VIII. VALIDASI DAN VERIFIKASI SISTEM 8.1. Validasi Validasi bertujuan menelaah logika berpikir dalam membuat perekayasaan sistem sehingga menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan dengan memeriksa kembali teori, asumsi dan pendekatan yang mendukung atau dipergunakan. Suatu model dinyatakan valid untuk satu set kondisi tertentu dengan mencapai ketelitian sebagaimana dikehendaki oleh tujuan dari model. Validitas model konseptual adalah menetapkan bahwa teori dan asumsi yang melandasi model konseptual tersebut tepat dan model telah merepresentasikan dari entitas permasalahan yang diarahkan untuk mencapai tujuan (Sargent, 2000). Validasi, adakalanya tidak dilakukan untuk keseluruhan model sistem mengingat permasalahan yang kompleks. Pengumpulan data yang relevan untuk membangun rekayasa sistem diperlukan sebagaimana dinyatakan Campbell di dalam Bungin (2005). Beberapa teknik validasi diajukan oleh Martis (2006) antara lain membandingkan dengan model lainnya, memprediksi perilaku sistem, data eksperimental dibandingkan dengan data historis, mengajukan pertanyaan kepada pihak yang memiliki pengetahuan untuk menilai apakah perilaku model sistem dapat dipertanggungjawabkan dan pendekatan scoring. Langkah validasi pada penelitian ini dilakukan menggunakan kelompok pakar yang memiliki pengalaman dalam dunia usaha tanaman obat. Hal ini sesuai dengan apa yang diajukan oleh Martis yakni menggunakan individu yang berpengetahuan.
Langkah-langkah yang
dilakukan adalah : 1.
merancang sejumlah elemen yang merefleksikan kriteria yang akan divalidasikan.
2.
mendeskripsikan
metode
validasi
melalui
rujukan
teori
dan
penggunaan kelompok pakar. 3.
memilih kelompok pakar terdiri dari praktisi, peneliti, pembina petani, dan ketua koperasi yang berhubungan dengan petnai tanaman obat.
4.
mengajukan pertanyaan dengan satuan skala 5 dari sangat tidak mungkin (skala 1) atau sangat rendah hingga sangat mungkin atau sangat tinggi (skala 5).
Kuisioner berisi sejumlah faktor faktor yang berpengaruh terhadap sistem rantai pasokan berbasis jaringan, diajukan kepada responden pakar. Faktor akan berhubungan dengan penilaian : 1. tujuan jaringan mensejahterakan anggota 2. keterlibatan petani di dalam jaringan 3. perilaku petani Selain menggunakan kelompok pakar, validasi atas tujuan jaringan didekati dengan penggunaan analisis benefit, cost, opportunity, risk. Berdasarkan hasil perhitungan, sistem rantai pasokan berbasis jaringan dinyatakan valid dapat mencapai tujuan kesejahteraan petani pada kondisi optimistik. Validasi terhadap elemen tujuan berdasarkan agregasi pendapat pakar menggunakan skala sangat rendah sampai sangat tinggi, diperoleh nilai tinggi. Fungsi jaringan yang melibatkan aktivitas petani untuk mengintegrasikan proses dinyatakan valid sebagaimana dirujuk pada Vokurka et al., (2002). Integrasi proses telah ditelaah menggunakan metode QFD dengan hasil terbukti terjadi korelasi antara mutu dan proses. Agregasi pendapat responden terhadap kepatuhan pada tata cara budidaya dan pascapanen dihasilkan nilai tinggi. Namun, hasil agregasi terhadap perilaku petani untuk tidak mengalihkan pasokan pada pihak lain dinyatakan sedang. Menurut responden Sinambela, dalam hal penggunaan tenaga fasilitator dinyatakan valid, mengingat petani tidak berkemampuan melakukan pemberdayaan diri mereka dan kurang mampu melakukan penetrasi pasar. Fasilitator harus seseorang yang dikenal dan memiliki daya tahan untuk melakukan pendekatan dan pensosialisasian. Figur fasilitator yang dinilai tepat oleh responden adalah aparat di desa. Esensi dari mengapa aparat desa dipergunakan, karena lebih mengenal masyarakat di desanya. Dengan demikian alasan
mengenal masyarakat, merupakan kriteria atas
siapa yang paling tepat sebagai fasilitator yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya.
Responden Widyastuti, membenarkan hubungan antara petani dan industri tepat dilakukan karena kebenaran bahan baku yang menjadi permasalahan industri harus dimengerti oleh petani dan kondisi tersebut harus tercermin pada pemrosesan bahan baku awal. Dalam hal permasalahan mutu dinyatakan valid sebagaimana terdapat di lapangan dan jaringan mempunyai peran untuk mewujudkan ke dalam proses yang bermutu. Mengingat petani sering mengubah cara pengelolaan usaha tani, maka sistem pengawasan dan penyuluhan menjadi tepat diterapkan. Sub-elemen konflik telah divalidasi dengan mencari logika pendukung atas elemen pemicu konflik berdasarkan pendapat responden pakar Harsono ketua Koperasi BPTO, dimana sub-elemen konflik dan solusi telah tepat. Dengan demikian, ketika sistem diimplementasikan di lapangan akan mengurangi gap konflik karena telah disiapkan langkah-langkah pencegahan. Hasil agregasi pendapat responden atas sub-elemen validasi memberikan hasil sebagai berikut : Tabel 23 Hasil agregasi pendapat pakar atas sub-elemen validasi No 1
2
3
Elemen Tujuan jaringan
Keterlibatan petani pada jaringan
Perubahan perilaku petani
ST = sangat tinggi
Kriteria Kemampuan jaringan mensejahterakan petani
Agregasi pendapat pakar T
Kemampuan jaringan mencerdesakan petani Petani memenuhi tata cara budidaya Petani mematuhi tata cara pascapanen Petani memenuhi jadwal Komitmen Integritas Sinkronisasi keputusan dan integrasi proses Kompetisi Tidak Sehat T = tinggi S = sedang
T ST ST T T S T S
Validitas penggunaan AHP sebagai alat pengambil keputusan telah dikonfirmasikan dengan responden dan diperoleh konsistensi sebagaimana dijelaskan pada hasil analisis konflik. Konsistensi sangat penting dalam pengambilan keputusan dimana apabila konsistensi sangat rendah seperti pertimbangan menjadi acak, tetapi sebaliknya tidak ada konsistensi sempurna juga sulit dicapai. 8.2. Verifikasi Verifikasi dilakukan dengan menghitung penerimaan petani anggota bilamana menyalurkan bahan baku melalui lembaga jaringan. Asumsi yang digunakan sebagaimana tabel 24 dan 25. Data yang dipergunakan diperoleh dari daerah sumber pasokan Karanganyar dan Wonogiri.
Selanjutnya,
dilakukan verifikasi dengan menghitung kemampuan jaringan memasarkan produk menggunakan ketetapan meraih pangsa pasar tanaman obat untuk agroindustri farmasi penghasil obat tradisional rata-rata 8 % dan mampu menjual ke industri tanpa mengalami masa tunggu, yakni bahan baku setelah diproses langsung diserahkan kepada pihak pembeli. 1. Komponen Biaya Usaha Tani Dalam penelusuran di lapangan, lahan tidak pernah dinilai sebagai biaya, mengingat perhitungan petani sangat sederhana. Biaya-biaya yang diperhitungkan adalah : a. Biaya budidaya tani Biaya penggunaan bibit, buruh saat penanaman, pemeliharaan, pupuk kandang dan buatan, serta obat-obatan. b. Biaya pemanenan dan pengolahan pascapanen Terdiri dari biaya tenaga buruh yang digunakan dalam masa panen dan pembersihan hasil panen, biaya kemasan karung plastik baru, walaupun petani biasa menggunakan karung bekas dan biaya buruh kuli mengangkat dan menurunkan kemasan seberat rata-rata 50 kg per karung yang ditanggung petani bilamana bahan baku dikirimkan ke gudang pembeli di tempat tujuan atau saat melakukan pemuatan ke truk.
c. Biaya pemasaran Merupakan sejumlah nilai yang dikeluarkan untuk bertransaksi dengan pembeli, dapat berwujud biaya transportasi untuk bertemu dengan pembeli di desa atau kota kecamatan, atau biaya perjalanan untuk mencari pembeli. d. Biaya pengelolaan Merupakan sejumlah nilai sebagai biaya ganti waktu, perhatian dalam pengelolaan seluruh kegiatan usaha tani. Biaya pengelolaan biasanya tidak diperhitungkan oleh petani. Tabel 24 Asumsi penggunaan bibit, pupuk, buruh dan biaya per hektar Uraian
Satuan
Temulawak Lempuyang Lempuyang Kunyit wangi
Bibit
kg
Harga bibit
Rp/kg
Pengolahan tanah orang Penanaman
orang
Pemeliharaan
orang
Pupuk kandang
kwintal
Panen
orang
Biaya pembersihan Rp/kg Obat-obatan
Jahe
Kg
Kencur
pahit
2.500
1.875
2.000
2 000
1.700
2.000
1.000
250
400
400
400
400
25
25
25
25
25
25
40
30
30
30
30
30
40
30
30
30
30
30
25
10
15
15
15
15
40
30
30
30
30
30
15
15
15
15
15
15
20
20
20
20
20
20
Tabel 25 Asumsi analisis usaha tani Uraian
Satuan
Nilai
Pembiayaan Rp/ha/th Kg/unit Rp/ unit Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg % Rp
2.500.000,50 1.000,5020,75,20,14 5.000.000,-
Tingkat kerusakan dan penolakan Rata-rata kerusakan panen % 5 Penolakan oleh pembeli % 5 Produksi rata-rata Jahe kg/ha/thn 15.000 Temulawak kg/ha/thn 15.000 Lempuyang wangi kg/ha/thn 10.000 Lempuyang pahit kg/ha/thn 10.000 Kunyit kg/ha/thn 10.000 Kencur kg/ha/thn 10.000 Rasio panen terhadap bibit Jahe Per kg 6 panen Temulawak 8 Lempuyang wangi 8 Lempuyang pahit 8 Kunyit 6 Kencur 6 Sewa lahan Kapasitas karung Biaya karung kemasan Biaya buruh ( naik dan turun ) Biaya pengelolaan Biaya truk angkutan Biaya pemasaran/transaksi Suku bunga Biaya investasi dalam 5 tahun
2. Perhitungan Biaya Usaha Tani Hasil perhitungan
usaha tani
per hektar dengan alat bantu
program TO Net untuk masing-masing tanaman obat jahe, kunyit, temulawak, dan campuran beberapa tanaman obat dapat dilihat pada Gambar 28. Untuk mendistribusikan nilai perolehan tanaman obat maka terlebih dahulu dibuat proporsi penggunaan lahan menggunakan perbandingan berpasangan dengan kriteria kesesuaian lahan, kemudahan bertanam, kebutuhan komoditas, dan dampak finansial sehingga diperoleh proporsi lahan untuk penanaman : jahe 45 % dari seluruh lahan, temulawak sebesar 10,5 %, kunyit 14,3 % dan tanaman lainnya sebesar 30,2 %.
Berdasarkan hasil perhitungan,
biaya
usaha tani tanaman
temulawak paling rendah dibandingkan tanaman obat lainnya. Menurut pendapat responden petani di lapangan, penanganan tanaman temulawak relatif tidak terlalu rumit dan membutuhkan penanganan seksama dibandingkan dengan jahe. Petani lebih menyebutkan sebagai tanaman yang mudah dikelola dan tidak memerlukan upaya pemeliharaan tanaman yang rumit. Bahkan petani cenderung membiarkan tanaman temulawak dengan alasan temulawak tidak memiliki harga jual tinggi, walaupun kenyataannya digunakan di banyak industri obat tradisional.
20 18
17.2
Biaya usaha tani (Rp. juta/hektar)
16 14
11.85
11.38
12
9.17
10 8 6 4 2 0 Jahe
Kunyit
Temulawak
Campuran
Gambar 29 Biaya usaha tani tanaman obat. Untuk menghitung biaya usaha tani, diperoleh dari penambahan biaya budidaya dengan biaya kemasan, pemasaran, pengelolaan, tenaga buruh angkut dan biaya transportasi. Walaupun pada kenyataan di lapangan petani sering menggunakan karung bekas sebagai kemasan, tetapi pada perhitungan ini kemasan diasumsikan baru. Biaya transportasi berupa kendaraan angkutan untuk mengangkut hasil panen tanaman obat ke gudang yang dimiliki jaringan dengan jarak dari desa sampai ke kota kabupaten.
Perhitungan pendapatan petani, mempergunakan harga tanaman obat sebagaimana tertera pada Gambar 30. Berdasarkan penelusuran di lapangan, harga tanaman obat temulawak
dibandingkan dengan
tanaman satu keluarga lainnya terendah, sedangkan harga jual jahe segar petani berada pada tingkat paling tinggi dibandingkan dengan komoditas lain.
Harga TO (Rp/ kg)
7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Pergerakan Harga setiap bulan Jahe
Temulawak
Kunyit
Gambar 30 Harga tanaman obat dijual ke Jaringan. Hasil perhitungan keuntungan usaha tani petani jahe monokultur, lebih baik dibandingkan tanaman obat kunyit dan temulawak. Hasil perhitungan keuntungan
menanam tanaman campuran tampak
mendekati pencapaian keuntungan tanaman jahe. Selain itu, penananam polikultur akan mengurangi resiko kerugian ketika salah satu tanaman kurang memperoleh respons pasar atau terjadi kegagalan panen, petani masih memperoleh pendapatan dari tanaman lainnya. Hasil perhitungan keuntungan jahe untuk lahan seluas 1 hektar sebesar 62 % dibandingkan usaha tani secara polikultur sebesar 56,35 % dan keuntungan menanam kunyit sebesar keuntungan 10 %. Namun, bilamana lahan hanya ditanami temulawak akan mengalami kerugian sebesar (32,50 %). Pada kenyataannya, tidak ada lahan yang hanya ditanami tanaman temulawak. Hasil perhitungan keuntungan petani
tanaman obat pada prosentase tersebut, dikarenakan rendahnya biaya budidaya dan biaya operasional. Temulawak baru memperoleh keuntungan sebesar 6 % bilamana biaya-biaya seperti sewa lahan, investasi pembelian alat, biaya transaksi dan pengelolaan tidak diperhitungkan. Kondisi demikian menunjukkan bahwa petani sesungguhnya
tidak menikmati jerih payah bertanam
temulawak, terkecuali secara polikultur sehingga terjadi subsidi silang antar tanaman obat. Walaupun
menurut petani sudah memperoleh
keuntungan, sesungguhnya dengan tidak memasukkan biaya-biaya yang seharusnya diperhitungkan. Kebutuhan temulawak sebagai tanaman obat penting banyak digunakan oleh agroindustri farmasi besar maupun menengah
dan termasuk lima besar kebutuhan tanaman obat yang
diperlukan oleh industri, ternyata masih belum dapat memberikan nilai manfaat bagi petani. Dibandingkan
dengan
menjual
kepada pengumpul,
petani
jaringan memperoleh hasil lebih baik sampai dengan 23,5 %. Kondisi ini terjadi karena aliran bahan baku melalui rantai lebih pendek dengan kualitas penanganan pascapanen lebih baik hasil sosialisasi dan pembelajaran. Hasil verifikasi menunjukkan petani belum dapat menopang kebutuhan rumahtangga bilamana mengandalkan hasil penjualan tanaman obat. Perhitungan nilai sekarang (net present value) untuk tanaman obat campuran sebesar Rp 12.418.046,- untuk satu kali panen yang menyita waktu selama 9 bulan dengan luas hamparan satu hektar. Lahan yang dimiliki petani rata-rata sangat sempit. Data statistik kabupaten Wonogiri menunjukkan rata-rata lahan yang ditanami tanaman jahe berkisar 0,195 hektar atau sekitar 2000 m2 per petani. Sedangkan hasil penelusuran luas lahan yang dimiliki petani responden bergerak antara : 500 m2 - 3000 m2. Walaupun terdapat kepemilikan di atas satu hektar namun jumlah petani yang memiliki tidak terlalu banyak. Bilamana digunakan asumsi rata-rata lahan yang dimiliki petani seluas 2000 m2, maka nilai sekarang atas penjualan
kemudian sebesar Rp 2.483.609- atau setara Rp 207.000,- per bulan. Kalau
petani
mengandalkan
tidak
menyertakan
tanaman
lainnya
dan
hanya
tanaman obat maka penghasilan keluarga masih di
bawah nilai upah minimum propinsi Jawa Tengah 2005 sebesar Rp 390.000,-. Pendapatan petani per bulan untuk 1 hektar baru terlihat signifikan sebesar Rp 1.035.000,Dari pandangan petani, hasil penjualan tanaman obat sebagai
hanya
tambahan penghasilan keluarga dan belum sebagai mata
pencaharian utama. Petani tetap masih memfokuskan pada tanaman pangan padi. Pandangan yang dianut adalah padi merupakan lumbung keluarga dan sisa panen kemudian baru dijual. Penggunaan tenaga kerja yang berasal dari keluarga lazim terlibat dalam kegiatan usaha tani desa. Penggunaan tenaga tersebut tidak diperhitungkan sebagai biaya karena dianggap sudah seharusnya membantu usaha keluarga. Menurut Gittinger (1986), sesungguhnya terjadi kehilangan biaya peluang atau (opportunity loss). Seharusnya petani berpeluang memperoleh tambahan pendapatan bilamana waktu yang dihabiskan untuk melaksanakan kegiatan tanaman obat dialihkan pada kegiatan lain. Dengan kata lain, terdapat kondisi waktu kerja yang harus dikorbankan. Pernyataan petani responden bahwa masih menikmati keuntungan sebesar 10 – 15 % menjadi benar bilamana beberapa komponen biaya tidak dimasukkan. Sehingga, bilamana penghasilan dari tanaman obat akan dikonversikan kepada nilai keekonomian maka perlu menghitung peralihan biaya oportunitas. 3. Analisis Keuangan Jaringan Skenario perhitungan menggunakan penyaluran
bahan baku
dalam bentuk kombinasi bahan baku segar (simplisia segar) dan irisan kering (simplisia kering). Jaringan dirancang mampu memenuhi kebutuhan industri dalam berbagai bentuk tanaman obat. Agroindustri farmasi penghasil obat tradisional umumnya telah menetapkan standar penerimaan bahan baku yang ketat sehingga berpeluang menghasilkan
penolakan. Dengan kemampuan pengelolaan bahan baku, jaringan diasumsikan mampu mengendalikan tingkat tidak sesuai standar
sebesar 3 %.
penolakan akibat mutu
Penolakan
atas mutu pasokan
diasumsikan dengan kondisi rimpang patah atau tampilan kurang memenuhi syarat. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam perhitungan adalah : Tabel 26 Skenario asumsi analisis usaha Jaringan No
1 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Keterangan
Penolakan bahan baku oleh pembeli Tingkat kerusakan pengolahan ditetapkan Pasokan ke pasar industri, mengambil pangsa pasar (rata-rata) Biaya transaksi perkilogram Biaya pengelolaan perkilogram Biaya pembersihan dan pengemasan perkilogram Biaya perajangan perkilogram Biaya transportasi perkilogram Biaya kunjungan ke petani perbulan Biaya kuli angkut perkilogram Biaya kunjungan pemasaran ke prospek/ industri Biaya tetap perbulan Modal sendiri Bunga
Satuan
Angka
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp % %
15,20,100,125,150,400.000,25,300.000,6.700.000,50 14
% % %
3 1 7
Perhitungan diawali dengan menetapkan prioritas penjualan tanaman obat jaringan menggunakan teknik MPE. Adapun kriteria yang dipergunakan untuk mengatur penjualan komoditas adalah : (1) kemudahan pembudidayaan, (2) perkiraan keuntungan yang diperoleh dan (3) jumlah permintaan. Dari hasil perhitungan dihasilkan sebagai berikut : jahe (2.109), campuran (1.498), temulawak (993) dan kunyit (649). Dengan demikian komposisi penjualan tanaman obat jaringan diatur sebagaimana hasil olahan MPE. Hasil analisis dengan skenario pada Tabel 27, menggunakan kombinasi penjualan bahan baku segar dan irisan kering. Investasi awal jaringan untuk mengelola usaha membutuhkan Rp 100.000.000- dengan penjelasan rinci terdapat pada Lampiran 8. Adapun biaya kantor
ditetapkan sebesar Rp 6.700.000,- yang dipergunakan untuk membiayai gaji manajer, tenaga pelaksana, tenaga lepas dan biaya umum dengan perincian sebagaimana dilihat pada lampiran. Penetapan gaji tenaga pelaksana dimaksud menggunakan standar upah minimum regional daerah setempat. Modal investasi tersebut, diharapkan dapat diperoleh dari kredit mikro yang diberikan kepada petani dengan bunga maksimum 14 %. Jaringan dapat menjadi penanggung dan pemrakarsa industri membantu meyakinkan lembaga pemberi pinjaman dengan jaminan surat pemesanan. Tabel 27 Hasil analisis kelayakan usaha jaringan dan analisis sensitivitas Kriteria Keuangan
Nilai pada biaya operasi naik 10%, harga tetap
Nilai pada biaya operasi tetap, harga jual turun 10%
2.229.719.300
2.077.995.786
1.698.091.832
Nilai pada biaya operasi naik 10%, harga jual turun 10% 1.506.023.615
IRR (%)
22,75
21.04
17,85
15,83
Payback period (bl) B/C Ratio
7,.52
8,67
11,53
13,41
20,39
19.07
15,77
14,10
NPV (Rp)
Nilai pada kondisi Normal
Analisis kelayakan pada skenario jaringan menjual tanaman obat campuran menghasilkan IRR sebagaimana terlihat pada
Tabel 27.
Apabila dilanjutkan dengan analisis sensitivitas, maka ketika harga diturunkan 10 % berakibat lebih buruk dibandingkan dengan biaya operasi naik 10 %, terlihat dari IRR menurun dan pay back period lebih lama. Dengan demikian, harga jual menjadi faktor sangat berpengaruh terhadap kinerja jaringan dibandingkan dengan kenaikan biaya-biaya pascapanen. Hasil analisis keuntungan bilamana jaringan memperdagangkan tanaman obat dengan kombinasi segar dan irisan kering dibandingkan menjual tanaman obat segar adalah 15,88 % dan
13,21 %. Rata-rata
biaya bahan baku sebesar 70,2 % dari penjualan dan biaya pegawai – umum dan variabel sebesar 10, 2 % dari penjualan. Kondisi ini terjadi karena harga jual tanaman obat kering rata-rata tujuh kali dibanding harga tanaman segar terkecuali temulawak yang berkisar tiga kali. Dengan kata lain harga temulawak sebesar Rp 550,per kilogram segar akan menjadi sekitar Rp 1.650,- perkilogram bahan baku
temulawak
kering.
Analisis
jaringan
menunjukkan
lebih
menguntungkan menjual bahan baku irisan kering. Selain memperoleh keuntungan lebih baik, juga lebih tahan disimpan dan memudahkan dalam transportasi. Jaringan baru dapat beroperasi pada titik impas jaringan sebesar 332 ton dengan komposisi tanaman obat dan harga sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dengan hasil perhitungan arus kas sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Perhitungan BEP dimaksud dilakukan tidak dengan metode konvensional tetapi berdasarkan pencapaian NPV nol dengan memasukkan faktor diskonto melalui beberapa kali putaran perhitungan dengan program Generalized Reduced Gradient. Biaya tetap pada posisi BEP sebesar Rp 705.836.908,- dan biaya variabel sebesar Rp 4.409.219.558,-. Menggunakan skenario perencanaan usaha jaringan selama 5 tahun masih memungkinkan untuk mendistribusikan pembagian keuntungan jaringan kepada anggota. Besarnya prosentase keuntungan yang akan didistribusikan ditetapkan berdasarkan keputusan bersama. Besarnya keuntungan jaringan menggunakan semua skenario yang telah ditetapkan dapat dilihat pada Gambar 31 berikut.
Keuntungan jaringan (%)
20 18 16
16
14
18
17
14
12 10 8 6
5
4 2 0
Tahun 1
Tahun 2
Tahun 3
Tahun 4
Tahun 5
Gambar 31 Keuntungan jaringan selama 5 tahun Analisis
nilai
tambah
dilakukan
untuk
meninjau
berapa
pertambahan nilai setiap perubahan proses. Menurut Gittinger (1986), nilai tambah diukur dengan perbedaan antara nilai output dan nilai seluruh input karena pengolahan lebih lanjut. Secara detil, perhitungan nilai tambah memerlukan data : a. Output atau total produksi b. Input bahan baku c. Faktor konversi output terhadap input d. Harga output e. Harga input bahan baku f. Sumbangan input lainnya Nilai tambah adalah : nilai output (faktor konversi x harga output) dikurangi harga input dan nilai sumbangan input lainnya. Sebagai contoh perhitungan nilai tambah digunakan komoditas tanaman obat jahe. Walaupun jaringan memperdagangkan bentuk irisan kering dan segar dalam proporsi yang sama setiap tahun yakni 6 bulan memasok irisan kering dan sisanya bentuk segar, namun di dalam perhitungan nilai tambah difokuskan pada irisan kering dengan nilai output dihitung berdasarkan harga output irisan kering. Adapun total produksi output tetap menggunakan total produksi jaringan. Dengan cara yang sama
perhitungan nilai tambah dapat digunakan terhadap tanaman obat lainnya. Nilai sumbangan input yang berasal dari tenaga kerja pusat manajemen jaringan, dialokasikan untuk seluruh tanaman obat, sehingga untuk
perhitungan
jahe
ditetapkan
secara
proporsional.
Hasil
perbandingan nilai tambah dua komoditas dalam komposisi segar dan campuran irisan kering dapat di lihat pada Tabel 28. Tabel 28 Hasil perhitungan nilai tambah tanaman obat jenis kering dan segar
Data nilai output jahe kering berasal dari pengolahan jahe kering. Nilai tambah yang diperoleh per kilogram bahan baku sebesar Rp 3.952,- artinya untuk pengolahan rata-rata satu kilogram jahe segar menjadi kering secara campuran menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 3.952,- . Nilai tambah tersebut berasal dari data tahun pertama jaringan beroperasi. Sedangkan nilai tambah bilamana jahe seluruhnya dijual masih dalam jenis segar terkemas sebesar Rp 115,- Namun, ketika kunyit dijual dalam jenis segar terkemas tidak memperoleh nilai tambah sama sekali. Kondisi ini menunjukkan bahwa lebih baik tanaman obat
diproses menjadi bentuk irisan kering.
Jaringan harus sanggup
memberikan pembinaan kepada anggota sehingga integrasi proses dapat mengarahkan pada pencapaian mutu bahan baku kering lebih baik. Mengingat temulawak dibutuhkan oleh agroindustri farmasi, namun harga temulawak tidak terlalu menarik bagi petani, berikut dilakukan perhitungan harga termulawak yang memungkinkan petani masih memperoleh keuntungan lebih baik. Pendekatan yang dilakukan adalah penelusuran produk agroindustri farmasi menggunakan bahan baku tanaman obat yang diteliti. Produk yang dipergunakan sebagai basis perhitungan ditetapkan secara sengaja yakni produk jamu keluaran PT Air Mancur. Asumsi yang digunakan adalah : a.
Harga eceran produk jamu pegel linu persachet @ 7 gram dari toko
pengecer dengan harga jual tingkat konsumen Rp 900,- /
sachet. b.
Komposisi biaya bahan baku pabrik ditetapkan dengan skenario 65 %, biaya pemrosesan 20 % dan biaya umum 15 %.
c.
Menghitung harga bahan baku plafon pabrik dengan harga untuk tanaman obat penelitian digunakan harga yang berlaku di pasar.
d.
Skenario skala produksi 6 juta sachet dengan komposisi temulawak, kunyit, lempuyang, laos, temu kunci, lada dan tambahan 2 jenis tanaman obat lainnya.
e.
Tanaman obat yang tidak menjadi bahan penelitian ditetapkan harga sebagaimana dengan harga beli pabrik. Terlebih dahulu menentukan nilai harga produk pabrik yang
diperoleh dengan menghapuskan keuntungan pengecer sebesar 20 %. Rata-rata harga 1 sachet produk sebagaimana butir a di atas sehingga harga beli pengecer sebesar Rp 720,-. Setelah menghilangkan keuntungan industri sebesar 20 %, maka diperoleh harga pabrik. Dari harga pabrik sebesar Rp 580, per sachet kemudian diperoleh plafon harga bahan baku persatuan sachet dengan ketentuan 65 % dialokasikan untuk bahan baku serbuk.
Dengan perhitungan konversi bahan baku serbuk menjadi bahan baku kering, dapat diketahui total kebutuhan bahan baku irisan kering untuk menjadi enam juta sachet. Dari total kebutuhan bahan baku tersebut diperoleh plafon pembelian bahan baku yang ditetapkan pabrik sebesar Rp 2.475.000.000,-.
Apabila digunakan nilai pembelian
tanaman obat dengan harga yang berlaku di pasar sebesar Rp 1.600,- per kilogram temulawak kering, diperoleh realisasi pembelian sebesar Rp 2.264.636.000,-. Dengan demikian, dari alokasi pembelian bahan baku berdasarkan perhitungan
proporsi biaya bahan baku dibandingkan
dengan realisasi pembelian, masih terdapat kelebihan anggaran pembelian bahan baku. Dari simulasi perhitungan tersebut, industri sesungguhnya memperoleh keuntungan sebesar 24,08 %. Apabila diskenariokan prosentase keuntungan antara jaringan dan industri diperoleh sama sebesar 22 %, maka harga beli temulawak berdasarkan simulasi dapat
menjadi Rp 3.450,- per kilogram irisan
kering. Sedangkan harga tanaman obat lainnya yang relatif baik dan menghasilkan keuntungan bagi petani, tetap berada pada harga sebagaimana ditetapkan industri. Harga produk akhir obat tradisional yang dijual dengan harga marginal sesungguhnya tidak memberikan manfaat berarti bagi petani. Berdasarkan survei, harga produk jadi agroindustri farmasi akan mengambil harga premium bilamana dijual dalam bentuk herbal terstandaridisi atau produk ekstraksi. Penghargaan kepada petani apabila pembelian bahan baku berkualitas lebih baik diberikan harga lebih tinggi, sehingga akan memberikan dorongan kepada petani untuk tetap berbudidaya tanaman tersebut .
8.3. Manfaat untuk Petani Dengan bergabung melalui jaringan, petani memperoleh manfaat berupa keuntungan yang lebih baik dan manfaat non finansial dalam hal kontinuitas permintaan, pembinaan dan integrasi proses berkelanjutan serta akses pasar. Menggunakan kapasitas lahan 1 hektar dengan komposisi 45 %
jahe, 11 % temulawak, 14 % Kunyit dan sisanya tanaman lain satu keluarga, petani
diperhitungkan memperoleh net present value sebesar Rp
70.605.849,-. Hasil tersebut berbeda sebesar Rp 28.372.361,- dibandingkan bilamana petani menjual di luar jaringan. Bilamana batas bawah keuntungan ditetapkan sebesar 10 % dengan asumsi sedikit diatas bunga deposito bank setahun, maka insentif dapat dibagikan kepada anggota bilamana keuntungan jaringan dicapai lebih besar dari batas tersebut. Berdasarkan perhitungan,
anggota
jaringan
dapat
memperoleh rata-rata Rp 93.000,- per anggota/ per tahun. Selain itu petani masih memperoleh tambahan penghasilan
yang berasal dari penjualan
tanaman obat reject yang diolah lebih lanjut sehingga menjadi bahan baku bubuk/serbuk. Perhitungan konversi tanaman obat segar menjadi serbuk adalah setiap sepuluh kilogram simplisia segar akan menjadi satu kilogram serbuk dengan harga jual rata-rata sebesar dua puluh lima kali dari harga simplisia segar. Bilamana hasil penjualan bahan baku reject yang telah diolah menjadi serbuk didistribusikan semua kepada anggota maka rata-rata anggota akan mendapatkan sebesar Rp 156.000,- per tahun. Jaringan akan melibatkan 620 petani dengan asumsi
rata-rata lahan
petani seluas 2000 m2. Atas dasar tersebut diperlukan sejumlah 5 petani untuk setiap satu hektar. Kebutuhan fasilitator sangat tergantung dari jumlah petani dan jangkauan jarak satu desa dengan yang lainnya agar kegiatan fasilitasi
efektif.
Bilamana
menggunakan
asumsi
bahwa
masih
dimungkinkan terdapat satu hamparan seluas 3 hektar di satu desa atau berdekatan maka diperkirakan terdapat 15 petani untuk digabungkan di dalam satu kelompok. Sehingga
menggunakan skenario tersebut,
diperkirakan dibutuhkan 41 orang fasilitator. Guna mendukung kegiatan usaha jaringan skenario kebutuhan lahan adalah seluas 124 hektar yang layak ditanami tanaman obat. Namun, seluruh perhitungan ini berlaku bilamana penyerapan atau pembelian bahan baku oleh industri bersifat langsung tanpa masa tunggu, sehingga tidak diperlukan perhitungan penurunan nilai uang.
8.4. Manfaat untuk Masyarakat Kehadiran lembaga jaringan memberikan manfaat tambahan dengan turut bergeraknya ekonomi di lingkungan sekitar usaha tanaman obat dengan
keterlibatan masyarakat menjadi tenaga lepas untuk proses
perajangan, tenaga panen, tenaga yang memproses pascapanen maupun tenaga kuli angkut. Bahkan usaha pendukung turut berkembang sejalan dengan majunya lembaga jaringan misalnya usaha persewaan angkutan, penyedia bibit atau sarana produksi pertanian. Kondisi ini tidak saja memberikan dampak berupa peluang kerja tetapi juga tambahan penghasilan keluarga. Pemrosesan yang umumnya dilakukan oleh kaum perempuan adalah proses perajangan. Sedangkan proses
pengeringan yang masih mengandalkan sinar matahari masih
memerlukan tenaga laki-laki untuk melakukan pembalikan bahan baku. Tenaga perajang akan mendapatkan upah atas dasar prestasi kerja atau jumlah hasil perajangan yang mampu dihasilkan. Pendapatan setiap perajang akan dipengaruhi oleh kemampuan olah dan biaya perkilogram. Biaya proses perajangan sekaligus mengeringkan rata-rata Rp 125,.per kilogram. Buruh perajang akan mendapatkan pendapatan lebih tinggi tergantung jumlah hasil yang mampu diselesaikan. Rata-rata kemampuan perajangan secara manual sebesar 50 kilogram per satuan orang. Tetapi apabila digunakan alat perajang akan menghasilkan keluaran yang lebih tinggi. Biasanya proses perajangan menggunakan alat dikerjakan oleh buruh perajang yang diberikan upah harian. Hasil perajangan menggunakan alat dinilai responden kurang baik, karena ketebalan irisan kurang seragam. Hasil verfikasi manfaat yang diperoleh oleh perajang sebesar Rp 162.500,per bulan melibatkan 138 orang. 8.5
Manfaat untuk Industri Bilamana industri berhubungan dengan jaringan akan mendapatkan manfaat finansial berupa penghematan transaksi sebesar Rp 4.125.000,untuk setiap 15 ton yang berasal dari biaya transportasi dari gudang jaringan ke gudang industri. Selain itu pengurangan biaya yang berasal dari
biaya buruh angkut
dan pengolahan pembersihan. Industri juga
memperoleh manfaat berupa mutu lebih baik dengan jaminan jaringan dan kepastian pasokan. Dengan demikian, secara keseluruhan akan mengurangi biaya pengolahan pemrosesan awal sebelum produksi dan mengurangi beban kendali proses/supervisi serta pengambilan sampling saat inspeksi penerimaan bahan baku. 8.6. Analisis Konflik Konflik kemungkinan terjadi mengingat terdapatnya perubahan atas pola usaha tani dan cara pengaturan kehidupan petani yang semula sendiri dengan cara-cara yang dianggap petani paling tepat kemudian dikelola dengan tata cara budidaya dan pengolahan yang tertata. Akibat konflik dapat bersifat ketidaknyamanan, keengganan hingga penarikan diri yang melemahkan posisi lembaga jaringan dan pada akhirnya berpengaruh negatif terhadap kinerja tim dan kepuasan. Dalam hal mengubah ketidaksepakatan menjadi kesepakatan
dapat dilakukan melalui bekerja bersama, bekerja
terpisah dan memanfaatkan mediasi guna mencapai kompromi dan bekerja terpisah dan menggunakan intimidasi dan kekuatan untuk memperlemah pihak beroposisi ( Saaty, 1998). Pemecahan masalah
konflik pada disertasi ini didekati dengan
menggunakan AHP dimana proses penyelesaian harus memuaskan para pihak. Perlu diyakinkan apa yang diperoleh atau hilang dari satu pihak menjadi apa yang hilang dan didapatkan oleh pihak lain. Dalam hal ini digambarkan fokus konflik disusun secara hirarki untuk mengevaluasi biaya dan manfaat. Untuk penelusuran analisis konflik dipergunakan pendekatan Analytical Hierarchy Process dengan hasil struktur sebagai berikut :
170
Meminimumkan konflik di dalam Jaringan
FOKUS
FAKTOR
SDM
Pengelolaan Organisasi
0,1286
Pengelolaan Usaha Tani
0,2199
0,6514
SUB-FAKTOR Pemenuhan Norma Organisasi 0,0277
ALTERNATIF
Perilaku Anggota 0,0462
Kepemimpinan Fasilitator 0,0547
Penetapan Pinalti dan Pengendalian 0,1182
Distribusi Pasokan 0,0614
Pengelolaan Keuangan 0,0859
Penyuluhan dan Sosialisasi 0,5386
Standard Proses Operasi 0,0726
Pembinaan 0,3432
Gambar 32. Struktur hirarki analisis konflik.
Budidaya
Pemanenan
0,2606
0,1706
Pascapa nen 0,2702
Pemicu konflik terbagi atas faktor manusia, pengelolaan organisasi dan pengelolaan usaha tani. Penjabaran
sub faktor dan penjelasannya
sebagai berikut : 1. Pemenuhan norma jaringan. Jaringan
akan menetapkan cara bagaimana berorganisasi dan
bertindak sehingga memberikan arahan untuk menjadi kelompok yang kohesif. Nilai budaya organisasi yang dianut dan diterapkan akan menata apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kondisi tersebut kemungkinan tidak sejalan dengan nilai anutan dari petani selama ini. Norma organisasi mencakup
sikap
dan
pandangan-pandangan
dalam
kehidupan
berorganisasi. 2. Perilaku anggota Sehubungan dengan pemenuhan norma organisasi, diperlukan perilaku positif untuk menjadikan organisasi jaringan profesional dan diakui
oleh
pihak
konsumen.
Penyimpangan
perilaku
akan
menghasilkan situasi di mana anggota tidak bersedia belajar berbagi pengetahuan/ informasi dan melanggar komitmen yang disepakati atau bahkan mementingkan diri sendiri. Ketika terdapat larangan menjual hasil panen kepada pihak lain dilanggar oleh sejumlah anggota, maka anggota lain terdorong meniru tindakan negatif tersebut bilamana tidak dikenakan sanksi. Perilaku memproses hasil panen secara serampangan dan sengaja menyisipkan kontaminan merupakan bentuk perilaku negatif. 3. Kepemimpinan fasilitator Kemungkinan
konflik
terjadi
ketika
anggota
meragukan
kemampuan fasilitator mengatasi perbedaan pendapat, menyatukan langkah dan mengarahkan pada keutuhan kelompok dalam rangka mencapai sasaran usaha. Konflik kepentingan dan ketidakpercayaan bisa saja terjadi ketika fasilitator tidak mampu menunjukkan kredibilitasnya. Keberpihakan
pada
seseorang
atau
sekelompok
orang
dan
ketidakmampuan mengambil keputusan membuka ruang penolakan atas keberadaan fasilitator.
4. Distribusi pasokan Konflik ini terjadi bilamana keputusan atau kebijakan ditetapkan tanpa memperhatikan kepentingan bersama dan terdapat diskriminasi dalam pendistribusian pasokan. Pengaturan pembagian jumlah yang akan dipasok petani, jadwal penerimaan bilamana tidak dijelaskan secara transparan akan menimbulkan pandangan negatif
dan
kesalahpahaman. Ketika ketersediaan bahan baku berlimpah, perlu pengaturan pendistribusian sehingga adil dan dalam hal ini informasi sangat penting disampaikan agar tidak berkembang menjadi kabar berita negatif. 5. Pengelolaan keuangan Faktor keuangan merupakan pemicu konflik yang rawan memecah keutuhan anggota dan merusak kepercayaan. Ketidakjelasan pencatatan, pertanggungjawaban, dan ukuran – ukuran keuangan bilamana tidak disampaikan akan membuka peluang kecurigaan. Informasi pergerakkan harga harus disampaikan sehingga tidak terdapat kecenderungan mengabaikan aturan jaringan. 6. Standar prosedur operasi Konflik pada standar prosedur operasi terjadi bilamana tidak terdapat pengaturan
dan kejelasan di setiap proses bisnis seperti :
prosedur pengadaan bahan baku, pemeriksaan penerimaan bahan baku, pemrosesan, penyimpanan, dan penjualan. Prosedur operasi akan mencakup persyaratan-persyaratan, tata aturan yang harus dianut bersama. 7. Budidaya Perbedaan cara budidaya antara yang dikenal secara turun temurun dan menurut ilmu pengetahuan dapat membuka ruang konflik. Petani di daerah terpencil yang jauh dari akses informasi, dimungkinkan masih memegang tata cara sebagai dikenal saat ini walaupun cara tersebut sesungguhnya kurang tepat. Kultur yang menghormati apa yang diajarkan oleh pendahulunya dianggap sebagai sesuatu yang benar, disementara pihak harus dilakukan perubahan.
8. Pemanenan. Konflik terjadi karena perbedaan dalam melaksanakan pemanenan mencakup jadwal panen
(bulan dan waktu, cara panen). Keinginan
segera memanen hasil dengan pertimbangan memperoleh uang tunai, akan mendorong ketidakpatuhan atas aturan dan bilamana terjadi tidak saja berakibat pada pemenuhan persyaratan mutu tetapi juga harga terbaik tidak tercapai dan perencanaan pasokan menjadi terganggu. 9. Pascapanen. Ketidaksesuaian
mungkin
terjadi
dikarenakan
petani
menggunakan cara sendiri pada masa pascapanen yang tidak sesuai dengan standar prosedur yang diatur jaringan. Berdasarkan olahan AHP, hasil menunjukkan pengelolaan usaha tani (0,65) berada pada
bobot tertinggi diikuti dengan pengelolaan organisasi
(0,22). Resolusi konflik yang diharapkan dapat meredakan sehingga tercapai kondisi yang lebih baik adalah aktivitas penyuluhan (0,54) dan pembinaan anggota berorganisasi (0,34). Dalam perhitungan tersebut telah dilakukan analisis konsistensi perbandingan elemen yang berpengaruh sebagai berikut : Tabel 29. Analisis konsistensi AHP No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Perbandingan elemen terhadap Analisis konflik Pemenuhan norma Perilaku anggota Kepemimpinan fasilitator Distribusi pasokan Pengelolaan keuangan Standar proses Budidaya Pemanenan Pasca panen
Consistency Index
Consistency ratio
0.0001 0,0254 0,0016 0,0009
0,0001 0,0438 0,0027 0,0016
0,0001 0,0001 0,0001 0,0004 0,0100 0,0117
0,0001 0,0002 0,0001 0,0007 0,0172 0,0201
8.7. Analisis Manfaat Menggunakan BOCR Tujuan pembentukan rekayasa sistem rantai pasokan berbasis jaringan yang mengarah pada kesejahteraan petani, dilengkapi dengan pertimbangan atas tinjauan manfaat (Benefit) dan pertimbangan biaya (Cost), maupun peluang (Opportunity) dan resiko (Risk) di kemudian hari. Pendekatan BOCR, akan menyempurnakan analisis dengan mempertimbangkan faktor kualitatif
dan
melengkapi
perhitungan
kuantitatif.
Metode
ANP
mensyaratkan konsistensi untuk penilaian kriteria. Hasil penilaian pendapat dikelompokkan menjadi normal, pesimistis dan optimistis. Penilaian normal dengan masih mempertahankan faktor peluang dan resiko memiliki formula : Hasil =
(B × O ) (C × R )
(1)
B
= benefit
O
= opportunity
C
= cost
R
= risk
Rumus penilaian optimistis dengan mengabaikan resiko dalam pengambilan keputusan sebagaimana disajikan dalam persamaan pada butir 2. Adapun rumus penilaian pesimistis tanpa mempertimbangkan peluang dapat dilihat pada butir 3.
(B × O ) (C ) (B ) Hasil = (C × R )
Hasil =
(2) (3)
Hasil verfikasi BOCR sebagaimana tabel 30 menyimpulkan bahwa dalam kondisi optimistis tanpa memperhitungkan faktor resiko tujuan kesejahteraan petani memiliki bobot paling tinggi 0,58 dimungkinkan terwujud dibandingkan dengan kelangsungan hubungan anggota yang memiliki bobot 0,28. Dengan demikian, peluang alternatif tujuan kesejahteraan menjadi keputusan terbaik setelah ditelaah dari pertimbangan manfaat, biaya, dan peluang.
Tabel 30 Hasil analisis BCOR
8.8. Implikasi Kebijakan Sistem rantai pasokan berbasis jaringan ini bilamana diterapkan sebagaimana diuraikan pada persyaratan dan rancangan implementasi, memerlukan peran serta pemerintah untuk berkontribusi dalam kesuksesan penerapan. Pemerintah berkewenangan menerbitkan kebijakan. Kebijakan yang diharapkan adalah pengaturan lahan peruntukan bagi pengembangan tanaman obat, kredit mikro melalui lembaga keuangan mikro, penyediaan bibit tanaman obat dan sarana produksi. Melalui fasilitasi pemerintah, hubungan antara petani, asosiasi industri jamu dan asosiasi pedagang tanaman obat dijalin dengan tujuan memetakan kebutuhan tanaman obat nasional dan daerah. Selanjutnya, pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah memperluas lahan untuk budidaya tanaman obat sesuai dengan kondisi agroklimat.
Guna mencegah mengalirnya tanaman obat segar bernilai tambah rendah ke luar negeri, maka ekspor tanaman obat yang dibutuhkan oleh agroindustri farmasi dalam negeri dapat dikenakan biaya pajak ekspor lebih tinggi. Berdasarkan wawancara responden, salah satu sebab terjadinya kekurangan pasokan jahe karena tanaman obat tersebut diekspor ke luar negeri. Lebih lanjut menurut responden, ekstraksi dari tanaman obat yang dibeli dengan harga rendah, kemudian kembali ke Indonesia dengan harga berlipat. Perlindungan konsumen dan agroindustri farmasi menengah-kecil perlu dilakukan dengan melakukan pengawasan lebih ketat terhadap produk herbal impor dengan : 1) pengawasan registrasi produk, 2) pengawasan kepada importir, 3) menetapkan pajak barang impor, 4) konsistensi pengawasan di lapangan. Komitmen pemerintah ditunjukkan dengan keterlibatan pejabat teknis di dinas terkait pemerintah daerah setempat yang berpihak kepada petani melalui tindakan penyuluhan dan program pembinaan usaha tani. Adapun kebijakan makro mengatur bagaimana ketersediaan sarana produksi yang diperlukan bagi petani seperti pupuk, infrastruktur dan penataan menyeluruh agroindustri farmasi. Penataan agroindustri farmasi dimulai dengan melakukan pengawasan produsen sehingga tingkat penggunaan bahan kimia yang disisipkan di dalam obat tradisional nihil, pengawasan terhadap registrasi produk tradisional, herbal dan fitofarmaka setelah dilakukan pengujian, pengawasan proses dan kepatuhan cara – cara pemasaran obat tradisional yang beretika.