah Asset yang dimiliki (Rp) X3 = Dummy Anggota kelompok mempunyai tabungan di Bank X4 = Dummy Anggota kelompok memiliki sumber pembiayaan selain LKM-A PUAP X5 = Dummy kelompok pernah mengajukan kredit secara berkelompok ke Bank sebelum mendapatkan PUAP X6 = Dummy petugas kredit pernah mengunjungi kelompok untuk menawarkan kredit X7 = LKM-A telah berbadan hukum X8 = LKM-A telah memiliki kemitraan
Pi = 1, Pi = 0,
Konstanta jika bisa akses ke perbankan jika tidak bisa akses ke perbankan
Tanda yang diharapkan P (1)
+/+/= 1, = 0,
Jika mempunyai tabungan Jika tidak mempunyai tabungan
+
= 1, = 0,
Jika mempunyai sumber kredit lain Jika tidak ada sumber kredit lain
+
= 1, = 0,
Jika pernah Jika tidak pernah
+
= 1, = 0,
Jika pernah Jika tidak pernah
+
=1, =0, =1, =0,
Jika telah berbadan hukum Jika tidak/belum berbadan hukum Jika telah memiliki mitra Jika tidak memiliki mitra
+ +
Untuk melihat peluang akses kredit LKM-A PUAP ke lembaga perbankan digunakan analisis dengan menggunakan model regresi logit yang dapat ditulis sebagai berikut: Pi = F (Zi)……………………………………………….……………………...(3.1) P = P =
1 1+
+
β
+
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (3.2)
… … … … … … … … … … … … … … … … . … … … … … … … … … … … (3.3)
38
sehingga: P =
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (3.4)
Y = α + β1X1 + β2X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7+ β8X8 …………………..(3.5) Analisis Adverse Selection pada Skim Kredit LKM-A PUAP Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan menggunakan model logit. Model logit digunakan untuk mengestimasi dampak dari variabel bebas dalam mendeteksi terjadinya salah pilih anggota (adverse selection) melalui pendekatan risiko yang terjadi pada LKM-A. Risiko yang dimaksud adalah tingkat level risiko dari masing-masing anggota kelompok dan bagaimana hubungannya dengan tingkat risiko anggota yang lain dalam kelompok tersebut. Dikatakan berisiko jika dalam 1 kelompok terindikasi terdiri atas anggota yang aman dan anggota yang berisiko mengalami gagal bayar (tidak aman), sedangkan kelompok yang tidak berisiko adalah semua anggota kelompok berada pada tingkat risiko yang sama, seperti anggota kelompok yang aman dipasangkan dengan anggota kelompok yang aman pula. Variabel-variabel independen yang digunakan terdiri atas 3 kelompok: 1. Tingkat level risiko 2. Kecocokan tingkat risiko dengan anggota lainnya 3. Variabel lainnya yang terkait dengan proses seleksi Untuk mengetahui terjadinya adverse selection digunakan analisis dengan menggunakan model regresi logit yang dapat ditulis sebagai berikut: Pi = F (Zi)……………………………………………….……………………...(3.6) P = P =
1 1+
sehingga: P =
1+
+
β
+
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (3.7)
… … … … … … … … … … … … … … … … . … … … … … … … … … … … (3.8) 1
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (3.9)
Y = α +β X1 +β2X2 +….+ β5X5 + β6X6 + β7X7 +……..+β16X16 …………….……(3.10) Untuk menjawab tujuan 2, sampel yang ditanya adalah pengurus LKM-A dan anggota kelompok.Variabel-variabel yang digunakan untuk menduga terjadinya adverse selection secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.
39
Tabel 4. Variabel yang menunjukkan terjadinya Adverse Selection melalui pendekatan risiko anggota kelompok Variabel-variabel α Pi = Risiko kelompok TINGKAT RISIKO X1 = Pendapatan perbulan X2 = Umur KECOCOKAN TINGKAT RISIKO X3 = Jarak rata-rata antara angoota kelompok (meter) X4 = Jumlah anggota kelompok X5 = Dummy angota kelompok lahir di daerah yang sama dengan daerah penelitian
Pi = 1, Pi = 0,
+/+/+ = 1, = 0,
= 1, = 0, = 1, = 0,
Jika lahir didaerah yang sama Jika tidak lahir di daerah yang sama Jika mengenal anggota lainnya Jika tidak mengenal anggota lainnya jika mengetahui penjualan bulanan jika tidak mengetahui penjualan bulanan Jika saling mengunjungi secara teratur Jika idak mengunjungi secara teratur Jika iya Jika tidak Jika iya Jika tidak
= 1, = 0, = 1, = 0, = 1, = 0, = 1, = 0, = 1, = 0,
Jika iya Jika tidak Jika iya Jika tidak Jika iya Jika tidak Jika melibatkan PMT Jika tidak melibatkan 1-3 minggu >3 minggu
X6 =
Dummy mengenal anggota kelompok sebelum kelompok dibentuk
= 1, = 0,
X7 =
Dummy mengetahui penjualan bulanan anggota kelompok lainnya
= 1,
Dummy saling mengunjungi secara teratur anggota kelompok lainnya
= 1,
X8 =
Dummy mengalami masalah gagal bayar pada periode kredit saat ini X10 = Dummy mempunyai sumber kredit selain LKM-A VARIABEL LAINNYA X11 = Tahun kelompok berdiri X12 = Dummy kelompok dibentuk pada saat PUAP akan digulirkan X13 = Dummy dilakukan screening (seleksi ) sebelum pembentukan kelompok X14 = Dummy pekerjaan utama (apakah sesuai dengan RUB) X15 = Dummy melibatkan Penyelia Mitra Tani sebagai pendamping pembentukan LKM-A X16 = Dummy Lama waktu seleksi anggota X9 =
Tanda yang diharapkan Konstanta jika kelompok berisiko P(1) jika kelompok tidak berisiko
= 0,
= 0,
+/-
-
+ +/+ -
Analisis Faktor Moral Hazard pada LKM-A PUAP Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan menggunakan model logit. Model Logit digunakan untuk mengestimasi dampak dari variabel bebas dalam mengurangi timbulnya masalah moral hazard di proxikan melalui kegagalan pembayaran. Variabel independen terbagi atas beberapa kelompok diantaranya: 1. peer monitoring (pengawasan) 2. social ties (ikatan social) 3. peer pressure (tekanan)
40
Untuk mengetahui kegagalan pembayaran digunakan analisis dengan menggunakan model regresi logit yang dapat ditulis sebagai berikut: Pi = F (Zi)……………………………………………….………………..(3.11) P =
1 1+ sehingga: P = P =
+
β
+
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (3.12)
… … … … … … … … … … … … … … … … . … … … … … … … … … . . (3.13)
1+
1
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … (3.14)
Y = α +β X1 +β2X2 +….+ β5X5 + β6X6 + β7X7 +……..+β12X12 ...………………(3.15)
Untuk menjawab tujuan 3, sampel yang ditanya adalah anggota kelompok. Variabel-variabel yang digunakan untuk menduga terjadinya moral hazard yang diproxikan melalui kegagalan pembayaran secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Variabel yang menunjukkan Analisis Kegagalan Pembayaran Variabel-variabel α Pi = Pengembalian kredit KARAKTERISTIK PERSONAL X1 = Umur dari ketua/anggota kelompok (tahun) X2 = Jumlah anggota keluarga (orang) X3 =
Besar Kredit yang dipinjam (Rp)
X4 =
Jenis Kelamin
PEER-MONITORING = PENGAWASAN X5 = Jarak rata-rata antara angoota kelompok (meter) X6 = Dummy anggota kelompok mengetahui aktivitas ekonomi anggota kelompok yang lain X7 =
Dummy anggota kelompok saling mengunjungi secara teratur anggota kelompok lainnya
Dummy kelompok mengetahui anggota kelompok yang menyalahgunakan dana kredit SOCIAL TIES = IKATAN SOSIAL X9 = Dummy angota kelompok lahir di daerah yang sama dengan daerah penelitian X10 = Dummy lama anggota kelompok tergabung dalam kelompok taninya (tahun) X8 =
Tanda yang diharapkan Konstanta Pi = 1, jika ada gagal bayar P Pi = 0, jika tidak ada gagal bayar (1)
= 1, = 0,
Jika anggota kelompok laki-laki Jika anggota kelompok perempuan
+/ +/ +/ +/ +
= 1,
-
= 1, = 0,
Jika mengetahui aktivitas ekonomi anggota lain Jika tidak mengetahui aktivitas ekonomi anggota Jika saling mengunjungi secara teratur Jika idak mengunjungi secara teratur Jika tahu Jika idak tahu
= 1, = 0, = 1, = 0,
Jika lahir didaerah yang sama Jika tidak lahir di daerah yang sama Jika 1-2 tahun Jika >2 tahun
-
= 0, = 1, = 0,
-
-
-
41
PEER PRESURE = TEKANAN X11 = Dummy Jika anggota kelompok siap untuk menekan anggota lain untuk membayar kembali pinjamannya X12 = Dummy Jika anggota kelompok sulit menerapkan sangsi untuk yang lainnya
= 1, = 0, = 1, = 0,
Jika siap menekan anggota lainnya Jika tidak siap menekan anggota lainnya Jika sulit menerapkan sangsi Jika tidak sulit menerapkan sangsi
+
Ukuran yang digunakan untuk melihat hubungan antara peubah bebas dan peubah tidak bebas dalam model logistic adalah nilai odds ratio. Nilai odds ratio menunjukkan perbandiangan peluang Pi = 1 dan Pi = 0. Nilai ini didapat dari perhitungan eksponensial dari koefisiien estimasi (β) atau exp (β). Odds Ratio =
P (x ) … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . (3.16) 1− ( )
Untuk melihat kesesuaian model regresi logistic maka digunakan uji rasio likelihood. Nilai ini didapat dengan membangdingkan nilai G hitung dengan chisquare. G hitung = 2{ nilai log likelihood – [n1 Ln (n1)+ n0 Ln (n0)- n Ln (n)]}…(.3.17) dimana: G = nilai rasio likelihood logaritma tanpa variabel tak bebas n1 = jumlah sampel yang termasuk dalam kategori mendapatkan akses kredit ke perbankan, terjadi adverse selection dan terjadi gagal bayar n0 = jumlah sampel yang termasuk dalam kategori tidak mendapatkan akses ke perbankan, , tidak terjadi adverse selection dan tidak terjadi gagal bayar n = jumlah total sampel Definisi Operasional 1. Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) merupakan lembaga yang didirikan untuk mengelola pendanaan PUAP. 2. Anggota kelompok mempunyai tabungan di Bank adalah punya tabungan pribadi di Bank seeperti Bank BRI, BNI, Mandiri, Bank Nagari, dan lainlain. 3. Anggota kelompok memiliki sumber pembiayaan selain LKM-A PUAP adalah meminjam kredit dari lembaga lain baik informal maupun formal. 4. Jumlah kredit yang tidak dibayarkan kembali oleh kelompok adalah jumlah tunggakan yang tidak dibayarkan setelah jatuh tempo waktu angsuran, yang dihitung dalam satuan rupiah pada periode pertama. 5. Jarak LKM-A PUAP dari Kantor Cabang Bank terdekat (meter) adalah jarak LKM-A dengan sumber pembiayaan formal. 6. Jumlah Asset yang dimiliki (Rp) adalah akumulasi dari modal dan keuntungan selama LKM-A berdiri dan sampai dengan waktu penelitian dilakukan, yang dihitung dalam satuan rupiah. 7. LKM-A pernah mengajukan kredit secara berkelompok ke Bank adalah LKM-A pernah meminta pemberian kredit secara berkelompok kepada sumber pembiayaan formal.
42
8. LKM-A telah berbadan hukum adalah LKM-A telah sah secara hukum yang dibuktikan dengan akta notaris. 9. LKM-A telah memiliki kemitraan adalah LKM-A telah menjalin kemitraan dengan perusahaan swasta maupun pemerintah yang relevan dengan usaha yang dijalankan oleh LKM-A. 10. Pekerjaan utama adalah pekerjaan yang memberikan kontribusi pendapatan terbesar. 11. Kelompok dibentuk pada saat PUAP akan digulirkan adalah tujuan pendirian kelompok dasarnya untuk mendapatkan dana PUAP. 12. Tingkat status pendidikan tim penyeleksi anggota kelompok adalah lama tahun tim penyeleksi menjalani pendidikan formal, yang diakumulasikan, dihitung dalam tahun. 13. Tim penyeleksi sudah mengenal anggota yang akan diseleksi sebelum waktu penyeleksian dalah tim penyeleksi sudah mengenal dengan baik karakter anggota kelompok sebelum waktu seleksi dilakukan. 14. Melibatkan Penyelia Mitra Tani (PMT) sebagai pendamping pembentukan LKM-A adalah mengundang PMT untuk ikut berpartisipasi maupun mengawasi jalannya pembentukan LKM-A. 15. Lama waktu seleksi anggota adalah jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyeleksi anggota LKM-A pada saat pembentukan awal LKM-A, yang dihitung dalam satuan minggu. 16. Umur Ketua/anggota adalah usia petani pada saat penelitian dan diukur dengan tahun 17. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah tanggungan keluarga masingmasing anggota. 18. Besar kredit yang dipinjam adalah jumlah kredit PUAP yang dipinjam oleh anggota kelompok tani dari LKM-A untuk dialokasikan pada usaha on farm (tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan) dan off farm yang dihitung dalam satuan rupiah. 19. Latar belakang pendidikan adalah hitungan tahun dalam menjalani pendidikan sampai pada saat penelitian berlangsung. 20. Jarak rata-rata antara anggota kelompok adalah jarak tempat tinggal antar anggota pada 1 kelompok yang sama yang dihitung dalam meter. 21. Anggota kelompok mengetahui aktivitas ekonomi anggota kelompok lain adalah anggota kelompok mengetahui pekerjaan apa saja yang dilakukan oleh anggota kelompok yang lain, masih dalam 1 kelompok tani. 22. Anggota kelompok mengetahui penjualan bulanan anggota kelompok lain adalah anggota kelompok masing-masing mengetahui pendapatan anggota kelompok yang lain, masih dalam 1 kelompok tani. 23. Anggota kelompok saling mengunjungi secara teratur anggota kelompok lainnya adalah anggota kelompok selalu berinteraksi secara rutin dengan anggota kelompok lainnya baik dalam jangka waktu harian, mingguan atau bulanan. 24. Anggota kelompok lahir didaerah yang sama dengan daerah penelitian adalah anggota kelompok lahir di kecamatan atau kelurahan yang dijadikan sampel penelitian.
43
25. Mengenal anggota kelompok sebelum kelompok dibentuk adalah anggota kelompok telah mengenal sebelum tergabung dalam kelompok tani di LKM-A. 26. Lama anggota kelompok tergabung dalam kelompoknya pada LKM-A adalah lama menjadi anggota yang diukur dalam satuan tahun. 27. Anggota kelompok siap menekan anggota lain untuk membayar kembali angsurannya adalah ada kepedulian untuk memberikan peringatan kepada anggota kelompok yang terancam mengalami kegagalan pembayaran 28. Anggota kelompok sulit menerapkan sangsi adalah ketika terjadi kegagalan pembayaran anggota kelompok lain akan kesulitan atau mudah untuk menetapkan sangsi, baik sangsi materi maupun sosial.
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan Geografis Kota Padang adalah ibukota Provinsi Sumatera Barat yang terletak di pantai barat pulau Sumatera dan berada antara 0° 44´ 00´´ dan 1°08́ 35´´ Lintang Selatan serta antara 100°05´05´´ dan 100°34´09´´ Bujur Timur. Menurut PP No.17 Tahun 1980, luas Kota Padang adalah 694.96 km2 atau setara dengan 1.65 persen dari luas Propinsi Sumatera Barat. Kota Padang terdiri dari 11 kecamatan dan 193 kelurahan. Dengan dicanangkannya pelaksanaan otonomi daerah, sejak tanggal 1 Januari 2001 maka wilayah administratif Kota Padang dibagi dalam 11 kecamatan dan 103 Kelurahan. Dengan keluarnya Peraturan Daerah Kota Padang nomor 16 Tahun 2004 tentang pembentukan Organisasi Kelurahan, maka jumlah kelurahan di Kota Padang menjadi 104 kelurahan. Kecamatan terluas adalah Koto Tangah yang mencapai 232.25 km2. Dari keseluruhan luas Kota Padang sebagian besar atau 51.01 persen berupa hutan yang dilindungi oleh pemerintah. Luas bangunan dan pekarangan tercatat 51.08 km2 atau 7.35 persen. Selain daratan pulau Sumatera, Kota Padang memiliki 19 pulau dimana yang terbesar adalah Pulau Bintangur seluas 56,78 ha, kemudian pulau Sikuai di Kecamatan Bungus Teluk Kabung seluas 48,12 ha dan Pulau Toran di Kecamatan Padang Selatan seluas 33,67 ha. Pada tahun 2011, penduduk Kota Padang mencapai 847,567 jiwa, naik sejumlah 14,005 jiwa dari tahun sebelumnya. Dengan demikian kepadatannya pun bertambah dari 1,199 jiwa/km2 menjadi 1,220 jiwa/km2. Kecamatan terbanyak jumlah penduduknya adalah Koto Tangah dengan 166,148 jiwa, tetapi karena wilayahnya paling luas hingga mencapai 33 persen dari luas Kota Padang maka kepadatan penduduknya termasuk rendah yaitu 715 jiwa/km2. Kecamatan yang paling kecil jumlah penduduknya (23,218 jiwa) dan sekaligus paling rendah kepadatannya (230 jiwa/km2 ) adalah Bungus Teluk Kabung. Kecamatan lain yang juga jarang penduduknya adalah Kecamatan Pauh yaitu 417 jiwa/km2 dan Lubuk Kilangan yaitu 580 jiwa/ km2. Kota Padang terdiri dari 11 kecamatan dan 104 kelurahan. Kecamatan tersebut antara lain kecamatan Koto Tangah, kecamatan Padang Timur, kecamatan Padang Barat, kecamatan Padang Utara, kecamatan Padang Selatan,
44
kecamatan Pauh, kecamatan Kuranji, kecamatan Bungus Teluk Kabung, kecamatan Lubuk Kilangan, kecamatan Lubuk Begalung dan kecamatan Nanggalo. Keadaan Pertanian Produksi pertanian di Kota Padang masih di dominasi tanaman padi sawah. Dimana pada tahun 2010 produksi padi sawah di kota Padang mencapai 77,084 ton, namun pada tahun 2011 mengalami penurunan 3.26 persen atau menjadi 74,566 ton. Produksi Tanaman Palawija di kota Padang selama tahun 2011 sebanyak 6,643.06 ton. Dimana jenis tanaman ubi kayu merupakan penyumbang terbesar dalam tanaman palawija. Hasil penangkapan ikan pada tahun 2011 mengalami peningkatan, yaitu dari 16,473.2 ton menjadi 18,098.1 ton. Jenis ikan terbanyak yang ditangkap adalah Cakalang yaitu sebesar 28.59 persen (5,176 ton). Selama tahun 2011 populasi ternak mengalami penurunan begitu pula dengan pemotongan ternak. Populasi unggas selama tahun 2011 masih didominasi oleh ayam ras pedaging yaitu sebesar 77 persen (4,421,750 ekor). Deskripsi Gapoktan Contoh Kecamatan yang ada di kota Padang sebanyak 11 kecamatan, pada penelitian ini yang dipilih adalah 9 kecamatan yaitu kecamatan Koto Tangah, kecamatan Padang Timur, kecamatan Padang Utara, kecamatan Pauh, kecamatan Kuranji, kecamatan Bungus Teluk Kabung, kecamatan Lubuk Kilangan, kecamatan Lubuk Begalung dan kecamatan Nanggalo. Pada Tabel 6 jumlah LKM-A PUAP terbanyak pada kecamatan Pauh, Kuranji dan Koto Tangah. Hal ini karena kecamatan tersebut merupakan daerah sentra pertanian. Tabel 6 Demografi 9 kecamatan sampel penelitian di Kota Padang tahun 2012 N o
Kecamatan
Jumlah Kelurahan
Luas Daerah (km2) 1 Koto Tangah 24 232.25 2 Padang Timur 27 8.15 3 Padang Utara 18 8.08 4 Pauh 13 146.29 5 Kuranji 9 57.41 6 Bungus Teluk Kabung 13 100.78 7 Lubuk Kilangan 7 85.99 8 Lubuk Begalung 21 30.91 9 Nanggalo 7 8.07 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Padang, 2012
Jumlah Jumlah Penduduk LKM-A PUAP (jiwa) Populasi Sampel 165,633 6 4 77,932 1 1 69,275 1 1 60,553 7 2 128,835 7 2 23,142 4 3 49,751 3 2 108,018 3 1 69,275 4 2
Program PUAP di Kota Padang telah berjalan dari tahun 2009-2013, namun pencairan dana PUAP ke LKM-A baru berjalan sampai dengan tahun 2012 namun di tahun 2012 hanya LKM-A yang berada di Bungus Teluk Kabung saja
45
yang mendapat pencairan, sehingga evaluasi hanya bisa dilakukan sampai dengan tahun tersebut, dengan jumlah sampe sebanyak 18 LKM-A. Sebaran LKM-A sampel pertahun menurut kecamatan, ditunjukkan pada Tabel 7 berikut ini: Tabel 7 Sebaran gapoktan sampel menurut kecamatan di Kota Padang No
Kecamatan
Kelurahan
Gapoktan/LKM-A
Tahun
1
Koto Tangah
Agrofloris Jaya Bersama Ceno Pulai Fajar Mahkota
2009 2009 2009 2009
2
Padang Timur
Pakim Sakato
2010
3 4
Padang Utara Pauh
5
Kuranji
6
Bungus Teluk Kabung
Lubuk Minturun Batipuah Panjang Koto Pulai Koto Panjang Ikua Koto Kubu Dalam Parak Karakah Alai Parak Kopi Kapalo Koto Lambuang Bukik Pasar Ambacang Anduring Bungus Timur
Aneka Usaha Kapalo Koto Bersama Minang Sakato Ambacang Sakato Anduring Sejahtera
2010 2009 2009 2009 2011 2010
Bungus Barat Teluk Kabung Tengah Batu Gadang Bandar Buat Pengambiran Ampalu Gurun Lawas Kurao Pagang
Jaruai Maju jaya
2012 2012
Batu Gadang Bersama Jaya Saiyo Tigo Sarumpun Harapan Jaya Sepakat
2009 2011 2009 2009 2009
7
Lubuk Kilangan
8 9
Lubuk Begalung Nanggalo
Deskripsi LKM-A contoh yang tersebar di beberapa kecamatan secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Data profil LKM-A sampel di Kota Padang No 1
2
Uraian Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan
Satuan Agrofloris 97 11 Lubuk Minturun Koto Tangah
Jaya Bersama 130 8 Batipuah Panjang Koto Tangah
Rp. 100,000,000 Rp. 5,000,000 1.5 % Rp. 20,000 Rp. 5,000
46
No
3
4
5
6
7
Uraian Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib
Satuan
Ceno Pulai 59 6 Koto Pulai Koto Tangah
Fajar Mahkota 45 8 Koto Panjang Ikua Koto Koto Tangah
Rp. 100,000,000 Rp. 4,000,000 1% Rp. 20,000 Rp. 5,000
Rp. 100,000,000 Rp. 4,000,000 1.5 % Rp. 20,000 Rp. 5,000
Rp. 100,000,000 Rp. 4,000,000 1% Rp. 50,000 Rp. 5,000
Pakim Sakato 62 6 Kubu Dalam Parak Kerakah Padang Timur Rp. 100,000,000 Rp. 4,000,000 1% Rp. 20,000 Rp. 5,000 Aneka Usaha 72 5 Alai Parak Kopi Padang Utara Rp. 100,000,000 Rp. 4,000,000 1% Rp. 20,000 Rp. 5,000 Kapalo Koto Bersama 112 3 Kapalo Koto Pauh Rp. 100,000,000 Rp. 4,000000 1.5 % Rp. 20,000 Rp. 5,000
47
No 8
9
10
11
12
13
Uraian Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal
Satuan Minang Sakato 104 5 Lambung bukit Pauh
Ambacang Sakato 65 9 Pasar Ambacang Kuranji
Anduring 103 3 Anduring Kuranji
Sejahtera 106 6 Bungus Timur Bungus Teluk Kabung
Jaruai 120 4 Bungus Barat Bungus Teluk Kabung
Maju Jaya 63 2 Teluk Kabung Tengah Bungus Teluk Kabung
Rp. 100,000,000 Rp. 4,000,000 1% Rp. 20,000 Rp. 5,000
Rp. 100,000,000 Rp. 4,000,000 1,5 % Rp. 20,000 Rp. 5,000
Rp. 100,000,000 Rp. 4,000,000 2% Rp. 20,000 Rp. 5,000
Rp. 100,000,000 Rp. 3,00,.000 1% Rp. 10,000 Rp. 5,000
Rp. 100,000,000 Rp. 4,000,000 1% Rp. 15,000 Rp. 5,000
Rp. 100,000,000 Rp. 3,000,000
48
14
15
16
17
18
Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib Nama LKM-A Jumlah anggota LKM-A Jumlah kelompok yang tergabung Kelurahan Kecamatan Dana PUAP Besar pinjaman maksimal Bunga pinjaman Besar simpanan pokok Besar simpanan wajib
Batu Gadang Bersama 180 6 Batu Gadang Lubuk Kilangan
Jaya Saiyo 180 6 Batu Gadang Lubuk Kilangan
Tigo Sarumpun 100 6 Pengambiran Ampalu Lubuk Begalung
Harapan Jaya 60 3 Gurun Lawas Nanggalo
Sepakat 110 6 Kurao Pagang Nanggalo
Rp. Rp.
1% 20,000 5,000
Rp. 100,000,000 Rp. 3,000,000 1% Rp. 10,000 Rp. 5,000
Rp. 100,000,000 Rp. 3,000,000 1% Rp. 10,000 Rp. 5,000
Rp. 100,000,000 Rp. 3,000,000 1% Rp. 20,000 Rp. 5,000
Rp. 100,000,000 Rp. 3,000,000 1% Rp. 20,000 Rp. 5,000
Rp. 100,000,000 Rp. 6,000,000 1% Rp. 100,000 Rp. 5,000
Dari keseluruhan LKM-A masing-masingnya baru mendapatkan dana PUAP sebanyak satu kali dengan jumlah Rp. 100,000,000,- dengan besar pinjaman maksimal yang bisa diberikan kepada anggota berkisar antara Rp.
49
3,000,000,- sampai dengan Rp. 6,000,000,- . Penetapan bunga pinjaman berkisar antara 1-2 persen. Besar simpanan pokok juga beragam dimasing-masing LKMA, mulai dari Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 100,000,- tergantung pada kebijakan yang ada pada masing-masing LKM-A. namun, simpanan wajib sama di setiap LKM-A yaitu sebesar Rp. 5,000,- perbulan.
5 ANALISIS SOSIAL EKONOMI RESPONDEN Karakteristik Demografi Responden Penerima Program PUAP Jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 108 responden, responden ini yang mendapatkan dana PUAP dari tahun 2009 sampai 2011. Untuk tujuan 1 digunakan 54 responden yang terdiri dari pengurus LKM-A, tujuan 3 digunakan 54 responden yang terdiri dari anggota LKM-A dan untuk tujuan 3 digunakan 108 responden yang terdiri dari pengurus dan anggota LKM-A. LKM-A yang dijadikan sampel tersebar di 9 kecamatan di Kota Padang. Dimana untuk kecamatan Koto Tangah terdapat 24 responden, kecamatan Padang Timur 6 responden, kecamatan Padang Utara 6 responden, kecamatan Pauh 12 responden, kecamatan Kuranji 12 responden, kecamatan Bungus Teluk Kabung 18 responden, kecamatan Lubuk Kilangan 12 responden, kecamatan Lubuk Begalung 6 responden dan kecamatan Nanggalo 12 responden. Jenis Kelamin Responden Responden dana program PUAP lebih banyak yang berjenis kelamin lakilaki. Dari 108 responden 55 orang berjenis kelamin laki-laki atau setara dengan 51 persen dan 53 orang berjenis kelamin perempuan atau setara dengan 49 persen. Hal ini menunjukkan bahwa yang banyak mengajukan program PUAP adalah laki-laki, karena laki-laki lebih berani untuk mengambil risiko dan bertanggung jawab atas uang yang akan dipinjamkan. Jenis Kelamin
49%
Laki-laki 51%
Gambar 5 Jenis Kelamin Responden
Perempuan
50
Usia Responden Gambar 6. menunjukkan bahwa usia responden penerima dana program PUAP yang paling banyak berada pada usia 40-49 tahun sebanyak 36 orang atau 33 persen, selanjutnya sebanyak 30 orang atau 27 persen berada di usia 50-59 tahun. Responden dengan umur 30-39 tahun sebanyak 21 orang atau 19 persen. Sedangkan yang paling sedikit yaitu usia >60 tahun ke atas, sebanyak 12 orang atau 11 persen. Hal ini disebabkan karena yang berusia muda banyak yang bekerja pada sektor jasa dan belum tertarik untuk bekerja pada sektor pertanian.
Jumlah (orang)
Usia (Tahun) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Usia (tahun)
20-29 9
30-39 21
40-49 36
50-59 30
60 ke atas 12
Gambar 6 Usia Responden
Tingkat Pendidikan Responden Gambar 7 menunjukkan bahwa responden penerima dana PUAP berpendidikan selama 9-12 tahun atau setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan jumlah terbanyak yaitu 55 orang atau sebanyak 51 persen. Lama Pendidikan 6-9 tahun yaitu setara Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 27 orang atau 25 persen, dan lama pendidikan lebih dari 12 tahun setara dengan Perguruan Tinggi sebanyak 17 orang atau setara dengan 16 persen. Sedangkan responden dengan lama pendidikan 1-6 tahun setara Sekolah Dasar (SD) sebanyak 9 orang atau 8 persen.
Jumlah (orang)
Lama Pendidikan 60 50 40 30 20 10 0 Pendidikan
1-6 tahun
6-9 tahun
9-12 tahun
9
27
55
Gambar 7 Tingkat Pendididkan Responden
lebih dari 12 tahun 17
51
Hal ini mengindikasikan rata-rata penerima dana PUAP kebanyakan telah berpendidikan wajib, dan dari pengamatan di lapangan kebanyakan dari pengurus LKM-A adalah orang-orang yang berpendidikan 9-12 tahun (SMA) dan lebih dari 12 tahun (Perguruan Tinggi) dengan demikian manajemen LKM-A yang lebih baik seharusnya bisa diterapkan untuk menggunakan dana PUAP secara bertanggung jawab dan tepat sasaran. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden Gambar 8 menunjukkan, jumlah tanggungan keluarga dari responden yang paling banyak berkisar antara 4-6 orang yaitu sebanyak 54 responden atau 50 persen. Selanjutnya untuk tanggungan 0-3 orang sebanyak 43 orang atau 40 persen, dan untuk tanggungan keluarga lebih dari 7 orang sebanyak 11 orang responden atau 10 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa peminjam dana PUAP memiliki tanggungan keluarga yang cukup banyak sekitar 4-6 orang. Jumlah Tanggungan Keluarga
Jumlah (orang)
60 50 40 30 20 10 0 Tanggungan Keluarga
0-3 org
4-6 org
43
54
lebih dari 7 org 11
Gambar 8 Jumlah Tanggungan Keluarga Responden
Pekerjaan Utama Responden Gambar 9 dibawah menunjukkan bahwa pekerjaan utama responden yang terbanyak adalah petani dengan jumlah 58 orang atau 54 persen. Wiraswasta sebanyak 18 orang atau 17 persen, pedagang sebanyak 11 orang atau 10 persen, PNS sebanyak 10 orang atau 9 persen dan lainnya sebanyak 11 orang atau 10 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa program PUAP telah dimanfaatkan oleh petani yang memang merupakan sasaran dari program PUAP. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sebagian besar responden yang pekerjaan utamanya petani hanya menjadi anggota LKM-A saja, dan hanya sebagian kecil adalah pengurus LKM-A. Responden yang pekerjaan utamanya adalah PNS dan wiraswasta umumnya adalah pengurus dari LKM-A, artinya tujuan akhir dari pembentukan LKM-A ini sebagai lembaga yang dikelola sendiri oleh petani, belum terwujud dengan baik, karena sistem manajemennya masih dipegang oleh orang-orang yang bukan dari kalangan petani. Hal ini disebabkan oleh lemahnya
52
kemampuan manajemen yang dimiliki oleh petani sehingga belum mampu secara mandiri mengelola LKM-A PUAP yang telah didirikan. Pekerjaan Utama 10% Petani
17%
PNS Pedagang
54%
Wiraswasta
10%
Lainnya 9%
Gambar 9 Pekerjaan Utama Responden
Karakteristik Variabel-Variabel Jarak LKM-A PUAP dari Kantor Cabang Bank Terdekat Gambar 10 menunjukkan bahwa jarak LKM-A terdekat paling banyak sekitar 1-50 meter sebanyak 48 responden dari total 54 responden. Pada umumya bank terdekat adalah Bank BRI, Bank BNI dan bank NAgari, jenisnya adalah Bank Cabang pembantu. Jarak yang tidak begitu jauh antara LKM-A dan Bank dapat membuka peluang akses bagi LKM-A untuk pengajuan kredit ke bank.
Jarak (meter)
Jarak LKM-A dari Bank terdekat 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Jarak LKM-A dari Bank terdekat
1-50 meter
51-100 meter
lebih dari 100 meter
48
5
1
Gambar 10 Jarak LKM-A dari Bank terdekat
53
Nilai Asset LKM-A Asset yang dimiliki masing-masing LKM-A berada pada kisaran Rp.100 juta keatas, hal ini menandakan bahwa dana PUAP telah berhasil dikembangkan oleh masing-masing LKM-A. salah satunya melalui pinjaman kepada anggota, dengan bunga pinjaman berkisar antara 1-2 persen per periode.
Asset (Juta)
Nilai Asset LKM-A 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Nilai Asset
100-130 juta
131-160 juta
39
12
lebih dari 161 juta 3
Gambar 11 Nilai Asset LKM-A
Dummy Punya Tabungan di Bank Sebanyak 65 persen pengurus mempunyai tabungan di Bank, hal ini mengindikasikan bahwa pengurus telah berinteraksi dengan sektor perbankan, sehingga hal ini akan memudahkan untuk membuka akses kredit LKM-A ke perbankan. Tabungan yang dimiliki oleh pengurus secara keseluruhan terdiri atas Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Nagari. Tabungan di Bank
35%
punya tabungan 65%
tidak punya tabungan
Gambar 12 Tabungan di Bank LKM-A
54
Dummy Sumber Pembiayaan Lain Gambar 13, sebesar 12 persen atau 14 orang memiliki sumber pembiayaan lainnya, yang semuanya berasal dari pengurus LKM-A. Sedangkan 88 persen atau sekitar 94 responden tidak memiliki sumber pembiayaan selain LKM-A. Sumber pembiyaan lain tersebut terdiri atas perbankan maupun lembaga simpan pinjam seperti koperasi, hal ini menunjukkan bahwa sebagian pengurus telah memiliki akses kredit ke perbankan secara pribadi, diharapkan pengurus juga mampu untuk membuka akses kredit LKM-A ke perbankan secara berkelompok. Sumber Pembiayaan Lain
12% punya sumber pembiayaan lain tidak punya sumber pembiayaan lain 88%
Gambar 13 Sumber Pembiayaan selain LKM-A
Dummy Pengajuan Kredit sebelum LKM-A terbentuk Hanya sebanyak 11 persen atau 6 pengurus yang menjawab pernah mengajukan kredit ke LKM-A, masing-masing LKM-A tersebut adalah Minang Sakato. Jaya Saiyo, sejahtera dan Ambacang Sakato. Namun tidak mendapatkan kredit dari Bank dikarenakan belum layak dan terdapat persyaratan yang belum terpenuhi seperti masalah agunan dan risiko yang tinggi. Pengajuan Kredit sebelum LKM-A terbentuk
11% pernah mengajukan tidak pernah mengajukan 89%
Gambar 14 Pengajuan kredit sebelum LKM-A terbentuk
55
Dummy Petugas Kredit Mengunjungi LKM-A LKM-A yang pernah dikunjungi oleh petugas kredit sebanyak 15 persen, atau dari jawaban pengurus sebanyak 3 LKM-A pernah dikunjungi petugas kredit, yaitu LKM-A Jaya Saiyo, Agrofloris dan Sepakat. Petugas kredit menawarkan produk-produk kreditnya ke LKM-A, namun belum satupun dari LKM-A tersebut yang mendapatkan kredit dari Bank. Kunjungan Petugas Kredit ke LKM-A
15% pernah dikunjungi tidak pernah dikunjungi 85%
Gambar 15 Kunjungan Petugas Kredit ke LKM-A
Dummy LKM-A berbadan hukum Gambar 16 menunjukkan sebanyak 28 persen pengurus menjawab LKM-A telah berbadan hukum atau setara dengan 5 LKM-A, yaitu Batu Gadang Bersama, Jaya Saiyo, Tigo Sarumpun, Jaya Bersama dan Harapan Bersama. Masing-masing LKM-a tersebut telah mendapatkan akta notaris sebagai status hukum untuk sebuah lembaga keuangan mikro yang sah. Hal ini tentu akan sangat menguntungkan bagi LKM-A untuk membuka peluang akses kredit ke perbankan Status Badan Hukum LKM-A
28% telah berbadan hukum belum berbadan hukum 72%
Gambar 16 Status Badan Hukum LKM-A
56
Dummy LKM-A Punya Mitra Gambar 17 menunjukkan, sebanyak 11 persen pengurus menjawab LKMA telah mempunyai mitra, diantaranya Batu Gadang Bersama dan Jaya Saiyo. Mitra LKM-A
11% punya mitra tidak punya mitra 89%
Gambar 17 Mitra LKM-A Pendapatan Gambar 18 menunjukkan, pendapatan responden yang terdiri atas pengurus dan anggota, paling banyak berada pada rentang pendapatan 0-3 juta perbulan, hal ini mengindikasikan masih rendahnya tingkat kesejaheteraan anggota dan pengurus LKM-A, yang pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang kecil. Untuk tingkat pendapatan yang berada pada rentang 3,1-6 juta umumnya adalah pengurus yang bermata pencarian sebagai karyawan baik PNS maupun wiraswasta. Sedangkan untuk yang berpendapatan lebih dari 6 juta terdiri dari 3 orang yang 2 orang menjadi pengurus LKM-A dan berprofesi sebagai wiraswasta dan 1 orang sebagai anggota yang berprofesi sebagai PNS dan wiraswasta, dimana ketiganya berasal dari LKM-A yang sama yaitu LKM-A Anduring. Hal ini mengindisikasikan bahwa tidak semua LKM-A berhasil tepat sasaran dalam memeberikan dana PUAP.
Pendapatan (Rp)
Pendapatan 100 80 60 40 20 0 Pendapatan
0-3 Juta
3,1 - 6 juta
84
21
Gambar 18 Jumlah Pendapatan
Lebh dari 6 juta 3
57
Jarak rata-rata antar anggota kelompok Gambar 19 diatas menunjukkan bahwa sebanyak 54 responden memiliki jarak rata-rata antar anggota sekitar 501-1000 meter, kemudian sebanyak 44 responden berada pada jarak yang berkisar antara 0-500 meter. Hal ini mengindikasikan bahwa antar anggota kelompok masih berada dalam satu lingkungan yang saling berdekatan, hal ini membawa dampak yang positif terhadap pengawasan antar anggota. Jarak rata-rata antar anggota
Pendapatan (Rp)
60 50 40 30 20 10 0
0-500 meter
Jarak
44
501 - 1000 meter 54
1001-1500 meter 8
lebih dari 1500 meter 2
Gambar 19. Jarak Rata-rata antar Anggota
Dummy Daerah Lahir Gambar 20 menunjukkan, sebanyak 84 persen atau 91 responden tercatatat memiliki daerah lahir yang sama dengan tempat penelitian dilakukan atau LKM-A didirikan. Artinya, sebagian besar dari responden merupakan anggota dan pengurus kelompok merupakan penduduk asli tempat LKM-A didirikan, hal ini tentunya membawa dampak positif terhadap kedekatan emosional antar sesama anggota LKM-A sehingga LKM-A bisa berjalan dengan baik. Daerah lahir 16%
sama daerah lahir tidak sama daerah lahir 84%
Gambar 20. Daerah lahir
58
Dummy Kenal Anggota Lain Gambar 21 menunjukkan, sebanyak 82 persen atau 89 responden telah mengenal anggota lain sebelum LKM-A terbentuk, hal ini dikarenakan pada umumnya responden berada dalam satu lingkungan tempat tinggal yang sama, sehingga terjadi interaksi masyarakat sosial. Hal ini memudahkan dalam pembentukan LKM-A. Kenal Anggota Lain Sebelum PUAP 18% mengenal anggota lain
82%
tidak mengenal anggota lain
Gambar 21 Kenal anggota kelompok sebelum terbentuk
Dummy Tahu Aktivitas Ekonomi Sebanyak 93 persen atau 100 responden menjawab saling mengetahui aktivitas ekonomi anggota lainnya. Hal ini dikarenakan profesi anggota kelompok sebagian besar sama, sehingga saling mengetahui aktivitas ekonomi anggota lainnya. Tahu Aktivitas Ekonomi 7%
megetahui aktivitas ekonomi tidak mengetahui aktivitas ekonomi 93%
Gambar 22 Kenal Watak Anggota Lain
59
Dummy Tahu Penjualan Anggota Gambar 23 menunjukkan bahwa sebanyak 51 persen baik dari anggota maupun pengurus LKM-A tidak mengetahui penjualan anggota lainnya, atau sekitar 55 responden. Sedangkan yang mengetahui penjualan anggota lainnya sebesar 49 persen atau sekitar 53 orang. Hal ini mengindikasikan bahwa perbandingan antara yang mengetahui dengan yang tidak hampir sama, pada umumnya yang mengetahui penjualan anggota lainnya adalah pengurus, karna memiliki dokumentasi tentang data diri masing-masing anggota yang tergabung. Tahu Penjualan Anggota Lain
49%
51%
megetahui penjualan anggota lain tidak mengetahui penjualan anggota lain
Gambar 23 Tahu Penjualan Anggota Lain
Dummy Kunjungan Anggota Gambar 24 menunjukkan, hanya 6 persen atau 6 orang responden yang saling mengunjungi antar anggota LKM-A. dimana 6 responden ini berasal dari LKM-A Ambacang Sakato, Tigo Sarumpun, Ceno Pulai dan Jaya Bersama. Namun kunjungan yang dilakukan tidak mempunyai periode waktu yang tentu, namun dalam satu bulan terdapat 2 atau 3 kali kunjungan dilakukan, secara personal. Kunjugan Anggota Lain 6%
saling mengujungi anggota lain tidak saling mengunjungi anggota lain 94%
Gambar 24. Kunjungan Anggota Lain
60
Dummy Gagal Bayar Gambar 25 menunjukkan sebanyak 10 persen atau 11 responden mengaku mengalami masalah gagal bayar, yang berasal dari LKM-A Minang Sakato, Ceno Pulai, Aneka Usaha, Sejahtera dan Ambacang Sakato. Responden yang mengalami masalah gagal bayar berasal dari anggota maupun pengurus LKM-A. Hal ini mengindikasikan menjadi pengurus tidak menjamin terhindar dari gagal bayar, adverse selection dan moral hazard juga bisa terjadi dikalangan pengurus. Kinerja LKM-A yang pengurusnya mengalami gagal bayar sangat buruk hal ini dapat dilihat dari nilai Non Performing Loan (NPL) yang tinggi, dimana untuk Ambacang Sakato NPL nya mencapai 92.78 persen dan Sejahtera sebesar 32.08 persen. Gagal Bayar
10% mengalami gagal bayar tidak mengalami gagal bayar 90%
Gambar 25 Gagal Bayar
Tahun Berdiri LKM-A Program PUAP digulirkan di Kota Padang pada tahun 2009, pada gambar 29 di atas, LKM-A yang tahun berdirinya sebelum PUAP digulirkan yaitu pada tahun 2008 adalah 1 LKM-A yaitu Agro Floris, dengan respon dari responden sebanyak 6 orang, yang terdiri dari pengurus dan anggota. Sedangkan yang paling banyak dengan responden 54 orang yaitu LKM-A yang didirikan pada tahun 2009, yaitu Minang Sakato, Kapalo Koto Bersama, Batu Gadang Bersama, Ceno Pulai, Jaya Bersama, Fajar Mahkota, Sepakat, Harapan Jaya dan Ambacang Sakato. Untuk LKM-a yang berdiri pada tahun 2010 dengan 24 responden yaitu LKM-A Jaya Saiyo, Tigo Sarumpun, Aneka Usaha dan Pakim Sakato. LKM-A yang berdiri tahun 2011 dengan 12 responden yaitu Sejahtera dan Anduring. Sedangkan LKM-A yang baru berdiri setelah tahun 2012 yaitu Jaruai dan Maju Jaya. Untuk LKM-A yang berdiri pada tahun 2009, 2010, 2011 dan 2012 merupakan LKM-A yang berdiri bersamaan dengan digulirkannya PUAP.
61
Tahun Berdiri LKM-A
Jumlah LKM-A
60 50 40 30 20 10 0 tahun berdiri
2008 6
2009 54
2010 24
2011 12
2012 12
Gambar 26 Tahun Berdiri LKM-A
LKM-A Dibentuk Saat PUAP Akan Digulirkan Pada gambar 27 di bawah, sebanyak 59 persen atau 64 responden menjawab LKM-A dibentuk pada saat PUAP akan digulirkan, diantaranya LKMA Minang Sakato, Batu Gadang Bersama dengan 2 responden, Tigo Sarumpun, Fajar Mahkota, Sepakat, Harapan Jaya, Pakim Sakato, Sejahtera dengan 2 responden, Jaruai, Maju Jaya, Anduring, Ambacang Sakato. Sedangkan untuk LKM-A yang tidak dibentuk saat PUAP akan digulirkan adalah Kapalo Koto Bersama, Batu Gadang Bersama dengan 4 responden, Jaya Saiyo, Agro Floris, Ceno Pulai, Jaya Bersama, Aneka Usaha dan Sejahtera dengan 4 responden. Perbedaan jawaban responden pada LKM-A Batu Gadang Bersama dan Sejahtera diakibatkan oleh ketidak sesuaian pemahaman tentang kapan LKM-A berdiri. LKM-A dibentuk saat PUAP akan digulirkan
41%
LKM-A dibentuk saat PUAP akan digulirkan 59%
tidak dibentuk saat PUAP akan digulirkan
Gambar 27 Pembentukan LKM-A
Dummy Seleksi Anggota Gambar 28 menujukkan, LKM-A yang melakukan seleksi anggota dijawab oleh responden sebesar 91 persen atau 98 responden, dimana LKM-A tersebut adalah Minang Sakato, Kapalo Koto Bersama, Batu Gadang Bersama
62
dengan 2 responden yitu pengurus, Jaya Saiyo, Tigo Sarumpun, Agro Floris, Ceni Pulai, Jaya Bersama, Fajar Mahkota, Sepakat, Harapan Jaya, Aneka Usaha, Pakim Sakato, Sejahtera, Jaruai, Maju Jaya dan Anduring. Sedangkan LKM-A yang tidak melakukan seleksi anggota adalah sebesar 9 persen atau 10 responden yaitu Ambacang Sakato dan 4 responden dari Batu Gadang Bersama. LKM-A dibentuk saat PUAP akan digulirkan 9% dilakukan seleksi anggota tidak dilakukan seleksi anggota 91%
Gambar 28 Seleksi Anggota LKM-A
Dummy Pekerjaan Utama Sesuai RUB Gambar 29 menunjukkan sebanyak 82 persen atau 89 responden tercatat profesi yang dijalani sesuai dengan Rancangan Usaha Bersama (RUB) yang ditetapkan oleh kelompok,sedangkan 18 persen atau 18 responden tidak memiliki kesesuaian dengan RUB. Mereka adalah wiraswasta yang tidak bekerja pada bidang pertanian, kemudian Pegawai Negeri Sipili maupun karyawan swasta, namun tetap dapat meminjam dana PUAP tetapi ada juga yang menjabat sebagai pengurus LKM-A. Pekerjaan Utama sesuai RUB 18% pekerjaan utama sesuai RUB 82%
pekerjaan utama tidak sesuai dengan RUB
Gambar 29 Pekerjaan Utama sesuai RUB
63
Dummy Melibatkan Penyuluh Mitra Tani Gambar 30 menunjukkan, LKM-A yang melibatkan PMT dalam penyeleksian anggota sebanyak 30 persen atau 32 responden yang berasal dari LKM-A Minang Sakato, Tigo Sarumpun, Harapan Jaya, Sejahtera, Jaruai dan Anduring. Sedangkan LKM-A yang tidak melibatkan PMT dalam seleksi anggota sebanyak 70 persen atau 76 responden. Kewajiban untuk didampingi LKM-A dalam penyeleksian tidak wajib dilakukan, namun peluang untuk terjadinya kesalahan dalam pemilihan anggota dan pengurus LKM-A dapat diminimalisir karena kontrol dan pengawasan oleh PMT. Hal ini dapat dilihat pada LKM-A Anduring yang tingkat NPL nya 0.00 persen. Keterlibatan PMT
30% melibatkan PMT tidak melibatkan PMT 70%
Gambar 30 Seleksi melibatkan Penyuluh Mitra Tani (PMT)
Dummy Lama Seleksi Anggota Gambar 31 menunjukkan hampir semua responden dari LKM-A yaitu 99 persen yang menjawab lama waktu seleksi anggota adalah 1-3 minggu. 1%
Lama Seleksi Anggota
1-3 minggu lebih dari 3 minggu 99%
Gambar 31 Lama Seleksi Anggota
64
Hal ini dikarenakan selama periode waktu tersebut sudah dirasakan cukup untuk mengetahui dan mengindetifikasi profil anggota yang akan tergabung dalam LKM-A. Namun disamping itu, singkatnya waktu seleksi juga dipengaruhi oleh PUAP akan digulirkan, sehingga secara keseluruhan banyak LKM-A yang dibentuk secara instan untuk mendapatkan dana PUAP tersebut yang akhirnya berdampak pada periode waktu penyeleksian anggota kelompok. Besar Kredit yang Dipinjam Gambar 32 menunjukkan jumlah kredit yang paling banyak dipinjam oleh anggota dan pengurus adalah Rp. 1,1 – 2 juta, sebanyak 24 responden, hal ini mengindikasikan bahwa masih rendahnya jumlah modal yang bias diakses oleh anggota selain itu kesanggupan untuk membayar juga terbatas. Artinya tingkat kesejahteraan anggota LKM-A masih tergolong rendah.
Jumlah LKM-A
Besar Kredit yang Dipinjam 25 20 15 10 5 0 Rp
0 - 1 juta 12
1,1 - 2 juta 24
2,1 - 3 juta 13
3,1 - 4 jut
> 4 juta
4
1
Gambar 32 Besar Kredit yang dipinjam
Dummy Penyalahgunaan Kredit Gambar 33 menunjukkan, sebanyak 91 persen atau 49 responden tidak mengetahui adanya masalah penyalah gunaan dana kredit PUAP dalam kelompoknya. Penyalahgunaan Kredit 9% mengetahui adanya penyalah gunaan kredit tidak mengetahui penyalah gunaan kredit 91%
Gambar 33 Penyalahgunaan Kredit
65
Sedangkan sebanyak 9 persen atau 5 responden menyatakan mengetahui adanya penyalah gunaan kredit PUAP, yaitu responden yang berasal dari LKM-A Kapalo Koto Bersama, Jaya Saiyo, Ceno Pulai dan Sejahtera. Dimana alasannya adalah dana yang awalnya digunakan untuk tujuan produksi digunakan untuk kebutuhan lain, seperti konsumsi atau yang tidak sesuai dengan tujuan awal penggunaan dana kredit PUAP. Dummy Lama Tergabung Dalam Kelompok Gambar 34 menunjukkan, responden yang tergabung dalam LKM-A selama lebih dari 2 tahun adalah 48 responden dan responden yang baru tergabung dalam kelompok selama 1-2 tahun adalah responden yang berasal dari LKM-A Sejahtera, Jaruai dan Maju Jaya
Jumlah Responden
Lama Tergabung dalam LKM-A 50 40 30 20 10 0
1-2 tahun
lama tergabung
lebih dari 2 tahun 48
6
Gambar 34 Lama Tergabung dalam Kelompok
Dummy Siap Menekan Anggota Gambar 35 menunjukkan, sebanyak 76 persen anggota LKM-A atau 41 responden menyatakan siap untuk menekan anggota lainnya yang mengalami masalah gagal bayar. Sedangkan sebanyak 24 persen atau 13 responden menyatakan tidak siap anggota lainnya yang mengalami gagal bayar, karena pembayaran kredit merupakan tanggung jawab masing-masing anggota dan tidak mau ikut mencampuri urusan anggota lainnya karena sudah mencapai kedewasaan mempertanggung jawabkan perbuatan yang dilakukan. Menekan Anggota 24% siap menekan anggota lainnya 76%
tidak siap menekan anggota lainnya
Gambar 35 Siap Menekan Anggota
66
Dummy Sulit Menerapkan Sangsi Gambar 36 menunjukkan sebanyak 76 persen atau 41 responden menyatakan bahwa sulit untuk menerapkan sangsi kepada anggota kelompok yang melakukan pelanggaran. Hal ini disebabkan karena pengurus tidak mampu untuk bertindak tegas dalam menegakkan peraturan yang telah dibuat. Penerapan Sangsi
24% sulit menerapkan sangsi
76%
tidak sulit menerapkan sangsi
Gambar 36 Penerapan Sangsi
Berikut ditampilkan cross tabel yang memperlihatkan hubungan silang antara beberapa variabel, yang terdapat dalam tujuan pertama, kedua dan ketiga. Dimana lebih memperlihatkan keterkaitan antara yang satu dengan lainnya. Pada Tabel 9, 36 LKM-A yang mempunyai asset antara Rp. 100,000,000,sampai dengan Rp. 130,000,000,- memiliki rentang jarak dengan Bank terdekat antara 1-5,000 meter. Artinya semakin dekat jarak LKM-A dengan sumber pembiayaan semakin baik dalam mengakses pendanaan dari lembaga keuangan, yaitu Bank. Bank yang berada dekat dengan lingkungan LKM-A adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bak Negara Indonesia (BNI), dan Bank Nagari (BN). LKM-A yang pengurusnya banyak mempunyai tabungan di Bank adalah LKM-A yang memiliki asset antara Rp. 100,000,000,- sampai dengan Rp. 130,000,000,yaitu sebanyak 28 LKM-A. Hubungan antara variabel kunjungan petugas kredit dengan nilai asset LKM-A tidak berkorelasi positif, artinya semakin meningkat asset kunjungan dari petugas kredit juga akan semakin banyak, hal ini dapat dilihat bahwa LKM-A yang memiliki nilai asset lebih dari Rp. 160,000,000,- tidak dikunjugi oleh petugas kredit. Hal ini disebabkan karena LKM-A belum menjadi target nasabah dari Bank, sehingga informasi tentang LKM-A belum banyak diketahui oleh para petugas kredit. Jumlah LKM-A yang mempunyai status badan hukum lebih sedikit dibandingkan yang tidak, dan tidak tergantung pada jumlah asset yang dimiliki oleh LKM-A tersebut, namun jumlah LKM-A yang memiliki asset antara Rp. 100.000.000,- sampai dengan Rp. 130,000,000,- lebih banyak yang belum berbadan hokum yaitu sebanyak 10 LKM-A dibandingkan dengan LKM-A yang memiliki asset antara Rp. 131.000.000,- sampai dengan Rp. 160,000,000,sebanyak 3 LKM-A, dan LKM-A yang mempunyai asset paling tinggi yaitu
67
sebesar lebih dari Rp. 161,000,000,- sudah memiliki badan hukum. Jumlah LKMA yang memiliki mitra lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak memiliki mitra. Namun LKM-A yang memiliki asset lebih banyak yaitu lebih dari Rp. 160,000,000,- mempunyai mitra usaha. Tabel 9. Hubungan antara jarak LKM-A dengan nilai asset, mempunyai tabungan di bank dan petugas kredit mengunjungi LKM-A, badan hukum dan kemitraan Variabel-variabel 1. Jarak LKM-A dari Bank Terdekat a. 1-5,000 meter b. 5,100-10,000 meter c. Lebih dari 10,000 meter 2. Tabungan di Bank a. Ada tabungan b. Tidak ada tabungan 3. Kunjungan petugas kredit a. Dikunjungi b. Tidak dikunjungi 4. Status badan hukum LKM-A a. Berbadan hukum b. Tidak Berbadan hukum 5. Kemitraan LKM-A a. Mempunyai mitra b. Tidak mempunyai mitra
Rp. 100 – Rp. 130 juta
Nilai Asset Rp. 131 –Rp. 160 juta
Lebih dari Rp. 160 juta
36 3
9 2
3 0
0
1
0
28 11
5 7
2 1
2 37
6 6
0 3
9 30
3 9
3 0
3 36
0 12
3 0
Pada Tabel 10, hubungan antara variabel pendapatan dengan mempunyai tabungan yang paling banyak berada pada kriteria pendapatan antara Rp. 0 – 3,000,000,- dengan total 32 responden (pengurus), dimana berasal dari profesi wiraswasta dengan 10 responden, petani dengan 8 responden, pegawai negri sipil (PNS) dengan 7 responden. Sedangkan untuk rentang pendapatan antara Rp. 3,100,000,- sampai dengan Rp. 6,000,000,- hanya sebanyak 3 responden yang memiliki tabungan, yang berasal dari profesi petani, pegawai negri sipil dan wiraswasta. Untuk pendapatan dengan kriteria lebih dari Rp. 6,000,000,- hanya 1 responden yang memilki tabugnan yang berasal dari profesi pegawai negri sipil. Responden yang tidak memiliki tabungan dengan rentang pendapatan antara Rp. 0 – Rp. 3,000,000,- lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan yang memilki tabungan, namun responden dengan latar belakang profesi sebagai petani lebih banyak yang tidak memiliki tabugan. Hal ini mengindikasikan bahwa
68
budaya menabung masih rendah dikalangan petani, yang disebabkan karena pendapatan yang masih rendah, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan seharihari saja. Karena tidak mempunyai tabungan maka petani tidak terbiasa untuk mengakses pendanaan dari perbankan dan menggunakan produk-produk bank lainnya. Tabel 10. Hubungan antara mempunyai tabungan dengan, pendapatan dan jenis pekerjaan. Variabel-variabel 1. 2. a. b. c. d. e. f. g.
Punya tabungan Jenis pekerjaan Petani Pegawai negri Karyawan swasta Wiraswasta Ibu rumah tangga Pedagang Lainnya
1. 2. a. b. c. d. e. f. g.
Tidak punya tabungan Jenis pekerjaan Petani Pegawai negri Karyawan swasta Wiraswasta Ibu rumah tangga Pedagang Lainnya
0 – 3 juta 32
Pendapatan 3.1 – 6 juta Lebih dari 6 juta 3 1
8 7 1 10 4 0 2 17
1 1 0 1 0 0 0 0
11 0 0 3 2 1 0
0 1 0 0 0 0 0 1
0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 0 0 0 0
Pada Tabel 11, dapat dilihat hubungan antara daerah lahir dengan mengenal anggota kelompok lainnya seanyak 84 responden yang sama daerah lahir mengenal anggota lainnya namun sebanyak 7 responden tidak mengenal anggota kelompok yang lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa 90 persen responden telah bersosialisasi dengan lingkungannya, dimana mengenal anggota kelompok yang lain yang berada dekat dengan tempat tinggalnya. Sama hal nya dengan mengetahui aktivitas ekonomi, sebanyak 86 responden mengetahui aktivitas ekonomi anggota kelompok yang lain yang sama dengan daerah lahirnya. Namun terdapat 14 responden yang walaupun berbeda daerah lahir dengan anggota kelompok yang lain, tetapi tetap mengetahui aktivitas ekonomi kelompok lainnya. Dari pengamatan di lapangan diketahui bahwa anggota kelompok yang berbeda daerah lahir mengetahui aktivitas ekonomi kelompok lainnya karena mereka berada dalam satu profesi yang sama, seperti petani maupun pedagang. Sebanyak 52 responden yang sama daerah lahir mengetahui penjualan anggota lainnya, jumlah ini berkurang dari anggota kelompok yang megetahui aktivitas ekonomi anggota lainnya yaitu sebanyak 86 responden, artinya tidak semua dari responden yang mengetahui aktivitas ekonomi bisa mengetahui jumlah penjualan anggota lainnya, dari hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa
69
yang mengetahui penjualan anggota lainnya adalah para pengurus LKM-A, yang meminta data diri dari anggota kelompok yang akan meminjam dana PUAP. Anggota kelompok dan pengurus yang sama daerah lahir saling melakukan kunjungan hanya sebanyak 3 responden, dan 88 responden lainnya menyatakan tidak saling mengunjungi anggota lainnya. Hal ini dikarenakan kesibukan masing-masing anggota kelompok, sehingga tidak meluangkan waktu khusus untuk melakukan kunjungan. Hanya bertemu pada saat di sawah atau tempat usaha mereka saja. Tabel 11. Hubungan antara daerah lahir dengan kenal anggota lain, tahu aktivitas ekonomi dan tahu penjualan anggota. Variabel-variabel 1. Kenal anggota lain a. Kenal anggota lain b. Tidak kenal dengan anggota lain 2. Tahu aktivitas ekonomi a. Mengetahui aktivitas ekonomi anggota lain b. Tidak mengetahui aktivitas ekonomi anggota lain 3. Tahu penjualan anggota a. Mengetahui penjualan anggota lain b. Tidak mengetahui penjualan anggota lain 4. Kunjungan anggota a. Saling mengunjungi b. Tidak saling mengunjungi
Daerah lahir Sama daerah lahir Beda daerah lahir 84 7
5 12
86
14
5
3
52 39
1 16
3 88
3 14
Pada Tabel 12 dapat dilihat hubungan antara seleksi dengan beberapa variabel, dimana pada LKM-A yang melakukan seleksi lama waktu seleksi hanya berjalan antara kurun waktu 1-3 minggu, hal ini mengindikasikan bahwa singkatnya waktu untuk pengenalan karakter karena pada umumnya anggota kelompok berasal dari lingkungan yang sama atau sama daerah lahir. Namun ada juga LKM-A yang tidak melakukan proses seleksi. Pekerjaan utama sesuai dengan RUB hanya sesuai dengan 79 responden, dimana jumlah ini berkurang dari total responden yang berjumlah 97 responden. Singkatnya waktu seleksi menjadikan bahwa pengurus tidak mengenal dengan baik calon anggota kelompok yang akan mengakses dana PUAP, sehingga terdapat 19 responden yang tidak sesuai pekerjaan utamanya dengan RUB yang telah ditetapkan. Namun pada LKM-A yang tidak melakukan seleksi terdapat 10 responden yang pekerjaan utamanya sesuai dengan RUB, artinya pengenalan pada calon anggota kelompok telah lama dilakukan. Pada LKM-A yang melakukan seleksi hanya sebanyak 32 responden yang menjawab bahwa terdapat keterlibatan PMT, dan 66 responden menjawab bahwa tidak ada keterlibatan PMT. Pendampingan dari PMT tidak menjadi suatu keharusan, namun diharapkan dengan adanya pendampingan dari PMT pada saat
70
proses seleksi terseleksi anggota yang benar-benar aman atau tidak berisiko mengalami gagal bayar pada saat dana PUAP digulirkan. Tabel 12. Hubungan antara seleksi anggota dengan lama waktu seleksi, pekerjaan utama sesuai dengan RUB, melibatkan penyuluh mitra tani Variabel-variabel 1. Lama waktu seleksi a. 1-3 minggu b. Lebih dari 3 minggu 2. Pekerjaan utama sesuai dengan RUB a. Sesuai dengan RUB b. Tidak sesuai dengan RUB 3. Keterlibatan penyuluh mitra tani (PMT) a. Melibatkan PMT b. Tidak melibatkan PMT
Seleksi Tidak dilakukan seleksi anggota 11 97 0 10 0
Dilakukan seleksi anggota
79 19
10 0
32 66
0 10
Pada Tabel 13, dapat dilihat hubungan antara variabel gagal bayar dengan karakteristik anggota LKM-A PUAP. Pada responden yang berjenis kelamin lakilaki lebih banyak yang mengalami gagal bayar, namun jumlahnya tidak begitu tinggi dibandingkan dengan responden perempuan, begitu juga yang tidak mengalami gagal bayarm jumlahnya tidak berbeda jauh antara laki-laki dan perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa antara laki-laki dan perempuan pada sampel penelitian tidak terlalu jauh perbedaan untuk gagal bayarnya. Responden yang megalami gagal bayr paking banyak berada pada umur antara 50 -59 tahun yaitu sebanyak 6 responden, kemudian pada umur 40 – 49 tahun sebanyak 3 responden. Hal ini mengindikan bahwa pertambahan umur membuka kesempatan untuk mengalami gagal bayar lebih besar, tetapi asumsi ini tidak berlaku pada responden yang berumur lebih dari 60 tahun, karena pada penelitian ini tidak ditemukan responden yang mengalami gagal bayar pada kategori umur tersebut. Pada responden yang tidak mengalami gagal bayar paling banyak yang berada pada rentang umur antara 40 – 49 tahun sebanyak 33 responden. Pada LKM-A yang mengalami masalah adverse selection terdapat responden yang mengalami masalah gagal bayar sebanyak 11 responden, dimana proses seleksinya tidak dapat mengidentifikasi risiko anggota kelompok yang meminjam dana PUAP. Pada LKM-A yang tidak mengalami gagal bayar terdapat adverse selection kelompok juga sebanyak 19 responden, artinya bahwa kegagalan pembayaran maupun tidak dipandang dalam satu tingkat kecocokan risiko anggota kelompok, apabila salah satu anggota dalam kelompok berpotensi menjadi anggota yang berisiko maka kelompok tersebut berada dalam tingkat risiko yang tidak sama atau berisiko. Dari LKM-A yang telah dibagi berdasarkan nilai NPL nya, LKM-A yang mengalami masalah adverse selection akan mengalami masalah gagal bayar.
71
Tabel 13. Hubungan antara variabel gagal bayar dengan jenis kelamin, usia, pekerjaan dan adverse selection. Karakteristik 1. Jenis kelamin a. Laki-laki b. Perempuan 2. Usia a. 20 – 29 tahun b. 30 – 39 tahun c. 40 – 49 tahun d. 50 – 59 tahun e. 60 tahun ke atas 3. Pekerjaan a. Petani b. Pegawai negri c. Karyawan swasta d. Wiraswasta e. Ibu rumah tangga f. Pedagang g. Lainnya 4. Ada adverse selection kelompok 5. Tidak ada adverse selection kelompok
Gagal bayar
Tidak gagal bayar 6 5
49 48
0 2 3 6 0
9 19 33 24 12
7 3 0 1 0 0 0 11 0
51 7 1 18 7 10 3 19 78
Pada Tabel 14, dapat dilihat hubungan antara besar kredit dengan beberapa variabel. Besar kredit yang paling banyak diakses adalah antara Rp. 1,100,000,sampai dengan Rp. 2,000,000,- di rentang umur antara 40 – 49 tahun. Kemudian pada besar kredit antara Rp. 2.100.000,- sampai dengan Rp. 3,000,000,- dengan rentang umur antara 50 -59 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terdapat batasan umur untuk mengakses sejumlah kredit tertentu. Anggota kelompok yang berjenis kelamin laki-laki umumnya mengakses dana kredit antara rentang Rp. 1,100,000,- sampai dengan Rp. 2,000,000,sebanyak 12 responden. Kemudian pada rentang kredit antara Rp. 0 sampai dengan Rp. 1,000,000,- sebanyak 9 responden, kemudian hanya 1 responden yang mengakses dana kredit PUAP lebih dari Rp. 4,000,000,-. Anggota kelompok yang berjenis kelamin perempuan umumnya mengakses dana kredit antara Rp. 1,100,000,- sampai dengan Rp. 2,000,000,- dengan rentang umur antara 40 – 49 tahun. Kemudian paling tinggi mengakses dana kredit dengan besar kredit Rp. 3,100,000,- sampai dengan Rp. 4,000,000,- dengan jumlah responden sebanyak 3 orang. Hubungan antara variabel besar kredit dengan lama tergabung dalam kelompok adalah anggota kelompok yang tergabung lebih dari 2 tahun dalam LKM-A dapat meminjam lebih banyak daripada yang baru tergabung selama kurun waktu 1 sampai dengan 2 tahun. Hal ini merata untuk setiap kategori besar jumlah pinjaman, termasuk pada jumlah kredit lebih dari Rp. 4,000,000,- yang bisa diakses oleh anggota yang telah tergabung selama lebih dari 2 tahun. Kegagalan pembayaran merata terjadi pada setiap tingkat besar kredit di LKM-A, dimana kategori besar kredit Rp. 2,100,000,- sampai dengan Rp. 3,000,000,- menjadi kategori yang terbanyak terjadinya kegagalan pembayaran.
72
Kemudian pada kategori besar kredit antara Rp. 0 sampai dengan Rp. 3,000,000,terdapat 6 responden yang mengalami kegagalan pembayaran. Kegagalan pembayaran juga terjadi pada responden yang meminjam pada besar kredit antara Rp. 3,100,000 sampai dengan Rp. 4,000,000,- yaitu sebanyak 1 orang. Hal ini mengindikasikan bahwa berapapun besar kredit yang dipinjam, kegagalan pembayaran tetap terjadi. Sedangkan untuk responden yang tidak mengalami gagal bayar paling aman berada pada besar kredit antara Rp. 1,100.000,- sampai dengan Rp. 2000,000,-. Variabel jarak rata-rata antar anggota kelompok yang berhubungan dengan tingkat pengawasan terhadap besaran kredit yang dipinjam, dimana jumlah kredit paling banyak diberikan kepada 13 responden yaitu antara Rp. 1,100,000,- sampai dengan Rp. 2,000,000,- dimana jarak antar anggotanya adalah 501 meter sampai dengan 1,000 meter. Kemudian diikuti dengan jarak 0 sampai dengan 500 meter dengan jumlah pinjaman sebesar Rp. 0 sampai dengan Rp. 1,000,000,- dengan jumlah responden sebanyak 10 orang. Untuk kategori besar kredit lainnya seperti Rp. 2,100,000 sampai dengan Rp. 4,000,000,- masing-masingnya berkisar antara 1 sampai dengan 4 responden. Artinya semakin besar jumlah kredit yang diberikan LKM-A semakin kecil jarak antara LKM-A dengan anggotanya, demi kemudahan pengawasan pengembalian kredit. Besar kredit yang diberikan kepada anggota kelompok juga dipengaruhi oleh variabel pengenalan anggota, dimana untuk LKM-A yang telah mengenal anggota kelompok sebelum terbentuk berpeluang untuk mendapatkan kredit lebih besar dibandingkan yang tidak. Pada penelitian ini diketahui bahwa semakin besarnya kredit yang diberikan semakin kecil jumlah anggota yang mendapatkan kredit pada kondisi LKM-A telah mengenal anggota kelompoknya. Dimana untuk besar kredit antara Rp. 1,100,000,- sampai dengan Rp. 2,000,000,- jumlah kredit yang dapat diakses oleh anggota kelompok sebanyak 16 responden, kemudian untuk jumlah kredit antara Rp. 2,100,000,- sampai dengan Rp. 3,000,000,- dapat diakses oleh 12 responden. Kemudian untuk besar kredit antara Rp. 3,100,000,sampai denga Rp. 4,000,000,- hanya diakses oleh 4 responden dan besar kredit lebih dari Rp. 4,000,000,- hanya diakses oleh 1 orang responden. Jumlah anggota kelompok yang terus berkurang mengindentifikasikan bahwa risiko kredit semakin bertambah dengan bertambahnya besar kredit yang diberikan, pada kondisi mengenal anggota. Tabel 14. Hubungan antara besar kredit dengan umur, jenis kelamin, lama tergabung, gagal bayar, jarak, dummy kenal anggota. Besar kredit Varabel-variabel 1. Umur a. 20 – 29 tahun b. 30 – 39 tahun c. 40 – 49 tahun d. 50 – 59 tahun e. 60 tahun ke atas
Rp. 0-1 juta 0 2 4 3 3
Rp. 1.1- 2 juta 0 4 10 7 3
Rp. 2.1-3 juta 0 2 2 8 1
Rp. 3.1 – 4 juta 0 0 2 2 0
Lebih dari 4 juta 0 0 1 0 0
73
Varabel-variabel
Besar kredit Rp. 0-1 juta
2. Lama tergabung dalam LKM-A a. 1-2 tahun b. Lebih dari 2 tahun 3. Gagal bayar a. Gagal bayar b. Tidak gagal bayar 4. Jarak rata-rata antar anggota kelompok a. 0-500 meter b. 501-1.000 meter c. 1.001-1.500 meter d. Lebih dari 1.500 meter 5. Mengenal anggota a. Mengenal anggota b. Tidak mengenal anggota
Rp. 1.1- 2 juta
Rp. 2.1-3 juta
Rp. 3.1 – 4 juta
Lebih dari 4 juta
1 11
4 20
0 13
1 3
0 1
6 6
4 20
7 6
2 2
1 0
1 10
6 13
6 4
3 1
0 1
1
5
1
0
0
0
0
2
0
0
8
16
12
4
1
4
8
1
0
0
6 ANALISIS FAKTOR PELUANG AKSES KREDIT LKM-A PUAP KE PERBANKAN Pengujian Model Peluang Akses Kredit ke LKM-A Model regresi logistik digunakan untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi peluang akses kredit LKM-A PUAP ke perbankan. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi peluang akses kredit yang digunakan adalah jarak LKM-A dengan kantor cabang Bank terdekat, nilai asset yang dimiliki LKM-A, dummy anggota kelompok mempunyai tabungan di Bank, dummy anggota kelompok mempunyai sumber pembiayaan lain, dummy pernah mengajukan kredit berkelompok sebelum adanya program PUAP, dummy petugas kredit pernah mengunjungi kelompok untuk menawarkan kredit, dummy LKM-A berbadan hukum dan dummy LKM-A telah memiliki kemitraan. Untuk menguji kebaikan model digunakan uji G dan uji Wald.
74
Uji G Analisis regresi logistik dilakukan menggunakan software SAS 9.1 dengan memasukkan semua peubah penjelas ke dalam model. Pengujian parameter secara simultan dengan uji G didapatkan nilai statistik uji chi-kuadrat sebesar 18.2851 dengan nilai p = 0.0192 (p < 0.10). Jika H0 = peubah bebas tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas dan H1 = peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas, karena 0.0192 < 0,1, maka disimpulkan bahwa H0 ditolak, yang berarti setidaknya ada satu peubah yang berpengaruh nyata terhadap peluang akses kredit LKM-A PUAP ke lembaga perbankan, atau secara bersamasama variable-variabel independen berpengaruh nyata terhadap variabel dependen (ada atau tidak ada akses kredit), yang ditunjukkan pada Lampiran 10. Uji Wald Pengujian parameter secara parsial dilakukan dengan uji wald, peubah yang berpengaruh nyata pada taraf alpha 10% adalah Sumber Pembiayaan Lain (p-value = 0.0644) dan Kunjungan Petugas Kredit (p-value =0.0665) yang dapat dilihat pada Lampiran 10. Kebaikan Model Kebaikan model peluang akses kredit LKM-A PUAP ke perbankan dianalisis dengan meihat tabel klasifikasi pada Tabel 15. Tabel 15 . Tabel Prediksi Model Akses Kredit Prediksi (Alpha=10%) Total Y=1 Y=0 Y=1 7 4 11 Y=0 20 23 43 Proporsi Keseluruhan untuk klasifikasi yang benar diduga oleh model logistik yang diperoleh adalah: P (klasifikasi benar) = (7+23)/54 = 0.556 Tingkat kebaikan pendugaan atau prediksi dari model logistik yang diperoleh untuk menduga peluang akses kredit LKM-A PUAP ke lembaga perbankan yaitu 55.6%, pada tingkat probabilitas 0,1 dengan rincian pada Lampiran 10. Aktual
Interpretasi Nilai Odds Ratio Variabel Akses Kredit Variabel-variabel yang berpengaruh nyata yang dilihat dari uji Wald, selanjutnya dianalisis nilai odds rasio nya, untuk dilihat pengaruh variabelvariabel yang digunakan terhadap akses kredit LKM-A PUAP ke perbankan. Hasil pendugaan model logit peluang akses kredit LKM-A PUAP ke perbankan ditunjukkan pada Tabel 16.
75
Tabel 16. Hasil estimasi koefisien faktor-faktor yang mempengaruhi akses kredit LKM-A PUAP ke perbankan Variabel Akses Kredit Y(1) : Akses Kredit Y(0) : Tidak Bisa akses kredit Jarak LKM-A dari Bank terdekat Nilai Asset Dummy punya tabungan di Bank Dummy punya sumber pembiayaan lain Dummy pengajuan kredit sebelum PUAP Dummy petugas kredit mengunjungi LKM-A Dummy LKM-A berbadan hukum Dummy LKM-A punya mitra Intercept Number of Obs
Signifikan* = taraf nyata 10%
Parameter 0.0153 -0.0136 0.7186 2.0442 1.6398 1.9987 10.9395 12.5517 -14.0984 54
Pr > Chi-Sq 0.3668 0.5090 0.4842 0.0644* 0.3838 0.0665* 0.9506 0.9434 0.7459
Odds Ratio 1.015 0.986 2.051 7.723 5.154 7.380 >999.999 >999.999
Berdasarkan Tabel 16 diatas, terlihat bahwa semua tanda parameter dugaan sesuai dengan yang diharapkan. Namun, dari 8 variabel yang digunakan hanya 2 yang signifikan pada taraf nyata 10 persen, yaitu dummy sumber pembiayan selain LKM-A PUAP dan dummy kunjungan petugas kredit. Dummy sumber pembiayaan selain LKM-A PUAP berpengaruh positif terhadap akses kredit LKM-A PUAP ke perbankan dan signifikan pada taraf nyata 10 persen (p-value = 0.0644). Rasio odds kelompok yang memiliki Sumber pembiayaan lain dibanding kelompok yang tidak memiliki sumber pembiayaan lain sebesar 7.723 atau peluang kelompok yang tidak memiliki sumber pembiayaan selain LKM-A PUAP bisa mengakses kredit ke lembaga perbankan 0.12 kali lebih besar dibanding kelompok yang memiliki sumber pembiayaan selain LKM-A PUAP. Artinya kelompok yang memiliki sumber pembiayaan selain LKM-A PUAP memiliki peluang lebih besar untuk mengakses kredit ke lembaga perbankan dibanding kelompok yang tidak memiliki sumber pembiayaan selain LKM-A PUAP. Sumber pembiayaan selain PUAP adalah koperasi dan kredit dari perbankan. Dengan adanya interaksi ke lembaga perbankan, mengindikasikan bahwa kelompok, mempunyai akses untuk ke perbankan. Jika dana yang tersedia minim, dari hasil pengamatan di lapangan beberapa LKM-A seperti batu Gadang Bersama, Fajar Mahkota dan Agrofloris, anggota harus antri sekitar 2 bulan untuk mendapatkan perguliran dana kredit PUAP. Hal ini juga terjadi pada LKM-A anduring, walaupun nilai NPL nya 0, namun terdapat waiting list anggota yang akan meminjam dana kredit, namun dari hasil wawancara dengan manajer LKM-A waktu tunggu untuk anggota yang terdapat daftar waiting list tersebut hanya sekitar 2 minggu, hal ini disebabkan pada LKM-A ini pengembalian dana dilakukan setiap hari senin dan kamis, agar perputaran dana bisa cepat. Akses dari pengurus yang mempunyai sumber pembiayaan selain LKM-A ini adalah yang berprofesi sebagai karyawan, pegawai negri sipil, wiraswasta dan petani yang mempunyai penghasilan tambahan dari usaha sampingan. Pengurus tersebut berasal dari berbagai LKM-A, seperti LKM-A Kapalo Koto Bersama, LKM-A Batu Gadang Bersama, LKM-A Jaya Saiyo, LKM-A Tigo Sarumpun,
76
LKM-A Agro Floris, LKM-A Fajar Mahkota, LKM-A Sejahtera, LKM-A Anduring dan LKM-A Ambacang Sakato. Dari hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa kredit yang diperoleh dari bank ditujukan untuk berbagai kepentingan seperti kredit konsumsi, kredit perumahan maupun kredit modal kerja. Walaupun kredit yang didapatkan oleh pengurus hanya bersifat individu, namun pengalaman dan informasi yang diperoleh diharapkan bisa menjadi acuan bagi kelompok untuk mendapatkan akses kredit ke perbankan. Dummy Kunjungan Petugas Kredit berpengaruh positif terhadap akses kredit LKM-A PUAP ke perbankan dan signifikan pada taraf alpha 10 persen (pvalue = 0.0665). Rasio odds kelompok yang pernah dikunjungi petugas kredit dibanding kelompok yang tidak pernah dikunjungi petugas kredit sebesar 7.380. Peluang kelompok yang tidak pernah dikunjungi petugas kredit bisa mengakses lembaga perbankan 0.14 kali lebih besar dibanding kelompok yang pernah dikunjungi petugas kredit. Artinya kelompok yang pernah dikunjungi petugas dan ditawarkan kredit memiliki peluang lebih besar untuk mengakses kredit ke lembaga perbankan dibanding kelompok yang tidak pernah dikunjungi petugas dan ditawarkan kredit. Kunjungan petugas kredit ini, dari hasil wawancara dilapangan diketahui, bahwa petugas kredit dari Bank menawarkan kepada kelompok untuk meminjam kredit di Bank mereka bertugas, dan informasi sejumlah produk-produk Bank lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan informasi yang diberikan oleh petugas Bank kepada LKM-A, akses untuk mendapatkan kredit dari Bank bisa dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa petugas kredit menawarkan jenis Kredit Usaha Rakyat kepada kelompok, Bank yang menawarkan antara lain Bank Nagari (BN) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). LKM-A yang ditawarkan atau didatangi oleh petugas kredit adalah LKM-A Jaya Saiyo, LKM-A Agro Floris, LKM-A Sepakat, dan LKM-A Anduring. Masingmasing LKM-A tersebut tergolong pada LKM-A yang mempunyai nilai Non Performing Loan (NPL) yang berbeda, LKM-A yang tergolong mempunyai nilai NPL yang rendah adalah LKM-A Jaya Saiyo (1,74 persen), LKM-A Sepakat (18,8 persen), dan LKM-A Anduring (0,0 persen), sedangkan LKM-A yang mempunyai nilai NPL yang tinggi adalah LKM-A Agro Floris (79,75 persen). Frekuensi petugas kredit rata-rata hanya berlangsung 1 kali tiap masing LKM-A. Walaupun telah dikunjungi oleh petugas kredit kesemua LKM-A tersebut belum terdapat tindak lanjut dalam penyiapan berkas pengajuan kredit, namun diharapkan dengan adanya petugas kredit dan informasi yang diperoleh diharapkan dapat mengenalkan kelompok dengan dunia perbankan. Di LKM-A Anduring terdapat waiting list anggota yang akan meminjam kredit LKM-A, karena keterbatasan jumlah dana PUAP, maka tiap anggota harus menunggu sampai mendapatkan gilirannya meminjam setelah anggota lain mengembalikan dana PUAP yang telah dipinjam. Keadaan ini tentu menjadi pemacu bagi pengurus untuk mendapatkan tambahan pendanaan diluar LKM-A, karena dana PUAP hanya diberikan 1 kali kepada LKM-A sebesar Rp. 100.000.000,-. Sesuai dengan tujuan didirikannya LKM-A yang berfungsi untuk mengelola dan mengembangkan asset, maka sudah menjadi kewajiban pengurus untuk mendapatkan tambahan dana dari luar seperti kredit dari perbankan. Dengan sistem kredit kelompok diharapkan dapat menjadi pengganti agunan fisik
77
yang digunakan untuk mendapatkan kredit dari Bank, sehingga LKM-A yang mempunyai pengelolaan dana yang baik dan mempunyai nilai NPL rendah bahkan sampai dengan 0 persen dapat menjadi alasan yang kuat untuk mendapatkan akses kredit ke bank. Masalah akses kredit ke perbankan, dimana bank menggunakan prinsip 5c (collateral, capacity, character, condition dan capital) dalam menyeleksi borrower yang akan diberikan kredit. Tidak semua petani mampu memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Bank, karena kendala masalah collateral (agunan), sehingga dicoba dengan system secara berkelompok (group lending) dapat membuka akses untuk ke perbankan, dimana pada hasil penelitian menunjukkan bahwa peluang akses ke perbankan bisa didapatkan oleh LKM-A yang mempunyai kinerja yang baik dalam pengelolaan dana PUAP nya, yaitu LKM-A yang mempunyai NPL kurang dari 2%.
7 ANALISIS ADVERSE SELECTION PADA LKM-A PUAP Pengujian Model Adverse Selection di LKM-A PUAP Faktor-faktor yang menyebabkan adverse selection pada LKM-A PUAP dianalisis dengan menggunakan model regresi logistik melalui pendekatan risiko yang terjadi pada LKM-A. Risiko yang dimaksud adalah tingkat level risiko dari masing-masing anggota kelompok dan bagaimana hubungannya dengan tingkat risiko anggota yang lain dalam kelompok tersebut. Dikatakan berisiko jika tingkat risiko dalam 1 kelompok terindikasi terdiri atas anggota yang aman dan anggota yang berisiko mengalami gagal bayar (tidak aman), sedangkan kelompok yang tidak berisiko adalah semua anggota kelompok berada pada tingkat risiko yang sama, seperti anggota kelompok yang aman dipasangkan dengan anggota kelompok yang aman pula. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi terjadinya adverse selection terdiri atas kelompok tingkat risiko, yaitu pendapatan dan umur. Kelompok kecocokan tingkat risiko yaitu jarak rata-rata antar anggota, jumlah anggota, dummy sama daerah lahir, dummy kenal sebelum LKM-A terbentuk, dummy tahu penjualan anggota lainnya, dummy kunjungan antar anggota, dummy gagal bayar dan dummy sumber pembiayaan selain PUAP. Kelompok variabel lainnya yaitu tahun berdiri LKM-A, dummy kelompok dibentuk pada saat PUAP akan digulirkan, dummy dilakukan seleksi anggota, dummy pekerjaan utama, dummy melibatkan PMT dan dummy kama waktu seleksi anggota. Uji G Analisis regresi logistik dilakukan menggunakan software SAS 9.1 dengan memasukkan semua peubah penjelas ke dalam model. Pengujian parameter secara simultan dengan uji G didapatkan nilai statistik uji chi-kuadrat sebesar 60.9352 dengan nilai p = 0.0001 (p < 0.20). Jika H0 = peubah bebas tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas dan H1 = peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas, karena 0.0001 < 0.2, maka disimpulkan bahwa H0
78
ditolak, yang berarti setidaknya ada satu peubah yang berpengaruh nyata terhadap adverse selection di LKM-A PUAP , atau secara bersama-sama variabel-variabel independen berpengaruh nyata terhadap variabel dependen (ada atau tidak ada risiko), yang ditunjukkan pada Lampiran 10. Uji Wald Pengujian parameter secara parsial dilakukan dengan uji wald (Lampiran 10). Peubah yang berpengaruh nyata pada taraf alpha 5% adalah umur (p-value = 0.0507), jarak rata-rata antar anggota (p-value = 0.0452), jumlah anggota kelompok (p-value = 0.0010), dummy LKM-A dibentuk pada saat PUAP akan digulirkan (p-value = 0.0011) dan dummy melibatkan PMT pada saat seleksi (pvalue = 0.0016). Parameter yang nyata pada taraf alpha 10 % adalah dummy kenal anggota sebelum PUAP digulirkan (p-value=0.0875), dummy seleksi anggota (pvalue = 0.0686). Parameter yang nyata pada taraf alpha 20% adalah dummy daerah lahir (p-value = 0.1102), dummy pekerjaan utama (p-value = 0.2064). Kebaikan model Kebaikan model adverse selection di LKM-A PUAP dianalisis dengan melihat tabel klasifikasi pada Tabel17. Tabel 17. Tabel Prediksi Model Adverse Selection Actual Y=1 Y=0
Prediction (Alpha=20%) Y=1 Y=0 26 13
Total 4 65
30 78
Proporsi Keseluruhan untuk klasifikasi yang benar diduga oleh model logistik yang diperoleh adalah:. P (klasifikasi benar) = (26+65)/108 = 0.843 Tingkat kebaikan pendugaan atau prediksi dari model logistik yang diperoleh untuk menduga adverse selection di LKM-A PUAP yaitu 84.3 persen pada alpha 20 persen yang dapat dilihat pada Lampiran 10. Interpretasi Nilai Odds Ratio pada Variabel Adverse Selection Variabel-variabel yang berpengaruh nyata yang dilihat dari uji Wald, selanjutnya dianalisis nilai odds rasio nya, untuk dilihat pengaruh variabelvariabel yang digunakan terhadap terjadinya adverse selection di LKM-A PUAP. Hasil pendugaan model logit peluang adverse selection di LKM-A PUAP yang dilihat dari kategori risikonya ditunjukkan pada Tabel 18.
79
Tabel 18 Hasil estimasi koefisien faktor-faktor yang mempengaruhi adverse selection (risiko) pada LKM-A PUAP Adverse selection Y (1): jika kelompok berisiko Y (0): jika kelompok tidak berisiko TINGKAT RISIKO Pendapatan Umur KECOCOKAN TINGKAT RISIKO Jarak rata-rata anggota kelompok Jumlah anggota kelompok Dummy daerah lahir Dummy kenal anggota Dummy tahu penjualan anggota Dummy kunjungan anggota Dummy gagal bayar Dummy sumber pembiayaan selain LKM-A VARIABEL LAINNYA Tahun berdiri LKM-A Dummy LKM-A dibentuk saat PUAP akan digulirkan Dummy seleksi anggota Dummy pekerjaan utama sesuai dengan RUB Dummy melibatkan PMT Dummy lama seleksi anggota Intercept Number of Obs
Signifikan* = taraf nyata 5% Signifikan**= taraf nyata 10% Signifikan***= taraf nyata 20%
Parameter
Pr > Chi-Sq
-0.2636 0.6114 -0.0874 0.0507* 0.00382 -0.0779 -2.1581 -3.3076 -1.5745 -2.7956 16.0980 -3.2531
0.0452* 0.0010* 0.1102*** 0.0875** 0.1717*** 0.3239 0.9528 0.2266
0.1390 0.7674 4.7493 0.0011* -4.6321 -2.5708 -5.0230 -11.8550 -262 108
0.0686** 0.2064*** 0.0016* 0.9889 0.7813
Odds Ratio 0.768 0.916 1.004 0.925 0.060 0.037 0.207 0.061 >999.999 0.039 1.149 115.500 0.010 0.076 0.007 <0.001
Berdasarkan Tabel 18 diatas, terlihat bahwa semua tanda parameter dugaan sesuai dengan yang diharapkan. Namun, dari 16 variabel yang digunakan hanya 10 yang signifikan pada taraf nyata 5 persen, 10 persen dan 20 persen. Umur berpengaruh negatif terhadap terjadinya adverse selection dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Yang berarti, setiap penambahan umur 1 tahun, diduga peluang salah pilih anggota naik sebesar 91 persen apabila variabel yang lain tetap. Hal ini mengindikasikan bahwa anggota yang semakin tua tidak menjamin mempunyai risiko yang lebih besar mengalami salah pilih anggota, namun bisa berpengaruh negatif terhadap terjadinya salah pilih anggota. Hal ini bisa dilihat dengan rata-rata umur anggota LKM-A yang berada pada umur dewasa (40 tahun- 60 tahun ) berisiko terjadinya salah pilih anggota namun anggota yang berumur 61-70 tahun keatas tidak mengalami salah pilih anggota. Hal ini disebabkan karena di umur tua tidak banyak aktivitas yang dilakukan, sehingga bisa focus untuk satu kegiatan saja. Jarak rata-rata anggota kelompok berpengaruh positif terhadap terjadinya adverse selection dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Nilai odds ratio variabel jarak adalah 1.004, artinya apabila jarak rata-rata antar anggota bertambah 1 meter maka peluang terjadinya salah pilih anggota sebesar 1 kali
80
peluang tidak salah pilih anggota, dengan kata lain peluang salah pilih anggota dengan tidak salah pilih anggota adalah sama. Jumlah anggota kelompok berpengaruh negatif terhadap terjadinya salah pilih anggota dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Nilai odds ratio jumlah anggota kelompok adalah 0.924 artinya apabila jumlah anggota betambah 1 orang maka peluang terjadinya salah pilih anggota naik 92 persen jika variabel yang lain tetap. Hal ini mengindikasikan bahwa walaupun kelompok memiliki jumlah anggota yang lebih banyak tidak menjamin memiliki risiko salah pilih anggota yang lebih besar dibanding dengan jumlah anggota yang sedikit. Hal ini bisa dilihat dari data di lapangan dimana kelompok yang memiliki anggota lebih dari 110 anggota tidak mengalami salah pilih anggota. Dummy daerah lahir berpengaruh negatif terhadap terjadinya salah pilih anggota dan signifikan pada taraf nyata 20 persen. Rasio odss anggota kelompok yang lahir di daerah yang sama dengan yang tidak sebesar 0.06 atau peluang anggota kelompok yang tidak sama daerah lahir terjadinya salah pilih anggota adalah 16.67 kali lebih besar daripada yang sama daerah lahir. Hal ini disebabkan karena jika berbeda daerah lahir, maka pengenalan tentang karakter anggota tersebut akan sulit dilakukan, sehingga risiko untuk terjadinya salah pilih anggota akan semakin besar. Dummy kenal anggota sebelum LKM-A terbentuk berpengaruh negatif terhadap terjadinya salah pilih anggota dan signifikan pada taraf nyata 10 persen. Rasio odds anggota yang belum mengenal anggota lainnya dibandingkan dengan anggota yang telah mengenal anggota lainnya adalah 0.037 atau peluang anggota yang telah mengenal anggota lainya 27 kali lebih besar terjadinya salah pilih dibandingkan dengan yang tidak mengenal. Artinya walaupun telah megenal anggota yang tergabung dalam LKM-A tetap tidak menjamin terhindar dari salah pilih anggota. Dari hasil wawancara dilapangan, rata-rata anggota yang mengenal anggota lainnya tidak mengenal sifat dan karakter anggota lain secara mendalam, karena berada dalam satu lingkungan dan menjalin tali silaturahmi. Dummy tahu penjualan anggota lainnya berpengaruh negatif terhadap terjadinya masalah salah pilih anggota dan signifikan pada taraf nyata 20 persen. Rasio odds anggota yang tidak mengetahui penjualan anggota lainnya dibandingkan dengan anggota yang mengetahui penjualan anggota lainnya adalah 0.207. Peluang anggota kelompok yang mengetahui penjualan anggota lainnya terjadi salah pilih anggota 4.8 kali lebih besar dibanding anggota kelompok yang tidak mengetahui penjualan anggota lainnya. Artinya dengan tahu penjualan belum menjamin terhindar dari salah pilih anggota, karena kemungkinan untuk memberikan informasi yang salah bisa terjadi. Hal ini mengindikasikan bahwa informasi asimetrik terjadi pada pembentukan LKM-A PUAP, karena yang mengetahui jumlah dan tingkat penjualan setiap anggota adalah dirinya sendiri. Nilai penjualan dari tiap anggota dari hasil wawancara dilapangan pada umumnya hanya diketahui oleh pengurus dan hanya sebagian kecil dari anggota yang mengetahui penjualan anggota lainnya. Dummy LKM-A dibentuk saat PUAP akan digulirkan berpengaruh positif terhadap terjadinya salah pilih anggota dan signifikan pada taraf nyata 10 persen. Rasio odds LKM-A yang tidak dibentuk saat PUAP digulirkan dibandingkan dengan LKM-A yang dibentuk saat PUAP digulirkan adalah 115.500. Hal ini dikarenakan LKM-A yang terbentuk jauh sebelum PUAP digulirkan, sudah
81
memiliki kesolitan antar anggotanya, sudah saling mengenal satu sama lain, dan lebih matang dalam mengelola dana PUAP. Sebanyak 60 persen dari LKM-A yang diteliti merupakan LKM-A yang dibentuk pada saat PUAP akan digulirkan, sehingga peluang untuk salah pilih anggotanya semakin besar. Karena tingkat kesiapan sumber daya manusianya untuk pengelolaan dana PUAP dalam jumlah yang relatif besar yaitu Rp. 100 juta masih rendah, dan belum dilakukan pembinaan yang berkesinambungan pada pengurus LKM-A. Pada tahun 2009 ketika pertama kali PUAP digulirkan, kesiapan kelompok dan dinas terkait masih kurang, hal ini bisa dilihat dari tujuan pendirian kelompok atau LKM-A secara cepat yang hanya ditujukan untuk dapat mengakses pendanaan PUAP. Selain itu dana PUAP dianggap sebagai dana hibah yang tidak perlu dikembalikan kepada pemerintah, hal ini dapat dilihat dari nilai NPL yang mencapai angka 61.45 persen atau rata-rata 3.23 persen. Hal ini masih berlanjut pada tahun 2010, yang nilai NPL nya meningkat tajam dengan 61.96 atau rata-rata 7.75 persen. Karena melihat tidak ada sangsi tegas yang diberikan maka anggapan bahwa dana PUAP tidak perlu dikembalikan semakin meningkatkan moral hazard pada anggota peminjam di masing-masing LKM-A. dimana rendahnya pemahaman petani tentang maksud dan tujuan program PUAP ini disebebkan juga karena ketidak seriusan petani dalam mengikuti sosialisasi yang diadakan oleh Gapoktan. Selain itu menurut Kamira (2011) walaupun petani telah menghadiri sosialisasi tetapi tetap tidak memahami maksud dan tujuan program PUAP. Hal ini disebabkan karena kurangnya minat dan keterterikan pada topik yang dibicarakan sehingga saat sosialisasi mereka tidak memperhatikan. Selain itu menurut hasil penelitian Kamira tingkat partisipasi petani yang datang ke masing-masing gapoktan untuk mengikuti sosialisasi masih rendah, karena tidak mau meninggalkan pekerjaan rutinnya. Petani sudah malas datang dan tidak mau meninggalkan pekerjaan rutinnya, karena mereka tidak mau rugi, petani sekarang sudah mulai hitung-hitungan, kalau tidak akan menguntungkan rasanya mereka tidak akan menghadiri undangan gapoktan. Namun pada tahun 2011 dengan berkurangnya nilai NPL secara drastic mencapai angka 2.34 persen, menunjukkan bahwa pembenahan LKM-A mulai dilakukan oleh dinas pertanian dan secretariat PUAP dalam penyeleksian LKM-A penerima dana PUAP, serta beberapa studi telah dilakukan dalam mengevaluasi berjalannya LKM-A PUAP pada tahun 2011. Sehingga informasi tentang kegagalan PUAP di tahun sebelumnya dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan untuk tahun berikutnya. Dummy seleksi anggota berpengaruh negatif terhadap terjadinya salah pilih anggota dan signifikan pada taraf nyata 10 persen. Rasio odds LKM-A yang melakukan seleksi anggota dibandingkan denga yang tidak melakukan seleksi mengalami masalah salah pilih anggota adalah 0.010 atau peluang kelompok yang tidak melakukan seleksi mengalami salah pilih anggota adalah 100 kali lebih besar dibandingkan dengan yang melakukan seleksi. Hal ini mengindikasikan seleksi anggota sangat penting untuk dilakukan guna mendeteksi risiko yang akan muncul sebelum PUAP digulirkan. Selain itu jika melakukan seleksi maka dapat diketahui calon anggota tersebut sesuai atau tidak dengan visi dan misi kelompok, selain itu dengan seleksi diketahui bagaimana karakter dari calon anggota yang akan diterima. Namun dari hasil wawancara di lapangan, seleksi anggota masih tergolong sederhana dan prosesnya juga cepat. Dari hasil pengamatan untuk
82
beberapa kategori NPL di LKM-A terhadap terjadinya salah pilih anggota, dimana LKM-A dengan NPL tinggi (67-100 persen) yaitu, LKM-A Agro floris, Ceno Pulai, Minang Sakato, Ambacang Sakato, Tigo Sarumpun dan Pakim Sakato, yang terindikasi terjadi salah pilih anggota adalah LKM-A Minang Sakato (100 persen), Ceno Pulai (100 persen) dan Ambacang Sakato (92.78 persen). Dimana risiko ini dilihat dari tingkat risiko kelompok dan kecocokannya dengan anggota lain. Untuk LKM-A yang mempunyai nilai NPL 100 persen tidak menjamin terjadinya salah pilih anggota karena responden yang telah di wawancarai tidak mengalami gagal bayar, dari penelitian ini diduga bahwa responden tidak memberikan informasi yang sempurna (moral hazard). LKM-A dengan NPL menengah (35-66 persen) yaitu LKM-A Jaya Bersama, Fajar Mahkota, Kapalo Koto Bersama dan Harapan Jaya, tidak mengalami masalah adverse selection. LKM-A dengan NPL rendah (0-34 persen) yaitu, LKM-A Batu Gadang Bersama, Jaya Saiyo, Anduring, Sepakat, Maju Jaya, Jaruai, dan Aneka Usaha dan Sejahtera, yang mengalami masalah adverse selection adalah LKM-A Sejahtera (32.08 persen), Aneka Usaha (8.52persen), karena tidak semua baik pengurus dan anggota memiliki kecocokan risiko yang sama. Dummy pekerjaan utama berpengaruh negatif terhadap terjadinya salah pilih anggota dan signifikan pada taraf nyata 20 persen. Rasio odds kelompok yang pekerjaan utamanya tidak sesuai dengan RUB dibandingkan dengan yang pekerjaan utamanya sesuai RUB adalah 0.076 atau peluang kelompok yang pekerjaan utamanya sesuai dengan RUB mengalami masalah salah pilih adalah 1/0.076=13 kali lebih besar dari yang tidak. Hal ini mengindikasikan walaupun pekerjaan utamanya sudah sesuai dengan RUB, peluang salah pilih tidak dapat dihindari, karena risiko mungkin berasal dari watak anggota tersebut. Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan pekerjaan sudah sesuai dengan RUB, namun tetap terjadi kegagalan pembayaran. Dummy keterlibatan Penyuluh Mitra Tani dalam seleksi anggota berpengaruh negatif terhadap terjadinya masalah salah pilih anggota dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Rasio odds LKM-A yang tidak mengikutsertakan PMT dalam seleksi dengan yang mengikutsertakan adalah 0.007 atau peluang kelompok yang melibatkan PMT dalam seleksi anggota LKMA terjadinya salah pilih anggota adalah 142.8 kali lebih besar dibandingkan dengan tidak yang melibatkan PMT. Hal ini mengindikasikan walaupun telah didampingi oleh PMT ketika melakukan seleksi, namun hal ini tidak menjadi suatu jaminan LKM-A telah memilih orang berisiko rendah. Hal ini bisa dilihat dari tingginya nilai Non Performing Loan pada masing-masing LKM-A. Masalah adverse selection, berangkat dari pembentukan LKM-A yang secara dadakan maka pembentukannya akan menimbulkan peluang untuk meningkatkan risiko anggota kelompok yang tidak sama, anggota yang berisiko akan terpilih karena proses seleksi yang tidak ketat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh PSEKP tahun 2009 menunjukkan bahwa awal pembentukan LKM-A yang dilakukan oleh gapoktan lebih ditujukan untuk mendapatkan akses terhadap program bantuan dana PUAP, sehingga sistem pemilihan anggotanya pun hanya tergantung pada keputusan gapoktan tersebut. Hal ini diduga akan menimbulkan permasalahan dalam penyaluran dan pengembalian kredit jika terjadi kesalahan (adverse selection) dalam pemilihan Ketua, Seketaris dan Bendahara. Pada hasil penelitian dimana LKM-A yang mengalami adverse
83
selection adalah LKM-A yang berdiri pada tahun yang sama saat PUAP digulirkan yaitu Minang Sakato (100 persen), Sejahtera (32.08 persen), dan Ambacang Sakato (92.78 persen), sedangkan yang tidak adalah Ceno Pulai (100 persen), dan Aneka Usaha (8.52 persen).
8 ANALISIS FAKTOR GAGAL BAYAR DI LKM-A PUAP Pengujian Model Gagal Bayar di LKM-A PUAP Faktor-faktor kegagalan pembayaran pada LKM-A PUAP dianalisis dengan menggunakan model regresi logistik. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi terjadinya kegagalan pembayaran pada kredit PUAP dibagi kedalam 4 kelompok, yaitu peer monitoring, social ties, peer pressure selain itu ditambah dengan faktor umur, jumlah anggota keluarga, dummy jenis kelamin. Variabel yang masuk ke dalam peer monitoring yaitu jarak rata-rata antar anggota, dummy anggota kelompok mengetahui aktivitas ekonomi anggota lainnya, dummy kunjungan ke anggota yang lain dan dummy tahu salah guna kredit. Variabel social ties antara lain, dummy sama daerah lahir dengan tempat penelitian berlangsung dan dummy lama tergabung dalam kelompok. Variabel yang termasuk dalam peer pressure yaitu dummy siap menekan anggota lainnya, dan dummy sulit menerapkan sangsi. Uji G Analisis regresi logistik dilakukan menggunakan software SAS 9.1 dengan memasukkan semua peubah penjelas ke dalam model. Pengujian parameter secara simultan dengan uji G didapatkan nilai statistik uji chi-kuadrat sebesar 26.1292 dengan nilai p = 0.0103 (p < 0.15). Jika H0 = peubah bebas tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas dan H1 = peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas, karena 0.0103 < 0,15, maka disimpulkan bahwa H0 ditolak, yang berarti setidaknya ada satu peubah yang berpengaruh nyata terhadap kegagalan pembayaran di LKM-A PUAP , atau secara bersama-sama variabelvariabel independen berpengaruh nyata terhadap variabel dependen (ada atau tidak ada gagal bayar), yang dapat dilihat pada Lampiran 11. Uji Wald Pengujian parameter secara parsial dilakukan dengan uji wald, peubah yang berpengaruh nyata pada taraf alpha 5 persen adalah jumlah anggota keluarga (p-value = 0.0232), besar kredit yang dipinjam (p-value= 0.0350), dummy jenis kelamin (p-value= 0.0353), jarak rata-rata antar anggota (p-value=0.407) dan dummy daerah sama lahir (p-value=0.558). Peubah yang berpengaruh nyata pada taraf alpha 15 persen adalah umur (p-value = 0.1388) yang dapat dilihat pada Lampiran 11.
84
Kebaikan Model Kebaikan model kegagalan pembayaran di LKM-A PUAP dianalisis dengan melihat tabel klasifikasi pada Tabel 19. Proporsi Keseluruhan untuk klasifikasi yang benar diduga oleh model logistik yang diperoleh adalah: P (klasifikasi benar) = (16+22)/54 = 0.704 Tabel 19. Tabel Prediksi Model Actual Y=1 Y=0
Prediction (Alpha=10%) Y=1 Y=0 16 4
Total 12 22
28 26
Tingkat kebaikan pendugaan atau prediksi dari model logistik yang diperoleh untuk menduga kegagalan pembayaran di LKM-A PUAP yaitu 70.4 persen, pada alpha 10 persen yang dapat dilihat secara rinci pada Lampiran 11. Interpretasi Nilai Odds Ratio pada Variabel Kegagalan Pembayaran Variabel-variabel yang berpengaruh nyata yang dilihat dari uji Wald, selanjutnya dianalisis nilai odds rasio nya, untuk dilihat pengaruh variabelvariabel yang digunakan terhadap terjadinya kegagalan pembayaran di LKM-A PUAP. Hasil pendugaan model logit peluang kegagalan pembayaran di LKM-A PUAP ditunjukkan pada Tabel 20. Tabel 20. Hasil estimasi koefisien faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan pembayaran pada LKM-A PUAP Gagal bayar Y (1): jika ada gagal bayar Y (0): jika tidak ada gagal bayar KARAKTERISTIK PERSONAL Umur Jumlah anggota keluarga Besar kredit Dummy jenis kelamin PEER MONITORING = PENGAWASAN Jarak rata-rata anggota kelompok Dummy tahu aktivitas ekonomi Dummy kunjungan anggota Dummy salah guna kredit SOCIAL TIES = IKATAN SOSIAL Dummy daerah lahir Dummy lama bergabung dalam kelompok PEER PRESSURE = TEKANAN Dummy siap menekan anggota Dummy sulit menerapkan sangsi Intercept Number of Obs
Signifikan* = taraf nyata 5% Signifikan**= taraf nyata 15%
Parameter
Pr >Chi-Sq
Odds Ratio
-0.1168 -1.1643 1.125E-6 2.8506
0.1388** 0.0232* 0.0350* 0.0353*
0.890 0.853 1.000 17.298
0.00501 -1.2362 -20.0402 30.5433
0.0407* 0.4240 0.9365 0.9157
1.005 0.290 <0.001 >999.999
-4.4127 0.0558* -10.8464 0.9527
0.012 <0.001
-2.3200 0.2649 0.4300 0.7137 23.6503 0.9251 54
0.098 1.537
85
Berdasarkan Tabel 20 diatas, semua tanda parameter sesuai dengan yang diharapkan. Namun dari 12 variabel yang digunakan hanya ada 6 variabel yang signifikan pada taraf nyata 5 persen dan 15 persen. Umur berpengaruh negatif terhadap terjadinya kegagalan pembayaran dan signifikan pada taraf nyata 15 persen. Nilai odds ratio variabel umur adalah 0.89. Yang berarti setiap penambahan umur 1 tahun, diduga peluang terjadinya kegagalan pembayaran naik sebesar 89 persen apabila variabel lainnya tetap, hal ini mengindikasikan anggota kelompok yang semakin tua tidak menjamin untuk mengalami gagal bayar, namun akan mengurangi terjadinya peluang gagal bayar. Karena dengan semakin bertambahnya umur, semakin bertanggung jawab untuk pengelolaan kredit yang digunakan. Dari data di lapangan, responden yang sudah berumur pada umur 40–50 keatas, mengalami gagal bayar, namun responden yang berumur 60-70 tahun keatas tidak mengalami gagal bayar. Jumlah anggota keluarga berpengaruh negatif terhadap terjadinya kegagalan pembayaran dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Nilai odds ratio jumlah anggota keluarga adalah 0.853. Artinya setiap penambahan 1 anggota keluarga akan menimbulkan peluang terjadinya kegagalan pembayaran 85 persen apabila variabel yang lain tetap. Hal ini mengindikasikan anggota kelompok yang memiliki jumlah anggota yang lebih banyak mampu mengurangi terjadinya kegagalan pembayaran. Dimana dari data di lapangan anggota kelompok yang mempunyai jumlah anggota 7-8 orang tidak mengalami masalah gagal bayar. Besar kredit berpengaruh positif terhadap terjadinya kegagalan pembayaran dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Nilai odds ratio besar kredit adalah 1.000. Artinya jika besar kredit bertambah Rp.1 maka peluang terjadinya kegagalan pembayaran naik sebesar 1.000 jika variabel yang lain tetap. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan jumlah pinjaman yang besar maka peluang untuk melakukan penyalah gunaan akan meningkat, dan semakin tingginya tingkat tanggung jawab untuk mengembalikan kredit ditambah dengan bunganya. Jika dilihat dari data penyaluran kredit, jumlah kredit maksmimum sebesar Rp. 4.000.000,- dengan semakin tinggi jumlah pinjaman maka peluang gagal bayar juga akan bertambah atau berkorelasi positif. Dummy jenis kelamin berpengaruh positif terhadap peluang terjadinya kegagalan pembayaran dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Nilai odds ratio variabel jenis kelamin laki-laki dengan yang perempuan adalah 17.298 atau peluang anggota dengan jenis kelamin perempuan mengalami masalah gagal bayar adalah 0.05 kali lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Artinya laki-laki memiliki peluang yang lebih besar untuk mengalami gagal bayar dibandingkan dengan wanita. Hal ini disebabkan karena wanita lebih bisa untuk memanajemen uang yang diperuntukan untuk konsumsi dan produksi, selain itu lebih rentan terhadap tekanan atau moral sosial jika melakukan penayalah gunaan kredit. Jarak rata-rata anggota kelompok berpengaruh positif terhadap terjadinya kegagalan pembayran dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Nilai odds ratio variabel jarak adalah 1.005, artinya apabila jarak rata-rata antar anggota bertambah 1 meter maka peluang terjadinya kegagalan pembayaran sebesar 1 kali peluang tidak ada gagal bayar, dengan kata lain peluang gagal bayar dengan tidak gagal bayar sama. Dummy sama daerah lahir berpengaruh negatif terhadap terjadinya kegagalan pembayaran dan signifikan pada taraf nyata 20 persen. Rasio odds
86
anggota yang tidak lahir di daerah yang sama dibandingkan dengan anggota yang sama daerah lahirnya adalah 0.012. Peluang anggota kelompok yang sama daerah lahir mengalami gagal bayar 83.3 kali lebih besar dibanding kelompok yang sama daerah lahirnya. Artinya kelompok yang sama daerah lahir memiliki peluang yang besar untuk gagal bayar, hal ini dikarenakan mereka menggangap ada toleransi yang bisa diberikan oleh anggota lain karena masih berada dalam satu lingkungan yang sama. Hal ini sesuai dengan kondisi di lapangan dimana salah satu LKM-A baik pengurusnya maupun anggota ada yang mengalami kegagalan pembayaran walaupun berada di satu lingkungan yang sama. NPL yang tinggi disebabkan oleh berbagai faktor yaitu anggapan dana PUAP merupakan dana hibah dari pemerintah yang tidak perlu dikembalikan, pendapatan petani yang tidak perbulan, kegagalan usaha, maupun sengaja untuk mengulur waktu pembayaran karena pengaruh anggota lain yang tidak membayar tidak kenakan sangsi apa-apa, kemudian sangsi yang dijatuhkan tidak tegas untuk menindak anggota yang mengalami gagal bayar ini. Moral Hazard yang terjadi di tiga kategori NPL pada LKM-A, dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu LKM-A dengan nilai NPL tinggi diantaranya LKM-A Agro floris, Ceno Pulai, Minang Sakato, Ambacang Sakato, Tigo Sarumpun dan Pakim Sakato yang mengalami masalah moral hazard adalah LKM-A Minang Sakato (100 persen), Ceno Pulai (100 persen), Ambacang Sakato (92.87 persen) dimana LKM-A yang mengalami masalah adverse selection dengan nilai NPL yang tinggi akan mengalami masalah moral hazard. LKM-A dengan nilai NPL menengah yaitu LKM-A Jaya Bersama, Fajar Mahkota, Kapalo Koto Bersama dan Harapan Jaya yang mengalami masalah moral hazard adalah satu anggota pada LKM-A Jaya Bersama yang mengalami masalah gagal bayar dan semua anggota di Kapalo Koto Bersama, dimana awalnya LKM-A tersebut tidak mengalami masalah adverse selection namun mengalami masalah gagal bayar. LKM-A dengan nilai NPL rendah yaitu LKM-A Batu Gadang Bersama, Jaya Saiyo, Anduring, Sepakat, Maju Jaya, Jaruai, dan Aneka Usaha dan Sejahtera, yang mengalami masalah moral hazard adalah LKMA Batu Gadang Bersama (15.84 persen) , Jaya Saiyo (1.74 persen), Aneka Usaha (8.52 persen), dan Sejahtera (32.08 persen). LKM-A yang mengalami masalah adverse selection juga mengalami masalah moral hazard adalah LKM-A Sejahtera dan Aneka Usaha, sedangkan yang lainnya tidak mengalami adverse selection tapi mengalami gagal bayar. Masalah moral hazard yang diproxikan melalui kegagalan pembayaran, dimana dapat dilihat dari nilai Non Performing Loan (NPL) yang tinggi setiap tahunnya menunjukkan bahwa terjadi pengelolaan dana yang buruk di LKM-A, dan anggapan bahwa dana PUAP merupakan dana hibah yang tidak perlu dikembalikan menjadi pemicu hal tersebut terjadi. Hanya di beberapa LKM-A pengelolaan dana yang baik sehingga menjadikan nilai NPL nya mencapai angka 0.00 persen. LKM-A yang mengalami masalah moral hazard adalah Minang Sakato (100%), Ceno Pulai (100 persen), Ambacang Sakato (92.87 persen), Batu Gadang Bersama (15.84 persen) , Jaya Saiyo (1.74 persen), Aneka Usaha (8.52 persen), dan Sejahtera (32.08 persen). Berbagai alasan memicu terjadinya moral hazard di beberapa LKM-A ini diantaranya karena tidak ada sangsi yang tegas jika tidak membayar dan kerugian dari usaha yang dilakukan, selain itu tidak ada rasa solidaritas antar anggota sehingga sistem pinjaman kelompok juga tidak berjalan.
87
Untuk melihat keterkaitan antara tujuan kedua dan ketiga dimana LKM-A yang berisiko akan terindikasi mengalami gagal bayar, hal ini bisa dilihat dari variabel-variabel yang digunakan, seperti variabel kegagalan pembayaran yang merupakan indikasi moral hazard, menjadi variabel dalam analisis adverse selection dan mempunyai pengaruh yang positif. Sedangkan untuk tujuan pertama, bisa dilihat pada variabel kunjungan petugas kredit, dimana LKM-A yang dikunjungi adalah LKM-A yang nilai Non Performing Loan nya tergolong rendah, seperti LKM-A Anduring yang nilai NPL nya 0, dikunjungi oleh petugas kredit. Artinya LKM-A yang tidak mengalami masalah moral hazard akan dilirik oleh perbankan untuk menyalurkan kredit mereka.
9 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Variabel-variabel yang signifikan dan meningkatkan peluang akses kredit ke Bank adalah mempunyai sumber pembiayaan selain LKM-A dan petugas kredit mengunjungi LKM-A. 2. Variabel-variabel yang signifikan dan mengurangi terjadinya aderse selection pada LKM-A yang dilihat dari risiko LKM-A adalah variabel umur, jumlah anggota kelompok, sama daerah lahir, kenal anggota sebelum LKM-A terbentuk, tahu penjualan anggota, seleksi anggota, pekerjaan utama sesuai dengan RUB, dan melibatkan PMT. Sedangkan variabel yang meningkatkan peluang terjadinya adverse selection adalah jarak rata-rata antar anggota dan LKM-A dibentuk saat PUAP digulirkan. 3. Variabel-variabel yang signifikan dan mengurangi peluang terjadinya moral hazard yang dilihat melalui kegagalan pembayaran kredit PUAP adalah variabel umur, jumlah anggota keluarga dan sama daerah lahir. Sedangkan variabel yang meningkatkan peluang terjadinya moral hazard adalah variabel besar kredit yang dipinjam, jenis kelamin laki-laki dan jarak rata-rata anggota kelompok. Saran 1. LKM-A diharapkan dapat tumbuh sebagai lembaga yang mampu dimanfaatkan dan dikelola oleh petani untuk mengakses modal untuk pengembangan usahanya, dengan melihat kondisi di lapangan LKM-A yang ada di Kota Padang masih jauh dari lembaga yang menyelenggarakan manajemenisasi secara professional sehingga sulit untuk mengakses kredit dari perbankan. Kunjungan petugas kredit diharapkan dapat dijadikan sebagai peluang untuk membuka akses ke perbankan. Disamping itu, pelatihan dan bimbingan yang diberikan oleh dinas terkait, sehingga Dinas Pertanian Kota Padang dan Sekretariat PUAP Kota Padang diharapkan dapat memberikan sosialisasi dan pendampingan secara berkesinambungan, serta penambahan jumlah PPL di lapangan, sehingga LKM-A bisa menjadi lebih baik dan
88
mampu untuk mandiri dalam mencari tambahan modal melalui lembaga perbankan. 2. Seleksi yang dilakukan oleh masing-masing LKM-A masih tergolong rendah, yang menyebabkan ketidakmerataan tingkat risiko, untuk itu LKM-A perlu merumuskan poin-poin penting untuk mengukur tingkat risiko masing-masing calon anggota kelompok. 3. Tingkat NPL yang tinggi di hampir semua LKM-A di Kota Padang salah satunya disebabkan karena moral hazard anggota maupun pengurus, hal ini dapat ditekan jika pelaksanaan sistem tanggung renteng kredit benar-benar dapat diterapkan dengan baik. Selain itu pertemuan rutin kelompok dan perlunya dibangun rasa kepedulian, dan pengawasan antar anggota menjadi solusi praktis untuk mengurangi masalah kegagalan pembayaran.
DAFTAR PUSTAKA Ahlam. 2005. Studi Komparatif Sistem Pengelolaan Kredit Antar Lembaga Keuangan Mikro: Upaya Mencari Sistem Lembaga Keuangan Mikro Yang Efisien. Tesis Magister Sains. Bogor. [ID] Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Anggraeni, Noviani. 2011. Analisis Faktor Penyebab Moral Hazard pada Program PUAP (Pengembangan usaha Agribisnis Perdesaan) Wilayah Utara Kabupaten Cianjur. Skripsi Departemen Ilmu Ekonomi. Bogor. [ID] Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Ashari, 2006. Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Volume 4 No. 2: 146-154 [ID] PSEKP Ashari. 2009. Optimalisasi Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Kebijakan Pertanian, Bogor. Volume 7 No. 1: 21-42. [ID] PSEKP Bachtiar, Toni dan Iman Sugema. 2012. Masalah informasi asimetrik dalam sistem perbankan syariah: adverse selection problem. Bogor. [ID] Institut Pertanian Bogor [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. Jakarta [ID] BPS [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat. 2012. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan. http://sumbar.bps.go.id [ 11 Oktober 2012] [ID] BPS [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat. 2012. Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008-2011. http://sumbar.bps.go.id [ 11 Oktober 2012] [ID] BPS [BI] Bank Indonesia.2011. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Aceh. http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Ekonomi_Regional/KER/Aceh/ker _aceh_tw411.htm [ 30 Oktober 2012] [ID] BPS [BI] Bank Indonesia. 2012. Statistik Perbankan Indonesia. Vol: 10 No.6 Mei 2012. Jakarta [ID] BI
89
Burhansyah, Rusli. 2010. Pemberdayaan Gapoktan PUAP Kalimantan Barat sebagai Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis Petani di Pedesaan.. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kalimantan Barat. Kalimantan Barat. Vol 7 No 2: 1-5 [ID] BAPPEDA [DEPTAN] Departemen Pertanian, 2008. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Jakarta. [ID] DEPTAN Kasmadi. 2005. Pengaruh Bantuan Langsung Masyarakat Terhadap Kemandirian Petani Ternak. (Kasus pada Kelompok Tani Ternak Desa Bungai Jaya dan Desa Tambun Raya, Kecamatan Basarang, Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah. [Skripsi]. Bogor: [ID] Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Kementrian Pertanian. 2011. Pedoman Penilaian Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Berprestasi Tahun Anggaran 2011. Kementrian Pertanian. Jakarta. Lubis. 2005. Efektivitas Penyaluran Kredit Ketahanan Pangan dan Analisis Pendapatan Petani Pengguna Kredit (Studi Kasus pada Petani Tebu Anggota Koperasi Madusari, Pabrik Gula Tasikmadu Karanganyar, Solo). [Skripsi]. Bogor: [ID] Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Maurya, Ramu. 2011. Theory of Joint Liablities, Adverse Selection, Assertive Matching And Self Financing. Ramu Maurya, International journal Economic Research. Volume 2. No. 5: 108-118. Mc Cackie, Patrick. 1999. Asymmetric information, adverse selection and Moral hazard in the Banking Insdustry. Presented at the annual Review Seminar, Central Bank of Barbados. Mehrteab, Hatbteab Tekie. 2004. Adverse Selection and Moral Hazard in Group Based Lending: Evidence From Eritrea. Thesis. Faculty of Economics. University of Groningen Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES Prihartono, M. Koko, 2009. Dampak Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan Terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Anggota Gapoktan. [Skripsi]. Bogor: [ID] Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Simorangkir, O.P. 2004.Pengantar Lembaga Keuanganan Bank dan Nonbank. Cetakan kedua. Jakarta: Ghalian Indonesia. Simtowe, Franklin and Manfred Zeller. 2006. Determinants of Moral Hazard in Microfinance: Empirical Evidence from joint Liability Lending Programs in Malawi. Munich Personal RePec Archive. Supriatna, Ade. 2003. Aksesenilitas Petani Kecil Pada Sumber Kredit Pertanian di Tingkat Des: Studi Kasus Petani Padi Di Nusa Tenggara Barat. Bogor. [ID] Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. Supriatna, Ade. 2009. Pola Pelayanan Pembiayaan Sistem Kredit Mikro Usaha Tani di Tingkat Pedesaan. Bogor [ID] Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.Bogor.
90
Syahyuti. 2007. Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) Sebagai Kelembagaan Ekonomi Di Perdesaan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian (Maret) : 15-35. Taswan. 2011. Konsekuensi Informasi Asimetris dalam Perkreditan dan Penangganannya pada Lembaga Perbankan. Fokus Ekonomi (FE) Desember 2011, Hal. 226-234 Triandaru, Sigit dan Totok Budisantoso. 2007. Bank dan Lembaga Keuagan Lain. Edisi kedua, Jakarta: Salemba Empat. Usman, S., W.I. Suharyo, B. Sulaksono, M. S. Mawardi, N. Toyamah, dan Akhmadi. 2004. Keuangan Mikro untuk Masyarakat Miskin: Pengalaman Nusa Tenggara Timur. Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta. Wadi, Syahrul. 2010. Analisis Fungsi LKM-A Suri Indah Gapoktan Sinamar Sungai Rimbang Kecamatan Suliki Kabupaten Lima Puluh Kota, dalam Mengelola Dana Program BLM-PUAP. Skripsi. Padang. [ID] Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas Wijono, W. 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro sebaga Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Rantai Kemiskinan. Kajian Ekonomi dan Keuangan (Edisi Khusus). Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan. Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional. Departemen Keuangan.
91 Lampiran 1 Kredit Bank Umum kepada pihak ketiga bukan Bank berdasarkan lapangan usaha tahun 2012 (Milliar Rp) No (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13 14 15 16
Penerima Kredit Lapangan Usaha (2) Pertanian Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik , air dan gas Konstruksi Pedagang besar dan eceran Penyediaan akomodasi dan penyediaan makan dan minum Transportasi pergudangan dan komunikasi Perantara keuangan Real estate, usaha persewaan, dan jasa perusahaan Administrasi pemerintah, pertahanan dan jaminan sosial wajib Jasa pendidikan Jasa kesehatan dan kegiatan sosial Jasa kemasyarakatan, sosial budaya, hiburan dan perorangan lainnya Jasa perorangan yang melayani rumah tangga
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agus
Sep
Okt
Nov
Total
Rasio
(3) 109,752 4,798 90,188
(4) 112,730 4,789 85,017
(5) 115,084 4,750 88,052
(6) 115,748 4,712 92,024
(7) 123,536 4,849 95,533
(8) 131,810 5,079 92,955
(9) 128,744 5,135 89,082
(10) 126,541 5,065 89,097
(11) 131,785 5,228 93,978
(12) 133,387 5,290 94,543
(13) 134,974 5,536 98,600
(14) 1,364,092 55,231 1,009,068
(15) 7% 0% 5%
349,579 52,164 72,923 367,774
355,774 52,069 76,179 367,356
358,950 60,508 79,326 381,444
367,021 62,901 81,071 397,302
377,257 66,765 84,866 419,551
388,408 57,502 90,779 451,313
396,743 58,140 92,193 456,895
408,495 63,717 92,827 455,296
420,406 68,386 98,999 457,613
422,551 63,423 97,592 466,679
429,166 67,577 98,696 477,594
4,274,350 673,152 965,451 4,698,817
23% 4% 5% 25%
30,389
31,066
32,260
33,053
34,418
36,030
37,059
37,713
39,520
41,871
42,692
396,072
2%
95,828
96,277
99,493
100,758
104,144
111,399
110,784
114,414
114,611
117,296
119,562
1,184,567
6%
110,256 117,004
114,509 118,685
116,327 122,859
121,509 123,766
120,093 125,137
123,383 130,534
123,979 136,087
124,574 146,841
124,462 140,338
125,820 144,193
123,480 146,619
1,328,393 1,452,064
7% 8%
3,057
3,061
2,159
2,065
2,955
2,928
2,864
2,765
2,778
2,573
2,659
29,864
0%
4,024 7,509
4,057 7,345
4,128 7,456
4,384 7,490
4,359 7,480
4,510 7,626
4,529 7,753
4,338 7,805
4,483 8,126
4,474 8,220
4,508 8,343
47,795 85,155
0% 0%
39,092
39,443
39,788
40,744
41,339
43,176
44,072
43,897
43,646
44,758
43,766
463,723
2%
749
630
587
579
637
695
758
732
709
711
713
7,500
0%
92 (1) 17 18
(2) Badan internasional dan badan ekstra internasional lainnya Kegiatan yang belum jelas batasannya Total
(3) 3,284
(4) 3,211
(5) 3,010
(6) 2,556
(7) 3,246
(8) 99
556
536
516
504
497
18,015
(15) 0%
55,984
61,900
64,710
63,624
61,554
52,578
49,193
35,788
40,235
41,391
41,793
568,751
3%
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia- Vol 10, No.12. November 2012
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
18,622,057
93
Lampiran 2 Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Barat tahun 2007-2010 (Jiwa) Provinsi Sumatera
2006 4.632.500
2007 4.697.764
2008 4.763.099
2009
2010
4.827.973 4.846.909
Barat Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 Lampiran 3 Kuota Lokasi Penerima PUAP Menurut Propinsi tahun 2008 No Provinsi Jumlah Kabupaten/Kota Jumlah Kuota Desa 1 NAD 19 600 2 Sumatera Utara 19 475 3 Sumatera Barat 12 208 4 Riau 10 182 5 Jambi 9 208 6 Bengkulu 9 292 7 Sumatera Selatan 12 369 8 Lampung 9 269 9 Bangka Belitung 6 63 10 Kepulauan Riau 4 54 11 DKI Jakarta 4 15 12 Jawa Barat 19 529 13 Jawa tengah 30 987 14 D.I. Yogyakarta 4 127 15 Jawa Timur 30 987 16 Banten 5 138 17 Bali 9 137 18 NTB 8 220 19 NTT 18 522 20 Kalimantan Barat 11 244 21 Kalimantan Tengah 13 225 22 Kalimantan Timur 10 239 23 Kalimantan Selatan 11 355 24 Sulawesi Utara 9 214 25 Sulawesi Selatan 20 417 26 Sulawesi Tenggara 10 315 27 Sulawesi Barat 4 110 28 Gorontalo 5 134 29 Maluku 7 195 30 Maluku Utara 6 145 31 Papua Barat 8 230 32 Papua 20 505 33 Sulawesi Tengah 9 290 Sumber: Dinas Pertanian 2008
94
Lampiran 4 Sebaran lokasi penerima dana BLM-PUAP Provinsi Sumatera Barat tahun 2008 No. Nama Kabupaten/Kota Jumlah Kecamatan Desa/Nagari 1 Kabupaten Agam 5 11 2 Kabupaten Dharmasraya 4 10 3 Kabupaten Kepulauan Mentawai 3 15 4 Kabupaten Lima Puluh Kota 12 30 5 Kabupaten Padang Pariaman 15 22 6 Kabupaten Pasaman 8 12 7 Kabupaten Pasaman Barat 5 10 8 Kabupaten Pesisir Selatan 12 30 9 Kabupaten Sijunjung 8 27 10 Kabupaten Solok 7 17 11 Kabupaten Solok Selatan 5 11 12 Kabupaten Tanah Datar 5 13 Total 89 208 Sumber: Sekretarian PUAP di Provinsi Sumatera Barat dalam Wadi, 2010
95 Lampiran 5 Perkembangan jumlah gapoktan dan dana PUAP di Kota Padang (sampai dengan Februari 2013) N o (1) 1
2
3
Kecamatan
N o
Kelurahan
(2)
(3)
(4)
Koto Tangah
Lubuk Kilangan
Pauh
Nama Gapoktan
Jumlah Poktan
Tahun berdiri
Dana Awal Penerimaan (Rp. Juta)
Perkembangan Jumlah Anggota s/d Februari 2013 (orang)
Nilai Aset yang dikelola s/d Februari 2013 (Rp. Juta)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
1
Lubuk Minturun
Agro Floris
11
2009
100
258
139
2
Batipuah Panjang
Jaya Bersama
8
2009
100
276
148
3
Koto Pangjang Ikua Koto
Fajar Mahkota
8
2009
100
447
115
4
Koto Pulai
Ceno Pulai
6
2009
100
246
106
5
Sungai Bangek
Karya Bersama
5
2010
100
239
105
6
Aia Pacah
Mutiara Sejati
4
2011
100
104
127
7
Batung Kabung Ganting
Batung Kabung Gaung Ganting
3
2012
100
110
0
8
Bungo Pasang
Salingka Permai
4
2012
100
125
0
9
Padang Sarai
Padang Sarai Sepakat
4
2012
100
125
0
1
Batu Gadang
Batu Gadang Bersama
6
2009
100
288
196
2
Indarung
Indarung Sepakat
4
2010
100
116
100
3
Bandar Buat
Jaiya Saiyo
2
2011
100
99
109
4
Koto Lalang
Koto Jaya
5
2012
100
280
0
5
Tarantang
Tarantang Saiyo
2
2012
100
70
0
1
Limau Manis
Harapan Bersama
3
2009
100
49
101
96
(1)
4
5
(2)
Kuranji
Nanggalo
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
2
Kapalo Koto
Kapalo Koto Basamo
3
2009
100
112
122
3
Lambuang Bukik
Minang Sakato
5
2009
100
197
103
4
Pisang
Pisang Sakato
6
2009
100
57
114
5
Cupak Tangah
Cupak Sepakat
2
2009
100
56
106
6
Limau Manis Selatan
Bukit Rindang Lestari
3
2010
100
129
110
7
Binuang Kamp. Dalam
Binuang Abadi
4
2011
100
68
112
8
Koto Luar
Maju Bersama
5
2012
100
130
0
9
Piai Tangah
Ganto Suri
3
2012
100
102
0
1
Lubuak Lintah
Harapan Bundo
3
2009
100
87
125
2
Pasar Ambacang
Ambacang Sakato
9
2009
100
331
110
3
Kalumbuak
Sejahtera
3
2009
100
220
119
4
Sungai Sapih
Sungai Sapih Jaya
4
2009
100
87
100
5
Gunung Sarik
Sarik Sati
4
2009
100
74
112
6
Anduring
Anduring
3
2011
100
96
106
7
Korong Gadang
Makmur
4
2011
100
86
107
8
Kuranji
Rimbun Sejati
10
2012
100
300
0
1
Gurun Lawas
Harapan Jaya
3
2009
100
99
107
2
Kurao Pagang
Sepakat
6
2009
100
158
135
3
Surau Gadang
Serumpun Boneh
3
2009
100
71
128
97
(1)
6
7
(2)
Lubuk Begalung
Bungus Teluk Kabung
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
4
Kampung Olo
Gunung Kacik Jaya
4
2010
100
54
95
5
Kampung Lapai
Lapai Makmur
2
2012
100
35
0
1
Penggambiran Ampalu
Tigo Sarumpun
3
2009
100
126
105
2
Kampuang Jua
Tunas Muda
4
2010
100
80
106
3
Pampangan
Pampangan Saiyo
2
2011
100
60
106
4
Lubuk Begalung
Saitawa Indah
4
2012
100
124
0
5
Batung Taba
Kurnia Sejati
4
2012
100
132
0
1
Bungus Timur
Sejahtera
6
2010
100
105
110
2
Teluk Kabung Utara
Aia Tajun
3
2011
100
79
107
3
Teluk Kabung Tengah
Maju Jaya
2
2012
100
110
108
4
Bungus Teluk Kabung
Jaruai
4
2012
100
120
0
8
Padang Selatan
1
Mata Air
Cahaya Mata
4
2012
100
87
0
9
Padang Timur
1
Kubu Dlm Parak Kerakah
Pakim Sakato
6
2010
100
140
106
10
Padang Utara
1
Alai Parak Kopi
Aneka Usaha
5
2010
100
72
121
4.800
6.616
4.026
Total
Sumber: Sekretariat PUAP Kota Padang 2013 (data diolah)
211
98 Lampiran 6 Perkembangan dana LKM-A PUAP di Kota Padang (sampai dengan tahun 2012) N o
Kecamatan
N o
Kelurahan
Nama Gapoktan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1
2
Koto Tangah
Lubuk Kilangan
1
Lubuk Minturun
Agro Floris
2
Batipuah Panjang
3
Penggunaan Dana Pinjaman/BLM PUAP (Rp) Tanaman pangan
Perkebunan
Hortikultura
Peternakan
Off- farm
Total
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
40.000.000
2.000.000
5.500.000
4.000.000
199.260.000
250.760.000
Jaya Bersama
292.850.000
-
15.500.000
-
115.250.000
423.600.000
Koto Panjang Ikua Koto
Fajar Mahkota
81.600.000
49.280.000
-
22.500.000
181.500.000
334.880.000
4
Batung Kabung Ganting
Batung Kabung Gaung Ganting
-
-
-
-
-
-
5
Bungo Pasang
Salingka Permai
-
-
-
-
-
-
6
Padang Sarai
Padang Sarai Sepakat
-
-
-
-
-
-
7
Aia Pacah
Lapai Makmur
-
-
-
-
-
-
8
Aia Pacah
Mutiara Sejati
34.000.000
21.000.000
-
-
45.000.000
100.000.000
9
Balai Gadang
Karya Bersama
90.000.000
10.000.000
-
-
-
100.000.000
10
Koto Pulai
Ceno Pulai
50.000.000
-
-
-
50.000.000
100.000.000
1
Batu Gadang
Batu Gadang Bersama
170.000.000
27.000.000
-
31.500.000
303.500.000
532.000.000
2
Bandar Buat
Jaiya Saiyo
30.000.000
-
-
15.000.000
41.000.000
86.000.000
3
Koto Lalang
Koto Jaya
-
-
-
-
-
-
4
Tarantang
Tarantang Saiyo
-
-
-
-
-
-
5
Batung Taba
Kurnia Sejati
-
-
-
-
-
-
6
Indarung
Indarung Sepakat
50.000.000
-
-
40.000.000
10.000.000
100.000.000
99
(1) 3
4
5
(2) Pauh
Kuranji
Nanggalo
(3)
(4)
(5)
1
Limau Manis
Harapan Bersama
2
Kapalo Koto
3
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
68.500.000
6.600.000
1.000.000
26.000.000
67.500.000
169.600.000
Kapalo Koto Basamo
180.200.000
15.500.000
-
21.000.000
182.459.000
399.159.000
Lambuang Bukik
Minang Sakato
105.020.000
4.000.000
3.000.000
3.500.000
22.500.000
138.020.000
4
Pisang
Pisang Sakato
127.000.000
-
-
-
75.700.000
202.700.000
5
Koto Luar
Maju Bersama
-
-
-
-
-
-
6
Binuang Kamp. Dalam
Binuang Abadi
40.000.000
-
-
-
60.000.000
100.000.000
7
Limau Manis Selatan
Bukit Rindang Lestari
24.000.000
40.000.000
2.000.000
10.000.000
24.000.000
100.000.000
8
Cupak Tangah
Cupak Sepakat
70.000.000
-
-
10.000.000
20.000.000
100.000.000
1
Lubuak Lintah
Harapan Bundo
193.400.000
-
-
127.130.000
233.760.000
554.290.000
2
Pasar Ambacang
Ambacang Sakato
170.000.000
-
-
18.250.000
15.500.000
203.750.000
3
Kalumbuak
Sejahtera
60.500.000
-
-
7.000.000
120.000.000
187.500.000
4
Kuranji
Rimbun Sejati
-
-
-
-
-
-
5
Anduring
Anduring
30.000.000
-
-
-
70.000.000
100.000.000
6
Korong Gadang
Makmur
55.000.000
-
-
-
45.000.000
100.000.000
7
Sungai Sapih
Sungai Sapih Jaya
60.000.000
-
-
-
40.000.000
100.000.000
8
Gunung Sarik
Sarik Sati
50.000.000
-
-
70.000.000
43.000.000
163.000.000
1
Gurun Lawas
Harapan Jaya
80.500.000
13.000.000
-
39.500.000
61.500.000
194.500.000
2
Kurao Pagang
Sepakat
386.830.000
25.000.00
-
81.000.000
94.000.000
568.830.000
3
Kampung Olo
Gunung Kacik Jaya
30.000.000
5.000.000
-
10.000.000
55.000.000
100.000.000
100
(1)
6
7
(2)
Lubuk Begalung
Bunggus Teluk Kabung
(3)
(4)
(5)
4
Surau Gadang
Serumpun Boneh
1
Penggambiran Ampalu
Tigo Sarumpun
2
Pampangan
Pampangan Saiyo
3
Lubuk Begalung
Saitawa Indah
4
Kampuang Jua
1
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
50.000.000
5.000.000
-
10.000.000
35.000.000
100.000.000
162.295.000
-
-
-
31.350.000
193.645.000
42.500.000
1.000.000
-
3.000.000
25.500.000
72.000.000
-
-
-
-
-
-
Tunas Muda
45.000.000
-
-
-
55.000.000
100.000.000
Bungus Teluk Kabung
Sejahtera
20.000.000
-
-
-
20.000.000
40.000.000
2
Teluk Kabung Utara
Aia Tajun
30.000.000
-
-
5.000.000
25.000.000
60.000.000
3
Teluk Kabung Tengah
Maju Jaya
-
-
-
-
-
-
4
Bungus Teluk Kabung
Jaruai
-
-
-
-
-
-
8
Padang Selatan
1
Mata Air
Cahaya Mata
-
-
-
-
-
-
9
Padang Timur
1
Kubu Dlm Parak Kerakah
Pakim Sakato
40.000.000
-
5.000.000
-
55.000.000
100.000.000
10
Padang Utara
1
Alai Parak Kopi
Aneka Usaha
69.000.000
-
11.000.000
-
20.000.000
100.000.000
Sumber: Sekretariat PUAP Provinsi Sumatera Barat 2012 (data diolah)
101 Lampiran 7 Nilai Non Performing Loan (NPL) LKM-A di Kota Padang (sampai dengan Februari 2013) NPL (Tunggakan)
No
Kecamatan
No
Kelurahan
Nama Gapoktan
Piutang/Dana Beredar (Rp)
Nilai (Rp)
(%)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
1
2
3
Koto Tangah
Lubuk Kilangan
Pauh
1
Lubuk Minturun
Agro Floris
142.302.700
113.483.100
79,75
2
Batipuah Panjang
Jaya Bersama
131.476.000
52.836.000
40,19
3
Koto Pangjang Ikua Koto
Fajar Mahkota
106.580.000
65.665.000
61,61
4
Koto Pulai
Ceno Pulai
93.730.000
93.730.000
100,00
5
Sungai Bangek
Karya Bersama
78.703.000
64.686.000
82,19
6
Aia Pacah
Mutiara Sejati
97.980.000
38.423.000
39,22
7
Batung Kabung Ganting
Batung Kabung Gaung Ganting
0
0
0
8
Bungo Pasang
Salingka Permai
0
0
0
9
Padang Sarai
Padang Sarai Sepakat
0
0
0
1
Batu Gadang
Batu Gadang Bersama
179.687.580
28.465.000
15,84
2
Indarung
Indarung Sepakat
84.100.000
84.100.000
100,00
3
Bandar Buat
Jaiya Saiyo
57.446.000
1.000.000
1,74
4
Koto Lalang
Koto Jaya
0
0
0
5
Tarantang
Tarantang Saiyo
0
0
0
1
Limau Manis
Harapan Bersama
75.802.000
47.530.000
62,70
102 (1)
4
5
(2)
Kuranji
Nanggalo
(3)
(4)
(5)
2
Kapalo Koto
Kapalo Koto Basamo
3
Lambuang Bukik
4
(6)
(7)
(8)
108.499.150
44.134.000
40,68
Minang Sakato
91.053.405
91.053.405
100,00
Pisang
Pisang Sakato
85.556.001
72.000.000
84,16
5
Cupak Tangah
Cupak Sepakat
93.730.000
93.730.000
100,00
6
Limau Manis Selatan
Bukit Rindang Lestari
82.207.000
57.250.000
69,64
7
Binuang Kamp. Dalam
Binuang Abadi
83.680.000
20.600.000
24,62
8
Koto Luar
Maju Bersama
0
0
0
9
Piai Tangah
Ganto Suri
0
0
0
1
Lubuak Lintah
Harapan Bundo
133.020.250
38.685.000
29,08
2
Pasar Ambacang
Ambacang Sakato
89.515.000
83.055.000
92,78
3
Kalumbuak
Sejahtera
92.573.000
20.000.000
21,60
4
Sungai Sapih
Sungai Sapih Jaya
95.300.000
95.300.000
100,00
5
Gunung Sarik
Sarik Sati
108.565.000
0
0,00
6
Anduring
Anduring
132.594.000
0
0,00
7
Korong Gadang
Makmur
72.495.000
26.150.000
36,07
8
Kuranji
Rimbun Sejati
0
0
0
1
Gurun Lawas
Harapan Jaya
74.520.000
48.950.000
65,69
2
Kurao Pagang
Sepakat
144.383.500
27.143.500
18,80
3
Surau Gadang
Serumpun Boneh
117.515.800
64.182.860
54,62
103
(1)
6
7
(2)
Lubuk Begalung
Bungus Teluk Kabung
(3)
(4)
(5)
4
Kampung Olo
Gunung Kacik Jaya
5
Kampung Lapai
Lapai Makmur
1
Penggambiran Ampalu
Tigo Sarumpun
2
Kampuang Jua
3
(6)
(7)
(8)
66.826.250
61.248.750
91,65
0
0
0
98.47.900
98.471.900
100,00
Tunas Muda
65.850.000
20.352.000
30,91
Pampangan
Pampangan Saiyo
89.620.000
12.357.500
13,79
4
Lubuk Begalung
Saitawa Indah
0
0
0
5
Batung Taba
Kurnia Sejati
0
0
0
1
Bungus Timur
Sejahtera
95.011.000
30.480.000
32,08
2
Teluk Kabung Utara
Aia Tajun
58.300.000
800.000
1,37
3
Teluk Kabung Tengah
Maju Jaya
45.670.000
500.000
1,09
4
Bungus Teluk Kabung
Jaruai
0
0
0
8
Padang Selatan
1
Mata Air
Cahaya Mata
0
0
0
9
Padang Timur
1
Kubu Dlm Parak Kerakah
Pakim Sakato
49.125.000
40.000.000
81,42
10
Padang Utara
1
Alai Parak Kopi
Aneka Usaha
116.010.000
9.879.500
8,52
3.325.176.536
1.603.251.515
48,21
Total Sumber: Sekretariat Kota Padang 2013 (data diolah)
104 Lampiran 8 Kerangka perkembangan teori Informasi Asimetris
Agent
Teori Keagenan
1963: Kenneth J. ArrowUncertainty and the Welfare Economics of Medical Care
DAMPAK Moral Hazard
Informasi Asimetris
SOLUSI 1973: Michele Spain: Signalling
Principal
1970: George Arkelof The Markets for Lemons
Job Market Signaling
Adverse Selection 1989: Joseph E. Stiglitz Screening
Markets, Market Failures, and Development
105
Lampiran 9 Hasil pengolahan model peluang akses kredit LKM-A PUAP ke perbankan dengan metode Logit dengan menggunakan program SAS 9.1 The SAS System The LOGISTIC Procedure Model Information Data Set Response Variable Number of Response Levels Model Optimization Technique
WORK.REGLOG Y 2 binary logit Fisher's scoring
Number of Observations Read Number of Observations Used
54 54
Response Profile Ordered Value
Y
1 2
Total Frequency
1 0
11 43
Probability modeled is Y=1. Model Fit Statistics
Criterion AIC SC -2 Log L
Intercept Only
Intercept and Covariates
56.593 58.582 54.593
53.619 71.520 35.619
Testing Global Null Hypothesis: BETA=0 Test
Chi-Square
DF
Pr > ChiSq
18.9747 18.2851 9.9243
8 8 8
0.0150 0.0192 0.2704
Likelihood Ratio Score Wald
Analysis of Maximum Likelihood Estimates Parameter
DF
Estimate
Standard Error
Wald Chi-Square
Pr > ChiSq
Intercept JRK_LKMA ASSET DPTAB DSPEM DPKSB DKUNJ DBHKM DMTRA
1 1 1 1 1 1 1 1 1
-14.0984 0.0153 -0.0136 0.7186 2.0442 1.6398 1.9987 10.9395 12.5517
176.7 0.0169 0.0206 1.0271 1.1055 1.8829 1.0891 176.7 176.7
0.0064 0.8144 0.4362 0.4894 3.4190 0.7584 3.3683 0.0038 0.0050
0.9364 0.3668 0.5090 0.4842 0.0644 0.3838 0.0665 0.9506 0.9434
0 1 0 1 0 1
106
Odds Ratio Estimates Effect
Point Estimate
95% Wald Confidence Limits
JRK_LKMA ASSET DPTAB DSPEM DPKSB DKUNJ DBHKM DMTRA
1.015 0.986 2.051 7.723 5.154 7.380 >999.999 >999.999
0.982 0.947 0.274 0.885 0.129 0.873 <0.001 <0.001
0 1 0 1 0 1
vs vs vs vs vs vs
1 0 1 0 1 0
1.050 1.027 15.358 67.427 206.480 62.381 >999.999 >999.999
Association of Predicted Probabilities and Observed Responses Percent Concordant Percent Discordant Percent Tied Pairs
82.9 17.1 0.0 473
Somers' D Gamma Tau-a c
0.658 0.658 0.217 0.829
Wald Confidence Interval for Adjusted Odds Ratios Effect JRK_LKMA ASSET DPTAB DSPEM DPKSB DKUNJ DBHKM DMTRA
0 1 0 1 0 1
vs vs vs vs vs vs
1 0 1 0 1 0
Unit
Estimate
1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000
1.015 0.986 2.051 7.723 5.154 7.380 >999.999 >999.999
95% Confidence Limits 0.982 0.947 0.274 0.885 0.129 0.873 <0.001 <0.001
1.050 1.027 15.358 67.427 206.480 62.381 >999.999 >999.999
Classification Table Prob Level 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0.700 0.800 0.900 1.000
Correct NonEvent Event 11 7 7 6 5 4 3 1 1 0 0
0 23 33 35 37 39 41 42 42 43 43
Incorrect NonEvent Event 43 20 10 8 6 4 2 1 1 0 0
0 4 4 5 6 7 8 10 10 11 11
Percentages Sensi- Speci- False Correct tivity ficity POS 20.4 55.6 74.1 75.9 77.8 79.6 81.5 79.6 79.6 79.6 79.6
100.0 63.6 63.6 54.5 45.5 36.4 27.3 9.1 9.1 0.0 0.0
0.0 53.5 76.7 81.4 86.0 90.7 95.3 97.7 97.7 100.0 100.0
79.6 74.1 58.8 57.1 54.5 50.0 40.0 50.0 50.0 . .
False NEG . 14.8 10.8 12.5 14.0 15.2 16.3 19.2 19.2 20.4 20.4
107
Lampiran 10 Hasil pengolahan model Adverse Selection pada LKM-A PUAP dengan metode Logit dengan menggunakan Program SAS 9.1 The SAS System The LOGISTIC Procedure Model Information Data Set Response Variable Number of Response Levels Model Optimization Technique Number of Observations Read Number of Observations Used
WORK.REGLOG Y 2 binary logit Fisher's scoring 108 108
Response Profile Ordered Value
Y
1 2
Total Frequency
1 0
30 78
Probability modeled is Y=1. Model Fit Statistics
Criterion AIC SC -2 Log L
Intercept Intercept Only
and Covariates
129.622 132.304 127.622
78.237 123.833 44.237
Testing Global Null Hypothesis: BETA=0
Test
Chi-Square
DF
Pr > ChiSq
83.3854 60.9352 19.2406
16 16 16
<.0001 <.0001 0.2564
Likelihood Ratio Score Wald
Analysis of Maximum Likelihood Estimates Parameter
DF
Estimate
Standard Error
Wald Chi-Square
Pr > ChiSq
Intercept PNDPTN UMUR JRKRT JMLAGT DSMDRLHR DKNLSBL DTHPJLN DKJGN DGGLBYR DSMKSLKMA THNBDR
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
-262.0 -0.2636 -0.0874 0.00382 -0.0779 -2.8108 -3.3076 -1.5745 -2.7956 16.0980 -3.2531 0.1390
943.8 0.5189 0.0447 0.00191 0.0236 1.7599 1.9358 1.1520 2.8338 271.7 2.6905 0.4699
0.0770 0.2581 3.8183 4.0128 10.9046 2.5508 2.9195 1.8680 0.9732 0.0035 1.4619 0.0875
0.7813 0.6114 0.0507 0.0452 0.0010 0.1102 0.0875 0.1717 0.3239 0.9528 0.2266 0.7674
1 0 0 1 1 1
108
DSMPUAP DSKLS DPKJUTM DPMT DLMSLKS
0 1 0 0 0
1 1 1 1 1
4.7493 -4.6321 -2.5708 -5.0230 -11.8550
1.4586 2.5433 2.0345 1.5877 848.4
10.6013 3.3172 1.5967 10.0087 0.0002
0.0011 0.0686 0.2064 0.0016 0.9889
Odds Ratio Estimates Effect
Point Estimate
95% Wald Confidence Limits
PNDPTN UMUR JRKRT JMLAGT DSMDRLHR DKNLSBL DTHPJLN DKJGN DGGLBYR DSMKSLKMA THNBDR DSMPUAP DSKLS DPKJUTM DPMT DLMSLKS
0.768 0.916 1.004 0.925 0.060 0.037 0.207 0.061 >999.999 0.039 1.149 115.500 0.010 0.076 0.007 <0.001
0.278 0.839 1.000 0.883 0.002 <0.001 0.022 <0.001 <0.001 <0.001 0.457 6.622 <0.001 0.001 <0.001 <0.001
1 0 0 1 1 1
vs vs vs vs vs vs
0 1 1 0 0 0
0 1 0 0 0
vs vs vs vs vs
1 0 1 1 1
2.124 1.000 1.008 0.969 1.894 1.627 1.981 15.778 >999.999 7.540 2.886 >999.999 1.423 4.124 0.148 >999.999
Association of Predicted Probabilities and Observed Responses Percent Concordant Percent Discordant Percent Tied Pairs
95.8 4.1 0.0 2340
Somers' D Gamma Tau-a c
0.917 0.917 0.371 0.958
Wald Confidence Interval for Adjusted Odds Ratios Effect PNDPTN UMUR JRKRT JMLAGT DSMDRLHR DKNLSBL DTHPJLN DKJGN DGGLBYR DSMKSLKMA THNBDR DSMPUAP DSKLS DPKJUTM DPMT DLMSLKS
1 0 0 1 1 1
vs vs vs vs vs vs
0 1 1 0 0 0
0 1 0 0 0
vs vs vs vs vs
1 0 1 1 1
Unit
Estimate
1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000
0.768 0.916 1.004 0.925 0.060 0.037 0.207 0.061 >999.999 0.039 1.149 115.500 0.010 0.076 0.007 <0.001
95% Confidence Limits 0.278 0.839 1.000 0.883 0.002 <0.001 0.022 <0.001 <0.001 <0.001 0.457 6.622 <0.001 0.001 <0.001 <0.001
2.124 1.000 1.008 0.969 1.894 1.627 1.981 15.778 >999.999 7.540 2.886 >999.999 1.423 4.124 0.148 >999.999
109
Classification Table Prob Level 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0.700 0.800 0.900 1.000
Correct NonEvent Event 30 26 26 25 24 22 19 18 15 15 0
Incorrect NonEvent Event
0 56 65 67 68 69 69 72 74 75 78
78 22 13 11 10 9 9 6 4 3 0
Percentages Sensi- Speci- False Correct tivity ficity POS
0 4 4 5 6 8 11 12 15 15 30
27.8 75.9 84.3 85.2 85.2 84.3 81.5 83.3 82.4 83.3 72.2
100.0 86.7 86.7 83.3 80.0 73.3 63.3 60.0 50.0 50.0 0.0
0.0 71.8 83.3 85.9 87.2 88.5 88.5 92.3 94.9 96.2 100.0
72.2 45.8 33.3 30.6 29.4 29.0 32.1 25.0 21.1 16.7 .
False NEG . 6.7 5.8 6.9 8.1 10.4 13.8 14.3 16.9 16.7 27.8
Lampiran 11 Hasil pengolahan model kegagalan pembayaran pada LKM-A PUAP dengan metode Logit menggunakan Program SAS 9.1 The SAS System The LOGISTIC Procedure Model Information Data Set Response Variable Number of Response Levels Model Optimization Technique
WORK.REGLOG Y 2 binary logit Fisher's scoring
Number of Observations Read Number of Observations Used Ordered Value 1 2
54 54
Response Profile Y
Total Frequency
1 0
20 34
Probability modeled is Y=1. Model Fit Statistics
Criterion AIC SC -2 Log L
Intercept Only
Intercept and Covariates
73.188 75.177 71.188
53.316 79.173 27.316
Testing Global Null Hypothesis: BETA=0 Test Likelihood Ratio Score Wald
Chi-Square
DF
Pr > ChiSq
43.8720 26.1292 8.2975
12 12 12
<.0001 0.0103 0.7615
110
Analysis of Maximum Likelihood Estimates Parameter
DF
Intercept UMUR JMLAGKLG BKRDT DJNKLMN JRK DTHAEKO DKJGN DTHSLHGN DSMDRLHR DLMTGBG DSPTKN DSLTSNKS
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 0 0 1 0 1 0 1
Standard Estimate 23.6503 -0.1168 -1.1643 1.125E-6 2.8506 0.00501 -1.2362 -20.0402 30.5433 -4.4127 -10.8464 -2.3200 0.4300
Error
Wald Chi-Square
Pr > ChiSq
251.6 0.0789 0.5130 5.337E-7 1.3543 0.00245 1.5461 251.5 288.5 2.3068 183.0 2.0808 1.1723
0.0088 2.1913 5.1512 4.4434 4.4305 4.1870 0.6393 0.0063 0.0112 3.6592 0.0035 1.2431 0.1346
0.9251 0.1388 0.0232 0.0350 0.0353 0.0407 0.4240 0.9365 0.9157 0.0558 0.9527 0.2649 0.7137
Odds Ratio Estimates Point
Effect UMUR JMLAGKLG BKRDT DJNKLMN JRK DTHAEKO DKJGN DTHSLHGN DSMDRLHR DLMTGBG DSPTKN DSLTSNKS
vs vs vs vs vs vs vs
95% Wald Confidence Limits
0.890 0.312 1.000 17.298 1.005 0.290 <0.001 >999.999 0.012 <0.001 0.098 1.537
1 vs 0 0 0 1 0 1 0 1
Estimate
1 1 0 1 0 1 0
0.762 0.114 1.000 1.217 1.000 0.014 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 0.002 0.154
1.039 0.853 1.000 245.902 1.010 6.014 >999.999 >999.999 1.115 >999.999 5.802 15.297
Association of Predicted Probabilities and Observed Responses Percent Concordant Percent Discordant Percent Tied Pairs
95.4 4.4 0.1 680
Somers' D Gamma Tau-a c
0.910 0.912 0.433 0.955
Wald Confidence Interval for Adjusted Odds Ratios Effect UMUR JMLAGKLG BKRDT DJNKLMN JRK DTHAEKO DKJGN DTHSLHGN DSMDRLHR DLMTGBG DSPTKN DSLTSNKS
1 vs 0 0 0 1 0 1 0 1
vs vs vs vs vs vs vs
1 1 0 1 0 1 0
Unit
Estimate
1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000
0.890 0.312 1.000 17.298 1.005 0.290 <0.001 >999.999 0.012 <0.001 0.098 1.537
95% Confidence Limits 0.762 0.114 1.000 1.217 1.000 0.014 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 0.002 0.154
1.039 0.853 1.000 245.902 1.010 6.014 >999.999 >999.999 1.115 >999.999 5.802
15.297
111
Classification Table Prob Level 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0.700 0.800 0.900 1.000
Correct NonEvent Event 20 16 13 11 11 11 10 10 9 9 0
0 22 25 25 27 28 30 31 32 33 34
Incorrect NonEvent Event 34 12 9 9 7 6 4 3 2 1 0
0 4 7 9 9 9 10 10 11 11 20
Percentages Sensi- Speci- False Correct tivity ficity POS 37.0 70.4 70.4 66.7 70.4 72.2 74.1 75.9 75.9 77.8 63.0
100.0 80.0 65.0 55.0 55.0 55.0 50.0 50.0 45.0 45.0 0.0
0.0 64.7 73.5 73.5 79.4 82.4 88.2 91.2 94.1 97.1 100.0
63.0 42.9 40.9 45.0 38.9 35.3 28.6 23.1 18.2 10.0 .
False NEG . 15.4 21.9 26.5 25.0 24.3 25.0 24.4 25.6 25.0 37.0
112
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 15 Mei 1988 dari Ayahanda Syaiful dan Ibunda Yusmiati. Penulis merupakan anak pertama dari dua orang bersaudara. Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Padang, dan pada tahun yang sama penulis lulus di Universitas Andalas (UNAND) dan diterima di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian, lulus pada tahun 2010 sebagai lulusan terbaik program studi Agribisnis Fakultas Pertanian periode wisuda II tahun 2010/2011. Selama masa perkuliahan (S1), penulis aktif di organisasi HIMASEKTA (Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian) periode 20092010. Pada tahun 2011 penulis diterima di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian pada Program Pascasarjana IPB dengan beasiswa unggulan DIKTI.