VII. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL 7.1. Pengambilan Keputusan Proses pengambilan keputusan dilakukan dengan mengaktifkan sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis model dan sistem manajemen basis pengetahuan yang berinteraksi dengan sistem dialog. Hasil keluaran berupa data atau informasi dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dari sistem penunjang keputusan (SPK) AGRIBEST. 7.2. Identifikasi Model Pengembangan Agroindustri Pembangunan peternakan sapi potong di Sumatera Barat selama ini belum mampu meningkatkan perkembangan industri hilir (agroindustri) sapi potong dan belum memenuhi harapan keinginan berbagai pihak yang berkepentingan. Peternak sapi belum mengusahakan ternak sapi potong sebagai usaha utama, terbatasnya akses permodalan untuk menambah jumlah ternak dan seringkali peternak berada pada posisi yang lemah dalam hal pemasaran sapi. Pengembangan wilayah atau daerah masih diperuntukkan sebagai pengembangan komoditi ternak sapi, baik untuk pembibitan atau penggemukkan. Belum berkembangnya agroindustri sapi potong sebagai penggerak dan mempercepat pembangunan peternakan dan perekonomian masyarakat dalam suatu wilayah/daerah memerlukan komitmen dari seluruh stakeholder dalam mengembangkan agroindustri sapi potong terutama pihak pemerintah, pengusaha dan masyarakat di kawasan serta mamberikan solusi penyelesaian konflik yang mungkin terjadi dalam pengembangan agroindustri sapi potong. Perencanaan pembangunan suatu agroindustri menurut Yusdja dan Iqbal (2002) dalam suatu kebijaksanaan paling tidak mempunyai dua simpul utama, yaitu 1) agroindustri tersebut mampu menggerakkan pembangunan masyarakat di wilayah produksi pertanian, dan 2) mampu mendorong pertumbuhan suplai hasil-hasil pertanian untuk kebutuhan agroindustri. Perencanaan pembangunan agroindustri minimal harus mempertimbangkan kelayakan dari sisi teknis, biaya investasi, kelayakan dari sisi ekonomi, kondisi pasar dan pasokan bahan baku serta kelayakan lingkungan fisik dan pertimbangan sosial budaya. Pembangunan agroindustri sapi potong terlebih dahulu dimulai dengan menentukan pola perencanaan pembangunan agroindustri yang sesuai dengan kondisi wilayah/daerah setempat dengan mengidentifikasi model dan elemen
penyusunnya. Berdasarkan identifikasi beberapa model perencanaan pengembangan industri/agroindustri dari hasil studi literatur dan perbandingannya dengan model perencanaan pengembangan agroindustri yang dibangun, disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komparasi beberapa model perencanaan pengembangan industri/agroindustri.
No.
Diskripsi Aspek Model Perencanaan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
F A O
C L F
U N D
A U S
G T G
N T S
B R W
D K P
H S N
S T Y
B P P
H M G
U M R
S L D
A S P
√ √
√ √ √
I
Strategi Perencanaan :
1. 2. 3. II
Evaluasi Faktor Lingkungan Posisi dan Alternatif Strategi Strategi Prioritas Teknis Perencanaan :
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Izin Usaha Pasar Kapasitas/Bahan baku Tenaga kerja/SDM Lokasi Pengembangan produk (Teknik/Teknologi ) Lingkungan Manajemen Pembiayaan :
√ √
Sumber Pembiayaan Resolusi Konflik : Prioritas Resolusi Penyelesaian Konflik Komitmen dan Kelayakan
√
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. III 1. 2. 3. 4
√
Komitmen Stakeholder Dampak/Kelayakan Ekonomi Kelayakan Finansial Evaluasi Model Perencanaan Parameter Penilaian Rule Base / Aturan Penilaian / konsultasi Deskripsi Keputusan
Keterangan:
FAO CLF UND AUS GTG NTS BRW DKP
√
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√
√
√
√
√
√
√ √ √
√
√
√ √ √
√
√
√
√
√
√ √
√ √ √
√
√ √ √ √
√
√
√ √
√ √
√
√
√
√ √
√
√
√
√ √
√ √
√ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√
√
+ √ √ + √ √ + + √
√
√
√
√ √
√
√ √ √ √ √ √ √
- Food and Agricultures Organization, 1972 - Clifton and Fyffe, 1977 - UNIDO, 1978 - Austin, 1981 - Gittinger, 1982 - Nitisemito dan Burhan, 1990 - Brown et.al., 1994 - Dekopin, 1999
Memperhatikan
√ √ √ √ √
√ √
Tabel
1,
terlihat
HSN STY BPP HMG UMR SLD ASP √ +
- Husnan dan Suwarsono, 2000 - Sutojo, 2002 - Balai Penelitian Pengembangan Pertanian, 2002 - Haming dan Basalamah, 2003 - Umar, 2003 - Sulistyadi, 2005 - Agroindustri Sapi Potong - Kajian yang dibahas - Persyaratan yang seharusnya sudah ada
jelas
bahwa
dalam
perencanaan
pengembangan industri selama ini lebih menekankan secara teoritis kepada kelayakan finansial dalam prospektif kepentingan investor, tidak melihat kelangsungan dari pembangunan industri, manfaat dan biaya terhadap perekonomian dan pertimbangan aspek sosial budaya serta evaluasi model sebagai umpan balik dalam perencanaan yang dibangun. Akibatnya dalam pelaksanaan terjadi kendala-kendala,
seperti tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya karena terjadi penyimpangan dan model atau program tidak dapat terlaksana, sehingga tidak tercapai sasaran yang diinginkan dari perencanaan yang dibangun. Di lain pihak Nitisemito dan Burhan (1995) dan Yusdja dan Iqbal (2002) menyatakan bahwa suatu proses pengambilan keputusan untuk dapat diteruskan atau tidak, di samping penekanan kelayakan finansial juga dapat dari sisi kelayakan ekonomi dan mempertimbangkan sosial budaya setempat dalam perencanaan pengembangan agroindustri. Untuk mengurangi terjadinya penyimpangan dari sasaran, pada penelitian ini dirancang evaluasi model perencanaan pada pengembangan agroindustri sapi potong, sehingga dapat mengakomodasikan kepentingan berbagai pihak. Model
perencanaan
dan
evaluasi
perencanaan
pada
pengembangan
agroindustri sapi potong yang dibangun agar memenuhi keinginan berbagai pihak, perlu merancang faktor penting dalam menentukan kriteria setiap elemen model perencanaan pengembangan. Model perencanaan dimulai dengan menganalisa faktor eksternal dan faktor internal lingkungan pengembangan usaha sapi potong, merumuskan strategi dan merancang perencanaan dari aspek teknis, pembiayaan, dan resolusi/penyelesaian konflik serta melakukan kelayakan dan evaluasi terhadap perencanaan dalam model pengembangan agroindustri sapi potong. 7.3.
Strategi Pengembangan Agroindustri Sapi Potong Industri pertanian (agroindustri) di Sumatera Barat memiliki peluang besar
untuk dikembangkan karena Sumatera Barat memiliki keunggulan komparatif dari potensi beberapa komoditi hasil pertanian. Disisi lain, dalam pelaksanaannya terkendala pada beberapa permasalahan, seperti pemanfaatan lahan/tanah ulayat, akses pada sumber pembiayaan, usaha masih skala rumah tangga (mikro), persaingan, mutu, dan ekspor produk mentah. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut perlu disusun rumusan strategi dalam pengembangan agroindustri Sumatera Barat. Perancangan model strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat dilakukan menggunakan pendekatan Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) untuk menentukan prioritas pada penerapan strategi. Prioritas strategi dihasilkan dengan mengaktifkan sistem manajemen basis data rumusan strategi, sistem menajemen basis model, dan sistem menajemen basis pengetahuan pengembangan agroindustri sapi potong. Analisis pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat dilakukan terhadap sejumlah aktor (pengusaha swasta, koperasi, kelompok peternak, pemda
kabupaten/kota, masyarakat setempat, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan daerah); berdasarkan prinsip, yaitu (1) potensi dan pemberdayaan masyarakat dengan kriteria (peran masyarakat perantau, kemampuan dan potensi masyarakat); prinsip (2) kepastian status dan fungsi lahan dengan kriteria (kesepakatan penggunaan lahan/lokasi usaha, kejelasan fungsi dan penggunaan lahan, kesesuaian perencanaan); prinsip (3) ketersediaan sarana dan prasarana dengan kriteria (infrastruktur, sarana tranportasi, sistem dan prosedur informasi); prinsip (4) kejelasan struktur dan fungsi kelembagaan dengan kriteria (kemampuan sumber daya manusia, struktur organisasi, kewenangan dan tanggung jawab); dan beberapa alternatif strategi pembangunan lumbung (kawasan) agroindustri sapi potong, pengembangan usaha kecil dan menengah, pengembangan produk dan pengembangan pasar, peningkatan partisipasi investasi perantau, dan peningkatan mutu ternak dan hasil ternak sapi potong. Untuk mendapatkan prioritas strategi keputusan kelompok dilakukan pengolahan menggunakan metoda Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) melalui masukan data komparasi tiap hirarki dari pendapat para pakar. Hasil verifikasi model Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) berdasarkan keputusan kelompok untuk fokus (1) pola umum pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat menunjukkan bahwa (2) aktor yang berperan menjadi prioritas dalam pengembangan agroindustri, yaitu: 1) pengusaha swasta, 2) koperasi, 3) kelompok peternak, 4) pemda kabupaten/kota, 5) masyarakat setempat, 6) lembaga swadaya masyarakat, dan 7) perusahaan daerah; (3) prinsip dasar yang menjadi urutan prioritas dalam pengembangan agroindustri, yaitu: 1) kepastian status dan fungsi lahan, 2) potensi dan pemberdayaan masyarakat, 3) kejelasan struktur dan fungsi kelembagaan, dan 4) ketersediaan sarana dan prasarana; (4) kriteria berdasarkan urutan prioritas dari prinsip prioritas pertama kepastian status dan fungsi lahan, yaitu: 1) kesepakatan penggunaan lahan/lokasi usaha, 2) kejelasan fungsi dan penggunaan lahan, 3) kesesuaian perencanaan; dan (5) strategi yang dipilih berdasarkan prioritas, yaitu: 1) pengembangan produk dan pasar, 2) peningkatan partisipasi investasi perantau, 3) pengembangan usaha kecil dan menengah, 4) pembangunan lumbung (kawasan) agroindustri sapi potong, 5) peningkatan mutu ternak dan hasil ternak sapi potong. Hasil analisis pengambilan keputusan pemilihan strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat menggunakan pemrograman FUZZY-AHAPE ditampilkan pada Gambar 25. Hasil verifikasi model menunjukkan alternatif strategi yang menjadi prioritas berdasarkan pendapat pakar gabungan adalah strategi pengembangan produk dan
pasar pada kawasan sentra peternakan sapi potong yang menjadi lumbung ternak di Sumatera Barat dengan prinsip adanya kepastian status dan fungsi lahan dan kriterianya, yaitu terjadinya kesepakatan penggunaan lahan/lokasi usaha, sedangkan aktor yang berperan lebih diprioritaskan dalam pengembangan agroindustri sapi potong adalah pengusaha swasta.
Gambar 25. Hasil analisis strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat
Hasil analisis pemilihan strategi prioritas berdasarkan metoda Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) ditunjukkan oleh nilai tertinggi dari pendapat gabungan
pakar.
Prioritas
tertinggi
pada
pemilihan
strategi
pengembangan
agroindustri sapi potong di Sumatera Barat terhadap kriteria adalah strategi pengembangan produk dan pasar ditunjukkan dengan nilai 0,2330. Validasi model dilakukan dengan wawancara kepada Prof. Dr. Ir. Arnim, MS. Hasil wawancara diperoleh bahwa strategi pengembangan produk dan pasar cukup sesuai dan dapat diterapkan dalam pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Metode Fuzzy-AHP yang digunakan dalam pengolahan data untuk penetapan strategi pengembangan agroindustri sapi potong merupakan metode baru yang memudahkan bagi pakar dalam melakukan penilaian, berbeda dengan metode AHP, dimana menilai dengan angka-angka dan cukup membingungkan sewaktu pengisian kuisioner. Hirarki hasil analisis pengambilan keputusan pemilihan strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat secara rinci disajikan pada Gambar 26.
Wawancara untuk validasi model juga dilakukan kepada Djaswir Loewis (Sekretaris Gabungan Pengusaha Ekspor Impor Cabang Padang). Hasil wawancara diperoleh bahwa strategi pengembangan produk dan pasar untuk produk agroindustri sapi potong sangat cocok diterapkan di Sumatera Barat. Hasil wawancara diketahui bahwa salah satu produk industri makanan yang berasal dari Sumatera Barat, yaitu “rendang” telah dipatenkan dan diekspor oleh negara tetangga Malaysia dengan nama “rendang padang” dan produk agroindustri sapi potong dari Sumatera Barat selain rendang yang dapat dikembangkan dan telah diekspor ke Singapura sejak tahun 1995 adalah “dendeng kering”, sehingga strategi pengembangan produk dan pasar yang terpilih sesuai untuk produk hasil sapi potong.
Pola Umum Pengembangan Agroindustri Sapi Potong di Sumatera Barat
Fokus
1.0000
Strategi :
Koperasi
LSM
Kelompok Peternak
Masyarakat Setempat
Pemda (Kab/Kota)
0,0645
0,3150
0,2430
0,0690
0,1322
0,0880
0,0883
Kewenangan dan Tanggung Jawab
0,2031
Struktur Organisasi
0,1883
Kemampuan SDM
0,3180
Sarana Transportasi
0,2905
Infrastruktur
Kejelasan Struktur dan Fungsi Kelembagaan
Sistem dan Prosedur Informasi
Ketersediaan Sarana dan Prasarana
Kesepakatan Penggunaan Lahan
Kepastian Status dan Fungsi Lahan
Kejelasan Fungsi dan Penggunaan
Potensi dan Pemberdayaan Masyarakat
Kesesuaian Perencanaan
Kriteria :
Pengusaha Swasta
Kemampuan dan Potensi Masyarakat
Prinsip :
Perusahaan Daerah
Peran Masyarakat Perantau
Pelaku (Aktor) :
0,2026
0,0879
0,0878
0,0895
0,1407
0,0344
0,0849
0,0691
0,1004
0,0745
0,0282
Pembangunan Lumbung (Kawasan) AI Sapi Potong
Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah
Pengembangan Produk dan Pasar
Peningkatan Partisipasi Investasi Perantau
Peningkatan Mutu Ternak dan Hasil Ternak Sapi Potong
0,1971
0,2140
0,2330
0,2282
0,1276
Gambar 26. Hirarki strategi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat
7.4.
Perencanaan Pengembangan Agroindustri Sapi Potong Model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera
Barat terdiri atas beberapa aspek, yaitu: aspek teknis, sumber pembiayaan, dan resolusi konflik yang terjadi. Hasil penilaian agregatif dilakukan dengan mengaktifkan sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis model dan sistem manajemen basis pengetahuan. 7.4.1. Teknis Perencanaan Aspek teknis yang di disain dalam model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong terdiri atas beberapa submodel, yaitu (1) submodel kelayakan pasar, (2) submodel pengembangan produk, (3) submodel lokasi pengembangan, (4) submodel perencanaan produksi. A. Kelayakan Pasar Pengembangan peternakan sapi potong terutama ditujukan untuk peningkatan populasi dan produksi ternak yang mampu menyediakan protein hewani berupa daging dan bahan baku industri hasil ternak sapi potong. Daging merupakan salah satu produk utama hasil ternak sapi potong. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, permintaan akan kebutuhan daging sapi sebagai sumber protein hewani untuk konsumsi atau olahan (pengawetan) cenderung terus meningkat. Prospek produk agroindustri sapi potong utama berupa daging sangat dipengaruhi oleh fluktuasi permintaan pasar domestik dan pasar luar negeri. Proses prediksi dilakukan dengan mengaktifkan data kelayakan pasar, yaitu permintaan dan potensial pasar. Data permintaan total produk utama hasil ternak daging sapi 13 periode dengan inisialisasi tahun 1993 dihasilkan dari masukan data sekunder Statistik Peternakan Tahun 1993 – 2005 dari Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat (1994-2006), yakni: (1) data konsumsi per kapita per tahun produk utama hasil ternak daging sapi, (2) data jumlah konsumen produk. Data permintaan total daging sapi berdasarkan jumlah konsumen dan konsumsi per kapita disajikan pada Tabel 2. Data permintaan total yang dihasilkan dari Tabel 2 dilakukan prediksi dengan program SAS. Pada Tabel 2 terlihat bahwa permintaan trotal daging sapi untuk kebutuhan konsumsi 1993-2005 cenderung meningkat setiap tahunnya. Permintaan total produk utama hasil ternak daging sapi per tahun dihitung menggunakan pendekatan sisi permintaan (demand) berdasarkan kebutuhan per kapita per tahun terhadap jumlah konsumen pengguna produk (Nitisemito dan Burhan, 1995). Data permintaan produk
yang diprediksi adalah permintaan total produk tahun 1993 sampai tahun 2005. Permintaan total produk merupakan jumlah kebutuhan produk yang dikonsumsi, yaitu hasil perkalian dari jumlah produk yang konsumsi dengan jumlah konsumen setiap tahunnya. Pengolahan data dilakukan berdasarkan metoda prediksi dengan pendekatan time series. Beberapa model prediksi yang digunakan pada penelitian adalah: 1) Exponential Smoothing Method (EXPO); 2) Stepwise Autoregressive Method (STEPAR); dan 3) Winters Exponentially Smoothed Trend-Seasonal Method (WINTERS) (Sitepu dan Sinaga, 2006).
Tabel 2. Permintaan total daging sapi berdasarkan jumlah konsumen dan konsumsi di Sumatera Barat
Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Jumlah Konsumen/ Pengguna (orang)
Konsumsi per Kapita (kg/tahun)
Permintaan Total (kg)
4.162.563 4.071.498 4.270.517 4.359.805 4.426.893 4.492.986 4.557.383 4.605.548 4.285.954 4.272.970 4.339.423 4.406.910 4.560.453
1,273 1,395 1,337 1,315 1,217 1,244 1,239 1,598 1,507 1,435 1,701 1,869 1,962
5.298.943 5.679.740 5.709.681 5.733.144 5.387.529 5.589.275 5.646.598 7.359.666 6.458.933 6.131.712 7.381.359 8.236.515 8.947.609
Sumber: Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat Tahun 1993-2005
Metode STEPAR mengkombinasikan kecenderungan waktu (time trend) dengan model autoregressive dan menggunakan metoda stepwise untuk memilih lag yang digunakan pada proses autoregressive, metode EXPO menghasilkan peramalan kecenderungan waktu, tetapi dalam trend yang tepat, parameter-parameter diijinkan untuk dirubah secara berangsur-angsur dari waktu ke waktu. Dengan pengamatan awal yang diberikan pembobot secara eksponensial menurun, sedangkan metode WINTERS merupakan metode yang mengkombinasikan kecenderungan waktu dengan faktor perkalian musiman dalam menghitung fluktuasi musiman series. Metoda ini juga diijinkan untuk merubah parameter secara berangsur-angsur dari waktu ke
waktu, dengan pengamatan awal yang diberikan pembobot secara eksponensial secara eksponensial menurun. Beberapa model prediksi dilakukan, tetapi analisis kelayakan pasar terhadap permintaan total (DEMD) produk yang ditentukan dari jumlah kebutuhan produk yang dikonsumsi (hasil perkalian dari jumlah produk yang konsumsi dan jumlah konsumen) setiap tahun menunjukkan bahwa nilai prediksi dengan Stepwise Autoregressive Method (STEPAR) terhadap variabel jumlah konsumen dan jumlah konsumsi produk mempunyai tingkat kesalahan paling kecil, yakni dengan MAE = 538938.48; RMSE = 663938,9; dan MSE = 4.41E11 merupakan model terbaik dibanding beberepa model prediksi lain. Pengolahan data berdasarkan metoda prediksi time series pada model prediksi Exponential Smoothing Method (EXPO) menghasilkan nilai prediksi dengan tingkat kesalahan lebih besar, yakni dengan tingkat kesalahan MAE = 727950.08; RMSE = 989448.1; dan MSE = 9.79E11. Hasil pengolahan dengan Winters Exponentially Smoothed Trend-Seasonal Method (WINTERS)
juga dihasilkan nilai prediksi permintaan total dengan tingkat
kesalahan lebih besar, yakni dengan tingkat kesalahan MAE = 554260.81; RMSE = 797312.5; dan MSE = 6.36E11. Perbandingan analisa statistik dari beberapa metode prediksi terhadap jumlah konsumen (user) ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil verifikasi analisa statistik prediksi permintaan total daging sapi di Sumatera Barat Analisis Statistik No
Metode Prediksi
ME
MAE
MPE
MAPE
RMSE
MSE
1.
Eksponential Smoothing Method (expo)
-477805.1
727950.08
-6.9875
10.95
989448.1
9.79E11
2.
Stepwise Autoregressive Method (Stepar)
-1.433E-9
538938.48
-0.7377
8.46
663938.9
4.41E11
3.
Winters Exponentially Smoothed TrendSeasonal Method (winters)
222965.82
554260.81
2.0750
7.89
797312.5
6.36E11
Keterangan: MSE = Mean squared error (Nilai tengah kesalahan kuadrat) RMSE = Root mean squared error (Nilai tengah kesalahan akar kuadrat) MAPE = Mean absolute percentage error (Nilai tengah kesalahan persentase absolut) MPE = Mean percentage error (Nilai tengah kesalahan persentase) MAE = Mean absolute error (Nilai tengah kesalahan absolut) ME = Mean error (Nilai tengah kesalahan)
Perbandingan analisa statistik dilakukan juga dengan tiga metode prediksi. Perbandingan analisa statistik dari jumlah ketersediaan produk (POTS) ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil verifikasi analisa statistik prediksi ketersediaan daging sapi di Sumatera Barat Analisis Statistik No
Metode Prediksi
ME
MAE
MPE
MAPE
RMSE
MSE
1.
Eksponential Smoothing Method (expo)
-23695.66
53616.16
-8.0675
14.81
73526.42
5.41E9
2.
Stepwise Autoregressive Method (Stepar)
4.03E-11
45028.42
-2.4971
12.45
63512.40
4.03E9
3.
Winters Exponentially Smoothed Trend-Seasonal Method (winters)
25948.79
58970.93
4.18467
15.57
78960.54
6.23E9
Keterangan: MSE = Mean squared error (Nilai tengah kesalahan kuadrat) RMSE = Root mean squared error (Nilai tengah kesalahan akar kuadrat) MAPE = Mean absolute percentage error (Nilai tengah kesalahan persentase absolut) MPE = Mean percentage error (Nilai tengah kesalahan persentase) MAE = Mean absolute error (Nilai tengah kesalahan absolut) ME = Mean error (Nilai tengah kesalahan)
Analisis kelayakan pasar terhadap ketersediaan (POTS) daging sapi
yang
ditentukan dari jumlah produksi dan permintaan total daging sapi (hasil pengurangan dari jumlah produksi yang dihasilkan dengan permintaan total) setiap tahun menunjukkan bahwa nilai prediksi dengan Stepwise Autoregressive Method (STEPAR) terhadap variabel jumlah konsumen dan jumlah konsumsi produk mempunyai tingkat kesalahan paling kecil, yakni dengan MAE = 45028.42; RMSE = 63512.40; dan MSE = 4.03E9 merupakan model terbaik dibanding beberepa model prediksi lain. Pengolahan data berdasarkan metoda prediksi time series pada model prediksi Exponential Smoothing Method (EXPO) menghasilkan nilai prediksi dengan tingkat kesalahan lebih besar, yakni dengan tingkat kesalahan MAE = 53616.16; RMSE = 73526.42; dan MSE = 5.41E9. Hasil pengolahan dengan Winters Exponentially Smoothed Trend-Seasonal Method (WINTERS)
juga dihasilkan nilai prediksi permintaan total dengan tingkat
kesalahan lebih besar, yakni dengan tingkat kesalahan MAE = 58970.93; RMSE = 78960.54; dan MSE = 6.23E9. Hasil prediksi permintaan produk dengan Stepwise Autoregressive Method (STEPAR) untuk Tahun 2009 – 2025 ditunjukkan pada Tabel 5. Hasil prediksi tahun
2009 sampai 2025 peningkatan permintaan total daging sapi pada Tabel 5 terlihat semakin jelas seiring dengan pertambahan jumlah konsumen atau pengguna. Tabel 5. Hasil verifikasi model prediksi permintaan total daging sapi di Sumatera Barat Tahun
Prediksi Permintaan (Kg)
2009
8.981.124,50
2010
9.236.462,33
2011
9.491.800,16
2012
9.747.137,99
2013
10.002.475,82
2014
10.002.475,82
2015
10.513.151,48
2016
10.768.489,31
2017
11.023.827,14
2018
11.279.164,97
2019
11.534.502,80
2020
11.789.840.63
2021
12.045.178,46
2022
12.300.516,29
2023
12.555.854,13
2024
12.811.191.96
2025
13.066.529.79
Verifikasi model prediksi terbaik digunakan berdasarkan hasil analisa statistik dari beberapa metode prediksi adalah Stepwise Autoregressive Method (Stepar), dimana variabel jumlah konsumen dan jumlah konsumsi produk mempunyai tingkat kesalahan paling kecil, yaitu dengan MAE = 538938.48; RMSE = 663938,9; dan MSE = 4.41E11. Validasi model nyata dilakukan melalui wawancara kepada Prof. Dr. Ir. Arnim, MS (Dosen Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang) dan Drh. Erinaldi (Dinas Peternakan Sumatera Barat) yang memberikan gambaran kebenaran kebutuhan akan permintaan produk utama hasil ternak sapi berupa daging sapi di Sumatera Barat yang cenderung meningkat, begitu pula pemotongan sapi, produksi dan konsumsi daging di Propinsi Sumatera Barat menunjukkan peningkatan setiap tahunnya.
B. Perencanaan Pengembangan Produk Agroindustri Sapi Potong Pengembangan produk dari hasil sapi potong saat ini belum berkembang secara optimal. Hasil ternak sapi potong untuk ekspor masih berupa bahan baku yang belum diolah menjadi produk hilir, sehingga nilai tambah terbesar belum dapat diperoleh di dalam negeri. Hal ini terlihat dari ekspor produk dan hasil ternak sapi potong berupa ternak hidup, kulit, tulang dan tanduk. Menurut Sudarjat (2002) peningkatan ekspor ternak dan hasil ternak Indonesia belum dalam bentuk produk hilir, tetapi karena karena penerapan keamanan maksimum terhadap beberapa penyakit ternak dan Harmonized System dan Standard International Trade Classification (HS dan SITC) dari hasil ternak. Produk agroindustri sapi potong dikaji dari pohon industri cukup luas untuk dapat dikembangkan. Sapi potong sebagai penghasil utama daging dan jeroan, hasil ikutannya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan produk pangan dan non pangan. Produk utama hasil ternak sapi potong adalah daging dan jeroan. Produk sampingnya adalah kulit, lemak, tulang, tanduk, darah, lidah dan otaknya, sedangkan limbahnya berupa isi rumen dan kotoran. Daging sapi dapat dilakukan proses pengolahan dan pengawetan dalam industri. Pengolahan daging sapi untuk produk makanan dan hidangan siap saji yang dihasilkan melalui proses pengolahan adalah daging lumat, ekstrak/esense daging dan daging potongan. Produk dan hasil olahan daging sapi dapat disimpan tahan lama jika dilakukan proses pengawetan melalui proses pendinginan, irradiasi dan pengeringan. Bagian hasil sapi potong yang dimanfaatkan dan diolah dapat dikelompokkan ke dalam empat produk industri, yaitu produk industri makanan, industri kulit, industri pakan dan produk industri pupuk. Produk industri makanan berasal dari olahan bahan baku daging, jeroan, kulit, lidah dan otak sapi. Produk industri kulit berasal olahan kulit, yakni: kulit kalf atau kulit halus/ringan, kulit berat, kulit samak/berbulu, dan kulit perkamen. Produk industri pakan berupa tepung darah, tepung jeroan dan tepung tulang dihasilkan dari darah, jeroan, dan tulang sapi. Kotoran dan isi rumen sapi dijadikan sebagai bahan baku industri pupuk. Dari berbagai produk yang dihasilkan sapi potong baik dari hasil utama daging dan jeroan maupun dari hasil sampingnya, berdasarkan hasil survey dan diskusi dengan pakar di bidang peternakan, diidentifikasi 10 jenis alternatif produk agroindustri sapi potong yang sesuai dan dapat dikembangkan di Sumatera Barat. Produk-produk agroindustri sapi potong yang dapat dikembangkan di Sumatera Barat terbagi ke dalam 4 (empat) kelompok produk industri yang berbeda,
yakni: (1) produk industri makanan; (2) produk industri kulit; (3) produk industri pakan; dan (4) produk industri pupuk. Produk dari industri makanan yang dipilih dan sesuai dikembangkan, yaitu 1) sosis, 2) bakso dan 3) abon. 4) rendang; 5) dendeng kering; 6) kerupuk kulit. Produk pengawetan kulit dalam industri kulit adalah 1) kulit lapis dan 2) kulit sol. Produk dari industri pakan berupa produk olahan dari tulang sapi yaitu tepung tulang dan 10) produk dari kelompok industri pupuk, yakni pupuk kandang. Pemilihan produk agroindustri dalam model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong, dikembangkan sesuai dengan strategi yang dihasilkan, yaitu strategi pengembangan produk dan pasar produk agroindustri sapi potong. Model perencanaan produk agroindustri yang dibangun berdasarkan pada beberapa kriteria dari berbagai alternatif produk hasil sapi potong. Analisis berdasarkan
pengembangan
kriteria:
potensi
produk pasar,
agroindustri lokasi,
bahan
sapi baku,
potong sarana
dilakukan produksi,
aksesibilitas, dukungan pemerintah, gangguan dan pencemaran lingkungan, peralatan dan alat (teknologi penunjang), dan sumberdaya manusia terhadap produk yang dipilih dan direkomendasikan sebagai pilihan alternatif produk (sosis, bakso, abon, dendeng kering, rendang, kerupuk kulit, kulit lapis, kulit sol, tepung tulang, dan pupuk kandang). Model pengembangan dan pemilihan produk agroindustri sapi potong menggunakan metoda perbandingan eksponensial (MPE). Menurut Marimin (2004) penggunaan MPE dapat menghasilkan nilai alternatif dengan perbedaan yang lebih kontras dari alternatif keputusan yang sulit dibedakan. Metoda ini mempunyai keuntungan untuk mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis. Model pemilihan pengembangan produk agroindustri sapi potong dilakukan dengan mengaktifkan sistem manajemen basis data pengembangan produk, sistem manajemen basis model pengembangan produk, dan sistem manajemen basis pengetahuan pengembangan produk. Hasil verifikasi model menunjukkan alternatif produk agroindustri sapi potong yang dipilih dikembangkan di Sumatera Barat berdasarkan kriteria yang dipilih hasil pendapat pakar adalah dendeng kering. Hasil analisis pemilihan produk agroindustri sapi potong berdasarkan metoda perbandingan eksponensial (MPE) ditunjukkan oleh nilai skor tertinggi dari pendapat gabungan. Skor tertinggi yang menunjukkan rangking pertama pada pemilihan produk pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat terhadap kriteria adalah dendeng kering dengan nilai skor secara eksponensial sebesar 24.022.669,82. Hasil analisis pemilihan produk agroindustri sapi potong berdasarkan pendapat pakar gabungan ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil verifikasi pengolahan metoda perbandingan eksponensial pemilihan produk agroindustri sapi potong
Keterangan kriteria: A. Potensi pasar, B. Lokasi, C. Bahan baku, D. Sarana produksi, E. Aksesibilitas,
F. Dukungan pemerintah, G. Gangguan dan pencemaran lingkungan, H. Peralatan dan alat (teknologi penunjang), I. Sumberdaya manusia.
Dendeng kering sesuai dan cocok dikembangkan di Sumatera Barat. Dendeng kering umumnya dihasilkan dari Kabupaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota, dan Kabupaten Solok. Validasi model dilakukan dengan cara wawancara kepada Ir. Fuad Madarisa, MSc (Ketua Tim Konsultan Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Sumatera Barat). Hasil wawancara tersebut menyatakan bahwa pengembangan industri dendeng kering sesuai dengan rencana pola pemanfaatan ruang dan struktur ruang untuk industri di Sumatera Barat. Dendeng kering dari hasil usaha rumah tangga (mikro) dan industri kecil merupakan salah satu produk industri makanan yang dikembangkan sesuai dengan pola pemanfaatan ruang dan struktur ruang dalam penyusunan kawasan sentra peternakan sapi potong di Sumatera Barat khususnya untuk pengembangan industri kecil. Industri makanan yang berkembang lainnya merupakan industri berasal dari hasil tanaman pangan (kerupuk sanjai, kerupuk ubi, aneka makanan dari jagung) dan
dari hasil ternak sapi potong (aneka makanan sate, dendeng, rendang, kerupuk kulit, dan aneka kerajinan kulit untuk bahan tas, sepatu), serta industri pakaian jadi. Pengembangan agroindustri dendeng kering sesuai dengan perencanaan pola pemanfaatan ruang dan struktur ruang kawasan sentra produksi khususnya di Agam bagian Timur sebagai pengembangan produk hasil pengolahan industri makanan (Bappeda Propinsi Sumatera Barat, 2000). Hasil wawancara dengan Daswilza, SP, MM (Kepala Seksi Usaha Kecil Menengah, Dinas Koperasi, Industri dan Perdagangan, Kabupaten Agam) menyimpulkan bahwa usaha dendeng kering dan makanan olahan lain dari hasil sapi potong terutama untuk usaha kecil (industri kecil) sesuai dengan program pemerintah Kabupaten Agam sebagai pengembangan industri hilir dari komoditi sapi potong. C. Perencanaan Lokasi Pengembangan Pemilihan
lokasi
pengembangan
agroindustri
sapi
potong
dilakukan
menggunakan metoda faktor peringkat (Factor-Rating Method). Pengambilan keputusan suatu lokasi didasarkan pada rating tertinggi dari skor terbobot gabungan hasil penilaian para pakar. Skor terbobot diperoleh berdasarkan urutan tingkat kepentingan setiap faktor/kriteria dan skala faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi pengembangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi pengembangan agroindustri, yaitu: (1) kondisi wilayah belakang (hinterland), (2) lokasi strategis, (3) infrastruktur dan teknologi, (4) ketersediaan jaringan utilitas, (5) masalah lingkungan sosial budaya, (6) ketersediaan sumberdaya manusia, (7) jaminan keamanan, (8) pemasok bahan baku, dan (9) kondisi iklim dan topografi. Pemilihan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong ditentukan dari kabupaten yang memiliki kawasan peternakan sapi potong atau lumbung ternak nagari di Sumatera Barat menurut Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat (2002; 2007), yaitu: (1) Kabupaten Lima Puluh Kota, (2) Kabupaten Agam, (3) Kabupaten Swl Sijunjung (Dharmasraya), (4) Kabupaten Tanah Datar, (5) Kabupaten Solok, (6) Kabupaten Padang Pariaman, (7) Kabupaten Pesisir Selatan, dan (8) Kabupaten Pasaman Barat. Deskripsi masing-masing lumbung ternak nagari disajikan pada Lampiran 8. Hasil verifikasi model pemilihan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat menunjukkan bahwa Kabupaten Agam memiliki total nilai skor terbobot terbesar dan peringkat pertama yang merupakan keputusan kelompok hasil penilaian pakar gabungan. Hasil verifikasi model perencanaan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7.
Hasil verifikasi metoda faktor peringkat (factor-rating method) pemilihan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong
Keterangan Kriteria: A. Kondisi wilayah belakang (hinterland) B. Lokasi strategis C. Infrastruktur dan teknologi D. Ketersediaan jaringan utilitas E. Masalah lingkungan sosial budaya F. Ketersediaan sumberdaya manusia G. Jaminan keamanan H. Pemasok bahan baku I. Kondisi iklim dan topografi.
Validasi model pemilihan lokasi pengembangan dilakukan melalui komunikasi kepada Ir. Fuad Madarisa, MSc (Ketua Tim Konsultan Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Sumatera Barat) yang menyimpulkan bahwa wilayah Kabupaten Agam bagian Timur berada pada posisi strategis, memiliki infrastruktur dan ketersediaan jaringan utilitas, dekat dengan pasar perdagangan Sumatera tengah (Sumbar, Riau, Jambi) dan pasar wisata untuk pengembangan bagi industri kecil makanan olahan hasil sapi potong. Wilayah Agam bagian Timur merupakan kawasan sentra produksi (KSP) peternakan sapi potong pada tahun 2000 yang diberi nama KSP Koto Hilalang. Pada KSP Koto Hilalang terdapat kelompok-kelompok peternak sapi potong yang berhasil dalam pengelolaan dan pengembangan kemampuan usaha kelompok dengan pembinaan instansi/dinas terkait. Sebelumnya kawasan pada wilayah Agam bagian Timur ini dijadikan sebagai wilayah organic farming yang
mengintegrasikan pemanfaatan hasil samping pengembangan sapi potong dengan usaha tanaman pangan dan hortikultura. Populasi sapi di Kabupaten Agam tahun 2006 berjumlah 28.763 ekor. Pada kawasan Agam bagian Timur Kabupaten Agam yang terdiri dari Kecamatan IV Angkat Candung, Baso, Tilatang Kamang dan Kecamatan Kamang Magek memiliki konsentrasi populasi sapi lebih banyak dari kecamatan lainnya. Persentase jumlah sapi betina adalah 55,67 persen dari populasi sapi potong. Pemotongan sapi pada tahun 2006 di Kabupaten Agam adalah sebesar 5.856 ekor dengan produksi daging sebesar 1.032.540 Kg. Rumah tangga pemelihara sapi potong sebanyak
11.719
kepala keluarga. Dari realisasi kegiatan inseminasi buatan (IB) pada tahun 2006 di realisasi akseptor Kabupaten Agam, sebanyak 4.266 ekor dari target 6.000 ekor. Realisasi IB sebanyak 5.865 dosis (100 persen dari target) dengan tingkat kelahiran 3.299 ekor. Faktor-faktor yang paling berpengaruh berdasarkan bobot rata-rata hasil penilaian pakar adalah faktor lokasi strategis dan faktor infrastruktur dan teknologi, kemudian diikuti dengan kondisi wilayah belakang (hinterland) dan faktor ketersediaan sumber daya manusia. Pada tahun 2002, lokasi di kawasan Agam bagian Timur Kabupaten Agam menjadikan komoditi sapi potong sebagai bisnis utama dalam pengembangan kawasan agropolitan di Sumatera Barat (Pemerintah Kabupaten Agam, 2002a). Kawasan agropolitan di Kabupaten Agam merupakan kawasan agropolitan yang pertama di Sumatera Barat. Sebagai kawasan peternakan dengan sapi potong yang menjadi produk unggulan, kawasan ini memiliki akses dan utilitas pada fasilitas pendukung untuk pengembangan sapi potong, seperti tersedianya pos inseminasi buatan (IB), petugas inseminator, pemeriksa kebuntingan dan kesehatan dan penyuluh di Kecamatan IV Angkat, Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) di Kecamatan Baso, jaringan telekomunikasi, alat transportasi dengan jalan yang lancar di setiap nagari, sehingga kawasan dijadikan sebagai wilayah pasar bagi produk hasil ternak sapi potong. Usaha pengembangan sapi potong turut mendorong tumbuhnya usaha/industri penyamakan kulit, industri makanan, dan industri pupuk organik. Berdasarkan hasil evaluasi pengembangan pendamping usaha bagi kelompok pengolahan hasil peternakan bahwa Kabupaten Agam (Kecamatan Tilatang Kamang) merupakan konsentrasi pengolahan hasil peternakan sapi potong bagi kelompok usaha dendeng (Dinas Peternakan Propinsi Sumbar, 2006a). Hasil kajian ulang beberapa komoditi untuk profil komoditi unggulan Kabupaten Agam Tahun 2000 (Pemerintah Kabupaten Agam, 2000), komoditi sapi potong dan hasil produk
olahannya ditetapkan sebagai komoditi dan produk unggulan dari sub sektor peternakan di Kecamatan IV Angkat, Candung dan Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam. Industri pengolahan produk hasil sapi potong yang berkembang di kawasan sentra peternakan sapi potong di Kabupaten Agam merupakan usaha dari industri kecil yang masuk ke dalam kelompok industri makanan. Berdasarkan perkembangan industri kecil dari data statistik, jumlah industri kecil di Kabupaten Agam pada tahun 2004 berjumlah 5.535 unit yang tersebar di beberapa kecamatan yang kebanyakan merupakan industri pengolahan makanan. Jumlah industri kecil tersebut meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2000 jumlah industri kecil di Kabupaten Agam sebanyak 5.353 unit, kemudian tahun 2001 meningkat menjadi 5.407 unit. Pada tahun 2002 meningkat lagi menjadi 5.466 unit dan setahun kemudian tahun 2003 meningkat menjadi 5.512 unit. Industri kecil yang tersebar dalam beberapa kecamatan dalam kawasan sentra pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Agam memiliki jumlah yang lebih banyak dibanding kecamatan lain di luar kawasan. Kecamatan-kecamatan yang berada dalam kawasan sentra peternakan sapi potong di Kabupaten Agam tersebut, yakni: Kecamatan IV Angkat memiliki industri kecil sebanyak 1.153 unit, Candung sebanyak 7 unit, Baso memiliki sebanyak 235 unit, Tilatang Kamang sebanyak 577 unit dan Kecamatan Kamang Magek sebanyak 5 unit (BPS Kabupaten Agam, 2004). D.
Perencanaan Kapasitas Produksi Sesuai dengan strategi pengembangan produk dan pasar serta produk
agroindustri sapi potong yang dipilih adalah dendeng kering, maka dirancang pengembangan produk dendeng kering dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku daging sapi. Dalam rancangan, proses pengeringan dendeng kering dilakukan dengan menggunakan oven pengering yang berbahan bakar gas (elpiji), sehingga proses pengeringan dapat lebih cepat dibanding menggunakan sinar matahari. Proyeksi produksi dendeng kering, didasarkan pada perencanaan kapasitas produksi menggunakan pendekatan metoda titik impas/pulang pokok (BEP). Perencanaan kapasitas BEP dipengaruhi oleh biaya variabel per unit, biaya tetap yang dikeluarkan dan harga jual produk per unit. Berdasarkan asumsi kebutuhan daging sapi sebesar 30.000 kg per tahun, membutuhkan biaya variabel untuk pengolahan daging sapi dalam membuat dendeng kering sebesar Rp. 1.604.335.392,per tahun atau sebesar Rp. 53.478,- per kg daging sapi,- Biaya tersebut terdiri dari
biaya bahan baku, biaya bahan tambahan, upah tenaga kerja langsung, gaji pegawai, biaya kemasan dan biaya listrik, air dan telepon. Biaya variabel pengolahan daging sapi menjadi produk dendeng kering disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Biaya variabel produksi dendeng kering No. Komposisi Biaya Variabel 1 2 3 4 5
Bahan baku dan tambahan Upah tenaga kerja langsung Gaji pegawai Kemasan Listrik, air, telepon Total
Jumlah Biaya (Rp) 1.302.585.192 115.200.000 177.000.000 2.512.500 7.037.700 1.604.335.392
Biaya / Kg (Rp) 43.420 3.840 5.900 84 235 53.478
Biaya variabel per unit diperoleh dari biaya variabel dendeng kering per kg yang ditentukan oleh biaya variabel dalam memproduksi dendeng kering sebanyak satu kg. Diketahui rendemen dendeng kering sebesar 35,5% (Gambar 33), artinya untuk menghasilkan setiap kg dendeng kering dibutukan bahan baku sebesar 2,8 kg daging termasuk bumbunya. Rendemen dendeng kering 35,5% diperoleh berdasarkan perhitungan neraca massa dari daging sapi mempunyai kadar air sebesar 72,4%, kadar air campuran daging dan bumbu sebesar 71,6% (Purnomo, 1997) dan kadar air dendeng kering mutu I dan mutu II sebesar 12% (Palupi, 1986; SNI, 1992). Berdasarkan biaya pengolahan per kg daging sapi sebesar Rp. 53.478,- dan untuk menghasilkan setiap kg dendeng kering dibutukan bahan baku daging dan bumbunya sebesar 2,8 kg, diperoleh biaya variabel produksi dendeng kering sebesar Rp.150.642,- setiap kg. Biaya tetap yang dibutuhkan dalam industri dendeng kering sebesar Rp. 85.896.456,- per tahun. Biaya tetap terdiri atas biaya penyusutan, perbaikan dan pemeliharaan, biaya pemasaran yang tetap, dan biaya administrasi yang tetap. Kapasitas produksi BEP industri dendeng kering diperoleh berdasarkan pada kebutuhan biaya variabel per kg dendeng kering sebesar Rp. 150.642,- per kg, biaya tetap sebesar Rp. 85.896.456,- per tahun dan asumsi harga jual BEP dendeng kering sebesar Rp. 157.000,- per kg, dengan menggunakan persamaan (14). Kapasitas produksi BEP diperoleh sebesar 13.509,98 kg dendeng kering, dalam perhitungan dibulatkan menjadi 13.510 kg. Pada kapasitas produksi sebesar 13.510 kg per tahun
perusahaan tidak mengalami kerugian. Hasil perhitungan kapasitas produksi minimal (kapasitas BEP) disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil verifikasi kapasitas produksi titik impas produk dendeng kering
Perencanaan kapasitas produksi yang dirancang berdasarkan pada kapasitas produksi minimal (kapasitas BEP = 13.510 kg), yaitu sebesar 5 persen sampai 20 persen di atas kapasitas BEP dengan pertimbangan ketersediaan bahan baku daging sapi. Kapasitas produksi dendeng kering pada tahun pertama diatur sebesar 5 persen di atas kapasitas BEP (105 persen), tahun ke dua 110 persen, dan tahun ke tiga sampai ke sepuluh dengan kapasitas 120 persen. Pengaturan perencanaan kapasitas produksi dalam program disajikan pada Tabel 10. Perencanaan kapasitas produksi dendeng kering dalam operasional, tahun pertama dirancang 5 persen di atas kapasitas BEP, yaitu sebesar 14.185 kg per tahun. Tahun ke dua 10 persen di atas kapasitas BEP, yaitu sebesar 14.861 kg per tahun. Tahun ke tiga sampai tahun ke dua puluh kapasitas terpasang sebesar 20 persen di atas kapasitas produksi BEP, yakni sebesar 16.212 kg per tahun.
Tabel 10.
Proyeksi perencanaan produksi dendeng kering
kapasitas
E. Pembiayaan Pengembangan Agroindustri Perkiraan sumber pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat menggunakan metoda Fuzzy investment model dengan kaidah logika fuzzy semi numerik. Pengambilan keputusan didasarkan pada rata-rata dari sensor agregasi dari hasil defuzzifikasi agregasi penilaian pakar setelah melalui proses fuzzifikasi dan fuzzy komputasi. Penilaian pakar menggunakan nilai label linguistik (kualitatif), yaitu: Sangat Tinggi (ST), Tinggi (T), Sedang (S), Rendah (R), Sangat Rendah (SR). Nilai selang label lingusitik (nilai fuzzy) antara 0 sampai 200, yaitu: SR = 0 – 40; R = 30 – 80; S = 70 – 120; T =110 – 160; ST = 150 – 200, sedangkan bobot derajat keanggotaannya, yaitu: SR = 0,0 – 0,2; R = 0,1 – 0,4; S = 0,3 – 0,6; T = 0,5 – 0,8; ST = 0,7 – 1,00. Verifikasi model perkiraan pemilihan pembiayaan dalam pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat berdasarkan penilaian pakar gabungan menghasilkan perbankan konvensional menduduki skala Tinggi (T) sebagai sumber pembiayaan dengan nilai hasil defuzzifikasi sebesar 144,44. Hasil verifikasi model pemilihan sumber pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat, ditunjukkan pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil verifikasi model pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong
Keterangan Alternatif Pembiayaan: 1. Perbankan Konvensional 2. Perbankan Syariah 3. Bagi Hasil Saduoan (Dipasaduoaan).
Validasi model pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong dilakukan melalui wawancara kepada H. Masni Arifin (Direktur Utama Bank Perkreditan Rakyat (BPR) / Lumbung Pitih Nagari (LPN) Panampung) Kecamatan IV Angkat Candung Kabupaten Agam menyatakan bahwa sistem kredit perbankan konvensional masih sering digunakan kreditor karena prosesnya relatif lebih mudah dan praktis serta jangkauannya menyentuh masyarakat nagari dalam batas wilayah pemerintahan nagari. Program pemerintah dalam mengembangkan usaha peternakan sapi sampai saat ini masih menggunakan fasilitas perbankan konvensional dalam memfasilitasi pemberian
kredit
seperti
dalam
penyaluran
dana
investasi
perantau
bagi
pengembangan peternakan sapi potong dan pemberian kredit modal usaha kepada peternak sapi dilakukan melalui kredit perbankan konvensional dengan bunga kredit sebesar 6 persen per tahun dan waktu pengembalian selama 2 x 18 bulan atau selama 3 tahun (Noer-TA, 2002). Kredit perbankan konvensional di BPR Panampung Kabupaten Agam untuk pengembangan ternak sapi potong diberikan dalam bantuan tambahan modal pembelian sapi bibit yang dimulai sejak tahun 2000 pada implementasi pembentukan kawasan sentra produksi Koto Hilalang Kabupaten Agam
dan berkembang penyalurannya sampai tahun 2006 kepada kelompok-kelompok peternak sapi potong. Pemberian kredit dalam pengembangan kawasan sentra produksi peternakan dan pengembangan kawasan terpadu dalam bidang peternakan di Sumatera Barat pada tahun 2000 sebesar Rp. 650.000.000,- (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Sumbar, 2001). Pemerintah Kabupaten Agam pada Tahun Anggaran 2001 memberikan bantuan kredit modal lanjutan dalam pengembangan kawasan sentra
produksi
peternakan
sapi
potong
sebesar
Rp.
145.000.000,-
yang
penyalurannya bekerjasama dengan Bank Perkreditan Rakyat/LPN Panampung IV Angkat kepada kelompok peternak sapi potong (Noer-TA, 2002). 7.4.2. Resolusi Konflik Pengembangan Agroindustri Sapi Potong A.
Prioritas Resolusi Perancangan model resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di
Sumatera Barat yang kemungkinan akan terjadi atas pemanfaatan aset ulayat dilakukan
menggunakan
pendekatan
Fuzzy-AHP
untuk
menentukan
prioritas
penyelesaian. Prioritas resolusi dihasilkan dengan mengaktifkan sistem manajemen basis data resolusi konflik, sistem menajemen basis model, dan sistem menajemen basis pengetahuan resolusi konflik dalam pengembangan agroindustri sapi potong. Analisis resolusi konflik dalam perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat dilakukan berdasarkan beberapa hal yang menjadi faktor penentu (perundingan di luar pengadilan, kesepakatan yang disyahkan oleh pengadilan, kesediaan industri memberikan sebagian keuntungannya, kejelasan pembagian hak dan kewajiban dalam pengelolaan aset adat, kesepakatan pembagian saham di dalam kaum dan industri, terjadi komunikasi yang baik antara mamak dan keponakan); dengan aktor/pelaku (pemerintahan nagari, kerapatan adat nagari, ninik mamak dalam kaum, pengadilan negeri, pihak industri atau pengelola aset/tanah ulayat, pemegang otoritas aset adat/tanah ulayat); dan beberapa alternatif penyelesaian/resolusi
(penyelesaian
konflik/kompromi
dan
mufakat
di
luar
pengadilan, kesepakatan tertulis yang disyahkan oleh pengadilan negeri, kompensasi atau kesediaan industri memberikan sebagian keuntungannya, menggunakan prinsip” adat diisi limbago dituang”, tukar guling penggunaan aset ulayat, kesesuaian pembagian saham di dalam kaum). Hasil analisis pengambilan keputusan prioritas resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat berdasarkan pemrograman FUZZY-AHAPE ditampilkan pada Gambar 27.
Metoda Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) digunakan dalam pengolahan data untuk mendapatkan prioritas resolusi (penyelesaian) konflik keputusan kelompok melalui masukan data komparasi tiap hirarki dari para pakar. Hasil verifikasi model Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) berdasarkan keputusan kelompok untuk fokus pada pola umum model resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat menunjukkan, bahwa faktor penentu yang menjadi prioritas penyelesaian konflik dalam pengembangan agroindustri, yaitu: 1) kesepakatan pembagian saham di dalam kaum dan industri, 2) kejelasan pembagian hak dan kewajiban dalam pengelolaan aset adat, 3) terjadi komunikasi yang baik antara mamak dan keponakan, 4) kesediaan industri memberikan sebagian keuntungannya, 5) perundingan di luar pengadilan, 6) kesepakatan yang disyahkan oleh pengadilan.
Gambar 27. Hasil analisis prioritas resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat
Aktor yang berperan menjadi urutan prioritas penyelesaian terjadinya konflik dalam pengembangan agroindustri, yaitu: 1) ninik mamak dalam kaum yang bersangkutan, 2) pemegang otoritas aset adat/tanah ulayat, 3) kerapatan adat nagari (KAN), 4) pihak industri atau pengelola aset/tanah ulayat, 5) pemerintahan nagari, 6) pengadilan negeri; dan resolusi/penyelesaian konflik yang dipilih berdasarkan prioritas, yaitu: 1) kesesuaian pembagian saham di dalam kaum, 2) mengunakan prinsip” adat diisi limbago dituang”, 3) kompensasi atau kesediaan industri memberikan sebagian keuntungannya, 4) penyelesaian konflik/kompromi dan mufakat di luar pengadilan, 5) kesepakatan tertulis yang disyahkan oleh pengadilan negeri, 6)
tukar guling penggunaan aset ulayat. Hirarki resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ditunjukkan pada Gambar 28. Hasil verifikasi model menunjukkan alternatif resolusi/penyelesaian konflik yang menjadi prioritas berdasarkan pendapat pakar gabungan adalah kesesuaian pembagian saham di dalam kaum dan industri, dengan pelaku/aktornya adalah ninik mamak dalam kaum yang bersangkutan berdasarkan faktor penentu kesepakatan pembagian saham di dalam kaum dan industri. Hasil analisis pemilihan prioritas resolusi/penyelesaian konflik berdasarkan metoda Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP) ditunjukkan oleh nilai tertinggi dari pendapat gabungan pakar. Dengan adanya kesepakatan pembagian saham dengan pihak industri, prioritas tertinggi pada pemilihan
resolusi
konflik
dalam
penggunaan
lahan
(tanah
ulayat)
pada
pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat adalah kesesuaian pembagian saham di dalam kaum dengan nilai 0,3290. Model Pola Umum Resolusi Konflik Stakeholders Pengembangan Agroindustri Sapi Potong di Sumatera Barat 1,0000
Fokus :
Faktor penentu :
Pelaku (Aktor) :
Resolusi :
Perundingan diluar pengadilan 0,0747
Kesepakatan yang disyahkan pengadilan 0,0387
Pemerintahan Nagari 0,1166
Kerapatan Adat Nagari (KAN) 0,1442
Penyelesaian konflik diluar Pengadilan (kompromi dan mufakat) 0,1191
Kesepakatan tertulis yang disyahkan pengadilan negeri 0,1028
(4)
(5)
Kesediaan industri memberikan sebagian keuntungan nya 0,1455
Ninik Mamak dalam kaum 0,2447
Kompensasi /Kesediaan pihak industri memberikan sebagian keuntungannya 0,1421
Kejelasan pembagian hak dan kewajiban dalam pengelolaan aset adat 0,1859
Pengadilan Negeri 0,1051
Mengunakan prinsip “Adat Diisi Limbago Dituang” 0,2035
(2)
Kesepakatan pembagian saham didalam kaum dan industri 0,3793
Pihak Industri/ Pengelola Aset (Tanah Ulayat) 0,1456
Tukar guling penggunaan aset adat 0,1011
(6)
Terjadi komunikasi yang baik antara mamak dan kemenakan 0,1759
Pemegang otoritas aset adat (Tanah Ulayat) 0,2438
Kesesuaian pembagian saham di dalam kaum 0,3314
(1)
(3)
Gambar 28. Hirarki resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat
Validasi model dilakukan dengan melakukan wawancara kepada Djaswir Loewis (Sekretaris Gabungan Pengusaha Ekspor Impor (GPEI) Cabang Padang) dan
Drs. Bachzan Tidor Dt. Bandaro (Penghulu Kaum Suku Caniago, Nagari Guguk Solok) yang menyatakan bahwa keikutsertaan peternak/petani dalam pemanfaatan lahan (tanah ulayat) oleh industri adalah dengan memberikan saham kepemilikan sesuai dengan nilai dari aset mereka selama dipakai. Pembagian saham berdasarkan kepada kesepakatan antara pengelola dan pemegang hak ulayat. Apabila terjadi persoalan di dalam suatu kaum atas sesuatu hal dan menjadi perselisihan (pembagian saham di dalam kaum), maka persoalan tersebut terlebih dahulu diselesaikan olah kaum yang bersangkutan. B. Resolusi Konflik Penyelesaian (resolusi) konflik antara pemegang hak dengan pengelola (industri) atas pemanfaatan tanah/lahan ulayat yaitu adanya kesepakatan untuk keikutsertaan pemegang hak ulayat dalam memiliki saham dalam pembangunan industri. Besarnya nilai kepemilikan saham ditentukan oleh besarnya nilai lahan/tanah ulayat yang digunakan dalam pembangunan industri. Hasil kesepakatan diperoleh nilai per meter lahan/tanah ulayat adalah Rp. 100.000,- antara pihak industri dan pemegang hak ulayat. Pemegang hak ulayat dengan lahan atau tanah yang dimiliki seluas 400 M2, memiliki nilai saham yang sebesar Rp. 40.000.000,- atau 16,97 % dari total modal perusahaan sebesar Rp. 235.713.180,- sedangkan nilai saham pengelola lahan/tanah ulayat/investor (pihak industri) sebesar 83,03 % dari total modal perusahaan atau sebesar Rp. 195.713.180,-. Bagi hasil usaha diperoleh setiap tahun setelah perusahaan mendapatkan keuntungan berdasarkan persentase kepemilikan saham dari laba bersih yang dihasilkan selama perusahaan berjalan. 7.4.3. Komitmen stakeholders Pengembangan agroindustri sapi potong sangat tergantung dari usaha peternakan sapi potong dalam persediaan bahan baku. Rencana pengembangan agroindustri sapi potong terlihat dari komitmen stakeholders dalam pengembangan peternakan sapi potong. Analisis model komitmen stakeholders dengan metoda MultiExpert Multi-Criteria Decision Making (ME-MCDM) digunakan dalam penilaian perkiraan komitmen dari pemerintah daerah, pelaku bisnis, dan masyarakat (stakeholders) terhadap perkembangan lumbung ternak dan rangka pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat.
Metoda
fuzzy
ME-MCDM
merupakan
metoda
analisis
non
numerik.
Pengambilan keputusan didasarkan pada evaluasi hasil perhitungan agregasi kriteria dan agregasi pakar terhadap alternatif keputusan. Penilaian oleh pakar menggunakan nilai label linguistik, yaitu: ST = Sangat Tinggi, T = Tinggi, S = Sedang, R = Rendah, SR = Sangat Rendah. Hasil verifikasi model penilaian komitmen stakeholders pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ditampilkan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil verifikasi model komitmen stakeholder pengembangan agroindustri sapi potong
Keterangan alternatif komitmen: 1. Pengembangan kawasan sentra peternakan sapi potong 2. Pengembangan unit usaha kecil 3. Pelayanan kebutuhan sarana dan sumberdaya manusia 4. Penyerahan kewenangan ke kab/kota dalam mempercepat pembangunan peternakan.
Verifikasi model perkiraan penilaian komitmen stakeholders pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat berdasarkan nilai agregasi kriteria-pakar gabungan, diperoleh komitmen pengembangan unit usaha kecil lebih tinggi dari alternatif lain. Validasi model penilaian komitmen dilakukan melalui wawancara kepada Ir. Afriadi Laudin, MSi (Kepala Biro Perekonomian Sekretariat Daerah Sumatera Barat) menyatakan langkah-langkah yang perlu dalam perencanaan pembangunan untuk mengembangkan suatu produk/komoditi diperlukan adalah komitmen yang tinggi dalam menyediakan dukungan secara penuh terhadap
pelaksanaan program yang mendorong bagi masyarakat dan dunia usaha untuk berperan aktif dalam mengembangkan usaha. 7.4.4. Kelayakan Ekonomi Analisis model kelayakan (dampak) ekonomi dengan metoda Multi-Expert Multi-Criteria Decision Making (ME-MCDM) digunakan untuk melihat kelayakan dari sisi manfaat dan biaya terhadap pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Metoda fuzzy ME-MCDM merupakan metoda analisis non numerik yang penilaiannya melalui perhitungan agregasi kriteria dan agregasi pakar disetiap alternatif penilaian. Skala penilaian yang digunakan, yaitu 1. ST = Sangat Tinggi, 2. T = Tinggi, 3. S = Sedang, 4. R = Rendah, dan 5. SR = Sangat Rendah. Hasil verifikasi model penilaian komitmen pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat, ditunjukkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil verifikasi model kelayakan ekonomi (manfaat dan biaya) terhadap pengembangan agroindustri sapi potong
Keterangan alternatif kelayakan ekonomi: 1. Manfaat langsung (direct benefits) 2. Manfaat tidak langsung (indirect benefits) 3. Manfaat tidak kentara (intangible benefits) 4. Biaya tidak langsung (indirect costs)
Verifikasi model kelayakan (dampak) ekonomi dari hasil penilaian agregasi kritaria - pakar dari analisis Multi-Expert Multi-Criteria Decision Making (ME-MCDM) ternyata manfaat langsung dan manfaat tidak langsung dinilai lebih tinggi dampaknya dari manfaat tidak kentara dan biaya tidak langsung akibat pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Dengan adanya manfaat langsung dan tidak langsung terhadap dampak pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat, maka secara ekonomi, pengembangan agroindustri sapi potong layak untuk dikembangkan. Validasi model kelayakan ekonomi dilakukan melalui wawancara kepada Novrial, SE, MA (Kepala Bidang Produksi dan Sarana Perekonomian Bappeda Sumatera Barat) menyatakan secara umum berdasarkan kriteria-kriteria dalam kelayakan ekonomi dapat memberikan manfaat langsung dan tidak langsung terhadap perekonomian masyarakat Sumatera Barat dengan mengembangkan agroindustri sapi potong. 7.4.5. Kelayakan Finansial Pembangunan agroindustri hasil produk sapi potong dendeng kering direncanakan pada tahun 2008 dengan skala usaha kecil sesuai dengan prioritas program pemerintah, potensi dan kemampuan pengusaha dendeng kering yang membutuhkan daging sapi sebanyak 30.000 kg per tahun, atau 100 kg daging sapi per hari. Berdasarkan kebutuhan bahan baku sebesar 30.000 kg per tahun diperoleh kapasitas produksi titik impas sebesar 13.510 kg dendeng kering per tahun. Pada produksi titik impas tersebut membutuhkan alokasi investasi senilai Rp. 392.855.300,(Tiga ratus sembilan puluh dua juta delapan ratus lima puluh lima ribu tiga ratus rupiah). Hasil verifikasi kelayakan finansial produk dendeng kering pada kapasitas produksi 5, 10 dan 20 persen di atas kapasitas BEP, harga jual dendeng kering sebesar Rp. 170.000,- per kg menunjukkan Nilai bersih saat ini (NPV) sebesar Rp. 726.244.598,-; Tingkat kemampulabaan internal (IRR) sebesar 49,87 persen; Pemulihan investasi atau tahun kembali modal (PBP) selama 2,15 tahun; Nisbah biaya dan manfaat (Net B/C Ratio) sebesar 1,12. Kondisi tersebut memberikan informasi bahwa pembangunan agroindustri hasil produk olahan sapi potong dendeng kering secara finansial dinyatakan layak. Hasil analisis sensitivitas dengan memperkirakan semua biaya variabel naik 9 persen menunjukkan Nilai bersih saat ini (NPV) sebesar Rp. (37.349.097),-; Tingkat kemampulabaan internal (internal rate of return, IRR) sebesar 8,60 persen; Pemulihan
investasi atau tahun kembali modal (payback method, PBP) selama 6,16 tahun; Nisbah biaya dan manfaat (Net B/C Ratio) sebesar 1,03. Pada kondisi tersebut secara analisis finansial usaha industri dendeng kering sudah tidak layak. Validasi kapasitas produksi agroindustri hasil produk olahan sapi potong dendeng kering berdasarkan wawancara dengan pengusaha dendeng sapi di Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh Bukittinggi dan Kecamatan Baso Kabupaten Agam dengan Kelompok Bina Maju dan Usaha Pengolahan Daging dan Sapi Jorong Koto Tangah IV Nagari Pandan Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam (2007), bahwa selama ini usaha mereka tetap berjalan dengan produksi dendeng kering sebesar 25 kg sampai 50 kg per minggu. Penilaian evaluasi model KBMS dilakukan oleh drh. Erinaldi dari Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat bahwa tingkat kelayakan produk agroindustri sapi potong (dendeng kering) tersebut dinilai tinggi, sehingga layak untuk dikembangkan. 7.5. Evaluasi Model Perencanaan Pengembangan Agroindustri Sapi Potong Evaluasi model perencanaan dilakukan dengan menggunakan metoda Fuzzy dengan kaidah IF THEN Rule di dalam sistem manajemen basis pengetahuan (knowledge base management system, KBMS). KBMS merupakan akuisisi pendapat pakar ke dalam sistem pakar. Penilaian pakar merupakan acuan dalam model evaluasi dari model perencanaan yang telah dihasilkan. Hasil keputusan evaluasi merupakan keputusan setelah dilakukan verifikasi dan validasi terhadap model yang telah dirancang. Keputusan akan memberikan umpan balik apakah model yang dirancang sesuai dengan harapan atau perlu dilakukan perbaikan. Model KBMS terdiri dari 1) input parameter, yaitu merupakan hasil analisis model perencanaan yang dijadikan sebagai masukan model dalam parameter yang akan dievaluasi, 2) deskripsi keputusan evaluasi, 3) masukan/input aturan (rule base) model yang menghasilkan rule base model, 4) aturan (rule base), dan 5) sistem dialog (lembar konsultasi). Berdasarkan
data
hasil
verifikasi
model
strategi
dan
model
perencanaan
pengembangan agroindustri sapi potong dijadikan sebagai input parameter di dalam model KBMS seperti ditunjukkan pada Tabel 14. Data evaluasi model perencanaan yang digunakan adalah data hasil dari analisis strategi pengembangan, hasil analisis teknis perencanaan (pemilihan produk dan lokasi, ketersediaan bahan baku dan perencanaan kapasitas produksi), sumber pembiayaan, nilai bagi hasil dari kepemilikan saham, serta dilengkapi penilaian komitmen dari stakeholder, kelayakan/dampak ekonomi dan kelayakan finansial. Hasil
analisia model perencanaan tersebut dijadikan sebagai data untuk input parameter, acuan untuk data aturan (rule base) penilaian, perumusan alternatif keputusan evaluasi (deskripsi evaluasi) serta penilaian untuk konsultasi dan sistem dialog pakar menggunakan software KBMS. Tabel 14. Input parameter evaluasi KBMS model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong.
Parameter yang digunakan merupakan dasar masukan aturan (input rule) yang menghasilkan alternatif aturan (rule) dan deskripsi keputusan evaluasi. Rule base evaluasi model perencanaan menggunakan metoda if then rule dengan pilihan kombinasi AND atau OR. Deskripsi keputusan evaluasi model perencanaan pada pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat disajikan pada Tabel 15. Hasil yang diperoleh dari penerapan Model AGRIBEST akan dievaluasi dengan Knowledge Base Manajemen System (KBMS), sehingga memberikan
keputusan evaluasi untuk tindakan yang akan dilakukan. Apabila dalam operasi model teridentifikasi strategi terpilih dan aspek teknis perencanaan serta komitmen dan kelayakan dinilai kurang atau rendah maka model perencanaan pengembangan yang dirancang tidak diteruskan. Penelitian terhadap alternatif strategi yang lain akan menjadi keputusan evaluasi jika strategi terpilih dan aspek teknis perencanaan dinilai rendah atau kurang dan penilaian komitmen dan analisa kelayakan cukup, tetapi jika penilaian komitmen dan analisa kelayakan dinilai tinggi perlu evaluasi elemen model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong. Tabel 15. Deskripsi keputusan evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong
Rincian Deskripsi keputusan evaluasi model perencanaan berdasarkan penilaian dari parameter yang telah diidentifikasi dan disajikan dalam Lampiran 5.
Berdasarkan penilaian dari parameter evaluasi yang digunakan, didapatkan hasil keputusan evaluasi seperti disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil verifikasi evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat.
Hasil keputusan evaluasi model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat berdasarkan penilaian dari parameter evaluasi, yaitu perlu peningkatan kapasitas produksi, penurunan tingkat suku bunga bank dan kebijakan pengembangan agroindustri sapi potong. Kapasitas produksi yang dirancang dalam pengembangan agroindustri sapi potong (dendeng kering) yang di disain sebesar 5 persen sampai 20 persen di atas kapasitas BEP per tahun (kapasitas produksi BEP = 13.510 kg) dinilai masih rendah, sehingga perlu ditingkatkan.