52
VI. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL Model klaster agroindustri aren dirancang dan dibangun sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan pengembangan di Sulawesi Utara terdiri atas 3 (tiga) blok model yaitu (1) model pengembangan klaster agroindustri aren, yang terdiri atas sub model lokasi pengembangan, sub model industri inti, dan sub model kelembagaan klaster, (2) model pengembangan teknologi pada agroindustri aren berbasis industri inti, yang terdiri atas sub model pemilihan produk, sub model pemilihan penentuan kapasitas, dan sub model pemilihan teknologi proses pengolahan, (3) model prediksi kinerja klaster agroindustri aren, yang terdiri atas sub model kriteria teknis teknologi dan sub model kriteria finansial. Hasil verifikasi menunjukan bahwa model konseptual pengembangan klaster memiliki kesesuaian dengan model yang dirancang dan dibangun. Selaras dengan itu, validasi terhadap model pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara menunjukan bahwa keluaran model yang dibangun memiliki kesesuaian dengan kondisi nyata. Proses pengujian dilakukan melalui expert judgement (uji pendapat pakar) serta membandingkan dengan bukti-bukti empiris. 6.1. Model Pengembangan Klaster Agroindustri Aren 6.1.1. Sub Model Lokasi Pengembangan Penentuan lokasi pengembangan klaster agroindustri aren dilakukan dengan menggunakan metode LQ. Berdasarkan analisis (Tabel 5) diperoleh bahwa dari lima belas daerah di Sulawesi Utara, terdapat 5 (lima) daerah yang memiliki koefisien relatif yang lebih besar dari pada satu, yakni: 1) Kabupaten Minahasa (1,146), 2) Kabupaten Minahasa Utara (1,149) 3) Kabupaten Minahasa Tenggara (1,164), 4) Kabupaten Minahasa Selatan (1,472), dan 5) Kota Tomohon (1,435). Hal tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut memiliki keunggulan relatif dibandingkan dengan daerah-daerah lain baik dalam hal konsentrasi sumber bahan baku maupun tenaga kerja yang terlibat. Hasil analisis lokasi dengan menggunakan LQ tersebut tidaklah cukup untuk dijadikan sebagai pertimbangan dalam penentuan lokasi unggulan pengembangan klaster agroindustri aren karena kriteria yang dipakai sebagai pertimbangan dalam analisis hanya terbatas pada satu faktor yaitu jumlah tenaga kerja. Walaupun
53
demikian keluaran model yang diperoleh dapat memberikan informasi mengenai alternatif lokasi yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Oleh karena itu, untuk menguatkan pengambilan keputusan lokasi pengembangan klaster aren maka analisis kemudian dikembangkan dengan menggunakan teknik AHP yang mempertimbangkan sejumlah kriteria penting yang diperoleh dari proses identifikasi. Tabel 5 Koefisien LQ agrondustri aren di Sulawesi Utara No.
Kabupaten/Kota
1
Kepulauan Talaud
2 3 4
Kepulauan Sangihe Kepulauan Sitaro
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
TK Industri Aren (org)
250 440 124 4320 3890 8394 2517 895 412 388 524 180 118 4646 168 27266
Minahasa Minahasa Utara Minahasa Selatan Minahasa Tenggara Bolaang Mongondow Bolaang Mongondow Utara Bolaang Mongondow Timur Bolaang Mongondow Selatan Kota Manado Kota Bitung Kota Tomohon Kota Kotamobagu Jumlah
TK Agroindustri (org)
Koefisien LQ
1797 3152 2066 13575 12193 20550 7790 3789 3483 2982 2410 2904 8700 11664 1172 98228
0.501 0.503 0.216 1.146 1.149 1.472 1.164 0.851 0.426 0.469 0.783 0.223 0.049 1.435 0.516
Berdasarkan hasil identifikasi tersebut kemudian dilakukan pengembangan model lokasi unggulan dengan menggunakan teknik AHP dimana struktur model terdiri atas 3 tingkatan hirarki yaitu tujuan, kriteria, dan alternatif lokasi (Lampiran 2). Kriteria-kriteria yang digunakan dalam penentuan lokasi adalah: a) konsentrasi geografis, b) ketersediaan
bahan baku, c) potensi sumberdaya
manusia, d) kapasitas dan kemampuan teknologi, e) industri pendukung, f) ketersediaan infrastuktur fisik, g) ketersediaan lembaga pendukung, h) dukungan pemerintah daerah dan pusat, i) budaya kerja, dan j) jangkauan pasar. Berdasarkan
tujuan
dan
kriteria-kriteria
tersebut,
keluaran
model
menunjukan bahwa lokasi prioritas pengembangan klaster agroindustri di Sulawesi Utara adalah Kabupaten Minahasa Selatan (Tabel 6) dengan skor keputusan 0,307. Peringkat kedua sampai kelima berturut-turut Kota Tomohon
54
(0,293), Kabupaten Minahasa (0,172), Kabupaten Minahasa Utara (0,130) dan terakhir Kabupaten Minahasa Tenggara (0,098). Tabel 6 Keluaran sub model lokasi pengembangan
6.1.2. Sub Model Industri Inti Klaster Agroindustri Aren Struktur hirarki yang dibangun dalam model terdiri atas tujuan, kriteria dan alternatif industri inti (Lampiran 3). Berdasarkan identifikasi diperoleh 9 (sembilan) jenis agroindustri inti, yaitu: a) industri nira segar, b) industri gula aren, c) industri bioetanol, d) industri minuman beralkohol, e) industri alat rumah tangga, f) industri meubel, g) industri kerajinan, h) industri atap, dan i) industri kolang kaling.
Berdasasarkan hasil identifikasi juga disepakati 11 (sebelas)
kriteria yang dapat dipakai untuk menilai industri inti yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam pengembangan klaster agroindustri aren. Kriteria-kriteria tersebut adalah
1) sebaran agroindustri, 2) potensi bahan baku, 3) potensi
sumberdaya manusia, 4) kemampuan pengetahuan dan teknologi, 5) kapasitas produksi, 6) infrastruktur fisik, 7) keterkaitan industri, 8) keberadaan lembaga pendukung, 9) dukungan pemerintah, 10) eksternalitas negatif, dan (11) jangkauan pasar. Keluaran model dengan menggunakan metode AHP (Tabel 7) menunjukan bahwa agroindustri aren yang paling berpotensi untuk dikembangkan di Sulawesi Utara
adalah industri gula aren, dengan skor keputusan 0,306 (Tabel 7),
kemudian diikuti oleh industri bioetanol (0,251), industri nira segar (0,227), industri minuman beralkohol (0,116) dan industri kerajinan (0,101). Keluaran
55
model industri inti menjadi input pada model struktur sistem kelembagaan dan model pengembangan dan pemilihan teknologi pengolahan. Tabel 7 Keluaran sub model pemilihan industri inti
6.2. Model Struktural Kelembagaan Pengembangan Strukturisasi sistem dan pengembangan kelembagaan klaster agroindustri aren dengan kasus gula aren (hasil analisis dari model industri inti) terdiri atas lima elemen penting, yaitu : (1) tujuan pengembangan, (2) pelaku, (3) kendala utama,
(4)
aktivitas
pengembangan,
dan
(5)
indikator
keberhasilan
pengembangan. Penentuan sub elemen dan tingkat kepentingan setiap sub elemen didalam sistem dilakukan melalui masukan dan pendapat ahli. Sedangkan hubungan kontekstual diantara sub elemen didalam elemen sistem merujuk pada model perencanaan sistem yang dibangun oleh Saxena et al (1992). Hubungan kontekstual antar sub elemen pada setiap elemen sistem pengembangan klaster agroindustri gula aren dipresentasikan pada Tabel 8. Informasi penting dalam rangka memahami struktur sistem pengembangan adalah hirarki dari sub-elemen, klasifikasi sub-elemen, dan identifikasi subelemen kunci. Klasifikasi dilakukan berdasarkan karakteristik yang dinyatakan dengan tingkat driver-power dan tingkat dependency masing-masing sub-elemen. Sub-elemen kunci dari setiap elemen sistem diidentifikasi berdasarkan struktur hirarki dan jumlah lintasan pada struktur hirarki yang keluar dari sub-elemen yang bersangkutan.
56
Tabel 8 Hubungan kontekstual elemen kelembagaan No Elemen 1 Tujuan Pengembangan
2
Pelaku/Lembaga terkait
3
Kendala Utama
4
Aktivitas Pengembangan
5
Indikator Keberhasilan
Hubungan Kontekstual Antar Sub Elemen Sub elemen tujuan yang satu memberikan kontribusi tercapainya sub elemen tujuan lainnya Sub elemen pelaku/lembaga terkait yang satu mendukung sub elemen pelaku/lembaga terkait lainnya Sub elemen kendala yang satu mempengaruhi sub elemen kendala lainnya Sub elemen aktivitas yang satu mempengaruhi sub elemen aktivitas pengembangan lainnya Sub elemen indikator keberhasilan yang satu memberikan kontribusi tercapainya sub elemen indikator keberhasilan lainnya
6.2.1. Sub Model Elemen Tujuan Pengembangan Hasil identifikasi terhadap sistem tujuan pengembangan diperoleh 11 (sebelas) sub elemen penting yang memberikan kontribusi pada tercapainya tujuan pengembangan klaster. Hasil pengolahan matriks penilaian sub elemen tersebut disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan keluaran model (Tabel 9) diperoleh bahwa sub-elemen kunci yang memiliki daya dorong (driver power) paling besar dalam pencapaian tujuan pengembangan klaster adalah meningkatkan pendapatan petani/penyadap aren (T3), meningkatkan nilai tambah agroindustri aren (T7), dan meningkatkan kemampuan inovasi dan teknologi T8. Hasil ini memberikan arti bahwa ketiga sub elemen ini akan memberikan kontribusi yang paling besar dalam rangka pencapaian tujuan pengembangan. Dalam hirarki sistem ditunjukan bahwa ketiga sub-elemen kunci tersebut merupakan sub elemen yang berada pada tingkatan pertama dari 4 (empat) tingkatan hirarki. Pada tingkatan kedua, sub elemen meningkatkan mutu produk agroindustri aren (T2) dan memperluas lapangan kerja (T4). Tingkatan ketiga, meningkatkan produktifitas agroindustri aren (T1), memperluas jangkauan pasar (T5), meningkatkan volume pasokan ke pasar (T6), dan meningkatkan minat investasi (T10). Tingkatan keempat,
mewujudkan agroindustri aren yang
berkelanjutan (T9) dan meningkatkan pendapatan daerah (T11). Hasil ini
57
memberikan arti bahwa jalur pencapaian tujuan pengembangan melewati empat tahapan atau tingkatan tersebut. Tabel 9 Keluaran sub model elemen sistem tujuan pengembangan Dependency
Sub Elemen
Driver DepenPower dent
T1 Meningkatkan produktifitas agroindustri aren T2 Meningkatkan mutu produk agroindustri aren T3 Meningkatkan pendapatan petani /penyadap aren T4 Memperluas lapangan kerja T5 Memperluas jangkauan pasar T6 Meningkatkan volume pasokan ke pasar T7 Meningkatkan nilai tambah agroindustri aren T8 Meningkatkan kemampuan inovasi dan teknologi T9 Mewujudkan agroindustri aren yang berkelanjutan T10 Meningkatkan minat investasi T11 Meningkatkan pendapatan daerah
Kategori
6
8
Linkage
9
3
Independent
10
4
Dependent
9 6 6
4 8 8
Dependent Linkage Linkage
10
6
Linkage
10
4
Independent
4
9
Dependent
6 4
8 9
Linkage Dependent
Hirarki
T1
T9
T11
T5
T6
T2
T4
T3
T7
T10
T8
Sub-elemen kunci: T3, T7, dan T8
Berdasarkan pengelompokan sub-elemen, yang termasuk pada kategori independent
adalah
sub-elemen
meningkatkan
mutu
produk
(T2)
dan
meningkatkan kemampuan inovasi dan teknologi (T8). Sub elemen meningkatkan produktifitas agroindustri aren (T1), memperluas jangkauan pasar (T5), meningkatkan volume pasokan ke pasar (T6), meningkatkan nilai tambah agroindustri aren (T7) dan meningkatkan minat investasi (T10) masuk pada kelompok linkage. Sedangkan sub-elemen meningkatkan pendapatan petani dan penyadap aren (T3), memperluas lapangan kerja (T4), mewujudkan agroindustri aren yang berkelanjutan (T9), dan sub-elemen meningkatkan pendapatan daerah (T11) dikategorikan sebagai dependent. Tujuan-tujuan atau faktor-faktor pada kelompok independent dan kelompok linkage berperan besar dalam mencapai tujuan pengembangan klaster namun tujuan pada kelompok linkage harus dikaji lebih mendalam karena apakah bersifat berpengaruh atau dipengaruhi oleh tujuan-tujuan lain. Tujuan pada kelompok dependent merupakan faktor-faktor yang bersifat tidak bebas atau
58
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, dengan kata lain faktor-faktor tersebut merupakan entitas dari tujuan pengembangan klaster. 6.2.2. Sub Model Elemen Pelaku Pengembangan Hasil identifikasi terhadap sistem pelaku pengembangan diperoleh 14 (empat belas) sub elemen atau pelaku penting yang mendukung sistem pengembangan klaster. Hasil pengolahan matriks penilaian sub elemen tersebut disajikan pada Lampiran 5. Berdasarkan keluaran model (Tabel 10) diperoleh bahwa sub-elemen atau pelaku kunci yang memiliki daya dorong terbesar pada sistem pengembangan klaster adalah pemilik lahan (P1), petani penyadap (P2), agroindustri aren (P3), industri terkait/pendukung (P4), pedagang perantara (P6), kelompok tani dan gapoktan (P9), dan koperasi (P10). Tabel 10 Keluaran sub model elemen pelaku pengembangan Dependency
Sub Elemen
Dependence
Kategori
14 14 14 14 1 14 1 1 14 14 1 4
7 7 7 7 8 7 8 11 7 7 11 10
Linkage Linkage Linkage Linkage Dependent Linkage Dependent Dependent Linkage Linkage Dependent Dependent
5 4
8 10
Dependent Dependent
Driver Power
P1 Pemilik lahan P2 Penyadap P3 Industri aren P4 Industri terkait/ pendukung P5 Produsen peralatan P6 Pedagang perantara P7 Asosiasi dagang P8 Pemerintah daerah dan pusat P9 Kelompok tani dan gapoktan P10 Koperasi P11 Lembaga keuangan dan donor P12 Lembaga penelitian dan pengembangan P13 Inkubator P14 Badan standarisasi produk
Hirarki
P5
P7
P8
P12
P14
P11
P13 P10
P9 P1
P6 P2
P4 P3
Sub-elemen kunci: P1, P2, P3, P4, P6, P9, dan P10
Hirarki sub elemen pelaku pengembangan terdiri atas 4 (empat) tingkatan dimana pada tingkatan pertama ditempati oleh sub-sub elemen kunci pelaku pengembangan. Tingkatan kedua ditempati oleh sub elemen inkubator (P13). Tingkatan ketiga
ditempati
oleh sub elemen lembaga
penelitian dan
pengembangan (P12) dan badan standarisasi produk (P14). Sedangkan tingkatan
59
keempat ditempati oleh sub elemen produsen peralatan (P5), asosiasi dagang (P7), pemerintah daerah dan pusat (P8), lembaga keuangan dan donor (P11). Berdasarkan pengelompokan sub-elemen diperoleh bahwa tidak satupun sub elemen pelaku yang termasuk dalam kategori independent dan autonomous. Kelompok linkage ditempati oleh sub-sub elemen kunci yaitu pemilik lahan (P1), petani penyadap (P2), agroindustri aren (P3), industri terkait/pendukung (P4), pedagang perantara (P6), kelompok tani dan gapoktan (P9), dan koperasi (P10). Sedangkan pada kelompok dependent terdiri atas sub elemen produsen peralatan (P5), asosiasi dagang (P7), pemerintah daerah dan pusat (P8), lembaga keuangan dan donor (P11), lembaga penelitian dan pengembangan (P12), inkubator (P13) dan badan standarisasi produk (P14). Hasil strukturisasi memberikan pengertian bahwa pelaku penting yang harus menggerakkan aktivitas klaster agroindustri aren adalah pemilik lahan, petani penyadap, agroindustri aren, industri pendukung dan industri terkait, pedagang perantara, kelompok tani dan gapoktan, dan koperasi. Berdasarkan pengelompokan, pelaku-pelaku tersebut juga mempunyai ketergatungan terhadap pelaku-pelaku lain. Pelaku-pelaku penting lain yang terlibat dalam sistem pengembangan adalah produsen peralatan, asosiasi dagang, pemerintah daerah dan pusat, lembaga keuangan dan donor, lembaga penelitian dan pengembangan, inkubator dan badan standarisasi produk. Pelaku-pelaku pengembangan yang disebutkan terakhir bersifat tidak bebas (dependent) karena dipengaruhi oleh pelaku-pelaku lain namun memiliki kekuatan besar dalam pengembangan sistem.
6.2.3. Sub Model Elemen Kendala Pengembangan Hasil identifikasi terhadap sistem kendala pengembangan diperoleh 16 (enam belas) sub elemen atau kendala penting yang mempengaruhi sistem pengembangan klaster. Hasil pengolahan matriks penilaian sub elemen tersebut disajikan pada Lampiran 6. Berdasarkan keluaran model (Tabel 11) diperoleh bahwa sub elemen kunci yang memiliki daya dorong terbesar pada sistem pengembangan adalah kurangnya dukungan dari pemerintah (K7). Keadaan ini memberikan arti bahwa sub elemen tersebut merupakan kendala utama dalam sistem pengembangan klaster.
60
Tabel 11 Keluaran sub model elemen kendala pengembangan Dependency
Sub-Elemen K1 K2 K3 K4
Skala usaha kecil Keterbatasan teknologi Keterbatasan modal Rendahnya kualitas sumber daya manusia K5 Rendahnya kualitas bahan baku K6 Kurangnya pemahaman mengenai manfaat klaster K7 Kurangnya dukungan dari pemerintah pusat dan daerah K8 Rendahnya kemampuan manajerial K9 Kurangnya inovasi baru K10 Kesulitan akses pada pasar K11 Kesulitan akses pada lembaga keuangan K12 Kesulitan akses pada informasi baru K13 Kurangnya keterlibatan lembaga penyedia jasa terkait K14 Rendahnya rasa saling percaya diantara pelaku K15 Kurangnya penelitian terkait yang dilakukan K16 Kurangnya kerjasama antar pelaku
Driver Power
Dependence
Hirarki
Kategori
1 3 8 14
14 12 10 3
Dependent Dependent Dependent Independent
1 12
13 4
Dependent Independent
15
1
Independent
14 3 1 8
3 12 13 10
Independent Dependent Dependent Dependent
8
10
Dependent
9
7
Independent
12
1
Independent
6
7
Autonomous
11
6
Independent
K1
K3
K5
K10
K2
K9
K11
K12
K15
K13 K16 K6
K14
K4
K8 K7
Sub-elemen kunci: K4, K7, dan K8
Hirarki sub elemen pelaku pengembangan terdiri atas 8 (delapan) tingkatan.
Pada tingkatan pertama ditempati oleh sub elemen kunci yaitu
kurangnya dukungan dari pemerintah (K7). Tingkatan kedua adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia (K4) dan rendahnya kemampuan manajerial (K8). Tingkatan ketiga adalah kurangnya pemahaman mengenai manfaat klaster (K6) dan rendahnya rasa saling percaya diantara pelaku (K14). Tingkatan keempat adalah sub elemen kurangnya kerjasama antar pelaku (K16). Tingkatan kelima adalah kurangnya keterlibatan lembaga penyedia jasa terkait (K13). Tingkatan keenam ditempati oleh empat sub elemen kendala yaitu keterbatasan modal (K3), kesulitan akses pada lembaga keuangan (K11), kesulitan akses pada informasi baru (K12), dan kurangnya penelitian terkait yang dilakukan (K15). Tingkatan ketujuh adalah keterbatasan teknologi (K2) dan kurangnya inovasi baru (K9). Sedangkan pada tingkatan kedelapan atau terakhir ditempati oleh tiga sub elemen
61
yaitu skala usaha kecil (K1), rendahnya kualitas bahan baku (K5), dan kesulitan akses pada pasar (K10). Berdasarkan pengelompokan sub-elemen diperoleh bahwa tujuh sub elemen kendala termasuk dalam kategori independent. Ketujuh sub-elemen tersebut adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia (K4), kurangnya pemahaman mengenai manfaat klaster (K6), kurangnya dukungan dari pemerintah pusat dan daerah (K7), rendahnya kemampuan manajerial (K8), kurangnya keterlibatan lembaga penyedia jasa terkait (K13), rendahnya rasa saling percaya diantara pelaku (K14), dan sub-elemen kurangnya kerjasama antar pelaku (K16). Kelompok linkage terdiri atas tiga sub-elemen yaitu keterbatasan modal (K3), kesulitan akses pada lembaga keuangan (K11), dan kesulitan akses pada informasi baru (K12). Sementara itu, sub-elemen skala usaha kecil (K1), keterbatasan teknologi (K2), rendahnya kualitas bahan baku (K5), kurangnya inovasi baru (K9), dan sub-elemen kesulitan akses pada pasar (K10) termasuk pada kategori sub-elemen dependent. Sedangkan sub-elemen kurangnya penelitian terkait yang dilakukan (K15) masuk pada kategori autonomous. Hasil analisis diatas memberikan arti bahwa kendala yang harus menjadi prioritas untuk diatasi adalah bagaimana mendorong pemerintah, baik pusat maupun
daerah,
memberikan
perhatian
yang
lebih
intensif
terhadap
pengembangan agroindustri aren. Selain itu kendala penting yang harus menjadi prioritas untuk diatasi adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia dan rendahnya kemampuan manajerial. Solusi kendala-kendala tersebut menjadi dasar dalam menyelesaikan persoalan yang berada pada tingkatan diatasnya seperti pada hirarki sistem.
6.2.4. Sub Model Elemen Aktivitas Pengembangan Hasil identifikasi terhadap sistem aktivitas pengembangan diperoleh 14 (empat belas) sub elemen penting yang mempengaruhi sistem pengembangan klaster. Hasil pengolahan matriks penilaian hubungan antar sub elemen tersebut disajikan pada Lampiran 7. Berdasarkan keluaran model (Tabel 12) diperoleh bahwa sub elemen kunci dari elemen aktivitas yang memiliki daya dorong terbesar dalam sistem
62
pengembangan adalah kerjasama dan koordinasi kegiatan antar agroindustri aren (A1), pengembangan kerjasama dengan industri/lembaga pendukung (A2), dan pengembangan inovasi dan aplikasi teknologi tepat guna (A3). Ketiga sub-elemen kunci
ini
merupakan kegiatan
awal
yang secara
bersama-sama
akan
mempengaruhi kegiatan lain pada hirarki diatasnya. Tabel 12 Keluaran sub model elemen aktivitas pengembangan Sub Elemen A1 Pengembangan kerjasama dan koordinasi kegiatan antar agroindustri aren A2 Pengembangan kerjasama dengan industri/lembaga pendukung A3 Pengembangan inovasi dan aplikasi teknologi tepat guna A4 Pendidikan dan pelatihan tenaga kerja A5 Perluasan jaringan dan jangkauan pasar A6 Pengembangan sistem manajemen pengetahuan A7 Keikutsertaan dalam pameran dagang A8 Pengembangan kapasitas produksi A9 Pengembangan kualitas produk A10 Pengembangan pemanfaatan sumberdaya lokal A11 Pengembangan sikap saling percaya diantara pelaku A12 Pengembangan kemampuan manajerial dan kewirausahaan A13 Pengembangan alternatif sumber pembiayaan A14 Pengembangan investasi
Dependency Driver Power
Depen dence
Kategori
14
6
Independent
14
6
Independent
14
12
Linkage
9
12
Linkage
10
7
Independent
8
10
Linkage
9
6
Independent
5
14
Dependent
5 9
14 6
Dependent Independent
9
6
Independent
8
12
Linkage
10
7
Independent
5
13
Dependent
Hirarki
A8
A4
A1
A9
A14
A6
A12
A7
A10
A5
A13 A2
A11
A3
Sub-elemen kunci: A1, A2, dan A3
Hirarki sub elemen sistem aktivitas pengembangan terdiri atas 5 (lima) tingkatan dimana pada tingkatan pertama ditempati oleh sub-sub elemen kunci. Tingkatan kedua adalah sub elemen perluasan jaringan dan jangkauan pasar (A5) dan pengembangan alternatif sumber pembiayaan (A13). Tingkatan ketiga adalah pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (A4), keikutsertaan dalam pameran dagang (A7), pengembangan pemanfaatan sumberdaya lokal (A10), dan pengembangan sikap saling percaya diantara pelaku (A11). Tingkatan keempat adalah
63
pengembangan sistem manajemen pengetahuan (A6) dan pengembangan kemampuan manajerial dan kewirausahaan (A12). Sedangkan tingkatan kelima terdiri atas pengembangan kapasitas produksi (A8), pengembangan kualitas produk (A9), dan pengembangan investasi (A14). Hasil ini menunjukan bahwa sub-sub elemen yang berada pada tingkatan dibawah akan mendukung sub-sub elemen yang berada pada tingkatan diatasnya. Berdasarkan pengelompokan sub-elemen diperoleh bahwa sub elemen aktivitas yang termasuk dalam kategori independent adalah pengembangan kerjasama dan koordinasi kegiatan antar agroindustri aren (A1), pengembangan kerjasama dengan industri/lembaga pendukung (A2), perluasan jaringan dan jangkauan pasar (A5) keikutsertaan dalam pameran dagang (A7), pengembangan pemanfaatan sumberdaya lokal (A10), dan pengembangan sikap saling percaya diantara pelaku (A11), dan pengembangan alternatif sumber pembiayaan (A13). Sub-sub elemen pada kelompok ini mempunyai kekuatan yang besar mempengaruhi sub elemen lain dalam pengembangan sistem. Kelompok linkage adalah pengembangan inovasi dan aplikasi teknologi tepat guna (A3), pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (A4), pengembangan sistem manajemen pengetahuan (A6), dan pengembangan kemampuan manajerial dan kewirausahaan (A12). Sub-sub elemen ini memiliki daya dorong yang tinggi terhadap pengembangan sistem namun juga memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sub elemen aktivitas lainnya. Kelompok dependent terdiri atas sub elemen pengembangan kapasitas produksi (A8), pengembangan kualitas produk (A9), dan pengembangan investasi (A14). Kegiatan-kegiatan ini berpengaruh terhadap pengembangan sistem namun sangat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan lain.
6.2.5. Sub Model Elemen Indikator Keberhasilan Pengembangan Hasil identifikasi terhadap sistem indikator keberhasilan pengembangan klaster diperoleh 14 (empat belas) sub elemen penting yang memberikan kontribusi pada sistem indikator keberhasilan pengembangan klaster. Hasil pengolahan matriks penilaian hubungan sub elemen tersebut disajikan pada Lampiran 8.
64
Berdasarkan keluaran model (Tabel 13) diperoleh 2 (dua) sub-elemen kunci yang memiliki daya dorong (driver power) paling besar dalam sistem indikator keberhasilan pengembangan klaster yaitu peningkatan jumlah dan bentuk kerjasama (I2) dan peningkatan kemampuan penguasaan teknologi (I12). Hirarki sub elemen indikator keberhasilan pengembangan terdiri atas 3 (tiga) tingkatan dimana pada tingkatan pertama ditempati oleh kedua sub elemen kunci. Tingkatan kedua ditempati oleh peningkatan jumlah anggota klaster (I1), peningkatan skala usaha (I3), terciptanya efisiensi kolektif (I5), peningkatan jangkauan dan pangsa pasar (I9), peningkatan jumlah tenaga kerja (I10), peningkatan investasi (I12), dan peningkatan kemampuan inovasi (I13). Sedangkan pada tingkatan ketiga ditempati oleh sub elemen tercapainya skala ekonomi (I4), peningkatan nilai tambah (I6), peningkatan produktivitas (I7), peningkatan mutu produk (I8), dan menguatnya hubungan sosial diantara pelaku (I11). Tabel 13 Keluaran sub model elemen indikator keberhasilan pengembangan Sub Elemen I1 Peningkatan jumlah anggota klaster I2 Peningkatan jumlah dan bentuk kerjasama I3 Peningkatan skala usaha I4 Tercapainya skala ekonomi I5 Terciptanya efisiensi kolektif I6 Peningkatan nilai tambah I7 Peningkatan produktivitas I8 Peningkatan mutu produk I9 Peningkatan jangkauan dan pangsa pasar I10 Peningkatan jumlah tenaga kerja I11 Menguatnya hubungan sosial diantara pelaku I12 Peningkatan investasi I13 Peningkatan kemampuan inovasi I14 Peningkatan kemampuan penguasaan teknologi Sub Elemen Kunci : I2 dan I14
Dependency Driver Power
Dependence
Kategori
10
12
Independent
13
4
Independent
10 4 10 4 4 4 10
12 12 6 12 12 12 6
Lingkage Dependent Independent Dependent Dependent Dependent Independent
10 4
12 5
Linkage autonomous
10 10 13
4 6 4
Independent Independent Independent
Hirarki I4
I1
I6
I7
I8
I11
I3
I5
I10
I12
I2
I9 I13
I14
Pengelompokan sub elemen dalam sistem indikator keberhasilan menunjukan bahwa yang termasuk pada kategori independent adalah peningkatan jumlah anggota klaster (I1), peningkatan jumlah dan bentuk kerjasama (I2),
65
terciptanya efisiensi kolektif (I5), peningkatan jangkauan dan pangsa pasar (I9), peningkatan investasi (I12), peningkatan kemampuan inovasi (I13), dan peningkatan kemampuan penguasaan teknologi (I14). Sub-elemen peningkatan skala usaha (I3) dan peningkatan jumlah tenaga kerja (I10) masuk pada kategori linkage. Sementara itu, sub-elemen tercapainya skala ekonomi (I4), peningkatan nilai tambah (I6), peningkatan produktivitas (I7), dan peningkatan jangkauan dan pangsa pasar (I9) masuk pada kelompok dependent. Sedangkan sub elemen menguatnya hubungan sosial diantara pelaku (I11) dikategorikan sebagai autonomous. 6.3. Model Pengembangan Teknologi Pengolahan Rancangan model pengembangan teknologi pada agroindustri aren dibatasi pada tahapan pasca panen yakni setelah nira aren disadap dan diolah menjadi produk-produk tertentu. Model tersebut terdiri atas sub model pemilihan produk unggulan, sub model pemilihan kapasitas olah mesin pengolahan dan sub model pemilihan teknologi proses pengolahan. 6.3.1. Sub Model Produk Unggulan Struktur hirarki yang dibangun dalam model terdiri atas alternatif produk unggulan agroindustri inti dan kriteria penilaian (Lampiran 9). Berdasarkan identifikasi diperoleh 9 (sembilan) jenis agroindustri inti. Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh bahwa alternatif produk potensial agroindustri inti terdiri atas: 1) gula cetak, 2) gula semut, dan 3) gula cair. Sementara itu, kriteria pemilihan produk agroindustri inti potensial pada model ini adalah: 1) nilai tambah, 2) harga produk, 3) tingkat permintaan produk, 4) kualitas tenaga kerja, 5) ketersediaan alat dan mesin, 6) kondisi bahan baku, 7) biaya produksi, dan 8) kebiasaan masyarakat, Masing-masing kriteria memiliki parameter atau bobot tertentu yang menentukan dan meyakinkan pengambil keputusan penentuan produk agroindustri aren potensial. Kriteria nilai tambah, harga produk, dan tingkat permintaan produk merupakan kriteria kunci dimana memiliki tingkat kepentingan tertinggi dalam menentukan produk unggulan. Walaupun demikian kriteria-kritera lain seperti kualitas tenaga kerja, ketersediaan alat dan mesin, kondisi bahan baku, biaya
66
produksi, dan kebiasaan masyarakat, tetap harus dijadikan pertimbangan walaupun dengan nilai kepentingan yang relatif lebih rendah. Keluaran model (Tabel 14) menunjukan bahwa produk agroindustri inti yang memiliki keunggulan terbesar adalah gula semut, dengan skor keputusan 0,395; diikuti oleh gula cair (0,341) di peringkat kedua, dan di peringkat ketiga gula cetak (0,265). Urutan prioritas produk didasarkan pada pertimbangan nilai kepentingan kriteria yang ditentukan pada tahapan sebelumnya. Tabel 14 Keluaran sub model produk unggulan
Prioritas pengembangan produk gula semut dipengaruhi oleh kenyataan bahwa potensi nilai tambah yang akan diperoleh adalah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif produk agroindustri gula aren lainnya. Perbedaan nilai tambah tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan harga gula semut dengan harga gula cetak dan gula cair. Berdasarkan data Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dipublikasikan oleh BPS (2011), harga gula semut di pasar domestik mencapai Rp20.000 – 22.000/ kg, gula cair Rp25.000-30.000/ kg, sedangkan gula cetak berkisar Rp12.000-14.000/ kg. Disamping faktor harga, permintaan domestik maupun ekspor produk gula aren menunjukan peningkatan nyata pada beberapa tahun terakhir. Kondisi tersebut antara lain terlihat dari konsumsi per kapita gula merah di Indonesia yang mengalami peningkatan rata-rata sebesar 8,7% pada selang 2005 – 2010 (BPS, 2011), dimana permintaan terbesar terjadi pada komoditi gula semut. Kriteria yang memiliki tingkat kepentingan relatif yang lebih rendah umumnya bersumber dari sisi penawaran dimana secara kumulatif akan memberikan dampak yang cukup besar terhadap produk yang dihasilkan. Faktorfaktor kualitas tenaga kerja, ketersediaan alat dan mesin, kondisi bahan baku,
67
biaya produksi, dan kebiasaan masyarakat dalam kenyataan memiliki kekuatan dalam perencanaan pengembangan agroindustri. Austin (1992) dan Tan (1994) menunjukan bahwa perencanaan pengembangan produksi harus menempatkan faktor-faktor tersebut sebagai faktor kritis dalam pengambilan keputusan.
6.3.2. Sub Model Kapasitas Olah Kapasitas agroindustri merupakan faktor yang sangat penting dalam perencanaan pengembangan agroindustri aren di suatu wilayah karena akan berkaitan dengan kelayakan dan keberlanjutan usaha agroindustri itu sendiri. Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh tiga alternatif kapasitas olah agroindustri
aren gula semut yaitu: a) 1.000 l nira b) 5.000 l nira, dan c) 10.000 l nira. Dasar pertimbangan
penentuan
ketiga
alternatif
tersebut
disesuaikan
dengan
karakteristik wilayah dan program pengembangan agroindustri nasional yang menitikberatkan pada pengembangan industri kecil dan menengah. Penentuan prioritas kapasitas olah dilakukan melalui dua tahapan: 1) merumuskan aturan-aturan (rules) dalam logika if … then, dan 2) penentuan kapasitas olah dengan menggunakan teknik MPE. Kriteria-kriteria yang digunakan dalam proses-proses tersebut adalah 1) ketersediaan bahan baku, 2) jarak sumber bahan baku, 3) mutu bahan baku, 4) ketersediaan alat dan mesin, 5) waktu pengangkutan, 6) kapasitas penampungan, 7) tenaga kerja yang tersedia, dan 8) biaya produksi. Berdasarkan kriteria dan aturan-aturan tersebut, penentuan kapasitas olah prioritas dilakukan dengan menggunakan teknik MPE. Berdasarkan analisis kepentingan masing-masing kriteria terhadap proses penentuan kapasitas olah diperoleh bahwa kriteria ketersediaan bahan baku, mutu bahan baku dan biaya produksi memiliki tingkat kepentingan yang lebih besar dibandingkan dengan kreteria-kriteria lainnya (Lampiran 12). Dengan kata lain, ketiga kriteria tersebut merupakan faktor-faktor kritis dalam penentuan kapasitas olah agroindustri aren dimana produk gula semut sebagai prioritas. Hasil keluaran model (Tabel 15) menunjukan bahwa prioritas kapasitas olah yang memiliki skor keputusan tertinggi adalah kapasitas olah 5000 liter nira dengan skor keputusan 42,8765, peringkat kedua adalah kapasitas olah 1.000 l, sedangkan kapasitas olah 10.000 l berada pada peringkat ketiga. Keputusan
68
kapasitas olah 5.000 l merupakan pilihan yang tepat untuk dikembangkan di Kabupaten Minahasa Selatan karena memenuhi sebagian besar prasyarat prioritas pengembangan sebagaimana tercermin pada kriteria-kriteria utama yang umumnya ditetapkan pada tahapan awal perencanaan.
Tabel 15 Peringkat Prioritas Kapasitas Olah No
Alternatif Kapasitas
Skor Keputusan
Peringkat
1
1.000 l
33,7049
3
2
5.000 l
42,8765
1
3
10.000 l
37,9391
2
Apabila diasumsikan bahwa agroindustri aren yang akan dikembangkan harus memenuhi unsur peningkatan dan pemerataan nilai tambah maka alternatif kapasitas olah 5000 l menjadi prioritas keputusan. Berdasarkan sebaran jumlah penyadap dan potensi bahan baku yang dapat dihasilkan (Tabel 16) diperoleh bahwa sebagian besar kecamatan di Minahasa Selatan berpotensi untuk menghasilkan nira aren dengan jumlah lebih dari 10.000 l per hari atau 5.000 l per sekali olah. Pada kondisi ini sebenarnya alternatif pilihan kapasitas olah 1000 l per satu kali olah adalah cukup realistis namun jika pertimbangan lain dimasukan maka pilihan keputusan menjadi semu. Begitu juga dengan kriteria mutu bahan baku, dimana diketahui bahwa sampai pada kapasitas olah 5.000 liter, kontrol terhadap mutu bahan baku dapat dijalankan dengan baik sampai pada tahap dimana nira tersebut siap untuk diproses lanjut pada tahapan pengolahan. Kondisi ini berkaitan erat dengan waktu maksimal yang digunakan untuk menampung nira tersebut dari setiap penyadap. Berdasarkan pengamatan lapangan diketahui bahwa sampai pada batas waktu maksimal (3 jam setelah disadap) volume nira yang dapat dikumpulkan pada suatu titik di lokasi produsen utama tidak akan mencapai 10.000 l. Karena untuk menghasilkan gula, nira sudah harus sampai pada tangki penampungan pada proses pengolahan maksimum 3 jam setelah disadap. Jika melebihi batas waktu tersebut maka komposisi nira telah mengalami perubahan, khususnya pH dan
69
kadar sukrosa, sehingga tidak cocok untuk diolah menjadi gula. Perubahan komposisi tersebut diakibatkan oleh adanya proses fermentasi karena adanya aktivitas mikroba. Semakin lama nira tersebut didiamkan akan menyebabkan semakin tinggi derajat keasaamannya dan berbanding terbalik dengan kadar sukrosa didalam nira. Tabel 16 Sumber dan produksi nira aren Kabupaten Minahasa Selatan tahun 2010 No.
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Modoinding Maesaan Tompaso Baru Ranoyapo Motoling Motoling Timur Motoling Barat Kumelembuai Tenga Sinonsayang Amurang Amurang Timur Amurang Barat Tumpaan Tatapaan Tareran Suluun Tareran Jumlah
Luas Jumlah Penyadap (ha) Pohon (org) 66,40 332 21 94,43 2.489 160 141,47 3.816 246 134,40 2.821 182 67,48 12.444 802 48,50 20.409 1.314 39,79 14.104 908 97,24 18.252 1.176 196,31 10.619 684 108,36 6.637 427 170,09 2.489 160 53,09 13.274 855 122,13 12.610 812 128,40 8.296 534 55,20 9.956 641 42,80 16.261 1.047 45,40 11.117 716 1591,65 165.926 10.687
Produksi Nira (l/hr) 315 2.400 3.690 2.730 12.030 19.710 13.620 17.640 10.260 6.405 2.400 12.825 12.180 8.010 9.615 15.705 10.740 160.305
Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Minahasa Selatan (2011) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Minahasa (2011)
Biaya produksi dikategorikan sebagai faktor kritis penentuan kapasitas olah berkaitan erat dengan tingkat penerimaan dan nilai tambah yang akan diperoleh. Pada kapasitas olah skala kecil, biaya produksi per satuan produk umumnya lebih besar dari nilai tambah per satuan produk yang dihasilkan. Dengan kata lain, usaha agroindustri yang dijalankan belum berada pada skala ekonomi. Konsekuensi tidak menguntungkan juga terjadi pada skala produksi yang relatif besar karena besarnya resiko yang dihadapi, terutama apabila terjadi perubahan faktor-faktor eksternal. Pertimbangan yang berkaitan dengan biaya
70
produksi inilah yang mengarahkan pengambilan keputusan kapasitas olah 5000 l yang memiliki keunggulan untuk dikembangkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Novarianto et al (2001) menunjukan bahwa kapasitas olah agroindustri gula aren skala menengah, 4.000 – 6.000 l, memiliki tingkat keuntungan rata-rata jika dibandingkan dengan skala kapasitas olah yang lebih kecil atau lebih besar dari kapasitas tersebut. Kondisi tersebut antara lain disebabkan oleh (a) sifat dari bahan baku yang cepat mengalami perubahan, (b) kemampuan dan ketrampilan tenaga kerja yang dimiliki, dan (3) kemampuan modal yang dimiliki. 6.3.3. Sub Model Teknologi Pengolahan Hasil identifikasi model teknologi pengolahan agroindustri aren inti, dalam hal ini gula aren, diperoleh tiga alternatif teknologi yang dapai digunakan pada proses pengolahan yaitu: 1) teknik tradisional (OP), 2) teknik open pan dan vacum evaporator (OP+VE), dan 3) kombinasi teknologi membran, open pan dan vacum evaporator (TM+OP+VE). Berdasarkan hasil identifikasi juga diperoleh 13 (tiga belas) kriteria penentuan prioritas teknologi, dimana berdasarkan tingkat kepentingan relatif diperoleh 5 (lima) kriteria yang memiliki bobot terbesar yaitu: 1) ketersediaan dan aksesibilitas, 2) harga satuan, 3) biaya operasi, 4) produksi per satuan waktu, dan 5) penggunaan alat dan bahan tambahan. Bobot dan penilaian kriteria dipresentasikan pada Lampiran 13. Keluaran model menunjukan bahwa proses pengolahan agroindustri gula semut yang memiliki nilai keputusan tertinggi adalah
proses dengan
menggunakan teknologi OP+VE. Nilai keputusan masing-masing alternatif teknologi proses pengolahan disajikan pada Tabel 17. Skor keputusan teknologi OP+VE berdasarkan keluaran model adalah 35,4256 diikuti oleh teknologi proses TM+OP+VE sebesar 29,8900; sedangkan alternatif teknologi tradisional (OP) berada pada peringkat terakhir dengan skor keputusan terkecil. Ditinjau dari aspek teknis, proses pengolahan yang dilakukan oleh agroindustri aren umumnya masih bersifat tradisional dimana selain penggunaan alat sederhana dan manual, proses pengolahan juga masih menggunakan metode konvensional. Padahal untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing tidak
71
dapat dicapai apabila teknik atau metode seperti itu masih terus dipertahankan. Aplikasi teknologi pengolahan gula aren dengan teknik open pan dan vacum evaporator (OP+VE) merupakan alternatif teknologi yang disarankan oleh model dengan beberapa pertimbangan yang ditetapkan berdasarkan tingkat kepentingan.
Tabel 17 Peringkat prioritas teknologi proses pengolahan No
Alternatif Proses
Skor Keputusan
Peringkat
1
Tradisional (OP)
28.1281
3
2
OP + VE
35.4256
1
3
TM + OP + VE
29.8900
2
Keterangan: OP = open pan ; VE = vacum evaporator; TM = Teknik Membran
Alternatif teknik pengolahan nira aren pada unit produksi gula aren dengan menggunakan teknik OP+VE lebih baik jika dibandingkan dengan teknik-teknik lainnya. Implementasi penggunaan teknologi pengolahan tersebut memberi keuntungan dan manfaat antara lain karena: (a) waktu yang dibutuhkan pada proses evaporasi menjadi lebih singkat dan (b) meningkatnya efisiensi produksi sebagai akibat dari tingkat penggunaan tenaga kerja yang relatif lebih sedikit. Kajian yang dilakukan oleh Iskandar (1991) menunjukan bahwa peningkatan tekanan mengakibatkan peningkatan suhu penguapan (pemasakan) berakibat meningkatnya gula pereduksi. Lamanya proses penguapan (pemasakan) juga tergantung besarnya tekanan evaporator. Lama proses pengolahan gula merah cair dengan metoda evaporator kurang dari 120 menit. Semakin tinggi tekanan, semakin cepat proses evaporasi Proses pengolahan tradisional yang dilakukan oleh unit agroindustri di pedesaan umumnya menghasikan nilai tambah yang relatif rendah dibandingkan dengan yang diperoleh oleh unit pengolahan dengan menggunakan teknologi yang lebih baik. Rendahnya nilai tambah tersebut disebabkan oleh besarnya beban biaya tenaga kerja dan rendahnya tingkat produktivitas, sehingga pada gilirannya tidak memiliki daya saing yang kuat di pasar. Sementara itu,
72
Pengolahan gula aren dengan alternatif teknologi pengolahan kombinasi teknik membran dengan open pan dan vacum evaporator (TM+OP+VE) berdasarkan kajian empiris memberikan manfaat yang relatif sama dengan teknik OP+VE dimana efisiensi produksi berada pada kondisi maximum. Namun jika dilihat dari faktor-faktor lain maka keputusannya akan berdampak negatif terhadap indikator penting seperti
nilai tambah dan daya saing. Teknologi
pengolahan TM+OP+VE tidak dianjurkan dalam model karena biaya pengadaan dan operasi teknik ini adalah sangat besar dan membebani biaya produksi sehingga berdampak pada terjadinya inefisiensi usaha yang bermuara pada rendahnya nilai tambah dan daya saing.
6.4. Model Kelayakan Investasi Agroindusri Aren Penentuan kelayakan usaha menggunakan kriteria finansial yang terdiri dari (1) Net Present Value (NPV) yaitu nilai bersih yang diterima proyek selama umur ekonomis pada saat sekarang, (2) Internal Rate of Return (IRR) yaitu nilai suku bunga yang menjadikan NPV proyek sama dengan nol, atau tingkat suku bunga yang menunjukan bahwa nilai penerimaan bersih sama dengan jumlah seluruh biaya investasi sekarang,
(3) Pay Back Period (PBP) yaitu nilai yang
mengukur seberapa cepat suatu investasi bisa kembali, (4) Net Benefit Cost ratio (Net B/C) yaitu perbandingan nilai sekarang keuntungan bersih dengan nilai sekarang biaya bersih, dan (5) Break Event Point (BEP) yaitu analisis titik pulang pokok dimana tingkat volume penjualan akan impas untuk menutup biaya tetap dan biaya variabel. Input model prediksi kelayakan investasi usaha agroindustri gula semut didasarkan pada keluaran model terdahulu yaitu keluaran pada model industri inti, kelembagaan klaster dan keluaran pada model pengembangan teknologi. Keluaran model terdahulu dimaksud adalah: (1) jenis produk industri inti yang memiliki keunggulan untuk dikembangkan yaitu industri gula semut, (2) kapasitas bahan baku yang disarankan adalah skala II yaitu 5000 liter per satu kali olah, dan (3) teknologi proses yang digunakan adalah kombinasi teknik open pan dan vacum evaporator.
73
Analisis finansial yang dilakukan didasarkan pada beberapa asumsi dasar sesuai dengan kondisi aktual pada saat kajian dilakukan serta berdasarkan keluaran dari model yang dibangun terdahulu. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam model penilaian kelayakan agroindustri gula aren semut adalah: (a) umur proyek 10 tahun, (b) kapasitas olah pabrik adalah 5.000 liter nira aren (hasil analisis pada model penentuan kapasitas olah), (c) frekueensi olah dua kali dalam satu hari, (d) produksi gula aren rata-rata 1000 kg per hari, (e) umur ekonomis usaha adalah 10 tahun, (f) nilai investasi Rp652.500.000,00 (g) modal kerja Rp2.957.100.000,00, (h) jumlah hari kerja per tahun adalah 300 hari, (i) modal investasi bersumber dari kredit perbankan komersial dengan bunga pinjaman sebesar 18%, (j) tenor pinjaman 10 tahun, (k) harga nira aren di tingkat petani Rp1.000,00 per liter, dan (l) harga produk berupa gula semut di tingkat pabrik adalah Rp15.000 per kilogram. Neraca keuangan dan proyeksi kelayakan usaha agroindustri gula aren berturut-turut disajikan pada tabel Lampiran 14 – 21. Keluaran model (Tabel 18) menunjukan bahwa pada kondisi normal, investasi usaha agroindustri gula semut dengan peralatan mesin kapasitas olah 5000 liter nira dan umur proyek 10 tahun layak untuk dijalankan. Hal ini terlihat dari nilai kriteria kelayakan investasi: (1) NPV bernilai positif, yaitu sebesar Rp5.493.905.598,00; (2) Nilai IRR sebesar 84,25% menunjukan nilai yang lebih besar dari tingkat suku bunga saat ini; (3) B/C ratio bernilai 1,41 yang lebih besar dari satu. Jika usaha agroindustri gula semut ini dijalankan maka akan diperoleh tingkat keuntungan bersih sebesar Rp1.192.876.720,00 dengan BEP (kondisi dimana
tidak
mengalami
kerugian/titik
impas)
berada
pada
nilai
Rp6.797.929.388,00 dan ROI sebesar 41,17% yang menunjukan bahwa penggunaan modal pada investasi yang dipilih adalah efisien. Sementara itu, jangka waktu pengembalian biaya investasi (BEP) akan terjadi pada tahun ke 2,83. Secara umum, hasil keluaran model kelayakan investasi yang diperoleh selaras dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Bank Indonesia tahun 2008 dengan studi kasus usaha agroindustri yang sama (gula semut) di Lebak Banten keputusan investasi adalah selaras, walaupun beberapa asumsi yang digunakan relatif berbeda pada model yang dibangun.
74
Tabel 18 Koefisien indikator kelayakan investasi usaha agroindustri gula pada kondisi normal Kriteria Finansial BEP Laba Bersih rata-rata NPV B/C Ratio ROI IRR PBP Keputusan Investasi
Nilai / Koefisien Rp 6.797.929.388 Rp 1.192.876.720,00 Rp 5.493.905.598 1,41 41,17% 84,25% 2,80 Tahun
Keterangan Layak Layak Layak Layak Layak Layak Layak LAYAK
Ditinjau dari aspek empiris, operasionalisasi perusahan bisnis sering berhadapan dengan kenyataan berubahnya faktor internal dan eksternal (Porter 1998a; Porter 1998b).
Berdasarkan hal tersebut, dikembangkan analisis
sensitivitas pada model kelayakan investasi dimana faktor-faktor yang diskenariokan adalah perubahan faktor endogen didalam sistem yaitu perubahan harga produk dan perubahan harga bahan baku. Dampak perubahan faktor endogen berdasarkan analisis sensitivitas menunjukan apabila harga produk mengalami penurunan sebesar 20%, maka usaha pengolahan produk agroindustri aren unggulan, dalam hal ini gula semut, secara finansial masih menguntungkan untuk dilaksanakan. Keluaran model (Tabel 19) menunjukan bahwa semua nilai koefisien parameter masih memenuhi syarat kelayakan, walaupun nilai koefisien tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan investasi pada kondisi aktual. Tabel 19 Dampak penurunan harga produk terhadap indikator kelayakan Kriteria Finansial BEP Laba Bersih rata-rata NPV B/C Ratio ROI IRR PBP Keputusan Investasi
Nilai / Koefisien Rp 9.062.954.000,00 Rp 406.164.220,00 Rp 766.569.779,00 1,13 12,94% 26,11% 4,61%
Keterangan Layak Layak Layak Layak Layak Layak Layak LAYAK
75
Pada kondisi lain, jika terjadi kenaikan harga bahan baku nira sebesar 50% maka usaha agroindustri gula semut adalah tidak menguntungkan atau tidak layak untuk dilaksanakan. Hal tersebut ditunjukan oleh beberapa nilai koefisien parameter yang tidak memenuhi syarat kelayakan (Tabel 20).
Tabel 20 Dampak kenaikan harga bahan baku terhadap indikator kelayakan Kriteria Finansial BEP Laba Bersih rata-rata NPV B/C Ratio ROI IRR PBP Keputusan
Nilai / Koefisien Rp 12.505.043.146,00 Rp 107.071.720,00 – Rp 1.385.980.765,00 1,02 1,59% 3,04% 9,11 Tahun
Keterangan Layak Layak Tidak Layak Layak Layak Tidak Layak Layak TIDAK LAYAK
Secara umum, hasil analisis kelayakan investasi yang diperoleh menunjukan bahwa usaha agroindustri gula aren memiliki prospek ekonomi yang cukup besar khususnya dalam rangka peningkatan daya saing agroindustri aren dan peningktan nilai tambah dan kesejateraan pelaku dimana umumnya merupakan industri skala mikro dan kecil serta merupakan sumber pendapatan utama masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan. Di pihak lain, keluaran model kelayakan investasi mampu mengarahkan setiap proses perencanaan pengembangan agroindustri yang berbasis pemanfaatan bahan baku yang berasal dari tanaman aren di wilayah tertentu dengan berbagai karakteristik yang dimiliki.