7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN
7.1 Pendahuluan Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Secara umum, menangkap ikan dengan bubu adalah agar ikan berkeinginan masuk ke dalam tempat atau jebakan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tertangkapnya ikan oleh bubu adalah tertarik oleh umpan. Metode pengoperasian bubu dengan umpan didasarkan pada insting tingkah laku makan pada ikan (Lokkeborg 1994). Tingkah laku makan ikan merupakan hasil interaksi dari organ-organ yang peka terhadap cahaya (light), mekanik, kimia, dan rangsangan elektromagnetik yang bergantung pada habitat dan pengenalan bahan makanan (Liang et al. 1998). Dengan kata lain, organ penglihatan, penciuman, dan linea lateralis dapat ikut berperan dalam tingkah laku makan ikan. Pola tingkah laku ikan saat mendekati umpan terdiri atas tahapan ( Lokkeborg 1994, Baskoro dan Effendy 2005): (1) Arousal (rangsangan) Ketika penempatan umpan dalam bubu dapat menimbulkan rangsangan pada ikan, maka organ penciuman yang terlebih dahulu berperan. Organ tersebut biasanya digunakan untuk mendeteksi mangsa/umpan yang letaknya jauh. Rangsangan tersebut timbul karena kandungan kimia pada umpan (2) Mencari lokasi umpan Dalam mencari posisi umpan yang menarik rangsangan kimia ikan, organ penglihatan yang mulai berperan. Namun tidak terlepas pula bahwa organ penciuman masih ikut bekerja karena bau umpan disebarkan bergantung pada dari arah arus. (3) Posisi ikan mendekati bubu berumpan dan pintu masuk Pada saat ikan telah melihat umpan yang menimbulkan rangsangan kimianya, biasanya ikan tidak langsung masuk pada bubu tetapi hanya
136 dengan mengamati posisi umpan dengan cara mengitari dan mendekati pintu masuk bubu (4) Saat masuk di dalam bubu Apabila rangsangan kimia yang dikeluarkan dari umpan semakin kuat ditunjang dengan arah arus yang menjadikan ikan dapat mendeteksi keberadaan umpan, maka dengan perlahan ikan akan mendekati umpan (5) Aktivitas makan di dalam bubu Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, biasanya ikan akan melakukan gerakan-gerakan halus di dalam bubu yang kemudian mulai menuju ke umpan dan menggigit umpan. Namun, ada beberapa spesies ikan yang dengan cepat mulai melihat keadaan sekeliling setelah menggigit umpan. Menurut Subani dan Barus (1989), umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan, khususnya untuk alat tangkap pasif seperti bubu dan pancing. Umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Tertariknya ikan pada umpan disebabkan oleh rangsangan berupa warna, gerak, bentuk, rasa, dan bau (Gunarso 1985). Penggunaan alat bantu pengumpul ikan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi penangkapan ikan (Bramono 2006) Menurut Rahardjo (1988) diacu dalam Purbayanto (1998), berdasarkan teknik penangkapan ada dua macam daya tarik yang menyebabkan ikan masuk ke dalam suatu perangkap, yaitu melalui daya tarik penciuman dan mata yang bergantung pada spesies ikan dan kondisi perairan. Organ penglihatan dan penciuman pada ikan yang hidup di zona eufotik (zona bercahaya) masih memungkinkan dapat digunakan sampai batas ambang tertentu untuk mendeteksi keberadaan umpan. Akan tetapi apabila sudah di luar ambang batas toleransi penglihatan, maka organ penciuman yang lebih berperan. Untuk jenis ikan yang hidup di zona afotik, organ penciumanlah yang sangat berperan karena organ penglihatan sudah tidak berfungsi lagi. Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu tujuan. Efektivitas (Ef) sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah
137 didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen (Gibson et al. 1990). Efektivitas dapat pula diartikan perbandingan antara hasil dan tujuan dalam persen, yaitu apabila nilai sebagai efektivitasnya di atas 100% maka dapat dikatakan cukup efektif, sedangkan apabila nilai efektivitasnya di bawah 100% dapat dikatakan kurang efektif. Dengan kata lain, efektivitas sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen. Efektivitas alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan. Tujuan penangkapan yang dimaksud harus mengacu ke usaha menjaga keberlangsungan sumber daya ikan, yaitu operasi penangkapan dengan mempertimbangkan faktor keramahan terhadap lingkungan yang sesuai dengan Code of Conduct for Responssible Fisheries. Nilai efektivitas alat tangkap dapat dikategorikan tiga, yaitu apabila nilainya kurang dari 50% dapat dikatakan alat tangkap tersebut efektivitasnya rendah, nilai 50%-80% dikatakan alat tangkap yang cukup efektivitasnya, dan nilai 80%-100% dikatakan alat tangkap yang efektivitasnya tinggi (Baskoro et al. 2006). Menurut Friedman (1988), hasil tangkapan suatu alat tangkap dipengaruhi efektivitas alat dan efisiensi cara operasi. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa efektivitas alat tangkap secara umum bergantung pada faktor-faktor, antara lain parameter alat tangkap itu sendiri (rancang bangun dan konstruksi), pola tingkah laku ikan, ketersediaan atau kelimpahan ikan, dan kondisi oseanografi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat efektivitas umpan pada bubu pada hasil tangkapan ikan kerapu.
7.2 Metode Penelitian 7.2.1 Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2008 di perairan Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta (Gambar 73).
138 7.2.2 Metode penelitian Metode yang digunakan adalah eksperimental penangkapan (experimental fishing) dengan rancangan acak lengkap (RAL) faktor. Penelitian ini menggunakan dua faktor yang mempengaruhi percobaan, yaitu jenis umpan dan waktu pemasangan bubu (soaking time). Masing-masing faktor mempunyai taraf, yaitu: 1 Faktor pertama jenis umpan a. Taraf 1 (a1) : umpan ikan rucah b. Taraf 2 (a2) : umpan udang c. Taraf 3 (a3) : umpan gonad bulu babi d. Taraf 4 (a4) : umpan buatan jenis B e. Taraf 5 (a5) : umpan buatan jenis D Penentuan buatan jenis B dan jenis D yang digunakan untuk uji coba di lapangan didasarkan pada hasil pengamatan terhadap rata-rata waktu respons yang paling cepat pada uji coba ikan kerapu skala laboratorium 2 Faktor kedua waktu pemasangan bubu (soaking time) a. Taraf 1 (b1) : pemasangan siang (waktu setting pada pagi hari dan hauling pada sore hari) b. Taraf 2 (b2) : pemasangan malam (waktu setting pada sore hari dan hauling pada pagi hari) Asumsi yang digunakan pada penelitian ini adalah 1. Perlakuan jenis umpan diacak tanpa memilih bubu mana yang akan dipasang. 2. Lokasi dan kedalaman pemasangan bubu sama untuk semua perlakuan. 3. Faktor eksternal lingkungan, seperti angin, arus, dan musim diabaikan. 4. Lama waktu perendaman pada saat operasi dianggap sama.
139 Peta lokasi penelitian operasi penangkapan ikan kerapu dapat dilihat pada Gambar 73.
Keterangan : Lokasi penelitian
Gambar 73 Peta lokasi operasi penangkapan ikan kerapu
7.2.3 Penangkapan ikan kerapu 7.2.3.1 Peralatan yang digunakan Peralatan yang digunakan selama penelitian di lapangan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Peralatan yang digunakan selama penelitian di lapangan No 1 2 3
Alat Unit penangkapan bubu tambun Peralatan tulis Buku identifikasi
4
Timbangan dengan ketelitian 1g Penggaris dengan ketelitian 1 mm Umpan alami dan umpan buatan
5 6
Kegunaan Alat penangkap ikan kerapu Mencatat data lapangan Mengidentifikasi hasil tangkapan bubu Mengukur berat ikan hasil tangkapan Mengukur panjang total ikan hasil tangkapan Atraktor penangkapan
140 Konstruksi bubu tambun yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 74.
3 cm 3 cm
Gambar 74 Konstruksi bubu tambun
7.2.3.2 Pengoperasian bubu Sistem pengoperasian bubu dengan cara meletakkan di dasar substrat berpasir di antara komunitas terumbu karang. Bubu ditimbun atau ditindih dengan karang yang telah mati, yang berfungsi sebagai pemberat juga untuk menutupi bubu. Semua bubu sebelum dioperasikan diberi tanda terlebih dahulu untuk membedakan jenis umpan. Setiap lima buah bubu diberi umpan yang berbeda yaitu ikan juwi, udang, gonad bulu babi, umpan buatan B, dan umpan buatan D, sedangkan satu bubu tidak diberi umpan (kontrol). Pemasangan antarbubu dilakukan secara acak dengan jarak antarbubu adalah 1,5–4 m. Hal tersebut bertujuan agar aroma yang ditimbulkan dari masing-masing umpan pada bubu tidak akan bercampur (Lokkeborg 1994). Pengoperasian bubu dilakukan setiap hari dengan 2 trip, yaitu pagi dan sore hari. Masing-masing trip diulang sebanyak 20 kali, sehingga total ulangan adalah 40 kali. Pemasangan (setting) bubu sampai pengangkatan (hauling) bubu dilakukan pada batas waktu yang sama pada setiap ulangan, yaitu selama 6 jam operasi. Waktu yang diperlukan untuk pengangkatan bubu (hauling) dan penurunan (setting) sekitar 15 menit, termasuk pengambilan hasil tangkapan dan
141 penggantian umpan. Setting bubu dilakukan pada pagi hari antara pukul 08.00– 08.30 WIB dan diturunkan kembali 15 menit kemudian untuk diangkat (hauling) lagi pada sore hari antara pukul 16.00-16.30 WIB. Kemudian dilanjutkan kembali dengan setting bubu dan diturunkan 15 menit kemudian untuk diangkat (hauling) lagi pada sore hari antara pukul 08.00 – 08.30 WIB. Demikian seterusnya hingga masing-masing setting diulang hingga 10 kali ulangan. Jadi lamanya bubu dipasang dalam air sekitar 6 jam.
7.2.4 Pengumpulan data Hasil tangkapan yang diperoleh dikumpulkan setiap trip, yaitu saat hauling pada pukul 08.30-09.00 WIB dan pukul 15.30-16.00 WIB dengan jumlah ulangan penangkapan masing-masing trip 10 kali (total 20 trip). Data yang dicatat adalah jumlah, jenis, ukuran, dan berat hasil tangkapan setiap kali trip dari masingmasing bubu yang menggunakan jenis umpan yang berbeda. Ikan hasil tangkapan tersebut kemudian diidentifikasi.
7.2.5 Analisis data 7.2.5.1 Hasil tangkapan bubu Komposisi hasil tangkapan dilakukan untuk mengelompokkan hasil tangkapan ke dalam kelompok-kelompok (kelas) ukuran tertentu. Ukuran yang digunakan untuk pengelompokan hasil tangkapan adalah ukuran berat dan panjang total. Ukuran berat hasil tangkapan dikelompokkan dalam selang kelas dan interval kelas berat. Ukuran panjang total hasil tangkapan dikelompokkan dalam selang kelas dan interval kelas panjang total (total length/TL). Penentuan jumlah selang kelas dan interval kelas untuk ukuran berat dan panjang total dihitung menggunakan rumus distribusi frekuensi menurut Walpole (1995), yaitu: K = 1 + 3,3 log n Lebar kelas (i) = Nilai terbesar – Nilai terkecil K Keterangan : K = jumlah kelas n = banyaknya data
142 7.2.5.2 Efektivitas penangkapan ikan kerapu Pengukuran efektivitas penggunaan umpan pada bubu dapat dilakukan dengan 2 (dua) metode, yaitu: 1) Ditujukan untuk mengukur efektivitas penggunaan umpan pada bubu untuk menangkap ikan kerapu (Ef), yaitu banyaknya bubu menggunakan umpan yang menangkap ikan kerapu (Bk) dibandingkan dengan jumlah total bubu yang digunakan (TB) yang dinyatakan dalam persen. Rumus tersebut ditulis sebagai berikut: Bk .100% TB
Ef
2) Demikian pula untuk pengukuran efektivitas penangkapan ikan kerapu pada masing-masing umpan pada pengoperasian bubu untuk menangkap ikan kerapu (Ef(u-i)), yaitu banyaknya bubu menggunakan umpan-i yang menangkap ikan kerapu (Bku-i) dibandingkan dengan jumlah total bubu yang menggunakan umpan (TBu-i) yang dinyatakan dalam persen, adalah sebagai berikut: Ef
u i
Bku i .100% TBu i
Perhitungan efektivitas suatu alat tangkap (khususnya alat tangkap bubu) tidak dapat mengacu secara langsung berdasarkan pendapat Baskoro et al. (2006), bahwa apabila nilai persentase tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu tujuan di atas 100% dikatakan sudah efektif dan nilai persentase di bawah 100% dikatakan tidak efektif. Hal tersebut disebabkan: 1) Berdasarkan ketentuan dari CCRF (Code of Conduct Responssible Fisheries) dan syarat alat tangkap yang berwawasan lingkungan bahwa hasil tangkapan alat tangkap bukan berdasarkan hasil tangkapan maksimum tetapi hasil tangkapan optimum, artinya bahwa selektivitas alat tangkap harus diperhatikan 2) Sifat alat tangkap bubu yang pasif, yang memungkinkan bahwa setiap bubu yang dipasang (setting) pada suatu perairan akan memiliki peluang yang sama dalam menangkap ikan target tangkapan
143 7.2.6 Perbedaan jumlah tangkapan Untuk melihat perbedaan jumlah tangkapan pada setiap bubu berdasarkan perbedaan penggunaan jenis dan lama waktu pemasangan umpan dilakukan uji statistik median dengan menggunakan SPSS versi 13. Sebelumnya data dilakukan uji kenormalan, data yang tidak normal akan dinormalkan dengan cara transformasi logaritma natural.
7.3 Hasil 7.3.1 Komposisi total hasil tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh untuk setiap pengangkatan dipisahkan berdasarkan jenis umpan yang digunakan dan setiap jenis ikan karang dihitung jumlahnya. Jumlah trip bubu tambun yang dilakukan selama penelitian sebanyak 20 kali ulangan. Hasil tangkapan bubu tambun dari kelompok ikan sebanyak 12 famili antara lain jenis ikan kerapu (famili Serranidae), kakatua (famili Scaridae), betok (famili Pomacentridae), serak (famili Nemipteridae), nori (famili Labridae) dan jenis ikan karang lainnya dengan total tangkapan 1074 ekor dan berat total 67151 kg. Hasil tangkapan dominan dari segi jumlah adalah Pomacentridae 388 ekor (36,13%), Scaridae 215 ekor (20,02%), Labridae 138 ekor (12,85%) dan Serranidae 80 ekor (7,45%). Komposi jumlah dan berat hasil tangkapan bubu disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Komposisi jumlah dan berat hasil tangkapan bubu tambun No. 1
2
Famili Serranidae
Scaridae
Spesies Kerapu koko Kerapu karet Kerapu macan Kerapu langalanga Kerapu lumpur Kerapu lodi/sunu Kerapu lada Kerapu lokal Sub total Kakatua
26 27 21
4,08 3,09 4,49
Presentase Jumlah (%) 2,42 2,51 1,96
1 1 2 1 1 80
100 70 270 100 70 12,27
0,09 0,09 0,19 0,09 0,09 7,45
0,15 0,10 0,40 0,15 0,10 18,18
107
6,70
9,96
9,93
Jumlah (ekor)
Berat (g)
Presentase Berat (%) 6,04 4,59 6,65
144
Tabel 12
No.
(lanjutan)
Famili
Spesies Kakatua merah Kakatua hijau Kakatua hitam Kakatua biru Kakatua putih Sub total
19 36 9 8 36 215
2,11 3,69 1,16 765 2,28 16,69
Presentase Jumlah (%) 1,77 3,35 0,84 0,75 3,35 20,02
Jumlah (ekor)
Berat (g)
Presentase Berat (%) 3,12 5,48 1,71 1,13 3,37 24,75
3
Pomacentridae
Betok Betok hitam Betok susu Betok putih Sersan mayor Sub total
38 51 5 6 288 388
3,30 2,51 250 200 11,47 17,73
3,54 4,75 0,47 0,56 26,82 36,13
4,89 3,72 0,37 0,29 17,00 26,29
4
Labridae
jarang gigi Nori Sub total
13 125 138
905 11,01 11,92
1,21 11,64 12,85
1,34 16,32 17,66
5
Siganidae
Kea-kea Lingkis Sub total
16 8 24
740 430 1,17
1,49 0,75 2,24
1,09 0,64 1,73
6
Nemipteridae
13 10 23
981 1,02 1,99
1,21 0,93 2,14
1,45 1,50 2,96
7 8 9 10
Haemulidae Lencam Lutjanidae Tanda-tanda Holocentridae Swanggi Monachantidae Kipas-kipas Sub total
11 2 5 28 46
800 270 285 952 2,31
1,02 0,19 0,47 2,61 4,28
1,19 0,40 0,42 1,41 3,42
11
Chaetodontidae
93 67 160 1.07
1,14 2,23 3,37 67,46
8,66 6,24 14,89 100,00
1,69 3,31 5,00 100,00
1
Portunidae
2
Xanthidae
2 2 2 6
200 135 770 1,11
33,33 33,33 33,33 100,00
18,10 12,22 69,68 100,00
Serak Pasir Sub total
Kepe-kepe Marmut Sub total Total kepiting merah kepiting rajungan kepiting plonkor Total
Dilihat dari beratnya, hasil tangkapan yang dominan adalah Pomacentridae 17,73 g (26,29%); Scaridae 16,695 g (24,75%); Serranidae 12,265 g (18,18%) dan
145 Labridae 11,915 g (17,66%). Hasil tangkapan dari kelompok crustacea ada sebanyak 3 spesies dari 2 famili. Crustacea yang tertangkap di antaranya kepiting solasi, rajungan, dan kepiting plonkor Komposisi hasil tangkapan bubu tambun selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 75.
1.19%
0.40%
0.42% 1.41%
5.00%
18.18%
2.96% 1.73% 17.66%
24.75% 26.29%
Serranidae Siganidae Holocentridae
Scaridae Nemipteridae Monachantidae
Pomacentridae Haemulidae Chaetodontidae
Labridae Lutjanidae
Gambar 75 Komposisi berat hasil tangkapan bubu tambun
7.3.2 Komposisi hasil tangkapan ikan kerapu Berdasarkan hasil tangkapan bubu selama penelitian, ikan kerapu yang tertangkap sebanyak 7 jenis, meliputi kerapu macan, kerapu karet, kerapu koko, kerapu langa-langa, kerapu lodi/sunu, kerapu lada, dan kerapu lokal. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu dominan yang tertangkap memiliki kisaran ukuran yang cukup seragam. Ikan kerapu dominan yang tertangkap adalah kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu karet (Epinephelus fasciatus), dan kerapu koko (Epinephelus merra). Ikan kerapu macan (E. fuscoguttatus) tertangkap pada kisaran ukuran panjang total 190-300 mm, kerapu karet (E. fasciatus) dengan kisaran ukuran panjang total 150-260 mm, dan kerapu koko (E. merra) dengan kisaran panjang total 150-260 mm. Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu macan disajikan pada Gambar 76.
146 Length at first maturity ( 280 mm)
9
Hasil Tangkapan (ekor)
8 7 6 5 4 3 2 1 0 170-196
197-223
224-250
251-277
278-304
Selang Kelas (m m )
Gambar 76 Komposisi panjang kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) hasil tangkapan Jumlah ikan kerapu macan yang tertangkap selama penelitian adalah sebanyak 21 ekor. Sebaran hasil tangkapan yang terbanyak terdapat pada selang kelas 197-223 mm dengan jumlah 8 ekor. Pada selang kelas antara 170-196 mm sampai 278-304 mm relatif sedikit hasil tangkapan yang didapatkan. Hal ini menunjukkan ikan kerapu macan yang muda lebih banyak tertangkap dibandingkan dengan ikan yang lebih tua. Ukuran layak tangkap E. fuscoguttatus pada ukuran panjang ≥ 280 mm (length at first maturity) (Anonim 2008). Jumlah ikan kerapu karet yang tertangkap dalam penelitian ini sebanyak 27 ekor dan semuanya layak tangkap berdasarkan ukuran panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity) sebesar 130 mm (Anonim 2008). Ikan kerapu karet (Epinephelus fasciatus) yang tertangkap tersebut cenderung menyebar normal. Sebaran ukuran panjang terbanyak pada selang kelas 196-218 mm, yaitu sebanyak 8 ekor. Pada selang kelas (219-241 mm) dan selang kelas tertinggi (242-264 mm) jumlah tangkapan yang didapatkan relatif sedikit, yaitu 4 dan 2 ekor. Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu karet (Epinephelus fasciatus) disajikan pada Gambar 77.
147
Length at first maturity ( 130 mm)
9
Hasil Tangkapan (ekor)
8 7 6 5 4 3 2 1 0
150-172
173-195
196-218
219-241
242-264
Selang Kelas (m m )
Gambar 77 Komposisi panjang kerapu karet (Epinephelus fasciatus) hasil tangkapan Jumlah ikan kerapu koko (Epinephelus merra) yang tertangkap sebanyak 26 ekor yang tersebar dalam 5 selang kelas frekuensi panjang dan yang layak tangkap berdasarkan ukuran panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity) sebanyak 23 ekor dengan ukuran sebesar 169 mm (Anonim 2008). Sebaran frekuensi panjang total terbanyak tertangkap pada selang kelas 205-219 mm yaitu sebanyak 9 ekor. Pada selang kelas 235-249 mm, dan selang kelas tertinggi (250264 mm) hasil tangkapan yang diperoleh relatif lebih sedikit yaitu 1 dan 2 ekor. Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu koko (Epinephelus merra) disajikan pada
Hasil Tangkapan (ekor)
Gambar 78. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Length at first maturity ( 169 mm)
190-204
205-219
220-234
235-249
250-264
Selang kelas (mm)
Gambar 78 Komposisi panjang kerapu koko (Epinephelus merra) hasil tangkapan bubu
148 Berdasarkan komposisi berat hasil tangkapan ikan kerapu yang tertangkap, memiliki kisaran ukuran berat yang beragam dari ukuran yang terkecil 50 g hingga ukuran terbesar 500 g. Ukuran kerapu akan memiliki nilai jual tinggi jika memiliki ukuran semakin besar. Ukuran ikan kerapu yang memiliki nilai jual adalah minimal berukuran 300 g. Untuk ikan yang tertangkap di bawah ukuran tersebut tidak dapat langsung dijual. Ikan tersebut dipelihara oleh nelayan dalam keramba jaring apung hingga ukurannya mencapai ukuran minimal layak jual. Ukuran berat kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang dominan tertangkap terletak pada selang kelas 75-160 mm, yaitu sebanyak 9 ekor. Ukuran layak tangkap (layak jual) dari ukuran berat, yaitu 300 g. Ikan kerapu macan yang tertangkap pada ukuran tersebut hanya 5 ekor atau 25% yang layak jual. Sebaran frekuensi berat ikan kerapu macan disajikan pada Gambar 79.
10
Hasil Tangkapan (ekor)
9
Tidak layak jual 14 ekor
Layak jual 7 ekor
8
Ukuran jual = 300 g
7 6 5 4 3 2 1 0 75-160
161-246
247-332
333-418
419-504
selang Kelas (gram )
Gambar 79 Komposisi berat kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) hasil tangkapan Ukuran berat kerapu karet (Epinephelus fasciatus) yang dominan tertangkap terletak pada selang kelas 50-100 g, yaitu sebanyak 14 ekor. Ukuran kerapu layak tangkap (layak jual) menurut ukuran berat minimal 300 g. Ikan kerapu karet yang tertangkap pada ukuran tersebut hanya 2 ekor atau 8% yang layak jual. Sebaran frekuensi berat ikan kerapu karet disajikan pada Gambar 80.
149 16
Tidak Layak jual 25 ekor
Hasil Tangkapan (ekor)
14 12
Layak jual 2 ekor
Ukuran jual = 300 g
10 8 6 4 2 0 50-100
101-151
152-202
203-253
254-304
Selang Kelas (gram )
Gambar 80 Komposisi berat kerapu karet (Epinephelus fasciatus) hasil tangkapan Kerapu koko (Epinephelus merra) yang tertangkap sebagian besar berukuran tidak layak jual (berukuran kurang dari 300 g). Selang kelas terbanyak pada berat 121-166 mm, yaitu sebanyak 10 ekor. Ikan kerapu koko yang tertangkap untuk ukuran layak jual hanya 2 ekor atau 6,25%. Sebaran frekuensi berat ikan kerapu koko disajikan pada Gambar 81.
Hasil Tangkapan (ekor)
12 10 Tidak layak jual (30 ekor) Layak jual (2 ekor)
8 Ukuran jual = 300 g
6 4 2 0 75-120
121-166
167-212
213-258
259-304
Selang Kelas (gram )
Gambar 81 Komposisi berat kerapu koko (Epinephelus merra) hasil tangkapan
7.3.3 Pengaruh perbedaan jenis dan waktu pemasangan umpan Jumlah berat hasil tangkapan rata-rata dengan perbedaan waktu pemasangan siang dan malam didapatkan bahwa rata-rata hasil tangkapan malam hari lebih banyak dibandingkan rata-rata hasil tangkapan pada siang hari. Hasil
150 tangkapan rata-rata pada malam hari sebanyak 411,77±4,13 g, sedangkan pada siang hari sebanyak 299,86±3,80 g. Perbandingan hasil tangkapan rata-rata siang dan malam hari disajikan pada Gambar 82.
Hasil tangkapan rata-rata (gram)
450
411.77±4.13
400 350
299.86±3.80
300 250 200 150 100 50 0 Siang
Malam
Waktu operasi penangkapan
Gambar 82 Perbandingan hasil tangkapan rata-rata waktu siang dan malam hari Khusus untuk kasus famili Serranidae (kerapu), hasil tangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan dan waktu pemasangan memiliki perbedaan hasil tangkapan yang cukup signifikan. Hasil tangkapan malam memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan hasil tangkapan pada siang hari. Hal tersebut disebabkan karena waktu pemasangan bubu (soaking time) yang lebih lama pada waktu malam hari (pukul 16.30–08.00 WIB) dibanding soaking time pada waktu siang hari (pukul 08.30–16.00 WIB) sehingga dimungkinkan peluang yang besar ikan yang berada di sekitar setting bubu untuk dapat masuk kedalam bubu. Umpan yang paling banyak menangkap ikan kerapu adalah umpan udang, yaitu 22 ekor (siang 6 ekor dan malam 16 ekor), umpan rucah sebanyak 18 ekor (siang 5 ekor dan malam 13 ekor), umpan bulu babi sebanyak 14 ekor (siang 3 ekor dan malam 11 ekor), umpan D sebanyak 14 ekor (siang 4 ekor dan malam 10 ekor), dan umpan B sebanyak 12 ekor (siang 2 ekor dan malam 10 ekor). Hasil tangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan dan waktu pemasangan disajikan pada Gambar 83.
151
18
Hasil Tangkapan (ekor)
16 14 12 10
Siang
8
Malam
6 4 2 0 Rucah
Udang
B. Babi
Umpan B
Umpan D
Jenis Um pan
Gambar 83 Hasil tangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan dan waktu pemasangan Hasil tangkapan tertinggi ikan kerapu dihasilkan pada siang hari oleh umpan udang kemudian diikuti umpan rucah, D, gonad bulu babi, dan yang terakhir umpan B. Pada malam hari, hasil tangkapan ikan kerapu tertinggi adalah pada umpan udang, diikuti umpan rucah, gonad bulu babi, umpan D, dan umpan B. Umpan udang memberikan hasil tangkapan terbanyak ikan kerapu baik pada penangkapan siang dan malam hari. Hal ini disebabkan dari segi bentuk (fisik) maupun aroma (kimia) umpan udang mampu menarik perhatian kerapu dengan menggunakan organ penglihatan maupun organ penciuman. Hasil uji statistik median menunjukkan bahwa pada siang hari pengaruh penggunaan umpan terhadap hasil tangkapan ikan karang tidak memiliki perbedaan nyata antara kelima umpan, seperti ditunjukkan dengan nilai sig. 0,834 0,05. Tidak adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan berbagai jenis umpan dapat disebabkan oleh (1) ikan kerapu yang masuk ke dalam bubu karena ikan lebih melihat bubu sebagai tempat persembunyian, (2) sifat tigmotaxis kerapu terhadap bentuk fisik umpan yang diletakkan dalam bubu ketika berada di sekitar bubu. Demikian pula hasil uji statistik median pada malam hari menunjukkan pengaruh penggunaan umpan terhadap hasil tangkapan ikan karang tidak berbeda nyata antara kelima umpan. Hasil ini ditunjukkan dengan nilai sig. 0,962
0,05.
Tidak adanya perbedaan yang nyata antara kelima jenis umpan terhadap hasil
152 tangkapan ikan kerapu disebabkan oleh (1) rangsangan bau pada masing-masing umpan memberikan pengaruh yang sama sebagai aktraktan pada kerapu dengan menggunakan organ penciumannya, (2) waktu pemasangan bubu (soaking time) yang lebih lama pada waktu malam hari (pukul 16.30–08.00 WIB) dibanding soaking time pada waktu siang hari (pukul 08.30–16.00 WIB) sehingga dimungkinkan peluang yang besar dari ikan yang berada di sekitar lokasi pemasangan bubu untuk dapat masuk ke dalam bubu, (3) kerapu dikelompokkan sebagai ikan nocturnal dengan puncak aktivitas makannya pada waktu menjelang senja dan fajar (crepuscular/twilight). Waktu pemasangan umpan yang berbeda (siang dan malam hari) memberikan hasil tangkapan ikan kerapu. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya ikan kerapu melakukan aktivitas makan baik pada siang hari (diurnal) maupun pada malam hari (nocturnal). Aktivitas makan yang dilakukan pada siang maupun malam hari dikategorikan ke dalam spesies twilight atau crepuscular (Potts 1990). Helfman (1993) mengemukakan bahwa crepuscular adalah periode yang terjadi pada petang hari dan senja hari. Menurut Indonesia Coral Reef Foundation (2004), bahwa ikan-ikan dari suku Sphyraenidae, Serranidae, Carangidae, Scorpaenidae, Synodontidae, Carcharhinidae, Lamnidae, Spyrnidae, dan beberapa Muraenidae dikelompokkan sebagai ikan yang melakukan aktivitas di antara malam dan siang hari (crepuscular). Pada umumnya ikan-ikan yang dikategorikan sebagai kelompok crepuscular bersifat piscivores (Potts 1990). Perbedaan jenis umpan (natural bait dan artificial bait) memberikan pengaruh sebagai atraktan yang sama untuk menangkap ikan kerapu. Pengaruh yang sama tersebut disebabkan oleh proses pelarutan dari kandungan kimia masing-masing umpan di dalam air adalah sama. Artinya bahwa formulasi umpan buatan telah berdaya guna (performance) dengan umpan alami (Januma et al. 2003). Menurut Lokkeborg (1990), umpan buatan yang terbuat dari ekstrak udang mempunyai nilai pelarutan (rate release) kandungan asam amino yang sama dengan ikan mackerel sebagai umpan alami. Berdasarkan hal tersebut di atas maka umpan buatan dapat mensubstitusi umpan alami
153 7.3.4 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan Jumlah ikan kerapu yang tertangkap selama penelitian sebanyak 80 ekor terdiri atas kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) sebanyak 21 ekor (26,25%), kerapu karet (Ehinephelus fasciatus) sebanyak 27 ekor (33,75%), kerapu koko (Epinephelus merra) sebanyak 29 ekor (32,50%), kerapu lumpur (Epinephelus tauvina) sebanyak 1 ekor (1,25%), kerapu lodi/sunu (Plectropoma leopardus) sebanyak 2 ekor (2,50%), dan kerapu lokal (Epinephelus rivulatus) sebanyak 1 ekor (1,25%). Presentase hasil tangkapan ikan kerapu selama penelitian disajikan pada Gambar 84. Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan alami pada siang hari adalah 21,46% dan malam hari 45,83%. Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan pada siang hari adalah sebesar 13,54% dan malam hari adalah 40,63%.
2.5, 3% 1.25, 1%
1.25, 1%
1.25, 1% 1.25, 1% 32.5, 33%
26.25, 26%
33.75, 34% KERAPU KOKO
KERAPU KARET
KERAPU MACAN
KERAPU LANGA-LANGA
KERAPU LUMPUR
KERAPU LODI/SUNU
KERAPU LADA
KERAPU LOKAL
Gambar 84 Presentase hasil tangkapan ikan kerapu selama penelitian
Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan pada siang hari didapatkan bahwa efektivitas terbaik adalah umpan ikan, yaitu sebesar 23,33% diikuti oleh umpan udang sebesar 22,29%, umpan D sebesar 20,83%, gonad bulu babi sebesar 18,75%, serta umpan B sebesar 6,25%. Pada malam hari efektivitas penangkapan ikan kerapu didapatkan nilai yang terbaik adalah umpan
154 udang 49,17% diikuti oleh umpan ikan sebesar 44,58%, gonad bulu babi sebesar 43,75%, umpan D sebesar 39,58% serta umpan B 39,58%. Efektivitas
Efektivitas penangkapan (%)
penangkapan ikan kerapu pada masing-masing umpan disajikan pada Gambar 85. 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Siang Malam
Ikan
Udang
Bulu Babi Umpan B Umpan D Jenis umpan
Gambar 85 Efektivitas penangkapan ikan kerapu pada masing-masing umpan dengan perbedaan waktu penangkapan Nilai efektivitas penangkapan ikan kerapu pada alat tangkap bubu baik pada malam hari dengan menggunakan umpan alami maupun umpan buatan lebih tinggi dibandingkan nilai efektivitas penangkapan pada siang hari. Hal tersebut disebabkan soaking time bubu pada malam hari lebih lama, yaitu dari pukul 16.50 WIB sampai pukul 08.00 WIB dibandingkan pada siang hari, yaitu dari pukul 08.00-16.30 WIB, sehingga ikan kerapu yang dikelompokkan sebagai ikan crepuscular (puncak aktivitas makan menjelang senja dan menjelang fajar) (Gunarso 1985; Indonesian Coral Reef Foundation 2004) banyak tertangkap pada waktu tersebut. Apabila ditinjau dari penggunaan masing-masing umpan, efektivitas penangkapan ikan kerapu tertinggi pada siang hari terdapat pada umpan rucah/ikan (23,38%), diikuti umpan udang (22,29%), umpan D (20,83%), gonad bulu babi (18,75%), dan umpan B (6,25%). Pada malam hari, efektivitas penangkapan ikan kerapu tertinggi terdapat pada umpan udang (49,17%), diikuti oelh umpan rucah (44,58%), gonad bulu babi (43,74%), umpan D (41,67%), dan umpan B (39,58%). Apabila dibandingkan kelima jenis umpan, mengindikasikan bahwa umpan buatan telah memiliki efektivitas yang sama dengan umpan alami (udang dan rucah), artinya bahwa formulasi umpan buatan telah memiliki
155 karakteristik fungsi untuk dapat menggantikan umpan udang dan umpan rucah ditinjau dari berat hasil tangkapan ikan kerapu. Dengan kata lain bahwa umpan buatan dapat mensubstitusi umpan alami.
7.4 Pembahasan Pada penelitian ini, jenis ikan dari famili Pomacentridae yang paling banyak tertangkap. Menurut Adrim (1993) diacu dalam Nasution (2001), ikan dari famili ini merupakan ikan utama atau ikan mayor, yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan. Famili Pomacentridae adalah ikan omnivora yang aktif mencari makan pada siang hari atau bersifat diurnal. Hal itu terbukti dari hasil tangkapan pada siang hari dimana ikan ini lebih banyak tertangkap dibandingkan pada malam hari. Diduga ikan ini masuk ke dalam bubu karena tertarik oleh bau umpan dari dalam bubu. Dari hasil pengamatan secara visual langsung di dalam air setelah bubu dipasang ikan betok langsung mendekati bubu dan berkumpul di sekitar bubu. Jenis ikan famili Serranidae yang tertangkap ialah kerapu koko (Epinephelus merra), kerapu karet (Epinephelus fasciatus), dan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Ikan jenis tersebut termasuk dalam golongan ikan karang yang berukuran besar. Tertangkapnya ikan kerapu ke dalam bubu karena tertarik oleh bau umpan pada bubu dan/atau tertarik oleh ikan-ikan kecil yang ada di dalam bubu. Ikan kerapu juga menganggap bubu sebagai gugusan gua karang dan memanfaatkannya untuk tempat beristirahat dan bersembunyi menunggu mangsa yang lewat untuk melakukan pemangsaan karena ikan kerapu hidup soliter di guagua karang dan di bawah atau sela-sela gugusan karang. Hal ini terbukti dari perbandingan komposisi hasil tangkapan antara siang dan malam, famili Serranidae lebih banyak tertangkap pada waktu malam hari. Pada penangkapan ikan kerapu didapatkan bahwa hasil tangkapan malam hari (60 ekor) lebih banyak bila dibandingkan dengan hasil tangkapan pada siang hari (20 ekor). Perbedaan jumlah yang cukup besar ini disebabkan karena ikan kerapu merupakan ikan aktif pada malam hari namun memiliki puncak aktivitas mencari makan pada senja dan subuh hari (Gunarso 1985; Herring et al. 1990;
156 Potts 1990). Pada penangkapan siang hari tertangkapnya ikan kerapu disebabkan bukan karena tertarik oleh bau umpan tapi lebih banyak terhadang ketika arus pasang surut terjadi dan menjadikan bubu sebagai tempat berlindung atau beristirahat sehingga hasil tangkapan dari setiap jenis umpan perbedaannya tidak terlalu jauh, begitu pula halnya pada hasil tangkapan umpan buatan. Tingginya hasil tangkapan ikan kerapu pada malam hari disebabkan pada waktu malam hari indera penciuman pada ikan lebih berperan dalam mencari makan dibandingkan indera penglihatannya sehingga umpan alami yang mengeluarkan bau yang kuat lebih cepat direspons oleh ikan dibandingkan pada umpan buatan. Perbedaan jenis umpan (alami dan buatan) memberikan pengaruh sebagai atraktan yang sama untuk menangkap ikan kerapu. Pengaruh yang sama tersebut disebabkan proses pelarutan kandungan kimia dari masing-masing umpan di dalam air adalah sama, artinya bahwa formulasi umpan buatan telah berdaya guna yang sama (performance) dengan umpan alami (Januma et al. 2003). Menurut Lokkeborg (1990), umpan buatan yang terbuat dari ekstrak udang mempunyai nilai pelarutan (rate release) kandungan asam amino yang sama dengan ikan mackerel sebagai umpan alami. Berdasarkan hal tersebut di atas tampak bahwa umpan buatan dapat mensubstitusi umpan alami
7.5 Kesimpulan Penangkapan pada waktu siang hari, efektivitas tertinggi pada umpan ikan, diikuti umpan udang, umpan D, umpan gonad bulu babi, dan umpan B. Efektivitas penangkapan tertinggi pada waktu malam hari, terdapat pada umpan udang, diikuti umpan ikan, umpan gonad bulu babi, umpan D, dan umpan B. Umpan buatan D memiliki nilai efektivitas penangkapan pada waktu siang lebih tinggi daripada umpan alami (gonad
bulu babi). Hal tersebut
mengindikasikan bahwa formula umpan buatan memiliki karakteristik fungsi yang relatif sama dengan umpan alami sebagai atraktan baik pada kondisi penangkapan siang hari. Dengan kata lain bahwa umpan buatan D dapat mensubstitusi umpan alami (gonad bulu babi).