8 VERIFIKASI DAN VALIDASI OPERASIONAL SPK INTELIJEN AGROPOLITAN
Menurut Sargent (2007), proses pemodelan terdiri dari identifikasi identifikasi permasalahan (sistem), pemodelan konseptual dan pemodelan komputer. Permasalahan diidentifikasi menjadi suatu sistem (nyata atau yang diinginkan), ide, situasi, kebijakan, atau gejala yang dimodelkan. Pemodelan konseptual adalah merumuskan matematika/logika/representasi verbal dari suatu permasalahan yang dikembangkan untuk dikaji.
Pemodelan komputer adalah
mengimplementasikan model konseptual ke model komputer. Model konseptual dikembangkan melalui analisis dan tahapan pemodelan, sedangkan model komputer dibangun melalui pemrograman komputer dan tahapan implementasi. Penyelesaian suatu permasalahan yang dimodelkan tergantung uji coba model komputer pada tahapan percobaan. Penjelasan secara sederhana hubungan validasi dan verifikasi dalam pemodelan dapat dilihat pada Gambar 24.
Permasalahan (Sistem) Validasi Operasional
Validasi Model Konseptual Percobaan
Model komputer
Validitas data
Analisis dan Pemodelan
Pemrograman komputer dan implementasi
Model konseptual
Verifikasi model komputer
Gambar 24 Proses pemodelan secara sederhana (Sargent 2007)
Hubungan model validasi dan verifikasi pada proses pemodelan secara sederhana adalah sebagai berikut: Validasi model konseptual adalah menentukan apakah teori-teori dan asumsi-asumsi dalam model konseptual sudah benar dan
90
mewakili permasalahan dan pemodelan.
Verifikasi model komputer adalah
memastikan apakah program komputer yang merupakan implementasi model konseptual sudah sesuai.
Validasi operasional adalah menentukan apakah
keluaran model sesuai dengan maksud dan tujuan pemodelan. Validitas data adalah memastikan kebutuhan data dalam pengembangan model, evaluasi model dan
percobaan,
serta
mengarahkan
percobaan
model
sehingga
dapat
menyelesaikan permasalahan dengan benar (Grady 1998; Sargent 2007). Menurut Suryadi dan Ramdhani (1998) langkah yang dapat dilakukan untuk mengetahui validitas model yang dirancang, yaitu melakukan perunutan secara terstruktur (walk trough) terhadap model yang dibuat dan berkonsultasi dengan ahli yang terkait dengan sistem yang dimodelkan. Hal lain yang perlu diperhatikan selama perunutan (1) asumsi-asumsi yang digunakan dalam model, (2) tingkat keakuratan model yang diinginkan. Uji coba program dilakukan untuk melakukan validasi. Cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan validasi program adalah sebagai berikut: 1
Menggunakan analisis sensitivitas untuk mengetahui aspek yang berpengaruh berdasarkan kriteria performansi yang telah ditentukan.
2
Membandingkan hasil simulasi dengan performansi di masa lalu (data historis). Jika hasil performansi tidak berbeda secara signifikan (berarti) maka model simulasi dikatakan valid. Validasi model konseptual dalam sistem intelijen pengembangan
agropolitan berbasis agroindustri dilakukan pada setiap model melalui pemeriksaan sederhana, yaitu dengan menjelaskan logika dan argumentasi mengapa variabel-variabel tersebut digunakan dalam model dan juga memeriksa bagaimana hubungan antar variabel dalam model. Validasi model konseptual sebagian dijelaskan pada sub bab setiap model pada Bab 6 Metode Penelitian dan Bab 7 Rekayasa Sistem. Pada model pemilihan komoditi unggulan, dijelaskan mengapa alternatif komoditi unggulan yang ditentukan adalah ubi kayu, jagung, mangga, semangka, alpukat, bawang merah, kentang, dan kubis.
Penentuan
alterternatif tersebut disebabkan karena kedelapan komoditi pangan dan hortikultura tersebut memiliki tingkat produksi tertinggi di Kabupaten Probolinggo.
91
Proses verifikasi model komputer sistem pendukung keputusan intelijen pengembangan agropolitan berbasis agroindustri dijelaskan pada Bab 5 Rekayasa sistem.
Proses verifikasi model komputer dilakukan dengan menentukan
spesifikasi model konseptual yang telah dikembangkan dan kemudian mengimplementasikan spesifikasi model menjadi pemrograman komputer / model komputer. Pada Bab 5 tersebut telah dipastikan bahwa spesifikasi dan model komputer telah sesuai dengan model konseptual yang dikembangkan. Proses validasi operasional dalam sistem intelijen pengembangan agropolitan berbasis agroindustri dilakukan dengan menguji model dengan data aktual yang diambil dari sistem nyata dalam hal ini adalah data di Kabupaten Probolinggo. Pada Bab ini dianalisis hasil keluaran model komputer yang dalam penelitian ini menggunakan Sistem Pendukung Keputusan Intelijen. Selain itu kembali diuraikan validasi konseptual dan verifikasi SPK untuk melengkapinya. Data yang digunakan dalam validasi operasional adalah data primer berupa pendapat para ahli dan data sekunder yang tersedia seperti jumlah penduduk, tingkat produksi komoditi dan sebagainya.
8.1 Model Pemilihan Komoditi Unggulan Komoditi unggulan dapat menjadi penggerak ekonomi di perdesaan. Dalam kawasan agropolitan adanya komoditi unggulan yang sesuai dengan pasar dan didukung oleh sumberdaya manusia dan potensi alamnya akan memberikan efek multiplier yang tinggi dan akan menjadi penggerak ekonomi bagi masyarakat apalagi jika komoditi unggulan ini dikelola dari hulu sampai hilir, dimana pengelolaan tidak hanya parsial pada budidaya (produksi) saja tetapi sampai pada proses pengolahan dan pemasarannya. Kabupaten Probolinggo dengan kondisi alamnya yang relatif subur menjadikan masyarakatnya hidup dari pengelolaan sumberdaya alam, terutama pertanian.
Tidak
kurang
dari
67,4
persen
penduduk
yang
bekerja
menggantungkan kehidupannya di bidang pertanian. Menurut BPS Kabupaten Probolinggo (2008), Pada tahun 2007 Pertanian merupakan kegiatan ekonomi yang memberikan kontribusi terbesar di Kabupaten Probolinggo (32,03 persen).
92
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Probolinggo telah mengembangkan pola intensifikasi, diversifikasi, dan rehabilitasi secara terpadu sebagai strategi untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Disamping itu, bentuk pengembangan di atas diterapkan sebagai upaya mencegah terjadinya kerugian petani akibat kelebihan produksi yang hanya menurunkan harga pasar dan menunjang program ketahanan pangan daerah. Pada tahun 2001, Kabupaten Probolinggo termasuk delapan besar kabupaten termiskin di Jawa Timur, dimana tidak kurang dari 31 persen rumah tangga dikategorikan miskin. Pada tahun 2003, Kabupaten Probolinggo masih termasuk pada dua belas kabupaten di Jawa Timur yang dinyatakan rawan pangan.
8.1.1 Alternatif Komoditi Unggulan Pada tahun 2008, produk sayur-sayuran di Kabupaten Probolinggo adalah yang terbesar berturut-turut adalah bawang merah, kubis dan kentang. Produk buah-buahannya yang terbesar berturut-turut adalah pisang, mangga, alpukat dan semangka (BPS Kabupaten Probolinggo, 2009). Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman pangan dan hortikultura di Kabupaten Probolinggo pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 9. Produksi tanaman pangan yang terbesar selain padi di Kabupaten Probolinggo adalah jagung dan ubi kayu, masing-masing adalah 230,5 ribu ton dan 174,2 ribu ton.
Produksi jagung di Kabupaten Probolinggo merupakan
produksi tertinggi di Jawa Timur, sedangkan Jawa Timur sendiri menyumbangkan produksi jagung terbesar antar propinsi di Indonesia (sekitar 3 juta ton atau 35 persen).
Pangsa produksi dan produktivitas beberapa komoditi unggulan
Probolinggo terhadap Propinsi Jawa Timur dan Nasional dapat dilihat pada Tabel 10.
93
Tabel 9 Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman pangan dan hortikultura di Kabupaten Probolinggo tahun 2008
Padi
51.811
Produkti vitas (ku/ha) 57,19
296.324 Alpukat
Produkti Produksi vitas (ton) (kg/Pohon) 80.085 63,43 5.080
Jagung
63.116
4,02
253.699 Belimbing
12.610
16,06
203
Kedelai
2.404
0,96
2.298,16 Duku
52
1,92
0,1
Kacang Tnh
3.277
1,65
5.396,74 Durian
55.902
44,08
2.464
440
1,16
508,43 Jambu Biji
31.310
18,74
587
Ubi kayu
18.028
11,42
2.519
39
14,72
Ubi Jalar
114
9,71
12.453
6,78
84
Bawang Mrh
6.354
12,79
205.893 Jeruk besar Jeruk 1.106,37 keprok 81.256 Mangga
987.164
100,92
99.621
Cabe Merah
194
4,98
966 Manggis
1.223
13,90
17
Cabe Rawit
656
2,63
1.724 Nangka
37.925
20,22
767
2.509
14,56
36.533 Jambu Air
6.505
19,89
129
950
11,15
55.195
19,44
1.072,9
2.539
12,41
31.516 Rambutan
36.318
29,18
1060
Bawang Pth
16
3,08
49,3 Pisang
989.890
11,4
11.287
Tomat
98
12,06
1.182 Salak
14.520
11,93
173
Wortel
204
15,78
3.219,9 Anggur
7.818
12,3
96
Ketimun
26
2,59
67,4 Nanas
422
0,2
0,5
Sawi
40
13,21
528,5
Melon
16
10,66
170,5
Blewah
181
142,82
2.585
57
110,4
630
Komoditi
Kacang Hijau
Kubis Bawang Daun Kentang
Semangka
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
Komoditi
10.595,9 Pepaya
Jumlah Pohon
Sumber: BPS KabupatenProbolinggo 2009
Berdasarkan data potensi perkembangan produksi tanaman pangan dan hortikultura di Kabupaten Probolinggo, maka diketahui delapan komoditi pertanian yang memiliki produksi tertinggi yang kemudian ditetapkan sebagai alternatif komoditi unggulan. Alternatif komoditi unggulan tersebut terdiri dari: 1) Tanaman pangan: jagung dan ubi kayu, 2) Buah-buahan: mangga, pisang, dan alpukat dan 3) Sayur-sayuran: bawang merah, kubis dan kentang.
94
Tabel 10 Luas lahan, produksi, produktivitas tanaman pangan dan hortikultura tahun 2008 Nasional*
40,78
16.317.252
Jawa Timur* Pangsa Produksi produksi (ton) Nasional (%) 5.053.107 30,97
180,57
21.757.575
3.533.772
16,24
4,02
253.699
7,18
93,50
853.615
181.517
21,26
12,79
81.256
44,76
Kubis
215,10
1.323.702
169.571
12,81
14,56
36.533
21,54
Kentang
167,00
1.071.543
105.058
9,80
12,41
31.516
30,00
Mangga
110,30
2.105.085
691.904
32,87
100,92
99.621
14,40
Pisang
557,10
6.004.615
1.082.070
18,02
11,4
11.287
1,04
Alpukat
123,30
244.215
40.482
16,58
63,43
5.080
12,55
Komoditi
Jagung Ubi Kayu Bwg Merah
Produk tivitas (ku/ha)
Produksi (ton)
Probolinggo** Pangsa Produksi Produksi (ton) Jawa Timur (%) 57,19 296.324 5,86
Produkti vitas (ku/ha)
Sumber: *Pusdatin Deptan 2010 **BPS Probolinggo 2009; data diolah
8.1.1.1 Jagung Tanaman jagung (zea mays) merupakan salah satu jenis usaha tani yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat setelah padi, terutama karena sebagian etnis di Kabupaten Probolinggo memiliki kebiasaan untuk mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok sehari-hari.
Tanaman
jagung dapat ditemukan merata hampir di seluruh wilayah Kabupaten Probolinggo, meskipun di daerah dataran tinggi jumlahnya lebih sedikit. Rata-rata areal panen jagung setahun 60.750 ha dengan total produksi 236.287 ton pipil kering, Jika dirinci per kecamatan datanya seperti terlihat pada Tabel 11. Panen raya tanaman jagung sawah di Kabupaten Probolinggo pada bulan Agustus, September sedangkan jagung tegal pada bulan Februari sampai Maret. Varietas tanaman jagung di lahan sawah adalah jagung hibrida 86,39%, komposit 7,92% dan lokal 5,92%, sedangkan yang berkembang di lahan kering sebagian besar varietas lokal (Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo 2006).
95
Tabel 11 Luas lahan, produktifitas, dan produksi jagung di Kabupaten probolinggo 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Kecamatan
Panen (ha)
Produktifitas (ku/ha)
Sukapura 1.665 Sumber 869 Kuripan 646 Bantaran 2.475 Leces 3.739 Tegalsiwalan 3.171 Banyuanyar 4.507 Tiris 8.058 Krucil 9.933 Gading 122 Pakuniran 1.445 Kotaanyar 827 Paiton 2.013 Besuk 350 Kraksaan 145 Krejengan 43 Pajarakan 45 Maron 1.866 Gending 542 Dringu 1.963 Wonomerto 2.833 Lumbang 1.498 Tongas 5.087 Sumberasih 3.274 JUMLAH 63.116 Sumber: Dinas Pertanian Kab Probolinggo 2009
2,65 2,85 2,65 3,95 5,05 4,94 5,15 3,26 3,68 4,06 4,07 4,26 5,44 4,67 4,39 4,6 4,57 4,96 4,59 4,86 4,36 3,94 4,35 4,17 4,02
Produksi (Ton) 4.414 2.480 17.612 9.779 18.898 15.665 23.207 26.269 36.563 495 5.880 3.526 10.949 1.636 636 198 206 9.253 2.487 9.532 12.349 5.899 22.123 13.643 253.699
8.1.1.2 Ubi Kayu Ubi kayu (manihot utilisima) merupakan tanaman keras yang hidup di daerah tropis. Komoditi ubi kayu di Kabupaten Probolingo banyak berada di Kecamatan Tiris, Kuripan, dan Pakuniran. Rata-rata areal panen ubi kayu di Kabupaten Probolinggo dalam setahun adalah 8.614 ha dengan total produksi 118.183 ton. Ubi kayu ditanam di lahan tegal dan panen raya biasanya jatuh pada bulan Juni sampai Oktober (Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo, 2008).
96
8.1.1.3 Mangga Mangga (mangifera indica L.) merupakan salah satu tanaman khas yang menjadi unggulan di Probolinggo, terutama untuk jenis Arummanis dan Manalagi. Hal ini dikarenakan kualitas produk mangga Probolinggo dapat dikenali kelebihannya dibandingkan dengan produk dari daerah lain, terutama dalam hal rasa dan aroma.
Pemasaran mangga dari Kabupaten Probolinggo memiliki
alternatif saluran pemasaran yang sangat luas.
Buah mangga dari petani
umumnya dijual kepada lembaga pemasaran tingkat kesatu (pedagang pengecer, tengkulak, pengumpul atau langsung ke pedagang besar).
Pada tahap ini
pemilihan saluran oleh petani berdarakan pada saluran yang memberikan nilai penjualan yang tertinggi. Dari lembaga pemasaran tingkat kesatu, buah mangga juga akan menempuh saluran pemasaran di tingkat kedua (pasar lokal, pasar antar kota, pasar swalayan, atau ekspotir). Bulan panen raya tanaman mangga di Kabupaten Probolinggo antara September sampai Januari.
Varietas yang
berkembang adalah harumanis 65%, manalagi 25% dan varietas lainnya 10% (Dinas Pertanian Kab Probolinggo 2007).
8.1.1.4 Alpukat Alpukat (persea americana mill/persea gratissima gaerth) merupakan pohon buah dari Amerika Tengah, tumbuh liar di hutan-hutan, banyak juga ditanam di kebun dan di pekarangan yang lapisan tananhnya gembur dan subur serta tidak tergenang air. Walau dapat berbuah di dataran rendah, tapi hasil akan memuaskan bila ditanam pada ketinggian 200-1.000 m di atas permukaan laut (dpl), pada daerah tropik dari subtropik yang banyak curah hujannya. Buah Alpukat yang masak daging buahnya lunak, berlemak, biasanya dimakan sebagai es campur atau dibuat jus. minyaknya digunakan antara lain untuk keperluan kosmetik.
8.1.1.5 Pisang Pisang (musa spp) adalah tanaman buah yang berasal dari kawasan Asia Tenggara yang kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Pisang tumbuh pada iklim tropis basah, lembab dan panas dengan
97
curah hujan optimal adalah 1.520 – 3800 mm/tahun dengan 2 bulan kering. Tanaman ini toleran akan ketinggian dan kekeringan dan dapat tumbuh baik sampai ketinggian 1000 m dpl (SIM Bappenas, 2000).
8.1.1.6 Bawang Merah Di Indonesia, Kabupaten Probolinggo merupakan daerah penghasil bawang merah terluas kedua setelah Kabupaten Brebes. Tanaman bawang merah (allium ascalonicum) banyak terdapat pada lahan dataran rendah khususnya di sepanjang pantai utara. Sebaran komoditi bawang merah adalah di daerah Kecamatan Sumberasih, Tegalsiwalan, Gending, Leces, Tongas, Banyuanyar, Maron, Dringu, Kraksaan, Krejengan, Besuk, Pajarakan, Kotaanyar dan Pakuniran. Kecamatan Dringu,Banyuanyar dan Tegalsiwalan merupakan tiga kecamatan dengan luas area pertanaman bawang merah terluas di Kabupaten Probolinggo, berturut-turut luas areal nya adalah 4.092 ha, 1.530 ha, dan 1.396 ha. Rata-rata areal panen bawang merah setahun di Kabupaten Probolinggo adalah 9.402 ha dengan total produksi 115.814 ton. Pengusahaan bawang merah dilakukan pada lahan sawah irigasi, dengan pola tanam padi-bawangmerahbawang merah atau padi-padi-bawang merah. Areal panen bawang merah ada sepanjang tahun, rata-rata panen raya tertinggi berada pada bulan Juni sampai September.
8.1.1.7 Kubis. Kubis (brassica oleracea L) adalah tumbuhan sayuran daun yang berasal dari Eropa Selatan dan Eropa Barat. Rata-rata areal panen kubis setahun di Kabupaten Probolinggo adalah 3.111 ha dengan total produksi 48.373 ton yang tersebar pada Kecamatan Sukapura, Lumbang, Kuripan, Sumber dan Krucil. Areal panen kubis ada sepanjang tahun dan panen raya biasanya jatuh pada bulan Januari sampai September. Pola pemasaran yang berkembang adalah Petani→ Pedagang → Pasar.
98
8.1.1.8 Kentang Di antara bahan pangan dunia, produksi kentang (solanum tuberosum) merupakan peringkat keempat sesudah gandum, jagung dan padi. Selain sebagai bahan pangan umbi kentang juga dapat dibuat tepung, kripik serta kebutuhan industri alkohol. Tanaman kentang tumbuh baik di dataran tinggi sampai 1.500 m dpl, dan dataran medium di atas 300 m dpl, dengan tanah yang gembur, subur, dan cukup mengandung zat organic, pH tanah antara 5-5,5. Probolinggo rata-rata menghasilkan 49.852 ton kentang per tahun dan banyak berkembang di Kecamatan Sukapura, Sumber, Krucil, dan Lumbang. Areal panen kentang di Kabupaten Probolinggo ada sepanjang tahun, tetapi panen raya biasanya jatuh pada bulan Januari sampai April dan Juli sampai Oktober (Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo 2007).
8.1.2 Kriteria Komoditi Unggulan Pengambilan keputusan merupakan suatu pemilihan alternatif dari beberapa alternatif
yang dapat dilakukan. Pengambilan keputusan tersebut
dilakukan dengan melakukan penilaian alternatif yang kemudian memilih nilai tertinggi dari alternatif tersebut. Untuk melakukan penilaian alternatif diperlukan kriteria-kriteria sebagai dasar penilaian alternatif tersebut. Kriteria penetapan komoditi unggulan selama ini berbeda-beda baik antar instansi maupun antar pemerintah pusat maupun daerah.
Sebagai contoh
Deperindag menetapkan suatu komoditi unggulan berdasarkan volume dan nilai ekspor, kontinuitas ekspor dan kontinuitas produksi serta jumlah tenaga kerja yang diserap. Pendekatan ini memiliki kelebihan bahwa komoditi yang diekspor pastilah memberikan kontribusi dalam penerimaan devisa dan penyerapan tenaga kerja, namun juga memiliki kelemahan terutama kurang memperhatikan potensi sumberdaya domestik non tenaga kerja, sehingga banyak komoditi yang dianggap unggulan tetapi berbasis bahan baku dan barang modal impor, contohnya produk tekstil. Kriteria yang digunakan tersebut cenderung kurang berbasis sumberdaya domestik. Deptan cenderung lebih lengkap dalam menentukan persyaratan komoditi unggulkan.
Penetapan disesuaikan dengan kesesuaian lahan dan agroklimat,
99
produksi dan pasar baik domestic maupun ekspor. Penetapan komoditi unggulan tersebut hanya didasarkan data kuantitatif semata dan cenderung ditetapkan dari pusat (top down). Kelemahan pendekatan ini adalah kurang dipertimbangkannya persepsi masyarakat local, sehingga pengembangan komoditi sering terhambat oleh adanya rasa kurang memiliki masyarakat terhadap program pengembangan komoditi unggulan tersebut. Untuk itu dalam penetapan komoditi unggulan memerlukan kriteriakriteria yang tepat dan komprehensif, dapat menggabungkan analisis kualitatif dan kuantitatif dan dalam mentapkan seberapa besar pengaruh kriteria terhadap penetapan komoditi unggulan (bobot) dilakukan oleh bebrapa pakar yang mewakili pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pengusaha serta masyarakat pada umumnya atau petani pada khususnya. Berdasarkan hasil kajian pustaka dan pendapat pakar serta ketersediaan data dan informasi, maka ditetapkan kriteria pemilihan komoditi unggulan adalah sebagai berikut : 1)
Tingkat pendapatan komoditi
2)
Kontribusi produksi komoditi
3)
Laju/tren pertumbuhan produksi
4)
Kemampuan bersaing dalam perdagangan
5)
Kemampuan menyediakan lapangan kerja
6)
Pemenuhan kebutuhan / konsumsi domestik
Pemilihan alternatif komoditi unggulan dilakukan dengan menggunakan teknik pengambilan keputusan Multi Expert – Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM). Penilaian alternatif
berdasarkan
kriteria pemilihan komoditi
unggulan dilakukan oleh lima orang pakar yang mewakili akademisi, petani, pengusaha agroindustri, pemerintah daerah dan pemerintah propinsi. Daftar pakar dapat dilihat pada lampiran 12 Pakar tersebut melakukan penilaian terhadap alternatif berdasarkan kriteria pengadaan bahan baku yang sudah dirumuskan sebelumnya. Penilaian dilakukan secara linguistic label dengan skala ordinal yaitu : PT = paling tinggi (nilai 7), ST = sangat tinggi (nilai 6), T = tinggi (nilai 5), S = sedang (nilai 4), R = rendah (nilai 3), SR = sangat rendah (nilai 2), dan PR –
100
paling rendah (nilai 1). Bobot kriteria ditentukan dengan menggunakan metode perbandingan berpasangan yang dilakukan oleh pakar. Skor bobot kriteria dari hasil perbandingan berpasangan ditransformasikan ke dalam bentuk linguistic label. Berdasarkan model yang dibangun maka diperoleh bobot setiap kriteria adalah seperti pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil pembobotan setiap kriteria No
Kriteria Komoditi Unggulan
Bobot
1
Tingkat pendapatan komoditi
ST
2
Kontribusi produksi komoditi
T
3
Laju/tren pertumbuhan produksi
S
4
Kemampuan bersaing dalam perdagangan
T
5
Kemampuan menyediakan lapangan kerja
S
6
Pemenuhan kebutuhan / konsumsi domestik
S
8.1.2.1 Tingkat pendapatan komoditi. Tingkat pendapatan dari usaha komoditi menunjukkan kemampuan komoditi dalam menciptakan nilai tambah atau pendapatan (high capability on income generate and value added). Pemilihan komoditi yang memiliki tingkat pendapatan tinggi
akan mampu pengatasi persoalan mendasar di bidang
pertanian, yaitu rendahnya produktivitas. Selain itu semakin tinggi tingkat pendapatan komoditi semakin layak diusahakan baik secara finansial maupun ekonomi (financial and economic feasibility and viability) dan dapat menarik para pengusaha dan investor mengusahakan komoditi tersebut. Jagung dan mangga merupakan komoditi yang memiliki skor tertinggi pada kriteria tingkat pendapatan, sedangkan pisang memiliki skor yang terendah. Nilai skor setiap alternatif pada setiap kriteria dapat dilihat pada Tabel 13. Nilai diperoleh dari jumlah total skor yang diisi oleh responden dimana penilaian dilakukan secara linguistic label seperti pada penentuan bobot kriteria.
101
Tabel 13 Skor setiap alternatif komoditi pada setiap kriteria Komoditi Unggulan
Tingkat pendapatan
Kontribusi produksi
Laju pertumbuhan produksi
Kemampuan bersaing
Kemampuan Pemenuhan menyediakan kebutuhan lapangan kerja domestik
Jagung
21
20
19
19
19
19
Ubi Kayu
18
18
18
17
14
16
Mangga
21
20
19
20
16
20
Alpukat
18
18
18
17
16
18
Pisang
16
18
18
16
16
17
Bawang Merah
18
20
20
20
19
20
Kubis
18
18
19
19
17
17
Kentang
18
18
17
17
17
17
8.1.2.2 Kontribusi produksi komoditi Kontribusi produksi terhadap perekonomian menunjukkan nilai kontribusi produksi komoditi terhadap wilayah yang levelnya lebih tinggi, dalam hal ini kabupaten terhadap propinsi.
Kriteria tersebut menggambarkan kemampuan
komparatif komoditi dibandingkan daerah lain. Jagung, mangga dan bawang merah adalah komoditi dengan skor tertingi pada kriteria kontribusi produksi.
8.1.2.3 Laju/tren pertumbuhan produksi Laju pertumbuhan produksi menunjukkan bahwa komoditi tersebut diterima dan berkembang di masyarakat atau secara sosial dapat diterima oleh masyarakat
setempat
(sosial
acceptability),
sehingga
apabila
ingin
mengembangkan komoditi ini tidak akan mengalami banyak kesulitan. Bawang merah merupakan komoditi yang memiliki skor tertinggi pada kriteria laju pertumbuhan produksi.
8.1.2.4 Kemampuan bersaing dalam perdagangan Kemampuan bersaing komoditi yang tinggi menunjukkan komoditi memiliki orientasi pasar yang jelas dan prospek harga yang baik (market orientation and prospects), baik dalam pasar lokal maupun iternasioal. Pasar dan
102
harga sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan tingkat keberlanjutan usaha komoditi tersebut. Mangga dan bawang merah memiliki skor tertinggi untuk kriteria kemampuan bersaing.
8.1.2. 5 Kemampuan menyediakan lapangan kerja Kriteria kemampuan komoditi menyediakan kesempatan kerja (job opportunities) merupakan kriteria sosial sekaligus ekonomi. Komoditi dengan kemampuan menyediakan lapanghan kerja yang tyinggi diharapkan dapat mengatasi permasalahan pengangguran, terutama pengangguran yang tidak kentara. Jagung dan bawang merah memiliki skor tertinggi untuk kriteria menciptakan lapangan kerja.
8.1.2.6 Pemenuhan kebutuhan/konsumsi domestik Pemenuhan kebutuhan domestik menunjukkan ketersediaan komoditi terhadap pemintaan/kebutuhan lokal yang menjamin kemandirian penyediaan komoditi pada tingkat lokal.
Ketersediaan komoditi yang tinggi memiliki
kemampuan dalam meningkatkan ketahanan pangan masyarakat setempat yang berpendapatan rendah (high capability on food security for low income community). Hal ini mendukung konsep ketahanan pangan. Walaupun konsep ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan akses terhadap pangan, dalam hal ini kemampuan daya beli, sehingga untuk meningkatkan ketahanan pangan adalah peningkatan pendapatan masyarakat, maka untuk wilayah tertentu ketahanan pangan harus diterjemahkan ke dalam konsep ketersediaan pangan. Mangga dan bawang merah merupakan komoditi yang memiliki skor tertinggi untuk kriteria pemenuhan kebutuhan domestik.
8.1.3 Pemilihan Komoditi Unggulan Alternatif pemilihan komoditi unggulan dinilai berdasarkan kriteriakriteria yang telah ditetapkan. Skor alternatif pengadaan bahan baku ini adalah merupakan agregasi penilaian berdasarkan kriteria-kriteria dengan pembobotan yang ditentukan sebelumnya. Penentuan skor alternatif dilakukan dengan cara agregasi skor alternatif dari beberapa pakar beserta bobot nilai pakar tersebut.
103
Hasil penilaian beberapa alternatif komoditi pilihan menunjukkan bahwa jagung, mangga, bawang merah dan kentang merupakan empat komoditi yang merupakan alternatif prioritas dengan hasil tinggi (T). Hasil penilaian beberapa alternatif secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 14. Untuk selanjutnya, hasil pemilihan komoditi unggulan ini akan digunakan untuk menetapkan pewilayahan agropolitan dan kemudian perencanaan agroindustri pada setiap wilayah agropolitan. Tabel 14 Hasil penilaian alternatif komoditi unggulan di Kabupaten Probolinggo No
Alternatif Komoditi Unggulan
Hasil
1
Jagung
T
2
Ubi Kayu
S
3
Mangga
T
4
Alpukat
S
5
Pisang
S
6
Bawang Merah
T
7
Kubis
S
8
Kentang
T
8.2 Model Pemilihan Produk Agroindustri Prospektif Agroindustri memiliki peran yang sangat penting dalam menarik sektor pertanian dan menghela industri lain, seperti industri pupuk, alsintan, industri perdagangan, industri transportasi dan industri jasa lainnya. Pemilihan produk agroindustri yang tepat diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat di Kabupaten Probolinggo. Industri pengolahan pertanian di Probolinggo relatif masih sangat terbatas, sebagian besar produk hortikultura dipasarkan dalam produk segar. Agroindustri hortikultura kecil dan menengah tersebut diantaranya: 1) Buah kaleng di Desa Banjarsari, Sumberasih, 2) Industri makanan ringan di Jl. MT.Haryono, Kraksaan, 3) Industri kripik kentang di Jl. Bromo, Sukapura, 4) Industri kripik tales di Desa Gantingwetan, Maron, 5) Industri dodol buah di Desa Gili Ketapang, Sumberasih, 6) Perdagangan bawang merah di Desa Lambang Kuning, Lumbang, 7)
104
Perdagangan sayur mayur di Jl. Raya Tempuran, Sumberasih, 8) Perdagangan Mangga di Desa Alas Kandang, Besuk (Nusantara online, 2006).
8.2.1 Alternatif Produk Berdasarkan model pemilihan komoditi unggulan sebelumnya, diperoleh komoditi jagung, mangga, dan bawang merah memiliki prioritas terbesar dengan nilai “Tinggi”. Untuk itu pemilihan produk agroindustri prospektif akan didasari oleh produk yang berbahan baku komoditi unggulan yang terpilih apada Model Pemilihan Momoditi Unggulan, yaitu jagung, mangga, bawang merah dan kentang. Diharapkan dengan menggunakan lebih dari satu komoditi sebagai bahan baku akan diperoleh alternatif produk agroindustri yang benar-benar prospektif karena didasari oleh pertimbangan dan analisis yang lebih komprehensif. Berdasarkan pohon industri jagung yang telah diuraikan pada Bab 3, maka ditentukan alternatif produk berbahan baku jagung. Alternatif produk agroindustri berbahan baku jagung adalah: Minyak Jagung, Gula Jagung, Asam Organik, Etanol, Dekstrin, Tepung Maizena dan Grits. Pada setiap musim panen banyak terdapat buah mangga yang berukuran kecil atau bentuknya tidak normal, atau tergolong offgrade. Buah seperti ini masih bernilai ekonomi karena dapat diolah menjadi berbagai produk, seperti mangga kering, jus, jam/selai, jeli, dodol, fruit bar, mangga leather, mangga dalam kaleng, dan permen mangga. Nilai dari pemanfaatan mangga off grade tiap musim cukup besar. Alternatif produk berbahan baku mangga yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: manisan mangga, jus mangga, sirup mangga, dodol mangga, keripik mangga, buah dalam kaleng, jelly mangga dan tepung mangga. Bawang merah dapat digunakan sebagai bahan baku bawang goreng, jus bawang dan tepung bawang.
Ketiga produk ini dijadikan alternatif produk
berbahan baku bawang merah dalam model pemilihan produk berbahan baku bawang merah. Kentang dapat diproses menjadi bermacam-macam produk pangan, diantaranya keripik kentang, chips kentang, tepung kentang dan kentang goreng beku. Keempat jenis produk inilah yang dijadikan alternatif produk yang akan
105
dipilih bersama-sama dengan alternatif produk berbahan baku komoditi unggulan sebelumnya.
8.2.2 Kriteria Pemilihan Produk Agroindustri Kriteria pemilihan produk agroindustri yang prospektif menjadi hal yang sangat penting bagi pengembangan agropolitan.
Hal ini disebabkan karena
berkembangnya agroindustri pada suatu kawasan agropolitan akan mendatangkan nilai tambah tinggi bagi masyarakat dan kemudian diharapkan dapat menjaga keberlangsungan pengembangan kawasan agropolitan. Pada penelitian ini kriteria yang digunkan dalam pemilihan produk agroindustri prospektif adalah: 1) laju/tren permintaan, 2) kemampuan bersaing, 3) kemudahan akses teknologi, 4) nilai tambah, 5) kemampuan agroindustri menyediakan lapangan kerja, 6) ketersediaan sumberdaya manusia, 7) dampak lingkungan, dan 8) ketersediaan bahan baku. Laju/tren permintaan produk merupakan salah satu aspek pasar yang harus dinalisis secara mendalam. Hal ini disebabkan karena kecenderungan permintaan produk di masa lalu akan menunjukkan peluang atau potensi pasar produk tersebut di masa sekarang maupun masa akan datang. Permintaan produk yang cenderung meningkat akan menunjukkan produk tersebut memiliki potensi pasar yang baik. Potensi pasar yang ditunjukkan oleh tren permintaan belum sepenuhnya menunjukkan pangsa pasar yang dapat diperoleh produsen produk.
Tingkat
persaingan dan kemampuan bersaing industri dalam merebut potensi pasar sangat mempengaruhi kemampuan produsen dalam memperoleh pangsa pasar. Kemampuan bersaing dipengaruhi oleh kemampuan manajemen dalam mengelola industri, misalnya kemampuan mengelola marketing mix, seperti people, place, price, product, dan promotion. Walaupun tingkat persaingan tinggi, tetapi jika produsen memiliki kemampuan bersaing yang tinggi pula akan memperluas pangsa pasar produk tersebut. Perkembangan teknologi yang pesat belakangan ini menuntut kemampuan industri mengadopsi perkembangannya dengan cepat pula. Teknologi diperlukan selain dalam proses produksi peroduk juga sangat diperlukan dalam inovasi produk itu sendiri.
Kemudahan dalam mengakses perkembangan teknologi
106
dipengaruhi oleh kondisi internal maupun kondisi eksternal suatu industri. Kondisi internal diantaranya komitmen manajemen khususnya dalam pemodalan yang didukung oleh kemampuan sumberdaya manusia yang dimiliki industri. Kondisi eksternal yang dimaksud adalah dukungan pemerintah baik dalam penyediaan
informasi
maupun
perundang-undangan
atau
hokum
yang
mendukungnya. Selain itu secara eksternal, kerjasama maupun koordinasi antar industri sejenis dapat meningkatkan kemampuan akses teknologi.
Semakin
mudah perkembangan teknologi diakses oleh suatu industri maka semakin baik kemungkinan perkembangan industri tersebut. Nilai tambah adalah selisih keuntungan yang dapat diperoleh suatu komoditi antara sebelum dan sesudah dilakukannya proses produksi. Semakin tinggi nilai tambah yang dihasilkan suatu produk, maka semakin baik pemilaian produk tersebut. Dampak sosial merupakan salah satu dampak yang harus dipertimbangkan dalam pendirian suatu industri. Industri yang memiliki dampak positif secara sosial seperti kemampuan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitar industri akan berdampak pula bagi perkembangan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi suatu industri memiliki kemampuan menyediakan lapangan kerja, maka semakin tinggi pula prioritas pengembangan industri tersebut. Sumberdaya Manusia yang diperlukan suatu industri sangat spesifik. Industri dengan teknologi tingggi memerlukan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi pula. Kualitas sumberdaya manusia selain dapat dilihat dari latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja juga harus didukung oleh karakter atau sikap yang bertanggung jawab dan mudah beradaptasi terhadap perkembangan teknologi. Semakin banyak sumberdaya manusia tersedia untuk suatu industri, maka akan memudahkan pengembangan industri tersebut. Limbah industri yang tidak dikelola dengan baik akanmencemari lingkungan sekitar.
Semakin tinggi tingkat polusi suatu limbah tentunya
memerlukan penanganan dan biaya semakin tinggi. Dampak lingkungan di sini menunjukkan tingkat penangan dan biaya yang diperlukan bagi penanganan
107
limbah industri. Semakin tinggi kemungkinan lingkungan dipengaruhi secara negatif oleh industri, maka semakin kecil nilai kemungkinan perkembangannya. Walaupun pada model pemilihan komoditi unggulan sebelumnya variabel kondisi komoditi (bahan baku) telah dianalisis, namun pada model pemilihan produk agroindustri ini variabel tersebut kembali dinalisis. Hal ini disebabkan karena setiap produk walaupun memerlukan bahan baku sejenis, tetapi kualitas dan kuantitas bahan bakunya berbeda. Semakin tinggi nilai ketersediaan bahan baku, maka semakin besar kemungkinan prioritas pengembangan industri ini.
8.2.3 Pemilihan Produk Agroindustri Prospektif Produk agroindustri prospektif dipilih dengan menggunakan metode ANP (Analytical Network Process). ANP merupakan metode pemecahan suatu masalah yang tidak terstruktur dan membutuhkan ketergantungan hubungan antar elemennya. Dalam penyelesaian suatu masalah ANP bersifat umum, artinya tidak perlu membuat asumsi ketergantungan antar level. Pada kenyataan yang ada digunakan sebagai jaringan yang tidak membutuhkan level khusus sebagaimana dalam hierarkhi. ANP dengan konsep hubungan yang saling mempengaruhi antar elemen digunakan sebagai sarana untuk memprediksi dan merepresentasikan antara kompetitor yang berbeda dengan memasukkan interaksi dan kekuatan relatif untuk pemecahan suatu masalah. Model pemilihan produk agroindustri prospektif adalah model yang digunakan untuk menemukan produk agroindustri prospektif sehingga mampu memberikan solusi alternatif yang dapat memberikan nilai tambah tinggi bagi kawasan agropolitan dan menjamin kesinambungannya. Model tersebut menggunakan aplikasi pendukung yaitu Super decisions 1.6.0. (creative decisions foundation USA, 19 http://www.superdecisions.com/ [Juni 2009]). Program ini merupakan program penerapan dari teori ANP. Jaringan model pemilihan produk agroindustri prospektif disajikan pada Gambar 25.
108
Gambar 25 Jaringan model pemilihan agroindustri dengan ANP
Berdasarkan hubungan antar klaster pada model pemilihan agroindustri, maka diperoleh nilai prioritas bagi kriteria pemilihan dan nilai prioritas bagi setiap alternatif pada setiap klaster. Kriteria ketersediaan bahan baku merupakan kriteria yang memiliki bobot tertinggi dibandingkan kriteria lainnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Bobot kriteria pemilihan produk prospektif No
Keterangan
Nilai bobot
1
Laju/Tren Permintaan
0,0663
2
Kemampuan bersaing
0,1843
3
Kemudahan Akses Teknologi
0,0579
4
Nilai Tambah
0,1462
5
Kemampuan Menyediakan Lapangan Kerja
0,0938
6
Ketersediaan SDM
0,0952
7
Dampak Lingkungan
0,1017
8
Ketersediaan Bahan Baku
0,2547
109
Untuk mengetahui prioritas tertinggi produk prospektif dapat dilihat pada Tabel 16. Etanol merupakan produk yang memiliki prioritas tertinggi dabandingkan alternatif produk lainnya.
Untuk itu dalam perencanaan dan
pengembangan kawasan agropolitan direkomendasikan dibangun industri Etanol berbahan baku jagung. Tabel 16 Rangking dan prioritas alternatif produk secara keseluruhan Alternatif Produk 1.1. Manisan Mangga 1.2. Jus Mangga 1.3. Sirup Mangga 1.4. Dodol Mangga 1.5. Buah dalam Kaleng 1.6. Keripik Mangga 1.7. Jelly Mangga 1.8. Tepung Mangga 2.1. Bawang Goreng 2.2. Jus Bawang 2.3. Tepung Bawang 3.1. Minyak Jagung 3.2. Glukosa 3.3. Etanol 3.4. Asam Organik 3.5. Dekstrin 3.6. Tepung Maizena 3.7. Gritz 4.1. Keripik Kentang 4.2. Chips Kentang 4.3. Tepung Kentang 4.4. Kentang Goreng Beku
Total
Ideal
Normal
Rangking
0,1906 0,1892 0,1970 0,1970 0,1749 0,1555 0,1822 0,1612 0,2148 0,1874 0,1874 0,1400 0,1276 0,2387 0,2019 0,1461 0,1327 0,1276 0,1522 0,1522 0,1522 0,1327
0,7984 0,7927 0,8255 0,8255 0,7329 0,6514 0,7633 0,6755 0,9001 0,7849 0,7849 0,5864 0,5347 1,0000 0,8457 0,6120 0,5558 0,5347 0,6377 0,6378 0,6378 0,5559
0,0509 0,0506 0,0527 0,0527 0,0468 0,0416 0,0487 0,0431 0,0574 0,0501 0,0501 0,0374 0,0341 0,0638 0,0540 0,0390 0,0355 0,0341 0,0407 0,0407 0,0407 0,0355
6 7 4 5 11 13 10 12 2 8 9 18 22 1 3 17 20 21 16 15 14 19
8.3 Desain Agroindustri Etanol Bahan baku yang dapat diproduksi menjadi etanol sangat beragam. Alkohol sintesis dapat diturunkan dari minyak mentah atau gas atau batu bara. Alkohol berbahan baku produk pertanian dapat didestilasi dari padi, gandum, molase, buah-buahan, gula tebu, selulosa. Kedua produk, baik fermentasi maupun alkohol sintesis memiliki kandungan kimia yang identik sama. Tapi skala bahan baku sintesis lebih kecil. Pada tahun 2003, kurang dari 5% produksi berasal dari sintesis dan lebih dari 95% berasal dari pertanian yang memberikan pengaruh bagi
110
pertumbuhan produksi etanol dunia. Komposisi ini dapat berkembang di masa datang (Berg 2004). 8.3.1 Proyeksi Permintaan Etanol Bahan bakar etanol akan berkembang dalam dunia industri alkohol. Jika saat ini semua proyek etanol yang telah diumumkan terimplementasi, maka produksi bahan bakar etanol dunia meningkat menjadi 31 juta liter pada tahun 2006, bandingkan dengan produksi 2001 yang hanya 20 juta liter.
Hal ini
didasarkan oleh oleh peningkatan bahan baku etanol menjadi 70 persen pada tahun 2005 dibandingkan sekitar 63 persen pada tahun 2001(Berg 2004). Berdasarkan data produksi etanol dunia terjadi peningkatan produksi yang bearti setiap tahunnya, bahkan diperkirakan permintaan etanol dunia akan meningkat empat kali lipat pada tahun 2010 dibandingkan saat ini. Data produksi etanol dunia untuk semua grade dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Produksi Etanol Dunia Tahun 1990-2009 Tahun
Juta Liter
Juta Galon
Tahun
Juta Liter
Juta Galon
1990
15.190
4.013
2000
17.315
4.574
1991
16.348
4.319
2001
18.676
4.934
1992
15.850
4.187
2002
21.715
5.736
1993
15.839
4.184
2003
27.331
7.220
1994
16.802
4.439
2004
30.632
8.092
1995
17.970
4.747
2005
44.875
11.855
1996
18.688
4.937
2006
51.056
13.489
1997
20.452
5.403
2007
49.587
13.113
1998
19.147
5.058
2008
66.329
17.524
1999
18.671
4.932
2009*
72.773
19.227
Keterangan *: Prediksi Sumber: Compiled by Earth Policy Institute with data for 1975-1998 from F.O. Licht, World Ethanol and Biofuels Report, vol. 6, no. 4 (23 October 2007), p. 63; 1999-2009 from F.O. Licht, World Ethanol and Biofuels Report, vol. 7, no. 18 (26 May 2009), p. 365. di dalam www.earth-policy.org [Juni 2010]
111
Prediksi Permintaan Etanol 140000
Juta liter
120000 100000 80000
Data Aktual Hasil Perkiraan
60000 40000 20000 0 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 Tahun
Gambar 26 Perkiraan permintaan Etanol dunia tahun 2010 hingga tahun 2020 (data diolah)
Berdasarkan data tersebut di atas, maka dilakukan peramalan permintaan Etanol dunia dengan mengguakan metode Times Series yang terdapat dalam model prediksi permintaan pada paket program SPK Intelijen Agropolitan. Hasil peramalan yang menghasilkan statistik kesalahan terkecil adalah model regreasi kuadratik. Prediksi permintaan etanol dunia 12 tahun kemudian dapat dilihat pada Gambar 26 dan Tabel 18 . Tabel 18 Prediksi permintaan etanol dunia Tahun
Prediksi Permintaan Juta liter
Juta galon
2010
65.983
17.433
2011
70.978
18.752
2012
76.183
20.128
2013
81.598
21.558
2014
87.223
23.044
2015
93.057
24.586
2016
105.356
27.835
2017
111.820
29.543
2018
118.493
31.306
2019
125.377
33.125
2020 132.470 Sumber: Hasil pengolahan data
34.999
112
Permintaan etanol di kemudian hari cenderung lebih tingggi dari perkiraan yang telah dilakukan. Hal ini disebabkan karena beberapa negara di dunia telah mengembangkan program-program yang mendukung penggunaan etanol sebagai pengganti maupun campuran bensin, seperti yang terlihat pada Tabel 19. Tabel 19 Contoh produksi etanol di beberapa negara Lokasi Bahan Baku
Produksi Etanol
AMERIKA SELATAN Brazil
Tebu
Peru
Tebu
Colombia
Tebu
Amerika Tengah
Tebu
Pemerintah Brazil memulai program nasional fuel alkohol pada pertengahan tahun 1970an, dan sejak 1980 etanol telah menggantikan gasolin. Sejak harga bebas tahun 1999, harga etanol menjadi tiga kali lebih rendah dari gasolin. Brazil adalah produsen dan eksporter paling unggul yang memproduksi 4 miliar galon di tahun 2004. Pada tahun 2002 Peru menerbitkan program “mega proyek” yang merencanakan pembangunan 20 distilasi dan jalur pipa dari dalam ke Bajovar. Lebih dari 600 000 ha kebun tebu akan ditanam. Pemerintah berharap dapat mengeksport 300 juta galon etanol pada tahun 2010. Sejak 2006 penggunaan 10 % etanol pada bahan bakar diwajibkan di kota yang berpenduduk lebih dari 500 000 jiwa. Hal ini membutuhkan penambahan 370 000 ha kebun tebu dan sembilan pabrik etanol baru yang menghasilkan 260 juta galon per tahun. El Salvador, Guatemala, Honduras, Nicaragua dan Costa Rica memiliki total proyek 132 juta galon hingga 2010, cukup untuk memenuhi kebutuhan 10% etanol dalam gasolin. Costa Rica, Jamaica dan El Salvador mengekspor bahan bakar ethanol ke AS dan sedang meningkatkan eksport.
AMERIKA UTARA Amerika Serikat
Canada
Jagung
Pada tahun 2004, 35 juta ton jagung (12% dari produksi jagung AS) telah digunakan untuk memproduksi 3,4 miliar galon etanol. Kapasitas akan ditingkatkan lebih dari 4,4 miliar galon di tahun 2005 dengan membangun 16 pabrik baru. Saat ini telah ada 81 pabrik beroperasi dengan kapasitas 1 sampai 300 juta galon per tahun, setengahnya adalah milik petani.
Jag, barley, gandum
Kanada memproduksi 61 juta galon etanol tahun 2004. Untuk memenuhi perjanjian protokol kyoto, kanada merencanakan menggunakan 35% gasolin dengan pencampuan E10, membutuhkan 350 juta galon etanol. Tujuh pabrik baru dengan kapasitas200 juta galon telah direncanakan dalam program ekspansi eatanol. Ontario, Saskatchewan, dan Manitoba telah menyiapkan dukungan penggunaan etanol berupa subsidi produksi, penurunan pajak dan aturan pencampuran.
ASIA / OCEANIA Cina adalah produsen etanol ketiga terbesar, dengan 964 juta galon di tahun 2004. sejak 2001, cina mempromosikan etanol sebagai bahan bakar utama di lima kota pada pusat dan wilayah timur laut (Zhengzhou, Luoyang and Nanyang di Henan and Harbin and Zhaodong Jagung, Cina dipropinsi Heilongjiang).p Pabrik etanol jilin tianhe adalah pabrik etanol terbesar didunia gandum dengan produksi 240 juta galon per tahun dan dapat berproduksi hingga 320 juta galon per tahun Sejak 2003, pemerintah india mengharuskan penggunaan E5 di sembilan negara bagian. Produsen gula tebu merencanakan membangun 20 anol baru untuk menambah 10 pabrk India Tebu yang ada saat ini, lokasinya di Uttar Pradesh, Maharashtra dan Tamil Nadu. Kebutuhan etanol tahunan diprediksi 98 juta galon, dengan produksi 462 juta galon per tahun dan kapasitas 713 juta galon per tahun. Thailand mengeluarkan peraturan pencampuran etanol 10 % mulai 2007. Hal ini akan Singkong, meningkatkan produksi dari 74 juta galon tahun 2004 menjadi 396 juta galon. Pabrik etanol Thailand tebu, padi baru sejumlah 18 pabrik sedang dibangun, dan produsen dapat menikmati kei gasolin konvensional. Pemerintah Australia telah mendukung etanol sejak 2000 dengan memberikan keringanan Grains, tebu, Australia pajak dan mensubsidi produksi, sehingga dapat memproduksi 92 juta galon tahun 2010, sweet sorghum yang dapat memenuhi 1% dari total supply. Produksi 2004 mencapai 33 juta galon. Sumber: dari berbagai sumber di dalam www.earth-policy.org, [4 Maret 2007].
113
Dari Tabel 20 diketahui bahwa Amerika Serikat dan Brazil merupakan dua negara produsen Etanol terbesar di dunia.
Sejarah penggunaan bio-etanol di
Amerika Serikat (AS) ditandai dengan penandatanganan Energy Policy Act pada bulan Agustus 2005 yang meliputi Renewable Fuel Standard. Kebijakan tersebut memberikan amanat ”a 7,5 billion galon renewable fuel mandate, by 2012”. Pada Tabel 20 disajikan produksi etanol setiap negara pada tahun 2004 hingga 2006. Indonesia sebagai salah satu produsen etanol menghasilkan kira-kira 45 juta galon per tahunnya (tahun 2004 -2006). Tabel 20 Produksi etanol beberapa negara di dunia (juta galon) Negara
2004
Brazil U.S. China India France Russia South Africa U.K. Saudi Arabia Spain Thailand Germany Ukraine Canada Poland Indonesia Argentina
3,989 3,535 964 462 219 198 110 106 79 79 74 71 66 61 53 44 42
2005 4,227 4.264 1,004 449 240 198 103 92 32 93 79 114 65 61 58 45 44
2006 4,491 4,855 1,017 502 251 171 102 74 52 122 93 202 71 153 66 45 45
Negara Italy Australia Japan Pakistan Sweden Philippines South Korea Guatemala Cuba Ecuador Mexico Nicaragua Mauritius Zimbabwe Kenya Swaziland Others Total
Sumber: Renewable Fuels Association, Industry Statistics, 2007 http://www.ethanolrfa.org/industry/statistics/#E
2004 40 33 31 26 26 22 22 17 16 12 9 8 6 6 3 3 338 10,770
2005
2006
40 43 33 39 30 30 24 24 29 30 22 22 17 16 17 21 12 12 14 12 12 13 7 8 3 2 5 7 4 5 3 5 710 270 12,150 13,489
8.3.2 Penggunaan Jagung sebagai Bahan Baku Etanol Lima tahun ke depan industri etanol akan mengambil sekitar 50 juta ton jagung untuk produksi etanol dari total produksi jagung sebanyak 250 juta ton. AS juga telah memilih jagung untuk bahan baku produksi etanol setelah kajian dari Departemen Pertanian AS (USDA) yang terbaru dikeluarkan pada bulan Maret 2007. Menurut USDA, molase dan gula bukan bahan baku yang efisien untuk
114
produksi etanol bagi pabrik etanol di AS. USDA juga menyebutkan, peningkatan penggunaan jagung untuk etanol meningkat sebesar 35 persen dibandingkan tahun lalu. Sebanyak 90 persen dari produksi etanol di AS dihasilkan dari bahan baku jagung dan 10 persen dari gandum. Hampir 90 persen etanol digunakan sebagai bahan bakar. Penggunaan Jagung untuk bahan baku etonol di AS dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27 Penggunaan jagung sebagai bahan baku etanol di AS dalam juta Ton (USDA di dalam www.earth-policy.org, 2007)
Peningkatan penggunaan jagung sebagai bahan baku etanol menyebabkan harga jagung dunia melonjak. Hasil penelitian di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa produksi etanol berbahan dasar jagung lebih ekonomis dibandingkan etanol berbahan dasar gula membuat jagung dicari orang. Lonjakan harga tersebut terlihat jelas. Pada Agustus 2006 harga jagung tercatat 135 dollar AS per ton. Pertengahan Januari 2007 naik menjadi 230 dollar AS per ton.
8.3.3 Produksi Etanol Indonesia Sejak lima tahun terakhir Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional yang disebabkan menurunnya secara alamiah (natural decline) cadangan minyak pada sumur-sumur yang berproduksi. Di lain pihak, pertambahan jumlah penduduk telah meningkatkan kebutuhan sarana transportasi dan aktivitas industri yang berakibat pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional. Untuk memenuhi kebutuhan BBM tersebut, pemerintah mengimpor sebagian BBM. Menurut Ditjen Migas (2005),
115
impor BBM terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 106,9 juta barrel pada 2002 menjadi 116,2 juta barrel pada 2003 dan 154,4 juta barrel pada 2004. Dilihat dari jenis BBM yang diimpor, minyak solar (ADO) merupakan volume impor terbesar setiap tahunnya. Pada 2002, impor BBM jenis ini mencapai 60,6 juta barrel atau 56,7% dari total, kemudian meningkat menjadi 61,1 juta barrel pada 2003 dan 77,6 juta barrel pada 2004. Besarnya
ketergantungan
Indonesia
pada
BBM
impor
semakin
memberatkan pemerintah ketika harga minyak dunia terus meningkat yang mencapai di atas US$ 70 per barrel pada Agustus 2005, karena semakin besarnya subsidi yang harus diberikan pemerintah terhadap harga BBM nasional. Pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM yang berakibat pada meningkatnya harga BBM nasional yang dilakukan dalam 2 tahap yaitu pada bulan Maret dan Oktober 2005. Ini berakibat pada penurunan konsumsi BBM yang cukup signifikan. Menurut catatan Pertamina, total konsumsi harian BBM menurun sebesar 27% paska kenaikan BBM tanggal 1 Oktober 2005 yaitu dari 191,0 ribu kiloliter per hari menjadi 139,8 ribu kiloliter per hari. Solar mengalami penurunan sebesar 30,3% dari 77,0 ribu kiloliter per hari menjadi 53,6 ribu kiloliter per hari. Konsumsi premium menurun cukup tajam sebesar 36,8% dari 53,4 ribu kiloliter per hari menjadi 33,7 kiloliter per hari. Penyebab utama penurunan konsumsi ini diduga karena turunnya daya beli masyarakat dan semakin selektifnya masyarakat memilih aktivitas harian untuk menghemat pemakaian BBM (Shintawaty 2006). Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral memperkirakan, konsumsi premium nasional bakal mencapai 38,27-miliar liter dan lebih dari 20% diimpor. Untuk pengganti premium, terdapat alternatif gasohol yang merupakan campuran antara bensin dan bioetanol. Bioetanol bersumber dari karbohidrat yang potensial sebagai bahan baku seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan tebu. Setelah melalui proses fermentasi, dihasilkanlah etanol. Menurut penelitian BPPT, tanaman jagung merupakan unggulan untuk bahan utama bioetanol karena selain dari segi ekonomis tergolong murah, jumlah hasil bioetanol yang dihasilkan jagung ternyata lebih besar di antara tanaman lain seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu dan tebu. Jagung seberat 1 ton dapat menghasilkan 400 liter bioetanol sementara
116
ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan tebu untuk bobot yang sama menghasilkan masingmasing 166,6 liter, 125 liter, 90 liter dan 250 liter bioetanol. Dari jagung bisa dibuat etanol 99,5% atau etanol untuk bahan bakar yang bisa digunakan untuk campuran gasohol (Shintawaty 2006). Dalam perkembangan industri etanol, Indonesia yang kaya sumber daya alam ini hanya sampai pada rencana investasi. Beberapa rencana investasi tersaebut adalah pabrik etanol berbahan baku singkong dengan kapasitas 200 kiloliter per hari di Lampung dan di Jawa Barat dengan kapasitas 80 kiloliter per hari dengan bahan baku molase. Investasi pada industri etanol memang sangat lambat di Indonesia, karena kendala penyediaan bahan baku. Lahan tidur masih sangat banyak, tetapi tidak dimanfaatkan karena dukungan kebijakan pemerintah belum maksimal. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain, diharapkan dapat memacu investasi pada industri etanol. Jika pemerintah Indonesia, swasta, dan petani dapat bekerja sama, substitusi 5% bensin dapat menghemat US$1,539-miliar setara Rp1,539triliun. Itulah nilai subsidi 0,86-miliar liter bensin pada 2005 dengan harga subsidi Rp1.790/liter. Penghematan semakin besar, jika persentase substitusinya meningkat. Pada saat ini terdapat enam produsen besar etanol di Indonesia dengan total produksi 174 ribu kiloliter pada 2002. Namun, sebagian besar masih terfokus untuk memenuhi kebutuhan industri dan ekspor. Sedangkan menurut BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), pada pertengahan tahun lalu sudah ada 11 investor yang siap membangun pabrik bioetanol dan biodiesel di Indonesia dengan kapasitas 50 ribu kiloliter hingga 150 ribu kiloliter per tahun. Tiga perusahaan di antaranya sudah mempersiapkan diri melakukan pembangunan konstruksi pabrik bioetanol di daerah Lampung yang diperkirakan akan selesai dalam waktu setahun ke depan dengan total kapasitas mencapai 300 ribu kiloliter per tahun.
Sehingga pada 2010 diproyeksikan produksi bioetanol Indonesia
mencapai 280 juta liter/tahun.
117
Meningkatnya produksi bioetanol akan diikuti peningkatan aplikasi bioetanol menjadi E-10 atau E-20. Dari empat pabrik di Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur saja dihasilkan 174,5 juta liter per tahun. Dari jumlah itu, 115 juta liter diekspor ke Jepang dan Filipina, sedangkan sisanya digunakan sebagai bahan baku industri asam asetat, selulosa, pengolahan rumput laut, minuman alkohol, cat, farmasi, dan kosmetik. SPBU di Rampal, Malang, Jawa Timur, satu-satunya yang menyediakan biopremium di Jawa Timur. Komposisinya, 5% etanol asal tebu dan 95% premium. Campuran kedua bahan itu juga disebut gasohol. Harga gasohol di Malang sama dengan premium. Meski demikian, masyarakat antusias mengisi kendaraannya dengan biopremium. Menurut Suwandi (2007), rata-rata penjualan gasohol mencapai 14.000 liter per hari. Penjualan meningkat 22% dibandingkan saat pertama kali SPBU dibuka pada 13 Agustus 2006. Saat itu permintaan gasohol baru 11.000 liter per hari. 8.3.4 Teknologi Proses Etanol Secara umum, produksi bioetanol ini mencakup 3 (tiga) rangkaian proses, yaitu: Persiapan Bahan baku, Fermentasi, dan Pemurnian.
Proses produksi
bioetanol secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 28. Enzim Urea Kaustik / Lime
PENGGI LINGAN
Jagung
Ragi
Enzim Asam Sulfat
LIKUIFIKASI
SAKARIFI KASI
Kondensat
Vent Energi panas
Backsate
EVAPORASI
FERMENTASI
SENTRIFU GASI
Air Daur Ulang
Kaldu
DESTILASI
Wet DDG
Sirup
PENGERI NGAN
DDG
PEYIM PANAN
Gambar 28 Teknologi Proses Pembuatan Bioetanol (USDA di dalam Wallace et al, 2005)
Vent
118
8.3.4.1 Persiapan Bahan Baku Bahan baku untuk produksi bietanol bisa didapatkan dari berbagai tanaman, baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal Tebu (sugarcane), gandum manis (sweet sorghum) atau yang menghasilkan tepung seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan gandum (grain sorghum) disamping bahan lainnya. Persiapan bahan baku beragam bergantung pada bahan bakunya, tetapi secara umum terbagi menjadi beberapa proses, yaitu: 1) Tebu dan Gandum manis harus digiling untuk mengektrak gula, 2) Tepung dan material selulosa harus dihancurkan untuk memecahkan susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik, 3) Pemasakan, Tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan
menjadi
gula
kompleks
(liquefaction)
dan
sakarifikasi
(Saccharification) dengan penambahan air, enzim serta panas (enzim hidrolisis). Pemilihan jenis enzim sangat bergantung terhadap supplier untuk menentukan pengontrolan proses pemasakan. Tahap
Likuifikasi
memerlukan
penanganan
sebagai
berikut:
1)
Pencampuran dengan air secara merata hingga menjadi bubur, 2) Pengaturan pH agar sesuai dengan kondisi kerja enzim, 3) Penambahan enzim (alpha-amilase) dengan perbandingan yang tepat, 4) Pemanasan bubur hingga kisaran 80 sd 90°C, dimana tepung-tepung yang bebas akan mengalami gelatinasi (mengental seperti jeli) seiring dengan kenaikan suhu, sampai suhu optimum enzim bekerja memecahkan struktur tepung secara kimiawi menjadi gula komplek (Dekstrin). Proses Likuifikasi selesai ditandai dengan parameter dimana bubur yang diproses menjadi lebih cair seperti sup. Tahap sakarifikasi (pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana) melibatkan proses sebagai berikut: 1) Pendinginan bubur sampai suhu optimum enzim sakarifikasi bekerja, 2) Pengaturan pH optimum enzim, 3) Penambahan enzim (glukoamilase) secara tepat , 4) Mempertahankan pH dan Suhu pada rentang 50 sd 60°C sampai proses sakarifikasi selesai (dilakukan dengan pengetesan gula sederhana yang dihasilkan).
119
8.3.4.2 Fermentasi Pada tahap ini, tepung telah sampai pada titik telah berubah menjadi gula sederhana (glukosa dan sebagian fruktosa) dimana proses selanjutnya melibatkan penambahan enzim yang diletakkan pada ragi (yeast) agar dapat bekerja pada suhu optimum. Proses fermentasi tersebut akan menghasilkan etanol dan CO 2 . Bubur kemudian dialirkan kedalam tangki fermentasi dan didinginkan pada suhu optimum kisaran 27 sd 32°C, dan membutuhkan ketelitian agar tidak terkontaminasi oleh mikroba lainnya. Karena itu keseluruhan rangkaian proses dari liquefaction, sakarifikasi dan fermentasi haruslah dilakukan pada kondisi bebas kontaminan. Selanjutnya ragi akan menghasilkan etanol sampai kandungan etanol dalam tangki mencapai 8 sd 12 % (biasa disebut dengan cairan beer), dan selanjutnya ragi tersebut akan menjadi tidak aktif, karena kelebihan etanol akan berakibat racun bagi ragi. Tahap selanjutnya yang dilakukan adalah destilasi, namun sebelum destilasi perlu dilakukan pemisahan padatan-cairan, untuk menghindari terjadinya clogging selama proses distilasi. 8.3.4.3 Distilasi Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari bir (sebagian besar adalah air dan etanol). Titik didih etanol murni adalah 78°C sedangkan air adalah 100°C (Kondisi standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 100°C akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume. 8.3.4.4 Persentase Penggunaan Energi Persentase perkiraan penggunaan energi panas/steam dan listrik diuraikan dalam Tabel 21.
8.3.4.5 Peralatan Proses Adapun rangkaian peralatan proses yang digunakan pada proses produksi Etanol adalah sebagai berikut: •
Peralatan penggilingan
120
•
Pemasak, termasuk support, pengaduk dan motor, steam line dan insulasi
•
External Heat Exchanger
•
Pemisah padatan - cairan (Solid Liquid Separators)
•
Tangki Penampung Bubur
•
Unit Fermentasi (Fermentor) dengan pengaduk serta motor
•
Unit Distilasi, termasuk pompa, heat exchanger dan alat kontrol
•
Boiler, termasuk sistem feed water dan softener
•
Tangki Penyimpan sisa, termasuk fitting
•
Tangki penyimpan air hangat, termasuk pompa dan pneumatik
•
Pompa Utilitas, Kompresor dan kontrol
•
Perpipaan dan Elektrikal Tabel 21 Persentase penggunaan energi dalam proses produksi Etanol Identifikasi Penerimaan bahan baku, penyimpanan, dan penggilingan Pemasakan (liquefaction) dan Sakarifikasi Produksi Enzim Amilase Fermentasi Distilasi Etanol Dehidrasi (jika ada) Penyimpanan Produk Utilitas Bangunan TOTAL
Proses Uap
Listrik
0%
6.1 %
30.5 %
2.6 %
0.7 %
20.4 %
0.2 %
4%
58.5 %
1.6 %
6.4 %
27.1 %
0%
0.7 %
2.7 %
27 %
1%
0.5 %
100 %
100 %
Sumber: A Guide to Commercial-Scale Etanol Production and Financing 2005 Solar Energy Research Institute (SERI), 1617 Cole Boulevard, Golden, CO 80401
8.3.5 Kapasitas Pabrik Kapasitas pabrik etanol yang akan dibangun sangat dipengaruhi peluang pasar yang ditentukan berdasarkan tren permintaan dan persaingan. Selain itu ketersediaan bahan baku juga dijadikan batasan dalam menentukan kapasitas pabrik.
121
8.3.5.1 Peluang Pasar Berdasarkan prediksi permintaan Etanol pada Tabel 19 maka diketahui pada tahun 2010 terdapat permintaan dunia kira-kira 14 milyar galon Etanol per tahun. Data produksi Etanol Indonesia menunjukkan pada tahun 2004 hingga 2006 mengambil pangsa pasar sekitar 0,40%. yang selama ini digunakan untuk keperluan industri minuman serta farmasi dan sebagian lagi diekspor ke sejumlah negara, maka dengan kemampuan yang sama pada tahun 2010 minimal Produk Etanol Indonesia masih memiliki peluang memproduksi kira-kira 56 juta galon. Peluang pasar baik di dalam maupun di luar negeri masih dapat ditingkatkan dengan memafaatkan ketersediaan bahan baku yang melimpah di Indonesia dan juga didukung oleh kebijakan pemerintah seperti disediakannya insentif bagi produsen etanol, keringanan pajak atau peraturan penggunaan kandungan Etanol dalam bensin. Bahkan menurut perkiraan www.marketresearch.com [2007], Produksi etanol Indonesia diprediksi mencapai 96 juta galon pada tahun 2010.
8.3.5.2 Ketersediaan Bahan Baku Menurut Pimentel dan Patzak (2005), 1 liter Etanol dapat dihasilkan dari 2,69 kg jagung atau memerlukan 10,18 kg untuk menghasilkan 1 galon etanol, sehingga dengan produksi jagung di Kabupaten Probolinggo yang saat ini ratarata 240.000 ton per tahun, maka dapat direncanakan pendirian industri Etanol yang berkapasitas 85 juta liter per tahun atau 23 juta galon per tahun. Kapasitas pabrik dapat ditingkatkan hingga 50 juta galon per tahun dengan pengembangan agropolitan. Peningkatkan produksi bahan baku (jagung) dengan perluasan lahan panen dan peningkatan produktivitas jagung di Kabupaten Probolinggo. Berdasarkan analisis prediksi permintaan, peluang pasar dan ketersediaan bahan baku di atas, maka ditentukan kapasitas pabrik bisa mencapai 50 juta galon etanol per tahun. Kapasitas ini ditentukan karena besarnya peluang pasar bagi produksi Indonesia pada tahun 2010 adalah 56 hingga 96 juta galon etanol. Ketersediaan bahan baku (jagung) di Kabupaten Probolinggo saat ini sebesar 240.000 ton per tahun dengan total lahan mencapai 56.000 hektar. Dimana Produktifitas hasil jagung tertinggi di Jawa Timur berada di Probolinggo (3,6 ton/ha). Selama ini penggunaannya adalah 5 persen untuk konsumsi dan sisanya
122
digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Umumnya, para petani menjual hasil panennya langsung ke beberapa pabrik makanan ternak yang ada di Mojokerto dan sekitarnya. Beberapa lainnya memilih menjual jagung ke tengkulak yang mendatanginya di sawah untuk mencukupi permintaan di beberapa pasar setempat. 8.3.6 Model Analisis Kelayakan Finansial 8.3.6.1 Kriteria Kelayakan Alat ukur atau kriteria kelayakan digunakan ntuk menentukan apakah suatu usaha tersebut menguntungkan atau layak untuk diusahakan. Alat ukur atau kriteria tersebut digunakan untuk mengambil keputusan layak tidaknya suatu usaha untuk dijalankan. Alat ukur atau kriteria yang biasa dipakai adalah dengan menggunakan NPV (Net Present value), Net B/C ( Net Benefit Cost ratio), IRR (Internal Rate Of Return), BEP (Break Even Point) dan PBP (Pay Back Period). Net present value dapat diartikan sebagai nilai bersih sekarang, menunjukan keuntungan yang akan diperoleh selama umur investasi. Net benefit cost ratio menujukkan berapa kali lipat keuntungan yang akan diperoleh dari besarnya investasi yang dikeluarkan. Internal rate of return menunjukkan prosentase keuntungan yang akan diperoleh dari usaha tersebut tiap tahun. IRR merupakan kemampuan dari usaha tersebut dalam mengembalikan atau membayar bunga bank. Pengertian yang sederhana tentang kriteria tersebut saling mendukung atau saling melengkapi dalam menunjukkan kelayakan dari suatu usaha. Analisis yang biasa digunakan dalam menilai kelayakan usaha yaitu analisis finansial. Analisis finansial pendekatannya individual, yang dimaksud dengan individu ini adalah dapat berupa perusahaan perorangan atau lembaga ekonomi (PT, CV). Analisis finansial menujukkan kelayakan usaha dilihat dari perusahaan. Keuntungan yang diraih merupukan keuntungan yang dilihat dari segi perusahaan. Analisis suatu usaha yang direncanakan diperlukan data-data yang relevan dengan usaha tersebut. Biaya yang diperlukan untuk usaha tersebut dibandingkan dengan nilai hasil produksi yang akan dicapai selama umur proyek merupakan benefit dari usaha tersebut. Pengertian biaya tersebut adalah meliputi biaya investasi dan biaya operasional/variabel.
123
8.3.6.2 Biaya Investasi Biaya investasi merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan sebelum usaha tersebut berjalan yang meliputi biaya peralatan, mesin-mesin sesuai dengan besar kecilnya usaha tersebut. Biaya investasi tersebut dikeluarkan pada awal proyek. Biaya operasional/variabel merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan selama proses produksi meliputi biaya tenaga kerja, produksi, bahan baku, pajak dan biaya operasional lainya yang digunakan dalam proses produksi. Pengertian benefit sebenarnya adalah pendapatan yang tampak yaitu keuntungan yang dapat dihitung atau dinilai dengan uang dan benefit yang intangible yaitu keuntungan yang sulit dihitung dengan uang. Analisis yang digunakan adalah benefit yang tampak yaitu dinilai hasil produksi tiap tahun/periode selama umur proyek. Yudiarto dan Djumali (2006) mengemukakan dari 83 buah pabrik bioetanol di AS, skalanya berkisar dari 2,5 kl/hari sampai dengan 1.000 kL/hari, meskipun pada umumnya di atas 100 kL/hari. Secara hitungan kasar, setiap kelipatan 10 kali kapasitasnya, biaya investasinya menurun separuhnya. Biaya investasi kilang bioetanol kapasitas 100 kl/hari berkisar antara Rp 2-3 milyar perkiloliternya. Wallace (2002), Memperkirakan biaya investasi pabrik etanol berkapasitas 30 juta galon per tahun adalah $73,694,000; 50 juta galon per tahun $103,136,000 dan 70 juta galon per tahun $129,879,000. Dimana biaya per galon pada kapasitas 30, 50 dan 70 juta galon per tahun bertutur-turut adalah $2.18, $1.85 dan $1.67 per galon. 8.3.6.3 Biaya Produksi Jagung berpotensi memproduksi etanol lebih baik karena rendemennya paling tinggi, yakni mencapai 55%, selain itu biaya produksinya juga murah. Misalnya dengan harga yang berlaku pada tahun 2005, untuk menghasilkan satu liter etanol cuma diperlukan 2,5 kg jagung seharga Rp 1.000/kg. Proses fermentasinya membutuhkan uap air 3,8 kg seharga Rp 304 dan listrik 0,2 kwh (Rp200). Jika harga pekerja dihitung Rp300 per liter, maka biaya produksi etanol per liter hanya Rp 3.340. Biaya produksi tersebut lebih murah jika dibandingkan dengan biaya produksi premium yang mencapai Rp 6.300.
124
Jika etanol diproyeksikan menggantikan 10% konsumsi BBM dalam negeri saat ini, maka dibutuhkan 14,4-juta ton jagung atau setara 3-juta hektar lahan jagung. Investasi jagung relatif rendah daripada tanaman lain, hanya Rp3juta/ha. Jarak sebagai bahan biodiesel membutuhkan investasi Rp8-juta-Rp9juta/ha. Amerika Serikat memproduksi etanol dari jagung, walau belum efisien, dengan biaya produksi US$ 59 per barel. Saat ini, Brasil merupakan produsen etanol terbesar di dunia, dengan kapasitas terpasang 18 miliar liter per tahun. Etanol yang dihasilkan terbuat dari tetes dan nira sehingga biaya produksinya termurah di dunia, 14-16 sen dollar AS per liter. Ini yang membuat Brasil jadi produsen etanol paling efisien dan termurah di dunia: biaya produksinya (sebelum pajak) US$ 17,5 per barel atau sekitar Rp 1.080 per liter, sedangkan produsen etanol dari bahan baku jagung Amerika Utara menghabiskan biaya produksi US$ 44,1 per barel atau sekitar Rp 2.718 per liter. Tabel 22 Input per 1000 l of 99.5% produksi etanol dari jagung Input
Jumlah
kcal × 1000
Biaya ($)
Corn grain
2,690 kg
2,522
284.25
Corn transport
2,690 kg
322
21.40
Water
40,000 l
90
21.16
Stainless steel
3 kg
12
10.60
Steel
4 kg
12
10.60
Cement
8 kg
8
10.60
Steam
2,546,000 kcal
2,546
21.16
392 kWh
1,011
27.44
9 kcal/L
69
40.00
20 kg BOD
6,597
6.0
Electricity 95% ethanol to 99.5% Sewage effluent Total
453.21
Sumber: Pimentel dan Patzek 2005
Biaya produksi bioetanol di Brazil termurah karena listrik dan uap air yang digunakan dalam
proses dapat dipenuhi melalui pembakaran ampas tebu,
sehingga biaya produksinya hanya setengah harga bensin. Sedangkan di AS, karena menggunakan gas alam sebagai bahan bakar proses, mengalami penigkatan
125
biaya produksi karena gas alam juga ikut naik bersama kenaikan harga minyak. Sebagai gambaran, per-30 Agustus 2005, ketika harga mentah US$69,81/barel, harga bensin Rp 6.500,-/liter dan bioetanol Rp 5.600,-/liter (asumsi 1US$1 = Rp10.000) (Yudiarto & Djumali 2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka ditentukan asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis kelayakan industri etanol adalah sebagai berikut: 1.
Umur ekonomis proyek 10 tahun
2.
Sumber dana pembiayaan bank konvensional pada suku bunga 14 %
3.
Perbandingan modal pinjaman dengan modal sendiri adalah (DER = 60:40)
4.
Jangka waktu pelunasan pinjaman selama 10 tahun dengan tenggang waktu 3 tahun selama masa pendirian pabrik
5.
Harga beli jagung pipilan Rp.1.900,-/kg
6.
Harga jual etanol Rp. 7.000,-/liter atau Rp. 26.497,-/galon
7.
Untuk menghasilkan satu liter etanol memerlukan 2,3 kg jagung pipilan kering
8.
Kapasitas pabrik adalah 10 juta galon etanol per tahun, pada tahun pertama beroperasi 80%, tahun kedua 90%, tahun ketiga dan seterusnya 100%
9.
Waktu operasi pabrik 8 jam/hari untuk 25 hari kerja/bulan setara 200 jam/bulan atau 2400 jam/tahun
10.
Biaya penyusutan menggunakan metode garis lurus dengan nilai sisa pada tahun kesepuluh 10 %
11.
Pajak dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan. Tarif pajak untuk wajib pajak beban dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 10% untuk 50 juta pertama, 15% untuk pendapatan di atas 50 juta sampai dengan 100 juta, dan selanjutnya 30% di atas 100 juta dari pendapatan kena pajak.
Input data model kalayakan agroindustri menggunakan basis data biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel. Hasil analisis berdasarkan proyeksi labarugi dan cash flow dapat dilihat pada Lampiran. Secara rinci hasil analisis kelayakan investasi agroindustri etanol sebesar 10 juta galon per tahun dengan
126
menggunakan dana bank konvensional pada suku bunga 14% menunjukkan PBP 7,07 tahun dengan nilai NPV Rp. 56,615 milyar dan IRR 19,07%. dan B/C 1,04. Analisis sensitivitas untuk mengetahui variabel yang berpengaruh terhadap kriteria investasi dan biaya terhadap berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi seperti fluktuasi harga, baik harga jual etanol maupun harga beli jagung kering pipilan sebagai bahan baku etanol dan peruahan suku bunga bank. Analisis sesitivitas dilakukan dengan tiga skenario, yaitu: 1) harga jagung berubah, sedangkan harga etanol dan suku bunga tetap, 2) harga etanol berubah, sedangkan harga jagung dan suku bunga tetap, dan 3) suku bunga berubah, sedangkan harga jagung dan harga etanol berubah. Berdasarkan ketiga seknario tersebut akan diketahui nilai kritis dari harga jagung, harga etanol dan suku bunga. Hasil analisis sensitivitas dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Hasil analisis sensitivitas Skenario Perubahan
Kriteria Investasi
No
Harga Jagung (Rp./kg)
Harga Etanol (Rp./galon)
Suku Bunga (%)
I
1800
26497
14
1900
26497
2000 II
III
NPV (Rp.Milyar)
IRR (%)
PBP (th)
B/C
86,863
22,58
6,12
1,06
14
56,615
19,70
7,07
1,04
26497
14
26,367
16,71
8,38
1,02
2100
26497
14
-3,881
13,59
10,31
1,00
1900
26500
14
56,719
19,71
7,06
1,04
1900
26100
14
42,821
18,35
7,62
1,03
1900
25700
14
28,922
16,97
8,25
1,02
1900
25300
14
15,024
15,56
9,00
1,01
1900
24900
14
1,126
14,12
9,92
1,00
1900
24500
14
-12,772
12,65
11,06
0,99
1900
26497
14
56,615
19,70
7,07
1,04
1900
26497
16
28,364
19,04
8,15
1,02
1900
26497
18
3,366
18,38
9,72
1,00
1900
26497
20
-18,842
17,73
12,45
0,98
Pada skenario pertama, hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa harga kritis jagung dengan harga jual etanol Rp. 26.497,- per galon dan suku
127
bunga 14% adalah sekitar Rp.2.100/kg. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 23
NPV (Milyar Rupiah)
dan grafik analisis sensitivitas harga jagung terhadap NPV pada Gambar 29.
100,000 90,000 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0 -10,000
86,863
56,615
26,367
1800
1900
2000
-3,881 2100
Harga Jagung (Rp/kg)
Gambar 29 Analisis sensitivitas harga jagung terhadap NPV (skenario I)
Pada skenario kedua, hasil analisis sensitivitas menunjukkan dengan harga jual jagung tetap Rp. 1900/ kg dan suku bunga tetap 14% diketahui harga etanol yang kritis adalah sekitar Rp. 24.900/galon . Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 24 dan grafik analisis sensitivitas harga etanol terhadap NPV pada Gambar 30.
70,000
NPV (Milyar Rupiah)
60,000
56,719
50,000 42,821
40,000 30,000
28,922
20,000
15,024
10,000
1,126
0 -10,000
26500
26100
25700
25300
24900
24500 -12,772
-20,000 Harga Etanol (Rp/galon)
Gambar 30 Analisis sensitivitas harga etanol terhadap NPV (skenario II)
128
Pada skenario ketiga dengan harga jagung Rp. 1.900/kg dan harga etanol Rp. 26.497/galon, suku bunga kritis adalah sekitar 18%. Hal ini dapat dilihat pada
NPV (Milyar Rupiah)
Tabel 24 dan grafik analisis sesitifitas suku bunga terhadap NPV pada Gambar 31.
70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0 -10,000 -20,000 -30,000
56,615
28,364 3,366 14
16
18
20 -18,842
Suku Bunga (%)
Gambar 31 Analisis sensitivitas suku bunga terhadap NPV (skenario III)
8.3.7 Desain Agroindustri dengan Pendekatan Material Driven Berdasarkan analisis kelayakan pasar pada bab desain industri etanol sebelumnya, maka diperoleh kapasitas optimal berdasarkan kondisi pasar adalah 10 juta galon per tahun. Desain agroindustri selain dapat dilakukan dengan pendekatan market driven dapat pula dilakukan dengan pendekatan material driven, yaitu dengan melihat ketersediaan dan potensi bahan baku sebagai dasar desain. Kabupaten Probolinggo merupakan kabupaten yang memiliki potensi produksi jagung yang sangat tinggi. Oleh karena itu pendekatan material driven dalam desain agroindustri etanol sebagai basis pengembangan kawasan agropolitan diperlukan untuk dianalisis lebih lanjut. Pada Tabel 24 di bawah ini dapat dilihat beberapa skenario desain agroindustri etanol dengan beberapa kapasitas.
129
Tabel 24 Skenario Perubahan Kapasitas Industri Etanol No
Kapasitas Pabrik (Galon/th)
Kapasitas Pabrik (liter/th)
Kebutuhan Jagung (ton/th)
Kebutuhan Lahan Ha/th *
Kebutuh an Bahan Baku % **
NPV (Milyar Rupiah)
1
10,000,000
37,854,110
87,064.453
23,530.933
37.854
56,615
2
20,000,000
75,708,220
174,128.906
47,061.866
75.708
131,445
3
30,000,000
113,562,330
261,193.359
70,592.800
113.562
202,034
4
40,000,000
151,416,440
348,257.812
94,123.733
151.416
261,326
* (Rata-rata produktivitas jagung di Kab Prob =3.7ton/ha/th) ** (Rata-rata produksi jagung Kab Prob= 230.000 ton/th)
Dapat diketahui pada Tabel 24 bahwa NPV masih positif untuk keempat skenario kapasitas industri tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pabrik layak untuk didirikan pada kapasitas 10 juta galon, 20 juta galon, 30 juta galon dan 40 juta galon per tahun. Berdasarkan kapasitas tersebut, maka dapat ditentukan kebutuhan bahan baku (jagung) dan kebutuhan lahan untuk produksi jagung. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pengembangan kawasan agropolitan selanjutnya.
129
Tabel 24 Skenario Perubahan Kapasitas Industri Etanol No
Kapasitas Pabrik (Galon/th)
Kapasitas Pabrik (liter/th)
Kebutuhan Jagung (ton/th)
Kebutuhan Lahan Ha/th *
Kebutuh an Bahan Baku % **
NPV (Milyar Rupiah)
1
10,000,000
37,854,110
87,064.453
23,530.933
37.854
56,615
2
20,000,000
75,708,220
174,128.906
47,061.866
75.708
131,445
3
30,000,000
113,562,330
261,193.359
70,592.800
113.562
202,034
4
40,000,000
151,416,440
348,257.812
94,123.733
151.416
261,326
* (Rata-rata produktivitas jagung di Kab Prob =3.7ton/ha/th) ** (Rata-rata produksi jagung Kab Prob= 230.000 ton/th)
Dapat diketahui pada Tabel 24 bahwa NPV masih positif untuk keempat skenario kapasitas industri tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pabrik layak untuk didirikan pada kapasitas 10 juta galon, 20 juta galon, 30 juta galon dan 40 juta galon per tahun. Berdasarkan kapasitas tersebut, maka dapat ditentukan kebutuhan bahan baku (jagung) dan kebutuhan lahan untuk produksi jagung. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pengembangan kawasan agropolitan selanjutnya.
130
8.4 Model Penentuan Pusat dan Wilayah Pendukung Agropolitan 8.4.1 Pengklasteran Wilayah Pengklasteran wilayah dilakukan untuk mengelompokkan kecamatankecamatan yang memiliki potensi sumberdaya wilayah yang serupa.
Potensi
sumberdaya wilayah terdiri dari potensi sumberdaya manusia, potensi sumberdaya buatan dan sosial, potensi sumberdaya pertanian, serta potensi sumberdaya industri. Data potensi Kabupaten Probolinggo dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 9, sedangkan hasil analisis klaster berupa mean klaster, jarak antar klaster dan analisis varian dapat dilihat pada Lampiran 13. 8.4.1.1 Potensi Sumberdaya Manusia Potensi sumberdaya manusia diketahui dari data yang berhubungan dengan potensi sumberdaya manusia dalam variabel demografi, pendidikan dan kesehatan. Data sumberdaya manusia di Kabupaten Probolinggo dapat dilihat pada Lampiran 6, Konfigurasi spasial potensi sumberdaya manusia Kabupaten Probolinggo dapat dilihat pada Gambar 32.
Gambar 32 Konfigurasi spasial potensi sumberdaya manusia Kabupaten Probolinggo
Berdasarkan data potensi sumberdaya manusia yang diolah dalam model klaster wilayah maka diperoleh pengklasteran wilayah sebagai berikut:
131
Klaster 1 : Bantaran, Tegalsiwalan, Kota Anyar, Wonometo, Tongas. Klaster 2 : Banyuanyar, Paiton, Besuk, Krejengan, Maron, Gending. Klaster 3 : Leces, Kraksaan, Pajarakan, Dringu, Sumberasih. Klaster 4 : Kuripan, Tiris, Gading, Pakuniran, Lumbang. Klaster 5 : Sukapura, Sumber, Krucil. Setiap
klaster
memiliki
kesamaan
karakteristik
pada
persentase
pengunjung posyandu dan persentase tidak tamat sekolah, tetapi memiliki perbedaan karakteristik sebagai berikut: Klaster 1
: Pertumbuhan penduduk, rasio murid/guru Sekolah Dasar (SD) dan tidak tamat SD paling tinggi; rasio laki-laki/perempuan paling rendah, persentase tamat SD dan persentase tamat SMA paling rendah.
Klaster 2
: Rasio laki-laki/perempuan, rasio murid/guru SMA paling tinggi; rasio murid/guru SD dan persentase tidak tamat SD paling rendah.
Klaster 3
: Kepadatan penduduk, rasio guru/murid SMP, angka kelahiran, tamat SMP, persentase tamat SMA dan persentase tamat akademik/perguruan tinggi paling tinggi.
Klaster 4
: Persentase tamat SD paling tinggi; pertumbuhan penduduk, angka kelahiran dan angka kematian paling rendah.
Klaster 5
: Angka kematian paling tinggi; kepadatan penduduk, rasio murid/guru SMP, rasio murid/guru SMA, persentase tamat SMP dan persentase tamat akademik/perguruan tinggi paling rendah.
Berdasarkan karakteristik klaster yang telah diuraikan di atas, maka dapat diketahui bahwa klaster 3 merupakan klaster dengan potensi sumberdaya manusia paling tinggi, kemudian berturut-turut hingga paling rendah adalah: klaster 2, klaster 1, klaster 4 dan klaster 5.
8.4.1.2 Potensi Sumberdaya Buatan dan Sosial Dalam aspek ini data yang digunakan adalah keragaan sumberdaya buatan termasuk infrastruktur, data kelembagaan masyarakat yang ada, serta nilai indeks fasilitas. Nilai indeks fasilitas merupakan hasil analisis terhadap sumberdaya
132
buatan dengan metode skalogram. Nilai Indeks Fasilitas pada setiap kecamatan Probolinggo dapat dilihat pada Tabel 25, sedangkan data sumberdaya buatan dan sosial secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 7. Konfigurasi spasial potensi sumberdaya buatan Kabupaten Probolinggo dapat dilihat pada Gambar 33. Tabel 25 Data indeks fasilitas per kecamatan di Kabupaten Probolinggo Jumlah Pdd (Orang)*
Indeks Fasilitas**
Jumlah Pdd (Orang)*
Indeks Fasilitas**
10.208,53
20.581
5.327,94
72.566
2,393
Sumber
14.188,13
Besuk
3.503,63
49.613
1,328
Kuripan
0,631
Kraksaan
3.779,75
68.869
2,669
42.680
1,081
Krejengan
3.442,84
41.476
1,522
3.680,97
58.161
1,921
Pajarakan
2.134,35
32.643
1,440
Tegalsiwalan
4.173,56
35.838
0,989
Maron
5.139,27
65.947
1,809
Banyuanyar
4.569,63
54.998
1,366
Gending
3.661,48
42.254
1,554
Tiris
16.566,69
69.682
1,054
Dringu
3.113,54
53.910
1,283
Krucil
20.252,66
52.552
1,360
Wonomerto
4.566,84
42.053
1,044
Gading
14.684,64
58.034
1,855
Lumbang
9.271,00
31.705
1,013
Pakuniran
11.385,00
46.502
1,421
Tongas
7.795,20
65.758
2,104
Kotaanyar
4.258,00
36.979
1,195
Sumberasih
3.025,41
62.038
1,420
Kecamatan
Luas (m2)*
Kecamatan
Luas (m2)*
Sukapura
1,103
Paiton
26.435
0,741
6.674,70
30.923
Bantaran
4.212,83
Leces
Sumber: * BPS Kabupaten Probolinggo, 2009 ** Pengolahan data
Berdasarkan data potensi sumberdaya buatan dan sosial yang diolah dalam model klaster wilayah maka diperoleh pengklasteran wilayah sebagai berikut: Klaster 1
: Tiris, Gading, Pakuniran, Krejengan, Tongas.
Klaster 2
: Besuk, Kraksaan, Maron.
Klaster 3
: Sukapura, Bantaran, Leces, Tegalsiwalan, Banyuanyar, Kotaanyar, Pajaakan, Gending, Dringu, Woomerto, Sumberasih.
Klaster 4
: Paiton.
Klaster 5
: Sumber, Kuripan, Krucil, Lumbang.
Klaster 5 merupakan klaster yang memiliki potensi sumberdaya buatan dan sosial paling rendah di antara klaster lainnya, sedangkan klaster 3, klaster 1, klaster 2 dan klaster 4 berturut-turut adalah klaster yang memiliki potensi sumberdaya buatan dan sosial dari rendah hingga paling tinggi. Hal ini dapat
133
diketahui dari karakteristik masing-masing klaster, dimana terdapat kesamaan jumlah desa swakarsa, tetapi terdapat perbedaan karakteristik sebagai berikut: Klaster 1
: Indeks fasilitas sedang; Jumlah desa swadaya mula paling tinggi.
Klaster 2
: Indeks fasilitas tinggi; Jumlah desa swadaya madya paling tinggi dan jumlah desa swadaya mula paling rendah.
Klaster 3
: Indeks fasilitas rendah; Jumlah Lembaga Ketahanan Desa (LKD) II paling rendah.
Klaster 4
: Indeks fasilitas, LKD , LKD II, dan jumlah desa swadaya lanjut paling tinggi.
Klaster 5
: Indeks fasilitas, jumlah desa swadaya madya dan lanjut paling rendah.
Gambar 33 Konfigurasi spasial potensi sumberdaya buatan Kabupaten Probolinggo
8.4.1.3 Potensi Sumberdaya Pertanian Data yang digunakan dalam analisis potensi sumberdaya pertanian adalah nilai LQ (Location Quotient), data produksi, luas panen dan produktivitas sepuluh komoditi pertanian unggulan di Kabupaten Probolingggo yaitu: padi, jagung, ubi kayu, bawang merah, kentang, kubis, cabe merah, pisang, alpukat, mangga {Dinas Pertanian Kab Probolinggo, 2009). Nilai LQ empat komoditi unggulan dapat dilihat pada Tabel 26, sedangkan data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8.
134
Tabel 26 Nilai LQ Komoditi unggulan terprioritas pada Kabupaten Probolinggo,2008 Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Sukapura Sumber Kuripan Bantaran Leces Tegalsiwalan Banyuanyar Tiris Krucil Gading Pakuniran Kotaanyar Paiton Besuk Kraksaan Krejengan Pajarakan Maron Gending Dringu Wonomerto Lumbang Tongas Sumberasih
Jagung 0.537 0.268 1.583 1.416 1.717 1.518 1.602 1.753 1.952 0.039 0.755 1.088 1.711 0.271 0.134 0.018 0.078 1.156 0.267 0.440 1.849 0.751 0.672 1.799
LQ Bwg Merah Kentang 0.000 12.299 0.000 16.321 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.787 0.000 3.476 0.000 0.478 0.000 0.000 0.053 0.000 0.000 0.000 0.000 0.016 0.000 0.004 0.000 0.000 0.000 0.014 0.000 0.758 0.000 0.351 0.000 0.039 0.000 2.192 0.000 6.649 0.000 0.000 0.000 0.000 0.072 0.002 0.000 0.443 0.000
Mangga 0.031 0.039 0.019 0.866 0.891 1.299 0.507 0.022 0.024 2.216 2.239 0.000 0.000 3.038 2.510 3.096 0.243 0.179 0.000 0.370 0.366 6.001 1.141 1.072
Sumber: BPS Kabupaten Probolinggo, 2009, data diolah.
Berdasarkan data potensi sumberdaya pertanian maka diperoleh klaster wilayah seperti pada Gambar 34 dengan keterangan sebagai berikut: Klaster 1
: Kuripan, Tiris, Krusil, Tongas.
Klaster 2
: Pakuniran, Kotaanyar, Paiton, Maron, Lumbang.
Klaster 3
: Gading, Besuk, Kraksaan, Krejengan, Pajarakan, Gending.
Klaster 4
: Bantaran, Leces, Tegalsiwalan, Banyuanyar, Dringu, Wonomerto, Sumberasih.
Klaster 5
: Sukapura, Sumber.
135
Gambar 34 Konfigurasi spasial potensi sumberdaya pertanian Kabupaten Probolinggo
Masing-masing klaster memiliki kesamaan pada LQ cabe merah, produksi mangga, produktivitas pisang dan luas panen pisang, dan luas panen mangga, sedangkan karakteristik masing-masing klaster lainnya adalah sebagai berikut: Klaster 1
: LQ, produksi dan luas panen pada komoditi jagung, ubi kayu, alpukat paling tinggi; produksi dan luas panen cabe merah paling tinggi; produksi, produktivitas dan luas panen bawang merah paling rendah.
Klaster 2
: LQ, produksi dan luas panen ubi kayu paling rendah; produktivitas mangga paling rendah.
Klaster 3
: LQ, produksi dan luas panen untuk komoditi padi dan pisang paling tinggi;
LQ mangga
paling
tinggi;
LQ,
produksi,
produktivitas dan luas lahan untuk komoditi kentang dan kubis paling rendah; LQ, produksi dan luas panen jagung dan alpukat paling rendah; produktivitas ubi kayu paling rendah. Klaster 4
: LQ, produksi, produktivitas dan luas panen bawang merah paling tinggi; produktivitas ubi kayu dan jagung paling tinggi; LQ, produksi, produktivitas dan luas panen kentang dan kubis paling rendah.
136
Klaster 5
: LQ, produksi, produktivitas dan luas panen kentang dan kubis paling tinggi; produktivitas cabe merah, alpukat, mangga paling tinggi; LQ, produksi, produktivitas dan luas panen bawang merah paling rendah; produksi dan luas panen cabe merah paling rendah; LQ mangga dan pisang paling rendah.
Berdasarkan potensi komoditi jagung (LQ, produksi, produktivitas, dan luas panen jagung), maka diperoleh klaster seperti pada Gambar 35 dengan keterangan sebagai berikut: Klaster 1
: Leces, Tegalsiwalan, Banyuanyar, Tongas, Sumberasih.
Klaster 2
: Kuripan, Tiris, Krucil.
Klaster 3
: Sukapura,
Bantaran,
Pakuniran,
Paiton,
Maron,
Dringu,
Wonomerto, Lumbang. Klaster 4
: Sumber, Kotaanyar, Gending.
Klaster 5
: Gading, Besuk, Kraksaan, Krejengan, Pajarakan,
Gambar 35 Konfigurasi spasial potensi komoditi jagung Kabupaten Probolinggo
Masing-masing klaster memiliki karakteristik sebagai berikut: Klaster 1
: Produktivitas paling tinggi; LQ, produksi dan luas panen tinggi.
Klaster 2
: LQ, produksi dan luas panen paling tinggi; produktivitas paling rendah.
137
Klaster 3
: LQ, produksi, produktivitas dan luas panen sedang.
Klaster 4
: LQ, produksi, produktivitas dan luas panen rendah.
Klaster 5
: LQ, produksi dan luas panen paling rendah; produktivitas tinggi.
8.4.1.4 Potensi Sumberdaya Industri Industri yang ada di Kabupaten Probolinggo terdiri dari lima jenis industri, yaitu pangan, sandang dan kulit, kerajinan umum, kimia dan bangunan, serta logam. Data yang digunakan dalam analisis potensi industri adalah jumlah unit usaha dan jumlah tenaga kerja pada masing-masing kelompok industri tersebut. Jumlah industri pangan pada tahun 2008 di Kabupaten Probolinggo adalah 3429 unit industri dengan jumlah tenaga kerja 3116 orang. Jumlah unit industri dan tenaga kerja untuk industri sandang, kimia, kerajinan dan logam berturut turut adalah 640 unit industri dengan 1655 orang tenaga kerja, 1974 unit industri dengan 2786 orang tenaga kerja, 998 unit industri dengan 747 orang tenaga kerja, dan 320 unit industri dengan 360 orang tenaga kerja (BPS Kab Probolinggo, 2009). Berdasarkan data potensi sumberdaya industri (Lampiran 9) yang diolah dalam Model Klaster Wilayah maka diperoleh pengklasteran (Gambar 36) sebagai berikut: Klaster 1
: Sukapura, Sumber, Kuripan, Bantaran, Tegalsiwalan, Banyuanyar, Kotaanyar, Besuk, Wonomerto.
Klaster 2
: Gading, Paiton, Krejengan, Maron, Gending, Dringu, Lumbang, Tongas.
Klaster 3
: Leces, Pajarakan.
Klaster 4
: Krucil, Pakuniran, Sumberasih.
Klaster 5
: Tiris, Kraksaan.
Berdasarkan karakteristik pada setiap klaster, maka diketahui klaster yang memiliki potensi industri paling tinggi adalah klaster 3, kemudian berturut-turut potensi tinggi, sedang, rendah dan paling rendah adalah klaster 5, klaster 2, klaster 4, dan klaster 1. Masing-masing klaster memiliki kesamaan dalam karakteristik
138
jumlah tenaga kerja industri logam dan memiliki karakteristik lainnya sebagai berikut: Klaster 1
: Jumlah unit industri pangan, sandang-kulit, kerajinan umum paling rendah; Jumlah tenaga kerja industri sandang-kulit dan jumlah industri sedang-besar paling rendah.
Klaster 2
: Jumlah unit industri logam paling tinggi dan jumlah tenaga kerja industri kerajinan umum paling rendah.
Klaster 3
: Jumlah unit dan tenaga kerja pada industri sandang-kulit dan kimia-bahan bangunan paling tinggi; Jumlah industri sedang-besar paling tinggi; jumlah unit industri logam paling rendah; jumlah tenaga kerja industri pangan paling rendah.
Klaster 4
: Jumlah unit industri kimia-bahan bangunan paling rendah.
Klaster 5
: Jumlah unit dan tenaga kerja pada industri pangan dan kerajinan umum paling tinggi; jumlah unit industri kimia-bahan bangunan paling rendah.
Gambar 36 Konfigurasi spasial potensi sumberdaya industri Kabupaten Probolinggo
8.4.1.5 Potensi Lahan dan Agroekologi Kabupaten Probolinggo merupakan daerah yang memiliki banyak potensi di bidang pertanian yang bisa dikembangkan, terutama dalam hal ini potensi
139
sumberdaya lahan yang ada telah memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk dikelola dan dipetik hasil darinya dengan cara budidaya/ usaha tani yang tepat dan optimal, sesuai dengan kondisi dan tanahnya. Tabel 27 menyajikan beberapa jenis tanah yang ada di Kabupaten Probolinggo beserta analisis kesesuainannya dengan sejumlah komoditi unggulan berdasarkan zona agroekologi. Tabel 27 Karakter biofisik zona agroekologi, alternatif pengembangan komoditi unggulan dan penyebarannya di Kabupaten Probolinggo No
1
Suhu
Kelembaban Fisiografi
Panas Isohyp erther mic
Agak Kering Ustic
Dataran Kipas Alluvial Volkan
Lembab Udic
Plato Lereng Lahar Volkan
Agak Kering Ustic
Datran Karstik Kipas Alluvial Teras Sungai Pesisir Pantai
Sejuk 2 Isother mic
3
Zonasi Pengembangan Pertanian & Kehutanan
EKOLOGI
Panas Isohyp erther mic
Leren g
Group Tanah
>8 -15
Haplustults, Ustropepts, Calciustolls
<8 -15
Dysdrande pts, Europepets , Humitropep ts
<8
Ustropepts, Haplustalfs, Paleustalfs, Chromuster ts
Draina Sistem se
Baik
Komoditi
Kecamatan
Jambu Mente, Mangga, Lumbang, Wanatan Srikaya, Kacang Tongas, i/ Budiday Hijau, Kacang Wonometo, a Lorong Tanah, Kedele, Besuk Jagung Lengkeng, Leci WanaJambu, Jeruk, tani / Sayuran (Worte Sukapura Budiday Cabe, Kentang a Lorong Kubis, Tomat)
Baik
Pertania n Lahan Kering
Wonomerto, Bantaran Padi Gogo, Leces, Jagung, Kedelai, Tegalsiwalan, Banyuanyar, Kacang Kraksaan, Tanah, Besuk, Maron
Sumber: BPPT Jawa Timur, 2006
Analisis tingkat kesuburan, kerusakan dan kesesuaian lahan diperlukan sebagai pendukung utama kebehasilan pengembangan budidaya pertanian yang antara lain menyangkut: kondisi tanah, iklim dan hidrologinya, yang masingmasing saling menunjang satu sama lain secara sinergis. Budidaya pertanian yang telah dilakukan mempunyai tingkat ketergantungan yang sangat besar terhadap kondisi lahan dan lingkungannya. Pola pengembangan komoditi pertanian yang dapat diterapkan di tiap-tiap kecamatan
di
Kabupaten
Probolinggo
agroekologinya dapat dilihat pada Tabel 28.
berdasarkan
kesesuaian
zona
140
Tabel 28 Kesesuaian antara jenis tanah dan tanaman di Kabupaten Probolinggo No
Jenis Tanah
1
Alluvial Hidromorf (Epiaquents)
2
Alluvial Kelabu Tua (Epiaquents)
3
Alluvial Coklat Kekelabuan (Epiaquents)
4
Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol
5
Regosol Coklat (Ustipsamments)
6
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat
7 8 9 10 11 12 13 14
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Kekuningan Grumusol Kelabu (Epiaquents) Kompleks Grumusol Hitam dan Litosol Mediteran Coklat (Haplustafls) Asosiasi Mediteran Coklat dan Regosol
Lokasi/Kecamatan Gending, Pajarakan, Kraksaan, Krejengan, Besuk, Paiton Tongas, Suberasih, Wonomerto, Bantaran, Leces, Tegalsiwalan, Dringu, Gending, Pajarakan, Krejengan, Kraksaan, Maron Tongas, Sumberasih, Gensing, Pjarakan, Kraksaan, Paiton
Mangga, Bawang Merah
Jagung
Mangga, Bawang Merah,
Dringu Bantaran, Leces, Tegalsiwalan, Krejengan, Gading, Kraksaan, Besuk
Mangga, Bawang Merah, Jagung
Krucil, Tiris, Gading
Jagung
Kuripan, Sumber, Sukapura, Luimbang, Wonomerto
Mangga, Bawang Merah, Jagung
Pakuniran, Kotaanyar, Paiton
Tongas, Sumberasih, Wonomerto, Lumbang, Sukapura
Jagung
Krucil, Sukapura Tegalsiwalan, Banyuanyar, Maron, Gending. Dringu
Jagung
Kentang
Kentang
Kentang Kentang
Mangga, Bawang Merah, Jagung, Kentang Kentang Mangga, Bawang Merah, Jagung
Jagung Tegalsiwalan, Tiris
Tidak Sesuai
Kentang Mangga, Bawang Merah, Kentang ManggaBawang Merah, Jagung
Sumber, Sukapura
Mediteran Coklat dan Litosol Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu Kompleks Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol
Kesesuaian Tanaman Sesuai Sesuai Bersyarat Mangga, Jagung Bawang Merah,
Kentang Kentang
Mangga, Bawang Kentang Merah, Jagung, Mangga, Anggur, Bawang Merah, Kentang Kubis, Tebu, Tembakau, Kedelai Jagung, Mangga, Kentang Bwg Merah Mangga, Bawang Merah,
Sumber: BPTP Karangploso, 2004
Menurut BPTP Propinsi Jawa Timur (2004), di Kabupaten Probolinggo kondisi bahan organik dalam tanah sangat rendah, seperti yang ada pada Kecamatan Banyuanyar, Besuk, Pakuniran, Leces, Tiris, Sumberasih, Dringu, Maron, Kraksaan, Pajarakan, Kotanayar, Tegalsiwalan, Krejengan dan Kuripan. Hal ini berkaitan dengan eksploitasi lahan tanpa memasukkan kembali bahan kering organik ke dalam lahan tersebut. Jika kondisi ini tidak segera diperbaiki, maka produktivitas lahan tidak optimal dalam mendukung kualitas dan kuantiitas produksi tanaman yang dihasilkan.
141
Berdasarkan analisis potensi lahan dan zona agroekologi terhadap kesesuaian komoditi unggulan, maka lima klaster wilayahnya (Gambar 37) adalah: Klaster 1 : Tongas, Sumberasih, Wonomerto, Lumbang Klaster 2 : Sukapura, Kuripan, Sumber Klaster 3 : Dringu, Gending, Banyuanyar, Maron, Krejengan Klaster 4 : Krucil, Tiris, Paiton, Pakuniran, Kotaanyar, Gading, Besuk Klaster 5 : Bantaran, Leces, Tegalsiwalan, Pajarakan, Kraksan
Gambar 37 Konfigurasi spasial ekologi pertanian Kabupaten Probolinggo
Komoditi potensial pada setiap klaster adalah: Klaster 1 : Mangga dan jagung Klaster 2 : Kentang Klaster 3 : Bawang Merah dan jagung Klaster 4 : Mangga Klaster 5 : Lainnya Berdasarkan kesesuaian lahan dengan komoditi jagung, maka kecamatankecamatan dalam Kabupaten Probolinggo dapat dikelompokkan menjadi (Gambar 38):
142
Klaster 1 : Paiton, Besuk, Pakuniran, Kotaanyar. Klaster 2 : Sumber, Kuripan, Banyuanyar, Lumbang. Klaster 3 : Krejengan, Sukapura, Bantaran, Leces, Tiris, Krucil, Gading, Pajarakan. Klaster 4 : Gending, Dringu, Maron, Tongas, Sumberasih, Kraksaan Klaster 5 : Wonomerto, Tegalsiwalan.
Gambar 38 Konfigurasi spasial ekologi komoditi jagung Kabupaten Probolinggo
Kesuaian lahan setiap kecamatan di Kabupaten Probolinggo terhadap komoditi jagung pada setiap klaster adalah sebagai berikut: Klaster 1 : Hanya terdapat tanah sesuai bersyarat Klaster 2 : Terdapat satu jenis tanah sesuai Klaster 3 : Terdapat satu jenis tanah sesuai dan kurang dari tiga jenis tanah sesuai bersyarat Klaster 4 : Terdapat dua jenis tanah sesuai atau satu jenis tanah sesuai bersyarat dengan tiga atau lebih jenis tanah sesuai bersyarat Klaster 5 : Terdapat tiga atau lebih jenis tanah sesuai atau dua sesuai dengan dua atau lebih sesuai bersyarat
143
8.4.2 Penentuan Kawasan Agropolitan Klaster wilayah yang telah dianalisis, selanjutnya akan digunakan untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang pada kawasan agropolitan. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya (UU No.26 tahun 2007 tentang penataan ruang). Struktur ruang pada kawasan agropolitan terdiri dari kawasan pendukung dan pusat kawasannya. Struktur ruang ini ditentukan dengan menggunakan sistem pakar. Aturan-aturan yang digunakan dalam sistem pakar dapat dilihat pada Lampiran 1.
8.4.2.1 Kawasan Pendukung (Hinterland) Produk Etanol Berbahan baku Jagung merupakan produk yang terpilih dalam model sebelumnya. Hal ini yang menjadikan dasar dalam pembangunan kawasan agropolitan. Berdasarkan klaster potensi sumberdaya pertanian, klaster potensi komoditi jagung dan klaster kesesuaian lahan dan agroekologi terhadap komoditi jagung, maka diperoleh pengelompokan kawasan pendukung dengan menggunakan sistem pakar (Lampiran 1) adalah sebagai berikut: Klaster 1
: Tegaslsiwalan, Tongas, Sumberasih.
Klaster 2
: Kuripan, Leces, Banyuanyar, Tiris, Krucil, Dringu, Wonomerto.
Klaster 3
: Sukapura, Bantaran, Gading, Kraksaan, Maron, Gending.
Klaster 4
: Sumber, Krejengan, Pajarakan, Lumbang.
Klaster 5
: Pakuniran, Kotaanyar, Paiton, Besuk.
Setiap klaster memiliki karakteristik sebagai berikut: Klaster 1
: Kawasan pendukung agropolitan prioritas paling tinggi.
Klaster 2
: Kawasan pendukung agropolitan prioritas tinggi.
Klaster 3
: Kawasan pendukung agropolitan prioritas sedang.
Klaster 4
: Kawasan pendukung agropolitan prioritas rendah.
Klaster 5
: Bukan kawasan pendukung.
144
Berdasarkan klaster di atas maka direkomendasikan kawasan pendukung agropolitan adalah kecamatan-kecamatan yang berada pada klaster 1, klaster 2, klaster 3 dan klaster 4. Konfigurasi spasial kawasan pendukung agropoltan dapat dilihat pada Gambar 39 di bawah ini.
Gambar 39. Konfigurasi spasial kawasan pendukung agropolitan
8.4.2.2 Pusat Agropolitan Struktur keterkaitan antara kinerja ekonomi pembangunan dengan sumberdaya wilayah seperti sumberdaya manusia, sumberdaya buatan dan sumberdaya sosial akan menentukan suatu pusat agropolitan. Pusat agropolitan ditentukan berdasarkan kinerja perekonomian yang kompetitif dan potensi sumberdaya wilayah yang tinggi. Diharapkan wilayah yang memiliki daya saing yang tinggi akan menjamin keberlangsungan dan perkembangan kawasan agropolitan. Pusat Agropolitan diharapkan dapat pula menjadi lokasi yang terbaik bagi pendirian industi pengolahan pertanian, yang dalam penelitian ini berdasarkan model pemilihan produk agroindustri prospektif direkomendasikan dibangun industri etanol berbahan baku jagung. Berdasarkan analisis potensi sumberdaya wilayah pada masing-masing kecamatan dengan menggunakan sistem pakar, maka direkomendasikan pusat agropolitan adalah Kraksaan dan atau Kuripan.
145
Jika digunakan kedua kecamatan tersebut untuk menjadi pusat agropolitan, maka akan diperoleh dua klaster wilayah agropolitan yang dibagi berdasarkan jarak terdekat antara wilayah pendukung dengan pusat agropolitan. Pembagian wilayah menjadi dua klaster adalah sebagai berikut: Klaster I
: Kraksaan,Tegalsiwalan, Banyuanyar, Pakuniran, Kotaanyar, Paiton, Besuk,Krejengan, Pajarakan, Maron, Gending, Dringu, Tiris, Krucil, Gading
Klaster II : Kuripan, Sukapura, Sumber, Bantaran, Leces, Wonomerto, Lumbang Tongas, Sumberasih
8.5. Model Penentuan Sarana Prasarana Agropolitan 8.5.1 Alternatif Sarana Prasarana Alternatif sarana prasarana ditentukan berdasarkan rencana pengembangan sarana prasarana pada Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Prbolinggo, pada DPU Cipta Karya, DPU Bina Marga, dan DPU Pengairan. Pada model ini alternatif yang digunakan adalah rencana yang memiliki biaya empat terbesar dibandingkan rencana lainnya. Adapun alternatifnya adalah sebagai berikut: DPU Cipta Karya (Pemukiman) 1. Rehabilitasi kantor kecamatan Gending 2. Penyediaan prasarana air bersih, Tegalsiwalan 3. Pembangunan pasar produk unggulan di Kec Tongas 4. Pembangunan pasar Maron DPU Bina Marga 1. Pendamping pembangunan jembatan Kunci, Lumbang 2. Pembangunan jembatan Pohkecik, Tiris 3. Peningkatan jalan Yos Sudarso, Dringu 4. Pembangunan jembatan Desa Munceng-Sumberbendo, Sumberasih DPU Pengairan 1. Perkuatan tebing dan pembuatan parapet, Dringu 2. Normalisasi dan perkuatan tebing kali Taposan, Tegalsiwalan Dringu 3. Rehabilitasi dam Paleran dan talang kali Bades, Kuripan 4. Perkuatan tangkis kiri kali Besuk, Kraksaan
146
8.5.2 Kriteria Pemilihan Sarana Prasarana Kriteria
pemilihan sarana prasarana pengembangan agropolitan dibagi
menjadi kriteria keuntungan dan kriteria biaya. Kriteria Keuntungan (Benefit) terdiri dari: aksesibilitas terhadap pasar, aksesibilitas terhadap pusat agropolitan, aksesibilitas terhadap sentra produksi pertanian, tingkat perbaikan kondisi perekonomian masyarakat sekitar, tingkat perbaikan sosial budaya masyarakat sekitar, peningkatan produktivitas pertanian, peningkatan kualitas lingkungan pemukiman,
tingkat kepadatan guna lahan. Kriteria Biaya (cost) terdiri dari:
keseimbangan ekologi dan lingkungan hidup serta biaya pengadaan sarana prasarana.
8.5.3 Penentuan Sarana Prasarana Kawasan Agropolitan Penetuan sarana prasarana kawasan agropolitan menggunakan pebdekatan ME-MCDM dengan metode Inpendent Preference Evaluation (IPE) dua peubah Berdasarkan pendapat tiga orang pakar (Daftar pakar dapat dilihat pada Lampiran) maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 29 dan Gambar 40. Tebel 29 Hasil pemilihan sarana prasarana pada kawasan agropolitan No Alternatif DPU Cipta Kaya 1 Rehab kantor kecamatan Gending 2 Penyediaan prasarana air bersih, Tegalsiwalan 3 Pembangunan pasar produk unggulan di Kec Tongas 4 Pembangunan pasar Maron DPU Bina Marga 1 Pendamping pembangunan jembatan Kunci, Lumbang 2 Pembangunan jembatan Pohkecik, Tiris 3 Peningkatan jalan Yos Sudarso, Dringu Pembangunan jembatan Desa Munceng-Sumberbendo, 4 Sumberasih DPU Pengairan 1 Perkuatan tebing dan pembuatan parapet, Dringu Normalisasi dan perkuatan tebing kali taposan, 2 Tegalsiwalan Dringu Rehabilitasi dam Paleran dan talang kali Bades, 3 Kuripan 4 Perkuatan tangkis kiri kali Besuk, Kraksaan
Keuntungan
Biaya
S S T T
T T ST T
S S S
T S S
S
T
R R
S S
R
S
R
T
147
8.5.3.1 DPU Cipta Karya Berdasarkan hasil yang dapat dilihat pada Gambar 40, maka alternatif pembangunan pasar Maron merupakan alternatif dengan prioritas pertama dalam pembangunan sarana prasarana pada kawasan Agropolitan. Pembangunan Pasar Maron memiliki nilai Tinggi (T) pada keuntungan dan biaya, sehingga rasio keuntungan terhadap biaya alternatif tersebut adalah 1.
Rasio keuntungan
terhadap biaya pada alternatif lainnya seperti pembangunan pasar komoditi unggulan kecamatan Togas adalah 0,833, Rehab kantor kecamatan Gending dan Penyediaan prasarana air bersih di Tegalsiwalan masing-masng 0,800.
Keuntungan PT
ST
T
Pasar Maron S
Kantor Kec Gending, Air bersih Tegalsiwalan
Tebing Dringu; Tebing Kali Taposan; Talang Kali Bades
SR PR
Jembatan Kunci Lumbang; Jembatan Munceng
Jembatan Pohkecik; Jalan Yos Sudarso
R
PR
SR
R
Pasar Tongas
Keterangan: = Prioritas 1
Tangkis Kiri Kali Besuk
= Prioritas 2 = Prioritas 3
S
T
ST
PT
Biaya
Gambar 40 Hasil perhitungan model perencanaan prasarana dan sarana Agropolitan Kabupaten Probolinggo
8.5.3.2 DPU Bina Marga Alternatif
Pembangunan jembatan Pohkecik di Tiris dan Peningkatan
jalan Yos Sudarso di Dringu merupakan alternatif yang memiliki nilai tertinggi, sehingga dua alternatif ini merupakan alternatif dengan prioritas pertama dengan nilai keuntungan dan biaya sama-sama Sedang (S). Alternatif Pembangunan jembatan Desa Munceng-Sumberbendo di Sumberasih dan
Pendamping
pembangunan jembatan Kunci, Lumbang merupakan alternatif pada prioritas kedua dengan nilai keuntungan Sedang (S) dan biaya Tinggi (T).
148
8.5.3.3 DPU Pengairan Prioritas pertama dalam pembangunan sarana prasarana DPU Pengairan adalah alternatif perkuatan tebing dan pembuatan parapet Dringu, rehabilitasi dam Paleran dan talang kali Bades di Kuripan, serta perkuatan tangkis kiri kali Besuk di Kraksaan. Alternatif
normalisasi dan perkuatan tebing kali Taposan
Tegalsiwalan Dringu merupakan alteratif dengan nilai terendah.
8.6 Model Kelembagaan Kawasan Agropolitan Kelembagaan atau institusi dapat diartikan sebagai “aturan main” (rules of the game). Institusi juga sering diartikan sebagai “organisasi” yang melaksanakan rules of the game, atau sebagai player of the game. Institusi diartikan juga sebagai “aturan main yang telah mengalami keseimbangan” (equilibrium ruls of the game).
Kelembagaan pada dasarnya merupakan seperangkat formal dan non
formal yang mengatur perilaku (behavioural rules) dan dapat memfasilitasi terjadinya koordinasi atau mengatur hubungan-hubungan interaksi antar individuindividu. Masyarakat membuat pengaturan perilaku kepada individual bertujuan agar individual tidak mengancam/merusak keberlanjutan kehidupan masyarakat keseluruhan.
Contoh dari kelembagaan adalah kelembagaan pertukaran dari
barang dan jasa melalui ekonomi pasar )market economy) atau kelembagaan non pasar yangbanyak terdapat di wilayah perdesaan seperti bagi hasil atau sewa atau hak pakai, di mana pembagaian hasil diatur menurut kesepakatan bersama. Kelembagaan
formal
seperti
hukum
(undang-undang,
peraturan
pemerintah) ataupun kelembagaan non formal seperti banya di perdesaan (munaseuh, lembaga adat, nagari, pesirah, penyakapan lahan, ijon, dll) akan berperan dalam mengatur dan mengkoordinasikan kegiatan individual atau keleompok petani kea rah kerjasama pada suatu masyarakat perdesaan.
Namun
kebanyakan kelembagaan masyarakat komunal di wilayah perdesaan yang sebenarnya mampu mengelola sumberdaya alam kearah pengelolaaan berlanjut telah banyak tidak berfungsi. Hal ini disebabkan banyaknya aturan perilaku atau program-program yang sifatnya top-down dan banyak aturan tersebut diambil begitu saja dari negara lain yang tidak dapat diwujudkan di negara berkembang.
149
Dalam kawasan agropolitan sangat penting ditelaah aspek kelembagaan ini yang disesuaikan dengan kelembagaan tradisional yang telah berkembang sebelumnya, sehingga melalui kelembagaan pemberdayaan masyarakat dapat dikembangkan sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
8.6.1 Alternatif Kelembagaan pada Kawasan Agropolitan Alternatif kelembagaan dalam model pemilihan kelembagaan pada kawasan agropolitan terdiri dari sistem pasar, sistem kontrak, aliansi strategik, koperasi dan integrasi vertikal. Anwar (2004) menggambarkan karakteristik setiap alternatif kelembagaan tersebut seperti terlihat pada Gambar 41 .
Karakteristik koordinasi dari
Sistem Pasar
Pilihan-pilihan strategis ke arah koordinasi vertikal Sistem Aliansi Integrasi Koperasi Kontrak Strategis Vertikal
Invisible Hand Self Interest
Karakteristik koordinasi Mutual Interest
Hubungan Shortrun Bounded Rationality Mengarah pd sikap oppourtunism complexity
Hubungan Long Term Pembagian Keuntungan
Keterbatasan Distribusi Informasi
Pembagian Informasi yang Terbuka
Flexibility Independence
Stability Interdependence Pengendali an eksternal via harga & pembakuan kualitas
Pengendali Saling Pengendali an eksternal mengontrol an internal via pihak satu via struktur spesifikasi terhadap terdesentral & ikatan yang lain i sasi legal Sistem pengendalian / koordinasi yang berperan
Pengendali an internal via struktur terdesentral i sasi
Gambar 41 Pola Kelembagaan (Anwar, 2004)
8.6.1.1 Sistem pasar (spot market) Pola kelembagaan pasar umumnya mengikuti pola hubungan ekonomi “rasional” dan tergantung sekali pada dinamika dan peluang pasar. Interaksi antar pelaku ekonomi tercermin dalam proses transaksi dan penentuan harga produk pertanian yang dipasarkan, sehingga sistem pasar ini memiliki sistem pengendalian atau
150
koordinasi eksternal melalui harga dan pembakuan kualitas.
Pemilik modal
umumnya sebagai “penguasa” dan berada di puncak organisasi, sedangkan posisi petani, yang biasanya tidak memiliki modal, berada di bawah dan “kurang berkuasa”.
Pemilik modal umumnya membutuhkan fungsi petani sebagai
pemasok bahan mentah pertanian yang bernilkai tambah ekonomi relative rendah. Pengambilan keputusan dalam keorganisasian biasanya dilakukan secara sepihak oleh penguasa modal dan petani sepenuhnya sebagai penerima keputusan
8.6.1.2 Sistem kontrak Sistem pengendalian atau koordinasi yang berperan dalam sistem kontrak adalah melalui spesifikasi dan ikatan legal. Karakteristik koordinasinya tidak hanya mengandalkan keuntungan pribadi, hubungan kerjasama lebih panjang dan lebih memperhatikan pembagian keuntungan dibandingkan sistem pasar, informasi lebih terbuka dan ketergantungan lebih tinggi dibandingkan sistem pasar.
8.6.1.3 Aliansi strategik Aliansi strategik adalah bentuk kerjasama jangka panjang yang memiliki tiga kerakteristik, yakni: 1) dua atau lebih perusahaan bersatu untuk mencapai tujuan yang disepakati dengan tetap mempertahankan independensi masingmasing, 2) perusahaan mitra sama-sama meperoleh manfaat dari aliansi dan secara bersama-sama mengendalikan kinerja dari pekerjaan yang ditentukan, dan 3) perusahaan mitra secara berkelanjutan mendukung satu atau beberapa area strategis yang merupakan kunci seperti teknologi, pengembangan produk dan sebagainya. Aliansi strategis merupakan salah satu bentuk kelembagaan ekonomi yang mengatur kerjasama antara dua atau lebih pelaku usaha untuk mencapai tujuan bersama dalam jangka panjang melalui penggabungan sumberdaya dan kompetensi secara sinergis dengan tetap mempertahankan entitas masing-masing pelaku usaha.
Prasyarat yang harus dipenuhi terbentuknya alaiansi strategis
adalah adanya kesalingtergantungan, kepercayaan (mutual interest), dan transparasi dari masing-masing pelaku aliansi.
151
8.6.1.4 Koperasi Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka kendalikan secara demokratis. Dalam koperasi primer anggota-anggota mempunyai hak-hak suara yang sama (satu anggota, satu suara), dan koperasi pada tingkatan-tingkatan lain juga diatur secara demokratis. Pengendalian dan koordinasi melalui struktur dan terdesentralisasi.
8.6.1.5 Integrasi vertikal Seperti pada koperasi, integrasi vertikal juga dikoordinasikan oleh pengendalian internal melalui struktur yang terdesentralisasi.
Karakteristik
koordinasinya adalah kepentingan bersama, hubungan kerjasama jangka panjang, pembagian keuntungan dan informasi terbuka, dan ketergantungannya stabil.
8.6.2 Kriteria Pemilihan Kelembagaan pada Kawasan Agropolitan Kriteria pemilihan kelembagaan pada kawasan agropolitan dibagai menjadi kriteria biaya dan kriteria keuntungan. Kriteria biaya terdiri dari biaya transaksi, biaya informasi, biaya negoisasi, dan biaya penegakan aturan. Kriteria keuntungan terdiri dari pemenuhan kebutuhan pengetahuan dan teknologi, pemenuhan kebutuhan pemodalan, pemenuhan kebutuhan pemasaran & distribusi, pemenuhan kebutuhan hukum & politik, pemenuhan kebutuhan pengendalian ekologi & sumberdaya alam, pemenuhan kebutuhan pendidikan dan pelatihan dan pemenuhan kebutuhan sarana prasarana.
8.6.2.1 Kriteria Biaya a. Biaya transaksi Proses produksi atau aliran barang dan jasa baik antar individu maupun antar lembaga dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis transaksi yaitu transaksi melalui pasar, transaksi melalui komando atau administrasi dan transaksi melalui hibah. Transaksi melalui sistem pasar dicirikan oleh adanya persetujuan bersama
152
untuk melakukan transaksi di antara partisipan yang terlibat. Dalam setiap transaksi setiap partisipan masing-masing memiliki kesempatan dan pembatas yang mungkin berbeda.
Kelembagaan yang memungkinkan anggotanya
mengeluarkan biaya transaksi seminal mungkin akan menguntungkan bagi pengembangan kawasan agropolitan.
b. Biaya informasi Memperkirakan dampak alternatif kelembagaan terhadap akses informasi mengenai sumber interdependensi atau situasi dari suatu komoditi sangat diperlukan. Biaya informasi akan tinggi jika pemilik informasi mencegah pihak lain memanfaatkan sumber daya dan informasi yang dimiliki. Kondisi ini akan mendatangkan masalah free rider yaitu kelompok individu yang menikmati sesuatu yang dihasilkan oleh orang lain tanpa memberikan kontribusi dan informasi terhadap produksi komoditi tersebut.
c. Biaya negosiasi Melalui proses negosiasi, kedua belah pihak dapat setuju atau tidak untuk mentransfer apa yang mereka miliki. Proses nogosiasi akan membutuhkan biaya tinggi jika anggota kelembagaan tidak memiliki jaminan kesetaraan terhadap anggota yang lain. Kelembagaan yang memiliki kemampuan menjamin biaya nogosiasi yang rendah sangat menguntungkan bagi pengembangan kawasan agropolitan.
d. Biaya penegakan aturan Kelembagaan dapat diartikan sebagai organisasi atau sebagai aturan main. Dari sudut pandang ekonomi politik, lembaga dalam artian dikoordinasikan bukan oleh mekanisme pasar tetapi mekanisme organisasi (Rachbini, 1997). Pasar dapat menjadi batas eksternal dari suatu organisasi, akan tetapi secara internal aktivitas ekonomi dikoordinasikan dan diatur secara administratif (Pakpahan, 1990). Peranan kelembagaan adalah memudahkan penegakan aturan dan koordinasi di antara anggotanya dengan cara membantu memenuhi harapan-harapan mereka melalui kerjasama secara wajar dalam hubungannya satu sama lain (Hayami,
153
1987). Semakin tinggi usaha yang diperlukan dalam penegakan aturan dalam suatu organisasi maka akan meningkatkan biaya penegakan aturan kelembagaan.
8.6.2.2 Kriteria Pengetahuan dan Teknologi Penguasaan teknologi produksi, daya inovasi dan skala usaha industri pengolahan pertanian dalam kawasan perdesaan sebagain besar masih terbatas. Teknologi yang digunakan biasanya masih sederhana. Kondisi ini mengakibatkan tingkat produktivitas petani, pengusaha, maupun masyarakat perdesaan pada umumnya pada kawasan agropolitan masih rendah. Kelembagaan pada kawasan agropolitan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas setiap elemen dalam kawasan agropolitan sehingga akan mampu bersaing. Kriteria ini akan memberikan penilaian apakah kelembagaan yang dipilih mempunyai kemampuan akses pengetahuan dan teknologi tinggi atau tidak. Semakin tinggi ketersediaan pengetahuan dan informasi yang mudah diakses petani, pengusaha, dan masyarakat secara umum dalam kelembagaan tersebut maka semakin tinggi nilai yang diberikan.
8.6.2.3 Kriteria Modal Salah satu kebutuhan setiap elemen yang berada dalam kawasan agropolitan dalam mengembangkan usahanya adalah modal usaha. Sebagian besar elemen kawasan agropolitan, seperti petani dan industri kecil pengolahan pertanian, memiliki kemampuan modal yang terbatas dan kemampuan mengakses permodalan juga terbatas Kelembagaan pada kawasan agropolitan diharapkan mampu menjawab permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan pemodalan. Kriteria ini akan memberikan penilaian kelembagaan yang dipilih berkaitan dengan kemampuan kelembagaan tersebut mengakses sumber permodalan. Semakin mudah kelembagaan tersebut mengakses sumber permodalan akan semakin tinggi penilaian yang diberikan.
8.6.2.4 Kriteria Pemasaran Petani dan pengusaha industri pengolahan hasil pertanian seringkali tidak mampu memenuhi permintaan pasar yang menuntut kestabilan mutu, jumlah
154
pesanan yang besar, delivery cepat dan tepat waktu. Salah satu tujuan pemilihan kelembagaan adalah untuk memilih kelembagaan mana yang dapat menjamin bahkan meningkatkan pangsa pasar bagi produk yang dihasilkan pada kawasan agropolitan. Dengan kelembagaan yang dipilih diharapkan mampu meningkatkan kemampuan dan agresifitas baik bagi petani maupun pengusaha kecil dalam mengakses pasar. Kriteria ini akan memberikan penilaian apakah kelembagaan yang dipilih mampu meningkatkan peluang pasar yang akan diperoleh atau tidak. Semakin tinggi peluang pemasaran dan kemudahan distribusi yang akan diciptakan dengan kelembagaan tersebut maka akan semakin tinggi penilaian yang diberikan.
8.6.2.5 Kriteria Hukum dan Politik Kelembagaan sebagai aturan main dapat diartikan sebagai himpunan aturan mengenai tata hubungan di antara orang-orang, di mana hak-hak mereka ditentukan, dilindungi hak-haknya, kepemilikan hak-hak istimewa dan tanggung jawabnya. Peranan kelembagaan memudahkan koordinasi di antara orang-orang sebagai anggotanya dengan cara membantu memenuhi harapan-harapan mereka melalui kerjasama secara wajar dalam hubungannya satu sama lain. Kelembagaan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hukum dan politik yaitu : hak-hak kepemilikan baik yang berupa hak atas benda materi maupun bukan materi, batasbatas yurisdiksi dan aturan representasi. Semakin tinggi hak kepemilikan, batas yuridiksi dan reperesentasi dapat dipenuhi oleh kelembagaan maka semakin tinggi pula nilai kriteria pemenuhan kebutuhan hukum & politiknya.
8.6.2.6 Kriteria Ekologi Pengembangan kawasan agropolitan diharapkan tidak berdampak buruk bagi pengendalian ekologi dan sumberdaya alam. Beberapa program peningkatan produksi pertanian seringkali tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari penerapan konsep intensifikasi untuk peningkatan produksi pertanian seperti pengolahan tanah, pemupukan dan pengendalian hama. Untuk itu diperlukan kelembagaan yang dapat menjamin keberlangsungan lingkungan pada kawasan agropolitan. Semakin tinggi kemampuan kelembagaan
155
menjaga keberlangsungan lingkungannya, maka semakin baik nilai pemenuhan kebutuhan pengendalian ekologi dan sumberdaya alamnya.
8.6.2.7 Kriteria Pendidikan dan Pelatihan Kelembagaan dalam kawasan agropolitan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pendidikan dan pelatihan bagi para anggotanya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar elemen kawasan agropolitan di perdesaan memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan dalam menunjang peningkatan kualitas dan produktifitasnya. Semakin tinggi pemenuhan kebutuhan pendidikan dan pelatihan dapat diberikan oleh suatu kelembagaan maka semakin baik pula keuntungan yang diperoleh bagi anggota kelembagaan.
8.6.2.8 Kriteria Sarana dan Prasarana Sarana prasarana adalah hal yang penting dalam kawasan agropolitan. Infrastruktur termasuk pelayanan sistem transportasi dan fasilitas umum memmpunyai dimensi teknologi yang kuat dan penting dalam mendukung kegiatan di perdesaan. Dalam pembangunan perdesaan yang berimbang tidak hanya membentuk satu pemukiman secara individu tapi juga membangun keterkaitan desa kota dengan sarana prasarana. Kemampuan kelembagaan yang dapat menjamin tersedianya sarana prasarana yang dibutuhkan dalam kawasan agropolitan dapat memberikan arti yang positif bagi pengembangan dan keberlangsungan kawasan agropolitan.
8.6.3 Pemilihan Kelembagaan pada Kawasan Agropolitan Penentuan kelembagaan pada kawasan agropolitan dilakukan dengan metode ANP.
Pendekatan ANP (Analytical Network Process) lebih memungkinkan
hubungan feedback dibandingkan dengan pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Process) yang berstruktur linear. Jaringan model pemilihan kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 42.
156
Gambar 42 Jaringan ANP dalam model pemilihan kelembagaan pada kawasan agropolitan
Integrasi Vertikal memiliki prioritas tertinggi di antara kelembagaan lainnya, kemudian berturut-turut prioritas tertinggi hingga yang terendah adalah sistem kontrak, integrasi vertikal, koperasi dan yang terakhir adalah aliansi strategis. Pada Tabel 30 dapat dilihat nilai prioritas pada setiap alternatif kelembagaan. Pemilihan jenis kelembagaan sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya manusia dan potensi kelembagaan yang saat ini telah berkembang pada suatu daerah.
157
Tabel 30 Hasil perhitungan model pemilihan kelembagaan Keterangan ALTERNATIF 1 Sistem Pasar 2 Sistem Kontrak 3 Aliansi Strategis 4 Koperasi 5 Integrasi Vertikal BIAYA 1 Biaya Transaksi 2 Biaya Informasi 3 Biaya Negosiasi 4 Biaya Penegakan Aturan EKOLOGI Pengendalian Ekologi & Sumberdaya Alam HUKUM & POLITIK 1 Perlidungan Hak-hak 2 Penegakan Kewajiban PEMASARAN 1 Kemudahan Akses Pasar 2 Peningkatan Peluang Pasar 3 Kemudahan Distribusi PEMODALAN 1 Kemudahan Prosedur Peminjaman 2 Keringanan Bunga Pinjaman DIKLAT 1 Kemudahan Mengikuti Diklat 2 Ketersediaan Program Diklat 3 Materi Diklat Dapat Diterapkan PENGETAHUAN & TEKNOLOGI 1 Kemudahan Akses IPTEK 2 Kemudahan Penerapan IPTEK 3 Kemutakhiran IPTEK SARANA PRASARANA Ketersediaan Sapras
Normalized By Cluster
Limiting
0.047 0.055 0.025 0.038 0.068
0.203 0.236 0.108 0.162 0.292
0.022 0.034 0.016 0.038
0.199 0.311 0.145 0.345
0.069
1.000
0.089 0.060
0.598 0.402
0.021 0.054 0.041
0.181 0.465 0.353
0.029 0.029
0.503 0.497
0.023 0.037 0.019
0.292 0.467 0.241
0.034 0.011 0.068
0.184 0.062 0.368
0.071
0.386