RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN
ARISTI DIAN PURNAMA FITRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Respons Penglihatan dan Penciuman Ikan Kerapu terhadap Umpan Terkait Dengan Efektivitas Penangkapan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian disertasi ini.
Bogor, Desember 2008
Aristi Dian Purnama Fitri NRP C561050011
Penguji pada Ujian Tertutup : - Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc - Prof. Dr. Wasmen Manalu
Penguji pada Ujian Terbuka : - Prof. Dr. Ir. Johannes Hutabarat, M.Sc - Dr. Ir. Suseno, MM
ABSTRACT ARISTI DIAN PURNAMA FITRI. Visual and Olfaction Responses of Groupers to Baits in Relation to Fishing Effectiveness. Supervised by Ari Purbayanto, Mulyono S. Baskoro, and Daniel R. Monintja. The mechanisms of bait detection by the groupers through vision and olfactory sense in pot fishing have not been thoroughly studied. The general objective of this research is to reveal the vision and olfactory responses of groupers to various baits as attractors, and its relationship with the pot fishing effectiveness. The research was carried out from June 2007 to March 2008, conducted in two phases: phase I (laboratory scale) covering investigations on the grouper’s retinal physiology and brain weight ratio to reflect the function of olfactory and vision organs analysis on chemical contents of baits, and reaction of groupers to the baits; phase II covering the field test, measuring the pot fishing effectiveness on groupers using natural and artificial baits. Comparative experiment methods were used and non parametric statistical method (i.e. the median test) was applied to test the significancy of the results. The grouper’s retinal physiology analysis showed that the twin cone cells were dominating compared to the single cone cells, forming mosaic pattern. The density of cone cells appeared to be highest in the ventro-temporal part, which indicates that the visual axis of the grouper is facing upper-fore. Visual acuity of the groupers ranged from 0.05 to 0.15, and their maximum sighting distance ranged from 4.72 to 12.60 m for visual object of 25 mm diameter. The percentage of brain weight to the body weight of the fish ranged from 0.04 to 0.37%. The highest percentage of brain weight located in the optic tectum and telencephalon part of the brain, amounted to 45% and 20% of the total brain weight, respectively. This indicates that the most dominant organ governing the grouper’s feeding activity is the visual organ and followed by the olfactory organ. The groupers showed no significant difference in responding to dark and bright environment conditions (sig. value 0.05). This indicates that the groupers also utilize their olfactory organ in detecting the bait, besides using their visual organs. However, the groupers showed different response to the artificial bait in the dark environment condition (sig. value < 0.05). The pot fishing effectiveness for groupers during the daytime using baits of fish, shrimp, D bait formula, sea urchin, and B bait formula were 23.38%, 22.29%, 20.83%, 18.75%, and 6.25% respectively. In the night time, using baits of shrimp, fish, sea urchin, D bait formula, and B bait formula, were 49.17%, 44.58%, 43.74%, 41.67%, and 39.58% respectively. The findings shows that the D bait formula has the functional characteristics to be able to replace the sea urchin as bait. Furthermore the result also indicates that the grouper could be catagorized as crepuscular fish that actively feed during the day and night time. Keywords: vision and olfactory responses, grouper, baits, catching effectiveness
RINGKASAN ARISTI DIAN PURNAMA FITRI. Respons Penglihatan dan Penciuman Ikan Kerapu terhadap Umpan Terkait Dengan Efektivitas Penangkapan. Dibimbing oleh Ari Purbayanto, Mulyono S. Baskoro, dan Daniel R. Monintja. Ikan kerapu umumnya ditangkap dengan menggunakan bubu, pancing, tombak, bahan peledak, dan bahan kimia beracun (potasium sianida). Kedua cara penangkapan yang terakhir merupakan cara yang efektif, namun menimbulkan dampak yang merugikan bagi kelestarian ekosistem terumbu karang dan sumber daya ikan. Bubu termasuk kedalam jenis perangkap (trap) yang sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan karang. Umpan merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan dengan bubu dan pancing. Umpan digunakan sebagai pemikat (attractor) dengan tujuan agar ikan karang yang sifatnya bersembunyi pada terumbu karang dapat keluar dan tertarik untuk masuk ke dalam bubu. Efektivitas umpan ditentukan oleh sifat fisik dan kimiawi yang dimilikinya sehingga dapat memberikan respons terhadap ikan-ikan tertentu. Tujuan umum penelitian adalah mengkaji respons penglihatan dan penciuman ikan kerapu terhadap umpan sebagai atraktor dalam kaitannya dengan efektivitas penangkapan. Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) Mengkaji organ penglihatan dan organ penciuman ikan kerapu yang tercermin pada bagian otak, (2) Menentukan kandungan kimia umpan alami dan buatan serta pengaruhnya terhadap respons tingkah laku makan ikan kerapu, (3) Menghitung efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan menggunakan umpan pada alat tangkap bubu. Penelitian ini dilaksanakan selama 9 bulan (Juni 2007-Maret 2008), yang terdiri dua tahap. Tahap pertama adalah penelitian skala laboratorium, yang meliputi histologi mata ikan kerapu dan pembedahan otak ikan kerapu yang dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB; pembuatan formulasi umpan buatan dilakukan di Laboratorium Bio-Kimia, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK-IPB; analisis kandungan kimia umpan buatan dan alami dilakukan di Laboratorium Pascapanen, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor serta pengamatan respons penglihatan dan penciuman ikan kerapu dilakukan di Laboratorium Biologi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB dan Laboratorium Hatchery LPWP-Jepara, FPIK-UNDIP. Tahap kedua adalah penelitian lapangan, untuk uji coba penangkapan di perairan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen laboratorium (experimental laboratory), dan uji coba penangkapan (experimental fishing). Data primer yang dikumpulkan adalah data waktu dan respons ikan kerapu mendekati umpan, komposisi bahan formulasi umpan buatan, kandungan kimia (proksimat, asam amino dan asam lemak) umpan alami dan formulasi umpan buatan, serta komposisi hasil tangkapan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik median test.
Ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan kerapu karet (Epinephelus heniochus) memiliki struktur mata dan lensa seperti umumnya ikan bertulang sejati (teleostei). Tipe sel kon (kerucut) yang dominan adalah sel kon ganda dan berpola mosaik bujur sangkar. Sel kerucut yang tersusun teratur berpengaruh pada ketajaman penglihatan. Sumbu penglihatan lurus ke arah depan naik pada sudut sekitar 30 derajat, dengan indeks ketajaman penglihatan berkisar 0,0548-0,1465. Ketajaman penglihatan tersebut tidak jauh berbeda dengan ketajaman penglihatan pada ikan karang lainnya dari famili Chaetodontidae yang berkisar 0,058-0,145; genus Sebastes schlegeli yang berkisar 0,093-0,106; famili Siganidae berkisar 0,058-0,059 dan famili Lutjanidae berkisar 0,055-0,077. Jarak pandang maksimum ikan kerapu berukuran panjang total 150-350 mm berkisar 4,72 –12,59 m untuk objek penglihatan dengan diameter 25 mm. Persentase berat area otak tertentu dibandingkan dengan total berat otak menunjukkan bahwa optic tectum dan telencephalon ikan kerapu mempunyai persentase rata-rata lebih tinggi 45% dan 20% dibandingkan dengan area otak lainnya seperti olfactory bulb, cerebellum, dan medulla oblongata berkisar 4–19%. Struktur bagian otak ikan kerapu yang berukuran paling besar merupakan cerminan indera apa yang paling berkembang sebagai fungsi organ sensoris. Persentase rasio berat optic tectum menduduki porsi terbesar yang mencerminkan bahwa organ penglihatan merupakan organ dominan pertama. Organ dominan kedua adalah organ penciuman yang ditunjukkan dengan persentase rasio berat telencephalon yang menduduki porsi terbesar kedua yang digunakan ikan kerapu. Analisis proksimat umpan alami menunjukkan bahwa kandungan protein tertinggi terdapat pada umpan ikan (171,4 mg/g); kandungan lemak tertinggi terdapat pada umpan gonad bulu babi (67,6 mg/g); dan kandungan air tertinggi terdapat pada umpan udang (777,9 mg/g). Pada umpan buatan, komposisi protein yang tertinggi terdapat pada umpan A (152,9 mg/g), diikuti oleh umpan B (135,7 mg/g), umpan C (134,4 mg/g), dan umpan D (93,8 mg/g). Umpan kontrol memiliki nilai kadar protein terendah, yaitu 40,3 mg/g. Kandungan lemak tertinggi terdapat pada umpan D (331,8 mg/g), C (283,9 mg/g), umpan B, dan A berturut-turut 231,9 mg/g, dan 54,3 mg/g. Kandungan air tertinggi terdapat pada umpan kontrol, yaitu sebanyak 39,96 mg/g. Asam amino yang berpengaruh terhadap respons penciuman ikan adalah alanina, arginina, metionina, dan leusina. Pada umpan alami, kandungan asam amino tertinggi pada kandungan alanina, arginina, dan metionina terdapat pada umpan ikan (15,34 mg/g, 2,18 mg/g, 2,83 mg/g) dan leusina terdapat pada umpan udang (9,87 mg/g). Pada umpan buatan, kandungan arginina, metionina, isoleusina, leusina, dan lisina tertinggi pada umpan buatan D, dengan nilai berturut-turut 4,82 mg/g, 3,19 mg/g, 0,48 mg/g, 13,03 mg/g, dan 0,53 mg/g. Kandungan asam lemak yang dapat direspons kerapu pada jenis umpan alami, yaitu miristat dan palmitat terdapat pada umpan gonad bulu babi, oleat dan linoleat terdapat pada umpan ikan. Pada umpan buatan, kandungan palmitat dan oleat terdapat pada formulasi umpan D. Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis statistik median test terhadap respons ikan kerapu pada skala laboratorium menunjukkan bahwa respons ikan kerapu terhadap umpan pada light condition tidak berbeda nyata pada tahapan fase arousal dan fase finding. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi lapar karena
starvasi 48 jam, ikan memberikan respons yang sama ketika mendeteksi keberadaan umpan dengan menggunakan organ penglihatan saja. Respons ikan kerapu pada dark condition terhadap umpan alami tidak berbeda nyata pada fase arousal, fase searching, dan fase finding. Pada umpan buatan, tidak ada perbedaan respons ikan pada fase arousal, dan fase searching. Hal ini disebabkan karena ikan kerapu memberikan respons yang sama dengan keberadaan umpan pada kondisi lapar, baik saat menerima rangsangan pertama kali dari umpan maupun saat mencari umpan. Pada fase finding terhadap umpan buatan, terdapat perbedaan respons dari masingmasing ikan kerapu, yang ditunjukkan dengan waktu tercepat ikan saat mendeteksi umpan buatan D. Hal ini disebabkan pada saat finding, umpan buatan D masih mampu menjadi atraktan organ penciuman dibandingkan umpan buatan lain yang telah hilang fungsi atraktannya karena proses difusi, selain itu respons masing-masing ikan kerapu yang berbeda ketika menemukan umpan buatan D. Hasil uji coba di lapangan terhadap penggunaan umpan alami (gonad bulu babi, udang, dan ikan) dan umpan buatan (umpan B dan umpan D) pada alat tangkap bubu tambun menunjukkan hasil tangkapan rata-rata dan galat baku pada siang hari adalah 302,61±3,78 gr dan malam hari adalah 405,72±4,16 gr. Penggunaan umpan pada siang hari tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan kerapu (sign. > α 0,05). Waktu perendaman malam hari dengan umpan yang berbeda ditunjukkan dengan nilai (sign.>α 0,05) yang artinya tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan kerapu. Nilai efektivitas penangkapan ikan kerapu pada siang hari dengan perbedaan umpan adalah terbaik untuk umpan ikan, yaitu sebesar 23,33% diikuti oleh umpan udang dengan nilai efektivitas sebesar 22,29%, umpan D sebesar 20,83%, umpan gonad bulu babi sebesar 18,75%, dan umpan B sebesar 6,25%. Pada malam hari, efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan nilai terbaik adalah umpan udang 49,17% diikuti umpan ikan sebesar 44,58%, gonad bulu babi sebesar 43,75%, umpan D sebesar 39,58% dan umpan B sebesar 39,58%. Hal ini mengindikasikan bahwa formulasi umpan buatan telah memiliki karakteristik fungsi untuk dapat menggantikan umpan udang dan umpan ikan. Dengan kata lain, umpan buatan dapat mensubstitusi umpan alami.
Kata kunci: organ penglihatan, organ penciuman, umpan alami, umpan buatan, ikan kerapu, bubu
Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN
ARISTI DIAN PURNAMA FITRI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Respons Penglihatan dan Penciuman Ikan Kerapu terhadap Umpan Terkait Dengan Efektivitas Penangkapan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing; Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran, arahan, bimbingan, dan ilmu. Bahkan lebih jauh, penulis diberikan motivasi dan rasa percaya diri untuk segera menyelesaikan studi secepat mungkin dan membantu penulis dalam memecahkan masalahmasalah selama penelitian berlangsung. Penulis tidak dapat memberikan apa-apa, kecuali doa dan harapan kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk selalu memberikan limpahan rahmat dan karunia kepada Bapak semua. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ir. Beni Pramono, M.Si.; Dr. Edi Husni, ST, M.Si.; M.Riyanto, S.Pi, M.Si., Deka Berkah Sejati, S.Pi.; Deby Sofiana, S.Pi; serta Angga Nugraha, S.Pi yang telah membantu dalam pengumpulan dan pengolahan data serta semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian disertasi ini. Penghargaan dan terima kasih tidak terhingga penulis sampaikan kepada Mama, Papa, Ibu dan Bapak serta suami Dr. Heri Sutanto, S.Si, M.Si dan anakku Aura Herdi Ramadhina Sutanto atas segala doa, kesabaran, dorongan dan pengertian yang diberikan secara tulus ikhlas selama penulis menempuh pendidikan Kepada semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu langsung atau tidak langsung, semoga Allah membalas kebaikan tersebut dengan rahmat dan pahala berlipat ganda. Terakhir penulis berharap semoga karya ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya, Amin. Bogor, Desember 2008
Aristi Dian Purnama Fitri
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 2 Oktober 1973 sebagai anak tunggal dari Bapak Drs. HM. Ischaq Anwar dan Ibu Dra. Hj. Tina Hartrina. Menikah pada tahun 1999 dengan Dr. Heri Sutanto, S.Si, M.Si, dikaruniai anak Aura Herdi Ramadhina Sutanto. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, UNDIP, lulus pada bulan Juli 1995. Penulis bekerja sebagai dosen di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, UNDIP, sejak tahun 1998. Pada tahun 2000 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi di Program Studi Teknologi Kelautan, Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2005, kembali mendapat beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional untuk melanjutkan ke program doktor di program studi yang sama. Karya berkaitan dengan disertasi, diantaranya telah diterbitkan dalam bentuk Prosiding Seminar Nasional UGM tahun 2007 dengan judul Respons Makan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan Perbedaan Jenis dan Lama Waktu Perendaman Umpan, Prosiding Seminar Nasional UGM tahun 2008 dengan judul Respons Penciuman Kerapu Sunu (Plectropomus maculatus) terhadap Formulasi Umpan Buatan. Publikasi yang telah diterbitkan tahun 2007 di Jurnal Ilmu Kelautan UNDIP (Vol 12 (3): 133-138), dengan judul Tingkah Laku Ikan Kerapu terhadap Umpan. Dua artikel berikutnya dengan judul Rasio Area Otak dan Organ Penglihatan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Hubungannya dengan Pola Makan segera terbit di Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia (Vol 14 No. 4, Desember 2008), serta judul Pengaruh Perbedaan Umpan terhadap Pola Tingkah laku Makan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Jurnal Ilmu Perairan, IPB dalam proses segera terbit.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xx 1
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6 1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 6 1.5 Hipotesis .................................................................................................... 6 1.6 Kerangka Penelitian ................................................................................ 7 1.7 Metodologi Umum ................................................................................... 8
2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 11 2.1 Morfologi Retina Mata Ikan .................................................................. 11 2.2 Ketajaman Penglihatan (Visual Acuity) ................................................. 12 2.3 Sumbu Penglihatan (Visual Axis) .......................................................... 13 2.4 Organ Penciuman (Olfactory Organ) .................................................... 14 2.5 Otak dan Bagian-bagiannya ................................................................... 19 2.6 Umpan.................................................................................................... 21 2.7 Ikan Kerapu (Serranidae) ....................................................................... 23 2.8 Respons Tingkah Laku Ikan terhadap Alat Tangkap Bubu ................... 25 2.9 Alat Tangkap Bubu dan Efektivitasnya ................................................. 26
3
ORGAN PENGLIHATAN KERAPU ........................................................ 29 3.1 Pendahuluan ............................................................................................. 29 3.2 Metode Penelitian .................................................................................... 33 3.2.1 Waktu dan tempat penelitian ......................................................... 33 3.2.2 Pengambilan sampel retina ............................................................ 33 3.2.3 Analisis data.................................................................................... 35 3.2.3.1 Analisis sumbu penglihatan (visual axis) .......................... 35 3.2.3.2 Analisis ketajaman mata ikan (visual acuity) .................... 37 3.2.3.3 Analisis jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/MSD) ................................................................ 38 3.3 Hasil ..................................................................................................... 39 3.3.1 Hubungan diameter lensa dan panjang tubuh ............................. 39 3.3.2 Tipe fotoreseptor ikan kerapu ...................................................... 40 3.3.3 Densitas fotoreseptor ................................................................... 41 3.3.4 Sumbu penglihatan (visual axis) .................................................. 43 3.3.5 Ketajaman mata ikan (visual acuity)............................................ 43 3.3.6 Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/MSD)... 48 3.4 Pembahasan .......................................................................................... 50 3.4.1 Hubungan diameter lensa dan panjang tubuh ............................. 50
3.4.2 Tipe fotoreseptor ikan kerapu ...................................................... 50 3.4.3 Densitas fotoreseptor ................................................................... 52 3.4.4 Sumbu penglihatan (visual axis) .................................................. 53 3.4.5 Ketajaman mata ikan (visual acuity)............................................ 54 3.4.6 Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/MSD)... 54 3.5 Kesimpulan ........................................................................................... 54 4
OTAK IKAN KERAPU ........................................................................... 56 4.1 Pendahuluan .......................................................................................... 56 4.2 Metode Penelitian ................................................................................. 57 4.2.1 Waktu dan tempat penelitian ....................................................... 57 4.2.2 Pengambilan dan penimbangan sampel otak ............................... 57 4.2.3 Analisis data ................................................................................. 58 4.3 Hasil ...................................................................................................... 59 4.3.1 Struktur otak ikan kerapu ............................................................. 59 4.3.2 Rasio berat tubuh dan berat otak ikan kerapu .............................. 62 4.3.3 Persentase rata-rata berat bagian-bagian otak terhadap berat otak total ikan kerapu .................................................................. 62 4.3.4 Telencephalon dan optic tectum................................................... 66 4.4 Pembahasan........................................................................................... 67 4.4.1 Struktur otak ikan kerapu ............................................................. 67 4.4.2 Rasio berat tubuh dan berat otak ikan kerapu .............................. 70 4.4.3 Persentase rata-rata berat bagian-bagian otak terhadap berat otak total ikan kerapu .................................................................. 71 4.4.4 Telencephalon dan optic tectum................................................... 72 4.5 Kesimpulan ........................................................................................... 73
5
UMPAN ...................................................................................................... 74 5.1 Pendahuluan .......................................................................................... 74 5.2 Metode Penelitian ................................................................................. 77 5.2.1 Waktu dan tempat penelitian ....................................................... 77 5.2.2 Metode penelitian......................................................................... 77 5.2.3 Pembuatan umpan buatan ............................................................ 78 5.2.4 Analisis data ................................................................................. 80 5.3 Hasil ...................................................................................................... 82 5.3.1 Ketahanan umpan alami selama perendaman .............................. 82 5.3.2. Kandungan kimia umpan ............................................................ 82 5.4 Pembahasan........................................................................................... 87 5.4.1 Ketahanan umpan alami selama perendaman .............................. 87 5.4.2. Kandungan kimia umpan ............................................................ 88 5.5 Kesimpulan ........................................................................................... 92
6
TINGKAH LAKU IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN ................ 94 6.1 Pendahuluan .......................................................................................... 94 6.2 Metode Penelitian ................................................................................. 97 6.2.1 Waktu dan tempat penelitian ....................................................... 97 6.2.2 Alat dan bahan penelitian............................................................. 97 6.2.3 Pengumpulan data ..................................................................... 101 6.2.3.1 Jenis penelitian .............................................................. 101 6.2.3.2 Prosedur penelitian........................................................ 101
6.2.4 Analisis data ............................................................................... 105 6.2.4.1 Respons tingkah laku ikan kerapu mendekati umpan ... 105 6.2.4.2 Respons penglihatan ikan kerapu terhadap perbedaan umpan ............................................................................ 106 6.4.2.3 Respons penciuman ikan kerapu terhadap perbedaan umpan ............................................................................ 106 6.3 Hasil .................................................................................................... 107 6.3.1 Pola tingkah laku makan ikan kerapu ........................................ 107 6.3.2 Analisis respons penglihatan ikan kerapu terhadap umpan ....... 107 6.3.3 Respons penciuman ikan kerapu terhadap umpan ..................... 114 6.3.3.1 Umpan alami (natural bait) .......................................... 118 6.3.3.2 Umpan buatan (artificial bait) ...................................... 123 6.3.4 Tingkah laku ikan kerapu terhadap umpan ................................ 129 6.4 Pembahasan......................................................................................... 130 6.4.1 Pola tingkah laku makan ikan kerapu ........................................ 130 6.4.2 Analisis respons penglihatan ikan kerapu terhadap umpan ....... 131 6.4.3 Respons penciuman ikan kerapu terhadap umpan ..................... 132 6.4.4 Tingkah laku ikan kerapu terhadap umpan ................................ 133 6.5 Kesimpulan ......................................................................................... 134 7
EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN ................................................................................................... 135 7.1 Pendahuluan ........................................................................................ 135 7.2 Metode Penelitian ............................................................................... 137 7.2.1 Waktu dan tempat penelitian ..................................................... 137 7.2.2 Metode penelitian....................................................................... 138 7.2.3. Penangkapan ikan kerapu ......................................................... 139 7.2.3.1 Peralatan yang digunakan ............................................. 139 7.2.3.2. Pengoperasian bubu ..................................................... 140 7.2.4 Pengumpulan data ...................................................................... 141 7.2.5 Analisis data ............................................................................... 141 7.2.5.1 Hasil tangkapan bubu .................................................... 141 7.2.5.2 Efektivitas penangkapan ikan kerapu ........................... 142 7.2.6 Perbedaan jumlah tangkapan ..................................................... 143 7.3 Hasil .................................................................................................... 143 7.3.1 Komposisi total hasil tangkapan ................................................ 143 7.3.2 Komposisi hasil tangkapan ikan kerapu ................................... 145 7.3.3 Pengaruh perbedaan jenis dan waktu perendaman umpan ........ 149 7.3.4 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan ................ 153 7.4 Pembahasan......................................................................................... 155 7.5 Kesimpulan ......................................................................................... 156
8
PEMBAHASAN UMUM ........................................................................ 157
9
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 164 9.1 Kesimpulan ......................................................................................... 164 9.2 Saran ................................................................................................... 165
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 166
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Bagian utama dan subbagian otak ikan ..................................................... 19
2
Hasil pengamatan mengenai reaksi beberapa jenis ikan karang terhadap umpan terhadap di perairan Karimunjawa .................................. 22
3
Densitas sel kon (0,01 mm2) pada area retina mata ikan kerapu ............... 42
4
Ketajaman penglihatan (visual acuity) mata ikan kerapu .......................... 45
5
Jarak pandang maksimum (MSD) ikan kerapu .......................................... 49
6
Hubungan berat otak dan berat tubuh ikan kerapu..................................... 62
7
Perbandingan persentase rata-rata berat telencephalon dan optic tectum terhadap berat total ikan kerapu, ikan kepe-kepe, dan ikan pelagis ........................................................................................................ 67
8
Alat dan bahan membuat umpan buatan .................................................... 78
9
Ketahanan umpan di dalam air laut ............................................................ 82
10
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian .............................................. 100
11
Peralatan yang digunakan selama penelitian di lapangan ........................ 139
12
Komposisi jumlah dan berat hasil tangkapan bubu tambun .................... 143
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Bagian utama dan subbagian otak ikan ..................................................... 19
2
Hasil pengamatan mengenai reaksi beberapa jenis ikan karang terhadap umpan terhadap di perairan Karimunjawa .................................. 22
3
Densitas sel kon (0,01 mm2) pada area retina mata ikan kerapu ............... 42
4
Ketajaman penglihatan (visual acuity) mata ikan kerapu .......................... 45
5
Jarak pandang maksimum (MSD) ikan kerapu .......................................... 49
6
Hubungan berat otak dan berat tubuh ikan kerapu..................................... 62
7
Perbandingan persentase rata-rata berat telencephalon dan optic tectum terhadap berat total ikan kerapu, ikan kepe-kepe, dan ikan pelagis ........................................................................................................ 67
8
Alat dan bahan membuat umpan buatan .................................................... 78
9
Ketahanan umpan di dalam air laut ............................................................ 82
10
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian .............................................. 100
11
Peralatan yang digunakan selama penelitian di lapangan ........................ 139
12
Komposisi jumlah dan berat hasil tangkapan bubu tambun .................... 143
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Data waktu respons pada light condition ................................................. 175
2
Data waktu respons pada dark condition dengan umpan alami ............... 178
3
Data waktu respons pada dark condition dengan umpan buatan ............. 181
4
Data hasil tangkapan ................................................................................ 184
5
Uji normalitas data respons ikan kerapu .................................................. 207
6
NPar Tests arousal vs jenis ikan .............................................................. 208
7
NPar Tests arousal vs kondisi umpan alami ............................................ 208
8
NPar Tests finding vs jenis ikan .............................................................. 209
9
NPar Tests finding vs jenis umpan alami ................................................ 209
10
NPar Tests finding vs kondisi mata......................................................... 210
11
NPar Tests arousal vs jenis ikan .............................................................. 211
12
NPar Tests arousal vs jenis umpan alami ................................................ 211
13
NPar Tests searching vs jenis ikan ......................................................... 212
14
NPar Tests searching vs jenis umpan alami ............................................ 212
15
NPar Tests finding vs jenis ikan .............................................................. 213
16
NPar Tests finding vs jenis umpan alami ................................................. 213
17
NPar Tests arousal vs jenis ikan .............................................................. 214
18
NPar Tests arousal vs jenis umpan buatan .............................................. 214
19
NPar Tests searching vs jenis ikan ......................................................... 215
20
NPar Tests searching vs jenis umpan buatan........................................... 215
21
NPar Tests finding vs jenis ikan .............................................................. 216
22
NPar Tests finding vs jenis umpan buatan ............................................... 216
DAFTAR ISTILAH Natural bait (umpan alami)
Umpan yang berasal dari bahan alami yang digunakan untuk memikat ikan sehingga mendekati umpan tersebut.
Artificial bait (umpan buatan)
Umpan dari hasil formulasi berbagai jenis bahan seperti minyak ikan, tepung tapioka, dan tepung ikan, digunakan untuk memikat ikan sehingga mendekati umpan tersebut.
Alat penangkap ikan
Suatu alat yang menangkap ikan
Attractor (pemikat ikan)
Alat bantu untuk memikat/menarik perhatian ikan sehingga mendekati objek pemikat
Bubu
Alat penangkap ikan yang termasuk dalam klasifikasi perangkap dengan desain khusus untuk menangkap ikan dan crustacea
Crepuscular
Sifat dan tingkah laku ikan yang aktif di antara waktu siang dan malam hari
Chemoreception
Rangsangan yang diterima oleh ikan karena bahan kimia
Dead bait (umpan mati)
Umpan yang digunakan dalam keadaan mati
Diurnal
Sifat dan tingkah laku ikan yang aktif pada waktu siang hari
Nocturnal
Sifat dan tingkah laku ikan yang aktif pada waktu malam hari
Efektivitas
Tingkat pencapaian hasil terhadap suatu tujuan
Feeding habits (tingkah laku makan)
Tingkah laku makhluk hidup dalam mencari makanan
Fish behaviour (tingkah laku ikan)
Tingkah laku ikan dalam hidupnya, yang dipelajari untuk kegiatan perikanan
digunakan
untuk
Fishing ground (daerah penangkapan ikan)
Daerah yang menjadi tujuan operasi penangkapan ikan
Fishing unit (unit penangkapan)
Unit penangkapan yang terdiri atas nelayan, kapal, dan alat tangkap
Hauling (pengangkatan)
Proses pengangkatan alat tangkap ke atas kapal dalam operasi penangkapan
Olfaction response (respons penciuman)
Respons ikan terhadap rangsangan yang diterima oleh organ penciuman
Reotaxis (reotaksis)
Sifat ikan yang selalu bergerak karena mengikuti arus
Setting (penanaman)
Pemasangan alat tangkap di daerah penangkapan
Thigmotaxis (thigmotaksis)
Sifat ikan yang selalu ingin tahu terhadap benda asing
Trap (perangkap)
Alat penangkapan ikan yang prinsip kerjanya menjebak ikan untuk masuk ke dalam alat dengan pikatan tertentu
Umpan
Bahan fisik maupun kimia yang dapat memberikan rangsangan ikan tertentu dalam tujuan penangkapan ikan
Vision response (respons penglihatan)
Respons ikan terhadap rangsangan yang diterima oleh organ penglihatan
Telencephalon
Bagian otak depan ikan yang berfungsi sebagai sensor penciuman
Optic tectum
Bagian otak tengah ikan yang berfungsi sebagai sensor penglihatan
Mosaik
Pola pada fotoreseptor retina mata ikan dengan susunan 1 sel kerucut (sel kon) tunggal dikelilingi 4 sel kerucut ganda
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Jenis ikan yang hidup di daerah terumbu karang dan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia digolongkan menjadi dua, yaitu ikan hias (ornamental fish) dan ikan konsumsi (food fish). Sebagai ikan konsumsi, ikan karang mempunyai nilai ekonomis penting. Peluang pengembangan ikan karang ini cukup menjanjikan. Hal ini dapat dilihat dari permintaan pasar, bukan saja untuk memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga untuk ekspor. Volume ekspor ikan kerapu tahun 2006 mencapai 4800 ton atau US$ 24 juta dari total produksi perikanan sebesar 12000 ton (DKP 2006). Penangkapan ikan karang di Indonesia selama ini dilakukan dengan menggunakan berbagai alat dan metode. Alat penangkap ikan karang yang umumnya digunakan adalah perangkap (trap), jaring insang (gillnet), pancing ulur (handline), tombak (hand spear), muro ami, racun, dan bom ikan. Dari sekian banyak alat tangkap tersebut di atas, pemilihan bubu sebagai alat penangkap ikan karang dipertimbangkan tepat, jika dilihat dari segi mutu ikan hasil tangkapan (Djamal 1995). Penggunaan bubu dalam penangkapan ikan karang dibandingkan dengan penggunaan alat tangkap lainnya dapat dikatakan lebih ramah lingkungan karena cara pengoperasiannya yang menunggu ikan masuk kurungan sehingga tidak merusak habitat ikan. Peranan ilmu fisiologi dan tingkah laku ikan sangat signifikan dalam menunjang perkembangan ilmu dan teknologi penangkapan ikan. Pada proses penangkapan ikan, prinsip tingkah laku ikan yang menjadi sasaran tangkapan harus didukung oleh pemahaman terhadap indera utama dari ikan (sense organ) khususnya indera penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, linea lateralis, dan sebagainya (Gunarso 1985). Indera-indera tersebut merupakan indera penting pada ikan yang berhubungan dengan tingkah laku alami (natural behaviour). Berdasarkan periode aktif mencari makan, ikan dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu ikan nocturnal yang aktif ketika malam hari, ikan diurnal aktif ketika siang
2 hari, dan ikan crepuscular, yaitu ikan yang aktif pada waktu di antara siang dan malam hari (Indonesian Coral Reef Foundation 2004). Khusus untuk ikan karang yang hidup di zona euphotik, penggunaan indera penglihatan dan penciuman lebih dominan untuk mencari makan dan beradaptasi dengan lingkungan sekelilingnya. Penelitian tentang organ penglihatan dan organ penciuman merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji. Telah cukup banyak penelitian pada kedua organ tersebut, namun penelitian-penelitian tersebut umumnya terfokus pada kajian parsial dari fisiologi penglihatan atau penciuman. Beberapa penelitian tersebut diantaranya adalah perkembangan ketajaman penglihatan red sea bream (Pagrus major) (Shiobara et al. 1998), karakteristik histologi dan perkembangan retina pada Japanese sardine (Sardinops melanostictus) (Matsuoka 1999), dan fisiologi penglihatan Japanese whiting (Sillago japonica) (Purbayanto et al. 2001). Penelitian terkait dengan organ penciuman yang telah dilakukan di antaranya adalah guanylyl cyclase sebagai visualisasi penyelenggara transgenik (Kusakabe dan Suzuki 2000), studi perbandingan sistem penciuman antara Pagrus major dan Acanthropagrus schegeli yang berasal dari alam dan stok budidaya (Mana dan Kawamura 2002), neuronal oksida berisi nitrat sintase pada sistem penciuman ikan teleostei Oreochromis mossambicus dewasa (Singru et al. 2003), dan peranan organ penciuman dan mata dalam perilaku homing pada ikan Sebastes inermis (Mitamura et al. 2005). Menurut Subani dan Barus (1989), efektivitas bubu sebagai alat tangkap pasif akan lebih baik apabila dalam pengoperasiannya menggunakan umpan. Sejauh ini belum diketahui efektivitas stimulasi organ penglihatan dan penciuman ikan terhadap umpan pada pengoperasian bubu. Organ penglihatan dan penciuman pada ikan yang hidup di zona fotik masih dapat berfungsi sampai batas ambang tertentu terhadap umpan. Akan tetapi, jika sudah di luar ambang batas toleransi penglihatan, maka organ penciuman yang lebih berperan. Untuk ikan yang hidup di zona afotik, organ penciumanlah yang sangat berperan karena organ penglihatan sudah tidak berfungsi lagi. Penelitian tingkah laku ikan karang konsumsi, khususnya ikan kerapu (Serranidae) di perairan tropis, terkait dengan sistem penglihatan dan penciuman, belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian mengenai sistem penglihatan dan penciuman pada ikan kerapu terkait
3 dengan efektivitas alat tangkap bubu dapat memberikan informasi penting dalam pengembangan teknologi penangkapan ikan.
1.2 Perumusan Masalah Ikan karang merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai prospek cerah di Indonesia dalam upaya peningkatan ekspor non-migas. Namun, penangkapan ikan di daerah karang sering kali dilakukan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Metode penangkapan yang digunakan antara lain bahan peledak, bahan kimia beracun (potassium cyanide), atau dengan cara merusak terumbu karang sebagai bahan penutup bubu yang berfungsi untuk penyamaran (kamuflase) saat dioperasikan. Selain itu, selama ini hasil tangkapan bubu tidak hanya merupakan spesies ikan target saja, tetapi juga spesies ikan non target tangkapan. Hal tersebut disebabkan oleh sifat bubu yang pasif serta fungsi lain dari bubu sebagai tempat berlindung atau bersembunyi (shelter) bagi organisme yang sifatnya selalu bersembunyi. Penggunaan atraktor umpan dalam pengoperasian bubu sudah dikenal luas oleh nelayan. Berdasarkan kondisinya, umpan dapat dibedakan ke dalam umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait), sedangkan menurut asalnya umpan dapat dibedakan ke dalam umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) (Leksono 1983). Meskipun pemasangan umpan sebagai atraktor dalam penangkapan telah banyak digunakan, spesies ikan yang terperangkap dalam bubu masih bervariasi (kurang selektif). Di sisi lain, lama waktu pemasangan bubu dengan menggunakan umpan berpengaruh pada hasil tangkapan karena kesegaran umpan yang semakin menurun sehingga kurang merangsang ikan masuk ke dalam bubu (Dulgofar 2000). Ikan kerapu juga dikenal sebagai ikan pemangsa (predator) yang memangsa berbagai jenis ikan kecil, plankton hewani, udang-udangan, cumi-cumi, dan hewan-hewan kecil lainnya (Ghufran dan Kordi 2005). Jenis-jenis makanan tersebut merupakan makanan utama bagi ikan kerapu. Informasi makanan utama tersebut dapat digunakan sebagai referensi mengenai umpan yang baik untuk menangkap ikan kerapu. Ketersediaan umpan alami di alam yang semakin
4 menurun dan bersifat musiman, mendorong perlu dikembangkannya penggunaan umpan buatan sebagai alternatif umpan yang dapat memberikan solusi terhadap ketersediaan umpan tersebut. Penggunaan umpan buatan (artificial bait) haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai atraktor yang tentunya selektif dan ramah lingkungan. Pendeteksian umpan oleh spesies ikan pada pengoperasian bubu dalam hubungannya dengan fungsi organ tubuh ikan masih belum banyak diketahui. Sejauh ini, belum diketahui efektivitas organ penglihatan dan penciuman ikan secara bersama-sama terhadap pendeteksian umpan pada pengoperasian bubu, meskipun hasil penelitian Purbayanto et al. (1998) menjelaskan bahwa indikator ikan bergerak masuk ke dalam alat tangkap karena didominasi oleh rangsangan bau yang ditimbulkan oleh umpan. Untuk mengoptimalkan ikan hasil tangkapan bubu sesuai dengan target tangkapan (selektif) maka perlu diketahui fisiologi penglihatan dan penciuman serta kandungan kimia umpan-umpan yang selama ini digunakan. Hal ini dapat dijadikan informasi dalam menentukan jenis umpan apa yang dapat menjadi atraktor efektif ikan untuk penangkapan ikan kerapu sehingga efektivitas dan efisiensi pengoperasian bubu dapat ditingkatkan berdasarkan konsep penangkapan ramah lingkungan. Berdasarkan aktivitas hidupnya ikan kerapu dikelompokkan menjadi ikan nocturnal (aktif di malam hari) dan memiliki puncak aktivitas pada senja dan subuh hari (Gunarso 1985). Menurut Indonesian Coral Reef Foundation (2004), kerapu termasuk jenis ikan yang aktif di antara siang dan malam hari (crepuscular). Aktivitas hidup yang utama adalah aktivitas untuk mencari makan. Aktivitas mencari makanan ini terkait erat dengan indera utama yang berperan penting pada natural behaviour dari masing-masing ikan. Sementara itu, aktivitas ikan kerapu, yang terkait dengan fungsi penglihatan dan penciuman belum banyak diteliti. Hal ini penting diteliti karena menjadi dasar dalam pengembangan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan. Penelitian tentang respons penglihatan dan penciuman ikan kerapu terhadap umpan belum banyak dilakukan sehingga diperlukan penelitian yang lebih detail untuk mengungkapkan respons makan ikan kerapu melalui fungsi organ penglihatan dan penciuman terhadap umpan dalam efektivitas penangkapan.
5
EKOSISTEM TERUMBU KARANG
IKAN KERAPU
FISIOLOGI IKAN KERAPU
ORGAN PENCIUMAN (NOSTRIL)
ORGAN PENGLIHATAN (EYES)
UMPAN BAU
UKURAN
KANDUNGAN KIMIA
-
PROKSIMAT AS. AMINO ASAM LEMAK
TINGKAH LAKU IKAN KERAPU
FAKTOR EKSTERNAL Kecerahan perairan Arus Cahaya
MENJAUHI MENDEKATI
EFEKTIVITAS PENANGKAPAN
PENINGKATAN EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI PENANGKAPAN DENGAN UMPAN
Keterangan: : input : output
Gambar 1 Kerangka penelitian
: proses
6 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji respons penglihatan dan penciuman ikan kerapu terhadap umpan sebagai atraktor dalam kaitannya dengan efektivitas penangkapan.
1.3.2 Tujuan khusus Tujuan penelitian secara khusus, adalah : (1) Mengkaji organ penglihatan dan organ penciuman ikan kerapu yang tercermin pada bagian otak. (2) Menentukan kandungan kimia umpan alami dan buatan serta pengaruhnya terhadap respons tingkah laku makan ikan kerapu. (3) Menghitung efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan menggunakan umpan pada alat tangkap bubu.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi fisiologi sistem penglihatan dan penciuman ikan kerapu terkait dengan mekanisme respons terhadap umpan. Informasi ini selanjutnya dapat dijadikan bahan acuan dalam pengembangan teknologi penangkapan ikan kerapu yang efektif dan efisien. Di samping itu, aspek ilmiah penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi penelitian selanjutnya guna penyempurnaan formulasi umpan buatan. Dua aspek penelitian tersebut memberikan kontribusi kepada pemecahan masalah penangkapan ikan kerapu dengan bubu yang diberi umpan melalui pengembangan penangkapan ramah lingkungan.
1.5 Hipotesis (1) Organ penglihatan ikan kerapu lebih dominan digunakan dibandingkan organ penciuman dalam melakukan aktivitas mencari makan. (2) Respons ikan kerapu terhadap umpan buatan relatif sama dengan umpan alami.
7 (3) Nilai efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan menggunakan umpan buatan relatif sama dengan umpan alami.
1.6 Kerangka Penelitian Kerangka penelitian yang terdiri atas input, proses, dan output secara skematik dapat dilihat pada Gambar 1. Input merupakan proses di alam dimana terdapat suatu ekosistem terumbu karang. Pada ekosistem tersebut terdapat suatu habitat, salah satu penghuninya adalah ikan kerapu. Dalam melakukan aktivitas makan, ikan tersebut menggunakan organ-organ dalam tubuhnya, yaitu organ penglihatan untuk merespons bentuk dan ukuran umpan/makanan, serta organ penciuman untuk merespons bau dari umpan karena adanya kandungan bahan kimia. Bagian proses merupakan ruang lingkup penelitian yang mengungkapkan fisiologi ikan kerapu melalui analisis organ penglihatan dan organ penciuman. Organ penglihatan ikan kerapu yang dikaji adalah ketajaman penglihatan (visual acuity), sumbu penglihatan (visual axis), dan jarak pandang maksimum (maximum sighting distance) berdasarkan struktur ukuran umpan. Fungsi organ penciuman ikan kerapu diamati berdasarkan struktur otak, rasio berat otak, dan bagianbagiannya dalam dimensi berat. Informasi dari hasil penelitian struktur otak tersebut menjelaskan adaptasi dari organ-organ sensoris terutama untuk organ penglihatan dan penciuman yang berkembang pada ikan kerapu. Informasi mengenai organ penglihatan dan penciuman pada ikan kerapu berkaitan erat dengan faktor eksternal pada perairan yang menunjang proses tingkah laku ikan kerapu terhadap umpan. Pada bagian proses, dianalisis pula kandungan kimia umpan yang digunakan, meliputi analisis proksimat, asam amino, dan asam lemak. Selain itu, metode operasi penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap bubu dianalisis. Berdasarkan analisis organ penciuman, penglihatan, dan kandungan umpan serta metode operasi penangkapan bubu selanjutnya dianalisis tingkah laku ikan kerapu berdasarkan fungsi kedua organ tersebut dengan menggunakan umpan.
8 Output atau keluaran dari penelitian mengenai sistem penglihatan dan penciuman terhadap umpan adalah informasi mengenai kedua sistem fisiologi tersebut
dalam
merespons
umpan
yang
selanjutnya
bermanfaat
bagi
pengembangan teknologi penangkapan ikan kerapu yang efektif dan efisien sehingga ramah lingkungan.
1.7 Metodologi Umum 1.7.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu : (1) Tahap pertama yaitu skala laboratorium (experimental laboratory), yang terdiri atas beberapa bagian: - Histologi dan analisis organ penglihatan ikan kerapu sunu (Plectropomus
maculatus),
kerapu
macan
(Epinephelus
fuscoguttatus), dan ikan kerapu karet (Epinephelus heniochus) dari bulan Juni hingga Agustus 2007 yang dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB. Ikan kerapu sunu dan kerapu karet didapatkan dari hasil tangkapan nelayan di perairan Teluk Awur Jepara, Jawa Tengah, sedangkan ikan kerapu macan didapatkan dari karamba jaring apung (KJA) program sea farming di Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. - Pembedahan dan pengukuran berat rasio area otak dari ketiga jenis kerapu pada bulan Juni-Juli 2007 dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perikanan, FPIK- IPB. - Pembuatan dan pengujian kimia serta ketahanan formulasi umpan buatan serta pengujian kimia dan ketahanan umpan alami dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2007. Pembuatan umpan buatan
dilakukan
di
Laboratorium
Bio-Kimia,
Departemen
Teknologi Hasil Perairan, FPIK-IPB, analisis kandungan kimia umpan buatan dan alami dilakukan di Laboratorium Pascapanen, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor, serta analisis ketahanan umpan buatan dan alami selama perendaman dengan
9 menggunakan air laut dilakukan di Laboratorium Biologi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB. - Pengamatan dan analisis tingkah laku (respons) ikan terhadap umpan dilaksanakan dari bulan Juni 2007 hingga bulan Februari 2008 di Laboratorium Biologi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Departemen Ilmu Kelautan, IPB dan Laboratorium Hatchery LPWP Jepara, FPIK-UNDIP. (2) Tahap kedua (experimental fishing) adalah uji coba penggunaan umpan dilaksanakan pada bulan Maret 2008 di perairan Kepulauan Seribu, provinsi DKI Jakarta.
1.7.2 Alat dan bahan penelitian Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian skala laboratorium, adalah peralatan dan bahan untuk melakukan analisis mikroteknik dan histoteknik mata ikan kerapu, peralatan untuk menimbang berat ikan kerapu dan menimbang berat otak ikan kerapu, peralatan dan bahan yang digunakan untuk membuat formulasi umpan buatan serta peralatan dan bahan untuk menguji kandungan kimia umpan alami dan buatan, serta peralatan untuk pengamatan dan analisis respons ikan kerapu terhadap umpan. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian lapangan adalah alat tangkap bubu tambun, kamera digital dan data sheet serta umpan alami dan umpan buatan.
1.7.3 Metode penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan disertasi ini bersifat parsial. Keterkaitan bagian satu dengan bagian lainnya akan membentuk satu kesatuan disertasi. Metode penelitian yang digunakan secara umum dijelaskan sebagai berikut:
10 (1) Metode eksperimen di laboratorium (experimental laboratory) Metode ini bertujuan untuk melakukan eksperimen secara langsung di laboratorium untuk memperoleh data yang diperlukan dalam analisis respons tingkah laku ikan terhadap umpan. (2) Metode eksperimen penangkapan (experimental fishing) Metode ini bertujuan untuk melakukan eksperimen secara langsung di lapangan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam analisis efektivitas penggunaan umpan pada bubu terhadap hasil tangkapan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Retina Mata Ikan Mata (penglihatan) pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat penting untuk mencari makan, menghindari predator atau pemangsa, atau keluar dari kepungan suatu alat tangkap. Ketajaman pada mata ikan dapat dijadikan dasar untuk mengetahui area kekuatan pandang untuk melihat suatu objek benda melalui metode tingkah laku (Muntz 1974). Kualitas pandangan di bawah air sangat minim sehingga sebagian besar ikan akan bergantung pada indera penglihatannya untuk mendapatkan informasi di sekelilingnya (Pitcher 1993). Retina merupakan salah satu dari bagian mata pada ikan yang berfungsi sebagai reseptor penglihatan. Retina adalah proyeksi dari otak dan terdiri atas berbagai tipe sel yang terdiri atas 8 lapisan dan 2 membran (Ali dan Anctil 1976). Retina terdapat pada salah satu lapisan mata ikan dengan ketebalan berkisar 90– 500 m, sedangkan lapisan visual selnya mempunyai ketebalan 30–200 m (Nicol 1989). Jenis teleostei memiliki jenis retina duplex, yaitu retina mereka mempunyai dua jenis reseptor yang dinamakan sel rod dan sel kon (cone). Pada retina tersebut umumnya distribusi kedua jenis reseptor tersebut berbeda untuk bagian yang berlainan yang biasanya erat hubungannya dengan pemanfaatan indera penglihatan dalam lingkungannya (Gunarso 1985). Matsuoka (1999) menjelaskan bahwa retina ikan umumnya terdiri atas tiga tipe pada lapisan indera penglihat (visual cell layer) , yaitu sel kon tunggal (single cone), sel kon ganda (twin cone), dan sel rod. Sel kon merupakan reseptor penglihatan untuk color vision dan ketajaman penglihatan (visual acuity).
12
Kapsul mata
Ligamen Kornea
Retina
Lensa
Saraf
Otot
Iris
Gambar 2 Mata ikan dan bagiannya (Sumber: Fujaya 2002)
Tidak semua jenis ikan memiliki dua reseptor, seperti misalnya pada ikan tuna, mackerel hanya memiliki reseptor kon saja, sedangkan jenis-jenis ikan dasar atau jenis ikan yang hampir sepanjang hidupnya tinggal di daerah yang hampir tidak dicapai lagi oleh cahaya matahari umumnya hanya memiliki rod saja (Gunarso 1985). Dijelaskan pula bahwa jenis ikan demersal yang mencari makan pada malam hari, seperti Solea sp dan Lysodes sp pada umumnya memiliki retina tanpa pengkonsentrasian reseptor sehingga tidak tercipta bentuk mosaik dan kon sangat minim jumlahnya.
2.2 Ketajaman Penglihatan (Visual Acuity) Ketajaman penglihatan pada ikan adalah kemampuan untuk melihat dua titik dari suatu objek pada satu garis digambarkan dalam hubungan timbal balik yang diperlihatkan dalam istilah sudut pembeda terkecil/minimum separable angle (MSA)(He 1989). Untuk membedakan dua sasaran penglihatan yang terdekat, yang dapat diukur melalui pengujian histologi. Ketajaman penglihatan pada ikan bergantung pada dua faktor, yaitu diameter lensa dan kepadatan sel reseptor kon pada retina (Shiobara et al. 1998). Dijelaskan
13 pula bahwa semakin tajam penglihatan karena peningkatan kedudukan jarak fokus lensa daripada kepadatan sel kon-nya. Kepadatan sel kon akan tetap selama ikan hidup. Perubahan kekuatannya mungkin akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan lensanya (Tamura, 1957). Shiobara et al. (1998) menyatakan bahwa semakin tajam daya penglihatan mungkin diakibatkan oleh hubungan antara panjang fokus lensa yang lebih meningkat daripada kepadatan kon-nya. He (1989) menjelaskan bahwa sudut pembeda terkecil pada ikan berhubungan erat dengan karakteristik pemantulan sinar ke lensa dan ketepatan mengenai retina. Dengan makin bertambah panjang tubuh ikan, maka akan semakin tinggi ketajaman penglihatannya dengan nilai sudut pembeda terkecil yang semakin kecil. Diameter lensa ikan akan meningkat dengan bertambahnya ukuran tubuh, sementara itu kepadatan sel kon cenderung menurun dengan meningkatnya pertambahan panjang tubuh (Purbayanto 1999).
2.3 Sumbu Penglihatan (Visual Axis) Sumbu penglihatan (visual axis) diidentifikasi untuk mengetahui kebiasaan ikan dalam melihat makanan atau objek yang lain (Blaxter 1980). Sumbu penglihatan diperoleh setelah nilai kepadatan sel kon tiap bagian dari retina mata diketahui, dengan cara menarik garis lurus dari bagian retina yang memiliki nilai kepadatan sel kon tertinggi menuju titik pusat lensa mata (Tamura 1957). Menurut Tamura (1957), dalam menentukan sumbu penglihatan terlebih dahulu mengetahui kepadatan sel kon yang biasanya terletak pada area dorsotemporal, temporal atau ventro-temporal di retina mata ikan. Apabila area kepadatan sel kon terbanyak diketahui, dengan menarik garis lurus dari bagian area retina dengan sel kon terbanyak menuju ke titik lensa mata, maka dapat ditentukan sumbu penglihatannya. Biasanya sumbu penglihatan ikan menghadap arah depan menurun (lower-fore), arah depan (fore), dan arah depan-naik (upperfore). Kepadatan sel kon yang tinggi dimungkinkan untuk mengetahui ketajaman penglihatan dan sumbu penglihatan (Blaxter 1980). Selanjutnya dijelaskan pula
14 bahwa pada daerah retina yang memiliki kepadatan sel kon tertinggi pada bagian dorso-temporal dengan perubahan arah pada diopter ke arah depan menurun (lower-fore) maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan menurun pada sudut berkisar 20°. Kepadatan tertinggi sel kon di bagian temporal, maka ada dua kemungkinan untuk perubahan arah pada diopter. Jika perubahan arah pada diopter ke arah depan, maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan pada sudut 0°. Perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan dan depan-naik (fore-upper-fore) pada sudut 30°. Kepadatan tertinggi sel kon di bagian ventro-temporal, maka perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) dan sumbu penglihatan juga akan ke arah depan-naik (upper-fore) pada sudut 30°.
2.4 Organ Penciuman (Olfactory Organ) ”Hidung” pada ikan teleost merupakan sepasang cekungan penciuman (olfactory) yang biasanya terletak di sisi dorsal bagian kepala dan sedikit agak jauh dari posisi mulut (Hoar dan Randall 1971). Secara umum organ olfactory ikan serupa dengan organ nasal untuk penciuman manusia, akan tetapi dari struktur bentuk dan sistematika fungsinya ada perbedaan antara manusia dan ikan. Lubang atau cuping hidung pada ikan jarang terbuka ke dalam rongga mulut. Dasar dari lubang hidung dibentuk oleh epitelium penciuman atau mucosa berupa lipatan/lamella berbentuk rosette (Pitcher 1993). Susunan bentuk dan lipatan perkembangan lamella sangat bervariasi pada setiap spesies (Gambar 3).
15
Keterangan : (a) Posisi cuping hidung teleostei, (b) epithelium olfactory; (vo) hidung depan; (ho) hidung belakang; (H) kulit yang menahan pergerakan air masuk ke dalam hidung depan; (F) lamella Gambar 3 Bentuk hidung ikan dan bagiannya (Sumber: Fujaya 2004) Epithellium sensori terdiri atas tiga tipe sel utama, yaitu reseptor, Epithellium sensori terdiri atas tiga tipe sel utama, yaitu reseptor, pendukung dan basal. Dua tipe morfologi sel reseptor adalah cilia dan mikrovilar, umumnya terdapat pada teleostei. Pada elasmobranch dan Australian Lung Fish hanya memiliki sel microvilar sedangkan African Lung Fish hanya memiliki sel reseptor cilia. Sel reseptor adalah neuron primer bipolar dengan dendrit silindris yang berakhir pada permukaan epitelium dan tidak terlindung dari lingkungan luar. Sel pendukung adalah sel epitel kolumnar yang keluar secara vertikal dari permukaan epitelium ke lomuna dasar, yang berhubungan dengan sel reseptor, sedangkan sel sensori tidak bersilia (Schultz 2004). Reseptor pembau mendeteksi rangsangan kimia dalam bentuk signal elektrik yang berasal dari gerakan cilia yang disebabkan oleh arus lemah yang melewati lamella. Selanjutnya informasi tersebut diteruskan ke sistem saraf pusat. Sistem saraf olfactory yang menuju ke otak memiliki dua konfigurasi (Schultz 2004) , yaitu: (1) Pola pertama, cuping olfactory berhubungan dengan otak melalui sistem olfactory bagian depan dari forebrain yang biasa disebut olfactory lobe. Biasanya batas pemisah dari forebrain tidak jelas.
16 (2) Pola kedua, cuping olfactory dan tangkai olfactory bergabung menuju otak, kadang-kadang lurus dan kadang-kadang mengalami penyempitan antara cuping dan forebrain. Umumnya pada bagian rongga hidung ikan jenis elasmobranch mempunyai dua pembukaan, yaitu saluran anterior dan pintu masuk di depan, akan tetapi hal tersebut berbeda pada ikan bertulang belakang, tidak ada kontak antara sistem pencium dan sistem pernapasan. Menurut Schultz (2004), sistem olfactory pada ikan, apabila air yang masuk melalui nostril (hidung bagian depan) dan keluar melalui anterior naris ketika ikan berenang maka air yang mengandung zat kimia akan diterima oleh sistem saraf olfactory yang berhubungan dengan otak. Pada sistem pernafasan, terdiri atas dua tahap, yaitu tahap pertama, inspirasi, rongga mulut terbuka, rongga mulut terbuka, rongga bukopharin dan rongga insang mengembang, air masuk melalui rongga mulut. Tahap kedua, ekspirasi, yaitu rongga mulut menutup, rongga bukopharin dan rongga insang menyempit, celah insang terbuka dan air bergerak dari rongga mulut ke rongga insang kemudian keluar melalui celah insang. Dalam beberapa jenis (Zoarces viviparus, Gasterosteus aculentus, Spinnchin spinachin), ada saat naris membuka dan air masuk dengan meninggalkan suatu pergerakan. Secara skematik perbedaan sistem tersebut terdapat pada Gambar 4.
Gambar 4 Sistem penciuman (olfactory) pada ikan (Sumber: Schultz 2004)
Menurut Mitamura et al. (2005), pengaturan, bentuk, dan derajat tingkat pengembangan lamella berbeda-beda antarjenis ikan. Jumlah lamella meningkat
17 sampai taraf tertentu sesuai dengan pertumbuhan dari suatu individu, tetapi secara relatif tetap setelah ikan mencapai pertumbuhan tertentu. Tidak ada
korelasi
antara
banyaknya
lamella
dengan
ketajaman
penciuman/bau. Untuk ikan jenis Cyclothone spp pada kelompok jantan daya penciumannya lebih besar dibandingkan dengan betina. Dari penelitian yang pernah dilakukan ada dugaan bahwa ikan bathypelagic biasa menggunakan perasaan daripada menggunakan organ penciuman untuk mencari makanan. Selain itu organ pencium lebih sering digunakan pada ikan jantan untuk mencari pasangannya (Mitamura et al. 2005). Apabila dilihat dari arah dorsal, maka hubungan antara lamella (berbentuk rosette) dengan otak dapat dilihat pada Gambar 5. Ikan mendeteksi adanya stimuli kimia melalui reseptor pembau. Stimuli tersebut masuk pada lubang hidung (nostril) dan di rubah dalam bentuk signal elektrik yang berasal dari gerakan silia yang kemudian melewati olfactory lamella yang berbentuk rosette (bunga mawar). Sinyal yang dihasilkan pada olfactory lamella diteruskan pada olfactory bulb dan olfactory tract yang kemudian diterjemahkan pada otak telencephalon.
Keterangan: OB : Olfactory Bulb OT : Olfactory Tracts GCL : Granule Cell Layer GL : Glomerular Layer MCL : Mitral Cell Layer MOT : Medial Olfactory Tract MR : Median Raphe OL : Olfactory Lamellae ON : Olfactory Nerve ONL : Olfactory Nerve Layer Tel : Telencephalon
Gambar 5 Struktur organ penciuman pada ikan mulai dari organ lamella hingga otak bagian telencephalon (dilihat dari posisi dorsal) (Sumber: Mitamura et al. 2005) Ikan
mendeteksi
stimuli
kimia
melalui
sedikitnya
dua
saluran
chemoreception yang berbeda, yaitu olfaction (bau) dan gustory (rasa). Pembedaan antara dua organ tersebut menurut perkiraan tidaklah selalu pada
18 semua hewan bertulang belakang, yang sebagian besar menggunakan organ olfaction dan perasa. Olfaction digambarkan sebagai pendeteksian melalui hidung (air-borne molekul) yang berasal dari suatu jarak, yang memungkinkan ikan untuk menempatkan dan menemukan makanan atau pasangan seksual atau untuk menghindari musuh pada suatu jarak yang lebih jauh (Hansen dan Reutter 2004). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa banyak penemuan menunjukkan bahwa secara umum olfaction sebagai penengah dari isyarat kimia yang mempengaruhi perilaku berbagai ikan teleostei. Meskipun demikian, teori dasar tentang mekanisme fisiologis ikan masih sedikit. Secara umum, olfactory serupa dengan organ nasal untuk penciuman manusia. Fungsi organ olfactory (penciuman) pada ikan merupakan salah satu sistem reseptor kimia yang beradaptasi terhadap substansi kimia spesifik lingkungan, baik berupa bahan organik maupun anorganik. Dalam berbagai pola tingkah laku ikan, fungsi tambahan dari olfactory antara lain homing, migrasi, sosial, seksual, dan perilaku yang berkenaan dengan orang tua (Pitcher 1993). Penciuman ikan sangat sensitif terhadap bahan organik maupun anorganik yang dikenal melalui indera penciuman (Syandri 1988). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa ikan dapat mengenal bau mangsanya, predator, dan spesies sendiri. Bau-bau tersebut melarut dalam air dan merangsang reseptor pada organ penciuman (olfactory organ) ikan, sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut. Organ penciuman sebagai alat bantu sensor untuk mengetahui banyaknya makanan yang tersedia di sekitar habitatnya (Wudianto et al. 1993). Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Gunarso (1985) bahwa organ penciuman merupakan salah satu organ dari organ-organ penting lainnya pada tubuh ikan yang berhubungan untuk mempelajari natural behaviour. Kelompok ikan anadromous (ikan salmon) dan black rockfish (Sebastes inermis) sangat mengandalkan organ penciumannya untuk kembali “homing (pulang)” ke habitat asalnya untuk tumbuh dewasa, spawning atau melakukan schooling saat melakukan migrasinya (Mana dan Kawamura 2002, Mitamura et al. 2005).
19 Organ penciuman umumnya adalah indera yang paling sensitif bagi ikan, terutama pada ikan hiu karena pada konsentrasi 0,0001 ppm ikan tersebut masih sensitif terhadap bau (Syandri 1988). Pada ikan predator (buas), sistem penciumannya digunakan untuk mendeteksi makanan/umpan mati berdasarkan stimuli asam amino yang dikeluarkan dari makanan tersebut (Hansen dan Reutter 2004).
2.5 Otak dan Bagian-bagiannya Otak merupakan cerminan berkembang tidaknya fungsi organ-organ sensoris yang dominan pada hewan (Bone and Marshall 1982). Otak ikan memiliki bagian-bagian yang menunjukkan susunan yang berbeda pada kelompoknya. Secara umum, otak ikan di bagi ke dalam tiga bagian besar, yaitu otak depan (forebrain) disebut juga prosencephalon, otak tengah (mesencephalon) dan otak belakang (rhombencephalon). Ketiga bagian otak tersebut terbagi lagi ke dalam sub bagian seperti dijelaskan pada Tabel 1. Tabel 1 Bagian utama dan subbagian otak ikan (Bone and Marshall 1982) No. Bagian Utama 1.
Forebrain (Prosencephalon)
Sub Bagian Lobus olfactorius Telencephalon (cerebral hemisphere) Diencephalon (between-brain)
2.
Midbrain (Mesencephalon)
Lobus opticus
3.
Hindbrain (Rhombencephalon)
Metencephalon (cerebellum) Myelencephalon (medulla oblongata)
Telencephalon merupakan pusat penciuman pada bagian otak depan. Bagian ini di sebut juga otak depan (forebrain). Pada ikan, telencephalon merupakan tempat penerimaan, elaborasi dan meneruskan impuls aroma (bau). Ukuran telencephalon bervariasi, sesuai dengan peranan yang dimainkannya bagi kehidupan ikan. Ikan elasmobranchii (cucut, pari, skate, dan chimaeras) memiliki indera penciuman yang berperan besar dalam mencari makan dan berinteraksi sosial karena itu lobus olfactorius membesar. Seperti contoh pada otak depan ikan
20 cucut bagian bulbus olfactorius yang membesar menjadi indikasi berkembangnya indera penciuman yang berguna untuk memburu mangsa melalui deteksi keberadaan mangsanya melalui bau hingga sejauh 9 km (Ristori 1991 diacu dalam Razak 2005). Mesencephalon merupakan otak tengah (mid brain). Pada ikan relatif besar yang terdiri atas lobus opticus dorsal, di bagian dorsal terdapat dua lobus opticus dan ventral tegmentum. Lobus opticus merupakan bagian depan dari retina yang diteruskan proyeksinya ke dalam bagian belakang contra-lateral dari lobus opticus dari sisi yang lain pada ikan. Ikan sebagaimana vertebrata lainnya memiliki lensa konveks pada matanya yang dapat membuat bayangan sampai di retina. Lobus opticus yang besar pada ikan salmon dibandingkan dengan ikan pari listrik (Raja clavata), goldfish (Carasius auratus), lungfish atau ikan pari (Neoceradotus forsteri), bermakna mata ikan salmon berkembang sangat baik (Rose 2002). Perkembangan otak depan yang sangat besar dibandingkan dengan kelompok ikan bertulang sejati maupun hewan vertebrate lainnya merupakan indikasi bahwa hewan predator seperti ikan cucut sangat mengandalkan indera penciuman sebagai detektor mangsanya dari jarak yang cukup jauh (Scheer 1966 diacu dalam Razak 2006). Pada Gambar 6 diperlihatkan bagian-bagian dari otak pada kelompok ikan teleost
(A)
(B)
Ob - Olfactory bulb I - Olfactory nerve Tel - Telencephalon Ot - Optic tectum Cerb - Cerebellum Hyp - Hypothalamus Vag L Med - Vagal lobe of medulla oblongata SpC - Spinal cord.
Keterangan: A). Posisi otak secara dorsal, B) Posisi otak secara lateral. Gambar 6 Bagian-bagian otak ikan (Sumber: Hoar and Randall 1970)
21 Bagian utama yang ketiga adalah otak belakang (hindbraind) yang terdiri atas metencephalon dan myelencephalon (medulla oblongata). Metencephalon merupakan pusat keseimbangan dan tonus otot, dimana pada bagian tersebut terdapat cerebellum atau otak kecil. Fungsi cerebellum adalah pengatur keseimbangan renang, dan orientasi ruang. Pada beberapa ikan komponen ini bagian yang terbesar dari otak. Bagian myelencephalon adalah tempat ditemukannya medulla oblongata. Medulla oblongata merupakan komponen saraf pusat yang mempengaruhi saraf-saraf sensoris (Scheer 1966 diacu dalam Razak 2006).
2.6 Umpan Umpan merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya pada keberhasilan dalam usaha penangkapan, baik masalah jenis umpan, sifat, dan cara pemasangan (Sadhori 1985). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Beberapa ahli perikanan sependapat bahwa umpan merupakan alat bantu (perangsang) yang memikat sasaran penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan laju tangkap bubu (Rahardjo dan Linting 1993). Syarat umpan yang baik (Djatikusumo 1975) adalah: (1) Tahan lama artinya tidak mudah busuk; (2) Mempunyai ukuran yang memadai; (3) Harganya terjangkau; (4) Mempunyai bau yang spesifik yang dapat merangsang; (5) Mempunyai warna yang mudah dilihat; dan (6) Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan King (1991) menjelaskan bahwa umpan pada bubu dan perangkap digunakan untuk menangkap ikan dan crustacea. Prinsipnya adalah ikan tertarik oleh umpan, lalu masuk ke dalam bubu melalui mulut bubu dan sulit untuk melarikan diri. Umpan dengan menggunakan ikan cucut dan kakap dapat
22 menghasilkan tangkapan yang banyak (Wudianto et al. 1988). Bubu yang menggunakan umpan dari ikan yang dipotong-potong, hasil tangkapannya lebih baik dibandingkan dengan menggunakan umpan buatan (pellet). Tidak semua jenis ikan akan merespons jenis umpan yang sama. Masing-masing spesies memiliki pilihan jenis umpan yang berbeda, seperti misalnya pinfish (Lagodon rhomboides) memperlihatkan respons yang besar terhadap umpan dari udang dan pigfish (Orthopristis chrysopterus), namun terkadang pinfish lebih merespons umpan dari kepiting (Yamamoto 1982). Menurut Monintja et al. (1992), umpan yang digunakan dalam pengoperasian jaring keranjang untuk menangkap ikanikan karang adalah terasi. Menurut Prayitno (1986), berdasarkan hasil pengamatan secara menyeluruh mengenai reaksi ikan karang terhadap beberapa jenis umpan di perairan Karimunjawa seperti tertera pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Hasil pengamatan mengenai reaksi beberapa jenis ikan karang terhadap umpan di perairan Karimunjawa (Prayitno 1986) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Keterangan: +++ ++ +
Jenis Umpan Kepiting Kepala ikan Kepala ikan tongkol Tahu Bulu babi Terasi Multi krill
Reaksi +++ ++ +++ + ++ +++ +
: baik sekali : baik : sedang
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Titaley (2000) bahwa jenis umpan cumi dan udang menghasilkan tangkapan terbanyak pada ikan kerapu bebek (Plectropomus altivelis). Demikian pula pada umpan bulu babi, menghasilkan tangkapan kerapu terbanyak sebesar 48% dibandingkan dengan menggunakan umpan ikan dan keong mas (Mawardi 2001). Jenis umpan berupa ikan, sering dikonsumsi kelompok ikan kerapu terutama untuk spesies Cephalipholis cruentata (Scultz’s 2004).
23 Umpan yang mengandung asam amino diidentifikasi dapat menjadi stimulus dan atraktor makan pada ikan dan crustacea. Hampir semua studi mengenai rangsangan kimia untuk tingkah laku makan menunjukkan bahwa rangsangan makan pada ikan dan crustacea akan hilang seiring dengan hilangnya kandungan asam amino pada umpan (makanan) (Engas dan Lokkeborg 1994). Lebih lanjut menurut pendapat Hansen dan Reutter (2004), ikan predator (buas) yang memakan makanan tidak hidup (umpan) menggunakan sistem penciumannya untuk dapat mendeteksi dan dapat membeda-bedakan stimuli asam amino. Asam amino yang sangat efektif sebagai stimulus pada sistem penciuman ikan salmon atlantik adalah L-glutamina dan L-alanina (Caprio 1982). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa efektivitas relatif stimulus organ penciuman dari kandungan asam amino sebanyak 10-4 M adalah L-alanina, L-glutamina, Lsisteina dan L-metionina. Kandungan L-alanina terdapat pada jaringan organisme cacing, moluska, crustacea, dan ikan teleostei. Adapun untuk L-arginina, terdapat pada jaringan organisme moluska dan crustacea. Pengetahuan yang mendasari bahwa untuk ikan catfish, reseptor penciuman sangat besar responsnya pada kandungan sisteina dan metionina; dan pada reseptor rasa sangat besar responsnya pada kandungan alanina dan arginina masih belum diketahui.
2.7 Ikan Kerapu (Serranidae) Menurut Indonesian Coral Reef Foundation (2004), ikan karang dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu pengelompokan ikan karang berdasarkan periode aktif mencari makan dan pengelompokan ikan karang berdasarkan perannya. Pengelompokan ikan karang berdasarkan periode aktif mencari makan di bagi lagi atas tiga kelompok yaitu : (1) Ikan nokturnal, merupakan jenis ikan yang aktif pada malam hari. Contohnya pada ikan-ikan dari suku Holocentridae (swanggi), suku Apogonindae (beseng), dan lain- lain.
24 (2) Ikan diurnal, merupakan jenis ikan yang aktif ketika siang hari. Contohnya pada ikan-ikan dari suku Pomacentridae (injel, napoleon), Acanthuridae (ketamba lencam) dan lain- lain. (3) Ikan crepuscular, merupakan ikan yang aktif di antara waktu siang dan malam. Contohnya pada ikan- ikan dari suku Sphyraenidae (Baracudas), Serranidae (kerapu), Carangidae (ikan kue), dan lain- lain. Pengelompokan ikan karang berdasarkan peranannya juga di bagi atas tiga kelompok yaitu : (1) Ikan target, merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi, seperti Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap), Lethrinidae (ketamba lencam), Acanthuridae (botana), dan Siganidae (baronang). (2) Ikan indikator, merupakan ikan penentu keberadaan terumbu karang karena ikan ini erat hubungannya dengan tingkat kesuburan terumbu karang, yaitu ikan kepe-kepe dari Famili Chaetodontidae. (3) Ikan lain (mayor famili), ikan jenis ini umumnya dalam jumlah banyak dan umumnya dijadikan ikan hias air laut. Contohnya kakatua dari famili Scaridae, swanggi dari famili Holocentridae, dan lain- lain. Nontji (1993) mengatakan bahwa ikan yang berasal dari perairan karang yang mempunyai nilai ekonomis penting dalam produksi perikanan antara lain ikan ekor kuning dan pisang-pisang (Caesio spp), berbagai macam ikan hias, dan ikan yang sering disajikan, misalnya baronang (Siganus), lencam (Lethrinus), kuweh (Caranx), kakap (Lutjanus), dan kerapu (Epinephelus). Ikan kerapu, termasuk famili Serranidae, dikenal sebagai ikan yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Penyebarannya meliputi daerah tropis dan subtropis. Biasanya hidup di perairan karang berkedalaman kurang lebih 27 m (Departemen Pertanian, 1987). Ikan kerapu (Epinephelus sp) merupakan satu di antara sekian jenis ikan laut yang bernilai ekonomis tinggi yang banyak dipasarkan dalam keadaan hidup untuk restoran-restoran elit, baik di dalam maupun di luar negeri (Pramu 1994). Produksi ikan kerapu di Indonesia mencapai 6-30 ton per tahun (Hartati et al. 2004)
25 Di Indonesia ikan kerapu terdapat di seluruh wilayah perairan teluk Banten, Ujung kulon, Kep. Riau, Kep. Karimunjawa, Kep. Seribu, Jawa, dan NTB (Mayunar,1991). Ada berbagai jenis ikan kerapu yang terdapat di Indonesia, di antaranya adalah kerapu lumpur (Epinephelus suillus), kerapu sunu (Plectropomus leopardus), kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu lodi (Plectropomus maculatus), kerapu merah (Epinephelus fasciatus), kerapu tutul (Epinephelus melanustigma), kerapu batu (Cephalopholis boenack), kerapu hitam (Cephalopholis microprion), dan kerapu lokal (Epinephelus gouyanus) (Balai Penelitian Perikanan Laut 2007). Ikan dari famili Serranidae di alam, aktif makan pada siang dan malam hari. Selanjutnya ikan kerapu dalam mencari makanan akan berenang-renang di antara batu karang, atau celah-celah batu yang merupakan tempat persembunyiannya dan hanya kepalanya yang terlihat. Dari tempat itulah ikan kerapu menunggu mangsanya. Bila mangsa telah tampak, ikan kerapu segera melesat dengan cepat menangkap mangsanya dan menelannya, setelah itu ikan kembali ke tempat persembunyiannya (Sugama et al. 1986).
2.8 Respons Tingkah Laku Ikan terhadap Alat Tangkap Bubu Tingkah laku ikan adalah suatu proses adaptasi terhadap lingkungan eksternal dan internal. Sistematika studi tingkah laku ikan termasuk ke dalam beberapa aspek (He 1989), yaitu: (1) Ragam dari tingkah laku ikan; yaitu ragam tingkah laku dari berbagai tingkah laku ikan. (2) Evolusi tingkah laku ikan; yaitu perubahan tingkah laku ikan dalam hubungannya dengan adaptasi terhadap lingkungan tertentu dalam jangka waktu yang panjang. (3) Sejarah (history) tingkah laku ikan; yaitu untuk mempelajari bagaimana pola tingkah laku tertentu dari generasi yang lampau sampai generasi yang akan datang dan bagaimana variasi yang akan muncul hubungannya dengan perubahan lingkungan.
26 Terdapat enam tahap perilaku ikan yang dapat dikenali saat pengoperasian alat tangkap bubu, yaitu arousal, location, tingkah laku di sekitar bubu, masuk dalam bubu (ingress), aktivitas di dalam bubu, dan melarikan diri (Furevik 1994). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa untuk pengoperasian bubu dengan menggunakan umpan, arousal dan location merupakan dua tahap dalam tingkah laku ikan saat mengarah ke umpan, sedangkan tahap yang lain tidak begitu penting dalam penangkapan ikan dengan menggunakan bubu karena ketika ikan memakan umpan yang dipasang berarti ikan tersebut terperangkap. Beberapa alasan yang menyebabkan ikan menjadi lebih tertarik masuk dalam bubu ialah gerakan acak dari ikan, adaptasi ikan sebagai tempat tinggal atau tempat berlindung, keingintahuan ikan, tingkah laku sosial antarspesies atau adanya predator. Hal tersebut yang menjadikan dasar dalam mekanisme pengoperasian bubu tanpa umpan (Furevik 1994). Rangsangan kimia dari mangsa menjadikan alasan yang penting untuk efisiensi penangkapan pada bubu yang menggunakan umpan maupun yang tidak menggunakan umpan (Hara 1993). Bubu tanpa umpan yang direndam sekitar satu minggu di perairan, biasanya ditempeli
oleh ganggang cokelat (Phaeophyceae) dan
ganggang hijau
(Chlorophyceae). Adanya ganggang tersebut diduga menjadi daya tarik bagi kelompok ikan herbivor untuk datang dan mengkonsumsi ganggang tersebut (Monintja et al. 1992) Bubu dengan menggunakan umpan, biasanya ikan mendekati bubu dari posisi bawah ketika aroma dari umpan telah menyebar. Ditemukan hampir 90% ikan haddock (Melanogrammus aeglefinus) mendekati bubu berumpan dari posisi atas (Furevik 1994), sedangkan untuk bubu tanpa menggunakan umpan, posisi ikan saat mendekati bubu dari segala arah.
2.9 Alat Tangkap Bubu dan Efektivitasnya Bubu (perangkap) adalah alat tangkap yang umumnya berbentuk kurungan. Ikan dapat masuk dengan mudah tanpa adanya paksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar keluar karena terhalang pintu masuknya yang berbentuk corong (non-return device) (Brandt 1984).
27 Bubu dalam berbagai macam ukuran dan bentuk banyak digunakan pada berbagai lokasi, terutama daerah karang (Martasuganda 2003). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa bentuk bubu sangat beraneka ragam, antara lain ada yang berbentuk segi empat, trapesium, silinder, lonjong, bulat setengah lingkaran, dan persegi panjang. Bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan ikan yang akan dijadikan target tangkapan sama. Terkadang bentuk bubu yang dipakai biasa juga berbeda
bergantung
pada
kebiasaan
atau
pengetahuan
nelayan
yang
mengoperasikan. Secara umum bubu terdiri atas bagian badan (body), mulut (funnel) atau ijeb dan pintu masuk. Badan berupa rongga sebagai tempat ikan terkurung. Mulut bubu merupakan pintu ikan masuk dan tidak dapat keluar. Umumnya berbentuk seperti corong. Pintu bubu untuk mengambil hasil tangkapan dari dalam badan bubu (Subani dan Barus 1989). Metode pengoperasian untuk semua jenis bubu pada umumnya hampir sama, yaitu dipasang di daerah penangkapan yang sudah diperkirakan banyak hidup ikan yang akan dijadikan target tangkapan (Martasuganda 2003). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa lama perendaman bubu di perairan ada yang hanya direndam beberapa jam, ada yang direndam satu malam, ada juga yang direndam sampai tiga hari tiga malam dan bahkan ada yang direndam sampai tujuh hari tujuh malam. Bubu dioperasikan di dasar perairan dengan umpan sebagai pemikat mangsa. Hasil tangkapan bubu berkualitas tinggi dan dapat dipasarkan dalam keadaan hidup (Martasuganda 2003). Ikan yang banyak tertangkap oleh bubu adalah ikan kue (caranx spp), beronang (Siganus spp), kerapu (Epinephelus spp), kakap (Lutjanus spp), kakatua (Scarus spp), ekor kuning (Caesio spp), ikan kaji (Diagramma spp), dan lencam (Lethrinus spp) (Subani dan Barus 1988). Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu tujuan. Efektivitas (Ef) sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen (Gibson et al. 1990). Efektivitas dapat pula diartikan sebagai perbandingan antara hasil dengan tujuan dalam persen. Apabila nilai efektivitasnya di atas 100% maka dapat dikatakan cukup efektif, apabila nilai efektivitasnya di bawah 100% dapat
28 dikatakan kurang efektif. Dengan kata lain, efektivitas sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen. Pengertian efektivitas pada alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan. Tujuan penangkapan yang dimaksud harus mengacu dari usaha menjaga keberlangsungan sumber daya ikan, yaitu operasi penangkapan dengan mempertimbangkan faktor keramahan terhadap lingkungan yang sesuai dengan Code of Conduct for Responssible Fisheries. Menurut Baskoro et al. (2006), nilai efektivitas pada alat tangkap dikategorikan tiga, yaitu apabila nilainya kurang dari 50% dapat dikatakan alat tangkap tersebut efektivitasnya rendah, nilai 50%-80% dikatakan alat tangkap yang cukup efektivitasnya dan nilai 80%-100% dikatakan alat tangkap yang efektivitasnya tinggi. Menurut Friedman (1988), bahwa hasil tangkapan suatu alat tangkap dipengaruhi efektivitas alat dan efisiensi cara operasi. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa efektivitas alat tangkap secara umum bergantung pada faktor-faktor, antara lain parameter alat tangkap itu sendiri (rancang bangun dan konstruksi), pola tingkah laku ikan, ketersediaan atau kelimpahan ikan, dan kondisi oseanografi. Dapat diartikan bahwa dalam menentukan efektivitas jenis alat tangkap tertentu harus memperhatikan faktor-faktor tersebut.
3 ORGAN PENGLIHATAN KERAPU
3.1 Pendahuluan Mata ikan berkembang dengan sangat baik sesuai dengan kebutuhan lingkungannya. Beberapa diantaranya memiliki kemampuan melihat ke arah permukaan air ataupun ke bagian dasar perairan. Ikan yang memilki kemampuan penglihatan dengan resolusi yang baik terhadap ruang dan mampu membedakan warna karena memiliki beberapa tipe sel kerucut yang merupakan fotoreseptor dan mengandung beberapa pigmen. Fotoreseptor merupakan salah satu bagian lapisan sel neural khusus pada retina mata (Myrberg dan Fuiman 2002). Fungsi fotoreseptor menyerap energi cahaya berupa foton yang dipergunakan pada hewan untuk proses penglihatan (Holmes 1991). Fotoreseptor pada kebanyakan mata ikan terdiri atas dua tipe, yaitu sel kerucut (cone cells) dan sel batang (rod cells).
Matsuoka (1999)
menjelaskan bahwa retina ikan umumnya terdiri atas tiga tipe pada lapisan indera penglihat (visual cell layer), yaitu sel kon tunggal (single cone), sel kon ganda (double/twin cone), dan sel rod. Menurut (Anonim 2008) sel kon ganda (double cone) adalah dua sel kon tunggal yang bergabung (tidak berasal dari sel kon tunggal yang membelah) dengan kondisi ukuran yang tidak sama. Ada beberapa spesies ikan yang memiliki sel kon tunggal yang bergabung dengan ukuran yang serupa dan dikenal dengan sel kon kembar (twin cone). Sel kerucut dipakai pada aktivitas siang hari dan sel batang pada aktivitas malam hari. Artinya, sel kerucut bertanggung jawab pada penglihatan cahaya terang (penglihatan fotopik), sel batang bertanggung jawab pada penglihatan cahaya samar (penglihatan scotopik) (Fujaya 2004). Sel kon merupakan reseptor penglihatan untuk color vision dan ketajaman penglihatan (visual acuity). Sel kon ganda (double/twin cone) kebanyakan ditemukan pada kelompok vertebrate tanpa terkecuali hewan mamalia (termasuk manusia), shark dan catfish (Anonim 2008). Jenis teleost yang memiliki jenis retina duplex. Pengertiannya bahwa dalam retina mereka terdapat dua jenis reseptor yang dinamakan sel rod dan sel kon (cone). Tidak semua jenis ikan memiliki dua reseptor, seperti pada ikan tuna dan
30 mackerel yang hanya memiliki reseptor kon saja. Jenis-jenis ikan dasar atau jenis ikan yang hampir sepanjang hidupnya tinggal di daerah yang hampir tidak dicapai lagi oleh cahaya matahari umumnya hanya memiliki rod saja (Gunarso 1985). Bentuk sel kerucut (cone cells) dan sel batang (rod cells) dan macam pola mosaik fotoreseptor ditunjukkan pada Gambar 7
Keterangan: a) S: single cone, D: double cone pada penampang longitudinal. b-d) Pola mosaic pada single dan double cone. c) Pola mosaik 2 single cone dan double cone. e) Penampang sel double cone dengan menggunakan perbedaan stimulasi kromatik. Gambar 7 Penampang dan pola mosaik fotoreseptor (Sumber: Anonim 2008)
Mosaik sel kon dan rod menunjukkan kepekaan penglihatan pada ikan. Ikan yang memiliki sel kerucut dengan pola mosaik menunjukkan bahwa ikan tersebut sangat intensif menggunakan indera penglihatan, biasanya merupakan ikan yang aktif memburu mangsanya (Yushinta 2002). Menurut Gunarso (1985) bahwa jenis ikan nocturnal demersal, seperti Solea sp dan Lysodes sp pada umumnya memiliki retina tanpa pengkonsentrasian reseptor sehingga tidak tercipta bentuk mosaik dan sel kon sangat minim jumlahnya. Sel kon pada ikan karang, sebagaimana sel kon ikan lainnya berpola seperti mosaik. Susunan mosaik tersebut berbentuk garis atau pola bujur sangkar
31 tunggal maupun ganda. Pada kebanyakan jenis ikan sel kon ganda identik dengan sel kon kembar, sedangkan sel kerucut tunggal hanya satu tipe. Sel kon ganda biasanya mengandung pigmen visual yang sama tetapi bisa juga mengandung pigmen berbeda. Sumbu penglihatan (visual axis) diidentifikasi untuk mengetahui kebiasaan ikan dalam melihat makanan atau objek yang lain (Blaxter 1980). Sumbu penglihatan diperoleh setelah nilai kepadatan sel kon tiap bagian dari retina mata diketahui dengan cara menarik garis lurus dari bagian retina yang memiliki nilai kepadatan sel kon tertinggi menuju titik pusat lensa mata (Tamura 1957). Menurut Tamura (1957), untuk menentukan sumbu penglihatan terlebih dahulu harus mengetahui kepadatan sel kon yang biasanya terletak pada area dorso-temporal, temporal atau ventro-temporal di retina mata ikan. Bidang penglihatan yang dihasilkan dari menarik garis lurus dari bagian retina menuju ke titik lensa mata, biasanya menghadap arah depan menurun (lower-fore), arah depan (fore) atau arah depan-naik (upper-fore). Kepadatan sel kon yang tinggi dimungkinkan untuk mengetahui ketajaman penglihatan dan sumbu penglihatan (Blaxter 1980). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa pada daerah retina yang memiliki kepadatan sel kon tertinggi pada bagian dorso-temporal dengan perubahan arah pada diopter ke arah depan menurun (lower-fore), maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan menurun pada sudut berkisar 200. Kepadatan tertinggi sel kon di bagian temporal, menyebabkan dua kemungkinan untuk perubahan arah pada diopter. Jika perubahan arah pada diopter ke arah depan maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan pada sudut 00. Adapun perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan dan depan-naik (fore-upperfore) pada sudut 300. Kepadatan tertinggi sel kon di bagian ventro-temporal, maka perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan-naik (upper-fore) pada sudut 300. Herring et al. (1990) menjelaskan bahwa ketajaman penglihatan untuk membedakan warna memerlukan adanya fotoreseptor yang berbeda jenis dan
32 lebih dari satu tipe sel kon. Ikan-ikan yang dapat melihat warna umumnya memiliki dua tipe sel kon atau tiga tipe pada retina matanya. Ketajaman penglihatan pada ikan adalah kemampuan untuk melihat dua titik dari suatu objek pada satu garis, digambarkan dalam hubungan timbal balik yang diperlihatkan dalam istilah sudut pembeda terkecil/minimum separable angle (MSA) (He 1989). Untuk membedakan dua sasaran penglihatan terdekat, yang dapat diukur melalui pengujian histologi. Ketajaman penglihatan pada ikan bergantung pada dua faktor, yaitu diameter lensa dan kepadatan sel reseptor kon pada retina (Shiobara et al. 1998). Dijelaskan pula bahwa semakin tajam penglihatan karena peningkatan kedudukan jarak fokus lensa daripada kepadatan sel kon-nya. Menurut pendapat Guma’a (1982) panjang fokus lensa mata lebih besar pengaruhnya pada nilai ketajaman penglihatan dibandingkan dengan kepadatan sel kon. Kepadatan sel kon akan tetap selama ikan hidup dan perubahan kekuatannya mungkin akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan lensanya (Tamura 1957). Shiobara et al. (1998) menyatakan bahwa semakin tajam daya penglihatan mungkin diakibatkan oleh hubungan antara panjang fokus lensa yang lebih meningkat daripada kepadatan kon-nya. He (1989) menjelaskan bahwa sudut pembeda terkecil pada ikan berhubungan erat dengan karakteristik pemantulan sinar ke lensa dan ketepatan mengenai retina. Dengan makin bertambah panjang tubuh ikan, maka akan semakin tinggi ketajaman penglihatannya dengan nilai sudut pembeda terkecil yang semakin kecil. Diameter lensa ikan akan meningkat dengan bertambahnya ukuran tubuh, sementara itu kepadatan sel kon cenderung menurun dengan meningkatnya pertambahan panjang tubuh (Purbayanto 1999). Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/MSD) adalah kemampuan ikan untuk melihat suatu objek benda secara jelas pada jarak tertentu. (Zhang et al. 1993). Untuk mengetahui kemampuan jarak pandang maksimum ikan, terlebih dahulu perlu diketahui nilai sudut pembeda terkecil/minimum separable angle dalam satuan menit. Dalam perhitungan diasumsikan bahwa keadaan perairan adalah jernih (clear water) dan tingkat pencahayaan dalam keadaan terang (ideal light condition). Menurut Zhang et al. (1993) bahwa
33 kemampuan jarak pandang maksimum ikan akan berbeda seiring dengan perbedaan ukuran panjang tubuhnya. Berkaitan dengan hal di atas dilakukanlah penelitian organ penglihatan ikan kerapu yang bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis organ penglihatan ikan kerapu yang tercermin pada retina mata meliputi jenis dan pola mosaik, kepadatan sel kon, sumbu penglihatan, ketajaman penglihatan, dan jarak pandang maksimum ikan kerapu.
3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB pada bulan Juni–Agustus 2007.
3.2.2 Pengambilan sampel retina Metode yang digunakan adalah metode mikroteknik tingkah laku ikan yang dilanjutkan dengan metode histoteknik. Sebanyak enam ekor ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus) dan enam ekor kerapu karet (Epinephelus heniochus) yang berasal dari perairan Jepara Jawa Tengah serta tujuh ekor kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang berasal dari perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, dijadikan objek dalam penelitian ini. Masing-masing ikan yang dijadikan sampel merupakan ikan hidup dan baru saja tertangkap. Ikan sampel kemudian diukur panjang total dan panjang tubuhnya. Ikan sampel kemudian dipotong di bagian kepala untuk diambil matanya dan disimpan ke dalam suatu wadah yang berisi larutan fiksatif (larutan Bouin’s) sekurang-kurangnya selama 24-48 jam. Pengambilan spesimen retina mata mengacu pada optic cleft mata sehingga memudahkan dalam penentuan bagian dorsal, ventral, nasal, dan temporal dari spesimen mata tersebut. Spesimen retina selanjutnya dipotong dalam 25 bagian untuk keperluan pembuatan preparat histologi. Pola pemotongan spesimen mata seperti terlihat pada Gambar 8.
34 Proses histologi diawali dengan proses dehidrasi (pengeringan), yaitu dengan membungkus spesimen retina dengan kain kasa dan diikat dengan benang. Proses pengeringan dengan merendam spesimen retina kedalam larutan alkohol dan xylene dengan konsentrasi berbeda dan waktu perendaman yang berbeda pula. Tahap selanjutnya adalah penanaman spesimen retina kedalam blok-blok parafin. Parafin terlebih dahulu dipanaskan agar mencair sehingga memudahkan ketika dilakukan penanaman spesimen retina. Blok parafin dibiarkan mengeras selama 24 jam selanjutnya dilakukan pemotongan atau penyayatan blok dengan menggunakan alat mikrotom secara tangensial dengan ketebalan 4 μm. Hasil penyayatan berbentuk pita yang selanjutnya ditempelkan pada gelas objek. Tahapan terakhir adalah proses pewarnaan yang bertujuan untuk mempertajam atau memperjelas berbagai elemen jaringan dengan menggunakan bahan pewarna haematoxylene-eosin. Setelah proses pewarnaan dilanjutkan dengan menutup gelas objek dengan cover glass. Terakhir pemotretan dan dapat dihitung sel konnya. Prosedur histologi retina mata dapat dilihat pada Gambar 9.
Dorsal Dorsal (D) 25
10
11
24
12 2
23 Nasal
9 8
22
3 1
7
21
Nasal (N)
6
14
4 5
20
Temporal (T)
13
15
Temporal Ventral (V)
16 19
18
17
Optic cleft Ventral
Gambar 8 Pola pemotongan spesimen mata
35 3.2.3 Analisis data 3.2.3.1 Analisis sumbu penglihatan (visual axis) Sel kon diamati bentuk dan tipenya berkaitan dengan pola mosaik. Kepadatan sel kon per luasan 0,01 mm2 akan menentukan sumbu penglihatan. Artinya, daerah terpadat (nasal, temporal, dorsal, atau ventral) merupakan titik poin dalam penarikan arah sumbu penglihatan melalui titik pusat lensa mata. Sebelum menentukan sumbu penglihatan, terlebih dahulu dihitung nilai densitas atau kepadatan sel kon. Preparat sel kon difoto dengan fotomikrograf perbesaran 400 kali. Klise foto dicetak kemudian dihitung kepadatan sel kon untuk setiap luasan 0,01 mm2. Cara perhitungan dilakukan dengan menempelkan hasil foto preparat (bagian nasal, temporal, dorsal, dan ventral) pada plastik transparan yang ukurannya seluas foto ukuran 2R kemudian ditandai dengan menggunakan spidol sehingga perhitungan lebih cermat dan akurat. Penandaan dilakukan untuk sel kon, baik tunggal maupun ganda. Sumbu penglihatan diperoleh setelah densitas tertinggi dari sel kon diketahui, yaitu bagian nasal, temporal, dorsal, atau ventral mata ikan kerapu. Densitas terpadat merupakan titik poin ditariknya garis lurus menuju titik pusat lensa mata (Tamura 1957). Penarikan sumbu penglihatan dari bagian retina ditunjukkan pada Gambar 10.
36
Ikan
Pemotongan paraffin berisi retina dengan mikrotom dengan ketebalan 4 m Larutan Bouin selama 24-48 jam
Hasil pemotongan dalam bentuk sayatan disusun pada slide glass Mata ikan dibedah dan retina dipotong-potong Dipanaskan agar menempel kuat pada slide glass Potongan retina dibungkus kain kasa
PROSES PENGERINGAN 1.Alkohol 75% (1 hari) 2.Alkohol 80% (30 min) 3.Alkohol 85% (30 min) 4.Alkohol 90% (30 min) 5.Alkohol 95% (30 min) 6.Alkohol-1 100% (30 min) 7.Alkohol-2 100% (30 min) 8.Xylene-1 (20 min) 9.Xylene-2 (20 min)
PROSES PEWARNAAN 1.Xylene-1 (10 min) 2.Xylene-2 (10 min) 3.Xylene-3 (10 min) 4.Alkohol-1 100% (10 min) 5.Alkohol-2 100% (10 min) 6.Alkohol 95% ( 10 min) 7.Alkohol 80% (10 min) 8.Alkohol 60% (10 min) 9.Air (10 min) 10. Hematoxylene (15 min) 11. Air (10 min) 12. Eosin (15 min) 13. Air (1-2 min) 14. Alkohol 70% (2-3 min) 15. Alkohol 80% (2-3 min) 16. Alkohol 90% (2-3 min) 17. Alkohol-1 100% (2-3 min) 18. Alkohol-2 100% (2-3 min) 19. Xylene-1 (10 min) 20. Xylene-2 (10 min)
Parafin dipanaskan
Retina dibenamkan Dalam blok parafin Ditutup dengan cover glass
Difoto dan dihitung sel konnya
Gambar 9 Prosedur histologi retina mata ikan kerapu
37 D D
DT
Visual axis N
B
B
L
T
VT VT V
V
Keterangan : T : Temporal, DT: Dorso-temporal, VT: Ventro-temporal, D: Dorsal, N: Nasal, V: Ventral, B: Bottom, L: Lensa Gambar 10 Skema pembagian spesimen retina mata dan penentuan sumbu penglihatan (visual axis) (Sumber: Tamura 1957)
3.2.3.2 Analisis ketajaman mata ikan (visual acuity) Nilai ketajaman mata ikan dihitung berdasarkan jumlah sel kon per luasan 0,01 mm2 dan ukuran diameter lensa dengan menggunakan rumus sudut pembeda terkecil yang disimbolkan dengan
radian.
Secara teoritis ketajaman mata adalah
invers atau kebalikan dari perhitungan sudut pembeda terkecil (minimum separable angle/MSA). Formula MSA dihitung berdasarkan kepadatan tertinggi dari sel kon per luasan 0,01 mm2 yang dirumuskan oleh Tamura (1957) sebagai berikut : radian
1 2 0,1 1 0,25 F n
................................... (1)
keterangan: radian
F
= sudut pembeda terkecil; =jarak fokus lensa yang dihitung berdasarkan rasio Matthiensson’s (F = 2,45 r (Myrberg dan Fuiman 2002))(mm);
r
= jari-jari lingkaran dari lensa mata (mm);
0,25
= nilai pengerutan retina akibat proses histologi; dan
n
= kepadatan sel kon tertinggi per luasan 0,01 mm2.
38 Rumus ketajaman mata ikan (visual acuity), merupakan kebalikan dari hasil perhitungan sudut pembeda terkecil (Shiobara et al. 1998), yaitu:
VA
180 rad
1
60
..............................................
(2)
3.2.3.3 Analisis jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/MSD) Jarak pandang maksimum adalah kemampuan ikan untuk melihat suatu objek benda dengan jarak terjauh yang didasarkan pada ketajaman penglihatan yang dimilikinya (Zhang dan Arimoto 1993). Adapun rumus dari Zhang dan Arimoto (1993) sebagai berikut:
D=
l
...............................................................
(3)
rad
keterangan: D
= jarak pandang maksimum (maximum sighting distance) (m);
l
= diameter atau ketebalan objek (mm); rad
= minimum separable angle (radian).
Penggunaan rumus di atas dengan asumsi: (1) Kondisi perairan dalam keadaan jernih (clear water); (2) Ketajaman penglihatan ( ) yang digunakan adalah dalam satuan sudut derajat (minimum seperable angle in degrees); (3) Objek yang menjadi sasaran penglihatan merupakan diameter dari ukuran objek benda tersebut; dan (4) Objek dianggap berbentuk titik (dot).
39 3.3 Hasil 3.3.1 Hubungan diameter lensa dan panjang tubuh Hasil pengukuran panjang tubuh (body length) dan dihubungkan dengan hasil pengukuran diameter lensa mata ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus), ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan ikan kerapu karet (Epinephelus heniochus) diperlihatkan pada Gambar 11, 12, dan 13.
Diameter lensa (mm)
7 6 R 2 = 0,6648
5 4 3 2 1 0 0
100
200
300
400
Panjang tubuh (BL )(m m )
Gambar 11 Hubungan antara diameter lensa mata dan panjang tubuh pada ikan kerapu sunu
Diameter lensa (mm)
7 6
R 2 = 0,7314
5 4 3 2 1 0 0
50
100
150
200
250
Panjang tubuh (BL )(m m )
Gambar 12 Hubungan antara diameter lensa mata dan panjang tubuh pada ikan kerapu macan
40
Diameter lensa (mm)
7 6 R 2 = 0,9056
5 4 3 2 1 0 0
50
100
150
200
250
300
Panjang tubuh (BL )(m m )
Gambar 13 Hubungan antara diameter lensa mata dan panjang tubuh pada ikan kerapu karet Gambar 11-13 menunjukkan hubungan diameter lensa mata dan panjang tubuh pada ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus), ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan ikan kerapu karet (Epinephelus heniochus) yang menggambarkan hubungan antara pertambahan panjang tubuh kerapu sampai ukuran tertentu akan diikuti dengan meningkatnya ukuran diameter lensa. Pertambahan panjang tubuh menyebabkan bertambahnya ukuran anggota tubuh lainnya secara proporsional termasuk lensa mata ikan (Shiobara et al. 1998).
3.3.2 Tipe fotoreseptor ikan kerapu Berdasarkan pengamatan preparat histologi jaringan retina menunjukkan bahwa tipe fotoreseptor pada ikan kerapu terdiri atas sel kon kembar dan sel kon tunggal (Gambar 14) dengan pola satu sel kon tunggal dikelilingi oleh empat sel kon kembar, sehingga berbentuk bujursangkar. Pola reseptor tersebut dinamakan dengan pola mosaik. Hasil fotomikrograf retina mata ikan kerapu memperlihatkan tidak adanya sel rod.
41
Sel kon tunggal
Sel kon kembar
Gambar 14 Fotomikrograf sel kon tunggal dan sel kon kembar ikan kerapu sunu Kehadiran sel kon pada fotoreseptor retina mata pada ikan kerapu, baik sel kon tunggal maupun sel kon ganda memperlihatkan bahwa ikan kerapu memiliki kemampuan untuk membedakan warna. Pola fotoreseptor retina berbentuk mosaik mengindikasikan bahwa ikan kerapu intensif menggunakan organ penglihatannya untuk melakukan aktivitas. Menurut Blaxter (1980), ketidakteraturan pola fotoreseptor akan berpengaruh pada ketajaman penglihatan ikan.
3.3.3 Densitas fotoreseptor Hasil perhitungan kepadatan atau densitas sel kon ikan kerapu disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 15. Kepadatan sel kon dari retina mata pada luasan per 0,01 mm2 ikan kerapu sunu sebanyak 93-329 sel, kerapu macan 32-84 sel, dan ikan kerapu karet 51-99 sel. Densitas sel kon tertinggi ditemukan pada ikan kerapu sunu, yaitu sebanyak 329 sel per luasan 0,01 mm2 pada ukuran panjang tubuh (BL) 195 mm. Densitas sel kon terendah pada ikan kerapu karet, yaitu sebanyak 70 sel per luasan 0,01 mm2 pada ukuran panjang tubuh (BL) 230 mm. Berdasarkan Tabel 3 dapat
42 diketahui bahwa sel kon terpadat pada ikan kerapu terletak pada bagian ventrotemporal. Hasil perhitungan densitas sel kon pada bagian retina mata menjadikan dasar untuk dapat menentukan sumbu penglihatannya (visual axis). Tabel 3 Densitas sel kon (0,01 mm2) pada area retina mata ikan kerapu. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Area Retina P. maculatus-1 P. maculatus-2 P. maculatus-3 P. maculatus-4 P. maculatus-5 P. maculatus-6 E. fuscoguttatus-1 E. fuscoguttatus-2 E. fuscoguttatus-3 E. fuscoguttatus-4 E. fuscoguttatus-5 E. fuscoguttatus-6 E. fuscoguttatus-7 E. heniochus-1 E. heniochus-2 E. heniochus-3 E. heniochus-4 E. heniochus-5 E. heniochus-6
D 98 103 201 159 200 122 64 43 32 48 34 43 50 51 57 55 57 54
V 93 146 259 152 252 61 66 37 58 23 59 41 89 49 64 61 49 50
N 255 274 272 254 177 81 73 34 45 44 37 60 90 81 72 68 63 68
T 301 295 261 253 239 261 79 70 37 43 41 51 94 81 79 73 68 68
VT 329 300 298 288 279 275 84 75 70 69 65 63 62 99 89 86 78 71 70
Ket: D = dorsal, V = ventral, N = nasal, T = temporal, VT = ventro-temporal
Densitas sel kon (0.01 mm2)
350 R 2 = 0,8343
300
kerapu sunu
P. maculatus
250 kerapu macan E.fuscoguttatus
200 150
karet E.kerapu heniochus
R 2 = 0,9572
100
R 2 = 0,9413
50 0 0
100
200
300
400
Panjang tubuh (BL) (mm) Panjang tubuh standar (mm)
Gambar 15 Hubungan antara panjang tubuh (BL) dan densitas sel kon ikan kerapu sunu, ikan kerapu macan, dan ikan kerapu karet.
43 Gambar 15 menunjukkan bahwa ketiga ikan kerapu memiliki densitas sel kon yang cenderung menurun dengan semakin bertambahnya ukuran panjang tubuh.
3.3.4 Sumbu penglihatan (visual axis) Sumbu penglihatan (visual axis) diidentifikasikan untuk mengetahui kebiasaan ikan untuk melihat objek atau melihat makanan (Blaxter 1980). Menurut Tamura (1957), sumbu penglihatan ditentukan dengan mengetahui kepadatan sel kon tertinggi, yang biasanya terletak pada bagian dorso-temporal, temporal dan ventro-temporal. Berdasarkan letak densitas, sel kon tertinggi pada retina mata ikan kerapu pada bagian ventro-temporal, dengan sumbu penglihatannya ke arah depan-naik (upper-fore) (Gambar 16).
Visual axis
Visual axis
Kerapu sunu (P. maculatus)
Kerapu macan (E. fuscoguttatus)
Visual axis
Kerapu karet (E. heniochus) Gambar 16 Sumbu penglihatan (visual axis) ikan kerapu.
3.3.5 Ketajaman mata ikan (visual acuity) Nilai ketajaman ketiga jenis ikan kerapu berdasarkan hasil perhitungan densitas tertinggi, pengukuran diameter lensa mata, dan perhitungan rumus sudut pembeda terkecil, dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel tersebut menunjukkan bahwa
44 ketajaman penglihatan dari ketiga jenis ikan kerapu berkisar antara 0,0548 – 0,1465. Nilai ketajaman penglihatan tertinggi pada ikan kerapu sunu 0,1465 dengan panjang tubuh (BL) 300 mm, sedangkan ketajaman penglihatan terendah pada ikan kerapu macan 0,0548 pada panjang tubuh (BL) 140 mm. Hubungan antara densitas sel kon dengan ketajaman penglihatan ikan kerapu menunjukkan bahwa ketajaman mata ikan akan meningkat seiring dengan menurunnya kepadatan sel kon. Hubungan keduanya dapat dilihat pada Gambar 17. Ikan kerapu sunu memiliki nilai ketajaman penglihatan tertinggi dibandingkan dengan ikan kerapu macan dan kerapu karet. Tabel 4 menunjukkan bahwa ikan kerapu sunu (P. maculatus) dengan panjang tubuh 300 mm memiliki densitas sel kon 275 per luasan 0,01 mm2, diameter lensa 6,2 mm dan jarak fokus 7,76 mm. Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan kerapu sunu memiliki MSA terkecil 6,83 menit dan ketajaman penglihatan tertinggi 0,1465. Nilai ketajaman penglihatan ikan kerapu tidak berbeda jauh dari nilai ketajaman penglihatan ikan karang jenis lain, Sebastes schlegeli memiliki kisaran 0,093-0,106 (Torisawa et al. 2002), ikan beronang dan kakap merah berkisar 0,058-0,059 dan 0,055-0,077 (Salma 2008), demikian pula untuk jenis ikan karang ekonomi berkisar 0,065-0,238 (Tamura 1957). Apabila dibandingkan dengan ikan pelagis predator, seperti ikan tongkol (Euthynnus affinis) yang memiliki ketajaman penglihatan 0,14-0,19 dengan panjang total (TL) 285-350 mm (Alatas 2003), maka ikan kerapu sunu termasuk dalam kelompok ikan yang memiliki nilai ketajaman penglihatan yang rendah dibandingkan ikan tongkol dengan ukuran panjang tubuh yang sama.
45 Tabel 4 Ketajaman penglihatan (visual acuity) mata ikan kerapu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Spesies ikan kerapu P. maculates-1 P. maculatus-2 P. maculatus-3 P. maculatus-4 P. maculatus-5 P. maculatus-6 E. fuscoguttatus-1 E. fuscoguttatus-2 E. fuscoguttatus-3 E. fuscoguttatus-4 E. fuscoguttatus-5 E. fuscoguttatus-6 E. fuscoguttatus-7 E. heniochus-1 E. heniochus-2 E. heniochus-3 E. heniochus-4 E. heniochus-5 E. heniochus-6
Panjang tubuh (mm) 195 210 233 250 270 300 140 172 195 200 210 210 205 110 150 165 225 230 265
Densitas sel kon 329 300 298 288 279 275 84 75 70 69 65 63 62 99 89 86 78 71 70
Diameter lensa (mm) 4,2 5,6 5,7 6,0 6,13 6,2 4,2 4,5 4,7 4,9 5,6 5,6 5,8 4,7 5,5 5,6 6,0 6,25 6,25
Jarak fokus (mm) 5,1 6,9 7,0 7,4 7,5 7,6 5,1 5,5 5,8 6,0 6,9 6,9 7,1 5,8 6,7 6,9 7,4 7,7 7,7
MSA (rad) 0,003 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,005 0,005 0,005 0,005 0,005 0,005 0,004 0,004 0,004 0,004 0,004 0,004 0,004
MSA (min) 9,21 7,24 7,13 6,89 6,86 6,83 18,24 18,01 17,85 17,25 15,55 15,79 15,37 15,01 13,53 13,52 13,25 13,33 13,42
Pola mosaik ikan kerapu sunu, kerapu macan, dan kerapu karet membentuk seperti bujur sangkar, dimana pola mosaik ikan kerapu sunu lebih teratur dibandingkan dengan kerapu yang lain (Gambar 17). Densitas sel kon mengalami penurunan dengan bertambahnya panjang tubuh. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya volume sel kon pada area pengamatan 0,01 mm2, karena pada prinsipnya jumlah sel kon cenderung relatif konstan sepanjang hidup ikan. Perubahan hanya terjadi dengan bertambahnya volume sel kon karena pertumbuhan (Gambar 18).
Visual acuity 0,1085 0,1382 0,1402 0,1451 0,1459 0,1465 0,0548 0,0555 0,0560 0,0580 0,0643 0,0633 0,0651 0,0666 0,0739 0,0740 0,0755 0,0750 0,0745
46
(B)
(A)
(C) Gambar 17 Mosaik bujursangkar sel kon. (A) ikan kerapu sunu, (B) kerapu macan, (C) kerapu karet
Ketajaman penglihatan
0.1600 0.1400 0.1200 R 2 = 0,8985
0.1000 0.0800 0.0600 0.0400 0.0200 0.0000 270
280
290
300
310
320
330
340
2
Densitas sel Densitas selkon kon(0,01 (0.01mm m m)2)
Gambar 18 Hubungan antara densitas sel kon dan ketajaman penglihatan ikan kerapu
47 Gambar 19 menunjukkan hubungan antara diameter lensa dengan nilai sudut pembeda terkecil. Dengan semakin besarnya ukuran diameter lensa maka akan semakin kecil sudut pembeda terkecilnya karena kemampuan lensa mata yang semakin kuat untuk memfokuskan bayangan yang diterima pada lensa untuk
Sudut pembeda terkecil (radian)
diteruskan pada retina mata.
0.003 R 2 = 0,9779
0.003 0.002 0.002 0.001 0.001 0.000 4
4.5
5
5.5
6
6.5
Diam eter lensa (m m )
Gambar 19 Hubungan antara diameter lensa dan MSA
Gambar 20 menunjukkan meningkatnya nilai ketajaman penglihatan seiring pula dengan bertambahnya panjang tubuh. 7
Diameter lensa (mm)
6 R 2 = 0,6648 5 4 3 2 1 0 150
175
200
225
250
275
300
325
Panjang tubuh (mm)
Gambar 20 Hubungan antara panjang tubuh dan diameter lensa mata ikan kerapu
Indeks ketajaman penglihatan
48 0.1600 0.1400 0.1200
R 2 = 0,389
0.1000 0.0800 0.0600 0.0400 0.0200 0.0000 100
125
150
175
200
225
250
275
300
325
Panjang tubuh (mm)
Gambar 21 Hubungan antara panjang tubuh dan ketajaman penglihatan kerapu sunu, kerapu macan dan kerapu karet. Berdasarkan Tabel 4, ikan kerapu sunu memiliki ketajaman penglihatan tertinggi disebabkan nilai densitas sel kon yang tinggi, diameter lensa, dan pola mosaik yang teratur. Ikan kerapu macan menempati nilai ketajaman penglihatan dengan urutan paling rendah karena nilai densitas sel kon yang rendah, diameter lensa serta pola mosaik yang tidak teratur. Tabel 4 menunjukkan pula bahwa densitas sel kon, diameter lensa, dan pola mosaik fotoreseptor berpengaruh pada ketajaman penglihatan pada ikan kerapu.
3.3.6 Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/ MSD) Hasil perhitungan jarak pandang maksimum ketiga jenis ikan kerapu disajikan pada Tabel 5. Data tabel tersebut memberikan informasi bahwa jarak pandang maksimum (MSD) terjauh pada ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus) sebesar 12,59 m, kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) sebesar 5,59 m, dan kerapu karet (Epinephelus heniochus) sebesar 6,41 m.
49 Tabel 5 Jarak pandang maksimum (MSD) ikan kerapu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Spesies Ikan Kerapu P. maculates-1 P. maculatus-2 P. maculatus-3 P. maculatus-4 P. maculatus-5 P. maculatus-6 E. fuscoguttatus-1 E. fuscoguttatus-2 E. fuscoguttatus-3 E. fuscoguttatus-4 E. fuscoguttatus-5 E. fuscoguttatus-6 E. fuscoguttatus-7 E. heniochus-1 E. heniochus-2 E. heniochus-3 E. heniochus-4 E. heniochus-5 E. heniochus-6
Panjang Total (mm) 240 265 275 300 325 350 200 250 255 260 270 280 300 150 200 210 252 270 300
Diameter Objek (mm) 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
MSD (m) 9,33 11,88 12,05 12,47 12,54 12,59 4,72 4,77 4,82 4,99 5,53 5,44 5,59 5,73 6,36 6,36 6,49 6,45 6,41
Ikan kerapu sunu memiliki MSD terjauh 12,59 m pada ukuran panjang total 350 mm, karena kepadatan sel kon tertinggi 275 per luasan 0,01 mm2, MSA radian terkecil 0,002 dan nilai ketajaman penglihatan (visual acuity) yang tertinggi yaitu 0,1465. Faktor-faktor tersebut menyebabkan kerapu sunu memiliki jarak pandang maksimum terjauh (Gambar 22).
50 14.00
R 2 = 0,609
12.00 sunu P.kerapu maculatus
MSD (m)
10.00 8.00
macan E.kerapu fuscoguttatus
R 2 = 0,6159
6.00 4.00
karet E.kerapu heniochus
R 2 = 0,6666
2.00 0.00 50
100
150
200
250
300
350
400
Panjang (mm) Panjangtotal total(TL) (mm)
Gambar 22 Hubungan antara panjang total (TL) dan jarak pandang maksimum ikan kerapu sunu, kerapu macan, dan kerapu karet. Ada kecenderungan pertambahan panjang total meningkatkan angka jarak pandang maksimum (MSD), namun pada E. heniochus adanya kecenderungan pada panjang total 200-260 mm kemampuan jarak pandang maksimum relatif sama yaitu 4,72-4,99 m. Susunan sel kon ganda/kembar yang teratur dengan bentuk bujur sangkar pada kerapu sunu dan kerapu karet (Gambar 12) menyebabkan meningkatnya ketajaman penglihatan.
3.4 Pembahasan 3.4.1 Hubungan diameter lensa dan panjang tubuh Pertambahan diameter lensa pada ketiga jenis ikan kerapu sesuai dengan bertambahnya umur. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Purbayanto (1999) yang menyatakan bahwa diameter lensa mata ikan meningkat seiring dengan bertambahnya panjang tubuh. Diameter lensa mata yang meningkat berakibat pada bertambah baiknya ketajaman mata ikan (Guma’a 1981).
3.4.2 Tipe fotoreseptor ikan kerapu Berdasarkan gambar preparat histologi ikan kerapu, pada retina mata diketahui bahwa tipe sel kon yang merupakan fotoreseptor utama bagi ikan kerapu adalah sel kon ganda (twin cone) yang terbanyak ditemukan pada bagian ventro-
51 temporal retina. Sel kon tunggal (single cone) juga ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Menurut pendapat Matsuoka (1999), pada ikan bertulang sejati ditemukan sel kon ganda dan sel kon tunggal. Ada hubungan antara kedalaman dan kepadatan relatif sel kon ganda dan sel kon tunggal (Tamura 1957). Kebanyakan ikan-ikan yang telah diteliti yang hidupnya relatif dekat dengan permukaan perairan memiliki separuh jumlah sel kon ganda dan separuh jumlah sel kon tunggal. Pada ikan-ikan yang hidup pada kedalaman 100-300 m seperti Helicolenus, Malakichtys, Zenion, Argentina dan Chloropthalmus tidak memiliki sel kon tunggal. Pada ikan layang (Decapterus macrosoma) yang mendapatkan sel kon ganda yang membentuk mosaik yang menyebar merata (Fitri 2002). Ikan yang hanya memiliki sel kon ganda saja yang ditemukan pada retina mata merupakan petunjuk bahwa ikan tersebut merupakan ikan predator. Ikan yang memiliki fotoreseptor sel kon, baik tunggal maupun ganda/kembar dan membentuk susunan mosaik ataupun tidak mengindikasikan bahwa ikan tersebut mampu untuk membedakan warna. Pada ikan cucut Leoprad (Triakis semifasciata), fotoreseptor dominan yang dimiliki adalah sel rod dengan 1 per 9,3 1,2
m2 sedangkan sel kon sangat jarang ditemukan (Sillman et al.
1996). Selanjutnya dijelaskan pula rasio sel rod dan sel kon pada cucut bervariasi, pada Squalus acanthias 50:1, ikan cucut Putih 4:1 dan ikan cucut Sandbark 13:1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ikan cucut tidak mampu membedakan warna dan memiliki kemampuan hanya untuk membedakan kondisi terang dan gelap. Penelitian yang telah dilakukan oleh Razak (2005) pada kelompok ikan karang Chaetodontidae memiliki fotoreseptor yang terdiri atas sel kon ganda dominan yang tersusun membentuk mosaik bujur sangkar. Kondisi ini menunjukkan ketajaman mata yang kuat sehingga mampu menangkap invertebrata kecil yang menjadi makanannya di samping polip koral. Hal tersebut menunjukkan
bahwa
Chaetodontidae
sangat
intensif
menggunakan
penglihatannya dan hidup pada kedalaman kurang dari 100 m. Berdasarkan uraian di atas, jika dihubungkan antara tipe sel kon ikan kerapu dan kedalaman tempat hidupnya maka dapat dikatakan bahwa ikan kerapu hidup pada kedalaman kurang dari 100 m. Selain itu dominannya sel kon ganda
52 berhubungan dengan kebisaan makan. Ikan kerapu memiliki sel kon ganda yang dominan yang tersusun membentuk mosaik memiliki ketajaman mata yang kuat agar mampu menangkap makanan dan menandakan ikan ini sangat intensif menggunakan penglihatannya dan mampu membedakan warna. Susunan mosaik dapat berubah pada satu individu bergantung habitatnya (Fujaya 2002; Herring et al. 1990).
3.4.3 Densitas fotoreseptor Data mengenai densitas sel kon dihubungkan dengan panjang tubuh (BL) secara regresi (Gambar 10) menunjukkan bahwa semakin panjang ukuran tubuh maka densitas sel kon cenderung menurun. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Tamura (1957) yang menyatakan bahwa densitas sel kon akan tetap sama sepanjang hidupnya dan yang berubah adalah diameter lensa mata yang mengikuti pertumbuhan tubuh. Sel kon menurun jumlahnya karena volume sel kon membesar seiring dengan proses pertumbuhan dan perkembangan. Apabila dibandingkan dengan ikan karang lain yang hidup pada kedalaman 100 m, seperti ikan kakap merah (Lutjanus sebae) yang memiliki densitas sel kon berkisar antara 80-112 per luasan 0,01 mm2, ikan beronang (Siganus javus) yang memiliki densitas sel kon berkisar 99-125 per luasan 0,01 mm2 (Salma 2008), ikan kepe-kepe yang memiliki densitas sel kon berkisar 200-541 per luasan 0,12 mm2 (Razak 2005) dan Sebastes schlegeli yang memiliki densitas sel kon berkisar 92-172 per luasan 0,1 mm2 (Torisawa et al. 2002), maka ikan kerapu merupakan ikan karang yang memiliki densitas sel kon yang berada pada kisaran ikan kakap merah, beronang, kepe-kepe, dan Sebastes schlegeli. Berdasarkan hasil penelitian Tamura (1957), kelompok Serranidae (E. septemfasciatus, E. chlorostigma, Lateniabrax japonicus dan Malakichthys wakiyae) memiliki kisaran nilai densitas sel kon 242-1050 per luasan 0,1 mm2 untuk panjang tubuh 90-180 mm. Kisaran nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran densitas sel kon pada ikan kerapu macan dan kerapu karet. Densitas sel kon pada ikan karang menggambarkan kondisi adaptasi ekologi mata. Ikan karang diurnal memiliki kisaran densitas sel kon yang lebih besar dibandingkan ikan karang nokturnal. Sebagai contoh pada ikan karang diurnal ,
53 ikan kepe-kepe dan beronang memiliki kisaran nilai densitas sel kon 200-541 per luasan 0,12 mm2 dan 99-125 per luasan 0,01 mm2, ikan karang nocturnal ikan kakap merah dan Sebastes schlegeli memiliki kisaran densitas 80-112 per luasan 0,01 mm2 dan 92-172 per luasan 0,1 mm2. Ikan kerapu termasuk kelompok crepuscular memiliki kisaran densitas paling kecil dibandingkan kelompok ikan diurnal dan nokturnal. Kelompok ikan crepuscular mempunyai kebiasaan makan pada siang hari dan malam hari, namun lebih aktif lagi pada waktu fajar dan senja hari atau ikan yang aktif di antara waktu siang dan malam hari (Indonesian Coral Reef Foundation 2004 dan Herring et al. 1990).
3.4.4 Sumbu penglihatan (visual axis) Berkaitan dengan kebiasaan makan, ikan kerapu sunu, macan, dan karet adalah ikan yang bersifat karnivora. Sebagai ikan karnivora, kerapu cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak di kolom air (Nybakken 1988). Ikan kerapu biasanya mencari makan dengan cara menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya (Sale 2002). Menurut Gufran dan Kordi (2005), bahwa ikan kerapu yang dipelihara pada kolam pemeliharaan akan mempunyai kebiasaan makan dengan menyergap pakan yang diberikan satu per satu sebelum pakan itu sampai ke dasar. Kerapu dalam keadaan lapar di keramba terlihat siaga dan selalu menghadap ke permukaan air dengan mata bergerak-gerak siap memangsa pakan. Kerapu tidak pernah mau mengambil atau mencaplok pakan yang diberikan apabila sudah jatuh sampai ke dasar, meskipun kerapu dalam keadaan lapar. Berdasarkan kebiasaan makan dan posisi densitas sel kon tertinggi ikan kerapu di atas maka sumbu penglihatannya adalah mengahadap arah depan ke atas. Menurut Blaxter (1980) jika kepadatan tertinggi sel kon di bagian ventro-temporal, maka perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) dan sumbu penglihatan juga akan ke arah depan-naik (upper-fore) pada sudut 300. Analisis sumbu penglihatan ikan kerapu menjadi dasar untuk melakukan penangkapan dengan menggunakan umpan dengan meletakkan umpan pada posisi sesuai dengan kisaran arah pandang ikan kerapu (sumbu penglihatan).
54 3.4.5 Ketajaman mata ikan (visual acuity) Ketajaman penglihatan dipengaruhi oleh diameter lensa, sebagaimana dijelaskan oleh He (1989) bahwa ketajaman penglihatan meningkat karena sudut pembeda terkecil (MSA) semakin kecil karena diameterater lensa semakin besar. Diameter lensa yang besar akan berpengaruh pada jarak fokus yang semakin jauh sehingga berpengaruh pada semakin kecilnya nilai MSA. Hal tersebut dijelaskan pula oleh Shiobara et al. (1998) bahwa ketajaman penglihatan meningkat disebabkan oleh hubungan panjang fokus lensa. Pada ketiga jenis ikan kerapu memiliki diameter lensa yang semakin besar dengan semakin panjang ukuran tubuh, hal tersebut berpengaruh pula terhadap jarak fokus lensa yang semakin jauh. Jarak fokus yang semakin jauh berpengaruh terhadap semakin kecilnya sudut pembeda terkecil, yang artinya bahwa kemampuan ketajaman penglihatan ketiga jenis ikan kerapu semakin tinggi.
3.4.6 Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/ MSD) Ada kecenderungan pertambahan panjang total meningkatkan angka jarak pandang maksimum (MSD), namun pada E. heniochus adanya kecenderungan pada panjang total 200-260 mm kemampuan jarak pandang maksimum relatif sama, yaitu 4,72-4,99 m. Susunan sel kon ganda/kembar yang teratur dengan susunan berbentuk bujur sangkar pada P. maculatus dan E. heniochus menyebabkan meningkatnya ketajaman penglihatan yang akhirnya berpengaruh pada semakin jauhnya jarak pandang maksimum terhadap suatu objek benda.
3.5 Kesimpulan Fotoreseptor ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus), kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus),
dan
kerapu
karet
(Epinephelus
heniochus)
menunjukkan sebagai organ yang intensif digunakan dalam melakukan aktivitasnya. Densitas sel kon terkonsentrasi pada daerah ventro-temporal yang mengindikasikan bahwa arah pandang ikan (sumbu penglihatan) ke arah depannaik (upper-fore).
55 Nilai indeks ketajaman penglihatan ketiga jenis kerapu berkisar 0,05-0,16 yang relatif sama dengan jenis ikan karang lainnya (seperti kepe-kepe, beronang, sersan mayor, kakap merah). Nilai ketajaman penglihatan ikan kerapu sunu (P. maculatus) tertinggi dibandingkan kerapu macan (E. fuscoguttatus) dan kerapu karet (E. heniochus). Ketajaman penglihatan tersebut lebih dipengaruhi oleh diameter lensa dan kepadatan jumlah sel kon. Jarak pandang maksimum terhadap objek benda/umpan berdiameter 25 mm yang tertinggi adalah P. maculatus sejauh (9,33-12,59) m diikuti E. heniochus sejauh (5,73-6,41) m dan yang terendah adalah E. fuscoguttatus (4,47-5,59) m.
4 OTAK IKAN KERAPU
4.1 Pendahuluan Pemahaman tentang otak ikan akan membantu dalam mempelajari adaptasi tingkah laku ikan karena berhubungan erat dengan indera-indera dan sistem hormonal yang terdapat pada ikan. Untuk mengetahui indera apa yang paling berkembang, dapat ditentukan dengan melihat struktur bagian otak mana yang berukuran paling besar dibandingkan dengan bagian otak lainnya. Pola dasar dan kemajuan dari proses yang terjadi di kepala (cephalisasi) pada hewan vertebrata dibandingkan dengan hewan avertebrata adalah konsentrasi rangsangan diterima dan dipadukan pada satuan atau unit-unit yang terdapat di dalam kepala, mulai dari Cyclostomata, Chondrichthyes sampai ikan bertulang sejati (teleostei) (Razak et al. 2005). Bagian-bagian dari otak pada hewan vertebrata terdiri atas (Razak et al. 2005): telencephalon (pusat penciuman), diencephalon (pusat korelasi pesan masuk dan keluar yang berkaitan dengan homeostatis, pusat pesan I), mesencephalon (pusat pesan II), metencephalon (otak kecil, keseimbangan dan tonus otot), myelencephalon (daerah dasar otak, daerah batang otak, medulla) dan spinal cord. Banyak studi yang telah dilakukan pada berbagai jenis ikan menunjukkan adanya hubungan karakteristik tingkah laku yang dicerminkan oleh struktur otak suatu jenis ikan (Kawamura et al. 1981). Otak ikan berbeda baik pada bagian luar ataupun dalamnya sesuai dengan posisi takson atau kelompok ekologinya. Pada ikan pelagis famili Scomberidae (tenggiri) untuk mengetahui indera apa yang paling berkembang, dapat ditentukan dengan melihat struktur bagian otak yang mana yang berukuran paling besar dibandingkan dengan bagian otak lainnya. Apabila bagian otak yang paling besar adalah bagian olfactory bulb berarti indera utamanya adalah hidung sebagai indera penciuman, atau apabila bagian otak yang paling besar adalah lobus opticus berarti indera utamanya adalah mata sebagai indera penglihatan. Ikan cucut memiliki otak depan yang lebih besar luasannya dibandingkan bagian otak lainnya. Otak depan yang luasannya lebih
57 besar dibanding bagian otak lain adalah indikasi indera penciuman yang sangat sensitif sehingga mampu mencium bau darah yang terdapat di perairan dari jarak yang jauh. Ikan-ikan yang hidup pada habitat yang kompleks memiliki telencephalon yang besar dan ketajaman penglihatan yang lebih baik (Schumway 2004). Demikian pula dengan hasil penelitian Bauchot et al. (1989) yang menyatakan bahwa ikan-ikan yang memiliki indera lebih dari satu maka memiliki otak yang lebih besar dibandingkan dengan ikan yang hanya memiliki satu indera ynag berkembang dengan baik. Ikan-ikan yang hidup pada habitat kompleks dengan keragaman spesies yang tinggi seperti pada daerah terumbu karang secara umum memiliki indeks encephalisasi yang tinggi dibandingkan dengan ikan yang hidup di lumpur atau dasar perairan yang berpasir. Penelitian ini menggambarkan seberapa penting indera penglihatan dan penciuman pada ikan kerapu yang dicerminkan oleh struktur otaknya. Parameterparameter otak yang diamati dalam dimensi berat (mg) kemudian dibandingkan antara berat otak dan berat tubuh, berat bagian-bagian otak (olfactory bulb, telencephalon, optic tectum, cerebellum, dan medulla oblongata).
4.2 Metode Penelitian 4.2.1 Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB sejak bulan Juni – Juli 2007
4.2.2 Pengambilan dan penimbangan sampel otak Sampel otak berasal dari lima ekor ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus), tujuh ekor kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan enam ekor kerapu karet (Epinephelus heniochus). Metode yang digunakan adalah metode gravimetri dan fotografi (Razak 2005). Metode gravimetri dilakukan dengan cara menimbang berat otak total, berat tubuh, dan berat komponen otak. Bahan yang diperlukan adalah otak ikan kerapu sunu, kerapu macan, dan kerapu karet yang telah dimasukkan freezer selama 3 hari. Panjang tubuh diukur
58 dengan penggaris dengan skala terkecil dalam milimeter. Kemudian berat tubuh masing-masing ikan ditimbang dengan timbangan digital type BL-220H dengan tingkat ketelitian 3 digit di belakang koma (0,001 g). Setelah dihitung dilanjutkan dengan pemotretan dengan kamera digital tipe A-430. Otak ikan kerapu selanjutnya ditimbang dan dipotong per bagian komponen (olfactory bulb, telencephalon, optic tectum, cerebellum dan medulla oblongata).
4.2.3 Analisis data Data yang diperoleh adalah hasil penimbangan dari variabel otak, yaitu berat otak dan berat tubuh. Variabel otak dihubungkan dalam formula untuk mendapatkan perbandingan antara berat tubuh dan berat tiap komponen otak pada masing-masing ikan kerapu. Analisis hubungan variabel tersebut dilakukan dengan analisis regresi. Berat otak ditimbang dan dibandingkan dengan hasil pengukuran berat tubuh ikan kerapu. Otak kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat otak total. Kemudian otak dipotong pada bagian olfactory bulb (Ob), telencephalon (Tel), optic tectum (Ot), cerebellum (Cer) dan medulla oblongata (MO) lalu ditimbang dan dibandingkan beratnya untuk mengetahui rasio persentase berat bagian-bagian otak tersebut dengan berat otak total. Penentuan rasio berat otak (B0) ikan kerapu dilakukan dengan menggunakan formula sebagai berikut: B0
B0 .100% Bt
keterangan: Bo
: berat otak (mg); dan
Bt
: berat tubuh (mg)
Penentuan rasio area otak (Ob, Tel, Ot, Cer dan MO) adalah sebagai berikut: AO
i
bO .100% BO
keterangan: AO - i : rasio area otak ke-i;
59 bO-i
: berat area otak ke-i (mg); dan
BO
: berat otak (mg).
4.3 Hasil 4.3.1 Struktur otak ikan kerapu Hasil pengamatan dan pengambilan gambar terhadap otak ikan kerapu dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar tersebut menunjukkan bahwa struktur otak tiga spesies ikan kerapu relatif sama. Otak ikan kerapu karet, ikan kerapu sunu, dan ikan kerapu macan pada bagian telencephalon, optic tectum dan cerebellum berukuran besar. Cerebellum melengkung ke atas dan terdapat medulla oblongata di belakang cerebellum. Struktur otak pada ikan kerapu relatif sama. Perkembangan otak ikan tersebut ke arah lateral. Otak ikan kerapu menunjukkan bahwa telencephalon, optic tectum, dan cerebellum berkembang.
60
10 mm 10 mm
5
(A)
(B) 2 1
3
5 4
10 mm
(C) Keterangan : (A). Otak ikan kerapu karet, (B) Otak ikan kerapu sunu, (C) Otak ikan kerapu macan (perbesaran 5 kali) 1) olfactory bulb, 2) telencephalon, 3) optic tectum, 4) cerebellum, 5) medulla oblongata Gambar 23 Bentuk otak ikan kerapu dari arah dorsal Apabila dibandingkan dengan skipjack tuna memiliki cerebellum yang membesar dan optic tectum berukuran besar sebagai ikan predator yang aktif mencari makanan/mangsa dengan mengandalkan penglihatannya. Struktur otak ikan dari berbagai kelompok dapat dilihat pada Gambar 24.
61
(A)
(B)
Tel
Ot Cer
(D) Eg
(C)
(A) Ikan kepe-kepe Rhabdophorus fasciatus (Bauchot et al. 1989), (B) Ikan hiu Carcharhinus falciformis (Lisney dan Collin 2006), (C) Skipjack tuna (Tsunoda et al. 2003), dan (D) Ikan teleostei Lepidocybium flavobrunneum (Lisney dan Collin 2006). Tel-telencephalon; Ob-olfactory bulb; Sy-sulcus ypsiliformis; TM/Ot-optic tectum; Cer/CC-cerebellum; Eg-eminentia granularis; MO-medulla oblongata Gambar 24 Struktur otak ikan
62 4.3.2 Rasio berat tubuh dan berat otak ikan kerapu Rasio berat tubuh dan berat otak ikan kerapu yang disajikan pada Tabel 6 berkisar antara 0,04-0,37%. Rasio berat otak terhadap tubuh berbeda nyata. Persentase berat otak terhadap berat total tubuh yang terendah terdapat pada ikan kerapu macan, yakni 0,04%. Kisaran nilai tersebut juga dimiliki ikan kerapu lumpur sebesar 0,1% (Razak 2005). Tabel 6 Hubungan berat otak dan berat tubuh ikan kerapu No
Jenis Kerapu
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kerapu Macan-1 Kerapu Macan-2 Kerapu Macan-3 Kerapu Macan-4 Kerapu Macan-5 Kerapu Macan-6 Kerapu Macan-7 Kerapu Sunu-1 Kerapu Sunu-2 Kerapu Sunu-3 Kerapu Sunu-4 Kerapu Sunu-5 Kerapu Karet-1 Kerapu Karet-2 Kerapu Karet-3 Kerapu Karet-4 Kerapu Karet-5 Kerapu Karet-6
BL Berat tubuh (BW) Berat otak (bw) (bw/BW) (mm) (mg) (mg) % 125 220000 127 0,05773 195 215000 138 0,06419 160 345000 183 0,05304 160 345000 188 0,05449 200 354000 176 0,04972 210 447000 189.8 0,04246 205 480000 201.13 0,04190 140 50000 184 0,36800 190 148000 281 0,18986 195 223000 365 0,16368 195 150000 281 0,18733 200 456000 386 0,08465 165 197000 208 0,10558 160 120000 250 0,20833 190 180000 254 0,14111 190 190000 277 0,14579 205 230000 282 0,12261 195 223000 512 0,22960
4.3.3 Persentase rata-rata berat bagian-bagian otak terhadap berat otak total ikan kerapu Gambar 25, 26, dan 27 memperlihatkan persentase berat rata-rata bagian otak, yaitu olfactory bulb, telencephalon, optic tectum, cerebellum, dan medulla oblongata terhadap berat total otak. Persentase berat rata-rata bagian otak ikan kerapu macan adalah olfactory bulb 12%, telencephalon 17%, optic tectum 50%, cerebellum 11%, dan medulla oblongata 11% (Gambar 24). Gambar 25 menerangkan persentase olfactory bulb 7%, telencephalon 20%, optic tectum 45%, cerebellum 14%, dan medulla oblongata 15% pada ikan kerapu sunu. Gambar 26 menerangkan persentase berat rata-rata bagian otak ikan kerapu karet adalah
63 olfactory bulb 3%, telencephalon 30%, optic tectum 34%, cerebellum 19%, dan medulla oblongata 14% . 100 90
Keterangan: Ob – Olfactory bulb Tel – Telencephalon Ot – Optic tectum Cer – Cerebellum Mo – Modula oblongata
80 70
(%)
60 50 40 30 20 10 0 Ob
Tel
Ot
Cer
Mo
Bagian otak
Gambar 25 Persentase area otak ikan kerapu macan
100
Keterangan: Ob – Olfactory bulb Tel – Telencephalon Ot – Optic tectum Cer – Cerebellum Mo – Modula oblongata
90 80 70
(%)
60 50 40 30 20 10 0 Ob
Tel
Ot
Cer
Mo
Bagian otak
Gambar 26 Persentase area otak ikan kerapu sunu
64 Keterangan: Ob – Olfactory bulb Tel – Telencephalon Ot – Optic tectum Cer – Cerebellum Mo – Modula oblongata
100 90 80
(%)
70 60 50 40 30 20 10 0 Ob
Tel
Ot
Cer
Mo
Bagian otak
Gambar 27 Persentase area otak ikan kerapu karet Apabila dibandingkan, ketiga ikan kerapu di atas memperlihatkan bahwa optic tectum merupakan bagian terbesar (34-50%) kemudian diikuti oleh bagian telencephalon (17-30%) dan cerebellum (11-14%). Perbandingan kisaran bagian otak dari ketiga jenis ikan kerapu terdapat pada Gambar 27. Persentase berat ratarata bagian otak ikan kerapu serupa dengan persentase berat rata-rata bagian otak ikan kepe-kepe auriga (C. auriga), dimana optic tectum merupakan bagian terbesar (54%) kemudian diikuti bagian telencephalon (19%) yang dapat di lihat pada Gambar 28 (Razak 2005)
100 90 80
(%)
70 60
E. fuscoguttatus
50
P. maculatus E. heniochus
40
Keterangan: Ob – Olfactory bulb Tel – Telencephalon Ot – Optic tectum Cer – Cerebellum Mo – Modula oblongata
30 20 10 0 Ob
Tel
Ot
Cer
Mo
Bagian otak
Gambar 28 Persentase area otak ikan kerapu
65 100 90
Keterangan: Hypo – Hypothalamus Tel – Telencephalon Ot – Optic tectum Cer – Cerebellum Mo – Modula oblongata
80 70
(%)
60 50 40 30 20 10 0 Hypo
Tel
Ot
Cer
Mo
Bagian otak
Gambar 29 Persentase area otak ikan kepe-kepe C. auriga (Razak 2005)
Apabila dibandingkan dengan persentase berat rata-rata bagian otak ikan kerapu dengan persentase berat rata-rata bagian otak ikan hiu dan pelagis terlihat pada Gambar 29 dan Gambar 30. Pada ikan hiu, bagian otak yang paling besar dan berkembang sangat baik adalah telencephalon dengan kisaran nilai 48,4283,05% diikuti cerebellum (33,19-8,45%), optic tectum (8.9-2,26%), medulla oblongata (5,4-1,03%), dan olfactory bulb (2,6-3,39%) (Lisney dan Collin 2006). 100 90 80
(%)
70 60
A. superciliosus
50
C. falciformis
40 30 20 10 0 Ob
Tel
Ot
Cer
Mo
Bagian otak Ob-Olfactory bulb, Tel-Telencephalon, Ot-Optic tectum, Cer-Cerebellum, Mo-Medulla oblongata
Gambar 30 Persentase area otak ikan hiu, thresher sharks (Alopias superciliosus), dan requiem sharks (Carcharhinus falciformis) (Lisney dan Collin 2006)
66
(%)
100 90 80 70 60
C. hippurus
50 40 30 20
L. flavobrunneum K. pelamis
10 0 Ob
Tel
Ot
Cer
Mo
Bagian otak Ob-Olfactory bulb, Tel-Telencephalon, Ot-Optic tectum, Cer-Cerebellum, Mo-Medulla oblongata
Gambar 31 Persentase berat otak ikan pelagis, dolphinfishes (Coryphaena hippurus), snake-mackerels (Lepidocybium flavobrunneum), dan tunas (Katsuwonus pelamis) (Lisney dan Collin 2006)
4.3.4 Telencephalon dan optic tectum Tabel 7 menunjukkan bahwa persentase berat optic tectum pada ikan karang pada umumnya dan ikan kerapu pada khususnya lebih besar dibandingkan dengan persentase berat telencephalon. Pada ikan karang seperti ikan kerapu, kepe-kepe, kakap merah dan sersan mayor persentase berat rata-rata telencephalon berkisar 14,00-20,00% dan persentase rata-rata berat optic tectum berkisar 35,00-57,00%. Pada ikan pelagis kecil seperti ikan selar dan ikan pisangpisang, berat rata-rata telencephalon 9,45-12,40% dan optic tectum 47,20-48,36%, dan ikan pelagis besar seperti mackerel dan tuna berat rata-rata telencephalon 15,89-17,32%, dan optic tectum 48,76-58,46%. Data tersebut menjelaskan bahwa berat rata-rata telencephalon ikan karang khususnya ikan kerapu lebih besar dibandingkan dengan ikan pelagis kecil. Persentase optic tectum ikan pelagis ratarata lebih besar dibandingkan ikan karang, kecuali ikan kepe-kepe.
67 Tabel 7 Perbandingan persentase rata-rata berat telencephalon dan optic tectum terhadap berat total ikan kerapu, ikan kepe-kepe dan ikan pelagis. Jenis Ikan
% Berat Telencephalon
% Berat Optic tectum
Sumber
20,00
45,00
Fitri (2008)
19,00
57,00
Razak (2005)
14,30
47,00
Razak (2005)
16,00
35,66
Razak (2005)
15,89
58,46
17,32
48,76
Lisney dan Collin (2006) Lisney dan Collin (2006)
48,42
8,90
83,05
2,26
Ikan Karang Kerapu (Epinephelus sp) Kepe-kepe (Chaetodon sp) Kakap merah (Lutjanus sp) Ikan Bendera (Zanclus sp) Ikan Pelagis Besar Mackerel (Lepidocybium sp) Tuna (Katsuwonus pelamis) Ikan Hiu
Thresher sharks (Alopias superciliosus) Requiem sharks (Carcharhinus falciformis)
Lisney dan Collin (2006) Lisney dan Collin (2006)
4.4 Pembahasan 4.4.1 Struktur otak ikan kerapu Otak ikan kerapu karet (E. heniochus), ikan kerapu sunu (P. maculatus), dan ikan kerapu macan (E. fuscoguttatus) pada bagian telencephalon, optic tectum, dan cerebellum berukuran besar. Cerebellum melengkung ke atas dan terdapat medulla oblongata di belakang cerebellum. Struktur otak pada ikan kerapu relatif sama yaitu ke arah lateral. Artinya bahwa perkembangan otak ikan kerapu mengindikasikan bahwa habitat hidupnya yang komplek di perairan terumbu karang. Menurut Schumway (2005), bahwa perkembangan otak ke arah lateral seperti pada ikan African cichlid di Danau Victoria menunjukkan habitatnya yang komplek. Struktur otak ikan kerapu ke arah lateral tidak berbeda jauh dengan ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) (Razak 2005) yang juga termasuk kelompok ikan karang.
68 Otak ikan kerapu menunjukkan bahwa telencephalon, optic tectum dan cerebellum berkembang. Menurut Bauchot et al. (1989) bahwa berkembangnya bagian otak depan dan otak tengah (telencephalon dan optic tectum) merupakan indikasi ikan diurnal. Menurut pendapat Lisney dan Collin (2006), bagian otak telencephalon dan cerebellum yang berkembang mengindikasikan adaptasi terhadap lingkungan mikrohabitat. Struktur otak ikan berbeda bergantung pada habitat hidupnya, seperti kelas elasmobranch (ikan cucut atau hiu/shark) memiliki otak yang sangat berkembang dan ukuran otak yang cukup besar. Ikan hiu dari spesies Carcharhinus falciformis memiliki bulbus olfactorius yang membesar, cerebellum berukuran besar (Lisney dan Collin 2006). Hal tersebut mengindikasikan bahwa ikan hiu termasuk kelompok predator yang aktif dan mengandalkan organ penciumannya (olfactory) untuk mencari makanan/mangsa. Ikan kelas pelagis teleostei (Lepidocybium flavobrunneum) memiliki area optic tectum dan cerebellum yang berkembang. Menurut Lisney dan Collin (2006), hal tersebut menunjukkan bahwa Lepidocybium
flavobrunneum
termasuk
kelompok
ikan
predator
yang
mengandalkan organ mata untuk mencari makanan/mangsa. Ikan famili Chaetodontidae memiliki telencephalon dan optic tectum yang berkembang dan cerebellum melengkung ke atas (Razak 2005) yang mengindikasikan bahwa ikan kepe-kepe hidup pada habitat yang komplek, diurnal dan mengandalkan organ matanya untuk mencari makanan. Otak yang berkembang dengan ukuran besar berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu kompleksitas habitat, pengatur gerakan, dan predator aktif sebagai gaya hidup (Bauchot et al. 1977 diacu dalam Lisney dan Collin 2006). Ikan hiu hidup pada habitat yang bervariasi salinitas (euryhaline) dan mampu hidup pada zona laut dangkal (inshore) dan zona lepas pantai (offshore) (Moore 1971 diacu dalam Razak 2005). Ikan hiu harimau yang merupakan predator di terumbu karang memiliki indera penciuman yang sangat tajam, gurat sisi yang peka terhadap getaran, dan mata yang sangat sensitif membedakan gelap dan terang sehingga eksistensi ikan hiu sebagai salah satu organisme yang paling eksis di muka bumi (Moore 1971 diacu dalam Razak 2005). Struktur otak ikan kepe-kepe memberikan refleksi sebagai ikan karang yang hidup pada komunitas yang
69 kompleks (Razak 2005). Area otak cerebellum yang dimiliki ikan skipjack tuna menunjukkan sebagai kelompok ikan yang memiliki kemampuan bergerak yang gesit (Tsunoda et al. 2003) karena cerebellum berperan untuk lokomotor yang efektif dengan berenang secara cepat dan mengkoordinasi tonus otot dan keseimbangan sewaktu berenang (sensory integrasimotor) (Razak et al. 2005, dan Lisney dan Collin 2006). Lebih lanjut dijelaskan pula pada ikan famili Mormyridae dan Siluroidae bahwa volume cerebellum yang besar bukan sebagai pusat koordinasi dan keseimbangan berenang, tetapi merupakan integrasinya impuls sensoris sebagai komponen indera reseptor listrik. Ikan kerapu termasuk kelompok piscivorous pada terumbu karang (Nybakken 1988), yaitu ikan dalam kelompok ini memiliki struktur otak yang menonjol pada area penglihatan lebih baik, tetapi untuk organ rasa dan gurat sisi hanya berukuran sedang (Kotrschal et al. 1998). Hal tersebut mengindikasikan bahwa kelompok ikan kerapu menggunakan organ penglihatan untuk mendeteksi objek atau makanan yang bergerak. Ikan predator pada terumbu karang, selain ikan hiu, kebanyakan merupakan ikan nokturnal aktif pada malam hari dan mata memiliki sedikit atau bahkan tidak ada memiliki sel kon yang sensitif terhadap cahaya terang dan komponen yang berperan penting dalam membedakan warna (Kaufman 2005). Ikan kerapu adalah predator twilight level/ambient light (Herring et al. 1990, Indonesian Coral Reef Foundation 2004), yaitu predator yang aktif mencari makan saat subuh dan petang dengan organ sensoris yang digunakan adalah mata. Struktur otak ikan kerapu mengindikasikan bahwa indera yang berkembang dengan baik tidak hanya organ penglihatan tetapi juga indera yang lain seperti indera penciuman dan gurat sisi. Ikan karang seperti ikan kerapu yang hidup pada komunitas yang kompleks memiliki indeks ensefalisasi yang lebih besar dibandingkan ikan yang hidup pada lumpur atau dasar berpasir (Bauchot et al. 1989). Dikemukakan oleh Lisney and Collin (2006), bahwa gugus sosial ikan yang kompleks di habitat terumbu karang dengan berkembangnya sensor integrasimotor yang ditandainya dengan berkembangnya telencephalon dan cerebellum. Kondisi otak yang demikian seperti yang dimiliki ikan kerapu yang
70 hidup dengan berinterkasi dengan kelompok ikan lain pada habitat terumbu karang yang sangat kompleks.
4.4.2 Rasio berat tubuh dan berat otak ikan kerapu Menurut Bone dan Marshall (1982), bahwa secara absolut ukuran otak ikan yang ukuran tubuhnya berbeda akan berbeda pula, tetapi rasio otak dengan berat tubuh relatif sama untuk semua kelompok ikan, kecuali pada ikan bertulang rawan (Elasmobranchii) yang ukuran otaknya lebih besar dengan rasio otak dengan berat tubuh 400% lebih besar dari ikan bertulang sejati, seperti ikan kerapu. Berdasarkan hasil penelitian Razak (2005), ikan karang jenis lain yang terdapat di perairan Pelabuhanratu, seperti ikan kepe-kepe dengan rasio berat tubuh dan berat otak berkisar 0,1-0,5%, Abudefduf sp berkisar 0,3-0,4%, Amphiprion sp 0,2-0,3%, Lutjanus sp 0,3% dan Zanclus sp berkisar 0,2-0,5%. Pada ikan hiu, rasio berat otak dan berat total tubuh kurang dari 0,1% (Bauchot et al. 1989) dengan berkembangnya indera-indera sensorisnya. Perbedaan otak ikan bersifat relatif bergantung pada adaptasi hidup dan habitat perairan. Otak yang membesar disebabkan oleh jumlah unit sel saraf dan kompleksitas unitnya sehingga volumenya membesar dibandingkan otak yang berukuran kecil (Razak 2005). Telencephalon pada ikan hiu sangat pesat perkembangannya. Besarnya porsi telencephalon tersebut berguna bagi ikan hiu untuk mengandalkan indera penciumannya untuk mencari makanan/mangsa. Menurut Razak (2005), telencephalon merupakan tempat penerimaan, elaborasi, dan meneruskan (konduksi) impuls aroma atau bau. Selain itu, fungsi telencephalon sebagai pengaturan complex social atau tingkah laku bergerombol (schooling) (Lisney dan Collin 2006; Marlin dan Ostrander 1994 diacu dalam Razak 2005). Nilai persentase terbesar kedua pada ikan hiu terdapat di area cerebellum, hal tersebut mengindikasikan bahwa ikan hiu aktif menggunakan bagian otak ini dalam integrasi motoriknya untuk melakukan adaptasi terhadap habitatnya, baik untuk bergerombol (schooling) maupun makan (Lisney dan Collin 2006).
71 4.4.3 Persentase rata-rata berat bagian-bagian otak terhadap berat otak total ikan kerapu Pada ikan kerapu, porsi berat optic tectum mengindikasikan bahwa organ utama pada ikan kerapu adalah mata, dan porsi berat telencephalon dan cerebellum mengindikasi bahwa ikan kerapu hidup pada habitat yang kompleks pada ekosistem karang (Schumway 2005). Apabila dibandingkan dengan ikan pelagis (teleostei) maka ikan pelagis memiliki persentase tiap bagian otak hampir sama dengan ikan karang (ikan kerapu dan ikan kepe-kepe) dengan persentase terbesar hingga terkecil berturutturut pada bagian optic tectum, telencephalon, dan cerebellum. Persentase tiap bagian otak pada ikan pelagis (teleostei) dapat di lihat pada Gambar 30. Artinya bahwa pada ikan pelagis, organ yang berperan dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan adalah mata. Apabila ditinjau dari besarnya nilai persentase tiap bagian otak, ikan pelagis memiliki persentase nilai bagian otak yang lebih besar dibandingkan dengan ikan kerapu, terutama pada bagian cerebellum. Hal tersebut menunjukkan bahwa, dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan, ikan pelagis selalu aktif bergerak. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Bauchot et al. (1998) bahwa faktor ekologi seperti gaya hidup sebagai ikan predator dengan kemampuan kecepatan renang yang tinggi, dan kemampuan lokomotor dalam melakukan gerakan yang lincah adalah sistem fungsional penting yang berhubungan dengan ukuran otak pada ikan. Secara umum, uraian di atas menunjukkan bahwa perkembangan indera penglihatan pada ikan kerapu porsinya terbesar karena mengalami perkembangan evolusi yang disesuaikan dengan habitatnya yang memiliki keragaman biota laut yang tinggi. Kemampuan penglihatan ikan kerapu mengindikasikan bahwa ikan kerapu merupakan ikan karnivora yang aktif mencari mangsa. Porsi optic tectum yang besar merupakan cermin bentuk adaptasi ekologi mata ikan kerapu yang didukung secara sinergis oleh otak. Kedua komponen tersebut merupakan bagian dari mekanisme bertahan maupun mencari makan dalam berinteraksi pada komunitas ikan di daerah terumbu karang. Apabila dibandingkan dengan ikan hiu, porsi telencephalon yang terbesar, merupakan cerminan organ dominan dalam melakukan aktivitasnya adalah organ penciuman. Pada ikan pelagis, dengan kemampuan sebagai predator memberikan gambaran
72 adaptasi yang ditandai dengan porsi area otak yang besar, yaitu optic tectum dan cerebellum. Hal ini menunjukkan bahwa tiap kelompok ikan dengan komunitas yang berbeda memiliki porsi area otak dominan yang berbeda tergantung eksistensi dan interaksinya pada komunitas.
4.4.4 Telencephalon dan optic tectum Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata berat telencephalon dan optic tectum pada ikan karang adalah sama. Perbandingan antara persentase berat telencephalon dengan berat optic tectum mengindikasikan bahwa ikan karang umumnya lebih dominan menggunakan organ penglihatan dalam melakukan aktivitas. Kemampuan organ penglihatan tersebut tergantung pada intensitas cahaya yang dapat diterima ikan karang sehingga aktivitas ikan terbagi menjadi kelompok ikan diurnal, nocturnal, dan crepuscular (twilight). Berat telencephalon ikan karang lebih besar dibandingkan ikan pelagis besar, yang diduga berkaitan dengan habitat hidup ikan karang yang lebih kompleks. Pada ikan pelagis besar memiliki adaptasi ekologis lebih diutamakan agar tubuh mengapung dalam medium air laut, berenang cepat untuk menghindari predator, dan mencari makan (Schumway 2005). Pada ikan pelagis besar, ukuran dan volume telencephalon lebih kecil daripada optic tectum. Hal tersebut menunjukkan bahwa olfactory bulb kurang berkembang dan penglihatan merupakan indera yang penting untuk bergerak cepat mendeteksi keberadaan makanan (Kawamura et al. 1981). Selain itu, habitat ikan pelagis besar adalah kolom air lautan terbuka yang tidak beragam proses ekologis di dalamnya seperti habitat ikan karang yang berada pada perairan terumbu yang sangat beragam dan sangat kompleks interaksi ekologi yang terjadi di dalamnya. Ikan hiu memiliki persentase berat telencephalon yang lebih besar dibandingkan berat optic tectum. Hal ini mengindikasikan bahwa organ penciuman yang penting untuk mendeteksi keberadaan makanan (Lisney dan Collin 2006).
73 4.5 Kesimpulan Struktur otak ikan kerapu menggambarkan kemampuan indera sensoris. Indera sensoris yang memiliki area luasan yang terluas dibandingkan indera sensoris lainnya adalah indera penglihatan yang diperlihatkan oleh porsi persentase
berat
terbesar
pada
bagian
optic
tectum.
Porsi
tersebut
mengindikasikan bahwa ikan kerapu lebih dominan menggunakan organ penglihatan dalam melakukan aktivitas. Persentase terbesar kedua adalah telencephalon yang mengindikasikan bahwa organ sensoris dominan kedua adalah organ penciuman. Selain itu telencephalon mengindikasikan pula bahwa ikan kerapu mampu beradaptasi pada habitat kompleks pada ekosistem terumbu karang.
5 UMPAN
5.1 Pendahuluan Umpan merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya pada keberhasilan dalam usaha penangkapan, baik masalah jenis umpan, sifat, dan cara pemasangannya (Sadhori 1985). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Berdasarkan sifat fisika, umpan merupakan bentuk perangsang yang dapat dideteksi oleh organ penglihatan ikan, sedangkan berdasarkan sifat kimia jika umpan sebagai bentuk perangsang untuk dapat dideteksi oleh organ penciuman ikan. Umpan dapat dibedakan berdasarkan kondisinya sebagai umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait), sedangkan berdasarkan asalnya dibedakan sebagai umpan alami dan umpan buatan. Umpan alami (natural bait) adalah jenis umpan murni yang berasal dari alam yang dalam penggunaannya umpan tersebut dapat dalam bentuk utuh atau dipotong-potong. Hal yang harus diperhatikan pada penggunaan umpan mati adalah bahwa semua umpan mati harus dalam keadaan segar tidak boleh basi (Wiryawan 1993). Penggunaan kesegaran umpan mati sangat mempengaruhi kandungan protein yang di dalamnya terdapat asam amino yang bertanggung jawab sebagai atraktor aroma. Semakin lama perendaman umpan akan menurunkan kemampuan umpan sebagai atraktor aroma. Umpan buatan (artificial bait) adalah umpan yang dibuat dari berbagai macam bahan makanan ikan dalam bentuk pelet. Tujuan pembuatan umpan buatan (artificial bait) dalam
penangkapan ikan dengan bubu ini adalah sebagai
attractant (penarik) agar ikan-ikan dapat dengan cepat masuk dan terperangkap ke dalam bubu. Umumnya umpan buatan diproduksi oleh skala industri penangkapan yang digunakan pada alat tangkap tuna longline, pancing, dan perangkap (trap) (Januma et al. 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa tujuan pembuatan umpan buatan sebagai pengganti atau alternatif penggunaan umpan alami, dengan
75 memanfaatkan hasil sampingan industri perikanan yang merupakan perbaikan selektivitas hasil tangkapan terutama pada perikanan tuna longline. Menurut Zarochman (1994), syarat-syarat umpan mati yang biasanya digunakan pada alat tangkap yang bersifat pasif seperti bubu adalah: (1) Umpan yang digunakan dalam keadaan segar (2) Tidak mudah rusak dan tidak terlalu lembek (3) Berupa potongan daging atau bentuk utuh (4) Memiliki bau dan warna yang disukai oleh ikan-ikan sasaran Pemilihan umpan biasanya disesuaikan dengan kebiasaan makan ikan yang menjadi sasaran penangkapan (Bambang 2000). Umumnya ikan yang aktif di malam hari (nocturnal) akan menyukai umpan hidup yang memiliki bau yang kuat (Baskoro dan Efendy 2005). Hal ini mengindikasikan bahwa bervariasinya jenis umpan yang digunakan nelayan sebagai gambaran bahwa setiap ikan memiliki kecenderungan memakan jenis makanan yang berbeda sesuai dengan kebiasaan di habitat alaminya. King (1991) menjelaskan bahwa umpan pada bubu dan perangkap digunakan untuk menangkap ikan dan crustacea. Prinsipnya adalah ikan tertarik oleh umpan, lalu masuk ke dalam bubu melalui mulut bubu dan sulit untuk melarikan diri. Umpan dengan menggunakan ikan cucut dan kakap dapat menghasilkan tangkapan yang banyak (Wudianto et al. 1993). Bubu yang menggunakan umpan dari ikan yang dipotong-potong, hasil tangkapannya lebih baik dibandingkan dengan menggunakan umpan buatan (pelet). Akan tetapi, tidak semua jenis ikan akan merespons jenis umpan yang sama, masing-masing spesies memiliki pilihan jenis umpan yang berbeda, seperti misalnya pinfish (Lagodon rhomboides) memperlihatkan respons yang besar terhadap umpan dari udang dan pigfish (Orthopristis chrysopterus) (Yamamoto 1982). Menurut Monintja et al. (1992), umpan yang digunakan dalam pengoperasian jaring keranjang untuk menangkap ikan-ikan karang adalah terasi. Hal-hal yang berhubungan dengan umpan sebagai atraktor dalam penangkapan ikan ditentukan oleh kandungan kimia umpan yang digunakan. Kandungan kimia tersebut erat kaitannya sebagai perangsang bau pada ikan, yang meliputi kandungan proksimat, asam amino, asam lemak, dan amoniak.
76 Umpan yang mengandung asam amino diidentifikasi dapat menjadi stimulus dan atraktor makan pada ikan dan crustacea, dan hampir semua studi mengenai rangsangan kimia untuk tingkah laku makan menunjukkan bahwa rangsangan makan pada ikan dan crustacea akan hilang seiring dengan hilangnya kandungan asam amino pada umpan (makanan) (Engas dan Lokkeborg 1994). Lebih lanjut menurut pendapat Sola dan Tongiorgi (1998), berdasarkan hasil beberapa analisis elektrofisiologi bahwa asam amino merupakan atraktan (stimuli) yang efektif untuk organ penciuman dan rasa pada ikan. Menurut pendapat Hansen dan Reutter (2004) bahwa ikan predator (buas) yang makan makananmakanan tidak hidup (umpan) menggunakan sistem pencium mereka untuk dapat merangsang makan dan dapat membeda-bedakan stimuli asam amino. Asam amino yang sangat efektif sebagai stimulus pada sistem penciuman ikan atlantik salmon adalah L-glutamina dan L-alanina (Caprio 1982). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa efektivitas relatif stimulus organ penciuman dari kandungan asam amino sebanyak 10-4 M adalah L-alanina, L-glutamina, Lsisteina, dan L-metionina. Kandungan L-alanina terdapat pada jaringan organisme cacing, moluska, crustacea, dan ikan teleostei. Untuk L-arginina, terdapat pada jaringan organisme moluska dan crustacea. Pengetahuan yang mendasari bahwa untuk ikan catfish, reseptor penciuman sangat besar responsnya terhadap kandungan sisteina dan metionina; dan pada reseptor rasa sangat besar responsnya terhadap kandungan alanina dan arginina masih belum diketahui. Nukleosida, nukleotida dan 3 jenis asam amino aromatik (fenilalanina, triptofan dan tirosina) dan histidina diidentifikasi sebagai stimulan makanan (Lokkeborg 1990) Berdasarkan hasil penelitian Yacoob et al. (2004) terhadap respons ikan cod atlantik stadia juvenile pada kandungan asam amino umpan menunjukkan bahwa asam amino leusina, metionina, asparagina, glutamina, alanina, dan treonina berperan sebagai perangsang penciuman yang tinggi dibandingkan prolina, fenilalanina, dan triptofan. Pada kelompok ikan air tawar, seperti ikan raibow trout (Oncorhynchus mykiss), asam amino yang berperan sebagai perangsang bau adalah sisteina, arginina dan glutamina (Hara 2006). Potensi laju pelarutan atau pelepasan kandungan asam amino umpan akan mengalami penurunan seiring dengan lamanya waktu perendaman antara 2 hingga
77 24 jam (Lokkeborg 1990). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa penurunan laju pelepasan antara umpan mackerel (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) berkisar 36% dan 31% pada satu jam pertama, selanjutnya pada lama perendaman 4 jam kemudian terjadi penurunan menjadi 20% dan 27% dan setelah 24 jam menjadi 4% dan 9%. Perbandingan presentase kandungan asam amino pada umpan segar dibandingkan umpan yang telah mengalami perendaman selama 2 jam akan mengalami penurunan sebesar 87% dan 84% setelah perendaman 4 jam, pada perendaman 24 jam penurunannya menjadi 45% (Lookkeborg 1994). Penelitian mengenai analisis kandungan kimia dari berbagai jenis umpan, baik umpan alami dan buatan untuk operasi pangkapan masih belum banyak diketahui dan belum memberikan informasi yang jelas. Penelitian ini menganalisis ketahanan fisik umpan alami dan kandungan kimia pada umpan alami dan umpan buatan yang digunakan sebagai atraktor pada penangkapan ikan kerapu.
5.2 Metode Penelitian 5.2.1 Waktu dan tempat penelitian Penelitian mengenai pembuatan formulasi umpan buatan dilakukan pada Laboratorium Bio-Kimia, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK-IPB. Pembuatan formulasi umpan buatan (dalam bentuk pasta) berdasarkan hasil analisis kimia yang dilakukan pada umpan alami. Analisis kimia umpan, baik umpan alami dan umpan buatan, dilakukan pada Laboratorium Pascapanen, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, CimangguBogor. Analisis ketahanan umpan selama perendaman pada air laut dilakukan pada Laboratorium Biologi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB. Penelitian dilakukan pada bulan Juni– Agustus 2007.
5.2.2 Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif terhadap umpan. Umpan terdiri atas umpan alami (ikan juwi, udang krosok, dan gonad bulu babi) dan umpan buatan (umpan A, umpan B, umpan C, umpan D, dan umpan K).
78 Berdasarkan hasil analisis kimia yang dilakukan pada umpan alami, kemudian dibuat formulasi umpan buatan yang dibuat dalam bentuk pasta. Pembuatan formulasi umpan buatan dan analisis ketahanan umpan alami selama perendaman pada air
laut dilakukan pada
Laboratorium
Biologi
dan
Keanekaragaman Hayati Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, FPIK-IPB. Analisis kimia umpan, baik umpan alami dan umpan buatan dilakukan pada Laboratorium Pascapanen, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Cimanggu-Bogor.
5.2.3 Pembuatan umpan buatan (1) Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam membuat formulasi umpan buatan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Alat dan bahan membuat umpan buatan No
Alat dan bahan
Kegunaan
1
Timbangan digital type BL-220H
2
Wadah plastik volume 1 kg
3 4
Baki penjemur berukuran 27cm x 21cm x 5cm Kertas label
5
Tepung ikan
Menimbang bahan-bahan untuk membuat umpan Tempat mencampur bahan dalam pembuatan umpan Tempat menjemur umpan yang telah menjadi pasta Labelling masing-masing umpan buatan Bahan pembuat umpan
6
Minyak ikan
Bahan pembuat umpan
7
Tepung tapioka
Bahan pembuat umpan
8
Tepung terigu
Bahan pembuat umpan
9
Air tawar
Bahan pembuat umpan
79 (2) Prosedur pembuatan umpan buatan Formulasi umpan yang dibuat terdiri dari umpan A, umpan B, umpan C, umpan D, dan umpan K. Sebagai perbedaan adalah minyak ikan dengan perbandingan: 1) Umpan A minyak ikan 5%, dengan komposisi 100 g: Minyak ikan = 5 g Tepung ikan =
1 x 95 g = 19 g 5
Tepung terigu =
1 x 95 g = 19 g 5
Tepung tapioka =
3 x 95 g = 57 g 5
2) Umpan B minyak ikan 15%, dengan komposisi 100 g: Minyak ikan = 15 g Tepung ikan =
1 x 85 g = 17 g 5
Tepung terigu =
1 x 85 g = 17 g 5
Tepung tapioka =
3 x 85 g = 51 g 5
3) Umpan C minyak ikan 25%, dengan komposisi 100 g: Minyak ikan = 25 g Tepung ikan =
1 x 75 g = 15 g 5
Tepung terigu =
1 x 75 g = 15 g 5
Tepung tapioka =
3 x 75 g = 45 g 5
4) Umpan D minyak ikan 35%, dengan komposisi 100 g: Minyak ikan = 35 g
80
Tepung ikan =
1 x 65 g = 13 g 5
Tepung terigu =
1 x 65 g = 13 g 5
Tepung tapioka =
3 x 65 g = 39 g 5
5) Umpan K minyak ikan 0% (kontrol), dengan komposisi 100 g: Minyak ikan = 0 g Tepung ikan = 0 g Tepung terigu =
2 x 100 g = 40 g 5
Tepung tapioka =
3 x 100 g = 60 g 5
Prosedur pembuatan formulasi umpan buatan sebagai berikut: 1) Bahan pembuat umpan dihitung sesuai bobot yang diperlukan (untuk pembuatan 100 g umpan jumlah bahan yang dibutuhkan disesuaikan dengan formulasi yang diinginkan). 2) Bahan-bahan yang memiliki bobot terkecil seperti tepung ikan dan tepung terigu dicampurkan terlebih dahulu dalam wadah hingga merata, kemudian pencampuran tepung tapioka sampai rata, dilanjutkan dengan minyak ikan. 3) Setelah adonan merata, untuk menjadi pasta ditambahkan air tawar sesuai dengan kebutuhan secara perlahan-lahan. 4) Untuk bentuk kering, umpan yang telah jadi dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari hingga kandungan kadar air menjadi 20%.
5.2.4 Analisis data (1) Ketahanan umpan alami selama perendaman Umpan alami terdiri atas ikan juwi (Anodontostoma chacunda), udang krosok (Metapenaeopsis palmensis) dan gonad bulu babi (Diadema setosum). Uji ketahanan umpan bertujuan untuk mengetahui tingkat ketahanan masing-masing
81 umpan di dalam air laut dengan melihat perubahan yang terjadi pada bentuk dan tekstur daging umpan hingga warnanya pudar dan tekstur daging mulai hancur. Uji ketahanan gonad bulu babi tidak dilakukan karena bahan ini cepat memudar ketika diambil dari cangkang bulu babi dan diletakkan di air. Tahapan uji ketahanan umpan adalah sebagai berikut: 1) Menyiapkan akuarium yang telah diisi air laut kemudian digunakan aerator agar timbul arus (kondisi akuarium diumpamakan sama dengan kondisi laut). 2) Memasukkan umpan ke dalam akuarium sampai terlihat tekstur daging umpan sudah pudar/tidak kompak. Selama proses perendaman selalu mengamati perubahan tekstur daging umpan dari mulai di masukkan sampai pudar. 3) Dihitung waktu yang dibutuhkan dari umpan mulai dimasukkan sampai tekstur daging pudar.
(2) Analisis kandungan kimia umpan Analisis yang dilakukan selanjutnya adalah analisis kimia umpan untuk mengetahui kandungan kimia dari masing-masing umpan. Analisis kimia yang dianalisis adalah analisis proksimat, analisis asam amino, dan analisis asam lemak. 1) Analisa proksimat (A.O.A.C. 2000) Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, protein, dan lemak. 2) Analisis asam amino Sebelum dilakukan analisis asam amino, terlebih dahulu perlu diketahui kadar protein sampel. Metode yang digunakan untuk analisis tersebut menggunakan metode Kjehdal (A.O.A.C. 2000). Analisis asam amino menggunakan metode HPLC dengan pereaksi ortoftaldehida (OPA) untuk membentuk senyawa yang berfluoresensi. Senyawa tersebut dapat dideteksi oleh detektor fluoresensi. 3) Analisis asam lemak Metode ekstraksi lemak menggunakan metode Soxhlet, sedangkan analisis asam lemak melalui tahapan metilasi (A.O.A.C. 2000) dan penyuntikan dengan GC
82 5.3 Hasil 5.3.1 Ketahanan umpan alami selama perendaman Pengujian ketahanan umpan alami dilakukan dalam skala laboratorium. Umpan direndam dengan air laut pada gelas ukur volume 500 ml yang diberi aerator agar terjadi arus. Pengujian tersebut dilakukan sebanyak 5 kali ulangan. Hasil dari uji ketahanan umpan ditampilkan pada Tabel 9 berikut : Tabel 9 Ketahanan umpan di dalam air laut. Jenis umpan
Ketahanan umpan (jam)
Ikan juwi
36
Udang krosok
36
Umpan buatan
20
Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa jenis umpan ikan juwi dan udang samasama memiliki ketahanan tekstur daging yang mulai memudar mulai waktu 36 jam dengan kondisi terendam pada air laut yang beraerator. Artinya, kekompakan tekstur kedua jenis umpan tersebut akan hancur mulai waktu 36 jam setelah perendaman. Pada umpan buatan, ketahanan umpan dalam air lebih pendek waktunya dibandingkan dengan umpan alami (ikan dan udang). Hal ini membuktikan bahwa ketahanan tiap jenis umpan berbeda.
5.3.2 Kandungan kimia umpan (1) Umpan alami (natural bait) Besarnya kandungan proksimat umpan alami (ikan, udang, dan gonad bulu babi), meliputi kandungan air, protein, dan lemak dapat dilihat pada Gambar 32. Kandungan asam amino umpan alami yang terdiri atas 17 unsur dapat dilihat pada Gambar 33.
83
900 800
Nilai (mg/gr)
700 600 B.Babi
500
Udang
400
Ikan
300 200 100 0 Air
Lemak
Protein
Gambar 32 Kandungan proksimat umpan alami
B.Babi Udang Ikan
As
.A As sp . G art l u at ta m S e at rin G a lis H ina ist id Ar ina gi n T r i na eo n Al ina an i Pr na ol T i i na ro sin Va a M lin et a io n Si ina st Is ein ol eu a s L in F e eu a ni sin la a la ni n Li a si na
Nilai (mgr/gr)
60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
asam amino
Gambar 33 Kandungan asam amino umpan alami (natural bait) Gambar 32 menunjukkan bahwa kandungan air tertinggi terdapat pada umpan udang, yaitu sebanyak 777,9 mg/g diikuti oleh umpan ikan juwi sebanyak 741,7 mg/g dan umpan gonad bulu babi sebanyak 731,4 mg/g. Kandungan lemak tertinggi terdapat pada umpan gonad bulu babi, yaitu sebanyak 67,6 mg/g, sedangkan pada umpan ikan dan udang berturut-turut 15,6 mg/g dan 8,4 mg/g. Kandungan protein tertinggi terdapat pada umpan ikan, yaitu sebanyak 171,4
84 mg/g diikuti oleh umpan udang sebanyak 138,2 mg/g, dan umpan gonad bulu babi sebanyak 83,2 mg/g. Jenis asam amino yang dianggap sebagai atraktan pada organ penciuman ikan antara lain arginina, alanina, metionina, dan lisina. Kandungan arginina tertinggi terdapat pada umpan ikan dengan nilai 4,33 mg/g, dan nilai terendah pada umpan udang sebesar 0,14 mg/g. Kandungan alanina tertinggi terdapat pada umpan ikan dengan nilai 30,48 mg/g, nilai terendah terdapat pada umpan gonad bulu babi sebesar 0,13 mg/g. Kandungan metionina tertinggi terdapat pada umpan ikan dengan nilai 5,62 mg/g, nilai terendah terdapat pada umpan gonad bulu babi sebesar 0,07 mg/g. Kandungan lisina tertinggi terdapat pada umpan ikan dengan nilai 20,68 mg/g, nilai terendah terdapat pada umpan gonad bulu babi sebesar 0,06 mg/g. 40
Nilai (mgr/gr)
35 30 25
B.Babi
20
Udang
15
Ikan
10 5
at en Li nl
Li no
le
at
at O le
ra t St ea
t lm ita Pa
st at M iri
La
ur at
0
asam lemak
Gambar 34 Kandungan asam lemak umpan alami (natural bait)
Kandungan asam lemak umpan alami disajikan pada Gambar 34. Komponen lemak terbesar yang terdapat pada umpan alami antara lain miristat, palmitat, oleat, dan linoleat. Kandungan miristat tertinggi terdapat pada umpan gonad bulu babi, yaitu sebanyak 34,51 mg/g sedangkan yang terendah adalah pada umpan udang sebanyak 0,04 mg/g. Kandungan palmitat tertinggi terdapat pada umpan gonad bulu babi, yaitu sebanyak 22,48 mg/g, sedangkan yang terendah terdapat pada umpan udang, yaitu sebanyak 3,82 mg/g. Kandungan oleat tertinggi terdapat pada umpan ikan, yaitu sebanyak 6,27 mg/g, sedangkan yang terendah
85 pada umpan udang, yaitu sebanyak 0,84 mg/g. Kandungan linoleat tertinggi tertinggi pada umpan ikan, yaitu sebanyak 5,11 mg/g, sedangkan yang terendah pada umpan udang, yaitu sebanyak 0,78 mg/g.
(2) Umpan buatan (artificial bait) Pemilihan komposisi bahan formulasi didasarkan pada respons kimiawi ikan terhadap kondisi lingkungan maupun proses mencari makan. Pemilihan minyak ikan dan tepung ikan sebagai bahan penyusun utama umpan buatan ini dikarenakan minyak ikan mengandung komposisi kimiawi berupa asam lemak yang merupakan bahan perespons utama dalam proses penciuman ikan (Fujaya 2004). Tepung ikan merupakan pengeringan dari ikan segar yang dihilangkan kandungan air, sehingga kandungan asam amino merupakan kandungan utama. Pembuatan formulasi umpan buatan didasarkan pada hasil analisis kimia yang dilakukan pada umpan alami. Umpan buatan diformulasikan dalam bentuk pasta. Dari hasil formulasi umpan buatan yang dihasilkan kemudian dianalisis kembali komposisi kimianya. Hasil analisis kimia umpan buatan disajikan pada Gambar 35, 36, dan 37.
350 300
Nilai (mg/gr)
250
Umpan A Umpan B
200
Umpan C 150
Umpan D Umpan K
100 50 0 Lemak
Protein
Air
Gambar 35 Analisis proksimat umpan buatan (artificial bait) Gambar 35 menunjukkan bahwa kandungan protein tertinggi terdapat pada umpan A, yaitu sebanyak 152,9 mg/g diikuti oleh umpan B sebanyak 135,7 mg/g;
86 umpan C sebanyak 134,4 mg/g; dan umpan D sebanyak 92,5 mg/g. Umpan kontrol (K) memiliki nilai kadar protein terendah, yaitu sebanyak 40,3 mg/g. Kandungan lemak tertinggi terdapat pada umpan D, yaitu sebanyak 331,8 mg/g, sedangkan pada umpan A, B, C, dan K berturut-turut 54,3 mg/g; 231,9 mg/g; 283,9 mg/g, dan 2,2 mg/g. Kandungan air tertinggi terdapat pada umpan K, yaitu sebanyak 399,6 mg/g. Hal ini disebabkan karena umpan ini tidak menggunakan minyak ikan dan tepung ikan tetapi hanya menggunakan air sebagai pencampurnya. Kandungan asam amino (arginina) tertinggi terdapat pada umpan D, yaitu sebanyak 0,45 mg/g; kandungan lisina tertinggi juga terdapat pada umpan D, yaitu sebanyak 0,53 mg/g. Kandungan arginina dan lisina dianggap sebagai atraktan pada organ penciuman ikan. Kandungan asam amino yang terdapat pada umpan buatan disajikan pada Gambar 36. 3
Nilai (mgr/gr)
2.5 umpan A
2
umpan B umpan C
1.5
umpan D 1
umpan K
0.5
As
. As Asp . G ar l u t at ta m S e at rin G a lis H in ist a id Ar ina gi T r ni n eo a n Al ina an i Pr na ol T i i na ro sin Va a M lin et a io n Si ina st Is ein ol eu a s L in F e eu a ni sin la a la ni n Li a si na
0
asam amino
Gambar 36 Kandungan asam amino pada umpan buatan (artificial bait) Komponen asam lemak terbesar yang terdapat pada umpan buatan antara lain palmitat, dan oleat. Kandungan palmitat tertinggi terdapat pada umpan D, yaitu sebanyak 141,54 mg/g, sedangkan yang terendah adalah pada umpan kontrol. Kandungan oleat tertinggi terdapat pada umpan D, yaitu sebanyak 60,32 mg/g,
87 sedangkan yang terendah terdapat pada umpan K. Kandungan lemak umpan buatan disajikan pada Gambar 37. 160 140
Nilai (mgr/gr)
120 100
umpan A umpan B
80
umpan C umpan D
60
umpan K 40 20 0 Laurat
Miristat
Palmitat
Stearat
Oleat
Linoleat Linolenat
asam lemak
Gambar 37 Kandungan asam lemak umpan buatan (artificial bait)
5.4 Pembahasan 5.4.1 Ketahanan umpan alami selama perendaman Kemampuan umpan sebagai atraktor penangkapan akan semakin berkurang seiring dengan lamanya waktu perendaman. Hal tersebut disebabkan karena tekstur umpan yang mengalami penurunan. Akibatnya respons ikan terhadap umpan semakin lama pula dan umpan akan semakin hancur serta kehilangan aromanya. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan pada kerapu macan menunjukkan bahwa waktu respons makan ikan kerapu macan mengalami penurunan ketika umpan direndam hingga 12 jam, yaitu sebesar 93% pada umpan ikan juwi dan 82% pada umpan ikan teri. Menurut Lokkeborg (1996) umpan yang efektif digunakan pada operasi penangkapan adalah umpan yang direndam selama 60 menit agar aroma yang terkandung di dalam tubuh ikan larut dalam air. Hal serupa dikemukakan pula oleh Gervibeita et al. (1997) bahwa terjadi penurunan hasil tangkapan torsk (Brosme brosme) pada alat tangkap pancing dengan menggunakan umpan mackerel dengan lama waktu perendaman lebih 24
88 jam karena pelepasan atraktan pada umpan akan mengalami penurunan, yang berarti akan sangat berpengaruh pada efisiensi penangkapan.
5.4.2 Kandungan kimia umpan Tester (1953) diacu dalam Syandri (1988) mengatakan bahwa kebiasaan makan ikan dapat dipengaruhi oleh bau-bau yang dikeluarkan dari tetesan daging yang mengandung substansi-substansi kimia sehingga merangsang ikan untuk makan. Ikan memiliki kepekaan yang berbeda terhadap berbagai bentuk makanannya. Ada ikan yang tertarik pada bau umpan yang menyengat dan ada pula ikan yang tertarik pada umpan yang memiliki bentuk yang menarik baginya. Biasanya jenis ikan yang aktif di malam hari (nocturnal) akan menyukai umpan hidup yang memiliki bau yang kuat (Baskoro dan Efendy 2006). Bau yang dikeluarkan umpan berasal dari kandungan kimia di dalam umpan tersebut. Kandungan kimia umpan merupakan komponen yang dapat merangsang respons makan pada ikan (Fujaya 2004). Chemical sense sangat penting untuk mencari posisi/letak makanan ketika ikan telah dekat dengan sumber makanan (Lokkeborg 1998). Kandungan kimia yang diujikan pada masing-masing umpan alami meliputi kandungan air, lemak, dan protein serta asam amino, dan asam lemak.
(1) Umpan alami Air berfungsi sebagai bahan yang dapat mendispersikan berbagai senyawa yang ada dalam suatu bahan, dan beberapa bahan tersebut malah berfungsi sebagai pelarut (Winarno 1992). Pada umpan, kandungan air akan berpengaruh pada distribusi bau dalam air. Semakin banyak kandungan air dalam umpan akan mempercepat distribusi bau di dalam air. Kandungan air menyebabkan umpan mengalami degradasi autolisis protein dan lemak. Protein dan lemak mengeluarkan aroma amis yang disukai oleh ikan. Aroma ini akan menyebar pada media air dan ditangkap oleh indra penciuman ikan. Udang mempunyai kandungan air yang paling besar di antara umpan ikan dan
89 gonad bulu babi. Kandungan protein tertinggi pada umpan ikan sedangkan kandungan lemak tertinggi terdapat pada gonad bulu babi. Asam amino dan minyak ikan merupakan kandungan kimia umpan yang dapat merangsang organ penciuman ikan (Fujaya 2004, Djarijah 1998). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan uji kandungan asam amino pada umpan alami. Kandungan asam amino yang direspons oleh penciuman ikan sekaligus sebagai perangsang nafsu makan antara lain alanina, arginina, glutamina, metionina, lisina dan prolina. Kandungan alanina tertinggi terdapat pada umpan ikan, demikian pula kandungan arginina, metionina, dan lisina yang dianggap sebagai atraktan organ penciuman ikan dengan nilai tertinggi juga terdapat pada umpan ikan. Kandungan asam amino merupakan isyarat (cue) dalam mencari makan (food search) baik yang dapat merangsang organ penciuman (olfactory) maupun organ rasa (gustatory) (Nikonov dan Caprio 2001). Komponen kimia dalam umpan yang telah diidentifikasi sebagai perangsang nafsu makan (olfaction dan gustation) adalah asam amino bebas dan nukleotida, L-alanina, glisina, dan L-prolina (Fujaya 2004). Selanjutnya Clark (1985) menjelaskan bahwa asam amino yang dapat merangsang penciuman ikan adalah taurina, asam glutamat, alanina, glisina, prolina, dan asam aspartat. Menurut Takaoka et al. (1987) diacu dalam Jones (1992) stimulan kimia yang dapat mempengaruhi makan pada ikan marbled rockfish (Sebasticus marmoratus) adalah alanina, metionina, serina, dan prolina, dan inosin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yacoob et al. (2004); Hara (2006); Yamashita et al. (2006), dan Nikonov dan Caprio (2007) bahwa komponen kimia pada asam amino yang merupakan stimulan pada organ olfactory ikan adalah alanina, arginina, metionina, dan leusina; prolina dan glutamina merupakan asam amino yang merangsang organ rasa (gustatory) pada ikan. Rantai kimia pada kandungan asam lemak apabila terpotong akan berpengaruh pada pembentukan komponen yang bertanggung jawab atas bau. Dari kandungan asam lemak miristat dan palmitat umpan gonad bulu babi memiliki kandungan yang paling tinggi dibandingkan umpan ikan dan udang. Berdasarkan hasil penelitian di Samudera Pasifik, umpan yang mengandung
90 lebih banyak lemak menghasilkan tangkapan yang lebih baik dibandingkan dengan umpan dengan kandungan lemak yang kurang (King 1986 diacu dalam Rahardjo dan Linting 1993). Menurut Ketaren (1986), jenis asam lemak palmitat terdapat dalam sebagian besar lemak hewani dengan titik cair 64°C, sedangkan miristat, umumnya terdapat pada lemak ikan hiu. . (2) Umpan buatan Asam amino merupakan kandungan kimia umpan yang dapat merangsang organ penciuman ikan (Fujaya 2004). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan analisis kandungan asam amino pada umpan buatan. Komposisi asam amino umpan buatan terdiri atas 17 jenis asam amino. Sama halnya seperti pada umpan alami, asam amino pada umpan buatan, yang merupakan bagian dari protein yang dapat merangsang organ penciuman ikan dan sekaligus sebagai perangsang nafsu makan, antara lain alanina, glisina, prolina, valina, lisina, fenilalanina, histidina, dan triptofan. Tujuan pembuatan umpan buatan dalam penangkapan ikan dengan bubu ini adalah sebagai attractant (penarik) agar ikan-ikan dapat dengan cepat masuk dan terperangkap ke dalam bubu. Pemilihan komposisi bahan formulasi didasarkan pada respons kimiawi ikan terhadap kondisi lingkungan maupun proses mencari makan. Pemilihan minyak ikan dan tepung ikan sebagai bahan penyusun utama umpan buatan ini dikarenakan minyak ikan mengandung komposisi kimiawi berupa asam amino dan asam lemak yang merupakan bahan perangsang utama dalam proses penciuman ikan. Kandungan minyak yang dimasukkan sebagai salah satu bahan dalam pembuatan umpan tiruan apabila bercampur dengan air akan berpengaruh sebagai atraktan ikan (Anonim 2008). Komponen kimia dalam umpan yang telah diidentifikasi sebagai perangsang nafsu makan (olfaction dan gustation) adalah asam amino bebas dan nukleotida, L-alanina, glisina, dan L-prolina. Selanjutnya Clark (1985), juga menjelaskan bahwa asam amino yang dapat dirangsang oleh penciuman ikan adalah taurina, glutamina, alanina, glisina, prolina dan aspartat.
91 Umpan buatan D (komposisi minyak ikan (35%), tepung ikan (13%) dan tepung terigu dan tepung tapioka (52%) memiliki kandungan lemak tertinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin banyak minyak ikan, maka semakin tinggi jumlah lemak yang dihasilkan. Sebagaimana pendapat Djarijah (1998), pemberian minyak ikan dalam pembuatan pakan ikan berfungsi sebagai atraktan
(bahan penyedap aroma). Berdasarkan keterangan tersebut dapat
diketahui bahwa secara langsung maupun tidak langsung ikan akan merespons semua makanan yang dianggap memiliki kandungan asam lemak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Umpan buatan (artificial bait) sebagai bahan uji komposisi kimia dibuat dalam bentuk kering dengan kadar air 20%. Kadar air tertinggi terdapat pada umpan D (378,2 mg/g). Semakin banyak kandungan air dalam umpan akan mempercepat proses dispersi dan distribusi bau dalam air. Umpan yang digunakan pada uji coba lapangan dibuat dalam bentuk pasta, sehingga ikan dapat cepat merespons bau yang ditimbulkan. Kandungan air yang cukup tinggi membantu dalam proses dispersi zat kimia, sehingga ikan akan dapat dengan cepat memberikan respons terhadap umpan. Asam amino yang terkandung dalam umpan buatan sebagian merupakan komponen perangsang utama dalam proses penciuman ikan. Menurut Sutterlin dan Sutterlin (1971), reseptor penciuman pada ikan memiliki respons tertinggi terhadap asam amino yang merupakan bagian dalam rangkaian protein. Perbandingan lemak dan protein antara umpan alami dan umpan buatan menunjukkan bahwa umpan buatan memiliki kandungan lemak dan protein lebih banyak. Perbedaan ini dimungkinkan karena umpan buatan merupakan hasil pengolahan ikan dengan tingkat konsentrasi kandungan lemak dan protein yang tinggi dari bahan yang terpisah. Namun perbedaan yang cukup besar terjadi pada kandungan asam amino (alanina dan lisina), dimana umpan alami memiliki jumlah kandungan alanina dan lisina yang lebih banyak. Antarspesies ikan memiliki kepekaan asam amino yang relatif berbeda pada jenis-jenis makanan/umpan (Hara 1993). Pada kebanyakan spesies, kombinasi kandungan asam amino (prolina, betaina, glisina dan alanina) diidentifikasikan sebagai kandungan yang efektif untuk stimulan makanan. L-prolina merupakan
92 jenis asam amino yang utama untuk organ rasa (gustatory) pada ikan salmon yang merupakan
faktor
penting
dalam
makan
(Hara
1993).
Kapasitas
stimulan/perangsang makan ikan pada kandungan asam amino lebih efektif apabila dalam bentuk suatu campuran dari unsur-unsur pokok dibandingkan satu atau beberapa unsur asam amino saja ( Lokkeborg 1990). Ikan menggunakan penciumannya (olfaction) untuk tingkah laku dalam membedakan bau (odorants) dan menggunakan asam amino dan nucleotides sebagai isyarat makan (Nikonov dan Caprio 2001). Hal tersebut dibuktikan dengan dilakukannya tes pada bagian olfactory bulb pada ikan catfish untuk mendeteksi sensitivitas organ tersebut terhadap bile salt, nucleotides, dan asam amino yang menunjukkan bahwa signal terbanyak diterima oleh olfactory bulb adalah asam amino. Kandungan asam lemak palmitat yang tinggi pada umpan buatan D disebabkan kandungan minyak ikan pada formulasi umpan D tertinggi dibandingkan umpan buatan lainnya, sebagaimana pendapat Ketaren (1986), bahwa jenis asam lemak palmitat sebagian besar terdapat pada sumber minyak hewani. Diduga dengan kandungan palmitat yang tinggi ditambah dengan adanya campuran air pada umpan D maka akan terjadi peristiwa hidrolisis yang menimbulkan suatu senyawa aromatik yang dapat berfungsi sebagai atraktan pada organ penciuman ikan.
5.5 Kesimpulan Ketahanan tekstur umpan udang dan ikan pada perendaman air laut beraerator adalah selama 36 jam. Kandungan air pada ketiga umpan alami, yaitu umpan gonad bulu babi, udang, dan ikan lebih tinggi dibandingkan pada umpan buatan. Kandungan protein tertinggi baik pada umpan alami maupun umpan buatan terdapat pada umpan ikan. Kandungan asam amino yang dianggap dapat dideteksi oleh indera penciuman kerapu (alanina, arginina, metionina, dan lisina) pada umpan alami yang tertinggi adalah umpan ikan, sedangkan pada umpan buatan adalah kandungan arginina, metionina, leusina dan lisina terdapat pada formulasi umpan D.
93 Kandungan asam lemak yang dianggap dapat direspons kerapu pada jenis umpan alami, yaitu miristat dan palmitat yang terdapat pada umpan gonad bulu babi, oleat dan linoleat terdapat pada umpan ikan. Pada umpan buatan, kandungan palmitat dan oleat terdapat pada formulasi umpan D.
6 TINGKAH LAKU IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN
6.1 Pendahuluan
Tingkah laku ikan diartikan sebagai perubahan-perubahan ikan dalam kedudukan, tempat, arah, maupun sifat lahiriah suatu makhluk hidup yang mengakibatkan suatu perubahan dalam hubungan antara makhluk tersebut dan lingkungannya yang pada gilirannya juga berpengaruh kembali pada makhluk itu sendiri (Syandri 1985). Ditambahkan pula bahwa tingkah laku sebagai refleks atau respons ikan terhadap segala bentuk faktor-faktor dari luar maupun dari dalam yang diaktualisasikan dalam bentuk gerak yang berpola sesuai dengan jenis faktor yang mempengaruhinya. Dengan demikian mempelajari tingkah laku ikan perlu dilakukan untuk menentukan langkah-langkah dalam merancang alat tangkap yang sesuai dengan jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan, menentukan jenis alat tangkap yang akan dioperasikan, waktu penangkapan, dan sebagainya. Tingkah laku ikan adalah suatu proses adaptasi terhadap lingkungan eksternal dan internal. Sistematika studi tingkah laku ikan termasuk ke dalam beberapa aspek, yaitu: (1) Ragam dari tingkah laku ikan; adalah ragam tingkah laku dari berbagai tingkah laku ikan. (2) Evolusi tingkah laku ikan; adalah perubahan tingkah laku ikan dalam hubungannya dengan adaptasi terhadap lingkungan tertentu dalam jangka waktu yang panjang. (3) Sejarah (history) tingkah laku ikan; adalah untuk mempelajari bagaimana pola tingkah laku tertentu dari generasi yang lampau sampai generasi yang akan dating, serta faktor dan bagaimana variasi yang akan muncul hubungannya dengan perubahan lingkungan (He 1989). Salah satu faktor yang paling besar pengaruhnya pada keberhasilan suatu penangkapan ikan adalah umpan. Umpan merupakan salah satu alat bantu yang berpengaruh pada daya tarik dan rangsangan ikan (Gunarso 1985). Umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan yang berbentuk fisik/kimiawi yang dapat
95 memberikan respons terhadap ikan-ikan tertentu dalam tujuan penangkapan ikan (Ruivo 1982 diacu dalam Hendrotomo 1989). Salah satu jenis rangsangan untuk menarik perhatian ikan adalah rangsangan kimiawi (chemical bait) yang akan merangsang indera penciuman dan perasa serta rangsangan penglihatan (optical bait), yang diberikan atau ditimbulkan untuk merangsang penglihatan sebagai akibat dari gerak, bentuk, maupun warna. Pemilihan umpan biasanya disesuaikan dengan kebiasaan makan ikan yang menjadi sasaran penangkapan (Bambang 2000). Umumnya, ikan yang aktif di malam hari (nocturnal) akan menyukai umpan hidup yang memiliki bau yang kuat (Baskoro dan Efendy 2005). Berdasarkan kondisinya umpan dapat dibedakan sebagai umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait), sedangkan berdasarkan asalnya dibedakan sebagai umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait). Menurut Ferno dan Olsen (1994), ada empat fase tingkah laku makan ikan terhadap makanan/umpan, yaitu : (1) Timbul selera (arousal). Fase ini dimulai pada saat ikan mulai bereaksi terhadap adanya rangsangan bau. Kemudian ikan akan menggunakan organ olfactorynya untuk mendeteksi jarak atau keberadaan makanan (umpan). (2) Menemukan lokasi (location phase). Setelah fase pertama, ikan-ikan akan berorientasi untuk dapat mencari lokasi umpan yang telah dideteksinya melalui organ chemoreceptor ataupun organ deteksi lainnya. Biasanya pada tahap ini, ikan akan menggunakan organ visionnya untuk menemukan makanan atau umpan. (3) Mengidentifikasi umpan (uptake). Pada fase ini ikan akan berhasil menemukan umpan dan akan mencari tahu apakah umpan ini cocok untuk dimakan atau tidak. Berdasarkan hasil pengamatan di laboratorium, ikan yang menemukan umpan akan berhenti sejenak sebelum mulai memakannya. (4) Fase masuknya makanan (umpan) ke dalam mulut ikan (food ingestion). Fase ini merupakan fase ketika ikan mulai memakan umpan. Hal yang sangat berpengaruh pada fase ini adalah ukuran dan bentuk umpan, dimana umpan yang teralalu besar tidak akan termakan oleh ikan yang berukuran kecil.
96 Pelabuhan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (2006) menyatakan ikan kerapu mempunyai kebiasaan makan pada siang hari dan malam hari, namun lebih aktif lagi pada waktu fajar dan senja hari. Indonesian Coral Reef Foundation (2004) mengatakan bahwa kerapu termasuk jenis crepuscular, yang merupakan ikan yang aktif di antara waktu siang dan malam hari. Jenis ikan crepuscular merupakan jenis ikan utama yang terdapat pada habitat dengan aktivitas antara siang dan malam hari (twilight) dan umumnya adalah predator (Potts 1990). Ikan kerapu hidup menyendiri (soliter) dan menyukai naungan sebagai tempat sembunyi dan akan bergerak di kolom air sewaktu mencari makan (Muslim dan Slamet 2003). Menurut Ghufran dan Kordi (2005), ikan kerapu selain dikenal sebagai ikan pemangsa (predator) juga dikenal sebagai piscivore atau pemangsa yang rakus. Ditambahkan oleh Akbar (2000) bahwa kerapu di alam akan mencari makan sambil berenang di antara batu-batu karang, lubang atau celah-celah batu yang merupakan tempat persembunyiannya dan hanya kepalanya saja yang terlihat. Dari tempat itulah kerapu menunggu mangsanya, bila mangsa tampak dari jarak jauh, kerapu melesat cepat untuk menangkap dan menelannya kemudian segera kembali ke tempat persembunyiannya. Prinsip tingkah laku ikan harus didukung oleh pemahaman terhadap indera utama dari ikan (organ fisiologi) khususnya indera penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, linea literalis dan sebagainya (Gunarso 1985). Indera-indera tersebut merupakan indera penting pada ikan berhubungan dengan natural behaviour. Ditegaskan pula oleh Liang et al. (1998) bahwa tingkah laku makan ikan merupakan hasil interaksi dari beberapa indera pada ikan bergantung pada habitat dan pengaruh yang dihasilkan oleh makanan Penelitian ini menjelaskan tingkah laku makan ikan kerapu dengan menggunakan umpan alami dan umpan buatan pada waktu siang dan sore hari. Parameter-parameter yang diamati adalah pola tingkah laku makan dan waktu respons makan ikan kerapu.
97 6.2 Metode Penelitian 6.2.1 Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB dan di Laboratorium Hatchery LPWP-Jepara (Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, UNDIP pada bulan Juni 2007 hingga Februari 2008.
6.2.2 Alat dan bahan penelitian (1) Bak pemeliharaan Bak
yang
digunakan
untuk
pemeliharaan
ikan
kerapu
macan
(Epinephelus fuscoguttatus) adalah bak fiber dengan ukuran 230 cm x 100 cm x 75 cm (p x l x t) dan tinggi air 30-40 cm. Bak ini dilengkapi dengan sistem aerasi dan sirkulasi, yang dihubungkan dengan akuarium filter dari kaca. Untuk menjaga suhu air dalam bak, dipasang heatter sebanyak 8 buah. Selain itu digunakan skimmer untuk merombak materi organik (protein), alga yang bebas melayang, sisa-sisa pakan, dan lain sebagainya sebelum berubah secara kimia menjadi racun dan mereduksi oksigen terlarut. Bak yang digunakan untuk pemeliharaan ikan kerapu karet (Epinephelus heniochus), dan kerapu sunu (Plectropomus maculatus) adalah bak beton dengan ukuran masing-masing 300 cm x 150 cm x 115 cm dengan batas air 70 cm. Bak tersebut tidak dilengkapi dengan sistem filterisasi sehingga dilakukan pergantian air secara kontinue setiap hari dan dilakukan pembersihan kolam seminggu sekali.
(2) Akuarium perlakuan Akuarium untuk perlakuan terdiri atas dua bagian, yaitu perlakuan untuk mengkondisikan siang hari dan perlakuan untuk mengkondisikan malam hari. Akuarium untuk perlakuan malam hari terbuat dari kaca berukuran 200 cm x 50 cm x 50 cm (p x l x t) dengan tinggi air 30 cm. Akuarium juga dilengkapi dengan heatter dan sistem aerasi. Akuarium diletakkan di dalam ruang tertutup yang terbuat dari plastik mulsa dengan rangka kayu untuk menghindari adanya cahaya selama perlakuan. Akuarium dibagi menjadi tiga bagian, bagian untuk
98 menempatkan ikan uji sebagai wilayah start, bagian untuk ikan uji melakukan respons makan terhadap umpan dan bagian untuk menempatkan perlengkapan heatter, skimmer, termometer dan pompa filter. Desain akuarium untuk perlakuan malam hari dapat dilihat pada Gambar 38. Akuarium untuk perlakuan siang hari adalah bak fiber yang digunakan sebagai bak pemeliharaan. Pada saat perlakuan, bak dibuat skala dengan tali rafia yang diikatkan pada dinding bak. Desain bak perlakuan siang hari dapat dilihat pada Gambar 39. Tampak samping Video camera
heater
TV Monitor
50 cm
Pompa air
30 cm aerator
heatter skimmer
50 cm Pompa air
aerator
heatter
50 cm
100 cm
Tampak atas
Gambar 38 Desain akuarium perlakuan dark condition
50 cm
99
Tampak samping Video camera
TV Monitor
heatter
100 cm 70 cm
aerator
50 cm aerato r
heatter skimme r
100 cm
230 cm
Tampak atas Gambar 39 Desain bak perlakuan light condition
100 (3) Alat penelitian Alat yang digunakan selama penelitian tersaji pada Tabel 10. Tabel 10 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian : Alat
Kegunaan
Pompa, pipa, selang, aerator, air stone
Sistem sirkulasi
Skimmer
Menyaring sisa-sisa makanan dan kotoran ikan
Heater (pemanas air)
Mempertahankan suhu air laut
Saringan besar (diam. 70 cm)
Memindahkan ikan
Saringan kecil (diam. 40 cm)
Mengambil sisa-sisa makanan dan kotoran ikan
Selang
Menyipon bak
Termometer
Mengukur suhu air laut
pH paper
Mengukur kadar pH air laut
Refraktometer
Mengukur salinitas air laut
Sekat dari tripleks
Menghalangi ikan bergerak maju sebelum perlakuan dimulai
Kayu
Media menggantungkan umpan
Benang jahit
Menggantungkan umpan
Kertas skala dari karton
Skala yang dipasang di bawah akuarium perlakuan
Roll meter
Mengukur bak dan akuarium
Jangka sorong
Mengukur panjang ikan dan umpan
Stop watch (ketelitian 1 detik)
Mengukur waktu perlakuan
Digital camera powershot A430
dengan 4 mega pixel Handycame DVD 800x optical zoom dengan fasilitas night shoot TV Turner (MPEG-1, MPEG-2 Converter) Note book (RAM 512 MB, Processor 2,6 GHz, HD 60 GB) Alat tulis
Mendokumentasikan alat-alat penelitian Merekam respons ikan terhadap umpan Menghubungkan handycame ke note book Media pengamatan dan pengolahan data Mencatat data
101 (4) Bahan penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (1) Ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan kerapu karet (Epinephelus heniochus) dengan sebaran ukuran panjang total antara 25–35 cm. (2) Makanan ikan berupa ikan layang, tembang, selar dan udang. (3) Umpan terdiri atas umpan alami, yaitu ikan layang (Decapterus russelli), udang krosok (Parapenaeopsis sculptitis) dan gonad bulu babi (Diadema setosum), serta umpan buatan, yaitu umpan A (minyak ikan 5%), umpan B (minyak ikan 15%), umpan C (minyak ikan 25%) dan umpan D (minyak ikan 35%). (4) Air laut yang didatangkan dari Ancol, Jakarta dan air laut yang berasal dari perairan pantai Kartini, Jepara.
6.2.3 Pengumpulan data 6.2.3.1 Jenis penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan metode eksperimental di laboratorium. Dalam penelitian ini, keadaan bak pemeliharaan maupun akuarium perlakuan dibuat sedemikian rupa sehingga kondisinya mendekati kondisi di alam dan dapat terkontrol.
6.2.3.2 Prosedur penelitian Tahap-tahap pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut : 1) Tahap persiapan dan pemeliharaan ikan kerapu Tahap persiapan dilaksanakan pada bulan Juni 2007 dengan mempersiapkan bak untuk pemeliharaan ikan, akuarium filter, dan akuarium untuk perlakuan. Bak-bak tersebut disikat dan dibilas dengan air tawar untuk menghilangkan kotoran yang menempel. Setelah dibilas kemudian dilap dan dikeringkan. Alat-alat sirkulasi juga dicuci dan dikeringkan sebelum dipasang. Bak yang sudah kering kemudian diisi dengan air laut dan
102 dihubungkan dengan pipa ke akuarium filter menggunakan pompa. Salinitas dan suhu air laut dalam bak setiap hari dikontrol agar tetap optimal. Bak pemeliharaan ikan disirkulasi selama dua minggu sebelum ikan kerapu dimasukkan ke dalam bak. Ikan kerapu macan yang digunakan dalam penelitian berasal dari karamba. Sebelum dimasukkan ke dalam bak, ikan kerapu terlebih dahulu dibilas dengan air tawar agar kuman dan jamur dari air laut yang melekat pada tubuh ikan mati. Biasanya ikan akan mengalami stress bila dipindahkan ke lingkungan yang baru sehingga harus dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu. Aklimatisasi dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2007. Ikan-ikan dibiarkan dalam bak agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Selama aklimatisasi, ikan diberi makan dua kali sehari, yaitu pagi antara pukul 08.00–09.00 WIB dan sore antara pukul 16.00–17.00 WIB. Ukuran makanan disesuaikan dengan bukaan mulut ikan. Sisa- sisa makanan dan kotoran ikan diambil dengan menggunakan saringan. Penyiponan bak dilakukan dua kali dalam seminggu, dan pergantian air laut sebanyak 25% dilakukan dua minggu sekali.
2) Starvasi ikan uji Starvasi dilakukan sebelum perlakuan, yang bertujuan untuk mengkondisikan ikan dalam keadaan lapar sehingga ikan benar-benar memberikan respons terhadap umpan. Berdasarkan uji coba pendahuluan, ikan menunjukkan respons yang baik terhadap umpan setelah starvasi selama 2 x 24 jam.
3) Pengambilan data utama Pengambilan data dilakukan pada malam hari di dalam akuarium perlakuan yang dikelilingi oleh plastik mulsa hitam untuk menciptakan suasana gelap tanpa ada cahaya sama sekali (dark condition). Hal ini dimaksudkan agar pada saat perlakuan ikan hanya menggunakan organ penciumannya dalam merespons umpan. Setiap umpan di ujicoba sebanyak
103 tiga hingga sepuluh kali ulangan. Perlakuan umpan diuji secara acak. Ikan uji dipindahkan dari bak pemeliharaan kemudian dibiarkan berorientasi selama 5 menit. Setelah itu, ikan uji digiring ke ujung akuarium (area start) dan sekat perlakuan dipasang. Umpan dipasang pada jarak 50 cm dari sekat dan 2 cm dari dasar akuarium. Selama perlakuan, air stone dipasang pada jarak 100 cm dari sekat perlakuan, sehingga dapat membantu penyebaran bau dari umpan. Desain akuarium perlakuan pada malam hari dan pembagian fase respons terlihat pada Gambar 40. Umpan yang digunakan adalah potongan daging ikan layang, udang krosok yang telah dikupas, dan gonad bulu babi yang dibungkus dengan kain kasa. Pengamatan dilakukan menggunakan handycam dengan night shoot dan dihubungkan ke laptop dengan menggunakan TV turner. Pengamatan dilakukan sampai terjadi finding terhadap umpan, dengan batas waktu maksimal 1 jam. Setelah perlakuan selesai, ikan dipindahkan ke bak pemeliharaan kemudian langsung diberikan makan. Sebelum melakukan perlakuan selanjutnya, ikan diaklimatisasi selama dua hari baru kemudian dipuasakan selama dua hari. Apabila kondisi ikan menurun, aklimatisasi dilakukan lebih lama sebelum dipuasakan kembali. Parameter yang digunakan apakah kondisi ikan baik atau menurun, yaitu dengan melihat pola makannya. Jika selera makan ikan menurun, berarti kondisinya juga menurun.
104
Tampak samping
heater Pompa air 2 cm
aerator
50 cm heatter skimmer umpan Pompa air
aerator
heatter Area finding
Area arousal
Area start
Area searching
Tampak atas Gambar 40 Pembagian fase respons ikan kerapu terhadap umpan (tampak atas)
Pengambilan data untuk waktu respons penglihatan dilakukan pada light condition pada bak perlakuan dengan kondisi umpan ikan, udang krosok, gonad bulu babi, dan salah satu umpan buatan yang dibungkus dengan plastik transparan. Hal tersebut bertujuan agar ikan uji merespons umpan hanya dengan menggunakan organ penglihatannya. Pada saat perlakuan, ikan uji digiring ke ujung bak dan sekat dipasang. Umpan digantung pada jarak 200 cm dari posisi start awal ikan dan 20 cm dari
dasar
bak
pengamatan.
Pengamatan
dilakukan
menggunakan
105 handycamera. Pengambilan data dimulai setelah umpan dipasang dan sekat diambil secara perlahan. Pengamatan dilakukan sampai ikan uji mendekati umpan dengan batas waktu maksimal 1 jam. Selama pengamatan aerator dibiarkan beroperasi agar kondisi bak sama seperti kondisi biasanya. Setelah pengamatan selesai dilakukan, umpan kemudian diangkat dan ikan diberi makan seperti biasa. Untuk melakukan pengamatan berikutnya, ikan harus diaklimatisasi kembali selama dua hari, karena apabila pengamatan dilakukan secara terus menerus dapat menyebabkan ikan mengalami stres. Desain akuarium perlakuan pada light condition terlihat pada Gambar 41.
Tampak atas aerator
heatter
umpan skimme r
umpan
100 cm
umpan
200 cm
Gambar 41 Desain akuarium perlakuan pada light condition 6.2.4 Analisis data Data waktu respons ikan kerapu terhadap umpan, baik pada fase arousal, searching, dan finding dianalisis dengan menggunakan analisis statistik median test.
6.2.4.1 Respons tingkah laku ikan kerapu mendekati umpan Respons tingkah laku ikan yang telah direkam dengan handycam, dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui pola tingkah laku pada light dan dark condition. Analisis tingkah laku makan dilakukan dengan mengamati tingkah laku
106 makan ikan di laboratorium, baik tingkah laku ikan pada saat pemeliharaan ataupun pada saat ikan diberi perlakuan dengan umpan. Tingkah laku yang diamati pada saat pemeliharaan maupun perlakuan adalah respons ketika ikan menghadapi umpan yang diberikan. Selain itu, sebagai koreksi dari hasil histologi retina mata ikan, maka diamati pula apakah benar sumbu penglihatan ikan menghadap ke arah depan-naik (upper-fore) pada perlakuan siang hari.
6.2.4.2 Respons penglihatan ikan kerapu terhadap perbedaan umpan Respons penglihatan dan penciuman ikan terhadap perbedaan umpan dalam bentuk data waktu dianalisis dengan uji statistik. Data waktu respons diambil dengan mengukur waktu ketika ikan mulai menghampiri atau menyentuh salah satu jenis umpan. Untuk unit percobaan diasumsikan sebagai berikut : (1) Kondisi air dalam bak mendekati kondisi sebenarnya di alam; (2) Panjang total tubuh dan bukaan mulut ikan dianggap sama; (3) Kondisi ikan di laboratorium dianggap sama dengan kondisi ikan di perairan terbuka; (4) Kondisi ikan dilaboratorium dianggap sama untuk setiap perlakuan; dan (5) Kondisi umpan dianggap sama untuk setiap perlakuan.
6.2.4.3 Respons penciuman ikan kerapu terhadap perbedaan umpan Respons
penciuman
ikan
terhadap
perbedaan
umpan
dianalisis
berdasarkan data nilai rataan waktu respons ikan pada fase arousal, searching, dan finding pada masing-masing jenis umpan. Data tersebut selanjutnya dibandingkan untuk mengetahui besarnya pengaruh perbedaan umpan pada waktu respons penciuman ikan kerapu dengan analisis statistik median-test. Untuk unit percobaan diasumsikan sebagai berikut : (1) Kondisi air dalam bak mendekati kondisi sebenarnya di alam; (2) Panjang total tubuh dan bukaan mulut ikan dianggap sama; (3) Kondisi ikan di laboratorium dianggap sama dengan kondisi ikan di perairan terbuka; (4) Kondisi ikan dilaboratorium dianggap sama untuk setiap perlakuan; dan
107 (5) Kondisi umpan dianggap sama untuk setiap perlakuan.
6.3 Hasil 6.3.1 Pola tingkah laku makan ikan kerapu Berdasarkan hasil pengamatan di laboratorium selama masa pemeliharaan dari ketiga jenis ikan kerapu, tingkah laku makannya berbeda-beda dalam merespons umpan yang diberikan. Tingkah laku ikan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe: (1) Ketika umpan dilempar, ikan akan langsung memakan umpan tanpa mengidentifikasinya terlebih dahulu. (2) Ikan yang terlebih dahulu mengidentifikasi umpan, segera mendekati umpan untuk dimakan atau tidak. (3) Ikan yang membiarkan umpan jatuh sampai ke dasar bak kemudian mengidentifikasi umpan tersebut untuk memakan atau tidak memakan umpan tersebut. Dari ketiga tipe tersebut presentase terbesar terdapat pada tipe pertama sebesar 46,7%, diikuti dengan tipe kedua sebesar 30%, dan tipe terakhir sebesar 23,3%. Untuk tipe pertama dan kedua posisi makanan masih melayang dalam air dan masih berada pada kedalaman yang lebih dangkal dari pada kedalaman ikan. Untuk tipe ketiga dalam mendeteksi makanannya selain dengan indera penglihatan ikan juga dibantu dengan indera penciumannya.
6.3.2 Analisis respons penglihatan ikan kerapu terhadap umpan Respons ikan terhadap umpan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain jenis, ukuran umpan, bentuk umpan, dan kandungan kimia. Respons ikan terhadap bentuk umpan dipengaruhi oleh faktor penglihatan ikan. Selama perlakuan siang hari ikan kerapu hanya menggunakan organ penglihatannya untuk mendeteksi umpan dalam kondisi umpan terbungkus rapat. Posisi awal ikan kerapu sebelum umpan dimasukkan dalam bak penelitian selalu berada di pojok akuarium perlakuan. Beberapa menit kemudian, ikan mulai melakukan pergerakan di daerah start, karena timbulnya keinginan untuk
108 mengetahui adanya benda yang masuk dalam bak tersebut (rheotaksis). Ikan kerapu mulai merespons dengan bergerak keluar dari start, yang disebut fase arousal. Fase ini dimulai pada saat ikan mulai bereaksi terhadap adanya rangsangan/menerima rangsangan (Ferno dan Olsen 1994). Fase finding adalah fase ketika ikan menemukan umpan dan melakukan uptake (mengambil/memakan umpan). Pada perlakuan kontrol yang dilakukan tanpa memberikan umpan, ikan tidak melakukan pergerakan keluar daerah start, melainkan hanya melakukan pergerakan di dalamnya. Pola tingkah laku ikan kerapu macan mendekati umpan selama pengamatan diindentifikasi sebanyak tiga macam pola. Pola tingkah laku ini berhubungan dengan fase arousal dan finding. Ke tiga pola tingkah laku ikan adalah sebagai berikut: (1) Pola tingkah laku 1 Ikan diam di area start, kemudian setelah timbul ketertarikan melihat bentuk umpan (arousal), ikan berenang keluar dari start. Ikan menyusuri pinggiran bak dan berhenti sejenak sebelum bergerak lagi mendekati
keberadaan
makanan/umpan
(finding)
untuk
melakukan
identifikasi makanan (Gambar 42). Tampak atas
umpan
finding umpan
arousal
umpan
Gambar 42 Pola pertama tingkah laku ikan mendekati umpan yang dibungkus
109 (2) Pola tingkah laku 2 Ikan mulai bergerak keluar dari area start (arousal) dan kemudian bergerak lurus di tengah bak perlakuan menuju posisi umpan kemudian menyentuh salah satu umpan (finding) (Gambar 43). Tampak atas
umpan arousal
umpan
umpan finding
Gambar 43 Pola kedua tingkah laku ikan mendekati umpan yang dibungkus (3) Pola tingkah laku 3 Ikan mulai bergerak menyusuri dinding bak untuk keluar dari area start (arousal) karena tertarik dengan adanya objek benda yang masuk dalam bak. Ikan berenang melaju menyusuri dinding bak hingga pada pojok bak. Ikan berhenti sesaat untuk melakukan identifikasi objek/umpan, kemudian mulai mendekati umpan/makanan dan menyentuhnya (finding) (Gambar 44).
110
Tampak atas
umpan
finding
arousal
umpan
umpan
Gambar 44 Pola ketiga tingkah laku ikan mendekati umpan yang dibungkus
1) Waktu rata-rata arousal Waktu respons arousal adalah waktu ketika ikan bergerak keluar dari area awal (start). Berdasarkan hasil perlakuan, perbedaan umpan alami antara umpan gonad bulu babi, umpan udang, dan umpan ikan pada kondisi umpan terbuka maupun dibungkus plastik transparan diperoleh perbedaan rata-rata waktu arousal. Tahap arousal, pada kondisi umpan terbuka ikan kerapu sunu saat mendeteksi umpan ikan dengan waktu tercepat (0,32 0,004 menit), diikuti umpan udang (0,32±0,06 menit), dan umpan gonad bulu babi (0,76±0,20 menit). Pada umpan yang tertutup/dibungkus, ikan kerapu dapat mendeteksi umpan ikan dengan waktu tercepat (0,29 0,13 menit), diikuti umpan udang (1,41±0,12 menit), dan umpan gonad bulu babi (4,84±0,12 menit). Pada ikan kerapu macan, tahap arousal tercepat pada umpan yang terbuka juga terjadi pada umpan ikan (0,06±0,30 menit), diikuti umpan gonad bulu babi (0,25±0,04 menit), dan umpan udang (0,57±0,33 menit). Kondisi umpan yang ditutup/dibungkus dengan plastik transparan, ikan kerapu memberikan waktu respons tercepat pada umpan ikan (0,86±0,51 menit), diikuti umpan udang (3,81±2,63 menit), dan umpan gonad bulu babi (6,89±4,42 menit).
111 Demikian pula pada ikan kerapu karet, arousal tercepat dengan kondisi umpan terbuka terjadi pada umpan udang (4,40 2,23 menit), diikuti umpan ikan (4,78±2,02 menit), dan umpan gonad bulu babi (5,94±1,89 menit). Kondisi umpan yang tertutup, menunjukkan respons ikan kerapu karet yang tercepat terjadi pada umpan gonad bulu babi (4,71 0,26 menit), diikuti umpan udang (5,45±0,03 menit), dan yang paling lama adalah umpan ikan (24,18±0,72 menit). Hubungan antara waktu rata-rata respons arousal dengan jenis umpan pada ketiga jenis ikan kerapu disajikan pada Gambar 45, Gambar 46, dan Gambar 47. Waktu arousal (menit)
6 4,84±0,12
5 4 3 2 1
1,41±0,12 0,76±0,20 0,32±0,06
0,32±0,004 0,29±0,13
0 Buka
Tutup
Buka
Bulu Babi
Tutup Udang
Buka
Tutup Ikan
Jenis dan kondisi umpan
Gambar 45 Hubungan waktu rata-rata arousal ( x SE ) (menit) dengan jenis dan kondisi umpan alami pada ikan kerapu sunu
Waktu arousal (menit)
12.000
6,89±4,42
10.000 8.000 3,81±2,63 6.000 4.000 2.000
0,57±0,33
0,25±0,04
0,86±0,51 0.06±0,3
0.000 Tutup
Buka
Bulu Babi
Tutup
Buka Udang
Tutup
Buka Ikan
Jenis dan kondisi um pan
Gambar 46 Hubungan waktu rata-rata arousal ( x SE ) (menit) dengan jenis dan kondisi umpan alami pada ikan kerapu macan
112
Waktu arousal (menit)
30.00 24.18±0,72
25.00 20.00 15.00 10.00
5,94±1,89 4,71±0,26
5.45±0,03
4.40±2,33
4.78±2,02
5.00 0.00 Tutup
Buka
Bulu Babi
Tutup
Buka Udang
Tutup
Buka Ikan
Jenis dan kondisi um pan
Gambar 47 Hubungan waktu rata-rata arousal ( x SE ) (menit) dengan jenis dan kondisi umpan alami pada ikan kerapu karet 2) Waktu rata-rata finding Waktu rata-rata tercepat ikan kerapu sunu menemukan umpan (finding) pada kondisi umpan terbuka terjadi pada umpan udang (0,99±0,11 menit); umpan gonad bulu babi (1,39±0,08 menit), dan selanjutnya pada umpan ikan (2,01±0,07 menit). Pada umpan yang tertutup plastik transparan, waktu rata-rata tercepat ketika ikan kerapu sunu menemukan umpan ikan (0,45±0,04 menit), umpan udang (1,63±0,27 menit), dan umpan gonad bulu babi (5,73±0,29 menit). Pada ikan kerapu macan waktu rata-rata tercepat saat menemukan umpan yang terbuka (finding) terjadi pada umpan ikan (0,13±0,03 menit), diikuti umpan gonad bulu babi (0,38±0,08 menit), dan yang terakhir umpan udang (0,73±0,42 menit). Pada umpan yang tertutup, rata-rata waktu respons tercepat terjadi pada umpan ikan (0,98±0,51 menit), kemudian umpan udang (4,39±2,85 menit), dan umpan gonad bulu babi (8,76±4,93 menit) Waktu rata-rata respons tercepat pada ikan kerapu karet terhadap umpan yang terbuka diawali pada umpan ikan (5,15±2,17 menit), umpan gonad bulu babi (7,68±2,95 menit), dan umpan udang (7,73±0,39 menit). Pada kondisi umpan ditutup plastik, rata-rata waktu respons tercepat adalah pada umpan gonad bulu babi (5,85±0,03 menit), diikuti oleh umpan udang (6,41±0,01 menit), dan waktu respons terlama adalah umpan ikan (28,70±2,15 menit).
113 Hubungan antara waktu rata-rata finding (menit) dengan jenis umpan buatan disajikan pada Gambar 48, Gambar 49 dan Gambar 50 .
Waktu finding (menit)
7.000 5.73±0.29
6.000 5.000 4.000 3.000 2.000
1.63±0.27
1.39±0.08
2.01±0.07
0.99±0.11 0.45±0.04
1.000 0.000 Buka
Tutup
Buka
Bulu Babi
Tutup
Buka
Udang
Tutup Ikan
Jenis dan kondisi um pan
Gambar 48 Hubungan waktu rata-rata finding ( x SE ) (menit) dengan jenis dan kondisi umpan alami pada ikan kerapu sunu
Waktu finding (menit)
16.00 14.00
8,76±4,93
12.00 10.00 4,39±2,85
8.00 6.00 4.00 2.00
0,38±0,08
0,73±0,42
0,98±0,51
Buka
Tutup
0,13±0,03
0.00 Tutup
Buka
Bulu Babi
Tutup Udang
Buka Ikan
Jenis dan kondisi um pan
Gambar 49 Hubungan waktu rata-rata finding ( x SE ) (menit) dengan jenis dan kondisi umpan alami pada ikan kerapu macan
114
Waktu finding(menit)
35.00
28,70±2,15
30.00 25.00 20.00 15.00 10.00
7,68±2,95 6,41±0,01
5,85±0,03
5,15±2,17
7,73±0,39
5.00 0.00 Tutup
Buka
Bulu Babi
Tutup
Buka
Tutup
Udang
Buka Ikan
Jenis dan kondisi um pan
Gambar 50 Hubungan waktu rata-rata finding ( x SE ) (menit) dengan jenis dan kondisi umpan alami pada ikan kerapu karet Hasil uji statistik dengan menggunakan uji median menunjukkan bahwa pada fase arousal, tidak adanya respons ikan kerapu sunu, kerapu macan dan kerapu karet dengan adanya kondisi umpan (buka dan tutup) (nilai sig. 0,13
α
0,05). Namun berdasarkan hasil analisis dengan perbedaan jenis kerapu menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (nilai sig. 0,00
α 0,05) yang
mengindikasikan bahwa tingkah laku antar kerapu tidak sama ketika mendeteksi keberadaan umpan.
6.3.3 Respons penciuman ikan kerapu terhadap umpan Selama perlakuan kondisi gelap, ikan kerapu hanya menggunakan organ penciumannya untuk mendeteksi umpan, baik pada umpan alami maupun umpan buatan. Posisi awal ikan kerapu sebelum sekat dibuka selalu berada di pojok akuarium perlakuan. Setelah sekat dibuka, ikan masih melakukan pergerakan di daerah start, kemudian setelah timbul rangsangan bau, ikan kerapu mulai merespons dengan bergerak keluar dari start, yang disebut fase arousal. Fase ini dimulai pada saat ikan mulai bereaksi terhadap adanya rangsangan bau (Ferno dan Olsen 1994). Pada perlakuan kontrol yang dilakukan tanpa memberikan umpan, ikan tidak melakukan pergerakan keluar daerah start, melainkan hanya melakukan pergerakan di dalamnya. Setelah berhenti sejenak untuk memastikan apakah bau
115 yang timbul adalah makanan (identifikasi), ikan mulai bergerak kembali untuk menemukan keberadaan umpan (searching), sampai akhirnya ikan menemukan umpan dan memakannya atau hanya menyentuh saja dengan mulutnya (finding). Pergerakan ikan selalu menyusuri dinding akuarium. Hal tersebut diduga untuk mempermudah orientasi ikan dalam keadaan gelap. Pola tingkah laku ikan kerapu macan mendekati umpan selama pengamatan diindentifikasi sebanyak 4 macam pola. Pola tingkah laku ini berhubungan dengan fase arousal, searching dan finding. Keempat pola tingkah laku ikan adalah sebagai berikut: (1) Pola tingkah laku 1 Ikan bergerak di dalam area start, kemudian setelah timbul rangsangan bau, ikan berenang keluar dari start. Ikan berhenti sejenak di depan garis start sebelum bergerak lagi untuk mencari keberadaan makanan (umpan). Selama searching, ikan berorientasi dengan menyusuri dinding akuarium, sampai pada aerator ikan berhenti lagi, kemudian berenang lagi dan berhenti di samping umpan untuk melakukan identifikasi makanan. Sesaat kemudian ikan bergerak mendekati
umpan dan langsung
menyambarnya (Gambar 51).
Gambar 51 Pola pertama tingkah laku ikan mendekati umpan (2) Pola tingkah laku 2 Ikan bergerak menyusuri dinding di dalam start area terlebih dahulu, kemudian setelah timbul rangsangan bau ikan berenang keluar dan
116 berhenti sejenak di depan start untuk memastikan bau yang timbul adalah makanan. Kemudian ikan mulai melakukan searching dan berenang menyusuri dinding akuarium, sampai pada aerator ikan berhenti lagi. Ikan bergerak lagi menyusuri dinding akuarium dan berhenti di samping umpan. Setelah identifikasi, ikan bergerak mendekati umpan tetapi tidak memakannya. Ikan hanya menyentuh umpan dengan mulutnya kemudian langsung bergerak kembali ke start area (Gambar 52).
Gambar 52 Pola kedua tingkah laku ikan mendekati umpan
(3) Pola tingkah laku 3 Selama berada di daerah start, ikan hanya diam di pojok akuarium. Setelah timbul rangsangan bau, ikan langsung bergerak keluar dan berhenti sejenak di depan start untuk melakukan identifikasi terhadap bau yang timbul. Ikan berenang menyusuri dinding akuarium untuk mencari keberadaan makanan (umpan). Ikan berhenti di belakang aerator kemudian bergerak lagi dan diam di samping umpan untuk melakukan identifikasi. Setelah beberapa saat, ikan bergerak menghampiri umpan dan memakannya (Gambar 53).
117
Gambar 53 Pola ketiga tingkah laku ikan mendekati umpan
(4) Pola tingkah laku 4 Ikan bergerak menyusuri dinding di dalam area start. Setelah terangsang adanya bau, ikan keluar dan berhenti di depan start untuk memastikan bau yang timbul adalah makanan. Ikan berenang menyusuri dinding akuarium untuk mencari keberadaan makanan (umpan). Orientasi dilakukan dengan mengelilingi akuarium, setelah sampai lagi ke start ikan berbalik ke arah umpan dan diam sejenak di depannya, baru kemudian bergerak mendekati dan memakannya (Gambar 54).
Gambar 54 Pola keempat tingkah laku ikan mendekati umpan Respons penciuman ikan kerapu sunu, kerapu macan dan kerapu karet terhadap umpan alami dapat dilihat dari reaksi ikan setelah keluar dari batas awal (starting area) sampai menemukan umpan yang dipasang. Waktu yang
118 dibutuhkan ikan sampai menemukan umpan buatan dibagi menjadi tiga ketegori waktu, yaitu arousal, searching, dan finding. Waktu respons arousal adalah waktu ketika ikan bergerak keluar dari area awal (start). Waktu searching adalah waktu pada saat ikan mulai bergerak untuk menemukan keberadaan umpan yang terjadi setelah ikan melakukan arousal dan berhenti sejenak di depan start untuk mengidentifikasi bau yang ditimbulkan dari umpan buatan yang dipasang. Adapun waktu finding adalah waktu pada saat ikan telah menemukan umpan, baik ikan hanya berada di sekitar umpan (2 cm), menyentuh dengan mulut atau langsung memakannya (uptake).
6.3.3.1 Umpan alami (natural bait) (1) Waktu rata-rata arousal Waktu respons arousal adalah waktu ketika ikan bergerak keluar dari area awal (start). Berdasarkan hasil perlakuan, perbedaan formulasi umpan alami antara umpan gonad bulu babi, umpan udang dan umpan ikan diperoleh perbedaan rata-rata waktu arousal. Tahap arousal pada ikan kerapu sunu saat mendeteksi umpan ikan menunjukkan waktu tercepat (1,41 0,02 menit), diikuti umpan gonad bulu babi (2,66±0,16 menit), dan yang paling lama adalah umpan udang (3,83±0,78 menit). Pada ikan kerapu macan, tahap arousal tercepat juga terdapat pada umpan udang (2,55±0,25 menit) dan yang paling lama adalah umpan gonad bulu babi (4,24±0,40 menit). Pada ikan kerapu karet, arousal tercepat terdapat pada umpan ikan (5,83 0,41 menit), diikuti umpan udang (6,63±0,29 menit), dan yang paling lama adalah umpan gonad bulu babi (7,44±0,18 menit). Hubungan antara waktu rata-rata respons arousal dan jenis umpan pada ketiga jenis ikan kerapu disajikan pada Gambar 55, Gambar 56 dan Gambar 57.
Waktu arousa l (menit)
119
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
3.83±0.78
2.66±0.16
Bulu Babi Udang Ikan
1.41±0.02
Gonad bulu babi
Udang
Ikan
Jenis umpan
Waktu arousa l (menit)
Gambar 55 Hubungan waktu rata-rata respons arousal ( x SE ) (menit) terhadap jenis umpan alami pada ikan kerapu sunu 4.24±0.40
5.00 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
3.03±0.26 2.55±0.25
Bulu Babi Udang Ikan
Gonad
Jenis um 1 pan Udang
Ikan
Gambar 56 Hubungan waktu rata-rata respons arousal ( x SE ) (menit) terhadap jenis umpan alami pada ikan kerapu macan 9 Waktu arousal (menit)
8
7.44±0.18 6.63±0.29
7
5.83±0.41
6
Bulu Babi
5
Udang
4
Ikan
3 2 1 0 Gonad bulu babi
Udang 1
Ikan
Jenis um pan
Gambar 57 Hubungan waktu rata-rata respons arousal ( x SE ) (menit) terhadap jenis umpan alami pada ikan kerapu karet
120 (2) Waktu rata-rata searching Pada ikan kerapu sunu, waktu rata-rata searching yang paling cepat terjadi pada umpan ikan, yaitu 1,97±0,05 menit, diikuti umpan gonad bulu babi, yaitu 2,78±0,16 menit, dan yang terlama adalah umpan udang, yaitu 3,97±0,75 menit. Waktu rata-rata respons searching pada ikan kerapu macan yang paling cepat terjadi pada umpan udang yaitu 3,22±0,27 menit, diikuti pada umpan ikan, yaitu 3,38±0,25 menit, dan yang terakhir pada umpan gonad bulu babi, yaitu 4,71±0,44 menit. Pada ikan kerapu karet, waktu respons searching tercepat terjadi pada umpan ikan, yaitu 6,32±0,41 menit, diikuti umpan udang, yaitu 8,16±0,17 menit, kemudian umpan gonad bulu babi, yaitu 8,30±0,19 menit Hubungan antara waktu rata-rata respons searching dan jenis umpan disajikan pada Gambar 58, Gambar
Waktu searching (menit)
59, dan Gambar 60.
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
3.97±0.75
2.78±0.16
Bulu Babi 1.97±0.05
Udang Ikan
JenisUdang um pan Gonad bulu babi
Ikan
Gambar 58 Hubungan waktu rata-rata searching ( x SE ) (menit) terhadap jenis umpan alami pada ikan kerapu sunu
121
Waktu searching (menit)
6.00 4.71±0.44 5.00 4.00
3.22±0.27
3.38±0.25 Bulu Babi
3.00
Udang Ikan
2.00 1.00 0.00 um 1 pan Gonad bulu babi JenisUdang
Ikan
Gambar 59 Hubungan waktu rata-rata searching ( x SE ) (menit) terhadap jenis umpan alami pada ikan kerapu macan
8.3±0.19
Waktu searching (menit)
9
8.16±0.17
8 6.32±0.41
7 6
Bulu Babi
5
Udang
4
Ikan
3 2 1 0
Gonad bulu babi
1 udang
ikan
Jenis um pan
Gambar 60 Hubungan waktu rata-rata searching ( x SE ) (menit) terhadap jenis umpan alami pada ikan kerapu karet (3) Waktu rata-rata finding Waktu rata-rata finding tercepat ikan kerapu sunu menemukan umpan terjadi pada umpan ikan, yaitu 2,13±0,06 menit, dan umpan gonad bulu babi, yaitu 2,83±0,16. Selanjutnya, waktu respons rata-rata yang paling lama adalah umpan udang, yaitu 5,00±1,04 menit. Pada ikan kerapu macan waktu rata-rata finding tercepat saat menemukan umpan terjadi pada umpan gonad bulu babi, yaitu 8,48±0,54 menit, selanjutnya
122 umpan udang, yaitu 9,94±0,96 menit, dan yang paling lama adalah umpan ikan, yaitu 10,23±0,57 menit. Waktu rata-rata respons finding tercepat pada ikan kerapu karet terhadap jenis umpan alami sama dengan ikan kerapu macan, yaitu diawali pada umpan ikan, yaitu 6,37±0,41 menit, selanjutnya umpan udang, yaitu 8,29±0,15 menit, dan waktu rata-rata yang paling lama adalah umpan gonad bulu babi, yaitu 8,45±0,19 menit. Hubungan antara waktu rata-rata finding (menit) dan jenis umpan alami disajikan pada Gambar 61, Gambar 62, dan Gambar 63.
7 7
5
6
4 3 2 1 0
Waktu finding (menit)
Waktu finding (menit)
5±1.04
6
5±1.04
Bulu Babi
5
Udang Bulu Babi
4 2.83±0.16 3
2.13±0.06
2.83±0.16
2.13±0.06
Udang Ikan Ikan
2 1 0 Gonad bulu babi
udang
ikan
Jenis umpan Jenis um pan
Gambar 61 Hubungan waktu rata-rata finding ( x SE ) (menit) dengan jenis umpan buatan pada ikan kerapu sunu
123
12.00 9.49±0.96
Waktu finding (menit)
10.00
10.23±0.57
8.48±0.54
8.00 Bulu Babi Udang
6.00
Ikan 4.00 2.00 0.00 Jenisudang um Gonad bulu babi 1 pan
ikan
Gambar 62 Grafik hubungan antara waktu rata-rata finding ( x SE ) (menit) dengan jenis umpan alami pada ikan kerapu macan 10 8.45±0.19
Waktu finding (menit)
9
8.29±0.15
8 6.37±0.41
7 6
Bulu Babi
5
Udang
4
Ikan
3 2 1 0
Gonad bulu babi udang Jenis um pan
ikan
Gambar 63 Hubungan waktu rata-rata finding ( x SE ) (menit) dengan jenis umpan alami pada ikan kerapu karet
6.3.3.2 Umpan buatan (artificial bait) (1) Waktu rata-rata arousal Waktu respons arousal adalah waktu ketika ikan bergerak keluar dari area awal (start). Berdasarkan hasil perlakuan, perbedaan formulasi umpan buatan antara umpan A (minyak ikan 5%), umpan B (minyak ikan 15%), umpan C (minyak ikan 25%), dan umpan D (minyak ikan 35%) diperoleh perbedaan ratarata waktu arousal. Tahap arousal pada ikan kerapu sunu saat mendeteksi umpan B menunjukkan waktu tercepat (0,26 0,02 menit), diikuti umpan D (0,27±0,03
124 menit), umpan C (0,34±0,09 menit), dan yang paling lama adalah umpan A (0,40±0,06 menit). Pada ikan kerapu macan, tahap arousal tercepat juga terdapat pada umpan B (2,09±0,28 menit), diikuti umpan D (2,50±0,25 menit), umpan C (4,12±0,43 menit) dan yang paling lama adalah umpan A (6,16±0,77 menit). Demikian pula pada ikan kerapu karet, arousal tercepat juga terdapat pada umpan B (2,79 0,26 menit), diikuti umpan D (3,44±0,24 menit 2,50±0,25 menit), umpan C (4,66±0,5 menit), dan yang paling lama adalah umpan A (6,92±0,59 menit). Hubungan antara waktu rata-rata respons arousal dan jenis umpan pada ketiga
Waktu arousal (menit)
jenis ikan kerapu disajikan pada Gambar 64, Gambar 65, dan Gambar 66. 0.50 0.45 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00
0.40+0.06 0.34+0.09
0.26+0.02
0.27+0.03
Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D
umpan A umpan B umpan C umpan D 1 Jenis um pan
Gambar 64 Hubungan waktu rata-rata respons arousal ( x SE ) (menit) dengan jenis umpan buatan pada ikan kerapu sunu
Waktu arousal (menit)
8.00 7.00
6.16±0.77
6.00
Umpan A
5.00
4.12±0.43
Umpan B
4.00 3.00
2.09±0.28
2.50±0.25
2.00
Umpan C Umpan D
1.00 0.00 umpan A umpan B 1umpan C umpan D
Jenis umpan
Gambar 65 Hubungan waktu rata-rata respons arousal ( x SE ) (menit) dengan jenis umpan buatan pada ikan kerapu macan
125
Waktu arousal (menit)
8.00
6.92±0.59
7.00 6.00
4.66±0.5
Umpan A
5.00 3.44±0.24
4.00
Umpan C
2.79±0.26
3.00
Umpan B
Umpan D
2.00 1.00 0.00
umpan A
umpan B umpan C Jenis um pan
umpan D
Gambar 66 Hubungan antara waktu rata-rata respons arousal ( x SE ) (menit) dengan jenis umpan buatan pada ikan kerapu karet (2) Waktu rata-rata searching Pada ikan kerapu sunu, waktu rata-rata searching yang paling cepat pada umpan B, yaitu 0,34±0,03 menit. Selanjutnya diikuti umpan D, yaitu 0,38±0,03 menit, umpan C, yaitu 0,40±0,09, dan yang terlama adalah umpan A, yaitu 0,57±0,04. Waktu rata-rata respons searching pada ikan kerapu macan yang paling cepat ditimbulkan oleh umpan B yaitu, 2,79±0,26 menit, selanjutnya diikuti umpan D, yaitu 3,44±0,24 menit, umpan C, yaitu 4,66±0,50 menit, dan yang terlama adalah umpan A, yaitu 6,92±0,59 menit. Pada ikan kerapu karet, waktu respons searching tercepat adalah pada umpan D, yaitu 5,61±0,62 menit, diikuti oleh umpan B, yaitu 9,26±1,63 menit, kemudian pada umpan C, yaitu 9,36±1,29 menit, dan waktu respons terlama adalah umpan A, yaitu 10,20±0,74 menit. Hubungan antara waktu rata-rata respons searching dan jenis umpan disajikan pada Gambar 67, Gambar 68, dan Gambar 69.
126
0.70
Waktu searching (menit)
0.57+0.04
0.60 0.40+0.09
0.50 0.40
0.34+0.03
0.38+0.03
umpan B 1 umpan C
umpan D
0.30 0.20 0.10 0.00
umpan A
Gambar 67 Hubungan waktu rata-rata searching ( x SE ) (menit) dengan jenis umpan buatan pada ikan kerapu sunu
Waktu searching (menit)
8.00
6.92±0.59
7.00 6.00
Umpan A
4.66±0.50
5.00
3.44±0.24
4.00
Umpan C
2.79±0.26
3.00
Umpan B Umpan D
2.00 1.00 0.00 umpan A
umpan B
1
umpan C
umpan D
Jenis umpan
Gambar 68 Hubungan antara waktu rata-rata searching ( x SE ) (menit) dengan jenis umpan buatan pada ikan kerapu macan
Waktu searching (menit)
12.00
10.20+0.74
9.26+1.63
9.36+1.29
10.00 8.00 5.61+0.62
6.00 4.00 2.00 0.00
umpan A
umpan B 1 umpan C
umpan D
Gambar 69 Hubungan waktu rata-rata searching ( x SE ) (menit) dengan jenis umpan buatan pada ikan kerapu karet
127 (3) Waktu rata-rata finding Waktu rata-rata finding tercepat ikan kerapu sunu menemukan umpan terdapat pada umpan B, yaitu 0,64±0,12 menit, umpan D, yaitu 1,90±0,23, diikuti umpan C, yaitu 2,71±0,09 menit, serta umpan A, yaitu 3,35±0,20 menit. Pada ikan kerapu macan waktu rata-rata finding tercepat saat menemukan umpan D, yaitu 5,21±0,81 menit, umpan C, yaitu 9,36±1,29 menit, selanjutnya umpan B, yaitu 9,94±1,81 menit, dan umpan A, yaitu 10,20±0,75 menit. Waktu rata-rata respons tercepat pada ikan kerapu karet terhadap jenis umpan buatan sama dengan ikan kerapu macan, yaitu diawali pada umpan D, yaitu 6,07±0,69 menit, umpan C, yaitu 10,05±1,26 menit, selanjutnya umpan B, yaitu 10,314±1,88 menit, dan umpan A, yaitu 10,82±0,74 menit. Hubungan antara waktu rata-rata finding (menit) dan jenis umpan buatan disajikan pada Gambar 70, Gambar 71, dan Gambar 72.
4.00
3.35±0.20
Waktu finding (menit)
3.50 2.71±0.09
3.00
Umpan A
2.50
1.90±0.23
2.00
Umpan B Umpan C
1.50
Umpan D 0.64±0.12
1.00 0.50 0.00
umpan A
umpan B um umpan Jenis pan C
umpan D
Gambar 70 Hubungan waktu rata-rata finding ( x SE ) (menit) dengan jenis umpan buatan pada ikan kerapu sunu
128
Waktu finding (menit)
14.00 12.00
10.20±0.74
9.94±1.81 9.36±1.29
10.00
Umpan A
8.00
Umpan B 5.21±0.81
6.00
Umpan C Umpan D
4.00 2.00 0.00
umpan A umpan B 1 umpan C umpan D jenis umpan
Gambar 71 Hubungan waktu rata-rata finding ( x SE ) (menit) dengan jenis umpan buatan pada ikan kerapu macan
14.00
Waktu finding (menit)
12.00
10.82±0.74
10.31±1.88 10.05±1.26
10.00 Umpan A
8.00
6.07±0.69
Umpan B Umpan C
6.00
Umpan D
4.00 2.00 0.00 umpan A
umpan B
umpan C umpan D
Jenis um pan
Gambar 72 Grafik hubungan antara waktu rata-rata finding ( x SE ) (menit) dengan jenis umpan buatan pada ikan kerapu karet Hasil uji statistik median menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan respons (fase arousal, searching dan finding) dari ketiga ikan kerapu terhadap perbedaan jenis umpan alami. Namun dengan perbedaan jenis kerapu memberikan perbedaan pula dalam merespons keberadaan umpan alami. Waktu respons tercepat pada ikan kerapu sunu (rata-rata waktu 2,13 menit) ketika mendetesi umpan ikan, diikuti kerapu karet (rata-rata waktu 6,27 menit) ketika mendeteksi keberadaan umpan ikan, dan yang terakhir kerapu macan (rata-rata waktu 8,48 menit) ketika mendeteksi keberadaan umpan gonad bulu babi.
129 Pada umpan buatan, ikan kerapu sunu, kerapu macan, dan kerapu karet memberikan perbedaan waktu respons, yang artinya bahwa masing-masing jenis kerapu memiliki tingkah laku respons penciuman yang berbeda pada semua jenis umpan buatan. Pada fase arousal, tidak terdapat perbedaan respons ketiga kerapu dengan perbedaan jenis umpan buatan (sig. searching (sig.
0,05), demikian juga pada fase
0,05). Pada fase finding, terdapat perbedaan respons ketiga
kerapu dengan perbedaan jenis umpan buatan (sig.
0,05). Pada kerapu sunu,
respons tercepat terdapat pada umpan B (kandungan minyak ikan 15%), pada kerapu macan, dan karet respons tercepat terdapat pada umpan D (kandungan minyak ikan 35%).
6.3.4
Tingkah laku ikan kerapu terhadap umpan Tingkah laku ikan kerapu sunu, kerapu macan, dan kerapu karet ketika
mendeteksi keberadaan umpan alami (natural bait) adalah berbeda. Hal tersebut berdasarkan analisis statistik uji median (sig.
0,05). Perbedaan tersebut
dikarenakan masing-masing jenis ikan kerapu memiliki tingkah laku yang berbeda ketika melakukan pencarian umpan alami. Dilain pihak, tingkah laku ikan pada fase arousal, searching dan finding pada jenis umpan alami dengan kondisi mata (dikondisikan normal dan dikondisikan buta) dan kondisi umpan (umpan dibuka dan dibungkus) yang berbeda tidak memberikan suatu perbedaan, artinya bahwa dalam keadaan ikan kerapu lapar maka respons ikan terhadap perbedaan kondisi mata dan umpan tetap dapat merangsang aktivitas untuk mencari makanan. Tingkah laku pada kerapu sunu, kerapu macan, dan kerapu karet dalam mendeteksi umpan alami dan buatan dengan menggunakan organ penciuman adalah berbeda. Hal tersebut dibuktikan ketika ketiga jenis ikan kerapu diaklimatisasi selama penelitian, dimana kerapu sunu memiliki tingkah laku yang selalu berenang di kolom perairan dibandingkan kerapu macan dan karet yang selalu berdiam diri di sudut-sudut bak pemeliharaan. Umpan alami memberikan waktu respons fase arousal, searching dan finding yang sama, artinya bahwa ikan melakukan suatu respons menggunakan organ penciuman dengan keberadaan umpan tanpa melihat jenis dari umpan alami sebagai akibat suatu reaksi setelah melalui tahap starvasi 48 jam sebelum
130 dilakukan pengamatan tingkah laku. Pada umpan buatan, tidak terdapat perbedaan waktu respons pada fase arousal dan searching. Artinya keempat jenis umpan buatan memberikan suatu atraktan yang sama terhadap kerapu melalui organ penciumannya. Namun, pada fase finding, terdapat perbedaan respons dari keempat jenis umpan buatan, yaitu pada umpan B (respons dari kerapu sunu) dan umpan D (respons pada kerapu macan dan karet). Hal ini menjelaskan bahwa umpan B dan D memberikan suatu atraktan aroma yang cukup lama untuk dapat direspons pada ketiga kerapu.
6.4 Pembahasan 6.4.1 Pola tingkah laku makan ikan kerapu Ikan kerapu merupakan ikan crepuscular yang aktif mencari makan pada waktu fajar dan senja hari (Indonesia Coral Reef Fundation 2004; Potts 1990). Dalam mendapatkan mangsanya, ikan kerapu biasanya menunggu mangsanya datang atau mendekati persembunyiannya. Dalam mendeteksi mangsanya, umumnya indera yang digunakan adalah indera penglihatan dan indera penciuman. Berdasarkan analisis terhadap organ penglihatan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan kerapu karet (Epinephelus heniochus) memiliki sumbu penglihatan ke arah depan naik (upper-fore) sehingga dalam mendapatkan mangsanya ikan kerapu cenderung untuk menangkap mangsa yang berenang di kedalaman yang lebih dangkal dibandingkan dengan posisi kedalaman ikan itu sendiri. Meskipun ikan kerapu memiliki nilai ketajaman penglihatan yang tergolong rendah dibandingkan ikan tuna, namun dengan kondisi perairan terumbu karang yang menjadi habitatnya sangat mendukung penggunaan indera penglihatannya. Persentase terbesar pola tingkah laku makan ikan kerapu pada tipe pertama karena sifat dari ikan kerapu yang mencaplok satu persatu makanan yang diberikan, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Muslim dan Slamet (2003) bahwa ikan kerapu termasuk jenis carnivora dan cara makannya mencaplok satu persatu makanan yang diberikan sebelum makanan sampai ke
131 dasar. Ketika ikan kerapu telah memakan makanannya maka akan langsung kembali ke tempat persembunyiannya. Pada kondisi budidaya, ikan kerapu tidak akan berhenti makan jika belum kenyang dan memakan makanan yang sudah jatuh ke dasar bak asalkan ikan masih dalam kondisi lapar, namun apabila sudah kenyang, tidak akan menyergap makanan yang diberikan (Subyakto dan Cahyaningsih 2003). Menurut Ghufran dan Kordi (2005), ikan kerapu (Epinephelus, Cromileptes, Plectropomus) selain dikenal sebagai ikan pemangsa (predator) juga dikenal sebagai piscivore atau pemangsa yang rakus. Dalam mendapatkan mangsanya ikan kerapu macan akan mencari mangsa yang memiliki ukuran lebih kecil atau sama dengan ukuran bukaan mulutnya.
6.4.2 Analisis respons penglihatan ikan kerapu terhadap umpan Respons penglihatan ikan kerapu sunu, kerapu macan dan kerapu karet terhadap umpan alami dapat dilihat dari reaksi ikan setelah keluar dari batas awal (starting area) sampai menemukan umpan yang dipasang. Waktu yang dibutuhkan ikan sampai menemukan umpan buatan dibagi menjadi dua ketegori waktu, yaitu arousal dan finding. Waktu respons arousal adalah waktu ketika ikan bergerak keluar dari area awal (start). Adapun waktu finding adalah waktu pada saat ikan telah menemukan umpan, baik ikan hanya berada di sekitar umpan (2 cm) (identification) atau menyentuh dengan mulut. Liang et al. (1998) membagi tahapan respons makan ikan chinese perch berdasarkan rangsangan organ penglihatan sebagai berikut 1) ikan melihat mangsa/makanan; 2) selanjutnya bergerak perlahan menuju ke arah makanan dan mengitari makanan; 3) melesat ke depan menuju makanan; 4) menggigit makanan dan akhirnya 5) menelan makanan. Oleh karena itu fase searching pada pengamatan organ penglihatan dalam penelitian ini tidak dihitung dengan asumsi bahwa ketika ikan keluar dari batas posisi awal, pada dasarnya ikan sudah dapat mendeteksi keberadaan makanan/umpan mengingat jarak antara starting area ikan dengan posisi umpan 2 m, sedangkan nilai jarak pandang maksimum ketiga jenis ikan tersebut berkisar 4,72–12,59 m dengan diameter umpan 25 mm.
132 Berdasarkan hasil analisis statistik, tidak terdapat perbedaan respons ketiga jenis ikan kerapu pada fase arousal dan finding terhadap kondisi umpan, baik pada kondisi umpan dibuka maupun umpan yang dibungkus. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketiga jenis ikan kerapu mengetahui keberadaan umpan dengan organ penglihatannya dan tertarik untuk mendekati umpan, maka waktu respons antarfase tersebut berlangsung cepat sehingga tidak ada perbedaan analisis waktu respons antarfase. Menurut Lokkeborg (1998), saat ikan mendeteksi keberadaan mangsa/makanan pada jarak dan kondisi cahaya yang dapat diterima ikan, organ penglihatan yang lebih berperan. Hal tersebut diikuti pula dengan kecepatan renang ikan yang meningkat seiring dengan semakin dekatnya jarak antara kedudukan mangsa/makanan dan ikan (Lokkeborg dan Ferno 1999). Menurut Djatikusumo (1975) bahwa salah satu syarat umpan yang digunakan dalam penangkapan adalah mudah dilihat dan disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Pada kondisi umpan yang dibungkus dengan plastik, dari segi tekstur penampakan umpan memberikan suatu ketertarikan pada kerapu pada saat kondisi sedang lapar. Menurut Stoner (2004) bahwa pada kebanyakan kasus, ikan akan tertarik umpan melalui isyarat kimia tetapi organ penglihatan sangat berperan ketika lokasi umpan dekat dengan posisi ikan dan akhirnya memakan umpan/makanan tersebut.
6.4.3 Respons penciuman ikan kerapu terhadap umpan Respons ikan terhadap umpan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain jenis, ukuran umpan, bentuk umpan, kandungan kimia. Jenis umpan yang berbeda akan memberikan respons yang berbeda (Taibin 1984). Bau yang ditimbulkan umpan merupakan faktor penting untuk pemikatan ikan untuk masuk kedalam bubu (High dan Beardsley 1970). Komponen kimia dalam umpan yang telah diidentifikasi sebagai perangsang nafsu makan (olfaction dan gustation) adalah asam amino bebas dan nukleotida, L-alanina, glisina, dan L-prolina. Selanjutnya Nikonov dan Caprio (2007), Rolen et al. (2003), dan Clark (1985) menjelaskan bahwa asam amino yang dapat merangsang penciuman ikan adalah alanina, arginina, prolina, glutamat, sisteina,
133 dan metionina. Asam amino yang terkandung dalam umpan buatan sebagian merupakan komponen perangsang utama dalam proses penciuman ikan. Kemampuan stimulator ekstraksi terbaik adalah campuran dari beberapa zat kimia dibandingkan dengan zat tunggal, asam amino merupakan komponen penting dalam semua campuran (Carr dan Derby 1986). Pada umpan alami, tingkah laku masing-masing kerapu dalam mendeteksi keberadaan umpan berbeda, namun perbedaan jenis umpan alami tidak memberikan perbedaan waktu respons ketiga jenis ikan kerapu. Hal tersebut disebabkan karena kandungan kimia dari masing-masing umpan alami memberikan pengaruh yang sama dalam merespons ikan kerapu pada masingmasing fase. Hal tersebut mengindikasikan bahwa proses difusi umpan alami dengan waktu pengamatan yang ditentukan (1 jam) dalam air adalah sama. Pada umpan buatan, tidak adanya perbedaan respons pada fase arousal dan searching disebabkan karena masing-masing umpan memberikan respons yang sama akibat dari kondisi perut ikan yang kosong (lapar) akibat pengaruh starvasi. Adanya perbedaan respons pada fase finding disebabkan selama 1 jam perendaman umpan, kandungan minyak ikan terbanyak pada umpan D (35%) masih mampu menjadi atraktan dibandingkan kandungan minyak ikan pada umpan yang lain yang telah larut atau hilang karena proses difusi.
6.4.4
Tingkah laku ikan kerapu terhadap umpan Sebagai kelompok ikan piscivores, ikan kerapu memiliki naluri untuk
mencari makan dengan menggunakan organ sensori yang dimiliki. Organ yang sering digunakan dalam mencari makan, yaitu organ penglihatan, organ penciuman, dan linea lateralis (Liang et al. 1998 dan Baker et al. 2002). Dominansi penggunaan organ penglihatan bergantung pada pikatan makanan berdasarkan refleksi cahaya (Gunarso 1985), penerimaan isyarat kimia, atau getaran yang ditimbulkan oleh makanan (Liang et al. 1998) yang berakibat pada aktivitas, kecepatan renang, dan kecenderungan untuk memakan mangsa/makanan (Stoner 2004). Bau yang diterima organ penciuman akan mengkondisikan rheotaxis ikan untuk melakukan suatu respons dengan cepat dan
134 efisien terhadap sumber bau (makanan) tanpa melakukan penyeleksian terhadap informasi bau tersebut sebagai suatu isyarat yang kompleks (Carton dan Montgomery 2003). Berdasarkan hasil pengamatan respons terhadap umpan buatan, maka umpan B dan D memberikan waktu respons yang tercepat pada skala laboratorium. Hasil ini merupakan suatu acuan untuk diterapkan pada penelitian skala lapangan untuk menghitung nilai efektivitas umpan buatan untuk penangkapan ikan kerapu.
6.5 Kesimpulan Tingkah laku ikan kerapu terhadap umpan pada kondisi terang (light condition) tidak berbeda pada tahapan fase arousal dan fase finding. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi ikan lapar karena starvasi 48 jam memberikan respons yang sama ketika mendeteksi keberadaan umpan baik dengan menggunakan organ penglihatan. Tingkah laku ikan kerapu pada kondisi gelap (dark condition) terhadap umpan alami (gonad bulu babi, udang, dan ikan) tidak berbeda pada tahapan fase arousal, fase searching, dan fase finding. Pada umpan buatan, tahapan fase arousal dan fase searching tidak terdapat perbedaan respons, sedangkan pada fase finding terdapat perbedaan respons yaitu respons tercepat terdapat pada kerapu macan, dan karet respons adalah umpan D (kandungan minyak ikan 35%).
7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN
7.1 Pendahuluan Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Secara umum, menangkap ikan dengan bubu adalah agar ikan berkeinginan masuk ke dalam tempat atau jebakan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tertangkapnya ikan oleh bubu adalah tertarik oleh umpan. Metode pengoperasian bubu dengan umpan didasarkan pada insting tingkah laku makan pada ikan (Lokkeborg 1994). Tingkah laku makan ikan merupakan hasil interaksi dari organ-organ yang peka terhadap cahaya (light), mekanik, kimia, dan rangsangan elektromagnetik yang bergantung pada habitat dan pengenalan bahan makanan (Liang et al. 1998). Dengan kata lain, organ penglihatan, penciuman, dan linea lateralis dapat ikut berperan dalam tingkah laku makan ikan. Pola tingkah laku ikan saat mendekati umpan terdiri atas tahapan ( Lokkeborg 1994, Baskoro dan Effendy 2005): (1) Arousal (rangsangan) Ketika penempatan umpan dalam bubu dapat menimbulkan rangsangan pada ikan, maka organ penciuman yang terlebih dahulu berperan. Organ tersebut biasanya digunakan untuk mendeteksi mangsa/umpan yang letaknya jauh. Rangsangan tersebut timbul karena kandungan kimia pada umpan (2) Mencari lokasi umpan Dalam mencari posisi umpan yang menarik rangsangan kimia ikan, organ penglihatan yang mulai berperan. Namun tidak terlepas pula bahwa organ penciuman masih ikut bekerja karena bau umpan disebarkan bergantung pada dari arah arus. (3) Posisi ikan mendekati bubu berumpan dan pintu masuk Pada saat ikan telah melihat umpan yang menimbulkan rangsangan kimianya, biasanya ikan tidak langsung masuk pada bubu tetapi hanya
136 dengan mengamati posisi umpan dengan cara mengitari dan mendekati pintu masuk bubu (4) Saat masuk di dalam bubu Apabila rangsangan kimia yang dikeluarkan dari umpan semakin kuat ditunjang dengan arah arus yang menjadikan ikan dapat mendeteksi keberadaan umpan, maka dengan perlahan ikan akan mendekati umpan (5) Aktivitas makan di dalam bubu Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, biasanya ikan akan melakukan gerakan-gerakan halus di dalam bubu yang kemudian mulai menuju ke umpan dan menggigit umpan. Namun, ada beberapa spesies ikan yang dengan cepat mulai melihat keadaan sekeliling setelah menggigit umpan. Menurut Subani dan Barus (1989), umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan, khususnya untuk alat tangkap pasif seperti bubu dan pancing. Umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Tertariknya ikan pada umpan disebabkan oleh rangsangan berupa warna, gerak, bentuk, rasa, dan bau (Gunarso 1985). Penggunaan alat bantu pengumpul ikan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi penangkapan ikan (Bramono 2006) Menurut Rahardjo (1988) diacu dalam Purbayanto (1998), berdasarkan teknik penangkapan ada dua macam daya tarik yang menyebabkan ikan masuk ke dalam suatu perangkap, yaitu melalui daya tarik penciuman dan mata yang bergantung pada spesies ikan dan kondisi perairan. Organ penglihatan dan penciuman pada ikan yang hidup di zona eufotik (zona bercahaya) masih memungkinkan dapat digunakan sampai batas ambang tertentu untuk mendeteksi keberadaan umpan. Akan tetapi apabila sudah di luar ambang batas toleransi penglihatan, maka organ penciuman yang lebih berperan. Untuk jenis ikan yang hidup di zona afotik, organ penciumanlah yang sangat berperan karena organ penglihatan sudah tidak berfungsi lagi. Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu tujuan. Efektivitas (Ef) sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah
137 didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen (Gibson et al. 1990). Efektivitas dapat pula diartikan perbandingan antara hasil dan tujuan dalam persen, yaitu apabila nilai sebagai efektivitasnya di atas 100% maka dapat dikatakan cukup efektif, sedangkan apabila nilai efektivitasnya di bawah 100% dapat dikatakan kurang efektif. Dengan kata lain, efektivitas sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen. Efektivitas alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan. Tujuan penangkapan yang dimaksud harus mengacu ke usaha menjaga keberlangsungan sumber daya ikan, yaitu operasi penangkapan dengan mempertimbangkan faktor keramahan terhadap lingkungan yang sesuai dengan Code of Conduct for Responssible Fisheries. Nilai efektivitas alat tangkap dapat dikategorikan tiga, yaitu apabila nilainya kurang dari 50% dapat dikatakan alat tangkap tersebut efektivitasnya rendah, nilai 50%-80% dikatakan alat tangkap yang cukup efektivitasnya, dan nilai 80%-100% dikatakan alat tangkap yang efektivitasnya tinggi (Baskoro et al. 2006). Menurut Friedman (1988), hasil tangkapan suatu alat tangkap dipengaruhi efektivitas alat dan efisiensi cara operasi. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa efektivitas alat tangkap secara umum bergantung pada faktor-faktor, antara lain parameter alat tangkap itu sendiri (rancang bangun dan konstruksi), pola tingkah laku ikan, ketersediaan atau kelimpahan ikan, dan kondisi oseanografi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat efektivitas umpan pada bubu pada hasil tangkapan ikan kerapu.
7.2 Metode Penelitian 7.2.1 Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2008 di perairan Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta (Gambar 73).
138 7.2.2 Metode penelitian Metode yang digunakan adalah eksperimental penangkapan (experimental fishing) dengan rancangan acak lengkap (RAL) faktor. Penelitian ini menggunakan dua faktor yang mempengaruhi percobaan, yaitu jenis umpan dan waktu pemasangan bubu (soaking time). Masing-masing faktor mempunyai taraf, yaitu: 1 Faktor pertama jenis umpan a. Taraf 1 (a1) : umpan ikan rucah b. Taraf 2 (a2) : umpan udang c. Taraf 3 (a3) : umpan gonad bulu babi d. Taraf 4 (a4) : umpan buatan jenis B e. Taraf 5 (a5) : umpan buatan jenis D Penentuan buatan jenis B dan jenis D yang digunakan untuk uji coba di lapangan didasarkan pada hasil pengamatan terhadap rata-rata waktu respons yang paling cepat pada uji coba ikan kerapu skala laboratorium 2 Faktor kedua waktu pemasangan bubu (soaking time) a. Taraf 1 (b1) : pemasangan siang (waktu setting pada pagi hari dan hauling pada sore hari) b. Taraf 2 (b2) : pemasangan malam (waktu setting pada sore hari dan hauling pada pagi hari) Asumsi yang digunakan pada penelitian ini adalah 1. Perlakuan jenis umpan diacak tanpa memilih bubu mana yang akan dipasang. 2. Lokasi dan kedalaman pemasangan bubu sama untuk semua perlakuan. 3. Faktor eksternal lingkungan, seperti angin, arus, dan musim diabaikan. 4. Lama waktu perendaman pada saat operasi dianggap sama.
139 Peta lokasi penelitian operasi penangkapan ikan kerapu dapat dilihat pada Gambar 73.
Keterangan : Lokasi penelitian
Gambar 73 Peta lokasi operasi penangkapan ikan kerapu
7.2.3 Penangkapan ikan kerapu 7.2.3.1 Peralatan yang digunakan Peralatan yang digunakan selama penelitian di lapangan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Peralatan yang digunakan selama penelitian di lapangan No 1 2 3
Alat Unit penangkapan bubu tambun Peralatan tulis Buku identifikasi
4
Timbangan dengan ketelitian 1g Penggaris dengan ketelitian 1 mm Umpan alami dan umpan buatan
5 6
Kegunaan Alat penangkap ikan kerapu Mencatat data lapangan Mengidentifikasi hasil tangkapan bubu Mengukur berat ikan hasil tangkapan Mengukur panjang total ikan hasil tangkapan Atraktor penangkapan
140 Konstruksi bubu tambun yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 74.
3 cm 3 cm
Gambar 74 Konstruksi bubu tambun
7.2.3.2 Pengoperasian bubu Sistem pengoperasian bubu dengan cara meletakkan di dasar substrat berpasir di antara komunitas terumbu karang. Bubu ditimbun atau ditindih dengan karang yang telah mati, yang berfungsi sebagai pemberat juga untuk menutupi bubu. Semua bubu sebelum dioperasikan diberi tanda terlebih dahulu untuk membedakan jenis umpan. Setiap lima buah bubu diberi umpan yang berbeda yaitu ikan juwi, udang, gonad bulu babi, umpan buatan B, dan umpan buatan D, sedangkan satu bubu tidak diberi umpan (kontrol). Pemasangan antarbubu dilakukan secara acak dengan jarak antarbubu adalah 1,5–4 m. Hal tersebut bertujuan agar aroma yang ditimbulkan dari masing-masing umpan pada bubu tidak akan bercampur (Lokkeborg 1994). Pengoperasian bubu dilakukan setiap hari dengan 2 trip, yaitu pagi dan sore hari. Masing-masing trip diulang sebanyak 20 kali, sehingga total ulangan adalah 40 kali. Pemasangan (setting) bubu sampai pengangkatan (hauling) bubu dilakukan pada batas waktu yang sama pada setiap ulangan, yaitu selama 6 jam operasi. Waktu yang diperlukan untuk pengangkatan bubu (hauling) dan penurunan (setting) sekitar 15 menit, termasuk pengambilan hasil tangkapan dan
141 penggantian umpan. Setting bubu dilakukan pada pagi hari antara pukul 08.00– 08.30 WIB dan diturunkan kembali 15 menit kemudian untuk diangkat (hauling) lagi pada sore hari antara pukul 16.00-16.30 WIB. Kemudian dilanjutkan kembali dengan setting bubu dan diturunkan 15 menit kemudian untuk diangkat (hauling) lagi pada sore hari antara pukul 08.00 – 08.30 WIB. Demikian seterusnya hingga masing-masing setting diulang hingga 10 kali ulangan. Jadi lamanya bubu dipasang dalam air sekitar 6 jam.
7.2.4 Pengumpulan data Hasil tangkapan yang diperoleh dikumpulkan setiap trip, yaitu saat hauling pada pukul 08.30-09.00 WIB dan pukul 15.30-16.00 WIB dengan jumlah ulangan penangkapan masing-masing trip 10 kali (total 20 trip). Data yang dicatat adalah jumlah, jenis, ukuran, dan berat hasil tangkapan setiap kali trip dari masingmasing bubu yang menggunakan jenis umpan yang berbeda. Ikan hasil tangkapan tersebut kemudian diidentifikasi.
7.2.5 Analisis data 7.2.5.1 Hasil tangkapan bubu Komposisi hasil tangkapan dilakukan untuk mengelompokkan hasil tangkapan ke dalam kelompok-kelompok (kelas) ukuran tertentu. Ukuran yang digunakan untuk pengelompokan hasil tangkapan adalah ukuran berat dan panjang total. Ukuran berat hasil tangkapan dikelompokkan dalam selang kelas dan interval kelas berat. Ukuran panjang total hasil tangkapan dikelompokkan dalam selang kelas dan interval kelas panjang total (total length/TL). Penentuan jumlah selang kelas dan interval kelas untuk ukuran berat dan panjang total dihitung menggunakan rumus distribusi frekuensi menurut Walpole (1995), yaitu: K = 1 + 3,3 log n Lebar kelas (i) = Nilai terbesar – Nilai terkecil K Keterangan : K = jumlah kelas n = banyaknya data
142 7.2.5.2 Efektivitas penangkapan ikan kerapu Pengukuran efektivitas penggunaan umpan pada bubu dapat dilakukan dengan 2 (dua) metode, yaitu: 1) Ditujukan untuk mengukur efektivitas penggunaan umpan pada bubu untuk menangkap ikan kerapu (Ef), yaitu banyaknya bubu menggunakan umpan yang menangkap ikan kerapu (Bk) dibandingkan dengan jumlah total bubu yang digunakan (TB) yang dinyatakan dalam persen. Rumus tersebut ditulis sebagai berikut: Bk .100% TB
Ef
2) Demikian pula untuk pengukuran efektivitas penangkapan ikan kerapu pada masing-masing umpan pada pengoperasian bubu untuk menangkap ikan kerapu (Ef(u-i)), yaitu banyaknya bubu menggunakan umpan-i yang menangkap ikan kerapu (Bku-i) dibandingkan dengan jumlah total bubu yang menggunakan umpan (TBu-i) yang dinyatakan dalam persen, adalah sebagai berikut: Ef
u i
Bku i .100% TBu i
Perhitungan efektivitas suatu alat tangkap (khususnya alat tangkap bubu) tidak dapat mengacu secara langsung berdasarkan pendapat Baskoro et al. (2006), bahwa apabila nilai persentase tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu tujuan di atas 100% dikatakan sudah efektif dan nilai persentase di bawah 100% dikatakan tidak efektif. Hal tersebut disebabkan: 1) Berdasarkan ketentuan dari CCRF (Code of Conduct Responssible Fisheries) dan syarat alat tangkap yang berwawasan lingkungan bahwa hasil tangkapan alat tangkap bukan berdasarkan hasil tangkapan maksimum tetapi hasil tangkapan optimum, artinya bahwa selektivitas alat tangkap harus diperhatikan 2) Sifat alat tangkap bubu yang pasif, yang memungkinkan bahwa setiap bubu yang dipasang (setting) pada suatu perairan akan memiliki peluang yang sama dalam menangkap ikan target tangkapan
143 7.2.6 Perbedaan jumlah tangkapan Untuk melihat perbedaan jumlah tangkapan pada setiap bubu berdasarkan perbedaan penggunaan jenis dan lama waktu pemasangan umpan dilakukan uji statistik median dengan menggunakan SPSS versi 13. Sebelumnya data dilakukan uji kenormalan, data yang tidak normal akan dinormalkan dengan cara transformasi logaritma natural.
7.3 Hasil 7.3.1 Komposisi total hasil tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh untuk setiap pengangkatan dipisahkan berdasarkan jenis umpan yang digunakan dan setiap jenis ikan karang dihitung jumlahnya. Jumlah trip bubu tambun yang dilakukan selama penelitian sebanyak 20 kali ulangan. Hasil tangkapan bubu tambun dari kelompok ikan sebanyak 12 famili antara lain jenis ikan kerapu (famili Serranidae), kakatua (famili Scaridae), betok (famili Pomacentridae), serak (famili Nemipteridae), nori (famili Labridae) dan jenis ikan karang lainnya dengan total tangkapan 1074 ekor dan berat total 67151 kg. Hasil tangkapan dominan dari segi jumlah adalah Pomacentridae 388 ekor (36,13%), Scaridae 215 ekor (20,02%), Labridae 138 ekor (12,85%) dan Serranidae 80 ekor (7,45%). Komposi jumlah dan berat hasil tangkapan bubu disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Komposisi jumlah dan berat hasil tangkapan bubu tambun No. 1
2
Famili Serranidae
Scaridae
Spesies Kerapu koko Kerapu karet Kerapu macan Kerapu langalanga Kerapu lumpur Kerapu lodi/sunu Kerapu lada Kerapu lokal Sub total Kakatua
26 27 21
4,08 3,09 4,49
Presentase Jumlah (%) 2,42 2,51 1,96
1 1 2 1 1 80
100 70 270 100 70 12,27
0,09 0,09 0,19 0,09 0,09 7,45
0,15 0,10 0,40 0,15 0,10 18,18
107
6,70
9,96
9,93
Jumlah (ekor)
Berat (g)
Presentase Berat (%) 6,04 4,59 6,65
144
Tabel 12
No.
(lanjutan)
Famili
Spesies Kakatua merah Kakatua hijau Kakatua hitam Kakatua biru Kakatua putih Sub total
19 36 9 8 36 215
2,11 3,69 1,16 765 2,28 16,69
Presentase Jumlah (%) 1,77 3,35 0,84 0,75 3,35 20,02
Jumlah (ekor)
Berat (g)
Presentase Berat (%) 3,12 5,48 1,71 1,13 3,37 24,75
3
Pomacentridae
Betok Betok hitam Betok susu Betok putih Sersan mayor Sub total
38 51 5 6 288 388
3,30 2,51 250 200 11,47 17,73
3,54 4,75 0,47 0,56 26,82 36,13
4,89 3,72 0,37 0,29 17,00 26,29
4
Labridae
jarang gigi Nori Sub total
13 125 138
905 11,01 11,92
1,21 11,64 12,85
1,34 16,32 17,66
5
Siganidae
Kea-kea Lingkis Sub total
16 8 24
740 430 1,17
1,49 0,75 2,24
1,09 0,64 1,73
6
Nemipteridae
13 10 23
981 1,02 1,99
1,21 0,93 2,14
1,45 1,50 2,96
7 8 9 10
Haemulidae Lencam Lutjanidae Tanda-tanda Holocentridae Swanggi Monachantidae Kipas-kipas Sub total
11 2 5 28 46
800 270 285 952 2,31
1,02 0,19 0,47 2,61 4,28
1,19 0,40 0,42 1,41 3,42
11
Chaetodontidae
93 67 160 1.07
1,14 2,23 3,37 67,46
8,66 6,24 14,89 100,00
1,69 3,31 5,00 100,00
1
Portunidae
2
Xanthidae
2 2 2 6
200 135 770 1,11
33,33 33,33 33,33 100,00
18,10 12,22 69,68 100,00
Serak Pasir Sub total
Kepe-kepe Marmut Sub total Total kepiting merah kepiting rajungan kepiting plonkor Total
Dilihat dari beratnya, hasil tangkapan yang dominan adalah Pomacentridae 17,73 g (26,29%); Scaridae 16,695 g (24,75%); Serranidae 12,265 g (18,18%) dan
145 Labridae 11,915 g (17,66%). Hasil tangkapan dari kelompok crustacea ada sebanyak 3 spesies dari 2 famili. Crustacea yang tertangkap di antaranya kepiting solasi, rajungan, dan kepiting plonkor Komposisi hasil tangkapan bubu tambun selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 75.
1.19%
0.40%
0.42% 1.41%
5.00%
18.18%
2.96% 1.73% 17.66%
24.75% 26.29%
Serranidae Siganidae Holocentridae
Scaridae Nemipteridae Monachantidae
Pomacentridae Haemulidae Chaetodontidae
Labridae Lutjanidae
Gambar 75 Komposisi berat hasil tangkapan bubu tambun
7.3.2 Komposisi hasil tangkapan ikan kerapu Berdasarkan hasil tangkapan bubu selama penelitian, ikan kerapu yang tertangkap sebanyak 7 jenis, meliputi kerapu macan, kerapu karet, kerapu koko, kerapu langa-langa, kerapu lodi/sunu, kerapu lada, dan kerapu lokal. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu dominan yang tertangkap memiliki kisaran ukuran yang cukup seragam. Ikan kerapu dominan yang tertangkap adalah kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu karet (Epinephelus fasciatus), dan kerapu koko (Epinephelus merra). Ikan kerapu macan (E. fuscoguttatus) tertangkap pada kisaran ukuran panjang total 190-300 mm, kerapu karet (E. fasciatus) dengan kisaran ukuran panjang total 150-260 mm, dan kerapu koko (E. merra) dengan kisaran panjang total 150-260 mm. Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu macan disajikan pada Gambar 76.
146 Length at first maturity ( 280 mm)
9
Hasil Tangkapan (ekor)
8 7 6 5 4 3 2 1 0 170-196
197-223
224-250
251-277
278-304
Selang Kelas (m m )
Gambar 76 Komposisi panjang kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) hasil tangkapan Jumlah ikan kerapu macan yang tertangkap selama penelitian adalah sebanyak 21 ekor. Sebaran hasil tangkapan yang terbanyak terdapat pada selang kelas 197-223 mm dengan jumlah 8 ekor. Pada selang kelas antara 170-196 mm sampai 278-304 mm relatif sedikit hasil tangkapan yang didapatkan. Hal ini menunjukkan ikan kerapu macan yang muda lebih banyak tertangkap dibandingkan dengan ikan yang lebih tua. Ukuran layak tangkap E. fuscoguttatus pada ukuran panjang ≥ 280 mm (length at first maturity) (Anonim 2008). Jumlah ikan kerapu karet yang tertangkap dalam penelitian ini sebanyak 27 ekor dan semuanya layak tangkap berdasarkan ukuran panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity) sebesar 130 mm (Anonim 2008). Ikan kerapu karet (Epinephelus fasciatus) yang tertangkap tersebut cenderung menyebar normal. Sebaran ukuran panjang terbanyak pada selang kelas 196-218 mm, yaitu sebanyak 8 ekor. Pada selang kelas (219-241 mm) dan selang kelas tertinggi (242-264 mm) jumlah tangkapan yang didapatkan relatif sedikit, yaitu 4 dan 2 ekor. Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu karet (Epinephelus fasciatus) disajikan pada Gambar 77.
147
Length at first maturity ( 130 mm)
9
Hasil Tangkapan (ekor)
8 7 6 5 4 3 2 1 0
150-172
173-195
196-218
219-241
242-264
Selang Kelas (m m )
Gambar 77 Komposisi panjang kerapu karet (Epinephelus fasciatus) hasil tangkapan Jumlah ikan kerapu koko (Epinephelus merra) yang tertangkap sebanyak 26 ekor yang tersebar dalam 5 selang kelas frekuensi panjang dan yang layak tangkap berdasarkan ukuran panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity) sebanyak 23 ekor dengan ukuran sebesar 169 mm (Anonim 2008). Sebaran frekuensi panjang total terbanyak tertangkap pada selang kelas 205-219 mm yaitu sebanyak 9 ekor. Pada selang kelas 235-249 mm, dan selang kelas tertinggi (250264 mm) hasil tangkapan yang diperoleh relatif lebih sedikit yaitu 1 dan 2 ekor. Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu koko (Epinephelus merra) disajikan pada
Hasil Tangkapan (ekor)
Gambar 78. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Length at first maturity ( 169 mm)
190-204
205-219
220-234
235-249
250-264
Selang kelas (mm)
Gambar 78 Komposisi panjang kerapu koko (Epinephelus merra) hasil tangkapan bubu
148 Berdasarkan komposisi berat hasil tangkapan ikan kerapu yang tertangkap, memiliki kisaran ukuran berat yang beragam dari ukuran yang terkecil 50 g hingga ukuran terbesar 500 g. Ukuran kerapu akan memiliki nilai jual tinggi jika memiliki ukuran semakin besar. Ukuran ikan kerapu yang memiliki nilai jual adalah minimal berukuran 300 g. Untuk ikan yang tertangkap di bawah ukuran tersebut tidak dapat langsung dijual. Ikan tersebut dipelihara oleh nelayan dalam keramba jaring apung hingga ukurannya mencapai ukuran minimal layak jual. Ukuran berat kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang dominan tertangkap terletak pada selang kelas 75-160 mm, yaitu sebanyak 9 ekor. Ukuran layak tangkap (layak jual) dari ukuran berat, yaitu 300 g. Ikan kerapu macan yang tertangkap pada ukuran tersebut hanya 5 ekor atau 25% yang layak jual. Sebaran frekuensi berat ikan kerapu macan disajikan pada Gambar 79.
10
Hasil Tangkapan (ekor)
9
Tidak layak jual 14 ekor
Layak jual 7 ekor
8
Ukuran jual = 300 g
7 6 5 4 3 2 1 0 75-160
161-246
247-332
333-418
419-504
selang Kelas (gram )
Gambar 79 Komposisi berat kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) hasil tangkapan Ukuran berat kerapu karet (Epinephelus fasciatus) yang dominan tertangkap terletak pada selang kelas 50-100 g, yaitu sebanyak 14 ekor. Ukuran kerapu layak tangkap (layak jual) menurut ukuran berat minimal 300 g. Ikan kerapu karet yang tertangkap pada ukuran tersebut hanya 2 ekor atau 8% yang layak jual. Sebaran frekuensi berat ikan kerapu karet disajikan pada Gambar 80.
149 16
Tidak Layak jual 25 ekor
Hasil Tangkapan (ekor)
14 12
Layak jual 2 ekor
Ukuran jual = 300 g
10 8 6 4 2 0 50-100
101-151
152-202
203-253
254-304
Selang Kelas (gram )
Gambar 80 Komposisi berat kerapu karet (Epinephelus fasciatus) hasil tangkapan Kerapu koko (Epinephelus merra) yang tertangkap sebagian besar berukuran tidak layak jual (berukuran kurang dari 300 g). Selang kelas terbanyak pada berat 121-166 mm, yaitu sebanyak 10 ekor. Ikan kerapu koko yang tertangkap untuk ukuran layak jual hanya 2 ekor atau 6,25%. Sebaran frekuensi berat ikan kerapu koko disajikan pada Gambar 81.
Hasil Tangkapan (ekor)
12 10 Tidak layak jual (30 ekor) Layak jual (2 ekor)
8 Ukuran jual = 300 g
6 4 2 0 75-120
121-166
167-212
213-258
259-304
Selang Kelas (gram )
Gambar 81 Komposisi berat kerapu koko (Epinephelus merra) hasil tangkapan
7.3.3 Pengaruh perbedaan jenis dan waktu pemasangan umpan Jumlah berat hasil tangkapan rata-rata dengan perbedaan waktu pemasangan siang dan malam didapatkan bahwa rata-rata hasil tangkapan malam hari lebih banyak dibandingkan rata-rata hasil tangkapan pada siang hari. Hasil
150 tangkapan rata-rata pada malam hari sebanyak 411,77±4,13 g, sedangkan pada siang hari sebanyak 299,86±3,80 g. Perbandingan hasil tangkapan rata-rata siang dan malam hari disajikan pada Gambar 82.
Hasil tangkapan rata-rata (gram)
450
411.77±4.13
400 350
299.86±3.80
300 250 200 150 100 50 0 Siang
Malam
Waktu operasi penangkapan
Gambar 82 Perbandingan hasil tangkapan rata-rata waktu siang dan malam hari Khusus untuk kasus famili Serranidae (kerapu), hasil tangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan dan waktu pemasangan memiliki perbedaan hasil tangkapan yang cukup signifikan. Hasil tangkapan malam memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan hasil tangkapan pada siang hari. Hal tersebut disebabkan karena waktu pemasangan bubu (soaking time) yang lebih lama pada waktu malam hari (pukul 16.30–08.00 WIB) dibanding soaking time pada waktu siang hari (pukul 08.30–16.00 WIB) sehingga dimungkinkan peluang yang besar ikan yang berada di sekitar setting bubu untuk dapat masuk kedalam bubu. Umpan yang paling banyak menangkap ikan kerapu adalah umpan udang, yaitu 22 ekor (siang 6 ekor dan malam 16 ekor), umpan rucah sebanyak 18 ekor (siang 5 ekor dan malam 13 ekor), umpan bulu babi sebanyak 14 ekor (siang 3 ekor dan malam 11 ekor), umpan D sebanyak 14 ekor (siang 4 ekor dan malam 10 ekor), dan umpan B sebanyak 12 ekor (siang 2 ekor dan malam 10 ekor). Hasil tangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan dan waktu pemasangan disajikan pada Gambar 83.
151
18
Hasil Tangkapan (ekor)
16 14 12 10
Siang
8
Malam
6 4 2 0 Rucah
Udang
B. Babi
Umpan B
Umpan D
Jenis Um pan
Gambar 83 Hasil tangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan dan waktu pemasangan Hasil tangkapan tertinggi ikan kerapu dihasilkan pada siang hari oleh umpan udang kemudian diikuti umpan rucah, D, gonad bulu babi, dan yang terakhir umpan B. Pada malam hari, hasil tangkapan ikan kerapu tertinggi adalah pada umpan udang, diikuti umpan rucah, gonad bulu babi, umpan D, dan umpan B. Umpan udang memberikan hasil tangkapan terbanyak ikan kerapu baik pada penangkapan siang dan malam hari. Hal ini disebabkan dari segi bentuk (fisik) maupun aroma (kimia) umpan udang mampu menarik perhatian kerapu dengan menggunakan organ penglihatan maupun organ penciuman. Hasil uji statistik median menunjukkan bahwa pada siang hari pengaruh penggunaan umpan terhadap hasil tangkapan ikan karang tidak memiliki perbedaan nyata antara kelima umpan, seperti ditunjukkan dengan nilai sig. 0,834 0,05. Tidak adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan berbagai jenis umpan dapat disebabkan oleh (1) ikan kerapu yang masuk ke dalam bubu karena ikan lebih melihat bubu sebagai tempat persembunyian, (2) sifat tigmotaxis kerapu terhadap bentuk fisik umpan yang diletakkan dalam bubu ketika berada di sekitar bubu. Demikian pula hasil uji statistik median pada malam hari menunjukkan pengaruh penggunaan umpan terhadap hasil tangkapan ikan karang tidak berbeda nyata antara kelima umpan. Hasil ini ditunjukkan dengan nilai sig. 0,962
0,05.
Tidak adanya perbedaan yang nyata antara kelima jenis umpan terhadap hasil
152 tangkapan ikan kerapu disebabkan oleh (1) rangsangan bau pada masing-masing umpan memberikan pengaruh yang sama sebagai aktraktan pada kerapu dengan menggunakan organ penciumannya, (2) waktu pemasangan bubu (soaking time) yang lebih lama pada waktu malam hari (pukul 16.30–08.00 WIB) dibanding soaking time pada waktu siang hari (pukul 08.30–16.00 WIB) sehingga dimungkinkan peluang yang besar dari ikan yang berada di sekitar lokasi pemasangan bubu untuk dapat masuk ke dalam bubu, (3) kerapu dikelompokkan sebagai ikan nocturnal dengan puncak aktivitas makannya pada waktu menjelang senja dan fajar (crepuscular/twilight). Waktu pemasangan umpan yang berbeda (siang dan malam hari) memberikan hasil tangkapan ikan kerapu. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya ikan kerapu melakukan aktivitas makan baik pada siang hari (diurnal) maupun pada malam hari (nocturnal). Aktivitas makan yang dilakukan pada siang maupun malam hari dikategorikan ke dalam spesies twilight atau crepuscular (Potts 1990). Helfman (1993) mengemukakan bahwa crepuscular adalah periode yang terjadi pada petang hari dan senja hari. Menurut Indonesia Coral Reef Foundation (2004), bahwa ikan-ikan dari suku Sphyraenidae, Serranidae, Carangidae, Scorpaenidae, Synodontidae, Carcharhinidae, Lamnidae, Spyrnidae, dan beberapa Muraenidae dikelompokkan sebagai ikan yang melakukan aktivitas di antara malam dan siang hari (crepuscular). Pada umumnya ikan-ikan yang dikategorikan sebagai kelompok crepuscular bersifat piscivores (Potts 1990). Perbedaan jenis umpan (natural bait dan artificial bait) memberikan pengaruh sebagai atraktan yang sama untuk menangkap ikan kerapu. Pengaruh yang sama tersebut disebabkan oleh proses pelarutan dari kandungan kimia masing-masing umpan di dalam air adalah sama. Artinya bahwa formulasi umpan buatan telah berdaya guna (performance) dengan umpan alami (Januma et al. 2003). Menurut Lokkeborg (1990), umpan buatan yang terbuat dari ekstrak udang mempunyai nilai pelarutan (rate release) kandungan asam amino yang sama dengan ikan mackerel sebagai umpan alami. Berdasarkan hal tersebut di atas maka umpan buatan dapat mensubstitusi umpan alami
153 7.3.4 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan Jumlah ikan kerapu yang tertangkap selama penelitian sebanyak 80 ekor terdiri atas kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) sebanyak 21 ekor (26,25%), kerapu karet (Ehinephelus fasciatus) sebanyak 27 ekor (33,75%), kerapu koko (Epinephelus merra) sebanyak 29 ekor (32,50%), kerapu lumpur (Epinephelus tauvina) sebanyak 1 ekor (1,25%), kerapu lodi/sunu (Plectropoma leopardus) sebanyak 2 ekor (2,50%), dan kerapu lokal (Epinephelus rivulatus) sebanyak 1 ekor (1,25%). Presentase hasil tangkapan ikan kerapu selama penelitian disajikan pada Gambar 84. Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan alami pada siang hari adalah 21,46% dan malam hari 45,83%. Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan pada siang hari adalah sebesar 13,54% dan malam hari adalah 40,63%.
2.5, 3% 1.25, 1%
1.25, 1%
1.25, 1% 1.25, 1% 32.5, 33%
26.25, 26%
33.75, 34% KERAPU KOKO
KERAPU KARET
KERAPU MACAN
KERAPU LANGA-LANGA
KERAPU LUMPUR
KERAPU LODI/SUNU
KERAPU LADA
KERAPU LOKAL
Gambar 84 Presentase hasil tangkapan ikan kerapu selama penelitian
Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan pada siang hari didapatkan bahwa efektivitas terbaik adalah umpan ikan, yaitu sebesar 23,33% diikuti oleh umpan udang sebesar 22,29%, umpan D sebesar 20,83%, gonad bulu babi sebesar 18,75%, serta umpan B sebesar 6,25%. Pada malam hari efektivitas penangkapan ikan kerapu didapatkan nilai yang terbaik adalah umpan
154 udang 49,17% diikuti oleh umpan ikan sebesar 44,58%, gonad bulu babi sebesar 43,75%, umpan D sebesar 39,58% serta umpan B 39,58%. Efektivitas
Efektivitas penangkapan (%)
penangkapan ikan kerapu pada masing-masing umpan disajikan pada Gambar 85. 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Siang Malam
Ikan
Udang
Bulu Babi Umpan B Umpan D Jenis umpan
Gambar 85 Efektivitas penangkapan ikan kerapu pada masing-masing umpan dengan perbedaan waktu penangkapan Nilai efektivitas penangkapan ikan kerapu pada alat tangkap bubu baik pada malam hari dengan menggunakan umpan alami maupun umpan buatan lebih tinggi dibandingkan nilai efektivitas penangkapan pada siang hari. Hal tersebut disebabkan soaking time bubu pada malam hari lebih lama, yaitu dari pukul 16.50 WIB sampai pukul 08.00 WIB dibandingkan pada siang hari, yaitu dari pukul 08.00-16.30 WIB, sehingga ikan kerapu yang dikelompokkan sebagai ikan crepuscular (puncak aktivitas makan menjelang senja dan menjelang fajar) (Gunarso 1985; Indonesian Coral Reef Foundation 2004) banyak tertangkap pada waktu tersebut. Apabila ditinjau dari penggunaan masing-masing umpan, efektivitas penangkapan ikan kerapu tertinggi pada siang hari terdapat pada umpan rucah/ikan (23,38%), diikuti umpan udang (22,29%), umpan D (20,83%), gonad bulu babi (18,75%), dan umpan B (6,25%). Pada malam hari, efektivitas penangkapan ikan kerapu tertinggi terdapat pada umpan udang (49,17%), diikuti oelh umpan rucah (44,58%), gonad bulu babi (43,74%), umpan D (41,67%), dan umpan B (39,58%). Apabila dibandingkan kelima jenis umpan, mengindikasikan bahwa umpan buatan telah memiliki efektivitas yang sama dengan umpan alami (udang dan rucah), artinya bahwa formulasi umpan buatan telah memiliki
155 karakteristik fungsi untuk dapat menggantikan umpan udang dan umpan rucah ditinjau dari berat hasil tangkapan ikan kerapu. Dengan kata lain bahwa umpan buatan dapat mensubstitusi umpan alami.
7.4 Pembahasan Pada penelitian ini, jenis ikan dari famili Pomacentridae yang paling banyak tertangkap. Menurut Adrim (1993) diacu dalam Nasution (2001), ikan dari famili ini merupakan ikan utama atau ikan mayor, yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan. Famili Pomacentridae adalah ikan omnivora yang aktif mencari makan pada siang hari atau bersifat diurnal. Hal itu terbukti dari hasil tangkapan pada siang hari dimana ikan ini lebih banyak tertangkap dibandingkan pada malam hari. Diduga ikan ini masuk ke dalam bubu karena tertarik oleh bau umpan dari dalam bubu. Dari hasil pengamatan secara visual langsung di dalam air setelah bubu dipasang ikan betok langsung mendekati bubu dan berkumpul di sekitar bubu. Jenis ikan famili Serranidae yang tertangkap ialah kerapu koko (Epinephelus merra), kerapu karet (Epinephelus fasciatus), dan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Ikan jenis tersebut termasuk dalam golongan ikan karang yang berukuran besar. Tertangkapnya ikan kerapu ke dalam bubu karena tertarik oleh bau umpan pada bubu dan/atau tertarik oleh ikan-ikan kecil yang ada di dalam bubu. Ikan kerapu juga menganggap bubu sebagai gugusan gua karang dan memanfaatkannya untuk tempat beristirahat dan bersembunyi menunggu mangsa yang lewat untuk melakukan pemangsaan karena ikan kerapu hidup soliter di guagua karang dan di bawah atau sela-sela gugusan karang. Hal ini terbukti dari perbandingan komposisi hasil tangkapan antara siang dan malam, famili Serranidae lebih banyak tertangkap pada waktu malam hari. Pada penangkapan ikan kerapu didapatkan bahwa hasil tangkapan malam hari (60 ekor) lebih banyak bila dibandingkan dengan hasil tangkapan pada siang hari (20 ekor). Perbedaan jumlah yang cukup besar ini disebabkan karena ikan kerapu merupakan ikan aktif pada malam hari namun memiliki puncak aktivitas mencari makan pada senja dan subuh hari (Gunarso 1985; Herring et al. 1990;
156 Potts 1990). Pada penangkapan siang hari tertangkapnya ikan kerapu disebabkan bukan karena tertarik oleh bau umpan tapi lebih banyak terhadang ketika arus pasang surut terjadi dan menjadikan bubu sebagai tempat berlindung atau beristirahat sehingga hasil tangkapan dari setiap jenis umpan perbedaannya tidak terlalu jauh, begitu pula halnya pada hasil tangkapan umpan buatan. Tingginya hasil tangkapan ikan kerapu pada malam hari disebabkan pada waktu malam hari indera penciuman pada ikan lebih berperan dalam mencari makan dibandingkan indera penglihatannya sehingga umpan alami yang mengeluarkan bau yang kuat lebih cepat direspons oleh ikan dibandingkan pada umpan buatan. Perbedaan jenis umpan (alami dan buatan) memberikan pengaruh sebagai atraktan yang sama untuk menangkap ikan kerapu. Pengaruh yang sama tersebut disebabkan proses pelarutan kandungan kimia dari masing-masing umpan di dalam air adalah sama, artinya bahwa formulasi umpan buatan telah berdaya guna yang sama (performance) dengan umpan alami (Januma et al. 2003). Menurut Lokkeborg (1990), umpan buatan yang terbuat dari ekstrak udang mempunyai nilai pelarutan (rate release) kandungan asam amino yang sama dengan ikan mackerel sebagai umpan alami. Berdasarkan hal tersebut di atas tampak bahwa umpan buatan dapat mensubstitusi umpan alami
7.5 Kesimpulan Penangkapan pada waktu siang hari, efektivitas tertinggi pada umpan ikan, diikuti umpan udang, umpan D, umpan gonad bulu babi, dan umpan B. Efektivitas penangkapan tertinggi pada waktu malam hari, terdapat pada umpan udang, diikuti umpan ikan, umpan gonad bulu babi, umpan D, dan umpan B. Umpan buatan D memiliki nilai efektivitas penangkapan pada waktu siang lebih tinggi daripada umpan alami (gonad
bulu babi). Hal tersebut
mengindikasikan bahwa formula umpan buatan memiliki karakteristik fungsi yang relatif sama dengan umpan alami sebagai atraktan baik pada kondisi penangkapan siang hari. Dengan kata lain bahwa umpan buatan D dapat mensubstitusi umpan alami (gonad bulu babi).
8 PEMBAHASAN UMUM
Hasil dan pembahasan di atas menjelaskan bahwa ikan kerapu memiliki struktur mata dan lensa seperti umumnya ikan bertulang sejati (teleostei). Tipe sel kon (kerucut) yang dominan pada ikan kerapu adalah sel kon ganda dan berpola mosaik bujur sangkar. Sumbu penglihatan lurus ke arah depan naik pada sudut sekitar 30 derajat, dengan indeks ketajaman penglihatan berkisar 0,0548-0,1465. Ketajaman penglihatan tersebut tidak jauh berbeda dengan ketajaman penglihatan pada ikan karang lainnya dari famili Chaetodontidae yang berkisar 0,058-0,145; genus Sebastes schlegeli yang berkisar 0,093-0,106; famili Siganidae berkisar 0,058-0,059 dan famili Lutjanidae berkisar 0,055-0,077. Jarak pandang maksimum ikan kerapu berukuran 150-350 mm berkisar 4,72 –12,59 m untuk objek penglihatan dengan diameter 25 mm. Informasi yang menarik dari hasil penelitian ini adalah dengan susunan sel kon yang lebih teratur dan diameter lensa mata yang besar berpengaruh pada ketajaman penglihatan dan jarak pandang maksimum yang tinggi. Ikan kerapu sunu memiliki ketajaman penglihatan dan jarak pandang maksimum lebih tinggi dibandingkan dengan kerapu macan dan kerapu karet karena memiliki diameter lensa yang lebih besar dan susunan sel kon yang lebih teratur. Besarnya ukuran diameter lensa mata pada ikan kerapu sunu salah satunya dipengaruhi oleh ukuran panjang tubuh. Sel kerucut yang tersusun teratur berpengaruh pada ketajaman penglihatan (Blaxter 1980). Hampir sebagian besar ikan sama, perlu pembuktian lainnya untuk color vision. Sumbu penglihatan (arah pandang) ikan kerapu ke arah depan atas, memberikan informasi dasar pada proses penangkapan dengan menggunakan atraktor umpan. Peletakkan posisi umpan seharusnya diletakkan pada daerah sumbu penglihatannya sehingga umpan dapat dilihat secara jelas oleh ikan, disamping itu kebiasaan makan ikan kerapu yang tidak akan merespons umpan jika posisi umpan telah sampai dasar perairan. Struktur bagian otak ikan kerapu yang berukuran paling besar merupakan cerminan indera apa yang paling berkembang sebagai fungsi organ sensoris. Pada famili Serranidae, struktur otak menunjukkan struktur atau bentuk telencephalon,
158 olfactory bulb, optic tectum, cerebellum dan medulla oblongata. Perbandingan bobot otak dan bobot tubuh relatif sama yaitu berkisar 0,04-0,4%. Struktur otak ikan kerapu pada area otak depan, otak tengah, dan otak belakang menunjukkan pertumbuhan ke arah lateral. Perkembangan otak ke arah lateral juga ditemukan pada ikan African cichlid yang hidup pada habitat yang kompleks di danau Victoria sebagaimana ikan-ikan famili Serranidae yang hidup di terumbu karang (Schumway 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan kerapu (famili Serranidae) memiliki persentase bobot rata-rata telencephalon 20,00%. Persentase tersebut lebih besar dibandingkan dengan persentase ikan karang lainnya seperti pada famili Chaetodontidae berkisar 19,00-19,50% (Razak 2005) dan ikan pelagis besar (Katsuwonus pelamis) sebesar 17,32% (Lisney dan Collin 2006). Menurut Schumway (2005), bahwa ikan yang hidup pada habitat yang kompleks seperti di perairan terumbu karang memiliki struktur telencephalon yang lebih besar, penglihatan yang lebih baik dan home range yang lebih luas. Analisis umpan alami dan buatan sebagai atraktan ikan kerapu diperlukan untuk mengetahui ketahanan tekstur umpan selama perendaman dan kandungan kimia pada umpan yang dapat merangsang organ sensor penciuman. Analisis ketahanan umpan alami (ikan dan udang) dalam penelitian ini menunjukkan bahwa umpan ikan dan udang memiliki ketahanan perendaman yang sama yaitu selama 36 jam. Umpan gonad bulu babi dengan tekstur yang cepat memudar ketika dimasukkan kedalam air tidak diujikan dalam penelitian ini. Hasil analisis ketahanan umpan dapat dijadikan dasar bahwa perendaman umpan ikan dan udang untuk penangkapan akan lebih efektif apabila dilakukan kurang dari 36 jam karena selain akan berpengaruh pada tekstur umpan itu sendiri, juga akan berpengaruh pula pada kandungan kimianya. Lokkeborg (1990), mengemukakan bahwa potensi laju pelarutan atau pelepasan kandungan asam amino umpan akan mengalami penurunan seiring dengan lamanya waktu perendaman, yaitu dari 2 hingga 24 jam. Hasil analisis proksimat pada masing-masing umpan alami menunjukkan bahwa kandungan air tertinggi terdapat pada umpan udang, yaitu 777,9 mg/g; kandungan lemak tertinggi terdapat pada umpan gonad bulu babi yaitu 67,6 mg/g,
159 sedangkan kandungan protein tertinggi terdapat pada umpan ikan, yaitu 171,4 mg/g. Air dapat berfungsi sebagai bahan yang dapat mendispersikan berbagai senyawa yang ada dalam suatu bahan, dan sebagai pelarut pada beberapa bahan lainnya (Winarno 1992). Pada umpan, kandungan air akan berpengaruh pada distribusi bau dalam air. Asam amino dan asam lemak merupakan kandungan kimia umpan yang dapat merangsang organ penciuman ikan. Kandungan asam amino yang direspons oleh penciuman ikan sekaligus sebagai perangsang nafsu makan antara lain alanina, arginina, glutamina, metionina, leusina dan prolina. Kandungan alanina tertinggi terdapat pada umpan ikan, yaitu 15,34 mg/g, kandungan arginina, glutamina, metionina, dan prolina tertinggi juga terdapat pada umpan ikan, yaitu berturut-turut sebanyak 2,18 mg/g; 28,04 mg/g; 2,8 mg/g; dan 3,58 mg/g. Kandungan leusina tertinggi terdapat pada umpan udang, yaitu 9,87 mg/g. Pada umpan buatan, kandungan asam amino yang direspons oleh organ penciuman ikan terdapat pada arginina, leusina, dan lisina terdapat pada umpan buatan D, yaitu berturut-turut 0,45 mg/g; 1,21 mg/g; dan 0,53 mg/g. Kandungan asam lemak yang mampu merangsang organ penciuman kerapu adalah jenis asam lemak jenuh miristat dan palmitat dan jenis asam lemak tidak jenuh oleat. Kandungan miristat, dan palmitat pada umpan alami tertinggi pada gonad bulu babi yaitu 34,51 mg/g dan 22,48 mg/g, sedangkan kandungan oleat tertinggi terdapat pada umpan ikan yaitu 6,27 mg/g. Kandungan palmitat pada umpan buatan tertinggi pada formulasi umpan buatan D yaitu 141,54 mg/g, sedangkan kandungan oleat tertinggi juga terdapat pada formulasi umpan buatan D yaitu 60,32 mg/g. Perbandingan lemak dan protein antara umpan alami dan umpan buatan menunjukkan bahwa umpan buatan memiliki kandungan lemak dan protein lebih banyak. Perbedaan ini dimungkinkan karena umpan buatan merupakan hasil pengolahan ikan dengan tingkat konsentrasi kandungan lemak dan protein yang tinggi. Namun perbedaan yang cukup besar terjadi pada kandungan asam amino (alanina dan lisina), dimana umpan alami memiliki jumlah kandungan alanina dan lisina yang lebih banyak. Kandungan asam lemak palmitat umpan buatan D memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan umpan alami, sedangkan
160 kandungan miristat tertinggi terdapat pada umpan alami. Hal ini mengindikasikan bahwa miristat dan palmitat sebagai atraktan respons ikan kerapu. Informasi menarik yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah pola perilaku berbagai jenis ikan kerapu. Tingkah laku kerapu sunu yang berbeda (selalu melakukan aktivitas renang pada kolom perairan) dibandingkan dengan kerapu macan dan karet yang kebanyakan selalu diam di dasar kolam pemeliharaan. Hal ini disebabkan karena kerapu sunu termasuk genus Plectropomus, sedangkan kerapu macan dan kerapu karet termasuk genus Epinephleus, meskipun ketiga jenis kerapu tersebut termasuk famili yang sama, yaitu Serranidae (grouper). Respons kerapu sunu terhadap pendeteksian umpan berbeda dengan kerapu macan dan kerapu karet. Pada kondisi lapar setelah starvasi, kerapu sunu selalu melakukan aktivitas berenang di kolom air untuk mencari umpan/makanan, baik pada kondisi siang hari (kondisi cahaya dengan intensitas yang tinggi) maupun malam hari (kondisi cahaya dengan intensitas yang rendah). Hal tersebut berbeda dari kerapu macan dan kerapu karet, yang akan tetap diam di dasar perairan sebelum umpan dimasukkan dalam perairan, baik pada kondisi siang maupun malam hari. Akan tetapi, ketika umpan dimasukkan kedalam perairan maka kerapu macan dan karet akan melakukan suatu respons terhadap umpan tersebut. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa masing-masing spesies kerapu memiliki tingkah laku yang berbeda ketika merespons adanya umpan. Pendeteksian ikan terhadap umpan/makanan menggunakan dua organ reseptor, yaitu organ penglihatannya sebagai reseptor bentuk dan ukuran objek serta organ penciuman sebagai reseptor kimia (Lokkeborg et al. 1994; Baskoro dan Effendy 2005). Pada kelompok ikan predator (famili Serranidae, Lutjanidae dan Carangidae), penggunaan organ penglihatan lebih dominan meskipun organ reseptor lain yaitu organ penciuman juga ikut berperan dalam mendeteksi keberadaan makanan (Liang et al. 1998). Pada kondisi terang (light condition), respons ikan kerapu pada kondisi umpan (dibuka dan dibungkus) hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi tersebut organ penglihatan yang lebih dominan berperan dalam mendeteksi keberadaan umpan. Pada kondisi gelap (dark condition), dengan kondisi umpan dibungkus, kerapu tidak memberikan respons.
161 Hal ini menunjukkan bahwa baik organ penglihatan dan penciuman tidak berperan pada kondisi tersebut. Pada kondisi umpan yang dibuka, kerapu memberikan respons dalam mencari keberadaan umpan. Pada kondisi ini, organ penciuman yang lebih berperan. Hal ini mengindikasikan bahwa organ penciuman dan penglihatan pada kerapu saling berperan dalam merespons umpan baik kondisi lingkungan yang gelap gulita (malam hari) dan lingkungan dengan kondisi cahaya dengan intensitas yang tinggi (siang hari). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Lokkeborg et al. (1994); Baskoro dan Effendy (2005) bahwa pada prinsipnya empat fase tingkah laku ikan terhadap umpan tidak terlepas dari peran sensor organ penglihatan dan organ penciuman, yaitu fase arousal, fase searching, fase up take, dan fase food ingestion. Pada dark condition, respons antara kerapu sunu, kerapu macan, dan kerapu karet dalam mendeteksi umpan buatan pada fase arousal, dan fase searching adalah sama. Pada fase finding berbeda. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian, yaitu fase finding waktu rata-rata tercepat kerapu macan dan kerapu karet dalam mendeteksi umpan D yaitu 5,21±0,81 menit, umpan C yaitu 9,36±1,29 menit, umpan B yaitu 9,94±1,81 menit dan waktu rata-rata ikan yang paling lama adalah umpan A yaitu 10,20±0,75 menit. Umpan buatan D (komposisi minyak ikan (35%) memiliki kandungan lemak tertinggi yaitu
331,8 mg/g dibandingkan
umpan buatan lain. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin banyak kandungan minyak ikan, maka semakin tinggi jumlah lemak yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan lemak pada umpan buatan telah mampu memberikan respons tercepat pada kerapu dalam mendeteksi keberadaan umpan. Hasil ini sesuai dengan pendapat Djarijah (1998) dimana lemak merupakan kandungan kimia umpan yang dapat merangsang organ penciuman ikan. Selain itu, kandungan air juga dapat mempercepat proses dispersi zat kimia dan distribusi bau dalam air, sehingga ikan akan dapat dengan cepat memberikan respons terhadap umpan. Asam amino yang terkandung dalam umpan buatan juga merupakan komponen perangsang utama dalam proses penciuman ikan. Tertangkapnya kerapu pada bubu yang dioperasikan siang dan malam hari mengindikasikan bahwa kerapu melakukan aktivitas mencari makanan baik pada siang hari maupun malam hari, artinya bahwa famili Serranidae dapat diklarifikasi
162 sebagai ikan crepuscular. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Indonesian Coral Reef Foundation (2004) dan Potts (1990), bahwa aktivitas makan famili Serranidae dikelompokkan sebagai ikan crepuscular. Hasil tangkapan terbanyak terdapat pada setting malam hari. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan kerapu termasuk kelompok ikan nocturnal (aktivitas malam hari) akan tetapi memiliki puncak aktivitas makan pada saat menjelang senja dan menjelang fajar (twilight atau crepuscular) (Herring et al 1990; Potts 1990). Dengan demikian, waktu malam hari pada kondisi cahaya dengan intensitas rendah, organ penciuman yang berperan lebih dominan dalam mendeteksi dan menentukan keberadaan umpan. Siang hari pada kondisi cahaya dengan intensitas tinggi, keberadaan umpan dalam bubu dapat direspons kerapu lebih dahulu melalui organ penglihatan. Namun ketika pencarian keberadaan umpan, organ penciuman juga ikut berperan dalam mendekati target/umpan melalui aroma atau difusi dan dispersi kimia umpan. Hasil perhitungan nilai efektivitas penangkapan kerapu untuk masingmasing umpan menunjukkan bahwa hasil tangkapan siang hari, umpan yang memiliki efektivitas terbaik adalah umpan ikan (23,33%), diikuti berturut-turut oleh umpan udang (22,29%), umpan buatan D (20,83%), umpan gonad bulu babi (18,75%), dan umpan buatan B (6,25%). Pada penangkapan malam hari, umpan yang memiliki efektivitas terbaik adalah umpan udang (49,17%), diikuti berturutturut oleh umpan ikan (44,58%), gonad bulu babi (43,75%), umpan buatan D (41,67%), dan umpan buatan B (39,58%). Perbandingan nilai efektivitas hasil tangkapan antara umpan alami dan umpan buatan mengindikasikan bahwa umpan buatan (umpan D) telah memiliki efektivitas yang sama dengan umpan alami (gonad bulu babi), artinya bahwa formulasi umpan buatan telah memiliki karakteristik fungsi untuk dapat menggantikan peran umpan alami (gonad bulu babi) dalam usaha penangkapan ikan kerapu. Efektivitas penangkapan tertinggi kerapu siang hari terdapat pada umpan ikan. Hal ini disebabkan karena kandungan asam amino (alanina, arginina, dan metionina) pada ikan lebih tinggi dibandingkan udang. Kandungan asam amino yang tinggi berperan lebih efektif sebagai atraktan organ penciuman ikan. Selain faktor tersebut, tekstur fisik umpan ikan yang lebih mengkilat dan cerah dibandingkan umpan udang juga dapat menstimulasi organ penglihatan kerapu
163 dalam melihat target/makanan. Demikian halnya dengan umpan buatan D memiliki nilai efektivitas penangkapan ikan kerapu yang lebih tinggi dibandingkan umpan gonad bulu babi. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena tekstur fisik umpan buatan D memiliki tekstur yang tetap dibandingkan gonad bulu babi yang tekstur fisiknya lebih cepat larut dalam air laut selama pengoperasian bubu. Akibatnya kerapu mempunyai waktu yang cukup untuk mendekati makanan/umpan dalam bubu dibandingkan dengan gonad bulu babi yang sudah larut dalam air. Pada malam hari, efektivitas penangkapan tertinggi ikan kerapu diperoleh dengan umpan udang dibandingkan umpan ikan. Hal ini disebabkan karena organ penciuman berperan lebih dominan dibandingkan organ penglihatan dimana kandungan air pada umpan udang lebih tinggi dibandingkan umpan ikan. Kandungan air yang tinggi menyebabkan proses difusi dan dispersi kimia umpan ke dalam air lebih cepat sehingga organ penciuman kerapu lebih cepat terstimulasi.
9 KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan 1) Respons penglihatan dan penciuman ikan kerapu sangat berperan dalam melakukan aktivitas mencari makan (umpan), baik pada kondisi terang maupun kondisi gelap. Pada kondisi terang, pencarian umpan lebih dominan dengan menggunakan organ penglihatan sebatas ukuran umpan yang dapat dideteksi berada dalam jangkauan daya pandang maksimum ikan kerapu. Apabila indera penerima rangsangan kimia (chemical sense) yang lebih dulu mendeteksi keberadaan umpan maka organ penciuman yang lebih dulu berperan dibandingkan organ penglihatan. Pada saat umpan dapat diketahui posisinya maka untuk mencapai ke lokasi umpan dan proses mencaplok umpan (bait intake), maka organ penglihatan yang berperan. Pada kondisi gelap, proses pencarian dan penemuan umpan hingga saat umpan dimasukkan ke dalam mulut, maka hanya organ penciuman yang berperan. Ikan kerapu efektif ditangkap baik pada waktu siang dan malam hari, namun nilai efektivitas penangkapan pada waktu malam hari lebih tinggi dibandingkan pada siang hari. 2) Organ penglihatan lebih dominan digunakan dibandingkan organ penciuman yang ditunjukkan oleh persentase volume optic tectum lebih besar dibandingkan volume telencephalon. Dari sisi organ penglihatan, ikan kerapu memiliki arah pandang (visual axis) menghadap depan atas (upper-fore) pada sudut sekitar 300. Indeks ketajaman penglihatan ikan kerapu berkisar 0,055-0,147, memiliki nilai yang relatif sama dengan jenis ikan karang lainnya seperti famili Chaetodontidae dan Siganidae. Jarak pandang maksimum ikan kerapu (panjang total 150-350 mm) berkisar 4,72-12,59 m untuk objek penglihatan dengan diameter 25 mm. 3) Pada umpan alami, kandungan air lebih tinggi dibandingkan dengan protein dan lemak. Pada umpan buatan, nilai kandungan lemak lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan protein dan air. 4) Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan menggunakan umpan udang dan ikan lebih tinggi dibandingkan dengan umpan yang lainnya, tetapi
165 umpan buatan D memiliki efektivitas penangkapan yang setara dengan umpan alami gonad bulu babi.
9.2 Saran 1) Formula umpan buatan D (kandungan minyak 35%) dapat digunakan sebagai atraktan pengganti umpan alami dalam penangkapan ikan kerapu dengan menggunakan bubu. 2) Peletakkan umpan pada alat tangkap bubu sebaiknya berada dalam jangkauan (range) arah pandang (visual axis) ikan kerapu, dengan posisi umpan digantung pada bubu, sehingga ketika ikan telah masuk pada mulut bubu dapat melihat posisi umpan. 3) Penyempurnaan bahan dan metode formulasi umpan buatan perlu dilakukan guna mendapatkan suatu formulasi umpan buatan sebagai atraktan yang lebih efektif dan efisien dalam usaha penangkapan ikan kerapu dengan menggunakan bubu.
DAFTAR PUSTAKA Akbar 2000. Meramu Pakan Ikan Kerapu. Penebar Swadaya. Jakarta. Ali MA, Anctil M. 1976. Retinas of Fishes an Atlas. Springer-Verlag-Berlin. Anonim. 2008. Fish Bait. http://www.wipo.int/pctdb/en/wo [1 April 2008]. Anonim. 2008. http://ilc00f.facbacs.uq.edu.au/ [20 April 2008]. Anonim. 2008. www.fishbase.org, 2008. Spesies Summary. [22 Mei 2008] AOAC. 2000. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Washington : AOAC Inc. Baker CF, Montgomery JC, Dennis TE. 2002. The Sensory Basis of Olfactory Search Behaviour in Banded Kokopu (Galaxias fasciatus). J. Comp Physiol A (188): 553-560. Bambang N, editor. 2000. Kumpulan Makalah dan Informasi tentag Line Fishing. BPPI. Semarang. Baskoro MS, Effendy A. 2005. Tingkah Laku Ikan (Hubungannya dengan Metode Pengoperasian Alat Tangkap Ikan). Dept. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Baskoro MS, Telussa RF, Purwangka F. 2006. Efektivitas Bagan Motor Di Perairan Waai, Pulau Ambon. Prosiding Seminar Perikanan Tangkap. ISBN: 979-1225-00-1. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 115-121 hlm. Bauchot R, Ridet JR, Bauchot MI. 1989. The Brain Organization of Butterflyfies. J.Environmental Biology of Fishes (25): 209-219. Blaxter JHS. 1980. Vision and Feeding of Fishes. In: Fish Behaviour and its Use in the Capture and Culture of Fishes. ICLARM Conf. proc (5): 32 - 56. Bone Q, Marshall NB. 1982. Biology of Fishes. Glasgow. London: Blakcie and Sons Ltd. BPPL. 2007. Jenis Ikan Karang Konsumsi Di Indonesia. [Poster]. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta Bramono A. 2006. Efektivitas Rumpon Sebagai Fish Attraction Pada Hand Line Fishing Di Perairan Sekitar Karang Pulau Menjangan Besar, Karimunjawa. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Semarang. 70 hlm.
167 Brandt A von. 1984. Fishing Catching Methods of The World. Fishing News Books ltd. Farnham Surrey, England. Caprio J. 1982. High sensitivity and specificity of olfactory and gustatory receptors of catfish to amino acids. Di dalam T.J. Hara, editor. Chemoreception In Fishes. Elsivier Scientific Publishing Company. Pp: 09134. Carr WES, Derby CD. 1986. Chemically Stimulated Feeding Behavior in Marine Animals. Journal Chemical and Ecology. 12: 989-1011. Carton AG, Montgomery JC. 2003. Evidence of A Rheotactic Component in The Odour Search Behaviour of Freshwater Eels. Journal of Fish Biology (62): 501-516 Clark ME. 1985. The osmotic role of amino discovery and function in transport processes. Di dalam: Gilles R, Baillien MG, ediotr. Ion O- and Osmoregulation. Springer-Verlag, Berlin. Pp: 412-423 DEPTAN. 1987. Pemeliharaan Ikan Kerapu dalam Karamba. Departemen Pertanian, Jakarta. DKP. 2006. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Djamal R. 1995. Potensi dan Peluang Usaha Perikanan Kakap, Kerapu di Laut Jawa dan Sekitarnya. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I, Jakarta 25-27 Agustus 1993. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. Hlm: 253-260. Djarijah AS. 1998. Membuat Pellet Pakan Ikan. Penerbit Kanisius. Djatikusumo EW. 1975. Dinamika Populasi Ikan (bahan kuliah). Jakarta. Akademi Usaha Perikanan. Dulgofar 2000. Bubu Alat Penangkap Ikan Ramah Lingkungan Di Perairan Karang. Jurnal ARIOMMA edisi Desember No. 11. BPPI. Semarang. Hlm: 43-58. Engas A, Lokkeborg S. 1994. Abundance estimation using bottom gillnet and longline – the role of fish behaviour. Di dalam: Ferno A, Olsen S, editor. Marine Fish Behaviour in Capture And Abundance Estimation. Fishing News Books. Pp: 134 – 165 Ferno A, Olsen S. 1994. Marine Fish Behaviour in Capture and Abudance Estimation. Fishing News Books. England. Pp: 221.
168 Friedman 1988. Perhitungan Dalam Merancang Alat Penangkap Ikan. Balai Penelitian Perikanan Laut, penerjemah; Semarang. Terjemahan dari: Calculation in Design Fishing Gears. Fujaya Y. 2004. Fisiologi Ikan: Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rineka Cipta. Jakarta. Furevik DM. 1994. Behaviour of fish in relation to pots. Di dalam Ferno A; Olsen S, editor. Marine Fish Behaviour in Capture and Abundance Estimation. Fishing News Books. Pp: 134-160 Gervibeita FE, Beitu G. 1997. Literatur Research on Artificial Bait. Icelandic Fisheries Laboratories Report Summary. Februari 1997. Pp: 5. Gibson, Ivancevich, Donnely. 1990. Organisasi dan Manajemen. Djoerban Wahid, penerjemah. Jakarta Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Organization and Management. Ghufran MH, Kordi K. 2005. Budidaya Ikan Laut di Karamba Jaring Apung. Rineka Cipta, Jakarta. Gunarso W. 1985. Tingkah laku Ikan dalam Hubungannya Dengan Alat, Metode dan Taktik penangkapan. Diktat Matakuliah (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hansen A, Reutter K. 2004. Chemosensory systems in Fish: Structural, Functional and Ecological Aspects. Di dalam: Emde, GVD, Mogdans J, Kapoor BG, editor. The Sense of Fish (Adaptations for the Reception of Natural Stimuli). Kluwer Academic Publishers. Pp: 55-106. Hara TJ. 1993. Role of olfaction in fish behaviour. Di dalam: Pitcher TJ, editor. Behaviour of Teleost Fishes. Edisi ke-2. Chapman dan Hall. Pp: 171-199 . 2006. Feeding Behaviour in Some Teleosts is Triggered by Single Amino Acids Primarily Throught Olfaction. Journal of Fish Biology (68): 810-825. Hartati ST, Awwaluddin, Indar SW. 2004. Kelimpahan dan Komposisi Jenis Ikan Hasil Tangkapan Bubu Di Perairan Gugusan Pulau Kelapa Kepulauan Seribu. JPPI Edisi Sumber Daya dan Penangkapan Vol. 10 No. 4. Hlm: 2935 He P. 1989. Fish Behaviour and its Application in Fisheries. New Foundland Canada: Labrador Institute of Fisheries and Marine Technology. Helfman GS. 1993. Fish behaviour by day, night and twilight. Di dalam: Pitcher TJ, editor. Behaviour of Teleost Fishes. Chapman and Hall. Second Edition.
169 Hendrotomo M. 1989. Studi Analisa Hasil Tangkapan Dengan Menggunakan Umpan Yang Berbeda Pada Rawai Cucut (Hiu) Permukaan Pelabuhan Ratu [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Herring PJ, Campbell AK, Whitfield M, Maddock L, editor. 1990. Light and Life in The Sea. London: Cambridge University Press. High WL, Beardsley AJ. 1970. Fish Behaviour Studies From Undersea Habitat. Comm. Fish. Rev. P: 31-37. Hoar WS, Randall DJ. 1971. Fish Physiology. Sensory Systems and Electric Organs (Volume V). England. Holmes MG, editor. 1991. Photoreseptor Evolution and Function. London: Academic Pr. Indonesian Coral Reef Foundation. 2004. Panduan Dasar Untuk Pengenalan Ikan Karang Secara Visual Indonesia. TERANGI. Jakarta. Januma S, Miyajima K, Abe T. 2003. Development and Comparative Test of Squid Liver Artificial Bait for Tuna Longline. J. Fisheries Science (69): 288-292. Jones KA. 1992. Food research behaviour in fish and the use of chemical lures in commercial and sports fishing. Di dalam: Hara TJ, editor. Fish Chemoreception. Chapmann and Hall. 373 p Kaufman 2004. Misteri Warna Terumbu Karang. National Geographic Indonesia. Kawamura G, Nishimura G, ueda S, Nishi T. 1981. Vision in Tunas and Marlins. Mems. Kagoshima Univ. Res. Center’s Pac. 1. (2): 1-3. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi: Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit Universitas Indonesia Press. King MG. 1991. Fisheries in The Economy of The South Pacific. Institut of Pacific Studies. University of The South Pacific. Canada. Pp: 15. Kotrschal K, Staaden MJV, Huber R. 1998. Fish Brain: Evolution and Evironmental Relationship. Reviews in Fish Biology and Fisheries (8): 373408. Kusakabe T, Suzuki N. 2000. Photoreceptors and Olfactory Cells Express The Sama Retinal Guanylyl Cyclase Isoform In Medaka: Visualization by Promoter transgenics. Journal FEBS Letters (483): 143-148.
170 Leksono U. 1983. Suatu Studi Tentang Penggunaan Umpan Ikan Lemuru Sebagai Umpan Pada Perikanan Rawai Tuna Di PT. Perikanan Samudera Besar, Benoa, Bali. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Liang XF, Liu JK, Huang BY. 1998. The Role of Sense organs in The Feeding Behaviour of Chinese perch. Journal of Fish Biology (52): 1058-1067. Lisney TJ, Collin SP. 2006. Brain Morphology in Large Pelagic Fishes: A Comparison Between Sharks and Teleosts. Journal of Fish Biology (68): 532–554 Lokkeborg S. 1990. Rate of Release of Potential Feeding Attractants from natural and Artificial Bait. J. Fisheries Research (8): 253-261. . 1994. Fish behaviour and longlining. Di dalam: Ferno A, Olsen S, editors. Marine Fish Behaviour in Capture and Abundance Estimation. Fishing News Books. . 1996. Umpan Long Line Dengan Suatu Tinjauan Terhadap Tingkah Laku Ikan dan Sosok Umpan Serta Pengaruh Daya Aroma Penarik Yang Keluar Dari Umpan. Zarochman, penerjemah; Balai Penelitian Perikanan Laut, editor. Semarang. Terjemahan dari: Bait of Long Line. . 1998. Feeding Behaviour of Cod (Gabus morhua): Activity Rhythm and Chemically Mediated Food Research. Journal Animal Behaviour (56): 371-378. , Ferno A. 1999. Diel Activity pattern and Food Search Behaviour in Cod (Gabus morhua). Environmental Biology of Fishes (54): 345-353. Mana RR, Kawamura G. 2002. A Comparative Study on Morphological Differences in The Olfactory Sistem of Red Sea Bream (Pagrus major) And Black Sea Bream (Acanthopagrus schlegeli) From Wild And Culture Stocks. Journal of Aquaculture (209): 285-306. Martasuganda S. 2003. Bubu (Traps). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Matsuoka M. 1999. Histological Characteristics and Development of The Retinal Basis of Vision. Amsterdam: Elsivier. Mawardi I. 2001. Pengaruh Penggunaan Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Karang Pada Alat Tangkap Bubu (Trap) di Pulau Pramuka, Kep. Seribu. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
171 Mayunar. 1991. Studi Pendahuluan Pertumbuhan Ikan Kerapu Lumpur pada Berbagai Substrat. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai. Vol: 7 no.2. Hlm: 7277. Mitamura H et al. 2005. Role of Olfaction and Vision in Homing Behaviour of Black rockfish (Sebastes inermis). Journal of Experimental Marine Biology (322): 123-134. Monintja DR, Baskoro MS, Indrayani S. 1992. Studi Perbandingan Hasil Tangkapan Jaring Keranjang Terhadap Populasi Ikan Karang di Perairan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu. Buletin ITK Maritek 2(1): 60-76. Moore JW. 1971. Oceanography. Reading American Scientific. San Fransisco: W.H. Freeman and Company. Muntz WRA. 1974. Comparative aspects in behavioral studies of vertebrate vision. Di dalam: Davson H, Graham LT, editor. Comparative Physiology. Academic Press. New York. Pp: 255-261. Muslim AB, Slamet S. 2003. Manajemen Pengelolaan Induk Kerapu. Makalah Seminar Pelatihan Teknis Pembenihan Multi Species bagi Pengelola BBIP di BBAP Situbondo, 25 Agustus – 20 September 2003. Myrberg AA, Fuiman LA. 2002. The sensory world of coral reef fishes. Di dalam: Sale PF, editor. Coral Reef Fishes (Dynamics and Diversity in A Complex Ecosystem). San Diego: Academic Press. Nasution HA. 2001. Uji Coba Bubu Buton di Perairan Pulau Batanta Kabupaten Sorong, Propinsi Papua. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nicol JAC. 1989. The Eye of Fishes. Clarendon Press Oxport. Nikonov AA, Caprio J. 2001. Electrophysiological Evidence for A Chemotopy of Biologically Relevant Odors in The Olfactory Bulb of The Channel Catfish. J. Neurophysiol (86): 1869-1876 . 2007. Responses of Olfactory Forebrain Units to Amino Acids in The Channel Catfish. J. Neurophysiol (97): 2490-2497 Nontji A. 1993. Laut Nusantara, edisi II. Djambatan. Jakarta. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut (suatu pendekatan ekologis). Pererbit PT. Gramedia. Jakarta. Pelabuhan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Teknik Budidaya Ikan Kerapu. http://www.dkp.go.id. [5 Desember 2007].
172 Pitcher TJ 1993. Behaviour of Teleost Fishes. Second edition. Ed. Chapman and Hall. P: 170-199 Potts GW. 1990. Crescupular behaviour of marine fishes. Di dalam Herring PJ, Campbell AK, Whitefield M, Maddock L, editor. Light and Life in The Sea. Cambridge University Press. 421 p. Purbayanto A, Martasuganda S, Mawardi W, Mangunsukarto K, Puspito G. 1998. Bubu Plastik Sebagai Metode Alternatif Penangkapan Ikan Hias Ramah Lingkungan. Proc. Agri-Bioche. Symp II. Tokyo. p: 121-129 Purbayanto A. 1999. Behavioural Studies for Improving Survival of Fish in Mesh Selectivity of Sweeping Trammel Net. [Ph.D. Tesis]. Tokyo: Graduate School of Fisheries. Tokyo University of Fisheries. , Akiyama S, Arimoto T. 2001. Visual and Swimming Physiology of Japanese Whiting in Relation to The Capture Process of Sweeping Trammel Net. Di dalam: O. Carman et al., editor. Proceeding of the 4th JSPS International Seminar on Fisheries Science in Tropical Area. Tokyo University. Tokyo. International JSPS Project. Vol. 10:151-155. Pramu. 1994. Pembesaran Kerapu Dengan Keramba Jaring Apung. Penebar Swadaya, Jakarta. Prayitno SD. 1986. Laporan Kegiatan Uji Coba Alat Tangkap Ikan Hias Karang di Karimunjawa (Tahap I). Bagian Proyek Pengembangan Tehnik Penangkapan Ikan. BPPI. Semarang. Rahardjo P, Linting ML. 1993. Penelitian Jenis Umpan Untuk Bubu Laut. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (77): 72-77. Razak A. 2005. Adaptasi Ekologi Mata Ikan Kepe-Kepe (Chaetodontidae) dan Responnya Terhadap Racun Potas (KCN) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rolen SH, Sorensen PW, Mattson D, Caprio J. 2003. Polyamines as Olfactory Stimuli in The Goldfish (Carassius auratus). Journal of Exp. Bio (206): 1683-1696. Roose JD. 2002. The Neurobehavioral Nature of Fishes and The Questions of Awareness and Pain. J. Fisheries Science 10 (1): 1 – 38. Sadhori 1985 Teknologi Penangkapan Ikan. CV. Yasaguna. Jakarta. Schultz K. 2004. Field Guide to Saltwater Fish. John Wiley and Sons. New Jersey.
173 Schumway C. 2005. Evolution of brain and Baehavior in African Cichlid Fishes. http://people.bu.edu/cschumway/ [18 Februari 2008]. Shiobara Y; Akiyama S, Arimoto T. 1998. Development Changes in The Visual Acuity of Red Sea (Pagrus major). Journal Fisheries Science. Vol. 64 No. 6. Departement of Marine Science and Technology. Tokyo University of Fisheries. Tokyo. Japan. Pp:944-947. Singru PS, Sakharkar AJ, Subhedar N. 2003. Neuronal Nitric Oxide Synthase in The Olfactory System of An Adult Teleost Fish (Oreochromis mossambicus). Journal of Brain Research (977): 157-168 Sola C, Tongiorgi P. 1998. Behavioural Responses of Glass Eels of Anguilla to Non-protein Amino Acids. Journal of Fish Biology (53): 1253-1262. Stoner AW. 2004. Effects of Environmental Variables on Fish Feeding Ecology: Implications for The Performance of Baited Fishing Gear and Stock Assessment (Review Paper). Journal of Fish Biology (65): 1445-1471. Subani W, Barus HR. 1989. Alat Penangkap Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta: Departemen Pertanian, Balai Penelitian Perikanan Laut. 248 hlm. Subyakto S, Cahayaningsih S. 2003. Pembenihan Kerapu. Agromedia Pustaka. Jakarta. Sugama, Waspada, Tanaka. 1986. Perbandingan Laju Pertumbuhan Beberapa Jenis Ikan Kerapu dalam Kurungan Apung. Scientific Report of Marine Culture Research and Development Project in Indonesia. Suterlin AM, Suterlin M. 1971. Electrical Responses of The Olfactory Epithellium of Atlantic Salmon (Salmo salar). J. Fish. Res. Bd Can (28): 565-572. Syandri H. 1988. Tingkah Laku Ikan. Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta, Padang. Taibin 1984. Alat penangkapan Bubu I, Pengaruh Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu di Kecamatan Siak Hulu Kampar. Pusat Penelitian Universitas Riau. Tamura T. 1957. A Study of Visual Perception in Fish, Especially on Resolving Power and Accommodation. Bulletin of The Japanese Society of Scientific Fisheries. Vol 22, No. 9. Fisheries Institute, Faculty of Agriculture, Japan. Pp : 536-557. Titaley A. 2000. Studi Tentang Hasil Tangkapan Ikan Napoleon (Cheilinus undulates) dan Kerapu Bebek (Plectropomus altivelis)Dengan Pancing Ulur
174 dan Rawai Dasar di Perairan Kab. Sorong-Papua. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Tsunoda A, Baskoro MS, Martasuganda S, Diniah, Purbayanto. 2003. Preliminary Study on Survival of Some By-catch Species After Capture by A Trammel Net in Pelabuhan Ratu Water. Buletin PSP, Volume XIII: 4755. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistik. Sumantri B, penerjemah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Terjemahkan dari: Introduction to Statistics. 515 hlm. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wiryawan D. 1993. Memancing Ikan di Laut. PT.Mandira, Semarang. Wudianto, Mahiswara, Agustinus P, Anung W. 1993. Memancing di Perairan Tawar dan di Laut. Penebar Swadaya, Jakarta. Yacoob SY; Browman HI, Jensen PA. 2004. Electroencephalogram Recordings From The Olfactory Bulb of Juvenile (0 year) Atlantic Cod in response to Amino Acids. Journal of Fish Biology (65): 1657-1664. Yamamoto M. 1982. Comparative morphology of peripheral olfactory organ in teleosts. Di dalam Hara TJ, editor. Chemoreception in Fish. Elsevier Scientific Publishing Company, New York. Pp: 39-59. Yamashita S; Yamada T, Hara J. 2006. Gustatory responses to Feeding- and NonFeeding-Stimulant Chemicals, With An Emphasis on Amino Acids, in Rainbow Trout. Journal of Fish Biology (68): 783-800. Zarochman. 1994. Suatu Pengenalan Teknik Penangkapan Crab Dengan Bubu Perangkai Di Jepang. Jurnal Ariomma, I (1) : Media Informasi Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan, Semarang. Hlm 1-12. Zhang XM, Arimoto T. 1993. Visual Physiology of Walleye Pollock (Theregra chalcogramma) in Relation To Capture by trawl Nets. ICES Mar. Sci. Symp, 196: 113-116.
175 Lampiran 1 Data waktu respons pada light condition a) Ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus) dengan umpan tidak dibungkus No 1 2
1 2
Fase respons
Waktu (menit) B. Babi Udang 1,05 0,41 Arousal 0,48 0,24 Rata rata 0,76 0,32 Standar Deviasi 0,41 0,12 Standar Error 0,20 0,06 Finding Rata rata Standar Deviasi Standar Error
1,23 1,55 1,39 0,23 0,08
0,52 1,48 1,00 0,68 0,11
Ikan 0,33 0,31 0,32 0,01 0,00 1,74 2,29 2,01 0,39 0,08
b) Ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus) dengan umpan terbungkus No
Fase respons
Waktu (menit) B. Babi Udang 1 Arousal 5,02 1,25 2 4,67 1,58 Rata rata 4,84 1,41 Standar Deviasi 0,25 0,23 Standar Error 0,12 0,11
Ikan 0,48 0,10 0,29 0,27 0,13
1 Finding 2 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
0,53 0,37 0,45 0,11 0,04
5,11 6,36 5,73 0,89 0,30
1,06 2,20 1,63 0,81 0,27
176 c) Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan umpan tidak dibungkus No
Fase respons
1 Arousal 2 Rata rata Standar Deviasi Standar Error 1 Finding 2 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
Waktu (menit) B. Babi Udang 0,30 1,04 0,20 0,10 0,25 0,57 0,07 0,66 0,04 0,33 0,50 0,26 0,38 0,17 0,08
Ikan 0,02 0,10 0,06 0,06 0,03
1,32 0,14 0,73 0,83 0,42
0,08 0,18 0,13 0,07 0,03
d) Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan umpan terbungkus No Fase respons
Waktu (menit) B. Babi Udang 1 Arousal 13,15 7,53 2 0,64 0,10 Rata rata 6,90 3,81 Standar Deviasi 8,84 5,25 Standar Error 4,42 2,63
Ikan 0,14 1,57 0,86 1,01 0,51
1 Finding 2 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
0,26 1,71 0,98 1,03 0,51
15,73 1,79 8,76 9,86 4,93
8,42 0,36 4,39 5,70 2,85
177 e) Ikan kerapu karet (Epinephelus heniochus) dengan umpan tidak dibungkus No Fase respons
Waktu (menit) B. Babi Udang 1 Arousal 3,28 1,11 2 8,61 7,69 Rata rata 5,94 4,40 Standar Deviasi 3,77 4,65 Standar Error 1,89 2,33
Ikan 1,92 7,63 4,78 4,04 2,02
1 Finding 2 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
2,08 8,23 5,15 4,35 2,17
3,52 11,85 7,68 5,89 2,95
7,18 8,29 7,73 0,78 0,39
f) Ikan kerapu karet (Epinephelus heniochus) dengan umpan terbungkus
No Fase respons
Waktu (menit) B. Babi Udang Ikan 1 Arousal 5,08 5,41 25,20 2 4,35 5,49 23,17 Rata rata 4,71 5,45 24,18 Standar Deviasi 0,52 0,05 1,43 Standar Error 0,26 0,03 0,72 1 Finding 2 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
5,81 5,90 5,85 0,07 0,03
6,40 6,43 6,41 0,02 0,01
25,66 31,74 28,70 4,30 2,15
178 Lampiran 2 Data waktu respons pada dark condition dengan umpan alami a) Ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus) No 1 2
Fase respons Arousal Rata rata Standar Deviasi Standar Error
1 2
Searching Rata rata Standar Deviasi Standar Error
1 2
Finding Rata rata Standar Deviasi Standar Error
Waktu (menit) Bulubabi Udang 1,65 6,82 3,67 0,83 2,66 3,83 1,43 4,24 0,16 0,78
Ikan 1,59 1,23 1,41 0,25 0,02
1,81 3,76 2,79 1,38 0,16
6,79 1,15 3,97 3,99 0,75
1,64 2,29 1,97 0,46 0,05
1,86 3,81 2,84 1,38 0,16
8,78 1,23 5,00 5,34 1,04
1,78 2,49 2,13 0,50 0,06
179 b) Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) No Fase respons 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (menit) B. Babi Udang Ikan 3,17 1,10 0,95 Arousal 3,70 6,68 5,40 0,67 6,68 5,40 4,22 4,40 0,83 0,15 1,20 2,98 0,15 0,08 5,30 4,27 3,03 0,50 4,27 1,02 7,45 8,82 0,08 0,62 13,00 1,18 0,90 Rata rata 4,24 2,55 3,03 Standar Deviasi 4,02 2,54 2,62 Standar Error 0,40 0,25 0,26
1 Searching 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
3,22 3,80 0,73 7,18 0,22 0,22 4,38 4,28 8,88 14,18 4,71 4,38 0,44
1,17 7,68 7,68 4,57 3,20 0,98 3,42 1,15 1,17 1,22 3,22 2,65 0,27
1,02 5,45 5,45 1,37 4,63 5,37 0,58 7,52 1,00 1,37 3,38 2,55 0,25
1 Finding 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
14,18 15,40 7,72 8,35 1,72 1,88 4,62 4,8 9,42 16,70 8,48 5,45 0,54
8,67 18,58 30,67 16,18 3,35 1,57 3,97 8,48 1,72 1,72 9,49 9,60 0,96
16,18 10,02 19,50 1,52 8,48 10,30 15,53 10,53 6,88 3,32 10,23 5,65 0,57
180 c) Ikan kerapu karet (Epinephelus heniochus) No
Fase respons
1 Arousal 2 3 4 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
Waktu (menit) Bulubabi Udang Ikan 6,41 2,37 10,06 9,92 7,69 1,85 5,03 8,61 7,03 8,41 7,86 4,37 7,44 6,63 5,83 2,16 2,87 3,53 0,18 0,29 0,41
1 Searching 2 3 4 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
6,52 11,93 6,10 8,64 8,30 2,66 0,19
7,75 8,22 8,68 7,98 8,16 0,40 0,17
11,08 2,07 7,52 4,60 6,32 3,88 0,41
1 Finding 2 3 4 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
6,57 12,06 6,43 8,76 8,46 2,63 0,19
7,97 8,29 8,70 8,19 8,29 0,31 0,15
11,13 2,14 7,56 4,66 6,37 3,87 0,41
181 Lampiran 3 Data waktu respons pada dark condition dengan umpan buatan a) Ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus) No 1 2 3 4
Fase respons
Waktu (menit) Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D 0,33 0,17 0,07 0,17 Arousal 0,28 0,20 0,08 0,30 0,25 0,33 0,38 0,34 0,75 0,33 0,82 Rata rata 0,40 0,26 0,34 0,27 Standar Deviasi 0,23 0,08 0,35 0,09 Standar Error 0,06 0,02 0,09 0,03
1 Searching 2 3 4 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
0,42 0,5 0,52 0,82 0,57 0,18 0,04
0,22 0,28 0,37 0,50 0,34 0,12 0,03
0,10 0,15 0,45 0,90 0,40 0,37 0,09
0,34 0,32 0,48 0,38 0,09 0,03
1 Finding 2 3 4 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
2,45 4,20 2,90 3,83 3,35 0,81 0,20
0,27 0,33 0,68 1,28 0,64 0,46 0,12
2,25 2,63 2,88 3,07 2,71 0,35 0,09
1,20 1,93 2,58 1,90 0,69 0,23
182 b) Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) No Fase Respons 1 2 3 4 5
Waktu (menit) Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D 7,40 3,12 4,22 4,50 Arousal 10,53 2,62 2,67 2,50 2,68 3,47 3,05 1,18 1,58 0,92 7,85 1,95 8,60 0,32 2,80 2,35 Rata rata 6,16 2,09 4,12 2,50 Standar Deviasi 3,86 1,39 2,17 1,23 Standar Error 0,77 0,28 0,43 0,25
1 Searching 2 3 4 5 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
7,45 10,53 3,77 4,10 8,75 6,92 2,94 0,59
3,18 2,63 3,57 3,95 0,60 2,79 1,32 0,26
4,32 2,72 3,95 9,02 3,32 4,66 2,51 0,50
5,00 2,68 2,95 2,17 4,38 3,44 1,20 0,24
1 Finding 2 3 4 5 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
13,77 13,50 4,63 9,62 9,50 10,20 3,72 0,74
9,78 25,52 5,15 6,30 2,97 9,94 9,05 1,81
20,00 6,67 6,30 10,35 3,50 9,36 6,43 1,29
11,18 4,13 4,28 3,97 4,50 5,61 3,12 0,62
183 c) Ikan kerapu karet (Epinephelus heniochus) No Fase respons 1 2 3 4 5
Waktu (menit) Umpan A Umpan B Umpan C Umpan D 7,45 3,18 4,32 5,00 Arousal 10,53 2,63 2,72 2,68 3,77 3,57 3,95 2,95 4,10 3,95 9,02 2,17 8,75 0,60 3,32 4,38 Rata rata 6,92 2,79 4,66 3,44 Standar Deviasi 2,94 1,32 2,51 1,20 Standar Error 0,59 0,26 0,50 0,24
1 Searching 2 3 4 5 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
13,77 13,50 4,63 9,62 9,50 10,20 3,72 0,74
9,78 23,12 5,15 5,30 2,97 9,26 8,13 1,63
20,00 6,67 6,30 10,35 3,50 9,36 6,43 1,29
11,18 4,13 4,28 3,97 4,50 5,61 3,12 0,62
1 Finding 2 3 4 5 Rata rata Standar Deviasi Standar Error
14,2 14,18 5,15 10,20 10,35 10,82 3,72 0,74
10,20 26,51 5,30 6,52 3,02 10,31 9,42 1,88
20,50 7,20 7,00 11,10 4,44 10,05 6,31 1,26
12,17 4,44 4,97 4,00 4,79 6,07 3,43 0,69
184 Lampiran 4 Data hasil tangkapan 1. Hasil tangkapan pada waktu perendaman siang hari: Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
Trip 1
18 Maret 2008 Trip ke N 03:24,56'/E Ulangan ke 106:13.286' 8:30 Waktu hauling P. Air
Umpan Rucah 1 Rucah 2 Udang 1 Udang 2 B. Babi 1
B.Babi 2
B. Babi 3
A1
Nama lokal Kepe-kepe Garu (Lutjanus) Kepe-kepe Pasir Nori Kakak tua merah Kakak tua merah Kakak tua merah Kakak tua merah Kakak tua merah Kakak tua merah Kakak tua Hijau Kakak tua Hijau Kakak tua Hijau Kakak tua Hijau Kakak tua Hijau Kakak tua Hijau Kakak tua Hijau Kakak tua Hijau Kipas Marmut Serak Kakak tua merah Kakak tua hijau Kakak tua hijau Nori Nori Nori Nori Kakak tua hitam Kakak tua hitam Kakaktua hitam Kakak tua hitam Lingkis (baronang) Kakak tua merah Nori Nori Nori Nori Nori Kakak tua merah Kakak tua merah Kipas Kipas
Pagi 1
Intensitas cahaya Suhu
12799 29
8:00
Kecepatan arus
0,3
Ph Salinitas
8 30 permil
Panjang total (mm) 100 180 80 200 140 250 160 150 160 150 140 180 170 160 180 170 150 170 150 130 100 140 200 170 170 140 140 140 140 170 150 150 150 170 170 140 170 170 140 150 190 160 120 90
Berat (g) 40 125 25 150 50 180 60 60 60 60 60 60 60 60 75 65 60 65 65 100 100 60 160 120 120 60 60 60 60 80 60 60 60 100 125 60 125 125 100 100 150 125 50 12
185 A2 A3 B1
Kakak tua hijau Kakak tua hijau Kakak tua hijau Kakak tua hijau Janggut (goat fish) Masuk layang Masuk layang Kakak tua hitam Kakak tua hitam Kakak tua hitam Kakak tua hitam Kakak tua hitam Nori
B2
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
20 Maret 2008 S 05 46,208'/E 106:34.804' 8:00
Trip ke Ulangan ke
210 230 170 170 150 90 90 160 150 140 220 170 160
Pagi 1
Intensitas cahaya Suhu
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus 0,5 Ph Salinitas
Umpan Rucah 1
Udang 1 B. Babi 1
B. Babi 2 A1
A2
12020 29
P. Karang Beras
Trip 2
250 260 125 125 100 25 25 100 100 100 250 125 100
Nama lokal Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Kea-kea Kea-kea Kea-kea Kea-kea Marmut Marmut Kepe-kepe Kepe-kepe Kea-kea Kea-kea Kea-kea Kipas Betok Kakak tua Kakak tua Jarang gigi Jarang gigi Betok -
Panjang total (mm) 150 130 120 120 110 110 110 110 110 110 110 110 100 90 80 155 145 110 95 130 190 170 200 210 140 -
8 30 permil
Berat (g) 65 65 35 35 35 35 35 25 25 25 25 25 25 12,5 12,5 50 40 15 10 30 100 75 75 100 50 -
186 A3 B1
Lepu Kipas Kepe-kepe Kepe-kepe Marmut Kakak tua Kakak tua Nori Nori Kea-kea Kakak tua Baronang hitam Kea-kea K. Koko K. Koko
B2
B3
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
21 Maret 2008 S 05 46,208'/E 106:34.804' 8:00
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus
P. Karang Beras
Trip 3
Umpan Rucah 1
Rucah 2
Rucah 3
Udang 1
Udang 2
110 90 90 75 100 170 160 155 155 140 140 160 160 210 200
Nama lokal K. Koko Pasir Kipas Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Lencam Betok Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam K. Karet Betok hitam Betok hitam Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Marmut Lencam Nori monyong hitam Betok hitam Betok hitam
25 10 12,5 12,5 25 65 65 50 50 25 30 50 60 115 100
Intensitas cahaya Suhu
10025 29 0,5
Ph
8
Salinitas
30 permil
Panjang total (mm) 200 200 90 80 80 80 80 80 140 130 110 110 110 110 110 220 140 140 130 130 120 120 120 120 170 160 100 100
Berat (g) 125 110 10 10 10 10 10 10 30 25 25 25 25 25 25 175 60 60 40 40 40 30 30 30 60 75 15 15
187
Udang 3 Udang 4
B. Babi 1
A1
A2
B1 B2
Nori Nori monyong Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Marmut Marmut Masuk layang Kepe Marmut Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Betok Hitam Nori Nori merah Nori Marmut Marmut Marmut Nori merah Betok hitam Nori monyong hitam Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe K. Koko Nori hijau Betok Betok Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Marmut Kepe-kepe Kepe-kepe Kakak tua Pelok (helicures) Serak Masuk layang
Tanggal 22 Maret 2008 Posisi/lokasi S 05 44.193'; E 106 35.781' Waktu 8:00 setting SELATAN P.PANGGANG
Trip
Umpan
170 160 100 100 100 110 110 140 90 120 80 80 80 80 140 150 220 180 100 100 100 150 100 180 140 140 140 140 140 90 90 90 230 220 130 130 120 120 120 120 100 80 80 170 160 140 120
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus
Nama lokal
60 60 15 15 15 20 25 50 10 60 10 10 10 10 50 20 175 75 25 25 25 60 10 80 50 50 50 50 50 15 15 15 170 210 62 62 40 40 40 40 25 10 10 100 30 25 20
Intensitas cahaya Suhu
12020 29 0,5
Ph
8
Salinitas
30 permil
Panjang total (mm)
Berat (g)
188 4
RUCAH 1
RUCAH 2 RUCAH 3 UDANG 1
UDANG 2
UDANG 3 B.BABI 1
B.BABI 2 A1
NORI NORI NORI NORI MERAH KAKATUA KEPE-KEPE KUPAS-KUPAS SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KEPE-KEPE NORI KERAPU KOKO SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR NORI SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR LINKIS LINKIS LINKIS MARMUT KOSONG KERAPU KARET KUPAS-KUPAS KUPAS-KUPAS MARMUT KOSONG BETOK SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR
140 140 140 150 210 80 200 110 110 110 70 120 220 150 150 150 150 150 150 150 130 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 140 140 140 140 80 80 80 80 130 130 130 90
125 125 125 125 160 10 110 25 25 25 10 25 150 75 75 75 75 75 75 75 120 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 70 70 70 70 15 15 15 15 30 30 30 25
180 90 90 100
80 20 20 50
160 120 120 120 120
60 25 25 25 25
189
A2
B1
B2
SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KEA-KEA / MUNGGILALA SERAK KEA-KEA KEA-KEA NORI KAKATUA KERAPU KOKO NORI NORI KAKATUA KAKATUA BETOK HITAM SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KUPAS-KUPAS SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR
120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140 140
25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60
130 170 160 160 160 160 210 150 150 160 160 110 140 140 140 140 100 160 160 160 160 160 160 160 160 160
40 80 75 75 60 75 125 60 60 65 65 25 60 60 60 60 25 80 80 80 80 80 80 80 80 80
190 SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR NORI MONYONG MARMUT
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
23 Maret 2008 S 05 44.193'; E 106 35.781' 8:00
Umpan RUCAH 1
RUCAH 2 RUCAH 3 UDANG 1
UDANG 2
UDANG 3
80 80 80 80 80 80 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 80 25
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Intensitas cahaya Suhu
12232 29
Waktu hauling
8:00
Kecepatan arus
0,3
Ph
8
Salinitas
30 permil
SELATAN P.PANGGANG
Trip 5
160 160 160 160 160 160 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 170 90
Nama lokal KAKATUA KAKATUA NORI MERAH NORI KEA-KEA KEA-KEA KERAPU KOKO PASIR KEPE-KEPE TANDATANDA/LENCAM KEPE-KEPE KUPAS-KUPAS BETOK MARMUT MARMUT MARMUT NORI NORI NORI NORI NORI NORI SERSAN MAYOR MARMUT KEPE-KEPE KOSONG
Panjang total (mm) 170 170 160 170 170 170 220 180 70
Berat (g) 110 110 75 80 80 80 140 80 10
220 70 70 120 110 90 90 240 200 160 160 160 160 140 70 70
160 10 10 25 50 20 20 190 125 50 50 50 50 50 10 10
191 B.BABI 1
B.BABI 2
A1
A2
B1 B2
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
KERAPU KARET KAKATUA KAKATUA KAKATUA PELO NORI NORI NORI JARANG GIGI MARMUT SERSAN MAYOR MARMUT MARMUT MARMUT KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR PASIR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERAK SERAK KAKATUA MARMUT KUPAS-KUPAS KAKATUA KEPE-KEPE KAKATUA MARMUT MARMUT MARMUT
24 Maret 2008 S 05 44.191'; E 106 35.781' 8:00 KARANG SEMPI
160 200 170 170 170 170 170 170 140 100 110 100 100 100 70 70 70 70 70 70 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 240 130 130 140 180 180 180 90 160 160 70 190 130 130 130
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Intensitas cahaya Suhu
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus
60 160 100 100 60 75 75 75 60 25 25 40 40 40 10 10 10 10 10 10 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 160 40 40 40 90 90 125 20 50 90 10 125 60 60 60
10020 29 0,5
Ph
8
Salinitas
30 permil
192
Trip 6
Umpan RUCAH 1 RUCAH 2 RUCAH 3
RUCAH 4 RUCAH 5 UDANG 1
B.BABI 1
B.BABI 2
A1
A2
Nama lokal BETOK HITAM BETOK HITAM KERAPU KARET KERAPU HITAM NORI MONYONG SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KOSONG KOSONG SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KERAPU HITAM MARMUT MARMUT MARMUT POGE KERAPU HITAM KAKATUA MERAH NORI NORI MONYONG KAKATUA KAKATUA NORI MONYONG KEPE-KEPE MARMUT MARMUT MARMUT MARMUT MARMUT KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KAKATUA KAKATUA KERAPU KARET NORI NORI PASIR KAKATUA KAKATUA NORI NORI NORI BETOK HITAM BETOK HITAM BETOK HITAM MARMUT SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR NORI MONYONG
Panjang total (mm) 150 140 180 170 140 110 110 110
Berat (g) 60 60 80 75 50 20 20 20
150 150 150 150 200 110 110 110 200 190 200 210 160 160 160 140 70 100 100 100 100 100 70 70 70 70 70 70 110 110 110 110 110 170 170 210 140 140 200 180 180 170 170 210 150 150 110 120 130 130 100 210
60 60 60 60 110 25 25 25 225 90 125 130 75 60 60 40 10 25 25 25 25 25 10 10 10 10 10 10 20 20 20 20 20 90 90 110 50 50 80 120 120 80 80 120 20 20 25 60 40 40 25 120
193 KERAPU KARET NORI MARMUT MARMUT MARMUT KAKATUA BETOK SERSAN MAYOR NORI MONYONG NORI BETOK BETOK BETOK BETOK NORI MARMUT
B1
B2
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
26 Maret 2008 S 05 43.967'; E 106 34.259' 08:00
Umpan RUCAH 1 UDANG 1
UDANG 2
UDANG 3
UDANG 4 UDANG 5 B.BABI 1
B.BABI 2
B.BABI 3 A1
140 140 40 40 40 100 80 80 60 60 80 80 80 60 60 25
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus
SEMAK DAUN
Trip 7
230 210 110 110 110 180 160 150 150 160 160 160 160 140 150 100
Nama lokal KERAPU MACAN KEPE-KEPE KEPE-KEPE KERAPU KOKO KERAPU LODI/SUNU SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR MARMUT KEPE-KEPE BETOK KAKATUA KEPE-KEPE KOSONG KOSONG KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE BETOK NORI BETOK BETOK KOSONG KAKATUA KAKATUA BETOK
Intensitas cahaya Suhu
88826 29 0,3
Ph Salinitas
8 30 permil
Panjang total (mm) 300 80 80 220 230 120 120 120 120 120 110 80 150 180 70
Berat (g) 500 10 10 180 160 25 25 25 25 25 60 10 100 125 10
70 70 70 110 260 160 130
10 10 10 30 250 120 60
190 190 180
120 120 120
194 A2
KAKATUA KAKATUA SERAK KOSONG KEPE-KEPE KEPE-KEPE BETOK BETOK KERAPU KOKAL BETOK BETOK MARMUT PASIR KEPE-KEPE SERSAN MAYOR
A3 B1
B2
B3
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
25 Maret 2008 S 05 43.967'; E 106 34.259' 8:00
Umpan RUCAH 1 RUCAH 2 UDANG 1
B.BABI 1 B.BABI 2 B.BABI 3 B.BABI 4 B.BABI 5 A1 A2
A3 B1
B2
110 200 90
70 70 170 170 150 120 120 90 210 70 140
10 10 125 125 70 30 30 20 120 10 40
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus
SEMAK DAUN
Trip 8
170 220 190
Nama lokal SERSAN MAYOR BETOK KAKATUA KAKATUA MARMUT BETOK KEPE-KEPE KOSONG KOSONG KOSONG KOSONG KOSONG SERSAN MAYOR BETOK KUPAS-KUPAS KUPAS-KUPAS KUPAS-KUPAS KEPE-KEPE KOSONG KAKATUA KAKATUA BETOK KEPE-KEPE KEPE-KEPE KAKATUA KAKATUA KAKATUA
Intensitas cahaya Suhu
10028 29 0,5
Ph Salinitas
8 30 permil
Panjang total (mm) 110 160 170 160 90 130 80
Berat (g) 25 50 100 50 15 25 10
130 130 90 90 90 70
40 40 20 20 20 10
230 200 150 70 70 160 160 180
180 130 60 10 10 60 60 90
195 2. Hasil tangkapan pada waktu perendaman malam hari: Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
Trip 1
18 Maret 2008 Trip ke N 03:24,56'/E Ulangan ke 106:13.286' 16:00 Waktu hauling P. Air
Umpan Rucah 1 Rucah 2 Udang 1
Udang 2 B. Babi 1
B. Babi 2
B. Babi 3
A1
A2
B1
Nama lokal Nori merah Nori merah Swanggi Kepiting plonkor Kerapu karet merah Kea-kea/remodas Kakak tua bintik biru Kakak tua bintik hijau Kea-kea/remodas Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua merah Nori Nori Kerapu lumpur Serak (Scalopsis) Kepiting merah Kepiting rajungan Pasir Nori Kipas Nori cokelat/mogong Nori Nori Kepiting plonkor Nori Kea-kea Kakak tua biru Kipas Marmut Marmut Betok kochan Kakak tua putih Nori Kepiting merah Rajungan Nori (Cheilinus) Kakak tua hitam Kakak tua hitam Kakak tua hitam Nori item Nori item
Pagi 1
Intensitas cahaya Suhu
5579 30
8:00
Kecepatan arus
0,3
Ph Salinitas
8 30 permil
Panjang total (mm) 230 150 140 130x90 26 200 200 180 170 170 170 140 140 140 140 140 170 140 140 150 130 80x50 70x50 170 150 17 190 160 160 110x80 150 170 170 130 100 100 100 130 160 80x50 70x50 190 170 130 130 140 140
Berat (g) 200 100 60 510 300 175 160 140 100 110 110 75 75 65 65 65 110 65 65 70 50 100 60 75 60 100 150 75 75 260 75 80 110 50 37 37 35 110 75 100 60 115 100 60 60 60 60
196 B2
Kakak tua merah Kakak tua putih Kakak tua merah Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua merah Kea-kea Kea-kea Kea-kea Kakak tua bintik biru Kakak tua bintik biru Kakak tua bintik biru Kakak tua bintik biru Nori Nori Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua merah Kakak tua biru Nori Serak Kepe-kepe Rajungan
B3
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
19 Maret 2008 S 05:44,129'/E 106:34.644' 16:05
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
08:30 Kecepatan arus
Umpan Rucah 1 Rucah 2 Udang 1 Udang 2 B. Babi 1
B. Babi 2
B. Babi 3
A1 A2
Intensitas cahaya Suhu
90 90 60 60 60 150 85 85 85 175 60 60 60 60 50 50 60 60 60 100 110 60 50 10 75
5579 29
Karang Sempit
Trip 2
170 170 140 140 140 190 170 170 170 200 150 150 150 160 140 140 150 150 150 160 170 140 130 60 80x50
Nama lokal Kerapu langa-langa Nori Betok susu Betok susu Pelok (Halichoeres) Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Jarang gigi Betok item Kakak tua hitam Kakak tua biru Kipas Betok susu Kepe-kepe Betok hitam
Ph Salinitas
Panjang total (mm) 180 160 160 140 150 80 70 70 70 70 160 130 140 160 160 80 130
0,3 8 30 permil
Berat (g) 100 60 50 35 30 15 13 13 13 13 65 45 30 70 10 75 15 60
197 Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Kakak tua biru Nori monyong kuning Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Kepe-kepe Kepe-kepe Kepe-kepe Jarang gigi Jarang gigi Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Betok hitam Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Betok susu Jarang gigi Kipas Kerapu hitam Kerapu hitam Kerapu hitam
A3 B1
B2
B3
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
20 Maret 2008 S 05:46,207'/E 106:34.804' 16:30
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
08:00 Kecepatan arus
Karang Beras
Trip 3
Umpan Rucah 1
Rucah 2
130 130 130 130 150 180 8 90 90 90 90 90 80 80 80 140 140 130 130 140 140 140 140 140 140 140 90 90 90 90 140 130 90 260 260 210
Nama lokal Kerapu koko Kerapu koko Kerapu hitam Kakap tanda kuning Kerapu hitam Betok hitam Betok hitam Lencam
Intensitas cahaya Suhu
Ph Salinitas
Panjang total (mm) 210 230 210 20 210 130 140 150
60 60 60 60 65 100 10 12 12 12 12 12 10 10 10 35 35 30 30 45 45 45 45 45 45 45 10 10 10 10 45 30 10 250 250 170
6573 29 0,3 8 30 permil
Berat (g) 200 200 150 110 150 60 60 60
198 Udang 1 Udang 2 B. Babi 1
B. Babi 2
B. Babi 3
A1
A2 B1
B2
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
Kerapu karet Betok hitam Kepe-kepe Kepe-kepe Jarang gigi Masuk layang Kepe-kepe Lencam Nori merah Nori Nori Kepe-kepe Kepe-kepe Masuk layang Kelomang Kerapu koko Kerapu koko Kerapu karet Lencam Lencam Lencam Nori merah Nori merah Nori merah Jarang gigi Marmut Kerapu Hitam Masuk layang Masuk layang Masuk layang Masuk layang Kerapu karet Masuk layang Lencam Lencam Kakak tua putih Kakak tua putih Kakak tua putih Tikusan Kakak tua biru Kakak tua hijau Betok hitam Betok hitam Nori merah
21 Maret 2008 S 05:46,207'/E 106:34.804' 15:30
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
08:30 Kecepatan arus
Karang Beras
Trip 4
Umpan RUCAH 1
180 140 80 120 210 120 80 150 240 150 150 80 80 11 110x70 240 190 170 160 160 160 160 160 180 130 90 230 130 130 130 130 190 80 170 170 150 150 150 150 160 120 120 120 160
Nama lokal KEPE-KEPE
Intensitas cahaya Suhu
Ph Salinitas
Panjang total (mm) 9
75 75 10 13 200 25 10 50 225 60 60 10 10 25 200 225 100 75 70 70 70 100 100 120 40 20 200 25 25 25 25 125 10 75 75 50 50 50 60 75 75 40 40 75
7799 29 0,3 8 30 permil
Berat (g) 25
199
RUCAH 2
RUCAH 3 UDANG 1 UDANG 2 UDANG 3
UDANG 4
B.BABI 1
A1
A2 B1 B2
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
KEPE-KEPE KEPE-KEPE KERAPU KOKO KERAPU KARET SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KERAPU HITAM KERAPU HITAM KERAPU HITAM SERAK KERAPU KARET PASIR NORI NORI HITAM BETOK HITAM KERAPU HITAM NORI KEPE-KEPE KERAPU KARET SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KERAPU HITAM KERAPU KARET LENCAM LENCAM NORI MERAH BETOK KERAPU KARET KEPE-KEPE
22 Maret 2008 S 05 44.193'; E 106 35.781' 15:30
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
08:30 Kecepatan arus
Karang Beras
Trip 5
Umpan RUCAH 1
RUCAH 2 RUCAH 3 UDANG 1
UDANG 2
9 9 210 260 130 130 130 230 240 210 140 230 210 140 160 110 230 180 80 170 12 16 260 220 170 170 210 130 210 80
Nama lokal SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KOSONG KOSONG KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KRAPU KOKO KRAPU KOKO KERAPU KARET SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR
Intensitas cahaya Suhu
Ph Salinitas
25 25 180 300 25 25 25 210 220 180 50 140 125 50 60 30 160 100 15 60 25 85 275 160 120 120 150 75 125 15
6553 29 0,3 8 30 permil
Panjang total (mm) 130 130 130
Berat (g) 40 40 40
100 100 100 100 210 210 210 210 210
10 10 10 10 140 140 120 40 40
200 UDANG 3
UDANG 4
B.BABI 1
A1
A2
B1
NORI KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR NORI KAKATUA MERAH SERAK NORI BETOK BESENG BESENG MARMUT MARMUT KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR JARANG GIGI NORI NORI NORI KAKATUA SERSAN MAYOR MARMUT MARMUT MARMUT MAMGGILALA MAMGGILALA SERSAN MAYOR KEPE-KEPE KEPE-KEPE KERAPU KOKO KERAPU hitam KERAPU KARET SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR
190 170 170 170 150 150 150 120 120 120 120 120 120 120 120 120 200 260 180 160 150 140 140 90 90 180 160 160 160 150 150 130 130 130 130 150 150 150 150 170 130 10 10 10 130 130 110 80 80 220 190 160 150 150 150 120 120 120 120 120 120 120 120 120
90 100 100 100 60 60 60 40 40 40 40 40 40 40 40 40 120 280 100 60 75 30 30 20 20 100 75 75 75 60 60 40 40 40 40 60 50 50 50 80 40 25 25 25 40 40 25 10 10 180 100 50 60 60 60 40 40 40 40 40 40 40 40 40
201 SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR LINKIS/BERONANG SUSU SERAK SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR BETOK MARMUT
B2
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
23 Maret 2008 S 05 44.193' E 106 35.781' 15:30
Umpan RUCAH 1 RUCAH 2
RUCAH 3 RUCAH 4
RUCAH 5 UDANG 1
40 40 40 40 40 40
180 210 130 130 130 120 120 120 130 120
100 140 40 40 40 40 40 40 50 40
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
08:30 Kecepatan arus
Pulau Panggang
Trip 6
120 120 120 120 120 120
Nama lokal NORI MERAH KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KUPAS-KUPAS BETOK HITAM KERAPU HITAM KERAPU KOKO KERAPU KOKO KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA PUTIH MARMUT MARMUT KERAPU MERAH SERSAN MAYOR KAKATUA KERAPU LODI/SUNU KERAPU KOKO NORI BETOK PUTIH
Intensitas cahaya Suhu
78876 29 0,3
Ph
8
Salinitas
30 permil
Panjang total (mm) 150 100 100 100 90 150 270 240 220 190 240 240 240 240 240 240 170 110 110 180
Berat (g) 60 20 20 20 100 80 325 220 160 80 220 220 220 220 220 220 80 50 80 80
140 180 200 200 130
40 110 120 100 30
202
B. BABI 1
B.BABI 2
A1
A2
BETOK PUTIH BETOK PUTIH SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR NORI KUPAS-KUPAS KUPAS-KUPAS SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KERAPU KOKO NORI NORI NORI NORI NORI TIKUSAN BETOK PUTIH BETOK PUTIH SERSAN MAYOR MARMUT KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA NORI NORI NORI NORI NORI SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KEA-KEA KEA-KEA KEA-KEA SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR BETOK MARMUT SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR
130 130 140 140 140 140 110 90 130 130 130 130 130 130 200 160 160 160 160 160 170 140 140 100 120 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 150 150 150 190 190 140 140 140 140 140 140 140 140 110 110 110 110 150 150 150 120 120 150 100 140 140 140
30 30 50 50 50 40 20 15 50 50 50 50 50 50 100 70 70 70 70 70 90 40 40 15 40 75 75 80 80 80 80 80 80 80 80 80 80 75 75 75 110 110 50 50 50 50 50 50 50 50 25 25 25 25 50 50 50 25 25 40 20 50 50 50
203 SERSAN MAYOR KAKATUA KAKATUA KAKATUA KERAPU KARET KERAPU KOKO SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERAK KERAPU KOKO KERAPU KOKO SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KAKATUA KAKATUA KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH SERSAN MAYOR MARMUT
B1 B2
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
24 Maret 2008 S 05 44.191'; E 106 35.781' 15:30
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus
Karang Sempit
Trip 7
Umpan RUCAH 1
UDANG 1 UDANG 2
UDANG 3
140 150 150 150 190 250 130 130 170 210 230 140 140 150 150 170 170 150 150 150 150 150 90 100
Nama lokal KERAPU KOKO KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KUPAS-KUPAS KUPAS-KUPAS KERAPU HITAM BESENG KERAPU HITAM SWANGGI MARMUT KEPE-KEPE KERAPU HITAM SWANGGI KERAPU KARET KAKATUA BETOK KUPAS-KUPAS KUPAS-KUPAS KUPAS-KUPAS
Intensitas cahaya Suhu
Ph Salinitas
Panjang total (mm) 190 90 90 90 90 90 270 160 210 150 110 70 270 150 210 220 120 110 110 110
50 50 50 50 100 225 40 40 100 110 160 50 50 60 60 75 75 60 60 60 60 60 10 25
88826 29 0,3 8 30 permil
Berat (g) 75 10 10 10 10 10 275 60 125 90 40 10 225 50 130 160 40 30 30 30
204 B. BABI 1 B. BABI 2
B. BABI 3
A1 A2
A3
B1 B2
B3
NORI MERAH PASIR NORI MERAH NORI MERAH NORI MERAH NORI MERAH NORI MERAH NORI MERAH NORI MERAH NORI MONYONG KERAPU KARET MARMUT BETOK HITAM KERAPU KARET KERAPU KARET NORI MONYONG NORI NORI NORI NORI BESENG SERSAN MAYOR MARMUT KERAPU KARET SERSAN MAYOR BETOK HITAM BETOK HITAM BETOK HITAM BETOK HITAM BETOK HITAM MARMUT MARMUT MARMUT BETOK BETOK BETOK BETOK BETOK KERAPU KARET NORI MERAH KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR NORI MONYONG KEA-KEA MARMUT NORI NORI NORI NORI SERSAN MAYOR
200 140 200 200 240 240 160 160 160 190 210 100 170 200 180 160 150 150 170 170 150 130 100 180 140 160 160 160 160 130 120 10 10 170 170 170 170 170 200 160 160 160 160 160 160 160 160 140 140 140 140 140 140 140 140 140 170 130 10 220 180 150 150 100
110 31 125 125 200 200 60 60 60 110 100 30 110 100 75 60 50 50 80 80 60 40 25 75 40 90 90 90 90 40 40 25 25 100 100 100 100 100 110 75 75 75 75 75 75 75 75 50 50 50 50 50 50 50 50 50 80 40 40 140 100 50 50 25
205 SERSAN MAYOR KERAPU KARET HITAM BETOK HITAM
Tanggal Posisi/lokasi Waktu setting
23 Maret 2008 S 05 43.967'; E 106 34.259 15:30
Umpan RUCAH 1 RUCAH 2
UDANG 1 UDANG 2
B. BABI 1
25
200 170
100 90
Trip ke Ulangan ke
Pagi 1
Waktu hauling
15:30 Kecepatan arus
Semak Daun
Trip 8
100
Nama lokal EKOR KUNING KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA KAKATUA JARANG GIGI PELO KEA-KEA KAKATUA MERAH LINKIS/BERONANG SUSU KUPAS-KUPAS SWANGGI KERAPU HITAM KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA HIJAU KAKATUA HIJAU KEA-KEA LINKIS LINKIS BETOK PUTIH JARANG GIGI SERAK JANGGUT PELO SABUN PELO PELO NORI NORI KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH KAKATUA PUTIH
Intensitas cahaya Suhu
Ph Salinitas
78876 29 0,3 8 30 permil
Panjang total (mm) 240 160 160 160 160 160 160 160 180 160 210 170 200
Berat (g) 180 75 75 75 75 75 75 75 90 90 60 75 150
150 130 120 210 160 160 160 160 160 160 160 150 140 140 140 140 190 120 140 140 130 120 120 140 140 110
40 50 25 160 60 60 60 60 60 75 75 50 50 50 30 40 90 25 25 40 25 25 25 50 50 25
206
B. BABI 2
B.BABI 3 B.BABI 4 A1 A2 A3 B1
B2 B3
KAKATUA PUTIH PASIR KERAPU KARET HITAM BETOK SWANGGI KEPE-KEPE MARMUT BETOK KERAPU KOKO KOSONG KOSONG BESENG BETOK KERAPU KOKO BETOK KEPE-KEPE KERAPU HITAM BESENG BETOK BETOK SERSAN MAYOR BESENG SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR SERSAN MAYOR KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE KEPE-KEPE MARMUT
110 130
25 50
150 80 150 70 110 120 210
50 10 60 10 25 25 140
150 170 210 140 80 210 140 110 140 120 140 70 70 70 70 70 70 70 140
60 60 140 75 10 160 40 25 75 25 40 10 10 10 10 10 10 10 25
207 Lampiran 5 Uji normalitas data respons ikan kerapu
Descriptives Waktu_Respon
Mean 95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
Statistic 5.7766 4.5461
Std. Error .62074
7.0072 5.0363 3.0493 41.615 6.45093 .00 32.51 32.51 5.63 1.929 3.391
.233 .461
Histogram
40
Frequency
30
20
10
Mean = 5.7766 Std. Dev. = 6.45093 N = 108
0 0.00
10.00
20.00
Waktu_Respon
30.00
208 Lampiran 6 NPar Tests AROUSAL vs Jenis Ikan Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
K. SUNU 3 9
Jenis_Ikan K. KARET 11 1
K. MACAN 4 8
Test Statisticsb Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
36 2.8306 12.667a 2 .002
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.0. b. Grouping Variable: Jenis_Ikan
Lampiran 7 NPar Tests AROUSAL vs Kondisi Umpan Alami Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
Kondisi_Umpan Buka Tutup 11 7 7 11
Test Statisticsa Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig. Yates' Continuity Correction
Chi-Square df Asymp. Sig.
a. Grouping Variable: Kondisi_Umpan
36 2.8306 1.778 1 .182 1.000 1 .317
209 Lampiran 8 NPar Tests FINDING vs Jenis Ikan Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
K. SUNU 2 10
Jenis_Ikan K. KARET 10 2
K. MACAN 6 6
Test Statisticsb Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
36 4.0750 10.667a 2 .005
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.0. b. Grouping Variable: Jenis_Ikan
Lampiran 9 NPar Tests FINDING vs Jenis Umpan Alami Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
Bulu Babi 6 6
Jenis_Umpan Udang 6 6
Test Statisticsb Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
36 4.0750 .000a 2 1.000
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.0. b. Grouping Variable: Jenis_Umpan
Ikan 6 6
210 Lampiran 10 NPar Tests FINDING vs Kondisi Mata Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
Kondisi_Umpan Buka Tutup 11 7 7 11
Test Statisticsa Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig. Yates' Continuity Correction
Chi-Square df Asymp. Sig.
a. Grouping Variable: Kondisi_Umpan
36 4.0750 1.778 1 .182 1.000 1 .317
211 Lampiran 11 NPar Tests AROUSAL vs Jenis Ikan Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
K. SUNU 3 9
Jenis_Ikan K. KARET 11 1
K. MACAN 4 8
Test Statisticsb Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
36 2.8306 12.667a 2 .002
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.0. b. Grouping Variable: Jenis_Ikan
Lampiran 12 NPar Tests AROUSAL vs Jenis Umpan Buatan Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
Bulu Babi 7 5
Jenis_Umpan Udang 6 6
Test Statisticsb Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
36 2.8306 .667a 2 .717
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.0. b. Grouping Variable: Jenis_Umpan
Ikan 5 7
212 Lampiran 13 NPar Tests SEARCHING vs Jenis Ikan Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
K. SUNU 2 10
Jenis_Ikan K. KARET 11 1
K. MACAN 5 7
Test Statisticsb Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
36 2.9740 14.000a 2 .001
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.0. b. Grouping Variable: Jenis_Ikan
Lampiran 14 NPar Tests SEARCHING vs Jenis Umpan Buatan Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
Bulu Babi 7 5
Jenis_Umpan Udang 6 6
Test Statisticsb Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
36 2.9740 .667a 2 .717
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.0. b. Grouping Variable: Jenis_Umpan
Ikan 5 7
213 Lampiran 15 NPar Tests FINDING vs Jenis Ikan Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
K. SUNU 2 10
Jenis_Ikan K. KARET 10 2
K. MACAN 6 6
Test Statisticsb Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
36 4.0750 10.667a 2 .005
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.0. b. Grouping Variable: Jenis_Ikan
Lampiran 16 NPar Tests SEARCHING vs Jenis Umpan Buatan Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
Bulu Babi 6 6
Jenis_Umpan Udang 6 6
Test Statisticsb Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
36 4.0750 .000a 2 1.000
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.0. b. Grouping Variable: Jenis_Umpan
Ikan 6 6
214 Lampiran 17 NPar Tests AROUSAL vs Jenis Ikan Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
K. SUNU 0 15
Jenis_Ikan K. KARET 16 4
K. MACAN 10 10
Test Statisticsb Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
55 2.6800 22.102a 2 .000
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 7.1. b. Grouping Variable: Jenis_Ikan
Lampiran 18 NPar Tests AROUSAL vs Jenis Umpan Buatan Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
Umpan A 8 6
Jenis_Umpan Umpan B Umpan C 5 9 9 5
Test Statisticsb Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
55 2.6800 4.344a 3 .227
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.1. b. Grouping Variable: Jenis_Umpan
Umpan D 4 9
215 Lampiran 19 NPar Tests SEARCHING vs Jenis Ikan Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
K. SUNU 0 15
Jenis_Ikan K. KARET 18 2
K. MACAN 8 12
Test Statisticsb Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
55 3.9500 28.521a 2 .000
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 7.1. b. Grouping Variable: Jenis_Ikan
Lampiran 20 NPar Tests SEARCH vs Jenis Umpan Buatan Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
Umpan A 9 5
Jenis_Umpan Umpan B Umpan C 4 6 10 8
Test Statisticsb Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
55 3.9500 3.925a 3 .270
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.1. b. Grouping Variable: Jenis_Umpan
Umpan D 7 6
216 Lampiran 21 NPar Tests FINDING vs Jenis Ikan Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
K. SUNU 0 15
Jenis_Ikan K. KARET 14 6
K. MACAN 13 7
Test Statisticsb Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
55 4.9700 19.988a 2 .000
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 7.4. b. Grouping Variable: Jenis_Ikan
Lampiran 22 NPar Tests FINDING vs Jenis Umpan Buatan Frequencies
Waktu_Respon
> Median <= Median
Umpan A 9 5
Jenis_Umpan Umpan B Umpan C 8 8 6 6
Test Statisticsb Waktu_ Respon N Median Chi-Square df Asymp. Sig.
55 4.9700 7.929a 3 .047
a. 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 6.4. b. Grouping Variable: Jenis_Umpan
Umpan D 2 11