7
PERTEMUAN PAOTERE : PERBEDAAN PENDAPAT TIGA STAKEHOLDER TERHADAP PEKERJAAN NELAYAN BOM IKAN
7.1 Pengantar Jika bab sebelumnya tentang interaksi eksploitasi, maka pada bab ini akan diperjelas
tentang
perbedaan
pendapat
dari
para
pihak
yang
menimbulkan ”kesulitan lebih” untuk memecahkan masalah kenelayanan destruktif. Masing-masing pihak bersikukuh dengan kebenaran cara pandangnya dan menganggap pihak lain bersalah, tidak bisa diatur, tidak mau mengikuti cara yang benar, bodoh, perusak, dan lain-lain. Sikap semacam ini sebenarnya sudah dicermati oleh kalangan ilmuwan sosial, khususnya para antropolog, sebagai penyebab kegagalan berbagai program pembangunan.
Kegagalan memahami
alasan seseorang memilih sikap tertentu adalah salah satu faktor penghambat dalam penentuan langkah-langkah kompromi untuk mencari solusi untuk kelancaran pembangunan (Appell, 1973; D’Andrade, 1995). Faktor kognitif, yaitu bagaimana seseorang memahami lingkungannya dan bertingkah laku sesuai dengan pengertian yang dimilikinya, menjadi salah satu aspek yang menarik perhatian para ilmuwan sosial. Kemudian muncul konsep emic view dan etic view. Emic diartikan sebagai cara pandang komunitas lokal terhadap lingkungannya atau permasalahan yang dihadapinya, sedangkan etic adalah cara pandang ’orang luar’ terhadap komunitas lokal itu dan permasalahan yang dihadapi oleh komunitas lokal tersebut.
Seringkali emic dan etic
menghasilkan persepsi yang berbeda. Perbedaan itu timbul disebabkan oleh berbagai hal, seperti keterbatasan pengetahuan pihak luar terhadap aspek-aspek yang dipahami oleh komunitas lokal, perbedaan kepentingan dan perbedaan latar belakang budaya. Jika pihak lain akan melakukan pembangunan di suatu tempat, mereka perlu memahami pengertian yang dimiliki oleh komunitas lokal.
Pada saat
muncul perbedaan kepentingan, kompromi harus segera dilakukan dengan baik tanpa pemaksaan. Pemaksaan kepentingan sepihak hanya akan menimbulkan resistansi (penolakan) yang besar terhadap usaha pembangunan.
Terakhir,
masalah perbedaan budaya seyogianya didekati dengan tidak mengutamakan
141
budaya sendiri. Dalam hal ini, pemahaman terhadap kategori-kategori budaya suatu masyarakat menjadi sangat penting. Salah satu pertanyaan penting dalam destructive fishing adalah apakah menangkap ikan dengan menggunakan bom adalah kesalahan besar?
Bagi
penegak hukum, kegiatan menangkap ikan dengan bom adalah tindak pidana dengan sanksi masuk penjara, sedangkan bagi pengelola perikanan, kegiatan tersebut tergolong ilegal (karena di Provinsi Sulawesi Selatan sedang dilakukan pemberantasan illegal logging bersamaan dengan operasi penangkapan nelayan pengguna bom ikan).
Sementara itu, bagi nelayan, kegiatan itu merupakan
pelanggaran saja, bukan suatu kejahatan.
Dalam perspektif budaya nelayan,
mencuri adalah suatu kejahatan, mengkonsumsi minuman keras dan pergi ke tempat pelacuran adalah kenakalan yang tingkatnya lebih buruk dibandingkan dengan pelanggaran penggunaan bom ikan. Penggunaan teknologi destruktif untuk menangkap ikan lebih bertujuan untuk mencari nafkah bagi keluarga, karena itu dianggap bernilai lebih baik. 7.2 Metodologi Metode utama yang dipakai untuk mengidentifikasi persepsi setiap kelompok masyarakat adalah focus group discussion (FGD) dan wawancara mendalam (in-depth interview). FGD secara intensif diterapkan dalam sebuah pertemuan di Paotere, salah satu TPI di kota Makassar yang dihadiri oleh penegak hukum, pelaku destructive fishing, dan pengelola perikanan di kota Makassar lokal. Dalam pertemuan tersebut, peneliti tidak mengajukan pertanyaan apa pun, kegiatan penelitian difokuskan untuk memperhatikan substansi diskusi dan respons setiap peserta. Beberapa hari sebelum pertemuan tersebut, peneliti berdiskusi dengan penyelenggara, yakni Pak Baddu, Kasubdit Pengawasan DKP kotamadya Makassar. Oleh karena dia akan jadi moderator pada pertemuan Paotere, peneliti menitipkan beberapa topik yang akan menarik perhatian nelayan dalam diskusi tersebut. Pertemuan Paotere ini dalam rangka sosialisasi UU Perikanan no 31 tahun 2004 dan juga keprihatinan pemerintah terhadap merebaknya kenelayanan destruktif, khususnya bom ikan yang sering dikaitkan dengan ancaman teroris.
142
Peneliti diundang oleh pihak DKP kodya Makassar karena diketahui sedang melakukan riset tentang topik nelayan pengguna teknologi destruktif. Indepth interview dilakukan untuk menggali (probing) informasi atau pendapat dari responden secara lebih mendalam dan rinci. Topik wawancara adalah pendapat mereka tentang praktek penggunaan teknologi destruktif, informasi tentang perdagangan ilegal material bom ikan, dan perilaku pihakpihak lain dengan siapa mereka berinteraksi (seperti penegak hukum, pengelola perikanan dan para pesaing mereka). 7.3 Hasil Penelitian : Pertemuan Para Pihak di Paotere Pada tanggal 14 September 2005 sebuah pertemuan diselenggarakan di kantor DKP Kodya Makassar bidang Pengawasan yang terletak di sebelah tempat pelelangan ikan (TPI) Paotere.
Peserta pertemuan tersebut adalah:
(1) para
punggawa Pa’es dari seluruh wilayah kodya Makassar, (2) Ketua Binamitra Poltabes Makassar, (3) wakil dari Polresta Pelabuhan Paotere, (4) Wakil Kepala Polsek, (5) Camat Ujung Tanah, dan (6) Tim Penyuluh DKP Kodya Makassar. Ada beberapa kesimpulan yang menarik yang berkaitan dengan tema penelitian ini, yaitu : 1) ternyata terdapat perbedaan pendapat antar para pihak yang terkait dengan penggunaan bom ikan sebagai alat tangkap, 2) hubungan kerja yang semu (pseudo working relationship) antara nelayan dengan oknum polisi dalam penggunaan bom ikan dalam usaha kenelayanan destruktif, dan 3) belum adanya solusi yang jelas dan pihak nelayan cenderung sebagai satu-satunya pihak yang dipersalahkan. Adapunuraian selengkapnya tentang pertemuan di Paotere adalah sebagai yang dipaparkan di bawah ini. Acara dibuka oleh Pak Camat Ujung Tanah dengan ucapan terima kasih atas kehadiran para undangan. Singkatnya, beliau mengharapkan pertemuan ini menghasilkan kesepakatan untuk perbaikan lingkungan hidup guna masa depan anak-cucu. Praktek penggunaan teknologi destruktif menurut beliau sudah seharusnya dihentikan. Pada pembukaan pertemuan ini beliau sangat mengecam penggunaan teknologi destruktif baik bom maupun bius sebagai alat tangkap. Pembicara berikutnya adalah Wakil dari Polresta Pelabuhan yang berbicara kurang lebih sebagai berikut :
143
”Saya menyampaikan permohonan maaf dari bapak Kapolresta Pelabuhan atas ketidakhadiran beliau dalam pertemuan ini. Sesungguhnya beliau ingin sekali hadir dalam pertemuan penting ini, tapi karena supporter PSM membludak di pelabuhan,...kami kira bapak-bapak maklum apa yang mungkin terjadi. Karena itu bapak Kapolresta langsung memimpin sendiri di lapangan. Saya sungguh berterimakasih dan kagum atas perhatian bapak-bapak sekalian. Yang diundang 70 orang, tapi yang datang ada 90 orang....ini luar biasa. Saya berharap pertemuan ini akan menghasilkan kesepakatan untuk perbaikan lingkungan laut yang sudah rusak karena praktek penggunaan bom ikan”. Kalimat-kalimat yang dikemukakannya menunjukkan bahwa pembicara mengecam kenelayanan destruktif dan mengharapkan adanya perubahan perilaku. Optimismenya muncul ketika melihat bahwa yang hadir lebih banyak dibandingkan yang diundang, yang mayoritas adalah Punggawa yang terlibat dalam usaha kenelayanan destruktif. Selama ini tidak mudah mengundang para Punggawa Pa’es untuk berkumpul seperti ini. Biasanya hanya segelintir Punggawa hadir atau diwakilkan kepada Sawinya (awak kapal). Respon yang positif ini diduga karena gencarnya penangkapan pengguna bom ikan maupun pedagang material bom ikan bersamaan dengan berlangsungnya penelitian ini. Pembicara berikutnya Kepala Bina Mitra Poltabes Makassar
sebagai
berikut : ”Kapoltabes (Kepala Polisi Kota Besar) Makassar oleh karena harus hadir pada teleconference bersama Kapolri, sehingga tidak bisa ikut dalam pertemuan ini. Kesempatan lain akan berusaha untuk hadir.
Beliau menitip pesan akan
pentingnya pertama, pengelolaan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kedua, Interaksi antar manusia dengan lingkungan agar dijaga, supaya kebutuhan manusia tetap bisa disediakan oleh alam. Semua kebutuhan hidup kita berasal dari alam. Disebutkan dalam surat Al Qishos ayat 74 : ’janganlah kamu merusak lingkungan’. Habitat merupakan tempat organisma hidup. Namun kualitas hidup antar habitat berbeda. Sebabnya, kerusakan atau pencemaran akan sebabkan habitat tidak bisa berkembang dengan normal. Kita mengenal dua jenis sumberdaya alam. Renewable, sumberdaya alam yang bisa diperbaharui, seperti tumbuhan
144
dan mahluk lain. Unrenewable, sumberdaya alam yang tidak bisa diperbaharui, seperti batu bara dan minyak. Problemnya bagaimana mengelola lingkungan hidup agar bisa dimanfaatkan sampai anak cucu. Kita harus memperhitungkan dampak kegiatan yang kita lakukan. Sering kita dengar istilah pembangunan berkelanjutan yang berarti pembangunan tanpa merusak lingkungan. Ketiga, masalah peningkatan hidup generasi sekarang dan penerusnya. Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 telah mengamanatkan kepada kita agar menggunakan semua sumberdaya yang ada, kekayaan alam yang ada untuk kemakmuran rakyat pada masa sekarang tapi juga untuk masa yang akan datang. Sekarang sudah ada Undang-undang 31 tahun 2004 yang mengatakan bahwa pelaku perusakan lingkungan akan dipidana penjara 10 tahun atau didenda 100 miliar. Jadi, hukumannya berat sekali. Saya berharap tidak ada bapak-bapak yang kena sanksi pelanggaran yang mahaberat ini. Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban melestarikan lingkungan hidup. Allah mengamanahkan alam ini untuk anak cucu. ’Akibat ulah kita sendiri alam hancur, apa kita tidak malu terhadap anak cucu?’ Rencana Pak Wali, pulau-pulau di sekitar kodya Makassar akan dijadikan obyek pariwisata, diantaranya wisata memancing. ’Bagaimana kalau sudah tidak ada ikan yang dipancing?’ Di dalam Al Quran juga sudah disebutkan ’taatilah pemimpinmu dan pemerintah sejauh tidak melanggar ajaran Allah’. Pemerintah sudah menyerukan agar kita menghentikan perusakan lingkungan, utamanya laut. Lautnya rusak, bapak-bapak akan kesulitan sendiri memenuhi kebutuhan hidup. Lebih-lebih kita tidak perhatikan nasib anak cucu. Alangkah ironisnya bila kita mementingkan diri sendiri, tidak peduli nasib anak cucu kita”. Hal yang menarik dari ucapannya adalah menekankan tentang relevansi antara konservasi dengan kepercayaan (agama). Pembicara mengingatkan masyarakat bahwa ajaran agama juga menegaskan tentang perlunya konservasi alam dan larangan merusak alam. Pembicara menegaskan bahwa sifat sumberdaya perikanan dapat pulih, tetapi proses pemulihannya dalam jangka panjang. Penggunaan bom ikan yang merusak sumber daya laut diartikan pula sebagai melanggar ajaran agama.
145
Pembicara juga menegaskan tentang regulasi yang kini makin ketat dengan sanksi yang berat bagi nelayan yang melanggarnya (khususnya UU no 31 tahun 2004). Himbauannya agar nelayan tidak lagi melanggar. Banyak cara untuk memanfaatkan sumberdaya laut seperti pariwisata. Setelah itu Kasubdit Pengawasan DKP (Drs. H. Baddu Uddin) dan Soejarwo SH (penyidik perikanan) menyampaikan buah pikirannya sebagai berikut : Alam ini bukan untuk siapa-siapa tapi untuk memenuhi kebutuhan kita dan kebutuhan anak cucu kita kelak. Jadi, kita harus memperdulikan nasib anak cucu kita. Undang-undang perikanan yang baru hukumannya sangat berat. Polisi tidak akan mengenakan undang-undang ini apabila bapak-bapak tidak melakukannya. Bapak-bapak khan tidak akan makan tanpa ikan, karena sudah jadi kebutuhan kita. Kalau kita rusak laut, ikan juga akan hilang. Mohon sekali, bapak-bapak jangan menggunakan bahan terlarang dalam menangkap ikan. Undang-undang nomer 31 tahun 2004 pasal 86 orang yang melakukan pelanggaran akan dipenjara 10 tahun dan denda 2 miliar. Jadi, hukumannya berat sekali. Jangan sampai bapak-bapak kena sanksi seberat ini. Di masa kanak-kanak saya, ikan-ikan bisa diperoleh di dermaga. Tahun 1985 ikan melimpah dan nelayan bisa menabung. Sampai dengan tahun 2000 ikan masih ada, nelayan tidak pergi sampai ke Flores. Tapi tahun 2005 ini orang minta ijin ke Flores untuk lama sekitar 2 minggu sampai dengan 1 bulan. Pulangnya kadang hasil ada kadang juga tidak ada hasil. Kalau seperti manusia, ikan akan betah kalau ada habitat yang baik. Kasus di dermaga Paotere, ada ikan tapi secara ekonomis tidak. Misalkan pancing dapat 2 ekor. Pasang bubu juga, yang masuk ikan buntal. Sengaja atau tidak tapi saya tahu bapak-bapak memahami kerusakan lingkungan laut akibat penggunaan bahan terlarang. Masih banyak alat tangkap yang setara dengan itu. Saya pernah minta ijin untuk lihat purse sein/gae/pukat cincin. Alat tangkap ini barangkali cocok, karena hasil tangkapannya juga banyak.
Konsekuensinya
memang alat itu agak mahal dan butuh orang banyak untuk mengoperasikannya.
146
Memang ada dua hal yang sangat merusak, bom dan bius. Apalagi yang namanya bius. Implikasinya sampai puluhan tahun, sangat-sangat merugikan. Saya tidak bilang kalau bom tidak merusak, tapi lebih kecil. DKP kodya Makassar akan mengembangkan karang buatan, tapi sangat mahal biayanya, yang sebenarnya tidak perlu. Saya baru dua tahun di bagian pengawasan ini, tapi saya mengajak bapak-bapak untuk tidak merusak lingkungan. Kita sama-sama tidak ingin memberlakukan
Undang-undang
perikanan ini. Saya yakin bapak-bapak tidak mau ditimpa undang-undang ini. Sudah ada contoh dari Barrang Caddi. Ada nelayan bom yang putus tangannya, Haji Amin. Sekarang beralih ke juragan teripang. (para Punggawa Pa’es lalu teriak koor bersama-sama : itu dulu, sudah lama....!) Pembicara sangat menekankan tentang keharusan kelestarian sumber daya ikan, karena kalau tiada ikan lagi nelayan akan kesulitan, akan kehilangan pekerjaan dan akan kesulitan makanan berupa ikan. Selain itu, pembicara juga mensosialisasikan UU 31 tahun 2004 dengan sanksi yang berat. Dia menyarankan agar para nelayan menghentikan pekerjaan kenelayanan destruktif. Hal
yang
menarik
adalah
respon
dari
nelayan
berupa
gerutuan : ”...koruptor dihukum ringan. Maling ayam dihukum berat sekali. Maling ayam saja tidak kapok, terus mencuri ayam. Apalagi nelayan... Oleh karena suasana memanas, Pak Camat Ujung Tanah segera menengahi dengan menyebutkan tentang dana kompensasi BBM yang bisa digunakan untuk perbaikan kesejahteraan nelayan. Pembicaraannya kurang lebih sebagai berikut : Ada 12 kelurahan di kecamatan ini, dan tidak semua dapat kompensasi BBM. Pelaksanaan kompensasi BBM mulai bulan ini. Bentuknya bisa berupa perbaikan jalan, air bersih. Akan ada juga puskesmas terapung yang mengitari semua pulau-pulau. Masalah perusakan lingkungan laut ini memang rumit. Antara perusakan lingkungan dan tuntutan mengisi perut. Kalau bisa dihadirkan da’i kondang untuk menyejukkan hati bapak-bapak.
Dari ucapannya terlihat bahwa dia mengalami kesulitan untuk membuat prioritas aksi pengelolaan sumber daya laut, antara tuntutan jangka pendek (kebutuhan makan penduduk) dan kelestarian sumber daya laut dalam jangka panjang. Oleh
147
sebab itu dia mengusulkan untuk mengadakan pertemuan lagi lain kali yang juga diisi dengan pengajian. Kalimat-kalimat dari Pak Camat ini agak meredakan suasana yang sebelumnya dipenuhi dengan gerutuan dari para nelayan. Kemudian moderator, Pak Baddu, melanjutkan pertemuan ini dengan membuka kesempatan berdialog bagi para nelayan. Dari kalangan nelayan banyak yang mengacungkan telunjuknya sebagai tanda ingin bertanya atau berkomentar. Kesempatan pertama diberikan kepada Daeng Tata dari Pulau Barrang Lompo. Dia berkomentar panjang lebar tentang nasib para nelayan yang menggunakan teknologi destruktif. Komentarnya kurang lebih sebagai berikut : Sebenarnya masalah ini sudah semenjak lama dan berlarut-larut, tapi sampai hari ini belum ada solusinya. Bagi nelayan melakukan pelanggaran, menggunakan baracun itu keterpaksaan. Bagaimana bapak-bapak kalau perut kosong. Yang kita perlukan solusinya. Semenjak jaman Jepang sudah terlarang. Mulai kakek-kakek kita dulu sudah dibilang barang terlarang. Berkat koordinasi dengan Polair, potas atau bius sudah kurang pak, malah dibilang hampir punah. Di tempat kami ada 10 – 15 kapal di perairan. Kalau satu kapal berisi 30 orang lebih. Ada 375 KK yang tergantung hidupnya dari baracun (bom ikan) itu. Belum kalau dihitung 1 KK punya anggota keluarga 3 – 4 orang malah banyak yang lebih. Kalau dikalikan, seribuan lebih warga yang nasibnya tergantung dari mercun. Jadi, kalau dilarang bagaimana dengan hidup mereka ? bagaimana pendidikan anak-anaknya ? Mohon bantuan bapakbapak di depan, jangan sampai mereka menderita karena dilarang-dilarang itu. Komentarnya menunjukkan bahwa semenjak lama nelayan sudah tahu bahwa penggunaan bom ikan sebagai alat tangkap terlarang. Masalahnya sampai saat penelitian ini berlangsung bom ikan merupakan alat tangkap yang paling diandalkan nelayan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Oleh sebab itu pelarangan tanpa solusi sebagaimana yang dirasakan nelayan selama ini, dirasakan menyulitkan. Pada hemat kami, tersirat bahwa nelayan sangat menunggu solusi yang membuat mereka tidak lebih menderita dari sekarang ini. Moderator selanjutnya memberi kesempatan Pak Rahman Baddu (kepala Koperasi Paotere) mengajukan pertanyaan dan komentarnya, sebagai berikut :
148
Ikan-ikan tidak ada disini, karna kapal dikerja disini, oli-oli penuh di dermaga. Terjadi pencemaran. Ikan-ikan pergi. Itu bukan salah nelayan. Mestinya DKP membereskan masalah ini kepada bos-bos itu, bukan menyalahnyalahkan nelayan. Kedua, nelayan bilang pemboman itu seperti pencuri ayam, bisa ditebus. ’Pencuri saja tidak mau berhenti apalagi nelayan’. Jangan salahkan nelayan saja. Bagaimana dengan penegak hukumnya ? Buang bom itu di permukaan saja dan tidak di taka (karang). Nelayan bilang kalau barracun jangan di batu (karang). Contohnya ikan Mairo (sejenis teri) tidak di mercun di batu. Akan susah mengambilnya kalau di batu. Tidaklah usah ngomong soal bantuan. Kalau bantuan-bantuan dari pusat tidak pernah sampai. Tadi soal ikan habis di dermaga......kalau mau ikan dekat-dekat jangan dikerja kapal di dekat dermaga. Nanti nelayan lagi yang disalahkan. Pak Baddu sebagai penanya ketiga terlihat menekankan bahwa selama ini para nelayan menjadi kambing hitam, dan pihak penegak hukum tidak menindak tegas para pelaku kesalahan yang sebenarnya. Dia mempertanyakan bagaimana peran penegak hukum, bukan hanya yang harus terus menerus dipersalahkan, kurang lebih begitu pendapatnya. Dia juga mengeritik penegak hukum yang begitu mudah disogok. Dia menyamakan nelayan yang mengebom ikan setara dengan mencuri ayam yang bisa ditebus dengan denda di pengadilan. Hal ini berangkat dari pengalaman Pak Baddu bahwa ketika nelayan ditangkap dan diadili, maka Punggawa akan menebus mereka dengan sejumlah uang untuk kebebasan si nelayan. Penegak hukum mudah disogok. Satu hal lagi yang menarik, menurut pak Baddu bom ikan digunakan nelayan di permukaan dan di atas pasir, bukan di batu karang sebagaimana yang selalu dikemukakan oleh pihak pengelola perikanan dan penegak hukum. Menurut dia bom ikan tidak merusak terumbu karang. Pernyataannya tersebut membantah anggapan yang dikemukakan pembicara-pembicara sebelumnya Penanya ketiga Haji Abdul Hamid, seorang nelayan Pa’es mendukung penanya kedua, mengatakan bahwa : Selama ini tidak pernah ada solusi di daerah
149
kita....yang ada hanya dilarang dilarang saja. Ada masalah besar lain yang tidak pernah
disinggung-singgung.
Disini
minyak
sudah
oplosan....bagaimana
penanggulangannya ? Nelayan sudah teriak-teriak harga BBM mahal sekali. Apa tidak sama pengoplos dengan pencuri ayam?
Perlu solusi....kalau luar
negeri sudah maju, sehingga tidak perlu pakai bom. Ada nelayan pakai bom ditangkap disana, 1 minggu sudah ke luar. Dengar kabar dari polresta pelabuhan, petugaslah yang mengijinkan. Dia menegaskan bahwa pengelola perikanan dan penegak hukum dianggap hanya bisa melarang dan melarang tanpa memberikan solusi apapun. Menurutnya, nelayan selalu dikejar-kejar, sedang pelaku kejahatan lain dalam usaha kenelayanan seperti pengoplos dibiarkan begitu saja. Penanya ketiga ini mendukung penanya sebelumnya bahwa penggunaan bom ikan selalu dalam kerangka kerja sama dengan berbagai pihak, khususnya penegak hukum. Penanya ke-4 Pak Gasseng, juga seorang nelayan Pa’es, mempertegas lagi bahwa pekerjaan nelayan bom ikan ini dilakukan dengan cara kerja sama dengan petugas. Nelayan selalu jadi korban. Petugas memanfaatkan mereka untuk mengeruk hasil nelayan. Katanya, Kendala saya di laut, kalau ada petugas berseragam datang, tidak tahu polisi atau tentara atau apa, kita orang bodoh tidak paham yang begitu-begitu. Dicari di kapal semua. Kalau tidak ditemu barang terlarang, dibuka-buka tas. Lalu minta uang. Jadi maunya apa ? ( Nelayan-nelayan lain bergumam: datang juga ke rumah kita ....! ) Kalau mbongkar ikan di Paotere banyak yang minta. Kita tidak tahu apa mereka polair, Polresta Pelabuhan. Kita orang bodoh, tidak paham yang begituan. (nelayan lain menyela : petugas berseragam itu sudah ada sejak di pintu gerbang....berlapis-lapis. Cobalah bapak-bapak di depan periksa sekalisekali siapa-siapa mereka. Kita nelayan bodoh-bodoh, asal ada yang berseragam kita takut. Kita memang bodoh, tapi jangan dibodoh-bodohi terus, kasihan kita pak !) Masalah bahan bakar juga tadi disebut. SPBU Penampu kini sering tidak memberi kalau nelayan minta. Kita dengar BBM mau naik lagi sampai Rp 5000,- . Nelayan tidak kuat. Sebentar lagi bapak-bapak akan lihat, kapal-kapal berderetderet di dermaga, tidak jalan).
150
Wakapolsek menjawab pertanyaan para penanya di atas, sebagai berikut : Mungkin kita perlu duduk bersama untuk menemukan cara lain yang perlu untuk lebih lestari lingkungan. Menurut Daeng Tata kalau ngebom 2 – 3 jam akan datang lagi ikan-ikan. Yang bahaya bius, rusaknya selama 30 tahun. Padahal kita perlu makan selama itu.
Barangkali perlu juga trawl yang dimodifikasi
dipertimbangkan sebagai solusi, karena hasilnya banyak. Ketika menyatakan ini
Wakapolsek menyadari bahwa trawl termasuh
jenis alat tangkap yang bermasalah (dilarang). Tetapi, dia mengambil contoh trawl yang ada di kecamatan Ujung Tanah sudah berlangsung lama dan tidak pernah ada penindakan, karena armada trawl dan alat trawlnya sudah dimodifikasi. Hanya saja berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara mendalam yang kami lakukan dengan nelayan trawl, mereka menyebutkan bahwa hasil tangkapan memburuk terus beberapa tahun terakhir ini. Kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh Wakapolsek ini mengesankan bahwa sampai kini belum ada alternatif alat tangkap Untuk dana PMP tanya ke bapak yang berkompeten. Kalau tidak salah 250 juta per kelurahan untuk Barrang Lompo, Barrang Caddi, Lumu-lumu dan Kodingareng. Untuk Pak Abdul Hamid, alam ini diberikan kepada kita dan anak cucu untuk dipelihara. Mercun atau bom ikan jelas-jelas merusak lingkungan. Undang-undang yang dibuat pemerintah untuk melindungi kelestarian alam agar bisa dimanfaatkan sampai anak cucu. Seorang nelayan Pa’es, Pak Hafids, menyela kalimat Wakapolsek bahwa pengoplosan minyak merupakan ketidaktanggapan polisi terhadap situasi. Polisi banyak yang melanggar hukum. Wakapolsek kemudian mengakuinya dengan bijak, sebagai berikut : Baik. Kalau ada oknum melakukan hal itu, pengoplosan sudah tindak pidana. Untuk pak Gasseng. Itu [polisi] adalah oknum. Kapolri tegas. Judi, miras ditertibkan. Kapolri membereskan hal-hal interen, termasuk menertibkan polisi. Baru-baru ini kasus Pertamina dibongkar, itu jerih payah Polri. Illegal logging itu juga. Jadi tidak semuanya polisi jelek. Banyak yang positif yang sudah dilakukan. Saya tidak memungkiri bahwa di dalam tubuh polisi ada penjudi, pemabuk. Sama seperti di masyarakat, ada yang soleh ada pencuri. Itu oknum. Kalau ada laporkan.
151
Baddu dari DKP kotamadya Makassar, membenarkan kritik dari nelayan bahwa pemerintah kurang perhatian terhadap pulau-pulau kecil, pengawasan terhadap pencemaran lingkungan buruk dan nelayan selalu menjadi kambing hitamnya. Dia berkata sebagai berikut : Benar perhatian pemerintah kurang terhadap pulau-pulau. Sekarang sudah mulai diperbaiki. Saya beberapa kali bersama Pak Camat keliling. Dana PEM memang ada tetapi terbatas, di Kodingareng di koordinir oleh Pak Sampara dan di Langkai oleh pak Saenal. Kalau dulu yang namanya bantuan itu tidak pernah kembali, tapi sekarang sudah membaik. Menjawab Pak Rahman Baddu, benar pencemaran itu, akan saya periksa ulang lagi dan mencari solusinya. Pengoplosan memang ada dan sudah dilaporkan ke Pertamina di belakang jembatan. Kalau masalah memeriksa surat-surat itu tugas polisi. Yang diperiksa itu surat kapal, ndak ada persoalan. Kalau tidak ada suratnya baru persoalan. Pada pertemuan ini kita sepakati kalau surat-surat kapal kita lengkapi. Saya juga kecewa kalau bapak-bapak ditangkap. Sebagai informasi, tidak lama lagi petugas kami akan beroperasi, tolong diperpanjang surat-surat kapal. Bau Sawa, Camat Ujung Tanah, menutup pertemuan ini dengan mengakui bahwa masalah penghentian pekerjaan nelayan bom ikan sungguh masalah pelik, harus ada pertemuan-pertemuan lagi, dan dia mengakui adanya oknum-oknum penegak hukum yang menyeleweng. Dia juga berusaha menenangkan hati para nelayan dengan menginformasikan adanya bantuan untuk pulau-pulau kecil, sebagai berikut : Akan ada safari Ramadhan keliling pulau-pulau. Mohon, agar orang-orang Barrang Lompo yang membuat permohonan agar tahun depan subsidi untuk nelayan. Selain itu juga untuk bangun sekolah-sekolah yang sudah roboh. Meja SD saja dibuat tahun 1948. Para nelayan interupsi pembicaraan pak Camat sebagai berikut : mana cukup subsidi itu untuk nelayan. Harga alatnya saja purse seine sudah jutaan, belum lagi kapal yang harus dimodifikasi atau malah harus dibuat baru, harganya ratusan juta. Pak Camat kewalahan dalam menghadapi interupsi ini. Dia tidak menyadari bahwa perubahan teknologi tidaklah mudah dan mahal. Untuk menutupi kekeliruannya, dia buru-buru meredakan emosi nelayan, sebagai
152
berikut : Baiklah, masalah ini nampaknya harus ada forum-forum lain. Mungkin dengan diisi siraman rohani juga agar pertemuan kita menjadi sejuk. Masalah ada oknum-oknum petugas yang menyeleweng, jangan kuatir Wakapolda adalah om saya. Kalau ada petugas nakal, mohon lapor ke saya.. Tidak semua polisi bagus, tidak semua polisi jelek. Ini ada nomer HP dari pak Walikota yang bisa dihubungi langsung 08152520333. Rencananya akan dibentuk Forum Tokoh Masyarakat dari 12 kelurahan dan akan dilantik pak Walikota, disaksikan oleh pak Gubernur, tanggal 30 September. Sebenarnya inti pertemuan ini adalah percakapan informal seusai ditutupnya pertemuan ini antara Daeng T (nama samaran)dan beberapa punggawa Pa’es berbincang dengan Bu X (nama samaran) dari polresta pelabuhan memohon agar jangan ketat-ketat pengawasan, dilonggarkanlah. Dijawab oleh bu X :”.... yah pintar-pintar kalian sajalah.” Ujar Daeng T : ”terima kasih,.... yah kita memang harus pandai-pandai mencuri di belakang.”)
7.4 Analisis Dari pertemuan di Paotere itu terlihat bahwa ada perbedaan pendapat terhadap pekerjaan nelayan bom ikan di antara tiga stakeholder, yakni para nelayan, pengelola perikanan dan penegak hukum. Perbedaan pendapat tersebut yang termaktub dalam Tabel 8 di bawah ini, meliputi : 1) jenis teknologi tangkap (kategorisasi bom ikan sebagai alat tangkap dan hasil), 2) kerusakan lingkungan laut akibat penggunaan bom ikan (daerah penangkapan dan kerusakan akibat bom ikan) , 3) kategori pelanggaran (istilah, kesalahan dan masalah pengawasan), 4) solusi (penghentian, perubahan alat tangkap, solusi). Untuk menjelaskan data yang ada dalam tabel di bawah ini, maka dilakukan berbagai ilustrasi yang diambil dari kalimat-kalimat informasi tekstual dari hasil pertemuan di Paotere serta informasi-informasi lain yang diperoleh di lapang. Uraian secara panjang lebar tentang tabel perbedaan pendapat ini bawahnya
disampaikan per stakeholder di
153
Tabel 8 Pendapat para nelayan, pengelola perikanan dan penegak hukum terhadap sejumlah isu yang berkaitan dengan pekerjaan nelayan nelayan bom ikan
Hal Teknologi bom ikan Hasil
Pengelola Perikanan Alat tangkap perusak lingkungan Banyak sekali
Karang hancur dan Kerusakan akibat bom anak ikan mati ikan
Daerah Di atas terumbu penangkapan karang Istilah Masalah Pengawasan Kategori kesalahan Penghentian Perubahan alat tangkap Solusi
Destruktif dan illegal Penggunaan bom ikan di belakang petugas Illegal
Penegak Hukum
Pemanfaat SDP
Bukan alat Alat tangkap tangkap ikan Banyak sekali Kadang banyak kadang sedikit (cukup saja) Karang hancur Tidak ada kerusakan lingkungan, karena bom meledak di permukaan air Di atas terumbu Di permukaan karang laut (di atas pasir) Illegal Illegal Penggunaan bom ikan di belakang petugas Kriminal
Kerjasama dengan petugas keamanan Pelanggaran
Susah Mudah dan murah
Susah Mudah dan murah
Mudah Sulit dan mahal
Pengawasan dan atau alternatif alat tangkap
Pengawasan dan atau alternatif pekerjaan
Alternatif pekerja-an lain, pilihan ke- dua alternatif alat tangkap
Sumber : hasil penelitian penulis
7.4.1 Pendapat pengelola perikanan Beberapa informan dari kalangan pemerintah menyebutkan bahwa periode waktu mulai digunakannya bom ikan tidak jelas. Mereka menyebutkan kalau penggunaan bom ikan sudah semenjak lama sekali, sejak jaman kolonial Belanda. Praktek pengeboman ikan sudah turun temurun. Sedangkan penggunaan bius sebagai alat tangkap relatif baru. Konon kabarnya bahwa nelayan di Spermonde belajar dari nelayan Korea dan Hongkong. Tahun 1960-an ada aturan bahwa
154
nelayan yang mengebom harus minta ijin pada pihak kepolisian, dan itupun hanya boleh mengebom beberapa kali. Sekarang kegiatan nelayan sulit diatur. Tahun 1980-an
pihak keamanan masih bisa menangkap nelayan yang melakukan
pengeboman, karena hanya satu-satu nelayan yang melakukannya. Kini tidak terhitung jumlah pelaku pemboman ikan di perairan Selat Makassar ini. Perdagangan bahan untuk membuat material bom dilakukan secara ilegal dan tertutup. Begitu juga dengan praktek penggunaannya kucing-kucingan dengan petugas. Dari pihak pemerintah kecamatan tidak bisa berbuat apa-apa, tidak punya kapal dan dana untuk melakukan operasi pengawasan. Bila meminta lurahlurah bertindak, justru akan memancing keributan dan keselamatan aparat kelurahan itu sendiri terancam. -”Orang sini memang banyak pakai bom dan bius itu tidak bisa disetop. Mereka bilang kalau mau nyetop, itu dulu urus kapal-kapal besar yang ilegal, pakai juga barang terlarang. Sejak dulu mereka pakai barang itu,” kata Pak Lurah Kelurahan Barrang Lompo. Dalam pandangan pengelola perikanan, alat tangkap bom ikan ini ilegal dan destruktif, serta dilarang pemerintah, karena merusak lingkungan. Bom ikan menghancurkan terumbu karang dan mematikan anak-anak ikan. Penggunaan alat tangkap ini akan menghancurkan masa depan anak cucu. Hutan hancur karena penggundulan, dan laut hancur karena kenelayanan yang destruktif dan ilegal ini. Beberapa aparat pemerintahan tingkat kelurahan Barrang Lompo dan kecamatan Ujung Tanah yang diwawancarai menyebutkan bahwa sudah dari dulu nelayan pulau ini memakai bom, perolehan ikannya cukup banyak walau tidak seperti perolehan kapal-kapal besar. Hanya saja apabila dibandingkan dengan pulau-pulau lain, tingkat kesejahteraan penduduk pulau Barrang Lompo relatif lebih lumayan. ”Masalah utama yang dihadapi para nelayan di Pulau Barrang Lompo, ketergantungan terhadap pengusaha, jadi pengusaha cepat kaya, sementara kesejahteraan nelayan yah lumayan saja, tidak kaya,”
tutur pak
sekretaris kecamatan . Menurut para pengelola perikanan ini, solusinya hanya dengan pengawasan dan penangkapan, tidak ada solusi budaya. Budaya nelayan di sini memang agresif. Mereka harus diberi rambu, mana alat tangkap yang boleh dipakai dan mana yang tidak.Hal ini menjadi tugas dari pihak Dinas Kelautan dan
155
Perikanan dan Kepolisian. Pihak DKP seharusnya bisa memberikan alternatif alat tangkap mana yang sebaiknya digunakan oleh nelayan. Bila solusi teknologi alternatif sudah diberikan, tetapi masih ada nelayan yang masih membandel, akan ditangkap. Bom ikan umumnya digunakan dengan alasan utama hasil cepat dapat dan banyak, jadi alat tangkap ini merupakan jalan pintas.
7.4.2
Pendapat penegak hukum Menurut pihak penegak hukum sudah semenjak lama adanya kerja
kenelayanan bom ikan ini, hanya saja mulai sangat intensifnya tahun 1990-an. Kerja kenelayanan ini illegal bagi penegak hukum, dan mereka sering merasa kesulitan untuk mendeteksi apakah nelayan tertentu itu pengguna bom atau tidak. Bila tertangkap di tengah laut, biasanya mereka buru-buru buang peralatan bom. Seandainyapun tidak sempat dibuang, mereka masih bisa berkilah, karena bom ikan tidak akan diketemukan dalam keadaan sudah jadi, masih harus dirakit. Umumnya bisa ditebak, apabila di kapal nelayan tersebut diketemukan kompresor, hampir pasti mereka adalah pengguna bom ikan. Selain itu, perdagangan material bom ikan juga tertutup dan rapi sekali. Mereka punya jaringan perdagangan yang rapi sekali. Tidak mudah membongkar jaringan perdagangan ilegal itu. Pihak aparat keamanan biasanya mendeskripsikan kalau praktek mengebom menimbulkan suara yang keras dan airnya tinggi sekali, serta diameter cendawan air yang ditimbulkan bisa mencapai 10 meter, dan pasti saja karangkarangnya hancur kena getarannya. Bagi mereka bom sama bahayanya dengan potassium sianida, yakni mematikan karang-karang. Dalam kategori mereka, bom lebih menghancurkan karang-karang secara langsung dibandingkan bius. Praktek penggunaan bom ikan selalu di belakang petugas keamanan, memanfaatkan waktu lengah petugas keamanan. Mereka tahu itu benda terlarang. Apalagi sekarang marak teror bom dan kecelakaan akibat mercon. Sesungguhnya bom ikan benda yang berbahaya, yang sudah terbukti menjadi penyebab kecelakaan di laut bahkan merenggut nyawa si nelayan. Bagi pihak keamanan bom ikan tidaklah tepat sebagai alat tangkap, dan dari segi kriteria teknologi pun tidaklah tepat digolongkan alat tangkap ikan.
156
Mereka merujuk kepada pendapat para ahli dari universitas bahwa bom ikan akan menyebabkan karang-karang hancur. Padahal terumbu karang adalah rumah ikan. Bila karang punah, ikan juga akan pergi semua. Pemerintah melarang karenanya. Selain itu, bom ikan juga bisa disalahgunakan untuk hal-hal yang menjurus kriminal. Solusinya adalah dengan memperketat pengawasan yang menjadi tugas kepolisian dan TNI-AL. Pihak DKP dan Pemda seharusnya mencarikan jalan keluar baik berupa alternatif pekerjaan lain atau alat tangkap lain. Alternatif jenis pekerjaan baru jauh lebih baik, karena kalau alat tangkap alternatif tidak bisa menjamin kesejahteraan, mereka akan kembali menggunakan bom ikan. Teknologi bom ikan memang hasilnya banyak sekali, dan alat tangkap lain tidak ada yang sebanyak itu.
7.4.3 Pendapat pemanfaat perikanan Bom ikan sudah dikenal nelayan turun temurun semenjak jaman kolonial Belanda dulu. Bentuk dan bahan bom ikan mengalami perubahan terus menerus. Bom yang sekarang diperoleh dari belajar pada nelayan Taiwan yang ditangkap oleh polisi dan beristirahat di pulau Barrang Lompo. Pada saat di pulau itulah mereka mengajarkan kepada penduduk setempat bagaimana cara membuat bom ikan ala mereka. Jenis bom ini terbukti lebih ampuh dari segi ledakan, hasil, dan sumbunya tidak mudah mati ketika sudah masuk dalam air. Menurut mereka hasil tangkapan ikan cukup saja, tergantung nasib dan kepandaian Punggawa Laut mencari ikan. Pekerjaan nelayan bom ikan ini diakui mereka sebagai ilegal. Mereka mengakui memperoleh bahan pembuat bom melalui perdagangan ilegal yang sangat rahasia dan tertutup sifatnya. Para nelayan enggan menceritakan karena kuatir akan berakibat tertutupnya usaha mereka. ”Kita melindungi Punggawa, karena dari merekalah kita hidup, ” ujar seorang nelayan Pa’es. ”Pendapat pemerintah itu beda dengan pendapat nelayan. Kalau pemerintah selalu bilang bom menghancurkan karang. Kita juga perhatikan nasib anak cucu kita nanti. Padahal tidak, kalau bom harus selalu meledak di atas ikan, kalau di bawah ikan, ikan tidak mati. Bom biasa diledakkan dekat-dekat dengan
157
permukaan. Kalau bom sampai jatuh di karang, itu kesalahan, biasa si sawi dimarahi, karena harga bom mahal dan memang karang hancur. Nelayan biasa cari sasaran di dekat pasir. Kalau ikan jatuh di pasir mudah diambil hanya 1 jam saja, kalau di karang tangan bengkak-bengkak tergores-gores lama 5 jam baru selesai ,” tutur seorang Punggawa Pa’es. Beberapa nelayan yang ditemui mengatakan kalau orang menggunakan bom ikan jauh dari pulau, tetapi lokasi pencarian ikan memang dekat dengan karang (taka) yang dalamnya hanya sekitar 5 - 25 meter. Mereka menangkap ikan bukan di area terumbu karang, karena akan sulit dan tubuh bisa terluka bila mengambil ikan yang jatuh di karang akibat ledakan bom ikan. Orang biasa meledakkan bom ikan di permukaan air tepat di atas area pinggir-pinggir terumbu karang yang berupa hamparan pasir dan batu-batu. Bom meledak jangkauan getarannya antara 5 - 6 meter (4 depa ke kanan-kiri, atas-bawah). Kalau nelayan yang melempar bom salah ambil sumbu, misalnya sumbu bom terlalu panjang, maka bom akan jatuh ke dasar laut, dan tidak menimbulkan getaran yang mematikan ikan. Biasanya si nelayan akan dimarahi oleh punggawa, karena berarti membuang-buang bom ikan saja tanpa hasil, padahal harga bom ikan sangat mahal bagi nelayan. Kalau bom ikan jatuh tepat di atas karang barulah akan meledakkan karang dengan kerusakan hanya sekitar ½ - 1 meter. Kalau hanya 2 depa di atas karang tidak akan menghancurkan karang. Misalnya kalau ada orang menyelam ke dalam laut, kita lempar bom, asal tidak mengenainya langsung tidak apa-apa, apalagi kalau kepala orang tersebut ada di atas air. Bagi nelayan sesungguhnya menyetop pemboman dalam sehari saja bisa, ”asal mau stop barang-barang itu seperti detonator (lopis) dan pupuk”, kata seorang nelayan Pa’es. Pemerintah ternyata membuka terus gudang pupuk dan kepolisian membiarkan terus lopis keluar.
Nelayan melihat bahwa
pemerintah dan aparat keamanan bersikap ambivalent (mendua), di satu sisi mereka tidak menyetujui penggunaan bom ikan, tapi mereka pulalah yang mengejar keuntungan melalui adanya praktek kenelayanan destruktif ini, dengan memungut ’uang polisi’ dan dana untuk pembangunan (rent seeker).
158
Persepsi nelayan kalau orang mengebom, akan datang ikan-ikan untuk makan ikan-ikan kecil yang mati, yang berarti akan makin banyak ikan di tempat tersebut, sehingga orang lain dari pulau terdekat berkata : ”ambil-ambil saja” , sebaliknya praktek penggunaan potasa akan menyebabkan karang dan tanaman serta makanan ikan mati bahkan juga anak-anak ikan, warna karang jadi putih (bleaching), sehingga seringkali orang yang melakukan potasa akan dikejar-kejar orang dengan menggunakan parang. Contohnya pada saat riset ini berlangsung, beberapa nelayan Pulau Barrang Lompo marah dan mencari-cari pelakunya dengan membawa senjata (parang, badik) karena perairan di sekitar Barang Caddi dan Bonetambung dipenuhi dengan potasa. Potassium sianida bagi mereka jahat sekali. Pernah ada LSM, perwakilan walikota dan polairud tahun 2002-an menyuruh berhenti sama sekali pemakaian bom, maka dijawab oleh para nelayan bahwa mereka senang kalau bisa berhenti mengebom. ”... tapi bagaimana makan kami, biaya pendidikan anak kami. Bila kami diberi pekerjaan, tidak usah yang terlalu besar gajinya, asal cukup untuk makan saja, hari ini juga kami akan berhenti,” kata penduduk dalam menyampaikan harapannya.
7.5 Pembahasan Perbedaan pendapat di antara ketiga stakeholder terhadap fenomena penggunaan bom ikan akan sangat mempengaruhi kinerja mereka (profesionalitas). Bila kinerja ketiga stakeholder tersebut tidak sesuai dengan standar kerja yang diharapkan dari mereka atau malah menyimpang dari ketentuan standar kerja, maka dampak yang langsung akan terasa. Sikap itu bisa digambarkan secara simbolis sebagaimana yang tertera pada Gambar 15.
159
Pengelola Perikanan
Fenomena Nelayan Bom Ikan
Penegak Hukum
Pemanfaat Perikanan
Gambar 15 Implikasi perbedaan pendapat 7. 5. 1 Pengaruhnya terhadap para pengelola perikanan Pengelolaan perikanan bertujuan agar nelayan dapat memperoleh hasil tangkapan secara berkesinambungan dan kondisi sumberdaya laut lestari. Obyek yang dikelola adalah manusianya atau masyarakat yang menjadi pengguna sumberdaya laut (Nikijuluw, 2002). Perbedaan pendapat bisa terjadi bila terdapat pemahaman yang berbeda terhadap perilaku yang berdampak pada sumberdaya laut. Faktor pengetahuan yang kurang terhadap laut dan kegiatan di atasnya akan menimbulkan perbedaan pendapat. Pihak penegak hukum dan pengelola perikanan yang kurang pengetahuan tentang kegiatan laut akan dengan mudahnya melakukan stigmatisasi bahwa nelayan pengguna bom ikan perusak lingkungan dan serakah (greedy). Interaksi yang muncul terhadap nelayan adalah negatif, artinya tidak bersahabat dan penuh stereotip yang menganggap nelayan serba jelek, seperti bodoh, membangkang, serakah, mau mudahnya mencari nafkah, merusak lingkungan, tidak peduli nasib anak cucu di kemudian hari, dan lain-lain. Respon dari nelayan tentunya juga akan cenderung menganggap pihakpihak lain serba jelek juga, seperti pemerintah tidak memperhatikan nasib nelayan,
160
penegak hukum hanya mencari uang suap alias korupsi, pemerintah dan penegak hukum hanya memperkaya diri dengan memeras nelayan, dan lain-lain. Suasana yang kontradiktif ini tidak akan memungkinkan pengelolaan perikanan berjalan dengan baik. Peraturan-peraturan yang datang dari atas tidak akan diperhatikan dan tindakan-tindakan hukum yang tegas akan dijawab dengan sikap ’kucing-kucingan’, di depan penegak hukum bersikap patuh, begitu penegak hukum tidak ada mereka akan melanggar atau menggunakan teknologi destruktif untuk menangkap ikan.
Sikap semacam ini akan mendorong perusakan
lingkungan secara besar-besaran sebagaimana yang terjadi selama ini.
7.5.2 Pengaruhnya terhadap para penegak hukum Profesional capability yang kurang pada penegak hukum dalam hal mengatasi fenomena penggunaan alat tangkap ikan destruktif. Kurang kapabilitas di sini dalam banyak hal, baik pada tingkat pengetahuan, sarana dan prasarana untuk pengawasan, dan dana. Penghasilan mereka yang rendah bahkan sebagian harus tinggal di pulau-pulau kecil jauh dari keluarga dan kesulitan dana untuk melakukan tugas pengawasan karena keterbatasan sarana dan prasarana yang tidak jarang menyebabkan mereka mengalami profesional liability (tidak bisa menjalankan tugasnya). Penegakan hukum menjadi semakin sulit terwujud, tidak hanya karena sikap pemanfaat perikanan yang berani melanggar hukum, tetapi karena ulah para penegak hukum yang dicap para pemanfaat perikanan sebagai telah melakukan korupsi. Sementara itu sebagian penegak hukum bersikap bahwa sudah sewajarnya memungut uang dari para pengguna teknologi destruktif karena melanggar hukum. Selain itu, tindakan memungut uang (denda) ini lebih ringan dibandingkan menangkap mereka dan memasukkan ke penjara. Faktor sosialisasi peraturan dan undang-undang tentang perikanan yang sangat kurang kepada para pihak, baik kepada pemanfaat perikanan, pengelola perikanan bahkan juga ke penegak hukum. Nelayan tidak tahu apakah penggunaan teknologi perusak ini adalah pidana yang berarti harus masuk penjara, ataukah bukan pidana, hanya sanksi berupa denda. Penegak hukum juga selama ini hanya mendakwa nelayan dengan undang-undang pemilikan senjata api.
Lemahnya
161
sosialisasi hukum juga merupakan faktor penting yang menyebabkan maraknya destructive fishing. Usaha-usaha konservasi dengan membuat aturan-aturan pengelolaan baik pada tingkat desa maupun tingkat-tingkat di atasnya seringkali malah menimbulkan konflik antar nelayan yang bisa menimbulkan konflik berdarah. Sosialisasi yang kurang dan penegak hukum yang tidak wibawa menjadi masalah pokok.
7.5.3 Pengaruhnya terhadap para pemanfaat perikanan Profesional responsibility tidak berjalan baik, khususnya pada penegak hukum dan pengelola perikanan. Justru sebaliknya, para pemanfaat perikanan memiliki profesional responsibility yang memadai. Mereka melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin untuk memperoleh hasil yang terbaik. Ada faktor eksternal yang menyebabkan para pemanfaat perikanan kukuh untuk melangsungkan pekerjaan nelayan bom ikan. Faktor eksternalnya ada beberapa : 1) kebijakan pemerintah yang berorientasi ke darat, sehingga tidak pernah bersungguh-sungguh mengatasi masalah ini; 2) kebijakan pemerintah yang bersifat ’tebang-pilih’,
berusaha menghentikan nelayan pengguna teknologi
destruktif, tetapi memberi ijin kepada perusahaan ikan hias dan pengambilan karang untuk akuarium (ada 2 perusahaan di PBL), serta membiarkan kapal-kapal besar (yang dikatakan nelayan sebagai kapal-kapal asing) yang juga menggunakan teknologi destruktif (social injustice) ; 3) tidak memberikan alternatif yang jelas kepada para pemanfaat perikanan kalau usaha kenelayanan tersebut dihentikan. Sikap penegak hukum dan pengelola perikanan yang digambarkan oleh para pemanfaat perikanan sebagai ’terlibat aktif’ dalam perdagangan ilegal material bom maupun penangkapan ikan dengan cara destruktif melunturkan kepercayaan masyarakat
telah
terhadap hukum. Hukum tidak ada lagi
wibawanya dalam pandangan mereka. Hukum bisa
dibeli dengan uang.
Keperluan mencari nafkah bagi keluarga menjadi pedoman yang paling penting. Apalagi didukung oleh kultur yang berprinsip bahwa merupakan ’siri ’ bagi mereka bila tidak berhasil dalam mencari nafkah untuk menghidupi keluarga
162
(menimbulkan malu yang amat dalam). Itulah sebabnya mereka mati-matian dalam usaha ekonominya. Dalam pengetahuan mereka yang dilatarbelakangi budaya Bugis-Makassar, penggunaan bom ikan hanya sekedar melanggar hukum, tetapi kegiatan yang melanggar itu terbukti bermanfaat untuk kehidupan keluarga mereka. Kesalahan ini justru masih digolongkan di bawah kategori orang yang minum miras atau pergi ke pelacuran yang diklasifikasikan sebagai kenakalan yang menghamburhamburkan uang. Barulah disebut kejahatan apabila seseorang sudah melakukan pencurian. Bila hal ini terjadi di dalam operasi penangkapan ikan, orang tersebut akan segera dikeluarkan dari kelompok kerja kapal tersebut. Kategori tertinggi adalah mengganggu perempuan yang merupakan kejahatan yang tidak bisa dimaafkan (Siri’na pacce ) dan seringkali harus ditebus dengan nyawa (Moein, 1994).
Tertinggi Perbuatan tidak baik
mengganggu perempuan
Kejahatan
mencuri
Kenakalan
Miras, ke pelacuran
Pelanggaran ringan
kerja nelayan bom ikan
Gambar 16 Tingkatan perbuatan tidak baik Tidak mengherankan bila sampai sekarang usaha kenelayanan dengan menggunakan teknologi destruktif ini berjalan terus. Para pemanfaat perikanan tidak punya pilihan di tengah-tengah krisis ekonomi, harga kebutuhan sehari meningkat, biaya operasi penangkapan ikan melambung, harga ikan yang relatif rendah, maka penggunaan teknologi perusak menjadi pilihan. Bila kondisi open access resources ini berjalan terus akan menyebabkan apa yang dikatakan oleh Garret Hardin (1968) sebagai ’tragedy of the common’.
163
7.5.4 Perlunya common understanding Berbagai pertemuan telah berlangsung antar para pihak, hanya saja perbedaan pendapat terus berlangsung sehingga pertemuan-pertemuan selalu tidak memberikan solusi yang konkrit sebagaimana pertemuan di Paotere. Perbedaan pendapat telah menyebabkan seseorang menyusun stereotip terhadap pihak lain, dan hal ini menyebabkan keengganan masing-masing pihak untuk mencari solusi yang sifatnya kompromis (lost – lost solution). Perbedaan pendapat terjadi karena : 1) ketidakpahaman terhadap kerja kenelayanan bom ikan, 2) Sudut pandang yang berbeda, dan 3) kepentingan yang berbeda. Ketidakpahaman terjadi karena kurangnya pengalaman empiris dari aparat pemerintah (pengelola perikanan) maupun aparat keamanan (penegak hukum) tentang kenelayanan bom ikan ini. Umumnya kedua pihak ini bekerja di belakang meja (arm-chair bureaucrat), kekurangpengetahuan tentang teknologi kenelayanan serta kurangnya pengetahuan kelautan,
dan adanya keterbatasan
untuk terjun ke masyarakat, seperti karena masalah protokuler dan masalah dana. Sudut pandang yang dipakai pun berbeda. Penegak hukum berdasarkan UU dan instruksi, melihat masalah ini dari sudut keamanan. Sedangkan pengelola perikanan melihatnya dari sisi ’anggapan umum’ bahwa penggunaan bom ikan merusak lingkungan tanpa pernah melihat langsung. Kebijakan populer adalah melarang tanpa memperhitungkan masalah kesejahteraan masyarakat. Kedua, kepentingan yang berbeda diantara ketiga aktor tersebut. Pemanfaat perikanan melihatnya sebagai alat tangkap yang efisien dan terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Sementara penegak hukum mempunyai kepentingan keamanan dan penertiban hukum dan pengelola perikanan berorientasi pada pelaksanaan kebijakan dari atas. Di
balik
perbedaan
semua
itu,
penegak
hukum
memperoleh
keuntungan ”cuma-cuma” dari adanya usaha tangkap ikan dengan bom. Penegak hukum memperoleh uang
dan ikan dari pemanfaat perikanan. Pengelola
perikanan tentu saja sering terbantukan dengan dana-dana sponsor khususnya dari punggawa pa’es pada saat melakukan kegiatan seperti acara 17-an, pembangunan kantor, pelaksanaan program-program lain bahkan sampai kegiatan yang bersifat personal.
164
Upaya mengubah praktek destructive fishing dari nelayan pengguna bom ikan menjadi sustainable fishing dapat dilakukan melalui program communitybased management yang umum dilakukan (Crawford et al., 2000; Nikijuluw, 2002), seperti penetapan daerah perlindungan laut, pengembangan kegiatan produktif yang ramah lingkungan serta penguatan kelembagaan yang memberi kesempatan para stakeholder untuk berperan secara fair. Prasyarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum menjalankan program-program tersebut adalah para stakeholder harus memiliki persepsi yang sama (common understanding) tentang jenis alat penangkap ikan, kerusakan sumberdaya alam laut, jenis pelanggaran, dan pemecahan masalah (solusi) sebagaimana yang telah dikemukakan pada Tabel 7 di atas. Upaya atau program-program untuk mengurangi tekanan kenelayanan destruktif ini akan dibahas selengkapnya pada bab berikutnya, baik berupa program-program pemberdayaan yang sudah pernah diterapkan sebelumnya, kelemahan-kelemahannya dan dilakukan pada komunitas nelayan di pulau ini.
upaya yang mungkin