RESPONS PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN BUATAN
MOCHAMMAD RIYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
RESPONS PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN BUATAN
MOCHAMMAD RIYANTO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap Umpan Buatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian Tesis ini.
Bogor,
Juli 2008
Mochammad Riyanto NRP C451060101
ABSTRACT MOCHAMMAD RIYANTO. Olfaction Response of Grouper (Epinephelus fuscogutattus) to Artificial Bait. Under the supervision of Ari Purbayanto and Budy Wiryawan. The use of bait in fishing operation attached to a fishing gear has function to attract or stimulate fish, so as to increase the fishing effectiveness. Response study on fish behavior especially for olfactory organ function represents the important roles in order to know the effectiveness of bait. The objectives of this study were to formulate the artificial bait in different composition, to analysis olfaction response of grouper (Epinephelus fuscogutattus) to artificial bait, to analysis soaking time of the artificial bait that effectively to attract grouper, and to measure the effectiveness of the artificial baits to catch grouper by using basket pot. The laboratory and fishing experiment methods were used in this study. The formula of artificial bait that showed a high effectiveness was the bait of B (composed of 35% fish oil). The effect of different bait indicated insignificantly different to the grouper catch. The use of the artificial bait in different soaking time (day and night) has not significantly different to the grouper catch. The use of natural bait (shrimp and trash fish), however was more effective than the artificial bait to catch grouper. Key words: olfaction, artificial bait, Epinephelus fuscoguttatus, basket pot
RINGKASAN MOCHAMMAD RIYANTO. Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap Umpan Buatan. Di bawah bimbingan Ari Purbayanto dan Budy Wiryawan. Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) umumnya ditangkap dengan menggunakan bubu, pancing, tombak, bahan peledak, dan bahan kimia beracun (potasium sianida). Kedua cara penangkapan yang disebutkan terakhir merupakan cara yang efektif, namun menimbulkan dampak yang merugikan terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang dan sumberdaya ikan. Bubu termasuk kedalam jenis perangkap (trap) (Brandt, 1984) yang sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan karang. Menurut Subani dan Barus (1989), umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan dengan bubu dan pancing. Umpan digunakan dalam pengoperasian bubu berfungsi sebagai pemikat (attractor) dengan tujuan agar ikan karang yang sifatnya bersembunyi pada terumbu karang dapat keluar dan tertarik untuk masuk ke dalam bubu. Efektivitas umpan ditentukan oleh sifat fisik dan kimiawi yang dimilikinya agar dapat memberikan respons terhadap ikan-ikan tertentu. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Membuat formulasi umpan buatan (artificial bait) yang efektif bagi penangkapan ikan karang, (2) Mengetahui respons penciuman ikan kerapu macan terhadap umpan buatan, (3) Menganalisis waktu perendaman umpan buatan yang efektif sebagai pemikat (attractor) ikan kerapu, dan (4) Mengukur efektivitas umpan buatan dalam penangkapan ikan kerapu dengan bubu. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan (September 2007-Maret 2008). Pengamatan terhadap respons penciuman ikan kerapu dilakukan di Laboratorium Biologi dan Keanekaragaman Hayati Laut Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Ujicoba penangkapan dilakukan di sekitar perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian eksperimen laboratorium (laboratory experiment) dan uji coba penangkapan (fishing experiment). Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tingkah laku ikan mendekati umpan, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai umpan, komposisi bahan umpan buatan, kandungan proksimat (air, protein, lemak) dari formulasi umpan buatan, komposisi hasil tangkapan, dan panjang serta berat hasil tangkapan. Analisis proksimat umpan buatan menunjukkan bahwa kandungan kimia utama yang berpengaruh terhadap respons penciuman ikan adalah protein, lemak dan asam amino. Komposisi protein yang tertinggi terdapat pada umpan D (331,8 mg/g), diikuti oleh umpan A (152,9 mg/g), umpan B (135,7 mg/g) dan umpan C (134,4 mg/g). Umpan kontrol memiliki nilai kadar protein terendah yaitu 40,3 mg/g. Kandungan lemak tertinggi terdapat pada umpan C (283,9 mg/g), umpan B, D, dan A berturut-turut 231,9 mg/g, 92,5 mg/g dan 54,3 mg/g. Kandungan air tertinggi terdapat pada umpan kontrol yaitu sebanyak 399,6 mg/g. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji klasifikasi satu arah (one way ANOVA) menunjukkan bahwa waktu rata-rata arousal keempat umpan buatan tidak
berbeda nyata seperti ditunjukkan dengan nilai F hitung ( 2,96) < F tabel (3,23). Waktu rata-rata searching umpan buatan berpengaruh nyata seperti ditunjukkan dengan nilai F hitung (3,65) > F tabel (3,23). Waktu rata-rata finding umpan buatan tidak berbeda nyata sebagaimana ditunjukkan dengan nilai F hitung (0,52) < F tabel (3,23). Umpan buatan C memberikan waktu rata-rata searching yang lebih cepat dibandingkan umpan D, B, dan A. Hasil tangkapan rata-rata dan galat baku pada siang hari adalah 302,61±3,78 gram dan malam hari adalah 405,72±4,16 gram. Penggunaan umpan pada siang hari tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan karang sebagaimana ditunjukkan dengan nilai sig. 0,187 > α 0,05. Waktu perendaman malam hari dengan umpan yang berbeda ditunjukkan dengan nilai sig. 0,073 > α 0,05 tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan karang. Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan adalah sebesar 44,60% sedangkan efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan alami adalah sebesar 55,40%. Perbandingan efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan berdasarkan jumlah hasil tangkapan didapatkan bahwa efektivitas terbaik adalah umpan udang yaitu sebesar 71,46% diikuti oleh umpan rucah sebesar 67,92%, bulu babi dan umpan A memiliki efektivitas yang sama yaitu sebesar 62,50% serta umpan B sebesar 45,83%. Kata kunci: penciuman ikan, umpan buatan, ikan kerapu macan, bubu
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyertakan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kuliah atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin dari IPB
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis
: Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap Umpan Buatan
Nama
: Mochammad Riyanto
NRP
: C451060101
Program Studi : Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi, M.Si
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tegal, pada tanggal 25 Oktober 1982. Penulis merupakan putra pertama dari tujuh bersaudara pasangan Bapak Sugri dan Ibu Siyuningsih. Pada tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Tegal, kemudian diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan selesai pada tahun 2005. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan program Magister pada Program Studi Teknologi Kelautan, SPs-IPB. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai CPNS dan saat ini bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK-IPB. Penulis aktif pada berbagai kegiatan kemahasiswaan IPB dan Organisasi Mahasiswa Daerah antara lain menjadi Ketua Departemen Kesekretariatan Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (HIMAFARIN) periode 2003-2004, Ketua Ikatan Mahasiswa Tegal Periode 2002-2003, dan Wakil Ketua Forum Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Kelautan (Formula) Periode 2007-2008. Penulis berhasil menyelesaikan studi dan dinyatakan lulus dalam Sidang Ujian Tesis yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana IPB pada tanggal 12 Juni 2008 dengan judul tesis ”Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Terhadap Umpan Buatan”.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis yang berjudul: “Respon Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Terhadap Umpan Buatan”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dalam peningkatan efektivitas dan efisiensi penangkapan ikan karang konsumsi dengan bubu. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih atas bantuan yang tak ternilai kepada Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc, Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, perhatian dan pemikirannya dalam penyelesaian tesis ini, serta Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan banyak masukan dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ir. Beni Pramono, M.Si, Eddi Husni, ST, M.Si, Adi Susanto, S.Pi, Indra Supiyono, S.Pi, Aristi Dian Purnama Fitri, S.Pi, M.Si, Deka B Sejati, S.Pi, Angga Nugraha, S.Pi, Deby Sofiana, S.Pi atas bantuan dan kolaborasinya. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan PS TKL 2006 dan teman-teman sejawat di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan atas bantuan dan dukungannya. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Ibu dan Bapak serta adik-adikku tercinta atas segala doa, kesabaran, dorongan, dan pengertian yang diberikan secara tulus ikhlas selama penulis menempuh pendidikan. Terima kasih kepada Ayu Dwi Martini atas perhatian dan dorongan semangatnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Bogor, Juli 2008 Mochammad Riyanto
DAFTAR ISTILAH
Artificial bait (umpan buatan)
Umpan buatan dari hasil formulasi berbagai jenis bahan seperti minyak ikan, tepung ikan, tepung tapioka yang digunakan untuk memikat ikan mendekati suatu alat tangkap yang menggunakan umpan tersebut
Alat penangkap ikan
Sarana dan perlengkapan atau bendabenda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan
Attractor (pemikat ikan)
Alat bantu untuk memikat/menarik perhatian ikan sehingga mendekati obyek pemikat
Bubu
Alat penangkap ikan yang termasuk dalam klasifikasi perangkap dengan disain khusus untuk menangkap ikan dan krustase
Crepuscular
Sifat dan tingkah laku ikan yang aktif diantara waktu siang dan malam hari
Chemoreception
Rangsangan yang diterima oleh ikan karena bahan kimia
Dead bait (umpan mati)
Umpan yang digunakan dalam keadaan mati
Diurnal
Sifat dan tingkah laku ikan yang memiliki pergerakan aktif pada siang hari
Efektivitas
Tingkat pencapaian hasil terhadap suatu tujuan
Feeding habits (kebiasaan makan)
Tingkah laku makhluk hidup dalam mencari makanan
Fish behavior (tingkah laku ikan)
Tingkah laku ikan dalam hidupnya, dipelajari untuk kegiatan perikanan
Fishing ground (daerah penangkapan ikan) Daerah yang menjadi tujuan penangkapan ikan
Fishing unit (unit penangkapan)
Unit penangkapan yang terdiri atas nelayan, kapal dan alat tangkap ikan
Hauling (pengangkatan)
Proses pengangkatan alat tangkap ke atas kapal dalam operasi penangkapan ikan
Natural bait (umpan alami)
Umpan yang berasal dari bahan alam
Nokturnal
Sifat dan tingkah laku ikan yang aktif pada malam hari
Olfaction response (respons penciuman)
Respons ikan terhadap rangsangan yang diterima dengan menggunakan organ penciuman
Setting (pemasangan)
Pemasangan alat tangkap
Thigmotaxis (thigmotaksis)
Sifat ikan yang selalu ingin tahu terhadap benda asing
Trap (perangkap)
Alat tangkap ikan yang prinsip kerjanya menjebak ikan untuk masuk ke dalam alat dengan bantuan atraktor tertentu
Umpan
Salah satu bentuk rangsangan berupa fisik maupun kimiawi yang dapat memberikan respons ikan tertentu dalam tujuan penangkapan ikan
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL.............................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................
xvi
1 PENDAHULUAN ........................................................................
1
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1.2 Perumusan Masalah ............................................................... 1.3 Tujuan ..................................................................................... 1.4 Manfaat ................................................................................... 1.5 Hipotesis .................................................................................
1 3 4 4 5
2 TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
7
2.1 Sumberdaya Ikan Kerapu Macan ........................................... 2.2 Tingkah Laku Ikan Kerapu Macan ........................................ 2.3 Organ Penciuman Ikan (Olfactory Organ) ............................. 2.4 Umpan .................................................................................... 2.5 Unit Penangkapan Bubu ......................................................... 2.6 Efektivitas Alat Tangkap Bubu...............................................
7 8 9 14 15 18
3 METODE PENELITIAN..............................................................
19
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................ 3.2 Metode Penelitian ................................................................... 3.2.1 Alat dan bahan penelitian............................................... 3.2.2 Pengumpulan data .......................................................... 3.3 Analisis Data ........................................................................... 3.3.1 Respons penciuman ikan terhadap umpan .................... 3.3.2 Respons penciuman ikan terhadap umpan buatan ......... 3.3.3 Pengaruh perbedaan umpan ........................................... 3.3.4 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan .................................................................
19 19 21 25 30 30 30 32
4 HASIL PENELITIAN ..................................................................
34
4.1 Hasil Eksperimen Laboratorium ............................................. 4.1.1 Formulasi umpan buatan................................................ 4.1.2 Respons penciuman ikan kerapu macan terhadap umpan 4.1.3 Pengaruh perbedaan komposisi umpan buatan terhadap waktu respons penciuman ............................................. 4.2 Hasil Eksperimen Lapangan ................................................... 4.2.1 Komposisi hasil tangkapan ............................................ 4.2.2 Pengaruh perbedaan jenis dan waktu perendaman umpan............................................................................ 4.2.3 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan ................................................................
33 34 34 38 40 41 41 47 48
5 PEMBAHASAN ...........................................................................
51
5.1 Formulasi Umpan Buatan ....................................................... 5.2 Hubungan Perbedaan Umpan dengan Waktu Respons Ikan... 5.3 Komposisi dan Distribusi Hasil Tangkapan Bubu.................. 5.4 Pengaruh Perbedaan Jenis dan Waktu Perendaman Umpan .. 5.5 Efektivitas Penangkapan Ikan Kerapu dengan Umpan Buatan
51 53 57 59 61
6 KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................
62
6.1 Kesimpulan ............................................................................. 6.2 Saran .......................................................................................
62 62
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
64
LAMPIRAN......................................................................................
70
DAFTAR TABEL Halaman 1
Peralatan laboratorium yang digunakan dalam penelitian ........
22
2
Peralatan penelitian lapangan lainnya yang digunakan dalam penelitian...................................................................................
25
3
Komposisi bahan umpan buatan (artificial bait) ......................
28
4
Analisis ragam untuk pengaruh perbedaan umpan buatan .......
32
5
Perhitungan efektivitas tangkapan kerapu dengan bubu berumpan...................................................................................
33
6
Analisis ragam berdasarkan waktu arousal ..............................
41
7
Analisis ragam berdasarkan waktu searching...........................
41
8
Analisis ragam berdasarkan waktu finding ...............................
41
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Diagram alir kerangka pemikiran .............................................
6
2
Ikan kerapu macan ...................................................................
7
3
Bentuk hidung ikan dan bagiannya ..........................................
10
4
Bagian otak dorsal (gambar atas), lateral (gambar tengah), longitudinal (gambar bawah) ....................................................
11
5
Sistem penciuman (olfactory) pada ikan ..................................
12
6
Struktur organ penciuman pada ikan mulai dari organ lamella hingga otak bagian telencephalon.............................................
12
7
Diagram alir pelaksanaan penelitian .........................................
20
8
Bak pemeliharaan ikan..............................................................
21
9
Bak percobaan...........................................................................
21
10
Pembagian fase respons ikan terhadap umpan..........................
27
11
Kandungan proksimat umpan alami .........................................
34
12
Kandungan lemak pada umpan alami .......................................
35
13
Kandungan asam amino umpan alami ......................................
35
14
Kandungan proksimat pada umpan buatan ...............................
36
15
Kandungan lemak pada umpan buatan .....................................
37
16
Kandungan asam amino yang terdapat pada umpan buatan .....
38
17
Perbandingan waktu rata-rata respons arousal antar jenis umpan buatan ............................................................................
39
Perbandingan waktu rata-rata respons searching antar jenis umpan buatan ............................................................................
39
Perbandingan waktu rata-rata respons finding antar jenis umpan buatan ............................................................................
40
20
Komposisi jumlah hasil tangkapan bubu tambun .....................
42
21
Komposisi berat hasil tangkapan bubu tambun ........................
42
22
Distribusi frekuensi panjang kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan .............................................................................
43
Distribusi frekuensi panjang kerapu karet (Epinephelus fasciatus) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan .............................................................................
44
18 19
23
24
Distribusi frekuensi panjang kerapu koko (Epinephelus merra) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan .............................................................................
44
Distribusi frekuensi berat kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan .............................................................................
45
Distribusi frekuensi berat kerapu karet (Epinephelus fasciatus) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan .............................................................................
46
Distribusi frekuensi berat kerapu koko (Epinephelus merra) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan .............................................................................
46
28
Perbandingan hasil tangkapan rata-rata siang dan malam hari .
47
29
Hasil tangkapan total ikan kerapu dengan perbedaan umpan dan waktu perendaman .............................................................
48
30
Presentase hasil tangkapan ikan kerapu selama penelitian .......
49
31
Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan dan alami ...................................................................................
49
32
Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan bubu berumpan
50
33
Pola tingkah laku ikan mendekati umpan (pola 1)....................
55
34
Pola tingkah laku ikan mendekati umpan (pola 2)....................
56
35
Pola tingkah laku ikan mendekati umpan (pola 3)....................
56
36
Pola tingkah laku ikan mendekati umpan (pola 4)....................
57
25
26
27
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Peta lokasi penelitian ..............................................................
70
2
Data waktu respons penciuman ikan kerapu macan ...............
71
3
Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk data waktu arousal..........................................................................
72
Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk data waktu searching ......................................................................
73
Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk data waktu finding ..........................................................................
74
Uji One-way ANOVA berdasarkan perbedaan umpan dan rata-rata waktu arousal ...........................................................
75
Uji One-way ANOVA berdasarkan perbedaan umpan dan rata-rata waktu search.............................................................
76
Uji One-way ANOVA berdasarkan perbedaan umpan dan rata-rata waktu finding ............................................................
78
Hasil uji statistik rancangan acak lengkap faktorial (anova two factor with replication) ...........................................................
79
10
Foto alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ...........
80
11
Konstruksi bubu dan pengoperasiannya .................................
82
12
Komposisi jumlah dan berat hasil tangkapan bubu tambun ...
86
13
Foto ikan hasil tangkapan bubu ..............................................
87
14
Hasil uji statistik non parametrik terhadap pengaruh umpan .
92
15
Data hasil tangkapan ...............................................................
94
4 5 6 7 8 9
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Ikan karang merupakan salah satu komoditi unggulan di sektor perikanan tangkap, dengan sumberdaya yang hampir tersebar di seluruh perairan Indonesia. Ikan karang dapat digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu ikan hias (ornamental fish) dan ikan konsumsi (food fish). Salah satu jenis ikan karang konsumsi adalah ikan kerapu yang termasuk kedalam genus Epinephelus antara lain kerapu lumpur (Epinephelus coroides), kerapu raksasa (Epinephelus lanceolatus) dan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Kerapu macan ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi di pasar internasional seperti pasar Singapura, Cina, Taiwan, Jepang dan Hongkong. Total ekspor ikan kerapu tahun 1998 mencapai 1.856 ton atau 0,285 persen dari total ekspor Indonesia yang mencapai 650.291 ton (Departemen Kelautan dan Perikanan 2002). Nilai ekonomis ikan ini sangat ditentukan oleh tingkat kesegaran ikan, dan dalam keadaan hidup harganya akan semakin tinggi. Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) umumnya ditangkap dengan menggunakan bubu, pancing, tombak, bahan peledak, dan bahan kimia beracun seperti potasium sianida. Kedua cara penangkapan yang disebutkan terakhir merupakan cara yang efektif, namun menimbulkan dampak yang merugikan terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang dan sumberdaya ikan yang ada di dalamnya. Selain itu hasil tangkapan memiliki mutu dan nilai jual yang rendah karena ikan dalam keadaan tidak sehat, bahkan sebagian tertangkap dalam keadaan mati. Bubu merupakan salah satu jenis alat tangkap yang dioperasikan secara pasif sehingga dikategorikan sebagai alat tangkap yang pengoperasiannya sesuai dengan prinsip konservasi dan tanpa merusak kelestarian habitat ikan terutama pada daerah terumbu karang. Bubu termasuk kedalam jenis perangkap (trap) (Brandt, 1984) yang sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan karang. Alat tangkap ini dapat mengurangi kerusakan hasil tangkapan karena bersifat mengurung ikan sehingga ikan tertangkap dalam keadaan hidup.
2
Menurut Subani dan Barus (1989), umpan merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan, khususnya untuk alat tangkap pasif seperti bubu dan pancing. Umpan digunakan dalam pengoperasian bubu berfungsi sebagai pemikat (attractor) dengan tujuan agar ikan karang yang sifatnya bersembunyi pada terumbu karang dapat keluar dan tertarik untuk masuk ke dalam bubu. Umpan dapat digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait). Efektivitas umpan ditentukan oleh sifat fisik dan kimiawi yang dimiliki agar dapat memberikan respons terhadap ikan-ikan tertentu dalam tujuan penangkapan ikan. Jenis umpan yang biasanya digunakan oleh nelayan antara lain: ikan rucah, bulu babi, udang, terasi, ikan cucut dan ikan pari (Reiliza 1997; Mawardi 2001; Purbayanto et al. 2006). Penggantian umpan biasanya dilakukan setiap 2-3 kali setting tergantung dari utuh atau tidaknya umpan. Selama proses perendaman umpan tidak diketahui seberapa besar proses kimiawi yang terjadi pada umpan tersebut, sehingga akan berpengaruh terhadap penurunan rangsangan kimia berupa bau yang ditimbulkan. Menurut Mindiptiyanto dan Rahardjo (1988) diacu oleh Nurliani (1993), pada ikan karang organ yang berperan dalam mencari makan dan adaptasi terhadap lingkungan adalah organ penglihatan (visual organ) dan organ penciuman/pembau (olfactory organ).
Nurliani (1993) menjelaskan bahwa
indikator ikan bergerak masuk ke dalam alat tangkap karena terangsang oleh bau yang ditimbulkan oleh umpan. Organ penciuman berperan dalam mendeteksi keberadaan umpan. Penciuman lebih berperan pada saat obyek umpan berada pada batas toleransi penglihatan. Penelitian lain terkait dengan organ penciuman yang telah dilakukan diantaranya adalah guanylyl cyclase sebagai visualisasi penyelenggara transgenik (Kusakabe dan Suzuki 2000), studi perbandingan sistem penciuman antara Pagrus major dan Acanthropagrus schegeli) yang berasal dari alam dan stok budidaya (Mana dan Kawamura 2002), neuronal oksida berisi nitrat synthase pada sistem penciuman ikan teleost Oreochromis mossambicus dewasa (Singru et al., 2003), dan peranan organ penciuman dan mata dalam perilaku “homing” pada ikan Sebastes inermis (Mitamura et al. 2005). Penelitian tentang respons penciuman
3
terhadap umpan buatan (artificial bait) belum banyak dilakukan, sehingga masih diperlukan penelitian yang lebih detail untuk mengetahui respons penciuman terhadap umpan buatan pada skala laboratorium maupun uji coba penangkapan di lapangan. Dalam penelitian ini dilakukan formulasi umpan buatan dalam berbagai komposisi bahan yang digunakan.
1.2 Perumusan Masalah Penggunaan umpan dalam proses penangkapan ikan memiliki fungsi sebagai pemikat (attractor). Penggunaan atraktor umpan dalam pengoperasian bubu sudah dikenal luas oleh nelayan. Berdasarkan kondisi umpan dapat dibedakan ke dalam umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait), sedangkan menurut asalnya umpan dapat dibedakan ke dalam umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) (Hendrotomo 1983 dan Leksono 1989). Penggunaan umpan dalam penangkapan ikan dengan bubu selama ini adalah jenis umpan alami. Umpan alami yang sering digunakan antara lain ikan rucah, bulu babi, udang, ikan cucut dan ikan pari (Reiliza 1997; Mawardi 2001; Purbayanto et al. 2006). Umpan buatan yang sudah dipakai oleh nelayan antara lain terasi dan pelet. Umpan buatan ini digunakan karena memiliki bau yang menyengat sehingga ikan diharapkan dapat tertarik dan masuk kedalam perangkap.
Penggunaan umpan alami didasarkan pada pemahaman terhadap
fungsi penglihatan dan fungsi penciuman ikan. Untuk fungsi penciuman yang paling berperan adalah bau yang ditimbulkan oleh umpan. Bau ini dikeluarkan oleh suatu umpan berdasarkan kandungan dari asam amino yang merupakan bagian dari rangkaian protein (Taibin 1984 diacu dalam Syandri 1988). Penggunaan umpan alami bila dilakukan secara terus menerus akan mengurangi bahkan dapat mengancam kelestarian sumberdaya yang ada. Sebagai contoh penggunaan umpan bulu babi dan udang yang terus-menerus akan menurunkan jumlahnya di alam dan bahkan dapat berakibat pada kepunahan. Selain itu penggunaan umpan alami memiliki beberapa keterbatasan dalam penggunaannya antara lain: (1) keberadaan jenis umpan alami masih tergantung musim, (2) keefektifan umpan alami belum banyak diketahui, (3) penggunaan umpan alami masih berdasarkan pada kebiasaan atau pengalaman nelayan
4
setempat, dan (4) belum banyak diketahui komponen kimiawi umpan alami. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan membuat formulasi umpan buatan yang efektif untuk menangkap ikan karang dan dapat tersedia sepanjang musim. Berdasarkan permasalahan di atas penelitian ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut: (1)
Bagaimana respons tingkah laku ikan kerapu terhadap rangsangan kimiawi umpan buatan?
(2)
Formulasi umpan buatan apa yang tepat sebagai pengganti umpan alami dalam penangkapan ikan dengan bubu?
(3)
Bagaimana efektivitas umpan buatan hasil formulasi jika dibandingkan dengan umpan alami dalam penangkapan ikan menggunakan bubu?
(4)
Apakah umpan buatan layak digunakan sebagai alternatif pengganti umpan alami dalam penangkapan ikan dengan bubu? Diagram alir kerangka penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: (1)
Membuat formulasi umpan buatan (artificial bait) yang efektif bagi penangkapan ikan kerapu.
(2)
Mengetahui respons penciuman ikan kerapu macan terhadap umpan buatan (artificial bait).
(3)
Menganalisis waktu perendaman (siang dan malam) umpan buatan (artificial bait) yang efektif sebagai pemikat (attractor) ikan kerapu.
(4)
Mengukur efektivitas umpan buatan dalam penangkapan ikan kerapu dengan bubu.
1.4 Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1)
Informasi tentang efektivititas umpan buatan dalam proses penangkapan ikan menggunakan bubu yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengembangan perikanan bubu di Indonesia.
5
(2)
Informasi tentang formulasi pembuatan umpan buatan yang dihasilkan dari penelitian ini.
(3)
Sebagai bahan informasi dalam pembuatan kebijakan tentang penggunaan umpan buatan dalam penangkapan ikan dengan bubu yang ramah lingkungan.
(4)
Sebagai bahan informasi dan acuan bagi penelitian lebih lanjut tentang respons tingkah laku penciuman ikan terhadap umpan alami dalam proses penangkapan ikan dengan bubu.
1.5 Hipotesis (1)
Masing-masing spesies ikan kerapu (Epinephelus sp) memiliki tingkah laku yang berbeda ketika merespons adanya umpan.
(2)
Respons makan ikan kerapu (Epinephelus sp) disebabkan adanya rangsangan bau umpan.
(3)
Terdapat perbedaan komposisi bahan kimia (proximat, asam amino, asam lemak dan amoniak) pada berbagai jenis umpan yang berbeda.
(4)
Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan bubu pada siang hari sama dengan efektivitas penangkapan pada malam hari.
6
Penangkapan dengan bubu
Faktor-faktor eksternal
Ikan Kerapu Macan
- Arus - Kecerahan - Lokasi penempatan bubu
Respons Penciuman
Kandungan Kimia
Umpan Alami (Jenis, Ukuran, Warna, dll)
Proksimat Asam Amino Asam Lemak
Respons Penglihatan
Permasalahan: 1. Ketersediaan Umpan 2. Efektivitas Umpan 3. Kandungan Kimia 4. Kebiasaan Nelayan Formulasi Umpan Buatan Tidak
Efektif Ya
Alternatif umpan buatan untuk penangkapan ikan kerapu dengan bubu
Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumberdaya Ikan Kerapu Macan Ikan kerapu yang termasuk kedalam famili Serranidae, sub famili Epinephelinae dan secara umum dikenal sebagai groupers, hinds dan sea basses yang terdiri dari 15 genus yang mencakup 159 spesies (Heemstra dan Randal 1993). Klasifikasi kerapu macan menurut Heemstra dan Randal 1993 (Gambar 2): Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrate Kelas : Teleostei Sub Kelas : Osteicanthopterygii (Actinopterygii) Ordo : Perciforma Sub Ordo : Perciodea Famili : Serranidae Genus : Epinephelus Spesies : Epinephelus fuscoguttatus
Gambar 2 Ikan kerapu macan (Sumber: Heemstra dan Randal 1993)
Ikan kerapu memiliki bentuk badan yang memanjang pipih (compressed) atau agak membulat, mulut lebar serong ke atas dengan bibir bawah menonjol ke atas. Rahang bawah dan atas dilengkapi dengan gigi geratan berderet dua baris, lancip dan kuat serta ujung luar bagian depan adalah gigi-gigi yang terbesar. Sirip ekor umumnya membulat (rounded). Sirip punggung memanjang dimana bagian jari-jarinya yang keras berjumlah kurang lebih sama dengan jari-jari lunaknya,
8
jari-jari sirip yang berjumlah 6-8 buah, sedangkan sirip dubur (anal fin) berjumlah 3 buah. Jari-jari sirip ekor berjumlah 15-17 dan bercabang dengan jumlah 13-15. Warna dasar sawo matang. Perut bagian bawah agak keputihan dan pada badannya terdapat titik warna merah kecoklatan serta tampak pula 4-6 baris warna gelap yang melintang hingga ke ekornya. Badannya ditutupi oleh sisik kecil, mengkilat dan memiliki ciri-ciri loreng.
2.2 Tingkah Laku Makan Ikan Kerapu Macan Heemstra dan Randal (1993) menyatakan ikan kerapu merupakan ikan predator pemangsa ikan-ikan lain, krustase, dan cephalopoda.
Ikan ini
bersembunyi diantara terumbu karang dan bebatuan untuk mendapatkan mangsa. Beberapa jenis kerapu seperti Paranthias spp dan Epinephelus undulus merupakan pemakan plankton yang memiliki tapis insang yang panjang dan rapat. Sebagian besar jenis ikan predator (misalnya Serranidae) memiliki puncak aktivitas mencari makan pada waktu senja dan subuh hari (Gunarso 1985). Ikan kerapu merupakan organisme yang bersifat nokturnal. Pada malam hari aktif bergerak di kolom perairan untuk mencari makan sedangkan pada siang hari lebih bersembunyi di liang-liang karang. Ikan kerapu memiliki kebiasaan makan pada siang hari dan malam hari, namun lebih aktif pada waktu fajar dan senja hari (Sudjiharno et al. 1989; Maryati 2004). Menurut Anonim (2004), kerapu termasuk ikan jenis ikan yang aktif diantara siang dan malam hari (crepuscular). Kerapu biasa mencari makan dengan menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya. Kerapu bersifat kanibalisme jika kekurangan makanan. Kanibalisme biasanya mulai terjadi pada larva umur 30 hari, pada saat itu ikan cenderung berkumpul di suatu tempat dengan kepadatan tertinggi (Maryati 2004) Kerapu termasuk jenis karnivora, kerapu dewasa memakan ikan-ikan kecil, kepiting, udang-udangan, sedangkan pada saat larva memangsa larva moluska (trokofor), rotifer, mikro krustase, kopepoda dan zooplankton. Sebagai ikan karnivor, kerapu cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak di kolom air (Nybakken 1988).
9
2.3 Organ Penciuman Ikan (Olfactory Organ) Dalam penerimaan rangsangan penciuman pada ikan seperti hewan lainnya yang berperan adalah olfactory bulb (Hoar dan Randall 1971). Secara umum olfaktori ikan serupa dengan organ nasal manusia, namun lubang/cuping hidung pada ikan jaring terbuka ke rongga mulut. Dasar bentuk hidung dibentuk oleh epitelium penciuman atau mukosa berupa lipatan/lamella berbentuk ros. Susunan bentuk dan tingkatan perkembangan lamella sangat bervariasi pada setiap spesies (Fujaya 2004). Organ penciuman ikan sangat berbeda dengan hewan lain, organ ini menggambarkan tingkat perkembangan dan habitat ekologis. Menurut Evans (1940) cyclostome pada ikan adalah monorhinal, yaitu mempunyai satu organ penciuman dengan satu lubang hidung. Pada spesies ikan teleostei antara organ pernapasan dan organ penciuman tidak berhubungan langsung. Selanjutnya Brown (1957) juga menyatakan bahwa kelompok ikan bertulang keras (teleost), kedua lubang olfaktori selalu berada di dorso-anterior bagian depan kepala ikan dan tidak berhubungan langsung dengan laju pernapasan. Selama ikan berenang, terutama pada saat air masuk ke mulut pada saat bernapas, air tersebut akan keluar melalui masing-masing lubang organ penciuman (olfactory sacs) (Brown 1957). Secara umum olfactory serupa dengan organ nasal untuk penciuman manusia.
Akan tetapi dari struktur bentuk dan sistematika fungsinya ada
perbedaan antara manusia dan ikan. Lubang atau cuping hidung pada ikan jarang terbuka ke dalam rongga mulut. Dasar dari lubang hidung dibentuk oleh epitelium penciuman atau mukosa berupa lipatan/lamella berbentuk ros (Hara 1993). Susunan bentuk dan lipatan perkembangan lamella sangat bervariasi pada setiap spesies (Gambar 3).
10
Keterangan : (a) Posisi cuping hidung teleostei, (b) epithelium olfactory; (vo) hidung depan; (ho) hidung belakang; (H) kulit yang menahan pergerakan air masuk ke dalam hidung depan; (F) lamella Gambar 3 Bentuk hidung ikan dan bagiannya (Sumber: Harder 1975 diacu dalam Fujaya 2004) Pada sebagian besar hewan bertulang belakang, letak olfactory bulb berdekatan dengan dinding rongga hidung dan bidang olfaktorinya pendek. Pada jenis ikan teleost (bertulang keras), letak olfactory bulb dipisahkan dari telencephalon oleh bidang olfactoy yang panjang (Hoar dan Randall 1970) (Gambar 4) Penciuman ikan sangat sensitif terhadap bahan organik maupun anorganik yang dikenal melalui indera penciuman (Syandri 1988). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa ikan dapat mengenal bau mangsanya, predator dan spesies sendiri. Bau-bau tersebut melarut dalam air dan merangsang reseptor pada organ penciuman (olfactory organ) ikan, sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut. Organ penciuman sebagai alat bantu sensor untuk mengetahui banyaknya makanan yang tersedia di sekitar habitatnya (Wudianto et al. 1993). Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Gunarso (1985) bahwa organ penciuman merupakan salah satu organ dari organ-organ penting lainnya pada tubuh ikan yang berhubungan untuk mempelajari tingkah laku alaminya (natural behaviour).
11
Gambar 4 Bagian otak dorsal (gambar atas), lateral (gambar tengah), longitudinal (gambar bawah). Keterangan : I: urat saraf penciuman; II: urat saraf penglihatan; Ac L: Acoustic Lobe dari medula oblongata; Cerb: Cerebellum; Fac L: Facial Lobe dari medula oblongata; OB: Olfactory Bulb; OT: Optic Tectum; Sp C: Spinal Cord (urat saraf tulang belakang); Teg: Tegmentum; Tel: Telencephalon; Thal: Thalamus; Vag L Med: Vagal Lobe dari medula oblongata; VC: Valvula cerebelli (Sumber: Hoar dan Randall 1970) Reseptor pembau mendeteksi rangsangan kimia dalam bentuk signal elektrik yang berasal dari gerakan silia, disebabkan oleh arus yang lemah yang melewati lamella, selanjutnya informasi tersebut diteruskan ke sistem saraf pusat (Fujaya 2004). Brown (1957) menyatakan bahwa olfactory bulb dihubungkan oleh otak bagian depan (forebrain) oleh urat syaraf (tangkai olfaktori) yang berukuran panjang sekitar 2 cm (Gambar 5). Rangsangan kimiawi diteruskan ke otak oleh neuron reseptor penciuman melalui serangkaian molekuler yang teratur, membraneous, dan neural events. Proses tersebut dimulai dengan adanya bau yang mengenai permukaan mukosa olfaktori (Hara 1993).
12
Gambar 5 Sistem penciuman (olfactory) pada ikan (Sumber: Schultz 2004) Ikan mendeteksi adanya reseptor pembau dalam bentuk stimuli kimia. Stimuli tersebut melalui lubang hidung (nostril) dan dirubah dalam bentuk signal elektrik yang berasal dari gerakan silia yang kemudian melewati olfactory lamella yang berbentuk rosette (bunga mawar). Sinyal yang dihasilkan pada olfactory lamella diteruskan pada olfactory bulb dan olfactory tract yang kemudian diterjemahkan pada otak telencephalon (Gambar 6).
Keterangan: − − − − − − − − − − −
Olfactory Bulb (OB), Olfactory Tracts (OT), Granule Cell Layer (GCL); Glomerular Layer (GL); Mitral Cell Layer (MCL); Medial Olfactory Tract (MOT); Median Raphe (MR); Olfactory Lamellae (OL); Olfactory Nerve (ON); Olfactory Nerve Layer (ONL); Telencephalon (Tel).
Gambar 6 Struktur organ penciuman pada ikan mulai dari organ lamella hingga otak bagian telencephalon (di lihat dari posisi dorsal) (Sumber: Mitamura et al. 2005) Ikan
mendeteksi
stimuli
kimia
melalui
sedikitnya
dua
saluran
chemoreception yang berbeda, yaitu: olfaction (bau) dan gustory (rasa). Pembedaan antara dua organ tersebut menurut perkiraan tidaklah selalu pada
13
semua hewan bertulang belakang, yang sebagian besar menggunakan organ olfaction dan perasa. Olfaction digambarkan sebagai pendeteksian melalui hidung (air-borne molekul) yang berasal dari suatu jarak atau suatu pengertian jarak yang memungkinkan ikan untuk menempatkan dan menemukan makanan atau pasangan seksual atau untuk menghindari dari musuh pada suatu jarak yang lebih jauh (Hansen dan Reutter 2004). Fungsi organ olfactory (penciuman) pada ikan merupakan salah satu sistem reseptor kimia yang beradaptasi terhadap substansi kimia spesifik lingkungan, baik berupa bahan organik maupun anorganik. Dalam berbagai pola tingkah laku ikan, fungsi tambahan dari olfactory antara lain homing, migrasi, sosial, seksual dan perilaku yang berkenaan dengan maturity (Hara 1993). Menurut Syandri (1988), Penciuman ikan sangat sensitif terhadap bahanbahan organik maupun anorganik yang dapat dikenal melalui indera penciuman. Ikan dapat mengenal bau mangsanya, predator, dan spesies sendiri. Bau-bau melarut didalam air dan merangsang reseptor pada organ olfaktoris ikan, sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut. Percobaan secara fisiologis yang dilakukan oleh Syandri (1988) membuktikan bahwa: (1) Apabila organ olfaktori pada ikan hiu dirusak, maka kemampuan ikan akan hilang untuk menangkap mangsanya. (2) Apabila mata ikan ini dirusak sedangkan olfaktoris masih tetap baik, maka ikan hiu masih dapat menangkap dengan cepat mangsanya (mengenai lokasi mangsanya) (3) Pada konsentrasi 0,0001 ppm ikan hiu sensitif terhadap bau. (4) Pada manusia bau yang sangat sensitif bagi ikan hiu adalah darah dan bukan bau badan. Percobaan lain yang dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan antara tingkah laku ikan dengan daya penciuman dihubungkan dengan migrasi tahunan maupun migrasi selama fase memijah. Percobaan yang dilakukan sebagai berikut: (1) Apabila organ visual pada ikan salmon yang sedang memijah dirusak, maka ikan tersebut dapat kembali ke tempat lokasi semula walaupun telah mengalami migrasi berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
14
(2) Apabila organ penciuman dirusak, ikan salmon yang akan memijah tidak dapat lagi ke tempat semula. (3) Percobaan yang dilakukan di Washington University dengan menggunakan elektro encephalografi yaitu alat pencatat gelombang otak, ternyata ikan salmon mempunyai reaksi yang baik terhadap air yang berasal dari syarafnya. Dari percobaan-percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa indera penciuman umumnya adalah yang paling sensitif bagi ikan. Indera penciuman inilah yang membantu ikan salmon menemukan kembali ke tempat asalnya.
2.4 Umpan Umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan berupa fisik maupun kimiawi yang dapat memberikan respons ikan tertentu dalam tujuan penangkapan ikan (Hendrotomo 1989). Penggunaan umpan dalam proses penangkapan ikan merupakan fungsi umpan sebagai pemikat (attractor). Penggunaan atraktor umpan dalam pengoperasian bubu sudah dikenal luas oleh nelayan. Berdasarkan kondisi umpan dapat dibedakan ke dalam umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait), sedangkan menurut asalnya umpan dapat dibedakan ke dalam umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) (Leksono 1983). Menurut Leksono (1983), beberapa pertimbangan dalam menentukan alternatif terhadap jenis ikan sebagai umpan yaitu: (1)
Umpan harus dapat digunakan pada alat tangkap yang telah ada,
(2)
Umpan dapat memenuhi selera ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan,
(3)
Umpan mudah didapat dalam jumlah banyak serta kontinuitas yang baik,
(4)
Lokasi sumberdaya relatif dekat serta mudah dalam penanganannya, dan
(5)
Biaya Pengadaan relatif murah. Djatikusumo (1975) menyatakan bahwa umpan yang baik harus memenuhi
syarat sebagai berikut: (1)
Tahan lama (tidak cepat busuk),
(2)
Mempunyai warna yang mengkilap sehingga mudah terlihat dan menarik bagi ikan yang menjadi tujuan penangkapan,
(3)
Mempunyai bau yang spesifik untuk merangsang ikan datang,
15
(4)
Harga terjangkau,
(5)
Mempunyai ukuran memadai, dan
(6)
Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan.
Kandungan kimia yang terkandung dalam umpan merupakan salah satu faktor penentu dalam proses penangkapan ikan dengan menggunakan bubu. Perbedaan jenis umpan dapat menyebabkan perbedaan hasil tangkapan pada bubu, hal tersebut disebabkan karena bau yang dikeluarkan oleh kandungan kimia dari umpan tersebut. Bau yang dikeluarkan oleh suatu umpan berdasarkan kandungan asam amino yang merupakan bagian dari rangkaian protein (Taibin 1984 diacu dalam Syandri 1988). Reseptor penciuman (olfactory) pada ikan memiliki respons yang tinggi pada asam amino, tetapi asam amino relatif tidak efektif untuk respons pada indera perasa (gustatory).
Kadar protein dan lemak yang tinggi akan
menimbulkan bau yang menyengat dari umpan (Caprio 1982). Kandungan alanin, glisin dan prolin pada asam amino yang merupakan komponen utama perangsang nafsu makan ikan semakin menurun (Fujaya 2004), sehingga akan berpengaruh terhadap penurunan stimulator penciuman yang akan berakibat menurunnya respons makan pada ikan (Caprio 1982). Pada jack mackerel (Trachurus japonica), red sea bream (Pagrus major), dan rainbow trout (Oncohynchus mykiss), campuran tirosin, phenilalanin, lisin, dan histidin serta triptophan dan valin, diidentifikasi sebagai perangsang nafsu makan (Fujaya 2004). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari kelompok nukleotide, inosine-5’-monophosphate (IMP), inosine, adenosine-5’-diphosphate (ADP), guaninosine-5’-monophosphate (GNP), dan uridine-5’-monophospate (UMP) juga diidentifkasi sebagai perangsang nafsu makan pada ikan.
2.5 Unit Penangkapan Bubu Bubu merupakan alat tangkap yang termasuk ke dalam klasifikasi perangkap (traps), ikan dapat masuk dengan mudah tanpa adanya paksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar keluar karena terhalang pintu masuknya yang berbentuk corong (non-return devices) (Brandt 1984). Prinsip dasar dari semua jenis bubu
16
(pots) dan perangkap (traps) adalah menarik keinginan ikan untuk masuk ke dalam bubu dengan menyediakan pintu yang mudah dimasuki ikan dan sulit untuk keluar (Sainsbury 1996). Bubu adalah alat penangkap ikan yang didesain untuk menangkap berbagai jenis ikan dan crustacea, dengan berbagai bentuk dan terbuat dari berbagai bahan. Bubu memiliki satu atau lebih bukaan mulut. Bubu biasanya dioperasikan di dasar perairan dengan sistem tunggal maupun rawai. Dalam pengoperasiannya bisa diberi umpan atau tidak. Bubu dilengkapi dengan tali pelampung untuk menghubungkan
bubu
dengan
pelampung.
Pelampung
berfungsi
untuk
menunjukkan posisi pemasangan bubu (Nedelec dan Prado 1990) Secara umum bubu terdiri dari bagian-bagian rangka (frame) badan (body), mulut (funnel) atau ijeb dan pintu masuk. Rangka biasanya terbuat dari bahan yang kuat seperti besi, besi behel, bambu atau kayu yang bentuknya disesuaikan dengan
konstruksi
bubu
yang
diinginkan.
Rangka
berfungsi
untuk
mempertahankan bentuk bubu selama pengoperasian di laut. Badan bubu berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung. Mulut bubu merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tapi tidak dapat keluar, umumnya berbentuk seperti corong. Pintu bubu untuk mengambil hasil tangkapan dari dalam badan bubu (Subani dan Barus 1989). Metode pengoperasian untuk semua jenis bubu pada umumnya hampir sama, yaitu dipasang di daerah penangkapan yang sudah diperkirakan memiliki kelimpahan ikan target tangkapan yang tinggi (Martasuganda 2003).
Lama
perendaman bubu di perairan, ada yang hanya direndam beberapa jam, ada yang direndam satu malam, ada juga yang direndam sampai tiga hari tiga malam dan bahkan ada yang direndam sampai tujuh hari tujuh malam. Bubu dioperasikan di atas dasar perairan dengan umpan sebagai pemikat mangsa (Martasuganda 2003). Prinsip pengoperasian bubu yaitu dipasang secara pasif menghadang dan merangkap ikan. Hal-hal yang membuat ikan tertarik pada bubu khususnya pada bubu yang tidak menggunakan umpan antara lain (Ferno dan Olsen 1994): (1)
Pergerakan acak ikan,
(2)
Menganggap bubu sebagai tempat istirahat dan berlindung,
(3)
Tingkah laku sosial interspesies,
17
(4)
Pemangsaan, dan
(5)
Mencari pasangan (reproduksi). Martasuganda (2003) menambahkan bahwa secara umum ikan masuk ke
dalam bubu karena faktor-faktor berikut: (1)
Mencari makan,
(2)
Mencari tempat berlindung,
(3)
Mencari tempat beristirahat, dan
(4)
Sifat thigmotaxis ikan. Metode pengoperasian bubu ada dua cara yaitu sistem tunggal dan sistem
rawai. Masing-masing cara disesuaikan dengan kedalaman pemasangan, jarak pemasangan, dan lokasi pemasangan. Adapun cara pemasangan bubu secara umum ada 4 tahap yaitu sebagai berikut (Sainsbury 1996): (1)
Pemasangan umpan Pada perikanan bubu yang menggunakan umpan, sebelum bubu dipasang di perairan, umpan harus dipasang terlebih dahulu dalan bubu. Posisi umpan harus didesain sedemikian rupa sehingga mampu menarik perhatian ikan baik dari bau maupun bentuknya. Biasanya umpan dipasang di tengahtengah bubu, digantungkan dengan tali atau tempat umpan.
(2)
Pemasangan bubu (setting) Bubu yang telah siap, satu demi satu diturunkan baik dengan menggunakan tangan maupun mechanical line hauler.
Sebagai penanda posisi
pemasangan pada bubu dilengkapi dengan pelampung untuk memudahkan nelayan menemukan kembali bubunya. (3)
Perendaman bubu (soaking) Lama perendaman bubu bervariasi tergantung dari jenis dan tingkah laku dari ikan yang ditangkap. Lama perendaman bubu berkisar beberapa jam sampai beberapa hari.
(4)
Pengangkatan bubu (hauling) Proses hauling pada bubu dapat dilakukan dengan tangan atau alat bantu (disesuaikan
dengan
ukuran
bubu
dan
kedalaman
pemasangan).
Penggunaan alat bantu akan mempercepat dan mengefisienkan tenaga
18
selama proses hauling. Setelah bubu sampai di atas kapal, ikan dikeluarkan dan dilakukan penanganan. Hasil tangkapan bubu merupakan ikan berkualitas tinggi dan dapat dipasarkan dalam keadaan hidup (Martasuganda 2003).
Ikan yang banyak
tertangkap oleh bubu adalah ikan kue (Caranx spp), beronang (Siganus spp), kerapu (Epinephelus spp), kakap (Lutjanus spp), kakatua (Scarus spp), ekor kuning (Caesio spp), ikan kaji (Diagramma spp) dan lencam (Lethrinus spp) (Subani dan Barus 1988).
2.6 Efektivitas Alat Tangkap Bubu Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu tujuan. Efektivitas (Ef) sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen (Gibson et al. 1990). Efektivitas dapat pula diartikan perbandingan antara hasil dengan tujuan dalam persen, dimana apabila nilai efektivitasnya di atas 100% maka dapat dikatakan cukup efektif, sedangkan apabila nilai efektivitasnya di bawah 100% dapat dikatakan kurang efektif. Dengan kata lain bahwa efektivitas sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen. Efektivitas alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan. Nilai efektivitas alat tangkap bagan motor (lift net) dapat dikategorikan tiga, yaitu: apabila nilainya kurang dari 50% dapat dikatakan alat tangkap tersebut efektivitasnya rendah, nilai 50% - 80% dikatakan alat tangkap yang cukup efektivitasnya dan nilai 80% - 100% dikatakan alat tangkap yang efektivitasnya tinggi (Baskoro et al. 2006). Menurut Fridman (1988) bahwa hasil tangkapan suatu alat tangkap dipengaruhi efektivitas alat dan efisiensi cara operasi. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa efektivitas alat tangkap secara umum tergantung pada faktor-faktor, antara lain: parameter alat tangkap itu sendiri (rancang bangun dan konstruksi), pola tingkah laku ikan, ketersediaan atau kelimpahan ikan dan kondisi oseanografi.
3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan dimulai dari bulan September 2007 hingga bulan Maret 2008. Penelitian pendahuluan dilakukan dari bulan September-Oktober 2007.
Penelitian laboratorium untuk mengamati respons
penciuman ikan kerapu dilakukan di Laboratorium Biologi dan Keanekaragaman Hayati Laut Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB. Formulasi umpan dilakukan di Laboratorium Bio-Kimia Departemen Teknologi Hasil Perairan FPIK-IPB. Uji coba penangkapan dilakukan di 5 lokasi yaitu perairan Pulau Panggang, Pulau Air, Pulau Semak Daun, Pulau Karang Beras, dan Pulau Karang Sempit, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Pengolahan data dilakukan di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK-IPB. Lokasi penelitian lapang disajikan pada Lampiran 1.
3.2 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji coba laboratorium (laboratory experiment) dan uji coba penangkapan (fishing experiment). Uji coba laboratorium dilakukan melalui observasi pada kondisi buatan (artificial condition) yang dibuat dan diatur sebagai kontrol melalui manipulasi fisik, seperti penggunaan cara dan alat ataupun kontrol dengan cara seleksi terhadap materi maupun terhadap obyek penelitian (Nazir 1988). Uji coba penangkapan (fishing experiment) dilakukan dengan mengoperasikan langsung unit penangkapan bubu pada beberapa lokasi penangkapan yang telah ditentukan. pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar 7.
Diagram alir
20
Perikanan Bubu di Kep. Seribu
Penelitian Pendahuluan Waktu: September-Oktober 2007
Identifikasi
Umpan alami
Eksperimen Laboratorium
Analisis kimia umpan alami
Proksimat: - As. Amino - As. Lemak - Amoniak
Penelitian Laboratorium Waktu: November 2007-Januari 2008
Pemeliharaan ikan kerapu Formulasi umpan buatan (A, B, C, D, E, F, Kontrol)
Analisis kimia umpan buatan
Proksimat: - As. Amino - As. Lemak - Amoniak
Uji perlakuan umpan terhadap ikan kerapu Analisis statistik Umpan buatan untuk uji lapangan
Eksperimen lapangan
Penelitian Lapangan Waktu: Februari-Maret 2008
Pemasangan bubu dengan umpan buatan hasil formulasi Analisis statistik Umpan buatan efektif Gambar 7 Diagram alir pelaksanaan penelitian
21
3.2.1 Alat dan bahan penelitian (1) Uji coba laboratorium Pemeliharaan ikan dan aklimatisasi digunakan bak penampungan ikan yang terbuat dari fiber glass dengan ukuran (200 cm x 100 cm x 75 cm) yang dilengkapi dengan satu unit sistem aerasi dan sirkulasi air (Gambar 8). Pengamatan terhadap respons penciuman kerapu dilakukan pada bak percobaan dengan ukuran PxLxT (200 cm x 50 cm x 50 cm) (Gambar 9). Sistem aerasi dan sirkulasi ini dihubungkan ke akuarium, filter pipa dengan menggunakan pompa. Untuk menjaga agar suhu air dalam bak tetap dalam kondisi yang sesuai, dipasang pemanas (heater) sebanyak 7 buah. Peralatan lain yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Gambar 8 Bak pemeliharaan ikan
Gambar 9 Bak percobaan
22
Tabel 1 Peralatan laboratorium yang digunakan dalam penelitian No Peralatan Kegunaan 1. 1 set alat sirkulasi air (aerator, jet Sirkulasi air pump, selang air) 2. Skimmer Memisahkan bahan organik (protein) yang berasal dari kotoran ikan dan sisa pakan 3. Heater (pemanas air) Mempertahankan kondisi suhu air 4. Serok besar Memindahkan ikan 5. Saringan air (siphon) Mengambil sisa-sisa makanan dan kotoran ikan 6. Kertas pH Mengukur kadar pH air laut 7. Refraktometer Mengukur salinitas air 8. Sekat batas Menghalangi ikan dari alat-alat sirkulasi 9. Sekat perlakuan Menghalangi ikan bergerak maju sebelum perlakuan dimulai 10. Kayu Tempat penggantungan umpan buatan 11. Benang jahit Penggantungan umpan buatan 12. Kertas skala dari karton Skala pada akuarium perlakuan 13. Measuring board Pengukur panjang ikan 14. Termometer Pengukur suhu air 15. Timbangan digital Pengukur berat ikan dan umpan 16. Seperangkat alat perekam yang terdiri Perekaman tingkah laku ikan dari: 1. Note book 2. TV Tunner 3. Handycam night shoot 4. Kaset DVD (60 menit) 17. Kamera digital Dokumentasi 18. Stopwatch Pengukur waktu respons ikan terhadap umpan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) hidup dalam keadaan sehat, sejumlah 6 ekor dengan panjang total (25-35 cm).
Ikan yang digunakan
berasal dari ikan hasil budidaya keramba jaring apung (KJA) di Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu. Alasan pemilihan ikan budidaya ini didasarkan pada hasil penelitian pendahuluan yang menunjukkan bahwa ikan hasil tangkapan dari nelayan memiliki tingkat ketahanan hidup (survival rate) yang rendah,
23
sehingga ikan tidak dapat bertahan hidup lama. Berdasarkan hal tersebut maka digunakan ikan budidaya. (2) Air laut sebagai media hidup ikan di laboratorium berasal dari Sea World Ancol Jakarta (3) Umpan buatan (artificial bait) hasil formulasi Komposisi umpan ini dibuat berdasarkan hasil uji kandungan yang terkandung dalam umpan alami yaitu ikan rucah (tembang), udang, dan gonad bulu babi. Kandungan kimiawi yang dipakai dalam pembuatan umpan buatan antara lain asam amino, asam lemak, dan amoniak. Bahan-bahan yang digunakan adalah: (1) Minyak ikan (fish oil) mewakili amoniak dan asam lemak (2) Tepung ikan (fish meal) mewakili asam lemak dan amino (3) Tepung tapioka sebagai pelekat (emultan) dan stabilisator (4) Tepung terigu sebagai pelekat (emultan) dan stabilisator (5) Air sebagai bahan pencampur Komposisi yang dipakai, disesuaikan dengan kebutuhan, dan dilakukan dalam beberapa komposisi bahan-bahan tersebut. Cara pembuatan umpan buatan adalah sebagai berikut: (1) Bahan pembuat umpan dihitung sesuai bobot yang diperlukan (untuk pembuatan 100 gram umpan jumlah bahan yang dibutuhkan disesuaikan dengan formulasi yang diinginkan). (2) Bahan-bahan yang memiliki bobot terkecil seperti tepung ikan dan tepung terigu dicampurkan terlebih dahulu dalam wadah hingga merata, kemudian pencampuran tepung tapioka sampai rata, dilanjutkan dengan minyak ikan. (3) Setelah merata, untuk menjadi pasta ditambahkan air tawar sesuai dengan kebutuhan secara perlahan-lahan. (4) Untuk bentuk kering, umpan yang telah jadi dikeringkan hingga kadar air sekitar 20 %. (2) Uji coba lapangan Bubu yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubu tambun. Bubu ini dioperasikan pada kedalaman 0,5-1,5 m di perairan karang atau lebih tepatnya diantara karang, kemudian bagian atasnya ditimbun atau ditindih dengan batu maupun karang yang sudah mati. Pemasangan bubu dilakukan dengan sistem
24
tunggal dengan menggunakan umpan buatan (artificial bait) hasil formulasi dan umpan alami berupa ikan rucah, udang dan bulu babi (Diadema sp.) yang telah dihancurkan (digunakan gonadnya) dan dimasukkan ke dalam bubu. Bubu tambun terbuat dari bambu, memiliki panjang total 70 cm, lebar 60 cm dan tinggi 20 cm. Ukuran mata anyaman bubu adalah 3 cm berbentuk segi enam. Bubu ini memiliki bentuk mulut yang bulat pada bagian luar dan mengecil terus ke bagian dalam dengan bentuk lonjong. Diameter mulut bubu bagian luar adalah 27 cm dan diameter mulut bubu bagian dalam adalah 20 cm. Desain bubu dengan bentuk mulut seperti ini sengaja dibuat dengan tujuan agar memudahkan ikan untuk masuk namun menyulitkan ikan untuk keluar sehingga ikan terperangkap dalam buba (Lampiran 11). Bubu yang dipasang pada penelitian ini berjumlah 14 unit. Pemasangan bubu dibutuhkan waktu 1,5-2 jam dalam satu kali trip. dilakukan selama 45 menit.
Pengangkatan bubu
Total waktu yang diperlukan dalam operasi
penangkapan bubu tambun selama 3-4 jam. Waktu perendaman dilakukan selama 8-10 jam yaitu setting pagi hari kemudian pada sore hari dilakukan hauling, sebaliknya setting sore hari paginya dilakukan hauling. Alat bantu yang digunakan dalam pengoperasian bubu tambun antara lain: (1) pengait yang berfungsi untuk mengambil bubu dari dasar perairan karena bubu tambun tidak dilengkapi dengan tali pengikat maupun pelampung tanda, (2) bak penampung hasil tangkapan. Bak penampung ini terdiri dari dua jenis yaitu untuk ikan mati dan ikan hidup, (3) sepatu digunakan untuk menjaga keselamatan dalam pengoperasian bubu saat pemasangan dan penangkutan bubu nelayan biasanya berjalan di batu karang. Resiko terluka saat menginjak karang atau bahkan ikan beracun seperti ikan lepu (Scorpionidae) dapat diminimalisasi dan (4) kacamata selam digunakan pada saat perairan cukup dalam (laut pasang) sehingga pemasangan bubu lebih mudah dilakukan. Perahu yang digunakan dalam penelitian ini berukuran 5 GT menggunakan mesin inboard. Dimensi perahu dengan panjang total (LOA) 8 m, lebar 2 m, tinggi (depth) 1 m sedangkan tinggi dek (draft) 0,5 m. Mesin yang digunakan adalah mesin diesel dengan kekuatan 18 PK. Peralatan penelitian lapangan lainnya yang digunakan disajikan pada Tabel 2.
25
Tabel 2 Peralatan penelitian lapangan lainnya yang digunakan dalam penelitian No 1. GPS 2. 3. 4. 5. 6.
Peralatan
Timbangan Flow meter Measuring board Kamera digital Data sheet
Kegunaan Menentukan posisi koordinat pemasangan bubu Pengukur berat hasil tangkapan Pengukur kecepatan arus Pengukur panjang ikan Dokumentasi Pencatatan data hasil tangkapan
3.2.2 Pengumpulan data Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah (1) data tingkah laku ikan mendekati umpan, (2) waktu yang dibutuhkan untuk mencapai umpan, komposisi bahan umpan buatan, (3) komposisi hasil tangkapan, dan (4) panjang serta berat hasil tangkapan. Untuk menunjang data primer yang diperoleh pada saat penelitian, dilakukan juga studi literatur terhadap penelitian-penelitian terdahulu. Data sekunder yang dikumpulkan adalah kandungan proksimat (air, protein, lemak) dari formulasi umpan buatan.
(1) Uji coba laboratorium (laboratory experiment) Tahapan yang dilakukan dalam uji coba laboratorium meliputi: (1) Persiapan dan pemeliharaan ikan kerapu Penelitian ini dimulai dari persiapan bak penelitian. Bak penelitian yang digunakan sedemikian rupa sehingga kondisinya mendekati kondisi di alam dan terkontrol. Bak yang sudah bersih kemudian diisi dengan air laut, selanjutnya dipasang jet pump untuk menciptakan arus dalam air sehingga terjadi suplai oksigen. Salinitas dan suhu air laut dalam bak setiap hari dikontrol agar tetap optimal pada kisaran 30-31 ppm dan 28-30 oC. Bak pemeliharaan ikan disirkulasi selama dua minggu sebelum ikan kerapu dimasukkan ke dalam bak. Suhu air optimum untuk pertumbuhan kerapu berkisar 22-28oC, jika suhu turun dibawah 15oC akan menyebabkan metabolisme tubuh ikan menurun, sehingga ikan tidak mau makan dan aktivitasnya akan berkurang. Jika suhu terlalu tinggi (panas) akan menyebabkan metabolisme respirasi berlangsung cepat dan proses metabolisme
26
terhenti. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan ikan kerapu adalah 28-32oC. Pengukuran suhu dan salinitas dilakukan dari awal hingga akhir pengamatan. Persiapan lain yang harus disiapkan adalah persiapan ruang gelap yang menutupi bak percobaan. Pembuatan ruang gelap dilakukan dengan menggunakan plastik mulsa berwarna hitam. Ruangan dibuat dengan ukuran P x L x T (200 cm x 250 cm x 200 cm). Perekaman dilakukan secara manual dengan menggunakan handycam night shoot. Ikan yang digunakan diambil dari bak pemeliharaan. Ikan yang diambil untuk percobaan merupakan ikan yang dalam kondisi sehat dan terhindar dari stres. Ikan tersebut sudah diaklimatisasi selama tiga bulan (Juni-Agustus 2007) di bak penampungan. Selama aklimatisasi, ikan diberi makan dua kali sehari yaitu pagi antara pukul 08.00 hingga 09.00 WIB dan sore antara pukul 16.00 hingga 17.00
WIB.
Makanan
yang
diberikan
berupa
potongan
daging
ikan
layang/tembang/selar dan udang dengan ukuran disesuaikan dengan bukaan mulut ikan. Sisa-sisa makanan dan kotoran ikan diambil dengan menggunakan saringan (siphon). Penyiphonan bak dilakukan dua kali dalam seminggu atau bila terlalu banyak kotoran pada bak pemeliharaan. Penggantian air laut dilakukan dua minggu sekali sebanyak 25%. (2) Starvasi ikan uji Sebelum dilakukan percobaan ikan terlebih dahulu dipuasakan (starvasi) selama 2 x 24 jam. Starvasi bertujuan untuk mengkondisikan ikan dalam keadaan lapar, sehingga ikan benar-benar memberikan respons terhadap umpan.
Ikan
dimasukkan ke dalam bak percobaan untuk dilakukan penyesuaian di dalam bak percobaan untuk orientasi terhadap lingkungan dengan cara membiarkan ikan berenang bebas selama 5 menit. Setelah terbiasa dengan kondisi bak percobaan, ikan diletakkan pada salah salah satu sisi bak sebagai tanda awal (starting point) untuk mulai yang diberi sekat. Sekat ini berfungsi sebagai jarak awal antara ikan dan umpan. Selama pengujian ikan diberi makan selama dua hari dan kemudian dipuasakan sehari semalam untuk kemudian diberi perlakuan selanjutnya. (3) Proses pengamatan dan pengambilan data Pengamatan dilakukan setelah proses aklimatisasi. Percobaan dilakukan pada dua kondisi yaitu percobaan pada kondisi tanpa cahaya (dark condition)
27
menggunakan ruangan gelap (dark room). Hal ini dimaksudkan agar pada saat perlakuan, ikan hanya menggunakan organ penciumannya dalam merespons umpan.
Ikan uji dipindahkan dari bak pemeliharaan kemudian dibiarkan
berorientasi selama 5 menit. Setelah itu ikan uji digiring ke ujung akuarium (start area) dan sekat perlakuan dipasang. Umpan dipasang pada jarak 50 cm dari sekat dan 20 cm dari akuarium (Gambar 10). Selama perlakuan air stone dipasang pada jarak 100 cm dari sekat perlakuan, sehingga dapat membantu penyebaran bau dari umpan. Perlakuan pada malam hari, diamati dengan menggunakan handy cam night shoot. Percobaan kedua dilakukan pada ruang terang (siang hari) sebagai kontrol.
Arousal area Searching area Finding area
Gambar 10 Pembagian fase respons ikan terhadap umpan
28
Komposisi umpan buatan dibuat dalam 5 komposisi berdasarkan jumlah kandungan bahan penyusun utama yaitu minyak ikan dan tepung ikan. Formulasi umpan buatan (artificial bait) terdiri atas komposisi bahan sebagai berikut: Tabel 3 Komposisi bahan umpan buatan (artificial bait) Komposisi bahan (gram) 1. Minyak ikan 2. Tepung ikan 3. Tepung terigu 4. Tepung tapioka Total Berat (gram) No.
A 5 19 19 57 100
B 15 17 17 51 100
Jenis umpan C 25 15 15 45 100
D 35 13 13 39 100
K 0 0 40 60 100
Pengamatan dilakukan dengan melihat dan merekam aktivitas dan tingkah laku dalam mendekati umpan. Setiap perlakuan menggunakan satu ekor kerapu dengan 5 jenis umpan yang berbeda. Setiap setting dianggap sebagai satu ulangan dan tiap perlakuan dilakukan selama 1 jam. Setiap pergantian ulangan dilakukan pergantian air dalam bak agar kondisi air sama dengan kondisi awal penelitian. Data yang dikumpulkan dalam perlakuan adalah waktu ikan mendekati umpan yang terbagi ke dalam 3 fase yaitu: (1)
Arousal (menerima rangsangan), fase dimana ikan mulai beraksi karena adanya rangsangan bau,
(2)
Searching (mencari), fase dimana ikan mulai mencari makanan (umpan) hanya menggunakan organ penciumannya, dan
(3)
Finding (menemukan), ikan telah menemukan umpan dan melakukan uptake (mengambil/memakan umpan) Perlakuan menggunakan formulasi umpan buatan. Waktu respons ikan
dihitung setelah umpan dipasang dan sekat penutup dibuka, sampai ikan menemukan keberadaan umpan (finding) dengan batas waktu 1 jam. Asumsi yang digunakan dalam eksperimen laboratorium ini antara lain: (1)
Kondisi air dalam bak mendekati kondisi ideal,
(2)
Kondisi fisik ikan di laboratorium sehat dan tanpa indikasi sakit.
29
Setelah perlakuan selesai, ikan dipindahkan ke bak pemeliharaan kemudian langsung diberi makan. Sebelum melakukan perlakuan selanjutnya, ikan diaklimatisasi selama dua hari, kemudian dipuasakan selama dua hari.
Bila
kondisi ikan menurun, aklimatisasi dilakukan lebih lama sebelum dipuasakan kembali. Parameter yang digunakan untuk melihat kondisi ikan dalam keadaan baik atau menurun adalah dengan melihat pola makannya. Jika selera makan ikan menurun atau tidak mau makan sama sekali, berarti kondisi kesehatan ikan menurun.
(2) Uji coba penangkapan (fishing experiment) Uji coba penengkapan di lapangan dilakukan untuk menghitung efektivitas umpan buatan yang telah di uji di laboratorium. Pengoperasian bubu dilakukan di beberapa lokasi penangkapan antara lain: Pulau Panggang, Pulau Air, Pulau Semak Daun, Pulau Sempit, dan Pulau Karang Beras. Kondisi lingkungan perairan di sekitar lokasi pemasangan bubu memiliki karaktersitik yang sama, dengan kedalaman perairan berkisar 0,5-5 m, kecepatan arus 0,3 m/s, suhu 28-29 o
C, pH 8, dan salinintas 30 o/oo. Lokasi pemasangan bubu disajikan pada Lampiran
1. Pengoperasian bubu dilakukan dengan sistem tunggal, bubu yang digunakan sebanyak 14 unit. Jarak pemasangan antar bubu dengan bubu lainnya adalah antara 1,5 m sampai 4 m (Hartsjuijker dan Nicholson 1981; Parrish 1982; Luckhurst dan Ward 1985 diacu dalam Ferno dan Olsen 1994). Pemasangan bubu dilakukan sebanyak 20 kali ulangan dengan rincian sebagai berikut: 1. Trip ke- 1, melakukan setting pada lokasi penempatan bubu. 2. Trip ke-2, melakukan hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi. 3. Trip ke-3, melakukan hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi 4. Trip ke-4, melakukan hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi 5. Trip ke-5, melakukan hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi 6. Trip ke-6 dan seterusnya sampai 7. Trip ke-20, melakukan hauling pada semua lokasi penempatan bubu.
30
Adapun tahapan pengoperasian bubu terdiri dari persiapan, perjalanan menuju daerah penangkapan ikan, pemasangan bubu, perendaman dan pengangkatan bubu. Bubu tambun dioperasikan pada kedalaman 0,5 – 1,5 m di perairan karang atau lebih tepatnya diantara karang-karang atau bebatuan. Bubu tambun diletakkan diantara karang kemudian bagian atasnya ditimbun atau ditindih dengan karang yang sudah mati. Pemasangan bubu tambun dilakukan dengan sistem tunggal. Bubu tambun menggunakan umpan rucah, udang, bulu babi, dan artificial bait (umpan buatan B dan umpan buatan D). Pemilihan umpan buatan B dan D pada uji coba di lapangan didasarkan pada hasil penelitian laboratorium, dimana umpan tersebut memiliki respons tercepat untuk ikan kerapu macan mendekati umpan. Pemasangan bubu tambun membutuhkan waktu 1,5 jam dalam satu kali trip. Bubu yang dipasang berjumlah 14 unit, masing-masing 2-3 unit untuk dipasang jenis umpan yang berbeda. Pengangkatan bubu dilakukan selama 45 menit. Hauling dilakukan pada waktu pagi dan sore hari, total waktu yang dibutuhkan dalam operasi penangkapan bubu tambun selama 3-4 jam. Ikan hasil tangkapan yang diperoleh untuk setiap pengangkatan dipisahkan berdasarkan jenis umpan yang digunakan dan kemudian setiap jenis ikan dihitung jumlah dan beratnya.
3.3 Analisis Data 3.3.1 Respons penciuman ikan terhadap umpan Analisis respons tingkah laku ikan mendekati umpan dilakukan secara deskriptif dengan menganalisis hasil rekaman tingkah laku ikan bagian-per bagian rekaman yang diputar (frame by frame). Respons yang dianalisis adalah pola tingkah laku makan ikan terhadap umpan, yaitu reaksi renang ikan mendekati umpan (umpan alami maupun buatan).
3.3.2 Respons penciuman ikan terhadap umpan buatan Data mengenai waktu respons arousal, searching, dan finding terhadap umpan merupakan nilai rataan yang ditampilkan dalam bentuk grafik secara sederhana sesuai dengan jenis umpan. Data tersebut selanjutnya dibandingkan
31
untuk mengetahui besarnya pengaruh perbedaan umpan terhadap waktu respons penciuman ikan kerapu macan dengan analisis ragam satu arah (ANOVA). Asumsi dasar yang penting untuk uji ANOVA ini adalah kondisi unit percobaan yang digunakan homogen dan sebaran data normal. Oleh karena itu dilakukan uji normalitas dan homogenitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov dan ShapiroWilk dengan program SPSS (Lampiran 3-5). Perancangan percobaan yang digunakan adalah analisis ragam klasifikasi satu arah sebagaimana dijelaskan dalam persamaan berikut :
Yij = μ + λi + Σij dimana : Yij
: nilai pengamatan dari suatu percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j;
μ
: nilai tengah umum;
λ
: pengaruh perlakuan ke-i; dan
∑
: sisa dari perlakuan ke-i ulangan ke-j
Hipotesis, cara pengambilan keputusan Ho : τ1 = τ2 (tidak ada pengaruh perbedaan umpan terhadap waktu respons) H1 : τ1 ≠ τ2 (terdapat pengaruh perbedaan umpan terhadap waktu respons). Bila F hitung > F tabel maka tolak Ho, artinya terdapat perbedaan jenis umpan secara signifikan terhadap waktu respons ikan. Bila F hitung < F tabel maka terima Ho, artinya perbedaan jenis umpan tidak signifikan terhadap waktu respons ikan. Rumus hitung yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1995) adalah sebagai berikut: FK
2 ( ∑ Yij ) =
JKP
∑ Yi =
rt
r
2
− FK
JKT = ∑ Yij 2 − FK JKS = JKT – JKP
32
Tabel 4 Analisis ragam untuk pengaruh perbedaan umpan buatan Sumber keragaman
db
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
Perlakuan
t–1
JKP
JKP/dbs
KTP/KTS
Sisa
t (r – 1)
JKS
JKS/dbs
Total
rt – 1
JKT
3.4.3 Pengaruh perbedaan umpan Ikan hasil tangkapan bubu dikelompokkan ke dalam selang kelas panjang. Jumlah selang kelas panjang dan interval kelas dihitung dengan menggunakan rumus distribusi frekuensi menurut Walpole (1995), yaitu :
K = 1 + 3,3 log n
i=
R K
dimana:
K
: jumlah kelas;
n
: banyaknya data;
i
: interval kelas; dan
R
: nilai terbesar – nilai terkecil.
Sebelum menganalisis data yang didapat, terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas dan uji kenormalan data untuk melihat apakah data menyebar normal atau tidak. Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov pada software SPSS. Apabila data menyebar normal maka analisis dapat dilakukan, tetapi apabila data tidak normal maka pengujian dilakukan dengan menggunakan analisis statistik non parametrik dengan uji nilai tengah (Median). Dari data yang dianalisis didapatkan bahwa data tidak menyebar normal dan homogen, sehingga digunakan analisis non parametrik dengan uji nilai tengah (Median) (Lampiran 14) dengan hipotesis pengambilan keputusan adalah sebagai berikut: Ho: tidak ada perbedaan antara jenis umpan H1: ada perbedaan antara jenis umpan Jika asymp sig > α (0,05), maka Ho diterima
33
Jika asymp sig < α (0,05), maka Ho ditolak 3.4.3 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan Pengukuran efektivitas penggunaan umpan pada penangkapan ikan kerapu dengan bubu dilakukan dengan menghitung perbandingan bubu dengan umpan tertentu yang menangkap ikan kerapu dengan jumlah total bubu yang digunakan. Metode yang ditujukkan untuk mengukur efektivitas penggunaan umpan pada bubu untuk menangkap ikan kerapu (Ef), yaitu banyaknya bubu yang menangkap ikan kerapu dengan menggunakan umpan (Ku) dibandingkan dengan total bubu yang digunakan (TB) dinyatakan dalam persen. Perhitungan efektivitas tangkapan kerapu dengan bubu berumpan disajikan dalam Tabel 6.
Ef =
Ku x 100% TB
Tabel 6 Perhitungan efektivitas tangkapan kerapu dengan bubu berumpan
Σ Bubu Σ Bubu isi kerapu Setting ke-1 Setting ke-2 Setting ke-3 Setting ke-4 Setting ke-n Total Setting Efektivitas Rata-rata
Umpan-1
Umpan-2
Umpan-3
Efektivitas Total Bubu Umpan
TB1
TB2
TB2
ΣTBi
Ku1
Ku2
Ku3
ΣKui
Ku1-1/TB1 Ku1-2/TB1 Ku1-n/TB1 Σ(Ku1-n/TB1) Σ(Ku1-n/TB1) x 100 n
Ku2-1/TB2 Ku2-2/B2 Ku2-n/TB2 Σ (Ku2-n/TB2) Σ (Ku2-n/TB2) x 100 n
Ku3-1/TB3 Ku3-2/TB3 Ku3-n/TB3 Σ (Ku3-n/TB3) Σ (Ku3-n/TB3) x 100 n
ΣKui-1 / ΣTBi-1 ΣKui-2 / ΣTBi-2 ΣKui-n/ ΣTBi-n Σ (ΣKui-n/ ΣTBi-n) Σ (ΣKuin/ ΣTBin) x 100 n
B
B
4 HASIL PENELITIAN 4.1 Hasil Eksperimen Laboratorium 4.1.1
Formulasi umpan buatan Formulasi umpan buatan yang dibuat merupakan hasil dari analisis kimia
terhadap umpan alami yang biasa digunakan oleh nelayan, seperti ikan rucah, udang dan gonad bulu babi. Kandungan kimia yang dominan terlebih dahulu ditentukan, kemudian dicari bahan yang memiliki kandungan serupa. Bahanbahan tersebut adalah minyak ikan, tepung ikan, tepung terigu dan tepung tapioka sebagai bahan pengemulsi. Komposisi kimia yang terkandung dalam umpan alami disajikan pada Gambar 11. 900 800
Nilai (mg/g)
700 600 Ikan
500
Udang
400
B.Babi
300 200 100 0 Lemak
Protein
Air
Gambar 11 Kandungan proksimat umpan alami Berdasarkan Gambar 11 terlihat bahwa kandungan kimia utama yang berpengaruh terhadap respons penciuman ikan adalah protein, lemak dan asam amino. Komposisi protein yang tertinggi terdapat pada ikan (171,4 mg/g), diikuti oleh udang (138,2 mg/g) dan gonad bulu babi (83,2 mg/g). Komposisi lemak tertinggi terdapat pada gonad bulu babi (67,6 mg/g), diikuti ikan (15,6 mg/g) dan udang (8,4 mg/g). Kandungan asam lemak terbesar pada umpan alami antara lain dari jenis miristat, palmitat dan oleat. Kandungan miristat tertinggi terdapat pada umpan gonad bulu babi yaitu sebesar (510,50 mg/g), diikuti ikan (93,30 mg/g) dan udang (66,39 mg/g). Kandungan palmitat tertinggi pada umpan udang (454,58 mg/g),
35
ikan (361,85 mg/g) dan gonad bulu babi (332,60 mg/g). Kandungan oleat tertinggi terdapat pada umpan ikan (121,10 mg/g), udang (100,21 mg/g) dan gonad bulu babi (34,50 mg/g) seperti disajikan pada Gambar 12. 600 500
Nilai (mg/g)
400 Ikan 300
Udang B. Babi
200 100 0 Laurat
Miristat
Palmitat
Stearat
Oleat
Linoleat
Linolenat
Gambar 12 Kandungan lemak pada umpan alami Kandungan asam amino utama (alanin) yang tertinggi terdapat pada ikan (15,34 mg/g) diikuti oleh udang (10,87 mg/g) dan gonad bulu babi (1,60 mg/g), sedangkan untuk glisin kandungan tertinggi terdapat pada ikan (4,42 mg/g) diikuti udang (1,52 mg/g) dan gonad bulu babi (0,60 mg/g). Kandungan asam amino umpan alami disajikan pada Gambar 13. 30
Nilai (mg/g)
25 20
Ikan
15
Udang
10
B.Babi
5
A
A
s. A sp a s. G rtat lu tam at Se rin G lis i H n ist id i A n rg in Th in re on in A la ni n Pr ol in Ti ro s in V M alin et hi on in Si s I s t in ol eu sin Le Ph u e n s in ila la ni n Li sin
0
Gambar 13 Kandungan asam amino umpan alami Berdasarkan hasil analisis kimia yang dilakukan pada umpan alami, kemudian dibuat formulasi umpan buatan dalam bentuk pasta. Dari hasil
36
formulasi umpan buatan yang dihasilkan kemudian dianalisis kembali komposisi kimianya. Hasil analisis kimia umpan buatan (artificial bait) disajikan pada Gambar 14. 450 400
Nilai (mg/g)
350
Umpan A
300
Umpan B Umpan C
250
Umpan D
200
Kontrol
150 100 50 0 Lemak
Protein
Air
Gambar 14 Kandungan proksimat pada umpan buatan Pada Gambar 14 menunjukkan bahwa kandungan protein tertinggi terdapat pada umpan D yaitu sebanyak 331,8 mg/g diikuti oleh umpan A sebanyak 152,9 mg/g, umpan B sebanyak 135,7 mg/g dan umpan C sebanyak 134,4 mg/g. Umpan kontrol memiliki nilai kadar protein terendah yaitu sebanyak 40,3 mg/g. Kandungan lemak tertinggi terdapat pada umpan C yaitu sebanyak 283,9 mg/g, sedangkan pada umpan B, D, dan A berturut-turut 231,9 mg/g, 92,5 mg/g dan 54,3 mg/g. Kandungan air tertinggi terdapat pada umpan kontrol yaitu sebanyak 399,6 mg/g, hal ini disebabkan karena umpan ini tidak menggunakan minyak ikan, tetapi hanya air sebagai pencampurnya. Komponen lemak terbesar yang terdapat pada umpan buatan antara lain palmitat, oleat, dan miristat. Kandungan palmitat tertinggi terdapat pada umpan D yaitu sebanyak 426,58 mg/g dan terendah pada umpan kontrol. Kandungan oleat tertinggi terdapat pada umpan kontrol yaitu sebanyak 445,18mg/g dan terendah pada umpan B yaitu sebanyak 104,88 mg/g. Kandungan miristat tertinggi terdapat pada umpan C yaitu sebanyak 254,51 mg/g, sedangkan yang terendah pada umpan kontrol yaitu sebanyak 5,11 mg/g. Kandungan lemak umpan buatan disajikan pada Gambar 15.
37
500 450
Nilai (mg/g)
400 350
Umpan A
300
Umpan B
250
Umpan C
200
Umpan D
150
Umpan Kontrol
100 50 0 Laurat
Miristat
Palmitat
Stearat
Oleat
Linoleat
Linolenat
Gambar 15 Kandungan lemak pada umpan buatan Asam amino merupakan kandungan kimia umpan yang dapat merangsang organ penciuman ikan (Fujaya, 2004). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan uji kandungan asam amino terhadap umpan buatan. Komposisi asam amino umpan buatan terdiri dari 17 jenis asam amino. Kandungan asam amino yang direspons oleh penciuman ikan sekaligus sebagai perangsang nafsu makan antara lain alanin, glisin, prolin, valin, lisin, phenilalanin, histidin, dan triptophan. Kandungan alanin tertinggi terdapat pada umpan D yaitu sebanyak 7,01 mg/g, sedangkan kandungan glisin dan prolin tertinggi juga terdapat pada umpan D yaitu sebanyak 3,28 mg/g dan 2,28 mg/g. Kandungan valin dan histidin tertinggi terdapat pada umpan A yaitu sebanyak 6,51 mg/g dan 2,04 mg/g. Kandungan lisin, dan phenilalanin terbanyak terdapat pada umpan D yaitu sebanyak 5,57 mg/g dan 2,99 mg/g. Kandungan asam amino yang terdapat pada umpan buatan disajikan pada Gambar 16.
38
18 16
Nilai (mg/g)
14 Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D Umpan Kontrol
12 10 8 6 4 2
A
s. A
A spa s. G rtat lu tam at Se rin G lis i H n is t id i A n rg in Th in re on in A la ni n Pr ol in Ti ro sin V M alin et hi on in Si s Is tin ol eu sin L Ph eus in en ila la ni n Li s in
0
Gambar 16 Kandungan asam amino yang terdapat pada umpan buatan 4.1.2
Respons penciuman ikan kerapu macan terhadap umpan Respons penciuman ikan kerapu macan terhadap umpan buatan dapat dilihat
dari reaksi ikan setelah keluar dari batas awal (starting area) sampai menemukan umpan yang dipasang. Waktu yang dibutuhkan ikan sampai menemukan umpan buatan dibagi menjadi tiga ketegori waktu yaitu arousal, searching, dan finding. (1) Waktu rata-rata pertama kali menerima rangsang (arousal) terhadap umpan Waktu respons arousal adalah waktu pada saat ikan bergerak keluar dari area awal (start).
Berdasarkan hasil perlakuan, perbedaan formulasi umpan
buatan antara umpan A (minyak ikan 5%), umpan B (minyak ikan 15%), umpan C (minyak ikan 25%) dan umpan D (minyak ikan 35%) diperoleh perbedaan waktu rata-rata arousal. Waktu rata-rata ikan tercepat untuk mencapai tahap arousal terjadi pada umpan B yaitu 2,09±0,28 menit, diikuti umpan D 2,50±0,25 menit, selanjutnya umpan C 4,12±0,43 menit dan yang paling lama adalah umpan A dengan waktu rata-rata 6,16±0,77 menit. Perbandingan waktu rata-rata respons arousal antar jenis umpan disajikan pada Gambar 17.
39
Waktu arousal x±SE (menit)
8.00 7.00
6.16±0.77
6.00
Umpan A
4.12±0.43
5.00
Umpan B
4.00
Umpan C
3.00
2.50±0.25
2.09±0.28
Umpan D
2.00 1.00 0.00 Jenis umpan
Gambar 17 Perbandingan waktu rata-rata respons arousal antar jenis umpan buatan (2) Waktu rata-rata mencari (searching) umpan Waktu searching adalah waktu pada saat ikan mulai bergerak untuk mencari keberadaan umpan, dimulai setelah ikan melakukan arousal dan berhenti sejenak di depan area awal untuk mengidentifikasi bau yang ditimbulkan dari umpan buatan yang dipasang. Berdasarkan waktu searching tersebut, terlihat bahwa waktu rata-rata searching yang paling cepat adalah untuk umpan B yaitu, 2,79±0,26 menit, diikuti oleh umpan D 3,44±0,24 menit, umpan C 4,66±0,50 menit dan yang paling lama adalah umpan A 6,92±0,59 menit. Perbandingan waktu rata-rata respons searching antar jenis umpan disajikan pada Gambar 18.
Waktu searching x±SE (menit)
8.00
6.92±0.59
7.00 6.00 4.66±0.50
5.00 4.00
Umpan A 3.44±0.24
2.79±0.26
3.00
Umpan B Umpan C Umpan D
2.00 1.00 0.00 Jenis umpan
Gambar 18 Perbandingan waktu rata-rata searching antar jenis umpan buatan
40
(3) Waktu rata-rata menemukan (finding) umpan Waktu finding adalah waktu pada saat ikan telah menemukan umpan, baik posisi ikan berada di sekitar umpan pada jarak sekitar 2 cm, menyentuh dengan mulut atau langsung memakannya (uptake).
Waktu rata-rata tercepat ikan
menemukan umpan (finding) terjadi pada umpan D yaitu 5,21±0,81 menit, umpan C 9,36±1,29 menit, umpan B 9,94±1,81 menit, dan waktu rata-rata ikan yang paling lama adalah umpan A yaitu 10,20±0,75 menit. Perbandingan waktu ratarata menemukan (finding) umpan buatan disajikan pada Gambar 19.
Waktu finding x±SE (menit)
14.00 12.00
10.20±0.75
9.94±1.81 9.36±1.29
10.00
Umpan A
8.00 5.21±0.81
6.00
Umpan B Umpan C Umpan D
4.00 2.00 0.00 Jenis umpan
Gambar 19 Perbandingan waktu rata-rata finding antar jenis umpan buatan 4.1.3
Pengaruh perbedaan umpan buatan terhadap waktu respons penciuman Respons penciuman ikan terhadap umpan buatan berdasarkan waktu rata-
rata mengalami perbedaan antar umpan. Namun perbedaan ini belum cukup untuk menyimpulkan bahwa perbedaan umpan buatan memberikan pengaruh nyata terhadap waktu respons penciuman. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan analisis ragam untuk masing-masing perlakuan. Nilai perhitungan analisis ragam disajikan pada Tabel 6. 7 dan 8.
41
Tabel 6 Analisis ragam berdasarkan waktu arousal Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
Derajat bebas 3 16 19
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
51,28 92,40 143,68
17,09 5,77
F hitung 2,96
F tabel (α 0,05) 3,23
Tabel 7 Analisis ragam berdasarkan waktu searching Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
Derajat bebas 3 16 19
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
49,72 72,40 122,12
16,56 4,52
F hitung 3,65
F tabel (α 0,05) 3,23
Tabel 8 Analisis ragam berdasarkan waktu finding Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
Derajat bebas 3 16 19
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
57,29 585,72 643,01
19,100 36,60
F hitung 0,52
F tabel (α 0,05) 3,23
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji klasifikasi satu arah (anova single factor) menunjukkan bahwa waktu rata-rata arousal keempat umpan buatan tidak berbeda nyata seperti ditunjukkan dengan nilai F hitung ( 2,96) < F tabel (3,23). Waktu rata-rata searching umpan buatan berpengaruh nyata seperti ditunjukkan dengan nilai F hitung (3,65) > F tabel (3,23). Waktu rata-rata finding umpan buatan tidak berbeda nyata sebagaimana ditunjukkan dengan nilai F hitung (0,52) < F tabel (3,23). 4.2 Hasil Eksperimen Penangkapan di Lapangan 4.2.1 Komposisi hasil tangkapan bubu Hasil tangkapan yang diperoleh dibedakan atas ikan dan non ikan (lainlain). Hasil tangkapan bubu tambun dari kelompok ikan sebanyak 31 spesies dari 11 famili antara lain jenis ikan kerapu (famili Serranidae), kakatua (Scaridae), betok (Pomacentridae), serak (Nemipteridae), nori (Labridae) dan jenis ikan karang lainnya dengan total tangkapan 1074 ekor dan berat total 67151 kg. Hasil tangkapan dominan dari segi jumlah adalah Pomacentridae 388 ekor (37,78%), Scaridae 215 ekor (28,72%), Labridae 138 ekor (13,44%) dan Serranidae 80 ekor (7,79%). Komposisi jumlah hasil tangkapan bubu disajikan pada Gambar 20.
42
0.19% 0.49%2.73% 3.21% 1.07% 2.24% 2.34%
7.79%
28.72% 13.44%
37.78%
Serranidae Siganidae Holocentridae
Scaridae Nemipteridae Monachantidae
Pomacentridae Haemulidae Chaetodontidae
Labridae Lutjanidae
Gambar 20 Komposisi jumlah hasil tangkapan bubu tambun Dilihat dari beratnya, hasil tangkapan yang dominan adalah Pomacentridae 17.734 g (26,29%), Scaridae 16.695 g (24,75%), Serranidae 12.265 g (18,18%) dan Labridae 11.915 g (17,66%).
Hasil tangkapan
dari kelompok krustase
sebanyak 3 spesies dari 2 famili. Krustase yang tertangkap diantaranya kepiting solasi, rajungan dan kepiting plonkor Komposisi berat hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 21. 0.42%1.41% 5.00% 1.19% 0.40%
18.18%
2.96% 1.73% 17.66%
24.75% 26.29%
Serranidae Siganidae Holocentridae
Scaridae Nemipteridae Monachantidae
Pomacentridae Haemulidae Chaetodontidae
Labridae Lutjanida
Gambar 21 Komposisi berat hasil tangkapan bubu tambun
43
Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu dominan yang tertangkap memiliki kisaran ukuran yang hampir seragam. Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) tertangkap pada kisaran ukuran panjang total 170-304 mm, kerapu karet (Epinephelus fasciatus) dengan kisaran ukuran panjang total 150-264 mm, dan kerapu koko (Epinephelus merra) dengan kisaran panjang total 150-264 mm. Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu macan disajikan pada Gambar 22.
Hasil Tangkapan (ekor)
9 Length at maturity 280 mm
8 7 6 5 4 3 2 1 0 170-196
197-223
224-250
251-277
278-304
Panjang Total (m m )
Gambar 22 Distribusi frekuensi panjang kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan Jumlah ikan kerapu macan yang tertangkap selama penelitian adalah sebanyak 20 ekor.
Sebaran hasil tangkapan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) terbanyak pada selang kelas panjang terendah (197-223 mm) dengan jumlah 8 ekor. Pada selang kelas panjang 170-196 sampai 278-304 mm relatif sedikit hasil tangkapan yang didapatkan. Hal ini menunjukkan ikan kerapu macan yang muda lebih banyak tertangkap dibandingkan dengan ikan yang lebih tua. Ikan kerapu karet (Epinephelus fasciatus) yang tertangkap sebanyak 27 ekor cenderung menyebar normal. Sebaran ukuran panjang terbanyak pada selang kelas 173-195 mm dan selang kelas panjang 196-218 mm yaitu sebanyak 8 ekor. Pada selang kelas panjang 219-241 mm dan selang kelas panjang tertinggi 242-264 mm terdapat jumlah tangkapan yang relatif sedikit yaitu 4 dan 2 ekor. Sebaran
44
frekuensi panjang ikan kerapu karet (Epinephelus fasciatus) disajikan pada
Hasil Tangkapan (ekor)
Gambar 23. Length at maturity 158 mm
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
150-172
173-195
196-218
219-241
242-264
Panjang Total (mm)
Gambar
23
Distribusi frekuensi panjang kerapu karet (Epinephelus fasciatus) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan
Jumlah ikan kerapu koko (Epinephelus merra) yang tertangkap sebanyak 26 ekor yang tersebar dalam 5 selang kelas frekuensi panjang. Sebaran frekuensi panjang total terbanyak tertangkap pada selang kelas panjang 205-219 mm yaitu sebanyak 9 ekor. Pada selang kelas panjang 235-249 mm dan selang kelas panjang tertinggi 250-264 mm terdapat jumlah tangkapan relatif lebih sedikit yaitu 1 dan 2 ekor. Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu koko (Epinephelus
Hasil Tangkapan (ekor)
merra) disajikan pada Gambar 24. 10
Length at maturity 160 mm
8 6 4 2 0
190-204
205-219
220-234
235-249
250-264
Panjang Total (mm)
Gambar
24
Distribusi frekuensi panjang kerapu (Epinephelus merra) hasil tangkapan tambun selama uji coba penangkapan
koko bubu
45
Berdasarkan komposisi berat hasil tangkapan ikan kerapu yang tertangkap (Gambar 20). Ikan kerapu memiliki ukuran berat yang beragam dari ukuran yang terkecil 50 gram hingga ukuran terbesar 500 gram. Ukuran kerapu akan memiliki nilai jual tinggi jika memiliki ukuran semakin besar. Ukuran ikan kerapu yang memiliki nilai jual adalah minimal berukuran 300 gram. Untuk ikan yang tertangkap di bawah ukuran tersebut tidak dapat langsung dijual. Ikan tersebut dipelihara oleh nelayan dalam keramba jaring apung hingga ukurannya mencapai ukuran minimal layak jual. Ukuran berat kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang dominan tertangkap terletak pada selang kelas berat 75-160 g yaitu sebanyak 9 ekor. Ukuran layak tangkap (layak jual) adalah ukuran besar lebih dari 300 g. Epinephelus fuscoguttatus yang tertangkap pada ukuran tersebut hanya 7 ekor atau 33,33 % yang layak jual. Distribusi frekuensi berat ikan kerapu macan disajikan pada Gambar 25. 10
Hasil Tangkapan (ekor)
9 8 Tidak layak jual 14 ekor
7 6
Layak jual 7 ekor Ukuran jual = 300 g
5 4 3 2 1 0 75-160
161-246
247-332
333-418
419-504
Berat Total (gram)
Gambar
25
Distribusi frekuensi berat kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan
Ukuran berat kerapu karet (Epinephelus fasciatus) yang dominan tertangkap terletak pada selang kelas berat 50-100 g yaitu sebanyak 15 ekor. Ukuran kerapu layak tangkap (layak jual) menurut ukuran berat minimal 300 g. Epinephelus fasciatus yang tertangkap pada ukuran tersebut hanya 2 ekor atau 8 % yang layak jual. Distribusi frekuensi berat ikan kerapu karet disajikan pada Gambar 26.
46
16 Hasil Tangkapan (ekor)
14
Tidak Layak jual 25 ekor
12
Layak jual 2 ekor
10 8
Ukuran jual = 300 g
6 4 2 0 50-100
101-151
152-202
203-253
254-304
Berat Total (mm)
Gambar 26 Distribusi frekuensi berat kerapu karet (Epinephelus fasciatus) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan Kerapu koko (Epinephelus merra) yang tertangkap sebagian besar berukuran tidak layak jual, hal ini dikarenakan berukuran kurang dari 300 gram. Selang kelas terbanyak pada berat 121-166 g yaitu sebanyak 10 ekor. Epinephelus merra yang tertangkap pada ukuran layak jual hanya 2 ekor atau 6,25 % yang layak jual. Sebaran frekuensi berat ikan kerapu koko disajikan pada Gambar 27.
Hasil Tangkapan (ekor)
12 10
Tidak layak jual (30 ekor)
Layak jual (2 ekor)
8
Ukuran jual = 300 g 6 4 2 0 75-120
121-166
167-212
213-258
259-304
Berat Total (gram)
Gambar
27
Distribusi frekuensi berat kerapu koko (Epinephelus merra) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan
47
4.2.2 Pengaruh perbedaan jenis dan waktu perendaman umpan Berdasarkan jumlah berat hasil tangkapan rata-rata dengan perbedaan waktu perendaman siang dan malam hari didapatkan hasil tangkapan malam hari lebih banyak dibandingkan hasil tangkapan rata-rata siang hari. Hasil tangkapan ratarata dan galat baku pada malam hari sebanyak 405,72±4,16 gram, sedangkan pada siang hari sebanyak 302,61±3,78 gram. Perbandingan hasil tangkapan rata-rata siang dan malam hari disajikan pada Gambar 28. 450
405,72±4,16
Hasil Tangkapan x±SE (gram)
400 350 302,61±3,78 300 250 200 150 100 50 0 Siang
Malam Waktu Penangkapan
Gambar 28 Perbandingan hasil tangkapan rata-rata siang dan malam hari Khusus untuk kasus famili Serranidae (kerapu), hasil tangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan dan waktu perendaman berbeda secara signifikan. Hasil tangkapan malam memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan hasil tangkapan pada siang hari. Umpan yang paling banyak menangkap ikan kerapu adalah umpan udang dengan hasil tangkapan yaitu 22 ekor (siang 6 ekor dan malam 16 ekor), umpan rucah sebanyak 18 ekor (siang 5 ekor dan malam 13 ekor), umpan bulu babi sebanyak 14 ekor (siang 3 ekor dan malam 11 ekor), umpan D sebanyak 14 ekor (siang 4 ekor dan malam 10 ekor), dan Umpan B sebanyak 12 ekor (siang 2 ekor dan malam 10 ekor). Hasil tangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan dan waktu perendaman disajikan pada Gambar 29.
Hasil Tangkapan (ekor)
48
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Siang Malam
Rucah
Udang
B. Babi Umpan B Umpan D
Jenis Umpan
Gambar 29 Hasil tangkapan total ikan kerapu dengan perbedaan umpan dan waktu perendaman Hasil uji statistik dengan menggunakan uji nilai tengah (median) menunjukkan bahwa penggunaan umpan pada siang hari tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan kerapu sebagaimana ditunjukkan dengan nilai significant 0,697 > α 0,05. Waktu perendaman malam hari dengan umpan yang berbeda ditunjukkan dengan nilai significant 0,066 > α 0,05 tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan kerapu. 4.2.3 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan Jumlah ikan kerapu yang tertangkap selama penelitian sebanyak 80 ekor dengan berat total sebesar 12.265 g, terdiri dari kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) sebanyak 21 ekor dengan berat 4.485 g (36,57%), kerapu karet (Ehinephelus fasciatus) sebanyak 27 ekor dengan berat 3.095 g (25,23%), kerapu koko (Epinephelus merra) sebanyak 26 ekor dengan berat 4.075 g (33,22%), kerapu lumpur (Epinephelus tauvina) sebanyak 1 ekor dengan berat 70 g (0,57%), kerapu lodi/sunu (Plectropoma leopardus) sebanyak 2 ekor dengan berat 270 g (2,20%) dan kerapu lokal (Epinephelus rivulatus) sebanyak 1 ekor dengan berat 70 g (0,57%), kerapu lada sebanyak 1 ekor dengan berat 100 g (0,82%), dan kerapu langa-langa sebanyak 1 ekor dengan berat 100 g (0,82%). Persentase hasil tangkapan ikan kerapu selama penelitian disajikan pada Gambar 30.
49
0.57% 0.82%
2.20% 0.82%
0.57% 33.22%
36.57%
25.23%
Kerapu Koko Kerapu Langa-langa Kerapu Lada
Kerapu Karet Kerapu Lumpur Kerapu Lokal
Kerapu Macan Kerapu Lodi/Sunu
Gambar 30 Persentase hasil tangkapan ikan kerapu selama penelitian Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan dihitung berdasarkan banyaknya bubu dengan umpan buatan yang menangkap ikan kerapu dibagi dengan jumlah total bubu dengan umpan. Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan adalah sebesar 44,60% sedangkan efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan alami adalah sebesar 55,40%. Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan dan alami disajikan pada Gambar 31.
44.60%
55.40%
Efektivitas umpan alami
Efektivitas umpan buatan
Gambar 31 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan dan alami
50
Perbandingan efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan berdasarkan jumlah hasil tangkapan didapatkan bahwa efektivitas terbaik adalah umpan udang yaitu sebesar 71,46% diikuti oleh umpan rucah sebesar 67,92%, bulu babi dan umpan D memiliki efektivitas yang sama yaitu sebesar 62,50% serta umpan B sebesar 45,83%. Efektivitas penangkapan ikan kerapu
Efektivitas Penangkapan (%)
dengan bubu berumpan disajikan pada Gambar 32. 80 70 60 50 40 30 20 10 0
67.92%
71.46% 62.50%
62.50% 45.83%
Rucah
Udang
Bulu babi
Umpan D
Umpan B
Jenis Umpan
Gambar 32 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan bubu berumpan
5 PEMBAHASAN
5.1 Formulasi Umpan Buatan Penggunaan umpan baik umpan alami (natural bait) maupun buatan (artificial bait) dalam penangkapan ikan dengan bubu adalah sebagai pemikat (attractant) agar ikan-ikan dapat dengan cepat masuk dan terperangkap ke dalam bubu. Pemilihan komposisi bahan formulasi umpan buatan didasarkan pada respons kimiawi ikan terhadap kondisi lingkungan maupun proses mencari makan. Pemilihan minyak ikan dan tepung ikan sebagai bahan penyusun utama umpan buatan ini dikarenakan minyak ikan mengandung komposisi kimiawi berupa
asam lemak yang merupakan bahan perespons utama dalam proses
penciuman ikan (Fujaya 2004). Tepung ikan merupakan pengeringan dari ikan segar yang dihilangkan kandungan airnya, sehingga kandungan asam amino merupakan kandungan utama.
Komponen kimia dalam umpan yang telah
diidentifikasi sebagai perangsang nafsu makan (olfaction dan gustation) adalah asam amino bebas dan nukleotida, L-alanin, glisin, dan L-proline. Clark (1985) menjelaskan bahwa asam amino yang dapat merangsang penciuman ikan adalah taurine, glutamate, alanine, glicyne, proline dan aspartate. Perbandingan lemak dan protein antara umpan alami dan umpan buatan menunjukkan bahwa umpan buatan memiliki kandungan lemak dan protein lebih banyak. Perbedaan ini dimungkinkan karena umpan buatan merupakan hasil pengolahan ikan dengan tingkat konsentrasi kandungan lemak dan protein yang tinggi. Namun perbedaan yang cukup besar terjadi pada kandungan asam amino (alanin dan lisin), dimana umpan alami memiliki jumlah kandungan alanin dan lisin yang lebih banyak. Kondisi ini dimungkinkan karena umpan alami memiliki kemampuan memikat (attraction) yang lebih baik. Pada penelitian penciuman yang lain juga mendemonstrasikan bahwa Lalanin merupakan zat yang penting dalam tingkah laku makan ikan (Morita dan Finger 1998). Ikan merespons asam amino melalui reseptor silia dan microvillous cell
(Thommesen
1983).
Beberapa
penelitian
mengindikasikan
bahwa
microvillous cells dapat merespons feromon sedangkan sel silia merespons asam amino (Zippel et al. 1997).
52
Umpan buatan D (komposisi minyak ikan (35%), tepung ikan (13%), serta tepung terigu dan tepung tapioka (52%) memiliki kandungan lemak tertinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin banyak minyak ikan, maka semakin tinggi jumlah lemak yang dihasilkan. Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa secara langsung maupun tidak langsung ikan akan merespons semua makanan yang dianggap memiliki kandungan asam lemak, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Umpan buatan (artificial bait) sebagai bahan uji komposisi kimia dibuat dalam bentuk kering dengan kadar air 20%. Kadar air tertinggi terdapat pada umpan D (378,2 mg/g). Semakin banyak kandungan air dalam umpan akan mempercepat proses dispersi dan distribusi bau dalam air. Umpan yang digunakan pada ujicoba lapangan dibuat dalam bentuk pasta. Kandungan air yang cukup tinggi pada umpan buatan membantu dalam proses dispersi zat kimia sehingga ikan akan dapat dengan cepat memberikan respons terhadap umpan. Asam amino yang terkandung dalam umpan buatan sebagian merupakan komponen perangsang utama dalam proses penciuman ikan. Prinsip ekstraksi tissu sebagai stimulan dalam pemangsaan berbagai organisme umumnya berasal dari metabolisme molekular tingkat rendah termasuk asam amino, amoniak, nukleosida dan nukleotida. Kemampuan stimulator ekstraksi terbaik adalah campuran dari beberapa zat kimia dibandingkan dengan zat tunggal, asam amino merupakan komponen penting dalam semua campuran (Carr and Derby 1986). Menurut sutterlin et al. (1982), reseptor penciuman pada ikan memiliki respons tertinggi terhadap asam amino yang merupakan bagian dalam rangkaian protein. Dari analisis yang dilakukan terhadap semua umpan, baik umpan alami maupun buatan menunjukkan bahwa jumlah protein tertinggi terdapat pada umpan buatan jenis D yaitu sebanyak 331,8 mg/g. Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas dan jumah hasil tangkapan bubu dengan umpan antara lain bau, rasa, tekstur dan ketahanan. Faktor-faktor tersebut berhubungan erat dengan tingkah laku makan ikan target (Løkkeborg 1989). Pada penangkapan ikan menggunakan bubu, umpan hanya berfungsi sebagai atraktor, sehingga umpan tersebut dibuat dalam bentuk pasta dengan tujuan agar bau umpan dapat segera direspons dan ikan cepat masuk terperangkap
53
ke dalam bubu. Umpan pasta ini cepat larut dalam air sehingga lebih baik umpan dibuat dalam bentuk padat hal ini bertujuan untuk daya tahan umpan. Komposisi umpan buatan memiliki kandungan protein dan lemak total yang lebih banyak dibandingkan umpan alami, namun jika dibandingkan komposisi asam amino tertentu seperti asam glutamate, alanin, dan lisin, maka umpan alami memiliki komposisi yang lebih banyak. Komposisi asam lemak seperti miristat dan palmitat pada umpan alami udang memiliki kandungan yang lebih baik dibandingkan dengan umpan buatan. Hal ini diduga menyebabkan umpan udang memiliki hasil tangkapan rata-rata lebih baik dibandingkan umpan buatan, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Nielsen (2003) menjelaskan bahwa bau dan rasa memiliki peran penting dalam tingkah laku makan ikan. Faktor kimia dan fisika perairan merupakan bahan pelarut terbaik. Secara umum faktor tersebut merupakan komponen yang tidak mudah menguap dengan molekul ringan (seperti asam amino), sehingga memiliki kemampuan dispersi terbaik pada massa air. Berdasarkan pada pernyataan tersebut di atas maka formulasi umpan buatan lebih disesuaikan dengan komponen asam amino. Permasalahan formulasi pada umpan buatan (artificial bait) yang pertama adalah kesulitan dalam mencampurkan bahan kimia umpan pada konsentrasi yang tepat, sehingga memiliki kapasitas yang sama sebagai bahan perespons pada umpan alami. Tidak semua zat kimia dapat bercampur dengan baik satu sama lain. Sebelum pencampuran bahan umpan buatan secara total untuk perasa/pembau bahan kimia tersebut sebaiknya dalam keadaan yang stabil. Permasalahan kedua adalah kesulitan dalam pencampuran atraktor dan stimulator dengan komposisi yang tepat.
Penggabungan atraktor dan stimulator dalam bahan pengikat
(emultan), sebaiknya dilakukan pada bagian akhir pembuatan umpan. Hal ini dilakukan untuk memperlambat pelepasan bahan atraktor dari umpan buatan.
5.2 Hubungan Perbedaan Umpan Buatan dengan Waktu Respons Ikan Keberhasilan kegiatan penangkapan ikan dengan umpan didasarkan pada aktivitas dasar kehidupan ikan seperti mencari dan menangkap mangsanya. Respons ikan terhadap umpan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain jenis,
54
ukuran, bentuk, dan kandungan kimia umpan. Jenis umpan yang berbeda akan memberikan respons yang berbeda pula (Taibin 1984). Bau yang ditimbulkan umpan merupakan faktor penting untuk pemikatan ikan agar masuk kedalam bubu (High dan Beardsley 1970). Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu rata-rata arousal tercepat adalah dengan umpan jenis B, diikuti oleh umpan D, umpan C, dan yang paling lama adalah umpan A. Berdasarkan uji ANOVA, didapatkan bahwa perbedaan umpan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap waktu rata-rata arousal ikan. Pada saat ikan diberikan umpan, ikan memberikan respons terhadap bau yang ditimbulkan. Respons yang dilakukan ini diduga sebagai respons penciuman ikan. Pemberian umpan dilakukan dalam kondisi gelap (dark condition), sehingga ikan tidak dapat melihat umpan. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi ini, indra penciuman lebih berperan dalam merespons umpan berupa bau yang ditimbulkan. Pada perlakuan kontrol (tidak ada umpan) ikan tidak memberikan respons. Ikan tidak banyak melakukan pergerakan, bahkan ikan tidak keluar dari start area. Pergerakan ikan hanya berenang perlahan dipojok akuarium. Ikan uji dikondisikan dalam keadaan lapar dengan dipuasakan selama 48 jam, sehingga setelah pemasangan umpan buatan, ikan langsung memberikan respons terhadap bau yang ditimbulkan. Ikan bergerak keluar start area untuk mencari makanan (umpan). Waktu ikan mulai menerima rangsangan dari bau umpan dan bergerak mendekati umpan melewati start area inilah yang disebut sebagai fase arousal. Ikan kemudian melakukan identifikasi terhadap bau yang ditimbulkan di depan start area untuk kemudian bergerak kembali mendekati umpan. Dari hasil pengamatan diduga bahwa keempat umpan ini terdispersi dalam waktu yang tidak berbeda jauh, sehingga begitu ikan menerima rangsangan bau dari umpan, ikan langsung dengan cepat merespons umpan tersebut. Hal ini menyebabkan perbedaan umpan tidak berbeda nyata terhadap waktu rata-rata arousal. Jarak antara umpan dengan start area yang relatif dekat yaitu 50 cm, juga menjadi penyebab ikan dengan cepat dapat merespons bau yang ditimbulkan. Setelah yakin bahwa bau yang ditimbulkan adalah makanan, ikan kembali bergerak untuk menemukan keberadaan umpan tersebut, fase ini disebut
55
searching. Waktu rata-rata searching yang tercepat ditunjukkan oleh umpan B, diikuti umpan D, selanjutnya umpan C, dan yang paling lama adalah umpan A. Dari hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara jenis umpan dengan waktu rata-rata searching. Hal ini diduga berhubungan dengan pola tingkah laku ikan mendekati umpan. Berdasarkan pengamatan ikan kerapu memiliki pergerakan selalu menyusuri dinding akuarium, hal ini dilakukan untuk mempermudah orientasi pada saat gelap. Pola tingkah laku ikan kerapu macan mendekati umpan selama pengamatan diindentifikasi sebanyak 4 macam pola. Pola tingkah laku ini berhubungan dengan fase searching dan finding. Keempat pola tingkah laku ikan adalah sebagai berikut: (1) Pola tingkah laku 1 Ikan bergerak di dalam area start, kemudian setelah timbul rangsangan bau, ikan berenang keluar dari start. Ikan berhenti sejenak di depan garis start sebelum bergerak lagi untuk mencari keberadaan makanan (umpan). Selama searching, ikan berorientasi dengan menyusuri dinding akuarium, sampai pada aerator ikan berhenti lagi, kemudian berenang lagi dan berhenti di samping umpan untuk melakukan identifikasi makanan. Sesaat kemudian ikan bergerak mendekati umpan dan langsung menyambarnya (Gambar 33).
Gambar 33 Pola tingkah laku ikan mendekati umpan (pola 1) (2) Pola tingkah laku 2 Ikan bergerak menyusuri dinding di dalam start area terlebih dahulu, kemudian setelah timbul rangsangan bau ikan berenang keluar dan berhenti sejenak di depan start untuk memastikan bau yang timbul adalah makanan.
56
Kemudian ikan mulai melakukan searching dan berenang menyusuri dinding akuarium, sampai pada aerator ikan berhenti lagi. Ikan bergerak lagi menyusuri dinding akuarium dan berhenti di samping umpan. Setelah identifikasi, ikan bergerak mendekati umpan tetapi tidak memakannya. Ikan hanya menyentuh umpan dengan mulutnya kemudian langsung bergerak kembali ke start. (Gambar 34).
Gambar 34 Pola tingkah laku ikan mendekati umpan (pola 2) (3) Pola tingkah laku 3 Selama berada di daerah start, ikan hanya diam di pojok akuarium. Setelah timbul rangsangan bau, ikan langsung bergerak keluar dan berhenti sejenak di depan start untuk melakukan identifikasi terhadap bau yang timbul. Ikan berenang menyusuri dinding akuarium untuk mencari keberadaan umpan. Ikan berhenti di belakang aerator kemudian bergerak lagi dan diam di samping umpan untuk melakukan identifikasi. Setelah beberapa saat, ikan bergerak menghampiri umpan dan memakannya (Gambar 35).
Gambar 35 Pola tingkah laku ikan mendekati umpan (pola 3)
57
(4) Pola tingkah laku 4 Ikan bergerak menyusuri dinding di dalam area start. Setelah terangsang adanya bau, ikan keluar dan berhenti di depan start untuk memastikan bau yang timbul adalah makanan. Ikan berenang menyusuri dinding akuarium untuk mencari keberadaan umpan. Orientasi dilakukan dengan mengelilingi akuarium, setelah sampai lagi ke start ikan berbalik ke arah umpan dan diam sejenak di depannya, baru kemudian bergerak mendekati dan memakannya (Gambar 36).
Gambar 36 Pola tingkah laku ikan mendekati umpan (pola 4) Setelah ikan bergerak mencari umpan, kemudian ikan menemukan makanan (finding). Hasil uji Anova menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara jenis umpan dengan waktu rata-rata finding. Waktu finding yang tercepat adalah terhadap umpan D, kemudian umpan C, umpan B, dan yang paling lama umpan A. Perbedaan waktu finding diduga berhubungan dengan preferensi ikan terhadap bau dari umpan.
5.3 Komposisi dan Distribusi Hasil Tangkapan Bubu Komposisi hasil tangkapan didominasi oleh famili Pomacentridae, Scaridae, Serranidae dan Labridae. Hal ini berhubungan erat dengan lokasi pemasangan bubu di perairan karang dimana perairan karang merupakan tempat hidup bagi ikan-ikan tersebut. Menurut Murdiyanto (2003) pada perairan karang terdapat famili ikan yang dominan antara lain Pomacentridae, Labridae, Serranidae, Apogonidae, Chaetodontidae, Scaridae, Acanthuridae, Blenniidae dan Gobiidae. Ikan yang merupakan target penangkapan atau ikan konsumsi seperti: Seranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae, Labridae dan Haemulidae (Anonim 2004).
58
Hasil tangkapan terbanyak adalah Pomacentridae, ikan dari famili ini merupakan ikan utama atau ikan mayor, yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan. Famili Pomacentridae adalah ikan omnivora yang aktif mencari makan pada siang hari atau bersifat diurnal. Hal itu terbukti dari hasil tangkapan pada siang hari dimana ikan ini lebih banyak tertangkap dibandingkan pada malam hari. Menurut Murdiyanto (2003), ikan famili ini merupakan ikan yang terbanyak hidup di terumbu karang, membentuk gerombolan besar pemakan plankton di atas terumbu. Diduga ikan ini masuk ke dalam bubu karena tertarik oleh bau umpan dari dalam bubu. Hasil tangkapan lain yang dominan adalah dari famili Labridae, Scaridae, dan Chaetodontidae. Ikan dari famili ini merupakan ikan yang hidup secara bergerombol dan aktif pada siang hari (diurnal), hal ini dapat dilihat dari ukuran ikan yang tertangkap dalam satu bubu memiliki kesamaan ukuran. Ikan famili Chaetodontidae merupakan ikan indikator yaitu jenis ikan karang yang digunakan sebagai indikator kesehatan karang. Diduga famili ini tertangkap karena tertarik oleh patahan-patahan karang yang menutupi bubu untuk mencari alga. Pada bubu tambun perlakuan, jenis ikan yang tertangkap dari famili Serranidae adalah kerapu koko (Epinephelus merra), kerapu karet (Epinephelus fasciatus), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu lodi/sunu (Plectropomus leopardus), dan kerapu lokal (Epinephelus rivulatus), kerapu lumpur (Epinephelus tauvina). Ikan jenis tersebut termasuk dalam golongan ikan karang yang berukuran besar (Murdiyanto 2003). Ikan dari famili ini merupakan ikan predator ganas yang memangsa ikan-ikan pada struktur trofik yang lebih rendah dan aktif mencari makan di malam hari sampai menjelang subuh. Tertangkapnya ikan kerapu diduga masuk ke dalam bubu karena tertarik oleh bau umpan pada bubu atau tertarik oleh ikan-ikan kecil yang ada di dalam bubu. Kerapu yang tertangkap memiliki ukuran yang cukup beragam, namun didominasi oleh ukuran yang relatif kecil hal ini dimungkinkan karena ketersediaan sumberdaya ikan yang ada di lokasi pemasangan bubu telah mengalami gejala over fishing yang diakibatkan karena penangkapan yang terus menerus sepanjang waktu dengan jumlah alat tangkap bubu cukup banyak. Lokasi pemasangan bubu diduga mempengaruhi jumlah dan keragaman hasil tangkapan.
59
Lokasi penangkapan bubu tambun memiliki kedalaman 0,5-1,5 meter, dimana pada kedalaman ini merupakan daerah asuhan bagi ikan kerapu yang berukuran lebih kecil. Penelitian yang dilakukan oleh Vivakartika (1990) di Teluk Betung menunjukkan perbedaan hasil tangkapan yang nyata pada bubu yang dipasang pada kedalaman 5 m dengan 15 m, dan kedalaman 10 m dengan 15 m. Kedalaman yang makin tinggi akan mengakibatkan tertangkapnya ikan kakap dengan ukuran yang lebih besar (Nurhidayat 2002). Ukuran layak tangkap ikan diduga dipengaruhi oleh ukuran mesh size bubu dan konstruksi bubu. Dalzell (1996) menerangkan bentuk dan material pembentuk perangkap berpengaruh pada selektivitas dan laju hasil tangkapan. Mesh size bubu rata-rata berukuran 3 cm sehingga lebih banyak ikan yang tertangkap bila dibandingkan ukuran mesh size yang lebih besar. Bubu yang dilengkapi celah pelolosan (escaping gap) memungkinkan ikan yang berukuran kecil (belum matang gonad) atau ikan non-target penangkapan dapat lolos dengan mudah tanpa terluka (Purbayanto et al. 2006). Ikan kerapu yang tertangkap untuk kerapu koko dan kerapu karet pada umumnya sudah berukuran pertama kali ikan matang gonad (length at first maturity). Ikan kerapu koko memiliki ukuran panjang total pada saat matang gonad 169 mm, dan kerapu karet memiliki ukuran panjang matang gonad 159 mm. Ikan kerapu macan yang tertangkap sebagian besar belum matang gonad yaitu ukuran panjangnya kurang dari 280 mm (www.fishbase.org 2007) Ikan kerapu memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi sehingga untuk ikan kerapu yang tertangkap namun berukuran belum layak tangkap akan dipelihara oleh nelayan dalam keramba jaring apung sampai memiliki ukuran layak jual yaitu minimal 300 gram. Ikan kerapu yang sering dipelihara oleh nelayan adalah jenis kerapu macan, kerapu lodi/sunu karena memiliki nilai jual yang cukup tinggi.
5.4 Pengaruh Perbedaan Jenis dan Waktu Perendaman Umpan Bubu merupakan alat tangkap pasif sehingga dibutuhkan umpan agar ikan yang dijadikan target tangkapan mau memasuki bubu (Martasuganda 2003). Pada penelitian ini umpan yang digunakan adalah ikan rucah, bulu babi (Diadema sp.), udang dan artificial bait (umpan B dan umpan D). Umpan diletakkan di dalam
60
bubu dibungkus kain kasa dengan tujuan agar ikan terpikat untuk masuk dan terperangkap ke dalam bubu. Hasil uji umpan buatan dan umpan alami tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa kedua umpan ini memiliki kemampuan yang sama dalam proses memikat ikan masuk ke dalam bubu. Umpan buatan ini dapat klarifikasi tentang beberapa komponen zat amino yang menjadi atraktan dalam proses penciuman ikan. Umpan buatan sudah layak digunakan dalam penangkapan ikan dengan bubu, namun masih perlu penyempurnaan untuk peningkatan efektivitasnya. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan memperlambat pelepasan atraktan pada saat perendaman alat tangkap bubu (Løkkeborg 1990). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa jenis umpan tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Hal ini dapat dilihat dari grafik rata-rata hasil tangkapan dan uji statistik menggunakan uji nilai tengah, didapatkan nilai sig. > α 0,05 yang berarti bahwa jenis umpan dan waktu perendaman (siang dan malam) tidak berbeda nyata terhadap hasil tangkapan ikan karang. Perbandingan hasil tangkapan antara bubu dengan umpan dan bubu tanpa umpan menunjukkan bahwa bubu dengan umpan memiliki keragaman spesies dan famili lebih tinggi. Berdasarkan hasil analisis terhadap isi lambung dan usus ikan terhadap umpan udang, rucah, bulu babi dan umpan buatan, didapatkan hasil bahwa pada umpan buatan B dan D terdapat di isi lambung dan usus ikan kerapu. Umpan bulu babi dan rucah tidak ditemukan dalam lambung dan usus ikan kerapu, namun untuk umpan udang dari dua sampel ikan yang dibedah, umpan hanya terdapat pada satu ikan sampel. Berdasarkan hal tersebut membuktikan bahwa umpan buatan memberikan daya tarik terhadap ikan kerapu. Perendaman bubu dilakukan pada dua waktu yang berbeda yaitu pagi (07.00-15.00) dan malam hari (17.00-06.30). Pada penangkapan ikan kerapu didapatkan bahwa hasil tangkapan malam hari (60 ekor) lebih banyak bila dibandingkan dengan hasil tangkapan pada siang hari (20 ekor). Perbedaan jumlah yang cukup besar ini disebabkan karena ikan kerapu merupakan ikan aktif pada malam hari dan memiliki puncak aktivitas mencari makan pada senja dan subuh hari (Gunarso 1985). Menurut Anonim (2004), kerapu termasuk jenis ikan yang aktif diantara siang dan malam hari (crepuscular).
61
Lama waktu perendaman umpan yang berbeda-beda memungkinkan terjadinya perbedaan hasil tangkapan berdasarkan jenis dan jumlahnya. Hasil penelitian
Desiani
(1994)
di
perairan
Rametuk
Kabupaten
Sukabumi
menunjukkan bahwa lama terpasangnya perangkap di dalam air selama 12 jam mempunyai laju tangkapan tertinggi dibandingkan dengan 24 jam dan 36 jam perendaman.
5.5 Efektivitas Penangkapan Ikan Kerapu dengan Umpan Buatan Dari hasil uji coba penangkapan ikan kerapu menggunakan bubu dengan umpan buatan terlihat bahwa umpan buatan memiliki efektivitas untuk menangkap ikan kerapu sebesar 44,60%. Untuk efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan alami adalah sebesar 55,40%. Menurut Baskoro et al., (2004) nilai efektivitas alat tangkap bagan (lift net) dapat dikategorikan tiga, yaitu: apabila nilainya kurang dari 50% dapat diklasifikasikan bahwa suatu alat tangkap memiliki efektivitas rendah, nilai 50% - 80% alat tangkap tersebut memiliki nilai efektivitas cukup baik, dan nilai 80% - 100% suatu alat tangkap memiliki efektivitas tinggi. Bila dibandingkan dengan nilai-nilai efektivitas alat tangkap bagan, bubu dengan umpan buatan memiliki efektivitas kurang, sedangkan bubu dengan umpan alami memiliki efektivitas yang cukup baik. Berdasarkan efektivitas penangkapan ikan kerapu untuk masing-masing umpan terlihat bahwa umpan yang memiliki efektivitas tertinggi adalah umpan udang (71,46%), rucah (67,92%), bulu babi dan umpan D memiliki nilai efektivitas yang sama (62,50% ) serta umpan B (45,83%). Efektivitas antar umpan memiliki perbedaan yang tidak signifikan dan nilainya di atas 50% artinya memiliki efektivitas yang cukup baik, kecuali efektivitas umpan B nilainya masih di bawah 50% yang berarti memiliki efektivitas rendah. Umpan buatan setidaknya memiliki nilai efektivitas yang sama dengan umpan bulu babi, dimana bulu babi umum digunakan sebagai umpan dalam penangkapan ikan karang di Kepulauan Seribu. Berdasarkan hal tersebut maka umpan buatan sudah dapat digunakan sebagai alternatif umpan dalam penangkapan ikan karang, walaupun masih perlu perbaikan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan (1)
Formulasi umpan buatan (artificial bait) yang efektif dalam menangkap ikan adalah umpan buatan D dengan komposisi minyak ikan 35%.
(2)
Perbedaan jenis umpan buatan tidak berpengaruh nyata terhadap waktu respons penciuman yang diberikan ikan kerapu macan pertama kali menerima rangsangan (arousal) dan saat ikan menemukan umpan (finding), tetapi berbeda nyata pada waktu ikan mencari keberadaan umpan (searching). Umpan buatan B memberikan waktu rata-rata searching yang lebih cepat dibandingkan umpan D, C, dan A.
(3)
Perbedaan jenis umpan dan waktu perendaman (siang dan malam) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan. Hasil tangkapan rata-rata dan galat baku pada siang hari adalah 302,61±3,78 gram dan malam hari adalah 405,72±4,16 gram.
(4)
Umpan alami secara keseluruhan memiliki efektivitas yang lebih baik untuk penangkapan ikan kerapu dengan bubu dibandingkan umpan buatan. Efektivitas umpan alami adalah sebesar 55,40% dan umpan buatan adalah sebesar 44,60%. Perbandingan efektivitas untuk masing-masing umpan berdasarkan jumlah ikan kerapu yang tertangkap adalah umpan udang (71,46%), umpan rucah (67,92%), bulu babi dan umpan buatan D memiliki efektivitas yang sama (62,50%), dan umpan B (45,83%).
6.2 Saran (1)
Hasil formulasi umpan buatan sudah dapat digunakan sebagai pengganti umpan alam dalam penangkapan ikan karang dengan bubu, namun masih perlu penyempurnaan untuk meningkatkan efektivitasnya.
(2)
Pembuatan umpan buatan sebaiknya mempertimbangkan lama proses pelepasan zat atraktan untuk meningkatkan efektivitasnya.
(3)
Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang respons penciuman ikan terhadap bahan pembau (odorant) yang berpengaruh pada proses penciuman ikan
63
pada skala laboratorium, sehingga dapat diketahui kadar toleransi organ penciuman terhadap bahan pembau (odorant).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Panduan Dasar untuk Pengenalan Ikan Karang secara Visual Indonesia. http://www.terangi.or.id [9 Oktober 2007]. Baskoro M, Telussa RF dan Purwangka F. 2006. Efektivitas Bagan Motor Di Perairan Waai, Pulau Ambon. Prosiding Seminar Perikanan Tangkap. ISBN: 979-1225-00-1. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 115-121 hlm. Brown ME. 1957. The Physiology of Fishes Vol II: Behaviour. Academic Press Inc. Publisher. New York. Pp 166-188 p. Brandt AV. 1984. Fish Catching Methods of The World. Fishing News Books ltd. Farnham Surrey, England. Pp: 66. Caprio J. 1982. High Sensitivity and Specificity of Olafctory and Gustatoty Receptors of Catfish to Amino Acids. In Toshiaki J. Hara (Eds.) Chemoreception in Fish. Elsivier Scientific Publishing Company. New York. P: 109-134. Carr WES dan Derby CD. 1986. Chemically Stimulated Feeding Behavior in Marine Animals. Journal Chemical and Ecology. 12: 989-1011. Clark M E. 1985. The osmotic role of amino acids discovery and function. in transport Processes, lon O- and Osmorregulation. R. Gilles and M. GillcsBaillien, eds. Springer-Verlag, Berlin. Pp. 4 12-423 Dalzell P. 1996. Catch Rates, Selectivity and Yields of Reef Fisheries. Reef Fisheries diedit oleh Nicholas V. C. Polunin dan Callum M. Robert. London: Chapman & Hill. Pp 117 Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 123 hlm Desiani. 1994. Pengaruh Lama Terpasangnya Perangkap di Dalam Air terhadap Hasil Tangkapan Ikan Hias di Perairan Rametuk, Desa Ciwaru, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. 78 hlm. Djatikusumo EW. 1975. Dinamika Populasi Ikan. Bahan Kuliah. Jakarta. Akademi Usaha Perikanan. 80 hlm. Endratno. 2002. Uji Coba Umpan Benang Perak pada Pancing Tonda (Troll Line) di Perairan Pelabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. (Skripsi). Departemen
65
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 68 hlm. Evans DH. 1940. The Physiology of Fishes. CRC Press. Boca Raton, Florida. P: 192-195. Ferno A and Olsen S. 1994. Marine Fish Behaviour and Abudance Estimation. Fishing News Books, England. 221 hlm. Fridman AL. 1988. Perhitungan Dalam Merancang Alat Penangkap Ikan. Balai Penelitian Perikanan Laut, penerjemah; Semarang. Terjemahan dari: Calculation in Design Fishing Gears. 304 hlm. Fujaya H. 2004. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rineka Cipta, Jakarta, 179 hlm. Gibson, Ivancevich, dan Donnely. 1990. Organisasi dan Manajemen. (Diterjemahkan oleh Djoerban Wahid). Penerbit Erlangga. Jakarta. 328 hlm Gunarso W. 1985. Tingkah laku Ikan dalam Hubungannya Dengan Alat, Metode dan Taktik penangkapan. Diktat Matakuliah (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 hlm. Hansen A and Reutter K. 2004. Chemosensory Systems in Fish: Structural, Functional and Ecological Aspects. Di dalam: Emde, G.V.D; Mogdans, J; Kapoor, B.G, editor. The Sense of Fish (Adaptations for the Reception of Natural Stimuli). Kluwer Academic Publishers. Pp: 55-106. Hara TJ. 1993. Role of Olfaction in Fish Behaviour. Di dalam Pitcher, T.J., editor. Behaviour of Teleost Fishes. Ed ke-2. Chapman dan Hall. Pp: 171-199. Harder W, 1975. Anatomy of Fishes. Part II: Figures and Plates. E. Schweizerbart’sche Verlagsbuchhandlung. Pp 132. Hartsuijker L, Nocholson WE. 1981. Result of Potfishing Survey on Pedro Bank (Jamaica): The Relations Between Catch Rates, Catch Composition, The Size of Fish and Their Recruitment to Fishery. Fish. Div. Min Agri. Jamaica Tech. Rep. No. 2 of The Project. FAO/TCO/JAM 8902: Pot Fishing Survey Pedro Bank. Pp 200. Hendrotomo M. 1989. Studi Analisa Hasil Tangkapan Dengan Menggunakan Umpan yang Berbeda pada Rawai Cucut (Hiu) Permukaan Pelabuhan Ratu (skripsi). Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 96 hlm.
66
Hemstra PC and Randall DJ. 1993. Groupers of The World (Family Serranidae Sub Family Epinepheline) (Volume 16 No. 25). FAO Series Catalogue. Fisheries Synopsis. Rome. Pp 242. High WL and Beardsley AJ. 1970. Fish Behaviour Studies from Undersea Habitat. Comm. Fish. Rev. 1970. 31-7. Hoar WS and Randall DJ. 1970. Fish Physiology. The Nervous System, Circulation, and Respiration (Volume IV). Academic Press Inc. San Diego. California. Pp 446. Hoar WS and Randall DJ. 1971. Fish Physiology. Sensory Systems and Electric Organs (Volume V). Academic Press Inc. New York. Pp. 600. Leksono U. 1983. Suatu Studi Tentang Penggunaan Umpan Ikan Lemuru Sebagai Umpan pada Perikanan Rawai Tuna di PT. Perikanan Samudera Besar, Benoa, Bali. (skripsi) Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 101 hlm. Løkkeborg, S.1989. Longline Bait: Fish Behaviour andThe Influence of Attractant Release Rate and Bait Appearance. Dr. Sc. Thesis, University of Bergen, 109 pp. Løkkeborg, S.1990. Rate of Release of Potential Feeding Attractants from Natural and Artificial Bait. Fisheries Research. Elvesier Science Publishers . B.V. Amsterdam. Pp 235-261. Luckhurst B. and Ward J. 1985. Behavioural Dynamics of Coral Reef Fishes in Antillian Fish Trap at Bermuda. Proc. Gulf. Caribb. Fish Inst 38:528-542. Kuiter RH, Tonozuka T. 2004. Pictorial Guide to: Indonesian Reef Fishes (Part 1-3). Dive and Dive’s Bali. Indonesia. 893 p. Kusakabe T and Suzuki N. 2000. Photoreceptors and Olfactory Cells Express The Sama Retinal Guanylyl Cyclase Isoform In Medaka: Visualization by Promoter transgenics. Journal FEBS Letters 483: 143-148. Mana RR; Kawamura G. 2002. A Comparative Study on Morphological Differences in The Olfactory Sistem of Red Sea Bream (Pagrus major) And Black Sea Bream (Acanthopagrus schlegeli) From Wild And Culture Stocks. Journal of Aquaculture 209: 285-306. Martasuganda S. 2003. Bubu (Traps). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 69 hlm. Maryati D. 2004. Pengaruh Putih Telur terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). (Skripsi).
67
Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 65 hlm. Mawardi I. 2001. Pengaruh Penggunaan Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Karang pada Alat Tangkap Bubu (Trap) di Pulau Pramuka, Kep. Seribu. (skripsi). Program studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 48 hlm. Mindiptiyanto A dan Raharjo B. 1988. Bubu Hexagonal, Salah Satu Alternatif Alat Tangkap Ikan Hias. Warta Mahardika No. 3/IV/1988. Fakultas Perikanan Universitas Dipenegoro. Semarang. Hlm 52-60. Mitamura H, Arai N, Sakamoto W, Mitsunaga Y, Tanaka H, Mukai Y, Nakamura, K, Sasaki M dan Yuneda Y. 2005. Role of Olfaction and Vision in Homing Behaviour of Black rockfish (Sebastes inermis). Journal of Experimental Marine Biology (322): 123-134. Morita Y, dan Finger, T. E. (1998). Differential Projections of Ciliated and Microvillous Olfactory Receptor Cells in the Catfish, Ictalurus punctatus. J. Comp. Neurol. 398, 539-550. Murdiyanto, B. 2003. Mengenal, Memelihara dan Melestarikan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: COFISH Project. 53 hlm Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. 622 hlm. Nedelec C, and J Prodo. 1990. Definition and Classification of Fishing Gear Categories. Rome: FAO. 235 Pp Nielsen KB. 2003. Smags-og Duftstoffers Betydning for Fødebiologien Hos Fisk. Editor: Temming A, Götz S, Mergardt N, Ehrich S. (2004). Predation of Whiting and Haddock on Sandeel: Aggregative Response, Competition and Diel Periodicity. Journal Fish Biology. 64, 1351-1372. Nurliani H. 1993. Studi Tentang Pengaruh Jenis Umpan terhadap Hasil Tangkapan Ikan Hias Laut dengan Menggunakan Bubu Plastik di Pelabuhanratu, Jawa Barat (Skripsi). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 hlm. Nurhidayat. 2002. Pengaruh Kedalaman Pemasangan Bubu terhadap Hasil Tangkapan Kakap Merah (Lutjanus sanguineus) di Perairan sekitar Kepulauan Karimunjawa. Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. hlm
68
Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Eidman HM et al Hasil Terjemahan dari Marine Biological: An Approach Ecology. Gramedia. Jakarta. 245 hlm. Parrish JO. 1982. Fishes at The Puerto Rican Coral Reef. Distribution, Behavioural and Response to Passive Fishing Gear. Carib Journal Scicences 18: 9-20. Purbayanto A, Husni E, dan Susanto A. 2006. Hasil Tangkapan Bubu Laut Dalam di Teluk Pelabuhanratu. Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryokushi (Volume XII, No. 2 Th. 2006). Persatuan Alumni dari Jepang. Bogor. Hlm 208-213. Purbayanto A, RI Wahyu dan S Tirtana. Selektivitas bubu yang dilengkapi dengan celah pelolosan terhadap ikan kakap (Lutjanus sp. Bleeker). Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryoku (Volume XII, No. 1 Th 2006). Persatuan Alumni dari Jepang. Bogor. Hlm 92-98. Reiliza F. 1997. Studi Tingkah Laku Ikan Hias Terhadap Alat Tangkap Bubu Kawat Tipe Button di Perairan Karang Pulau Sekepal, Lampung Selatan. (Skripsi). Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 67 hlm. Sainsbury J C. 1996. Commercial Fishing Methods. An Introduction to Vessel and Gears. 3 ed Edition. London: Fishing News Books. Pp: 207. Schultz K. 2004. Field Guide to Saltwater Fish. John Wiley and Sons. New Jersey. Pp: 87. Singru PS, Sakharkar AJ, and Subhedar N. 2003. Neuronal Nitric Oxide Synthase in The Olfactory System of An Adult Teleost Fish (Oreochromis mossambicus). Journal of Brain Research (977): 157-168. Steel RGD, and Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan oleh Bambang Sumantri. Cetakan ke-2. PT. Gramedia. Jakarta. 748 hlm. Sutterlin AM, Solemdal P dan Tilseth S. 1982. Baits in Fisheries with Emphasis on The North Atlantic Cod Fishing Industry. In T.J. Hara (eds.). Chemoreception in Fishes. Development in Aquaculture and Fisheries Science (8). Elsivier Scientific Publishing Company. Pp: 293-305 Subani W dan Barus HR. 1989. Alat Penangkap Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta: Departemen Pertanian, Balai Penelitian Perikanan Laut. 248 hlm. Sudjiharno, Winanto T, Antoro S, Widyastuti E dan Hartono P. 1989. Kerapu Macan (Epinphelus fuscoguttatus). Balai Budidaya Lampung. Lampung. 70 Hlm.
69
Syandri H. 1988. Tingkah Laku Ikan. Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta. Padang. 98 hlm. Taibin. 1984. Alat Penangkapan Bubu I. Pengaruh Umpan terhadap Hasil Tangkapan Bubu di Kecamatan Siak Hulu Kampar. Pusat Penelitian Universitas Riau. 43 hlm. Thommesen G. 1983. Morphology, Distribution, and Specificity of Olfactory Receptor Cells in Salmonid Fishes. Acta Physiol. Scand. 117, 241-9 p. Vivakartika, P. 1990. Studi Tentang Pengaruh Kedalaman Bubu terhadap Hasil Tangkapan Ikan Karang di Teluk Betung, Daerah tingkat II Kotamadya Bandar Lampung. Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. www.fishbase.org. 2007. Species Summary. [2 September 2007] Walpole RE. 1995. Pengantar Statistik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 515 hlm. Wudianto, Mahiswara, Agustinus P dan Anung W. 1993. Memancing di Perairan Tawar dan di Laut. Penebar Swadaya, Jakarta. 120 hlm. Zippel HP, Sorensen PW dan Hansen A. 1997. High correlation between microvillous olfactory receptor cell abundance and sensitivity to pheromones in olfactory nerve-sectioned goldfish. Journal Comp. Physiology. 180A, 39-52.
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu.
Respon Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap Umpan Buatan
Keterangan : Lokasi pemasangan bubu
70
LAMPIRAN
71
Lampiran 2. Data waktu respon penciuman ikan kerapu macan No
Respon
Waktu (menit) Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D 1 7.40 3.12 4.22 4.50 Arousal 2 10.53 2.62 2.67 2.50 3 2.68 3.47 3.05 1.18 4 1.58 0.92 7.85 1.95 5 8.60 0.32 2.80 2.35 Rata rata 6.16 2.09 4.12 2.50 Standar Deviasi 3.86 1.39 2.17 1.23 Standar Error 0.77 0.28 0.43 0.25 1 7.45 3.18 4.32 5.00 Searching 2 10.53 2.63 2.72 2.68 3 3.77 3.57 3.95 2.95 4 4.10 3.95 9.02 2.17 5 8.75 0.60 3.32 4.38 Rata rata 6.92 2.79 4.66 3.44 Standar Deviasi 2.94 1.32 2.51 1.20 Standar Error 0.59 0.26 0.50 0.24 1 13.77 9.78 20.00 11.18 Finding 2 13.50 25.52 6.67 4.13 3 4.63 5.15 6.30 4.28 4 9.62 6.30 10.35 3.97 5 9.50 2.97 3.50 4.50 Rata rata 10.20 9.94 9.36 5.61 Standar Deviasi 3.72 9.05 6.43 3.12 Standar Error 0.74 1.81 1.29 0.62 Keterangan : A: arousal, S: searching, F: finding
72
Lampiran 3. Uji normalitas Kolmogrov-Smirnov dan Shapiro-Wilk data waktu arousal
Perlakuan Arousal Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D
Kolmogorov-Smirnov(a) Statistic df Sig. .226 5 .200* .248 5 .200* .288 5 .200* .299 5 .165*
Shapiro-Wilk Statistic df Sig. .912 5 .889 5 .758 5 .902 5
.480 .352 .361 .421
* This is a lower bound of the true significance. a Lilliefors Significance Correction
12.00
10.00
14
Arousal
8.00
6.00
16 4.00
2.00
0.00
Umpan A
Umpan B
Umpan C
Umpan D
Perlakuan
Hasil uji normalitas Shapiro-Wilk menunjukkan nilai signifikansi untuk sebaran data waktu arousal dengan umpan A, umpan B, umpan C maupun umpan D adalah lebih dari 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data di atas merupakan distribusi normal. Dari grafik stem-and-leaf plots juga membuktikan distribusi data adalah normal, terlihat dari sebaran data masih berada di antara batas nilai maksimum dan minimum.
73
Lampiran 4. Uji normalitas Kolmogrov-Smirnov dan Shapiro-Wilk data waktu searching
Perlakuan Search Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D
Kolmogorov-Smirnov(a) Statistic df Sig. .231 5 .200* .252 5 .200* .354 5 .200* .257 5 .200*
Shapiro-Wilk Statistic df Sig. .912 5 .868 5 .778 5 .913 5
.485 .261 .536 .488
* This is a lower bound of the true significance. a Lilliefors Significance Correction
Hasil uji normalitas Shapiro-Wilk menunjukkan nilai signifikansi untuk sebaran data waktu searching dengan umpan dengan umpan A, umpan B, umpan C maupun umpan D adalah lebih dari 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data di atas merupakan distribusi normal. Dari grafik stem-and-leaf plots juga membuktikan distribusi data adalah normal, terlihat dari sebaran data masih berada di antara batas nilai maksimum dan minimum.
74
Lampiran 5. Uji normalitas Kolmogrov-Smirnov dan Shapiro-Wilk data waktu finding
Perlakuan Finding Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D
Kolmogorov-Smirnov(a) Statistic df Sig. .225 5 .200* .307 5 .139* .262 5 .200* .312 5 .126*
Shapiro-Wilk Statistic df Sig. .893 5 .792 5 .864 5 .759 5
.374 .162 .243 .231
* This is a lower bound of the true significance. a Lilliefors Significance Correction
30.00
7 25.00
11
Finding
20.00
15.00
16 10.00
5.00
0.00
Umpan A
Umpan B
Umpan C
Umpan D
Perlakuan
Hasil uji normalitas Shapiro-Wilk menunjukkan nilai signifikansi untuk sebaran data waktu finding dengan A, umpan B, umpan C maupun umpan D adalah lebih dari 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data di atas merupakan distribusi normal. Dari grafik stem-and-leaf plots juga membuktikan distribusi data adalah normal, terlihat dari sebaran data masih berada di antara batas nilai maksimum dan minimum.
75
Lampiran 6. Uji One-way ANOVA berdasarkan perbedaan umpan dan rata-rata waktu arousal Descriptives Arousal
N Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D Total
5 5 5 5 20
Mean 6.1580 2.0900 4.1180 2.4960 3.7155
Std. Deviation 3.86248 1.39176 2.17444 1.23160 2.75002
Std. Error 1.72735 .62241 .97244 .55079 .61492
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 1.3621 10.9539 .3619 3.8181 1.4181 6.8179 .9668 4.0252 2.4285 5.0025
Minimum 1.58 .32 2.67 1.18 .32
Test of Homogeneity of Variances Arousal Levene Statistic
df1
4.912
df2 3
Sig. .132
16
ANOVA Arousal
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 51.286 92.403 143.689
df 3 16 19
Mean Square 17.095 5.775
F 2.960
Sig. .064
Nilai Ftabel yang dilihat dari tabel nilai kritik sebaran F (Walpole, 1995) sebesar 3,238, sedangkan nilai Fhitung dari hasil uji Anova sebesar 2,960, berarti nilai Fhitung kurang dari Ftabel, sehingga dapat dikatakan bahwa perbedaan umpan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu arousal.
Maximum 10.53 3.47 7.85 4.50 10.53
76
Lampiran 7. Uji One-way ANOVA berdasarkan perbedaan umpan dan rata-rata waktu searching Descriptives Search
N Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D Total
5 5 5 5 20
Mean 6.9200 2.7860 4.6660 3.4360 4.4520
Std. Deviation 2.93840 1.31603 2.50940 1.19872 2.53526
Std. Error 1.31409 .58855 1.12224 .53608 .56690
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 3.2715 10.5685 1.1519 4.4201 1.5502 7.7818 1.9476 4.9244 3.2655 5.6385
Minimum 3.77 .60 2.72 2.17 .60
Maximum 10.53 3.95 9.02 5.00 10.53
Test of Homogeneity of Variances Search Levene Statistic 1.948
df1
df2 3
Sig. .163
16
ANOVA Search
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 49.723 72.401 122.124
df 3 16 19
Mean Square 16.574 4.525
F 3.663
Sig. .035
Nilai Ftabel yang dilihat dari tabel nilai kritik sebaran F (Walpole, 1995) sebesar 3,238, sedangkan nilai Fhitung dari hasil uji Anova sebesar 3,663, yang berarti nilai Fhitung lebih besar dari Ftabel, sehingga dapat dikatakan bahwa perbedaan umpan memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu searching.
77
Multiple Comparisons Dependent Variable: Search
Tukey HSD
(I) Perlakuan Umpan A
Umpan B
Umpan C
Umpan D
(J) Perlakuan Umpan B Umpan C Umpan D Umpan A Umpan C Umpan D Umpan A Umpan B Umpan D Umpan A Umpan B Umpan C
Mean Difference (I-J) 4.13400* 2.25400 3.48400 -4.13400* -1.88000 -.65000 -2.25400 1.88000 1.23000 -3.48400 .65000 -1.23000
Std. Error 1.34537 1.34537 1.34537 1.34537 1.34537 1.34537 1.34537 1.34537 1.34537 1.34537 1.34537 1.34537
Sig. .033 .368 .083 .033 .519 .962 .368 .519 .798 .083 .962 .798
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound .2849 7.9831 -1.5951 6.1031 -.3651 7.3331 -7.9831 -.2849 -5.7291 1.9691 -4.4991 3.1991 -6.1031 1.5951 -1.9691 5.7291 -2.6191 5.0791 -7.3331 .3651 -3.1991 4.4991 -5.0791 2.6191
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Berdasarkan hasil uji lanjutan dengan menggunakan uji Tukey didapatkan hasil bahwa umpan antara umpan A dengan umpan B memberikan pengaruh nyata terhadap waktu searching.
78
Lampiran 8. Uji One-way ANOVA berdasarkan perbedaan umpan dan rata-rata waktu finding Descriptives Finding
N Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D Total
Mean 10.2040 9.9440 9.3640 5.9920 8.8760
5 5 5 5 20
Std. Deviation 3.72445 9.04899 6.42512 3.06465 5.81748
Std. Error 1.66562 4.04683 2.87340 1.37055 1.30083
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 5.5795 14.8285 -1.2918 21.1798 1.3862 17.3418 2.1867 9.7973 6.1533 11.5987
Minimum 4.63 2.97 3.50 3.97 2.97
Test of Homogeneity of Variances Finding Levene Statistic 1.216
df1
df2 3
Sig. .336
16
ANOVA Finding
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 57.299 585.720 643.019
df 3 16 19
Mean Square 19.100 36.607
F .522
Sig. .673
Nilai Ftabel yang dilihat dari tabel nilai kritik sebaran F (Walpole, 1992) sebesar 3,238, sedangkan nilai Fhitung dari hasil uji Anova sebesar 0,522, yang berarti nilai Fhitung kurang dari Ftabel, sehingga dapat dikatakan bahwa perbedaan umpan tidak berpengaruh nyata terhadap waktu finding.
Maximum 13.77 25.52 20.00 11.18 25.52
79
Lampiran 9. Hasil uji statistik rancangan acak lengkap faktorial (anova two factor with replication) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Berat Source Corrected Model Intercept Waktu Jenis_umpan Waktu * Jenis_umpan
Type III Sum of Squares 2493676.105( a) 25086569.445
df
Mean Square
F
Sig.
9
277075.123
1.795
.072
1
25086569.445
162.499
.000
531583.605
1
531583.605
3.443
.065
1313625.780
4
328406.445
2.127
.079
1.050
.383
648466.720
4
162116.680
Error
29332205.450
190
154380.029
Total
56912451.000
200
Corrected Total
31825881.555
199
a R Squared = .078 (Adjusted R Squared = .035)
80
Lampiran 10. Foto alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
Bak pemeliharaan ikan
Akuarium filter
Ruang gelap untuk perlakuan
Tandon air laut
Akuarium perlakuan
heater
skimmer
81
pH paper
Makanan ikan (udang, ikan selar)
Bahan bahan umpan buatan
Umpan buatan (artificial bait)
handycam
Vitamin ikan
Timbangan
Umpan buatan (artificial bait)
82
Lampiran 11. Konstruksi bubu dan pengoperasiannya
20 cm
27 cm
No 1 2 3 4 5 6
Spesifikasi Teknis Bahan Ukuran Mesh size Umur teknis Sistem pemasangan Kedalaman pemasangan
Bubu Tambun Bambu (70x60x20) cm 3 cm 3 bulan Tunggal 0.5-3 m
83
Bubu tambun
84
Bulu babi dan umpan buatan untuk umpan bubu tambun
Pemasangan umpan bubu
85
Setting bubu tambun
Keragaan bubu tambun setelah setting
Pengangkatan bubu tambun
Perahu yang dig unakan dalam pengoperasian bubu di P. Panggang
86
Lampiran 12. Komposisi jumlah dan berat hasil tangkapan bubu tambun No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. 8. 9. 10. 11.
Famili
Spesies
Serranidae
Kerapu koko Kerapu karet Kerapu macan Kerapu langalanga Kerapu lumpur Kerapu lodi/sunu Kerapu lada Kerapu lokal Sub total Scaridae Kakatua Kakatua merah Kakatua hijau Kakatua hitam Kakatua biru Kakatua putih Sub total Pomacentridae Betok Betok hitam Betok susu Betok putih Sersan mayor Sub total Labridae jarang gigi nori Sub total Siganidae Kea-kea lingkis Sub total Nemipteridae Serak Pasir Sub total Haemulidae Lencam Lutjanidae Tanda-tanda Holocentridae Swanggi Monachantidae Kipas-kipas Sub total Chaetodontidae Kepe-kepe Marmut Sub total Total
1.
Portunidae
2.
Xanthidae
kepiting merah kepiting rajungan kepiting plonkor Total
Jumlah (ekor) 26 27 21
Berat (gram) 4.075 3.095 4.485
Presentase Jumlah (%) 2,421 2,514 1,955
Presentase Berat (%) 6,041 4,588 6,649
1 1 2 1 1 80 107 19 36 9 8 36 215 38 51 5 6 288 388 13 125 138 16 8 24 13 10 23 11 2 5 28 46 93 67 160 1.074
100 70 270 100 70 12.265 6.700 2.105 3.695 1.155 765 2.275 16.695 3.304 2.510 250 200 11.470 17.734 905 11.010 11.915 740 430 1.170 981 1.015 1.996 800 270 285 952 2.307 1.140 2.234 3.374 67.456
0,093 0,093 0,186 0,093 0,093 7,449 9,963 1,769 3,352 0,838 0,745 3,352 20,019 3,538 4,749 0,466 0,559 26,816 36,127 1,210 11,639 12,849 1,490 0,745 2,235 1,210 0,931 2,142 1,024 0,186 0,466 2,607 4,283 8,659 6,238 14,898 100,000
0,148 0,104 0,400 0,148 0,104 18,182 9,932 3,121 5,478 1,712 1,134 3,373 24,749 4,898 3,721 0,371 0,296 17,004 26,290 1,342 16,322 17,663 1,097 0,637 1,734 1,454 1,505 2,959 1,186 0,400 0,422 1,411 3,420 1,690 3,312 5,002 100,000
2 2 2 6
200 135 770 1.105
33,333 33,333 33,333 100,000
18,100 12,217 69,683 100,000
87
Lampiran 13. Foto ikan hasil tangkapan bubu Sumber identifikasi : Kuiter RH, Tonozuka T. 2004. Pictorial Guide to: Indonesian Reef Fishes (Part 1-3). Dive and Dive’s Bali. Indonesia. 893 p.
Nori/Dusky wrasse (Halichoeres lamarii)
Kaka tua/Surf parrotfish ( Scarus rivulatus)
Kaka tua/Bleeker’s parrotfish ( Chlorurus bleekeri)
Kipas-kipas/Bristle-tail filefish (Acreichthys tomentotus)
Serak/Monocle bream (Scolopsis bilineata)
Kambing-kambing/Dot Goatfish (Parupeneus barberinus)
Kaka tua/Surf parrotfish ( Scarus rivulatus)
Beronang/Scribbled rabbitfish (Siganus spinus)
88
Marmut/Vermiculate anglefish (Chaetodontoplus mesoleucus)
Lencam/Checkered snapper (Lutjanus decussatus)
Kaka tua/Pink-margined parrotfish (Scarus capistratoides)
Kerpau karet/ (Ephinephelus fasciatus)
Betok/Green sergeant (Amblyglyphidodon batunai)
Swanggi/Pink Squirrelfish (Sargocentron tiereoides)
Betok hitam/Orange damsel (Neoglyphidodon crossi)
Kipas-kipas/Flower coral filefish (Acreichthys radiatus)
89
Kepe-kepe/Eight-banded butterflyfish (Chaetodon octofasciatus)
Nori monyong kuning/Slingjaw wrase (Epibulus insidiator)
Kerapu macan/Flower cod (Epinephelus fuscoguttatus)
Kerapu karet/Dusky-bandedcod (Cephalopolis fasciatus)
Lepu/Lionfish (Brachypterois serrulata)
Lencam/Mangrove jack (Lutjanus argentimaculatus)
Tanda-tanda/Russell’s snapper (Lutjanus russellii)
Swanggi/Large-scale soldierfish (Miripristis macrolepsis)
90
Pasir/Silver-line spinecheek(Scolopsis ciliata)
Jarang gigi/White-belly tuskfish (Choerodon anchorago)
Ikan tikus/Half wrasse (Hemigymnus melapterus)
Nori monyong/Slingjaw wrase (Epibulus insidiator)
Pasir/Striped whiptail (Pentapodus trivittatus)
Nori hijau/Checkerboard wrasse (Halichoeres hortulanus)
Nori merah/Banded maori wrasse (Cheilinus fasciatus)
Sersan mayor/Scissor-tail sergeant (Abudefduf sexfasciatus)
91
Balong karet/Banded Rock Cod (Ehinephelus fasciatus)
Balong koko/Honeycomb Rock Cod (Ehinephelus merra)
Rajungan/Swimming crab (Portonus hastatoides)
Kepiting batu
Kepiting plongkor/Coral-reef crab (Carpilus maculatus)
Keong laut
92
Lampiran 14 Hasil uji statistik non parametrik terhadap pengaruh umpan:
Median Test Frequencies
Berat
> Median <= Median
Umpan D 4 16
Umpan B 2 18
Umpan Udang 5 15
Test Statisticsb N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
Berat 100 .0000 2.209a 4 .697
a. 5 cells (50.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 3.8. b. Grouping Variable: Umpan
Ho : tidak ada perbedaan antara jenis umpan H1 : ada perbedaan antara jenis umpan Jika asymp Sig > α (0.05), maka Ho diterima Jika asymp Sig < α (0.05), maka Ho ditolak
Rucah 5 15
Bulu babi 3 17
93
Uji pengaruh umpan pada waktu malam Median Test Frequencies
Berat
> Median <= Median
Umpan D 9 11
Umpan B 9 11
Umpan Udang 15 5
Test Statisticsb N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
Berat 100 90.0000 8.800a 4 .066
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 10.0. b. Grouping Variable: Umpan
Ho : tidak ada perbedaan antara jenis umpan H1 : ada perbedaan antara jenis umpan Jika asymp Sig > α (0.05), maka Ho diterima Jika asymp Sig < α (0.05), maka Ho ditolak
Rucah 11 9
Bulu babi 6 14
94
Lampiran 15 Data hasil tangkapan 1. Hasil tangkapan pada waktu perendaman siang hari: Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
Trip 1
18 Maret 2008 Trip ke N 03:24,56'/E Ulangan ke 106:13.286' 8:30 Waktu hauling P. Air
Umpan Rucah 1 Rucah 2 Udang 1 Udang 2 B. Babi 1
B.Babi 2
B. Babi 3
A1
Nama Lokal Kepe-kepe Garu (Lutjanus) Kepe-kepe Pasir Nori Kakak tua merah Kakak tua merah Kakak tua merah Kakak tua merah Kakak tua merah Kakak tua merah Kakak tua Hijau Kakak tua Hijau Kakak tua Hijau Kakak tua Hijau Kakak tua Hijau Kakak tua Hijau Kakak tua Hijau Kakak tua Hijau Kipas Marmut Serak Kakak tua merah Kakak tua hijau Kakak tua hijau Nori Nori Nori Nori Kakak tua hitam Kakak tua hitam Kakaktua hitam Kakak tua hitam Lingkis (baronang) Kakak tua merah Nori Nori Nori Nori Nori Kakak tua merah Kakak tua merah Kipas
Pagi 1
Intensitas cahaya Suhu
8:00
Kecepatan arus Ph Salinitas
PanjangTotal (mm) 100 180 80 200 140 250 160 150 160 150 140 180 170 160 180 170 150 170 150 130 100 140 200 170 170 140 140 140 140 170 150 150 150 170 170 140 170 170 140 150 190 160 120
12799 29 0.3 8 30 permil
Berat (gr) 40 125 25 150 50 180 60 60 60 60 60 60 60 60 75 65 60 65 65 100 100 60 160 120 120 60 60 60 60 80 60 60 60 100 125 60 125 125 100 100 150 125 50
95
Kipas Kakak tua hijau Kakak tua hijau Kakak tua hijau Kakak tua hijau Janggut (goat fish) Masuk layang Masuk layang Kakak tua hitam Kakak tua hitam Kakak tua hitam Kakak tua hitam Kakak tua hitam Nori
A2 A3 B1
B2
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
20 Maret 2008 S 05 46,208'/E 106:34.804' 8:00
90 -
12 -
210 230 170 170 150 90 90 160 150 140 220 170 160
250 260 125 125 100 25 25 100 100 100 250 125 100
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Intensitas cahaya Suhu
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus
29
P. Karang Beras
0.5 Ph 8 30 permil
Salinitas Trip 2
Umpan Rucah 1
Udang 1 B. Babi 1
B. Babi 2 A1
A2 A3
12020
Nama Lokal Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Kea-kea Kea-kea Kea-kea Kea-kea Marmut Marmut Kepe-kepe Kepe-kepe Kea-kea Kea-kea Kea-kea Kipas Betok Kakak tua Kakak tua Jarang gigi Jarang gigi Betok -
PanjangTotal (mm) 150 130 120 120 110 110 110 110 110 110 110 110 100 90 80 155 145 110 95 130 190 170 200 210 140 -
Berat (gr) 65 65 35 35 35 35 35 25 25 25 25 25 25 12,5 12,5 50 40 15 10 30 100 75 75 100 50 -
96
B1
Lepu Kipas
110 90
25 10
B2
Kepe-kepe Kepe-kepe Marmut Kakak tua Kakak tua Nori Nori Kea-kea Kakak tua Baronang hitam Kea-kea K. Koko K. Koko
90 75 100 170 160 155 155 140 140 160 160 210 200
12,5 12,5 25 65 65 50 50 25 30 50 60 115 100
B3
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
21 Maret 2008 S 05 46,208'/E 106:34.804' 8:00
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus
P. Karang Beras
Intensitas cahaya Suhu
Ph
Rucah 1
Rucah 2
Rucah 3
Udang 1
Udang 2
K. Koko Pasir Kipas Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Lencam Betok Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam K. Karet Betok hitam Betok hitam Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Marmut Lencam Nori monyong hitam Betok hitam Betok hitam Nori Nori monyong
0.5 8
Salinitas
3
10025 29
200 200 90 80 80 80 80 80 140 130 110 110 110 110 110 220 140 140 130 130 120 120 120 120 170 160 100 100 170 160
30 permil
125 110 10 10 10 10 10 10 30 25 25 25 25 25 25 175 60 60 40 40 40 30 30 30 60 75 15 15 60 60
97
Udang 3 Udang 4
B. Babi 1
A1
A2
B1 B2
Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Marmut Marmut Masuk layang Kepe Marmut Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Betok Hitam Nori Nori merah Nori Marmut Marmut Marmut Nori merah Betok hitam Nori monyong hitam Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe K. Koko Nori hijau Betok Betok Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Marmut Kepe-kepe Kepe-kepe Kakak tua Pelok (helicures) Serak Masuk layang
100 100 100 110 110 140 90 120 80 80 80 80 140 150 220 180 100 100 100 150 100 180 140 140 140 140 140 90 90 90 230 220 130 130 120 120 120 120 100 80 80 170 160 140 120
15 15 15 20 25 50 10 60 10 10 10 10 50 20 175 75 25 25 25 60 10 80 50 50 50 50 50 15 15 15 170 210 62 62 40 40 40 40 25 10 10 100 30 25 20
98
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
22 Maret 2008 S 05 44.193'; E 106 35.781' 8:00
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus
SELATAN P.PANGGANG
Intensitas cahaya Suhu
Ph
RUCAH 1
RUCAH 2 RUCAH 3 UDANG 1
UDANG 2
NORI NORI NORI NORI MERAH KAKATUA KEPE-KEPE KUPAS-KUPAS SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KEPE-KEPE NORI KERAPU KOKO SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR NORI SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR
0.5 8
Salinitas 4
12020 29
140 140 140 150 210 80 200 110 110 110 70 120 220 150 150 150 150 150 150 150 130 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 140 140 140 140 80 80 80
30 permil 125 125 125 125 160 10 110 25 25 25 10 25 150 75 75 75 75 75 75 75 120 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 70 70 70 70 15 15 15
99
UDANG 3 B.BABI 1
B.BABI 2 A1
A2
B1
SERSAN MAYOR LINKIS LINKIS LINKIS MARMUT KOSONG KERAPU KARET KUPAS-KUPAS KUPAS-KUPAS MARMUT KOSONG BETOK SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KEA-KEA / MUNGGILALA SERAK KEA-KEA KEA-KEA NORI
80 130 130 130 90
15 30 30 30 25
180 90 90 100
80 20 20 50
160 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140
60 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60
130 170 160 160 160
40 80 75 75 60
100
KAKATUA KERAPU KOKO NORI NORI KAKATUA KAKATUA BETOK HITAM SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KUPAS-KUPAS SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR NORI MONYONG MARMUT
B2
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
23 Maret 2008 S 05 44.193'; E 106 35.781' 8:00
160 210 150 150 160 160 110 140 140 140 140 100 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 170 90
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Intensitas cahaya Suhu
Waktu hauling
8:00
Kecepatan arus
SELATAN P.PANGGANG
RUCAH 1
KAKATUA KAKATUA NORI MERAH NORI KEA-KEA KEA-KEA KERAPU KOKO PASIR
12232 29 0.3 8
Ph Salinitas
5
75 125 60 60 65 65 25 60 60 60 60 25 80 80 80 80 80 80 80 80 80 80 80 80 80 80 80 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 80 25
170 170 160 170 170 170 220 180
30 permil 110 110 75 80 80 80 140 80
101
RUCAH 2 RUCAH 3 UDANG 1
UDANG 2
UDANG 3 B.BABI 1
B.BABI 2
A1
A2
B1
KEPE-KEPE TANDATANDA/LENCAM KEPE-KEPE KUPAS-KUPAS BETOK MARMUT MARMUT MARMUT NORI NORI NORI NORI NORI NORI SERSAN MAYOR MARMUT KEPE-KEPE KOSONG KERAPU KARET KAKATUA KAKATUA KAKATUA PELO NORI NORI NORI JARANG GIGI MARMUT SERSAN MAYOR MARMUT MARMUT MARMUT KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR PASIR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERAK SERAK KAKATUA MARMUT KUPAS-KUPAS KAKATUA
70
10
220 70 70 120 110 90 90 240 200 160 160 160 160 140 70 70
160 10 10 25 50 20 20 190 125 50 50 50 50 50 10 10
160 200 170 170 170 170 170 170 140 100 110 100 100 100 70 70 70 70 70 70 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 240 130 130 140 180 180 180 90 160 160
60 160 100 100 60 75 75 75 60 25 25 40 40 40 10 10 10 10 10 10 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 160 40 40 40 90 90 125 20 50 90
102
KEPE-KEPE KAKATUA MARMUT MARMUT MARMUT
B2
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
24 Maret 2008 S 05 44.191'; E 106 35.781' 8:00
70 190 130 130 130
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus
KARANG SEMPI
Intensitas cahaya Suhu
Ph
RUCAH 1 RUCAH 2 RUCAH 3
RUCAH 4 RUCAH 5 UDANG 1
B.BABI 1
B.BABI 2
BETOK HITAM BETOK HITAM KERAPU KARET KERAPU HITAM NORI MONYONG SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KOSONG KOSONG SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KERAPU HITAM MARMUT MARMUT MARMUT POGE KERAPU HITAM KAKATUA MERAH NORI NORI MONYONG KAKATUA KAKATUA NORI MONYONG KEPE-KEPE MARMUT MARMUT MARMUT MARMUT MARMUT KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR
10020 29 0.5 8
Salinitas
6
10 125 60 60 60
30 permil
150 140 180 170 140 110 110 110
60 60 80 75 50 20 20 20
150 150 150 150 200 110 110 110 200 190 200 210 160 160 160 140 70 100 100 100 100 100 70 70 70 70 70 70 110 110 110
60 60 60 60 110 25 25 25 225 90 125 130 75 60 60 40 10 25 25 25 25 25 10 10 10 10 10 10 20 20 20
103
SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KAKATUA KAKATUA KERAPU KARET NORI NORI PASIR KAKATUA KAKATUA NORI NORI NORI BETOK HITAM BETOK HITAM BETOK HITAM MARMUT SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR NORI MONYONG KERAPU KARET NORI MARMUT MARMUT MARMUT KAKATUA BETOK SERSAN MAYOR NORI MONYONG NORI BETOK BETOK BETOK BETOK NORI MARMUT
A1
A2
B1
B2
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
26 Maret 2008 S 05 43.967'; E 106 34.259' 08:00
RUCAH 1 UDANG 1
Pagi 1
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus
0.3
Ph Salinitas
8 30 permil
UDANG 2
KERAPU MACAN KEPE-KEPE KEPE-KEPE KERAPU KOKO KERAPU LODI/SUNU SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR
Intensitas cahaya Suhu
20 20 90 90 110 50 50 80 120 120 80 80 120 20 20 25 60 40 40 25 120 140 140 40 40 40 100 80 80 60 60 80 80 80 60 60 25
Trip ke Ulangan ke
SEMAK DAUN
7
110 110 170 170 210 140 140 200 180 180 170 170 210 150 150 110 120 130 130 100 210 230 210 110 110 110 180 160 150 150 160 160 160 160 140 150 100
300 80 80 220 230 120 120 120 120 120
88826 29
500 10 10 180 160 25 25 25 25 25
104
UDANG 3
UDANG 4 UDANG 5 B.BABI 1
B.BABI 2
B.BABI 3 A1
A2
A3 B1
B2
B3
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
MARMUT KEPE-KEPE BETOK KAKATUA KEPE-KEPE KOSONG KOSONG KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE BETOK NORI BETOK BETOK KOSONG KAKATUA KAKATUA BETOK KAKATUA KAKATUA SERAK KOSONG KEPE-KEPE KEPE-KEPE BETOK BETOK KERAPU KOKAL BETOK BETOK MARMUT PASIR KEPE-KEPE SERSAN MAYOR
25 Maret 2008 S 05 43.967'; E 106 34.259' 8:00
RUCAH 1 RUCAH 2 UDANG 1
B.BABI 1 B.BABI 2 B.BABI 3 B.BABI 4 B.BABI 5 A1 A2
60 10 100 125 10
70 70 70 110 260 160 130
10 10 10 30 250 120 60
190 190 180 170 220 190
120 120 120 110 200 90
70 70 170 170 150 120 120 90 210 70 140
10 10 125 125 70 30 30 20 120 10 40
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus
0.5
Ph Salinitas
8 30 permil
SEMAK DAUN
8
110 80 150 180 70
SERSAN MAYOR BETOK KAKATUA KAKATUA MARMUT BETOK KEPE-KEPE KOSONG KOSONG KOSONG KOSONG KOSONG SERSAN MAYOR BETOK
Intensitas cahaya Suhu
10028 29
110 160 170 160 90 130 80
25 50 100 50 15 25 10
130 130
40 40
105
KUPAS-KUPAS KUPAS-KUPAS KUPAS-KUPAS KEPE-KEPE KOSONG KAKATUA KAKATUA BETOK KEPE-KEPE KEPE-KEPE KAKATUA KAKATUA KAKATUA
A3 B1
B2
90 90 90 70
20 20 20 10
230 200 150 70 70 160 160 180
180 130 60 10 10 60 60 90
2. Hasil tangkapan pada waktu perendaman malam hari: Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
Trip 1
18 Maret 2008 Trip ke N 03:24,56'/E Ulangan ke 106:13.286' 16:00 Waktu hauling P. Air
Umpan Rucah 1 Rucah 2 Udang 1
Udang 2 B. Babi 1
B. Babi 2
B. Babi 3
Nama Lokal Nori merah Nori merah Swanggi Kepiting plonkor Kerapu karet merah Kea-kea/remodas Kakak tua bintik biru Kakak tua bintik hijau Kea-kea/remodas Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua merah Nori Nori Kerapu lumpur Serak (Scalopsis) Kepiting merah Kepiting rajungan Pasir Nori Kipas Nori cokelat/mogong Nori
Pagi 1
Intensitas cahaya Suhu
8:00
Kecepatan arus
5579 30 0.3
Ph Salinitas
8 30 permil
PanjangTotal (mm) -
Berat (gr) -
230 150 140 130x90 26 200 200 180 170 170 170 140 140 140 140 140 170 140 140 150 130 80x50 70x50 170 150 17 190 160
200 100 60 510 300 175 160 140 100 110 110 75 75 65 65 65 110 65 65 70 50 100 60 75 60 100 150 75
106
A1
A2
B1
B2
B3
Nori Kepiting plonkor Nori Kea-kea Kakak tua biru Kipas Marmut Marmut Betok kochan Kakak tua putih Nori Kepiting merah Rajungan Nori (Cheilinus) Kakak tua hitam Kakak tua hitam Kakak tua hitam Nori item Nori item Kakak tua merah Kakak tua putih Kakak tua merah Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua merah Kea-kea Kea-kea Kea-kea Kakak tua bintik biru Kakak tua bintik biru Kakak tua bintik biru Kakak tua bintik biru Nori Nori Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua merah Kakak tua biru Nori Serak Kepe-kepe Rajungan
160 110x80 150 170 170 130 100 100 100 130 160 80x50 70x50 190 170 130 130 140 140 170 170 140 140 140 190 170 170 170 200 150 150 150 160 140 140 150 150 150 160 170 140 130 60 80x50
75 260 75 80 110 50 37 37 35 110 75 100 60 115 100 60 60 60 60 90 90 60 60 60 150 85 85 85 175 60 60 60 60 50 50 60 60 60 100 110 60 50 10 75
107
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
19 Maret 2008 S 05:44,129'/E 106:34.644' 16:05
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
08:30 Kecepatan arus
Rucah 1 Rucah 2 Udang 1 Udang 2 B. Babi 1
B. Babi 2
B. Babi 3
A1 A2 A3 B1
B2
B3
5579 29
Karang Sempit
2
Intensitas cahaya Suhu
Kerapu langa-langa Nori Betok susu Betok susu Pelok (Halichoeres) Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Jarang gigi Betok item Kakak tua hitam Kakak tua biru Kipas Betok susu Kepe-kepe Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Kakak tua biru Nori monyong kuning Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Jarang gigi Jarang gigi Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Masuk layang Masuk layang
0.3 8 30 permil
Ph Salinitas 180 160 -
100 60 -
160 140 150 80 70 70 70 70 160 130
50 35 30 15 13 13 13 13 65 45 30 70 10 75 15 60 60
140 160 160 80 130 130 -
130 130 130 150 180 8 90 90 90 90 90 80 80 80 140 140 130 130 140 140 140 140 140 140 140 90 90
60 60 60 65 100 10 12 12 12 12 12 10 10 10 35 35 30 30 45 45 45 45 45 45 45 10 10
108
Masuk layang Masuk layang Betok susu Jarang gigi Kipas Kerapu hitam Kerapu hitam Kerapu hitam
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
20 Maret 2008 S 05:46,207'/E 106:34.804' 16:30
Rucah 1
Pagi 1
Waktu hauling
08:00 Kecepatan arus
0.3
Ph Salinitas
8 30 permil
Rucah 2
Udang 1 Udang 2 B. Babi 1
B. Babi 2
B. Babi 3
A1
A2
Kerapu koko Kerapu koko Kerapu hitam Kakap tanda kuning Kerapu hitam Betok hitam Betok hitam Lencam Kerapu karet Betok hitam Kepe-kepe Kepe-kepe Jarang gigi Masuk layang Kepe-kepe Lencam Nori merah Nori Nori Kepe-kepe Kepe-kepe Masuk layang Kelomang Kerapu koko Kerapu koko Kerapu karet Lencam Lencam Lencam Nori merah Nori merah Nori merah Jarang gigi Marmut Kerapu Hitam Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Kerapu karet
Intensitas cahaya Suhu
10 10 45 30 10 250 250 170
Trip ke Ulangan ke
Karang Beras
3
90 90 140 130 90 260 260 210
210 230 210 20 210 130 140 150 180 140 80 120 210 120 80 150 240 150 150 80 80 11 110x70 240 190 170 160 160 160 160 160 180 130 90 230 130 130 130 130 190
6573 29
200 200 150 110 150 60 60 60 75 75 10 13 200 25 10 50 225 60 60 10 10 25 200 225 100 75 70 70 70 100 100 120 40 20 200 25 25 25 25 125
109
Masuk layang Lencam Lencam Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Tikusan Kakak tua biru Kakak tua hijau Betok hitam Betok hitam Nori merah
B1
B2
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
21 Maret 2008 S 05:46,207'/E 106:34.804' 15:30
RUCAH 1
Pagi 1
Waktu hauling
08:30 Kecepatan arus
0.3
Ph Salinitas
8 30 permil
RUCAH 2
RUCAH 3 UDANG 1 UDANG 2 UDANG 3
UDANG 4
B.BABI 1
A1
A2 B1 B2
KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KERAPU KOKO KERAPU KARET SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KERAPU HITAM KERAPU HITAM KERAPU HITAM SERAK KERAPU KARET PASIR NORI NORI HITAM BETOK HITAM KERAPU HITAM NORI KEPE-KEPE KERAPU KARET SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KERAPU HITAM KERAPU KARET LENCAM LENCAM NORI MERAH BETOK KERAPU KARET KEPE-KEPE
Intensitas cahaya Suhu
10 75 75 50 50 50 60 75 75 40 40 75
Trip ke Ulangan ke
Karang Beras
4
80 170 170 150 150 150 150 160 120 120 120 160
9 9 9 210 260 130 130 130 230 240 210 140 230 210 140 160 110 230 180 80 170 12 16 260 220 170 170 210 130 210 80
7799 29
25 25 25 180 300 25 25 25 210 220 180 50 140 125 50 60 30 160 100 15 60 25 85 275 160 120 120 150 75 125 15
110
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
22 Maret 2008 S 05 44.193'; E 106 35.781' 15:30
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
08:30 Kecepatan arus
0.3
Ph Salinitas
8 30 permil
Karang Beras
5
RUCAH 1
RUCAH 2 RUCAH 3 UDANG 1
UDANG 2
UDANG 3
UDANG 4
B.BABI 1
SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KOSONG KOSONG KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KRAPU KOKO KRAPU KOKO KERAPU KARET SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR NORI KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR NORI KAKATUA MERAH SERAK NORI BETOK BESENG BESENG MARMUT MARMUT KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR
Intensitas cahaya Suhu
6553 29
130 130 130
40 40 40
100 100 100 100 210 210 210 210 210 190 170 170 170 150 150 150 120 120 120 120 120 120 120 120 120 200 260 180 160 150 140 140 90 90 180 160 160 160 150 150 130 130 130
10 10 10 10 140 140 120 40 40 90 100 100 100 60 60 60 40 40 40 40 40 40 40 40 40 120 280 100 60 75 30 30 20 20 100 75 75 75 60 60 40 40 40
111
A1
A2
B1
B2
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
SERSAN MAYOR JARANG GIGI NORI NORI NORI KAKATUA SERSAN MAYOR MARMUT MARMUT MARMUT MAMGGILALA MAMGGILALA SERSAN MAYOR KEPE-KEPE KEPE-KEPE KERAPU KOKO KERAPU hitam KERAPU KARET SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR LINKIS/BERONANG SUSU SERAK SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR BETOK MARMUT
23 Maret 2008 S 05 44.193' E 106 35.781' 15:30
Pulau Panggang
130 150 150 150 150 170 130 10 10 10 130 130 110 80 80 220 190 160 150 150 150 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120
40 60 50 50 50 80 40 25 25 25 40 40 25 10 10 180 100 50 60 60 60 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40
180 210 130 130 130 120 120 120 130 120
100 140 40 40 40 40 40 40 50 40
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Intensitas cahaya Suhu
Waktu hauling
08:30 Kecepatan arus Ph Salinitas
78876 29 0.3 8
30 permil
112
6
RUCAH 1 RUCAH 2
RUCAH 3 RUCAH 4
RUCAH 5 UDANG 1
B. BABI 1
B.BABI 2
NORI MERAH KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KUPAS-KUPAS BETOK HITAM KERAPU HITAM KERAPU KOKO KERAPU KOKO KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA PUTIH MARMUT MARMUT KERAPU MERAH SERSAN MAYOR KAKATUA KERAPU LODI/SUNU KERAPU KOKO NORI BETOK PUTIH BETOK PUTIH BETOK PUTIH SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR NORI KUPAS-KUPAS KUPAS-KUPAS SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KERAPU KOKO NORI NORI NORI NORI NORI TIKUSAN BETOK PUTIH BETOK PUTIH SERSAN MAYOR MARMUT KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA
150 100 100 100 90 150 270 240 220 190 240 240 240 240 240 240 170 110 110 180
60 20 20 20 100 80 325 220 160 80 220 220 220 220 220 220 80 50 80 80
140 180 200 200 130 130 130 140 140 140 140 110 90 130 130 130 130 130 130 200 160 160 160 160 160 170 140 140 100 120 160 160 160 160 160 160
40 110 120 100 30 30 30 50 50 50 40 20 15 50 50 50 50 50 50 100 70 70 70 70 70 90 40 40 15 40 75 75 80 80 80 80
113
A1
A2
B1 B2
KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA NORI NORI NORI NORI NORI SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KEA-KEA KEA-KEA KEA-KEA SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR BETOK MARMUT SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KAKATUA KAKATUA KAKATUA KERAPU KARET KERAPU KOKO SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERAK KERAPU KOKO KERAPU KOKO SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA KAKATUA KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH SERSAN MAYOR MARMUT
160 160 160 160 160 160 150 150 150 190 190 140 140 140 140 140 140 140 140 110 110 110 110 150 150 150 120 120 150 100 140 140 140 140 150 150 150 190 250 130 130 170 210 230 140 140 150 150 170 170 150 150 150 150 150 90 100
80 80 80 80 80 80 75 75 75 110 110 50 50 50 50 50 50 50 50 25 25 25 25 50 50 50 25 25 40 20 50 50 50 50 50 50 50 100 225 40 40 100 110 160 50 50 60 60 75 75 60 60 60 60 60 10 25
114
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
24 Maret 2008 S 05 44.191'; E 106 35.781' 15:30
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus
0.3
Ph Salinitas
8 30 permil
Karang Sempit
7
RUCAH 1
UDANG 1 UDANG 2
UDANG 3
B. BABI 1 B. BABI 2
B. BABI 3
A1 A2
KERAPU KOKO KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KUPAS-KUPAS KUPAS-KUPAS KERAPU HITAM BESENG KERAPU HITAM SWANGGI MARMUT KEPE-KEPE KERAPU HITAM SWANGGI KERAPU KARET KAKATUA BETOK KUPAS-KUPAS KUPAS-KUPAS KUPAS-KUPAS NORI MERAH PASIR NORI MERAH NORI MERAH NORI MERAH NORI MERAH NORI MERAH NORI MERAH NORI MERAH NORI MONYONG KERAPU KARET MARMUT BETOK HITAM KERAPU KARET KERAPU KARET NORI MONYONG NORI NORI NORI NORI BESENG SERSAN MAYOR MARMUT KERAPU KARET SERSAN MAYOR BETOK HITAM
Intensitas cahaya Suhu
190 90 90 90 90 90 270 160 210 150 110 70 270 150 210 220 120 110 110 110 200 140 200 200 240 240 160 160 160 190 210 100 170 200 180 160 150 150 170 170 150 130 100 180 140 160
88826 29
75 10 10 10 10 10 275 60 125 90 40 10 225 50 130 160 40 30 30 30 110 31 125 125 200 200 60 60 60 110 100 30 110 100 75 60 50 50 80 80 60 40 25 75 40 90
115
BETOK HITAM BETOK HITAM BETOK HITAM BETOK HITAM MARMUT MARMUT MARMUT BETOK BETOK BETOK BETOK BETOK KERAPU KARET NORI MERAH KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR NORI MONYONG KEA-KEA MARMUT NORI NORI NORI NORI SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KERAPU KARET HITAM BETOK HITAM
A3
B1 B2
B3
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
23 Maret 2008 S 05 43.967'; E 106 34.259 15:30
RUCAH 1 RUCAH 2
90 90 90 40 40 25 25 100 100 100 100 100 110 75 75 75 75 75 75 75 75 50 50 50 50 50 50 50 50 50 80 40 40 140 100 50 50 25 25
200 170
100 90
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus
0.3
Ph Salinitas
8 30 permil
Semak Daun
8
160 160 160 130 120 10 10 170 170 170 170 170 200 160 160 160 160 160 160 160 160 140 140 140 140 140 140 140 140 140 170 130 10 220 180 150 150 100 100
EKOR KUNING KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA
Intensitas cahaya Suhu
240 160 160 160 160
78876 29
180 75 75 75 75
116
UDANG 1 UDANG 2
B. BABI 1
B. BABI 2
B.BABI 3 B.BABI 4 A1 A2 A3 B1
B2 B3
KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA JARANG GIGI PELO KEA-KEA KAKATUA MERAH LINKIS/BERONANG SUSU KUPAS-KUPAS SWANGGI KERAPU HITAM KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KEA-KEA LINKIS LINKIS BETOK PUTIH JARANG GIGI SERAK JANGGUT PELO SABUN PELO PELO NORI NORI KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH PASIR KERAPU KARET HITAM BETOK SWANGGI KEPE-KEPE MARMUT BETOK KERAPU KOKO KOSONG KOSONG BESENG BETOK KERAPU KOKO BETOK KEPE-KEPE KERAPU HITAM BESENG BETOK BETOK SERSAN MAYOR BESENG SERSAN MAYOR
160 160 160 180 160 210 170 200
75 75 75 90 90 60 75 150
150 130 120 210 160 160 160 160 160 160 160 150 140 140 140 140 190 120 140 140 130 120 120 140 140 110 110 130
40 50 25 160 60 60 60 60 60 75 75 50 50 50 30 40 90 25 25 40 25 25 25 50 50 25 25 50
150 80 150 70 110 120 210
50 10 60 10 25 25 140
150 170 210 140 80 210 140 110 140 120 140 70
60 60 140 75 10 160 40 25 75 25 40 10
117
SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE MARMUT
70 70 70 70 70 70 140
10 10 10 10 10 10 25