5 KARAKTERISTIK JENIS USAHA WISATA DAN KETERLIBATAN MASYARAKAT 5.1. Jenis-jenis Usaha Wisata oleh Masyarakat Menurut Peraturan Pemerintah no. 36 tahun 2010 Pengusahaan Pariwisata Alam meliputi: (1) usaha penyediaan jasa wisata alam; dan (2) usaha penyediaan sarana wisata alam (Lampiran 17 dan 18). Penyediaan jasa wisata alam meliputi 5 jenis yaitu: jasa informasi pariwisata; jasa pramuwisata; jasa transportasi; jasa perjalanan wisata; dan jasa makanan dan minuman. Sedangkan penyediaan sarana wisata alam meliput i 3 jenis yaitu: wisata tirta; akomodasi; dan sarana wisata petualangan. Hasil penelitian menunjukkan usaha jasa dan prasarana wisata yang dilakukan oleh masyarakat dikedua desa baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan GSE di TNGHS berupa: 1. Usaha penyediaan jasa wisata alam; merupakan kegiatan penyediaan jasa wisata alam pada kegiatan wisata, diantaranya : a. Usaha jasa informasi; merupakan usaha penyediaan dan penyebaran informasi
kepariwisataan.
Penyediaan
dan
penyebaran
informasi
kepariwisataan dapat juga dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha jasa informasi meliput i : (1) Penyediaan informasi mengenai obyek dan dayatarik wisata, sarana wisata, jasa wisata, transportasi, dan informasi lain yang diperlukan oleh wisatawan; dan (2) Penyebaran informasi tentang usaha pariwista atau informasi lain yang diperlukan wisatawan melalui media cetak, media elektronik atau media komunikasi lain. Usaha informasi pariwisata, di GSE dilakukan oleh masing-masing pelaku usaha, mereka mencetak brosur mengenai sarana wisata yang dimilikinya, membuat blog dan lain sebagainya. Usaha informasi wisata yang sudah dijalankan oleh masyarakat diantaranya membuat blog http://wrbingung.blogspot.com; www.pondokrasamala.com. b. Jasa pramuwisata yaitu usaha untuk mengatur, mengkoordinasikan dan menyediakan tenaga pramuwisata untuk memberikan pelayanan bagi seseorang atau kelompok orang yang melakukan perjalanan wisata. Jasa pramuwisata dilakukan oleh 10% masyarakat kawasan GSE, dikenal dengan istilah guide, tetapi sebenarnya lebih kepada menemani
54
pengunjung/mengantar pengunjung ke obyek-obyek yang ada di kawasan GSE. Pengunjung yang akan ke Kawah Ratu harus diantar oleh seorang guide. Kawah Ratu merupakan Zona Inti dari kawasan TNGHS, sehingga pengunjung diwajibkan untuk mengurus Surat Izin Masuk TNGHS (SIMAK TNGHS) yang berada di kantor Resort Gunung Salak II yang terletak dekat Desa Gunung Bunder 2, atau di Seksi Wilayah II Bogor yang ada di Nanggung atau bisa juga melalui kantor pusat BTNGHS di Kabandungan Kabupaten Sukabumi dengan persyaratan dan ketentuan yang berlaku. Jasa pramuwisata yang resmi ditunjuk oleh BTNGS untuk kawasan GSE adalah kelompok volunteer dari Desa Gunung Bunder 2 yang berjumlah 25 orang, walaupun dalam pelaksanaannya ada beberapa orang dari Desa Gunung Sari yang juga berusaha di bidang ini. c. Jasa transportasi adalah usaha mengantar jemput pengunjung.
Jasa
angkutan pariwisata yang dikelola oleh masyarakat adalah berupa angkutan kota (angkot), ojek dan ada satu orang kolektor pintu gerbang yang memiliki usaha jasa angkutan dengan menyediakan jasa sewa mobil untuk mengantar pengunjung dari satu obyek ke obyek yang lainnya di dalam kawasan GSE. Jasa transportasi yang ditekuni oleh masyarakat dilakukan oleh 4% masyarakat. Angkutan pariwisata yang besar belum ada di kawasan GSE, tetapi beberapa villa sudah bekerjasama dengan pengusaha
angkutan
pengunjungnya.
di
luar
kawasan
untuk
mengantar
jemput
Pengelola villa juga bekerjasama dengan militer
Angkatan Darat untuk mengantar dan menjemput pengunjung ke villa. Selain itu para pencinta alam yang akan berkemah juga menggunakan jasa transportasi dari TNI-AD. d. Jasa perjalanan wisata adalah usaha untuk mengatur perjalanan wisata, baik masih di dalam satu kawasan/tempat wisata maupun beberapa kawasan/tempat wisata.
Dalam istilah pariwisata dikenal dengan tour
operator. Ada 2% masyarakat yang memiliki jasa perjalanan wisata tetapi lebih kepada kegiatan outbond. Mereka menyelenggarakan paket outbond untuk di daerah GSE dan tempat wisata di Puncak-Bogor. Usaha jasa
55
perjalanan yang ditekuni masyarakat masih bersifat dari mulut ke mulut dan relasi dengan pemilik tour operator lain. e. Jasa makan dan minuman adalah usaha menyediakan makanan dan minuman bagi wisatawan. Usaha ini paling diminati dikedua desa penelitian.
Mereka mendirikan warung, pedagang asongan yang
menyediakan makanan dan minuman.
Usaha jasa makan dan minum
dilakukan oleh 68% masyarakat 2. Usaha penyediaan sarana prasarana wisata; merupakan kegiatan usaha fasilitas dan pelayanan yang diperlukan dalam penyelenggaraan pariwisata. Usaha sarana pariwisata dapat berupa: a. Sarana wisata air/tirta adalah usaha sarana prasarana berupa fasilitas wisata air seperti kolam renang, waterboom, dan sarana sejenisnya. Usaha sarana wisata air dilakukan oleh 2% dari masyarakat. Di Desa Gunung Sari sudah berkembang sarana kolam renang dengan nama “TIRTA ENDAH” yang dikelola oleh masyarakat asli Gunung Sari dan berada di luar kawasam TNGHS. Pengusaha ini mengaku memanfaatkan air dari WESLIC yang berlimpah dan melihat peluang pengunjung yang datang ke kawasan GSE, karena letaknya yang dilewati oleh pengunjung yang akan ke GSE maka usaha yang baru berjalan dari awal tahun 2009 ini ramai dikunjungi oleh masyarakat sekitar. Saat ini, masih terus membangun dan melengkapi sarana dan prasarana pendukung. Tahap pembangunan sarana pendukung melibatkan 25 orang, sedangkan untuk menjalankan usaha kolam renang dan outlet melibatkan 28 orang, sehingga total 53 orang yang semuanya berasal dari masyarakat lokal yaitu Desa Gunung Sari dan Gunung Picung. Desa Gunung Bunder 2 memiliki sebuah waterboom bernama The GREEN, yang dimiliki oleh pengusaha dari Jakarta dan berada di luar kawasan TNGHS. Masyarakat Desa Gunung Bunder 2 dilibatkan untuk memungut karcis, menjaga keamanan, kebersihan dan pembangunan sarana wisata tersebut. Air yang digunakan berasal dari air tanah dengan membangun sumur bor. Pengelola menyatakan tidak mengalirkan dari dalam kawasan TNGHS karena letaknya cukup jauh.
56
b. Akomodasi: Usaha penyediaan akomodasi merupakan usaha penyediaan kamar dan fasilitas lainnya serta pelayanan yang diperlukan. Usaha ini dilakukan oleh 10% masyarakat. Usaha penyediaan akomodasi berupa : (1) hotel seperti di Micheal Resort, (2) Pondok wisata yang mayoritas dikelola oleh masyarakat Gunung Sari, (3) Bumi perkemahan hampir di setiap obyek yang ada di kawasan GSE menyediaan bumi perkemahan baik dikelola pribadi maupun dikelola bersama membentuk mitra-mitra. c. Sarana wisata petualangan adalah usaha menyediakan dan menyewakan alat-alat wisata petualangan. Usaha ini dilakukan oleh 4% masyarakat. Usaha sarana wisata petualangan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari berupa penyelengaraan outbound. Beberapa villa memiliki sarana wisata petualangan dan banyak yang bekerjasama dengan pemilik sarana wisata petualangan yang ada di kedua desa. Usaha-usaha pariwisata di atas mengindikasikan bahwa kawasan GSE sudah mulai berkembang, ditandai dengan bermunculannya berbagai fasilitas akomodasi, restoran, perkemahan, dan lain-lain. Adanya kegiatan wisata GSE telah memberikan peluang usaha dan jasa di sekitar kawasan baik di kedua desa penelitian maupun desa lain sekitar kawasan. Jenis-jenis usaha wisata di GSE, bagi masyarakat dikedua desa merupakan sumber pendapatan masyarakat baik sebagai mata pencaharian utama maupun tambahan. Kegiatan wisata di GSE sudah sejak lama dilihat sebagai peluang bagi masyarakat kedua desa untuk menambah pendapatan.
Beberapa anggota
masyarakat yang sudah sejak awal terlibat dalam kegiatan wisata dan banyak yang muda melihat adanya peluang pekerjaan yang bisa menghasilkan uang dan pada akhirnya mereka melibatkan diri di kegiatan wisata. Jenis pekerjaan utama bidang wisata yang digeluti di kedua desa dapat dilihat secara rinci pada Tabel 16. Tabel 16 menunjukkan ada 1% masyarakat dari total masyarakat yang pekerjaan utamanya sebagai guru, namun setelah adanya wisata bekerja di sektor wisata sebagai tambahan.
Diakuinya bahwa pekerjaan utamanya memang
menghasilkan pendapatan yang lebih kecil dibandingkan pekerjaan sampingannya (sektor wisata), namun karena kecintaannya pada dunia pendidikan, pengajaran,
57
pengabdian
dan
dakwah
kepada
masyarakat
yang
membuatnya
tetap
menggelutinya walaupun belum berstatus sebagai PNS. Tabel 16 Jenis pekerjaan utama masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wisata No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jenis pekerjaan utama Warung Pengelola villa Penyelenggara outbond Kolektor Pemandu Karyawan resort Petani PNS Depot sembako Pengusaha transportasi Penjaga villa Pedagang buah Guru Lainnya Total
Usaha
warung,
sangat
Asal desa (%) Gunung Bunder 2 Gunung Sari (n = 44) (n= 56) 36,4 42,9 4,5 8,9 0,0 7,1 22,7 7,1 4,5 0,0 0,0 3,6 9,1 10,7 0,0 1,8 0,0 1,8 2,3 1,8 2,3 0,0 0,0 1,8 0,0 1,8 18,2 10,7 100 100
diminati
dikedua
desa
penelitian
Total rata-rata (%) 40 7 4 14 2 2 10 1 1 2 1 1 1 14 100
contoh.
Sebagaimana diungkapkan oleh pengelola villa, penjaga villa, penyelenggara outbond dan kolektor memiliki warung.
Sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan oleh Agustina (2009) dan Fadhilah (2009), warung menyediakan keperluan makan pengunjung seperti kopi, teh, mie rebus/goreng, minum ringan, snack, nasi goreng dan lain sebagainya. Warung-warung masyarakat dari Desa Gunung Bunder 2 ada yang berada di dalam dan di luar kawasan TNGHS. Sedangkan untuk di Desa Gunung Sari banyak berdiri warung, pondokan, rumah tinggal, homestay dan villa yang berada di dalam kawasan TNGHS. Selain pelaku usaha wisata, terdapat pula masyarakat yang tidak terlibat dalam wisata dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan yang terlibat. Kedua masyarakat memiliki karakteristik rumah tangga yang tidak berbeda dari aspek jenis kelamin, jumlah tanggungan, kategori umur, pendidikan formal. Masyarakat yang diwawancarai didominasi oleh laki-laki baik yang terlibat maupun tidak terlibat wisata (Tabel 17). Responden laki-laki lebih banyak diambil karena pada umumnya laki-laki sebagai kepala keluarga sehingga dianggap dapat mewakili pendapat keluarga.
58
Tabel 17 Karakteristik rumah tangga Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari yang terlibat dan tidak terlibat dalam kegiatan wisata di GSE Terlibat wisata Tidak terlibat Gunung Bunder Gunung Sari wisata (n=30) 2 (n=44) (n=56) 65,9 64,3 66,7 34,1 35,7 33,3
Karakteritik Rumah Tangga
Deskripsi
Jenis (%)
Kelamin
Laki-laki Perempuan
Jumlah tanggungan (%)
1 - 2 orang 3 - 4 orang 5 -6 orang > 7 orang Rata-rata
2,3 43,2 47,7 6,8 4,1
8,9 48,2 37,5 5,4 4,4
3,3 43,3 43,3 10,0 4,8
Kategori (%)
20-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun > 61 tahun Tidak tamat SD Tamat SD Tidak tamat SMP Tamat SMP Tidak tamat SMA Tamat SMA Tamat D1 Tamat S1
22,7 40,9 11,4 13,6 11,4 22,7 34,1 0,0
19,6 41,1 17,9 10,7 10,7 12,5 30,4 3,6
33,4 23,3 30,0 13,3 16,7 36,7 13,2
22,7 2,3
21,4 3,4
16,7 -
13,6 4,5 0,0
19,6 7,1 1,8
10,0 6,7
< 5 tahun 5-10 tahun 11 -15 tahun > 16 tahun
45,5 29,5 9,1 15,9
37,5 37,5 12,5 12,5
-
umur
Pendidikan formal (%)
Lama (%)
terlibat
Ukuran jumlah tanggungan rumah tangga yang terlibat wisata di kedua desa lokasi penelitian rata-rata 5 orang. Jumlah tanggungan keluarga akan berpengaruh terhadap pengeluaran baik konsumsi pangan maupun non pangan, tetapi disisi lain juga akan mempengaruhi ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga.
Jumlah
tanggungan keluarga terutama yang berumur produktif merupakan tenaga kerja dalam keluarga yang dapat membantu kegiatan keluarga yang berkaitan dengan wisata seperti belanja keperluan warung, menjaga warung, menjaga toko, memasak dan keperluan lain untuk melayani pengunjung. Selain itu juga anggota keluarga dapat membantu mengurus keperluan rumah tangga seperti mencuci, membersihkan rumah, menata rumah dan lain sebagainya.
59
Dari hasil wawancara masyarakat yang terlibat wisata menunjukkan, 51% masyarakat di kedua desa ada berangggapan bahwa jumlah anak 2-4 orang sudah cukup agar bisa diurus dengan baik, disekolahkan dan mendapat penghidupan yang layak. Jumlah tanggungan lebih besar dari tujuh terutama dimiliki oleh 6,8% masyarakat dari Gunung Bunder 2 dan 5,4% dari Desa Gunung Sari. Tingkat pendidikan merupakan cerminan penguasaan seseorang terhadap pengetahuan yang aplikasinya terlihat sebagai perilaku hidup pada masyarakat. Tingkat pendidikan juga memiliki peranan besar dalam proses penerapan teknologi dan inovasi.
Pendidikan formal masyarakat dalam penelitian ini
bervariasi dari mulai tidak tamat Sekolah Dasar sampai tamat Strata 1. Pendidikan formal tidak memiliki beda nyata antara masyarakat yang terlibat dan tidak terlibat dalam wisata. Masyarakat yang terlibat wisata dari Desa Gunung Bunder 2 memiliki tingkat pendidikan formal sedikit lebih rendah dibandingkan Desa Gunung Bunder 2.
Di desa Gunung Sari, sebagian besar penduduknya merupakan
pendatang, kondisi ini pula yang mendorong kegiatan wisata di Gunung Sari lebih maju dan tingkat pendidikannya bervariasi. Masyarakat Desa Gunung Sari mulai menyadari bahwa tuntutan pekerjaan sektor wisata sebagai pekerjaan yang memerlukan keahlian, sehingga memerlukan pendidikan yang lebih tinggi untuk menghadapi tantangan kedepan. Perkembangan resort dan villa di GSE cukup pesat menuntut suatu keahlian tertentu baik formal maupun informal dalam pengelolaannya. Lamanya keterlibatan dalam usaha dan jasa wisata di GSE memberikan gambaran bahwa kegiatan wisata di kawasan ini memberikan daya tarik yang besar bagi masyarakat untuk memperoleh pendapatan dari sektor ini. Distribusi lamanya terlibat merata, dengan kisaran kurang dari lima tahun, sebanyak 51% didominasi oleh usia-usia muda. Usaha dibidang wisata yang dilakukan dikedua desa waktu memulainya bervariasi yaitu ada yang memulainya sebelum tahun 1990an, tahun 2000an, 2005an dan bahkan ada yang baru memulainya sejak tahun 2011an.
Perbedaan waktu dimulainya usaha tersebut ditentukan oleh adanya
peluang-peluang, kisah sukses tetangga, diajak saudara dan lain sebagainya. Keterlibatan lebih dari 16 tahun didominasi oleh usia-usia mendekati tidak
60
produktif, bahkan ada 2% masyarakat yang telah berusaha di kegiatan wisata selama 30 tahun dari sebelum ditetapkan menjadi kawasan wisata. Uji beda nyata terhadap jenis kelamin, jumlah tanggungan, umur, pendidikan formal dan lamanya keterlibatan masyarakat yang terlibat dalam wisata (Lampiran 16) menunjukkan bahwa kelima karakteristik tersebut tidak berbeda nyata. Hal tersebut menunjukkan masyarakat yang terlibat wisata di GSE dari kedua desa contoh tidak ditentukan oleh karakteristik demografis masyarakat. Majunya kegiatan wisata di Desa Gunung Sari bukan disebabkan oleh kelima faktor demografis, tetapi disebabkan oleh faktor lain. Sedangkan dalam hubungannya dengan keterlibatan wisata yaitu antara masyarakat yang terlibat dengan yang tidak terlibat dalam kegiatan wisata (Lampiran 15) umur masyarakat memberikan hasil adanya perbedaan, namun tidak demikian dengan jenis kelamin, pendidikan formal dan jumlah tanggungan. Rata-rata umur masyarakat yang terlibat berbeda dengan umur masyarakat yang tidak terlibat. Umur masyarakat yang terlibat wisata relatif lebih rendah (masih lebih muda) dibandingkan yang tidak terlibat dalam wisata. Hasil uji lanjut ini menunjukkan bahwa kegiatan wisata membutuhkan rentang usia muda yang masih merupakan usia produktif. Usia erat kaitannya dengan produktivitas dalam bekerja terutama dari segi fisik, yang akan memberi pengaruh terhadap aktivitas yang dilakukan untuk menopang kehidupan keluarganya. Kamaluddin (1994) yang diacu Hilyana (2001) menyatakan bahwa usia produktif berada pada kematangan produktivitas terutama untuk pekerjaan yang bersifat pencurahan tenaga kerja. Lebih lanjut Soekanto (2007) menyatakan bahwa orang berusia muda lebih mudah untuk menerima ide baru juga cenderung lebih cepat mengambil keputusan tentang sesuatu yang diminatinya sesuai dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya. Struktur umur masyarakat menggambarkan kisaran umur dikedua desa penelitian bervariasi dengan kisaran 20 – 77 tahun.
Pengkategorian tersebut
berhubungan dengan produktivitas, maka sebagian masyarakat yang terlibat berada di usia produktif (20 – 60) yaitu sebanyak 89% masyarakat, sedangkan yang tidak terlibat relatif lebih rendah yaitu 86,7%.
Rentang usia produktif
dianggap lebih mampu mampu berpartisipasi aktif dalam bidang wisata dan mampu mengerjakan pekerjaan melayani pengunjung dengan cepat.
61
5.2. Masyarakat yang Terlibat Wisata Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan wisata di GSE merupakan bagian yang penting dalam pembangunan kepariwisataan di kedua desa penelitian. Masyarakat lokal dimana mereka memiliki hak akses pemanfaatan atas sumberdaya alam yang ada di sekitarnya akan memiliki kesempatan yang baik untuk menangkap peluang berkembangnya wisata alam di daerahnya. Raharjo (2005), menyatakan bahwa Masyarakat dapat terlibat dalam kegiatan wisata dengan berbagai pilihan keterlibatan diantaranya: 1. Membentuk joint venture dengan tour operator dimana masyarakat menyediakan lebih banyak jasa sedangkan pihak swasta hanya fokus pada promosi dan pemasaran. 2. Menyediakan layanan kepada tour operator, misalnya menyediakan bahan makanan, menjadi guide lokal, menyediakan transportasi dan akomodasi lokal atau kombinasi dari padanya. 3. Menyediakan lahan kepada pihak tour operator. Dalam hal ini masyarakat masih memungkinkan untuk melakukan monitoring atas dampak dari aktivitas wisata alam. 4. Mengembangkan program sendiri secara mandiri 5. Bekerja sebagai staf tour operator baik full time atau part time. Keterlibatan masyarakat Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari menunjukkan bahwa masyarakat dikedua desa menyediakan layanan langsung kepada pengunjung dalam hal penyediaan makanan, menjadi guide lokal, menyediakan transportasi dan akomodasi lokasi atau kombinasi daripadanya.
PEMDA
Kabupaten Bogor mulai memberdayakan masyarakat dari kedua desa dengan membentuk lembaga lokal yaitu KOMPEPAR di kedua desa contoh untuk mengelola wisata, mengadakan pelatihan kerajinan, promosi GSE, dan lain sebagainya.
Selain itu juga merekrut penduduk Gunung Sari untuk menjadi
kolektor di pintu gerbang obyek-obyek yang dikelola oleh PEMDA. Perum Perhutani yang sebelumnya mengusahakan wisata lebih banyak melibatkan penduduk Desa Gunung Bunder 2. Mereka mengembangkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) bidang wisata.
Mereka
mengadakan pelatihan kerajinan dan usaha-usaha alternatif untuk mengurangi ketergantungan masyarakat akan sumberdaya hutan. Masyarakat di kedua desa
62
memiliki ketergantungan yang cukup tinggi akan keberadaan hutan diantaranya adalah pengambilan rumput, kayu bakar, pakis dan kayu gelondongan, lahan pertanian, pemukiman dan lain-lain. Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, sebagai pengelola kawasan saat ini memiliki mandat untuk menjaga dan melestarikan kawasan hutan dan integritas kawasan. Pihak TNGHS melibatkan masyarakat Gunung Bunder 2 dengan membentuk semacam volunteer bidang wisata untuk mengelola beberapa obyek peninggalan Perum Perhutani. Masyarakat Desa Gunung Sari juga sudah mulai melibatkan diri dengan membentuk kelompok yang akan didorong menjadi Model Kampung Konservasi (MKK) dengan nama “TANI HIJAU”. Keterlibatan masyarakat lokal sangat diperlukan untuk keberlanjutan kegiatan wisata di GSE.
Jika masyarakat lokal tidak dilibatkan akan
menimbulkan berbagai macam masalah seperti konflik dengan pengelola maupun dengan investor luar. Lebih lanjut Mbaiwa (2003) menyatakan bahwa kebencian, antagonisme dan keterasingan antara masyarakat tuan rumah dan investor wisata luar jika upaya tidak dibuat untuk menyertakan masyarakat lokal dalam bisnis wisata. Keberhasilan dan keberlanjutan dari usaha ekowisata, akan tercapai jika distribusi manfaat ekonomi dari ekowisata sama dengan jumlah aktual manfaat yang diterima oleh komunitas (Wilkinson dan Pratiwi 1995). Inisiatif, intensitas, determinan, dan dorongan keterlibatan dalam wisata perlu untuk diketahui untuk mengetahui sejauh mana masyarakat terlibat dalam wisata di GSE. Parameter pertama adalah inisiatif keterlibatan diantaranya berusaha sendiri, dilibatkan oleh keluarga, dilibatkan oleh penyelenggara wisata, dilibatkan aparat desa dan inisiatif lainnya.
Inisiatif keterlibatan didominasi datang dari diri
sebanyak 70% (Tabel 18), hal ini menunjukkan anggota masyarakat secara mandiri terlibat, dan ada indikasi murni dari masyarakat sendiri. Tabel 18 Karakteristik keterlibatan masyarakat yang terlibat dalam wisata di Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari No. Parameter keterlibatan 1 Inisiatif Berusaha sendiri Dilibatkan oleh keluarga Dilibatkan oleh penyelenggara wisata Dilibatkan aparat desa Lainnya
Jumlah (%) n=100 70 8 15 2 5
63
No. 2
Parameter keterlibatan Intensitas
3
Selalu Kadang-kadang Jarang Jarang sekali
70 20 9 1
Determinan : Faktor yang menentukan keterlibatan
4
Jumlah (%) n=100
Memiliki sarana/prasarana Memiliki hubungan dengan pemilik/pengelola Sebagai aparatur pemerintah Menguasai bahasa asing Lainnya
59 33 3 1 4
Motivasi keterlibatan
Kepentingan masa depan Kemandirian ekonomi Lapangan pekerjaan bagi keluarga Peningkatan pendapatan personal Mengisi waktu luang Menambah pendapatan Lainnya
25 38 6 3
5 14 9
Pelaku usaha yang terlibat dalam kegiatan wisata memiliki hubungan kekerabatan/keluarga.
Mereka melibatkan saudaranya untuk berusaha seperti
pemilik warung yang berada di dalam kawasan TNGHS umumnya memiliki hubungan kekerabatan. Ada sebanyak 8% masyarakat dilibatkan oleh kerabatnya. Hal semacam ini jika berlangsung terus akan berpotensi menimbulkan berdampak negatif yang tidak diinginkan, karena hanya beberapa unsur/kelompok masyarakat saja yang terlibat karena secara ideal partisipasi masyarakat harus melibatkan semua unsur masyarakat. Meskipun hingga saat ini, belum menimbulkan masalah yang berarti.
Senada dengan hasil penelitian Pratiwi (2008) keterlibatan
pengembangan ekowisata di Cikaniki, Citalahab dan Pangguyangan yang hanya sekelompok masyarakat tertentu yaitu kelompok elit (elit bias) dan kelompok yang berada dekat lokasi obyek wisata (by the road bias) saja yang dilibatkan. Sehingga pengembangan wisata di GSE masih berpotensi menimbulkan konflik horizontal yaitu antar sesama masyarakat. Hubungan kekerabatan lebih terlihat dari Desa Gunung Bunder 2, sebagian besar masyarakat (62%) dari Desa Gunung Bunder 2 memiliki hubungan kekerabatan, namun tidak demikian untuk Desa Gunung Sari yang sebagian besar pendatang.
Masyarakat di kedua desa juga memiliki hubungan dengan
64
penyelenggara wisata, terutama saat pembangunan sarana wisata sehingga ada 15% dilibatkan oleh penyelenggara wisata. Pelibatan oleh penyelenggara wisata, sebagian besar karena mengenal, pernah bekerja dan percaya kepada orang tersebut. Rachmawati (2010) unsur kepercayaan memegang peranan penting dalam keterlibatan masyarakat Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari. Para pemilik villa melibatkan pekerja yang membangun villa untuk mengelola villa. Sebagian besar pemilik villa berasal dari Jakarta sehingga perlu masyarakat setempat untuk menjaga dan mengelola villanya. Pengelola villa biasanya sekaligus mengawasi pekerjaan lain dalam villa seperti memotong rumput, membersihkan sampah, pemeliharaan villa dan lain sebagainya. Selain kepercayaan pelibatan rmasyarakat dalam kegiatan wisata di GSE karena memiliki hubungan kekerabatan. Supaya partisipasi dapat bertahan, menurut teori partisipasi yaitu social exchange theory yang menyebutkan bahwa masyarakat biasanya terlibat dalam aktivitas sosial untuk mendapatkan manfaat (Howell et al. 1987 diacu Pratiwi 2008). Teori ini menyarankan tiga faktor penting yang perlu dibangun yaitu meminimalisasi ongkos, memaksimalkan penghargaan, dan membangun rasa saling percaya antar para pihak yang terlibat.
Berdasarkan observasi dan
wawancara dengan narasumber, mekanisme untuk penghargaan masih sulit ditemukan, walaupun rasa saling percaya sudah ada indikasi dalam kadar yang masih sangat kecil.
Masyarakat sudah mulai berani dan mau mengeluarkan
‘ongkos’ yang sudah dikeluarkan masyarakat baik berupa tenaga, pikiran, waktu dan dana. Parameter kedua adalah intensitas keterlibatan, berkaitan dengan interaksi masyarakat dengan pengunjung dan curahan waktu masyarakat untuk mengelola usahanya.
Masyarakat di kedua desa memiliki intensitas yang tinggi dalam
melayani pengunjung, sebanyak 70% selalu terlibat dengan pengunjung (Tabel 18). Curahan waktu mereka berkisar 10 jam senin – jumat, sedangkan sabtu – minggu bisa mencapai 24 jam. Curahan waktu 24 jam, dilakukan oleh pengusaha warung, mereka rela tidur mereka terganggu untuk melayani pengunjung. Warung
mereka
buka
dan
jika
mereka
tertidur,
membangunkannya untuk memesan kebutuhannya.
pengunjung
bisa
Mereka yang berprofesi
65
sebagai kolektor juga memiliki intensitas tinggi yaitu selalu terlibat, tetapi curahan waktu mereka senin-jumat 8 jam dan sabtu – minggu 10 jam. Intensitas jarang dan kadang-kadang yang dilakukan oleh masyarakat, karena mereka memiliki pekerjaan lain di luar sektor wisata yang curahan waktu untuk berinteraksi dengan pengunjung lebih sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang selalu terlibat. Pelaku usaha jasa transporasi memiliki intensitas jarang sekali karena mereka lebih banyak melayani masyarakat setempat dibandingkan melayani pengunjung. Pengunjung GSE sebagian besar membawa kendaraan sendiri baik menggunakan motor maupun mobil. Intensitas keterlibatan masyarakat dalam usaha wisata di kawasan GSE telah membentuk pola yang beragam. Pola berusaha mereka meliputi usaha harian, berusaha setiap hari sabtu dan minggu serta usaha pada saat-saat tertentu, seperti saat lebaran, natal, tahun baru dan hari libur nasional lainnya. Hasil ini senada dengan Doro (1994). Usaha masyarakat di sektor wisata yang berpola usaha harian dengan intensitas terus menerus. Masyarakat yang memiliki intensitas kadang-kadang adalah yang berusaha hanya pada hari sabtu dan minggu. Intensitas jarang hingga jarang sekali adalah yang hanya terlibat atau berusaha jika hari libur nasional, hari raya idul fitri, natal dan tahun baru atau jika ada permintaan dari pengunjung. Parameter ketiga adalah determinan keterlibatan lebih menekankan faktorfaktor yang berpengaruh dalam keterlibatan masyarakat yang akan mempengaruhi pengembangan bidang kepariwisataan di kawasan GSE. Determinan keterlibatan yang dominan dimiliki oleh masyarakat adalah memiliki sarana prasarana yaitu sebanyak 59% (Tabel 18).
Memiliki sarana prasarana artinya masyarakat
memiliki sumberdaya/aset berupa (1) warung beserta isinya, (2) lahan, dan (3) bangunan. Pemilik usaha baik berupa jasa maupun sarana prasarana yang berada di dalam kawasan hingga saat ini belum memiliki izin dari pihak berwenang. Pemilik warung dari Desa Gunung Bunder 2 memiliki kesepakatan dengan BTNGHS untuk tidak menambah baik luas maupun jumlah warung yang ada di dalam kawasan. Menurut pihak BTNGHS, warung yang dikelola oleh masyarakat Desa Gunung Bunder 2 yang berada di dalam kawasan berjumlah 45 warung.
66
Sedangkan Warung-warung, villa, pemukiman dan bangunan lainnya yang berada di kampung Lokapurna Desa Gunung Sari seluas 256,7 Ha berada didalam kawasan sangat banyak jumlahnya dan masih dalam proses penyelesaian tukar guling. Berdasarakan determinan keterlibatan masyarakat hanya 1% yang memiliki keahlian atau kemampuan dalam berbahasa asing yaitu bahasa Inggris dan bekerja di Micheal Resort. Hal ini diduga karena pengunjungnya dari kalangan menengah ke atas. Karena tempat Micheal Resort yang ekslusif, tertutup, bangunannya yang mewah, harganya mahal dan system booking/reservasi 15 hari sebelumnnya Ada hubungan yang erat antara inisiatif keterlibatan dengan determinan keterlibatan, ada 3% masyarakat yang pada awalnya memiliki inisiatif sendiri dalam wisata, tetapi dalam perjaanannya direkrut menjadi PNS oleh pemda Kabupaten Bogor untuk menjadi kolektor. Kemudian kolektor yang berstatus PNS juga merekrut teman dan saudaranya untuk membantu tugasnya. Sehingga memiliki hungan dengan pengelola wisata menjadi faktor penentu dalam keterlibatan masyarakat alam wisata.
Ada sebanyak 33% masyarakat yang
dilibatkan karena oleh pengelola/pemilik. Obyek-obyek wisata yang hingga saat ini dikelola oleh PEMDA Kabupaten Bogor telah menempatkan satu orang yang berstatus PNS untuk ditempatkan di Pintu Gerbang, Curug Cigamea, Pemandian Air Panas, Curug Seribu dan Curug Ngumpet.
Mereka berasal dari masyarakat Desa Gunung Sari, lalu merekrut
teman, saudara yang bisa dipercaya untuk membantu tugasnya.
Satu lokasi
dibantu oleh 2-3 orang untuk membantu pada hari senin-jumat, sedangkan sabtuminggu bisa mencapai > 5 orang. Demikian pula di obyek yang dulunya dikelola oleh Perum Perhutani dan sudah diserahkan kepada BTNGHS, saat ini dikelola oleh masyarakat Gunung Bunder 2 sebagai mitra BTNGHS seperti Kawah Ratu, Bumi Perkemahan Gunung Bunder, Curug Ngumpet 2, dan Curug Cihurang. Parameter keempat adalah dorongan keterlibatan, menekankan kepada motivasi yang mendorong seseorang untuk terlibat.
Dorongan keterlibatan
masyarakat lebih menekankan kepada aspek sosial ekonomi. Individu yang masih berada pada tingkat kebutuhan paling dasar menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraannya masih rendah dan membutuhkan berbagai cara untuk dapat
67
meningkatkan perekonomiannya.
Dorongan keterlibatan didominasi untuk
kepentingan masa depan dan kemandirian ekonomi masyarakat. Tabel 18 menunjukkan sebanyak 25% yang memiliki motivasi kepentingan masa depan dan 38% bermotivasi kemandirian ekonomi. Motivasi kemandirian ekonomi
mendominasi
diantara
dorongan
keterlibatan
wisata
lainnya.
Kemandirian ekonomi erat kaitannya dengan pencapaian kesejahteraan materi bagi rumah tangga masyarakat. Dorongan untuk membuka lapangan pekerjaan, dilakukan oleh masyarakat yang sudah memiliki anak yang siap untuk hidup mandiri sehingga diharapkan dapat mewariskan usahanya kepada keturunannya.
Dorongan mengisi waktu
luang dan menambah pendapatan karena mereka sudah memiliki usaha lain selain pekerjaan utamanya yang dapat menghidupi kebutuhan sehari-harinya. Mereka juga memiliki hubungan dengan pihak penyelenggara wisata sehingga mampu menambah pendapatan. 5.3. Masyarakat yang Tidak Terlibat dalam Wisata Selain masyarakat yang terlibat dalam wisata, adapula masyarakat yang tidak terlibat dengan berbagai alasan ketidakterlibatannya dalam wisata di GSE. Kedua masyarakat ini memiliki nilai penting bagi keberlanjutan kegiatan wisata di GSE, karena tidak memungkinkan seluruh masyarakat terlibat langsung dalam kegiatan wisata. Berbagai alasan masyarakat yang tidak terlibat dalam wisata perlu diketahui untuk memperoleh gambaran dampak wisata bagi mereka yang tidak terlibat aktif dalam wisata. Masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam kegiatan wisata di GSE yaitu masyarakat yang kondisi sosial dan ekonomi tidak dipengaruhi lagsung oleh kegiatan wisata, namun tetap mendukung kegiatan wisata. Masyarakat memiliki mata pencaharian yang tergantung pada lahan pertanian, peternakan, guru, dan karyawan perusahaan di luar bidang wisata. Dukungan yang dapat diberikan oleh kelompok masyarakat yang tidak terlibat secara langsung dalam pengelolaan wisata di GSE yakni dapat bersifat teknis dengan ikut serta dalam menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat yang berasal dari hasil pertanian seperti beras, sayuran serta hasil ternak. Kartasubrata (1986) mengemukakan bahwa syarat-syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi dapat dikelompokkan dalam tiga golongan
68
yaitu : (1) Adanya kesempatan untuk membangun atau ikut dalarn pembangunan; (2) Kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu; dan (3) Adanya kemauan untuk berpartisipasi. Dorongan dan rangsangan untuk berpartisipasi mencakup faktor-faktor kesempatan, kemauan, kemampuan dan bimbingan.
Masyarakat
dikedua desa memiliki berbagai alasan untuk tidak terlibat dalam wisata. Antar berbagai alasan tersebut saling melengkapi, karena pada dasarnya tidak ada alasan tunggal mengapa masyarakat tidak terlibat dalam wisata. Hasil wawancara dan kuisioner menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat dikedua tidak terlibat karena mereka memiliki pekerjaan di luar bidang wisata yang telah menyita waktu mereka (Tabel 19). Ada 80% masyarakat yang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki waktu untuk bekerja di sektor wisata, senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni (2002). Mereka juga menyatakan bahwa tidak memiliki kapasitas, baik berupa pengetahuan maupun modal (berupa uang) sehingga mereka beranggapan memiliki resiko kegagalan yang tinggi. Tabel 19 Alasan ketidakterlibatan masyarakat Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 dalam kegiatan wisata GSE No. 1 2 3 4 5 6
Alasan tidak terlibat Akses terhadap wisata Antipati terhadap sektor wisata Jarak dari rumah Kapasitas individu Modal (uang) Waktu
Sangat Rendah Tinggi Sangat tinggi rendah Jmlh persen Jmlh persen Jmlh persen Jmlh persen 3 10,3 12 40,0 13 43,3 2 6,7 3
10,0
15
50,0
9
30,0
3
10,0
1 6 8 9
3,3 20,0 26,7 30,0
12 13 13 15
40,0 43,3 43,3 50,0
14 8 7 6
46,7 26,7 23,3 20,0
3 3 2 -
10,0 10,0 6,7 -
Kegiatan di luar wisata, bagi masyarakat yang tidak terlibat memiliki potensi dan prospek yang menjanjikan dan sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka, hal inilah yang menyebabkan ada 10% masyarakat yang sangat antipasti terhadap sektor wisata (Tabel 19). Sedikit berbeda dengan hasil Ulfah (2007) dan Rachmawati (2010) yang menyatakan pelibatan masyarakat tidak merata dan kurang informasi. Dari hasil wawancara menunjukkan sebagian besar (90%) tidak berminat untuk ikut untuk usaha di sektor wisata. Mereka juga beranggapan bahwa sektor wisata hanya menghasilkan saat ramai pengunjung dan sangat tergantung dengan pengunjung yaitu pada hari sabtu-minggu atau hari libur
69
nasional.
Sedangkan jika bekerja di luar sektor wisata bisa setiap hari
menghasilkan uang.
Hasil penelitian sebelumnya juga menyatakan hal yang
senada diantaranya Nugraheni (2002) yang menyatakan masyarakat tidak ingin terlibat karena tidak punya waktu, sibuk dengan pekerjaan yang lain, uang yang dihasilkan dari wisata lebih sedikit. Tidak terlibatnya masyarakat dikedua desa lebih disebabkan oleh berbagai faktor penghalang atau hambatan dalam partisipasi, bukannya tidak ada kesempatan.
Karena masyarakat di kedua desa mengakui adanya akses
sebagaimana dinyatakan oleh Kartasubrata (1986) syarat untuk berpartispasi adalah adanya kesempatan, kemauan, kemampuan untuk berpartisipasi dalam wisata.
Namun faktor-faktor penghalang struktural berupa jarak yang jauh
menuju ke tempat wisata. Masyarakat beranggapan bahwa yang ikut terlibat dalam kegiatan wisata biasanya dari Kampung Lokapurna untuk Gunung Sari dan Kampung Bedeng untuk Desa Gunung Bunder 2 yang letaknya lebih dekat ke lokasi wisata GSE. Selain penghalang struktural juga adanya penghalang kultural (budaya) Moscardo (2008); Tosum (2000) diacu dalam Aref dan Redzuan (2008) berupa kurangnya
kemampuan
masyarakat
lokal
untuk
beradaptasi
dengan
perberkembangan dinamika sosial yang ada, sikap apatis dan rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat lokal terkait dalam partisipasi dalam sektor wisata. Sikap apatis dapat dilihat dari 63% masyarakat merasa kurang memiliki kapasitas individu yang memadai. Masyarakat yang tidak terlibat dalam wisata juga menyadari bahwa tidak mungkin terlibat semua dalam wisata, karena mereka memiliki peran dan keamampuan lain di luar wisata. Walaupun jumlah masyarakat yang terlibat wisata di Gunung Sari hanya 6,3% dan Gunung Bunder 2 hanya 0,4% (Rachmawati 2010) bukanlah penghalang bagi keberlanjutan kegiatan wisata di GSE. Tidak terlibat dalam wisata, bukan berarti tidak mendukung wisata di GSE, tetapi dukungan yang bersifat pasif telah dilakukan oleh masyarakat yaitu berupa keramahtamahan, senyuman, sambutan dan sapaan. Anggapan bahwa semakin banyak yang berartisipasi dalam suatu kegiatan akan membuat kegiatan tersebut berkelanjutan, tidaklah demikian untuk kasus di kedua desa yang diteliti.