BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Skripsi ini menganalisis tentang partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana. Artinya, bagaimana partisipasi/keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana terutama pada
tahap mitigasi bencana. Masyarakat perlu dilibatkan di dalam mitigasi
bencana tersebut karena masyarakat merupakan korban sekaligus rescue (penyelamat) bagi dirinya sendiri. Tidak hanya peran serta masyarakat, namun juga diperlukan peran dari BPBD Kab. Sleman, mengingat bahwa BPBD Kab. Sleman merupakan salah satu lembaga yang menangani kebencanaan di daerah Kabupaten Sleman. Selain itu, bagaimana BPBD Kab. Sleman memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana. Hal tersebut merupakan permintaan dari masyarakat atau mitigasi tersebut merupakan rancangan dari pemerintah pusat yang kemudian disebarkan ke beberapa daerah, sehingga partisipasi masyarakat yang ada tersebut cenderung top-down, bukan bottom-up. Tema skripsi ini penting dari segi teoritis maupun empiris. Secara teoritis, partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana tersebut penting karena masyarakat sendiri yang berhadapan langsung dengan bencana, karena itu dibutuhkan keterampilan yang memadai supaya masyarakat dapat mengurangi dampak dan resiko ketika bencana itu terjadi. Di dalam UU juga telah disebutkan pentingnya partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana, terutama pada saat mitigasi bencana, yaitu No 27 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dan UU No 21 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Penting peranan BPBD Kab. Sleman dalam memaksimalkan partisipasi tersebut supaya apa yang menjadi harapan masyarakat dan pemerintah dapat terwujud secara selaras dan seimbang, tidak ada pihak yang merasa kecewa karena belum mendapatkan mitigasi bencana secara berkelanjutan. Secara empiris, Kabupaten Sleman termasuk dalam kawasan yang
1
rentan terhadap bencana karena bersinggungan langsung dengan Gunung Merapi, yang sewaktu-waktu dapat erupsi dan dampak yang ditimbulkan akan berimbas kepada masyarakat di daerah Kabupaten Sleman, terutama bagi mereka yang berada di sekitar lereng Gunung Merapi. Oleh karena itu,
dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana.
Kabupaten Sleman juga termasuk dalam kategori Kawasan Rawan Bencana (KRB) Tipe A. Artinya, jika sewaktu-waktu Kabupaten Sleman terkena bencana erupsi Merapi, maka bantuan dapat langsung diakses ke Pemerintah Pusat, tanpa harus melalui
Pemerintah
Provinsi1, sehingga bantuan yang masuk ke Kabupaten Sleman tergolong cepat dan memadai karena keistimewaan yang dimilikinya tersebut. Bencana merupakan peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan, yang disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor alam maupun faktor non alam dan faktor manusia, yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang berkepanjangan. Jadi, dapat dikatakan bencana apabila peristiwa yang terjadi memenuhi unsur-unsur tersebut.2 Dampak yang ditimbulkan oleh bencana tersebut dapat dimnimalisir dengan melakukan pencegahan bencana. Pencegahan bencana merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.3 Di dalam manajemen bencana, pencegahan bencana disebut sebagai mitigasi bencana. Mitigasi bencana yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.4 Salah satu upaya pencegahan bencana adalah di Kabupaten Sleman. Kabupaten Sleman terletak di Propinsi Daerah
1
http://beritajogja.co.id/2014/09/24/sleman-masuk-derah-rawan-bencana-tipe-a Kepala BPBD Kab.Sleman dalam Pelatihan Dapur Umum,November 2013 3 Peraturan Kepala BNPB Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops-PB) 4 Peraturan Kepala BNPB Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops-PB) 2
2
Istimewa Yogyakarta. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, sebelah selatan berbatasan dengan Kota Yogyakarta, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo.5 Kabupaten Sleman merupakan salah satu kawasan yang rawan bencana. Tahun 2010 yang lalu, pada saat Merapi meletus, Kabupaten Sleman banyak mengalami kerugian, baik kerugian jiwa maupun materiil. Disamping itu, Kabupaten Sleman termasuk dalam Daerah Rawan Bencana (DRB) tipe A. Artinya, jika sewaktu-waktu Sleman terkena bencana maka bantuan dapat langsung diakses dari Pemerintah Pusat, tanpa harus melalui Pemerintah Propinsi. Hal tersebut tentu berbeda dengan daerah-daerah lainnya yang berada di Yogyakarta. Jika di daerah lain, ketika bencana terjadi, harus mengakses dari Pemerintah Propinsi terlebih dahulu kemudian akses ke Pemerintah Pusat, maka Sleman bisa langsung ke Pemerintah Pusat.6 Oleh karena itu, dibentuklah suatu badan khusus yang menangani masalah bencana yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman atau biasa disingkat BPBD Kabupaten Sleman. BPBD Kabupaten Sleman dibentuk dengan menggunakan Peraturan Bupati Sleman Nomor 34 Tahun 2010 tertanggal 1 Desember 2010. Seharusnya BPBD Kabupaten Sleman dibentuk menggunakan Peraturan Daerah, namun karena pada saat itu Perda (Peraturan Daerah) belum ada maka dibentuklah dengan Peraturan Bupati Sleman. BPBD Kab. Sleman mulai resmi bekerja mulai tanggal 17 Januari 2011.7 Di dalam BPBD Kabupaten Sleman terdapat dua sumber daya manusia yang utama yaitu relawan dan SAR (Search And Rescue). Relawan merupakan seseorang yang mempunyai jiwa patriotik seharihari untuk membantu orang lain tanpa mengharap imbalan jasa. Keduanya mempunyai tugas yaitu melakukan penyelamatan korban bencana. Disamping melakukan penyelamatan, Relawan dan SAR dituntut untuk bisa menangani masalah bencana yang terjadi setiap saat
5
http://www.slemankab.go.id/profil-kabupaten-sleman/geografi/letak-dan-luas-wilayah http://beritajogja.co.id/2014/09/24/sleman-masuk-derah-rawan-bencana-tipe-a/ 7 http://news.okezone.com/read/2011/01/20/340/416283/badan-penanggulangan-bencana-sleman-dibentuk 6
3
dan setiap waktu, sehingga perlu pelatihan supaya bisa meningkatkan kapasitas relawan dan juga SAR. Jadi selalu siap setiap saat jikalau dibutuhkan bantuannya. Ketika semua masalah bencana hanya ditangani oleh relawan dan SAR, maka tugas mereka menjadi kelebihan beban. Hal tersebut karena personel dari Relawan dan SAR jumlahnya terbatas, dan bencana yang terjadi mempunyai dampak yang luas di masyarakat, seperti ketika terjadi pohon tumbang di beberapa daerah, semua personel diturunkan untuk mengatasi bencana di lapangan. Namun karena banyaknya bencana yang terjadi di lapangan, tidak semua personil mampu menangani bencana tersebut. Disamping itu, Kabupaten Sleman yang merupakan daerah rawan bencana, mempunyai beberapa kawasan rawan bencana seperti Kawasan Rawan Bencana III yang meliputi Kecamatan Turi, Pakem, Cangkringan, dan Ngemplak8, sedangkan sumber daya manusia yang dimiliki oleh BPBD Kabupaten Sleman terbatas. Jadi akan sangat kelebihan beban jika semua penanganan hanya dilakukan oleh relawan dan SAR. Karena itu, perlu adanya sumber daya manusia lain yang dapat membantu meminimalisir dampak bencana, yaitu masyarakat itu sendiri. Disini dibutuhkan partisipasi atau peran serta dari masyarakat karena bencana itu akan berdampak pada masyarakat sehingga masyarakat perlu meminimalisir dampak tersebut. Masyarakat dapat meminimalisir dampak tersebut dengan cara ikut berpartisipasi dalam upaya penanggulangan bencana. Keterlibatan masyarakat tersebut sangat diperlukan, mengingat pada tahun 2010 kemarin, banyak masyarakat yang tidak mau dievakuasi meskipun sudah ada perintah dari BNPB untuk segera meninggalkan rumah menuju ke tempat yang lebih aman (pengungsian). Masyarakat menganggap bahwa sebelum Mbah Marijan (Juru Kunci Gunung Merapi) menyuruh warga untuk meninggalkan rumah maka mereka tidak akan meninggalkan rumah. Mereka lebih percaya kepada tetua atau sesepuh desa yang memang sudah mengetahui sifat
8
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/13/11/21/mwly7a-warga-krb-iiimerapi-diminta-siaga-24-jam
4
dan karakteristik Merapi.9 Anggapan tersebut harus segera diubah supaya dapat meminimalisir dampak bencana. Untuk dapat merubah anggapan tersebut, dibutuhkan kerjasama berbagai pihak, baik Pemerintah maupun masyarakat. Seperti yang diamanatkan pada UU No. 24 Tahun 2007 mengenai Penanggulangan Bencana, dimana pemerintah dan masyarakat berkewajiban dan bertanggung jawab untuk saling bersinergi dalam pencegahan dan kesiapsiagaan. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan sosial dan mendapat rasa aman, khususnya bagi mereka kelompok yang rentan akan bencana dan setiap masyarakat berkewajiban
memelihara
keseimbangan,
keserasian,
keselarasan,
dan
kelestarian
lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya mitigasi penanggulangan bencana secara partisipatif untuk lebih mengetahui mengenai kebencanaan dan karakteristik wilayah masingmasing dari ancaman bencana. UU No 24 Tahun 2007 juga menegaskan tentang pentingnya melibatkan masyarakat dan pencegahan resiko. Pasal 26 ayat 1 Butir B menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan
pendidikan,
pelatihan,
dan
keterampilan
dalam
penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Dalam ayat yang sama, Butir E, ditegaskan bahwa setiap orang berhak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya. Dengan kata lain, pernyataan
tersebut
secara
tidak
langsung
mempromosikan
“bottom-up”
dalam
penanggulangan bencana.10 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 5 ayat (1) huruf g dan h,diuraikan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana pada situasi tidak terjadi bencana adalah pendidikan dan pelatihan serta persyaratan standar teknis penanggulangan bencana. Demikian pula Pasal 14 Ayat (1) mengatakan bahwa pendidikan dan pelatihan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, kemampuan, dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Sementara itu, masih dalam pasal 9
Dari berbagai sumber media eletronik UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana,pasal 26
10
5
yang sama Ayat (2) menyatakan bahwa implementasi pendidikan dan pelatihan berbentuk pendidikan formal, nonformal, dan informal yang berupa pelatihan dasar, lanjutan, teknis, simulasi, dan gladi.11 Dari segi yuridis, sudah ada pernyataan bahwa penting untuk mengajak serta masyarakat dalam penanggulangan bencana. Ada beberapa alasan mengapa perlu melibatkan masyarakat dalam penanggulangan bencana. Pertama, penanggulangan bencana bukan saja tanggung jawab pemerintah, namun semua pihak termasuk masyarakat itu sendiri. Kedua, setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan atas martabat, keselamatan, dan keamanan dari bencana. Ketiga, masyarakat adalah pihak yang langsung berhadapan dengan bencana, karena itu kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana merupakan faktor penentu besar kecilnya dampak yang akan ditimbulkan dari bencana itu sendiri. Pada saat kritis menghinggapi masyarakat, maka masyarakatlah yang harus menghadapi bencana yang terjadi dengan kemampuan yang dimilikinya. Pemulihan pasca bencana seringkali hanya berupa bantuan dan sangat terbatas, padahal mereka membutuhkan waktu yang panjang dan sumber daya yang tidak sedikit. Maka penting bagi masyarakat untuk menyiapkan diri dengan cara mengurangi ancaman, melakukan kegiatan pengurangan dampak ancaman, kesiapsiagaan, dan meningkatkan kemampuan dalam penanggulangan bencana.12 Oleh karena itu, BNPB mencoba melibatkan masyarakat dalam upaya mitigasi penanggulangan bencana, yaitu dengan meluncurkan sebuah program bernama “Desa Tangguh Bencana” atau biasa disingkat menjadi Destana. Destana merupakan salah satu bagian dari upaya untuk melaksanakan pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat. Tujuannya adalah melindungi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana dari dampak-dampak yang merugikan akibat bencana, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dalam rangka mengurangi resiko bencana, meningkatkan 11
PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana 2007. Panduan Umum Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat. (www.Idepfoundation.org) 12
Bali : Yayasan IDEP
6
kapasitas kelembagaan masyarakat dan kapasitas pemerintah dalam memberikan dukungan sumber daya dan teknis bagi pengurangan resiko bencana, serta meningkatkan kerjasama antara pemangku kepentingan dalam pengurangan resiko bencana seperti pihak pemerintah daerah, sektor swasta, perguruan tinggi, LSM, organisasi masyarakat desa dan kelompokkelompok peduli lainnya. Program Destana itu sendiri merupakan program dari BNPB, dimana ingin mengurangi resiko bencana yang ditimbulkan maka perlu adanya Destana, sehingga dapat dikatakan Destana ini merupakan program dari pusat bukan dari masyarakat itu sendiri.13
Di Kabupaten Sleman, terdapat beberapa desa yang dikukuhkan sebagai
Destana yaitu di Kecamatan Cangkringan dan Kecamatan Ngemplak. Pengukuhan tersebut dilakukan oleh BPBD Kab. Sleman pada bulan Mei 2014.14 Kecamatan Cangkringan (Desa Wukirsari dan Cangkringan) sebagai Destana dalam antisipasi lahar panas dari Merapi sedangkan Kecamatan Ngemplak (Desa Candibinangun dan Sindumartani) sebagai Destana dalam antisipasi lahar hujan. Dari penjelasan diatas, peneliti ingin mengetahui partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana khususnya di Desa Sindumartani. Peneliti memilih Desa Sindumartani karena desa tersebut masuk dalam KRB III di wilayah Kecamatan Ngemplak dan merupakan Destana dalam antisipasi lahar hujan yang mudah untuk diakses namun jarang untuk diekspos. Apakah dengan dikukuhkannya Desa Sindumartani sebagai Destana, masyarakat mampu berpartisipasi secara maksimal dalam mitigasi bencana atau tidak. Peneliti juga ingin mengetahui seberapa besar keterlibatan masyarakat dalam mitigasi bencana, apakah masyarakat sudah siap ketika bencana itu terjadi dengan pembekalan mitigasi yang sudah dilakukan oleh BPBD Kabupaten Sleman ataukah justru masyarakat tetap panik ketika mengetahui bencana tersebut terjadi lagi. Selain partisipasi masyarakat, peneliti juga ingin
13
Perka BNPB 1 2012 tentang Pedoman Umum Desa Kelurahan Tangguh Bencana. http://www.harianjogja.com/baca/2014/09/23/bencana-merapi-candibinangun-jadi-desa-tangguh-bencana538750 14
7
mengetahui strategi yang digunakan oleh BPBD Kabupaten Sleman dalam penanggulangan bencana.
2. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana strategi BPBD Kabupaten Sleman memaksimalkan partisipasi masyarakat Desa Sindumartani dalam upaya mitigasi bencana? 2. Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat Desa Sindumartani dalam upaya mitigasi bencana?
3. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah pada penelitian ini, maka tujuan penelitian ini antara lain : 1. Ingin mengetahui strategi BPBD Kabupaten Sleman dalam memaksimalkan partisipasi Desa Sindumartani dalam upaya mitigasi kebencanaan, strategi apa yang digunakan
sehingga
dapat
memaksimalkan
peran
serta
masyarakat
Desa
Sindumartani. hal tersebut untuk mendukung integritas masyarakat yang mandiri dalam kesiapsiagaan terhadap ancaman bencana yang mungkin terjadi, sehingga nantinya program kinerja tersebut dapat berkelanjutan. 2. Tingkat partisipasi masyarakat Desa Sindumartani dalam upaya mitigasi bencana, masyarakat mampu berpartisipasi secara optimal atau masyarakat tidak mampu berperan serta di dalam Destana tersebut.
4. MANFAAT PENELITIAN Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi masukan bagi instansi/lembaga kebencanaan, pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat terkait dengan keterlibatan masyarakat di dalam mitigasi penanggulangan bencana. 8
5. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika pembahasan dalam penelitian ini. BAB II LITERATUR REVIEW Tinjuan pustaka akan dibahas dalam bab ini meliputi partisipasi masyarakat dalam bencana, faktor penentu partisipasi, peranan/bentuk partisipasi masyarakat, pendekatan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan partisipasi, strategi dalam memaksimalkan partisipasi masyarakat, peran serta pemerintah daerah dalam mendorong partisipasi, dan teori-teori dasar kebencanaan. Strategi disini meliputi manajemen bencana berbasis masyarakat, dan berbasis komunitas. BAB III METODE PENELITIAN Pada bab tiga ini akan membahas metode yang akan digunakan dalam penelitian. Selain itu, dijelaskan juga mengenai pendekatan yang akan dipakai, dan juga langkahlangkah operasional, baik yang berkaitan dengan data, cara, maupun analisis sebagai tahapan selanjutnya dalam penelitian. Semua hal yang berkaitan dengan metode penelitian akan dibahas dalam bab ini untuk mendapatkan hasil akhir penelitian. BAB IV WILAYAH PENELITIAN Bab ini berisi tentang gambaran wilayah penelitian dan ancaman di wilayah penelitian.
9
BAB V STRATEGI BPBD KABUPATEN SLEMAN DALAM MEMAKSIMALKAN PARTISIPASI MASYARAKAT Bab ini berisi temuan lapangan dan sekaligus analisa tentang strategi BPBD Kabupaten Sleman dalam memaksimalkan partisipasi masyarakat sehingga diperoleh penjelasan secara lebih jelas. BAB VI TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DESA SINDUMARTANI DALAM MITIGASI BENCANA Bab ini berisi tentang temuan lapangan dan analisa mengenai keterlibatan masyarakat di dalam mitigasi bencana. Hal ini dilihat dari beberpa faktor seperti cara untuk melibatkan masyarakat, keterlibatan masyarakat di dalam mitigasi bencana, kesadaran dan pemahaman warga akan daerahnya, dan lain sebagainya. BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran, dimana kesimpulan dan saran diperoleh dari analisa-analisa sebelumnya.
10